Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Dosen pengampu
Prof Muhari
Oleh
1531600015
Magister Psikologi
Surabaya
2017
BAB I
2. Struktur Kepribadian
Freud beranggapan bahwa kepribadian manusia tersusun secara struktural. Dalam dunia
kesadaran (awareness) individu terdapat pula subsistem struktur kepribadian yang
berinteraksi secara dinamis, antara lain :
a) Id, merupakan subsistem kepribadian yang asli, yang dimiliki individu sejak lahir. Id
bersifat primitif dan bekerja pada prinsip kesenangan. Id berperan sebagai sumber libido atau
tenaga hidup dan energi serta merupakan sumber dari dorongan dan keinginan dasar untuk
hidup dan mati.
b) Ego, Berbeda dengan id yang bekerja hanya untuk memuaskan kebutuhan naluriah, ego
bertindak sebaliknya. Ego berperan menghadapi realitas hidup dan berasal dari kebudayaan
dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Prinsip kerjanya selalu bertentangan dengan
id.
c) Superego, terbentuk dari nilai-nilai yang terdapat dalam keluarga dan masyarakat yang
dipelajari di sepanjang tahun-tahun pertama hidup manusia. Superego bekerja berdasarkan
prinsip moral yang orientasinya bukan kesenangan tetapi pada kesempurnaan kepribadian.
3. Perkembangan Kepribadian
Secara genetis perkembangan kepribadian berkembang melalui beberapa tahap, yaitu
tahap oral, anal, falik, laten dan genital. Freud mengemukakan bahwa tahapan perkembangan
ini sangat penting terutama bagi pembentukan kepribadian di kemudian hari.
a) Fase oral, terjadi sejak lahir hingga akhir tahun pertama. Pada fase ini anak berkembang
berdasarkan pengalaman kenikmatan erotik pada daerah mulut. Anak yang tidak mendapat
kasih saying dari ibu dan kepuasan dalam makan serta minum akan menghambat
perkembangan kepribadiannya.
b) Fase anal, terjadi mulai usia dua sampai akhir tahun ketiga. Perkembangan anak pada fase
ini berpusat pada kenikmatan pada daerah anus. Selama fase ini, peran latihan buang
air (toilet training) sangat penting untuk belajar disiplin dan moral.
c) Fase falik, berkembang mulai usia empat hingga lima tahun. Pusat kenikmatan berpusat
pada alat kelamin. Istilah yang kerap muncul pada fase ini adalah Oedipus
complex (ketertarikan seksual pada sosok ibu) pada anak laki-laki dan electra
complex (ketertarikan seksual pada sosok ayah) pada anak perempuan.
d) Fase laten, juga disebut tahap pregenital. Periode ini terjadi antara lima atau enam tahun
hingga pubertas. Pada fase ini anak hanya sedikit berminat pada seksualitas karena
disebabkan kesibukan belajar, aktifitas dengan teman sebaya dan keterampilan fisik.
e) Fase genital, terjadi pada masa pubertas (di atas 12 tahun). Perilaku umum yang tampak
pada fase ini adalah kecenderungan tertarik pada lawan jenis, bersosialisasi dan berkelompok
serta menjalin hubungan kerja. Semua tingkah laku yang dilakukan kerap kali pada proses
menciptakan hubungan dengan orang lain.
4. Dinamika Kepribadian
a) Insting, menjadi sumber energi psikis dalam mengarahkan tindakannya memenuhi
keinginan dan kebutuhannya. Freud mengelompokkan insting atas dua jenis yakni insting
hidup dan insting mati. Bentuk energi dimana insting-insting hidup beroperasi disebut libido.
Yang paling utama insting libido ialah insting seksual. Insting-insting hidup yang lainnya
adalah lapar dan haus.
b) Kecemasan, yaitu perasaan kekhawatiran karena keinginan dan tuntunan internal tidak
terpenuhi dengan sebaiknya. Freud mengemukakan ada tiga bentuk kecemasan, antara lain :
1) Kecemasan realitas (reality anxity), takut akan bahaya yang datang dari luar. Kecemasan ini
bersumber dari ego.
2) Kecemasan neurosis (neurotic anxity), khawatir tidak mampu mengatasi atau menekan
keinginan-keinginan primitifnya. Kecemasan ini bersumber dari id.
3) Kecemasan moral (moral anxity), kecemasan akibat dari rasa bersalah dan ketakutan
dihukum oleh nilai-nilai dalam hati nuraninya. Kecemasan ini bersumber dari super ego.
c) Mekanisme pertahanan ego
Cara individu menghindari kecemasan biasanya dilakukan dengan mekanisme pertahanan
ego ( ego defense mechanism ). Di antara contoh bentuk mekanisme pertahanan ego antara
lain :
1) Represi, melupakan isi kesadaran yang traumatis. Contoh :seorang korban tsunami di Aceh
berusaha melupakan peristiwa tersebut.
2) Proyeksi, mengalamatkan pikiran, perasaan, motif yang tidak diterimanya kepada orang
lain. Contoh : seseorang mengatakan bahwa kegagalannya dalam ujian karena teman
sebangkunya yang berisik.
3) Introyeksi, menanamkan nilai-nilai dan standar yang dimiliki orang lain ke dalam dirinya
sendiri. Contoh : seorang anak senang berkelahi karena selalu melihat kedua orang tuanya
berkelahi.
4) Regresi, tindakan melangkah mundur secara tidak sadar ke fase perkembangan yang
terdahulu dimana tuntutan tugas perkembangannya tidak terlalu besar. Contoh : anak berusia
10 tahun yang kembali minta digendong ketika adiknya lahir.
1.2. Hakikat manusia menurut Freud
Freud memandang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik, mekanistik,
dan reduksionistik. Di mana manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional,
motivasi-motivasi tidak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan
naluriah, dan oleh peristiwa-pristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama
dari kehidupan. Freud menekankan peran naluri-naluri yang bersifat bawaan dan biologis, ia
juga menekankan pada naluri seksual dan impuls-impuls agresif. Menurutnya tujuan segenap
kehidupan adalah kematian, kehidupan ini adalah tidak lain jalan melingkar ke arah kematian.
Sumbangan terbesar Freud adalah konsep-konsepnya tentang kesadaran dan
ketidaksadaran yang merupakan dasar atau kunci untuk memahami tingkah laku dan masalah
kepribadian. Dengan kepercayaannya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar
kawasan kesadaran, maka sasaran terapi psikoanalitik adalah membuat motif-motif tidak
sadar menjadi disadari. Dari perspektif ini, terapi adalah upaya menyingkap makna gejala-
gejala, sebab-sebab tingkah laku, dan bagian-bagian yang direpresi yang menghalangi fungsi
psikologis yang sehat.
Selain kesadaran, kecemasan juga menjadi hal yang esensial untuk menggambarkan
tentang sifat manusia. Apabila tidak dapat mengendalikan kecemasan melalui cara-cara yang
rasional dan langsung maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak relistis yaitu
tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego. Freud menyakini bahwa individu yang
hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila dia melakukan sesuatu
yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.
Berdasarkan dari teori yang dikembangkan Freud, prinsip-prinsip psikonalisis tentang
hakikat manusia didasarkan pada asumsi-asumsi :
a. Pengalaman masa kanak-kanak mempengaruhi perilaku pada masa dewasa
b. Proses mental yang tidak disadari mengintegrasi perilaku-perilaku
c. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan mengembangkan diri melalui dorongan
libido dan agresivitasnya sejak lahir
d. Secara umum perilaku manusia bertujuan untuk meredakan ketegangan, menolak kesakitan
dan mencari kenikmatan
e. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan seksual mengarah pada perilaku neurosis
f. Pembentukan simptom merupakan bentuk defensif
g. Apa yang terjadi pada seseorang saat ini dihubungkan pada sebab-sebab di masa lampaunya
dan memotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan di masa yang akan datang
h. Latihan pengalaman di masa kanak-kanak berpengaruh penting pada perilaku masa dewasa
dan diulangi dalam transferensi selama proses terapi.
2. Analisis mimpi
Freud menyebut mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketidaksadaran, sebab melalui mimpi
hasrat, kebutuhan, dan ketakutan yang tidak disadari bisa terungkap. Mimpi memiliki 2 taraf
isi yaitu isi laten dan isi manifes, isi latenterdiri dari motif-motif yang tersembunyi dan
simbolis, sebaliknya isi manifesyaitu gambaran yang tampak dalam mimpi yang dialami oleh
individu. Tugas konselor disini adalah untuk menyingkap isi laten yang tergambar dalam isi
manifes mimpi konseli, serta mengasosiasikannya guna menyingkap makna-makna
terselubung di dalamnya
3. Analisis resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang menghambat kelangsungan terapi dan mencegah konseli
mengungkapkan alasan-alasan kecemasannya. Freud berpendapat bahwa hal ini tidak bisa
dibiarkan karena akan menghambat proses konseling. Penafsiran terhadap resistensi harus
dilaksanakan untuk membantu konseli menyadari alasan-alasan yang ada di balik resistensi
dan kemudian mampu menyelesaikan konfliknya secara realistis
4. Analisis transferensi
Transferensi terjadi ketika terdapat sebuah urusan yang belum selesai dengan orang-orang
penting di masa lalu, yang terdistorsi ke masa sekarang dan memberikan reaksi kepada
konselor sebagaimana dia bereaksi terhadap ayah atau ibunya pada masa kanak-kanak. Di
sini konselor melakukan penafsiran agar konseli mampu menembus konflik masa lalu, dan
menggarap konflik emosional yang terdapat pada hubungan terapeutiknya bersama sang
konselor.
Dosen pengampu
Prof Muhari
Oleh
1531600015
Magister Psikologi
Surabaya
2017
BAB I
Pengertian belajar menurut teori Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya reaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu
apabila ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum
menunjukkan perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan
proses belajar. Teori ini sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respons. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-
gambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003).
Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini
berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah
laku adalah hasil belajar.
Para tokoh aliran behaviorisme setidaknya ada Thorndike, Skinner, Pavlov, Gagne,
dan Bandura. Pada intinya mereka menyetujui pengertian belajar di atas, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat akan kami bahas karya tokoh aliran
behaviouristik sebagai berikut.
Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat.
Respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
Eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa
supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk
memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial
and error learning atau selecting and connecting lerning dan berlangsung menurut hukum-
hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering
disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini
mengikuti hukum-hukum berikut:
1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
2. Ivan Petrovich Pavlov (1849 1936)
Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan
Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi
yang diinginkan.
Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:
1. US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral: Stimulus tidak dikondisikan yaitu
stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing
untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent behavior) respon tak
bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karen
anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung
menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara
terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing
mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul dengan hadirnya
CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat diketahui bahwa daging
yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional Stimulus = Stimulus yang tidak
dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (CS
= Conditional Stimulus = Stimulus yang dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata
air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov
ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu
tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguat.
5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah,
untuk menghindari adanya hukuman.
6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
7. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai
salah satu cara untuk mendiskripsikan siswa menurut Skinner hukuman yang baik adalah
anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami
sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun
fisik seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.
Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam situasi pendidikan
seperti penggunaan rangking juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata
pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang
diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi
yang ditunjukkan para siswa; misalnya: penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika,
menyanyi, menari, atau olahraga.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat peraga, gambar
atau charta tertentu dalam rangka membantu belajarnya. Stimulus ini dapat terintegrasi
dengan baik melalui perencanaan program pembelajaran yang baik lengkap dengan alat-alat
yang membentu siswa mencapai tujuan belajar. Sedangkan respons adalah reaksi siswa
terhadap stimulus yang telah diberikan oleh guru tersebut, reaksi ini haruslah dapat diamati
dan diukur.
2. Reinforcement (penguatan)
1. Kepunahan (Extinction)
Kepunahan akan terjadi apabila respon yang telah terbentuk tidak mendapatkan penguatan
lagi dalam waktu tertentu.
BAB II
Menurut Budiningsih, 2005:24 dari semua teori pendukung tingkah laku, teori
skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa
program pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan respon yang diwujudkan dalam
program-program pembelajaran yang disertai oleh perangkat penguatan(reinforcement).
Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang
sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh
guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun
hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur
dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu
perilaku yang diinginkan.
Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan, spontanitas, kelenturan, daya tahan,
contohnya percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru
dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya
mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.
4. Memecah materi pembelajaran menjadi bagian bagian kecil, meliouti pokok bahasan,
subpokok bahasan topik dan sebagainya.
6. Memberikan stimulus.
Pendekatan Behavioristik
Tokohnya Skinner, Watson, Thorndike. Dasar filosofis dari teori mereka adalah bahwa
perilaku itu terbentuk dari perlakuan individu lain dalam lingkungan sekitarnya. Kalau
individu tidak dapat melakukan self-determinism maka dirinya akan mudah sekali terhanyut.
Behavioristik dalam menjabarkan pandangannya selalu dihubungkan dengan prinsip
stimulus-respon. Kalau orang tua misalnya memberikan pola asuh otoriter yang didalamnya
selalu penuh dengan kritikan, celaan, maka anakpun akan belajar dan kemudian memberikan
respon perasan rendah diri.
Hal yang dipelajari di rumah inipun kemudian akan ditransfer dalam kehidupan sehari-hari.
Ada dua kemungkinan anak memberikan respon kepada lingkungan, di sekolah misalnya ia
jadi lebih suka menyendiri atau bila teman-temannya memberikan stimulus yang berbeda
dengan yang dialaminya yaitu mengakui dan menerima keberadaannya dan selalu memberi
dukungan atas perilakunya sekalipun negatif, maka siswa kemudian cenderung lebih
memilih lingkungan tersebut. Tujuan akhir konseling adalah untuk membuat siswa mengubah
perilakunya yang maladaptif dan mau menambah perbendaharaan peilaku, untuk mengetahui
itu klien diminta untuk membuat kontrak agar perilakunya dapat dinilai dan dipantau hingga
tercapai perilaku target yang diinginkan. Behavioristik lebih menekankan pada perilaku
sekarang daripada menoleh kembali ke masa kehidupan awal.
Pendidikan akan tercapai apabila pihak pendidik dan terdidik memahami teori
pendidikan, tentu saja teori yang dipakai tidak bisa berdiri sendiri, tetapi satu dengan yang
lain akan saling melengkapi, sehingga dapat menggunakan teori tersebut sesuai yang
dibutuhkan saat itu. Pengaruh berbagai macam teori pendidikan dalam penentuan kebijakan
tentu saja tidak dapat dibantah lagi, termasuk pengaruh teori behaviorisme dalam penentuan
kebijakan pendidikan di Indonesia. Berikut sebagian kebijakan yang bisa dikaitkan dengan
konsep filosofi behaviorisme, yang diantaranya adalah :
1. Pendidikan adalah suatu proses untuk pembentukan perilaku. Tertuang secara jelas dalam
Tujuan pendidikan nasional.
Menurut para behavioris, manusia diprogram untuk bertindak dalam cara-cara tertentu oleh
lingkungannya. Jika benar akan diberi hadiah oleh alam dan bila salah akan dihukum oleh
alam. Tindakan yang diberi hadiah cenderung diulang sedangkan yang dihukum cenderung
dihilangkan. Oleh sebab itu, perilaku dapat dibentuk dengan memanipulasi proses
penghargaan dan hukuman tersebut. Tugas dari pendidikan adalah untuk menciptakan
lingkungan belajar yang mengarah pada perilaku yang diinginkan. Sekolah dipandang
sebagai cara untuk merancang suatu budaya.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas Menyatakan
bahwa Pendidikan nasional berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadfi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Standar Sarana Prasarana, Pasal 45. ayat 1 bahwa Setiap satuan pendidikan formal dan
nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik
4. Sistem evaluasi behavoristik menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah,
dan biasanya menggunakan paper and pencil test.
Teori behavioristik menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual,
biasanya dalam bentuk evaluasi yang menuntut satu jawaban yang benar sesuai dengan
keinginan guru atau keinginan kunci. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah kegiatan pembelajaran.
Kebijakan berkaitan dengan pandangan ini tentu saja masih sangat dekat dalam kehidupan
pendidikan kita, misalnya dengan adanya test tengah semester, test akhir semester, bahkan
sampai kebijakan Ujian Nasional. Semua instrumen dari penilaian ini selalu dalam bentuk
pilihan yang menunjuk pada satu jawaban yang paling benar walaupun ada pertanyaan yang
menuntut jawaban sikap. Lebih-lebih dalam Ujian Nasional yang sampai saat ini masih
banyak dipertanyakan tentang pelaksanaannya juga sangat kental dengan suasana
behaviorisme. Seperti yang tercantum dalam Pasal 66 PP 19 tahun 2005 tentang (1) Penilaian
hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. (2)
Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. (3) Ujian nasional
diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun
pelajaran.
Pada hakekatnya teori behavioristik ini masih sangat kental terasa dalam setiap
kebijakan pendidikan, terutama di Indonesia. Hampir semua kebijakan pendidikan yang ada
selalu menekankan pada pembentukan perilaku dan pemberian stimulus yang cocok untuk
mencapai perilaku yang diinginkan. Walaupun teori ini sarat dengan kritikan, namun banyak
dalam hal tertentu masih diperlukan, khususnya dalam mempelajari aspek-aspek yang
bersifat tetap dan permanen dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan secara ketat.
Tentu saja paparan diatas tidak bisa mewakili seberapa besar paham behavioris ini
mempengaruhi pendidikan yang ada di Indonesia, karena penerapan teori ini kadang
berkaitan dengan teori yang lain dalam mewarnai satu kebijakan sehingga sulit mendefinisi
suatu kebijakan itu lebih cenderung ke arah teori yang mana. Penerapan Teori pendidikan
eklektik merupakan solusi yang dirasa paling sesuai saat ini, dengan meniadakan kekurangan
dari satu teori dan menutupinya menggunakan teori yang lain diharapkan proses pendidikan
yang terjadi akan lebih sempurna.
BAB III
2. Asumsi bahwa semua hasil belajar berupa perubahan tingkah laku yang dapat diamati,
dianggap menyederhanankan masalah belajar yang sesungguhnya.
4. Cenderung mengarahkan peserta didik berpikir linier, tidak konvergen, dan tidak
kreatif.
a. Teori belajar ini membantu para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program
program pembelajaran untuk memahami proses belajar yang terjadi di dalam diri peserta
didik.
b. Dengan kondisi ini para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program
program pembelajaran dapat mengerti kondisi kondisi dan faktor faktor yang dapat
mempengaruhi, memperlancar, atau menghambat proses belajar.
c. Memungkinkan untuk melakukan prediksi yang cukup akurat tentang hasil yang dapat
diharapkan suatu aktivitas belajar (Lindgren, Toeti Sukamto, 1992: 14)
Teori ini telah memberikan banyak konstribusi bagi pengembangan teori belajar selanjutnya.
Bahkan telah banyak diyakini oleh para ahli pendidikan, sekolah, bahkan diluar sekolah.
3.3 KESIMPULAN
Behaviorisme adalah paham yang menekankan pada perubahan tingkah laku yang
didasari oleh prinsip stimulus dan respon. Dalam penentuan kebijakan pendidikan di
indonesia paham behavioris ini masih mendominasi terutama pada kebijakan-kebijakan yang
bersifat hakekat dan prinsip misalnya adanya tujuan nasional pendidikan. Sedangkan
kebijakan penetapan program kurikulum, penyiapan tenaga guru yang kualifikatif, serta
sistem penilaian yang baik merupakan sebuah usaha untuk memberikan stimulus yang terbaik
untuk menghasilkan respon yang diharapkan.
Untuk itu Kebijakan Pendidikan yang bersifat behavioristik tidak sepenuhnya tidak
baik Untuk mewujudkannya Pemerintah perlu melihat kenyataan dilapangan , untuk
mengadakan pendekatan inovatif untuk diupayakan keterlaksanaannya dalam proses
pembelajaran. Namun kesiapan dari berbagai unsur sistem pendidikan menjadi faktor
penentunya. Oleh karena kebijakan pendidikan yang relevan dengan tuntutan perubahan
harus didukung oleh semua pelaku pendidikan termasuk komponen pendidikan yang lain.
ALIRAN HUMANISTIK DAN TERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN
Dosen pengampu
Prof Muhari
Oleh
1531600015
Magister Psikologi
Surabaya
2017
BAB I
KONSEP TEORI HUMANISTIK
a. Roger sebagai ahli dari teori belajar humanisme mengemukakan beberapa prinsip belajar yang
penting yaitu:
a) Manusia itu memiliki keinginan alamiah untuk belajar, memiliki rasa ingin tahu alamiah
terhadap dunianya, dan keinginan yang mendalam untuk mengeksplorasi dan asimilasi
pengalaman baru,
b) Belajar akan cepat dan lebih bermakna bila bahan yang dipelajari relevan dengan
kebutuhan peserta didik, belajar dapat di tingkatkan dengan mengurangi ancaman dari luar,
c) belajar secara partisipasif jauh lebih efektif dari pada belajar secara pasif dan orang belajar
lebih banyak bila belajar atas pengarahan diri sendiri,
d) belajar atas prakarsa sendiri yang melibatkan keseluruhan pribadi, pikiran maupun perasaan
akan lebih baik dan tahan lama, dan kebebasan, kreatifitas, dan kepercayaan diri dalam
belajar dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri orang lain tidak begitu penting.(Dakir, 1993:
64)
2. Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap yaitu :
a) Pengalaman konkret
Pada tahap ini,seorang siswa hanya mampu sekadar ikut suatu kejadian.Dia belum
mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.Dia pun belum mengerti bagaimana
dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
b) Pengamatan aktif dan reflektif
Pada tahap kedua,siswa lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadia
itu,serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c) Konseptualisasi
Pada tahap ini,siswa mulai belajar untuk abstarksi atau teori tentang sesuatu hal yang
pernah diamatinya.Siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum
(generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi
mempunyai landasan aturan yang sama.
d) Eksperimentasi aktif
Siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum situasi yang baru.Dalam dunia
matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami asal usul sebuah rumus,tetapi ia juga
memakai rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang beluum pernah ia temui
sebelumnya.(Dr.Hamzah B.Uno,2006:60)
3. Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini,Honey dann Mumford membuat penggolongan siswa.Menurut
mereka,ada 4 macam atau tipe siswa yakni :
a. Aktivis
Ciri-ciri siswa yang bertipe aktivis adalah siswa suka melibatkan diri pada pengalaman-
pengalaman baru,cenderung berpikiran terbuka,mudah diajak berdialog.Dalam proses
belajar,mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal
baru,seperti problem solving.Akan tetapi,mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang
memerlukan waktu lama dalam implementasi.
b. Reflektor
Ciri-ciri siswa yang bertipe reflector adalah cenderung sangat berhati-hati mengambil
langkah.
c. Teoris
Ciri-ciri siswa yang bertipe teoris adalah sangat kritis,senang menganalisis,dan tidak
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.
d. Pragmatis
Ciri-ciri siswa yang bertipe pragmatis adalah menaruh perhatian besar pada aspek-aspek
praktis dari segala hal.
(Dr.Hamzah B.Uno,2006:61)
4. Habermas
Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian yaitu :
a. Belajar teknis
Siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya.Meraka beusaha menguasai
dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk itu.
b. Belajar praktis
Pada tahap ini,lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang di
sekelilingnya.Pemahaman terhadap alam justru releva jika dan hanya jika berkaitan denga
kepentingan manusia.
c. Belajar emansipatoris
Siswa berusaha mecapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan
(transformasi) kultural dari suatu lingkungan.
(Dr.Hamzah B.Uno,2006:61-61)
5. Carl Rogers
Carl R. Rogers dalam Hadis (2006: 71) kurang menaruh perhatian kepada mekanisme proses
belajar. Belajar dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa
belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual
maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa
motifasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik.
Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu:
belajar yang bermakna
belajar yang tidak bermakna.
Belajar yang bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan
perasaan peserta didik, dan belajar yang tidak bermakna terjadi jika dalam proses
pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta
didik.
6. Maslow
Menurut Abraham Maslow,individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat hierarkis.Setiap individu mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut
untuk berkembang,takut untuk mengambil keputusan,takut membahayakan apa yang sudah ia
miliki.Individu juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan,keunikan
diri,berfungsinya semua kemampuan,kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat
itu juga ia dapat menerima diri sendiri.
Pembelajaran humanisme cenderung mendorong peserta didik untuk berpikir induktif,yakni
dari contoh ke konsep,dari konkret ke abstrak,atau dari khusus ke umum.Teori ini
mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses belajar
mengajar.Pembelajaran berdasarkan teori humanism ini cocok untuk diterapkan untuk
pembentukan kepribadian,hati nurani,perubahan sikap,dan analisis terhadap fenomena sosial.
(Ridwan Abdullah Sani,2013:38-39)
BAB II
TERAPAN TEORI HUMANISTIK DALAM PENDIDIKAN
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. (Dakir, 1993: 65).
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan peserta didik
2. Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik
4. Menghargai peserta didik
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan
segera dari peserta didik)
7. Tersenyum pada peserta didik. (Syaodih, 2007: 152)
Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan,
pertanggungan jawaban sosial dan bahan pembelajaran yang khusus, mereka percaya bahwa
masalah ini tidak dapat di serahkan begitu saja kepada peserta didik.
BAB III
EVALUASI TEORI HUMANISTIK
3.2 Kesimpulan
Dari deskripsi yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan beberapa
poin penting sebagai kesimpulan, yaitu:
1. Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusisa serta peserta didik mampu mengembangkan potensi
dirinya
2. Tokoh dalam teori ini adalah C. Roger dan Arthur Comb.
3. Aplikasi dalam teori ini, peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang
berlaku serta guru hanya sebagai fasilitator.
4. Teori belajar humanistik merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan
kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Teori
humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
ALIRAN KOGNITIF DAN TERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN
Dosen pengampu
Prof Muhari
Oleh
1531600015
Magister Psikologi
Surabaya
2017
BAB I
Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif
lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran
kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya
sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan bentuk suatu
teoribelajar yang sering disebut sebagai model perceptual. Model belajar kognitif mengatakan
bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya. Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahanan yang tidak selalu dapat terlihat sebagai
tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling
berhubungan dengan konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi
situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya
secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwabelajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan
proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup
pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang
sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Teori belajar kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi,
terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar.
Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal berfikir, yakni proses
pengolahan informasi.
Teori belajar kognirif menentang aliran behaviorisme karena pandanganaliran
behavior ini bersifat molekuler, memandang tingkah laku sebagai hasil dari ikatan stimulus-
respons saja sehingga tidak dapat menggambarkan proses mental yang terjadi. Semua
pendekatan dari teori belajar prilaku tampaknya kurang mengindahkan proses-
proses mentalyang terjadi selama belajar sperti persepsi siswa, pemahaman, dan kognisi dari
hubungan esensial antara unsure-unsur yang terjadi dalam belajar. Di lain pihak, teori kognitif
menekankan pada apa yang terjadi dalam diri individu itu sendiri dalam menganalisis
stimulus sampai dengan munculya respons. Teori kognitif menggambarkan bagaimana
seseorang mencapai pemahaman atas dirinya sendiri serta lingkungan sekitarnya dalam suatu
situasi dan bagaimana struktur kognitif terbentuk.
Perbedan pandangan kedua teori ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Teori Kognitif Menekankan pada Fungsi-fungsi Psikologis
Pada umumnya teori behaviorisme cendrung menjelaskan karakter suatu aktifitas dari
segi fisiknya saja dan mengabaikan pengaruh psikologis artinya adanya kecocokan atau
sejiwa dengan logika/pengetahuannya, sedangkan ahli teori kognitif memperhatikan dunia
sekeliling dari sudut siswa. Ia memperhatikan fungsi-fungsi psikologis(proses mental),
hubungan dan kejadian yang saling mempengaruhi yang berbeda dengan obyek fisiknya.
Selain itu psikologis kognitif memperhatikan pula sistem saraf.
2) Teori Kognitif Berfokus pada Situasi Saat Ini
Teori perilaku dan apersepsi menggunakan pendekatan sejarah, yaitu masa lalu orang lain
untuk mempelajari perilaku manusia dan motivasinya, kemudian memprediksi masa
depannya, sedangkan pendekatan yang digunakan psikologi kognitif adalah situasi atau
sejarah masa kini manusia untuk mempelajari keadaan individu pada saat ini untuk kemudian
memprediksi masa depannya. Ciri penting teori belajar kognitif adalah selalu diawali dari
suatu diskripsi mengenai situasi saat itu secara keseluruhan dan berlanjut ke analisis rinci dari
segala aspek situasi. Ide yang harus dipertahankan adalah bahwa tidak ada dua konsep atau
lebih yang terpisah secara tersendiri tetapi segala hal selalu bergantung kepada sesuatu hal
yang lain. Kekinian bisa berarti saat ini. Ruang kehiupan adalah suatu konsep yang berisi
segala hal yang berkaitan dengan jiwa yang melingkupi jiwa seseorang pada suatu waktu
tertentu.
3) Berinteraksinya Orang dengan Lingkungan
Dalam teori kognitif terjadi interaksi antara manusia dan lingkungannya secara simultan
dan saling membutuhkan. Masing-masing tidak terpisahkan, tetapi saling berkaitan. Interaksi
adalah proses kognitif dimana di dalamnya seseorang secara psikologi, dan simultan
memahami lingkungannya dan menemukan beberapa hal yang bermakna. Selanjutnya, orang
tersebut akan menghubungkan pemahaman yang diperolehnya dengan dirinya, berbuat
sesuatu atas pemahamannya itu sesuai dengan dirinya dan menyadari konsekuensi dari proses
tersebut secara keseluruhan.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif
dapat dirumuskan sebagai berikut;
1. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian,
persepsi, pemecahan masalah dan kesadaran.
2. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya
sepakat bahwa guru harus memperhatikan prilaku siswa yang tampak seperti penyelesaian
tugas rumah, hasil test, disamping itu juga harus memperhatikan factor manusia dan
lingkungan psikologisnya.
3.Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir orang tidak sama dan tidak tetap dari
waktu ke waktu.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda
dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preopersional, dan akan
berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional konkret, bahkan
dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal. Secara umum, semakin
tinggi tahap perkembangan kognitif seorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara
berfikirnya.
Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajara yang
berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi persepsual, dan prosese intelektual.
Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan.
Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran,
tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristic.
Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan,
agara belajar lebih bermakana bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2) Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika
menggunakan benda-benda kongkrit.
3) Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman
dapat terjadi dengan baik.
4) Untuk menarik minat dan menigkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau
informasi beru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
5) Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan
pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6) Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar makna, informasi
baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa
yang telah diketahui siswa.
7) Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi,
persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal dan sebagainya.
Dari pemahaman di atas, maka langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh
masing-masing tokoh tersebut berbeda. Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran
yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan. Langkah-
langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget:
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Memilih materi pelajaran.
3. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif.
4. Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut, misalnya penelitian,
memecahkan masalah, diskusi, stimulasi, dan sebagainya.
5. Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berpikir siswa.
6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner :
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristtik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran.
4. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh ke
generalisasi).
5. Mengembangakan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan
sebagainya untuk dipelajari siswa.
6. Mengatur topik-topik pelajaran dari sederhana ke kompleks, dari konkret ke abstrak, atau dari
tahap enaktif, ikonik, sampai ke simbolik.
7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Ausubel :
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan
sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk
konsep-konsep inti.
4. Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan
dipelajari siswa.
5. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut , dan menerapkannya dalam bentuk
nyata/konkret.
6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa
Ketiga tokoh aliran kognitif diatas secara umum memiliki pandangan yang sama yaitu
mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.
Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.
Setiap teori belajar tidak akan pernah sempurna, demikian pula dengan teori belajar
kognitif. Di samping memiliki kelebihan kelebihannya ada pula kelemahan
kelemahannya. Berikut adalah beberapa kelebihan dan kelemahan teori kognitif
Kelebihan Teori Belajar Kognitif
a. Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri
Dengan teori belajar kognitif siswa dituntut untuk lebih kreatif karena mereka tidak hanya
merespon dan menerima rangsangan saja, tapi memproses informasi yang diperoleh dan
berfikir untuk dapat menemukan ide-ide dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan
membuat siswa lebih mandiri contohnya pada saat siswa mengerjakan soal siswa bisa
mengerjakan sendiri karena pada saat belajar siswa menggunakan fikiranya sendiri untuk
mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung dengan orang lain dengan.
b. Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah
Teori belajar kognitif membantu siswa memahami bahan ajar lebih mudah karena siswa
sebagai peserta didik merupakan peserta aktif didalam proses pembelajaran yang berpusat
pada cara peserta didik mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam
ingatannya. Serta Menekankan pada pola pikir peserta didik sehingga bahan ajar yang ada
lebih mudah dipahami.
3.3. Kesimpulan
Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pehamaman, yang
tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini
adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata
dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik
jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki seseorang.
Diantara para pakar teori kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu Peaget,
Bruner, dan Ausubel. Menurut peaget, kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola tahap-tahap
perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi, dan
equelibrasi. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara
seseorang mengatur pesan atau informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar
akan terjadi melalui tahap-tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Sementara itu Ausubel
mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi
melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan
menggunakan informasi yang sudah dipahami.
DAFTAR PUSTAKA
Darsono, Max. 2001. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
Salim, Agus dkk. 2004. Indonesia Belajarlah. Semarang: Gerbang Madani Indonesia.
Syaiful Bahri Djamarah. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (suatu
pendekatan teoritis psikologis). Jakarta; Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung; Alfabeta