Sie sind auf Seite 1von 45

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA SDR.

A DENGAN FRAKTUR
SOFT FEMUR DEKSTRA DILAKUKAN TINDAKAN ANESTESI
REGIONAL SUB ARACHNOID BLOK (SAB) DI IBS
RSUD KOTA YOGYAKARTA

Disusun Untuk memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Gawat Darurat


dalam Konteks Anestesi II

Disusun Oleh:
Eka Sulistyowati (P07120213015)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA


PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESI
YOGYAKARTA
2017

LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA SDR.A DENGAN FRAKTUR


SOFT FEMUR DEKSTRA DILAKUKAN TINDAKAN ANESTESI
REGIONAL SUB ARACHNOID BLOK (SAB) DI IBS
RSUD KOTA YOGYAKARTA

Disusun oleh :
Eka Sulistyowati (P07120213015)

Telah diperiksa dan disetujui pada : April 2017

Mengetahui,

Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

Mohamad Rokhim S.ST Yustiana Olfah, A.PP., M.Kes

BAB I
PENDAHULUAN

A Latar Belakang

Fraktur femur didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang


paha, kondisi fraktur femur secara klinis bias berupa fraktur femur terbuka
yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada paha (Zairin, 2012).
Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan
umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan olahraga, pekerjaan atau
luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor (Lukman dan
Nurma, 2009).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih
dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3
juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah
sekitar 40% dari insiden kecelakaan yang terjadi. Menurut depkes RI (2011),
Penyebab terbanyaknya adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti
proses degeneratif dan osteoporosis juga dapat berpengaruh terhadap
terjadinya fraktur.
Fenomena yang ada di rumah sakit menunjukan bahwa pasien di
rumah sakit mengalami berbagai masalah keperawatan dalam diantaranya
nyeri, hambatan mobilitas, resiko infeksi, cemas dalam perianestesi. Masalah
tersebut harus di antisipasi dan di atasi agar tidak terjadi komplikasi. Peran
perawat sangat penting dalam perawatan pasien pre, intra dan post anestesi
terutama dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien.
Berdasarkan uraian di atas, maka kami tertarik untuk memberikan
asuhan keperawatan anestesi pada pasien fraktur soft femur dekstra dengan
teknik anestesi regional subarachnoid blok dengan pendekatan proses
keperawatan di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Kota Yogyakarta
B Tujuan
1; Tujuan Umum
Memberikan asuhan keperawatan anestesi pada pasien fraktur soft femur
dekstra dengan teknik anestesi regional subarachnoid blok.
2; Tujuan Khusus
a; Mampu menguasai konsep dasar subarachnoid blok dan fraktur soft
femur dekstra.
b; Mampu melakukan pengkajian, menganalisa, menentukan
diagnosa keperawatan, dan membuat intervensi keperawatan
anestesi.
c; Mampu memberikan tindakan keperawatan yang diharapkan
dapat mengatasi masalah keperawatan pada kasus perioperatif
dengan diagnosa fraktur soft femur dekstra.
d; Mampu mengungkapkan faktor-faktor yang menghambat dan
mendukung serta permasalahan yang muncul dari asuhan
keperawatan yang diberikan.

C Waktu
Asuhan keperawatan anestesi dilakukan pada tanggal 18 April 2017.

D Tempat Praktek
Asuhan keperawatan anestesi ini dilakukan pada tanggal 18 April 2017 di
Instalasi Bedah Sentral RSUD Kota Yogyakarta.

E Strategi Pelaksanaan
1; Wawancara
2; Pemeriksaan Fisik
3; Observasi
4; Studi dokumentasi

BAB II
TINJAUAN TEORI

A; Fraktur
1; Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma,
tekanan maupun kelainan patologis. Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 2005).
Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas
tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur
terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan
saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012).
2; Klasifikasi Fraktur Femur
Menurut Helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis
berdasarkan letak garis fraktur seperti dibawah ini:
a; Fraktur Intertrokhanter Femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur,
sering terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini
memiliki risiko nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya
baik. Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan
pemasangan fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan
pada penderita yang sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan
anestesi general.
b; Fraktur Subtrokhanter Femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor,
diklasifikasikan menurut Fielding & Magliato sebagai berikut: 1) Tipe
1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor; 2) Tipe 2
adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter
minor; 3) Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter minor.
Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi
internal dan tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7
minggu kemudian dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu
yang merupakan alternatif pada pasien dengan usia muda.
c; Fraktur Batang Femur
Fraktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung,
secara klinis dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan
kerusakan jaringan lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan
penatalaksanaan berupa debridement, terapi antibiotika serta fiksasi
internal maupun ekternal; 2) Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan
konservatif berupa pemasangan skin traksi serta operatif dengan
pemasangan plate-screw.
d; Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan
tinggi sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan
disertai gaya rotasi. Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi
berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut
Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta operatif pada kasus yang
gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan pemasangan nail-phroc
dare screw.
e; Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi
dari gaya hiperabduksi dan adduksi disertai denga tekanan pada
sumbu femur ke atas. Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi
tulang selama 4-6 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan
penggunaan gips minispika sampai union sedangkan reduksi terbuka
sebagai alternatif apabila konservatif gagal.
3; Manifestasi Klinis Fraktur
Menurut Smeltzer, 2005 tanda gejala fraktur yaitu :
a; Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
b; Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang
bisa diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal.
c; Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang
melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.
d; Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan
antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e; Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
4; Proses Penyembuhan Fraktur
Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu
mekanisme alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa
penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas.
Sebagian besar fraktur dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi
untuk meringankan nyeri, memastikan bahwa penyatuan terjadi pada
posisi yang baik dan untuk melakukan gerakan lebih awal dan
mengembalikan fungsi (Smeltzer & Bare, 2005).
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang
yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai
dengan lima tahap, yaitu sebagai berikut:
a; Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan mati
sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian akan
menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler
sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler
di dalamnya (Black & Hawks, 2001).
b; Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari2 minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran
medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel
yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku
perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke
dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk,
2011).
c; Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu)
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago.
Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai membersihkan
tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang
imatur menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin
berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu (Black &
Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
d; Osifikasi (3 minggu-6 bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara
perlahanlahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh
aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamellar dan kelebihan kalus
akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus dimulai dalam 2-
3 minggu setelah patah tulang melalaui proses penulangan
endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-
benar bersatu (Black & Hawks, 2001; Smeltzer & Bare, 2005).
e; Konsolidasi (6-8 bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa
yang imatur berubah menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang
cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas
mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum
tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Black &
Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
f; Remodeling (6-12 bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar
ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang akan
memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya (Black & Hawks,
2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Smeltzer & Bare, 2005).
5; Komplikasi fraktur
Komplikasi fraktur menurut Brunner & Suddarth (2005) dibagi
menjadi 2 yaitu:
a; Komplikasi awal
1; Syok
Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang
merupakan organ yang sangat vaskuler maka dapat terjadi
perdarahan yang sangat besar sebagai akibat dari trauma
khususnya pada fraktur femur dan fraktur pelvis.
2; Emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam


darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres
pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya
globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung
dengan trombosit membentuk emboli, yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok otak, paru,
ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera
gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan
pireksia (Suratun, dkk, 2008).

3; Compartment Syndrome
Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini
disebabkan oleh karena penurunan ukuran fasia yang
membungkus otot terlalu ketat, balutan yang terlalu ketat dan
peningkatan isi kompartemen karena perdarahan atau edema.
Sindrom kompartemen juga disebut dengan kondisi dimana
terjadi peningkatan tekanan interstisial di dalam ruangan yang
terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup.
Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan,
sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam
ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf dan
pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-
otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom
kompartemen ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis,
pucat, disertai denyut nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian
besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling sering
disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai
bawah dan tungkai atas.
4; Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan
koagulopati intravaskular.
b; Komplikasi lambat
1; Delayed union, malunion, nonunion
Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan
tidak terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan
infeksi dan distraksi (tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan
fragmen tulang juga dapat menyebabkan kesalahan bentuk dari
penyatuan tulang (malunion). Tidak adanya penyatuan (nonunion)
terjadi karena kegagalan penyatuan ujung- ujung dari patahan
tulang.
2; Nekrosis avaskular tulang
Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah
dan mati. Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan
diganti dengan tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan
kehilangan kalsium dan kolaps struktural. Nekrosis avaskuler ini
sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os.
Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum, 2008).
3; Reaksi terhadap alat fiksasi interna
Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang
namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat
sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan fungsi
merupakan indikator terjadinya masalah. Masalah tersebut
meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan dan stabilisasi yang
tidak memadai, kegagalan material, berkaratnya alat, respon
alergi terhadap logam yang digunakan dan remodeling
osteoporotik disekitar alat.
6; Penatalaksanaan Fraktur

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan


tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama
masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2011).
a; Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang
berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi
dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa
minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan
pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi
kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang
kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah
tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-
operatif dengan meja traksi, setelah rereposisi, dilakukan pemasangan
prosthesis secara operatif pada kolum femur (Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan
pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja
disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa
indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya
jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana
pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi
yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu
bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple
yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang
terkait dengan cedera kepala, fraktur dengan infeksi (Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang
dengan pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur
femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai
bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat
dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara
operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan
pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi
pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali
dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan cenderung terjadi
displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan yang
buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur
multiple dimana dengan reduksi dini bisa meminimkan komplikasi,
fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, pasien
geriatri) (Nayagam, 2010; Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz;
Heckman; Court-Brown, 2006).
b; Imobilisasi

Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa


reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi
dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur tungkai
bawah tanpa dislokasi yang penting. Imobilisasi yang lama akan
menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Oleh karena itu
diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin (Nayagam, 2010).
c; Rehabilitasi

Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan anggota yang


cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi kembali seperti
sebelum mengalami gangguan atau cedera (Nayagam, 2010)

B; Anestesi Spinal (Subarachnoid Blok/ SAB)


1; Pengertian Anestesi Spinal
Anestesi spinal (subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid
(Majid, 2011). Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam
ruang intratekal yang menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal
anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal
antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5 untuk menghasilkan onset anestesi yang
cepat dengan derajat keberhasilan yang tinggi (Dunn, Jean, & Carl, 2011).

Anestesi spinal adalah salah satu teknik anestesi regional yang


dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom
tertentu dan relaksasi otot rangka (Gwinnutt, 2011).

2; Indikasi Anestesi spinal (Yuswana, 2005)


a; Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah
dan tulang.
b; Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya
atau pembedahan saluran kemih.
c; Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi
peritoneal.
d; Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e; Diagnosa dan terapi
3; Kontra indikasi Spinal Anestesi
Mutlak (Latief, 2009):
a; Pasien menolak
b; Infeksi tempat suntikan
c; Hipovolemik berat, hipotensi
d; Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
e; Tekanan intracranial yang meninggi
f; Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
Relatif (Latief, 2009):
a; Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
b; Kelainan neurologis (kelumpuhan, kesemutan, nyeri punggung)
c; Kelainan psikis, anak-anak
d; Pembedahan dengan waktu lama
e; Penyakit jantung
4; Obat-obat Anestesi spinal
Menurut (Salinas, Michael, Christhoper & Susan, 2009) jenis
obat anestesi yang sering digunakan yaitu:
a; Bupivakain
Bupivacaine adalah prototipe dan paling banyak digunakan
sebagai agen anestesi lokal jangka panjang amino amide. Tingkat dan
durasi yang dosis terkait. Dalam rentang dosis klinis yang relevan
yaitu dari 3,75 mg - 11,25 mg merupakan bupivakain hiperbarik
0,75%, untuk setiap tambahan tiap miligramnya ada peningkatan rata-
rata durasi anestesi bedah selama 10 menit dan peningkatan selesai
sampai pemulihan setelah 21 menit.
b; Marcaine
Anestesi lokal memblokir konduksi impuls saraf, dengan
meningkatkan ambang batas eksitasi listrik di saraf, dengan
memperlambat penyebaran impuls saraf, dan mengurangi laju
kenaikan dari potensial aksi. Penyerapan sistemik anestesi lokal
menghasilkan efek pada kardiovaskular dan sistem saraf pusat (CNS),
yang dapat menyebabkan atrioventrikular blok, aritmia ventrikel, dan
serangan jantung. Selain itu, kontraktilitas miokard tertekan dan
vasodilatasi perifer terjadi yang menyebabkan penurunan curah
jantung dan tekanan darah arteri.
Durasi anestesi secara signifikan lebih lama dengan Marcaine
dibandingkan dengan anestesi lokal yang lain. Penelitian
farmakokinetik pada profil plasma dari Marcaine setelah injeksi
intravena langsung menyarankan tiga kompartemen model terbuka.
Kompartemen pertama diwakili oleh intravaskular cepat distribusi
obat. Kompartemen kedua merupakan equilibrium obat di seluruh
organ yang sangat perfusi seperti otak, miokardium, paru-paru, ginjal,
dan hati. Ketiga kompartemen merupakan equilibrium obat dengan
perfusi jaringan yang buruk, seperti otot dan lemak. Setelah suntikan
Marcaine, tingkat puncak dalam darah tercapai dalam 30 hingga 45
menit, diikuti penurunan ke tingkat signifikan selama 3 sampai 6 jam.
Dalam studi klinis, pasien usia lanjut mencapai penyebaran
maksimal analgesia dan maksimal blokade motorik lebih cepat
daripada pasien yang lebih muda. pasien usia lanjut juga dipamerkan
puncak konsentrasi plasma yang lebih tinggi setelah pemberian produk
ini. Ginjal adalah organ ekskresi utama untuk kebanyakan anestetik
lokal dan metabolitnya. Marcaine mengiritasi atau merusak jaringan
dan tidak menyebabkan methemoglobinemia
c; Lidokain
Lidokain dianggap pendek untuk durasi menengah agen
anestesi lokal dan secara historis anestesi lokal yang paling banyak
digunakan untuk anestesi spinal. Lidokain polos dosis 50 mg akan
menghasilkan blok puncak T6 dengan timbulnya 2 dermatom regresi
50 pada 120-140 menit. Penggunaan lidocaine telah jatuh secara
dramatis karena kekhawatiran regrading TNS (Transient Neurological
Syndrom).
5; Komplikasi anestesi spinal
Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi 2 kategori, yaitu mayor
dan minor. Komplikasi mayor adalah alergi obat anestesi lokal, transient
neurologic syndrome, cedera saraf, perdarahan subarakhnoid, hematom
subarakhnoid, infeksi, anestesi spinal total, gagal napas, sindrom kauda
equina, dan disfungsi neurologis lain. Komplikasi minor berupa hipotensi,
post operative nausea and vomiting (PONV), nyeri kepala pasca pungsi,
penurunan pendengaran, kecemasan, menggigil, nyeri punggung, dan
retensi urin (Javed dalam Hayati, 2014).
BAB III
PROSES KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI

A; PENGKAJIAN
1; Pre Anestesi
a; Identitas Pasien
1; Nama : Sdr. A
2; Jenis Kelamin : Laki-laki
3; Umur : 25 tahun
4; BB/TB : 90 kg / 175 cm
5; Status Pernikahan : Belum Menikah
6; Pekerjaan : Pegawai Swasta
7; Agama : Islam
8; Pendidikan : SMA
9; Alamat : Blunyahredjo, Karangwaru, Tegalrejo
10; Tanggal MRS : 16 April 2017
11; Tanggal Pengkajian : 18 April 2017
12; Diagnosa Medis : Fraktur soft femur dekstra
13; Rencana Operasi : Removal of Inplate (ROI)
14; Nomer Medis : 6591xx
15; Dokter Bedah : dr Bertha, SpOT
16; Dokter Anestesi : dr Ardi Pramono Sp.An
17; Rencana Anestesi : RA (Subarachnoid Block/ SAB)
b; Keluhan Utama
Pasien mengatakan ingin diangkat pen ditulang paha yang patah
c; Riwayat Kesehatan
1; Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan pernah kecelakaan lalu lintas 2 tahun yang
lalu, menabrak mobil dari belakang, kemudian terjatuh, kaki
serta tangan sebelah kanan terbentur mobil sehingga patah,
pasien dibawa ke RS Sardjito dan dilakukan operasi pada
fraktur femur serta humerus. Kemudian tahun 2017 pasien
dianjurkan untuk mengangkat pen/platina pada tulang yang
dulu patah di RSUD Kota sehingga pada tanggal 16 April 2017
pasien periksa poli ortopedhi dan dianjurkan rawat inap di
bangsal untuk persiapan operasi
2; Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien menyangkal menderita penyakit jantung, hipertensi,
diabetes melitus, maupun alergi obat dan asma bronkial.
3; Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien mengatakan anggota keluarganya tidak memiliki
riwayat hipertensi, penyakit jantung, gangguan ginjal, asma,
maupun diabetes mellitus.
d; Kelengkapan Rekam Medis
Persetujuan bedah, persetujuan anestesi, hasil laboratorium, hasil
rontgen
e; Pemeriksaan Fisik
1; Kesadaran Umum

Keadaan pasien lemah dengan kesadaran compos mentis.

Suhu = 36,5 oC BB = 90 kg
Nadi = 96 x / menit TB = 175 cm
TD = 156/88 mmHg IMT = 30 kg/m2
RR = 20 x/menit
2; Pemeriksaan Kepala
Tidak ada jejas pada kepala maupun wajah, tidak ada
perdarahan yang keluar pada mata, mulut maupun hidung.
pasien tidak menggunakan gigi palsu, lensa kontak.
3; Pemeriksaan dada (paru dan jantung)
Pemeriksaan paru
a; Inspeksi

Dada simetris, perbandingan anterior-posterior dan


transversal 1:2, tidak ada lesi, klavikula simetris,
penarikan nafas seimbang antara dada kiri dan kanan.
b; Palpasi

Tidak ada krepitasi, ekspansi dada kedepan dan


kesamping seimbang.
c; Perkusi

Interkosta 1-3 paru kiri terdengar suara resonan,


interkosta 4-6 paru kiri terdengar suara redup, interkosta
1-6 paru kanan terdengar suararesonan, interkosta 6 paru
kanan terdengar suara redup.
d; Auskultasi

Pada trakhea terdengar suara trakheal, suara nafas


vesikuler.
4; Pemeriksaan jantung
a; Inspeksi
Tidak terlihat denyut pada intercosta 2 kanan (area
katup aorta), intercosta 2 kiri (area katup pulmonalis)
maupun intercosta 5 (ictus cordis).
b; Palpasi
Tidak teraba denyut pada intercosta 2 kanan (area
katup aorta), intercosta 2 kiri (area katup pulmonalis)
tetapi teraba denyut pada intercosta 5 (ictus cordis).
c; Perkusi
Suara redup dibagian intercosta kiri 2-5.
d; Auskultasi
Bunyi jantung reguler (BJ 1 dan BJ 2 tunggal), tidak
ada suara tambahan. Denyut jantung 84 x/ menit.
5; Pemeriksaan Tulang Belakang
Bentuk tulang belakang normal, tidak ada luka maupun
benjolan.
6; Abdomen
Lama puasa : pasien mulai puasa pukul 24.00 WIB, operasi
pukul 13.00 WIB sehingga pasien puasa pre operasi selama 13
jam
a; Inspeksi
Bentuk simetris, tidak terdapat bekas luka dan tidak ada
benjolan.
b; Auskultasi
Terdengar bunyi peristaltic lemah 12 kali/ menit
c; Perkusi
Terdengar suara timpani pada kuadran kiri atas
d; Palpasi

Tidak terdapat nyeri tekan pada abdomen kanan, tidak


terdapat massa dan tidak acites.
7; Ekstremitas
a; Atas
Tangan simetris, pada tangan sebelah kanan terdapat luka
bekas operasi 20 cm, tidak ada odem. kapillary refill < 3
detik, turgor kulit elastis, nadi radialis teraba kuat, teratur,
terpasang infus RL pada tangan sebelah kiri dengan
kecepatan 20 tpm.
b; Bawah
Kaki simetris, tidak ada lesi kaki, turgor kulit elastis,
kapillary refill < 3 detik.
8; Neurologis
a; Status mental dan emosi :

Ekspresi wajah pasien tampak cemas, tidak tenang.


b; Kekuatan otot

kanan 5 5 kiri
5 5

Keterangan:
0 : Otot sama sekali tidak mampu bergerak, tampak
berkontraksi
1 : Tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada
tahanan sewaktu jatuh.
2 : Mampu menahan tegak/ gaya gravitasi (saja), tapi jatuh
dengan sentuhan
3 : Tidak mampu melawan tekan/ dorongan dari pemeriksa
4 : Kekuatan kurang dibandingkan sisi lain.
5 : Kekuatan utuh
9; Status ASA
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun
gangguan organik lainnya, akan tetapi IMT pasien mencapai
30 kg/m2, tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang
dirasakan sehingga dapat dikategorikan pasien memiliki status
fisik ASA II.

f; Pemeriksaan Penunjang
1; Hasil Hematologi 17 April 2017

Nama Hasil Normal


Hematologi
Eritrosit 5,0 106/L 4,5 6,0106/L
Leukosit 8,8 mm3 3.000 10.600 mm3
Hemoglobin 15,5 g/dl 13 16 g/dl
Hematokrit 46,7 % 47 52 %
MCV 93,3 fL 81 99
MCH 31,0 Pg/cell 27 31 Pg/cell
MCHC 33,2 g/dL 33 37 g/dL
Trombosit 267.000/ L 150.000 440.000 mm
RDW 11,9 % 11 16
Hitung Jenis
Neutrofil 66,5 % 50-70
Basofil 0,4 % 0-1
Eusinofil 0,6 % 0,5-5
Limfosit 30,5 % 20-40
Monosit 2% 3-12
Neutrofil 5,87 2-7 106/L
Basofil 0,03 0-1 106/L
Eusinofil 0,05 0,02-0,5 106/L
Limfosit 2,69 0,8-4 106/L
Monosit 0,15 0,12-1,2 106/L

Golongan Darah O
Rhesus (+)
PTT 230 < 6 menit
APTT 700 < 12 menit
Kimia
GULA DARAH
Gula darah sewaktu 99 70-140 mg/dL
GINJAL
Ureum darah 16 mg/dL 10-50
Kreatinin Darah 1,0 mg/dL 0,70-1,30
ELEKTROLIT
Natrium 136 135-140
Kalium 3,7 1,7-5,3
Klorida 103 90-100
IMUNO SEROLOGI
HbsAg Non reaktif Non reaktif
2; Pemeriksaan Rontgent
Tanggal 16 April 2017

Hasil:
Fraktur Femur Dekstra

3; EKG

Tgl Jenis pemeriksaan Diagnosa


16 April 2017 EKG HR 89 x/menit
Sinus Rhytme
4; Rontgen Thoraks

Tanggal 17 April 2017


Hasil :
a; Cor : bentuk dan letak jantung normal
b; Pulmo: corakan vaskuler tampak meningkat dan kasar, tak tampak bercak pad
kepua lapang paru

Kesan:
Pulmo dan besar Cor normal

g; Evaluasi Pra Anestesi


1; Kesiapan Perawat
a; Perawat sudah menyiapkan alat anestesi regional
subarachnoid (jarum spinal (spinocain) no 27 G, spuit 5 cc,
obat Bupivacain Regivell 15 mg, kassa, iodine, alkohol,
sarung tangan) maupun anestesi umum (mesin anestesi,
stetoscope, laringoscope, tube (ET/LMA), Airway (Mayo,
nasal canule), plester, stilet, conector, suction), obat
emergency
2; Kesiapan Pasien
a; Pasien telah melakukan puasa sejak pukul 24.00 WIB
b; Pasien telah mengosongkan kandung kemih, BAK terakhir
pukul 06.00 WIB
c; Pencukuran area operasi
d; Pasien telah memakai baju dan topi operasi
e; Sign in dilakukan untuk mempersiapkan dan memastikan
kondisi pasien, data yang didapat diantaranya: status pasien
ASA 2, pasien telah terpasang IV line terpasang dengan
infus RL 500 cc di tangan kiri, mengalir lancar, tidak ada
persediaan darah, pasien tidak memiliki riwayat penyakit
hipertensi, jantung maupun diabetes melitus, pasien tidak
memiliki riwayat alergi pada obat maupun makanan,
tekanan darah pasien 156/88 mmHg
f; Pasien diajarkan nafas dalam
g; Pasien diberikan pendidikan kesehatan untuk makan
makanan TKTP karena tidak ada riwayat alergi, tekstur
jenis makanan bertahap dari makanan lunak menuju
makanan biasa, setelah 24 jam dianjurkan untuk tirah
baring.
3; Kesiapan Obat
a; Obat premedikasi tidak ada
b; Obat anestesi regivell dengan dosis 15 mg, ondansetron 4
mg, ketorolak 30 mg telah disiapkan, obat emergency
berupa efedrine

2; Intra Anestesi
a; Prosedur Intra anestesi
1; Pasien dipindahkan ke meja operasi
2; Pasien dipasang tensimeter, pulse oksimeter, nasal kanule dengan
kecepatan 2 lpm
3; Hidupkan bed side monitor dan atur pengukuran tekanan darah tiap
5 menit
4; Pasien dibantu duduk dengan kepala ditekuk ke bawah
5; Prosedur anestesi spinal dilakukan dokter spesialis anestesi
meliputi:
a; Desinfeksi area spinal dengan kasa betadin, alkohol dan
bersihkan dengan kasa kering
b; Menentukan lokasi penusukan L3-L4 dengan identifikasi SIAS
dekstra-sinistra kemudian ditarik garis lurus ketengah
c; Penusukan jarum spinal dengan teknik penusukan meliputi
teknik midle, teknik paramedian dan teknik lumbosacral
sampai kedalaman ruang SAB
d; Waktu tepat untuk injeksi obat anestesi yaitu saat ujung jarum
spinal berada pada ruang SAB ditandai dengan cairan CSS
keluar jernih/tanpa darah maka jarum spuit dihubungkan
dengan jarum spinal: aspirasi CSS 0,1 ml, kecepatan injeksi 1
ml/3-5 detik dan masukan obat sesuai dosis kemudian jarum
spinal dicabut, tutup tempat suntikan dengan plester luka/kasa
kering steril
6; Posisikan pasien supinasi
7; Monitor tanda-tanda vital serta saturasi oksigen
8; Menanyakan keluhan pasien setelah penyuntikan spinal meliputi
sesak nafas (-), mual muntah (-), kesemutan pada kedua kaki (+),
kedinginan (-)
9; Pasien diposisikan lateral sinistra
10; Monitor kebutuhan cairan selama intra operatif
a; Kebutuhan cairan pasien selama operasi:

Rumus Maintenance : 2 cc/kgBB/jam x BB


: 2 x 90 : 180 cc
Rumus Pengganti Puasa : lama puasa x maintenance
: 13 x 180 : 2.340 cc
Rumus Stress operasi : jenis operasi x BB
: 6 x 90 : 540 cc
b; Pemberian cairan intra operasi

Jam I : PP + M + SO
: 1170 + 180 + 540
: 1890 cc

Jam II : PP + M + SO
: 585 + 180 + 540
: 1305 cc
Jam III : PP + M + SO
: 585 + 180 + 540
: 1305 cc
Jam IV : M + SO
: 180 + 540
: 720 cc
c; Pengganti perdarahan
Perdarahan < 20% dari EBV maka dapat diberikan
kristalod : koloid ( 3:1)
Perdarahan > 20% dari EBV maka cairan digantikan
dengan tranfusi darah
EBV Ny.N : BB x 70 : 90 x 70 : 6300 cc
Perdarahan intra operatif : 300 cc ( perdarahan 4,7 %)
11; Perawat anestesi mengobservasi keadaan pasien

b; Rekam Monitor Pasien Intra Anestesi

Jam Tindakan Tensi Nadi Sa O2


12.50 ; Pasien masuk ke kamar operasi, 156/88 84 100
dan dipindahkan ke meja
operasi
; Pemasangan monitoring
tekanan darah dan saturasi
oksigen
; Infus RL terpasang pada
tangan kiri

12.53 Dilakukan spinal anestesi 152/87 90 100


Spinocan No 27
Regivell 20 mg

Kemudian pasien di baringkan


dan dipasang canule O2 dengan
kecepatan 2 liter/menit
12.55 Menanyakan pasien rasa kebas 149/89 89 100
atau kesemutan pada area
ekstremitas.
12.56 Kaki pasien tidak kesemutan, kaki 146/84 83 100
dapat diangkat tinggi
12.58 Posisi pasien di head down 140/85 79 100
12.59 Menanyakan pasien rasa kebas 139/86 77 100
atau kesemutan pada area
ekstremitas. Meminta pasien untuk
mengangkat kaki
13.00 Posisi pasien didudukkan kembali. 137/89 83 100
Dilakukan spinal anestesi
Spinocan No 27
Regivell 20 mg

Kemudian pasien di baringkan


13.01 Diberikan ondansetron 4 mg rute 123/79 82 100
IV bolus
13.02 Diberikan ketorolak 30 mg rute IV 122/78 79 100
bolus
13.05 Menanyakan pasien rasa kebas 117/70 81 100
atau kesemutan pada area
ekstremitas. Meminta pasien untuk
mengangkat kaki
13.06 Posisi pasien di head down 112/69 79 100
13.10 Kaki pasien sudah berat untuk 119/78 79 100
diangkat maupun digerakkan,
rangsang nyeri (cubit) di area kaki
tidak terasa nyeri
13.11 Cairan RL habis, diganti dengan 115/76 76 100
asering
13.11 Pasien diposisikan lateral sinistra 119/81 79 100
13.15 Operasi dimulai, sayatan 125/84 84 100
paramedial di bagian kanan
sepanjang 25 cm
13.45 Cairan Asering diganti dengan 106/79 81 100
cairan Tutofutsin
13.15 Cairan Tutofutsin diganti dengan 121/78 81 100
cairan asering
14.45 ; Operasi selesai 122/74 79 100
; Gas O2 dihentikan
; Pelepasan alat monitoring
; Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room

3; Post Anestesi
a; Pasien dipindahkan ke ruang PACU
b; Di ruang PACU pasien dipasang monitor oksigen nasal kanul 2 lpm,
tensimeter dan saturasi oksigen
c; Pasien terpasang IVFD Asering dengan kecepatan 20 tpm
d; Melakukan observasi keadaan pasien hingga bromage score > 2
e; Observasi hemodinamik pasien setiap 5 menit selama 15 menit
ANALISA DATA
NO. DATA ETIOLOGI MASALAH
1. Pre Anestesi Persiapan anestesi Risiko gangguan
DS:
dan operasi keseimbangan
- Pasien mengatakan sudah puasa
(puasa) cairan dan
sejak pukul 24.00 WIB
elektrolit
- Pasien mengatakan haus

DO:
- Bibir kering
- Nadi 88 x/menit

Kurang Cemas
DS:
pengetahuan
- Pasien mengatakan cemas akan
masalah
dibius
pembiusan /
- Pasien cemas jika setelah dibius
operasi
masih terasa sakit saat di operasi
DO:
- Wajah tampak gelisah
- Data TTV:
TD: 156/88 mmHg
N : 88 x/menit
2. Intra Anestesi Disfungsi Risiko pola nafas
DS:
neuromuskular tidak efektif
- Pasien mengatakan sedikit sesak
dampak sekunder

DO: obat anestesi

- Penurunan tekanan inspirasi- regional

ekspirasi
- Nafas pasien tampak lebih
dalam
- RR : 22 x/menit
-
DS: - Vasodilatasi Risiko gangguan
DO:
pembuluh darah keseimbangan
- Pada menit ke 13.06 terjadi
dampak obat cairan dan
penurunan tekanan darah menjadi
anestesi elektrolit
112/69 mmHg
- Perdarahan 300 cc

3. Post Anestesi Agen cidera fisik Nyeri akut


DS:
(tindakan operasi)
- Pasien mengatakan luka operasi
sudah terasa nyeri, skala nyeri 3

DO:
- Wajah pasien tampak kesakitan
- TD : 135/85 mmHg
- Nadi: 86 x/menit

DS: Pengaruh Hambatan


- Pasien mengatakan kakinya sekunder obat mobilitas
masih sulit, terasa berat anestesi (RA) ekstremitas bawah
digerakkan

DO:
- Setelah pindah ke PACU, ketika
diminta menggerakkan kaki,
kaki pasien belum bisa
digerakkan
B; DIAGNOSA KEPERAWATAN
1; Pre Anestesi
a; Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan persiapan anestesi dan operasi (puasa) ditandai dengan
pasien mengatakan sudah puasa sejak pukul 24.00 WIB, Pasien
mengatakan haus, bibir kering, nadi 88 x/menit, pasien tampak
lemas.
b; Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah
pembiusan ditandai dengan pasien mengatakan cemas akan
dibius, pasien cemas jika setelah dibius masih terasa sakit saat di
operasi, wajah tampak gelisah, Data TTV: TD: 156/88 mmHg,
N : 88 x/menit
2; Intra Anestesi
a; Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular dampak sekunder obat anestesi regional ditandai
dengan pasien mengatakan sedikit sesak, penurunan tekanan
inspirasi-ekspirasi, nafas pasien tampak lebih dalam.
b; Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak obat anestesi
ditandai dengan pada menit ke 13.06 terjadi penurunan tekanan
darah menjadi 112/69 mmHg, perdarahan 300 cc
3; Pasca Anestesi
a; Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (tindakan
operasi) ditandai dengan pasien mengatakan luka operasi sudah
terasa nyeri, wajah pasien tampak menahan sakit, TD : 143/89
mmHg, nadi: 89 x/menit
b; Hambatan mobilitas ekstremitas bawah berhubungan dengan
pengaruh sekunder obat anestesi (RA) ditandai dengan setelah
pindah ke PACU, ketika diminta menggerakkan kaki, kaki
pasien belum bisa digerakkan
C; PRIORITAS DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1; Pre Anestesi
a; Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan persiapan anestesi dan operasi (puasa)
b; Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah
pembiusan
2; Intra Anestesi
a; Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular dampak sekunder obat anestesi regional
b; Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak obat anestesi
3; Pasca Anestesi
a; Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (tindakan
operasi)
b; Hambatan mobilitas ekstremitas bawah berhubungan dengan
pengaruh sekunder obat anestesi (RA)
D; PERENCANAAN, PELAKSANAAN DAN EVALUASI
Nama : Sdr.A Dx Medis : Fraktur Soft Femur Dextra Anestesi : RA SAB

Diagnosa Tujuan Rencana Tindakan Rasional Implementasi Evaluasi


Hari,
1;Keperawatan Hari, tanggal : 1; Kaji tingkat 1; Memberikan Hari, tanggal : Selasa, Hari, tanggal : Selasa,
tanggal : Selasa, 18 April kekurangan volume informasi untuk 18 April 2017, pukul: 18 April 2017, pukul:
Selasa, 18 2017, pukul: 12.10 cairan membantu dalam 12.15 WIB 12.30 WIB
2; Monitor masukan
April 2017, WIB menentukan - Menanyakan lama S:
dan keluaran cairan
pukul: Setelah dilakukan intervensi puasa pasien - Pasien mengatakan
3; Monitor tanda-tanda
2; Memantau - Mengobservasi
12.10 WIB tindakan sudah puasa sejak
vital
Pre keseimbangan kelancaran tetesan
keperawatan selama 4; Kelola pemberian pukul 24.00 WIB
Operasi cairan infus - Pasien mengatakan
30 menit risiko cairan infus dengan
3; Perubahan tanda- - Memonitor cairan
haus
Risiko gangguan dokter
tanda vital dapat pre anestesi yang - Pasien mengatakan
gangguan keseimbangan
diakibatkan oleh sudah masuk infus diganti tadi pagi
keseimbanga cairan dapat - Mengukur tanda- O:
respon tubuh
- Bibir tampak kering
n cairan dan dihindari dengan tanda vital
terhadap dehidrasi. - Akral hangat
- Memonitor
elektrolit kriteria hasil: - Pasien puasa selama
Kekurangan cairan
- Pasien keadekuatan
berhubungan 13 jam
menyebabkan
menyatakan pemberian cairan - Infus RL dengan sisa
dengan terlepasnya hormon
tidak haus dan infus RL 300 ml terpasang
persiapan
anestesi dan lemas renin yang lancar
- Akral kulit
operasi menimbulkan
hangat A: Risiko gangguan
(puasa) kenaikan tekanan
- Input dan keseimbangan elektrolit
darah, nadi
Output teratasi sebagian
4; Rehidrasi akan
seimbang P: Lanjutkan intervensi.
mengembalikan
cairan yang hilang - Kelola pemberian
cairan infus sesuai
penghitungan
keutuhan cairan

Eka
2; Hari, Hari, tanggal : 1; Kaji tingkat 1; Memberikan Hari, tanggal : Selasa, Hari, tanggal : Selasa,
tanggal : Selasa, 18 April kecemasan gambaran 18 April 2017, pukul: 18 April 2017, pukul:
2; Dorong pasien untuk
Selasa, 18 2017, pukul: 10.30 kecemasan yang 12.20 WIB 12.25 WIB
mengungkapkan
April 2017, WIB dirasakan pasien - Mengkaji tingkat S:
perasaan
pukul: Setelah dilakukan dan alternatif cara kecemasan - Pasien mengatakan
cemas,ketakutan, - Mendorong pasien
12.10 WIB tindakan menurunkan cemas cemas sedikit
Cemas persepsi untuk
keperawatan selama pasien berkurang setelah
3; Dampingi pasien dan
berhubunga 2; Memberikan mengungkapkan
menit, cemas pasien diberitahu prosedur,
ajak komunikasi
n dengan informasi untuk rasa cemas
dapat berkurang dan insyaallah siap
terapeutik - Memberi informasi
kurang membantu dalam
dengan kriteria 4; Berikan informasi dioperasi
tentang prosedur
pengetahua menentukan - Pasien mengatakan
hasil: tentang prosedur
anestesi sesuai
n masalah - Menyatakan pilihan/keefektifan lebih nyaman setelah
anestesi sesuai
kewenangan
pembiusan tahu tentang intervensi nafas dalam
kewenangan perawat
3; Menurunkan perawat anestesi
proses
anestesi - Menganjurkan O:
kecemasan pasien
pembiusan 5; Anjurkan pasien
pasien untuk nafas - Wajah pasien sedikit
- Menyatakan terhadap
melakukan teknik
dalam tenang setelah melatih
siap untuk lingkungan baru
relaksai nafas dalam - Mengukur tanda-
4; Menurunkan nafas dalam
dibius 6; Monitor Tanda-tanda
tanda vital pasien - TD: 145/83 mmHg
- Pasien tampak ketegangan otot,
vital N: 88 x/menit
tenang memberikan RR: 20 x/menit
- Pasien 7; Kolaborasi pemberian gambaran operasi
A: Cemas teratasi
3; Hari, Hari, tanggal : 1; Kaji keteraturan, 1; Dilakukan untuk Hari, tanggal : Selasa, Hari, tanggal : Selasa,
tanggal : Selasa, 18 April frekuensi dan memastikan 18 April 2017, pukul: 18 April 2017, pukul:
Selasa, 18 2017, pukul: 12.55 kedalaman nafas efektivitas 12.40 WIB 13.40 WIB
2; Tinggikan kepala
April 2017, WIB pernafasan - Mengkaji S:
3; Ajarkan pasien untuk
pukul: Setelah dilakukan sehingga upaya keteraturan, - Pasien mengataka
mengatur nafas
12.55 WIB tindakan keperawatan memperbaiki frekuensi dan tidak merasa sesak
dengan nafas dalam
- Pasien mengatakan
selama pasien 4; Kelola pemberian dapat segera kedalaman nafas
Intra - Meninggikan lebih nyaman setelah
operasi, risiko pola oksigen tambahan dilakukan
Anestesi 2; Elevasi kepala kepala pasien kepala diganjal 2
nafas tidak efektif dengan nasal kanule
Risiko pola dapat mendorong dengan bantal bantal
dapat dihindari 2 lpm
nafas tidak - Menganjurkan
ventilasi pada
dengan kriteria hasil: O:
efektif pasien nafas dalam
- Pola nafas pasien lobus paru bagian
- Mengelola - Pasien diposisikan
berhubungan teratur bawah dan
pemberian nasal lateral sinistra, kepala
dengan - Frekuensi normal
menurunkan
kanule 2 lpm diganjal dengan 2
disfungsi (16-20 x/menit)
tekanan pada
- Kedalaman nafas bantal
neuromuskul diagfragma
dalam rentang - Pasien terpasang
ar dampak 3; Meningkatkan
normal nasal kanule 2 lpm
sekunder pengetahuan dan
obat anestesi kemampuan A: Risiko pola nafas
pasien dalam tidak efektif dapat
regional mengatur pola dicegah
nafas P: Hentikan intervensi
4; 4. Meningkatkan
Eka
pengambilan
oksigen yang akan
diikat oleh Hb

4; Hari, Hari, tanggal : 1; Kaji tingkat 1; Memberikan Hari, tanggal : Selasa, Hari, tanggal : Selasa,
tanggal : Selasa, 18 April kekurangan volume informasi untuk 18 April 2017, pukul: 18 April 2017, pukul:
Selasa, 18 2017, pukul: 12.55 cairan membantu dalam 12.40 WIB 13.45 WIB
2; Monitor masukan
April 2017, WIB menentukan - Memonitor cairan S:
dan keluaran cairan
pukul: Setelah dilakukan intervensi pre anestesi yang - Pasien mengatakan
3; Monitor tanda-tanda
2; Memantau
12.55 WIB tindakan keperawatan sudah masuk merasa sangat haus
vital
keseimbangan - Mengukur tanda- O:
selama 40 menit 4; Kelola pemberian
Risiko - Pasien puasa selama
cairan tanda vital
risiko gangguan cairan infus dengan
gangguan 3; Perubahan tanda- - Memonitor tetesan 13 jam
keseimbangan cairan dokter - Infus asering
keseimbanga tanda vital dapat cairan infus, infus
dapat dihindari terpasang lancar
n cairan dan diakibatkan oleh diberikan secara
- Infus RL masuk saat
dengan kriteria hasil:
elektrolit respon tubuh loading.
- Pasien pre anestesi 200 cc
- Mengganti cairan
berhubungan terhadap dehidrasi. - Perdarahan 300 cc
menyatakan
RL dengan infus - Urine dalam urine
dengan Kekurangan cairan
persiapan tidak lemas menyebabkan asering kemudian bag terdapat 150 cc
- Akral kulit
anestesi dan terlepasnya hormon tutofutsin
hangat A: Risiko gangguan
operasi renin yang selanjutnya asering
- Input dan keseimbangan elektrolit
(puasa) menimbulkan
Output teratasi sebagian
kenaikan tekanan
seimbang P: Lanjutkan intervensi.
darah, nadi
4; Rehidrasi akan - Kelola pemberian

mengembalikan cairan infus sesuai

cairan yang hilang penghitungan


kebutuhan cairan

Eka
5; Hari, Hari, tanggal : 1; Kaji karakteristik 1; Memberikan Hari, tanggal : Selasa, Hari, tanggal : Selasa,
tanggal : Selasa, 18 April nyeri (P,Q,R,S,T) informasi untuk 18 April 2017, pukul: 18 April 2017, pukul:
2; Ajarkan teknik
Selasa, 18 2017, pukul: membantu dalam 14.50 WIB 15.00 WIB
relaksasi nafas
April 2017, 14.28 WIB menentukan - Mengkaji karakteristik S:
dalam
pukul: 14.28 pilihan/keefektifan nyeri - Pasien mengatakan
Setelah dilakukan 3; Berikan posisi
- Menganjurkan nafas
WIB intervensi nyeri dibagian paha
tindakan nyaman pada
Post 2; Menurunkan dalam
sudah mulai terasa
keperawatan selama pasien - Memberikan posisi
Anestesi tegangan otot,
4; Kolaborasi skala 2-3, nyeri
Nyeri akut 20 menit, nyeri nyaman pada pasien
memfokuskan
pemberian obat bertambah jika
berhubungan pasien dapat
kembali perhatian
analgetik dengan bergerak, nyeri seperti
dengan Agen berkurang dengan
dan dapat
cidera fisik dokter ditusuk-tusuk, nyeri
kriteria hasil:
meningkatkan
(tindakan - Menyatakan hilang timbul tetapi
kemampuan
operasi) tahu tentang sering
koping. - Pasien mengatakan
proses
3; Dengan posisi
setelah nafas dalam
pembiusan
nyaman dapat
- Menyatakan nyeri sedikit berkurang
menghilangkan - Pasien mengatakan
siap untuk
tegangan otot posisinya sudah
dibius
4; Dengan
- Pasien tampak nyaman
memberikan terapi
tenang
- Pasien sesuai dengan O:
mengatakan prosedur - Pasien terlihat lebih
cemas sudah diharapkan rasa rileks
- Pasien dalam posisi
hilang atau nyeri klien
supinasi, kepala
berkurang berkurang/hilang
- Tanda-tanda ditinggikan
vital pasien
A; Nyeri akut teratasi
normal (TD:
sebagian
Sistole 130-100/
P: Lanjutkan intervensi
Diastole 90-70,
- Kaji nyeri
N 60-100 - Kelola pemberian
x/menit, RR ketorolak 30 mg rute IV
20x/menit) bila perlu

Eka
6; Hari, tanggal Hari, tanggal : 1; Atur posisi pasien 1; Dengan posisi Hari, tanggal : Selasa, Hari, tanggal : Selasa,
2; Kaji kemampuan
: Selasa, 18 Selasa, 18 April nyaman dapat 18 April 2017, pukul: 18 April 2017, pukul:
ekstremitas pasien
April 2017, 2017, pukul: 14.40 menghilangkan 14.40 WIB 15.10 WIB
setiap 5 menit di
pukul: 14.40 WIB tegangan otot - Mengatur posisi S:
PACU (bromage 2; Menentukan
WIB Setelah dilakukan pasien - Pasien mengatakan
score) pemulihan motorik - Menggerakkan
asuhan keperawatan sudah nyaman dengan
Hambatan 3; Gerakkan dan ajarkan
pasien akibat dari ekstremitas bagian
selama 20 menit posisinya
mobilitas pergerakan ekstremitas
spinal anestesi bawah - Pasien mengatakan
pasien mampu
ekstremitas bawah 3; Memperlancar - Mengukur bromage
sudah bisa menekuk
menggerakkan
bawah sirkulasi pasien score
kakinya
ekstremitas bawah
berhubungan , dengan kriteria hasil:
O:
dengan - Tidak ada
- Posisi pasien semi
pengaruh neurophati
Skore Bromage > fowler
sekunder obat -
- Score Bromage yaitu 1
anestesi (RA) 2
A: Hambatan mobilitas
ekstremitas bawah teratasi
P: Hentikan intervensi
Eka
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Pada kasus pasien Sdr.A dengan diagnosa Fraktur Femur dekstra


menggunakan anestesi regional subarachnoid blok. Alasan pemakaian
regional anestesi (SAB) dikarenakan lokasi pembedahan di bagian
bawah. Pasien Sdr.A pada asuhan keperawatan peri anestesi ini
mendapatkan diagnosa keperawatan:
1; Pre Anestesi
a; Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan persiapan anestesi dan operasi (puasa).
Pasien mendapatkan tindakan keperawatan:
1; Menanyakan lama puasa pasien
2; Mengobservasi kelancaran tetesan infus
3; Memonitor cairan pre anestesi yang sudah masuk
4; Mengukur tanda-tanda vital
5; Memonitor keadekuatan pemberian cairan infus RL

Diagnosa ini sebagian tercapai sebagian ditandai dengan


pasien mengatakan haus, pasien mengatakan infus diganti
tadi pagi, bibir tampak kering, akral hangat, pasien puasa
selama 13 jam, infus RL dengan sisa 300 ml terpasang
lancar
b; Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan masalah
pembiusan
Pasien mendapatkan tindakan keperawatan:
1; Mengkaji tingkat kecemasan
2; Mendorong pasien untuk mengungkapkan rasa cemas
3; Memberi informasi tentang prosedur anestesi sesuai
kewenangan perawat anestesi
4; Menganjurkan pasien untuk nafas dalam
5; Mengukur tanda-tanda vital pasien

Diagnosa ini teratasi ditandai dengan pasien mengatakan


cemas sedikit berkurang setelah diberitahu prosedur, dan
insyaallah siap dioperasi, pasien mengatakan lebih
nyaman setelah nafas dalam, wajah pasien sedikit tenang
setelah melatih nafas dalam, TD: 145/83 mmHg, N: 88
x/menit, RR: 20 x/menit
2; Intra Anestesi
a; Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular dampak sekunder obat anestesi regional
Pasien mendapatkan tindakan keperawatan:
1; Meninggikan kepala pasien dengan bantal
2; Menganjurkan pasien nafas dalam
3; Mengelola pemberian nasal kanule 2 lpm
4; Mengkaji keteraturan, frekuensi dan kedalaman nafas

Diagnosa ini dapat dicegah ditandai dengan pasien


mengataka tidak merasa sesak, pasien mengatakan lebih
nyaman setelah kepala diganjal 2 bantal, pasien
diposisikan lateral sinistra, kepala diganjal dengan 2
bantal, pasien terpasang nasal kanule 2 lpm
b; Risiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan vasodilatasi pembuluh darah dampak
obat anestesi
Pasien mendapatkan tindakan keperawatan:
1; Mengkaji tingkat kekurangan volume cairan
2; Monitor masukan dan keluaran cairan
3; Monitor tanda-tanda vital
4; Mengelola pemberian cairan infus dengan dokter

Diagnosa ini dapat dicegah ditandai dengan pasien


mengatakan tidak merasa sesak, pasien mengatakan lebih
pasien mengatakan merasa sangat haus, pasien puasa selama
13 jam, Infus asering terpasang lancar, infus RL masuk saat
pre anestesi 200 cc, perdarahan 300 cc, urine dalam urine
bag terdapat 150 cc
3; Pasca Anestesi
a; Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (tindakan
operasi)
Pasien mendapatkan tindakan keperawatan:
1; Mengkaji karakteristik nyeri
2; Menganjurkan nafas dalam
3; Memberikan posisi nyaman pada pasien

Diagnosa ini teratasi sebagian ditandai dengan Pasien


mengatakan nyeri dibagian paha sudah mulai terasa skala 2-
3, nyeri bertambah jika bergerak, nyeri seperti ditusuk-tusuk,
nyeri hilang timbul tetapi sering, pasien mengatakan setelah
nafas dalam nyeri sedikit berkurang, pasien mengatakan
posisinya sudah nyaman, pasien terlihat lebih rileks, pasien
dalam posisi supinasi, kepala ditinggikan
b; Hambatan mobilitas ekstremitas bawah berhubungan dengan
pengaruh sekunder obat anestesi (RA)
Pasien mendapatkan tindakan keperawatan:
1; Mengatur posisi pasien
2; Menggerakkan ekstremitas bagian bawah
3; Mengukur bromage score

Diagnosa ini teratasi ditandai dengan posisi pasien semi


fowler, score Bromage yaitu 1, pasien mengatakan sudah
bisa menekuk kakinya

DAFTAR PUSTAKA

Bucholz RW, Heckman JD, Court-Brown CM. (2006). Rockwood & Green's
Fractures in Adults, 6th Edition. USA: Maryland Composition.
Dunn, P. F., Jean, K., dan Carl, E. R. (2011). Clinical Anesthesia Procedures of
the Massachusetts General Hospital. Lippincot Williams & Wilkins.

Gwinnutt, Carl. L. (2011). Catatan Kuliah Anestesi Klinis 3rd ed. Jakarta: EGC

Hayati, Kenangan M S, Ahmad Husairi. (2014). Gambaran Angka Komplikasi


Pasca Anestesi Spinal Pada Pasien Seksio Sesaria (skripsi).

Helmi ZN. (2011). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba


Medika.

Kementerian Kesehatan RI (2011). Profil Kesehatan Indonesia

Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan, MR. (2009). Petunjuk praktis anestesiologi
ed 2. Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI

Lukman & Ningsih, Nurma. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Sistem Musculoskeletal. Jakarta: Salemba Medika

Majid, A dkk. (2011). Keperawatan Perioperatif. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Nayagam S. Principles of Fractures. Dalam: Solomon L, Warwick D, Nayagam S.


(2010). Apleys System of Orthopaedics and Fractures Ninth Edition.
London: Hodder Education.

Noor Helmi, Zairin. (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta :


Salemba

Price, A. Wilson. (2005). Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV.


Jakarta: EGC
Salinas, F.V., Michael, F.M., Christhoper M.B., Susan B.M. (2009). Spinal
Anesthesia In A Practical Approach To Regional Anesthesia 4th Edition,
New York: lippincontt Wiliams & Wilkins

Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. (2011).Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC

Smeltzer, B. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner &Suddart


Edisi 8 Volume 2. Jakarta : EGC
Suratun, SKM. et. al. (2008). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.

WHO, 2011. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010.


http://www.who.int/nmh/publications/ncd_report_chapter1.pdf
Yuswana. (2005). Tehnik Anestesi Farmakologi Obat-Obat Anestesi dan Obat-
Obat Bantuan Dalam Anestesi dan Emergencies. Jakarta : EGC

Das könnte Ihnen auch gefallen