Sie sind auf Seite 1von 100

PERSPEKTIF RISET DALAM AKUNTANSI

PENGANTAR

Pendekatan-pendekatan yang dibahas berikut merupakan aliran-


aliran atau orientasi-orientasi tertentu dalam riset akuntansi. Riset
akuntansi telah berkembang sedemikian rupa dan beberapa
pendekatan terpenting saling bersaing dan saling melengkapi satu
sama lain. Beberapa di antaranya adalah pendekatan model
keputusan, riset pasar modal, riset keperilakuan, teori agensi,
ekonomika informasi, dan perspektif akuntansi kritis. Di samping
itu, kita juga mengenal beberapa aliran lain yang barangkali masih
dianggap berada "di pinggiran", atau dalam uangkapan yang lebih
santun, "emerging perspectives," seperti misalnya perspektif
akuntansi Islam. Kita memandang semua pendekatan ini patut
dihargai untuk menambah pengetahuan kita mengenai akuntansi
dan lingkungannya. Akan tetapi, revolusi ilmiah tampaknya tidak
terjadi dalam bidang akuntansi karena historical cost masih menjadi
paradigma yang dominan saat ini.

DECISION-MODEL APPROACH

Pendekatan ini mempertanyakan atau mempersoalkan informasi


apa yang diperlukan untuk berbagai jenis pengambilan keputusan.
Menurut pendekatan ini, laporan keuangan yang didasarkan kepada
entry value, exit value, dan discounted cash flows menjadi
alternatif-alternatif yang mungkin lebih bermanfaat dibandingkan
laporan keuangan yang berbasis historical cost. Pendekatan ini tidak
mempertanyakan informasi apa yang dibutuhkan oleh pengguna
(users) tetapi lebih berkonsentrasi kepada informasi apa yang
dibutuhkan untuk keputusan-keputusan tertentu. Oleh karena itu,
orientasinya adalah normatif dan deduktif. Salah satu premis yang
mendasari pendekatan ini adalah bahwa para pengambil keputusan
mungkin perlu diajari/dibimbing mengenai bagaimana
menggunakan informasi tertentu jika mereka awam (unfamiliar)
dengan informasi tersebut.
Para pendukung pendekatan ini umumnya menganjurkan berbagai
kemungkinan penggunaan metode penilaian (valuation method).
Chambers (1991) dan Sterling (1979), sebagai contoh,
menganjurkan digunakannya pendekatan exit value karena harga
jual aset relevan bagi keputusan untuk menahan atau melepaskan
aset. Ijiri (1981) adalah pendukung kuat fungsi
pertanggungjawaban (stewardship function) dari pelaporan
keuangan yang memusatkan perhatian kepada akuntabilitas
manajemen (sebagai accountor) dan pemilik (sebagai accountee).
Ijiri adalah pendukung historical cost yang disesuaikan dengan
perubahan daya beli uang (general price-level adjustment). Staubus
(1977) adalah pendukung pengukuran akuntansi yang mensimulasi
sedekat mungkin arus kas diskonto (discounted cash flow) untuk
memfasilitasi pengambilan keputusan oleh investor.
Sifat normatif dari decision-model approach telah menyebabkan
sebagian pendukung teori-teori baru yang muncul belakangan
menyatakan bahwa pendekatan ini tidak ilmiah. Akan tetapi,
Mattessich (1978) telah menegaskan bahwa muatan nilai atau
kepentingan merupakan aspek yang diperlukan dalam aktivitas-
aktivitas yang berorientasi tujuan seperti dalam pengembangan
teori akuntansi. Dengan kata lain, metode dan pendekatan ilmiah
juga bisa dimanfaatkan dalam aktivitas-aktivitas yang berorientasi
tujuan, bukan hanya oleh sains seperti ilmu alam yang berupaya
untuk menjelaskan fenomena alam semesta sebagaimana adanya
(deskriptif).

CAPITAL MARKET RESEARCH


Sejumlah besar penelitian empiris (induktif) memperlihatkan bahwa
harga-harga sekuritas yang diperdagangkan secara publik bereaksi
secara cepat dan tidak bias (rapidly and unbiased) terhadap
informasi baru. Oleh karena itu, harga pasar sekuritas diasumsikan
mencerminkan sepenuhnya semua informasi yang tersedia bagi
publik. Proposisi ini, yang sebenarnya berasal dari disiplin keuangan
(finance) dikenal sebagai hipotesis pasar efisien (efficient-
markets hypothesis). Di samping itu, return suatu sekuritas
berbanding lurus dengan risikonya: Gagasan ini telah mendorong
meningkatnya penekanan akan perlunya mendiversifikasi portofolio
investasi ketimbang hanya berinvestasi pada satu sekuritas.
Hipotesis pasar efisien secara potensial memiliki implikasi-implikasi
penting bagi akuntansi. Sebagai contoh, karena informasi dengan
cepat tercermin dalam harga sekuritas, dorongan untuk
meningkatkan pengungkapan (disclosure) akuntansi menjadi lebih
kuat sementara perhatian kepada isu pemilihan alternatif-alternatif
akuntansi menjadi berkurang.

BEHAVIORAL RESEARCH

Riset keperilakuan merupakan salah satu area penelitian yang


penting lainnya dalam akuntansi. Fokus utama riset keperilakuan
adalah bagaimana para pengguna informasi akuntansi mengambil
keputusan dan informasi apa yang mereka butuhkan. Berbeda
dengan pendekatan model keputusan yang bersifat normatif, riset
keperilakuan bersifat deskriptif. Riset ini banyak menggunakan
metode eksperimental.
McIntyre (1973), misalnya, berupaya untuk menemukan apakah
informasi replacement cost lebih bermanfaat dibandingkan
informasi historical cost dalam mengevaluasi actual annual rate of
return. Dengan kata lain, riset ini berupaya untuk memahami
informasi apa yang dipilih dan bagaimana informasi tersebut
diproses. Empat perusahaan berukuran sedang dalam industri ban
dan karet dianalisis selama suatu periode yang terdiri dari tiga
tahun. Subjek eksperimennya adalah mahasiswa S-1 dan S-2.
Sebagian mahasiswa menerima laporan keuangan berbasis
replacement cost, sebagian lainnya menerima laporan berbasis
historical cost, dan yang lainnya lagi menerima kedua jenis laporan.
Subjek-subjek eksperimen tersebut diminta untuk memilih
perusahaan yang akan menghasilkan actual annual rate of return
tertinggi selama tiga tahun. Setelah analisis atas data
eksperimental dilakukan, McIntyre (1973) gagal menunjukkan
keunggulan laporan keuangan berbasis replacement cost bagi para
pengguna informasi akuntansi. Meskipun demikian, pertanyaan
mengenai sejauh mana mahasiswa yang digunakan sebagai subjek
eksperimen mewakili populasi pengambil keputusan dalam dunia
nyata merupakan permasalahan yang dialami oleh semua riset
keperilakuan yang menggunakan subjek mahasiswa dalam situasi
eksperimental.
Meskipun riset keperilakuan masih dalam tahap awal
pengembangan, temuan-temuannya telah banyak yang menarik
perhatian. Banyak penelitian memperlihatkan ketidaksesuaian
antara model keputusan yang dirumuskan secara normatif dengan
proses keputusan sesungguhnya yang dilakukan oleh pengguna
informasi akuntansi. Riset lainnya menunjukkan terdapatnya suatu
tendensi penggunaan laporan keuangan publikasian (published
financial statements) untuk maksud-maksud pengambilan
keputusan manajerial. Meskipun pendekatan riset keperilakuan
bersifat deskriptif/positif, hasilnya bisa digunakan untuk
kesimpulan-kesimpulan normatif yang bertujuan untuk
memperbaiki penggunaan data akuntansi dalam pengambilan
keputusan.

AGENCY THEORY
Teori agensi (agency theory), atau yang juga biasa disebut
contracting theory, merupakan salah satu aliran riset akuntansi
terpenting dewasa ini. Penelitian teori agensi bisa bersifat deduktif
atau induktif dan merupakan kasus khusus riset keperilakuan,
meskipun teori agensi berakar pada bidang keuangan (finance) dan
ekonomika bukannya psikologi dan sosiologi. Asumsi yang
mendasarinya adalah bahwa individu bertindak demi
kepentingannya sendiri. Asumsi penting lainnya menyebutkan
bahwa perusahaan merupakan tempat (locus) atau titik pertemuan
(intersection point) bagi berbagai jenis hubungan kontraktual yang
terjadi di antara manajemen, pemilik, kreditor, dan pemerintah.
Oleh karena itu, teori agensi berfokus kepada kos-kos pemantauan
dan penyelenggaraan hubungan antara berbagai pihak. Audit,
misalnya, bisa dipandang sebagai suatu instrumen untuk
meyakinkan bahwa laporan keuangan perusahaan telah diteliti
keakuratannya. Di samping itu, laporan keuangan itu sendirijika
telah diberi opini wajar tanpa pengecualiandianggap memenuhi
kriteria yang ada sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi berterima
umum (generally accepted accounting principles). Oleh karena itu,
audit dalam hal ini berupaya untuk memberikan jaminan kepada
pihak luar, seperti pemilik dan kreditor, berkenaan dengan
pengelolaan perusahaan oleh manajemen. Hubungan keagenan
antar berbagai pihak tersebut banyak ditentukan/diatur
berdasarkan angka-angka akuntansi (accounting numbers).
Hubungan keagenan tersebut mencakup perjanjian pinjaman (bond
covenants), kompensasi manajemen, kontrak-kontrak, dan ukuran
perusahaan. Perjanjian pinjaman seringkali menentukan tingkat
rasio, seperti misalnya rasio utang terhadap ekuitas. Pelanggaran
terhadap tingkat maksimum tersebut akan menyebabkan
perusahaan mengalami kesulitan teknis. Semakin dekat batasan
utang terhadap ekuitas, semakin mungkin manajemen akan
memilih alternatif-alternatif akuntansi yang akan meningkatkan
income. Dalam hal kontrak kompensasi manajemen, manajemen
mungkin akan berupaya untuk memilih metode-metode yang
meningkatkan income dan juga meningkatkan bonus. Riset
akuntansi positif yang dimaksudkan untuk menguji hipotesis-
hipotesis teori agemsi menekankan anggapan mengenai pertalian
antara perusahaan-perusahaan yang sangat besar dengan campur
tangan pemerintah, yang akan mendorong dipilihnya alternatif-
alternatif akuntansi yang menurunkan income. Oleh karena itu,
pemilihan metode akuntansi oleh perusahaan mungkin dipengaruhi
oleh efek metode tersebut terhadap kontrak-kontrak keagenan.
Salah satu hipotesis teori agensi menyatakan bahwa manajemen
berupaya untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri dengan
meminimumkan kos-kos keagenan yang timbul dari pemantauan
dan penyelenggaraan kontrak. Ingat, hal ini tidak sama dengan
mengatakan bahwa manajemen akan berupaya untuk
meningkatkan nilai perusahaan. Ketika manajemen berupaya untuk
meningkatkan kompensasinya, manajemen harus melakukannya
dalam rerangka meningkatkan income bersih, return on investment
(ROI), atau angka-angka akuntansi sejenis yang juga berarti
mengupayakan perubahan positif harga sekuritas perusahaannya.
Oleh karena itu, meminimumkan kos-kos penyelenggaraan kontrak
(contracting costs) berarti tidak secara negatif mengganggu
hubungan antara ukuran-ukuran kinerja berbasis akuntansi dan
tidak mendapatkan opini audit selain wajar tanpa pengecualian.
Meskipun umumnya manajemen terutama akan terdorong untuk
memperbaiki kinerja, manajemen bisa juga memilih
ketentuan/aturan akuntansi yang memaksimumkan income dengan
segera/jangka pendek dan bukannya sepanjang waktu untuk
memaksimumkan kompensasinya. Dalam hal ini manajemen tidak
selalu bertindak selaras dengan kepentingan pemegang saham. Hal
inilah yang kadang-kadang disebut perilaku oportunistik
(opportunistic behavior) atau moral hazard. Audit, yang merupakan
salah satu contoh meminimumkan kos penyelenggaraan kontrak,
juga merupakan contoh penyelenggaraan kontrak yang efisien
(efficient contracting).
Asumsi lain mengenai sifat perusahaan bersaing dengan asumsi
teori agensi yang menyatakan perusahaan sebagai locus atau nexus
bagi berbagai jenis hubungan kontrak. Chambers (1990), misalnya,
menggambarkan perusahaan sebagai ".suatu koalisi sementara
dalam keadaan ekuilibrium yang tidak stabil." Pandangan koalisi
Chambers ini melihat perusahaan memainkan peran yang lebih kuat
dalam kaitannya dengan berbagai partisipan lainnya dibandingkan
dengan teori agensi yang memandang perusahaan itu sendiri tidak
berperan. Dalam pandangan koalisi, income sebagai suatu
pengukuran kinerja ekonomik perusahaan dan ukuran ekonomik
aset dan kewajiban merupakan fungsi penting akuntansi yang harus
menjadi pertimbangan utama agen penyusun standar. Pandangan
tersebut tidak dijumpai dalam teori agensi. Uraian ini bukan
dimaksudkan untuk menunjukkan "kebenaran" atau "kesalahan"
teori agensi; baik teori agensi maupun pandangan koalisi
merupakan penggambaran parsial dari cara berpikir dan interrelasi
perusahaan dengan partisipan-partisipan konstituennya. Berbagai
teori dan pandangan yang saling bersaing akan memberikan
wawasan yang penting bagi akuntan, auditor, pengguna informasi
akuntansi, dan penyusun standar. Tidak ada satu pun pendekatan
yang harus dianggap lebih unggul dibandingkan yang lain-lainnya.
Lebih lanjut, meskipun para pendukung riset teori agensi
menekankan bahwa temuan-temuannya positif dan deskriptif dan
tidak bisa digunakan untuk maksud-maksud pembuatan kebijakan
(yang dengan jelas melibatkan pertimbangan nilai), tidak ada
alasan bagi penyusun standar untuk tidak menggunakan hasil-hasil
riset teori agensi jika hasil-hasil tersebut dianggap valid dan
bermanfaat.
INFORMATION ECONOMICS

Para akuntan menjadi semakin sadar akan kos yang timbul dalam
memproduksi informasi akuntansi. Kesadaran ini telah
memunculkan suatu bidang penyelidikan yang relatif baru bagi
periset akuntansi: ekonomika informasi. Riset ekonomika
informasi umumnya bersifat analitis/deduktif. Kecuali akuntansi
berbasis arus kas (cash flow accounting), altenatif-alternatif model
akuntansi historical cost akan tampak menimbulkan kos produksi
informasi tambahan bagi perusahaan. Apakah manfaat
perangkat/set inforamsi altenatif atau perangkat/set informasi yang
lebih besar melebihi kosnya merupakan salah satu pertanyaan
penting dalam riset ekonomika informasi. Sifat permasalahan ini
secara singkat dinyatakan oleh Beaver dan Demski:

.inti argumen yang mendukung akuntansi accrual


bersandar kepada premis bahwa (1) income yang
dilaporkan dengan akuntansi accrual menyampaikan
lebih banyak informasi dibandingkan yang disampaikan
oleh sistem akuntansi yang berorientasi arus kas, (2)
akuntansi accrual adalah cara yang paling efisien untuk
menyampaikkan informasi tambahan ini, sehingga (3)
"nilai" sistem informasi tambahan tersebut melebihi
"kos"-nya.

Ekonomika informasi akhir-akhir ini memasukkan asumsi-asumsi


dan situasi teori agensi dalam analisisnya. Hal ini karena pembagian
risiko antara principal (dalam hal ini adalah pemilik) dan agent
(manajemen) erat terkait dengan isu mengenai apakah kedua belah
pihak memiliki informasi penuh atau apakah terjadi asimetri
informasi (information asymmetry) yang menempatkan satu pihak
(umumnya agent) memiliki lebih banyak informasi dibandingkan
pihak-pihak lainnya. Tujuan analisis teori informasi adalah
menentukkan insentif aransemen kontraktual yang optimal yang
bisa dinegosiasi. Riset ekonomika informasi juga memperlihatkan
pentingnya fungsi pertanggungjawaban (stewardship function)
akuntansimenentukkan kinerja manajemen) sangat penting dalam
kaitannya dengan penentuan insentif dan imbalan (rewards)
manajerial.

CRITICAL ACCOUNTING

Akuntansi kritis merupakan cabang teori akuntansi yang


memandang akuntansi memiliki peran yang sangat penting dalam
menengahi konflik antara perusahaan dengan konstituensi-
konstituensi sosialnya seperti buruh, konsumen, dan publik pada
umumnya. Oleh karena itu, akuntansi kritis secara langsung
menyinggung peran aktif akuntan dalam masyarakat. Akuntansi
kritis dikembangkan dari penggabungan dua bidang akuntansi
lainnya: akuntansi kepentingan umum (public interest accounting)
dan akuntansi sosial (social accounting). Akuntansi kepentingan
umum terkait dengan penyelenggaraan pekerjaan cuma-cuma
(gratis) yang bersifat memberikan nasihat perpajakan dan
keuangan bagi individu, kelompok, dan usaha kecil yang tidak
mampu membayar jasa tersebut yang tersedia secara komersial.
Akuntansi sosial terkait dengan upaya-upaya untuk mengukur
dan memasukkan ke dalam laporan income perusahaan kos-kos
eksternalitas seperti polusi, yang merugikan masyarakat umum
tetapi pelaku yang menyebabkannya tidak menanggung kos apapun
(setidaknya sampai diberlakukannya standar polusi udara dan air).
Akuntansi kritis mencakup dan lebih luas daripada akuntansi
kepentingan umum dan akuntansi sosial. Lebih lanjut, tujuan
periset akuntansi kritis adalah untuk menggeser bidang ini dari
posisi pinggiran yang ditempati oleh akuntansi kepentingan umum
dan akuntansi sosial menjadi aliran utama (mainstream) riset dan
aksi akuntansi dengan mengadopsi perspektif berbasis konflik.
Akuntansi kritis berbeda dengan semua bidang riset sebelumnya
yang disebutkan di atas dalam satu hal penting. Aliran-aliran riset
yang lain mengasumsi pemisahan yang tegas antara periset dengan
objek yang ditelitinya. Sebagai contoh, periset akuntansi positif dan
penganut aliran keperilakuan meyakini bahwa mereka hanya
melaporkan perilaku subjek-subjek yang mereka amati. Meskipun
dikelompokkan sebagai periset normatif, seperti para penganut
pendekatan model keputusan, mereka memandang realitas sebagai
bersifat independen atau terlepas dari peran merekaselaku
pengamat. Sebaliknya, periset akuntansi kritis meyakini bahwa
ketika melihat dan mengamati realitas, mereka juga membantu
membentuk realitas tersebut. Sebagai contoh, Chua (1986)
menyatakan:

Dengan adanya keterkaitan yang saling berinteraksi


antara pengetahuan dengan dunia fisik manusia,
produksi pengetahuan dibatasi oleh aturan-aturan
buatan manusia sendiri dan keyakinan/kepercayaan
yang mendefinisi wilayah (domain) pengetahuan, yaitu
fenomena empiris, dan hubungan antara
keduanya.Asumsi-asumsi epistemologis menentukan
apa yang dianggap sebagai kebenaran yang bisa
diterima (acceptable truth) dengan menentukan kriteria
dan proses dalam menilai klaim-klaim kebenaran
tersebut.

Tinker (1988) memberikan sebuah contoh yang menarik dari


astronomi untuk mengilustrasi permasalahan yang dipersepsi oleh
para akuntan kritis. Tinker mencontohkan planet yang kita sebut
"Uranus." Semua aliran riset lainnya akan mengatakan bahwa
planet tersebut adalah sebuah entitas yang independen dari kita.
Akuntan kritis akan mengatakan bahwa kita menginterpretasi atau
menafsirkan realitas meskipun hanya dengan memberi nama
"Uranus" kepada planet tersebut. Venus, yang memiliki permukaan
yang sangat panas, sering kali digambarkan "tidak ramah" dan
"berperangai memusuhi" meskipun planet itu merupakan benda
mati. Lebih lanjut, upaya kita untuk secara ilmiah mendeskripsi
Uranus dibatasi oleh apa yang dikatakan oleh instrumen-instrumen
penyelidikan kepada kita, yang selalu mengalami penghalusan dan
interpretasi lebih lanjut. Chua (1986) dengan jelas mengambarkan
permasalahan ini:

Para filsuf kritis menerima bahwa standar-standar untuk


menilai kememadaian suatu penjelasan ilmiah
merupakan gagasan-gagasan sementara dan dibatasi
konteks. Kebenaran sangat banyak yang masih dalam
proses pencarian dan dilandaskan pada praktik sosial
dan historis. Tidak ada fakta yang independen dari teori
yang bisa secara konklusif membuktikan atau
menyanggah suatu teori.

Itulah sebabnya kami menginterpretasi realitas kami sendiri dan


tidak bisa berdiri netral; akuntan kritis meyakini bahwa akuntansi
harus lebih kuat menekankan upaya untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan kemasyarakatan yang luas.
Sebagaimana diperkirakan, sebagian serangan dahsyat yang
dilancarkan oleh aliran kritis ini diarahkan kepada teori agensi dan
pendiriannya tentang sifat bebas nilai dari riset yang didasarkan
kepada teori agansi tersebut. Riset akuntansi kritis tidak
menekankan model-model matematis dan statistis dan lebih
bersandar kepada penjelasan historis.

REVOLUSI ILMIAH DALAM AKUNTANSI

Sebagaimana dijelaskan di atas, riset akuntansi merupakan suatu


bidang yang sekarang ini masih berada dalam kondisi yang terus
berubah. Sebagian memprediksi akan terjadinya revolusi ilmiah
dalam akuntansi sebagai akibat dari ketidakpuasan atas paradigma
yang dominan saat ini. Paradigma merupakan suatu pandangan
untuk menyelesaikan permasalahan yang diterima dan diyakini oleh
anggota-anggota dari suatu sains atau disiplin. Dalam akuntansi,
paradigma yang sekarang ini diterima adalah historical costing,
yang didasarkan kepada konsep realisasi (realization) dan
penandingan (matching) serta prinsip-prinsip penting lainnya,
seperti konservatisme, kontinuitas, entitas akuntansi, dan periode
waktu. Ketidakmampuan historical costing mengatasi
permasalahan-permasalahan pelaporan keuangan di AS selama
dekade 1970an dengan adanya inflasi yang parah menimbulkan
gelombang ketidakpuasan yang hebat terhadap paradigma ini. Efek
inflasi pada waktu itu, yang terjadi bersamaan dengan
perkembangan riset empiris dalam akuntansi dan juga perspektif-
perspektif lainnya membuat sebagian memimpikan kemungkinan
dikembangkannya suatu paradigma baru dalam akuntansi.
Kita boleh bertanya apakah hal ini betul-betul terjadi. Para
pendukung nilai berjalan (current value) tidak bisa mencapai
kesepakatan satu sama lain. Lebih lanjut, berkurangnya inflasi di AS
selama dekade 1980an juga telah meredakan kritik atas historical
costing. Meskipun demikian pengaruh-pengaruh yang mendorong
pengembangan paradigma baru dapat terus bertahan lama. Hanya
waktu yang akan berbicara apakah suatu model penilaian yang baru
atau sebuah paradigma yang baru akan muncul dan mendominasi
teori dan praktik akuntansi d masa depan.

KONSEP DASAR HISTORICAL COSTING

PENGANTAR

Konsep-konsep akuntansi (accounting concepts) mempengaruhi


ketentuan/aturan akuntansi (accounting rules). Sebagian besar
konsep tersebut dikembangkan dari kebutuhan/desakan praktis,
meskipun juga terlihat dalam beberapa karya teoretis. Karya
teoretis yang paling terkenal barangkali adalah monograf yang
ditulis oleh Paton dan Littleton, An Introduction to Corporate
Accounting Standards, yang mendekati teori secara deduktif
bukannya dari sudut pandang apa yang sedang terjadi/dilakukan
dalam praktik (Paten & Littleton, 1940). Karya ini tidaklah
revolusioner, tetapi gagasan-gagasan yang terkandung di dalamnya
merupakan upaya untuk memberikan rerangka dasar (basic
framework) yang bisa digunakan oleh perusahaan untuk menilai
praktik akuntansinya. Para penulisnya berharap upaya mereka akan
meningkatkan konsistensi dalam praktik akuntansi.
Karya-karya yang penting lainnya termasuk upaya Canning (1929)
untuk menghubungkan penilaian aset (asset valuation) dengan arus
kas masa depan; buku yang ditulis oleh Sweeney (1936) yang
membahas akuntansi untuk perubahan nilai unit moneter, dan buku
yang ditulis oleh MacNeal (1939) yang mengkaji kelemahan
akuntansi historical cost; monograf yang ditulis oleh Sanders,
Hatfield, dan Moore (1938) yang berupaya untuk
menderivasi/menurunkan prinsip-prinsip akuntansi dari praktik;
buku Gilman (1939) yang memperhalus (to refine) konsep income;
dan upaya Littleton (1953) untuk secara induktif menurunkan
prinsip-prinsip akuntansi yang mendasari praktik yang relevan.
Konsep-konsep yang dibahas di sini juga biasa disebut postulat
(postulates), aksioma (axioms), asumsi (assumptions), doktrin
(doctrines), konvensi (conventions), batasan (constraints), prinsip
(principles), dan standar (standards). Istilah konsep (concepts)
barangkali merupakan penamaan yang akurat untuk semua istilah
ini. Konsep merupakan hasil dari proses mengidentifikasi,
mengklasifikasi, dan menginterpretasi berbagai fenomena atau
presep (precepts). Oleh karena itu, konsep bukan merupakan
bagian dari proses formal perumusan teori tetapi bisa digunakan di
dalam suatu teorisebagai bagian dari struktur postulat-
postulatnya, atau dalam kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dari
postulat-postulatnya, atau bahkan sebagai subjek pengujian dalam
riset empiris. Banyak elemen masuk dalam kategori konsep dalam
akuntansi, dan elemen-elemen tersebut sangat tepat dianggap
bagian dari teori akuntansi. Struktur pembahasan konsep-konsep
akuntansi dalam tulisan ini secara khusus dimaksudkan untuk
mempermudah pembaca dalam memahami konsep-konsep
tersebut. Konsep-konsep tersebut diperinci sebagai berikut:

Postulat (postulates) merupakan asumsi-asumsi


dasar yang terkait dengan lingkungan bisnis tempat
akuntansi beroperasi.

Prinsip (principles) merupakan pendekatan umum


yang digunakan dalam pengakuan (recognition) dan
pengukuran (measurement) kejadian-kejadian
akuntansi. Prinsip itu sendiri dikelompokkan menjadi:

Prinsip-prinsip berorientasi input


(input-oriented principles) merupakan
aturan/ketentuan umum yang menjadi
pedoman kegiatan/fungsi akuntansi. Prinsip-
prinsip berorientasi input bisa dibagi ke
dalam dua klasifikasi umum:
aturan/ketentuan yang mendasari operasi
akuntansi secara umum (general underlying
rules of operation) dan prinsip-prinsip
pembatas (constraining principles). Seperti
yang disiratkan oleh namanya, ketentuan
operasi umum bersifat umum sedangkan
prinsip-prinsip pembatas disesuaikan
dengan situasi-situasi khusus tertentu.
Prinsip-prinsip berorientasi output
(output-oriented principles) meliputi
kualitas-kualitas atau karakteristik-
karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh
laporan keuangan jika ketentuan-ketentuan
berorientasi input telah dipenuhi.
Skema dari berbagai konsep tersebut ditunjukkan sebagai berikut:

POSTULAT

Kontinuitas (Continuity atau Going Concern)

Postulat going concern menyatakan bahwa kecuali kalau terdapat


bukti yang sebaliknya, perusahaan diasumsikan akan terus
beroperasi untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Sebagai
konsekuensinya, dalam kondisi normal pelaporan nilai likuidasi
untuk aset dan ekuitas merupakan pelanggaran atas postulat
tersebut. Postulat ini didasarkan kepada pertimbangan kepraktisan
dan kemudahan dalam pelaksanaan akuntansi karena jalannya
operasi perusahaan di masa yang akan datang tidak dapat
diprediksi secara pasti. Meskipun demikian, pengalaman
menunjukkan bahwa perusahaan pada umumnya mempunyai
tingkat kelangsungan hidup yang cukup lama, di samping ada juga
yang mengalami kemacetan, likuidasi, atau pembubaran. Pada
umumnya perusahaan tidak didirikan untuk usaha-usaha yang
sporadik dan berjangka pendek dan begitu hasil yang diinginkan
tercapai kemudian perusahaan tersebut dilikuidasi. Karena likuidasi
bukan merupakan harapan yang umum dalam pendirian
perusahaan, harapan yang logis justru adalah kontinuitas usaha.
Kemungkinan perusahaan akan berhenti dan bubar setiap saat tidak
dapat dijadikan pegangan atau dasar bekerjanya akuntansi,
meskipun ada kemungkinan akuntan diminta untuk melaporkan
keadaan perusahaan yang karena sesuatu hal mendekati likuidasi
atau pembubaran.

Periode Waktu (Time Period)

Bisnis, seperti halnya setiap aktivitas manusia pada umumnya,


berlangsung dalam periode-periode waktu. Meskipun begitu,
gagasan periode waktu sebenarnya dibuat-buat (artificial) karena
gagasan tersebut menciptakan segmentasi tertentu dari suatu
proses yang berlangsung terus-menerus. Bagi entitas bisnis,
periode waktunya adalah tahun kalender atau tahun
anggaran/fiskal, sehingga laporan keuangan berisi informasi
mengenai kondisi keuangan, earnings, dan arus dana selama waktu
satu tahun. Karena satu tahun merupakan waktu yang relatif
pendek dibandingkan umur keseluruhan dari kebanyakan
perusahaan, postulat periode waktu mengakibatkan digunakannya
akuntansi accrual serta prinsip pengakuan (recognition) dan
penandingan (matching) dalam historical costing. Paton dan
Littleton (1940) dalam Suwardjono (1986) menjelaskan bahwa
periode waktu merupakan implikasi logis dari postulat kontinuitas.
Proses pemenggalan arus kegiatan ke dalam periode
fiskal/akuntansi (yang merupakan periode penyusunan laporan)
memungkinkan dilakukannya evaluasi terhadap kinerja perusahaan
pada titik waktu tertentu tanpa harus menunggu perusahaan
tersebut dilikuidasi. Di samping itu, sepanjang perusahaan
merupakan wadah arus kegiatan yang tidak terputus-putus (dengan
kegiatan waktu sekarang dipengaruhi oleh kegiatan sebelumnya dan
pada gilirannya kegiatan sekarang akan mempengaruhi kegiatan
berikutnya), maka pemenggalan ini juga berakibat memutus
hubungan kegiatan yang saling berkaitan antar periode dan
cenderung memberi kesan sepintas bahwa data keuangan tersebut
pasti dan dapat diandalkan, padahal sebenarnya masih tergantung
kepada kejadian-kejadian selanjutnya di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, laporan keuangan harus dipandang bersifat
sementara/tentatif bahkan dalam kondisi periode yang paling
menguntungkan sekalipun.
Para pengguna informasi keuangan juga membutuhkan laporan
keuangan untuk periode yang kurang dari satu tahun penuh.
Padahal, laporan keuangan interim ini memiliki permasalahan dan
perangkat aturan/ketentuannya sendiri. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, APB Opinion No. 28 menyatakan secara umum bahwa
metode-metode akuntansi yang digunakan dalam menyiapkan
laporan keuangan tahunan juga harus diikuti dalam pelaporan
interim. Oleh karena itu, laporan interim harus mencakup estimat-
estimat/taksiran jumlah tahunan.

Entitas Akuntansi (Accounting Entity)

Ketika kita memandang entitas bisnis secara akuntansi


sebagaimana juga secara hukum, jelas bahwa entitas tersebut
terpisah dari pemiliknya. Akan tetapi, dalam kaitan dengan hal ini
terdapat dua permasalahan penting:
Permasalahan pertama menyangkut definisi entitas dan perlakuan
akuntansi atas hubungan antar bagian dalam entitas tersebut.
Termasuk di sini adalah pertanyaan apakah entitas-entitas harus
dianggap sebagai satu kesatuan karena salah satu di antaranya
mengendalikan yang lain-lainnya. Dengan kata lain, metode
penggabungan atau pemisahankah yang seharusnya digunakan
dalam menunjukkan hubungan antar entitas tersebut? Jika
penggabungan dianggap tepat, pertanyaan timbul menyangkut
perlakuan apa yang akan digunakan, pembelian (purchase) atau
penyatuan (pooling): apakah suatu pertanggungjawaban baru telah
terbentuk dan, jika demikian, bagaimana? Isu penggabungan ini
akan menjadi lebih kompleks dengan adanya operasi luar negeri
(foreign operations).
Isu kedua yang terkait dengan permasalahan entitas akuntansi
menyangkut hubungan antara perusahaan dengan pemiliknya.
Meskipun akuntansinya terpisah, titik pertemuan antara perusahaan
dengan pemiliknya terletak pada akun ekuitas pemilik. Sejumlah
teori deduktif menggambarkan hubungan ini serta peranan yang
dimainkan oleh akun ekuitas pemilik. Gagasan-gagasan yang
terkandung di dalam teori-teori tersebut mempengaruhi interpretasi
kita mengenai apa yang dimaksud income, arti/makna dari ekuitas,
dan isu-isu yang penting lainnya. Sebagai contoh, Paton dan
Lettleton seperti dikutip Suwardjono berargumen bahwa konsep
entitas menghendaki agar earnings diperlakukan sebagai milik
entitas itu sendiri sampai dengan diumumkannya pembagian
dividen kepada para pemegang saham. Oleh karena itu, pendapatan
dan biaya harus dianggap sebagai kenaikan dan penurunan
kekayaan perusahaan sehingga laba atau rugi juga dipandang
sebagai perubahan dalam kekayaan perusahaan bukan perubahan
dalam kekayaan pemilik/pemegang saham.

Unit Moneter (Monetary Unit)


Dalam perekonomian yang bukan sistem barter, uang berfungsi
sebagai medium pertukaran. Oleh karena itu, uang bisa menjadi
standar nilai yang utama sehingga laporan keuangan dinyatakan
dalam satuan moneter dari negara tempat laporan tersebut dibuat.
Dalam akuntansi berbasis historical cost, asumsi bahwa unit
moneter adalah stabil melandasi prinsip dan metode akuntansinya.
Inflasi yang parah yang pernah dialami AS dan negara-negara Barat
lainnya talah mendorong dikajinya kembali teori-teori penilaian
(valuation theories) dan cara-cara baru untuk menyajikan informasi
keuangan. Akan tetapi, meredanya inflasi pada 1980an telah
mengembalikan supremasi akuntansi historical cost.

PRINSIP-PRINSIP BERORIENTASI INPUT

Dalam tulisan ini, prinsip-prinsip akuntansi dibagi menjadi dua


klasifikasi umum: prinsip-prinsip berorientasi input dan prinsip-
prinsip berorientasi output. Prinsip-prinsip berorientasi input
mencakup pendekatan-pendekatan atau ketentuan-ketentuan
penyiapan laporan keuangan serta apa yang terkandung di dalam
laporan tersebut, termasuk pengungkapan tambahan
(supplementary disclosure) yang diperlukan. Prinsip-prinsip
berorientasi output terkait dengan komparabilitas laporan keuangan
antar perusahaan. Meskipun sebagian dari prinsip-prinsip
berorientasi output ini berlaku bagi penyaji (preparers) dan
sebagian lainnya bagi pengguna (users), kedua kelompok prinsip ini
berkaitan erat satu sama lain.

Ketentuan-ketentuan Operasi Umum

Prinsip-prinsip berorientasi input lebih lanjut dibagi menjadi dua


klasifikasi: yang terkait dengan pengakuan pendapatan (revenue)
dan yang terkait dengan pengakuan biaya (expense). Prinsip-prinsip
ini menggambarkan orientasi akuntansi historical cost yang lebih
mengutamakan pengukuran income (income measurement)
ketimbang penilaian aset dan kewajiban.

Pengakuan (Recognition). Pendapatan (revenue) didefinisi


sebagai keluaran atau output perusahaan dalam bentuk produk
atau jasa. Perhatikan, definisi ini tidak mengatakan apa pun
mengenai penerimaan atau arus masuk aset sebagai akibat dari
kinerja pendapatan (revenue performance), karena pendefinisian
pendapatan dengan memasukkan penerimaan atau arus masuk aset
akan mendorong timbulnya permasalahan-permasalahan yang
berkenaan dengan kapan mengakui pendapatan yang tengah
diperoleh/dihimpun (as being earned). Para akuntan umumnya
sepakat bahwa pendapatan timbul bersama-sama dengan
keseluruhan operasi perusahaan. Untuk sebuah perusahaan
pemanufakturan, operasinya akan mencakup pemerolehan bahan
mentah, produksi, penjualan, pengumpulan/pelunasan kas dari para
customer, dan layanan purna-jual seperti jaminan dan garansi
produk.
Pengakuan terkait dengan masalah kapan memasukkan pendapatan
dan biaya ke dalam akun-akun yang terkait. Pengakuan pendapatan
yang paling lazim adalah pada saat penjualan. Meskipun demikian,
kemungkinan-kemungkinan lain bisa saja timbul; pendapatan
mungkin diakui berdasarkan "kejadian kritis" atau "critical event"
perusahaan. Kejadian kritis merupakan kegiatan/fungsi operasi
yang paling menentukan (crucial) dalam proses
pemerolehan/penghimpunan pendapatan (earning process).
Projek rerangka konseptual FASB menyatakan bahwa pengakuan
pendapatan terjadi berdasarkan dua kriteria: (1) aset yang harus
diterima dari penyelenggaraan kegiatan pemerolehan pendapatan
terealisasi atau dapat terealisasi, (2) penyelenggaraan kegiatan
pemerolehan pendapatan "banyak yang telah terselesaikan"
("substantially accomplished"). Dalam kriterion kedua, pendapatan
yang dimaksud adalah pendapatan yang tengah diperoleh/dihimpun
(as being earned), suatu istilah yang lazim digunakan untuk
mengacu kepada kinerja pendapatan (revenue performance) atau
proses pemerolehan pendapatan (earnings process). Konsepsi
mengenai pengakuan pendapatan ini berakar pada monograf Paton
dan Littleton sebagaimana disinggung sebelumnya yang memang
merupakan sumber orisinal pendekatan historical cost. Istilah
terealisasi (realized) dan dapat terealisasi (realizable)
mengacu kepada pengubahan (convertion) atau tingkat kesiapan
pengubahan produk atau jasa perusahaan menjadi kas atau klaim
terhadap kas. Terealisasi berarti produk atau jasa perusahaan
telah diubah menjadi kas atau klaim terhadap kas, sedangkan
dapat terealisasi didefinisi sebagai kemampuan untuk mengubah
aset yang telah diterima atau disimpan menjadi kas atau klaim
terhadap kas yang jumlahnya diketahui. Realisasi seringkali
digunakan sebagai padan kata/sinonim untuk pengakuan.

Penandingan (Matching). Biaya (expenses) didefinsi sebagai kos


(costs) yang jatuh tempo (expired) sebagai akibat dari kegiatan
menghasilkan pendapatan. Dengan kata lain, biaya diperlukan
untuk menciptakan pendapatan. Jika semua biaya bisa secara
langsung diidentifikasi dengan pendapatan tertentu atau periode
waktu tertentu, pengukuran biaya tidak akan menimbulkan banyak
masalah. Sayang sekali, banyak biaya yang penting tidak dapat
diidentifikasi dengan pendapatan tertentu, dan bisa memberikan
manfaat ke lebih dari satu periode waktu.
Proses pengakuan jatuh temponya kos (timbulnya biaya) untuk
kategori biaya seperti depresiasi, kos barang terjual (cost of goods
sold), bunga, dan beban-beban tangguhan (deffered charges)
disebut penandingan (matching). Penandingan menyiratkan
diakuinya biaya-biaya dengan dasar yang wajar dan adil dalam
kaitannya dengan pengakuan pendapatan. Oleh karena itu,
penandingan merupakan aspek kedua, setelah pengakuan, yang
menunjukkan diutamakannya pengukuran income di atas penilaian
aset dan kewajiban dalam sistem yang sekarang ini dominan yang
berorientasi kepada historical cost.
Prinsip penandingan akhir-akhir ini mendapatkan serangan kritik
yang luas. Pertama, pendekatan historical cost seringkali mengukur
biaya-biaya terlalu rendah dalam kaitannya dengan nilai
jasa/manfaat aset yang jatuh tempo. Kedua, metode yang
"sistematis dan rasional" yang digunakan dalam prinsip-prinsip
akuntansi berterima umum cenderung diimplementasi secara
sembarang; suatu permasalahan bisa ditangani dengan lebih dari
satu cara. Ketidakseksamaanan/ketidakcermatan ini biasa disebut
"permasalahan alokasi" ("allocation problem").

Prinsip-prinsip Pembatas

Prinsip-prinsip pembatas (constraining principles) bisa merupakan


pembatasan-pembatasan atas laporan keuangan, seperti dalam hal
konservatisme, atau merupakan pengawasan/pengecekan terhadap
laporan keuangan, seperti dalam hal materialitas dan
pengungkapan.

Konservatisme (Conservatism). Tidak diragukan lagi,


konservatisme memiliki tempat yang sangat penting dalam jiwa
atau etos para akuntan. Prinsip konservatisme bahkan dikatakan
sebagai prinsip akuntansi yang dominan. Sebuah contoh klasik
konservatisme adalah metode penilaian sediaan (inventory) yang
lebih rendah kos atau harga pasar (lower-of-cost-or-market).
Konservatisme didefinisi sebagai upaya untuk memilih metode-
metode akuntansi "berterima umum" yang mengakibatkan: (1)
pengakuan pendapatan yang lebih lambat, (2) pengakuan biaya
yang lebih cepat, (3) penilaian aset yang lebih rendah, penilaian
kewajiban yang lebih tinggi, dari yang sebenarnya. Dalam situasi-
situasi tertentu, sebagian dari kriteria ini bisa saling bertentangan.
Jika demikian, income yang lebih rendah akan terlebih dahulu
dipertimbangkan ketimbang penilaian aset yang lebih tinggi dalam
menentukan apakah suatu metode atau pendekatan bersifat
konservatif atau tidak. Sebagai contoh dalam penggunaan nilai
berjalan (current value) dalam penilaian aset, salah satu
pendekatanyang disebut pendekatan distributable incometidak
memasukkan real holding gains dalam penghitungan incomenya.
Sebagai akibatnya, dalam situasi inflasi, pendekatan distributable
income seringkali menghasilkan penilaian aset yang lebih tinggi dan
penghitungan income yang lebih rendah dibandingkan dengan yang
dihasilkan dari pendekatan historical cost. Oleh karena itu,
pendekatan distributable income yang menggunakan nilai berjalan
(current value) bisa lebih konservatif dibandingkan pendekatan
historical cost, meskipun secara umum dikatakan historical cost
lebih konservatif.
Beberapa alasan mendasari pentingnya konservatisme.
Sebagaimana dinyatakan oleh Littleton (1941), gagasan "yang lebih
rendah kos atau harga pasar" bertujuan untuk meminimumkan nilai
sediaan dalam penghitungan pajak kekayaan. Di samping itu, tidak
diragukan lagi para akuntan seringkali harus melindungi diri mereka
dari klien yang barangkali ingin memaksimumkan penilaian aset
atau pengukuran income untuk memaksimumkan harga
sekuritasnya. Seiring dengan perubahan fondasi konseptual
akuntansi yang bersandar kepada pendekatan-pendekatan teoretis
baru, konservatisme, sebagai prinsip yang mendominasi, mungkin
sekali akan berkurang sifat pentingnya di masa yang akan datang.

Pengungkapan (Disclosure). Moonitz menggambarkan


pengungkapan sebagai postulat yang tidak boleh tidak harus ada
dalam akuntansi. Tetapi, dia menyatakan hal ini dalam ekspresi
negatif: "yang diperlukan agar laporan keuangan tidak
menyesatkan." Kenyataan tidak mungkinnya mengkuantifikasi
konsep pengungkapan memadai (adequate disclosure) bagi para
pengguna mungkin menjadi alasan mengapa Moonitz mengekspresi
pendapatnya secara negatif. Kenyataan ini juga yang menyebabkan
kegagalan (seperti dikatakan Most) Securities and Exchange
Commission atau AICPA dalam mendefinisi konsep tersebut secara
memadai. FASB juga tidak mendefinisikannya, meskipun dua
standar penting terkait dengan isu pengungkapan: SFAS No. 14
mengenai pengungkapan segmental (segmental disclosure) dan
SFAS No. 33 mengenai data nilai berjalan dan tingkat harga umum.
Pengungkapan (disclosure) adalah penyajian informasi yang relevan
baik di dalam maupun di luar batang tubuh utama laporan
keuangan, yang di antaranya meliputi metode-metode yang
digunakan dalam laporan keuangan jika terdapat lebih dari satu
pilihan metode atau dipilihnya metode-metode inovatif yang tidak
lazim. Pengungkapan yang pokok di luar batang tubuh laporan
keuangan meliputi:
1. Skedul-skedul laporan keuangan tambahan, sebagaimana
yang diatur dalam SFAS No. 14 dan SFAS No. 33 (sekarang
diganti dengan SFAS No. 82 dan 89).
2. Pengungkapan dalam catatan kaki untuk informasi yang tidak
bisa secara memadai disajikan dalam batang tubuh laporan
keuangan.
3. Pengungkapan kejadian-kejadian yang material atau
peristiwa-peristiwa penting yang terjadi setelah tanggal
neraca dalam laporan tahunan.
4. Ramalan operasi untuk tahun yang akan datang.
5. Analisis operasi oleh manajemen dalam laporan tahunan.

Ada dua alasan penting yang mendasari keyakinan bahwa


pengungkapan akan menjadi prinsip yang lebih penting di masa
mendatang. Pertama, dengan semakin kompleksnya pertumbuhan
lingkungan bisnis, pengungkapan informasi keuangan dan operasi
yang penting menjadi lebih sulit dilakukan dalam batasan-batasan
laporan keuangan tradisional. Kedua, sejumlah besar bukti
menunjukkan bahwa pasar modal mampu menyerap dan
mencerminkan informasi baru. Hal ini telah mendorong banyak
orang yang bersandar kepada mekanisme efisiensi pasar lebih
memperhatikan semata-mata pengungkapan (disclosure per se),
tanpa mempedulikan bentuk tertentunya, sebagai faktor kunci.

Materialitas (Materiality). Dua aspek materialitas dalam akuntansi


berkaitan meskipun berbeda satu sama lain. Dalam audit,
materialitas mengacu kepada konsistensi pertimbangan
(judgement) auditor dengan adanya suatu level tertentu atau
standar materialitas yang diterima dalam praktik akuntansi. Kita di
sini memusatkan perhatian kepada aspek yang kedua, standar atau
ambang batas materialitas yang seharusnya digunakan dalam
praktik. Materialitas mengacu kepada pentingnya suatu item (atau
kelompok item) bagi para pengguna dalam hal relevansinya untuk
tujuan penilaian/evaluasi atau pengambilan keputusan. Oleh karena
itu, kita bisa memandang prinsip materialitas ini sebagai sisi lain
dari sebuah koin yang sisi satunya adalah prinsip pengungkapan,
karena apa yang diungkapkan seharusnya adalah yang material.
Upaya yang paling ambisius untuk mengukur persepsi kuantitatif
menyangkut prinsip materialitas adalah penelitian yang dilakukan
oleh Pattillo (1976). Pattillo menggunakan 684 responden, yang
meliputi para penyaji laporan keuangan (eksedutif keuangan dari
perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Fortune 500 dan
dari perusahaan-perusahaan berukuran sedang), para pengguna
informasi akuntansi (banker dan analis keuangan), auditor, dan
akademisi. Para responden tersebut diminta untuk menggunakan
pertimbangan materialitas mereka atas dua puluh delapan
kasus/item. Temuan utama Pattillo meliputi:
1. Batas materialitas yang umumnya digunakan oleh para
responden merentang antara 5 sampai dengan 10 persen dari
income bersih (net income).
2. Persepsi materialitas berbeda antar kelompok.
3. Elemen-elemen seperti karakteristik khusus perusahaan serta
iklim politis dan ekonomi mempengaruhi persepsi
materialitas.

Penelitian empiris yang penting lainnya dilakukan oleh Rose, Beaver,


Becker, dan Sorter (1970), yang berupaya untuk menghubungkan
materialitas dengan konsep "sensasi" yang berasal dari psikologi.
Penelitian ini dilakukan dengan mengukur respon/tanggapan
individu terhadap suatu stimulus/rangsangan fisik. Materialitas
dipandang sebagai reaksi investor terhadap informasi akuntansi.
Pengujiannya dilakukan dengan meminta responden memroses data
keuangan hasil simulasi dari perusahaan-perusahaan hipotetis
untuk tahun yang berakhir pada 31 Desember 1966 dan 31
Desember 1967. Variabel stimulus-responnya adalah earnings per
share (EPS). Untuk tahun pertama EPSnya ditetapkan $2,50 dan
untuk tahun kedua merentang antara $2,00 sampai $3,00 dengan
interval 10 sen ($2,50 dan $2,00, $2,50 dan $2,10, dan
seterusnya). Setiap sebelas pasang angka EPS yang dihasilkan
diberikan kepada 121 mahasiswa MBA sebanyak enam kali dalam
urutan yang dipilih secara acak. Responden diminta untuk
mengidentifikasi apakah EPS "lebih besar, sama, atau lebih kecil"
dalam tahun kedua. Batas atas dan batas bawah materialitas untuk
yang lebih besar dan yang lebih kecil berturut-turut adalah $2,68
dan $2,53 sebagaimana ditunjukkan oleh 50 persen responden.
Pengujian tersebut diulang untuk sebagian responden dengan
menggunakan angka EPS $5,00 untuk tahun pertama yang
dikombinasi dengan angka EPS yang merentang antara $4,00
sampai $6,00 dalam tahun kedua. Respon materialitas untuk yang
lebih besar dan yang lebih kecil sangat dekat persentasenya dengan
pengujian sebelumnya. Para peneliti akhirnya berkesimpulan bahwa
responden menanggapi stimulus/rangsangan fisik secara simetris,
tetap/teratur (regular), dan terprediksi yang konsisten dengan pola-
pola respon lainnya. Akan tetapi, O'Connor dan Collins (1975, h.
174) memandang bahwa penelitian Rose tersebut memperlakukan
materialitas dalam konteks prediktifkarena informasi dari satu
periode dikaitkan dengan periode yang lainnya. Di samping itu,
penelitian Rose juga terkesan menyederhanakan (simplistic) karena
stimulusnya terbatas pada satu variabel, persepsi atas perubahan
EPS.
Meskipun memiliki kelemahan dan keterbatasan dan isu materialitas
ini masih jauh untuk dikatakan tuntas, penelitian-penelitian empiris
yang diulas dalam tulisan ini dan yang lain-lainnya, baik yang
menggunakan kuesioner maupun simulasi, telah memperjelas
konsepsi kita tentang materialitas. Materialitas dan pengungkapan
diramalkan akan menjadi isu yang semakin penting di masa depan.
FASB telah menerbitkan Memorandum Pembahasan (Discussion
Memorandum) yang memetakan banyaknya faktor yang
mempengaruhi pertimbangan materialitas, meskipun standar yang
terkait dengan isu ini belum pernah ada (paling tidak sampai
dengan 1997-penerj.).

Objektivitas (Objectivity). Objektivitas telah diartikan dengan


berbagai cara, tetapi terutama berkaitan dengan kualitas bukti yang
mendasari transaksi-transaksi yang akhirnya diringkas dan disusun
dalam bentuk laporan keuangan. Konsep kualitas bukti telah
dipahami tanpa memperhatikan siapa yang melaksanakan
pengukuran. Akan tetapi, sekarang ini objektivitas lebih lazim
dipahami dalam arti statistis (statistical sense) sebagai
tingkat/derajat konsensus di antara para pengukur. Oleh karena itu,
objektivitas lebih merupakan bagian integral proses pengukuran
ketimbang sebagai postulat atau prinsip akuntansi. APB Statement
4 juga mengadopsi pandangan ini dan menyebut konsep ini sebagai
verifiability. Arti statistis yang lebih baru dari konsep ini juga
tampak dalam projek rerangka konseptual FASB sebagaimana
tertuang dalam Statement of Financial Accounting Concepts No. 2.

PRINSIP-PRINSIP BERORIENTASI OUTPUT

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, prinsip-prinsip berorientasi


output menyatakan kualitas-kualitas yang seharusnya dimiliki oleh
laporan keuangan, baik dipandang dari sudut pandang penyaji
maupun pengguna. Konsep-konsep ini juga tampak tumpang tindih
(overlap) dan saling melengkapi satu sama lain. Seperti terlihat di
sini, komparabilitas merupakan konsep yang berlaku bagi pengguna
laporan keuangan, sedangkan konsistensi dan keseragaman
berfokus kepada penyaji informasi keuangan.

Komparabilitas (Comparability) Komparabilitas seringkali


digambarkan sebagai perlakuan akuntansi yang serupa untuk
kejadian-kejadian yang sama yang dialami perusahaan-perusahaan
yang berbeda-beda, tetapi definisi ini terlalu menyederhanakan
(simplistic). Komparabilitas, dari sudut pandang pengguna,
mengacu kepada derajat keandalan/reliabilitas yang seharusnya
diperoleh pengguna dalam laporan keuangan antar perusahaan
ketika mengevaluasi kondisi keuangan atau hasil operasi atau
memprediksi income atau arus kas.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa komparabilitas sebagian besar
tergantung kepada sejumlah keseragaman (uniformity) yang dicapai
dalam pencatatan transaksi dan penyajian laporan keuangan.
Dengan peran sekunder komparabilitas dibandingkan dengan
keseragaman, hubungan kos-manfaat antara keduanya harus
dipertimbangkan: komparabilitas mungkin meningkat dengan
keseragaman yang lebih tinggi, tetapi kosnya mungkin melebihi
manfaatnya.

Konsistensi (Consistency). Konsistensi mengacu kepada


digunakannya metode-metode akuntansi yang sama oleh suatu
perusahaan selama periode-periode waktu yang berurutan.
Konsistensi diperlukan jika keandalan (reliability) dianggap penting
dalam menggunakan laporan-laporan keuangan suatu perusahaan
selama lebih dari satu periode sebagai dasar evaluasi dan prediksi.
Jika perubahan terjadikarena diadopsinya metode yang lebih
relevan atau objektifpengungkapan penuh (full disclosure) harus
dilakukan kepada pengguna serta opini auditor harus secara tepat
mengecualikan hal tersebut.
Konsistensi sebenarnya merupakan salah satu aspek dari isu
keseragaman (uniformity) yang lebih luas. Sebagian menyakini
bahwa keadaan yang berbeda-beda antara perusahaan yang satu
dengan perusahaan-perusahaan lainnya, apalagi jika industri-
industri yang beraneka ragam dilibatkan, menjadikan mustahilnya
pencapaian keseragaman teknik-teknik akuntansi antar perusahaan.
Konsistensi dalam suatu perusahaan, dengan pengungkapan penuh
ketika perubahan terjadi, akan menjadi sasaran yang paling
praktis.

Keseragaman (Uniformity). Keseragaman telah dan masih


menjadi salah satu isu penting dalam akuntansi. Keseragaman itu
sendiri telah diartikan dengan berbagai cara sebagai berikut:
1. Seperangkat prinsip yang seragam untuk semua perusahaan,
dengan interpretasi dan penerapan diserahkan kepada
masing-masing entitas.
2. Perlakuan akuntansi yang serupa diperlukan untuk situasi-
situasi yang juga secara umum serupa, dengan mengabaikan
kemungkinan beranekaragamnya keadaan (keseragaman
yang kaku).
3. Perlakuan akuntansi yang serupa dengan memperhitungkan
keadaan-keadaan ekonomik yang beraneka ragam
(keseragaman terbatas).

Definisi kedua dan ketiga berbeda dari definisi yang pertama karena
keduanya menyangkut derajat keseragaman dalam
menginterpretasi transaksi. Definisi pertama hanya menentukan
rerangka teoretis umum yang berperan sebagai dasar/basis
penginterpretasian transaksi. Perbedaan antara keseragaman kaku
dan keseragaman terbatas digambarkan dengan ilustrasi berikut.
SFAS No. 2 yang mengharuskan segera dibebankannya kos riset
dan pengembangan merupakan contoh penyeragaman yng kaku.
Riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan akan memberikan pengharapan yang berbeda-beda
dalam kaitannya dengan arus kas yang akan diterima dari
pengeluaran-pengeluaran tersebut, tetapi perlakuannya seragam
meskipun pola penerimaan manfaatnya berbeda. SFAS No. 13
adalah contoh penyeragaman terbatas. Statemen tersebut
menyebutkan kriteria yang lebih khusus untuk membedakan antara
sewa beli modal (capital lease) dan sewa beli operasi (operating
lease). Dalam hal ini, keadaan yang berbeda-beda diperhitungkan
dalam perlakuan akuntansi atas kedua jenis sewa beli tersebut.

RERANGKA KONSEPTUAL AKUNTANSI

Rerangka Konseptual diharapkan merupakan seperangat tujuan dan


fondasi sebagai suatu sistem yang koheren/runtut yang akan
mendorong terciptanya standar-standar akuntansi yang konsisten
dan yang menentukan sifat, fungsi, dan batasan-batasan akuntansi
dan laporan keuangan. Oleh karena itu, Rerangka Konseptual bisa
dipandang sebagai suatu upaya untuk memberikan rerangka
teoretis bagi akuntansi keuangan.
Rerangka Konseptual tertuang dalam Statement of Financial
Accounting Concepts (1-6) yang terbit dari 1978-1985. SFAC No.:
1. Objectives of Financial Reporting by Business Enterprises
(1978).
2. Qualitative Characteristic of Accounting Information (1980).
3. Elements of Financial Statements of Business Enterprises
(1980).
4. Objectives of Financial Reporting by Nonbusiness
Organizations (1980).
5. Recogniton and Measurement in Financial Statements of
Business Enterprises (1984).
6. Elements of Financial Statements (1985), pengganti SFAC No.
3 yang juga mencakup amendemen SFAC No. 2.

SFAC tidak menetapkan "prinsip-prinsip akuntansi yang diterima


secara umum/universal" tetapi dipandang bersifat
tentatif/sementara. Hal ini mungkin merupakan kelemahan yang
akan menyebabkan statemen konsep ini hanya memiliki efek
kosmetik semata-mata. Akan tetapi, hal tersebut juga memberikan
beberapa manfaat penting:
1. Kemungkinan krisis yang timbul dari kegagalan mematuhi
statemen tersebut bisa dihindari.
2. Pencapaian struktur teoretis yang bermanfaat dalam praktik
harus dipandang sebagai proses evolusioner dan lambat.

Oleh karena itu, SFAC merupakan proses dan hasil trial and error
dan sangat mungkin diubah apabila diperlukan.
SFAC No. 1OBJECTIVES OF FINANCIAL REPORTING BY
BUSINESS ENTERPRISES

SFAC No. 1 berkenaan dengan tujuan pelaporan keuangan bisnis.


Tujuan menyeluruh pelaporan keuangan adalah untuk menyediakan
informasi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan bisnis dan
ekonomi. Dari tujuan ini jelas bahwa SFAC No. 1 berorientasi
pengguna.
Meskipun SFAC No. 1 mengakui heterogenitas kelompok-kelompok
pengguna eksternal, tetapi SFAC juga menyatakan bahwa
karakteristik inti yang umum dari semua pengguna eksternal adalah
ketertarikan/minat mereka terhadap jumlah, waktu, dan
ketidakpastian arus kas masa depan (future cash flows). Oleh
karena itu, SFAC. No. 1 berpihak kepada pandangan bahwa sifat
laporan keuangan adalah bertujuan umum (general purpose),
meskipun investor, kreditor dan penasehatnya dikhususkan di
antara para pengguna eksternal lainnya.
SFAC. No. 1 juga berpandangan bahwa pengguna informasi
akuntansi harus diasumsikan memahami/mengerti informasi dan
pelaporan keuangan dan juga diasumsikan memiliki autoritas yang
terbatas untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan.
Beberapa pertimbangan nilai (value judgements) yang penting yang
dibuat pada SFAC. No. 1 adalah:
1. Informasi tidak tersedia secara cuma-cuma, sehingga manfaat
penggunaannya harus melebihi kos untuk menghasilkannya.
2. Laporan akuntansi bukanlah sumber informasi satu-satunya
tentang perusahaan.
3. Akuntansi akrual sangat berguna dalam menilai dan
memprediksi earning power dan arus kas suatu perusahaan.
4. Informasi yang diberikan sifatnya membantu, dan pengguna
sendirilah yang membuat prediksi dan penilaian.
SFAC No. 2QUALITATIVE CHARACTERISTIC OF
ACCOUNTING INFORMATION

Pengambilan keputusan yang ditempatkan paling atas menunjukkan


orientasi kegiatan/fungsi akuntansi keuangan, yaitu untuk melayani
kebutuhan keputusan para pengguna. Karena informasi akuntansi
diarahkan untuk bertujuan umum, dan para pengguna diasumsikan
memahami/mengerti informasi keuangan, understandability
dianggap sebagai user-specific quality.
SFAC No. 2 mengakui adanya pervasive constraintbenefits > costs
dalam penyediaan informasi akuntansi, .Sementara itu, decision
usefulness mengacu kepada kualitas-kualiatas khusus yang
memperjelas penekanan kepada pengambil keputusan dan
kebutuhan-kebutuhannya.

Relevance

Informasi yang relevan dikatakan sebagai "yang mampu membuat


perbedaan dalam suatu keputusan dengan membantu pengguna
membentuk prediksi mengenai hasil-hasil dari kejadian-kejadian
masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, atau membantu
pengguna mengkonfirmasi dan mengkoreksi pengharapan.
Relevance memiliki 2 aspek utamapredictive value dan feedback
value, dan 1 aspek minor, timeliness.

Predictive Value

Kegunaan informasi akuntansi adalah sebagai input bagi proses


prediksi (misalnya prediksi arus kas atau earning power); informasi
akuntansinya sendiri tidak membuat prediksi tersebut.

Feedback Value

Feedback value berkenaan dengan mengkonfirmasi atau


mengkoreksi pengharapan sebelumnya dari para pengambil
keputusan. Oleh karena itu, kualitas ini mengacu kepada penilaian
di mana perusahaan sekarang berdiri (posisi) dan seberapa baik
manajemen melaksanakan fungsinya (akuntabilitas). Jika dilihat
secara luas, feedback value memang erat terkait dengan
akuntabilitas. Akhirnya, informasi yang memberikan feedback value
pasti juga mempengaruhi nilai prediksi.

Timeliness

Timeliness sebenarnya merupakan constraint atas 2 aspek


sebelumnya. Untuk menjadi relevan, informasi harus tepat waktu,
yang berarti informasi harus "tersedia bagi para pengambil
keputusan sebelum kehilangan kemampuannya mempengaruhi
keputusan."
Timeliness dan 2 aspek relevance lainnya saling bertentangan
karena informasi bisa lebih lengkap dan akurat jika batasan
waktunya longgar. Oleh karena itu, suatu trade-off sering terjadi
antara timeliness dengan kedua aspek lainnya.

Reliability
Reliability terbentuk dari 3 komponen: verifiability, representational
faithfulness, dan neutrality.

Verifiability

Verifiability mengacu kepada derajat/tingkat kosensus di antara


para pengukur. Artinya, semakin kecil variasi hasil pengukuran yang
diperoleh oleh para pengukur yang berbeda atas suatu atribut yang
sama menunjukkan pengukuran yang semakin verifiable. Tidak
seperti aspek-aspek relevance, verifiablity memiliki unsur
kuantitatif. Meskipun demikian, pengukurannya bisa dipastikan
sangat sulit dilakukan . Karena itulah, SFAC. No. 2 tidak
mengatakan lebih jauh dalam penentuan sejauh mana derajat
verifiability tersebut seharusnya.

Representational Faithfulness

Representational faithfulness mengacu kepada gagasan bahwa


pengukuran itu sendiri harus sesuai dengan fenomena yang ingin
diukurnya. Sebagai contoh, penilaian terhadap semua aset tetap
mungkin dikalkulasi dengan menggunakan depresasi garis lurus
untuk 20 tahun umur ekonomik dengan tanpa nilai sisa. Pengukuran
ini akan menghasilkan derajat verifiability yang sangat tinggi tetapi
menghasilkan nilai yang tidak menggambarkan atribut yang
sebenarnya ingin digambarkan, jika kos yang belum didepresiasi
dianggap menunjukkan proporsi/bagian kos historis yang masih
memiliki kegunaan ekonomik. Skedul depresiasi yang ditentukkan
secara tersendiri untuk setiap aset tetap mungkin menghasilkan
nilai yang lebih baik untuk menggambarkan atribut kos yang belum
didepresiasi dengan definisi tersebut.
Pertentangan antara verifiability dengan representational
faithfulness juga jelas terlihat sehingga diperlukkan trade-off antar
keduanya.
Neutrality

Mengacu kepada keyakinan/kepercayaan bahwa proses penetapan


kebijakan seharusnya terutama concern dengan relevance dan
realiability bukan terhadap efek suatu standar/aturan terhadap
kelompok pengguna atau perusahaan tertentu. Karakteristik
kualitatif ini terkait langsung dengan sikap pembuat kebijakannya
dan merupakan upaya sadar untuk menghindari campur tangan
kelompok-kelompok kepentingan terhadap laporan keuangan dan
standar akuntansi yang mendasarinya.

Conservatism

Conservatism tidak tampak dalam gambar tetapi dibahas dalam


SFAC. No. 2 yang disebutnya sebagai convention. SFAC No. 2 tidak
mendukung understatement yang disengaja atas aset dan income,
sebagaimana juga overstatement, karena hal tersebut bertentangan
dengan representational faithfulness, dan kedua aspek relevance
yang utama. Dalam hal ini, conservatism terkait dengan "pelaporan
yang hati-hati" untuk menginformasikan pembaca di manakah
letaknya ketidakpastian dan risiko. Oleh karena itu, conservatism
sebenarnya tampak lebih terkait dengan disclosure.

Comparability and Concistency

Diartikan dengan cara yang sama dengan bab sebelumnya.

Materiality

Juga sama dengan bab sebelumnya. Pertanyaan yang harus


diajukan adalah apakah suatu item cukup besar untuk
mempengaruhi keputusan para pengguna. Materiality cenderung
dianggap sebagai karakteristik kuantitatif, meskipun profesi
akuntansi belum siap mengimplementasinya. Materiality juga
merupakan konsep relatif bukan absolut.
SFAC No. 3ELEMENTS OF FINANCIAL STATEMENTS
OF BUSINESS ENTERPRISES

SFAC No. 3 memberikan definisi atas 10 elemen laporan keuangan:


assets, liabilities, equity, investements by owners, distributions to
owners, comprehensive income, revenues, expenses, gains, dan
losses. Karena definisi-definisi ini diamendemen dalam SFAC No. 6,
pembahasannya akan diberikan lebih lanjut dalam tinjauan atas
SFAC No. 6.

SFAC No. 4OBJECTIVES OF FINANCIAL REPORTING BY


NONBUSINESS ORGANIZATIONS

SFAC No. 4 berkenaan dengan pelaporan keuangan organisasi


nonprofit. Organisasi nonprofit memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Menerima sejumlah besar sumber daya dari penyandang dana
yang tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat
ekonomik yang sebanding dengan sumber daya yang
diberikan.
2. Tujuan utama operasinya bukan untuk menghasilkan barang
atau jasa dengan mengharapkan profit.
3. Tidak ada ketentuan mengenai kepentingan kepemilikan yang
bisa dijual, ditransfer, atau diperoleh kembali, atau yang
mengharuskan pembagian sisa sumber daya jika organisasi
dilikuidasi.

SFAC No. 4 juga menegaskan bahwa organisasi nonbisnis tidak


memiliki suatu indikator tunggal mengenai kinerjanya seperti
pengukuran income dalam sektor profit. Karena lingkup
pembahasan mata kuliah teori akuntansi terbatas pada sektor
profit, SFAC No. 4 tidak akan ditelaah lebih jauh.

SFAC No. 5RECOGNITON AND MEASUREMENT IN


FINANCIAL STATEMENTS OF BUSINESS ENTERPRISES
SFAC No. 5 berkenaan dengan isu-isu pelik mengenai pengakuan
(recognition) dan pengukuran (measurement). Pengakuan terkait
dengan kapan suatu aset (assets), kewajiban (liabilities), biaya
(expenses), pendapatan (revenues), untung (gains), atau rugi
(losses) harus dicatat dalam akun-akun terkait.
Kriteria pengakuan yang mendasar dari SFAC-SFAC sebelumnya
meliputi:
Definisi (definitions): Item yang diakui memenuhi
definisi suatu elemen laporan keuangan.
Keterukuran (measurability). Item tersebut memilki
atribut relevan yang bisa diukur secara cukup andal
(reliable).
Relevansi (relevance). Informasi mengenai item
tersebut mampu membuat perbedaan dalam keputusan
pengguna.
Keandalan (reliability). Informasi tersebut
menggambarkan dengan tepat (represantationally
faithful), teruji (verifiable), dan netral (neutral).
Penerapan kriteria pengakuan atas pendapatan dan untung berarti
pendapatan diakui ketika aset yang diterima dalam kegiatan
pendapatan telah terealisasi (realized) atau dapat direalisasi
(realizable) dan pendapatan tersebut harus tengah terhimpun
(being earned). Sementara itu, pengakuan atas biaya dan rugi
terjadi ketika aset habis dikonsumsi atau ketika tidak ada manfaat
lebih lanjut yang diharapkan.
Lima atribut pengukuran yang tengah mengemukan waktu itu juga
dibahas dalam SFAC No. 5: historical cost, current cost
(replacement cost), current market value (exit value), net realizable
value (harga jual dikurangi kos penyelesaian/pelepasan aset), dan
present (discounted) value dari arus kas masa depan. Akan tetapi,
SFAC No. 5 menghindari pembahasan mengenai kemungkinan
perubahan dan menyarankan terus digunakannya metode
pengukuran yang lazim dalam praktik saat ini serta menyerahkan
perubahan kepada proses evolusioner. Kenyataan ini mengecewakan
banyak pihak yang menghendaki perubahan dalam akuntansi.

SFAC No. 6ELEMENTS OF FINANCIAL STATEMENTS

SFAC No. 6 merupakan pengganti (bukan revisi) SFAC No. 3 yang


diperluas sehingga mencakup organisasi nonprofit. Statemen ini
juga mencakup karakteristik kualitatif sebagaimana diuraikan dalam
SFAC No. 2 dengan perluasan ke organisasi nonprofit. Dengan kata
lain, SFAC No. 6 tidak menambahkan hal baru bagi perusahaan
yang berorientasi profit.
Definisi mengenai 10 elemen laporan keuangan menurut SFAC No. 6
adalah sebagai berikut:
1. Assets are probable future economic benefits obtained or
controlled by a particular entity as a result of past
transactions or events (Aset adalah potensi manfaat ekonomik
di masa depan yang diperoleh atau dikendalikan oleh suatu
entitas tertentu sebagai akibat dari transaksi-transaksi atau
kejadian-kejadian masa lalu).
2. Liabilities are probabe future sacrifices of economic benefits
arising from present obligations of a particular entity to
transfer assets or provide services to other entities in the
future as a result of past transactions or events (Kewajiban
adalah potensi pengorbanan manfaat-manfaat ekonomik di
masa depan yang timbul dari kewajiban-kewajiban saat ini
dari suatu entitas tertentu untuk mentrasfer aset atau
memberikan jasa kepada entitas-entitas lainnya di masa yang
akan datang sebagai akibat dari transaksi-transaksi atau
kejadian-kejadian masa lalu).
3. Equity or net assets is the residual assets of an entity that
remains after deducting its liabilities. In the business
enterprise, the equity is the ownership interest. In a not-for-
profit organization, which has no ownership interest n the
same sense as a business enterprise, net assets is divded into
three classses base on presence or absence of donor-imposed
restrictionspermanently restricted, temporarily restricted,
and unrestricted net assets (Ekuitas atau aset bersih adalah
aset residual (sisa) dari suatu entitas yang masih ada setelah
dikurangi kewajiban-kewajibannya. Dalam perusahaan,
ekuitas adalah kepentingan kepemilikan. Dalam organisasi
nonprofit, yang tidak memiliki kepentingan kepemilikan dalam
arti yang sama dengan yang ada dalam perusahaan, aset
bersih dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan ada atau
tidak adanya pembatasan-pembatasan yang dikenakan oleh
donoraset bersih dengan pembatasan permanen,
pembatasan sementara, atau tanpa pembatasan).
4. Investements by owners are increases in equity of a particular
business enterprise resulting from transfers to it from other
entities of something valuable to obtain or increase ownership
interests (or equity) in it. Assets are most commonly received
as investements by owners, but that which is received may
also include services or satisfaction or conversion of liabilities
of the enterprise (Investasi dari pemilik adalah peningkatan
ekuitas suatu perusahaan yang diakibatkan oleh pengalihan
sesuatu yang berharga dari entitas lain ke perusahaan; bagi
entitas yang berinvestasi, pengalihan ini dimakudkan untuk
memperoleh atau meningkatkan kepentingan kepemilikan
(atau ekuitas) dalam perusahaan. Aset adalah yang paling
lazim diterima oleh perusahaan sebagai investasi dari pemilik,
tetapi yang diterima bisa juga mencakup jasa atau kepuasan
atau pengubahan kewajiban perusahaan tersebut).
5. Distributions to owners are decreases in equity of a particular
business enterprise resulting from transferring assets,
rendering services, or incurring liabilities by the enterprise to
owners. Distributions to owners decrease ownership interest
(or equity) in an enterprise (Distribusi kepada pemilik adalah
penurunan ekuitas suatu perusahaan yang diakibatkan oleh
pengalihan aset, pemberian jasa, atau timbulnya kewajiban
dari perusahaan kepada pemilik. Distribusi kepada pemilik
menurunkan kepentingan kepemilikan (atau ekuitas) dalam
suatu perusahaan).
6. Comprehensive income is the change in equity of a business
enterprise during a period from transactions and other event
and circumstances from nonowner sources. It includes all
changes in equity during a period except those resulting from
investements by owners and distrbutions to owners (Income
komprehensif adalah perubahan ekuitas suatu perusahaan
selama suatu periode dari transaksi-transaksi dan kejadian
serta keadaan-keadaan lainnya yang bukan berasal dari
pemilik. Income komprehensif mencakup semua perubahan
ekuitas selama suatu periode selain yang berasal dari
investasi oleh dan distribusi kepada pemilik.).
7. Revenues are inflows or other enhancements of assets of an
entity or settlements of its liabilities (or a combination of
both) from delivering or producing goods, rendering services,
or carrying out other activities that constitute the entitiy's
ongoing major or central operations (Pendapatan adalah arus
masuk atau peningkatan-peningkatan lainnya dalam aset
suatu entitas atau penyelesaian kewajibannya (atau
kombinasi keduanya) yang berasal dari pengiriman atau
produksi barang, penyelenggaraan jasa, atau pelaksanaan
aktivitas-aktivitas lainnya yang merupakan kegiatan operasi
utama entitas tersebut yang berlangsung terus-menerus).
8. Expenses are outflows or other using up of assets or
incurrences of liabilities (or a combination of both) from
delivering or producing of goods, rendering services, or
carrying out other activities that constitute the entity's
ongoing major or central operations (Biaya adalah arus keluar
atau dikonsumsinya aset atau timbulnya kewajiban (atau
kombinasi keduanya) yang berasal dari pengiriman atau
produksi barang, penyelenggaraan jasa, atau pelaksanaan
aktivitas-aktivitas lainnya yang merupakan kegiatan operasi
utama entitas tersebut yang berlangsung terus-menerus).
9. Gains are increse in equity (net assets) from peripheral or
incidental transactions of an entity and from all other
transactions or other events and circumstances affecting the
entity except those that result from revenues or investements
by owners (Untung adalah peningkatan ekuitas (aset bersih)
dari transaksi-transaksi yang bukan kegiatan utama atau
insidental dari suatu entitas dan dari transaksi-transaksi atau
kejadian-kejadian lainnya serta keadaan-keadaan yang
mempengaruhi entitas selain yang dihasilkan dari pendapatan
atau investasi dari pemilik).
10. Losses are decreses in equity (net assets) from peripheral or
incidental transactions of an entity and from all other
transactions or other events and circumstnces affecting the
entity except those that result from expenses or distributions
to owners (Rugi adalah penurunan ekuitas (aset bersih) dari
transaksi-transaksi yang bukan kegiatan utama atau
insidental dari suatu entitas dan dari transaksi-transaksi atau
kejadian-kejadian lainnya serta keadaan-keadaan yang
mempengaruhi entitas selain yang diakibatkan oleh biaya atau
distribusi kepada pemilik).
LAPORAN LABA-RUGI DALAM TINJAUAN
TEORETIS

HUBUNGAN ANTARA NERACA DAN LAPORAN LABA-


RUGI

Ada dua pendekatan yang diajukan oleh para teoretisi akuntansi


berkenaan dengan hubungan antara neraca dan laporan rugi-laba:
pendekatan artikulasi (articulated approach) dan pendekatan
nonartikulasi (nonarticulated approach).

PENDEKATAN ARTIKULASI

Dalam pendekata artikulasi, neraca dan laporan laba-rugi terkait


secara matematis sedemikian rupa sehingga laba (net income)
sama dengan perubahan ekuitas pemilik selama suatu periode,
selain yang berasal dari transaksi-transaksi modal atau
penyesuaian-penyesuaian periode sebelumnya.
Sebagaimana disebutkan dalam SFAC No. 6, elemen-elemen
laporan keuangan terdiri atas aset (assets), kewajiban (liabilities),
ekuitas pemilik (owners' equity), pendapatan (revenues), untung
(gains), biaya (expenses), dan rugi (losses). Penghasilan (income)
dikalkulasi dari pendapatan, untung, biaya, dan rugi. Menurut
pendekatan artikulasi, penghasilan merupakan salah satu
subklasifikasi dari ekuitas pemilik.

Dalam pendekatan artikulasi, semua transaksi akuntansi bisa


dikelompokkan menurut model di atas. Karena penghasilan
merupakan salah satu subklasifikasi dari laba ditahan yang pada
gilirannya juga merupakan salah satu subklasifikasi dari ekuitas
pemilik, maka neraca dan laporan rugi laba memiliki kaitan
(articulated).
Ada dua alternatif untuk mendefinisi elemen-elemen akuntansi:
revenue-expense approach dan asset-liability approach.
Pendekatan Pendapatan-Biaya

Revenue-expense approach (diindonesiakan menjadi


pendekatan pendapatan-biaya) berfokus ke pada pendefinisian
elemen-elemen laporan laba-rugi: mengutamakan laporan laba-
rugi, prinsip-prinsip pengakuan penghasilan, dan ketentuan-
ketentuan pengukuran penghasilan. Dalam pendekatan ini, aset dan
kewajiban didefinisi, diakui, dan diukur sebagai hasil sampingan
(by-product) dari pengukuran dan pengakuan biaya dan
pendapatan.
Dalam pendekatan ini, neraca dan laporan laba-rugi terutama diatur
oleh ketentuan-ketentuan pengakuan pendapatan dan penandingan
kos (termasuk pengalokasian sembarang seperti dalam hal
depresiasi aset tetap). Karena neraca dibebani oleh hasil sampingan
dari ketentuan-ketentuan pengukuran penghasilan, neraca tidak
hanya berisi aset dan kewajiban sebagaimana didefinisi dalam SFAC
No. 6, tetapi juga berisi saldo-saldo debit dan kredit yang tidak jelas
maknanya yang disebut beban tangguhan (deferred charges)
dan kredit tangguhan (deferred credits). Contoh beban tangguhan
adalah kos pendirian perusahaan (organizational startup costs),
sedangkan contoh kredit tangguhan adalah laba tangguhan dalam
metode penjualan cicilan.

Pendekatan Aset-Kewajiban

Asset-liability approach (diindonesiakan menjadi pendekatan


aset-kewajiban) merupakan antitesis dari pendekatan
pendapatan-biaya karena pendekatan ini menekankan
pendefinisian, pengakuan, dan pengukuran aset dan kewajiban.
Penghasilan didefinisi, diakui, dan diukur sebagai hasil sampingan
dari pengukuran aset dan kewajiban. Dengan kata lain, pendekatan
ini secara langsung berfokus kepada pengukuran dan pelaporan
aset dan kewajiban.
SFAC No. 6 mendefinisi laba komprehensif (comprehensive income)
sebagai perubahan aset bersih perusahaan (net assets = aset
dikurangi kewajiban) yang sumbernya bukan dari pemilik, sehingga
laporan laba-rugi dianggap hanya sebagai suatu cara untuk
mengklasifikasi dan melaporkan perubahan tertentu yang terjadi
dalam aset bersih perusahaan. Akun ekuitas pemilik semata-mata
diciptakan untuk memungkinkan diterapkannya sistem akuntansi
berpasangan (double-entry accounting system), sehingga income
dan komponen-komponennya (pendapatan, biaya, untung, dan
rugi) hanya dianggap suatu cara untuk melaporkan perubahan-
perubahan aset dan kewajiban.
Pendekatan aset-kewajiban ini secara argumentatif dianggap lebih
unggul daripada pendekatan pendapatan-biaya, karena aset dan
kewajiban adalah nyata (real): kenaikkan aset bersihlah yang akan
mengakibatkan timbulnya penghasilan, dan bukan sebaliknya,
peningkatan aset bersih merupakan konsekuensi dari pengukuran
penghasilan sebagaimana yang disiratkan oleh pendekatan
pendapatan-biaya.
Salah satu contoh pendekatan aset-kewajiban adalah pembebanan
langsung kos riset dan pengembangan dalam periode terjadinya
dan bukan mengkapitalisasinya sebagai aset tak berwujud yang
diamortisasi selama periode tertentu.

PENDEKATAN NONARTIKULASI

Pendekatan nonartikulasi memutus hubungan matematis antara


neraca dan laporan laba-rugi: keduanya ditentukan dan diukur
secara terpisah. Pendekatan ini terutama dilatarbelakangi oleh
tejadinya ketegangan antara para pendukung pendekatan
pendapatan-biaya dengan para pendukung pendekatan aset-
kewajiban karena para pendukung pendekatan pendapatan-biaya
terutama bertujuan menstabilkan efek fluktuatif transaksi-transaksi
atas laporan laba-rugi dan memungkinkan beban dan kredit
tangguhan sebagai instrumen untuk meratakan pengukuran
income, sementara di sisi lain, para pendukung pendekatan aset-
kewajiban terutama berfokus kepada pelaporan nilai aset bersih dan
mentoleransi laporan laba-rugi yang berfluktuasi.
Sebagian ketegangan tersebut disebabkan oleh dipertahankannya
artikulasi/kaitan matematis antara laporan laba-rugi dengan neraca,
padahal artikulasi tersebut terjadi hanya berdasarkan kebiasaan.
Oleh karena itu, kedua laporan tersebut bisa diputus sehingga
kedua kelompok yang bersitegang bisa dipuaskan dengan laporan
laba-rugi yang berbasis pendekatan pendapatan-biaya dan neraca
yang berbasis pendekatan aset-kewajiban. Rekonsiliasi kedua
laporan yang tidak terartikulasi secara matematis tersebut bisa
diungkapkan dalam bentuk suplemen atas laporan keuangan.
Akan tetapi, kemungkinan tidak terartikulasinya laporan keuangan
belum secara luas dikaji dalam literatur akuntansi, meskipun ada
beberapa standar yang berdampak nonartikulatif.

DEFINISI INCOME

Definisi-definisi resmi income dalam akuntansi yang telah


dirumuskan oleh profesi akuntansi di AS adalah sebagai berikut:

"Income dan profit...adalah jumlah yang diperoleh dari


pendapatan, atau pendapatan operasi, dikurangi kos
barang terjual, biaya-biaya lainnya, dan rugi..."
(Committee on Terminology, 1955).

"Net income (net loss) adalah kelebihan (defisit)


pendaptan atas biaya selama suatu periode
akuntansi..." (APB, 1970).

"Comprehensive income adalah perubahan ekuitas (aset


bersih) suatu entitas selama suatu periode dari
transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian lainnya dan
keadaan-keadaan yang berasal dari sumber-sumber
nonpemilik." (FASB, 1985).
Dua definisi awal sangat jelas menggambarkan dianutnya
pendekatan pendapatan-biaya, sedangkan definisi ketiga dari SFAC
No. 6 menggambarkan perubahan arah yang jelas ke pendekatan
aset-kewajiban. Meskipun demikian, dampak perubahan arah ini
terhadap laporan laba-rugi mungkin kecil saja dalam jangka pendek
ini karena laporan laba-rugi tersebut sebagian besar merupakan
warisan dari 50 tahun standar akuntansi yang berbasis pendekatan
pendapatan-biaya.

PENDAPATAN DAN UNTUNG

Definisi pendapatan (revenues):

"Pendapatan berasal dari penjualan barang dan jasa dan


diukur berdasarkan harga yang dibebankan kepada
customer, klien, atau penyewa untuk barang dan jasa
yang diberikan kepada mereka." (Commitee on
Terminology, 1955).

"Pendapatan adalah peningkatan kotor aset dan


penurunan kotor kewajiban yang diukur berdasarkan
prinsip-prinsp akuntansi yang diterima secara umum
yang berasal dari aktivitas-aktivitas yang diarahkan
untuk memperoleh profit." (APB, 1970).

"Pendapatan merupakan arus masuk aset atau


peningkatan-peningkatan aset lainnya dari suatu entitas
dan/atau penyelesaian kewajiaban-kewajibannya
selama suatu periode sebagai akibat dari pengiriman
dan produksi barang, penyerahan jasa, atau aktivitas-
aktivitas lainnya yang merupakan operasi utama entitas
tersebut yang berlangsung terus-menerus." (FASB,
1985).

Seperti trend yang terjadi dalam pendefinisian income, definisi


pendapatan yang pertama sangat mencerminkan masih dianutnya
pendekatan pendapatan-biaya. Sekilas, definisi kedua tampak
berorientasi aset-kewajiban, tetapi disandarkannya pengukuran
pendapatan kepada "prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara
umum" masih menyiratkan orientasi kepada pendekatan
pendapatan-biaya. Definisi ketigalah yang secara tegas
menekankan orientasi aset-kewajiban.
Untung (gains) dan pendapatan (revenues) biasanya ditunjukkan
secara terpisah dalam laporan keuangan. Untung didefinisi sebagai:

"...pendapatan...di luar yang beasal dari penjualan


produk, barang dagangan, atau jasa..." (APB, 1970).

"...peningkatan ekuitas (aset bersih) yang berasal dari


transaksi-transaksi insidental dan bukan inti
(peripheral)...yang di luar pendapatan dari operasi
utama atau investasi dari pemilik." (FASB, 1985).

Dalam kaitannya dengan pembedaan antara pendapatan dengan


untung, dikenal ada dua konsep income: konsep income operasi
berjalan (current operating income concept) dan konsep
income mencakup semua (all-inclusive income concept).
Para pendukung current operating income concept meyakini bahwa
hanya pendapatan (revenues) saja yang harus dilaporkan dalam
laporan laba-rugi. Untung (gains) yang bersifat sekunder dan
periferal dan tidak mencerminkan aktivitas inti dari suatu entitas
harus dikeluarkan dari laporan laba-rugi. Di pihak lain, all-inclusive
income concept memandang bahwa semuanya, baik pendaptan
maupun untung, tanpa memperhatikan sumbernya, harus
dimasukkan ke dalam laporan laba-rugi.
Dalam praktik, terjadi pergeseran arah dari konsep current income
menuju all-inclusive income

PENGAKUAN PENDAPATAN

Kapankah suatu pendapatan benar-benar menjadi pendapatan?


Secara teoretis jawabannya adalah:
"Pendapatan harus dikaitkan dengan periode
penyelesaian aktivitas-aktivitas ekonomik utama yang
diperlukan dalam produksi dan penjualan/penyerahan
barang dan jasa." (Sprouse dan Moonitz, 1962).

Akan tetapi, dalam praktiknya bisakah pengukuran yang objektif


atas hasil dari aktivitas-aktivitas ekonomik tersebut dilakukan?
Sebelum suatu pengukuran yang teruji kebenarannya bisa
dilakukan, tidak ada pendapatan yang bisa diakui. Sayangnya,
pencapaian dari kegiatan-kegiatan ekonomik utama tersebut dan
kemampuan untuk mengukurnya secara objektif terjadi pada
waktu-waktu yang berbeda dan dalam periode-periode pelaporan
yang berbeda pula.
Empat titik waktu yang bisa dipilih dalam pengakuan pendapatan
adalah:
1. Selama produksi (misalnya dalam kontrak-kontrak jangka
panjang tertentu)
2. Pada saat produksi selesai (misalnya dalam usaha
pertambangan dan pertanian tertentu)
3. Pada saat penjualan (merupakan prinsip umum)
4. Ketika kas diterima/terkumpul (misalnya dalam penggunaan
metode cicilan untuk penjualan real estate).

Meskipun keempat prinsip tersebut telah dikaji dalam literatur dan


digunakan dalam praktik akuntansi, prinsip umumnya adalah:
pendapatan diakui pada saat penjualan ketika pengalihan hak
secara hukum terjadi. Sebagian penyimpangan atas pengakuan
pendapatan pada saat penjualan, seperti yang ditunjukkan pada
butir 1, 2, dan 4 di atas, terjadi sebagai akibat dari munculnya
transaksi-transaksi baru yang berbeda bentuk dan sifatnya dengan
transaksi-transaksi sebelumnya. Sebagian transaksi juga unik/khas
untuk industri tertentu.

BIAYA DAN RUGI


Definisi biaya (expenses) yang telah dirumuskan oleh profesi
akuntansi adalah:

"Biaya dalam arti yang paling luas mencakup semua kos


yang jatuh tempo (expired) yang bisa dikurangkan atas
pendapatan..." (Committee on Terminology, 1957).

"Biaya adalah penurunan kotor aset atau peningkatan


kotor kewajiban suatu entitas yang diakui dan diukur
berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima
secara umum yang berasal dari aktivitas-aktivitas yang
diarahkan untuk memperoleh profit" (APB, 1970).

"Biaya adalah arus keluar atau pengkonsumsian aset


dan/atau timbulnya kewajiban selama suatu periode
yang berasal dari pengiriman dan produksi barang,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan aktivitas-
aktivitas lainnya yang merupakan operasi utama dari
suatu entitas." (FASB, 1985).

Definisi pertama mencerminkan dianutnya pendekatan pendapatan-


biaya. Definisi kedua mulai menyiratkan adanya hubungan antara
biaya dengan aset bersih, tetapi pengukurannya yang masih
didasarkan kepada "prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum"
lagi-lagi menunjukkan dianutnya pendekatan pendapatan-biaya.
Definisi ketiga adalah yang paling jelas mencerminkan perubahan
arah ke pendekatan aset-kewajiban. Akan tetapi dalam praktiknya,
sekarang ini pengakuan biaya sebagian besar masih didasarkan
kepada pendekatan pendapatan-biaya.
Rugi (losses) merupakan kebalikkan dari untung (gains), yaitu
berkurangnya aset bersih, tetapi yang bukan berasal dari biaya atau
transaksi-transaksi modal. Menurut all-inclusive income concept,
pembedaan antara expenses dengan losses tidaklah penting
sehingga keduanya harus dimasukkan ke dalam laporan laba-rugi.
Ketentuan pengakuan biaya mengelompokkan biaya ke dalam 3
kategori:
1. Kos-kos yang secara langsung terkait dengan pendapatan dari
suatu periode.
2. Kos-kos yang secara tidak langsung terkait dengan
pendapatan dari suatu periode.
3. Kos-kos yang secara praktis tidak bisa dikaitkan dengan
periode mana pun selain dengan periode terjadinya.

Jika memungkinakan, kos harus ditandingkan dengan pendapatan


yang dihasilkan oleh kos terebut. Jika tidak ada hubungan sebab-
akibat yang langsung, kos harus ditandingkan secara rasional dan
sistematis. Akhirnya, jika sama sekali tidak ada hubungan sebab-
akibat, kos diakui sebagai biaya periode pada saat terjadinya.
Permasalahan pengakuan biaya timbul berkenaan dengan kos-kos
yang tidak jatuh tempo (expired) pada periode terjadinya tetapi
juga tidak berhubungan secara jelas dengan pendapatan suatu
periode. Contohnya adalah depresiasi, kos pendirian perusahaan,
amortisasi goodwill, dan metode sediaan (FIFO, LIFO, dan
sebagainya). Dalam hal ini, kos harus dikaitkan dengan periode-
periode akuntansi berdasarkan suatu "alokasi yang sistematis dan
rasional". Padahal, sebagian besar akuntan berpandangan bahwa
metode alokasi yang digunakan tidak lebih dari sekedar keputusan
yang dibuat secara sembarang (arbitrary). Setelah mengkaji secara
ekstensif, Thomas (1969) berkesimpulan bahwa pemilihan suatu
metode alokasi tertentu dari sejumlah alternatif metode yang ada
tidak memiliki arti apapun karena apa yang dikatakan sebagai
keunggulan suatu metode dibanding yang lain-lainnya tidak bisa
dibuktikan benar atau salahnya. Ini berarti tidak ada metode alokasi
kos yang betul-betul tepat karena tidak ada satu pun metode yang
terbukti lebih unggul. Kelemahan inilah yang biasa dijadikan
sasaran oleh para kritikus historical cost accounting di antara
kelemahan-kelemahan lainnya.
KEJADIAN MASA DEPAN

Proses pelaporan akuntansi berawal dari pencatatan peristiwa-


peristiwa yang telah terjadi (past events), tetapi kejadian-kejadian
masa lalu tersebut beserta pencatatannya sangat tergantung
kepada interpretasi akuntan atas kejadian-kejadian masa depan
(future events). Sebagai contoh, penghitungan depresiasi
tergantung kepada kejadian masa depan seperti estimasi umur aset
dan ekspektasi nilai sisanya. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa kejadian masa depan memiliki peran penting dalam proses
pengakuan akuntansi.
Dalam SFAC No. 6, definisi aset menyatakan bahwa kendali
(control) atas aset diperoleh dari transaksi-transaksi atau kejadian
masa lalu yang akan menghasilkan manfaat ekonomik masa depan.
Demikian juga kewajiban berasal dari transaksi masa lalu yang akan
mengharuskan pengorbanan masa depan dalam bentuk kas atau
aset-aset lainnya. Dari sini terlihat bahwa definisi aset dan
kewajiban mempertimbangkan/menyeimbangkan antara masa lalu
dan masa depan.

CURRENT OPERATING VERSUS ALL-INCLUSIVE


INCOME

Apakah komponen-komponen income tertentuuntung dan rugi


tidak biasa (nonoperasi) dan tidak sering terjadiharus ditampilkan
dalam laporan laba-rugi atau dalam laporan laba ditahan?
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, current-operating
income concept berpandangan bahwa laporan laba rugi
seharusnya hanya berisi item-item operasi normal dan bahwa item-
item nonoperasi harus dilaporkan dalam laporan laba ditahan. Di
sisi lain, pendukung all-inclusive income berpendapat bahwa
semua komponen income harus dilaporkan dalam laporan laba rugi
dan sebagai konsekuensinya laporan laba ditahan seharusnya hanya
mencerminkan earnings total sebagaimana dilaporkan dalam
laporan laba-rugi dan pembagian dividen, selain saldo awal dan
saldo akhir laba ditahan.
Para pendukung current-operating income berpendapat bahwa
laporan laba-rugi lebih berguna dalam menilai kinerja manajemen
saat ini dan memprediksi kinerja tahun-tahun selanjutnya jika item-
item yang tidak ada hubungannya dengan keputusan manajemen
saat ini dikeluarkan. Mereka berkeyakinan bahwa pengguna laporan
keuangan hanya melihat angka laba yang terletak paling bawah
(botom-line net income) dalam menilai kinerja saat ini dan
membuat prediksi mengenai kinerja tahun-tahun selanjutnya. Oleh
karena itu, jika item-item nonoperasi yang tidak sering terjadi tapi
jumlahnya material dilaporkan dalam laporan laba-rugi, laporan
keuangan akan sangat menyesatkan sehingga para penggunanya
mungkin akan mengambil keputusan yang keliru.
Adapun para pendukung all-inclusive income menyebutkan
beberapa alasan untuk menguatkan pendapatnya:
1. Konsep current-operating memudahkan manajemen untuk
melakukan manipulasi karena manajemenlah yang mengambil
keputusan mengenai apakah suatu item termasuk luar biasa
(extraordinary) atau tidak.
2. Pengguna laporan keuangan mungkin justru disesatkan oleh
current-operating income karena mereka tidak menyadari
bahwa untung dan rugi yang material telah "disembunyikan"
dalam laporan laba ditahan.
3. Total seluruh income yang ditampilkan dalam laporan laba-
rugi suatu periode harus mencerminkan laba (net income)
dari perusahaan yang melaporkannya untuk periode tersebut.
4. Pengklasifikasian yang tepat dalam laporan laba-rugi
memungkinkan baik item-item berulang yang normal maupun
item-item tidak biasa yang tidak sering terjadi dapat
ditampilkan dalam laporan yang sama dengan penyajian yang
terpisah.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kecenderungan yang
terjadi, baik dalam literatur teoretis, dalam dokumen-dokumen
yang diterbitkan oleh pembuat kebijakan akuntansi, maupun dalam
praktik, adalah pergeseran pandangan dari current operating
menuju all-inclusive.

SEKSI NONOPERASI

Seksi nonoperasi dalam laporan laba-rugi terdiri dari: (1)


extraordinary items, (2) accounting principle changes, dan (3)
diccontinued operations. Ada pun prior-period adjustments
dilaporkan dalam laporan laba ditahan.

EXTRAORDINARY ITEMS

Permasalahan dan kontroversi yang terkait dengan pelaporan item-


item/pos-pos luar biasa merupakan salah satu contoh yang baik
atas terjadinya pergeseran dari keseragaman terbatas (finite
uniformity) ke keseragaman kaku (rigid uniformity) dalam standar
akuntansi. Pergeseran tersebut terjadi karena konsep keseragaman
terbatas telah disalahgunakan dalam praktik akuntansi.
Item-item luar biasa mungkin berdampak atas persepsi pengguna
laporan keuangan mengenai hasil operasi dan projeksi operasi masa
depan entitas pelapor. Oleh karena itu, pemisahan diperlukan
antara komponen-komponen laba komprehensif yang normal dan
berulang dengan komponen-komponen yang tidak berulang.
Accounting Research Bulletin No. 43 menyatakan:

Harus terdapat suatu asumsi umum bahwa semua item


laba-rugi yang diakui selama suatu periode digunakan
dalam penentuan angka yang dilaporkan sebagai laba
(penghasilan bersih = net income). Pengecualian yang
dimungkinkan atas asumsi ini hanya menyangkut item-
item yang jumlahnya material dalam kaitannya dengan
laba (net income) perusahaan dan secara jelas tidak
dapat diidentifikasi dengan atau tidak berasal dari
operasi normal periode tersebut (Committee on
Accounting Procedure, 1953).

Karena tidak ada lagi pedoman lebih lanjut, praktik akuntansi yang
menyangkut item-item luar biasa di AS waktu itu menjadi tidak
seragam. Sehubungan dengan hal tersebut, APB Opinion No. 9
mengharuskan ditunjukkannya semua item-item luar biasa pada
suatu seksi khusus dalam laporan laba-rugi serta memberikan
definisi baru mengenai "item-item luar biasa" sebagai berikut:

...kejadian-kejadian dan transaksi-transaksi yang


berdampak material yang tidak diperkirakan akan
terjadi berulang kali dan yang tidak akan dianggap
sebagai faktor-faktor yang terjadi berulang kali dalam
evaluasi proses operasi normal perusahaan (APB,
1966).

Akan tetapi, definisi baru tersebut ternyata masih belum mampu


mencipatkan keseragaman dalam praktik karena masih tidak
memberikan kejelasan dalam praktik. Diterbitkannya APB Opinion
No. 30 menandai dianutnya keseragaman kaku dan pembatasan
yang ketat atas apa yang seharusnya dianggap sebagai item-item
luar biasa. Untuk memenuhi syarat sebagai luar biasa suatu item
harus bersifat tidak biasa (unusual in nature) dan tidak sering
terjadi (infrequent in occurance).

Bersifat tidak biasaTransaksi atau kejadiannya harus


sangat tidak normal dan secara jelas tidak terkait
dengan, atau hanya secara insidental terkait dengan,
aktivitas-aktivitas entitas yang normal, dengan
mempertimbangkan lingkungan tepat entitas tersebut
beroperasi.
Tidak sering terjadiKejadian atau transaksinya
cukup beralasan untuk diperkirakan tidak akan terulang
di masa depan, dengan mempertimbangkan lingkungan
tempat entitas beroperasi.
Kedua kriteria tersebut, tidak biasa dan tidak sering terjadi, harus
terpenuhi secara simultan, tidak cukup hanya salah satunya saja
yang terpenuhi.
Item-item luar biasa disajikan dalam laporan laba-rugi dalam suatu
seksi khusus yang diberi judul item-item luar biasa (atau yang
umum dalam praktik di Indonesia adalah pos-pos luar biasa). Seksi
ini ditempatkan tepat di atas penghasilan bersih (net income) dan
ditunjukkan setelah memperhingkan pajak (net of tax). Kejadian-
kejadian atau transaksi-transaksi yang tidak biasa atau tidak sering
terjadi tetapi tidak kedua-duanya secara sekaligus ditunjukkan
bersama-sama dengan pendapatan, kos, dan biaya yang normal
dan berulang. Jika item-item ini jumlahnya tidak material,
penempatannya tidak harus terpisah dari item-item lainnya. Jika
jumlahnya material, item-item tersebut ditunjukkan secara terpisah
di atas/sebelum penghasilan (rugi) sebelum item-item luar biasa.
Item-item yang tidak secara simultan bersifat tidak biasa dan tidak
sering terjadi ini mungkin tidak ditunjukkan bersih dari pajak.
Praktik pengungkapan yang umum mencakup penjelasan dalam
bentuk catatan kaki atas item tersebut. [Untuk mengingat kembali
aspek teknis penyajian item-item luar biasa dalam laporan laba-
rugi, lihat ilustrasi sederhana yang dibuat oleh Weygandt, et al
(1999)]

ACCOUNTING CHANGES

Perubahan standar akuntansi yang digunakan oleh suatu entitas


bisa berpengaruh secara signifikan terhadap laporan keuangan, baik
untuk periode sekarang maupun periode sebelumnya serta terhadap
trend yang tercermin dalam pembandingan laporan keuangan antar
periode. Perubahan akuntansi diklasifikasi ke dalam tiga kategori
umum:
1. Perubahan Prinsip Akuntansidisebabkan oleh pengadopsian
prinsip akuntansi berterima umum (PABU) yang berbeda dari
prinsip akuntansi berterima umum yang digunakan
sebelumnya. Dalam hal ini, baik prinsip yang baru maupun
yang lama sama-sama berterima umum (generally accepted).
Sebagai contoh, perubahan dari depresiasi garus lurus ke
depresiasi dipercepat.
2. Perubahan Estimat/Taksiran Akuntansiterjadi ketika estimat
atas suatu item berubah seiring diketahuinya informasi yang
lebih banyak dengan berlalunya waktu. Sebagai contoh,
perubahan estimasi umur ekonomik aset yang didepresiasi
setelah beberapa periode penggunaan.
3. Perubahan Entitas Penyaji LaporanDiakibatkan oleh
terjadinya perubahan dalam entitas pelapor sejak laporan
keuangan yang terakhir disusun. Sebagai contoh, perubahan
komposisi anak perusahaan yang berdampak material pada
periode berjalan dibandingkan periode sebelumnya.

Untuk semua perubahan prinsip akuntansi, kecuali yang


diperlakukan secara khusus oleh APB Opinion No. 20 dan opini-opini
APB selanjutnya serta statemen FASB, dampak kumulatifnya sampai
dengan awal periode perubahan dimasukkan dalam laba
komprehensif pada laporan laba-rugi yang disusun pada akhir
periode perubahan. Jumlahnya ditunjukkan dalam suatu seksi
terpisah yang diberi judul perubahan akuntansi. Seksi ini diletakkan
di bawah item-item luar biasa dan tepat di atas penghasilan bersih
(net income), dan semua itemnya ditunjukkan setelah dikurangi
pajak. Laporan keuangan periode-periode sebelumnya tidak perlu
dinyatakan kembali (restated). Akan tetapi, penghasilan sebelum
item-item luar biasa dan penghasilan bersih yang dihitung secara
pro forma ditunjukkan untuk seluruh periode yang disajikan seolah-
olah prinsip yang baru diadopsi tersebut telah diterapkan dalam
tahun-tahun sebelumnya tersebut. Lebih lanjut, dampak
pengadopsian prinsip akuntansi yang baru terhadap penghasilan
sebelum item-item luar biasa dan terhadap penghasilan bersih
periode perubahan diungkapkan dalam catatan kaki. [Untuk
mengingat kembali aspek teknis penghitungan dampak kumulatif
ini, lihat ilustrasi sederhana yang dibuat oleh Weygandt, et al
(1999)]
Perubahan estimat akuntansi tidak dilaporkan secara terpisah
sebagaimana perubahan prinsip akuntansi. Dampak perubahannya
dijelaskan dalam periode perubahan jika periode tersebut satu-
satunya yang terpengaruh oleh perubahan yang dilakukan dan
dalam periode-periode setelahnya jika perubahan juga
mempengaruhi periode-periode setelahnya. Misalnya saja, umur
sepuluh tahun telah digunakan untuk mendepresiasi suatu aset
tetap, dan dalam tahun keenam umurnya disesuaikan menjadi
delapan tahun. Biaya depresiasi untuk tahun keenam sampai tahun
kedelapan tidak lebih dari sekedar kos yang belum didepresiasi
pada awal tahun keenam yang akan dialokasi ke tiga tahun sisa
umur berdasarkan estimat yang baru. Ini berarti, pelaporan terlalu
tinggi (overstatement) depresiasi untuk tiga tahun terakhir
diimbangi oleh pelaporan terlalu rendah (understatement) lima
tahun pertama.
Untuk perubahan entitas pelapor, APB Opinion No. 20
mengharuskan laporan keuangan periode-periode sebelumnya
dinyatakan kembali (restated) untuk menunjukkan informasi
keuangan seolah-olah entitas pelapor yang baru telah ada selama
periode-periode tersebut. Laporan kuangan periode perubahan
harus menggambarkan sifat dan alasan perubahan. Lebih lanjut,
dampak perubahannya terhadap penghasilan sebelum item-item
luar biasa, penghasilan bersih, dan earnings per share (EPS)
diungkapkan untuk seluruh periode.

DISCONTINUED OPERATIONS
Salah satu tipe khusus item nonoperasi yang memerlukan perlakuan
akuntansi yang khusus pula sebagaimana diakui oleh APB Opinion
No. 30 adalah operasi tidak berlanjut (discontinued
operations). Opini tersebut mengharuskan perlakuan akuntansi
khusus atas untung atau rugi pada disposal (penghilangan) suatu
segmen usaha. Istilah segmen usaha menunjuk kepada komponen
suatu entitas yang aktivitas-aktivitasnya merupakan suatu lini
usaha pokok yang tersendiri atau menyangkut sekelompok
customer tertentu. Karakteristik yang membedakan suatu segmen
usaha adalah bahwa aktivitas-aktivitasnya secara jelas bisa
dipisahkan baik secara fisik maupun secara operasional, dan untuk
tujuan pelaporan, aset, hasil operasi, dan aktivitas-aktivitasnya juga
bisa diidentifikasi.
Dua tanggal sangat penting dalam akuntansi disposal segmen
measurement date dan disposal date. Measurement date adalah
tanggal ketika manajemen mengikatkan diri dengan rencana formal
untuk mendisposal suatu segmen. Rencana disposal segmen
mencakup identifikasi segmen, metode disposal yang digunakan,
ekspektasi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan disposal,
estimasi hasil operasi segmen sampai terjadinya disposal, dan
estimasi hasil yang akan diterima atas disposal. Disposal date
adalah tanggal penutupan penjualan segmen atau tanggal
berhentinya operasi jika disposal dilakukan melalui penghentian
(abandonment).
Jika disposal diperkirakan menghasilkan rugi, estimasi ruginya
diakui dalam laporan keuangan sampai measurement date. Di sisi
lain, jika disposal diperkirakan menghasilkan untung, pengakuannya
ditangguhkan sampai realisasi, suatu contoh konservatisme.
Ekspektasi untung atau rugi dilakukan pada measurement date
dengan memperhitungkan dua faktor berikut:
1. Nilai bersih yang bisa direalisasi dari segmen yang akan
didisposal setelah memperhitungkan estimasi kos-kos yang
terkait langsung dengan disposal.
2. Estimasi laba atau rugi dari operasi segmen tersebut dari
measurement date sampai disposal date.

Kedua item tersebut digabungkan dan jika dihasilkan rugi, rugi


tersebut dilaporkan, setelah dikurangi pajak (net of tax), sebagai
komponen laba komprehensif tersendiri yang ditunjukkan sebelum
item-item luar biasa dalam laporan laba-rugi. Di samping itu,
laporan laba-rugi tahun berjalan juga harus mununjukkan (sebagai
komponen tersendiri dari penghasilan sebelum item-item luar biasa)
hasil-hasil operasi segmen yang didisposal, setelah
memperhitungkan pajak, untuk periode pelaporan berjalan sebelum
measurement date. Demikan juga laporan keuangan tahun-tahun
sebelumnya dinyatakan kembali (restated) untuk mencerminkan
hasil operasi segmen yang dihentikan, setelah dikurangi pajak,
sebagai komponen tersendiri dari penghasilan sebelum item-item
luar biasa). Kesalahan dalam mengestimasi rugi atas disposal
antara measurement date dan disposal date diparlakukan sebagai
perubahan estimat/taksiran akuntansi dalam laporan laba-rugi.
Item-item tambahan yang diungkapkan dalam laporan keuangan
untuk periode yang mencakup measurement date adalah identitas
segmen yang didisposal, perkiraan tanggal disposal, metode
disposal, deskripsi mengenai aset dan kewajiban segmen yang
didisposal, dan penghasilan atau rugi segmen tersebut dari
measurement date sampai tanggal laporan keuangan.
Pengungkapan serupa juga diharuskan dalam laporan keuangan
periode yang mencakup saat terjadinya disposal. [Untuk mengingat
kembali aspek teknis penyajian operasi tidak berlanjut dalam
laporan laba-rugi, lihat ilustrasi sederhana yang dibuat oleh
Weygandt, et al (1999)]
PRIOR PERIOD ADJUSTMENTS

Akuntansi untuk (dan penyajian) penyesuaian periode sebelumnya


sangat jelas. Jumlah penyesuaian periode sebelumnya didebit atau
dikredit ke saldo laba ditahan awal, dan ditunjukkan setelah
dikurangi pajak (net of tax). Statement of Financial Accounting
Standards (SFAS) No. 16 membatasi penyesuaian periode
sebelumnya meliputi:
1. Koreksi kesalahan dalam laporan keuangan periode
sebelumnya.
2. Penyesuaian yang berasal dari realisasi manfaat pajak
penghasilan atas preacquisition rugi operasi yang menyertai
pembelian anak perusahaan.

TINJAUAN TEORETIS ATAS NERACA

Meskipun secara perlahan FASB bergerak menuju ke


pendekatan aset-kewajiban, tetapi ini tidak berarti
bahwa dominasi pendekatan pendapatan-biaya telah
berakhir. Kenyataannya, neraca (balance sheets) yang
dijumpai dalam praktik hingga hari ini merupakan
campuran dari kedua pendekatan tersebut. Model
income yang berbasis kos historisyang berarti
orientasi pendapatan-biayamasih sangat mendominasi
pengakuan dan pengukuran dalam neraca saat ini,
meskipun aspek-aspek tertentu dalam standar
akuntansi telah menunjukkan dianutnya orientasi aset-
kewajiban. Ada juga standar-standar yang
menunjukkan digunakannya pendekatan nonartikulasi;
perubahan aset dan kewajiban diakui dalam neraca
tetapi tidak diakui dalam statemen penghasilan (income
statement). Di samping itu, transaksi-transaksi yang
secara umum dikelompokkan sebagai instrumen
keuangan (financial instruments) seringkali tidak diakui
dalam neraca berdasarkan ketentuan yang sekarang
berlaku. FASBseperti juga badan penyususn standar
akuntansi internasionaltelah mengharuskan
pengungkapan yang diperluas atas transaksi-transaksi
yang biasa disebut off-balance sheet ini.

ASET

Dalam membahas aset, kewajiban, dan ekuitas pemilik,


tulisan ini pertama-tama menjelaskan evolusi yang
terjadi dalam pendefinisian elemen-elemen tersebut
karena definisi memiliki arti penting untuk
mengelompokkan transaksi-transaksi bisnis ke dalam
kategori yang semestinya.

DEFINISI ASET

Pendefinisian aset penting karena definisi yang akhirnya


ditetapkan akan menentukan faktor-faktor ekonomik
yang mana yang seharusnya dilaporkan dalam neraca.

Sesuatu yang tampak sebagai saldo debit


yang menurut ketentuan atau prinsip
akuntansi akan diteruskan (tidak turut
ditutup) pada penutupan akun akhir periode
(dan yang bukan merupakan debit yang
diakibatkan oleh saldo kewajiban yang
negatif). Aset bisa berupa hak milik atau
nilai yang diperoleh, atau pengeluaran yang
menciptakan kepemilikan atau yang
selayaknya berlaku untuk masa depan. Oleh
karena itu, pabrik, piutang dagang, sediaan,
serta beban-beban tangguhan, semuanya
adalah aset dalam klasifikasi neraca
(Committee on Accounting Terminology,
1953).
Sumber daya ekonomik suatu perusahaan
yang diakui dan diukur berdasarkan prinsip-
prinsip akuntansi berterima umum. Aset
juga mencakup beban-beban tangguhan
tertentu yang bukan merupakan sumber
daya tetapi yang diakui dan diukur
berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi
berterima umum (APB, 1970).

Aset adalah potensi manfaat ekonomik


masa depan yang diperoleh dan
dikendalikan oleh suatu entitas tertentu
sebagai akibat dari transaksi-transaksi atau
kejadian-kejadian masa lalu (FASB, 1985).
Definisi pertama menekankan kepemilikan secara
hukum tetapi juga mencakup beban-beban tangguhan
(deferred charges) karena beban-beban tersebut
"selayaknya" dimasukkan sebagai aset. Meskipun aset
dalam arti kepemilikan dibedakan dengan beban
tangguhan, tetapi keduanya dianggap sebagai aset.
Anggapan ini dijustifikasi oleh argumen bahwa beban-
beban tangguhan terkait dengan statemen penghasilan
periode masa depan. Beban-beban tersebut dimasukkan
sebagai aset semata-mata diakibatkan oleh ketentuan
yang mengharuskan penangguhan pengakuan kos
sampai akhirnya diperlakukan sebagai biaya pada
periode-periode masa depan. Oleh karena itu, definisi
ini sangat mencerminkan dianutnya pendekatan
pendapatan-biaya dalam pelaporan keuangan.
Definisi kedua menekankan aset sebagai sumber daya
ekonomik (economic resources) "yang langka...untuk
menyelenggarakan aktivitas-aktivitas ekonomik." Aset
dipandang lebih dari sekedar kepemilikan secara
hukum; segala sesuatu yang mempunyai nilai ekonomik
masa depan adalah aset. Sebagai contoh, kesepakatan
sewa guna usaha (lease agreement) yang memberikan
hak penggunaan kekayaan (meskipun bukan hak
kepemilikan) akan memenuhi definisi umum aset.
Beban-beban tangguhan ditegaskan secara terpisah
dalam definisi ini tetapi masih dikelompokkan dengan
aset.
Definisi ketiga adalah evolusi lebih lanjut konsep aset
sebagai sumber daya ekonomik. Karakteristik kunci dari
suatu aset adalah kapasitasnya untuk memberikan
manfaat ekonomik masa depan, kendali atas aset
tersebut oleh perusahaan, dan terjadinya transaksi yang
menghasilkan kendali dan manfaat ekonomik. Kapasitas
untuk memberikan manfaat ekonomik juga biasa
disebut potensi jasa masa depan (future service
potential). Ini berarti aset adalah sesuatu yang akan
menghasilkan arus kas bersih yang positif di masa
depan. Arus kas ini bisa terjadi dengan satu atau dua
cara: dalam pertukaran langsung dengan aset lain di
pasar, atau dalam operasi pemanufakturan melalui
pengkonversian menjadi barang jadi (yang kemudian
ditukarkan dengan aset lainnya di pasar). SFAC No. 6
juga berusaha untuk memasukkan beban-beban
tangguhan tertentu ke dalam definisinya dengan
argumen bahwa sebagian beban tangguhan memang
berdampak menguntungkan bagi arus kas di masa
depan. Sebagai contoh, kos-kos dibayar di muka adalah
beban tangguhan yang akan mengurangi arus keluar
kas periode mendatang. Akan tetapi, beban-beban
tangguhan yang lain, seperti kos pendirian organisasi,
merupakan kos terbenam (sunk cost) dan tidak memiliki
dampak atas arus kas masa depan.

PENGAKUAN DAN PENGUKURAN ASET


Dalam APB Statement No. 4 dinyatakan:

Aset dan kewajiban secara umum dicatat


mula-mula berdasarkan kejadian
diperolehnya sumber daya dari entitas lain
atau timbulnya kewajiban kepada entitas
lain. Aset dan kewajiban tersebut diukur
dengan harga pertukaran pada saat
pengalihan terjadi (APB, 1970).
Oleh karena itu, aset dan kewajiban diakui ketika
transaksi yang mengalihkan kendali terjadi. Pada saat
itu, potensi manfaat ekonomik masa depan tersedia.
Aset diukur menurut nilai pasar (harga pertukaran)
uang (atau aset lain) yang dikorbankan untuk
memperoleh aset tersebut dan menempatkannya dalam
kondisi operasi. Nilai ini disebut kos pemerolehan
historis (historical acquisition cost). Dengan demikian,
suatu aset sama sekali tidak boleh dicatat dengan
jumlah yang lebih besar dari harga beli setara kas ini.
Jika penukarnya bersifat nonmoneter, nilai pasar aset
yang diterima mungkin memberikan dasar yang lebih
andal untuk mengukur kos pemerolehan.
Prinsip yang diuraikan di atas merupakan ketentuan
pengakuan dan pengukuran mula-mula aset/kewajiban
pada saat pemerolehannya/timbulnya. Dalam periode-
periode setelah pemerolehannya, berbagai atribut bisa
digunakan untuk mengukur aset, seperti kos
pemerolehan awal (kos historis), kos historis dikurangi
beban-beban kumulatif terhadap income (nilai buku),
kos penggantian, harga penjualan, nilai bersih
terealisasi (harga penjualan dikurangi kos-kos disposal
yang terkait), dan nilai bersih terealisasi dikurangi
margin normal. Pendekatan pengukuran akuntansi yang
campur aduk semacam ini melanggar prinsip aditivitas.
Neraca yang dihasilkannya mungkin memberikan
informasi yang relevan bagi pengguna mengenai item-
item aset tertentu, tetapi angka total yang disajikan
sebenarnya tidak memiliki arti apapun karena item-item
yang dijumlakannya tidak berasal dari proses
pengukuran yang seragam. Permasalahan aditivitas ini
mengurangi relevansi dan kegunaan analisis rasio
keuangan dan menjadi semakin pelik ketika agregasi
data antar entitas-entitas hukum yang terpisah
dilakukan dalam penyiapan neraca konsolidasian.
Tabel berikut meringkas atribut yang digunakan untuk
mengukur tipe-tipe tertentu aset dalam periode-periode
berikutnya setelah pemerolehan (dikutip langsung dari
Wolk dan Tearney (1997).

Asset Attribute(s)
Receivables Approximation of net realizable value.

Investments (subject Amortized historical cost if debt


to APB Opinion No. securities are intended to held to
115) maturity; otherwise, fair value.
Investments (subject Unique accounting attribute (equity
to APB Opinion No. 18) accounting).
Invetories Cost, replacement cost, net realizable
value, or net realizable value less
normal markup.
Self-costructed assets Full-absorption costing for inventory,
and capitalization of interest for
noninventory assets.
Assets subject to Unique accounting attribute (book
depreciation or value).
depletion
Nonmonetary Book value of old asset plus cash.
exchanges of similar
assets
Intangible assets Unique accounting attribute (book
value).
Deferred charges Unique accounting attribute (book
value).
Restructured Newly restructured future cash inflows
receivables resulting discounted at original rate
from modification of
terms
Impaired assets Fair value if less than carrying value,
assuming undiscounted future cash
flows are less than carrying value.

KEWAJIBAN

DEFINISI KEWAJIBAN

Definisi kewajiban (liabilitiy) telah berevolusi sepanjang


waktu sejalan dengan definisi aset.

Sesuatu yang tampak sebagai saldo kredit


yang menurut ketentuan atau prinsip
akuntansi akan diteruskan (tidak turut
ditutup) pada penutupan akun akhir periode
(dan yang bukan kredit yang diakibatkan
oleh saldo aset yang negatif)...istilah
kewajiban digunakan secara luas untuk
mencakup bukan hanya item-item
kewajiban dalam arti yang populer berupa
utang dan obligasi tetapi juga saldo-saldo
kredit yang tidak melibatkan hubungan
dengan debitor dan kreditor (Committee on
Terminology, 1953).

Kewajiban ekonomik dari suatu perusahaan


yang diakui dan diukur berdasarkan prinsip-
prinsip akuntansi berterima umum.
Kewajiban juga mencakup kredit-kredit
tangguhan yang bukan merupakan
kewajiban tetapi yang diakui dan diukur
berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi
berterima umum (APB, 1970). 1

Kewajiban adalah potensi pengorbanan


manfaat-manfaat ekonomik di masa depan
yang timbul dari kewajiban saat ini dari
suatu entitas tertentu untuk mentransfer
aset atau menyerahkan jasa kepada entitas-
entitas lain sebagai akibat dari transaksi-
transaksi atau kejadian-kejadian masa lalu
(FASB, 1985).
Definisi kewajiban yang pertama menekankan utang
dalam arti yuridis (legal debts). Dalam definisi kedua,
konsep kewajiban diperluas sehingga berarti kewajiban
ekonomik (economic obligations). APB Statement 4
mendefinisi kewajiban ekonomik sebagai tanggung
jawab untuk mentransfer sumber daya ekonomik atau
menyerahkan jasa kepada entitas lain di masa depan.
Pergeseran ini sejalan dengan evolusi definisi aset dari
penekanan kepemilikan secara hukum menuju konsep
sumber daya ekonomik. Kredit-kredit tangguhan juga
ditegaskan secara terpisah tetapi masih dianggap
sebagai bagian dari kewajiban.
Definisi ketiga meneruskan penekanan atas kewajiban
ekonomik serta mengeluarkan kredit-kredit tangguhan
dari kategori kewajiban seperti halnya beban-beban
tangguhan dari definisi aset. SFAC No. 6 menguraikan
definisi tersebut dengan menyebutkan tiga karakteristik
dasar kewajiban:
1. Adanya kewajiban, artinya pengorbanan sumber
daya ekonomik masa depan itu cukup pasti.
2. Kewajiban tersebut benar-benar tidak dapat
dihindari, artinya kewajiban tersebut merupakan
kewajiban periode atau saat ini untuk
menyerahkan sumber daya ekonomik di masa
depan.
3. Kejadian yang menimbulkan kewajiban tersebut
telah terjadi.
Terdapat lima jenis kewajiban dalam akuntansi:
contractual liabilities, constructive obligations, equitable
obligations, contingent liabilities, dan deferred credits.
Contractual liabilities diakibatkan oleh kejadian-
kejadian yang menimbulkan kewajiban yang entah
secara tegas atau tersirat bersifat kontraktual dalam arti
yuridis. Jenis ini biasanya merupakan bagian terbesar
kewajiban perusahaan.
Constructive obligations adalah kewajiban yang
bersifat implisit, tidak secara eksplisit tertulis. SFAC No.
6 secara khusus menyebutkan tunjangan liburan dan
bonus yang diberikan kepada karyawan. Dalam kasus
ini, kewajiban perusahaan pemberi kerja timbul ketika
pembayaran tersebut telah ditetapkan di masa lalu
meskipun tidak ada kesepakatan tertulis untuk
membayarnya di masa depan.
Equitable obligations adalah kewajiban yang tidak
bersifat kontraktual tetapi timbul dengan adanya
prinsip-prinsip keadilan yang bersifat etis. Contohnya
adalah tanggung jawab sebuah pemasok yang
memproduksi barang atau jasa secara monopoli untuk
mengirimkan barang atau jasa tersebut kepada para
customer yang bergantung kepadanya. Meskipun
ketentuan mengenai kewajiban jenis ini ada tetapi
pengakuannya dalam neraca belum umum dalam
praktik yang berlangsung sekarang ini.
Continget liabilities (umumnya diindonesiakan
menjadi kewajiban bersyarat) adalah suatu situasi
atau kumpulan keadaan yang tidak pasti yang
mengakibatkan suatu perusahaan mengkin akan
mengalami untung atau rugi yang baru akan diketahui
ketika satu atau lebih kejadian terjadi atau tidak terjadi
di masa depan (FASB, 1975). Contingent liabilities
dilaporkan sebagai kewajiban dalam neraca jika: (1)
kemungkinannya cukup pasti, dan (2) bisa diukur
secara andal. Contoh kewajiban bersyarat adalah
jaminan produk dan rugi yang mungkin dialami
perusahaan jika kalah dalam suatu tuntutan hukum.
Deferred credits, meskipun tidak secara khusus
disebutkan dalam definisi kewajiban yang dirumuskan
dalam SFAC No. 6, dalam praktiknya masih termasuk
dalam kategori kewajiban dalam neraca. Ada dua jenis
kredit tangguhan. Yang pertama adalah pendapatan
diterima di muka (unearned revenues); misalnya,
pendapatan dari pelanggan majalah atau surat kabar.
Dalam kasus ini, kewajiban yang bersifat kontraktual
untuk menyediakan barang atau jasa di masa depan
memang secara jelas timbul. Jenis kredit tangguhan
lainnya adalah yang timbul dari ketentuan-ketentuan
yang menangguhkan pengakuan item-item statemen
penghasilan. Jenis kredit tangguhan ini tidak jelas
karena sebenarnya tidak ada kewajiban perusahaan
untuk mentransfer aset di masa depan.

PENGAKUAN DAN PENGUKURAN KEWAJIBAN

Sejalan dengan aset, kewajiban diakui ketika transaksi


yang menimbulkannya terjadi. Berbagai jenis kewajiban
yang dilaporkan dalam neraca mencerminkan tingkat
kewajiban perusahaan yang berbeda-beda. Sebagai
contoh, tidak semua kewajiban merupakan utang dalam
arti yuridis (legal debts) sehingga jika perusahaan
mengalami kebankrutan, sebagian kewajiban tersebut
akan diabaikan. Kepastian serta keandalan pengukuran
berbagai jenis kewajiban juga berbeda-beda. Utang-
utang memiliki probabilitas yang tinggi untuk dibayar di
masa depan dan keandalan pengukurannya juga sangat
tinggi. Di sisi lain, sebagian kredit tangguhan sama
sekali tidak mencerminkan arus kas masa depan.
Kewajiban bersyarat seringkali memiliki tingkat
keterujian (verifiability) yang lebih rendah dibandingkan
kewajiban-kewajiban lainnya. Sebagaimana aset,
penafsiran atas kewajiban agregat sulit karena adanya
perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas.
APB Statement 4 dan SFAC No. 6 menyatakan bahwa
kewajiban diukur menurut jumlah yang ditetapkan
dalam transaksinya, umumnya jumlah yang akan
dibayarkan di masa depan, atau jumlah yang
didiskonto. Prinsip umumnya adalah kewajiban diukur
menurut jumlah yang ditetapkan dalam pertukaran
yang menimbulkannya. Untuk kewajiban lancar seperti
utang dagang, jumlah ini adalah nilai permukaan (face
value) kewajiban yang akan diselesaikan di masa
depan.2 Untuk kewajiban tidak lancar, jumlah rupiahnya
ditentukan dengan penghitungan nilai sekarang
(present value) yang didasarkan kepada tingkat bunga
berjalan (current interest rate). Contohnya adalah
obligasi (bond) yang dicatat menurut hasil bersih (net
proceeds) yang diterima. Hasil bersih merupakan aliran
pembayaran bunga dan pembayaran kembali pokok
yang didiskonto menurut tingkat bunga yang sekarang
berlaku di pasar. Jika tingkat bunga yang dinyatakan
dalam obligasi sama dengan tingkat bunga berjalan,
maka nilai sekarang, hasil bersih, dan nilai
permukaannya sama pada saat obligasi diterbitkan. Jika
tingkat bunga yang dinyatakan berbeda dari tingkat
bunga di pasar, premium atau diskonto obligasi akan
diakui. Premium atau diskonto akan diamortisasi ke
statemen penghasilan selama jangka waktu (umur)
utang. Tidak didiskontonya kewajiban lancar didasarkan
kepada justifikasi bahwa sifat kewajiban tersebut adalah
segera, sehingga nilai sekarangnya tidak berbeda secara
material dari nilai masa depan yang tidak didiskonto.

EKUITAS PEMILIK

DEFINISI EKUITAS PEMILIK

Ekuitas pemilik didefinisi sebagai kepentingan residual


pemegang saham dalam aset bersih perusahaan.
Definisi ini memandang pemegang saham sebagai
pemilik perusahaan sehingga kewajiban (liabilities) dan
ekuitas pemilik (owners' equity) dibedakan secara
tegas. APB Statement 4 dan SFAC No. 6 dalam hal ini
mendefinisi ekuitas pemilik secara pasif sebagai
kelebihan aset perusahaan di atas kewajibannya.
Dalam suatu perusahaan perseorangan, ekuitas pemilik
bisa disajikan dalam sebuah akun tunggal ekuitas
pemilik yang bersangkutan. Bentuk kepemilikan
perseroan mengakibatkan pembedaan secara hukum
antara modal kontribusian (contributed capital) dengan
laba ditahan (retained earnings). Modal kontribusian
bisa dikelompokkan menjadi modal saham (legal
capital) dan modal lain-lain (other capital). Modal
saham diukur menurut nilai pari (par value) atau harga
pada saat diterbitkan (issue price) jika sahamnya tanpa
nilai pari. Modal kontibusian lainnya meliputi
premium/agio saham, modal sumbangan, modal dari
penerbitan kembali saham treasury, serta modal dari
penerbitan opsi saham dan warrants.
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN EKUITAS PEMILIK

Transaksi-transaksi ekuitas pemilik bisa dibedakan


menjadi dua: (1) transaksi-transaksi modal dan (2)
transaksi-transaksi terkait-penghasilan. Transaksi-
transaksi modal (capital transaction) berupa kontribusi
atau penarikan langsung aset oleh pemilik. Transaksi-
transaksi terkait-penghasilan (income-related
transactions) mencakup transaksi-transaksi yang terkait
dengan statemen penghasilan dan penyesuaian-
penyesuaian penghasilan periode sebelumnya (prior
period adjustment). Bab ini hanya membahas transaksi
modal. Prinsip umum pengukuran transaksi modal sama
dengan pengukuran aset dan kewajiban: nilai pasar
pada saat transaksi. Nilai ini kemudian diteruskan tanpa
perubahan dalam neraca periode-periode berikutnya.
Modal kontribusian diukur dengan nilai aset yang
diserahkan pemegang saham kepada perusahaan.
Kontribusi bisa juga berupa jasa yang dalam hal ini nilai
jasa yang diserahkan digunakan untuk mengukur modal
kontribusian. Jika nilai aset atau jasa yang diserahkan
melebihi nilai pari atau nilai yang dinyatakan atas
saham yang diterbitkan, kelebihannya itu dicatat
sebagai premium. Sumber-sumber modal kontribusian
lainnya mencakup pengkonversian convertible debt,
penerbitan kembali saham treasury, dan penerbitan opsi
saham karyawan.
Laba ditahan adalah penghasilan atau rugi kumulatif
yang diukur berdasarkan ketentuan pengukuran
penghasilan dikurangi dividen kas yang diumumkan.
Dividen juga bisa dibayarkan dalam bentuk saham.

KLASIFIKASI ITEM-ITEM NERACA


Accounting Research Bulletin No. 43 yang diterbitkan
oleh Committee on Accounting Procedure (1953)
mengharuskan klasifikasi aset dan kewajiban
didasarkan kepada likuiditas. Berdasarkan klasifikasi ini,
aset dan kewajiban dikelompokkan menjadi dua: lancar
(current) dan tidak lancar (noncurrent). Lancar didefinisi
sebagai siklus operasi normal perusahaan atau satu
tahun, mana yang lebih lama. Siklus operasi adalah
waktu sejak pemerolehan bahan baku sampai dengan
terkumpulnya kas dari pendapatan. Siklus perusahaan
berbeda-beda antar perusahaan dan antar industri.
Pengurutan likuiditas di dalam kelompok lancar atau
tidak lancar juga umum dilakukan.

RINGKASAN

Definisi elemen-elemen akuntansi menentukan


kejadian-kejadian ekonomik yang mana yang akan
diakui sebagai transaksi akuntansi serta bagaimana
transaksi-transaksi tersebut dikelompokkan dalam
sistem klasifikasi akuntansi. Akan tetapi kenyataannya
definisi-definisi tersebut masih bersifat umum dan
pengakuan transaksi dalam akuntansi lebih banyak
ditentukan oleh tradisi ketimbang oleh definisi-definisi
elemen itu sendiri. Definisi yang baik dari perspektif
pembuat kebijakan adalah definisi yang memungkinkan
para pembuat kebijakan mengkategorisasi dan
memahami transaksi-transaksi baru. Definisi juga harus
membantu mengidentifikasi praktik-praktik akuntansi
yang tidak konsisten. Klasifikasi sangat penting dan
mendasar dalam suatu disiplin atau sains karena
klasifikasi membantu memahami sifat atau hakikat
(nature) disiplin tersebut. Hal ini juga berlaku bagi
akuntansi; sistem klasifikasi akuntansi seharusnya
membantu dalam memahami kejadian-kejadian
ekonomik yang dilaporkan dalam statemen keuangan.
Kos historis umumnya dianggap sebagai basis
pengukuran dalam akuntansi. Akan tetapi kenyataannya
metode-metode pengukuran yang lain juga digunakan
dalam praktik sekarang ini. Praktik akuntansi yang tidak
hanya menggunakan satu basis pengukuran disebut
pendekatan eklektik. Di antara elemen-elemen neraca,
penilaian aset adalah yang paling eklektik.
Tidak digunakannya model penilaian tunggal juga
menunjukkan bahwa kebijakan dan praktik akuntansi
bersikap pragmatik dalam menghadapi isu-isu
akuntansi. Hal ini berarti desakan praktis lebih
diutamakan ketimbang konsistensi konseptual.
Penyimpangan dari kos historis seringkali dilakukan
dengan berbagai alasan. Ketentuan yang lebih rendah
kos atau pasar (lower-of-cost-or-market)
mencerminkan konservatisme neraca. Praktik-praktik
akuntansi tertentu muncul sebagai tanggapan atas
permasalahan keterujian dan keandalanmisalnya,
perlakuan atas utang yang bisa dikonversi menjadi
penyertaan modal (convertible debt). Penyimpangan
lainnya dilakukan karena pelaporan nilai berjalan
(current value) diharapkan menyampaikan informasi
yang lebih relevanmisalnya, penggunaan tingkat kurs
sekarang dalam pelaporan operasi-operasi luar negeri.
Metode penilaian yang tidak seragam berarti neraca
melanggar konsep aditivitas. Akan tetapi yang harus
diingat adalah kebijakan akuntansi merupakan hasil dari
suatu proses politis dan kompromi-kompromi yang tidak
terhindarkan. Kemurnian pengukuran bukanlah jaminan
dihasilkannya informasi akuntansi yang bermanfaat atau
relevan.

CATATAN
1
Istilah "liabilities" dan "obligations" dalam tulisan ini
diterjemahkan sebagai "kewajiban." Untuk
membedakannya, yang dipadankan dengan istilah
"obligations" diberi efek miring "kewajiban." Istilah
"obligations" tidak diterjemahkan sebagai "obligasi"
karena dalam bahasa Indonesia istilah "obligasi" sudah
memiliki makna khusus yaitu surat berharga/sekuritas
utang yang dalam bahasa Inggris adalah "bond."
Alternatif lainnya adalah dengan menerjemahkan istilah
"kewajiban" sebagai "liabilitas."
2
"Nilai permukaan" adalah terjemahan dari istilah dalam
bahasa Inggris "face value" atau "par value." Istilah
"nilai nominal" atau "nilai pari" juga biasa digunakan
untuk mengacu konsep yang sama dalam buku-buku
teks berbahasa Indonesia.

TEORI AKUNTANSI: SUATU PENGANTAR

PENGANTAR

Akuntansi seringkali dipandang sebagai disiplin yang kering, dingin,


dan sangat analitis, dengan hasil yang sekaligus bisa dianggap
benar atau salah. Meskipun demikian, konstruk/gagasan akuntansi
memiliki konsekuensi penting atas realitas sosial.
Mengapa akuntansi tidak selalu dapat mengukur realitas ekonomi
secara akurat?
Terdapat perbedaan persepsi atas realitas ekonomi. Misalnya
dalam menilai aset tersedia beberapa alternatif ukuran
akuntansi: historical cost, entry value, exit value, present
value.
Setiap alternatif ditentukan oleh maksud penggunaan angka
akuntansi dan trade-off antara kos dan manfaat.
DEFINISI TEORI AKUNTANSI

Teori akuntansi (accounting theory) didefinisi sebagai asumsi-


asumsi dasar (basic assumptions), definisi-definisi (difinitions),
prinsip (principles), dan konsep-konsep (concepts) yang mendasari
penyusunan aturan/ketentuan akuntansi (accounting rules) dan
pelaporan keuangan serta bagaimana asumsi-asumsi dasar, definisi-
definisi, prinsip, dan konsep-konsep tersebut diperoleh. Teori
akuntansi bukanlah produk yang sudah selesai dan tidak pernah
menjadi kajian yang tuntas; dialog selalu berlanjut, terutama
dengan munculnya isu dan permasalahan baru. Definisi ini hanya
terkait dengan akuntansi keuangan (financial accounting), dan tidak
berlaku untuk akuntansi manajemen dan akuntansi pemerintahan.
Definisi teori akuntansi tersebut diartikan secara luas yang bisa
mencakup:
Pemilihan metode penilaian (valuation methods).
Pengembangan rerangka konseptual (conceptual framework)
akuntansi sebagai landasan penyusunan aturan akuntansi.
Penilaian kesesuaian rerangka konseptual akuntansi dan
prinsip-prinsip lainnya yang menjadi pedoman dengan aturan
akuntansi yang disusun.
Penelaahan alasan perusahaan memilih metode akuntansi
tertentu di antara alternatif-alternatifnya.

Teori akuntansi juga mencakup hipotesis-hipotesis dan teori-teori


yang didasarkan kepada metode penelitian dan analisis yang lebih
formal seperti yang digunakan dalam disiplin-disiplin lain (ilmu
ekonomi dan ilmu-ilmu sosial lainnya). Metode formal yang
dimaksud adalah metode riset yang diderivasi dari filsafat,
matematika, dan statistika.

TEORI AKUNTANSI DAN PEMBUATAN KEBIJAKAN


Kondisi ekonomi berdampak baik terhadap faktor-faktor politis
maupun terhadap teori akuntansi; faktor-faktor politis pada
gilirannya juga mempengaruhi teori akuntansi. Input bagi fungsi
pembuatan kebijakan berasal dari tiga sumber utama, yaitu kondisi
ekonomi, faktor-faktor politis, dan teori akuntansi. Kondisi ekonomi
merupakan setting yang melatarbelakangi pembuatan kebijakan
dan praktik akuntansi. Istilah faktor-faktor politis mengacu kepada
pengaruh atas pembuatan kebijakan yang berasal dari pihak-pihak
yang terkena dampak dari kebijakan yang bersangkutanm, yang
termasuk di dalamnya adalah auditor, penyaji laporan keuangan,
investor, asosiasi-asosiasi perdagangan dan industri, dan
masyarakat umum. Teori akuntansi dikembangkan dan
disempurnakan melalui proses riset akuntansi.

METODOLOGI PENCARIAN KEBENARAN

Dalam maknanya yang paling umum, teori mencerminkan upaya


manusia untuk mencari kebenaran. Feyerabend (1975) berpendapat
bahwa realitas dan masyarakat itu terlalu kompleks atau rumit dan
dimanis, sehingga tidaklah mungkin hanya satu metode atau teori
saja yang mendominasi ilmu pengetahuan; menurutnya ilmuwan
harus mampu menerima ide-ide, metode, dan teori yang tidak
konsisten atau yang tidak didasarkan kepada analisis ilmiah dan
logika (Harahap, 2001). Berikut adalah kutipan pendapat
Feyerabend (1975) seperti dikutip Harahap (2001):

"Konstruksi rasional menganggap kebijaksanaan ilmiah


dasar sebagai jaminan (diperolehnya kebenaran),
ternyata kebijaksanaan ilmiah tersebut tidak terbukti
lebih baik dari kebijaksanaan yang diyakini tukang sihir
atau ahli nujum."

Hal ini menunjukkan beragamnya paradigma (paradigm) yang


melandasi konstruksi pengetahuan manusia termasuk sains,
sehingga tidaklah tepat jika ilmuwan bersikap fanatik dengan
memberhalakan metodologi ilmiah.
Dalam metodologi kontemporer, setidaknya dikenal tiga metode
untuk menyelidiki dan menganalisis fenomena:
Metode kuantitatif menggunakan model-model statistis untuk
mengidentifikasi dan mengolah variabel yang dimunculkan
dari permasalahan yang diteliti. Metode ini tepat jika variabel-
variabel atau permasalahan yang diteliti bisa diukur,
dikuantifikasi, dan data yang diperlukan tersedia. Dalam arti
sempit, metode inilah yang disebut ilmiah (scientific).
Metode kualitatif menggunakan narasi dan deskripsi mengenai
variabel yang diteliti tanpa melalui pengukuran. Metode ini
tepat untuk menelaah topik-topik yang sulit ditentukan
indikator kuantitatifnya, datanya tidak tersedia, atau teorinya
belum kokoh.
Metode gabungan kuantitatif/kualitatif menggabungkan dua
metode di atas, yaitu sebagian menggunakan metode
kuantitatif dan sebagiannya lagi kualitatif.
Meskipun metode pencarian kebenaran tersebut beragam, kuliah ini
terutama akan berfokus kepada pendekatan yang secara sempit
dipandang sebagai "ilmiah."

RISET AKUNTANSI DAN METODE ILMIAH

Kegunaan teori, setidaknya dari sudut pandang ilmiah modern,


terutama disebabkan oleh upayanya untuk menjelaskan hubungan-
hubungan (to explain relationships) atau memprediksi fenomena (to
predict phenomena). Teori akuntansi terdiri dari pandangan-
pandangan filosofis dan teori-teori yang dikembangkan secara
formal melalui riset akuntansi.
Proses penyelidikan fenomena yang mempengaruhi
aturan/ketentuan, definisi-definisi, konsep-konsep, dan prinsip
akuntansi dilaksanakan dengan metode-metode formal yang disebut
penalaran deduktif dan induktif (deductive and inductive reasoning).
Proses penyelidikan tersebut disebut riset dan penggunaannya
dalam akuntansi menjadikan akuntansi disebut sebagai disiplin
akademik.
Dari sudut pandang ilmiah, suatu teori (theory) tidak lebih dari
sekedar kalimat-kalimat; teori harus terdiri dari premis-premis
(premises) dasar, atau juga disebut asumsi (assumptions) atau
postulat (postulates). Premis bisa terbukti dengan sendirinya,
atau yang disebut sebagai aksioma (axiom), atau dikembangkan
dan diuji dengan kesimpulan/inferensi statistis; premis yang
dikembangkan dan diuji ini umumnya disebut hipotesis
(hypothesis). Akhirnya, suatu teori berisi seperangkan
kesimpulan (conclusions) yang diderivasi dari premis-premisnya;
kesimpulan-kesimpulan tersebut bisa ditentukan baik dengan
deduksi ataupun induksi.

TEORI DEDUKTIF DAN INDUKTIF


Penalaran deduktif (deductive reasoning) adalah pendekatan yang
menggunakan logika untuk menarik satu atau lebih kesimpulan
(conclusion) berdasarkan seperangkat premis yang diberikan.
Penalaran yang sepenuhnya deduktif tidak melibatkan analisis data
empiris. Contoh:

Premis 1: Kuda adalah makhluk berkaki empat.


Premis 2: John adalah makhluk berkaki dua.
Kesimpulan: John bukan kuda.

Dalam contoh sederhana ini, hanya satu kesimpulan yang bisa


ditarik dari premis-premisnya. Dengan kata lain, tidak kesimpulan
lain yang berkaitan dengan John yang bisa dicapai dari premis-
premis yang diberikan tersebut. Dalam sistem deduktif yang lebih
kompleks, lebih dari satu kesimpulan bisa diambil.
Jika dalam contoh di atas kita menerapkan teori tentang John
tersebut kepada makhluk nyata yang bernama John, bukan sekedar
menganalisis logika dari seperangkat kalimat, kita perlu melihat
dan, jika perlu, menguji keberadaan John untuk menentukan
statusnya: apakah dia benar-benar bukan seekor kuda. Dalam hal
ini, kita menggunakan penalaran induktif (inductive reasoning)
karena kita menilai teori tersebut tidak hanya dengan logika
internalnya tetapi dengan mengamati bukti. Sebagai contoh, bisa
saja John adalah seekor kuda yang dua kakinya diamputasi. Dengan
kata lain, jika penalarannya valid, teori induktif hanya bisa dibantah
dengan membuktikan premis-premis atau kesimpulan-
kesimpulannya secara empiris.

TEORI NORMATIF DAN DESKRIPTIF

Teori normatif (normative theory) menggunakan pertimbangan


nilai (value judgement)di dalamnya berisi setidaknya satu premis
yang mengatakan jalan atau cara yang seharusnya ditempuh.
Sebagai contoh, premis yang menyatakan bahwa laporan akuntansi
(accounting reports) seharusnya didasarkan kepada pengukuran
nilai aset bersih yang bisa direalisasi (net realizable value
measurements of assets) merupakan premis dari teori normatif.
Sebaliknya, teori deskriptif (descriptive theory) berupaya untuk
menemukan hubungan-hubungan yang sebenarnya terjadi.
Meskipun terdapat pengecualian-pengecualian, sistem deduktif
umumnya bersifat normatif dan pendekatan induktif umumnya
berupaya untuk bersifat deskriptif. Hal ini karena metode deduktif
pada dasarnya merupakan sistem yang tertutup dan nonempiris
yang kesimpulan-kesimpulannya secara ketat didasarkan kepada
premis-premisnya. Sebaliknya, karena berupaya untuk menemukan
hubungan-hubungan empiris, pendekatan induktif bersifat
deskriptif.
Salah satu pertanyaan yang menarik adalah apakah temuan-
temuan riset empiris bisa benar-benar bebas nilai (value-free) atau
netral karena pertimbangan nilai sesungguhnya mendasari bentuk
dan isi riset tersebut. Meskipun riset empiris berupaya untuk
deskriptif, penelitinya tidak mungkin sepenuhnya bersikap netral
dengan dipilihnya suatu permasalahan yang akan diteliti dan
dirumuskannya definisi-definisi konsep yang terkait dengan
permasalahan tersebut.

TEORI GLOBAL DAN PARTIKULARISTIK

Perbedaan yang lebih mencolok antara sistem deduktif dan induktif


adalah: Kandungan atau isi (contents) teori deduktif kadang-kadang
bersifat global (makro) sedangkan teori induktif umumnya bersifat
partikularistik (mikro). Karena premis-premis sistem deduktif
bersifat total dan menyeluruh, kesimpulan-kesimpulannya pasti
bersifat global. Misalnya adalah teori yang menganjurkan satu jenis
sistem penilaian yang untuk seluruh akun. Sistem induktif, karena
didasarkan kepada fenomena empiris umumnya hanya berfokus
kepada sebagian kecil dari fenomena tersebut yang relevan dengan
permasalahan yang diamatinya.

SISTEM DEDUKTIF DAN INDUKTIF YANG SALING


MELENGKAPI

Meskipun pembedaan antara sistem deduktif dan induktif


bermanfaat untuk maksud pengajaran, dalam praktik riset
pembedaan ini seringkali tidak berlaku. Dengan kata lain, keduanya
bukanlah pendekatan yang saling bersaing tetapi saling melengkapi
(complementary) dan seringkali digunakan secara bersama-sama.
Metode induktif bisa digunakan untuk menilai ketepatan
(appropriateness) premis-premis yang mula-mula digunakan dalam
suatu sistem deduktif.
Proses riset sendiri tidak selalu mengikuti suatu pola yang pasti.
Para peneliti seringkali bekerja secara terbalik dari kesimpulan-
kesimpulan penelitian lainnya dengan mengembangkan hipotesis-
hipotesis baru yang tampaknya cocok dengan data yang tersedia.
Dalam konteks akuntansi, riset induktif bisa membantu
memperjelas hubungan-hubungan dan fenomena yang ada dalam
lingkungan bisnis yang mendasari praktik akuntansi. Riset induktif
ini pada gilirannya akan bermanfaat dalam proses pembuatan
kebijakan yang biasanya mengandalkan penalaran deduktif dalam
menentukan aturan/ketentuan yang akan diberlakukan.

AKUNTANSI, SENI ATAU SAINS?

Diskusi mengenai apakah akuntansi merupakan seni (art) atau


sains (science) telah mengemuka paling tidak sejak tahun 1940an
ketika Kelley (1948) berpendapat bahwa akuntansi adalah sains
yang dibantah oleh Cullather (1959) yang memandang akuntansi
lebih erat terkait dengan seni liberal (liberal art). Akuntansi sendiri
dipandang oleh Cullather sebagai seni praktis (practical art).
Penggunaan metode ilmiah dalam mengkaji akuntansi sekarang ini
dan peran teori pengukuran (measurement theory) dalam akuntansi
secara potensial bisa menempatkan akuntansi dalam ranah/domain
ilmiah. Sterling (1975, 1979) telah mencoba mengklarifikasi posisi
akuntansi dalam kaitannya dengan sains. Dia mengatakan bahwa
seni sangat tergantung kepada interpretasi pribadi si seniman,
sedangkan dalam sains harus terdapat sejumlah besar kesepakatan
di antara para ilmuwan mengenai fenomena yang diamati dan
diukur mereka. Sterling berkeyakinan bahwa akuntansi
sebagaimana yang sekarang dipraktikkan lebih mendekati seni
daripada sains, yang diakibatkan oleh cara akuntan mendefinisi
permasalahan. Sebagai contoh, dalam depresiasi aset tetap,
pengukuran akuntansi sangat memberikan kebebasan dalam
pemilihan metode depresiasi, penentuan umur ekonomis, dan nilai
sisa aset tetap yang didepresiasi. Akibat dari sejumlah besar
kebebasan ini adalah rendahnya objektivitas dan ketidakjelasan
konsepsi kos historis amortisasian dan biaya depresiasi. Menurut
Sterling, pendekatan ilmiah mengupayakan prosedur pengukuran
yang cermat yang menghasilkan atribut-atribut yang bermakna
secara ekonomi.
Apakah prosedur pengukuran yang ditentukan secara kaku bisa
dilaksanakan untuk menghasilkan konsensus tingkat tinggi di antara
para akuntan merupakan suatu pertanyaan yang sangat penting
untuk diajukan. Kenyataannya, ilmuwan sendiri tidak selalu
mengukur dan menginterpretasi secara seragam berkenaan dengan
apa yang tengah mereka ukur.
PENGHITUNGAN INDEKS HARGA

Indeks harga mengukur tingkat perubahan harga-harga selama


suatu periode. Indeks harga adalah rata-rata tertimbang dari harga-
harga barang dan jasa saat ini yang dikaitkan dengan harga-harga
pada tahun dasar dengan tujuan untuk menentukan seberapa besar
perubahan telah terjadi.
Indeks harga bisa dikembangkan secara khusus untuk
menentukan tingkat perubahan harga-harga dalam suatu segmen
perekonomian tertentu, misalnya untuk harga barang-barang
konsumen, atau dikem-bangkan secara umum untuk menentukan
perubahan harga-harga barang dan jasa dalam suatu
perekonomian. Indeks yang pertama disebut indeks harga khusus
(specific price index) dan yang kedua disebut indeks harga
umum (general price index). Untuk masing-masing indeks
tersebut, penarikan sampel yang sangat besar harus dilakukan
karena jumlah barang dan jasa yang dilibatkan serta jumlah
transaksi yang terjadi juga sangat banyak. Sebagai konsekuensinya,
kesalahan penarikan sampel (sampling error) sangat mungkin
terjadi, terutama jika pembobotan atas jenis-jenis transaksi
tertentu tidak mewakili kejadian yang sesungguhnya selama
periode.
Sebagai ilustrasi, misalkan suatu perekonomian hanya
memproduksi dan mengkonsumsi dua jenis barang, X dan Y. Harga
dan kuantitas X dan Y yang terjual selama tiga periode disajikan
dalam Gambar 1.

Gambar 1
Harga dan Kuantitas Barang X dan Y
Barang X Barang Y
Kuantitas Harga Kuantitas
Periode Harga
0 2,00 100 1,00 100
1 2,20 95 1,05 105
2 2,42 90 1,10 115

Dalam contoh ini kita akan menggunakan dua jenis indeks. Yang
pertama adalah Indeks Laspeyres yang dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
P ni Qoi
In 100i

i
P oi Qoi

di mana:

In = angka indeks untuk tahun n


Pni = harga periode n dari komoditas i
Poi = harga periode 0 (periode dasar) dari komoditas i
Qoi = kuantitas yang terjual dalam periode 0 dari komoditas i

Dengan menggunakan Po sebagai periode dasar, indeks harga untuk


periode P1 dan P2 adalah:

(2,20 100) (1,05 100)


I 1 100 108,33
(2,00 100) (1,00 100)

(2,42 100) (1,10 100)


I 2 100 117,33
(2,00 100) (1,00 100)

Dari angka-angka indeks tersebut kita bisa menentukan bahwa


harga-harga dalam periode P1 adalah 8,33% lebih tinggi
dibandingkan dengan periode dasar dan harga-harga dalam periode
P2 adalah 17,33% lebih tinggi dibandingkan dalam periode dasar.
Dengan menggunakan Po sebagai periode dasar, kenaikan harga-
harga yang terjadi dalam periode P2 adalah 9% (117,33 108,33).
Jika periode dasarnya diganti dengan P1, kenaikan harga-harga
dalam periode P2 adalah 8,3% ((117,33/108,33) 1).
Indeks harga lainnya yang juga sering digunakan adalah Indeks
Paasche yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

P ni Qni
In 100i

i
P oi Qni

di mana:

Qni = kuantitas yang terjual dalam periode n dari komoditas i

Dengan menggunakan Po sebagai periode dasar, indeks harga untuk


periode P1 dan P2 adalah:

(2,20 95) (1,05 105)


I 1 100 108,22
(2,00 95) (1,00 105)
(2,42 90) (1,10 115)
I 2 100 116,71
(2,00 90) (1,00 115)

Hasil penghitungan Indeks Paasche menyatakan bahwa harga-harga


dalam periode P1 adalah 8,22% lebih tinggi dibandingkan Po dan
dalam periode P2 adalah 16,71% lebih tinggi dibandingkan Po.
Dibandingkan dalam periode P1, harga-harga dalam periode P2 naik
7,84% ((116,71/108,22) 1). Dalam penghitungan terakhir, P1
digunakan sebagai tahun dasar.
Sebagaimana ditunjukkan dalam contoh di atas, Indeks
Laspeyres hanya menggunakan kuantitas pada tahun dasar,
sedangkan Indeks Paasche menggunakan kuantitas tahun berjalan.
Penghitungan Indeks Laspeyres bisa dipandang lebih murni
karena sepenuhnya mengguna-kan kuantitas tahun dasar,
sedangkan Indeks Paasche memperhitungkan peralihan ke barang-
barang dan komoditas yang lebih murah seperti tampak secara
tersirat dalam ilustrasi sederhana di atas. Dengan demikian, Indeks
Paasche mungkin lebih baik dalam mencerminkan perubahan
teknologi, karena dengan menggunakan teknologi yang lebih baik
kos-kos produksi barang dan jasa akan menjadi lebih rendah. Di
pihak lain, dengan diabaikannya perubahan kuantitas, penghitungan
Indeks Laspeyres menjadi lebih murah. Dengan alasan inilah,
penerapan model akuntansi disesuaikan inflasi cenderung memilih
Indeks Laspeyres untuk menyesuaikan tingkat harga umum.
Dari ilustrasi di atas jelas bahwa, dalam praktik, penghitungan
indeks harga sangat kompleks. Di samping permasalahan penting
yang menyangkut kemungkinan kesalahan penarikan sampel,
adanya beberapa jenis indeks juga menunjukkan adanya
permasalahan konseptual dalam pengukuran perubahan tingkat
harga. Meskipun demikian, tampaknya jauh lebih baik untuk tetap
mengukur inflasi, seberapa pun kasarnya hasil pengukuran itu,
ketimbang mengabaikannya sama sekali.

Jakarta, Desember 2004


Warsidi, SE, MSi, Ak

AKUNTANSI DALAM KONTEKS


HARGA-HARGA YANG SELALU BERUBAH

Kita semua maklum bahwa inflasi sangat mempengaruhi daya


beli uang. Sejarah perekonomian modern ditandai dengan
banyaknya negara yang sangat menderita karena inflasi yang tinggi.
Padahal, dalam jangka panjang inflasi akan merusak daya beli uang
di negaranegara yang inflasinya relatif rendah sekali-pun. Sebagai
ilustrasi, inflasi tahunan yang hanya 5% saja dalam 15 tahun akan
mengakibatkan naiknya harga-harga dua kali lipat, yang berarti
mata uang kehilangan setengah daya belinya.
Model akuntansi kos historis yang masih mendominasi praktik
pelaporan keuangan di banyak negara tidak memperhitungkan
perubahan daya beli mata uang yang merupakan unit pengukuran
dalam laporan keuangan. Laporan keuangn berbasis kos historis
mengandung penjumlahan angka-angka rupiah dari berbagai titik
atau periode waktu. Penjumlahan tersebut menyiratkan asumsi
bahwa angka-angka itu didasarkan pada unit pengukuran yang
seragam sehingga bisa dijumlahkan (aditif).
Sebagai contoh, neraca konsolidasi AT&T pada tanggal 31
Desember 1998 memperlihatkan saldo Property, Plant, and
Equipment (bersih) sebesar US$26,9 milyar. Apakah arti yang
dikandung oleh angka tersebut jika kita ingin meng-gunakannya
untuk mengambil keputusan? Orang yang memahami prinsip-
prinsip yang mendasari model akuntansi kos historis maklum bahwa
angka itu tidaklah menunjukkan nilai pasar yang wajar saat ini dari
aset tetap AT&T. Angka itu juga bukan merupakan kos historis aset
tetap AT&T yang dinyatakan dalam dolar tahun 1998. Angka itu
tidak lebih dari sekadar hasil penjumlahan kos-kos historis aset
tetap yang dimiliki AT&T pada hari ini tanpa mempeduli-kan kapan
aset-aset itu dibeli. Padahal, AT&T telah berdiri lebih dari seratus
tahun dan saldo aset tetapnya mencakup aset-aset (khususnya
tanah dan bangunan) yang diperoleh pada waktu yang berbeda-
beda selama keberadaan AT&T.
Untuk memahami bagaimana inflasi mendistorsi kandungan
informasi laporan keuangan berbasis kos historis, marilah kita
menyimak contoh nyata berikut. Indeks harga konsumen (IHK) di
Amerika Serikat telah naik dari 24,1 pada tahun 1950 menjadi
152,4 pada tahun 1995. Ini berarti harga-harga naik lebih dari
600% dalam rentang waktu tersebut. Satu dolar tahun 1950 kurang
lebih sama dengan enam dolar tahun 1995. Lantas, apa artinya
menjumlahkan satu dolar tahun 1950 dengan satu dolar tahun 1995
dan menganggap seolah-olah kedua angka itu homogen? Padahal,
penjumlahan semacam itu pasti dilakukan dengan dianutnya model
akuntansi kos historis.
Ketika inflasi di seluruh dunia relatif tinggi dalam dekade 1970an,
penyusun standar di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat
dan Inggris, menerbitkan ketentuan akuntansi yang mengharuskan
perusahaan membuat laporan keuangan yang disesuaikan inflasi
(inflation-adjusted financial statements) sebagai suplemen laporan
keuangan utama yang berbasis kos historis. Akan tetapi, ketentuan
ini hanya berumur pendek. Seiring dengan meredanya inflasi dan
banyaknya perusahaan yang menentang, ketentuan itu akhirnya
dicabut di sebagian besar negara dalam dekade 1980an.
Jika dalam konteks domestik masing-masing negara saja
dampak inflasi terhadap manfaat keputusan dari laporan keuangan
begitu problematik, dalam konteks pelaporan keuangan antar-
negara masalah tersebut menjadi lebih kompleks lagi, terutama
ketika pengguna laporan keuangan perlu memban-dingkan angka-
angka akuntansi dari berbagai negara yang tingkat inflasinya
berbeda-beda. Dengan kata lain, komparabilitas dan relevansi
angka-angka akuntansi menjadi terganggu. Sebagai contoh,
bagaimana mungkin seorang pengguna menginterpretasikan
laporan keuangan di Indonesia pada tahun 1997, ketika inflasi
selama tahun tersebut mencapai lebih dari 100% dan nilai tukar
rupiah menurun drastis dari Rp2.600 per dolar AS hingga Rp16.000
per dolar AS. Di samping itu, karena negara-negara berkembang
umumnya berkiblat ke negara-negara Barat dalam standar
pelaporan keuangannya, kebanyakan negara itu tidak
memberlakukan ketentuan pelaporan dampak inflasi terhadap
laporan keuangan. Pengecualiannya adalah negara-negara seperti
Meksiko yang pernah mengalami tingkat inflasi yang tinggi dan
tetap mempertahankan ketentuan pengungkapan dampak inflasi.

MODEL-MODEL AKUNTANSI DISESUAIKAN INFLASI

Dua model akuntansi yang dimaksudkan untuk menyesuaikan


dampak inflasi adalah: (1) model akuntansi yang disesuaikan
dengan tingkat harga umum, dikenal dengan General Price Level
Adjusted, disingkat GPLA, dan
(2) model akuntansi yang disesuaikan dengan kos berjalan, atau
Current Cost Adjustid, disingkat CCA. Model GPLA menggunakan
indeks harga untuk menyesuaikan perubahan daya beli umum unit
moneter. Tujuannya adalah untuk mengkonversi angka-angka
nominal kos historis yang berasal dari berbagai periode waktu
sedemikan rupa sehingga semua angka itu dilaporkan dalam unit
moneter yang daya belinya sama, yaitu daya beli pada tanggal
neraca. Model CCA memperhitungkan aset-aset secara individual
dalam mengukur kinerja dan posisi keuangan. Model ini berfokus
kepada perubahan harga masing-masing aset fisik yang dimiliki,
digunakan, dan dijual oleh perusahaan. Biaya (expenses) dicatat
berdasarkan kos pengganti saat ini dari aset yang digunakan, bukan
berdasarkan kos historisnya.

General Price Level Adjusted

Model GPLA dimaksudkan untuk memperhitungkan perubahan


daya beli umum mata uang sepanjang waktu. Dengan
penekanannya kepada perubahan harga-harga secara umum, model
ini menggunakan ukuran inflasi seperti indeks harga konsumen.
Model GPLA berupaya untuk mengatasi salah satu kelemahan model
kos historis, yaitu diabaikannya perubahan daya beli mata uang dari
waktu ke waktu. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, model
kos historis menjumlahkan angka-angka akuntansi yang dinyatakan
dalam unit moneter dari berbagai periode waktu meskipun jumlah
yang dihasilkannya memiliki kandungan informasi yang sangat
sedikit. Contoh berikut mengilustrasikan kelemahan model kos
historis tersebut dan menunjukkan bagaimana model GPLA
mengatasinya.
Seorang eksekutif baru saja tiba kembali di AS setelah
melakukan lawatan bisnis ke Asia. Dalam lawatannya itu, dia
berkunjung ke Hong Kong, Indonesia, Jepang, dan Singapura.
Sewaktu berada dalam ruang imigrasi Bandara Internasional San
Fransisco, dia dihampiri oleh seorang pejabat pabean yang
menanyai eksekutif itu berapa uang yang dibawanya. Si eksekutif
kemudian membuka tasnya dan menemukan jumlah-jumlah
berikut:

Dolar AS 100
Yen Jepang 12.000
Dolar Hong Kong 725
Dolar Singapura 175
Rupiah Indonesia 750.000
Total 763.000

Jika eksekutif itu menjumlahkan angka-angka tersebut begitu saja


dan menjawab pertanyaan pejabat pabean dengan mengatakan
bahwa uang-nya berjumlah 163.000, kita tahu bahwa jawaban ini
ngawur. Demikian halnya orang akan berargumen bahwa jumlah
Property, Plant, and Equipment US$26,9 milyar dalam neraca AT&T
tahun 1998, sebagaimana juga dalam neraca kebanyakan
perusaha-an, adalah jumlah total yang tidak memiliki arti karena
daya beli dolar tahun 1925 berbeda dengan dolar tahun 1995. Hal
ini identik dengan berbedanya daya beli mata uang rupiah
Indonesia dengan mata uang dolar AS.
Untuk memberikan jawaban yang benar atas pertanyaan pejabat
pabean, eksekutif tadi harus terlebih dahulu mengkonversi berbagai
mata uang yang dibawanya menjadi satu mata uang tunggal,
misalnya dolar AS, sebelum menyatakan jumlahnya. Oleh karena
itu, seperti ditunjukkan dalam Ilustrasi 1, jawaban yang semestinya
disampaikan eksekutif itu adalah dia membawa uang kurang lebih
$500. Jumlah total pada kolom ketiga memiliki arti, sedangkan
pada kolom pertama tidak. Dalam konteks inflasi, angka-angka kos
historis dalam laporan tahunan perusahaan sebenarnya mirip
dengan jumlah total pada kolom pertama. Model GPLA
mengkonversi jumlah-jumlah nominal dari berbagai periode yang
daya belinya berbeda-beda menjadi satu daya beli pada saat
tertentu, biasanya pada tanggal neraca.

ILUSTRASI 1

Jumlah
N
o
m
i Jumlah
n Konversi
a Kurs per an
l $ dalam $
Dolar AS 100 1,00 100
Yen Jepang 12.000 120 100
Dolar Hong Kong 725 7,25 100
Dolar Singapura 175 1,75 100
Rupiah Indonesia 750.00 7.500 100
0
Total 763.00 500
0

Prosedur Akuntansi dalam Model GPLA. Setelah konsep dasar


yang melandasi model GPLA dijelaskan, kita sekarang akan
mengulas secara singkat prosedur GPLA. Penyusunan laporan
keuangan berbasis GPLA dimulai dari laporan keuangan berbasis
kos historis; angka-angka nominalnya akan menjadi kolom
pertama yang akan disesuaikan. Selanjutnya, kita perlu memilah-
milah pos-pos laporan keuangan dan mengelompokkan mereka ke
dalam pos-pos moneter dan pos-pos non-moneter. Yang termasuk
ke dalam pos-pos moneter di antaranya adalah kas, piutang usaha,
dan semua jenis utang. Pos-pos ini tidak disesuaikan dengan inflasi
dalam model GPLA, sehingga tampak sebagai jumlah-jumlah
nominalnya semula. Semua pos laporan keuangan lainnya bersifat
non-moneter dan harus disesuaikan untuk mencerminkan dampak
inflasi.
Seperti halnya kurs mata uang yang diperlukan untuk
mengkonversi berbagai mata uang ke dalam satu mata uang
tunggal, kita juga perlu faktor penyesuai untuk mengkonversi
angka-angka nominal yang daya belinya berbeda-beda menjadi
angka-angka dengan satu daya beli konstan dalam model GPLA.
Faktor penyesuai itu adalah bilangan pecahan yang pembilangnya
adalah IHK pada tanggal laporan keuangan dan penyebutnya adalah
IHK pada tanggal pembelian aset atau tanggal terjadinya transaksi.
Sebagai contoh, pembilangnya adalah 180 yang merupakan IHK
pada tanggal 31 Desember 2000. Jika satu item peralatan dengan
kos historis $1 juta dibeli pada tahun 1995 ketika IHK-nya 150,
angka 150 ini merupakan penyebut dari faktor penyesuai untuk
item peralatan itu. Oleh karena itu, proses penyesuaiannya adalah:

Jumlah
N
o
m
i
n Faktor Jumlah
a Penyesu Berbasis
l ai GPLA
Peralatan $1.000.0 180/15 $1.200.
00 0 000

Setelah semua pos non-moneter dinyatakan kembali dalam


model GPLA, selisih antara aset berbasis GPLA dengan kewajiban
dan ekuitas pemegang saham (tidak termasuk laba ditahan)
berbasis GPLA adalah saldo laba ditahan berbasis GPLA.
Sebenarnya, akun laba ditahan ini merupakan penghubung antara
neraca berbasis kos historis dengan neraca berbasis GPLA.
Penyusunan laporan laba-rugi berbasis GPLA juga dimulai dari
angka-angka laporan laba-rugi berbasis kos historis sebagai kolom
pertama. Tujuannya juga untuk mengkonversi angka-angka rupiah
dari berbagai periode waktu yang daya belinya berbeda-beda
menjadi angka-angka rupiah pada saat tertentu dengan satu daya
beli konstan. Angka pembilang dari faktor penyesuainya juga adalah
IHK pada akhir periode berjalan. Penyebutnya adalah IHK pada
tanggal pembelian aset atau pada tanggal terjadinya transaksi.
Untuk sebagian besar pos pendapatan dan biaya, penyebutnya
adalah IHK rata-rata sepanjang periode karena pendapatan dan
biaya juga terjadi sepanjang periode.
Pengecualian perlakuan diberikan kepada pos-pos kos barang
terjual dan biaya depresiasi, amortisasi, dan deplesi. Untuk
mengkonversi kos barang terjual, IHK yang digunakan sebagai
penyebut dari faktor penyesuainya adalah IHK pada tanggal
pembelian item inventory yang terkait dengan kos barang terjual
itu, karena angka inventory itulah yang dibebankan sebagai kos
barang terjual dalam laporan keuangan berbasis kos historis. Untuk
mengkonversi biaya depresiasi, amortisasi, dan deplesi, penyebut
dari faktor penyesuainya adalah IHK pada tanggal pemerolehan aset
yang terkait dengan biaya-biaya itu. Setelah semua pos pendapatan
dan biaya disesuaikan dalam kolom ketiga, laba operasi berbasis
GPLA diperoleh dengan cara mengurangi pendapatan berbasis GPLA
dengan biaya berbasis GPLA.
Langkah terakhir dalam menyusun laporan laba-rugi berbasis
GPLA adalah adalah menghitung untung/rugi moneter (monetary
gain/loss). Untung/rugi moneter adalah untung atau rugi karena
perusahaan memiliki aset dan kewajiban moneter ketika daya beli
mata uang berubah-ubah sepanjang waktu. Penghitungannya dapat
dilakukan secara terpisah untuk masing-masing aset dan kewajiban
moneter (sebagaimana ditunjukkan dalam Ilustrasi 2) dan
kemudian dilanjutkan dengan penghitungan untung/rugi moneter
bersih secara agregat (seperti ditunjukkan dalam Ilustrasi 3).

ILUSTRASI 2

Rugi Moneter dari Kas

Jumlah
Se
su
ng
gu Jumlah
h- Disetaraka
ny n Daya
a Indeks Beli
Saldo, 1 Januari $350.000 110/100 $385.000
2000
Kenaikan selama 100.000 110/105 104.800
2000
Total $450.000 $489.800
Rugi Moneter $39.800

ILUSTRASI 3

Untung/Rugi Moneter Agregat


Saldo Perubahan
Saldo 31 selama
1 Desember 2000
Ja 2000
nu
ari
20
00
Aset Moneter $350.000 $690.000 $340.000
Kewajiban Moneter (740.000) (1.260.000) (520.000)
$(390.000) $(570.000) $(180.000)

Indeks Harga 1 Januari 2000 100


Konsumen
31 Desember 2000 110
Rata-rata selama 2000 105
Untung
(Rugi)
Moneter
Bersih
Untung Moneter dari Kewajiban
Moneter Bersih awal periode
(390.000 110/100) $39.000
390.000
Untung Moneter dari Perubahan
selama 2000
(170.000 110/105) 8.600
180.000
Untung Moneter Bersih selama $47.600
2000

Pada waktu harga-harga naik, perusahaan akan menderita rugi


moneter sebagai akibat dari dimilikinya aset moneter. Sebagai
contoh, jika kita menyimpan uang tunai dalam periode inflasi, kita
akan rugi karena kehilangan daya beli uang itu seiring dengan
berlalunya waktu. Sebaliknya, kewajiban moneter akan
mendatangkan untung moneter dalam periode inflasi. Sebagai
contoh, jika perusahaan membeli inventory yang jangka waktunya
90 hari, perusahaan akan memperoleh untung moneter dari utang
dagangnya karena jumlah nominal yang dibayarnya tiga bulan
kemudian memiliki daya beli yang lebih rendah dibandingkan
jumlah yang sama pada tanggal faktur.
Akhirnya, untung (rugi) moneter bersih ditambahkan
(dikurangkan) atas laba operasi untuk memperoleh laba bersih
berbasis GPLA.

Evaluasi atas Model GPLA. Model GPLA dimaksudkan untuk


memperbaiki model kos historis yang melanggar prinsip aditivitas
dalam situasi inflasi, dengan cara mengkonversi jumlah-jumlah
nominal dari berbagai titik waktu dengan daya beli yang berbeda-
beda menjadi satu daya beli konstan pada saat tertentu. Akan
tetapi, sebagai akibat dari digunakannya indeks harga umum
sebagai faktor penyesuai, model ini tidak terkait secara langsung
dengan perubahan harga aset-aset secara individual. Padahal dalam
kenyataannya, dampak inflasi terhadap masing-masing perusahaan
berbeda-beda tergantung kepada jenis produk yang diperjualbelikan
dan komposisi aset tetap yang dimiliki. Dengan kata lain, model
GPLA menyamaratakan dampak inflasi terhadap semua perusahaan.
Model ini tidak mempertimbangkan perubahan harga aset-aset
tetap, inventory, dan aset-aset fisik lainnya secara individual yang
dimiliki oleh perusahaan tertentu. Kelemahan inilah yang dicoba
untuk diatasi oleh model Current Cost Adjusted.

Current Cost Adjusted

Dalam model CCA, aset-aset fisik yang dimiliki perusahaan harus


dilaporkan dalam nilainya saat ini (current value) dan biaya-biaya
yang terkait dengan aset-aset itu juga dinyatakan kembali
(restated) sehingga mencerminkan kosnya saat ini. Sebelum
membahas prosedur akuntansi dalam model CCA, kita terlebih
dahulu perlu memahami perbedaan mendasar antara model CCA ini
dengan semua model akuntansi lainnya.
Model-model akuntansi selain CCA antara lain adalah: (1) model
arus kas,
(2) model arus kas diskonto, (3) model kos historis, dan (4) model
GPLA. Sifat umum dari keempat model ini adalah digunakannya
pendekatan moneter dalam mengukur laba dan menilai kekayaan
perusahaan. Meskipun masing-masing model menggunakan
metode-metode akuntansi yang berbeda-beda, keempatnya
mengukur laba dan kekayaan dalam satuan moneter. Menurut
model-model ini, jika perusahaan pada awal periode memiliki
kekayaan senilai x dan pada akhir periode menjadi senilai x + y,
maka perusahaan akan dianggap berada dalam kondisi yang lebih
baik sebesar y. Dengan kata lain, jika seorang pengusaha
mengawali bisnisnya pada awal periode dengan Rp100.000.000 dan
di akhir periode menjadi Rp120.000.000, pengusaha itu dianggap
lebih kaya sebesar Rp20.000.000. Penghitungan ini
mencerminkan digunakannya pendekatan moneter dalam
pengukuran laba dan kekayaan.
Di pihak lain, model CCA menggunakan pendekatan fisik dalam
mengukur kekayaan dan laba perusahaan. Model ini menganggap
uang tidak lebih dari sekadar alat tukar yang memudahkan aktivitas
bisnis. Uang tidak perlu dipandang memilik nilai yang inheren.
Sebagai konsekuensinya, memiliki uang yang lebih banyak pada
akhir periode bukanlah jaminan bahwa perusahaan berada dalam
kondisi yang lebih baik.
Menurut model CCA, aset fisiklah yang menjadi ukuran laba dan
kekayaan. Untuk menjadi lebih kaya, perusahaan harus memiliki
aset fisik yang lebih banyak pada akhir periode dibandingkan pada
awal periode. Sebagai contoh, pengusaha yang memiliki
Rp100.000.000, sebagaimana yang disinggung se-belumnya, adalah
peternak sapi. Karena model CCA mengukur laba dan kekayaan
dengan menggunakan aset fisik, kita juga berasumsi bahwa hanya
aset fisiklah yang dimiliki peternak itu pada awal periode, yaitu
berupa 100 ekor sapi yang dibelinya dengan harga Rp1.000.000 per
ekor. Sepanjang periode, peternak itu menjual sapi-sapi yang
dimilikinya seharga Rp1.200.000 per ekor, dan ketika semua sapi
habis terjual pada akhir periode dia memiliki uang Rp120.000.000.
Dengan model kos historis kita tahu bahwa peternak itu berada
dalam kondisi lebih kaya sebesar Rp20.000.000 pada akhir
periode. Akan tetapi, dengan model CCA kita perlu tahu aset fisik
peternak pada akhir periode untuk mengetahui apakah dia betul-
betul berada dalam kondisi yang lebih baik. Jika misalnya
pengusaha itu ingin meneruskan bisnis peternakan sapinya, kita
harus mengetahui kos saat ini (current cost), atau biasa juga
disebut kos pengganti (replacement cost), dari sapi sekarang ini.
Jika kos pengganti sapi itu naik menjadi Rp1.500.000 per ekor,
maka peternak itu hanya bisa membeli 80 ekor sapi dengan uang
Rp120.000.000 yang dimilikinya. Oleh karena itu, dengan
menggunakan model CCA kita bisa mengatakan bahwa peternak
tadi sesungguhnya berada dalam kondisi yang lebih buruk karena
jumlah sapinya berkurang dari 100 ekor menjadi 80 ekor dengan
berlalunya waktu. Sementara model kos historis menganggap
peternak tersebut berada dalam keadaan lebih baik sebesar 20%
pada akhir periode karena uangnya telah meningkat dari
Rp100.000.000 menjadi Rp120.000.000, model CCA justru
menganggap 20% lebih buruk karena jumlah aset fisiknya
berkurang dari 100 ekor menjadi 80 ekor sapi. Meskipun sederhana,
ilustrasi ini memperjelas esensi dari perspektif aset fisik yang
digunakan dalam model CCA yang membedakannya dengan
model-model akuntansi lainnya yang menggunakan perspektif
moneter.
Karena menggunakan aset fisik sebagai basis pengukuran laba
dan kekayaan, perubahan daya beli uang dari waktu ke waktu akan
menimbulkan untung atau rugi dengan dimilikinya aset fisik oleh
perusahaan, yang dikenal dengan istilah holding gain/loss.
Holding gain (loss) timbul sebagai akibat dari kenaikan (penurunan)
harga aset fisik yang dimiliki perusahaan. Holding gain terjadi
sebagai akibat dari inflasi, sedangkan holding loss diakibatkan oleh
deflasi, yang terkait dengan harga aset fisik tertentu.
Model CCA juga membedakan antara realized holding gain
dengan unrealized holding gain. Realized holding gain/loss
terjadi ketika aset fisik yang dimiliki perusahaan telah dikonsumsi,
baik melalui penjualan barang dagangan (untuk inventory) atau
pengakuan biaya depresiasi (untuk aset tetap). Kos pengganti yang
diterapkan dalam penghitungannya adalah kos pengganti pada saat
aset dikonumsi, yaitu pada tanggal penjualan untuk barang
dagangan dan pada akhir periode untuk aset tetap. Dengan kata
lain, selisih antara laba operasi bersih menurut model GPLA kos
historis dengan laba bersih operasi menurut model kos historis
adalah realized holding gain/loss. Realized holding gain/loss ini akan
dilaporkan dalam laporan laba rugi berbasis CCA.
Unrealized holding gain/loss terjadi ketika aset-aset fisik
yang dimiliki perusahaan pada akhir periode berubah nilainya
dibandingkan kos historisnya pada saat aset-aset itu mula-mula
diperoleh. Kos pengganti yang diterapkan dalam penghitungannya
adalah kos pengganti pada akhir tahun. Unrealized holding
gain/loss merupakan selisih antara kos saat ini (current cost)
dengan kos historis aset fisik yang dimiliki perusahaan. Dua
kelompok aset yang biasanya diperhingkan unrealized holding gain-
nya adalah inventory dan nilai buku aset tetap. Dalam laporan
keuangan berbasis CCA, unrealized holding gain/loss hanya akan
dinyatakan angka perubahannya saja, yaitu selisih antara akhir
periode dengan awal periode, yang dilaporkan dalam laporan laba-
rugi dan pos ekuitas pemilik dalam neraca. Gambar pada halaman
berikut memperlihatkan di mana pos-pos holding gain/loss
diletakkan dalam laporan keuangan berbasis GPLA beserta rumum
penghitungannya.

Evaluasi atas Model CCA. Model CCA berbeda dengan model-


model lainnya dalam hal digunakannya perspektif aset fisik dalam
mengukur laba dan kekayaan. Model ini menjadi penting untuk
dipertimbangkan terutama dalam situasi inflasi, yaitu ketika daya
beli mata uang mengalami penurunan sepanjang waktu. Model CCA
bertumpu kepada gagasan bahwa uang bukanlah alat pengukur
kekayaan atau alat penyimpan kekayaan yang tepat dalam situasi
inflasi. Kelemahan utama model CCA adalah, untuk jenis-jenis aset
tetap tertentu, penentuan current cost-nya mungkin sangat
subjektif. Untuk aset-aset lainnya, current cost ini bahkan sulit
diperoleh. Akan tetapi, salah satu alasan penting mengapa
perusahaan-perusahaan di pasar modal yang berorientasi ekuitas
seperti di Amerika Serikat menolak model CCA adalah
kecenderungan model ini melaporkan laba terlalu rendah jika
dibandingkan dengan model kos historis. Dalam suatu atmosfer
pasar yang (1) memandang angka laba begitu penting, dan (2)
penilaian pasar itu atas perusahaan sangat berfluktuasi ketika laba
yang dilaporkan (reported earnings) menyimpang dari laba harapan
(expected earnings), para manajer perusahaan enggan melaporkan
angka laba berbasis CCA yang akan menimbulkan keraguan dalam
benak investor. Inilah ironisnya, karena sebenarnya model CCA
secara umum berdampak positif terhadap neraca dengan
dimungkinkannya perusahaan menilai kembali aset-aset tetapnya.
Sikap penyaji laporan keuangan terhadap model CCA adalah bukti
masih dominannya efek laporan laba-rugi di pasar modal yang
berorientasi ekuitas.
Laporan Laba-Rugi

Model Kos Historis Model Kos Pengganti


Pendapatan Pendapatan
Biaya-biaya (kos historis) Biaya-biaya (kos pengganti)
Laba operasi bersih Laba operasi bersih
+Realized holding gains/losses
+Perubahan unrealized holding
gains/losses
Laba bersih

Neraca

Model Kos historis


Aset (kos historis) = kewajiban + ekuitas pemilik

Model Kos Pengganti


Aset (kos pengganti) = kewajiban + ekuitas pemilik + Perubahan
unrealized holding gains/losses

Realized Holding Gains/Losses

Barang dagangan: Kos barang terjual (kos pengganti) Kos


Barang Terjual (kos historis)
Aset tetap: Biaya depresiasi (kos pengganti) biaya
depresiasi (kos historis)

Unrealized Holding Gains/Losses

Barang dagangan: Inventory (kos pengganti) Inventory (kos


historis)
Aset tetap: Nilai buku (kos pengganti) nilai buku (kos
historis)

Jakarta, Juni 2005


Warsidi, SE, MSi, Ak

Das könnte Ihnen auch gefallen