Sie sind auf Seite 1von 60

Aliran Psikologi

Dan Aplikasinya Dalam Pendidikan

Dosen pengampu

Prof Muhari

Oleh

Honing Alvianto Bana

1531600015

Magister Psikologi

Universitas 17 agustus 1945

Surabaya

2017
BAB I

KONSEP TEORI PSIKOANALISA

1.1 Pengertian Pendekatan Psikoanalisis


Corey mengatakan bahwa psikoanalisis merupakan teori pertama yang muncul dalam
psikologi khususnya yang berhubungan dengan gangguan kepribadian dan perilaku neurotik,
kemudian disusul oleh behaviorisme dan humanitis. Psikoanalisis diciptakan oleh Sigmund
Freud pada tahun 1986.
Pada kemunculannya, teori Freud ini banyak mengundang kontroversi, eksplorasi,
penelitian dan dijadikan landasan berpijak bagi aliran lain yang muncul kemudian. Mulanya
Freud menggunakan teknik hipnosis untuk menangani pasiennya. Tetapi teknik ini ternyata
tidak dapat digunakan pada semua pasien.
Dalam perkembangannya, Freud menggunakan teknik asosiasi bebas (free
association) yang kemudian menjadi dasar dari psikoanalisis. Teknik ini ditemukan ketika
Freud melihat beberapa pasiennya tidak dapat dihipnotis atau tidak memberi tanggapan
terhadap sugesti atau pertanyaan yang mengungkap permasalahan klien. Selanjutnya, Freud
mengembangkan lagi teknik baru yang dikenal sebagai analisis mimpi.
Menurut Willis, pengertian psikoanalisis meliputi tiga aspek penting yaitu :
1. Sebagai metode penelitian proses-proses psikis
2. Teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis
3. Sebagai teori kepribadian.
Letak keunggulan psikoanalisis dalam konseling menurut Freud adalah sangat efektif
untuk menyembuhkan klien atau pasien yang histeria, cemas, obsesi neurosis. Namun
demikian kasus-kasus sehari-hari dapat juga digunakan pendekatan psikoanalisis ini untuk
mengatasinya.
A. Pandangan Psikoanalisis tentang Kepribadian Manusia
1. Topografi Kepribadian
Teori topografi merupakan teori psikoanalisis yang menjelaskan tentang kepribadian
manusia yang terdiri dari sub subsistem. Bagi Freud kepribadian itu berhubungan dengan
alam kesadaran(awareness). Alam kesadaran terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu
a) Alam sadar (conscious/Cs), bagian yang berfungsi mengingat, menyadari dan merasakan
sesuatu secara nyadar atau nyata.
b) Alam prasadar (preconscious/Pcs), bagian kesadaran yang menyimpan ide, ingatan, dan
perasaan dan berfungsi mengantarkan ide, ingatan, dan perasaan tersebut ke alam sadar jika
individu berusaha mengingatnya kembali.
c) Alam bawah sadar (unconscious/Ucs), bagian dari dunia kesadaran yang paling
menentukan terbentuknya kepribadian individu. Alam bawah sadar menyimpan semua
ingatan atas peristiwa-peristiwa tertentu yang telah direpresi individu. Alam bawah sadar juga
menyimpan ingatan tentang keinginan yang tidak tercapai oleh individu.

2. Struktur Kepribadian
Freud beranggapan bahwa kepribadian manusia tersusun secara struktural. Dalam dunia
kesadaran (awareness) individu terdapat pula subsistem struktur kepribadian yang
berinteraksi secara dinamis, antara lain :
a) Id, merupakan subsistem kepribadian yang asli, yang dimiliki individu sejak lahir. Id
bersifat primitif dan bekerja pada prinsip kesenangan. Id berperan sebagai sumber libido atau
tenaga hidup dan energi serta merupakan sumber dari dorongan dan keinginan dasar untuk
hidup dan mati.
b) Ego, Berbeda dengan id yang bekerja hanya untuk memuaskan kebutuhan naluriah, ego
bertindak sebaliknya. Ego berperan menghadapi realitas hidup dan berasal dari kebudayaan
dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Prinsip kerjanya selalu bertentangan dengan
id.
c) Superego, terbentuk dari nilai-nilai yang terdapat dalam keluarga dan masyarakat yang
dipelajari di sepanjang tahun-tahun pertama hidup manusia. Superego bekerja berdasarkan
prinsip moral yang orientasinya bukan kesenangan tetapi pada kesempurnaan kepribadian.
3. Perkembangan Kepribadian
Secara genetis perkembangan kepribadian berkembang melalui beberapa tahap, yaitu
tahap oral, anal, falik, laten dan genital. Freud mengemukakan bahwa tahapan perkembangan
ini sangat penting terutama bagi pembentukan kepribadian di kemudian hari.
a) Fase oral, terjadi sejak lahir hingga akhir tahun pertama. Pada fase ini anak berkembang
berdasarkan pengalaman kenikmatan erotik pada daerah mulut. Anak yang tidak mendapat
kasih saying dari ibu dan kepuasan dalam makan serta minum akan menghambat
perkembangan kepribadiannya.
b) Fase anal, terjadi mulai usia dua sampai akhir tahun ketiga. Perkembangan anak pada fase
ini berpusat pada kenikmatan pada daerah anus. Selama fase ini, peran latihan buang
air (toilet training) sangat penting untuk belajar disiplin dan moral.
c) Fase falik, berkembang mulai usia empat hingga lima tahun. Pusat kenikmatan berpusat
pada alat kelamin. Istilah yang kerap muncul pada fase ini adalah Oedipus
complex (ketertarikan seksual pada sosok ibu) pada anak laki-laki dan electra
complex (ketertarikan seksual pada sosok ayah) pada anak perempuan.
d) Fase laten, juga disebut tahap pregenital. Periode ini terjadi antara lima atau enam tahun
hingga pubertas. Pada fase ini anak hanya sedikit berminat pada seksualitas karena
disebabkan kesibukan belajar, aktifitas dengan teman sebaya dan keterampilan fisik.
e) Fase genital, terjadi pada masa pubertas (di atas 12 tahun). Perilaku umum yang tampak
pada fase ini adalah kecenderungan tertarik pada lawan jenis, bersosialisasi dan berkelompok
serta menjalin hubungan kerja. Semua tingkah laku yang dilakukan kerap kali pada proses
menciptakan hubungan dengan orang lain.
4. Dinamika Kepribadian
a) Insting, menjadi sumber energi psikis dalam mengarahkan tindakannya memenuhi
keinginan dan kebutuhannya. Freud mengelompokkan insting atas dua jenis yakni insting
hidup dan insting mati. Bentuk energi dimana insting-insting hidup beroperasi disebut libido.
Yang paling utama insting libido ialah insting seksual. Insting-insting hidup yang lainnya
adalah lapar dan haus.
b) Kecemasan, yaitu perasaan kekhawatiran karena keinginan dan tuntunan internal tidak
terpenuhi dengan sebaiknya. Freud mengemukakan ada tiga bentuk kecemasan, antara lain :
1) Kecemasan realitas (reality anxity), takut akan bahaya yang datang dari luar. Kecemasan ini
bersumber dari ego.
2) Kecemasan neurosis (neurotic anxity), khawatir tidak mampu mengatasi atau menekan
keinginan-keinginan primitifnya. Kecemasan ini bersumber dari id.
3) Kecemasan moral (moral anxity), kecemasan akibat dari rasa bersalah dan ketakutan
dihukum oleh nilai-nilai dalam hati nuraninya. Kecemasan ini bersumber dari super ego.
c) Mekanisme pertahanan ego
Cara individu menghindari kecemasan biasanya dilakukan dengan mekanisme pertahanan
ego ( ego defense mechanism ). Di antara contoh bentuk mekanisme pertahanan ego antara
lain :
1) Represi, melupakan isi kesadaran yang traumatis. Contoh :seorang korban tsunami di Aceh
berusaha melupakan peristiwa tersebut.
2) Proyeksi, mengalamatkan pikiran, perasaan, motif yang tidak diterimanya kepada orang
lain. Contoh : seseorang mengatakan bahwa kegagalannya dalam ujian karena teman
sebangkunya yang berisik.
3) Introyeksi, menanamkan nilai-nilai dan standar yang dimiliki orang lain ke dalam dirinya
sendiri. Contoh : seorang anak senang berkelahi karena selalu melihat kedua orang tuanya
berkelahi.
4) Regresi, tindakan melangkah mundur secara tidak sadar ke fase perkembangan yang
terdahulu dimana tuntutan tugas perkembangannya tidak terlalu besar. Contoh : anak berusia
10 tahun yang kembali minta digendong ketika adiknya lahir.
1.2. Hakikat manusia menurut Freud
Freud memandang sifat manusia pada dasarnya pesimistik, deterministik, mekanistik,
dan reduksionistik. Di mana manusia dideterminasi oleh kekuatan-kekuatan irasional,
motivasi-motivasi tidak sadar, kebutuhan-kebutuhan dan dorongan-dorongan biologis dan
naluriah, dan oleh peristiwa-pristiwa psikoseksual yang terjadi selama lima tahun pertama
dari kehidupan. Freud menekankan peran naluri-naluri yang bersifat bawaan dan biologis, ia
juga menekankan pada naluri seksual dan impuls-impuls agresif. Menurutnya tujuan segenap
kehidupan adalah kematian, kehidupan ini adalah tidak lain jalan melingkar ke arah kematian.
Sumbangan terbesar Freud adalah konsep-konsepnya tentang kesadaran dan
ketidaksadaran yang merupakan dasar atau kunci untuk memahami tingkah laku dan masalah
kepribadian. Dengan kepercayaannya bahwa sebagian besar fungsi psikologis terletak di luar
kawasan kesadaran, maka sasaran terapi psikoanalitik adalah membuat motif-motif tidak
sadar menjadi disadari. Dari perspektif ini, terapi adalah upaya menyingkap makna gejala-
gejala, sebab-sebab tingkah laku, dan bagian-bagian yang direpresi yang menghalangi fungsi
psikologis yang sehat.
Selain kesadaran, kecemasan juga menjadi hal yang esensial untuk menggambarkan
tentang sifat manusia. Apabila tidak dapat mengendalikan kecemasan melalui cara-cara yang
rasional dan langsung maka ego akan mengandalkan cara-cara yang tidak relistis yaitu
tingkah laku yang berorientasi pada pertahanan ego. Freud menyakini bahwa individu yang
hati nuraninya berkembang baik cenderung merasa berdosa apabila dia melakukan sesuatu
yang berlawanan dengan kode moral yang dimilikinya.
Berdasarkan dari teori yang dikembangkan Freud, prinsip-prinsip psikonalisis tentang
hakikat manusia didasarkan pada asumsi-asumsi :
a. Pengalaman masa kanak-kanak mempengaruhi perilaku pada masa dewasa
b. Proses mental yang tidak disadari mengintegrasi perilaku-perilaku
c. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan mengembangkan diri melalui dorongan
libido dan agresivitasnya sejak lahir
d. Secara umum perilaku manusia bertujuan untuk meredakan ketegangan, menolak kesakitan
dan mencari kenikmatan
e. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan seksual mengarah pada perilaku neurosis
f. Pembentukan simptom merupakan bentuk defensif
g. Apa yang terjadi pada seseorang saat ini dihubungkan pada sebab-sebab di masa lampaunya
dan memotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan di masa yang akan datang
h. Latihan pengalaman di masa kanak-kanak berpengaruh penting pada perilaku masa dewasa
dan diulangi dalam transferensi selama proses terapi.

1.4 Periode Perkembangan Psikoseksual


Freud berpendapat bahwa tahapan perkembangan individu yang terpenting terjadi
pada 5 tahun pertama kehidupannya, dan periode perkembangan psikoseksual pada masa ini
merupakan landasan bagi perkembangan kepribadian individu selanjutnya,
1. Fase Oral (0 1 tahun)
Mulai usia 0 1 tahun seorang bayi menjalani fase oral, pada masa ini mulut dan bibir
merupakan zona yang peka. Kebutuhan akan makanan dan kesenangan dipuaskan dengan
aktivitas menyusu pada ibunya. Benda-benda yang dicari anak dapat menjadi pengganti bagi
apa-apa yang sesungguhnya diinginkannya, yakni makanan dan cinta dari ibunya.
Tugas perkembangan utama fase oral adalah memperoleh rasa percaya, baik kepada diri
sendiri, dan orang lain. Cinta adalah perlindungan terbaik terhadap ketakutan dan
ketidakamanan. Anak-anak yang dicintai tidak akan banyak menemui kesulitan dalam
menerima dirinya, sebaliknya anak-anak yang merasa tidak diinginkan, tidak diterima, dan
tidak dicintai cenderung mengalami kesulitan dalam menerima dirinya sendiri, dan belajar
untuk tidak mempercayai orang lain, serta memandang dunia sebagai tempat yang
mengancam. Efek penolakan pada fase oral akan membentuk anak menjadi pribadi yang
penakut, tidak aman, haus akan perhatian, iri, agresif, benci, dan kesepian.
2. Fase Anal (1 3 tahun)
Tugas perkembangan pada fase ini adalah anak harus belajar mandiri, dan belajar mengakui
dan menangani perasaan-perasaan negatif. Pada fase anal anak banyak berhadapan dengan
tuntutan-tuntutan orangtua, terutama yang berhubungan dengan toilet training, dimana anak
memperoleh pengalaman pertama dalam hal kedisiplinan. Banyak sikap terhadap fungsi
tubuh sendiri yang dipelajari anak dari orangtuanya. Selama fase anal anak akan mengalami
perasaan-perasaan negatif seperti benci, hasrat merusak, marah, dan sebagainya, namun
mereka harus belajar bahwa perasaan-perasaan tersebut bisa diterima. Hal penting lain yang
harus dipelajari anak adalah bahwa mereka memiliki kekuatan, kemandirian, dan otonomi.
3. Fase Phalic (3 5 tahun)
Pada fase ini aktivitas seksual anak menjadi lebih intens dan lebih berpusat pada fungsi alat
kelaminnya, anak-anak menjadi lebih berhasrat untuk melakukan eksplorasi terhadap
tubuhnya, dan menemukan perbedaan-perbedaan di antara kedua jenis kelamin. Fase Phalic
juga merupakan periode perkembangan hati nurani, dimana anak belajar mengenai standar-
standar moral. Selama fase ini anak perlu belajar menerima perasaan seksualnya sebagai hal
yang alamiah dan belajar memandang tubuhnya sendiri secara sehat. Mereka membutuhkan
contoh yang memadai bagi identifikasi peran seksual, untuk mengetahui apa yang benar dan
salah, serta apa yang maskulin dan feminin, sehingga mereka memperoleh perspektif yang
benar tentang peran mereka sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.
4. Fase Laten (6 12 tahun)
Pada fase Laten ketertarikan pada masalah seksual sudah berkurang, libido ditekan dan anak
mulai mengalihkan energinya ke kegiatan sekolah, bersosialisai dengan teman, olah raga, dan
hobi. Namun berkurangnya perhatian pada masalah seksual itu bersifat laten dan masih akan
terus memberikan pengaruh pada tahap perkembangan kepribadian berikutnya.
5. Fase Genital (12 tahun ke atas)
Fase genital dimulai pada usia 12 tahun, yaitu pada masa remaja awal dan berlanjut terus
sepanjang hidup. Pada fase ini energi seksual anak mulai terarah kepada lawan jenis bukan
lagi pada kepuasan diri melalui masturbasi, dan anak mulai mengenal cinta kepada lawan
jenis.
BAB II
PENDEKATAN PSIKOANALISA DALAM PENDIDIKAN

1.1 HAKIKAT KONSELING


Secara umum hakikat konseling adalah mengubah perilaku. Dalam pendekatan
psikonanalisa hakikat konseling adalah agar individu mengetahui ego dan memiliki ego yang
kuat, yaitu menempatkan ego pada tempat yang benar yaitu sebagai pihak mampu memilih
secara rasional dan menjadi mediator antara Id dan Superego. Konseling dalam pandangan
psikoanalisis adalah sebagai proses re-edukasi terhadap ego menjadi lebih realistik dan
rasional. Terdapat 4 teknik dasar dalam konseling psikoanalisis, yaitu :
1. Asosiasi bebas
Merupakan teknik utama dalam pendekatan psikoanalisa. Di sini konseli diminta untuk
memanggil kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan-pelepasan emosi
yang berkaitan dengan peristiwa traumatis di masa lampau. Pada teknik asosiasi bebas
konseli mengalami proses katarsis, dimana dia mendapatkan kebebasan untuk
mengemukakan segenap perasaan dan pikiran yang terlintas di benaknya, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak. Biasanya dilakukan dengan cara konseli berbaring di atas
sofa sementara konselor duduk di belakang kepalanya sehingga tidak mengganggu perhatian
konseli pada saat melakukan asosiasi bebas.
Selama proses berlangsung tugas konselor adalah mengenali peristiwa-peristiwa yang di-
repres dan dikurung oleh konseli dalam ketidaksadarannya. Kemudian konselor menafsirkan
pengalaman itu, menyampaikannya kepada konseli dan membimbingnya ke arah peningkatan
pemahaman atas dinamika yang tidak disadari oleh konseli

2. Analisis mimpi
Freud menyebut mimpi sebagai jalan istimewa menuju ketidaksadaran, sebab melalui mimpi
hasrat, kebutuhan, dan ketakutan yang tidak disadari bisa terungkap. Mimpi memiliki 2 taraf
isi yaitu isi laten dan isi manifes, isi latenterdiri dari motif-motif yang tersembunyi dan
simbolis, sebaliknya isi manifesyaitu gambaran yang tampak dalam mimpi yang dialami oleh
individu. Tugas konselor disini adalah untuk menyingkap isi laten yang tergambar dalam isi
manifes mimpi konseli, serta mengasosiasikannya guna menyingkap makna-makna
terselubung di dalamnya
3. Analisis resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang menghambat kelangsungan terapi dan mencegah konseli
mengungkapkan alasan-alasan kecemasannya. Freud berpendapat bahwa hal ini tidak bisa
dibiarkan karena akan menghambat proses konseling. Penafsiran terhadap resistensi harus
dilaksanakan untuk membantu konseli menyadari alasan-alasan yang ada di balik resistensi
dan kemudian mampu menyelesaikan konfliknya secara realistis
4. Analisis transferensi
Transferensi terjadi ketika terdapat sebuah urusan yang belum selesai dengan orang-orang
penting di masa lalu, yang terdistorsi ke masa sekarang dan memberikan reaksi kepada
konselor sebagaimana dia bereaksi terhadap ayah atau ibunya pada masa kanak-kanak. Di
sini konselor melakukan penafsiran agar konseli mampu menembus konflik masa lalu, dan
menggarap konflik emosional yang terdapat pada hubungan terapeutiknya bersama sang
konselor.

1.5 KONDISI PENGUBAHAN


1. Tujuan
Menurut Corey (2005), tujuan terapi psikoanalisa adalah untuk membentuk kembali
struktur karakter individu, dengan cara merekonstruksi, membahas, menganalisa, dan
menafsirkan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau, yang terjadi di masa kanak-
kanak. Membantu konseli untuk membentuk kembali struktur karakternya dengan
menjadikan hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari oleh konseli. Secara spesifik,
membawa konseli dari dorongan-dorongan yang ditekan (ketidaksadaran) yang
mengakibatkan kecemasan kearah perkembangan kesadaran
intelektual, menghidupkan kembali masa lalu konselidengan menembus konflik yang
ditekan, memberikan kesempatan kepada konseliuntuk menghadapi situasi yang selama ini ia
gagal mengatasinya.
2. Peran Konselor
Karakteristik konselor dalam psikoanalisa adalah membiarkan dirinya anonim serta
hanya berbagi sedikit saja perasaan dan pengalaman pribadinya kepada konseli. Peran utama
konselor dalam konseling ini adalah membantu konseli dalam mencapai kesadaran diri,
ketulusan hati, dan hubungan pribadi yang lebih efektif dalam menghadapi kecemasan
melalui cara-cara yang realistis, serta dalam rangka memperoleh kembali kendali atas tingkah
lakunya yang impulsif dan irasional.
Konselor membangun hubungan kerja sama dengan konseli dan kemudian
melakukan serangkaian kegiatan mendengarkan dan menafsirkan. Konselor jugamemberikan
perhatian kepada resistensi konseli untuk mempercepat proses penyadaran hal-hal yang
tersimpan dalam ketidaksadaran. Sementara konseli berbicara, konselor berperan
mendengarkan dan kemudian memberikan tafsiran-tafsiran terhadap informasi konseli,
konselor juga harus peka terhadap isyarat-isyarat non verbal dari konseli. Salah satu fungsi
utama konselor adalah mengajarkan proses arti proses kepada konseli agar mendapatkan
pemahaman terhadap masalahnya sendiri, mengalami peningkatan kesadaran atas cara-cara
berubah, sehingga konseli mampu mendaptakan kendali yang lebih rasional atas hidupnya
sendiri.
3. Peran Konseli
Konseli harus bersedia terlibat dalam proses konseling secara intensif, dan melakukan
asosiasi bebas dengan mengatakan segala sesuatu yang terlintas dalam pikirannya, karena
produksi verbal konseli merupakan esensi dari kegiatan konseling psikoanalisa. Pada kasus-
kasus tertentu konseli diminta secara khusus untuk tidak mengubah gaya hidupnya selama
proses konseling. Dalam pelaksanaan konseling psikoanalisis, klien menelusuri apa yang
tepat dan tidak tepat pada tingkah lakunya dan mengarahkan diri untuk membangun tingkah
laku baru.
4. Situasi Hubungan
Dalam konseling psikoanalisis terdapat 3 bagian hubungan konselor dengan klien,
yaitu aliansi, transferensi, dan kontratransferensi :
a. Aliansi yaitu sikap klien kepada konselor yang relatif rasional, realistik, dan tidak neurosis
(merupakan prakondisi untuk terwujudnya keberhasilan konseling).
b. Transferensi
1) pengalihan segenap pengalaman klien di masa lalunya terhadap orang-orang yang
menguasainya, yang ditujukan kepada konselor
2) merupakan bagian dari hubungan yang sangat penting untuk dianalisis
3) membantu klien untuk mencapai pemahaman tentang bagaimana dirinya telah salah dalam
menerima, menginterpretasikan, dan merespon pengalamannya pada saat ini dalam kaitannya
dengan masa lalunya.
c. Kontratransferensi
Yaitu kondisi dimana konselor mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras
dan berasal dari konflik-konfliknya sendiri. Kontratransferensi bisa terdiri dari perasaan tidak
suka, atau justru keterikatan atau keterlibatan yang berlebihan, kondisi ini dapat menghambat
kemajuan proses konseling karena konselor akan lebih terfokus pada masalahnya sendiri.
Konselor harus menyadari perasaaannya terhadap klien dan mencegah pengaruhnya yang bisa
merusak. Konselor diharapkan untuk bersikap relatif obyektif dalam menerima kemarahan,
cinta, bujukan, kritik, dan emosi-emosi kuat lainnya dari konseli.
BAB III
EVALUASI PENDEKATAN PSIKOANALISA DALAM PENDIDIKAN

3.1 KELEMAHAN DAN KELEBIHAN PENDEKATAN PSIKONALISA


A. Kelemahan dari pendekatan ini adalah:
1. Pandangan yang terlalu determistik dinilai terlalu merendahkan martabat kemanusiaan.
2. Terlalu banyak menekankan kepada masa kanak-kanak dan menganggap kehidupan seolah-
olah ditentukan oleh masa lalu. Hal ini memberikan gambaran seolah-olah tanggung jawab
individu berkurang.
3. Cenderung meminimalkan rasionalitas.
4. Kurang efisien dari segi waktu dan biaya

B. Kelebihan dari pendekatan ini adalah:


1. Penggunaan terapi wicara
2. Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan dapat memahami sifat manusia untuk
meredakan penderitaan manusia.
3. Pendekatan ini dapat mengatasi kecemasan melalui analisis atas mimpi-minpi, resistensi-
resistensi dan transferensi-trasnferensi.
4. Pendekatan ini memberikan kepada konselor suatu kerangka konseptual untuk melihat
tingkah laku serta untuk memahami sumber-sumber dan fungsi simptomatologi
ALIRAN BEHAVIORISME DAN TERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN

Dosen pengampu

Prof Muhari

Oleh

Honing Alvianto Bana

1531600015

Magister Psikologi

Universitas 17 agustus 1945

Surabaya

2017
BAB I

TEORI BELAJAR BEHAVIORISME.

1.1. PENGERTIAN BELAJAR BEHAVIORISME

Behaviorisme merupakan kekuatan pendidikan sejak abad pertengahan. Sebagai suatu


pendekatan terhadap pendidikan, behaviorisme terbuka bagi manusia modern yang
mengutamakan metodologi ilmiah dan obyektivitas seperti sektor yang dapat diukur dari
komunitas bisnis yang menilai hasil, efisiensi, dan ekonomi yang terlihat mendesak (Haryo,
2007) Terdapat empat prinsip filosofis utama dalam pengembangan teori ini yaitu : Manusia
adalah binatang yang sangat berkembang dan manusia belajar dengan cara yang sama seperti
yang telah dilakukan binatang lainnya; pendidikan adalah proses perubahan perilaku; peran
guru adalah menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif; efisiensi, ekonomi,
ketepatan dan obyektivitas merupakan perhatian utama dalam pendidikan.

Pengertian belajar menurut teori Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat
dari adanya reaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu
apabila ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum
menunjukkan perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah melakukan
proses belajar. Teori ini sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output
yang berupa respons. Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-
gambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar (Budiningsih, 2003).

Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis,
menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon,
menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar, mementingkan
peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku
manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioral dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini
berpendapat bahwa tingkah laku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkah
laku adalah hasil belajar.

1.2. TOKOH-TOKOH ALIRAN BEHAVIORISME

Para tokoh aliran behaviorisme setidaknya ada Thorndike, Skinner, Pavlov, Gagne,
dan Bandura. Pada intinya mereka menyetujui pengertian belajar di atas, namun ada beberapa
perbedaan pendapat di antara mereka. Secara singkat akan kami bahas karya tokoh aliran
behaviouristik sebagai berikut.

1. Edward Lee Thorndike (1874 1949)


Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R).

Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk
mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat.

Respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.

Eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa
supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk
memilih respons yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah trial
and error learning atau selecting and connecting lerning dan berlangsung menurut hukum-
hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering
disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini
mengikuti hukum-hukum berikut:

1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu
perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan
kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.

2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku diulang/dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
2. Ivan Petrovich Pavlov (1849 1936)
Classic Conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan
Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, di mana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi
yang diinginkan.
Urutan kejadian melalui percobaan terhadap anjing:

1. US (unconditioned stimulus) = stimulus asli atau netral: Stimulus tidak dikondisikan yaitu
stimulus yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang anjing
untuk mengeluarkan air liur.
2. UR (unconditioned respons): disebut perilaku responden (respondent behavior) respon tak
bersyarat, yaitu respon yang muncul dengan hadirnya US, yaitu air liur anjing keluar karen
anjing melihat daging.
3. CS (conditioning stimulus): stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak dapat langsung
menimbulkan respon. Agar dapat menimbulkan respon perlu dipasangkan dengan US secara
terus-menerus agar menimbulkan respon. Misalnya bunyi bel akan menyebabkan anjing
mengeluarkan air liur jika selalu dipasangkan dengan daging.
4. CR (conditioning respons): respons bersyarat, yaitu rerspon yang muncul dengan hadirnya
CS, Misalnya: air liur anjing keluar karena anjing mendengar bel.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasan dapat diketahui bahwa daging
yang menjadi stimulus alami (UCS = Unconditional Stimulus = Stimulus yang tidak
dikondisikan) dapat digantikan oleh bunyi lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan (CS
= Conditional Stimulus = Stimulus yang dikondisikan). Ketika lonceng dibunyikan ternyata
air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan. Dengan menerapkan strategi Pavlov
ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus
yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu
tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.

3. Burrhus Frederic Skinner (1904 1990)


Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi
perilaku (behavior modification) antara lain dengan proses penguatan (reinforcement) yaitu
memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun
pada perilaku yang tidak tepat.
Operant Conditioning atau pengkondisian operan adalah suatu proses penguatan perilaku
operan (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat
berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Perilaku operan adalah perilaku yang dipancarkan secara spontan dan bebas Skinner
membuat eksperiment sebagai berikut: dalam laboratorium. Skinner memasukkan tikus yang
telah dilaparkan dalam kotak yang disebut Skinner box, yang sudah dilengkapi dengan
berbagai peralatan, yaitu tombol, alat pembeli makanan, penampung makanan, lampu yang
dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik.
Karena dorongan lapar (hunger drive), tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama
tikus bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol,
makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan
perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shaping.
Unsur terpenting dalam belanja adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi
penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan
penguatan negatif. Penguatan positif sebagai stimulus, dapat meningkatkan terjadinya
pengulangan tingkah laku itu sedangkan penguatan negatif dapat mengakibatkan perilaku
berkurang atau menghilang.
Beberapa prinsip belajar Skinner antara lain:

1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika benar
diberi penguat.

2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.

4. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.

5. Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini lingkungan perlu diubah,
untuk menghindari adanya hukuman.

6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
7. Dalam pembelajaran, digunakan shaping.

Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori, Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai
salah satu cara untuk mendiskripsikan siswa menurut Skinner hukuman yang baik adalah
anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya misalnya anak perlu mengalami
sendiri kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verba maupun
fisik seperti : kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk pada siswa.

Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi di dalam situasi pendidikan
seperti penggunaan rangking juara di kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata
pelajaran. Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan kemampun yang
diperlihatkan sehingga dalam satu kelas terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi
yang ditunjukkan para siswa; misalnya: penghargaan di bidang bahasa, matematika, fisika,
menyanyi, menari, atau olahraga.

1.3.. PRINSIP-PRINSIP BELAJAR BEHAVIORISME

1. Stimulus dan Respons

Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya alat peraga, gambar
atau charta tertentu dalam rangka membantu belajarnya. Stimulus ini dapat terintegrasi
dengan baik melalui perencanaan program pembelajaran yang baik lengkap dengan alat-alat
yang membentu siswa mencapai tujuan belajar. Sedangkan respons adalah reaksi siswa
terhadap stimulus yang telah diberikan oleh guru tersebut, reaksi ini haruslah dapat diamati
dan diukur.
2. Reinforcement (penguatan)

Konsekuensi yang menyenangkan akan memperkuat perilaku disebut penguatan


(reinforcement) sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah
perilaku disebut dengan hukuman(punishment).
1. Penguatan positif dan negatif
Pemberian stimulus positif yang diikuti respon disebut penguatan positif, misalnya dengan
memuji siswa setelah dapat merespon pertanyaan guru. Sedangkan mengganti peristiwa yang
dinilai negatif untuk memperkuat perilaku disebut penguatan negatif, misalnya apabila siswa
mampu mengerjakan tugas dengan sempurna maka diperbolehkan tidak mengikuti ulangan.

1. Penguatan primer dan sekunder


Penguat primer adalah penguatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti
air, makanan, udara dll. Sedangkan penguatan sekunder adalah penguatan yang digunakan
untuk memenuhi kebutuhan non fisik seperti pujian, pangkat, uang dll.

3. Kesegeraan memberi penguatan (immediacy)

Penguatan hendaknya diberikan segera setelah perilaku muncul karena akan


menimbulkan perubahan perilaku yang jauh lebih baik dari pada pemberian penguatan yang
diulur-ulur waktunya.

1. Pembentukan perilaku (Shapping)


Menurut skinner untuk membentuk perilaku seseorang diperlukan langkah-langkah berikut :
1. Mengurai perilaku yang akan dibentuk menjadi tahapan-tahapan yang lebih rinci; 2.
menentukan penguatan yang akan digunakan; 3. Penguatan terus diberikan apabila muncul
perilaku yang semakin dekat dengan perilaku yang akan dibentuk.

1. Kepunahan (Extinction)
Kepunahan akan terjadi apabila respon yang telah terbentuk tidak mendapatkan penguatan
lagi dalam waktu tertentu.
BAB II

TERAPAN BEHAVIORISTIK DALAM PENDIDIKAN

2.1. APLIKASI TEORI BEHAVIORISTIK TERHADAP PEMBELAJARAN SISWA

Menurut Budiningsih, 2005:24 dari semua teori pendukung tingkah laku, teori
skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa
program pembelajaran menggunakan sistem stimulus dan respon yang diwujudkan dalam
program-program pembelajaran yang disertai oleh perangkat penguatan(reinforcement).

Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang
sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh
guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun
hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur
dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu
perilaku yang diinginkan.
Metode ini sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur kecepatan, spontanitas, kelenturan, daya tahan,
contohnya percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih
membutuhkan dominansi orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru
dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.

Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya
mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.

Aplikasi Aplikasi Teori Behavioristik

Adapun aplikasi dalam pembelajaran berdasarkan teori behavioristik, dalam merancang


kegiatan pembelajaran, adalah :
1. Menentukan tujuan pembelajaran.

2. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasikan


pengetahuan awal peserta didik.

3. Menentukan materi pembelajaran.

4. Memecah materi pembelajaran menjadi bagian bagian kecil, meliouti pokok bahasan,
subpokok bahasan topik dan sebagainya.

5. Menyajikan materi pembelajaran.

6. Memberikan stimulus.

7. Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik.

8. Memberikan penguatan baik yang positif maupun negatif, atau hukuman.

9. Memberikan stimulasi baru.

10. Mengamati dan mangkaji respons yang diberikan pesrta didik.

11. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.

12. Demikian seterusnya.

13. Evaluasi hasil belajar (Suciati & Irawan, 2001: 31-32).

2.2. PENDEKATAN TEORITIK DALAM KONSELING

Pendekatan Behavioristik
Tokohnya Skinner, Watson, Thorndike. Dasar filosofis dari teori mereka adalah bahwa
perilaku itu terbentuk dari perlakuan individu lain dalam lingkungan sekitarnya. Kalau
individu tidak dapat melakukan self-determinism maka dirinya akan mudah sekali terhanyut.
Behavioristik dalam menjabarkan pandangannya selalu dihubungkan dengan prinsip
stimulus-respon. Kalau orang tua misalnya memberikan pola asuh otoriter yang didalamnya
selalu penuh dengan kritikan, celaan, maka anakpun akan belajar dan kemudian memberikan
respon perasan rendah diri.

Hal yang dipelajari di rumah inipun kemudian akan ditransfer dalam kehidupan sehari-hari.
Ada dua kemungkinan anak memberikan respon kepada lingkungan, di sekolah misalnya ia
jadi lebih suka menyendiri atau bila teman-temannya memberikan stimulus yang berbeda
dengan yang dialaminya yaitu mengakui dan menerima keberadaannya dan selalu memberi
dukungan atas perilakunya sekalipun negatif, maka siswa kemudian cenderung lebih
memilih lingkungan tersebut. Tujuan akhir konseling adalah untuk membuat siswa mengubah
perilakunya yang maladaptif dan mau menambah perbendaharaan peilaku, untuk mengetahui
itu klien diminta untuk membuat kontrak agar perilakunya dapat dinilai dan dipantau hingga
tercapai perilaku target yang diinginkan. Behavioristik lebih menekankan pada perilaku
sekarang daripada menoleh kembali ke masa kehidupan awal.

2.3 PENDEKATAN BEHAVIORISTIK DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN


PENDIDIKAN

Pendidikan akan tercapai apabila pihak pendidik dan terdidik memahami teori
pendidikan, tentu saja teori yang dipakai tidak bisa berdiri sendiri, tetapi satu dengan yang
lain akan saling melengkapi, sehingga dapat menggunakan teori tersebut sesuai yang
dibutuhkan saat itu. Pengaruh berbagai macam teori pendidikan dalam penentuan kebijakan
tentu saja tidak dapat dibantah lagi, termasuk pengaruh teori behaviorisme dalam penentuan
kebijakan pendidikan di Indonesia. Berikut sebagian kebijakan yang bisa dikaitkan dengan
konsep filosofi behaviorisme, yang diantaranya adalah :

1. Pendidikan adalah suatu proses untuk pembentukan perilaku. Tertuang secara jelas dalam
Tujuan pendidikan nasional.
Menurut para behavioris, manusia diprogram untuk bertindak dalam cara-cara tertentu oleh
lingkungannya. Jika benar akan diberi hadiah oleh alam dan bila salah akan dihukum oleh
alam. Tindakan yang diberi hadiah cenderung diulang sedangkan yang dihukum cenderung
dihilangkan. Oleh sebab itu, perilaku dapat dibentuk dengan memanipulasi proses
penghargaan dan hukuman tersebut. Tugas dari pendidikan adalah untuk menciptakan
lingkungan belajar yang mengarah pada perilaku yang diinginkan. Sekolah dipandang
sebagai cara untuk merancang suatu budaya.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional, UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas Menyatakan
bahwa Pendidikan nasional berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadfi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Standar Sarana Prasarana, Pasal 45. ayat 1 bahwa Setiap satuan pendidikan formal dan
nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik

2. Proses belajar Behavioristik mengutamakan tentang bagaimana memberikan stimulus


yang tepat dan pembentukan kebiasaan melalui proses latihan dan pengulangan untuk
menghasilkan respon yang diiharapkan.
Proses pencarian stimulus yang tepat ini tertuang secara jelas dalam sebuah kebijakan
yang dinamakan kurikulum. Kurikulum di artikan sebagai program pendidikan yang
disediakan sekolah atau lembaga pendidikan bagi siswa. Berdasarkan program tersebut siswa
melakukan berbagai macam kegiatan belajar sehingga mendorong perkembangan dan
pertumbuhan sesuai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kurikulum penganut behavioris
mengutamakan proses pembentukan kebiasaan melalui proses latihan dan pengulangan.
Kurikulum ini sangat cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi, suka meniru dan senang dengan bentuk
penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian. Kurikulum behavioris juga masih
diterapkan dalam ilmu-ilmu yang membutuhkan unsur kecepatan, reflek, daya tahan dsb
contohnya seperti menari, mengetik, menggunakan komputer dsb.
Kebijakan lain yang juga diwarnai oleh teori ini adalah kebijakan tentang adanya kurikulum
khusus untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan siswa yang bersifat pembiasaan dan
kecakapan kecakapan tertentu misalnya kurikulum SMK tentu saja lebih banyak menekankan
pada latihan daripada proses pencarian ilmu secara mandiri. Hal-hal tersebut antara lain
tercakup dalam kebijakan-kebijakan seperti di bawah ini:
Permin Dik Nas No. 16-17 dan 18 Tahun 2007
Bab III, pasal 13 ayat:
1. Kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajad,
SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajad, SMK/MAK atau bentuk lain yang
sederajad dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup.
2. Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1 mencakup kecakapan
pribadi, sosial, akademik dan kecakapan vokasional.
3. Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1,2, dapat merupakan
bagian dari pendidikan kelompok mata pejaran agama dan akhlak mulia,
kewarganegaraan, dan kepribadian , ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan
estetika, pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan.
4. Pendidikan kecakapan hidup sebagaimana dimaksud ayat 1,2,3 dapat diperoleh
peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan
nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.

BAB IV. Standar Proses.


Pasal 19 ayat:
1. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik.
2. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam proses pembelajaran
pendidikan memberikan keteladanan.
3. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

3. Peran guru adalah untuk menciptakan lingkungan yang efektif


Elemen utama pendidikan yang telah hilang di kebanyakan lingkungan adalah
penghargaan yang positif. Pendidikan tradisional yang mempunyai guru yang tradisional
pula, masih sering menggunakan bentuk terapi kontrol yang negatif seperti hukuman. Seiring
dengan kemajuan dunia pendidikan, guru diharapkan mampu memberikan sebuah stimulus
yang sesuai dengan kondisi anak dan kondisi lingkungan yang ada saat ini. Seorang guru
yang mempunyai kualifikasi keilmuan dan pedagogis yang cukup tentunya mampu
memberikan stimulus yang tepat agar bisa menimbulkan respon yang positif dari siswa.

Dalam pasal 42 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas dikemukakan


bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Demikian pula yang terdapat pada permendiknas
no. 16/2007 tentang standar kompetensi guru.
Merujuk dari pasal diatas terlihat bahwa proses pendidikan di Indonesia masih terlihat
dijiwai oleh paham behaviorisme yang mengutamakan keefektifan pemberian stimulus oleh
seorang yang berkualifikasi. Dengan kualifikasi guru yang memadai ini diharapkan mampu
menciptakan lingkungan yang kondusif agar siswa dapat memberikan respon yang sesuai.

4. Sistem evaluasi behavoristik menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah,
dan biasanya menggunakan paper and pencil test.
Teori behavioristik menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual,
biasanya dalam bentuk evaluasi yang menuntut satu jawaban yang benar sesuai dengan
keinginan guru atau keinginan kunci. Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang
terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah kegiatan pembelajaran.
Kebijakan berkaitan dengan pandangan ini tentu saja masih sangat dekat dalam kehidupan
pendidikan kita, misalnya dengan adanya test tengah semester, test akhir semester, bahkan
sampai kebijakan Ujian Nasional. Semua instrumen dari penilaian ini selalu dalam bentuk
pilihan yang menunjuk pada satu jawaban yang paling benar walaupun ada pertanyaan yang
menuntut jawaban sikap. Lebih-lebih dalam Ujian Nasional yang sampai saat ini masih
banyak dipertanyakan tentang pelaksanaannya juga sangat kental dengan suasana
behaviorisme. Seperti yang tercantum dalam Pasal 66 PP 19 tahun 2005 tentang (1) Penilaian
hasil belajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) butir c bertujuan untuk menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. (2)
Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. (3) Ujian nasional
diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun
pelajaran.
Pada hakekatnya teori behavioristik ini masih sangat kental terasa dalam setiap
kebijakan pendidikan, terutama di Indonesia. Hampir semua kebijakan pendidikan yang ada
selalu menekankan pada pembentukan perilaku dan pemberian stimulus yang cocok untuk
mencapai perilaku yang diinginkan. Walaupun teori ini sarat dengan kritikan, namun banyak
dalam hal tertentu masih diperlukan, khususnya dalam mempelajari aspek-aspek yang
bersifat tetap dan permanen dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan secara ketat.

Tentu saja paparan diatas tidak bisa mewakili seberapa besar paham behavioris ini
mempengaruhi pendidikan yang ada di Indonesia, karena penerapan teori ini kadang
berkaitan dengan teori yang lain dalam mewarnai satu kebijakan sehingga sulit mendefinisi
suatu kebijakan itu lebih cenderung ke arah teori yang mana. Penerapan Teori pendidikan
eklektik merupakan solusi yang dirasa paling sesuai saat ini, dengan meniadakan kekurangan
dari satu teori dan menutupinya menggunakan teori yang lain diharapkan proses pendidikan
yang terjadi akan lebih sempurna.
BAB III

EVALUASI TEORI BEHAVIORISME

3.1 Kelemahan teori behaviorisme

Kritik terhadap Teori Behavioristik

1. Tidak dapat menjelaskan situasi belajaryang kompleks.

2. Asumsi bahwa semua hasil belajar berupa perubahan tingkah laku yang dapat diamati,
dianggap menyederhanankan masalah belajar yang sesungguhnya.

3. Tidak semua hasil belajar dapat diamati.

4. Cenderung mengarahkan peserta didik berpikir linier, tidak konvergen, dan tidak
kreatif.

3.2 Kelebihan teori Behaviorisme

Pentingnya Teori Behavioristik

Pentingnya para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program program


pembelajaran memahami teori belajar behavioristik mempunyai alasan sebagai berikut :

a. Teori belajar ini membantu para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program
program pembelajaran untuk memahami proses belajar yang terjadi di dalam diri peserta
didik.

b. Dengan kondisi ini para guru, perancang pembelajaran, dan pengembang program
program pembelajaran dapat mengerti kondisi kondisi dan faktor faktor yang dapat
mempengaruhi, memperlancar, atau menghambat proses belajar.
c. Memungkinkan untuk melakukan prediksi yang cukup akurat tentang hasil yang dapat
diharapkan suatu aktivitas belajar (Lindgren, Toeti Sukamto, 1992: 14)

Teori ini telah memberikan banyak konstribusi bagi pengembangan teori belajar selanjutnya.
Bahkan telah banyak diyakini oleh para ahli pendidikan, sekolah, bahkan diluar sekolah.

3.3 KESIMPULAN
Behaviorisme adalah paham yang menekankan pada perubahan tingkah laku yang
didasari oleh prinsip stimulus dan respon. Dalam penentuan kebijakan pendidikan di
indonesia paham behavioris ini masih mendominasi terutama pada kebijakan-kebijakan yang
bersifat hakekat dan prinsip misalnya adanya tujuan nasional pendidikan. Sedangkan
kebijakan penetapan program kurikulum, penyiapan tenaga guru yang kualifikatif, serta
sistem penilaian yang baik merupakan sebuah usaha untuk memberikan stimulus yang terbaik
untuk menghasilkan respon yang diharapkan.

Untuk itu Kebijakan Pendidikan yang bersifat behavioristik tidak sepenuhnya tidak
baik Untuk mewujudkannya Pemerintah perlu melihat kenyataan dilapangan , untuk
mengadakan pendekatan inovatif untuk diupayakan keterlaksanaannya dalam proses
pembelajaran. Namun kesiapan dari berbagai unsur sistem pendidikan menjadi faktor
penentunya. Oleh karena kebijakan pendidikan yang relevan dengan tuntutan perubahan
harus didukung oleh semua pelaku pendidikan termasuk komponen pendidikan yang lain.
ALIRAN HUMANISTIK DAN TERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN

Dosen pengampu

Prof Muhari

Oleh

Honing Alvianto Bana

1531600015

Magister Psikologi

Universitas 17 agustus 1945

Surabaya

2017
BAB I
KONSEP TEORI HUMANISTIK

1.1 Pengertian Teori Humanisme

Gagne dan Briggs mengatakan bahwa pendekatan humanisme adalah pengembangan


nilai-nilai dan sikap pribadi yang dikehendaki secara sosial dan pemerolehan pengetahuan
yang luas tentang sejarah, sastra, dan pengolahan strategi berpikir produktif.Pendekatan
sistem bisa dapat di lakukan sehingga para peserta didik dapat memilih suatu rencana
pelajaran agar mereka dapat mencurahkan waktu mereka bagi bermacam-macam tujuan
belajar atau sejumlah pelajaran yang akan dipelajari atau jenis-jenis pemecahan masalah dan
aktifitas-aktifitas kreatif yang mungkin dilakukan.pembatasan praktis dalam pemilihan hal-
hal itu mungkin di tentukan oleh keterbatasan bahan-bahan pelajaran dan keadaan tetapi
dalam pendekatan sistem itu sendiri tidak ada yang membatasi keanekaragaman pendidikan
ini.
Menurut salah satu ahli (Ridwan Abdullah Sani,2013:35) teori belajar humanisme
menganggap bahwa keberhasilan belajar terjadi jika peserta didik memahami lingkungannya
dan dirinya sendiri.Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya,bukan dari sudut pandang pengamatnya.Peran pendidik adalah membantu peserta
didik untuk mengembangkan dirinya,yaitu membantu masing-masig individu untuk mengenal
diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu mereka dalam mewujudkan
potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Jadi, teori belajar humanisme adalah suatu teori dalam pembelajaran yang
mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu
mengembangkan potensi dirinya.

1.2. Prinsip-Prinsip Belajar Humanisme

prinsip-prinsip belajar humanisme adalah :


1. Manusia mempunyai cara belajar alami.
2. Belajar terjadi secara signifikan jika materi pelajaran dirasakan mempunyai relevan dengan
maksud tertentu.
3. Belajar menyangkut perubahan dalam persepsi mengenal diri peserta didik.
4. Belajar yang bermakna diperoleh jika peserta didik melakukannya.
5. Belajar akan berjalan lancar jika peserta didik dilibatkan dalam proses belajar.Belajar yang
melibatkan peserta didik dapat memberi hasil yang mendalam.
6. Kepercayaan pada diri peserta didik ditumbuhkan dengan membiasakan untuk mawas diri.
7. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belajar.

a. Roger sebagai ahli dari teori belajar humanisme mengemukakan beberapa prinsip belajar yang
penting yaitu:
a) Manusia itu memiliki keinginan alamiah untuk belajar, memiliki rasa ingin tahu alamiah
terhadap dunianya, dan keinginan yang mendalam untuk mengeksplorasi dan asimilasi
pengalaman baru,
b) Belajar akan cepat dan lebih bermakna bila bahan yang dipelajari relevan dengan
kebutuhan peserta didik, belajar dapat di tingkatkan dengan mengurangi ancaman dari luar,
c) belajar secara partisipasif jauh lebih efektif dari pada belajar secara pasif dan orang belajar
lebih banyak bila belajar atas pengarahan diri sendiri,
d) belajar atas prakarsa sendiri yang melibatkan keseluruhan pribadi, pikiran maupun perasaan
akan lebih baik dan tahan lama, dan kebebasan, kreatifitas, dan kepercayaan diri dalam
belajar dapat ditingkatkan dengan evaluasi diri orang lain tidak begitu penting.(Dakir, 1993:
64)

1.3 Tokoh-Tokoh Dalam Teori Belajar Humanisme

1. Bloom dan Krathwohl


Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai oleh
siswa,yang tercakup dalam tiga kawasan :
a) Kognitif
Kognitif terdiri dari enam tingkatan,yaitu :
Pengetahuan (mengingat,menghafal)
Pemahaman (menginterprestasikan)
Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
Analisis (menjabarkan suatu konsep)
Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
Evaluasi (membandingkan nilai,ide,metode,dan sebagainya)
b) Psikomotorik
Psikomotorik terdiri dari 5 tingkatan yaitu :
Peniruan (menirukan gerak)
Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
c) Afektif
Afektif terdiri dari 5 tingkatan yaitu :
Pengenalan (ingin menerima,sadar akan adanya sesuatu)
Merespons (aktif berpartisipasi)
Penghargaan (menerima nilai-nilai,setia kepada nilai tertentu)
Pengorganisasian (menghubungkan nilai-nilai yang dipercayai)
Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagia dari pola hidup)
(Dr.Hamzah B.Uno,2006:58-59)

2. Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap yaitu :
a) Pengalaman konkret
Pada tahap ini,seorang siswa hanya mampu sekadar ikut suatu kejadian.Dia belum
mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut.Dia pun belum mengerti bagaimana
dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
b) Pengamatan aktif dan reflektif
Pada tahap kedua,siswa lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadia
itu,serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c) Konseptualisasi
Pada tahap ini,siswa mulai belajar untuk abstarksi atau teori tentang sesuatu hal yang
pernah diamatinya.Siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum
(generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi
mempunyai landasan aturan yang sama.
d) Eksperimentasi aktif
Siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum situasi yang baru.Dalam dunia
matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami asal usul sebuah rumus,tetapi ia juga
memakai rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang beluum pernah ia temui
sebelumnya.(Dr.Hamzah B.Uno,2006:60)
3. Honey dan Mumford
Berdasarkan teori Kolb ini,Honey dann Mumford membuat penggolongan siswa.Menurut
mereka,ada 4 macam atau tipe siswa yakni :
a. Aktivis
Ciri-ciri siswa yang bertipe aktivis adalah siswa suka melibatkan diri pada pengalaman-
pengalaman baru,cenderung berpikiran terbuka,mudah diajak berdialog.Dalam proses
belajar,mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal
baru,seperti problem solving.Akan tetapi,mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang
memerlukan waktu lama dalam implementasi.
b. Reflektor
Ciri-ciri siswa yang bertipe reflector adalah cenderung sangat berhati-hati mengambil
langkah.
c. Teoris
Ciri-ciri siswa yang bertipe teoris adalah sangat kritis,senang menganalisis,dan tidak
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.
d. Pragmatis
Ciri-ciri siswa yang bertipe pragmatis adalah menaruh perhatian besar pada aspek-aspek
praktis dari segala hal.
(Dr.Hamzah B.Uno,2006:61)
4. Habermas
Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian yaitu :
a. Belajar teknis
Siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya.Meraka beusaha menguasai
dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang
dibutuhkan untuk itu.
b. Belajar praktis
Pada tahap ini,lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang di
sekelilingnya.Pemahaman terhadap alam justru releva jika dan hanya jika berkaitan denga
kepentingan manusia.
c. Belajar emansipatoris
Siswa berusaha mecapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan
(transformasi) kultural dari suatu lingkungan.
(Dr.Hamzah B.Uno,2006:61-61)
5. Carl Rogers
Carl R. Rogers dalam Hadis (2006: 71) kurang menaruh perhatian kepada mekanisme proses
belajar. Belajar dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa
belajar yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual
maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar humanisme bahwa
motifasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik.
Roger membedakan dua ciri belajar, yaitu:
belajar yang bermakna
belajar yang tidak bermakna.
Belajar yang bermakna terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan
perasaan peserta didik, dan belajar yang tidak bermakna terjadi jika dalam proses
pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta
didik.
6. Maslow
Menurut Abraham Maslow,individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat hierarkis.Setiap individu mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut
untuk berkembang,takut untuk mengambil keputusan,takut membahayakan apa yang sudah ia
miliki.Individu juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan,keunikan
diri,berfungsinya semua kemampuan,kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat
itu juga ia dapat menerima diri sendiri.
Pembelajaran humanisme cenderung mendorong peserta didik untuk berpikir induktif,yakni
dari contoh ke konsep,dari konkret ke abstrak,atau dari khusus ke umum.Teori ini
mementingkan faktor pengalaman dan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses belajar
mengajar.Pembelajaran berdasarkan teori humanism ini cocok untuk diterapkan untuk
pembentukan kepribadian,hati nurani,perubahan sikap,dan analisis terhadap fenomena sosial.
(Ridwan Abdullah Sani,2013:38-39)
BAB II
TERAPAN TEORI HUMANISTIK DALAM PENDIDIKAN

2.1. Aplikasi Teori Humanistik dalam Pembelajaran


Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik.
Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik
untuk memperoleh tujuan pembelajaran.(Sumanto, 1998: 235)
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif peserta didik melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur
dan positif.
3. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan kesanggupan peserta didik untuk belajar atas
inisiatif sendiri
4. Mendorong peserta didik untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
mandiri
5. Peserta didik di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari perilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima peserta didik apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran peserta didik,
tidak menilai secara normatif tetapi mendorong peserta didik untuk bertanggungjawab atas
segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi peserta didik. (Mulyati,
2005: 182)
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini tepat untuk diterapkan. Keberhasilan
aplikasi ini adalah peserta didik merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan
terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Peserta didik
diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

2.2. Implikasi Teori Belajar Humanistik


Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik.
Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik
untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator,
yaitu:
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di
dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan
mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi
yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan
cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan
sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut
menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti peserta didik yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya
dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi

yangboleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik

9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan
yang dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan
menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. (Dakir, 1993: 65).
Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon perasaan peserta didik
2. Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didik
4. Menghargai peserta didik
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan
segera dari peserta didik)
7. Tersenyum pada peserta didik. (Syaodih, 2007: 152)
Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan,
pertanggungan jawaban sosial dan bahan pembelajaran yang khusus, mereka percaya bahwa
masalah ini tidak dapat di serahkan begitu saja kepada peserta didik.
BAB III
EVALUASI TEORI HUMANISTIK

3.1 Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Humanisme

A. Kelebihan teori humanisme adalah :


1. Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial.
2. Menurut aliran humanisme : individu itu cenderung mempunyai kemampuan / keinginan
untuk berkembang dan percaya pada kodrat biologis dan ciri lingkungan
3. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif
dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
4. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
5. Aliran humanisme tidak menyetujui sifat pesimisme, dalam aliran humanisme individu itu
memiliki sifat yang optimistik
6. Teori Humanistik sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada
dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada konteks manapun
akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya(Dr.C.Asri Budi
Ningsih,2005:76).
7. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang dirumuskan dapat membantu para
pendidik dan guru untuk memahami hakikat kejiwaan manusia.( Dr.C.Asri Budi
Ningsih,2005:77).

B. Kekurangan teori humanisme adalah :


a. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
b. Terlalu memberi kebebasan pada siswa.
c. Teori humanisme terlalu optimistik secara naif dan gagal untuk memberikan pendekatan
pada sisi buruk dari sifat alamiah manusia
d. Teori humanisme, seperti halnya teori psikodinamik, tidak bisa diuji dengan mudah
e. Banyak konsep dalam psikologi humanisme, seperti misalnya orang yang telah berhasil
mengaktualisasikan dirinya, ini masih buram dan subjektif.
f. Beberapa kritisi menyangkal bahwa konsep ini bisa saja mencerminkan nilai dan idealisme
Maslow sendiri.
g. Psikologi humanisme mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis
h. Teori humanisme ini dikritik karena sukar digunakan dalam konteks yang lebih praktis.
Teori ini dianggap lebih dekat dengan dunia filsafat daripada dunia pendidikan(Dr.C.Asri
Budi Ningsih,2005:76).
i. Aplikasi teori humanisme dalam pembelajaran, guru lebih mengarahkan siswa untuk
berpikir induktif, mementingkan pengalaman serta membutuhkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar.
j. Teori humanisme masih sukar diterjemahkan kedalam langkah-langkah yang praktis dan
operasional.

3.2 Kesimpulan
Dari deskripsi yang dikemukakan pada pembahasan, dapat dikemukakan beberapa
poin penting sebagai kesimpulan, yaitu:
1. Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan
bagaimana memanusiakan manusisa serta peserta didik mampu mengembangkan potensi
dirinya
2. Tokoh dalam teori ini adalah C. Roger dan Arthur Comb.
3. Aplikasi dalam teori ini, peserta didik diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang
berlaku serta guru hanya sebagai fasilitator.
4. Teori belajar humanistik merupakan konsep belajar yang lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia. Berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan
kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Teori
humanisme ini cocok untuk diterapkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat
pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator.
ALIRAN KOGNITIF DAN TERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN

Dosen pengampu

Prof Muhari

Oleh

Honing Alvianto Bana

1531600015

Magister Psikologi

Universitas 17 agustus 1945

Surabaya

2017
BAB I

Konsep Teori aliran kognitif

1.1 Pengertian teori kognitif

Teori belajar kognitif berbeda dengan teori belajar behavioristik. Teori belajar kognitif
lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran
kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon. Tidak seperti model belajar behavioristik yang mempelajari proses belajar hanya
sebagai hubungan stimulus-respon, model belajar kognitif merupakan bentuk suatu
teoribelajar yang sering disebut sebagai model perceptual. Model belajar kognitif mengatakan
bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya. Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahanan yang tidak selalu dapat terlihat sebagai
tingkah laku yang nampak.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi saling
berhubungan dengan konteks situasi tersebut. Memisah-misahkan atau membagi-bagi
situasi/materi pelajaran menjadi komponen-komponen yang kecil-kecil dan mempelajarinya
secara terpisah-pisah, akan kehilangan makna. Teori ini berpandangan bahwabelajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi,
emosi dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar merupakan aktifitas yang melibatkan
proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi antara lain mencakup
pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang
sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan
pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Teori belajar kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi,
terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar.
Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal berfikir, yakni proses
pengolahan informasi.
Teori belajar kognirif menentang aliran behaviorisme karena pandanganaliran
behavior ini bersifat molekuler, memandang tingkah laku sebagai hasil dari ikatan stimulus-
respons saja sehingga tidak dapat menggambarkan proses mental yang terjadi. Semua
pendekatan dari teori belajar prilaku tampaknya kurang mengindahkan proses-
proses mentalyang terjadi selama belajar sperti persepsi siswa, pemahaman, dan kognisi dari
hubungan esensial antara unsure-unsur yang terjadi dalam belajar. Di lain pihak, teori kognitif
menekankan pada apa yang terjadi dalam diri individu itu sendiri dalam menganalisis
stimulus sampai dengan munculya respons. Teori kognitif menggambarkan bagaimana
seseorang mencapai pemahaman atas dirinya sendiri serta lingkungan sekitarnya dalam suatu
situasi dan bagaimana struktur kognitif terbentuk.
Perbedan pandangan kedua teori ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Teori Kognitif Menekankan pada Fungsi-fungsi Psikologis
Pada umumnya teori behaviorisme cendrung menjelaskan karakter suatu aktifitas dari
segi fisiknya saja dan mengabaikan pengaruh psikologis artinya adanya kecocokan atau
sejiwa dengan logika/pengetahuannya, sedangkan ahli teori kognitif memperhatikan dunia
sekeliling dari sudut siswa. Ia memperhatikan fungsi-fungsi psikologis(proses mental),
hubungan dan kejadian yang saling mempengaruhi yang berbeda dengan obyek fisiknya.
Selain itu psikologis kognitif memperhatikan pula sistem saraf.
2) Teori Kognitif Berfokus pada Situasi Saat Ini
Teori perilaku dan apersepsi menggunakan pendekatan sejarah, yaitu masa lalu orang lain
untuk mempelajari perilaku manusia dan motivasinya, kemudian memprediksi masa
depannya, sedangkan pendekatan yang digunakan psikologi kognitif adalah situasi atau
sejarah masa kini manusia untuk mempelajari keadaan individu pada saat ini untuk kemudian
memprediksi masa depannya. Ciri penting teori belajar kognitif adalah selalu diawali dari
suatu diskripsi mengenai situasi saat itu secara keseluruhan dan berlanjut ke analisis rinci dari
segala aspek situasi. Ide yang harus dipertahankan adalah bahwa tidak ada dua konsep atau
lebih yang terpisah secara tersendiri tetapi segala hal selalu bergantung kepada sesuatu hal
yang lain. Kekinian bisa berarti saat ini. Ruang kehiupan adalah suatu konsep yang berisi
segala hal yang berkaitan dengan jiwa yang melingkupi jiwa seseorang pada suatu waktu
tertentu.
3) Berinteraksinya Orang dengan Lingkungan
Dalam teori kognitif terjadi interaksi antara manusia dan lingkungannya secara simultan
dan saling membutuhkan. Masing-masing tidak terpisahkan, tetapi saling berkaitan. Interaksi
adalah proses kognitif dimana di dalamnya seseorang secara psikologi, dan simultan
memahami lingkungannya dan menemukan beberapa hal yang bermakna. Selanjutnya, orang
tersebut akan menghubungkan pemahaman yang diperolehnya dengan dirinya, berbuat
sesuatu atas pemahamannya itu sesuai dengan dirinya dan menyadari konsekuensi dari proses
tersebut secara keseluruhan.
Berdasarkan berbagai pandangan di atas maka prinsip-prinsip dasar teori belajar kognitif
dapat dirumuskan sebagai berikut;
1. Belajar merupakan peristiwa mental yang berhubungan dengan berpikir, perhatian,
persepsi, pemecahan masalah dan kesadaran.
2. Sehubungan dengan pembelajaran, teori belajar perilaku dan kognitif pada akhirnya
sepakat bahwa guru harus memperhatikan prilaku siswa yang tampak seperti penyelesaian
tugas rumah, hasil test, disamping itu juga harus memperhatikan factor manusia dan
lingkungan psikologisnya.
3.Ahli kognitif percaya bahwa kemampuan berpikir orang tidak sama dan tidak tetap dari
waktu ke waktu.

1.2. Tokoh-tokoh dalam teori belajar kognitif

A.Teori Perkembangan Piaget


Menurut Piaget (Uno, 2006: 10-11), proses belajar sebenarnya terjadi dari tiga
tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi(penyeimbangan). Piaget berpendapat
bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif yang dilalui
siswa. Tahapan tersebut dibagi menjadi empat tahap, yaitu tahap sensor motor, tahap pra-
oprasional, tahap operasional konkret, dan tahap operasional formal. Piaget adalah seorang
tokoh psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para
pakarkognitif lainnya. Menurut piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses
genetic, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem
syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel
syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju
kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan
menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget
tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefenisikan secara
kualitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia
akan berbeda pula secara kualitatif.
Bagaimana seseorang memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan
berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan
mereka ketahui pada suatu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena baru sebagai
pengalaman atau persoalan. Bila seseorang dalam kondisi sekarang dapat mengatasi situasi
baru, keseimbangan mereka tidak akan terganggu. Jika tidak, ia harus melakukan adaptasi
dengan lingkungannya.
Proses adaptasi mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah proses perubahan struktur kognitif yang ada sekarang,
sementara akomodasi adalah proses perubahan structure kognitif sehingga dapat dipahami.
Dengan katalain, apabila individu menerima informasi atau pengalaman baru maka informasi
tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang telah dipunyainya.
Proses ini disebut asimilasi. Sebaliknya, apabila struktur kognitif yang sudah dimilikinya
yang harus disesuaikan dengan informasi yang diterima, maka hal ini disebut akomodasi.
Asimilasi dan Akomodasi akan terjadi apabila seseorang mengalami konflik kognitif
atau suatu ketidak seimbangan antara apa yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau
dialaminya sekarang. Proses ini akan mempengaruhi strutur kognitif.Menurut Peaget, proses
balajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuelibrasi
(penyeimbangan). Proses asimilasi merupakan proses pengentegrasian atau penyatuan
informasi baru kedalam struktur kognitif yang telah dimiliki oleh individu. Proses akomodasi
merupakan proses penyesuasaian struktur kognitif kedalam situasi yang baru. Sedangkan
proses ekuelibrasi adalah peynesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Sebagai contoh, seorang anak sudah memahami prinsip pengurangan. ketika mempelajari
prinsip pembagian, maka terjadi proses pengintegrasian antara prinsip pengurangan yang
sudah dikuasainya dengan prinsip pembagian (informasi baru). Inilah yang disebut
proses asimilasi. Jika anak tersebut diberikan soal-soal pembagian, maka situasi ini
disebut akomodasi. artinya, anak tersebut sudah dapat mengaflikasikan atau memakai prinsip-
prinsip pembagian dalam situasi yang baru dan spesifik.

Agar Seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya sekaligus


menjaga stabilitas mental dalam dirinya, maka diperlukan proses penyeimbangan. Proses
penyeimbangan yaitu menyeimbangkan antara lingkungan luar dengan struktur kognitif yang
ada dalam dirinya. Proses inilah yang disebut ekuelibrasi. Tanpa proses ekuelibrasi,
perkembangan kognitif seseorang akan mengalami gangguan dan tidak
teratur(Disorganized).Hal ini misalnya tampak pada caranya berbicara yang tidak runtut,
berbelit-belit, terputus-putus, tidak logis, dan sebagainya. Adaptasi akan terjadi jika telah
terdapat keseimbangan didalam struktur kognitif.
Sebagaimana dijelaskan diatas, proses asimilasi dan akomodasi memepengaruhi struktur
kognitif. Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman, dan kedewasaan
anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Menurut Peaget, proses belajar
seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya. Pola
dan Tahap-tahap ini bersifat hirarhkis, artinya harus dlalui berdasarkan urutan tertentu dan
seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada diluar tahap kognitifnya. Peaget membagi
tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat yaitu;
a. Sensorimotor (Umur 0-2) tahun
Pertumbuhan kemampuan anak tampak dari kegiatan motorik dan persepsinya yang
sederhana. Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi
langkah.
Kemampuan yang dimilikinya antara lain:
1) Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek disekitarnya.
2) Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
3) Suka memperhatikan sesuatu lebih lama.
4) Medefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
5) Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.

B. Tahap preoperasional (Umur 2-7/8 tahun)


Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda,
dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Tahap ini dibagi menjadi dua,
yaitu preorerasional dan intuitif.
Preoperasional (Umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam
mengembangkan konsepnya,walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi
kesalahan dalam memahami objek.
Karakteristik tahap ini adalah:
1) Self counter nya sangat menonjol.
2) Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.
3) Tidak mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda.
4) Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang benar.
5) Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan
antara deretan.
Tahap intuitif (umur 4-7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan
berdasarkan pada kesan yang agak abstraks.Dalam menarik kesimpulan sering tidak
diungkapkan dengan kata-kata.Oleh sebab itu,pada usia ini anak telah dapat mengungkapkan
isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas.
Karakteristik tahap ini adalah:
1) Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori objek,tetapi kurang disadarinya.
2) Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks.
3) Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
4) Anak mampu memperoleh prinsip-prinsip secara benar. Dia mengerti terhadap sejumlah
objekyang teratur dan cara mengelompokkannya. Anak kekekalan masa pada usia 5 tahun,
kekekalan berat pada usia 6 tahun, dan kekekalan volume pada usia 7 tahun. Anak memahami
bahwa jumlah objek adalah tetap sama meskipun objek itu dikelompokkan dengan cara yang
berbeda.

C. Tahap Operasional Konkret (Umur 7 atau 8-11 atau 12 tahun)


Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-
aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Anak telah
memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat
konkret.Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memenipulasi objek atau gambaran yang
ada di dalam dirinya. Karena kegiatan ini memerlukan proses tranformasi infpormasi
kedalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan
membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berfikir dengan menggunakan model
kemungkinan dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah
dicapai sebelumnnya. Anak mampu menangani sistem klasifikasi.
Namun sungguhpun anak telah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan dan
pengaturan masalah (Ordering problems) ia tidak sepenuhnya menyadari adanya prinsip-
prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun taraf berfikirnya sudah dapat dikatakan maju.
Anak sudah tidak dapat memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif. Untuk
menghindari keterbatasan berfikir anak perlu diberi gambaran konkret, sehingga ia mampu
menelaah persoalan. Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah
mengenai berfikir abstrak.
d. Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berfikir abstrak dan logis
dengan menggunakan pola berfikir kemungkinan. Model berfikir ilmiah dengan
tipe hipothetico-deductive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan
menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa.
Pada Tahap ini kondisi berfikir anak sudah dapat:
1) Bekerja secara efektif dan sistematis.
2) Menganalisis secara kombinasi.
3) Berfikir secara proporsional.
4) Menarik Generalisasi secara mendasar pada satu macam isi. Pada tahap ini peaget percaya
bahwa sebagian remaja mencapai formal operation paling lambat pada usia 15 tahun.Tetapi
berdasarkan penelitian maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan
mahasiswa walaupun usia telah melampaui, belum dapat melakukan formal-operation.

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda
dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preopersional, dan akan
berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional konkret, bahkan
dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal. Secara umum, semakin
tinggi tahap perkembangan kognitif seorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara
berfikirnya.

2. Teori Belajar Menurut Bruner


Jerome Bruner (1966) adalah seorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam
studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai
berikut:
a. Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu
rangsangan.
b. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi
secara realis.
c. Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri
sendiri pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan
apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
d. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan
bagi perkembangan kognitifnya.
e. Bahasa adalah kunci perkembanagn kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi
antara manusia.
f. Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa
alternatif secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang
berurutan dalam berbagai situasi.
Dalam memendang proses belajar ,Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan
terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut free discovery learning, ia
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,teori, aturan, atau
pemehaman melaui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.Jika Peaget
menyatakan bahwa perkembangan kognitif sangat berpengaruh terhadap perkembanagn
bahasa seseorang, maka bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya
terhadap perkembangan kognitif.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melaui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan,yaitu: enactive, iconic dan symbolic.
1) Tahap enaktif,seseorang melakukan aktifitas-aktifitas dalam upayanya untuk memahami
lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
2) Tahan ekonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar
dan visualisasi verbal. Maksudnya dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui
bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3) Tahap Simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang
sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami
dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan
sebagainya. Semakin matang seseorang dalam proses berfikirnya, semakin dominan sistem
simbolnya.
Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan
cara menyusun materi pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan
orang tersebut. Pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan
mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berfikir yang berbeda pula.
Menurut Bruner, kegiatan mengkategori memiliki dua komponen yaitu: 1) tindakan
pembentukan konsep, dan 2) tindakan pemahaman konsep. Artinya, langkah pertama adalah
pembentukan konsep, kemudian baru pemahaman konsep. Perbedaan antara keduanya
adalah:
1) Tujuan dan tekanan dari kedua bentuk perilaku mengkategori ini berbeda.
2) Langkah-langkah dari kedua proses berfikir tidak sama.
3) Kedua proses mental membutuhkan strategi mengajar yang berbeda.
Bruner memandang bahwa suatu konsep memiliki 5 unsur, dan seseorang dikatakan
memahami suatu konsep apabila ai mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi;
1) Nama
2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif
3) Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak.
4) Rentangan karakteristik
5) Kaidah
Menurut Bruner, pembelajaran yang selama ini diberikan disekolah lebih banyak
menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan kemampuan
berfikir intuitif. Padahal berfikir intuitif sangan penting bagi mereka yang menggeluti bidang
matematika, biologi, fisika dan sebagainya, sebab setiap disiplin mempunyai konsep-konsep,
prinsip dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik
untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (discovery learning).
3. Teori belajar Bermakna Ausubel
Teori-teori belajar yang ada selama ini masih banyak menekankan pada belajar
asosiatif atau belajar menghafal. Belajar demikian tidak banyak bermakna bagi siswa.
Belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari
diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk
struktur kognitif.
Struktur kognitif merupakan struktur organisasional yang ada dalam ingatan
seseorang yang mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah kedalam
suatu unit konseptual. Teori kognitif banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa
perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari struktur kognitif yang telah
dimiliki siswa. Yang paling awal mengemukakan konsep ini adalah Ausubel.
Dikatakan bahwa pengetahuan diorganisasi dalam ingatan seseorang dalam
struktur hirarkis. Ini berarti bahwa pengetahuan yang lebih umum, inklusif, dan abstrak
membawahi pengetahuan yang lebih spesifik dan konkret. Demikian juga pengetahuan yang
lebih umum dan abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh seseorang, akan dapat memudahkan
perolehan pengetahuan baru yang lebih rinci yang sering disebut sebagai subsumptive
sequence menjadikan belajar lebih bermakna bagi siswa.
Advance organizers yang juga dikembangkan oleh Ausubel merupakan penerapan
konsepsi tentang struktur kognitif didalam merancang pembelajaran . Penggunaan advance
organizers sebagai kerangka isi akan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
mempelajari informasi baru, karena merupakan kerangka dalam bentuk abstraksi atau
ringkasan konsep-konsep dasar tentang apa yang dipelajari, dan hubungannya dengan materi
yang telah ada dalam struktur kognitif siswa. Jika ditata dengan baik, advance
organizersakan memudahkan siswa mempelajari materi pembelajaran yang baru, serta
hubungannya dengan materi yang telah dipelajarinya.
Berdasarkan pada konsepsi organisasi kognitif seperti yang dikemukakan oleh
Ausubel tersebut, dikembangkan lah oleh para pakar teori kognitif suatu model yang lebih
eksplisit yang disebut dengan skemata. Sebagai struktur organisasional, skemata berfungsi
untuk mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah, atau sebagai tempat
untuk mengaitkan pengetahuan baru. Atau dapat dikatakan bahwa skemata memiliki fungsi
ganda yaitu:
1) Sebagai skema yang menggambarkan atau merepresentasikan organisasi
pengetahuan.Seseorang yang ahli dalam suatu bidang tertentu akan dapat digambarkan dalam
skemata yang dimilikinya.
2) Sebagai kerangka atau tempat untuk mengkaitkan atau mencantolkan pengetahuan baru.
Skemata memiliki fungsi asimilatif. Artinya, bahwa skemata berfungsi untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam hirarhki pengetahuan, yang secara progresif
lebih rinci dan spesifik dalam struktur kognitif seseorang. Inilah proses belajar yang paling
dasar yaitu mengasimilasikan pengetahuan baru kedalam skemata yang tersusun secara
hierarkhis.Struktur kognitif yang dimiliki individu menjadi faktor utama yang mempengaruhi
kebermaknaan dari perolehan pengetahuan baru. Dengan kata lain,skemata yang telah
dimiliki oleh seseorang menjadi penentu utama terhadap pengetahuan apa yang akan
dipelajari oleh orang tersebut.Oleh sebab itu maka diperlukan adanya upaya untuk
mengorganisasi isi atau materi pelajaran serta penataan kondisi pembelajaran agar dapat
memudahkan proses asimilasi pengetahuan baru kedalam struktur kognitif orang yang
belajar.
Mendasarkan pada konsepsi diatas, Mayer (dalam Degeng,1993) menggunakan
pengurutan similatif untuk mengorganisasi pembelajaran, yaitu dengan mulai menyajikan
informasi-informasi yang sangat umum dan inklusif menuju ke informasi-informasi yang
khusus dan spesifik.Penyajian informasi pada tingkat umum dapat berperan sebagai kerangka
isi bagi informasi-informasiyang lebih rinci.
Reigeluth dan Stien (1983) mengatakan bahwa skemata dapat dimodifikasi oleh
pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga menghasilkan makna baru. Anderson (1980) dan
Tennyson (1989) mengatakan bahwa pengetahuan yang telah dimiliki individu selanjutnya
berfungsi sebagai dasar pengetahuan bagi masing-masing individu.
Konsepsi dasar mengenai struktur kognitif inilah yang dijadikan landasan teoretik dalam
mengembangkan teori-teori pembelajaran.Beberapa pemikiran kearah penataan isi bidang
studi atau materi pelajaran sebagai strategi pengorganisasian isi pembelajaran yang berpijak
pada teori kognitif ,dikemukakan secara singkat sebagai berikut (Degeng, 1989):
a. Hirarkhi belajar
Gagne menekankan kajiannya pada aspek penataan urutan materi pelajaran dengan
memunculkan gagasan mengenai prasyarat belajar,yang dituangkan dalam suatu struktur isi
yang disebut hirarhki belajar.Keterkaitkan diantara bagian-bagian bidang studi yang
dituangkan dalam bentuk prasyarat belajar, berarti bahwa pengetahuan tertentu harus
dikuasai lebih dahulu sebelum pengetahuan yanglain dapat dipelajari.
b. Analisis tugas
Cara lain yang dipakai untuk menunjukkan keterkaitan isi bidang studi adalahinformation-
processing approach to task analysis.Tipe hubungan prosedural ini memberikan urutan dalam
menampilkan tugas-tugas belajar.Hubungan prosedural menunjukkan bahwa seseorang dapat
saja mempelajari langkah terakhir dari suatu prosedur pertama kali,tetapi dalam unjuk kerja
ia tidak dapat mulai dari langkah yang terakhir.
c. Subsumptive sequence
Ausubel mengemukakan gagasannya mengenai cara membuat urutan isi pengajaran yang
dapat menjadikan pengajaran lebih bermakna bagi yang belajar.Ia menggunakan urutan
umum kerinci atau subsumptive sequence sebagai strategi utama untuk mengorganisasi
pengajaran.Perolehan belajar dan retensi akan dapat ditingkatkan bila pengetahuan baru
diasimilasikan dengan pengetahuan yang sudah ada,
d. Kurikulum spiral
Gagasan tentang kurikulum spiral yang dikemukakan oleh bruner dilakukan dengan cara
mengurutkan pengajaran.
e. Teori skema
Teori skema juga menggunakan urutan umum ke rinci.Teori ini memendang bahwa proses
belajar sebagai perolehan pengatuan baru dalam diri seseorang dengan cara mengkaitkannya
dengan struktur kognitif yang baru,merupakan integrasi antara pengetahuan yang lama
dengan yang baru.
f. Webteaching
Webteaching yang dikemukakan Norman,merupakan suatu prosedur menata urutan isi bidang
studi yang dikembangkan dengan menampilkan pentingnya peranan struktur pengetahuan
yang telah dimiliki oleh seseorang, dan struktur isi bidang studi yang akan dipelajari.
g. Teori Elaborasi
Teori elaborasi mengintegrasikan sejumlah pengetahuan tentang strategi penataan isi
pelajaran yang sudah ada, untuk menciptakan model yang komprehensif tentang cara
mengorganisasi pengajaran pada tingkat makro.
BAB II
Terapan teori belajar kornitif dalam pendidikan

2.1 Aplikasi Teori Kognitif dalam Kegiatan Pembelajaran

Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajara yang
berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi persepsual, dan prosese intelektual.
Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak digunakan.
Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan pembelajaran,
tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristic.
Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan,
agara belajar lebih bermakana bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya. Mereka
mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2) Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika
menggunakan benda-benda kongkrit.
3) Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman
dapat terjadi dengan baik.
4) Untuk menarik minat dan menigkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan pengalaman atau
informasi beru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si belajar.
5) Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun dengan menggunakan
pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6) Belajar memahami akan lebih bermakna dari pada belajar menghafal. Agar makna, informasi
baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Tugas guru adalah menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa
yang telah diketahui siswa.
7) Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi,
persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal dan sebagainya.
Dari pemahaman di atas, maka langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh
masing-masing tokoh tersebut berbeda. Secara garis besar langkah-langkah pembelajaran
yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan. Langkah-
langkah tersebut adalah sebagai berikut:
Langkah-langkah pembelajaran menurut Piaget:
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Memilih materi pelajaran.
3. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif.
4. Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut, misalnya penelitian,
memecahkan masalah, diskusi, stimulasi, dan sebagainya.
5. Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berpikir siswa.
6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Bruner :
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristtik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran.
4. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh ke
generalisasi).
5. Mengembangakan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas, dan
sebagainya untuk dipelajari siswa.
6. Mengatur topik-topik pelajaran dari sederhana ke kompleks, dari konkret ke abstrak, atau dari
tahap enaktif, ikonik, sampai ke simbolik.
7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Langkah-langkah pembelajaran menurut Ausubel :
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, motivasi, gaya belajar, dan
sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk
konsep-konsep inti.
4. Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan
dipelajari siswa.
5. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut , dan menerapkannya dalam bentuk
nyata/konkret.
6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa

Dalam merumuskan tujuan pembelajaran, mengembangkan strategi dan tujuan


pembelajaran,tidak lagi mekanistik sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan
behavioristik.Kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat
diperhitungkan, agar belajar lebih bermakna bagi siswa.Sedangkan kegiatan pembelajarannya
mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berfikirnya. Mereka mengalami
perkembangan kognitif melaui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan baik, terutama jika
menggunakan benda-benda konkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan,karena hanya dengan
mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan pengalaman
dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan resensi belajar perlu mengaitkan pengalaman atau
informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si pelajar.
5. Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun denganmenggunakan
pola atau logika tertentu,dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar siswa.

Ketiga tokoh aliran kognitif diatas secara umum memiliki pandangan yang sama yaitu
mementingkan keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar.

Langkah-langkah pembelajaran menurut Peaget:


1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Memilih materi pembelajaran.
3. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara aktif.
4. Menentukan kegiatan belajar yang sesuai untuk topik-topik tersebut,misalnya
penelitian,memecahkan masalah,diskusi,simulasi,dan sebagainya.
5. Mengembangkan metode pembelajaran untuk merangsang kreatifitas dan cara berfikir
siswa.
6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

Langkah-langkah pembelajaranb menurut Bruner:

1. Menentukan tujuan pembelajaran.


2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar dan
sebagainya).
3. Memilih materi pembelajaran.
4. Menentukan topik-topik yang dapat dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh ke
generalisasi).
5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilistrasi, tugas, dan
sebagainya untuk dipelajari siswa.
6. Mengatur topik-topik pelkajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke
abstrak, atau dari tahap enaktif,ikonik,sampai kesimbolik.
7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

Langkah-langkah pembelajaran menurut Ausubel:


1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal,motivasi,gaya belajar,dan
sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran sesuai dengan karakteristik siswa dan mengaturnya dalam bentuk
konsep-konsep inti.
4. Menentukan topik-topik dan menampilkannya dalam bentuk advance organizer yang akan
dipelajari siswa.
5. Mempelajari konsep-konsep inti tersebut, dan menerapkannya dalam bentuk nyata/konkret.
6. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
2.2. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Kognitif

Berdasarkan pendapat dari Drs. Bambang Warsita (2008:89) yang menyatakan


tentang prinsip- prinsip dasar teori kognitivisme, antara lain:
Pembelajaran merupakan suatu perubahan status pengetahuan
Peserta didik merupakan peserta aktif didalam proses pembelajaran
Menekankan pada pola pikir peserta didik
Berpusat pada cara peserta didik mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi
dalam ingatannya
Menekankan pada pengalaman belajar, dengan memandang pembelajaran sebagai proses aktif
di dalam diri peserta didik
Menerapkan reward and punishment
Hasil pembelajaran tidak hanya tergantung pada informasi yang disampaikan guru, tetapi juga
pada cara peserta didik memproses informasi tersebut.

2.3 Aplikasi teori kognitif dalam pembelajaran

Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat


mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor
kognitif bagi Teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu
dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan
belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi kognitif peserta didik dapat
berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan guru menurut teori belajar psikologi kognitif ialah bagaimana dapat
mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif
yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses
pendidikan di sekolah, maka peserta akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi
pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.
Oleh karena itu, peran ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah
satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas ialah faktor
kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya
berbagai pengetahuan yang diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun
kegiatan belajar secara kelompok.
Pengetahuan tentang kognitif peserta didik perlu dikaji secara mendalam oleh para calon
guru dan para guru demi untuk menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa
pengetahuan tentang kognitif peserta didik, guru akan mengalami kesulitan dalam
membelajarkan peserta didik di kelas yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas
proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas melalui proses belajar mengajar antara
guru dengan peserta didik. Sebaliknya, dengan adanya pengetahuan yang mendalam akan
pentingnya teori kognitif serta diterapkan dalam proses belajar anak didik tidak mustahil
apabila teori kognitif nantinya dapat meningkatkan prestasi anak didik dalam dunia
pendidikan.
BAB III
EVALUASI TEORI KOGNITIF

3.1. Kelemahan Teori Belajar kognitif


Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan.

Sulit di praktikkan khususnya di tingkat lanjut.

Beberapa prinsip seperti intelegensi sulit dipahami dan pemahamannya masih belum tuntas.

3.2 Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Kognitif

Setiap teori belajar tidak akan pernah sempurna, demikian pula dengan teori belajar
kognitif. Di samping memiliki kelebihan kelebihannya ada pula kelemahan
kelemahannya. Berikut adalah beberapa kelebihan dan kelemahan teori kognitif
Kelebihan Teori Belajar Kognitif
a. Menjadikan siswa lebih kreatif dan mandiri
Dengan teori belajar kognitif siswa dituntut untuk lebih kreatif karena mereka tidak hanya
merespon dan menerima rangsangan saja, tapi memproses informasi yang diperoleh dan
berfikir untuk dapat menemukan ide-ide dan mengembangkan pengetahuan. Sedangkan
membuat siswa lebih mandiri contohnya pada saat siswa mengerjakan soal siswa bisa
mengerjakan sendiri karena pada saat belajar siswa menggunakan fikiranya sendiri untuk
mengasah daya ingatnya, tanpa bergantung dengan orang lain dengan.
b. Membantu siswa memahami bahan belajar secara lebih mudah
Teori belajar kognitif membantu siswa memahami bahan ajar lebih mudah karena siswa
sebagai peserta didik merupakan peserta aktif didalam proses pembelajaran yang berpusat
pada cara peserta didik mengingat, memperoleh kembali dan menyimpan informasi dalam
ingatannya. Serta Menekankan pada pola pikir peserta didik sehingga bahan ajar yang ada
lebih mudah dipahami.
3.3. Kesimpulan

Pengertian belajar menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pehamaman, yang
tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini
adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata
dalam bentuk struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik
jika materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki seseorang.
Diantara para pakar teori kognitif, paling tidak ada tiga yang terkenal yaitu Peaget,
Bruner, dan Ausubel. Menurut peaget, kegiatan belajar terjadi sesuai dengan pola tahap-tahap
perkembangan tertentu dan umur seseorang, serta melalui proses asimilasi, akomodasi, dan
equelibrasi. Sedangkan Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara
seseorang mengatur pesan atau informasi, dan bukan ditentukan oleh umur. Proses belajar
akan terjadi melalui tahap-tahap enaktif, ikonik, dan simbolik. Sementara itu Ausubel
mengatakan bahwa proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. Proses belajar akan terjadi
melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memahami makna stimulus, menyimpan dan
menggunakan informasi yang sudah dipahami.
DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri C. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Darsono, Max. 2001. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Salim, Agus dkk. 2004. Indonesia Belajarlah. Semarang: Gerbang Madani Indonesia.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:


Media Pustaka Mandiri

Syaiful Bahri Djamarah. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif (suatu
pendekatan teoritis psikologis). Jakarta; Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung; Alfabeta

Das könnte Ihnen auch gefallen