Sie sind auf Seite 1von 159

Pencegahan

Primer : Konsultasi gizi untuk menerapkan pola


makan yang sehat
Konsumsi makanan yang banyak
mengandung zat besi, asam folat, vitamnin
C dan B12.
Hindari pemberian zat besi bersamaan
dengan susu, teh, kopi, minuman ringan
mengandung karbonat dan multivitamin
mengandung phosphate dan kalium
Skrining : Ibu hamil, bayi, anak usia sekolah

3
Terapi Algoritme Tatalaksana Anemia

4
Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan
Sulfas ferrosus Dosis 10 3 kali Diminum saat sedang
mg/KgBB/hari sehari makan, lama pemberian
1-3 bulan. Efek
Sediaan tablet 200 mg
samping mual, muntah,
heartburn, konstipasi,
diare, BAB kehitaman

Cyanocobalamin 1000 mcg 1 kali Absorbsi maksimal saat


sehari lambung kosong
Asam folat 1 mg 1-2 kali Terapi penunjang
sehari

Monitoring Pengobatan
Konsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi, asam folat,
vitamin C dan B12 secara rutin dan lakukan pemeriksaan darah yang
berhubungan dengan anemia secara rutin agar anemia Anda terkontrol.

Komplikasi
Pada anak tumbuh kembangnya terhambat
Pada ibu hamil risiko prematur, pertumbuhan janin terhambat, BBLR,
kematian janin
Gagal jantung
Gangguan sistem imun
Mudah terinfeksi penyakit

Daftar Pustaka
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Halaman 632-659. Jilid II, Edisi IV.
Editor : Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus
Simadibrata, Siti Setiati.Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.FKUI-
RSCM
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015.

5
II. Asma Bronkhial
No. ICPC-2: R96 Asthma
No. ICD-10: J45 Asthma
Definisi
Penyakit Asma adalah suatu penyakit inflamasi kronik jalan napas yang
melibatkan berbagai sel inflamasi dan elemennya yang ditandai dengan
obstruksi dan hipereaktivitas bronkus sehingga menyebabkan gejala
episodik berulang namun biasanya dapat membaik secara spontan ataupun
dengan pengobatan.
Etiologi
Faktor yang berperan terjadinya asma adalah faktor genetik dan faktor
lingkungan. Ada beberapa proses sebelum terjadinya asma sebagai berikut:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila
terpajan dengan pemicu (inducer/ sensitisizer) maka akan timbul
sensitisasi pada dirinya
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi
asma. Apabila seseorang yang telah mengalami terpajan dengan pemicu
(echancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses
inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasi yang berat secara
klinis berhubungan dengan hiperaktivitas bronkus
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan timbul serangan asma (mengi).

Berikut adalah pemicu terjadinya hiper-responsif pada penyandang asma:


1) Infeksi virus: rhinovirus, respiratory syncytial virus, virus influenza
2) Infeksi bakteri: Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumonia
3) Bahan-bahan di dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang, kecoa
4) Bahan-bahan di luar ruangan: tepung sari bunga, jamur
5) Makanan-makanan tertentu: bahan pengawet, penyedap dan pewarna
makanan
6) Obat-obatan tertentu: aspirin, NSAID, 1 bloker (misalnya propanolol)
7) Iritan: parfum, bau-bauan merangsang
8) Ekspresi emosi yang berlebihan
9) Asap rokok
10) Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
11) Exercise-induced asthma (asma kambuh ketika melakukan aktivitas
fisik tertentu)
12) Perubahan cuaca.

6
Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis berdasarkan gejala, riwayat, medis, dan pemeriksaan fisis
sangat berarti dalam menegakkan diagnosis asma.
Anamnesis
Keluhan (Subjektif) : Lebih dari satu gejala berikut: batuk
berulang, sesak napas, rasa berat di dada,
napas berbunyi (mengi).
Gejala sering memburuk malam hari atau
menjelang pagi,
Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan
intensitasnya,
Ada faktor pencetus.

Faktor Risiko : Faktor genetik: alergi, riwayat asma dalam


keluarga
Faktor lingkungan: allergen, infeksi
pernapasan, pajanan di tempat kerja, polusi
udara

Usia penderita : Bisa pada semua umur, biasanya anak-anak

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital : Frekuensi napas dan denyut nadi dapat
normal pada saat stabil (tidak eksaserbasi)
atau meningkat pada eksaserbasi akut.

Pemeriksaan respirasi 1. Dapat normal


2. Wheezing/mengi pada auskultasi, bilateral
dan lebih terdengar pada fase ekspirasi
saat terjadi eksaserbasi akut.
3. Penggunaan otot-otot bantu napas saat
eksaserbasi akut.

7
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Arus puncak : Perubahan (APE meningkat) 60
ekspirasi (APE) l/menit atau 20% setelah pemberian
menggunakan alat peak bronkodilator (short acting beta 2
expiratory flow rate meter agonis/ SABA, contoh: salbutamol)
(PEFR) mengindikasikan terdapat respons
bronkodilator atau kemungkinan
diagnosis asma.

Pemeriksaan Spirometri : Penilaian obstruksi jalan napas


(bila tersedia) berdasarkan rasio Volume Ekspirasi
Paksa detik pertama (VEP1) dan
Kapasitas Vital Paksa (VEP1/KVP)
yang normal di atas 75%. Di bawah
nilai tersebut dinyatakan sebagai
obstruksi jalan napas.

Pemeriksaan Radiologi : Foto toraks bisa tampak normal.


Diindikasikan untuk mencari
komplikasi saat eksaserbasi atau
memastikan diagnosis banding
lainnya.

Diagnosis Banding
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Bronkitis kronik
Gagal jantung kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis
Emboli paru
Disfungsi pita suara
Bronkiektasis
Kistik fibrosis

8
Penanganan Eksaserbasi Asma di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (dewasa, remaja, anak-anak 6-11 th)

14
Rujukan
Bila pengobatan tidak berhasil, dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut.
Kriteria pasien yang dirujuk adalah:
a. Pada serangan akut yang mengancam jiwa
b. Tidak respons dengan pengobatan
c. Tanda dan gejala tidak jelas dalam diagnosis banding, atau adanya
komplikasi atau penyakit penyerta (komorbid): seperti sinusitis, polip
hidung, aspergilosis (ABPA), rhinitis berat, disfungsi pita suara,
penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) dan PPOK
d. Dibutuhkan pemeriksaan/ uji lainnya diluar pemeriksaan standar
seperti uji kulit (ujialergi), pemeriksaan faal paru lengkap, uji
provokasi bronkus, uji latih (Cardiopulmonary Exercise Test),
bronkoskopi dan sebagainya.
16
Komplikasi
Pneumotoraks
Asma resisten terhadap steroid
Atelektasis
Gagal napas

Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi
dengan orang tua penyandang asma dengan cara yaitu:
1) Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan
masa perkembangan bayi/anak
2) Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak
yang telah tersensitisasi dengan cara menghindar pajanan asap rokok,
serta alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada
anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit dengan menghindari
pencetus

Daftar Pustaka
1. Global initiative for asthma. Global Strategy for asma management and
prevention (revised 2015).
2. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan asma di Indonesia. Jakarta: PDPI;2016
3. Pedoman Tatalaksana Asma. Dewan asma Indonesia. Jakarta. 2011.
4. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Asma di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Kemenkes. 2015.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015.

19
Obat-Obatan
Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan
Antitusif
Dekstrometh Dewasa 15-30 mg per 3-4 kali Diberikan selama 5
orfan (DMP) oral, maksimal 120 sehari hari, hati-hati
mg/hari penggunaan pada
Anak 6-12 tahun: 5-15 anak < 6 tahun,
mg per oral, maksimal tidak diberikan
60 mg/hari pada penyandang
Anak 2-6 tahun: 2.5- asma, PPOK
7.5 mg per oral,
maksimal 30mg/hari
Codein Dewasa 10-20 mg per 3-4 kali Diberikan selama 5
oral, maksimal 120 sehari hari, hati-hati
mg/hari penggunaan pada
Anak 6-12 tahun: 5-10 anak < 6 tahun,
mg per oral, maksimal tidak diberikan
60 mg/hari pada penyandang
Anak 2-6 tahun: 2.5-5 asma, PPOK
mg per oral, maksimal
30mg/hari
Expektorant dan Mukolitik
Guaifenesin/ Dewasa: 200 400 mg 3-4 kali Diberikan selama 5
GG per oral, maksimal sehari hari, hati-hati
2.4g/hari penggunaan pada
Anak 6-12 tahun: 100- anak < 6 tahun
200 mg per oral,
maksimal 1.2g/hari
Anak 2-6 tahun: 50-
100mg per oral,
maksimal 600 mg/hari
Bromhexin Dewasa 8 mg per oral 3 kali Diberikan selama 5
Anak 6-12 tahun: 4 mgsehari hari, hati-hati
per oral 2 kali penggunaan pada
Anak 2-6 tahun: 4mg sehari anak < 6 tahun
per oral untuk anak
2-6 tahun
Ambroxol Dewasa 30 mg per 2-3 kali Diberikan selama 5
oral, maksimal 120 sehari hari, hati-hati
mg/hari penggunaan pada
Anak 6-12 tahun: 15 anak < 6 tahun
23
Monitoring
Biasanya jarang diperlukan karena bronkitis dapat sembuh dalam beberapa
minggu. Pada pasien yang masih memberikan sisa gejala lakukan evaluasi
kemungkinan adanya penyakit kronik seperti asma, GERD, PPOK, infeksi
TB, dll.
Komplikasi
Bronkitis Kronis
Pneumonia
Atelektasis

Daftar Pustaka
1. Balter MS, La Forge J, Low DE, Mandell L, Grossman RF. Canadian
Guidelines for the
Management of acute exacerbations of chronics bronchitis; executive
summary. Can Respir J. Aug 2003. 248-58.
2. Michigan manajement of uncomplicated acute bronchitis in adult. May
2016. Smith SM, Fahey T, Smucny J, Beckey LA. The Cochrane
Collaboration, 2012, Issue 4; and inhaled corticosteroids for stable
chronic obstructive pulmonary disease(review), Yang IA, Clarke MS,
Sim EHA, Fong KM. The Cohrane Collaboration, 2012, Issue 7;
3. Knutson D, Braun C. Diagnosis and Management of acute bronchitis.
American Family Physician. Available at www.aafp.org/afp. May 2002.
Vol65. 2039-44
4. Harris, AM, Hicks LA, Qaseem A. Appropriate Untibiotics Use for
Acute Respiratory Tract Infection in Adults: Advice for High Value
Care From the American College of Physicians and The Centers for
Disease Control and Prevention. Ann Intern Med.2016;164:425-434
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015.

25
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Tanda : Tergantung dari luasnya lesi pada paru, bila
Vital kerusakan paru cukup luas maka pasien akan
terlihat sesak dengan frekuensi napas dan
frekuensi nadi meningkat
Pemeriksaan BMI Dapat ditemukan keadaan gizi kurang atau
malnutrisi
Pemeriksaan paru : Kelainan pada pemeriksaan fisis tergantung
dari luasnya kelainan atau kerusakan struktur
paru. Pada permulaan penyakit umumnya tidak
ditemukan kelainan. Kelainan paru umumnya
pada daerah lobus superior
Dapat ditemukan suara napas bronkial,
amforik, melemah, ronki basah

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah : Pemeriksaan darah rutin kurang
menunjukkan indikator spesifik untuk
TB. Laju endap darah (LED) yang
meningkat kurang spesifik
Pemeriksaan bakteriologik : Bila ditemukan 1 spesimen BTA positif
dari 2 atau 3 spesimen sputum
Pemeriksaan/tes uji cepat (bila ada
fasilitas)
Xpert MTB/Rif: bila deteksi M.Tb positif
: Pemeriksaan kutur M. Tb: tumbuh
kuman M. Tb
Pemeriksaan radiologis : Bayangan berawan/nodular di segmen
(foto toraks) apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kavitas, dapat dikelilingi oleh
bayangan opak berawan atau noduler
Bayangan bercak milier

27
Algoritme Diagnosis TB pada Pasien Dewasa

Sputum mikroskopis (BTA)


Foto toraks

BTA (+) BTA (-)

Kasus definitif TB BTA (+) Lihat klinis dan foto toraks

Tidak sesuai TB

Antibiotik 2 Kasus TB BTA (-)


minggu

Perbaikan Tidak perbaikan, klinis sesuai


TB

Bukan TB Obati sesuai kasus TB

Catatan:

Garis putus-putus = bila terdapat fasilitas

Bila terdapat riwayat OAT sebelumnya, selain melakukan pemeriksaan sputum mikroskopis juga
dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/Rif, bila Xpert Rifampisin resisten dilanjutkan dengan pemeriksaan
biakan M.Tb dan uji kepekaan obat lini 1 dan lini 2 (sesuai fasilitas yang tersedia).

28
Diagnosa Banding
PPOK (Penyakit Paru : Biasanya diderita usia > 50 tahun, perokok
Obstruksi Kronik) berat, barrel chest, mengi, hasil spirometry
menunjukkan adanya perlambatan aliran udara
atau obstruksi
Pneumonia komunitas Peradangan parenkim paru yang disebabkan
oleh mikroorganisme yang ditandai dengan
demam >40 C, batuk dengan dahak purulen
disertai dengan sesak napas atau nyeri dada
Bronkiektasis Penyakit saluran nafas kronik yang ditandai
dengan dilatasi abnormal permanen akibat
rusaknya dinding bronkus. Gejala klinisnya
batuk disertai dahak banyak yang purulen,
dapat dijumpai sputum 3 lapis (lapisan busa,
lapisan purulen, dan mukoid)
Kanker paru Didapatkan massa pada paru, biasanya pada
pasien dengan risiko tinggi seperti perokok.
Gejala klinis batuk dapat disertai darah,
penurunan berat badan dan nyeri dada
Abses paru Pengumpulan cairan terinfeksi dalam suatu
rongga. Gejala batuk berdahak biasanya berbau
busuk

Pencegahan
Primer : Vaksinasi BCG
Skrining : Active case finding (terutama pada orang dengan
risiko tinggi seperti HIV, pengguna narkoba
suntik, kontak dekat pada orang dengan TB aktif)
Sekunder : Hindari kontak langsung (pada orang yang
mendapat pengobatan, setelah 2 minggu
pengobatan efektif maka infeksius menjadi
berkurang)
Menutup hidung & mulut saat bersin/batuk
dengan sapu tangan, tisu atau masker
Pengawasan minum obat hingga selesai pada
orang dengan TB

29
Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit, bila terdapat efek samping berat
Rujuk.
Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis

Evaluasi bakteriologi (0 - 2 - 6 /8 bulan pengobatan)


Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis: sebelum
pengobatan, setelah 2 (dua) bulan pengobatan dan pada akhir
pengobatan
Bila dahak tidak konversi Rujuk.

Evaluasi radiologi (0 - 2 6/8 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada sebelum
pengobatan, setelah 2 (dua) bulan pengobatan kecuali pada kasus yang
dipikirkan terdapat keganasan dapat dilakukan 1 (satu) bulan
pengobatan dan pada akhir pengobatan.
Bila tidak terdapat perbaikan atau terjadi perburukan secara radiologi
Rujuk.

Evaluasi efek samping secara klinis


Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal
dan darah lengkap
Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin,
dan gula darah, serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau
efek samping pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol
(bila ada keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan
dan audiometri (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan
terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat
efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

32
Komplikasi
Atelektasis
Bronkiektasis
Cor pulmonal
Batuk darah masif
Pneumotoraks
Empyema TB

Daftar Pustaka
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015.
2. Kemenkes RI. Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan TB, 2013.
3. WHO. TB for Medical Student
4. WHO. International Standard for Tuberculosis Care. Diagnosis,
treatment and public health.3rd ed.2013
5. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;2014.
6. TBCTA (Tuberculosis Coalitionfor Technical Assistance).
7. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Jakarta: PT. Inoraf;2011.

33
Obat-Obatan

Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan


mg/hari
Antipiretik
Paracetamol Dewasa : 4000 3-4 kali sehari Jika demam
mg/hari sudah turun
3 bln 1 thn: 500 stabil
mg/hari hentikan
1 6 tahun : 1000
mg/hari
6 12 tahun: 2000
mg/hari

Monitoring
Lakukan penilaian terhadap tanda bahaya hingga fase kritis dilewati.
Sebaiknya lakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin dan serum
transaminase saat 4 minggu selesai perawatan untuk menilai adanya gejala
sisa.
Komplikasi
Dengue Shock Syndrome
Efusi pleura
Asites
Sianosis
Syok irreversible

Daftar Pustaka
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
WHO. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and
Control.new ed.2009

37
VI. Demam Typhoid
No. ICPC-2:D70 Gastrointestinal infection
No. ICD-10:A01.0 Typhoid fever
Definisi
Adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksibakteri Salmonella enterica
khususnya Salmonella typhiyang ditularkanmelaluifaecal-oral.
Etiologi
Salmonella typhi
Salmonella paratyphi A,B,C
PenegakanDiagnosa
1. Diagnosis Kerja:
Diagnosis kerja ditegakkan bila terdapat hal-hal berikut ini:
a. Demam 5 hari
b. Suhu 38,5 C
Ditambah salah satu dari hal-hal berikut:
a. Peningkatan LED atau CRP
b. Leukosit normal atau leukopenia
c. Gejala gastrointestinal antara lain: mual muntah, nafsu makan
berkurang, nyeri perut, diare, konstipasi
2. Faktor Risiko:
a. Proses mencuci tangan yang kurang baik
b. Sanitasi lingkungan yang tidak bersih
c. Penyediaan air bersih yang kurang baik
d. Makan dan minum ditempat jualan yang kurang bersih
3. Usia Penderita:
Bisa dialami semua usia
4. Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan darah tepi: Leukosit: normal, leukopeni
b. Pemeriksaan CRP dan LED: meningkat
c. Pemeriksaan bakteriologis(isolasi & biakan kuman):
Kultur darah : positif (negatif pada pemberian antibiotik)
Feses: Positif (dilakukan setelah 1 minggu demam)
d. Uji serologis:
Widal : (+) titer O1/320 atau H1/640 diagnosa pasti jika
terjadi kenaikan widal 2-4 kali lipat pada pemeriksaan ulang 5-
7 hari
Tubex : (+) skor 5, hanya dapat mendeteksi Salmonella typhi

38
5. Diagnosis Akhir:
a. Demam Tifoid Tanpa Penyulit
Widal meningkat 2-4 kali pada pemeriksaan serial
Single Titer: Widal O 1/320; Widal H 1/640
Kultur Darah Positif
Respon pengobatan 3-5 hari setelah terapi empirik
b. Demam Tifoid Dengan Penyulit:
Penurunan kesadaran
Bronkopneumonia
Diagnosa Banding
Demam berdarah : Demam tinggi mendadak terus menerus,
dengue ditularkan oleh nyamuk, trombositopeni,
hemokonsentrasi.
Apendisitis : Disertai nyeri perut terutama dibagian kanan
bawah, perut buncit, sulit buang angin
Demam dengue : Demam tinggi mendadak disertai
trombositopeni dan hemokonsentrasi
Influenza : Demam tinggi disertai batuk, pilek, sakit
tenggorokan, bersin
Malaria : Pola demam hilang timbul disertai keringat
dingin berlebihan

Pencegahan
Primer : Jagalah kebersihan badan dan sekitar Anda
Jagalah kebersihan sanitasi lingkungan
Cucilah tangan sebelum makan
Hindari makan dan minum ditempat yang tidak
terjaga kebersihannya
Sekunder : Pemberian vaksin thyphoid jika ingin bepergian
ke wilayah endemik

39
Monitoring Pengobatan
Lakukan kontrol 5 (lima) hari setelah pengobatan

Komplikasi
Perforasi usus
Ileus paralitik
Syok
Anemia hemolitik
Pleuritis
Hepatitis
Pielonefritis
Meningitis

Daftar Pustaka

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun


2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015
Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
WHO. Guidelines for The Management of Typhoid Fever. July 2011.

41
VII. Dermatitis
VII.1 Dermatitis
No. ICPC-2:S86 Dermatitis seborrhoeic
No. ICD-10:L21 Seborrhoeic Dermatitis
Tingkat Kemampuan 4A

Masalah Kesehatan
Dermatitis seboroik (DS) merupakan istilah yang digunakan untuk
kelainan inflamasi kulit yang didasari oleh faktor konstitusi tertentu.
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea,
sehingga mempunyai predileksi di daerah seborea (kulit kepala, wajah,
dada dan punggung atas).

Anamnesis (Subyektif)
Pasien datang dengan keluhan munculnya bercak merah dan kulit kasar
pada daerah predileksi. Kelainan awal yang ringan hanya berupa ketombe
pada kulit kepala (pitiriasis sika) sampai keluhan lanjut berupa keropeng
yang berbau tidak sedap dan terasa gatal. Dermatitis bisa berkembang dan
meluas menjadi eritroderma.
Faktor risiko di antaranya adalahgenetik, kelelahan, stres emosional,
infeksi, defisiensi imun, jenis kelamin pria lebih sering daripada wanita,
usia bayi bulan 1 dan usia 18-40 tahun, dan kurang tidur.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda patognomonis:
Papul sampai plak eritema
Skuama berminyak agak kekuningan
Berbatas tidak tegas
Lokasi predileksi: kulit kepala, glabela, belakang telinga, belakang leher,
alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat naso labial, sternal, areola
mammae, lipatan bawah mammae pada wanita, interskapular, umbilikus,
lipat paha, daerah angogenital.
Dermatitis seboroik ringan apabila lesi kulit terbatas dengan eritem ringan
dan skuama sedikit. Dikatakan berat bila lesi luas dengan skuama tebal,
sampai menjadi eritroderma.
Bentuk klinis berat (pada neonatus): seluruh kepala tertutup oleh krusta,
kotor, dan berbau (cradle cap).

42
Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang.

Dermatitis seboroik pada kulit kepala

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis banding:Psoriasis (skuamanya berlapis-lapis, tanda Auspitz,
skuama tebal seperti mika), Kandidosis (pada lipat paha dan perineal,
eritema bewarna merah cerah berbatas tegas dengan lesi satelit di
sekitarnya), Otomikosis (untuk lesi di liang telinga).
Komplikasi
Pada bayi dan anak, lesi bisa meluas menjadi penyakit Leiner atau
eritroderma.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan:
Pasien diminta untuk memperhatikan faktor predisposisi terjadinya
keluhan, misalnya stres emosional dan kurang tidur. Diet juga
disarankan untuk mengkonsumsi makanan rendah lemak.
Farmakoterapi dilakukan dengan:
Topikal
o Bayi: Diberikan topikal minyak (oleum cocos) pada lokasi
skuama, malam hariesok hari, segera di cuci dengan shampoo
bayi. Gunakan kortikosteroid lemah sampai sedang, lebih baik
dalam bentuk lotion atau solusio (bila ada,) selama beberapa hari.
43
Selama pengobatan, rambut harus tetap dicuci.
o Anak dan Dewasa: pada lesi di kulit kepala, diberikan shampo
selenium sulfida 1,8 atau shampo ketokonazol 2%, zink pirition
(shampo anti ketombe), atau pemakaian preparat ter (liquor
carbonis detergent) 2-5 % dalam bentuk salep dengan frekuensi 2-
3 kali seminggu selama 5-15 menit per hari.
o Pada lesi di badan diberikan kortikosteroid topikal lemah sampai
sedang selama maksimal 2 minggu
o Pada kasus dengan manifestasi dengan inflamasi yang lebih berat
diberikan kortikosteroid kuat misalnya betametason valerat krim
0,1%. (tidak boleh dipakai di wajah dan daerah lipatan dan pada
pasien bayi)
o Pada kasus dengan infeksi jamur, perlu dipertimbangkan
pemberian ketokonazol krim 2%.
Oral sistemik
o Antihistamin sedatif yaitu: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per hari
selama 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg per hari selama 2
minggu, ATAU
o Antihistamin non sedatif yaitu: loratadin 1x10 mg selama
maksimal 2 minggu.
Konseling dan Edukasi
o Memberitahukan kepada orang tua untuk menjaga kebersihan bayi
dan rajin merawat kulit kepala bayi
o Memberitahukan kepada orang tua bahwa kelainan ini umumnya
muncul pada bulan-bulan pertama kehidupan dan membaik
seiring dengan pertambahan usia
o Memberikan informasi bahwa penyakit ini sukar disembuhkan
tetapi dapat terkontrol dengan mengontrol emosi dan psikisnya.

Kriteria Rujukan:
Pasien dirujuk apabila:
1. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan standar selama 2 minggu
2. Pasien dengan komplikasi eritroderma
3. Dermatitis seboroik berat yang didasari penyakit tertentu, misalnya
infeksi HIV/AIDS
Rujukan balik:
Pasien yang telah mengalami remisi dan komplikasinya teratasi, dirujuk
balik ke pelayanan primer
44
Referensi

1. Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.2011.Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta

46
VII.2 Dermatitis Numularis
No. ICPC-2: S87 Dermatitis/atopic eczema
No. ICD-10: L20.8 Other atopic dermatitis
Tingkat Kemampuan: 4A

Masalah Kesehatan
Dermatitis numularis adalah dermatitis berbentuk lesi mata uang
(koin) atau lonjong, berbatas tegas, dengan efloresensi berupa
papulovesikel, biasanya mudah pecah sehingga basah
(oozing/madidans). Penyakit ini pada orang dewasa lebih sering
terjadi pada pria daripada wanita. Usia puncak awitan pada kedua
jenis kelamin antara 55 dan 65 tahun, pada wanita usia puncak terjadi
juga pada usia 15 sampai 25 tahun. Dermatitis numularis tidak biasa
ditemukan pada anak, bila ada timbulnya jarang pada usia sebelum
satu tahun.

Anamnesis (Subjective)
Keluhan:Bercak merah yang basah pada predileksi tertentu
(kebanyakan di ekstremitas) dan sangat gatal. Keluhan hilang timbul
dan sering kambuh.
Faktor Risiko: riwayat trauma fisis dan kimiawi (fenomena Kobner:
gambaran lesi yang mirip dengan lesi utama), riwayat dermatitis
kontak alergi, riwayat dermatitis atopik pada kasus dermatitis
numularis anak, stress emosional, minuman yang mengandung
alkohol, lingkungan dengan kelembaban rendah, riwayat infeksi kulit
sebelumnya.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda patognomonis:
1. Lesi akut berupa vesikel dan papulovesikel, berkelompok
membentuk plak berukuran numular seukuran uang logam,
eritematosa, sedikit edema, dan berbatas tegas, bentuk lesi oval.

47
2. Tanda eksudasi karena vesikel mudah pecah, kemudian
mengering menjadi krusta kekuningan
3. Jumlah lesi dapat satu, dapat pula banyak dan tersebar, bilateral,
atau simetris, dengan ukuran yang bervariasi.
Tempat predileksi terutama di tungkai bawah, badan, lengan,
termasuk punggung tangan.

Gambar Dermatitis numularis

Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan.

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis: diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Diagnosis Banding: Dermatitis kontak, Dermatitis atopik,
Neurodermatitis sirkumskripta, Dermatomikosis

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)


Penatalaksanaan
1. Pasien disarankan untuk menghindari faktor yang mungkin
memprovokasi seperti stres dan fokus infeksi di organ lain
2. Farmakoterapi yang dapat diberikan, yaitu:
Topikal (2 kali sehari)
a. Kompres terbuka dengan larutan permanganas kalikus
1/10.000, menggunakan 3 lapis kasa bersih, selama
masing-masing 15-20 menit/kali kompres (untuk lesi
madidans/basah) sampai lesi mengering
b. Kemudian terapi dilanjutkan dengan kortikosteroid topikal
potensi : sedang sampai kuat selama maksimal 2 minggu
48
c. Pada kasus dengan manifestasi klinis likenifikasi dan
hiperpigmentasi, dapat diberikan golongan Betametason
valerat krim 0,1% atau Mometason furoat krim 0,1%)
d. Pada kasus infeksi sekunder, perlu dipertimbangkan
pemberian antibiotik topikal

Oral sistemik
a. Antihistamin sedatif: klorfeniramin maleat 3 x 4 mg per
hari selama maksimal 2 minggu atau setirizin 1 x 10 mg
per hari selama maksimal 2 minggu ATAU
b. Antihistamin non sedatif: loratadin 1x10 mg per hari
selama maksimal 2 minggu
c. Jika ada infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik.

Komplikasi: Infeksi sekunder dan dermatitis autosensitisasi

Konseling dan Edukasi


1. Memberikan edukasi bahwa kelainan bersifat kronis dan
berulang sehingga penting untuk pemberian obat topikal
rumatan
2. Mencegah terjadinya infeksi sebagai faktor risiko terjadinya
relaps
3. Menganjurkan menghindari faktor risiko yang bisa dilakukan

Kriteria Rujukan
1. Apabila kelainan tidak membaik dengan pengobatan topikal
standar selama 2 minggu
2. Terjadi komplikasi dermatitis autosensitisasi atau infeksi
sekunder
3. Apabila diduga terdapat faktor penyulit lain, misalnya fokus
infeksi pada organ lain, maka konsultasi dan/atau disertai
rujukan kepada dokter spesialis terkait (contoh: gigi mulut,
THT, obgyn, dan lain-lain) untuk penatalaksanaan fokus infeksi
tersebut.

49
Peralatan
Tidak diperlukan peralatan khusus untuk mendiagnosis penyakit
dermatitis numularis.

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam apabila kelainan ringan tanpa
penyulit, dapat sembuh tanpa komplikasi, namun bila kelainan berat
dan dengan penyulit prognosis menjadi dubia ad bonam.

Referensi
Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke enam. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases
of the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders
Elsevier.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2011. Pedoman
Pelayanan Medik. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514
tahun 2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

50
ALGORITME

51
VII.3 Dermatitis Popok
Definisi:
Dermatitis yang terlokalisasi paling tidak pada awalnya, pada daerah
yang tertutup popok. Keadaan ini hanya terjadi setelah pemakaian
popok.
Etiologi:
Etiologi dermatitis popok multifaktorial. Faktor penyebab yang
berperan antara lain: hidrasi kulit, peran feses, urin, friksi, suhu, iritan
kimiawi and popok itu sendiri. Faktor yang mencetuskan pertama kali
adalah peningkatan hidrasi kulit dalam jangka waktu lama. Keadaan
ini akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit akibat friksi,
penurunan fungsi sawar kulit, dan meingkatkan reaksi terhadap bahan
iritan. Fatkror lain yang berhubungan adalah kontak dengan urin dan
feses, enzimproteolitik feses, enzim lipolitik pencernaan, peningkatan
pH, serta superinfeksi dengan Candida spp. atau bakteri.
Manifestasi klinis:
Bentuk lesi: eritema konfluens, berkilat, disertai papul eritematosa
multipel, edema dan skuama
Lokasi lesi: bagian cembung bokong, paha bagian dalam, mons pubis,
skrotum dan labia mayora.
Dermatitis popok yang telah berlangsung lebih dari 3 hari, perlu
dipertimbangkan adanya infeksi jamur (Candida spp). Lesi kulit
berupa plak eritematosa, skuama, berbatas tegas, dan disertai lesi
satelit berupa papul dan pustul. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
lesi yang khas dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH dari
kerokan kulit.
Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis
kulit dan kelamin)
- Dermatitis popok dengan infeksi sekunder (jamur)
Pengobatan:
PPK Primer:
1. Edukasi:
a. perawatan kulit di area popok.
b. menggunakan popok sesuai daya tampungnya.
2. Kortikosteroid topikal potensi ringan dapat diberikan dan
dioleskan 2 kali sehari.
Obat-obatan:
(lihat lampiran)

52
Referensi
MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines.
Indonesia. MIMS.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases of
the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan
Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.

54
2. Riwayat asma atau rhinitis alergi (atau riwayat atopi pada first degree
relative pada anak usia < 4 tahun)
3. Riwayat kulit kering dalam satu tahun terakhir
4. Dermatitis pada daerah lipatan yang telihat (atau dermatitis pada
pipi/dahi dan ekstensor ekstremitas pada anak usia < 4 tahun)
5. Awitan sebelum usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia < 4
tahun).

Komplikasi: indikasi rujuk ke PPK Sekunder (Dokter spesialis kulit


dan kelamin)
1. Infeksi sekunder
2. Eritroderma
3. DA berat dan rekalsitran

Pengobatan:
PPK Primer:
1. Edukasi
2. Menghidari dan memodifikasi faktor pencetus: berdasarkan riwayat
3. Fungsi sawar kulit yang optimal:
a. Perawatan kulit:
i. Pembersih: sabun berpelembab, pH 5,5-6,0, surfaktan ringan.
ii. Mandi: 1-2 kali/hari, air suam-suam kuku.
iii. Lama mandi:10-15 menit
b. Memakai pelembap:
i. Tipe pelembap: humektan, emolien, oklusif, kombinasi
humektan, emolien & seramid, atau kombinasi humektan,
emolien, antiinflamasi dan antipruritus.
ii. Aplikasi: dalam waktu 3 menit setelah mandi. Penggunaannya
bisa seluruh tubuh, dan dapat diulang kapan saja bila
diperlukan.
4. Menghilangkan inflamasi:
a. Kompres basah
b. Kortikosteroid topikal:
i. potensi terendah yang masih efektif. Dan pertimbangkan
sesuai dengan fase, lesi, lokasi dan usia
ii. untuk bayi dan anak: potensi rendah sampai sedang.
iii. Untuk dewasa: potensi sedang, kuat dan sangat kuat.

56
5. Menghilangkan siklus gatal-garuk :
a. Antihistamin sistemik (sebagai ajuvan), intermiten, jangka
pendek. AH1 atau AH2.
6. Tindak lanjut/Pengamatan : akut: 5 hari, dan kronik: 2 minggu.

Obat-obatan: (lihat lampiran)

57
58
59
Referensi
MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines.
Indonesia. MIMS.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases of
the Skin: Clinical Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan
Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.

60
Cefadroxil Dewasa:
2x500/hari sampai
2x1000 mg/hari

Anak:
30 mg/kgBB/hari
dalam 2 dosis
Cefalexin 40-50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 4 dosis
selama 5-7 hari
Sefuroxim Dewasa:
2x250 mg/hari sampai
2x500 mg/hari

Anak:
2x125 mg/hari sampai
2x250 mg/hari
Klorfeniramin Dewasa:
3x4 mg/h

Anak:
0,35mg/kgBB/h
Setirisin Dewasa:
10 mg/h

Anak:
6 bln-2 thn: 2,5 mg
2-5 thn: 2,5-5 mg
>5 thn: 5-10 mg
Loratadine Dewasa:
10 mg/hari

Anak:
1 thn 12 kg: 2,5 mg
12-30 kg: 5 mg
>30 kg: 10 mg

66
Monitoring Pengobatan
Pasien harus diperiksa 4 minggu setelah memulai pengobatan untuk
memastikan bahwa pengobatan berhasil. Jika terjadi resistensi pengobatan
maka regimen obat harus diganti.

Komplikasi
Scabies induced pioderma
o Impetigo sekunder dan glomerulonefritis poststreptococal
o Sterptococcus pyogenes.
Scabies yang berkrusta
o Lymphangitis dan septicemia
Pemicu terjadinya bullous pemfigoid
Kriteria Rujuk Balik
Jika tidak ditemukan lagi kelainan fisis dan pada pemeriksaan mikroskop
tidak ditemukan scabies maka dirujuk kembali ke PPK 1.

Referensi
MIMS Dermatology. 2015. Disease Management Guidelines. Indonesia.
MIMS.
James, W.D., Berger, T.G., Elston, D.M. 2000. Andrews Diseases of
the Skin: Clinical
Dermatology. 10th Ed. Canada. Saunders Elsevier.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. 2014. Panduan
Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

67
Tabel 1. Obat-Obatan

Obat Rentang dosis Frekuensi Keterangan


Proton Pump Inhibitor
Lansoprazole** 30 mg per oral , 1-2 kali Diberikan antara 7 14
maksimum 60 sehari hari; sebelum makan
mg/hari
Omeprazole 20 mg per oral, 1-2 kali Diberikan antara 7 - 14
maksimum 40 sehari hari; sebelum makan
mg/hari
Esomeprazole** 40 mg 1 kali Diberikan antara 7 - 14
sehari hari; sebelum makan
Rapeprazole 20 mg 2 kali Diberikan antara 7 - 14
sehari hari; sebelum makan
Pantoprazole 40 mg 2 kali Diberikan antara 7 - 14
sehari hari; sebelum makan
H2 Antagonis
Cimetidin 400 mg per oral, 2 kali Diberikan 4-6 minggu;
maksimum 800 sehari sesudah makanan
mg
Ranitidin 300 mg per oral 2 kali Diberikan 4-8 minggu;
maksimum 600 sehari sebelum/sesudah makan
mg
50 200 mg per 3-4 kali
IV sehari
Antimikroba
Klaritromisin** 500 mg per oral 2 kali Diberikan selama 14 hari
sehari
Amoksisilin 500-1000 mg 3- 4 kali Diberikan selama 14 hari
per oral, sehari
maksimal 3000
mg/hari
Metronidazole 500 mg per oral 3 kali Diberikan selama 14 hari
sehari
Tetrasiklin 250-500 mg per 3-4 kali Diberikan selama 14 hari
oral sehari

72
Tabel 2. Regimen Terapi Eradikasi Hp
Obat Dosis Durasi
Lini Pertama
PPI* 2x1
Amoksisilin 1000 mg (2x1) 7-14 hari
Klaritromisin 500 mg (2x1)
Di daerah yang diketahui resistensi klaritromisin >20%:
PPI* 2x1
Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet
7-14 hari
Metronidazole 500 mg (3x1)
Tetrasiklin 250 mg (4x1)

Jika bismuth tidak ada:


PPI* 2x1
Amoksisilin 1000 mg (2x1)
7-14 hari
Klaritromisin 500 mg (2x1)
Metronidazole 250 mg (3x1)
Lini Kedua: Golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen
yang mengandung klaritromisin
PPI* 2x1
Bismut subsalisilat 2 x 2 tablet
7-14 hari
Metronidazole 500 mg (3x1)
Tetrasiklin 250 mg (4x1)
PPI* 2x1
Amoksisislin 1000 mg (2x1) 7-14 hari
Levofloksasin 500 mg (2x1)

73
Daftar Pustaka

1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.


Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helibacter
Pylori. Perhimpunan Gastroenterologi Indonesia. 2014
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015
4. Lee YY, Chua AS. Investigating functional dyspepsia in Asia. J
Neurogastroenterol Motil 2012;18:239-45.
5. Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. Asian consensus report
on functional dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil 2012;18:150-68.
6. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Dispesia dan infeksi Helicobacter pylory.
Simadibrata M. Makmun D, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A,
Renaldi K, Mauleha H, Utara AP. Editors. Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia 2014.
7. Syam AF. Uninvestigated dyspepsia versus investigated dyspepsia.
Acta Med Indones. 2005;37(2):113-5.
8. Malfertheiner P, Megraud F, OMorain CA, et al. Management of
Helicobacter pylori infection--the Maastricht IV/ Florence Consensus
Report. Gut 2012;61:646-64.
9. Utia K, Syam AF, Simadibrata M, Setiati S, Manan C. Clinical
evaluation of dyspepsia in patients with functional dyspepsia, with the
history of Helicobacter pylori eradication therapy in Cipto
Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Acta Med Indones 2010;42:86-93.

75
Risiko Kardiovaskular (CV) & Kerusakan Target Organ
Faktor Risiko Terkait Kardiovaskular
Laki-laki
Usia (laki 55 thn, wanita 65 thn)
Merokok
Dislipidemia
CT > 190 mg/dL, dan/atau
LDL > 115 mg/dL, dan/atau
HDL : laki< 40 mg/dL, wanita< 46 mg/dL
TGL > 150 mg/dL
GDP (102 125 mg/dL)
Abnormal GD2PP
Obesitas (BMI 30 kg/m2)
Lingkar Pinggang (laki 102 cm, wanita 88 cm, pada ras Caucasian)
Riwayat keluarga mengalami premature CVD (laki <55 thn, wanita <
65 thn)

Kerusakan Organ Asimptomatik


Tekanan nadi (pada lansia) 60 mmHg
EKG : LVH
PlaK pada arteri Karotis
Carotid-femoral PWV >10 m/s
Ankle-brachial index <0.9
CKD dengan eGFR 30-60 ml/min/1.73m2 (BSA)
Mikroalbuminuria

Diabetes Mellitus
GDP 126 mg/dL pada 2 kali pengukuran, dan/atau
HBA1C >7%, dan/atau
G2PP >198 mg/dL

Penyakit Jantung & Ginjal


CVD : stroke, TIA,
CHD : angina, MI, revaskularisasi miokard dengan PCI atau CABG
Gagal jantung
CKD dengan eGFR< 30 mL/min/1.73m2 (BSA), proteinurin
Retinopati: perdarahan,eksudat, papilledema

80
Monitoring Efek Samping Pengobatan
1. Fungsi Ginjal
2. Hiperkalemia
3. Elektrolit
4. Batuk
5. Kaki edema
Komplikasi

Hipertropi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal,


aterosklerosis, retinopati, stroke, TIA, infark miokard, angina pektoris,
gagal jantung.

Daftar Pustaka
1. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al; National Heart, Lung, and
Blood Institute Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure; National High
Blood Pressure Education Program Coordinating Committee. The
seventh report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC
7 report. JAMA. 2003;289(19):2560-2572.
2. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, et al. 2013 ESH/ESC guidelines for
the management of arterial hypertension: the Task Force for the
Management of Arterial Hypertension of the European Society of
Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC).
Eur Heart J. 2013;34(28):2159-2219.
3. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood
Pressure in Adults. JAMA. 2014;311(5):507-520.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

83
Konstipasi
Riwayat keluarga ISK berulang atau penyakit
ginjal
Riwayat ditemukan kelainan ginjal pada janin
saat ibu hamil
Kehamilan
Anomali struktur saluran kemih
Usia penderita : Semua usia
Pemeriksaan Fisik
PemeriksaanTanda : Suhu: normal atau meningkat (38.5C-40C), bisa
Vital takikardi
Pemeriksaan : 1. Nyeri tekan suprapubik
Abdomen 2. Nyeri ketok pada sudut kostovertebral (jarang)
Pemeriksaan : 1. Nyeri tekan (jarang)
Colok Dubur 2. Pembesaran kelenjar prostat (jarang)
(pemeriksaan
kelenjar prostat
pada pria)
PemeriksaanPenunjang
Pemeriksaan urinalisis : Positif ,leukosituria: > 10 leukosit/mm3, bisa
rutin hematuri
Kultur urin (untuk : Positif 105 CFU/mL
ISK berulang)

Kriteria Diagnosis
Berdasarkan IDSA/ESCMID

Kategori Presentasi Klinis Laboratorium


ISK-non komplikata Disuria, urgensi, 10 leukosit/mm3
akut pada wanita; frekuensi, nyeri 103 CFU/mL*
sistitis non suprapubik, tidak ada
komplikata akut gangguan berkemih 4
pada wanita minggu sebelumnya
Pielonefritis Demam, menggigil, nyeri 10 leukosit/mm3
nonkomplikata pinggang;diagnosis 104 CFU/mL*
akut lainnya dieksklusikan;
tidak ada riwayat atau
bukti klinis kelainan
85
urologis (USG,
radiografi)
ISK komplikata Kombinasi gejala ISK > 10 leukosit/mm3
non-komplikata akut dan > 105 CFU/mL* pada
pielonefritis non- wanita
komplikata akut; terdapat > 104 CFU/mL* pada
faktor yang berhubungan pria, atau urin kateter
dengan ISK komplikata pada wanita
(ada kelainan struktur dan
fungsi saluran kemih,
laki-laki, wanita hamil)
Bakteria Tidak ada gangguan > 10 leukosit/mm3
asimtomatik berkemih > 105 CFU/mL* pada 2
biakan urin porsi tengah
yang berurutan > 24
jam
Minimal 3 episode infeksi < 103 CFU/mL*
ISK non-komplikata pada
rekuren*uropatogen kultur 12 bulan terakhir:
pada biakan urin hanya pada wanita; tidak
porsi tengah ada kelainan
struktural/fungsional

*uropatogen pada biakan urin porsi tengah

86
Monitoring Pengobatan
Setelah selesai pengobatan dilakukan pemantauan terhadap resolusi
gejala dalam waktu 2-4 minggu.

Komplikasi
Prostatitis
Pielonefritis
Sepsis
ISK Rekuren

Daftar Pustaka
1. Hooton T. Bacterial Urinary Tract Infections. In Johnson RJ, Feehally J,
Floege J (eds): Comprehensive clinical nephrology, ed 4, Elsevier,
Philadelphia, 2015, 632-43
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

89
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Telinga : Tampak serumen berwarna kuning kecoklatan
(otoskopi) atau kehitaman yang menutupi seluruh atau
sebagian liang telinga, bisa keras/lunak, dan posisi
bisa 1/3 luar atau 2/3 dalam liang telinga
Tes penala : Normal atau tuli konduktif

Diagnosa Banding
Penyumbatan benda : Benda kecil atau binatang masuk ke liang
asing telinga
Kolesteatoma eksterna
Keratosis obturans

Penyulit

Otitis Eksterna
Otomikosis
Stenosis liang telinga
Trauma liang telinga

Kriteria Merujuk

Serumen disertai penyulit


Pasien tidak kooperatif
Curiga perforasi membran timpani dan atau adanya riwayat otore
Riwayat operasi telinga sebelumnya

Pencegahan
Primer : Jaga kebersihan luar dan dalam telinga
Membersihkan telinga harus hati-hati
Jangan terlalu dalam membersihkan telinga
Sekunder : Lakukan pemeriksaan rutin minimal tiap 6
bulan jika memiliki riwayat penyumbatan
serumen

91
4. Pengait serumen dimasukkan ke liang telinga, selanjutnya melewati
celah antara serumen dan kulit liang telinga dengan posisi ujung
pengait sejajar dengan bidang kulit liang telinga. Bila belum ditemukan
celah antara serumen dan kulit (seperti pada serumen impaksi), maka
harus dibuat celah terlebih dahulu. Selanjutnya ujung pengait
dirotasikan sehingga berada di dalam serumen dan serumen ditarik
keluar. Manipulasi dengan alat pengait tidak dianjurkan di daerah
inferior dinding liang telinga disebabkan kemungkinan terpicunya
refleks vagal yang ditandai dengan batuk
5. Evaluasi liang telinga dan membran timpani
Cara Irigasi liang telinga
1. Pasien dalam posisi duduk stabil. Pada pasien anak harus dipangku
oleh orang dewasa yang berperan memegang/ menahan kedua kaki,
tangan kanan memegang kedua tangan pasien, dan tangan kiri
memegang/menahan kepala pasien
2. Handuk diletakkan di pundak sisi telinga yang dibersihkan
3. Nierbekken diletakan dibawah telinga yang akan dibersihkan
4. Daun telinga ditarik ke arah superior dan posterior untuk pasien
dewasa ATAU ke arah posterior untuk pasien anak
5. Cairan hangat suhu 37oC disemprotkan ke arah celah di antara serumen
dan kulit liang telinga. Arah irigasi tidak dianjurkan ke arah inferior
dinding liang telinga disebabkan kemungkinan terpicunya refleks vagal
yang ditandai dengan batuk
6. Liang telinga dikeringkan dengan kapas/suction
7. Evaluasi liang telinga dan membran timpani
Irigasi liang telinga kontraindikasi pada :
1. Perforasi membran timpani
2. Infeksi aktif kulit liang telinga (otitis eksterna)
3. Impacted cerumen keras yang menutup total liang telinga

93
Komplikasi

Perforasi membran timpani


Tuli konduktif
Infeksi kulit liang telinga
Pembentukan jaringan granulasi
Otitis eksterna
Perikondritis
Perikondritis

Daftar Pustaka
1. Chait T, Chai TC. Bactericidal Activity of Cerument. 1980;18(4):638
41.
2. Guest JF, Greener MJ, Robinson AC, Smith AF. Impacted cerumen:
Composition, production, epidemiology and management. QJM - Mon
J Assoc Physicians. 2004;97(8):47788.
3. Guidelines P. Practice Guidelines Diagnosis and Management of
Cerumen Impaction. Am Fam Physician [Internet]. 2015;80(9):16.
Available from: http://dx.doi.org/
4. Hanger HC, Mulley GP. Cerumen: its fascination and clinical
importance: a review. J R Soc Med [Internet]. 1992;85(6):3469.
Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1625268%5Cnhttp://www.pubm
edcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC1293500
5. Marchisio P, Pipolo C, Landi M, Consonni D, Mansi N, Di Mauro G,
et al. Cerumen: A fundamental but neglected problem by pediatricians.
Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. 2016;87:5560. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.2016.05.014
6. Memel D, Langley C, Watkins C, Laue B, Birchall M, Bachmann M.
Effectiveness of ear syringing in general practice: a randomised
controlled trial and patients experiences. Br J Gen Pract.
2002;52(484):90611.
7. Olusanya BO. Hearing impairment in children with impacted cerumen.
Ann Trop Paediatr. 2003;23(March):1218.
8. Oron Y, Zwecker-Lazar I, Levy D, Kreitler S, Roth Y. Cerumen
removal: Comparison of cerumenolytic agents and effect on cognition
among the elderly. Arch Gerontol Geriatr. 2011;52(2):22832.
9. Pollart SM, Health V. Cerumen Impaction. 2015;(April 2013):66211.

94
10. Propst EJ, George T, Janjua A, James A, Campisi P, Forte V. Removal
of impacted cerumen in children using an aural irrigation system. Int J
Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. 2012;76(12):18403. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.2012.09.014
11. Roland PS, Smith TL, Schwartz SR, Rosenfeld RM, Ballachanda B,
Earll JM, et al. Clinical practice guideline: Cerumen impaction.
Otolaryngol - Head Neck Surg. 2008;139(3 SUPPL.2).
12. Soy FK, Ozbay C, Kulduk E, Dundar R, Yazici H, Sakarya EU. A new
approach for cerumenolytic treatment in children: In vivo and in vitro
study. Int J Pediatr Otorhinolaryngol [Internet]. 2015;79(7):1096100.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijporl.2015.04.039
13. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

95
Rhinosinusitis akut pada anak terdapat gejala akut :
- Gangguan prilaku
- Sumbatan , hambatan , kongesti hidung
- Perubahan warana sekret hidung
- Batuk pada siang/malam hari
Rhinosinusitis viral akut (Common cold) mempunyai durasi gejala <
(kurang ) dari 10 hari
Rhinosinusitis akut post viral Gejala memburuk setelah hari ke 5 atau
gejala menetap sampai 10 hari tetapi tidak lebih dari 12 minggu

Rhinosinusitis akut bacterial


- Perubahan warna sekret hidung anterior / posterior
- Nyeri hebat pada daerah wajah atau kepala
- Demam > 38 derajat
- CRP yang meningkat
- Perburukan gejala dengan adanya onset demam yang baru, nyeri
kepala, sekkret hidung yang menetap selama 5 sampai 6 hari setelah
gejala awal membaik, ( double sickening)
Hanya pada rhinosinusitis akut bakterial yang membutuhkan terapi
antibiotik

Pemeriksaan Fisik

Tanda vital : Normal


Telinga
: membran tympani
normal / retraksi/
hiperemis
Hidung : Mukosa hidung tampak eritem dan edema.
Tampak kavum nasi sempit, terdapat sekret
serous atau mukopurulen
Faring : Terkadang hiperemis

97
Mometasone Dewasa: 55 g/spray, 1 kali
furoate 2 spray per lubang sehari
hidung
Anak 2-11 thn : 55
g/spray, 1 spray per
lubang hidung
Fluticasone Dewasa: 1 kali
furoate 27.5g/spray, 2 spray sehari
per lubang hidung
Anak 4-11 thn:
27.5g/spray, 1 spray
per lubang hidung
Oral Kortikosteroid
Prednison Dewasa: 20-60 mg per 3 kali Diberikan 3-5 hari ,
hari sehari hanya untuk kasus
Anak: 1-2 mg/kg edema mukosa
BB/hari hidung yang berat

Antikolinergik
Ipratropium Dewasa : 84 mcg (2 3-4x Diberikan untuk
bromida nasal spray) per hidung sehari rinorea yang
spray 0,06 % Anak (5-11 thn) : 84 refrakter
mcg (2 spray) per 3x sehari
hidung
Antileukotrien
Montelukast Dewasa : 10 mg per 1x sehari Diberikan untuk
oral kasus dengan
Anak : komorbid asma
< 6 tahun : keamanan bronkial
belum diuji
6-24 bulan : 4 mg
(granul)
2-6 tahun : 4 mg
(granul atau tablet
kunyah)
6-15 tahun : 5 mg
(tablet kunyah)
>15 tahun : 10 mg

108
Monitoring Pengobatan
Monitoring pengobatan dilakukan setelah 2-4 minggu pemberian obat
untuk menentukan respon terapi (gejala terkontrol atau tidak terkontrol).
Jika gejala menetap meskipun pengobatan sudah adekuat maka perlu
dipikirkan untuk pemeriksaan lanjutan.

Komplikasi/Komorbid

Rinosinusitis kronis dengan/tanpa polip hidung


Otitis media efusi
Asma bronkial

Daftar Pustaka
Bosquet J, Cauwenberge P, Khaltaev N, Bachert C, Durham SR, Lund
V, et al. Management of Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma
(ARIA). ARIA Workshop Report. J All Clin Immunol (Suppl). 2001;
108(5)
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 7th ed. Jakarta.
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

109
Langkah ektirpasi lipoma :
Bersihkan daerah operasi dengan tindakan antiseptik

Anestesi field blok infiltrations di kedua sudut dengan lidocaine 2%,


lalu menyebar ke tepi

Diseksi kedalam di tiap sisi, lalu diseksi tumpul dengan jari

Tarik tepi atas dengan klem sambil diseksi terus menelusuri tiap sisi

Angkat dan identifikasi dasar lipom

Potong dasar lipom dengan kauter, lepaskan dan atasi perdarahan


(Kalau tidak ada cauter: bebaskan secara tumpul, jaringan yang
mengandung arterial-feeding diikat)

112
Setelah perdarahan diatasi, jahit subkutis sampai tepi insisi menyatu
rapat dan kuat

Jahit bagian kutis dengan rapi dan kuat

Monitoring Pengobatan
Disarankan untuk datang kembali jika ada timbul benjolan ditempat
yang sama atau dibagian tubuh lain.

Komplikasi
Infeksi
Seroma
Hematoma
Cedera saraf
Keloid

Daftar Pustaka
Bland, K.I., Beenken, W.S., Copeland III , E.M. 2005. Dalam
Schwartz, SpenserShires.Principle of Surgery. 8 Edition. New York :
Mc Graw Hill Company. p. 463-466.
De Jong, W, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
Revisi. Jakarta : EGC.
Iglehart, D.J., M.D. 2001. Disease of The Breast. Dalam Sabiston.
Textbook of Surgery. 16thEdition. Philadelphia : W.B. Saunders
Company.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

113
4. Diagnosa banding
- Saluran susu terumbat: benjolan pada payudara tegang tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik
- Pembengkakan payudara: biasanya bilateral, ketegangan seluruh
payudara, sering terjadi 2-4 hari setelah melahirkan dan berhubungan
dengan demam ringan.
- Inflamasi kanker payudara: suatu bentuk yang jarang dari kanker
payudara yang hadir dengan payudara tegang dan perubahan kulit
payudara.
- Abses payudara: terdapat benjolan yang membengkak yang sangat
nyeri, dengan kemerahan, panas, dan edema pada kulit di atasnya.
Pada kasus yang terlambat ditangani, benjolan menjadi berfluktuasi,
dengan perubahan warna kulit dan nekrosis. Demam dapat ada atau
tidak ada. Untuk mengkonfirmasi diagnosis, pus dapat diaspirasi
dengan spuit dan jarum berlubang besar.

5. Pencegahan
- mulai menyusui dalam satu jam atau lebih setelah melahirkan
(inisiasi menyusui dini)
- memastikan bahwa bayi mengisap payudara dengan baik;
- menyusui tanpa batas, dalam hal frekuensi atau durasi, dan
membiarkan bayi selesai menyusui satu payudara dulu, sebelum
memberikan yang lain;
- menyusui secara eksklusif selama minimal 4 bulan dan bila mungkin
6 bulan.

6. Terapi
Analgesik
Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang berhubungan
dengan peradangan dibandingkan parasetamo. Ibuprofen sampai dosis
1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga direkomendasikan
untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.
Antibiotik
Jenis antibiotik yang biasa digunakan adalah golongan penisilin dan
sefalosporin Ampicilin dengan dosis 4 x 500, dan Amoxicillin 3 x 500
mg. Sefasloporin biasanya aman untuk ibu hamil yang alergi terhadap
penisillin tetapi untuk kasus hipersensitif penisillin yang berat lebih
dianjurkan klindamisin. Antibiotik diberikan paling sedikit selama 10 -
14 hari.

115
7. Monitoring
Respon klinik terhadap penatalaksanaan di atas dibagi atas respon klinik
cepat dan respon klinik dramatis. Jika gejalanya tidak berkurang dalam
beberapa hari dengan terapi yang adekuat termasuk antibiotik, harus
dipertimbangkan diagnosis banding. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin
diperlukan untuk mengidentifikasi kuman-kuman yang resisten, adanya
abses atau massa padat yang mendasari terjadinya mastitis seperti
karsinoma duktal atau limfoma non Hodgkin. Berulangnya kejadian
mastitis lebih dari dua kali pada tempat yang sama juga menjadi alasan
dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya massa tumor, kista atau galaktokel.

8. Komplikasi
Penghentian menyusui dini
Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat
seorang ibu memutuskan untuk berhenti menyusui. Penghentian
menyusui secara mendadak dapat meningkatkan risiko terjadinya abses.
Abses
Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara
teraba keras , merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita
harus pikirkan kemungkinan terjadinya abses. Cairan ini dapat
dikeluarkan dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai
diagnostik sekaligus terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum
secara serial. Pada abses yang sangat besar terkadang diperlukan
tindakan bedah. Selama tindakan ini dilakukan ibu harus mendapat
antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga perlu dikultur agar
antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

Mastitis berulang
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat
atau tidak adekuat. Pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri
diberikan antibiotik dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari)
selama masa menyusui.

Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur
seperti candida albicans. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin
krem yang juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap
selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat
yang sama.

116
Daftar Pustaka
Bland, K.I., Beenken, W.S., Copeland III , E.M. 2005. The Breast.
Dalam Schwartz, SpenserShires.Principle of Surgery. 8 Edition. New
York : Mc Graw Hill Company. p. 463-466.
De Jong, W, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
Revisi. Jakarta : EGC. p. 387-402.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, 2015

117
Faktor risiko
1. Berat badan lebih (IMT 22,9-<25 kg/m2) dan obese (IMT 25
kg/m2)
2. Riwayat penyakit DM di keluarga
3. Mengalami hipertensi (TD 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi
hipertensi)
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah
didiagnosis DM Gestasional
5. Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome)
6. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi
Glukosa Terganggu)
7. Aktifitas jasmani yang kurang

Hasil Pemeriksaan Fisik dan penunjang sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
1. Penilaian berat badan, tinggi badan indeks massa tubuh (IMT)
2. Mata : Kelainan pada retina, katarak dini.
3. Extremitas : Uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen

Pemeriksaan Penunjang
1. Gula Darah Puasa
2. Gula Darah 2 jam Post Prandial
3. Urinalisis

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Kriteria diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa:
1. Gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagi) + glukosa plasma
sewaktu 200 mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil
pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan
terakhir ATAU
2. Gejala Klasik DM+ Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dl. Puasa
diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
ATAU
3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada tes toleransi glukosa oral (TTGO)>
200 mg/dL TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan
beban glukosa anhidrus 75 gram yang dilarutkan dalam air 200cc.
4. HbA1C > 6,4 % Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria
normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Teranggu
(GDPT) tergantung dari hasil yang diperoleh

119
Kriteria gangguan toleransi glukosa (pre diabetes):
1. GDPT: ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100125 mg/dl
2. TGT : ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO kadar glukosa
plasma 140199 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram.
3. HbA1C : 5,7 -6,4%

Gambar 1. Algoritme Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 2

Komplikasi
1. Akut
Ketoasidosis diabetik, Hiperosmolar non ketotik, Hipoglikemia
2. Kronik
Makroangiopati, Pembuluh darah jantung, Pembuluh darah perifer,
Pembuluh darah otak
Mikroangiopati: Pembuluh darah kapiler retina, pembuluh darah kapiler
renal
3. Neuropati
4. Gabungan: Kardiomiopati, rentan infeksi, kaki diabetik, disfungsi ereksi

120
Penatalaksanaan komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
Terapi untuk Diabetes Melitus didahului dengan melakukan modifikasi
gaya hidup, yang meliputi pengaturan makan dan aktivitas fisik dan
dilanjutkan dengan pemberian obat-obatan jika diperlukan. (algoritma
pengelolaan DM tipe 2)

Perencanaan Makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi:
1. Karbohidrat 45 65 %
2. Protein 15 20 %
3. Lemak 20 25 %
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak
berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono Unsaturated
Fatty Acid, contoh: minyak zaitun, minyak biji bunga matahari), dan
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh.
Jumlah kandungan serat + 25 g/hr, diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari:


1. Laki-laki: 30 kal/kg BB idaman
2. Wanita: 25 kal/kg BB idaman

Rumus Broca:*
Berat badan idaman = ( TB 100 ) 10 %
*Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10 % lagi.
BB kurang : < 90 % BB idaman
BB normal : 90 110 % BB idaman
BB lebih : 110 120 % BB idaman
Gemuk : >120 % BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari):


1. Status gizi:
a. BB gemuk - 20 %
b. BB lebih - 10 %
c. BB kurang + 20 %
2. Umur > 40 tahun : -5%
3. Stres metabolik (infeksi, operasi,dll): + (10 s/d 30 %)

121
4. Aktifitas:
a. Ringan + 10 %
b. Sedang + 20 %
c. Berat + 30 %
5. Hamil:
a. trimester I, II + 300 kal
b. trimester III / laktasi + 500 kal

Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan teratur (3-5 kali seminggu selama
kurang lebih 30-60 menit minimal 150 menit/minggu intensitas sedang).
Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga,
berkebun, harus tetap dilakukan.
Kriteria Rujukan
Untuk penanganan tindak lanjut pada kondisi berikut:
1. DM tipe 2 dengan komplikasi
2. DM tipe 2 dengan kontrol gula buruk
3. DM tipe 2 dengan infeksi berat

122
Gambar 2. Algoritme Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia

123
Gambar 3.1 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti
hiperglikemik

(Sumber: Standard of Medical Care in Diabetes-ADA 2015)

124
Gambar 3.2 Keuntungan, kerugian dan biaya obat anti
hiperglikemik
(Sumber: Standard of Medical Care in Diabetes-ADA 2015)

125
Gambar 4. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di
Indonesia

126
Gambar 5.1 Obat antihiperglikemia oral

127
Gambar 5.2 Obat antihiperglikemia oral

Catatan: Pemilihan jenis Obat Hipoglikemik oral (OHO) dan insulin


bersifat individual tergantung kondisi pasien dan sebaiknya
mengkombinasi obat dengan cara kerja yang berbeda.
Dosis OHO
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
1. OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara
bertahapsesuai respons kadar glukosa darah, dapat diberikansampai
dosis optimal.
128
2. Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan.
3. Metformin : sebelum/pada saat/sesudah makan.
4. Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama.
Penunjang
1. Urinalisis
2. Funduskopi
3. Pemeriksaan fungsi ginjal
4. EKG
5. Xray thoraks
Rencana Tindak Lanjut:
Tindak lanjut adalah untuk pengendalian kasus DM berdasarkan
parameter berikut:

Table 1. Sasaran Pengendalian DM (berdasarkan konsensus DM


2015)

Konseling dan Edukasi


Edukasi meliputi pemahaman tentang:
1. Penyakit DM tipe 2 tidak dapat sembuh tetapi dapat dikontrol
2. Gaya hidup sehat harus diterapkan pada penderita misalnya olahraga,
menghindari rokok, dan menjaga pola makan.
3. Pemberian obat jangka panjang dengan kontrol teratur setiap 2 minggu

129
Peralatan
1. Laboratorium untuk pemeriksaan gula darah, darah rutin, urin rutin,
ureum, kreatinin
2. Alat Pengukur berat dan tinggi badan anak serta dewasa
3. Monofilamen test

Prognosis
Prognosis umumnya adalah dubia. Karena penyakit ini adalah penyakit
kronis, quo ad vitam umumnya adalah dubia ad bonam, namun quo ad
fungsionam dan sanationamnya adalah dubia ad malam.

Daftar Pustaka
1. Sudoyo, A.W. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S.Eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed 4. Vol. III. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2015.
3. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI dan Persadia.
Penatalaksanaan Diabetes Mellitus pada Layanan Primer, ed.2, 2012.
(Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Indonesia FKUI, 2012)
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

130
Kolesterol LDL > 100 mg/dl
Kolesterol HDL <40 mg/dl pria, < 50
mg/dL wanita
Trigliserida >150 mg/dl

Pencegahan

Primer : a. Menerapkan pola makan sehat


b. Konsultasi diet pada ahli gizi
c. Kurangi konsumsi makanan berlemak
d. Kurangi konsumsi karbohidrat berlebih
e. Kurangi garam pada makanan
f. Kurangi makanan yang mengandung banyak gula
g. Waktu tidur yang cukup
h. Kurangi / berhenti merokok
i. Kurangi / berhenti konsumsi alkohol
j. Olahraga teratur
k. Hindari obesitas / penurununanberat badan bagi
yang gemuk
Skrining : Skrining direkomendasikan pada semua pasien usia
20 tahun, dapat diulang setiap 5 tahun sekali meliputi:
Profil lipid
Glukosa darah
Kebiasaan merokok
BMI
Tekanan darah

133
Terapi
Algoritme Tatalaksana Dislipidemia

134
10 - 20

40
Pedoman diet menurut NCEP-ATP III
Kebugaran
Capai berat badan ideal
Aktif secara fisik setiap hari
Makanan sehat
Mengacu pada diet seimbang
Konsumsi gandum bervariasi
Konsumsi buah dan sayur setiap hari
Pilih makanan secara ketat
Pilih makanan rendah lemak jenuh dan kolesterol serta total lemak
sedang
Konsumsi sayur dan makanan dengan kadar gula rendah
Kurangi garam pada makanan
Kurangi konsumsi alkohol

Latihan jasmani
Contoh latihan fisik intensitas sedang pada orang dewasa sehat:
Jalan santai 30-40 menit
Berenang 20 menit
Bersepeda untuk kesenangan atau transportasi 5 mil dalam 30 menit
Bermain voli 45 menit
Membersihkan rumah
Bermain bola basket 15-20 menit
Golf
Menari 30 menit

Monitoring Pengobatan
Kadar LDL harus dipantau pada 6 (enam) minggu pertama setelah
pemberian obat hingga target penurunan tercapai. Jarak penilaian lipid
dapat diperpanjang setiap 6-12 bulan jika target tercapai dan modifikasi
gaya hidup dapat dilakukan.
Lakukan evaluasi terhadap fungsi hati saat rencana awal penggunaan statin
meskipun tidak perlu dilakukan monitoring fungsi hati secara periodik.
Komplikasi
Sindrom koroner akut
Penyakit Jantung koroner
Penyakit Arteri Perifer
Stroke
Disfungsi ereksi

136
Daftar Pustaka
1. Pedoman pengelolaan dislipidemia di Indonesia. PERKENI 2015
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015

137
XIX. Tension Type Headache
No. ICPC-2: N95 Tension Headache
No. ICD-10: G44.2 Tension-type Headache

Definisi
Tension Type Headache (TTH) adalah rasa nyeri dalam, seperti tertekan
berat atau terikat erat, umumnya bilateral yang pada awalnya timbul secara
episodik dan terkait dengan stres tetapi kemudian nyaris setiap hari muncul
dalam bentuk kronis, tanpa ada lagi kaitan psikologis yang jelas.
Etiologi
Tension type headache didapatkan gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan
yang bertambah pada paasi jaringan miofasial perikranial. Impuls
nosiseptif dari otot perikranial yang menjalar ke kepala mengakibatkan
timbulnya nyeri kepala. Nyeri akan bertambah pada daerah otot maupun
tendon yang tempat insersinya.

Faktor-faktor etiologinya adalah:


1. Disfungsi oromandibular
2. Stress psikologik
3. Anxietas
4. Depresi
5. Nyeri kepala sebagai delusi
6. Stress otot
7. Kelebihan minum obat pereda nyeri kepala tipe tegang
8. Salah satu kelainan dari grup 5-11 menurut klasifikasi IHS
(International Headache Society)

138
Penegakan Diagnosis
Anamnesis

Keluhan (Subjektif) : Nyeri menyebar di seluruh kepala sampai


tengkuk dan bahu
Rasa nyeri terutama pada bagian frontal
atau oksipital
Nyeri biasanya saat bangun tidur
Rasa nyeri seperti terikat tali kencang
Terasa tidak nyaman pada leher
Nyerinya tidak berdenyut
Tidak mual
Faktor Risiko : Tingkat stress yang tinggi
Depresi
Belum makan
Tingkat kecemasan yang tinggi
Pola tidur tidak teratur
Posisi tidur yang kurang nyaman
Kurang olahraga
Lemah, letih
Usia penderita : Umumnya 20 39 tahun (usia produktif)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda vital : tekanan darah normal


Pemeriksaan mata : Pemeriksaan funduskopi: normal
Pemeriksaan lapang pandang: normal
Pemeriksaan neurologis : Normal
Pemeriksaan fungsi kognitif : Normal

Pemeriksaan Penunjang : tidak diperlukan

139
Kepustakaan
Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2016.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi Indonesia, 2015

143
Klasifikasi Paralisis Fasialis Berdasarkan House and Brackmann
Grade 1 : Fungsi fasial normal
Grade II : Disfungsi ringan:
Kelemahan ringan saat dilakukan
inspeksi detail
Simetris normal saat istirahat
Gerakan otot dahi hampir sempurna
Menutup mata sempurna dapat dilakukan
dengan sedikit usaha
Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan
Dapat terjadi sinkinesis ringan
Grade III : Disfungsi sedang:
Asimetri kedua sisi terlihat jelas,
kelemahan ringan
Simetris normal saat istirahat
Terdapat gerakan ringan pada otot dahi
Menutup mata sempurna dapat dilakukan
dengan usaha
Otot mulut dapat digerakkan sedikit
dengan usaha maksimal
Dapat ditemukan sinkinesis, kontraktur
atau spasme hemifasial
Grade IV : Disfungsi sedang-berat:
Kelemahan dan asimetris terlihat jelas
Simetris normal saat istirahat
Tidak terdapat gerakan otot dahi
Mata tidak menutup sempurna
Otot mulut dapat digerakkan dengan
usaha maksimal,namun asimetris
Grade V : Disfungsi berat:
Hanya sedikit gerakan yang dapat
dilakukan
Asimetri wajah juga terlihat saat istirahat
Tidak terdapat gerakan dahi
Mata menutup tidak sempurna
Gerakan mulut hanya sedikit
Grade VI : Paralisis total:
Asimetri wajah yang jelas
Tidak ada gerakan otot wajah

145
Pasien dengan kelemahan wajah unilateral, onset 48 jam
u
Menilai derajat paralisis wajah

Derajat I - IV Derajat V - VI

Kortikosteroid Rujuk
Proteksi dan obat pelindung mata
Obat antivirus, 5-10 hari
Facial exercise

Evaluasi 2 minggu dan 4 minggu

Pemeriksaan fungsi n.fasialis

Tidak ada perbaikan


Dan/atau terjadi kekambuhan
Dan/atau komplikasi
Dan/atau diduga penyakit lain
Monitoring
Lakukan kontrol 1-2 minggu setelah pengobatan untuk memantau
keamanan obat, menilai fungsi N.VII dan kondisi mata, untuk menentukan
apakah perlu dirujuk atau tidak.

Komplikasi
Mata kering
Ulkus kornea
Ektropion
Sekuel kelemahan n.fasialis
Hiperlakrimasi

Kepustakaan
Kurniawan M, Suharjanti I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2016.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 514 tahun
2015 tentang Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer, 2015
Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri kepala, Konsensus Nasional V
Pokdi Nyeri Kepala Perdossi, 2016.
Diagnosis and management headache in adults a national clinical
guideline, Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008
The International Classification of Headache Disorders 3th.Ed., 2013

149
Daftar Kontributor Buku Tatalaksana 20 Kasus Rujukan Non
Spesialistik di FKTP

1. Dr. Daeng Muhammad Faqih, SH, MH


2. Dr. Moh. Adib Khumaidi, SpOT
3. Dr. R. Maya. A. Rusady, M.Kes, AAK
4. Dr. Fachrurrazi, MM, AAK
5. Elfanetti, S.Si, Apt, AAK
6. Dr. Gatot Soetono, MPH
7. Dr. Abraham AP Patarai, M.Kes
8. Dr. H.N. Nazar, Sp.B-K, FINACS, M.HKes
9. DR.Dr. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB
10. DR.Dr. EM. Yunir,SpPD-KEMD,FINASIM
11. Dr. Tri Juli Edi Tarigan,SpPD-KEMD
12. DR.Dr. Lie Khie Chen,SpPD-KPTI,FINASIM
13. Dr. Ginova Nainggolan,SpPD-KGH
14. Dr. Triya Damayanti, Ph.D, Sp.P(K)
15. Dr. Fathiyah Isbaniah,Sp.P(K), Mp.Ked
16. Dr. RR. Diah Handayani, Sp.P(K)
17. DR. Dr. Agus Dwi Susanto,SpP(K), FAPSR
18. Dr. Erlang Samoedro,SpP
19. Dr. Prasetyo Widhi Buwono,SpPD-KHOM,FINASIM
20. Dr. Eiffel Faheri,SpPD-KHOM
21. DR. Dr.Andhika Rahman, SpPD-KHOM
22. Dr. Noor Arida Sofiana, MBA
23. Dr. Didik K. Wijayanto
24. Dr. Dien Kurtanty, MKM
25. Dr. Mohammad Kurniawan Sp.S(K), M.Sc, FICA
26. Dr. Hanny Nilasari, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
27. Dr Danang Tri Wahyudi, SpKK, FINSDV, FAADV
28. Dr. Niken Lestari P, SpTHT-KL (K)
29. Dr. Harim Priyono, SpTHT-KL (K)
30. Dr. Vicky Riyadi, SpTHT-KL
31. Dr. Rifki Effendi Suyono
32. Dr. Nugroho Jati Dwi Nur Laksono
33. Dr. Yoga Primadi
34. Dr. R. Prabowo HP

150

Das könnte Ihnen auch gefallen