Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Abstract: In the Tajfel & Turners social identity theory perspective (in Ellemers et.
al., 2002), poor people living in urban areas are more likely to experience social
categorization based on socio-economic status. Rich people tend to be considered as
having positive identity status; while, poor people have negative identity status. It can
be assumed from Social Identity Theory (SIT) that people with negative identity status
would face identity threats. Therefore, this research was aimed to explore how a poor
family living in Surabaya, an urban area, experiences their poverty, deal with it, and
what strategies they employed to treat identity threats to maintain positive identity.
This research used a qualitative approach with case study method. Participants of this
research were a poor family in Surabaya consists of a couple and a daughter who were
recruited using purposive sampling. Data collected using semi-structured interviews
and observation and analyzed using Thematic Analysis (TA). The analysis reveals
three main themes, namely perceiving poverty condition, response to the poverty
conditions, and strategies to resolve identity threats and maintain positive identity. In
general this study found that the difficulty to find a job, severe life changing, and
inability to fulfil their daily needs becomes the difficult situations the participants
should face. Furthermore, all members of the family told that they experience some
extents of social discrimination and inappropriate treatments from the surroundings.
However, some degrees of social supports were also received from government,
neighbourhood and relatives. The participants respond to the poverty situations in
emotional states such as feeling sad, anxious, and angry but they still have the
expectation for better future life primarily for their children. Finally, they adopted
intrapersonal and interpersonal strategies to alleviate threats to their identity as poor
people in order to maintain their positive identity. Overall, results show that all the
participants are able to adapt with the poverty situation and show the tendency to deal
with the psychological problems caused by the poverty in active and positive ways.
Keywords: poor family, poverty, coping identity threats
Abstrak: Berdasarkan Teori Identitas Sosial dari Tajfel & Turner (dalam Ellemers
dkk, 2002), orang miskin perkotaan akan cenderung dikategorikan dalam hal status
sosial-ekonomi. Dalam pengkategorian ini, orang miskin akan memiliki status
identitas negatif karena berada dalam posisi lebih rendah. Teori identitas sosial
mengasumsikan bahwa individu dengan status yang negatif akan menghadapi
ancaman identitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebuah
keluarga miskin menjalani kehidupannya terkait dengan situasi kemiskinannya dan
strategi untuk mengatasi ancaman identitas karena situasi tersebut. Penelitian ini
120
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: 121
Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang sulit untuk diatasi
hingga saat ini. Data orang miskin di seluruh propinsi di Indonesia yang
dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2012 berjumlah 28.594.700
jiwa dengan rincian 10.507.800 jiwa berada di kota dan 18.086.900 jiwa tinggal
di desa (BPS online, 2013). Sejak tahun 2004, BPS (dalam Siahaan, 2011)
mendefinisikan kemiskinan bukan hanya dari ketidakmampuan secara
ekonomi saja, tetapi juga kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar. BPS
Indonesia menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang
secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar. Konsep
kemiskinan dirumuskan dengan berbasis hak, yaitu hak dalam memenuhi
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan
perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik (Siahaan, 2011).
World Bank (dalam Harack, 2010) mendefinisikan kemiskinan menjadi
tiga, yaitu kemiskinan yang ekstrim, kemiskinan yang moderat, dan
kemiskinan yang relatif. Kemiskinan ekstrim dialami oleh mereka yang
memiliki total pendapatan kurang dari $1 US Dollar per hari. Kemiskinan
moderat dialami oleh mereka yang memiliki total pendapatan $2 US Dollar per
hari. Kemiskinan moderat ini memungkinkan mereka untuk memenuhi
122 Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus. Studi kasus
adalah suatu penelitian kualitatif yang berusaha menemukan makna,
menyelidiki proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang
mendalam dari individu, kelompok, atau situasi (Emzir, 2010:20). Studi kasus
dalam penelitian ini menggunakan tipe studi kasus instrinsik. Penelitian ini
bertujuan untuk memahami secara utuh suatu kasus yang akan di teliti dan
tidak ada maksud untuk membangun suatu teori baru atau menghasilkan suatu
rekomendasi kebijakan (Yin, 2000). Kasus yang diangkat dalam penelitian ini
adalah bagaimana sebuah keluarga miskin memahami situasi kemiskinannnya
dan bagaimana cara mereka untuk menjaga identitas dirinya tetap positif.
Partisipan
Pengambilan partisipan pada penelitian ini menggunakan kriteria
kemiskinan dari BPS, yaitu : (1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang
lebih 3 x 7 m2 untuk sembilan orang, (2) Jenis dinding tempat tinggal terbuat
dari tembok tanpa diplester, (3)Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau
fasilitasnya digunakan bersama-sama dengan rumah tangga lain, (4)
Pendapatan tidak tentu atau maksimal Rp 600.000 per bulan, (5) Tidak memiliki
tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda
motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal
lainnya. Sebuah keluarga di Surabaya yang memiliki karakteristik tersebut di
atas berhasil direkrut. Ayah berlatarbelakang pendidikan SMA dan tidak
memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang tetap, yaitu sebagai tukang becak;
ibu tidak bekerja dan memiliki latarbelakang pendidikan SD; dan 3 orang anak,
yaitu dua orang putra (satu masih duduk di Sekolah Dasar (SD) dan satunya
lagi sudah lulus Sekolah Menengah kejuruan (SMK) dan telah bekerja hampir
setahun sebagai pelayan restoran; dan seorang lagi perempuan usia 17 tahun
yang menginjak tahun kedua di SMK jurusan Pemasaran. Hanya ayah, ibu, dan
anak perempuan yang berhasil direkrut dalam penelitian ini. Anak yang
bungsu tidak dijadikan partisipan karena masih kecil, sedangkan anak pertama
tidak bersedia diwawancarai. Dalam artikel ini, nama samaran untuk ayah
adalah Jamal, Wati untuk ibu, dan Siska untuk putrinya.
Teknik Pengumpulan
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara semi-terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara
umum. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap
lima hal pokok, yaitu data demografis, kegiatan sehari-hari, diri dalam interaksi
sosial, dampak dari interaksi sosial, dan respon atas kondisi sosial terkait
kemiskinan. Sebelum melakukan wawancara, proses pendekatan terhadap para
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: 125
Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
Hasil
Penelitian ini berhasil mengindentifikasi tiga superordinat tema yaitu
situasi kemiskinan yang dihadapi, respon terhadap situasi kemiskinan, dan
strategi mengatasi ancaman identitas.
*+ jualan kayak orang-orang yang biasae jualan ndek depan itu lho, nah
aku emoh, nanti dipikir ngerebut rejekinya orang kalau kembaran kan gak
enak (berjualan seperti orang-orang di depan sana, tapi saya menolak
karena nanti orang-orang pikir saya merebut rezeki mereka karena
menjual barang yang sama). (Jamal B589)
Alasan Jamal bahwa ia tidak ingin merebut rezeki orang-orang yang telah
berjualan sebelumnya tampaknya mengindikasikan kecenderungannya untuk
lebih memilih hidup harmonis dengan orang di sekitarnya daripada meraih
peluang kerja secara kompetitif. Namun alasan tersebut juga bisa ditafsirkan
sebagai rendahnya motivasi Jamal untuk bekerja dengan cara berjualan.
Akhirnya Jamal memutuskan menjadi tukang becak. Awalnya, ia
menyewa becak dan setiap harinya harus menyetor dua ribu rupiah kepada
pemiliknya. Namun, akhirnya Jamal memiliki becak sendiri yang dibelikan
oleh anak pertamanya. Sebagai tukang becak, penghasilan Jamal tidak
menentu.
*+ Jamannya Pak Harto kan masih enak gitu, sepeda motor kan masih
jarang itu. Dulu dapet 40 (ribu) itu ya sudah untung itu. Sekarang
jangankan 40 (ribu), 10 ribu aja bingung (sulit). (Jamal B58)
Jamal melihat bahwa penghasilan tukang becak pada zaman dulu masih
lebih baik daripada saat ini. Ia merasa pada masa kekuasaan Presiden Soeharto
lebih mudah untuk mencari uang. Kemudahan bagi banyak orang saat ini
untuk membeli alat transportasi, terutama sepeda motor, membuat
penghasilannnya cenderung menurun.
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: 127
Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
Ya ini, saya gak (tidak) bisa ngomong ini. Soalnya gak pasti, kadang 20
(ribu), pernah satu hari itu gak dapet sama sekali. (Jamal B76)
Kalau sepi itu ya gak dapat uang blaass (sama sekali), tapi ya kalau ramai,
mencapai 75, kadang 50 (ribu) (Wati B35)
Penghasilan yang kecil dan tidak menentu membuat Jamal dan istri
menghemat. Mereka membuat prioritas kebutuhan. Istri Jamal, Wati,
mengatakan:
Iya, dibagi. Tapi biasanya dibuat sangunya (uang saku) yang sekolah
dulu. Trus bapaknya itu bilang yowes gampang masake ngkok nek enthuk
maneh. Gae sangue arek-arek disik ae (ya sudah, uang makannya nanti
dulu kalau dapat uang lagi. Uang yang ada untuk uang saku anak-anak
dulu saja). (Wati B89)
Saya sudah gak mungkin mampu belikan anak, buat makan aja susah *+
(Jamal B759)
Ya gak ada, mesti wes habis hari ini. Nek sisa itupun buat besoknya kalo mbecak
sepi. Ya gak tabung-tabungan wes. (Tidak ada yang ditabung, uangnya
sudah pasti habis untuk hari ini. Kalaupun ada, saya simpan untuk besok
kalau tidak dapat uang. Jadi tidak ada yang ditabung). (Jamal B852)
Kan di SMP masih nunggak, rekreasi dulu kan belum bayar trus ijazahku
ditahan (Siska B638)
128 Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
*+ tiap harinya sangunya (uang sakunya) cuman 5 ribu tok (saja). (Siska
B94)
Siska mengaku uang saku tersebut sudah termasuk uang makan, uang
transport, dan uang pengeluaran tak terduga seperti uang buku, uang kas
kelas, uang fotokopi materi, dan lain-lain. Siska sering merasa kekurangan dan
mengalami kesulitan dalam mengatur uang sakunya yang sedikit itu.
Itu ada butuh buku besar buat pembukuan. Sama guruku disuruh beli,
tapi saya bilang, bu, saya tidak bisa beli. Kenapa? (Gurunya bertanya). Iya
bu, saya gak ada uang (Siska B692)
Ini ibunya ini tak suruh (saya suruh) utang beras ke tetangga, (kalau)
ikannya gampang, pokoke beras dulu. (Jamal B145)
Itu dulu kan biasanya dadakan (mendadak) gitu ya, tiba-tiba langsung beli
buku, minjem (pinjam) uang kas gitu, minjem (pinjam) poo, besok tak
kembaliin (Biasanya beli bukunya itu secara tiba-tiba. Jadi saya harus
pinjam uang kas dulu, besok saya bayar). (Siska B217)
Nggak usah rek, ngkok aku gak isok mbalekno, cilik-cilik kok utang, padane aku
wes kerjo ae (tidak usah, nanti saya tidak bisa mengembalikan uangnya,
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: 129
Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
masih kecil kok sudah hutang, iya kalau aku sudah kerja). *+ (Siska
B612)
Dukungan Sosial
Di sekolahnya, siswa harus belanja di minimarket sekolah dengan total
nota pembelian seharga 75.000 rupiah per bulan sebagai pengganti uang SPP
(sumbangan pokok pendidikan). Siska mengaku sering kesulitan untuk
mencapai jumlah yang ditetapkan.
Kalau aku waktu itu ribet nyari uang (sulit cari uang), soalnya yang uang
belanja itu masih kurang 200 ribu kan, kalau masih kurang, (bisa) gak naik
kelas. (Siska B960)
[] Trus itu kan ada anak dapet (mendapat) bantuan (beasiswa) dari
pemerintah gitu 700 ribu-an. Trus saya diajak ke guru saya, bu ini, temen
saya gak (tidak) mampu membeli buku, saya boleh bantu (membantu) dia
pake (pakai) uang ini gak (tidak) bu? Lalu, katanya guru, ya boleh, nak.
Trus, rok saya yang batik itu juga dibeliin (dibelikan) sama teman-teman,
sepatu dan juga dikasih. Waktu awal kelas 2 dulu, saya memakai tas biasa
seperti tas pengajian. Lalu teman-teman saya menegur saya dan besoknya
saya diberi tas. *+ (Siska B800)
Dukungan utama datang dari anak pertama mereka. Tidak jarang anak
pertama tersebut membantu biaya sekolah adiknya dan terkadang membelikan
adiknya tas dan sepatu.
130 Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Saya tidak pernah diberi uang langsung oleh anak saya yang pertama.
Dia hanya membantu uang sekolah adik-adiknya, terkadang untuk bayar
ini, bayar ini. Kalau anak-anak minta saya, saya tidak mungkin memberi
karena tidak uang, makanya itu kakaknya kasihan dan akhirnya diberi
uang (Jamal B167)
Iya dapet (bantuan), dulu BLT (Bantuan Langsung Tunai) juga dapet .
*+ (Jamal B707)
*+ beras raskin kita gak beli. Mungkin pak RT-nya itu kasihan, (Pak
RT-nya berkata) wes gak usah tuku, dikeki ae (sudah, tidak usah beli,
gratis). (Jamal B273)
Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa rumah mereka memiliki luas
sekitar 3 x 7 m2 yang ditempati oleh sembilan orang, berlantaikan plester,
memiliki atap rumah yang sudah rapuh dan banyak bekas bocoran air.
Terdapat tiga ruang yang sempit. Ruang paling depan dijadikan sebagai ruang
tamu, namun banyak terletak barang-barang yang sudah tidak terpakai dan
hanya memiliki satu kursi yang sudah usang. Ruang selanjutnya, dibelakang
ruang tamu adalah tempat berkumpulnya keluarga, terdapat sebuah televisi
ukuran 14 inchi, tempat tidur, dan lemari. Yang terakhir adalah dapur. Tidak
ada kamar mandi/WC didalamnya. Mereka biasa menggunakan kamar
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: 131
Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
*+ Trus kan disuruh bentuk kelompok display waktu itu, tapi gak ada
yang mau (saya gabung ke mereka). Kan kalau misal kelompok-an gitu kan
urunan-urunan gitu kan (Mungkin karena saya tidak mempunyai uang
untuk membayar iuran kelompok itu). Kan saya juga gak punya uang.
Saya itu kadang-kadang juga pinjem uang temen saya. Ada yang minjemi,
terkadang juga ada yang gak suka. (Siska B912)
Aku gak pernah ngajak itu, masalahnya kita kalah posisi. Aku orang bawah, dia
orang atas (saya tidak pernah mengajak beliau kerja bakti itu karena saya
kalah posisi dia kaya dan saya miskin). (Jamal B476)
Siska merasa rendah diri karena tidak memiliki laptop seperti teman-
temannya dan juga tidak punya cukup uang saku untuk makan di kantin.
Keterbatasan hidup tidak hanya membuat keluarga Jamal merasa berbeda
dengan orang lain, namun juga membuat mereka sedih. Perasaan sedih oleh
Jamal dan Wati muncul akibat ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan
anak-anak.
Kita bukannya malu tapi seakan-akan kita ini nangis batin, kok sampe
(sampai) begini, kasihan anak-anak. *+. Jadi istilahnya kita ini nangis
batin (Jamal B763)
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: 133
Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
Ya kasihan, tapi dalam keadaan begini kan gak (tidak) mungkin kita
memenuhi permintaan anak-anak. *+ (Wati B364)
Perasaan marah atau sensitif juga kerap kali dirasakan oleh keluarga
Jamal. Perlakuan negatif yang diterima dari Lurah membuat Jamal merasakan
perasaan marah.
Yo mangkel, wong Lurah kok gitu, gak mengayomi warganya kan ya. Sama
orang kecil berani, sama orang kaya malah kayak gitu (pastinya marah, tidak
selayaknya Lurah bersikap seperti itu, tidak mengayomi warganya. Hanya
berani dengan orang kecil saja). (Jamal B 562)
*+ Sampai kadang ada tetangga yang bilang, temenan lho yo, balekno lho
yo. Ya kan karena kita orang gak punya, jadi takut kalau gak dibalekno
gitu (mereka takut tidak dibayar karena saya kan orang tidak punya).
*+ (Wati B311)
Begitu pula dengan Siska yang merasa dirinya tidak cantik karena dia
berasal dari keluarga yang miskin.
Siska : Kan biasanya kalau anak-anak SMK kan yang cantik sama
yang cantik, nanti yang kaya sama yang kaya, trus ngelompok-
ngelompok (berkelompok) gitu kan. ( B449)
Peneliti : Menurutmu, cantik itu yang kayak gimana?
Siska : Ya kan yang dipilih itu yang biasanya (siswa) terkenal-terkenal
gitu kan, yang cantik.
Peneliti : Mereka yang cantik itu dari keluarga orang kaya?
134 Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Siska : Iya, kan mereka biasanya yang pake-pake tas, sepatu yang
bermerk gitu kan. (B308)
Strategi Intrapersonal
Hidup dalam keterbatasan ekonomi selama bertahun-tahun tidaklah
mudah bagi Jamal dan keluarga. Namun, Jamal, Wati dan Siska tampaknya
lebih berhasil menghadapi kemiskinan itu dengan cara menegaskan pandangan
mereka bahwa kemiskinan mereka memang sudah menjadi takdir Sang
Pencipta.
*.+ mana ada orang mau hidup kere (miskin). Maunya kan yang
mapan, syukur-syukur kalau berkecukupan, tujuan manusia memang
gitu. Tapi kalau nasibnya kayak (seperti) ini, masak mau berontak
(menolak). Yang penting kita syukuri, kita harus mensyukuri apa yang
kita terima. (Jamal B724)
Ya sudah, biasa aja. Wong wes ditakdirkan, kan jalannya sudah diatur sama
Yang Maha Kuasa (Biasa saja karena memang sudah ditakdirkan hidup
seperti ini oleh Yang Maha Kuasa). *+ (Wati - 232)
Gak sih, kalo ada target, takutnya sama Yang Kuasa malah gak
dikabulkan, wes dijalani aja (tidak ada target untuk mencapai cita-cita
karena khawatir tidak dikabulkan, dijalani saja). (Siska B876)
Yaaa.. seneng aja. soalnya masih banyak yang kurang mampu dari kita.
Kayak (seperti) anak-anak lainnya, kan gak bisa sekolah. Kita kan masih
untung bisa sekolah. Ya bersyukur aja. (Siska B881)
Strategi Interpersonal
Hal ini terkait dengan strategi Jamal dan keluarga untuk menjaga diri agar
tetap berarti di lingkungan sosialnya. Kesulitan ekonomi tidak menjadikan
Jamal berdiam diri di rumah. Ia aktif dilingkungannya RT-nya sebagai seksi
kebersihan.
*+ Ya saya di kampung kan sesi kebersihan. Kalau mau kerja bakti gitu
alat-alat kebersihan kan ya saya yang menyediakan. Jadi di kampung ini
kan satu bulan sekali kerjabaktinya. Saya minta persetujuan dari RT dulu,
gimana kalo minggu besok kerja bakti. Kalau RT-nya bilang iya, ya saya
bagikan kartunya itu. (Jamal B248)
Pembahasan
Jamal yang bekerja sebagai tukang becak sebenarnya mampu untuk
membangun usaha kecil, seperti berdagang jajanan atau mainan anak-anak di
depan rumahnya, namun Jamal menolak dan ia mengaku tidak ingin merebut
rezeki orang lain. Menurut Sarlito (1992), kehidupan kota memiliki fenomena
yang bersifat kompetitif yang sangat besar dan sifat hubungan antar personal
yang lebih dititikberatkan pada pertimbangan keuntungan secara ekonomis.
Namun, kenyataannya Jamal masih mempertimbangkan kepentingan orang
lain dalam lingkungan sekitarnya. Hal tersebut tampaknya terkait dengan
konsep diri Jamal yang cenderung bersifat interdependen. Menurut Matsumoto
136 Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
tidak nyaman Wati ketika berhutang pada tetangga lebih cenderung terkait
dengan respon atas sikap pemberi hutang yang menyangsikan kemampuan
keluarga Wati dalam mengembalikan hutang. Atas dasar alasan ini, dapat
dikatakan bahwa perasaan positif atau negatif penerima bantuan akan sangat
tergantung dari persepsi penerima atas sikap pemberi bantuan terhadap
mereka. Wawasan ini sesuai dengan kesimpulan penelitian Alvarez & van
Leuween (2011) yang menyatakan bahwa baik orientasi bantuan maupun
karakteristik pemberi bantuan sama-sama menentukan konsekuensi psikologis
pada diri penerima.
Seiiring datangnya dukungan sosial, tidak jarang keluarga Jamal
mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Dalam hal ini, stereotip orang
miskin bisa ditengarai menjadi penyebab orang bertindak negatif terhadap
orang miskin. Markum (2009) menguraikan berbagai stereotip terhadap orang
miskin, yaitu orang miskin diidentikkan dengan kotor, kumuh, malas, sulit
diatur, tidak disiplin, sumber penyakit, kekacauan, dan bahkan kejahatan,
sehingga mereka seringkali dijauhi. Jamal tidak diperlakukan layak oleh Lurah,
Wati merasa tidak dipercaya oleh tetangganya ketika dia berhutang, dan
Siska kadang tidak mendapatkan kelompok belajar karena dipersepsi tidak
mampu bayar iuran dan tidak memiliki sarana pendukung belajar memadai.
Pengalaman Siska meneguhkan hasil penelitian Crowley & Vulliamy
(dalam Ridge, 2009) yang melaporkan bahwa anak-anak atau remaja lebih
rentan merasakan implikasi negatif dari kemiskinan. Mereka memiliki peluang
yang sangat kecil untuk dapat berpartisipasi dalam lingkungan sebayanya dan
itu sebagian besar disebabkan oleh kesulitan keuangan yang dialami oleh
keluarga mereka. Padahal, usia remaja adalah usia dalam pencarian identitas
diri yang membutuhkan kehadiran orang lain, terutama teman sebaya, sebagai
pendukung perkembangannya (Christofides, Muise & Desmarais, 2009).
Perlakuan tidak menyenangkan tersebut membuat diri mereka merasa
berada didalam kelompok yang rendah sehingga menimbulkan perasaan
negatif pula, seperti perasaan minder, marah/sensitif, dan sedih. Festinger
(1954, dalam Kartono, 2011), menggambarkan perbandingan sosial akan
memposisikan mereka dalam kategori tertentu dalam kehidupan sosial mereka.
Perlakuan negatif yang mereka terima akan cendeung membuat mereka merasa
tidak layak dan tidak sejajar dengan orang lain sehingga mereka
mengkategorikan diri mereka ke dalam suatu kelompok yang inferior. Jamal
sebagai koordinator kebersihan di kampungnya juga merasa bahwa ia tidak
pantas untuk mengingatkan orang kaya yang tidak pernah kerja bakti dan
merasa minder ketika bertemu teman-teman sekolahnya. Wati merasa
disepelekan oleh tetangganya karena tidak diajak mendatangi hajatan
tetangganya dan dia mempersepsi hal itu disebabkan tetangganya
memlihatnya sebagai orang miskin. Hal yang sama juga dialami oleh Siska.
138 Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga Jamal sebagai keluarga
miskin yang tinggal di kota Surabaya mengalami berbagai situasi yang sulit baik
secara materiil maupun non-materiil. Mereka mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya sehingga harus berhutang dan kadang
menerima perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. Situasi-situasi tersebut
menimbulkan respon psikologis berupa perasaan sedih, minder, dan marah atau
sensitif. Mereka mengaku sering merasakan kesedihan atas tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan mereka. Selain itu, tinggal di lingkungan orang-orang
mampu membuat mereka cenderung merasa minder. Mereka merasa rendah diri.
Dua cara dilakukan oleh para partisipan, yaitu intrapersonal dan interpersonal.
Secara intrapersonal mereka mengevaluasi kemiskinannya sebagai kehendak Tuhan
atau takdir. Dengan cara ini, beban tanggungjawab pribadi mereka, terutama kepala
keluarga, untuk menjelaskan mengapa keluarga mereka miskin menjadi lebih
ringan. Mereka akhirnya juga bisa lebih menerima kondisi kemiskinan mereka
meskipun ada resiko mereka menjadi pasifistik. Secara interpersonal, Jamal
berupaya mendapatkan rasa berarti dengan mengklaim self-efficacy atau keyakinan
bahwa dia kompeten mengatasi hambatan dalam melakukan tugas untuk mencapai
tujuan dengan cara melibatkan diri sebagai pengurus RT. Sedangkan Siska, dalam
rangka untuk menjaga identitas diri yang positif, ia melakukan perbandingan
dengan orang-orang yang berada dibawah posisinya (downward social comparison)
dan dengan sadar berusaha lebih menonjolkan identitas akademiknya (identity
salience) sebagai siswa yang cerdas dari pada status sosial-ekonominya yang rendah.
140 Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Daftar Pustaka
Alvarez, K. & van Leeuwen, E. (2011). To teach or to tell? Consequences of
receiving help from experts and peers. European Journal of Social
Psychology, 41, 397402.
Badan Pusat Statistik (2013). Sosial dan Kependudukan: Kemiskinan. Diakses dari
http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1&id_subyek=23, pada
12 Juni 2013.
Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi Sosial. Jilid I. (edisi terjemahan).
Jakarta: Erlangga
Bishop, G.D. (1997). Health Psychology: Integrating Mind and Body. Boston : Allyn
& Bacon
Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology.
Qualitative Research in Psychology, 3, 77-101.
Breakwell, G. M. (1986). Coping with Threatened Identities. London and New
York: Methuen.
Christofides. E., Muise. A., & Desmarais. S. (2009). Information disclosure and
control on facebook: are they two sides of the same coin or two different
processes? Journal of Cyberpsychology & Behavior, 12 (3), 341-345.
Dewanta, A. S., dkk. (1999). Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta
: Aditya Media.
Ellemers, N., Spears, R., Doosje, B. (2002). Self and Social Identity. Annual
Review of Psychology. 53, 16186.
Diakses dari http://www1.psych.purdue.
edu/~willia55/392F/EllemersSpears Doosje.pdf pada tanggal 11 Februari
2013
Elliot, R., Fiscer, C. Y., & Rennie, D. L. (1999). Envolving Guidelines For
Publication Of Qualitative Reseaech Studies In Psychology And Related
Fields. British Journal of Clinical Psychology 38, 215-229.
Emzir. (2011). Metode Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers.
Gilbert, A. & Josef, G. (1996). Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Harack, Ben. (2010). How Do We Define Poverty. diakses dari
http://www.visionofearth.org/news/how-do-we-define-poverty/ pada
tanggal 15 Januari 2013
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: 141
Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya