Sie sind auf Seite 1von 5

Naval Medical Research Unit Two (bahasa Indonesia: Unit Riset Medis Angkatan Laut Dua)

disingkat sebagai NAMRU-2 adalah laboratorium riset biomedis milik Angkatan Laut Amerika
Serikat yang didirikan dengan tujuan untuk mempelajari penyakit-penyakit menular yang
memiliki potensi penting dari sudut pandang pertahanan di Asia .[1] NAMRU-2 secara resmi
terdaftar dibawah komando Pusat Riset Medis Angkatan Laut A.S. (Naval Medical Research
Center) yang berlokasi di Silver Spring , Maryland , A.S. dan diperhitungkan sebagai pusat
jaringan laboratorium laboratorium yang terdapat di berbagai lokasi di dunia

NAMRU-2 beroperasi di beberapa negara di Asia Tenggara , termasuk Vietnam , Laos ,


Singapura , Filipina , Thailand , dan Kamboja .[2] Di Phnom Penh , Kamboja,
NAMRU-2 dibuka, dilengkapi, dan dioperasikan sebagai laboratorium satelit untuk melakukan riset
kemungkinan wabah penyakit-penyakit menular dalam cakupan regional dengan dukungan dari kantor
Kerjasama Pertahanan Kedutaan Besar Singapura .[2] [1] Sementara lokasi laboratorium lainnya
termasuk Peru , Kenya , dan Mesir .[3]
Sementara itu NAMRU-2 yang sebelumnya beroperasi di Indonesia direlokasikan ke Pearl Harbor ,
Hawaii dan secara resmi dibuka sebagai NAMRU-2 Pacific pada 17 Juni 2010, dan ditutup pada
tahun 2013. [2]

Sejarah
NAMRU-2 dimulai di Guam pada Perang Dunia II dan dioperasikan dibawah Yayasan
Rockefeller .[4] Fungsi utamanya saat didirikan hingga saat ini adalah untuk mempelajari
penyakit-penyakit menular yang memiliki potensi penting dalam pertimbangan militer di Asia. [4]
Unit ini kemudian didirikan pada tahun 1955 di Taipei , Taiwan dan beroperasi selama 24 tahun.
[4] [2]
Pada tahun 1958 wabah kolera klasik meletus di Bangkok, Thailand, untuk pertama kalinya sejak
sepuluh tahun. [5] NAMRU 2 merespon pada permintaan bantuan Pemerintah Taiwan untuk
menolong. [5] Kemudian wabah muncul secara tahunan di Thailand hingga beberapa tahun
selanjutnya, ditambah dengan kolera jenis El Tor yang muncul di Sulawesi , Indonesia pada
tahun 1961 yang menjadi pandemik ke-7 yang dengan cepat menjadi pusat perhatian agenda riset
NAMRU-2 dan cara cara penanggulangannya.[5]
Pada tahun 1968 diskusi dimulai antara Kementrian Kesehatan Indonesia untuk mendirikan unit
terpisah di di Jakarta , Indonesia .[2] Permintaan dari Kementrian Kesehatan Indonesia ini dilatar
belakangi oleh penyakit pes yang melanda Boyolali , kecamatan, Selo dan Cepogo dimana 101
orang jatuh sakit dan 42 orang diantaranya meninggal dengan tingkat fatalitas (case fatality rate
[CFR]) 42 persen.[6]
Unit ini kemudian didirikan pada tahun 1970 atas undangan resmi dari perwakilan Kementrian
Kesehatan Indonesia untuk menyelidiki penyakit penyakit menular yang signifikan baik untuk
Angkatan Laut A.S. dan Departemen Pertahanan A.S. [7][2] Pada tahun 1979, sebagai langkah
diplomatik akibat diakuinya Republik Rakyat Cina oleh Amerika Serikat, NAMRU-2 diminta
untuk meninggalkan Taiwan dan pindah ke Manila, Filipina. [2]
Pada tahun 1990 dikarenakan kekalutan politik di Filipina dan ancaman potensial terhadap personil
A.S., pihak A.S. menganggap langkah bijaksana untuk memindahkan pusat komando ini karena ada
keinginan untuk mengurangi keberadaan A.S. di Manila.[2] Angkatan Laut A.S. kemudian mulai
menegosiasikan kepindahan unit induk ke Jakarta, Indonesia dan diskusi dimulai antara Kementrian
Luar Negeri A.S. dan Pemerintah Indonesia.[2] Unit induk kemudian resmi pindah ke Jakarta pada
tahun 1991 dan Unit di Manila ditutup pada bulan Juni 1994.[4]
Setelah itu NAMRU-2 juga mulai merumuskan cara cara penanganan ancaman penyakit menular
untuk personil militer A.S. yang diberangkatkan ke Laos , Vietnam , dan Kamboja . Proyek
proyek riset bersama pun dimulai bersama otoritas lokal di negara-negara ini.[2] Kemudian Badan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO ) menunjuk NAMRU-2 sebagai pusat kolaborasi penyakit-
penyakit baru untuk Asia Tenggara.[2]
Pada tahun 2002, aktivitas di Phnom Penh dimulai oleh NAMRU-2 dengan tujuan riset regional
penyakit menular dan dukungan laboratorium untuk mendiagnosanya. Operasi ini dilakukan dari
laboratorium yang berlokasi di Institut Nasional Kesehatan Publik di Pnom Penh, Kamboja. [4] Pada
tahun 2007, dengan dimulainya prioritas dalam merespon ancaman penyakit menular global NAMRU-
2 mulai melakukan langkah langkah persiapan unit terpisah di Pnom Penh dengan dukungan Kantor
Kerjasama Pertahanan Kedutaan Singapura.[4]
Laboratorium utama dan pusat NAMRU-2 berada di Jakarta hingga tahun 2010, saat permintaan
ditutup dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.[4] [3] [8] Kemudian elemen pusat Unit ini dipindahkan
ke Pearl Harbor, Hawaii dan secara resmi dibuka sebagai NAMRU-2 Pacific pada 17 Juni 2010 dan
ditutup pada 2013.[4][1]

NAMRU-2 di Indonesia
Unit NAMRU-2 di Jakarta Indonesia mulai dibicarakan pada tahun 1968 antara Kementrian
Kesehatan Indonesia dengan pihak Amerika Serikat sebagai unit terpisah dari fasilitas yang berada di
Taipei, Taiwan. [2] Unit ini kemudian secara resmi didirikan pada tahun 1970 atas undangan resmi
dari perwakilan Kementrian Kesehatan Indonesia. [7] [2] Menyusul kekalutan politik di Manila, unit
induk resmi pindah ke Jakarta pada tahun 1991 dan Unit di Manila ditutup pada bulan Juni 1994. [4]
NAMRU-2 Jakarta menempati lokasi sebesar 5.670 meter persegi yang terdiri dari laboratorium,
kantor, dan tempat penyimpanan yang berada di tiga gedung yang berbeda yang terdapat di kompleks
Kementrian Kesehatan Indonesia (Badan LITBANGKES).[2] Fasilitas ini juga dilengkapi dengan
fasilitas penyimpanan binatang yang telah diakreditasi oleh Asosiasi Akreditasi AS Untuk Perawatan
Hewan Laboratorium - American Association for the Accreditation of Laboratory Animal Care
(AAALAC).[2] Didalamnya juga termasuk 220 meter persegi laboratorium BL3 yang dipindahkan
dari lokasi sebelumnya di Korea.[2] Selain fasilitas yang berada di Jakarta, fasilitas lain yang cukup
modern dan lengkap adalah fasilitas riset seluas 418 meter persegi yang terdapat di Jayapura, Irian
Jaya. Staf NAMRU-2 terdiri dari 175 pegawai Indonesia dan 19 pegawai A.S.[7]
Pada tahun 2001 sebuah buku berjudul Evaluasi Program: Perspektif Departemen Pertahanan Amerika
Serikat akan Munculnya Sistem Penanggulangan dan Pengawasan Penyakit Menular Global
(Perspectives on the Department of Defense Global Emerging Infections Surveillance and Response
System : a program review) diterbitkan di Washington DC, AS.[9] Buku ini mengulas banyak program
yang dilakukan NAMRU-2 di Indonesia termasuk kerjasamanya dengan WHO.[9] Diantaranya upaya
pengawasan penyakit influenza di Indonesia yang dinilai lemah karena banyak penolakan dalam
teknik pengambilan sampel spesimen nasopharyngeal, sehingga hasil akan lebih baik apabila sampel
ini dilakukan di tingkat internasional.[9] Hasil evaluasi juga menyatakan sampel yang dikirim ke
beberapa tempat, termasuk Australia, memiliki tingkat koordinasi rendah untuk pelaporan kembali. [9]
Pengawasan penyakit Tuberkolosis (TB) di Indonesia juga dinilai lemah, banyak kasus TB tidak
terdiagnosa diseluruh pelosok negeri. Laboratorium di Indonesia tidak dilengkapi dengan kemampuan
diagnosa dan monitor resistensi kuman terhadap obat yang diberikan, sehingga mengancam populasi
warga negara AS yang tinggal di Indonesia [9] Kasus HIV mulai muncul dan dikhawatirkan apabila
virus HIV mulai berjalin dengan kuman TB maka kasus TB akan meningkat secara drastis. [9]
NAMRU-2 juga mendapatkan tantangan sumber daya dengan adanya permintaan pelatihan pelatihan
dari Kementrian Kesehatan untuk berbagai hal.[9] Diantara lain penelitian yang diminta untuk
dilakukan di Perguruan Tinggi di Indonesia, namun masalahnya hasil penelitian Perguruan Tinggi di
Indonesia tidak memiliki saluran langsung yang bisa berdampak pada penanggulangan kesehatan di
Indonesia.[9]

Kontroversi menyusul penutupan NAMRU-2

Virus dan Vaksin Flu Burung

Pada tahun 2005 flu burung menjadi masalah kesehatan serius untuk dunia, dan Indonesia terkena
dampak terparah dengan 141 kasus dan 115 yang terkena meninggal dunia.[10] Dr. Siti Fadilah
Supari pada awalnya patuh pada peraturan WHO dan mengikuti seluruh aturannya.[10]
Salah satu purwarupa vaksinnya kemudian dikembangkan oleh perusahaan Australia CSL dan
didukung dana oleh pemerintahan Howard [11] Upaya pembuatan vaksin ini ditujukan untuk
melindungi pekerja medis apabila terjadi wabah, namun kemudian mantan Menteri Kesehatan
Australia, Tony Abbott , memberi pernyataan media bahwa vaksinnya hanya akan tersedia untuk
warga negara Australia.[11] Walaupun hal ini kemudian dibantah oleh Robert McClelland dari
partai buruh yang menyatakan bahwa adalah kebijakan partai buruh untuk berbagi vaksin CSL dengan
Indonesia dan negara negara di Asia Tenggara lainnya untuk menghentikan penyebaran penyakit ini.
[11] Namun hal ini kemudian memicu berhentinya kiriman contoh-contoh virus flu burung dari
Indonesia ke seluruh dunia.[11]
Pada tahun yang sama (2007) Siti, sebagai Menteri Kesehatan RI mengumumkan bahwa Indonesia
tidak akan lagi menyerahkan virus-virus flu burungnya kepada Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO ) Divisi Jaringan Pegawas Influenza yang dikenal sebagai GISN. [12] Menurut Siti sistem
yang ada tidak memperhatikan kebutuhan dan kepentingan negara berkembang.[12] Siti juga
berpendapat bahwa WHO telah melanggar peraturan-peraturannya sendiri dimana virus dipindah
tangankan menggunakan standar ganda, diterima dari negara yang terkena virus via GISN dan
diserahkan pada perusahaan komersil untuk pengembangan vaksinnya.[12] Kemudian vaksin vaksin
ini menjadi sangat mahal dan tidak tersedia di negara yang terkena dampak virus, sementara di negara
industri yang kaya sibuk menimbun vaksin untuk berjaga jaga saat wabah melanda. [12]
Pernyataannya ini kemudian dibukukan dengan judul "It's Time For The World To Change". [10][12]
Didalam bukunya Siti mengungkapkan bahwa sejak tahun 1952 sebanyak 110 negara yang memiliki
kasus kasus flu wajib berbagi contoh spesimen virus tanpa syarat.[10] Virus virus ini dikumpulkan
oleh GISN, menjadi milik mereka, dan oleh ahlinya kemudian melakukan pertimbangan resiko dan
penelitian, dan sampingan lainnya yaitu membuat benih virus yang kemudian dibuat vaksin. [10] Virus
yang digolongkan sebagai ganas kemudian diteruskan pada Pusat Kolaborasi WHO (WHO-CCs)
yang merupakan laboratorium-laboratorium yang bekerja sama dengan WHO dan menjadi
laboratorium rujukan. Laboratorium-laboratorium rujukan ini disetujui oleh Australia, Jepang, Inggris,
dan A.S.[10] Siti kemudian membandingkan vaksin dengan minyak, dimana ia mengungkapkan
kekesalannya bahwa karena Indonesia tidak bisa mengolah minyak mentah maka harus mengimpor
minyak siap pakai.[10] Bukunya juga mengulas kemungkinan virus-virus ini dikembangkan menjadi
senjata biologis saat dikirimkan ke Laboratorium Nasional Los Alamos, New Mexico, AS dimana
hanya segenggam ilmuwan yang diperbolehkan untuk meriset turunan DNA virus tersebut. [10]
Menurut bukunya Los Alamos adalah laboratorium untuk senjata biologis, kimia, dan nuklir, sehingga
pembuatan vaksin atau senjata kimia tergantung kemauan dan ketertarikan pemerintah A.S. dan
menurutnya hal ini berbahaya sekali. [10] [3]Pencarian via internet oleh Siti kemudian
mengungkapkan bahwa laboratorium ini sudah ditutup, dan virusnya dikirimkan ke Bio Health
Security (BHS).[10] Hasil penyelidikannya mengungkapkan bahwa karena banyak ilmuwan di
pindahkan dari Los Alamos ke BHS teorinya mengenai permainan senjata biologi dan kimia masih
benar dan hanya berganti nama dan lokasi.[10] [3]
Negosiasi kemudian dimulai oleh Indonesia pada Pertemuan Kesehatan Tingkat Dunia (WHA - World
Health Assembly) menuntut perpindahan virus-virus yang adil dan transparan, upaya ini banyak
didukung oleh negara-negara lain yang tergabung di WHO.[12] Ada dua hal utama yang
dipermasalahkan oleh Siti; (1) jalur distribusi pengiriman virus yang tidak transparan dimana ia
mengusulkan standarisasi penamanaan dan perijinan dari negara yang memiliki virus kepada negara
lain virus ini dikirimkan (2) indikator eskalasi peringatan pandemik oleh WHO yang ia nilai lemah,
dan harus ditinjau ulang bersama[12] Eskalasi peringatan pandemik yang tinggi mempengaruhi
kunjungan ke negara tersebut, suplai obat, vaksin, masker, pakaian pengaman - yang kesemuanya
merupakan bisnis besar.[12] Siti mencontohkan kasus Meksiko yang kini berada pada posisi sulit,
namun pada saat yang sama menguntungkan perusahaan besar.[12]
Namun pertemuan ini menjadi singkat karena Menteri Fadila diminta kembali ke Indonesia karena
adanya wabah dan banyak diskusi penting yang dijadwalkan tidak terjadi.[12] Indonesia kemudian
mulai mengirim lagi contoh virusnya berdasarkan konsensus negara-negara di dunia internasional
bahwa virus flu burung Indonesia H5N1 nyata sangat berbahaya untuk manusia sehingga sangat
penting bahwa laboratorium laboratorium WHO memiliki kesempatan menganalisis secara rinci,
membandingkannya dengan virus yang mirip dari berbagai dunia lain, dan melindungi Indonesia dan
negara lainnya dari penyebarannya.[11] Dalam Pertemuan Kesehatan Tingkat Dunia juga
dipertanyakan walaupun Indonesia memiliki keprihatinan dalam ranah geografisnya, penyebaran
penyakit tidak melihat batas negara.[12]
Pengamat asal Amerika Serikat Scott McPherson yang merupakan konsultan pemerintah, bisnis, dan
ahli persiapan dan pemulihan bencana menyatakan dalam blognya bahwa isu ini masuk pada tahap
"tidak masuk akal" oleh Kementrian Kesehatan Indonesia. [13] Scott juga mengingatkan bahwa
Indonesia tidak menunjukkan rasa terima kasih sama sekali atas apa yang telah dilakukan AS di
Tangerang dalam memberantas Flu Burung pada tahun 2008. [14][13] Sebagai tambahan menurutnya
virus flu burung tidak perlu dipersenjatai oleh manusia untuk menyebar, burungnya sendiri telah
melakukan hal tersebut.[13] Sementara pengamat lain Debora MacKenzie kontributor untuk New
Scientist menyatakan pada blognya bahwa pendirian Siti Fadilah yang mempermasalahkan
transparansi perpindah tanganan virus masuk akal, dan WHO telah merespon dengan mendirikan
sistem pelacakan virus yang didonasikan pergi kemana dalam sistem farmasi dan dunia keilmuan. [15]
Diskusi diskusi juga mulai dibuka untuk merembukkan tata cara yang lebih baik dalam berbagi
hasilnya.[15] Sementara untuk senjata biologi adalah kesimpulan keliru.[15] Debra menambahkan
bahwa antara dua pilihan senjata biologis atau vaksin demi keuntungan, yang kedua malah
menunjukkan skenario yang lebih mungkin.[15]

Dana bantuan AS dan Kekebalan Diplomatik Staf NAMRU-2

Pada bulan Oktober 2005 dalam kunjungannya ke negara-negara Asia, Menteri Kesehatan dan
Pelayanan Masyarakat Amerika Serikat Mike Leavitt menyatakan telah mengalokasikan dana
sebesar 3,15 juta dolar AS untuk membantu penanganan kasus flu burung di Indonesia. [16] Total
bantuan yang didapatkan Indonesia adalah sejumlah 25 Juta Dolar [16] sebagai awal bantuan
Pemerintah Jepang mengirimkan tim tenaga ahli berupa tiga orang ahli diagnosis laboratorium yang
akan mulai bekerja dan berkoordinasi dengan Departemen Kesehatan (Depkes); Pemerintah Australia
menyerahkan 50 ribu Tamiflu, obat anti virus influenza produksi PT Roche dan direkomendasikan
oleh Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) [16], Australia juga menyatakan akan menambah
bantuannya 10 juta dolar Australia guna memerangi ancaman flu burung di Indonesia pernyataan yang
disampaikan Menlu Alexander Downer kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga
paket bantuan kepada Indonesia untuk menangani flu burung menjadi 15,5juta dolar Australia, karena
sebelumnya mereka telah menjanjikan bantuan sebesar lima juta dolar Australia.[16]
Namun menurut Siti dalam bukunya "It's Time For The World To Change", Indonesia tidak pernah
melihat uang yang dijanjikan oleh bantuan AS. [10] Pada saat kunjungan Menteri Luar Negeri
Condoleezza Rice ke Indonesia pada tahun 2006 Siti menanyakan kemana dana bantuan yang
dijanjikan oleh AS, yang menurut Siti dapat digunakan untuk Rumah Sakit rujukan.[17] Siti
kemudian menyadari bahwa dana bantuan AS diberikan pada NAMRU-2 dengan argumentasi bahwa
laboratorium ini melakukan riset H5N1 dan telah berkoordinasi dengan Kementrian Kesehatan, dan
memperkerjakan 175 pegawai dimana 19 diantaranya adalah warga AS.[10]
Pada bulan April 2008 sebuah telegram yang dikirimkan oleh Kedutaan Besar AS Jakarta untuk
Washington yang dibocorkan oleh situs Wikileaks melaporkan perkembangan dimana ada pemberitaan
yang mengumumkan bahwa Pemerintah Indonesia telah menutup NAMRU-2 [18] Kedutaan Besar
AS di Jakarta tidak tahu menahu mengenai penutupan ini dan meminta agar Washington menanggapi
MoU yang dikirimkan agar pembicaraan dapat dilanjutkan.[18]
Keputusan apakah NAMRU-2 ditutup atau tidak, tertunda, pada bulan Juni 2008 karena pihak
Indonesia memiliki pendapat yang berbeda. [19] Pemerintah Indonesia termasuk perwakilan partai
politik di pemerintah terbagi dua antara ingin meneruskan dan menutup. [19] Sementara Menteri
Kesehatan Indonesia Siti Fadilah pada orasinya dalam dialog 'Namru-2 Laboratorium Tentara AS di
Jantung Jakarta, Ke Mana TNI?' pada bulan yang sama meminta dukungan rakyat untuk menutup
NAMRU-2 [20]. Kalimat kalimat seperti "usir", "tidak ada gunanya", dan "dijajah" digunakan dalam
argumentasinya.[20] Negosiasi terhenti karena dari pihak AS tetap menuntut kekebalan diplomatik
untuk stafnya sementara dari pihak Indonesia menolak mengirimkan contoh virus. [21][19]
Pada bulan Oktober 2008 Siti kemudian menolak (lagi) mengirimkan contoh virus ke NAMRU-2
dengan mengedepankan isu intelejen asing dan permintaan bahwa A.S. tunduk akan tuntutan
Indonesia mengenai Perjanjian Transfer Material (virus). [21] Tuduhan aktivitas intelejen dibantah
oleh Duta Besar Cameron Hume dengan menyatakan bahwa seluruh hal yang terjadi di NAMRU-
2 transparan. Semua proyek riset telah disetujui oleh Kementrian Kesehatan dan Pemerintah Indonesia
memiliki akses pada riset yang sedang dikerjakan. Sehingga tuduhan tidak transparan ini aneh. [21]
Hume juga meminta agar Indonesia memisahkan isu NAMRU-2 dan Perjanjian Transfer Material
(virus) atau dikenal juga dengan Material Transfer Agreement karena hal ini merupakan dua hal yang
berbeda.[21]
Pada bulan April 2009 telegram lain yang dikirimkan Kedutaan Besar AS Jakarta untuk
Washington yang dibocorkan oleh situs Wikileaks mengungkapkan permintaan Dr. Emil Salim ,
penasehat presiden, untuk meneruskan kerjasama dengan NAMRU-2 dengan memindahkannya
dibawah Kementrian Riset dan Teknologi . [22] Hal ini dirasakan perlu untuk "mengurangi
beban politik" Kementrian Kesehatan.[22]
Pada bulan Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi melantik menteri
Kabinet Bersatu II. [23] Endang Rahayu Sedyaningsih ditunjuk sebagai pengganti Siti Fadilah
sebagai Menteri Kesehatan yang baru.[24] Endang kemudian meneruskan keputusan menteri
sebelumnya untuk menutup NAMRU-2 [25] Endang menerangkan bahwa Menteri Kesehatan
Sebelumnya, Siti, telah menandatangani Memorandum (MoU) dengan pemerintah AS di Washington
pada bulan September untuk mengganti NAMRU-2 dengan IUC. [25] Pada tahun 2010 NAMRU-2
Resmi ditutup.[4] Menteri Kesehata Endang Rahayu Sedyaningsih meninggal pada bulan Mei 2012
dikarenakan kanker paru paru.[26] Sementara Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah menjadi
tersangka kasus dugaan korupsi pada bulan April 2012 atas proyek pengadaan alat kesehatan untuk
kejadian luar biasa tahun 2005 senilai 15 Milyar Rupiah dengan perkiraan kerugian negara sebesar 6
Milyar Rupiah

Das könnte Ihnen auch gefallen