Sie sind auf Seite 1von 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Derajat kesehatan masyarakat pada hakikatnya dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, perilaku masyarakat, pelayanan kesehatan dan genetika. Kalangan
ilmuwan umumnya berpendapat bahwa determinan utama dari derajat
kesehatan masyarakat tersebut selain kondisi lingkungan adalah perilaku
masyarakat (Pedoman Pembinaan PHBS, 2011). Salah satu penyakit
terbanyak yang disebabkan oleh buruknya kebersihan lingkungan masyarakat
adalah diare, yaitu buang air besar yang tidak normal berbentuk tinja encer
dengan frekuensi lebih dari 3 kali. Faktor yang memiliki pengaruh sangat
dominan terhadap kejadian penyakit ini adalah perilaku manusia yang tidak
bersih dan sehat. Terdapat beberapa faktor penyebab yang dilaporkan
berhubungan dengan kejadian diare diantaranya adalah menggunakan air
sumur, minum air yang tidak dimasak, tidak mempunyai jamban, tidak
menggunakan jamban, tidak mempunyai tempat sampah dan tidak cuci tangan
(Nilton dkk, 2008).
Penyakit diare tergolong sebagai salah satu masalah kesehatan utama
di dunia dan menyebabkan sebanyak 1,5 milyar episode dan 4 juta kematian
pada anak-anak di negara berkembang. Menurut data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2004, diare adalah penyebab nomor satu
kematian balita di dunia. Bahkan, UNICEF melaporkan setiap detik satu anak
meninggal karena diare. Hal ini banyak terjadi di negara-negara berkembang
seperti Indonesia karena buruknya perilaku higiene perorangan dan sanitasi
masyarakat yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat sosial, ekonomi dan
pendidikan (Novick and Marr, 2003).
Diare masih tetap potensial berkembang di Indonesia sebagai masalah
kesehatan masyarakat. Data terakhir dari Departemen Kesehatan menunjukkan
bahwa diare menjadi penyakit pembunuh kedua bayi di bawah 5 tahun (balita)
di Indonesia setelah radang paru atau pneumonia. Walaupun angka kematian
akibat diare cenderung sudah menurun (Riskesdas 2007), tetapi kejadian diare,
terutama yang menyerang Balita di daerah pedesaan, cenderung masih tetap
dominan (survei Depkes tahun 2005 dan 2007). Sebagian besar Puskesmas di
Propinsi Bali masih mencatat diare sebagai salah satu dari sepuluh penyakit
terbesar. Tingginya kejadian diare perlu diantisipasi dengan lebih
mengefektifkan kerjasama lintas program dan lintas sektor.
Tahun 2012, diare termasuk ke dalam 10 besar penyakit di Kabupaten
Karangasem, Provinsi Bali di mana telah terjadi peningkatan morbiditas diare
secara signifikan. Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Karangasem, IR
diare meningkat dari 18,64/1000 penduduk tahun 2009 dan 20,06/1000
penduduk tahun 2010, menjadi 51,03/1000 penduduk pada tahun 2011. Pada
tahun 2012, terjadi penurunan insiden rate diare menjadi 40,70/1000
penduduk. Sebesar 55% dari 18.722 kasus yang tercatat merupakan kasus
diare pada balita.
Pada tahun 2007 terdapat kejadian luar biasa diare (KLB) pada bulan
Februari-Maret di Kabupaten Karangasem, dimana tercatat insiden diare
sebesar 574 kasus, dan jumlah kematian warga penderita diare sebanyak 6
orang. Jumlah penderita diare tersebut terutama disumbang oleh Kecamatan
Selat dan Kecamatan Bebandem.
60 54
48
50 45 4546
38
40 35
3032 30
30 24
22 23
21 2022 2009
20 1717 16 16 17
14 12 13 2011
10 2012

Gambar 1. Jumlah Balita Diare Berdasarkan Desa di Wilayah Kerja


Puskesmas Bebandem Tahun 2010 s.d. 2012
Berdasarkan pengkajian di wilayah kerja Puskesmas Bebandem,
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, jumlah balita diare
mengalami peningkatan dari 188 balita tahun 2010 dan 231 balita tahun 2011
menjadi 238 balita pada tahun 2012. Sepanjang bulan Januari - Agustus 2013,
tercatat telah terjadi 171 kasus diare pada balita. Dimana kasus terbanyak
diare sepanjang bulan Januari-Agustus pada balita terjadi di Desa Bungaya.
Dalam upaya mengantisipasi masalah kesehatan masyarakat ini,
Puskesmas Bebandem telah melaksanakan berbagai kegiatan yang tercakup
dalam program Kesehatan Lingkungan, Program Pemberantasan Penyakit
Menular (P3M), Program Promosi Kesehatan Masyarakat dan pemicuan
program santitasi total berbasis masyarakat. Kegiatan program Kesehatan
Lingkungan terdiri dari monitoring faktor lingkungan sebagai salah satu faktor
risiko kejadian diare seperti ketersediaan air bersih, kepemilikan sarana
sanitasi dasar berupa kepemilikan dan pemakaian jamban keluarga.
Program P3M Diare dilakukan melalui monitoring kasus dan
mengobatinya bekerjasama dengan balai pengobatan, pengawasan kebersihan
lingkungan bekerjasama dengan Kesehatan Lingkungan, dan penyuluhan
kesehatan bekerjasama program PKM, tetapi kerjasama lintas program di
lapangan belum mampu dilaksanakan secara optimal terutama dengan
program PKM. Promosi Kesehatan Masyarakat dengan topik masalah diare
dan cara hidup sehat ditargetkan dilakukan 1 kali di masing-masing desa.
Pemicuan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) juga telah
dilaksanakan dengan membuat perjanjian tidak tertulis dengan warga yang
didatangi. Tetapi kenyataannya, kerjasama ini belum dapat dilaksanakan
karena terkendala sarana-prasarana, anggaran dana, dan kengganan serta
ketidaksadaran warga terhadap pentingnya kesehatan lingkungan.
Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku ibu mengenai diare pada
balita di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem
Oktober 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku ibu mengenai diare
pada balita di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem
Oktober 2013?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku ibu mengenai
diare pada balita di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten
Karangasem Oktober 2013.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui gambaran pengetahuan ibu balita mengenai diare pada balita
di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem.
2. Mengetahui gambaran sikap ibu balita mengenai diare di Desa Bungaya
Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem.
3. Mengetahui gambaran perilaku mencuci tangan ibu yang merupakan faktor
risiko diare di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten
Karangasem.
4. Mengetahui gambaran perilaku BAB di Desa Bungaya Kecamatan
Bebandem Kabupaten Karangasem.
5. Mengetahui gambaran perilaku memasak air yang merupakan faktor risiko
diare di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem.

1.3 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat untuk peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi
pembuatan program promosi kesehatan masyarakat khususnya
mengenai diare.

1.4.2 Manfaat untuk program


Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar evaluasi
maupun perancangan dalam rangka pengambilan keputusan
penanggulangan penyakit diare di Desa Bungaya Kecamatan
Bebandem.

1.4.3 Manfaat untuk masyarakat


Sebagai rujukan akan pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat
dalam kehidupan sehari-hari untuk mencegah diare
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diare


Diare didefinisikan sebagai bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari
biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair
dengan/tanpa darah dan/atau lendir. Sebagian besar diare berlangsung selama
7 hari, dan biasanya sembuh sendiri (self limiting disease). Hanya 10% yang
berlanjut sampai 14 hari. Bila diare berlangsung kurang dari 14 hari disebut
diare akut (Depkes RI, 2007).

2.2. Faktor-Faktor Penyebab Diare


1. Pengetahuan tentang diare
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang
lain, media massa maupun lingkungan. Pengetahuan merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan
diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri
maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa
pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang
(Notoatmodjo, 2003).
Ada enam tingkatan pengetahuan menurut Notoatmodjo, yaitu:
1. Tahu
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari dari
seluruh bahan yang dipelajari atau diterima. Cara kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang yang dipelajari antara alin:
menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
2. Memahami
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3. Aplikasi
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi yang sebebnarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai pengguna hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip-prinsip.
4. Analisis
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu
komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja seperti kata kerja mengelompokkan,
menggambarkan, memisahkan.
5. Sintesis
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada.
6. Evaluasi
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau
objek tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri
atau menggunakan kriteria yang sudah ada.
Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang
dihadapi. Pengetahuan ini juga mempunyai implikasi kuat dengan sikap
dan perilaku seseorang. Dengan bekal pengetahuan yang cukup barulah
seorang ibu dapat menerapkan cara perawatan balita yang bersih dan sehat
serta menghindarkan dari berbagai risiko terjadinya diare. Semakin rendah
pengetahuan ibu tentang diare, risiko kejadian diare pada balita menjadi
semakin tinggi. Hal ini didukung oleh hasil beberapa penelitian yang
menemukan adanya hubungan signifikan antara pengetahuan ibu yang
rendah dengan kejadian diare (Fatmasari, 2008; Warman, 2008, Kasman,
2003). Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan
tentang kesehatan dapat ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadaan
lingkungan sosialnya akan menjadi sehat (Notoadmodjo, 2003).
2. Sikap
Menurut Allport seperti dikutip Sarwono (2009), sikap merupakan suatu
proses yang berlangsung dalam diri seseorang yang di dalamnya terdapat
pengalaman individu yang akan mengarahkan dan menentukan respon
terhadap berbagai objek dan situasi.
Banaji dan Heiphetz, dalam Bernstein (2010), menjelaskan tiga komponen
sikap yang saling menunjang satu sama lain, yaitu:
a. Komponen kognisi
Komponen ini mencakup penerimaan informasi yang ditangkap oleh
panca indera, yang kemudian diproses dan dipersepsikan, dibandingkan
dengan data / informasi yang telah dimiliki, diklasifikasikan, lalu
disimpan dalam ingatan dan digunakan dalam merespon rangsangan.
b. Komponen Afeksi
Komponen ini berhubungan dengan perasaan atau emosi individu yang
berupa senang atau tidak senang terhadap objek sikap.
c. Komponen konasi
Komponen ini merujuk kepada kecendrungan tindakan atau respon
individu terhadap objek sikap yang berasal dari masa lalu. Respon yang
dimaksud dapat berupa tindakan yang dapat diamati dan dapat berupa
niat atau intense untuk melakukan perbuatan tertentu sehubugan dengan
objek sikap (Sarwono dan Meinarno, 2009).
Sedangkan menurut Notoadmodjo, terdapat empat tingkatan sikap yaitu :
1. Menerima : subjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan.
2. Merespon : memberikan jawaban apabila ditanya terlepas dari jawaban
itu benar atau salah.
3. Menghargai : mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
4. Bertanggung Jawab : segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala
resiko.
Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam
tindakan nyata. Teori tindakan beralasan oleh Icek Ajzen dan Martin
Fishbein (Azwar S, 2011) mengemukakan bahwa sikap mempengaruhi
perilaku lewat suatu pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan.

3. Perilaku
Faktor perilaku mempunyai pengaruh yang besar terhadap status kesehatan
individu maupun masyarakat. Perilaku manusia merupakan hasil dari
segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya
yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku
kesehatan dapat dirumuskan sebagai suatu respon seseorang terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit atau penyakit., sistem
pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan
(Notoatmodjo, 2003). Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok:
a. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenance)
Perilaku ini merupakan usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau
menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan
bilaman sakit.
a. Perilaku pencarian atau penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan
(perilaku pencarian pengobatan / health seeking behavior)
Perilaku ini menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat
menderita penyakit dan atau kecelakaan.
b. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku ini apabila seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan
fisik maupun sosial budaya, dan lainnya.
Cara mengukur indikator perilaku atau praktik yang paling akurat
adalah melalui pengamatan atau observasi. Namun dapat juga dilakukan
melalui wawancara dengan pendekatan recall atau mengingat kembali
perilaku yang telah dilakukan oleh responden beberapa waktu yang lalu.
Adapun beberapa perilaku yang menjadi faktor risiko diare :
a. Mencuci tangan
Mencuci tangan memakai sabun merupakan aktivitas yang selama ini
dianggap biasa-biasa saja oleh kebanyakan orang. Banyak yang tidak
tahu bahwa mencuci tangan memakai sabun sebenarnya sangat besar
manfaatnya. Salah satu studi World Health Organisation (WHO)
menyatakan praktek cuci tangan dengan sabun dapat mengurangi
prevalensi diare sampai 40%.
Cuci tangan efektif mencegah penyakit dengan catatan dilakukan
secara benar. Mencuci tangan yang benar harus menggunakan sabun
dan di bawah air yang mengalir. Menurut Departemen Kesehatan
(2009) langkah-langkah teknik mencuci tangan yang benar adalah
sebagai berikut,:
1. Basahi tangan dengan air di bawah kran atau air mengalir.
2. Ambil sabun cair secukupnya untuk seluruh tangan.
3. Gosokkan kedua telapak tangan. Gosokkan sampai ke ujung jari.
4. Telapak tangan kanan menggosok punggung tangan kiri (atau
sebaliknya) dengan jari-jari saling mengunci (berselang-seling)
antara tangan kanan dan kiri. Gosok sela-sela jari tersebut. Lakukan
sebaliknya.
5. Letakkan punggung jari satu dengan punggung jari lainnya dan saling
mengunci.
6. Usapkan ibu jari tangan kanan dengan telapak kiri dengan gerakan
berputar. Lakukan hal yang sama dengan ibu jari tangan kiri.
7. Gosok telapak tangan dengan punggung jari tangan satunya dengan
gerakan ke depan, ke belakang dan berputar. Lakukan sebaliknya.
8. Pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri dan lakukan
gerakan memutar. Lakukan pula untuk tangan kiri.
9. Bersihkan sabun dari kedua tangan dengan air mengalir.
10.Keringkan tangan dengan menggunakan tissue dan bila
menggunakan kran, tutup kran dengan tissue.
Kebiasaan mencuci tangan dapat mencegah terjadinya diare pada
balita. Seorang ibu atau anggota keluarga harus membiasakan mencuci
tangan dengan benar sebelum dan setelah melakukan kegiatan di bawah
ini, sesuai dengan Departemen Kesehatan (2009) :
Setiap kali tangan kita kotor (setelah memegang uang, memegang
binatang, berkebun, dll).
Setelah buang air besar
Setelah menceboki bayi atau anak
Sebelum makan dan menyuapi anak
Sebelum memegang makanan
Sebelum menyusui bayi

b. Cara pemberian makan


Penularan diare terjadi melalui mekanisme fecal-oral. Selain
memperhatikan kebersihan bahan makanan dan alat pemberi makan,
metode pemberian makan juga menjadi penting. Metode pemberian
makanan yang kurang higienis juga membantu menyebaran diare.
Adapun diantaranya dengan menyuapi makanan tanpa mencuci tangan
terlebih dahulu (Fatmasari, Heni 2008).

c. Memasak Air Minum


Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat-syarat
kesehatan dan dapat diminum. Air bersih adalah air yang digunakan
untuk keperluan sehari-hari dan akan menjadi air minum setelah
dimasak terlebih dahulu (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
416/MENKES/PER/IX/1990) (Sarudji. D, 2006).
Syarat air minum yakni, air tidak berwarna, tidak berasa, tidak
berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga
terasa nyaman, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang
berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4, air tidak
mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan,
kurang dari 4 setiap 100cc air. Pada prinsipnya semua air dapat diproses
menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara lain air hujan, mata
air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai, dan danau.
Penularan diare karena infeksi bakteri dan virus biasa melalui air
minum sehingga disebut water borne disease. Dalam upaya
mengantisipasi penyakit diare, langkah yang harus dilakukan oleh
masyarakat adalah memasak air hingga mendidih dan bila mendidih
harus didiamkan selama tiga menit, sementara tutup pancinya jangan
dibuka agar tidak ada bakteri yang masuk.

d. Pemakaian jamban untuk Buang Air Besar (BAB)


Kejadian diare menjadi semakin tinggi apabila perilaku BAB tidak
pada jamban masih ada. Berdasarkan hal tersebut maka perilaku BAB
tidak pada jamban masih merupakan faktor risiko kejadian diare Hal
ini didukung pula oleh penelitian Warman (2008) yang menemukan
adanya hubungan yang signifikan antara personal hygiene terutama
perilaku BAB dengan kejadian diare pada balita.
Di negara berkembang seperti Indonesia, masih banyak terjadi
pembuangan tinja secara sembarangan akibat tingkat sosial ekononi
yang rendah, pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan yang kurang,
dan kebiasaan buruk dalam pembuangan tinja yang diturunkan dari
generasi ke generasi.
Yang harus diperhatikan di dalam penggunaan jamban adalah
keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat
dipakai oleh seluruh anggota keluarga serta membersihkan jamban
secara teratur. Penggunaan jamban yang jarang dibersihkan dapat
meningkatkan risiko terjadinya diare (Hung, 2006).
Menurut Depkes RI (2007), jamban yang memenuhi syarat jamban
sehat adalah:
1. Kotoran tidak mencemari permukaan tanah disekitarnya.
2. Tidak mencemari sumber air bersih. Jarak antara jamban atau septic
tank adalah minimal 10 meter dari sumber air bersih.
3. Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, tikus, dan kecoa).
4. Selalu dibersihkan agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap.
5. Mempunyai penerangan dan ventilasi yang cukup
BAB III
KONSEP PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian, maka konsep penelitian yang akan digunakan


adalah sebagai berikut:

1.Umur
Karakteristi
k Responden 2.Pendidikan terakhir
3.Pekerjaan

1.Pengetahuan tentang
Ibu Aspek diare Diare
Balita Pengetahuan Balita

1. Perilaku BAB Ibu


Aspek Sikap 2. Cuci Tangan Ibu
dan Perilaku
3. Memasak Air

Gambar 3.1 Konsep Penelitian


BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Wilayah dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten
Karangasem pada bulan Oktober 2013.

4.2 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif, dengan metode
cross sectional untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku
ibu balita mengenai diare di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten
Karangasem pada Bulan Oktober 2013.

4.3 Populasi Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita (usia 1-5
tahun) di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem.

4.4 Pemilihan Sampel


Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik multistage
sampling. Pemilihan sampel diawali dengan pemilihan desa dengan cara
simple random sampling. Kemudian dari desa yang terpilih akan dipilih dua
banjar dengan cara simple random sampling. Kemudian dari banjar akan
dipilih ibu balita dengan mempertimbangkan kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4.1 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita, dengan
persyaratan sebagai berikut :
Kriteria Inklusi:
1. Ibu yang memiliki balita (usia 1-5 tahun) yang berdomisili di Desa Bungaya
Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dan bersedia
menjadi responden.
Kriteria Eksklusi:
1. Tidak mampu diwawancarai disebabkan kondisi medis umum yang berat.
2. Menolak untuk mengikuti penelitian ini.

4.4.2 Besar Sampel


Jumlah sampel yang diperlukan didapat berdasarkan perhitungan studi
cross-sectional:

()
=

Dengan nilai Z=1,96; p=0,17 (berdasarkan data RISKESDAS 2007); q= 1


p=0,83 ; d= 10%

(, ) (, , )
= = , ~
(, )

Karena populasi ibu yang memiliki balita di Bungaya kurang dari 10.000,
dilakukan koreksi jumlah sampel menggunakan formula:


= = =
+ ()
+ ()

Dengan nk jumlah sampel minimal yang dibutuhkan dan N adalah jumlah


seluruh populasi penelitian.

Peneliti menetapkan besar sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang.


Penambahan jumlah sampel ini dilakukan untuk mengantisipasi jika ada
yang drop out.

4.5 Variabel Penelitian


a. Diare
b. Pengetahuan tentang diare
c. Sikap ibu balita
b. Perilaku BAB ibu balita
c. Perilaku mencuci tangan ibu balita
e. Perilaku memasak air
4.6 Definisi Operasional Variabel
a. Diare adalah keadaan yang dialami balita berupa buang air besar lebih dari
3 kali dalam sehari dengan konsistensi cair dengan atau tanpa darah
maupun lendir dalam satu bulan terakhir.
Kategori : ya atau tidak.
b. Pengetahuan ibu balita mengenai diare.
Kategori pengetahuan tentang pengertian diare yang cukup adalah dapat
menjawab pengertian diare dengan benar tanpa probing.
Kategori pengetahuan tentang penyebab diare yang cukup adalah dapat
menjawab minimal satu penyebab diare dengan benar tanpa probing.
Kategori pengetahuan tentang pencegah diare yang cukup adalah dapat
menjawab minimal satu cara pencegahan diare dengan benar tanpa
probing.
Kategori penanganan awal tentang diare yang cukup minimal dapat
menjawab cara pengangan awal untuk diare dengan benar tanpa probing.
Kategori pengetahuan tentang diare yang cukup diperoleh dengan sistem
scoring, dimana nilai diatas rata-rata responden dikategorikan sebagai
pengetahuan cukup, sedangkan apabila mendapat nilai dibawah nilai rata-
rata dikategorikan pengetahuan tentang diare yang kurang.
c. Sikap ibu merupakan suatu proses yang berlangsung dalam diri ibu yang
didalamnya terdapat pengalaman ibu yang akan mengarahkan dan
menentukan respon terhadap berbagai objek dan situasi.
Kategori sikap ibu yang baik diperoleh dengan sistem scoring, dimana
nilai diatas rata-rata responden dikategorikan sebagai sikap yang baik,
sedangkan apabila mendapat nilai dibawah nilai rata-rata dikategorikan
sikap yang kurang.
d. Perilaku BAB adalah refleksi dari berbagai keinginan dan sikap dari
masing-masing individu untuk membuang kotoran / tinja yang padat atau
setengah padat yang berasal dari sistem pencernaan.
Kategori perilaku BAB diperoleh dengan sistem scoring, dimana nilai
diatas rata-rata responden dikategorikan sebagai perilaku BAB baik,
sedangkan apabila mendapat nilai dibawah nilai rata-rata dikategorikan
perilaku buruk.
e. Mencuci tangan adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan
tangan dan jari jemari menggunakan air mengalir dan sabun sebelum dan
setelah kontak dengan balita.
Kategori perilaku mencuci tangan diperoleh dengan sistem scoring,
dimana nilai diatas rata-rata responden dikategorikan sebagai perilaku
mencuci tangan yang baik, sedangkan apabila mendapat nilai dibawah
nilai rata-rata dikategorikan perilaku buruk.
f. Perilaku memasak air adalah kebiasaan ibu balita memasak air hingga
mendidih.
Kategori perilaku memasak air diperoleh dengan sistem scoring, dimana
nilai diatas rata-rata responden dikategorikan sebagai perilaku memasak
air yang baik, sedangkan apabila mendapat nilai dibawah nilai rata-rata
dikategorikan perilaku buruk.

4.7 Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam melakukan penelitian ini mencakup data
primer dan data sekunder.
4.7.1 Data primer
Data yang dikumpulkan langsung dengan wawancara dan observasi meliputi
pengetahuan ibu tentang diare, sikap, perilaku BAB, kebiasaan mencuci
tangan dan kebiasaan memasak air dengan menggunakan instrumen
(kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya.
4.7.2 Data Sekunder
Data yang diperoleh dari Puskesmas dan Studi Kepustakaan (literatur) serta
majalah/jurnal kesehatan yang berhubungan dengan penelitian ini.

4.8 Analisa Data


Setelah dikumpulkan, data akan dianalisis dengan bantuan perangkat lunak
SPSS 16.0, kemudian akan dianalisis secara deskriptif dan hasil analisis akan
disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Responden


Penelitian ini dilakukan terhadap 50 ibu balita dan semuanya dapat tercakup
dalam penelitian. Karakteristik responden berdasarkan umur (40%) responden
penelitian ini berusia 25-30 tahun, 36 % berusia 31-35 tahun, 18% berusia
35-40 tahun dan 6% berusia lebih dari 41 tahun. Berdasarkan pendidikan
lebih dari setengah responden berpendidikan SD (58%) , SMP (22%), SMA
(8%), perguruan tinggi (8%) , dan ditemukan juga responden yang tidak
menuntaskan pendidikan sekolah dasar (4%). Sedangkan berdasarkan
pekerjaan dalam penelitian ini didapatkan hampir sebagian besar responden
bekerja (84%) dan yang tidak bekerja sebesar (16%).

Tabel 5.1 Karakteristik Responden


No Karakteristik Frekuensi Presentase (%)
1 25-30 20 40
31-35 18 36
36-40 9 18

>41 3 6

2 Tidak sekolah/tidak tamat 2 4


SD 29 58
SD 11 22
SLTP/sederajat 4 8

SMA/sederajat 4 8

Universitas

3 Tidak bekerja 8 16
Bekerja 42 84
5.2 Kejadian Diare
Dari wawancara terhadap responden diperoleh informasi bahwa 78%
responden mengatakan balitanya pernah mengalami diare, dimana dalam
kurun waktu 2 tahun sampai 6 bulan terakhir didapatkan kasus terbanyak
balita mengalami diare.

Tabel 5.2 Kejadian Diare


No Waktu Kejadian Diare Frekuensi Persentase (%)
1 < 6 Bulan 8 16
2 6 Bulan 2 Tahun 23 46
3 3 Tahun 5 Tahun 9 18

5.3 Pengetahuan Ibu


Pengetahuan ibu diperoleh melalui wawancara dengan menanyakan tentang
pengertian diare, penyebab diare, pencegahan diare, dan penanganan awal
diare. Dari data yang diperoleh kemudian dilakukan skoring, dimana setiap
jawaban benar diberikan skor 1 dan tidak benar diberikan skor 0. Kemudian
skor tersebut dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai rata-rata adalah 2.
Dimana skor lebih dari 2 menunjukkan pengetahuan ibu yang cukup
sedangkan < 2 dikatakan sebagai pengetahuan yang kurang.

Tabel 5.3 Pengetahuan Ibu Mengenai Diare


Pernah menderita Total
diare
Ya Tidak
Pengetahuan tentang diare:
cukup 16 (66%) 8 (34%) 24 (100%)
kurang 23 (88%) 3 (12%) 26 (100%)

Total 39 11 50
Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pengetahuan ibu balita
mengenai diare memiliki kecenderungan terhadap kejadian diare pada balita.
Dimana ibu dengan pengetahuan yang kurang, balitanya lebih banyak yang
pernah mengalami diare dibandingkan dengan ibu yang memiliki
pengetahuan yang cukup. Hampir seluruh ibu yang memiliki pengetahuan
kurang balitanya pernah mengalami diare.

5.4 Sikap Ibu


Sikap ibu balita diperoleh melalui wawancara dengan memberikan impuls
mengenai masalah yang berhubungan dengan diare dan perilaku ibu
mengenai BAB, mencuci tangan serta memasak air. Dari data yang diperoleh
kemudian dilakukan skoring, dimana setiap jawaban sangat setuju dan setuju
diberikan skor 1 dan jawaban kurang setuju dan tidak setuju diberikan skor 0.
Pada penilaian ini didapatkan hasil sebesar 100% yang menunjukkan bahwa
sikap ibu balita mengenai BAB, mencuci tangan serta memasak air adalah
baik.

Tabel 5.4 Sikap Ibu


Pernah menderita Total
diare
Ya Tidak
Sikap ibu balita:
baik 39 (78%) 11 (22%) 50 (100%)

Total 39 11 50

Namun dari penelitian ternyata tetap didapatkan ibu yang memiliki balita
yang pernah menderita diare walaupun sikap ke seluruh responden termasuk
kategori baik.

5.5 Perilaku Ibu Balita


Pada penelitian mengenai perilaku ibu balita yang menjadi aspek penelitian
adalah mengenai perilaku buang air besar (BAB), perilaku mencuci tangan,
dan perilaku memasak air. Penilaian mengenai perilaku ibu seluruhnya
menggunakn sistem skoring, yang kemudian skor tersebut dirata-ratakan.
Untuk perilaku BAB, apabila responden memiliki perilaku yang baik
(menerapkan prinsip jamban sehat) diberikan skor > 2 sedangkan untuk
perilaku yang buruk (tidak menerapkan prinsip jamban sehat) diberikan skor
< 2.
Secara keseluruhan ditemukan masih ada keluarga balita yang tidak
menggunakan jamban untuk BAB, yaitu sebanyak 7 keluarga sedangkan 43
sisanya menggunakan jamban. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa
kejadian diare pada balita terjadi pada seluruh responden yang berperilaku
buruk. Namun, diare pada balita juga terjadi pada responden yang berperilaku
baik, hanya saja jumlahnya tidak sebanyak yang berperilaku buruk.

Tabel 5.5 Perilaku Ibu Balita


Pernah menderita Total
diare
Ya Tidak
Perilaku BAB:
baik 21 (66%) 11 (34%) 32 (100%)
buruk 18 (100%) 0 (0%) 18 (100%)

Perilaku cuci tangan:


baik 12 (67%) 6 (33%) 18 (100%)
buruk 27 (84%) 5 (16%) 32 (100%)

Perilaku masak air:


baik 36 (78%) 10 (22%) 46 (100%)
buruk 3 (75%) 1 (25%) 4 (100%)
Sedangkan untuk perilaku mencuci tangan dengan benar, penilaian
menggunakan sistem skoring dengan pemberian skor >5 pada responden yang
mencuci tangan dengan baik, sedangkan skor < 5 diberikan pada responden
yang mencuci tangan dengan buruk. Dari keseluruhan responden didapatkan
hasil bahwa diare pada balita terjadi lebih banyak pada responden yang
memiliki perilaku mencuci tangan yang tidak benar. Sedangkan, lebih sedikit
kejadian diare pada balita yang terjadi pada responden yang memiliki
perilaku cuci tangan dengan benar. Untuk perilaku memasak air, hampir
seluruh responden memasak air sebelum dikonsumsi, dan hanya sedikit yang
tidak memasak air sebelum dikonsumsi. Diare pada balita dialami pada
hampir seluruh responden yang tidak memasak air dengan benar. Lebih
banyak balita yang tidak pernah mengalami diare pada responden yang
memasak air dengan benar. Namun, kejadian diare pada balita tidak terlalu
besar perbedaanya antara responden yang memasak air dengan yang tidak
memasak air dengan benar.
BAB VI
PEMBAHASAN

Responden dalam penelitian ini adalah ibu balita. Ibu adalah sosok yang merawat
balita mulai sejak lahir hingga dewasa. Setelah kami melakukan penelitian dan
proses pengolahan data kami mendapatkan data bahwa lebih banyak ibu balita
yang menjadi responden anaknya pernah menderita diare. Jumlah 78% merupakan
angka yang cukup besar dan bermakna, dimana hal ini menunjukkan bahwa faktor
risiko diare masih sangat tinggi di wilayah Desa Bungaya. Jika dibandingkan
dengan angka perkiraan kejadian diare yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan
sebanyak 42,3 % jumlah penduduk. Tingginya kejadian diare ini perlu ditanggapi
dengan menganalisis faktor-faktor risiko diare yang terdapat di Desa Bungaya.
Pada penelitian ini kami mengkaji faktor resiko diare yang meliputi faktor
pengetahuan, sikap dan perilaku ibu balita.

6.1 Gambaran Pengetahuan Ibu Mengenai Diare


Menurut Notoatmodjo, pengetahuan merupakan hal yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan
sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan
perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan
fakta yang mendukung tindakan seseorang Tanpa pengetahuan seseorang
tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan
tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Pengetahuan ini juga mempunyai
implikasi kuat dengan sikap dan perilaku seseorang. Dengan bekal
pengetahuan yang cukup barulah seorang ibu dapat menerapkan cara
perawatan balita yang bersih dan sehat serta menghindarkan dari berbagai
risiko terjadinya diare.
Dari 50 orang responden yang diwawancara, diketahui bahwa lebih
banyak ibu balita yang memiliki pengetahuan kurang dibandingkan yang
memiliki pengetahuan cukup. Namun, jumlah antara ibu balita yang
berpengetahuan kurang dan cukup tidak terlalu berbeda jauh, dimana terdapat
26 ibu balita yang berpengetahuan kurang dan 24 yang berpengetahuan
cukup. Jika dilihat dari hasil penelitian ini, didapatkan bahwa balita yang
berasal dari ibu dengan pengetahuan kurang memiliki kecendrungan untuk
menderita diare. Akan tetapi, pada balita yang berasal dari ibu yang memiliki
pengetahuan cukup juga pernah ditemukan kejadian diare. Hal ini bisa
disebabkan karena faktor lain seperti perilaku ibu yang kurang baik, karena
pengetahuan yang cukup masih belum dapat mengubah perilaku seseorang
(Malikhah, 2009).
Namun jika dilihat dari persentase, terlihat lebih banyak kejadian
diare pada kelompok responden dengan pengetahuan kurang dibandingkan
dengan kelompok berpengetahuan cukup. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Notoatmojo dan didukung oleh
beberapa penelitian lain yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu yang
rendah berpengaruh pada kejadian diare pada balita (Fatmasari, 2008;
Warman, 2008; Kasman, 2003).

6.2 Sikap Ibu


Dari hasil wawancara dengan 50 responden, dapat disimpulkan bahwa
sikap ibu balita terhadap permasalahan yang diberikan sudah tepat. Akan
tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih banyak balita yang
pernah menderita diare dibandingkan yang tidak menderita diare padahal
sikap ibu termasuk dalam kategori baik (mendukung).
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, seperti fasilitas. Setelah
ibu balita mengetahui stimulus, kemudian mengadakan penilaian atau
pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ibu
balita akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau
disikapinya (dianggap baik).
Selain itu, sikap yang mendukung saja masih belum cukup untuk
mengubah perilaku seseorang. Menurut Notoadmodjo, terdapat empat
tingkatan sikap yaitu :
5. Menerima : subjek mau memperhatikan stimulus yang diberikan.
6. Merespon : memberikan jawaban apabila ditanya terlepas dari jawaban itu
benar atau salah.
7. Menghargai : mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah.
8. Bertanggung Jawab : segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala
resiko.
Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkatan sikap ibu balita
hanya sampai pada tahap merespon, yaitu memberikan jawaban apabila
ditanya, terlepas dari benar atau salahnya jawaban yang diberikan.

6.3 Perilaku Ibu


Pada penelitian ini perilaku yang kami kaji adalah perilaku buang air
besar, mencuci tangan dan memasak air. Dari data yang didapatkan di Desa
Bungaya, lebih banyak responden yang berperilaku baik dibandingkan yang
berperilaku kurang. Tetapi jika dilihat dari perbandingan antara responden
yang balitanya mengalami diare dan tidak diare terlihat perbedaan cukup
besar pada perilaku Buang Air Besar (BAB) yang tidak sesuai pada
tempatnya (jamban). Hanya sedikit responden yang mengaku tidak
mempunyai jamban di rumahnya, sehingga mereka harus buang air besar di
kebun atau sungai. Selain itu, masih adanya anggota keluarga responden yang
buang air besar tidak pada tempat yang seharunya padahal di rumah mereka
sudah terdapat jamban. Perilaku ibu balita yang jarang atau bahkan tidak
pernah membersihkan jamban juga dapat memicu terjadinya diare.
Dari hasil penelitian ini, responden yang termasuk dalam kategori
berperilaku BAB baik diketahui ada pula yang balitanya pernah mengalami
diare, namun jumlahnya tidak sebanyak responden yang berperilaku buruk.
Seluruh responden yang berperilaku BAB tidak baik mengakui bahwa
balitanya pernah mengalami diare. Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara
personal hygiene terutama perilaku BAB dengan kejadian diare pada balita
(Warman, 2008). Selain itu, hasil ini juga sesuai dengan penelitian Hung
tahun 2006 yang menyimpulkan bahwa jamban yang jarang dibersihkan dapat
meningkatkan risiko kejadian diare.
Pada penelitian ini diketahui pula bahwa balita diare lebih banyak
terjadi pada ibu yang tidak selalu melakukan perilaku mencuci tangan dengan
benar (perilaku buruk), yaitu 84%. Pada sampel balita yang tidak pernah diare
didapatkan informasi bahwa lebih banyak ibu balita melakukan perilaku
mencuci tangan yang benar. Hasil ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Wohangara dkk tahun 2012 yang melaporkan bahwa
persentase balita yang diare lebih banyak pada ibu yang tidak menerapkan
perilaku mencuci tangan yang baik dan benar.
Perilaku mencuci tangan dapat mencegah penularan kuman penyebab
diare, sehingga diperlukan perilaku mencuci tangan yang baik dan benar. Hal
ini sesuai menurut salah satu studi WHO yang menyatakan bahwa mencuci
tangan dengan benar dapat mengurangi prevalensi diare sampai 40%. Hal ini
dikarenakan tangan merupakan salah satu media masuknya kuman penyebab
penyakit kedalam tubuh. Dengan demikian, apabila seseorang terbiasa
mencuci tangan terutama pada waktu-waktu penting maka ia akan
meminimalkan masuknya kuman melalui tangan. Namun sebagian besar ibu
yang menjadi responden masih memiliki pengetahuan yang kurang mengenai
mencuci tangan dengan benar. Pemahaman tentang cara cuci tangan dengan
sabun yang baik dan benar masih kurang karena kebiasaan mereka mencuci
tangan hanya dengan menggunakan air biasa dan tidak mengalir.
Dari hasil wawancara pada 50 responden, diperoleh data bahwa
sebanyak 46 orang memiliki perilaku yang baik dalam memasak air minum.
Sementara 4 orang lainnya memiliki perilaku yang kurang baik dalam
memasak air minum. Responden yang memasak air minum dengan baik 78%
pernah mengalami diare. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Kusmawati (2012), yang menyimpulkan ada hubungan antara
kebiasaan memasak air dengan kejadian diare. Perbedaan ini kemungkinan
disebabkan oleh faktor-faktor lain yang juga berperan dalam memicu
terjadinya diare pada balita, seperti memasak air tidak sampai mendidih,
sumber air minum yang tercemar, serta tidak mencuci tangan sebelum
memberikan makan pada balita.

6.4 Kelemahan Penelitian


Adapun kelemahan dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini kurang sepenuhnya mencerminkan perilaku ibu balita
yang sebenarnya. Hal ini disebabkan karena adanya responden yang tidak
berkata jujur saat wawancara dan dalam menilai perilaku tidak cukup
hanya dengan wawancara saja.
2. Ketidakakuratan instrumen dalam menentukan kejadian diare yang terlalu
lama.
BAB VII
PENUTUP

7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan gambaran pengetahuan,
sikap dan perilaku ibu balita mengenai diare di Desa Bungaya, Karangasem
adalah sebagai berikut:
1. Dari 50 responden, didapatkan bahwa lebih banyak ibu yang balitanya
pernah mengalami diare, yaitu 78%.
2. Seluruh responden mempunyai sikap yang mendukung (baik) dalam
menanggapi permasalahan seputar diare, perilaku BAB, perilaku cuci yang
diberikan.
3. Sebesar 64% responden telah memiliki perilaku baik dimana responden
buang air besar pada tempatnya secara tepat dan benar sehingga mencegah
terjadinya penularan diare. Dari jumlah tersebut terdapat kecendrungan
lebih sedikit balita yang pernah menderita diare.
4. Persentase responden yang melakukan perilaku mencuci tangan dengan
benar adalah 36%. Dari hasil ini terdapat kecenderungan bahwa lebih
sedikit ibu balita yang melakukan cuci tangan dengan benar.
5. Dari hasil wawancara ditemukan lebih banyak responden yang memasak
air hingga mendidih untuk keperluan minum sehari-hari. Tidak terdapat
kecenderungan bahwa memasak air sebagai faktor resiko terjadinya diare
pada balita.

7.2 Saran
Adapun saran yang dapat kami ajukan adalah sebagai berikut:
1. Puskesmas Bebandem perlu melakukan penyuluhan yang lebih intensif
tentang diare dan perilaku hidup bersih dan sehat terutama cara
mencuci tangan dengan benar karena sebagian besar masyarakatnya
masih belum mengetahui dengan baik.
2. Puskesmas Bebandem perlu meningkatkan intervensi mengenai
penggunaan jamban sehat, untuk menanggulangi peningkatan kejadian
diare di masyarakat Bebandem, mengingat masih ada keluarga yang
tidak memiliki jamban keluarga.

Das könnte Ihnen auch gefallen