Sie sind auf Seite 1von 17

REFERAT

TOTAL INTRAVENA ANESTESI

Disusun oleh :

Shofa Muminah

PEMBIMBING :

dr. Herman Pipih N, Sp.An

dr. Titik Setyawati, Sp.An

dr. Agus Rukmana, Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESI

RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Teknik Anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan

memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat

tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik.

Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai

pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.

William Morton, tahun 1846 di Boston, pertama kali menggunakan obat

anestesi dietil eter untuk menghilangkan nyeri selama operasi. Di jerman tahun

1909, Ludwig Burkhardt, melakukan pembiusan dengan menggunakan kloroform

dan ether melalui intravena, tujuh tahun kemudian, elisabeth brendenfeld dari

swiss melaporkan penggunaan morfin dan skopolamin secara intravena. Sejak

diperkenalkan di klinis pada tahun 1934, Thiopental menjadi Gold Standard dari

obat-obat anestesi lainnya, berbagai jenis obat-obat hipnotik tersedia dalam

bentuk intravena, namun obat anestesi intravena yang ideal belum bisa ditemukan.

Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan rumatan

anestesia, tambahan pada analgesia regional atau untuk membantu prosedur

diagnostic misalnya thiopental, ketamin, dan propofol. Untuk anestesi intravena

total biasanya menggunakan propofol.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian anestesi intravena

Total intravena anestesi (TIVA) adalah teknik anestesi umum dengan

hanya menggunakan obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena

tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat

mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut woodbrige (1957)

yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik. Atau trias A (3A) dalam anestesi

yaitu :

1. Amnesia

2. Arefleksia otonomik

3. Analgesik

4. +/- relaksasi otot

2.2 Indikasi anestesi intravena

Indikasi pemberian anestesi intravena :

1. Induksi anestesia

2. Induksi dan pemeliharaan anestesia pada tindak bedah singkat

3. Menambah efek hipnosis pada anestesia atau analgesia lokal

4. Menimbulkan sedasi pada tindak medik

3
2.3 Keuntungan dan kekurangan anestesi intravena

Keuntungan dari penggunaan anestesi intravena :

1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis

yang lebih akurat sesuai yang dibutuhkan

2. Tidak mengganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada

operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru

3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang

khusus
Kekurangan dari penggunaan anestesi intravena :
1. Diantara kekurangannya paling menonjol induksi yang cepat (kadang-

kadang sangat cepat)


2. Depresi cerebrum yang jelas
3. Tidak dapat pulih dengan mudah seperti anestesi inhalasi dan bahwa ada

kemungkinan interaksi obat, terutama pada pasien tua, dengan penyakit

kronis, yang seringkali menimbulkan tantangan farmasi.

2.4 Jenis-jenis anestesi intravena

1. Propofol
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anestesia

intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang diprivan. Pertama kali

digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak

berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml = 10

mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa

detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg /kg intravena.


a. Mekanisme kerja
Propofol memberikan efek sedatif hipnotik melalui interaksi reseptor

GABA (gamma amino butiric acid)

4
b. Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat

protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu

metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2-

24 jam. Namun dalam kenyataannya di klinis jauh lebih pendek karena

propofol didistrubusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat

menyebabkan sedasi (rata-rata 30-45 detik) dan kecepatan untuk pulih juga

relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Propofol

bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
c. Farmakodinamik
1. Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis

yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek

analgetik.

2. Pada sistem kardiovaskuler


Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung

dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan

peningkatan denyut nadi.


3. Pada sistem respirasi
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam

beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul

pada pemberian diprivan


d. Dosis dan penggunaan
1. Induksi : 2-2,5 mg/kg
2. Dosis rumatan untuk anestesia intravena total : 4-12 mg/kg/jam
3. Dosis sedasi untuk perawatan intensif : 0,2 mg/kg.
4. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
5. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak ,3 tahun dan pada

wanita hamil tidak dianjurkan.

5
e. Efek samping
1. Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50%-75%
2. Gejala mual dan muntah juga seringkali ditemui pada pasien setelah

operasi menggunakan propofol.


3. Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi

propofol tapi kasusnya sangat jarang.

2. Tiopenton

Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963. Tiopental sekarang lebih

dikenal dengan nama sodium penthotal, thiopental, thiopenton sodium atau

trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting,

tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat

(30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak

konsentrasi dan setelah 5 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak

dan kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan

menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya

kesadaran.

a. Mekanisme kerja

Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat

akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf

pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan

polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang beberapa terletak

6
dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk

kesadaran.

b. Farmakokinetik

1. absorbsi

Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara

intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan anak

anak.

2. Distribusi

Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh

jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan

jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan

mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan

jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam

plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat dari otak ke

dalam jaringan lemak.

3. Metabolisme

Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

4. Ekskresi

Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi

terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak anak terjadi 6 ml/kg/menit.

c. Farmakodinamik

1. Pada Sistem saraf pusat

7
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan

hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan

metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang

tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.

2. Mata

Tekanan intraokular menurun 40% setelah pemberian induksi

thiopental atau methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin

setelah pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular

kembali ke nilai sebelum induksi.

3. Sistem kardiovaskuler

Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat

meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat

tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan

karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung

turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak

terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi

resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang

bersifat ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila

obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi

hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh

darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya

tekanan darah juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung

obat pada miokard.

8
4. Sistem pernafasan

Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap

CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal

bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik.

Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif

berbanding propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang

menyebabkan bronkospasme.

d. Dosis

Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk

menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis

kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.

e. Efek samping

Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan

memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi

terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi

anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada

pasien dengan porfiria akut.

3. Ketamin

Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini

disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine)

yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama

kali diberikan pada tentara amerika selama perang Vietnam.

9
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering

menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca

anasthesi dapat menimbulkan muntah muntah , pandangan kabur dan

mimpi buruk.

Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan

persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut

dengan emergence phenomena.

a. Mekanisme kerja

Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor

opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek

analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat

menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.

b. Farmakokinetik

1. Absorbsi

Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau

intramuskular

2. Distribusi

Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan

didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 60 detik

setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan

kembali sadar setelah 15 20 menit. Jika diberikan secara I.M

maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.

10
3. Metabolisme

Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati

menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.

4. Ekskresi

Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui

ginjal.

c. Farmakodinamik

1. Susunan saraf pusat

Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien

akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda

khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan

nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak

disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,

menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi

dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin.

Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak

dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan

halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami

agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan

tekanan darah intrakranial.

2. Mata

11
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka

spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat

peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.

3. Sistem kardiovaskuler

Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik,

sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung.

Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan

vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

4. Sistem pernafasan

Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem

respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat

simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien

asma.

d. Dosis dan pemberian

Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular

apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak

anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V

atau I.M. Dosis induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 10

mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB

dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Untuk

pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.

Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 15 menit dengan

dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Dosis obat untuk

12
menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 0,8 mg/kg IV

atau 2 4 mg/kg IM atau 5 10 g/kg/min IV drip infus.

e. Efek samping

Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur

pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah ,

halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat

menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga

dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat

menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

4. Opioid

Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum,

dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti getah.

Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine,

fentanyl, sufentanil, alfentanil, dan remifentanil merupakan golongan opioid yang

sering digunakan dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam

dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda

dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.

a. Mekanisme kerja

Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf

pusat dan jaringan lain. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi,

opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik

opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah

reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat presinaptik dan

13
respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin)

dari neuron nosiseptif.

b. Farmakokinetik

1. Absorbsi

Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin

intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit.

Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif

menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit)

analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 g/Kg) dan dewasa (200-

800 g).

2. Distribusi

Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak

yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah

otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang.

Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat

setelah injeksi bolus.

3. Metabolisme

Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar,

aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.

4. Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati

bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5-10% opioid

14
diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil

dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.

c. Farmakodinamik

1. Sistem kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas

otot jantung maupun tonus otot pembuluh darah.Tahanan pembuluh

darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran simpatis

medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian

meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.

2. Sistem pernafasan

Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan

frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun . PaCO2

meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon

CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu

menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau

kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada

dosis tertentu.

3. Sistem gastrointestinal

Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan

lambung juga terhambat.

4. Endokrin

15
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik

akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon

katabolik dalam darah relatif stabil.

d. Dosis dan pemberian

Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena

0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil

seperseratus dari petidin.

BAB 3

KESIMPULAN

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur

intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh

otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obatobat ini akan diedarkan

ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target

organ masingmasing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan

farmakodinamiknya masing-masing.

16
Daftar Pustaka

1. Said., A. Latif dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, bagian

Anestiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta.

2. Wim de Jong, 2009. Buku Ajar Ilmu Bedah, penerbit buku kedokteran

EGC, Jakarta.

3. Tony H., 1998. Anestesi Umum dalam Farmakologi dan Terapi, edisi IV.

Balai penerbit FKUI, Jakarta.

4. Gan, gunawan sulistia., 2009. Farmakologi dan Terapi. FKUI, Jakarta.

5. Sabiston, david C., 1995. Buku Ajar Bedah. EGC. Jakarta.

17

Das könnte Ihnen auch gefallen