Sie sind auf Seite 1von 16

Negara Hukum

Tugas Makalah Pendidikan Kewarganegaraan


Disusun oleh :

Febrian Tegar Wicaksana 4313100024


Tsany Naufal 4313100078
Ghifarri 4313100084
Iqbal H 4311000051
Asni Hadiwinata 4313100117

TAHAP PERSIAPAN BERSAMA


INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2014
A. Sejarah Perkembangan Negara Hukum

Pemikiran tentang negara hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari
dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri (Sobirin Malian, 2001: 25)
dan pemikiran tentang negara hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif
dan selalu aktual (A. Ahsin Thohari, 2004: 48).
Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan
gagasan mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 s.M. (J.J. von Schmid,
1988: 7). Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran negara hukum adalah
pada masa Yunani kuno.
Meskipun ide tentang negara hukum telah lama diungkapkan oleh para ahli,
namun dari sisi penggunaan istilah negara hukum baru mulai tampil dalam abad XIX
seperti yang dikembangkan Albert Venn Dicey dengan konsep negara hukum Rule of
Law di negara Anglo Saxon, dan Frederich Julius Stahl dengan konsep negara hukum
Rectsstaats di negara Eropa Continental.
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang negara hukum dikembangkan oleh
para filusuf besar Yunani Kuno, seperti Plato (429-347 s.M) dan Aristoteles (384-322
s.M).
Konsep negara hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas
hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat
bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga
negara yang baik
Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal-bakal
pemikiran tentang negara hukum. Aristotoles mengemukakan ide negara hukum yang
dikaitkannya dengan arti negara yang dalam perumusannya masih terkait kepada polis.
Konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles lahir
beberapa puluh tahun sebelum Masehi. Pada perkembangan berikutnya kelahiran konsep
negara hukum sesudah Masehi didasarkan pada sistem pemerintahan yang berkuasa pada
waktu itu, seperti dikemukakan oleh beberapa ahli.
Nicolo Machiavelli (1469-1527) seorang sejarawan dan ahli negara telah menulis
bukunya yang terkenal II Prinsipe (The Prince) tahun 1513. Machiavelli hidup pada
masa intrik-intrik dan peperangan yang terus-menerus di Florence, di mana pada waktu
tata kehidupan berbangsa dan bernegara lebih mengutamakan kepentingan negara.
Gagasan tentang negara hukum yang telah dikembangkan oleh para ahli baik oleh
Plato, Aristoteles, John Lock, Montesquieu dan lainnya, masih bersifat samar-samar dan
tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih
eksplisit pada abad XIX, yaitu dengan munculnya konsep rechsstaat yang dikembangkan
oleh Frederich Julius Stahl di Eropa Continental yang diilhami oleh pemikiran Immanuel
Kant.
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang negara hukum lahir sebagai
perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja.
Seiring dengan berkembang jaman dan tuntutan masayarakat pada waktu, lahir
pula gagasan atau pemikiran untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang dipelopori
oleh pemikir-pemikir Inggris dan Prancis yang sangat mempengaruhi tumbangnya
absolutisme dan lahirnya negara hukum.
Di Inggris, perlawanan masyarakat terhadap negara (Monarchi Absolutis) telah
lama berjalan (sebelum John Locke menuliskan teorinya tentang negara dan hukum
dalam buku Two treatises of civil government, 1690) terjelma dalam pertikaian terus
menerus antara King dan Parliament, yang melahirkan piagam-piagam di mana diakui
hak-hak asasi bangsa Inggris, yaitu:Magna Charta (1215); Petition of Rights (1628);
Habeas Corpus Act (1679); Bill of Rights (1689).
Dengan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka kekuasaan
absolut dari raja lama kelamaan semakin susut dan bersama-sama dengan itu kebutuhan
akan negara hukum makin mantap. (Theo Huijber, 1995: 87-93)
Secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model,
seperti negara hukum menurut Al Quran dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara
hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum
menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara
hukum Pancasila. Ide dasar negara hukum Indonesia tidak terlepas dari ide dasar tentang
rechtsstaats. Hal ini dapat dipahami dalam banyak hal, antara lain Indonesia merupakan
negara yang mengikuti Belanda dan menganut ide rechtsstaats.
B. Indonesia Sebagai Negara Hukum

Gagasan negara hukum di Indonesia yang demokratis telah dikemukakan oleh


para pendiri negara Republik Indonesia (Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan kawan-
kawan) sejak hampir satu abad yang lalu. Walaupun pembicaraan pada waktu itu masih
dalam konteks hubungan Indonesia (Hindia Belanda) dengan Netherland. Misalnya
melalui gagasan Indonesia (Hindia Belanda) berparlemen, berpemerintahan sendiri,
dimana hak politik rakyatnya diakui dan dihormati. Jadi, cita-cita negara hukum yang
demokratis telah lama bersemi dan berkembang dalam pikiran dan hati para perintis
kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila ada pendapat yang mengatakan cita negara
hukum yang demokratis pertama kali dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) adalah tidak memiliki dasar
historis dan bisa menyesatkan.

Para pendiri negara waktu itu terus memperjuangkan gagasan negara hukum.
Ketika para pendiri negara bersidang dalam BPUPKI tanggal 28 Mei - 1 Juni 1945 dan
tanggal 10-17 Juli 1945 gagasan dan konsep Konstitusi Indonesia dibicarakan oleh para
anggota BPUPKI. Melalui sidang-sidang tersebut dikemukakan istilah rechsstaat (Negara
Hukum) oleh Mr. Muhammad Yamin (Abdul Hakim G Nusantara, 2010:2).Dalam
sidangsidang tersebut muncul berbagai gagasan dan konsep alternatif tentang
ketatanegaraan seperti: negara sosialis, negara serikat dikemukakan oleh para pendiri
negara. Perdebatan pun dalam sidang terjadi, namun karena dilandasi tekad bersama
untuk merdeka, jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi (nasionalisme) dari para
pendiri negara, menjunjung tinggi azas kepentingan bangsa, secara umum menerima
konsep negara hukum dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Semangat cita negara hukum para pendiri negara secara formal dapat ditemukan
dalam setiap penyusunan konstitusi, yaitu Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Dalam
konstitusi konstitusi tersebut dimasukkan Pasal-pasal yang termuat dalam Deklarasi
Umum HAM PBB tahun 1948. Hal itu menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan tentang
penghormatan, dan perlindungan HAM perlu dan penting untuk dimasukkan ke dalam
konstitusi negara (Abdul Hakim G Nusantara, 2010:2)

Pengertian negara hukum selalu menggambarkan adanya penyelenggaraan


kekuasaan pemerintahan negara yang didasarkan atas hukum. Pemerintah dan unsur-
unsur lembaga di dalamnya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya terikat oleh
hukum yang berlaku.

Menurut Mustafa Kamal (2003), dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan


pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum.

Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1
ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), Negara Indonesia adalah Negara
Hukum Konsep negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis,
dan terlindungi hak azasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan.

Menurut Winarno (2010), konsepsi negara hukum Indonesia dapat di masukkan


dalam konsep negara hukum dalam arti material atau negara hukum dalam arti luas.
Pembuktiannya dapat kita lihat dari perumusan mengenai tujuan bernegara sebagaimana
tertuang dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945 Alenia IV. Bahwasannya, negara
bertugas dan bertanggungjawab tidak hanya melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia tetapi juga memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Bukti lain yang menjadi dasar yuridis bagi keberadaan negara hukum Indonesia
dalam arti material, yaitu pada: Bab XIV Pasal 33 dan Pasal 34 UUD Negara RI 1945,
bahwa negara turut aktif dan bertanggungjawab atas perekonomian negara dan
kesejahteraan rakyat.
C. Prinsip Pokok Negara Hukum

Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang ini merupakan
pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut
sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep Negara
Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi,
yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara
Hukum modern

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):

Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa
semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam
perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi
negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan
hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum tercermin dalam
perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik tercermin
dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang
supreme. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat
murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai kepala
negara. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal
pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem
pemerintahan parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions
guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok
warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang
sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan
khusus melalui affirmative actions yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu
misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat
hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga
masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat
diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law):

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan
atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-
undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau
perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau
tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedures
(regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan
birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat
administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui
pula adanya prinsip frijsermessen yang memungkinkan para pejabat administrasi
negara mengembangkan dan menetapkan sendiri beleid-regels atau policy rules
yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas
jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara
menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan
secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti
memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti
dikemukakan oleh Lord Acton: Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and
balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan
mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan
membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical.
Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ
atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen:

Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan
Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini.
Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad
ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai
independent body seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM),
Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya
melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan
menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan
bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam
menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka
yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di hamper semua negara
demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen semacam itu merupakan
sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih dari 30-an badan semacam ini
dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut sebagai independent auxiliary
state organs (lembaga-lembaga negara yang independent dan bersifat penunjang).
Beberapa di antaranya diberi kewenangan regulatoris sehingga biasa disebut sebagai
self regulatory body. Di Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPTPK), dan sebagainya.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:

Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial
judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap
Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi
oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan
uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan
adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik
intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari
kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak
boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh
hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan
putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai mulut undang-undang atau
peraturan perundang-undangan, melainkan juga mulut keadilan yang menyuarakan
perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7. Peradilan Tata Usaha Negara:

Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara
Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara
(administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha
Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara
tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai
pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang
menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan
bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat
tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata
usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip
independent and impartial judiciary tersebut di atas.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):

Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha


Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi
civil law, sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara
(verfassungsgericht). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai
fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep
rechtsstaat abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada
abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan
kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai
pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung
Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu negara
mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme untuk
mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun konstitusionalitas
penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan tidak sempurna untuk
disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun
negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan


hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap
hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia
sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat
bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan
suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi
kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-
hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang
disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia
terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak
dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai
Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.

10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):

Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses
pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan
keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh
dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-
prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin
kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum
(rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan
democratische rechtsstaat atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan
lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya
demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin
penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare


Rechtsstaat):

Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita
hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi
(democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy)
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-
cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan
bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum
berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara
Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan
terjebak menjadi sekedar rule-driven, melainkan tetap mission driven, tetapi
mission driven yang tetap didasarkan atas aturan.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial:

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses
pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer
oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka
menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena
sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai
satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip representation in ideas
dibedakan dari representation in presence, karena perwakilan fisik saja belum tentu
mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan
hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan
pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat
bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

D. Hukum di Indonesia

1. Undang Undang Dasar 1945

merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

Naskah resmi UUD 1945 adalah:

Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945


dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
serta dikukuhkan secara aklamasi
Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga,
dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum
MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002).

Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam


Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai
Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.

2. Ketetapan MPR

Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa


implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu
berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai
lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti
Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK).

Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang


bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres
apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres
apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.

3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk


oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

Materi muatan Undang-Undang adalah:

Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak


asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan
kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian
daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang Dasar 1945 untuk diatur
dengan Undang-Undang.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal


ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal


ihwal kegentingan yang memaksa (negara dalam keadaan darurat), dengan
ketentuan sebagai berikut:

Perpu dibuat oleh presiden saja, tanpa adanya keterlibatan DPR


Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak
mengadakan perubahan.
Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut.

5. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah (PP) adalah Peraturan Perundang-undangan yang


ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana
mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.

6. Peraturan Presiden

Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat


oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

7. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk


oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala
daerah (gubernur atau bupati/walikota).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam


rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan


Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Budiardjo, Miriam, 1998, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jurnal Reformasi Hukum, ISSN: 1829-5304, Vol.10 No.1 April 2009: 1-18 - Dr. Kusnu
Goesniadhie S., S.H., M.Hum., Dosen FH & Pascasarjana Universitas Wisnuwardhana
Malang.

Das könnte Ihnen auch gefallen