Sie sind auf Seite 1von 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Transportasi merupakan sektor pendukung dalam setiap aktivitas manusia
baik kegiatan pekerjaan rutin, bisnis, pendidikan, sosial dan lain sebagainya. Sebagai
prasarana pendukung, transportasi harus mendapatkan pelayanan yang baik sehingga
diperoleh sistem pergerakan yang efektif dan efisien bagi pengguna transportasi.
Peningkatan sistem transportasi memerlukan penanganan yang menyeluruh,
mengingat bahwa transportasi timbul karena adanya perpindahan manusia dan
barang. Meningkatnya perpindahan tersebut dituntut penyediaan fasilitas penunjang
laju perpindahan manusia dan barang yang memenuhi ketentuan keselamatan bagi
pejalan kaki dimana pejalan kaki merupakan salah satu komponen lalu lintas yang
sangat penting terutama di perkotaan. Keberadaan pejalan kaki ini biasanya
terkonsentrasi pada fasilitas umum seperti terminal, pusat pertokoan, pusat
pendidikan serta tempat-tempat fasilitas umum lainnya. Keberadaan pejalan kaki
tersebut memerlukan fasilitas bagi pejalan kaki, termasuk fasilitas penyeberangan
jalan seperti Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), dimana JPO tersebut dipasang
apabila diharuskan tidak ada pertemuan sebidang antara arus pejalan kaki dengan arus
lalu lintas. Agar pejalan kaki mau untuk menggunakan JPO harus dijamin keamanan
dan jarak berjalan tidak terlalu bertambah jauh (Malkamah, 1995: 58)
Pergerakan pejalan kaki meliputi pergerakan-pergerakan menyusuri jalan,
memotong jalan dan persimpangan. Sebagaimana yang lazim terjadi di berbagai kota
besar, karena tuntutan perkembangan ekonomi, perdagangan dan kemudahan
jangkauan pelayanan bagi masyarakat, maka fasilitas-fasilitas umum seperti hotel,
pertokoan dan lain sebagainya biasanya mengelompok pada suatu daerah tertentu,
karena letak gedung satu dengan gedung yang lain menyebar ke seluruh kawasan,
maka suatu ketika pajalan kaki harus menyeberangi lalu lintas kendaraan untuk

1
sampai ke tempat tujuan. Namun sering kali keberadaan penyeberang jalan tersebut
pada tingkat tertentu akan mengakibatkan konflik yang tajam dengan arus kendaraan
yang berakibat pada tundaan lalu lintas dan tingginya tingkat kecelakaan. Seperti
yang tertulis pada artikel pada sebuah situs internet www.Pelangi.or.id pada tanggal
22 Oktober, 2003 yang menyebutkan bahwa kurangnya fasilitas pejalan kaki yang
memadai di Jakarta, terutama Jembatan Penyeberangan Orang, sangat berdampak
pada keselamatan jiwa pejalan kaki. Terbukti bahwa 65% kecelakaan di jalan raya
melibatkan kematian pejalan kaki, dimana 35% nya adalah anak-anak.
Seperti halnya di Jembatan Penyeberangan Orang Di Jalan Zainal Abidin
Pagar Alam (Depan Universitas Muhammadiyah Lampung) Bandar Lampung dengan
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, penyediaan sarana tranportasi bagi pejalan
kaki seperti jembatan penyeberangan sudah mulai disediakan. Penyediaan Jembatan
Penyeberangan Orang (JPO) dimaksudkan untuk mempermudah pejalan kaki untuk
menyeberang jalan dengan aman. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
penggunaan JPO tersebut dirasakan kurang efektif dalam memecahkan permasalahan
sirkulasi antara pejalan kaki dalam menyeberang jalan dengan kendaraan bermotor.
Hal ini bisa dilihat pada kenyataannya bahwa jembatan penyeberangan sebagai salah
satu fasilitas penyeberangan jarang dipakai dan terkadang sering disalah fungsikan
untuk duduk-duduk, tempat mangkal gelandangan serta rawan kejahatan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya: Bagaimana
Efektivitas Jembatan Orang Di Jalan Zainal Abidin Pagar Alam (Depan Universitas
Muhammadiyah Lampung) Bandar Lampung?

2
C. Fokus Penelitian Analisis
Fokus penelitian analisis ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana tanggapan pejalan kaki terhadap adanya jembatan penyeberangan?
2. Berapa jumlah yang memakai dan tidak memakai jembatan penyeberangan?
3. Bagaimana tanggapan pengendara bermotor tentang pejalan kaki dalam
menggunakan jembatan penyeberangan?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Jembatan Penyeberangan


Menurut John J. Fruin (1971) dalam perencanaan fasilitas bagi pejalan kaki,
termasuk fasilitas penyeberangan haruslah memperhatikan tujuh sasaran utama yaitu:
keselamatan (safety), keamanan (security), kemudahan (convenience), kelancaran
(continuity), kenyamanan (comfort), keterpaduan sistem (system coherence), dan daya
tarik (attractiveness). Ketujuh faktor tersebut saling berhubungan (inter-related) dan
saling tumpang tindih (overlapping). Berubahnya salah satu faktor akan
mempengaruhi perubahan faktor yang lain.

OFlaherty (1997) mengelompokkan fasilitas penyeberangan jalan menjadi dua jenis


yaitu:
a. Penyeberangan sebidang (at-grade crossing)
b. Penyeberangan tidak sebidang (segregated crossing)
Penyeberangan sebidang merupakan tipe fasilitas penyeberangan yang paling
banyak digunakan karena biaya pengadaan dan operasionalnya relatif murah. Bentuk
paling umum adalah berupa uncontrolled crossing (penyeberangan tanpa pengaturan),
light-controlled crossing (penyeberangan dengan lampu sinyal), dan person-
controlled crossing (penyeberangan yang diatur oleh manusia) (TRRL, 1991).
Penyeberangan tidak sebidang berupa pemisahan ketinggian antara pejalan kaki dan
kendaraan; pertama kali diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci yang merencanakan
kota dengan sistem jalan raya berganda (double network streets) dimana para pejalan
kaki berada di level atas dan kendaraan berada di level bawah (Fruin, 1974).

Idealnya fasilitas penyeberangan jalan memang harus dipisahkan dari arus


kendaraan berupa jembatan penyeberangan (overpass/crossingbridge/footbridge),
penyeberangan bawah tanah (subway/underpass/tunnel), dan jalan layang (skywalk)
sehingga tidak terjadi konflik antara pejalan kaki dengan kendaraan dan tidak

4
menimbulkan tundaan bagi kendaraan (TRRL, 1991; Hartanto, 1986, Levinson 1975,
Wright 1975, Bruce 1965).
Meskipun dibutuhkan biaya investasi yang tinggi, fasilitas penyeberangan tidak
sebidang mampu menjamin keselamatan penyeberang jalan (OFlaherty 1997, TRRL
1991, Braun 1975), namun fasilitas tersebut kurang dimanfaatkan karena pejalan kaki
cenderung enggan untuk mengubah level ketinggian jalur yang dilewatinya (TRRL
1991, Bruce 1965).
Jembatan penyeberangan mempunyai lebih banyak keunggulan daripada
penyeberangan bawah tanah. Pembangunannya lebih mudah dan lebih murah. Selain
itu, penyeberangan bawah tanah sering mengalami masalah antara lain: keamanan,
ventilasi, pencahayaan dan drainase (Allos 1983, Bruce 1965). Akan tetapi
penyeberangan bawah tanah lebih mampu melindungi pejalan kaki dari cuaca panas
dan hujan daripada jembatan penyeberangan.
Jembatan penyeberangan juga memiliki kelemahan yaitu ketinggiannya, dimana
semakin tinggi semakin banyak anak tangga, karena ketinggian jembatan
penyeberangan harus disesuaikan dengan tinggi kendaraan yang lewat dibawahnya
(OFlaherty 1997, TRRL 1991, Allos 1983, Fruin 1971).

Menurut OFlaherty (1997) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan fasilitas


penyeberangan tidak sebidang, diurutkan berdasarkan yang terpenting menurut
pejalan kaki adalah:
1. Jarak (directness of route)
2. Kemudahan (ease of negotiation)
3. Estetik (interest of specific features)
4. Pertimbangan lingkungan (general environmental appeal)
5. Keselamatan (safety)

5
Menurut Hartanto (1986), pejalan kaki enggan menggunakan jembatan karena
malas dan capai serta kondisi jembatan yang tidak menyenangkan semisal, ketinggian
jembatan, sempit dan terjalnya tangga, kondisi kotor dan suram, serta adanya
pengemis. Pejalan kaki lebih memilih mengambil resiko tertabrak kendaraan karena
merasa lebih cepat dan praktis karena tidak perlu naik turun tangga. Hal lain yang
mendorong penyeberangan sebidang adalah adanya median jalan yang dapat
dimanfaatkan sebagai refuge island pada saat menyeberang.
Hal tersebut berarti jembatan penyeberangan hanya akan digunakan jika
rutenya lebih singkat daripada melalui penyeberangan sebidang. Untuk meningkatkan
penggunaan jembatan penyeberangan perlu diaplikasikan pagar pembatas di tepi jalan
dan atau di tengah jalan sehingga jika memilih menggunakan penyeberangan
sebidang harus menempuh rute yang lebih panjang atau malah sama sekali tidak
mungkin dilakukan (OFlaherty 1997, TRRL 1991, Hartanto 1986, Bruce 1965).

Dalam wawancara yang kelompok kami lakukan dengan salah satu Pegawai
Tata Kota Bandar Lampung, bahwa, Pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang
di depan Universitas Muhammadiyah Lampung adalah dengan pertimbangan Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan Mengenai Hak Dan Kewajiban Pejalan Kaki untuk memperoleh
fasilitas penyeberangan yang aman dan nyaman maka dibangun Jembatan
Penyeberangan Orang (JPO) diwilayah itu.

B. Alat Analisis
Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bagian Keenam disebutkan mengenai Hak dan
Kewajiban Pejalan Kaki dalam Berlalu Lintas.
Pasal 131
1. Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa
trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.

6
2. Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di
tempat penyeberangan.
3. Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan
memperhatikan keselamatan dirinya.
Pasal 132
1. Pejalan Kaki wajib:
a. menggunakan bagian Jalan yang diperuntukkan bagi Pejalan Kaki atau Jalan
yang paling tepi; atau
b. menyeberang di tempat yang telah ditentukan.
2. Dalam hal tidak terdapat tempat penyeberangan yang ditentukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejalan Kaki wajib memperhatikan
Keselamatan dan Kelancaran Lalu Lintas.
3. Pejalan Kaki penyandang cacat harus mengenakan tanda khusus yang jelas
dan mudah dikenali orang lain.
Kedua pasal tersebut telah mengatur tentang hak dan kewajiban pejalan kaki dengan
jelas namun berdasarkan pengamatan sepintas yang saya lakukan, masih sering saya
jumpai pejalan kaki yang tidak memanfaatkan jembatan penyeberangan ketika
menyeberang jalan sehingga dapat mengganggu arus lalu lintas. Adakalanya ketika
lampu lalu lintas sudah menyala hijau dan beberapa kendaraan bermotor sudah mulai
berjalan namun (mungkin) merasa tanggung karena sudah berada di tengah jalan, ada
pejalan kaki yang tetap nekat menyeberang. Hal tersebut selain mengganggu
pengguna kendaraan bermotor juga bisa membahayakan jiwanya karena bisa saja
tertabrak. Hal ini juga berlaku pada jembatan penyeberangan yang berada diatas
lintasan rel kereta api. Mungkin anda pernah mendengar atau bahkan melihat ada
orang yang tertabrak kereta api akibat nekat melintasi rel tersebut
karena enggan memanfaatkan fasilitas jembatan penyeberangan yang telah
disediakan.
Secara subyektif, menurut saya hal-hal yang mendasari mengapa banyak pejalan kaki
yang engganmenggunakan fasilitas jembatan penyeberangan adalah :

7
Menyeberang dengan menggunakan jembatan penyeberangan membuat lelah
atau capek, hal ini mungkin menjadi alasan bagi pengguna jalan yang sudah tua dan
wanita hamil karena merasa tidak mampu untuk menaiki ataupun menuruni tangga
penyeberangan yang dianggap cukup tinggi sehingga lebih memilih jalan pintas.
Ingin cepat atau praktis, bagi mereka yang memilih alasan ini (meskipun bukan orang
tua atau wanita hamil) menyeberang jalan melalui jembatan penyeberangan
membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga bila ada jalan pintas dan lebih cepat
untuk sampai ketempat tujuan, kenapa tidak dimanfaatkan.
Ikut-ikutan, Mungkin pada awalnya anda tidak berniat menyeberang secara
sembarangan namun karena anda melihat ada banyak orang yang menyeberang tidak
menggunakan jembatan penyeberangan maka andapun akhirnya tertarik untuk
mengikuti langkah mereka karena anda pikir itu dilakukan secara beramai-ramai
sehingga jika tindakan tersebut dianggap melanggar peraturan, anda tidak akan
dihukum sendirian. Mungkin hal ini juga yang mendasari mengapa banyak korupsi
yang dilakukan secara berjamaah.
Memanfaatkan situasi lalu lintas yang sedang padat, Pada jam-jam tertentu
adakalanya jalan raya menjadi sangat padat sehingga kendaraan bermotor tidak dapat
bergerak. Situasi inilah yang dimanfaatkan pejalan kaki untuk menyeberang karena
mereka menganggap tidak akan mengganggu arus lalu lintas yang memang sedang
padat. Namun sebenarnya hal tersebut justru memperparah kemacetan lalu lintas yang
tengah terjadi. Mengapa demikian? Pada saat anda menyeberang, pada saat itu pula
ada mobil atau motor yang akan jalan karena mobil atau motor didepannya memang
sudah bergerak namun dengan adanya anda di tengah jalan maka mobil atau motor
tersebut harus menghentikan kendaraannya. Itu contoh jika satu orang yang
menyeberang, bayangkan bagaimana jika yang menyeberang lebih dari satu orang,
berapa kali pengendaraan mobil atau motor tersebut harus mengerem mendadak
padahal jika ada pejalan kaki yang tersenggol atau tertabrak maka biasanya pihak
pengendara kendaraan bermotorlah yang akan disalahkan.

8
BAB III
PEMBAHASAN

9
A. Hasil Observasi
Tabel hasil observasi kelompok 7 pada hari sabtu, 07 juni 2014 :

N PENGGUNA BUKAN
WAKTU
O JPO PENGGUNA JPO
1 06.00 -07.00 10 60
2 07.01-08.00 7 55
3 08.01-09.00 17 41
4 09.01-10.00 15 44
5 10.01-11.00 8 24
6 11.01-12.00 4 23
7 12.01-13.00 15 51
8 13.01-14.00 11 28
9 14.01-15.00 15 10
10 15.01-16.00 28 17
11 16.01-17.00 12 26
12 17.01-18.00 8 23
JUMLAH 150 402
60

50

40

30

20
PENGGUNA JPO
10 BUKAN PENGGUNA JPO

10
Dari hasil observasi diatas terlihat jelas bahwa pejalan kaki cenderung lebih memilih
tidak menggunakan jembetan penyeberangan orang (JPO) dengan alasan yang
beragam.

B. Hasil Wawancara

Dalam observasi yang kelompok 7 lakukan, kami juga mewawancarai dari


pengguna Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) dan pengguna kendaraan bermotor
yang melintas di wilayah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).

1. Tanggapan Pejalan Kaki Terhadap Adanya Jembatan Penyeberangan


Orang (JPO)
Amelia (18tahun) mahasiswi

Adanya Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) sangat memberi akses penyeberangan


yang aman dan nyaman, walaupun juga masih banyak pejalan kaki yang tidak
menggunakan JPO. Semoga pemerintah bisa merawat JPO ini.

Reki (16 tahun) siswa smk

Menurut saya walaupun ada jembatan masih banyak yang tidak menggunakannya,
lagian juga bikin capek harus naik setinggu itu. Dan juga JPO tidak ada atapnya jadi
terasa lebih panas.

Rosinur (43 tahun) pedagang

Sangat membantu karena tidak perlu menyeberang dengan menunggu kendaraan yang
lewat. Dengan adanya jembatan ini menjadi lebih mudah dan praktis untuk
menyeberang.

2. Tanggapan pengguna kendaraan bermotor yang melintas diwilayah JPO


Ansor (29 tahun) PNS

11
Adanya jembatan ini sangat membantu pejalan kaki untuk tidak menyeberang
sembarangan, walaupun juga banyak yang tetap tidak menggunakannya. Jadi kita
kalau melintas diwilayah ini harus was-was dengan pejalan kaki yang nekat
menyeberang tidak menggunakan JPO.

Violita (18 tahun) mahasiswi

Adanya JPO ini cukup mengurangi kemacetan yang biasanya saat pulang sekolah,
waktu siswa siswi smp dan smk keluar dari sekolahan pasti banyak yang sengaja
tidak lewat JPO. Sangat terganggu sebenernya dengan keadaan itu tapi ya mau
gimana lagi.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang di depan Universitas


Muhammadiyah Lampung adalah dengan pertimbangan Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Mengenai
Hak Dan Kewajiban Pejalan Kaki untuk memperoleh fasilitas penyeberangan yang
aman dan nyaman maka dibangun Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) diwilayah
itu. Dan dari hasil data observasi dan wawancara kelompok 7 menyimpulkan bahwa
pengguna JPO belum efektif dan tidak adanya hukum sanksi dan denda bagi yang

12
tidak menggunakan JPO. Dan inilah yang mengakibatkan pejalan kaki lebih banyak
tidak menggunakannya.

B. Alternatif Kebijakan

Alternatif kebijakan untuk menambah efektifitas penggunaan jembatan


penyeberangan orang (JPO) adalah dengan membuat pagar besi yang terdapat di
tengah-tengah jalan yang memisahkan kedua arus jalan seperti pagar besi yang
terdapat di depan pasar bambu kuning tanjung karang pusat.

Namun jika menggunakan pagar besi akan memakan anggaran daerah dan
permasalahan seperti ini terjadi disetiap wilayah. Maka dengan pertimbangan
kelompok 7 membuat alternatif kedua dengan membuat aturan tentang pejalan kaki
untuk mewajibkan menggunakan JPO sebagai tempat penyeberangan. Jika terjadi
pelanggaran maka diberikan sanksi berupa denda. Untuk wilayah wajib menggunakan
JPO adalah 200-300 meter sebelum dan sesudah jembatan penyeberangan.

DAFTAR PUSTAKA
Fruin, John. (1971). Dalam Harvey M. A Guide to Site Planning and Landscape
Construction, Fourth Edition. New York : John Wiley & Sons, Inc

Indonesian Highway Capacity Manual (IHCM) 1997, Direktorat Jendral Bina Marga,
Kementrian Pekerjaan Umum

Pedoman Teknis Perekayasaan Fasilitas Pejalan Kaki di Wilayah Kota No.


SK.43/AJ007/DRDJ/97, Departemen Perhubungan

13
Pedoman Perencanaan Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Umum No.032/T/BM/1999,
Kementrian Pekerjaan Umum

Rapoport, Amos. 1977. Human Aspects of Urban Form. New York : Pergamon Press

14

Das könnte Ihnen auch gefallen