Sie sind auf Seite 1von 15

Macam-Macam Air (Menurut Madzhab Syafii)

oleh Muhammad Abduh Negara Dipublikasikan November 4, 2015 Di


update November 17, 2015

Oleh: Muhammad Abduh Al-Banjary

Pengantar

Pembahasan tentang macam-macam air dalam banyak kitab fiqih biasanya


diletakkan di awal sekali dalam bab Thaharah, sedangkan Thaharah sendiri
biasanya diletakkan dalam bab pertama dalam bahasan Fiqih Ibadah, dan
Fiqih Ibadah diletakkan lebih dulu dibanding bahasan-bahasan fiqih lainnya.
Artinya, pembahasan tentang macam-macam air diletakkan di bagian paling
awal di kitab-kitab fiqih. Mengapa demikian?

Pertama, mengapa fiqih ibadah diletakkan lebih dulu dibanding fiqih


muamalah dan lainnya? Jawabannya adalah, karena hubungan manusia
dengan Allah harus didahulukan dibanding hubungan manusia dengan
manusia lainnya. Ini yang dijelaskan oleh para ulama.

Kedua, mengapa thaharah diletakkan lebih dulu dalam fiqih ibadah


dibandingkan ibadah lainnya? Jawabannya adalah, karena thaharah
merupakan muqaddimah untuk shalat, sedangkan shalat adalah ibadah
paling utama. Shalat tidak sah tanpa thaharah. Karena itu, pembahasan
thaharah diletakkan di awal fiqih ibadah.

Ketiga, mengapa pembahasan macam-macam air diletakkan di awal


pembahasan thaharah? Jawabannya adalah, karena alat untuk bersuci yang
paling utama adalah air. Air bisa digunakan untuk menghilangkan najis dan
hadats, berdasarkan kesepakatan para ulama, bahkan ia yang paling utama
dan paling layak digunakan sebagai alat untuk bersuci.

Tujuh Macam Air Untuk Bersuci


Menurut Al-Qadhi Abu Syuja, air yang dapat digunakan untuk bersuci ada
tujuh, yaitu: air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju,
dan air embun.

Dalam kitab Kifayatul Akhyar dan Al-Fiqh Asy-Syafii Al-Muyassar disebutkan


dalil-dalil terperinci tentang kesucian tujuh jenis air ini:

Untuk air hujan, dalilnya adalah firman Allah taala:

Artinya: Dan Dia menurunkan kepada kalian air (hujan) dari langit untuk menyucikan
kalian dengan air itu. (QS. Al-Anfaal [8]: 11)

Untuk air laut, dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat ditanya
tentang air laut:

Artinya: Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Diriwayatkan oleh Imam Hadits
yang lima. Dan at-Tirmidzi (69) berkata tentang hadits tersebut, Hadits ini hasan
shahih)

Untuk air sumur, dalilnya adalah hadits:

: :

Artinya: Para shahabat bertanya, Wahai Rasulullah, Engkau berwudhu dengan air
sumur Budhaah, sedangkan sumur tersebut digunakan oleh orang yang beristinja,
perempuan haid, dan orang junub? Nabi menjawab, Air itu suci, tidak dinajiskan oleh
apapun. (Dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Imam Ahmad dan
selainnya)

Air sungai dan air mata air hukumnya sama dengan air sumur, karena asalnya sama.

Adapun kesucian air salju dan air embun, adalah karena adanya hadits Nabi yang
menyebutkan doa iftitah, dan di dalamnya dsebutkan kesucian air salju dan embun:

Artinya: Wahai Allah, jauhkan aku dan dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan
antara timur dengan barat. Wahai Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa-dosa
sebagaimana baju putih yang bersih dari kotoran. Wahai Allah, cucilah aku dengan air
salju dan air embun. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Walaupun tanpa perincian seperti di atas, pada dasarnya bersuci itu bisa dilakukan
dengan setiap air yang keluar dari bumi dan turun dari langit. Selama ia masih memiliki
sifat air murni, tanpa tercampur dengan yang lainnya, dan tidak berubah sifatnya, yaitu
warna, rasa, dan baunya. Ini yang dijelaskan oleh Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqh Al-
Islami wa Adillatuhu.

Pembagian Air Ditinjau Dari Sisi Bisa Atau Tidaknya Digunakan Untuk Bersuci

1. Air Muthlaq

Air muthlaq adalah air murni, tanpa disifati dengan sifat-sifat yang menyebabkan ia
berubah dari keadaannya sebagai air murni. Air jenis ini bisa digunakan untuk
menghilangkan najis dan mengangkat hadats.

Dasar kesucian air muthlaq ialah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (217) dan
selainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata: Seorang Arab badui
kencing di masjid, kemudian orang-orang menghampirinya untuk menghardiknya, maka
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

:

Artinya: Biarkanlah dia, dan siramkanlah seember air di tempat kencingnya itu.
Sesungguhnya kalian diutus untuk menjadi orang-orang yang memudahkan, bukan
menjadi orang-orang yang menyusahkan.

2. Air musyammas

Air musyammas adalah air yang dipanaskan dalam bejana logam dengan memakai
panas matahari. Air ini suci dan menyucikan, karena ia masih memiliki sifat air muthlaq,
namun ia makruh digunakan.

Imam Asy-Syafii dalam Al-Umm meriwayatkan atsar dari Umar radhiyallahu anhu
bahwa beliau memakruhkan mandi dengan air musyammas. Namun Ibnu Hajar
Al-Asqalani menyatakan bahwa dalam atsar ini terdapat rawi yang dhaif jiddan.

Imam Asy-Syafii juga berkata: Aku tidak memakruhkan air musyammas, kecuali karena
memperhatikan aspek kedokteran (kesehatan). Air ini makruh, karena dianggap dapat
menyebabkan penyakit kusta.

Air musyammas ini baru dianggap makruh jika memenuhi dua ketentuan:

(a) Ia berada dalam wadah logam, seperti besi, tembaga, dan semisalnya.

(b) Digunakan di daerah yang sangat panas, seperti Hijaz dan semisalnya.

Jika tidak memenuhi dua ketentuan di atas, maka air musyammas tidak makruh
digunakan.
Ini merupakan pendapat resmi madzhab Syafii. Sedangkan sebagian fuqaha
Syafiiyyah, seperti An-Nawawi dan Ar-Ruyani, menyatakan air jenis ini tidak makruh
digunakan.

3. Air Suci Namun Tidak Menyucikan

Maksudnya, air jenis ini suci, tidak najis, namun ia tidak menyucikan, sehingga tidak bisa
digunakan untuk menghilangkan najis atau mengangkat hadats.

Air suci namun tidak menyucikan ini terbagi menjadi dua, yaitu:

(a) Air Mustamal

Air mustamal adalah air yang telah dipakai untuk menghilangkan hadats.

Dalil kesuciannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (191) dan Muslim
(1616) dari Jabir ibn Abdillah radhiyallahu anhu, dia berkata:


Artinya: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang untuk menjenguk aku ketika aku
sakit dan hampir tak sadarkan diri. Beliau berwudhu dan menuangkan air bekas
wudhunya kepadaku.

Seandainya air bekas wudhu tidak suci, maka beliau tidak akan menuangkannya
kepada Jabir ibn Abdillah.

Adapun dalil bahwa air mustamal tidak menyucikan (maksudnya tidak bisa digunakan
untuk thaharah) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (283) dan selainnya dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Artinya: Janganlah salah seorang di antara kalian mandi di air yang tidak mengalir,
sedangkan ia dalam keadaan junub.

Orang-orang bertanya ke Abu Hurairah: Wahai Abu Hurairah, kalau begitu apa yang
harus ia lakukan?, Ia menjawab: Ia harus menciduknya.

Hadits ini menunjukkan bahwa mandi dengan berendam di air tersebut akan
menghilangkan sifat menyucikan air tersebut, jika tidak, tentu Nabi tidak melarangnya.
Ini kemungkinan karena air tersebut jumlahnya sedikit.

Hukum berwudhu di air seperti ini sama dengan hukum mandi, karena hakikatnya sama,
yaitu menghilangkan hadats.

Menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Syafii, sifat tidak menyucikan pada air
mustamal ini adalah untuk menghilangkan hadats yang fardhu, semisal basuhan
pertama pada anggota wudhu yang wajib dibasuh. Adapun untuk thaharah yang sunnah,
semisal basuhan kedua dan ketiga pada anggota wudhu, maka air bekas basuhan ini
tetap suci menyucikan.

(b) Air yang Tercampur dengan Benda-benda yang Suci

Air jenis ini tidak lagi bisa menyucikan, karena ia telah berubah dari keadaannya
sebagai air muthlaq, akibat percampurannya dengan benda-benda lain, sehingga
mengubah sifatnya. Adapun jika percampurannya sedikit, sehingga tak mengubah sifat
air muthlaq, maka menurut pendapat yang paling shahih, ia tetap suci dan menyucikan.

Benda-benda suci di sini maksudnya adalah benda yang biasanya tidak dibutuhkan oleh
air dan tidak mungkin memisahkannya jika telah tercampur dengan air, misalnya misk
(minyak kesturi), garam, dan lainnya.

Menurut pendapat yang shahih dalam madzhab Syafii, perubahan sifat pada air
muthlaq, sehingga ia tak bisa lagi dianggap menyucikan, cukup pada perubahan salah
satu sifatnya saja, baik warna, rasa, maupun baunya, tak perlu perubahan ketiga sifat ini
sekaligus.

4. Air Najis

Air najis yang dimaksud di sini adalah air yang jumlahnya sedikit, kurang dari 2 qullah,
yang terkena benda-benda najis, walaupun air tersebut tidak berubah sifatnya. Atau air
yang jumlahnya lebih dari 2 qullah, yang terkena benda-benda najis, kemudian berubah
sifatnya, baik warna, rasa, atau baunya.

Ukuran 2 qullah kira-kira sejumlah 500 kati yang digunakan penduduk Baghdad,
berdasarkan pendapat yang paling shahih dalam madzhab Syafii. Dalam ukuran
sekarang, menurut Al-Bugha, kira-kira sepadan dengan 190 liter atau luas kubus yang
panjang sisinya 58 cm. Ada juga yang memperkirakan ukurannya sekitar 270 liter,
sebagaimana disampaikan oleh Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.

Mengenai air yang jumlahnya tidak sampai 2 qullah, Imam Hadits yang Lima (Imam
Ahmad dan para penulis As-Sunan Al-Arbaah) meriwayatkan dari Abdullah ibn Umar
radhiyallahu anhuma, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda ketika beliau ditanya tentang air yang berada di padang pasir yang
diminum oleh binatang-binatang buas dan binatang-binatang ternak. Beliau menjawab:

Artinya: Jika airnya mencapai 2 qullah, maka ia tidak mengandung najis.

Dalam lafazh Abu Dawud (65), dikatakan:


Artinya: Ia tidak menjadi najis.

Binatang buas adalah adalah setiap hewan yang memiliki taring yang digunakan untuk
memburu hewan-hewan lainnya.

Mafhum dari hadits ini adalah jika air tidak sampai 2 qullah, maka ia menjadi najis,
walaupun air tersebut tidak berubah. Pemahaman ini ditunjukkan dan didukung oleh
Hadits riwayat Muslim (278) dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


Artinya: Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidur, janganlah ia
memasukkan tangannya ke dalam bejana, sampai ia mencucinya tiga kali, karena ia
tidak tahu di mana tangannya bermalam.

Hadits di atas menjelaskan bahwa orang yang bangun tidur dilarang memasukkan
tangannya ke dalam bejana karena dikhawatirkan tangannya kotor oleh najis yang tidak
kelihatan. Dan kita ketahui, najis yang tidak kelihatan zatnya tidak akan mengubah
keadaan air. Artinya larangan Nabi tersebut menunjukkan persentuhan tangan yang
bernajis dengan air dalam bejana akan menyebabkan air tersebut menjadi najis,
walaupun keadaannya tidak berubah.

Adapun dalil najisnya air yang bercampur benda najis, dan menyebabkan keadaannya
berubah, walaupun air tersebut telah mencapai 2 qullah adalah ijma. Dalam Al-Majmu
disebutkan bahwa Ibnul Mundzir berkata, Para ulama ijma bahwa air yang sedikit atau
banyak, jika bercampur dengan najis, lalu air tersebut berubah rasa, warna, atau
baunya, air tersebut menjadi najis.

Adapun hadits:

Artinya: Air itu suci dan menyucikan, tidak bisa menjadi najis oleh apapun, kecuali oleh
sesuatu yang mengubah rasa atau baunya.

Hadits tersebut adalah hadits dhaif. Imam An-Nawawi mengomentarinya: Tidak sah
berhujjah dengan hadits ini. Beliau melanjutkan: Imam Asy-Syafii rahimahullahu taala
menukil kedhaifannya dari para ulama hadits.

Wallahu alam bish shawwab.

Referensi:

1. At-Tadzhib fi Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, karya Prof. Dr. Mushthafa Dib Al-
Bugha

2. Kifayatul Akhyar fi Hall Ghayah Al-Ikhtishar, karya Taqiyuddin Al-Hishni

3. Al-Fiqh Asy-Syafii Al-Muyassar, karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili

4. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili

5. Al-Mausuah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, karya Kumpulan Para ulama

6. Al-Umm, karya Imam Asy-Syafii

Jenis-Jenis Air Untuk Bersuci Madzhab Syafii

27 Agustus 2015 Abah Aisya Tinggalkan komentar

Air yang sah digunakan untuk bersuci ada 7 (tujuh) :

Air langit (turun dari langit / hujan)

Air laut (air asin)


Air sungai (air tawar)

Air sumur

Air dari sumber mata air

Air salju

Air embun

Ketujuh air ini dapat dikumpulkan dengan air yang turun dari langit, keluar dari bumi
yang merupakan sifat alaminya.

Dalilnya adalah surah Al-Anfaal : 11,

dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan
hujan itu

:
( ) : .

:(69)

Riwayat Abu Hurairah r.a. Ia berkata bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, kami berlayar di laut sedang kami hanya membawa
bekal sedikit air, apabila air itu kami gunakan untuk berwudhu, maka kami akan
kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut? Rasulullah SAW, bersabda: Laut
itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Lima Imam Hadis) Imam Tirmidzi berkata:
Hadis ini hasan sahih.

Maksud halal bangkainya adalah bangkai binatang laut, seperti ikan dan lainnya itu
boleh dimakan tanpa disembelih secara syari.
Kemudian, air terbagi menjadi 4 jenis :

Air yang suci dan mensucikan bagi selainnya dan tidak makruh yaitu air muthlaq. Dalil
kesucian air mutlaq adalah hadits yang diriwayatkan dari Imam Bukhari dan lain-lain,

:

: ) :
( .

[ : . :] .

Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Ada seorang Badui berdiri di dalam masjid dan
kencing, orang-orang segera berdiri hendak memarahinya, tapi Nabi SAW, bersabda:
Biarkan dia, tuangkan saja satu timba air pada bekas kencingnya. Kamu semuanya
diutus untuk memberi kemudahan, bukan untuk memberi kesulitan. (HR. Bukhari dan
yang lainnya).

Air yang suci dan mensucikan tapi makruh digunakan yaitu air musyammasy (air yang
panas disebabkan cahaya matahari). Makruh menggunakannnya di badan, tapi tidak
makruh dipakaian. Hal itu dimakruhkan, karena menurut suatu pendapat dapat
menyebabkan penyakit kulit, belang atau memperparah penyakit kulit. Hukum makruh
berlaku jika dipanaskan di bejana logam selain emas dan perak dan di daerah yang
panas, seperti daerah Hijaz. Dimakruhkan juga air yang panas dan dingin sekali. Jika air
tersebut telah dingin maka hilanglah kemakruhannya.

Air yang suci tapi tidak mensucikan yaitu air mustamal yaitu air yang telah digunakan
untuk mengangkat hadats atau menghilangkan najis.

Dalil kesucian air macam ini adalah hadis Nabi SAW :

:
.

[ : . : ] .

Dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata: Rasulullah SAW. Pernah datang menjenguk aku
ketika aku sedang sakit tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu, lalu
menuangkan air bekas tumpahan air wudhunya kepada saya. (HR. Bukhari dan
Muslim)

Andaikata tumpahan air wudhu itu tidak suci, tentu beliau tidak menumpahkannya pada
Jabir.

Dalil bahwa air tersebut tidak dapat mensucikan adalah hadis Nabi SAW:

.( ) : :
: :.

Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW, telah bersabda: Janganlah salah di
antara kamu mandi di dalam air yang tidak mengalir, sedangkan ia dalam keadaan
junub. (HR. Muslim). Para sahabat bertanya kepada Abu Hurairah: Kalau begitu
bagaimana cara mandi junub dengan air yang tidak mengalir?

Abu Hurairah menjawab, Dengan cara menciduknya

Hadis riwayat Abu Hurairah tersebut memberi pengertian, bahwa mandi dengan
berendam di dalam air yang diam itu dapat menghilangkan kesucian air. Jika tidak
demikian, tentu beliau tidak melarangnya. Kasus ini ada kemungkinan berkaitan dengan
air tenang yang sedikit. Hukum berwudhu di dalam air yang tidak mengalir dan sedikit itu
sama dengan hukum mandi, karena tujuannya sama yaitu menghilangkan hadas.

Termasuk air suci namun tidak menyucikan adalah air yang berubah karena bercampur
dengan benda-benda suci lainnya, dimana benda suci tidak mungkin dipisahkan dari air
jika telah bersatu dengannya, misalnya misik, air mawar, garam, kopi, dan lain-lainnya.
Air semacam ini dianggap tidak menyucikan lagi sebab tidak disebut air murni,
melainkan air campuran.

Namun, jka tidak menghilangkan sifat air mutlaknya misalnya bercampur dengan benda
suci yang masih bisa dipisahkan seperti plastik maka air tersebut masih tetap dalam
kesuciannya meski banyak berubah. Demikian juga benda-benda yang biasa ada dalam
air maka air tersebut tetap suci mensucikan seperti tanah, lumut, sesuatu yang ada
pada bawah air atau pada tempat lalu air.

Air najis yaitu mutanajjis (terkena najis) dan terbagi menjadi dua : Pertama, yang
terkena najis didalamnya baik berubah atau tidak yaitu air yang kurang dari dua qullah.
Dalilnya adalah hadis Nabi SAW :

:
) ) ( :
( ) :(65.

[ : . : . :].

Dari Abdillah bin Umar r.a, ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW, ditanya
tentang air di padang pasir dan air yang didekati binatang-binatang buas dan binatang-
binatang ternak. Maka beliau bersabda: Apabila air telah mencapai dua qullah, maka
tidak mengandung najis. (HR. Lima Imam Ahli Hadis). Sedangkan redaksi Abu Dawud,
sesungguhnya ia tidak najis.

Pemahaman hadis di atas adalah air jika kurang dari dua qullah terkena najis, maka air
tersebut menjadi najis, sekalipun tidak berubah.

Pengertian ini di kuatkan oleh hadis Nabi SAW.:

) : :
( .
Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW. Telah bersabda: Apabila salah
seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka janganlah langsung mencelupkan
tangannya kedalam tempat air sebelum membasuhnya 3 kali, sebab ia tidak mengetahui
kemana tangannya meraba-raba sewaktu ia tidur. (H.R Muslim)

Dalam hadis diatas, Rasulullah SAW melarang setiap orang yang baru bangun dari
tidurnya memasukkan tangannya kedalam air, karena khawatir tangan orang itu terkena
najis yang tidak terlihat, dan telah maklum, bahwa najis yang tidak terlihat itu tidak dapat
merubah air menjadi najis hanya dengan persentuhan saja. Jika bukan karena hal itu
bisa menajisi air, niscaya beliau tidak melarang tersebut.

Dikecualikan dari jenis ini adalah mayat binatang tanpa darah ketika dibunuh atau
dipotong bagian tubuhnya seperti lalat, capung, dengan catatan tidak sengaja
melemparkannya jika tidak mengubah airnya. Demikian juga najis yang tidak dilihat
mata. Kedua hal tersebut tidak membuat air menjadi najis.

Kedua, air dua qullah yang terkena najis namun berubah salah satu sifatnya yaitu
warna, rasa, dan baunya. Dalil bahwa air telah mencapai dua qullah yang telah berubah
akibat tercampur benda najis adalah ijma ulama. Dalam kitab Al-Majmu diterangkan,
Imam Ibnu Al-Mundzir berkata: Para ulama telah sepakat, bahwa air sedikit atau banyak
jika terkena najis yang merubah (mempengaruhi) rasa, warna dan baunya, maka air
tersebut menjadi najis.

Adapun mengenai hadis berikut:

(
)

Setiap air itu suci dan menyucikan, tidak dapat dibuat najis oleh suatu apapun, kecuali
oleh sesuatu yang dapat merubah rasa atau baunya.

Ini sanadnya dianggap lemah. Imam Nawawi berkata: Hadis di atas tidak sah dijadikan
dasar. Imam As-Syafii mengutip penilaian lemah terhadap hadis di atas dari pakar ilmu
hadis. (Al-Majmu I/60)
2 qullah adalah 500 ritl Baghdad menurut pendapat yang lebih kuat. Takaran dua qullah
itu sama dengan 190 liter, atau bak berukuran 58 cm persegi.

Air kelima yang ditambahkan oleh pengarang Fathul Qorib adalah air yang mensucikan
tapi haram seperti berwudhu dengan air curian.

Rujukan :

Matni Ghayti wa At-Taqrib. Al-Qadhi Syihabuddin Abu Syuja Ahmad bin Husain.
Maktabah Syamilah.

Fath Al-Qorib Al-Mujib fii Syarhi Alfaazhi At-Taqriib. Muhammad Bin Qosim
Syamsuddin Al-Ghozy. Dar Ibnu Hazm. 2005. Maktabah Syamilah.

At-Tadzhib fii Adillati Matni Ghayti wa At-Taqrib. Mushtafa Dib Al-Bugha. Dar Ibnu
Katsir Dimasyqi. 1989. Maktabah Syamilah.

Das könnte Ihnen auch gefallen