Sie sind auf Seite 1von 29

ALERGI OBAT

Nama kelompok:
1. Nastaina shirat (1611B0252)
2. Novita Sugiarti (1611B0255)
3. Randi Ariyanto Nenoharan (1611B0259)
4. Windi Lukita Sari (1611B0273)
5. Yerimat Dethan (1611B0274)
6. Rita riana (1611B0280)
7. Abdul manan dato (1611B0283)
8. Monika Yekti Asih (1611B0289)
9. Uliana Yunara (1611B0300)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN NERS


SEOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
SURYA MITRA HUSADA
KEDIRI
2017

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang Maha Esa yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

2
DAFTAR ISI
Kata pengantar.............................................................................................. 2
Daftar isi......................................................................................................... 3
Bab I................................................................................................................ 4
o Latar belakang.....................................................................................
o Tujuan umum.......................................................................................
o Tujuan khusus......................................................................................
Bab II...............................................................................................................
a. Alergi.....................................................................................................
Definisi...............................................................................................
Etiologi...............................................................................................
Epidemiologi alergi...........................................................................
Patofisiologi......................................................................................
Faktor resiko alergi..........................................................................
Manifestasi alergi.............................................................................
1) Asma bronkial.............................................................................
2) Rhinitis alergi.............................................................................
3) Dermatitis atopologi..................................................................
4) Urtikaria.....................................................................................
5) Alergi saluran pencernaan........................................................

Diagnosis alergi.........................................................................
Penatalaksanaan......................................................................
b. Antibiotik.............................................................................................
Definisi............................................................................................
Jenis antibiotik...............................................................................
Penggunaan antibiotik pada masa kehamilan..............................
Periode kehamilan dan antibiotik.................................................
Hubungan antibiotik ibu hamil dengan alergi pada bayi..........
Sindrom hipersensitivitas obat..................................................
c. Pohon masalah...............................................................................
d. Penata laksanaaan alergi obat.......................................................
Bab III...........................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Seiring dengan munculnya obat-obatan dalam upaya diagnosis dan tata laksana penyakit,
maka akan terjadi juga peningkatan aneka kejadian reaksi simpang obat. Reaksi simpang obat
adalah respon yang tidak diinginkan pada pemberian obat dalam dosis terapi,diagnosis atau
profilaksis, sebagian reaksi simpang obat tidak memiliki komponen alergi. Reaksi alergi obat
adalah reaksi simpang obat melalui mekanisme reaksi imunologi. Diperkirakan sekitar 6-10%
dari reaksi simpang obat merupakan reaksi alergi obat.

Tujuan umum
Setelah mengikuti modul ini peserta didik dipersiapkan untuk mempunyai keterampilan di
dalam mengelola alergi obat melalui pembelajaran pengalaman klinis, dengan didahului
serangkaian kegiatan berupa pre-asessment, diskusi, role play, dan berbagai penelusuran
sumber pengetahuan

Tujuan khusus
Setelah mengikuti modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan, 1. Memahami etiologi,
faktor resiko, patogenesis dan manifestasi klinis alergi obat. 2. Menegakan diagnosis alergi
obat melalui anamesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 3. Menatalaksana
alergi obat berdasakan penghentian obat, mengatasi secara klinis dan upaya pencegahan. 4.
Mencegah, mendiagnosis dan tatalaksana komplikasi alergi obat

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a. Alergi
Definisi
Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akibat induksi oleh
imunoglobulin E (IgE) yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan
dengan sel mast atau sel basofil. Ketika antigen terikat, terjadi silang molekul IgE,
sel mast manusia dirangsang untuk berdegranulasi dan melepaskan histamin,
leukotrein, kinin, Plateletes Activating Factor (PAF), dan mediator lain dari
hipersensitivitas, dimana histamin merupakan penyebab utama berbagai macam
alergi.4,18 Reaksi hipersensitivitas terjadi akibat aktivitas berlebihan oleh antigen
atau gangguan mekanisme yang akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik.19 Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada
umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan. Menurut
Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe, yaitu tipe I, II, III,
dan IV, dimana hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas
anafilaktik atau reaksi alergi.

Etiologi
Eiologi alergi multifaktorial. Diantaranya dapat berasal dari agen, host,
dan lingkungan. Host dapat berupa daya tahan tubuh dan usia dimana usia dini
semakin rentan terhadap alergi. Lingkungan dapat berupa suhu, musim. Agen
dapat berupa alergen. Reaksi alergi yang timbul akibat paparan alergen pada
umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan dan sangat
beragam. Diantaranya adalah antibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat
diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum lokal, makanan, enzim,
hormon, dan lain-lain. Antibiotik dapat berupa penisilin dan derivatnya, basitrasin,
neomisin, tetrasiklin, sterptomisin, sulfonamid. Ekstrak alergen dapat berupa

5
rumput-rumputan atau jamur, serum ATS, ADS, dan anti bisa ular.

Produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat dapat menyebabkan alergi.


Makanan yang
dapat menjadi penyebab alergi diantaranya susu sapi, kerang, kacang-kacangan,
ikan, telur, dan udang.

Epidemiologi Alergi
Prevalensi alergi di dunia meningkat secara dramatis di negara maju dan
negara berkembang. Peningkatan alergi terutama terjadi pada anak dari
meningkatnya tren yang telah terjadi selama dua dekade terakhir. Meskipun
begitu, pelayanan untuk pasien dengan penyakit alergi jauh dari ideal. 1 Prevalensi
alergi telah meningkat, maka alergi harus dianggap sebagai masalah kesehatan
utama. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Diperkirakan 300 juta
orang memiliki asma, sekitar 50% diantaranya tinggal di negara-negara
berkembang dengan akses terbatas terhadap obat esensial. Oleh karena itu, asma
sering tidak terkontrol di daerah-daerah. Empat ratus juta orang di seluruh dunia
memiliki rhinitis, 1,2,3 serta 5-15% populasi anak di seluruh dunia menderita
alergi.
Dua studi internasional besar mengenai alergi, International Study of
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) dan European Community
Respiratory Health Survey (ECRHS), telah mempelajari prevalensi asma dan
rhinitis alergi di seluruh dunia melalui standar kuisioner. ECRHS dan ISAAC
telah menunjukkan variasi yang cukup besar dalam prevalensi asma dan alergi
rhinoconjunctivitis di seluruh negara terutama di wilayah asia pasifik.

Patofisiologi
Patofisiologi alergi terjadi akibat pengaruh mediator pada organ target.
Mediator tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu mediator yang sudah ada

6
dalam granula sel mast (performed mediator) dan mediator yang terbentuk
kemudian (newly fored mediator). Menurut asalnya mediator ini dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer),
dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer (mediator sekunder).
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi IgE yang spesifik terhadap alergen
tertentu berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast. Reaksi alergi dimulai
dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil
dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem
nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya
ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator yang telah ada di dalam granula sel mast diantaranya histamin,
eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil
chemotactic factor (NCF). Histamin memiliki peranan penting pada fase awal
setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung, dan kulit). Histamin
dapat menyebabkan hidung tersumbat, berair, sesak napas, dan kulit gatal.
Histamin menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan menyebabkan
bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil,
sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar konstriksi karena kontraksi otot
polos. Histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler.
Perubahan vaskular menyebabkan respons wheal-flare (triple respons dari Lewis)
dan jika terjadi secara sistemik dapat menyebabkan hipotensi, urtikaria, dan
angioderma. Pada traktus gastrointestinal, histamin menaikkan sekresi mukosa
lambung dan apabila pelepasan histamin terjadi secara sistemik, aktivitas otot
polos usus dapat meningkat dan menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Newly synthesized mediator diantaranya adalah leukotrein, prostagladin,
dan tromboksan. Leukotrein dapat menyebabkan kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas, dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F
menyebabkan kontraksi otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler,
sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot
polos bronkus. Kalikrein menghasilkan kinin yang mempengaruhi permeabilitas
pembuluh darah dan tekanan darah. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat

7
reaksi dan memecah kompleks antigen-antibodi dan menghalangi newly
synthetized mediator dan histamin. Plateletes Activating Factor (PAF)
menyebabkan bronkokonstriksi dan menaikkan permeabilitas pembuluh darah,
mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin.
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat, lama,
dan hebat. Bradikinin juga merangsang produksi mukus dalam traktus
respiratorius dan lambung. Serotonin dalam trombosit yang dilepaskan waktu
agregasi trombosit melalui mekanisme lain menyebabkan kontraksi otot bronkus
yang pengaruhnya sebentar.

Faktor Risiko Alergi


Penyebab alergi berasal dari dalam tubuh (intrinsik) yaitu faktor genetik
dan penyebab dari luar tubuh (ekstrinsik) yang terdiri atas lingkungan dan gaya
hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Pola makan terdiri dari konsumsi
alkohol pada masa kehamilan, pola diet atau komponen makanan ibu ketika masa
kehamilan dan menyusui, penggunaan antibiotik pada ibu hamil, dan nutrisi yang
diperoleh bayi. Sedangkan hygiene terdiri dari paparan asap rokok dan hewan
peliharaan. Metode persalinan seksio sesarea, bayi lahir premature (maturitas) dan

berat badan bayi lahir termasuk ke dalam faktor risiko alergi pada bayi.

Manifestasi Alergi
Manifestasi alergi tampak berbeda-beda sesuai dengan letak dan rute
paparan terhadap alergen.

1) Asma Bronkial
Alergen memasuki tubuh dari rute saluran pernapasan, gejala sesak napas
yang akan berlanjut ke serangan asma. Hal tersebut terjadi karena penyempitan
saluran napas, terutama pada malam hari. Alergen pada umumnya menyebabkan
timbulnya banyak lendir pada saluran pernapasan. Kebanyakan anak yang
menderita asma mengalami gejala pertama sebelum usia 5 tahun. Gejala yang
menonjol dari asma dapat berupa sesak napas, mengi, dan batuk berulang. Hingga

8
usia lima tahun, diameter saluran napas bagian bawah pada anak relatif lebih kecil,
dibandingkan dengan dewasa sehingga lebih mudah terjadi obstruksi. Dinding
dada pada bayi kurang kaku sehingga mempercepat penutupan saluran napas.
Demikian pula tulang rawan trakea dan bronkus pada bayi kurang kaku sehingga
mempermudah kolaps saat ekspirasi. Otot bronkus masih sedikit menyebabkan
brokodilator tidak memberikan hasil yang diharapkan. Pada dinding bronkus
utama anak ditemukan banyak kelenjar mukosa sehingga dapat mengakibatkan
hipersekresi dan memperberat obstruksi. Insertio diafragma pada bayi dan anak
posisinya adalah horizontal, sehingga pada inspirasi diafragma akan menarik dada
ke dalam (retraksi).

2) Rhinitis alergi
Manifestasi klinis baru ditemukan pada anak usia 4-5 tahun dan
insidennya meningkat progresif dan akan mencapai 10-15% pada usia dewasa.
Gejalanya hidung tersumbat, gatal di hidung dan mata, bersin, dan sekresi hidung.
Anak yang menderita rinitis alergi kronik dapat memiliki bentuk wajah khas yaitu
warna gelap serta bengkak di bawah mata. Bila hidung tersumbat berat, sering
terlihat mulut selalu terbuka (adenoid face). Keadaan ini memudahkan timbul
gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta maloklusi. Anak yang sering
menggosok hidung karena gatal menunjukkan tanda Allergic salute.

3) Dermatitis Atopik (Eksim)


Penyakit yang sering dijumpai pada bayi dan anak, ditandai dengan reaksi
inflamasi pada kulit yang didasari oleh faktor herediter dan lingkungan. Eksim
atau dermatitis atopi terjadi pada bayi sebelum berusia 6 bulan dan jarang terjadi
dibawah usia 8 minggu. Angka kejadian1-3% di masyarakat. Terdapat tiga bentuk
klinis dermatitis atopik, yaitu bentuk infant, bentuk anak, dan bentuk dewasa.

Bentuk infant predileksi daerah muka terutama pipi lebih sering pada bayi yang

9
masih muda dan ekstensor ekstremitas pada bayi sudah merangkak. Lesi yang
menonjol adalah vesikel dan papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan
terkadang infeksi sekunder (infeksi bakteri maupun jamur). Gatal merupakan
gejala yang mencolok sehingga bayi sering rewel dan gelisah dengan tidur yang
terganggu.
Bentuk anak merupakan lanjutan bentuk infant. gejala klinis ditandai kulit
kering (xerosis) bersifat kronis dengan predileksi daerah flexura antecubiti,
poplitea, tangan, kaki, dan periorbita. Bentuk dewasa terjadi sekitar usia 20 tahun.
Umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.

4) Urtikaria (kaligata, biduran)


Sebanyak 3,2 -12,8% dari populasi pernah mengalami urtikaria. Gejalanya
bentol (plaques edematous) multipel yang berbatas tegas, kemerahan, dan gatal.
Warna memerah bila ditekan akan memutih. Berbentuk sirkuler atau serpiginosa
(merambat). Jika dibiarkan dapat menjadi pembengkakan di hidung, muka, dan
bibir. bahkan jika terjadi di mulut dapat terjadi gangguan pernapasan.

5) Alergi saluran pencernaan


Alergi pada saluran pencernaan jarang terjadi pada bayi dengan asupan
ASI. Paling banyak terjadi pada anak yang minum susu sapi dengan gejala
muntah, diare, kolik, konstipasi, buang air besar bardarah, dan kehilangan nafsu
makan.

Diagnosis Alergi
Diagnosis alergi tergantung terutama pada riwayat klinis. Anamnesis,
diperjelas oleh pemeriksaan fisik, tes sensitivitas IgE, tes kulit atau alergen
spesifik serum. Skin-prick testing (SPT) diujikan pada kulit, dilakukan dengan

ekstrak alergen. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan .

10
IgE spesifik Radio Allergosorbent test (RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan
sebagai marker diagnosis alergi, tetapi memiliki kelemahan karena kurang
spesifik. Hal tersebut disebabkan IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga
non alergi seperti infestasi parasit. Pemeriksaan IgE spesifik dilakukan dengan
mengukur IgE spesifik alergen dalam serum pasien. Selain itu, pemeriksaan
lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi adalah skrining antibodi IgE

multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen stimulation test (CAST).

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dilakukan bertujuan untuk mengendalikan gejala
alergi, meringankan intensitas serangan, mengurangi frekuensi serangan, dan
membatasi penggunaan obat karena pada prinsipnya alergi tidak dapat
disembuhkan. Penatalaksanaan dermatitis atopik pada sebagian penderita
mengalami perbaikan dengan sendirinya sesuai dengan bertambahnya usia.
Menghindari atau mengurangi faktor penyebab menjadi langkah pertama
penatalaksanaannya. Sedangkan untuk penatalaksanaan rinitis alergi pada anak
dilakukan dengan penghindaran alergen penyebab dan kontrol lingkungan.
Medikamentosa diberikan bila perlu dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama.

b. Antibiotik
Definisi
Antibiotik merupakan golongan senyawa, baik alami maupun sintetik,
yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, yang mempunyai kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain, khususnya
dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotik khususnya berkaitan
dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa
genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman.
Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri
lainnya, dan setiap antibiotik keefektifannya sangat beragam dalam melawan
berbagai macam bakteri. Keefektifannya tergantung pada lokasi infeksi dan

11
kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.

Jenis Antibiotik
Antibiotik dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut
dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotik dilihat dari target atau
sasaran kerjanya:
a. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penisilin,
Polipeptida dan Sefalosporin, misalnya ampisilin, penisilin G;
b. Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone,
misalnya rifampisin, aktinomisin D, asam nalidiksat;
c. Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari
golongan Makrolida, Aminoglikosida, dan Tetrasiklin, misalnya gentamisin,
kloramfenikol, kanamisin, streptomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, eritromisin,
azitromisin;
d. Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomisin, valinomisin;
e. Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida,
misalnya oligomisin, tunikamisin;
f. Antimetabolit, misalnya azaserine.

Penggunaan Antibiotik pada masa Kehamilan


Penggunaan antibiotik pada kehamilan bisa dengan tujuan terapi, akan
tetapi bisa juga dengan tujuan profilaksis. Untuk tujuan terapi sering dipakai pada
kasus kehamilan dengan tanda klinis adanya infeksi baik lokal maupun sistemik
misalnya kehamilan yang disertai dengan penyakit infeksi sistemik (tipoid,
tuberkulosa dan lain sebagainya). Sedangkan infeksi lokal misalnya adanya tanda
infeksi genitalia, vaginosis bakteri, infeksi jamur atau infeksi intrauterin sebagai
akibat suatu persalinan yang lama dan bisa juga pada kasus dengan tanda bakat
persalinan preterm yang diduga disebabkan oleh infeksi genitalia. Sedangkan
untuk tujuan profilaksis sering digunakan pada kasus kehamilan dengan kelainan
katup jantung, ketuban pecah dini, perdarahan pada kehamilan dan eklamsia. Pada
keadaan ini sebenarnya belum tampak adanya gejala infeksi, akan tetapi kondisi

12
ibu seperti ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya infeksi yang
membahayakan ibu atau janin di dalam rahim.

Periode Kehamilan dan Antibiotik


Periode pertumbuhan hasil konsepsi dibagi menjadi :
1) Periode ovum, yaitu sejak saat fertilisasi sampai dengan implantasi.
2) Periode embrionik, yaitu sejak minggu kedua sampai dengan minggu
kedelapan setelah fertilisasi.
3) Periode fetal (janin), yaitu setelah 8 minggu sampai dengan aterm.
Periode embrionik adalah periode yang paling kritis oleh karena saat ini
sedang dalam fase pembentukan organ-organ (organogenesis). Pada periode fetal
atau janin, terutama trimester II dan III, pengaruh antibiotik yang diberikan pada
ibu hamil tidak mempengaruhi pembentukan organ (malformasi/dismorfogenik),
akan tetapi dapat menimbulkan efek lain, diantaranya reaksi alergi.
Membran plasenta yang memisahkan darah ibu dan janin pada awalnya
terdiri dari empat lapisan: lapisan endotel pembuluh darah janin, jaringan ikat di
inti vilus, lapisan sitotrofoblas, dan sinsitium. Ketika bulan keempat hingga
seterusnya, membran plasenta menipis karena lapisan endotel pembuluh darah
kontak erat dengan membran sinsitium sehingga laju pertukaran zat dari ibu ke
janin sangat meningkat
.

Hubungan Antibiotik Ibu Hamil dengan Alergi pada Bayi


Penggunaan antibiotik selama kehamilan dikaitkan dengan perkembangan
alergi pada keturunannya. Hubungan ini disebabkan oleh efek buruk terhadap
obat, laju pola kolonisasi mikroba neonatal yang meningkat, atau peradangan
yang disebabkan oleh infeksi selama kehamilan.
Antibiotik dapat melewati plasenta dan memasuki sirkulasi janin terutama
bulan keempat dan seterusnya. Jumlah bahan di dalam peredaran darah (serum),
absorbsi dalam usus, metabolisme, ikatan dengan protein (protein binding),
penyimpanan dalam sel, ukuran molekul, dan kelarutan bahan tersebut dalam

13
lemak merupakan faktor yang menentukan kemampuan obat untuk menembus
barier plasenta. Antibiotik tersebut dapat memodifikasi beban mikroba ibu
selama kehamilan serta memiliki efek pada kolonisasi usus bayi yang
menyebabkan pematangan dan perbedaan dari sistem kekebalan tubuh mukosa.
Peran terapi antibiotik selama kehamilan konsisten dengan hygiene
hypothesis pada bayi yang menunjukkan efek perlindungan dari pengaruh infeksi
alami dari perkembangan sistem kekebalan tubuh pada awal kehidupan. Hygiene
hypothesis mengungkapkan bahwa mikroorganisme usus bayi memiliki peran
penting dalam pembentukan sistem kekebalan tubuh dimana mikroorganisme dan
host memiliki hubungan ketergantungan. Mikroorganisme berinteraksi melawan
perubahan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan respon inflamasi.
Penggunaan antibiotik dapat mengurangi paparan agen infeksi dapat merusak
keseimbangan antara subpopulasi sel T dari respon sel Th1 akibat infeksi dan
respon sel Th2, termasuk peningkatan produksi IgE. Rendahnya respon Th1 pada
awal kehidupan mungkin menjadi penanda predisposisi diwariskan penyakit alergi
Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa efek antibiotik pada awal
kehidupan dapat terjadi terutama pada anak dengan kecenderungan genetik ke
jenis alergi dari respon imun.
Teori lain meyebutkan penggunaan antibiotik pada ibu dengan infeksi
traktus urinarius dan traktus respiratorius dapat menyebabkan kolonisasi abnormal
di traktus genital. Akhirnya, anak yang baru lahir dapat menerima komposisi yang
berbeda dan mungkin tidak menguntungkan oleh mikroba melalui penularan
vertikal selama kelahiran. Penggunaan antibiotik dihubungkan dengan naiknya
kolonisasi vaginal oleh spesies Staphylococcus setelah terapi infeksi traktus urin
dan naiknya kolonisasi vaginal oleh E. coli setelah terapi infeksi traktus
respiratorius. Meningkatnya kolonisasi vaginal berkontribusi dalam infeksi
neonatal dan menyebabkan early-onset sepsis neonatal.33-35 Sepsis neonatal dapat
mengurangi kolonisasi bakteri normal dalam usus bayi dan meningkatkan
Staphylococcus sp. dapat menyebabkan dermatitis atopik dan asma pada bayi.

14
c. Sindrom Hipersensitivitas Obat

Rahmat Cahyanur, Sukamto Koesnoe, Nanang Sukmana


Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,
Abstrak: Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) atau Drug Rash Eosinophilia and
Systemic Symptoms (DRESS) adalah suatu kondisi mengancam nyawa yang ditandai
oleh ruam kulit, demam, leukositosis dengan eosinofilia atau limfositosis atipik,
pembesaran kelenjar getah bening, serta gangguan pada hati atau ginjal. Angka kematian
pada SHO dapat mencapai 10%. Sindrom hipersensitivitas obat diakibatkan oleh pajanan
terhadap obat pencetus pada individu yang memiliki kerentanan. Kerentanan individu
terjadi akibat faktor keturunan (polimorfisme genetik, jenis kelamin) serta faktor didapat
(lupus eritematosus sistemik, limfoma, infeksi virus). Tata laksana SHO meliputi
penghentian obat tersangka sesegera mungkin, terapi suportif, serta pemberian
kortikosteroid sistemik. Terapi suportif yang diberikan seperti nutrisi, cairan,
antihistamin, atau antipiretik. Kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis setara
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari yang diturunkan secara bertahap untuk mencegah
kekambuhan. Kata kunci: sindrom hipersensitivitas obat, diagnosis, tatalaksana,
kortikosteroid.

15
d. Pohon Masalah

16
e. Penata Laksanaan Alergi Obat

1. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus
dihentikan segera
2. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
pemulihan;
3. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 3 hari, khususnya pada
kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat
pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;
4. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan
cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi
penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan
tenggorok serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
5. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,
eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum
dan PEGA karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10
mg sampai 4 x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi
yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita.
Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali
dilakukan pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan
progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG
diberikan sebanyak 0.2 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
6. Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan
kortikosteroid.
7. Topikal Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah
dengan obat antipruritus seperti mentol 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika
dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
misalnya hidrokortison 1% 2 %. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema
yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang
dioleskan sebagian sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa
kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim
sulfadiazin perak.

17
8. Terapi Erupsi Alergi Obat yang paling terutama mendukung di alam. Erupsi
Morbilliform diperlakukan dengan antihistamin oral dan steroid topikal. IVIG saat ini
agen yang paling umum digunakan untuk mengobati TEN. Siklosporin juga mungkin
memiliki peran dalam pengobatan TEN. Prednisone dapat digunakan dalam
pengobatan sindrom hipersensitivitas dengan hati dan keterlibatan paru-paru, serum
sickness yang parah seperti reaksi, dan sindrom manis.

9. Antihistamin generasi pertama Obat ini melawan reseptor H1 dan memblokir


pelepasan histamin. Mereka memberikan bantuan gejala pruritus dan membantu
meningkatkan letusan.

Hidroksizin HCl (Anxanil, Atarax, Atozine, Durrax, Vistaril) Antagonizes reseptor H1


di pinggiran. Dapat menekan aktivitas histamin dalam SSP subkortikal. Tersedia
sebagai 10 -, 25 -, 50 -, atau 100 mg-tab.
Diphenhydramine HCl (Benadryl, Chesty, Diphen, AllerMax) Untuk mengurangi
gejala-gejala gejala alergi yang disebabkan oleh pelepasan histamin dalam reaksi
kekebalan.
Antihistamin generasi kedua, nonsedating Agen-agen ini menyebabkan kurang,
mengantuk dibandingkan generasi pertama

Loratadin (Claritin) Selektif menghambat reseptor perifer histamin H1.


Kortikosteroid Agen topikal memberikan bantuan gejala pruritus. Steroid sistemik
digunakan pada orang dengan sindrom hipersensitivitas, serum sickness yang parah
seperti reaksi, dan sindrom manis.
Desonide Untuk inflamasi dermatosis responsif terhadap steroid, penurunan
peradangan dengan menekan migrasi leukosit PMN dan membalikkan permeabilitas
kapiler.
Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) Imunosupresan untuk pengobatan
gangguan kekebalan, dapat mengurangi peradangan dengan membalikkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN, tersedia dalam 2,5-, 5
-, 10 -, 20 -, atau 50-mg tab.
10. Imunoglobulin digunakan untuk mengobati TEN.
11. Intravena imunoglobulin (Gammagard, Gamimune) Produk darah dibuat dari plasma
dikumpulkan dari donor sehat. Fitur berikut ini mungkin relevan dengan khasiat:
netralisasi beredar antibodi mielin melalui anti-idiotypic antibodi, down-regulasi
sitokin proinflamasi, termasuk IFN-gamma, blokade reseptor Fc pada makrofag,
penindasan T inducer dan sel B dan T-augmentasi penekan sel, blokade kaskade komplemen,
promosi remyelination, dan peningkatan 10% dalam CSF IgG.

18
BAB III
PEMBAHASAN

2.1.1 Definisi Alergi


The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah
menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara global.
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi.
Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda
yang secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan
terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang
normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4
tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang disebut juga
reaksi anafilaktik atau reaksi alergi. 2,14-16
12
2.1.2 Etiologi Alergi
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya
tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.2,3,14
Antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin
dan derivatnya, basitrasin, neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan
lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal
seperti prokain atau lidokain serta ekstrak alergen seperti rumput-rumputan atau
jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti bisa
ular juga dapat menyebabkan reaksi alergi. Beberapa bahan yang sering
dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan alergi misalnya
zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin.15
Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran tungau
dari debu rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti gamaglobulin dan

19
kriopresipitat juga dapat merangsang mediator alergi sehingga timbul manifestasi
alergi.15
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan
dikarenakan maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain
selain ASI (Air Susu Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12
bulan akan menimbulkan manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan
yang masuk masih dianggap asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang
13
belum matur sehingga makanan tidak terdegradasi sempurna oleh enzim
pencernaan kemudian menimbulkan hipersensitivitas.17
2.1.3 Epidemiologi Alergi
Prevalensi penyakit alergi terus meningkat secara dramatis di dunia, baik di
negara maju maupun negara berkembang, terlebih selama dua dekade terakhir.1,2
Diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia mengalami manifestasi
alergi seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopi atau eksema dan
anafilaksis. WHO memperkirakan alergi terjadi pada 5-15% populasi anak di
seluruh dunia.3 Pada fase 3 dari studi yang dilakukan oleh International Study of
Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) pada tahun 2002-2003 dilaporkan
bahwa prevalensi asma bronkial, rhinitis alergi dan dermatitis atopik cenderung
meningkat di sebagian besar lembaga dibandingkan data 5 tahun sebelumnya.4
Pada tahun pertama kehidupan bayi dengan kadar IgE <0,1 IU/ml,
manifestasi alergi yang sering dijumpai adalah atopi simptom (40%), dermatitis
atopi (35,3%), rhinitis alergi/hipersekresi nasal (15,4%), asma/wheezy infant
(7,7%), gangguan gastrointestinal (7,7%), dan konjungtivitis alergi (1,5%).18
Dermatitis atopi merupakan manifestasi awal penyakit atopi dengan insiden
tertinggi pada 3 bulan pertama kehidupan dan mencapai prevalensi tertinggi
selama 3 tahun pertama kehidupan.19 The Copenhagen Prospective Study on
Asthma in Childhood (COPSAC) melaporkan dermatitis atopi pertama kali
14
dijumpai pada usia 1 bulan, kemudian meningkat dan mencapai puncaknya pada
usia 2,5 tahun.20

20
2.1.4 Patofisiologi Alergi
2.1.4.1 Mediator alergi
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang termasuk
sel mediator adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil
mengandung mediator kimia yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat.
Mediator tersebut adalah histamin, newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan
heparin.15
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap
alergen tertentu, yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast.2,3,11 Reaksi
alergi dimulai dengan cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast
atau basofil dengan alergen. Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan
sistem nukleotida siklik yang meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan
masuknya ion Ca++ ke dalam sel. Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan
mediator lain.15,21,22
Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang
menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi
venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan
15
konstriksi karena kontraksi otot polos. Selanjutnya histamin meninggikan
permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskular ini
menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan bila terjadi
sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung dan bila
penglepasan histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat
meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.15
Newly synthesized mediator terdiri dari leukotrien, prostaglandin dan
tromboksan. Leukotrien dapat menimbulkan efek kontraksi otot polos,
peningkatan permeabilitas dan sekresi mukus. Prostaglandin A dan F
menyebabkan kontraksi otot polos dan juga meningkatkan permeabilitas kapiler,
sedangkan prostaglandin E1 dan E2 secara langsung menyebabkan dilatasi otot
polos bronkus. Eosinophyl chemotacting factor-anaphylazsis (ECF-A) dilepaskan

21
segera waktu degranlasi. ECF-A menarik eosinofil ke daerah tempat reaksi alergi
untuk memecah kompleks antigen-antibodi dan menghalangi aksi newly
synthesized mediator dan histamin. Plateletes Activating Factor (PAF)
menyebabkan bronkokonstriksi dan meninggikan permeabilitas pembuluh darah.
PAF juga mengaktifkan faktor XII yang akan menginduksi pembuatan bradikinin.
Bradikinin dapat menyebabkan kontraksi otot bronkus dan vaskular secara lambat,
lama dan hebat. Serotonin tidak ditemukan dalam sel mast manusia tetapi dalam
trombosit dan dilepaskan waktu agregasi trombosit yang juga akan menyebabkan
kontraksi otot bronkus tapi hanya sebentar. 15,21,22
16
Gambar 1. Jalur reaksi alergi21
2.1.4.2 Fase sensitisasi
Alergen memasuki tubuh manusia melalui berbagai rute diantaranya kulit,
saluran nafas, dan saluran pencernaan. Ketika masuk, alergen akan dijamu serta
diproses oleh Antigen Presenting Cells (APCs) di dalam endosom. Kemudian
APC akan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II
kepada sel limfosit T helper (Th0) di dalam limfe sekunder. Sel Th0 akan
mengeluarkan Interleukin-4 (IL-4) yang merubah proliferasi sel Th menjadi Th2.
Sel Th2 akan menginduksi sel limfosit B (sel B) untuk memproduksi
17
Imunoglobulin (Ig).15,21 Pada orang dengan alergi, Th1 tidak cukup kuat
menghasilkan interferon gamma (IFN-) untuk mengimbangi aktivitas Th2,
sehingga Th2 akan lebih aktif memproduksi IL-4. Hal ini menyebabkan sel B
menukar produksi antibodi IgM menjadi IgE. IgE akan menempel pada reseptor
IgE berafinitas tinggi (FcRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil.23
2.1.4.3 Fase reaksi
Beberapa menit setelah paparan ulang alergen, sel mast akan mengalami
degranulasi yaitu suatu proses pengeluaran isi granul ke lingkungan ekstrasel yang
berupa histamin, prostaglandin, serta sitokin-sitokin yang menimbulkan gejala
klinis.15, 24
2.1.4.4 Fase reaksi lambat

22
Fase ini dimulai pada 2-6 jam setelah paparan alergen dan puncaknya
setelah 6-9 jam. Mediator inflamasi akan menginduksi sel imun seperti basofil,
eosinofil dan monosit bermigrasi ke tempat kontak dengan paparan alergen. Sel-
sel tersebut akan mengeluarkan substansi inflamasi spesifik yang menyebabkan
aktivitas imun berkepanjangan serta kerusakan jaringan. 15,22
18
2.1.4.5 Mekanisme Transfer Alergi
Ibu yang memiliki riwayat alergi berpotensi mempengaruhi respon imun
bayi melalui plasenta dan air susu ibu (ASI). Transfer alergen makanan atau
inhalan melalui plasenta atau ASI juga diketahui bisa terjadi. Antibodi yang bisa
diturunkan ke anak melalui plasenta adalah IgG, IgA. Sedangkan antibodi yang
bisa diturunkan melalui ASI yaitu IgA, IgG, IgM, IgE. Transfer sitokin dan
kemokin juga dapat terjadi. Misalnya, interferon- (IFN-) dan interleukin-6 (IL-
6) terdeteksi dalam kolustrum wanita normal dan ini dapat diturunkan melalui
ASI. Penelitian in vivo dan in vitro menunjukkan bahwa transfer tersebut dapat
menyebabkan penurunan imunitas neonatus. Kemokin, misalnya IL-8 (sitokin
yang diregulasi pada aktivasi sel T normal), IFN--inducible protein dan monokin
yang diinduksi oleh IFN- juga terdeteksi dalam ASI ibu. Sitokin dan marker
inflamasi lainnya ditemukan dalam ASI ibu dengan riwayat atopi maupun tanpa
riwayat atopi. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah kandungan asam lemak
pada ASI, yang juga mempengaruhi respon imun bayi. Selain faktor-faktor
tersebut, sel juga ditransfer dalam rahim, misalnya sel leukosit yang dapat
diturunkan dari ibu kepada bayi. Hal ini penting karena pada suatu penelitian
menunjukkan bahwa sel T spesifik alergen diturunkan dari satu induk tikus yang
dapat mentransmisikan risiko asma kepada anaknya. Transfer sel bertanggung
jawab atas pewarisan risiko alergi dari ibu kepada fetus. 25
19
2.1.5 Faktor risiko Alergi
Penyakit alergi pada bayi terjadi akibat interaksi dari faktor genetik,
lingkungan dan gaya hidup termasuk pola makanan dan hygiene. Beberapa faktor
risiko yang dianggap berkontribusi terhadap angka kejadian alergi pada bayi yaitu

23
paparan asap rokok, konsumsi alkohol pada masa kehamilan, pola diet atau
komponen makanan ibu ketika masa kehamilan dan menyusui, penggunaan
antibiotik, metode persalinan seksio sesarea, bayi lahir prematur, bayi berat lahir
rendah, nutrisi yang diperoleh bayi serta ada atau tidaknya hewan peliharaan.25
Gambar 2. Faktor yang mempengaruhi angka kejadian alergi21
20
2.1.6 Manifestasi klinis Alergi
Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ target yang
terkena. Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada
bayi, ditandai dengan reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis berbentuk
dermatitis akut eksudatif dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah
ekstensor ekstremitas. Lesi yang paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan
papula, serta garukan yang menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder.
Gatal merupakan gejala yang mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan
tidur yang terganggu. 3,15,20,26
Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan
nasal pruritis, rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan
bronkospasme, inflamasi jalan nafas kronis. 15,26
Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan dengan
gejala nyeri perut kolik, muntah, diare. Jika reaksi alergi terjadi sistemik dapat
terjadi syok anafilaksis.15,20,26
Penyakit alergi pada mata juga dapat dijumpai pada bayi namun dengan
presentase kecil. Secara klinis ditandai dengan mata berair, hiperemia
konjungtiva, gatal mata, bayi menunjukkan gerakan menggosok mata. Gejala
muncul setidaknya 2 minggu dan tidak ada hubungannya dengan infeksi. 15,20,26
21
2.1.7 Diagnosis Alergi
Diagnosis alergi ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dengan melakukan
anamnesis. Anamnesis diperjelas dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
sensitivitas IgE, tes pada kulit atau allergen specific serum IgE measurements
(RAST). 27

24
Skin-prick testing (SPT) dilakukan dengan ekstrak alergen, diujikan pada
kulit. Pemeriksaan darah dilakukan dengan memeriksa IgE total dan IgE spesifik
(RAST). Pemeriksaan IgE total digunakan sebagai marker diagnosis alergi, tetapi
memiliki kelemahan. IgE meningkat pada penyakit alergi dan juga non alergi
seperti infestasi parasit, sehingga kurang spesifik. Sedangkan pemeriksaan IgE
spesifik untuk mengukur IgE spesifik alergen dalam serum pasien. 27
Adapun pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi
adalah skrining antibody IgE multi-alergen, triptase sel mast, dan Cellular antigen
stimulation test (CAST). 27
2.1.8 Penatalaksanaan
Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan
immunotherapy. Untuk terapi farmakologi dengan obat anti inflamasi non steroid,
anti histamin, steroid, teofilin atau epinefrin. Sedangkan immunotherapy atau
22
yang juga dikenal dengan suntikan alergi, pasien diberikan suntikan berulang dari
alergen untuk mengurangi IgE pada sel mast dan menghasilkan IgG. 27
2.2 Metode persalinan
2.2.1 Persalinan pervaginam
Persalinan adalah proses pengeluaran konsepsi yang dapat hidup dari dalam
uterus melalui vagina ke dunia luar. Pada persalinan pervaginam dilakukan secara
spontan (menggunakan tenaga dan usaha ibu sendiri) atau menggunakan alat
khusus (ekstraksi vakum atau ekstraksi forcep).28
Persalinan normal adalah persalinan spontan pada presentasi kepala (kepala
keluar lebih dahulu), janin cukup bulan (38-42 minggu), tanpa menggunakan alat,
tidak menimbulkan komplikasi pada ibu maupun bayi dan berlangsung dalam
waktu 18-24 jam. 28
Beberapa jam terakhir kehamilan ditandai dengan adanya kontraksi uterus
yang menyebabkan penipisan, dilatasi serviks, dan mendorong janin keluar
melalui jalan lahir. Persalinan diawali dengan pecah ketuban secara spontan.
Persalinan normal dibagi menjadi empat kala yang berbeda. Kala satu persalinan
mulai ketika telah tercapai kontraksi uterus dengan frekuensi, intensitas, dan

25
durasi yang cukup untuk menghasilkan pendataran dan dilatasi serviks yang
progresif. Kala satu persalinan selesai ketika serviks sudah membuka lengkap
23
(sekitar 10 cm) sehingga memungkinkan kepala bayi lewat. Kala dua persalinan
disebut juga sebagai stadium ekspulsi janin, dari pembukaan lengkap sampai bayi
lahir. Kala tiga persalinan dimulai segera setelah janin lahir dan berakhir dengan
lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin. Kala empat yaitu dua jam dari
plasenta lahir. 3 faktor penting yang memegang peranan pada persalinan adalah:
kekuatan pada ibu seperti kekuatan his dan kekuatan mengejan, keadaan jalan
lahir dan janinnya sendiri. 28
2.2.2 Persalinan Seksio sesarea
Seksio sesarea adalah persalinan buatan yang dilakukan dalam usaha untuk
mengeluarkan janin melalui suatu sayatan dibuat pada dinding perut dan uterus
(Dickinson, J.E., 1996). Tindakan ini dilakukan untuk mencegah kematian janin
maupun ibu sehubungan dengan adanya bahaya atau komplikasi yang akan terjadi
bila persalinan dilakukan pervaginam. Indikasi seksio sesarea bagi ibu adalah
panggul sempit mutlak, tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi, stenosis
serviks uteri atau vagina, plasenta previa, disproporsi janin-panggul, rupture uteri
imminens, partus tak maju, incoordinate uterine action, preeklampsia dan
hipertensi. Sedangkan indikasi bagi janin antara lain kelainan letak dan bentuk
janin, makrosomia, serta gawat janin. 28
Sebelum dilakukan persalinan dengan seksio sesarea, janin dan juga ibunya
harus dievaluasi. Monitor detak jantung janin harus terus dilakukan sampai
24
persiapan pembedahan dimulai. Kebanyakan seksio sesarea dilakukan dengan
anestesia spinal atau epidural. 28
2.3 Mikrobiota
2.3.1 Mikrobiota pada manusia
Interaksi antara flora normal pada traktus gastrointestinal dan
perkembangan mukosa sebagai sistem kekebalan memiliki hubungan dengan
persalinan seksio sesarea dan munculnya beberapa penyakit. Area gastrointestinal

26
terutama usus merupakan bagian tubuh terbesar yang terpapar lingkungan dan
sangat imunoreaktif. Sistem imun mengalami perkembangan utama selama masa
bayi dan sangat terkait dengan kolonisasi mikroba pada traktus intestinal. Paparan
awal mikroba berbeda-beda tergantung pada cara persalinan; pervaginam atau
seksio sesarea. Mikroba yang terkolonisasi pada usus selama persalinan
pervaginam maupun seksio sesarea dapat menyebabkan perubahan kolonisasi
jangka panjang dan mengubah perkembangan imun selanjutnya.8,29
Mikroorganisme memiliki sejumlah peran seperti fermentasi substrat energi
yang tidak terpakai, pelatihan sistem kekebalan tubuh, mencegah pertumbuhan
bakteri patogen berbahaya, meregulasi perkembangan usus dan memproduksi
vitamin (biotin dan vitamin K).8,30
25
2.3.2 Mikroekologi intestinal pada bayi
Sebagian literatur saat ini menyatakan bahwa traktus gastrointestinal janin
normal adalah steril. Ketika lahir dan beberapa watu setelahnya, bakteri dari ibu
dan lingkungan sekitarnya berkolonisasi pada usus bayi. Hal ini jelas bahwa
paparan saat lahir akan berbeda tergantung cara persalinan. Pada akhir tahun
pertama kehidupan, ekosistem mikroba pada setiap bayi meskipun masih berbeda-
beda, telah berkumpul menuju karakteristik traktus gastrointestinal dewasa.8
2.3.3 Peran mikrobiota
Mikrobiota penting dalam pengembangan sistem kekebalan tubuh dan
berkaitan dengan patogenesis beberapa alergi serta penyakit autoimun. Bakteri
usus merupakan kunci dalam memperkenalkan awal pengembangan mukosa
untuk sistem kekebalan usus dan terus memainkan peran di kehidupan
selanjutnya. Bakteri menstimulasi jaringan limfoid yang terkait dengan mukosa
usus untuk memproduksi antibodi terhadap patogen. Sistem imun mengenali dan
melawan bakteri berbahaya, tapi menyisakan atau meninggalkan spesies yang
bermanfaat saja, untuk kemudian ditoleransi dan dikembangkan pada masa bayi,
disebut sebagai old friends hypothesis.8,31 Hipotesis ini merupakan sintesis dari
hipotesis higienis yang mengungkapkan bahwa mikroorganisme memiliki peran
penting dalam pembentukan sistem kekebalan tubuh dimana mikroorganisme dan

27
host memiliki hubungan ketergantungan (co-dependence). Mikroorganisme ini
26
juga berinteraksi dan berperang melawan perubahan lingkungan yang
mengakibatkan peningkatan respon inflamasi seperti diet yang tidak sesuai,
obesitas, stres psikologik, defisiensi vitamin D, polusi, dan mungkin persalinan
seksio sesarea. Mikroorganisme juga berperan dalam melawan berbagai gangguan
inflamasi kronis lainnya yang seperti alergi, autoimunitas, inflammatory bowel
disease, penyakit pembuluh darah, keganasan, depresi/ansietas, penyakit
neurodegeneratif dan diabetes mellitus tipe 2.8
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bakteri usus berperan dalam ekspresi
Toll-like receptors (TLRs) di usus. TLRs adalah salah satu dari Pattern
Recognition Receptors (PRR). PRR mengidentifikasi patogen yang telah melewati
barrier mukosa dan meningkatkan respon untuk melawan patogen.32
Bakteri dapat mempengaruhi toleransi oral, yaitu sistem imun menjadi
berkurang sensitivitasnya terhadap antigen apabila pernah tertelan. Toleransi ini
dimediasi oleh sistem kekebalan gastrointestinal dan hepar yang bisa mengurangi
over reaktivitas sistem imun seperti yang ditemukan pada alergi dan penyakit
autoimun. 33
Terdapat beberapa peristiwa antenatal dan perinatal yang mungkin dapat
mempengaruhi perkembangan mikroba usus. Terapi dengan antibiotik spektrum
luas pada ibu yang memasuki persalinan prematur atau persalinan dengan metode
seksio sesarea. Hal tersebut dapat mengurangi keanekaragaman hayati dari
mikrobiota dan menjadi faktor penyebab berbagai penyakit.34
27
2.3.4 Hipotesis higienis
Hipotesis higienis menunjukkan bahwa lingkungan terlalu bersih, terutama
pada anak usia dini, dapat berkontribusi untuk pengembangan beberapa penyakit
anak. Menurut hipotesis higienis, perubahan gaya hidup di negara-negara industri
berhubungan dengan peningkatan angka kejadian alergi dan penyakit autoimun.
Hipotesis ini pertama kali diusulkan oleh Strachan, yang mengamati korelasi
terbalik antara demam dan jumlah saudara kandung yang lebih tua terhadap lebih

28
dari 17.000 anak di Inggris pada tahun 1958. 8,35
Anak yang tinggal pada tempat yang bersih kurang mendapat paparan
mikroba menyebabkan kurang aktifnya Th1 sehingga terjadi pergeseran aktivitas
ke Th2 yang berkontribusi pada terjadinya alergi. 35-37 Sebaliknya, anak yang
tinggal di lingkungan peternakan desa, dilaporkan mengalami peningkatan fungsi
Treg, ekspresi FOXP3 (suatu protein yang terlibat dalam respon sistem kekebalan
tubuh), dan hipometilasi karena paparan mikroba non patogen Acineobacter
lwoffii dalam jumlah tinggi dan kontinu. Pada paparan endotoksin (LPS) mikroba
dilaporkan terdapat efek proteksi jika paparan terjadi pada saat janin belum
tersensitisasi alergen. Jika paparan setelah terjadi sesnsitisasi terhadap alergen,
akan mengakibatkan eksaserbasi penyakit alergi. Efek LPS ini diinduksi lewat toll
like receotors (TLR) 4, yang kuat dalam mempengaruhi APCs alami, terutama sel
dendritik (DC), untuk memproduksi IL-12 dan sebagai ko-stimulator sel T untuk
menjadi efektor sel T yang menghasilkan IFN-. Paparan ulang LPS ini akan
membangkitkan sel memori yang telah ada akibat paparan pertama, untuk
28
menghasilkan IFN- dengan cepat, sehingga akan menginhibisi produksi sitokin
Th2 dan mencegah alergi terjadi. 22, 35-38

29

Das könnte Ihnen auch gefallen