Sie sind auf Seite 1von 16

Asyariyah

Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran aliran yang muncul
sebelumnya. Penamaannya di nisbahkan kepada abu hasan ali al asyari yang
semula adalah seorang pengikut mutazilah. Asyari percaya bahwa fungsi akal
adalah sebatas mengetahui hal hal yang empiri(konkrit), sedangkan wahyu
memberi informasi tentang hal hal yang lebih luas termasuk soal metafisika. Ia
menerima keabsahan khabar ahad sebagai hujjah dalam bidang akidah. Tidak
seperti mutazilah, aspek ketuhanan asyariyah meyakini bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Kalam Allah yang menurut mutazilah adalah makhluk
menurut Asyariyah perlu di bedakan pengertiannya manjadi kalam majasi dan
kalamnafsi, kalam majasi adalah Al-Quran dalam bentukk tertulis yang di
pegang manusia dan bersifat baru. Sedangkan kalam nafsi bersifat abadi
bersamaan dengan wujudAllah. Asariyah juga percaya bahwa Tuhan itu maujud
dan karenanya dapat di lihat diakhirat dengan mata telanjang oleh penghuni
surga. Mereka cenderung menolak takwildan menerima penafsiran harfiah
sekalipun tidak menerima tasybih (penyarupaanbentuk) dan taksyif
(penyerupaan cara).

Pokok pemikiran al Asyari yang di juluki sebagai imam Ahl al sunnah wa


aljamaah ini semakin lama kian memperoleh pengikut, bahkan
sepeninggalnyapemikirannya masih dapat menjangkau wilayah
persebnaran yang sangat luas,Mahdzab teologi ini kemudian di lanjutkan dan
di kembangkan oleh tokoh tokoh lainsesudahnya seperti Abu baker Al bqillani
dan imam al Ghazali.G.

Maturidiyah

Aliran ini di nisbahkan kepada imam al Huda abu mansur Muhammad bin
Muhammad al maturidi dari Samarkand. Dari segi pemikirannya, al Maturidi
banyakmemiliki kesamaan dengan al Asyari, sekalipun ada perbedaan cukup
signifikanantara keduanya. Misalnya terkait persoalan marifah (mengetahui
Allah), Asyariyah menganggapnya wajib berdasarkan syara, sedangkan
maturidiyah melihat kewajiban ini melalui penalaran akal, demikian pula
perihal kebaikan, asyariyah tyidakmengakui penalaran atas hal itu
dapat di capai melalui penalaran akal atassubstansinya. Dari sini dapat di
ketahiu bahwa maturidiyah memberikan otoritas lebihbesar kepada akal manusia
di bandingkan dengan asyariyah.
Maturidi dalam persoalan iman melihatnya sebagai suatu kepercayaan
dalamhati, jadi sejauh orang meyakini keesaan Allah dan kerasulan Muhammad,
sekalipuntidak melaksanakan ibadah, dia masih masuk kategori beriman. Tetapi
ini tidak perssissama dengan murjiah karena dia meyakini secara tegas bahwa
pelaku dosa besaradalah fasik dan masih berhak masuk surga (atau tidak kekal
ddi neraka) setelah dosadosanya di ampuni Tuhan.

Dalam aliran maturidiyah seenarnya di kenal dua corak aliran, yakni


aliransamarkand dan bukhara. Aliran samarkand di kenal lebih dekat dengan
mutazilahdalam beberapa pemikirannya, sementara aliran bukhara dalam hal
ini lebih dekatdengan metodologi berfikirnya asyariyah.

Salafiyah

Gerakan pemikiran ini tumbuh terutama dalam tradisi mazhab imam


Ahmadbin hanbal yang di hidupkan kembali oleh Ibnu Tamiyah dan Muhammad
bin Abdulwahab. Kaum salafiyah ini mendakwahkan kepada umat agar
dalam hal aqidahmereka kembali kepada prinsip prinsip yang di pegang oleh
kaum salaf dari kalangansahabat dan tabiin. Akal harus berjalan di belakang dalil
naqli untuk mendukung danmenguatkannya. Dengan pola metodologis, salafiyah
mengkritik aliran aliran kalamseperti mutazilah, asyariyah, dan maturidiyah
yang dalam pemahaman akidahnyamemakai metode falsafi yang di impor dari
logika yunani.

Salafiyah meyakini bahwa keesaan Allah merupakan asas pertama islam


yangmeliputi tauhid rububiyah, uluhiyah dan asmawa sifat. Sebagai mana
tersurat dalamnash dengan makna lahirnya tanpa tatil (peniadaan), tawil,
tasybih, tamsil dan takyif.

Tetapi faham yang di klain sebagai mahzab kaum salaf ini


sebenarya memperoleh kritik bahkan sejak masa awal kemunculannya. Al-khatib
ibn al-jauzikebertan jika faham ini di nisbatkan sebagai mahzab teologi
kaum salaf. Iamenyatakan bahwa tafwidh sebagaimana di maksudkan
tersebut sejatinya adalahkonstruk pemikiran yang masih mempunyai anasir
tasybih, yakni memperlakukanAllah seolah benda inderawi atau makhluk. Al-
ghazali juga mengkritik hal senadabhwa apabila kita memberi makna jism
kepada Allah dengan penerjemahan lafdziyahsehingga mengimperasikan
pemahaman bahwa Allah memiliki sejumlah anggota badan, pemberian
Allah dengan sifat sifat inderawi ini mustahil bagi-Nya. Jadi lafaltersebut
bukannya ditafsirkan secara tekstual untuk pengertian sifat-sifat dzat
Allah,melainkan dengan makna substansi yang merujuk pada
pengertian sifat-sifatperbuatan-Nya. Misalnya kata tangan bias di pinjam
untuk pengertian yang bukanjism, seperti negri ini berda di tangan penguasa.
Kalimat ini jelas bisa di pahamipengertiannya sekalipun peguasa tersebut secara
aktual tidak memilliki tangan.

Tentang al Quran mereka menyatakan bahwa kalam Allah adalah


qadimbersama dzat. Sementara dalam hal perbuatan manusia, mereka
memandang bahwaAllah adalah pencipta segala sesuatu dengan berbagai sebab
yang di ciptakannya. Jadimanusia adalah pelaku sebenarnya atas perbuatannya
sendiri dengan potensi yang diberikan Allah kepadanya. Disini dibedakan antara
ridha, suka dan kehendak Allah.Dia tidak menyukai dan tidak meridhai maksiat,
tetapi Dia tetap menhendakinyaterjadi untuk suatu hikmah yang terpuji. Dan
dalam ini adalah penjelasan terhadapkesempurnaan penciptaan, perintah dan
larangan-Nya.

Mutazilah

Secara harfiah berarti yang memisahkan diri, pelopor aliran ini adalah
WasilBin Atha yang memplokamirkan pemisahan dirinya dari gurunya
karena tidaksependapat dalam persoalan pelaku dosa besar, Wasil
berpandangan bahwa pelakudosa besar adalah fasik yang kelak di akhirat akan
di ketakkan oleh Allah di suatuposisi antara surga dan neraka (al manzilah bayn
al manziliyatyn). Faham ini lantasmenjadi salah satu doktrin sentral mutazilah
yang di kenal dengan istilah al mabadi alkhamsah (asas lima). Kelima asas ini
adalah hasilserangkaian perdebatan. prinsiptauhid misalnya adalah bentuk
penolakan mereka thd faham mujassimah danmusyabbihah. Sementara
prinsip keadilan untuk menolak faham jasmiyah, prinsipjanji dan ancaman
untuk menolak faham murjiah, serta prinsip manzilah untukmenolak
faham murjiah san khawarij sekaligus.

Aliran ini dalam banyak pemikirannya menjadikan akal sebagai


sumberpengetahuan utama tentang kewajiban serta kebaikan dan
keburukan, sedangkanwahyu sebagai pendukung kebenaran akal. Pemikiran
kalangan mutazilah antara lainmenyebutkan bahwa Allah mustahil dapat di lihat
dengan mata telanjang di akhirat,tidak ada siksa kubur, Al-Quran adalah
makhluk, keniscayaan atas Allah untukberbuat baik dan terbaik, dan manusia
bersifat otonom dalam tindakannya denganQudrah yang di Allah kepadanya.

Dalam benyak hal mutazilah justru menunjukkan keistimewaannya


tersendiridalam sejarah pemikiran keagamaan di kalangan umat islam.
Mutazilah dikenal gigihmenolak taqlid dan mencegah pengikutnya untuk
menuruti pendapat orang lain tanpalebih dahulu. Mereka sangat
menghormati pendapat dan materi pendapat tanpaterpengaruh siapa
yang mengemukakan pendapat tersebut. Karekter ini pula yangmenjadikan
mutazilah dengan pusat persebaranyya di Basrah dan Bagdad mempunyaicukup
banyak aliran yang berkembang dengan corak pemikirannya masing masing.

Sejarah Aliran Maturidiyah

Aliran maturidiyah lahir di Samarkand pertengahan kedua dari abad IX


masehi. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut abu
hanifah sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-
paham yang dipegang Abu Hanifah. Sistem pemikiran aliran maturidiyah,
termasuk golongan teologi ahli sunah.

Menurut buku (literatur) yang membahas persoalan sekte-sekte tidak


banyak yang memuat keterangan mengenai aliran Al-Maturidiyah maupun
pengikut-pengikutnya. Karangan Al-Maturidiyah masih berbentuk mahtutat.
Diantaranya kitab Al-Tauhid dan kitab Tawil Al-Quran yang belum di cetak,
sehingga buku Maturidiyah sebagai acuan/literature tidak banyak membahas
persoalan teologis seperti halnya ajaran Asyariyah maupun mutazilah.

Ada juga suatu pendapat yang mengatakan bahwa ada karangan-


karangan yang disusun oleh Al-Maturidi, yaitu risalah fi Al-aqaid dan syarh al-
Fiqh Al-Akbar. Sebagai informasi yang menambah kawasan tentang maturidiyah
adalah buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya, seperti buku Isyarat al-
Maram oleh Al-Bayadi dan Al-Bazdawi dengan bukunya usul Al-din

Untuk mengetahui system pemikiran Al-Maturidi kita tidak bias


meninggalkan pemikiran-pemikiran Asyary dan aliran mutazilah, sebab ia tidak
lepas dari suasana zamannya. Maturidiyah dan asy-ariyah sering terjadi
persamaan pendapat karena persamaan lawan yang dihadapinya yaitu
mutazilah. Namun perbedaan dan persamaannya masih ada.

Al-Maturidi dalam emikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini


mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifah karena Al-Maturidi sebagai
pengikut Abu Hanifah. Dan timbulnya Aliran ini sebagai reaksi terhadap aliran
mutazilah.[1]

B. Tokoh Aliran Maturidiyah

1. Abu Mansur Al-Maturidi

Nama lengkap al-Maturidi ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud.


Tokoh yang dikenal dengan nama Abu Manshur al-maturidi ini dilahirkan
dimaturid, sebuah kota kecil disamarkand, Wilayah Trmsoxiana da Asia Tengah,
daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui
secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat
pada tahun 333 H/944 M, Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr
bin Yahya Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa
khalifah Al-Mutawakil yang memerintah pada tahun 232-274/847-861 M.

Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang


teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam
menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat
Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal
dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentik karya tulis,
diantaranya ialah kitab tauhid,tawil Al-Quran, Makhaz Asy-SyaraI, Al-Jadl,ushul
fi Ushul Ad-Din, Muqalat fi Al-Ahkam Radd Awail Al-Abdillah li Al-Kabi, Radd Al-
Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li Al Baad Ar-
Rawafid, dan kitab Radd ala Al-Qaramatah, selainitu ada pula karangan-
karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh
fiqh Al-Akbar.[2]

Ada dua golongan di dalam aliran maturidiyah, yaitu golongan Samarkand


dan golongan Bukhara. Yang menjadi golongan Samarkand ini adalah pengikut-
pengikut Al-maturidi sendiri. Golongan ini cenderung kearah paham Mutazilah,
sebagaimana pendapatnya soal-soal sifat Tuhan. Maturidi dan Asy-ari terdapat
kesamaan pandangan. Menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan
mengetahui bukan dengan zat-Nya, melainkan dengan pengetahuan-Nya. Begitu
juga tuhan berkuasa bukan dengan zat-Nya.

Mengenai perbuatan-perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan


golongan Mutazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham
Qadariyah, maturidi menolak paham-paham Mutazilah, antara lain dalam soal:

1. Tidak sepaham mengenai pendapat mutazilah yang mengatakan


bahwa Al-Quran itu makhluk.

2. Al salah wa Al-aslah

3. Paham posisi menengah kaum Mutazilah.


Dengan demikian, lebih lanjut Al-maturidi berpendapat Tuhan mempunyai
kewajibankewajiban tertentu. Dan kalam (firman) tidak diciptakan, tetapi
bersifat qadim

Dosa besar yang dilakukan seseorang menurut maturidi masih tetap


mukmin, ia sepaham dengan Asy-ary. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwab
mereka yang berdosa besar akan ditentukan tuhan kelak di akhirat.

Maturidi juga sepaham dengan mutazilah dalam soal Al-waad wa al-waid.


Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian juga masalah
antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan, wajah Tuhan,
dan sebagainya seperti penggambarab Al-Quran, mesti diberi kiasan (majazi).
Dalam hal ini, maturidi bertolak belakang dengan pendapat Asy-ary, yang
menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan). [3]

Sebenarnya Imam Al-maturidi senang dengan imam ASyAri hanya


saja Asy Ari di Bashrah sedangkan maturidi di Samarkand dan Asy ari lebih
cenderung mengikuti imam SyafiI dan imam Maturidi lebih dekat dengan imam
hanafi tapi kedua imam ini masih di golongkan dalam Ahlus Sunnah Wal-Jamaah.

Memperhatikan arah pikiran kedua imam tersebut dalam masalah Fiqih,


tidak heran bahwa kedua imam terdepat perbedaan pendapat dalam beberapa
segi, tapi tidak mendasar. Dalam perkembangan selanjutnya Asyari
kelihatannya lebih dekat dengan jabariyah sedangkan maturidi terarah kepada
Mutazilah.

Pokok pikiran imam maturidi.

Dasar pemikiran/ cara berfikir maturidi sejalan dengan hanafi.


Adapun pokok pikirannya dalam teologi antara lain:
a. Masalah Iman

Imam adalah ikrar dengan lisan dan tashdiq di dalam hati, serta ikrar itu
adalah rukun dari iman itu atau bagian dari iman

b. Qadha dan Qadar dalam hubungannya dengan perbuatan manusia.

Pada dasarnya menutur maturidi kemauan manusia itu sebenarnya adalah


kemauan Allah, akan tetapi segala perbuatan manusia itu tidak selamanya
sesuai dengan kehendak Tuhan,sebab Dia selalu menghendaki yang baik, bukan
yang tidak baik. Dengan kata lain daya (qudrat) dapat digunakan manusia untuk
berbuat baik atau jahat, sedangkan Allah menghendaki yang baik saja. Jadi
dalam hal ini ada perbedaan dengan pendapat imam Asyari dan lebih
cenderung pada pendapat Mutazilah.

c. Tentang sifat Tuhan, Maturidi membatasi permasalahannya, sifat-


sifat Tuhan adalah Sifat-Nya tidak perlu dipermasalahkan lagi.

Walaupun imam Maturidi masih di golongkan Ahlus Sunnah Wal Jamaah,


akan tetapi bila diteliti lebih mendalam terdapat dugaan yang kuat bahwa Imam
Maturidi ingin mengambil jalan tengah antara pendapat Imam Asyari dengan
Mutazilah. Dugaan ini dikuatkan bahwa dalam beberapa segi pendapat maturidi
sejalan dengan pendapat Mutazilah atau Imam Asyari dan sebaliknya dalam
segi lainnya ada yang bertentangan pendapat.[4]

2. Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi

Golongan yang kedua dalam aliran maturidiyah yaitu golongan Bukhara,


golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia ini
merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang
tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran-ajaran Maturidi. Kemudian Al-
Bazdawi dalam perkembangan pemikirannya, mempunyai salah seorang murid
yaitu Najm Al-Din Muhammad Al-Nasafi dengan karyanya Al-Aqaidul Nasafiyah.

Dengan demikian yang dimaksud golongan Bukhara adalah pengikut-


pengikut Al-Bazdawi didalam aliran Al-Maturidiyah, yang mempunyai pendapat
lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-AsyAry. Namun walaupun sebagai
aliran maturidiyah, Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan Maturidi.
Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh umat yang bermazhab Hanafi. Dan
pemkiran-pemikiran Maturidiyah sampai sekarang masih hidup dan berkembang
di kalangan umat Islam.[5]

C. Pokok Pokok Ajaran Al-Maturidiyah

1. Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Quran dan


akal. Dalam hal ini, ia sama dengan Al-Asyari. Namun porsi yang diberikannya
kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan oleh Al_asy-ari.

Menurut Al-maturidi, mengetahui tuhan dan kewajiban mengetahui tuhan


dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal
tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar amanusia
menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya
terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang
makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh
pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan \]manusia
untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Alllah berarti meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut.namun akal, menurut Al-
maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk Al-maturidi berpendapat bahwa penentuan


baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada Sesutu itu sendiri, sedngkan
perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai
baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu
membedakan antara yang baik dan yang buruk, namun terkadang pula mampu
mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,
wahyu diperlikan untuk dijadikan sebagai pembimbing.

Almaturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu:

Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;

Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;

Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali


dengan petunjuk ajaran wahyu.

Tentang mengetahui kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-


Maturidi sependapat dengan Mutazilah. Hanya saja bila mutazilah mengatakan
bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu
didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban
tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini,
Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asyari. Menurut Al-Asyari, baik atau
buruk itu terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik karena
perintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara. Jadi, yang baik itu
baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada
konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asyari.
2. Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan

Dalam memahami kehendak mutlak dan keadilan Tuhan, aliran ini terpisah
menjadi dua, yaitu maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara. Pemisahan
ini disebabkan perbedaan keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal
dan pemberian batas terhadap jkekuasaan mutlak Tuhan. Karena menganut
paham Free will dan Free act serta adanyabatasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan,
kaum maturidiyah Samarkand mempunyai posisi yang lebih dekat kepada
Mutazilah, tetapi kekuatan akal dan batasan yang dberikan kepada kekuasaan
mutlak Tuhan lebih kecil dari pada yang diberikan aliran Mutazilah.

Kehendak mutlak Tuhan, menurut maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh


keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa degala perbuatan-Nya
adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan
memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang
dalam memberi hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan
memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.

Adapun maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa tuhan mempunyai


kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan
menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa
Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil
pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada
satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya. Dan tidak ada batasan-batasan
bsagi-Nya. Tampaknya aliran Maturidiyah samarkan lebih dekat dengan
Asyariyah.

Lebih jauh lagi maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa ketidak adilan


tuhan haruslah di pahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutkak
Tuhan. Secara jelas Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos,
TUhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan
bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik
mutlak.

3. Sifat-Sifat Tuhan

Berkaitan dengan massalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan


pemikiran antara Al-Maturidi dan Al-Asyari, seperti dalam pendapat bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama, basher dan sebagainya. Walaupun
begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asyari. Al-
Asyari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, malainkan
melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak
dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula dari Esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan
itu mulazamah (ada bersama, baca:inheren) dzat tanpa terpisah (unnaha lam
takun ain al dzat wa la hiya ghairuhu).

Tampaknya paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung


mendekati paham Mutazilah. Perbedaannya, Al-Maturidi mengakui adanya sifat-
sifat Tuhan, sedangkan Mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.

Sementara itu Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan


kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat.
Persoalan banyak yang kekal mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa
sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan
bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri; juga dengan mengatakan bahwa
Tuhan bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah
kekal.

Aliran maturidiyah Bukhara berbeda dengan asyariyah. Sebagaimana


aliran lain, Maturidiyah Bukhara juga berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.
Maturudiyah Samarkand sependapat dengan Mutazilah dalam
menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan
menghadapi jasmani ini, Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.

4. Melihat Tuhan

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini


diberitakan oleh Al-quran, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat
22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat
dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia
immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak sama dengan keadaan
di dunia.

Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy-Ariyah dalam hal Tuhan dapat


dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu
merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan Al-Maturidi
bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat
dijelaskan bagaimana cara melihatnya. Ayat 103 surat al-anam yang dijadikan
dalil oleh Al-Maturidi dalam mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat
dilihat dengan mata.

Demikian pula maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan Asy-ariyah


dan maturidi Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Al-
Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelakmemperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat
dengan mata kepala, menurut apa yang ia kehendaki.

5. Kalam Tuhan
Aliran Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand berpendapat
bahwa Al-quran itu adalah kekal tidak diciptakan. Maturidiyah Bukhara
berpendapat, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, kalamullah (Al-Quran)
adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam
bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah
kalamullah secara hakikat, tetapi disebut Al-Quran dalam pengertian kiasan
(majaz).

Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa Al-Quran adalah kalamullah


yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan dzat Tuhan dan
juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat sebab huruf dan
kalimat itu diciptakan.

Menurut Al-maturidi, mutazilah mamandang Al-Quran sebagai yang


tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asyari memandangnya
dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut Mutazilah bukan merupakan sifat-
Nya dan bukan pula dari dzatNya. Al-Quran sebagai sabda Tuhan bukan sifat,
tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat ini
diterima Al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi lebih suka menggunakan istilah
hadis sebagai pengganti Makhluk untuk sebutan Al-Quran.

6. Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini,
kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau
membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib berbuat
ash-shalah wa al-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan
Tuhan tang bersifat mencipta dan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada
manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-
kewajiban tersebut antara lain:

Aliran Maturidiyah berpendapat bahwa pada dasarnya yang menerbitkan


perbuatan itu adalah dua qudrah, yaitu qudrah Tuhan dan Qudrah hamba, tetapi
yang menjadikan perbuatan itu adalah qudrah Allah semata.[6]

Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia


di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesusi dengan keadilan, dan
manusia juga diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya.

Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan


keadilan yang sudah ditetapkan-Nya

7. Pengutusan Rasul

Akal selamanya tidak mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan


kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban
lainnyadari syariat yang dibeban kepada manusia. Oleh karena itu, menurut AL-
Maturidi, akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber
informasi.tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada
akalnya.

Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan


Mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan rasul ketengah-tengah umatnya
adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam
kehidupannya.
8. Pelaku dosa besar (Murtakib Al-Kabir)

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena
Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal didalam neraka adalah balasan untuk orang yang
berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik tidak
akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan
dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal
adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau
mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya
saja.[7]

Al-maturidi megatakan bahwa yang benar mengenai orang mukmin yang


berdosa ialah menyerahkan persoalan persoalan mereka kepada Allah. Jika Allah
menghendaki, maka dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan dan
rahmatnya, sebaliknya jika Allah menghendaki, maka dia menyiksa mereka
sesuai dengan kadar dosa mereka, Namun, mereka tidak akan dikekalkan dalam
neraka. Dengan demikian, orang mukmin berada diantara harapan dan
kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil, sebagaimana dia telah
berfirman:

b) !$# w t br& x8u m/ tur $tB tbr y79s


`yJ9 !$to 4 `tBur 8 !$$/ s)s #utI$# $JO) $Jt

Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar.[8]

Das könnte Ihnen auch gefallen