Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Guna memudahkan perbandingan kedua UU tersebut dan melihat sisi perubahan yang
terkandung dalam UU Minerba yang baru, berikut ditampilkan tabel ;
(pasal 5)
(pasal 6-8)
penyelidikan umum;
Eksplorasi,
eksplorasi; meliputi:penyelidikan umum
eksplorasi, studi kelayakan;
7 Tahapan Usaha eksploitasi;
(pasal 38);
(pasal 75)
9 Kewajiban Pelaku
Usaha Kewajiban keuangan bagi Negara
Pemeliharaan lingkungan
KP sesuai aturan berlaku: iuran tetap
konservasi, reklamasi;
dan royalti (merujuk PP No. 45/2003
tentang Penerimaan Negara Bukan (pasal 96-100);
Pajak Departemen ESDM)
Kepentingan nasional
KK/PKP2B sesuai kontrak, yakni
pengolahan dan pemurnian di dalam
KK: iuran tetap dan royalti, PKP2B: negeri (pasal 103-104);
iuran tetap dan Dana Hasil Penjualan
Batubara (DHPB) merujuk Keppres
No. 75/1996 tentang ketentuan
PKP2B)
Pemanfaatan tenaga kerja
setempat, partisipasi pengusaha loka
pada tahap produksi, program
pengembangan masyarakat;
Minimalnya bahkan tidak diaturnya
kewajiban soal lingkungan, (pasal 106-108);
kemitraan dengan pelaku usaha
lokal, pemanfaatan tenaga kerja
setempat, program pengembangan
masyarakat
Pengunaan perusahaan jasa
pertambangan lokal dan/atau nasiona
Kewajiban keuangan bagi Negara;
(pasal 124);
pajak dan PNBP. Tambahan untuk
IUPK: pembayaran 10% keuntungan
bersih;
11 Ketentuan Peralihan semua hak pertambangan dan KP pada saat UU ini mulai berlaku
(terkait status perusahaan Negara, swasta, badan lain atau
hukum investasi perseorangan berdasarkan peraturan yang
existing) ada sebelum saat berlakunya UU ini, tetap
dijalankan sampai sejauh masa berlakunya, KK dan PKP2B yang telah ada
kecuali ada penetapan lain menurut PP yang sebelum berlakunya UU ini tetap
dikeluarkan berdasarkan UU ini. diberlakukan sampai jangka
waktu berakhirnya kontark
perjanjian;
(pasal 169)
Dari sejumlah substansi perubahan di atas, terlihat bahwa UU Nomor 4 Tahun 2009 berusaha
menunjukkan arah baru kebijakan pertambangan yang mengakomodir prinsip kepentingan
nasional (national interest), kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi
pengelolaan dan good mining practices. Dalam UU Minerba yang baru juga terlihat menguatnya
Hak Penguasaan Negara (HPN) terhadap sumber daya alam. Pemerintah menyelenggarakan asas
tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus, mengawas pengelolaan usaha tambang. Hal
tersebut dimulai dengan perubahan rezim kontrak menjadi rezim perijinan. Dalam rezim kontrak,
sebagaimana diterapkan selama ini, posisi pemerintah tidak saja mendua sebagai regulator dan
pihak berkontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi negara selevel kontraktor.
Implikasi hukum perubahan dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 yang mengembalikan Hak
Penguasaan Negara dapat dilihat dalam tabel berikut :
Akan tetapi dalam perjalanannya, Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun
2009 juga dirasa oleh banyak kalangan masih banyak terdapat kekurangannya, sehingga pasal-
pasal yang ada di dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 di uji materilkan ke Mahkamah Konstitusi dan
telah dinyatakan tidak mengikat secara hukum lagi melalui putusan-putusan sebagai berikut:
Bahwa yang melatarbelakangi dari putusan ini adalah adanya rasa ketidakadilan atau
diskriminasi yang dialami oleh para penduduk asli Bangka yang sehari-harinya bekerja mencari
timah dengan sistem membuka Tambang Inkonvensional, yaitu semacam pertambangan skala
mini yang menggunakan peralatan sederhana, pekerjaan ini banyak dilakoni oleh para penduduk
karena untuk melakukan pekerjaan lain seperti bertani dan berkebun terasa semakin sulit,
mengingat semakin menyempitnya lahan yang ada akibat eksploitasi timah selama beratus-ratus
tahun.
Sementara dalam Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU 4 Nomor 2009, adalah sesuatu yang
sangat mustahil dapat dipenuhi, mengingat keterbatasan lahan yang bisa dijadikan WIUP, hanya
pemodal-pemodal besarlah yang kemungkinan mampu memiliki luas lahan sebesar 5000 (lima
ribu hektar). Kehadiran Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU 4/2009 ini, secara tidak
langsung telah membatasi hak-hak serta bersifat mendiskriminasikan orang yang akan membuat
IUP.
Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan dari Uji Materi ini dengan Putusan
sebagai berikut:
Pasal 22 huruf e sepanjang frasa dan/atau dan Pasal 22 huruf f UU Nomor 4 Tahun
2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Pasal 52 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Bahwa yang menjadi dasar dari permohonan ini adalah adanya diskriminasi yang dirasakan oleh
pengusaha timah di Bangka mengenai ketentuan penetapan luas minimum WIUP dan prosedur
mendapatkan WIUP dengan cara lelang dalam UU Nomor 4 Tahun 2009. Bahwa persyaratan
luas minimal WIUP eksplorasi dan cara lelang WIUP telah menghalang-halangi dan menjegal
hak pengusaha menengah/kecil untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan
Dalam Uji Materi ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan Putusan sebagai berikut:
1. Pasal 55 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektar dan
UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
2. Pasal 61 ayat (1) sepanjang frasa dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektar
dan UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
3. Frasa dengan cara lelang dalam Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Nomor 4
Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat;
Dalam Putusan ini yang menjadi dasar permohonan adalah mengenai kewenangan Pemerintah
Daerah (dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur) untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan merata.
Secara keseluruhan, isu hukum dalam permohonan ini hendak menguji konstitusionalitas bahwa
pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan kebijakan yang
diperlukan dalam mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi kegiatan pengusahaan
minerba.
Dalam Uji Materi ini Mahkamah Konstitusi mengabulkan dengan Putusan sebagai berikut:
1. Frasa setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e,
Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Frasa Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan dalam Pasal
14 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Pasal 6 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara selengkapnya menjadi, Penetapan WP yang dilakukan setelah
ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia;
4. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara selengkapnya menjadi, WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Pemerintah setelah ditentukan oleh pemerintah daerah dan berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
5. Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara selengkapnya menjadi, Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah
ditentukan oleh pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
6. Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara selengkapnya menjadi, Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi
yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah;
Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma yang
mengatur adanya kewajiban memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic
Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya secara tegas dan
eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan
pasokan batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar.
Kasus seperti ini sangat mungkin terulang kembali pada masa mendatang.
Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak
dan nonpajak dari sektor pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini
berpotensi menjadikan tidak optimalnya penerimaan Negara dari pajak dan
nonpajak Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat akan
merugikan penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara tegas
tentang hal ini dan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan
pelaksanaannya di bawah UU. Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian
IUP kepada pemerintah daerah tanpa disertai kesiapan kerangka acuan
tentang strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. Hal ini
menyebabkan makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi
pertambangan di daerah-daerah. Berdasarkan data, semenjak digulirkanya
otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah
diterbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang
memadai. Keempat, UU Minerba juga tidak mampu 'mengintervensi' dan
memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang telah ada selama ini.
Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian. Terkait dengan beberapa kekurangan UU
Minerba, maka dipandang mendesak dilakukan perbaikan UU ini sehingga
ada arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas
dan terukur.
SOLUSI