Sie sind auf Seite 1von 27

BAGIAN ILMU ANESTESI & REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS TADULAKO APRIL 2017

TATALAKSANA ANESTESI PADA PASIEN DENGAN TRAUMA


KAPITIS

Oleh:
Karin Kurniati Nurfatmah
N 111 15 023

Supervisor:
dr. Sofyan Bulango, Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45


tahun dan di Indonesia saat ini, lebih dari 50% merupakan traumakapitis,
mengingat bahwa kepala merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat
dalam suatu kecelakaan. Adapun di Negara maju seperti Amerika cedera kepala
merupakan penyebab kematian terbanyak kelompok usia muda (15-44 tahun) dan
merupakan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan.Dinamakan cedera
kranioserebral karena cederaini melukai baik bagian kranium (tengkorak) maupun
serebrum (otak).1,2,3
Trauma kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks, defisit kognitif, psikis,
intelektual, dan lain-lain yang dapat bersifat sementara ataupun menetap. Cedera
tersebut dapat mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan
selaput otak, kerusakan pembuluh darah intra-maupun ekstraserebral, dan
kerusakan jaringan otaknya sendiri. Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor.
Selain itu, cedera kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka
tembus peluru), dan lainnya.2,3
Di Indonesia, tidak terdapat data nasional mengenai trauma kepala. Pada
tahun 2005, di RSCM terdapat 434 pasien trauma kepala ringan, 315 pasien
trauma kepala sedang, dan 28 pasien trauma kepala berat. Di Rumah Sakit Siloam
pada tahun 2005 terdapat 347 kasus trauma kepala.Di Rumah Sakit Atma Jaya
pada tahun 2007, jumlah pasien trauma kepala mencapai 125 orang dari 256
pasien rawat inap bagian saraf.Di Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin (RSHS)
Bandung, pada tahun 2011, kejadian cedera kepala 2.509 kasus yang terdiri atas
1.856 (74%) cedera kepala ringan, 438 (17%) cedera kepala sedang, dan 215 (9%)
cedera kepala berat.1,3
Cedera pada kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari
lapisan kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak, duramater,

1
vaskuler otak, sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka yang tertutup,
maupun terbuka.Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami kondisi kritis
seperti tidak sadarkan diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat
perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian
atau kecacatan berat.1,2
Salah satu efek dari cedera kepala adalah peningkatan tekanan intracranial.
Tekanan intra kranial normal berkisar pada 8-10 mmHg untuk bayi, nilai kurang
dari 15 mmHg untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan
sudah menetap dalam waktu lebih dari 20 menit dikatakan sebagai hipertensi intra
kranial. Efek peningkatan tekanan intra cranial sangatlah kompleks, oleh karena
itu perlu penanganan segera agar penderita tidak jatuh dalam keadaan yang lebih
buruk.4
Pada kasus ini akan dibahas mengenai tatalaksana anestesi pada pasien
dengan trauma kapitis, lebih khusus mengenai tekanan intracranial pada pasien
dengan trauma kapitis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Trauma kapitis (trauma kepala) adalah trauma mekanik terhadap
kepala baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis, yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen.3 Definisi luas dari trauma
kepala menurut Jennet dan Mac Millan adalah termasuk pasien dengan
riwayat benturan terhadap kepala atau adanya luka pada kulit kepala mupun
disertai dengan perubahan kesadaran setelah terjadinya cedera terkait.4
CDC mendefinisikan TBI (Traumatic Brain Injury) sebagai gangguan
dalam fungsi otak normal yang dapat disebabkan oleh benturan, pukulan,
atau guncangan terhadap kepala maupun cedera kepala penetrasi. Ledakan
dari bahan-bahan eksplosif juga dapat menyebabkan TBI, khususnya di
antara mereka yang bertugas di militer AS. Adanya salah satu tanda-tanda
klinis berikut merupakan suatu perubahan dalam fungsi otak:5
a. Setiap periode hilangnya atau kesadaran menurun;
b. Hilangnya memori untuk peristiwa segera sebelumcedera (retrograde
amnesia) atau setelah cedera (Post-traumatic amnesia);
c. Defisit neurologis seperti kelemahan otot, kehilangan keseimbangan
dan koordinasi, gangguan penglihatan, perubahan bicara dan bahasa,
atau hilangnya sensasi;
d. Setiap perubahan dalam kondisi mental pada saat cedera seperti
kebingungan, disorientasi, berpikir lambat, atau kesulitan
berkonsentrasi.
Tidak semua benturan, pukulan, atau guncangan pada kepala
menghasilkan TBI. Sebagai tambahan, tidak semua orang yang mengalami
TBI akan memiliki efek perilaku atau disabilitas terkait-TBI. Namun,
kombinasi dari beberapa faktor-trauma dari benturan kepala atau ditabrak
oleh suatu objek, suatu objek menembus otak, gerakan akselerasi/deselerasi

3
otak yang tidak disebabkan oleh trauma langsung ke otak, dan
mempresentasikan tanda-tanda dan gejalaTBI baik segera atau dalam waktu
singkat setelah dicurigai adanya suatu cedera-cukup memadai untuk
mengklasifikasikan seseorang menderita TBI.5

B. PATOFISIOLOGI

Gambar 2.1 Skema proses patologi TBI dan target terapi. Setelah cedera,
penurunan CBF (cerebral blood flow) terjadi dari kerusakan mekanik dan
menyebabkan eksitotoksisitas yang memediasi kematian sel. Kematian sel
tersebut mengakibatkan inflamasi yang diperantarai oleh mikroglia residen
dan sel imun yang berasal perifer, menyebabkan peningkatan ICP
(intracranial pressure) dan penurunan CPP (cerebral perfusion pressure).
Inflamasi akhirnya berfungsi untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan
oleh TBI dan memungkinkan reorganisasi sinaptik terjadi. Reorganisasi dan
kerusakan tetap akan meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya kejang
dan kemungkinan epilepsi. Hipotermia dan HBOT (prophylactic hypothermia
and hyperbaric oxygen therapy) menargetkan deregulasi metabolisme cerebral
dan kadar oksigen dengan segera setelah cedera. Agen hiperosmolar,
progesteron, dan kraniektomi dekompresi berusaha untuk mengurangi
inflamasi yang disebabkan oleh TBI dan kerusakan berikutnya. AEDs (anti-
epileptic drugs), seperti LEV (levetiracetam) dan PHT (phenytoin), dan

4
stimulasi nervus vagal (VNS) mengurangi kemungkinan kejang pasca-
trauma.6

Otak terletak di dalam tengkorak yang tidak elastis, peningkatan kecil


volume dalam kompartemen intrakranial dapat ditoleransi sebelum tekanan
dalam kompartemen meningkat secara dramatis. Konsep ini didefinisikan
oleh doktrin Monro Kellie, yang menyatakan bahwa total volume
intrakranial adalah tetap karena sifat dasar tengkorakyang inelastis. Volume
intrakranial (Vi/c) adalah setara dengan jumlah komponennya, yakni
sebagai berikut:7
Vi/c = V (otak) + V (cerebrospinal fluid) + V (darah)
Pada orang dewasa tertentu, volume intrakranial sekitar 1500 mL,
yang mana volume otak 85-90%, volume darah cerebral intravascular
sekitar 10% dan sisanya adalah volume cairan serebrospinal (CSF) (<3%).
Ketika terjadi cedera kepala yang signifikan, edema cerebral sering
berkembang, yang akan meningkatkan volume relatif dari otak. Karena
volume intrakranial adalah tetap, tekanan dalam kompartemen ini
meningkat kecuali jika beberapa tindakan kompensasi terjadi, seperti
penurunan volume salah satu komponen intrakranial lainnya. Hal ini
berkaitan erat dengan konsep compliance intrakranial, yang diartikan
sebagai perubahan dalam tekanan yang diakibatkan oleh perubahan
volume.7
Konsep lain dari patofisiologi TBI adalah konsep tekanan perfusi
cerebral (Cerebral Perfusion Pressure/CPP). CPP didefinisikan sebagai
perbedaan antara tekanan rata-rata arteri (Mean Arterial Pressure/MAP) dan
ICP (Intracranial Pressure); CPP = MAP-ICP. CPP adalah tekanan bersih
dari aliran darah ke otak. Pada otak normal pada individu tanpa hipertensi
yang berlangsung lama, aliran darah otak (Cereberal Blood Flow/CBF)
adalah konstan yaitu kisaran MAPS dari 50-150 mmHg. Hal ini disebabkan
autoregulasi oleh arteriol, yang akan berkonstriksi ataupun berdilatasi dalam
rentan tekanan darah tertentu untuk mempertahankan jumlah konstan aliran
darah ke otak .Nilai ambang batas CPP adalah ~5060 mmHg.7,8

5
Ketika MAP kurang dari 50 mmHg atau lebih besar dari 150mmHg,
arteriol tidak lagi mampu untuk menjalankan autoregulasi dan aliran darah
menjadi sepenuhnya tergantung pada tekanan darah, situasi ini disebut
sebagai pressure-passive flow. CBF tidak lagi konstan tetapi bergantung dan
sebanding dengan CPP. Jadi, ketika MAP turun di bawah 50 mmHg, otak
berisiko terjadi iskemia karena aliran darah tidak memadai, sementara jika
MAP lebih besar dari 160 mmHg dapat menyebabkan kelebihan CBF yang
dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan ICP. Sementara autoregulasi
bekerja dengan baik pada otak yang tidak cedera, hal tersubut akan
memperburuk cedera otak. Akibatnya, pressure-passive flow terjadi di
dalam dan di sekitar area cedera dan, mungkin, secara menyeluruh pada
otak yang cedera.7

Gambar 2.2 Kurva autoregulasi otak (pengaturan tekanan). Aliran darah


otak (CBF) adalah konstan ketika tekanan darah rata-rata arteri (MAP)
terjaga antara 60 dan 160 mmHg. Pada pasien yang memiliki hipertensi atau
TBI berat, kurva autoregulasi bergeser ke kanan.9

6
Gambar 2.3 Kaskade vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
Kaskade jenis ini sering dipicu oleh perubahan CPP. Setiap langkah dalam
kaskade, bagaimanapun juga, dapat dipicu sebagai titik awal. Terdapat
banyak faktor pemicu seperti dehidrasi, volume vaskular, metabolisme
sistemik, CMRO2, viskositas darah, pengirimanoksigen sistemik, PaCO2, atau
agen farmakologis tertentu.9

Peningkatan ICP dapat berasal dari trauma otak awal ataupun cedera
otak sekunder Pada orang dewasa, normal ICP berkisar 0-15 mmHg. Pada
anak-anak muda, batas tertinggi dari normal ICP lebih rendah, dan batas ini
dapat berkisar 10 mmHg. Peningkatan ICP menyebabkan gangguan karena
mengakibatkan penurunan CPP dan penurunan CBF, yang mana jika cukup
berat, dapat menghasilkan iskemik cerebral. Peningkatan berat ICP
sangatlah berbahaya karena, dapat menambah risiko untuk terjadinya
iskemia, ICP yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan terjadinya herniasi.
Herniasi melibatkan pergerakan otak melalui struktur dural yang terfiksasi,
yang kemudian mengakibatkan cedera otak irreversible dan sering kali
berakibat pada cedera otak fatal.7
Iskemia dan hasil penurunan oksigen dan transfer glukosa ke otak,
serta jalur seluler dan biokimia kompleks akan memicu perburukan lebih
lanjut dari cedera pada otak. Neurotransmiter eksitatori (utamanya
glutamate) dilepascan ke dalam jaringan yang menginisiasi berbagai proses

7
patofisiologi, termasuk influks kalsium yang berlebihan ke dalam sel, yang
mana menyebabkan disfungsi mitokondria, pembengkakan seluler, produksi
radikal bebas, dan kematian neuronal secara bertahap.8

C. MANAJEMEN ANESTESI PADA KASUS PENINGKATAN TIK


1. Pemeriksaan prabedah
Pemeriksaan prabedah sama seperti pemeriksaan rutin untuk
tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan intrakranial,
efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya, hasil
CT-scan, MRI dll. CT scan menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intrakranial dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis,
hilangnya sulkus, hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus
hidrosefalus), dan edema (adanya daerah hipodensitas).
Indikasi untuk pemasangan monitor tekanan intrakranial adalah: 1)
CT scan abnormal dan GCS 3-8 setelah resusitasi syok dan hipoksia
adekuat, 2) CT scan normal dan GCS 3-8 dan disertai dua atau lebih: umur >
40 tahun, posturing, tekanan sistolik < 90 mmHg. Pemantauan tekanan
intrakranial menggunakan kateter intraventrikuler lebih disukai karena selain
dapat membaca tekanan intrakranial juga dapat digunakan untuk terapi
peningkatan tekanan intrakranial dengan cara drainase cairan serebrospinal.
Terapi untuk menurunkan tekanan intrakranial umumnya dimulai pada level
tekanan intrakranial 20-25 mmHg. Tujuannya untuk mempertahankan
tekanan perfusi otak > 70 mmHg.
Pengobatan hipertensi intrakranial adalah level kepala 150 sampai
300, mengendalikan kejang, ventilasi PaCO2 normal rendah (35 mmHg),
suhu tubuh normal, tidak ada obstruksi drainase vena jugularis, optimal
resusitasi cairan dan semua homeostasis fisiologis, dan pemberian sedasi dan
obat pelumpuh otot bila diperlukan. Bila tindakan ini gagal untuk
menurunkan tekanan intrakranial, tambahan terapi diberikan dalam manuver
first-tier dan second-tier terapi. First-tier terapi adalah: 1) drainase CSF
secara inkremental melalui kateter intraventrikular, 2) Diuresis dengan

8
mannitol, 0.25-1.5 g/kg diberikan lebih dari 10 menit, 3) hiperventilasi
moderat. Mannitol menurunkan tekanan intrakranial dengan cara
mengurangi edema otak dan memperbaiki aliran darah otak. Akan tetapi,
mannitol dapat menyebabkan diuresis dan hipotensi, terutama pada fase
resusitasi awal bila tidak dipasang alat pantau invasif dan adanya cedera lain
tidak diketahui. Karena itu, dipertahankan euvolemia atau sedikit
hipervolemia selama terapi mannitol dan osmolaritas serum dipantau serta
dipertahankan dibawah 320 mOsm/L. Hiperventilatisi moderat untuk
mencapai PaCO2 antara 35 sampai 40 mmHg juga menurunkan tekanan
intrakranial dengan mengurangi aliran darah otak. Hiperventilasi harus
dilakukan dengan singkat untuk mengobati gangguan neurologis akut atau
peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter terhadap drainase cairan
serebrospinal dan pemberian mannitol.
Second-tier terapi adalah: 1) hiperventilasi agresif, 2) dosis tinggi
barbiturat dan, 3) kraniektomi dekompresif. Hiperventilasi agressif untuk
mencapai PaCO2 < 30 mmHg mungkin diperlukan untuk peningkatan
tekanan intrakranial yang tidak berespon terhadap first-tier terapi. Bila
digunakan agresif hiperventilasi, pemantauan jugular venous oxygen
saturation (SJO2) atau cerebral tissue oxygenation dianjurkan untuk menilai
pengaruh penurunan aliran darah otak pada metabolisme oksigen serebral.
Herniasi otak adalah satu hal yang paling ditakutkan sebagai akibat
penyakit intrakranial misalnya tumor otak atau cedera kepala. Dari pasien
cedera kepala yang berkembang menjadi herniasi transtentorial, hanya 18%
mempunyai outcome yang baik, didefinisikan sebagai good recovery atau
moderate disability. Secara klasik, trias yang dihubungkan dengan herniasi
transtentorial yaitu penurunan kesadaran, dilatasi pupil, motor posturing
timbul sebagai konsekuensi adanya massa hemispheric. Tanda pertama dan
ketiga akan hilang bila pasien dianestesi dan yang kedua memerlukan
pemantauan pupil yang sering.
Pengelolaan klinis sindroma herniasi adalah sama dengan
pengelolaan hipertensi intrakranial yaitu dirancang untuk mengurangi

9
volume otak dan volume darah otak yaitu dengan cara: berikan mannitol,
hiperventilasi. Tambahan tindakan yang mungkin digunakan adalah posisi
kepala head-up (supaya drainase vena serebral baik), posisi leher netral
(untuk menghindari penekanan vena jugularis), pola ventilasi yang tepat,
glukokortikoid (hanya untuk tumor atau abses otak, tidak efektif untuk
stroke dan kerusakan akibat hipoksia), sedasi, pelumpuh otot dan terapi
demam (lakukan hipotermi ringan). Bila tekanan darah naik, harus dikurangi
secara hati-hati karena hipertensi umumnya sekunder bukan primer
(merupakan komponen dari trias Cushing).
Pengelolaan pasien tanpa adanya tanda klinis herniasi otak
Bila tidak ada tanda herniasi transtentorial, sedasi dan pelumpuh otot harus
digunakan selama transportasi pasien untuk kemudahan dan keamanan
selama transportasi. Agitasi, confuse sering terdapat pada pasien cedera
kepala dan memerlukan pertimbangan pemberian sedasi. Pelumpuh otot
mempunyai keterbatasan untuk evaluasi pupil serta dalam pemeriksaan CT
scan. Karena itu, penggunaannnya pada pasien tanpa tanda herniasi otak
adalah bila pemberian sedatif saja tidak cukup untuk menjamin keamanan
dan kemudahan transportasi pasien. Bila akan digunakan pelumpuh otot,
pakailah yang masa kerjanya pendek. Tidak perlu mannitol karena dapat
menimbulkan hipovolemia. Tidak perlu dilakukan hiperventilasi tapi asal
optimal oksigenasi dan normal ventilasi.
Pengelolaan pasien dengan adanya tanda klinis herniasi otak
Bila ada tanda herniasi transtentorial atau perubahan progresif dari
memburuknya neurologis yang bukan disebabkan akibat ekstrakranial,
diindikasikan untuk melakukan terapi agresif peningkatan tekanan
intrakranial. Hiperventilasi mudah dilakukan dengan meningkatkan
frekuensi ventilasi dan tidak tergantung pada sukses atau tidaknya resusitasi
volume. Disebabkan hipotensi dapat menimbulkan memburuknya neurologis
dan hipertensi intrakranial maka pemberian mannitol hanya bila volume
sirkulasi adekuat. Bila belum adekuat jangan dulu diberi mannitol.

10
2. Anestesi
Pasien dengan cedera kepala berat (GCS 3-8) biasanya telah
dilakukan intubasi di unit gawat darurat atau untuk keperluan CT-scan.
Bila pasien datang ke kamar operasi belum dilakukan intubasi, dilakukan
oksigenasi dan bebaskan jalan nafas. Spesialis anestesi harus waspada
bahwa pasien ini mungkin dalam keadaan lambung penuh, hipovolemia,
dan cervical spine injury.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan
hemodinamik yang stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid
sequence induction dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
hemodinamik yang stabil walaupun prosedur ini dapat meningkatkan
tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama pemberian oksigen 100%,
dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg dan
succinylcholin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan
intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada
pasien dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan.
Akan tetapi, depresi kardiovaskuler selalu menjadi pertimbangan,
terutama pada pasien dengan hipovolemia. Succinylcholin dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis kecil pelumpuh otot
nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan intrakranial, akan
tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Succinylcholin tetapi
merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan
intubasi yang cepat.
Rocuronium 0,6-1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan
disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada
dinamika intrakranial. Bila pasien stabil dan tidak ada lambung penuh,
induksi intravena dapat dilakukan dengan titrasi pentotal atau propofol
untuk mengurangi efeknya pada sirkulasi. Berikan dosis intubasi
pelumpuh otot tanpa diberikan priming terlebih dulu. Sebagai contoh,
dengan rocuronium 0,6-1 mg/kg diperoleh kondisi intubasi yang baik

11
dalam watu 60-90 detik. Fentanyl 1-4 ug/kg diberikan untuk
menumpulkan respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi.
Lidokain 1,5 mg/kg intravena diberikan 90 detik sebelum laringoskopi
dapat mencegah kenaikan tekanan intrakranial.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa
masuk, dan pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan
biarkan mengalir secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan
dipasang melalui nasal disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis
kranii dapat menyebabkan masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga
cranium.
Pemeliharaan anestesi dipilih dengan obat yang ideal yang mampu
menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan pasokan oksigen yang
adekuat ke otak, dan melindungi otak dari akibat iskemia. Pemilihan obat
anestesi berdasarkan pertimbangan patologi intrakranial, kondisi sistemik,
dan adanya multiple trauma.

Obat anestesi

1. Anestesi intravena
a. Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah
ke otak (CBF), volume darah otak (CBV), dan tekanan
intrakranial (ICP). Mengurangi ICP dengan obat ini juga
mengurangi CBF dan CBV dengan depresi metabolik. Tiopental
dan fenobarbital melindungi iskemi otak fokal pada percobaan
binatang. Pada cedera kepala, iskemi merupakan sekuele yang
umum.
b. Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi
CBF, dan ICP. Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit
dibandingkan dengan enggunaan barbiturat. Penggunaan yang
berlama-lama dari etomidate dapat menekan respon
adrenokortikal terhadap stress.

12
c. Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan
penggunaan propofol menyerupai obat barbiturat.
d. Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat
berguna baink untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia
karen aboat ini memiliki minimal efek pada hemodinamik.
Diazepam, 0,1-0,2 mg/kg, dapat diberikan untuk menginduksi
anestesia dan dapat diulangi jika perlu, sampai batas 0,3-0,6
mg/kg. Midazolam, 0,2 mg/kg, dapat digunakan untuk induksi
dan dapat diulangi bila perlu.
e. Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan
pengurangan yang minimal sampai sedang pada CBF. Saat
ventilasi diberikan secara adekuat, narkotik memiliki efek
minimal pada ICP. Meskipun memiliki sedikit efek
meningkatkan ICP, fentanyl memberikan efek analgesi yang
memuaskan dan depat memberikan konsenterasi dari penggunaan
obat anestesi inhalasi yang lebih sedikit
2. Anestesi inhalasi
a. isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki
sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial
daripada halotan. Karena isofluran menekan metabolisme
serebral, obat ini mungkin memiliki efek melindungi saat iskemi
tidak berat. Isofluran dengan konsenterasi >1 dari minimum
alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan
peningkatan substansial pada ICP.
b. Sevoflurane. Pada model kelinci cryogenic brain injury,
peningkatan ICP muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih
tinggi dibandingkan dengan penggunaan halotan. Pada studi
klinis, walaupun efek pada hemodinamik serbral sevoflurane
mirip dengan isoflurane. Efek yang tidak menguntungkan pada
sevoflurane yaitu metabolitnya yang bersifat racun pada
konsenterasi yang tinggi.

13
c. Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat
meningkatkan ICP.
d. Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak,
karena itu dapat meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi
intrakranial sebaiknya tidak menggunakan obat ini. N2O juga
dihindari pada pneumochepalus atau pneumothorax karena N2O
berdifusi ke rongga udara lebih cepat dibandingkan dengan
nitrogen, oleh karena itu dapat meningkatkan volume di dalam
rongga udara.
3. Anestesi lokal. Infiltrasi lidokain 1% maupun bupivacaine 0,25%,
dengan atau tidak dengan epinephrine, di kulit sekitar insisi skalp
dan tempat insersi pin head holder membantu mencegah hipertensi
sitemik dan intrakranial terhadap rangsangan ini dan menghindari
penggunaan yang tidak perlu dari anestesi dalam.
4. Muscle relaxant. Muscle relaxan yang adekuat memfasilitasi
mekanikal ventilasi dan mengurangi ICP. Batuk dan peregangan
dihindari karena keduanya dapat mengakibatkan meningkatnya
pengisisan vena serebral.
a. Vecironium memiliki minimal ataupun tanpa efek pada ICP,
tekanan darah, atau denyut jantung dan efektif pada pasien
dengan trauma kepala. Obat ini memiliki inisial dosis yaitu 0,08-
0,1 mg/kg diikuti pemberian infus 1-1,7 mcg/kg/menit
b. Pancuronium tidak menimbulkan peningkatan ICP tapi dapat
menimbulkan hipertensi dan takikardia karena efek vagolitiknya,
oleh karena itu dapat meningkatkan resiko pada pasien.
c. Atracurium tidak memiliki efek pada ICP. Karena onsetnya yang
cepat dan durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti
dengan pemberian melalui infus 4-10mcg/kg/menit diberikan
dengan monitoring dari neuromuskular blok.

14
d. Recuronium berguna saat intubasi karena efeknya yang cepat dan
sedikit efek pada intrakranial. Untuk mempertahankan, obat
dengan durasi lebih lama dibutuhkan.

3. Paskabedah
Bila pasien prabedah GCS 8 kebawah, paska bedah tetap diintubasi.
Bila masih tidak sadar, pasien mungkin dilakukan ventilasi mekanik atau
nafas spontan. Harus diperhatikan bahwa pasien dalam keadaan posisi
netral-head up, jalan nafas bebas sepanjang waktu, normokapni, oksigenasi
adekuat, normotensi, normovolemia, isoosmoler, normoglikemia,

normotermia (35-36C).
Berikan fenitoin sampai 1 minggu paska bedah untuk profilaksis
kejang. Nutrisi enteral dimulai dalam 24 jam pascabedah.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 Tahun
Berat Badan : 40 kg
Agama : Islam
Alamat : Dampal-Sirenja
Diagnosa Pra Anestesi : Cedera Otak Ringan + Epidural hematom frontal
Jenis Pembedahan : Craniotomy
Tanggal Operasi : 14/03/ 2017
Tempat Operasi : RSUD Undata
Jenis Anestesi : General anestesi

B. EVALUASI PRA-ANESTESI (13/03/2017)


a. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama : Sakit kepala
Riwayat penyakit sekarang : pasien perempuan masuk dengan keluhan
nyeri kepala akibat post kecelakaan lalulintas 6 jam sebelum masuk rumah
sakit. Pasien bersama temannya menabrak pejalan kaki. Pasien yang
dibonceng kemudian terlempar. Setelah kejadian pasien sempat pingsan dan
dibawa ke Puskesmas Tompe. Setelah di Puskesmas pasien muntah lebih dari
5 kali bercampur darah, mual (+), perdarahan di hidung (+), perdarahan di
telinga (-). BAK (+)
Riwayat Penyakit Dahulu : Kejang (-), Hipertensi (-), Penyakit Jantung
(-), Diabetes Mellitus (-).

16
b. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 /menit
Respirasi : 18 /menit
Temperatur : 36,5 C
Skor Nyeri (VAS) :7
B1 (Breath) dan Evaluasi Jalan Napas: Airway: clear,
gurgling/snoring/crowing:(-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut (5 cm),
jarak mento/hyoid (6 cm), jarak hyothyoid (6,5 cm), leher pendek (-), gerak
leher (bebas), tenggorok (T1-1) faring hiperemis tidak ada, malampathy (I),
obesitas (-), massa (-), gigi geligi lengkap (tidak ada gigi palsu), sulit ventilasi
(-). Suara pernapasan: Vesikuler (+/+), suara tambahan (-). Riwayat asma (-),
alergi (-), batuk (-), sesak (-), masalah lain pada sistem pernapasan (-).
B2 (Blood): Akral dingin, bunyi jantung SI dan SII murni regular. Masalah
pada sistem kardiovaskular (-)
B3 (Brain): Kesadaran composmentis GCS 15 (E4V5M6), Pupil: isokor 3
mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+. Defisit neurologis (-). Masalah pada sistem
neuro/muskuloskeletal (-).
B4 (Bladder): BAK (+), volume: 60 cc/jam, warna: kuning jernih. Masalah
pada sistem renal/endokrin (-).
B5 (bowel): Abdomen: tampak datar, peristaltik (+) dbn, nyeri tekan regio
epigastrium, mual (-), muntah (-). Masalah pada sistem
hepato/gastrointestinal (-).
B6 Back & Bone: Oedem pretibial (-).
Lain-Lain: hematom region orbicularis oculi D/S

c. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal (10/03/2017)

17
Darah Rutin
Range
Parameter Hasil Satuan Normal
RBC 3,60 106/uL 4,7 - 6,1
Hemoglobin (Hb) 11,7 g/dL 14 - 18
Hematokrit (HCT) 30,6 % 42 - 52
PLT 225 103/uL 150- 450
WBC 14,5 103/uL 4,8 -10,8
CT 6 m.det 4-12
BT 3 m.det 1-4

HBsAg : Non reaktif


GDS : 155 mg/dl

d. Pemeriksaan Penunjang
EKG :-
CT scan : perdarahan epidural di lobus frontalis

C. PLANNING
Laporan Anestesi Durante Operatif
Anestesiologi : dr. Sofyan Bulango, Sp.An
Jenis anestesi : General Anestesi, intubasi
Obat :
Sedative : Midazolam 2,5mg, propofol 100mg
Analgetik : Fentanyl 70mg
Pelumpuh otot : Atracurium 25mg
Maintenance : sevoflurane 1 MAC=2%
Lama anestesi : 09.35 12.40 (3 jam 5 menit)
Lama operasi : 10.10 12.35 (2 jam 20 menit)
Ahli Bedah : dr. Johanes Manurung, Sp. BS
Posisi anestesi: supine
Infus : 2 line di tangan kanan dan kiri

18
Tabel. Tanda-tanda vital selama operasi
Waktu Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) Pulse (x/m)
0 (10.10) 105 75 75
5 (10.15) 105 75 101
10 (10.20) 105 65 101
15 (10.25) 97 58 119
20 (10.30) 93 55 118
25 (10.35) 95 58 105
30 (10.40) 95 60 105
35 (10.45) 95 62 105
40 (10.50) 95 62 100
45 (10.55) 97 62 115
50 (11.00) 93 55 108
55 (11.05) 90 53 108
60 (11.10) 90 55 107
65 (11.15) 92 55 100
70 (11.20) 92 57 98
75 (11.25) 90 59 85
80 (11.30) 90 60 85
85 (11.35) 95 60 87
90 (11.40) 93 60 88
95 (11.45) 90 60 85
100 (11.50) 89 58 92
105 (11.55) 89 55 100
110 (12.00) 89 55 95
115 (12.10) 89 55 95
120 (12.15) 89 58 92
125 (12.20) 97 55 100
130 (12.25) 97 55 113
135 (12.30) 95 57 115
140 (12.35) 95 57 115

19
Grafik tanda vital selama operasi
140
120
100
80
Sistole
60
Diastole
40
pulse
20
0

Tabel 2. Penggunaan obat anestesi selama operasi

100
105
110
115
120
125
130
135
140
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
0
5

Sedacum
Lidocaine
Fentanyl
Propofol
Atracurium

20
BAB IV

PEMBAHASAN

Cedera otak traumatik merupakan salah satu dari trauma yang paling
serius dan mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk
mendapatkan luaran yang baik. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien
dengan cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak,
menghindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan yang optimal
untuk dokter bedah saraf. Penatalaksanaan anestesi pada suatu cedera otak
traumatik harus menjamin adekuasi fungsi respirasi dan sirkulasi.

Gambar 1. Fisiologi dan Patofisiologi Tekanan Intrakranial (ICP) yang dapat


dipengaruhi oleh berbagai keadaan di antaranya keseimbangan oksigen
suplai/konsumsi, tekanan arteri rerata (MABP) Reaktivitas serebrovaskular
terhadap Karbondioksida (CO2R) (autoregulasi (AR), aliran darah serebral
(CBF), volume darah serebral (CBV), kecepatan metabolisme serebral yang
dipengaruhi oleh ada tidaknya peningkatan suhu tubuh (Temp), ada tidaknya
massa di otak (SOL) serta mencegah hipertensi intrakranial untuk mencegah
hipoksia jaringan otak maupun herniasi (Sakabe T, Matsumoto M. Effects of
Anesthetic Agents and Other Drugs on Cerebral Blood Flow, Metabolism, and
Intracranial Pressure. Cottrell JE & Young W, 2010)

21
Pasien ini mengalami cedera otak primer yang terjadi akibat benturan
langsung pada kepalanya saat terbentur aspal ketika motor yang dikendarai
penderita menabrak pejalan kaki dan penderita terpental. Cedera kepala
diklasifikasikan kedalam cedera primer dan cedera sekunder. Klasifikasi ini
berguna untuk pertimbangan terapi. Cedera primer adalah kerusakan yang
ditimbulkan oleh impak mekanis dan stres aselerasi-deselerasi pada tulang kepala
dan jaringan otak, mengakibatkan patah tulang kepala (tulang kepala atau basis
kranii) dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial diklasifikasikan kedalam dua tipe
yaitu cedera difus dan fokal. Difus injuri ada dua kategori yaitu brain concussion
(bila hilangnya kesadaran berakhir < 6 jam) dan Diffus axonal injury /DAI (bila
hilangnya kesadaran berakhir > 6 jam). Focal injury ada beberapa macam antara
lain brain contusion, epidural hematom, subdural hematom, intraserebral
hematom. Cedera sekunder berkembang dalam menit, jam, atau hari sejak cedera
pertama dan menimbulkan kerusakan lanjutan dari jaringan saraf. Penyebab
paling umum dari cedera sekunder adalah hipoksia dan iskemi serebral. Cedera
sekunder dapat disebabkan hal-hal berikut: 1) disfungsi respirasi (hipoksemia,
hiperkarbia), 2) instabilitas kardiovaskuler (hipotensi, curah jantung rendah), 3)
peningkatan tekanan intrakranial, dan 4) gangguan parameter biokimiawi lainnya.
Adanya kemungkinan suatu peningkatan tekanan intrakranial tidak dapat
dipungkiri pada pasien ini mengingat hebatnya benturan yang dialami serta lokasi
perdarahan yang terjadi berupa epidural hematoma yang dialami. Kranium
merupakan struktur yang rigid dengan kapasitas yang sangat terbatas, dimana 80%
terdiri dari otak, 10% darah, dan 10% cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid
/CSF). Dimana seluruh struktur tersebut tidak dapat ditekan; sehingga sedikit saja
peningkatan dalam volume dari struktur-struktur tersebut, kecuali dikompensasi
dengan pengurangan volume struktur lainnya, akan menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial.
Sesuai dengan target utama penatalaksanaan anestesi pada pasien ini yaitu
untuk menjamin tekanan perfusi serebral yang adekuat, maka pemantauan secara
ketat parameter hemodinamik dasar berupa tekanan darah dan laju nadi dilakukan

22
secara berkesinambungan. Mekanisme utama untuk mempertahankan CPP adalah
menjamin tekanan arteri rata-rata yang adekuat (dengan penggunaan cairan dan
kalau perlu dengan pemberian vasopresor) untuk mencegah peningkatan tekanan
intrakranial yang berlebihan. Pada orang yang normal, ICP berkisar 0-10 mmHg
dan hal ini sangat tergantung pada autoregulasi CBF (misalnya jumlah darah
dalam kranium). Vasokonstriksi atau vasodilatasi pembuluh darah serebral terjadi
sebagai respons terhadap MAP, PaO2, PaCO2 dan viskositas darah. Sekalipun
respons-respons tersebut kemungkinan sudah sangat berkurang atau hilang pada
keadaan cedera kepala, pencegahan terhadap cedera kepala sekunder meliputi
manipulasi tehadap variabel-variabel tersebut di atas. Setiap peningkatan PaCO2
akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan CBF, yang selanjutnya dapat
meningkatkan ICP; Sedangkan pengurangan PaCO2 dapat menyebabkan
vasokonstriksi yang selanjutnya menyebabkan pengurangan CBF dan ICP.
Sedangkan hiperventilasi yang berlebihan dapat menyebabkaniskemia. Penurunan
PaO2 menyebabkan vasodilatasi dengan konsekuensinya peningkatan ICP.
Penatalaksanaan hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk
evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi
sumber perdarahan. Biasanya pascaoperasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam
untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yang baru. Pembedahan dengan
teknik trepanasikraniotomi, untuk evakuasi hematom, atau dengan Kraniotomi-
evakuasi hematom.
Hematom epidural dapat memberikan komplikasi: edema serebri,
merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan intraoperatif
dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian
pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial; Kompresi
batang otakmeninggal. Sedangkan luaran pada hematom epidural yaitu:
mortalitas 20% -30%; sembuh dengan defisit neurologik 5%-10%; sembuh tanpa
defisit neurologik; hidup dalam kondisi status vegetatif.
Beberapa teknik induksi dapat dilakukan dan keadaan hemodinamik yang
stabil menentukan pilihan teknik induksinya. Rapid sequence induction dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil walaupun

23
prosedur ini dapat meningkatkan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Selama
pemberian oksigen 100%, dosis induksi pentotal 3-4 mg/kg atau propofol 1-2
mg/kg dan Suksinilkolin1,5 mg/kg diberikan, lidokain 1,5 mg/kg lalu dilakukan
intubasi endotrakheal. Etomidate 0,2-0,3 mg/kg dapat diberikan pada pasien
dengan status sirkulasi diragukan. Pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil
dosis induksi diturunkan atau tidak diberikan. Akan tetapi, depresi kardiovaskuler
selalu menjadi pertimbangan, terutama pada pasien dengan hipovolemia.
Suksinilkolin dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemberian dosis
kecil pelumpuh otot nondepolarisasi dapat mencegah kenaikkan tekanan
intrakranial, akan tetapi keadaan ini tidak dapat dipastikan. Suksinikolin tetapi
merupakan pilihan, terutama, untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi yang
cepat. Rocuronium 0,6-1 mg/kg merupakan alternatif yang memuaskan
disebabkan karena onsetnya yang cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika
intrakranial.
Lidokain merupakan agen antiaritmia. Tujuan pemberiannya adalah untuk
mempertahankan hemodinmik pasien tetap stabil.
Pada pasien ini, sebelum dilakukan intubasi diberikan midazolam 2,5mg,
lidocaine 40mg, fentanyl 70 mg, propofol 100mg, dan atracurium 25mg. Selama
pemberian obat tersebut pasien diberikan oksigen melalui sungkup.
Intubasi dengan pipa endotrakheal sebesar mungkin yang bisa masuk, dan
pasang pipa nasogastrik untuk aspirasi cairan lambung dan biarkan mengalir
secara pasif selama berlangsungnya operasi. Jangan dipasang melalui nasal
disebabkan kemungkinan adanya fraktur basis kranii dapat menyebabkan
masuknya pipa nasogastrik kedalam rongga kranium. Pemeliharaan anestesi
dipilih dengan obat yang ideal yang mampu menurunkan tekanan intrakranial,
mempertahankan pasokan oksigen yang adekuat ke otak, dan melindungi otak dari
akibat iskemia. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan patologi
intrakranial, kondisi sistemik, dan adanya multiple trauma.
Selama operasi, obat anestesi yang digunakan pada pasien ini sebagai
maintenance yaitu gas inhalasi sevoflurane. Efek hemodinamik serebral

24
sevoflurane mirip dengan isoflurane. Isoflurane memiliki sedikit efek pada aliran
darah otak dan tekanan intracranial daripada halotan.
Obat anestesi intravena mengurangi CMR, CBF, CBV dan TIK,
menyebabkan pengurangan otak yang tegang. Vasokonstriksi serebral tergantung
pada intak atau tidaknya flow-metabolism coupling. Sebagaimana autoregulasi,
flow-metabolism coupling digagalkan oleh adanya kontusio otak dan kondisi
patologik intraserebral lainnya.
Hiperventilasi menghasilkan suatu keadaan hipokapnia dan selanjutnya
terjadilah vasokonstriksi serebral. Pada keadaan autoregulasi yang masih utuh,
aliran darah otak berhubungan secara linear dengan PaCO2 antara 20-70 mmHg.
The American Heart Association menganjurkan pemberian normal saline
50 -150 cc/jam selama 4-6 jam pada pasien dengan hipovolemik, karena dapat
meningkatkan cairan intravaskuler sebanyak 30%, lalu diikuti dengan pemberian
cairan maintenance. Penggunaan normal saline dan RS yang berkepanjangan bisa
menambah risiko asidosis hiperkloremik oleh karena itu untuk cairan
maintenance, dapat diganti dengan infus ringer asetat yang memiliki kadar klorin
yang lebih rendah. Penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml
Ringer Asetat, dapat meningkatkan osmolalitas cairan (290 mOsm/L). Pemberian
cairan hipotonik seperti dextrose 5%, atau 0.45% saline dapat menyebabkan
edema otak. Selama operasi pasien diberikan cairan ringer laktat.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Satyanegara, Arifin MZ, Hasan RY, Abubakar S, Yuliatri N, Prabowo H,


Sionno Y, Widjaya IA, Rahardja RR. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, edisi
V. Jakarta: PenerbitPT Gramedia Pustaka Utama; 2014.
2. Soertidewi L. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral.
Continuing Medical Education CDK-193. 2012; 39 (5): 327-331.
3. Atmadja AS. Indikasi pembedahan pada trauma kapitis. Continuing Medical
Education CDK-236. 2016; 43 (1): 29-33.
4. Winarno I, Harahap S. Pemantauan Tekanan Intrakranial. Jurnal
Anestesiologi Indonesia. 2009; 1 (2): 101-119.
5. Frieden TR, Houry D, Baldwin G. Report to Congress,Traumatic Brain
Injury In the United States: Epidemiology and Rehabilitation. United
States: Centers for Disease Control and Prevention National Center for
Injury Prevention and Control; 2015.
6. Algattas H, Huang JH. Traumatic Brain Injury Pathophysiology and
Treatments: Early, Intermediate, and Late Phases Post-Injury. International
Journal of Molecular Sciences. 2014; 15 (-): 309-341.
7. Ainsworth CR. Head Trauma. Medscape (serial online). 2015 (Citied 2017
Mar 17); (3 Screens). Available from:
<http://emedicine.medscape.com/article/433855workup#showall>.
8. Kim JJ, Gean AD. Imaging for the Diagnosis and Management of Traumatic
Brain Injury. Neurotherapeutics: The Journal of the American Society for
Experimental NeuroTherapeutics. 2011; 8 (-): 39-53.
9. Kinoshita K. Traumatic brain injury: pathophysiology for neurocritical care.
Journal of Intensive Care. 2016; 4 (29): 1-10.

26

Das könnte Ihnen auch gefallen