Sie sind auf Seite 1von 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuhan tidak selalu memberi apa yang kita minta, tetapi

Tuhan selalu memberi apa yang terbaik untuk umatnya.

Demikian pula setiap orang di dunia ini pasti menginginkan

memiliki sebuah keluarga yang sempurna. Semiawan dan

Mangunsong (2010) dalam Kulsum mendefinisikan keluarga

adalah lingkungan pertama dan utama untuk perkembangan

setiap anak. Keluarga juga memiliki peran yang sangat penting

bagi perkembangan anak. Keluarga yang harmonis akan

memberikan dampak positif bagi perkembangan anak. Namun,

menurut Mangunsong (2010) dalam Kulsum kondisi sebuah

keluarga akan menjadi sangat berbeda ketika salah satu dari

anggota keluarga terlahir dengan memiliki kebutuhan khusus.

Anak yang terlahir sempurna dan berkembang dengan

sempurna merupakan harapan dari setiap keluarga didunia ini.

Keluarga terutama orang tua akan merasa senang dan bahagia


apabila anak yang dilahirkannya memiliki kondisi fisik dan psikis

yang sempurna. Sebaliknya orang tua akan merasa sedih bila

anak yang dilahirkannnya memiliki pertumbuhan dan kondisi

fisik tidak sempurna atau mengalami berkebutuhan khusus .

Kelahiran seorang anak menurut Semiawan dan Mangunsong

(2010) juga memiliki dampak yang sangat signifikan pada

dinamika sebuah keluarga. Orang tua yang mendapati salah

satu dari anaknya mengalami berkebutuhan khusus akan

mengalami perubahan yang lebih kompleks dan lebih berat.

Setidaknya perlu penyesuaian lebih agar dapat diterima di

masyarakat.

Anak merupakan amanat yang diberikan oleh Tuhan kepada

orang tua untuk diasuh, dijaga, dan dirawat dengan sebaik-

baiknya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Demikian pula

anak-anak yang tergolong berkebutuhan khusus, mereka

layaknya seperti anak lainnya memerlukan bimbingan, asuhan,

dan pendidikan agar tumbuh secara optimal dan maksimal.

Setiap anak membutuhkan pengasuhan seorang ibu siapapun

dan bagaimanapun keadaan anak itu dilahirkan. Anak-anak

normal pun tetap membutuhkan pengasuhan seorang ibu

sampai mereka mengalami kematangan fisik, psikis, dan


kepribadiannya. Demikian pula dengan anak berkebutuhan

khusus, pengasuhan seorang ibu sangat diperlukan. Hanya saja

dibutuhkan keterampilan khusus seorang ibu, cinta dan kasih

sayang dalam mengasuhan anak berkebutuhan khusus seperti

hiperaktif.

Menurut Herawan dalam Zaviera (2008: 14), "Ditinjau

secara psikologis, hiperaktif adalah gangguan tingkah laku

yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan

gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian." Anak

dengan gangguan hiperaktivitas tidak bisa berkonsentrasi

lama lebih dari lima menitDengan kata lain, ia tidak bisa

diam dalam waktu lama dan mudah teralihrkan perhatiannya

kepada hal lain. hiperaktif merupakan gangguan tingkah laku

yang tidak normal, disebabkan disfungsi neurologis dengan

gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian

Dengan adanya penyimpangan ini dapat menyebabkan

ketidak harmonisan dalam keluarga. Menyadari akan

permasalahan tersebut, orang tua dituntut memahami tentang

anaknya dengan maksud agar orang tua dapat memperlakukan

anaknya yang mempunyai perilaku menyimpang kearah yang


lebih positif dan wajar. Mereka para orang tua biasanya

menganggap bahwa hiperaktif adalah faktor keturunan,

sehingga mereka saling menyalahkan dan saling merasa

kecewa dengan pasangannya. Sebagaimana dikemukakan oleh

(Lahey. AL dalam Eric Taylor, 1998:7) banyak orang tua yang

mempunyai anak hiperaktif menjadi stress, depresi dan

perpecahan dalam perkawinan, ada juga orang tua dan guru

menjadi frustasi karena perilaku menyimpang yang ada pada

anak hiperaktif.

Kebutuhan anak hiperaktif yang khusus membuat ibu harus

memberi perhatian yang lebih pada anak. Hal ini yang

menyebabkan sebagaian besar ibu memilih untuk

berkonsentrasi penuh sebagai ibu rumah tangga, sehingga bisa

memberikan perhatian lebih pada anaknya. Hal ini sejalan

dengan Gunadi (2010). Mengurus anak dengan kebutuhan

khusus tentu berbeda dengan anak normal. Stresor pada ibu

yang memiliki anak hiperaktif lebih tinggi. Hal ini disebabkan

oleh masalah komunikasi, tingkah laku anak yang sulit diatur,

kesulitan ibu dalam memahami anak.


Data dari Centers For Disease Control and Prevention (CDC)

orang tua yang melaporkan anaknya didiagnosis ADHD pada

tahun 2007 sekitar 9,5% dari anak-anak usia 4-17 tahun (5,4

juta). Presentasi anak-anak ADHD meningkat sebesar 22%

antara tahun 2003 dan 2007. Tingkat ADHD meningkat rata-rata

3% per tahun dari 1997-2003 dan dari tahun 2003 hingga 2007

rata-ratanya 5,5%. Presentasi anak laki-laki yang terkena ADHD

lebih tinggi yaitu 13,2% daripada perempuan yang hanya 5,6%.

Data statistik Nasional memperlihatkan jumlah anak dengan

ADHD mencapai 26,2% di antara anak usia 6-13 tahun.

Diperkirakan di masa mendatang anak dengan ADHD mencapai

3-7% pada anak usia sekolah. Akan tetapi presentasi ADHD di

Indonesia pada anak-anak usia sekolah secara pasti masih

belum diketahui karena peningkatan jumlah kasusnya bervariasi

(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2010).

Berdasarkan Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali terakhir

yaitu tahun 2011 didapatkan data jumlah anak ADHD di Bali

sebesar 321 anak yang tersebar di 9 kabupaten di Bali yaitu

Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Denpasar, Badung,

Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem. Prevalensi

terbanyak terdapat di kota denpasar yaitu sebanyak 108 anak.


Selain itu, menurut Dinas Pendidikan tahun 2013 terdapat 16

SLB yang tersebar di 9 kabupaten. Pada setiap SLB terdapat

Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan

Sekolah Menengah Atas (SMA)

Berdasarkan data dan fenomena tersebut, terdapat banyak

penjelasan yang menyatakan hiperaktif merupakan gangguan

perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik anak-anak

yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Penderita hiperaktif

tidak bisa lepas sepenuhnya dari peran keluarga, dimana

keluarga sangat berperan penting dalam merawat anak

hiperaktif. Keluarga atau orang tua pasti mempunyai kesulitan

atau permasalahan dalam merawat anak hiperaktif. Selain itu,

pokok permasalahan apa saja yang dialami keluarga saat

membantu perkembangan otak motorik anak penderita

hiperaktif belum banyak dibahas secara mendalam. Oleh karena

itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pengalaman

peran keluarga dalam membantu perkembangan otak motorik

pada anak hiperaktif di Sekolah Kuncup Bunga Denpasar.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat

disusun suatu rumusan masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah Peran Keluarga dalam Membantu

Perkembangan Otak Motorik Pada Anak Hiperaktif di Sekolah

Kuncup Bunga Denpasar.?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk

mengeksplorasi Pengalaman Peran Keluarga dalam Membantu

Perkembangan Otak Motorik pada Anak Hiperaktif di Sekolah

Kuncup Bunga Denpasar.

1.3.2 Tujuan Umum

a. Mengeksplorasi peran dan fungsi keluarga selama

membantu perkembangan otak motorik anak hiperaktif.

b. Mengeksplorasi perasaan keluarga selama membantu

perkembangan otak motorik anak hiperaktif.

c. Mengeksplorasi sumber dukungan keluarga selama

membantu perkembangan otak motorik anak hiperaktif.


d. Mengeksplorasi harapan keluarga anak penderita

hiperaktif.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi

dan tambahan pengetahuaan dalam ilmu keperawatan

onkologi dan keperawatan keluarga tentang pengalaman

peran keluarga dalam membantu perkembangan otak motorik

anak hiperaktif.

Penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data untuk

melakukan penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian yang diharapkan menjadi sumber

strategi bagi perawat dalam memberikan asuhan

keperawatan onkologi dan keperawatan keluarga yang lebih

komprehensif kepada keluarga yang memiliki anak hiperaktif.

1.5 Keaslian Penelitian


1.5.1 Napolion (2010) tentang pengalaman keluarga dalam merawat anak

dengan tunagrahita di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor

Barat Kota Bogor. Desain penelitian metode kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi deskriptif. Teknik pengambilan partisipan

secara purposive sampling. Pengumpulan data pada 7 partisipan

dengan indepth interview dan field note kemudian di analisa dengan

metode Colaizzi. Penelitian ini menghasilkan 15 tema yaitu takdir,

beban keluarga, respon psikologis, perubahan emosional, perubahan

perilaku, upaya mencari bantuan kesehatan, upaya mencari bantuan

lain, pemberdayaan keluarga, dukungan sosial, dukungan finansial,

keterbatasan sumber keperawatan, akses terhadap pelayanan

kesehatan, public stigma, manejemen pelayanan kesehatan yang

efisien dan efektif serta makna dan hikmah. Perbedaan dengan

penelitian ini, yaitu pada penyakit yang diteliti dan tempat dilakukan

penelitian. Persamaannya pada penilitian ini, yaitu pada pendekatan

yang digunakan dan teknik pengumpulan data.

1.5.2 Aritonang (2009) tentang pengalaman keluarga dengan anak yang

menderita penyakit kronis di Medan, Sumatra Utara pada 7 sampel

menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian

menunjukkan keluarga sangat kepikiran dengan keadaan anaknya.

Terkadang merasa sedih saat anaknya mengeluh kesakitan, stres

karena biaya saat anaknya menjalani perawatan di Rumah Sakit, dan


merasa cemas akan masa depan anaknya karena sebagian anak dengan

penyakit kronis tidak dapat bersekolah dan bermain dengan teman

sebaya. Jadi, keluarga mengalami lonjakan psikologis yang tidak

menentu akibat keadaan sakit yang diderita anaknya. Perbedaan

dengan penelitian ini, yaitu pada penyakit yang diteliti dan tempat

dilakukan penelitian. Persamaannya pada penelitian ini adalah pada

teknik pengambilan partisipan.

Das könnte Ihnen auch gefallen