Sie sind auf Seite 1von 43

KOMISI NASIONAL

ANTI KEKER A SAN TERHA DAP PEREM PUA N

Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di


Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang
Catatan KtP Tahun 2009

CATATAN TAHUNAN

TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Jakar ta, 7 Mar et 2010


Tim Penulis:
.Asmaul Khusnaeny, Dahlia Madani, Diah Irawaty, Dwi Ayu Kartika, Iva Kasuma,
Manna Nababan, Saherman, Soraya Ramli.
Tim Data dan Riset:
Atiyatun Khomisah, Betty Sitanggang, Dian Girsang, Heru Prasadja, Yustina Rostiawati,
Nenny Ayuni, Siti Nurjannah, Sri Candra Wulaningsih.
Tim Diskusi:
Arimbi Heroepoetri, Andy Yentriani, Yustina Rostiawati, Yuniyanti Chuzaifah,
Kunthi Tridewiyanti.
Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan
yang Timpang

RINGKASAN EKSEKUTIF

Catatan tahunan 2010 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan
yang terjadi dalam tahun 2009 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya,
catatan tahunan ini merupakan kompilasi data dari lembaga mitra pengada layanan, berjumlah
269 lembaga yang memberikan responnya.
Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun
(tahun 2001 2008). Tahun 2009 ini, peningkatan jumlah KTP mencapai 143.586 kasus atau
naik 263% dari jumlah KTP tahun lalu (54.425). Seperti tahun lalu, peningkatan jumlah kasus
ini pertama-tama dikarenakan kemudahan akses data Pengadilan Agama (PA) sebagai
implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan
Informasi di lingkungan Pengadilan. Selain itu ditengarai peningkatan ini berkaitan dengan
sejumlah faktor lain yang mendorong korban lebih mudah bicara atau membuka kasus
kekerasan yang dialaminya, seperti belakangan ini banyak kasus kekerasan terhadap perempuan
dengan mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan media cetak). Dan
biasanya yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik dikenal oleh masyarakat secara
luas (kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang cukup mudah dikenali).
Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain untuk lebih berani membuka
kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara umum publik lebih peka terhadap
kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, dan lebih mau menerima (tidak lagi tabu)
ketika ada perempuan mengadukan/membuka pengalaman tindak kekerasan.
Pola kekerasan yang cukup menonjol pada tahun ini adalah kekerasan psikis dan seksual
terjadi di tiga ranah yaitu keluarga/relasi personal, komunitas dan negara. Korban KDRT/RP
yang cukup menonjol tahun ini adalah kekerasan terhadap istri (96%). Dan usia korban
cenderung lebih muda (dari kelompok usia 13 18 tahun, usia anak). Karakteristik usia pelaku
sama dengan tahun sebelumnya, yaitu antara usia produktif: 25 40 tahun.
Di tingkat kebijakan sejumlah terobosan sudah dilakukan pemerintah, yaitu amandemen
UU Kesehatan yang mengakui adanya hak reproduksi perempuan, Peraturan Kapolri No. 8
Thun 2009 tentang penerapan standar HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian, MOU antara
5 lembaga negara dalam rangka perlindungan saksi korban. Pada tahun ini berdasarkan data
dari lembaga pengada layanan juga diketahui semakin banyak lembaga yang menggunakan UU
PKDRT dalam penanganan kasus, khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
P E N G A N TA R

Setiap tahunnya, Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan tentang Kekerasan


terhadap perempuan (KtP) yang terjadi sepanjang tahun itu. Untuk tahun 2009, seperti
biasanya data didapat dari seluruh mitra Komnas Perempuan yang lebih menangani korban
KtP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan kemudian merujuk ke
lembaga mitra lain yang memiliki kapasitas penanganan kasus.

Sejak tahun 2006, Komnas Perempuan telah memiliki standar formulir pengisian untuk
pencatatan data. Data standar yang dipantau adalah tentang kondisi lembaga-lembaga pengada
layanan, hambatan yang dihadapi dalam pencatatan, juga dalam penanganan kasus. Formulir
pengisian ini setiap tahunnya akan dievaluasi dalam lokakarya bersama lembaga-lembaga mitra
yang telah terbiasa mengisi formulir, maupun dengan lembaga pengada layanan yang belum
menjadi mitra Komnas Perempuan. Tujuannya adalah, selain mendapat masukan atas format
formulir, juga untuk meningkatkan kerja sama dan komunikasi antar lembaga. Untuk tahun
2009, lokakarya diadakan di dua wilayah: Bali, yang mencakup lembaga mitra di Bali, Jawa,
Ambon, dan Papua, serta Palembang (mencakup mitra di wilayah Sumatera).

Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima 166 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang pelakunya adalah pejabat publik/tokoh. Fenomena ini telah Komnas
Perempuan amati sejak tahun 2006, di mana sebanyak 557 kasus dari 16.709 kasus kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) dilakukan oleh pejabat publik dan aparat Negara. Di tahun 2007
sebanyak 552 kasus, sementara sepanjang tahun 2008 mencapai 784 kasus yang tersebar di
seluruh Indonesia.

Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik/ tokoh
masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas Perempuan meyakini bahwa masih banyak
korban yang diam/ menutup mulut, karena penanganan korban, baik dari aspek hukum, sosial
maupun kebijakan institusi untuk kasus seperti ini belumlah terbangun dengan baik. Ditemui
pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan korban, yang bermuara pada
reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan.

Komnas Perempuan juga mengucapkan terima kasih kepada para individu di dalam
lembaga tersebut di atas yang merelakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melengkapi
formulir isian yang telah dikirimkan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para pengolah
data, penulis, tim diskusi, dan tim pendukung logistik yang bekerja sampai detik terakhir untuk
memastikan laporan ini tersedia tepat waktu.

Akhirnya, melalui pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus-menerus


diharapkan dapat teridentifikasi besaran dan kompleksitas masalah kekerasan terhadap
perempuan. Pada akhirnya, dapat menjadi rujukan bagi semua elemen bangsa untuk menilai
capaian bangsa ini dalam menangani dan mengatasi pelanggaran HAM Perempuan.
METODOLOGI

Sumber data catatan tahunan Komnas Perempuan adalah kasus yang ditangani oleh
lembaga mitra pengada layanan. Dari tahun ke tahun, Komnas Perempuan mengundang
partisipasi dari lembaga pengada layanan dengan mengirimkan formulir pendataan dan
lembaga layanan memberikan responnya dengan mengisi dan mengembalikan formulir lewat
pos, fax, maupun email. Komnas Perempuan akan melakukan verifikasi data dengan
menghubungi lembaga mitra dimaksud lewat telpon dan/atau email. Jadi, pada prinsipnya data
yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan data penanganan lembaga mitra selama
(dalam) tahun bersangkutan.

Penyebaran (distribusi) formulir dan tingkat respon

PENGIRIMAN/PENYEBARAN FORMULIR pada tahun ini dilakukan terlambat, yaitu pada bulan
Desember 2009 dan awal Januari 2010. Keterlambatan ini dikarena-kan masalah teknis
Komnas Perempuan yang menjelang akhir tahun 2009 mempunyai acara nasional berkaitan
dengan pertanggungjawaban publik dan serah terima komisioner sehubungan dengan
selesainya masa tugas komisione periode 2007 2009. Selain itu, perlu penyesuaian
pemanfaatn APBN (waktu pencairan APBN berbeda dengan waktu seharusnya formulir
Catahu dikirim ke lembaga mitra). Akhirnya, formulir disebarkan ke sejumlah 1.173 lembaga
mitra dan mendapat respon dari 269 lembaga (23%). Sama seperti tahun-tahun sebelumnya,
kendala utama memberikan respon
Penyebaran dan Penerimaan Formulir Menurut Wilayah berkaitan dengan keterbatasan SDM
Catahu 2009 (dalam hal jumlah dan kapasitas) serta
sarana-prasarana yang dimiliki oleh
lembaga dalam rangka melakukan
pendataan. Alasan lain yang seringkali
juga dikemukakan oleh lembaga mitra
sehubungan dengan keterlambatan ini
adalah sulitnya mengkonversi data
yang dicatat lembaga ke dalam
Aceh
Sumate
Jawa
Kalima
Bali NTB NTT
Sulawe
Maluku Papua formulir data Komnas Perempuan.
ra ntan si
Sebar 65 278 456 100 26 30 37 125 28 28 Jika melihat respon per wilayah, maka
Terima 6 49 123 29 8 10 9 21 7 7
dapat diketahui respon lembaga mitra
di NTB dan Bali (33% dan 31%).
Respon lembaga mitra di wilayah
Penyebaran & Penerimaan Formulir Menurut Lembaga
Kalimantan, Jawa, Maluku, Papua, dan Catahu 2009
NTT di atas 25%. Dan lembaga mitra
di wilayah Sumatera, Sulawesi dan
NAD di bawah 20%.
Tingkat respon menurut lembaga
mitra dapat dilihat pada grafik di
samping. Respon paling tinggi
diperoleh dari P2TP2A (69%), dan Kej Keja UPP P2TP Pem RPT
Kej LSM MS PA PN PT PTA RS
terendah dari RPTC (0). Tahun ini ada N ti A 2A da C
lembaga yang tidak dikirimi formulir sebar 0 0 31 138 203 0 13 0 378 349 0 0 57 4
tetapi turut berpartisipasi, seperti: terima 1 3 1 24 53 1 9 2 76 61 16 10 12 0
kejaksaan, kejaksaan negeri,
mahkamah syariah, pemda, pengadilan tinggi, dan pengadilan tinggi agama.
Sama dengan tahun yang lalu, pada tahun ini Komnas Perempuan mendapatkan kemudahan
mengakses data pengadilan (agama dan negeri PA dan PN) lewat situs web (website). Hal ini
berkaitan dengan adanya Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI No.
144/KMA/SK/VIII/2007, tentang keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan SK ini,
telah banyak Pengadilan membuka akses data lewat situsnya.

Sumber Data: Kasus KTP Catatan Lembaga Pengada Layanan


Menurut data yang dilaporkan oleh lembaga mitra, kasus KTP diperoleh dari beragam sumber
seperti dapat dilihat pada tabel berikut. Sumber yang paling banyak ditangani oleh lembaga
adalah korban yang datang sendiri (6.953). Selain itu ada kasus rujukan dari lembaga lain
mencapai (1.725), dari saksi/pelapor (635), lewat telpon (227), sumber lain (360) dan follow up
dari media (85).

Rujuka n La por l ewa t Fol l ow up Sa ks i , Korba n Sumber


l emba ga Tel epon dr medi a Pel a por s endi ri La i n
Ka te gori Lemba ga
l a i n (n=1725) (n=227) (n=85) (n=635) (n=6953) (n=360)
% % % % % %
Keja ks a a n Negeri 0,00 0,00 0,00 0,31 0,04 0,00
Kepol i s i a n 24,70 0,44 0,00 31,97 4,20 1,1
LSM 32,70 91,63 89,41 41,57 28,71 91,7
P2TP2A 3,71 3,96 0,00 1,42 0,16 7,2
Pemda 0,58 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Penga di l a n Aga ma 1,51 0,88 0,00 17,17 65,58 0,00
Penga di l a n Negeri 9,10 0,00 0,00 1,73 0,20 0,00
Penga di l a n Ti nggi 0,35 0,00 0,00 4,41 0,00 0,00
Ruma h Sa ki t 27,36 3,08 10,59 1,42 1,11 0,00
Tota l 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,0

Mencermati data di atas, dapat diperoleh informasi kemungkinan perkembangan kerja sama
antar lembaga boleh dikatakan meningkat dibandingkan tahun lalu. Khusus mengenai rujukan
ini jika ditelusuri data yang ada diperoleh informasi bahwa ada sejumlah lembaga yang
menerima dan kemungkinan saling menerima serta merujukkan kasus, yaitu: kepolisian
(UUPA), LSM, rumah sakit, dan pengadilan negeri.
Seperti pada tahun lalu, data juga menunjukkan korban banyak datang sendiri ke Pengadilan
Agama (66% dari seluruh korban yang datang ke semua kategori lembaga), dan ada 29%
korban datang sendiri ke LSM.
Setiap tahunnya, banyak korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan. Oleh karena
itu, meskipun tidak mempunyai mandat pendampingan, Komnas Perempuan sejak tiga tahun
yang lalu (tahun 2005) Komnas Perempuan mengembangkan Unit Pelayanan Rujukan (UPR)
yang fungsinya menerima korban dan merujuk ke lembaga mitra. Pada tahun ini, korban yang
datang mengadu ke Komnas Perempuan sejumlah 923 kasus dan di antara korban tersebut
banyak kasus kekerasan yang tidak berbasis gender. Komnas Perempuan sedapat mungkin
merujuk korban yang datang ke lembaga mitra dan/atau menindaklanjutinya dalam rangka
memberikan dukungan korban dimana desakan kepada lembaga-lembaga terkait dimana perlu.
G A M B A R A N U M U M : DA TA K T P TA H U N 2 0 0 9

Kecenderungan Jumlah Korban (KTP) yang meningkat


Jumlah korban kasus kekersan
Jumlah Kasus KTP 143586
terhadap perempuan pada tahun
(tahun 2001 - 2009) ini mencapai 143.586 (orang).
Angka ini meningkat sebesar
263% dibandingkan tahun lalu
(54.425 korban).
Jika melihat data korban (yang
54425 ditangani oleh lembaga mitra) dari
tahun ke tahun mengalami
kecenderungan meningkat cukup
20391 22512 25522
14020 tajam. Keadaan ini berkaitan
3169 5163 7787 dengan teknis pengumpulan data
Thn. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 dan ditengarai ada sejumlah faktor
yang mendorong korban lebih
mudah bicara atau membuka
kasus kekerasan yang dialaminya. Seperti dijelaskan terdahulu, secara teknis, data dari sejumlah
lembaga lebih mudah diakses lewat situs web dan/atau cara lain sehingga berdampak pada
lebih banyak kasus (korban) yang dapat dicatat.
Beberapa tahun belakangan ini banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mudah
dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan media cetak). Dan biasanya yang banyak
mendapat sorotan adalah tokoh publik dikenal oleh masyarakat secara luas (kalangan artis,
pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang cukup mudah dikenali). Pemberitaan ini sedikit
banyak mendorong para perempuan lain untuk lebih berani membuka kasus kekerasan yang
dialaminya. Demikian pula, secara umum publik lebih peka terhadap kasus-kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan, dan lebih mau menerima (tidak lagi tabu) ketika ada
perempuan mengadukan/membuka pengalaman tindak kekerasan.
Grafik Jumlah Kasus KTP menurut Wilayah di bawah ini menunjukkan jumlah korban
kekerasan terhadap perempuan terbanyak ada di wilayah Jawa (123.774) Jawa Timur
(88.836), DKI Jakarta (12.955), dan DIY (10.560). Jumlah korban kedua terbanyak di wilayah
Sumatera (8.987), kemudian Kalimantan (4.632) dan Sulawesi (2.301). Berdeasarkan data yang

Jumlah Kasus KTP Menurut WIlayah


(CATAHU 2009)

Sumate Kalima Sulawe


NAD Jawa Bali NTB NTT Maluku Papua
ra ntan si
Jumlah 280 8987 123774 4632 858 1172 954 2301 347 281
diterima dari tahun ke tahun memang jelas terlihat bahwa lembaga mitra paling banyak (dari
segi sebaran maupun yang memberikan respon) berada di tiga wilayah ini (Jawa, Sumatera dan
Kalimantan). Keberadaan lembaga pengada layanan ini memudahkan akses korban yang
membutuhkan bantuan (dalam bentuk apa pun), seperti diungkapkan dalam data mengenai
hambatan penanganan kasus. Dan bila mencermati data lebih lanjut, keberadaan lembaga
pengada layanan menjadi signifikan: dari jumlah kasus rata-rata yang diterima oleh lembaga
pengada layanan di wilayah Jawa, misalnya, yang mencapai 1000 kasus per lembaga dalam
setahun dibandingkan dengan lembaga pengada layanan di wilayah Papua yang menerima
kasus antara 40 45 kasus per tahun.

Jumlah Korban KTP Menurut Bentuk Kekerasan


Sama dengan catatan tahun-
Jumlah KTP Menurut Bentuk Kekerasan tahun yang lalu, jumlah korban
(CATAHU 2009) kekerasan dalam rumah tangga
dan relasi personal paling tinggi
Komunitas; (95%) dibandingkan dengan
Keluarga dan 6683
Relasi Personal kedua bentuk KTP yang lain
136849 (kekerasan di komunitas dan
kekerasan berkaitan dengan
Peran Negara peran negara). Kekerasan
54 terhadap perempuan di ranah
komunitas tercatat hampir 5%
pada tahun 2009 dan KTP
yang berkaitan dengan peran
negara tercatat kurang dari 1% (ada 54 korban). Apabila melihat sebaran KTP menurut
wilayah dan bentuknya, maka dapat dibaca seperti pada tabel berikut.
KDRT/RP KOM NEGARA Data ini menunjukkan sebaran KTP menurut
NAD 228 50 2 wilayah dan bentuknya: di Jawa paling banyak
Sumatera 7678 1305 4 terdapat KTP di ranah rumah tangga/relasi
Jawa 120326 3429 19 personal (120.326) dan di komunitas (3.429).
Kalimantan 4511 121 0
Jumlah KDRT/RP dan Komunitas kedua
Bali 788 70 0
terbanyak dijumpai di Sumatera, serta ketiga
NTB 723 420 29
NTT 96 858 0
terbanyak di Sulawesi. Sedangkan bentuk KTP
Sulawesi 1979 322 0 berkaitan dengan peran negara lebih dari
Maluku 248 99 0 separuhnya (29 kasus dari 54) terjadi di NTB.
Papua 272 9 0 Yang menarik, di NTT lebih banyak didata
136849 6683 54 korban KTP di ranah Komunitas ketimbang di
dalam rumah tangga/relasi personal. Pola KTP
di masing-masing ranah dapat dicermati di bagian berikut.

P O L A K T P TA H U N 2 0 0 9 : K E K E R A S A N S E K S UA L DA N P S I K I S

KDRT/RP: Bentuk KTP yang selalu


Jenis KDRT/RP mendominasi
(CATAHU 2009)
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya,
KDRT/RP merupakan bentuk KTP
seksual; 48,68 psikis; 48,28 yang paling dominan di antara bentuk
yang lain. Data KDRT/RP menunjukkan
jumlah kekerasan terhadap istri (96% dari
seluruh jumlah KDRT/RP) paling
banyak ditangani. Sisanya mencakup kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan yang
dilakukan oleh mantan suami atau mantan pacar, dan kekerasan terhadap pekerja rumah
tangga.
Berbeda dengan pola kekerasan di ranah rumah tangga dan relasi personal yang didominasi
kekerasan seksual dan ekonomi, tahun ini kekerasan seksual dan psikis seperti dapat dilihat
pada diagram di samping. Kekerasan seksual dan psikis (masing-masing lebih dari 48%).
Sedangkan kekerasan ekonomi (1,83%), dan kekerasan fisik (1,21%).
KDRT/RP menurut Lembaga Jml % Tabel di samping menunjukkan jumlah (dan
Kejaksaan Negeri 27 0.02 prosentase) KTP dalam ranah rumah tangga
Kejaksaan Tinggi 97 0.07 dan relasi personal menurut lembaga
Kepolisian 844 0.62 pengada layanan. Seperti dijelaskan
LSM 3830 2.80
terdahulu, data KDRT/RP paling besar
P2TP2A 970 0.71
Pemda 66 0.05
diperoleh dari Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Agama 41123 30.05 (64%) dan Pengadilan Agama (30%). Korban
Pengadilan Negeri 810 0.59 KTP dalam ranah domestik dan relasi
Pengadilan Tinggi 104 0.08 personal yang ditangani oleh LSM mencapai
Pengadilan Tinggi Agama 87837 64.19 hampir 3%, sedangkan lembaga pengada
RS 529 0.39 layanan lainnya menangani korban
Rumah Sakit 612 0.45 KDRT/RP kurang dari 1%.
Total 136849 100.00

Kekerasan di Ranah Komunitas

KTP Komunitas menurut Wilayah Kalimantan Kekerasan terhadap perempuan di


(CATAHU 2009) 121
Jawa
Bali ranah komunitas paling banyak terjadi di
70
3429 NTB wilayah Jawa (50%), Sumatera (20%)
420
NTT
dan NTT (13%). Selebihnya, KTP di
858 ranah komunitas ini juga dijumpai di
Sumatera
1305
berbagai wilayah lain: NTB, Sulawesi,
Kalimantan, Papua, Bali, Aceh dan
Sulawesi
322 Maluku. Di masing-masing wilayah
Maluku
Aceh Papua 99 tersebut menangani KTP di ranah
50 9
Komunitas tidak lebih dari 2%, kecuali
NTB (6%) dan Sulawesi (4%).

Kekerasan di ranah komunitas ini mencakup sejumlah tindak kekerasan di antaranya:


kekerasan seksual, eksploitasi seksual anak, kekerasan di tempat kerja, kekerasan yang terjadi
terhadap pekerja migran dan trafiking.
Jml % Tempat kejadian (lokus) KTP juga beragam,
LSM 4111 61,51 seperti: di tempat kerja, di tempat
Ruma h Sa ki t 779 11,66
penampungan (PJTKI), di dalam kendaraan
P2TP2A 501 7,50
Penga di l a n Negeri 492 7,36
(bemo, mobil, perahu), di gedung puskesmas,
Kepol i s i a n 403 6,03 di kafe, di kandang binantang, di pinggir
Penga di l a n Ti nggi 166 2,48 jalan, lokalisasi, kantor camat/desa, di
Keja ks a a n Ti nggi 74 1,11 kuburan, di ruang kelas, dan masih banyak
Keja ks a a n 73 1,09 tempat lain. Pelaku kekerasan yang
Penga di l a n Aga ma 66 0,99 teridentifikasi: majikan/atasan/bos,
Pemda 10 0,15
kepala/aparat desa, PJTKI, calo, sopir
Keja ks a a n Negeri 8 0,12
Tota l 6683 100,00
(keluarga), teman orang tua. Kasus KTP di
ranah komunitas ini paling banyak ditangani oleh LSM (62%). Lembaga lain yang menangani
kasus KTP di ranah komunitas dapat dilihat dalam tabel di atas.

Grafik berikut menunjukkan karakteristik usia dan tingkat pendidikan korban dan pelaku
KTP di ranah komunitas. Dari segi usia korban paling banyak dari kelompok usia 13 18
tahun (usia anak), dan kelompok usia 25 40 tahun, serta 19 24 tahun. Sedangkan pelaku,
paling banyak di kelompok usia 25 40 tahun, kemudian usia di atas 40 tahun, dan ada pelaku
usia anak (antara 13 18 tahun). Dari grafik juga dapat dilihat kelompok usia berapa pun ada
korban dan pelaku korban cenderung di kelompok usia lebih muda, sedangkan pelaku
cenderung kelompok usia produktif dan tua (di atas 40 tahun).

Usia Korban dan Pelaku KTP Komunitas Tingkat Pendidikan Pelaku dan Korban KTP Komunitas
(CATAHU 2009) (CATAHU 2009)

< 5 th 6 - 12 th 13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th > 40 th lainnya Tdk sek < SD SD SLTP SLTA PT lainnya


Korban 36 155 510 286 360 95 21 Korban 48 52 178 388 443 75 72
Pelaku 6 14 139 219 362 191 75 Pelaku 28 39 119 190 412 108 34

Tingkat pendidikan pelaku dan korban dapat dilihat pada grafik di atas (kanan). Korban
paling banyak dengan tingkat pendidikan SLTA, kemudian SLTP, dan SD. Untuk tingkat
pendidikan ini juga dapat dilihat korban dan pelaku adalah orang dari tingkat pendidikan
paling rendah (tidak sekolah) sampai tingkat pendidikan tinggi (perguruan tingi).

Pekerjaan Korban Jumlah Pekerjaan Pelaku Jumlah


i bu ruma h ta ngga 131 i bu ruma h ta ngga 5
pel a ja r/ma ha s i s wa 320 pel a ja r/ma ha s i s wa 89
da ga ng 6 da ga ng 30
ta ni 14 ta ni 37
nel a ya n 0 nel a ya n 7
s wa s ta 189 s wa s ta 230
ka rya wa n 4 ka rya wa n 35
buruh 50 buruh ba nguna n 3
wi ra s wa s ta 47 buruh 58
PNS 10 wi ra s wa s ta 53
pol i s i 1 PNS 29
s a tpa m 0 profes i ona l 3
pens i un 0 guru 9
ti da k kerja 118 s upi r 9
l a i n-l a i n 60 ojek 24
PRT 35 ka des 6
pel a ya n ca f 27 TNI 2
PSK 14 pol i s i 12
buruh mi gra n 10 s a tpa m 3
Tota l 1036 pens i un 1
ti da k kerja 84
Korban paling banyak adalah mahasiswa, pegawai l a i n-l a i n 39
swasta, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. pemuka a ga ma 1
Sedangkan pelaku banyak dari pegawai swasta, tidak s eni ma n 1
s pons or 18
muci ka ri 2
PJTKI 12
bekerja, mahasiswa, pekerja, wiraswasta. Data lebih detil dapat dilihat pada kedua tabel di atas
(dan samping).

Kekerasan yang berkaitan dengan Negara (atau dilakukan oleh aparat negara)
Kekerasan terhadap perempuan yang berkaitan dengan negara maksudnya adalah KTP yang
dilakukan oleh aparat negara, atau KTP yang terjadi karena kebijakan diskriminatif, atau
pengabaian yang dilakukan oleh negara, dalam beragam bentuknya.

KTP berkaitan dengan negara


Sumsel 2 (CATAHU 2009)
tercatat
KTP berkaitan dengan Negara menurut Wilayah ditangani oleh lembaga
pengada layanan di sejumlah
NTB 29
wilayah seperti terlihat pada grafik
NAD 2 di samping. Lembaga yang paling
Jatim 12
banyak menangani KTP berkaitan
dengan negara ini adalah NTB (29
Jateng 6 atau 54% dari total jumlah 54
DKI 1 korban).Lembaga yang juga banyak
menangani korban KTP berkaitan
Babel 2
dengan negara ini adalah lembaga
di wilayah Jawa Timur (12 = 22%),
dan Jawa Tengah (6 = 11%). Lembaga di wilayah lain (Sumatera, NAD, DKI dan Bangka-
Belitung) menangani kasus kurang dari 4%. Dan wilayah lain yang tidak disebutkan dalam
grafik di atas tidak mencatat penanganan kasus KTP berkaitan dengan negara.

Ada 7 lembaga yang menangani kasus KTP negara, yaitu: Advokasi Pekerja Migran
Indonesia, LBH APIK Aceh, PBHI Jakarta, Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro
Demokrasi, SP Palembang, SPEKHAM, dan UUPA Polda Bangka Belitung (Babel).
Sedangkan tindak kekerasan yang dialami oleh korban mencakup: intimidasi, pengabaian
(laporan KTP tidak ditanggapi), pengejaran PSK, perceraian sepihak dengan saksi palsu,
pelarangan ikut ujian nasional (UNAS) karena hamil, pelecehan seksual yang dilakukan oleh
aparat negara, penyiksaan dan penganiayaan (oleh aparat negara).Tempat terjadinya KTP
negara yang diidentifikasi adalah: di dalam mobil, di kantor (Dinas Pendidikan), sekolah, di
kantor kepolisian, di pengadilan agama/negeri. Pelaku yang didata termasuk: kasat
reskrim/petugas piket UUPA, kepala dinas, kepala sekolah, majelis hakim, satpol PP, polisi.

Usia Pelaku & Korban KTP Negara


(Catahu 2009)

< 5 th 6 - 12 th 13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th > 40 th
Korban 0 0 7 5 13 1
Pelaku 0 0 17 1 25 9

Karakteristik usia dan tingkat pendidikan pelaku dan korban KTP Negara dapat dilihat
seperti pada grafik di atas. Berbeda dengan korban KTP Komunitas, usia korban KTP Negara
kebanyakan di kelompok usia 25 40 tahun dan 13 18 tahun, serta ada korban usia di atas
40 tahun. Tidak ada korban di usia kurang dari 13 tahun. Pelaku pun demikian, kebanyakan
pelaku berusia antara 25 40 tahun, 13 18 tahun dan kelompok usia 19 24 tahun.
Berkaitan dengan tingkat pendidikan, kebanyakan korban berpendidikan tingkat SLTA dan
Perguruan Tinggi. Ada korban dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat SD dalam
jumlah kecil. Sedangkan pelaku mempunyai tingkat pendidikan antara SLTP, SLTA dan
Perguruan Tinggi.

Pekerjaan Korban Jml Pekerjaan Pelaku Jml Dua tabel di


ibu rumah tangga 0 pelajar/mahasiswa 1
samping menunjuk-
pelajar/mahasiswa 8 PNS 11
kan pekerjaan
dagang 0 polisi 1
korban dan pelaku
tani 0 (lain-lain) 2
KTP Negara.
nelayan 0 PJTKI 5
Korban paling
swasta 3 majikan 4
PNS 2 Total
banyak adalah PSK,
24
PSK 6 ada juga pegawai
polisi 2 swasta, polisi, dan pekerja rumah tangga (PRT).
tidak kerja 1 Sedangkan pelau kebanyakan adalah PNS, PJTKI, dan
(lain-lain) 0 majikan, ada pula yang masih berstatus mahasiswa.
PRT 2
Total 24

P E N A N G A N A N : K A PA S I TA S L E M BA G A DA N I M P L E M E N TA S I P E R A N G K A T H U K U M

Kapasitas lembaga pengada layanan


Kapasitas penanganan lembaga pengada layanan dilihat dari aspek ketersediaan SDM, sarana
(fasilitas khusus pencatatan data dan penanganan kasus), serta fasilitas penunjang lain.
Berkaitan dengan ketersediaan tenaga (SDM), pada umumnya lembaga pengadilan agama dan
negeri mempunyai tenaga konselor, hakim/jaksa yang sensitif gender, tenaga khusus pencatat
data dan yang menangani database di masing-masing lembaga. Kondisi ini berkaitan dengan
sudah dibukanya akses informasi (data) lewat situs-situs web yang dikembangkan lembaga
pengadilan. Demikian pula dengan fasilitas pendukung seperti mesin faks, line telpon,
perangkat komputer dan printernya. Sebagian lembaga memberikan informasi tentang
ketersediaan alat transportasi untuk penanganan kasus dan alokasi dana (rutin).
Kapasitas yang kurang lebih sama kondisinya di rumah sakit. Selain tenaga medis (yang sensitif
gender), rumah sakit juga mempunyai tenaga konselor beserta ruang konseling khusus. Rumah
sakit juga mempunyai tenaga pencatan kasus sendiri serta petugas yang menangani database.
Fasilitas penunjang seperti komputer dan printer dimiliki oleh sebagian besar rumah sakit.
Namun demikian diakui hanya sedikit rumah sakit yang menyediakan alat transportasi untuk
menangani korban KTP. Demikian pula halnya berkaitan dengan alokasi dana, hanya sedikit
rumah sakit yang mengalokasikan dana (rutin) untuk menangani kasus KTP.
Ternyata kondisi yang serupa juga dimiliki oleh LSM pengada layanan. Meskipun sebagian
besar LSM mencatat mempunyai tenaga konseling tetapi hanya seperuh di antaranya yang
memiliki ruang konseling. Namun demikian, ada LSM yang menyediakan tenaga medis beserta
ruang pemeriksaan medis. Berkaitan dengan tenaga khusus pencatat kasus dan yang
menangani database, sudah banyak LSM yang memilikinya. Fasilitas penunjang pun demikian,
banyak di antara LSM tersebut mempunyai perangkat komputer dan printer, serta line telpon
dan mesin fax dalam rangka penanganan kasus, serta lebih dari separuhnya mempunyai alokasi
dana khusus untuk menangani KTP.
Selain aspek-aspek kapasitas lembaga seperti dijelaskan di atas, lembaga mitra pengada layanan
juga mengembangkan sistem rujukan dan kerja sama kelembagaan (MOU). Dari total 269
lembaga mitra yang berpartisipasi dalam catatan tahunan ini, sebanyak 92 lembaga menyatakan
mempunyai MOU (kerja sama ) dengan lembaga lain. Lembaga-lembaga tersebut di antaranya
adalah kepolisian (UPPA), LSM, P2TP2A, Pemda, dan Rumah sakit.
Sedangkan sistem rujukan yang dikembangkan oleh lembaga mitra pengada layanan meliputi:
advokasi, audiensi, jaringan kemitraan, koordinasi, rujukan dalam menangani kasus KTP,
sosialisasi berkaitan dengan KTP dan penanganannya, serta pelimpahan berkas.

Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lain


Berdasarkan data yang diberikan oleh lembaga mitra pengada layanan, sudah mulai banyak
digunakan UUPKDRT (UU No. 23 Tahun 2004) dalam rangka litigasi. Di antara lembaga-
lembaga tersebut adalah UUPA, LSM, P2TP2A, Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri,
Kejaksaan Tinggi dan Pemda.
Selain itu, UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) juga banyak digunakan dalam
penanganan kasus lewat jalur hukum. Hal ini berkaitan dengan adanya korban usia anak seperti
telah dijelaskan terdahulu. Lembaga-lembaga yang menggunakan UU Perlindungan Anak ini di
antaranya adalah: UPPA, LSM, Pengadilan Negeri, P2TP2A, Pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, dan Pemda.
Ada juga lembaga yang menggunakan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu LSM dan
Pengadilan Agama

I . B E N T U K DA N P O L A K E K E R A S A N T E R H A DA P P E R E M P UA N

I.1 Pengerdilan Hak Politik dan Kelembagaan Perempuan

I.1.1. Keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD

Tahun 2009 adalah tahun penting bagi Bangsa Indonesia karena untuk kedua kalinya
pemilihan umum (pemilu) langsung dilaksanakan. Pemilu dilaksanakan pada 9 April 2009
untuk memilih anggota legislatif dan pada Juli 2009 untuk memilih Presiden dan wakilnya.
Dalam pelaksanaannya , terjadi pelanggaran hak konstitusional warga Negara untuk memilih
terkait dengan kisruh pendataan pemilih (DPT- Daftar Pemilih Tetap), khususnya dalam
pelaksanaan pemilihan legislatif di bulan April 2009. Terkait hal ini, Komnas HAM dalam
catatan tahunan 2009 mencatat:
a. Hilangnya hak konstitusional pemilih warga negara secara masif (25 - 40 persen warga
yang kehilangan hak pilihnya) dan sistemik (kelemahan melekat dalam sistem
pendataan penduduk serta kelembagaan pelaksana pemilu-KPU) di seluruh wilayah RI.
Sementara itu pada tingkat Kabupaten dan Kota ditemukan pola yang bersifat masif
dan sistematis.
b. Hilangnya hak sipil warga negara dengan tidak dicatatkannya di dalam sistem
administrasi kependudukan.
c. Hilangnya hak politik warga negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat tidak
difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan (khusus)
seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, narapidana/tahanan dan lainnya,
serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di beberapa tempat
seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah mengakibatkan mereka
tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Pemilu 2009 juga menjadi tonggak sejarah bagi pengerdilan akses perempuan dalam
politik. Melalui perjuangan yang panjang, kelompok perempuan mampu memastikan
keterlibatan perempuan dengan adanya perlakuan khusus (affirmative action) bagi perempuan
melalui quota 30% (Pasal 52 (2) dan sistem zipper atau selang-seling yang tertuang gagasananya
di dalam pasal 214, a,b,c,d, dan e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD, dan
DPD. Quota 30% adalah jumlah keterwakilan minimal bagi suatu kelompok agar sebuah
kelompok dapat mempengaruhi proses kebijakan atau membuat aliansi-aliansi di antara
berbagai kelompok1 dan sistem zipper adalah kelanjutan dari quota ini untuk dapat memastikan
bahwa dari setiap 3 kandididat terpilih terdapat 1 perempuan. Kedua pasal tersebut di atas
kemudian dimohonkan kepada sidang Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2008 dengan
alasan melanggar hak konstitusional warga negara laki-laki yang menjadi calon anggota
legislatif. Dalam persidangan tersebut, dengan perkara No. 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-
VI/2008, Makhamah Konstitusi menetapkan bahwa pasal 55 ayat (2) tidak bertentangan
dengan konstitusi dan dinyatakan masih mengikat. Pasal 55 ayat (2) adalah pasal yang berkaitan
dengan tindakan khusus sementara (affirmative action) yang kondusif untuk mewujudkan
kesetaraan gender termasuk hak perempuan di bidang politik. Namun, Mahkamah Konstitusi
juga menetapkan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d dan e, tidak mempunyai kekuatan hukum
bahwa, dengan sistem proposional terbuka menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan
rakyat dalam artinya yang substantif karena seharusnya rakyat dapat bebas memilih dan
menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara
atau dukungan rakyat paling banyak.

Penting dicatat bahwa di dalam keputusan ini, salah seorang hakim Konstitusi Maria
Farida Indrati mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e,
adalah tidak bertentangan dengan konstitusi karena menjadi satu kesatuan dengan pasal 52(2)
dan 53 dalam mewujudkan tindakan affirmatif bagi keterwakilan perempuan:

yang merupakan desain dari hulu ke hilir, dalam arti mengkombinasikan


antara proteksi dalam mekanisme internal partai pencalonan dan penempatan dalam
daftar calon), dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen yang
diraih calon anggota dewan (DPR dan DPRD) melalui perjuangan di daerah
pemilihan yang bersangkutan; penetapan calon terpilih seperti diatur dalam Pasal 214
undang-undang a quo merupakan juga tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang
keterpilihan lebih besar bagi calon perempuan Oleh karena itu, penetapan penggantian
dengan suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif
tersebut2

KPU paska penetapan keputusan MK melontarkan wacana penetapan calon legislatif


terpilih dengan mempertimbangkan tindakan khusus sementara dalam penetapan calon
legislatif terpilih. KPU seperti dilansir media di akhir Januari 2009 berencana menetapkan

1
Kajian Cetro sebagaimana dikutip Kompas, 17 Juni 2002
2
Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, diakses di
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_22-24-PUU-VI-2008.pdf. Penebalan kata sesuai naskah asli.
Menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi, Komnas Perempuan pada 14 Januari 2009 berkirim surat kepada Presiden dan
Komisi Pemilihan yang berisi rekomendasi untuk pembuatan langkah khusus guna memastikan penerapan yang konsisten dan
efektif dari penetapan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait tindakan affirmatif bagi keterwakilan perempuan di
dalam politik.
zipper system dalam penetapan calon terpilih.3 Dalam sistem ini, jika satu parpol di satu dapil
memperoleh 3 kursi, maka minimal satu kursi itu diberikan kepada caleg perempuan, meski dia
kalah suara dari caleg laki-laki. Usulan ini ternyata mentah di pleno KPU bulan Maret 2009.
Peraturan KPU no. 15 Tahun 2009 yang disahkan pada tanggal 16 Maret 2009 yang
diharapkan mampu mengakomodir tindakan khusus sementara buat calon legislatif perempuan
ternyata juga tidak mengakomodir zipper system untuk memastikan keterwakilan perempuan
dalam parlemen.

Tabel 1
Perbandingan Jumlah Perempuan Anggota DPR-RI Hasil Pemilu 2004 dan 2009

Kursi Partai Kursi Jumlah Persentase


Perempuan Perempuan Dibanding
Dalam % Seluruh
No Partai Politik Perempuan
Terpilih DPR
RI
2004 2009 2004 2009 2004 2009 2004 2009
1 Partai Golkar 128 107 18 17 14% 15,89% 29,03% 16,83
%
2 PDIP 109 95 12 19 11% 20,00% 19,35% 18,81
%
3 PPP 58 37 3 5 5,17% 13,51% 4,83% 4,95
%
4 Partai Demokrat 55 150 6 37 10,52 24,67% 9,67% 36,63
% %
5 Partai Kebangkitan Bangsa 52 27 7 7 13,46 25,93 11,29% 6,93
% %
6 Partai Amanat Nasional 53 43 7 6 13,46 13,95% 11,29% 5,94
% %
7 Partai Keadilan Sejahtera 45 57 3 3 6,66% 5,26% 4,83% 2,97
%
8 Partai Bintang Reformasi 14 2 15,38 3,22%
%
9 Partai Bulan Bintang 11 0 0% 0%
10 Partai Damai Sejahtera 13 3 25% 4,83%
11 Partai Persatuan Demokrasi 4 0 0% 0%
Kebangsaan
12 Partai Karya Perduli Bangsa 2 0 0% 0%
13 Partai Pelopor 3 1 33% 1,61%
14 Partai Keadilan dan Persatuan 1 0 0% 0%
Indonesia

3
http://www.detiknews.com/read/2009/01/23/114449/1073299/700/tanpa-perpu-zipper-system-penetapan-caleg-terpilih-
rawan-gugatan. 23 Januari 2009
15 PNI Marhaenisme 1 0 0% 0%
16 Partai Penegak Demokrasi 1 0 0% 0%
Indonesia
17 Gerindra 26 4 15,38% 3,96
%
18 Hanura 18 3 16,67% 2,97
%
TOTAL 550 560 62 101 11,27 18,04% 100% 100%
%
Data 2004 diolah dari catatan CETRO; untuk tahun 2009 adalah catatan CETRO dari rapat Pleno KPU , 24 Mei
2009. http://www.cetro.or.id/perempuan/JUMLAHDPRperempuan.pdf

Bila dibandingkan dengan pemilu 2004 jumlah perempuan yang berhasil duduk di
parlemen memang menunjukkan kenaikkan. Pada pemilu 2004 jumlah perempuan yang
menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak 11% sementara laki-laki sebanyak 89%
dari 16 partai politik peserta Pemilu. Pada Pemilu 2009 terjadi peningkatan sebesar 7% dimana
perempuan berhasil memperoleh 101 kursi atau sekitar 18,04% kursi di DPR dari 9 Partai,4
sebagaimana ditunjukkan oleh tabel jumlah caleg perempuan terpilih hasil Pemilu 2004 dan
2009 di atas. Peningkatan ini tidaklah bisa dipandang sebagai buah implementasi Pasal 55 ayat
2. Bila dicermati pada Pemilu 2004 yang menerapkan kuota 30% dalam penetapan calon
legislatif terpilih, tidak ada satupun partai yang memenuhi kuota 30% tersebut. Sementara di
Pemilu 2009, faktor Partai Demokrat sebagai partai yang memenangi pemilu legislatif, yang
menyumbang pada kenaikan signifikan jumlah caleg perempuan di DPR; 36,63% dari total 101
orang calon legislatif perempuan terpilih berasal dari partai ini. Di luar Partai Demokrat tidak
ada partai lain yang berhasil memenuhi kuota 30%, bahkan jauh di bawah 30 %. Tantangan
tidak hanya soal memenuhi kuota 30% perempuan dalam rangka meningkatkan keterwakilan
perempuan di parlemen melainkan bagaimana untuk meningkatkan kualitas perempuan yang
duduk di parlemen.

I.1.2. Isu Pembubaran Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Peleburan


Komnas Perempuan

Di tahun 2009 Komnas Perempuan mencatat dua peristiwa penting terkait dengan dua
lembaga negara yang memiliki wewenang mengenai perempuan dan penegakan dan
pemenuhan hak asasi perempuan, lembaga tersebut adalah Kementerian Pemberdayaan
perempuan (Meneg PP) dan Komnas Perempuan sendiri. Kedua lembaga ini berhadapan
dengan isu penghapusan institusi. Usulan pembubaran Meneg PP disampaikan oleh salah
seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait dengan upaya
perampingan kabinet. Usulan ini menuai kritik karena menunjukkan cara pandang tentang
penyelenggaraan negara yang parsial dan tidak sensitif pada permasalahan ketimpangan relasi
sosial yang telah berurat akar di dalam masyarakat. Dalam formasi Kabinet Indonesia Bersatu
Jilid II, Meneg PP berubah nama menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Perubahan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih
mengadopsi ideologi negara tentang perempuan yang menjadi warisan Orde Baru, yaitu
merekatkan peran perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu.

4 Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK)
Ketidaksempurnaan dalam memahami persoalan perempuan, khususnya perempuan
sebagai warga negara dan sebagai manusia juga tampak dalam usulan untuk meleburkan
Komnas Perempuan. Usulan ini, disamping 38 lembaga nonstruktural lainnya, dikemukakan
oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam rapat kerja antara Sekretariat Negara RI
dengan Komisi II DPR RI.5 Posisi dan kinerja Komnas Perempuan sebagai mekanisme
penegakan hak asasi manusia yang independen, khas, efektif dan penting bagi penyelenggaraan
negara yang demokratis belum memperoleh perhatian yang proporsional di dalam studi awal
yang menjadi dasar usulan tersebut. Pada saat bersamaan, Komnas Perempuan mendukung
langkah awal Sekretariat Negara untuk mengkaji lembaga-lembaga negara dalam kerangka
reformasi birokrasi. Untuk itu, Komnas Perempuan telah mengajak pihak Sekretariat Negara
dan lembaga-lembaga pemerintahan terkait untuk melakukan bersama evaluasi independen
terhadap Komnas Perempuan.

I.2 Perempuan Pekerja Migran

Tahun 2009 diawali oleh situasi krisis global yang cukup berdampak bagi pekerja
migran yang bekerja di luar negeri. Dalam situasi tersebut penempatan pekerja migran di luar
negeri masih menjadi salah satu tulang punggung pendapatan Negara dalam bentuk devisa.
Devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak ekonomi keluarga ditengah situasi
lapangan kerja yang semakin sempit. Tak mengherankan setiap tahun penempatan pekerja
migran terus bertambah.
Data yang dikeluarkan oleh Kementerian tenaga kerja dan transmigrasi menyebutkan,
hingga awal Februari 2010 jumlah pekerja migran mencapai 2.679.536 orang. Dari jumlah
tersebut, rasio dari tahun ke tahun dari tahun 1995-2008, antara 70-80.3 % adalah perempuan
yang bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pekerja rumah tangga. Peningkatan jumlah
pengiriman pekerja migran yang diikuti dengan peningkatan devisa Negara masih tidak
sebanding dengan peningkatan perlindungan HAM pekerja migran. Jumlah kasus yang dialami
masih cukup tinggi dan berbagai kebijakan pemerintah belum berorientasi perubahan sistemik.

Hingga Oktober 2009 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI


(BNP2TKI) mencatat penempatan pekerja migran mencapai 240.284 orang. Dengan
persebaran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik, 161.963 (67.40%) pekerja sektor
informal dan 78.321 (32,60 %) menempati sektor formal). Sedangkan devisa yang dihasilkan
dari remitansi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai US$ 6.615.321.274
milyar.
Gambar 1: Perbandingan jumlah Pekerja Migran di Sektor Informal dan Formal

33%
sektor informal
sektor formal

67%

5
Kompas, 3 Desember 2009
BNP2TKI sebagai salah satu lembaga negara yang bertanggung jawab mengatur lalu
lintas penempatan pekerja migran dan menjamin perlindungan HAM pekerja migran, pada
tahun 2009 menangani sekitar 7.709 kasus. Kasus terbesar berasal dari negara-negara Asia
Pasifik sekitar 6.075 kasus. Dari jumlah itu, terdapat 5.403 kasus deportasi dari Malaysia, dan
644 kasus PHK sepihak yang terjadi di Aljazair sebagai akibat krisis global. Kasus di Timur
Tengah jumlahnya 1.634 kasus. Dari 7.709 kasus, sekitar 1.335 kasus (17,3 persen) dalam
proses penyelesaian6.
Penurunan jumlah penempatan ternyata tidak mengurangi jumlah kasus yang dialami
oleh pekerja migran. Bahkan data yang dirilis oleh LSM Migran Care melaporkan jumlah
pekerja migran yang meninggal dunia saat bekerja di luar negeri pada tahun 2009 mencapai
1.018 orang, 67 % di antaranya meninggal dunia di Malaysia. Sedikitnya 2.878 pekerja migran
mengalami kekerasan pada tahun yang sama. Jumlah ini meningkat dari data tahun sebelumnya
sebanyak 554 orang pekerja migran meninggal dunia, data ini setidaknya berdasarkan data yang
dimiliki LSM mitra Komnas Perempuan yang bekerja pada sektor pekerja migran. Tingginya
data kematian ini merupakan potret terkelam dari pelanggaran HAM. Ironisnya dokumentasi
pendataan kasus-kasus secara kuantitatf ini tidak cukup menjadi alat setrategis untuk
mendesakkan kebijakan perlindungan Negara terhadap pekerja migran. Terbukti sudah 5 kali
pergantian presiden, 30 tahun pengiriman pekerja migran, tetapi upaya perlindungan belum
terlihat sistemik.
Problem khas yang dialami pekerja migran perempuan sangat bertalian dengan politik
tubuh, dimana identitas seksual menjadi target yang rentan eksploitasi dan diskriminasi. Kasus
panjang kekerasan seksual, kehamilan akibat perkosaan, perkawinan semu7, sangat jelas terlihat
polanya. Tetapi ada juga persoalan lain seperti pembatasan hak kebebasan untuk bergerak
(freedom of movement), kontrol terhadap moral dan tubuh yang kerap tidak diperhitungkan dalam
sistem dokumentasi pelanggaran HAM pekerja migran karena dianggap pelanggaran yang
samar.
Potret Kebijakan
Pada tingkat kebijakan, pemastian perlindungan HAM pekerja migran dengan ratifikasi
konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja migran dan anggota keluarganya
masih menemui kendala. Pemerintah dalam hal ini Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi
masih menganggap bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 belum menjadi hal yang strategis bagi
perlindungan pekerja migran, padahal sebelumnya telah ditandatangi dan masuk dalam RAN
HAM 2004-2009. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut terjadi, antara lain karena tidak
ada kontinuitas program dari satu periode pemerintah ke periode berikutnya. Selain itu
komitmen kepala Negara untuk melindungi pekerja migran belum sepenuhnya teraplikasi
dalam kebijakan konkrit. Belum lagi koordinasi antar kementrian terkait yang masih belum
sinergis.
Argumentasi yang dikemukakan oleh Depnaker yang kemudian diiklankan di salah satu
media nasional bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 hanya akan menguntungkan pekerja asing
yang ada di Indonesia dan menambah beban pemerintah. Hingga saat ini kementrian Tenaga
Kerja hanya akan mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi, menyiapkan
kajian lebih lanjut mengenai manfaat langsung ratifikasi Konvensi dan aspek teknis yang
terkait dengannya.

6 Sumber www.bnp2tki.go.id, diunduh 5 Maret 2010.


7 Menggunakan pola perkawinan untuk menghindari kewajiban membayar upah sebagai pekerja migran.
Komnas Perempuan dan Komnas HAM bersama dengan mitra-mitranya antara lain
Serikat pekerja dan LSM yang bekerja untuk pekerja migran seperti ATKI, SBMI, Aspek,
Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, LBH APIK, IWORK dan mitra-mitra dari daerah yang
lain, mendorong agar pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi PBB 1990, dalam bentuk
membuat naskah akademik RUU Ratifikasi konvensi 1990, untuk memasukkan dalam legislasi
nasional yang dibahas pada periode sidang DPR RI tahun 2009-2010. Pada prosesnya usulan
tersebut ternyata gagal masuk dalam daftar legislasi nasional karena secara politis perlindungan
HAM pekerja migran melalui konvensi tersebut belum dianggap mendesak.
Sedangkan amandemen Undang undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, masuk dalam daftar Program Legislatif Nasional
(Prolegnas) 2010 karena berbagai dorongan dari pihak-pihak yang berkepentingan, baik yang
berorientasi ekonomis semata maupun yang mendorong perlindungan pekerja migran. Dalam
rupa kebijakan yang lain, harus diakui terdapat upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah
terkait dengan kerjasama (bilateral agreement) dengan Negara-negara penerima pekerja migran.
Dengan Malaysia, pemerintah Indonesia telah melakukan pembicaraan melalui
gabungan kelompok kerja (Joint Working Group) ke-5 di Kuala Lumpur tahun 2009. Beberapa
point penting yang sudah disepakati, antara lain :
1. Paspor dipegang oleh Penata Laksana Rumah tangga (PLRT), sebelumnya paspor
dipegang oleh majikan sesuai dengan MoU 2004.
2. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu.
3. Penentuan upah mulai dari RM 800.
4. Pemotongan gaji Pekerja Migran oleh pengguna jasa tidak boleh melebihi 50% dari gaji
yang diterima oleh Pekerja Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan pemotongan gaji
ini akan dimasukkan kedalam perubahan UU perpekerjaan/peraturan perundang-
undangan mereka

Pada tanggal 14 September 2009 pemerintah Indonesia melakukan moratorium


pengiriman pekerja migran ke Kuwait, mengingat meluasnya kasus-kasus yang dialami pekerja
migran yang bekerja disana. Pemerintah Indonesia telah menginisiasi pembicaraan ulang
mengenai kesepakatan kedua negara berkait pekerja migran yang hingga saat ini belum ada
perkembangan berarti. Begitupun kesepakatan dengan negara-negara penerima yang lain masih
belum ada perubahan signifikan.
Kebijakan pemerintah dalam rangka perlindungan pekerja migran yang sedang bekerja
masih sebatas pada reformasi administrasi, belum menyentuh substansi perlindungan.
Misalnya saja program citizen Services yang sudah dijalankan beberapa perwakilan pemerintah di
negara penempatan, secara administrasif hal tersebut berkontribusi bagi penyederhanaan
birokrasi. Sementara itu kebutuhan mendesak lainnya seperti penampungan (shelter),
mekanisme penanganan kasus, pemulangan dan pemulihan hak korban belum optimal.
Salah satu persoalan yang selama ini menjadi momok bagi pekerja migran adalah
kehadiran terminal khusus pendataan dan pemulangan TKI. Pada akhir tahun ini,
pemerintahan baru memunculkan wacana untuk memberikan pilihan kepada pekerja migran
untuk melewati terminal khusus tersebut atau tidak. Hingga kini, belum ada kejelasan apakah
wacana tersebut sudah disahkan menjadi sebuah kebijakan yang mengikat dan berlaku.
Dengan rasio banyaknya jumlah pekerja migran perempuan, seharusnya semua
kebijakan mengacu kepada pemenuhan hak-hak spesifik perempuan. Kebijakan yang ada
cenderung netral gender, baik dari proses pemberangkatan, penempatan dan pemulangan.
Misalnya saja shelter menjadi sangat urgent untuk para perempuan yang mengalami kasus.
Karena korban yang tidak berdokumen atau melarikan diri dari rumah majikan, sangat rentan
menjadi korban perdagangan kalau tidak ada fasilitas shelter yang mudah terakses oleh mereka.
Walaupun pada tahun 2009 pemerintahan baru hasil pemilu terbentuk, persoalan
tumpang-tindih kebijakan dan wewenang antara Depnakertrans dan BNP2TKI masih belum
dapat diselesaikan, 2 pintu penempatan dan pengiriman pekerja migran masih berjalan
tumpang-tindih. Persoalan mendasar yang belum menjadi perhatian adalah perihal sistem
pendataan. Sehingga untuk mendapatkan data yang resmi yang komprehensif dan terbarui
secara berkala mengenai jumlah penempatan, kasus hingga pemulangan sangat sulit untuk
didapatkan.

I.3 Jaminan hukum Bagi Perempuan Pembela HAM


Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2009 ada 2 orang Perempuan pembela
HAM yang mengalami kekerasan ketika ia melakukan advokasi HAM. Seorang perempuan
pembela HAM dari Papua berinisial A mengadukan kasus pelecehan seksual yang diterimanya
di tahanan Polres Yapen. Pelaku adalah polisi yang bertugas di Polres Yapen. A ditangkap
pada 11 Juli 2009 di desa Mantebo bersama 10 orang lainnya, mereka ditangkap dengan
tuduhan makar. A ditangkap bersama rekan-rekan yang lain karena A dianggap selalu hadir
ketika ada pengibaran bendera bintang kejora terjadi di Desa Mantebo. Kasus pelecehan
seksual yang dialami korban sempat diadukan oleh keluarga ke Polres Yapen, namun sampai
korban mengadukan kasus-nya ke Komnas Perempuan, belum ada tindak lanjut terhadap
pelaku pelecehan seksual tersebut.
Perempuan pembela HAM yang kedua adalah perempuan pembela hak-hak pekerja
migran berinisial EA dari NTB. EA dijadikan tersangka di Polres Mataram NTB dengan
tuduhan penghinaan terhadap H. SM yang menjadi terdakwa dalam dalam kasus pekerja
migran yang tengah didampingi lembaga EA bekerja.

1.4 Kasus Konflik Sumberdaya Alam


Komnas Perempuan menerima tiga pengaduan kasus konflik sumber daya alam yang
melibatkan perempuan sebagai korban. Adapun ketiga kasus tersebut adalah (a) pengaduan
warga Desa Polo dan Desa Linamnutu beserta pendamping, yaitu Walhi Eksekutif Nasional,
mengenai kondisi perempuan akibat pembabatan hutan masyarakat adat Pubabu Besipae Desa
Polo dan Desa Linamnutu untuk proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, (b) konflik lahan antara warga Dusun Suluk Bongkal, Desa
Beringin dengan PT. Arara Abadi, pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
(HPHTI), dan (c) kasus warga Sukolilo, Pati, Jawa Tengah yang menolak rencana
pembangunan pabrik Semen Gresik di wilayahnya, karena akan merusak sumber air.

1.4.1 Proyek GERHAN, Desa Polo dan Desa Linamnutu, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, NTT
Pihak yang berkonflik adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan
masyarakat dua desa yang menolak pembakaran hutan adat Pubabu Besipae untuk proyek
Gerhan tersebut. Penolakan masyarakat didasari karena hutan tersebut adalah hutan adat
mereka yang ditanami tumbuh-tumbuhan seperti pohon asam. Sehingga masyarakat dua desa
merasa bahwa proyek Gerhan atau rehabilitasi lahan tidak diperlukan. Akibat yang ditimbulkan
akibat pembakaran hutan adat seluas 6000 ha tersebut adalah:
- masyarakat dari 2 desa sebelumnya memiliki 1 mata air, kemudian terjadilah
kekeringan, sehingga mereka harus mengambilnya di tempat yang jauh
- beban mengambil air banyak dilakukan oleh perempuan dan anak
- kesulitan air berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan
- kekurangan air menyebabkan penyakit kulit dan muntaber mewabah
- perempuan kehilangan sumber pendapatan ekonomi karena pohon asam yang ada di
hutan habis dibakar

1.4.2. Kasus Suluk Bongkal, Riau


Januari 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus penyerangan terhadap
warga Dusun Suluk Bongkal, Desa Beringin oleh Kepolisian daerah Riau. Pasukan Brimob
Polda Riau beserta 500-an pasukan Samapta serta pasukan dari kepolisian dari Polres
Bengkalis yang memasuki kawasan Dusun Suluk Bongkal untuk melakukan pengusiran
terhadap warga yang berdiam di dusun tersebut karena dianggap telah melakukan
penyerobotan terhadap areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT. Arara
Abadi. Sementara warga berpendapat bahwa dusun mereka adalah sah sebagai perkampungan
berdasarkan peta administrasi wilayah Dusun Suluk Bongkal yang ditandatangani oleh Bupati
Bengkalis pada 12 Maret 2007 seluas 4.856 ha (tertuang dalam lembaran Pemerintahan
Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618-54 0616 63). Peristiwa penyerangan tersebut
mengakibatkan:
1. Tewasnya 2 orang anak yaitu: seorang anak berumur 2,6 tahun bernama Putri dan
seorang Bayi berumur 1,6 bulan yang tewas terbakar
2. 58 orang warga ditahan di Polres Bengkalis dalam status tersangka
3. Sekitar 50 warga bertahan di dalam kampung dengan kondisi psikologi yang tertekan
4. Serta 400 orang warga lainnya yang sempat mengungsi ke tengah hutan dalam
kondisi berpencar.
5. Penahanan terhadap warga, dimana sekitar 70 orang perempuan dan anak di
tempatkan di Kantor Kecamatan Pinggir

1.4.3. Kasus Semen Gresik, Pati Jawa Tengah


Puncak sengketa antar warga dan pihak perusahaan Semen Gresik adalah insiden 22
Januari 2009, di mana warga desa diserang oleh aparat Brimob Pati. Pada penyerangan tersebut
ada perempuan yang mengalami pelecehan seksual, ditarik-tarik sarung kainnya, perempuan
juga mengalam kekerasan fisik yaitu didorong dan ditendang. Pada peristiwa tersebut, sembilan
orang warga ditangkap di Polda Jateng yang sebelumnya ditahan di Polres Pati. Saat peristiwa
penyerangan terjadi, 75 orang ibu-ibu menjadi korban penyekapan oleh aparat, 35 orang di
rumah seorang warga bernama Kamrin di Puri Gedong, 25 orang di rumah Pak Suwono dan
15 orang di mushola. Mereka disekap polisi selama kurang lebih setengah jam. Ibu-ibu korban
yang mengadu ke Komnas Perempuan juga mengkhawatirkan tahanan yang tidak diijinkan
menemui keluarganya.
I.5 Perkawinan yang tidak dicatatkan
Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 49 kasus
yang berhubungan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Padahal pencatatan perkawinan
penting dilakukan oleh pengantin sebagai jaminan hukum perkawinannya sebagaimana
diamanatkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kasus-kasus tersebut menggambarkan bahwa kasus perkawinan tidak dicatatkan karena
berbagai alasan, yaitu:
a. Kebanyakan alasan menikah tanpa dicatatkan adalah kemudahan bagi suami untuk
menikah kembali dengan perempuan lain, baik untuk istri kedua, ketiga dan seterusnya.
b. Mengatasi pernikahan antar agama, misalnya suami beragama katolik akan menikah
dengan perempuan muslim.
c. Akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, maka proses perceraian tidak dapat
dilakukan melalui proses peradilan. Suami menceraikan istri berdalih agama, walaupun
dari perkawinan itu lahir anak-anak ataupun menghasilkan aset secara bersama-sama.
d. Perceraian terjadi karena suami tidak pulang ke rumah, dan sulit dihubungi. Kondisi ini
membuat status hukum istri tidak jelas baik terkait dengan harta gono-gini, maupun
hak pengurusan anak. Status hukum yang tidak jelas itu menyulitkan posisi (mantan)
istri, yang ingin menikah lagi, karena tidak ada akta nikah atau cerai.

I.6 Kebijakan daerah diskriminatif; Langkah Mundur Penegakan Konstitusi

Dalam menegakkan Bhinneka Tunggal Ika; semua kebijakan/perundang-


undangan diskriminatif harus dibatalkan; penertiban Perda-perda berbasis
agama yang terlalu jauh..8

Kalimat di atas diucapkan Presiden SBY pada saat acara debat calon presiden di salah satu
stasiun televisi swasta pada tanggal 02 Juli 2009, jika terpilih kembali maka hal tersebut
menjadi program 100 harinya. Hal ini merupakan harapan baru bagi perwujudan Integritas
hukum, dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan bangsa terkait dengan
kebijakan yang diskriminatif, yang dalam kurun waktu 10 tahun terus bermunculan di berbagai
daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan, telah ada 30 produk kebijakan dimiliki
Indonesia dalam 10 tahun terakhir9, yang menjadi titik pijak untuk menegaskan langkah
pemerintah dalam pemajuan dan pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di
Indonesia di masa mendatang. Namun, pada saat bersamaan Komnas Perempuan mencatat
pelembagaan diskriminasi melalui kebijakan-kebijakan lembaga negara baik di tingkat pusat
maupun daerah tetap menjadi tren nasional. Hingga penghujung tahun 2009 menjelang
berakhirnya program 100 hari belum ada indikasi pembatalan atau bahkan peninjauan ulang
atas perda-perda bermasalah tersebut, sebaliknya yang terjadi munculnya kembali 13 perda dan
11 ranperda yang sejenis dengan pemantauan Komnas Perempuan sebelumnya.10

8
Kompas, 3 Juli 2009
9 12 Kebijakan di tingkat nasional, 15 Kebijakan di daerah (15) dan 3 kebijakan di regional ASEAN
10 15 PERDA tersebut antara lain : 1. Qanun Aceh tahun tentang Kompilasi Hukum Jinayat, 2. Perda Kota Tasik

Malaya tentang Perjudian, 2. Perda Kota Tasik Malaya tentang Syariat Islam, 3. Perda Kota Tasik Malaya tentang
Peradilan Syariat Islam, 4. Perda Kota Tasik Malaya tentang Hubungan tata kerja majelis permusyawaratan ulama
(MPU) dengan eksekutif, legislatif dan instansi lainnya, 5. Perda Kota Tasik Malaya tentang Pelaksanaan Syariat
Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, 6. Perda tentang Penyakit Masyarakat Nomor 1 Tahun 2009,
Perda Pelarangan Pelacuran kab Jombang, (terkait moralitas dan agama); 7. Perda Zakat kab Bekasi, 8. Perda
Pendidikan al-Quran Prov Kalimantan Selatan, 9. Perda Pengelolaan Zakat Kab Batam, 10. Perda Pengelolaan
Zakat kab Mamuju, 11. SK Walikota Palembang No. 177 Tahun 2009 tentang Kewajiban Membayar Zakat bagi
PNS Kota Palembang, 12., 13. Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat Aceh. ---RANPERDA: 1. Ranperda
Pemberantasan Pelacuran, Kabupaten Kudus, 2. Ranperda Syariat Islam kab Madura, 3. Ranperda zakat Provinsi
Nusa Tenggara Barat., 4. Raperda zakat prov Sumatera Utara, 5. Raperda zakat Kota Balikpapan, 6. Raperda
zakat Kaltim, 7. Raperda zakat Kab Konawe, Raperda pemberantasan pelacuran kab Kudus, 8. Raperda miras
Dalam grand design Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RJPMN) yang di
rencanakan untuk tahun 2010-2014, Pemerintah mencantumkan Program harmonisasi dan
sinkronisasi peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah hingga tercapai
keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000
peraturan daerah selambat-lambatnya 2011.11 Namun dalam realisasi 100 hari kerja,
berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan pada kementerian terkait hanya perda
retribusi dan pajak yang dianggap bermasalah dan kemudian dibatalkan (sebanyak 714). Terkait
154 perda bermasalah yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan kepada Presiden
sebagai prioritas agenda kerja 100 hari masih tetap menjadi lembaran-lembaran sah di setiap
daerah.
Sebagai negara pihak yang telah meratifikasi 6 konvensi internasional Indonesia terikat
untuk menjalankan dan memiliki mekanisme nasional yang menjamin pemenuhan hak-hak
bagi perempuan. Oleh karena itu, negara dalam fungsinya sesuai mandat konstitusi baik
eksekutif, legislatif dan yudikatif wajib memainkan perananan dalam melindungi (protection)
perempuan, memenuhi (fulfill) hak-hak perempuan, menjamin (garante) dari segala bentuk
diskriminasi, dan membuat kebijakan yang menghapuskan diskriminasi pada perempuan.
Unsur diskriminasi dalam suatu kebijakan dapat mengacu pada rumusan undang-undang, yang
tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Sebagai negara hukum, pelaksanaan konstitusi dalam kehidupan bernegara, merupakan
konsensus bangsa sebagai landasan bersama guna mewujudkan Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengabaian terhadap konstitusi merupakan persoalan
besar atas nasionalisme bangsa dan proses demokrasi yang telah dibangun selama ini.
Kebijakan diskriminatif merupakan salah satu indikasi dari pengabaian terhadap konstitusi
yaitu dengan diabaikan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam perumusannya. Terjadinya
pelanggaran hak-hak konstitusional warga oleh aparatur hukum, menyisakan trauma bagi
korban, juga adanya ketidak kepastian hukum di dalam masyarakat karena tidak harmonisnya
antara peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar kebijakan nasional dan daerah,
trauma yang mendalam bagi korban terutama kaum perempuan dan kelompok minoritas.
Padahal komitmen penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia
memiliki landasan konstitusional yang kuat yang didasari oleh UUD Tahun 194512 dan 13 UU
dibawahnya.13 Jika kemudian masih muncul kebijakan diskriminatif, Berdasarkan pantauan

Kota Surakarta, 9. Raperda pewajiban jilbab kab Bangkalan, 10. Ranperda kab Aceh Barat (pelarangan perempuan
memakai celana jeans); 11. Ranperda Kota Tasik Malaya tentang khalwat.
11 Buku 1 draft RPJMN 2010-2014
12 Indonesia berkomitmen untuk melindungi setiap warga negaranya dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar

apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu Pasal 281 (2). Dan untuk
mendapatkan kemudahan dan perlakuan yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (pasal 281 H (2))
13UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU
No. 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam.
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, UU No. 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Penghapusan Segala bentuk
Diskriminasi Rasial UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.39 tahun 2004 tentang
penempatan dan perlindungan TKI diluar negeri, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga, UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi,
social dan budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internacional hak-hak sipil dan politik,
UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban, UU No.21 Tahun 2007 tentang
Kewarganegaraan, UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Komnas Perempuan hal tersebut terjadi karena kelemahan fungsi koordinasi dan konsultasi
para penyelenggara untuk menerapkannya dalam setiap kebijakan.

 (Draft) Qanun tentang Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat di Aceh

Sejak awal tahun 2005 Komnas Perempuan bersama mitra-mitra di Aceh telah melakukan
berbagai aktivitas dan pengkajian implementasi penerapan syariat Islam di Aceh termasuk
implikasinya pada tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu terutama terkait dengan
terbitnya 4 peraturan daerah (qanun), yaitu qanun terkait penyelenggaraan Syariat Islam yang
mengatur pula tentang busana, qanun tentang Khamar/minuman beralkohol, Maisir/judi
,Khalwat/bersunyi-sunyian antar laki-laki dan perempuan yang bukan keluarga ataupun terikat
perkawinan). Komnas Perempuan mencatat persoalan-persoalan yang muncul terkait dengan
pemberlakuan qanun-qanun tersebut, yang diproduksi oleh otoritas legislasi selain tidak
memiliki landasan materil dari peraturan yang lebih tinggi, juga mengalami kontradiksi dengan
produk undang-undang lainnya, artinya conflicting norm antar undang-undang tidak dapat
dihindari.14 Selain itu qanun-qanun ini telah mengubah anatomi penegak hukum yang selama ini
diatur dalam hukum nasional, namun kemudian muncul dalam bentuknya seperti Mahkamah
Syariyah (MS) berwenang mengadili perkara pidana, Wilayatul Hisbah (WH) lembaga yang
bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi pelaksanaan qanun tentang penegakan
syariat Islam, dan Dinas Syariat Islam organ eksekutif yang mewakili pemerintah dalam upaya
penegakan syariat Islam.
Pengesahan qanun tentang hukum Jinayat dan Hukum acara Jinayat oleh DPRA dilakukan
tanpa mempertimbangkan keberatan pemerintah Aceh. Qanun ini ditujukan sebagai bentuk
kompilasi dari tiga qanun sebelumnya dan penambahan berbagai bentuk tindakan yang
dianggap sebagai tindak pidana. Akibatnya, pengulangan kontroversi dan permasalahan
seperti tahun-tahun sebelumnya masih tetap muncul. Apalagi ditambah dengan
memperkenalkan bentuk penghukuman rajam, disamping cambuk, yang bertentangan UUD
1945 Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan,dan UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi
Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak Manusiawi atau
Hukuman yang Merendahkan.

Kemunculan qanun tentang Jinayat dalam kerangka kebijakan Indonesia adalah juga bukti
kegagalan jajaran pemerintah nasional yang mengemban kewajiban dan kewenangan untuk
mengkaji dan mencegah adanya kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan nasional dan UUD RI Tahun 1945. Keistimewaan Aceh dan
segala bentuk kekhasan daerah yang tercakup dalam peraturan perundang-undangan nasional
tidak bisa dijadikan landasan untuk membenarkan dan melembagakan diskrminasi dan
perlakuan tidak manusiawi terhadap warga negara Indonesia di mana pun mereka berada.15

14
Kertas Kebijakan Materi Dialog Kebijakan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, 10
Oktober 2005, Komnas Perempuan.
15 Siaran Pers Komnas Perempuan; Pengesahan Qanun Jinayat, Pemerintah Nasional Gagal menegakkan Konstituai, 15

September 2000
 Lima Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya

Tepatnya pada bulan November 2009, DPRD Tasikmalaya mengesahkan lima perda
diantaranya Hubungan tata kerja Majelis Permusyawaratan (MPU) dengan eksekutif, legislatif
dan instansi lainnya. Perda tentang Maisir (Perjudian), Tentang Peradilan syariat Islam, Perda
tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Perda Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang
Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Dari segi muatan, kecuali untuk sanksi yang diatur, adalah
jiplakan dari aturan serupa yang ada di Aceh. Perda-perda baru ini menambah jumlah perda
diskriminatif yang telah dimiliki oleh Tasikmayala, yaitu sebanyak 7 buah perda di tingkat
Kabupaten Tasikmalaya.16 Sementara peninjauan terhadap ketujuh perda tersebut belum
dilakukan, kelima perda baru ini turut melembagakan diskriminasi di dalam tatanan negara-
bangsa Indonesia.

 Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang:


Kasus salah tangkap

Lilis Lindawati Mahmudah adalah ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah restoran di
Cengkareng.Ia menjadi korban salah tangkap pada operasi penertiban pekerja seks komersial
yang digelar oleh petugas Tantrib Kota Tangerang pada tanggal 26 Februari 2006 bersama-
sama dengan 27 orang perempuan lainnya. Para tantrib pada saat itu sedang melaksanakan
Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang,
yang menyebutkan larangan bagi:

Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu
anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-
lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan,
warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan
atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah kelihatan oleh umum.

Pada malam yang sama, Lilis dan perempuan-perempuan lainnya langsung ditahan.
Padahal, menurut hukum acara pidana, hanya tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun
ke atas yang dapat ditahan. Keesokan harinya, para perempuan yang terjaring operasi Tramtib
itu diadili dengan acara sidang Tindak Pidana Ringan atau Tipiring. Hakim tunggal Barmen
Sinurat menghukum Lilis Lindawati dengan denda sebesar Rp 300 ribu. Lilis yang
bersuamikan seorang guru sekolah dasar menolak membayar denda tersebut karena
Istilahnya, kalo saya bayar, dianggapnya saya pelacur, dong! Itu, denda segitu, nggak mau
saya Akhirnya terpaksa dibawa ke LP, ditahan, ujarnya. (www.detik.com)
Beberapa hari setelah penahanan tersebut, Ibu Lilis sudah bisa menghirup udara bebas.
Tapi trauma penangkapan dan pemenjaraan yang dialaminya belum juga hilang. Karena
mengalami kerugian materi dan moril akibat salah tangkap itu, Lilis mengajukan gugatan
perdata atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan aparat Kota Tangerang dengan
gugatan senilai Rp 500 juta kepada Walikota Tangerang, selain permintaan maaf di depan
umum.

16 Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Komnas Perempuan,

2009
Usaha hukum Lilis tidak membuahkan hasil, gugatan tersebut akhirnya ditolak oleh
Hakim Mahmakah Agung RI. Apalagi karena putusan MA menyatakan bahwa pembentukan
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang tidak bertentangan dengan peraturan Undang-
Undang (UU) dilihat dari aspek prosedural. Hal ini di sampaikan oleh juru bicara MA Djoko
Sarwoko. Perkara ini sendiri ditangani oleh tiga hakim agung Achmad Sukarja (Ketua Majelis),
Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar, dan diputus pada 1 Maret 2007. Selain itu, dalam
putusannya majelis hakim di tingkat MA menilai, Perda tersebut merupakan implementasi
politik dari Pemerintah Kota Tangerang, yang tentunya tidak termasuk materi yang dapat
diujimateriilkan.
Saat ini tepat 3 tahun putusan MA terhadap JR Perda Tangerang itu di keluarkan,
namun demikian sampai dengan saat ini, pihak penggugat maupun pengacaranya belum
pernah mendapatkan salinan keputusan MA tersebut. Ibu Lilis Lindawati Mahmudah sendiri
saat ini sudah meninggal dunia. Kabar ini diterima oleh Komnas Perempuan pada bulan
Oktober 2009. Salah seorang anak Ibu Lilis menyatakan bahwa semenjak kejadian salah
tangkap tersebut, Lilis dan keluarganya telah berpindah tempat tinggal sebanyak 4 kali karena
cap sebagai PSK yang didapat oleh Lilis akibat salah tangkap menjadikan ibunya mendapatkan
perlakuan yang tidak baik dari para tetangganya. Suami Ibu Lilis pun terpaksa harus berhenti
dari tempat mengajarnya karena pihak sekolah tidak ingin sekolahnya mendapatkan cap buruk
dari masyarakat karena salah satu pengajarnya memiliki istri seorang PSK. Akibat perlakuan
tersebut, Llis mengalami tekanan psikologis dan sakit-sakitan, sampai pada akhir ia meninggal
dunia pada bulan Agustus tahun 2008.

 Kebijakan Operasional Satpol PP

Berdasarkan pengamatan tentang pelaksanaan kebijakan daerah diskriminatif, Komnas


Perempuan sejak awal tahun 2009 telah mengedepankan perlunya evaluasi dan reformasi
terhadap fungsi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terkait laporan kekerasan, pemerasan
dan diskriminasi dalam pelaksanaan tugas. Satpol PP yang menjadi salah satu ujung tombak
pelaksanaan perda memiliki kewenangan untuk menertibkan dan menindak warga masyarakat
atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta melakukan
tindakan represif non yustisia terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran atas perda dan keputusan kepala daerah. Namun, kerangka kebijakan operasional
Satpol PP diantaranya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional
Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005
tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi, tidak mencakup
perspektif penghormatan dan perlindungan HAM. Hal ini memberikan peluang pada terus
berulangnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat satpol PP di lapangan. Komnas
Perempuan mencatat berulangnya peristiwa kekerasan tersebut seperti pada kasus-kasus yang
terjadi dilapangan, diantaranya;

Kasus Vivi meninggal karena tercebur di kali


Vivi Ariyani warga kampung Telagasari kelurahan Mekarsari kecamatan neglasari Tangerang
menyebur ke Sungai Cisadane pada saat Satpol PP Kota Tangerang melakukan penertiban
pada pekerja seks di Pintu Air Sepuluh Tangerang pada 18 Mei 2009. Karena tidak bisa
berenang dan tidak ada yang menolong akhirnya Vivi hanyut dan tenggelam di Sungai
Cisadane hingga meninggal dunia.

Peristiwa balita perempuan meninggal tersiram kuah bakso


Siti Khoiyaroh (4 Tahun) anak dari Ibu Sumariyah Warga dan Bapak Mat Naki desa
Batoporah kecamatan kedungdung, kabupaten Sampang Madura Jawatimur akhirnya
meninggal setelah dirawat 7 hari karena mengalami luka bakar 67 persen (18 Mei 2009). Ia
tersiram kuah panas pada saat penertiban Pedangang Kaki Lima (PKL) di Jl. Boulevard
Surabaya oleh Satpol PP Pemerintah Kota Surabaya pada tanggal 11 Mei 2009. Sudah ada
tindakan hukum pada aparat satpol PP terkait kelalaian tersebut.

I.7 Akses Perempuan terhadap keadilan, layanan kesehatan dan pendidikan

1.7.1.. Kasus Prita dan Nenek Minah: Perempuan berhadapan dengan Hukum

Salah satu peristiwa penting di tahun 2009 berkaitan dengan perempuan ketika
berhadapan dengan hukum adalah kasus Nenek Minah. PN Banyumas memvonis Nenek
Minah, seorang perempuan belasan cucu , bersalah karena mencuri tiga buah coklat (kakao)
milik PT Rumpun Sari Antan. Perusahaan perkebunan pemilik 200 hektare tanaman kakao di
Desa Darmak Radenan, Banyumas, Jawa Tengah menuduh Nenek Minah telah mencuri biji
kakao sejumlah tiga kilo gram seharga 30 ribu rupiah. Mereka menuntut nenek Minah di
Pengadilan Negeri Purwokerto dengan alasan untuk memberikan efek jera. Padahal, nenek
Minah mencuri kakao untuk membuat benih.17 Nenek Minah ditenggarai melanggar Pasal 21
dan Pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan
bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga
mengganggu produksi usaha perkebunan.

Nenek Minah salah satu warga desa yang tidak bisa membaca alias buta huruf. Ketika
peristiwa pencurian terjadi dan ia tertangkap oleh mandor perkebunan dengan polos ia
mengatakan kalau ia tidak tahu dan meminta maaf dengan sangat atas apa yang telah ia
lakukan. Ia mempersilahkan kepada Nono untuk membawa kakao itu. Namun persoalan ini
ternyata tidak serta merta selesai. Di akhir Agustus 2009, Nenek Minah dipanggil pihak
Kepolisian Sektor Ajibarang berkaitan dengan pemetikan tiga buah kakao. Pada pertengah
Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto. Di pengadilan, Nenek Minah
menjalani proses peradilan tanpa didampingi pengacara. Akhirnya, pada Kamis, 19 September
2009, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto memberikan hukuman satu bulan dengan masa
percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani kurungan tahanan.Keputusan pengadilan dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan, bukan hanya bagi Nenek Minah tetapi juga masyarkat pada
umumnya, mengingat pemiskinan yang terus berlangsung dan masih banyaknya kasus-kasus
korupsi dalam jumlah besar yang tidak tersentuh oleh hukum.

17(http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251837/Kisah.Nenek.Minah.Belum.Selesai.dan

http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251681/Curi.Tiga.Buah.Kakao.Nenek.Divonis.Satu.Bulan).
1.7.2. Kasus Prita Mulyasari

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya.


Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan
kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS
dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan
obat, dan suntikan.Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini
tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International.

Demikian kutipan surat elektronik yang dibuat Prita yang ditujukan langsung kepada
RS. Omni Internasional di customer_care@banksinarmas.com. Surat bertajuk RS OMNI
Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif mengeluhkan pelayanan rumah sakit ketika ia dirawat
di rumah sakit tersebut. Surat ini bermuara di pengadilan ketika pihak rumah sakit Omni
Internasional merasa dicemarkan nama baiknya 18 Pihak rumah sakit menggugat Prita secara
perdata dan pidana.
Hasil putusan perdata pada 11 Mei 2009 lalu di Pengadilan Negeri Tangerang
memenangkan gugatan RS Omni. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan
RS Omni. Hakim memutuskan, Prita untuk membayar kerugian materil sebesar 161 juta
sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional, "dan 100 juta untuk kerugian imateril."
Dalam tingkat banding denda dikukuhkan menjadi Rp. 204 juta.
Untuk perkara pidana Ketua Majelis Hakim Arthur Hangewa di Pengadilan Negeri
Tangerang, Banten menyatakan Dengan ini, Prita divonis bebas dari tuduhan pencemaran
nama baik terhadap RS Omni Internasional19 Pihak Jaksa Penuntut Umum menanggapi
keputusan ini dengan berkata Saya akan pikir-pikir selama 14 hari terhadap putusan ini. Biar
Mahkamah Agung yang menilai Prita bebas secara murni atau tidak.. Menurutnya, dukungan
masyarakat dan kalangan elite politik yang begitu tinggi kepada Prita menimbulkan anggapan
putusan hakim tidak bersifat objektif.
Sejak menjadi sorotan publik, polisi dan kejaksaan saling tuding soal siapa yang
bertanggung jawab memuat Pasal 27 Ayat 3 sebagai dakwaan primer dalam Undang- Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam perkara pidana
dengan terdakwa Prita Mulyasari (32). Pemuatan pasal dengan ancaman penjara enam tahun
itu mengakibatkan Prita ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten, sejak
13 Mei hingga 3 Juni 2009. Penahanan itu memancing reaksi keras dari pejabat tinggi negara
hingga masyarakat luas. Mabes Polri memanggil tim penyidik kasus Prita dari Polda Metro
Jaya. Kejaksaan Agung juga mengambil langkah serupa terhadap aparat dari kejaksaan yang
menangani kasus Prita.

1.7.3. Kasus Devi Perempuan Korban Kekerasan

Komnas Perempuan mengamati pemberitaan di media terkait dengan kasus korban


perkosaan yang meninggal disebabkan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai
pasca terjadinya kekerasan terhadap dirinya. Kisah bermula pada Senin 26 Februari 2009.
Wanita berusia 20-an tahun, itu ditemukan warga Gang Delima 1, Pamulang Timur,

18 http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2009/06/02/brk,20090602-179467,id.html
19
http://www.detiknews.com/read/2009/12/29/162435/1267957/10/hakim-nilai-email-prita-bukan-pencemaran-nama-
baik, Selasa, 29/12/2009 16:24 WIB, Hakim Nilai Email Prita Bukan Pencemaran Nama Baik
Kabupaten Tangerang, dalam kondisi mengenaskan. Ia diduga menjadi korban pemerkosaan.
Selama sepekan ia hanya dirawat warga di pos ronda setempat lantaran polisi tak menggubris
laporan warga. Setelah media memberitakannya, barulah polisi datang dan membawanya ke RS
Bhakti Husada Tangerang pada Sabtu 21 Februari. Ia dirawat di sana sebelum dirujuk ke RSU
Tangerang pada Senin 23 Februari sekitar pukul 04.00. Tiga jam kemudian, Devi meninggal. 20

Kenyataan bahwa warga yang bertindak dalam memberikan perawatan terhadap


korban dengan merawat korban di pos ronda selama sepekan dikarenakan polisi tidak
menggubris laporan warga membuktikan minimnya perhatian pihak terkait terhadap
perempuan korban kekerasan. Di Kabupaten Tangerang sendiri yang adalah bagian dari
Provinsi Banten, Pusat Pelayanan terpadu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Banten Nomor 463/KEP-144-HUK/2007. Sejauh ini keberadaan P2TP2A di Provinsi Banten
sudah tersebar di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang dan Kabupaten
Lebak.21 Namun adanya hukum, perangkat dan lembaga juga belum cukup untuk bisa
meningkatkan upaya perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan, diperlukan langkah
lebih lanjut seperti sosialisasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum lainnya untuk bisa
meningkatkan kerjasama yang sinergis demi perlindungan perempuan korban kekerasan. Bila
keberadaan dan fungsi layanan terpadu sudah tersosialiasi kepada masyarakat dan aparat
penegak hukum lainnya, mungkin tidak perlu ada Devi-Devi lain yang harus merenggang
nyawa karena kasus-nya tidak segera ditangani.

1.8. Akses perempuan terhadap hak atas pendidikan dan hak reproduksi

1.8.1. Larangan untuk siswi hamil mengikuti UAN


Pada bulan April 2009, Komnas Perempuan menerima surat dari LSM Samitra Abhaya
Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (SA-KPPD) yang meminta dukungan Komnas
Perempuan atas kasus dikeluarkannya PCM seorang siswi di SMKN 8 Surabaya. Korban
dikeluarkan dari sekolah dan dilarang mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) oleh pihak
sekolah karena telah hamil 7 bulan. Korban dianggap telah melanggar norma pendidikan serta
tata tertib sekolah yang berlaku di SMKN 8 Surabaya. Pihak sekolah menyarankan korban
untuk mengikuti kejar paket C, dimana korban menolak menerima rekomendasi tersebut.
Kasus siswi hamil dalam masa sekolah bukanlah hal baru di Indonesia dan tindakan
yang diambil oleh pihak sekolah hampir seragam, mengeluarkan siswi bersangkutan dari
sekolah mereka dengan alasan melanggar tata tertib sekolah. Pelarangan siswi hamil untuk
tetap bersekolah dan mengikuti ujian adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk
memperoleh pendidikan dan untuk tidak didiskriminasi, termasuk atas alasan moralitas. Selain
melanggar konstitusi, scara khusus tindakan pihak sekolah melanggar Konvensi Hak Anak
yang teah diratifikasi dan telah diundangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No.23
tahun 2002. Selain itu perlakuan diskriminatif dan pelanggaran hak anak ini sesuangguhnya
juga melanggar Convention on The Elimination of All form of Discrimination Against Women
(CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984
Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan.

20 http://metro.vivanews.com/news/read/33590-inilah_kronologis_kisah_pilu_devi, Korban Perkosaan


Meregang Nyawa di Pos Ronda, Inilah Kronologi Kisah Pilu Devi ,Selama sepekan Devi meregang nyawa di pos
ronda Pamulang Timur.
21 http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=49854, Program TeSA 129
Diluncurkan By redaksi Selasa, 15-Desember-2009, 07:49:22
I.9. Kekerasan oleh Pejabat Publik dan Tokoh Masyarakat

Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sejumlah 166 kasus
kekerasan yang pelakunya adalah pejabat publik/tokoh.22 166 kasus tersebut dengan rincian
PNS 66 kasus, guru 5 kasus, tokoh agama 6 kasus, anggota DPR 6 kasus, dan TNI/Polri 83
kasus. Fenomena ini telah Komnas Perempuan amati sejak tahun 2006, dimana sebanyak 557
kasus dari 16.709 kasus Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sepanjang 2006, dilakukan
oleh pejabat publik dan aparat Negara. Pejabat dan aparat negara yang melakukan kekerasan
itu, seperti, pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 391 kasus KDRT, guru 53 kasus, anggota
DPR/DPRD tujuh kasus, dan TNI/Polri 106 kasus. Sedangkan di tahun2007 kasus kekerasan
terhadap perempuan dilakukan oleh pejabat dan aparat Negara adalah sebanyak 552 kasus,
dengan rincian pegawai Negeri Sipil 354 kasus guru 35 kasus, tokoh agama 1 kasus, anggota
DPR 6 kasus, TNI/Polri 156 kasus. Sementara sepanjang tahun 2008, jumlah pelaporan yang
diterima Komnas Perempuan atas kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh
figur publik, pejabat publik dan pendidik mencapai sejumlah 784 kasus yang tersebar di
seluruh Indonesia. Para pelaku tersebut terdiri dari anggota PNS, anggota DPR, TNI, Polri,
Kejaksaan, Bappeda, Kehakiman, Bupati dan pendidik.23

Kasus Kekerasan oleh Pejabat

800 784

600 557 552


400

200 166

0
2006 2007 2008 2009
Tahun

Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik/tokoh


masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas Perempuan meyakini bahwa masih banyak
korban yang diam/menutup mulut, karena penanganan korban untuk kasus seperti ini
belumlah terbangun dengan baik sehingga korban memilih untuk bungkam. Sementara di
pihak pelaku, dan atau institusi di mana pelaku bekerja, termasuk juga reaksi masyarakat
ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan korban, yang
bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan.

I.10 Kekerasan Media : Reality show tentang Konflik dalam Hubungan Intim
Komnas Perempuan memandang perlu untuk memasukkan analisa terhadap acara
reality show, seperti acara Termehek Mehek yang disiarkan Trans TV dan Masihkah Kau
Mencintaiku yang disiarkan RCTI dalam catatan tahunan 2009. Di antara alasannya adalah,

22
166 kasus hanyalah jumlah pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan
23 Catatan Tahunan KTP 2008, Kerentanan Perempuan terhadap Kekerasan Ekonomi dan Kekerasan Seksual : Di Rumah,

Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara. Komnas Perempuan


pertama, Termehek Mehek dan Masihkah Kau Mencintaiku menjadi pionir program reality show
di televisi Indonesia. Keduanya juga menjadi program televisi yang mengawali booming acara
televisi yang menampilkan persoalan yang terjadi dalam relasi intim dan hubungan keluarga,
tidak terkecuali yang melibatkan perempuan.
Maraknya tayangan reality show yang menampilkan konflik dalam hubungan intim, di
satu sisi, bisa dilihat sebagai salah satu bentuk keberhasilan upaya gerakan perempuan di
Indonesia dalam mengadvokasi persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Keberadaan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan KDRT membuat masyarakat melek
terhadap persoalan ini. Masyarakat mulai memandang bahwa membicarakan persoalan
kekerasan dalam hubungan intim seperti KDRT bukanlah tabu dan terlarang.
Dalam kasus reality show tersebut, perkembangan dalam masyarakat ini lebih ditangkap
sebagai lahan bisnis baru dalam industri pertelevisian. Karena tujuan bisnis ini lebih menonjol,
reality show seperti Termehek Mehek lebih sering menampilkan eksploitasi terhadap konflik-
konflik yang terjadi dalam relasi intim itu. Termehek Mehek dan Masihkah Kau Mencintaiku
lebih banyak memunculkan sisi bombastis seperti recok atau adu mulut, lelehan deras air mata,
suara emosional penuh dendam dan kebencian, amarah meluap yang cenderung agresif, dan
lain-lain. Dalam analisa Komnas Perempuan, baik Termehek Mehek maupun Masihkah Kau
Mencintaiku belum banyak menonjolkan sisi kemanusiaan, edukasi dan advokasi dalam
penyelesaian masalah hubungan intim atau hubungan keluarga. Dalam kondisi ini,
penyelesaian masalah tidak menyentuh persoalan hak-hak yang terlanggar pada pihak yang
dikorbankan dan butuh upaya pemenuhan.
Dalam konteks hubungan gender, dalam acara reality show tersebut perempuan sering
menjadi pihak yang dipersalahkan. Dalam beberapa tayangan Termehek Mehek dan Masihkah
Kau Mencintaiku, banyak penggambaran tentang perempuan sebagai penggoda, perebut
pasangan orang lain, dan stereotype sejenis. Dalam posisi yang dipersalahkan, perempuan sering
tidak mempunyai ruang yang sama luas dengan laki-laki dalam memberikan pembelaan
Bahkan, pihak perempuan berulang kali diingatkan pada idealisasi masyarakat tentang
perempuan yang sarat nilai patriarkis, yaitu semestinya lemah lembut, penuh cinta, setia dan
patuh pada suami. Dalam upaya penyelesaian konflik ,reality show justru menonjolkan unsur
kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak-hak korban, termasuk dalam bentuk
menyalahkan korban (blaming the victim). Karena format reality show atau tayangan berdasarkan
kenyataan, seoalh-olah menyuguhkan kisah nyata maka muatan tayangan seperti Termehek
Mehek dan Masikah Kau Mencintaiku akan menjadi media yang efektif dalam mempengaruhi
kesadaran dan pandangan masyarakat, termasuk terkait pandangan tentang ketimpangan
gender dan hak-hak perempuan dalam hubungan intim dan hubungan keluarga sebagi hal yang
lumrah.
Mengingat komitmen negara dan bangsa Indonesia untuk menghapuskan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan, maka Komnas Permepuan mendorong Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) untuk ikut mengawasi muatan tayangan dengan menggunakan
lensa keadilan jender. Media juga perlu memenuhi tanggungjawab sosialnya untuk melakukan
pendidikan dan perubahan sosial menuju tatanan masyuarakat yang demokratis dan
menjunjung hak asasi manusia bagi semua dengan tidak menampilkan tayangan yang
mengerdilkan posisi dan peran perempuan, apalagi mempersalahkan perempuan korban
kekerasan.
I I . T E RO B O S A N K E B I JA K A N

II.1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Setelah lebih kurang delapan tahun memperjuangkannya, sejak disahkan tanggal 13


Oktober 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2009, UU Kesehatan No. 36 tahun
2009 secara resmi menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992. UU
Kesehatan No. 36/2009 dinilai lebih progresif karena sejumalh hal, seperti (1) mengadopsi
paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; (2) Memberi pengakuan terhadap
isu-isu kesehatan reproduksi, yakni ada di Bagian ke Enam Pasal 71 sampai Pasal 77; (3)
Memperluas legalisasi aborsi untuk korban perkosaan, yakni dibolehkannya aborsi dan
dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 ayat 2 dan 3); (4) menata
pembiayaan kesehatan yakni 5 % APBN, 10 % APBD dimana 2/3 untuk kegiatan preventif
dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (5) mendukung pemberian ASI eksklusif,
dimana pemerintah dan masyarakat harus mendukung hal ini dengan menyediakan fasilitas dan
kebutuhan guna mendukungnya (Pasal 128), bahkan jika tidak maka ada ketentuan pidana
penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber daya kesehatan dan upaya kesehatan
(Pasal 200); (6) memperhatikan kesehatan remaja dan lanjut usia; serta (7) menjamin hak
mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan (Bab XIV). Diakomodirnya isu
kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak mendapatkan informasi dan
perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya perspektif perempuan dalam
UU Kesehatan ini.
Walau demikian, UU Kesehatan No. 36/2009 tidak sepenuhnya mengakomodir
kebutuhan khusus perempuan. Pertama, UU ini masih diskriminatif dengan menempatkan
perempuan pada pihak yang tidak otonom pada tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi harus
dengan persetujuan suami, bagi yang telah menikah (Pasal 75 ayat 3). Kedua, hilangnya
jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan pengabaian karena
mendiskriminasikan hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual telah
direduksi atas dasar status perkawinannya Hal ini tersirat dalam Pasal 72a dimana dinyakatakan
bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat,
aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah;
Ketiga, persoalan kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pendekatan upaya
kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan
dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS serta kesehatan reproduksi
lanjut usia, ternyata tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi perempuan dewasa lajang
sebagai satu kategori yang berhak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Hal ini karena
dalam prakteknya, papsmear mensyaratkan harus sudah menikah. Keempat, potensi
kriminalisasi dan hilangnya hak atas kepastian hukum dan keadilan bagi perempuan korban
perkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir dalam pasal tentang ketentuan pidana.
Misalnya ketentuan pidana Pasal 194 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Pada bagian ini, UU Kesehatan No. 23/1992 ketentuan pidana hanya
berlaku pada para medis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam UU No. 36/2009
ketentuan pidana ini berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan karena UU ini hanya
mengecualikan aborsi untuk (1) kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang
mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih
dibawah 6 (minggu).
II.2 Lahirnya Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang penerapan standar-
standar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian.
Upaya memastikan terciptanya situasi kondusif bagi perempuan korban atas hak
kebenaran, keadilan, dan pemulihan, membutuhkan kerjasama lintas institusi penegak hukum.
Kerjasama ini telah berhasil mendorong lahirnya Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun
2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan
Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang telah disahkan pada tanggal 22 Juni 2009.
Dua hal yang mengemuka di dalam Perkap No. 8/2009 yang terkait dengan kerentanan khusus
perempuan terhadap kekerasan adalah:
1. Ketentuan dari Bab II tentang Instrumen Perlindungan HAM, pasal 5 (1) point v
mengenai hak untuk tidak disiksa dan pasal 6 point e mengenai hak khusus
perempuan;
2. Ketentuan dari Bab III tentang Standar Perilaku Petugas/Anggota Polri dalam
Penegakan Hukum, pasal 11 (1) point c mengenai pelecehan atau kekerasan seksual
terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan; pasal 13 (1)
point a mengenai Polri/anggota Polri dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan
dilarang untuk melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual
untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; pasal 20 point a mengenai
sedapat mungkin diperiksa oleh petugas perempuan atau petugas yang berperspektif
jender; pasal 20 point d mengenai hal mendapat perlakuan khusus; dan, ketentuan
dari pasal 29 mengenai kewajiban dari petugas kepolisian dalam melakukan
pemeriksaan terhadap perempuan, seperti: (a) diperiksa di ruang khusus; (b)
perlindungan hak privasi untuk tidak dipublikasikan; (c) hak didampingi oleh pekerja
sosial atau ahli selain penasihat hukum; (d) penerapan prosedur khusus untuk
perlindungan bagi perempuan.

II.3 MoU LBH APIK Jakarta dengan Kejagung


Salah satu terobosan dalam Program Penguatan Penegak Hukum tersebut adalah
adanya MoU antara LBH APIK Jakarta dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yakni
No. 001/MoU/LBH Apik Jkt/2009, tentang Program Pelatihan Penanganan Perkara
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. MoU tersebut ditandatangani oleh Jaksa Agung
Hendarman Supanji dan Estu Rahmi Fanani Direktur LBH APIK Jakarta pada Jumat, 30
Januari 2009. Adapun tujuan utama dari penandatangan MoU ini adalah agar adanya
keberlangsungan program penguatan hukum yang berperspektif gender di kalangan para
penegak hukum. Selain itu juga agar penanganan terhadap kasus-kasus Kekerasan terhadap
Perempuan (termasuk anak) dapat menjadi prioritas daripada kasus-kasus kekerasan lainnya.
Meskipun jangka waktu kerjasamanya hanya terbatas 1 (satu) tahun, tetapi para pihak sepakat
akan memperpanjang MoU sesuai dengan kebutuhan.
II.4 MoU 6 lembaga termasuk Komnas Perempuan dengan LPSK soal
perlindungan saksi korban
Pada tanggal 3 Desember 2009 Komnas Perempuan menandatangani nota
kesepahaman antara 5 lembaga negara (Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komnas
HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tentang
Perlindungan Keamanan Bagi Saksi dan Korban. Nota kesepahaman tersebut ditujukan bagi
penyelenggaraan kerjasama perlindungan keamanan bagi saksi dan korban, diantaranya
menciptakan mekanisme layanan perlindungan, tersedianya fasilitas, saran adan prasarana
untuk meningkatkan daya tanggap dan kemampuan perlindungan bagi saksi dan korban serta
terwujudnya kinerja perlindungan keamanan bagi saksi dan korban.
Adanya nota kesepahaman 5 lembaga ini adalah salah satu terobosan upaya
perlindungan bagi saksi dan korban terutama perempuan korban kekerasan, ditandatanganinya
nota kesepahaman ini adalah bukti komitmen awal 5 lembaga terkait untuk mewujudkan
perlindungan bagi saksi dan korban. Jangka waktu nota kesepahaman yang disepakati selama
tiga tahun adalah tepat sebagai langkah merumuskan kerjasama yang sinergis dan merumuskan
bangunan mekanisme layanan, fasilitas sarana dan prasarana serta kerjasama antar lembaga ke
depannya. Tantangan ke depan paska penandatanganan nota kesepahaman adalah bagaimana
mengawal pengimplementasian nota kesepahaman ini ke depan bagi perwujudan langkah
konkrit perlindungan bagi saksi dan korban
II.5 Inisiatif daerah
II.5.1 Keputusan Bupati Cianjur No. 182/Kep.124-Ks/2009 soal Pembentukan Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Kebijakan ini lahir sebagai terobosan pemerintah daerah kabupaten Cianjur sebagai
upaya mencegah dan menangani permasalahan tindak pidana perdagangan orang, dengan
dibentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.
Komas Perempuan mencatat bahwa dasar pertimbangan hukum memenuhi aspek materil,
artinya kebijakan patuh terhadap hierarki perudangan, antara lain dengan memasukan
undang-undang yang memenuhi unsur nondiskriminasi. Dalam tahapan operasionalnya
kebijakan ini memasukkan pemenuhan dan pelayanan, hak korban, serta perlindungan
terhadap saksi/korban dan penghukuman terhadap pelaku. Terobosan ini menjadi penting
untuk dilaksanakan pada tahap implementasinya, sehingga kebijakan yang mendukung hak-
hak konstitusional warga negara mempunyai daya manfaat terhadap masyarakat.

II.6 MoU RI MALAYSIA:


1. Joint Working Group ke-5 telah dilaksanakan di Kuala Lumpur pada tahun 2009,
beberapa point penting yang telah disepakati yaitu :
a. Paspor dipegang oleh PLRT (sebelumnya paspor dipegang oleh majikan sesuai
dengan MoU 2004).
b. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu
c. Penentuan starting point gaji mulai dari RM 800 (catatan : hingga saat ini angka
belum disepakati)

3. Dalam Joint Working Group juga disepakati bahwa pemotongan gaji Pekerja Migran oleh
employer/ majikan tidak boleh melebihi 50% dari gaji yang diterima oleh Pekerja
Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan tentang pemotongan ini akan dimasukkan
kedalam perubahan UU perpekerjaan/peraturan perundang-undangan mereka.

I I I . P E N A N G A N A N : P E N G UA TA N L AYA NA N B A G I P E R E M P UA N K O R B A N K E K E R A S A N

Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak


perempuan korban adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab negara atas penegakan
hak asasi manusia. Keberadaan lembaga layanan yang terus bermunculan dari waktu ke waktu
baik yang digagas oleh masyarakat maupun oleh pemerintah tidak berbanding lurus dengan
ketersediaan dan penyiapan perangkat pendukung, baik dari sisi infrastruktur maupun
sumberdaya manusianya termasuk anggaran. Situasi ini yang tertangkap dalam pengamatan
Komnas Perempuqan dari tahun ke tahun dan di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Saat ini tercatat ada 20 unit Women Crisis Centre (WCC), 20 Pusat Krisi Terpadu
(PKT) di Rumah Sakit Umum Daerah, 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di RS Bhayangkara
yang tersebar di beberapa wilayah, 305 Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), 131
unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan 29 Unit RPTC di 23
propinsi. Selain berhadapan dengan persoalan jumlah pusat layanan yang belum sebanding
dengan jumlah kasus yang ditangani, pusat layanan juga berhadapan dengan persoalan
kapasitas. Fungsi-fungsinya belum berjalan dengan baik sehingga cita-cita untuk memberikan
pelayanan terbaik bagi semua korban belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, sebagian dari
layanan-layanan tersebut justru mengalami kevakuman. Beberapa alasan yang mengemuka
antara lain adalah kurangnya dukungan dari pemerintah daerah seperti anggaran pelaksanaan
dan sumberdaya yang terbatas dalam pengelolaannya, seperti di P2TP2A Kab. Asahan (Sumut)
dan Kota Sabang (NAD) yang dibentuk tahun 2007 oleh Kementrian Negara Pemberdayaan
Perempuan24.
Akhir tahun 2009, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
telah merampungkan Standard Pelayanan Minimum (SPM) bagi perempuan dan anak korban
kekerasan dan disahkan melalui Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 01 Tahun 2010, dan
sudah dapat digunakan tahun 2010 oleh seluruh lembaga layanan yang ada. Di tingkat
implementasi, standar ini akan berhadapan dengan kendala ketersediaan tenaga pendukung,
seperti psikolog dan advokat di sebagian besar layanan. Belum lagi, sosialisasi terhadap
keberadaan layanan-layanan tersebut secara luas masih kurang sehingga korban dapat
mengakses layanan yang tersedia.25
Sejumlah kebijakan baru di tingkat lokal membuka peluang baru untuk
memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Di tahun 2009 lahir beberapa kebijakan di tingkat
daerah tentang penanganan perempuan korban kekerasan, seperti Keputusan Walikota
Manado tentang Pembentukan P2TP2A, Keputusan Bupati Cianjur tentang Pembentukan
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hanya saja,
kebijakan-kebijakan tersebut lebih pada akses bagi korban KDRT dan trafiking. Padahal,
layanan juga dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan yang terjadi tidak dalam konteks
Kekerasan dalam Rumah Tangga maupun trafiking. Saat ini, baik di tingkat daerah maupun
nasional, belum ada pula kebijakan yang memberikan pemuylihan mendesak kepada
perempuan korban kekerasan di dalam konteks konflik ataupun pertikaian politik lainnya.
Catatan penting dalam hal penanganan kasus tahun 2009 adalah temuan tentang best
practice dari pelaksanaan layanan adalah keberadaan P2TP2A di Kabupaten Sikka NTT. Di
bawah panduan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Pemerintah Daerah setempat,
P2TP2A memainkan fungsi-fungsi koordinasi yang cukup baik dalam penyelenggaraan layanan
dengan memaksimalkan lembaga-lembaga layanan lokal yang sudah ada dengan mendukung
perangkat-perangkat pendukung pelaksanaannya seperti infrastruktur dan anggaran lewat SK
Bupati yang diterbitkan setiap tahun mengikuti tahun anggaran daerah. Komnas Perempuan
berharap peran positif ini akan diadopsi sebagai petunjuk pelaksanaan P2TP2A dalam rangka
mendorong upaya pemenuhan hak perempuan korban.

24 Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010


25 Akses Perempuan Korban Kekerasan terhadap Layanan Terpadu, Komnas Perempuan 2009.
KESIMPULAN

1. Peningkatan data kuantitatif kekerasan terhadap perempuan (KtP) dari tahun


sebelumnya disebabkan oleh aksesibilitas pelayanan publik dari KtP lebih mudah,
seperti akses website dari berbagai mitra (Negara dan non Negara), kerjasama pelayanan
terpadu bagi korban KtP, kesadaran dan keberanian korban untuk melaporkan KtP yang
dialami dan menyelesaikan kasus KtP melalui proses hukum atau non hukum. Akan
tetapi Indonesia masih belum mempunyai data kuantitatif atas KtP secara nasional.
2. Terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara dan hukum (seperti Polisi,
TNI, Kepala Desa); tokoh publik dan agama/spiritual; serta tokoh di kalangan
akademisi. Kekerasan psikis, psikis, seksual dan administrasi yang dilakukan oleh pelaku
KtP tersebut didasarkan pada relasi kuasa. Pola pengingkaran, pengabaian,
pembungkaman terhadap korban terjadi untuk kasus-kasus seperti ini, dimana harus
menjadi catatan khusus ketika Negara belum membangun sistem hukum yang
mengakomodir kepentingan korban termasuk kekerasan terhadap perempuan di
kalangan akademisi. Pelecehan seksual, larangan siswi hamil untuk melanjutkan sekolah
dan ikut ujian nasional, membuat mereka menjadi korban untuk memperoleh hak
reproduksi dan hak pendidikannya.
3. Negara mulai melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban kekerasan
terhadap perempuan baik di tingkat peraturan perundang-undangan (seperti UU
PKDRT, PP No.4/2006) dan kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP & PA, MoU 6
lembaga, Perkapolri soal HAM). Namun tidak berarti bahwa keadilan terhadap
perempuan terutama korban KtP itu sudah terpenuhi, karena masih terkendala dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti KUHP, KUHAP, dan UU
Pengadilan HAM; akses terhadap keadilan yang diselesaikan oleh non Negara dan
budaya hukum Aparat Penegak Hukum dan masyarakat yang masih bias gender.
4. Negara belum menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda-perda diskriminatif dan
bertentangan dengan konstitusi, terutama yang terkait dengan isu moralitas, termasuk
draft qanun jinayat di Aceh. Ada kecenderugan beberapa Pemerintah Daerah di dalam
proses penyusunan perda-perda diskriminatif masih terkesan melakukan duplikasi
dengan perda-perda serupa di daerah lain.
5. Negara belum membuat langkah-langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja
migran, terlihat masih belum ada sinkronisasi di antara pembuat kebijakan dalam
penanganan korban pekerja migran, penyelesaian masih kasuitis dan masih belum
mengakomodasi data kuantitatif dari tingginya kasus-kasus pelanggaran hak asasi pekerja
migran terutama perempuan.
6. Negara belum optimal mengupayakan pemulihan hak korban pekerja migran yang
bermasalah khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual seperti
perkosaan, penghamilan, dan kekerasan psikis, cacat permanen, karena upaya pemulihan
yang ada saat ini cenderung menangani persoalan perpekerjaan.
7. Negara masih belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan khusus sementara
(affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan yang
menangani perlindungan perempuan dan hak asasi perempuan terlihat masih rentannya
isu penghapusan dan peleburan kelembagaan, seperti Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempuan; belum optimalnya kebijakan dan
anggaran yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan pemajuan hak asasi
perempuan.
8. Negara belum memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya perempuan,
sehingga masih terjadi kerentanannya atas kekerasan fisik, psikis, dan status hukumnya.

R E KO M E N DA S I

Secara umum, Negara harus mewujudkan komitmennya untuk penghapusan kekerasan


terhadap perempuan (KtP) berbasis komunitas dan negara secara sistematis dengan perspektif
HAP dan perlindungan korban terutama perempuan.
Secara khusus direkomendasikan agar:
1. Negara melakukan pendokumentasian KtP secara nasional yang dapat diakses oleh
semua pihak dan harus menjadi dasar kebijakan nasional.
2. Negara mensikronisasikan berbagai peraturan untuk penghapusan KtP dengan
perspektif HAP dan perlindungan korban, seperti revisi KUHP, KUHAP, UU
Pengadilan HAM dan membuat RUU Bantuan Hukum; dan membangun budaya hukum
Aparat Penegak Hukum dan masyarakat yang masih bias gender.
3. Negara mewujudkan amanat tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi partisipasi
perempuan dalam politik dan kelembagaan yang menangani perlindungan perempuan
dan hak asasi perempuan baik sebagai isu strategis nasional dan kemapanan
kelembagaannya.
4. Negara menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda-perda diskriminatif, terutama
yang terkait dengan isu moralitas dan seksualitas.
5. Lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif, serta mekanisme penegakan demokrasi
lainnya, membangun mekanisme yang menjamin akses bagi warga negara yang rentan
diskriminasi untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak mereka sesuai dengan
jaminan-jaminan konstitusional dan aturan-aturan hukum nasional.
6. Negara membuat langkah-langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja migran
dengan melakukan sinkronisasi di antara pembuat kebijakan dalam penanganan dan
pemulihan korban pekerja migran, penyelesaian yang sistematis dan mengakomodasi
data kuantitatif dari tingginya kasus-kasus pelanggaran hak asasi pekerja migran terutama
perempuan.
7. Negara memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM dengan memperhatikan
kerentanan khusus pembela HAM Perempuan atas kekerasan fisik, psikis dan status
hukumnya, antara lain dengan merevisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia dan/atau membuat Undang-Undang Pembela Hak Asasi Manusia.
8. Mendorong agar pekerja media/televisi dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk
membangun kesadaran gender (gender awareness) dan sensitivitas terhadap persoalan
kekerasan terhadap perempuan
TERIMA KASIH
Komnas Perempuan mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang tercantum di bawah ini,
atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang Kekerasaan
Terhadap Perempuan tahun 2009

1. Advokasi Pekerja Migran Indonesia (ABMI), Nusa Tenggara Barat


2. Aliansi Peduli Perempuan Sukowati, Jawa Tengah
3. Aliansi Perempuan Merangin, Jambi
4. Arus Pelangi, DKI Jakarta
5. Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah
6. Cahaya Perempuan WCC, Sumatera Barat
7. Damar Perempuan, Lampung
8. Divisi Perempuan Truk F, Nusa Tenggara Timur
9. Forum Komunikasi Pekerja Migran Sepakat (FOKBURAS), Nusa Tenggara Barat
10. Forum Peduli Anak Atambua (FPPA), Nusa Tenggara Timur
11. Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (FPMPSS), Sulawesi Selatan
12. HAPSARI, Sumatera Utara
13. Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia (JARAK)
14. Kejaksaan Negeri Cilegon, Banten
15. Kejaksaan Negeri Rangkas Bitung, Banten
16. Kejaksaan Negeri Serang, Banten
17. Kejaksaan Tinggi Jakarta, DKI Jakarta
18. Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Barat
19. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Sulawesi Utara
20. Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Sumatera Selatan
21. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), DKI Jakarta
22. LAPPAN, Maluku
23. LBH APIK Aceh, Banda Aceh
24. LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta
25. LBH APIK Medan, Sumatera Barat
26. LBH APIK NTB, Nusa Tenggara Barat
27. LBH Jakarta, DKI Jakarta
28. LBH P21 Makasar, Sulawesi Selatan
29. Lembaga Kajian Untuk Transformasi Sosial (LKTS), Jawa Tengah
30. Lembaga Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (LPHP-A), Jawa Timur
31. LKBH PEKA, DKI Jakarta
32. LRC KJ HAM, Jawa Tengah
33. LSM Sirih Besar, Kepulauan Riau
34. Mahkamah Syariah Sigli, Banda Aceh
35. P2TP2A DKI Jakarta, DKI Jakarta
36. P2TP2A Kabupaten Karangasem, Bali
37. P2TP2A Luhak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat
38. P2TP2A Nias, Sumatera Utara
39. P2TP2A Propinsi Jambi, Jambi
40. P3A Sidoarjo, Jawa Timur
41. PBHI Jakarta, DKI Jakarta
42. Pemerhati BMI Kecamatan Plampang Niat Suci Jaringan LBH APIK NTB, Nusa Tenggara
Barat
43. Pengadilan Agama Ambarawa, Jawa Tengah
44. Pengadilan Agama Atambua, Nusa Tenggara Timur
45. Pengadilan Agama Bajawa, Nusa Tenggara Timur
46. Pengadilan Agama Balige, Sumatera Barat
47. Pengadilan Agama Balikpapan, Kalimantan Timur
48. Pengadilan Agama Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
49. Pengadilan Agama Batang, Jawa Tengah
50. Pengadilan Agama Baturaja, Sumatera Selatan
51. Pengadilan Agama Bengkayang, Kalimantan Barat
52. Pengadilan Agama Binjai, Sumatera Utara
53. Pengadilan Agama Blitar, Jawa Timur
54. Pengadilan Agama Bogor, Jawa Barat
55. Pengadilan Agama Bungku, Sulawesi Tengah
56. Pengadilan Agama Buntok, Kalimantan Tengah
57. Pengadilan Agama Ciamis, Jawa Barat
58. Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
59. Pengadilan Agama Demak, Jawa Tengah
60. Pengadilan Agama Ende, Nusa Tenggara Timur
61. Pengadilan Agama Gresik, Jawa Timur
62. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, DKI Jakarta
63. Pengadilan Agama Jakarta Timur, DKI Jakarta
64. Pengadilan Agama Jakarta Utara, DKI Jakarta
65. Pengadilan Agama Janeponto, Sulawesi Selatan
66. Pengadilan Agama Kandangan, Kalimantan Selatan
67. Pengadilan Agama Kangean, Jawa Timur
68. Pengadilan Agama Kebumen, Jawa Tengah
69. Pengadilan Agama Kelas IA Karawang, Jawa Barat
70. Pengadilan Agama Kelas IA Palembang, Sumatera Selatan
71. Pengadilan Agama Kelas IA Pontianak, Kalimantan Barat
72. Pengadilan Agama Kelas IB Curup, Bengkulu
73. Pengadilan Agama Kelas IB Kajen, Jawa Tengah
74. Pengadilan Agama Kelas IB Stabat, Sumatera Utara
75. Pengadilan Agama Ketapang, Kalimantan Barat
76. Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
77. Pengadilan Agama Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
78. Pengadilan Agama Kudus, Jawa Tengah
79. Pengadilan Agama Lahat, Sumatera Selatan
80. Pengadilan Agama Lamongan, Jawa Timur
81. Pengadilan Agama Lubuk Basung, Sumatera Barat
82. Pengadilan Agama Lubuk Linggau, Sumatera Selatan
83. Pengadilan Agama Lumajang, Jawa Timur
84. Pengadilan Agama Majalengka, Jawa Barat
85. Pengadilan Agama Malang, Jawa Timur
86. Pengadilan Agama Marabahan, Kalimantan Selatan
87. Pengadilan Agama Masohi, Maluku
88. Pengadilan Agama Mataram, Nusa Tenggara Barat
89. Pengadilan Agama Medan, Sumatera Utara
90. Pengadilan Agama Menado, Sulawesi Utara
91. Pengadilan Agama Merauke, Papua
92. Pengadilan Agama Mimika, Papua
93. Pengadilan Agama Muara Bulian, Jambi
94. Pengadilan Agama Muara Enim, Sumatera Selatan
95. Pengadilan Agama Muara Teweh, Kalimantan Tengah
96. Pengadilan Agama Natuna, Kepulauan Riau
97. Pengadilan Agama Negara, Bali
98. Pengadilan Agama Pacitan, Jawa Timur
99. Pengadilan Agama Padang Sidempuan, Sumatera Utara
100. Pengadilan Agama Painan, Sumatera Barat
101. Pengadilan Agama Palangkaraya, Kalimantan Barat
102. Pengadilan Agama Palembang, Sumatera Selatan
103. Pengadilan Agama Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah
104. Pengadilan Agama Purwodadi, Jawa Tengah
105. Pengadilan Agama Purwokerto, Jawa Tengah
106. Pengadilan Agama Rantau, Kalimantan Selatan
107. Pengadilan Agama Rengat, Kepulauan Riau
108. Pengadilan Agama Samarinda, Kalimantan Timur
109. Pengadilan Agama Sampit, Kalimantan Tengah
110. Pengadilan Agama Sangau, Kalimantan Barat
111. Pengadilan Agama Sekayu, Sumatera Selatan
112. Pengadilan Agama Sentani, Papua
113. Pengadilan Agama Serang, Banten
114. Pengadilan Agama Serui, Irian Jaya
115. Pengadilan Agama Sidikalang, Sumatera Utara
116. Pengadilan Agama Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
117. Pengadilan Agama Soa Sia, Maluku Utara
118. Pengadilan Agama Solok, Sumatera Barat
119. Pengadilan Agama Sukabumi, Jawa Barat
120. Pengadilan Agama Sungai Penuh, Jambi
121. Pengadilan Agama Surabaya, Jawa Timur
122. Pengadilan Agama Tahuna, Sulawesi Utara
123. Pengadilan Agama Tanggamus, Lampung
124. Pengadilan Agama Tanjung Redeb, Kalimantan Timur
125. Pengadilan Agama Tanjung Selor, Kalimantan Timur
126. Pengadilan Agama Tanjung, Kalimantan Selatan
127. Pengadilan Agama Tasikmalaya, Jawa Barat
128. Pengadilan Agama Tegal, Jawa Tengah
129. Pengadilan Agama Tondano, Sulawesi Utara
130. Pengadilan Agama Tual, Maluku
131. Pengadilan Agama Wamena, Papua
132. Pengadilan Agama Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta
133. Pengadilan Agama Wonosobo, Jawa Tengah
134. Pengadilan Agama Yogjakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
135. Pengadilan Negeri Arga Makmur, Bengkulu
136. Pengadilan Negeri Bangkalan, Jawa Timur
137. Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah
138. Pengadilan Negeri Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
139. Pengadilan Negeri Banyumas , Jawa Tengah
140. Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah
141. Pengadilan Negeri Bekasi, Jawa Barat
142. Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Timur
143. Pengadilan Negeri Brebes, Jawa Tengah
144. Pengadilan Negeri Bukit Tinggi, Sumatera Barat
145. Pengadilan Negeri Ciamis, Jawa Barat
146. Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah
147. Pengadilan Negeri Curup, Bengkulu
148. Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat
149. Pengadilan Negeri Ende, Nusa Tenggara Timur
150. Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat
151. Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Lampung
152. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, DKI Jakarta
153. Pengadilan Negeri Jombang, Jawa Timur
154. Pengadilan Negeri Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan
155. Pengadilan Negeri Kelas IB Binjai, Sumatera Utara
156. Pengadilan Negeri Kelas IB Cirebon, Jawa Barat
157. Pengadilan Negeri Kelas IB Curup, Bengkulu
158. Pengadilan Negeri Kelas IB Indramayu, Jawa Barat
159. Pengadilan Negeri Kelas IB Kabupaten Kediri, Jawa Timur
160. Pengadilan Negeri Kelas IB Klaten, Jawa Tengah
161. Pengadilan Negeri Kelas IB Makale, Sulawesi Selatan
162. Pengadilan Negeri Kelas IB Purwokerto, Jawa Tengah
163. Pengadilan Negeri Kelas IB Raba Bima, Nusa Tenggara Barat
164. Pengadilan Negeri Kelas IB Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
165. Pengadilan Negeri Kelas IB Sumber, Jawa Barat
166. Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan
167. Pengadilan Negeri Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
168. Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Banda Aceh
169. Pengadilan Negeri Lahat, Sumatera Selatan
170. Pengadilan Negeri Larantuka, Nusa Tenggara Timur
171. Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, Sumatera Barat
172. Pengadilan Negeri Majalengka, Jawa Barat
173. Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara
174. Pengadilan Negeri Mempawah, Kalimantan Barat
175. Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur
176. Pengadilan Negeri Palangkaraya, Kalimantan Tengah
177. Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten
178. Pengadilan Negeri Pangkajene, Sulawesi Selatan
179. Pengadilan Negeri Pare-Pare, Sulawesi Selatan
180. Pengadilan Negeri Pasuruan, Jawa Timur
181. Pengadilan Negeri Pati, Jawa Tengah
182. Pengadilan Negeri Pelaihari, Kalimantan Selatan
183. Pengadilan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat
184. Pengadilan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat
185. Pengadilan Negeri Purbalingga, Jawa Tengah
186. Pengadilan Negeri Purworejo, Jawa Tengah
187. Pengadilan Negeri Rantau, Kalimantan Selatan
188. Pengadilan Negeri Sawahlunto, Sumatera Barat
189. Pengadilan Negeri Selayar, Sulawesi Selatan
190. Pengadilan Negeri Sibolga, Sumatera Utara
191. Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan
192. Pengadilan Negeri Sorong, Papua
193. Pengadilan Negeri Sukoharjo, Jawa Tengah
194. Pengadilan Negeri Tabanan, Bali
195. Pengadilan Negeri Tanjung Pati, Sumatera Barat
196. Pengadilan Negeri Tanjung, Kalimantan Selatan
197. Pengadilan Negeri Tegal, Jawa Tengah
198. Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah
199. Pengadilan Negeri Toli-toli, Sulawesi Tengah
200. Pengadilan Negeri Waingapu, Nusa Tenggara Timur
201. Pengadilan Negeri Watansoppeng, Sulawesi Selatan
202. Pengadilan Negeri Wonosobo, Jawa Tengah
203. Pengadilan Tinggi Agama Ambon, Maluku
204. Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Jawa Barat
205. Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Bengkulu
206. Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, DKI Jakarta
207. Pengadilan Tinggi Agama Kupang,
208. Pengadilan Tinggi Agama Palembang, Sumatera Selatan
209. Pengadilan Tinggi Agama Palu, Sulawesi Tengah
210. Pengadilan Tinggi Agama Pontianak, Kalimantan Barat
211. Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Jawa Timur
212. Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
213. Pengadilan Tinggi Ambon, Maluku
214. Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat
215. Pengadilan Tinggi Banten, Banten
216. Pengadilan Tinggi Bengkulu, Bengkulu
217. Pengadilan Tinggi Gorontalo, Gorontalo
218. Pengadilan Tinggi Jayapura, Papua
219. Pengadilan Tinggi Kalimanatan Selatan, Kalimantan Selatan
220. Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat, Kalimantan Barat
221. Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Kalimantan Timur
222. Pengadilan Tinggi Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
223. Pengadilan Tinggi Makasar, Sulawesi Selatan
224. Pengadilan Tinggi Palu, Sulawesi Tengah
225. Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara
226. Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, Sumatera Barat
227. Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
228. PPT PKPA Larasati Kota Kedal, Jawa Tengah
229. PULIH, DKI Jakarta
230. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lamban Indoman Putri
Propinsi Lampung, Lampung
231. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso Dyah Utami, Daerah
Istimewa Yogyakarta
232. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Propinsi (P2TPA) Maluku, Maluku
233. Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT P2A) Kota Surabaya,
Jawa Timur
234. Puspita Puan Amal Hayati, Jawa Barat
235. Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK), Banda Aceh
236. Rifka Annisa, Daerah Istimewa Yogyakarta
237. Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintoharjo Yayasan PKT Melati, DKI Jakarta
238. Rumah Sakit Bayangkara Kediri, Jawa Timur
239. Rumah Sakit Bhayangkara Bali, Bali
240. Rumah Sakit Bhayangkara Moestadjab Nganjuk, Jawa Timur
241. Rumah Sakit Bhayangkara Palangkaraya, Kalimantan Tengah
242. Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih, Jawa Barat
243. Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan, Sumatera Utara
244. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo PKT, DKI Jakarta
245. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek , Unit Terpadu Perempuan Korban
Tindak Kekerasan, Bandar Lampung
246. Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Yunus Bengkulu, Bengkulu
247. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati, Daerah Istimewa Yogyakarta
248. Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
249. Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr. Sardjito, Daerah Istimewa Yogyakarta
250. Sahabat Perempuan, Jawa Tengah
251. Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (SAKPPD), Jawa Timur
252. Sapa Institut, Jawa Barat
253. Savy Amira WCC, Jawa Timur
254. Setara Kita Batam, Kepulauan Riau
255. Solidaritas Perempuan Palembang, Sumatera Selatan
256. SPEK HAM, Jawa Tengah
257. SPI Labuhan Batu Inti, Sumatera Utara
258. UPPA Polda Aceh, Banda Aceh
259. UPPA Polda Bali, Bali
260. UPPA Polda Bangka Belitung, Kepulauan Bangka Belitung
261. UPPA Polda Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan
262. UPPA Polda Sumatera Utara, Sumatera Utara
263. UPPA Polda Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta
264. UPPA Polres Ciamis, Jawa Barat
265. UPPA Polres Gresik, Jawa Timur
266. UPPA Polres Kediri, Jawa Timur
267. UPPA Polres Klungkung, Bali
268. UPPA Polres Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
269. UPPA Polres Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur
270. UPPA Polres Merangin, Jambi
271. UPPA Polres Ngawi, Jawa Timur
272. UPPA Polres Pasaman, Sumatera Barat
273. UPPA Polres Rembang, Jawa Tengah
274. UPPA Polres Sambas, Kalimantan Selatan
275. UPPA Polres SIKKA, Nusa Tenggara Timur
276. UPPA Polres Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
277. UPPA Polres Sukohardjo, Jawa Tengah
278. UPPA Polres Tabanan, Bali
279. UPPA Polres Tegal, Jawa Tengah
280. UPPA Polres Trenggalek, Jawa Timur
281. UPPA Polres Tulungagung, Jawa Timur
282. UPPA Polres Wonosobo, Jawa Tengah
283. WCC Bengkulu, Bengkulu
284. WCC Cahaya Melati, Jawa Tengah
285. WCC Cahaya Perempuan, Sumatera Barat
286. WCC Jombang, Jawa Timur
287. WCC Lentera Perempuan, Jawa Tengah
288. WCC Mawar Balgis, Jawa Barat
289. WCC Mitra Perempuan, DKI Jakarta
290. WCC Nurani Perempuan, Sumatera Barat
291. WCC Palembang, Sumatera Selatan
292. WCC Suara Nurani Perempuan LPSM Yabinkas, Daerah Istimewa Yogyakarta
293. YAKKUM, DKI Jakarta
294. Yayasan Arikal Mahina, Maluku
295. Yayasan Atma, Jawa Tengah
296. Yayasan Bungoeng Jeumpa, Banda Aceh
297. Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara
298. Yayasan Pancakarsa, Nusa Tenggara Barat
299. Yayasan Puspa Indonesia, Sumatera Selatan
300. YLBHI LBH Bali, Bali

Das könnte Ihnen auch gefallen