Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kami selaku Mahasiswa.
Dalam makalah ini kami membahas tentang Askep Filariyasis.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
2
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
FILARIYASIS
DI
S
U
S
U
N
Oleh :
KELOMPOK 4
Nila Wati
1340411508
Dosen Pembimbing
Ns. JUBIR, S.Kep
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
nokturnal dengan nyamuk Culex, nyamuk Aedes dan pada jenis nyamuk
Anopheles. Nyamuk Culex juga biasanya ditemukan di daerah-daerah urban,
sedangkan Nyamuk Aedes dan Anopheles dapat ditemukan di daerah-daerah
rural (riyanto,harun. 2010).
Filariasis merupakan penyakit menular (penyakit kaki gajah) yang
disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis
nyamuk.penyakit ini bersifat menahun, Dan bila tidak dapat pengobatan dapat
menimbulakan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat
kelamin, baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat
bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain
sehinggamenjadi beban keluarga. Berdasarkan laporan dari hasil survey pada
tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 puskesmas tersebar
di 231 kabupaten sebagai lokasi endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233
orang. Hasil survay laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari, rata-rata
mikrofilaria rate (Mf Rate) 3,1%berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi
cacing filaria dan sekitar 100 juta orang memepunyai resiko tinggi untuk
ketularan karena nyamuk penularannya tersebar luas (Abercrombie, et al.
2009).
Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas (chairufatah,alex.2009)
WHO sudah menetapkan kesepakatan global (The Global Goal of
Elimination of lympatic filariasis as a public Health Problem by the year
2020). Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan misal dengan
DEC dan albendazol setahun sekali selama 5 tahun di lokasi yang endemis
dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah
kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan
eliminasi penyakit gajah secara berthap dimulai pada tahun 2002 di 5
kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan 5 tahun.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan penyakit filariasis adalah
penyakit endemis yang apa tidak ditangani secara cepat akan memperluas
penyebaran dan penularannya kepada manusia. Oleh karena itu kita perlu
mengetahui apa itu filariasis, serta hal-hal yang terkait dengannya.
5
Berdasarkan paparan dari fakta inilah maka kami selaku penulis tertarik untuk
membahas kasus mengenai penyakit filariasis ini dan sebagai pemenuhan
tugas pada blok sistem imun dan hematologi (riyanto, harun.2005).
1.3 Tujuan
a. Tujuan umum
Menjelaskan tentang pneumonia dan asuhan keperawatan pada klien
dengan kasus pneumonia.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Filariyasis.
2) Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dari Filariyasis.
3) Untuk mengetahui apakah etiologi dari Filariyasis.
4) Untuk mengetahui Factor yang mempengaruhi Filariyasis.
5) Untuk mengetahui daur hidup Filariyasis.
6) Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Filariyasis.
7) Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari Filariyasis.
8) Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostik Filariyasis..
6
9) Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan Filariyasis.
10) Untuk mengetahui bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan
pada klien dengan Filariyasis.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini semoga makalah ini bisa
membantu mahasiswa untuk lebih mengetahui tentang penyakit pneumonia
dan menambah wawasan pengetahuan mahasiswa tentang bagaimana
pemberian asuhan keperawatan pada pasien Filariyasis.
7
BAB II
PEMBAHASAN
2.2 Klasifikasi
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai.
Menurut T.Pohan,Herdiman (2009) Limfedema tungkai ini dapat dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu:
a. Tingkat 1
Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel) bila
tungkai diangkat.
b. Tingkat 2
Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal (irreversibel)
bila tungkai diangkat.
c. Tingkat 3
Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel) bila tungkai
diangkat, kulit menjadi tebal.
8
d. Tingkat 4
Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit
(elephantiasis).
2.3 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria
Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. Cacing ini menyerupai benang dan
hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan darah.
Infeksi cacing ini menyerang jaringan viscera, parasit ini termasuk kedalam
superfamili Filaroidea, family onchorcercidae.
Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama 4 -
6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan
anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari.
Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di pedesaan maupun diperkotaan.
Nyamuk merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23 spesies nyamuk
yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus: mansonia, culex,
anopheles, aedes dan armigeres. Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu
tergantung dari spesies dan tipenya.Di Indonesia semuanya nokturna kecuali
type non periodic Secara umum daur hidup ketiga spesies sama Tersebar luas
di seluruh Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya ( Got,
sawah, rawa, hutan ). (Notoatmodjo, Soekidjo. 2010).
9
2.5 Daur hidup filariasis
Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular
(manusia dan hewan), Parasit , Vektor, Manusia yang rentan, Lingkungan
(fisik, biologik dan sosial ekonomibudaya) Didalam tubuh nyamuk
mikrofilaria yang diisap nyamuk akan berkembang dalam otot
nyamuk.Setelah 3 hari menjadi larva L1, 6 hari menjdi larva L2, 8-10 hari
untuk brugia atau 10 14 hari untuk wuchereria akan menjadi larva L3.
Larva L3 sangat aktif dan merupakan larva infektif.ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk (tetapi tidak seperti malaria). Manusia
merupakan hospes definitive Hampir semua dapat tertular terutama pendatang
dari daerah non-endemik. Beberapa hewan dapat bertindak sebagai hospes
reservoir. (Notoatmodjo, Soekidjo. 2010).
Larva infektif (larva stadium 3) ditularkan ke tubuh manusia melalui
gigitan nyamuk, beberapa jam setelah masuk kedalam darah, larva berubah
menjadi stadium 4 yang kemudian bergerak dan menuju pembuluh dan
kelenjar limfe. Sekitar 9 bulan / 1 tahun kemudian larva ini berubah menjadi
cacing dewasa jantan dan betina, cacing dewasa ini terutama tinggal di
saluran limfe aferens, terutama di saluran limfe ekstremitas bawah ( inguinal
dan obturator ), ekstremitas atas ( saluran limfe aksila ), dan untuk
W.bancrofti ditambah dengan saluran limfe di daerah genital laki-laki
(epididimidis, testis, korda spermatikus).
Melalui kopulasi, cacing betina mengeluarkan larva stadium 1 (bentuk
embrionik/mikrofilaria) dalam jumlah banyak, dapat lebih dari 10.000 per
hari. Mikrofilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus
dinding pembuluh limfe menuju ke pembuluh darah yang berdekatan atau
terbawa oleh saluran limfe masuk ke dalam sirkulasi darah mungkin melalui
duktus thoracicus, mikrofilaremia ini terutama sering ditemukan pada malam
hari antara tengah malam sampai jam 6 pagi. Pada saat siang hari hanya
sedikit atau bahkan tidak ditemukan mikrofilaremia, pada saat tersebut
mikrofilaria berada di jaringan pembuluh darah paru. Penyebab periodisitas
nokturnal ini belum diketahui, namun diduga sebagai bentuk adaptasi ekologi
10
lokal, saat timbul mikrofilaremia pada malam hari, pada saat itu pula
kebanyakan vektor menggigit manusia. Diduga pula pH darah yang lebih
rendah saat malam hari berperan dalam terjadinya periodisitas nokturnal.
Darah yang mengandung mikrofilaria dihisap nyamuk, dan dalam tubuh
nyamuk larva mengalami pertumbuhan menjadi larva stadium 2 dan
kemudian larva stadium 3 dalam waktu 10 12 hari. Cacing dewasa dapat
hidup sampai 20 tahun dalam tubuh manusia, rata-rata sekitar 5 tahun
(Witagama,dedi.2009).
Penyebab utama filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori sedangkan filariasis subkutan disebabkan oleh
Onchorcercia spp. Filariasis limfatik yang disebabkan oleh W.bancrofti
disebut juga sebagai Bancroftian filariasis dan yang disebabkan oleh Brugia
malayi disebut sebagai Malayan filariasis. Filariasis limfatik ditularkan
melalui gigitan nyamuk Anopheles spp., Culex spp., Aedes spp. dan
Mansonia spp. Filariasis limfatik merupakan penyebab utama dari kecacatan
didaerah endemic sehingga merupakan masalah kesehatan masyarakat utama
dengan penyebab utama W.bancrofti. Pada beberapa tahun belakangan terjadi
peningkatan kasus limfatik filariasis di daerah perkotaan (urban lymphatic
filariasis) yang disebabkan oleh peningkatan populasi penderita di per-kotaan
akibat urbanisasi dan tersedianya vektor di daerah tersebut
(Witagama,dedi.2009).
2.6 Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit
akan menuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi
perubahan dari larva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan
menghasilkan produk produk yang akan menyebabkan dilaasi dari
pembuluh limfa sehingga terjadi disfungsi katup yang berakibat aliran limfa
retrograde. Akibat dari aliran retrograde tersebut maka akan terbentuk
limfedema (Witagama,dedi.2009).
11
Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan
antigen parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan
sitokin seperti IL 1, IL 6, TNF . Sitokin-sitokin ini akan menstimulasi sum-
sum tulang sehingga terjadi eosinofilia yang berakibat meningkatnya
mediator proinflamatori dan sitokin juga akan merangsang ekspansi sel B
klonal dan meningkatkan produksi IgE. IgE yang terbentuk akan berikatan
dengan parasit sehingga melepaskan mediator inflamasi sehingga timbul
demam. Adanya eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasi maka akan
menyebabkan reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadi
kematian parasit. Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dan
granulomatosa. Proses penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe
yang dilatasi, menebalnya dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan
struktur. Hal ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial
yang akan menyebabkan perjalanan yang kronis (harun,riyanto.2010).
12
menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk
kelompok yang asimtomatik baik mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
b. Masa inkubasi
Merupakan masa antara masuknya larva infektif hingga munculnya gejala
klinis yang biasanya berkisar antara 8-16 bulan.
c. Gejala klinik akut
Gejala klinik akut menunjukkan limfadenitis dan limfangitis yang disertai
panas dan malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita
dengan gejala klinis akut dapat mikrofilaremik ataupun amikrofilaremik.
d. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama.
Mikrofilaria jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan limfadenitis
masih dapat terjadi. Gejala kronis ini menyebabkan terjadinya cacat yang
mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya. Filariasis
bancrofti Pada filariasis yang disebabkan Wuchereria bancrofti pembuluh
limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis
dan orchitis. Limfadenitis inguinal atau aksila, sering bersama dengan
limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari.
Serangan biasanya terjadi beberapa kali dalam setahun. (Witagama,dedi.
2009).
Filariasis brugia Pada filariasis yang disebabkan Brugia malayi dan
Brugia timori limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering
terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd.
Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri, dan sering terjadi limfedema
pada pergelangan kaki dan kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama
beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12 kali dalam satu tahun sampai
beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses,
memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3
minggu hingga 3 bulan.
Filariasis bancrofti Keadaan yang sering dijumpai adalah hidrokel.
Di dalam cairan hidrokel dapat ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan
13
elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas, tungkai bawah, skrotum, vulva
atau buah dada, dengan ukuran pembesaran di tungkai dapat 3 kali dari
ukuran asalnya. Chyluria dapat terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa
penderita menyebabkan penurunan berat badan dan kelelahan. Elefantiasis
terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan bawah. Ukuran
pembesaran ektremitas umumnya tidak melebihi 2 kali ukuran asalnya.
(Witagama,dedi. 2009).
14
d. Diagnosis Immunologi
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi,
amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi
antibodi dan/atau antigen dengan cara immunodiagnosis diharapkan dapat
menunjang diagnosis. Adanya antibodi tidak menunjukkan korelasi positif
dengan mikrofilaremia, tidak membedakan infeksi dini dan infeksi lama.
Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit, ekskresi dan sekresi parasit
tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik. Gib 13,
antibodi monoklonal terhadap O. gibsoni menunjukkan korelasi yang
cukup baik dengan mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.
2.9 Penatalaksanaan
Dietilkarbamasin sitrat (DEC) merupakan obat filariasis yang ampuh,
baik untuk filariasis bancrofti maupun brugia, bersifat makrofilarisidal dan
mikrofilarisidal. Obat ini ampuh, aman dan murah, tidak ada resistensi obat,
tetapi memberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara.
Reaksi sistemik dengan atau tanpa demam, berupa sakit kepala, sakit pada
berbagai bagian tubuh, persendian, pusing, anoreksia, kelemahan, hematuria
transien, alergi, muntah dan serangan asma. Reaksi lokal dengan atau tanpa
demam, berupa limfadenitis, abses, ulserasi, limfedema transien, hidrokel,
funikulitis dan epididimitis. Reaksi samping sistemik terjadi beberapa jam
setelah dosis pertama, hilang spontan setelah 2-5 hari dan lebih sering terjadi
pada penderita mikrofilaremik. Reaksi samping lokal terjadi beberapa hari
setelah pemberian dosis pertama, hilang spontan setelah beberapa hari sampai
beberapa minggu dan sering ditemukan pada penderita dengan gejala klinis.
Reaksi sampingan ini dapat diatasi dengan obat simtomatik. (Sofyan, Iyan.
2007).
Menurut (Eka. 2008), kegiatan pemberantasan nyamuk terdiri atas:
a) Pemberantasan nyamuk dewasa
1. Anopheles : residual indoor spraying.
2. Aedes : aerial spraying
15
b) Pemberantasan jentik nyamuk
1. Anopheles : Abate 1%
2. Culex : minyak tanah
3. Mansonia : melenyapkan tanaman air tempat perindukan,
mengeringkan rawa dan saluran air.
c) Mencegah gigitan nyamuk
1. Menggunakan kawat nyamuk/kelambu.
2. Menggunakan repellent
Penyuluhan tentang penyakit filariasis dan penanggulangannya perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk
menunjang penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita
filariasis beserta keluarga dan seluruh penduduk daerah endemis, dengan
harapan bahwa penderita dengan gejala klinik filariasis segera memeriksakan
diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah kapiler jari dan minum obat DEC
secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan nyamuk..
Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan
pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria
(Witagama,dedi.2009).
16
BAB III
LANDASAN TEORITIS KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas.
1) Identitas pasien meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, status,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, alamat, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, nomor register dan dx.medis.
2) Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, hubungan dengan
pasien, pekerjaan dan alamat.
b. Riwayat kesehatan
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Cacing filariasis menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk
infektif yang mengandung larva stadium III. Gejala yang timbul berupa
demam berulang-ulang 3-5 hari, demam ini dapat hilang pada saat
istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat.
c. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Mudah lelah, intoleransi aktivitas, perubahan pola tidur.
Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
aktivitas ( Perubahan TD, frekuensi jantung).
d. Sirkulasi
Tanda :Perubahan TD, menurunnya volume nadi perifer,
perpanjangan pengisian kapiler.
e. Integritas dan Ego
Gejala : Stress berhubungan dengan perubahan fisik, mengkuatirkan
penampilan, putus asa, dan sebagainya.
Tanda : Mengingkari, cemas, depresi, takut, menarik diri, marah.
f. Integumen
Tanda : Kering, gatal, lesi, bernanah, bengkak, turgor jelek.
g. Makanan / Cairan
Gejala : Anoreksia, permeabilitas cairan.
17
Tanda : Turgor kulit buruk, edema.
h. Hygiene
Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS.
Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
i. Neurosensoris
Gejala : Pusing, perubahan status mental, kerusakan status indera
peraba, kelemahan otot.
Tanda : Ansietas, refleks tidak normal.
j. Nyeri / Kenyamanan
Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala.
Tanda : Bengkak, penurunan rentang gerak.
k. Keamanan
Gejala : Riwayat jatuh, panas dan perih, luka, penyakit defisiensi.
imun, demam berulang, berkeringat malam.
Tanda : Perubahan integritas kulit, pelebaran kelenjar limfe.
l. Seksualitas
Gejala : Menurunnya libido
Tanda : Pembengkakan daerah skrotali
m. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian.
Tanda : Perubahan interaksi, harga diri rendah, menarik diri.
n. Pemeriksaan diagnostic
Menggunakan sediaan darah malam, diagnosis praktis juga dapat
menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik
assay. Jika pasien sudah terdeteksi kuat telah mengalami filariasis
limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi
pengerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau kelenjer mamae
wanita.
18
3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada
kelenjar getah bening.
b. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe
c. Kurang pengetahuan berhubungan inefektif informasi.
d. Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada
anggota tubuh.
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi
pada kulit.
f. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik.
19
3. Membantu dalam mempertahankan / menstabilkan suhu tubuh pasien.
4. Diharapkan keseimbangan cairan tubuh dapat terpenuhi.
5. Dengan pakaian tipis dan menyerap keringat maka akan mengurangi
penguapan.
6. Diharapkan dapat menurunkan panas dan mengurangi infeksi.
Dx 2 :
Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe.
Tujuan: Nyeri yang dirasakan dapat berkurang atau hilang.
Intervensi:
1. Berikan tindakan kenyamanan (pijatan / atur posisi), ajarkan teknik
relaksasi.
2. Observasi nyeri (kualitas, intensitas, durasi dan frekuensi nyeri).
3. Anjurkan pasien untuk melaporkan dengan segera apabila ada nyeri.
4. Alihkan perhatian klien dari nyeri yang dialami.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi pengobatan (obat
anelgetik).
Rasional :
1. Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat
meningkatkan koping.
2. Menentukan intervensi selanjutnya dalam mengatasi nyeri.
3. Nyeri berat dapat menyebabkan syok dengan merangsang sistem syaraf
simpatis, mengakibatkan kerusakan lanjutan.
4. Untuk Mengatasi nyeri.
5. Diberikan untuk menghilangkan nyeri.
Dx3 :
Kurang pengetahuan berhubungan inefektif informasi.
Tujuan : Menunjukkan cemas pada pasien dapat berkurang.
Intervensi:
1. Kaji apakah klien memahami dan mengerti tentang penyakitnya.
20
2. Jaga agar klien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki
kesalahan konsepsi/informasi.
3. Nasehati klien agar selalu menjaga hygiene pribadi juga lingkungan.
Rasional :
1. Klien memperoleh informasi untuk dapat melakukan pengobatan secara
mandiri.
2. Klien dapat informasi yang benar dari perawat untuk dapat merasakan
manfaat penanganannya lebih baik.
3. Dengan terjaganya hygiene, tidak memperparah komplikasi yang timbul.
Dx 4 :
Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada anggota
tubuh.
Tujuan : Menunjukkan perilaku yang mampu kembali melakukan aktivitas.
Intervensi:
1. Lakukan Retang Pergerakan Sendi (RPS).
2. Tingkatkan tirah baring / duduk.
3. Berikan lingkungan yang tenang.
4. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi.
5. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas.
Rasinal :
1. Meningkatkan kekuatan otot dan mencegah kekakuan sendi.
2. Meningkatkan istirahat dan ketenangan, menyediakan enegi untuk
penyembuhan.
3. Tirah baring lama dapat meningkatkan kemampuan.
4. Menetapkan kemampuan / kebutuhan pasien dan memudahkan
pilihan intervensi untuk mengetahui perubahan ukuran pada tungkai kaki
klien.
5. Kelelahan dan dan membantu keseimbangan.
21
Dx 5 :
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun,lesi pada
kulit.
Tujuan : Mempertahankan keutuhan kulit, lesi pada kulit dapat hilang.
Intervensi:
1. Ubah posisi tempat tidur dan kursi sesering mungkin.
2. Gunakan pelindungan kaki, bantalan busa atau air pada waktu berada di
tempat tidur dan pada waktu duduk dikursi.
3. Periksa permukaan kulit kaki yang bengkak secara rutin.
4. Anjurkan pasien untuk melakukan rentang gerak.
5. Kolaborasi: Rujuk pada ahli kulit. Meningkatkan sirkulasi dan mencegah
terjadinya decubitus.
Rasional :
1. Mengurangi resiko abrasi kulit dan penurunan tekanan yang dapat
menyebabkan kerusakan aliran darah seluler.
2. Tingkatkan sirkulasi darah pada permukaan kulit untuk mengurangi panas
atau kelembaban.
3. Kerusakan kulit dapat terjadi dengan cepat pada daerah yang bereksiko
yang terinfeksi dan nekrotik.
4. Meningkatkan sirkulasi dan meningkatkan partisipasi pasien.
5. Mungkin membutuhkan perawatan professional untuk masalah yang
dialami.
Dx 6:
Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik.
Tujuan :
1. Menyatakan gambaran diri lebih nyata.
2. Menunjukkan beberapa penerimaan diri pada pandangan idealism.
3. Mengakui diri sendiri sebagai individu yang mempunyai tanggung jawab
sendiri.
22
Intervensi:
1. Akui kenormalan perasaan.
2. Dengarkan keluhan pasien dan tanggapan- tanggapannya mengenai
keadaan yang di alami.
3. Perhatikan perilaku menarik diri, menganggap diri negative pengunaan
penolakan atau tidak telalu mempermasalahkan perubahan aktual.
4. Ajurkan kepada orang terdekat untuk memperlakukan pasien secara
normal (bercerita tentang keluarga).
5. Terima keadaan pasien, perlihatkan perhatian kepada pasien sebagai
individu.
6. Berikan informasi yang akurat.
Rasional:
1. Memberi petunjuk bagi pasien dalam memandang dirinya, adanya
perubahan peran dan kebutuhan, dan berguna untuk memberikan informasi
pada sat tahap penerimaan.
2. Mengidentifikasi tahap kehilangan/kebutuhan intervensi.
3. Melihat pasien dalam keluarga, mengurangi perasaan tidak berguna, tidak
berdaya, dan perasaan terisolasi dari lingkungan dan dapat pula
memberikan kesempatan pada orang terdekat untuk meningkatkan
kesejahteraan.
4. Membina suasana teurapetik pada pasien untuk memulai penerimaan diri.
5. Focus informasi harus diberikan pada kebutuhan-kebutuhan sekarang dan
segera lebih dulu, dan dimasukkan dalam tujuan rehabilitasi jangka
panjang.
6. Mungkin diperlukan sebagai tambahan untuk menyusuaikan pada
perubahan diri.
3.4 Implementasi
1. Melakukan kompres pada daerah frontalis dan axial.
2. Menganjurkan klien untuk dapat banyak minum air putuih.
23
3. Melakukan tindakan kenyamanan (pijatan/atur posisi), ajarkan teknik
relaksasi.
4. Melakukan rentang pergerakan sendi (RPS).
5. Mengevaluasi respon pasien terhadap aktivitas.
6. Memeriksa permukaan kulit kaki yang bengkak secara rutin.
3.5 Evaluasi
Setelah melakukan tindakan keperawatan diharapkan klien akan
mendapatkan perubahan yang lebih baik, jika tidak ada hasil yang didapatkan
maka tindakan akan dihentikan dan mengkaji kembali keadaan klien dengan
membuat intervensi baru.
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Filariasis adalah kelompok penyakit yang mengenai manusia dan
binatang yang disebabkan oleh parasit kelompok nematode yang disebut
filaridae., dimana cacing dewasanya hidup dalam cairan san saluran limfe,
jaringan ikat di bawah kulit dan dalam rongga badan. Cacing dewasa betina
mengeluarkan mikrofilaria yang dapat ditemukan dalam darah, hidrokel, kulit
sesuai dengan sefat masing-masing spesiesnya. Penyakit filariasis banayak
ditemukan di berbagai negara tropik dan subtropik, termasuk Indonesia.
Prevalensi tidak banyak berbeda menurut jenis kelamin, usia maupun ras.
Penyakit filariasis dapat disebabkan oleh berbagai macam spesies, sehingga
gambaran klinisnya spesifik untuk masing-masing spesies, misalnya bentuk
limfatik biasnya digunakan sebagai tanda bahwa penyakit tersebut disebabkan
oleh Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, dimana parasit
dapat menyumbat saluran limfe dengan manifestasi terbentuknya elefantiasis,
sedangkan Loa loa ditandai dengan calabar swelling. Onchocerca volvulus
menyebabkan kebutaan dan pruritus pada kulit. Diagnosis penyakit ini
dengan ditemukannya mikrofilaria dalam darah, sedangkan bila tidak
ditemukan mikrofilaria maka diagnosis dapat berdasarkan riwayat asal
penderita, biopsi kelenjar limfe, dan pemeriksaan serologis.
Prinsip terapi ialah dengan menggunakan kemoterapi untuk membunuh
filaria dewasa dan mikrofilarianya serta mengobati secara simpotomatik
terhadap reaksi tubuh yang timbul akibat cacing yang mati. Dapat juga
dilakukan pembedahan.Pencegahan penularan penyakit ini dapat dilakukan
dengan menggunakan obat-obatan seperti DEC ataupun dengan mengontrol
vektor. Penyakit ini sangat berbahaya dan hampir diseluruh dunia
dapatditemukan penyakit ini karena mudahnya dalam penyebaran penyakit
ini. Beberapa asuhan keperawatan secara teoritis yang mungkin yang
mungkin muncul pada penderita penyakit ini yaitu :
25
1. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peradangan pada kelenjar
getah bening.
2. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan kelenjar limfe.
3. Kurang pengetahuan berhubungan inefektif informasi.
4. Mobilitas fisik terganggu berhubungan dengan pembengkakan pada
anggota tubuh.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan bakteri, defisit imun, lesi
pada kulit.
6. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik.
4.2 Saran
Demikianlah makalah ini yang penulis susun dengan penuh keikhlasan.
Diharapkan dengan adanya makalah opini mahasiswa dapat menambah
wawasan mengenai penyakit Filariasis. Selain itu mahasiswa juga mampu
memahami secara teoritis mengenai penyakit ini serta mampu membuat
asuhan keperawtan tentang kasus Filariasis. Semoga dengan adanya makalah
ini dapat menambah referensi akademik untuk melengkapi bahan
pembelajaran dan motivasi mahasiswa untuk mengetahui lebih banyak lagi
tentang penyakit Filariasis.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk dapat
memperbaiki penulisan makalah ini selanjutnya.
26
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. (2010). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta: Salemba Medika.
Sofyan, Iyan. (2007). Cegah Penyakit Kaki Gajah. Bandung: penerbit Alumni.
27