Sie sind auf Seite 1von 57

Laporan Kasus Cardiology

CONGESTIVE HEART FAILURE EC AORTA REGURGITATION,


MITRAL REGURGITATION

OLEH:

KHOLIDA ULFA (120100132)

JOICE RUMONDANG (120100320)

CINDY AUDINA PRADIBTA (120100369)

Pembimbing: dr. Isfanuddin, N. Kaoy, Sp.JP (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN KARDIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2016
3

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas cahaya ilmu dan
kemudahan yang dikaruniakan-Nya sehingga makalah yang berjudul Congestive
Heart Failure (CHF) ec Aorta Regurgitation, Mitral Regurgitation ini dapat
diselesaikan. Makalah ini disusun sebagai rangkaian tugas kepanitraan klinik di
departemen Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Terimakasih kami sampaikan kepada dr. Isfanuddin, N. Kaoy, Sp.JP(K)
selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian makalah
ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif
dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan makalah ini di kemudian hari.

Medan, 24 November 2016

Penulis
4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB1 PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang............................................................................. 1
1.2. Tujuan.......................................................................................... 1
1.3. Manfaat........................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 3


2.1. Gagal Jantung (Congestive Heart Failure)................................. 3
2.1.1. Definisi.............................................................................. 3
2.1.2. Epidemiologi..................................................................... 3
2.1.3. Klasifikasi.......................................................................... 3
2.1.4. Etiologi.............................................................................. 5
2.1.5. Patofisiologi....................................................................... 6
2.1.5.1. Heart Failure with Reduced Ejection Fraction.... 7
2.1.5.2. Heart Failure with Preserved Ejection Fraction. . 8
2.1.6. Manifestasi Klinis.............................................................. 10
2.1.7. Diagnosis........................................................................... 10
2.1.7.1. Kriteria Framingham............................................. 11
2.1.7.2. Elektrokardiografi (EKG)..................................... 11
2.1.7.3. Foto Toraks............................................................ 13
2.1.7.4. Pemeriksaan Laboratorium................................... 14
2.1.7.5. Ekokardiografi...................................................... 16
2.1.8. Penatalaksanaan................................................................. 21
2.1.8.1. Penatalaksanaan Non-Farmakologi....................... 21
2.1.8.2. Penatalaksanaan Farmakologi............................... 22
2.1.8.3. Penatalaksanaan Alat Non Bedah pada Gagal
Jantung Sistolik..................................................... 31
2.1.9. Prognosis Gagal Jantung................................................... 32
2.2. Regurgitasi Mitral........................................................................ 33
2.2.1. Etiologi.............................................................................. 33
2.2.2. Patofisiologi....................................................................... 33
2.2.3. Manifestasi Klinis.............................................................. 34
2.3. Regurgitasi Aorta......................................................................... 35
2.3.1. Etiologi.............................................................................. 35
2.3.2. Patofisiologi....................................................................... 35
2.3.3. Manifestasi Klinis.............................................................. 36
5

BAB 3 STATUS ORANG SAKIT............................................................... 37

BAB 4 FOLLOW UP PASIEN..................................................................... 45

BAB 5 DISKUSI KASUS............................................................................. 50

BAB 6 KESIMPULAN................................................................................. 54

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 55
1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Congestive Heart Failure (CHF) merupakan masalah kardiovaskular
akibat jantung gagal memompa darah sesuai dengan kebutuhan metabolisme
tubuh (forward failure), atau hanya mampu menyesuaikan kebutuhan metabolisme
tubuh jika tekanan pengisian jantung ditingkatkan (backward failure), atau
keduanya.1 Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda dibanding
Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.2
Sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami CHF dan
prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia (100 per 1000 orang pada usia
di atas 65 tahun), dan angka ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi
dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard akut. Di Inggris, sekitar
100.000 pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk CHF (5% dari semua
perawatan medis).3
Menurut data RISKESDAS tahun 2013, di Indonesia prevalensi gagal
jantung berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0.3%. Angka
kejadiannya juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
kelompok umur 65 - 74 tahun yaitu 0.5% yang terdiagnosis dokter, menurun
sedikit pada umur 75 tahun (0.4%), tetapi yang terdiagnosis dokter atau gejala
tertinggi pada umur 75 tahun (1.1%).4
Gagal jantung kronis terjadi akbat gangguan kardiovaskular, seperti:
gangguan kontraktilitas ventrikel, peningkatan afterload, atau gangguan relaksasi
dan pengisian ventrikel. Gagal jantung akibat gangguan dalam pengosongan
ventrikel dikenal dengan disfungsi sistolik, sedangkan gagal jantung akibat
gangguan dalam pengisian ventrikel dikenal dengan disfungsi diastolik.
Dikarenakan banyak pasien yang menunjukkan kedua gejala disfungsi sistolik dan
disfungsi diastolik, gagal jantung dikategorikan menjadi dua kategori umum,
yaitu: gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dan gagal jantung dengan
fraksi ejeksi terjaga.1
1.1. Tujuan
2

Tujuan dari pembuatan makalah laporan kasus ini adalah untuk


menguraikan teori-teori tentang Congestive Heart Failure(CHF) mulai dari
definisi sampai diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosisnya. Penyusunan
makalah laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelakasanaan
kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Kardiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.2. Manfaat
Makalah laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
dan pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih
memahami tentang Congestive Heart Failure (CHF) ini, dan mampu
melaksanakan diagnosis serta pengobatan terhadap penyakit ini sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung (Congestive Heart Failure)


2.1.1. Definisi
Gagal jantung atau disebut juga congestive heart failure (gagal jantung
kongestif) adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau tidak disertai kelelahan); tanda
3

retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif
dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.1
Gagal jantung merupakan suatu kondisi dimana jantung gagal memompa
darah sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh (forward failure), atau hanya
mampu menyesuaikan kebutuhan metabolisme tubuh jika tekanan pengisian
jantung ditingkatkan (backward failure), atau keduanya.2

2.1.2. Epidemiologi

Menurut data RISKESDAS tahun 2013, di Indonesia prevalensi gagal


jantung berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0.3%. Angka
kejadiannya juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada
kelompok umur 65 - 74 tahun yaitu 0.5% yang terdiagnosis dokter, menurun
sedikit pada umur 75 tahun (0.4%), tetapi yang terdiagnosis dokter atau gejala
tertinggi pada umur 75 tahun (1.1%).4
2.1.3. Klasifikasi

Klasifikasi gagal jantung dapat dibagi berdasarkan kelainan struktural


jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional.
(Tabel 2.1.)

Tabel 2.1. Klasifikasi gagal jantung2


Klasifikasi berdasarkan kelainan Kelainan berdasarkan
struktural jantung kapasitas fungsional (NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktivitas fisik.
Tidak terdapat gangguan struktural atau Aktivitas fisik sehari-hari tidak
fungsional jantung, tidak terdapat tanda menimbulkan kelelahan,
atau gejala. palpitasi, atau sesak napas.
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktivitas ringan.
jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat
4

perkembangan gagal jantung, tidak istirahat, namun aktivitas fisik


terdapat tanda atau gejala. sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi, atau sesak
napas.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simptomatik Terdapat batasan aktivitas
berhubungan dengan penyakit bermakna. Tidak terdapat keluhan
struktural jantung yang mendasari. saat istirahat, tetapi aktivitas fisik
ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi, atau sesak napas.
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktivitas
gejala gagal jantung yang sangat fisik tanpa keluhan. Terdapat
bermakna saat istirahat walaupun sudah gejala saat istirahat. Keluhan
mendapat terapi medis maksimal meningkat saat melakukan
(refrakter). aktivitas.

2.1.4. Etiologi

Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat menjadi faktor
predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang pasien, meskipun etiologi
gagal jantung pada pasien tanpa penurunan Ejection Fraction (EF) berbeda dari
gagal jantung dengan penurunan EF. Terdapat pertimbangan terhadap etiologi dari
kedua keadaan tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara industri, Penyakit
Jantung Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75% pada kasus
gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi kontribusi pada
perkembangan penyakit gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pasien dengan
PJK. Interaksi antara PJK dan hipertensi memperbesar risiko pada gagal jantung,
seperti pada diabetes melitus.5
5

Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena pasien yang tidak
aktif secara fisik dengan curah jantung rendah mempunyai risiko tinggi
membentuk trombus pada tungkai bawah atau panggul.6
Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam, takikardi dan
hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang meningkat akan memberi
tambahan beban pada miokard yang sudah kelebihan beban meskipun masih
terkompensasi pada pasien dengan penyakit jantung kronik.6

Tabel 2.1 Etiologi gagal jantung5


Dengan Penurunan EF (<40%)
PJK Kardiomiopati dilatasi non iskemik
Infark miokard Familial/kelainan genetik
Iskemia miokard Kelainan infiltratif
Kenaikan tekanan Kerusakan akibat toksin/obat
Hipertensi Penyakit metabolik
Penyakit katup obstruktif Virus
Kenaikan volume Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Kelainan irama dan detakjantung
Left to right shunting Bradiaritmia kronis
Extracardiac shunting Takiaritmia kronis
Tanpa Penurunan EF (>40-50%)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Kelainan infiltratif (amyloidosis,
sarkoidosis)
Sekunder (hipertensi) Fibrosis
Penuaan Kelainan endo-miokardium
Pulmonary Heart Disease (PHD)
Corpulmonale
Kelainan pembuluh darah paru
Output meningkat
Kelainan metabolik Aliran darah yang berlebihan
Tirotoksikosis Shunt arteri-vena sistemik
Beriberi Anemia kronis

2.1.5. Patofisiologi1
6

Gagal jantung dapat diakibatkan oleh berbagai gangguan yang terjadi pada
sistem kardiovaskular. Secara garis besar gangguan tersebut dapat dikelompokkan
menjadi (1) gangguan pada kontraktilitas ventrikel, (2) peningkatan afterload, (3)
gangguan relaksasi dan pengisian ventrikel. Gagal jantung yang disebabkan oleh
abnormalitas dari pengosongan ventrikel (akibat gangguan kontraktilitas atau
afterload yang sangat meningkat) disebut dengan gagal jantung sistolik, dan gagal
jantung yang disebabkan oleh abnormalitas dari relaksasi diastolik atau pengisian
ventrikel disebut dengan gagal jantung diastolik. Bagaimanapun, kedua jenis
gagal jantung tersebut saling tumpang tindih dari segi etiologi dan banyak pasien
mengalami kedua jenis gagal jantung tersebut secara bersamaan. Oleh karena itu,
saat ini gagal jantung lebih sering dikategorikan berdasarkan fraksi ejeksi
ventrikel (ejection fraction/EF) yaitu (1) heart failure with reduced ejection
fraction, yang umumnya terjadi pada gagal jantung sistolik dan (2) heart failure
with preserved ejection fraction, yang umumnya terjadi pada gagal jantung
diastolik.

2.1.5.1. Heart Failure with Reduced Ejection Fraction


Pada kondisi disfungsi sistolik, ventrikel mengalami penurunan kapasitas
untuk memompakan darah karena adanya gangguan pada kontraktilitas
miokardium atau peningkatan afterload. Gangguan kontraktilitas dapat
diakibatkan oleh detruksi miosit, fungsi miosit yang abnormal, atau fibrosis.
Peningkatan tekanan mengganggu ejeksi ventrikel dengan secara signifikan
meningkatan resistensi yang harus dilalui aliran darah.
Kontraktilitas ventrikel yang berkurang menyebabkan volume sekuncup
menurun (stroke volume) dan terjadi peningkatan volume darah di ventrikel pada
akhir sistolik (end systolic volume). Saat pengisian ventrikel pada diastolik, darah
dari vena pulmonalis (preload) masuk ke dalam ventrikel yang telah memiliki
volume darah yang meningkat akibat disfungsi sistolik sebelumnya, sehingga
volume ventrikel pada akhir diastolik (end diastolic volume) meningkat dari
normal. Preload yang meningkat akan meregangkan ventrikel yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kontraksi (Frank-Starling mechanism), namun akibat
7

gangguan kontraktilitas ventrikel yang telah ada sebelumnya, fraksi ejeksi tetap
menurun dan volume akhir sistolik tetap meningkat.
Volume akhir sistolik yang secara persisten meningkat, dapat
menyebabkan aliran darah berbalik ke atrium saat diastol dan berlanjut hingga ke
vena pulmonalis dan kapiler paru. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru
yang cukup tinggi (>20mmHg) dapat menyebabkan transudasi cairan ke
interstisial paru dan mencetuskan gejala kongesti paru.

2.1.5.2. Heart Failure with Preserved Ejection Fraction


Pasien dengan fraksi ejeksi yang normal umumnya mengalami
abnormalitas fungsi diastolik ventrikel, baik gangguan relaksasi diastolik awal
(proses aktif yang bergantung pada energi), peningkatan kekakuan dinding
ventrikel (proses pasif), atau keduanya. Iskemia miokardial akut merupakan
contoh kondisi yang menyebabkan penghambatan secara transien penghantaran
energi dan relaksasi diastolik. Sementara, hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis, atau
kardiomiopati restriktif menyebabkan dinding ventrikel kiri menjadi kaku secara
kronis. Penyakit perikardium tertentu (tamponade jantung dan konstriksi
perikardium) memberikan tekanan eksternal yang menghambat pengisian
ventrikel dan menyebabkan gangguan diastolik yang reversibel.
Peningkatan kekakuan ventrikel saat pengisian menyebabkan atrium harud
memompa darah dengan tekanan yang lebih tinggi saat diastolik. Tekanan
diastolik jantung yang meningkat dapat menyebabkan darah berbalik ke vena
pulmonalis dan sistemik dan menyebabkan gejala kongesti.
8

Gambar 2.1. Patofisiologi gagal jantung1


9

2.1.6. Manifestasi Klinis

Tabel 2.2. Manifestasi klinis gagal jantung


GEJALA TANDA
Tipikal Spesifik
Sesak napas Peningkatan JVP
Ortopneu Refluks hepatojugular
Paroxysmal nocturnal dyspnea Suara jantung S3 (gallop)
Toleransi aktivitas yang Apeks jantung bergeser
berkurang ke lateral
Cepat lelah Bising jantung
Bengkak di pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang tipikal
Batuk di malam atau dini hari Edema perifer
Mengi Krepitasi pulmonal
Berat badan bertambah lebih Suara pekak di basal paru
dari 2 kilogram per minggu pada perkusi
Berat badan turun (gagal Takikardia
jantung stadium lanjut) Nadi ireguler
Perasaan kembung atau begah Napas cepat
Nafsu makan menurun Hepatomegali
Perasaan bingung (terutama Asites
Kaheksia
pasien usia lanjut)
Depresi
Berdebar
Pingsan

2.1.7. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani,
elektrokardiografi atau foto toraks, ekokardiografi Doppler, dan kateterisasi.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif.6
2.1.7.1. Kriteria Framingham
Kriteria Mayor
Paroksismal nocturnal dyspnea
Distensi vena leher
Ronki paru
Kardiomegali
10

Edema paru akut


Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120 kali per menit)

Mayor atau minor


Penurunan berat badan >4,5 kilogram dalam 5 hari pengobatan

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan jika terdapat minimal 1 kriteria mayor
dan 2 kriteria minor.6
2.1.7.2. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal
jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi
sistolik sangat kecil (< 10%).2

Tabel 2.3. Abnormalitas EKG yang umum dijumpai pada gagal jantung6
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis
Sinus takikardia Gagal jantung Penilaian klinis
dekompensasi, anemia, Pemeriksaan
demam, hipertroidisme laboratorium
Sinus Obat penyekat , anti Evaluasi terapi obat
bradikardia aritmia, hipotiroidisme, Pemeriksaan
sindroma sinus sakit laboratorium
Atrial Hipertiroidisme, infeksi, Perlambat konduksi AV,
takikardia/futer/ gagal jantung konversi medik,
11

fibrilasi dekompensasi, infark elektroversi, ablasi


miokard kateter, antikoagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan
ventrikel kardiomiopati, laboratorium, tes latihan
miokardits, hipokalemia, beban, pemeriksaan
hipomagnesemia, perfusi, angiografi
overdosis digitalis koroner, ICD
Iskemia/infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,
Angiografiikoroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,
hipertrofi, LBBB, angiografii koroner
preeksitasi
Hipertrofi Hipertensi, penyakit Ekokardiografi, doppler
ventrikel kiri katup aorta,
kardiomiopati hipertrofi

Blok Infark miokard, Evaluasi penggunaan


atrioventrikular Intoksikasi obat, obat, pacu jantung,
miokarditis, sarkoidosis, penyakit sistemik
Penyakit Lyme
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiograf, rontgen
perikard, amiloidosis toraks
Durasi QRS > Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf, CRT-P,
0,12 detik mekanik CRT-D
dengan
morfologi LBBB
LBBB = Lef Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioverter
Defbrillator CRT-P = Cardiac Resynchronizaton Therapy-
PACEmaker; CRT-D = Cardiac Resynchronizaton Therapy-
Defbrillator
.
2.1.7.3. Foto Toraks
12

Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung.


Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak napas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan
kronik.3
Tabel 2.4. Abnormalitas foto toraks yang umum ditemukan pada gagal
jantung6
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekokardiograf,
ventrikel kanan, atria, doppler
efusi perikard
Hipertrofi Hipertensi, stenosis Ekokardiografi,
ventrikel aorta, doppler
kardiomiopati
hipertrofi
Tampak paru Bukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
normal

Kongesti vena Peningkatan tekanan Mendukung


paru pengisian diagnosis
ventrikel kiri gagal jantung kiri
Edema Peningkatan tekanan Mendukung
interstitial pengisian diagnosis
ventrikel kiri gagal jantung kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan etologi
peningkatan tekanan nonkardiak
pengisian jika efusi (jika efusi
bilateral banyak)
Infeksi paru, pasca
bedah/ keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis/gagal
Limfatik jantung kronik
Area paru Emboli paru atau Pemeriksaan CT,
hiperlusen emfisema Spirometri,
ekokardiografi
13

Infeksi paru Pneumonia sekunder Tatalaksana kedua


akibat penyakit:
kongesti paru gagal jantung dan
infeksi paru
Infiltrat paru Penyakit sistemik Pemeriksaan
diagnostik lanjutan

2.1.7.4. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau
elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada pasien
dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis
aldosterone.

Tabel 2.5. Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai


pada gagal jantung

Abnormalitas Penyebab Implikasiklini


Peningkatank Penyakit s GFR,
Hitung
reatinin serum ginjal,ACEI, ARB, pertimbangkan
(> 150 Antagonis mengurangidosis
mol/L) aldosteron ACEI/ARB/anta
gonisaldosteron,
periksakadarkali
14

Anemia (Hb< 13 Gagal jantung Telusuri


gr/dLpadalaki- kronik, gagal penyebab,
laki, ginjal, hemodilusi, pertimbang kan
< 12 kehilangan zat besi terapi
gr/dLpadaper atau penggunaan
empuan) zat besi
terganggu

Hiponatremia ,penyakit kronik


Gagal jantung Pertimbangkan
(<135mmol/L) kronik, hemodilusi, restriksi cairan,
pelepasan AVP kurangi dosis
(Arginine diuretik,
Vasopressin), ultrafiltrasi,
diuretik antagonis
vasopresin

Hipernatremia Hiperglikemia, Nilai asupan


(>150mmol/L) dehidrasi cairan, telusuri
penyebab
Hipokalemia (< Diuretik, Risiko aritmia,
3,5 mmol/L) hiperaldosteronisme pertimbangkan
sekunder suplemen
kalium,
ACEI/ARB,
antagonis
aldosteron
15

Hiperkalemia Gagal ginjal, Stop obat-obat


(> 5,5 mmol/L) suplemen kalium, hemat kalium
penyekat sistem (ACEI/ARB,
renin-angiotensin- antagonis
aldosteron aldosterone ),
nilai fungsi
ginjal dan pH,
risiko
bradikardia

Hiperglikemia Diabetes, resistensi Evaluasi hidrasi,


(>200mg/dL) insulin terapi intoleransi
glukosa
Hiperurisemia Terapi diuretik , gout, Allopurinol,
(>500mol/L) keganasan kurangi dosis
diuretik
BNP < 100 Tekanan dinding Evaluasi ulang
pg/mL, NT ventrikel normal diagnosis,
proBNP< 400 bukan gagal
pg/mL jantung jika
terapi tidak
berhasil

BNP > 400 Tekanan dinding Sangat


pg/mL, NT ventrikel meningkat mungkin gagal
proBNP> 2000 jantung
pg/mL

Kadar albumin Dehidrasi, mieloma rehidrasi


tinggi (> 45g/L)
16

Kadaralbumin Nutrisi buruk, Cari penyebab


rendah(<30ag/) kehilangan albumin
melalui ginjal
Peningkatan Disfungsi hati, Cari penyebab,
transaminase gagal jantung kongesti liver,
kanan, toksisitas pertimbangkan
obat kembali terapi
Peningkatan Nekrosis Evaluasi pola
troponin miosit,iskemia peningkatan
berkepanjangan, (peningkatan
gagal jantung berat, ringan sering
miokarditis, sepsis, terjadi pada
gagal ginjal, emboli gagal jantung
paru berat),
angiograf
koroner,
evaluasi
kemungkin
an
revaskulari
sasi
Tes tiroid Hiper / Terapi
abnormal hipotroidisme, abnormalitas
amiodaron tiroid
Urinalisis Proteinuria, Singkirkan
glikosuria, kemungkinan
bakteriuria infeksi
17

INR > 2,5 Overdosis Evaluasi dosis


antkoagulan, antikoagulan,
kongesti hati Nilai fungsi
hati
CRP >10mg/l, Infeksi, inflamasi Cari penyebab
lekositosis
neutroflik

2.1.7.5. Ekokardiografi
Istilah ekokardiografi digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour
Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung
dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan
dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien
dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 -
50%).2

Diagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (HFPEF/ heart


failurewith preserved ejection fraction)2
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal
jantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu
(fraksi ejeksi > 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal /
kekakuan diastolik)

Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak
adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup, pasien
endokardits, penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left
atrial appendage pada pasien fibrilasi atrial.2
18

Ekokardiografi beban
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk
mendeteksi disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai
viabilitas miokard pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat.2

Tabel 2.6. Abnormalitas ekokardiografik yang sering dijumpai pada gagal


jantung6

Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis


Fraksi ejeksi Menurun (< 40 %) Disfungsi sistolik
ventrikel kiri
Fungsi ventrikel Akinesis, hipokinesis, Infark/iskemia
kiri, diskinesis miokard,
global dan fokal kardiomiopati,
miokardits
Diameter akhir Meningkat (> 55 mm) Volume berlebih,
diastolik sangat
(End-diastolik mungkin gagal
diameter = EDD) jantung
Diameter akhir Meningkat (> 45 mm) Volume berlebih,
sistolik sangat
(End-systolic mungkin disfungsi
diameter = ESD) sistolik
Fractonal Menurun (< 25%) Disfungsi sistolik
shortening
Ukuran atrium Meningkat (> 40 mm) Peningkatan tekanan
kiri pengisian, disfungsi
katup mitral, fibrilasi
atrial
Ketebalan Hipertrofi (> 11-12 mm) Hipertensi, stenosis
ventrikel aorta,
Kiri kardiomiopati
hipertrofi
19

Struktur dan Stenosis atau Mungkin penyebab


fungsi regurgitasi katup primer atau sebagai
Katup (terutama stenosis aorta komplikasi gagal
dan insufsiensi mitral) jantung, nilai gradien
dan fraksi regurgitan,
nilai konsekuensi
hemodinamik,
pertimbangkan
operasi
Profil aliran Abnormalitas pola Menunjukkan
diastolik pengisian diastolik dini disfungsi
Mitral dan lanjut diastolik
dan kemungkinan
mekanismenya
Kecepatan Meningkat (> 3 m/detk) Peningkatan tekanan
puncak sistolik ventrikel
regurgitasi kanan,
trikuspid curiga hipertensi
pulmonal

2.1.8. Penatalaksanaan
2.1.8.1. Penatalaksanaan Non-Farmakologi2
Pada tatalaksana non farmakologi nanajemen perawatan mandiri
mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat
memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional,
kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
didefenisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas
fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung.
1. Ketaatan pasien berobat
20

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas


hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada
terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
2. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter
3. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis.
4. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
5. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat.
Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan
sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.
6. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di
rumah sakit atau di rumah.

2.1.8.2. Penatalaksanaan Farmakologi2


Tujuan dari tatalaksana gagal jantung adalah untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung
tetap merupakan bagian penting dalam tatalaksana penyakit jantung. Pada Gambar
2.6. menyajikan strategi pengobatan menggunakan obat dan alat pada pasien gagal
jantung simptomatik dan disfungsi sistolik.
21

Gambar 2.2. Strategi pengobatan pada pasien gagal jantung kronik


simptomatik (NYHA fc II-IV)6

1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)


ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40 % dengan atau tanpa gejala, kecuali kontraindikasi
22

pemberian ACEI. ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, serta
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simptomatik, batuk, dan
angioedema (jarang). Oleh sebab itu, ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal yang adekuat dan kadar kalium yang normal.

Indikasi pemberian ACEI:


Fraksi ejeksi ventrikel 40 %, dengan atau tanpa gejala

Kontraindikasi pemberian ACEI, yaitu:


a. Riwayat angiodema
b. Stenosis renal bilateral
c. Kadar Kalium serum >5,0 mmol/L
d. Serum Kreatinin >2,5 mg/dL
e. Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI pada gagal jantung:


Inisiasi pemberian ACEI pada gagal jantung dapat:
1. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
2. Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACEI
Naikan dosis secara titrasi
Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu.
a. Jangan naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
Dosis titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit
b. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi
c. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai dosis
target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

Tabel 2.7. Dosis pemberian obat ACEI2


Nama Obat DosisAwal (mg) Dosis Target (mg)
Captopril 6,25 (3x/hari) 50-100 (3x/hari)
23

Enalapril 2.5 (2x/hari) 10-20 (2x/hari)


Lisinopril 2,5-5 (1x/hari) 20-40(1x/hari)
Ramipril 2,5 (1x/hari) 5 (2x/hari)
Perindorpil 2 (1x/hari) 8 (1x/hari)

2. Penyekat ( bloker)
Indikasi pemberian Penyekat :
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40%
b. Gejala ringan sampai berat (NYHA fc II-IV)
c. ACEI/ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
d. Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi pemberian penyekat :


a. Asma
b. Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)

Efek samping yang dapat timbul akibatpemberian penyekat :


a. Hipotensi simptomatik
b. Perburukan gagal jantung
c. Bradikardi

Inisiasi pemberian Penyekat pada gagal jantung:


1. Penyekat dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat Tabel 2.2.
2. Naikan dosis secara titrasi
a. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit).
b. Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 2.8)

Tabel 2.8. Dosis pemberian obat penyekat 2


24

Nama Obat DosisAwal (mg) Dosis Target (mg)


Bisoprolol 1,25 (1x/hari) 10(1x/hari)
Carvedilol 3,125 (2x/hari) 25-50 (2x/hari)
Metoprolol 12,5/25 (1x/hari) 200(1x/hari)

3. Antagonis Aldosteron
Indikasi pemberian antagonis aldosteron:
a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 35 %
b. Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
c. Dosis optimal penyekat dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron:


a. Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
b. Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
c. Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium kombinasi
ACEI dan ARB

Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian spironolakton:


a. Hiperkalemia
b. Perburukan fungsi ginjal
c. Nyeri dan/atau pembesaran payudara

Inisiasi pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung :


a. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
b. Naikan dosis secara titrasi
c. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 8 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
d. Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis
e. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau dosis
maksimal yang dapat di toleransi (Tabel 2.9)

Tabel 2.9. Dosis pemberian Agonis Aldosteron


Nama Obat DosisAwal (mg) Dosis Target (mg)
Eplerenon 25 (1x/hari) 50 (1x/hari)
Spironolakton 25 (1x/hari) 25-50 (1x/hari)

4. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)


Indikasi pemberian ARB
25

a. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %


b. Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II - IV NYHA) yang intoleran ACEI dan pasien tetap harus
mendapat penyekat dan antagonis aldosteron
c. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk

Kontraindikasi pemberian ARB:


a. Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
b. Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian ARB sama seperti ACEI,
kecuali batuk.
Inisiasi pemberian ARB pada gagal jantung:
a. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.
b. Dosis awal lihat Tabel 2.4
c. Naikan dosis secara titrasi
i. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
ii. Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi (Tabel 2.4)
iii. Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

Tabel 2.10. Dosis pemberian obat ARB


Nama Obat DosisAwal (mg) Dosis Target (mg)
Candesartan 4/8 (1x/hari) 32 (1x/hari)
Valsartan 40 (2x/hari) 160 (2x/hari)

5. Hydralazinedan Isosorbite Dinitrate (H-ISDN)


Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN:
a. Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
b. Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonisaldosteron tidak dapat
ditoleransi

c. Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat
dan ARB atau antagonis aldosteron
26

Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN:


a. Hipotensi simptomatik
b. Sindroma lupus
c. Gagal ginjal berat
Efek samping yang timbul akibat pemberian kombinadi H-ISDN:
a. Hipotensi simptomatik
b. Nyeri sendi atau nyeri otot
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN:
a. Dosis awal: hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10 mg, 2 - 3 x/hari
b. Naikan dosis secara titrasi
c. Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 4 minggu.
d. Jangan naikan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
e. Jika toleransi baik, dosis dititrasi naik sampai dosis target (hydralazine 50
mg dan ISDN 20 mg, 3-4 x/hari)

6. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan.

Indikasi pemberian digoksin:


a. Atrial Fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80 x/menit atau saat
aktifitas >110-120 x/menit
b. Irama sinus
i. Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %
ii. Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
iii. Dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat dan antagonis aldosteron
jika ada indikasi.

Kontraindikasi pemberian digoksin:


a. Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap); hati-hati jika pasien
diduga sindroma sinus
b. Sindroma pre-eksitasi
c. Riwayat intoleransi digoksin
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian digoksin:
a. Blok sinoatrial dan blok AV
b. Aritmia atrial dan ventrikular, terutama pada pasien hipokalemia
27

c. Tanda keracunan digoksin: mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat


warna
Inisiasi pemberian digoksin:
a. Dosis awal: 0,25 mg, 1 x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan
menjadi 0,125 atau 0,0625 mg, 1 x/hari
b. Periksa kadar digoksin dalam plasma segera saat terapi kronik. Kadar
terapi digoksin harus antara 0,6 - 1,2 ng/mL
c. Beberapa obat dapat menaikan kadar digoksin dalam darah (amiodaron,
diltiazem, verapamil, kuinidin)

7. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B). Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

Cara pemberian diuretik pada gagal jantung:


a. Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
b. Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong
c. Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten.

Tabel 2.11. Dosis diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal
jantung
Diuretik Dosis awal (mg) Dosisharian (mg)
Diuretik Loop
Furosemide 20-40 40-240
Bumetanide 0,5-1,0 1-5
28

Torasemide 5-10 10-20


Tiazide
Hidrochlortiazide 25 12,5-100
Metolazone 2,5 2,5-10
Indapamide 2,5 2,5-5
Diuretikhematkalium
Spironolakton (+ ACEI/ARB) 12,5-25 (+ ACEI/ARB) 50
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100-200

2.1.8.3.Penatalaksanaan Alat Non Bedah pada Gagal Jantung Sistolik


Sampai saat ini, ICD (Implantable cardioverter-defibrillator) dan CRT
(Cardiac resynchronization therapy) merupakan alat yang direkomendasikan pada
gagal jantung lanjut ( advanced heart failure ) simtomatik, yang sudah
mendapatkan terapi farmakologis gagal jantung secara optimal.
Rekomendasi penggunaan alat non bedah pada gagal jantung:
a. ICD
I. Sebagai prevensi sekunder : direkomendasikan pada pasien dengan aritmia
ventrikuler yang menyebabkan hemodinamik menjadi tidak stabil, yang
diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik selama > 1
tahun lagi, untuk menurunkan risiko kematian mendadak
II. Sebagai prevensi primer : direkomendasikan pada pasien dengan gagal
jantung simtomatik (NYHA II III) dan EF < 35% walaupun sudah mendapat
terapi optimal lebih adri 3 bulan, yang diharapkan untuk dapat hidup dalam
status fungsional yang baik selama > 1 tahun lagi.

b. CRT
Pada pasien dengan irama sinus NYHA III dan IV dan EF yang rendah,
walaupun mendapat terapi gagal jantung yang optimal:
i. Morfologi LBBB : direkomendasikan pada pasien irama sinus dengan durasi
QRS 120 ms, morfologi LBBB dan EF < 35 %, yang diharapkan untuk
dapat hidup dalam status fungsional yang baik selama > 1 tahun lagi, untuk
menurunkan angka rehospitalisasi dan risiko kematian mendadak,
ii. Morfologi non LBBB : harus dipertimbangkan pada pasien irama sinus
dengan QRS 120 ms, morfologi QRS irespektif dan EF < 35%, yang
29

diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik selama > 1
tahun lagi, untuk menurunkan risiko kematian mendadak

Pada pasien dengan irama sinus NYHA II dan EF yang rendah, walaupun
mendapat terapi gagal jantung yang optimal:
i. Morfologi LBBB : direkomendasikan (terutama yang CRT-D) pada pasien
irama sinus dengan durasi QRS 130 ms, morfologi LBBB dan EF < 30 %,
yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik selama
> 1 tahun lagi, untuk menurunkan angka rehospitalisasi dan risiko kematian
mendadak.
ii. Morfologi non LBBB : direkomendasikan (terutama yang CRT-D) pada pasien
irama sinus dengan durasi QRS 150 ms, morfologi QRS irespektif dan EF <
30 %, yang diharapkan untuk dapat hidup dalam status fungsional yang baik
selama > 1 tahun lagi, untuk menurunkan angka rehospitalisasi dan risiko
kematian mendadak

2.1.9. Prognosis Gagal Jantung


Pada umumnya, angka kematian pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan gagal jantung adalah 10,4% pada 30 hari, 22% pada 1 tahun dan 42,3%
pada 5 tahun.7 Prognosis gagal jantung pada pria lebih buruk daripada
wanita.1Setiap rehospitalisasi meningkatkan kematian sekitar 20-22%. Kematian
>50% untuk pasien dengan NYHA kelas IV, ACC/AHA stage D gagal jantung. 7
Gagal jantung yang berhubungan dengan miokard infark akut memiliki angka
kematian rawat inap 20-40%, mortalitas mendekati 80% pada pasien yang
mengalami hipotensi (misalnya: syok kardiogenik).7

2.2. Regurgitasi Mitral


2.2.1. Etiologi
Tabel 2.12. Etiologi Regurgitasi Mitral5
Akut Kronik
Endokarditis Myxomatous (MVP)
Ruptur Otot Papillari (post-MI) Demam Rematik
30

Trauma Endokarditis (yang sudah menyembuh)


Ruptur korda/daun katup (MVP, IE) Kalsifikasi anulus mitral
Kongenital (celah, kanal AV)
HOCM dengan SAM
Iskemia (LV remodelling)
Kardiomiopati
Radiasi

2.2.2. Patofisiologi
Pada regurgitasi mitral, sebagian volume sekuncup mengalir balik ke
atrium kiri yang memiliki tekanan lebih rendah saat sistolik. Akibatnya, curah
jantung (yang dipompakan ke aorta) lebih sedikit dibandingkan volume total
ventrikel kiri yang dipompakan (sebagian mengalir ke atrium, sebagian ke aorta).
Sehingga konsekuensi dari regurgitasi mitral meliputi (1) peningkatan volume dan
tekanan atrium kiri, (2) penurunan curah jantung, dan (3) peningkatan stress
pada vemtrikel kiri seiring peningkatan volume yang mengalir ke ventrikel kiri
saat diastolik. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh, ventrikel kiri harus
meningkatkan tekanan pengisian sehingga lebih banyak darah yang dapat
dipompakan.1

Regurgitasi Mitral Akut


Pada regurgitasi mitral akut (seperti pada ruptur korda tendinea), atrium
kiri tak banyak mengalami kompensasi. Atrium kiri akan berdilatasi seiring
dengan penambahan volume dari aliran darah regurgitasi. Akibatnya tekanan di
atrium kiri meningkat dan dapat mengalir balik ke vena pulmonalis dan
menyebabkan kongesti dan edema paru yang merupakan keadaan gawat darurat.1

Regurgitasi Mitral Kronik


Pada regurgitasi mitral kronik (seperti pada penyakit katup rematik),
atrium kiri mempunyai cukup waktu untuk mengalami kompensasi untuk
mengurangi efek regurgitasi ke aliran pulmonar. Atrium kiri berdilatasi
31

sedemikian rupa hingga dapat menampung volume darah regurgitasi tanpa


peningkatan tekanan atrium yang berlebihan sehingga mencegah peningkatan
tekanan vena pulmonalis. Namun kompensasi tersebut dapat berakibat pada
berkurangnya volume sekuncup karena aliran darah dari ventrikel akan lebih
mudah mengalir menuju atrium yang lebih rendah tekanannya dibandingkan aorta.
Peningkatan volume kronik pada ventrikel kiri pada akhirnya akan menyebabkan
disfungsi sistolik yang berakibat pada kegagalan jantung memompa darah atau
yang disebut sebagai gagal jantung sistolik.1

2.2.3. Manifestasi Klinis


Pasien dengan regurgitasi mitral akut menunjukkan gejala-gejala dari
adanya edema paru. Sedangkan pasien dengan regurgitasi mitral kronik lebih
dominan menunjukkan gejala akibat penurunan curah jantung terutama saat
beraktivitas seperti kelelahan dan kelemahan. Pasien dengan regurgitasi mitral
yang parah atau pasien yang mengalami disfungsi kontraksi ventrikel kiri sering
mengeluhkan dispnea, orthopnea, dan/atau paroxysmal nocturnal dyspnea. Pada
pemeriksaan fisik, akan didapatkan murmur pansistolik (holosistolik) pada apeks
jantung yang menjalar ke aksila.1

2.3. Regurgitasi Aorta


2.3.1. Etiologi
Tabel 2.13. Etiologi Regurgitasi Aorta5
Abnormalitas Daun Katup Dilatasi Aorta
Kongenital (katup bikuspid) Aneurisma aorta (penyakit inflamasi
Endokarditis jaringan ikat, seperti; Sindrom Marfan)
Rematik Diseksi aorta
Annuloaortic ectasia
Syphilis

2.3.2. Patofisiologi
Pada regurgitasi aorta, terjadi aliran balik darah dari aorta ke ventrikel kiri
saat diastolik. Akibatnya setiap kali berkontraksi, ventrikel harus memompakan
32

darah regurgitasi ditambah dengan volume normal darah yang berasal dari atrium
kiri.1

Regurgitasi Aorta Akut


Pada regurgitasi aorta akut, ventrikel kiri masih berukuran normal dan
belum berkompensasi sehingga volume darah regurgitasi secara substansial
menyebabkan tekanan diastolik ventrikel kiri meningkat. Peningkatan tekanan
ventrikel kiri yang mendadak ditransmisikan ke atrium kiri dan sirkulasi
pulmonar, yang sering menyebabkan dispnea dan edema paru yang merupakan
keadaan gawat darurat.1

Regurgitasi Aorta Kronik


Pada regurgitasi aorta kronik, ventrikel kiri mengalami kompensasi
terhadap darah regurgitasi yang berkepanjangan. Ventrikel kiri mengalami dilatasi
dan hipertrofi yang memungkinkan untuk mengakomodasi darah regurgitasi yang
lebih banyak dengan akibat peningkatan tekanan yang lebih sedikit sehingga
mengurangi transmisi tekana ke atrium kiri dan sirkulasi pulmonar. Namun, akibat
mengakomodasi volume regurgitasi yang besar, tekanan aorta (begitu juga arteri
sistemik) turun secara substansial. Kombinasi antara volume sekuncup ventrikel
kiri yang meningkat (sehingga menyebabkan tekanan sistolik arteri meningkat)
dan tekanan diastolik aorta yang menurun menghasilkan tekanan pulsasi (pulse
pressure) yang melebar, yaitu kondisi dimana terdapat perbedaan yang jauh antara
tekanan darah sistolik dan diastolik, yang merupakan tanda khas dari regurgitasi
aorta.
Menurunnya tekanan diastolik menyebabkan tekanan perfusi arteri
koroner menurun, yang berpotensi menurunkan suplai oksigen ke miokardium.
Hal tersebut, ditambah dengan ventrikel kiri yang telah mengalami hipertrofi,
dapat mencetuskan angina, bahkan dalam kondisi tidak adanya penyakit
aterosklerotik koroner.
Kompensasi ventrikel memungkinkan seseorang dengan regurgitasi aorta
tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) selama bertahun-tahun. Namun, secara
bertahap, remodelling dari ventrikel kiri terjadi, yang mengakibatkan disfungsi
33

sistolik. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan
atrium juga sirkulasi pulmonar. Pada saat tersebut, pasien menunjukkan gejala
gagal jantung.1

2.3.3. Manifestasi Klinis


Gejala umum dari pasien dengan regurgitasi aorta ialah dispnea saat
aktivitas berat, kelelahan, penurunan toleransi aktivitas berat, dan sensasi tidak
nyaman dari denyut jantung yang menguat yang berkaitan dengan tingginya
tekanan sistolik. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan murmur tipe early
diastolic murmurdan tanda-tanda pulse pressure yang melebar lainnya.

BAB 3

STATUS ORANG SAKIT

Kepaniteraan Klinik Senior


Departemen Kardiologi dan Kedokteraan Vaskular
Fakultas Kedokteran USU/RS H Adam Malik Medan

No. Rekam Medik: Tanggal : 12 November Hari : Sabtu


69.15.31 2016
Nama Pasien : A. Fajar Umur : 55 Tahun Seks : Laki-laki
Pekerjaan : Alamat : Dusun Jeumpa Agama : Islam
Purnawirawan Puteh Ceubrek

Keluhan utama : Sesak napas


34

Anamnesa : Hal ini dialami os sejak 2 minggu yang lalu dan


memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak muncul saat os sedang
beraktivitas ringan. Sesak muncul tidak dipengaruhi oleh cuaca. Sesak terutama
memberat saat os berbaring sehingga os harus tidur dengan kepala diganjal 3
bantal atau dalam posisi duduk. Sesak napas yang menyebabkan os terbangun saat
malam hari disangkal. Riwayat sesak napas sebelumnya disangkal. Os
mengeluhkan mudah merasa lelah sejak 2 minggu lalu meski hanya beraktivitas
ringan. Riwayat nyeri dada atau jantung berdebar-debar disangkal. Riwayat
bengkak pada kedua kaki disangkal. Os juga mengeluhkan batuk sejak 2 minggu
lalu yang memberat terutama saat malam hari. Batuk berdahak dijumpai, namun
dahak sulit dikeluarkan. Sebelumnya os mengalami demam 1 bulan yang lalu.
Demam berlangsung beberapa hari dan bersifat naik turun. Demam disertai mual
dan muntah. Os kemudian dirawat inap RS di Aceh dan didiagnosa dengan DBD
+ demam tifoid.Os sudah dinyatakan sembuh dan sempat pulang ke rumah,
namun os kembali dirawat inap karena demam berulang. Hari kedua rawat inap,
OS mulai merasakan keluhan sesak napas yang menetap hingga os pulang dari
rumah sakit. Os kemudian berobat ke klinik dokter untuk keluhan sesak napasnya,
namun keluhan os tidak berkurang, kemudian os dirujuk ke RS HAM. Riwayat
merokok dijumpai sebanyak 1 bungkus per hari selama 20 tahun, namun os
sudah berhenti 2 tahun ini. Riwayat tekanan darah tinggi dijumpai sejak 2
tahun lalu dengan tekanan sistol tertinggi mencapai 150 mmHg dengan
pengobatan yang teratur. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat kencing
manis disangkal.
Faktor risiko PJK : laki-laki > 45 tahun, hipertensi, merokok
Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi
Riwayat pemakaian obat : Amlodipin

Status presens :
KU : Baik Kesadaran : Compos mentis TD: 110/40 mmHg HR: 92 x/m
RR: 24 x/m Suhu: 37,1oC sianosis: (-)
Ortopnu : (+) dispnu : (+) ikterus: (-) edema: (-) pucat: (-)
35

Pemeriksaan fisik:
Kepala : conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikteris: (-/-), pupil:
isokor, sianosis (-/-), oedem palpebra (-/-)
Leher : JVP: R+2 cmH2O, pembesaran KGB: (-), Tiroid: (-/-)
Dinding toraks: Inspeksi: Simetris Batas Jantung
Palpasi : Stem fremitus ka= ki Atas : ICS II sinistra
kesan mengeras pada Bawah : Diafragma
lapangan bawah kedua Kanan : ICS V LPSD
paru Kiri : ICS V 1 cm lateral
Perkusi : Sonor memendek pada LMCS
lapangan bawah kedua
paru
Asukultasi :
Jantung : S1 (+) S2 (+) S3 (-) S4 (-) Reguler/ Ireguler
Murmur (+) Tipe: PSM grade 3/6
EDM grade 3/4
Punctum maximum: apex radiasi: -
Paru : Suara pernafasan: vesikuler/ bronkial
Suara tambahan: ronki basah basal (+/+) wheezing (-/-)
Abdomen : Palpasi Hepar/Lien : tidak teraba
Asites (-)
Ekstremitas : superior: sianosis (-/-) clubbing (-/-)
Inferior edema (-) pulsasi arteri (+/+)
Akral : hangat
36

Interpretasi rekaman EKG:


Irama : sinus takikardi rate : 102 x/m Aksis : normoaksis
Gelombang P bentuk normal, durasi 0,04 s
Interval P-R: 0,06 s
Kompleks QRS: durasi 0,08 s
Segmen ST: N (isoelektris)
Gelombang T : inversi di lead V4-V6, I, aVL
VES: (-)
LVH: (+)
Kesan EKG: sinus takikardi + LVH + iskemik lateral
37

Interpretasi foto torax (AP/PA):


CTR: 57,6%
Segmen aorta : normal
Pinggang jantung: tidak menonjol
Apeks : downward
Infiltrat : +
Sudut costofrenikus : lancip
Kesimpulan : Kardiomegali + Pneumonia
38

Hasil laboratorium :
Hematologi :
Hemoglobin : 13,2 g/dl
RBC : 4,82 juta/uL
WBC : 21.200 / uL
Hematokrit : 39 %
PLT : 236.000 /uL
39

Hitung Jenis:
o Neutrofil: 85,4%
o Limfosit: 7,9%
o Monosit: 6,6%
o Eosinofil: 0
o Basofil: 0,1%
Metabolisme karbohidrat :
KGD sewaktu : 116 mg/dL
Faal hemotasis :
INR : 1,71
Kimia klinik :
Troponin I : 0 mg/mL
CK-MB : 17 u/L
Jantung:

NT Pro BNP: 13023 ng/mL

AGDA :
PH : 7,490
pCO2 : 16 mmHg
pO2 : 206 mmHg
HCO3 : 12,2 mmol/L
Total CO2 : 12,7 mmol/L
BE : -8,5 mmol/L
Saturasi O2 : 100%
Elektrolit :
Natrium : 138 mEq/L
Kalium : 4 mEq/L
Clorin : 106 mEq/L
Ginjal :
40

Ureum : 42 mg/dL
Kreatinin : 1,08 mg/dL

Diagnosa kerja : CHF Fc III ec AR, MR + Pneumonia


1. Fungsional : NYHA Fc III
2. Anatomi : Katup Aorta, Katup Mitral
3. Etiologi : Infeksi

Differensial diagnosa :
1. CHF ec CAD
2. Edema Paru non Kardiogenik
3. PPOK
Pengobatan :
Bed rest
O2 2-4 L/i via nasal canule
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
Inj. Furosemide 1 amp/ 8 jam
Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
Valsartan 1 x 40 mg
N-asetilsistein 3 x 200 mg

Rencana pemeriksaan lanjutan :


Ekokardiografi
Kultur Darah
Kultur Sputum
Profil Lipid
41

ASTO, CRP
Procalcitonin

Prognosis :
Dubia ad bonam

BAB 4
FOLLOW UP PASIEN

TANGGAL S O A P
12 14 Sesak napas Sensorium: CM CHF Fc Bed rest
November (+) TD: 110/40 mmHg III ec O2 2-4 L/i
2016 HR: 104x/i AR, MR via nasal
42

Nyeri dada (-) RR: 24 x/i Possible canule


Batuk (+) Temp: 37,1oC Infective IVFD NaCl
Kepala: Endocar 0,9% 10
Mata: Anemis (-/-) ditis (IE) gtt/i mikro
Ikterus (-/-) Pneumo Inj.
Leher: TVJ R+2 nia Furosemide
cmH2O 1 amp/ 8
Thorax: jam
Cor: S1/S2 (+) Inj.
regular Ceftriaxone
Murmur : (+) 1 g/12 jam
PSM: (+) gr 3/6 Inj.
EDM: (+) gr 3/4 Gentamicin
Sp: bronkial 80 mg/8
ST: ronki basah jam
basal (+/+) Valsartan 1
Abdomen: soepel, x 40mg
BU (+) N Spironolakt
Ekstremitas:akral on 1 x 25
mg
hangat, edema (-)
N-
Hasil asetilsistein
Echocardiography 3 x 200 mg
1. Fungsi Sistolik R/Cek PCT,
LV baik EF 57% lipid profile
Wall motion: global
normokinetik
2. Katup-Katup:
AR severe, prolaps
dd vegetasi NCC
MR moderate
3. Dimensi ruang
jantung : LA, LV
dilatasi
4. Kontraktilitas
RV baik, TAPSE 23
mm
5. PH(+) MPAP 35
mmHg

Hasil Lab
(14/11/2016)
43

Kolesterol Total:
165 mg/dL
Trigliserida: 121
mg/dL
Kolesterol HDL:19
mg/dL
Kolesterol LDL:
122 mg/dL

Procalcitonin: 0,74
ng/mL

15-17 Sesak napas Sensorium: CM CHF Fc Bed rest


November (+) TD: 100/40 mmHg II ec O2 2-4 L/i
2016 Batuk (+) HR: 83x/i AR, MR via nasal
RR: 20 x/i Possible canule
Temp: 36,8oC IE IVFD NaCl
Kepala: Pneumo 0,9% 10
Mata: Anemis (-/-) gtt/i mikro
nia
Ikterus (-/-)
Inj.
Leher: TVJ R+2
Furosemide
cmH2O
1 amp/ 8
Thorax:
jam
Cor: S1/S2 (+)
regular Inj.
Murmur : (+) Ceftriaxone
1 g/12 jam
PSM: (+) gr 3/6
Inj.
EDM: (+) gr 3/4
Gentamicin
Sp: bronkial 80 mg/8
ST: ronki basah jam
basal (+/+) Valsartan 1
Abdomen: soepel, x 40mg
BU (+) N Spironolakt
on 1 x 25
mg
Ekstremitas:akral N-
hangat, edema (-) asetilsistein
3 x 200 mg
Hasil Lab
(15/11/2016)
ASTO : <200
CRP Kuantitatif:
2,8 mg/dL
44

Hasil Lab
(17/11/2016)
Hb: 13,5 g/dL
Eritrosit: 4,91
juta/L
Leukosit:
12.830/L
Ht: 41%
Trombosit:
199.000/L

Hitung Jenis
N/L/M/E/B:
77/14/6,5/2,3/0,2

INR: 1,15

AGDA:
pH: 7,49
pCO2: 29 mmHg
pO2: 197 mmHg
HCO3: 22,1
mmol/L
Total CO2: 23
mmol/L
BE: -0,3 mmol/L
Saturasi O2: 100%

KGD sewaktu: 141


mg/dL

Ginjal:
BUN: 16 mg/dL
Ureum: 34 mg/dL
Kreatinin: 0,77
mg/dL

18 20 Sesak Napas Sensorium: CM CHF Fc Bed rest


November (-) TD: 110/50 mmHg Iec AR, O2 2-4 L/i
2016 Batuk (+) HR: 82x/i MR via nasal
RR: 20 x/i Possible canule
45

Temp: 36,9oC IE IVFD NaCl


Kepala: Pneumo 0,9% 10
Mata: Anemis (-/-) nia gtt/i mikro
Ikterus (-/-) Inj.
Leher: TVJ R+2 Furosemide
cmH2O 1 amp/ 8
Thorax: jam
Cor: S1/S2 (+) Inj.
regular Ceftriaxone
Murmur : (+) 1 g/12 jam
PSM: (+) gr 3/6 Inj.
EDM: (+) gr 3/4 Gentamicin
Sp: Bronkial 80 mg/8
ST: ronki basah jam
basal (+/+) Valsartan 1
Abdomen: soepel, x 40mg
BU (+) N Spironolakt
Ekstremitas:akral on 1 x 25
mg
hangat, edema (-)
N-
asetilsistein
3 x 200 mg

21-23 Batuk (+) Sensorium: CM CHF FC Bed rest


November TD: 110/50 mmHg I ec AR, O2 2-4 L/i
2016 HR: 84x/i MR via nasal
RR: 19 x/i Pneumo canule
Temp: 36,6oC nia IVFD NaCl
Kepala: 0,9% 10
Mata: Anemis (-/-) gtt/i mikro
Ikterus (-/-)
Inj.
Leher: TVJ R+2
Furosemide
cmH2O
1 amp/ 8
Thorax:
jam
Cor: S1/S2 (+)
regular Inj.
Murmur : (+) Ceftriaxone
1 g/12 jam
PSM: (+) gr 3/6
Inj.
EDM: (+) gr 3/4
Gentamicin
Sp: Vesikular 80 mg/8
ST: - jam
Abdomen: soepel, Valsartan 1
BU (+) N x 40 mg
Ekstremitas:akral N-
46

hangat, edema (-) asetilsistein


3 x 200 mg`
Hasil Lab
(21/11/2016)
Hb: 12,8 g/dL
Eritrosit: 4,74
juta/L
Leukosit:
11.760/L
Ht: 39%
Trombosit:
207.000/L

Hitung Jenis
N/L/M/E/B:
77/11,9/7,5/1,1/0,2

INR: 1,05

KGD sewaktu: 71
mg/dL

Ginjal:
BUN: 14 mg/dL
Ureum: 30 mg/dL
Kreatinin: 0,83
mg/dL

Elektrolit
Na/K/Cl: 135/
3,9/98

BAB 5

DISKUSI KASUS

TEORI KASUS
Etiologi
Gangguan kontraktilitas merupakan Pada pasien terdapat gangguan katup
salah satu penyebab gagal jantung. berupa regurgitasi aorta dan regurgitasi
47

Gangguan kontraktilitas dapat mitral yang menyebabkan kelebihan


disebabkan oleh kelebihan cairan cairan kronik (chronic volume
kronik (chronic volume overload) overload).
akibat gangguan katup seperti
regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta.
DiagnosisGagal Jantung (Kriteria
Framingham)
Kriteria Mayor Pada kasus dijumpai:
Paroksismal nocturnal dyspnea
Distensi vena leher Kriteria Mayor
Ronki paru Ronki paru
Kardiomegali Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3 Kriteria Minor
Peninggian tekanan vena jugularis Batuk malam hari
Refluks hepatojugular Dyspnea deffort
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dyspnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
normal
Takikardia (>120 kali per menit)
Mayor atau minor
Penurunan berat badan >4,5 kilogram
dalam 5 hari pengobatan
Manifestasi Klinis Regurgitasi Mitral
Pasien dengan regurgitasi mitral kronik
Pada kasus dijumpai:
lebih dominan menunjukkan gejala
akibat penurunan curah jantung Kelelahan
terutama saat beraktivitas seperti Dispnea
Orthopnea
kelelahan dan kelemahan. Pasien
48

dengan regurgitasi mitral yang parah


atau pasien yang mengalami disfungsi Murmur pansistolik

kontraksi ventrikel kiri sering


mengeluhkan dispnea, orthopnea,
dan/atau paroxysmal nocturnal
dyspnea. Pada pemeriksaan fisik, akan
didapatkan murmur pansistolik
(holosistolik) pada apeks jantung yang
menjalar ke aksila.
Manifestasi Klinis Regurgitasi Aorta
Gejala umum dari pasien dengan
Pada kasus dijumpai:
regurgitasi aorta ialah dispnea saat
aktivitas berat, kelelahan, penurunan Dispnea
toleransi aktivitas berat, dan sensasi Kelelahan
TD: 110/40 mmHg
tidak nyaman dari denyut jantung yang
menguat yang berkaitan dengan
tingginya tekanan sistolik. Dari
pemeriksaan fisik dapat ditemukan
murmur tipe early diastolic murmurdan
tanda-tanda pulse pressure yang
melebar lainnya.

Tatalaksana
Pada kasus diberikan:
Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien Bed rest
gagal jantung dengan tanda klinis atau
O2 2-4 L/i via nasal canule
gejala kongesti
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
Angiotensin Receptor Blocker
- ARB diberikan sebagai pilihan Inj. Furosemide 1 amp/ 8 jam
alternatif pada pasien dengan Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
gejala ringan sampai berat Inj. Gentamicin 80 mg/12 jam
Valsartan 1 x 40mg
(kelas fungsional II - IV
49

NYHA) yang intoleran ACEI Spironolakton 1 x 25 mg


- ARB dapat mencegah N-asetilsistein 3 x 200 mg
remodeling ventrikel melalui
mekanisme penghambatan efek
kerja AII yang menyebabkan
peningkatan sitokin yang
berperan dalam remodeling
ventrikel
Antagonis Aldosteron
- Obat golongan antagonis
aldosteron bila digunakan dalam
kombinasi dengan diuretik kuat
akan efektif dalam
mempertahankan kadar kalium
yang normal dalam serum
- Pemberian spironolakton pada
pasien yang mendapat diuretik
dan ACEI dapat mengurangi
angka kematian dan
memperbaiki gejala gagal
jantung melalui mekanisme
pencegahan remodeling ventrikel
50

BAB 6

KESIMPULAN

Tuan AF, laki-laki, usia 55 tahun, didiagnosa CHF Fc III ec AR, MR +


Possible IE + Pneumonia dan diberi pengobatan :
Bed rest
O2 2-4 L/i via nasal canule
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
Inj. Furosemide 1 amp/ 8 jam
Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam
Inj. Gentamicin 80 mg/12 jam
Valsartan 2 x 40mg
Spironolakton 1 x 25 mg
N-asetilsistein 3 x 200 mg
51

DAFTAR PUSTAKA

1. Lilly LS, ed. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Massachusetts:


Lippincolt Williams & Wilkins. 2011.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: PERKI. 2015.
3. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture Notes Kardiologi.
Jakarta: Erlangga. 2005.
4. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Available from: www.litbang.depkes.go.id.download[Accessed 1 November
2016].
5. Mann, D.L., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci, A.S., et al.,
eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. Volume 2. 17th ed. USA:
McGraw-Hill.
52

6. Dickstein K, Cohen-Solal A, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and


treatment of acute and chronic heart failure,2008.
7. Dumitru Ioana, 2016. Heart Failure. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview?src=refgatesrc1#a6.
[Accessed on: 22 November 2016].

Das könnte Ihnen auch gefallen