Sie sind auf Seite 1von 26

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh:

Nadira

1102013201

Pembimbing:

dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-FINASIM

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD CILEGON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE MEI JULI 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas
rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul SINDROM
NEFROTIK sebagai salah satu persyaratan mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon.

Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril
maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang tulus kepada dr. Didiet Pratignyo, Sp.PD-Finasim selaku konsulen SMF
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon yang telah memberikan bimbingan, ilmu, saran dan
kritik kepada penulis dalam penyelesaian referat ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih jauh dari sempurna, baik
mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini.
Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu


merahmati kita semua.

Cilegon, Juli 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................. 1


Kata Pengantar................................................................................. 2
Daftar Isi............................................................................................ 3
Bab I. Pendahuluan.......................................................................... 4
Bab II. Tinjauan Pustaka............................................................... 5
2.1 Anatomi ginjal...................................................................... 5
2.2 Fisiologi Ginjal .................................................................... 8
2.3 Sindrom Nefrotik.................................................................. 8
2.3.1 Definisi........................................................................ 9
2.3.2 Epidemiologi............................................................... 9
2.3.3 Etiologi........................................................................ 9
2.3.4 Patofisiologi ................................................................12
2.3.5 Diagnosis.....................................................................15
2.3.6 Tatalaksana..................................................................16
2.3.7 Komplikasi...................................................................21
2.3.8 Prognosis......................................................................24

Bab III Kesimpulan........................................................................25


Daftar Pustaka.................................................................................26

3
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis ditandai oleh


proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/hari), edema anasarka, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5
g/dl), dan hiperlipidemia (Tanto, 2014).

Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang


berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN
sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu, di antaranya penyakit infeksi, keganasan,
obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik,
penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri
renalis, obesitas masif (Braunwald E, 2008). Sindrom nefrotik primer biasanya terjadi pada
anak-anak dan sindrom nefrotik sekunder sering terjadi pada orang dewasa (Sudoyo, 2014).

Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala
tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang
berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang.
Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.
Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen,
hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering
dijumpai pada SN (Sudoyo, 2014).
Umumnya pada SN, fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang
berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir.Pada beberapa episode SN dapat sembuh
sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat
berkembang menjadi kronik. Jika tidak terdiagnosa atau tidak diterapi, sindrom ini dapat
berakibat kerusakan pada glomeruli hingga menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus
hingga berakhir gagal ginjal (Sudoyo, 2014).

BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang tanah, terdapat sepasang dan
posisinya retroperitoneal. Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas pada dua costa
terakhir yaitu costa 11 dan 12. Ukuran normal ginjal : 12x6x2 cm dengan berat 130 gram.
Posisi ginjal kanan lebih rendah daripada ginjal kiri karena ada hati yang mendesak ginjal
kanan. Ginjal kanan terletak pada tepi atas vertebra thoracal 12 sampai tepi atas vertebra
lumbal 4, sedangkan ginjal kiri terletak pada pertengahan vertebra thoracal 11 sampai
pertengahan vertebra lumbal 3. Perbedaan panjang kedua ginjal adalah 1,5cm (Price W,
2012).

Bagian-bagian ginjal antara lain: ektremitas superior/polus cranial, extremitas


inferior/polus caudalis, margo medialis (menuju ke belakang ) dan margo lateralis
(menuju kedepan). Pada margo medialis terdapat hilum renalis yang merupakan tempat
keluar-masuknya ureter, arteri&vena renalis, nervus dan vasa limphatica. Pada bagian
atas ginjal terdapat topi yang disebut glandula suprarenal. Ginjal kanan berbentuk
pyramid dan kiri berbentuk bulan sabit (Price W, 2012).

Ginjal dilapisi oleh kapsula fibrosa yang berikatan longgar dengan jaringan
dibawahnya yaitu fascies renalis. Fascies renalis terbagi dua yaitu: lamina anterior
didepan dan lamina posterior dibelakang. Bagian kanan dan kiri menyatu dengan fascies
transversus abdominalis membentuk rongga yang dilapisi lemak disebut corpus
adiposum. Lemak-lemak itu sendiri dibungkus oleh kapsula adipose (Price W, 2012).

5
fc

Gambar 2.1.1 Anatomi Struktural Ginjal (Paulsen et.al., 2013)

Vaskularisasi ginjal berasal dari aorta abdominalis bercabang menjadi arteri renalis
kanan/kiri masuk hillus bercabang menjadi arteri lobaris seterusnya bercabang jadi arteri
interlobaris kemudian membentuk arteri arquata (antara cortex dan medulla) kemudian
bercabang sebagai arteri afferen berakhir masuk glomerulus (Kapsula Bowman) disini
terjadi filatrasi darah. Sebagian hasil ekskresi (urine) dikeluarkan melalui tubulli (papila
renalis) masuk calices minor kemudian calices mayor bermuara ke pelvis renalis dan
diteruskan ke ureter. Selanjutnya darah pada cortex dikembalikan melalui arteria efferent
selanjutnya ke vena interlobaris diteruskan ke vena lobaris kemusian ke vena renalis dan
masuk ke venacava inferior menuju atrium dextra (Price W, 2012).

6
Gambar 2.1.2 Vaskularisasi Ginjal (Paulsen et.al., 2013)
Ginjal dipersyarafi oleh Plexus renalis, N. Testicularis , N. Hypogastricus, Serabut
afferen akan berjalan dengan saraf simpatis ke medulla spinalis melalui (L1 , L2) (Price
W,2012).

Struktur Nefron

Tiap ginjal mengandung kurang lebih 1 juta nefron ( glomerolus dan tubulus yang
berhubungan dengannya). Pada manusia, pembentukkan nefron selesai pada janin 35
minggu. Nefron baru tidak dibentuk lagi setelah lahir. Perkembangan selanjutnya adalah
hyperplasia dan hipertrofi struktur yang sudah ada disertai maturasi fungsional.
Perkembangan paling cepat terjadi pada 5 tahun pertama setelah lahir. Oleh karena itu,
bila pada masa ini terjadi gangguan misalnya infeksi saluran kemih atau refluks, maka hal
ini dapat mengganggu pertumbuhan ginjal (Price W, 2012).

Tiap nefron terdiri atas glomerolus dan kapsula bowman, tubulus proksimal, ansa
henle dan tubulus distal. Glomerolus bersama kapsula Bowman juga disebut badan
Malpigi. Fungsi ginjal normal terdiri atas 3 komponen yang saling berhubungan yaitu :

1. Ultrafiltrasi glomerolus
2. Reabsorbsi tubulus terhadap solute dan air
3. Sekresi tubulus terhadap zat-zat organic dan non-organik (Price W,2012).

Populasi glomerolus ada 2 macam :

7
1. Glomerolus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar
korteks
2. Glomerolus jukstamedular yang mempunyai ansa henle yang panjang sampai ke
bagian dalam medulla. Glomerolus semacam ini berada diperbatasan korteks dan
medulla dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsorpsi
air dan solute (Price W,2012).

2.2 Fisiologi Ginjal

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan ekstrasel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh
filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus (Price W,2012).

Fungsi Utama Ginjal, antara lain :

Fungsi Ekskresi
1. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 258 mOsmol dengan mengubah-ubah
ekresi air.
2. Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3.
3. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea,
asam urat dan kreatinin.

Fungsi Non-ekskresi (Endokrin)


1. Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah.
2. Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah merah
oleh sumsum tulang.
3. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
4. Degenerasi insulin
5. Menghasilkan prostaglandin (Price W,2012).

2.3 Sindrom nefrotik (SN)

2.3.1 Definisi

8
Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/hari), edema anasarka, hipoalbuminemia (<3,5g/dl),
hiperlipidemia (Tanto, 2014).

2.3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindroma nefrotik
primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak.Apabila ini timbul sebagai bagian
daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau toksin maka disebut
sindrom nefrotik sekunder. Insiden di Indonesia diperkirakan 6 kasus per-tahun tiap
100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan perempuan sekitar 2:1 (Price
W, 2012). Pasien sindrom nefrotik primer secara klinis dapat dibagi dalam tiga
kelompok:

1. Kongenital
2. Responsive steroid, dan
3. Resisten steroid
Bentuk congenital ditemukan sejak lahir atau segera sesudahnya. Umumnya kasus-
kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif
autosom. Kelompok responsive steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak dengan
sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di Jakarta diantara 364
pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan kelainan minimal. Kelompok tidak
responsive steroid atau resisten steroid terdiri atas anak-anak dengan kelainan glomerolus
lain. Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah penyakit
sistemik karena obat-obatan, allergen, dan toksin, dll. Sindrom nefrotik dapat timbul dan
bersifat sementara pada tiap penyakit glomerolus dengan keluarnya protein dalam jumlah
yang cukup banyak dan cukup lama (Price W,2012).

2.3.3 Etiologi
I.Sindrom nefrotik pada anak-anak / infantil.
Sindrom nefrotik infantil adalah sindrom nefrotik yang terjadi pada usia tiga bulan
sampai satu tahun, sedangkan jika terjadi sebelum usia tiga bulan disebut sebagai
sindrom nefrotik kongenital. Indonesia dilaporkan ada 6 per 100.000 anak per tahun
menderita sindrom nefrotik (Pardede, 2002).
a. Sindrom nefrotik infantil
Sangat jarang ditemukan, sindrom ini dapat disebabkan nail patella syndrome,
pseudohermaphroditism, XY gonadal disgenesis, tumor Wilms, intoksikasi merkuri,

9
sindrom hemolitik uremik, dan infeksi seperti sifilis, virus sitomegalo, hepatitis,
rubela, malaria, dan toksoplasmosis. Prognosis sindrom nefrotik infantil umumnya
buruk tetapi masih lebih baik daripada prognosis sindrom nefrotik kongenital
(Pardede, 2002).
b. Sindrom nefrotik kongenital.
Merupakan penyakit familial, timbul dalam beberapa hari/ minggu setelah lahir.
Biasa menimbulkan kematian sebelum bayi berusia satu tahun (Pardede, 2002).
II. Sindrom nefrotik pada dewasa:
a. Glomerulonefritis primer (Sebagian besar tidak diketahui sebabnya).
1) Glomerulonefritis membranosa
Jarang menjadi penyebab SN pada anak tetapi sering pada dewasa. Hampir
semua pada orang dewasa. Pada mikroskop cahaya terlihat gambaran penebalan
membrana basalis. Kelainan ini jarang memberikan respon terhadap steroid dan
prognosis mortalitas lebih kurang 50% (Price W, 2012).

Gambar 2.3.3.1
Histopatologi

Glomerulonefritis Membranosa (Sumber: Orth S.R.& Berhard E., 1998)

2) Glomerulonefritis Perubahan Minimal


Merupakan penyebab utama SN anak-anak, Pada dewasa hanya 20%. Dengan
mikroskop biasa tidak tampak kelainan yang jelas pada glomerulus sedangkan pada
mikroskop elektron dapat dilihat sel epitel kapiler glomerulus yang membengkak
dan bervakuol. Fungsi ginjal biasanya tidak banyak terganggu dan tidak ada
hipertensi (Price W,2012).
Penampakan yang tidak biasa yaitu hipertensi (30% pada anak-anak dan 50%
pada dewasa), hematuria (20% pada anak-anak dan 30% pada dewasa) dan

10
penurunan fungsi ginjal (kurang dari 5% pada anak-anak dan 30% pada dewasa).
Prognosis kelainan ini relatif paling baik. Pengobatannya ialah dengan pemberian
steroid. Sering mengalami remisi spontan, akan tetapi sering pula kambuh (Price
W, 2012).
3) Glomerulonefritis membranoproliferatif (MPGN)

Biasa ditemukan pada anak besar dan orang dewasa muda. Perjalanan penyakit
progresif lambat, tanpa remisi dan berakhir dengan payah ginjal. Ciri khasnya
adalah kadar komplemen serum yang rendah. MPGN (disebut juga GN
mesangiokapiler atau lobular) ditandai dengan penebalan lengkung kapiler dan
hiperelularitas mesangial. MPGN terbagi dalam dua subkelompok utama (Tipe 1
dan II), yang memiliki perbedaan histologis. MPGN tipe I ditandai dengan deposit
C3 subendothelial dalam pola granular disekitar lengkung kapiler. Jarang terdapat
MPGN tipe II, dengan segmen panjang penuh warna yang tertimbun dalam
membran basalis, yang menyebabkan penebalan, nama lainnya adalah penyakit
deposit padat. Deposit yang padat dapat terdiri dari C3 dan IgM (Price W, 2012).

b. Glomerulonefritis sekunder akibat (Sudoyo,2014) :


1) Infeksi
- HIV, hepatitis virus B dan C
- Sifilis, malaria, skistosoma
- Tuberkulosis, lepra

2) Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin,
myeloma multiple, dan karsinoma ginjal.

3) Penyakit jaringan penghubung


Lupus eritematosus sistemik, arthritis reumatoid, MCTD (Mixed connective
tissue disease).

4) Efek Obat dan Toksin


Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAIN), preparat emas, penisilamin, kaptopril,
heroin.
5) Lain-lain: Diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklampsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter, atau sengatan lebah (Sudoyo,2014).

11
2.3.4 Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi
sekunder. Penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar, salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan
negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar
menembus sawar kapiler glomerulus (Sudoyo,2014).

Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab


muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya
tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke
ruang interstitial. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan dengan
proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindroma nefrotik. Ekskresi
protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2luas permukaan badan, dianggap
proteinuria berat (Sudoyo,2014).

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh


penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara
spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid
kembali normal (Sudoyo,2014).

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma


intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul
sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada
akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial (Sudoyo,2014).

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu


aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air,
sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah.

12
Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa
peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena
hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan
fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan
peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar
aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut
teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer
dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer
mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan
edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.
Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar
renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemi (Sudoyo,2014).

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang


dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis
penyakit glomerulus mungkin (Sudoyo,2014).

Skema Mekanisme Underfill Skema Mekanisme Overfill

13
Gambar 2.3.4.1 Mekanisme edema pada sindrom nefrotik (Sudoyo,2014)

Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan


mungkin saja kedua proses underfilled-overfilled berlangsung bersamaan atau pada
waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus
mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat
menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume
intravaskular akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan rangsangan non
osmotik untuk keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan
sedikit natrium (Sudoyo, 2014).

Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi
umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka
dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah
umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan
renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan
SN responsif terhadap steroid atau tidak disamping adanya SNKM. Namun derajat
tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara
kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida
natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti
(Sudoyo,2014).

2.3.5 Diagnosis

14
1) Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditanyakan tanda-tanda retensi cairan seperti bengkak di
kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh, peningkatan berat badan,
dan rasa penuh di perut hingga dapat menyebabkan sesak.Tanyakan juga mengenai
riwayat buang air kecil, dalam 24 jam sudah berapa yang keluar, adakah oligouria.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan. Kemudian
ditanyakan penyakit yang mengarah ke penyebab penyakit ginjal seperti hipertensi
(Hull RP,2013).
2) Pemeriksaan fisik
Dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata (puffy eyelids), tungkai atau
adanya asites atau edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan., tanda-
tanda hipertensi, dan striae pada kulit akibat edema (Hull RP, 2013).
3) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis antara lain hitung
darah lengkap, profil lipid, elektrolit, glukosa darah sewaktu, penentuan kreatinin
dan protein urin. Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+),
glikosuria, sel-sel granular, sel hialin, dan sel-sel lemak. Biasanya sedimen urin
normal namun bila didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) bisa
dicurigai adanya lesi glomerular (misal: sklerosis glomerulus fokal). Dari
makroskopis, urin tampak berbuih. Pada pemeriksaan darah didapatkan
hipoalbuminemia (<3,5g/dl), hiperkolesterolemia >200 mg/dl (Hull RP, 2013).
Jika rasio protein urin terhadap kreatinin urin lebih dari 2, pasien dianggap
menderita sindrom nefrotik. Pasien anak yang kehilangan protein pada tingkat
lebih atau setara dengan 50 mg/kg dalam 24 jam juga dianggap mengalami
sindrom nefrotik. Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagula-
bilitas. Pada SN primer, untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang
menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal (Hull
RP, 2013).

2.3.6 Tatalaksana
Pengobatan SN terdiri dari terapi umum pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi (Sudoyo,2014).

15
Terapi non spesifik:
a. Pengobatan untuk edema
1) Diet
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan bahkan sekarang dianggap
kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa
metabolism protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerulus. Jadi cukup diberikan diit protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi
protein dalam urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein
disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam
(Sudoyo, 2014).
Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan
garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan,
hanya diperlukan selama anak menderita edema.Diet rendah kolesterol < 600
mg/hari.Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai
1200 ml/ hari (Sudoyo, 2014).
Pengukuran berat badan dilakukan setiap hari untuk mengevaluasi edema dan
keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hari.Bila perlu
tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena
kemungkinan adanya insufisiensi venous (Sudoyo,2014).
2) Diuretik
Restriksi cairan diperlukan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretik seperti furosemid 1-2 mg/kgBB/hari, bila diperlukan dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-3
mg/kgBB/hari. Pada pemakaian diuretik lebih lama dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit darah (kalium dan natrium). Bila pemberian
diuretik tidak berhasil mengurangi edema, biasanya disebabkan oleh hipovolemia
atau hipoalbuminemia berat (kadar albumin 1 gram/dl), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 gram/kgBB selama 4 jam untuk menarik cairan
dari jaringan interstitial, dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgBB (Sudoyo, 2014).
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma sebanyak 20
ml/kgBB/hari secara perlahan-lahan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, albumin dan plasma dapat
diberikan selang sehari untuk memberikan kesempatan pergeseran dan mencegah

16
overload cairan. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus
memperhatikan kadar albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2
gr/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta muntahan bila ada,
harus dipantau secara berkala (Sudoyo,2014).
3) Pengobatan untuk proteinuria
Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi
proteinuria digunakan terapi simptomatik. Angiotensin Converting
EnzymeInhibitor (ACEI) paling sering digunakan, cara kerjanya menghambat
vasokonstriksi pada arteriol eferen, misal kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan
dosis ditingkatkan setelah 2 minggu. ACEI berfungsi untuk menurun-
kan pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak
dalam darah. Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang
ringan sampai berat, obat tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan gangguan fungsi ginjal (Sudoyo,
2014).
Bisa juga diberikan obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin
3x50mg. Obat antiinflamasi non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati
membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis
prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan
kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai
75%. Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related
antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan
bahwa OAINS menyebabkan penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian
pasien. Obat ini tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit (Sudoyo,
2014).
Angiotensin receptor blocker (ARB) mempunyai efektivitas yang sama
dengan ACEI, dapat memperbaiki proteinuria karena menghambat inflamasi dan
fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor pertumbuhan, adesi
molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi ACEI dan ARB
dilaporkan memberi efek antiproteinuria lebih besar pada glomerulonefritis primer
dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja (Sudoyo, 2014).
4) Koreksi hipoproteinemia

17
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum, tetapi pemberian diit tinggi protein selain sulit
dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti meningkatkan ekskresi protein urin.
Untuk penderita SN diberikan diit tinggi kalori/karbohidrat (untuk memaksimalkan
penggunaan protein yang dimakan) dan protein cukup (0,8-1mg/ kgBB/hr)
(Sudoyo, 2014).
5) Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular, tetapi apa yang terjadi pada populasi
umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada
penderita SN.Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat
hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menu-
runkan kolesterol plasma.Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek
samping minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna
kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol (Sudoyo, 2014).
Klofibrat dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang
meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut. Probukol
menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, tetapi efeknya minimal
terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan kolesterol dan lebih
efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif
menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak
dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang memperburuk
defisiensi vitamin D pada SN (Sudoyo, 2014).
6) Hiperkoagulabilitas
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian anti-koagulasi
jangka panjang pada semua penderita SN guna mencegah terjadinya resiko
thrombosis, tetapi bila telah terjadi thrombosis atau emboli paru maka perlu
dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang, seperti warfarin (Sudoyo, 2014).
7) Pengobatan infeksi
Antibiotik yang tepat hanya diberikan bila ada tanda-tanda infeksi sekunder. Di
beberapa negara, pasien SN dengan edema dan ascites diberikan antibiotik
profilaksis dengan penicilin oral 125-250 mg, 2 kali sehari, sampai edema
berkurang. Di Indonesia tidak dianjurkan pemberian antibiotik profilaksis, tetapi

18
perlu dipantau secara berkala, dan bila ditemukan tanda-tanda infeksi segera
diberikan antibiotik (Sudoyo, 2014).
8) Pengobatan hipertensi
Bila terdapat hipertensi dapat diberikan ACEI, Non Dihydropiridin Calcium
Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretik dan pembatasan diit garam juga ikut
berperan dalam pengelolaan hipertensi (Sudoyo, 2014).
Terapi Spesifik
Patogenesis sebagian besar penyakit glomerular dikaitkan dengan gangguan
imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah dengan pemberian imunosupresif
(Sudoyo, 2014).
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan
bahwa pada lomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon
yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati dan kawak
menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik,
dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama
dan dapat sembuh spontan.Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian
glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini (Sudoyo, 2014).
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya
prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi
bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.
Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat
badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4
minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24
minggu, namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid
dihentikan (Sudoyo, 2014).
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap,
remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<
200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis
lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum
>2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema.
Dikatakan resisten jika klinis dan hasil lab tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid (Sudoyo, 2014).

19
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati
lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan
20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek
samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik,
katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes melitus (Sudoyo, 2014).
1) Pengobatan Relaps
Diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada SN yang
mengalami proteinuria 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai
pemberian prednison terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran
nafas atas. Bila ada infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian
antibiotik kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan
relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria 2+ disertai edema, maka
didiagnosis sebagai relaps (Sudoyo, 2014).
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat
penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan
relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien
dapat dibagi dalam beberapa golongan (Sudoyo, 2014). :
a. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
b. Relaps jarang : jumlah relaps <2
c. Relaps sering : jumlah relaps 2 kali (40-50%) (Sudoyo, 2014).
2) Pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid
Bila pasien telah dinyatakan sebagai SN relaps sering atau dependen steroid,
setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid
alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB sampai
dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/ kgBB
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Bila terjadi relaps pada dosis prednison rumat
>0,5 mg/kgBB alternating, tetapi <1,0>2 (Sudoyo, 2014).
Cyclophosphamide biasa digunakan untuk penderita yang mengalami relaps
setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam
setahun (frequently relapsing) bisa diberikan cyclophosphamide 2mg/kgBB/hr
selama 8-12 minggu. Pada penggunaan cyclophosphamide perlu diwaspadai
terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.

20
Chlorambucil digunakan dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide.
Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu (Sudoyo, 2014).
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian cyclophosphamide,
diberikan Cyclosporine A (CyA) dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hari, di mana
dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian
berlangsung selama 1 tahun kemudian diturunkan perlahan-lahan. Mengingat CyA
mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal (Sudoyo, 2014).
3) Pengobatan SN resisten steroid
Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan.
Sebelum pengobatan dimulai, pada pasien SNRS dilakukan biopsi ginjal untuk
melihat gambaran patologi anatomi ginjal, karena gambaran patologi anatomi
tersebut mempengaruhi prognosis. Pengobatan dengan CPA memberikan hasil
yang lebih baik bila hasil biopsi ginjal menunjukkan SNKM daripada GSFS. Dapat
juga diberikan siklosporin, metilprednisolon, dan obat imunosupresif lainnya
(Sudoyo, 2014).
Penelitian terbaru mengenai efek pemberian rituximab pada pasien sindrom
nefrotik dengan steroid-dependent. Rituximab adalah antibodi monoklonal yang
bekerja menghambat CD20 - sel B mediasi - sel proliferasi dan diferensiasi. CD 20
adalah suatu protein membran pada sel B yang terdapat pada sel maligna misalnya
pada Non Hodgkins Lymphoma. Menurut penelitian (Takei,2012) melaporkan
bahwa pada pasien dewasa dengan multi relaps sindrom nefrotik dengan
perubahan minimal sukses menggunakan rituximab sukses menurunkan kejadian
remisi sindrom nefrotik (Takei,2012).

2.3.7 Komplikasi

1) Hiperkoagulasi
Pada sindrom nefrotik dihubungkan dengan meningkatnya kehilangan
antitrombin III melalui urin, perubahan aktivitas dan kadar protein C dan S,
peningkatan sintesis fibrinogen oleh hepar, dan peningkatan agregasi platelet.
Keadaan-keadaan ini meningkatkan resiko terjadinya thrombosis dan emboli
spontan pada pasien. Emboli paru dan thrombosis vena dalam sering terjadi pada
pasien SN (Sudoyo, 2014).
Thrombosis vena renalis sering terjadi pada 30% pasien SN terutama pada
Glomerulonefritis membranosa (GNMN). Sekitar 10% pasien dengan thrombosis

21
vena renalis ini memberikan gejala nyeri pinggang atau abdomen, gross hematuria,
dan gangguan fungsi ginjal akut, tetapi kebanyakan pasien asimptomatik. Stroke
dan infark miokard juga merupakan komplikasi yang potensial terjadi akibat
hiperkoagulasi (Sudoyo, 2014).
2) Infeksi sekunder
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organism).Infeksi pada SN
terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, gangguan sistem komplemen.
Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh
karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah
banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang
yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi
dengan normal, infeksi yang paling sering terutama infeksi kulit oleh
streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,TBC (Sudoyo, 2014).
Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran
kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan
biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan (Sudoyo,
2014).
3) Gangguan tubulus renalis
Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran
natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan
ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam (Sudoyo,
2014).
4) Gagal ginjal akut
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme.Penurunan volume plasma atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadi edema intrarenal yang menyebabkan
kompresi pada tubular ginjal yang menyebabkan penurunan LFG. Sindrom nefrotik
dapat progresi dan berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (Sudoyo,
2014).
5) Anemia

22
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten
terhadap pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu
transferin serum yang menurun akibat proteinuria (Sudoyo, 2014).
6) Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk
perkembangan kuman-kuman komensal usus.Biasanya akibat infeksi streptokokus
pneumonia, E.coli (Sudoyo, 2014).
7) Gangguan keseimbangan hormon dan mineral
Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat
tiroid (TBG)dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi
globulin umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria (Sudoyo, 2014).
8) Hipokalsemia
Disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium
terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Di samping itu pasien
sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan
membaiknya proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi
kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan. Hubungan antara
hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam GIT
menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun
penyakit tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan (Sudoyo, 2014).
Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolism kalsium dan tulang pada
manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plasma
juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan.
Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau
hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi
kehilangan hormone tiroid yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui
urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang
menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormone) tetap normal sehingga
secara klinis tidak menimbulkan gangguan (Sudoyo, 2014).

9) Hiperlipidemia dan Lipiduria


Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.Kadar kolesterol
umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit

23
meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low
density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid
yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein).
Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-density lipoprotein) dan
lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung normal
atau rendah (Sudoyo, 2014).
10) Malnutrisi
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila
disertai proteinuria massif, asupan oral yang kurang akibat perfusi usus yang
menurun, dan proses katabolisme yang tinggi. Penurunan massa otot sering
ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak
setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa
tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN (Sudoyo, 2014).
11) Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria massif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negative (Sudoyo, 2014).

2.3.8 Prognosis

Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa faktor antara lain umur,
jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal.
Prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih
baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya
lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terhadap kortikosteroid lebih
baik dibandingkan dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada
glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan
dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya
pneumonia) (Sudoyo, 2014).

BAB III

KESIMPULAN

24
Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit
gromerular yang ditandai dengan proteinuria masif lebih dari 3,5 gram/ hari
disertai hipoalbuminemia kurang dari 3,5 gram/ dl, edema anasarka,
hiperlipidemia, dan lipiduria. Umumnya menegakkan diagnosis diperlukan
pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sindrom nefrotik
tersebut. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah sindroma nefrotik primer.
Kelainan minimal memberikan respons yang baik terhadap pengobatan dan
mempunyai prognosis baik. Karena banyak komplikasi yang dapat timbul dari
keadaan ini, misalnya penurunan massa otot karena gangguan keseimbangan
nitrogen, hiperkoagulasi, osteoporosis, infeksi karena defek faktor - faktor
imunologi, dan gagal ginjal maka penatalaksanaan secara dini akan sangat berguna.
Penatalaksanaannya meliputi pemberian obat imunosupresif, penatalaksanaan
edema, diuretik, pemberian albumin intravena, antibiotik profilaksis, obat anti
koagulasi, nutrisi tinggi kalori dan rendah garam.

DAFTAR PUSTAKA

25
Braunwald E., 2008. Sindrom Nefrotic. Principles of Internal Medicine. Edisi
17, Volume II. Mc Graw Hill Companies Inc.1874-1875.

Hull RP, Goldsmith DJA. Nephrotic syndrome in adults. .The Merck Manuals
Online Medical Library. 2013. Available at :
www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/glomerulardis
orders/overview_of_nephrotic_syndrome.html?qt=Nephrotic Syndrome in
Adults&alt=sh

Pardede S.O., 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia kedokteran.


No.134. Hal. 32-37

Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit ed VI ,Volume 2. Pp.929-932. Jakarta: EGC

Sudoyo,Aru W. 2014. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,


Jilid II,Edisi VI. Hal 2080-2086 . Jakarta: Interna Publishing

Tanto, C., Hustrini, NM. 2014. Sindrom Nefrotik. Kapita Selekta Kedoktran.
Jilid II. Edisi IV.pp. 649-651. Jakarta: Media Aesculapius.

Takei, T., Itabashi, M., Moriyama, T., Kojima, C., Shiohira, S., Shimizu, A.,
Nitta, K. (2012). Effect of single-dose rituximab on steroid-dependent
minimal-change nephrotic syndrome in adults. Nephrology Dialysis
Transplantation,28(5), 1225-1232. doi:10.1093/ndt/gfs515

Paulsen F.& J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Anatomi


Umum dan Muskuloskeletal. Jilid 2, Edisi 23, pp 164-172 Penerjemah :
Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC.

26

Das könnte Ihnen auch gefallen