Sie sind auf Seite 1von 18

STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN ANALISA TINDAKAN


DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT MINGGU 1
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Oleh:
Ira Destia, S. Kep

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2017
NEBULIZER
A. GAMBARAN SINGKAT KASUS
Ny. S datang ke instalasi gawat darurat (IGD) rsms pada tanggal 16 Januari
2017 dengan keluhan sesak nafas. Ny. S memiliki riwayat asma 9 tahun.
Pada saat dilakukan primary survey, pada airway terdapat sumbatan jalan
nafas, breathing pergerakan dinding dada tidak simetris, pernapasan cepat dan
dangkal RR 32x/menit, terdapat suara nafas tambahan, suara nafas whezing.
Pada pemeriksaan circulation didapatkan N 97x/ menit, TD 110/70, S 35,6,
CRT < 2 detik, dan tidak ada sianosis. Sedangkan pada pemeriksaan disability
kesadaran pasien compos mentis GCS 15 (E4V5M6). Pasien mendapatkan terapi
nebulizer.
B. TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Nebulizer adalah suatu alat untuk memberikan obat kepada pasien dengan
gangguan respirasi dengan cara inhalasi. Obat diberikan dengan cara
mengubah bentuk obat dari cair menjadi aerosol/kabut yang keudian
dihirup pasien. Pemberian obat dengan cara inhalasi seperti ini lebih efektif
dibandingkan dengan pemberian obat secara oral/diminum.
2. Jenis nebulizer
a. Ultrasonic nebuliser
Nebulizer ini mampu menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi
tinggi dari piezoelectrik crystal yang berada dekat larutan dan cairan
memecah menjadi aerosol. Keuntungan jenis nebuizer ini adalah tidak
menimbulkan suara bising dan secara terus menerus dapat mengubah
larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan
memerlukan biaya perawatan lebih besar.
b. Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan karena relatif lebih murah. Dengan
gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan
dalam silinder dialirkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan
tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk
aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece
atau sungkup/masker.
3. Indikasi
Indikasi dilakukannya terapi inhalasi menggunakan nebulizer antara lain
bronchospasme, asma, pneumonia, dan atelectasis.
4. Perhatian
Penggunaan nebulizer sebagai terapi inhalasi harus memperhatikan
beberapa pasien dengan kriteria sebagai berikut: pasien dengan tekanan
darah tidak stabil, pasien yang tidak sadar, pasien dengan nadi tinggi, dan
pasien dengan gangguan jantung.
5. Komplikasi
Penggunaan nebulizer untuk terapi inhalasi dapat menimbulkan berbagai
macam komplikasi akibat pemakaiannya, antara lain sebagai berikut:
palpitasi, tremor, sakit kepala, mual dan takikardia.
6. Alat dan bahan
a. Alat nebulizer
b. Sungkup/masker nebullizer
c. Obat (ventolin, salbutamol, dll)
d. Nacl 0,9%
7. Prosedur
a. Dekatkan alat nebulizer dengan pasien.
b. Tuangkan obat yang akan diberikan dan NaCl 0,9% kedalam
masker/sungkup sesuai dosis yang dianjurkan.
c. Sambungkan/hubungkan selang dengan sungkup/masker dan alat
nebulizer.
d. Sambungkan kabel alat nebulizer/kompresor ke sumber listrik lalu
dihidupkan untuk mengecek alat berfungsi dengan baik atau tidak.
(tanda alat berfungsi dengan baik dari sungkup/masker muncul kabut
putih pertanda obat telah berubah dari bentuk cair menjadi aerosol).
Lalu matikan.
e. Pasngkan sungkup/masker ke pasien.
f. Posisikan tubuh pasien semifowler.
g. Hidupkan alat nebulizer/kompresor.
h. Anjurkan pasien untuk bernafas seperti biasa dan beri tahu kepada
petugas apabila merasa pusing, mual atau merasa tidak nyaman.
i. Lakukan terapi sampai obat habis dengan tanda sudah tidak keluar
kabut putih.
j. Dampingi pasien untuk kemungkinan terjadi efek samping terapi.
C. GAMBARAN PELAKSANAAN DI RUMAH SAKIT
Prosedur pemberian terapi nebulizer di ruang IGD RSMS pada Ny. S
sudah sesuai prosedur. Tindakan yang diberikan sudah sesuai yang di lapangan
dengan teori. Namun ada sedikit perbedaan, dilapangan tidak menggunakan
NaCl 0,9% melainkan dimasukkan kedalam sungkup/masker.
REFERENSI
Kamaluddin, R., Hapsari, E. D., Dewi, M., Setiawati, N., & Hidayat, I. A. (2014).
Buku panduan skill laboratoriun circulation and oxygenation. Purwokerto:
Universitas Jenderal Soedirman.
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN ANALISA TINDAKAN


DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT MINGGU 2
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Oleh:
Ira Destia, S. Kep

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2017
TERAPI OKSIGENASI
A. GAMBARAN SINGKAT KASUS
Tn. T datang ke instalasi gawat darurat (IGD) rsms pada tanggal 26 Januari
2017 dengan keluhan sesak nafas. Pasien mengatakan sesak nafas disertai
batuk berdahak sudah 5 hari. Pada saat dilakukan primary survey, pada
airway terdapat sumbatan jalan nafas, breathing pergerakan dinding dada tidak
simetris, pernapasan cepat dan dangkal RR 35x/menit, terdapat suara nafas
tambahan, suara nafas ronkhi. Pada pemeriksaan circulation didapatkan N
115x/ menit, TD = 100/70 mmHg, S = 36,6C, CRT < 2 detik, dan tidak ada
sianosis. Sedangkan pada pemeriksaan disability kesadaran pasien compos
mentis GCS 15 (E4V5M6). Pasien mendapatkan terapi oksigen.
B. TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Pemberian oksigen ke dalam paru-paru melalui saluran pernafasan dengan
menggunakan alat bantu dan oksigen. Pemberpian oksigen pada klien dapat
melalui kanula nasan dan masker oksigen.
2. Tujuan umum
a. Meningkatkan ekspansi dada
b. Memperbaiki status oksigenasi klien dan memenuhi kekurangan
oksigen
c. Membantu kelancaran metabolisme
d. Mencegah hipoksia
e. Menurunkan kerja jantung
f. Menurunkan kerja paru-paru pada klien dengan dispnea
g. Meningkatkan rasa nyaman dan efisiensi frekuensi nafas pada penyakit
paru
3. Indikasi klinis
Henti jantung paru, gagal nafas, gagal jantung atau infark miokard akut,
syok, meningkatan kebutuhan oksigen (luka bakar, infeksi berat, dan
trauma multipel), keracunan CO, dan post operasi.

4. Kontra Indikasi
Tidak ada konsentrasi pada pemberian terapi oksigen dengan syarat
pemberian jenis dan jumlah aliran yang tepat. Namun demikian, perhatikan
pada hal-hal khusus berikut ini:
a. Pada klien dengan penyakit paru obstruksi menahun yang mulai bernafas
spontan maka pemasangan masker partial rebreathing dan non non
rebreathing dapat menimbulkan tanda dan gejala keracunan oksigen. Hal
ini dikarenakan jenis masker rebreathing dan non-rebreathing dapat
mengalirkan oksigen dengan konsentrasi yang tinggi yaitu sekitar 90-
95%.
b. Face mask tidak dianjurkan pada klien yang mengalami muntah-muntah.
c. Jika klien terdapat obtruksi nasal maka hindari pemakaian nasal kanul.
5. Hal-hal yang perlu diperhatikan
a. Perhatikan jumlah air steril dalam hudifier, jangan berlebih atau kurang
dari batas. Hal ini juga penting untuk mencegah kekeringan membran
mukosa dan membantu untuk mengencerkan sekret di saluran
pernafasan klien.
b. Pada beberapa kasus seperti bayi premature, klien dengan penyakit
akut, klien dengan keadaan yang tidak stabil atau klien post operasi,
perawat harus mengobservasi lebih sering terhadap respon klien selama
pemberian terapi oksigen.
c. Pada beberapa klien, pemasangan masker akan memberilan tidak
nyaman karena merasa terperangkat. Rasa tersebut dapat
diminimalisir jika perawat dapat meyakinkan klien akan pentingnya
pemakaian masker tersebut.
d. Pada klien dengan masalah febris dan diaforesis, maka perawat perlu
melakukan perawatan kulit dan mulut secara ekstra karena pemasangan
maskter tersebut dapat menyebabkan efek kekeringan di sekitar area
tersebut.
e. Jika terdapat luka lecet pada bagian telinga klien karena pemasangan
ikatan tali nasal kanul dan masker. Maka perawat dapat memakaikan
kassa berukuran 4x4 cm di area tempat penekanan tersebut.
f. Akan lebih baik jika perawat menyediakan alat suction disamping klien
dengan terapi oksigen.
g. Pada klien dengan usia anak-anak, biarkan anak bermain-main terlebih
dahulu dengan contoh masker.
h. Jika terapi oksigen tidak dipakai lagi, posisikan flow meter dalam posisi
OFF.
i. Pasanglah tanda: dilarang merokok: ada pemakaian oksigen di pintu
kamar klien, dibagian kaki atau kepala tempat tidur, dan di dekat tabung
oksigen. Instruksikan kepada klien dan pengunjung akan bahaya
merokok di area pemasangan oksigen yang dapat menyebabkan
kebakaran.
6. Jenis
a. Pemberian oksigen melalui nasal kanul
Pemberian oksigen pada klien yang memerlukan oksigen secara
kontinyu dengan kecepatan aliran 1-6 liter/menit serta konsentrasi 20-
40%, dengan cara memasukan selang yang terbuat dari plastik ke dalam
hidung dan mengaitkannya di belakang telinga. Panjang selang yang
dimasukakkan ke dalam lubang dihidung hanya berkirar 0,6-1,3 cm.
Pemasangan nasal kanula merupakan cara yang mudah, sederhana,
murah, relatif nyaman, mudah digunakan, cocok untuk segala umur dan
pemasangan jangka pendek ataupun jangka panjang, dan efektif dalam
mengirimkan oksigen. Pemakaian nasal kanul juga tidak mengganggu
klien untuk melakukan aktivitas, seperti berbicara atau makan.
1) Tujuan
Memberikan oksigen dengan konsentrasi relatif rendah saat
kebutuhan oksigen minimal dan oksigen yang tidak terputus saat
klien makan atau minum.
2) Indikasi
Klien yang bernafas spontan tetapi membutuhkan alat batu nasal
kanula untuk memenuhi kebutuhan oksigen (keadaan sesak atau
tidak sesak).

3) Prinsip
a) Nasal kanula untuk mengalirkan oksigen dengan aliran ringan
atau rendah, biasanya hanya 2-3 l/menit.
b) Membutuhkan pernafasan hidung.
c) Tidak dapat mengalirkan oksigen dengan konsentrasi
>40%.
b. Pemberian oksigen melalui masker
Pemberian oksigen kepada klien dengan menggunakan masker yang
dialiri oksigen dengan posisi menutupi hidung dan mulut klien. Masker
oksigen umumnya berwarna bening dan mempunyai tali sehingga dapat
mengikat kuat mengelilingi wajah klien. Bentuk dari face mask
bermacam-macam. Perbedaan antara rebreathing dan non-rebreathing
mask terletak pada adanya vulve yang mencegah udara ekspirasi
terinhalasi kembali. Jenis-jenis masker antara lain sebagai berikut:
1) Simple face mask mengalirkan oksigen konsentrasi oksigen 40-60%
dengan kecepatan aliran 5-8 liter/menit.
2) Rebreathing mask mengalirkan oksigen konsentrasi oksigen 60-
80% dengan kecepatan aliran 8-12 liter/menit. Memiliki kantong
yang terus mengembang baik, saat inspirasi maupun ekspirasi. Pada
saat inspirasi, oksigen masuk dari sungkup melalui lubang antara
sungkup dan kantung reservoir, ditambah oksigen dari kamar yang
masuk dalam lubang ekspirasi pada kantong. Udara inspirasi
sebagian tercampur dengan udara ekspirasi sehingga konsentrasi
CO2 lebih tinggi daripada simple face mask. Indikasi : klien dengan
kadar tekanan CO2 yang rendah.
3) Non rebreathing mask mengalirkan oksigen konsentrasi oksigen
sampai 80-100% dengan kecepatan aliran 10-12 liter/menit. Pada
prinsipnya, udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi
karena mempunyai 2 katup, 1 katup terbuka pada saat inspirasi dan
tertutup saat pada saat ekspirasi, dan 1 katup yang fungsinya
mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan
membuka pada saat ekspirasi. Indikasi : klien dengan kadar tekanan
CO2 yang tinggi. Tujuan Memberikan tambahan oksigen dengan
kadar sedang dengan konsentrasi dan kelembaban yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kanul. Prinsip Mengalirkan oksigen tingkat
sedang dari hidung ke mulut, dengan aliran 5-6 liter/menit dengan
konsentrasi 40 - 60%.
7. Prosedur
a. Kateter Nasal
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Cuci tangan
3) Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan,
biasanya 1 - 6 liter / menit. Kemudian, observasi humidifire dengan
melihat air bergelembung
4) Atur posisi dengan semi-fowler
5) Ukur kateter nasal dimulai dari lubang telinga sampai ke hidung
dan berikan tanda
6) Buka saluran udara dari tabung oksigen
7) Berikan minyak pelumas (vaselin / jeli)
8) Masukkan ke dalam hidung sampai batas yang ditentukan
9) Lakukan pengecekan kateter apakah sudah masuk atau belum
dengan menekan lidah pasien menggunakan spatel (akan terlihat
posisinya di belakang uvula)
10)Fiksasi pada daerah hidung
11)Periksa kateter nasal setiap 6 - 8 jam
12)Kaji cuping, septum dan mukos hidung serta periksa kecepatan
aliran oksigen setiap 6 - 8 jam
13)Catat kecepatan aliran oksigen, rute pemberian dan respon klien
14)Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
b. Kanula nasal
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Cuci tangan
3) Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan,
biasanya 1 - 6 liter / menit. Kemudian observasi humidifire pada
tabung dengan adanya gelembung air
4) Pasang kanula nasal pada hidung dan atur pengikat untuk
kenyamanan pasien
5) Periksa kanula tiap 6 - 8 jam
6) Kaji cuping, septum, dan mukosa hidung serta periksa kecepatan
aliran oksigen tiap 6 - 8 jam
7) Catat kecepatan aliran oksigen, rute pemberian dan respon klien
8) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
c. Masker oksigen
1) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
2) Cuci tangan
3) Atur posisi dengan semi-fowler
4) Atur aliran oksigen sesuai dengan kecepatan yang dibutuhkan,
(umumnya 6 - 10 liter / menit). Kemudian observasi humidifire
pada tabung air yang menunjukkan adanya gelembung
5) Tempatkan masker oksigen diatas mulut dan hidung pasien dan
atur pengikat untuk kenyamanan pasien
6) Periksa kecepatan aliran tiap 6 - 8 jam, catat kecepatan aliran
oksigen, rute pemberian, dan respon klien
7) Cuci tangan setelah prosedur dilakukan
C. GAMBARAN PELAKSANAAN DI RUMAH SAKIT
Prosedur pemberian terapi oksigen di IGD rsms sudah dilakukan sesuai
prosedur. Pemberian terapi oksigen di rumah sakit sudah tepat, sesuai indikasi.
Pasien yang datang dengan keluhan sesak nafas langsung diberikan
pertolongan pertama yaitu dengan pemberian terapi oksigen. Pemberian terapi
oksigen di rumah sakit juga diberikan pada pasien dengan penurunan
kesadaran.

REFERENSI
Kamaluddin, R., Hapsari, E. D., Dewi, M., Setiawati, N., & Hidayat, I. A. (2014).
Buku panduan skill laboratoriun circulation and oxygenation. Purwokerto:
Universitas Jenderal Soedirman.
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN ANALISA TINDAKAN


DI RUANG INTANSIVE CARE UNIT MINGGU 3
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Oleh:
Ira Destia, S. Kep

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2017
EKSTUBASI
A. GAMBARAN SINGKAT KASUS
Tn. S 38 tahun masuk ICU dengan diagnosa medis post craniotomy epidural
hematom. Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 30 Januari 2017, pasien
mengalami penurunan kesadaran. Pada saat dilakukan primary survey, pada
airway terpasang endotrakeatube. Breathing pasien terpasang ventilator
mekanik, pola nafas stabil dengan RR 15 x/menit. Pada pemeriksaan
circulation didapatkan N = 68 x/menit, TD = 126/75 mmHg, S = 36.60 C, akral
teraba hangat, dan tidak ada sianosis. Sedangkan pada pemeriksaan disability
didaparkan keadaan umum pasien lemah GCS E 4 V2M5. Pasien sudah dilakukan
weaning (penyapihan) hasilnya pasien dapat bernafas dengan spontan dan
stabil, sehingga pasien mendapatkan program ektubasi.
B. TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Ektubasi adalah tindakan pencabutan pipa endoktrakea. Ekstubasi
dilakukan pada saat yang tepat bagi pasien untuk menghindari terjadinya
reintubasi dan komplikasi lain.
2. Tujuan
a. Minimalisasi komplikasi yang mungkin timbul.
b. Pemantauan dini komplikasi dan penatalaksanaan segera dari
komplikasi yang timbul.
c. Keamanan dan kenyamanan pasien terjamin selama prosedur.
3. Kebijakan
a. Tindakan ekstubasi membutuhkan tenaga terlatih, asisten, obat-obatan
dan monitoring yang sama dengan standard intubasi endotrakea
terdahulu.
b. Sebaiknya dilakukan pada pagi atau siang hari.
c. Keputusan ekstubasi dilakukan oleh konsultan ICU atau residen ICU
yang telah dinyatakan mampu untuk mengambil keputusan tersebut.

d. Kriteria Ekstubasi
1) Kesadaran yang adekuat untuk mempertahankan reflek protektif
jalan nafas dan refleks batuk untuk mempertahankan jalan nafas.
2) Cadangan paru yang adekuat: laju paru < 30 x/menit, FCV > 15
ml/kg, PaO2/FiO2 > 200c.
3) Pada pasien pasca pembedahan jalan nafas atas atau edema jalan
nafas atas, edema jalan nafas telah minimal atau ditandai dengan
adanya kebocoran udara yang adekuat setelah cuff pipa endotrakea
dikosongkan.
4) Pasien bedah plastik atau THT bila memungkinkan dibicarakan
terlebih dahulu dengan dokter bedah plastik atau THT sebelum
ekstubasi. Pasien dengan intermaxillary fixation yang masih
terpasang membutuhkan dokter bedah plastik dan pemotong kawat
bila akan diekstubasi.
5) Pasien-pasien khusus seperti pasien PPOK, pasien dengan
kesadaran tidak baik membutuhkan diskusi dengan konsultan ICU
yang bertugas untuk dilakukan ekstubasi.
6) Semua pasien pasca ekstubasi mendapatkan terapi oksigen.
4. Prosedur
a. Suctioning dan bersihkan jalan nafas pasien
b. Pipa endotrakea dikosongkan
c. Lakukan ekstubasi
d. Suctioning dan bersihkan kembalikan jalan nafas pasien
e. Catat pada rekam medis ICU pasien:
1) Keadaan pasien selama ekstubasi
2) Obat-obatan yang diberikan
3) Komplikasi yang terjadi selama dan pasca ekstubasi
4) Pemeriksaan analisa gas darah pasca ekstubasi
C. GAMBARAN PELAKSANAAN DI RUMAH SAKIT
Prosedur ekstubasi yang dilakukan di ruang ICU RSMS sedah dilakukan sesuai
dengan prosedur. Ekstubasi di rumah sakit sudah tepat sesuai indikasi dan
instruksikan yang diberikan oleh dokter.
REFERENSI
Morgan, G. Edward. (2005). Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc Graw-Hill
Companies, Inc. United State.
STASE KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN ANALISA TINDAKAN


DI RUANG INTANSIVE CARE UNIT MINGGU 4
RSUD Prof. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Oleh:
Ira Destia, S. Kep

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2017
SUCTION
A. GAMBARAN SINGKAT KASUS
Tn. S 38 tahun masuk ICU dengan diagnosa medis post craniotomy EVD. Saat
dilakukan pengkajian pada tanggal 03 Februari 2017, pasien mengalami
penurunan kesadaran. Pada saat dilakukan primary survey, pada airway
terpasang OPA dan endotrakealtube. Breathing pasien terpasang ventilator
mekanik mode sim V dengan f10 dan f1O2 50% dan PEEP 3, pola nafas
irreguler, terdengar suara ronkhi dengan RR 15 x/menit. Pada pemeriksaan
circulation didapatkan N = 128 x/menit, TD = 220/145 mmHg, S = 36.60 C,
akral teraba hangat, dan tidak ada sianosis. Sedangkan pada pemeriksaan
disability didaparkan keadaan umum pasien lemah GCS E 2 VtM6. Pasien
mendapatkan diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif sehingga mendapatkan
program suction.
B. TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang
adekuat dengan cara mengeluarkan sekret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri (Timby, 2009). Tindakan suction merupakan
suatu prosedur penghisapan lendir, yang dilakukan dengan memasukkan
selang catheter suction melalui selang endotracheal (Syafni, 2012).
2. Indikasi
Menurut Smeltzer et al, (2002), indikasi penghisapan lendir lewat
endotracheal adalah untuk:
a. Menjaga jalan napas tetap bersih (airway maintenance), apabila pasien
tidak mampu batuk efektif dan diduga aspirasi.
b. Membersihkan jalan napas (bronchial toilet), apabila ditemukan: pada
auskultasi terdengar suara napas yang kasar atauu ada suara napas
tambahan, diduga ada sekresi mucus pada saluran pernapasan dan
apabila klinis memperlihatkan adanya peningkatan beban kerja sistem
pernafasan.
c. Pengambilan specimen untuk pemeriksaan laboratorium.
d. Sebelum dilakukan radiologis ulang untuk evaluasi.
e. Untuk mengetahui kepatenan dari pipa endotrakeal.
3. Komplikasi
Dalam melakukan tindakan hisap lender perawat harus memperhatikan
komplikasi yang mungkin dapat ditimbulkan, antara lain yaitu (Kozier &
Erb, 2004): hipoksemia, trauma jalan nafas, infeksi nosokomial, respiratory
arrest, bronkospasme, perdarahan pulmonal, disritmia jantung,
hipertensi/hipotensi, nyeri, dan kecemasan.
4. Prosedur
Prosedur hisap lender ini dalam pelaksanaannya diharapkan sesuai dengan
standar prosedur yang telah ditetapkan agar pasien terhindar dari
komplikasi dengan selalu menjaga kesterilan dan kebersihan.
Prosedur hisap lendir menurut Kozier & Erb, (2004) adalah:
a. Jelaskan kepada pasien apa yang akan dilakukan, mengapa perlu, dan
bagaimana pasien dapat menerima dan bekerjasama karena biasanya
tindakan ini menyebabkan batuk dan hal ini diperlukan untuk
membantu dalam mengeluarkan sekret.
b. Cuci tangan sebelum melakukan tindakan.
c. Menjaga privasi pasien.
d. Atur posisi pasien sesuai kebutuhan.
1) Jika tidak ada kontraindikasi posisikan pasien semiflower agar
pasien dapat bernapas dalam, paru dapat berkembang dengan baik
sehingga mencegah desaturasi dan dapat mengeluarkan sekret saat
batuk.
2) Jika perlu, berikan analgesia sebelum penghisapan, karena
penghisapan akan merangsang refleks batuk, hal ini dapat
menyebabkan rasa sakit terutama pada pasien yang telah menjalani
operasi toraks atau perut atau yang memiliki pengalaman traumatis
sehingga dapat meningkatkan kenyamanan pasien selama prosedur
penghisapan.
5. Siapkan peralatan
a. Pasang alat resusitasi ke oksigen dengan aliran oksigen 100 %.
b. Catheter suction steril sesuai ukuran
c. Pasang pengalas bila perlu.
d. Atur tekanan sesuai penghisap dengan tekanan sekitar 100-120
mmHg untuk orang dewasa, dan 50-95 untuk bayi dan anak.
e. Pakai alat pelindung diri, kaca mata, masker, dan gaun bila perlu.
f. Memakai sarung tangan steril pada tangan dominan dan sarung tangan
tidak steril di tangan nondominan untuk melindungi perawat
g. Pegang suction catether di tangan dominan, pasang catether ke pipa
penghisap.
6. Suction catether tersebut diberi pelumas
a. Menggunakan tangan dominan, basahi ujung catether dengan larutan
garam steril.
b. Menggunakan ibu jari dari tangan yang tidak dominan, tutup suction
catheter untuk menghisap sejumlah kecil larutan steril melalui catether.
Hal ini untuk mengecek bahwa peralatan hisap bekerja dengan benar
dan sekaligus melumasi lumen catether untuk memudahkan
penghisapan dan mengurangi trauma jaringan selama penghisapan,
selain itu juga membantu mencegah sekret menempel ke bagian dalam
suction catether.
C. GAMBARAN PELAKSANAAN DI RUMAH SAKIT
Prosedur pemberian suction di ICU RSMS sudah dilakukan sesuai prosedur.
Pemberian terapi oksigen di rumah sakit sudah tepat, sesuai indikasi. Pasien
dengan keluhan sesak nafas dan dengan sekret berlebih langsung dilakukan
penghisapan lendir, hal tersebut bertujuan untuk menjaga jalan nafas tetap
paten.
REFERENSI
Timby, B. K. (2009). Fundamental nursing skill and concepts. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkins.
Kozier, B.& Erb, G. (2004). Fundamental of nursing concepts, process and
practice. California : Addison Wesley.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah.
Jakarta: EGC.
Syafni, S.R. (2012). Efektifitas penggunaan close suction system dalam mencegah
infeksi nosokomial ventilator assosiated pneumonia pada pasien dengan
ventilator. Diakses pada tanggal 04 Februari 2017 dari
http://repository.unri.ac.id/bitstream/123456789/1916/1/JURNAL.pdf

Das könnte Ihnen auch gefallen