Sie sind auf Seite 1von 18

A.

Perbandingan Peraturan Pertambangan Yang Pernah


Berlaku di Indonesia
Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkannya otonomi daerah merupakan
konteks yang melatarbelakangi lahirnya sejumlah kebijakan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009.
UU Nomor 11 Tahun 1967 sulit dipertahankan lagi sebagi kerangka dasar kebijakan
pertambangan, yang terbukti sering dilanggar baik pada substansi yuridis maupun dalam
pelaksanaannya.

Guna memudahkan perbandingan kedua UU tersebut dan melihat sisi perubahan yang
terkandung dalam UU Minerba yang baru, berikut ditampilkan tabel ;

No Materi Pokok UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009


1 Judul Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pertambangan Mineral dan Batubara

Penguasaan Minerba oleh


Negara, diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah

Penguasaan bahan galian diselenggarakan (pasal 4);


Negara;
Prinsip Hak
2
Penguasaan Negara
(pasal 1)
Pemerintah dan DPR
menetapkan kebijakan
pengutamaan Minerba bag
kepentingan nasional;

(pasal 5)

Penggolongan bahan galian;


Pengelompokan usaha
pertambangan; mineral dan
batubara;
Strategis;
Penggolongan /
3
Pengelompokan Vital;
Penggolongan tambang mineral
radioakif, logam, buka logam
Non strategis, Non vital
batuan;
(pasal 3) (pasal 34)
21 kewenangan berada di tangan
pusat;
Bahan galian strategis (gol. A) dan
vital (gol.B) dilakukan oleh Menteri;

14 kewenangan berada di tangan


Kewenangan propinsi;
4
Pengelolaan Bahan galian non strategis non-vital
oleh Pemerintah Daerah Tingkat I/
Propinsi;
12 kewenangan berada di tangan
(pasal 4) kabupaten / kota

(pasal 6-8)

Wilayah pertambangan adalah


bagian dari tata ruang nasional
ditetapkan pemerintah setelah
koordinasi dengan Pemda dan
konsultasi dengan DPR;
Secara terinci tidak diatur, kecuali bahwa
usaha pertambangan tidak berlokasi di (pasal 9);
Wilayah tempat suci, kuburan, bangunan dll
5
Pertambangan
(pasal 16 ayat 3)
Wilayah Pertambangan terdir
dari Wilayah Usaha
Pertambangan (WUP), Wilayah
Pertambangan Rakyat (WPR)
Wilayah Pencadangan Nasiona
(WPN) (pasal 13)

6 Legalitas Usaha Rezim Kontrak berupa: Rezim Perijinan berupa:

Kontrak / Perjanjian Karya (KK); Ijin Usaha Pertambangan (IUP);

Kuasa Pertambangan (KP); Ijin Pertambangan Rakyat (IPR);

Surat Izin Pertambangan Daerah Ijin Usaha Pertambang Khusus


(SIPD); (IUPK);
Surat Izin Pertambangan Rakyat
(SIPR)
(pasal 35)
(pasal 10-15)

Enam tahapan, berkonsekuensi pada adanya


6 jenis pertambangan: Dua tahapan, berkonsekuensi pada
adanya 2 tingkat perijinan:

penyelidikan umum;
Eksplorasi,
eksplorasi; meliputi:penyelidikan umum
eksplorasi, studi kelayakan;
7 Tahapan Usaha eksploitasi;

pengolahan dan pemurnian;


Operasi produksi, meliputi
kontruksi, penambangan
pengangkutan; pengolahan dan pemurnian
pengangkutan, penjualan;
penjualan;
(pasal 36)
(pasal 14)

(pasal 38);

Investor Domestik (PMDN), berupa:


KP, SIPD, PKP2B; IPR bagi penduduk lokal
koperasi (pasal 67);
Klasifikasi Investor
8 dan Jenis Legalitas
Investor Asing (PMA), berupa: KK,
Usaha
PKP2B IUPK bagi badan usaha berbadan
hukum Indonesia, baik
IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN, BUMN/BUMD/badan usaha
koperasi, perseorangan; swasta;

(pasal 75)

9 Kewajiban Pelaku
Usaha Kewajiban keuangan bagi Negara
Pemeliharaan lingkungan
KP sesuai aturan berlaku: iuran tetap
konservasi, reklamasi;
dan royalti (merujuk PP No. 45/2003
tentang Penerimaan Negara Bukan (pasal 96-100);
Pajak Departemen ESDM)

Kepentingan nasional
KK/PKP2B sesuai kontrak, yakni
pengolahan dan pemurnian di dalam
KK: iuran tetap dan royalti, PKP2B: negeri (pasal 103-104);
iuran tetap dan Dana Hasil Penjualan
Batubara (DHPB) merujuk Keppres
No. 75/1996 tentang ketentuan
PKP2B)
Pemanfaatan tenaga kerja
setempat, partisipasi pengusaha loka
pada tahap produksi, program
pengembangan masyarakat;
Minimalnya bahkan tidak diaturnya
kewajiban soal lingkungan, (pasal 106-108);
kemitraan dengan pelaku usaha
lokal, pemanfaatan tenaga kerja
setempat, program pengembangan
masyarakat
Pengunaan perusahaan jasa
pertambangan lokal dan/atau nasiona
Kewajiban keuangan bagi Negara;
(pasal 124);
pajak dan PNBP. Tambahan untuk
IUPK: pembayaran 10% keuntungan
bersih;

Pusat, propinsi, kabupaten / kota


sesuai kewenangan terhadap
Pembinaan dan Pengawasan terpusat di tangan pemerintah
10 pemegang IUP, IPR atau IPK;
Pengawasan atas pemegang KK, KP, PKP2B
(pasal 139-142)

11 Ketentuan Peralihan semua hak pertambangan dan KP pada saat UU ini mulai berlaku
(terkait status perusahaan Negara, swasta, badan lain atau
hukum investasi perseorangan berdasarkan peraturan yang
existing) ada sebelum saat berlakunya UU ini, tetap
dijalankan sampai sejauh masa berlakunya, KK dan PKP2B yang telah ada
kecuali ada penetapan lain menurut PP yang sebelum berlakunya UU ini tetap
dikeluarkan berdasarkan UU ini. diberlakukan sampai jangka
waktu berakhirnya kontark
perjanjian;

Ketentuan yang tercantum dalam


(pasal 35) pasal KK dan PKP2B dimaksud
disesuaikan selambat-lambatnya
1 tahun sejak UU in
diundangkan, kecuali mengena
penerimaan Negara.

(pasal 169)

Dari sejumlah substansi perubahan di atas, terlihat bahwa UU Nomor 4 Tahun 2009 berusaha
menunjukkan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodir prinsip kepentingan
nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan good mining practices. Dalam UU Minerba yang baru juga terlihat menguatnya
Hak Penguasaan Negara (HPN) terhadap sumber daya alam. Pemerintah menyelenggarakan asas
tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus, mengawas pengelolaan usaha tambang. Hal
tersebut dimulai dengan perubahan rezim kontrak menjadi rezim perijinan. Dalam rezim kontrak,
sebagaimana diterapkan selama ini, posisi pemerintah tidak saja mendua sebagai regulator dan
pihak berkontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi negara selevel kontraktor.

Implikasi hukum perubahan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengembalikan Hak
Penguasaan Negara dapat dilihat dalam tabel berikut :

Subyek Perijinan Kontrak


Bersifat publik, instrument hukum
Hubungan Hukum Bersifat perdata
administrasi negara
Penerapan Hukum Oleh pemerintah Oleh kedua belah pihak
Pilihan Hukum Tidak berlaku pilihan hukum Berlaku pilihan hukum
Akibat Hukum Sepihak Kesepakatan kedua belah pihak
Penyelesaian Sengketa PTUN Arbitrase
Kepastian Hukum Lebih terjamin Kesepakatan dua pihak
Hak / kewajiban pemerintah lebih Hak / kewajiban relatif setara antar
Hak dan Kewajiban
besar pihak
Sumber Hukum Peraturan perundang-undangan Kontrak / perjanjian itu sendiri

Akan tetapi dalam perjalanannya, Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun
2009 juga dirasa oleh banyak kalangan masih banyak terdapat kekurangannya, sehingga pasal-
pasal yang ada di dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 di uji materilkan ke Mahkamah Konstitusi dan
telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum lagi melalui putusan-putusan sebagai berikut:

1. Putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010

Bahwa yang melatarbelakangi dari putusan ini adalah adanya rasa ketidakadilan atau
diskriminasi yang dialami oleh para penduduk asli Bangka yang sehari-harinya bekerja mencari
timah dengan sistem membuka Tambang Inkonvensional, yaitu semacam pertambangan skala
mini yang menggunakan peralatan sederhana, pekerjaan ini banyak dilakoni oleh para penduduk
karena untuk melakukan pekerjaan lain seperti bertani dan berkebun terasa semakin sulit,
mengingat semakin menyempitnya lahan yang ada akibat eksploitasi timah selama beratus-ratus
tahun.

Sementara dalam Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU 4 Nomor 2009, adalah sesuatu yang
sangat mustahil dapat dipenuhi, mengingat keterbatasan lahan yang bisa dijadikan WIUP, hanya
pemodal-pemodal besarlah yang kemungkinan mampu memiliki luas lahan sebesar 5000 (lima
ribu hektar). Kehadiran Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU 4/2009 ini, secara tidak
langsung telah membatasi hak-hak serta bersifat mendiskriminasikan orang yang akan membuat
IUP.

Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dari Uji Materi ini dengan Putusan
sebagai berikut:

Pasal 22 huruf e sepanjang frasa dan/atau dan Pasal 22 huruf f UU Nomor 4 Tahun
2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Pasal 52 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;

2. Putusan Nomor 30/PUU-VIII/2010

Bahwa yang menjadi dasar dari permohonan ini adalah adanya diskriminasi yang dirasakan oleh
pengusaha timah di Bangka mengenai ketentuan penetapan luas minimum WIUP dan prosedur
mendapatkan WIUP dengan cara lelang dalam UU Nomor 4 Tahun 2009. Bahwa persyaratan
luas minimal WIUP eksplorasi dan cara lelang WIUP telah menghalang-halangi dan menjegal
hak pengusaha menengah/kecil untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan

Dalam Uji Materi ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan Putusan sebagai berikut:
1. Pasal 55 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar dan
UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;

2. Pasal 61 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektar
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;

3. Frasa dengan cara lelang dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Nomor 4
Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;

3. Putusan Nomor 10/PUU-X/2012

Dalam Putusan ini yang menjadi dasar permohonan adalah mengenai kewenangan Pemerintah
Daerah (dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur) untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan merata.

Secara keseluruhan, isu hukum dalam permohonan ini hendak menguji konstitusionalitas bahwa
pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan kebijakan yang
diperlukan dalam mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi kegiatan pengusahaan
minerba.

Dalam Uji Materi ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan Putusan sebagai berikut:

1. Frasa setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e,
Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Frasa Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan dalam Pasal
14 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara selengkapnya menjadi, Penetapan WP yang dilakukan setelah
ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia;

4. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara selengkapnya menjadi, WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

5. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara selengkapnya menjadi, Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah
ditentukan oleh pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

6. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara selengkapnya menjadi, Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi
yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah;

7. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara selengkapnya menjadi, Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara
ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah berdasarkan
kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah

B. Perbedaan UU No 4 2009 Dengan Uu No 11 Tahun 1967

Secara substansi, terdapat perbedaan mendasar antara UU No. 11 Tahun


1967 dengan UU No. 4 Tahun 2009, baik dalam hal penggolongan bahan
galian, maupun dalam kaitannya dengan sistem pengelolaannya. Perbedaan
mendasar tersebut dapat dilihat dari sisi muatan UU No. 4 Tahun 2009 yang
lebih baik dari muatan UU No. 11 Tahun 1967. Materi muatan yang penulis
anggap cukup baik dalam UU No. 4 Tahun 2009, di antaranya: Lelang wilayah
potensi bahan galian. Adanya ketentuan tentang lelang wilayah yang
berpotensi mengandung bahan galian. Setiap perusahaan atau pihak yang
akan melakukan pengusahaan bahan galian logam dan batu bara khususnya,
untuk dapat memperoleh konsesi pertambangan harus melalui proses lelang.
Cara ini, dipandang sebagai suatu kemajuan dalam dunia usaha
pertambangan nasional. Ada beberapa keuntungan sistem penetapan
konsesi melalui mekanisme lelang, yaitu: Menekan timbulnya mafia izin
tambang. Belakangan ini berkembang kecenderungan praktik-praktik jual
beli konsesi tambang yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang
biasanya mempunyai kedekatan atau akses dengan oknum pemda, yakni
hanya dengan bermodalkan memboyar retribusi izin memperoleh sejumlah
konsesi, tetapi bukan untuk diusahakan, melainkan untuk dijual kembali.
Mekanisme lelang diharapkan efektif dalam menekan praktik jual beli izin
konsesi pertambangan yang selama ini terjadi. praktik jula beli izin tambang
mendorong tumbuh suburnya mafia pertambangan. Akibat tindakan ini, tidak
sedikit pihak yang semula benar-benar berniat berusaha di bidang
pertambangan menjadi korban penipuan yang secara firansial sangat besar
jumlahnya. Media filter. Hanya perusahaan yang benar benar siap secara
finansial, dan benar-benar berniat melakukan kegiatan usaha pertambangan
yang akan mengikuti proses lelang, sehingga mekanisme lelang merupakan
proses alamiah bagi perusahaan yang hanya bermaksud coba-coba atau
hanya bertindak sebagai broker izin. Meningkatkan pendapatan negara.
Melalui lelang, negara akan memperoleh dua keuntungan sekalligus.
Pertama, memperoleh pemasukan bagi kas negara. Kedua, memperoleh
perusahaan yang secara kualifikasi memang siap untuk melakukan kegiatan
usaha pertambangan. Lebih akomodatif, yaitu dengan masuknya aturan
yang berpihak kepada kepentingan, rakyat, bandingkan ketentuan tentang
pertambangan rakyat. UU No. 11 Tahun 1967 dengan ketentuan yang
tertuang dalam UU No. 4 Tahun 2009. Pertimbangan teknis strategis suatu
bahan galian lebih ditentukan berdasarkan pertimbangan kepentingan
nasional, bukan pada jenis bahan galian. Artinya, apabila suatu bahan galian
secara teknis, ekonomis, kepentingan, dan dari sisi pertahanan keamanan
negara keberadaannya strategis dan vital, maka pengelolaannya menjadi
kewenangan negara/ pemerintah. Adanya pembagian kewenangan
pengelolaan yang jelas antara tiap tingkatan pemerintahan. Adanya upaya
pengelolaan secara terintegrasi, mulai dari eksplorasi sampai penanganan
pasca tambang. Sejalan dengan itu, sesuai dengan yang tertuang dalam
penjelasan umum, UU No. 4 Tahun 2009 ini berusaha untuk mengakomodasi
suara-suara sumbang yang selama ini mengemuka, berkaitan dengan
pengelolaan dan pengusahaan bahan galian. Oleh karena itu, undang-
undang baru ini, selain berusaha mengakomodasi persoalan yang selama ini
berkembang, juga menyesuaikan dengan perkembangan perubahan
pembangunan pertambangan baik yang bersifat nasional maupun
internasional. Pemikiran akomodasi persoalan, dan perkembangan itu
tertuang dalam pokok-pokok pikiran, sebagai berikut: Mineral dan batu-bara
sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan
pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. pemerintah selanjutnya
memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk
melakukan pengusahaan mineral dan batu bara berdasarkan izin, yang
sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam
rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan
pemerintah daerah. Usaha pertambangan harus memberikan manfaat
ekonomi dan sosial bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Usaha
pertambangan harus mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/ pengusaha kecil dan menengah serta
mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan

Kelemahan dan Permasalahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009


tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
1. Batasan luasan minimal wilayah eksplorasi
Pasal 52 ayat (1) : Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi
WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak
100.000 (seratus ribu) hektare.
Pasal 55 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi
WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak
25.000 (dua puluh lima ribu) hektare
Pasal 58 ayat (1) : (1) Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP
dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima
ribu) hektare
Pasal 61 ayat (1) :Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP
dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak
50.000(lima puluh ribu) hektar
Pembatasan luasan wilayah minimal untuk eksplorasi yang terdapat
dalam Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1) dan pasal 61
ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 berpotensi menghambat persaingan usaha
yang sehat dengan menciptakan hambatan masuk ke dalam industri
pertambangan mineral dan batubara. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang
batasan minimal dan maksimal untuk IUP Eksplorasi yang dibedakan antara
mineral logam, mineral non logam, batuan dan batubara. Di lapangan tim
menemukan bahwa ketentuan untuk luas wilayah minimal tidak
memperhatikan kondisi geologis dan potensi cadangan mineral di tiap-tiap
daerah di seluruh wilayah Indonesia dengan cermat. Sebagai contoh adalah
daerah Belitung dan Berau yang mempunyai wilayah-wilayah pertambangan
dengan luasan di bawah 5000 hektar. Pembatasan tersebut dikhawatirkan
akan membuat wilayah yang sebenarnya mempunyai potensi cadangan
mineral menjadi tidak dapat diusahakan. Selain menjadi hambatan bagi
pelaku usaha, batas bawah ini juga menimbulkan permasalahan bagi daerah
penghasil tambang yang luas wilayah administratifnya terbatas. Akibatnya,
daerah kesulitan dalam pemberian izin usaha pertambangan tersebut,
sehingga wilayah potensial menjadi tidak dapat diusahakan dengan adanya
ketentuan ini. Penetapan luasan minimum yang tidak memperhatikan
karakteristik daerah penghasil tambang di Indonesia sebagai sebuah negara
kepulauan pada akhirnya juga berpotensi menimbulkan high cost economy,
yang menghalangi pelaku usaha tertentu.

2. Kewajiban Divestasi Setelah 5 (Lima) Tahun Operasi Produksi


Pasal 112 ayat (1) : Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha
pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib
melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta
nasional.
Kewajiban divestasi setelah 5 (lima) tahun operasi produksi
sebagaimana tercantum pada pasal 112 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 juga
termasuk kebijakan yang berpotensi memberikan hambatan persaingan.
Pencantuman divestasi saham hanya berlaku apabila sahamnya dimiliki oleh
asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan tentang dive stasi seharusnya memperhatikan jenis usaha
tambang, karena masingmasing jenis usaha tambang memiliki waktu yang
berbeda-beda untuk mencapai Break Event Point (BEP). Hal tersebut juga
terkait dengan keuntungan yang hendak dicapai oleh pelaku usaha.
UU Minerba masih belum mengatur secara jelas mengenai divestasi.
Penyusunan mengenai ketentuan-ketentuan divestasi tersebut harus
dilakukan secara matang untuk menghindari munculnya hambatan bagi
pelaku usaha asing untuk menanamkan investasinya di pertambangan
mineral dan batubara di Indonesia.
Keresahan yang muncul di sebagian kalangan pelaku usaha
pertambangan mineral dan batubara, adalah ketidakjelasan dalam
ketentuan divestasi akan mengakibatkan ketidakpastian mereka dalam
membuat keputusan melakukan investasi.

3. Regulasi tidak bersifat netral terhadap persaingan usaha


Suatu regulasi dapat bersifat netral terhadap persaingan usaha
apabila didasari dengan alasan-alasan yang dapat diterima untuk mencapai
suatu tujuan bersama. Seperti halnya UU Minerba yang mempunyai
tujuan-tujuan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 4 Tahun
2009 (sebagaimana telah dituliskan pada paragraf 2 bagian analisa kebijakan
dari paper ini). Dari analisa pasal-pasal dalam UU Minerba ditemukan
beberapa kebijakan yang bersifat netral terhadap persaingan usaha, yaitu
mengenai kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-
tiap komoditas per tahun setiap provinsi; Prioritas kepada BUMN dan BUMD
untuk Wilayah Izin Usaha pertambangan Khusus; Kewajiban menggunakan
perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional; larangan
menggunakan perusahaan afiliasi; dan batasan luasan wilayah maksimal
operasi pertambangan.

4. Kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap


komoditas per tahun setiap provinsi
Pasal 5 ayat (3) : Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk
menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi
Bagi pelaku usaha, kebijakan penetapan besaran produksi tersebut dapat
berakibat pada pembatasan terhadap pelaku usaha dalam berproduksi, terkait
dengan strategi perusahaan untuk melakukan produksi dan kontrak-kontrak
yang telah dibuat oleh perusahaan tersebut sebelum dikeluarkannya
kebijakan tersebut. Sebagian kalangan berpendapat bahwa kebijakan
tersebut tidak memperhatikan economies of scale dan economies of scope
dari pelaku usaha, sehingga akan menimbulkan hambatan masuk bagi pelaku
usaha yang sebenarnya potensial untuk mengembangkan industri
pertambangan mineral dan batubara.
Akan tetapi kebijakan ini menjadi bersifat netral terhadap persaingan
karena mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya mineral dan
batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk
kebutuhan dalam negeri.

5. Prioritas kepada BUMN dan BUMD, Kewajiban menggunakan


perusahaan lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan
afiliasi
Pasal 75 Ayat (3) : Badan Usaha milik negara dan badan usaha milik
dareah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam
mendapatkan IUPK.

Kebijakan terkait dengan prioritas lepada BUMN dan BUMD tersebut


menyebutkan bahwa untuk mendapatkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Khusus (WIUPK) mineral/unsur logam dan batubara diselenggarakan
dengan cara priorotas atau lelang. Prioritas diberikan lepada BUMN dan
BUMD dengan mekanisme first come forst serve. Apabila tidak ada yang
berminat maka WIUPK tersebut akan ditawarkan kepada badan usaha
swasta yang bergerak di bidang pertambangan dengan cara lelang. Dari satu
sisi, kebijakan prioritas ini tidak memberikan kesempatan yang sama kepada
perusahaan-perusahaan pertambangan.
Pasal 124 Ayat (1) : Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan
perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional
Pasal 124 Ayat (2) Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa
pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau
IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang
berbada hukum Indonesia.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa UU Minerba masih belum
memberikan definisi yang jelas tentang definisi dari perusahaan lokal
dan/atau nasional. Ketidakjelasan definisi tersebut dapat memberikan entry
barrier bagi beberapa pelaku usaha yang sebenarnya mempunyai
kompetensi lebih baik.
Pasal 126 Ayat (1) : Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak
perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan
yang diusahakannya , kecuali dengan izin Menteri.
Pemberian izin Menteri dapat dilakukan jika tidak terdapat perusahaan
jasa pertmabangan sejenis di wilayah tersebut atau tidak ada perusahaan
yang berminat/mampu. Selama peraturan pelaksana untuk larangan
menggunakan perusahaan afiliasi ini belum ada maka mengacu pada
Peraturan Menteri Keuangan No. 1 99/PMK/0 10/2008 bahwa afiliasi adalah
hubungan di antara pihak dimana salah satu pihak secara langsung atau
tidak langsung mengendalikan, dikendalikan, atau di bawah pengendalian
pihak lain. Pengecualian juga akan dilakukan dengan syarat bahwa azas
transparansi dan akuntabilitas serta fairness diterapkan sehingga negara
tidak dirugikan dan peluang lapangan pekerjaan (utamanya di daerah) tetap
terbuka lebar.
Kebijakan prioritas kepada BUMN dan BUMD, kewajiban menggunakan
perusahaan lokal dan/atau nasional, dan larangan menggunakan perusahaan
afiliasi di satu sisi memberikan hambatan masuk kepada beberapa pelaku
usaha ke dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Di sisi lain
kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendukung dan
menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di
tingkat nasional, regional, dan internasional.

6. Batasan Wilayah wilayah maksimal operasi pertambangan


Pasal 53 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral logam diberi WIUP
dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare
Pasal 56 : Pemegang IUP Operasi produksi mineral bukan logam diberi
WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare
Pasal 59 : Pemegang IUP Operasi produksi batuan diberi WIUP dengan
luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare
Pasal 62 : Pemegang IUP Operasi produksi batubara diberi WIUP
dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare
Peraturan yang tidak menetapkan batas bawah untuk luasan wilayah
operasi pertambangan ini memungkinkan lahan yang sempit namun
mempunyai cadangan yang ekonomis untuk diusahakan dapat tetap
ditambang. Di satu sisi, pembatasan luas lahan yang dapat diusahakan dapat
diartikan sebagai pembatasan bagi perusahaan untuk menjadi besar, akan
tetapi di sisi lain kebijakan tersebut bertujuan sebagai pencegahan monopoli
lahan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Pembenaran ini sesuai dengan
salah satu tujuan UU Minerba, yaitu menjamin manfaat pertambangan
mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
hidup sesuai dengan asas yang secara terencana mengintegrasikan dimesi
ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya dalam keseluruhan usaha
pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan
masa kini dan mendatang.

Kelebihan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang


Pertambangan Mineral dan Batubara
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara telah memberikan kepastian hukum karena:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara berkembang, seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup
sehingga sudah tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada,
antara lain dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah daerah;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara telah mengatur distribusi kewenangan yang jelas antara
penyelenggaraan kebijakan pertambangan umum. Di samping itu juga
terdapat mekanisme pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran;
3. Pemerintah juga dapat menetapkan prioritas nasional seperti Domestic
Market Obligation (DMO), nilai tambah hasil tambang, Pemerintah divestasi,
dan lain-lain;
4. Bagi pengusaha telah diatur secara mekanisme pengusahaan mulai dari
sistem pelelangan, luas wilayah, jangka waktu, dan lain-lain;
5. Masyarakat di sekitar tambang juga dilindungi hak-haknya mulai dari
kewajiban pengembangan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

Kelemahan Dan Permasalahan Darim UU No 11 Tahun 1997

UU No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat beberapa


perbaikan yang cukup mendasar. Yang paling penting di antaranya, adalah
ditiadakannya sistem kontrak karya bagi pengusahaan pertambangan yang
digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP). UU Minerba juga
mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan,
pembatasan luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan.
Namun demikian, meski telah memuat beberapa pasal perbaikan, UU
Minerba dinilai belum mengatur secara lebih detail hal-hal yang berkaitan
dengan kejelasan arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan, dan strategi
pertambangan nasional yang akan dituju. Dalam banyak aspek, UU Minerba
cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum sehingga
tidak bisa operasional, serta pengaturan pelaksanaannya banyak diserahkan
kepada Pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP) dan peraturan
daerah (Perda). Sebagai contoh, dari 175 pasal yang terdapat dalam UU
Minerba, setidaknya terdapat 22 pasal yang peraturan pelaksanaannya
diserahkan kepada Pemeirntah (PP), dan 3 pasal oleh pemerintah daerah
(Perda). Dengan kondisi UU seperti itu, maka bagaimana arah dan gambaran
pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti masih sangat
bergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan
pada saat PP dan Perda tersebut dibuat. Selain belum mampu memberikan
gambaran tentang arah dan strategi pertambangan nasional ke depan, juga
ada beberapa kelemahan dalam UU Minerba yang perlu mendapatkan
perhatian khusus. Jika kelemahan tersebut tidak diperbaiki dikhawatirkan UU
Minerba ini justru berpotensi semakin memperberat permasalahan sektor
pertambangan di masa mendatang.

Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma yang
mengatur adanya kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic
Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya secara tegas dan
eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan
pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar.
Kasus seperti ini sangat mungkin terulang kembali pada masa mendatang.
Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak
dan nonpajak dari sektor pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini
berpotensi menjadikan tidak optimalnya penerimaan Negara dari pajak dan
nonpajak Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat akan
merugikan penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara tegas
tentang hal ini dan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan
pelaksanaannya di bawah UU. Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian
IUP kepada pemerintah daerah tanpa disertai kesiapan kerangka acuan
tentang strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. Hal ini
menyebabkan makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi
pertambangan di daerah-daerah. Berdasarkan data, semenjak digulirkanya
otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah
diterbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang
memadai. Keempat, UU Minerba juga tidak mampu 'mengintervensi' dan
memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang telah ada selama ini.
Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian. Terkait dengan beberapa kekurangan UU
Minerba, maka dipandang mendesak dilakukan perbaikan UU ini sehingga
ada arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas
dan terukur.

SOLUSI

1. Untuk UU No 11 Tahun 1967

Harus adanya norma yang mengatur adanya kewajiban memasok


kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Agar UU
Minerba dapat mengaturnya secara tegas dan eksplisit, sehingga tidak
terjadi kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan pasokan batu bara
pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar. UU Minerba juga
mampu 'mengintervensi' dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan
yang telah ada selama ini

2. Untuk UU No 4 Tahun 2004

Regulasi bersifat netral terhadap persaingan usaha karena Suatu regulasi


dapat bersifat netral terhadap persaingan usaha apabila didasari dengan
alasan-alasan yang dapat diterima untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Seperti halnya UU Minerba yang mempunyai tujuan-tujuan
sebagaimana tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2009
(sebagaimana telah dituliskan pada paragraf 2 bagian analisa kebijakan dari
paper ini). Dari analisa pasal-pasal dalam UU Minerba ditemukan beberapa
kebijakan yang bersifat netral terhadap persaingan usaha, yaitu mengenai
kewenangan pemerintah untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap
komoditas per tahun setiap provinsi; Prioritas kepada BUMN dan BUMD untuk
Wilayah Izin Usaha pertambangan Khusus; Kewajiban menggunakan
perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional; larangan
menggunakan perusahaan afiliasi; dan batasan luasan wilayah maksimal
operasi pertambangan.

Das könnte Ihnen auch gefallen