Sie sind auf Seite 1von 468

TRANSPORTASI LAUT

&
KESELAMATAN

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 1


STUDI JALUR EVAKUASI PADA KAPAL PENYEBERANGAN ANTAR PULAU
*1 1 1 1
Andi Haris MUHAMMAD , Daeng PAROKA , Riswanto SUTOMO dan Hatri Ninra DAUD
1
Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.
*E-mail: andi_haris@yahoo.com

Abstract

One of the reasons of large number of casualty in an accident of ship in seaways is overloading of the evacuation route
due to minimum or unavailable information. Therefore, evaluation of evacuation route and alternative to evacuate
passenger is necessary especially for passenger ships such as ships for inter island transportation. This paper
discusses about feasibility of the evacuation route and possibility of buildup of passenger in a certain critical point in the
evacuation route so that an alternative solution to avoid such condition if an accident occurs. In order to find that
solution, numerical simulation with several ships is conducted by using Package program of Arena. Simulation results
show that possibility of the critical points exist in the corridor which be passed in evacuation process. In order to
minimize the buildup of passenger in the critical points, it is recommended an alternative route which is able to access to
reach the master point with minimum time.

Key words: evacuation route, inter island transportation, ship and passenger.

1. Pendahuluan
Dalam perancangan kapal penyeberangan antar pulau, desain ruang dan jalur evakuasi yang
effektif sangat diperlukan, hal tersebut tentunya sangat membantu dalam proses evakuasi
penumpang dan anak buah kapal (ABK) pada saat terjadinya kecelakaan laut (misalnya
keterbalikan, kebocoran dan kebakaran). Organisasi Maritim Internasional (IMO) (2002) telah
mengatur metode sederhana analisis evakuasi penumpang dan ABK kapal penyeberangan tipe
roll on roll off (ro-ro)

Sejumlah asumsi telah dikembangkan oleh banyak peneliti dalam mendukung keakuratan
regulasi IMO tersebut diataranya: i) kecepatan berjalan sangat bergantung pada kepadatan
kerumunan orang, tipe dan model jalur serta arah gerakan kerumunan, ii) arah pergerakan
berlawanan umumnya diperhitungkan berdasarkan counter flow factor, iii) pergerakan orang
diasumsikan tanpa rintangan, iv) Pengaruh pergerakan kapal, umur penumpang, serta
keterbatasan ruang gerak akibat asap kesemuanya diperhitungkan melalui safety factor.

Lee et al (2003) dalam papernya telah menulis kembali sejumlah penelitian pengaruh
pergerakan orang (kecepatan berjalan), kepadatan penumpang serta kemiringan koridor (trim
dan heeling) terhadap proses evakuasi penumpang. Sehubungan dengan hal tersebut, Lee et
al (2004) dalam penelitian lainnya menjelaskan bahwa kecepatan berjalan secara berkelompok
akan mengurangi kecepatan berjalan sebesar 20% dibanding berjalan secara sendirian dengan
jarak antara kelompok sejauh 3m, selanjutnya kecepatan berjalan kelompok didepan akan lebih
cepat dibanding kelompok yang berada dibelakangnya. Namun untuk kecepatan berjalan
perorangan dengan arah berlawanan akan lebih lambat dibanding secara berkelompok.

Maraknya terjadi kebakaran kapal di Indonesia dalam lima tahun terakhir (2003 2007)
sebagaimaan yang dilaporkan KNKT (2007a) tercatat dalam kurun waktu tersebut terjadi 55
kapal terbakar dengan korban jiwa dan harta benda yang tidak sedikit hal tersebut menujukan
pentingya pencegahan dan penaganan kecelakaan yang lebih akurat. Dalam laporan tersebut
pula dijelaskan bawasanya sejulah kebakaran kapal umumnya didominasi sebagai akibat
kelalaian manusia itu sendiri dan selebihnya kondisi alam, namun kalau dilihat dari sumber api
proses terjadinya kebakaran yang dialami kapal umumnya bervariasi diataranya bersumber dari
ruang mesin sebagaimana yang terjadi pada KMP Nusa Bakti (KNKT, 2007b), KMP Selvia
(KNKT, 2011a) dan selanjutnya bersumber dari ruang geladak kendaraan seperti yang dialami
KMP laut Teduh 2 (KNKT 2011b) dan KMP Levina 1 (KNKT, 2007c) dan bersumber dari
akomodasi penumpang yang dialami KMP Dharma Kencana 1 (KNKT, 2008).
Penelitian lain menjelaskan sehubungan dengan sumber api terjadinya kebakaran, Hakkarainen
et al (2009) sesuai dengan data yang dikumpulkannya dari tahun 1998 2007 tercatat dari 80
terjadinya kebakaran kapal penumpang (termasuk ferry ro-ro) hal tersebu diindikasikan bahwa
sumber api berasal dari ruang mesin sebesar 73% selanjutnya ruang muat / geladak kendaraan
dan ruang akomodasi penumpang masing-masing sebesar 16% dan 11 %. Vanen and Skjong

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 2


(2006) menjelaskan bahwa peluang penyelamatan kapal ferry ro-ro akan lebih banyak waktu
yang digunakan dibanding kapal penumpang lainya se-misal cruise lines.

Berdasarkan pembahasan diatas, paper ini membahas tentang kelayakan jalur evakuasi kapal
penyeberangan antar pulau serta kemungkinan terjadinya titik titik penumpukan penumpang
pada jalur tertentu, melalui beberapa scenario yang dikembangkan sehingga dapat diketahui
jalur evakuasi yang efektif.

2. Kriteria IMO
Sejak Tahun 1970, IMO telah mempublikasikan secara intensif ketentuan standar tentang
evakuasi penumpang kapal laut, hal tersebut tertera sebagaimana pada ketentuan SOLAS
kaitanya dengan keselamatan kapal dan jumlah pelampung penolong serta karakteristiknya.
Hingga akhir abad yang lalu aturan utama tentang desain kapal dan evakuasi keselamatan
tersebut telah terjadi perubahan sebanyak 757 aturan. Tahun 1999 IMO menerbitkan MSC Circ.
909 dengan judul pedoman Interim analisis evakuasi sederhana khususnya untuk kapal
penumpang ro-ro (IMO, 1999), ketentuan tersebut adalah upaya pertama untuk menganalisa
secara keseluruhan tentang pergerakan penumpang di dalam kapal selama proses evakuasi.

Selajutnya dalam kondisi darurat dan meningkatkan proses evakuasi, IMO telah pula
menerbitkan ketentuan proses evakuasi pada kapal penumpang yang berbeda (Ro-pax, HSC,
kapal penumpang besar, dll). Akhirnya pada tahun 2002 IMO menerbitkan MSC Circ. 1033
dengan judul pedoman Interim analisis evakuasi untuk kapal baru dan yang sudah ada (IMO,
2002), aturan tersebut berisikan dua metode analisis penyalamatan penumpang: i) analisis
sederhana sebagaimana yang digambarkan pada MSC Circ 909 dan ii) analisis lanjud sesuai
dengan perkembangan kondisi selama evakuasi.

Kriteria standar analisis sederhana total waktu maksimum evakuasi penumpang kapal ferry ro-
ro yang dikembangkan oleh (IMO, 2002) sebagaimana tertera pada Gambar 1. Selanjutnya
Table 1 dan 2 menampilkan lebar efektif jalur evakuasi dan kecepatan berjalan penumpang dan
ABK.

(1) (2)
A T

(3)
E+ L (3)
E+L

(4)
(E + L)/3
Calculated evacution time

(5)
Maximum allowed evacution time, n

Gambar 1: Waktu evakuasi maksimum sesuai kriteria IMO (2002)

Dari skema pada gambar 1 dapat disederhanakan persamaan sebagai beriku:

Total Waktu Evakuasi = (A + T) + 2/3 (E + L) 60 menit


E + L 30 menit

Dimana :
Awareness time / waktu tanggap (A)
Travel time / waktu perjalanan (T)
Embarkasi time / waktu embarkasi (E) dan Launching Time (L)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 3


Tabel 1 : Harga aliran sfesifik dan kecepatan orang sebagai fungsi kepadatan (IMO, 2002)
Jenis fasilitas Kepadatan (D) Aliran Sfesifik Kecepatan orang
(p/m2) FS (p/ms) S (m/s)
Corridors 0 0 1,2
0,5 0,65 1,2
1,9 1,3 0,67
3,2 0,65 0,2
3,5 0,32 0,1

Tabel 2 : Harga aliran sfesifik dan kecepatan orang (IMO, 2002)


Jenis fasilitas Aliran Sfesifik Kecepatan orang
FS (p/ms) S (m/s)
Stairs (down) 0 1,0
0,54 1,0
0,11 0,55
Stairs (up) 0 0,8
0,43 0,8
0,88 0,44
Corridors 0 1,2
0,65 1,2
0,13 0,67

3. Metode Penelitian
3.1. Model matematika, harga aliran sfesifik dan kecepatan
Dalam penelitian ini penilaian total waktu evakuasi penumpang melalui proses simulasi,
persamaan matematika, harga aliran sfesifik dan kecepatan yang dipergunakan dalam
menentukan kecepatan berjalan mengunakan sejumlah koefisien yang disyaratkan ketentuan
IMO (2002) sebagaimana Tabel 1. dan 2.

3.2. Program simulasi dan analisis


Tahapan yang dikembangkan dalam menganalisi jalur evakuasi kapal penyeberangan antar
pulau : i) Mengecek jalur evakuasi dan komponen yang mempengaruhi selama proses evakuasi,
hal tersebut sebagai langkah awal analisis untuk mengetahui berapa lama waktu yang
diperlukan dan mengetahui titik-titik kritis jalur evakuasi. ii) Membandingkan hasil pengecekan
dengan ketentuan standar IMO (MSC circ. 909), khususnya terhadap total waktu yang
diperlukan untuk evakuasi seluruh penumpang. iii) Merencanakan suatu jalur yang efektip
dengan total waktu evakuasi seminimal mungkin. iv) Menganalisis jalur evakuasi yang dibentuk
berdasarkan rencana jalur evakuasi, letak peralatan keselamatan dengan bantuan program
simulasi Arena Software 10 dan program yang dikembangkan melalui program Delphi XE.

3.3. Kondisi jalur evakuasi


Jalur evakuasi yang akan dianalis terdiri dari 2 sampel kapal: i) KMP PM dengan ukuran utama:
L (40 m), B (11 m) H(3,2 m), GT (445 Ton) dan kecepatan 11 Knot beroperasi pada trayek
Bajoe Kolaka tersebut berkapsitas 300 Penumpang dan 22 kendaraan (terdiri dari 8 sedan dan
14 Truk). Ruang penumpang terletak pada geladak penupang terdiri dari ruang ekonomi (189
orang), ruang lesehan (54 orang) dan ruang bisnis (57 orang). Dalam proses evakuasi
penumpang kapal KMP PM dilayani 3 Koridor embarkasi pada geladak navigasi. Untuk jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 2 dan Table 3; dan ii) KMP J2 dengan ukuran utama: L (88 m), B
(15,6 m) H(5 m), GRT (3932 Ton) dan kecepatan Knot 16 beroperasi pada trayek Merak-
Bakauheni tersebut berkapsitas 751 Penumpang dan 50 kendaraan. Ruang penumpang
terletak terdiri dari ruang ekonomi dan bisnis masing-masing 288 orang yang terletak pada
geladak ruang penumpang ekonomi dan ruang eksekutif (175 orang) terletak pada geladak
penumpang eksekutif satu lantai berada diatas geladak penumpang ekonomi. Dalam proses
evakuasi penumpang kapal KMP J2 dilayani 3 empat Koridor embarkasi yang berada pada
geladak penumpang eksekutif. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 dan Table 4

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 4


Door 5 Door 6 Door 7
Embarcation Embarcation Embarcation
PS SB SB

Corridor 5 Corridor 6 Corridor 7


Embarcation Master Station Embarcation
PS PS PS
Corridor Stair Nav Deck
4

Economi Pas Deck


Corridor Door Corridor 3 Door Stair
Class 1 1 4
Corridor Door Business
2 2 Class
Lesehan
Class Door
3

Gambar 2: Model Hydrolik Jalur Evakusi KMP PM

Corridor Door 2 Stair


Economi 1 2
Class
Door Corridor Stair Pass Deck
1 2 2

Main Deck
Stair Door Corridor
2 3 3
Stair Door Corridor 4 Emerjency
2 4
Door

Door Corridor Door Stair


Business 1a 1a 2a 1a
Class
Stair Pass Deck
1b

Main Deck
Stair Door 1bx Stair Door
1b 1a 3a

Door 1by Corridor 2b Corridor Emerjency


3b Door

Master Station
Door Corridor Door
Executive
1a 1a 2a
Class
Stair Corridor Door Master Station
1b 2b Pass Deck
2a

Gambar 3: Model Hydrolik Jalur Evakusi KMP J2

Tabel 3 : Jumlah Punumpang dan Panjang Jalur Evakuasi KMP PM


Item No Pass. Wc Length Area Notes
(m) (m) (m2)
Pass Deck Economy Class 189 4,17 1,995 8,31915 To Corridor 1
Pass Deck Corridor 1 94 0,8 4,65 3,72 To Door 1
Pass Deck Corridor 2 95 0,8 4,65 3,72 To Door 2
Pass Deck Door 1 94 1 - - To Corridor 3
Pass Deck Door 2 95 1 - - To Corridor 3
Pass Deck Lesehan Class 54 9,3 3,99 37,107 To Door 3
Pass Deck Door 3 54 0,7 - - To Corridor 3
Pass Deck Business Class 57 9,4 2,2 20,68 To Corridor 3
Pass Deck Corridor 3 300 0,8 2,5 1,96- To Door 4
Pass Deck Door 4 300 0,7 - - To Stair
Pass Deck Stair 300 0,8 2,5 1,96- To Corridor 4
Nav Deck Corridor 4 300 0,8 2,5 1,96- To Door 5
Nav Deck Door 5 300 0,5 - - To Corridor 5, 6 , 7
Nav Deck Corridor 5 120 0,97 9,2 8,96 To Door 6
Nav Deck Corridor 6 90 0,8 3,20 2,56 To Door 7
Nav Deck Corridor 7 90 0,8 3,20 2,56 To Door 8
Nav Deck Door 6 120 0,5 - - To Master Station
Nav Deck Door 7 90 0,5 - - To Embarcation PS

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 5


Nav Deck Door 8 90 0,5 - - To Embarcation SB

Tabel 4 : Jumlah Punumpang dan Panjang Jalur Evakuasi KMP J2


Item No Pass. Wc Length Area Notes
(m) (m) (m2)
Pass Deck-Economy Class 144 0,4875 12.09 11.7875 To Door 1
Pass Deck-Door 1 144 1,4625 - - To Corridor 1 &2
Pass Deck-Corridor 1 72 1,95 10.725 20.9135 To Door 2
Pass Deck-Corridor 2 72 1,4625 18.525 27.09281 To Stair 2
Pass Deck-Door 2 72 0,39 - - To Stair 1
Pass Deck-Stair 1 72 0,4875 1.56 0.7605 To Door 3
Pass Deck-Stair 2 72 0,4875 1.56 0.7605 To Door 4
Main Deck-Door 3 72 0.39 - - To Corridor 3
Main Deck-Door 4 72 0.39 - - To Corridor 4
Main Deck-Corridor 3 72 0.6825 14.625 9.981563 To Emergency Exit
Main Deck-Corridor 4 72 0.6825 25.35 17.30138 To Emergency Exit
Pass Deck-Business Class 36 0.8775 12.675 11.30138 To Door 1a & Stair 1b
Pass Deck-Door 1a 18 1.4625 - - To Corridor 1a
Pass Deck-Stair 1b 18 0.4875 1.56 0.7605 To Door 1bx & 1by
Pass Deck-Corridor 1a 18 2.925 6.63 19.39275 To Door 2a
Pass Deck -Door 2a 18 0.39 - - To Stair 1a
Pass Deck-Stair 1a 18 0.4875 1.56 0.7605 To Door 3a
Main Deck-Corridor 2b 36 0.6825 9.75 6.654375 To Corridor 1b
Main Deck-Door 1bx 36 0.39 - - To Corridor 1b
Main Deck-Door 1by 36 0.39 - - To Corridor 2b
Main Deck-Corridor 1b 18 0.6825 18.525 12.64331 To Emergency Exit
Main Deck-Door 3a 18 0.39 - - To Emergency Exit
Pass Exe Deck-Executive Class 175 1.755 14.625 25.66688 To Door 1&2
Pass Exe Deck-Door 1 88 1.4625 - - To Corridor 1
Pass Exe Deck-Door 2 87 1.4625 - - To Corridor 2
Pass Exe Deck-Corridor 1 88 2.34 22.425 52.4745 To Muster Station
Pass Exe Deck-Corridor 2 87 2.34 22.425 52.4745 To Muster Station

4. Pembahasan
Gambar 4 dan 5 memperlihatkan hasil simulasi melalui software arena dengan skenario
sebagaimana gambar 2 dan 3. Untuk KMP PM, total waktu yang diperlukan untuk evakuasi
penumpang yang berjumlah 300 orang terdiri dari 189 orang dari kelas ekonomi dan sisanya
dari kelas lesehan dan bisnis masing-masing 54 dan 57 orang dengan total waktu evakuasi
adalah 38.6 menit dengan jarak tempuh terjauh 23,34 m. Sementara Untuk KMP J2, total waktu
yang diperlukan untuk evakuasi seluruh penumpang berjumlah 751 orang yang berasal dari
kelas ekonomi dan bisnis masing-masing 288 orang dan sisanya dari kelas eksekutif 175 orang
diperlukan waktu adalah xx menit dengan jarak terjauh xx m. Meskipun KMP J2 memiliki waktu
yang lebih cepat terhadap evakuasi penumpang dibanding KMP PM namun hasil keduanya
tersebut menurut IMO aman untuk digunakan selama proses evakuasi penumpang apabila
terjadi kebakaran, waktu tersebut masi dibawah 60 menit sebagaimana yang disyaratkan IMO.

Ditinjau dari efektifitas waktu yang digunakan untuk evakuasi penumpang KMP PM dari 3 ruang
penumpang yang dianalisis terlihat bahwa ruang bisnis mengunakan waktu terpendek
dibandingkan ruang lesahan dan ekonomi, hal ini berbanding dengan jarak tempuh masing-
masing ruang menuju koridor embarkasi/master station. Demikian pula dari tiga koridor
embarkasi yang disediakan tempat berkumpul penumpang terlihat bahwa koridor 6 memiliki
waktu terpanjang untuk dicapai dibanding kedua koridor embarkasi lainya (koridor 5 dan 7). Hal
yang sama pada KMP J2 dari 3 ruang penumpang yang dianalisis terlihat bahwa ruang
eksekutip mengunakan waktu terpendek dibandingkan ruang bisnis dan ekonomi pada kapal
tersebut, hal ini berbanding dengan jarak tempuh masing-masing ruang menuju koridor
embarkasi.

Selanjutnya berdasarkan analisis pergerakan dan waktu selama proses evakuasi KMP PM
(gambar 3) titik kritis terjadi pada saat penumpang memasuki koridor 3 dengan banyaknya
waktu yang digunakan untuk memasuki koridor tersebut, hal tersebut dikarenakan koridor 3
adalah jalur tunggal yang dilewati seluruh penumpang kapal yang berasal dari ketiga ruang
penumpang yang dievakuasi selanjutnya titik kritis terjadi pada koridor 5, 6 dan 7 hal tersebut
dikarenakan jarak masing-masing koridor relatif panjang. Perhitungan lengkap waktu yang
diperlukan selama proses evakuasi dapat dilihat pada Tabel 3. Lain halnya pada KMP J2 jalur
evakuasi untuk setiap ruang penumpang masing-masing terpisah menuju koridor embarkasi

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 6


sehingga waktu total evakuasi relatif singkat.

Gambar 4 Karakteristik evakuasi penumpang KMP PM

Gambar 5 Karakteristik evakuasi penumpang KMP J2

Tabel 5 : Waktu evakuasi penumpang KMP PM


Item D (p/m2) Fs (p/ms) Fc V( T deck Tf
(p/s) m/s) (s) (s)
Pass Deck Economy Class 11.42 0,32 1,33 0,1 19,95 71,19
Pass Deck Corridor 1 25,27 1,3 1,04 0,67 6,94 90,38
Pass Deck Corridor 2 25,54 1,3 1,04 0,67 6,94 91,35
Pass Deck Door 1 - 1,04 1,0 0,88 - 90,38
Pass Deck Door 2 - 1,04 1,0 0,88 - 91,346
Pass Deck Lesehan Class 1,46 1,09 10,17 0,84 4,76 5,31
Pass Deck Door 3 - 0,91 59,34
Pass Deck Business Class 2,76 0,87 8,2 1,02 2,16 6,96
Pass Deck Corridor 3 15,96 0,32 0,64 1,2 7,83 468,75
Pass Deck Door 4 - 0,91 0,64 - - 468,75
Pass Deck Stair 152,93 0,8 0,64 1,08 2,28 468,75
Nav Deck Corridor 4 0,91 0,64 - - 468,75
Nav Deck Door 5 - 1,28 0,64 - - 468,75
Nav Deck Corridor 5 13,39 0,66 0,64 1,19 7,70 187,5
Nav Deck Corridor 6 35,15 0,8 0,64 1,08 2,97 140,63
Nav Deck Corridor 7 35,15 0,8 0,64 1,08 2,97 140,63
Nav Deck Door 6 - 1,28 0,64 - - 187,50
Nav Deck Door 7 - 1,28 0,64 - - 140,63
Nav Deck Door 8 - 1,28 0,64 - - 140,63

Tabel 6 : Waktu evakuasi penumpang KMP PM


Item D (p/m2) Fs (p/ms) Fc V( T deck Tf
(p/s) m/s) (s) (s)
Pass Deck-Economy Class 82.1 0.32 1.46 0.1 3.86 98.63
Pass Deck-Door 1 1.12 1.46 98.63
Pass Deck-Corridor 1 7.66 0.75 1.46 1.12 8.6 49.32
Pass Deck-Corridor 2 1.37 0.75 1.46 1.12 24.07 49.32

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 7


Pass Deck-Door 2 1.3 0.84 85.71
Pass Deck-Stair 1 38.31 0.88 0.57 0.8 3.62 126.32
Pass Deck-Stair 2 47.89 0.88 0.57 0.44 5.26 126.32
Main Deck-Door 3 0.88 0.57 126.32
Main Deck-Door 4 0.88 0.57 126.32
Main Deck-Corridor 3 9.2 0.88 0.57 1.01 23.8 126.32
Main Deck-Corridor 4 8.84 0.88 0.57 1.01 12.38 126.32
Pass Deck-Business Class 6.03 0.32 1.8 0.1 21.21 20.00
Pass Deck-Door 1a 1.3 1.69 10.65
Pass Deck-Stair 1b 38.31 0.57 0.57 0.44 6.57 31.58
Pass Deck-Corridor 1a 2.82 0.46 1.69 1.2 5.78 10.65
Pass Deck -Door 2a 1.3 0.84 21.43
Pass Deck-Stair 1a 14.37 0.65 0.84 0.62 6.18 21.43
Main Deck-Corridor 2b 2.01 0.88 0.57 1.01 27.23 63.16
Main Deck-Door 1bx 0.88 0.57 63.16
Main Deck-Door 1by 0.88 0.57 63.16
Main Deck-Corridor 1b 4.91 0.88 0.57 1.01 22.28 31.58
Main Deck-Door 3a 1.3 0.84 21.43
Pass Exe Deck-Executive Class 20.15 0.32 0.9 0.1 15.42 194.44
Pass Exe Deck-Door 1 0.69 0.9 97.78
Pass Exe Deck-Door 2 0.69 0.9 96.67
Pass Exe Deck-Corridor 1 3.24 0.42 0.9 1.39 0.11 97.78
Pass Exe Deck-Corridor 2 4.01 0.42 0.9 1.31 0.1 96.67

5. Kesimpulan
Dengan jalur evakuasi penumpang yang ada saat ini KMP PM dan KPM J2 memenuhi
ketentuan yang disyaratkan IMO dalam upaya penyelamatan penumpang terhadap bahaya
kebakaran.

Efektifitas waktu yang digunakan selama proses evakuasi bergantung pada jumlah
penumpang dan jarak tempuh menuju koridor embarkasi.

Titik kritis jalur evakuasi KMP PM terjadi pada koridor 3 dan koridor embarkasi, sedangakan
untuk KMP Jatra penumpukan penumpang terjadi pada koridor emejency pada main deck.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada DP2M DIKTI dalam pendanaan penelitian ini.
Terima kasih pula khususnya kepada teknisi dan mahasiswa yang tergabung dalam
kelompok penelitian bersama pada Labo-Based Education Laboratory Keselamatan Kapal
Universitas Hasanuddin yang telah membantu selama pengambilan data di lapangan.

References

IMO, 1999. Interim guidelines for a simplified evacuation analysis on RoRo passenger
ships. MSC/ Circ. 909.
IMO, 2002. Interim guidelines for evacuation analyses for new and existing passenger ships.
MSC/ Circ. 1033.
Lee, D., Kim, H.A., Park J.H and Park,J.B (2003): The current status and future issues in
human evacuation from ships, Journal of Safety Science, Vol. 41. pp. 861 -876
Lee, D., Park J.H. dan Kim, H. A. (2004): Study on experiment of human behavior for
evacuation simulation, Journal of Ocean Engineering, Vol. 31. pp. 931 -941
Hakkarainen, et al. (2009): Survivability for ship in case of fire, Final report of SURSHIP-
FIRE Project
Vanem, E., Skjong, R. (2006): Designing for safety in passenger ships utilizingadvanced
evacuation analyses - A risk based approach, Journal of Safety Science, Vol. 44. pp.
111 -135
KNKT (2007a). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Terbakarnya KMP. Nusa Bhakti Pantai
Bug-Bug Karangasem, Bali, Laporan Akhir Komite Nasional Keselamatan
Transportasi (KNKT) Jakarta
KNKT (2007b). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Terbakarnya Kmp. Levina I Pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta, Laporan Akhir Komite Nasional Keselamatan Transportasi
(KNKT) Jakarta

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 8


KNKT (2008a). Kajian Analisis Trend Kecelakaan Transportasi Laut Tahun 2003 2008,
Laporan Akhir Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Jakarta
KNKT (2008b). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Terbakarnya Kmp. Dharma Kencana I Di
Sungai Mentaya Hilir Selatan Kota Waringin Timur, Kalteng, Laporan Akhir Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Jakarta
KNKT (2009). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Tenggelamnya KM. Mandiri Nusantara Di
Perairan Keramian, Bawean, Jawa Timur, Laporan Akhir Komite Nasional
Keselamatan Transportasi (KNKT) Jakarta
KNKT (2011a). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Kebakaran di Kamar Mesin KM. Salvia Di
Perairan Sebelah Timur, Sekitar Pulau Damar, Kepulauan Seribu, DKI, Laporan Akhir
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Jakarta
KNKT (2011b). Investigasi Kecelakaan Kapal Laut Terbakarnya KMP Laut Teduh 2 Di
Perairan Sekitar Pulau Tempurung, Selat sunda, Banten, Laporan Akhir Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Jakarta.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X- 9


COMMERCIAL STUDY OF HOVERFLIGHT OPERATIONS AS A SUPPORT FOR
TOURISM SECTOR
(Case Study: Karimunjawa Islands)

Irwan Tri YUNIANTO*1, Ni Luh Putu PRATIDINATRI1 and Hasan Iqbal NUR2
1
Marine Transportation and Logistics Laboratory, Faculty of Marine Technology, ITS-
Surabaya.
*E-mail: irwantri.y@gmail.com
2
Graduate School of Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.

Abstract

Karimunjawa islands, located in the north of Jepara city in Central Java, is one of Indonesia's largest cluster of islands
consist of 27 islands and four of them are inhabited. Due to its topography and biodiversity, it has the potential as a
tourist destination. Since the main island is surrounded by many small islands, one of the most efficient modes of
transport is traditional motorboat. However, the capacity of water transportation mode is still lacking. Low frequency of
transport service also remains a challenge. Therefore, sustainable water transportation system plan is necessary in
order to connect one island to another as well as to promote local economic growth through tourism activities.
This study aims to identify potential tourism spots and describe the important role of water transportation as a support
for integrating various potential tourism spots. Our proposition is to solve this problem by both analysis of connectivity
(current and planned transportation network) and analysis of commercial. Instead of boat or ship, hoverflight will be
used as alternative water transportation mode because of the following advantages: does not require berth, high in
speed and mobility, and can produce lower carbon emission and lower fuel cost. From the investment calculation results,
it can be summarized that the Break-Even Point will be at the seventh year of operation with Net Present Value of IDR
1,01 billion and Internal Rate of Return 22,9%.

Keyword: Karimunjawa, commercial analysis, hoverflight operations, tourism

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau yang dimiliki
lebih dari 17.000 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Jumlah populasi
penduduk yang tinggal di daerah pesisir sangat besar, sebagai contoh 65% penduduk pulau
Jawa tinggal di daerah pesisir. Dengan kondisi geografis yang dimiliki, maka dibutuhkan
peranan transportasi laut untuk menghubungkan semua wilayah tersebut dan mendukung
berbagai sektor potensial yang ada salah satunya adalah sektor pariwisata.
Kepulauan Karimunjawa merupakan salah satu wilayah kepulauan di Indonesia yang terdiri dari
27 gugusan pulau, terletak di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Kepulauan
Karimunjawa sangat potensial sebagai tujuan wisata karena merupakan daerah kepulauan
dengan topografi yang menyajikan keindahan alam, selain itu juga mempunyai
keanekaragaman hayati seperti terumbu karang, lamun dan mangrove. Dengan segala potensi
yang dimiliki, wilayah tersebut telah dijadikan penyangga kehidupan bagi 8.842 penduduk
(Statistik BTN Karimunjawa , 2008).
Pembangunan di kecamatan Karimunjawa sangat perlu disesuaikan dengan potensi dan
kebutuhan yang ada, terutama terkonsentrasi pada 3 (tiga) sektor, yaitu: sektor pariwisata,
sektor perikanan dan kelautan (Slamet Santoso et al, 2003).
Rencana pengembangan pariwisata secara berkelanjutan perlu untuk dilakukan, sehingga
diharapkan dapat menambah jumlah kunjungan wisatawan baik internasional maupun domestik.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) Menentukan kegiatan-kegiatan wisata
yang berwawasan lingkungan, (2) Memberikan alternatif lokasi pembangunan sarana
penunjang kegiatan wisata, dan (3) Memberdayakan ekonomi penduduk setempat sebagai
unsur utama kegiatan wisata.

2. Gambaran Umum Kepulauan Karimunjawa


Kepulauan Karimunjawa terletak di sebelah timur laut kota Semarang tepatnya pada posisi 50
40 - 50 57 LS dan 1100 4 1100 40 BT. Kepulauan Karimunjawa termasuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, terdiri dari tiga desa yaitu desa
Karimunjawa, Kemujan dan Parang. Luas wilayah daratan dan perairan Taman Nasional
Karimunjawa adalah 111.625 hektar, berupa gugusan pulau sebanyak 22 buah. Dari 22 pulau
tersebut terdapat empat pulau berpenghuni, yaitu: Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau
Parang dan Pulau Nyamuk.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 10


2.1 Potensi Wisata
Potensi wisata Kepulauan Karimunjawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 (dua)
komponen, yaitu: wisata alam darat dan alam perairan.
1) Wisata Alam Darat
Kegiatan yang dapat dilakukan, antara lain: mangrove tracking, menikmati keindahan pulau,
hicking, camping, observasi burung, dan lain-lain.
2) Wisata Alam Laut
Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain: diving dan snorkeling, didukung oleh keindahan
terumbu karang yang menyebar di beberapa pulau di Karimunjawa.
Berikut kajian singkat potensi beberapa pulau yang banyak menjadi tujuan wisatawan baik
domestik maupun mancanegara.
1) Pulau Menjangan Besar
Pulau Menjangan Besar mempunyai luas sekitar 56 hektar tidak berpenduduk memiliki potensi
wisata antara lain:
a) Penangkaran hiu, wisatawan diperbolehkan berenang dengan ikan berusia muda
seperti hiu, triger fish, kura-kura, barakuda, dll;
b) Tempat penetasan tukik dan 1 ekor elang Jawa;
c) Tempat pengembangbiakan penyu, wisatawan dapat melihat langsung proses
penetasan telur dan pelepasan bayi penyu ke laut;
d) Pemandangan matahari terbenam;
e) Terumbu karang

2) Pulau Cemara Besar


Pulau Cemara besar mempunyai luas sekitar 3,5 hektar dan tidak berpenduduk. Kondisi pantai
berpasir putih dan daratan dipenuhi dengan pohon cemara serta keadaannya masih alami.
Pantai di belakang pulau sangat berbahaya karena banyak terdapat ikan pari. Tidak terdapat
dermaga sehingga untuk berlabuh di pulau ini, kapal harus menambatkan tali ke batu karang
atau bersandar ke pasir.

3) Pulau Cilik
Sesuai namanya, Pulau Cilik ini memiliki ukuran yang kecil, memiliki luas sekitar 2 hektar.
Terdapat sebuah dermaga kayu bagi perahu yang ingin merapat. Sangat cocok untuk aktivitas
snorkeling karena terdapat berbagai spesies ikan, terumbu karang, taman karang dan perairan
yang sangat jernih.
Terdapat sebuah gosong yang memanjang di bagian belakang pulau. Gosong atau gosongan
adalah istilah yang sering digunakan penduduk Karimunjawa untuk menyebut daratan pasir
tanpa vegetasi apapun. Gosongan ini bisa berada di tengah laut atau "menempel" pada sebuah
pulau.
2.2 Kunjungan Wisatawan
Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Taman Nasional Karimunjawa, dapat diketahui
bahwa jumlah kunjungan wisatawan Kepulauan Karimunjawa dari tahun 2002 hingga tahun
2005 cenderung mengalami kenaikan, baik untuk wisatawan mancanegara (wisman) maupun
wisatawan domestik (wisdom), seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Statistik jumlah kunjungan wisatawan Kepulauan Karimunjawa
2002 2003 2004 2005
Wisman 339 361 1,312 455
Wisdom 5,272 7,975 11,721 9,315
Jumlah 5,611 8,336 13,033 9,770
Melihat potensi yang dimiliki oleh Kepulauan Karimunjawa dan tren kenaikan jumlah wisatawan
pada Tabel 1, maka dapat diperkirakan bahwa pada tahun-tahun mendatang jumlah wisatawan
yang akan berkunjung ke Kepulauan Karimunjawa akan terus meningkat seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 11


Perkiraan Jumlah Kunjungan Wisatawan Asing Perkiraan Jumlah Kunjungan Wisatawan
Domestik
2,800

40,300
2,300
33,300
1,800
Forecast
26,300 Forecast
1,300 Actual
Actual
19,300
800 12,300

300 5,300
2002 2005 2008 2011 2014 2017 2020 2002 2005 2008 2011 2014 2017 2020

Gambar 1 Perkiraan jumlah wisatawan Kepulauan Karimunjawa


2.3 Aksesibilitas
Kepulauan Karimunjawa dapat dijangkau dengan sarana transportasi laut dan udara. Pada bab
ini akan dikaji aksesibilitas Kepulauan Karimunjawa melalui laut yang hanya dilayani oleh 3
(tiga) kapal ferry, yaitu KMP. Muria, KMC. Kartini I dan KMC. Express Bahari.
Untuk mengakses Kepulauan Karimunjawa melalui laut, dapat dilakukan melalui 2 (dua)
pelabuhan yaitu pelabuhan Tanjung Mas di Semarang dan pelabuhan Kartini di Jepara. Ketiga
kapal ferry yang melayani rute ini memiliki jadual dan frekuensi yang berbeda. KMP. Muria
berlayar 6 (enam) kali seminggu dari Pelabuhan Kartini di Jepara dengan waktu tempuh selama
6 (enam) jam. KMC. Kartini I berlayar 2 (dua) kali seminggu dari Pelabuhan Tanjung Mas di
Semarang dan Pelabuhan Kartini di Jepara dengan rata-rata waktu tempuh selama 3 (tiga) jam.
Sedangkan KMC. Express Bahari merupakan armada baru yang mulai diopersikan pada awal
tahun 2012, berlayar 4 (empat) kali seminggu dari Pelabuhan Kartini di Jepara dengan waktu
tempuh selama 2 (dua) jam. Jadual dan frekuensi pelayaran ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jadwal operasional kapal ferry tujuan Karimunjawa
Hari KMP. Muria KMC. Kartini I KMC. Express Bahari
Senin 08:00 14:00 Jepara 10:00 12:30 Jepara - 10:30 - 12:15 Jepara
Karimunjawa Karimunjawa Karimunjawa

13:00 - 14:45 Karimunjawa


Jepara

Selasa 08:00 14:00 Karimunjawa 11:00 - 13:30 Karimunjawa - 10:30 - 12:15 Jepara
Jepara Jepara Karimunjawa

Rabu 08:00 14:00 Jepara - - 10:30 - 12:15 Karimunjawa


Karimunjawa Jepara

Kamis 08:00 14:00 Karimunjawa - - - -


Jepara
Jumat - - - - 14:00 - 15:45 Jepara
Karimunjawa

Sabtu 08:00 14:00 Jepara 09:00 - 12:30 Semarang 08:00 - 09:45 Karimunjawa
Karimunjawa Karimunjawa Jepara

10:30 - 12:15 Jepara


Karimunjawa

Minggu 08:00 14:00 Karimunjawa 09:00 - 12:30 Semarang 14:00 - 15:45 Karimunjawa
Jepara Karimunjawa Jepara

14:00 17:30 Karimunjawa


Semarang
Kapasitas angkut dari 3 (tiga) kapal ferry tersebut masing masing, 276, 190 dan 240
penumpang. Tarif yang dikenakan kepada penumpang disesuakan dengan jenis kapal ferry
yang ditumpangi dan kelas yang dipilih. Harga tiket untuk kapal ferry cepat tentunya lebih mahal
bila dibandingkan kapal ferry biasa. Berikut Tabel 3 perbandingan harga tiket kapal ferry dengan
tujuan Karimunjawa.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 12


Tabel 3 Perbandingan harga tiket
KMP. Muria KMC. Kartini I KMC. Express Bahari
Kelas Ekonomi Bisnis/ VIP Bisnis Eksekutif Eksekutif VIP

Harga (Rp) 30,500 80,500 135,000 150,000 84,000 125,000

2.4 Aksesibilitas Untuk Tujuan Pariwisata


Untuk dapat menjangkau lokasi tujuan wisata di Kepulauan Karimunjawa yang tersebar di
beberapa bagian pulau, misalnya: Pulau Cemara Besar, Cemara Kecil, Menjangan Besar,
Menjangan Kecil, Gosong, Tengah, Parang dan beberapa pulau lain, satu-satunnya akses yang
dapat digunakan adalah dengan menggunakan kapal motor tradisional milik nelayan setempat.
Biasanya nelayan bekerjasama dengan pemandu setempat untuk menyewakan perahu motor
mereka kepada wisatawan. Biaya sewa yang dikenakan adalah Rp. 400.000 per perahu untuk 3
(tiga) kunjungan pulau dengan durasi antara pukul 08.00 16.00 dan penumpang maksimum
yang dapat diangkut adalah 10 orang. Harga ini belum termasuk upah pemandu. Selama kurun
waktu tersebut wisatawan akan diantarkan berkeliling menuju lokasi wisata sesuai dengan
arahan pemandu. Waktu perjalanan dari pelabuhan pemberangkatan ke tujuan bervariasi mulai
dari 90 30 menit sesuai dengan jarak yang harus ditempuh. Untuk wisatawan yang tidak
datang dengan rombongan tentunya biaya sewa yang dikenakan akan terasa mahal. Karena
tidak ada pilihan lain yang ditawarkan maka biasanya wisatawan bergabung dengan
rombongan lain atau menyewa kapal sendiri.

3. Metodologi Penelitian
Identifikasi Masalah

Tingkat Aksesibilitas Rendah

Sarana Transportasi Wisata


Terbatas

Peningkatan Jumlah Wisatawan

Memberdayakan Ekonomi Lokal


Kelayakan Pengoperasian
melalui Kegiatan Pariwisata
Hoverflight
Berwawasan Lingkungan

Perencanaan Operasional Hoverflight Sebagai Penyokong Sektor Pariwisata Analisis


Konektivitas
(Eksisting & Rencana)
Pertimbangan Pemilihan Moda Perencanaan Rute Operasional
Kelayakan Pengoperasian
Minimum Investasi Titik Potensi Wisata Hoverflight

Estimasi Peningkatan
Ramah Lingkungan Jarak Antar Pulau Pendapatan Daerah dari Sektor
Pariwisata

Gambar 2 Metodologi

4. Perencanaan Pengoperasian Hoverflight


4.1. Perencanaan Rute Pengoperasian Hoverflight
Perencaaan rute pengoperasian hoverflight berdasarkan potensi wisata yang dimiliki setiap
pulau yang terdapat di wilayah Karimunjawa dan fasilitas infrastuktur pendukung pengoperasian
hoverflight. Berdasarkan potensi dan fasilitas pendukung yang dimiliki masing-masing pulau
yang berada di wilayah Karimunjawa rute pengoperasian hoverflight adalah Semarang
Karimunjawa Menjangan Besar Cemara Besar Pulau Gosong Pulau Cilik Karimunjawa
Semarang dengan menempuh jarak sejauh 156 nautical mile.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 13


Semarang

Gambar 3 Rencana rute pengoperasian hoverflight


4.2. Perencanaan Operasional Hoverflight
Perencanaan operasional hoverflight ini terdiri dari beberapa faktor diantaranya:
1) Kajian teknis hoverflight
Perencanaan transportasi untuk mendukung sektor pariwisata di Karimunjawa dengan
menggunakan moda transportasi berupa hoverflight karena memiliki beberapa kelebihan.
Hoverflight merupakan moda transportasi modern dengan mengabungkan konsep
gabungan antara hovercraft dengan pesawat terbang.

No speed limit from water contact


Take off on the sea or land
=

Smooth
ride

Water Increase
Contact of
Removal Speed

+ Removal
of
Hydro-
dynamic
Drag

Gambar 4 Konsep desain hoverflight


Berdasarkan konsep tersebut, hoverflight memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan pesawat, diantaranya:
a) Terbebas dari kondisi turbulence
b) Lebih aman jika mengalami kecelakaan
c) Mengeluarkan tingkat kebisingan yang lebih sedikit
d) Konsumsi bahan bakar jauh lebih sedikit
e) Lebih murah

Beberapa kelebihan dibandingkan dengan kapal, diantaranya:


a) Minimum polusi
b) Lebih nyaman
c) Lebih cepat
d) Tidak membutuhkan dermaga untuk bersandar

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 14


Hoverflight yang direncanakan untuk dioperasikan dalam mendukung sektor pariwisata di
Karimun Jawa memiliki kapasitas sebanyak 30 penumpang dengan dengan panjang
sebesar 17 meter. Berikut detai spesifikasi hoverflight.
Tabel 4 Spesifikasi hoverflight

Item Satuan Nilai Keterangan


Bahan Aluminium
Panjang m 17.00
Lebar m 7.00
Dimensi Kabin
Panjang m 14.00
Lebar m 6.00
Tinggi m 5.00
Berat H/F
Kosong ton 1.00
Kapasitas H/F
Penumpang pax 30.0
Payload ton 3.0 w/o pax
Crew person 1
Kecepatan
Cruising
speed knot 75 139 Km/Hr
Max speed knot 80 148 Km/Hr
Jenis mesin Diesel
Daya mesin HP 935
Jumlah mesin 1
Konsumsi BBM
ltr/ jam 100 0.107 Lt/HP hr
SFOC
Kg /jam 85
jam 4.88
Endurance Safety Factor
jam 4.64 5.0%

2) Perencanaan operasi
Pada bagian ini akan dibahas mengenai rencana operasi berupa pengoperasian hoverflight
pada rencana rute yang telah ditentukan pada sub-bab sebelumnya, dimana rute yang
harus dilayani oleh hoverflight adalah Semarang Karimunjawa Menjangan Besar
Cemara Besar Pulau Gosong Pulau Cilik Karimun Jawa Semarang ditunjukkan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Rencana operasional hoverflight

Titik Jarak Sea Time Port Time Datang Berangkat


Pemberhentian (Nm) (menit) (menit)
Semarang 30 07:00 07:30
Karimunjawa 66.31 53.05 30 08:22 08:52
Menjangan
0.65 5.00 120 08:57 10:57
Besar

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 15


Cemara Besar 5.72 5.00 120 11:02 13:02
Pulau Gosong 9.45 7.56 60 13:10 14:10
Pulau Cilik 1.13 5.00 60 14:15 15:15
Karimunjawa 6.43 5.14 30 15:20 15:50
Semarang 66.31 53.05 16:42
TOTAL 155.99 133.79 450

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa untuk melayani rute tersebut membutuhkan waktu
berlayar (sea time) selama 133,79 menit dan total waktu hoverflight berhenti pada titik
pemberhentian (port time) selama 450 menit atau 7.5 jam.
3) Asumsi-asumsi
Asumsi-asumsi yang digunakan untuk perencanaan pola operasi hoverflight ini yang
pertama adalah asumsi biaya. Komponen biaya yang digunakan untuk menghitung total
biaya yang timbul akibat pengoperasian hoverflight ini terdiri dari capital cost, operating
cost, maintenance cost, voyage cost dan office cost seperti pada Tabel 6.
Tabel 6 Asumsi biaya operasional

Item Satuan Nilai


Capital Cost
Harga USD 3,000,000
I
Delivery USD 150
Training Crew USD 6,6
Operational Cost
USD/ Thn
Gaji Crew 6,897
crew
II Asuransi USD/ Thn 45
Sewa Hanger & Moorings USD/ Thn 5
SLOC Ltr/ HP jam 0.00025
Harga Lub Oil USD / ltr 3.42
Maintenance Cost
III
Replacement Cost of Engine New USD / jam 8.75

Voyage Cost
IV SFOC Ltr/ HP jam 0.107
Harga BBM (1 lt = IDR 4500) USD / ltr 0.52
Office Cost
Gaji pegawai darat Rp/bln 2,500,000
V Jumlah pegawai org 4
Pemasaran Rp/thn 250,000,000
Operasional kantor Rp/thn 120,000,000
Replacement Cost of Skirt Fingers USD / jam 21.67
Replacement Cost of Propeller USD / jam 12.50
Cost of Engine Service USD / jam 5.00

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa investasi yang dibutuhkan untuk pengadaan
hoverflight adalah sebesar 3,156 juta dollar US.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 16


Selanjutnya adalah asumsi pinjaman dan peningkatan biaya serta tarif. Pembiayaan
investasi untuk pengadaan hoverflight ini direncanakan dengan melakukan pinjaman
kepada bank sejumlah 100% dari nilai investasi yaitu sebesar 3,156 juta dollar US atau
setara dengan 27,46 millyar rupiah. Disisi lain asumsi peningkatan biaya adalah sebesar
4% per tahun (berdasarkan tingkat inflasi) dan peningkatan tarif sebesar 10% setiap dua
tahun.
Tabel 7 Asumsi pinjaman dan pembiayaan

Item Nilai Keterangan


Interest 10.00% /tahun
Loan 100.00% Dr hrg kapal
Tenor 10 Tahun
Grace Periode 0 Tahun
Nilai Akhir 300,000 Rupiah
Live time 10 Tahun
MARR 10% / tahun
Peningkatan Biaya 4% 1 tahun sekali
Peningkatan Tarif 10% 2 tahun sekali
Kurs 8,700 USD/IDR

Selanjutnya untuk menghitung pendapatan dari pengoperasian hoverflight, asumsi produksi


jasa angkutan transportasi hoverflight ini adalah menggunakan load factor 90%. Load factor
adalah perbandingan antara jumlah penumpang yang diangkut dengan kapasitas
hoverflight. Sedangkan tarif yang dikenakan untuk satu kali perjalanan adalah sebesar Rp.
600.000,- per penumpang.
Tabel 8 Asumsi tarif

Item Satuan Hoverflight


Tarif ekonomi Rp / Pax 600,000
Unit tarif Rp/pax Nm 3,846.31
Waktu Tempuh Jam 2.23
Frekuensi Trip/hari 1.00

4.3. Kajian kelayakan


Untuk menilai layak tidaknya investasi, berikut ini adalah kriteria yang digunakan:
1) Present Worth (PW) harus positif, artinya investasi memberikan kontribusi pada
pertambahan nilai aset/ kekayaan pemilik modal. Suku bunga (discount rate) yang
digunakan pada perhitungan PW diambil sebesar 10% per tahun.
2) Internal Rate of Return (IRR) harus lebih besar dari MARR (Minimum Attractive Rate of
Return) yang diambil sebesar 10% atau lebih besar dari bunga deposito saat ini.
3) Break Even Point (BEP) yang menunjukkan jangka waktu pengembalian investasi dapat
digunakan sebagai parameter pengambilan keputusan. Perhitungan kelayakan investasi
pada pengadaan dan pengoperasian hoverflight.
Berdasarkan asumsi-asumsi diatas dapat diketahui kelayakan investasinya sebagai berikut.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 17


Tabel 9 Kelayakan operasional hoverflight

Kriteria Investasi Value Criteria Min Remarks


Present Worth ( PW atau IDR
1,017,654 Ok 0 Positive Incr. Wealth
NPV ) ('000)
Present Worth Index (NPVI) kali 37.06 Ok 0 Null
IRR % 22.9% Ok 10.0% MARR
IRR Index ( IRRI = IRR /
kali 2.29 Ok 0 Null
MARR )
BEP from year - 7 Ok 1 Construction Period
IDR Positive Accum
Accum Cash on BEP 86,004 Ok 0
('000) Cash

Berdasarkan Tabel 9 dan asumsi-asumsi sebelumnya, pengoperasian hoverflight untuk


mendukung sektor pariwisata di Karimunjawa dinyatakan layak dengan tingkat NPVI sebesar
37.06 kali, IRR 22.9% dengan tingkat pengembalian investasi terjadi pada tahun ke-7 (tujuh).

4. Kesimpulan

1) Hoverflight dipilih sebagai sarana transportasi pariwisata karena memiliki beberapa


keunggulan diantaranya adalah tidak membutuhkan dermaga untuk bersandar, lebih cepat
dibandingkan kapal motor tradisional, produksi emisi rendah dan biaya bahan bakar lebih
rendah dibandingkan penggunaan kapal motor tradisional;
2) Berdasarkan potensi pariwisata yang dimiliki, maka rute yang digunakan untuk
pengoperasian hoverflight adalah Semarang Karimunjawa Menjangan Besar Cemara
Besar Pulau Gosong Pulau Cilik Karimun Jawa Semarang;
3) Pengoperasian hoverflight sebagai sarana transportasi yang mendukung sektor pariwisata
di Karimunjawa terbukti layak dengan tariff yang dikenakan pada setiap wisatawan/
pengguna jasa layanan hoverflight sebesar Rp. 600.000,- per orang;
4) Tingkat kelayakan investasi hoverflight ditunjukan dengan nilai PW sebesar 1,01 milyar
rupiah, tingkat IRR sebesar 22.9% dan BEP pada tahun ke-7.

References
Bhalla, V. (1997). Investment Management. New Delhi: S. Chand & Company Ltd.
Info: Karimunjawa-island. (n.d.). Retrieved Mei 22, 2012, from http://www.karimunjawa-islands
Murdifin, H. (2003). Studi Kelayakan Investasi. Jakarta: PPM.
Anonymus. (2004). Penataan Zonasi Taman Nasional Karimunjawa Kabupaten Jepara Provinsi
Jawa Tengah. Semarang: Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Karimunjawa.
Anonymus. (2008). Statistik BTN Karimunjawa . Semarang: Departemen Kehutanan Direktorat
Perlindunagn dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Karimunjawa.
Wergeland, N. W. (1997). Shipping. Netherland: Delft Universitty Press.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 18


DEVELOPMENT OF RISK ASSESSMENT BASED ON FSA AND ITS APPLICATION
-COLLISION BETWEEN FISHING VESSELS AND CARGO VESSELS
*1 2
Takeshi SHINODA and Yuka TAMURA
1
Department of Marine Systems Engineering, Faculty of Engineering,
Kyushu University, Japan
*E-mail: shinoda@nams.kyushu-u.ac.jp
2
Ship Engineering, ABS Pacific, Singapore

Abstract

Most marine accidents related to vessels are caused by human errors, such as mis-detection, mis-judgment and mis-
operation. Especially, collision accidents between fishing vessels and cargo vessels involving loss of life of fisherman
are occurred frequently in the sea off Japan. We develop the risk assessment for marine accident through following
steps; 1) identification of hazards by Variation Tree Analysis, 2) Construction of marine casualty database, 3) Risk
assessment by Event Tree Analysis, 4) Estimation of probabilities of collision accidents based on ship traffic data and 5)
Evaluation of risk control options with contingent valuation method, which is in accordance with the guide line of Formal
Safety Assessment (FSA) approved by IMO in 2002. Also we try to apply these types of accident, collision between
fishing and cargo vessels and introduce an example of evaluation some improvement measures by developed
methodology based on risk assessment.

Keywords: Risk Analysis, Formal Safety Assessment, Variation Tree Analysis, Event Tree Analysis, Contingent
Valuation Method

1. Introduction
Collision accidents involving fishing vessels and cargo vessels have broken out in seas close to
Japan, and have been reported widely in Japanese media in recent years. The collision
accident between a fishing vessel and a state-of-the-art Aegis destroyer broke out in February
2008 was reported sensationally in the media and gained the attention of the public.

Most marine accidents related to vessels are caused by human errors, such as mis-detection,
mis-judgment and mis-operation in functional systems contributing to safety navigation onboard
vessels. The annual report released by Marine Accident Inquiry Agency shows that the collision
accident happens most frequently, 25% among all of marine casualties, such as grounding,
capsizing, flooding, fire and so on, and its ratio involving fishing vessels is the most frequent,
32% among all of vessel types. This report also indicates that loss of life is the highest with
fishing vessels come up to 63%.

Due to their high ratio of occurrence and their enormous damages, the collision accidents
between fishing vessels and cargo vessels which are merchant vessel, in general, larger than
fishing vessel in size are taken as research object in this paper. And the safety assessment is
developed in accordance with Formal Safety Assessment (FSA). Developed methodologies are
containing some useful analytical method for safety management such as Variation Tree
Analysis (VTA), Event Tree Analysis (ETA) and Contingent Valuation Method (CVM), which are
carried out through analyzing the records of adjudication of marine accident inquiry on collision
accidents, ship traffic survey and questionnaire survey for fishermen.

2. Flow of Safety Assessment based on FSA

Figure 1 shows the flow chart of developed safety assessment for collision accidents
considering human factors by marine casualty data and navigation track data. This flow is based
on the process of the guidelines on Formal Safety Assessment approved by IMO in
2007(IMO,2007), and FSA consists of the following 5 major steps (Tamura Y. and Shinoda T.,
2010):

(1) Process of Identification of Hazards


The hazards caused to collision accidents by human factors are identified using the records of

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 19


Process of identififcation of hazards

Analysis of marine casualty data

Analyzing records of adjudication Application of visualized variation


of marine accident inquiry in Japan tree analysis (visualized-VTA)

Configuration of items of database

Extraction of human factor through VTA Process of risk analysis


Input casualty data
Constraction of marine collision database Event tree analysis (ETA)

Analysis of navigation track data


Process of generation of risk control options
Observation / RADAR track Navigation track database
/AIS data analysis at surveyed sea area
Process of assessment of cost benefit analysis
Interpolation of navigation track
Contingent valuation method (CVM)
Crossing situation analysis Cost benefit analysis

Extraction of traffic volume and


harmful situation for collision accident
Process of recomendation to decision maker

Figure 1 Flow of developer method of safety assessment for collision accidents


considering human factors

adjudication of marine accident inquiry released by Japan Marine Accident Tribunal. These
human factors are extracted as variation factors which depart from usual procedures by VTA
method. Then the items of marine casualty database are configured and the database is
constructed from the records of adjudication. The typical collision courses are classified based
on human factors as the scenario.

(2) Process of Risk Assessment


Risk assessment is carried out with ETA. Event tree is developed with the extracted human
factors. The number of cases at each bifurcation in the event tree is obtained from the database.
The results of ETA provide the patterns of accidents focused on human factors. The trial
calculations of probabilities of accidents and human errors are attempted with the data obtained
from the database and a ship traffic survey. Possibility of final events from an initial event is
estimated totally by ETA.

(3) Process of Generation of Risk Control Options (RCOs)


RCOs are generated in consideration of obtained scenarios through collision course analysis,
database analysis and ETA focused on human factors contributing to accidents. The efficiency
of the generated RCOs is estimated by ETA with trial calculations.

(4) Process of Assessment of Cost Benefit Analysis


The assessment of cost benefit for stakeholders is important to move RCOs into the action.
Willing to pay for RCOs is estimated by CVM which is a survey-based economic technique to
evaluate non-market prices and has been carried out by questionnaire survey.

(5) Process of Recommendation to Decision Maker


Recommendations established through the results of the risk assessment and cost benefit
analysis are reported to decision maker. The safety assessment of collision accident between
fishing vessels and cargo vessels is attempted through the above mentioned methodologies.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 20


70
(%)

Ratio of frequency of occurrence


60

50

40

30 Fishing Vessel Cargo Vessel

20 Stand-on vessel
Give-way vessel
Give-way vessel
10 Stand-on vessel

stu A leep one


N 3 I n ot ign els

n t p es t

lo e
p o ch v n
pr er els
ist ion of y ra n
o te r

J4 to oo s

t
du F ss
w P34 loo ks
N J2 AJ at leep t

f r itua e
co dg Shi nch g
pl s in ng

ul on

el nd t
A AJ ct n rom 4 F ions

J3 25 t iz y s

N per bro els a sels


Ex Re es e ue

A Imp ollo r ve o v dar


3 y o ve n

at mp her men
ra by de da

ou
ch S kou

Fe bli kou
A ion er l sel

g gu
2 act ure n b tio

re wat ther ctio


A AJ ct o gn ls b nce
e o s ut
in
A ion the ctio

re J42 ine
er or

J3 AJ rt o as ess
4 3 o v exp atig
m e a pp ori

eg ti
Im th ss

s z
nc fe ro

ok
F he e n ra

rin ati
P3 tr il io c

J3 ro w ss es
J at
op w

pe co se rie
A Dis Fa ect ete

te ro v
ia sa g
r
1 P3 det f d

s
a
P3 A of ss o

A
A
P3 b
e
es cc

at
on Ju 1

1
e f
cc Su

D ge
ct

3
o

Po
d
Su P1

N
s

J2 Ju

o
et

o
J2 2
5
A

3
A 21
P3

J4
D

J3 A

4
2

A
J
2
A

A
P2

A
A

Cognition and decision-making factors

Figure 2 Summary of frequency of occurrence cognition and decision-making factors at


situation A by analysis of constructed marine casualty database

3. Construction of Marine casualty Database and Analysis


3.1 Marine Casualty Database
The marine casualty database was constructed with variation human factors extracted through
VTA method applying to 100 records judged at Moji Marine Accident Inquiry from 2002 to 2007,
and the facts obtained such as accident attribution (place, time, season, weather, sea condition,
visibility), vessel attribution (type, length, gross tonnage, speed, course, bridge resources, roles
at crossing situation (give-way or stand-on)), and so on. Total entry is 217 cases that were
judged at ex Moji Marine Accident Inquiry from 1995 to 2008 (Marine Accident Inquiry
Association). Variation human factors are categorized into 4 major situations as cognition and
decision-making factor in Table 1 according to the model maneuvering such as from the
situation of detection of opponent vessel in normal voyage and the situation of avoidance
operation against collision accident as shown in Table 2, which is defined by interview survey
from some captains in the car ferry (Tamura Y. and Shinoda T., 2009).

3.2 Results of Database Analysis


Figure 2 shows the analytical example of constructed marine casualty database. On the part of
fishing vessel, 69% of failure of detection, which are concerning AP3 based on the cognition
code, are due to distraction by other works (AP32, 37%) and improper lookout (AP33, 53%).
Even at the phase of taking avoidance situation, 12% of insufficient watch due to the distraction
by other works has been continued and fishing vessels dont take avoidance actions, which
imply that fishing vessels dont reach to the phases of judgment and action due to failure of
detection of cargo vessels. At the phase of crisis condition, 67% of fishing vessels dont take
any avoidance actions against collision.

On the other hand, the feature of cargo vessels is described as follows: At the earlier phases of
situation A, the ratio of failure of detection remains 44%. The cumulated ratio of mis-detection
and insufficient watch at the phase of crossing situation is 71%. At the phase of perilous
condition, 34% of cargo vessels dont take any avoidance actions due to their optimistic
expectation of fishing vessels avoidance even though they recognized the peril of collision.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 21


Situation A Situation B Situation C Situation D
Detection of Judge of peril of Avoidance
opponent vessel Watch keeping Sequence number
collision Operation
(Event sequence)
7 (3.2%) S S1 ( E1S2S3S4S )
S 32 (14.7%) 7 (3.2%) S2 ( E1S2S3S4F )
8 (3.7%) F
Number of accident 32 (14.7%)
S 35 (16.1%) 1 (0.5%) S S3 ( E1S2S3F4S )
at bifurcation (ratio) F
Upper:Fishing vessel 34 (15.7%) 3 (1.4%) 1 (0.5%) S4 ( E1S2S3F4F )
F
Lower:Cargo vessel 3 (1.4%)
65 (30.0%) 1 (0.5%) S S5 ( E1S2F3S4S )
F 26 (12.0%) S 6 (2.8%) F 1 (0.5%) S6 ( E1S2F3S4F )
6 (2.8%)
30 (13.8%) S S7 ( E1S2F3F4S )
Success 25 (11.5%)
Encounter F
(S) 24 (11.1%) F 25 (11.5%) S8 ( E1S2F3F4F )
other vessels
24 (11.1%)
All vessels 6 (2.8%) S S9 ( E1F2S3S4S )
Failure
(F) S 6 (2.8%)
21 (9.7%) 18 (8.3%) F S10 ( E1F2S3S4F )
18 (8.3%)
S 32 (14.7%) 15 (6.9%) S S11 ( E1F2S3F4S )
F
14 (6.5%) F 15 (6.9%) S12 ( E1F2S3F4F )
183 (84.3%)
14 (6.5%)
152 (70.0%) 7 (3.2%) S S13 ( E1F2F3S4S )
S 11 (5.1%) F 7 (3.2%)
F 162 (74.7%) S14 ( E1F2F3S4F )
11 (5.1%)
120 (55.3%) 155 (71.4%) S S15 ( E1F2F3F4S )
F
109 (50.2%) F 155 (71.4%) S16 ( E1F2F3F4F )
109 (50.2%)

Figure 3 Result of Event Tree Analysis for collision accident between fishing vessel and
cargo vessel (217 cases)

The following significant point is emphasized that 68% of fishing vessels dont take any
avoidance actions at the phase of crisis condition of collision, while 60% of cargo vessels take
actions. This result indicates that the success of detection, continuous watch and proper
judgment to take avoidance actions is key to reduce the collision accidents.

4. Risk Assessment by Probabilities


4.1 Event Tree of Collision Accidents
Event tree analysis (ETA) is a method to visually represent the sequence of events and to
estimate many possible results from an initial event. Event tree bifurcates into success and
failure at each phase of the sequence. Success is selected when the required actions are
taken successfully and failure is selected when they are not taken or failed. Each bifurcation
of event tree relates to some safety characteristics. Probabilities are applied depend on to
success or failure at each bifurcation respectively.

Event tree is developed as shown in Figure 3. Four events Detection of opponent vessel,
Watch keeping, Judgement of peril of collision and Avoidance operation are top events of
each bifurcation. The time sequence of event tree is expressed by four situations from A to D as
shown in Table 2. In this figure, the number of cases obtained from the constructed marine
database is indicated at each bifurcation for fishing vessel and cargo vessel with their ratio.

The developed event tree shows patterns of collision accidents. The most frequent pattern each
for fishing vessel and cargo vessel is the sequence number S16, where detection of opponent
vessel at early stage is failed and subsequent judgment/avoidance actions are not taken. In this
pattern, the fail of detection leads the accidents. The most frequent pattern for cargo vessel is
S2, where failure of avoidance action leads the accidents, because watch is not kept and
subsequent recognition and actions are not taken while the detection is succeeded. Event tree
also indicates the pattern and tendency of accidents focused on variation human factors.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 22


Estimated collision point
by calculation Sea zone A: Interference with visibility
by shade of Mutsure-jima and Uma-Shima
and many cross point of main ship lanes
Give-way vessel

Clearing from Sea zone C: Wide ship


crossing situation lane comparatively, but
1 min. gathering ship from
scale interval many directions
Crossing
situation in approach of channel
Stand-on vessel
Sea zone B: Narrow navigable width
Normal about 500m, overcrowding ship
voyage navigation and sigmoidal ship lane

Figure 4 Calculation set up of collisional Figure 5 Geographical zoning for


situation on navigation track data calculation

35 Whole sea zone 80


(Ships / hour) (Ships / hour) 180
30 70 (Cases / observed 3 days)
160
25 Sea zone C 60
140

Crossing shituation
Ship traffics

50
Ship traffics
20 120
Sea zone B
40 100
Sea zone A
15 80
30
10 Sea zone B 60
20
40
5 Sea zone A 10 20
Sea zone C
0 0 0
0-1
1-2
2-3
3-4
4-5
5-6
6-7
7-8
8-9
9-10
0-1
1-2
2-3
3-4
4-5
5-6
6-7
7-8
8-9

10-11
11-12
12-13
13-14
14-15
15-16
16-17
17-18
18-19
19-20
20-21
21-22
22-23
23-24
9-10
10-11
11-12
12-13
13-14
14-15
15-16
16-17
17-18
18-19
19-20
20-21
21-22
22-23
23-24

Period of hour Period of hour


(a) Hourly total of ship traffics (b) Hourly total of incidence of crossing situation

Figure 6 Result of analysis of ship navigation track data

4.2 Estimation of Probabilities of Collision Accidents based on Ship Traffic Data


Probabilities of collisions are estimated by cumulation of analysis of marine casualty data and
analysis of navigation track data. The navigation track data is obtained through analyzing the
ship traffic survey carried out at Kanmon Channel from 0 A.M. on 14th November 2006 to 12
P.M. on 16th November 2006 for 72 hours continuously(Kyushu Regional Development Bureau
of Ports and Harbour Bureau of Ministry of Land, Infrastructure, Transport and Tourism at
Kanmon Channel, 2006). The traffic data on all vessels were observed by marine radars, AIS
and visual observation at every 1 to 3 minutes, and vessel types and their sizes were observed
visually or by IMO ship identification data.

Figure 4 shows the calculation set up to extract the crossing situation between both ships
navigation track data. The collision point is expected by both ships navigation track data at first,
and when the estimated collision point on the course line cant be cleared within ship length
which is longer in both ships, the crossing situation is detected. In this way, all situations for
every plot data such as crossing and avoiding during navigation in this data is calculated to
extract all crossing situations.

When the calculation is applied to Kanmon sea area, main tree zone of this sea area is defined
through considering the geographical characteristics of each zone as illustrated as Figure 5.
Figure 6(a) shows the hourly total of ship traffics as analytical result of navigation track data,
higher ship traffic condition appears around from 6 to 9 oclock and from 11 to 16 oclock. And
Figure 6(b) shows the hourly total of incidence of crossing situation, higher ship traffic condition
also appears around same time range in the case of ship traffic.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 23


Table 1 Difference of probability of incidence of collision accident by calculation model

Table 2 Reduction rate of occurrence of collision accident on RCOs

Table 1 shows the results of trial calculations of the probabilities of collision accidents each of
fishing vessels and cargo vessels based on the traffic volume and the number of crossing
situations. The crossing situation is simulated with the calculated collision point with the
interpolated points at every one minute from the traffic data. The occurrence probability of
collision accidents of fishing vessels based on the traffic volume is 5.3 times higher than the one
of cargo vessel. The probability based on the number of crossing situation is 1.7 times for
fishing vessels and 9.2 times for cargo vessels higher than the one based on the traffic volume,
which describes that the risk of collision is much increased once the crossing situation exists.

5. Evaluation of RCOs
5.1 Generation of RCOs and Evaluation of their Efficiency
Risk control options (RCOs) to prevent collision accidents are generated from the results of
database analysis, collision course analysis and event tree analysis, which show that more than
half of the accidents are occurred due to mis-detection, From this result, the measures against
mis-detection are proposed; 1) Improved radar reflector, 2) Installation of bright instrument to
improve the visibility at night, 3) Installation of approach warning system and 4) Installation of
scaled-down AIS onboard fishing vessels. The efficiencies of each RCO are estimated by the
calculations of probabilities with the risk reduction rate as impact of the total number of
accidents. The results show the highest efficiency against the risk reduction on RCO 4
Installation of scaled-down AIS as shown in Table 2.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 24


5.2 Cost Benefit Assessment
The cost benefit assessment is carried out by Contingent Valuation Method (CVM). Typically
the survey asks how much money people would be willing to pay (WTP) to improve safety at
sea. Preliminary survey had been carried out through interviewing Fisheries Cooperative
Association for the realization of current situation on fishermans work and collision accidents.
Then the questionnaires have been prepared based on these results. The questionnaire survey
is carried out by interviewing the fishermen directly and by mail. (Shinoda T. et al., 2010)

According to the results of survey, the highest average value of WTP is 13,782JPY per year and
the average duration of WTP is 9.63 years. So fishermen will be available to shoulder the cost
to reduce the collision accidents up to the total amount of 132,652JPY. This amount is, however,
less than the price of scaled-down AIS of 300,000 to 500,000JPY. The cost of measures for
safety will need to be considered this amount.

6. Conclusion
This paper proposes the methodology of risk assessment based on the flow of FSA in guideline
of IMO. And the effectiveness of developed methodology is confirmed through applying for the
collision accidents between fishing vessels and cargo vessels which are related human factors.
Some major effectiveness are described as follows; 1) Variation Tree Analysis effects to define
items of marine casualty database on human factors. 2) ETA based on database is clear to
grasp features of collision accidents and is reliable to analyze human factors. 3) Estimation of
probabilities of collision accidents based on database analysis and its application for an
evaluation of RCOs might be practical for development of new instruments and new regulations.
4) Application of CVM for cost benefit assessment is useful to survey a willing of stakeholder to
pay.

References
International Maritime Organization (2007): MSC 83/INF.2
Kyushu Regional Development Bureau of Ports and Harbour Bureau of Ministry of Land,
Infrastructure, Transport and Tourism at Kanmon Channel(2006): Report of investigation
into the actual condition of ship traffic around Kanmon Channel 2006
Shinoda T. et al.(2010): Assessment of Improvement for Risk of Collision Accidents using CVM
-Application to Collision Accidents between Fishing Vessels and Cargo Vessels-,
Conference Proceedings of The Japan Society of Naval Architects and Ocean
Engineers, Vol.11, pp.113-114
Tamura Y. and Shinoda T. (2009): Proceedings of the International Society of Offshore and
Polar Engineers 2009, Osaka, pp.641-648
Tamura Y. and Shinoda T.(2010): Conference proceedings of the Japan Society of Naval
Architects and Ocean Engineers Vol.10, pp.377-378
Marine Accident Inquiry Association; Data of Marine Accident Inquiry,
http://www.mlit.go.jp/jmat/saiketsu/saiketsu_kako/tokyou/tksaiketsu.htm

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 25


ESTIMASI WAKTU EVAKUASI PENUMPANG KAPAL KMP. MERAK
*1 1 1
Baharuddin , A. Sitti CHAIRUNNISA , Muhammad SYAIFUL
1
Jurusan Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin - Makassar
*
email: baharmarine@gmail.com

Abstract

On public transportation sector such as ferries, evac plan and emergency prochedure are expected to reduce or
eliminate the risk of casualties and financial loss. Beside the Geometry and passenger aspects, another variables such
as; the wirdth of the evacuation lane, the crowd, velocity, the flow of people, the current and transition time are the
important variables in order to arrange the emergency response time and total time needed for evacuation. The
following research is to estimate the evacuation time available for the passenger ship of ro-ro KMP Merak routes Bajoe
Kalaka with the IMO: MSC Circ 1238 SOLAS Consolidated Edition 2009 regulation methods. Based on the
arrangement, the escape route has 2 main vertical zones; we obtain the emergency response was about 5 minutes at
day time, by the total evacuation time about 27,01 minutes, thus its still fullfilled the tolerance boundaries E + L 30
minutes.

Keywprds: safety, ferry ro-ro, evacuation prochedure, emergency respone time, evacuations time
.
1. Pendahuluan
Kapal ferry merupakan salah satu jenis kapal laut yang cukup digunakan sebagai sarana
transportasi angkutan laut. Saat ini cukup banyak kapal yang mengalami keadaan darurat di
laut. Berdasarkan Resolusi IMO No.A 741 18 tahun 1993 tentang ISM Code, keadaan
darurat yang ada di kapal antara lain kebakaran, kebocoran lambung kapal, kerusakan mesin
induk, orang jatuh ke laut, meninggalkan kapal, tumpahan minyak, kandas, kerusakan mesin
kemudi, pertolongan orang cedera dari cuaca buruk.

Dalam hal terjadi kondisi darurat kebakaran, perlu dilakukan proses evakuasi penumpang yang
ada di kapal. Pada dasarnya proses evakuasi adalah proses pemindahan manusia, penumpang,
atau jiwa dari tempat yang mengandung bahaya menuju tempat yang aman dalam hal ini yaitu
dari tempat awal mereka berada di geladak penumpang menuju tempat pengumpulan di
geladak embarkasi.

2. Karakteristik Kapal Ferry


Menurut Nasution (1996) sebagai produk suatu teknologi transportasi, sebuah ferry mempunyai
ciriciri umum sebagai berikut :
1. Geladak disyaratkan dengan lebar yang cukup besar untuk pengangkutan kendaraan
agar arus masuk keluarnya kendaraan menjadi cepat.
2. Penempatan kendaraan sedemikian rupa sehingga terlindung dari air laut.
3. Memiliki pintu rampa, baik itu di haluan dan di buritan maupun di samping.
4. Kapal di lengkapi dengan balok pelintang yang cukup dan juga dilengkapi dengan
fender untuk mencegah terjadinya shock.

Bentuk bentuk muatan yang bisa diangkut dengan kapal ferry adalah (Nasution, 1996) :
1. Bisa bergerak sendiri, misalnya mobil.
2. Barang barang di atas truk dan penumpang dalam bus.
3. Barang barang di atas roll plate.
4. Kontainer di atas chassis.
5. Penumpang yang bergerak sendiri.

3. Prosedur Evakuasi

Prosedur evakuasi merupakan suatu tata cara yang harus dilakukan ketika menemui keadaan
bahaya dan melakukan proses pengungsian dari tempat terjadinya bahaya ke tempat
perlindungan yang aman. Ship Evacuation Plan (SEP) yang baik harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Dapat dengan mudah diatur dengan definisi kelompok evakuasi yang jelas dan jadwal
perjalanan.
2. Menghitung dengan tingkat reabilitas yang memadai waktu tiba hingga tempat

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 26


berkumpul untuk kru.
3. Menghitung dan meminimalkan waktu antara evakuasi kapal dan saat kru terakhir
keluar dari kapal.

4. Tindakan dalam Keadaan Darurat


Syarat lintas evakuasi menurut SOLAS terdiri dari:
1. Sarana Evakuasi (Means Escape)
2. Jalur Evakuasi (Escape Route)
3. Komunikasi internal dan sistem alarm
4. Perlengkapan keselamatan

5. Metode Menghitung Waktu Evakuasi


Komponen-komponen berikut harus dipertimbangkan dalam menghitung waktu evakuasi
penumpang:
1. Waktu tanggap (A) harus 10 menit untuk skenario malam hari dan 5 menit
untuk skenario siang hari;
2. Metode untuk menghitung Waktu Perjalanan (T)
3. Waktu Embarkasi (E) dan Waktu Launching (L).

6. Standar Kinerja
Standar kinerja harus memenuhi:

Waktu Evakuasi Total = 1,25 (A + T) + 2/3 (E + L) n


E + L 30 menit

Dimana:
1. Untuk kapal ro-ro penumpang, n = 60, dan
2. Untuk kapal penumpang selain kapal ro-ro penumpang, n = 80, jika kapal tersebut
memiliki lebih dari tiga zona vertikal utama.

Gambar 1. Kinerja standar aturan SOLAS III/21.1.4.

1. Waktu tanggap (A) = 10 menit pada kasus malam hari dan 5 menit pada kasus
siang hari.
2. Waktu perjalanan (T) dihitung seperti dalam Panduan.
3. Waktu Embarkasi (E) dan Waktu Launching (L) maksimum 30 menit sesuai dengan
regulasi SOLAS III/21.1.4.
4. Waktu kemacetan = 1/3 (E + L).
5. Nilai-nilai n (menit) sesuai dengan regulasi SOLAS III/21.1.4.

Parameter yang dipertimbangkan:


1. Lebar Jalur (Wc)
2. Kepadatan Orang (D)
3. Kecepatan orang (S)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 27


Tabel 1. Kecepatan berjalan pada daerah datar (misalnya, koridor)
Kecepatan berjalan di koridor
Populasi kelompok - penumpang
Min. Max.
Wanita lebih muda dari 30 tahun 0.93 1.55
Wanita 30-50 tahun 0.71 1.19
Wanita lebih tua dari 50 tahun 0.56 0.94
Wanita lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (1) 0.43 0.71
Wanita lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (2) 0.37 0.61
Pria lebih muda dari 30 tahun 1.11 1.85
Pria 30-50 tahun 0.97 1.62
Pria lebih tua dari 50 tahun 0.84 1.4
Pria lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (1) 0.64 1.06
Pria lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (2) 0.55 0.91

Tabel 2. Kecepatan berjalan di tangga


Kecepatan berjalan di tangga
Populasi kelompok - penumpang Tangga turun Tangga naik
Min. Max. Min. Max.
Wanita lebih muda dari 30 tahun 0.56 0.94 0.47 0.79
Wanita 30-50 tahun 0.49 0.81 0.44 0.74
Wanita lebih tua dari 50 tahun 0.45 0.75 0.37 0.61
Wanita lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (1) 0.34 0.56 0.28 0.46
Wanita lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (2) 0.29 0.49 0.23 0.39
Pria lebih muda dari 30 tahun 0.76 1.26 0.5 0.84
Pria 30-50 tahun 0.64 1.07 0.47 0.79
Pria lebih tua dari 50 tahun 0.5 0.84 0.38 0.64
Pria lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (1) 0.38 0.64 0.29 0.49
Pria lebih tua dari 50, gangguan mobilitas (2) 0.33 0.55 0.25 0.41
Sumber: Marine Safety Committee (MSC)/Circ. 1238, SOLAS Consolidated Edition 2009

Tabel 3. Formulasi untuk nilai kecepatan perjalanan rata-rata


Jenis Kelamin Umur (tahun) Kecepatan (m/s)
2 - 8.3 0.06 * Usia + 0,5
8.3 13.3 0.04 * Usia + 0,67
Perempuan 13.3 22.25 0,02 * Usia + 0,94
22.5 37.5 -0.018 * Usia + 1,78
37.5 70 -0.01 * Usia + 1,45
25 0.16 * Usia + 0.3
5 12.5 0.06 * Usia + 0.8
Pria 12.5 18.8 0.008 * Usia + 1.45
18.8 39.2 -0.01 * Usia + 1.78
39.2 - 70 -0.009 * Usia + 1.75

Tabel 4. Nilai arus orang spesifik dan kecepatan orang sebagai fungsi dari kepadatan orang
Kepadatan Orang D Arus Orang Spesifik Fs Kecepatan Orang
Jenis Fasilitas
(p/m2) (p/(ms)) S (m/s)
0,0 0 1,2
0,5 0,65 1,2
Koridor 1,9 1,3 0,67
3,2 0,65 0,20
3,5 0,32 0,10

Tabel 5. Nilai arus orang spesifik maksimum

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 28


Jenis Fasilitas Arus Orang Spesifik Maksimum Fs (p/(ms))
Tangga (turun) 1,1
Tangga (naik) 0,88
Koridor 1,3
Pintu 1,3

Tabel 6. Nilai arus orang spesifik dan kecepatan orang


Jenis Fasilitas Arus Orang Spesifik Fs (p/(ms)) Kecepatan Orang S (m/s)
0 1.0
Tangga (turun) 0.54 1.0
1.1 0.55
0 0.8
Tangga (naik) 0.43 0.8
0.88 0.44
0 1.2
Koridor 0.65 1.2
1.3 0.67
Sumber: Marine Safety Committee (MSC)/Circ. 1238, SOLAS Consolidated Edition 2009

7. Metode Penelitian
Langkah-langkah analisa data meliputi:
1. Pengumpulan data Ukuran Utama kapal, General Arrangement dan Lay Out Safety Plan
KMP. Merak milik PT. ASDP Indonesia Ferry yang beroperasi pada trayek Bajoe Kolaka.
2. Mengidentifikasi skema jalur evakuasi sesuai Standar Operational Prosedur (SOP) KMP.
Merak.
3. Menghitung waktu yang dibutuhkan penumpang untuk menuju muster station
berdasarkan Standar Operational Prosedur (SOP) kapal dalam keadaan darurat. Jika
sudah memperoleh hasil, langkah selanjutnya adalah membandingkan dengan standar
waktu yang diperkenankan oleh Marine Safety Committee (MSC)/Circ. 1238, SOLAS
Consolidated Edition 2009.

8. Hasil dan Bahasan


Proses simulasi dimulai dengan membagi kelompok simulator menjadi 8 (delapan) kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari 1 (satu) orang simulator, kelompok kedua terdiri dari 2 (dua)
simulator, begitu seterusnya sampai kelompok 8 (delapan).

Waktu simulasi yang dicatat adalah mulai dari awal rute evakuasi setiap dek (car deck dan
passenger deck), sampai tiba di muster station. Untuk perhitungan empiris, digunakan waktu
rata rata simulai evakuasi tiap dek.

Gambar 2. Grafik hasil simulasi evakuasi KMP. Merak

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 29


Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa:
1. Terjadi peningkatan waktu evakuasi penumpang di Car Deck ketika jumlah orang yang
dievakuasi lebih dari 4 orang sekaligus. Hal ini di sebabkan oleh adanya faktor antrian
di pintu darurat dan tangga yang mempunyai lebar bukaan yang kecil.
2. Untuk waktu evakuasi penumpang di Passenger Deck Kelas Bisnis, peningkatan waktu
evakuasi baru terjadi ketika jumlah orang yang dievakuasi lebih dari 6 orang.
3. Penumpang di Passenger Deck Kelas Lesehan sendiri walaupun berjumlah sedikit,
akan tetapi butuh waktu evakuasi yang lebih banyak karena mereka harus ikut
mengantri dengan penumpang dari Kelas Bisnis. Ini disebabkan oleh karena kedua
Kelas penumpang menggunakan rute evakuasi yang sama sesuai.
4. semakin banyak orang yang dievakuasi, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses
evakuasi semakin lama. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
panjang dan lebar rute evakuasi, waktu antri di pintu dan tangga, dan lain lain.

8.1 Analisis Evakuasi KMP. Merak


1. Lebar Jalur (Wc)
Lebar jalur (Wc) = 1.7 m.
2. Kepadatan Orang (D)
2
Kepadatan orang (D) = 1.6 orang/m
3. Kecepatan orang (S)
Kecepatan orang (S) = 0.73 m/s.
4. Arus Orang Spesifik (Fs)
Arus orang spesifik (Fs) = 1.16 orang/ms.
5. Perhitungan Arus Orang (Fc)
Fc = 1.972
6. Waktu Arus (tF)
fF= 185.091
7. Transisi
Fc (masuk) i = 1.972
Fc (keluar) j = 1.972
8. Waktu Perjalanan (Ti) di Dek (Tdeck), Tangga (Tstair) dan Stasiun Perakitan
(Tassembly)
Ti = 60.58 detik
9. Waktu Perjalanan (T) dengan Faktor Koreksi () dan Faktor Counterflow ()
T = 36.35 detik
10. Waktu Evakuasi Total
Waktu Evakuasi Total = 27.01 menit.

9. Kesimpulan
1. Waktu tanggap darurat adalah 5 menit untuk situasi darurat pada siang hari sesuai
dengan sijil darurat kebakaran KMP. Merak.
2. Waktu evakuasi total penumpang KMP. Merak adalah 27,01 menit. Menurut regulasi
SOLAS (MSC)/Circ. 1238, waktu evakuasi KMP. Merak masih masuk dalam toleransi
keselamatan E + L 30 menit.
3. Dalam penelitian tugas akhir ini digunakan kapal penumpang ro-ro dengan 2 main
vertical zone, berdasarkan regulasi di atas maka total waktu evakuasi keseluruhan tidak
boleh lebih dari 60 menit. Dari keseluruhan simulasi yang telah dilakukan didapatkan
waktu total evakuasi kurang dari 60 menit sehingga rute evakuasi yang digunakan
dalam kapal ini memenuhi peraturan tersebut.

References
IMO SOLAS Consolidated Edition. (2009). Chapter II-2: Construction - Fire Protection,
Detection, Extinction. London
IMO SOLAS Consolidated Edition. (2009). Chapter III: Life-saving Appliances and
Arrangements. London
IMO SOLAS Consolidated Edition MSC/Circ.1238. (2007). Guidelines for a Simplified
Evacuation Analysis for New and Existing Passenger Ships. London.
Irmawati dan Nurqalbi. (2003). Studi Kasus Pengaruh Penambahan Panjang Kapal Terhadap

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 30


Daya Mesin Utama KMP. Merak. UNHAS. Makassar.
JICA. (1993). Studi Transportasi di Kawasan Timur Indonesia dan Standarisasi Ferry Ro-Ro.
UNHAS. Makassar.
Nasution, H. M. N. (1996). Manajemen Transportasi. Ghalia Indonesia. Jakarta.
N. A. Soekarsono. (1989). Sistem & Perlengkapan Kapal. Jakarta.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 31


SIMULASI RAGAM JENIS PEMADAMAN LOKAL DAN EVAKUASI PADA KAPAL
PENUMPANG
1 1 1
Trika PITANA* , Dwi PRIYANTA , Nur Fadly RYZQY
1
Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*email: trika@its.ac.id

Abstract
Statistical data of National Transportation and Safety Committee ( NTSC) shows that, fire hazard on ship still became
the main cause of accident, and frequently occurred in Indonesian voyage service industries. Preliminary Hazard
Analysis ( PHA ) is one way to identify risk of fire hazard on ship. Trough fire simulation with Pyrosim (fire dynamic
simulator software), and evacuation simulation using scenario those developed with Pathfinder, we can evaluate various
kind of local fire-fighting devices ( watermist,Co2,Drencher,Sprinkler, and foam ) which applied in passenger ship to the
risk of fire hazard on the ship. The results of the analysis are expected to be recommendation in the developing of
safety fire plan, the selection of fire suppression system, and pre fire plan management on for existing passenger
vessels and new-built vessels in the future. Watermist is one of five kinds local fire-fighting that being chosen as the
best fire-fighting device which have ability as smoke scrubber and thermal cooler in the space that on fire.

Keywords : local fire fighting, Evacuation, fire accident, hazard identification, pyrosim, pathfinder, F-N curve.

1. Pendahuluan

Data statistik Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) selama ini ternyata
menunjukkan bahwasannya, kebakaran pada kapal masih menjadi penyebab kecelakaan yang
paling utama dan paling sering terjadi di industri jasa pelayaran Indonesia, kondisi tersebut
menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap standar keselamatan di kapal kapal yang masih
menjadi cakupan organisasi maritim Indonesia, terutama dalam hal ini standar untuk
penanggulangan kebakaran di kapal. Kita mengenal yang disebut International Maritime
Organization (IMO), organisasi internasional yang dikenal luas sebagai pemecah persoalan dan
juga sebagai pengawas untuk segala jenis industri kemaritiman di dunia, ternyata masih belum
mampu menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, meskipun banyak upaya telah dilakukan,
seperti pengembangan regulasiregulasi dan standarisasi peralatan keselamatan di kapal,
sesuai dengan yang tercantum dalam Safety of Life At Sea (SOLAS) dan regulasi lainnya.

Berdasarkan hasil analisa, terjadinya kecelakaan kapal berupa kebakaran ini seringkali dialami
pada kapalkapal penumpang, posisi kebakaran itu sendiri sangat beragam, mulai dari deck
kendaraan hingga deck penumpang, sementara pada deck kamar mesin sangat jarang dijumpai.
Tidak disiplinnya penumpang dan kelalaian awak kapal sering dianggap sebagai penyebab
terjadinya be`ncana kebakaran di kapal, namun tidak dapat dikatakan semerta-merta demikian,
berbagai faktor juga sangat berpengaruh dalam kejadian kebakaran di kapal, seperti halnya
desain kapal, manajemen evakuasi, resposibilitas awak kapal, dan ketersediaan alat pemadam
kebakaran yang memadai. Faktorfaktor tersebut di atas sangat penting untuk diperhatikan
mengingat kebakaran pada kapal berpotensi untuk menimbulkan banyak korban.

Pada dasarnya pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi resiko bahaya
kebakaran di kapal, lalu mengevaluasi berbagai macam alat pemadaman lokal yang
diaplikasikan pada kapal penumpang terhadap resiko kebakaran di kapal tersebut. Hasil dari
makalah ini sangat diharapkan untuk dapat menjadi rekomendasi dalam pembuatan safety fire
plan, pemilihan fire supression system dan pre fire plan management untuk kapalkapal yang
sudah ada maupun kapal kapal yang akan dibangun di masa depan. Analisa fire risk
assasment dalam makalah ini meliputi evaluasi resiko, bahaya kebakaran, identifikasi posisi
manusia saat berlangsungnya kebakaran, persiapan terhadap kejadian daruran dan
pemeriksaan yang berkelanjutan. Harapan penulis dengan adanya makalah ini dapat
memberikan gambaran tentang suatu konsep pencegahan kebakaran berikut metode
penanggulangan yang paling tepat diperoleh melalui pendekatan teknis sehingga di masa yang
akan datang bahaya kebakaran dapat dicegah dan diminimalkan, sehingga dapat mengurangi
terjadinya korban jiwa.

Dalam penelitian ini objek yang dianalisa adalah rancangan kapal milik Dharma Lautan Utama,

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 32


yaitu KM.Kirana 2 yang merupakan salah satu dari beberapa kapal milik DLU dengan model se-
type dan memiliki bukaan minim pada car decknya sesuai dengan standar Internasional untuk
kapal penumpang. KM Kirana 2 sendiri memiliki wilayah operasi Surabaya ( tanjung Perak )
menuju Kalimantan. Water-mist sebagai pengembangan teknologi terbaru untuk pemadam
kebakaran local Fixed fire fighting atau local fire extinguisher juga akan dianalisa tentang
efektifitas nya dalam aplikasinya pada kapal tersebut dibandingkan dengan jenis fire supression
system yang lain.

2. Uraian Penelitian
2.1 Pemadam Kebakaran Lokal
Local fire suppression system atau sering juga disebut sebagai fixed fire fighting merupakan
sistem proteksi terhadap kebakaran untuk tempat tempat tertentu yang ada pada kapal,
disebut local karena sistem tersebut memang di desain untuk mengatasi api di ruangan atau
area itu saja , misal jika di kapal ada sprinkle untuk akomodasi dan car deck sementara CO 2 di
area kamar mesin. Beberapa jenis local fire suppression system antara lain adalah CO2, foam,
sprinkle, drencher, dan Water-mist. Local fire fighting berdasarkan jenis operasionalnya ada
dua macam yaitu aktif dan pasif, aktif jika sistem untuk pemadam kebakaran tersebut tidak
memerlukan intervensi dari manusia untuk mengendalikannya, hal itu didukung oleh adanya
detektor asap dan detektor panas, sedangkan pasif jika harus dikontrol oleh manusia dalam
pengoprasiannya, namun demikian kebanyakan local fire fighting yang ada saat ini
menggunakan sistem aktif [10].

CO2 fire suppression sistem pada dasarnya ditujukan untuk ruangan-ruangan tertutup dimana
pada ruangan tersebut terdapat bahan bahan yang mudah terbakar, seperti minyak, bahan
bakar dan cat, ruangan dengan alat alat elektronik vital pada kapal juga mengaplikasikan
penggunaan karbon dioksida sebagai proteksi terhadap kebakaran hal ini karena janis local fire
fighting yang lain dapat merusak perangkat elektronik tersebut. Kelebihan CO 2 antara lain
bersifat inert sehingga tidak dapat bereaksi, mampu melumpuhkan api dengan mendorong
oksigen keluar tanpa merusak peralaran, dan sangat efektif untuk melumpuhkan api yang
membakar minyak atau zat kimia mudah terbakar. Kekurangan dari penggunaan CO 2 adalah,
sifatnya beracun, merusak lingkungan, perlu penyimpanan khusus, dan tidak aplikatif untuk
ruanganruangan terbuka.

Sprinkler dan drencher merupakan bentuk local fire fighting yang berfungsi menyemprotkan air
dalam jumlah besar kedalam ruangan yang terbakar di kapal, dengan demikian api akan padam
oleh air. Kelebihan sprinkle terletak pada aplikasinya yang mudah dan murah, namun sprinkle
tidak dapat diaplikasikan pada ruangan dengan banyak peralatan listrik maupun pada
kebakaran karena zat kimia atau minyak mudah terbakar, selain itu sprinkle menghasilkan
genangan air yang dapat mengganggu stabilitas kapal.

Local fire fighting berbentuk foam atau busa, di kapal ada dua macam yaitu dry foam dan wet
foam, dry foam jika untuk berfungsi terlebih dahulu harus dicampur dengan air laut pada foam
generator, kemudian disemprotkan di area yang terbakar. Wet foam jika berbentuk cairan
dalam tabung tabung penyimpanan kemudian dapat seketika disemprotkan ketika alarm
tanda kebakaran aktif, melalui suatu mekenisme tertentu yang ada pada peralatan pemadam
kebakaran lokal tersebut. Foam tidak dapat digunakan pada ruangan dengan peralatan listrik
karena dapat menimbulkan kerusakan.

Water-mist merupakan bentuk local fire fighting yang barubaru ini cukup populer, walaupun
sebenarnya Water-mist telah cukup lama ditemukan namun baru diperkenalkan kembali pada
tahun 2001 [8] dan menjadi populer belakangan ini sebagai proteksi terhadap kebakaran,
bahkan kini mulai populer untuk diaplikasikan sebagai local fire fighting pada kapal, tidak hanya

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 33


itu Water-mist kini telah merambah industriindustri offshore dan onshore lainnya. Water-mist
merupakan bentuk pengembangan local fire fighting menggunakan sprinkle, jika sprinkle biasa
hanya menyemburkan air, maka water-mist merupakan air yang disemburkan pada tekanan
tinggi dan menggunakan jenis nozzle khusus berlubang micron sehingga membentuk kabut air
di dalam ruangan yang terbakar. Berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan oleh IWMA
pada tahun 2001 terdapat beberapa kelebihan Water-mist diantaranya, Water-mist
membutuhkan lebih sedikit air dari sprinkle konvensional, Water-mist aman digunakan karena
berbahan dasar air, merupakan pengganti yang tepat untuk aplikasi CO2 dan Halon, mencegah
reignisi api kembali karena dapat mendinginkan ruangan, sangat efektif dalam menghadapi
high heat release rate dan temperatur tinggi, dan yang paling penting Water-mist memiliki
fungsi sebagai smoke scrubber yaitu menyerap asap dan gas beracun pada saat terjadinya
kebakaran [8] IWMA juga mengatakan bahwasanya Water-mist dapat digunakan pada ruangan
dengan ventilasi (terbuka sebagian ) tidak seperti CO2 dan halon yang hanya bisa berfungsi di
ruangan tertutup saja.

2.2 Analisa Resiko


Berdasarkan catatan fire risk assesment guide (regulatory reform on fire safety order UK ,2005 )
menyatakan bahwasanya ada beberapa poin acuan dalam membuat sebuah fire risk
assesment, dibagi menjadi beberapa langkah yaitu :

1. Hazard identification ( identifikasi bahaya ).


2. People at risk (identifikasi penumpang dalam resiko bahaya).
3. Evaluate & act (evaluasi resiko dan tindakan yang harus dilakukan).
4. Records your finding (catat & analisa hasil temuan).

Hazard identification meliputi sumber nyala api, bahan bakar, dan proses terjadinya kebakaran.
People at risk bertujuan untuk mengidentifikasi posisi manusia atau penumpang yang mungkin
beresiko terkena dampak dari bahaya kebakaran. Evaluate & act bertujuan untuk mengetahui
sebab sebab terjadinya kebakaran, selain itu juga mengevaluasi apakah safety & fire plan
yang sudah ada telah memenuhi standard. Selanjutnya hasil dari fire risk assesment ini harus
selalu direview, karena perubahan regulasi pada tahuntahun berikutnya bisa mempengaruhi
hasil dari risk assesment.
Risk Assesment dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama dengan melakukan
Preliminary hazard Analysis dengan mengembangkan Skenario terjadinya kebakaran,
frequency indeks dari data history, severity indeks, hingga indeks resikonya dengan mengacu
pada standar tertentu. Cara lain dalam melakukan risk assesment adalah dengan
memformulakan risk indeks (1) dengan mengkombinasikannya bersamaan hasil simulasi yang
telah dilakukan, nantinya akan didapatkan grafik yang bisa dibandingkan seperti dibawah ini [3].

2.3 Simulasi
Untuk mengetahui lokasi mana yang akan menjadi titik awal kebakaran maka dilakukanlah
PHA, dengan demikian dapat membatasi jumlah simulasi karena diketahui titiktitik yang rawan
terjadi kebakaran. Bentuk PHA prequisites ini didasarkan pada sebuah penelitian sebelumnya
[1]. Hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat Frekuensi indeks dan severity indeks,
yang mana pembuatan kedua hal tersebut berdsarkan IMO MSC.Circ 1023, sesuai dengan
yang dijelaskan melalui hasil ( Tabel 1).

Dalam penelitian ini ada dua permodelan yang harus dijalankan untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan, dua permodelan itu adalah permodelan proses terjadinya kebakaran, dan
permodelan proses evakuasi di kapal. Kedua permodelan yang dibutuhkan dalam penelitian ini
membutuhkan dua macam software yang berbeda. Untuk membuat sebuah simulasi kebakaran
digunakanlah FDS 5 sebuah freeware dari National Institute of Science and Technology [4]

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 34


dengan bantuan pyrosim dengan persamaan (2) dalam memodelkan, dan untuk memodelkan
evakuasinya menggunakan software pathfinder.

Tabel 1. Hasil Preliminary Hazard Analysis

hasil
Skenario Kemungkinan
sumber api
kebakaran konsekuensi
FI SI RI

Terjadi titik api di


Kendaraan terbakar akibat
kendaraan tersebut
korsleting lokal di dalamnya
Car Deck penyebaran api dan 5 4 9
dan meyebabkan
panas ke arah
kebakaran
vertical, horizontal

Terjadi kebakaran
yang diinisiasi
karena furniture dan
Api timbul akibat tidak fasilitas yang ada di
Dek
disiplinnya penumpang dek penumpang 1 2 3
Penumpang
yang merokok terbakar dan
merambat ke
kompartmen kapal
lain

Terjadi titik api di


kamar mesin, dari
Percikan api atau overheat dek bawah ke dek
pada motor induk menjadi atas, terjadi konveksi
Engine pemicu kebakaran di kamar api maupun radiasi
mesin, mesin terbakar yang pengaruhi 5 4 9
Room akarena ada akumulasi uap semua kompartmen
bahan bakar dan oli di di dekatnya
kamar mesin kemudian api
menyebar ke bagian
kapal lain.

(1)

(2)
Pada saat kita harus memodelkan evakuasi menggunakan software pathfinder, digunakanlah
skenario sesuai dengan yang disyaratkan pada MSC Circ 1.1238 untuk mengetahui sejauh
mana proses evakuasi yang akan terjadi, dan berapa lama waktu evakuasi. mencari response

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 35


time sesuai standard kinerja dengan menggunakan distribusi logaritmic normal adapun model
dari persamaannya sesuai standard, seperti terlihat di bawah ini [6].

(3)

(4)

3. Analisa dan Pembahasan

Skenario evakuasi dibuat berdasarkan guidance IMO MSC.Circ 1238 yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya tentang Simulasi Evakuasi . Pada simulasi evakuasi response time yang
digunakan adalah berdasarkan persamaan dan persamaan . Sedangkan waktu untuk skenario
evakuasi ada dua yaitu siang hari dan malam hari, perbedaan waktu skenario akan
berpengaruh significan terhadap persebaran manusia di kapal saat proses evakuasi
berlangsung.

Skenario evakuasi dibuat berdasarkan guidance IMO MSC.Circ 1238 yang telah dijelaskan
pada bab sebelumnya tentang Simulasi Evakuasi. Pada simulasi evakuasi response time yang
digunakan adalah berdasarkan persamaan siang hari ( 3 ) dan persamaan malam hari ( 4 ).
Sedangkan waktu untuk skenario evakuasi ada dua yaitu siang hari dan malam hari, perbedaan
waktu skenario akan berpengaruh significan terhadap persebaran manusia di kapal saat proses
evakuasi berlangsung.

Jumlah penumpang dan awak yang digunakan mengacu pada data muatan kapal KM.Kirana II
dimana data yang digunakan merupakan data dari Operasional PT.Dharma Lautan Utama per
17 November 2011, hal tersebut dikarenakan selama kapal beroprasi hingga April 2012 pada
tanggal tersebut merupakan tanggal dimana jumlah muatan dan penumpangnya diidentifikasi
merupakan kondisi yang paling banyak hal tersebut berdasarkan apa yang disampaikan oleh
operator PT.Dharma Lautan Utama kepada penulis.

Skenario Kebakaran didapatkan dari hasil Preliminary Hazard Analysis (Tabel 1). Karena dari
hasil tersebut didapatkan Engine Room, dan Car Deck sebagai lokasi dengan resiko paling
besar untuk terbakar, maka pada dua tempat itulah sumber api diinisiasi dalam simulasi. Dasar
ini lah yang akan menjadi acuan untuk keseluruhan Simulasi kebakaran.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 36


Gambar.1 grafik HRR

Sedangkan model pemadam kebakaran yang merupakan obyek utama bahan analisa
merupakan lima jenis alat pemadam, di antaranya CO2, Foam, Drencher, Water-mist dan
Sprinkler untuk penempatan alat pemadaman tersebut diatur berdasarkan Class American
Beurau & Shipping.

Scenario kebakaran dibuat selama minimal 300 detik dan maksimal 1500 detik, hal ini berkaitan
dengan kemampuan hardware dalam mengolah data dan batasan simulasi. Kondisi lingkungan
o
awal di asumsikan 25 C, mengikuti daripada kondisi standar berbagai macam material dalam
udara, misal oksigen, CO2 dan kandungan gas lain di udara, dan tidak memperhatikan
hembusan angin mengingat data angin tidak diketahui, dan pada kenyataannya sering barubah-
ubah.

Gambar 2. Grafik Radian Loss

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 37


Dari running simulasi kebakaran menggunakan FDS dengan dibantu pyrosim dalam pembuatan
skenario simulasinya, maka didapatkan grafik Heat release rae per unit area dan radiation loss
seperti ( gambar 1) dan ( gambar 2).

4. Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah diantaranya :

1. Rute evakuasi pada rancangan Fire and Safety Plan Arrangement memenuhi syarat
dijadikan sebagai rute evakuasi, namun kapasitas yang tertera pada general arrangement
tidak sesuai.

2. Penggunaan pemadaman local dari kelima jenis alat itu dapat digunakan sesuai standard
an fungsinya terhadap manfaat nya sebagai alat pemadaman lokal.

3. watermist merupakan alat pemadaman yang paling baik dari kelima jenis alat pemadaman
lokal karena menggunakan media air yang tidak berbahaya dan cukup efektif.

Sebagai rekomendasi terhadap hasil analisa di atas beberapa hal yang perlu dilakukan adalah
sebagai berikut ini :

1. mengurangi kapasitas maksimal muatan yang tertera di desain, karena kapal ini tidak
dapat menampung 50 truk sesuai yang tertera.

2. Pada sistem evakuasi, simulasi menggunakan response time log normal, agar evakuasi
berjalan dengan baik perlu ada model pembelajaran terhadap penumpang melalui
panduan audio visual.

3. Menggunakan water mist sebagai alat pemadaman yang aman bagi lingkungan dan cukup
efektif karena dapat mengurangi kandungan asap di udara saat terjadinya kebakaran.

Ucapan Terima Kasih

Sebagian besar penelitian ini dapat terlaksana berkat dukungan dari ThunderheadEngineering
dan Mr. Bryan Klein berupa ijin dan lisensi untuk program Pyrosim dan Pathfinder.

Special thanks to Mr. Bryan Klein and Thunderhead Engineering for supporting by giving
license and permission of Pyrosim and pathfinder program for six months.

References
Arfi, Abdul Aziz . 2011. Analisa Fire Risk Assesment pada kapal penumpang studi kasus
rancangan kapal fery 5000 GT milik DitJen perhubungan darat. Surabaya : FTK ITS.
Dzulvikar, A.L. 2011. Permodelan Kebakaran dan Simulasi Proses Evakuasi Penumpang
Kapal. Studi Kasus KMP Laut Teduh II. Surabaya : Teknik Sistem Perkapalan FTK-ITS.
Fukuchi,Nobu ; Teruyuki Imamura. 2005. Risk Assesment for Fire Safety Considering Evacuees
and Smoke Movement in Marine Fires. Fukuoka : JASNAOE.
Gizzi, Emanuelle. 2009. An Introduction to fire simulation with FDS and Smokeview. GENOVA.
Marine Safety Commite.2007. MSC.1 / Circ 1238 Guidelines for new and existing passanger
ship . London : International maritime Organization.
Mawhinney, J.R ; Tamura G.T . 1994. The effect of automatic sprinkler protection on smoke
control system . New Orleans : NRCC.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 38


Mawhinney, J.R 1999. Water-mist Flashover Suppression and Boundary Cooling System for
integration with DC-ARM. Baltymore : Hughes Accociations.
Mcgrattan, Kevin; Randall Mcdemort and friends. 2010. FDS 5 Users Guide. USA. Maryland-
Baltimore : Nasional Institute of Standards Technology.
Ridwan. 2010. Pemanfaatan Water-mist Sebagai Alternatif Sistem Proteksi Kebakaran PLTU
Pada Turbine Oil Tank Area. Maluku Utara : PLN Persero.
Silcock, T.S. 1987. Building & Fire. London : Essex.
Spadafora, Ronald R . 2008. Fire Fighter Exams. London : Mc Graw Hills.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 39


GAINING EFFICIENCY IN CONTAINER HANDLING OPERATION
WITH REGENERATIVE POWER CHARGING SYSTEM
1 2
Putu HANGGA N.P* and Takeshi SHINODA
1
Graduate School of Engineering, Department of Urban and Environmental Engineering
Kyushu University
*E-mail: prayoga.p.121@s.kyushu-u.ac.jp
2
Department of Marine Systems Engineering, Kyushu University

Abstract

In the emerging development of emission cutting and energy saving technology for advanced cargo handling system in
container terminal, introduction of hybrid handling equipment in recent years appears to be a potential solution. This
paper presents an analysis method of operation data for hybrid straddle carrier as a common in-yard handling
equipment in a container terminal that has been installed with regenerative power charging system which is designed to
achieve fuel efficiency and gain regenerative energy from hoisting and traveling operation. First, the operation
information database in the form of wave data is gained through electric data logging system, and then wave data is
analyzed separately for hoisting and traveling operation by combination of wave data reading software and spreadsheet.
Finally, gained result is plotted to show relation between measured parameter and the impact of modifying each
parameter to fuel efficiency and energy regeneration.

Keywords: container handling equipment, fuel efficiency, regenerative energy, operation data analysis

1. Introduction
World community faces significant environmental threat in the form of climate changes. The
th
most important system for cargo distribution in the 20 centuries; container shipping, is pushed
to follow certain regulation to perform certain standard in daily operation to meet with this
challenge although its small contribution to the total volume of emission to the atmosphere
(Maritime experts group - APEC, 2009). As a part of container shipping system, container
terminal has an interesting characteristic. It can pursue an efficiency of cargo transportation
systems as well as developing environmentally-friendly cargo transportation systems. The area
of improvement touches the container handling operation in container terminal in several ways
i.e.: improvement of berth allocation, optimization of handling operation, fleet management and
the recent updates: introduction of environmental-friendly container handling equipment.

This study is focused on the development of emission cutting and energy saving technology for
advanced cargo handling system in container terminal, with the introduction of hybrid handling
equipment. Background of the study is the need of container terminal to assess the potential
efficiency that can be gained by employing hybrid straddle carrier to replace conventional diesel
power straddle carrier in daily operation (Shinoda and Hangga, 2011). The authors conducted
further study of operation analysis in the form of fuel efficiency and energy regeneration by
motions of container handling equipment. Measurement method is then applied to real operation
of hybrid straddle carrier and gained data are analyzed by data log software and spreadsheet.

2. Hybrid Straddle Carrier Mechanism


Straddle carrier (S/C) is handling equipment that usually operates in combination with stacking
cranes/transfer cranes (T/C) and yard chassis (C/Y) in the container yard although in some
terminal it can be used for apron side movement of container to supply the container crane
(C/C) (see Figure 1a). S/Cs have the ability to perform a wide range of handling operation such
as transport, stacking (up to 4-tier), loading/unloading (LoLo) of trucks and rail cars.It often
considered as the optimal system for medium and large terminals, when movement flexibility
and high accessibility are required. However, conventional S/Cs also possesses some
disadvantages: high investment cost and high energy consumption during operation.
Manufacturers are trying to take care of these problems by producing hybrid type straddle
carrier that carry potentials for energy saving, which however need to be proven. The type of
hybrid straddle carrier that is examined in this study is diesel electric straddle carriers, which is
designed for high performance and achieve low emission like Nox, HC, CO and PM together
with improved fuel consumption.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 40


Converter
Engine Generator Inverter Hoist motor
for hoist

Traveling
Inverter for motor
traveling (Right side)
(Right side)

Rechargable
Battery Traveling
Inverter for
motor
traveling
(Left side)
(Left side)

Braking unit Resistor

Figure 1 System diagram of diesel electric straddle carrier

The diesel electric mechanism explained as a single diesel engine that drives a single generator
to produce electric power for the induction motor that drives the straddle carrier. Control of
travelling speed of the straddle carrier wheel is carried by regulating the wheels with two motors
and two inverters. This introduction of inverter is the difference between the hybrid-type and
conventional diesel mechanical-type of straddle carrier, as depicted in Figure 1. For the purpose
of this research, a real hybrid straddle carrier that is operated in Hakata Port Terminal, Fukuoka-
Japan was chosen to be examined with the following characteristic.

1. Type : Diesel Electric with inverter


2. Acceleration Capability : 30 seconds to reach 20 km/h
3. Traveling capability : 23 km/h (with load), 27 km/h (without load)
4. Hoisting/Loweing speed : 280 mm/sec (with load), 400 mm/sec (without load)
5. Other characteristic : Equipped with battery to store regenerative energy by motion

One of the interesting characteristic of the examined SCs is the rechargeable battery installed in
the engine room to store the energy by regenerative charging through SCs movement. This
stored energy then can be converted into electric power for helping movement purpose of the
generator in hoisting operation. Kinds of movement that is expected to gain regenerative energy
are braking phase of travelling and lowering operation. To be sophisticate, this research is
designed to measure how the impact of travelling, hoisting and lowering movement of S/C in
providing energy by charging as well as the impact to fuel consumption.
Speed variability Lowering &
V1 = 10 km/h Adjustment to Container Stack
V2 = 20 km/h
V3 = 25 km/h Lowering
1st Hoisting
variability
2nd Hoisting L1 = 1st tier
L2 = 2nd tier
L3 = 3rd tier

A B
Figure 2 Designed movement pattern for S/Cs experiment

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 41


Table 1 Example list of measurement item, range and output for experiment
CH Item Range Output (V)
1-1-2 output of battery 500A 10V
1-1-3 lifting motor speed 500A 10V
1-1-5 traveling motor speed 500A 10V
1-1-13 engine speed 0 - 2000 rpm 0 - 10V
1-2-3 fuel consumption 0 - 2000 l/h 0 - 10V

3. Methodology to Examine Hybrid S/Cs efficiency


The authors propose a methodology to measure the power output of Hybrid S/C during
operation. First, movement patterns are designed for experiments, then a voltage data logger is
installed in the S/C, finally recorded data in voltage is converted into real value to be analysed.
Figure 2 exemplify the movement patterns for S/C that is designed for experimental purposes.
Basically, S/C hoisting a container with load, then travel from point A to B. After reach point B,
S/C will lowering the container and adjust it into stacking area. There are some variable that will
change during the experiments i.e.: S/C traveling speed and stacking position (up to 3 tier).
nd rd
When stacking a container into 2 and 3 tier, before reaching point B, S/C will have to conduct
nd
2 hoisting to adjust to the stacking position. It is a standard procedure in S/C operation, as
during traveling, container must be placed on designated center of gravity of S/C for stability
purposes. The motions of S/C in this experiment are divided into several phases: hoisting
phase, starting phase (accelerate until reach a steady RPM), cruising phase (constant
nd
acceleration at designated speed), braking phase, 2 hoisting phase and lowering phase.

To capture the output of the engine, battery and generator of S/C, continuous and temporal
mesurement of voltage output from capacitor terminal during designed movement patterns was
performed. Data was recorded in a data logger of HIOKI LR8400-20 at recording speed of every
20 ms and had a voltage resolution of 0.5 mV in the 10 V range (see HIOKI product catalog for
further detail). The data logger captured various loads from different parts of the S/Cs
instrument and produced an isolated multi channel waveform based on 18 measurement list
(example of measurement items is shown in Table 1), notably: fuel consumption/fuel economy
and motor traveling speed. For measurement of fuel economy, the amount of fuel used per hour
(l/h) is measured instead of distance (l/km) since S/C will need to reach several designated
speed and run constantly for some time. Motor traveling speed, is measured in rpm (revolution
per minute) to annotates rotational speed of mechanical component of the engine crank.

The waveforms which are gained from voltage measurement which based on the movement
patterns, as exemplified in Figure 3, are then converted into real value. Recorded waveform
data for each channel that represents measurement items in Table 1 in the logger is exported to
spreadsheet into CSV (comma separated value) and then converted into real value using ACV
(average channel value) method by the means of following numerical formulation.

(1)

where:
n = total number of data items M = Max measurement range
di = data on channel number i O = Max output voltage
t = sampling period ACV = Average Channel Value

The numerical formulation is designed to obtain the integration value of the signal waveform
during a specific motion phase. When calculation of the range specified by the cursor A/B is
selected as shown in Figure 4, the calculation area is constrained to the waveform between the
cursors. After integration of the shaded portions, the value is divided by total number of data.
Finally, the average value of integration is multiplied by convertion rate (M/O) to get the real
value of output for each measurement item.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 42


10.00

Scale of Measuerement (Volt)


8.00

6.00

4.00

2.00

-
20 40 60 80 100 120 140 160
-2.00
Battery
Fuel Cons.
-4.00
Traveling Motor Speed
Generator Engine Speed
-6.00
Time (s)

Figure 3 Example of raw waveform data for Figure 4 illustration of of ACV


starting phase

4. Data Analysis
4.1. Hoisting Analysis
The hoisting analysis of operational data depicted the correlation between lifting speed and fuel
consumption as well as to battery usage/charging by combining real value that is gained in each
phase of hoisting/lowering, with variability in hoisting speed and stacking position of container
as depicted in Figure 2.

Positive axis of Figure 5 shows that there are significance increase of fuel consumption for
every marginal increase of lifting speed during hoisting operation on high rpm. A significance
battery power utilization also recorded on the same stake. Relievingly, lowering operation used
very less energy consumption, as shown on the negative axis of Figure 5(a), and in addition
gained significance regenerative energy for every marginal increase of lowering speed as
shown in negative axis of Figure 5(b). The shape of both figure show strong correlation between
lifting speed and normal performance parameter of fuel consumption and alternate performance
parameter of battery utilization. Conclusive explanation of this phenomena is that some energy
are regenerated when lowering a container, and this energy is stored in the lithium ion
rechargable battery that can be reuses to assist the engine later on for other operation.

9.00 20
Hoisting
Battery Usage(-)/Charge (+) (A)

8.00 15
Lowering
7.00 10
6.00
Fuel Cons (l/h)

5
5.00
0
4.00 -300 -200 -100 0 100 200
-5
3.00
Lowering -10
2.00
First Hoisting
1.00 -15
Second Hoisting
0.00 -20
-250 -150 -50 50 150 250 350 450 550 650
Lifting Speed (rpm) Lifting Speed (rpm)

(a) Dependance of lifting speed and (b) Dependance of lifting speed and
fuel consumption fuel consumption

Figure 5 Relation of efficiency parameter in hoisting operation

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 43


10.00

9.00

8.00

7.00
Starting_Exp_2_Load
Fuel Cons (L/h)

6.00 Cruising_Exp_2_Load
Braking_Exp_2_Load
5.00 Starting_Exp_1
Cruising_Exp_1
4.00
Braking_Exp_1

3.00 Starting_Exp_2_No_Load
Cruising_Exp_2_No_Load
2.00 Braking_Exp_2_No_Load

1.00

0.00
100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
Travelling Motor Speed (RPM)

Figure 6 Dependence of traveling speed and fuel consumption


15.00
Battery Usage (-)/ Charging (+) (A)

10.00

Starting_Exp_2_Load
5.00 Cruising_Exp_2_Load
Braking_Exp_2_Load
Starting_Exp_1
0.00
Cruising_Exp_1
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
Braking_Exp_1
Starting_Exp_2_No_Load
-5.00
Cruising_Exp_2_No_Load
Braking_Exp_2_No_Load

-10.00

-15.00
Travelling Motor Speed (RPM)
Figure 7 Dependence of traveling speed and battery usage (-)/charging (+)

4.2. Traveling Analysis


As S/C traveling operation is divided into more sophisticated phases: starting, cruising, and
braking phase, it is easier to analyze the converted waveform data by considering independent
characteristic of each phase. The changing variable are traveling speed, notably: 10 km/h, 20
km/h and 25 km/h respectively, and appearance/non appearance of container load during travel.
Therefore, travel distance is not fixed as S/C need to reach designated travel speed and
maintain it for some minutes during cruising phase before braking phase. There are three kinds
of traveling experiments that is conducted for S/C. Exp_1 is for changing of travel speed which
produced different average rpm for each experiments. Exp_2 is for changing acceleration but
maintain traveling motor speed at high rpm with a container load to S/C, and Exp_3 is similar
with Exp_2 only without a container load to S/C.

Figure 6 shows the dependence of traveling motor speed of S/C main engine and fuel
consumption for each phase. Significance increases in fuel consumption (l/h) is recorded during
starting phase varied with motor traveling speed (rpm) because the engine require higher
energy for transmission to accelerate until reach the designated travel speed. Cruising phase
also show similar trends even though S/C travel in relatively constant speed and acceleration.
The reason lies in the throttle opening angle. To maintain constant speed, S/Cs driver
conducted push-pull activity of the throttle, thus increase the consumption of energy.
Nevertheless, braking phase shows constant energy consumption during S/C deacceleration
throttle is seldomly pushed. Finally, the appearance/non appearance of container load for all
traveling phases shows slight difference to the increase of fuel consumption. Noted that
constant weight of loaded container was used for all the experiments.
Figure 7 shows the dependence of traveling motor speed and battery usage/charging. Starting
phase consume energy from generators battery, and during braking phase, left over of the

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 44


throttle and braking activity to reduce speed gained regenerative energy which is common
sense for hybrid vehicle. Focusing on braking phase, all the experiments showed positive result
in annotating the relation between braking and gaining energy from battery charging, called
regenerative energy. Which is an energy recovery mechanism which slows a vehicle or object
down by converting its kinetic energy into electric power and the stored saved in a storage
battery and used later to power the motor for another use, such as hoisting, powering air
conditioner in the control room and lights.

Surprisingly, cruising phase also gained regenerative energy that is saved in the storage battery.
The hyphothesis is that, while S/Cs driver conducted push-pull activity to maintain speed, S/C
perform a slight horizontal vibration every second, and the load was perform a vertical vibration.
These vibrations might be the reason for gaining of regenerative energy during cruising phase.
Further experiments need to be conducted specifically to assess the possibility of motions that
leads to regenerative charging.

Finally, Figure 8 show the correlation of battery utilization/charge to the S/C fuel consumption.
The analysis resulted in a potential dependency between battery utilization/charging to the
increase/decrease of fuel consumption during each traveling phase. Additional result that
appeared in this research is that braking activity during braking phase shows less correlation to
regenerative energy charging as different braking treatment were conducted by S/C, notably
early braking and late braking. Further experiments sophisticated for braking operation is
planned to be conducted to see the effect of braking to gain regenerative energy.

By this preliminary research on the methodology to assess operational efficiency of a hybrid


straddle carrier in container terminal, the authors is confidence that further research to collect
more reliable data based on the designed movement pattern should be conducted. This
operational analysis can be used to determine the appropriate operation method of Hybrid S/C
to optimalize the advantages of regenerative charging and reduction of fuel consumption. The
operational data analysis shows that the current technology of regenerative charging by motions
employed on Hybrid Straddle carrier possess potentials to compensate disadvantage of high
investment cost.

15.00

10.00
Battery Usage (-)/ Charging (+)

Starting_Exp_2_Load
5.00
Cruising_Exp_2_Load
Braking_Exp_2_Load
Starting_Exp_1
0.00 Cruising_Exp_1
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00
Braking_Exp_1
Starting_Exp_2_No_Load
-5.00 Cruising_Exp_2_No_Load
Braking_Exp_2_No_Load

-10.00

-15.00
Fuel Consumption (l/h))

Figure 8 Dependence of battery usage (-)/charging (+) and fuel consumption

5. Conclusion
This study proposes methodology to assess and measure the efficiency of hybrid straddle
carrier (Hybrid S/C) in the form of fuel consumption and gained regenerative energy by motions.
Combination of data logging instrument, logger utility software and spreadsheet is used to
capture and analyse the movement pattern that is designed originally. This preliminary research
shows that the gained data is reliable to be analysed. The analysis result shows the potential of
improvement in operation technique and method of hybrid straddle carrier to optimize its
specific characteristic of environmental-friendly machine. It also shows that the regenerative
energy can be gained by specific motions of hybrid S/C during traveling and hoisting/lowering

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 45


operations. The result of this study can be used for assessing both functional operation of S/C
in the form of driving method and movement cycle to reach optimum efficiency. Moreover, it will
affect the whole operation efficiency in container terminal as S/C hold more important role in
modern container terminal as it can be operated in many types of operation.

Future Remarks
In the future, the authors would like to perform more sophisticated traveling analysis for cruising
and braking phase to measure the impact to gained regenerative energy and also perform
comparative operational analysis between conventional diesel mechanical straddle carrier and
hybrid (diesel electric) straddle carrier in real operation at container terminal.

Acknowledgments
The authors would like to express their gratitude to Hakata Port Terminal Co.Ltd and TCM
Corporation for providing permission and help to conduct movement experiments of Hybrid
Straddle Carrier in Hakata Container Terminal during February-July 2012.

References
Hakata port Terminal Co., Ltd. (2011): Hakata Port Eco Challenge.
Maritime experts group - APEC (2009): Sharing Best-Practices in Reducing Greenhouse Gas
nd
Emissions at Ports Final Report, 32 Transportation working group meeting, Asia-
Pasific Economic Cooperation (APEC). Available at URL:
www.fmc.gov/userfiles/pages/file/GHGBestPractices.pdf
TCM Corporation Product catalog, S3E Diesel electric straddle carrier, Available at URL:
http://www.tcmglobal.net
HIOKI Product catalog, MEMORY HiLOGGER LR8400-20 series, Available at URL:
http://www.hioki.com/product/lr84000102/index.html
Shinoda, T., Hangga, P. (2011): Study on the functional design of container terminal based on
the analysis of operational database, Proceeding of Seminar Nasional Teori dan Aplikasi
Teknologi Kelautan (SENTA) 2011, vol. I, pp. 46-53.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 46


IMPROVEMENT FOR CONTAINER THROUGHPUT IN CONTAINER TERMINAL
BY ANALYSIS OF CONTAINER HANDLING DATABASE
*1 2
Takeshi SHINODA and Putu HANGGA N.P
1
Dept.of Marine Systems Engineering, Kyushu University
*E-mail: shinoda@nams.kyushu-u.ac.jp
2
Graduate School of Engineering, Dept.of Urban and Environmental Engineering, Kyushu
University

Abstract

The container transportation and containerization for the material movement has been increasing rapidly and spreading
globaly in recent years. Port congestion for marine container terminal has become increasingly severe. Under these
circumstances, the efficient container terminal with high performance is required to satisfy the needs of customers such
as cargo owner and shipping company. The purpose of this paper is to evaluate functional assessment of efficient
container terminal and to consider for higher performance of container terminal. In the first step, the container handling
database is constructed by analysis of the daily work report of practical container terminal. And the container operating
process information is extracted through the constructed database. In the second step, the formulae of skill factor of
operator including a driving speed and some troubles of transfer crane is defined, and this skill factor is calculated by
comparison of operation time of constructed database and defined standard operation time. Finally, a Petri-network
model of container handling is developped for estimation of performance of container throughput.

Keywords: Container throughput, Skill factor of driver, Container handling simulation, Petri-network, Functional
assessment.

1. Introduction
Container transportation and containerization for the material movement has been increasing
rapidly and spreading globaly in recent years, forcing container terminals to provide efficient
service in high performance. Container terminal is the important connecting point between sea
and land, where container is interchanged to next destination by different transportation such as
inter-modal ships, chassis from outside and trains after customs clearance and some storage
time. There are various configuration of container terminal that depends on major flow of
container throughput and functional terminal design.

As more cargo to be handled, port congestion for marine container terminal has become
increasingly severe. Under these circumstances adequate terminal facilities and efficient
container operation service is needed. The purpose of this paper is to evaluate functional
assessment of efficient container terminal and to consider for higher performance of container
terminal by analysis of operation database. The container handling database is constructed by
analysis of work report of practical container terminal. And the container operation process
information on container handling equipments in container terminal is extracted by this
constructed database and then an operators skill factor of transfer crane is estimated by this
extracted process information. Furthermore, a container handling simulation model applied by
Petri-network model is proposed and simulation of container delivery operation is tried as a
practical application of this model.

This research was conducted in one of main container terminal Port of Hakata; Hakata Island
City Container Terminal (HICCT) of Fukuoka in Japan. The main facilities are depth of 14m,
2
330m berth, yard area of 146,551m to store 7,296 TEU, 3 units gantry crane (G/C), and 9 units
rubber tier-mounted transfer crane (T/C). Chassis (C/Y) is used for carrying containers in and
outside the terminal. Efficiency of container throughput is related with container handling
performance of T/C, and when its performance become low due to some occasion, there would
be C/Y queue in the front of terminal gate as well as in the container yard. In order to avoid this
traffic confusion, HICCT has introduced logistic information system by internet and mobile
phone, which is called Hakata port logistic IT system (HITS). Through HITS, state of stack
container, container transfer, and camera image of circumstance around gate are informed
every time. In this paper, performance of container throughput of transfer crane to chassis from
outside is evaluated as functional assessment by analyzing daily work report of HICCT.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 47


Table 1 Example of daily work report of container handling in HICCT
[Transfer crane No.7] [ Completed work data on 19:07, 13 / July / 20** (Tue.) ]

Stock Start. Completed Wait


No. Operation G/C Container No. Size From To Comments Flag
address work time work time time

37 Ship to Stock I3 TRLU66***** 40 CY013 C115-4-4 C115-2-3 8:57 9:11 14 Reserved O/C
38 Receipt UGMU80***** 40 C121-1-2 C121-4-2 9:06 9:13 7 Reserved O/C
39 Rehandling EISU13***** 40 C121-1-1 TM004 9:06 9:14 8 O/C
40 Delivery NYKU60***** 40 C113-5-2 C113-4-2 9:09 9:16 7 O/C
41 Delivery TCKU94***** 40 C113-5-1 IW005 9:09 9:24 15 Reserved O/C
42 Delivery EMCU91***** 40 C121-3-2 KM009 C119-7-3 9:16 9:28 12 Reserved O/C

Remark ; The abbreviation of O/C means ordinary completed.

Date; 13th/July/2004 Code Denomination T/C No.1


6 Shift-out
2 Delivery
7 Rehandling
9 Moving

5 Shift-in
Code Denomination T/C No.7 3 Ship-to-stock
6 Shift-out Code Denomi- T/C No.7
2 Delivery nation
7 Rehandling 9 Moving
9 Moving
11 Temporary-in
3 Ship-to-stock
3 Ship-to-stock
1 Stock-to-ship Code Denomi- T/C No.5
nation
2 Delivery
7 Rehandling
9 Moving

5 Shift-in
Remark; Lunch break in terminal from 12:00 to 13:00 3 Ship-to-stock (Hour)

6:00 7:00 8:00 9:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 19:00

Figure 1 Example of changes of operation sequence of a T/C

2. Analysis of Cargo Handling Data


First, the container handling process information is extracted through the database that is
constructed by analysis of the daily work report of practical container terminal. The daily work
report is obtained from HICCT handling database that explained container movement and status.
Table 1 shows daily work report of transfer crane which is recorded as Excel file format based.
This daily work report includes useful information to understand the performance of transfer
crane such as receipt or delivery operation, container identification number, address of storage
area, acceptance and finished time of operation. In order to extract more useful container
operating process information, it is need to reconstruct as more useful database about transfer
crane operation due to this work report. In doing so, flow of operation is categorized using
coding list of operation of T/C as in Table 2 (Shinoda et al., 2005). Since operation of T/C is
highly related with container chassis, the type of chassis is divided into 2 definition; Yrad
chassis (C/Y) which is chassis that is employed for operation in the yard, and chassis from
outside (C/O) which is employed for container receipt and delivery operation.

Figure 1 shows changes of operation sequence through expanding of operation code list. It
shows the operation of transfer crane in import container stack area including container delivery
operation to chassis from outside the terminal (C/O) (code number 2 in Table 1), stack operation
of unloaded container from ship (code 3), re-handling operation against the obstacle container
(code 7) and spacing operation to stack a container (code 8). The store-in and store-out
operations are separated because of priority to container handling to container ship. Only one
T/C is employed for each line in container yard to avoid interference of T/C in container delivery
operation to C/Y from outside the terminal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 48


Table 2 List of operation code for T/C Detail of handling 109 Stock out
Stock in 1570 (21%) 2: 1445
Stock out 1628 (22%) Stock 4: 0
Carried device
Code Denomi- Operation Rehandling 1506 (20%) out 6: 183
nation from/to T/C 12: 0
Transfering 548 ( 7%)
1 Receipt Stack of received container C/O 1103 650 Total 1628
Moving between bays
2 Delivery Un-stack for delivery container C/O 1846 (25%) 85 848
3 Ship-to-Stock Stack of unloaded container Y/C Halt 365 ( 5%)
4 Stock-to-Ship Un-stack for loading container Y/C 281
Grand total 7463 597
to ship
Rehandling
5 Shift-In Stack from other lane/slot Y/C
6 Shift-Out Un-stack to other lane/slot, Y/C Rehandling
7 Re-handling Remove the obstacle containers None Without R/H 650 (45%) 11
above the target container in the R/H once 375 (26%) 51 6
same bay 806
R/H twice 285 (20%)
8 Spacing Remove the containers None R/H 3 times 127 ( 9%)
to make space in bay 349 Halt Stock in
Total 1437 Moving
9 Moving Moving T/C between bays None between 1: 23
to catch the target container bays 3: 1456
127 5: 85
10 Halt Halt the operation of T/C None 9:1846
47 20 11: 6
164
11 Temporary-In Temporary stack for loading to ship Y/C Transfering 31 277 Total 1570
12 Temporary-Out Un-stack of Temporary-In container Y/C 216
367 10 Stock
Remark; T/C: Transfer Crane, C/O: Chassis from outside, in 1259
Y/C: Yard chassis

Figure 2 Markov chain model of transition of T/C

Figure 3 Process and definition in T/C operation for detail analysis

Figure 2 shows the state transition of T/C operation which is defined on Markov chain model. It
is obtained by analysis of constructed database of container handling in marshaling yard of
import containers. Delivery operation has occupied 22% from total of 7,463 container handling
operation with re-handling operation occupied 55%. The re-handling operation brings in the
increase of queueing time of C/Y in container yard, and also increases traffic confusion at out
side of container terminal. Preparation of T/Cs operation such as moving of T/C between bays
and spacing operation are accounted 52%, while non operation state is amounted 5%.

Second, more detail process on container delivery operation by transfer crane in order to
analyze some improvements for container throughput in container terminal is defined, as
illustrated in Figure 3. This definition focused on flow of delivery process that consists of 5 main
processes and 10 detail steps.
The T/C movement to designated bay for pick up the target container is defined as process

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 49


number 1, traversing and winding of spreader to top side of target containers slot is defined as
process 2, re-handling operation in the case of existence of obstacle containers above the
target container is defined as process 3, the operation of grasping target container and
transferring to C/Y from outside the terminal is defined as process 4, and finally, spreader
hoisting after delivery to chassis from outside is defined as process 5. Moreover, average time
of each process is also shown in same figure by analysis of constructed database and is
confirmed by work sampling analysis in HICCT for 3 days.

After defining detail process of container delivery by transfer crane, it is easier to focus on each
steps and measuring the performance of T/C operation in serving chassis (C/Y), both for outside
chassis from outside the terminal (C/O) and yard chassis operated for inside operation of
container yard (Y/C), as defined in the list of operation code (Table 2). For third step of analysis,
performance diagram is employed as measurement tools for T/C operation.

The performance diagram of delivery operation of transfer crane shown in Figure 4 is conducted
by shop test data for checking the specification of performance. And by using this diagram, the
standard time for each process of delivery operation of transfer crane can be defined. Let i
denote the i-th process and k denote sub-processes of spreader movement such as traversing,
lowering and hoisting. Each standard process time Tsi will be defined as follow;

=  , + (1)

where, Tcik is sub-process time by spreader of this transfer crane in i-th process, and this time is
calculated by distance dk between present position and target position with acceleration ak. Teik
is container adjusting time onto normal position such as positioning, locking and unlocking of
spreader in i-th process.

Because of difference in T/Cs operator/drivers skill on each handling, a good or bad influence
could affect the operation performance, and concerning Eq. (1) it is needed to consider drivers
skill as a skill factor. To do so, each i-th real process time is denoted as Tpi, skill factor of driver
of transfer crane is denoted as Fsi , trouble time that has happened in some occasion is
denoted as Tti and the following formulation is defined with in accordance to Tsi

= + (2)

Because the container handling data is provided as chunk of processes time such as cumulated
time between each process, the i-th process time Tpi cannot be extracted accurately from the
constructed. So, skill factor of T/Cs driver Fsi is forced to calculate by comparing the driving
time from constructed database with standard driving time of T/C with adjusted chunk of
processes as database.

Average cycle 124 (sec.)

Process 2 Process 4 Process 5

70 Positioning
Velocity (m/min.)

Locking Positioning Unlocking


( Te21 )
52

23 Lower-
Traversing ing
( Tc21 ) ( Tc22) Hoisting Traversing Lowering Hoisting

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120


Time (sec.)

Figure 4 Typical performance diagram of container handling by shop test

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 50


28 28

24 24

20 20 Standard time
Standard time (by calculation)

Fr equency
Fr equency

16 16 Process time
Process time
12 (by database analysis) 12

8 8

4 4

0 0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Ti me (min.) Ti me (min.)
(a) Cummulated time of process 1, 2 and 3 (b) Cummulated time of process 4 and 5

Remarks: Standard time : standard time which is gained by calculation


Process time : real process time which is gained by analysis of constructed database

Figure 5 Comparison of T/Cs standard time and process time

Using the constructed database and mathematical formulation, the time for each process of T/C
delivery operation can be gained and validated by comparing each process time
appearance/frequency in both methods. Figure 5 shows comparison of standard time by
calculation and process time by analysis of constructed database. These two shapes of
frequency are almost same to each other and based on these graphs, the delay of operation is
known since real process time graph is mostly behind the standard times. The reason of this
delay is mainly drivers skill which did not able to reached sufficient crane performance speeds.
Some delay time has been appeared remarkably in the occasion of moving comparably long
distance between bays (Fig. 5(b)) and in the occasion of adjusting container with crane
spreader to chassis (C/Y), as shown in Fig. 5(d).

Focus only on skill factor, Figure 6 shows the difference of skill factor of driver to be taken in
average for each process using formulation Eq. 2, through comparison with performance within
a series of 10 days operations. Container adjustment skill to chassis and moving skill between
long bays give a deleterious influence to driving performance as better skill factor reduced T/Cs
operating time. It is important to shorten the container handling time by some improvement to
container throughput such as improvement of drivers driving skill and employed suitable
controlling technique for container adjustment.

T/C Fsi : skill factor Comparison time of standard and database


Date Remark 1
No. 1.0 1.5 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0
0.5
Drivers skill factor without trouble
1st 8 (min.) (driving skill of operator only)
1st 9
2nd 2 Drivers skill factor with trouble
2nd 8
3rd 6 Remark 2
5th 2
average standard time of average
6th 8 by calculation
7th 5
7th 8 Average process time of with trouble
8th 4 by database analysis
9th 4 Average process time without trouble
10th 1 See Rem.1 See Rem.2
by database analysis
10th 5

Figure 6 Dependancy of drivers skill factor with working time of T/C

3. Container Handling Simulation


In order to evaluate T/C delivery operation and improve efficiency for increasing container
throughput, container handling simulation tools by Petri-network model is proposed in this

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 51


context. It already proved to be a good choice for functional assessment of container handling
equipment in several previous researches (Shinoda et al., 2004; Shinoda and Hangga, 2011)).

3.1. Implementing Petri Network Model


It is easy to calculate the queueing time in transition to next process and check processes in the
planning stage of T/C operation. Petri-network is constructed four elements such as place for a
state of event, arc for the flow of process, transition for a judgement of conditions for transition
to next place and token for showing occurrence of events. The movement of token from one
place to another is defined as firing state of token. Thus the firing state will continue following
the flow of process and return to the initial state. The mathematical formulation to describe petri
network model is provided in Appendix.

3.2. Container Delivery Model by Petri Network


Container delivery operation is constructed by Petri-network model as shown in Figure 7. This
model has combined the delivery operation model of T/C and receipt operation model of C/O
(C/Y from outside the terminal). The table in Figure 7 shows the description of each place and
transition in the model. For example, when the token is stagnant in P12, P13 and P17 that are
places for connection between the operations of T/C and C/O, some queueing time of C/O is
appeared and is calculated when token is occupied those place. Delivery operation time of T/C
to each C/O can be calculated by this model with improvement from previous model (Shinoda et
al., 1998(b)). Further explanation of this petri network model can be find in Appendix.

Figure 8 shows the example result of the simulation with comparison to the actual T/C operation
performance. The process time due to skill factor of driver of transfer crane is used as average
time in this calculation. Because of employing average value, in the case of the chassis number
WS002, there are small differences with actual process time, but these differences are
acceptable on calculation from the view of total performance. So, this simulation model can be
used in practical for evaluation of T/C operation performances.

Figure 7 Container handling operation by combination of T/C and C/Y

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 52


Figure 8 Comparison of actual time and a simulation result of transfering process of transfer
crane to chassis from outside

Figure 9 Evaluation of cummulative worktime of T/C and queueing time of C/Y

As a part of detail functional assessment T/C operation in HICCT, the comparison of aggregate
value of T/C working time and C/Y queue time due to T/Cs delay has provided useful
information on how the drivers skill affect the overall working time. In addition, container re-
handling operation also gave similar effect to performance of T/C.Figure 9(a) shows the
cummulative comparison of simulation result for standard working time, actual data from daily
report and calculation results, respectively for T/C operator/drivers skill factor (with and without
trouble) and forecasted working time if containers re-handle do not occur. Better skill factor
(without trouble) is expected to reduce overall working time up to 10%, and additional 10% can
be gained if containers re-handle do not occur. Figure 9(b) shows the comparison of
cummulative queue time of C/Y for the same category as Figure 9(a). Current overall operation
of T/C is already efficient, but for large T/C deployment it is more beneficial to reduce queueing
time of C/Y when receiving containers by better skill of T/Cs operator/driver.

4. Conclusion
Functional assessment of efficient container terminal is conducted by analysis of operational
data gained from daily work report. The performance of T/C is analyzed by constructed
database of container handling and detailing the process of T/Cs operation. Operational
elements defined as operator/drivers skill factor when driving and adjusting container has
confirmed to deteriorate the overall throughput through calculation of working time and
comparing a defined standard working time with actual process time of T/C delivery operation.
Furthermore, simulation by petri network model is confirmed to be demonstrated the actual
operation process appropriately and can be employed to improve efficiency especially for
operation evaluation and in planning stage to decide equipment deployment in container
terminal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 53


Appendix
Shinoda et al., 1998(a) defined the basic formula of petri-network as the following process. In
each transition Tj, transition vector tj represents the connection of place Pi. In here, tj is column
vector, and it can be described as an input/output incidence matrix N as following formula;

N = [ t1, t2, ,tm ] (A1)

The element nij of matrix N can take a value of -1 when there is an input arc from Pi to Tj, and in
reverse, a value of 1 can be taken when there is an output arc. On the other hand, when there
are no relations between Pi and Tj, it will take a value of 0 (nul). When the token move to the
Place which has input arc to Tj, the fire condition of the transition is set. So, F will represents
fire condition matrix and its element fij can be gathered the value of -1 among the elements of N.
fij is calculated as follows;

fij = nij and (-1) (A2)


k
To represent the current state/condition of the flow, state vector s represents as the state of
k k+1
place in some state k. After the fire in the transition tm, s will be change to s and can be
expressed as follows;

sk+1 = sk + tm (A3)

In here, let fm is the column vector of matrix F, and the following equation will be satisfied in the
index m in the fire condition.

sk and fm = fm (A4)

References
Hakata port Terminal Co., Ltd. (2011): Hakata Port Eco Challenge.
Shinoda, T., Hangga, P. (2011): Study on the functional design of container terminal based on
the analysis of operational database, Proceeding of Seminar Nasional Teori dan Aplikasi
Teknologi Kelautan (SENTA) 2011, vol. I, pp. 46-53.
Shinoda, T., Fukuchi, N., Kim, H. (2004). A Conceptual Design and Functional Assessment of
the Floating Container Terminal with High Activities, Proc 12th IMAM 2005, Lisbon, Vol 2,
pp 1475-1483.
Shinoda, T., Fukuchi, N., Takeuchi, S. (1998a). Study on Improving the Efficiency of Container
Operation and Functional Assessment of Oversea Container Terminals(Part1) A
Simulation of the Container Handling Operation, J Naval Architects of Japan, Vol 184, pp
631-641.
Shinoda, T., Fukuchi, N., et al (1998b). Study on Improving the Efficiency of Container
Operation and Functional Assessment of Overseas Container Terminals(Part2) A
Feasibility Study of Overseas Container Terminal, J Naval Architects of Japan, Vol 186,
pp 591-603.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 54


DYNAMIC COLLISION RISK ASSESMENT OF TANKER ON MADURA STRAIT
SHIPPING LINE BY USING TRAFFIC BASED MODEL

Andrew PRADANA PUTRA1, Trika PITANA*1, dan R. O. Saut GURNING1


1
Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknilogi Kelautan, ITS - Surabaya
*E-mail: trika@its.ac.id

Abstract

Madura Straits as one of the busiests straits in Indonesia posses bigger risk of collision than the other. According to
marine accident report from 2003 2008, there was 115 collision accident per year happen in Indonesia and collision
covered 15 % from total accident so that why collision risk assement is important to do. In general, risk analysis is a
function of a probability of undesirable events and consequences of danger. The probability of collision of vessels can
be analyzed by modeling the distribution of the geometry of the ship movement in the region. To gather the distribution
of the ship ovement, can take advantage of the data received by AIS receiver and stored in AIS databse. Probability
analysis on this final project using three scenarios, namely: probability analysis of the ship collided with the ship in the
anchorage conditions, probability analysis of ship to stranding and probability analysis of collision between two vessels
in head-on condition. Consequence analysis is divided into two scenarios, consequences analysis of ship grounding
and consequences analysis of ship collided with the tanker. From the analysis of the probability and consequences of
ship collisions can be determined the criteria of a risk, whether low, medium or high. The results of collision risk
assessment by used geometric probability analysis and economic consequence analysis used the approach by
Maulidiyah showed that the level of risk in Madura strait is medium.

Keywords : Automatic Identification System (AIS), Consequensce analysis ,GIS, Probabillity analysis, Risk matrix.

1. Pendahuluan
INDONESIA adalah negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki lebih dari 17.000 pulau
dan luas perairan lebih besar dari pada luas daratan. Sehingga membuat tranportasi laut
memiliki peranan penting dalam perkembangan perekonomian di Indonesia. Salah Salah satu
jalur pelyaran di Indonesia adalah alur pelayaran perak yang melalui selat Madura. Selat
Madura sebagai salah satu alur pelayaran terpadat di Indonesia memiliki risiko yang tinggi
terhadap tubrukan. Menurut laporan analisa kecelakaan laut 2003 2008 [1], terjadi sekitar 115
kecelakaan laut pertahun di Indonesia dan kecelakaan akibat tubrukan terjadi 15 % dari total
kecelakaan yang terjadi sehingga membuat analisa risiko akibat tubrukan ini penting dilakukan.
Menurut harian kompas regoinal, pada tahun 2005 terdapat 14.686 kapal yang melintasi selat
madura. Sementara itu pada tahun 2010 sebanyak 30.000 kapal yang melintasi alur selat
Madura. Sedangkan kondisi alur saat ini dengan lebar alur sektar 100 m pada alur pelayaran
luar, dengan kedalaman sekitas 9,5 meter dan kapasitas maksimum kapal yang boleh melalui
alur pelayaran selat Madura sekitas 27.000 kapal pertahun sehingga selat Madura memiliki
tingkat resiko yang tinggi terhadap kecelakaan. Untuk mengurangi frekuensi terjadinya tubrukan
kapal, pemerintah berencana memperdalam dan memperlebar alur pelayaran pada Selat
Madura [2].

Cara yang paling efektif untuk mengurangi risiko yang disebabkan oleh tabrakan dan grounding
adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya peristiwa tubrukan. Terbatasnya jumlah data
yang konsisten, analisis penelitian berbasis yang telah dilakukan pada langkah-langkah
pencegahan terkait dengan mengurangi probabilitas tabrakan dan landasan umumnya
menegaskan bahwa pilihan kontrol risiko di daerah ini sangat hemat biaya dibandingkan
dengan sebagian lain mengurangi risiko acuan yang diumumkan oleh otoritas maritim. Dalam
beberapa tahun terakhir, telah terjadi perkembangan yang signifikan dari sistem navigasi kapal.
Semakin banyak Sistem Lalu Lintas Kapal (VTS) yang didirikan di seluruh dunia. Sistem
Identifikasi Otomatis (AIS) telah diperkenalkan, dan sistem telah dikembangkan untuk akses
informasi AIS melalui Bantuan Radar Plotting Otomatis (ARPA). IMO telah memperkenalkan
persyaratan untuk kapal baru untuk memenuhi kriteria manuver tertentu dan tingkat yang aman
dari awak terus dibahas. Hal ini umumnya sepakat bahwa semua kegiatan tersebut memiliki
pengaruh yang besar terhadap kemungkinan kecelakaan kapal dalam bentuk tabrakan, kontak
dan grounding.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 55


2. Uraian Penelitian
2.1 Traffict Base Modelling
Simulasi lalu lintas dinamis adalah simulasi mikro, yang berarti bahwa gerakan dari setiap
operasi kapal individu di daerah tersebut disimulasikan dalam domain waktu. Pada dasar
simulasi meletakkan konsep acara lalu lintas disebut. Suatu peristiwa pada lalu lintas
menandakan satu perjalanan dari satu kapal dari suatu titik keberangkatan ke tujuan tertentu
sepanjang rute yang telah ditetapkan. Setiap peristiwa lalu lintas diberikan sejumlah atribut,
relevan untuk penilaian kemungkinan tabrakan [3].

Sampai saat ini masih banyak dijumpai estimasi kemungkinan terjadinya kecelakaan dengan
menggunakan pendekatan statistik didasarkan pada data kecelakaan yang pernah terjadi
sebelumnya. Pendekatan statistik hanya dapat menggambarkan risiko rata-rata dari sejumlah
besar kapal dan tidak mencerminkan perbedaan dalam standart teknik, kondisi lingkungan dan
kepadatan pelayaran. Dalam sebuah analisa risiko yang mendekati kenyataan seharusnya
digunakan untuk armada dan jalur pelayaran yang khusus. Hal ini membutuhkan metode
khusus yang lebih dari pendekatan statistic yang hanya didasarkan pada jumlah pelayaran yang
tampak tiap tahunnya [4].
Pembagian suatu alur pelayaran berdasarkan berbagai seksi dan tipe kecelakaan yang
mungkin terjadi merupakan langkah awal dalam perhitungan probabilitas tubrukan. Dibawah ini
pada gambar 1 merupakan contoh gambaran pembagian alur pelayaran menjadi beberapa
seksi secara sederhana. Pada gambar tersebut terbagi atas 3 seksi dan memiliki kemungkinan
tubrukan yang berbeda bergantung kondisi geografis dan kepadatan kapal pada seksi tersebut
:

Gambar 5 Mode Kecelakaan

2.2 Konsep Analisa Risiko


Konsep risiko berdiri sentral dalam setiap diskusi tentang keselamatan. Dengan mengacu pada
sistem tertentu, istilah aman biasanya digunakan untuk menggambarkan derajat kebebasan
suatu sistem dari bahaya yang mungkin timbul, dan konsep risiko adalah salah satu cara untuk
mengevaluasi tingkat keamanan ini. Konsep risiko dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
yang berbeda tergantung pada konteks keadaan yang ada. Akademisi cenderung memandang
risiko secara obyektif dalam kaitannya dengan keselamatan, dan dengan demikian
menggunakan konsep risiko sebagai kriteria keamanan objektif. Berikut ini adalah definisi
risiko biasanya diterapkan:

( 1)

di mana P adalah kemungkinan terjadinya suatu peristiwa yang tidak diinginkan (misalnya
tabrakan kapal) dan C adalah konsekuensi yang tidak diharapkan misalnya bahaya manusia,
ekonomi dan / atau lingkungan. Persamaan (1) menunjukkan bahwa risiko secara obyektif
memiliki dua komponen sama pentingnya, salah satunya probabilitas dan konsekuensi. Risiko
ini sering dihitung untuk semua, bahaya yang relevan bahaya menjadi peristiwa yang mungkin
dan kondisi yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan. Misalnya, bahaya dengan
probabilitas tinggi kejadian dan konsekuensi tinggi memiliki tingkat risiko yang tinggi, dan tingkat
risiko yang tinggi sesuai dengan keamanan tingkat rendah untuk sistem yang sedang
dipertimbangkan. Hal sebaliknya akan menjadi kasus bahaya dengan probabilitas rendah dan
konsekuensi rendah. Keselamatan ini dievaluasi dengan menjumlahkan seluruh risiko yang
relevan untuk sistem tertentu [4].

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 56


2.3 Analisa Probability Tubrukan dan Grounding
Saat ini model yang paling sering digunakan untuk memperkirakan grounding atau frekuensi
tabrakan yang diarahkan dalam pendekatan didefinisikan oleh Fujii dkk. dan oleh MacDuff.
Dimana perhitungan potensi jumlah kecelakaan grounding kapal atau tabrakan antar kapal,
perlu ditetapkan terlebih dahulu bahwa kecelakaan yang timbul bukan dari maneuver yang
disengaja [5].

(2)

Kemungkinan Tubrukan Head On Menurut DNV


Pada standar DNV, persamaan perhitungan probaibiltassecara geometric diturunkan
berdasarkan probability density function dari distribusi normal. Dibawah ini adalah persamaan
dasar menurut [6].

(3)

Dimana :
P1 biasa disebut dengan geomatric collision probability dimana apabila ada suatu kapal niaga
yang berlayar pada suatu alur pelayaran dengan tujuan tertentu maka lokasi kapal pada alur
diasumsikan terdistribusi normal. Berikut ini adalah persamaan dalam menghitung P 1 :

(4)

Dimana :
D adalah diameter tubrukan,
adalah standar deviasi pada alur
x adalah jarak dari tengah alur menuju kapal standby, dalam hal ini adalah penjumlahan dari
alur dengan lebar kapal standby.

P2 adalah kemungkinan kapal kehilangan kendali akibat kegagalan pada proses navigasi kapal.
Penyebabnya adalah ketidakhadirnya perwira yang bertugas berjaga di anjungan karena
terganggu oleh aktivitas lain seperti tertidur, celaka, atau mabuk.

Kemungkinan Tubrukan Head On Menurut Kristiansen.


Pada perhitungan probabilitas menggunakan persamaan ini, kedua kapal kandidat tubrukan
harus sama dalam kondisi berlayar sehingga persamaan ini dapat digunakan. Kemungkinan
tubrukan secara head - on menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh [4] sebagai
berikut :

(5)

Dimana :
B1 : Lebar dari kapal 1 (m)
V1 : Kecepatan Kapal 1 (knots)
B2 : Lebar dari kapal 2 (m)
V2 : Kecepatan Kapal 2 (knots)
Nm : Frekuensi kedatangan kapal yang berpapasan (ships/satuan waktu)
D : jarak relative antar kapal (nm).

Kemungkinan Stranding Menurut Kristiansen.


Tubrukan stranding adalah tabrakan ketika kapal melintasi suatu rute alur pelayaran memiliki
kemungkinan keluar dari alur pelayaran tersebut dan mengakibatkan kapal mengalami kandas
[3].

(6)

Dimana :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 57


Pi : Kemungkinan tubrukan
D : Lebar alur pelayaran (nm)
W : Panjang Alur Pelayaran (nm)

Estimasi Konsekuensi Tubrukan Antar Kapal


Untuk menghitung kerusakan akibat tubrukan dapat menggunkan pendekatan yang telah
dilakukan oleh, perhitungan energi yang ditransfer pada lambung kapal dapat menggunakan
rumus sebagai berikut :

(7)

Dimana :
M1 adalah massa kapal MV. Krasak
V1 adalah kecepatan kapal MV. Krasak
Ch adalah massa tambahan akibat pergerakan kapal

Zhang pada penelitiannya menyatakan bahwa nilai ch sebagai dasar perhitungan dapat
diperoleh pada Tabel 1 dibawah ini. Pada perhitungan ini menggunkan Ch sway = 0.6 dan sudut
tubrukan adalah 90. Selanjutnya adalah menghitung energi yang diterima oleh Segregated
Ballast Tanker (SBT) menggunakan persamaan yang dikembang oleh Zhang (1999)

Tabel 1
Koefisien Ch
Jenis Koefisien Massa Tambahan (Ch)
Gerakan Rentang nilai Rekomendasi
Surge 0.02 0.07 0.05

Sway 0.4 1.3 0.85


Yaw 0.21 0.21

(8)

Selanjutnya adalah menghitung penetrasi yang timbul akibat tubrukan tersebut menggunakan
persamaan dibawah ini :

(9)

2.4 Estimasi Konsekuensi Kapal Kandas


Estimasi besarnya kerusakan yang terjadi dapat diketahui dengan menggunakan persamaan
yang telah dikembangkan oleh Zhang [7]. Untuk menghitung kerusakan akibat grounding dapat
menggunkan pendekatan dengan melakukan perhitungan kerusakan material pada lambung
kapal menggunakan rumus sebagai berikut :

(10)

Dan perhitungan energy yang diserap oleh kapal akibat grounding tersebut dapat menggunakan
rumus dibawah ini

(11)

Nilai energy yang diserap tersebut (Et) dibandingkan dengan rumus energy yang diserap
akibat energy kinetic pada pergerakan kapal
(12)

2.5 Dampak Terhadap Lingkungan


Penilaian risiko lingkungan adalah tentang membuat perkiraan membahayakan kehidupan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 58


tanaman dan hewan dan integritas ekosistem yang nantinya dapat dibandingkan dengan kriteria
risiko yang telah disepakati sebelumnya penerimaan. Namun, karena kepraktisan, analisis risiko
lingkungan untuk ekosistem yang lengkap biasanya tidak dilakukan, dan risiko ini agak dinilai
untuk komponen tunggal rentan di lingkungan, misalnya saham spesies tertentu atau habitat. Ini
berfungsi sebagai indikator risiko dan ini biasanya dianggap cukup untuk memperkirakan risiko
lingkungan [5].

2.6 Analisa Kerugian Tumpahan Minyak secara Ekonomi


Pada beberapa kasus kecelakaan seperti Amoco cadiz, Exxon Valdez dan braer, biaya yang
harus dikeluarkan sangat tinggi hingga puluhan bahkan ratusan kali dari nilai kapal dan muatan
itu sendiri. Penelitian mengenai model dasar untuk estimasi biaya yang harus ditanggung telah
ada, yaitu berupa EPA Basic Oil Spill Cost Estimation Model (BOSCEM) yang memformulasikan
berbagai criteria dan biaya terhadap dampak Sosial Ekonomi local maupun refional, pariwisata,
nelayan fasilitas umum seperti pantai.
Secara umum analisa biaya akibat tumpahan minyak adalah :

Menghitung biaya spill response


Menghitung dampak terhadap Sosial Ekonomi
Menghitung Dampak Terhadap Lingkungan

Pada penelitian ini menggunakan model biaya yang dikembangkan oleh Maulidiyah [8]
mengenai analisa kerugian tumpahan minyak yang merupakan dampak dari kapal kandas.
Pendekatan yang dilakukan berdasarkan pendekatan statistik dari biaya kerugian tumpahan
minyakyang pernah terjadi sebelumnya sehingga dapat diperoleh rumus sebagai berikut :

(13)
Dimana: x = berat tumpahan minyak (ton)

3. Analisa Data dan Pembahasan


3.1 Perhitungan Standard Deviasi
Standar Deviasi, seperti varians, adalah ekspresi dari sejauh mana (persebaran) nilai-nilai dari
suatu data tersebar terhadap mean. Standar Deviasi (diwakili oleh simbol ). Sebuah standar
deviasi yang rendah menunjukkan bahwa titik data cenderung sangat dekat dengan mean,
sedangkan standar deviasi yang tinggi menunjukkan bahwa titik data yang tersebar di berbagai
macam nilai-nilai.

Hasil standar deviasi menggunakan persamaan dan nilai mean pada alur adalah 50 m. Maka
nilai = 36.52606582 m.

3.2 Skenario Tubrukan Pertama


Plotting yang dilakukan pada software GIS selanjutnya diperkecil atau difokuskan pada kapal
MT. Krasak sehingga dapat menghitung nilai kecelakaan yang akan terjadi.

Tabel 2.
Hasil perhitungan probability scenario 1
Tanggal waktu SOG x P1 P
(m) Collision
2010-10- 22:43:33 9.9 180 1.21E- 2.42E-08
19 04
2010-10- 22:46:53 9.9 185 6.87E- 1.37E-08
20 05
2010-10- 22:53:14 10.9 180 1.21E- 2.42E-08
21 04
2010-10- 22:56:24 11.9 180 1.21E- 2.42E-08
21 04
2010-10- 23:23:04 9.9 180 1.21E- 2.42E-08
21 04

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 59


2010-10- 5:23:43 6.7 160 9.94E- 1.99E-07
22 04
2010-10- 5:31:44 7.4 170 2.98E- 5.96E-08
22 04

Berdasarkan tabel 3 diatas dapat diketahui nilai probabillity pada selat madura. Untuk dapat
menghitung jumlah kecelakaan pada selat madura dapat diperoleh dengan mengkalikan nilai
probability diatas dengan jumlah kapal yang melalui selat madura. Selanjutnya adalah mencari
criteria acceptance pada nilai probabillity apakah nilai diatas dapat diterima.

3.3 Skenario Tubrukan Kedua


Pada saat kapal memasuki alur pelayaran luar, hanya boleh 1 kapal yang melintas pada alur
tersebut. Sehingga skenario tubrukan antar kapal tidak dapat digunakan. Maka perhitungan nilai
probabilitas menggunakan skenario kemungkinan dari kapal tersebut keluar dari alur atau yang
biasa disebut stranding. Pada skenario kedua ini menggunakan pesamaan yang dikembangkan
oleh Kristiansen [3] sebagai dasar dalam perhitungan probabilitas.

Tabel 3.
Hasil perhitungan probability scenario 2
Tanggal Waktu Pincident F
Stranding
2010-10- 05:37:33 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 05:41:15 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 05:47:44 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:19:33 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:23:54 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:34:35 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:35:25 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:36:44 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:40:03 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:40:33 3.39E-03 6.78E-07
22
2010-10- 06:40:45 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 06:43:03 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 06:53:54 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 06:57:54 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 07:02:24 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 07:05:34 6.78E-03 1.36E-06
22
2010-10- 07:08:54 6.78E-03 1.36E-06
22

3.4 Skenario Tubrukan Ketiga


Pada saat kapal memasuki alur pelayaran dalam, terdapat kemungkinan kapal akan mengalami
tubrukan head on dengan kapal lain. Tubrukan head on ini terjadi saat kapal Mt. Krasak

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 60


berhadapan dengan kapal lain yang akan meninggalkan alur pelayaran dalam. Pada skenario
ketiga ini menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Kristiansen [3].

Tabel 4.
Hasil perhitungan probability scenario 3
Date Time Ni Pa
2010-10-22 7:00:24 7.20E-
01 7.37E+00
2010-10-22 7:10:03 5.43E-
01 5.55E+00
2010-10-22 7:20:03 9.78E-
01 1.00E+01

Evaluasi Probabillity
Evaluasi akan dilakukan menggunakan standar DNV [6] untuk mengetahui tingkat probability
tersebut, apakah termasuk dalam katagori yang berbahaya atau masih bisa diterima. Pada
tabel dibawah ini, dapat terlihat bahwa tingkat risiko dari segi probabillity pada selat madura
masih dalam katagori 1 atau rendah. Hal ini disebabkan mengenai asumsi alur pelayaran yang
digunakan dan kondisi dari lalu lintas pelayaran pada selat madura itu sendiri yang
pemasalahan utamanya adalah kedalaman dari alur.

3.5 Analisa Konsekuensi


Untuk menghitung kerusakan akibat tubrukan dapat menggunkan pendekatan yang telah
dilakukan oleh Zhang [6] dimana perhitungan energi yang ditransfer pada lambung kapal
sebagai dasar tingkat kerusakan pada kapal yang akan terjadi.

Skenario Tubrukan Antar Kapal


Pada skenario ini, kapal tanker menubruk pada kapal tanker sehingga terjadi kerusakan pada
badan kapal dan menybabkan tumpahnya minyak ke laut. Untuk skenario ini, kriteria risiko
terhadap lingkungan dapat dihitung dan tingkat risiko terhadap lingkungan dapat diketahui..
Estimasi besarnya kerusakan yang terjadi dapat diketahui dengan menggunakan persamaan
yang telah dikembangkan oleh Zhang [6]. Maka perhitungan dapat dilakukan perhitungan
sebagai berikut :

Tabel 5.
Hasil perhitungan estimasi kerusakan 1
Tanggal waktu Penetrasi Vs Oil Spill (ton)
10-10- 22:43:33 0.630
21 4.83 3708.39
10-10- 22:46:53 0.630
21 4.83 3708.39
10-10- 22:53:14 0.670
21 4.83 1310.49
10-10- 22:56:24 0.670
21 3.05 3941.52
10-10- 23:23:04 0.670
21 3.27 3519.64
10-10- 5:23:43 0.571
22 3.76 1614.29
10-10- 7:00:24 0.598
22 5.94 3003.43
10-10- 7:10:03 0.630
22 5.32 3313.16
10-10- 7:20:03 0.672
22 3.47 3533.59

Setelah melakukan langkah perhitungan tersebut, maka selaanjutnya adalah melakukan analisa

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 61


risiko berdasarkan suatu standar penerimaan tertentu. Pada kasus ini menggunakan standar
DNV mengenai akibat tumpahan minyak secara ekonomi.
Skenario Kapal Kandas

Pada skenario ini kapal mengalami kandas saat kapal mengalami kondisi stranding sehingga
kapal keluar dari alur pelayaran yang ada dan menyebabkan kapal kandas. Untuk skenario
ketiga ini, kriteria risiko terhadap lingkungan dapat dihitung dan tingkat risiko terhadap
lingkungan dapat diketahui. Dibawah ini adalah contoh perhitungan untuk estimasi kerusakan
yang terjadi pada saat kapal mengalami kandas sepanjang alur pelayaran selat madura.

Tabel 6.
Hasil perhitungan estimasi kerusakan 2
Tanggal Waktu Ld (m) Vs Oil Spill
(ton)
2010-10- 22:43:33 20.50156 0.64874 3409.77907
21

Berdasarkan perhitungan, muatan yang tumpah tersebut dibandingkan dengan kriteria dari DNV
maka dapat diketahui tingkat kerusakan yang ditimbulkan akibat tumpahan minyak tersebut.
Kategori tumpahan minyak pada perhitungan estimasi kerusakan akibat grounding pada kapal
MT Krasak terdapat pada katagori ke tiga atau medium, dimana polusi yang dihasilkan pada
katagori sedang dan minyak tersebut dapat dinetralkan di laut.

3.6 Analisa Perangkingan Dampak Konsekuensi secara Ekonomi


Analisa kriteria penerimaan risiko menggunakan dampak secara ekonomi dengan
menggunakan penelitian yang dilakukan oleh (Maulidiyah,2012) mengenai estimasi biaya
kerugian akibat tumpahan minyak maka biaya akibat tumpahan minyak tersebut dapat
diketahui. Selanjutnya dengan menggunakan standar kriteria penerimaan DNV. Hasil
perangkingan dampak konsekuensi secara ekonomi pada Tabel 7. menunjukkan bahwa analisa
dampak konsekuensi pada tumpahan minyak diselat madura tergolong Major.

Evaluasi Risiko
Setelah melakukan analisa probabillitas dan analisa konsekuensi maka langkah selanjutnya
adalah melakukan suatu penilaian apakh risiko dapat diterima atau tidak. Berdasarkan analisa
konekuensi diatas, terdapat 2 skenario yang memiliki risk acceptance yang berbeda sehingga
memerlukan risk matrix yang berbeda pula. Berdasarkan risk matrik pada standar DNV, maka
dapat diketahui tingkat risiko di selat Madura.
Tabel 7.
Hasil rangking Konsekuensi
waktu Oil Spill Biaya ( Miliar Biaya
(ton) Rupiah) (juta Katagori
dolar)
22:43:33 3708.39 Rp1,801.88 $190.17 Major
22:46:53 3709.02 Rp1,802.07 $190.19 Major
22:53:14 1310.49 Rp933.72 $98.55 Major
22:56:24 3941.52 Rp1,872.66 $197.64 Major
23:23:04 3003.43 Rp1,577.08 $166.45 Major
5:23:43 1614.29 Rp1,065.23 $112.43 Major
05:37:33 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
05:41:15 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
05:47:44 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:19:33 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:23:54 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:34:35 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:35:25 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 62


06:36:44 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:40:03 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:40:33 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:40:45 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:43:03 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:53:54 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
06:57:54 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
07:02:24 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
07:05:34 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
07:08:54 3409.78 Rp1,708.77 $180.34 Major
7:00:24 3142.95 Rp1,622.99 $171.29 Major
7:10:03 3313.16 Rp1,678.00 $177.10 Major
7:20:03 1315.69 Rp936.06 $98.79 Major

Pr 5
ob 4
abi 3
= acceptable
llit 2 = ALRP
y 1 = Not Acceptable
1 2 3
Severity

Gambar 2 Risk Matrik

4. Kesimpulan
Data dari perangkat AIS dan perangkat lunak GIS dapat digunakan untuk melakukan analisa
probabilitas tubrukan kapal secara geometri dan konsekuensi yang tidak diharapkan pada suatu
alur pelayaran tertentu.

Analisa probabilitas pada skenario pertama, kemungkinan kapal berlayar menubruk kapal
sedang lego jangkar, secara umum memiliki tingkat risiko rendah. Sedangkan pada skenario
kedua, kemungkinan kapal mengalami stranding memiliki tingkat risiko rendah. Sedangkan
pada skenario 3 dimana kapal mengalami tubrukan Head-on, untuk alur pelyaran pelayaran
selat Madura dapat dikatakan rendah.

Tingkat risiko di daerah Selat Madura bisa dikatakan Medium jika dilihat dari hasil perhitungan
dengan model lalu-lintas pelayaran dan analisa konsekuensi secara ekonomi menurut
pendekatan yang diusulkan maulidiyah. Namun tingkat risiko ini bertambah seiring dengan
peningkatan aktivitas lalu-lintas kapal yang melintas apabila tidak disertai dengan peningkatan
manajemen pelabuhan yang baik

References
PT. Trans Asia Consultan. (2009). Laporan Analisa Trend Kecelakaan Laut 2003-2008.
http://regional.kompas.com/read/2011/03/12/08552618/Alur.Kapal.Selat.Madura.Akan.Diperdala
m
Goerlandt, F., & Kujala, p. (2011). Traffic simulation based ship collision probability modeling.
Reliability Engineering and System Safety 96 , 91107.
Kristiansen, S. 2005. Maritime Tranportation Safety Management and Risk Analysis. Oxford:
Elsevier Butterworth - Heinemann
Hansen, P., Ravn, E. S., & Engberg, P. C. (2009). Basic Modelling Principles For Prediction Of
Collition And Grounding Frequencies DNV RP-F107. ( 2010). RISK ASSESSMENT OF

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 63


PIPELINE PROTECTION. Det Norske Veritas.
DNV Safedoor. (2007). Risk Evaluation Criteria . DNV.
Zhang, S., 1999, The mechanics of ship collisions. Ph.D. Thesis, Department of Naval
Architecture and Offshore Engineering, Technical University of Denmark, Lyngby.
Maulidiyah, 2012, Estimasi Biaya Kerugian Akibat Tumpahan Minyak di Cilacap. Master
thesis,FTK ITS, Surabaya
Fujii, Y. Yamanouchi, H and Mizuki, N, 1974.. Some Factors Affecting the Frequency of
Accidents in Marine Traffic. II: The probability of Stranding, III: The Effect of Darkness on
the Probability of Stranding. Journal of Navigation, Vol. 27,
Fujii, Y., 1982, Recent trends in traffic accidents in Japanese waters. Journal of Navigation, Vol.
35(1), 9099.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 64


MEREDUKSI TERJADINYA DEFECT PADA PROSES PRODUKSI SMALL ALUMINIUM
BOAT DENGAN PENDEKATAN RISK ASSESSMENT & ROOT CAUSE ANALYSIS
(RCA)
*1 1
Heri SUPOMO , and M. Sholikhan ARIF
1
Department of Naval Architecture And Shipbuilding Engineering, Faculty of Marine
Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: hsupomo@na.its.ac.id

Abstract

Small Aluminium boat making process has been known in ship design bussines. Aluminium is very usefull beacuse its
properties such as lightweight, strong and resistant to the environment.
Many activities in the Small boat Aluminium building, preparation, fabrication, Assembly, outfitting, painting and erection
resulting many defects. With risk analysis approach and root cause Analysis can reduce defects. Failure Mode and
Effect Analysis (FMEA) Methode is systematic approach to analyze,evaluate potential and cause of failure and prevnt
failure occurs. This research conducted in Aluminium boat building process by capturing specificity value, frequency,
and ratification. The results of these three values resulted Risk Priority Number (RPN) for each potential failure.
After RPN value is knownt hen it will recommend corrective action including reponsibility,deadline and note any
remidial action that have been performed. The Last step is recalculated RPN values

Keywords: Risk Analisys ,Small aluminium Boat,Failure Mode and Effect Analysis

1. Pendahuluan
Dalam jurnal ini dibahas tentang resiko-resiko defect yang mungkin timbul dalam proses
produksi small aluminium boat. Lingkup resiko defect yang dibahas dalam jurnal ini yaitu pada
proses persiapan material,fabrikasi,sub assembly,assembly,serta proses erection.

Risiko yang dihadapi dalam proses pembuatan small aluminium boat sangat banyak dan
beraneka macam. Di hampir setiap tahapan proses pekerjaan risiko. Oleh karena risiko risiko
ini sangat banyak dan beraneka macam, pertanyaannya, apakah semua risiko risiko ini perlu
diindentifikasi?

Jika memungkinkan, semua risiko yang dihadapi dalam proses produksi small aluminium boat
diidentifikasi namun ini akan menjadi pekerjaan yang sangat kompleks dan bahkan
membingungkan, jadi untuk menghemat waktu dalam penelitian ini risiko yang diidentifikasi
yaitu risiko risiko yang dianggap penting dalam proses pembuatan small aluminium boat.

2. Aluminium
Aluminium (atau aluminum) ialah unsur kimia. Lambang aluminium ialah Al, dan nomor atomnya
13. Aluminium pertama kali ditemukan oleh Sir Humphrey Davy pada awal abad sembilan
belas.dan logam tersebut disimpan pada tahun 1825 oleh Hans Christian Oersted dan tetap
disana seketar 30 tahun.Pada th 1886 pertama kalinya aluminium diekstrak dari bauksit dan
menjadi industri aluminium.Metode tersebut dikembangkan secara terus menerus oleh Paul
Heroult (Prancis) dan charles M. Hall (USA).Aluminium ialah logam paling berlimpah. Aluminium
merupakan konduktor listrik yang baik. terang dan kuat. Merupakan konduktor yang baik juga
buat panas. Dapat ditempa menjadi lembaran atau ditarik menjadi kawat. serta tahan
korosi.Aluminium digunakan dalam banyak hal. Kebanyakan darinya digunakan dalam kabel
bertegangan tinggi. Juga secara luas digunakan dalam bingkai jendela dan badan pesawat
terbang. Serta dapat digunakan dalam pembuatan badan kapal (Mathers,2002)

3. Small Aluminium Boat


Pembangunan Small Aluminium Boat cukup lama dikenal dalam bisnis bangunan kapal.
Aluminum ditemukan sebagai sumber daya yang bermanfaat untuk sarana transportasi air
karena ringan, kuat, dan weatherabel. Air asin maupun air tawar tidak mempunyai pengaruh
yang berarti terhadap ketahanan dari aluminum, dengan demikian aluminum lebih disukai
daripada baja. Aluminum lebih disukai dari pada kayu karena konstruksi dari kayu mudah
busuk,dan berdasarkan kekuatan aluminum, badan kapal dapat dibuat lebih ringan
dibandingkan badan kapal dari kayu,Aluminum lebih disukai Fiberglass disebabkan kapal- kapal

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 65


dari fiberglass lebih sulit dalam hal repair seperti misalnya pada kapal-kapal nelayan.Tapi
bagaimanapun juga material Fiberglass mendominasi dalam pembuatan kapal-kapal rekreasi
karena kemampuan fiberglass dibentuk dalam berbagai desain dengan biaya yang rendah.
Fiberglass mempunyai kelemahan dalam kaitannya dengan masalah lingkungan,unsur kimia
yang digunakan dapat mencemari serta membahayakan manusia.(Daniel,2000)

Aluminum alloys cenderung mempunyai ductility yang terbatas oleh karena itu bentuk badan
kapal yang bisa dibuat sangat terbatas,jadi ketika keindahan bentuk kapal menjadi prioritas
utama maka aluminium menjadi pilihan yang kurang menguntungkan.Dalam pembentukan
badan kapal micro and macro crack dapat terjadi.hal ini merupakan kelemahan dari aluminium.

Penemuan saat ini memungkinkan untuk mengembangkan pembuatan badan kapal dari small
vessel sampai medium vessel.Aluminium alloys yang digunakan untuk pembuatan badan badan
kapal biasanya berasal dari seri 5000 perpaduan antara unsur Al-Mg dan seri 6000 yaitu
perpaduan antara unsurAl-Si-Mg (Daniel,2000)

4. Risk Assesment
Risk Assessment adalah sebuah proses untuk menentukan sifat dan tingkatan risiko dengan
menganalisa potential hazards dan mengevaluasi kondisi existing dari vulnerability yang dapat
menyebabkan ancaman atau kerusakan/kerugian bagi manusia, property, dan lingkungan. Risk
Assessment juga dapat digunakan sebagai salah satu alat/teknik untuk membantu/memperbaiki
proses pengambilan keputusan. Sebagai pilihan yang dievaluasi, sangat penting untuk
menganalisa level dari resiko dari setiap pilihan. Analisa tersebut dapat berupa resiko
keuangan/financial, resiko kesehatan, resiko keamanan, resiko lingkungan dan resiko-resiko
bisnis/perusahaan yang lain. Sebuah analisa yang tepat dari resiko tersebut akan menyediakan
informasi yang kritis untuk membuat/menghasilkan sebuah keputusan yang baik. Informasi
yang dibangun melalui risk assessment dapat dikomunikasikan pada organisasi untuk
membantu mempengaruhi bagian-bagian di dalam organisasi tersebut untuk memahami faktor-
faktor yang mempengaruhi keputusan.(Yacov,2004)

Sebelum membahas Risk Assessment lebih lanjut, perlu juga untuk memahami definisi dari
istilah risk dan beberapa terminilogi yang perlu diketahui sebelum memahami dalam risk
assessment, yaitu:

4.1. Hazards (Bahaya) atau Treats (Ancaman)


kondisi yang ada yang mungkin berpotensi mengalami kejadian yang tidak diinginkan.

4.2. Controls
Adalah langkah yang dilakukan untuk mencegah hazards dari penyebab peristiwa/kejadian
yang tidak diinginkan. Control dapat berupa tindakan fisik (safety shutdown, redundant controls,
desain konservatif), bersifat prosedur (membuat prosedur operasional), dan dapat juga berupa
faktor yang ditujukan pada manusia (pemilihan pegawai, training, pengawasan).

4.3. Event (Peristiwa/Kejadian)


Sebuah event adalah kejadian atau peristiwa yang mempunyai dampak/akibat yang
berhubungan. Terdapat berbagai macam tipe akibat yang potensial dari setiap permulaan event
(dari tingkat kerusakan yang paling kecil/biasa sampai dengan bencana besar), bergantung
pada kondisi dan event yang terjadi.

4.4. Risk
Risk terdiri dari dua elemen, frequency dan consequence. Risk didefinisikan sebagai produk
dari frequency dengan event yang diantisipasi untuk terjadi dan consequence dari
dampak/akibat event.
Risk = Frequency X Consequence
(Yacov,2004)

4.5. Frequency
Frequency dari event potensial yang tidak diinginkan dinyatakan sebagai event per satuan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 66


waktu, biasanya per tahun. Frequency ditentukan dari data historis dari event telah terjadi di
masa lalu. Seringkali, analisa resiko berfokus pada event dengan consequence yang berat (dan
frequencies yang kecil) dimana sedikit data historis yang ada. Pada beberapa kasus, frequence
dari event dihitung dengan menggunakan model risk assessment.

4.6. Consequence
Consequence dapat dinyatakan dengan jumlah orang yang terkena dampak dari event (terluka
atau terbunuh), kerusakan peralatan, kerugian materi, dan lain sebagainya. Tanpa
memperhatikan pengukuran yang dipilih, consequence dinyatakan sebagai per event.
Berdasarkan persamaan tersebut bahwa satuan events / tahun dikalikan consequence /
event sama dengan consequence / tahun, merupakan pengukuran resiko kuantitatif yang
paling khusus.
(Yacov,2004)

Risk Assessment diaplikasikan untuk mengetahui tingkat risiko dengan menggunakan


metode sistematik. Proses ini terdiri dari empat langkah dasar, yaitu:
1. Hazard Identification
2. Frequency Assessment
3. Consequence Assessment
4. Risk Evaluation

5. Root Cause Analysis


Root cause analysis merupakan struktur logik yang mendefinisikan kejadian apa yang
menyebabkan terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan/diharapkan. Struktur dari Root
Cause akan menjelaskan bagaimana kejadian yang tidak diinginkan disebabkan oleh
kegagalan pada Level bawah baik secara individu maupun bersamaan. Root cause analysis
adalah sebuah metode yang dapat membantu menjelaskan :
Apa yang terjadi ?
Bagaimana bisa terjadi ?
Mengapa itu terjadi ?
(Ammerman,1998)

Ini dapat dipelajari dari permasalahan sebelumnya, kerusakan, dan kecelakaan yang terjadi.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam pembuatan Root cause analysis adalah sebagai
berikut:
Define the problem.
Mendefinisikan resiko defect yang timbul dalam setiap tahapan proses produksi small
aluminum boat.Dalam
Gather data/evidence.
Proses dalam tahapan ini adalah mengumpulkan data-data yang diperlukan antara lain:
jenis-jenis resiko defect yang timbul serta dampak terhadap proses produksi,data-data
defect yang tersimpan dalam kurun waktu tertentu(misal selama 1 tahun).
Identify issues that contributed to the problem
Proses dalam tahapan ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada
resiko defect yang timbul.
Find root causes.
Proses dalm tahapan ini adalah mencari akar penyebab timbulnya resiko defect.Dalam
penelitian ini digunakan Failure Mode and Effect Analysis(FMEA)
Develop solution recommendations.
Setelah akar penyebab resiko defect tiap-tiap proses produksi diketahui maka dibuat
langkah-langkah untuk mengurangi resiko tersebut.
Implement the recommendations.
Setelah langkah-langkah pengurangan resiko dibuat selanjutnya diaplikasikan dalam setiap
tahapan proses produksi
Observe the recommended solutions to ensure effectiveness.
Proses dalam tahapan ini adalah melakukan pengawasan terhadap langkah-langkah solusi
yang telah diaplikasiakan.Hal ini dilakukan untuk menjamin efektifitas dari solusi tersebut.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 67


5.1. Root Cause Analysis technique:
Failure mode and effects analysis
Pareto analysis
Fault tree analysis
Ishikawa diagram, juga dikenal sebagai diagram tulang ikan atau diagram sebab dan
akibat

5.2. Elemen dasar dari Root Cause:


Materials
Yang dimasukkan dalam katagori material adalah: tidak efektifnya penggunaan material,
kesalahan pemilihan material terhadap jenis pekerjaan dan kurangnya material.ketiga hal
ini menyebabkan terjadinya resiko keterlambatan.
Machine/equipment
Yang dimasukkan dalam katagori ini adalah: pemilihan mesin yang salah,perwatan mesin
yang buruk,kurangnya peralatan untuk memperbaiki mesin.hal-hal tersebut dapat
menyebabkan terjadinya resiko defect pada output tiap mesin.seperti kesalahan
dimensi,timbulnya cacat pengelasan dll.
Environment
Yang dimasukkan dalam katagori ini adalah:lay out galangan kurang efektif,perencanan
kerja yang kurang baik,bencana alam,kondisi lapangan yang jelek seperti banyak lubang
di permukaan tanah atau minyak dan air yang belum dibersihkan
Management
Yang termasuk dala katagori ini adalah:pihak manajemen tidak atau kurang terlibat dalam
proses produksi,tidak perduli terhadap kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
proses produksi,tidak melakukan control terhadap resiko defect yang terjadi.
Methods
Yang termasuk dalam katagori ini adalah:tidak adanya prosedur atau desain unjuk
kerja,pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan desain unjuk kerja yang
tertulis,kurangnya komunikasi antar tiap departemen.
Management system
Yang termasuk dalm katagori ini adalah:kurangnya pelatihan,pekerja tidak dilibatkan
dalam penyusunan desain kerja,kurangnya pengetahuan tentang resiko terjadinya
defect,resiko terjadinya defect yang telah diketahui tidak mendapatkan respon yang cepat
dari pihak manajemen (Ammerman,1998)

6. Failure Mode Effect and Analysis (FMEA)


Failure mode effect and analysis merupakan suatu metode evaluasi secara sistematis mode
kegagalan, dampak dari setiap kegagalan fungsi, personel dan keselamatan, performa sistem,
maintabilitas, dan kebutuhan perawatan. Setiap potensial kegagalan diranking dari tingkat
kepentingan dan dampaknya agar dapat dilakukan tindakan preventif agar mengurangi ataupun
mengeliminasi risiko kegagalan.(Crow,2002)
Tujuan dari FMEA adalah untuk mengetahui dampak dari kegagalan dalam sistem operasi
kemudian mengklasifikasikan setiap fungsi kegagalan dalam tingkatan kepentingannya.
Langkah-langkah dalam membuat analisa FMEA secara urut dapat dijelaskan sebagai berikut :

6.1. Menentukan Severity, Occurrence, Detection dan RPN


Untuk menentukan prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka tim FMEA harus mendefinisikan
terlebih dahulu tentang Severity, Occurrence, Detection, serta hasil akhirnya yang berupa Risk
Priority Number.

6.1.1 Severity
Severity adalah langkah pertama untuk menganalisa risiko yaitu suatu penilaian tingkat
keparahan dari keseriusan effect yang ditimbulkan dari mode-mode kegagalan (failure mode),
menghitung seberapa besar dampak/intensitas kejadian mempengaruhi output proses, maupun
proses-proses selanjutnya. Dampak tersebut diranking mulai skala 1 sampai 10, dimana 10
merupakan dampak terburuk.

Kriteria evaluasi severity :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 68


Rangking 10 : effect berbahaya tanpa adanya tanda peringatan.Dalam hal ini dapat
membahayakan keselamatan operator,kegagalan mempengaruhi standart keamanan
operasional yang telah ditetapkan pemerintah,kegagalan yang timbul tanpa didahului
adanya peringatan.
Rangking 9 : effect berbahaya dengan adanya tanda peringatan.Dalam hal ini dapat
membahayakan keselamatan operator,kegagalan mempengaruhi keamanan
operasional atau tidak sesuai dengan peraturan.
Rangking 8 : effect sangat tinggi.Dalam hal ini dapat membahayakan keselamatan
operator,mengakibatkan gangguan pada mesin/alat hingga tidak dapat dioperasikan
dan kehilangan fungsi utamanya.
Rangking 7 : effect tinggi.Dalam hal ini mengakibatkan gangguan pada mesin/alat
yang cukup serius,mesin alat dapat beroperasi tapi performansinya berkurang cukup
banyak.
Rangking 6 : effect sedang.Dalam hal ini mengakibatkan gangguan pada mesin atau
alat,mesin/alat dapat beroperasi tetapi sebagian item tambahan tidak dapat berfungsi.
Rangking 5 : effect rendah.Dalam hal ini mengakibatkan mesin/alat dapat beroperasi
tapi sebagian item tambahan tidak/kurang beroperasi dengan baik,mesin/alat dapat
digunakan tapi performansinya berkurang.
Rangking 4 : effect sangat rendah.Dalam hal ini mesin/alat harus dipilah sebelum
digunakan,memerlukan sedikit rework/repair pada sebagian mesin/alat.
Rangking 3 : effect ringan.Dalam hal ini sebagian kecil mesin/alat harus diperbaiki ,
terdapat effect yang bersifat terbatas.
Rangking 2 : effect sangat ringan.Dalam hal ini sebagian kecil komponen harus
diperbaiki,tidak terjadi effect secara langsung.
Rangking 1 : effect tidak ada.Dalam hal ini bentuk kegagalan tidak berpengaruh.
(Sumber:Daimler,1995)

6.1.2 Occurrence
Occurrence adalah suatu penilaian mengenai peluang (probabilitas) frekuensi penyebab
mekanisme kegagalan yang akan terjadi, sehingga dapat menghasilkan bentuk/mode
kegagalan yang memberikan akibat tertentu selama masa penggunaan produk. Dengan
memperkirakan kemungkinan occurrence pada skala 1 sampai 10.

Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Occurence


Rangking 10 : Probability of failure sangat tinggi atau kegagalan hampir tidak bisa
dihindari.Failure rate sekitar lebih dari 20 kejadian tiap bulan.
Rangking 9 : Probability of failure sangat tinggi tapi failure ratenya lebih rendah yaitu
sekitar 18 kejadian perbulan.
Rangking 8 : Probability of failure tinggi atau kegagalan berulang kali terjadi.Failure
rate sekitar 16 kejadian perbulan.
Rangking 7 : Probability of failure tinggi tapi failure rate lebih rendah yaitu sekitar 14
kejadian perbulan.
Rangking 6 : Probability of failure sedang atau kegagalan sesekali terjadi.Failure rate
sekitar 10 kejadian perbulan.
Rangking 5 : Probability of failure sedang tapi failure ratenya lebih rendah yaitu sekitar
8 kejadian perbulan.
Rangking 4 : Probability of failure sedang tapi failure ratenya lebih rendah yaitu sekitar
6 kejadian perbulan.
Rangking 3 : Probability of failure rendah atau relatif sedikit kejadiannya.Failure rate
sekitar 4 kejadian perbulan.
Rangking 2 : Probability of failure rendah tapi failure rate sekitar 2 kejadian perbulan.
Rangking 1 : Probability of failure jauh atau kegagalan mustahil.Failure rate kurang dari
1 kejadian perbulan.
(Sumber:Daimler,1995)

6.1.3 Detection
Nilai Detection diasosiasikan dengan pengendalian saat ini. Detection adalah pengukuran
terhadap kemampuan dari alat/proses kontrol dalam mengendalikan/mengontrol kegagalan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 69


yang dapat terjadi, mendeteksi kesalahan maupun mode-mode kegagalan (failure mode) yang
menyebabkan terjadinya kegagalan.

Kriteria Evaluasi dan Sistem Peringkat untuk Detection:


Rangking 10 : Detection sepenuhnya tidak pasti.Dengan kriteria Alat/sistem kontrol
tidak dapat mendeteksi penyebab/mekanisme dan cara kegagalan; atau Tidak ada alat
kontrol yang bisa digunakan untuk mendeteksi kegagalan
Rangking 9 : Detection Sangat Jauh.Dengan kriteria Sangat jauh kemungkinannya
alat/sistem kontrol saat akan mendeteksi penyebab/mekanisme kegagalan.
Rangking 8 : Detection Jauh.dengan kriteria Alat/sistem kontrol saat ini jauh
kemungkinannya untuk mendeteksi penyebab/mekanisme kegagalan
Rangking 7 : Detection sangat rendah.Dengan kriteria Kemampuan alat/sistem kontrol
untuk mendeteksi penyebab/mekanisme kegagalan sangat rendah.
Rangking 6 : Detection rendah.Dengan kriteria Kemampuan alat/sistem kontrol untuk
mendeteksi penyebab/mekanisme kegagalan rendah.
Rangking 4 : Detection cukup tinggi.Dengan kriteria Alat/sistem kontrol saat ini cukup
tinggi kemungkinannya untuk mendeteksi penyebab/mekanisme kegagalan.
Rangking 3 : Detection tinggi.Dengan kriteria Alat/sistem kontrol saat ini tinggi
kemungkinannya untuk mendeteksi penyebab/mekanisme kegagalan.
Rangking 2 : Detection sangat tinggi.Dengan kriteria Sangat tinggi kemungkinannya
alat/sistem kontrol saat akan mendeteksi penyebab/mekanisme kegagalan.
Rangking 1 : Detection hampir pasti.Dengan kriteria Alat/sistem kontrol hampir pasti
dapat mendeteksi penyebab/mekanisme dan cara kegagalan
(Daimler,1995)

6.1.4 Risk Priority Number (Angka Prioritas Risiko)


RPN merupakan produk matematis dari keseriusan effects (Severity), kemungkinan terjadinya
cause akan menimbulkan kegagalan yang berhubungan dengan effects (Occurrence), dan
kemampuan untuk mendeteksi kegagalan sebelum terjadi pada pelanggan (Detection). RPN
dapat ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut :
RPN = S * O * D
Dimana:
RPN : Risk Priority Number.
S : Severity
O : Occurrence
D : Detection

Angka ini digunakan untuk mengidentifikasikan risiko yang serius, sebagai petunjuk ke arah
tindakan perbaikan.(Daimler Chrysler Corporation, Ford Motor Company, General Motors
Corporation, (Second edition, February 1995) Potential Failure and Effects Analysis (FMEA)
Reference Manual).

7. Prosedur Identifikasi Resiko


Prosedur identifikasi aspek dan risiko kesalahan pada tahap pembuatan small aluminium boat,
mencakup sebagai berikut :
Aktifitas rutin dan tidak rutin
Aktifitas orang orang yang mempunyai akses ke tempat kerja termasuk sub kontraktor
dan tamu
Fasilitas tempat kerja yang disediakan perusahaan atau pihak lain.

8. Resiko-Resiko defect yang mungkin timbul


Adapun risiko-risiko defect yang dapat timbul pada pembangunan kapal aluminium dapat dilihat
pada table dibawah ini

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 70


Tabel 1. Kemungkinan Risiko defect yang timbul
NO Operation Proses Jenis Defect Proc.ID
Lack of penetration ID 1.1
Lack of fusion ID 1.2
1 Pengelasan Root or Face undercutting ID 1.3
Porosity ID 1.4
Crack ID 1.5
Lubang(Grade of Pit) ID 2.1
Serpihan(Flanking) ID 2.2
2 Persiapan Material
Laminasi lokal ID 3.1
Laminasi berat ID 3.2
Kekasaran pada Tepi bebas ID 4.1
Kekasaran pada alur las ID 4.2
Kelurusan Tepi pelat ID 4.3
3 Cutting
Kampuh,kedalaman las ID 4.4
Takik pada tepi bebas ID 4.5
Takik Pada Alur Las ID 4.6
Lebar ID 5.1
Panjang ID 5.2
Kesikuan ID 5.3
Puntiran ID 5.4
4 Sub Assembly (Panel Datar dan Panel Lengkung)
Lebar ID 6.1
Panjang ID 6.2
Kesikuan ID 6.3
Puntiran ID 6.4
Deformasi seluruh panjang kapal ID 7.1
Kerataan lunas ID 7.2
5 Assembly kenaikan/penurunan body bag fore ID 7.3
kenaikan/penurunan body bag aft ID 7.4
Rise of floor pada midship ID 7.5
Gab antara penegar dengan pelat ID 8.1
6 Pelurusan dan penyelesaian Gab pada penegar yang menembus pelat ID 8.2
Posisi scallop ID 8.3
kelurusan sambungan fillet ID 9.1
7 Ketepatan Pemasangan kelurusan asntara balok dengan gading ID 9.2
kelurusan penegar dengan balok ID 9.3
kelonggaran antara seat dengan mesin ID 10.1
8 Pemasangan Seat Mesin kelurusan dari coupling ID 10.2
kelurusan pada poros pompa ID 10.3

9. Accumulated RPN for each Failure Mode


Dibawah ini merupakan hasil RPN (Risk Priority Number) pada tiap tiap kegagalan yang
dihitung pada table diatas. Hasil tersebut dapat digambarkan pada gambar grafik dibawah ini :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 71


RPN for Each Failure Mode
0 20 40 60 80 100 120 140

ID 1.1
ID 1.2
ID 1.3
ID 1.4
ID 1.5
ID 2.1
ID 2.2
ID 3.1
ID 3.2
ID 4.1
ID 4.2
ID 4.3
ID 4.4
ID 4.5
ID 4.6
ID 5.1
ID 5.2
ID 5.3
ID 5.4
ID 6.1
ID 6.2
ID 6.3
ID 6.4
ID 7.1
ID 7.2
ID 7.3
ID 7.4
ID 7.5
ID 8.1
ID 8.2
ID 8.3
ID 9.1
ID 9.2
ID 9.3
ID 10.1
ID 10.2
ID 10.3

Gambar 1 . Akumulasi RPN pada tiap tiap mode kegagalan

10. Analisa FMEA


Dari table akumulasi nilai RPN diatas dapat diketahui bahwa nilai RPN tertinngi terletak pada
tahapan proses pengelasan,maka perlu dilakukan tindakan untuk mengurangi resiko tersebut.

Sebelum dilakukan tindakan pencegahan maka perlu diketaui akar penyebab terjadinya defect
pada proses pengelasan aluminium.Faktor-faktor penyebabnya dibagi menjadi 3 katagori yaitu
manusia,mesin dan peralatan,serta proses pengerjaannya.

11. Langkah-langkah Perbaikan ( Develop Recommendation Solution )


11.1 Penambahan Mesin Las
Kemungkinan Solusi pertama yang ditawarkan adalah dilakukannya penambahan jumlah mesin
las yang digunakan.Mesin las yang biasa digunakan dalam pengelasan aluminium adalah jenis
GMAW (Gas Metal Arc Welding) dengan argon dipilih sebagai gas pelindungnya.Jumlah Mesin
Las yang dimiliki berjumlah 11 unit namun hanya 8 unit yang masih layak pakai.Maka dari itu
demi pekerjaan pengelasan maka perlu ditambah beberapa mesin las baru.Penambahan Mesin
las harus Memenuhi Beberapa aspek antara lain:

11.1.2 Aspek Teknis


Dari segi teknis, penggantian mesin las haruslah tidak menimbulkan kebingungan bagi para
operator dalam hal pengoperasiannya. Untuk itu harus dicarikan pengganti yang memiliki
karakteristik sesuai dengan mesin las yang biasa digunakan, hanya saja harus memiliki
kemampuan yang lebih dari mesin las yang lama.Kriteria aspek teknis antara lain:

Jenis Power source yang digunakan dengan arus listrik yang dipilih adalah DC.
Gas pelindung yang dipilih yaitu argon atau gabungan antara helium-argon.Kedua gas
tersebut cocok digunakan untukpengelasan aluminium.

11.1.3 Aspek Ekonomis


Dalam melakukan pembelian terhadap mesin las, maka aspek-aspek ekonomis yang harus
diperhatikan adalah :

Mencari mesin las yang memiliki sumber power sesuai dengan aplikasinya
Jika ingin mendapatkan fleksibilitas proses, gunakanlah mesin yang dapat berfungsi
untuk berbagai jenis aplikasi pengelasan.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 72


Mencari power factor 99% atau lebih
Mencari efisiensi konversi energi (kVA out dibanding kVA in) yang memiliki nilai sekitar
80 %
Mencari konsumsi power mesin ketika sedang idle yang kurang dari 0,1 kW
Mencari mesin dengan garansi yang sesuai
Mencari Mesin dengan harga yang murah.

11.2 Peningkatan Mutu SDM


Kemungkinan Solusi kedua yang ditawarkan adalah peningkatan mutu sumber daya
manusianya.Penambahan kemampuan dengan cara melakukan berbagai pelatihan yang dapat
mengurangi cacat pengelasan.Pelatihan yang perlu dilakukan antara lain:
Pelatihan Gas Metal Arc Welding
Pelatihan Aluminium TIG welding

References

Ammerman, Max (1998): The Root Cause Analysis Handbook: A Simplified Approach to
Identifying, Correcting, and Reporting Workplace Errors, Productivity Press New York.
AFSA, (2004): The Welding of Aluminium MIG & TIG Fusion Secod Edition, Aluminium
Federation Southern Africa.
C GRAD, (2004): Aluminum And Its alloys , Constable and Company Ltd.
Daniel D Roup, William C Herbein, and Robert W Sides (2000).Boat manufactured fromable
aluminium, US patent issued
Daimler Chrysler Corporation, Ford Motor Company, General Motors Corporation, (Second
edition, February 1995): Potential Failure and Effects Analysis (FMEA).Reference
Manual
Mathers, Gene (2002): The welding of aluminium and its alloys. Woodhead Publishing
Limited, Cambridge England
Risk Management Guidelines companion to AS/NZS 4360:2004, (2005): Standards
Australia/Standards New Zealand,
Soejitno, Ship Production , Ruang Baca Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi
Sepuluh Nopember.
Soeweify, (2000/2001): Teknologi Las, Ruang Baca Fakultas Teknologi Kelautan Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Vargel, Christian (2004):Corrosion of aluminium. Translated by Schmidt P Martin. Patent
Altorney, Lyon France
Yacov Y Haimes (2004): Risk Modeling,Assessment,and Management.Second Edition, A
John Willey & Sons, Inc, Haboken New Jersey

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 73


HIDRODINAMIKA
&
RANCANGAN KAPAL

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 74


ANALISA SEAKEEPING FERRY TRIMARAN STUDI KASUS RUTE PELAYARAN
SAPEKEN-MASALEMBU
*1 1
Aries SULISETYONO , Denny Dwi HARDYANTO
1
Jurusan Teknik Perkapalan, Fakutas Teknologi Kelautan, ITS-Surabaya.
*E-mail: sulisea@na.its.ac.id

Abstract

Analisa seakeeping merupakan aspek penting untuk mengetahui perilaku kapal di tengah gelombang karena
berhubungan dengan keselamatan dan kenyamanan awak kapal dan penumpang. Paper ini bertujuan untuk
menganalisa gerakan kapal Ferry Trimaran yang beroperasi pada rute Sapeken-Masalembu, Jawa Timur dalam 6
derajat kebebasan. Sebagai bahan analisa, digunakan data gelombang yang diambil tiap jam dalam jangka waktu satu
tahun. Kemudian data tersebut diolah menjadi spektrum gelombang dengan menggunakan formula JONSWAP. Respon
kapal dalam gelombang reguler dihitung dengan metode 3D Diffraction untuk semua sudut hadap kapal terhadap
gelombang. Sedangkan respon kapal dalam gelombang Irreguler diperoleh dengan mengalikan Response Amplitude
Operator (RAO) dengan spektrum gelombang. Periode gerakan dan standard deviasion digambarkan dalam bentuk
diagram scatter untuk menunjukkan respon gerakan. Perhitungan exceeding probability juga dilakukan untuk
mengetahui respon gerakan yang melebihi nilai criteria.

Keywords: Seakeeping, Trimaran, Ferry

1. Pendahuluan
Di daerah Madura bagian timur, permintaan akan fasilitas angkutan penumpang dan barang
untuk pelayaran antar pulau terus naik. Sementara kapal Ferry yang telah ada memiliki
keterbatasan kecepatan dan kemampuan olah gerak yang buruk pada kondisi gelombang yang
cukup besar. Untuk mengatasi hal tersebut konsep desain lambung tipe trimaran telah
diusulkan sebagai solusi alternative oleh Sulisetyono [2011].

Dewasa ini, desain kapal tipe trimaran terus dikembangkan karena memiliki beberapa kelebihan
antara lain memiliki hambatan yang lebih kecil pada kecepatan tinggi sehingga berdampak pada
efisiensi penggunaan bakar, Lyakhovitsky (2007); memiliki stabilitas yang baik karena adanya
side hull, Utama [2008]; dan memiliki luasan geladak yang besar sehingga mampu mengangkut
lebih banyak dan bangunan atas geladak dapat diatur dengan leluasa. Desain kapal
berkecepatan tinggi, tipe trimaran memiliki kemampuan seakeeping yang baik pada kondisi
gelombang yang tinggi.

Paper ini bertujuan untuk menganalisa kemampuan seakeeping kapal tipe trimaran pada rute
Sapeken menuju Masalembu. Metode pendekatan yang diusulkan untuk pemperkirakan respon
gerakan kapal saat beroperasi pada kondisi gelombang antara Sapeken-Masalembu. Respon
gerakan pada gelombang reguler diperoleh dengan menggunakan metode analisa 3D
Diffraction atau biasa disebut dengan metode panel, Sulisetyono (2009). Input data yang
dibutuhkan antara lain ukuran utama kapal, bentuk kapal, berat dan momen inersia berat,
koefisien hidrodinamis dan sudut hadap kapal. Kecepatan kapal yang digunakan adalah
kecepatan maksimum kapal.

Pada pemodelan numerik, dilakukan panelisasi terhadap bentuk lambung menjadi jumlah panel
tertentu untuk memperoleh hasil prediksi yang akurat. Data output diberikan dalam bentuk table
RAO (Response Amplitude Operator) untuk enam derajat kebebasan (6-DoF) gerakan kapal,
yakni surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw dalam fungsi frekuensi gelombang (periode
gelombang) Data gelombang yang diperoleh dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika) Indonesia dengan total data sebanyak 8760 untuk periode satu tahun diolah
berdasarkan tinggi, periode dan arah gelombang menggunakan standar formula JONSWAP.
Arah sebaran gelombang ditentukan dari data gelombang. Tiap arah gelombang memiliki
spektrum gelombang yang berbeda dan sudut hadap (heading angle) kapal dihitung. Respon
kapal dalam gelombang irregular dihitung dengan mengalikan RAO trimaran Ferry dengan
spektrum gelombang Besarnya standar deviasi, period dan cumulative exceeding probabilities
gerakan dihitung mengikuti, Sulisetyono (2012).

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 75


2. Kondisi Daerah Operasional
Kapal Ferry Trimaran ini dievaluasi performa gerakanya untuk transportasi pada rute pulau
Sapeken menuju ke pulau Masalembu seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rute pelayaran dari Sapeken menuju Masalembu

Pada kasus ini, kondisi gelombang ditentukan selama 1 tahun pada titik diantara rute Kapal
Ferry Trimaran, yaitu antara Sapeken and Masalembu, lihat Gambar 1. Data gelombang yang
berupa snap shot data per jam selama setahun dengan jumlah data keseluruhan mencapai
8760 diperoleh dari BMKG. Arah gelombang dinyatakan nol apabila gelombang datang dari
arah Selatan dan terus meningkat searah jarum jam, lihat Gambar 2.

Utara

Barat Timur
Timur

Selatan

Gambar 2 Tinggi dan arah gelombang pada rute Sapeken-Masalembu

Data gelombang menunjukan bahwa terjadinya gelombang dengan tinggi lebih dari 3 meter
adalah sebesar 30 % dalam satu tahun dan sisanya sekitar 70% adalah gelombang dengan
tinggi 2 meter dan 90% dari jumlah tersebut adalah kondisi laut tenang. Arah gelombang
dominan datang dari arah Barat Laut, dan Tenggara, atau pada kasus kapal dioperasikan pada
rute Sapeken-Masalembu, heading angle kapal dominan datang dari arah quartering dan
broaching.

Untuk mempermudah analisa, data gelombang disederhanakan dengan cara memilih satu
tinggi signifikan gelombang yang tertinggi dalam satu minggu, dan dengan demikian akan
didapat 52 snap shot data yang akan digunakan untuk analisa gerakan. Gelombang irreguler
dimodelkan dengan menggunakan formula JONSWAP. Spektrum gelombang rute Sapeken-
Masalembu ditampilkan pada Gambar 3 untuk 52 minggu snap shot data dalam satu tahun.
Gambar 3 menunjukkan spektrum gelombang tertinggi terjadi pada bulan Januari dengan
frekuensi gelombang 0.8 rad/sec.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 76


JONSWAP Wave Spectrum

1.20

1.00

0.80

S(e )
0.60

0.40

0.20

0.00

0.20
0.40
0.60
Week

0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
e

Gambar 3 Spektrum gelombang pada rute Sapeken-Masalembu

3. Gerakan Kapal di Daerah Operasional


Pada tahap konsep desain, rencana umum Kapal Ferry Trimaran (KFT) dirancang [5] seperti
ditampilkan pada Gambar 4, dan ukuran utama kapal ini dalam kondisi sarat penuh ditunjukkan
pada Tabel 1.

Gambar 4 Rencana Umum Kapal Ferry Trimaran

Untuk analisa seakeeping, sistem koordinat xyzo digunakan dengan o berada di pusat massa
kapal, sumbu x posistif ke arah haluan, sumbu y positif ke arah portside kapal dan sumbu z
positif ke arah atas kapal, seperti pada Gambar 2. Gerakan kapal ditentukan berdasarkan
system koordinat ini, misalnya surge, sway dan heave dihitung sepanjang sumbu x, sumbu y
dan sumbu z, sedangkan roll, pitch dan yaw dihitung pada sumbu x, sumbu y dan sumbu z.

Tabel 1 Ukuran utama Kapal Ferry Trimaran

Length of main hull, (Lpp) 54.53 m


Length of side hull, (Lpps) 16.63 m
Breadth of main hull, (B) 3.64 m
Breadth of side hull, (Bs) 0.97 m
Breadth of hull, (Bm) 18.50 m

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 77


Depth of main hull, (D) 4.55 m
Depth of side hull, (Ds) 3.70 m
Draft of main hull, (T) 1.82 m
Draft of side hull, (Ts) 0.97 m
Displacement of main hull, () 187.4 ton
Displacement of side hull, (s) 8.06 ton
Centre of gravity above base, (KG) 1.13 m
Centre of gravity from AP, (LCG) 25.38 m
Centre of buoyancy above base, (KB) 1.29 m
Centre of buoyancy from AP, (LCB) 0.82 m
Speed of Ship 16 knot

Bentuk lambung kapal dimodelkan pada ukuran sebenarnya sebagai fined mesh dengan panel
merepresentasikan permukaan lambung, seperti pada Gambar 5. Sudut hadap (heading angle),
0
, relatif terhadap kapal didefinisikan sebagai head sea (180 ) ketika gelombang menghantam
0
kapal dari haluan, following sea (0 ) ketika gelombang datang dari arah buritan kapal dan beam
0
sea (90 ) ketika gelombang datang dari sisi kapal, Gambar 5. Karena bentuk kapal simetris,
0 0
maka heading angle hanya dihitung dari 0 hingga 180 .

= 900 y

x
= 1800

Gambar 5 Sistem koordinat dan definisi heading angle

Karakteristik gerakan Kapal Ferry Trimaran (KFT) pada gelombang reguler dihitung dengan
metode Boundary Element Method (BEM). Luasan basah trimaran didiskritisasi menjadi jumlah
2039 panel. Gaya hidrodinamis dihitung dengan mengaplikasikan kondisi batas pada luasan
basah trimaran dalam air dengan kedalaman air diasumsikan tak hingga. Hasil RAO (Response
Amplitude Operator) untuk surge, sway, heave roll, pitch dan yaw pada gelombang reguler
diilustrasikan pada Gambar 6a hingga Gambar 6f. Gerak translasi seperti surge, sway dan
heave ditampilkan tiap unit amplitudo gelombang sedangkan untuk gerak rotasi seperti roll,
pitch dan yaw ditampilkan tiap unit amplitudo derajat.

Gambar 6a, 6c dan 6e menunjukkan bahwa gerakan surge, heave dan pitch memiliki amplitudo
respon yang rendah untuk semua frekuensi dan heading angle. Respon paling tinggi dari
gerakan translasi terjadi pada sway, dan gerakan rotasi pada yaw, keduanya mengalami respon
0
tinggi saat heading angle 90 di frekuensi rendah, lihat Gambar 6b dan Gambar 6f.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 78


(a) (d)

(b) (e)

(c) (f)
0 0
Gambar 6 RAO kapal trimaran dengan heading angle 0 -180

Respon gerakan rotasi untuk roll dan yaw yang tampak pada Gambar 6d dan 6f memiliki nilai
respon yang sama untuk frekuensi yang berbeda, yakni roll terjadi pada frekuensi tinggi
sedangkan yaw pada frekuensi rendah. Dan kedua gerakan tersebut terjadi saat heading angle
0
mendekati 90 . Fenomena ini mungkin disebabkan oleh bentuk dari tiga lambung, dimana
bagian lambung yang terletak di tengah kapal lebih lebar dibandingkan dengan bagian buritan
dan haluan, sehingga nilai koefisien dampingnya pada bagian haluan dan buritan lebih kecil
dibandingkan bagian tengah.

Respon gerakan Kapal Ferry Trimaran pada gelombang irreguler dihitung dengan mengalikan
Response Amplitude Operator (RAO) yang didapat dari program Boundary Element Method
(BEM) dengan spektrum gelombang yang diperoleh dari data gelombang. Standar deviasi tiap
gerakan diperoleh dari akar total energi gelombang. Periode gerakan diperoleh dari pembagian
total spektral energi terhadap total spektral momen. Persamaan dari perhitungan tersebut
seperti diuraikan sebagai berikut,
m0
m0 T 2
m1
Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 79
Standar deviatsi, dan Periode,

Significant amplitude response, A1 / 3 2 m 0


Di mana m 0 S(e )RAOd


, e
0

m 1 S( e )RAOd e
0

Significant amplitude response gerakan kapal Ferry Trimaran yang terjadi dalam 52 minggu
kondisi gelombang pada rute Sapeken - Masalembu yang digambarkan dalam fungsi periode
dan standar deviasi seperti ditunjukkan pada Gambar 7.

Surge Scatter Roll Scatter


0.25 1
0.9
Deviation Standard ()

Deviation Standard ()
0.2 0.8
0.7
0.15 0.6
0.5
0.1 0.4
0.3
0.05 0.2
0.1
0 0
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7

Motion Period [s] Motion Period [s]

Sway Scatter Pitch Scatter


0.25 1
0.9
Deviation Standard ()

Deviation Standard ()

0.2 0.8
0.7
0.15 0.6
0.5
0.1 0.4
0.3
0.05 0.2
0.1
0 0
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7

Motion Period [s] Motion Period [s]

Heave Scatter Yaw Scatter


0.25 1
0.9
Deviation Standard ()

Deviation Standard ()

0.2 0.8
0.7
0.15 0.6
0.5
0.1 0.4
0.3
0.05 0.2
0.1
0 0
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7

Motion Period [s] Motion Period [s]

Gambar 7 Grafik scatter standar deviasi dan periode dari gerakan kapaltrimaran

Dari Gambar 7 terlihat bahwa respon terbesar untuk gerak translasi terjadi pada gerakan
sway yakni sebesar 0.38 meter, sedangkan pada gerak rotasi terjadi pada gerakan yaw
0
yakni sebesar 1.87 . Respon terkecil pada gerak translasi terjadi pada gerakan surge yakni
sebesar 0.047 meter, sedangkan pada gerak rotasi terjadi pada gerakan pitch yakni sebesar
0
0.38 . Gambar 7 juga menunjukkan grafik scatter gerakan surge, sway dan yaw memiliki
periode 5 hingga 6.5 detik dan gerakan roll memiliki periode 4 hingga 5.5 detik. Respon
tertinggi gerakan surge, sway dan roll terjadi pada periode 6.4 detik sedangkan pada
gerakan roll terjadi pada sekitar periode 4.5 detik. Sedangkan nilai peluang terjadinya respon

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 80


yang melebihi nilai tertentu (probability exceeding) ditunjukkan pada Gambar 8. Dalam
pertimbangan desain kapal, nilai ekstrim yang melebihi nilai tertentu perlu diteliti lebih lanjut.

Probability Exceeding Surge Probability Exceeding Roll


90.00 45

Percentage of exceeding [%]


Percentage of exceeding [%]

80.00 40
70.00 35
60.00 30
50.00 25
40.00 20
30.00 15
20.00 10
10.00 5
0.00 0
0.009 0.015 0.021 0.028 0.034 0.040 0.046 0.156 0.334 0.511 0.689 0.867 1.044 1.222

A(1/3) [m] A(1/3) [deg]

Probability Exceeding Sway Probability Exceeding Pitch


90
45
Percentage of exceeding [%]

Percentage of exceeding [%]


80 40
70 35
60 30
50 25
40 20
30 15
20 10
10 5
0 0
0.035 0.079 0.123 0.167 0.211 0.254 0.298 0.078 0.128 0.177 0.227 0.277 0.327 0.377

A(1/3) [m] A(1/3) [m]

Probability Exceeding Heave Probability Exceeding Yaw


90 45
Percentage of exceeding [%]

Percentage of exceeding [%]

80 40
70 35
60 30
50 25
40 20
30 15
20 10
10 5
0 0
0.016 0.021 0.026 0.031 0.036 0.041 0.046 0.301 0.554 0.806 1.059 1.311 1.563 1.816

A(1/3) [m] A(1/3) [deg]

Gambar 8 Probability exceeding gerakan kapal

Respon pada seluruh gerakan ditampilkan pada Gambar 8, dimana semua respon tertinggi
gerakan memiliki peluang kejadian di bawah 5%, kecuali pada gerakan roll yang nilai peluang
0
kejadiannya hingga 11.54%. Significant response maksimum gerakan roll adalah sebesar 1.27
0
dengan kemungkinan kejadian sebesar 11%, gerakan yaw sebesar 1.89 dengan peluang
kejadian hanya 1.92%. Secara keseluruhan, respon gerakan Kapal Ferry Trimaran pada rute
Sapeken-Masalembu memiliki nilai yang relatif kecil berdasarkan perhitungan.

4. Kesimpulan
Analisa seakeeping dilakukan sering dengan desain Kapal Ferry Trimaran yang beroperasi di
perairan Jawa Timur dari Pulau Sapeken menuju Pulau Masalembu. Sebuah pendekatan baru
diusulkan untuk memprediksi kemampuan seakeeping dari sebuah kapal. Respon gerak
tertinggi terjadi pada gerakan yaw saat frekuensi rendah dan gerakan roll saat frekuensi tinggi.
Berdasarkan kondisi gelombang, hading angle kapal dominan dari arah quartering dan
broaching. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa Kapal Ferry Trimaran memiliki kemampuan
seakeeping yang baik dan layak beroperasi pada rute Sapeken-Masalembu sepanjang tahun.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 81


Referensi

Davis, M.R., and Holloway, D.S (2003): Motion and Passenger Discomfort on High Speed
Catamarans in Oblique Seas, International Shipbuilding Progress, 50, no. 4, pp. 333-
370,
Faltinsen, O.M (2005): Hydrodynamics of High - Speed Marine Vehicles, Cambridge University
Press.
Lyakhovitsky,A, (2007): Shallow Water and Supercritical Ships. Backbone Publishing Company.
Utama, IKAP; Murdjanto; Sulisetyono, A; and Jamaludin,A,(2008): Pengembangan Kapal Hemat
Energi Dengan Konfigurasi Kapal Berbadan Banyak, Seminar on Application and
Research in Industrial Technology, UGM, Yogyakarta.
Sulisetyono, A; Nasirudin, A; and Hermawan, Y. A, (2011): Perancangan Kapal Penumpang
Barang Tipe Trimaran untuk Pelayaran Antar Pulau, Seminar Nasional Teori dan
Aplikasi Kelautan (SENTA), ITS Surabaya.
Sulisetyono, A, (2010): An Analytical Approach of the Free Surface Greens Function for
Radiation Problem, International Conference on Ship and Offshore Technology (ICSOT),
ITS Surabaya.
Sulisetyono, A, (2009): Single Body Motion Analysis, Project report of FLNG Mooring and
Offloading Study, LPPM ITS.
Sulisetyono, A, (2012): Single Body Motion Analysis, Project report of FLNG Mooring and
Offloading Study, LPPM ITS.
Sulisetyono, A, (2012): Seakeeping Analysis of The Trimaran Ferry Ship in Short Crested
Sea for A case of East Java Water Condition. International Conference : ICSOT :
Development in Ship Design dan Construction, RINA, Ambon.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 82


EFFECT OF TURBULENCE MODELS IN ANALYZING VISCOUS RESISTANCE OF
CATAMARAN BY USING COMPUTATIONAL FLUID DYNAMICS

Ronald Mangasi HUTAURUK

Department of Water Resources Utilization, Faculty of Fisheries and Marine Science


University of Riau, Pekanbaru.
E-mail: ronald.mhutauruk@yahoo.co.id

Abstract

In addition an experiments carried out both the wind tunnel test and the towing tank, the study of viscous resistance on
the catamaran vessel can also be analyzed using numerical simulation by Computational Fluid Dynamic (CFD). The
aims of the study is to analyzing the most accurate turbulence models compared with the results obtained through
experimentation. Catamaran model size adapted to test models in wind tunnel experiments. The ratio of separation to
length between demihulls (S/ L) selected is 0.3. Boundary conditions of the fluid in the numerical simulations including
the physical condition based on experiments data. Speed varied from 10, 12, 14, and 15.4 m / s. Turbulence models
tested were k- , Shear Stress Transport, and the RNG k- . Results of analysis the viscous drag coefficient on each
of the turbulence models will be compared with the experimental value. Turbulence models using a Shear Stress
Transport (SST) is the best model of turbulence with percentage difference about 2.122% higher than in the wind tunnel
experiments.

Keywords: CFD, k-Epsilon, Shear Stress Transport, RNG k-Epsilo, Catamaran

1. Introduction
CFD abbreviations stands for computational fluid dynamics. CFD represent a vast area of
numerical analysis in the field of fluids flow phenomena. In the applications of fluid dynamics,
flow around the bodies is really important. Characteristics of forces acting on the bodies are
needed to produce effcient aerodynamics (aircraft, cars, automobiles) and hydrodynamics
design (for ships).

The classical analysis of fluid flow problems involves the initial representation of the fluid motion
by a physical model. This physical model is then interpreted as a mathematical model by setting
down the conservation equations which the flow satisfies. These governing equations are then
subject to analysis leading to closed-form solutions with the dependent variables, such as the
velocity components and pressure, varying continuously throughout the flow field. This general
approach and the closed-form solutions which result provide powerful insights into many
important fluid flow problems, including the effects of changes in geometry and flow parameters
such as Reynolds number. However, there are many circumstances where it is not possible to
derive analytical solutions while at the same time retaining a mathematical model which
displays all the essential features of the physics underlying the flow. Here the limitations of the
analytical approach become evident. By way of contrast, CFD is capable of delivering solutions
to the governing equations which fully describe all aspects of the physics of the flow (Massey
and Smith, 2006).

In this research, CFD is used in solving viscous resistance of catamaran as a set of the high-
speed vessel that has been growing rapidly for the last ten years (Couser et al.,1997);
Jamaluddin, et al., 2010). As reported by Drewry Shipping Consultants (Sahoo et al., 2006),
catamarans account for 43% of the fleet by vessel numbers. Slender hull forms and higher
speed capabilities provoked the need of technological evolution in predicting their preliminary
characteristics of resistance. Resistance of catamarans in general is divided into two major
components namely, viscous resistance and wave resistance.

Catamaran consists of two demihulls which are separated at certain distance. Both of demihulls
induce interaction that generates viscous interference. Due to separation to length ratio between
demihulls, interference effect occurs significantly over viscous resistance. These interference
effects has been investigated by experimental test in the wind tunnel at Department of
Mechanical Engineering, Sepuluh Nopember Institute of Technology, Surabaya (Hutauruk et al.,
2011). Hutauruk et al., 2011 also analyzed the pressure distribution and velocity profile on the
catamaran. The catamaran model tested without transition strip (turbulent stimulator) at various
velocities, commenced from 10; 12; 14 dan 15,5 m/s in speed and separation to length ratio

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 83


(S/L) 0,2; 0,3 and 0,4. The conclusion of the research was increasing of body separation will
increase pressure distribution values. However, its increasing will decrease velocity profile
values.

This research analyze the using of different turbulence models namely k- , Shear Stress
Transport, (SST) and the RNG k- on the catamaran by S/L 0,3 numerically. The viscous
resistance will be investigated by using ANSYS CFX ver. 14. S/L 0,3 was choosen because
from the experimental results derived and concluded that on S/L 0,3; the effect of flow
interference decrease but not the smallest. The result will be validated with previous
experimental result.

2. Methodology
2.1. Grid Independence
Model in the wind tunnel test designed as reflect models by using Maxsurf. The use of reflex models
in a wind tunnel and CFD provides an approximate means of directly measuring the viscous drag of
the models without the generation of waves (Armstrong, 2003). All its size including its principal
dimension measured both models and test section then poured in the drawing. The process of CFD
will be continued by using ANSYS, started from ICEM CFD as meshing step (Figure 1). Mesh quality
will effect the result of the simulations. To derive the suitable number of mesh elements and nodes,
it is calculated by doing grid indepence. Grid independence was investigated by applying grid
densities from 500.000 to 1.200.000 cells. Grid independence, with up to 2 percent changed in
drag, was reached at about 1.007.880 cells (Figure 2), which were then used in the further
investigations as applicated by Utama (2002).

Figure 1. Model meshing

Figure 2. Model Mesh Calculator and Grid Independence Graph

2.2 Boundary Condition


Boundary conditions were set for the model must satisfy the real condition on the wind tunnel
test, in other could minimize the results deviation. Inlet velocity conditions were set to 31,3 deg.
C as temperature in the test section, with directional velocity 10; 12; 14; and 15,4 m/s.
Reference pressure was set to be 1 atm. The outlet back pressure was set to zero to ensure no
upstream disturbances. The walls of the wind tunnel were set to slip conditions to not negate
near-field effects, such as wall turbulence. In addition, the surrounding enclosure walls were set

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 84


to an isothermal, adiabatic surface of 31,3 deg.C. The surface of the models was set to a no-slip
condition. The fluid domain used for the simulation was incompressible and isothermal. Vary of
turbulence model as k- , Shear Stress Transport, and the RNG k- was selected. All other
default solver values were retained. Once the model is fully constrained, the solver is initiated.
The actual time to solve the flow field depended directly upon the number of elements in the
mesh (Mitchell and Webb, 2008). The description of boundary condition shown as Figure 3.

Outlet
Wall
(no slip condition) (Pref = 0)

Model
(no slip condition)
Inlet
o
(Pref = 1 Atm, 31.3 C)

Figure 3. Boundary Condition

2.2. Turbulence Models


Turbulence is a fluid flow phenomenon characterized by unsteadiness, fluid motions that appear
irregular or topologically complex, fluid motions occurring on a wide range of physical scales,
rapid mixing of passive contaminants (smoke, heat, concentrations of chemical species)
(Recktenwald, 2009). Whenever turbulence is present in a certain flow it appears to be the
dominant over all other flow phenomena. Successful modeling of turbulence greatly increases
the quality of numerical simulations (Sodja, 2007). In this research, varied of turbulence models
applicated was k- , Shear Stress Transport, and the RNG k- .

2.3. Concept of Computational Fluid Dynamics


The starting point of CFD is the specification of the governing equations of fluid dynamics as the
equations of continuity, momentum and energy. These equations are then replaced by equivalent
numerical descriptions which are solved by numerical techniques to yield information on the
dependent variables, for example, the velocity components and pressure, at discrete locations in the
flow field. The continuity, momentum and energy equations can be set down in a variety of different,
but equivalent, forms and the choice of the appropriate form is an important aspect of successfully
obtaining numerical solutions.

CFD is the simulation of fluids engineering systems using modeling (mathematical physical problem
formulation) and numericals methods (discritization methods, solvers, numerical parameters, and
grid generation). The process is as Figure 4. Fluid problem is solved by understanding the physical
properties of fluid by using fluid mechanics. Then, mathematical equations is used to describe these
physical properties. Generally the mathematical equation stated as navier-Stokes Equation that
governing equation of CFD.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 85


Fluid
Problem
Fluid Mechanics Comparison and Analisis

Physics of Fluids Simulation Result


C
Mathematics Computer
F
D
Navier-Stokes Equations Computer Program

Numerical Methods Program Language


Geometry
Discretized Form Grids

Figure 4. Process of CFD (Zuo, 2007).

3. Results and Discussion


3.1. The k- -k-
One of the most prominent turbulence models, the (k-
most general purpose CFD codes and is considered the industry standard model. It has proven
to be stable and numerically robust and has a well established regime of predictive capability.
For general purpose simulations, the model offers a good compromise in terms of accuracy
and robustness (ANSYS, 2010).

The SST (Shear Stress Transport) model of Menter (1994) is an eddy-viscosity model which
includes two main novelties i.e. (1) It is combination of a k-
layer) and k-
the shear stress in adverse pressure gradient regions is introduced.

The k - -predicts the shear stress in adverse pressure


gradient flows because of too large length scale (due to low dissipation) and it requires near-
wall modification (i.e. low-Re number dumping function/terms)(Gerhard and Richard, 1985).

The RNG k- -
improvement compared to the standard k- - model is based on
renormalization group analysis of the Navier-Stokes equations. The transport equations for
turbulence generation and dissipation are the same as those for the standard k-
the model constants differ.

3.2. Viscous Resistance Coefficient


The total resistance of catamaran which is composed of two hulls place in close proximity,
generally different from the sum of the resistance of the two hull when separately tested.
This phenomenon is called interference. Interference arises from the change in the flow
pattern as a result if the two bodies in close proximity. Total resistance of a ship is
bredivided into viscous resistance (based on Reynolds number) and wave resistance
(based on Froude number) components. Resistance equation shown in equation (1).

(1)

The wave resistance (RW) contains the inviscid component and the viscous resistance (RV)
includes the resistance due to shear stress (friction drag) and the viscous pressure
component. In practice, the viscous resistance is ussually estimated by using ITTC-1957
correlation line (CF) together with a suitable form factor (1+k). Here a CF is an
approximation for the skin friction of a flat plate; and the form factor is used to calculate the
three dimensional of ship hull (Utama, 1999). Formula of CF can be written as equation (2).

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 86


(2)

Total viscous resistance (CV) can be measured by a wake transverse. In this case, form
factor is calculated as equation (3).

(3)

And relation between CV and RV can be written as equation (4).

(4)

By using equation 4, the result of CV can be analyzed by numerical simulation using ANSYS
CFX and the result shown in the Table 1. Increasing of Reynolds number in each test, both
experiment and numerical, shown that the CV gradually tend to decreasing. These conclude that
the results of these research very strong and more accurate.

Table 1. Comparison viscous resistance coefficient between experimental test and numerical
simulation by using differ turbulence models.

-3
5 -3
CV Numerical Simulation (10 )
Re (10 ) CV Wind Tunnel (10 )
k- SST RNG-k-
2,894 8,761 8,995 8,893 8,940
3,473 8,418 8,689 8,581 8,641
4,052 8,150 8,457 8,354 8,386
4,457 8,000 8,335 8,223 8,298

The graphs of CV for each turbulence models as shown in Figure 4. The most accurate
turbulence models in predicting viscous resistance by using numerical simulations is Shear
Stress Transport. The different of its viscous resistance with previous research (wind tunnel test)
about 2,122%. Then following by RNG k- 3,329%.
The difference is caused by characteristic of each turbulence models in using equation in
solving fluids problem. In the SST model the coeffcients are smoothly switched from k-
in the inner region of the boundary layer and k- . Turbulence could
be thought of as instability of laminar flow that occurs at high Reynolds numbers (Re). Such
instabilities origin form interactions between non-linear inertial terms and viscous terms in N-S
equation. These interactions are rotational, fully time-dependent and fully three-dimensional.
Rotational and three-dimensional interactions are mutually connected via vortex stretching.
Vortex stretching is not possible in two dimensional space. That is also why no satisfactory two-
dimensional approximations for turbulent phenomena are available. Furthermore turbulence is
thought of as random process in time. Therefore no deterministic approach is possible. Certain
properties could be learned about turbulence using statistical methods. These introduce certain
correlation functions among flow variables. However it is impossible to determine these
correlations in advance (Sodja, 2007).

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 87


Figure 5. Viscous resistance experiment and numerical simulation

3.3. Contour of Pressure and Velocity Distribution


Contour of pressure and velocity provided in Figure 4 and Figure 5. Pressure distribution
shows the pressure along the hull. Figure 4 describes that maximum pressure occur on leading
edge and trailing edges. Figure 5 concludes that the maximum velocity occure on the midship
of catamarans. This satisfy the Bernoulli principle. In fluid dynamics, Bernoulli's principle states
that for an inviscid flow, an increase in the speed of the fluid occurs simultaneously with a
decrease in pressure or a decrease in the fluid's potential energy. Bernoulli's principle can be
derived from the principle of conservation of energy. This states that, in a steady flow, the sum
of all forms of mechanical energy in a fluid along a streamline is the same at all points on that
streamline. This requires that the sum of kinetic energy and potential energy remain constant.
Thus an increase in the speed of the fluid occurs proportionately with an increase in both its
dynamic pressure and kinetic energy, and a decrease in its static pressure and potential energy.
If the fluid is flowing out of a reservoir, the sum of all forms of energy is the same on all
streamlines because in a reservoir the energy per unit volume (the sum of pressure and
gravitational potential g h) is the same everywhere (Streeter,1966).

Figure 6. Contour of pressure distribution

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 88


Figure 7. Contour of Velocity Distribution

4. Conclusion
In view of the analysis and validation process undertaken in this research work the following
conclusions can be drawn:
1. Ansys CFX can be used as a tools to predicted numerical simulation to calculate viscous
resistance of a catamaran.
2. The most accurate turbulence models in predicting viscous resistance by using numerical
simulations is SST. The different of viscous resistance of numerical simulation comparing
with the previous research (wind tunnel test) as follow: 3,329%; 2,122% and 2,731%
respectively for , Shear Stress Transport, and the RNG k-

Acknowledgment

This paper is dedicated to Dean of Faculty of Fisheries and Marine Science and Head of
Department of Water Resources Utilization, University of Riau. This work was funded by both
the Department and Faculty of Fisheries and Marine Science. We also would like to express
sincere gratitude for the support of Research Agency of University of Riau.

References

ANSYS. (2010); Tutorial of CFX.


Armstrong, T. (2003); The effect of demihull separation on frictional resistance of catamaran,
seventh international conference on fast sea transportation, FAST Ischia-Italy: Ischia, pp 22-
30.
Couser, P. R., Molland, A. F., Armstrong, N. A. and Utama, I. K. A. P. (1997); Calm water
powering predictions for high speed catamarans, Fast, Sidney, Australia.
Davidson, L. (2006): Turbulence modelling, http://www.tfd.chalmers.se/coct/comp_turb_model.
Gerhart, P, M. and Richard J. G., 1985; Fundamentals of fluid mechanics, Addison-Wesley
Publishing Company, Inc., USA, 509-530.
Hutauruk R. M., Utama, I. K. A. P., Jamaluddin, A., Murdijanto, dan Djoni I M. A. (2011);
Analisa distribusi tekanan dan kecepatan aliran pada kapal katamaran tanpa turbulen
stimulator dengan uji terowongan angin,SENTA, 2011, ITS-Surabaya.
Jamaluddin, A., Utama, I. K. A.P. and Aryawan, W. D. (2010); Analisa eksperimen viscous form
factor pada konfigurasi lambung, Prosiding Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi
Kelautan, FTK-ITS, pp 17-24.
Massey, B. and Smith. J. W. (2006); Mechanics of fluids, eight edition, solution manual. Taylor
& Francis, London and New York.
Menter, F. R. (1994); Zonal two equation k-w turbulence for flows, AIAA Paper 93 290.
Mitchell, R. R. & Webb, M. B. (2008); A study of the base pressure distribution of a slender body
of square cross-sectrion, AIAA Aerospace Sciences Meeting and Exhibit, 1-8.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 89


Recktenwald, G. (2009): The k- turbulence model, Lecture note, Mechanical and Materials
Engineering Department Portland State University, Portland, Oregon.
Sahoo, P. K., Doctors, L. R. and Pretlove, L. (2006); CFD Prediction of the wave resistance Of a
catamaran with staggered demihulls. India: International Conference on Marine
Hydrodynamics.
Sodja, J. (2007): Turbulence models in CFD, Faculty of Mathematics and Physics, Department
of Physics, University of Ljubljana.
Streeter, V. L. (1966): Fluid Mechanics, example 3.5, McGrawHill Inc. New York.
Utama, I. K. A. P (1999); Investigation of the viscous resistance components of catamaran
forms. UK: University of Southampton.
Utama, I. K. A. P. (2002); Studi hambatan kekentalan dan pengaruh bentuk. jurnal teknologi
kelautan, Vol 1. No. 3.
Zuo, W. (2007); Introduction to computational fluids dynamics, FAU Erlangen-Numberg. JASS
05. St. Petersburg.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 90


ANALYSIS OF THE INFLUENCE OF SAIL SHAPE ON THE SEAKEEPING
PERFOMANCE OF INDONESIAN FERRY SAIL-ASSISTED CONCEPT
1 1 1
Mohammad Nurul MISBAH* , Achmad ZUBAYDI , MURDIJANTO , and Ahmad
1
NASIRUDIN
1
Department of Naval Architecture and Shipbuilding Engineering,
Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: mnmisbah@na.its.ac.id

Abstract

Energy efficient and environmentally friendly is a very crucial issue lately. Ferry Sail-Assisted concept is one of the
solution for Indonesia waterway. In this study, three of sail shapes is applied i.e. rectangular, triangle, and trapezium.
Using CFD (Computer Fluid Dynamics) simulation, the forces of the sails is analysed. Base on the forces, the stability
and seakeeping performace of the ferry is analysed. The results are, ship stability caused by the sail has already
complied with the IMO criteria and the seakeeping performance show that the significant condition of heaving, rolling,
and pitching motion occur at the angle of attack 135 with 0,611 m amplitude, 90 with 7.63 m amplitude, and 0 with
2.66 m amplitude respectively.

Keywords: Ferry Sail-Assisted Concept, CFD, stability, seakeeping performance

1. Pendahuluan
Energi merupakan isu yang cukup krusial bagi masyarakat dunia, terutama semenjak terjadinya
krisis minyak dunia pada awal dan akhir dekade 1970-an sehingga sampai saat ini harga
minyak terbilang tidak murah. Dengan kondisi tersebut, saat ini negara-negara di dunia
berlomba untuk mencari dan memanfaatkan sumber energi alternatif untuk menjaga keamanan
ketersediaan sumber energinya.

Begitu juga Indonesia, untuk menjaga ketahanan sumber energinya, maka dikeluarkan
keputusan presiden RI No. 5 tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional, dimana salah
satunya yaitu penggunaan sumber energi yang dapat diperbaharui seperti biofuel, energi
matahari, energi angin, energi gelombang dan arus samudra, dan geotermal.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dalam makalah ini dicoba untuk membahas
pemakaian layar pada kapal motor ferry dalam rangka hemat bahan bakar dan ramah
lingkungan. Stabilitas dan olah gerak kapal akibat pemasangan layar dianalisis dengan
menggunakan simulasi pada software Maxsurf. Analisis ini dibatasi pada kondisi yang
disyaratkan IMO pada Intact Stability Code. Sedangkan untuk bentuk layar, dibatasi pada
bentuk segi empat, segi tiga dan trapesium.

2. Studi Pustaka
2.1. Kapal Hemat Energi dan Ramah Lingkungan
Konsep kapal hemat energi dan ramah lingkungan telah banyak dikembangkan di negara-
negara maju. Salah satu konsep untuk mendapatkan kapal yang hemat energi dan ramah
lingkungan adalah dengan cara mencari alternatif sistem propulsi yang dipakai di kapal.

ORourke (2006) melaporkan sebuah studi mengenai berbagai sistem propulsi yang dapat
digunakan untuk kapal angkatan laut Amerika Serikat dengan tujuan untuk mengurangi
penggunaan energi bahan bakar minyak. Dalam laporan tersebut diungkapkan bahwa hal-hal
yang dapat menghemat energi adalah efisiensi penggunaan alat-alat elektronik di kapal.

Sebuah penelitian lain yang telah dilakukan pada tahun 2001 menunjukkan bahwa kapal perang
yang dilengkapi dengan alat elektronik yang efisien dan menggunakan sistem propulsi elektrik
ternyata dapat mengurangi penggunaan bahan bakar minyak antara 10% hingga 25%.
Selain menggunakan sistem propulsi elektrik, cara lain untuk mengurangi penggunaan bahan
bakar adalah kapal didesain dengan memakai bulbous bow dan stern flap atau kapal yang
memanfaatkan teknologi fuel cell, penggunaan hydrocarbon sebagai alternatif pemakaian
bahan bakar, dan penggunaan tenaga nuklir.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 91


Pada tahun 2006 ORourke juga memberikan sebuah laporan mengenai penghematan bahan
bakar untuk sebuah kapal yang lain, yaitu dengan mengaplikasikan sistem propulsi layar dan
tenaga surya.

2.2. Kapal Layar Modern dan Tipe Layar yang Digunakan


Kapal dengan sistem propulsi layar telah banyak digunakan sejak berabad-abad yang lalu, dan
sampai saat ini sistem propulsi/ penggerak tersebut masih tetap digunakan, baik yang
sepenuhnya menggunakan tenaga penggerak layar maupun gabungan antara mesin dan layar.

Dengan berkembang pesatnya ilmu dan teknologi akhir-akhir ini, telah banyak desain layar
yang telah dikembangkan dengan tujuan untuk mendapatkan gaya dorong layar yang optimal
dan mudah dalam pengoperasiannya.

Kapal Layar Motor modern menggunakan kombinasi 50% motor dan 50% layar, meskipun pada
kenyataannya lebih menitik beratkan pemenuhan kebutuhan power pada motor. Namun dengan
adanya perkembangan desain dan material layar yang lebih modern saat ini, kombinasi yang
efektif antara layar dan motor sangat dimungkinkan (Pike, 1993).

Tujuan sebenarnya dari Kapal Layar Motor adalah untuk mendapatkan kapal dengan
kemampuan kecepatan menjelajah yang ideal (Pike, 1993). Selain itu kapal layar motor juga
harus memiliki kemampuan yang baik dalam beroperasi pada saat kondisi cuaca buruk, baik
pada saat menggunakan layar maupun motor.

Dengan adanya power dari motor dan rig (layar beserta perlengkapannya) yang cukup
memadai, pemilik kapal tidak akan terlalu menggantungkan pemenuhan daya untuk penggerak
kapal pada salah satu propulsor saja. Dengan kombinasi antara motor dan layar operasi kapal
akan lebih aman, karena apabila salah satu diantarnya mengalami kegagalan maka kapal akan
tetap akan bias beroperasi dengan salah satu penggerak.

Konsep Kapal Layar Motor yang pernah dikembangkan di Indonesia adalah kapal Maruta
Jaya. Kapal Maruta Jaya merupakan konsep kapal hemat energi yang merupakan proyek
kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jerman pada tahun 1980-an
(Schenzel, 1983; Wiriadidjaja, 1985). Ada beberapa seri Kapal Maruta Jaya yang
dikembangkan, namun yang terealisasi adalah kapal barang dengan bobot 900 DWT.

2.3. Stabilitas Kapal Layar


Banyak sekali faktor yang mempengaruhi stabilitas sebuah kapal, dan kebanyakan dari faktor-
faktor tersebut adalah bersifat sementara. Ada dua buah gaya yang bekerja pada lambung :
bouyancy, yang bekerja secara vertikal ke atas sepanjang garis centre of bouyancy (CB), dan
gaya gravitasi yang bekerja secara vertikal ke bawah sepanjang garis centre of gravity (CG).
Kedua gaya-gaya di atas masing-masing besarnya sama dengan berat kapal, dan ketika
berada di atas air kedua gaya tersebut besarnya sama dan bekerja saling berlawanan
disepanjang garis vertikal yang sama. Hal ini bisa dilihat dari kapal yang tidak sedang bergerak
dan masih berada di atas air, sehingga kapal tersebut bisa dikatakan dalam kondisi seimbang
(even keel).

Centre of bouyancy adalah titik pusat geometris dari volume bagian badan kapal yang berada di
bawah air. Apabila kapal miring, kondisi dari bagian lambung yang berada di bawah air akan
berubah, dan CB akan bergerak/berubah posisi secara horisontal dan tetap secara vertikal
berada pada geometrical centre dari bagian lambung yang berada di bawah air. Meskipun
diasumsikan tidak ada gerakan pada kapal, CG akan tetap berada pada posisi yang sama pada
lambung kapal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 92


Gambar 1. Visualisasi momen heeling dan momen pengembali (Marchaj, 1982)

Dengan demikian didapatkan kondisi di mana gaya gravitasi yang bekerja ke arah bawah dan
gaya bouyancy yang bekerja ke arah atas berada tidak pada satu garis vertikal. CB akan selalu
bergerak ke sisi yang lebih rendah dari lambung, karena bagian lambung yang tercelup air akan
bertambah pada saat kapal miring. Lengan gaya positif akan terbentuk dari bouyancy dan gaya
gravitasi, yang mana di harapkan dapat membuat kapal terangkat dan kembali ke posisi
seimbang (equilibrium).

Stabilitas bisa didefinisikan sebagai kemampuan alami kapal untuk kembali ke posisi awal
setelah mendapatkan gaya dari angin dan gelombang. Stabilitas kapal tergantung pada : (a)
bentuk dari lambung kapal, (b) distribusi ballast sebagai hubungannya dengan betuk penuh
kapal, (c) besar gaya aerodinamis, (d) posisi kapal ketika beroperasi dengan layar dalam
berbagai kondisi cuaca.

Apabila keseimbangan gaya aerodinamis dan hidrodinamis tidak bisa dijaga maka tidak akan
ada momen yang berlawanan dengan momen heeling (MH), dan selanjutnya kapal akan terus
miring dengan sudut dan akan terus bertambah selama tidak ada momen yang berlawanan.
Sehingga dibutuhkan MR (righting moment) yang berlawanan dengan MH (heeling moment)
yang secara matematis bisa ditulis :
MR = x RA ......................(1)
Untuk memperoleh keseimbangan maka MR harus sama dengan MH. Hal tersebut bisa dilihat
dari pada gambar 1.

Gambar 2. Pertambahan sudut heeling kapal (Marchaj, 1982)

Apabila bertambah maka momen heeling juga akan semakin bertambah.Dengan menganalisa
gambar 2, di mana diasumsikan gerakan kapal adalah steady begitu juga dengan , maka
righting momen akan konstan dan MR tetap harus seimbang dengan heeling momen. Sehingga
didapat :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 93


MH = MR = FH x (h x h) ....................(2)

Di mana :
1. h adalah tinggi dari CE (Center of effort) ke CLR (Center of lateral resistance)
2. (h x h) adalah jarak dari CE (Center of effort) ke CLR (Center of lateral resistance)
ketika centerboard pada posisi rendah atau miring.

Untuk kapal layar ada kriteria stabilitas tambahan, karena penggunaan layar harus memenuhi
persyaratan daya tahan terhadap angin dan rolling (kriteria cuaca) dengan kriteria sebagai
berikut :
1. Sudut oleng pada kondisi steady wind tidak lebih besar dari 16 .
2. Perbandingan sudut oleng pada kondisi steady wind dengan sudut geladak tenggelam
tidak lebih besar dari 80%.
3. Luas area b harus lebih besar dari area a (b a).

Gambar 3. Kriteria cuaca (Intact Stability Code, 2002)


Keterangan pada gambar 3 didefinisikan sebagai berikut :
0 : Sudut oleng pada kondisi steady wind : 16 atau 80% sudut geladak tenggelam,diambil
yang terkecil, dianjurkan sampai maksimum.
1 : Sudut putar (roll) arah darimana angin bertiup karena kondisi gelombang.
o
2 : Minimum dari f, 50 , c
f : Sudut oleng dimana bukaan pada lambung, bangunan atas atau rumah geladak, yang tidak
dapat tertutup kedap air, tenggelam.
c : Sudut pada perpotongan kedua antara lengan oleng angin (wind heeling lever lw2 ) kurva
lengan stabilitas (GZ).

3. Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan perhitungan numerik menggunakan
software komersial seperti CFD dan Maxsurf. Perhitungan numerik diaplikasikan untuk
merancang layar, menghitung stabilitas dan olah gerak kapal akibat interaksi antara badan
kapal dengan layar.

Estimasi massa dan titik pusat massa kapal dilakukan sebagai langkah awal untuk melakukan
perhitungan stabilitas. Estimasi massa dan titik pusat massa dilakukan dengan menggunakan
perhitungan pendekatan.

Pemodelan kapal dan layar dilakukan pada software maxsurfpro dan CFD terhadap badan
kapal dan pemasangan layar pada kapal tersebut. Pada software CFD bentuk layar divariasikan
menjadi tiga bentuk, yaitu segitiga, persegi dan trapesium. Pemodelan dilakukan dengan
memperhatikan beberapa kondisi batas seperti volume fluida/angin yang akan dilakukan
analisis. Volume tersebut dinyatakan dalam batas fluida terhadap layar baik secara vertikal,
horisontal melintang, maupun horisontal memanjang. Batasan tersebut ditentukan dengan
dasar bahwa batasan-batasan tersebut tidak akan mempengaruhi terhadap aliran fluida yang

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 94


melewati layar.

Di dalam pemodelan CFD, dilakukan pemodelan kapal dan layar secara 3D dengan berbagai
variasi pemodelan yang telah ditentukan. Analisa besarnya gaya yang bekerja pada layar dapat
dilakukan dengan memodelkan layar dan memasukkan kondisi batasnya. Hasil keluaran dari
pemodelan CFD ini adalah besarnya gaya Lift dan Drag pada layar. Untuk analisa layar ini
digunakan pemodelan pada software Ansys ICEM CFD dan CFX.

Proses selanjutnya yaitu melakukan analisis terhadap stabilitas kapal dan olah gerak kapal
setelah dipadukan dengan layar menggunakan software hydromax dan seakeeper. Jika kriteria
di atas tidak terpenuhi, maka dilakukan proses ulang mengenai penentuan badan kapal,
sehingga kriterianya tercapai. Untuk perhitungan stabilitas kapal dilakukan pada kondisi kapal
dengan muatan penuh dan kapal dengan muatan kosong.

4. Analisis dan Pembahasan


4.1 Pemodelan Bentuk Layar
Bentuk-bentuk layar yang dimodelkan adalah betuk layar segi empat, segi tiga dan trapesium
berdasarkan acuan bentuk layar. Acuan bentuk layar yang digunakan adalah bentuk layar segi
empat yang telah dihasilkan dari penelitian sebelumnya. Adapun ukuran layar acuan adalah (a)
2
luas 149 m , tinggi 16 m dan lebar 9,2 m. Dengan menggunakan acuan luas layar dan lebar
layar yang tetap, maka dilakukan variasi layar segitiga dan trapezium

Proses Grid independence dilakukan terhadap layar segi empat dimana hasil ini akan
diterapkan pada layar betuk segitiga dan trapesium. Adapun hasil dari grid independence
tersebut dapat dilihat pada tabel dan grafik di bawah.

Tabel 1. Grid Independence


Jumlah Gaya-gaya (N)
No
Meshing Lift Drag
1 621365 10,543 6710,7
2 1053327 1,065 6865,1
3 1341076 0,985 7048,2
4 1474322 0,999 7067,3

Berdasarkan hasil grid independence untuk layar segi empat, maka elemen dengan jumlah
lebih dari 1341076 buah tidak mengalami perubahan hasil yang signifikan. Sehingga jumlah
elemen dengan jumlah sekitar 1.34 juta tersebut dapat dijadikan sebagai acuan untuk bentuk
segitiga dan trapesium.

Dari ketiga bentuk layar tersebut, hasil simulasi CFD (tabel 2, 3, 4) menunjukkan bahwa
layar dengan bentuk segitiga memiliki gaya dorong paling besar dibandingkan dengan layar
dengan bentuk trapesium maupun segi empat. Perbedaan gaya dorong bentuk segitiga dan
trapesium tidak terlalu besar, namun jika dibandingkan dengan layar bentuk segi empat gaya
dorong yang dihasilkan oleh layar segitiga jauh lebih besar. Hal ini dapat dilihat pada gambar
di bawah

Tabel 2. Nilai driving force,FR dan heeling force,FH Layar Segi empat
NO Angle of Attack DRAG (N) LIFT (N) FR FH
1 45 3716.94 3761.4 180 3716.94 -3761.4
2 60 6191.11 3512.24 180 6191.11 -3512.2
3 90 7067.32 0.99924 180 7067.32 -0.9992

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 95


Tabel 3. Nilai driving force,FR dan heeling force,FH Layar Segitiga
NO Angle of Attack DRAG (N) LIFT (N) FR FH
1 45 4147.69 4147.69 180 4147.69 -4147.7
2 60 6959.22 3663.33 180 6959.22 -3663.3
3 90 8318.12 8.193 180 8318.12 -8.193

Tabel 4. Nilai driving force,FR dan heeling force,FH Layar Trapesium


NO Angle of Attack DRAG (N) LIFT (N) FR FH
1 45 3862.34 3930.05 180 3862.34 -3930.1
2 60 6806.76 3587.27 180 6806.76 -3587.3
3 90 8234.46 2.50989 180 8234.46 -2.5099

Layar dengan bentuk segitiga menghasilkan gaya dorong yang lebih besar dengan bentuk
trapesium maupun segi empat diindikasikan karena layar bentuk segitiga menghasilkan
aliran penghambat (induce drag) lebih kecil pada ujug atas layar dibandingkan layar bentuk
trapesium dan segi empat. Hal ini lebih dikarenakan bentuk segi tiga memiliki ujug atas yang
lancip. Semakin tumpul bentuk ujung layar bagian atas, maka induce drag yang dihasilkan
akan semakin besar sehingga gaya dorong layar menjadi berkurang. Hal ini sama dengan
fenomena yag terjadi pada sayap pesawat terbang.

4.2 Analisis Stabilitas


Perhitungan persyaratan stabilitas utuh (intact stability) untuk kapal ferry dapat mengacu pada
persyaratan IMO INTACT STABILITY for All Types of Ships Covered by IMO Instruments
Resolution A.749(18).Persyaratan yang ada adalah digunakan untuk persyaratan stabilitas
pada kapal-kapal penyebrangan dengan panjang garis muat lebih dari 24 meter.

Tabel 5. Kriteria stabilitas awal kapal


Loadcase Numbers
CRITERIA IMO REQ
1 2 3 4 5

A.749(18) Ch3 - Design criteria applicable to ALL SHIPS


3.1.2.1 Area under Curve 0 - 30 deg (m.deg) 3.151 27.423 23.425 21.347 28.787 25.366
3.1.2.1 Area under Curve 0 - 40 deg (m.deg) 5.157 39.415 35.911 31.38 43.406 38.564
3.1.2.1 Area under Curve 30 - 40 deg (m.deg) 1.719 11.992 12.486 10.033 14.619 13.198
3.1.2.2 Max GZ at 30 or greater (m) 0.2 1.255 1.254 1.046 1.47 1.327
3.1.2.3 Angle of maximum GZ (deg) 25 25 34 27 33 33
3.1.2.4 Initial GMt (m) 0.15 4.995 3.496 3.419 4.601 3.9

Dari analisis perhitungan stabilitas awal dari kapal, untuk kapal penyebrangan memenuhi
stability persyaratan IMO INTACT STABILITY for All Types of Ships Covered by IMO
Instruments Resolution A.749(18). Berikut adalah rekapitulasi hasil dari perhitungan stabilitas
awal kapal.

Dari hasil perhitungan stabilitas tersebut, nilai aktual untuk persyaratan stabilitas kapal masih
lebih besar jika dibandingkan dengan kriteria persyaratan IMO. Terutama untuk nilai area di
bawah kurva GZ, hal ini menandakan bahwa kapal mempunyai momen pengembali yang lebih
besar jika dibandingkan dengan yang disyaratkan oleh peraturan IMO. Pada Tabel 9 di atas
menunjukkan bahwasanya nilai area di bawah grafik GZ yang paling besar adalah pada kondisi
4 (Kapal pada kondisi muatan kosong, BBM, provision, dan air tawar dalam keadaan penuh).
Hal ini disebabkan oleh karena posisi titik berat terhadap keel (KG) kapal pada kondisi ini
cenderung lebih rendah.

Sedangkan untuk kondisi kapal yang nilai aktual persyaratan stabilitasnya paling kecil adalah
kondisi 3. Pada kondisi ini diasumsikan kapal tiba di home port dengan kondisi BBM, provision,
air tawar tinggal 10 % dan muatan penuh. Lengan pengembali kapal (lengan GZ) pada kondisi
3 ini mempunyai harga yang paling kecil untuk setiap sudut oleng kapal. Oleh karena itu para

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 96


awak kapal dan pemilik kapal harus lebih waspada apabila kapal akan mendekati fase fase
kondisi 3.

Akibat adanya pemasangan layar sebagai alat penggerak bantu kapal, maka perhitungan teknis
terhadap stabilitas kapal perlu dilakukan kembali. Oleh karena dengan adanya penambahan
layar, maka akan terjadi perubahan berat dan titik berat kapal. Sebagai kompensasi dari
adanya layar, kapal akan mendapatkan gaya tambahan, yakni gaya aerodinamis yang bekerja
melintang kapal (heeling force). Adanya heeling force tersebut dikarenakan kedudukan/ posisi
kapal yang membentuk sudut terhadap arah angin (apparent wind angle). Akibatnya komponen
gaya aerodinamis dijabarkan menjadi driving force (gaya yang searah dengan arah kapal) dan
heeling force (gaya yang tegak lurus dengan arah kapal). Untuk perhitungan kriteria stabilitas
dengan penambahan layar dari disajikan pada Lampiran.

Dari grafik lengan stabilitas akibat pengaruh pemasangan layar didapatkan bahwasanya
dengan adanya pengaruh heeling force akibat penambahan layar pada kapal, nilai perhitungan
stabilitas kapal terdapat weather condition yang tidak memenuhi criteria stabilitas. Kondisi
tersebut adalah saat terekstrim dari pemasangan layar dimana layar dipasang dengan angle of
0 0
attack 0 dengan arah angin dari samping kapal (apparent wind angle, 90 ). Dengan demikian
tidak direkomendasikan untuk pemasangan layar pada kondisi tersebut. Sebaiknya layar
0
digunakan pada saat angle of attack 90 dan angin dari belakang kapal (apparent wind angle,
0
0 ).

4.3 Analisis Gerak Kapal


Seakeeping performance diprediksi dengan menggunakan program naval engineering
software Maxsurf-Seakeeper. Perhitungan numerik dilakukan untuk mengetahui karakteristik
dan kinerja stabilitas dinamis kapal diatas gelombang laut.

Input program terdiri dua bagian. Pertama adalah data geometri kapal meliputi ukuran utama
kapal, body plan (lines plan), titik berat (CoG), titik apung (CoB), tinggi meta sentrik (MG), jari-
jari girasi untuk roll, pitch dan yaw. Kedua adalah data kecepatan kapal dan data kondisi
karakteristik gelombang laut.

Tabel 6. Resume Simulasi Perhitungan RMS dan Significant Amplitude Motion


Seastate - 3
0 0 0 0 0
Ship Motion 0 45 90 135 180
RMS Signf RMS Signf RMS Signf RMS Signf RMS Signf
Heave (m) 0.26 0.51 0.27 0.54 0.29 0.59 0.31 0.61 0.30 0.59
Roll (deg) 0.00 0.00 2.81 2.81 3.82 7.63 2.29 4.58 0.00 0.00
Pitch (deg) 1.33 2.66 2.45 2.45 0.83 1.65 0.94 1.88 1.04 2.08
Heave vel. (m/s) 0.12 0.25 0.15 0.30 0.22 0.44 0.29 0.57 0.29 0.57
Roll vel. (rad/s) 0.00 0.00 0.02 0.03 0.10 0.21 0.06 0.13 0.00 0.00
Pitch vel. (rad/s) 0.01 0.03 0.01 0.03 0.02 0.03 0.02 0.04 0.02 0.04
Heave acc. (m/s) 0.07 0.14 0.08 0.17 0.21 0.42 0.33 0.66 0.33 0.66
Roll acc. (rad/s) 0.00 0.00 0.01 0.03 0.18 0.36 0.11 0.23 0.00 0.00
Pitch acc. (rad/s) 0.01 0.02 0.01 0.02 0.02 0.04 0.04 0.07 0.03 0.07

Gerakan rolling, pitching & heaving merupakan rotational dan translational motions yang sangat
dominan pada kapal terhadap gelombang laut. Gerakan kapal tersebut dianalisa pada kondisi
o o
seastate-3, dengan arah gelombang 0 (following seas), gelombang 45 (stern quartering seas),
o o o
90 (beam seas), 135 (bow quartering seas ) & 180 (head seas). Sedangkan kecepatan kapal
adalah 8 knots dan kecepatan angin 4 knots.

Ketinggian gelombang yang disimulasikan pada perhitungan ini adalah 1.2 m sesuai dengan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 97


tinggigelombang signifikan di perairan Maluku, yang termasuk dalam seastate 3. Seastate
merupakan pengelompokkan gelombang berdasarkan tingginya. Yang dimaksud seastate 3
adalah gelombang dengan tinggi antara 0.5-1.25 meter. Spektrum gelombang yang digunakan
adalah tipe JONSWAP.

Gerakan kapal yakni rolling, pitching dan heaving serta kecepatan dan percepatannya dianalisa
melalui perhitungan program numerik. Adapun output yang dihasilkan adalah RMS (Root Mean
Square) dan Significant Amplitude.
0
Roll motion kapal maksimum terjadi pada kondisi arah gelombang 90 (beam seas). Untuk pitch
o
motion terjadi pada kondisi arah gelombang 0 (following seas). Sedang heave motion terjadi pada
o
kondisi arah gelombang 135 (bow quartering seas).

Roll Acceleration tertinggi terjadi pada kondisi beam seas yaitu sebesar 0.178rad/s (RMS) atau
sebesar 0.356rad/s (significant amplitude), sedang pitch acceleration tertinggi pada kondisi quarter
bow seas yaitu sebesar 0.035rad/s (RMS) atau sebesar 0.070rad/s (significant amplitude) dan
heave acceleration tertinggi adalah pada kondisi quarter bow seas yaitu sebesar 0.332m/s (RMS)
atau sebesar 0.664m/s (significant amplitude).

5. Kesimpulan

Dari simulasi berbagai bentuk layar, didapatkan bahwa untuk luas yang sama bentuk segitiga
dapat menghasilkan gaya dorong terbesar dibanding bentuk yang lain. Dengan simulasi
perhitungan stabilitas kapal diketahui bahwa kondisi stabilitas kapal tanpa layar memenuhui
semua kriteria IMO INTACT STABILITY. Sedangkan untuk kondisi menggunakan layar dengan
weather condition tidak memenuhi criteria stabilitas. Kondisi tersebut adalah kondisi paling
0
ekstrim dari pemasangan layar dimana layar dipasang dengan angle of attack 0 dengan arah
0
angin dari samping kapal (apparent wind angle, 90 ). Dan kondisi ini sebenarnya tidak pernah
0 0
terjadi karena sudut layar didesain hanya sebatas 45 hingga 135 .

Sedangkan dari hasil perhitungan gerak kapal disimpulkan bahwa untuk gerak heaving
significant amplitude terbesar terjadi pada gelombang dari arah 135 yaitu sebesar 0.611 meter,
untuk rolling terjadi pada gelombang dari arah 90 yaitu sebesar 7.63 dan untuk pitching pada
gelombang dari arah 0 yaitu sebesar 2.66.

References

Cooke Assosiates, Commercial History, Walker Wingsail and the MV Ashington, (1996), issue
of Pacific Maritime magazine.
Matsumoto, N., Inoue, M. (1982). Operating Performance of a Sail Equipped Tanker in Wave
nd
and Wind. 2 International Conference of Stability of Ships and Ocean Vehicles, p.451-464.
McKinney, M.L., Schoch, R.M., Enviromental Science: Systems and Solutions, Jones and
Bartlett Publisher, 1998
ORourke, R., Navy Ship Propulsion Technologies: Options for Reducing Oil Use
Background for Congress, CSR Report for Congress, December 2006.
Pike, D., Motor Sailing : Cruising Under Sail and Power, Adlard Coles Nautical London, 1993.
Schenzle, P., Wind as an Aid for Ship Propulsion, West European Graduate Ed. In Marine
Rechnology, Aug. 1983.
Shin Aitoku Maru [Online], Available: www.marine-marchande.net [1 Agustus 2009].
SkySail [Online], Available: http://www.skysails. info [1 Agustus 2009].
Wiriadidjaja, S., Schenzle, P., The Indonesian German Indosail Project, Regional Conference
on Sail Motor Propulsion, Manila, Nov. 1985
Yoshimura, Y., (2002). A Prospect of Sail-Assisted Fishing Boats. The Japaneses Society
Fisheries Science.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 98


ANALISA LENDUTAN DAN TEGANGAN DENGAN METODE ELEMEN HINGGA PADA
PELAT SISI KAPAL AKIBAT BEBAN SISI DAN VARIASI JARAK GADING
*1 1
Teguh PUTRANTO , Asjhar IMRON
1
Departement of Naval Architecture and Shipbuilding, Faculty of Marine Engineering,
ITS-Surabaya
*
Email : theories@na.its.ac.id

Abstract

Finite Element Method and Finite Difference Method are used to analysis a stiffened plate at a pontoon. The plate is
confined by watertight bulkhead and several boundary conditions. The external force is taken from the BKI rules as
hydrostatic force per unit area acting on ship hull. The result between two methods are relatively the same for the large
number of elements .The stiffeners space are taken 0.6, 0.65, 0.7, 0.75, 0.8 m. The boundary condition located in deck
and bottom is fixed-support, and simply support in bulkhead.. The bulkheads space are taken twice and three times
spacing of the web frame. The result shows that the largest displacement is 2.875 mm at the stiffener space 0.8 m, and
the bulkhead space is three times that of the web frame. The smallest displacement is 2.230 mm at the stiffener space
0.65 m, and the bulkhead space is twice times spacing of web frame. In this study, the first conditions, the plate has
fixed support at the deck and the bottom, and simply support at the bulkhead. The second conditions, the plate has
simply support at all of edges. The analysis shows that maximum displacement (2.230 mm) and stress (0.131 GPa)
occurs when the first condition with the stiffener space is 0.65 and two web frames in between bulkheads. The
maximum displacement (3.496 mm) and stress (0.177 GPa) occurs when the second condition and the same stiffener
space. The result confirms that simply supported boundary condition is always more conservative than that of fixed
supported one. The maximum stress in the fixed-simply supported case is less than the allowable stress according to
the BKI rules.

Keywords: finite element method, finite difference method, hydrostatics force

1. Pendahuluan
Penentuan material untuk pembangunan kapal harus dihitung berdasarkan beberapa aspek
meliputi berat, kekuatan, dan harga material. Secara umum, semakin besar material yang
digunakan untuk membangun kapal maka kapal akan semakin kuat. Akan tetapi, kapal adalah
benda yang terapung di fluida cair yang mematuhi hukum archimedes. Berat air yang
dipindahkan sama dengan berat kapal tersebut. Oleh karena itu, kapal harus memiliki material
yang efisien untuk dapat memenuhi hukum tersebut. Selain untuk memenuhi hukum tersebut,
kapal yang berlayar akan mengalami sangging maupun hogging. Keadaan ini membuat badan
kapal melengkung yang mengakibatkan tegangan pada struktur kapal. Tegangan yang terjadi
pada strukutr kapal tidak boleh melebih tegangan izin dari material. Perlu diperhatikan dalam
menentukan sistem konstruksi dan pemilihan profil dan pelat.

Badan kapal akan semakin kaku apabila memiliki jarak penegar yang lebih rapat untuk kondisi
dimensi penegar yang sama pada setiap variasi jarak gading. Akan tetapi, dimensi penegar
adalah fungsi dari jarak penegar sehingga modulus penegar untuk setiap jarak gading akan
memiliki nilai yang berbeda. Besarnya tegangan yang terjadi pada struktur kapal tidak dapat
dikatakan selalu meningkat setiap peningkatan jarak gading. Pemilihan jarak gading yang tepat
akan mengefisienkan pemilihan material dalam pembangunan kapal.

Tegangan yang terjadi pada suatu pelat dipengaruhi oleh lendutannya. Metode elemen hingga
dan metode beda hingga dapat dijadikan metode untuk menentukan lendutan suatu pelat.
Dewasa ini, metode elemen hingga adalah metode yang sering digunakan untuk memecahkan
permasalahan struktur baik untuk menentukan lendutan maupun tegangan. Tujuan dari
penelitian ini adalah menentukan besar lenturan dan konsentrasi tegangan, membandingkan
hasil lenturan antara Metode Elemen Hingga dengan Metode Beda Hingga, membandingkan
antara tegangan dari metode elemen hingga dengan tegangan izin dari Biro Klasifikasi
Indonesia, dan menentukan kekonservatifan antara tumpuan jepit dengan tumpuan sederhana.

Penelitian tentang analisa lenturan dengan metode elemen hingga dengan metode beda hingga
sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Analisa dilakukan pada pelat alas kapal
dengan tekanan konstan pada bidangnya. Pada penelitian kali ini, analisa dilakukan pada pelat
sisi dengan tekanan yang berubah-ubah pada bidangnya. Penentuan nodal load equivalent
menjadi point penting untuk menyelesaiakan dengan metode elemen hingga.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 99


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi metode untuk penyelesaian pelat berpenegar pada
tekanan berubah-ubah dalam menentukan lenturan dan konsentrasi tegangan dengan metode
elemen hingga.

2. Tinjauan Pustaka

Analisa lenturan antara metode elemen hingga dan metode beda hingga pernah dilakukan oleh
peneliti lainnya. Hal yang dibahas adalah faktor-faktor yang mempengaruhi lendutan dan jumlah
elemen yang digunakan. Metode Elemen Hingga dengan menggunakan finite element package
dan metode beda hingga dengan dibantu oleh visual basic dalam pembuatan programnya.
Kondisi batas yang digunakan pada penelitian tersebut adalah tumpuan jepit dan sederhana.
Pembebanan dilakukan pada pelat alas yang mana beban tersebut konstan terhadap luas alas.

Penelitian menggunakan pembebanan kurva yang mana pembebanan ini akan


ditransformasikan ke pembebanan segitiga. Pembebanan kurva ini berubah-ubah pada luas.
Hal ini disebabkan karena pelat sisi pada kapal dikenai oleh gaya hidrostatik yang mana gaya
tersebut adalah fungsi dari ketinggian. Untuk kondisi tumpuan, penelitian ini memakai kondisi
tumpuan jepit di alas dan geladak, tumpuan sederhana di sekat, Tumpuan sederhana di setiap
sisi. Hal ini akan menunjukkan kekonservatifan hasil lenturan dan tegangan akibat variasi
tumpuan. Penelitian ini membahas perbandingan antara hasil tegangan yang didapatkan dari
Metode Elemen Hingga dengan tegangan izin dari Biro Klasifikasi Indonesia. Pembagian
elemen menggunakan elemen segiempat karena memiliki 4 node pada setiap elemennya.

Analisa penentuan elemen merupakan alternatif untuk mendefinisikan suatu penegar.


Penelitian ini membahas tentang pendefinisian suatu penegar pada pelat yang diasumsikan
oleh suatu garis yang memiliki kekakuan sama dengan penegar tersebut. Pendefinisian
penegar tersebut telah diterapkan pada software NISA. Pemodelan ini dapat membantu
permasalahan pada suatu pelat berpenegar atau lebih dikenal dengan sifat ortotropis pelat.
Pada penelitian ini, digunakan pendefinisian pelat pada finite element software dengan suatu
garis yang kaku. Hal ini mempermudah pemodelan dan mengurangi missing model pada
penelitian ini. Elemen segiempat adalah bentuk elemen yang digunakan pada penelitian ini.

3. Dasar Teori
Penyelesaian dengan metode elemen hingga dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Pembagian elemen disesuaikan dengan jarak gading dan jarak sarat. Pelat dibatasi oleh jarak
sekat 2 kali jarak gading besar maka pembagian elemennya dimulai dari 10x8, 20x16, 30x24,
40x32, dan 50x40. Pelat dibatasi oleh jarak sekat 3 kali jarak gading besar maka pembagian
elemennya dimulai dari 15x8, 30x16, 45x18, 60x32, dan 75x40.

Penentuan Nodal Load Equivalent atau gaya simpul di setiap titik.

Fi = p(x) fi(x,y) dxdy (1)

dengan :

Fi : Gaya atau momen pada setiap titik.

p(x) : Beban tekanan.

fi(x,y) : Konstanta dari persamaan lenturan.

Untuk menentukan fi(x,y) harus diketahui persamaan lenturan pelat [5].


2 2 3 2 2 3 3 3
w(x,y) = c1+c2x+c3y+c4x +c5xy+c6y +c7x +c8x y+c9xy +c10y +c11x y+c12xy (2)

Persamaan lenturan pelat di atas, dapat dilihat dengan jelas dengan menggunakan segitiga
pascal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 100
1

x y
2 2
x xy y
3 2 2 3
x xy xy y
4 3 2 2 3 4
x xy xy xy y

Penyelesaian dengan metode beda hingga dimulai dari penentuan jumlah elemen dilakukan
dengan cara yang sama pada metode elemen hingga. Penentuan persamaan diferensial pelat
ortotropis.

4w 4w 4w (3)
Dx 2 B 2 2 D y 4 p z (m, n)
x 4
x y x

Penyelesaian persamaan diferensial pelat ortotropis ini dengan menggunakan metode numerik.

4w
4 4 wm 2, n 4wm 1, n 6wm, n 4wm 1, n wm 2, n
1 (4)
x m, n

4w
4 4 wm, n 2 4wm, n 1 6wm, n 4wm, n 1 wm, n 2
1 (5)
y m, n

4wm,n 2( wm1,n wm1,n


4w 1 (6)
2 2 4 wm,n1 wm,n 1 ) wm1,n1
x y m,n
wm1,n1 wm1,n 1 wm1,n1

Penentuan ukuran profil penegar dengan menggunakan peraturan dari Biro Klasifikasi
Indonesia.

Modulus gading biasa :


2
W = n c a l cr p s k (7)

Modulus gading besar :


2
W = 0,55e l ps k n (8)

Untuk beban sisi, ps digunakan persamaan :

Beban statis di bawah garis air :


p s 10(T Z ) p0 .c F (1
Z
)
(9)
T
Z Z y (10)
ps 10(T Z ) p01[1 (1 )].2.( )
T T B

Beban statis di atas garis air :

20. p0 .c F
ps
(10 Z T ) (11)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 101
y
p s 20. p01.
(5 z T ) B (12)
Persamaan beban diatas diambil nilai yang terbesar pada beban di atas garis air dan beban di
bawah garis air.

4. Metodologi
Pada kasus ini, suatu pelat berpenegar dan dibatasi oleh jarak sekat serta jarak alas dan
geladak. Pelat tersebut dibagi menjadi beberapa elemen sesuai dengan jarak penegarnya dan
jarak saratnya. Ukuran profil penegar menggunakan peraturan Biro Klasifikasi Indonesia dan
tebal pelat diambil 12 mm.
Hasil lenturan didapatkan dari Metode Elemen Higga dan Metode Beda Hingga. Metode
Elemen Hingga dibantu oleh software of finite element, sedangkan metode beda hingga dibantu
oleh excel.

Metode elemen hingga dimulai dari penentuan jumlah elemen ditentukan oleh pembagian
elemen. Penomoran titik ditentukan untuk menentukan beban simpul dan lenturan yang terjadi.
Beban simpul terdiri dari gaya dan momen. Setiap titik memiliki 3 derajat kebebasan.

Metode beda hingga dimulai dari penentuan jumlah elemen yang ditentukan oleh pembagian
elemen. Pembagian elemen ini sama dengan pembagian elemen pada metode elemen hingga.
Penomoran jaringan antara metode elemen hingga dengan metode beda hingga terdapat
perbedaan pada daerah tumpuannya. Metode elemen hingga daerah tumpunannya diberi
nomor sedangkan metode beda hingga daerah tumpuannya tidak diberi nomor tetapi diberi
nomor fiktif/khayal pada luar daerah tumpuan.

Gambar 1. Model pelat dengan finite element software.

Sistem tumpuan dianalisa tumpuan jepit pada alas dan geladak, serta tumpuan sederhana
pada sekat, tumpuan sederhana pada setiap sisi. Tumpuan jepit pada alas dan geladak
digunakan pada analisa lenturan antara metode elemen hingga dengan metode beda hingga
dan menentukan lenturan dan tegangan maksimum.

Jarak sekat divariasikan, jarak sekat 2 kali jarak gading besar dan jarak sekat 3 kali jarak
gading besar. Hasil Tegangan yang didapatkan dari metode elemen hingga dibandingkan
dengan tegangan izin dari Biro Klasifikasi Indonesia. Tegangan izin dari Biro Klasifikasi
Indonesia diambil 180 MPa. Hasil tegangan dari tumpuan jepit-jepit dibandingkan dengan
tumpuan sederhana-sederhana untuk menentukan kekonservatifan lenturan dan tegangan dari
perbedaan tumpuan tersebut.

5. Analisis dan Pembahasan


Pada penelitian ini, diambil kapal ponton dengan ukuran sebagai berikut :
L = 102,626 m

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 102
B = 30,48 m

T = 4,5 m

H =6m

Cb = 0,9

Hasil lenturan yang diperoleh dari metode elemen hingga dan metode beda hingga pada
masing-masing jumlah elemen dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. Besat lenturan pada jarak gading 0.65 m dan jarak sekat 2 kali jarak gading besar.

Besar Lenturan dan Konsentrasi Tegangan pada setiap jarak gading dapat dilihat pada Grafik 2
dan 3 (tumpuan jepit pada alas dan geladak, tumpuan sederhana pada sekat).

Tabel 1. Besar lenturan dan tegangan pada jarak sekat 2 kali jarak gading besar.

No. Jarak Gading Lenturan max. (m) Tegangan max. (GPa)

1 0.6 0.002499 0.149

2 0.65 0.002230 0.144

3 0.7 0.002367 0.139

4 0.75 0.002701 0.147

5 0.8 0.002875 0.154

Tabel 2. Besar lenturan dan tegangan pada jarak sekat 3 kali jarak gading besar.

No. Jarak Gading Lenturan max. (m) Tegangan max. (GPa)

1 0.6 0.002514 0.145

2 0.65 0.002282 0.131

3 0.7 0.002411 0.139

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 103
4 0.75 0.002754 0.148

5 0.8 0.003032 0.158

Grafik 2. Besar lenturan pada setiap jarak gading

Grafik 3. Besar tegangan pada setiap jarak gading


Hasil lenturan dan konsentrasi pada jarak gading 0.65 dan 0.8 m dibandingkan dengan
tegangan izin dari Biro Klasifikasi Indonesia. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4
(tumpuan jepit pada alas dan geladak, tumpuan sederhana pada sekat).

Tabel 3. Tegangan pada jarak gading 0.65 m

Tegangan izin
Tegangan dari FEM
Rasio
(GPa)
(GPa)

Jarak sekat 2 kali jarak


0,144 0,180 0,800
gading besar

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 104
Jarak sekat 3 kali jarak
gading besar 0,131 0,180 0,727

Tabel 4. Tegangan pada jarak gading 0.8 m

Tegangan izin
Tegangan dari FEM
Rasio
(GPa)
(GPa)

Jarak sekat 2 kali jarak


0,158 0,180 0,877
gading besar

Jarak sekat 3 kali jarak


0,154 0,180 0,855
gading besar

Pengaruh jenis tumpuan dianalisa untuk mengetahui kekonservatifan tegangan yang terjadi.
Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 (tumpuan sederhana pada setiap sisi).

Tabel 5. Tegangan pada jarak gading 0.65 m

Tegangan izin
Tegangan dari FEM
Rasio
(GPa)
(GPa)

Jarak sekat 2 kali jarak


0,201 0,180 1,116
gading besar

Jarak sekat 3 kali jarak


0,177 0,180 0,983
gading besar

Tabel 5 dapat dibandingkan dengan Tabel 3, tegangan pada tumpuan sederhana lebih besar
dari pada tegangan pada tumpuan jepit-sederhana.

6. Kesimpulan dan Saran


Dari hasil analisa didapatkan beberapa kesimpulan adalah sebagai berikut :

1. Pada jarak sekat 2 kali maupun 3 kali jarak gading besar, lenturan terbesar terjadi pada jarak
gading 0.8 m dan lenturan terkecil terjadi pada jarak gading 0.65 m.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi besar lenturan antara lain, modulus elastisitas, ukuran
profil dan tebal pelat, sistem konstruksi, dan jenis tumpuan yang dipakai.

3. Metode elemen hingga dan metode beda hingga menghasilkan besar lenturan yang relatif
sama pada jumlah elemen besar.

4. Tumpuan sederhana pada semua sisi lebih konservatif dibandingkan dengan tumpuan
campuran (jepit-sederhana). Hal ini dapat dibuktikan pada pengujian antara kondisi batas
campuran (jepit-sederhana) dengan kondisi batas sederhana di semua sisi.

Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti variasi tumpuan dan membandingkan
antara perhitungan lenturan dan tegangan pada kondisi model seluruhnya dengan model
sebagian.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 105
References
Wibowo, L.A, Analisa Pengaruh Jarak Penegar Terhadap Besar Lendutan dengan Metode Beda
Hingga, Jurusan Teknik Perkapalan ITS, Surabaya, 2010.
Xuan, N., Rabczuk T., Bordas, S., and Debongni, J.F., A Smoothed Finite Element Method For
Plate Analysis, Mechanical Engineering, University of Canterbury, 2008.
Kumar, S. and Mukhopadhya, M., Finite Element Analysis of Ship Structure Using A New
Stiffened Plate Element, Departement of Ocean Engineering and Naval Architecture, Indian
Institute of Technology, Kharagpur 721 302, India, 2000.
Yang, T.Y., Finite Element Structural Analysis, Prentice-Hall Inc.Englewood Cliffs, 1986.
Szilard, R., Teori dan Analisis Pelat Metode Klasik dan Numerik, PT. Gelora Aksara Pratama.
Jakarta, 1974.
Timoshenko, S.P. and Woinowsky, K.S., Theory of Plate and Shells, Mcgraw-Hill Publishing Co.,
1959.
Indonesia, B.K., Rules For The Clasification And Construction Of Seagoing Steel Ships, Biro
Klasifikasi Indonesia, Jakarta, 2004

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 106
ANALISA KEKUATAN UMUR STRUKTUR KATAMARAN BERBAHAN ALUMINIUM
*1 1 1 1
Budie SANTOSA , Achmad ZUBAYDI and Miftachul HUDA , Septian HARDY PP , Udah
1
IFAH
1
Department of Naval Architecture and Ship Building Engineering,
Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: Budies@na.its.ac.id

Abstract

During the operation, the ship receives a cyclic load and a repetitive irregular wave that cause the stress and strain of
ships structure. The study analyzes the maximum stress acting on the ship which has two hulls, i.e. Catamaran, and the
results are used for calculating the strength of catamarans construction. The analysis is conducted for the model of
catamaran with the material of alminium and distance of hulls (S / L) = 0.3 using the finite element method. The fatigue
life assessment of structures is calculated by the simplified method of loading waveform and varying load conditions.
The wave loads that produce the nominal stress are used as input to calculate the cumulative fatigue damage, and the
results are utilyzed to calculate the fatigue life of the seven types of connections that are considered as the critical
structures. The results show that the most critical structural connection occurs at the junction between the side girders
and beams, and the deck area between the frame and the inner bottom where the value of the smallest fatigue life is 29
years. It still meets the criteria required of design fatigue life, i.e. 25 years.

Keyword : aluminium, catamaran, fatigue life, simplified method.

1. Pendahuluan
Dalam tiga dasawarsa terakhir terdapat peningkatan yang pesat akan kebutuhan kapal
berbadan banyak (multihulls) untuk sejumlah pemakaian seperti untuk kapal penumpang
(ferries), kapal penangkap ikan (trawlers), sarana olah raga (sporting craft) dan riset
(oceanographic research vessel) (Utama dan Molland, 1997). Kelebihan mendasar dari kapal
jenis ini dibandingkan dengan kapal berbadan tunggal (monohull) adalah letak akomodasi yang
menarik, peningkatan stabilitas kearah melintang dan pada sejumlah kasus dapat mengurangi
kapasitas tenaga penggerak kapal untuk mencapai kecepatan dinas tertentu (Turner dan
Taplin, 1968).
Berbagai bentuk kapal telah dikembangkan untuk memenuhi kriteria desain kapal tersebut. Di
antara berbagai bentuk yang ada, maka konsep kapal katamaran yang paling banyak dipilih
dan mendapatkan perhatian, karena sejumlah kelebihannya antara lain memiliki luasan geladak
yang lebih besar dan stabilitas melintang yang lebih baik dibandingkan kapal berbadan tunggal
(Insel dan Molland, 1992).
Untuk mengetahui kekuatan konstruksi kapal katamaran, penelitian ini menganalisa kekuatan
struktur kapal dengan menghitung tegangan ijin yang bekerja dan menganalisa umur
konfigurasi struktur (fatigue life) dimana materialnya menggunakan aluminium 5083, sehingga
diketahui konfigurasi struktur kapal katamaran yang aman untuk jangka waktu yang lama.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Fatigue Kapal Katamaran
Fatigue (kelelahan) adalah kerusakan pada struktur akibat konsentrasi tegangan yang terjadi
akibat beban siklis atau berulang dari lingkungan (gelombang, angin, arus dan lain lain) yang
bekerja secara terus menerus (Bai, 2003).
2.2. Prosedur Perhitungan Kelelahan
Secara umum, ada dua metode yang dapat digunakan untuk menganalisa kelelahan, yaitu
pendekatan kurva S-N (S-N curve approach) yang dibuat berdasarkan tes kelelahan, dan
pendekatan mekanika kepecahan (fracture mechanics approach). Untuk tujuan desain
kelelahan, pendekatan kurva S-N lebih banyak digunakan dan dianggap sebagai metode yang
paling cocok. Sedangkan metode mekanika kepecahan digunakan untuk menentukan ukuran
cacat yang dapat diterima, menaksir perambatan retak kelelahan. merencanakan inspeksi dan
strategi untuk memperbaikinya, dan lain-lain.
2.3. Beban
Widodo (2010) , menyebutkan bahwa beban yang dapat menyebabkan terjadinya kelelahan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 107
pada struktur adalah beban yang bersifat siklik, yaitu :
Beban siklis frekuensi rendah (quasi-statis) yang ditimbulkan oleh eksitasi gelombang dengan
7 8
jumlah sekitar 10 s/d 10 kali selama umur operasi struktur (25 tahun);
Beban siklis frekuensi tinggi (dinamis), yang dapat diklasifikasikan menjadi beban transient
(slamming, wave slapping, hull whipping) dan steady (mesin, baling-baling, hull springing)
6
dengan jumlah sekitar 10 kali selama umur operasi struktur (25 tahun);
Beban siklis frekuensi sangat rendah (statis) akibat perubahan beban (logistik) di atas struktur
dan hidrostatik (pasut) dengan jumlah sekitar 4000 ~ 8000 kali selama umur operasi struktur
(25 tahun);
Beban siklis karena gradien panas tak beraturan akibat cuaca dan temperatur muatan dengan
jumlah sekitar 7000 kali selama umur operasi struktur (25 tahun).
2.4. Kondisi Pembebanan ( loadcase )
Untuk jenis kapal katamaran belum ada rule yang dapat menjelaskan probabilitas loading
conditions yang bekerja; karena itu loading conditions divariasi dengan melihat keadaan yang
memungkinkan saat beroperasinya kapal seperti terlihat pada Tabel 1:
Tabel 1.
Prosentase Probability tiap Loadcase
Load Ruang Muat Probability
Fuel Oil (%)
case (%) [%]
1 100 50 20
2 0 100 20
3 50 50 20
4 10 10 20
5 100 10 20

2.5. Desain Kurva S-N


Klasifikasi kurva S-N tergantung pada geometri detil sambungan las, arah dari fluktuasi
tegangan yang bersifat relative bergantung pada detil, dan metode fabrikasi dan inspeksi dari
detil sambungan tersebut. Kurva S-N didesain berdasarkan pada kurva rataan-minus-dua-
standart-deviasi untuk data uji coba yang relevan. Basic design dari kurva S-N dinyatakan
sebagai persamaan (1) (Bai, 2003) :
Log N = log K m log S (1)
dimana :
S = Rentang tegangan
N = Nilai prediksi dari cycles untuk gagal pada rentang tegangan S
m = Slope inverse negative dari kurva S-N
log K = intersep dari log N-axis pada kurva
S-N = log a 2std a dan std adalah konstan berhubungan dengan rataan kurva S-N dan
standart deviasi dari log N.

Untuk struktur kapal, kurva S-N digambarkan dengan persamaan (2) :


m
S . N = K2 (2)

Nilai K2 dan m dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai K2 dan m berbeda untuk tiap jenis sambungan
(Common Structural Rules for Double Hull Oil Tanker, 2010). Klas untuk sambungan las yang
cocok dengan detil sambungan dari struktur kapal kebanyakan adalah klas F dan F2.
Sambungan las fillet termasuk ke dalam klas F, F2, atau G tergantung dari ukuran orientasi dan
lokasi las-lasan. Saat ini tersedia electrodes yang dibuat secara spesifik untuk akar las agar
mendapatkan hasil dengan kualitas las satu sisi yang lebih baik (tanpa backing).

Menurut Bai (2003) dengan meningkatnya kualitas hasil pengelasan ini, sambungan tersebut
dapat dikategorikan ke dalam klas F2 jika dilakukan dengan penetrasi penuh.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 108
Tabel 2.
Jenis Sambungan (CSR for Double Hull Oil Tanker, 2010)

2.6. Konsentrasi Tegangan


Tujuan dari analisa tegangan adalah untuk menghitung tegangan pada kaki las (hot spot),
hotspot. Stress Concentration Factor karena efek geometri dinyatakan sebagai persamaan (3)
(Bai, 2003) :

(3)

Dari persamaan (3) terlihat bahwa stress concentration factor adalah perbandingan antara
rentang tegangan hotspot dengan rentang tegangan nominal. Semua tegangan yang naik harus
diperhatikan saat mengevaluasi stress concentration factor (SCF). Hasil akhir dari persamaan
SCF adalah persamaan (4):
(4)

dimana :
SCFg = Faktor konsentrasi tegangan akibat bentuk kasar dari detil struktur
SCFw = Faktor konsentrasi tegangan akibat bentuk las-lasan
SCFte = Faktor konsentrasi tegangan tambahan karena toleransi keanehan bentuk (biasanya
digunakan hanya untuk sambungan pelat)
SCFta = Faktor konsentrasi tegangan tambahan karena ketidaktepatan sudut (biasanya
digunakan hanya untuk sambungan pelat)
SCFn = Faktor konsentrasi tegangan tambahan untuk penguat

2.7. Simplified Fatigue Assesement


Penaksiran Simplified Fatigue Assasement menggunakan hukum Palmgren-Miner dan
dinyatakan dalam persamaan (5) (Bai, 2003) :
(5)

Untuk marine structure, fungsi probabilitas dari rentang tegangan dapat digambarkan dengan
dua parameter distribusi Weibull seperti persamaan yang telah dijelaskan sebelumnya. Jika A
dan adalah parameter skala dan parameter bentuk maka akan didapat persamaan damage
fatigue :

(6)
Jika :
(7)
maka :

(8)

Gamma function dinyatakan sebagai persamaan (9) :

(9)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 109
maka dengan mengkombinasikan persamaan (8) dan (9), akumulasi kerusakan jangka panjang
dapat ditulis sebagai persamaan (10) :

(10)

Sedangkan jika A:

(11)

Persamaan akumulasi kerusakan jangka panjang dapat ditulis dalam bentuk persamaan (12)
berikut :

(12)

dimana :
No = Total jumlah siklus dalam periode jangka panjang selama masa hidup
S0 = Rentang tegangan maksimum, dalam setiap N0 cycles
P(S>S0) = (rentang tegangan kelelahan S melebihi S0 sekali dalam N0 cycles)

= Parameter bentuk dari distribusi Weibull untuk siklus tegangan


K, m = Parameter material dari kurva S-N

Selanjutnya dengan asumsi bahwa distribusi jangka panjang dari rentang stres sesuai dengan
dua parameter weibull dan probabilitas distribusi, maka perhitungan kerusakan kumulatif DM
untuk setiap kondisi yang relevan dapat dihitung sebagai (Common Structural Rules for Double
Hull Oil Tanker, 2010) seperti terlihat pada persamaan (13) :
(13)
dimana :
: jumlah siklus untuk umur desain yang direncanakan. kecuali dinyatakan jika tidak,
NL harus diambil sebagai = dengan nilai umumnya antara 0.6x108 dan
0.8x108 siklus untuk desain kehidupan 25years
: 0,85, dengan mempertimbangkan faktor tidak berlayar waktu untuk operasi seperti
bongkar muat, perbaikan, dll
: lama perencanaan, dalam detik = untuk desain umur 25 tahun
: aturan panjang, dalam m,
: parameter grafik S-N
: parameter grafik S-N
: proporsi untuk ship life
0.5 untuk kondisi muatan penuh
0.5 untuk kondisi balas
: rentang stress yang di kemungkinan berkisar level 10-4 in N/mm2
: 10 000, jumlah siklus yang sesuai dengan probabilitas level 10-4
: parameter distribusi weibull
: gamma function
: koefisien memperhitungkan perubahan kemiringan grafik S-N

(14)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 110
: kisaran stres di persimpangan dua segmen dari grafik SN
: 2
: incomplete gamma function

Rasio cumulative fatigue damage (DM),kemudian dirubah ke dalam perhitungan umur


kelelahan menggunakan persamaan (15) (Common Structural Rules for Double Hull Oil Tanker,
2010). Dengan persamaan (15), umur kelelahan yang didapat mendekati atau lebih besar dari
design fatigue life kapal.
(15)

3. Metodologi Penelitian
3.1. Perhitungan Pembebanan
Beban air laut (sea pressure) merupakan suatu pembebanan yang disebabkan oleh tekanan air
laut. Besar kecilnya tekanan yang dihasilkan dipengaruhi oleh besar kecilnya sarat kapal.
Berikut ini gambaran penyebaran sea pressure berdasarkan RINA 2010.

Beban gelombang (wave pressure) merupakan suatu pembebanan akibat gelombang air laut.
Beban gelombang dalam regulasi RINA 2010 dibedakan menjadi dua macam kondisi yaitu
kondisi yaitu kondisi upright dan kondisi inclined.

3.2. Langkah Pembuatan Model


Pembuatan Geometri
Geometri pada model dilakukan dengan sistem down to up, yang dimaksud adalah geometri
dibuat mulai dari node kemudian dibuat curve/garis kemudian pembuatan surface.
Meshing
Meshing adalah membagi model menjadi elemen kecil yang seragam dengan tujuan agar
analisa akan semakin detail pada setiap titik dalam keseluruhan model tersebut.

Gambar 1. Hasil Meshing katamaran dengan tiga kompartemen


Pembuatan Kategori Material
Material yang digunakan pada model adalah aluminium.

3.3. Kondisi Batas( Constrain)


Pada pemodelan struktur pemberian kondisi batas (constraint) menjadi bagian penting sebelum
dilakukan pembebanan karena kondisi batas ini berupa tumpuan yang berguna pada saat
proses perhitungan agar proses perhitungan dapat dilakukan dan tegangan dapat ditampilkan.
Jika tidak diberi kondisi batas maka gaya reaksi menjadi sangat besar sehingga tidak dapat
ditampilkan oleh Nastran dan ini pun tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya (RINA 2010).
Tabel 3. Tabel 4.
Displacement pada boundary Rotasi pada boundary conditions
conditions

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 111
3.4. Pemberian Kondisi Pembebanan
Proses pembebanan struktural dilakukan dengan mengambil data dari proses pembebanan sea
pressure yang diberikan oleh rule. Pembebanan yang digunakan adalah sea pressure, wave
pressure, liquid pressure, inertial pressure yang terdiri dari beberapa load case atau variasi
muatan dan uniform cargoes pressure.

Gambar 2. Pembebanan sea pressure katamaran


4. Analisa dan Pembahasan
4.1. Hasil Tegangan Von Mises Tiap Sambungan
Hasil running model adalah tegangan Von Mises pada tiap jenis sambungan yang terletak pada
tiap jarak gading. Jenis sambungan yang ada pada kostruksi kapal terlihat pada Tabel 5. Hasil
yang diperoleh akan berbeda untuk tiap loading condition (loadcase) seperti terlihat pada Tabel
6.

Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai tegangan nominal tiap jarak gading berbeda, begitu pula nilai
untuk tiap loadcase memiliki nilai yang berbeda pula. Dari Tabel 6 juga terlihat bahwa nilai
2
tegangan maksimum terjadi pada loadcase ke-2 yaitu 56.4 N/ mm yang terletak pada gading
no. 5 yaitu terletak pada daerah sekat.

Untuk Tabel 7-12 nilai nominal tegangan juga berbeda. Hal ini diakibatkan karena pembebanan
yang berbeda untuk tiap loading condition (loadcase) seperti terlihat pada Tabel 1, dan letak
serta karakteristik sambungan yang berbeda.
Tabel 5. Jenis Sambungan Pada Konstruksi Kapal
No. Jenis Sambungan
1 Antara side girder dan balok geladak
2 Antara center girder dan balok geladak
3 Antara side girder dan sekat melintang
4 Antara girder dan wrang plat
5 Antara gading dan balok geladak (daerah tengah)
6 Antara gading dan balok geladak (daerah pinggir)
7 Antara gading dan inner bottom

Tabel 6. Nilai tegangan pada sambungan 1


Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 - - - - -
4 - - - - -
5 2.64E-02 5.64E-02 1.20E-02 5.47E-03 4.39E-02
6 1.80E-03 6.10E-03 2.99E-03 3.19E-03 1.78E-03
7 3.27E-03 3.63E-03 2.94E-03 3.07E-03 3.45E-03
8 - - - - -
9 3.91E-03 4.14E-03 2.97E-03 3.18E-03 3.90E-03
10 7.65E-03 6.39E-03 6.38E-03 5.73E-03 7.65E-03
11 1.01E-02 8.57E-03 8.40E-03 7.60E-03 1.01E-02
12 8.27E-03 6.66E-03 6.89E-03 5.96E-03 8.26E-03
13 2.85E-03 3.67E-03 2.84E-03 2.75E-03 2.85E-03
14 - - - - -
15 4.93E-03 5.98E-03 5.26E-03 5.20E-03 4.93E-03
16 5.82E-03 4.89E-03 4.33E-03 3.69E-03 5.80E-03
17 - - - - -
nilai Max 0.0264 0.0564 0.012 0.0076 0.0439

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 112
Tabel 7. Nilai tegangan pada sambungan 2
Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 - - - - -
4 5.80E-03 3.70E-02 4.58E-03 3.88E-03 6.34E-03
5 5.88E-03 3.70E-02 4.67E-03 3.79E-03 5.90E-03
6 4.16E-03 3.70E-02 3.74E-03 3.22E-03 3.85E-03
7 2.31E-03 3.70E-02 2.64E-03 2.69E-03 2.24E-03
8 1.77E-03 3.70E-02 1.90E-03 2.05E-03 1.77E-03
9 2.24E-03 3.70E-02 2.08E-03 2.16E-03 2.25E-03
10 2.27E-03 3.70E-02 2.04E-03 1.94E-03 2.27E-03
11 2.49E-03 3.70E-02 2.23E-03 2.05E-03 2.48E-03
12 3.10E-03 3.70E-02 2.13E-03 1.40E-03 3.08E-03
13 3.00E-03 3.70E-02 1.68E-03 6.10E-04 2.98E-03
14 2.29E-03 3.70E-02 1.47E-03 1.25E-03 2.27E-03
15 2.21E-03 3.70E-02 2.55E-03 2.77E-03 2.22E-03
16 1.97E-03 3.70E-02 2.56E-03 2.96E-03 1.99E-03
17 - - - - -
nilai Max 0.00588 0.037 0.00467 0.00388 0.00634

Tabel 8. Nilai tegangan pada sambungan 3


Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 ` - - - -
4 - - - - -
5 2.66E-02 5.64E-02 1.22E-02 1.20E-02 1.20E-02
6 - - - - -
7 - - - - -
8 - - - - -
9 - - - - -
10 - - - - -
11 1.01E-02 7.57E-03 8.42E-03 8.41E-03 8.41E-03
12 - - - - -
13 - - - - -
14 - - - - -
15 - - - - -
16 - - - - -
17 ` ` ` ` `
nilai Max 0.0266 0.0564 0.0122 0.012 0.012

Tabel 9. Nilai tegangan pada sambungan 4


Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 ` - - - -
4 5.00E-03 6.93E-03 4.81E-03 4.38E-03 4.88E-03
5 8.17E-03 4.36E-02 2.18E-02 7.12E-03 4.16E-02
6 2.31E-03 3.41E-03 2.09E-03 1.58E-03 2.49E-03
7 9.50E-04 2.10E-04 7.50E-04 6.90E-04 1.32E-03
8 9.50E-04 1.20E-04 7.10E-04 7.20E-04 1.14E-03
9 1.54E-03 3.20E-04 1.22E-03 9.50E-04 1.63E-03
10 2.16E-03 3.20E-04 1.48E-03 8.60E-04 2.18E-03
11 7.68E-03 1.57E-03 4.93E-03 1.82E-03 7.67E-03
12 2.59E-03 1.16E-03 1.88E-03 1.08E-03 2.62E-03
13 2.71E-03 5.80E-04 2.06E-03 1.48E-03 2.74E-03
14 2.93E-03 6.30E-04 2.01E-03 1.43E-03 2.94E-03
15 2.92E-03 7.50E-04 1.56E-03 3.25E-03 2.93E-03
16 2.57E-03 1.47E-03 9.00E-04 9.60E-04 2.57E-03
17 ` ` ` ` `
nilai Max 0.00817 0.0436 0.0218 0.00712 0.0416

Tabel 10. Nilai tegangan pada sambungan 5


Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 ` - - - -
4 1.34E-02 1.06E-02 1.17E-02 9.50E-03 1.29E-02
5 1.40E-02 1.33E-02 1.33E-02 1.37E-02 1.55E-02
6 1.43E-02 9.20E-03 1.09E-02 1.03E-02 1.37E-02

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 113
7 1.19E-02 9.60E-03 1.04E-02 1.01E-02 1.20E-02
8 1.18E-02 9.60E-03 1.04E-02 9.90E-03 1.17E-02
9 1.31E-02 1.07E-02 1.15E-02 1.09E-02 1.31E-02
10 1.21E-02 9.60E-03 1.05E-02 9.90E-03 1.21E-02
11 8.20E-03 1.17E-02 9.60E-03 1.18E-02 1.16E-02
12 1.32E-02 9.60E-03 1.01E-02 9.10E-03 1.32E-02
13 1.39E-02 9.70E-03 1.13E-02 1.00E-02 1.39E-02
14 1.44E-02 9.90E-03 1.19E-02 1.03E-02 1.44E-02
15 1.55E-02 9.50E-03 1.19E-02 9.90E-03 1.55E-02
16 2.05E-02 1.01E-02 1.50E-02 1.14E-02 2.05E-02
17 ` ` ` ` `
nilai Max 0.0205 0.0133 0.015 0.0137 0.0205

Tabel 11. Nilai tegangan pada sambungan 6


Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 ` - - - -
4 1.31E-02 1.02E-02 1.16E-02 1.01E-02 1.29E-02
5 1.07E-02 1.05E-02 6.95E-03 6.29E-03 1.40E-02
6 1.23E-02 5.05E-03 7.51E-03 6.44E-03 1.06E-02
7 1.05E-02 4.29E-03 6.16E-03 4.89E-03 1.04E-02
8 5.76E-03 3.28E-03 3.75E-03 3.88E-03 5.72E-03
9 8.29E-03 4.41E-03 5.40E-03 4.81E-03 8.27E-03
10 5.46E-03 3.82E-03 4.14E-03 4.37E-03 5.46E-03
11 7.69E-03 3.64E-03 4.33E-03 4.10E-03 7.69E-03
12 9.60E-03 3.33E-03 5.25E-03 3.55E-03 9.60E-03
13 9.90E-03 4.56E-03 5.72E-03 4.72E-03 9.90E-03
14 1.06E-02 5.47E-03 7.94E-03 6.10E-03 1.06E-02
15 1.03E-02 4.88E-03 7.42E-03 5.46E-03 1.03E-02
16 1.71E-02 7.91E-03 1.31E-02 9.60E-03 1.71E-02
17 ` ` ` ` `
nilai Max 0.0171 0.0105 0.0131 0.0101 0.0171

Tabel 12. Nilai tegangan pada sambungan 7


Loadcase 1 Loadcase 2 Loadcase 3 Loadcase 4 Loadcase 5
No Gading
kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2 kN/mm2
3 ` - - - -
4 1.79E-02 1.33E-02 1.75E-02 6.86E-03 7.61E-03
5 6.89E-03 1.02E-02 6.60E-03 4.98E-03 8.30E-03
6 1.81E-02 4.30E-03 1.37E-02 4.09E-03 1.96E-02
7 2.40E-02 2.32E-03 1.52E-02 3.92E-03 2.38E-02
8 2.33E-02 2.33E-03 1.48E-02 3.35E-03 2.33E-02
9 2.24E-02 1.76E-03 1.42E-02 2.68E-03 2.24E-02
10 2.28E-02 1.79E-03 1.41E-02 2.59E-03 2.28E-02
11 9.10E-03 2.55E-03 6.85E-03 3.13E-03 9.10E-03
12 2.98E-02 6.12E-03 2.08E-02 7.46E-03 2.98E-02
13 3.58E-02 8.78E-03 2.55E-02 1.06E-02 3.58E-02
14 3.74E-02 9.80E-03 2.72E-02 1.21E-02 3.28E-02
15 3.29E-02 8.71E-03 2.46E-02 1.12E-02 3.29E-02
16 2.37E-02 5.69E-03 1.78E-02 7.63E-03 2.37E-02
17 ` ` ` ` `
nilai Max 0.0374 0.0133 0.0272 0.0121 0.0358

Dari Tabel 6-12 terlihat bahwa nilai tegangan untuk tiap loadcase dan jenis sambungan memiliki
nilai yang berbeda. Nilai maksimum tegangan cenderung terjadi pada loadcase ke-2 yaitu pada
jenis sambungan 1, sambungan 2, sambungan 3, dan sambungan 4 dari 7 jenis sambungan.

Pembebanan loadcase ke-2 pada kondiisi tangki fuel oil berisi penuh dan dua kompartemen
ruang muat dikosongkan seperti terlihat pada Tabel 1. Hal itu menyebabkan terjadinya
perbedaan tegangan yang besar pada sekat antara fuel oil dan ruang muat.

Sedangkan untuk daerah sambungan yang memiliki nilai total tegangan maksimum terbesar
untuk seluruh loading condition yaitu pada sambungan 1 dan 7, sehingga kedua sambungan
tersebut paling kritis.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 114
4.2. Perhitungan Damage Cummulative untuk (DM) Tiap Sambungan
Setelah diperoleh nilai tegangan pada masing-masing jarak gading untuk tiap jenis sambungan,
maka nilai tegangan maksimum yang terjadi pada tiap loading condition (loadcase). dapat
diketahui. Dengan diketahuinya nilai tegangan maksimum, maka nilai Damage Cummulative
tiap jenis sambungan dapat di hitung, besar fatigue life yang terjadi juga bisa dihitung dan
hasilnya terlihat pada Tabel 13-19.
Tabel 13. Tabel 14.
Nilai Damage Cummulative pada Nilai Damage Cummulative pada
sambungan
Fatigue Damage1(D) sambungan Fatigue
2 Damage (D)
Palmgren - Miner's Palmgren - Miner's
Weibull Distribution Weibull Distribution

STRESS
i .N L S Rim STRESS i .N L S Rim m
No. Loadcase
DM
m
i (1 ) No. Loadcase DM i (1 )
K2 (ln N R ) m / K2 (ln N R )m /
Si i m m Si i m m ,
2 1
m
, i 1 , i i = D 1
m
, i 1 i
i = D
N/mm N/mm2

1 Loadcase 1 47.916 6.315E+00 3.308246666 30.45972256 0.42902 2.14E-02 1 Loadcase 1 10.6722 3.838E+01 3.311048736 30.67560068 0.02139 2.36E-05
2 Loadcase 2 102.366 2.536E+00 2.718699318 16.71763843 1.25146 6.10E-01 2 Loadcase 2 6.72E+01 4.209E+00 3.311048736 30.67560071 0.84700 2.33E-01
3 Loadcase 3 21.78 1.629E+01 3.311048736 30.67560059 0.08909 4.18E-04 3 Loadcase 3 8.47605 5.062E+01 3.311048736 30.67560071 0.01349 7.47E-06
4 Loadcase 4 13.794 2.820E+01 3.311048736 30.67560071 0.03574 4.26E-05 4 Loadcase 4 7.04E+00 6.325E+01 3.311048736 30.67560071 0.00931 2.96E-06
5 Loadcase 5 79.6785 3.427E+00 3.120804577 24.27208622 1.00092 2.30E-01 5 Loadcase 5 11.5071 3.506E+01 3.311048736 30.67560046 0.02487 3.44E-05
DM = 8.62E-01 DM = 2.33E-01
Year = 2.90E+01 Year = 1.07E+02

Tabel 15. Tabel 16.


Nilai Damage Cummulative pada Nilai Damage Cummulative pada
sambunganFatigue
3 Damage (D) sambungan 4 Fatigue Damage (D)
Palmgren - Miner's Palmgren - Miner's
Weibull Distribution Weibull Distribution

STRESS i .N L S m
m STRESS i .N L S Rim m
No. Loadcase DM Ri
i (1 ) No. Loadcase DM i (1 )
K2 (ln N R ) m / K2 (ln N R )m /
Si i m m m Si i m m m
1 , i 1 , i i = D 1 , i 1 , i i = D
N/mm2 N/mm2
1 Loadcase 1 30.723 1.094E+01 2.347684977 12.38908965 0.22491 7.71E-03 1 Loadcase 1 9.43635 5.209E+01 2.600945636 17.39539115 0.01689 1.68E-05
2 Loadcase 2 65.142 4.052E+00 0.805145283 1.511499705 0.76039 2.48E-01 2 Loadcase 2 50.358 5.694E+00 0.599490924 0.914455142 0.79480 1.20E-01
3 Loadcase 3 14.091 3.066E+01 2.600805604 17.38577194 0.03770 1.25E-04 3 Loadcase 3 25.179 1.423E+01 2.521688388 15.29069878 0.13620 2.57E-03
4 Loadcase 4 13.86 3.134E+01 2.600838445 17.38781864 0.03647 1.15E-04 4 Loadcase 4 8.2236 6.247E+01 2.600945668 17.39539548 0.01283 8.43E-06
5 Loadcase 5 13.86 3.134E+01 2.600838445 17.38781864 0.03647 1.15E-04 5 Loadcase 5 48.048 6.059E+00 1.470088675 4.498729128 0.54806 7.19E-02
DM = 2.56E-01 DM = 1.94E-01
Year = 9.75E+01 Year = 1.29E+02

Tabel 17. Tabel 18.


Nilai Damage Cummulative pada Nilai Damage Cummulative pada
sambungan 5 Fatigue Damage (D) sambungan 6Fatigue Damage (D)
Palmgren - Miner's
Palmgren - Miner's
Weibull Distribution
Weibull Distribution

i .N L i .N L m
S Ri m
i (1 )
STRESS
DM
STRESS m
S m
No. Loadcase DM Ri
i (1 ) No. Loadcase
K2 (ln N R ) m /
K2 (ln N R ) m /
Si i m m m Si i m m m
1 , i 1 , i i = D 1 , i 1 , i i = D
N/mm2 N/mm2
1 Loadcase 1 37.2075 8.495E+00 2.594057023 17.10746475 0.26095 7.94E-02 1 Loadcase 1 25.137 1.427E+01 2.600E+00 1.735E+01 0.86840 1.09E-01
2 Loadcase 2 24.1395 1.505E+01 2.600934187 17.39439044 0.11055 9.19E-03 2 Loadcase 2 15.435 2.718E+01 2.600945617 17.3953888 0.85724 2.49E-02
3 Loadcase 3 27.225 1.284E+01 2.600844734 17.38821819 0.14060 1.68E-02 3 Loadcase 3 19.257 2.029E+01 2.600937163 17.3946311 0.86100 4.86E-02
4 Loadcase 4 24.8655 1.447E+01 2.600925334 17.39370499 0.11730 1.07E-02 4 Loadcase 4 14.847 2.861E+01 2.60094565 17.39539306 0.85673 2.22E-02
5 Loadcase 5 37.2075 8.495E+00 2.594057023 17.10746475 0.26095 7.94E-02 5 Loadcase 5 25.137 1.427E+01 2.60019613 17.35286263 0.86840 1.09E-01
DM = 1.96E-01 DM = 3.14E-01
Year = 1.28E+02 Year = 7.97E+01

Tabel 19. Nilai Damage Cummulative pada sambungan 7


Fatigue Damage (D)
Palmgren - Miner's
Weibull Distribution

STRESS i .N L m
S Ri m
No. Loadcase DM i (1 )
K2 (ln N R ) m /
Si i m m m
1 , i 1 , i
i = D
N/mm2
1 Loadcase 1 54.978 5.353E+00 2.164E+00 1.727E+01 0.93642 3.72E-01
2 Loadcase 2 19.551 1.854E+01 2.577005683 30.66852569 0.86552 1.54E-02
3 Loadcase 3 39.984 7.849E+00 2.520693409 26.19522866 0.90390 1.38E-01
4 Loadcase 4 17.787 2.077E+01 2.600944068 30.67397507 0.86179 1.16E-02
5 Loadcase 5 52.626 5.642E+00 2.236082606 18.66068298 0.93168 3.24E-01
DM = 8.61E-01
Year = 2.90E+01

Pada Tabel 13-19 input data untuk perhitungan DM (Damage Cummulative) adalah nilai
tegangan maksimum untuk semua loadcase (loading condition). Perhitungan DM dilakukan
pada tiap jenis sambungan untuk melihat nilai DM terbesar sehingga nantinya dapat diketahui
besar nilai umur kapal (fatigue life) untuk tiap jenis sambungan.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 115
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai DM terbesar terjadi pada jenis sambungan 1 dan 7
sehingga umur kapal terkecil ada pada kedua daerah sambungan tersebut dapat dilihat pada
Tabel 13 dan Tabel 19. Hasil perhitungan umur kapal untuk masing-masing jenis sambungan
dapat di lihat pada Tabel 20 di bawah ini.
Tabel 20. Nilai fatigue life pada tiap jenis sambungan
umur
No. Jenis Sambungan (connection)
kelelahan
1 Antara side girder dan balok geladak 29 tahun
2 Antara center girder dan balok geladak 107 tahun
3 Antara side girder dan sekat melintang 97.5 tahun
4 Antara girder dan wrang plat 129 tahun
5 Antara gading dan balok geladak (daerah tengah) 128 tahun
6 Antara gading dan balok geladak (daerah pinggir) 79.9 tahun
7 Antara gading dan inner bottom 29 tahun

5. Kesimpulan
Dari hasil perhitungan dan analisa dengan metode elemen hingga dan perhitungan manual,
dimana pembebanan dan kondisi batasnya mengikuti ketentuan RINA 2010, didapatkan
kesimpulan sebagai berikut :
a. Nilai tegangan Von Mises berbeda untuk setiap pembebanan, setiap sambungan dan untuk
tiap jarak gading;
b. Tegangan von Mises maksimum terdapat pada kondisi pembebanan 2 yang terdapat pada
sambungan 1 yaitu antara side girder dan balok geladak dan sambungan 3 yaitu antara side
2
girder dan sekat melintang dengan nilai tegangan 56.4 N/mm . Namun harga ini dibawah
tegangan normal berdasarkan perhitungan rule yaitu 249.46 N/mm2
c. Fatigue life struktur katamaran terkecil adalah 29 tahun untuk sambungan 1 yaitu antara side
girder dan sambungan 7 antara gading dan inner bottom untuk seluruh loading condition.
Umur ini memenuhi untuk segi desain karena lebih besar dari standar umur kapal yaitu 25
tahun.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Jurusan Teknik Perkapalan FTK-ITS yang telah
mendanai penelitian ini sehingga penelitian ini bisa diselesaikan dengan baik.

References
Couser, P. R., Molland, A. F., Armstrong, N. A. dan Utama, IKAP, (1997): Calm Water Powering
Prediction for High-Speed Catamarans, Proceding of FAST 1997, Sydney 21-23 Juli.
Turner H., dan Taplin. (1968): The resistance of large powered catamarans, Transactions
SNAME, Vol. 76 , 1968
Insel, M. dan Molland, A.F. (1992): An Investigation into the Resistence Components of High-
Speed Displacement Catamaras, Transactions RINA, Vol. 134.
Widodo, (2010): Kendalan Scantling Struktur Geladak Dan Dasar Pada Konversi Tanker
Menjadi FPSO Terhadap Beban Kelelahan. Penelitian Jurusan Teknik Kelautan.
Surabaya : Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Bai, Y., (2003): Marine Structural Design. Oxford : Elsevier Science Ltd.
International Association of Classification Societies (2010); Common Structural Rules for Double
Hull Oil Tanker. London : IACS Council
Registro Italiano Navale (2010): Hull and Stability Genova-Italy: Rules for The Classification of
Ships.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 116
PENGARUH KARAKTERISTIK GEOMETRI TERHADAP STABILITAS KAPAL
*1 1 1 1 1
Daeng PAROKA , Syamsul ASRI , Misliah , M. Ardi SARNA and Haswar
1
Department of Naval Architecture, Faculty of Engineering, Unhas-Makassar.
*E-mail: d_paroka@yahoo.com

Abstract

Equilibriumis one of safety parameters of ships in seaways as required by the International Maritime Organization (IMO)
or national ship classification in order to get safety certificates. Therefore characteristics the ship stability should be
initially controlled in design stage. In order to easily investigate the ship stability in design process, it is necessary to
investigate relationship between the ship geometry and stability characteristics.
This paper discuss effect of several geometry characteristics of ship, such as breadth and draft ratio as well as
freeboard and breadth ratio. These geometries ratio are varied in a certain range and calculate righting arm of the ships.
The obtained righting arms are evaluated using the IMO intact stability kriteria. Basec on the evaluation results, the
minimum breadth and draft ratio as well as the minimum freeboard and breadth ratio can be obtained as function of
vertical center of gravity and height ratio. These results show that the ship stability tends to increase when the breadth
and draft ratio increases. The ships with larger draft have better stability than the smaller one for the same breadth and
draft ration. The ship stability also increases when the freeboard and breadth ration increase. In cases of freeboard and
breadth ration less than 0,06 the difference of stability characteristics are not significant for all ships subject. A significant
difference occurs when the ratio of freeboard and breadth is larger than 0,10. This difference may caused by the hull
form characteristics such as the block coefficient of the subject ships.

Key words: geometry characteristics, ship stability and design.

1. Pendahuluan
Proses perancangan kapal telah mengalami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan
perkembangan teknologi komputer serta perubahan orientasi desain yang berfokus pada
kemungkinan resiko yang akan dihadapi oleh kapal dalam pelayaran (risk based design).
Perubahan tersebut tidak hanya berakibat terhadap perkembangan metode perancangan tetapi
juga tahapan atau langkah-langkah dari perancangan itu sendiri. Dalam perancangan yang
berbasis resiko, semua kemungkinan resiko yang dapat terjadi selama pelayaran
dipertimbangkan sebagai salah satu perysaratan yang harus dipenuhi pada setiap tahapan
perancangan (Vassalos, 2004). Salah satu keuntungan dari perancangan kapal berbasis resiko
adalah dampak dari setiap keputusan yang diambil dalam setiap tahapan perancangan dapat
diketahui lebih awal sehingga dapat diperbaiki sebelum masuk pada tahapan selanjutnya. Hal
ini berbeda dengan metode perancangan klasik dimana proses pengulangan tahapan awal
dapat terjadi pada saat salah satu kriteria tidak terpenuhi pada tahapan desain lanjutan.

Pada tahapan awal perancangan yaitu penentuan ukuran utama kapal serta karakteristik
geometri lainnya, karakteristik kapal baik yang berhubungan dengan masalah unjuk kerja
seperti tahanan dan propulsi maupun yang berhubungan dengan masalah keselamatan seperti
stabilitas, kekuatan dan maneuvering sudah harus bisa diprediksi. Prediksi awal tersebut dapat
dilakukan berdasarkan rasio ukuran utama kapal (Phoels, 1982). Rasio ukuran utama yang ada
saat ini kemungkinan tidak relevan lagi untuk dipakai pada perancangan kapal dalam dua
dekade terakhir karena adanya perubahan karakteristik kapal seperti kecepatan kapal serta
kesesuaian dengan kondisi lingkungan perairan dan pelabuhan serta karakteristik muatan yang
akan diangkut. Oleh karena itu perlu perlu dilakukan penelitian terhadap kapal-kapal yang
dibangun dalam kurung waktu tersebut untuk mendapatkan pengaruh karekteristik geometri
terhadap keselamatan serta unjuk kerja kapal dalam pelayaran. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan rasio ukuran utama yang cocok sebagai kontrol desain kapal yang akan dibangun
saat ini dan di masa yang akan datang.

Salah satu parameter penting yang berhubungan dengan masalah keselamatan kapal dalam
pelayaran adalah stabilitas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kapal-kapal dengan
sarat rendah atau yang mempunyai perbandingan lebar dengan sarat yang besar cenderung
tidak memenuhi salah satu kriteria stabilitas Organisasi Maritim Internasional (IMO) (IMO, 2002)
khususnya sudut oleng dimana lengan stabilitas maksimum terjadi. Kapal dengan rasio lebar
dan sarat yang besar seperti kapal fery ro-ro yang dibangun dalam negeri serta kapal-kapal
angkutan sungai mempunyai lengan stabilitas maksimum pada sudut oleng lebih kecil dari 25
derajat. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh lambung timbul yang relative kecil atau rasio antara

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 117
lambung timbul dengan lebar kapal yang kecil (Paroka, et. al., 2009 dan Ali, 2011). Bentuk
badan kapal yang ada di bawah permukaan air juga mempunyai pengaruh terhadap
karakteristik lengan stabilitas kapal khususnya kenaikan dasar kapal (rise of floor) (Paroka,
2007). Perubahan karakteristik lengan stabilitas akibat kenaikan dasar kapal tersebut diduga
karena perubahan lebar garis air yang signifikan pada saat kapal mengalami kemiringan
dengan sudut yang lebih besar dari sudut dimana bilga kapal mulai muncul ke permukaan air.
Paper ini membahas tentang pengaruh karakteristik geometri kapal yang meliputi perbandingan
ukuran utama serta koefisien bentuk kapal terhadap stabilitas. Dengan adanya hubungan
tersebut, prediksi awal kondisi stabilitas kapal dapat diketahui pada tahapan awal perancangan.
Dengan demikian ukuran utama dan koefisien bentuk yang diperoleh sudah dievaluasi terhadap
rasio ukuran utama ataupun koefisien bentuk sesuai dengan type kapal rancangan.
Karakteristik geometri yang berhubungan dengan stabilitas adalah perbandingan antara lebar
dan sarat kapal, perbandingan antara lambung timbul dan lebar kapal serta koefisien bentuk
kapal. Pada paper ini hanya membahas dua yang pertama yaitu perbandingan lebar dan sarat
serta perbandingan antara lambung timbul dan lebar kapal. Dari hasil analisis akan diperoleh
rentang dari setiap perbandingan tersebut dengan kondisi stabilitas yang masih memenuhi
kriteria stabilitas IMO. Hasil dari penelitian ini juga dapat dijadikan informasi awal untuk
penelitian selanjutnya mengenai penentuan lambung timbul minimum khususnya untuk kapal
penyeberangan antar pulau di Indonesia.

2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan sampel 4 (empat) kapal penyeberangan antar pulau dengan
kapasitas yang berbeda. Pengambilan sampel ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kapal
tersebut mempunyai karakteristik geometri yang berbeda dengan kapal yang lain. Lebar kapal
besar untuk mengangkut kendaraan serta sarat yang kecil untuk menyesuaikan dengan kondisi
pelabuhan. Dengan demikian perbandingan antara lebar dan sarat besar. Lambung timbul kapal
penyeberangan antar pulau juga tergolong kecil dengan pertimbangan kemudahan bongkar
muat kendaraan khususnya pada pelabuhan dengan perbedaan pasang surut yang cukup
besar. Rasio antar lambung timbul dan lebar kapal oleh karena itu relative kecil. Dengan
karakteristik geometri seperti itu, lengan stabilitas maksimum cenderung untuk terjadi pada
sudut kemiringan kurang dari 25 derajat (Paroka, 2009 dan Ali, 2011). Data teknis berupa
ukuran utama serta bodyplan dari kapal sampel dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 1 - 4.

Tabel 1. Ukuran utama kapal sampel


No. Ukuran Utama Satuan 200 GT 300 GT 500 GT 600 GT
1 Panjang antara garis tegak m 24,18 38,00 33,00 40,00
(Lbp)
2 Lebar (B) m 9,00 10,50 11,60 12,00
3 Tinggi (H) m 2,70 2,80 3,10 3,20
4 Sarat (T) m 1,90 2,00 1,85 2,15
5 Lambung timbul (Fb) m 0,80 0,80 1,25 1,15
6 Koefisien blok (Cb) - 0,68 0,74 0,57 0,71
7 B/T - 4,73 5,25 6,27 5,58
8 Fb/B - 0,09 0,08 0,11 0,09

Kapal 500 GT mempunyai lambung timbul paling besar dengan sarat yang paling kecil. Dengan
demikian kapal 500 GT mempunyai perbandingan lebar dan sarat serta lambung timbul dan
lebar yang terbesar. Akan tetapi kapal ini mempunyai koefisien blok yang terkecil di antara
keempat kapal sampel. Kapal 200 GT dan 300 GT mempunyai lambung timbul yang sama yaitu
0,80, tetapi kapal 300 GT mempunyai lebar yang lebih besar sehingga rasio lambung timbul
dan lebar dari kapal 300 GT juga lebih besar. Kapal 300 GT mempunyai koefisien blok terebsar
dari semua kapal sampel. Geladak kendaraan dari keempat kapal sampel terletak pada geladak
utama serta mempunyai rampdoor pada bagian haluan dan buritan.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 118
Gambar 1. Body plan kapal 200 GT Gambar 2. Body plan kapal 300 GT

Gambar 3. Body plan kapal 500 GT Gambar 4. Body plan kapal 600 GT

Untuk dapat mengamati pengaruh perbandingan antara lebar dan sarat kapal terhadap
stabilitas, sarat kapal divariasikan dengan lebar yang tetap. Variasi sarat kapal dilakukan
dengan mengambil 2 (dua) sarat yang lebih kecil dari sarat desain seperti yang ditunjukkan
pada Tabel 1 dan 2 (dua) sarat yang lebih besar dari sarat desain. Metode yang sama dilakukan
untuk mengamati pengaruh perbandingan antara lambung timbul dan lebar kapal. Titik berak
kapal (KG) juga divariasikan dari titik berat terendah yang mungkin terjadi sampai pada titik
berat sama dengan tinggi kapal. Meskipun pada kenyataanya, titik berat dapat lebih besar dari
tinggi kapal untuk kapal fery ro-ro mengingat semua muatan berada di atas geladak utama.
Pada setiap variasi rasio, lengan stabilitas kapal dihitung dan dievaluasi dengan kriteria
stabilitas IMO (IMO, 2002). Pengaruh bangunan atas terhadap lengan stabilitas tidak
diperhitungkan. Berdasarkan hasil perhitungan lengan stabilitas dan hasil evaluasi terhadap
kriteria stabilitas IMO, perubahan karakteristik lengan stabilitas sebagai fungsi dari dua
perbandingan ukuran utama dapat diperoleh. Pengaruh momen penumpang, momen cikar serta
kemungkinan terjadinya pergeseran kendaraan ketika kapal oleng dengan sudut yang besar
tidak diperhitungkan dalam analisis ini.

3. Pengaruh Rasio Lebar dan Sarat


Hasil perhitungan lengan stabilitas untuk masing-masing kapal sampel untuk setiap rasio lebar
dan sarat kapal ditunjukkan pada Gambar 5 8 untuk titik berat kapal (KG) 1.80 meter.
Keempat gambar di atas menunjukkan bahawa makin besar rasio lebar dan sarat kapal, lengan
stabilitas akan semakin besar. Dengan demikian, luas di bawah kurva sampai sudut kemiringan
tertentu juga akan semakin besar. Perubahan lengan stabilitas cenderung semakin kecil dengan
bertambahnya rasio lebar dan sarat kapal. Makin kecil sarat kapal, lembung timbul kapal
semakin besar sehingga sudut kemiringan sampai tepi geladak terbenam ke dalam air juga
akan semakin besar. Lebar garis air kapal akan semakin besar dengan bertambahnya sudut
kemiringan sampai sudut kemiringan dimana tepi geladak terbenam dalam air. Akibat dari
phenomena tersebut, jari-jari metacentra (MB) semakin besar sehingga lengan stabilitas juga
menjadi semakin besar dengan bertambahnya rasio lebar dan sarat kapal. Fakta ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Paroka, et., al. (2006) untuk kapal ikan type purse
seine.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 119
Gambar 5. Lengan stabilitas kapal 200 GT Gambar 6. Lengan stabilitas kapal 300 GT

Gambar 7. Lengan stabilitas kapal 500 GT Gambar 8. Lengan stabilitas kapal 600 GT

Sudut kemiringan dengan lengan stabilitas maksimum juga cenderung untuk bertambah besar
dengan bertambahnya rasio lebar dan sarat kapal. Besar pertambahan sudut kemiringan
dengan lengan stabilitas maksimum semakin kecil ketika rasio lebar dan sarat kapal semakin
besar. Pada rasio lebar dan sarat yang kecil atau sarat kapal yang relatif besar, sudut dimana
lengan stabilitas maksimum terjadi sangat dipengaruhi oleh lambung timbul. Ketika sarat kapal
diperkecil atau rasio lebar dan sarat menjadi besar, sudut kemiringan dimana dasar kapal
muncul di atas permukaan air juga berpengaruh terhadap sudut kemiringan dimana lengan
stabilitas maksimum terjadi. Hal ini disebabkan karena perubahan momen inersia garis air yang
akan menjadi lebih kecil ketika sudut kemiringan lebih besar dari sudut dimana dasar kapal
muncul di atas permukaan air. Penurunan momen inersia garis air menyebabkan jari-jari
metacentra kapal berkurang sehingga lengang stabilitas juga menjadi semakin kecil. Oleh
karena itu, perubahan sudut kemiringan dimana lengan stabilitas maksimum terjadi semakin
kecil pada rasio lebar dan tinggi kapal yang besar. Berdasarakan data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pengaruh rasio lebar dan sarat kapal semakin kecil dengan bertambahnya
rasio tersebut.

Sudut kemiringan dengan lengan stabilitas nol (angle of vanishing stability) semakin besar
dengan bertambahnya rasio lebar dan sarat kapal. Perubahan angle of vanishing stability akibat
perubahan rasio lebar dan sarat kapal tersebut juga disebabkan oleh perubahan karakteristik
garis air ketika sudut kemiringan lebih besar dari sudut kemiringan dimana geladak kapal
tercelup ke dalam air serta sudut kemiringan dimana dasar kapal muncul di atas permukaan air.
Akan tetapi, berdasarkan karakteristik lengan stabilitas yang ditunjukkan pada Gambar 5 8 di
atas, pengaruh lambung lambung timbul atau sudut dimana tepi geladak tercelup dalam air
lebih signifikan dibandingkan dengan sudut dimana dasar kapal muncul di atas permukaan air.
Secara umum luas di bawah kurva lengan stabilitas untuk semua rasio lebar dan sarat kapal
memenuhi kriteria stabilitas IMO kecuali rasio lebar dan sarat kapal sama dengan 4,08 untuk
kapal 600 GT. Begitu juga dengan tinggi metacentra awal (GMo) untuk semua rasio lebar dan
tinggi kapal lebih besar dari 0.20 meter. Sudut kemiringan dimana lengan stabilitas maksimum
terjadi tidak memenuhi kriteria stabilitas IMO untuk beberapa rasio lebar dan sarat kapal.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kriteria stabilitas, diperoleh rasio minimum lebar dan sarat
kapal sebagai fungsi dari rasio titik berat kapal (KG) dengan tinggi kapal yang memenuhi kriteria
stabilitas IMO seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 120
7

6.5

5.5
B/T

4.5

3.5

3
0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00
KG/H

GZ 200 GT GZ 300 GT GZ 600 GT GZ 600 GT

Gambar 9. Rasio lebar dan sarat kapal yang memenuhi kriteria stabilita IMO

Kapal 500 GT mempunyai rasio lebar dan sarat yang paling besar untuk rasio titik berat (KG)
dan tinggi kapal yang sama. Rasio lebar dan sarat terkecil diperoleh pada kapal 200 GT yang
mana hampir sama dengan kapal 300 GT. Gambar 9 di atas juga menunjukkan bahwa makin
besar rasio titik berat dan tinggi kapal, makin besar rasio lebar dan sarat kapal yang dibutuhkan
untuk memenuhi kriteria stabilitas IMO. Rasio lebar dan sarat kapal maksimum yang memenuhi
kriteria stabilitas sebuah kapal juga dipengaruhi oleh koefisien blok dari kapal tersebut. Makin
kecil koeifisien blok, makin besar rasio minimum lebar dan sarat kapal yang dibutuhkan untuk
memenuhi kriteria stabilitas IMO khususnya sudut kemiringan dimana lengan stabilitas
maksimum terjadi. Kapal 500 GT mempunyai koefisien blok terkecil untuk semua rasio lebar
dan sarat kapal. Rasio lebar dan sarat kapal minimum yang memenuhi criteria stabilitas adalah
4,00 dengan rasio titik berat dan tinggi kapal sama dengan 0,40. Jika titik berat kapal fery
minimum adalah 70 persen dari tinggi kapal maka rasio lebar dan tinggi kapal minimum harus
lebih besar dari 5,00.

4. Pengaruh Rasio Lambung Timbul dan Lebar


Kurva lengan stabilitas kapal sampel untuk setiap variasi rasio lambung timbul dan lebar kapal
untuk titik berat (KG) sama dengan 70 persen tinggi kapal ditunjukkan pada Gambar 10 13.

GZ (m) GZ (m)
1.4 2
1.2
1 1.5
0.8
0.6 1
0.4
0.2 0.5
0
0 20 40 60 80 100 0
-0.2
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
-0.4 Sudut Oleng
Sudut Oleng
-0.6 -0.5

Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09 Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09

Fb/B=0,11 Fb/B=0,13 Fb/B=0,15 Fb/B=0,17 Fb/B=0,11 Fb/B=0,13 Fb/B=0,15 Fb/B=0,17

Gambar 10. Lengan stabilitas kapal 200 GT Gambar 11. Lengan stabilitas kapal 300
GT

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 121
GZ (m) GZ (m)
2 2.5

2
1.5
1.5

1
1

0.5
0.5

0
0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -0.5
Sudut Oleng
Sudut Oleng
-0.5 -1

Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09 Fb/B=0,01 Fb/B=0,03 Fb/B=0,05 Fb/B=0,07 Fb/B=0,09

Fb/B=0,11 Fb/B=0,13 Fb/B=0,15 Fb/B=0,17 Fb/B=0,11 Fb/B=0,13 Fb/B=0,15 Fb/B=0,17

Gambar 12. Lengan stabilitas kapal 500 GT Gambar 13. Lengan stabilitas kapal 600
GT

Seperti halnya pada perubahan rasio lebar dan sarat kapal, lengan stabilitas kapal juga akan
semakin besar dengan bertambahnya rasio lambung timbul dan lebar kapal. Akan tetapi, pada
besaran rasio tertentu, pertambahan lengan stabilitas semakin kecil bahkan cenderung konstan
dengan kenaikan lambung timbul. Faktor yang berpengaruh terhadap phenomena ini sama
dengan yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya, yaitu perubahan momen inesia garis air
akibat dari perubahan lebar garis air yang terjadi secara drastis pada saat tepi geladak kapal
sudah terbenam ke dalam air atau dasar kapal muncul di atas permukaan air. Dengan melihat
perubahan kurva lengan stabilitas yang ditunjukkan pada Gambar 10 13 di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada rasio lambung timbul dan lebar kapal tertentu, penambahan lambung
timbul atau kenaikan rasio tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap
karakteristik lengan stabilitas dari kapal yang bersangkutan.

Apabila lambung timbul kapal relatif kecil, pengurangan lengan stabilitas secara signifikan akan
terjadi ketika sudut kemiringan lebih besar dari sudut kemiringan dimana tepi geladak terbenam
ke dalam air. Makin besar lambung timbul, sudut kemiringan dimana tepi geladak terbenam ke
dalam air juga akan semakin besar sehingga perubahan lengan stabilitas secara signifikan akan
terjadi pada sudut kemiringan yang lebih besar. Oleh karena itu, lengan stabilitas semakin besar
dengan bertambahnya lambung timbul. Begitu pula dengan sudut kemiringan dimana lengan
stabilitas maksimum terjadi juga akan semakin besar dengan bertambahnya lambung timbul.
Pada lambung timbul yang cukup besar, meskipun sudut kemiringan lebih kecil dari sudut
kemiringan dimana tepi geladak terbenam ke dalam air, pengurangan lengan stabilitas dapat
terjadi akibat dasar kapal yang muncul di permukaan air. Berdasarkan kecenderungan
perubahan lengan stabilitas yang ditunjukkan pada Gambar 10 13 di atas, pengaruh
penambahan lambung timbul mempunyai pengaruh terhadap stabilitas lebih besar
dibandingkan dengan pengaruh munculnya dasar kapal di atas permukaan air akibat sarat
kapal yang kecil.

Evaluasi karakteristik lengan stabilitas dengan kriteria stabilitas IMO akan diperoleh batasan
lambung timbul atau rasio lambung timbul dan lebar kapal minimum untuk masing-masing
sampel kapal seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Kriteria yang sangat sensitive terhadap
perubahan lambung timbul adalah sudut kemiringan dimana lengan stabilitas maksimum terjadi.
Gambar 14 menunjukkan bahwa makin besar lambung timbul atau makin tinggi rasio lambung
timbul dan tinggi kapal, titik berat kapal yang masih memenuhi kriteria stabilitas juga menjadi
semakin besar.

Perbedaan rasio lambung timbul dan tinggi kapal untuk keempat sampel kapal tidak terlalu
signifikan khususnya pada rasio lebar dan sarat kapal lebih kecil dari 0,060. Dengan asumsi
bahwa rasio titik berat dan tinggi kapal lebih besar dari 0,70, maka rasio lambung timbul dan
lebar kapal disarankan tidak kurang dari 0,10. Dari data teknis kapal sampel, rasio lambung
timbul dan lebar kapal berada pada batas minimum berdasarkan hasil analisis seperti
ditunjukkan pada Gambar 14. Perbedaan batas rasio minimum pada Gambar 4 khususnya
pada rasio lambung timbul dan lebar yang besar dapat disebabkan oleh perubahan bentuk
kapal yang ada di atas permukaan air yang mana dapat direpresentasikan dengan koefisien
bentuk kapal khususnya koefisien blok dan koefisien prismatik. Penambahan lambung timbul
untuk variasi rasio dilakukan melalui penambahan tinggi kapal dengan meneruskan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 122
kecenderungan bentuk penampang melintang pada setiap seksi sampai dengan tinggi kapal
yang diinginkan. Koefisien blok kapal tidak mengalami perubahan akibat penambahan tinggi
tersebut karena sarat kapal tidak mengalami perubahan. Untuk mendapatkan pengaruh
tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mempertimbangkan karakteristik bentuk
berdasarkan koefisien-koefisien bentuk kapal tersebut.

1.200

1.000

0.800
KG/H

0.600

0.400

0.200

0.000
0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 0.160 0.180
Fb/B

200 GRT 300 GRT 500 GRT 600 GRT

Gambar 14. Rasio minimum lambung timbul dan lebar kapal yang memenuhi kriteria stabilitas
IMO.

Hasil ini juga menunjukkan bahwa penentuan lambung timbul minimum sebagai fungsi dari
panjang kapal sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 3 Tahun 2005
tentang penentuan lambung timbul minimum kapal dalam negeri serta the International Load
Line Convenction tahun 2002 perlu mempertimbangkan lebar kapal khususnya untuk kapal-
kapal fery. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa makin besar rasio lebar dan sarat,
stabilitas kapal akan semakin baik dimana maksimum titik berat yang masih memenuhi kriteria
stabilitas semakin besar. Berdasarkan rasio lambung timbul dan lebar kapal juga terlihat bahwa
pada rasio lambung timbul dan lebar kapal yang besar, kapal dengan lebar yang lebih besar
mempunyai batasan rasio titik berat dan tinggi kapal yang lebih kecil. Pada rasio lambung
timbul dan lebar kapal yang lebih kecil dari 0,06, perbedaan karakteristik stabilitas dari semua
kapal sampel tidak signifikan. Akan tetapi rasio lambung timbul dan lebar pada tersebut tidak
direkomendasikan karena titik berat maksimum untuk rasio tersebut tidak realistis untuk kapal
fery.

5. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilakukan sehubungan dengan
pengaruh geometri terhadap karakteistik stabilitas kapal dengan mengambil sampel kapal
penyeberangan antar pulau, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Makin besar rasio lebar dan tinggi kapal, stabilitas kapal semakin baik dimana titik berat
maksimum yang memenuhi kriteria stabilitas IMO juga menjadi semakin besar. Kapal
dengan sarat yang lebih besar akan mempunyai stabilitas yang lebih baik untuk rasio lebar
dan sarat kapal yang sama. Rasio lebar dan sarat kapal minimum untuk kapal fery
disarankan tidak kurang dari 5,00.
2. Makin besar rasio lambung timbul dan lebar kapal, stabilitas kapal semakin bak dimana titik
berat maksimum yang memenuhi kriteria stabilitas juga semakin besar. Pada rasio lebih
kecil dari 0,06 keempat kapal sampel mempunyai batasan rasio titik berat dab tinggi kapal
yang hampir sama tetapi pada rasio lebih besar dari 0,10, rasio titik berat dan tinggi kapal

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 123
mempunyai variasi yang semakin besar. Hasil ini menunjukkan bahwa karakteristik bentuk
seperti coefisien bentuk kapal mempunyai pengaruh signifikan terhadap stabilitas pada
rasio lambung timbul dan lebar kapal lebih besar dari 0,10.
3. Untuk mendapatkan pengaruh karakteristik geometri yang lain khususnya koefisien bentuk
kapal, disarankan untuk penelitian lanjutan dengan sampel kapal yang bervariasi dari segi
type dan bentuk lambung.

References
Ali, B. (2011): Evaluasi Bertins coefficient pada prediksi roll kapal sarat rendah dalam weather
criterion, Prosiding Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Kelautan, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya.
International Maritime Organization (IMO), (2002): Stability kriteria for all types of ships,
International Maritime Organization, London.
Paroka, D., dan Umeda, N. (2006): Prediction of capsizing probability for a ship with trapped
water on deck, Journal of Marine science and Technology, Vol. 11, No. 4, hal. 237 244.
Paroka, D., dan Umeda, N. (2006):, Prediction of capsizing probability for a ship with trapped
water on deck, Journal of Marine science and Technology, Vol. 11, No. 4, hal. 237 244.
Paroka, D., dan Umeda, N. (2007): Effect of freeboard and metacentric height on capsizing
probability of purse seiners in beam seas, Journal of Marine Science and Technology, Vol.
12 No. 3, hal. 150 159.
Paroka, D. (2009): Analisis tinggi metacentra dan lambung timbul minimum kapal
penyeberangan antar pulau, Prosiding Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi
Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
nd
Vassalos, D. (2004): Risk-based design: from philosophy to implementation, the 2
International Maritime Conference on Design for Safety, Sakai, Jepang, 2004.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 124
INNOVATIVE FOIL OF HYDROFOIL SHIPS

M. Alham DJABBAR

Dept. Naval Architecture, Fac. Of Engineering, Universitas Hasanuddin, Kampus


Tamalanrea, Makassar, Indonesia.
E-mail: alham.djabbar@yahoo.com

Abstract

Indonesia consists of many islands. Transportation between one place to others within and inter islands is dominated by
sea vehicles of slow and fast boat. The latter can only sail as fast as about 40 knots. The high growth of economy
leaves the boat far behind. To overcome this problem, higher boat speed is needed. One of most probably suits
Indonesian waters is hydrofoil. The objective is to see, theoretically the proposed foil shape of bending the end part (tip)
to design faster hydrofoil ship. This research begun with observing modern airplane wing. It was followed by wing
theory, emphasizing the tip character. The last stage was focusing on modern hydrofoils. Results of laboratory test of
non wing foil for ocean structure are taken into consideration. The proposed innovative foil shapes are tip bended foil
of the hydrofoils with and without strip near tips.

Keywords: Foil shape, innovation, Hydrofoil

1. Introduction
Sea transportation, particularly, in Indonesia, Fig. 1 both (regular) activities and research are
increasing. Some of the previously activities are around Kupang city and between South
Sulawesi (Wajo District) and South-west Sulawesi (Kolaka district) [6 ]. The two mentioned sea
transport located area are served with slow , old ferry ( speed of around 10 knots )and fast boat
(speed of around 40 knots). These kinds of ship look far behind the needs of faster ships. The
possibility of operating the required ship of hydrofoil type was indicated in [6 ]. The objective is
The objective is to see, theoretically the proposed foil shape of bending the end part (tip) to
design faster hydrofoil ship. Here, foil is defined as an unsymmetrical shape, upper part is wider
than lower part, producing a lift force which is proportional to speed. Beside for wing (airplane)
and foil (ship) there are some other uses, for instance strengthening ocean or coastal structure
[4].

The analysis is to combine among observation, literature survey, laboratory test, existing both
airplane and hydrofoil.

Figure 1 Map of Indonesia

2. Material and Methods


Based on the [6 ] relating the selected ship of hydrofoil, suitable for certain route, this paper
focusing on the shape of the (hydro) foils. It was indicated that the speed of the ship of about
100 knots. Foil shape of the ship is not available yet. Ordinary foil shapes are shown by Fig. 2
and Fig 3. [7]

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 125
It is difficult to observe foil shape as no available hydrofoil operating in Indonesia. Combination
among aircraft wing shape in operation including the latest data [6 ], wave tank test of Foil end
bended enforced ocean cylinder [4 ], and ordinary hydrofoil. The results or proposed shape is
bending the foil tip, with and without strips.

Figure 2 General Two Types, Hydrofoil Ships.

Figure 3 Inverted T submersible Hydrofoil

3. Results and Discussion


Figure 4 shows two types of proposed high speed hydrofoil. The first is bended tip without strip
near the tip and the latter is bended tip with strip near the tip.

Tip Strip

a) No strip b) with strip.

Fig. 4 Bended foil tip with and without strip.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 126
Theoretical aerofoil (wing) is deeply described in [3]. Tip of foil affects the lift of reducing lift
ability due to air flow. By bending its tip, the negative effect is cancelled. Another positive effect
is stabilizing aircraft movement as it act as stabilizer. Relating hydrofoil boat, in [2] the basic
principle and an example of calculating lifting force are described. Since a couple of years ago,
most of aircrafts wing tip are bended. The latest environment friendly jet aircraft has its wing tip
bended as well. In ocean structure, foil (tip bended) with strip may improve (strengthen) the
structure, especially its pillar as the results laboratory test [4]. From this method, I propose for
very high speed hydrofoil, say above 70 knots to use bended foil tip without strip for smaller size
while larger size with strip, Fig. 4.

4. Conclusions
-Very high speed hydrofoil boats are badly needed by Indonesia to secure the vast ocean in the
territory
-Proposed Innovative shape of foil for smaller hydrofoil ship is tip bended without strip while the
larger and faster ship is tip bended with strip near the tip.

Further Works
- Literature survey to find the foil shape of hydrofoil with speed around 100 knots
- Laboratory test with towing tank.

References
Fajar, Daily Newspaper 13 October, 2012, CRJ 1000, Environment Friendly Aircraft, Engine at
back ( not at wing)
H.C. Lowe, 1979, Fluid Mechanics, The Macmillan Press, 131-134
J.D. Anderson, JR, 1985, Fundamental of Aerodynamics, Mc Graw-Hill, Industrial Edition
Juswan, 2010, Aplikasi Hidrofoil pada Bangunan Pantai, 1 - 6, Jurnal Riset Teknologi Kelautan,
ISSN:1693-0525, Vol. 8, Nomor 1, Januari Juni 2010
M. A. Djabbar and Baharuddin, 2010, Analisis Tahanan Kapal Patroli Bersirip Nosel dengan
Hidrofoil,
7 - 14, Jurnal Riset Teknologi Kelautan, ISSN:1693-0525, Vol. 8, Nomor 1, Januari Juni 2010
M. A. Djabbar et al., 2012, Suitable High Speed ship for Makassar-Majene Vice Versa,
Martec2012,
Terengganu, Malaysia
http://www.google.co.id, hydrofoil, accessed 31 July 2012

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 127
INTERACTION ANALISYS FOR FLOATING BODY BY CFD,ICEM

L.T.Parulian SINAGA

Abstract

Mengetahui interaksi media benda atau kapal dipermukaan media air yang mempunyai aliran dan kecepatan
gelombang salah fasilitas untuk mengetahui polayang terjadi baik berupa efek tahanan atau rintangan atau juga efek
gerakan terhadap medianya dapat menggunakan CFD ANSYS terutama untuk mengetahuai pengaruh aliran terhadap
model dan velicity aliran terhadap badan kapal FLNG. Pada software ini terdapat fasilitas ICEM CFD untuk mengetahui
kerangka berpikir lagrangian sangat bermanfaat pada partikel fluida yang berkecepatan. CFD ICEM ini sangat
membantu dalam hal menganalisa fenomena aliran sekitar lambung kapal atau fasilitas apung seperti pengeboran lepas
pantai (Offshore Structure).

Key Words: Interaksi, media,kecepatan,Ansys, CFD.

1.Pendahuluan
Seiring dengan berambahnya kebutuhan akan energi MIGAS untuk kebutuhan domestik dan
export maka teknologi rancang bangun juga seyogiyanya mengikuti. Perkembangan rancang
bangun yang pesat akan membutuhkan sarana uji dan sofware untuk memvalidasi hasil
perhitungan emviris yang dilakukan. Untuk itu dibutuhkan perangkat sofware yang dapat
digunakan membantu dengan cepat dan akurat hasil rancang bangun tersebut. Salah satu
fasilitas yang dapat membantu saat ini dengan menggunakan fasilitas CFD. Dalam hal ini untuk
melakukan pengamatan dan tekanan aliran terhadap lambung kapal atau bangunan apung
adalah CFD, ICEM .Akan tetapi untuk lebih akurat agar juga dibandingkan dengan pengujian
Model fisik di Laboratorium Hidrodinamika.

2. Methodologi.
Dalam menganalisa kecepatan sebagai fungsi waktu untuk sebuah paket fluida dan
didiidentifikasi dari posisi awal (x0, y0, z0). Sehingga kita kita menentukan x(x0, y0, z0, t);
misalnya: kita menentukan lokasi paket fluida pada saat mengalir dalam sistem. Untuk
Newtonian fluids, seperti air, constitutive relationship antara stress tensor dan strain-rate tensor
adalah sangat ringkas:
ij 2ij
dimana adalah konstanta yang disebut coefficient of viscosity. Perlu diingat bahwa
constitutive relationship ini menjaga defining property fluida; yaitu, bahwa shear stress sekecil
apapun akan menghasilkan strain. Hal ini menjadi mudah sekarang (!) untuk menulis stress
tensor dalam terms strains, dan kemudian dalam terms velocity gradients,Ref. Bahan training
CFD ITS sebagai berikut:
v x 1 v x v y 1 v x v z

x 2 y x 2 z x
xx xy xz v
1 v y v y
1 y v z
v
ij 2 yx yy yz 2 x
2 y x y 2 z y
zx zy zz


1 v x v z 1 v y v z v z

2 z
x 2 z y z

v v x v y v v
2 x x z
x y x z x
v v v y v y v z
x y 2

y x y z y
v y v z
v x v z 2 v z
z

x z y z
Sekarang kita dapat mensubstitusi ekspresi ini untuk stress tensor kedalam ekspresi untuk
nd
Newtons 2 Law (viscous forces term):

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 128

Dv
gk P ij
Dt
v v x v y v v
2 x x z
x y x z x
v v y v y v y v z
gk P x 2
y x y z y
v y v z
v x v z 2v z
z

x z y z
Tapi kita perlu membawa divergence operator pada stress tensor, dan kita dapatkan :

v v x v y v v
2 x x z
x y x z x
v v y v y v y v z
x 2
y x y z y
v y v z
v x v z 2 v z
z

x z y z
v x v x v y v x v z
2
x x y y x z z x

v x v y v y v y v z
2
x y x y y z z

y

v x v z v y v z v z
x z x y z y z 2 z

Ini dapat diekspansi untuk menghasilkan turunan kedua dan turunan melintang (cross-
derivatives):

2v y 2 v z
2 v x v x v x
2 2 2

x 2 y 2 z 2 xy xz
2v vy
2
vy
2
vx
2
2 v z
2 y

y 2 x 2 z 2 xy yz
vz
2
vz
2
vz
2
vx
2
2
vy
2
z 2
x 2
y 2
x z y z

Akhirnya, lita pisahkan term pertama dalam tiap baris dan menyusun ulang menjadi:

2vx 2vx 2vx 2vx 2v y 2vz



x 2 y 2 z 2 x 2 xy xz
2v vy
2
vy
2
vx
2
vy
2
2vz
y

x 2 y 2 z 2 xy y 2 yz
2v vz
2
vz
2
vx
2
vy
2
2vz
z

x 2 y 2 z 2 xz yz z 2

Terms terakhir pada tiap baris sekarang dapat diekspresika sebagai turunan parsial dari

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 129
pejumlahan:

2vx 2vx 2vx v v y v z


x
x 2
y 2
z 2
x x y z
2v 2v y 2v y
v x v y v z
2
y

x 2
y 2 z y x y z

v z v z v z v x v y v z
2 2 2

x 2
y 2 z 2 z x y z
Tapi jumlah dalam kurung pada akhir dari setiap baris merupakan perbedaan velocity,

v v y v z
v x
x y z
Yang berharga zero untuk incompressible flow! Oleh karena itu tiga terms terakhir pada tiap
baris dikeluarkan dan kita tutup dengan tiga komponen viscous force vector:

2vx 2vx 2vx 2vx 2vx 2vx


2 2 2
x y 2 z 2 x y 2 z
2v y 2v y 2v y 2v y 2v y 2v y
2 2
x y 2 z x y 2 z 2
2

2vz vz
2
2vz 2vz 2vz 2vz
2 2 2 2 2
x y z x y 2
z
Sebagai contoh, viscous force per unit volume dalam x-direction menjadi:

2vx 2vx 2vx


2 2 2

x y z
Term dalam tanda kurung selalu diekspresikan melalui vector operasi yang lain yang disebut
Laplacian dengan symbol dan berdifinisi sebagai:
2

2 f 2 f 2 f
f 2 2 2
2

x y z

Ingat bahwa f adalah sebuah scalar dan Laplacian menghasilkan scalar yang lain.
2

Sekarang kita telah mendapatkan bagian terakhir dari Navier-Stokes equations. Dengan
mensubstitusikan ekspresi ini untuk mendapatkan perbedaan dari stress tensor maka kita
sampai pada ekspresi akhir yang menunjukkan kesetimbangan gaya-gaya sesuai dengan
nd
Newtons 2 law:

Dv
gk P 2 v
Dt
Persamaan ini (satu untuk setiap arah axis) yang dikenal dengan Navier-Stokes equations.
Dapat diaplikasikan untuk incompressible Newtonian fluids yang mengikuti hubungan
constitutive ij 2 ij . Persamaan ini kemudian dapat juga dituliskan sebagai:

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 130
v x v x v x v x P 2vx 2vx 2vx
vx vy vz 2
t x y z x x y 2 z 2
v y v y v y v y P 2v y 2v y 2v y
vx vy vz 2
t x y z y x y 2 z 2
v v v v P 2v 2vz 2vz
z v x z v y z v z z gk 2z 2
t x y z z x y 2 z
Intertial forces: Navier-Stokes equation dapat diintrepretasikan sebagai penjumlahan dari 4
(empat) gaya: gravitational body force; pressure gradient forces; viscous forces; dan inertial
force.

3.Prosedur Pengujian Model LNG Dengan Komputasi Ansys ICEM CFD.


3.1 Proses Simulasi CFD
Tahap 1. Permodelan geometri Glider
Pada tahap ini meliputi :

- Pembuatan scetch node/garis/bidang


- Operasi-operasi geometri (extrude/substract/add/dll)

Gambar 1 Pemodelan geometri FLNG

Tahap II. Meshing Geometri


Pada tahap ini meliputi :
- Pendifinisian nama-nama boundary condition
- Pemilihan element dan ukuran meshing
-

Gambar 2 Meshing Geometri FLNG

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 131
Gambar 3 Meshing Midship Geometri FLNG

4.Hasil Perhitungan Dengan Komputasi


4.1 Proses Simulasi CFD
Pada proses pemodelan kapal FSO ini analisa CFD akan dilakukan dengan bantuan software
ICEM CFD dan CFX yang merupakan produk dari ANSYS. ICEM CFD digunakan pada tahap
pembuatan geometri sampai tahap meshing baik pada model kapal maupun pada fluida,
sedangkan untuk pengerjaan tahap selanjutnya digunakan CFX. Analisa CFD yang akan
dilakukan pada pemodelan Kapal FSO ini adalah pemodelan aliran dan perhitungan besarnya
drag/hambatan pada sayap badan kapal, visualisasi aliran fluida. Program CFD terdiri dari tiga
tahap yaitu : Pre-processor, Flow Solver (Solution), dan Post-processor.

4.1.1 Pre-Processor
Pada tahap ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :
Pembuatan geometri, dalam proses pembuatan geometri pada program Ansys ICEM CFD, hal
pertama yang perlu dilakukan adalah melakukan import geometry dari model yang telah ada.

Gambar 4 Gambar geometri FLNG

Model yang dibuat dalam AutoCAD diekspor dalam bentuk ekstensi dwg (.DWG). Cara ini
memudahkan dalam pembuatan geometri Karena kapal merupakan bentuk yang sangat rumit.
Perintah yang digunakan;
Files > Import Geometri > DWG

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 132
Gambar 5. Proses komputasi import geometri

Gambar 6. Gambar proses komputasi create/ modify


Langkah berikutnya adalah memperbaiki geomeri dengan cara titik-titik (points) yang telah ada
dihubungkan dengan menggunakan perintah;
Geometry > Create/Modify Curve > From points > (klik titik-titik yang memerlukan
perbaikan) > apply.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 133
Gambar 7. Proses komputasi dari geometri ke simple surface
Model awal dari kapal telah terbentuk. Dari model dasar yang telah kita bentuk maka kita akan
mendefenisikan permukaan/surface pada model kapal. Perintah yang digunakan;
Geometry > Simple Surface > (klik curve yang akan dijadikan surface) > Apply.
Pada tahap ini dilakukan pembuatan surface kapal sampai semua bagian kapal telah tertutup
oleh surface.

Gambar 8. Wireframe model KAPAL FLNG

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 134
Gambar 9. Surface model kapal FLNG
Berikutnya adalah proses pembuatan domain fluida. Domain fluida yang dibuat berbentuk kotak
dengan dimensi 112 m x 40 m x 60 m. Dan setiap bagian-bagian dari domain fluida didefinisikan
boundary kondisi (inlet, outlet, wall, dan model kapal) yang akan diterapkan.

Gambar 10. Domain fluida

4.1.2 Create Part


Pada tahap ini adalah tahap pembagian bagian bagian dari model yang akan di analisa. Yakni
model akan dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain inlet, outlet, wall, bottom, top dan ship.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 135
Gambar 11. Create part window

Inlet : sebagai tempat masuknya aliran fluida


Klik kanan pada part create part beri nama inlet pada kolom name part klik
surface pada domain fluida yang jadi inletnya. Yakni sisi domain fluida bagian depan dari
leading edge foil.
Outlet : sebagai tempat keluarnya aliran fluida
Klik kanan pada part create part beri nama outlet pada kolom name part klik
surface pada domain fluida yang jadi outletnya. Yakni sisi domain fluida bagian belakang
dari trailing edge foil.
Bottom : sebagai sisi bawah dari domain fluida
Klik kanan pada part create part beri nama bottom pada kolom name part klik
surface pada bagian bawah / dasar domain fluida.
Top : sebagai sisi atas dari domain fluida
Klik kanan pada part create part beri nama top pada kolom name part klik
surface pada bagian atas domain fluida.
Wall : sebagai sisi - sisi samping dari domain fluida
Klik kanan pada part create part beri nama wall pada kolom name part klik
surface pada domain fluida yang jadi wallnya. Yakni sisi domain fluida bagian samping
kanan dan kiri dari foil.
KAPAL : benda yang akan kita analisa
Klik kanan pada part create part beri nama KAPAL pada kolom name part klik
surface keseluruhan dari kapal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 136
Gambar 12. Domain fluida setelah pendefinisian bagian bagiannya

4.1.2 Creating the Material point

Geometri > Buat Tubuh > Material Point > at specified point : Pilih (Create Body) >

klik pada (icon select point) dan klik di dalam domain fluida. Isikan terlebih dahulu nama
part untuk body yang akan dibuat. Pastikan posisi titik tersebut terletak di dalam domain fluida.
Tekan tombol tengah mouse untuk menerima, kemudian tekan Apply.

Gambar 13. Create body window

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 137
Gambar 14. Body di dalam domain fluida

4.1.3 Meshing
Untuk mulai melakukan meshing pada model kapal dan fluida, maka kita terlebih dahulu
menentukan ukuran element yang akan kita gunakan. Namun kita perlu mengingat bahwa
semakin kecil elemen yang kita buat, maka jumlah elemen yang terbentuk semakin banyak
sehingga waktu running akan semakin lama dan menghasilkan kapasitas file yang besar. Untuk
model kapal ikan yang dibuat, dilakukan meshing dengan model meshing tetrahedral. Untuk
ukuran meshing sendiri adalah sebagai berikut :

Max size Tetrahedral Jumlah


No Model
Bottom Top Kapal Inlet Outlet Wall meshing

1 Chine 1 1 0.004 0.8 0.8 1 908,629

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 138
Gambar 15

Gambar. 16 Meshing model KAPAL

4.1.4 Flow solver (Solution)


Setelah kita melakukan meshing pada geometri yang kita buat pada program ICEM CFD, maka
langkah selanjutnya adalah penentuan kondisi batas yang akan kita lakukan pada program CFX.
Perintah yang digunakan;
Settings > Product > ANSYS ICEM CFD ANSYS solvers version > apply > restart program.
Buka lagi program ICEM CFD > output > output to CFX > done.
Perintah yang digunakan untuk membuka program ANSYS CFX;
Start menu > All Arograms > ANSYS > CFX > ANSYS CFX > CFX-Pre > file > new
simulation > general > OK > mesh > import mesh > select file > ubah file ke ICEM CFD >
open.
Untuk analisa pada dua medium (udara dan air) maka perlu pengaturan fluida secara khusus,
yaitu dengan menggunaka metode VOF (volume of Fluida). Pengaturan dapat dimasukkan
dalam CEL (CFX Expression Language)
4.1.5 Pembuatan Expressions in CEL (CFX Expression Language)
1. Right-click Expressions, Functions and Variables > Expressions in the tree view and
select Insert > Expression.
2. Set the name to UpH and click OK to create the upstream free surface height.
3. Set Definition to 2.7 [m], and then click Apply.
4. Use the same method to create the expressions listed in the table below. These are
expressions for the downstream free surface height, the fluid density, the buoyancy
reference density, the calculated density of the fluid (density - buoyancy reference
density), the upstream volume fractions of air and water, the upstream pressure
distribution, the downstream volume fractions of air and water, and the downstream
pressure distribution.

Name Definition
DownH 1.3 [m]
DenWater 1000 [kg m^-3]
DenRef 1.185 [kg m^-3]
DenH (DenWater - DenRef)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 139
Name Definition
UpH 2.7 [m]
UpVFAir step((y-UpH)/1[m])
UpVFWater 1-UpVFAir
UpPres DenH*g*UpVFWater*(UpH-y)
DownVFAir step((y-DownH)/1[m])
DownVFWater 1-DownVFAir
DownPres DenH*g*DownVFWater*(DownH-y)

Proceed to Creating the Domain.

Untuk menentukan fluid properties perintah yang digunakan;

default domain > general options > location > domain type > fluid domain > fluid list >
water, Air > Buoyancy > option > x = 0 [m s^-2], y= -g, z = 0 [m s^-2] > turbulence >
optoin > SST > apply

Tab Setting Value

Fluid and Particle Definitions Air


Basic Settings
Fluid and Particle Definitions > Air > Material Air at 25 C

Tab Setting Value


Fluid and Particle Definitions Water
[a]
Fluid and Particle Definitions > Water > Material Water
Domain Models > Pressure > Reference Pressure 1 [atm]
Domain Models > Buoyancy > Option Buoyant
Basic Settings
Domain Models > Buoyancy > Gravity X Dirn. 0 [m s^-2]
[b]
Domain Models > Buoyancy > Gravity Y Dirn. -g
Domain Models > Buoyancy > Gravity Z Dirn. 0 [m s^-2]
[c]
Domain Models > Buoyancy > Buoy. Ref. Density DenRef
[d]
Multiphase > Homogeneous Model (Selected)
Multiphase > Free Surface Model > Option Standard
Fluid Models Heat Transfer > Option Isothermal
Heat Transfer > Fluid Temperature 25 [C]
Turbulence > Option SST
[a]
The models selected here describe how the fluids interact. No mass transfer between
the phases occurs in this example. You do not need to model surface tension.
[b]
You need to click Enter Expression beside the field first.
[c]
Always set Buoyancy Reference Density to the density of the least dense fluid in free
surface calculations.
[d]
The homogeneous model solves for a single solution field.

Kondisi batas yang akan kita gunakan adalah inlet, outlet, dan wall. Untuk menentukan kondisi
batas inlet, perintah yang kita gunakan;

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 140
insert > boundary condition > beri nama kondisi batas inlet > OK > penentuan lokasi
inlet > boundary details > flow regime > option > subsonic > normal speed 16 knot >
apply.

Tab Setting Value


Boundary Type Inlet
Basic Settings
Location INFLOW
Mass and Momentum > Option Normal Speed
Mass and Momentum > Normal Speed 2 [m s^-1]
Intensity and Length
Turbulence > Option
Boundary Scale
Details Turbulence > Fractional Intensity 0.05
Turbulence > Eddy Len. Scale
UpH
[a]

Boundary Conditions Air


Boundary Conditions > Air > Volume Fraction >
UpVFAir
Volume Fraction
Fluid Values
Boundary Conditions Water
Boundary Conditions > Water > Volume Fraction
UpVFWater
> Volume Fraction
[a]
Click the Enter Expression icon.

Untuk menentukan kondisi batas outlet, perintah yang kita gunakan;


insert > boundary condition > beri nama kondisi batas outlet > OK > penentuan lokasi
outlet > boundary details > flow regime > option >average static pressure > Relative
Pressure DownPres > apply.

Tab Setting Value

Boundary Type Outlet


Basic Settings
Location OUTFLOW
Flow Regime > Option Subsonic
Boundary Details Mass and Momentum > Option Static Pressure
Mass and Momentum > Relative Pressure DownPres

Untuk menentukan kondisi batas wall pada bottom, perintah yang kita gunakan
insert > boundary condition > beri nama kondisi batas wall > OK > penentuan lokasi wall
> boundary details > wall influence flow > option > no slip > wall roughness > option >
smooth wall > apply.

Tab Setting Value

Boundary Type Wall


Basic Settings
Location BOTTOM
Mass and Momentum > Option Free Slip Wall
Boundary Details

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 141
Untuk menentukan kondisi batas wall pada kapal, perintah yang kita gunakan
insert > boundary condition > beri nama kondisi batas wall > OK > penentuan lokasi wall
> boundary details > wall influence flow > option > no slip > wall roughness > option >
smooth wall > apply.

Tab Setting Value

Boundary Type Wall


Basic Settings
Location KAPAL
Mass and Momentum > Option No Slip Wall
Boundary Details
Wall Roughness > Option Smooth Wall

Untuk menentukan kondisi batas samping, perintah yang kita gunakan


insert > boundary condition > beri nama kondisi batas front > OK > penentuan lokasi
boundary> Boudary Type> Symetri> apply

Tab Setting Value


[a]
Boundary Type Symmetry
Basic Settings
Location FRONT
[a]
Symmetry, which makes a 3D problem into a 2D problem, can be used when
geometry and mesh are invariant normal to the symmetry surface.

Tab Setting Value

Boundary Type Symmetry


Basic Settings
Location BACK

Untuk menentukan kondisi batas Atas, perintah yang kita gunakan


insert > boundary condition > beri nama kondisi batas Top > OK > penentuan lokasi
boundary> Boudary Type> Opening> apply

Tab Setting Value


Boundary Type Opening
Basic Settings
Location TOP
Mass And Momentum > Option Entrainment
Boundary Mass And Momentum > Relative Pressure 0 [Pa]
Details Zero
Turbulence > Option
Gradient
Boundary Conditions Air
Fluid Values Boundary Conditions > Air > Volume Fraction > Volume
1.0
Fraction

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 142
Tab Setting Value
Boundary Conditions Water
Boundary Conditions > Water > Volume Fraction >
0.0
Volume Fraction

Untuk menentukan fluid properties perintah yang digunakan;


default domain > general options > location > domain type > fluid domain > fluid list >
water > turbulence > optoin > k-Epsilon > initialisation > initial conditions > velocity type >
cartesian > option > automatic with value > u = 2 m/s, v = 0 knot, w = 0 knot > apply.

Tab Setting Value


Initial Conditions > Cartesian Velocity Components > Automatic with
Option Value
Initial Conditions > Cartesian Velocity Components > U 2 [m s^-1]
Global Initial Conditions > Cartesian Velocity Components > V 0 [m s^-1]
Settings Initial Conditions > Cartesian Velocity Components > W 0 [m s^-1]
Automatic with
Initial Conditions > Static Pressure > Option
Value
Initial Conditions > Static Pressure > Relative Pressure UpPres
Fluid Specific Initialization Air
Fluid Specific Initialization > Air > Initial Conditions > Automatic with
Volume Fraction > Option Value
Fluid Specific Initialization > Air > Initial Conditions >
UpVFAir
Fluid Volume Fraction > Volume Fraction
Settings Fluid Specific Initialization Water
Fluid Specific Initialization > Water > Initial Conditions > Automatic with
Volume Fraction > Option Value
Fluid Specific Initialization > Water > Initial Conditions >
UpVFWater
Volume Fraction > Volume Fraction

Menentukan banyaknya perhitungan iterasi, perintah yang digunakan;


solver control > basic settings > advection scheme > option > high resolution > max.
iterations 1000 > time scale control automatic > time scale factor 10 > residual type RMS
> residual target 1e-05 > equation class settings > continuity > apply.

Tab Setting Value


Convergence Control > Max. Iterations 500
Convergence Control >Fluid Timescale Control > Physical
Timescale Control Timescale
Basic Settings
Convergence Control >Fluid Timescale Control > [a]
0.25 [s]
Physical Timescale
Convergence Criteria > Residual Target 1e-05
Multiphase Control (Selected)
Advanced Multiphase Control > Volume Fraction Coupling (Selected)
Options Multiphase Control > Volume Fraction Coupling >
Coupled
Option
[a]
This value is based on the time it takes the water to flow over the bump.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 143
Sampai tahap ini semua proses pada tahap pre-processor telah selesai. Untuk menyimpan file
perintah yang digunakan adalah solver > write solver file > save. Langkah selanjutnya adalah ke
tahap flow solver (solution).

Gambar 14. Pendefinisian Boundari Kondisi

Gambar 15. Pengaturan Free Surface pada 2 media

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 144
4.1.5 Post processor

Gambar 16 Post processor kapal pada free surface

Gambar 17 . Aliran Fluida depan kapal di atas air

Gambar .18 Aliran Fluida depan kapal di bawah air

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 145
Gambar 19. Aliran Fluida belakang kapal

Gambar 20. Aliran Fulida belakang kapal di bawah air

5. Kesimpulan
Dari hasil proses program di atas tampak fulida air mengalami perubahan aliran.
Tetapi belum dapat dipastikan ketinggian gelombangan akibat interaksi air dan kapal. Akan
tetapi besarnya kecepatan velocity dan pressure di sepanjang badan model, dibelakang model,
dibawah model kapal dapat diketahui ( di buat dalam table )

Permasalah selanjut tentang motion model dalam kondisi tersebut diatas belum dapat di
hasilkan. Dalam hal program ansys CFD-CFX Solver disebut mesh deformation untuk
menggerakkan model di perlukan input data analisa belum seluruhnya tersedia atau compatible
untuk program ini. Sehingga hasil running tidak kelihatan grafik gerakan model. Sampai saat
sedang mempelajari data input yang sesuai dengan experiment sebagai contoh data kontante
spring (k) dan input ketinggian gelombang.

References

Kim d.k.k (4) melakukan penelitian pengaruh sloshing pada gerakan kapal dengan 2-D dan 3-D
viskos FDM sloshing codes.
Lee d.k.k (5) melakukan investigasi pengaruh sloshing pada multi tangki di dalam kapal
terhadap gerakan rolling dengan metode 2-D dan 3-D perhitungan FDM. Untuk
gerakan kapal menggunakan linier potensia teory dan untuk gerakan likuida sloshing
menggunakan dengan 3-D FDM Navier stokes.
Nasar d.k.k(6) melakukan penelitian pada barge dengan variasi pengisian air pada tangki dan
pengaruh frekuensi gelombang excitasi, tinggi

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 146
OPTIMALISASI POWER KAPAL MULTI FUNGSI 60M

L.T. Parulian SINAGA

Abstract

Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan design kapal cepat 60 m tipe High Speed Displacement ship (HSDS) untuk
tujuan rescue pada korban bencana (alam dan kecelakaan di laut) Design lambung didasarkan pada parent hull kapal-
kapal cepat yang telah diuji di Laboratorium Hidrodinamika UPT BPPH BPPT. Karena mempunyai fungsi khusus,
maka lambung kapal harus dirancang mampu beroperasi pada cuaca buruk, perairan terbatas dan ramah lingkungan
(low wake wash) pada saat operasional. Detail design kapal HSDS 60 m dibuat secara komprehensif agar bisa
dibangun dengan memanfaatkan sumberdaya dalam negeri semaksimal mungkin dengan pemakaian power yang
optimal

Keywords : design, hull, cathedral, dual-propeller, performance

1. Latar Belakang dan Urgensi Permasalahan


Rancang bangun kapal HSDS 60 m dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi
beberapa kondisi operasional, dengan pemakaian power optimal diantaranya sebagai :
cost guard
border protection
anti smuggling
anti piracy
inspeksi kapal ikan
operasi pencarian dan pertolongan
immigration law enforcement
pencegahan perompakan di laut
monitoring lalu lintas di laut

Di samping itu kapal HSDS harus mampu berlayar di perairan dalam dan dangkal. Untuk
menunjang fungsinya HSDS dilengkapi dengan berbagai peralatan komunikasi dan navigasi.
Serta dipersenjatai dengan senapan ringan.

HSDS didesain sebagai kapal patroli cepat dengan jumlah crew sebanyak 20 orang. HSDS
dibangun sebagai kapal cepat yang harus memenuhi syarat Klas Indonesia (BKI).

Kapal dibagi menjadi 2 bagian utama (main fire zones) dengan sekat bagian depan Kamar
Mesin yang diapakai sebagai Main Fire Bulkhead. Lay Out Rencana Umum dengan 3 deck dan
lambung dibagi menjadi 6 sekat kedap air. Semua fasilitas Crew dikonsentrasikan di depan
mesin penggerak dimaksudkan untuk kenyamanan dan menghindari kebisingan dan vibrasi.

Posisi Crew (ABK) diatur di geladak bawah. Kabin Nakhoda dan Chief Enginer dilengkapi
dengan toilet. Untuk ABK lainnya,toilet dipusatkan dan diltakkan di geladak bawah. Dapur dan
Gudang makan diletakkan pada geladak bawah , difungsikan untuk memenuhi semua
kebutuhan ABK. Kapal HSDS 60 m dilengkapi dengan ruangan Tahanan dan dilokasikan di
bagian depan geladak bawah.

Geladak utama dilengkapi dengan wheel house, gudang, gudang amunisi, toilet dan ruang
pusat komando. Kapal HSDS dilengkapi denga 10 m Rigid Inflateble Boat yang dipasang pada
slipway sehingga dapt dipergunakan/diluncurkan dengan mudah pada saat dibutuhkan bahkan
kapal dalam posisi bergerak. Juga dilengkapi 4 buah Life raft yang diletakkan pada geladak
utama. Dua diletakkan di belakang ruang komandan dan dua lagi diletakkan di depan.
Tiga buah Canon caliber 12.7 mm di letakkan di deck utama bagian belakang pada sisi kiri dan
kanan kapal, Yang satunya diletakkan di geladak observasi.. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada
Gambar di bawah ini :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 147
Gambar 1 Kapal Multi Fungsi 60 m

2. Perumusan Masalah
Dikarenakan banyaknya kecelakaan di laut (tabrakan kapal, kapal karam dan sebagainya) ,
maka mau tidak mau penyediaan sarana transportasi berupa kapal laut yang multi guna mutlak
diadakan. Guna memenuhi kebutuhan sarana transportasi air yang difungsikan untuk
membantu mengevakuasi korban bencana (baik alam ataupun kecelakaan laut) ,dan di saat
tidak ada bencana kapal bias dimanfaatkan untuk kebutuhan lainnya seperti Rumah Sakit
terapung, Perpustakaan terapung dan sebagainya Untuk memenuhi criteria kapal multi purpose
(multi guna), maka dalam perancangan kapal haruslah diperhatikan parameter-parameter
berikut ini :
kapal harus cukup mampu beroperasi pada cuaca buruk (sea state 3)

kapal harus mampu beroperasi pada dua kedalaman perairan (dalam dan dangkal) dan
kapal harus mampu berlayar pada perairan tawar (sungai) dan asin (laut)

kapal harus mempunyai kecepatan yang cukup tinggi (kapal dioperasikan di atas
Fn>0.6), sebagai kapal penolong (rescue)

Stabilitas kapal harus cukup baik, karena melihat fungsinya kapal juga sebagai rescue
boat

Dengan melihat fungsi kapal seperti di atas, penggunaan kaidah naval architect secara tepat
perlu dilakukan, diantaranya :
- kapal harus mempunyai sarat yang cukup rendah,
- kapal mempunyai L/B lebih rendah dibanding dengan kapal sejenis dengan panjang kapal
sama
- Perhitungan power yang optimal
Salah satu bentuk lambung kapal cepat untuk memenuhi criteria tersebut adalah penggunaan
bentuk lambung cathedral supaya L/B rendah dan penggunaan tripel propeller untuk
meningkatkan kecepatan kapal pada saat cruising.

Optimasi design dilakukan dengan dua pendekatan, numeris dan percobaan. Pendekatan
numeris dilakukan dengan software Hullform, Maxsurf pada design lambung dan powering
kapal dilakukan dilakukan dengan software PSP,Prefds. Untuk performance kapal terutama
seakeeping beaviour, dilakukan dengan software Shipmo.

Pentahapan rancang bangun kapal HSDS 65 , dilakukan dalam 3 tahapan dengan masing
masing tahapan mempunyai tujuan masing-masing :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 148
Tahap 1 : perancangan bentuk lambung (cathedral) dengan metode numeris dan eksperiment.
Experiment dilakukan pada dua buah Tanki ( Towing Tank dan Small Towing Tank) dengan
tujuan untuk mempelajari aliran pada bentuk Cathedral dan perhitungan powering.

Tahap 2 : perancangan system propulsi yang meliputi perancangan bentuk propulsor dengan
sotware indfact 93 dan melukukan uji coba model propeller di cavitation Tunnel.

Tahap 3 : Rancang bangun equipment kapal serta pembuatan . Sehingga pada akhir tahapan ini
didapatkan detail design yang komprehensif untuk kapal multi guna dengan panjang 38 m

3. Metodologi
Untuk mencapai sasaran penelitian, metodologi penelitian dalam rancang-bangun High speed
displacement ship 60 m didasarkan pada 5 tahapan penelitian :
rancangan (design) lambung bawah air (hull)

rancangan sistem propulsi (powering)

uji performance kapal

rancangan (design) Rencana Umum Kapal (general arrangement)

Design Drawing (penampang lintang, piping arrangement, machine foundation, stern


tube, propeller, system kemudi dsb)

Gambar 3 Proses Design Kapal

Pada proses design awal untuk menetuka rencana garis (lines plan) dan body plan dibutuhkan
banyak informasi tentang lingkungan kelautan dan daerah operasi serta fasilitas dermaga.
Untuk itu telah dilakukan survey keberbagai lokasi yang merupkan basis operasi kapal
menopang bencana alam. Pada saat ini kami mengambil dua lokasi sample atau Zona perairan
dan lingkungan kelautan dan dermaga yaitu :

Zona Perairan yang dipilih sebagai sample yaitu:


Zona Wilayah barat akan dipusatkan di Perairan Palembang
Zona Wilayah timur akan dipusatkan di daerah Samarinda.
Hasil survey di Perairan Palembang.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 149
H D Arus R.vel Rel.mtn Acclrtion Add.res b.mom pitch heave
(m) (m) )m( m/s
15 3 1 0.8 388 115 395 110 216 184 60
20 5 3 0.6 506 155 790 148 256 203 81
25 7 5 1.2 581 180 1244 204 291 211 104

Keterangan:
H adalah kedalaman Perairan ( m)
D adalah Sarat Kapal
alaaaa adalah Tinggi gelombang
R.Vel adalah relative velocity
Rel.mtn adalah relative motion
Acclration adalah Accelaration
Add.res adalah Added resistance
b.momadalah bending momen

Hasil survey di Perairan Samarinda :


H D Arus R.vel Rel.mtn Acclrtion Add.res b.mom pitch heave
(m) (m) )m( m/s
10 3 3 0.8 480 140 570 129 238 196 69
15 5 5 0.6 660 179 1027 176 275 208 93
20 7 7 1.2 788 201 1499 288 320 241 108

Keterangan:
H adalah kedalaman Perairan ( m)
D adalah Sarat Kapal
alaaaa adalah Tinggi gelombang
R.Vel adalah relative velocity
Rel.mtn adalah relative motion
Acclration adalah Accelaration
Add.res adalah Added resistance
b.momadalah bending momen

Data tersebut diatas akan digunakan untuk menetukan ukuran utama kapal,performance dan
operasional.

Setelah ukuran utama kapal ditentukan selanjutnya diadakan koreksi-koreksi terhadap lambung
kapal atau displacement kapal melalui koreksi body plan. Hal-hal tersebut diatas di lakukan
dengan perhitungan komputasi program maxsuf.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 150
Gambar 4 Lines Plan Kapal Multi Fungsi 60 m

4. Performance Kapal Multi Fungsi 60 m


Dari data data lines plan akan dapat ditentukan Hydrostatic Curve dan stabilitas kapal berupa
informasi displacemen kapal, berat kapal kosong letak titik berat dan letak titik apung kapal.
Stabilitas berfungsi sebagai pusat keseimbangan kapal apabila kapal mendapat gaya dari luar
berupa gaya gelombang dan angin. Sebagai berikut. Data ini sangat diperlukan untuk
mengetahui keandalan kapal atau keandalan oprasional.
General Particulars
Ships Name : KAPAL MULTI FUNGSI 60 M UNTUK MENOPANG KORBAN BENCANA
ALAM
Type : Patrol Vessel
Class : BKI
Port of Registry : Jakarta Indonesia
Builder :-
Hull No. : TBA
Date Keel Laid : 2010

Principal Dimensions :
Length OA (Mld Hull):70.00 Metres
Length WL : 62.60 Metres
Breadth Moulded : 10.0 Metres
Depth Moulded : 4.50 Metres
Draft Designed (Moulded) : 3.00 Metres
Draft SLL (Moulded) : 3.30 Metres

4.1 Pengujian Model Pada Small TT


Pada pengujian model di small TT digunakan untuk mendapatkan besarnya tahanan kapal
sebagai ajuan untuk melakukan perhitungan power yang dibutuhkan oleh kapal tersebut untuk
mencapai kecepatan dinas yang diinginkan.

4.2 Pembuatan Model


Model dibuat dari kayu dengan skala 1: 20 . Pembuatan model dilakukan dengan laminating
sesuai gambar lines . Gambar model dilakukan persekat melintang dibagi dengan 20 station.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 151
Selanjutnya dilakukan pembuatan garis air dan garis batok Selanjutnya dilakukan pengecatan
dengan warna kuning.

Gambar 5 Model kapal Multi Fungsi 60 m

4.3 Pengujian di Small TT


Pada pengujian di small TT digunakan untuk mendapatkan besar tahanan kapal dengan
berbagai kecepatan. Pengujian ini dilakukan dengan kondisi full draft dan even keel.
Kemudian hasil yang didapatkan akan digunakan untuk mengetahuai besarnya power yang
dibutuhan unruk mencapai kecepatan dinas yang diinginkan. Hal ini disebut Powering

Gambar 6 Pengujian di Small TT

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 152
Adapun hasil tahanan yang didapat dari pengujian small TT digunakan untuk menghitung
besarnya power yang direncanakan dengan menggunakan software DSSPPC dari Marin
(Belanda) sebagai berikut: Pada perhitungan dengan software kita sudah menentukan besarnya
diameter propeller dan tipe serta series propeller yang akan digunaka.
Hasil running computer dengan program DSSPPS sebagai berikut:
The temperature deviates from the standard of 15 degrees C

!!! Appendage wetted surface area is uncommon for

this ship with exposed shaft(s). Is a ship with

exposed shaft(s) really intended ??

6.3 Optimalisasi power


MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 1
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************

Main particulars
----------------
LWL 62.56 [m] TF 3.00 [m]
LPP 60.00 [m] TA 3.00 [m]
B 10.00 [m] Trim 0.00 [m]
VOL 1080 [m3]

Hull ratios based on LPP


------------------------
LWL/B 6.256 [-] TRIM 0.00 [Degr]
B/T 3.333 [-] IE 28.0 [Degr]
SLDR 6.098 [-]

Hull form coefficients based on LPP


-----------------------------------
CB 0.575 [-]
CM 0.751 [-]
LCB 0.480 [%LPP]
CWP 0.858 [-] (based on LWL)
CP 0.766 [-]
Bulbous bow and transom stern
-----------------------------
ABULB 2.6 [m2] ATRANS 3.0 [m2]
HBULB 1.80 [m]

Wetted surface hull


-------------------
S 734 [m2]

Appendages
----------
SAPP 12.0 [m^2]
1+K2 2.50 [-]

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 153
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 2
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************

Propeller design conditions


---------------------------
Design speed 20.00 [knots]
Propeller diameter 2.250 [m]
Revolutions 340.0 [1/Min]
Addition to AEA0 0.000 [-]

Main propeller data


-------------------
Number of props 2 [-] Diameter 2.250 [m]
Number of blades 4 [-] AEA0 0.648 [-]
Clearance prop. tip 0.60 [m] PDRA 1.022 [-]
Propeller roughness 0.000030 [m]

Propeller type : B-series propeller

Miscellaneous
-------------
Aftbody hullform (CSTERN) 5.0 [-]
Aperture configuration (CSC) 10.0 [-]
Water depth not provided

General data
------------
CA-Calculated 0.000602 [-] Bare hull formfactor 1.2688 [-]
Addition to CA 0.000000 [-] Specific mass water 1025.0 [kg/m3]
Hull roughness 0.000150 [m] Temperature water 27.0 [Degr C]
Addition to wake 0.000 [-] Addition to thrust ded. 0.000 [-]

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 154
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 3
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************

Resistance deep water (calm water)


----------------------------------

VS R-FRIC R-WAV R-BULB R-TRANS R-APP R-ALL R-TOT


[knots] [kN] [kN] [kN] [kN] [kN] [kN] [kN]

11.00 20.7 6.7 2.3 3.6 0.8 7.4 47.1


11.50 22.5 9.1 2.3 3.6 0.9 8.1 52.5
12.00 24.4 11.8 2.2 3.6 1.0 8.8 58.3
12.50 26.3 14.5 2.2 3.5 1.1 9.5 64.2
13.00 28.3 17.9 2.2 3.4 1.2 10.3 70.9

13.50 30.4 22.7 2.1 3.3 1.2 11.1 79.0


14.00 32.5 28.9 2.1 3.0 1.3 11.9 88.6
14.50 34.7 37.4 2.1 2.8 1.4 12.8 100.5
15.00 37.0 46.2 2.1 2.4 1.5 13.7 112.9
15.50 39.3 53.5 2.1 2.0 1.6 14.6 123.8

16.00 41.7 59.4 2.2 1.6 1.7 15.6 133.5


16.50 44.2 62.7 2.3 1.0 1.8 16.6 140.5
17.00 46.8 65.3 2.5 0.4 1.9 17.6 147.0
17.50 49.4 68.2 2.7 0.1 2.0 18.7 154.3
18.00 52.0 72.4 3.0 0.0 2.1 19.8 163.3

18.50 54.8 77.3 3.4 0.0 2.2 20.9 173.3


19.00 57.6 88.9 4.0 0.0 2.4 22.0 190.3
19.50 60.5 114.3 4.8 0.0 2.5 23.2 221.4
20.00 63.4 149.8 5.8 0.0 2.6 24.4 263.1
20.50 66.4 196.6 7.2 0.0 2.7 25.6 316.3

21.00 69.5 248.0 8.8 0.0 2.8 26.9 374.6


21.50 72.6 297.1 10.6 0.0 3.0 28.2 431.0
22.00 75.8 346.2 12.7 0.0 3.1 29.5 487.7

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 155
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 4
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************

Interaction deep water (calm water)


-----------------------------------

VS R-TOT THRUST W T ETA-H ETA-R ETA-0 ETA-D


[knots] [kN] [kN] [-] [-] [-] [-] [-] [-]

11.00 47.1 52.6 0.095 0.105 0.989 0.987 0.696 0.680


11.50 52.5 58.6 0.095 0.105 0.989 0.987 0.695 0.679
12.00 58.3 65.1 0.094 0.105 0.989 0.987 0.694 0.678
12.50 64.2 71.7 0.094 0.105 0.989 0.987 0.694 0.677
13.00 70.9 79.1 0.094 0.105 0.989 0.987 0.693 0.676

13.50 79.0 88.2 0.094 0.105 0.989 0.987 0.691 0.674


14.00 88.6 98.9 0.094 0.105 0.989 0.987 0.689 0.672
14.50 100.5 112.3 0.094 0.105 0.989 0.987 0.685 0.669
15.00 112.9 126.0 0.094 0.105 0.988 0.987 0.682 0.665
15.50 123.8 138.3 0.094 0.105 0.988 0.987 0.680 0.663

16.00 133.5 149.1 0.094 0.105 0.988 0.987 0.679 0.663


16.50 140.5 156.9 0.094 0.105 0.988 0.987 0.680 0.663
17.00 147.0 164.1 0.094 0.105 0.988 0.987 0.681 0.664
17.50 154.3 172.3 0.094 0.105 0.988 0.987 0.682 0.665
18.00 163.3 182.3 0.094 0.105 0.988 0.987 0.682 0.665

18.50 173.3 193.5 0.094 0.105 0.988 0.987 0.681 0.664


19.00 190.3 212.5 0.094 0.105 0.988 0.987 0.678 0.662
19.50 221.4 247.2 0.094 0.105 0.988 0.987 0.673 0.656
20.00 263.1 293.8 0.094 0.105 0.988 0.987 0.659 0.643
20.50 316.3 353.3 0.094 0.105 0.988 0.987 0.625 0.610

21.00 374.6 418.4 0.094 0.105 0.988 0.987 0.585 0.570


21.50 431.0 481.3 0.094 0.105 0.988 0.987 0.547 0.533
22.00 487.7 544.6 0.094 0.105 0.988 0.987 0.508 0.495

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 156
MARIN program DESPPC 1999_0 Performance Prediction of Displacement Ships
Date: 2011/01/17 Time: 19:38:26 Page 5
*****************************************************************************
*
*****************************************************************************

Propulsion deep water (calm water)


----------------------------------

VS THRUST ETA-D CAVP CAVN N PE PS


[knots] [kN] [-] [-] [-] [1/Min] [kW] [kW]

11.00 52.6 0.680 1.000 1.000 165.8 267 396


11.50 58.6 0.679 1.000 1.000 174.0 311 462
12.00 65.1 0.678 1.000 1.000 182.4 360 537
12.50 71.7 0.677 1.000 1.000 190.5 413 616
13.00 79.1 0.676 1.000 1.000 199.0 474 708

13.50 88.2 0.674 1.000 1.000 208.1 548 822


14.00 98.9 0.672 1.000 1.000 217.7 638 959
14.50 112.3 0.669 1.000 1.000 228.2 750 1134
15.00 126.0 0.665 1.000 1.000 238.7 871 1322
15.50 138.3 0.663 1.000 1.000 248.1 988 1504

16.00 149.1 0.663 1.000 1.000 256.8 1099 1675


16.50 156.9 0.663 1.000 1.000 264.3 1193 1816
17.00 164.1 0.664 1.000 1.000 271.4 1285 1955
17.50 172.3 0.665 1.000 1.000 278.8 1389 2110
18.00 182.3 0.665 1.000 1.000 286.7 1512 2297

18.50 193.5 0.664 1.000 1.000 295.1 1649 2501


19.00 212.5 0.662 1.000 1.000 305.8 1860 2840
19.50 247.2 0.656 0.995 0.997 320.0 2221 3399
20.00 293.8 0.643 1.000 1.001 339.8 2707 4255
20.50 353.3 0.610 1.032 1.026 369.7 3336 5544

21.00 418.4 0.570 1.078 1.060 404.4 4047 7168


21.50 481.3 0.533 1.134 1.096 439.6 4767 9067
22.00 544.6 0.495 1.200 1.137 476.8 5520 11261

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 157
Gambar 7 Optimalisasi power kurvei

5. Kesimpulan
Untuk Mencapai kecepatan yang optimal dari perhitungan dapat kita mengetahui bahwa kapal
multi fungsi 60 m lebih efiesien bekerja pada kecepatan 18-19 knot dengan daya yang
dibutuhkan adalah: 2501 Kw dan kalau kita tingkatkan kecepatan hingga 21-22 knot daya yang
dibutuhkan sangat besar yaitu;11260 Kw sehingga mendekati dua kalinya. Sehingga pihak
owner dan desainer perlu untuk melakukan diskusi tentang final desain. Pada akhinya kita
dapat menetukan General Arrangement Kapal multi fungsi 60 m untuk Menopang Bencana
Alam.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 158
STUDI EKSPERIMEN POSISI DEMIHULL DAN MAINHULL TERHADAP TAHANAN
KAPAL TRIMARAN SEBAGAI ALTERNATIF SARANA TRANSPORTASI LAUT YANG
AMAN
1 2 3 3 4
Eddy Setyo KOENHARDONO , Suntoyo , Totok YULIANTO , Hasanudin , Baharudin ALI
1
Staf Teknik Sistem Perkapalan FT. Kelautan ITS Surabaya Indonesia
2
Staf Teknik Kelautan FT. Kelautan ITS Surabaya Indonesia
3
Staf Teknik Perkapalan FT. Kelautan ITS Surabaya Indonesia
4
Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI) Surabaya Indonesia

Abstract

Transportation system has a very important rules in connecting 17 thousand islands in Indonesia, whereas most of them
are small island. Unfortunately, indonesian transport system nowadays is to be concerned regarding many accident
happened. The losing of equilibrium because of wave are one of the matters, especially on small ships using single hull.
This can be resolved by multi-hull ship, e.g. trimaran. Trimaran ship has better transverse equilibrium than a single-hull
ship, because of demi hull that flanked mainhull. Besides, trimaran has lower resistance than single hull speed during
high speed operation. The purpose of this paper is to assess the resistance of trimaran ship that can be use as small
island transportation system. Analyzing the resistance is done by experiment and numeric with CFD method.

1. Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara maritime dan atau negara kepulauan terbesar di dunia yang
2
dipersatukan oleh wilayah lautan dengan luas seluruh wilayah teritorial adalah 8 juta km ,
mempunyai panjang garis pantai mencapai 81.000 km, dan hampir 40 juta orang penduduk
2
tinggal di kawasan pesisir. Luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km atau sama dengan 2/3
2
dari luas wilayah Indonesia, terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 2,7 juta km dan wilayah
2
laut territorial 3,1 juta km . Luas wilayah perairan Indonesia tersebut telah diakui sebagai
Wawasan Nusantara oleh United Nation Convention of The Sea (UNCLOS, 1982).

Sarana transportasi laut sebagai media interaksi antar pulau yang berperan sebagai jembatan-
penghubung atau akses yang efektif dan effisien dalam perwujudan Wawasan Nusantara.
Namun kondisi transportasi laut di Indonesia saat ini berada dalam taraf yang memprihatinkan,
karena seringnya terjadi kecelakaan yang berakibat pada meninggalnya penumpang dan
kerugian material yang cukup besar. Oleh karena itu, pengembangan sarana transportasi laut
yang cepat, aman dan nyaman menjadi sebuah tuntutan yang tidak bisa dihindari. Tuntutan ini
menjadi salah faktor terjadinya pengembangan bentuk kapal-kapal yang tidak konvensional,
misalnya kapal trimaran. Kapal trimaran memiliki tiga buah lambung, dimana sebagai lambung
utama berada di tengah. Bentuk lambung kapal trimaran dibuat ramping (slender body),
sehingga diperlukan lambung tambahan di samping. Hal ini mengingatkan kita pada perahu
bercadik.

Bentuk kapal trimaran tersebut membuatnya memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kapal
monohull. Keunggulan-keunggulan kapal trimaran dibandingkan kapal monohull dalam hal
kemampuan maneuver, geladak kapal yang luas, stabilitas yang lebih baik maupun tahanan
yang lebih kecil.[1,2,3,4] Salah satu permasalahan tahanan pada perencanaan sebuah kapal
trimaran adalah memperkecil pengaruh interference dari setiap lambung kapal trimaran.
Pengaruh interference tersebut dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan tahanan
residuary non interference dan tahanan residual actual. Tahanan residuary non-interference
dijelaskan dengan uji tiap-tiap badan kapal secara terpisah pada range kecepatan.

Persamaan 1 dapat digunakan untuk mendapatkan koefisien tahanan residual non-interferensi


trimaran secara keseluruhan, dimana rasio permukaan basah yang dipakai.

(1)

Karena side hull lebih kecil dibandingkan main hull maka angka Reynolds lebih besar dan
sebagai sebuah hasil, tahanan gesek harus dihitung untuk sides dan main hull seperti

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 159
ditunjukkan pada persamaan 2.
(2)

Dari tahanan residual, CR dapat dijelaskan dengan pengurangan CFT dari CF. Pengaruh
interferensi relatif dari masing-masing konfigurasi side hull dapat dijelaskan dengan
pengurangan CRNI dari CR, nilai ini merepresentasikan sebagai prosentase, seperti pada
persamaan 3.

(3)

Untuk menghitung koefisien tahanan total kapal non-dimensional digunakan persamaan:

(4)
Dimana tahanan gesek dihitung dengan pendekatan korelasi ITTC 57, yaitu:

(5)

Untuk mengevaluasi pengaruh interferensi masing-masing konfigurasi, selanjutnya factor


interferensi didefinisikan, sebagai berikut:

(6)

Dimana CRNI komponen tahanan residual no-interferensi.


Dari teori thin-ship, tahanan gelombang total ditunjukkan dengan persamaan (7), dimana
penjumlahan kedua berhubungan dengan interferensi gelombang yang diberikan oleh sejumlah
badan (number of hulls).

(7)

2. Metode Penelitian
Pengkajian tahanan kapal trimaran dilakukan dengan melakukan percobaan dan metode
numeric. Percobaan dilakukan dengan melakukan pengujian model di towing tank milik
Laboratorium Hidrodinamika FTK-ITS. Pengujian dilakukan terhadap model kapal trimaran pada
berbagai kecepatan untuk beberapa harga perbandingan separation to length (S/L) dan
beberapa posisi longitudinal antara demihull dan mainhull. Analisa numeric dilakukan dengan
menggunakan metode Computational Fluid Dynamic.

Model kapal terbuat dari bahan FRP (fiberglass reinforced plastics), dimana untuk memperoleh
displacement yang sesuai dipergunakan skala berdasarkan hukum kesamaam Froude. Dimensi
kapal trimaran dan model kapal trimaran yang dipergunakan ditampilkan pada Tabel 1 dan 2.
Percobaan dilakukan pada memvariasikan harga clearance untuk jarak antara garis tengah
mainhull dan demi hull adalah 1 (B1) dan 2 (B2) terhadap lebar mainhull dan harga stagger
untuk posisi bagian belakang demihull terhadap bagian belakang main hull adalah -10% (S-1),
0% (S0) dan 10% (S1), sebagaimana terlihat pada Gambar 1 dan 2. Model kapal ditarik pada
kecepatan 10, 12, 14, 16, 18, 20, 22, 24, 26 dan 28 dalam satuan knots.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 160
a. B1 variasi clearance dengan jarak centre b. B2 variasi clearance dengan jarak
line antara mainhull dan demihull adalah centre line antara mainhull dan demihull
satu kali lebar mainhull adalah dua kali lebar mainhull
Gambar 1. Pandangan depan kapal trimaran dengan variasi jarak antara mainhull dan demihull

a. S0 variasi stagger dengan posisi buritan b. S1 variasi stagger dengan posisi buritan
antara mainhull dan demihull sejajar demihull maju 10% panjang mainhull
terhadap buritan mainhull

c. S-1 variasi stagger dengan posisi


buritan demihull mundur 10% panjang
mainhull terhadap buritan mainhull
Gambar 2. Pandangan belakang kapal trimaran untuk memperlihatkan posisi demihull terhadap
mainhull

Tabel 1. Ukuran utama kapal


2
LOA (m) LPP (m) B (m) H (m) T (m) WSA (m ) Displ (ton)

Kapal trimaran

13 12 4.92 1.50 0.673 38.38 7

Model kapal trimaran

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 161
0.8387 0.7742 0.3175 0.0968 0.0434 0.1514 1.8798

3. Hasil dan Diskusi


Hasil uji tarik terhadap model kapal dapat dilihat pada Gambar 3 sampai dengan 5 yang
memperlihatkan karakteristik tahanan kapal trimaran terhadap variasi clearance dan variasi
stagger dalam bentuk tahanan sebagai fungsi dari angka Forude. Berdasarkan hasil percobaan
uji tarik model kapal pada Gambar 3 dan 4, pengaruh variasi clearance antara mainhull dan
demihull terhadap karakteristik tahanan kapal trimaran adalah lebih dominan dibandingkan
variasi stagger. Hal ini disebabkan oleh tahanan interferensi antara mainhull dan demihull
semakin besar pada harga clearance yang semakin kecil.

a. Karakteristik tahanan kapal trimaran dengan b. Karakteristik tahanan kapal trimaran dengan
posisi buritan sejajar terhadap variasi jarak posisi demihull mundur terhadap variasi
antara mainhull dan demihull jarak antara mainhull dan demihull
Gambar 3. Karakteristik tahanan kapal trimaran akibat variasi jarak antara mainhull dan
demihull

Pada harga angka Froude dibawah 0,6, terlihat bahwa tahanan kapal trimaran pada jarak
clearance 1 kali lebar mainhull adalah dua kali tahanan untuk clearance 2 kali lebar mainhull.
Perbedaaan harga tahanan akibat clearance akan semakin meningkat dengan semakin
tingginya harga angka Froude. Pada posisi B2-S0, karakteristik tahanan memiliki
kecenderungan landai dengan semakin besarnya angka Froude, artinya pengaruh tahanan
interferensi terhadap tahanan total menjadi semakin kecil. Kondisi yang sama juga diperlihatkan
pada posisi B2-S-1, walaupun penurunan pengaruh tahanan interferensi tidak seperti B2-S0.

Pada harga clearance yang kecil, karakteristik tahanan kapal trimaran cenderung
memperlhatkan pola yang linear. Semakin besar harga clearance pola linear semakin
berkurang. Tahanan kapal trimaran yang paling baik adalah pada posisi B2-S0, dimana hal ini
juga dibuktikan dengan tidak terjadinya deck wetness sampai pada kecepatan 28 knots. Pada
jarak clearance yang kecil, deck wetness terjadi di midship mainhull dan semakin tinggi
clearance terjadinya deck wetness bergerak semakin ke belakang.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 162
a. Pada B1-S1 deck wetness mulai terjadi pada b. Pada B1-S0 deck wetness mulai terjadi pada
kecepatan 18 knots di bagian tengah kecepatan 18 knots di bagian tengah
lambung lambung

c. Pada B2-S-1 deck wetness mulai terjadi d. Pada B1-S0 deck wetness mulai terjadi pada
pada kecepatan 24 knots di bagian tengah kecepatan 28 knots di bagian tengah
lambung lambung

Gambar 4. Proses mulai terjadinya deck wetness pada kapal trimaran

a. Pengaruh posisi demihull secara memanjang b. Pengaruh posisi demihull secara memanjang
mainhull terhadap karakteristik tahanan kapal mainhull terhadap karakteristik tahanan kapal
trimaran untuk jarak 1 kali lebar mainhull trimaran untuk jarak 2 kali lebar mainhull
Gambar 5. Karakteristik tahanan kapal trimaran akibat posisi demihull terhadap garis
memanjang mainhull

Tate letak demihull terhadap mainhull (stagger) tidak memiliki pengaruh yang sedominan
dengan harga clearance, hal ini ditunjukkan oleh Gambar 5. Oleh karena posisi B2-S0 pada
percobaan uji tarik menunjukkan hasil yang paling kecil tahanan totalnya, maka pengkajian

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 163
lebih lanjut dilakukan. Hal ini dilakukan dengan melakukan pengujian sampai pada angka
Froude adalah 1, sebagaimana pada

Gambar 6. Karakteristik tahanan kapal trimaran pada beberapa variasi jarak clearance dan
stagger

4. Kesimpulan
Salah satu factor yang dominan terhadap karakteristik tahanan total kapal trimaran adalah
interferensi antar lambung kapal trimaran. Penanggulangan tahanan interferensi yang tepat
menjadi salah satu kunci yang membuat tahanan kapal trimaran menjadi lebih kecil
dibandingkan tahanan kapal dengan lambung tunggal.

Tahanan interferensi pada kapal trimaran tergantung pada factor clearance dan stagger, dimana
factor clearance lebih dominan dibandingkan factor stagger. Faktor clearance antar lambung
kapal berbanding terbalik dengan peningkatan tahanan interferensi dan deck wetness.

Ucapan Terima Kasih


Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi atas bantuan
pendanaan terhadap penelitian yang berjudul Rancang Bangun Kapal Penumpang Hybrid
Trimaran Berfoil Untuk Penyeberangan Antar Pulau Yang Handal Dan Effisien Dari Segi Teknis
Dan Ekonomis

References
Andrews, D.J. & Hall, J.J. [1995], The Trimaran Frigate Recent Research and Potential for
the Next Generation, IMDEX 95, Greenwich, March.
st
Greig, A.R. & Bucknall, R.W.G. [1999], Trimaran Cruise Liners, Proceeding The 21 Century
Cruise Ship, IMarE, Vol 111, 3 Part I, pp. 87 94, 15 16 April, London, UK. ISBN 1-
902536-19-3
Koenhandono, E.S, [2010], Perencanaan Sistem Propulsi Kapal Patroli Trimaran Dalam
Rangka Melindungi Wilayah Laut Indonesia, Seminar Nasional Ke 5 Tahun 2010 :
Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi (ReTII), STT Nasional, Yogyakarta, 18
Desember 2010
Li P , Qiu Y. & Gu Mintong, [2002], Study Of Trimaran Wavemaking Resistance With Numerical
Calculation and Experiments, Journal of Hydrodynamics , Ser. B ,2 (2002) ,99 105 China
Ocean Press , Beijing - Printed in China

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 164
Mizobe T., Nihei, Y & Ikeda, Y., [2010], A Feasibility Study on a New Trimaran PCC in Medium
Speed-Performance in Still Water and Strong Wind, The 6th International Workshop on
Ship Hydrodynamics, IWSH2010 January 9-12, 2010, Harbin, China
Sahoo, PK, Lawrence, J., Pretlove, L. [2006], CFD Prediction of The Wave Resistance of a
Catamaran with Staggered Demihulls, MAHY 2006: International Conference on Marine
Hydrodynamics 5-7 January 2006, Visakhapatnam, India
Zhang, J.W. & Andrews, D.J. [1998], Manoeuverability Performance of a Trimaran Ship, RINA
Conference Ship Motions and Manoeuverability.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 165
NUMERICAL SIMULATION ON HYDROELASTIC BEHAVIORS OF A SHIP CAUSED BY
WATER IMPACT USING EULERIAN SCHEME WITH LAGRANGIAN
1 2
Suandar BASO , Hidemi MUTSUDA
1
Naval Architecture Department, Engineering Faculty, Hasanuddin University, Indonesia
2
Social and Environmental System Engineering, Engineering Faculty,
Hiroshima University, Japan
e-mail: andar_baso@yahoo.co.id

Abstract

Hydrodynamic and hydroelastic effects on a ship are important considerations in ship design. Therefore, we developed
our numerical method, Eulerian scheme with Lagrangian particle, to investigate hydrodynamic and hydroelastic effects
on a ship. Our developed numerical method was applied to ship slamming in heading regular wave. Some phenomena
were recorded clearly using our developed method such as bow flare slamming, bottom slamming and water on deck.
Then, the maximum pressures increase with increasing wave length at all poin whereas they decrease gradually when
Lpp is greater than one. The highest impulsive pressure was measured at bow flare of the ship when pp is equal to
1.0. Higher speed and elastic deformation of the ship contribute more largely amplitude for the heave and pitch motions.

Keywords: ship hydroelastic, ship slamming, grid based method, particle based method

1. Introduction
In real sea state, a high speed ferry moving forward in a severe wave condition can cause wave
impact loads on its surface, as slamming and green water, during short time and it is vulnerable
to some effects caused by the slamming impact. In addition, the wave load acting on a ship
under strongly interaction between wave and ferry can generate an impact pressure and also
accelerate a fatigue failure at the same time. This nonlinear wave condition influences on ship
performance, ship structure and passenger comfort.

Moreover, a high speed ferry is not a really rigid construction and this means that a high speed
ferry has elastic behaviors where it experiences strains and stresses because of its structural
flexibility. Therefore, the hydroelastic behaviors of a ferry contribute some effects to ship
performances. We should consider hydroelastic behaviors of a ferry in predicting ship motions,
pressure, bending moment and torque as resulted by a strongly interaction between wave and
ship associated with hydroelastic effects toward proper ship design and ship safety.

The concept that a ship can be modelled as elastic beams structures was firstly given by Inglis
(1929) and later coined firstly the term hydroelasticity by Heller and Abramson (1959) that fluid
pressure acting on a structure modifies its dynamic state and, in return, ship motion and
distortion of a structure disturb a pressure field around it. Then, the study of the two-dimensional
(2D) hydroelasticity theory of ships was established by Bishop and Price (1979). Over the past
40 years, Faltinsen (1997 and 1998) gave a clear definition of the term ship hydroelasticity that
water pressure acts on a structure and the structure deforms. At the same time the speed of the
structural deformation influences the pressure in the water. The hydroelastic formulation and
model slamming was investigated by Bereznitski et al. (2000, 2001a, 2001b, 2002) using
numerical model. Then, wave loads on a ship in waves using an elastic model was studied and
verified with full scale measurement (Watanabe et al., 1988). Moreover, Faltinsen (1999 and
2001) presented water entry of a wedge by hydroelastic orthotropic plate theory and an
approximate three-dimensional theoretical investigation of hydroelastic wetdeck slamming, and
also presented a theoretical study of representing the wetdeck as a beam model and accounting
for dynamic hydroelastic effects. In recent years, Tajima and Yabe (1999) was simulated a
vessel slamming by using CIP method and Senjanovic et al. (2008) analyzed the hydroelastic
effect on a flexible segmented barge motion in waves and distortion and slam events was
characterized experimentally by using a hydroelastic segmented model.
On the other hand, recently many ongoing research in marine engineering have been attempted
to yield Computational Fluid Dynamics (CFD) tool toward accurate tools with considering CFD
requirements. These can predict ship motion and water resistance as hydrodynamic effects due
to strongly nonlinear wave-ship interactions. However, consideration of hydroelastic effects
associated with capturing nonlinear free surface flows with wave breaking on a ship motion

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 166
under a severe wave condition is still rarely devoted in CFD researches. Nonlinear free surface
flows and hydroelasticity are difficult to compute by direct numerical simulation because it is a
complex problem to keep sharpness of the air-water interface tolerable and to handle moving
free surface and elastic ship boundary. In addition, solutions of CFD for ship motion require
more quantitative assessments in reproducibility and validation. Therefore, developments of
CFD techniques to predict accurately hydrodynamic and hydroelastic effects on a ship motion in
a severe wave condition need tremendous efforts.

In our previous works, our developed method, a hybrid particle-grid scheme, has been applied
to seakeeping performance in nonlinear waves with breaking (Baso et. al, 2010, 2011a and
2011b). The hybrid particle-grid scheme is a coupled Eulerian grid and Lagrangian particles
which combines CIP method (Yabe and Wang, 1991) and SPH method (Gingold and Monaghan,
1977) to combine advantages and to compensate disadvantages of the both particle-grid
methods. The advantages and disadvantages of the both methods are stated clearly in our
previous publications (Baso, 2011a, 2011b). The model has two kinds of Lagrangian particles,
i.e. SPH and free surface particle, on Eulerian grids to correct interface tracking error. The two
types of Lagrange particles are collocated and attracted with highly accurate captured nonlinear
free surface under resolved region with Eulerian grid.

In this study, we have developed the hybrid particle-grid scheme to predict and clarify impact
pressure, bending moment, heave and pitch motions, and some phenomena caused by
nonlinear interaction ship-wave with hydroelastic behaviors. We also applied to high speed
ferry motion in nonlinear wave with breaking. The high speed ferry is considered as an elastic
body in both numerical simulation and experimental work. In addition, some phenomena of
nonlinear free surface flow caused by strongly interaction between wave and the ferry motion
are captured by the hybrid particle-grid scheme. The developed scheme is validated and
verified in predicting motions, resistance and hydroelastic effects on the high speed ferry.

2. Eulerian Scheme with Lagrangian Particles


In this section, the numerical method, which combines the Eulerian scheme and the Lagrangian
particles by coupling the SPH method and CIP method with particle, are described concisely.
More detail explanations were stated in the previous publications (Baso et al., 2010, 2011a and
2011b; Mutsuda et al., 2009, 2010 and 2011).

First, the CIP method with particles is introduced as a numerical scheme that combines the
accuracy of Lagragian front tracking. Thereafter, the SPH method is employed to calculate
deformation, strain, stress of elastic body, and 3D motion.

2.1. Arrangement of grids and particles


The Eulerian scheme uses a staggered grid system and has two types of Lagrange particles, i.e.
SPH particles to describe solid and free surface particles to capture free surface accurately.

Density function P on free


surface particles within referenced area with radius h. A smooth approximation of a density
function can be constructed by using a Kernel function in the SPH method.

2.2. Governing equations for fluid phase


The governing equations for fluid phase consist of the mass conservation equation,
incompressible Navier-Stokes equation and the equation of continuity, I-phase density function
1) and its advection equation. The equations are expressed as follows

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 167
where, ui is the velocity, the coefficient of fluid viscosity, the fluid density, P the pressure, Ffsi
the fluid-structure interaction, the acceleration due to garvity, ij the SGS stress term, and
the density function. To reduce model parameters, the SGS stress term is solved by using the
Dynamic SGS model proposed by Germano (1992). More details are provided by Mutsuda et al
(2000).

2.3. Advection step and non-advection step


The governing equations are solved by using the splitting method which is suitable for solving a
multi-phase flow without smearing a density across interface between air and water. The
advection step is calculated by the CIP method proposed by Takewaki and Yabe (1987). Then,
the Type-M scheme of the CIP method is employed by using the third-order accuracy in time
and space (Yabe et al., 2004). On the other hand, the non-advection step is solved by using the
second-order finite difference method.

2.4. Governing equations for solid phase


The governing equations for solid phase are the continuity and momentum equations as follows:

i
where is the density, u the velocity, x j the position vector of vector j components, ij the
stress tensor of the solid phase, and Ffsi the fluid structure interaction term. The stress
tensor sij in Eq.(5) is given by

(6)
sij P ij S ij
(12)
where S ij is the deviatoric stress tensor, P kk / 3 the pressure solved by the Poisson's
equation (9) as mentioned below.

Our numerical model considers a large deformation of an elastoplastic body. The solid body
changes at every calculation step by using the following equation:

{dS ij } [ D ep ]{d ij } (7)

where D ep is the elastoplastic matrix, d ij the time increment of the strain, and dS(13)
ij
the time
increment of the deviatoric stress. To solve rotation of the solid phase during a deformation, the
Jaumann derivative is used to ensure material frame indifference with respect to the rotation as
follow:

dS ij 1
2 ij ij ij S ik jk ik S kj (8)
dt 3
(14)
where is the strain rate tensor and the spin tensor. Other details are given by Mutsuda et al.
(2009).

The pressure with specified jump conditions is solved by the Poisson's equation given by

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 168
P n1 u

(9)
t
(9)
where denotes a physical value after the advection step. The pressure for solid phase can be
obtained by this equation and be applied in solving a solid deformation.

The fluid structure interaction Ffsi is solved by acceleration obtained from the pressure on the
SPH particles interpolated using the pressure on grids solved by the Poisson's equation (9). In
the model, the fluid structure interaction Ffsi in Eqs.(2) and (5) can be given by the following
equation:

m
1 P(rb )
F fsi (ra ) aW (ra rb , h) (10)
(ra ) (rb )
b
b
(15)
To keep computational efficiency and stability, the time increment in the solid phase is
approximately 1/10 to 1/50 of that in fluid phase.

2.5. Ship motion


A ship motion is solved by using information obtained from SPH particles because a ship hull
consists of SPH particles capturing motion and deformation of a ship. Therefore, the 3D motion
of a ship hull is represented by describing translation and rotation of the centre of gravity of a
ship hull by using the following equations:

where Ti the torque, I the inertia


moment, and Ffsi the fluid structure interaction. In addition, the centre of gravity of a ship hull can
be obtained by solving the inertia moment of SPH particles, and this is calculated by using
Baraff theory (1997). Therefore, the coordinates of velocity of each SPH particle in every time
step can be tracked by using the rotation matrix and the amount of the angle rotation of the
center of gravity. The quaternion is also used instead of the rotation matrix R(t) in 3D to avoid
the Gimbal lock phenomenon.

First, the CIP method with particles is introduced as a numerical scheme that combines the
accuracy of Lagragian front tracking. Thereafter, the SPH method is employed to calculate
deformation, strain, stress of elastic body, and 3D motion.

3. Results and Discussions


3.1. Dropping test of an elastic ship
When a ship is moving in nonlinear wave with large heave and pitch amplitude, the ship is
facing a severe wave that an emerged ship bottom is reentering. This means that the ship bow
and bottom is experiencing a slamming event. Therefore, we make a simple assumption that
water impact pressure, strain and stress responses generated by slamming event could be
measured by conducting a dropping test of an elastic body. Then, the dropping test of an elastic
ship model is performed in wave tank which belongs to Hiroshima University. The main purpose

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 169
is to investigate relationship between elastic motion and impact pressure caused by slamming.

A ship model is high speed Ferry type as shown in Fig. 1. The main dimensions for the actual
ship and the model in the experiment are presented in Table 1 mentioned in previous section.
The model is made of combination of wood and urethane. To consider an elastic motion, the
ship model is divided into four parts as shown in Fig.1. that the model is cut in three locations i.e.
bow cut, midship cut and stern cut. For the elastic model, the separated part is connected using
2
a backbone attachment made of metal. The flexural rigidity EI and the ship density are 351N/m
3
and 243kg/m , respectively.

The experimental set up are determined and designed based on the free fall theory with a
constant falling speed as shown in Fig. 2. Equipment and device are used for experimental work
and the ship model at initial condition is supported by four-leg framed structure., pressure
sensors located on bottom surface of the model i.e. P1, P2, P3, P4, P5, P6 and P7, are
measured by using piezo-electric sensor as shown in Figures 3 and 4. Strains, S1, S2 and S3,
are measured by strain gauges with water proof located on the backbone.

The other strains on the surface of the ship model are measured at S1_local, S2_local and
S3_local to obtain the localized strain which is not relation to a global motion such as whipping.
The Pressure data measured from all points are divided into three parts i.e. bow (P_bow), hull
(P_hull) and stern (P_stern) to associate with strain data at S1, S2 and S3. In addition, high
speed video camera with speed 1000fps is placed to capture and analyze the ships motion
during dropping process.

Figure 1. Ship model with some attached devices

Table 1. Main dimensions


Actual Ship Model
Loa (m) 45 1.5
B (m) 9.6 0.3
H (m) 3.5 0.116
T (m) 1.2 0.04

In the experiment, a deadrise angle of the ship model is defined as a colliding angle between
still water surface and an inclined ship before entering. Then, the desired angle of the ship
model is set and kept with wire before dropping. After an initial setting, the wire is cut and the
ship model is freely falling into the still water. The deadrise angle is strictly captured from
video image. This situation means that a ship moving forward faces water surface frequently in
real sea state and also a bottom slamming is sometimes occurred.

3.2. Comparison between the experimental results and the numerical results
Dropping test of the elastic ship has been computed numerically at the same initial conditions
with the experiment conditions. Here, the computational conditions are explained more detail.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 170
The grid size is 0.01Lpp and the radius of free surface particle is 0.0025Lpp. The total number
of the free surface particle located near the free surface is 127,680. The radius of the SPH
particle is 0.0025Lpp and the total number is 29,434 for the dropping ship. The density ratio
between air and water is 800 and the viscosity ratio between them is 55 in the multiphase model.
2 3
The flexural rigidity EI and the ship density are 351Nm and 243kg/m , respectively. The initial
dropping speed is about 4.4m/sec recorded by high video camera. The deadrise angle of the
ship is 2 to 25 degrees at the initial setting. One example case at the provided initial conditions
will be shown as follows.

Figure 2. Experiment equipment and device

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 171
Figure 3. Locations of pressure sensor and strain vertically and longitudinally views

Figure 5 shows comparison of typical case of the elastic ship and the free surface based on
some snapshots between the experimental and the numerical results during the dropping and
the entering process. Vertical location of the elastic ship, water splashing and free surface
deformation change at each time step from 0.001sec to 0.03sec can be seen in these figures.
Based on the snapshots, the numerical results are over all agreement with the experimental
ones. However, there is small discrepancy between them during the entry process. When the
ship bow contacted firstly on the water surface and then immersed, the water splashing near the
bow and the generated short wave reflection along the ship are comparatively weak in the
numerical results because small droplets and air bubbles less than the size of the free surface
particles cannot be captured by our numerical model. We need to overcome this problem using
another special technique in near future effort.

Exp. Exp.

Num. Num.

t=0.001se t=0.01sec
c

Exp. Exp.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 172
Num.
Num.

t=0.02se t=0.03sec
c

Figure 4. Comparison of water profile with splashing between experimental and numerical
results deadrise angle

3.3. Application to elastic ship motion in nonlinear wave


In this subsection, the investigation is emphasized to analyze hydroelastic behaviors under
slamming by applying our numerical method to ship motion in heading regular wave with
breaking.

In the computational conditions, the Froude numbers are set to 0.32 and 0.45. Then, Reynolds
6
number is about 1.4x10 . Young's modulus is 210GPa and Poisson ratio is 0.3 for the elastic
ship. The incident wave height Hw/Lpp is 0.06, Lpp is a ship length and 12 cases are performed
based on the different wave length and the ship speed V. The grid size dx,dy,dz are 0.01Lpp.
The radius in both free surface particle and SPH particle are 0.0025Lpp and the number of
particle is 542,000 for free surface and 29,306 for elastic ship (SPH particle).

a) Location: S1

600
400 Computation
Experiment
Strain (*106)

200
0
-200
-400
-600
0 0.01 0.02 0.03
Time (sec)

b) Location: S2

800

400
Strain (*106)

-400 Computation
Experiment
-800
0 0.01 0.02 0.03
Time (sec)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 173
c) Location: S3

1000

500

Strain (*106)
0

Computation
-500 Experiment

-1000
0 0.01 0.02 0.03
Time (sec)

Figure 5. Comparison of time histories of strain between experimental and numerical results at
each measurement points S1, S2, and S3.

The impact pressure acting on the ship can be monitored and recorded in time evolution. Then,
each SPH particle produces the strain in six components based on three dimensions in local
axes, i.e. xx, xy, xz, yy, yz and zz in the particle method, SPH. Two measuring points of
pressure, P1 and P2 as shown in Fig. 6, are located on the ship bow and bottom, respectively.
Then, three measuring points of strain, S1, S2 and S3, are located on along deck as shown in
Fig. 6 The P1 is represented by bow slamming and P2 is bottom slamming. The strain
measuring points at S1, S2 and S3 are characterized by the deck structure in front, mid and rear
parts, respectively.

Figure 7 shows the typical non-dimensional impact pressure P* defined by averaging maximum
pressure at each case in increasing wave length Lpp/ for both cases Fn=0.32 and 0.45,
-dimensionalized by wave height Hw, water density and gravity acceleration g.
The localized impact pressure shows the same tendency in all cases based on Fn. It increases
when the ship speed increases and is higher at bow part P1 about four times larger than that at
bottom part P2. Then, the localized impact pressure tends to increase with increasing wave
length, however, it gradually decreases when the
can be notified that

Figure 8 shows some snapshots of bow slamming and bottom slamming phenomena during the
motion in nonlinear wave with breaking. The ship's bow hits the surface of wave crest and it is
then categorized by bow slamming event and the bottom slamming event that bottom of the
ship is lifted up and re-enter into the free surface due to the loading. In addition, the wave
breaking around the ship, especially the bow part of the ship, can be captured well by the
present numerical model.

The localized strain was strongly occurred after impact pressure acting on the ship in the
heading wave. It was bended upward and downward. The reactions of the strain at S1, S2 and
S3 on the deck are shown in Fig.9. The localized strains S1, S2 and S3 grow up with increasing
wave length This is because the impact pressure is relatively small. The impact
pressure tends to decrease when
measured at S3 is highest in both cases based on Fn. The configuration of the stern has the
slightly flat of the ship hull and the small draft, consequently, these can contributes the high
strain. In future work, we will investigate the localized strain on along keel part.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 174
Figure 6. Locations of measuring point of pressure and strain.
a). Fn=0.32 b). Fn=0.45

1.5 1.6 measured at P1


measured at P1 measured at P2
measured at P2
1.2
P/gHw

1
P/gHw

0.8

0.5
0.4

0 0
0 0.5 1 1.5 2 0 0.5 1 1.5 2
/Lpp /Lpp

/Lpp /Lpp
Figure 7. Typical localized impact pressure acting on bow part (P1) and bottom one (P2);
a). Fn=0.32 and b). Fn=0.45.

t=7.3s
Bow slamming

Front view Side view

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 175
t=15.9s Bottom slamming
ec

Side
view
Front view Side view

Figure 8. Snapshots of bow slamming and bottom slamming with breaking.

a). Fn=0.32 b). Fn=0.45

[10-11] 8
S1 [10-11]
S2 6 S1
6 S3 S2
S3
4 4
Strain

Strain
2 2

0 0
0 0.5 1 1.5 2
0 0.5 1 1.5 2
/Lpp /Lpp

Figure 9. Typical localized strain response reacting on deck caused by hydroelastic behavior

Figure 10: Comparison of the non-dimensional heave and pitch amplitudes between solid and
elasti c bodies

Based on the comparison result of the non-dimensional heave amplitude, the heave amplitude
of the elastic ship is lower than that of the solid ship in each wave length as shown in Fig. 10. In
contrary, the non-dimensional pitch amplitude of the elastic ship is higher than that of the solid
one. In addition, high Froude number Fn contributes large amplitude in the elastic ship. Here, it
can be seen that the ship motions such as heave and pitch are also influenced by
hydroelasticity behaviors. Therefore, the performance of a ship in nonlinear wave with breaking
depends on not only impact pressure but also hydroelasticity which should be considered in
ship design.

4. Conclusions
In the present study, Eulerian scheme with Lagrangian particle has been developed to
investigate the high speed ferry motion and hydroelastic effects in nonlinear wave with breaking.
The developed scheme was validated and verified in predicting motions and hydroelastic effects

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 176
on the high speed ferry. The numerical results are in overall agreement with the experimental.
We clarified that the performance of the high speed ferry in nonlinear wave with breaking is
influenced significantly by hydroelastic behaviors of the ferry. The hydroelastic effects address
directly to impact pressure on the ferry. The high Froude number Fn contributes large amplitude
in both motion such as heave and pitch of the ferry. Therefore, we should consider hydroelastic
behaviors of a ship toward proper design.

In the future works, grid and particle size for free surface motion will be also optimized to
capable handle droplets and air bubbles generated by a strongly interaction between wave and
ship.

References
Baraff, D. (1997): An introduction to physically based modeling, Rigid body simulationI
~Unconstrained rigid body dynamics~, SIGGRAPH97 course note, D3.
Baso, S., Mutsuda, H., Kurihara, T., Kurokawa, T., Doi, Y., and Shi, J. (2010): An Eulerian
scheme with Lagrangian particles for evaluation of seakeeping performance of a ship in
nonlinear wave, International Journal of Offshore and Polar Engineering, Vol.21, No.2:
pp.103-110.
Baso S., Mutsuda, H., Kawakami, K., Hashihira, K., and Doi, Y. (2011a): Numerical Study on
Nonlinear Hydroelastic and Hydrodynamic Effects on Floating Body Using Eulerian
Scheme with Lagragian Particles, Proc. of the 21st International Society Offshore and
Polar Engineers Conference, Maui (USA), pp.610-617.
Baso, S., H. Mutsuda Y. Doi (2011b): Numerical Study on Propulsion and Seakeeping
Performance of a Ship Using an Eulerian Scheme with Lagrangian ParticlesJournal of
the Japan Society of Naval Architects and Ocean Engineers, No.13, pp.19-26.
Bereznitski, A., Boon, B. and Postnov, V. (2000): The effect of hydroelasticity on the impact
pressure due to bottom slamming on ship structure, Proc. of 11th International Society
Offshore and Polar Engineers Conference, Seattle (USA), IV, pp.227-283.
Bereznitski, A., Boon, B. and Postnov, V. (2001a): Hydroelastic formulation in order to achieve
more accurate prediction of hydrodynamic loads, Proc. of 11th International Offshore and
Polar Engineers Conference, Norway, Vol. 4, pp.337-342.
Bereznitski, A. and Postnov, V. (2001a): Hydroelastic model for bottom slamming, The 8th
International Symposium on Practical Design of Ship and Other Floating Structure, China,
Vol. 2, pp.911-917.
Bereznitski, A. and Kaminski, M.L. (2002): Practical Implications of Hydroelasticiy in Ship
Design, Proc. of 11th International Offshore and Polar Engineers Conference, Kitakyushu
(Japan), paper no. 2002-YU-1.
Bishop, R.E.D., Price, W.G. (1979): Hydroelasticity of ships, Cambridge University Press.
Faltinsen, O.M. (1997): The effect of hydroelasticity on ship slamming, Phil. Trans. R. Soc., 355,
pp.575-591.
Faltinsen, O.M. (1998): Hydroelasticity of high-speed vessels, Hydroelasticity in Marine
Technology, Proc. of the 2nd international Conference, pp.1-13.
Faltinsen, O. M. (1999): Water entry of a wedge by hydroelastic orthotropic plate theory, Journal
of Ship Research, 43, pp.180-193.
Faltinsen, O.M. (2001): Slamming with application to planning vessels, green water loading and
sloshing, hydrodynamics in ship and ocean engineering, pp.27-58.
Germano (1992): Turbulence: the filtering approach, Journal of Fluid Mechanics, vol.238,
pp.325-336.
Gingold R.A. and Monaghan J.J. (1977): Smoothed particle hydrodynamics, theory and
application to non-spherical stars, Mon. Not. R. Astron. Soc. 181, pp.375-389.
Heller, S.R. and Abramson, H.N. (1959): Hydroelasticity - a new naval science, J. Am. Soc. Nav.
Engrs., 71, pp.205-209.
Inglis, C.E. (1929): Natural frequencies and modes of vibration in beams of non-uniform mass
and section, Trans. R. Instn. Nav. Architects, 72, pp.145-166.
Mutsuda, H. and Yasuda, T. (2000): Numerical simulation of turbulent air-water mixing layer
within surf-zone, Proc. of the 27th International Conference on Coastal Engineering,
pp.755-768.
Mutsuda, H. and Doi, Y. (2009): Numerical simulation of dynamic response of structure caused

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 177
by wave impact pressure using an Eulerian scheme with Lagrangian particles, Proceeding
of the 28th International Conference on Ocean, Offshore and Arctic Engineering,
OMAE2009-79736.
Mutsuda, H., T. Kurokawa, S. Baso, Y. Doi. (2010): Numerical Simulation of Interaction
Between Wave and Floating Body using Eulerian Scheme with Lagrangian Particles, IV
European Conference on Computational Mechanics, Solids, Structures and Coupled
Problems in Engineering , ECCM2010, CD-ROM.
Mutsuda, H., S. Baso, K. Kawakami, K. Hashihira, Y. Doi (2011): Numerical Simulation on
Hydroelastic Response of Structures under Impact Loads from Water Using Eulerian
scheme with Lagrangian Particles, Proceedings of the 4th International Conference on
Computational Methods in Marine Engineering, MARINE2011, CD-ROM.
Senjanovic, I., Malenica, S., and Tomasevic, S. (2008): Investigation of ship hydroelasticity,
Ocean Engineering, Vol.35, pp.523535.
Tajima, M. and Yabe, T. (1999): Simulation on slamming of a vessel by CIP method, J. of the
Phys. Soc. Of Japan, Vol. 68, No. 8, pp.2576-2584.
Takewaki, H. and Yabe, T. (1987): Cubic-interpolated pseudo particle (CIP) method application
to nonlinear or multi-dimensional problems, Journal of Computational Physics, Vol.70
(1987), pp.355-372.
Watanabe, I., Takemoto, H., and Miyamoto, T. (1988): Use of an elastic model in studying wave
loads on a ship in waves and its verification by a full-scale measurement, Proceedings of
the International Symposium on Scale Modeling, Japan Society of Mechanical Engineers,
Tokyo, pp 4755.
Yabe, T., Mizoe, H., Takizawa, K., Moriki, H., Hyo-Nam Im, and Ogata, Y. (2004): Higher-order
scheme with CIP method and adaptive soroban grid towards mesh-free scheme, Journal
of Computational Physics, Vol.194, pp.57-77.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 178
ANALISA CFD PENGARUH PENAMBAHAN APPENDAGE PADA LAMBUNG
KATAMARAN TERHADAP HAMBATAN VISKOS
*1 1
Sony ANGGARA , I Ketut Arya Pria UTAMA
1
Department of Naval Architecture and Shipbuilding, Faculty of Marine Technology, ITS-
Surabaya.
*E-mail: anggarasony@gmail.com

Abstract

The addition of the appendages on the ship hull is often used by designers to improve seakeeping performance when
vessel operated on water, such as installing the bilge keel and bulbous bow. Doing the modifications means changing
the hull shape of the model from without the appendage (bare hull) into a more complex hull shape. It impact on viscous
pressure resistance and directly also determines the value of viscous resistance. This study discusses about how much
the viscous resistance changes due to modifications of hull shape. The method used is the numerical modeling
simulation of CFD (Computational Fluid Dynamics) using the catamaran model that modified by adding a bulbous bow.
Then the length of bulbous bow is varied by 2% and 4% of the length of waterline (LWL). From the simulation, it can be
obtained the value of viscous resistance and the visualization of fluid pressure around the model. Validation phase used
is a grid independence and convergence. Analysis results show that the changes in hull shape suggests a relatively
small effect of viscous resistance.

Keywords: bulbous bow, viscous resistance, catamarans, form factor, numerical modeling.

1. Pendahuluan
Hambatan kapal secara garis besar dapat didefinisikan sebagai suatu gaya yang bekerja
melawan gerakan kapal. Gaya tersebut ditimbulkan akibat adanya kontak langsung antara
kapal dan fluida. Hambatan kapal total dapat dibagi menjadi beberapa komponen, diantaranya
adalah hambatan viskos (RV), gelombang (RW ) dan udara (RA) (Couser dkk., 1997). Karena nilai
hambatan udara sangat kecil, sekitar 4% dari hambatan total, maka perannya seringkali
diabaikan (Lewis, 1988). Rumus hambatan dapat disederhanakan menjadi persamaan (1), dan
perlu diketahui bahwa tulisan ini difokuskan pada pembahasan mengenai hambatan viskos.

RT = R V + R W (1)

Hambatan viskos merupakan hambatan yang terjadi karena adanya efek viskositas fluida.
Hambatan ini sering dipresentasikan sebagai koefisien CV, memiliki 2 komponen utama yaitu
hambatan gesek (friction resistance) dan hambatan bentuk atau yang sering dikenal sebagai
hambatan tekanan (pressure resistance) (Utama dan Molland, 2001). Kedua komponen
tersebut memiliki arah sumbu kerja yang berbeda, komponen pertama bekerja pada arah
mengikuti garis kontur lambung kapal (stream line) membentuk sudut terhadap arah aliran
normal fluida (arah tangensial) yang disebut sebagai hambatan gesek, sedangkan komponen
kedua bekerja sebagai gaya normal yang memiliki arah kerja tegak lurus dengan lambung kapal,
disebut sebagai hambatan tekan. Komponen hambatan viskos ditunjukkan pada Persamaan (2)
dan Gambar 1.

Normal (P)
Tangential ()
flow

ship stern
bow

Gambar 1. Komponen viskos resistance (Carlton, 2007).

CV = CF + KCF (2)

1.1. Hambatan gesek


Hambatan gesek merupakan komponen hambatan yang terkait dengan gaya yang timbul akibat
dari gesekan antara molekul fluida. Penyebab utama hambatan ini adalah viskositas, kecepatan
kapal dan luas permukaan basah. Rumus umum dari hambatan gesek kapal menurut Lewis
(1988) adalah :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 179
2
Rf = Cf S V (3)

Di mana adalah masa jenis fluida, CF koefisen hambatan gesek, S adalah luas perrmukaan
basah dan V adalah kecepatan. Nilai atau besaran CF didapatkan melalui eksperimen yang
panjang di mana eksperimen yang dilakukan mengansumsikan luasan daerah lambung kapal
yang tercelup air sebagai luasan dari pelat datar yang besarnya adalah sama (Lewis, 1988).
Untuk model yang memiliki bentuk 3 dimensi, nilai CF harus dikalikan dengan nilai koefisien
bentuk sebagai implementasi dari bentuk lambung (Couser dkk., 1997).

Dalam teori viskositas disebutkan keberadaan dari lapisan batas (boundary layer). Ketika kapal
bergerak melawan fluida yang tenang, terbentuk sebuah lapisan tipis yang melekat pada
permukaan lambung kapal yang tercelup fluida, lapisan ini memiliki kecepatan relatif nol
terhadap lambung kapal. Sedangkan daerah fluida yang sangat jauh dari kapal bersifat tenang
tidak bergerak. Variasi kecepatan fluida bergantung pada jarak antara daerah fluida tersebut
terhadap lambung kapal, kecepatan fluida menurun seiring dengan semakin jauhnya jarak
terhadap kapal. Daerah di mana terjadi perubahan kecepatan fluida secara mendadak
dinamakan lapisan batas (Rawson dan Tupper, 2001). Salah satu definisi mengenai lapisan
batas yang dapat diterima dalam ilmu hidrodinamika menyebutkan bahwa tebal lapisan tersebut
diukur sebagai jarak dari permukaan struktur body, dalam hal ini lambung kapal, hingga daerah
fluida yang memiliki kecepatan 1% dari kecepatan kapal (Rawson dan Tupper, 2001). variasi
kecepatan fluida menyebabkan terjadinya gesekan antara molekul fluida yang sifatnya
menghambat laju dari kapal, hambatan ini dinamakan hambatan gesek.

1.2. Hambatan tekanan / bentuk


Komponen kedua dari hambatan viskos adalah komponen yang bekerja ke arah normal
lambung kapal yang disebut hambatan tekanan, nilainya dipengaruhi oleh nilai tekanan yang
bekerja pada lambung kapal di bawah permukaan air. Besarnya tekanan pada bagian depan
sangat besar karena lambung langsung berhadapan dengan fluida, kecepatan fluida bertambah
ketika fluida mengalir melewati lambung kapal, dan ketika melewati ujung belakang, fluida
mengalami tekanan yang lebih kecil dibandingkan dengan tekanan di daerah haluan. Tekanan
yang bekerja ke arah normal menghasilkan ulekan (eddy) di daerah belakang lambung kapal.

Selain pemahaman komponen hambatan seperti di atas, hal penting yang juga dipahami dalam
tulisan ini adalah peran koefisien bentuk, konstanta ini menggambarkan pengaruh bentuk
lambung kapal terhadap hambatan kapal. Koefisien bentuk dari katamaran lebih besar
dibandingkan dengan demihull-nya akibat adanya efek interferensi, di mana selisih keduanya
dapat mencapai 10% (Couser dkk., 1997). Nilai koefisien bentuk dapat ditentukan berdasarkan
formula berikut ini (Insel dan Molland, 1992);

CT = C V + C W (4)
CT = (1 + k) Cf + CW (5)

menjelaskan mengenai besarnya perubahan daerah bertekanan (pressure field) disekitar


demihull dan merupakan konstanta yang menjelaskan penambahan kecepatan fluida (velocity
augmentation) di antara kedua lambungnya. Untuk tujuan praktis keduanya dapat dikombinasi
menjadi faktor interferensi viskos (viscos interference factor) . Sedangkan untuk
demihull/monohull nilai dan sama dengan 1 sehingga koefisien bentuk dapat dituliskan
dengan (1+k) CF tanpa faktor interferensi. adalah koefisien interferensi hambatan gelombang
yang dinyatakan dengan metode linear oleh Insel dan Molland (1992). Apabila rumus di atas
dijabarkan kembali maka didapat :
(CV)mono = (1 + k)Cf (6)
(CV)cat = (1 + k)Cf (7)
(CV) mono berlaku untuk monohull atau masing-masing demihull-nya, dan (CV) cat digunakan
untuk model katamaran. merupakan konstanta interferensi viskos akibat 2 demihull yang
bergerak bersama. Sedangkan CF adalah koefisien hambatan gesek. CF dapat dihitung
menggunakan rumus ITTC (Lewis, 1988) :
2
Cf = 0.075 / ((log Re - 2) ) (8)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 180
Re = LVs / v (9)

Re = Reynolds number
L = Lpp dalam satuan meter
Vs = Kecepatan kapal dalam satuan m/s
v = viskositas kinematik
-6 2
= 1.18831 x 10 m/s untuk air tawar
Koefisien bentuk dapat ditentukan dengan menggunakan perhitungan langsung melalui rumus
CV/CF, metode ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Utama dan Molland (2001).

2. Metode Penelitian
2.1. Model katamaran
Dalam tulisan ini digunakan 3 model yang terdiri dari 1 model utama dan 2 model hasil
modifikasi menggunakan bulbous bow dengan variasi panjang 2% dan 4 % Lwl. Sebagai
perjanjian awal untuk memudahkan penyebutan digunakan penamaan khusus untuk ketiga
model di atas yaitu NB untuk model tanpa bulbous bow, B2 untuk model dengan bulbous bow
panjang 2% Lwl dan B4 untuk model katamaran menggunakan bulbous bow panjang 4% Lwl.

Model lambung katamaran NB yang telah disimulasikan pada tulisan ini adalah desain yang
diadopsi dari penelitian Jamaluddin dkk. (2010), dengan rasio S/L 0,3. S merupakan jarak
demihull (0.41 m) dan L adalah panjang kapal. Tabel 1 menunjukkan data hidrostatik demihull.

Tabel 1. Data hidrostatik model demihull


Nilai Satuan
Dimensi
Displasemen 14.400 Kg
3
Volume 14.096 m
Sarat 0.078 m
Lwl (panjang garis air) 1.372 m
Lebar 0.553 m
2
WSA (luasan tercelup) 0.513 m

2.2 Desain bulbous bow 2% Lwl


Pemakaian bulbous bow diterapkan pada model NB yang selanjutnya disebut sebagai model
B2 dan B4. Adapun deskripsi ukuran dari bulbous bow yang digunakan diadopsi dari sebuah
penelitian oleh Kanerva (2000). Dimensi ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Dimensi bulbous bow 2% Lwl


Dimensi bulbous bow presentase
Panjang 2% Lwl
Cross Sectional Area di FP 11% Midship Area
Tinggi bagian yang muncul 0.4% Lwl
Cross sectional area di bagian timbul 9 % Midship Area
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah posisi dari bagian bulbous bow yang timbul di atas
permukaan air, bagian ini diposisikan pada titik 0.8 panjang bulbous bow dari garis tegak
haluan (Forward Perpendicular).

Akibat keberadaan tonjolan ini maka luasan permukaan basah (WSA) bertambah. Untuk
mempertahankan luasan tersebut agar sama dengan model katamaran tanpa bulbous bow,
maka harus terjadi pengurangan sarat. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan,
penurunan sarat untuk mempertahankan nilai WSA adalah sebesar 3.891 mm, dibulatkan
menjadi 3.9 mm. Sehingga sarat model kapal katamaran setelah dimodifikasi dengan bulbous
bow l = 2% Lwl (model B2) menjadi 74 mm dari semula 78 mm. Selisih displasemen sebelum
dan sesudah instalasi bulbous bow beserta penurunan sarat adalah 0.058 % dari displasemen
awal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 181
10 9 8
76 FP
(a) (b)
54
19
18
17

Sarat 2
1
AP

16
15
14
13
12
11

Gambar 2. (a) Lines plan demihull sebelum dan (b) sesudah penambahan bulbous bow
2% Lwl
2.3 Desain bulbous bow 4% Lwl
Variasi model yang kedua adalah modifikasi bulbous bow dengan panjang 4% Lwl yang
selanjutnya disebut sebagai model B4. Bentuk bulbous bow ini didapat dengan menarik model
bulbous yang telah didesain sebelumnya dengan panjang 2% Lwl sejauh 2% Lwl lagi ke depan
seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Diperpanjang 2% Lwl
Model B2

Model B4

Gambar 3. Modifikasi model B4 dari model B2


Seperti pada model B2 perlu dilakukan penurunan sarat sejauh 4.89 mm dari sarat model NB
menjadi 73.11 mm dibulatkan menjadi 73 mm. Sehingga didapatkan WSA dan volume
displasemen yang hampir sama dengan model sebelumnya. Dengan hanya berselisih 0.008%
terhadap WSA model NB dan 0.81% terhadap displasemen model utama NB.

2.4 Model NB, B2 dan B4


Gambar 4 menunjukkan perbandingan dari ketiga model
(a)

(b)

(c)

Gambar 4. (a) model NB, (b) model B2 dan (c) model B4.
2.5 Proses simulasi
Simulasi dilakukan dengan menggunakan software CFD. Simulasi menggunakan CFD
disesuaikan dengan kondisi ketika pengujian menggunakan wind tunnel (Meskipun pada

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 182
penelitian ini tidak melakukan pengujian dengan wind tunnel) yaitu dengan menggunkan 1 jenis
fluida yang mengalir pada terowongan (Utama dkk., 2011). Fluida yang dipakai adalah air.
Bagian lambung yang melakukan kontak dengan fluida hanyalah bagian yang menyentuh air
sehingga hambatan viskos dapat langsung diketahui tanpa harus melakukan perhitungan lagi.
Adapun variasi angka Froude (Fr) yang digunakan 0.18; 0.28; 0.38; 0.47; 0.56; 0.65.

2.6 Proses validasi


Untuk memastikan bahwa metode dan hasil dari simulasi CFD adalah benar, maka diperlukan
proses validasi. Ada 2 proses dalam validasi yaitu (AIAA, 2010),

Konvergensi, adalah pengaturan persamaan solver control untuk meminimalisir error pada hasil
simulasi. Proses perhitungan atau disebut sebagai proses iterasi pada tahap flow solver
dilakukan jika semua data kondisi batas telah ditentukan. Banyaknya proses iterasi
berpengaruh terhadap tingkat akurasi yang dapat diperoleh. Penentuan banyaknya iterasi
dipengaruhi oleh tingkat ketelitian dari model yang telah dibuat. Semakin banyak jumlah grid
yang dipakai dalam pemodelan maka semakin banyak pula iterasi yang perlu dilakukan untuk
perhitungan model tersebut. Proses iterasi berhenti jika telah mencapai batas konvergensi yang
telah ditentukan. Pada proses ini perhitungan dilakukan hingga menuju nilai error terkecil atau
didapatkan nilai yang konvergen. Kriteria konvergensi yang digunakan dalam proses iterasi
-5
menggunakan Ansys CFX adalah 10 .

Grid Independence adalah suatu merode untuk menentukan titik optimum dari suatu nilai
percobaan. Perlu dipahami bahwa penggunaan jumlah elemen dalam pemodelan numeric
mempengaruhi hasil. Semakin banyak elemen maka hasil semakin akurat namun waktu running
menjadi semakin lama. Titik optimum adalah titik dimana hasil menunjukkan kekuratan dengan
jumlah elemen seminimum mungkin. Menurut Utama dan Molland (2001), grid independence
mencapai posisi optimum apabila selisih perbedaan nilai hambatan antara suatu jumlah elemen
dengan elemen sebelumya kurang dari 2%. Pada tulisan ini didapatkan batas optimum senilai
5
1.4% seperti di tunjukkan pada Tabel 3, catatan diberikan bahwa nilai Rv dikalikan 10 dalam
satuan Newton.

Tabel 3. Pengaruh jumlah elemen terhadap hasil


Percobaan ke- 1 2 3 4 5 6
Jumlah elemen 0.46 1.06 2.24 4.32 9.52 18.21
Hasil Rv * 21.065 18.345 15.965 14.515 13.815 13.6246
%Rv - 14.8 11.4 9.6 4.8 1.4

untuk mencapai titik optimum, Grid Independence dari 1 fluida membutuhkan element
sebanyak 1825600 elemen. Kurva grid independence ditunjukan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grid Independence study.

3. Hasil dan Diskusi


Hasli simulasi dengan menggunakan 1 fluida menghasilkan grafik hambatan viskos yang
dipresentasikan dengan koefisiennya seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 183
Gambar 6. Koefisien hambatan viskos hasil simulasi CFD.

Hambatan dikonversi menjadi koefisien dengan menggunakan rumus umum hambatan.


2
Rv = Cv S V (10)

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa ketiga model ini didesain supaya memiliki
volume displasemen dan luasan WSA (Wetted Surface Area) yang sama sehingga tidak ada
pengaruh WSA terhadap RV. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh
luasan WSA terhadap harga hambatan viskos. Seiring bertambahnya kecepatan kapal, nilai
hambatan viskos terus bertambah. Pertambahan ini ditandai dengan menurunnya koefisien C V,
penyebab penurunan CV adalah nilai kuadrat kecepatan sebagai pembagi hambatan viskos
2
yang semakin besar seiring dengan pertambahan nilai hambatan, Rv = Cv WSA V . Hal
tersebut sesuai dengan percobaan Couser dkk. (1997). Selama proses kenaikan nilai hambatan
viskos dari Fr = 0.18 0.65, nilai RV model B4 selalu berada pada posisi tertinggi, diikuti model
B2 dan kemudian NB meskipun perbedaan dari ketiganya sangat kecil. Besarnya perbedaan R V
antara model NB dan B2 adalah 0.02% serta NB dan B4 adalah 0.03% pada Fr 0.66.

Hambatan viskos terus menanjak dengan bertambahnya kecepatan. Pada kecepatan tinggi
besarnya gaya gesek bernilai tinggi juga. Hal ini sesuai dengan hukum Newton II yang
diturunkan lebih lanjut menjadi persamaan energi kinetik. Secara umum besarnya energi kinetik
dipengaruhi oleh masa dan kecepatan fluida. seperti tertulis :
2
E=mV (11)

Dari persamaan (11) dapat diketahui bahwa semakin tinggi kecepatan fluida dengan masa yang
konstan maka energi semakin bertambah. Mengingat bahwa energi merupakan besaran
turunan dari gaya dikalikan jarak E = F.S, dan biasa disebut sebagai usaha memiliki satuan
Joule, maka dengan menganggap bahwa jarak adalah konstan, yang berarti setiap molekul
fluida menempuh jarak sepanjang lambung kapal dan nilainyaselalu konstan maka besarnya
gaya gesek semakin besar apabila kecepatannya bertambah.

Perbedaan nilai CV yang tipis terjadi karena WSA dari ketiga model tersebut sama. Sedangkan
selisih itu sendiri ditimbulkan akibat perbedaan bentuk model setelah penambahan bulbous
bow, di mana bentuk model berpengaruh terhadap nilai hambatan bentuk (kCF). k adalah
koefisien bentuk, perbedaan nilai k dapat ditunjukkan dari hasil perhitungan pada saat model
disimulasikan dengan kecepatan rendah (Fr < 0.2). Pada kondisi kecepatan rendah hambatan
gelombang dapat diabaikan karena sistem gelombang memang belum terbentuk pada
kecepatan rendah, sehingga dapat diasumsikan bahwa hambatan total disusun hanya oleh
hambatan viskos, CT = (1+k) CF. Dengan sendirinya koefisen bentuk 1+k bisa ditulis dengan
formulasi CT/CF pada kecepatan rendah (Fr = 0.18). Nilainya berturut-turut dari model NB, B2
dan B4 adalah 1.253 ; 1.256 ; 1.257. Sedangkan nilai untuk variasi kecepatan lainnya tidak jauh
berbeda (Couser dkk., 1997). Dengan melihat kembali rumusan C V = (1+k) CF, di mana nilai
CF konstan karena WSA sama, nilai 1+k memberikan peran paling besar, dapat disepakati
bahwa hambatan bentuk yang direpresentasikan dengan nilai 1+k bernilai tertinggi pada

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 184
model B4, diikuti B2 dan paling kecil model NB. Ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan
nilai CV yang lebih besar adalah model B4 diakibatkan oleh nilai hambatan bentuknya yang
dominan dalam kasus ini.

Hambatan bentuk itu sendiri tidak lain adalah hambatan yang bekerja searah bidang normal
lambung model. Kaitannya sangat erat dengan hambatan tekanan viskos (viscos pressure
resistance/CVP). Nilai CVP bergantung pada tekanan dari tekanan fluida di daerah sekitar
lambung model.

NB B2 B4

Gambar 7. Distribusi tekanan ketiga model pada Fr = 0.65. (Warna biru di tengah
menunjukkan tekanan rendah dan Warna merah di haluan menunjukkan tekanan tinggi)

Gambar 7 menunjukkan bahwa keberadaan bulbous bow mampu merubah bentuk distribusi
tekanan di tengah kedua demihull. Model B4 dan B2 menunjukkan warna biru lebih sedikit
(daerah yang dilingkari) dibanding model NB, yang berarti tekanan di sekitar model kapal
meningkat dengan keberadaan bulbous bow hingga mampu mengubah hambatan CVP semakin
besar. Kenaikan CVP ditandai dengan nilai koefisien betuk yang semakin tinggi.

Perubahan distribusi tekanan terjadi karena adanya efek interferensi dari masing-masing
demihull, seperti ditunjukkan rumus CV = (1+k) CF, adalah nilai perubahan daerah
bertekanan (pressure field). Nilai hambatan bentuk kCF model B4 lebih tinggi dibandingkan
model B2 dikarenakan efek viscos interference oleh model B4 bersifat lebih menguatkan
daripada model B2. Penguatan ini terjadi karena bentuk bulbous bow dari model B4 yang lebih
panjang, mengakibatkan presentase kemungkinan interferensi ke lambung belakangnya lebih
besar. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan melihat kembali distribusi tekanan pada Gambar 7
yang menunjukkan bahwa tekanan dibagian inner hull untuk model B4 lebih tinggi dibandingkan
dengan model B2, sehingga memperlihatkan efek interferensi hambatan viskos yang lebih
besar dibanding model B2.

Fluida di daerah haluan kapal pada Gambar 7 menunjukkan tekanan yang relatif tinggi yang
dipresentasikan oleh kontur berwarna merah. Luasan warna merah semakin berkurang dari
model NB, B2 hingga B4. Model B2 memiliki luasan yang lebih sempit dibanding NB, dan B4
lebih sempit dibanding B2. Pengurangan luasan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan
bulbous bow menimbulkan pengurangan daerah bertekanan di haluan, hal ini berlawanan
dengan efek bulbous bow dibagian tengah antar demihull. Efek kerja bulbous bow di tengah
dan haluan model berkombinasi mengakibat kenaikan hambatan viskos, yang berarti efek
menaikkan tekanan lebih dominan.

Pada kecepatan tinggi nilai hambatan viskos antara NB, B2 dan B4 menunjukkan perbedaan
yang semakin jelas, meskipun tetap pada porsi yang kecil. Dalam terapannya di lapangan,
sistem gelombang mempengaruhi nilai hambatan viskos dengan cara mengubah luasan WSA,
khususnya pada kecepatan tinggi. Bulbous bow pada model B2 dan B4 telah mengubah sistem
gelombang sehingga menghasilkan WSA yang berbeda dari masing-masing model untuk
kecepatan yang sama. Selain itu dijelaskan oleh Utama dan Molland (2001), pada hasil
percobaannya menggunakan model katamaran dengan wind tunnel diungkapkan bahwa
terdapat efek interaksi viskositas akibat kedua demihull-nya yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap hambatan viskos.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 185
4. Kesimpulan
Berdasarkan diskusi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan bentuk dari lambung
model dapat menaikkan besarnya hambatan viskos meskipun nilainya relatif kecil, di mana
perubahan hambatan terbesar mencapai 0.03% dari hambatan model awal. Hal ini diperoleh
dengan catatan bahwa luasan WSA didesain sama. Karena itu dengan memperhatikan hal
tersebut, desainer tidak perlu mengkhawatirkan efek dari penambahan appendage seperti
bulbous bow terhadap hambatan viskos. Informasi ini sangat penting sebagai bahan
pertimbangan pemasangan bulbous bow pada model kapal.

Acknowledgements
Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Dr. Andi Jamaluddin selaku peneliti
senior pada Laboratorium Hidrodinamika Indonesia (LHI) di Surabaya yang telah meminjamkan
model katamaran kepada penulis.
References
AIAA, G. 007. (1998): Guide for The Verification and Validation of Computational Fluid Dynamics
Simulations. NPARC.
Couser, P. R., Molland, A. F., Amstrong, N. A. & Utama, I. K. A. P. (1997): Calm Water Powering
Prediction for High Speed Catamarans. In Fast 97. Sydney, Australia.
Insel, M. & Molland, A. F. (1992): An Investigation into Resistance Components of High Speed
Displacement Catamarans Trans. Royal Institute of Naval Architects. Vol 134, pp.1-20.
Jamaluddin, A., Utama, I. K. A. P. & Molland, A. F. (2010): Experimental Investigation into The
Drag Characteristics of Symmetrical and Asymmetrical Staggered and Unstaggered
Catamaran. International Conference on Ship & Offshore Technology (ICSOT)-Indonesia
2010. Surabaya, Indonesia.
Kanerva, M. (2000): The Future of Ship Design. MPI Group, Basingtoke, UK.
Lewis, Edward V. (1988): Principles of Naval Architecture Volume II: Resistance, Propulsion and
Vibration. Society of Naval Architects & Marine Engineers.
Rawson, K. J. & Tupper E. C. (2001): Basic Ship Theory. Butterworth-Heinemann.
Utama, I. K .A. P., Jamaluddin, A & Sutiyo. (2011): Development of Free-Surface CFD Modelling
into the Breakdown of Ship Resistance Components. Quality in Research (QiR) Conference,
Bali, 4-7 July
Utama, I. K. A. P. & Molland, A. F. (2001): Experimental and Numerical Investigations into
Catamaran Viscous Resistance. Fast 2001, pp. 295-301.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 186
DESAIN KAPAL GILNET 5 GT UNTUK KEPULAUAN ARU DENGAN KONSEP
KESELAMATAN YANG BAIK

Ronald Mangasi HUTAURUK

Department of Water Resources Utilization, Faculty of Marine Science and Fisheries,


University of Riau, Pekanbaru.
E-mail: ronald.mhutauruk@yahoo.co.id

Abstract

Making fishing vessels safer is one of the most fundamental measures to improve sea safety. It need fishing vessels
with strong perfomance to encounter extreme condition at sea. Unfortunately, most international legislation to ensure
sea safety relates to vessels larger than 24 meter (m). Vessels under 12 m are not covered by any international
legislation and are very often outside the pale of national regulations as well. Aru Islands is one of the districts in the
province of Maluku which need design of fishing vessels particularly gillnetter to acomodate the needs of fisher in fishing
efforts. The aim of the research is to designed gillnetter with safety and efficient. The methods is optimizing the existing
vessel mainly in stability, power, cost and construction. The 5 GT gillneter's design has the principal dimension as LOA
= 12.00 m, LPP = 10:50 m, BWL = 2.30 m, H = 1.40 m, T = 1.20 m, Cb = 0.63 and Vs = 9 knots. Stability criterion and
others comply safety international regulation.

Keywords: camera-ready manuscript, single column text, MS-Word file, punctuality.

1. Latar Belakang
Kabupaten Kepulauan Aru adalah salah satu kabupaten di Provinsi Maluku hasil pemekaran
dari Kabupaten Maluku Tenggara yang disahkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2003. Kabupaten Kepulauan Aru menurut letak astronomisnya berada di
antara 5 sampai 8 Lintang Selatan dan 133.5 sampai 136.5 Bujur Timur (Gambar 1). Secara
geografis kepulauan dengan topografi yang umumnya datar dan berawa-rawa ini dibatasi oleh
Laut Arafura di bagian selatan, bagian selatan Irian Jaya di sebelah utara dan timur, dan Pulau
Kei di sebelah barat. Sebagai wilayah kepulauan, Kabupaten Kepulauan Aru memiliki pulau
hingga mencapai 547 pulau dengan 458 di antaranya tidak berpenghuni. Dari pulau tersebut,
dibagi menjadi 3 pulau besar (Pulau Wokam, Kobror dan Trangan) dan 8 pulau lainnya
merupakan pulau kecil terluar. Sebagian dari pulau terluar tersebut tidak berpenghuni, sebagai
misal Arapula, Karawaiala, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang dan Enu
(http://www.desentralisasi-kesehatan.net/kepulauan-aru-kabupaten-dtpk-yang-dbk&catid=38).

Gambar 1. Peta Kepulau Aru

1.1. Perikanan Tangkap


Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan di Kepulauan Aru. Sektor perikanan
menjadi sub sektor pertanian yang tercatat menyumbang hampir 50% dari struktur
perekonomian pada kabupaten tersebut (Tabel 1). Jumlah nelayan di kabupaten Kepulauan
Aru mencapai 18.519 jiwa dengan jumlah kelompok nelayan sebanyak 1.167 kelompok.
Jumlah armada/kapal penangkapan sebanyak 2.849 unit terdiri dari armada/kapal berukuran <

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 187
5 GT sebanyak 2.213 buah, 6-30 GT sebanyak 576 buah dan di atas 30 GT sebanyak 60 buah.
Sementara jumlah alat tangkap sebanyak 20.161 unit dengan jenis yang dominan adalah
pancing (hand line), jaring insang (gill net), bubu (traps), sero (portable) dan jaring lingkar
(purse seine).

Tabel 1. Distribusi Persentase PDRB Kabupaten Aru


Tahun
No. Sektor
2004 2005 2006 2007
1 Pertanian 60,26 61,33 61,28 60,78
2 Pertambangan dan Penggalian 0,84 0,80 0,77 0,77
3 Industri Pengolahan 0,26 0,25 0,26 0,27
4 Listrik dan Air Bersih 0,31 0,30 0,31 0,29
5 Bangunan 1,02 1,00 1,00 1,03
6 Perdagangan, Hotel & Restoran 27,26 26,79 27,00 27,61
7 Angkutan & Komunikasi 1,24 1,20 1,18 1,16
8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 1,92 1,83 1,79 1,73
9 Jasa-jasa 6,89 6,51 6,41 6,35

Produksi perikanan tangkap Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2009 sebesar 84,23% atau
sebesar 61.713,89 ton dari total produksi perikanan Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2009 yang
terdiri dari pelagis kecil sebesar 14.965,51 ton, pelagis besar sebesar 19. 467,11 ton, demersal
sebesar 12.933,02 ton dan udang sebesar 4.615, 97 ton (http://www.antaramaluku.com/aru/d-
01.html). Data produksi perikanan Kepulauan Aru dari tahun 2005-2009 diberikan dalam Tabel
2.

Tabel 2. Produksi perikanan Kepulauan Aru


Tahun Produksi (Ton) Nilai (Rp)
2009 61.713,89 408.883.950.000
2008 50.794,80 367.514.750.000
2007 36.210,10 177.910.456.000
2006 24.966,90 128.335.450.000
2005 6.521,50 45.138.150.000

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kep. Aru 2010.

Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa potensi perikanan di Kepulauan Aru mengalami
peningkatan dari tahun 2005-2009. Dengan melakukan peramalan (forecast), maka prediksi
produksi perikanan ke tahun-tahun berikutnya dapat dihitung, dan hasil yang diberikan adalah
mengalami peningkatan. Ini menyiratkan bahwa sektor perikanan masih tetap menjanjikan dan
berpotensi untuk tetap dikembangkan.

1.2. Kapal Perikanan


Upaya peningkatan produksi perikanan dipengaruhi olej faktor-faktor yang mendorong proses
produksi. Dalam bidang perikanan, peningkatan hasil tangkapan sangat dipengaruhi oleh
bebrapa faktor seperti jumlah tenaga kerja/nelayan, armada penangkapan, maupun peralatan
tangkap yang digunakan. Tabel 3 memberikan gambaran armada penangkapan yang
digunakan di kabupaten Kepulauan Aru. Terlihat bahwa jenis armada penangkapan didominasi
oleh perahu tanpa motor dan kapal motor.

Tabel 3. Armada penangkapan di Kepulauan Aru


Kabupaten
Jenis
Pulau-Pulau Aru Aru Tengah Aru Selatan
Perahu tanpa Motor 615 674 434
Motor Tempel 138 69 47
Kapal Motor 395 454 209

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 188
Semakin meningkatnya produksi perikanan tangkap di Kabupaten Kepulauan Aru, dengan
armada penangkapan yang didominasi oleh kapal motor berukuran 5 GT ke bawah serta jenis
alat tangkap Gillnet maka perlu dirancang Kapal Gilnet berukuran 5 GT yang memiliki konsep
keselamatan yang baik.

2. Metodologi
Untuk mencari ukuran utama kapal yang optimum, maka ukuran utama kapal pembanding 5
GT yang ada di Kepulauan Aru dijadikan sebagai salah satu batasan (constraint) untuk proses
optimisasi.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Ukuran Utama Kapal
Ukuran utama hasil optimisasi memalui Solver adalah LOA = 12.00 m, LPP = 10:50 m, BWL =
2.30 m, H = 1.40 m, T = 1.20 m, Cb = 0.63 dan Vs = 9 knots. Dengan memasukkan data kapal
tersebut ke Maxsurf, maka didesain rencana garis kapal hingga memenuhi batasan dimensi
utama kapal.

3.2 Perencanaan Lines Plan


Perencanaan lines plan merupakan awal yang sangat penting dan merupakan salah satu kunci
utama suksesnya perencanaan sebuah kapal. Di dalam perencanaan lines plan karakteristik
hidrodinamika kapal akan jelas ditampilkan. Oleh karena itu informasi yang diperoleh dari lines
plan sangat penting. Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam merencanakan lines
plan adalah adalah metode basic ship (Rawson and Tupper, 2001). Metode ini diterapkan
dengan terlebih dahulu mencari lines plan kapal yang sudah ada yang diyakini memiliki
karakteristik hidrodinamika kapal yang baik. Setelah itu lines plan dibuat dan kemudian diskala
sesuai dengan ukuran utama yang dicari. Lines plan diberikan pada Gambar 2.
BODYPLAN

WL 6 WL 6

WL 5 WL 5

WL 4 WL 4

WL 3 WL 3

WL 2 WL 2

WL 1 WL 1
BL5 BL4 BL3 BL2 BL1 BL1 BL2 BL3 BL4 BL5

CL

SHEER PLAN

UBU
KUBU-K

GELADAK UTAMA
KUBU-KUBU
WL 5 WL 5
GELADAK UTAMA BL 4
WL 4 BL 3 WL 4

WL 3 WL 3
BL 2
BL 4 BL 1
WL 2 WL 2
BL 1 BL 2 BL 3

WL 1 WL 1

WL 0 WL 0
-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43

KUBU-KUBU GELADAK UTAMA


HALF BREADTH PLAN
BL 5 BL 5

BL 4 BL 4
WL 2
WL 4 WL 3 WL 3
BL 3 WL 1 WL4 GELADAK UTAMA BL 3
WL 2 WL 0
BL 2 WL 5 BL 2
WL 0
WL 1
WL 0
BL 1 BL 1

CL CL
-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43

Gambar 2. Lines plan kapal 5 GT untuk Kepulauan Aru

3.3 Perhitungan Stabilitas


Untuk menghitung stabilitas diperlukan data titik berat kapal serta komponen LWT kapal baik
secar memanjang dan vertikal. Titik berat ini akan menentukan bagaimana stabilitas kapal yang
sedang direncanakan (Parsons et al., 2003). Tabel 2 merupakan data berat komponen
termasuk LWT kapal pada sarat penuh. Setelah dilakukan perhitungan stabilitas melalui
software Hydromax, maka hasil analisa stabilitas kapal memenuhi kriteria yang diberikan oleh
IMO (Tabel 3). Grafik Stabilitas diberikan pada Gambar 3.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 189
Tabel 2. Loadcase Kondisi Muatan Penuh
Item Name Quantity Weight Long.Arm m Vert.Arm m Trans.Arm m FS
tonne Mom.
tonne.m
Lightship 1 10,02 4,650 0,834 0,000 0,000
Fish Hold 1 4,000 6,867 0,324 0,000 0,000
Crew 1 0,3750 1,568 1,131 0,000 0,000
Provision 1 0,1000 1,304 0,235 0,000 0,000
Fresh Water 1 0,2500 1,023 0,334 0,000 0,000
Fuel Oil 1 0,3500 1,450 0,234 0,000 0,000
Fishing Gear 1 0,7800 8,120 1,121 0,000 0,000
Total Weight= 15,88 LCG=5,158 VCG=0,702 TCG=0,000 0
FS corr.=0
VCG
fluid=0,702

Tabel 3. Kriteria stabilitas menurut IMO

IMO Regulation
o o o
e0.30 e0.40 e30,40 GM0
Cond. hmax Stat.
o
0.055 0.09 0.03 h30 fmax 0:15
o
m.rad m.rad m.rad 0.2 m 25 m.
Full Load 3,810 6,517 2,707 0,334 62,0 0,407 Pass

0,5 3.1.2.4: Initial GMt GM at 0,0 deg = 0,470 m

0,4
Max GZ = 0,334 m at 62 deg.
0,3

0,2
GZ m

3.2.2: Severe w ind and rolling Wind Heeling (gust)


0,1 3.2.2: Severe w ind and rolling Wind Heeling (steady)

3.1.2.6:
3.1.2.5: Turn: angle crow
Passenger of equilibrium
ding: angle of equilibrium
0

-0,1

-0,2

-0,3
0 40 80 120 160
Heel to Starboard deg.

Gambar 3. Grafik stabilitas kapal gilnet 5 GT.

3.4 Grafik Hidrostatik


Fungsi lengkung hidrostatik adalah untuk mengetahui sifat-sifat badan kapal yang tercelup di
dalam air atau saat mengapung dengan tegak, dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat
karene badan kapal. Perhitungan hidrostatik kondisinya dipengaruhi oleh bentuk badan kapal
(lines plan) yang dirancang Karakteristik kapal tersebut ditunjukkan oleh parameter-parameter
sebagai variasi dari besaran sarat kapal (T) dan displasmen kapal. Hasil perhitungan hidrostatik
selanjutnya dituangkan kedalam bentuk kurva-kurva dengan sarat sebagai ordinat, dan besaran
parameter sebagai absisnya.Gambar 4 menunjukkan lengkung hidrostatik kapal gilnet 5 GT.
Terlihat untuk setiap sarat informasi-informasi lengkung hidrostatik kapal tersebut.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 190
1,2

MTc

1
Immers ion (TPc )

KML

0,8
KMt

KB
Draft m
0,6

LCF

LCB
0,4

WPA

Wet. A rea
0,2

Dis p.

0
0 2,5 5 7,5 10 12,5 15 17,5 20 22,5 25
Dis plac ement tonne
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
A rea m^2
-7,5 -5 -2,5 0 2,5 5 7,5 10 12,5 15 17,5
LCB, LCF, KB m
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
KMt m
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
KML m
0 0,025 0,05 0,075 0,1 0,125 0,15 0,175 0,2 0,225 0,25
Immers ion tonne/c m
0 0,025 0,05 0,075 0,1 0,125 0,15 0,175 0,2 0,225 0,25
Moment to Trim tonne.m

Gambar 4. Grafik hidrostatik kapal 5 GT

3.5 Perhitungan Propulsi


Perhitungan propulsi kapal dihituing dengan menggunakan opensource dari Universitas
Michigan. Perhitungan efisiensi propeler ini ditujukan untuk memperoleh ukuran propeller yang
paling optimum di mana baling-baling yang dirancang memiliki effesiensi dan gaya dorong
yang tinggi. Selain itu diperlukan untuk memperoleh kavitasi yang masih diijinkan. Dari
perhitungan di diperoleh ukuran yang optimal untuk desain kapal ini adalah diameter propeller
Dp 0,80 m; pitch 0,78 m; rasio P/Dp 0.975 dan Ae/Ao 0.5578. KT, KQ dan J yang diberikan
oleh Gambar 5.

Gambar 5. Grafik KQ, KT dan J propeller

3.6 Wave contour


Gambar wave contour diberikan pada Gambar 6. Wave contour menggambarkan pola
gelombang yang dialami oleh kapal saat melewati perairan.Terlihat bahwa gelombang bersar
terjadi di belakang kapal dan di belakang FP. Ini terjadi karena bagian haluan menyibak air yang
menuju badan kapal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 191
Gambar 6. Wave contour pada kapal.

3.7 Prediksi Besar Motor Induk


Dengan menggunakan Hullspeed maka prediksi besar mesin utama adalah 40 HP. Grafik besar
daya motor induk terhadap kecepatan dan Fr diberikan pada Gambar 7. Metode perhitungan
yang digunakan dalam memprediksi kebutuhan daya mesin adalah Metode Holtrop.

Gambar 7. Grafik daya mesin terhadap kecepatan.

3.8 Rencana Umum dan Konstruksi Profil


Kapal gillnet termasuk ke dalam kelompok kapal dengan metode pengoperasian static gear.
Ada dua jenis kapal yang digunakan dalam pengoperasian bottom gillnet, yaitu: a) motor tempel
(12-25 PK), ukuran: panjang 6,7 m, lebar 1,5 m, dalam 0,5 m, jaring 14 tinting (pieces); b) motor
dalam (6,5-18 PK), ukuran: panjang 7,5 m, lebar 2 m, dalam 1 m, jaring 20-25 tinting (pieces).
Kapal untuk Kepulauan Aru dirancang dengan menyesuaikan dengan sosiacultural
daerahpenangkapan di kepulauan Aru. Dengan kata lain, perancangan kapal melibatkan aspek
budaya setempat. Rencana umum kapal diberikan dalam Lampiran 1. Kemudian untuk
mengetahui detail konstruksinya, maka dari rencana umum tersebut digambarkan konstruksi
profile yang diberikan dalam Lampiran 2. Setelah melakukan analisa ekonomi maka harga
kapal yang didesain dengan ukuran 5 GT adalah Rp178 juta.

4. Kesimpulan
Perancangan kapal gilnet 5 GT setelah dilakukan optimisasi menggunakan Solver adalah LOA
= 12.00 m, LPP = 10:50 m, BWL = 2.30 m, H = 1.40 m, T = 1.20 m, Cb = 0.63 dan Vs = 9 knots.
Harga kapal diperkiran mencapai Rp178 juta. Dan kapal memiliki safety yang baik karena
stabilitas yang dimiliki kapal tersebut memenuhi standar yang diberikan oleh IMO.

References
Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kep. Aru 2010.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 192
Parsons, Michael G. (2003); Parametric design, chapter 11 ship design and construction Vol I.
The Society of Naval Architecture and Marine Engineerins, 601 Pavonia Avenue Jersey
City, NJ, United States of America
Rawson, K.J and Tupper, E.C. (2001); Basic ship theory Vol II chapter 13 manoeuvrability.
Butterworth Heinemann, Oxford Boston Johannerburg Melbourne New Delhi Singapore.
http://www.desentralisasi-kesehatan.net/kepulauan-aru-kabupaten-dtpk-yang-dbk&catid=38
http://www.antaramaluku.com/aru/d-01.html

BU
KUBU-KU
AMBANG PALKAH
AMBANG PALKAH
CHAIN
GELADAK UTAMA
LOCKER

RUANG PALKAH 2 RUANG PALKAH1


KAMAR MESIN

0 5 10 15 20 25

RUANG PALKAH 2 RUANG PALKAH1


CHAIN
LOCKER
0 5 10 15 20 25

Lampiran 1. Gambar Rencana Umum Kapal gilnet 5 GT

PANDANGAN SAMPING

2400 2400
BU
KUBU-KU
AMBANG PALKAH
AMBANG PALKAH
GELADAK UTAMA

GADING
GADING
(100 X 100 mm) X 120 mm )
SENTA SISI (60 X 120 mm) (100 X 100 mm) SENTA SISI (60

SEKAT KEDAP SEKAT KEDAP

0 5 10 15 20 25
400
BALOK GELADAK
(100 X 100 mm) GELADAK UTAMA GALAR BALOK (60 X 120 mm)

GALAR BALOK (60 X 120 mm)

600 PENUMPU GELADAK


(60 X 120 mm)
0 5 10 15
600 20 25

BALOK GELADAK SEKAT KEDAP SEKAT KEDAP


(100 X 100 mm)

Lampiran 2. Gambar konstruksi profile kapal 5 gilnet GT.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 193
SISTEM PERKAPALAN

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 194
PENGARUH PERUBAHAN JENIS INSULASI PETI PENDINGIN DAN VARIASI JUMLAH
ES KERING - ES BATU TERHADAP LAMA WAKTU PENDINGINAN IKAN

Alam BAHERAMSYAH

Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya


Fakultas Teknologi Kelautan ITS
Email : alam@its.ac.id

Abstract

To extend the duration of a cooling time of a coolbox and increase the income of Indonesian traditional fishermen a full-
scale experiment has been conducted. The use of polyurethane insulation materials which replace styrofoam and
combination of cooling method by using water ice and dry ice is proven to extend the duration of cooling time and also
increase the income of fishermen. A ratio 1 : 0.6 : 0.4 of total fish, water ice, and dry ice gives the best results which
the duration of cooling time can be doubled. Meanwhile, a maximum profit is obtained by the fishermen when using the
ratio 1 : 0.24 : 0.28

Keywords :coolbox, dry ice, fishing vessel, polyurethane, styrofoam, cooling

1. Pendahuluan
Sampai saat ini pendinginan dengan menggunakan es batu masih menjadi metode utama yang
digunakan oleh para nelayan tradisional untuk menjaga kesegaran ikan hasil tangkapan. Oleh
karena pertumbuhan bakteri pembusuk sangat dipengaruhi oleh temperatur maka proses
pendinginan cepat ikan hasil tangkapan menjadi keharusan untuk menekan pertumbuhan
bakteri pembusuk. Penggunaan es dalam hal ini memungkinkan terjadinya proses pendinginan
cepat. Selain keuntungan terjadinya pendinginan cepat, es juga dikenal memiliki kapasitas
pendinginan yang cukup besar untuk setiap satuan berat atau volumenya. Dari aspek
kesehatan dan keamanan pangan, penggunaan es batu jelas memenuhi syarat. Es juga
bersifat portable sehingga sangat mudah untuk penanganannya. Untuk menjaga kesegaran
ikan hasil tangkapan selama dalam pelayaran maka FAO (Food and Agriculture Organizaton)
memberikan panduan perbandingan jumlah es batu dengan ikan adalah 1 : 1 (FAO, 1992).

Naiknya secara signifikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik beberapa tahun lalu
otomatis berdampak pula terhadap kenaikan harga es batu. Selain itu perbandingan 1 : 1
antara es batu dan ikan menyebabkan berat es batu yang harus dibawa oleh para nelayan saat
berangkat berlayar menjadi pertimbangan tersendiri. Berat dan volume es batu yang dibawa
tentu berdampak langsung terhadap daya muat (jumlah ikan yang bisa diangkut), kecepatan
kapal, dan konsumsi bahan bakar kapal. Dengan maksud utama mengurangi berat dan volume
es batu yang harus dibawa maka telah dilakukan penelitian dengan menggunakan es kering
sebagai alternatif (Baheramsyah, 2007). Palka atau peti ikan yang digunakan dalam penelitian
ini dibuat menyerupai peti ikan yang digunakan oleh sebagian nelayan tradisional yaitu terbuat
dari papan atau multiplek dan tidak berinsulasi. Hasil penelitian menunjukkan potensi es kering
yang dapat dikembangkan sebagai alternatif pendingin ikan hasil tangkapan. Dengan
kemampuan es kering menyerap panas sebanyak 136,6 kcal/kg dibandingkan dengan es batu
sebesar 80 kcal/kg maka dengan jumlah ikan yang sama volume maupun berat es kering yang
digunakan akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan pemakaian es batu.

Penggunaan es kering semata dalam proses pendinginan memang dapat memenuhi kebutuhan
pendinginan cepat guna menekan pertumbuhan bakteri pembusuk, namun dipandang kurang
memberikan hasil yang memuaskan dalam hal lama waktu pendinginan dibandingkan es batu.
Sehubungan dengan hal itu telah dilakukan penelitian guna melihat unjuk kerja pendinginan
dan lama waktu pendinginan dengan penggunaan gabungan es kering dan es batu (Semin,
Baheramsyah dkk., 2011). Dengan menggunakan peti ikan yang terbuat dari multiplek dan
berinsulasi styrofoam yang dilapisi dengan fiberglass diperoleh hasil terbaik temperatur
0
pendinginan terendah sebesar -1 C dengan lama waktu pendinginan sekitar 6 jam untuk naik
0
sampai dengan temperatur 10 C. Oleh karena pertimbangan biaya maka jumlah es kering
yang digunakan untuk setiap variasi percobaan adalah maksimal 7 kg dan beban pendinginan
sebesar 45 kg. Walaupun percobaan yang telah dilakukan masih berskala kecil namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa unjuk kerja pendinginan dari gabungan penggunaan es kering

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 195
dan es batu jauh lebih baik dari penggunaan es kering saja maupun es batu saja.

Telah dilakukan percobaan dalam skala penuh untuk mengetahui secara lebih pasti pengaruh
dari variasi jumlah es kering, es batu, dan beban pendinginan. Ukuran peti ikan yang
digunakan sama dengan yang banyak dipakai oleh nelayan saat ini kecuali lapisan insulasinya
tidak lagi menggunakan styrofoam namun poliuretan dengan ketebalan 60 mm. Poliuretan
dipilih menggantikan styrofoam karena memiliki nilai penghantar panas yang jauh lebih kecil
atau dengan kata lain sifat isolator panas dari poliuretan jauh lebih baik dari styrofoam.

2. Metodologi
Penelitian dilakukan berdasarkan percobaan dengan skala penuh, adapun susunan peralatan
dapat di lihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Tampak samping peti pendingin

Terdapat dua buah peti dimana peti pendingin yang besar berukuran 950x620x530 mm
sedangkan peti pendingin yang kecil berukuran 430x370x530 mm. Dimensi peti besar dibuat
sama persis dengan peti pendingin yang umum digunakan oleh para nelayan tradisional.
Insulator kedua peti menggunakan bahan poliuretan dengan ketebalan 60 mm. Dinding bagian
dalam dan luar peti dilapisi dengan fiberglass. Khusus untuk peti besar, di bagian dalam
terdapat kotak alumunium tempat ikan dan es batu disimpan dan terdapat ruang dengan jarak
tertentu antara kotak alumunium dengan dinding bagian dalam peti pendingin.

Es kering disimpan di dalam peti pendingin berukuran kecil sedangkan gas dingin dari es kering
akan disalurkan ke peti yang besar melalui pipa PVC penghubung kedua peti dengan bantuan
kipas yang terdapat di dalam peti pendingin kecil. Gas dari es kering yang berfungsi
mendinginkan kotak alumunium tempat dimana ikan dan es batu disimpan akan mengisi ruang
celah antara kotak alumunium dengan dinding bagian dalam peti pendingin besar. Alumunium
dipilih sebagai bahan kotak karena memiliki sifat penghantar panas yang baik, mudah diperoleh
dan dibentuk serta lebih awet dari ancaman korosi.

Termometer digital digunakan untuk memantau perubahan temperatur di dalam peti pendingin
besar. Kipas di dalam peti penyimpan es kering dijalankan secara otomatis berdasarkan sensor
temperatur dari thermostat yang terpasang di peti pendingin besar. Kipas akan menyala
0
otomatis ketika temperatur di dalam peti pendingin besar menunjukkan angka 2 C dan berhenti
0
ketika temperatur mencapai minus 2 C. Kisaran temperatur ini dipilih dengan pertimbangan
agar kesegaran ikan dapat lebih terjaga. Tergantung dari jenis ikan namun secara umum ikan
0 0
yang disimpan pada kisaran temperatur 0 C sampai dengan 5 C akan masih tetap segar
selama 5 hari (FAO, 2001).

Penempatan ikan dan es batu atau es basah di dalam peti pendingin besar disusun seperti
halnya yang dilakukan oleh para nelayan. Oleh karena pertimbangan biaya maka digunakan
dummy untuk menggantikan sebagian ikan sebagai beban pendingin. Dummy berupa kantong-

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 196
0
kantong plastic ukuran 0,5 1 kg yang berisi air pada temperatur sekitar 25 C. Adapun ikan
sesungguhnya ditempatkan secara merata di berbagai lapisan bercampur dengan dummy.
Pengaruh proses pendinginan terhadap mutu ikan dapat diamati dari ikan yang sesungguhnya
ini.

Dalam penelitian telah dilakukan pengamatan untuk 7 (tujuh) variasi percobaan berikut ini,
yaitu :

1. Jumlah Ikan : Es Basah = 78 kg : 78 kg


2. Jumlah Ikan : Es Kering = 78 kg : 45 kg
3. Jumlah Ikan : Es Kering = 78 kg : 35 kg
4. Jumlah Ikan : Es Kering = 78 kg : 55 kg
5. Jumlah Ikan : Es Basah : Es Kering = 95 kg : 60 kg : 35 kg
6. Jumlah Ikan : Es Basah : Es Kering = 105 kg : 50 kg : 35 kg
7. Jumlah Ikan : Es Basah : Es Kering = 125 kg : 30 kg : 35 kg

Berdasarkan dimensi dari peti pendingin besar yang ada diketahui bahwa jumlah ikan dan es
batu (es basah) yang dapat dimuat dengan perbandingan 1 : 1 adalah masing-masing 78 kg,
hal ini menjadi dasar pertimbangan dari ditetapkannya variasi 1. Oleh karena kapasitas
pendinginan dari es kering lebih besar 1,7 kali dibandingkan es batu maka selanjutnya ingin
diketahui bagaimana pengaruhnya jika 78 kg es batu tersebut diganti seluruhnya dengan es
kering (variasi 2). Variasi 3 dan 4 dipilih untuk melihat pengaruh penambahan atau
pengurangan dari jumlah es kering standar variasi 2. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
dimana telah diketahui perbandingan terbaik untuk model pendinginan seperti ini yaitu
perbandingan jumlah ikan, es batu, dan es kering adalah 1 : 0,6 : 0,4 (Semin, Baheramsyah
dkk., 2011) maka selanjutnya ditetapkan variasi 5. Adapun variasi 6 dan 7 ditetapkan
berdasarkan pertimbangan bahwa semakin banyak ikan yang dapat disimpan dan dijual maka
keuntungan yang diperoleh oleh nelayan juga makin besar. Untuk itu dicoba dilakukan
penambahan jumlah ikan dengan pengurangan jumlah es batu di dalam peti pendingin besar.

3. Hasil dan Pembahasan


Perbandingan lama waktu pendinginan hasil percobaan variasi 1 dengan variasi 2 dapat dilihat
pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Perbandingan hasil percobaan variasi 1 dan 2

Dari grafik di atas terlihat bahwa percobaan dengan menggunakan masing-masing 78 kg beban
0
pendingin maupun es batu, diperoleh suhu terendah di dalam peti pendingin sebesar -1 C yang
dicapai dalam waktu 120 menit (2 jam). Adapun lama waktu pendinginan pada kisaran
0 0
temperatur antara -2 C sampai 5 C adalah 1110 menit (18 jam 30 menit). Sedangkan
percobaan kedua yang dilakukan dengan jumlah beban pendingin 78 kg dan menggunakan 45
0
kg es kering menunjukkan hasil temperatur terendah di dalam peti pendingin adalah -2 C yang
dicapai dalam waktu 220 menit (3 jam 40 menit). Lama waktu pendinginan adalah 510 menit (8
jam 30 menit).

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 197
Hasil kedua percobaan di atas menunjukkan bahwa penggunaan es kering mampu
menghasilkan temperatur pendinginan yang lebih rendah dibandingkan dengan pemakaian es
batu (es basah). Akan tetapi rentang waktu pendinginan dari es basah jauh lebih lama
dibandingkan dengan es kering yaitu lebih dari dua kali lipatnya. Es batu juga memberikan
proses pendinginan cepat yang lebih baik daripada es kering. Penyalaan kipas yang berarti
0
menambah suplai gas dari es kering ketika temperatur mencapai 2 C terbukti dapat
menurunkan temperatur di dalam peti pendingin.

Gambar 3 menunjukkan hasil perbandingan yang diperoleh dari percobaan variasi 2, variasi 3,
dan variasi 4.

Gambar 3. Perbandingan hasil percobaan variasi 2, 3, dan 4

Dari grafik pada Gambar 3 di atas tampak bahwa dengan mengurangi jumlah es kering menjadi
35 kg sementara beban pendingin tetap 78 kg temperatur terendah di dalam peti pendingin
0
menjadi 1 C yang dicapai dalam waktu 150 menit (2 jam 30 menit). Lama waktu pendinginan
adalah 290 menit (4 jam 50 menit). Sedangkan dengan penambahan es kering menjadi 55 kg
0
diperoleh temperatur terendah di dalam peti sebesar -2 C yang dicapai dalam waktu 160 menit
0 0
dengan lama waktu pendinginan pada kisaran temperatur antara -2 C sampai 5 C adalah
1130 menit (18 jam 50 menit). Hasil ini menunjukkan bahwa hanya dengan penambahan es
kering sebanyak kurang lebih 20% saja akan dapat memperpanjang lama waktu pendinginan
lebih dari 200% atau dua kali lipatnya.

Hasil pengamatan dari percobaan dengan variasi 5, variasi 6, dan variasi 7 ditampilkan dalam
grafik pada Gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan hasil percobaan variasi 5, 6, dan 7

Dari percobaan dengan menggunakan beban pendingin 95 kg, es batu 60 kg dan es kering 35
0
kg diperoleh temperatur terendah di dalam peti pendingin sebesar -2 C yang pertama dicapai
dalam waktu 120 menit (2jam) dengan lama waktu pendinginan pada kisaran temperatur antara

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 198
0 0
-2 C sampai 5 C adalah 2160 menit (36 jam). Pada percobaan kedua dengan beban
pendingin 105 kg, es batu 50 kg dan es kering 35 kg didapat temperatur terendah yang sama
0
yaitu -2 C yang dicapai dalam waktu 150 menit (2 jam 30 menit) dengan lama waktu
pendinginan 1480 menit (24 jam 40 menit). Sedangkan pada percobaan ketiga dengan beban
0
pendingin 125 kg, es batu 30 kg dan es kering 35 kg didapat temperatur terendah -1 C yang
dicapai dalam waktu 110 menit (1 jam 50 menit) dengan lama waktu pendinginan 980 menit (16
jam 20 menit).

Perbandingan antara hasil percobaan yang ditunjukkan pada Gambar 2 dan Gambar 4 di atas
menunjukkan bahwa proses pendinginan dengan menggunakan kombinasi es batu dan es
kering memberikan hasil yang jauh lebih baik ketimbang hanya menggunakan es batu saja
seperti yang dilakukan oleh para nelayan selama ini. Tabel 1 menunjukkan perbandingan hasil
dari semua variasi percobaan.

Tabel 1. Perbandingan hasil semua variasi percobaan

Variasi Percobaan Suhu Pendinginan Lama Waktu


terendah Cepat Pendinginan
0
1. 78 kg ikan : 78 kg es basah -1 C 120 menit 1110 menit
0
2. 78 kg ikan : 45 kg es kering -2 C 220 menit 510 menit
0
3. 78 kg ikan : 35 kg es kering 1 C 150 menit 290 menit
0
4. 78 kg ikan : 55 kg es kering -2 C 160 menit 1130 menit
0
5. 90 kg ikan : 60 kg es basah : 35 kg es kering -2 C 120 menit 2160 menit
0
6. 105 kg ikan : 50 kg es basah : 35 kg es kering -2 C 150 menit 1480 menit
0
7. 125 kg ikan : 30 kg es basah : 35 kg es kering -1 C 110 menit 980 menit

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa semua variasi memenuhi persyaratan untuk menjaga ikan
simpanan tetap segar dan penggunaan kombinasi pendinginan es batu dengan es kering dapat
menjadi alternatif cara pendinginan yang lebih baik dimana jumlah ikan yang disimpan dapat
lebih banyak lagi.

Dengan adanya kenaikan jumlah ikan yang dapat disimpan maka berarti keuntungan yang
diperoleh oleh para nelayan juga akan meningkat. Sebagai ilustrasi, jika harga ikan misalnya
ikan kerapu Rp 18.000,- per kg, harga es batu Rp 18.000,- per balok (@ 30 kg) atau dengan
kata lain harga es batu Rp 600,- per kilogramnya, sedangkan harga es kering Rp 7.000,- per kg
maka pendapatan nelayan yang diperoleh dengan cara penyimpanan biasa (variasi 1) adalah
sebesar Rp 1.357.200,-. Adapun jika dilakukan penyimpanan dengan cara variasi 7 maka
pendapatan yang akan diperoleh sebesar Rp 1.987.000,-. Terdapat peningkatan pendapatan
sebesar Rp 629.800,-.

4. Kesimpulan
Penggunaan poliuretan sebagai bahan insulasi peti pendingin menggantikan styrofoam serta
pemakaian metode pendinginan dengan cara mengkombinasikan es batu dengan es kering
terbukti dapat memperpanjang lama waktu pendinginan secara signifikan dua kali lipatnya.
Adapun perbandingan jumlah ikan, es batu, dan es kering yang dipakai adalah 1 : 0,6 : 0,4.

Penggunaan metode pendinginan kombinasi juga dapat meningkatkan pendapatan para


nelayan. Keuntungan terbesar diperoleh nelayan jika menggunakan perbandingan jumlah ikan,
es batu, dan es kering dengan perbandingan 1 : 0,24 : 0,28

Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan oleh penulis sekaligus peneliti kepada LPPM - ITS yang telah
mendanai penelitian ini dengan kontrak penelitian No : 0392.58/IT2.7/PM/2012

References
Baheramsyah, A. 2007. Sistem Pendingin Ruang Palka Ikan Dengan CO2 Yang Disirkulasikan.
Prosiding SEMNASKAN IV. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. ISBN : 978-979-

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 199
99781-2-7.
FAO. 1992. Ice in Fisheries. FAO Fisheries Technical Paper. No. 331. 75p. Rome
FAO. 2001. The Handling of Wet Fish During Distribution. Rome
Semin, Baheramsyah, A., Amiadji, Ismail, A.R. 2011. Effect of Dry Ice Application in Fish Hold of
Fishing Boat on the Fish Quality and Fisherman Income. American Journal of Applied
Sciences 8 (12): 1263-1267. ISSN 1546-9293

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 200
ANALISA KARAKTERISTIK BALING-BALING SKEW DI AIR TERBUKA
DENGAN SIMULASI NUMERIK BERBASIS PROPELLER B SERIES
1 2 3
Agung PURWANA , I Made ARIANA , Irfan SYARIEF ARIEF
1
Mahasiswa Pasca Sarjana Teknologi Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya
2
Dosen Pasca Sarjana Teknologi Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya
3
Dosen Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya

Abstract

Recently, propeller characteristic analysis aided by computasional has been rapidly so can be applicated to reveal
viscosity effect against propeller efficiency. Application of numerical simulation by using Reynolds Average Navier
Stokes with turbulence incompressible around propeller blade that act freely in open water can be investigated its
characteristic. By using simulation and experimental test can be expected propeller skew characteristic based on
propeller B series and information its efficiency can be explained. Numerical simulation produce thrust (N), torque (Nm),
Kt, 10Kq, J and propeller efficiency. This result was validated with characteristic of B.4.55 wageningen propeller that had
been publicated. The characteristic numerical simulation result for each of kt,10kq and efficiency at J0.7 respectively
0.1788, 0.305 and 0.65 for propeller skew at 30 and J0.7show increasing for kt,10kq and efficiency () around 5.45%,
3.33% and 2.011%. Its value are 0189, 0314, and 0.67 with difference for of Kt = -0.0008 (0.11 %), 10Kq = -0001
(0.21%), and = 0001 (0.33%). Numerical simulation result for propeller skew 30 show the difference about 2% with
water tunnel test. Which is conducted in FTK ITS at J = 0.2-0.4266.

Key words: Characteristics, Numerical Simulation, Skew Propellers, Propeller B series

1. Pendahuluan
Metode teoritis untuk memprediksi kinerja baling-baling berkembang dimulai dari teori
momentum Rankine diikuti oleh teori blade elemen dari Froude.Tahun 1990an, para ilmuwan
menyederhanakan model baling-baling dengan model komputasi, dan memulai penelitian
kalkulasi geometri riil baling-baling dengan model rumusan RANS (Reynolds Averaged Navier
Stokes). Selanjutnya membuka ruang yang luas dalam perhitungan hidrodinamika baling-baling
dengan tipe seri yang lain.

Kerumitan dan mahalnya biaya untuk memprediksi karakteristik baling-baling dengan uji model
baling-baling di air terbuka pada kolam tarik dapatlah dikurangi dengan mengaplikasikan
metode CFD, dengan metode ini akan dapat mengurangi waktu dan biaya dalam
menginvestigasi beberapa parameter karakteristik baling-baling.

Untuk mengetahui karakteristik dari baling-baling B.4.55 melalui metode CFD maka langkah-
langkah yang diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Digunakan suatu model baling-baling dengan tipe B.4.55 secara 3D.
6
b. Dipilih angka Reynolds yang dibutuhkan dengan variasi sampai dengan 2 x 10 .
c.
Data dari hasil simulasi dengan metode CFD kemudian dinalisa dengan persamaan RANS
kemudian kita bandingkan dengan data percobaan wageningen B series yang telah
terpublikasi sebelumnya.

2. Persamaan RANS
CFD adalah ilmu cara memprediksi aliran fluida, perindahan panas, reaksi kimia, fenomena
kavitasi dengan model matematik. Pada dasarnya fluida, kekekalan dan konservasi energi,
massa, momentum, dan newton ke dua (F = m.a). persamaan fluida dibangun dan dianalisa
berdasarkan persamaan diferensial parsial equation (PDE) yang mempresentasikan prinsip
hukum dasar mekanika. Dalam persamaan CFD persamaan RANS untuk fluida takrmampat
dan aliran kental dirumuskan :
U
. 0 (1)
V 1 2 U P .U .TRe SM
F V .V p V . (2)
t Re ,
U adalah average velocity vector field, P adalah average pressure field, adalah viskositas
dinamik, TRe adalah tensor of Reynolds stresses dan SM adalah vektor dari sumber
momentum.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 201
Dalam bentuk persamaan RANS yang umum dapat ditulis sebagai berikut,
( u i )
0
t xi (3)
1 p 1 u i u j 2 1 u1 u i
_
Fi
3 x x t xj i j
(u u )
xi x j x j xi i 1
(4)
Dan persamaan momentum menjadi
( u i ) ( u i u j ) p u i u j 2 u1
ij ( u i ' u j ' )
t x j xi x j x j xi 3 x1 x j (5)

Dimana ui adalah i-th komponen (Kartesian) dari vektor kecepatan absolute, p adalah tekanan
static, adalah adalah viskositas yang molecular, ij adalah Kronecker delta dan ui ' u j '
adalah Reynold stress harus dimodelkan untuk persamaan momentum tertutup dengan
menggunakan satu model turbulen.

Salah satu cara mengestimasi karakteristik baling-baling dengan dilaksanakan tes model di
water tunnel dengan aliran homogen, dikenal dengan Open Water Propeller Test seperti pada
gambar.1.

Gambar.1. Open water test.

Model baling-baling yang bekerja akan diperoleh spesifik gaya-gaya pada saat open-water test.
Untuk memenuhi hukum kesamaan, maka setiap pengujian, setiap harga putaran (n) dan
kecepatan (Va) dapat diukur besar harga Gaya dorong (T) dan Torsi (Q). Berdasarkan hasil
setiap uji dapat dihitung besarnya koefisien gaya dorong (Kt), koefisien Torsi (Kq) serta efisiensi
(), dari baling-baling dirumuskan :
Va (6)
J
n.D
T (7)
KT
.n 2 .D 4
Q (8)
KQ
.n 2 .D 5
Va KT

n .D KQ .2 (9)

Daya dorong suatu baling-baling yang bekerja tergantung pada parameter-parameter seperti
diameter baling-baling (D), besarnnya pitch (p/D), jumlah dan bentuk daun baling-baling (Z),
Kecepatan (Va), Kecepatan putaran (n), Densitas fluida (), Viskositas fluida () [6].Dari hasil
sesuai persamaan diatas dapat dibuat diagram KT, KQ dan J untuk model propeller seperti
pada gambar. 2.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 202
Gambar 2. Open Water Diagram Wageningen B4.55.

3. Model Geometri baling-baling


Data Model Baling-baling :
o
Tipe B.4.55, Jumlah Daun 4 buah, diameter 200 mm dan pitch ratio (P/D)= 1.0, rake 15 ,
dengan geometri baling-baling seperti pada gambar.3.

o
Gambar 3. Ukuran utama 3D model baling- baling B.4.55 normal skew dan skew 30 .

4. Kondisi Batas dan solusi numerik


4.1 Kondisi batas
Untuk simulasi baling-baling dalam aliran steady dibagi zona perhitungan dalam dua silinder :
Daerah Stationer : daerah ini adalah silinder dan termasuk bos, baling-baling dan
daerah bergerak. Menurut (Yoshihisa Takekoshi), panjang hulu 2D, panjang hilir 5D
dan diameter zona 3D, ditunjukkan dalam Gambar.4 di mana D adalah diameter baling-
baling.
Daerah berputar: panjang dan diameter daerah ini tergantung pada diameter dan bos
dari baling-baling. Air dalam simulasi ini adalah aliran mampat dengan dua pendekatan
yang berbeda yang akan diuji, untuk kondisi batas inlet : Mass flow aliran Inlet

Kondisi kecepatan dan mass flow aliran inlet dipilih, di sesuaikan dengan kondisi fisik secara riil.
Untuk simulasi kondisi batas outlet kita gunakan : Tekanan keluar
Pada pemodelan zona stasioner, karena kondisi tekanan keluar. Kita gunakan seperti gambar.4
untuk baling-baling normal skew, untuk gambar.5 untuk baling-baling skew 30.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 203
Gambar 4. Domain numerik baling-baling B.4.55 .

Gambar 5. Domain numerik baling-baling


B.4.55 skew 30

4.2. Grid dan penentuan zona


Sebuah diskritisasi geometris dari baling-baling dibuat untuk perlakuan. Sel tetrahedral
terstruktur yang digunakan untuk mendefinisikan sebuah volume atur (simetris terhadap sumbu
baling-baling). Kita tidak bisa mengatakan bahwa mesh kecil adalah baik karena kita harus
mempertimbangkan waktu dan perhitungan biaya. Pada permukaan baling-baling adalah
bentuk segitiga berbagai ukuran karena sel-sel di dekat root, dan ujung baling-baling lebih kecil
dari bagian lain, dibagi menjadi beberapa daerah antara lain : zone berputar, daerah stasioner,
inlet, outlet wall , poros, face dan back, serta interface. Akhirnya, semua zona perhitungan dan
domain menyatu dengan grid tetrahedral seperti yang ditunjukkan pada gambar.6-7.

Gambar 6. Grid baling-baling B.4.55 dan domain numerik

Gambar 7. Grid baling-baling B.4.55 skew 30, dan domain numerik

4.3. Simulasi
Simulasi dilakukan setelah memasukkan nilai beberapa parameter antara lain : inlet mass flow
(kg/s), putaran (rps) untuk domain bag.berputar dan tekanan outlet seperti pada gambar.8-9.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 204
Gambar 8. Definisi kondisi batas pada baling-baling B.4.55 normal skew dan domain numerik.

Gambar 9. Definisi kondisi batas pada baling-baling B.4.55 skew 30, dan domain numerik.

5. Hasil Simulasi dan Analisa


Hasil simulasi berupa resultan gaya (N) dan torsi (Nm) untuk setiap kecepatan dan mass flow
serta putaran yang disimulasi pada koordinat X, Y dan Z. Hasil yang lain yaitu menggambarkan
bentuk kontur tekanan dibagian face dan back didaun baling-baling pada J = 0.7, terlihat pada
gambar.10-13.

Average of Pressure = 49898.6 [Pa]

Gambar 10. Kontur tekanan pada face daun


baling-baling normal skew untuk J=0.7.

Average of Pressure = 21833.6 [Pa]


Gambar 11. Kontur tekanan pada back daun
baling-baling normal skew untuk J=0.7.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 205
Average of Pressure = 53248.1[Pa]
Gambar 12. Kontur tekanan pada face daun
baling-baling skew 30 untuk J=0.7.

Average of Pressure = 23927.2 [Pa]


Gambar 13. Kontur tekanan pada back daun
baling-baling skew 30 untuk J=0.7.

Hasil simulasi diatas kemudian dicatat nilai gaya dorong (N), dan Torsi (Nm)nya, dan dihitung
koefisien Kt, Kq dan Efisiensi () pada nilai J = 0,01-1.06 pada putaran 10-69.5 rps. Kemudian
nilai diatas dibuat grafik yang terlihat pada gambar.14 dan 15.

Gambar 14. Grafik Kt, 10Kq dan baling-baling normal skew (simulasi dan data)

Gambar.15. Grafik Kt, 10Kq dan


o
baling-baling skew 30 (simulasi)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 206
Tabel 1. Nilai Koefisien gaya dorong (Kt) baling-baling normal skew B.4.55.

J Rps V T Kt Kt Delta
(m/s) (sim) data (sim) Kt
Skew 30 (%)

0.7 37.5 5.25 402.3 0.179 0.1788 0.11


0.8 50 8 541.4 0.135 0.1354 -0.45
0.85 57 9.69 585.7 0.112 0.113 -1.06

Tabel 2. Nilai Koefisien torsi (10 Kq) dan efisiensi () pada baling-baling normal skew B.4.55

10Kq 10Kq Kq
J (Data)
(data) (Sim) (%) (sim) (%)

0.7 0.304 0.305 -0.21 0.656 0.654 0.33

0.8 0.2433 0.2423 0.38 0.706 0.711 -0.83

0.85 0.2115 0.214 -1.07 0.717 0.713 0.01

o
Tabel 3. Nilai Koefisien gaya dorong-Kt (sim) baling-baling B.4.55 skew 30 .
V T(Sim) Kt Kt Kt
J Rps
(m/s) (N) Data (Sim) (%)
0.7 37.5 5.25 424.68 0.179 0.189 -5.45
0.8 50 8.0 598.91 0.135 0.15 -11.1
0.85 57 9.69 673.94 0.112 0.13 -15.7

o
Tabel 4. Nilai Koefisien torsi -10 Kq (sim) baling-baling B.4.55 skew 30 .
10Kq 10Kq Kq
J
(data) (Sim) (%) (Data) (sim) (%)
0.7 0.304 0.314 -3.37 0.6563 0.670 -2.011

0.8 0.2433 0.26 -7.00 0.706 0.733 -3.845

0.85 0.2115 0.2315 -9.45 0.717 0.758 -5.76

6. Pembahasan dan diskusi


Pada gambar. 10-11 dan 12-13 menunjukkan bahwa tekanan average pada bagian face lebih
besar dari back pada daun baling-baling. Pada baling-baling skew 30 terdapat kenaikan
tekanan average pada bagian face dan back dibandingkan pada baling-baling normal skew.

Pada tabel 1-2. menggambarkan besarnya nilai koefisien gaya dorong baling-baling B.4.55
skew normal (Kt), koefisien torsi (10Kq) dan efisiensi () pada J=0.7, menunjukkan adanya
perbedaan nilai antara data dan hasil simulasi numerik dengan selisih (Kt) sebesar 0.11%,
(10Kq) sebesar 0.21% dan () sebesar 0.33%. Hasil validasi antara nilai simulasi numerik
terhadap nilai data adalah memiliki selisih pada koefisien Kt,10Kq, dari J=0.01-0.85
memiliki harga nilai rata-rata kurang dari 2%.

Sesuai pada tabel 3-4. untuk besarnya nilai koefisien gaya dorong baling-baling skew 30 pada
J=0.7 menunjukkan adanya perbedaan nilai antara data dan hasil simulasi yaitu : Kt sebesar
5.45%, 10Kq sebesar 3.37 % dan sebesar 2.011%.

Pada gambar grafik 15, besarnya nilai simulasi pada baling-baling skew 30 untuk koefisien
gaya dorong (Kt) pada J=0.01-0.5 dan koefisien torsi (10Kq) pada J=0.01-0.6 nilainya lebih
kecil dibandingkan dengan nilai Kt dan 10Kq (data) pada baling-baling skew normal.

Sebaliknya untuk nilai simulasi pada koefisien gaya dorong (Kt) pada J=0.6-1.06 dan koefisien
torsi (10Kq) pada J=0.7-1.06 untuk baling-baling skew 30o memiliki nilai lebih besar
dibandingkan dengan nilai data pada baling-baling skew normal.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 207
7. Kesimpulan
Dari hasil simulasi yang telah dilakukan dan analisa maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Dengan simulasi numerik dapatlah diteliti dan diprediksi karakteristik balingbaling skew
seperti efisiensi (), koefisien gaya dorong (Kt) dan torsi (Kq) dengan perbedaan kurang
dari 2% dibandingkan dengan hasil ekperimen.
2. Besarnya nilai parameter diatas sangat dipegaruhi oleh : Keakuratan geometri model
baling-baling, Bentuk gometri domain rotating dan stasioner, Geometri dan jenis serta
jumlah grid, Kondisi batas yang menjadi parameter input simulasi (material, mass and
momentum-mass flow rate, angular velocity bagian berputar dan stasioner.
3. Nilai karakteristik simulasi baling-baling skew 30 mempunyai nilai koefisien dorong (Kt)
pada J= 0.7,0.8 dan 0.85 mengalami kenaikan sebesar 5.45%, 11.11% dan 15.75%.
4. Nilai karakteristik simulasi baling-baling skew 30 mempunyai nilai koefisien torsi (10Kq)
pada J= 0.7, 0.8 dan 0.85 mengalami kenaikan sebesar 3.37%, 7.0% dan 9.45%.
5. Nilai karakteristik simulasi baling-baling skew 30 mempunyai nilai efisiensi () pada J= 0.7,
0.8 dan 0.85 mengalami kenaikan sebesar 2.011%, 3.845% dan 5.76%.
6. Hasil simulasi numerik pada baling-baling skew 30 menunjukkan adanya perbedaan
dengan data hasil ekperimen pada water tunnel di FTK ITS pada J = 0.2-0.4266 dengan
selisih kurang dari 2%, sedangkan pada J = 0.4266-1.06 karena keterbatasan peralatan
ekperimen maka data belum didapatkan.

References
Carlton JS, 1994,Marine Propeller and Propulsion, Butterworth.
Harvald, Sv, Aa, 1983, Tahanan dan Propulsi Kapal, Airlangga University Press, Surabaya.
GAO Fudong , PAN Cunyun, XU Haijun, ZUO Xiaobo, (2011), Design and Mechanical
Performance Analysis of a New Wheel Propeller, Chinese Journal of Mechanical
Engineering Vol. 24.
Hsun-jen Cheng , Yi-chung Chien , Ching-yeh Hsin, Kuan-kai Chang , Po-fan Chen, (2010), A
numerical comparison of end-plate effect propellers and conventional propellers, 9th
International Conference on Hydrodynamics, Shanghai, China.
ITTC(2002),Recommended procedure and Guidelines Testing and Extrapolation Method
Propulsion, Propulsor Open Water Test.
M.M. Bernitsas,D.Ray, P. Kinley, Report No.237, 1981, KT,KQ and Efficiency Curve for the
Wageningen B-Series Propellers, The University of Michigan.
Mehdi Nakisa, Mohammad Javad Abbasi, and Ahmad Mobasher Amini, (2010), Assessment of
Marine Propeller Hydrodynamic Performance in Open Water via CFD, Proceedings of
MARTEC, The International Conference on Marine Technology, BUET, Dhaka,
Banglades.
S. Brizzolara, D. Villa & S. Gaggero (2010), RANS and Panel method for unsteady flow
propeller analysis, 9th International Conference on Hydrodynamics, Shanghai, 564-569
China.
T.P. Obrien 1962, The design of Marine Screw Propeller, London.
1 2 3
Vladimir Krasilnikov , Jiaying Sun and Karl Henning Halse , 2009, CFD Investigation in Scale
Effect on Propellers with Different Magnitude of Skew in Turbulent Flow, First
International Symposium on Marine Propulsors09, Trondheim, Norway.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 208
THE AZIMUTH PODDED USAGE REGARDING TO MANEUVERING CAPABILITY
OF SHIPS
*1 1
Mansyur HASBULLAH , Andi Haris MUHAMMAD
1
Department of Naval Architecture, Faculty of Engineering, Hasanuddin University-
Makassar
*E-mail: mansyur_hasbullah@yahoo.com
Abstract
The ships mover that is called; propulsion of ships which is an important parts into a ship Moving. Among of the kind of
propulsion, that is, more expanding till now. It is called as kind propulsion like a POD (azimuth podded) more rapidity
expanding supported by user of this devices, and recording on their experience about POD. This devices can do more
effective moves and maneuvre capability is better than conventional propeller. In the matter of KMP, Sultan Murhun, that
is ferry vessel. She has been repair at PT. IKI Makassar, caused of the unsuitable between area of rudder blade. Againts
maneuvering capability on the moment of ship maneuvering. Its hull will turn with it. Turning cycle to became width.
Based on these condition, research will be to conducted a one research regarding to know maneouver capability of
ships, if ship used a POD propulsion.

Keywords: ferry vessel, manoeuver of ships, azimuth podded, conventional propulsion

1. Pendahuluan
Sistem propulsi atau penggerak merupakan sistem yang sangat berperan dalam kemampuan
gerak suatu kapal. Awal sejarah perkembangan tentang alat gerak kapal telah dimulai pada
kisaran 287 212 SM yang mana seorang Archimedes menemukan piranti untuk memindahkan
air dari danau ke saluran irigasi pertanian Syiracuse di Sicily. Alat ini kemudian dikenal dengan
sebutan Archimedean Screw Pumps, hingga penggerak-penggerak kapal jenis pod yang baru
diperkenalkan pada industri perkapalan akhir-akhir ini sesungguhnya berasal dari konsep
pendorong jenis azimuth (azimuthing thruster) yang telah mulai digunakan secara umum sejak
1878. Sejak penggunaan pertama kali sampai dengan sekarang, baling-baling sebagai alat
penggerak kapal berkembang secara tahap demi tahap. Walaupun demikian saat ini baling-
baling merupakan alat penggerak kapal mekanis yang paling banyak digunakan untuk kapal-
kapal dari segala ukuran dan jenisnya.
KMP. Sultan Murhum merupakan salah satu jenis kapal ferry yang beberapa waktu lalu
direparasi di PT. IKI (Industri Kapal Indonesia) Makassar. Masalah yang terjadi pada KMP.
Sultan Murhum yaitu ketidaksesuaian antara luas daun kemudi dengan kemampuan
menuvering yang telah ditetapkan, sehingga pada saat kapal melakukan maneuvering badan
kapal akan berputar dan diameter turning circle yang dihasilkan terlalu besar. Kerugian yang
dapat terjadi bila keadaan ini tetap dipertahankan, yaitu badan kapal akan mengalami
kemiringan, dan bisa mengakibatkan tenggelamnya kapal.

2. Tinjauan Pustaka
Dalam maneuvering sebuah kapal, prosedur yang digunakan mengacu kepada peraturan
standar kemampuan maneuver kapal yang direkomendasikan oleh International Maritime
Organization (IMO) yakni resolusi MSC.137 (76) annex.6 tertanggal 4 Desember 2002 dan
mulai diterapkan sejak tanggal 1 Januari 2004, yang mana resolusi ini merupakan amandemen
terhadap resolusi sebelumnya yakni A.751 (18) mengenai standar kemampuan maneuver kapal.

Manuver yang digunakan dalam percobaan di laut mengikuti rekomendasi dari maneuvering
trial code of ITTC (1975) and the Imo circular MSC 389 (1985). IMO juga menentukan
penampilan dari beberapa hasil pada poster, bucklet dan maneuvering bucklet pada IMO
resolution A.601 (15) (1987).
Menurut Ogawa dan Kansai (1987), persamaan matematika untuk analisis maneuver melalui
simulasi komputer dikembangkan berdasarkan konsep MMG (Mathematical Modelling Group),
persamaan matematika tersebut meliputi pengujian persamaan terpisah komponen lambung,
propeller, dan kemudi serta komponen interaksi antara ketiganya (lambung-propeller-kemudi).
Persamaan matematika gerak manuver kapal dengan propulsi azimuth podded dapat dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.
X = XH + XP XR = 0
Y = YH + YP YR = 0
N = NH + NP NR = 0 (1)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 209
dimana, H dan P adalah elemen lambung kapal (hull) dan baling-baling (propeller), sedangkan
fungsi daun kemudi (rudder) digantikan oleh fungsi pod pada baling-baling.

3. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan melakukan simulasi perhitungan dan gerak kapal KMP. Sultan
Murhum menggunakan Matlab untuk mengetahui analisa kemampuan maneuver kapal tersebut.

Mulai

a.Kemampuan Olah Gerak Analisa Permasalahan


b.Azimuth Podded

a.Mempelajari Propulsi
Azimuth Podded Studi Literatur
b.Mempelajari perhitungan
tahanan/propulsi

a.Data Dimensi Kapal Pengumpulan Data


b.Data Spesifikasi Propulsi

Pengolahan Data

Perhitungan Tahanan

Analisa

Memenuhi

Kesimpulan & Saran

Selesai

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 210
4. Hasil Penelitian
Dari hasil pengujian, performa kapal pada Turning Circle Maneuver Test dengan sudut
kemiringan rudder / Pod = 20 (T=1,65) sebagai berikut.

0
Gambar. 1. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi even keel terhadap
kemampuan turning circle maneuver kapal.

0
Gambar. 2. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi trim terhadap kemampuan
turning circle maneuver kapal.

Perbandingan antara even keel dan trim condition dengan menggunakan propulsi azimuth
podded sebagai berikut.

Gambar. 3. Grafik perbandingan turning circle antara even keel dan trim condition
menggunakan propulsi azimuth podded.

Hasil simulasi numerik gerak kapal saat turning circle test baik pada kondisi even keel maupun

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 211
trim dengan sudut kemiringan kemudi (sistem konvensional) dan pod (azimuth podded) yang
0
sama yaitu 20 menunjukkan bahwa penggunaan azimuth podded menghasilkan advanced dan
tactical diameter yang lebih kecil dibandingkan propulsi konvensional.

Tabel 1. Pengaruh jenis propulsi kapal terhadap performa turning circle test
Adapun hasil pengujian performa kapal pada zig-zag maneuver test dengan sudut kemiringan
rudder/pod = 20 (T = 1,65)

Turning circle IMO Criteria Conventional Azimuth Podded


Even keel condition
Advanced (AD) 4,5 Lbp 104,5 75,2
Tactical diameter (DT) 5,0 Lbp 105 74,7
Trim condition
Advanced (AD) 4,5 Lbp 125 87,5
Tactical diameter (DT) 5,0 Lbp 125,5 87,3

Gambar. 4. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi even keel terhadap zig-zag
maneuver kapal.

Gambar. 5. Grafik pengaruh sudut kemiringan 20 pada kondisi trim terhadap zig-zag
maneuver kapal.

Gambar. 6. Grafik perbandingan zig-zag maneuver antara even keel dan trim operation
menggunakan propulsi azimuth podded.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 212
Dari kedua kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada even keel condition, penggunaan
st nd
azimuth podded menghasilkan overshoot yang lebih besar ( 1 overshoot = 11 ; 2 overshoot
st nd
= 10 77) dibandingkan dengan trim condition (1 overshoot = 8 15 ; 2 overshoot = 7 75).

Tabel 2. Pengaruh jenis propulsi kapal terhadap performa zig-zag maneuver test
Zig-zag Maneuver IMO Criteria Conventional Azimuth Podded
Even keel condition
1st overshoot < 250 6,1 11
2nd overshoot < 400 10,36 10,77
Trim condition
1st overshoot < 250 3,1 8,15
2nd overshoot < 400 4,65 7,75
5. Kesimpulan
Kemampuan maneuver kapal, khususnya turning circle test dengan menggunakan propulsi
azimuth podded lebih baik dibandingkan kapal dengan propulsi konvensional, baik pada kondisi
even keel maupun trim. Sebaliknya pada zig-zag maneuver test, penggunaan azimuth podded
menunjukkan kemampuan yang lebih baik hanya pada kondisi even keel.

Perbedaan mendasar antara jenis propulsi azimuth podded dengan propulsi konvensional yaitu
0
pada propulsi azimuth podded, kemiringan pod dapat diatur hingga mencapai 360 (ke segala
arah).

References
Buletin IMarE Edisi ke-38. (2008), hal.4-5 (Sumber: MER, Edisi April 2008 HR)
Hasbullah, Mansyur. (2011): Hybrid Contra Rotary Propeller (CRP) Azimuth POD sebagai Alat
Propulsi Kapal yang Efektif dan Menguntungkan di Masa Datang.
Insel, M., and Helvacioglu, I., H. Manoeuvrability Analisys of Double Ended Ferries in
Preliminary Design.
Islam, Mohammed, F., Veitch, Brian, and Liu, Pengfei. (2007): Experimental research on marine
podded propulsors, Journal of Naval Architecture and Marine Engineering, hal.58.
ITS-Undergraduate-9250-4207100504-Chapter1.Pdf.
Julianto, E., Sasono. (2009): PemakaianBaling-Baling Bebas Putar (Free Rotating Propeller)
pada Kapal, TEKNIK Vol. 30 No. 2 Tahun 2009, ISSN 0852-1697.
Moreno, Victor, M., and Pigazo, Alberto. (2007): Future trends in electric propulsion systems for
commercial vessels, Journal of Maritime Research, p.84.
National Maritime Research Institute, Science of Ships and the Sea vol.4, 2004, p.42-45.
Nicod, J., P., and Simon, P. (1998): A step ahead in electric propulsion with Mermaid,
Proceedings of the All Electric Ship Conference AES98, pp.43-47
Pakaste, R., Laukia, R., Wihemson, M., and Kuus koski, J. (1998): Experiences of Azipod
Propulsion systems on board merchant vessels, Proceedings of the All Electric Ship
Conference(AES98) , pp.223-227.
Pakolo, Rommel. (2011): Pengaruh Luas Daun Kemudi terhadap Maneuvering KMP. Sultan
Murhum.
Ship Hydrodynamics, Lecture Notes of Propulsion Part.
Ueda, Naoki, and Numaguchi, Hajime. (2005): The First Hybrid CRP-POD Driven Fast ROPAX
Ferry in the World.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 213
APLIKASI BAHAN BAKAR GAS PADA MOTOR DIESEL
DAN EFFEKNYA TERHADAP TEGANGAN PISTON
*1 1 1
Semin , Aguk ZUHDI MF , Hendra SEPTIAWAN
1
Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS - Surabaya
*E-mail: semin@its.ac.id

Abstract

Konversi mesin diesel menjadi mesin berbahan bakar gas mempunyai pengaruh terhadap proses pembakaran. Untuk
dapat mengoptimalkan proses pembakaran pada bahan bakar gas harus mempunyai ruang bakar yang lebih besar.
Pada penulisan ini dilakukan analisa tegangan pada piston original dan yang telah dimodifikasi. Tahapan pertama
adalah pengumpulan data mesin, seperti tekanan pembakaran maksimal, dimensi piston, material piston, dan
temperature maksimal silinder. Kemudian dilakukan pembuatan model piston pada softwere AutoCAD. Model yang
sudah jadi dianalisa dengan menggunakan Finite Element Method (FEM). Langkah-langkah yang dilakukan untuk anlisa
FEM yaitu pembentukan mesh, input material properties, boundry condition dan yang terakhir adalah analisa model.
Karena ingin mengetahui tegangan piston, maka penganalisaan dilakukan pada kondisi torsi maksimal, dengan
Compression Ratio (CR) yang bervariasi. Dengan adanya variasi CR tekanan maksimal pembakaran dan temperature
maksimal pada piston juga akan bervariasi. Dari hasil analisa struktur tegangan terbesar yaitu 339 N/mm 2 di daerah
lubang pin piston, sedangkan temperature terbesar yaitu 969oC di daerah piston head. Pada CR 19 piston dapat
menahan beban dari tekanan dan temperature.

Kata kunci: Bahan bakar gas, finite element method, mesin diesel, rasio kompresi, tegangan piston

1. Pendahuluan
Saat ini, bahan bakar alternatif telah berkembang karena kekhawatiran bahwa cadangan bahan
bakar fosil di seluruh dunia yang terbatas dan pada dekade awal abad ini akan habis sama
sekali. Selain itu, krisis energi dunia saat ini membuat kenaikan harga bahan bakar fosil. Di sisi
lain, bahan bakar fosil memberikan kontribusi pencemaran lingkungan yang besar. Banyak jenis
bahan bakar alternatif yang tersedia di dunia. Compressed Natural Gas (CNG) sebagai bahan
bakar alternatif menjadi semakin penting. Oleh karena itu maka timbulah ide mengkonversi
diesel yang semula berbahan bakar solar menjadi berbahan bakar gas.

Dalam proses konversi mesin diesel menjadi mesin bahan bakar gas diperlukan perubahan
rasio kompresi pada ruang bakar. Mesin diesel mempunyai ratio kompressi sekitar 20:1,
sedangkan pada bahan bakar gas mempunyai rasio kompresi diatas 12:1. Dalam konversi
mesin diesel mejadi mesin bahan bakar gas perlu direncanakan rasio kompresi yang tepat agar
diperoleh unjuk kerja mesin bahan bakar gas yang tinggi. Perencanaan rasio kompresi dapat
dimulai dari nilai 12:1 sampai dengan 20:1, kemudian dipilih nilai rasio kompresi yang
mempunyai unjuk kerja yang paling tinggi. Proses investigasi efek rasio kompresi terhadap
unjuk kerja mesin dilakukan dengan menggunakan software GT-Power.

Paper bertujuan untuk mengetahui tegangan yang terjadi pada piston akibat tekanan yang
terjadi akibat pembakaran pada ruang bakar, mengetahui distribusi temperatur yang terjadi
pada piston dan engetahui apakah piston dapat menerima beban yang diberikan akibat
konversi bahan bakar diesel menjadi CNG tersebut.

2. Metodologi
2.1 Data Mesin
Mesin yang digunakan adalah Yanmar L-100. Pada tahapan ini dilakukan pengumpulan data-
data engine seperti tekanan pembakaran maksimal pada ruang bakar, dimensi dan material
piston. Untuk mengetahui tekanan pembakaran pada ruang bakar, dilakukan simulasi pada
softwere.

2.2 Material Piston


Piston dibuat dari bahan dural aluminium, juga disebut duraluminum, duraluminium atau dural
merupakan merupakan perkembangan baru dari aluminium alloy yang mengalami pengerasan.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 214
2.3 Dimensi Piston

Gambar 1. Dimensi Piston

2.4 Simulasi Performa Mesin


Untuk mendapatkan data tekanan maksimal, temperature maksimal dan data-data yang lain
yang dibutuhkan untuk analisa stress meggunakan model FEM (Finite Element Method), maka
diperlukan simulasi performa mesin. Data inputan untuk simulasi didapat dari catalog dan hasil
penelitian.

2.5 Pembuatan Model Piston Pada Softwere AutoCAD


Data yang didapat dari studi literatur akan digunakan sebagai referensi menggambar model
piston pada softwere AutoCAD. File yang diexport yaitu dalam format ACIS. Kemudian akan
diexport untuk dilakukan analisa struktur dan thermal. Mesin yang digunakan adalah mesin
diesel direct-injection. Model dibuat dengan satuan milimeter (mm).

Gambar 2. Piston yang masih asli

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 215
Gambar 3. Piston yang telah dimodifikasi

2.6 Pembuatan Meshing dan Boundry Condition


Meshing merupakan pembuatan model menjadi beberapa elemen, agar tiap bagian dapat
dianalisa. Meshing dapat dilakukan secara manual ataupun otomatis, tergantung kebutuhan.
Meshing menggunakan tipe element tetrahedral dan dilakukan secara otomatis, dengan ratio
0.3. Boundry condition piston dilakukan sesuai dengan tipe analisa yang dilakukan. Jika untuk
analisa struktur maka tekanan akan diberikan pada piston head dan pada lubang piston pin
akan dicekam. Sedangkan untuk analisa termal boundry condition dilakukan dengan
memberikan temperatur dan aplikasi panas pada piston head, konveksi panas pada bagian
piston ring dan skirt piston.

2.7 Analisa Model


Setelah pembuatan meshing dan input pembebanan, maka dilakukan analisa model. Pada
analisa termal, model dianalisa pada kondisi steady-state. Dimana tekanan tidak berubah
menurut waktu atau model dalam keadaan tunak. Untuk analisa termal, model juga dianalisa
pada kondisi steady-state. Dimana suhu tidak berubah menurut waktu. Untuk analisa model
yang lebih lengkap akan dibahas pada bab tersendiri.

2.8 Collapse Simulation


Jika terjadi collape simulation atau terdapat angka hasil simulasi yang tidak logis, maka
diperlukan pembuatan mesh dan pembebanan kembali, namun apabila angka hasil simulasi
terlihat logis maka akan dilakukan analisa data. Beberapa hal yang perlu dicek jika terjadi
collapse simulation yaitu boundry condition, meshing dan material input, karena data-data
tersebut sangat berpengaruh pada saat proses analisa.

2.9 Analisa Data


Analisa data dilakukan pada setiap model piston dengan variasi CR yang berbeda-beda, yaitu
mulai dari CR 20.28, 19, 17, 15, 13 dan 10. Dari berbagai variasi CR terebut maka tegangan
yang terjadi akibat tekanan maupun thermal akan berbeda.

3. Hasil dan Analisa


3.1 Simulasi Performa Mesin
Hasil dari simulasi dan analisa struktur piston mesin ditampilkan pada tabel 1 dan 2 sebagai
berikut

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 216
Tabel 1. Data hasil simulasi untuk analisa struktur pada piston

2
CR Tekanan Maksimal (bar) Tekanan Maksimal (N/mm )

20.28 86.64 8.664


19 81.21 8.121
17 72.83 7.283
15 64.51 6.451
13 56.32 5.632
10 44.13 4.413

Tabel 2. Data simulasi untuk analisa thermal pada piston

O O 2
CR Temp. Head ( C) Temp. max ( C) Heat Transfer (W/mm )

20.28 317.85 1750 201


19 317.85 1750 193
17 317.85 1790 180
15 317.85 1820 167
13 317.85 1850 154
10 317.85 1910 132

3.2 Meshing dan Boundry Condition


Hasil dari meshing dengan boundary condition pada piston adalah sebagai berikut:.

Tabel 3. Tipikal unit untuk analisa struktur piston

Quantity SI SI (mm) SI US Unit (ft) US Unit (inch)

Length m mm m ft ft
Force N N kN lbf lbf
3 2
Mass kg Tonne (10 kg) tonne slug lbf s /in
Time s s s slug s
2 2 2 2
Stress Pa(N/m ) MPa(N/mm ) Kpa lbf/ft psi (lbf/ft )
-3
Energy J mJ (10 J) KJ ft.lbf in.lbf
3 3 3 3 2 4
Density kg/m tonne/mm tonne/m slug/ft lbf s /in

Tabel 4. Tipikal unit untuk thermal material proprerties


Quantity SI US Unit
o o
Thermal Conductivity W/m- C Btu/hr-ft- F
o o
Specific Heat J/kg- C Btu/lbm- F
3 3
Density kg/m lbm/ft
Dynamic Viscosity kg/m-sec lbm/ft-hr
Enthalpy J/kg Btu/lbm
Latent Heat J/kg Btu/lbm

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 217
Tabel 5. Tipikal unit untuk thermal loads dan boundry condition
Quantity SI Unit US Unit
o o o o
Temperature C K F R
2 2
Normal Heat Flux W/m Btu/hr-ft
2 2
Directional Heat Flux W/m Btu/hr-ft
Nodal Source W Btu/hr
3 3
Volumetric Generation W/m Btu/hr-ft
2 2
Convection Heat Flow W/m Btu/hr-ft
Advection Heat Flow W Btu/hr
2 o 2 o
Convection Heat Transfer Coefficient W/m - C Btu/hr-ft - F
2 2
Radiation to Space W/m Btu/hr-ft
2 2
Radiation Enclosure W/m Btu/hr-ft

3.3 Analisa Data


Analisa data dilakukan pada setiap model piston dengan variasi CR yang berbeda-beda, yaitu
mulai dari CR 20.28, 19, 17, 15, 13 dan 10. Dari berbagai variasi CR terebut maka tegangan
yang terjadi akibat tekanan maupun thermal akan berbeda seperti yang tersaji pada tabel 6 dan
7..
Tabel 6. Data hasil analisa struktur
2
Stress (N/mm )
Tekanan Tekanan Maksimal Tegangan
CR 2 2
Maksimal (bar) (N/mm ) ijin (N/mm )
Max. Min.

20.28 86.64 8.664 339 0.0539 420.8


19 81.21 8.121 308 0.0656 420.8
17 72.83 7.283 304 0.0624 420.8
15 64.51 6.451 266 0.065 420.8
13 56.32 5.632 221 0.0564 420.8
10 44.13 4.413 171 0.0445 420.8

Gambar 4. Meshing dan Boundry Condition untuk Analisa Struktur

Dari data diatas, maka dapat diketahui bahwa pada CR 13 dan 10 tekanan yang terjadi pada
cylinder masih dapat diterima oleh piston. Karena tegangan yang terjadi masih lebih kecil dari
tegangan ijin. Dengan demikian modifikasi piston yang dapat diaplikasikan pada mesin diesel
yang dikonversi menjadi mesin berbahan bakar gas yaitu pada compression ratio 13 dan 10.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 218
Tabel 7. Data hasil analisa thermal
o 2
Distr. Therm.( C) Heat Flux (W/mm )
CR
max min max min
-4
20.28 1750 1740 1.45 2.06 x10
-4
19 1750 1740 1.47 2.15 x10
-4
17 1790 1780 1.49 2.45 x10
-7
15 1820 1810 1.46 6.96 x10
-5
13 1850 1840 1.48 1.17 x10
-6
10 1910 1900 1.51 6.07 x10

Gambar 5. Meshing dan Boundry Condition untuk Analisa Termal

Dari data diatas dapat diketahui bahwa distribusi temperature terbesar yaitu pada CR 10
o
dengan temperature maksimal 969 C. hal itu terjadi karena bahan bakar yang disemprotkan
lebih banyak dibandingkan dengan CR yang lebih kecil.

4. Kesimpulan
Dari hasil analisa tegangan yang terjadi akibat tekanan masih dapat ditahan oleh piston. Karena
2
tegangan yang terjadi pada piston terbesar yaitu 339 N/mm , sedangkan tegangan ijin yaitu
2
420.8 N/mm . Tegangan terbesar terjadi pada daerah lubang piston pin, karena piston pin
tersebut menerima beban tekan dari ruang bakar mesin. Distribusi temperature terbesar terjadi
o
pada CR 10 yaitu dengan temperature maksimal 1910 C. Karena semakin besar CR, maka
semakin banyak gas pembakaran dan kebutuhan bahan bakar pun akan lebih banyak. Semakin
kecil CR, maka distribusi temperature akan lebih kecil.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang telah mendanai penelitian
ini sehingga dapat selesai dengan baik.

References

Britto M,A.2005, MSc Patran handbook, MSC.Software Corporation.


Ganesan, V., 1999. Internal Combustion Engines. 2nd Edn., Tata McGraw-Hill, New Delhi,
India, pp: 110-255
Gudimetal P., and Gopinath C.V., 2009. Finite Element Analysis of Reverse Engineered Internal

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 219
Combustion Engine Piston, King Mongkuts University of Technology North Bangkok
Press, Bangkok, Thailand.
th
Holman, J.P., 1986. Perpindahan Panas, 6 Edition, Erlangga, Jakarta.
Morel, T., Harman. S.T., and Keribar. R., 1990. Detailed Analysis of Heat Flow Pattern in Piston.
Poulton, M.L., 1994. Alternative Fuels for RoadVehicles. 1st Edn., Comp. Mechanics
Publications, UK., pp: 10-110.
Sera, M.A., R.A. Bakar and S.K. Leong, 2003.CNG engine performance improvement
strategy through advanced intake system. SAE Technical Paper 2003-01-1937.
http://www.sae.org/technical/papers/2003-01-1937
Shasby, B.M., 2004. Alternative Fuels: Incompletely Addressing the Problems of the
Automobile, Virginia Polytechnic Institute and State University, USA.
http://scholar.lib.vt.edu/theses/available/etd- 05252004-152456/
rd
Singer. F.L., and Pytel. A., 1980. Ilmu Kekuatan Bahan, 3 Edition, Jakarta : Erlangga.
Surdia, Tata & Saito, Shinroku. 1992. Pengetahuan Bahan Teknik. (edisi kedua). Jakarta:
Pradnya Paramita.
Taylor. D.A., 1990. Introduction to Marine Engineering. UK: Elsevier.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 220
PENGARUH PERUBAHAN COMPRESSION RATIO MOTOR DIESEL MENGGUNAKAN
BAHAN BAKAR GAS DAN EFFEKNYA TERHADAP POWER DAN DAYA
*1 1 1 1 1
Semin , Dayang , Aguk ZUHDI MF , I Made ARIANA , Amiadji
1
Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS - Surabaya
*E-mail: semin@its.ac.id

Abstract

Dalam proses konversi mesin diesel menjadi mesin bahan bakar gas diperlukan perubahan rasio kompresi pada ruang
bakar. Mesin diesel mempunyai ratio kompressi sekitar 20:1 sampai 26: 1, sedangkan pada bahan bakar gas
mempunyai rasio kompresi diatas 12:1. Dalam konversi mesin diesel mejadi mesin bahan bakar gas perlu direncanakan
rasio kompresi yang tepat agar diperoleh unjuk kerja mesin bahan bakar gas yang tinggi. Perencanaan rasio kompresi
dapat dimulai dari nilai 12:1 sampai dengan 20:1, kemudian dipilih nilai rasio kompresi yang mempunyai unjuk kerja
yang paling tinggi. Proses investigasi efek rasio kompresi terhadap unjuk kerja mesin dilakukan dengan menggunakan
software GT-Power. Pada awalnya dibuat model diesel engine dengan bahan bakar solar lalu dirunning, jika hasil
running sudah sesuai dengan spek mesin aslinya baru dilakukan perubahan bahan bakarnya setelah itu model diruning
pada compression ratio yang bervariasi, dari hasil running akan terlihat pada compression ratio berapa ia memiliki daya
yang optimum.

Kata kunci: Bahan bakar gas, compression ratio , daya, mesin diesel, power

1. Pendahuluan
Gas alam terkompresi (CNG) telah muncul sebagai solusi untuk masalah harga minyak yang
tinggi dan emisi gas buang tinggi. Tersedia di banyak negara dari sumber-sumber asli, gas
adalah bahan bakar murah dan bersih. Di beberapa negara, harga CNG sepertiga solar.

Bensin dan solar akan menjadi langka dan mahal. Teknologi bahan bakar alternatif,
ketersediaan dan penggunaanya akan menjadi lebih umum dalam dekade mendatang untuk
mesin pembakaran dalam. Saat ini, bahan bakar alternatif telah berkembang karena
kekhawatiran bahwa cadangan bahan bakar fosil di seluruh dunia yang terbatas dan pada
dekade awal abad ini akan habis sama sekali. Selain itu, krisis energi dunia saat ini membuat
kenaikan harga bahan bakar fosil. Di sisi lain, bahan bakar fosil memberikan kontribusi
pencemaran lingkungan yang besar. Banyak jenis bahan bakar alternatif yang tersedia di dunia.
Compressed Natural Gas (CNG) sebagai bahan bakar alternatif menjadi semakin penting. Oleh
karena itu maka timbulah ide mengkonversi diesel yang semula berbahan bakar solar menjadi
berbahan bakar gas.
Dalam proses konversi mesin diesel menjadi mesin bahan bakar gas diperlukan perubahan
rasio kompresi pada ruang bakar. Mesin diesel mempunyai ratio kompressi sekitar 20:1,
sedangkan pada bahan bakar gas mempunyai rasio kompresi diatas 12:1. Dalam konversi
mesin diesel mejadi mesin bahan bakar gas perlu direncanakan rasio kompresi yang tepat agar
diperoleh unjuk kerja mesin bahan bakar gas yang tinggi. Perencanaan rasio kompresi dapat
dimulai dari nilai 12:1 sampai dengan 20:1, kemudian dipilih nilai rasio kompresi yang
mempunyai unjuk kerja yang paling tinggi. Proses investigasi efek rasio kompresi terhadap
unjuk kerja mesin dilakukan dengan menggunakan software GT-Power.

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Mesin diesel
Mesin diesel adalah sejenis mesin pembakaran dalam; lebih spesifik lagi, sebuah mesin pemicu
kompresi, dimana bahan bakar dinyalakan oleh suhu tinggi gas yang dikompresi, dan bukan
oleh alat berenergi lain (seperti busi). Mesin ini ditemukan pada tahun 1892 oleh Rudolf Diesel,
yang menerima paten pada 23 Februari 1893. Diesel menginginkan sebuah mesin untuk dapat
digunakan dengan berbagai macam bahan bakar termasuk debu batu bara.

2.2 Injeksi BBG


Dalam mesin BBG, bahan bakar diinjeksikan oleh sistem injeksi bahan bakar gas melalui katup
intake port trans ke dalam silinder mesin menjelang akhir langkah kompresi, tepat sebelum
memulai pembakaran yang diinginkan. Bahan bakar gas, biasanya disuntikkan pada kecepatan
tinggi sebagai satu atau lebih jet melalui lubang kecil atau nozel di ujung injector. Bahan bakar

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 221
gas yang bercampur dengan suhu tinggi dan tekanan tinggi udara di silinder. Sejak, suhu udara
dan tekanan pada titik penyalaan bahan bakar gas itu, percikan pengapian dari bagian dari
bahan bakar yang sudah dicampur dan setelah udara masa penundaan dari beberapa derajat
sudut engkol. Meningkat tekanan silinder sebagai pembakaran dari campuran bahan bakar
gas-udara terjadi. Masalah utama dalam desain injeksi BBG ruang bakar mesin mencapai
cukup cepat pencampuran antara bahan bakar gas injeksi dan udara dalam silinder dalam
interval sudut engkol dekat tepat untuk TDC.

2.3 Rasio Kompresi


Rasio kopresi dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:

Dimana :
= silinder bore (diameter)

= piston stroke (Langkah Panjang)

= clearance volume. Ini adalah volume ruang bakar (termasuk paking cilinder head). adalah
volume minimal ruang pada akhir langkah kompresi, yaitu ketika piston mencapai top dead
center (TDC). Karena bentuk kompleks ruang ini, biasanya diukur secara langsung.

Rasio kompresi (CR) adalah rasio dari volume total ruang pembakaran saat piston berada di
pusat mati bawah (BDC) untuk volume total ruang pembakaran saat piston di pusat mati atas
(TDC). Secara teoritis meningkatkan rasio kompresi (CR) dari mesin dapat meningkatkan
efisiensi keseluruhan mesin dengan memproduksi lebih banyak output daya. Memang, untuk
meningkatkan CR, ada banyak aspek mengenai operasi dari mesin yang harus
dipertimbangkan untuk memeriksa kompatibilitas bagian. Misalnya, durasi yang lebih singkat
cam dapat meningkatkan efektivitas meningkatkan CR. Selama langkah kompresi, udara lebih
diizinkan menjebak atas piston sebelum penutupan katup inlet. Selain itu, lebih rendah durasi
cam pembuka; pendek adalah jarak bagi piston untuk bergerak ke atas ke lubang pada langkah
kompresi Selain durasi cam, cam itu Lobe Angle Tengah (LCA) dan kemajuan cam penting
untuk meningkatkan CR. Sebuah LCA yang lebih luas (angka semakin besar) mempromosikan
peningkatan yang lebih besar di CR dari LCA ketat (angka semakin kecil) (kedok 2003, hal.4).
Selain itu, mesin dengan cam yang lebih maju, sekitar 2-4 derajat muka (kedok 2003, hal.4)
mempromosikan penutupan asupan lebih cepat. Oleh karena itu, output tenaga mesin akan
beless sensitif terhadap penutupan katup dan kombinasi waktu kompresi. Untuk setiap rasio
meningkat, tekanan silinder puncak akan meningkat dengan sekitar 100-110 psi (kedok 2003,
h.5). Akibatnya, akan ada tegangan termal pada bagian-bagian komponen mesin seperti gasket
kepala, menghubungkan batang, engkol dan blok. Biasanya, tekanan puncak akan terjadi
sebelumnya dalam kuasa stroke dan tingkat kerusakan tekanan silinder jauh lebih cepat karena
tingkat lebih tinggi dari volume meningkat pada ruang pembakaran. Dengan keterbatasan ini,
situasi seperti mengetuk akan terjadi dan metode pencegahan untuk menemukan bahan bakar
yang memiliki nilai oktan tinggi sekitar 115 atau lebih tinggi desain yang lebih baik pada piston
lubang atau ruang pembakaran untuk meningkatkan tindakan berputar dan waktu injeksi.
Karena nilai oktan lebih tinggi meningkatkan suhu, penting untuk menjaga sistem induksi
sekeren mungkin untuk menghindari mengetuk apapun. Selain itu, piston ke kepala mendarat di
TMA harus dioptimalkan untuk meningkatkan aksi berputar-putar. Celah-celah dan sudut tajam
dalam ruang pembakaran diminimalkan untuk menetapkan izin memuaskan / squish ketat. Hal
ini mendorong baik kualitas pencampuran bahan bakar dan udara yang meningkatkan efisiensi
dan proses pembakaran lebih cepat. Untuk menurunkan tekanan puncak dan pelebaran batas
ketukan, mesin kompresi tinggi memerlukan pengapian sistem kinerja tinggi dengan modus
berlebihan kotor dan memajukan cam yang dikurangi dengan 2-3 derajat. Terakhir, mencari
mesin kompresi tinggi untuk menghasilkan output daya maksimum melalui efektivitas proses
pembakaran berarti bahwa mesin harus beroperasi pada rpm lebih tinggi juga. Oleh karena itu,
ruang pembakaran dipadatkan dengan memperpanjang stroke piston, dimodifikasi mahkota
piston untuk menjadi datar dan membawa katup intake dan exhaust ke posisi yang lebih vertikal
sekitar 18 derajat Dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai daya output tinggi itu bukanlah
tugas yang mudah. Jika desain kepala piston atau geometri dari ruang pembakaran tidak
dilakukan dengan baik, hal itu akan menyebabkan kegagalan operasi mesin. Oleh karena itu,

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 222
bijaksana untuk menjaga efisiensi dan kinerja mesin diesel asli di mesin CNG-diesel dengan
kemungkinan mengurangi CR untuk mencegah ketukan. Selain rasio kompresi, seperti yang
disebutkan sebelumnya komposisi gas alam merupakan kriteria penting untuk konversi mesin.
Oleh karena itu, jenis mesin yang digunakan untuk konversi tergantung pada variasi komposisi
bahan bakar.

2.4 Konversi Mesin Diesel menjadi Mesin Bahan Bakar Gas.


Semua mesin diesel dapat dikonversikan menjadi gas alam. Tingkat daya dari mesin setelah
konversi tergantung pada berbagai masalah, seperti kualitas tingkat gas alam, tenaga dari
mesin diesel asli, tingkat emisi diperlukan dll Sebuah mesin benar dikonversi dapat membuat
sebagai banyak daya menggunakan gas alam seperti pada diesel. Mesin diesel dikonversi
menjadi gas alam umumnya memerlukan komponen tambahan serta beberapa perubahan
mekanik untuk mesin. Pada dasarnya mesin diesel mengalami rebuilt lengkap dalam proses
berubah dari mesin diesel ke mesin gas.

3. Metodologi
Metodologi yang dipakai untuk penyelesaian penelitian ini secara lengkap dapat dilihat pada
gambar dibawah dengan tahapan-tahapan seperti berikut :

3.1 Studi Literatur


Studi literatur dilakukan dengan pengumpulan referensi-referensi yang berhubungan dengan
materi yang dibahas, dalam hal ini pengaruh perubahan ukuran dimeter dan jumlah lubang
pada injektor terhadap unjuk kerja pada direct injection diesel engine. Adapun literature tersebut
didpatakan dari buku, internet, dan paper.

3.2 Pengambilan Data


Untuk melakukan analisa unjuk perja dari mesin, maka dilakukan pengumpulan data dengan
pembukaan engine dan melakukan pengukuran terhadap engine,serta parameter-parameter
yang dibutuhkan dalam software GT-POWER

3.3 Pemodelan
Pada pemodelan ini yang dilakukan adalah memasukan parameter-parameter yang dibutuhkan
dalam menjalan software GT-POWER. Sehingga data output dari software inilah yang nantinya
dianalisa.

3.4 Validasi Pemodelan


Pada tahapan validasi ini merupakan kesesuaian antara data hasil pemodelan dengan data
mesin standarnya. Jika hasil dari pemodelan belum sesuai dengan mesin standartnya, maka
dilakukan pemodelan ulang dengan melakukan analisa terhadap data-data inputnya.

3.5 Pengujian
Apabila didapatkan pemodelan sesuai dengan karakteristik engine yang sesungguhnya, maka
dilakukan pengujian dengan merubah compression ratio pada data engine di engine geometri.

3.6 Analisa Data


kita mendapatkan data-data dari simulasi software, baru kita melakukan analisa untuk
menajwab hal-hal yang berkaitan dengan penelitihan, dalam hal ini pengaruh perubahan bahan
bakar dan compression ratio yang tepat sehingga nantinya akan menghasilkan unjuk kerja
terbaik.

4. Hasil dan Analisa


Tahapan yang pertamakali dilakukan yaitu membuat pemodelan yang tepat dengan
mengunakan software yang sesuai untuk menganalisa. Menurut refrensi, software yang yang
dapat digunakan adalah GT-POWER untuk menganalisa engine performance pada diesel
engine. Data yang digunakan dalam pemodelan dan simulasi berupa speck mesin.
4.1 Spesifikasi mesin
Mesin yang digunakan pada pemodelan adalah mesin diesel sebagai berikut :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 223
Tabel 1. Spesifikasi mesin

ENGINE PARAMETERS VALUE


Bore 86 mm
Stroke 70 mm
Displacement 407 cc
Number of cylinder 1
Connecting rod length 118,1 mm
Piston pin ofset 1 mm

4.2 Analisa Pemodelan


Setelah model HSD engine dibuat lalu dirubah bahan bakarnya, setelah bahan bakarnya
dirubah menjadi bahan bakar natural gas baru rasio kompresinya divariasikan. Variasi rasio
kompresi adalah antara CR 10 sampai CR 22,2 dengan kisaran diatas CR tertinggi gasoline
engine dan dibawah CR tertingi HSD engine. Setelah pemodelan dengan variasi CR antara 11
sampai 22,2 lalu dilakukan running dan melihat hasilnya pada GT-POST, pada GT-POST dapat
dilihat engine performance dan data-data yang akan kita analisa. Pada GT-POST terdapat
parameter yang dapat dianalisa. Dari data hasil running dapat dianalisa hubungannya dengan
inputan yang dimasukan sebelum raning, misalnya data CR.

Dari hasil running GT-POST yang rasio kopmresi berfariasi didapat grafik daya mesin dan dapat
dialakuan analisa dari pengaruh rasio kompresio terhadap daya mesin pada putaran 500 rpm
sampai 4000 rpm.
Dari grafik pemvariasian rasio kompresi dan kecepetan mesin dapat dilihat bahwa power mesin
semakin tinggi jika rpm nya dinaikkan hingga rpn 3500, setelah 3500 rpm maka power akan
turun karena torsinya turun. Jika dilihat dari rasio kompresi 11 sampai 16 semakin tinggi CR
maka power akan semakin meninggkat namun setelah CR 16 maka daya rata rata yang
dihasilkan akan semakin menurun, namun daya optimum masih meninggkat hingga CR 19,
setelah CR 19 maka daya optimumnya akan menurun karena torsi menurun, daya menurun
karena adanya indikasi knoking. Jaka suatu mesin akan diopreasikan pada daya yang
bervariasi seperti pada kendaraan maka cocok menggunakan CR 16 Jika suatu mesin akan
diperasikan pada daya optimum dan beban tetap seperti pada generator maka cocok
menggunakan CR 19.

Gambar 1. Analisa efek perubahan rasio kompresi mesin diesel menjadi mesin BBG

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 224
5. Kesimpulan
Rasio kompresi yang cocok untuk mesin HSD yang dikonversi menjadi mesin bahan bakar
gas alam adalah CR 16. Mesin CNG kompresi rasionya masih dapat dinaikan hingga CR 19,
Namun jika CR diatas 16 dan kurang dari atau sama dengan 19 maka daya pada RPM rendah
dayanya akan kecil, namun tinggi pada tinggi pada rpm tinggi.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Sepuluh Nopember yang telah mendanai penelitian
ini sehingga dapat selesai dengan baik.

References

Boij, Johan 2008, Engines Types, Frankfurt Konig Johan, Cylinder-Pressure Based Injector
Calibration for Diesel Engine, Stockholm, Sweden April 2008.
rd
Bosch G, Robert,2004, Diesel-Engine Management, 3 Edition, United Kingdom.
Li, LIM Pei, 2004, The Effect of Compression Ratio on the CNG-Diesel Engine, University of
Souther Queesland,Queesland.
Semin, Ismail, A.R. and T.F. Nugroho, 2010. Experimental and computational of engine cylinder
pressure investigation on the port injection dedicated CNG engine development. J.
Applied Sciences, 10: 107-115.
Semin., Ismail, A.R., Bakar, R.A, 2008a. Comparative performance of direct injection diesel
engines fueled using compressed natural gas and diesel fuel based on GT-POWER
simulation, American Journal of Applied Sciences 5 (5), pp. 540- 547.
Semin., Ismail, A.R., Bakar, R.A, 2008b. Investigation of CNG engine intake port gas flow
temperature based on steady-state and transient simulation, European Journal of
ScientificResearch 22 (3), pp. 361-372
Semin., Bakar, R.A., Ismail, A.R, 2008c. Computational visualization and simulation of diesel
engines valve lift performance using CFD, American Journal of Applied Sciences 5 (5),
pp.532-539.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 225
EFISIENSI PEMAKAIAN BAHAN BAKAR TERHADAP PENGARUH SYN-GAS HASIL
GASIFIKASI CANGKANG KELAPA SAWIT PADA SISTEM DUAL-FUEL ENGINE
DIESEL STASIONER
1 2
Jupri Yanda ZAIRA* , Agus WIJIANTO*
1
Jurusan Teknik Mekatronika Politeknik Caltex Riau
*E-mail: jupz ai r a@ ya h oo. com /j up ri @p c r. a c. id
2
Jurusan Teknik Mekatronika Politeknik Caltex Riau
*E-mail : aguswj@gmail.com/aguswiji@pcr.ac.id

Abstract

Biomass gasification was produced by a gasifier downdraft reactor. The raw material is from oil palm shells that have a
high calorific value from the oil palm plantations solid waste. This research has done an experiment to test diesel
engines performance by using the dual fuel system of fossil fuel (solar) and sync-gass gasification from the oil palm
shell. By varying the air fuel ratio of fuel which use single fuel and dual fuel system, and applying the load to generator
of 200 2000 watt. Engine performances test are done by measuring the electrical output power, and analyze the
engines exhaust gass by performing gass emission test. The Result of research is the increasing of maximum
volumetric efficiency of 235,99%, the decrease on solar use up to 75,56%, on half open air intake causing a
specific raise of fuel consumption, decreasing thermal efficiency , the raise of exhaust gas temperature into 362 oC
occurs when the load of 1302,64 (VA) when the air intake valve is quarter open.

Keywords: Sync-gass, dual system fuel, oil palm shell, diesel engine, Solar.

1. Pendahuluan
Energi sangat dibutuhkan didalam kemajuan suatu negara. Selama ini energi banyak di ambil
dari alam yaitu dari bahan bakar fossil yang tidak dapat diperbaharui, dengan keadaan tersebut
tentunya lama kelamaan akan terjadi krisis energi yang akan mengakibatkan terpuruknya
perekonomian penduduk suatu negara khususnya di Indonesia. Bahan bakar fossil seperti
solar dan bensin yang digunakan terus menerus akan menyebakan polusi dan pemanasan
global yang berdampak terjadinya perubahan iklim yang terasa saat ini, selain itu data statistik
energi dunia tahun 2011, khusus Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa total
konsumsi minyak sebesar 1.304.000 barrel perhari, sedangkan total produksi minyak hanya
sebesar 986.000 barrel perhari [1]. Dengan kondisi seperti itu menyadarkan kita pentingnya
mengembangkan energi alternatif. Beberapa energi alternatif yang dikembangkan masyarakat
saat ini antara lain pemanfaatan tenaga air dan energi matahari untuk pembangkit listrik,
pengembangan bioenergi yang sesuai dengan potensi wilayah seperti bioethanol, biodiesel,
dan syn-gas dari biomassa.

Gasifikasi biomassa merupakan teknologi proses thermo-kimia yang mengubah berbagai jenis
biomassa benda padat menjadi combustible gas yang mudah terbakar yaitu menghasilkan gas
CO, H2, CH4. Biomassa yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah kayu, sekam padi,
tempurung kelapa, cangkang kelapa sawit yang menghasilkan gas yang mudah terbakar.
Provinsi Riau sebagai satu diantara penghasil komoditi kelapa sawit terbesar di Indonesia dapat
menjawab tantangan untuk mengatasi krisis energi di Indonesia dengan mengembangkan
energi alternatif dari gasifikasi biomassa limbah perkebunan yaitu cangkang kelapa sawit yang
merupakan satu diantara bahan baku untuk gasifikasi biomassa. Data statistik perkebunan
Indonesia 2009-2011 Provinsi Riau mempunyai luas areal kelapa sawit terbesar di Indonesia
yang sudah digunakan yaitu 1.781.900 Ha, dengan hasil produksi sebesar 6.064.391 ton
produksi tahun 2010 yang merupakan komoditi terbesar dari jenis perkebunan lainnya di
Provinsi Riau[2,3]. Napitupulu (2006), dalam percobaannya diperoleh nilai kalor 100%
cangkang sawit adalah sebesar HHV : 21274, 56 kJ/kg, LHV :18034,56 kJ/kg[4].

Untuk menghasilkan gas dari proses gasifikasi dilakukan di gasifier downdraft. Syn-gas dalam
pemakaian sebagai bahan bakar pada motor pembakaran dalam, dapat digunakan pada motor
bensin dan motor diesel. Pada motor diesel pemakaian syn-gas hasil gasifikasi harus
dikombinasikan dengan bahan bakar solar.
Penelitian tentang pemanfaatan syn-gas pada proses gasifikasi banyak yang dilakukan dan
telah dipublikasikan. Berdasarkan pengalaman ITB Susanto (1976) menyebutkan bahwa satu
3
liter bensin atau solar dapat digantikan dengan 7,5 m gas dari gasifikasi 4 kg kayu atau 6 kg

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 226
sekam[5], Penelitian juga dilakukan oleh Lawanaskol (1997) menyebutkan bahwa penggunaan
bahan bakar gas hasil gasifikasi yang berasal dari sekam kayu dapat menggantikan 72 % atau
sebanyak 2,2 l/h bahan bakar bio-diesel B5 untuk mendapatkan daya sebesar 10 kWe[6].
Penelitian oleh Sudarmanta dkk, (2010) menyimpulkan bahwa Reaktor gasifikasi downdraft
sekam padi secara kontinyu menghasilkan syn-gas dengan efisiensi sampai 60%, konsumsi
sekam padi pada reaktor gasifikasi sebesar 6 kg/h, dan mampu menggantikan 72% fossil
diesel pada pembangkitan energi listrik 3 kWe[7]. Selain itu Sudarmanta dkk (2011), juga
melakukan penelitan pada Motor Bensin Stasioner Untuk Pembangkit Listrik menyebutkan
bahwa peningkatan efisiensi volumetrik sebesar 19,63 % dengan pemakaian mixer yang
dilengkapi dengan mixing jet, penurunan pemakaian bensin paling tinggi hingga 75,12 % pada
dan beban listrik 1241,2 VA, dengan penambahan massflowrate syn gas
menyebabkan peningkatan spesific fuel consumption (sfc) sebesar 70,04%, penurunan efisiensi
termal sebesar 14,64 % serta kenaikkan temperatur engine, oli pelumas dan gas buang[8].

Dari berbagai penelitian diatas, menunjukkan bahwa syn-gas dari hasil gasifikasi berbagai
bahan baku biomassa berpengaruh terhadap performance mesin dan efisiensi pemakaian
bahan bakar, maka penelitian untuk bahan baku cangkang sawit perlu juga dilakukan supaya
dapat mengetahui pengaruh syn-gas dari hasil gasifikasi terhadap performance mesin diesel
dual fuel dan seberapa besar efisiensi pemakaian bahan bakar solar yang bisa diketahui.

2. Metode Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang dimulai dari karakterisasi biomassa
umpan secara proximate dan ultimate analysis. Secara keseluruhan, sistem pembangkit listrik
berpenggerak motor diesel dual fuel ini terdiri dari unit pengmpan biomassa berupa cangkang
kelapa sawit, reaktor gasifier, unit pemurnian raw syn gas, motor Diesel dual fuel dan generator
set. Unit pengumpan biomassa dirancang untuk memasukkan biomassa umpan, yaitu
dimasukkan cangkang kelapa sawit kedalam reaktor gasifier sesuai dengan kebutuhan. Reaktor
gasifier menggunakan sistem downdraft untuk mereduksi kandungan tar. Pemakaian unit
pemurnian untuk membersihkan kandungan debu dan partikel berat yang terikut dalam raw syn
gas dengan cara melewatkannya dalam unit cyclone, dan dilanjutkan dengan membersihkan
dengan air secara berlawanan arah didalam water scrubber. Selain itu, water scrubber juga
berfungsi sebagai media pendinginan syn gas. Syn gas yang sudah dimurnikan selanjutnya
dimasukkan kedalam saluran udara motor diesel yang sudah dimodifikasi menjadi sistem dual
fuel. Mekanisme pemasukan syn gas hasil gasifikasi dilakukan dengan pemasangan mixer
yang berbentuk venturi dan pengaturan valve udara masuk ruang pembakaran pada mesin
diesel sistem dual fuel. AFR (Air Fuel Ratio) sistem dual-fuel divariasikan melalui pengaturan
Kecepatan pada udara masuk ruang pembakaran dengan pengaturan valve yaitu dengan
variasi bukaan full, , , dan . Variasi beban pada motor bensin dimulai dari 200 sampai
2000 Watt dengan interval 200 Watt. Pengukuran dilakukan terhadap laju alir udara dan syn gas,
waktu konsumsi bahan bakar solar setiap interval 5ml, dan temperatur mesin.
Bahan baku cangkang kelapa sawit didapatkan dari PTPN 5. Sei. Galuh Kabupaten kampar
Riau, Cangkang kelapa sawit ini merupakan salah satu limbah perkebunan kelapa sawit yang
masih kurang pemanpaatannya. Hasil karakterisasi komposisi gas hasil gasifikasi Cangkang
kelapas sawit dan beberapa biomassa lainnya ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Gas hasil gasifikasi cangkang kelapa sawit dan beberapa biomassa
lainnya.[5]

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 227
Mendapatkan karakterisasi gasifikasi dilakukan pada reaktor gasifier type downdraft dengan
rangkaian perlatan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peralatan gasifikasi cangkang kelapa sawit.


Syn gas hasil gasifikasi selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dengan
sistem dual fuel, rangkaian percobannya ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peralatan karakterisasi unjuk kerja mesin sistem dual fuel


3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Karakterisasi unjuk kerja sistem dual fuel solar dan syn gas hasil gasifikasi biomassa yang
diaplikasikan pada motor diesel stasioner diuraikan sebagai berikut:

3.1. Daya Motor


Unit gen-set tersebut bekerja dengan menghasilkan tegangan listrik dimana putaran generator
harus dijaga konstan pada 1500 rpm untuk mendapatkan tegangan listrik tetap, sementara pada
saat beban listrik ditambah maka akan menyebabkan putaran generator yang diputar oleh
engine akan turun. Putaran tersebut diperoleh dengan melakukan kontrol pada jumlah bahan
bakar minyak solar yang diinjeksikan ke dalam ruang bakar melalui mekanisme pada Pompa
Injeksi minyak solar. Setiap penambahan beban listrik maka jumlah minyak solar yang
diinjeksikan ke dalam ruang bakar akan lebih banyak untuk menjaga putaran engine konstan.
Sementara untuk mekanisme pada dual-fuel, bahan bakar gas yang masuk dijaga konstan
sesuai dengan tekanan yang diatur melalui katup bukaan udara masuk ruang pembakaran,
sementara jumlah minyak solar diatur pada Pompa Injeksi untuk mendapatkan putaran yang
konstan pada 1500 rpm. Dapat dikatakan bahwa daya yang diperlukan akan naik dengan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 228
bertambahnya beban listrik yang diberikan sebagai kompensasi bertambah-nya bahan bakar
yang masuk ke ruang bakar, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3. Bahan bakar yang
bertambah banyak menyebabkan semakin banyak energi yang dapat dikonversi menjadi energi
panas dan mekanik dengan udara yang cukup. Energi menjadikan daya mesin semakin besar,
sesuai dengan beban yang diberikan kepada mesin.

Gambar 3. Daya motor fungsi beban listrik

Idealnya untuk putaran engine konstan daya akan sebanding dengan bertambahnya beban,
karena nilai putaran tidak berpengaruh pada perubahan nilai daya engine. Untuk beban 200
s.d. 800 Watt mengikuti idealnya kenaikan daya yang linier dengan kenaikan beban, sementara
untuk beban 1000 s.d. 2000 Watt terlihat adanya perubahan dan variasi nilai yang menyimpang
dari bentuk ideal meskipun secara umum dapat dikategorikan linier. Hal ini disebabkan apabila
dilihat dari hasil pengambilan data (seperti yang ditunjukkan pada lampiran 1) nilai dari Voltase
yang dibaca oleh alat ukur mengalami penurunan 3.5 s.d. 6 Volt mulai dari beban 1000 Watt.
Penulis menganalisa bahwa tidak terjadi permasalahan apapun pada engine yang
menyebabkan terjadinya variasi nilai tersebut. Kemungkinan permasalahan yang terjadi ada
pada sistem generator listrik, penurunan voltase tersebut terjadi pada beban 1000 s.d. 2000
Watt. Untuk daya pada sistem dual fuel lebih kecil rata-rata 0,28 HP dari pada daya sisten
single fuel dengan beban 1400 s/d 2000 Watt, hal ini dikarenakan pengaruh pemasukkan
syngas pada engine.

3.2. Torsi Motor


Grafik torsi engine fungsi beban listrik ini memiliki karakteristik yang sama dengan grafik daya
engine. Melalui persamaan berikut,

Gambar 4. Torsi motor fungsi beban listrik

dimana nilai torsi kemudian bergantung pada nilai daya (Ne) dan putaran mesin (n). Karena
dalam pengujian ini putaran mesin dijaga konstan, maka perubahan nilai torsi bergantung
variasi daya motor dan pada akhirnya bentuk grafik yang ditunjukkan sama dengan bentuk
grafik yang ditunjukkan oleh grafik daya fungsi beban listrik.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 229
Secara umum pengecilan katup bukaan udara masuk ke ruang bakar akan membuat torsi yang
dihasilkan oleh engine bervariasi terbukti bahwa pada saat bukaan udara masuk torsi yang
terjadi kecil dari bukaan penuh, dan juga kecil dari bukaan udara masuk ruang pembakaran,
karena bukaan bahan bakar yang masuk paling sedikit ke ruang bakar yang kemudian
diubah menjadi energi mekanik mengatasi beban pada poros engine.

Idealnya bentuk grafik torsi putaran konstan adalah bentuk linier dari torsi engine terhadap
pertambahan beban. Karena itu pada beban 200 s.d. 800 Watt pada gambar 4.2 menunjukkan
model yang demikian. Akan tetapi apabila kita tinjau pada beban 1000 s.d. 2000 Watt bentuk
garis-garis yang menghubungkan beberapa titik sesuai dengan variasi bukaan udara masuk
dan laju alir massa syngas membentuk hubungan yang tidak stabil dan ada perbedaan yang
sedikit lebih besar dari beban di bawahnya, hal ini disebabkan adanya perbedaan nilai voltase
yang dimulai dari beban 1000 Watt. Kemudian ketidakstabilan voltase listrik ini kemudian
mempengaruhi nilai daya engine yang dihasilkan oleh engine, dimana daya engine sebagai
variabel pembentuk nilai torsi mempengaruhi nilai torsi yang direpresentasikan melalui grafik
torsi fungsi beban listrik yang demikian. Torsi yang terjadi pada sistem dual fuel rata-rata lebih
kecil 5,6 s/d 8,5 kg.cm.

3.3.Tekanan efektif rata-rata (bmep)


Secara umum pengecilan bukaan jumlah syngas yang masuk ke ruang bakar akan membuat
bmep yang dihasilkan oleh engine semakin kecil terutama dari bukaan full sampai bukaan ,
namun dari bukaan kebukaan mengalami kenaikan. Proses pembakaran campuran udara-
bahan bakar menghasilkan tekanan yang bekerja pada piston untuk melakukan langkah kerja.

Grafik bmep terlihat mempunyai kecenderungan naik seiring dengan bertambahnya beban

Gambar 5. bmep fungsi beban listrik

Grafik bmep terlihat mempunyai kecenderungan naik seiring dengan bertambahnya beban,
dimana nilai bmep didapat melalui persamaan berikut,

dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa variabel yang mempengaruhi perubahan nilai bmep
dalam pengujian engine kali ini adalah daya engine (Ne), sementara variabel yang lain bernilai
konstan termasuk putaran engine (n).

Pengamatan yang lebih detail menunjukkan pada beban 200 s.d. 1200 Watt pada gambar 4.4
menunjukkan model yang demikian. Akan tetapi apabila kita tinjau pada beban 1400 s.d. 2000
Watt bentuk garis-garis yang menghubungkan beberapa titik sesuai dengan variasi bukaan
katup udara masuk ruang pembakaran membentuk hubungan yang kurang stabil dan ada
perbedaan yang sedikit lebih besar dari beban di bawahnya, hal ini disebabkan adanya
perbedaan nilai voltase yang dimulai dari beban 1400 Watt. Kemudian ketidakstabilan voltase
listrik ini kemudian mempengaruhi nilai daya engine yang dihasilkan oleh engine, dimana daya
engine sebagai variabel pembentuk nilai torsi mempengaruhi nilai torsi yang direpresentasikan
melalui grafik torsi fungsi beban listrik yang demikian.

Dalam keadaan ideal, bmep umumnya lebih besar dari tekanan atmosfer. Namun pada data
awal pengujian ini terlihat bahwa nilai bmep berada di bawah tekanan atmosfer. Hal ini

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 230
dimungkinkan karena tekanan yang ditampilkan adalah tekanan alat ukur, sehingga untuk
mendapatkan tekanan absolute harus ditambah dengan tekanan atmosfer. Selain hal tersebut
nilai bmep yang berada di bawah tekanan atmosfer yaitu pada bebab 200 sampai 400 Watt,
dimungkinkan karena generator tersebut dioperasikan di bawah kondisi operasi minimal yang
disyaratkan, akibatnya performa yang dihasilkan pada pembebanan awal tidak akan optimal.

3.4. Konsumsi bahan bakar spesifik (sfc)


Dari gambar terlihat pada bukaan adalah kondisi maksimum dengan nilai sfc dan persentase
penggantian minyak solar paling besar dimana engine tidak mati pada saat beban listrik nol dan
engine selalu dalam keadaan hidup dari beban nol sampai beban 2000 Watt.
Apabila diambil satu kondisi beban listrik maka akan terlihat pengecilan bukaan katup udara
masuk akan membuat besar sfc semakin kecil, hal ini terjadi dari bukaan penuh sampai bukaan
, tetapi dari ke bukaan mengalami kenaikan. Hal ini disebabkan aliran massa syngas
semakin besar. Apabila kita lihat pada beban listrik 200 Watt, maka besar sfc pada dual fuel
bukaan full sebesar 1,94 kg/hp.hour . dimana dalam hal ini massa bahan bakar selalu konstan
sementara waktu konsumsi bahan bakar semakin sedikit saat beban listrik ditambah. Demikian
pula saat penggunaan syngas dimana meskipun waktu yang diperlukan untuk konsumsi minyak
solar semakin lama.

Gambar 6. sfc campuran bensin dan syngas pada mode dual fuel fungsi beban listrik
Hal ini dapat kita pahami melalui persamaan sfc secara umum sebagai berikut :

dimana dalam hal ini massa bahan bakar selalu konstan sementara waktu konsumsi bahan
bakar semakin sedikit saat beban listrik ditambah. Demikian pula saat penggunaan syn gas
dimana meskipun waktu yang diperlukan untuk konsumsi bensin semakin lama, akan tetapi
saat settingan awal laju alir massa syn gas sudah sangat besar melebihi laju alir massa bensin
dan hal ini sangat terasa pada saat beban rendah.

Gambar 7. Persentase penggantian konsumsi bensin oleh syn gas

Melalui gambar 8 dapat dilihat jumlah persentase minyak solar yang digantikan oleh syngas
setiap penambahan syngas dan beban listrik dan variasi bukaan katup udara masuk ruang
pembakaran. Setiap pengecilan bukaan katup udara masuk ruang pembakaran , maka terjadi
kenaikan laju alir massa syngas yang masuk ke dalam ruang bakar. Setiap kenaikan laju alir
massa syngas, maka besarnya jumlah persentase minyak solar yang diinjeksikan ke dalam
ruang bakar untuk menjaga putaran engine konstan akan semakin turun. Sehingga jumlah

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 231
persentase minyak solar yang digantikan akan semakin besar. Saat beban listrik semakin
besar, jumlah minyak solar semakin banyak untuk menjaga putaran konstan sehingga
persentase pergantian semakin kecil. Pada grafik tersebut terlihat bahwa jumlah persentase
penggantian minyak solar yang terbesar terjadi pada bukaan katup udara masuk ruang
pembakaran yaitu memiliki persentase rata-rata 75,65%. Hal ini disebabkan syngas menjalani
perannya sebagai secondary fuel dengan baik, meskipun perannya tidak dapat menggantikan
minyak solar 100 %. Minyak solar dibutuhkan tidak hanya sebagai primary fuel/pilot fuel tetapi
juga sebagai pelumas pada bagian pompa bahan bakar minyak. Syngas memiliki kelebihan
untuk mencapai homogenitas campuran udara-bahan bakar, sehingga diharapkan periode
tunda (delay period) proses pembakaran dalam ruang bakar semakin pendek.

3.5. Effisiensi Thermal


Dari Gambar 9. terlihat bahwa efisiensi termal tertinggi ada pada penggunaan single fuel, dan
kemudian diikuti penurunan nilai efisiensi termal saat laju alir massa syn gas yang
direpresentasikan oleh besar tekanan syngas dilakukan penambahan. Hal ini disebabkan besar
energi input melalui bahan bakar yang masuk ke ruang bakar lebih besar pada dual fuel untuk
beban yang sama.

Gambar 8. Efisiensi termal campuran bensin dan syngas pada mode dual fuel

Dari gambar 9 terlihat bahwa efisiensi termal tertinggi ada pada penggunaan single fuel, dan
kemudian diikuti penurunan nilai efisiensi termal saat laju alir massa syngas yang
direpresentasikan oleh besar tekanan syngas akibat pengecilan bukaan katup udara masuk
ruang pembakaran. Hal ini disebabkan besar energi input melalui bahan bakar yang masuk ke
ruang bakar lebih besar pada dual-fuel untuk beban yang sama. Grafik juga menunjukkan
bahwa efisiensi termal maksimum untuk kondisi single-fuel dan kondisi dual-fuel berada pada
kisaran beban (80-90) % . Kemudian setelah itu efisiensi termal menurun karena jumlah energi
input yang masuk ke ruang bakar sudah terlalu besar atau campuran dalam ruang bakar kaya
akan bahan bakar. Melalui persamaan umum efisiensi termal,

Dapat dilihat bahwa ada hubungan antara sfc dengan nilai efisiensi termal yang dihasilkan.
Saat sfc turun hingga nilai terendah maka efisiensi termal naik hingga bernilai maksimum, yang
menggambarkan bahwa dengan naiknya efisiensi termal maka semakin banyak bahan bakar
yang dapat dikonversi selama proses pembakaran menjadi daya yang dikeluarkan melalui
poros engine. Saat nilai sfc naik kembali maka nilai efisiensi termal turun yang mengindikasikan
semakin banyak bahan bakar yang terbuang berasama gas sisa pembakaran karena tidak
dapat dikonversi menjadi daya engine pada saat proses pembakaran berlangsung di ruang
bakar.

Pada penggunaan sistem dual-fuel nilai efisiensi termal secara umum mengalami penurunan
dengan penambahan laju alir massa syngas. Hal ini disebabkan bahwa melalui persamaan,

Dapat dilihat bahwa faktor yang membuat nilai efisiensi termal semakin turun adalah lebih
disebabkan laju alir massa syngas semakin besar besar, dan nilai ini mempengaruhi nilai sfc-
nya yang menjadi sangat besar. Sehingga dibandingkan dengan sistem single-fuel dimana nilai

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 232
sfc-nya jauh lebih kecil maka efisiensi termal-nya menjadi rendah seiring dengan bertambahnya
laju alir massa syngas. Kemudian lagi disebabkan bahwa peran minyak solar sebagai pilot fuel
sangat besar, dan ketika minyak solar semakin banyak maka semakin banyak juga jumlah
syngas yang ikut terbakar sampai batas maksimumnya pada beban 80 s.d. 90%.

3.6. Analisis Rasio Udara - Bahan Bakar


Gambar 10 menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara AFR single-fuel dengan dual-
fuel. Hal ini disebabkan jumlah bahan bakar yang masuk dalam sistem dual-fuel jauh lebih
besar yang disebabkan besarnya laju alir massa syngas akibat pencampuran pada venture dan
variasi bukaan udara masuk yang semakin kecil, meskipun dengan penambahan syngas laju
alir massa minyak solar berkurang. Sementara engine diesel yang digunakan adalah naturally
aspirated yang otomatis dengan bertambahnya laju alir massa syngas akibat pengecilan katup
udara masuk ruang pembakaran akan mengurangi laju alir massa udara yang masuk melalui
intake manifold.
.

Gambar 9. Rasio udara-bahan bakar (AFR) fungsi beban listrik

Disebutkan bahwa idealnya AFR berada dalam kisaran , sementara yang


memenuhi syarat AFR tersebut adalah kondisi single fuel antara beban 0 s.d. 2000 Watt. Untuk
seluruh variasi bukaan katup udara masuk yang diujikan pada dual fuel tidak satupun yang
memenuhi syarat AFR ideal. Disimpulkan bahwa untuk variasi AFR dengan menggunakan
naturally aspirated diesel engine tidak sesuai digunakan dual fuel system dengan variasi
bukaan katup udara masuk.

3.7. Analisis Temperatur Gas Buang, Oli Pelumas, Cilinder Blok, dan Cairan Pendingin
Gambar 11 menunjukkan pengaruh laju alir massa syngas terhadap temperatur gas buang
setiap kenaikan beban listrik. Dalam grafik digambarkan bahwa adanya peningkatan temperatur
gas buang terhadap kenaikan beban, yang disebabkan bertambahnya jumlah energi input ke
dalam ruang bakar untuk memberikan daya engine terhadap kenaikan beban istrik.

Gambar 10. Temperatur gas buang fungsi beban listrik

Selain itu grafik juga menunjukkan kenaikan nilai temperatur gas buang setiap kenaikan laju alir
massa syngas (syngas massflowrate), dan tentunya yang menyebabkan hal ini adalah jumlah
energi input ke ruang bakar bertambah besar. Temperatur gas buang pada dual fuel bukaan
udara masuk ruang pembakaran lebih tinggi dari pada saat engine menggunakan bahan bakar
tunggal (single fuel) begitu juga untuk sistem dual fuel lainnya.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 233
Data yang diambil untuk temperatur gas buang didukung dengan data yang diambil untuk oli
pelumas engine (engine lube oil) di bawah ini.

Gambar 11. Temperatur oli pelumas fungsi beban listrik

Hanya saja melalui grafik yang ditampilkan pada gambar ini relatif linier, dan perubahan
temperature tidak besar, baik sistem single fuel maupun dual fuel. Hal ini disebabkan karena
sistem pendinginan engine yang menggunakan water cooled yang teratur dan lancar. Termasuk
di dalamnya oli engine didinginkan oleh cairan pendingin melalui mekanisme heat exchanger.
Selain itu sebagian panas bisa saja terbuang ke lingkungan sekitar dengan cara konduksi,
konveksi dan radiasi. Tapi secara umum bahwa kenaikan laju alir massa syngas tidak terlalu
berpengaruh terhadap temperatur oli pelumas engine walaupun kenaikan beban listrik tidak
menyebabkan kenaikan temperatur oli pelumas engine yang signifikan. Data yang diambil untuk
temperatur oli pelumas hampir sama dengan data yang diambil untuk cylinder block engine di
bawah ini yaitu tidak mengalami kenaikan termperatur yang signifikan dari variasi beban listrik
dari nol sampai 2000 Watt, namun sistem dual fuel lebih panas dari single fuel, hal ini
disebabkan oleh aliran syn gas yang menyebabkan mesin agak lebih panas pada saat
beroperasi.

Gambar 12. Grafik temperature cylinder block fungsi beban listrik

4. Kesimpulan
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah peningkatan efisiensi volumetrik
masimkum 235,99 % dengan pemakaian Mixer yang dilengkapi dengan Mixing Jet, penurunan
pemakaian minyak solar rata-rata sebesar 75,56% pada bukaan udara masuk (air intake)
dengan penambahan syn-gas massflowrate menyebabkan peningkatan spesific fuel
consumption (sfc), penurunan efisiensi termal serta kenaikkan temperatur gas buang,
o
kenaikan maksimum terjadi pada beban 1302,64 (VA) sebesar 362 C pada bukaan katup
udara masuk ruang pembakaran

References

BP Statistical Review of World Energy 2011


http://regionalinvestment.com/newsipid/id/commodity.php?ic=2

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 234
Statistik Perkebunan Indonesia 2009-2011, diakses 21/11/2011
http://www.metrotvnews.com/metromain/newsvideo/2011/02/14/122461/
Cadangan-Minyak-Bumi-Indonesia-Tinggal-12-Tahun/23,diakses 29/11/2011
Napitupulu H Farel. Analisis Nilai Kalor Bahan Bakar Serabut dan Cangkang Sebagai Bahan
Bakar Ketel Uap di Pabrik Kelapa Sawit, Jurnal Ilmiah SAINTEK, Vol. 23 No. 1, 2006
http://esptk.fti.itb.ac.id/herri/index.html
Gas hasil sebagai umpan motor, diakses 22/11/2011
Asst.Prof. Suppawit Lawanaskol, Dual Fuel Gasifier-Engine For 10 kWe Power Generation,
Rajamangala University of Technology Thanyaburi, Pathum Thani.1997
Sudarmanta B, Dirgantara W. Aplikasi Sistem Dual-Fuel Bensin dan Syn-Gas Hasil Gasifikasi
Biomassa Pada Motor Bensin Stasioner Untuk Pembangkit Listrik. Makalah Seminar
Nasional. 2011
Sudarmanta B, Prabowo, Kadarisman. The Performance of Fossil Diesel Syn-gas Dual-Fuel
Compression Ignition Engine For 3kW Power Generation. Jurnal Industri. Oktober 2010
rd
Mathur, M.L. Sharma, R.P., A Course in Internal Combustion Engine 3 edition, Dhanpat Rai &
Sons, Nai Sarak, Delhi, 1980
www.energyefficiencyasia.org, diakses 20/11/2011
John, B. Heywood, Internal Combustion Engine, Mc GrawHill, London, 1988
Sauliar Jefri Novrezeki, Sudarmata B. Desain Mekanisme Sistem Dual-Fuel dan Uji Unjuk Kerja
Motor Stasioner Menggunakan Gas Hasil Gasifikasi dan Minyak Solar. Tugas Akhir
Mahasiswa. Surabaya. 2010
N. Tippawong, A. Promwungkwa, P. Rerkkriangkrai, Long-term Operation of A Small
Biogas/Diesel Dual-Fuel Engine for On-Farm Electricity Generation, Chiang Mai
University, Thailand,2006
Tirtoatmodjo Rahardjo, Willyanto. Peningkatan Unjuk Kerja Motor Diesel dengan Penambahan
Pemanasan Solar. Jurnal Teknik Mesin Vol. 01 No. 02. Univesitas Kristen Petra.
Surabaya. 1999
Sitorus Tulus Burhanuddin. Tinjauan Pengembangan Bahan Bakar Gas Sebagai Bahan Bakar
Alternatif. Jurnal Ilmiah. USU digital Library. Medan. 2002
th
Robert W. Fox, Alan T. McDonald, Philip J.Pritchard, Introduction to Fluid Mechanics 6 edition,
John Wiley & Sons, Denver, 2003
th
Frank P. Incropera, David P. Dewitt, Fundamentals of Heat and Mass Transfer 4 edition , John
Wiley & Sons, USA, 1996
Anil K. Rajvanshi, Biomass Gasification, Nimbkar Agricultural Research Institute, Maharashtra,
India, 1986
Thomas B. Reed, Agua Das, Handbook of Biomass Downdraft Gasifier Engine Systems, Solar
Energy Research Institute, Colorado, 1988

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 235
PERANCANGAN STRATEGI KENDALI FGS-PID UNTUK MENINGKATKAN
PERFORMANSI MANUVER AUTOPILOT KAPAL PERANG
*1 2 1
Aulia Siti AISJAH. , Agoes Achmad MASROERI , Mochamad Yusuf SANTOSO , Ruri
1 1
Agung WAHYUONO , dan IRWANSYAH
1
Department of Engineering Physics, Faculty of Industrial Technology, ITS-Surabaya
2
Department of Naval Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya
*E-mail: auliasa@ep.its.ac.id

Abstract

Autopilot is designed to help improve efficiency in fuel consumption and reduce wear on components. Most of ship
autopilot, comprise warship, use classic control scheme, i.e. PID controller. However, in many boats, PID parameter
setting is done manually, which becomes an additional burden on the crew and does not guarantee optimal performance
of the controller at each operating condition. This paper presents design of Fuzzy Gain Scheduling-PID (FGS-PID) for
warship model. Input variables of controller are error yaw and yawrate and outputs are PID gains. It was resulted that
FGS-PID has better performance than conventional PID.

Keywords: autopilot, fuzzy gain scheduling, pid, warship

1. Pendahuluan
Ketika kapal berlayar di laut, termasuk kapal perang, sistem autopilot biasanya digunakan pada
navigasi kapal agar sesuai perintah dengan cara mengubah defleksi dari rudder secara
otomatis. Permasalahan pada manuver kapal yaitu aksi dari rudder yang berhubungan dengan
besarnya massa kapal relatif terhadap ukuran dari rudder, yang harus berdefleksi secara
signifikan untuk menyesuaikan perubahan heading kapal(Fossen, T.I., 1994).

Autopilot dirancang untuk meningkatkan efisiensi dari pemakaian bahan bakar dan mengurangi
kerusakan komponen (Witkowska, A., et al., 2008).Autopilot pada kapal umumnya
menggunakan sistem kendali klasik, seperti kendali Proportional Integral Derivative (PID).
Namun, untuk mengatasi gangguan, seperti angin dan arus yang bekerja pada kapal, seperti
halnya karakteristik dinamik nonlinier, dibutuhkan penentuan permanen dari parameter dari PID.

Kendali PID, ketika parameternya diatur, maka akan bekerja baik, tetapi untuk variasi yang kecil
pada kondisi operasi. Dinamika kapal berubah secara konstan bergantung pada beberapa
alasan, seperti kecepatan, keseimbangan, beban, angin, arus, kedalaman, dll, membutuhkan
pengaturan berlanjut dari parameter kendali PID. Pada sebagian besar kapal, pengaturan
parameter dilakukan secara manual, yang akan menjadi beban tambahan bagi kru, dan tidak
menjamin performansi optimal dari pengendali pada setiap kondisi operasi(Fossen,
2002)(Witkowska, A., et al., 2007).

Untuk meningkatkan performansi dari autopilot kapal, beberapa penelitian telah dikembangkan,
diantaranya menggunakan logika fuzzy(Vukic, et al., 2010). Metodologi yang digunakan pada
rancangan kali ini akan menggabungkan kendali konvensional PID dan Fuzzy Gain Scheduling
(FGS) yang diterapkan pada desain baru kapal perang. FGS akan melakukan penentuan
(tuning) parameter dari kendali PID secara otomatis pada berbagai kondisi operasi kapal.
Sehingga diharapkan akan meningkatkan performansi dari kapal dan mengurangi beban dari
kru.

2. Dinamika Kapal Perang


Secara umum, ada enam macam gerakan yang dialami sebuah kapal ketika melaju di lautan,
yaitu yaw, heave, surge, sway, roll, dan pitch. Gerakan-gerakan ini disebut juga 6 Degree of
Freedom (6DOF) yang akan dijelaskan melalui Tabel 1 dan Gambar 1.

Bentuk umum persamaan manuver kapal dinyatakan dalam bentuk :


(1)
T
dengan = [u, v, r] merupakan vektor kecepatan. M dan D merupakan matrik inersia dan
redaman yang diperoleh dari linierisasi persamaan gaya dan momen pada arah surge, sway

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 236
dan yaw.

Tabel 1. Derajat Kebebasan Kapal.

Gaya Kec. Linier Posisi dan


DOF Gerakan
Dan Momen dan Angular Sudut Euler

1 Gerak pada arah-x (surge) X u x

2 Gerak pada arah-y (sway) Y v y

3 Gerak pada arah-z (heave) Z w z

4 Rotasi pada sumbu-x (roll) K q

5 Rotasi pada sumbu-y (pitch) M p

6 Rotasi pada sumbu-z (yaw) N r

Gambar 1.Derajat Kebebasan Kapal(Prananda, 2012)

Model dinamika kapal didapatkan dari pendekatan fungsi transfer dari model Nomoto orde dua:
r s K R 1 T3 s

R s 1 T1 s 1 T2 s (2)
Dengan r adalah yaw rate, untuk = r dan adalah sudut heading kapal, maka diperoleh:
s K R 1 T3 s

R s s1 T1 s 1 T2 s (3)
Parameter parameter dari fungsi transfer diatas diperoleh dari :
det M
T1T2
det N
(4)

n m n22 m11 n12 m21 n21m12


T1 T2 11 22 (5)
det( N )
n21b1 n11b2
KR (6)
det( N )

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 237
m21b1 m11b2
K RT3
det( N ) (7)
Untuk elemen mij, nij dan bi ( i = 1,2 dan j = 1,2) didapatkan dari matriks di bawah ini:
m Yv mxG Yr
M
mxG N v I z N r (8)
Y mu0 Yr
N (u0 )
N mxG u0 N r (9)
Dengan Yv = turunan gaya arah sway terhadap v , Yr = turunan gaya yaw terhadap r , N r =
turunan momen yaw terhadap r , Yv = turunan gaya arah sway terhadap v, Yr = turunan gaya
arah yaw terhadap r, Nv = turunan momen sway terhadap v, N v = turunan momen sway
terhadap v , N r = turunan momen yaw terhadap r. Parameter dalam penentuan gain kendali
yang diturunkan Nomoto berdasarkan linierisasi dari model Davidson dan Schiff (1946) sebagai
berikut:
n21b2 n11b1
K
det(N)
(10)
Dengan:
det (N) = Yv N r mxG u N v Yr mu
det (M)= m Yv I z N r mxG N v mxG Yr
dan n11= Yv , n21= Nv
I z N r Y mxG Yr N
b1
det M
m Yv N mxG N v Y
b2
det M
Pendekatan slenderbody strip turunan koefisien hidrodinamika dapat dinyatakan sebagai fungsi
rasio panjang terhadap lebar dari kapal dikalikan dengan konstanta tertentu.Koefisien
hidrodinamika pada persamaan ini merupakan bentuk non dimensi yang diturunkan dengan
2 2
sistem PrimeI. Untuk memperoleh besaran gaya dikalikan dengan U L dan momen
2 3 3
dikalikan dengan U L . Dimana = rapat massa air laut (1014 kg/m ), L = panjang kapal,
U = kecepatan servis kapal, B = lebar kapal, T = kedalaman kapal, CB= koefisien blok.
Sehingga diperoleh:
Yv
2
C B B
1 0.16 B 5.1 (11)
(T / L) 2
T L
Yr
2
B B
0.67 0.0033
(T / L) 2
L T (12)
N v B B
1.1 0.041 (13)
(T / L) 2
L T
N r 1 C B B
0.017 B 0.33
(T / L) 2
12 T L (14)
Yv C B
1 0.4 B (15)
(T / L) 2
T

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 238
Yr 1 B B
2.2 0.08 (16)
(T / L) 2
2 L T
N v 1 T
2.4 (17)
(T / L) 2
2 L
N r 1 B B
0.039 0.56 (18)
(T / L) 2
4 T L

Model dari kapal yang digunakan pada rancangan kali ini memiliki spesifikasi yang ditunjukkan
pada tebel 2.

Tabel 2. Spesifikasi rancangan kapal perang


Parameter Nilai
LENGTH O. A 106 M
LENGTH B. P. 101.07 M
BREADTH MLD 14 M
DEPTH MLD 8.75 M
DRAFT DESIGN 3.7 M
2
WSA 1370 M
Displ. 2423 tonnes

Dengan menggunakan persamaan Nomoto, persamaan (2), maka diperoleh fungsi transfer
orde 3 (heading/yaw terhadap sudut rudder) yang ditunjukkan pada persamaan (16).
s 1715.3329 s 502.3033

R s 9.5323s 3 4.7013s 2 s (19)

3. Sistem Pengendalian FGS-PID


Peneliti (Zhao, et al., 1993) telah mengembangkan metode FuzzyGainScheduling untuk
menentukan nilai parameter kendali pada pengendali PID. Pada metode FGS ini akan
dirancang tiga buah sistem fuzzy, yang digunakan untuk menentukan paramater kendali.
Pertama, fuzzy Kp yang akan digunakan untuk menentukan parameter Kp, ke-dua yaitu Fuzzy
Kd yang digunakan untuk menentukan parameter Kd, dan yang terakhir adalah Fuzzy Alfa ()
yang digunakan untuk menentukan parameter Ki. Masukan dari ketiga sistem fuzzy tersebut
adalah error dan delta error , dalam kasus ini yang digunakan sebagai masukan adalah error
yaw dan yawrate.

Gambar 2. Fungsi keanggotaan error yaw dan yawrate

Fungsi keanggotaan dari masukan, error yaw dan yawrate, berupa fungsi segitiga yang memiliki
tujuh fungsi keanggotaan, yaitu N merepresentasikan negative, P positive, ZO approximately
zero, S small, M medium, B big. Maka NM menyatakan Negative Medium, PB untuk Positive
Big, dan seterusnya. Gambar 2 menunjukkan fungsi keanggotaan dari himpunan fuzzyerror yaw
dan yawrate.

Himpunan fuzzy Kp dan Kd memiliki dua fungsi keanggotaan yaitu Big (besar) dan Small

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 239
(kecil) yang didefinisikan sebagai berikut:

Gambar 3 menunjukkan fungsi keanggotaan himpunan fuzzy Kp dan Kd.

Gambar 3.Fungsi keanggotaan Kp dan Kd

Rule base yang digunakan untuk menentukan nilai dari Kp ditunjukkan pada tabel 3
sedangkan untuk Kd ditunjukkan pada tabel 4.

Tabel 3. Rule base Kp


Yawrate
NB NM NS ZO PS PM PB
NB B B B B B B B
NM S B B B B B S
NS S S B B B S S
Error yaw ZO S S S B S S S
PS S S B B B S S
PM S B B B B B S
PB B B B B B B B

Tabel 4. Rule base Kd


Yawrate
NB NM NS ZO PS PM PB
NB S S S S S S S
NM B B S S S B B
NS B B B S B B B
Error yaw ZO B B B B B B B
PS B B B S B B B
PM B B S S S B B
PB S S S S S S S

Untuk himpunan fuzzy, fungsi keanggotaannya berupa singleton membership function yang
terdiri dari S: Small, MS: Medium Small, M: Medium, dan B: Big. Gambar 4 menunjukkan fungsi
keanggotaan himpunan fuzzy. Sedangkan tabel 5 menunjukkan rule base yang digunakan
untuk menentukan nilai .

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 240
Gambar 4. Fungsi keanggotaan singleton

Tabel 5. Rule base


Yaw rate
NB NM NS ZO PS PM PB
NB S S S S S S S
NM MS MS S S S MS MS
NS M MS MS S MS MS M
Error yaw ZO B M MS MS MS M B
PS M MS MS S MS MS M
PM MS MS S S S MS MS
PB S S S S S S S

Setelah penentuan nilai Kp, Kd, dan , proses selanjutnya adalah menghitung nilai parameter
kendali Kp, Kd, dan Ki berdasarkan persamaan berikut:

Berdasarkan studi simulasi ekstensive yang dilakukan oleh (Zhao, et al., 1993), aturan yang
digunakan untuk menentikan range dari Kp dan Kd adalah sebagai berikut:
,
,
Dimana nilai Ku dan Tu didapatkan ketika terjadi respon isolasi pada saat pemeberian nilai gain
P.

4. Penerapan FGS-PID padaModel Kapal Perang


Penerapan sistem kendali FGS-PID dilakukan dengan simulasi berdasar model kapal (pers.
(16)) dan menggunakan model rudder dengan pendekatan fungsi transfer sebagai berikut:

Gambar 5. Blok Simulink simulasi maneuver kapal menggunakan FGS-PID

Dengan menggunakan analisa kestabilan Routh, didapatkan nilai gain kritis (K cr) dan periode
kritis (Pcr) berturut-turut adalah 0.6598 dan 17.7, sehingga nilai range dari Kp dan Kd adalah
sebagai berikut:

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 241
,
,
Blok simulasi pengendalian maneuver kapal pada Matlab Simulink ditunjukkan pada gambar 5.
Sedangkan grafik hasil simulasi pengendalian kapal dengan FGS-PID controller, ditunjukkan
pada gambar 6. Berdasarkan gambar tersebut, didapatkan bahwa maximum overshoot dari
pengendali tersebut sebesar 19.63% dan time settling sekitar 102.6 detik.

40
FGS-PID
35 setpoint

30

25
output

20

15

10

0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200
time

Gambar 6. Grafik respon pengendali FGS-PID pada rancangan kapal

Perbandingan grafik respon hasil simulasi maneuver kapal desain baru menggunakan
pengendali FGS-PID dengan pengendali PID ditunjukkan pada gambar 7.
50

40

30
output

20

setpoint
10 FGS-PID
PID
0
0 50 100 150 200 250 300
time
Gambar 7. Grafik perbandingan respon pengendali FGS-PID dengan PID konvensional pada
rancangan kapal

Berdasarkan grafik 7, dapat ditunjukkan bahwa FGS-PID dapat menghasilkan respon yang
lebih baik daripada PID konvensional. Hal ini ditunjukkan dari besarnya maximum overshoot
(Mp), yaitu PID konvensional menghasilkan MP lebih besar dari FGS-PID. Hasil yang sama
juga ditunjukkan dari hasil tracking set-point pada gambar 8. Pengendali FGS-PID dapat
memberikan performansi yang lebih baik dari pengendali PID konvensional.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 242
100

90

80

70

60
output

50

40

30

20 setpoint
FGS-PID
10 PID

0
0 50 100 150 200 250 300
time

Gambar 8 Grafik respon tracking set-point

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemodelan dinamik kapal dan simulasi, didapatkan kesimpulan bahwa
pengendali FGS-PID dapat diterapkan pada model kapal perang. FGS-PID dapat memberikan
performansi pengendalian yang lebih baik dari pengendali PID konvensional. Studi berikutnya
yang bisa dilakukan dari penelitian ini adalah merancang kendali FGS-PID untuk model kapal
yang non-linier yang memperhatikan faktor gangguan.

Reference

Fossen T.I. Marine Control Systems. Guidance, Navigation, and Control of Ships, Rigs and
Underwater Vehicles [Buku]. - Trondheim, Norway : Marine Cybernetics, 2002.
Fossen, T.I. Guidance and Control of Ocean Vehicles [Buku]. - Chichester : John Wiley & Sons,
1994.
Prananda Juniarko PERANCANGAN SISTEM KENDALI CERDAS KAPAL PERANG KAWAL
RUDAL KRI DIPONEGORO KELAS SIGMA UNTUK MENINGKATKAN
MANUERVER ABILITY MENGGUNAKAN METODE FUZZY [Laporan]. - Surabaya :
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, 2012.
Vukic Zoran, Omerdic Edin dan Kuljaca Ljubomir FUZZY AUTOPILOT FOR SHIPS
EXPERIENCING SHALLOW WATER EFFECT IN MANOEUVERING [Laporan]. -
Zagreb, Croatia : University of Zagreb, 2010.
Witkowska, A. dan Smierzchalski, R. Nonlinear Bacsteeping Ship Course Controller [Jurnal] //
R&RATA, vol, 1, No. 2, pp. - 2008. - hal. 147-155.
Witkowska, A., Tomera, M. dan Smierzchalski, R. A Bacsteeping Approach to Ship Course
Control [Jurnal] // Int. Journal Appl. Math. Comput. Sci., Vol. 17, No. 1. - 2007. - hal. 73
85.
Zhao Zhen-Yu, Tomizuka Masayoshi dan Isaka Satoru Fuzzy Gain Scheduling of PID Controller
[Jurnal] // IEEE TRANSACTIONS ON SYSTEMS, MAN, AND CYBERNETICS. -
October 1993. - 5 : Vol. 23. - hal. 1392-1398.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 243
ANALISA KELELAHAN FREE SPAN PADA JALUR PIPA GAS BAWAH LAUT DENGAN
BANTUAN METODE ELEMEN HINGGA: STUDI KASUS PADA EAST JAVA GAS
PIPELINE
1 1 1
Dwi PRIYANTA* , Irfan SYARIF ARIEF and Dharma GITA SURYA PRAYOGA
1
Department of Marine Enginering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: priyanta@its.ac.id

Abstract

Pipeline is the one of gas transportation mode which is frequently used in the world. There are two kinds of pipeline,
onshore pipeline and offshore pipeline. On this case, analysis is calculated on pipeline which is gotten on free span
condition. Stress is the one of fatigue pipeline causes. Calculation method to determine fatigue on pipeline based on
standard code Det Norske Veritas (DNV). Fatigue analysis can be determined by knowing load and stress on pipeline.
Based on those fatigue value, it can be estimated remaining life time on pipeline caused by continued stress on a
certain period. Modelling will be used to determine the stress value caused by shear stress and to determine the
distribution stress on free span. Moreover, to get the result from this modelling by using finite element method
approaching. This value will be compared by yield stress as acceptance criteria on fatigue pipeline. By using calculation
or by modelling, both of them have the exceeding result from acceptance criteria. These models are expected can be
reviewed by company to mitigate the risk.
Keywords: Offshore pipeline, free span, fatigue analysis, remaining life time, finite element method.

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, diantaranya
adalah minyak bumi dan gas alam. Indonesia baru saja menemukan cadangan minyak dan
gas bumi yang diperkirakan lebih besar daripada cadangan minyak dan gas bumi yang
berada di Arab Saudi. Sebelum adanya penemuan tersebut, Indonesia selama ini telah
memproduksi lebih dari 80 persen minyak bumi di Asia Tenggara dan lebih dari 35 persen
total gas (liquified gas) di seluruh dunia.

Untuk metode pengangkutan gas bumi, pada umumnya juga menggunakan sistem perpipaan
yang dalam bentuk cair diangkut dengan menggunakan kapal tanker. Oleh karena gas bumi
ditambang dalam bentuk gas, gas bumi akan lebih sulit untuk ditransportasikan ke tempat
pengolahan gas jika dibandingkan dengan mentransportasikan minyak bumi dan batu bara.
Pendistribusian gas yang berasal dari ladang gas dengan menggunakan sistem perpipaan,
membutuhkan biaya yang cukup mahal terutama jika melalui jarak yang cukup jauh.
Pendistribusian dengan menggunakan sistem perpipaan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu
bisa melalui darat (onshore pipeline) dan juga melalui laut (offshore pipeline).

Jalur pipa offshore akan memiliki sejumlah geo-hazards yang akan berdampak pada
kerusakan pipa bawah laut. Geo-hazards sendiri merupakan suatu ancaman atau bahaya
yang ditimbulkan oleh proses alami atau hasil dari proses alam yang nantinya berpotensi
menimbulkan bencana. Beberapa geo-hazards yang mungkin terjadi pada pipa bawah laut
diantaranya patahan dasar laut (submarine faults), pergerakan tanah (submarine landslides),
erosi sedimen dasar laut (seabed scour), serta likuifaksi tanah akibat gempa bumi maupun
akibat gelombang laut (soil liquefaction). Dari beberapa geo-hazards tersebut akan
memberikan dampak pada pipa salah satunya yaitu Free span.

Free span sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang dialami oleh pipa dimana terjadi
adanya suatu bentangan (gap) terhadap dasar laut (seabed). Free span sangat beresiko dan
memiliki tingkat ancaman yang cukup tinggi pada konstruksi pipa bawah laut. Kondisi ini
harus mendapat perhatian khusus dalam proses desain awal pipa bawah laut. Adanya free
span dapat menimbulkan terjadinya bending sebagai akibat dari beban statis yang terjadi
pada pipa. Sedangkan adanya getaran/osilasi pada pipa yang dapat menimbulkan terjadin ya
fenomena vortex shedding diakibatkan oleh beban dinamis pada pipa. Oleh karena itu, untuk
menganalisa panjang jalur pipa maksimum yang mengalami free span, harus dilakukan dalam
dua macam kondisi yaitu kondisi statis dan kondisi dinamis.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 244
2. Analisa FREE SPAN
Free span merupakan suatu kondisi dimana jalur pipa terdapat suatu bentangan (gap) dengan
dasar laut (seabed) yang nantinya memiliki potensi bahaya baik itu untuk pipa tersebut
maupun kondisi instalasi bawah laut yang mendukungnya. Free span dapat terjadi
dikarenakan permukaan dasar laut yang tidak merata, perubahan topologi dasar laut mulai
dari erosi dasar laut sampai pergerakan arus tanah dasar laut. Terjadinya free span ini
merupakan suatu kerugian serta menimbulkan ancaman bagi jalur pipa itu sen diri. Ancaman
dan bahaya itu diantaranya adalah terganggunya stabilitas pada jalur pipa yang dalam jangka
panjang dapat menyebabkan pipa mengalami stress dan terjadi bending.

Dalam penulisan tugas akhir ini, analisa kelelahan pada free span merupakan tujuan akhir
makalah ini berdasarkan kondisi stress pada pipa. Sebelum melakukan analisa kelelahan
pada free span, dilakukan terlebih dahulu beberapa analisa kondisi pada free span itu sendiri.
Hal ini mengacu pada standar DNV RP F-105 yaitu yang mengatur tentang free span. Analisa
kelelahan pada free span dimulai dengan langkah berikut ini.

2.1. Screening Kriteria Free Span


Kriteria screening awal pada free span dilakukan dengan cara menentukan terlebih dahulu
kriteria panjang free span dibagi dengan diameter pipa (L/D) harus lebih besar dari 30 untuk
menentukan perlu atau tidaknya dilakukan analisa fatigue. Seperti yang telah diatur pada
DNV RP F-105, apabila nilai L/D lebih dari 30 maka pipa akan memberikan respon
bermacam-macam yang berpotensi memberikan dampak fatigue pada pipa yang mengalami
free span itu sendiri.

2.2. Kelelahan Pada Struktur


Kelelahan atau yang biasa disebut dengan fatigue dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pembebanan yang terjadi secara berulang-ulang dan terus terjadi secara fluktuatif yang
nantinya dapat menyebabkan terjadinya crack atau patahan. Sehingga, dari penjelasan diatas
dapat diketahui bahwa akan butuh lebih dari sekedar perhitungan statis untuk tingkat stress
yang diijinkan. Hal ini dikarenakan, struktur juga akan mengalami pembebanan yang
disebabkan oleh faktor luar dari struktur itu sendiri, dalam hal ini pipa bawah laut, yang dapat
dikatakan sebagai stress akibat adanya kondisi dinamis pada pipa. Tingkat pertumbuhan dan
peningkatan dari kelelahan pada pipa bergantung pada banyaknya siklus beban yang
membebani pipa tersebut, baik itu cepat maupun lambat.

Dalam melakukan analisa kelelahan pada sebuah struktur (pipa), data yang akan didapatkan
untuk dilakukan analisa nantinya biasanya akan direpresentasikan ke dalam kurva S-N
dimana kurva S menunjukkan daerah Stress yang diplotkan pada sumbu y dan N
menunjukkan jumlah terjadinya kegagalan (pada skala logaritmik) yang diplotkan pada sumbu
x. Jika dipresentasikan, kurva S-N ini dapat membuktikan hingga akurasi 97,7% mengenai
probabilitas kekuatan dari suatu struktur (pipa)

2.2. Analisa Kelelahan Pada Free Span


Analisa kelelahan pada free span, sangat bergantung pada panjang maximum allowable yang
diijinkan. Dengan tinjauan tersebut, analisa kondisi pipa yang mengalami free span dapat
dilakukan analisa berdasarkan kondisi pipa dengan mendapat perlakuan statis maupun
dengan perlakuan dinamis. Kriteria perlakuan pipa dengan kondisi statis dapat terjadi akibat
adanya berat statis pada pipa, adanya low depression yang terjadi di sekitar pipa, dan adanya
elevated obstruction yang harus dilalui pipa. Sedangkan untuk kriteria perlakuan pipa dengan
kondisi dinamik akibat adanya aliran fluida yang melewati free span sehingga akan
mengubah gaya gaya yang ada pada free span. Hal ini disebabkan adanya aliran fluida yang
terus bergejolak (unsteady flow) dan menimbulkan adanya vortex.

2.2.1. Analisa statis karena adanya bending moment


Kondisi free span statis dapat ditentukan perhitungannya dengan menentukan allowable
bending stress dari span. Penentuan allowable bending stress ini akan berdasarkan gaya
axial yang terjadi pada pipa. Perhitungan gaya axial pada pipa akan bergantung pada SMYS
(Specified Minimum Yield Strength) dan Design Factor.
Penentuan panjang maximum allowable free span akan bergantung juga pada berat pipa

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 245
yang tercelup (submerged weight). Nilai dari submerged weight dapat ditentukan dengan
persamaan berikut ini,

Ws = x (OD2) x 62.4 lb/ft3 (1)


Dari persamaan yang didapat diatas, maka dapat ditentukan panjang free span maksimum
akibat adanya bending moment dengan kondisi free span yang rigid pada masing masing
ujungnya adalah ditentukan sebagai berikut
(2)

2.2.2. Analisa statis karena adanya low depression


Analisa kondisi statis pada kondisi ini dikarenakan adanya penurunan permukaan dasar laut.
Kegagalan pipa akibat adanya low depression ini dikarenakan berat pipa itu sendiri dan juga
karena material pengisi yang melewati pipa tersebut. Untuk menentukan panjang maksimum
span akibat adanya low depression ini, bergantung pada 3 fungsi yang mengenai span
tersebut yaitu characteristic length (Lc), characteristic stress (c), dan dimensionless tension
(). Hubungan ketiga fungsi tersebut ditunjukkan seperti Error! Reference source not found.
dibawah ini.

Gambar 1. Grafik hubungan antara Lc, c dan

2.2.3. Analisa statis karena adanya elevated obstruction


Kondisi seabed yang tidak rata memungkinkan adanya suatu halangan atau suatu kondisi
yang membuat beberapa bagian dari pipa terangkat atau yang juga disebut Elevated
Obstruction. Untuk menentukan panjang maksimum span dengan kondisi statis ini akan
bergantung pada beberapa fungsi yaitu diantaranya adalah elevation (), characteristic length
(Lc), characteristic stress (c), dimensionless tension (). Hubungan antar fungsi tersebut
dapat ditunjukkan seperti Error! Reference source not found. dibawah ini

Gambar 2. Kurva hubungan antara dimensionless elevation dengan maximum dimensionless


stress

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 246
2.2.4. Analisa free span kondisi dinamis
Kelelahan pada free span (fatigue) salah satunya disebabkan oleh adanya beban dari
lingkungan terutama gelombang dan arus laut. Adanya pembebanan pada pipa ini
menyebabkan getaran yang cukup besar pada pipa. Getaran yang ditimbulkan ini akan
menghasilkan frekuensi yang cukup besar. Peristiwa yang terjadi akibat getaran tersebut
dapat dikatakan sebagai getaran akibat adanya vortex atau yang biasa disebut Vortex
Induced Vibration (VIV). VIV nantinya akan berpengaruh cukup besar terhadap umur
kelelahan pada pipa (fatigue life).

Getaran yang terjadi pada VIV sendiri terbagi menjadi dua macam yaitu In-Line VIV dan
Cross-Flow VIV. In-Line VIV sendiri dapat didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada
pipeline yang modus arahnya searah dengan arah aliran fluida yang melewati pipeline.
Sedangkan untuk Cross-Flow VIV dapat didefinisikan sebagai getaran yang terjadi pada
pipeline yang arah getarannya tegak lurus dengan arah aliran fluida.

Berdasarkan (Mouselli, 1981), untuk mendapatkan frekuensi tumpahan vortex, dapat


dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut ini,

(3)

Free span mulai berosilasi ketika frekuensi dari tumpahan vortex sebesar 1/3 dari frekuensi
natural dan vibrasi bentangan pipa. Sehingga untuk tujuan mendesain pipa, perbandingan
frekuensi tumpahan vortex harus lebih kecil dari 0,7 kali frekuensi naturalnya agar tidak
terjadi osilasi.

Karena pendekatan dari tumpahan vortex mendekati frekuensi natural pipa, secara teoritis hal
ini dapat menimbulkan adanya resonansi yang terjadi pada free span. Dari hal tersebut dapat
diketahui bahwa terdapat bentangan dari frekuensi tumpahan vortex yang akan mempercepat
stress pada pipa dan berdampak lebih cepat terhadap kegagalan pada pipa. Analisa pada hal
tersebut dapat menggunakan parameter VR atau yang biasa disebut dengan parameter
pengurangan kecepatan (reduced velocity). Berdasarkan DNV RP-D101 2008, untuk panjang
kritis pada kondisi in-line dapat ditentukan dengan persamaan:

(4)

Sedangkan untuk menentukan panjang kritis pada kondisi cross-flow dapat menggunakan
persamaan:
aU r Dtot EI
LC (5)
2U C me

2.3. Estimasi Sisa Umur Kelelahan Pipa


Fatigue Life atau yang biasa disebut sisa waktu operasi merupakan jumlah siklus kelelahan
yang terjadi pada suatu struktur hingga menyebabkan terjadinya kegagalan pada suatu
struktur tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada DNV-RP-C203 yaitu dimana dalam
melakukan perhitungan fatigue life, menggunakan pendekatan kurva S-N dengan asumsi
pada Palmgreen-Miner Rule.

2.3.1. Penilaian kelelahan dengan pendekatan Palmgreen-Miner Rule


Berdasarkan DNV-RP-F105, sebelum menentukan sisa waktu operasi harus ditentukan
terlebih dahulu tingkat kelelahan dengan persamaan:

(6)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 247
2.3.2. Penentuan estimasi sisa waktu operasi
Dalam melakukan perhitungan estimasi sisa waktu operasi, dapat ditentukan dengan
berdasarkan persamaan yang telah ditentukan pada kode standar sebagai berikut:

(7)

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Hasil Perhitungan
Dari data free span EJGP pada tahun 2008 telah ada 353 free span yang terdokumentasi
pada jalur pipa EJGP. Perhitungan yang dilakukan secara teoritis seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya akan menghasilkan beberapa kondisi free span. Berikut ini akan
ditunjukkan hasil perhitungan free span pada masing-masing kondisi.

Table 1. Freespan yang melebihi batas panjang maksimum karena adanya bending
moment
Freespan Condition at Year 2008 Max L bending
No Exceeding
KP start of span end of span height (m) Length moment
1 129 129 + 736 129 + 801 1.00 (m)
65.00 63.06 Yes
2 130 130 + 279 130 + 345 1.25 66.00 63.06 Yes
3 130 130 + 350 130 + 422 1.00 72.00 63.06 Yes
4 130 130 + 820 130 + 884 1.00 64.00 63.06 Yes
5 131 131 + 20 131 + 93 1.00 73.00 63.06 Yes
6 134 134 + 230 134 + 302 1.75 72.00 63.06 Yes
7 134 134 + 307 134 + 373 1.25 66.00 63.06 Yes

Dari hasil perhitungan diatas, didapatkan ada 7 free span yang memiliki panjang melebihi
panjang maksimum pada kondisi bending moment. Sedangkan untuk kondisi low depression,
dapat ditunjukkan seperti Error! Reference source not found. dibawah ini :
Table 2. Freespan yang melebihi batas panjang maksimum karena adanya low depression
Freespan Condition at Year 2008 Max L low
No Exceeding
KP start of span end of span height (m) Length depression
1 129 129 + 736 129 + 801 1.00 (m)
65.00 61.38 Yes
2 130 130 + 279 130 + 345 1.25 66.00 61.38 Yes
3 130 130 + 350 130 + 422 1.00 72.00 61.38 Yes
4 130 130 + 820 130 + 884 1.00 64.00 61.38 Yes
5 130 130 + 945 131 + 8 0.75 63.00 61.38 Yes
6 131 131 + 20 131 + 93 1.00 73.00 61.38 Yes
7 134 134 + 230 134 + 302 1.75 72.00 61.38 Yes
8 134 134 + 307 134 + 373 1.25 66.00 61.38 Yes
Sedangkan untuk kondisi dinamis pada kondisi in-line dan cross flow dapat ditentukan hasil
perhitungannya dengan melihat tabel dibawah ini
Table 3. Freespan yang melebihi batas panjang maksimum karena kondisi in-line

Freespan Condition at Year 2008


No Max L in-line Exceeding
KP start os span end of span height (m) Length
1 1 1 + 79 1 + 112 0.25 (m)
33.00 32.08 Yes
2 1 1 + 506 1 + 541 1.50 34.00 32.08 Yes
3 26 26 + 3 26 + 38 0.05 34.00 32.23 Yes
4 41 41 + 53 41 + 108 0.15 55.00 52.75 Yes

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 248
Pipa yang mendapatkan beban terus-menerus baik itu yang berasal dari lingkungan sekitar
maupun dari dalam pipa itu sendiri, dalam jangka waktu tertentu akan mengalami bahaya
kelelahan. Hal ini dapat diketahui dengan mengetahui perbandingan antara beban siklik yang
didapat selama operasi dengan beban estimasi dari desain karena adanya stress yang terjadi
pada pipa itu sendiri.

Dalam penentuan sisa waktu operasi pada pipa, ditentukan berdasarkan masing-masing
segmen dan juga berdasarkan kriteria free span yang melebihi panjang maksimal yang
diijinkan. Dalam kondisi ini lebih diterapkan pada kondisi dinamis. Hal ini dikarenakan, untuk
panjang pipa yang melebihi panjang maksimum yang diijinkan oleh standart, secara teoritis
dapat diketahui bahwa kemungkinan sisa waktu operasi dari pipa tersebut semakin kecil.
Akan tetapi hal tersebut harus dibuktikan secara teoritis dan perhitungan.

Dengan berdasarkan teori tersebut dapat ditabulasikan hasil akumulasi kelelahan pada
pipeline seperti yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini
Table 4. Estimasi sisa waktu operasi pada pipa yang melebihi panjang maksimum
Freespan Condition at Year 2008
tlife
No start os D fat
KP end of span Length (m) (year)
span
1 1 1 + 79 1 + 112 33.00 278.78 9.69
2 1 1 + 506 1 + 541 34.00 278.78 9.69
3 26 26 + 3 26 + 38 34.00 4935.94 0.55
4 41 41 + 53 41 + 108 55.00 698.30 3.90

3.2 Analisa Pemodelan Statis


Pemodelan dilakukan sesuai dengan material pipa, tekanan operasional, tekanan eksternal,
model support yang ada pada kondisi lapangan, serta pemodelan ini dilakukan untuk
pemodelan pada analisa statis. Pemodelan dan pemberian variable dapat dilihat pada
Gambar 3 dibawah ini:

Gambar 3. Model free span untuk analisa statis FEM


Dengan kondisi yang diberikan, akan dihasilkan kemungkinan terjadinya stress yang terjadi
pada free span (von mises) dan bentuk deformasi statis yang terjadi jika free span terus
menerus mendapatkan kondisi seperti ini dan tidak segera diberi penanganan segera.

Gambar 4. Bentuk persabaran displasemen yang dapat menyebabkan deformasi pada free
span

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 249
3.2. Analisa Pemodelan Dinamis
Dalam melakukan pemodelan ini, dilakukan pemodelan hanya pada pipa yang mengalami free
span dengan memiliki kategori:
1. Tidak lolos screening geometri L/D < 30
2. Tidak lolos screening analisa dinamis pipa, dalam hal ini pada kondisi in-line
maupun cross flow
3. Memiliki kedalaman free span terbesar
4. Serta lifetime free span paling sedikit

Dalam pemodelan ini akan didapatkan hasil running dengan melakukan proses running
tersebut pada iterasi ke-50 yang dapat dilihat pada gambar

Gambar 5. Hasil running untuk output tingkat ketegangan yang terjadi pada pipa

Salah satu hasil running yang dihasilkan disini adalah tingkat ketegangan yang terjadi pada
pipa. Segmen free span yang dimodelkan disini merupakan segmen yang memiliki perkiraan
waktu paling sedikit dengan tingkat kelelahan yang telah dihitung melalui perhitungan manual.
Dari hasil running yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa untuk segmen pipa pada
kilometer 26+003 26+038 hampir di sepanjang pipa mendapatkan laju regangan yang
-4
nilainya berkisar 2,3 x 10 1/s. Sedangkan pada bagian yang berada pada free span dengan
-1
kedalaman 1,25 meter yaitu berkisar antara 1,614 x 10 1/s.

Verifikasi besarnya nilai shear stress ini digunakan dengan melakukan perbandingan dengan
allowable stress dari pipa yang mengalami free span tersebut. Karena secara teoritis, dua
macam jenis tegangan (stress) yang mempengaruhi karakteristik kelelahan pada free span
telah dilakukan perhitungan. Baik itu secara perhitungan manual (axial stress, hoop stress, &
von mises stress) serta secara software (shear stress). Dari keduanya harus memiliki kriteria
nilai kurang dari atau sama dengan yield stress-nya. Kelelahan (fatigue) pada material akan
dapat terjadi jika beban stress yang diterima oleh pipa tidak melebihi tegangan batas (yield
stress) dari pipa itu sendiri. Sehingga yang akan terjadi jika stress yang dialami pipa melebihi
allowable stress yang diijinkan, maka pipa akan mengalami deformasi dan karena adanya
siklus yang terjadi secara berulang, maka kedua macam tegangan (stress) yang telah
dihitung tadi akan memberikan efek kelelahan pada pipa.

Secara umum, kelelahan material disebabkan oleh adanya beban perpindahan yang dalam
kasus ini lebih disebabkan karena adanya shear stress. Akan tetapi, beban gaya yang
mengenai pada pipa itu sendiri juga memiliki pengaruh yang juga dapat memberikan
kegagalan pada material pipa. Beban perpindahan yang melebihi tegangan plastis (yield
stress) akan memberikan fenomena plastis sehingga akan menimbulkan kegagalan yang
terjadi pada pipa. Dalam kasus ini deformasi yang terjadi adalah terjadinya free span pada
bawah laut.

4. Kesimpulan
Dari hasil analisa yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu diantaranya:

1. Tingkat kelelahan yang terjadi pada free span dilakukan penilaian pada free span

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 250
yang memiliki kriteria panjang melebihi kondisi dinamis. Yaitu pada KP 1+079 da n
KP 1+506 sebesar 278.78, KP 26+003 sebesar 4935.94 dan KP 41+053 sebesar
698.30
2. Tingkat kelelahan ini dinyatakan dengan mengacu pada Palmgreen-Miner
damage cumulative yang menyatakan hipotesa kerusakan lelah yang dapat
terjadi saat siklus variable pembebanan (n) sama dengan siklus konstan
pembebanan (N)
3. Dari tingkat kelelahan tersebut akan dapat ditentukan estimasi sisa waktu operasi
pada kondisi tersebut yaitu:
- KP 1+079 dan KP 1+506 sebesar 9.69 tahun
- KP 26+003 sebesar 0.55 tahun
- KP 41+053 sebesar 3.90 tahun
4. Free span terjadi karena beberapa komponen stress yang dapat menyebabkan
kelelahan pada pipa. Ada dua macam komponen stress yang dilakukan pada
tugas akhir ini dan keduanya memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam
memberikan kegagalan yang terjadi pada free span. Dua komponen stress
tersebut yang perlu diperhatikan dalam melakukan analisa kelelahan pada pipa
bawah laut
5. Dengan hasil perhitungan yang didapatkan, hal yang mungkin dapat bisa
disimpulkan akibat pipa pada kondisi cross-flow dapat dikatakan lolos seleksi
adalah karena arus yang melewati pipa tidak terlalu memberikan dampak yang
terlalu besar. Hal ini dikarenakan perairan di daerah offshore yang melewati jalur
pipa tersebut merupakan daerah perairan tenang.

References

Mouselli, A. (1981). Offshore Pipeline Design Analysis and Methods. Oklahoma: PennWell
Books.
Cook, R. D. (1989). Concepts and Applications of Finite
Ellyin, F. (1997). Fatigue Damage, Crack Growth and Life Prediction. Canada: University of
Alberta
Analysis and Assessment of Unsupported Subsea Pipeline Spans (1997). United States
Department of The Interior Mineral Management Service
DNV-OS-F101. (2010), Submarine Pipeline Systems
DNV-RP-F105. (2006), Free Spanning Pipelines

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 251
PENINGKATAN KEMAMPUAN RANCANG BANGUN NAVAL-SHIP
DALAM NEGRI UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN BANGSA
*1 1 1
Agoes SANTOSO , Indrajaya GERIANTO and Benny CAHYONO
1
Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: agoes@its.ac.id

Abstract

As far as this is concerned the Indonesian shipyard industry just received thrust from government to build the platform of
warship. Various types and the size of the warships has been well developed in several Indonesian shipyards. The
Ministry of Defence and Indonesian Navy must gives higher responsibility to the local shipyards to be able to build a
complete Naval-Ship system. Well-Planning during design stages and construction phases in the manner of integration
between the platform and combat system not only give the profit in the aspect of the increase in the technical ability to
the local experts but also save the available budget. Therefore, step by step, Indonesia will improve its independent in
the provisions of military equipments so as to be able to increase national endurance. This report resume the technical
and tactical requirements in build of a modern Naval-Ship. The study and the planning strategy covered of the special
treat military ship-hull, machinery, electrical, electronics (CMS and EMS), communication, weapons, and safety.
Keywords: Naval-Ship Design, Indonesian Navy

1. Pendahuluan
Misi alat perang yang menjadi bahasan disini adalah unik untuk pemenuhan kebutuhan alutsista
TNI Angkatan Laut, dimana segala sistem yang ada harus mampu melaksanakan fungsinya
secara maksimal sesuai dengan kriteria perencanaan dan persyaratan awal, dimana
ketangguhan, kehandalan, kecepatan, dan kekuatan kapal menjadi prioritas utama didalam
perencanaan rancang bangun-nya.

Gambar 1: Beberapa jenis pembangunan wahana militer yang melibatkan penulis

Hal-hal yang perlu diperhatikan didalam perancangan kapal perang adalah owner requirements,
daya tempur dan daya pertahanan, konsumsi bahan bakar, Rule & Regulation Class yang
relevan.
Sedangkan kriteria perancangan secara lebih spesifik yang harus diperhatikan adalah:
1. Batasan ukuran. Dimensi kapal terkait dengan fasilitas pangkalan dan kondisi perairan.
Kapal perang memiliki rasio L/B yang relatif besar untuk memperkecil tahanan kapal.
2. Kecepatan dan endurance. Disamping kecepatan tinggi yang memerlukan power MPK yang
besar dan tentunya meningkatkan konsumsi bahan bakar maka kapal perang harus
memiliki endurance yang cukup agar dapat melakukan fungsi utamanya dalam waktu yang
relatif panjang.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 252
3. Manouverability. Mampu melakukan manuver pada perairan terbuka ataupun perairan
terbatas serta kemampuan untuk melakukan penyergapan dan menghindari serangan kapal
lain.
4. Jumlah anak buah kapal dan tingkat otomatisasi. Otomatisasi dapat meminimalkan jumlah
awak dan resiko human error.
5. Keandalan peralatan dan logistik penunjang. Keandalan sistem peralatan operasi dan
pemenuhan kebutuhan logistik untuk ABK dan alat tempur.
6. Payload/persenjataan menjadi batasan dalam disain ruang dan berat permesinan.
7. Combat Management System (CMS). Perang modern mengandalkan elektronik dan optik
untuk mencapai akurasi yang lebih baik.
8. Encountermeasure System (EMS). Sistem pertahanan kapal harus didesain sedemikian
rupa untuk menahan gangguan lawan.

2. Kebutuhan Kapal Perang Nasional


Kebutuhan kapal untuk pertahanan wilayah Indonesia diperkirakan mencapai 350 unit. Saat ini
TNI AL telah memiliki sekitar 155 kapal perang (sekitar 48 diantaranya jenis kapal patroli) dari
berbagai jenis dan ukuran (wilkipedia,2011). TNI AL membagi 3 misi bagi kapal-kapal
perangnya, yaitu Striking, Patrolling, dan Supporting dengan gagasan besar ke depan yaitu
Menuju Kejayaan AL yang besar, kuat dan Profesional pada 2013 dan Menuju TNI AL yang
Berkemampuan Green Water Navy pada tahun 2025.
TNI AL juga telah mengembangkan sendiri armada kapalnya karena semakin menurunnya
tingkat kesiapan kapal-kapal perangnya akibat embargo dan kurangnya anggaran pertahanan
sedangkan di lapangan tingkat perompakan, illegal logging, pencurian ikan dan kejahatan
perairan lainnya semakin meningkat. Sebagai contoh KRI Welang (808) buatan tahun 2004
merupakan kapal PC 36 m fibreglass buatan Fasharkan Mentigi (tnimil.com). Tahun 2007
Fasharkan Mentigi mengembangkan PC40 fibreglass dan aluminium. Program ini berkembang
terus dengan dibangunnya Kapal Trimaran di Banyuwangi (Tempo,2012) dan KCR 40 di PT.
Palindo Batam.

.
Gambar 2: KRI Krait-827 bahan Aluminium buatan Fasharkan Mentigi dan PT. BES Batam

Kesiapan dan kemampuan Fasharkan dan galangan-galangan swasta dalam negri seharusnya
memacu PT. PAL untuk memenuhi kebutuhan kapal perang dalam negri, sehingga Divisi Kapal
Perang dapat difokuskan pada program kerja yang relevan. Sudah saatnya TNI AL
mendayagunakan potensi besar PT. PAL untuk me-modernisasi dan memperbanyak
pembangunan kapal patroli FPB-57 yang pernah menjadi kebanggaan nasional.

3. Teknologi Kapal Perang


Misi utama kapal perang adalah kemampuan untuk melindungi dan mengawasi sumber daya
dan mempertahankan kedaulatan nasional. Disamping kwantitas yang besar sesuai dengan
luasnya wilayah nasional juga perlu diperhatikan segi kwalitas kapal dan teknologi perangnya.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 253
.
Gambar 3: Kapal-kapal perang berkonsep futuristik
3.1. Umum
Disamping kecepatan tinggi, kapal perang harus memiliki seaworthness yang tinggi mengingat
banyak kondisi laut ganas (rough-sea) di perairan nasional dan sejak 2005 kondisi laut
cenderung semakin memburuk. Hal mendasar untuk menyesuaikan dengan kondisi perairan
adalah dengan membangun kapal sebesar mungkin, namun tetap memperhatikan bahwa
semakin besar kapal maka semakin besar kebutuhan power mesin dan bahan bakarnya
(Santoso,2009).

Untuk beroperasi secara efektif di wilayah NKRI yang demikian luas, jumlah armada kapal yang
sangat terbatas ini harus mampu memiliki endurance (lama operasi) yang tinggi dan radius
pelayaran yang tinggi. Untuk itu kapal perang harus mampu melaksanakan dua mode
operasional, yaitu mode ekonomis saat patroli dan mode maksimum saat pengejaran dan
penyergapan musuh. Dengan demikian dapat dilakukan penghematan bahan bakar secara
siknifikan dengan tetap sanggup melaksanakan fungsi azazinya sebagai kapal cepat
(Diah,2007).

3.2. Bentuk Hull


Bentuk badan kapal perang modern dibedakan antara monohull dan multi-hull yang
berkembang kearah konsep futuristik sebagaimana contoh berikut ini. Tipe monohull dan
multihull memberikan kelebihan dan kekurangan sebagai berikut :

Table 1. Perbandingan Monohull dan Multihull


TECHNICAL CONSTRAINTS MONOHULL MULTIHULL
Power per shaft Single, twin, triple-screw Single, twin, triple-screw
Seaworthness Lebih baik Baik, SWATH lebih baik
Stability Baik Lebih baik akibat lebar kapal
Manufacturing/building Standard Lebih sulit, kompleks, mahal
Deck Area terbatas Lebih besar
L/B ratio 5 ~ 10 2~4
Material Use All type All type
Capital Costs Sesuai content Lebih mahal pada content sama
Fuel Economy Relatif terhadap KW dipilih Relatif terhadap KW dipilih
Engine Room flexibility konvensional Hull sempit

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 254
3.3 Kebutuhan Power
Hal krusial yang perlu dicatat didalam penetapan power-speed prediction pada kapal perang
adalah pemilihan rating operasional MPK yang dipilih. Harus diingat bahwa referensi umum
yang ada di spesifikasi teknis maker seringkali tidak relevan jika diaplikasikan di Indonesia yang
memiliki luas perairan sedemikian luas. MPK ideal untuk TNI AL adalah tipe medium duty,
namun jika harus menggunakan tipe light duty maka harus dibuatkan SOP dan disosialisasikan
dengan benar ke ABK tentang batasan-batasan operasionalnya (Santoso,2004).

Untuk kecepatan kapal diatas 40 knot disarankan menggunakan waterjet dibanding dengan
propeller (Wawan,2009). Bagaimanapun sistem propulsi waterjet yang mahal tersebut memiliki
kelemahan diperairan dangkal dan kotor, sehingga kapal perang akan efisien jika dirancang
dengan kecepatan dinas maksimum 35 knots saja.

Salah satu faktor penting didalam optimasi kecepatan adalah pemilihan bahan hull yang
seringan mungkin. Tabel 2 menunjukkan perbandingan berbagai bahan baku badan kapal.

Table 2. Perbandingan teknis dan ekonomis bahan baku kapal

3.4. Stealth Naval-ship


Teknologi Stealth atau disebut juga LO-tech (low observable technology) merupakan bagian
disiplin ilmu dari taktik militer dan ECM pasif yang meliputi teknik-teknik untuk membuat agar
kapal tidak dapat dideteksi oleh radar, infrared, sonar, atau teknologi pengintaian lainnya.
Kemampuan stealth dapat dikembangkan dengan rekayasa sebagai berikut :
- Bentuk badan kapal mengarah diamond-cuts
- Non-metallic material
- Radar absorbsing material
- Radar countermeasures
- Radio EMI reduction

3.5. Navigation & Communication System


Perkembangan elektronika modern demikian pesat khususnya untuk mendukung teknologi
militer. Sistem NavComm militer harus memiliki spesifikasi anti-jammed dan ketangguhan.

3.6. Weapon System


Persenjataan modern masih tetap mengandalkan ukuran dan jumlah mesiu/ propellant untuk
mampu mengenai target sejauh mungkin. Daya ledak dan daya tembus senjata tergantung
pada komposisi kimia dan rancangan mekaniknya. Perlu identifikasi yang jelas terhadap misi
kapal perang sehingga pemilihan senjata dan ukurannya dapat secara akurat diputuskan
berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan anggaran.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 255
3.7. CMS
Combat Management System merupakan sistem pengendali peperangan dengan
mengandalkan dukungan elektronika dan optik. Komponen penting dari CMS adalah search
radar, navigational radar, fire control radar, data link, sonar, visualisasi control console, internal
communication, dan software pendukungnya.

3.8. EMS
Encountermeasure merupakan merupakan bagian dari electronic warfare untuk sistem
antisipasi terhadap serangan musuh. Berbeda dengan CMS yang bersifat invasif untuk
menarget musuh maka EMS lebih cenderung protektif agar kapal

4. Konsep Pengembangan Industri Dalam Negri


Pengalaman dari pengembangan platform kapal perang selama ini seharusnya sudah cukup
bagi industri perkapalan dalam negri untuk menangani pembangunan naval-ship secara penuh.
Untuk lebih menjamin kemampuan teknis dan finance maka dapat dilakukan sistem konsorsium
beberapa galangan nasional.

4.1. Kapal semi-displacement Hull


Kapal patroli dengan bentuk badan konvensional (semi-displacement) sudah dapat dibangun
dengan sempurna oleh berbagai galangan kapal dalam negri, termasuk Fasharkan TNI AL.
Berikut beberapa contoh kapal perang berbagai ukuran hasil rancangan penulis dengan tipe
semi-displacement yang dapat diadopsi oleh TNI Angkatan Laut.

Gambar 4: Kapal-kapal perang dengan bentuk hull semi-konvensional

4.2. Kapal AMV


Perkembangan kapal jenis AMV (Advanced Marine Vehicle) untuk kebutuhan patroli militer juga
berkembang pesat. AMV meliputi hovercraft, hydrofoil, jetfoil, WIG, dll. Berikut merupakan
konsep desain di lingkungan Teknik Sistem Perkapalan ITS untuk kapal patroli tipe AMV.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 256
Gambar 5: Kapal-kapal perang dengan bentuk hull non-konvensional

5. Kesimpulan
Kapal perang modern tidak hanya harus siap fight terhadap kekuatan persenjataan musuh
namun juga terhadap intervensi teknologi elektronika. Sehingga adopsi teknologi stealth telah
menjadi prioritas utama didalam pertimbangan teknis.

Galangan kapal dalam negri termasuk Fasharkan TNI AL terbukti telah mampu membuat
platform kapal yang handal sehingga sudah waktunya diberi kesempatan untuk membangun
naval-ship secara utuh agar anggaran negara dapat dihemat dan SDM nasional dapat
berkembang. Kemampuan membangun sendiri berarti juga meningkatkan penilaian negara
tetangga terhadap ketahanan nasional dibidang teknologi yang pada akhirnya dapat
memberikan dampak psikologis positip terhadap terjaganya perdamaian dunia.

Saran
Sudah waktunya TNI, industri perkapalan, dan designer kapal dalam negri bangkit untuk
mampu memenuhi kebutuhan alat perang-nya sendiri. Mungkin akan ada extra-cost yang harus
dibayarkan, namun atas nama kemandirian pasti harga itu akan terbayarkan. Penulis pernah
menyampaikan gagasannya tentang pengamanan kedaulatan dan negara kesatuan RI,
bahwasanya mengingat masih terbatasnya jumlah armada kapal perang maka setiap kapal
non-militer yang difungsikan sebagai kapal patroli dapat dibangun dengan standard Dislaik TNI
AL atau DEPHAN dan siap secara teknis jika setiap saat dimobilisasi (militerisasi) untuk
kepentingan pertahanan dan bela negara. Hanya negara yang memiliki industri perkapalan
hebat yang akan memiliki Angkatan Laut kuat. Kita bisa.

Acknowledgements

Penulis menyampaikan terima kasih kepada para mahasiswa yang telah memberikan
dukungan perhitungan dan analisis melalui pengerjaan tugas akhirnya. Semoga pola kerjasama
mutualisme ini dapat berlanjut di masa mendatang.

References
Diah Y.R.W.A., (2007), Studi Optimalisasi Stern Arrangement sistem propulsi Kapal Patroli tipe
36m dengan Metode CFD, Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS,
Surabaya
KOMPAS, (2003), Indonesia Butuh Ratusan Kapal Patroli Laut, Kamis, 11 September 2003
Santoso A., (2004), Modelling and Simulating Marine Diesel Engine Performances and its

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 257
Potential of Emission, Jurnal Teknologi Permesinan Bangunan Laut MARINE, Vol 1,
No. 1, Juli 2004, pp. 1-7, Penerbit Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, ISSN 0216-
9886, Surabaya
Santoso A., Amiadji, Manunggal., (2006), Analisa Dampak Perubahan Displacement Terhadap
Beban Kerja Mesin Utama KPC 14 meter - PERISAI5, Jurnal Teknologi Permesinan
Bangunan Laut MARINE, Vol 3, No 1, Juli 2006, pp. 63-72, ISSN 0216-9886,
Surabaya
Santoso A., Semin S., (2009), Peningkatan Kemampuan OPV90 (offshore patrol vessel)
Menjadi Kapal Patroli Tempur Kelas Corvette, Seminar Nasional Teori dan Aplikasi
(SENTA) Kelautan, 17 Desember 2009, Fakultas Teknologi Kelautan, Surabaya
Tempo (2012), http://www.tempo.co/read/news/2012/08/31/078426623/TNI-AL-Luncurkan-
Kapal-Siluman-Trimaran
Wawan K., Kapten (T), (2009), Studi Perancangan Awal FPB-30m dengan sistem Propulsi
Waterjet untuk Patrol Cepat TNI AL, Laporan Tugas Akhir Program S1 - STTAL
KODIKAL, Angkatan 27, Surabaya
Wilkipedia, (2011), http://en.wikipedia.org/wiki/daftar kapal perang TNI AL, 17 Nopember 2011

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 258
APLIKASI DIESEL ELECTRIC PROPULSION PLANT
PADA OFFSHORE PATROL VESSEL (OPV) 80 METER
*1 1 1 1
Agoes SANTOSO , Amiadji , Sardono SARWITO , and Choirul ANWAR
1
Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: agoes@its.ac.id

Abstract

This A variety of research and application of diesel electric-propulsion offer some beneficial in terms of technical and
economical for many types of ships. This paper addressed to study the technical application of diesel-electric propulsion
plant for our new design of 80 meter offshore patrol vessels. The main advantage of flexibility operation of such system
will be evaluated to understand its feasibility when it is applied to the OPV compared with conventional diesel
mechanical propulsion system. In the engine room layout it is well known that the space available is adequate for 4 units
Diesel Generator-Set and 2 units compact AZIPOD. The conventional system shows that the total fuel consumption is
about 288 m3, while the electric propulsion system can saving fuel about 61 m3 when the calculation based on the ship
operation at maximum speed during pursuing operation.

Keywords: Diesel electric, electric propulsion, diesel electric propulsion, Offshore Patrol Vessel, azimuthing thruster,
AZIPOD

1. Pendahuluan
OPV merupakan jenis kapal patroli lepas pantai tidak terbatas yang digunakan untuk melindungi
dan mengawasi suatu wilayah perairan dari kegiatan-kegiatan penyelundupan, pembajakan
dilaut, ilegal logging, ilegal fishing, invasi negara asing, dan lain-lain aktifitas yang merugikan
negara. Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik maka kapal patroli harus dirancang
cepat, handal, kuat, dan mempunyai stabilitas yang tinggi disamping aspek-aspek ekonomis
dari segi bahan bakar, keselamatan, kenyamanan ABK dan kelengkapan persenjataan. OPV 80
meter yang dirancang saat ini menggunakan Diesel Mechanical Propulsion (DMP) sebagai
system penggeraknya (Santoso, 2011). Untuk itu dilakukan kajian untuk menerapkan sistem
diesel electric propulsion (DEP) sebagai alternatif pengembangan kedepan mengingat
perkembangan pesat dari penggunaan DEP ini di dunia perkapalan internasional.

Gambar 1. Rancangan kapal tipe OPV ukuran 80 meter

Pemakaian Diesel Electric Propulsion pada kapal komersial (Santoso,1995) dan kapal militer
telah terbukti dapat diandalkan untuk meminimalisir mechanical losses, manouverabilitas yang
tinggi, kebutuhan tenaga yang besar, dan variasi mode operasional mesin, kebutuhan space
yang lebih kecil, reliability dan redundancy yang tinggi, dan ramah lingkungan. Sehingga sejak
1990 seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi power drive khususnya komponen
thyristor maka lebih dari 80% kapal baru di Eropa dibangun dengan sistem DEP (Dnanes,2003).
Dengan memilih sistem propulsi elektrik pada motor diesel berbasis kontrol injeksi elektronik
(ECU) yang dipadu dengan permesinan bantu yang menghasilkan tenaga elektrik, dan semua
perlengkapan kapal yang menggunakan tenaga listrik, maka akan didapatkan fully-system
berbasis elektrik di kapal. Hal ini akan memungkinkan untuk membangun sistem elektrik yang
terintegrasi dalam bentuk Power Management System (PMS) secara total (Moreno,2007).

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 259
Untuk itu dalam paper ini akan dibahas kajian teknis didalam penerapan sistem (DEP) pada
kapal tipe OPV ukuran 80 meter (Gambar 1) yang mana sebagai kapal yang memiliki misi
utama sebagai kapal patroli dan pengawasan laut akan memiliki banyak variasi mode
operasional (Santoso,2009). Dimana kecepatan tinggi sangat dibutuhkan pada saat dilakukan
pengejaran tindak kejahatan dilaut, sedangkan dalam prosentase waktu yang lebih besar kapal
harus menjelajah melakukan patroli laut pada kecepatan ekonomis yang rendah. Sistem yang
dikaji menerapkan penggunaan compact azimuth thruster dan ACS-Marine Drive sebagai power
converter.

2. Diesel Electric Propulsion


Kapal umumnya digerakkan oleh motor diesel yang dihubungkan ke propeller oleh poros
melalui reduction gear. Sistem konvensional ini disebut diesel mechanical propulsion (DMP).
Seiring perkembangan pesat dari teknologi elektronika dan elektrik maka diesel electrical
propulsion (DEP) yang dulunya hanya dikenal di kapal selam saat ini berkembang di kapal-
kapal komersial maupun kapal service dan militer (Hansen,2001). Sistem ini terdiri dari diesel
generator set (D/G) yang tidak hanya mensuplai daya listrik untuk penerangan maupun
permesinan listrik tetapi juga ke motor propulsor yang mengerakkan propeller setelah melalui
power drive yang bertindak sebagai unit pengaturan sistem propulsi (Gambar 2).

2.1. Power Flow dan Power Efisiensi


Pada sistem DEP, power flow dan power efisiensi dipengaruhi oleh beberapa sistem distribusi,
meliputi distribusi dari transformer dan variable speed drive, sebagaimana Gambar 2 berikut :

Gambar 2. Power flow electric power system


Motor diesel sebagai penggerak utama mengkopel generator. Motor listrik yang menjadi
propulsion motor mengambil daya dari genset sesuai dengan beban yang diterima propeller.
Losses daya pada komponen poros motor diesel ke poros motor listrik adalah losses mekanik
dan losses listrik. Effisiensi listrik setiap komponen sistem pada kondisi full rated power
umumnya adalah; untuk generator = 0.95~0.97, switchboard = 0.999, transformer =
0.99~0.995, frekuensi converter = 0.98~0.99, dan motor listrik = 0.95~0.97. Dengan
demikian effisiensi dari sistem DEP mulai dari poros motor diesel sampai ke poros motor
propulsi adalah antara 0.88~0.92, dan effisiensi secara presisi dapat dihitung berdasarkan
beban pada sistem.

Karakteristik effisiensi bahan bakar pada range beban 60% sampai 100% adalah berbeda
antara sistem DEP dengan DMP. Hal ini disebabkan karena sistem DEP menginstall beberapa
D/G dengan daya yang lebih kecil, sehingga dalam keadaan beban yang bervariasi setiap
mesin akan tetap bekerja pada beban optimumnya (Wahyudi,2009).

2.2. Sistem Power Drive


Perkembangan pesat penggunaan sistem DEP tidak terlepas dari kemajuan teknologi elektronik
power drive atau disebut juga power converter. Beberapa manufacture telah memproduksi
komponen berbasis thyristor ini. Misalnya ABB dengan produk bernama cycloconverter.
Gambar 3 dibawah menunjukkan single-line diagram dari sistem DEP.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 260
Gambar 3. Single Line diagram podded elektrik propulsion

2.3. Azimuthing Thruster ( AZIPOD )


Azimuthing Podded Propeller (AZIPOD) merupakan perkembangan terakhir (generasi ketiga)
dari propeller konvensional yang mana sistem mutakhir ini menggabungkan propeller dengan
sistem rudder (Castellan,2007). Pada sistem ini poros dari main engine di transmisikan oleh
roda gigi berupa helical sehingga membentuk sistem poros yang menyerupai huruf Z, dimana
poros dengan sumbu horisontal ditransmisikan ke poros vertikal oleh roda gigi helical dan
terakhir ditransmisikan ke poros horisontal yang terhubung langsung dengan propeller. Konsep
inilah yang mengawali perkembangan azimuth propeller sampai sekarang. Dan akhirnya
mengembangkan Azimuth podded yang menggunakan elektrik motor yang terletak didalam
konstruksi pod yang terhubung langsung dengan poros propeller atau dengan sistem yang
hampir sama dengan Z drive dengan batasan elektrik motor sebagai penggeraknya. Elektrik
propulsion motor mendapatkan supply daya dari D/G.

3. Offshore Patrol Vessel 80 Meter


Kapal OPV ini dirancang dengan superstructure dan konfigurasi modular untuk dapat digunakan
pada berbagai fungsi dan misi, misalnya patroli lepas pantai tak terbatas, kapal SAR, stasiun
SAR terapung, atau dimobilisasi sbg kapal perang medium sekelas Corvette (Santoso,2009).

3.1. Data kapal


Data utama kapal adalah sebagai berikut (Santoso,2011);
Length Overall ( LOA ) = 80,90 meter
Length water line ( LWL ) = 76,15 meter
Length between perpendicular ( LPP ) = 73,15 meter
B ( moulded ) = 13,60 meter
H ( moulded ) = 7,00 meter
T ( draugth ) = 3,00 meter
Speed (cruising) = 20 knot
Endurance = 3000 Nautical mile
Main Engine = 2 x 5400 HP
Main Generator = 4 x 320 kW- 525 A (Cos phi = 0,8)
Emergency generator = 105 kW- 172 A (Cos phi = 0,8)

3.2. Perhitungan kebutuhan power propulsi


Untuk memprediksi kebutuhan power maka telah dilaksanakan pengujian tahanan di

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 261
Laboratorium Hidrodinamika Indonesia di Surabaya. Berikut hasil pengujian dan analisa
resistance dan efektif horse power (Santoso,2011).

Gambar 4. Diagram hasil pengujian tahanan kapal dan EHP dari OPV 80 meter
Thrust Horse Power (THP) adalah daya thrust yang dihasilkan oleh propeller untuk
menggerakkan kapal pada kecepatan design sebesar 20 Knots. THP digunakan sebagai input
untuk menentukan ukuran dari compact AZIPOD sebagai propulsor. Dari kedua diagram diatas
didapatkan data untuk mencapai kecepatan dinas 20 knots terjadi tahanan total sebesar 355 kN
dan diperlukan power efektif (EHP) sebesar 4000 KW atau 5360 HP. Dari perhitungan lebih
lanjut berdasarkan losses yang terjadi serta pemberian margin yang sesuai dengan standard
kaidah perencanaan kapal maka didapatkan THP sebesar 3720 KW (4986 HP) pada gaya
thrust sebesar 559 kN dan Shaft Horse Power (SHP) sebesar 9976 HP. Dengan
memperhitungkan 2% losses di reduction gear maka didapatkan kebutuhan Brake Horse Power
(BHP) sebesar 10200 HP dalam kondisi 85% MCR. Untuk itu dipilih 2 unit main engine MTU
model 20V4000M93L dengan rated power 4300 KW (5805HP) pada putaran 2100 RPM.

Gambar 5. Compact AZIPOD Main Spesification dan output power vs RPM


range
Nilai THP per shaft sebesar 1860 KW selanjutnya digunakan sebagai input data untuk
menentukan compact AZIPOD berdasarkan produk ABB-marine US sebagai berikut (ABB):

Dari katalog compact azipod produksi ABB- marine US didapat data sebagaimana pada Figure
5 diatas. Berdasarkan data tersebut maka dapat dipilih model CO980 dengan power maksimum
sebesar 2300 KW pada putaran maksimum sebesar 365 RPM.

3.3. Perhitungan Kebutuhan power Listrik


Selanjutnya beban kebutuhan listrik untuk penggunaan penerangan, tenaga mesin-mesin
elektrik, AC, dan lain-lain akan dihitung berdasarkan kondisi pembebanan yang berbeda-beda,
yaitu pada kondisi kapal berangkat, patroli, pengejaran, dan bersandar di pelabuhan. Hasil
perhitungan dilaporkan pada Tabel 1 dan 2.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 262
Table 1. Kebutuhan Daya Listrik pada kondisi Berangkat dan Patroli

No. ITEM Berangkat Patroli


Continue load 4669.56 4673.68
1 Machinery Part Intermitten load 67.36 242.92
Continue load 501.99 513.44
2 Hull Part Intermitten load 307.44 264.86
Continue load 257.45 270.59
3 Electrical Part Intermitten load 72.34 59.21
Continue load 5429.00 5457.71
4 Total Penggunaan daya Intermitten load 447.14 566.98
5 Faktor diversitas 0.5 x (d) intrmttn 223.57 283.49
6 Jumlah beban (d) continue + ( e ) 5652.57 5741.20
7 Generator bekerja kW x S.set 1760 x 4 1760 x 4
8 Kapasitas yang Bekerja 7040 7040
9 Generator yang tersedia kW x S.set 1760 x 4 = 7040 1760 x 4 = 7,040
(f)
10 Faktor beban /(h) x 100% 80.29 81.55
11 Shore Connection(1.15x Jumlah Beban Bongkar Muat) `

Table 2. Kebutuhan Daya Listrik pada kondisi kondisi Pengejaran dan Bersandar (Port)

No. ITEM Pengejaran Port


Continue load 4679.58 78.05
1 Machinery Part Intermitten load 238.18 106.71
Continue load 522.54 260.81
2 Hull Part Intermitten load 271.67 378.23
Continue load 276.85 267.51
3 Electrical Part Intermitten load 52.94 46.42
Continue load 5478.97 606.38
4 Total Penggunaan daya Intermitten load 562.79 531.35
5 Faktor diversitas 0.5 x (d) intrmttn 281.39 265.68
6 Jumlah beban (d) continue + ( e ) 5760.36 872.05
7 Generator bekerja kW x S.set 1760 x 4 1760 x 1
8 Kapasitas yang Bekerja 7040 1760
9 Generator yang tersedia kW x S.set 1760 x 4 = 7040 1760 x 4= 7040
10 Faktor beban (f)
/(h) Bongkar
x 100% Muat) 81.8 49.55
11 Shore Connection(1.15x Jumlah Beban 1.15 x = 6,602.38

3.4 Diesel Generator-Set (D/G)


Berdasarkan hasil perhitungan daya listrik maka dapat ditentukan pemilihan model dan jumlah
D/G.

Sesuai aturan Klas bahwa load factor maksimum untuk generator-set adalah tidak boleh lebih
dari 86%. Pertimbangan lain dalam pemilihan D/G adalah ukuran, berat, safety, dan harga
(Hideki,2011). Untuk itu dipilih 4 set D/G merk Caterpillar model DM5407-06.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 263
Table 3. Pola Pembebanan Generator Set Pada Kondisi Berangkat, dan Patroli
Faktor beban Generator
No. Type Rpm Kw Set
Berangkat Set Patroli

Caterpillar 5652.57 5741.20


1 1000 1760 4 1760 x 4 = 80.29 4 1760 x 4 = 81.55
DM5407-06

Cummins 5652.57 5741.20


2 1800 1750 4 1750 x 4 = 80.75 4 1750 x 4 = 82.02
KTA50-G8

Wartsila 5652.57 5741.20


3 1000 1710 4 1710 x 4 = 82.64 4 1710 x 4 = 83.94
20 generating set

Tellhow 5652.57 5741.20


4 1500 1646 4 1646 x 4 = 85.85 4 1646 x 4 = 87.20
THLP1646PB

Caterpillar 5652.57 5741.20


5 1500 1800 4 1800 x 4 = 78.51 4 1800 x 4 = 79.74
DM8347

Caterpillar 5652.57 5741.20


6 1500 1600 4 1600 x 4 = 88.32 4 1600 x 4 = 89.71
DM8366

Table 4. Pola Pembebanan D/G pada Load-mode Pengejaran dan Port


Faktor beban Generator
No. Type Rpm Kw
Set Pengejaran Set Port

Caterpillar 5760.36 872.05


1 1000 1760 4 1760 x 4 = 81.82 1 1760 x 1 = 49.55
DM5407-06

Cummins 5760.36 872.05


2 1800 1750 4 1750 x 4 = 82.29 1 1750 x 1 = 49.83
KTA50-G8

Wartsila 5760.36 872.05


3 1000 1710 4 1710 x 4 = 84.22 1 1710 x 1 = 51.00
20 generating set

Tellhow 5760.36 872.05


4 1500 1646 4 1646 x 4 = 87.49 1 1646 x 1 = 52.98
THLP1646PB

Caterpillar 5760.36 872.05


5 1500 1800 4 1800 x 4 = 80.01 1 1800 x 1 = 48.45
DM8347

Caterpillar 5760.36 872.05


6 1500 1600 4 1600 x 4 = 90.01 1 1600 x 1 = 54.50
DM8366

3.5. Distribusi Daya


Suplai daya dari D/G didistribusikan oleh MSB ke beberapa panel junction dengan wiring
diagram sebagai berikut (Anam,2010):

3.6. Konsumsi bahan bakar


Sistem DMP konvensional dengan MTU model 20V4000M93L memiliki SFOC sebesar 210
gr/kWh atau 1075 liter/jam sehingga kapal membutuhkan tangki bahan bakar total sebesar 288
3
m untuk endurance 3000 nm pada kondisi cruising. Pada sistem DEP dengan empat unit D/G
masing-masing memiliki SFOC sebesar 196 gr/kWh atau 411 liter/jam.
Kebutuhan bahan bakar sistem DEP pada endurance yang sama adalah :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 264
- Pada mode operasi Pengejaran (kecepatan penuh) yang menjalankan 4 unit D/G
3
adalah sebesar 227 m .
- Pada mode operasi berangkat ataupun patroli dengan kecepatan ekonomis cukup
hanya menjalankan 2 unit D/G, sehingga kebutuhan bahan bakar hanya sebesar 113
3 3
m . Atau dapat dikatakan bahwa bahan bakar sebesar 227 m tersebut dapat digunakan
untuk berlayar sejauh 6000 nm.
- Untuk mode operasi berlabuh dan bersandar (mode Port) yang cukup hanya
menjalankan 1 unit D/G akan sangat menghemat bahan bakar.

MSB 4 x 4 x (100x10)
Transformer 200 kW
400/220 V

4 x 4 x (100x10)

FPYC 1000 3 x 1000A 3 x 1000A 3 x 1000A


Caterpillar
DM5407-06
G1 V F A

1760 kW/1000
RPM
3~ 3 x 1000 A FPYC 1000
Compact Azipodd kanan
To Junction Machinery Part

FPYC 1000
Caterpillar
DM5407-06
G1 V F A
3 x 1700 A FPYC 1700
1760 kW/1000
RPM 3~ 3 x 1000A 3 x 1000A 3 x 1000A
To Junction Hull Part

FPYC 1000
Caterpillar
DM5407-06
G1 V F A

1760 kW/1000
RPM 3~ 3 x 1400 A FPYC 1400

Syncronoscope 3 x 1000A 3 x 1000A 3 x 1000A To Junction Electrical Part

Compact Azipodd Kiri


FPYC 1000

Caterpillar
DM5407-06
G1 V F A

Transformer 200 kW
1760 kW/1000
RPM
3~ 400/220 V
3 X 800 A 3 x 800 A 3 x 800 A
FPYC 625
SHORE CONNECTION
422.4 kW, 3~, 50Hz

ACOS

Gambar 6. Wiring Diagram sistem DEP pada OPV 80 Meter.

4. Kesimpulan
Sistem DEP memberikan keuntungan besar didalam penghematan penggunaan bahan bakar
jika diaplikasikan pada OPV 80 meter. Hal ini disebabkan oleh penerapan Total Power
Management System yang mengatur pengoperasian D/G sesuai dengan profil mode
operasional kapal tersebut. Kebutuhan daya listrik pada kondisi berangkat, patroli, pengejaran,
dan port berturut-turut adalah 5652,57 kW; 5741,20 kW; 5760,36 kW; dan 872,05 kW.
3
Rancangan sistem DMP pada OPV 80 memerlukan volume bahan bakar sebesar 288 m untuk
beroperasi pada endurance 3000 nm. Sedangkan pada sistem DEP kapal cukup membawa
3
bahan bakar sebesar 227 m untuk memenuhi kebutuhan endurance operasi yang sama dan
dihitung pada kecepatan penuh pada saat melakukan pengejaran musuh.
Disamping itu sistem DEP memberikan keuntungan lain berupa redundancy yang lebih besar,
fleksibilitas operasional yang lebih baik, pengurangan space kamar mesin karena tidak adanya
motor induk yang harus dipasang di tank-top

Acknowledgements
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para mahasiswa yang telah memberikan
dukungan perhitungan dan analisis melalui pengerjaan tugas akhirnya. Semoga pola kerjasama
mutualisme ini dapat berlanjut di masa mendatang.

References
Anam C., (2010), Desain diesel elektrik sebagai sistem propulsion plant pada offshore patrol
vessel (OPV) 80 meter, Tugas Akhir Mahasiswa S1 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan,
ITS Surabaya

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 265
Asia Brown Boveri, Azimuting electrical propulsion drive, ABB product catalog, ABB Industry Oy,
Helsinski
Castellan S., Menis R., Pigani A., Sulligoi G., and Tessarolo A., (2007), Modeling and Simulation
of Electric Propulsion, Systems for All-Electric Cruise Liners, 1-4244-0947-0/07 2007
IEEE. USA
Dnanes A.K., (2003), Maritime Electrical Installations And Diesel Electric Propulsion, ABB AS
Marine, Sweden
Hansen J.F., Dnanes A.K., and Fossen T.I., (2001), Mathematical Modelling of Diesel-Electric
Propulsion Systems for Marine Vessels, Journal of Mathematical and Computer
Modelling of Dynamical Systems, 2001, Vol. 7, No. 1, pp. 133 # Swets & Zeitlinger
Hideki Y., Hiroaki M., Aiichiro S., (2011), Energy Saving Technology of the Diesel-Electric
Propulsion System for Japanese Coastal Vessels, Manager, Ecology Engineering
Group, Engineering Division, IHI Marine United Inc., IHI Engineering Review Vol . 44
No. 1 2011, Japan
Moreno V.M., Alberto Pigazo, (2007), Future Trend in Electric Propulsion system for commercial
vessel, Journal of Maritime Research, Vol. IV No. 2, pp.81-100, 2007 Spain
Santoso A., (1995), Technical Aspects of the Use of Diesel-Electric Propulsion for Merchant
Ships, Certificate Projects Department of Marine Technology, University of Newcastle
Upon Tyne, UK
Santoso A., Semin, (2009), Peningkatan Kemampuan OPV90 menjadi Kapal Patroli Tempur
Kelas Corvette, Seminar Nasional Teknologi Kelautan V ITS, Seminar FTK 2009
Santoso A., (2011), Laporan akhir Pembuatan Detail Engineering Design kapal SAR 80 meter,
BASARNAS, Jakarta
Wahyudi D., Eddy Setyo Koenhandono E.S., et al (2009), Hybrid Propulsion System (DMP &
DEP) For Trimaran Type Fast Patrol Boat, Master Program Report, Fakultas Teknologi
Kelautan, ITS, Surabaya
Sekiguchi, H., Azuma, R. and Sambodho, K. (2007): Field observations of unconfined
groundwater dynamics in a nourished sand beach, Journal of Coastal Engineering
JSCE, Vol. 54, pp. 721-725 (in Japanese).

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 266
RANCANG BANGUN MILITARY UNMANNED SURFACE ATTACK BOAT (MUSAB)
UNTUK KEBUTUHAN SURVEILLANCE DAN TEMPUR
1 1 1 1
Amiadji , Agoes SANTOSO , Rizky HIDAYAT and Guntur Dwi NUGROHO
1
Department of Marine Engineering, Faculty of Marine Technology, ITS-Surabaya.
*E-mail: agoes@its.ac.id

Abstract

Indonesia faces big challange to secure its sea teritorial. Navy and others Authorities is not enough power and
resources to handle the huge ocean areas. Therefore in this project, a Military version Unmanned Surface
Vehicles (called as Military Unmanned Surface Attack Boat) is designed for surveillance and it has capability as
combatan boat. Such hi-tech product is possible to be developed if local shipyard can be maximized. The product
of the optimized design have principle dimension of LOA=9,6m; LWL=7,62m; B=2,85m; T=0,65m; H=2,3m;
Cb=0,32; Vs=40 knot; cause of 8,33 kN total resistance and power demand at least 580 HP is needed.

Keywords: Unmanned Surface Vehicle (USV), Optimasi Design, Remote Operated

1. Pendahuluan
Pemerintah khususnya TNI AL menghadapi tantangan besar dalam melakukan pengawasan
maupun pengamanan. Untuk itu perlu strategi yang tepat untuk dapat melaksanakan tugas
tersebut secara efektif dan efisien. Baik dari segi sumber daya manusia, alutsista yang
dioperasikan, budget pemerintah, dan manajemen pengaturannya.
Ada tiga parameter umum yang perlu diperhatikan didalam mengoptimalkan kegiatan
operasional kapal-kapal patroli, yaitu jumlah armada, ukuran kapal, dan kecepatan kapal.
Dengan demikian dapat dikatakan secara umum bahwa kapal yang efektif tentunya adalah
kapal yang berukuran kecil namun berkecepatan tinggi dan dibangun dengan jumlah yang
memadai. Namun mengingat kondisi perairan laut nasional yang sangat beragam bahkan
ekstrem diberbagai lokasi maka ukuran kapal harus sebesar mungkin untuk mengatasinya.
Kondisi Sea State memberikan pengaruh terhadap keamanan dan kenyamanan kapal beserta
isinya khususnya ABK dan penumpang. Jika kapal dirancang tanpa awak tentunya toleransi
terhadap sea behaviour dapat semakin fleksible. Paper ini merupakan hasil studi rancang
bangun kapal tanpa awak yang dapat berfungsi sebagai kapal patroli cepat, kapal serbu tempur,
surveillance dan melakukan patroli terbatas. Proyek ini dinamakan prototype MUSAB (Military
Unmanned Surface Attack Boat). Kapal patroli tanpa awak tersebut merupakan klas produk hi-
tech, sehingga pengadaannya akan menjadi jauh lebih murah jika mampu dibangun sendiri oleh
industri perkapalan dalam negri. Keuntungan lainnya adalah dapat meningkatkan kemampuan
SDM nasional dan langkah maju menuju kemandirian dibidang teknologi pertahanan.
Pemanfaatan teknologi USV sudah dilakukan oleh Singapore dan beberapa negara Asia lainnya.
Sehingga studi kapal pembanding dapat dilaksanakan dengan data yang cukup. Preliminary
desain tentunya mengikuti kebutuhan dan tuntutan operasional dari TNI AL dengan tetap
mengacu terhadap engineering constraint yang ada.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka akan dilakukan optimasi desain untuk mendapatkan
principal dimension, perancangan lines plan dan general arrangement, perhitungan tahanan
kapal dan prediksi kebutuhan power penggerak kapal, analisa stabilitas dan seakeeping.

2. Unmanned Surface Vehicle (USV)


Istilah Unmanned Surface Vehicle (USV) mengacu kapal tanpa awak yang beroperasi di atas
permukaan air. USV sudah beroperasi sejak masa Perang Dunia II, namun tidak cukup
berkembang pada masa perang dingin dan damai. Keberhasilan UAV Predator dalam
mendukung perang Afghanistan telah membuka kembali teknologi USV di bidang maritim.

Saat ini telah banyak negara yang sudah mengembangkan USV untuk kepentingan militer
maupun komersial. Hal ini tidak lepas dari perkembangan teknologi komputer, elektronika, dan
sistem satelit. Karena USV dinilai cukup handal, cepat, dan sangat mudah digerakkan, terlebih
lagi jika sistem komando diatur melalui jaringan satelit. Sehingga USV memungkinkan untuk
melakukan berbagai misi-misi seperti patroli pantai, penyerbuan pantai, dukungan pendaratan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 267
amphibi, surveillance awal, atau operasi lain yang beresiko terhadap keselamatan pasukan.
Sedangkan di segi komersial USV dapat digunakan untuk surveillance di offshore rig, bidang
perikanan, maupun pengawasan pantai.

3. Perencanaan Lambung Musab


3.1 Speed Length Ratio (SLR)
Penentuan bentuk lambung berdasarkan perbandingan antara kecepatan dinas kapal (Service
speed) dengan panjang garis air kapal (length of waterline). Dimana satuan kecepatan dalam
knot dan panjang garis air dalam feet.
SLR = Vk /Lwl ........................................................... (1)

Dimana,
SLR = Speed length ratio
Vk = Service Speed (Knot)
LWL = Panjang garis air (Feet)

3.2 Hubungan Antara Gelombang Terhadap Bentuk Lambung


Badan kapal yang melaju pada permukaan air, akan menghasilkan bentuk gelombang secara
melintang yang tergantung pada bentuk lambung. Gelombang tersebut memiliki kecepatan
aliran (Ck) yang besarnya sama dengan kecepatan dinas (Vk). Besar gelombang yang timbul
akibat kecepatan kapal memiliki konsekuensi menimbulkan tahanan gelombang pada lambung
kapal. Sedangkan karakteristik dari gelombang sinusoidal tersebut memiliki panjang gelombang
(Lw) yang berhubungan dengan kecepatan aliran gelombang (Ck). Persamaan dari kecepatan
aliran ialah :
Ck = 1,3Lw ................................................................ (2)
Dimana,

Ck = Kecepatan aliran (knot)


Lw = Panjang gelombang (Feet)

Besar SLR untuk setiap gelombang sama dengan 1,3 panjang gelombang. SLR kapal
tergantung pada panjang dan kecepatan kapal. Karena kecepatan aliran sama dengan
kecepatan kapal maka muncul persamaan panjang gelombang yang diakibatkan oleh
kecepatan kapal terhadap panjang dari garis air (LWL) sebagai fungsi dari SLR.
Lw SLR 2

Lwl 1,80 ................................................................. (3)
Berdasarkan percobaan yang dilakukan Daniel Savitsky maka dapat dibuat tabulasi berikut :

Tabel 1: Tabulasi Perbandingan Antara Panjang Gelombang Terhadap Panjang Garis Air

Tabel percobaan di atas menyatakan bahwa semakin besar kecepatan atau SLR maka panjang
gelombang akan semakin meningkat hingga pada kondisi SLR = 1,34 dan besar dari panjang
gelombang akan sama terhadap panjang garis air (LWL) pada kondisi, SLR > 1,34. Atau dapat
juga diartikan bahwa panjang gelombang akan melebihi panjang garis air (LWL).

3.3 Bentuk Lambung Tunggal Berdasarkan SLR


Ilustrasi dari pola gelombang yang diberikan pada Gambar 1, terlihat bahwa pada :
1. SLR>0.94, terdapat 2 jarak atau lebih dari panjang gelombang. Pada kondisi ini,
memperlihatkan lambung kapal terbenam dan sedikit agak trim.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 268
2. SLR>1.34, besar panjang gelombang akan melebihi dari ukuran panjang lambung kapal,
dan kapal sudah memulai pada tahap trim.

3.4 Displacement Hull


Displacement Hull gaya apung seluruhnya diakibatkan buoyancy. Bentuk convex dari garis air
(waterline), buttock lines, dan bilga dibutuhan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya
pemisahan aliran, terutama pada stern serta untuk meminimalisasikan gaya tarik yang
diakibatkan oleh komponen komponen lambung. Batas maksimal SLR dari displacement hull ini
tepatnya sama dengan kondisi SLR = 1,3. Sedangkan kebanyakan kapal dengan displacement
hull, pada kondisi SLR 1.0.

3.5 Semi Displacement Hull atau Semi-Planning


Lambung jenis ini didesain untuk menghindari besarnya sudut trim yang terjadi pada
displacement hull yang beroperasi pada SLR 1,3. Pada kecepatan ini, panjang gelombang
akan lebih besar daripada panjang lambung sehingga sudut trim akan meningkat. Untuk itu
harus didesain bentuk geometri dari lambung yang sesuai, dengan tujuan untuk menghindari
suction force disepanjang longitudinal buttock lines. Buttock lines didesain lurus sehingga
sebagian dari transom yang terbenam memiliki lebar yang lebih besar dari lebar tipe kapal
displacement hull. Dengan konfigurasi seperti ini akan mengakibatkan positive dinamyc
pressure, yang cenderung memberikan gaya angkat pada bagian stern, menaikkan lambung
secara perlahan dan akan mengurangi sudut trim.

Semi displacement hull direkomendasikan beroperasi pada kondisi SLR antara 1,3 dan 3,0.

3.6 Hard-Chine Planning Hull


Bentuk lambung (Gambar 4) ini didesain untuk meningkatkan positive dynamic pressure yang
mengakibatkan gaya angkat terhadap lambung pada saat kecepatan tinggi sehingga luas
permukaan basah berkurang. Hard-Chine planning hull beroperasi pada SLR > 3,0.

3.7 Tahanan Kapal


3.7.1 Air Resistance
Besar tahanan udara diasumsikan tanpa adanya angin diekpresikan dengan persamaan :
RAA 0,5aCD AV 2 .................................................................... (4)
Dimana,
a = mass density dari udara
A = luas bidang di atas permukaan garis air
CD = Wind tunnel test, 0,5 ~ 0,7

3.7.2 Spray Rail Resistance


Ketika besar Froude number berkisar pada 0,5, timbulnya spray meningkat cepat seiring
dengan meningkatnya kecepatan.

Spray resistance, terbagi menjadi dua buah komponen dan diekspresikan dengan persamaan :
RS RSP ( Fn) RSF ( Rn, Wn)
............................................. (5)
Dimana,
- Spray pressure resistance, RSP merupakan sebuah fungsi dari Froude number
- Frictional spray resistance, RSF merupakan sebuah fungsi dari Reynold number dan Weber
number
VSR2 d SR
Wn
TS ....................................................................... (6)
Dimana,
VSR = Spray velocity
dSR = Spray thickness
-1
Ts = Surface tension, 0,073 Nm

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 269
4. Optimasi Principal Dimension
Optimasi principal dimension dari MUSAB ini dilakukan berdasarkan beberapa spesifikasi data
kapal pembanding yang sudah didapat.

Tabel 2 Optimasi ukuran utama kapal MUSAB

Dari tabel tersebut, dapat dibuat grafik perbandingan antara nilai Vs yang telah ditentukan (40
knot) dengan D, L, B, T, dan H dari masing masing data. Kemudian dari grafik tersebut dibuat
trendline dan akan didapatkan suatu persamaan yang nantinya dipakai untuk mencari nilai dari
masing masing parameter yang dibutuhkan. Berikut ini adalah detail grafik perbandingan
setiap nilai yang ada pada tabel dengan nilai Vs.

Kemudian data yang ada tersebut dikoreksi menggunakan perbandingan antara nilai L/B, B/T,
P/D, dan H/T pada tiap tiap nilai dari spesifikasi MUSAB yang dijadikan pembanding. Apabila
nilai yang muncul kurang layak, maka dilakukan variasi terhadap nilai yang ada dengan
menggunakan L yang tetap pada kondisi optimal. Tabel di bawah ini menunjukkan besarnya
perbandingan dari masing-masing data.

Selanjutnya dari tabel tersebut dapat dibuat grafik yang menunjukkan perbandingan antara nilai
P/D, L/B, L/H, B/T, H/T terhadap kecepatan dinas (Vs). Berikut adalah detail grafiknya.

Tabel 3 Optimasi Model MUSAB

Dari proses optimasi yang telah dilakukan, dapat diketahui nilai principal dimension untuk
Military unmanned surface attack boat (MUSAB) yang paling optimal adalah sebagai berikut:
L = 9,62 meter
B = 2,85 meter
H = 2,34 meter
T = 0,65 meter
Vs = 40 knot
Disp = 5,78 ton

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 270
Gambar 1. Model MUSAB
4.1 Pemodelan Desain
Setelah didapatkan seluruh nilai yang dibutuhkan, maka perancangan sudah dapat dilakukan.
Dengan menggunakan nilai-nilai yang ada, maka didapatkan gambar rancangan sebagai
berikut :

4.2 Perhitungan Tahanan Kapal


Dari grafik hasil simulasi (Gambar 2-kiri) dapat diketahui bahwa besarnya nilai tahanan dari
MUSAB adalah sebesar 10,43 kN pada kecepatan maksimum 40 knot.

Sedangkan untuk Gambar 2 (sebelah kanan) di bawah ini menunjukkan besarnya nilai tahanan
serta daya/power pada masing-masing kecepatan. Dari tabel tersebut dapat kita ketahui bahwa
Savitsky Planning dimulai dari kecepatan 25 knot sampai kecepatan maksimum 40 knot.

Gambar 2. Grafik prediksi tahanan (kiri) dan Power vs Speed (kanan)

Pada perhitungan Speed Power Prediction dipakai effisiensi total sebesar 50% sehingga dapat
diprediksi bahwa MUSAB membutuhkan power sebesar 452 HP untuk mencapai kecepatan 40
knot.

4.3 Pemilihan Main Engine


Setelah diketahui besar daya yang diperlukan oleh MUSAB untuk memenuhi kecepatannya,
maka dapat dilakukan pemilihan mesin yang akan digunakan. Adapun data mesin yang akan
digunakan adalah sebagai berikut :
Merek : YANMAR
Tipe : 6LY3-ETP-HR
Power : 580 HP
RPM : 3300
Berat : 640 kg (tanpa gear)
Silinder : 6 in line

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 271
Gambar 3. Grafik konsumsi bahan bakar

4.4 Perhitungan Tangki Bahan Bakar


Untuk kebutuhan bahan bakar selama kapal beroperasi, disediakan tanki bahan bakar untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini dilakukan perhitungan tangki dengan menggunakan
metode kalibrasi tangki pada Hydromax dan perhitungan kebutuhan bahan bakar yang
dilakukan secara manual.

Dari grafik di atas, dapat kita ketahui konsumsi bahan bakar sebesar 70 L/hr atau 0,15 L/Hp.hr
pada putaran rpm maksimum (3300). Setelah kita mengetahui besarnya SFOC, maka dapat
dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus:

Volume Tangki Bahan Bakar (VTBB) = P x SFOC x t


Dimana,
P = Daya Mesin (Hp)
t = Waktu Operasi (Jam)

Berat Bahan Bakar = VTBB x


Dimana,
3
= massa jenis bahan bakar (kg/m )

Dengan menggunakan rumus tersebut, didapatkan hasil seperti yang terlihat pada Tabel 3 di
bawah ini :

Tabel 4. Konsumsi Bahan Bakar

Berdasarkan tabel tersebut, dengan mengetahui volume maka kita dapat menentukan ukuran
dari tangki bahan bakar yang akan dirancang dengan software Maxsurf yang terdapat pilihan
fitur tank calibration yang dapat mengetahui besarnya kapasitas dari tangki bahan bakar mulai

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 272
dari kapasitas maksimum hingga minimum.

Sebelum mendapatkan hasil kalibrasi, terlebih dahulu dilakukan penentuan letak tangki
tersebut. Pada desain ini, tangki bahan bakar terletak di depan main engine & dibuat menjadi 2
bagian, yakni sebelah kiri dan sebelah kanan. Hal tersebut dilakukan agar kapal memiliki
stabilitas yang baik, karena kapal ini sendiri tidak memiliki awak sehingga diusahakan berat
bagian depan & belakang kapal seimbang agar kapal tidak trim ataupun oleng ketika beroperasi
dikarenakan stabilitas yang kurang baik.

Dari tabel di atas, dapat kita ketahui besarnya kapasitas dari dua tangki tersebut. Besar volume
3
untuk masing-masing tangki adalah 0,649 m untuk kapasitas 100%. Sesuai dengan
perhitungan yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, maka desain tangki ini bisa dipakai
untuk menyuplai kapal agar dapat beroperasi seperti yang direncanakan selama kurang lebih
20 jam.

4.5 Analisa Stabilitas Kapal


Setelah kita selesai menghitung dan menentukan letak dari tangki bahan bakar, maka tahap
selanjutnya adalah menentukan stabilitas. Simulasi stabilitas ini dilakukan dengan
menggunakan metode yang ada pada Hydromax.

Pada simulasi ini, kapal dikondisikan dalam keadaan perairan tenang. Sebelum dilakukan
simulasi, terlebih dahulu dihitung besarnya payload dari USAB ini dengan menggunakan
loadcase yang berfungsi untuk meletakan titik berat pada kapal dalam Hydromax. Setelah
loadcase selesai diisi maka simulasi siap dilakukan. Dalam pembuatan loadcase tersebut,
dimasukkan seluruh equipment yang ada di kapal seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini :
Berdasarkan data yang didapatkan dari loadcase di atas, maka diperoleh hasil analisa stabilitas
USAB seperti yang ditunjukkan pada grfik di bawah ini :
Hasil simulasi menunjukan bahwa stabilitas kapal dalam kondisi yang cukup baik. Hal ini dapat
ditunjukan dari grafik bahwa nilai GZ maksimum sebesar 1,006 m pada sudut kemiringan 48,2
dari starboard.

5. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Ukuran optimal untuk Military Unmanned Surface Attack Boat (MUSAB) ini adalah LOA =
9,62 m; B = 2,85 m; T = 0,65 m; H = 2,34 m; dan LWL = 7,62 m.
2. Untuk mencapai kecepatan 40 knot terjadi tahanan total sebesar 10,43 kN sehingga
dibutuhkan daya motor penggerak sebesar 429,41 kW.
3. Dengan kapasitas tangki bahan bakar sebesar 1500 liter maka MUSAB dapat beroperasi
selama kurang lebih 20 jam.
4. Analisa stabilitas menunjukkan performance yang bagus dimana nilai GZ maksimum
sebesar 1,006 m pada sudut kemiringan 48,2 dari starboard.

Acknowledgements
Penulis menyampaikan terima kasih kepada para mahasiswa yang telah memberikan
dukungan perhitungan dan analisis melalui pengerjaan tugas akhirnya. Semoga pola kerjasama
mutualisme ini dapat berlanjut di masa mendatang.

References
Bertram V., Unmanned Surface Vehicles A Survey, ENSIETA, 2 rue Franois Verny, F-29806
Brest, France, volker.bertram@ensieta.fr
Colito J., (2007), Autonomous Mission Planning and Execution for Unmanned Surface Vehicles
in Compliance with the Marine Rules of the Road, Master Thesis on Aeronautics and
Astronautics, University of Washington, Washington DC
st
Faltinsen O.M., (2005), Hydrodinamic Of High-Speed Marine Vehicle, 1 Edn ; 2005 ; USA
Hidayat A., (2011), Studi Perancangan unmanned surface attack boat (USAB) ukuran 9 meter,
Laporan Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, Surabaya
Manley J.E., (2008), Unmanned Surface Vehicles, 15 Years of Development, Battelle Applied
Coastal and environmental Services, Journal IEEE, 978-1-4244-2620-1/08/ Washington

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 273
Nugroho G.D., (2011), Studi Perancangan steering system pada unmanned surface attack boat
(USAB) 9 meter Berbasis Micro-controller, Laporan Tugas Akhir S1 Jurusan Teknik
Sistem Perkapalan ITS, Surabaya
Ray, S.; Leaney, M. (2004), The use of unmanned surface vehicles (USVs) to support
extremelittoral water operations during operation TELIC, Underwater Defence Technology
Europe, Nice
Hidayat R., (2011), Studi perancangan unmanned surface attack boat (USAB) ukuran 9 meter,
laporan tugas akhir program S1 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan ITS, Surabaya
Savistky D., (2003), On the Subject Of High Speed Monohull ; 2003; Athens
Savitsky D., (1964), Hydrodinamic Design Of Planning Hull ; 1964.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 274
PERENCANAAN KONFIGURASI SISTEM PROPULSI HYBRID
PADA KAPAL PATROLI TRIMARAN
*1 2 3
Eddy Setyo KOENHARDONO , Eko Budi DJATMIKO , Adi SOEPRIJANTO , M. Isa
4
IRAWAN
1
Mahasiswa S3 Teknik Sistem Pengendalian Kelautan, FTKITS
2
Dosen Teknik Kelautan, FTKITS
3
Dosen Teknik Elektro, FTIITS
4
Dosen Matematika, FMIPAITS
*
eddy-koen@its.ac.id

Keyword : Kapal patrol trimaran, sistem propulsi hybrid

1. Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dimana sesuai dengan konvensi
2
PBB 1982, wilayah perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km . Posisi Indonesia terletak di
persimpangan dua benua dan dua samudra dan terdapat tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) sebagai lintasan pelayaran internasional yang sangat penting. Kondisi ini memaksa
Indonesia harus memiliki armada kapal patrol/perang yang kuat, agar kedaulatan wilayah
senantiasa terjaga. Pada realitanya, wilayah perairan laut Indonesia memiliki tingkat kerawanan
yang tinggi berupa kegiatan-kegiatan penyelundupan, perompakan, illegal logging, illegal
fishing, invasi negara asing, dan lain-lain aktifitas yang merugikan negara.

TNI Angkatan Laut sebagai penjaga wilayah perairan Indonesia memiliki 3 peran penting, yaitu
peran militer, peran polisionil dan peran dukungan diplomasi yang mrupakan satu kesatuan.[1]
Tingkat kerawanan perairan laut Indonesia yang tinggi disebabkan peran polisionil TNI AL yang
kurang optimal, akibat armada yang dimiliki sangat minim. Perhitungan kebutuhan kapal patroli
TNI AL berdasarkan luas wilayah laut Indonesia dengan asumsi kemampuan jarak jelajah setiap
kapal patroli adalah 2000 nm, maka TNI AL membutuhan kapal patroli sekitar 841 unit.[2]
Kebutuhan armada dalam rangka pertahanan NKRI diperkirakan mencapai 350 unit, sedangkan
TNI AL hanya memiliki sekitar 155 kapal perang (sekitar 48 diantaranya jenis kapal patroli) dari
berbagai jenis dan ukuran, termasuk kapal fibreglass (Wilkipedia,2009).

Apabila jumlah armada kapal patrol yang dimiliki oleh TNI AL telah memadai, diharapkan
kerawanan kriminal di perairan laut Indonesia akan minimal. Oleh karena, kebutuhan
pembangunan kapal patrol sangat penting, khususnya kapal patrol yang handal, fleksibel dan
efisien. Sebuah kapal patrol trimaran yang menggunakan sistem propulsi hybrid diharapkan
sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Kapal trimaran telah terbukti lebih unggul dibandingkan
dengan kapal monohull, dilihat dari segi stabilitas, kebutuhan daya pada kecepatan tinggi dan
luas geladak. Pada paper ini akan dibahas, penggunaan sistem propulsi hybrid pada sebuah
kapal patroli trimaran sesuai dengan kondisi operasional kapal patrol yang direncanakan,
sebagaimana tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Contoh Kondisi Pelayaran Kapal Patroli


Patroli Patroli Pengejara
Operasi Deskripsi Survey Transit
lambat ekonomis n
Kecepatan kapal
8 12 18 25 30
(knot)
% waktu operasi 10% 25% 45% 15% 5%
Per 2000 jam operasi 200 500 900 300 100

2. Sistem Propulsi Hybrid Shaft Generator


Pada dasarnya, semua kapal minimal harus memiliki dua sistem pembangkit daya, yaitu sistem
pembangkit daya propulsi dan sistem pembangkit daya listrik.[3] Sistem pembangkit daya
propulsi atau sistem propulsi memiliki fungsi untuk menghasilkan sejumlah daya penggerak
agar kecepatan dinas kapal dapat tercapai. Sedangkan sistem pembangkit daya listrik berfungsi

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 275
untuk memenuhi kebutuhan daya listrik yang ada di kapal, yaitu pompa, kompressor, peralatan
navigasi dan komunikasi, peralatan ventilasi dan seterusnya.

Ada banyak jenis sistem propulsi kapal, namun yang sering dipergunakan di kapal adalah
sistem propulsi mekanis, sistem propulsi elektris dan sistem propulsi hybrid. Perbedaan antara
ketiga jenis sistem propulsi adalah ada tidaknya pemisahan antara sumber pembangkit daya
untuk sistem propulsi dan sistem pembangkit listrik. Pada sistem propulsi mekanis, kedua
sistem pembangkit daya terdapat pemisahan dan jenis daya yang dihasilkan ada dua, yaitu
daya mekanis dan daya listrik. Oleh karena itu, sumber daya untuk sistem propulsi diperoleh
hanya dari motor penggerak utama kapal. Adapun pada sistem propulsi elektris hanya terdapat
satu jenis sistem pembangkit daya yang menghasilkan daya listrik saja, sehingga sistem
propulsi menjadi beban listrik dari sistem pembangkit listrik.

Sistem propulsi hybrid adalah sistem propulsi yang menggunakan dua atau lebih sumber daya
yang berbeda untuk menggerakkan kapal sesuai dengan kecepatan dinas yang
direncanakan.[3] Gambar 1 memperlihatkan sebuah contoh dari sistem propulsi hybrid.
Hybridisasi pada sistem pembangkit daya propulsi dan sistem pembangkit daya listrik terjadi
akibat penggunaan shaft generator-motor. Shaft generator/motor memiliki dua fungsi :

- Sebagai motor induksi untuk membantu atau menggerakkan propeller, dimana pada mode
ini sumber daya listrik motor induksi diperoleh dari sistem pembangkit daya listrik di kapal
- Sebagai alternator untuk menghasilkan daya listrik bagi kebutuhan listrik di kapal, dimana
pada mode ini sumber daya diperoleh dari sebagian daya yang dihasilkan oleh motor
penggerak utama kapal.

Kekurangan yang terdapat pada sistem propulsi mekanis dan sistem propulsi elektris diatasi
dengan penggunaan sistem propulsi elektris dan kelebihan yang dimiliki oleh kedua sistem
propulsi tersebut juga menjadi kelebihan sistem propulsi hybrid. Kesimpulan dari kelemahan
dan kelebihan ketiga sistem propulsi dapat dibaca pada Tabel 2.

ES
prop. system

mech.
main eng. link mech trans propulsor propulsion

ES/M M/M M/M M

shaft motor/ elec. elec. mechanical


mech trans generator contr. motor consumer
M/M M/E E/E E/M M
electric power plant

electrical
aux eng. aux gen. converter consumer
ES/M M/E E/E E

aux eng. aux gen.


ES/M M/E

AC Bus electrical
UPS converter consumer
E E/E E

secondary bus

Gambar 1. Contoh diagram alir daya sebuah sistem propulsi hybrid

Fleksibilitas operasional sistem propulsi hybrid menjadi tinggi karena memiliki beberapa mode
operasional yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan operasional kapal. Beberapa mode
operasional yang dapat dilakukan oleh aplikasi sistem propulsi hybrid apabila diterapkan pada
sebuah kapal patrol jenis trimaran adalah :

Mode Propulsi Elektris. Mode propulsi elektris terutama dipergunakan saat kecepatan
dinas kapal adalah rendah. Motor listrik mengambil daya listrik yang dihasilkan oleh sistem
pembangkit listrik di kapal untuk menggerakkan propeller CPP melalui gearbox. Umumnya
posisi motor penggerak utama kapal pada kondisi standby atau idle. Pada mode ini,
pebangkitan daya diperoleh dari satu atau lebih genset dioperasikan tergantung pada
kebutuhan daya listrik yang ada. Dengan melakukan analisa engine propeller matching,
maka pola operasional yang memiliki efisiensi propulsi tinggi, noise dan getaran rendah
dan emisi lebih rendah dapat dicapai. Keuntungan lainnya, waktu pemeliharaan motor
penggerak utama kapal menjadi lebih panjang.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 276
Mode Propulsi Generator. Pada mode ini mesin utama memberikan kekuatan untuk
propulsi kapal, juga memasok daya yang dibutuhkan bagi konsumen kapal. Mode ini
mis. dipilih untuk berlayar transit. Hal ini memungkinkan loading tinggi dari mesin
utama, berjalan dengan konsumsi bahan bakar minyak rendah yang spesifik dan
karenanya dengan emisi minimal. Ini juga memperpanjang masa pemeliharaan genset
dan memberikan tambahan redundansi untuk pembangkit tenaga listrik.pada mode ini
shaft motor/alternator difungsikan sebagai alternator yang digerakkan oleh motor
penggerak utama kapal

Mode Propulsi Mekanis, dimana penggerak utama kapal beroperasi untuk


menggerakkan propeller. Mode ini sesuai saat kapal patroli beroperasi pada kecepatan
menengah sampai maksimum. Pada kecepatan menengah, sebagian daya yang
dihasilkan motor penggerak utama kapal dipergunakan untuk memutar shaft generator
untuk memenuhi kebutuhan listrik di kapal.

Mode Propulsi Booster (PTI/Power Take In), Mode booster dioperasikan ketika
dibutuhkan untuk kecepatan maksimum. Kombinasi operasi motor penggerak utama
dan motor listrik akan memberikan daya maksimum pada propeller CPP. Sistem
pembangkit listrik menghasilkan daya listrik untuk sistem propulsi dan peralatan listrik.
Modus PTI penguat terutama meningkatkan fleksibilitas dari sistem propulsi untuk
beban puncak.

G
R
M
R
G
R
G
R
G G
R
R
a. Mode Propulsi Elektris b. Mode Propulsi Generator
G
R
G
R
G
R
M
R
G
R
G
R
c. Mode Propulsi Mekanis d. Mode Propulsi Booster
Gambar 2. Beberapa mode operasional sistem propulsi hybrid

Fleksibilitas sistem propulsi hybrid yang tinggi sangat sesuai bagi sebuah kapal patroli yang
memiliki kecepatan dinas yang bervariasi. Perencanaan kapasitas daya maksimum sistem
propulsi kapal patroli berdasarkan pada kecepatan dinas maksimum, namun harus mampu
beroperasi dengan efisien pada kecepatan dinas patroli. Karena kapal patroli beroperasi pada
kecepatan maksimum dalam prosentase yang kecil, sedangkan kecepatan patroli memiliki
prosentase yang besar. Kapal patroli dapat beroperasi pada kecepatan dinas patroli dengan
propulsi elektris atau motor listrik dan pada saat dibutuhkan kecepatan dinas maksimum
mempergunakan seluruh kemampuan mesin induk berikut motor listrik.

Guna mendapatkan pola operasional kapal patroli yang optimal pada seluruh mode
operasionalnya, maka pemilihan konfigurasi kapasitas daya mesin induk, motor listrik dan diesel
generator menjadi kunci pokok permasalahan. Bagaimana mencari konfigurasi sistem propulsi
hybrid dan sistem pembangkit listrik pada kapal patroli jenis trimaran yang efektif dan efisien
menjadi tujuan dari paper ini.

3. Metode Penelitian
Pemilihan konfigurasi sistem propulsi hybrid dan sistem pembangkit listrik pada kapal patroli
jenis trimaran yang efektif dan efisien pada tahap perencanaan dilakukan dengan melakukan
analisa kebutuhan daya propulsi berdasarkan kecepatan dinas kapal dan analisa kebutuhan
daya listrik secara terpadu pada semua kondisi operasional kapal patroli jenis trimaran. Oleh
karena itu, kami membuat diagram alir metodologi penelitian sebagaimana pada Gambar 4.

Tahap pertama adalah identifikasi obyek penelitian yang berupa dimensi kapal, jenis propeller
yang dipergunakan, dan profile operasional. Dimensi kapal patroli jenis trimaran diketahui dari

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 277
disain tiga dimensi dengan menggunakan sebuah sofware aplikasi untuk dunia perkapalan.

Tahap kedua adalah estimasi kebutuhan daya propulsi berdasarkan kecepatan. Tahanan kapal
patroli trimaran diprediksi dengan menggunakan metode slender body sebagai fungsi
kecepatan dinas kapal. Kehilangan daya sepanjang sistem transmisi, baik mekanis maupun
elektris, dan harga sea margin diberikan berdasarkan referensi yang ada, sehingga kebutuhan
daya propulsi pada setiap kecepatan dinas kapal patroli trimaran dapat diperoleh.

Mulai

Data kapal :
Pemodelan kapal
Jenis propeller
Profile operasional

Estimasi daya vs kecepatan :


Tahanan kapal : survey, patroli lambat,
ekonomis, cepat dan maksimum
Daya propulsi : survey, patroli lambat,
ekonomis, cepat dan maksimum
Sea margin

Analisa beban listrik :


Kebutuhan daya listrik : survey, patroli
lambat, ekonomis, cepat dan maksimum
Kapasitas genset : survey, patroli
lambat, ekonomis, cepat dan maksimum

Pemilihan sistem hybrid :


Jenis kombinasi hybrid (mekanis-
elektris)
Pemilihan mode motor listrik : beban
rendah atau dan beban puncak, operasi
PTO/PTI

Pemilihan mesin :
Kebutuhan daya maksimum
mesin utama & genset :daya Pemilihan shaft
terpasang, rasio daya mekanis &
elektris motor/generator :
Konfigurasi jumlah, jenis mesin Daya, torsi & kecepatan
utama & genset motor
Batas beban maksimum mesin
utama & genset

Pemilihan propeller & gearbox :


Propeller : Diameter, Speed, etc
Pemilihan jenis gearbox : Twin-in-single-
out, etc
Gearbox : Ratio, Clutches, etc

Periksa :
Cek
fleksibilitas propulsi, ketersediaan daya
& ketersediaan torsi u motor

Oke

Selesai

Gambar 3. Diagram alir metodologi penelitian

Tahap tiga adalah analisa kebutuhan daya listrik pada setiap kondisi operasional kapal patroli.
Beban listrik yang diperhitungkan merupakan kebutuhan di kapal selain kebutuhan listrik untuk
sistem propulsi. Pada tahap ini akan dihasilkan kapasitas daya diesel generator yang diperlukan
oleh kapal patroli trimaran.
Tahap empat adalah pemilihan konfigurasi sistem propulsi yang efektif dan efisien berdasarkan
hasil yang diperoleh pada tahap dua dan tiga. Keluaran pada tahap ini adalah konfigurasi
sistem propulsi dan sistem pembangkit listrik pada kapal patroli trimaran yang sesuai.

4. Analisa dan Pembahasan


Pada tahap perencanaan ini diambil data pembanding sebuah kapal patroli monohull 60 m,
kemudian dilakukan permodelan dengan menggunakan software, sebagaimana terlihat pada
Gambar 5, sehingga diperoleh data dimensi kapal sebagai berikut :
Panjang garis air : 59,408 m
Lebar : 23,528 m
Sarat air : 1,955 m

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 278
Displasement volume : 284,618 m

Gambar 5. Gambar desain kapal patroli trimaran

Adapun profil operasional dari kapal patroli trimaran direncanakan sebagaimana pada Tabel 1 di
atas. Kapal patrol trimaran memiliki bentuk lambung adalah ramping (slender), sehingga
perhitungan tahanan menggunakan metode slender body. Harga tahanan kapal patrol trimaran
sesuai kecepatan dinas pada kondisi air tenang dan kondisi service, serta kebutuhan daya
efektif ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Harga tahanan kapal patrol trimaran


Kecepatan dinas Tahanan (kN) Daya pengereman
Mode Daya Eff
Air Service Propulsi Propulsi
operasional Knot m/s (kW)
tenang (15%) Mekanis Elektris
Survey 8 4,12 10,8 12.42 51.12 84.50 93.24
Patroli lambat 12 6,17 25,52 29.35 181.17 299.00 329.95
Patroli ekonomis 18 9,26 62,09 71.40 661.20 1091.80 1204.82
Patroli jelajah 25 12,86 147,69 169.84 2184.19 3606.65 3979.97
Pengejaran 28 14,40 171,67 197.42 2842.86 4694.28 5180.18

Gambar 6. Konfigurasi rencana sistem propulsi dan pembangkit listrik pada kapal patrol
trimaran

Berdasarkan pertimbangan kebutuhan daya efektif kapal yang sangat bervariasi, maka sistem
propulsi yang paling sesuai adalah sistem propulsi hybrid. Sistem propulsi hybrid yang dipilih
sebagaimana pada Gambar 6. Transmisi tenaga pada sistem propulsi hybrid ini, terdapat dua
jenis yaitu sistem propulsi elektris dan sistem propulsi mekanis. Besarnya kehilangan daya
yang dapat terjadi sepanjang transmisi dari motor diesel sampai ke propeller, baik mekanis dan
elektris, diilustrasikan pada Gambar 7. Perhitungan kebutuhan daya motor antara sistem
propulsi mekanis dan sistem propulsi elektris didasarkan pada kehilangan daya pada Gambar 7,
disajikan pada Tabel 2 pada lajur paling kanan.

Analisa pemilihan konfigurasi sistem propulsi dan sistem pembangkit listrik di kapal patrol

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 279
trimaran dengan melakukan pembagian beban pada sistem propulsi mekanis dan sistem
propulsi elektris. Iterasi ini terus dilakukan, sehingga diperoleh kesesuaian antara mode
operasional sistem propulsi hybrid terhadap kondisi operasional kapal patrol trimaran
berdasarkan pada harga load factor setiap motor diesel yang beroperasi sebagai sistem
propulsi dan sistem pembangkit listrik pada harga 70% sampai 90%. Hasil dari proses iterasi
diperoleh data pada Tabel 3.

Tabel 3. Pemilihan konfigurasi kapal yang menggunakan propulsi hybrid

Slow High Transit/


Mode operasi Survey Intercept Port
Patrol Patrol Cruising
Daya propulsi 105.29 373.18 1770.14 3606.96 4695.73 -
Daya nominal M/E 2700 kW
Daya listrik 211.81 198.61 198.61 256.31 297.04 64.88
Daya nominal A/E 250 kVA/200 kW
Daya shaft M/G 250 kVA/200 kW
M/E - - 1 2 2 -
Propulsi
Sistem

Beban SG - - 219.17 141.42 - -


Beban @M/E - - 1989.31 1944.9 2347.86 -
LF @M/E - - 74% 77% 87% -
SM 1 2 - - - -
Kelistrikan

Beban @SM 105.29 186.59 - - - -


Sistem

A/E 2 3 - - 2 1
P @A/E 152.48 176.25 - - 148.52 64.88
LF @A/E 76% 88% - - 79% 32%
Mode propulsi Elektris Elektris Generator Generator Mekanis -

Sehingga konfigurasi sistem propulsi pada kapal patroli trimaran adalah sebagai berikut :
1. Sistem propulsi
a. 2 motor diesel sebagai penggerak utama 2700 kW
b. 2 shaft motor dengan kapasitas daya 200 kW
2. Sistem pembangkit listrik
a. 3 diesel generator dengan kapasitas daya @ 250kVA/200kW
b. 2 shaft generator dengan kapasitas daya @ 250kVA/200kW

5. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan hasil analisa, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Adanya beberapa mode operasi pada sistem propulsi hybrid, sangat sesuai bagi kapal-
kapal yang memiliki variasi kecepatan dinas, sebagaimana kapal patroli.
2. Pada kapal patroli trimaran, mode operasi sistem propulsi hybrid hanya terbatas pada
mode elektris, generator dan mekanis, sehingga terbuka peluang untuk menaikkan
kecepatan dinas kapal apabila mode hybrid diaplikasikan pada kapal.
3. Adapun konfigurasi sistem pembangkit daya pada kapal adalah :
a. Sistem propulsi
i. 2 motor diesel sebagai penggerak utama 2700 kW
ii. 2 shaft motor dengan kapasitas daya 200 kW
b. Sistem pembangkit listrik
i. 3 diesel generator dengan kapasitas daya @ 250kVA/200kW
ii. 2 shaft generator dengan kapasitas daya @ 250kVA/200kW

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 280
Paper ini hanya membahas terntang besarnya kebutuhan daya untuk sistem propulsi maupun
untuk sistem pembangkit listrik di kapal patroli trimaran. Guna menentukan spesifikasi teknis
motor penggerak utama kapal dan sistem kelistrikan kapal, maka perlu dilakukan analisa
Engine Propeller Matching.

References
Booth K (1977) Navies and Foreign Policy, 1st edn. Crane, Russak
Koenhardono ES, Eko Budi Djatmiko, Adi Soeprijanto, M. Isa Irawan (2009), Perencanaan
sistem propulsi kapal patroli trimaran dengan propeller Wageningen B series. In: Proc
SENTA 2009, Surabaya, 17 Desember 2009
Woud HK, Douwe Stapersma (2002), Design of propulsion and electric power generation
st
systems, 1 edition, IMarEST, 80 Coleman Street, London
Anonim (2012), Hybrid Propulsion Flexibility and maximum efficiency optimally combined. MAN
Diesel and Turbo

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 281
PENGUKURAN DIMENSI RADIUS PADA CITRA SUDU CROSS-FLOW WATER
TURBINE DENGAN METODE PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
1 1
Bagus Mertha PRADNYANA* dan Arif WAHJUDI

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya


*Email: bagus_mp@me.its.ac.id

Abstract

This contribution deals with the design of cross flow water turbine (CFWT) inspection system. The CFWT plays an
important role in the utilization kinetic energy from marine or fluvial currents. To maintain the performance of the CFWT,
its geometry should be manufactured in accordance with the design. Therefore, the CFWTs geometry should be
measured after manufactured. Turbine radius R is one of the main geometric of CFWT that should be measured.
However, the turbine radius is very difficult to be measured using conventional measurement. Hence, a measurement
system based on image processing is proposed in this study to deal with the measurement difficulty of CFWTs radius.

Keywords: Cross Flow Water Turbine, turbine radius, measurement, image processing.

1. Pendahuluan

Citra (image) adalah sebuah representasi dari suatu objek atau benda. Citra dapat
dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu citra tampak dan citra tidak tampak. Citra tampak adalah
citra yang dapat dilihat oleh indra penglihatan kita, contohnya adalah foto diri, lukisan, dan citra
yang tampak pada layar televisi. Sedangkan citra tidak tampak adalah citra yang tidak dapat
dilihat oleh indra penglihatan kita. Terbentuknya sebuah citra berasal dari sebuah sumber
cahaya yang menerangi sebuah objek, kemudian objek tersebut memantulkan kembali
sebagian berkas cahaya tersebut. Pantulan cahaya inilah yang ditangkap oleh alat-alat optik,
misalnya mata manusia, kamera, pemindai (scanner), dan sebagainya, sehingga bayangan
objek yang disebut citra tersebut terekam. Bilamana alat optik yang merekam pantulan cahaya
tersebut merupakan mesin digital, misalnya kamera digital, maka citra yang dihasilkan
dinamakan citra digital. Untuk memudahkan pengertian fenemona di atas, kita bisa melihat
ilustrasi pada gambar 1.

Gambar 1. Interaksi gelombang objek dalam suatu pencitraan, Munir (2004)

Menurut Munir (2004), pengolahan citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan
menggunakan komputer. Sebagai contoh jika gambar tampak gelap, maka dapat dilakukan
operasi pengolahan citra untuk merubah kontrasnya sehingga citra menjadi lebih tajam. Teknik
pengolahan citra mentransformasikan citra menjadi citra lain. Pengolahan citra bertujuan
memperbaiki kualitas citra agar mudah ditangkap oleh manusia atau mesin (dalam hal ini
komputer). Dengan kemajuan teknologi dan tuntutan jaman sekarang ini, tujuan pengolahan
citra tidak hanya untuk memperbaiki dan memperindah citra semata, namun pengolahan citra
dilakukan agar manusia dapat mengetahui informasi-informasi yang ada di dalam citra tersebut
untuk tujuan tertentu, baik di dalam dunia kesehatan, keamanan dan pertahanan, hingga dunia
industri.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 282
2. Rancang Bangun Alat Ukur
Pengambilan citra sudu CFWT dilakukan menggunakan alat ukur yang telah disiapkan. Bagian
bagian utama dari alat ukur ini adalah sebagai berikut.
1) Meja Datar
2) Lampu
3) Layar
4) Kamera Digital
5) Ulir dan Tuas Penggerak
6) Dudukan Objek Ukur

Agar lebih jelas, desain alat ukur bisa dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Alat ukur berbasis pencitraan

Sudu CFWT di letakkan di atas dudukan yang telah disiapkan (6) yang berada di antara lampu
(2) dan layar (3). Lampu berfungsi untuk menghasilkan bayang bayang sudu yang nantinya
akan di tangkap oleh layar. Bayang bayang pada layar tersebut di foto menggunakan kamera
digital (4) dengan jarak antara layar dengan kamera telah di atur sedemikian rupa hingga
menghasilkan citra yang paling jelas. Pengaturan jarak kamera digital dengan layar
memanfaatkan ulir dan tuas penggerak (5) yang disiapkan pada alat ukur tersebut.

3. Pengolahan Citra Sudu CFWT


Setelah mendapatkan citra sudu dengan hasil yang terbaik, langkah selanjutnya adalah
mengolah citra sudu tersebut dengan menggunakan metode pengolahan citra digital. Proses
pengolahan citra sudu CFWT ini menggunakan empat metode, yaitu metode grayscale, metode
thresholding, metode edge detection, serta metode least-square circle fit.

3.1 Greyscale atau Derajat Keabuan


Citra berwarna teridiri dari tiga layer matrik yaitu R-layer, G-layer, dan B-layer. Sehingga
untuk melakukan tiap proses pengolahan citra tetap menggunakan tiga layer di atas.
Metode grayscale adalah proses mengubah warna citra ke sisi keabu-abuannya atau
mengubah derajat keabuan dari citra. Metode ini mengubah tiga layer di atas menjadi satu layer
matrik grayscale, sehingga hasilnya adalah citra grayscale. Dalam citra ini sudah tidak ada lagi
warna, yang ada adalah derajat keabuan.

Untuk mengubah citra berwarna yang mempunyai nilai matrik r, g, dan b menjadi citra grayscale
dengan nilai s, maka konversi dapat dilakukan dengan mengambil rata-rata dari nilai r, g, dan b
sehingga dapat ditulis seperti pada persamaan 1.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 283
(1)

(a) (b)
Gambar 3 Proses Greyscale pada citra sudu CFWT (a) citra dengan matrik r, g, dan b (b) citra
grayscale

Proses trasformasi citra berwarna menjadi citra grayscale sangatlah diperlukan untuk
memudahkan proses selanjutnya, yaitu proses thresholding. Proses pemisahan warna gelap
dan terang pada proses thresholding akan lebih mudah bilamana citra tersebut sudah pada sisi
keabu-abuanya.

3.2 Thresholding atau Pengambangan


Thresholding citra adalah suatu metode yang digunakan untuk memisahkan antara obyek dan
backgroundnya. Thresholding merupakan teknik yang sederhana dan efektif untuk segmentasi
citra. Proses thresholding sering disebut dengan proses binerisasi. Pada beberapa aplikasi
pengolahan citra, terlebih dahulu dilakukan threshold terhadap citra gray level hasil proses
grayscale untuk dapat menjadi citra biner (citra yang memiliki nilai level keabuan 0 atau 255).

Citra grayscale yang menjadi inputan untuk metode thresholding telah mempunyai nilai yang
sama pada nilai r, g, b nya . Selanjutnya dengan metode thresholding kita menentukan nilai
ambang atau threshold value untuk suatu citra tersebut. Setelah nilai ambang ditentukan maka
semua titik titik yang mempunyai nilai pixel di atas nilai ambang tersebut akan berwarna putih
dan nilai pixel yang di bawah nilai ambang akan menjadi warna hitam, ataupun sebaliknya,
sesuai dengan perintah yang dituliskan.

3.3 Edge Detection atau Deteksi Tepi


Edge detection atau deteksi tepi pada citra berfungsi untuk mengindentifikasi garis batas dari
suatu objek yang terdapat pada citra. Tepian dapat dipandang sebagai lokasi pixel dimana
terdapat nilai perbedaan intensitas citra secara ekstrem. Metode deteksi yang digunakan pada
penelitian ini adalah metode pixel difference, Pratt (1991). Metode pixel difference mempunyai
dua buah nilai matriks, yaitu nilai matriks untuk baris dan kolom seperti terlihat pada persamaan
2.

(2)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 284
(a) (b)
Gambar 4. Proses Thresholding pada citra sudu CFWT (a) citra grayscale (b) hasil thresholding

Untuk memproses nilai matrik pada metode pixel difference dengan nilai pixel pada masing-
masing titik koordinat suatu citra diperlukan metode konvolusi sehingga tepi pada citra dapat
terdeteksi. Konvolusi adalah cara untuk mengkombinasikan dua buah deret angka yang
menghasilkan deret angka ketiga. Secara umum rumus dari metode konvolusi adalah sebagai
berikut

(3)

(4)

p1 p2 p3
a b c p4 p5 p6
d e f p7 p8 p9
g h i
(a) (b)
Gambar 5. Metode konvolusi (a) matrik pengali (b) matrik citra

Bila kita mencari nilai baru pada posisi p5 maka perhitungannya adalah sebagai berikut

(5)

Misal didapat citra f(x,y) berukuran 5x5 dan sebuah matriks berukuran 3x3, maka penyelesaian
dalam metode konvolusi dapat ditunjukkan pada Gambar 6.

4 4 3 5 4 4 4 3 5 4
6 6 5 5 2 4 6 6 5 5 2 4 0
5 6 6 6 2 5 6 6 6 2
6 7 5 5 3 6 7 5 5 3
3 5 2 4 4 3 5 2 4 4

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 285
4 4 3 5 4 4 4 3 5 4
6 6 5 5 2 4 0 8 6 6 5 5 2 4 0 8
5 6 6 6 2 5 6 6 6 2 0
6 7 5 5 3 6 7 5 5 3
3 5 2 4 4 3 5 2 4 4

4 0 8
0 2 6
6 0 2

Gambar 6. Penyelesaian dengan metode konvolusi

Gambar 7. Proses Edge Detection pada citra sudu CFWT

3.4 Least-Square Circle Fit


Sebagaimana yang diketahui bahwa bentuk sudu tampak depan identik dengan lingkaran.
Dikarenakan hasil pendeteksian tepi pada proses sebelumnya tidak dapat berjalan sempurna,
maka diperlukan sebuah metode untuk mencari pola lingkaran yang sebenarnya. Salah satu
metode yang memungkinkan adalah least-squares circle fit, Bullock (2006). Dengan metode ini,
selain dapat merekonstruksi ulang garis tepi dengan pola lingkaran dengan sempurna, nilai dari
dimensi radius citra sudu dapat diketahui.

Dengan titik pusat koordinat (x,y) = (0,0) lingkaran mempunyai persamaan sebagai berikut :
R2 x2 y2 (6)
Bila titik pusat koordinat lingkaran terletak pada uc , vc maka persamaan lingkarangnya
adalah :
R 2 x u c y vc
2 2
(7)

Untuk memperoleh lingkaran yang paling mendekati dengan metode ini, langkah pertama
adalah menentukan nilai x rata-rata dan y rata-rata. Dimana xi , yi | 0 i N :
1 1
x
N
xi
i y
N
y
i
i (8)

Dengan mengetahui titik-titik koordinat tepi pada citra awal xi , yi , kemudian dikonversi dulu

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 286
ke dalam nilai ui , vi dengan perhitungan :
ui x i x vi y i y (9)
Untuk mendapatan persamaan lingkaran dengan pusat koordinat uc , vc dan radius R, kita
akan menyederhanakan persamaan

S g ui , vi 0
2
(10)

dimana
g u, v u uc v yc R 2
2
(11)
R 2
(12)
Dengan melakukan differensial pada S , u c maka
S g
2 g (u ,i , vi ) ui , uv (13)
a i u i
S
Jika 0 , maka

g ui , vi 0 (14)

Kemudian dilanjutkan dengan persamaan

S
2 g u i , vi (15)
u c 7

S g
2 g ui , vi ui , vi (16)
u c i u c
4 ui vi g (ui , vi ) (17)

4 ui g ui , vi 4u c g ui , vi (18)
i i
= 0 dari persamaan 14

S
Jika 0 , maka
u c
u g u , v 0
i
i i i (19)

S
Jika 0 , maka
vc
v g u , v 0
i
i i i (20)

Dengan persamaaan 11 dan persamaan 19 maka didapat


u u
i
i
2
i
2ui u c u c2 vi2 2vi vc vc2 0 (21)

Jika diketahui, S u u i , S uu u i2 dan seterusnya, maka persamaan di atas bisa


i i
dijabarkan menjadi
S uuu 2uc S uu uc2 S u S uuu 2uc S uv vc2 S u S u 0 (22)

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 287
Jika S u 0 , maka

u c S uu vc S uv S uuu S uvv
1
(23)
2
Jika S v 0 , maka

u c S uv vc S vv S uuu S vuu
1
(24)
2

Titik pusat lingkaran uc , vc dapat diperoleh dengan menyelesaikan persamaan 23 dan 24


dengan menggunakan metode eliminasi, substitusi atau metode penyelesain yang lainnya.
Untuk mendapatkan nilai radius, kita menggunakan persamaan 21
u u
i
i
2
i
2ui u c u c2 vi2 2vi vc vc2 0

Jika S u S v 0 , maka didapatkan



N uc2 vci S uu S vv 0 (21)
sehingga
S uu S vv
u c2 vc2 (22)
N
R (26)

Gambar 8. Mendapatkan pola garis lingkarang pada citra sudu CFWT

Gambar 9. Perhitungan software untuk mendapatkan nilai radius pada sudu CFWT

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 288
4. Hasil dan Pembahasan
Telah dirancang dan dibangun sebuah apat ukur dan software pengukuran dimensi radius pada
citra sudu CFWT. Alat ukur yang terdiri dari lampu, dudukan benda, layar, kamera digital, tuas
penggerak, dan meja datar menghasilkan citra 2D sudu CFWT. Dengan bantuan alat ukur
tersebut noise yang ada dapat diminimalisir.

Setelah citra sudu 2D CFWT didapatkan oleh alat ukur, kemudian citra tersebut diproses
menggunakan software yang telah dirancang. Software tersebut mempunyai beberapa tahapan
proses yang secara berturut-turut adalah proses grayscale, proses thresholding, proses edge
detection dan yang terakhir proses rekontruksi garis menggunakan metode least-squares circle
fit. Software ini juga dapat secara otomatis menentukan besar dimensi radius pada citra sudu
CFWT. Melalui metode least-square circle fit, citra sudu CFWT yang diambil dari jarak 420 mm
didapatkan radius citra sudu sebesar 194,03 pixel. Hasil keluaran dari software ini masih berupa
satuan pixel. Untuk mendapatkan keluaran dengan satuan sebenarnya perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.

Reference

Bullock, R. (2006): Least-Squares Circle Fit, http://www.dtcenter.org/met/users/docs/write_ups/


circle_fit.pdf.
Munir, R. (2004): Pengolahan Citra Digital dengan Pendekatan Algoritmik, Penerbit Informatika
Bandung, Bandung.
nd
Pratt, W.K. (1991): Digital Image Processing, 2 edition, John Wiley & Sons, Inc, New York.
Zanette, J., Imbault, D., dan Tourabi, A. (2010): A design Methodology for Cross Flow Water
Turbines, Renewable Energy, Vol. 35, hal. 9971009.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 289
RANCANG BANGUN MEKANISME ALAT UKUR SUDU CROSS FLOW WATER
TURBINE BERBASIS IMAGE PROCESSING
*1 1 1
Windy RUSWEKI , I Made Londen BATAN dan Arif WAHJUDI
1
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS-Surabaya
*Email: windy.mesin@ymail.com, ProductDesignLab@me.its.ac.id

Abstract

Recently, many studies have been done to look for renewable energy sources such as kinetic energy from marine or
fluvial currents and bio fuel. In the utilization of kinetic energy from marine or fluvial currents, water turbine plays an
important role. One of the water turbine types is Cross Flow Water Turbine (CFWT). This type of water turbine has an
axis of rotation perpendicular to the current direction. The performance of the CFWT depends on its geometry.
Unfortunately, the CFWTs geometry is very difficult to be inspected using conventional measurement because it has
complex geometry. Hence, a non conventional measurement system based on image processing is proposed in this
study to deal with the inspection difficulty of the CFWTs geometry.

Keywords: Cross Flow Water Turbine, geometry inspection, image processing.

1. Pendahuluan
Hingga saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk mencari pengganti energi yang berasal
dari fosil, misalnya energi kinetik dari air laut atau fluvial, bahan bakar bio, sumber energi angin,
dan lain-lain. Untuk energi air salah satu peralatan yang penting adalah turbin air. Kategori
turbin air saat bekerja dapat dibagi sesuai karakteristik dengan melihat orientasi sumbu rotional
dengan memperhatikan arah aliran air. Jika rotor turbin mengikuti arus air, turbin tersebut
disebut Axial Flow Water Turbine (AFWT). Sebaliknya, jika sumbu rotasi tegak lurus terhadap
arus air, turbin beroperasi tergantung arah aliran. Kategori turbin ini dikenal sebagai Cross Flow
Water Turbine (CFWT). Berdasarkan interaksi antara fluida dan struktur CFWT, sudu CFWT
menerima beban fatique karena mengalami pembebanan siklus bolak-balik pada setiap
putarannya. Untuk meminimalkan efek fatique dan memperoleh kinerja mekanis yang lebih
baik, geometri sudu yang optimal sangat diperlukan. Sebuah bentuk sudu CFWT seperti
Gambar 1 merupakan bentuk sudu CFWT dengan dimensi-dimensi yang perlu diperhatikan
untuk meminimalkan efek fatique dan memperoleh kinerja mekanis yang lebih baik. Menurut
Zanette dkk (2010), dimensi sudu yang perlu diperhatikan adalah radius (R), tinggi turbin (H),
serta panjang chord atas dan bawah (C u dan Cl).

(a) (b) (c)


Gambar 1. Cross Flow Water Turbine: a) Turbin, b) Sudu Turbin, c) Dimensi Sudu

Salah satu cara untuk mengetahui dimensi sebuah desain sudu CFWT adalah dengan
penggunaan alat ukur. Pada saat ini model alat ukur dimensi sudu CFWT secara tidak
langsung, yaitu pengukuran model sudu dengan alat ukur geometris akan tetapi proses
pengukurannya sangat rumit dan sulit.

Untuk mengatasi masalah tersebut maka dibuat sebuah mekanisme alat ukur sudu CFWT.
Proses pengukuran sudu ini dilakukan secara tidak langsung, dimana obyek ukur disinari
dengan sumber cahaya, sehingga terbentuk bayangan obyek ukur. Bayangan tersebut
ditangkap oleh layar, kemudian diambil gambarnya (difoto) dengan kamera digital. Hasil foto
kamera diolah secara proses pencitraan. Selanjutnya foto diolah melalui bahasa pemrograman

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 290
untuk mendapatkan dimensi sudu CFWT, yaitu radius (R), tinggi turbin (H), serta panjang chord
atas dan bawah (Cu dan Cl).

2. Metode Penelitian
Motoda penelitian rancang bangun mekanisme alat ukur sudu ditunjukkan pada flowchart
dibawah ini

Start A B

Studi literatur dan lapangan Uji fungsi mekanisme alat ukur


sudu turbin

Perumusan masalah
TIDAK
Apakah mekanisme
memenuhi fungsi?
Menyusun List of requirement

YA
Perancangan mekanisme alat
ukur sudu turbin Pengambilan gambar bayangan
obyek ukur

Apakah rancangan TIDAK


memenuhi syarat?
Apakah bayangan TIDAK
obyek berhasil diambil
gambarnya?
YA
Manufaktur dan perakitan
mekanisme alat ukur sudu turbin YA

Kesimpulan

A B End

Gambar 2. Flowchart metoda penelitian

Cara pengambilan gambar oleh kamera digital dan posisi bayangan objek ukur mengikuti model
yang telah diusulkan oleh Hsu dkk (2009) seperti Gambar 3.

Gambar 3. Skema pengukuran jarak berbasis pencitraan

2.1. List of Requirement Alat Ukur


Seperti yang telah dipaparkan oleh Batan (2007), beberapa hal yang disusun dalam sebuah
daftar disebut dengan list of requirement, seperti dalam tabel 1 dibutuhkan untuk merancang
mekanisme alat ukur sudu turbin.

Tabel 1. List of requirement alat ukur sudu CFWT


TEKNIK MESIN ITS LIST OF REQUIREMENT HALAMAN
Nama produk/komponen
Change DW ALAT UKUR SUDU CROSS FLOW RESPONSIBLE

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 291
Spesifikasi dan Geometris
D Mampu menahan beban
D Tidak bergetar saat kamera dipindah
D Tidak mudah bengkok
W Berat alat ukur 25 kg
W Dimensi = 1000 mm x 500 mm
Fungsi
D Dapat menggerakkan kamera dengan 2 titik
pengambilan yang berbeda
D Dapat mempertahankan kamera tetap fokus
pada saat pengambilan gambar
D Dapat menangkap bayangan sudu
Material
D Material tersedia di pasaran
W Berat 20 kg
W Bahan aluminium dan steel
Manufaktur dan Perakitan
D Part dan mekanisme bisa dimanufaktur
D Bisa dirakit
D Bisa dilepas
Pengoperasian dan Mekanisme
D Mudah dioperasikan
D Dapat dioperasikan secara manual
W Dapat dioperasikan secara otomatis

Dari list of requirement pada tabel 1, hal-hal yang sangat penting diperhatikan untuk merancang
mekanisme alat ukur sudu turbin adalah:
1) Dapat menggerakkan kamera dengan 2 titik pengambilan gambar yang berbeda.
2) Dapat mempertahankan kamera tetap fokus pada saat pengambilan gambar.
3) Dapat menangkap bayangan sudu.

2.2. Konsep Mekanisme Alat Ukur


Berdasarkan list of requirement yang ada, dibuat konsep seperti Gambar 4. Konsep ini terdiri
dari bagian :
1) Meja Datar
2) Lampu/sumber cahaya
3) Layar
4) Kamera
5) Eretan
6) Dudukan objek ukur

Gambar 4. Konsep Rancangan

Sebuah objek ukur berupa sudu diletakkan pada dudukan objek ukur (6) untuk dilakukan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 292
penyinaran oleh lampu (2) sehingga dihasilkan bayangan objek ukur pada layar (3), bayangan
pada layar selanjutnya diambil gambarnya oleh kamera yang diletakkan pada dudukan kamera
(4). Sedangkan untuk mengatur variasi jumlah pixel maka dapat dilakukan dengan mengatur
eretan (5) untuk mengatur jarak antara kamera dan layar.

3. Hasil dan Pembahasan


Dari konsep berdasarkan Gambar 4 dibuat alat ukur sudu CFWT seperti Gambar 5

Gambar 5. Rangka Alat Ukur dan Sistem Penggerak

Rangka terdiri dari meja alat ukur, pembawa kamera, pembawa layar, rel pembawa kamera dan
layar, dudukan benda kerja serta dudukan lampu. Lampu berfungsi sebagai sumber cahaya
yang disorotkan ke benda kerja sehingga terbentuk bayang-bayang proyeksi dari obyek ukur
pada layar. Kemudian gambar proyeksi 2D yang ditangkap layar akan dicapture oleh kamera
dan diukur dengan menerapkan prinsip-prinsip dalam pengolahan citra. Mekanisme gerak
terdiri dari tuas dan ulir penggerak. Tuas penggerak dan pembawa kamera seperti terlihat pada
Gambar 5, dihubungkan dengan sebuah ulir penggerak sehingga pembawa kamera dapat
digerakkan maju atau mundur dengan memutar tuas penggerak.

Selain pembawa kamera, pembawa layar juga dapat digerakkan maju dan mundur diatas rel.
Pergerakan ini dimaksudkan untuk mengatur jarak antara layar dan benda ukur sedekat
mungkin agar diperoleh bayangan yang mempunyai perbandingan 1:1 dengan ukurannya. Akan
tetapi, pergerakan layar ini tidak dilakukan dengan mekanisme gerak melainkan langsung
digeser dengan tangan operator. Agar posisi layar tidak mudah bergeser selama proses
pengukuran berlangsung, dipasang sebuah pengunci dibawah pembawa layar. Pengunci
pembawa layar ini dapat ditunjukkan pada Gambar 6. Sebagai layar penangkap bayangan
digunakan kertas kalkir.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 293
Gambar 6. Pengunci Pembawa Layar

4. Analisa karakteristik alat ukur


4.1. Pemilihan lampu
Sumber cahaya seperti lampu dibutuhkan untuk membentuk sebuah bayangan yang
merupakan hasil proyeksi benda ukur pada layar. Jenis lampu cukup banyak,sehingga perlu
dipilih lampu seperti apa yang akan memberikan bayangan terbaik. Pada penelitian ini, ada dua
jenis lampu yaitu lampu halogen dan lampu xenon seperti Gambar 7.

(a) (b)
Gambar 7. Lampu (a) Halogen (b) Xenon

Keduanya dicoba untuk melihat hasil bayangan benda ukur. Benda ukur yang dipilih adalah
sebuah baling-baling mainan helikopter. Hal ini disebabkan karena mencari sudu turbin CFWT
yang sebenarnya sangat sulit sedangkan baling-baling helikopter sangat mirip bentuknya
dengan sudu CFWT. Gambar baling-baling helikopter sebagai benda ukur dapat dilihat pada
Gambar 8. Hasil percobaan bayangan yang dihasilkan oleh kedua lampu dapat dilihat pada
Gambar 9. Gambar 9 ini menampilkan bayangan sudu dari pandangan samping dimana
pengukuran radius akan dilakukan. Dari Gambar 9 terlihat bahwa lampu halogen memberikan
bayangan yang kabur. Hal ini disebabkan intensitas lampu halogen yang sangat tinggi sehingga
batas benda pada bayangan tidak jelas. Berlainan dengan lampu xenon, bayangan lampu
xenon yang memiliki intensitas lebih rendah terlihat lebih jelas. Oleh karena itu, lampu xenon
digunakan sebagai sumber cahaya pada alat ukur sudu berbasis pencitraan ini.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 294
Gambar 8. Sudu sebagai Objek Ukur

(a) (b)
Gambar 9. Bayangan sudu dengan menggunakan (a) lampu halogen (b) lampu xenon

Selain jenis lampu, jumlah lampu juga dipertimbangkan dalam penelitian ini. Pada Gambar 8,
hanya satu lampu yang digunakan untuk membentuk bayangan. Gambar 10 menunjukkan
bayangan dengan menggunakan lampu xenon berjumlah 3 yang disusun mendatar, 3 yang
disusun tegak, dan 9 yang disusun 3x3. Dengan menggunakan lebih dari satu lampu, bayangan
yang terbentuk menjadi banyak, sesuai dengan jumlah dan posisi lampu. Oleh karena itu,
jumlah lampu xenon yang digunakan pada alat ukur ini adalah 1 buah.

(a) (b) (c)


Gambar 10. Bayangan sudu dengan menggunakan lampu xenon berjumlah (a) 3 disusun
vertikal (b) 3 disusun horizontal (c) 9 disusun 3x3

4.2. Penentuan range pengukuran


Range pengukuran ditentukan dengan mengambil gambar yang muncul pada layar pada jarak
antara layar dengan kamerayang terdekat sampai yang terjauh. Pengambilan gambar dilakukan
dengan kenaikan jarak antara layar dan kamera sebesar 10 mm. Hasil pengambilan gambar
dari jarak 90-160 mm dan 420 mm dapat ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar yang diambil
dari jarak 90 mm terlihat kabur, gambar mulai terlihat jelas ketika diambil dari jarak 130 mm dan
tetap jelas sampai dengan jarak maksimum yaitu 420 mm dari layar. Oleh karena itu, range
pengukuran dengan menggunakan alat ukur ini di tentukan mulai dari 130 mm sampai dengan
420 mm. Range ini diperlukan terutama untuk menentukan seberapa besar jarak pengambilan 2

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 295
gambar pada metode seperti terlihat pada Gambar 3.

Gambar 11. Pengambilan gambar bayangan untuk jarak layar dan kamera yang berbeda

Setelah bayangan sudu dari pandangan samping dengan posisi terjelas di dapat, diambil
gambar bayangan sudu dengan merubah posisi sudu sehingga di dapatkan 3 posisi sudu yang
berbeda, yang mana nantinya digunakan untuk mengetahui geometri sudu dari sudut yang
berbeda-beda. Gambarnya diambil pada posisi 130 mm, 160 mm, dan 210 mm. Hasil ujicoba
pengambilan gambar dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Pengambilan gambar bayangan dengan 3 posisi sudu

Selain bayangan sudu dari pandangan samping, bayangan sudu dari pandangan depan juga
diambil gambarrya dari jarak antara layar dengan kamera sebesar 130 mm. Gambar ini
nantinya akan digunakan untuk mengukur dimensi tinggi turbin (H) serta panjang chord atas
dan bawah (Cu dan Cl). Hasil uji coba pengambilan gambar (foto) pandangan depan dari sudu
oleh kamera digital dapat dilihat pada gambar 13. Dari gambar 13 ini terlihat bahwa bayangan
sudu juga dapat ditangkap dengan jelas oleh kamera digital. Hal ini menunjukkan rancang
bangun mekanisme alat ukur sudu CFWT dapat memenuhi fungsinya, dan sesuai dengan
rancangannya.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 296
Gambar 13. Bayangan Sudu Pandangan Depan

5. Kesimpulan
Telah dirancang dan dibangun mekanisme sebuah alat ukur sudu CFWT yang sederhana dan
mudah dioperasikan. Rangka alat ukur terdiri dari meja alat ukur, pembawa kamera, pembawa
layar, rel pembawa kamera dan layar, dudukan benda kerja, serta dudukan lampu, lampu yang
digunakan adalah jenis lampu xenon yang berjumlah 1. Pengambilan data gambar dilakukan
dengan kenaikan jarak antara layar dan kamera sebesar 10 mm dengan pengambilan gambar
dari jarak 90 - 420 mm. Hasil rancang bangun mekanisme alat ukur sudu CFWT sangat positif,
yaitu gambar bayangan benda ukur di layar dapat difoto dengan kamera digital. Selanjutnya
dengan proses pencitraan, gambar tersebut dapat diolah menjadi dimensi sudu-sudu CFWT.

Ucapan Terima kasih

Terima kasih kepada bapak I Made Londen Batan dan bapak Arif Wahyudi selaku dosen
pembimbing dan teman-teman lab P3 yang telah membantu hingga teselesaikannya penelitian
ini.

Reference
Batan, I M. L. (2007): Diktat Kuliah Desain Produk. Institut Teknologi Sepuluh November,
Jurusan Teknik Mesin, FTI. Surabaya.
Hsu, C.-C., Lu M.-C., Wang, W.-Y. dan Lu, Y.-Y. (2009): Distance measurement based on pixel
variation of CCD images, ISA Transactions, 48: hal. 389395
Zanette, J., Imbault, D. dan Tourabi, A. (2010): A design methodology for cross flow water
turbines, Renewable Energy, 35, hal. 9971009

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 297
SPREADSHEET BASED DECISION SUPPORT SYSTEM FOR
INVENTORY MANAGEMENT AND SHIP SCHEDULING
*1 1 1
Gede WAHYU , Yoga DANA and Gigih ERISTIAWAN

PT Holcim Indonesia Tbk, Logistics Directorate


*Email: gede.wahyu@holcim.com; gigih.eristiawan@holcim.com

Abstract
Currently ship scheduling in Holcim Indonesia has been done manually using spreadsheet based on the planner
knowledge and experience. This makes the planning time become long and exhausting. Besides that, the costs incurred
is not evaluated well, thus the distribution costs become high. Along with the business growth, the number of ships,
supply port, and demand port will increase more and more. It will be impossible to be handled optimally by manual
calculation and experience only. The purpose of this research is to make an Decision Support System which integrating
between inventory management and ship scheduling system. The inventory and forecast data at each warehouse is
updated daily, then the planner can arrange the planning base on this inventory and forecast data. The result of using
this DSS on August is the time spent on schedule planning has been cut significantly, up to 75 minutes, decrease time
spent to adjust the planning about 50 minutes/adjustment. Thus freeing the planner for other creative tasks.Deduct
bunker request about 82 KL HSD and savings IDR 103.5 million by allocate bunker at Java area instead of Riau area
which is requested by ship Master.

Keyword: Inventory, Ship, Scheduling, Decision Support System

1. Background
By the company ship is used to distributing product from plant to warehouses which spread at
several islands. In order to do that, company must hire and operate several ships. Thus the ship
must be scheduled properly to replenish stock at each warehouse so the inventory can be
maintain on safe level and distribution cost can be minimum.

This ship scheduling and inventory management is known as Maritime Inventory Routing
Problem (MIRP) (Christiansen et al, 2007). Maritime Inventory Routing Problem is defined as a
combined ship routing and scheduling problem and an inventory management problem. The
planning problem is to find routes and schedules for the fleet that minimize the transportation
costs without interrupting production or consumption at the storages (Christiansen and
Fagerholt, 2009). Based on author experince, Maritime Inventory Routing Problems are very
complex problem so its quite difficult to modelling the optimization using mathematical
modelling. N. Siswanto (2010) also found that computational time of this optimization is long.
Another concern is the uncertainty of shipping industry which give great impact to the schedule.

This paper present a spreadsheed based decision support system to help planner arrange the
schedule, route and manage inventory level at each warehouses all at once. This research is
focus to develop a user friendly system and a simple working environment, thus Ms. Excel
spreadsheet is used. Study case in cement bulk shipping is used to develop this research.

2. Design of Decision Support System


This DSS concept is integrating all variable which related to ship scheduling and inventory
management (Figure 1). Some of these variable are daily stock in warehouse, sales forecast,
ship speed, ship fuel consumption, charter hire/day, port to port distance table, and fuel price
every month. By integrating those data, calculation of ship scheduling and inventory
management can be done.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 298
Figure 1. DSS Concept
2.1 Pengelolaan Stok
Display of inventory management is designed as simple as can so make it easy to understand.
This display is consist of three main part, those are ship name, date, and calculation table so
that actual stok and its estimation can be known. Then the discharging volume of each ship is
linked to ship scheduling menu. For example if MV Florence voy 32 is planned complete
discharge on 10 October 2012 at Batam (Figure 3) then in stock management Batam menu
(Figure 2) will automatically insert discharging volume of MV Florence on 10 October 2012 and
automatically calculate end stock at that warehouse.

Figure 2. Display of Stock Management


3. Ship Scheduling
Ship scheduling in this DSS is done manually by planner. Planner choose the ship that used
and insert its voyage no, then insert the loading port, discharging port, and next port after ship
finish unload. DSS will automatically calculate sailing time and give the arrival and departure
times for each port loading port and discharging port.

This scheduling menu is connected with inventory management at each warehouse (Figure 2),
thus the inventory level will be increase automatically if planner assign a ship there. To adjust
the planning with actual movement, just insert the actual time then fill it by yellow color as a
mark that even already happen.

Figure 3. View of Ship Scheduling Table

This DSS also could calculate fuel consumption for the vessels based on the sailing time, time
spent in the ports, and fuel consumption/hour which is stated on charter party. Thus this DSS
could be used to plan the purchasing of fuel, i.e. where to bunker and how much. These are
important decision as the fuel price varies a lot between the different ports.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 299
The last part is shipping cost calculation (Figure 4). The shipping cost is divided into 4 part,
those are time charter cost (TC), fuel cost (FC), cargo handling cost (CHC), and port charges
(PC) (Wijnolst & Wergeland, 1997) (Stopford, 1997).

Figure 4. Display of Bunker and Cost Calculation

4. Application of DSS on August 2012


This DSS has been used for ship planning in Holcim Indonesia since end of July 2012 and the
evalution result is very satisfactory. We found significant improvement in planning time and
savings on bunker cost.

4.1 Cut Planning Time


Before using DSS, ship planning at Holcim Indonesia is done manually with short period
planning horizon. This method bring on uproper planning which affect to stockout at
warehouses. Beside that, the time to arrange planning is long and exhausting. Depend on our
experience it could be 120 minutes. But, after using this DSS the planning time only 30 minutes,
much shorter than before and very easy to arrange planning in a medium period (3 weeks up to
1 month).

The other one is adjusment time. Since the ocean shipping is very uncertainty environment, the
tools which is used must be suitable to this condition. To adjust the planning with actual
condition, planner only needs to overwrite the schedule with actual condition and DSS will
automatically calculate the schedule base on actual time which entered before. Planner doesnt
need to recalculate the schedule manually because DSS could do that automatically. When we
measure the time between adjusment by manual vs adjusment by DSS, we realize that the time
cut is very significant. Adjust planning by manual method need 60 minutes, while by using DSS
only 10 minutes.

By using this DSS the time spent on schedule planning has been cut significantly, thus freeing
the schedulers for other creative tasks.

Figure 5. Improvement in Planning Time

4.2 Bunker Savings and Deduction


Another benefit of using this DSS is savings in bunker cost and control usage of bunker. Up to
40% of shipping cost comes from bunker cost, so it will be significant improvement if we could
savings at least 1% from this cost. Control usage of bunker is important too, because by
controlling usage of bunker we can prevent bunker abuse by ship crew.

Savings in bunker cost is done by allocating bunker at port where the fuel price is cheaper
instead of follow captain request. Figure 6 showing the previous scheme of bunker release.
Bunker request is not evaluated well, thus the planner just release the captain request no matter

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 300
how much. But, after DSS is used, we rearrange the scheme which is showed on Figure 7.
Every request is compared with calculation using DSS. If the request is make sense then
planner could release the request, but if the request is much more than DSS calculation then
planner should reject the request and supply bunker at port where the fuel price is cheaper.

Figure 6. Previous Scheme of Bunker Release

Figure 7. New Scheme of Bunker Release


After using this new scheme for bunker allocation, we found an amazing saving regarding
bunker cost. On August 2012 when DSS already used, Holcim could save 103 million rupiah by
allocate bunker (Figure 8).

Figure 8. Cost Saving by Allocating Bunker


5. Conclusion
After evaluating this DSS for 2 month, we found some conclution regarding this system, those
are:
a. This decision support system could Automatically calculate the cost and the effect to the
inventory
b. Easy to adjust the planning with real condition
c. Friendly user interface because this DSS is develod using Ms. Excel
d. Decrease planning time significantly
e. This DSS also can be used for bunker controlling, where to bunker and how much.
f. Only helpful for small to medium transportation network (less than 10 ships and 10 port)
because the assigment is done manually. Thus it will be difficult to find the optimum
assigment if the ship and port are too many.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 301
References
Christiansen, M., & Fagerholt, K. (2009). Maritime Inventory Routing Problems. Encyclopedia of
Optimization , 1947-1954.
Christiansen, M., Fagerholt, K., Flatberg, T., Haugen, ., Kloster, O., & H. Lund, E. (2008).
Maritime inventory routing with multiple products: A case study from the cement industry.
Elsevier .
Christiansen, M., Fagerholt, K., Nygreen, B., & Ronen, D. (2007). Maritime Transportation.
Handbooks in Operations Research and Management , 14, 189284.
Fagerholt, K. (2002). A Computer-Based Decision Support System for Vessel Fleet Scheduling-
Experience and Future Research. Elsevier .
Stopford, M. (1997). Maritime Economics (2nd ed.). London: Routledge.
Wijnolst, N., & Wergeland, T. (1997). Shipping. Netherlands: Delft University Press.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 302
PENGUKURAN GAYA PROPULSI KONDISI STATIK PESAWAT WING IN SURFACE
EFFECT KAPASITAS (1-2) PENUMPANG
FASE TAKEOFF
1 2 3 4
Sayuti SYAMSUAR* , Eko B DJATMIKO , Subchan , Erwandi
1
Program S3, Jurusan Teknik Sistem dan Pengaturan Kelautan,
Fakultas Teknologi Kelautan, ITS - Surabaya
2
Dosen Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS, Surabaya
3
Dosen Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
ITS - Surabaya
4
Ka. UPT Balai Pengkajian dan Penelitian Hidrodinamika (BPPH), BPPT, Surabaya
*E-mail: sayutisyamsuar@yahoo.com

Abstract

The static thrust measurement of Textron Lycoming O 360 engine series has been tested on the test hall before the
Wing In Surface (WiSE)-craft (1-2) passengers takeoff test. The aerodynamic and hydrodynamic performance (sea
keeping) flight testing have been done in the Pantai Carita, Bojonegara, Banten. The data measurement have been
measured by using weighting machine that installed by rot between craft and auto in fix position. The aim of this
measurement is to known exactly the static thrust as function of propeller speed and inlet temperature due to the
maximum takeoff weight of aircraft during takeoff on the water surface. The WiSE-craft normally takeoff and landing on
the water surface with the ocean wave while the water resistance between hulls of WiSE craft is 80 times bigger than
aerodynamic drags on the wing.

Keyword: Static thrust, surface effect, aircraft performance, maximum takeoff weight.

1. Pendahuluan
Gaya propulsi, T dari suatu sistem propulsi pada kondisi terbang berasal dari prinsip reaksi
yang sama seperti yang diperlihatkan oleh persamaan gerak hukum Newton kedua.
Pengukuran gaya propulsi, T telah dilakukan beberapa kali terhadap mesin LYCOMING TYPE
O 360 dari pesawat WISE kapasitas (1-2) penumpang yang menggunakan 3 (tiga) blade
propeller dengan daya mesin sebesar 180.0 HP. Pada tulisan ini disampaikan teori dasar
tentang ground static propulsion run dan pengujian pertama dan kedua dari prototip pesawat
WISE kapasitas (1-2) penumpang di hanggar Bojonegara, Banten, dimana sistem propulsi
terintegrasi dengan fuselage. Kedua pengujian ini memberikan hasil yang sedikit berbeda
dimana perbedaan tersebut diakibatkan oleh penggunaan propeller blade yang berbeda.
Permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah setting dari blade propeller yang tidak selalu
tepat untuk menghasilkan gaya propulsi, T yang optimal. Pengujian pengukuran gaya propulsi,
T pertama memberikan hasil 210.0 kgf (= 2059.3965 Newton) pada putaran propeller
maksimum dimana kondisi kecepatan angin, temperatur dan kelembaban (humidity) ruangan
sesuai dengan standar pengujian. Kondisi pesawat dalam keadaan fixed geometry systems
dimana pada saat ground static propulsion berlangsung telah diperoleh koefisien gaya propulsi,
T. Pengujian berdasarkan engine pressure ratio dan atau engine speed (rpm). Pengujian
pengukuran gaya propulsi, T kedua memberikan hasil gaya propulsi, T sebesar 230.0 kgf (=
2255.5295 Newton) pada putaran propeller maksimum. Ground static propulsion run adalah,
bagian yang penting dilakukan pada semua pesawat udara untuk mengetahui prestasi mesin
(engine performance) yang berasal dari sistem propulsi sebelum dan sesudah pelaksanaan uji
terbang.

Tujuan dari pengujian gaya propulsi, T adalah:

Mendefinisikan prestasi mesin saat mesin nyala dengan posisi terpasang pada badan
pesawat, memeriksa dan menyesuaikan engine trim.
Menentukan koefisien engine propulsion.
Mengukur gaya propulsi, T secara langsung kondisi statik di darat

Pengujian gaya propulsi, T dilengkapi dengan dudukan mesin yang sesuai dengan platform
yang ada di badan atas pesawat dan berada satu garis dengan titik pusat gravitasi, c.g. Mesin
dalam keadaan nyala pada saat penambahan dan pengurangan propulsion levels. Lakukan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 303
pengukuran dan pengamatan sistem propulsi sebaik-baiknya, usahakan memberikan kurva
hysteresis. Pada kasus ini, digunakan metoda pengukuran dengan alat timbangan pada skala
minimum-maksimum sebagai alat ukur gaya propulsi, T dengan menghubungkan pesawat
WiSE dengan truk/ mobil menggunakan tali pengikat dimana posisi timbangan terletak di antara
prototip pesawat WiSE dan truk/ mobil.

2. Teori
2.1 Gaya propulsi, T dan daya mesin, P
Pada Gambar 1 terlihat suatu propeller yang bekerja dalam keadaan ideal, dimana aliran udara
pada bagian atas dan bawah sayap menghasilkan gaya propulsi, T. Terlihat propeller head
dengan tipe kecepatan konstan.

Gambar 1 Tipe propeller head dengan kecepatan, V konstan.

Keadaan aliran udara free stream suatu propeller diperlihatkan oleh Gambar 2 dimana aliran
udara masuk (internal) sebelum propeller disc. Udara tersebut mempunyai tekanan, p,
kecepatan, V, luas permukaan tumbukan, A di propeller dan masa jenis udara, . Aliran garis
udara pada bagian keluar (external), dimana partikel udara bergerak relatif terhadap propeller
dengan masa jenis udara, (density) sebelum dan sesudah keluar sistem adalah konstan.

Gambar 2 Keadaan aliran udara pada propeller.

Persamaan Bernoulli yang digunakan untuk menghitung tekanan udara total (total pressure)
(PT) di depan dan di belakang propeller adalah:

Total Pressure = Static Pressure + Dynamic Pressure = Constant in uninterrupted flow.


pTahead p 1 V2 p1 1 V p2 (1)
2 2
pTbehind p 1 V j p2 1 V p2
2
(2)
2 2
Jadi,

2 j
1 V 2 V 2 p p p
2 1 (3)
Propulsion force (Thrust=T), dihasilkan oleh persamaan berikut:
1
T pAp Ap (V j2 V2 ) (4)
2
Atau,
T ApV p (V j V ) (5)
Sehingga, 2 (dua) persamaan berikut perlu diberikan :

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 304
1 (V 2 V 2 ) A V A (V V ) (6)
2 j p p p j

(V j V )
Vp (7)
2
Definisikan, a sebagai:
(V p V ) (V j V )
a (8)
V 2V
Maka, gaya propulsi, T adalah:
T 2ApV2 a(1 a) (9)
Notasi kecepatan aliran udara,,V, tekanan, p, luas permukaan, A dan masa jenis, dari partikel
udara pada rumusan di atas. Sedangkan, perhitungan Advance Ratio dan Koefisien dari Daya,
adalah:
Pinput 2ApV3 a(1 a) 2 (10)
Memberikan hasil,
(1 ) 2 Pinput 2 n 3 D 3 Pinput 2 1
Cp (11)
3 D V V n D
2 3 3 3 5
J3
dimana,
J = V0 / n D
CP : Koefisien Daya
n : Jumlah revolusi propeller saat berrotasi per detik
: Efisiensi propeller

2.2 Real Efficiency dan Propeller Losses


Sama seperti suatu sayap pesawat udara, maka propeller juga menghasilkan drag yang
bergerak sesuai dengan aliran udara di atas permukaan sayap tersebut. Drag ini adalah
peristiwa mekanik yang tidak dapat dihitung dari persamaan efisiensi. Hal lain yang cukup
berarti untuk mengetahui kehilangan peristiwa mekanik tersebut, adalah dengan menggunakan
efek tip, yang merupakan hasil dari tip pada propeller dengan pendekatan kecepatan suara dan
penimbulan gelombang kejut (shock wave). Hal ini akan menghasilkan noise (bising) dan
mengurangi efisiensi dari propeller. Dan, hal ini juga yang menyebabkan kecepatan propeller
selalu berada di bawah kecepatan suara. Pada kondisi normal diperoleh efisiensi propeller
sekitar 85.0 % dari efisiensi ideal.

2.3 Efisiensi propeller sebagai fungsi dari Advance Ratio


Akibat adanya kehilangan efisiensi pada propeller, seperti diperlihatkan oleh daerah I dan III
pada Gambar 3.

Gambar 3 Pengaruh J pada efisiensi propeller.

Pada Gambar 4 terlihat kecepatan relatif dari aliran udara terhadap putaran seksi propeller.
Sudut-sudut yang terbentuk pada proses ini, adalah sudut , alpha (angle of attack) dan sudut
beta, (sideslip angle). Kecepatan relatif adalah, penjumlahan secara vektor dari sumbu aliran
VP yang merupakan relasi langsung ke kecepatan arah depan dari propeller (kecepatan aliran

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 305
udara bebas) dan kecepatan rotasi pada seksi propeller (radius x kecepatan rotasi).

Gambar 4 Diagram aliran udara relatif (a). low forward speed, (b). high forward speed.

Jika, kecepatan relatif ke depan menuju kecepatan rotasi, adalah alpha positip (diukur searah
putaran jarum jam dari chord line), sehingga seksi ini menghasilkan gaya angkat, lift. Jika,
kecepatan ke depan ditambah, alpha berkurang sampai seksi bilah (blade) propeller
menghasilkan gaya angkat, lift sebesar nol. Jika, kecepatan ke depan ditambah, seperti pada
gambar terlihat seksi memproduksi gaya angkat, lift besarnya negatip. Kecepatan rotasi dari
propeller tergantung dari jarak sumbu rotasi, (r), sudut pitch yang juga bervariasi sepanjang
jarak ke bilah (blade), sehingga menghasilkan gaya propulsi, T.

Pada Gambar 5 terlihat lebih jelas masalah efisiensi dari seksi angle of attack, alpha sekitar 30
derajat dan J = 0. Titik nomor 1 kondisi stall, memproduksi sedikit gaya angkat, lift. Jika,
kecepatan ke depan ditambah, alpha berkurang dan seksi mulai menghasilkan gaya angkat, lift
yang lebih banyak (mengurangi konndisi stall) sampai kecepatan ditambah pada saat mana
gaya angkat, lift maksimum dari seksi ditambah dan efisiensi maksimum untuk seksi sehingga
mencapai titik nomor 2. Kemudian, apabila semua seksi propeller dirancang untuk
menghasilkan gaya angkat, lift maksimum menuju titik drag menimbulkan kecepatan ke depan,
menghasilkan efisiensi propeller maksimum. Jika sebaliknya, kecepatan ke depan kontiniu
ditambah, sedangkan alpha berkurang, sekarang menimbulkan gaya angkat, lift pada seksi; dan
efisiensi pada seksi berkurang sampai titik tertentu yang menghasilkan gaya angkat, lift nol dan
efisiensi menjadi nol. Kecepatan di sekitar propeller mulai menghasilkan gaya angkat, lift yang
berlawanan.

Gambar 5 Pengaruh dari (a). Lift ke drag; (b). Efisiensi propeller.

2.4 Sudut pitch pada propeller bervariasi (Variable Pitch Propeller)


Seksi pada Gambar 6, memperlihatkan propeller dirancang secara terpisah kecepatan ke
depan untuk semua seksi bilah propeller memberikan harapan keyakinan akan memproduksi
efisiensi maksimum, dimana efisiensi maksimum diperoleh dengan harga khusus J. Propeller
jenis ini sudah dikembangkan mulai tahun 1930-an dikaitkan dengan kemampuan rate of climb
pesawat udara. Harga optimal J diperoleh dengan variasi pitch angle, beta dimana propeller
dapat mengubah pitch angle saat di udara dengan menghasilkan efisiensi tertentu.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 306
Gambar 6 Contoh (a) fixed dan (b). kecepatan konstan dari propeller.

2.4.1 Fixed Pitch Propeller


Propeller jenis ini sudah terpasang tetap dari fabrik.

2.4.2 Kecepatan Konstan dari Propeller


Putaran propeller dijaga konstan dengan adanya proses otomatisasi oleh governor. Hal ini
merupakan kasus khusus yang menggunakan variable pitch dalam suatu keluarga mesin
dimana dioperasikan sendiri secara partikular. Penggunaan constant speed control, sudut pitch
pada variable pitch propeller diatur secara otomatis untuk mencapai kecepatan limit. Apabila
governor mendeteksi ada kecenderungan kecepatan propeller berkurang maka governor akan
mengurangi sudut pitch sehingga bereaksi melawan menuju batasan yang diberikan.

Pada Gambar 7, diperlihatkan variasi pitch propeller, dimana bilah propeller dirotasikan di
sekitar rotor hub, sehingga menghasilkan perbedaan beberapa pitch angle untuk perbedaan
kecepatan arah ke depan.

Gambar 7 Efisiensi propeller sebagai fungsi dari advance ratio berbagai variasi pitch angles.

3. Analisa Data
Pada Gambar 8 terlihat ilustrasi gaya yang bekerja pada pesawat WiSE, dimana gaya
aerodinamika bekerja pada titik pusat tekanan, c.p, gaya hidrodinamika pada center of
buoyance, c.b, dan gaya propulsi, T serta gaya berat, W terhadap titik pusat gravitasi, c.g.

Gambar 8 Distribusi gaya yang bekerja pada pesawat WiSE.

Pada Gambar 9 diperlihatkan mesin Textron Lycoming O 360 series dengan daya mesin 180

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 307
HP dengan putaran propeller maksimum 2700 rpm.

Gambar 9 Mesin Textron Lycoming 0 360 series daya 180 HP.

Pada Gambar 10 terlihat cockpit pesawat WiSE untuk indikator pengukuran gaya propulsi, T
seperti alat ukur putaran mesin, rpm, temperatur mesin, propulsion leverer dan jumlah bahan
bakar.

Gambar 10 Cockpit indicator pesawat WiSE.

Pada Gambar 11 terlihat dua jenis propeller dengan dua bilah yang digunakan dalam
menentukan besarnya gaya propulsi, T.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 308
Gambar 11 Dua jenis propeller yang digunakan pada pengujian.

Pada Gambar 12 terlihat prototip pesawat WiSE dimana bagian belakang diikat dengan tali,
kemudian dipasang alat ukur timbangan dan kemudian dengan tali yang sama dihubungkan ke
truk/ mobil yang diam sebagai penahan agar pesawat tidak bergerak saat tenaga maksimum.
Cradle sebagai dudukan pesawat berada pada posisi bebas tanpa pengikat sehingga hanya
dipengaruhi oleh pengaruh gaya gesek roda dengan lantai yang juga akan diukur pada akhir
pengujian.

Gambar 12 Pesawat WiSE kapasitas (1-2) penumpang di dalam hanggar.

Pada Gambar 13 berikut ini diperlihatkan alat ukur gaya propulsi, T menggunakan timbangan,
yang dihubungkan dengan tali antara pesawat WISE dan mobil.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 309
Gambar 13 Alat ukur timbangan sebagai pengukur gaya propulsi, T.

Pilot menyalakan mesin, dan pengujian berlangsung, throttle setting distabilkan beberapa menit
sebelum data diambil oleh specialist. Persayaratan kondisi kecepatan angin saat pengujian
adalah antara (8-10), knots sudah terpenuhi. Tidak ada cross wind di daerah pengujian pada
saat pengujian karena lokasinya dikondisikan di dalam hanggar. Suara mesin menimbulkan
getaran ke sekeliling ruangan,dan dapat menyebabkan kaca jendela pecah.

Pada bagian akhir, lakukan koreksi terhadap besarnya friksi antara prototip pesawat dengan
lantai, dengan cara: prototip pada kondisi diam dan kemudian ditarik dari depan oleh 1 (satu)
penumpang secara perlahan dengan menggunakan alat ukur timbangan, hasil pengukuran
adalah 12.5 kgf (122.5831 Newton). Hal ini disebut sebagai coefficient of friction antara roda
cradle dengan lantai. Semakin besar putaran mesin, rpm, maka hembusan angin ke belakang
yang dihasilkan juga semakin besar, demikian juga vibrasi yang terjadi pada badan pesawat,
tetapi tidak dilakukan pengukuran terhadap berapa besar kecepatan angin dan vibrasi yang
terjadi. Posisi mesin dipasang pada bagian atas badan pesawat WiSE. Keluaran dalam bentuk
kurva hasil perhitungan dan pengukuran sebagai ground static propulsion run dengan ordinat Y,
sebagai gaya propulsi, T, Newton versus absis X, Engine speed, rpm (TBD).

Pada Tabel 1 terlihat beberapa data hasil pengujian gaya propulsi, T kondisi static dengan
putaran idle.
Tabel 1 Data hasil pengukuran gaya propulsi, T.
No. Waktu RPM TEMPERATUR
1. 08:20 135.0 Oil temp. 70 deg.
2. 08:25 153.0 -
3. 08:30 156.0 -
4. 08:35 162.0 -
5. 08:40 159.0 -
6. 08:45 204.0 -
7. 08:50 210.0 -
8. 08:55 144.0 -

4. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang bisa disampaikan pada hasil pengukuran gaya propulsi, T kondisi
statik dari pesawat WISE kapasiatas (1-2) penumpang dengan daya mesin sebesar 180, PK,
dengan merek LYCOMING TYPE O 360 di Bojonegara, Banten, adalah:

1. Pengujian telah dilaksanakan di Bojonegara, Banten pada April tahun 2009 dimana kondisi
ruang uji di test hall memenuhi persyaratan, seperti tidak ada angin, temperatur kamar dan
kelembaban normal. Ruang terbuka tanpa sistem air conditioning.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 310
2. Pengujian sebaiknya dilaksanakan dari kondisi putaran mesin minimum (rpm) ke putaran
maksimum (rpm). Lakukan pencatatan dan kemudian atur throttle dari putaran maksimum
(rpm) kembali lagi ke putaran minimum (rpm) untuk mendapatkan kurva hysteresis.
3. Hasil pengujian gaya propulsi, T sesuai dengan syarat yang diperlukan untuk program
pengujian prestasi terbang selanjutnya, seperti untuk pengujian fase takeoff di permukaan
air di pantai Carita, Bojonegara, Banten

Reference
David L. Kohlman, Flight Test Principles and Practices, The University of Kansas, Quebec,
Canada, 1989.
Egbert Torenbeek, Synthesis of Subsonic Airplane Design, Delft University, Delft, 1982
Ir. R. F. Scheltema De Heere, Drs. A. R. Bakker, Buoyancy and Stability of Ships, Technical
Publications H. Stam, Culemborg, The Netherlands, 1969.
Tim WiSE LPPM-ITB, Laporan akhir disain konfigurasi Preliminary design Part I A, WiSE 8
seaters; Design Requirements and Objectives, Bandung, Desember 2005.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 311
DESIGN OF OPTIMAL SLIDING MODE CONTROLLER FOR BARREL CANNON
POSITION CONTROL ON THE MOVING PLATFORM
*1 1
Ramadhani Kurniawan SUBROTO , Dian MURSYITAH , Rusdhianto Effendie Abdul
1
KADIER
1
Department of Electrical Engineering, Faculty of Industrial Technology, ITS Surabaya.
*E-mail: ramadhani11@mhs.ee.its.ac.id

Abstract

The cannon is an important artillery system which is the element of war ship itself. However, in real condition, existence
of disturbance can occur in target tracking process of barrel cannon. The motions of war ship due to effects of ocean
wave can cause ship moves up and down and it can be inferred as pitch and roll disturbances. Unbalance position of
barrel cannon caused by pitch and roll disturbances will affect target accuracy. The more balance and robust barrel
cannon position, the more accurate target will be obtained. Therefore, it is needed controller which has robust
characteristic to overcome this problem. Optimal Sliding Mode (OSM) controller, which is hybrid control of LQR and
sliding mode control is employed to control both elevation and training motions because it can cope uncertainty factors
and robust toward various disturbances. Permanent magnet DC motors with reduction gear are utilized as actuators in
barrel cannons motions. Each motor is controlled by each independent controller so that each motion need to be
modeled. The simulation result show that proposed controller achieves better response than conventional one, PD
controller, in controlling elevation and training motions under pitch and roll disturbances due to ocean waves. In testing
system, Integral Absolute Error (IAE) system with OSM controller for elevation motion is less 15.48 times than PD
controller.

Keywords: barrel cannon position, elevation and training motions, Optimal sliding mode controller, pitch and roll
disturbances

1. Introduction
Cannon is an important artillery system in war ship. The uses of cannon are to destroy air target,
upper water surface target and fire ship support with certain rate of fire and shooting range
accordance with the type of cannon. Control systems in cannon consist of two types, which are
main control system with weapon control radar and alternative control system with kolonka.
Basically, working principle of kolonka like analog joystick, which given resistance change will
provide fluctuating voltage so that it becomes setpoint for training and elevation movements of
cannon.

Automatic weapon control system has some levels, which are : target detection, tracking,
identification, threat level determination and response capability, determination of used weapon
types, weapon control and target shooting. In level weapon control, there is found assignment
phase. In that phase, determined weapon will receive control signal to head to particular target.
If the determined weapon is cannon, there will be seen motion or barrel cannon position change
in following target motion as well as training and elevation.

In real condition, disturbance can occur in target tracking process. Those disturbances are
changes of velocity, its ship direction, and objective vessels. Furthermore, ship motion due to
ocean waves effect (pitch and roll) can be treated as disturbances. This cause ship position
moves up and down which directly affect barrel cannon position.

Elevetion motion of cannon is inertia momen change which take effect to load of training motor
while spinning. Barrel cannon weight which loads training motor while barrel position 0 with
barrel position 75 is different. Those changing parameters are nonlinearity of cannon motion.

To overcome those problems, several controller have been designed to control position of barrel
cannon on moving platform. Intelligent control system with Neural Network modeling has been
applied in simple cannon prototype[1]. In addition, conventional Sliding Mode controller has
been designed to overcome nonlinearity and to robustify system against disturbances[2].
However, still both controllers lack of performance while the disturbances are continue and
nonlinear. Good performance has been achieved by Optimal Sliding Mode controller while it is
applied and tested in position control of a DC motor[3,4]. Optimal Sliding Mode controller is
hybrid control LQR added with sliding mode function to robustify system against disturbance. In
this paper, Optimal Sliding Mode controller is independently designed in controlling each motor

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 312
for training and elevation motion. In addition, proposed controller will be compared with
conventional controller, PD controller.

This paper is divided into five sections. The following section will discuss dynamic model of
cannon. Third section will discuss on system design, which includes identification method and
Optimal Sliding Mode controller design. The results from simulation will be carried and analyzed
on fourth section. Finally, conclusion and future research will be discussed in fifth section.

2. Dynamic Model of Cannon


Basically, a cannon consists of two parts, which are main frame and body gun. Main frame
which can be named as arm, usually consists of mechanical links are connected each other by
joint. Joint has the function as controlled actuator. Permanent magnet DC motors are employed
as joints of each motion.

2.1. Elevation Motion Dynamics[1]


Elevation motion of cannon is vertical motion of its barrel cannon. The physical model of cannon
and its motion is shown Fig 1, where Jtr is inertia moment of training motion and Jev is inertia
moment of elevation motion. The value of J tr is fixed while Jev changes according to angle
change.

Figure 1. Physical Model of Cannon

Inertia moment of elevation motion of cannon (Jev) while angle ev=0 can be obtained
J ev J cos ev (1)
Block diagram of dynamical model of cannon system is shown in Fig 2., where inputs are
terminal voltage Eev for elevation and Etr for training while outputs are ev for elevation and tr for
training.
n2 n
JT Jm 1 Jl (2)
n1 n2
n n
BT 2 Bm 1 Bl (3)
n1 n2

2.2. Training Motion Dynamics[1]


Training motion of cannon is horizontal motion of its barrel cannon which spins left or right the
body gun. The mechanical equation of training motion dynamics can be written
d 2 m d
m l J m 2
Bm m (4)
dt dt
1
tr m (5)
2
d 2 tr d tr d 2 tr
l J tr Btr J ev (6)
dt 2 dt dt 2
Because both training and elevation motion utilize permanent magnet DC motor as their
actuator, dynamical model of DC motor can be written

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 313
dia
Vt Ea Ra ia La (7)
dt
m K TM ia (8)
Ea K ggl m (9)

Figure 2. Block Diagram of Dynamic Model Cannon System

3. System Design
This section is discussed in how to obtain the mathematical model of plant and design the
controller to control plant dynamics. Overall block diagram of system is shown in Fig 3, in which
we will employ independent optimal sliding mode controller to regulate both elevation and
training position.
Pitch

Elevasi
Ref Optimal Sliding
Mode Controller
Elevasi
Position
Barrel Cannon
Dynamics
Training
Training
Position
Ref Optimal Sliding
Mode Controller

Roll

Figure 3. Block Diagram of System Design

3.1. Identification and Modeling System


The parameter of plant is presented in Appendix. The characteristic of plant is nonlinear and
multi input multi output (MIMO). Therefore, we can treat the system as black box, where
parameters are unknown and uncertainty may exist, so that it is needed to identify each motion
through superposition principle. Identification method used in this research is static and open
loop method to obtain speed response output. Thus, speed transfer function is achieved and it
must be converted in position transfer function. The speed response of actual and model is
shown in Fig 3 and Fig 4.

Step signal input is employed to test the plant in order to know its parameter. The type of step
signal input is voltage which is 400 Volt. Having obtained actual response of plant, it is
calculated and obtained model response which its parameters are known. The result of

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 314
identification and modeling system is presented in Table 1.

Table 1. Transfer Function of Plant Model


Type of Motion Transfer Function
ev 0.07583
Elevation
E ev s 2 2.07 s
tr 9.172 10 4
Training
E ev s 2 0.1502s

elevation speed (rad/s) 15

10

actual response
model response

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
time (seconds)

Figure 4. Identification and Modeling Elevation Dynamic

2.5

1.5
training speed (rad/s)

0.5

0
actual response
model response
-0.5
0 10 20 30 40 50 60 70
time (seconds)

Figure 5. Identification and Modeling Training Dynamic

3.2. Design of Optimal Sliding Mode Controller


In order to design the controller, we have to convert transfer function of plant into representation
of state space equation.
x Ax Bu (10)
where :
x e
x 1 r
x 2 e
According to (10), state space equation for elevation and training system can be presented in
Table 2
Table 2. State Space Equation of Plant Model
Type of Motion State Space Parameters
0 1 0
Elevation A B
0 2.07 0.07583

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 315
0 1 0
Training A B 4
0 0.1502 9.172 10

The system is considered as an optimal control when system parameters are adjusted so that
index reaches extremum value[5]. The aforementioned index called performance index of
system. Performance index is quantitative measurement of performance from system and it is
selected so that emphasis given to desired system specification, for instance error and control
signal.

Define performance index




J x T Qx u T Ru dt (11)
0
where Q and R are weighting matrix correspond to error and control signal respectively.
Hamiltonian

H
1 T
2

x Qx u T Ru T Ax Bu (12)

Optimal necessary condition


H
0 Ru B T (13)
u
State equation
H
x Ax Bu (14)

Costate equation
H

x

Qx AT (15)

According to (13), (14), and (15), it is obtained optimal control signal and Hamiltonian system[ ]
u * R 1 B T (16)
x A BR 1 B T x
(17)
Q AT
Optimal closed loop control system can be given by
Px (18)
Riccati differential equation is calculated for obtaining optimal control solution
P PA AT P Q PBR 1 B T P 0 (19)
LQR optimal control solution becomes :
u * R 1 B T Px Kx (20)

By following (11) to (20) and considering weighting matrix for elevation and training dynamics
which is shown in Table 3, it is obtained the optimal control gain parameters which presented in
Table 4.
Table 3. Weighting Matrix Parameters
Type of Motion Weighting Matrix Parameters
100 0
Elevation Q1 R1 0.01
0 100
35 1
Training Q2 R2 0.25
0 35

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 316
Table 4. Optimal Control Gain Parameters
Type of Motion Optimal Control Gain Parameters
Elevation K1 100 88.3855
Training K 2 11.8322 65.9312

Sliding mode control is feedback control system which has high speed switching. This control
method deals by forcing state trajectory of system towards described sliding surface. Once on
sliding surface, control signal will afford to maintain state trajectory for staying along on sliding
surface. Sliding mode control in this research will be employed to robustify optimal control so
that it will result hybrid control method.

In this research, we employ integral sliding surface in order to minimize error steady state.
Sliding surface design for this system can be defined as[4]
t
x x1 (0) t
x
S ( x) Gx x(0) G xd G 1 G( A BK ) 1 d 0 (21)
0 x 2 x 2 (0) 0 2
x

Row matrix G is selected so that GB satisfies nonsingular matrix or GB 0 . In this research,


1 1
we select G1 0 and G 2 0 4
for elevation and training
0.07583 9.172 10
respectively.

In designing sliding mode control, it is acknowledged two control signals, which are equivalent
control signal and natural control signal. Equivalent control signal is a control signal that forces
states towards sliding surface, which can be formulated as
u eq (t ) u * (t ) Kx (22)

Natural control signal is a control signal that holds states to stay along on sliding surface. It can
be formulated as
u n q satS , (23)

where q and are switching constants which are also sliding mode control parameters.
Paramaters chosen can be presented in Table 5.

Table 5. Sliding Mode Control Parameters


Type of Motion Sliding Mode Control Parameters
Elevation q1 20 1 1
Training q 2 50 2 0.5

4. Result and Analysis


Conventional PD controller is designed to compare its system performance with OSM controller.
The parameters of PD controller are obtained by using trial and error method. These parameters
are presented in Table 6. In addition, the paramater testing system is shown in Table 7.

Table 6. PD Controller Parameters


Type of Motion PD Controller Parameters
Elevation Kp1 34.153 d1 0.483
Training Kp 2 40 d 2 15

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 317
Table 7. Testing System Parameters
Variable Value
Elevation position reference 20 [deg]
Training position reference 30 [deg]
Pitch Ocean Wave d1 5 sin2t 0.05 [deg]
Roll Ocean Wave d 2 5 sin2t 0.05 [deg]

4.1. Simulation Result without Disturbance


Simulation result has been achieved to evaluate and investigate system performance. System
response of elevation position with OSM controller without disturbance is shown in Fig 6 while
for training position is presented in Fig 7.

According to these figures, both elevation and training position responses can follow the desired
position with zero error steady state. The system specification is presented in Table 8.
20

18

16
elevation position (deg)

14

12

10

4 reference
OSM controller
2
0 5 10 15 20 25
time (seconds)

Figure 6. System Response of Elevation Position with OSM controller in normal condition

35

30

25
training position (deg)

20

15

10

5
reference
OSM controller
0
0 50 100 150
time (seconds)

Figure 7. System Response of Training Position with OSM controller in normal condition

Table 8. System Specification


Type of Motion System Specification
t s (3%) 5.825
Elevation
%e ss 0%
t s (3%) 20.74
Training
%e ss 0%

4.2. Comparison Result with Disturbances


Elevation and training position response of OSM and PD controller are shown in Fig 8 and Fig 9
respectively. IAE is calculated to evaluate system performance which is presented in Table 9.
Fig 10 shows 2DOF motion system.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 318
25

20

elevation position (deg)


15

10

5
reference
OSM controller
PD controller
0
0 5 10 15 20 25
time (seconds)

Figure 8. Comparison of Elevation Position Performance with Pitch Disturbance


35

30

25
training position (deg)

20

15

10

5 reference
OSM controller
PD controller
0
0 50 100 150
time (seconds)

Figure 9. Comparison of Training Position Performance with Roll Disturbance

Table 8. IAE Comparison between OSM and PD


IAE
Type of Motion
OSM PD
Elevation 24.97 386.5
Training 583.7 628.7

25

20
elevation position (deg)

15

10

OSM controller
PD controller
0
0 5 10 15 20 25 30 35
training position (deg)

Figure 10. 2DOF Motion of System

5. Acknowledgment, Appendix and References


According to simulation result, OSM controller shows better performance than PD controller in
regulating elevation and training position against pitch and roll disturbances. This can be proved
that IAE of OSM controller is less 15.48 times than PD control for elevation response. In
addition, OSM controller even under disturbance, still it can follow the desired position. By
conducting this research, it can also be noticed that with superposition principle, we can achieve

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 319
good response through OSM controller for MIMO-coupled system, like barrel cannon dynamics.

Acknowledgements
The authors would like to express their gratitude to the Ministry of Education and Culture along
with SEAMOLEC in providing Fast Track Scholarship.

References
Wiharti W, et.al (2010): Perancangan Neural Network Control untuk Menggerakkan Posisi Laras
Meriam pada Platform yang Bergerak, Master Thesis, ITS Surabaya
Anggraini S, et.al (2010): Perancangan Sliding Mode Control untuk Menggerakkan Posisi Laras
Meriam pada Platform yang Bergerak, Master Thesis, ITS Surabaya
Subroto R.K, et.al (2011): Peningkatan Performansi Pengaturan Posisi Motor DC untuk Sistem
st
Tracking Menggunakan Kontroler Optimal Sliding Mode, Proc of 1 Indonesian Student
Conference on Satellite, pp.165 169, Surabaya
Subroto R.K, et.al (2012): Desain dan Implementasi Kontroler Optimal Sliding Mode untuk
Tracking Posisi Motor DC MS150, Tugas Akhir, ITS Surabaya
Dorf R, et.al: Modern Control System, Ninth Edition, Prentice Hall International, New Jersey

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 320
PERANCANGAN GEOMETRI PIEZOELEKTRIK PENGGANTI NANO LINEAR
GENERATOR PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SUARA BATECHSANT (BATTERY
TECHNOLOGY OF SOUND POWER PLANT) PADA KAMAR MESIN KAPAL
1 1 1 1 2
Imam FAUZI , Achmad FIRDAUS , Eko Jandy PRATAMA , Indra Ranu KUSUMA , Muchlis ,
3 4
Fandi Angga PRASETYA , Zulkarnain NASRULLAH
1
Marine Engineering Department, Faculty of Marine Technology, ITS - Surabaya.
2
Industrial Engineering Department,Faculty of Industrial Technology, ITS - Surabaya.
3
Physic Department, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
4
Mechanical Engineering Department,Faculty of Industrial Technology, ITS - Surabaya,
E-mail : imam10@mhs.ne.its..ac.id

Abstract

Suara merupakan salah satu sumber energi yang berpotensi menjadi salah satu energi alternatif untuk mengatasi
adanya krisis energi terutama menipisnya ketersediaan minyak bumi dunia. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis
potensi pemanfaatan suara sebagai sumber energi pembangkit listrik di kamar mesin kapal. Penelitian dilakukan
dengan melakukan perancangan sistem kerja Batechsant yang direpresentasikan oleh sistem kerja piezoelectric. Dari
rancangan sistem piezoelectric akan dilakukan pengujian, analisis dan simulasi terhadap rancangan sistem. Variabel
yang ditentukan dalam simulasi tersebut adalah tekanan bunyi yang dihasilkan dari kebisingan pada ruang mesin induk
kapal. Dalam hal ini hasil tekanan bunyi yang diperoleh dari kebisingan pada ruang mesin induk kapala adalah sebesar
174,83 Pascal. Dengan tekanan bunyi ini, berdasarkan pada hasil simulasi dapat menggetarkan membran bidang
piezoelectric. Bergetarnya membran permukaan bidang piezoelectric ini ditunjukkan dalam bentuk deformasi dan
defleksi permukaan membran. Besarnya deformasi yang dialami permukaan membran piezoelectric hingga 3,776e-4mm.
dengan bergetarnya permukaan membran pada piezoelectric ini akan memicu piezoelectric untuk menghasilkan
sejumlah energi listrik. Selain pada besarnya tekanan bunyi yang diberikan pada permukaan membran piezoelectric,
besarnya energi listrik yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh durasi pengujian yang dilakukan. Semakin lama durasi
pengujian, semakin banyak listrik yang tercipta.
Kata Kunci : Tekanan Suara, Piezoelectric.
.
1. Introduction
Krisis energi adalah masalah yang sangat fundamental di Indonesia, khususnya masalah energi
listrik. Energi listrik merupakan energi yang sangat diperlukan bagi manusia modern, bahkan
sebagian besar aktivitas manusia ditunjang dengan sebuah peralatan dan teknologi yang
menggunakan listrik sebagai sumber energi. Hal ini menjadikan bahwa listrik menjadi sebuah
bagian yang tidak terpisahkan dalam aktivitas manusia (Farit Fauzi,2009). Sumber suara
dimuka bumi ini sangat melimpah. Aktifitas yang dilakukan manusia, sedikit banyak akan
menghasilkan suara. Dalam aktivitas kerja, permesinan, aktivitas industri merupakan beberapa
aktivitas yang berpotensi menghasilkan suara atau kebisingan baik yang dikehendaki
kejadiannya ataupun tidak. Dengan begitu banyaknya potensi sumber suara yang terjadi, maka
hal ini merupakan sebuah peluang untuk melakukan riset dan observasi mengenai kajian ilmiah
pemanfaatan sumber suara ini menjadi sesuatu yang mampu menghasilkan nilai tambah (Value
added). Terlebih bahwa sumber suara merupakan sumberdaya yang dapat diperbarui
(Renewable).

Di dalam kapal, sumber kebisingan terbesar berasal dari ruang mesin induk (engine room),
karena di dalamnya beroperasi peralatan mekanis seperti mesin induk sebagai penggerak kapal,
generator, diesel, pompa-pompa dan peralatan lainnya (Reza,2009). Sumber suara yang
melimpah seharusnya bisa dijadikan energi alternatif sebagai upaya untuk mengurangi
ketergantungan akan penggunaan sumber energi fosil dalam arah pengembangannya.

Agar kebisingan suara yang ditimbulkan oleh engine room dapat lebih bernilai guna, maka
dalam upaya pemanfaatannya harus diupayakan secara terus menerus sehingga dalam jangka
waktu kedepan dapat digunakan sebagai penghemat bahan bakar yang dikonsumsi oleh kapal.
Atas dasar prinsip pemanfaatan energi alternatif tersebut, maka dirancanglah sistem baterai
pembangkit listrik tenaga suara yang memanfaatkan suara di ruang kamar mesin induk kapal.

Untuk itu, dalam penelitian ini akan dibahas tingkat kadar energi yang mampu dihasilkan dari
sumber kebisingan yang terdapat pada ruang mesin induk kapal yang berupa hasil uji
kebisingan dan getaran (Noise & Vibration) pada ruang mesin induk kapal, rancangan sistem

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 321
kerja Batechsant dalam bentuk desain 3D dan prototype, serta hasil analisis dan simulasi
sistem kerja Batechsant (Battery Technology Of Sound Power Plant) dengan menggunakan
software. Penelitian ini bermanfaat sebagai bagian studi pemanfaatan dan pengembangan
sumber energi alternative dan upaya aplikasi dan pengembangan pada teknologi kemaritiman
yang tepat guna dan bekelanjutan.

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Perancangan Desain Sistem Layanan Pembangkit Listrik Tenaga Suara Darurat
Batechsant (Battery Technology Of Sound Power Plant)
Dari sistem generator (pembangkit listrik yang telah ada), akan ditambahkan sistem yang
mampu mensuplai daya saat darurat (badan kapal terserang musuh dan kebakaran) melalui
rekayasa Batechsant (Battery Technology Of Sound Power Plant). Berikut gambar dari
rancangan sistem integrasinya.

Figure 9 Perancangan Sistem Batechsant


Sumber : Fauzi, Muchlis, Handayani (2011)

Berdasarkan pada gambar diagram proses kerja dapat dijelaskan, ketika sumber suara
kebisingan timbul pada ruang mesin akan ditangkap oleh microphone. Suara yang ditangkap
oleh microphone akan diubah menjadi sinyal AC dan Gelombang sonik. Gelombang sonik akan
ditangkap oleh nanowire yang merupakan bagian dari nanogenerator yang akan menggetarkan
kumparan micron didalam nanogenerator. Bergetarnya kumparan micron dalam medan magnet
akan berpotensi menimbulkan arus listrik dan tegangan. Arus listrik dan tegangan yang
dihasilkan ini dapat diperlakukan menjadi 2 alternatif. Alternatif pertama dapat langsung
digunakan untuk keperluan tertentu. Sedangkan alternatif kedua adalah dilakukan mekanisme
penyimpanan dalam Battery Storage dengan menggunakan piranti rectifier. Energi listrik yang
tersimpan dalam battery storage ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan pada tingkat
daya dan kapasitas tertentu. Penggunaan energi listrik ini meliputi penerangan kapal, alat-alat
navigasi, kompas gyro dan piranti/alat indikator.

2.2 Getaran Teredam dan Resonansi


Dalam kenyataan di alam, selain gaya yang menimbulkan getaran juga terdapat gaya yang
menghambat gerak getaran. Sehingga semua gerak getaran akhirnya berkurang energinya dan
berhenti bergetar. Sebagai model sederhana kita asumsikan getaran teredam dengan gaya
redaman yang sebanding dengan kecepatan benda, sehingga persamaan gerak benda dapat
ditulis sebagai

F = kx bv

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 322
2.3 Pengukuran Kebisingan
Pengukuran kebisingan merupakan sebuah aktivitas yang ditujukan untuk mengetahui tingkat
kebisingan dalam suatu ruangan tertentu yang menggunakan sebuah alat dengan sebuah
batasan-batasan serta prosedur teknis tertentu. Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM). Sound Level Meter adalah sebuah piranti digital
untuk mengukur tingkat kebisingan suatu ruangan dengan memanfaatkan prinsip kerja
mengubah getaran bunyi menjadi sinyal-sinyal digital yang dilengkapi dengan informasi-
informasi nilainya secara numerik.

Figure 10 Piranti Sound Level Meter


Sumber : http://www.rion.co.jp/english/

Data-data yang dihasilkan dari sound level meter dapat disajikan dalam layar pada sound level
meter dalam bentuk informasi yang bermacam-macam. Informasi tersebut antara lain
tingkat/lama pengukuran, pengukuran secara simultan dan hasil pengukuran tunggal.

Figure 11 Berbagai Bentuk Informasi yang Disajikan pada Layar Sound Level Meter
Sumber : Sumber : http://www.rion.co.jp/english/

Figure 12 Dinding kapal yang dapat dijadikan sebagai peletakan sistem


(Sumber :Fauzi,Muchlis,Handayani,2011)

2.4 Peran Batechsant pada sistem suplai listrik pembangkit listrik tenaga suara darurat
Batechsant merupakan bagian inti pada sistem suplai pembangkit listrik tenaga suara darurat
yang menyuplai listrik generator, karena bagian tersebut akan memberikan daya dukung pada
sistem kelistrikan.

2.5 Lokasi pemilihan tempat untuk Batechsant (Battery Tecnology Of Sound Power Plant)
Pada proses peletakan alat Batechsant (Battery Tecnology Of Sound Power Plant) didasarkan
prinsip : memanfaatkan suara yang dihasilkan oleh mesin kapal secara maksimal, sehingga
dalam pemilihan tempat untuk desain alat dilakukan dengan cara penyesuaian pada letak
mesin di main engine room kapal. Alat tidak diletakkan tepat di mesinnya, akan tetapi prinsip
penempatan piranti penangkap suara pada sistem batechsant adalah dengan memanfaatkan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 323
dinding-dinding yang tersedia pada ruang mesin kapal. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
untuk mengurangi dampak negatif ketika sebuah alat harus berinteraksi secara langsung
dengan sumber getaran dan suara, sehingga tidak merusak sistem alat Batechsant.

Figure 13 Data Penempatan Posisi Microphone sebagai Sensor Suara pada Main Engine Kapal
Sumber :Reza Bushriyadi,2009

Figure 14 Mesin Induk (Diesel) Pada Kapal yang merupakan sumber kebisingan terbesar pada
ruang Mesin Induk Kapal
(Sumber :Fauzi,Muchlis,Handayani,2011)

2.6 Komputasi Elemen Hingga Vibratik


Karakterisasi vibrasi permanen dapat dilakukan dengan pengukuran, perhitungan, merujuk
datasheet, atau dengan komputasi Finite Element Method Vibratic (FEMV). Pada umumnya
terdapat 3 tahapan yang harus dilakukan ketika melakukan simulasi FEMV, yaitu :
preprocessing, solving, dan postprocessing. Beberapa software komputasi yang cukup handal
dan memadai menurut hasil penelusuran penulis adalah Tera Analysis. Software ini mampu
menampilkan visualisasi dan menyajikan data dengan sangat baik. Software alternative lainnya
antara lain : MAXWELL Ansoft, FLUX Magsoft, OPERA Vector Fields, AMPERES Integrated
Engineering, ANSYS Swanson, FEMV, dan VIZIMAG.

Dalam penelitian telah dihasilkan rancangan sistem Batechsant yang dalam hal
direpresentasikan melalui rancangan Piezoelectric. Dalam proses perancangan juga telah
ditentukan beberapa atribut dalam rancangan sistem. Atribut tersebut berupa: Elemen-elemen
penyusun, Ukuran dan Dimensi tiap elemen, Bahan yang digunakan serta Konfigurasi Sistem.
Berdasarkan pada hasil rancangan tersebut selanjutnya akan dilakukan proses pengujian dan
simulasi. Pengujian dan simulasi dilakukan dengan menggunakan software yang sesuai dengan

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 324
tujuan tersebut yaitu Solidworks dan ANSYS. Dari hasil analisis dan simulasi software ini akan
dihasilkan respon membran pada piezoelectric (defleksi dan deformasi) terhadap tekanan bunyi
yang diberikan. Dari hasil respon (defleksi dan deformasi) membran piezoelectric ini selanjutnya
akan ditentukan berapa listrik yang dapat dihasilkan. Listrik yang dihasilkan selanjuynya akan
dianalisis berdasarkan pertimbangan waktu pengujian dan faktor-faktor pengujian lainnya.
Besarnya tekanan bunyi yang diterapkan pada permukaan membran piezoelectric ini ditentukan
berdasarkan pada data kebisingan yang telah diperoleh sebelumnya. Data sekunder yang
berupa kuat suara (decibel) akan dilakukan konversi sedemikian rupa sehingga menghasilkan
profil data tekanan suara (dalam satuan pascal). Dari data yang diperoleh, nilai tekanan bunyi
yang dihasilkan sangat beragam dan bervariasi. Sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan
pengukuran untuk tiap-tiap nilai tekanan bunyi. Maka dari itu dilakukan pengujian berdasarkan
pada nilai rata-rata tekanan bunyi yang terjadi pada selang waktu tertentu. Dengan demikian,
hasil pengujian dapat merepresentasikan kondisi data yang diperoleh.

3. Analisis dan Pembahasan


Berdasarkan pada hasil pelaksanaan program penelitian yang telah diuraikan sebelumnya,
maka pada bagian ini akan dilakukan pembahasan terhadap hasil pelaksanaan program. Dalam
pembahasan hasil pelaksanaan ini akan dibagi berdasarkan pada aktivitas-aktivitas yang
dilakukan dalam penelitian. Secara lebih rinci, pembahasan terhadap aktivitas-aktivitas
penelitian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
3.1 Pengujian Tingkat Kebisingan Ruang Mesin Kapal
Dalam penelitian yang dilakukan, data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal sari
salah satu Tugas Akhir Mahasiswa Teknik Sistem Perkapalan ITS. Data tersebut berupa tingkat
kebisingan yang terjadi pada berbagai sisi kapal termasuk ruang mesin induk kapal pada
kondisi beban penuh (1850 rpm)-13,7 kn. Berikut merupakan data sekunder yang diperoleh:

Table 1 Data Kebisingan pada Berbagai Bagian di Kapal pada Kondisi Mesin Beban Penuh
100% (1850 rpm)-13,7 kn
DATA KEBISINGAN BERBAGAI BAGIAN PADA KAPAL
Ruangan Titik Ukur Aktual
Wheel House Front centre 80 65,5
Captain Room Front sbs 74 58
KKM Room Front Ps 74 57,5
sbs 80 66
Front centre 80 65,5
Ps 80 65,7
sbs 62 73
Passanger Room Middle centre 62 73,1
Ps 62 73,3
sbs 38 78,5
Back centre 38 78
Ps 38 78
sbs 57 72
Cabin Room
Ps 57 63
sbs 23 104,5
Middle centre 23 104,5
Ps 23 104
Engine Room
sbs 15 103,2
Back centre 15 103,5
Ps 15 103,5
Engine Control Room Ps 32 76,5
Berdasarkan pada data tersebut terlihat bahwa tingkat kebisingan pada ruang mesin kapal
terjadi pada rentang 103-104,5 dB. Sedangkan distribusi data kebisingan yang diperoleh dapat
digambarkan sebagai berikut:

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 325
Figure 15 Distribusi Kebisingan pada Ruang Mesin Induk Kapal

3.1.1 Konversi Tingkat Kebisingan menjadi Tekanan Suara


Konversi besaran bunyi menjadi tekanan dilakukan dengan menggunakan formulasi. Proses ini
dilakukan dengan cara menentukan besaran-besaran yang diperlukan untuk menggunakan
formulasi. Berikut merupakan formulasi yang digunakan untuk melakukan proses konversi
besaran tingkat suara menjadi besaran tekanan suara dalam satuan pascal.

Dimana : Lp = Tingkat Decibel yang terjadi (dB)


2
P rms = reference sound (Pascal)
2 -5
P o = Pressure Amplitutde (2x10 ) (pascal)
Berdasarkan pada persamaan tersebut,maka diperoleh nilai tekanan bunyi sebagai berikut:

Table 2 Konversi Tingkat Tekanan Bunyi


No Tingkat Kebisingan (dB) Tingkat Tekanan Bunyi (Pascal)
1 103,2 764,43
2 103,5 765,32
3 104 770,12
4 104,5 772,42

Tingkat tekanan bunyi yang diperoleh ini akan dijadikan dasar dalam melakukan analisi dan
simulasi sistem dengan menggunakan software. Nilai tekanan bunyi digunakan untuk
menentukan seberapa besar deformasi yang terjadi pada membran piezoelectric akibat tekanan
bunyi ini. dengan mengetahui deformasi yang terjadi maka besarnya listrik yang dihasilkan
dapat diketahui.

3.1.2 Perancangan Sistem Kerja Piezoelectric


Pada tahap perancangan sistem kerja piezoelectric yang dilakukan dalam penelitian ini, terdiri
dari beberapa tahap yaitu:
a. Penentuan elemen piezoelectric
Dalam perancangan sistem kerja Batechsant terdapat beberapa elemen yang diperlukan yaitu:

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 326
Table 3 Elemen Piezoelectric
ELEMEN PIEZOELECTRIC
No Elemen Piezoelectric Fungsi
1 Metal Disc Penutup rangkaian piezoelectric
2 Electrode Sumber muatan listrik
3 Ceramic Sebagai isolator permanen

Berdasarkan pada elemen-elemen tersebut dapat dilakukan perancangan bentuk 3 dimensi dari
piezoelectric sebagai berikut:

Figure 16 Elemen Piezoelectric

Berdasarkan pada elemen piezoelectric, atribut yang ditentukan dalam piezoelectric antara lain
sebagai berikut:

Table 4 Atribut Desain 3D Piezoelectric

ATRIBUT DESAIN 3D PIEZOELECTRIC


No Atribut Desain yang Ditentukan Keterangan
Coating Metal, Electrode dan
1
Elemen Ceramic
lingkaran dengan diameter dan
2
Bentuk tebal tertentu
Dimensi yang ditentukan
3
Dimensi berupa Diameter dan Ketebalan
Coating Metal-electrode-
4
Konfigurasi ceramic-electrode-coating metal

b. Penentuan dan rekayasa material tiap elemen piezoelectric


Rekayasa material penyusun dilakukan berdasarkan pada fungsi pada masing-masing elemen
dalam piezoelectric. Dari masing-masing fungsi elemen tersebut akan ditentukan material yang
tepat dan optimal untuk digunakan. Berikut merupakan hasil penentuan dan rekayasa material
pada sistem kerja piezoelectric:

Table 5 Rekayasa Material Piezoelectric


REKAYASA MATERIAL PIEZOELECTRIC
No Elemen Piezoelectric Fungsi Material yang Digunakan
1 Metal Disc Penutup rangkaian piezoelectric Steel atau Brass
2 Electrode Sumber muatan listrik Carbon Active
3 Ceramic Sebagai isolator permanen Ceramic

c. Penentuan struktur piezoelectric


berdasarkan pada hasil studi diperoleh bahwa struktur piezoelectric yang ditentukan dalam

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 327
sistem kerja Batechsant antara lain sebagai berikut:

Table 5 Analisis Struktur Piezoelectric

d. Analisis dan Simulasi Sistem Kerja Piezoelectric


Simulasi rancangan sistem kerja piezoelectric dilakukan pada Laboratorium Mekanika Benda
Padat Jurusan Teknik Mesin ITS. Simulasi dilakukan dengan 1 skenario utama. Skenario
tersebut yaitu dengan menerapkan tekanan bunyi yang seragam sebesar 765 Pascal pada
membran piezoelectric. Simulasi dilakukan dengan menggunakan software ANSYS.
Berdasarkan pada skenario simulasi tersebut, maka dihasilkan hasil sebagai berikut:

Table 6 Beban yang Diterapkan pada Simulasi

Berdasarkan pada beban yang telah ditentukan pada simulasi yaitu sebesar 174,83 Pascal
maka diperoleh hasil simulasi sebagai berikut:

Figure 17 Hasil Simulasi Sistem Kerja Piezoelectric dengan Software ANSYS

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 328
Figure 18 Hasil Simulasi Penampang Melintang Piezoelectric

Table 7 Parameter Regangan Piezoelectric hasil Pengujian


PARAMETER REGANGAN
Parameter Nilai
Strength Coefficient Pa 9.2e+008
Strength Exponent -0.106
Ductility Coefficient 0.213
Ductility Exponent -0,47
Cyclic Strength Coefficient Pa 1.e+009
Cyclic Strain Hardening Exponent 0,2

Table 8 Hasil Simulasi Software ANSYS

4. Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan pada hasil pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat ditarik
sebuah kesimpulan sebagai berikut:

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 329
1. Tingkat tekanan suara yang dihasilkan dari kebisingan suara pada ruang mesin kapal
adalah sebesar 174,83 Pascal
2. Tingkat kebisingan suara yang terjadi pada ruang mesin kapal dapat menyebabkan
defleksi dan deformasi pada permukaan membran pirzoelectric sehingga dapat memicu
piezoelectric untuk menghasilkan listrik

Saran

Berdasarkan pada kesimpulan yang ditentukan sebelumnya, maka agar penelitian yang
dilakukan lebih optimal ditentukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Data kebisingan yang digunakan lebih bervariatif berdasarkan pada berbagai variabel,
sehingga dapat lebih merepresentasikan kondisi pada ruang mesin kapal
2. Perancangan sistem kerja dilakukan melalui uji prototipe agar dapat menghasilkan data
dan informasi yang lebih akurat

References

Akil, Husein A. 1996. Pengukuran Akustik Ruangan dengan Teknik Pemodelan Skala
Fisik.PUSLITBANG KIM-LIPI
Alster.1981. An Improved Method For Determination Of Radiated Sound Power And Sound
Transmission From Large Sources, Journal of Sound and Vibration (1982) 82(2), 261-
274
Aminudin,Syaikhu.2010.Study Application Flywheel Energy Storage to Increase and Kept The
Performance of Micro Hydro PowerPlant. Undergraduate Thesis. Sepuluh Nopember
Institute Of Technology, Surabaya,Indonesia.
Bushriyadi,Reza.(2009),Analysis Noise Level,Work Climate and Lighting in KM Ciremai Engine
Room.Undergraduate Thesis. Surabaya Shipbuilding State Polytechnic, Sepuluh
Nopember Institute Of Technology,Surabaya,Indonesia.
Fauzi Imam, Muchlis, Handayani Nadia. 2011. Batechsant (Battery Technology Of Sound Power
Plant):Inovasi Teknologi Baterai Pembangkit Listrik Masa Depan melalui Pemanfaatan
Energi Suara pada Mesin Induk Kapal.Makassar: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Fauzi,Farit.(2009), The Application of Solar Power Plant for Lighting Sistem on
Tanker.Undergraduate Thesis.Sepuluh Nopember Institute Of Technology,
Surabaya,Indonesia
J.K. Kaldellis , D. Zafirakis, K. Kavadias.2009. Techno-economic comparison of energi storage
sistems for island autonomous electrical network.International Journal Of Renewable
and Sustainable Energy Reviews vol.13 pp.378392
Jon Maskrey.2006. Introduction to dynamic and condenser microphones. Diunduh di
http://www.burninggrooves.com/articles/introduction-to-dynamic-and-condenser-
microphones(26 Januari 2011)
Park Gyuhae, R. Farrar Charles, D. Todd Michael, Hodgkiss William, Rosing
Tajana,2007.Energy Harvesting for Structural Health Monitoring Sensor Networks. Los
Alamos National Laboratory LA-14314-MS
Permana Ricky, Syahadatain Yuniar, H Ega Mahendra, Triandini Titin Yulia Riska. 2011.
Pengembangan Perangkat Deteksi Kerusakan Kapal Berbasis Analisa Suara Propeller
Shatf dengan Metode Blind Source Separation. Makassar : Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi.
R. Ravaud, G. Lemarquand , T. Roussel.2009. Experimental measurement of the nolinearities of
electrodynamic microphones. International Journal Of Applied Acoustics vol.70
pp.11941199
Ridwanulloh,Dani.2006. Akustika Ruang Kuliah. Bandung :Teknik Fisika ITB.
Xu Sheng, Qin Yong, Xu Chen, Wei Ya Guang, Yang Rusen, Wang Zhong Lin,2010. Self-
powered Nanowire Devices. Nature nanotechnology DOI: 10.1038/NNANO.2010.46

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 330
PERFOMANCE EVALUATION OF SECURITY KEY MANAGEMENT SCHEME IN MANET
FOR SEA TACTICAL COMMUNICATION
*1 1
Dinar H.S Wahyuni and Gamantyo Hendrantoro
1
Department of Electrical Engineering,Faculty of Industrial Technology, ITS - Surabaya.
*E-mail: sadriyantien@yahoo.com

Abstract
The role of communication networsk in millitary operation continues to grow in importance, with mission areas such as
covert special operations, time critical, targeting, command and control all relying heavily on networks and network
application. Mobile Ad Hoc Network (MANET), which is self-organizing, infrastructureless, multihop networks, is
especially suitable for communication in millitary. The wireless and distributed nature of MANET and very bad security
environment in battlefield bring a great challenge to securing tactical MANET. MANET is requires less or no fixed
infrastructure support communication among nodes that can be quickly and adaptively constructed. Indeed, a fully
realized MANET would be powerful in enabling highly mobile, highly responsive, and quickly deployable tactical forces.
Security is one of the major issues in MANET. Due to the inherent nature of MANET, a security key management
procces is always required. Key management plays an important role in the security of todays information especially in
MANET in which key management has received more and more attention for the dificulty to be implemented in such
dynamic network. Desirable features of MANET for key management becomes our evaluation parameters. In this paper
we compare the evaluation parameters among the existing methods. We simulate a MANET network and evaluate the
parameters for every method using NS2 (Network Simulator 2). The complete result will be reported in the full paper.
Keywords: Security, Key Management.

1. Pendahuluan
Ketangguhan komunikasi taktis sangat dibutuhkan dalam dunia militer. Masalah yang sering
sekali muncul adalah topologi medan pertempuran yang ekstrim disertai dengan mobilitas yang
tinggi. Kondisi alam yang sangat tidak menentu menuntut sebuah sistem komunikasi yang
mudah beradaptasi. MANET (Mobile Ad Hoc Network) adalah sebuah sistem komunikasi yang
tidak mempunyai infrastruktur, self-organizing dan sangat mudah beradaptasi. MANET adalah
sebuah jarigan yang terhubung dengan wireless. Karakteristik MANET ini sesuai dengan
kebutuhan komunikasi taktis. Jaringan ini beroperasi dan mengatur diri sendiri tanpa adanya
sentralisasi sehingga sering disebut jaringan yang mandiri dan mempunyai kemampuan
kooperatif antar node. Hal ini yang membuat MANET tidak membutuh infrastruktur sesuai
dengan sifat alaminya.

Karakterisktik MANET membawa pada permasalahan baru yaitu keamanan informasi yang
sangat penting pada komunikasi taktis. Terdapat beberapa jenis serangan pada sistem MANET
dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit. Misalnya, penyerang dengan tidak
meneruskan pesan ke node lainnya, menghapus data yang diterimanya dan mengirimkan
informasi routing palsu. Manajemen Kunci mempunyai peranan yang sangat penting pada
keamanan informasi jaringan MANET.Manajemen kunci dapat didefinisikan sebagai sebuah
teknik dan prosedur yang berfungsi untuk sarana dan mendukung kelangsungan kelacaran
pada sistem ini [4]. Manajemen kunci pada MANET harus sesuai dengan topologi yang dinamik
yaitu kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan sistem organisasi yang tidak terpusat [4].
Beberapa fitur yang diingikan dalam manajemen kunci adalah availability, robustness,
efficiency, scalability, survivability dan resistance to known key attacks yang juga akan menjadi
indikator perbandingan pada penelitian ini.

Seiring perkembangan teknologi manajemen kunci pada manet, banyak peneliti yang
membahas dan berusaha menemukan solusi terbaik. Beberapa skema sudah diterapkan pada
penelitian sebelumnya adalah Partially Distributed Certificate Athority, Fully Distributed
Certificate Athority, Isdentity-Based Key Manangement, Certificate Chainning Based Key
Management, Cluster-Based Key Management, Mobility-Based Key Management dan Parallel
Key Management. Pada penelitian ini akan dibahas tiga skema yang sesuai dengan kebutuhan
MANET pada komunikasi taktis. Tiga skema yang akan diteliti adalah Cluster-Based Key
Management, Mobility-Based Key Management dan Parallel Key Management.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 331
Cluster-Based Key Management menerapkan model simulasi menggunakan node yang
dibedakan berdasarkan cluster. Setiap cluster mempunyai cluster head dan recommended
node yang telah ditentukan juga. Cluster head bertugas untuk menyampaikan informasi kepada
beberapa recommended node pada cluster yang sama.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan mengimplementasikan simulasi skema


manajemen kunci kemanan Cluster-Based Key Management sesuai dengan indikator
perbandingan robustness, efficiency, scalability survivability, availability dan resistant to known
key attacks yang paling sesuai digunakan dalam MANET pada komunikasi kapal perang.

2. Cluster Based Key Mangement


Setiap nopde pada skema ini bertanggung jawab untuk membuat dan memperbarui public key
maupun private key oleh dirinya sendiri. Setiap node dapat mengenali public key dari node lain
pada klompok yang sama. Node dapat berasumsi untuk melakukan pengawasan terhadap
setiap karakterisik node lain. Node yang menadi acuan adalah node yang dapat
memberitahukan node mana saja yang dapat dapat memberika public key yang benar.
Kepercayaan antar node dalam satu cluster berdasarkan direct trust. Sedangkan hubungan
kepercayaan antar node dalam cluster yang berbeda berdasarkan recommended trust. Setiap
node harus mempunyai tabl hubungan kepercayaan yang dikirimkan kepada node lain. Bentuk
dari hubungan kepercayaan ini ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.

Pada MANET akan terjadi kalkulasi rute apabila terjadi perubahan lokasi maupun luasan
daerah jangkuan. Dengan adanya skema berdasarkan cluster ini pesan pada jaringan lokal
dapat di transmisikan pada jarak terdekat dalam cluster yang sama, sedangkan pengiriman
pesan untuk jarak yang jauh dilakukan pada cluster yang berbeda. Setiap cluster ditandai
dengan adanya cluster head yang menunjukkan wilayah sebuah cluster. Sebuah clusterhead
bertugas untuk kalkulasi rute dalam cluster dan pengiriman pesan long-distance. Pengriman
pesan long-distance mengharuskan clusterhead menggunakan tenaga lebih untuk transmisi.
Kondisi komunikasi dalam MANET yang dinamik merupakan masalah dalam skema cluster.
Konsentrasi utama dalam skema ini adalah pemilihan, konfigurasi dan peletakan clusterhead.
Setiap node harus mampu untuk menjadi clusterhead dalam sebuah jaringan. Node yang
menjadi clusterhead tidak berbeda dengan node lainnya dalam jaringan tersebut dan
mempunyai karakteristik yang hamper sama. Dengan adanya kegagalan konektivitas maka dari
itu dibutuhkan pembagian wilayah. Adanya perubahan yang berkala pada clusterhead maupun
anggota cluster menyebabkan perhitungan dan komunikasi yang rumit.

Tugas dari clusterhead sangat sulit karena tidak semua node bias menjadi clusterhead. Node
yang terpilih adalah node yang mempunyai kemampuan untuk mengendali cluster secara
keseluruhan. Pendekatan mengunakan skema ini mempunya tingkat efektif yang lebih tinggi.

3. Simulasi Cluster Based Key Management


Simulasi pada penelitian ini menggunakan NS2 (Network Simulator 2). Simulasi ini dijalankan
pada system operasi Linux. Tujuan simulasi ini untuk mengetahui kemampuan kerja MANET
pada skema Cluster Based Key Management. Karakteristik node dan topologi yang digunakan
pada simulasi ini sesuai dengan Tabel 1. Hasil simulasi berupa animasi ditunjukkan pada
Gambar 1.

Node yang berfungsi sebagai clusterhead adalah node 0, 1 dan 10. Dalam simulasi ini
menggunakan routing AODV. Untuk simulasi cluster based key management ini lebih baik jika
menggunakan routing CBR (Cluster Based Routing). CBR dapat secara otomatis mengatur
routing untuk jenis cluster.

Table 1. Karakteristik Node

Parameter Nilai
Kecepatan Node/Kapal Perang Bervariasi

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 332
Frekuensi HF
Antena Omni Directional
Model Propagasi Twoarray
Jumlah node 11 node
Jangkauan / radius <250 m
Routing AODV

Gambar 1. Hasil simulasi menggunakan NS2

4. Kesimpulan
Pendekatan mengunakan skema ini mempunya tingkat efektif yang lebih tinggi. Dalam
aplikasinya lebih baik jika menggunakan CBR karena secara otomastis bisa mengatur routing
sendiri. Pada penelitian ini dicoba simulasi manual menggunakan AODV. Penggunaan CBR
akan dilakukan pada penelitian selanjutnya.

Reference
L. Zhou and Z. J. Haas, Securing Ad Hoc Networks, IEEE Network: special issue on network
security, vol. 13, no. 6, pp. 2430, 1999.
S. Capkun, L. Buttyan, and J.-P. Hubaux, Self-Organized Public-Key Management for Mobile
Ad Hoc Networks, IEEE Transactions on Mobile Computing, vol. 2, no. 1, pp. 5264,
2003.
S. Yi and R. Kravets, Composite Key Management for Ad Hoc Networks, in proc. First Annual
International Conf. on Mobile and Ubiquitous Systems: Networking and Services
(MobiQuitous04), August, 22 - 26 2004.
C.-K. Toh, Ad Hoc Mobile Wireless Networks: Protocols and Systems. Prentice Hall PTR, 2001.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 333
J. Sharony, A Mobile Radio Network Architecture with Dynamically Changing Topo- logy using
Virtual Subnets, in proc. IEEE International Conf. on Communications
(ICC/SUPERCOMM96), June 1996.

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 334
OFFSHORE
TECHNOLOGY

Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 335
ANALISIS PUSHOVER PADA DECK EKSTENSION DARI JACKET HZEB WELLHEAD
TRIPOD PLATFORM AKIBAT BEBAN LINGKUNGAN EKSTREM
*1 1 1
Fahmi NURIMAN , Handayanu , dan Rudi WALUJO P
1
Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
*E-mail: fahminuriman@gmail.com

Abstract

HZEB jacket wellhead tripod platform is one of the offshore structure to exploit offshore oil and gas. The Jacket which is
located around ardjuna field, Java Sea, Indonesia has been there for 20 years and about to be modified with the adding
of the conductor and deck extension. The platform structure should meet the minimum standar if API RP 2A that implies
structure pushover analyze should be done and acquire minimum Reserve Strength Ratio (RSR) of 0,8 for unmanned
platform to gain safe condition. Structure pile soil space frame model has been made using element till global
modelling. Extreme lateral loads (tide, wind, current) should be applied to the structure on 12 direction of loads
rendering. From the pushover analysing we acquire the least amount of RSR is 2,94 at the 120 0 directions of load
rendering. It can be concluded that the structure of jacket wellhead tripod platforms RSR meet the minimum standar of
0,8 from API RP 2A WSD for unmanned platform. The result of pushover analyze in global analysing structur shows that
the maximum stress value is 262 Mpa.

Keywords : Conductor, Deck extension, Jacket, Pushover, RSR

1. Pendahuluan
Fixed jacket platform merupakan salah satu dari struktur bangunan lepas pantai (Offshore
Structure) yang berfungsi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi migas lepas pantai.
Struktur Fixed jacket platform banyak digunakan dalam eksplorasi migas di Indonesia,
khususnya di laut jawa. Untuk meningkatkan produksi hidrokarbon pada suatu Jacket Wellhead
Platform memerlukan adanya penambahan well (sumur). Penambahan well tersebut
memerlukan adanya tambahan well conductor disertai deck extension yang menyertainya.
Salah satu diantara hal yang sangat penting dalam analisa suatu struktur bangunan lepas
pantai saat adanya penambahan / modifikasi dari struktur adalah analisa atas kekuatan atau
kemampuan suatu struktur untuk memenuhi target dan standard desain yang telah ditetapkan.
Analisa tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan kapasitas
maksimal struktur untuk menerima beban.

Analisa ultimate strength atau pushover analysis adalah salah satu cara untuk mengetahui
[1]
besarnya kapasitas struktur untuk menerima beban maksimal . Analisa pushover dapat di
definisikan suatu metode yang dipakai dalam menganalisa keruntuhan struktur dan merupakan
analisa nonlinear dengan pembebanan inkremental untuk menentukan pembebanan yang
menyebabkan struktur runtuh. Serta merupakan salah satu cara untuk mengetahui besarnya
kapasitas struktur untuk menerima beban maksimal. Metode yang dilakukan adalah dengan
melakukan simulasi penambahan beban secara bertahap sampai struktur tersebut runtuh. Dari
hasil tersebut akan diketahui Reserve Strength Ratio (RSR) atau rasio kekuatan cadangan
struktur.

2. Uraian Penelitian
2.1 Studi Literatur
Dalam penelitian ini, literatur-literatur yang dipelajari adalah tugas akhir yang pernah dilakukan
sebelumnya dan jurnal yang berkaitan langsung dengan penelitian ini serta buku-buku sebagai
tambahan referensi dalam penyelesaian masalah.

2.2 Pengumpulan Data


Data-data yang digunakan adalah data-data yang didapatkan dari laporan milik Tripatra
[2]
Engineers Constructors Data-data tersebut diantaranya adalah:

1. Data as build drawing struktur Jacket Wellhead Tripod Platform


2. Data Lingkungan

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 336


Data Lingkungan yang dipakai adalah data lingkungan Ardjuna Field untuk 100 tahunan.

i. Kondisi Geografis
Koordinat dari platform ini adalah 005 54 24.96 Lintang Selatan dan 108 04 43.03
Bujur Timur

ii. Kedalaman Laut dan Kondisi Pasang Surut

Kedalaman laut di lokasi yaitu 145,417 feet dari MSL.

iii. Gelombang
Data gelombang yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah data gelombang pada
Laporan Metocean Ardjuna Field dengan periode ulang 100 tahun.

iv. Data tanah


Data tanah yang digunakan untuk analisa struktur pada platform ini didapatkan dari
data Boring : HZEB lokasi Ardjuna Field, Offshore Java Indonesia oleh PT.
Soilmaklelan Indonesia.

v. Data material
Tegangan ijin yang dijinkan adalah yang mengacu pada API RP 2A. Nilai dari Allowable
Stresses yang dijinkan untuk dimasukkan dalam Load Conditions adalah sebagai
berikut:

- Inplace 1-tahun Kondisi Operasi = 1.003

- Inplace 100 tahun Kondisi Badai = 1.333

Angka keamanan tiang pancang untuk berbagai kondisi desain diperlihatkan adalah sebagai
berikut

- Inplace = 2.000

Grade dan kekuatan Baja yang digunakan pada Struktur ini mengacu pada :

Semua tubular <16 in. OD API 5L Grade B Fy=35 ksi

Semua tubular >16 in. OD ASTM A36 Fy=36 ksi

Rolled Steel Section ASTM A36 Fy=36 ksi

2.3 Pembuatan model global


Pemodelan pada tahap ini menggunakan pemodelan elemen hingga secara gobal. Tujuan dari
pemodelan ini adalah untuk analisa pushover jacket .

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 337


Gambar 1. Model global struktur jacket wellhead tripod platform

Jumlah nodes adalah 506, jumlah member adalah 888. Struktur dimodelkan space frame
dengan pile soil elemen.

3. Analisa Beban Gelombang.


Dari pengolahan data probability of individual wave yang didapat dari wave scatter diagram,
maka didapatkan tinggi gelombang maksimum (H) dan periode gelombang maksimum (T)
sebesar 16,4 ft dan 7 s untuk kondisi operating dan 27,3 ft dan 9,3 s untuk kondisi storm. Tinggi
dan periode maksimum gelombang yang didapat, dikombinasikan dengan kedalaman perairan
(d), gaya grafitasi (g), serta kecepatan arus pada permukaan (V) digunakan untuk menentukan
teori gelombang yang tepat digunakan pada perairan Platform beroperasi. Berdasarkan
penarikan garis pada Grafik Region of Validity, teori gelombang yang digunakan dalam perairan
adalah teori gelombang Stoke Orde 5.

Dari teori gelombang yang digunakan maka kita dapat menentukan kecepatan dan percepatan
partikel air yang melewati struktur.. Bila D/L kecil (D/L 0.2) maka pola aliran fluida tidak akan
terganggu dan besarnya gaya dapat dihitung dengan persamaan Morison (OBrien dan
Morison, 1952). Persamaan Morison menyatakan bahwa gaya gelombang dapat diekspresikan
sebagai penjumlahan dari gaya seret (drag force, FD), yang muncul akibat kecepatan partikel
[3].
air saat melewati struktur, dan gaya inersia (inertia force, FM) akibat percepatan partikel air
Berikut adalah arah beban gelombang dan arus pada struktur:

Gambar 2. Arah beban gelombang dan arus pada struktur


4. Modifikasi Platform

Modifikasi platform dilakukan dengan menambahkan deck extension dan conductor.


Penambahan deck extension dan conductor dilakukan pada wellhead tripod platform untuk

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 338


meningkatkan kapasitas produksi hidrokarbon pada platform tersebut. Penambahan deck
extension dilakukan di sebelah utara main deck dengan dilengkapi 2 well conductor yang
berada di dalamnya. Gambar deck extension beserta 2 well conductor adalah sebagai berikut :

Gambar 3. Penambahan deck extension dan well conductor

Penambahan deck extension dan conductor tersebut berarti memberikan perubahan load dan
[4]
facility pada struktur. Menurut API RP 2A modifikasi platform yang memberikan perubahan
load pada struktur minimal 10 % berarti dianggap significant. Tabel selfweight struktur sebelum
dan sesudah dimodifikasi adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Selfweight model struktur


Model Struktur Berat (kips)
Sebelum dimodifikasi 515.197
Setelah dimodifikasi 573,541

Dari hasil didapatkan selisih perubahan load pada struktur adalah 10,17 %, sehingga
perubahan/ modifikasi struktur menurut API RP 2A dianggap significant.

5. Pembahasan
5.1 Analisa Inplace (Design Level Analysis)
Menurut API RP 2A, jika perubahan/modifikasi platform dianggap significant, maka bisa
dilanjutkan dengan melakukan pushover analysis. Tetapi sebelum melakukan pushover analysis,
terlebih dulu dilakukan analisa inplace kondisi storm platform yang sudah dimodifikasi pada
semua arah gelombang untuk mengetahui arah gelombang yang mengakibatkan struktur
mengalami kondisi UC yang paling kritis. Analisa inplace dilakukan pada dua belas arah
pembebanan yaitu arah 0, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300, 330 derajat. Hasil
analisa inplace kondisi storm pada stuktur yang telah dimodifikasi bisa dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2. Hasil analisa member check pada tiap arah gelombang

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 339


Tabel 3. Hasil analisa joint punching shear check pada tiap arah gelombang

Dari hasil analisa inplace terdapat member stress kritis pada dua arah pembebanan gelombang.
o
Arah gelombang yang relatif membuat struktur paling kritis adalah gelombang arah 0 dan arah
o
30 karena terdapat nilai UC yang kritis (lebih dari 1), sehingga diperlukan analisa pushover
pada struktur tersebut.

5.2 Analisa Pushover (Ultimate Streght Analysis)


Pada analisis pushover digunakan model struktur yang mengalami dua pembebanan penting,
yakni beban lingkungan (wave, curent, wind) dengan besar yang sama dengan inplace storm
dan beban vertikal dengan besar yang sama dengan inplace operasional. Beban vertikal yang
diterima oleh struktur ditingkatkan menjadi satu kali sedangkan beban lingkungan dari masing
masing arah tinjauan ditingkatkan dengan pembesaran sebesar 8.333% (0.08333) dari beban
rencana. Secara keseluruhan platform akan runtuh / collapse setelah adanya member yang
plastis karena terbentuknya plastic hinge. Hal ini akan mengurangi kekakuan struktur. Adanya
member plastis ini dapat menyebabkan kegagalan joint (joint failure) dan joint plastis. Dengan
gaya yang semakin bertambah peluang buckling juga muncul bila gaya tekan melebihi
kapasitas penampangnya. Hasil analisa pushover pada dua belas arah pembebanan
lingkungan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4. Hasil analisa pushover pada tiap arah gelombang

Pada tabel dapat dilihat bahwa struktur runtuh (collapse) diakibatkan oleh joint plastis dan joint
failure. Sedangkan nilai RSR yang paling kecil/ kritis berada pada struktur dengan arah beban
lingkungan 120 derajat bernilai 2,948 yang diakibatkan oleh joint plastis.

0
5.3 Analisa arah pembebanan 120
o
Gelombang arah 120 digunakan karena merupakan salah satu arah gelombang yang
o
signifikan berpengaruh kritis terhadap struktur. Pada analisa pushover di gelombang arah 120
ini dihasilkan member yang mengalami plastis terlebih dulu adalah member leg 401L- 501L
(LGD) saat mencapai increment ke 27 dengan load factor 2.167. Sedangkan platform
mengalami keruntuhan secara keseluruhan / collapse pushed over adalah saat keseluruhan
struktur sudah tidak dapat lagi menahan / meneruskan lagi beban beban yang terjadi. Platform
mengalami keruntuhan secara keseluruhan yaitu pada saat mencapai increment ke 38 dengan
load factor 3.08. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 340


Gambar 4. Pushover pada increment ke 38 dengan load factor 3.08 dan nilai RSR 2,94

Berikut adalah hasil analisa dari analisa collapse dengan menggunakan beban gelombang arah
o
120 :
1. Pada load faktor 1.08 (increment ke 14), belum terdapat member yang mulai
menunjukkan plastisitas. Perbedaan rasio plastisitas ditunjukkan pada perbedaan
warna yang terdapat pada member.
2. Pada load faktor 2.0 (increment ke 25 ) , rasio plastisitas yang terjadi pada member
belum menunjukkan perbedaan nilai rasionya. Hal itu dapat dilihat dari variasi warna
yang terlihat. Dalam load faktor ini hanya member 401L-501L (LGD) yang mempunyai
plastisitas 50 %.
3. Analisa dengan load faktor 2.5 (increment ke 31) menunjukkan mulai terdapat member
yang mengalami plastisitas 100 % yaitu member 401L-501L (LGD). Lalu member
member lainnya mempunyai plastisitas dibawah 75%. Hal ini terlihat dari warna yang
terdapat pada member.
4. Analisa dengan load factor 3.08 (increment ke 38) menunjukkan bahwa sebagian
besar member mengalami plastisitas 100 %. Pada increment ini struktur mengalami
keruntuhan/ collapse.

Kurva hubungan antara beban lateral (base shear) dengan total displacement pada joint 401L-
501L (LGD) adalah sebagai berikut :

Gambar 5. Kurva hubungan beban lateral dengan total displaement pada joint 401L-501L

Kurva hubungan antara load factor dengan axial stress pada joint 401L-501L (LGD) adalah
sebagai berikut :

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 341


Gambar 6. Kurva hubungan load factor dengan axial stress pada joint 401L-501L

Dari gambar 4.6 terlihat bahwa stress yang terjadi semakin naik seiring dengan pertambahan
load factor. Stress pada member tersebut sudah melewati 36 Ksi (248 MPa) yang merupakan
tegangan ijin dari member tersebut, sehingga member tersebut sudah memasuki daerah plastis.
Lalu pada load factor 3 mengalami nilai stress tertinggi (ultimate stress) sebesar 38 Ksi (268
MPa) yang kemudian diikuti nilai stress yang semakin menurun .

6. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah Pada analisa pushover yang telah
dilakukan pada jacket wellhead tripod platform yang diberi conductor dan deck extension
0
dihasilkan nilai Reserve Strength Ratio (RSR) terkecil pada arah pembebanan 120 dengan nilai
2,94. Nilai RSR tersebut masih memenuhi syarat dari yang telah ditetapkan API RP 2A berupa
nilai RSR minimal untuk unmanned platform adalah 0,8 .

References
Yudhistira, 2006, Analisa Ultimate Strenght Struktur Jacket LWA Berbasis Resiko dengan
MicroSAS, Jurnal Tugas Akhir, Jurusan Teknik Kelautan-ITS. Surabaya.
PT. Tripatra Engineering, Structural Analysis Report of HZEB Jacket Platform. Desember
2011 (Engineering Report)
Chakrabarti, S.K., 1987, Hydrodynamics of Offshore Structure, Computational Mechanics
Publications Southampton, Boston, USA.
API RP 2A,2000 Recommended Practice for Planning, Designing & Constructing Fixed
Offshore Platforms Working Stress Design, 21th Edition, American Petroleum Institue.
(Code)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 342


KAJIAN EKSPRIMENTAL PEMECAH GELOMBANG TIPE TIANG PANCANG
PELABUHAN MAJENE
*1 1 1
Juswan, m. Alham DJABBAR, Debyanti PATTA
1
Jurusan Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin-Makassar
*E-mail: juswansade@gmail.com

Abstract

Problems that most likely to occur at the coastal areas specificcally on West Sulawesi are the beach abration caused by
sea waves. Breakwater is one of the beach structure which can reduce the waves debit. The researchs purpose is to
analayze the amount of transmission coefficient and the relation between the transmission cofficient and waves steep
for every variation of wave making stroke. The research is to be done at Hydrodynamic Lab Ocean Engineering with
physical model test by stake wave breaker. The model is a representation of the real wave breaker at Majene Port. The
research use regular wave with model scale 1:33. The research arrange the model into the wave test tank with the
measurement use 4 variations of wave maker strokes. The output of the research shows that the value of transmission
coefficient and waves steep are inversely proportional, where the value of KT gets lower while the waves steep value
get higher so does the opposite goes. From the observation,we acquire the value of KT around 0,395-0,468

Keywords: abration, transmission coefficient, wave steep, wave breaker

1. Pendahuluan
Pelabuhan Majene Sulawesi Barat dilengkapi dengan pemecah gelombang tipe tiang pancang
(gambar 1) sebagai pelindung pelabuhan dari serangan gelombang.

Gambar 1. Pemecah Gelombang Pelabuhan Majene

Abrasi pantai merupakan masalah paling sering terjadi pada daerah pantai sebagai akibat dari
aktifitas gelombang laut.Metode penanggulangan abrasi pantai adalah penggunaan struktur
penahan gelombang pada area tertentu. Gempuran gelombang yang besar diredam dengan
cara mengurangi energi gelombang datang, sehingga gelombang yang menuju pantai
energinya berkurang. Break water (pemecah gelombang) berfungsi memecahkan,
merefleksikan dan mentransmisikan energi gelombang.

Efektifitas pemecah gelombang dinilai dari kemampuannya mentransmisikan energi gelombang.


Untuk mengetahui kemempuan transmisi gelombang dibuat model pengujian sebagai reprentasi
dari pemecah gelombang tipe tiang pancang pelabuhan Majene.

2. Tinjauan Pustaka
Pemecah gelombang tiang pancang memiliki fungsi yang sama dengan jenis pemecah
gelombang yang lain untuk melindungi daerah perairan pelabuhan dari gangguan gelombang.
Pemecah gelombang tiang pancang biasa diletakkan di laut dengan kedalaman sampai 20 m

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 343


dan dibuat apabila tanah dasar mempunyai daya dukung besar dan tahan terhadap erosi.

Ketika suatu gelombang mengenai struktur maka gelombang akan teredam/ di transmisikan,
tetapi akan ada sisa-sisa energi gelombang yang terjadi setelah melewati struktur. Transmisi
adalah penerusan gelombang melalui suatu bangunan yang parameternya dinyatakan sebagai
berikut.

K_(T )= H_t/H_i = (E_t/E_i ) (1)

Dengan :

H H min
H t max
2 transmisi (2)
H H min
H i max
2 (3)

Dimana :
Ht = Tinggi gelombang setelah melewati struktur ( m )
Hi = Tinggi gelombang sebelum mengenai struktur ( m )
Et = Energi gelombang setelah melewati struktur ( joule/m )
Ei = Energi gelombang sebelum melewati struktur ( joule/m )

3. Metode Penelitian
Desain pengujian model pemecah gelombang tipe tiang pancang seperti pada gambar 2.

Gambar 2. Desain Pengujian Model

Pengujian model dilakukan dengan langkah-langkah berikut:


1) Model diletakkan dalam tangki uji gelombang yang dilengkapi dengan pembangkit
gelombang tipe flap. Model dipasang pada jarak 10,67 m dari posisi pembangkit gelombang.
2) Pemasangan bak ukur pada titik-titik yang telah ditetapkan dalam tangki uji gelombang,
pada penelitian ini 3 bak ukur diletakkan di depan model dan 3 bak ukur diletakkan di
belakang model.
3) Stroke dan periode gelombang diatur pada sistem pembangkit gelombang,
4) Pembangkit gelombang dihidupkan pada stroke yang telah ditentukan, bersamaan dengan
itu stopwatch dijalankan sampai menunjukkan waktu 30 detik , selanjutnya pembacaan
tinggi gelombang datang (Hi) dan tinggi gelombang transmisi (Ht) secara bersamaan di
setiap titik yang telah ditentukan.
5) Running tinggi gelombang datang (Hi) dan tinggi gelombang transmisi (Ht) di lakukan
sebanyak 10 kali untuk setiap variasi stroke.
Adapun variasi stroke yang digunakan, yaitu : stroke 1,2,3 dan 4
6) Setelah running, pembangkit gelombang dimatikan dan dilanjutkan dengan variasi stroke
berikutnya dengan mengikuti kembali langkah 4-6.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 344


Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :
1) Mengitung tinggi gelombang datang yaitu Hmaks dan Hmin
2) Menghitung tinggi gelombang sebelum mengenai struktur (Hi).
3) Menghitung tinggi gelombang transmisi (Ht)
4) Menghitung panjang gelombang.
5) Menghitung Koefisien transmisi (KT)
6) Pembuatan grafik hubungan antara Hi/gT2 dengan KT pada setiap stroke.

4. Hasil Penelitian
Dari data pengujian, diperoleh grafik kecuraman gelombang terhadap koefisien transmisi untuk
masing-masing stroke pembangkit gelomban (gambar 3).

Gambar 3 Grafik pengaruh kecuraman gelombang terhadap koefisien transmisi untuk setiap
variasi stroke

Koefisien transmisi untuk keempat stroke berbanding terbalik dengan angka kecuraman
gelombang. Nilai koefisien transmisi meningkat dengan berkurangnya angka kecuraman
gelombang, sebaliknya nilai koefisien transmisi menurun dengan bertambahnya angka
kecuraman gelombang (Hi/gT2). Transmisi gelombang yang terendah ditemukan pada nilai
kecuraman gelombang yang lebih tinggi. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa gelombang
dengan angka kecuraman gelombang yang kecil cenderung diteruskan dan membentuk
gelombang transmisi yang besar.

5. Kesimpulan
Koefisien transmisi (KT) pemecah gelombang tipe tiang pancang berada pada kisaran 0,35
sampai 0,468

References
Armono. H. H., Sholihin, Rezkirana. Y., (2011), Transmisi Gelombang Pada Floating
Breakwater Polyethylene Bentuk Zig zag. FTK-ITS.
Bhattacharyya, R. (1978). Dynamic of Marine Vehicles. John Wiley and sons Inc., New York.
BMKG Stasiun Meteorologi Maritim Paotere Makassar. 2012, Informasi Cuaca Pelayaran
Perairan Majene dan Pasang Surut Perairan Majene.
Budiman. (2008), Pemanfaatan Energi Gelombang Laut Sebagai Sumber Energi. TK-UNHAS.
Dirgayusa, Yuwono Nur, (1997), Transmisi Gelombang Melalui Pemecah Gelombang Susunan
Pipa Horisontal. FTK-UGM.
Fajar kamis 19 Juli 2012. Tinggi Gelombang di Perairan Majene.
Google. Indonesian Map. Accessed 24 July 2012.
Haryono Rizqi, Armono Haryo Dwito, Sujantoko, Studi Eksperimental Transmisi Pada Pemecah
Gelombang Terapung Tipe Pile. FTK-ITS.
Johnny, Muchtasor, Pratikto Widi Agus, Wahyudi. 2008, Studi Uji Model Fisik Peredam
Gelombang Tenggelam Bentuk Enam Gigi Gergaji.FTK-ITS.
Lande,Darma. (2010), Kajian Eksperimental Pengaruh Pemecah Gelombang Bawah Air

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 345


Terhadap Transmisi Gelombang Permukaan. TK-UNHAS.
Thaha M. Arsyad, Minggu Willem. 2011, Rangkaian Batang Semi Apung Sebagai Altenatif
Struktur Pelindung Pantai. Universitas Hasanuddin.
Triatmodjo,Bambang. 1999, Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta.
Tsinker,Gregory P. (1995), Marine Structures Engineering: Specialized Application, An
International Thomson publishing Company, NewYork.
Wurjanto Andojo, Ajiwibowo Harman, Zamzam Rahman. (2010), Pemodelan Fisik 2D Untuk
Mengukur Tingkat Efektifitas Perfoted Skirt Breakwater Pada Kategori Gelombang
Panjang. FTS-ITB.
Yuwono, Pemodelan. Diakses 24 Juli 2012 ; www.google.com

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 346


PERENCANAAN SISTEM TRANSPORTASI MIGAS DENGAN MODA PIPA DI LEPAS
PANTAI

Imam ROCHANI

Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, ITS - Surabaya


Email : imamr@oe.its.ac.id

Abstract

Oil and gas exploitation which is unrenewable resources for energy includes high technology and complex market and
structure. Those characteristics cause different problem in oil and gas exploitation with the renewable resources. From
the economic view shows that operating cost of alternative stocks 69 million barrels cost $25/bbl, calculation indicates
decreasing in average production as much as 0,003285/month, with the economic limits at 77,314 bbl. First year
cumulative production is 3,6 million barrel and decreasing into 3,4 million barrel on second year. This degradation of
production will continually happen until the years of the field reach 34,7 years. From the technical view show that the oil
field is feasible for exploitation with the pipe inside diameter 18 inch.

Keywords: Exploitation, Extraction ,Wconomic, Feasible

1. Pendahuluan
Pada dasarnya hanya ada dua cara atau metode dalam transportasi minyak atau gas ke
daratan. Metoda pertama adalah dengan menggunakan pipa bawah laut sedang metoda kedua
adalah dengan menggunakan kapal tanker. Masing-masing metoda mempunyai keunggulan
atau keuntungan sedang keputusan akhirnya akan ditentukan atau dipilih berdasarkan
keekonomian masing-masing metoda yang ada. Namun pada makalah ini akan dibahas metoda
transportasi minyak atau gas dengan moda pipa secara komprehensip. Hal ini disebabkan
karena eksploitasi minyak dan gas yang bersifat tidak terbarukan untuk keperluan energi;
menyangkut struktur pasar yang cukup komplek dengan tingkat teknologi yang tinggi. Sifat-sifat
tersebut menyebabkan masalah eksploitasi minyak dan gas akan sangat berbeda dengan
ekstraksi sumber daya terbarukan. Oleh karena itu pada tahapan perencanaan sudah harus
diputuskan kombinasi yang tepat dari berbagai factor yang mempengaruhi produksi untuk
mendapatkan hasil yang optimal, namun harus pula dipertimbangkan seberapa cepat stok
harus diekstrasi dengan stok yang terbatas.
80

70

60
Production(Mbbl)

50

40

30 economic
Limit
20

10

0
2 4 6 8 10 12 24 26 28 30 32 34,7
Gambar 1. GrafikYear
Penurunan Produksi

Dari beberapa alasan diatas perlu dipertimbangkan bahwa dalam eksploitasi minyak dan gas
yang menyangkut investasi yang besar disamping itu terkait pula dengan waktu, maka
penentuan keuntungan tidak saja dihitung pada masa kini tapi juga sepanjang umur reser-
voirnya; sehingga konsep penurunan produksi seperti pada gambar 1 diatas perlu diper-
timbangkan dalam Prosedur Perencaan Sistem Transportasi MIGAS dengan moda Pipa.
Sedang aspek teknis yang menyangkut konfigurasi, intervensi, pipeline protection dan lain-
lainnya akan dibahas pula secara detail pada bagian lain di makalah ini. Gambar 2 berikut ini
memberikan gambaran secara komprehensif tentang pengembangan lapangan migas pada
umumnya.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 347


Identify
Prospecs
for Exploration Drill Confirmation Well and
Test

Obtaining the
Rights for Are Test
Exploration Favorable
Yes
- Marine Survey
- Geological Field Development Study and
Investigation, Design
- Rig Site Survey,etc
No
Design and Fabrication Production
Drill Exploratory Equipment,Desing Submarine
Well Pipeline, Install Production
Equipment,install Pipeline,and
Test,Etc.
Is Well Yes Cap Well and
Dry Abandon
START
No PRODUCTION
Test Well

No

Is Test Yes
Favorable

Gambar 2. Metodologi Pengembangan Lapangan Migas

2. Aspek Ekonomis pada Perencaan Sistem Transportasi MIGAS dengan moda Pipa.
Dari pengalaman yang ada selama ini menunjukan bahwa eksploitasi ladang minyak atau gas;
pada saat awal beroperasi memberikan rata-rata produksi yang cukup tinggi. Namun seiring
dengan berjalannya waktu rata-rata produksinya akan mengalami penurunan secara gradual
sampai batas keekonomiannya (economic limit) dicapai.Hal ini diakibat karena menurunnya
tekanan reservoir, gangguan yang dialami oleh porositas batuan reservoir,makin menurunnya
effisiensi peralatan produksi,naiknya perbandingan antara gas-oil ratio dan lain-lainnya. Oleh
sebab itu estimasi produksi disepanjang umur reservoir perlu dilakukan dengan
mempetimbangankan penurunan produksinya. Secara umum ada tiga metode yang dipakai
untuk memprediksi penurunan produksi yaitu exponential decline curve, harmonic decline curve
dan hyperbolic decline curve. Tabel 1 memberikan ilustrasi pengujian ketiga metode yang ada
berdasarkan data production history dari sebuah lapangan minyak. Dari uji coba menunjukan
bahwa exponential decline curve lebih mendekati kenyataan dengan factor simpangannya
adalah 0,000955 dibanding dengan metode harmonic decline curve dan hyperbolic decline
curve yang mempunyai factor simpangan 0,011230 dan 0,007168. Berdasarkan dari
pembuktian ini;maka exponential decline curve digunakan untuk memprediksi proses
penurunan produksi pada makalah ini.

Tabel 1. Ringkasan Perhitngan Ketiga Konsep Penurunan Produksi

Tahun Actual rata- Exponential Harmonic Hyperbolic


rata produksi (TBD) (TBD) (TBD)
(TBD)
1980 503 503 503 503

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 348


1981 468 468 467 467
1982 455 435 433 434
1983 446 405 402 403
1984 414 377 373 374
1985 378 351 346 348
1986 338 327 321 323
1987 326 304 298 300
1988 290 283 277 279
1989 210 263 257 259
1990 192 245 239 241
1991 165 228 224 224
Total = 4185 4189 4138 4165
Error = 0,000955 0,011230 0,007168

Disamping faktor kesalahan,pertimbangan lainnya mengapa exponential decline curve dipakai


dalam analisa adalah total produksinya lebih mendekati aktual produksi dengan perbedaan
yang relatip kecil;bila hal ini diberlakukan discounted to the present time hasilnya sudah pasti
tidak siknifikan.

Persamaan diferencial exponential decline seperti ditunjukan pada persamaan 1 dan 2 berikut
ini.

q dq t
D dt (1)
q q 0
0

q qi e Dt ..(2)

Sedang komulatip produksinya diperoleh dengan mengintegrasika persamaan 2 sebagai berikut,

t
Q D qi e Dt dt (3)

0

Diatas telah dikatakan bahwa sebuah ladang migas akan berkhir operasinya apabila economic
limitnya telah dicapai,hal ini karena produksi yang diperoleh hanya cukup untuk membiaya
operasinya saja (break event point). Persamaan economic limit diberikan sebagai berikut :

directOper atingCost
EconomicLi mit (4)
Re venue / bbl
Dari persamaan 4 disimpulkan bahwa penurunan biaya operasi dan naiknya harga minyak
akan menaikan recoverable oil,sedangkan kenaikan biaya operasi dan turunnya harga minyak
akan mengakibatkan turunnya recoverable oil. Disamping itu naik dan turunnya biaya operasi
juga akan berpengaruh terhadap recovery cost, karena biaya operasi merupakan salah satu
komponennya.

RECOVERY COST= Operating Cost


+ Depreciation
+ Amortisation
+ Investment Credit ..(5)

Gross Revenue Recovery Cost = Profit Revenue


- Indonesian Government Revenue
- Bonus

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 349


= Taxable Income
- Indonesian Income Taxes
= After Taxes Income .(6)

Tabel 2 merupakan sebuah ilustrasi scenario produksi dengan telah mempertimbangkan equity
split yang diberikan pada table 3. Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata penurunan produksi
0,003285/bulan, dengan batas keekonomian sebesar 77,314 bbl. Komulatip produksi pada
tahun pertama sebesar 3,6 juta barrel dan menurun menjadi 3,4 juta barrel pada tahun ke dua.
Penurunan ini terus berlangsung sampai batas keekonomian sebesar 77,314 bbl tercapai yaitu
pada kurun waktu 34,7 tahun atau umur ladang minyak tersebut 34,7 tahun.

Tabel 2. Data Perhitungan

Cadangan Terbukti = 69,000,000 bbl


Harga Minyak = $98,3/bbl
Production Sharing = 80%:20%
Production Scenario = 10,000 bopd
Biaya operasi = $25/bbl

Tabel 3. Summary of New Incentive for Production sharing Contracts

New Contract Area


Term/Condition Conventional Frontier
Government Contractor Government Contractor
Equity Split for
oil produced 80% 20% 75% 25%
from the first
marginal field
Equity Split for
oil produced
from pre- (*) (*) (**) (**)
tertiary
reservoir Rock
Equity Split for
oil produced
from deep sea (*) (*) (**) (**)
contract areas
(water depth
over 600 ft)

(*) Up to 50,000 bopd 80%:20%


50,000 150,000 bopd 85%:15%
Over 150,000 bopd 90%:10%

(**) Up to 50,000 bopd 75%:25%


50,000 150,000 bopd 80%:20%
Over 150,000 bopd 85%:15%

3. Aspek Teknis pada Perencaan Sistem Transportasi MIGAS dengan moda Pipa.
Setelah skenario produksi dilakukan dengan menentukan rata-rata produksi minyak per
harinya;maka langkah selanjutnya adalah melakukan proses perencanaan pipa dengan
mempertimbangkan berbagai parameter pengoperasian yang akan dilakukan. Parameter teknis
yang perlu dipertimbangkan meliputi antara lain diameter dalam dan luar pipa,ketebalan pipa,
material pipa,system proteksi. Pada tahapan perencanaan faktor teknis lainnya perlu

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 350


diperhatikan meliputi antara lain konfigurasi pipa, instalasi pipa, rute pipa,intervens pada saat
maintenance maupun repair dan lain-lainnya.

Pada aspek ekonomis telah diskenario bahwa ladang minyak akan di eksploitasi pada 10,000
bopd. Berdasarkan pertimbangan aspek teknis produktivitas 10,000 bopd ini akan di eksploitasi
melalui 10 sumur dengan asumsi masing-masing sumur menghasilkan 1000 bopd condensate;
disamping itu juga adanya imputities berupa air sebesar 250 bpd. Diketahui bahwa specific
gravity condensate adalah 0,87 dan viscocitynya adalah 3 cp. Karena faktor kecepatan aliran
fluida di dalam pipa,type aliran fluidanya sendiri,juga daya dari pompa yang akan
disiapkan,maka angka Re diambil pada regim aliran laminar dengan ketentuannya bahwa
Re<2000. Langkah selanjutnya adalah merencanakan diameter dalam pipa dengan
menggunakan rumus 7 untuk minyak dan rumus 8 untuk gas.

( SG )Q
d 92.1 (7)
Re

Qg S
d 20,100 (8)
Re

Sedangkan rumus 9 dan rumus 10 adalah moody friction factor dan perhitungan pressure drop
untuk minyak, seperti ditunjukan dibawah ini.

64
f .(9)
Re
fLQ 2 ( SG)
P (11.5 x10 6 ) .(10)
d5

Rumus 11 dan rumus 12 adalah moody friction factor dan perhitungan pressure drop untuk
minyak, seperti ditunjukan dibawah ini

0.032
f .(11)
d 1/ 3
SQ g2 ZTfL
P 12.6 (12)
P1 d 5

Rumus 13 adalah formula untuk menghitung wall thickness

Pd 0 100
t [t c t th ][ ] ..(13)
2( SE PY ) 100 Tol
Dari data yang telah ada diatas dengan menggunakan rumus nomor 7, maka diperoleh SG
relatip 0,896 dan diameter dalam pipa 17,63 inch atau 18 inch. Apabila Re diambil 4000, maka
akan diperoleh diameter dalam pipa 8,6 inch

4. Kesimpulan
Pada makalah ini telah dibahas metoda transportasi minyak atau gas dengan moda pipa secara
komprehensip. Hal ini disebabkan karena eksploitasi minyak dan gas yang bersifat tidak
terbarukan untuk keperluan energi; menyangkut struktur pasar yang cukup komplek dengan
tingkat teknologi yang tinggi. Sifat-sifat tersebut menyebabkan masalah eksploitasi minyak dan
gas akan sangat berbeda dengan ekstraksi sumber daya terbarukan.

Bahasanan dari aspek ekonomi menunjukan bahwa penurunan biaya operasi dan naiknya
harga minyak akan menaikan recoverable oil,sedangkan kenaikan biaya operasi dan turunnya
harga minyak akan mengakibatkan turunnya recoverable oil.Untuk ladang minyak dengan

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 351


cadangan terbukti 69 juta barrel biaya operasi $25/bbl, hasil perhitungan diperoleh rata-rata
penurunan produksi 0,003285/bulan, dengan batas keekonomian sebesar 77,314 bbl.
Komulatip produksi pada tahun pertama sebesar 3,6 juta barrel dan menurun menjadi 3,4 juta
barrel pada tahun ke dua. Penurunan ini terus berlangsung sampai batas keekonomian sebesar
77,314 bbl tercapai yaitu pada kurun waktu 34,7 tahun atau umur ladang minyak tersebut 34,7
tahun.

Bahasan dari aspek teknis menunjukan bahwa produktivitas 10,000 bopd ini akan di eksploitasi
melalui 10 sumur dengan asumsi masing-masing sumur menghasilkan 1000 bopd condensate;
disamping itu juga adanya imputities berupa air sebesar 250 bpd. Hasilnya menunjukan bahwa
diameter dalam pipa 17,63 inch atau 18 inch. Apabila Re diambil 4000, maka akan diperoleh
diameter dalam pipa 8,6 inch, namun hal ini akan dikompensasi dengan besarnya tenaga BHP
pompa untuk mengatasi gesekan yang ada di dalam pipa.

References
Arps,J.J,(1970), Analysis of Decline Curves , in Oil and Gas Property Evaluation and
Reserves Estimates, p.93,SPE No.3.
Bai,Yong,(2003), Pipelines and Riser ,Elsevier,Kidlington,Oxford,UK
Ikoku,Chi U,(1985), Economic Analysis and Investment Decisions , John Wiley & Sons, USA.
Rochani,Imam,(1993),Engineering Economic in Preliminary Offshore Oil Transport Design,
MSc Thesis, Strathclyde University,UK
Pertamina in Brief magazine.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 352


STUDY ON PARAMETERS TRANSPORTATION TO SAVE WATER WAY ENVIRONMENT
IN CASE WATER CHANNEL AT EAST KALIMANTAN

L.T.Parulian SINAGA

Abstract

In recent years, people give more serious intention to save water and waterway environment used for sea transportation
due to the development of the local trading and the domestic investment. Therefore it is necessary to avoid the effects of
rapid water transportation on the environmenntal, particularly effect of the ship generated waves. Mostly the big ship i.e
heavy towing barge-tug boat and high speed vessel always produce waves that can make the damage other ships
mored at the bank of the canal, or damage the water bank due to erosion and abrasive. One of the alternative solution
to reduce the wave intensity generated by the ships hull passing along the waterway is by designing the hull it self in
such a way to having a good hydrodynamic characteristic to reduce the generated waves energy imported to water
bank. The parameters of erosion and abrasive damage in relation to the ship pusher barge passing at the restricted
water canal or river was simulated by means of model test in Hydrodinamic Laboratory. Wave phenomena in a wide
water way with slop are discussed. The interface between applied pusher barge ship model simulation was occured by
wave height resistance type with assumsion effect of the wave replaction is replaction coeffisien from the water way
calculated by numeric shore protection manual. The relation between Froude number based on water depth and wave
heihgt is discussed. The sidimentation rate related to traveling of the ship along the water way was approached by using
a numeric calculation by longshore sediment transport theory. Sedimentation rate depend on the bed load factor or soil
characteristic along the water banks.

Keywords : Barge, Erosion and Abrasion rate, Water bank.

1. Introduction
Indonesian is one of the biggest island on the world having longer the shore line and also river
estuary came to the coastal zone, so more possibilities to used the water way as transportation
media between island with simple access, low cost & risk and ready for used.

However easy and free access to use it can be fatalism in the future if no anticipation effect on
environment surrounding water way. Recently is need more seriously to looked back
environment of the water way at river and shallow water area which is used for transportation
activities as well river lines transportation business were the human being is stay and life
surrounding the water way. A ship cruising in a narrow and shallow route has a potential to
create adverse effects on the coastal environment through the generation of significant wash.
These effects include beach erosion and bank, damaged to structures and increase risk for
people and small vessel surrounding the waterway. Increasing the transportation lines on
shallow water zone by pusher barge with certain speed can be generated big waves as well big
energy will be effect on the safety of the small craft and sedimentation, abrasion to river bank
1,5). Once alternative to reduce the wave effect cause by towing barge or pusher barge by
speed control during passing on the water canal. By speed management will reduce the waves
energy came to water bank will be reduce inherent also the erosion, abrasion appear. For
security, to maintain of the good water way environment is very importance to have the study on
abrasion as effect from the pusher barge transported in shallow water channal ie overview on
erosion and abrasion water bank and problem solving by integrated water way environment
condition. Base on previous research on the journal 1,2) it can be assure that erosion, abrasion
rate on the water channel will be computable with sedimentation rate cause of the ship service
speed. This study on abrasion of the pusher barge transportation in shallow water channel by
research on simulation model test with laboratory scale and measured the wave height coming
from the ship to the water way zone further calculated by numerical method according to water
channel Mahakam river condition (see below the real situation of the river including water deep
and width, 9). From this simulation can be measured the wave height caused by the pusher
barge when the towing carriage bring the pusher barge model test with various speed, heading
angle and water depth. The wave height measurement data from simulation the above will be
used for input data to run the numerical calculation by CERC (Coastal Enggineering
Research Centre) equation, 3) by calculated erosion and abrasion rate. This calculated take
care that bed load factor input take from Shore Protection Manual ( SPM ) on the table as
function of the sand diameter (as secondary data), reflection factor ,water mass, gravitation
involved on the numerical calculation,3). This research very helpful for the local government as

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 353


well Ministry Transportation Department to used as embryo later to determine beyond the
service speed regulation as guidance to protect the water bank and environment damaged as
well for validation of field resources data, design of break water or groin along way of water
channel and also to support ship design biro as well navigation information.

2. Problem Formulation
Having the effect of the under water hull lines of the pusher barge model and ship movement on
certain speed will be generated waves energy and run-up from ship coming to river line along
the water way. This situation can be effected for damages water bank like erosion, abrasion.
Further to determine the sediment flux caused by erosion and abrasion on the water bank
conducted by formula CERC. To calculated sediment volume of erosion & abrasion per-day
with assumption that bed load factor determine from SPM (shore protection manual),1) and
base on the wave high data measuring by conducted on two pair point probe installed in both
side of pusher barge model with distance 1( one ) meter from ship model and distance between
pair probe same with total length the pusher barge model (3.6 m). This phenomena used
bigger block coefficient, it will be generated more wave high like heavy barge or pusher
barge.2,4). This observation used pusher barge model test with block coefficient (CB) 0.8797 ,
froude number Fn is 0.249

Figure.1. Map displaying the location of onshore

Figure.2. Map displaying mayor zones of the Mahakam delta plain

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 354


Figure 3.ConsFigureuration position between pusher barge and probe at shallow water

Scale factor 33.41 and water way dimension (width, water depth ) is according to real condition
with scale factor same with the length of the pusher barge model test. The purpose of model
test to measure the wave high with different water depth and various speed, heading angle. The
result of the model test as interaction between hull line boundary, speed, heading angle will be
analise by numerical calculation and sedimentation curves.

3. Research Methodology
The purpose of the research is to calculate the sedimentation rate appear by using Long shore
Sediment Transport. Volume of the sedimentation appears same with sediment flux capacity
carry-out by run-up waves until settle on certain area. Movement of sediment process act on the
water bank as consequence came from water mass continued with certain speed strike hard on
the wall of the water canal. The sediment transport act on the plane with dimension length,
width, and depth, according references 5,6) by numerical matchematic can be used the littoral
sediment transport equation below:
l n t
1

cz, t u z, t dt dz
1 (1)
t
S
0 0

with , S : sediment transport rate expressed in ( m3/s)


T : integration period
h : Water depth
n : Water level
c( z,t ) : Material concentrasion
u( z,t ) : speed component
T : Time
Z : elevation above the bed level

Speed value (u) which is factor was conducted from equation long shore velocity (v). Speed
value is not depend on the time (t). Because the waves equation was including time factor (t)
with value depend on speed component.

The result of the long shore transport act on coastal line or water canal depend on the wave
direction. So the value of speed u( z,t ) was not only depend on time consume u( z,t ) u(z)
the time average concentration c (z ) can be used instead of the instantaneous concentration c
( z,t ).

The formula for the long shore sediment transport can therefore be reduced to a much more
h n
convenient equation: sx u( z )c ( z )dz (2)

0

Long shore transport equation (2) can used to calculate the volume of sediment long shore
transport at river. Base on observation in both prototype and model by the beach erosion &
abrasion board, the predecessor of the U.S. Army Coastal Engineering Research Centre ,
indicated a correlation between the long shore transport rate, S x , and the long shore
component of energy flux at outer edge of the surf zone(6). Expressed as a formula below:
sx (qs) '' (3)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 355


With, sx (qs) : Long shore sediment transport
A : Dimensional coefficient
U : flux energy component

For the flux energy passing along way of the water chanal caused by the run-up waves as
below:
1
cg g nc
2 (4)
8 h
With, E : Waves energy.
h : Wave height.
c : Wave speed propagation speed
cg : Wave group velocity (=nc )

This energy flux U( Ecg ) is for plane wave at wave height h (m) measure by wave probe at
wave speed camming from ship to water chanal.

Figure 4. Wave direction

Wave coming with angle direction on the water way ,so the fluks energy equation as below:
U = U cos (b) sin (b)
= 1/8 ghb nbcb cos(b) sin(b)
2

Figure 5. Ilustration of the wave caming with angle to water channel

From equation (3) and (4) conducted sedimentation rate :


Sx Qs A pg hb x nb cb cosb sin b
1 2

8
With reference to the secondary data at field by specific bed load of the kind of land and
diameter of the sand on the water way the constant A (bed load) is 0.401. so the equation of
sedimentation rate as below :
Sx Qs 0.401 p g hb x nb cb cosb sin b
1 2

8
with : Sx =(Qs) : Sedimentation rate
: Water mass constant
g : Gravity
hb (x) : Wave high as function ship speed and water level
nb : replection constant
cb : Wave braking
b : Wave angle

4. Model Testing
Model testing study on effect of the pusher barge transportation in shallow water canal of East
Kalimantan overview on erosion and abrasion of the water bank conducted at maneuvering
ocean basin (MOB) UPT. BPPH. BPPT. Surabaya ( Figure N0: 6). For ship model was selected
using the pusher barge model test and also using the maximum water depth is according to the
real water depth on the Mahakam river at East Kalimantan. The specification of pusher barge as
mentioned on table below.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 356


Figure .6. Carry-out pusher barge model test at shallow water

Table 1. Main dimension of the pusher barge


model test
Main Dimension Barge Pusher
Length perpendicular 94.50 25.00
( Lpp ), m
Length of water lines 94.50 28.55
( Lwl ), m
Breadth (B), m 19.00 10.20
Draft at Fore ( Tf ), m 4.75 3.70
Aft draft (Ta), m 4.75 3.70
Displacement volume 7502.50 542.15
( Displ ), Ton
Position of LCB aft 47.53 13.41
FP, m
Block coef.. ( Cb ) 0.87 0.57
Mid ship coef (Cm) 0.98 0.89
Prismatic coef (Cp) 0.88 0.63
Length / breadth ratio 4.07 2.46
( Lpp / B)
Breadth/draft ratio (B / 4.00 2.75
T)
Model Scale 1 : 33.4

Pusher barge model test was conducted base on observation and research by Prof. Kijima as
reference 7) with requirement of pusher barge model test for full condition draft 4,70 m.
However for speed of pusher barge model testing variation from: 0,4 m/sec, 0,8 m/sec, 1,0
m/sec, 1,2 m/sec, and 1,4 m/sec. And also water depth variation from : 2 D, 1.5 D, 1.3 D, 1.2 D,
1.1 D (D is water draft of pusher barge model).Heading angle of the pusher barge model test ()
variation : - 15, -10,-5, 0, 5, 10 and 15 as mention below table N0. 2. To measure the wave high
generated by the pusher barge model run up coming to the wave probe instruments and then
transferred it to computer via cable. The location of waves probe installed 1.5 m from pusher
barge model and 3,6 m between with both pair of water probe (Figure N0.3 conFigureuration
between position pusher barge model test and wave probe A,B at shallow water tank).

Depth fraude number where fnh Uo gh with various depth and speed can be find the wave
profile of the pusher barge

Table 2 Test requirement of the pusher barge model


Water Heading Model Wave Wave Sedimentasion Sedimentation
3 3
depth angle () speed height height rate (m /day) rate (m /day)
(H/D) (degree) (m/s) (m) on (m) on on probe A on probe B
(m) probe A probe B
2d -5 0.8 Figure,7 Figure,7 Figure 19 Figure,19
0.6 Figure,8 Figure,8

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 357


0,4 Figure,9 Figure,9
1.5d -3 0.8 Figure,10 Figure,10 Figure 20 Figure 20
0.6 Figure,11 Figure,11
0.4 Figure,12 Figure,12
1.3d 0 0.8 Figure,13 Figure,13 Figure 21 Figure 21
0.6 Figure,14 Figure,14
0.4 Figure,15 Figure,15
2 0.8 Figure 22 Figure 22
0.6
0.4
1.1d 3 0.8 Figure,16 Figure,16 Figure 23 Figure 23
0.6 Figure,17 Figure,17
0.4 Figure,18 Figure,18
5 0.8 Figure 24 Figure 24
0.6
0.4
10 0.8 Figure 25 Figure 25
0.6
0.4
15 0.8
0.6
0.4

5. Result Of Pusher Barge Model Test


The observation starting from deeper with water level per pusher barge model draft (H/D) is 2 D
with variation heading angle from 5 degree until 15 degree (() and each heading angle will
carried with various speeds ( 0.8 m/s, 0.6 m/s and 04 m/s) as mentioned the above table N0 .2.
From this observation result of purser barge model test assume that correlation effect of the
wake wash from the pusher barge model test run-up and coming to water bank as long the
water canal with variation speed ,heading angle and water depth will be found the various wave
height and flux energy. It very clear and significantly effect of the phuser barge model on
abrasion and erosion water bank at the water canal. By numerical calculation with using
sediment transport theory as ref 3) can be assume the volume per cubic meter of the abrasion
and erosion layer as call sedimentation rate

Figure 7 Wave profile on Water level 0.284 m ( 2d), model speed 0,8 m/s

Figure 8 Wave profile on Water level 0.284 m (2d), model speed 0,6 m/s

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 358


Figure 9 Wave profile on Water level 0.284 m (2d), model speed 0,4 m/s

Figure .10 Wave profile on Water level 0.218 m (1.5d), model speed 0,8 m/s

Figure .11 Wave profile on Water level 0.218 m (1.5d), model speed 0,6 m/s

Figure .12 Wave profile on Water level 0.218 m (1.5d), model speed 0,4 m/s

Figure .13 Wave profile on Water level 0.170 m (1.3d), model speed 0,8 m/s

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 359


Figure .14 Wave profile on Water level 0.170 m (1.3d), model speed 0,6 m/s

Figure .15 Wave profile on Water level 0.170 m (1.3d), model speed 0,4 m/s

Figure .16 Wave profile on Water level 0.150 m (1.1d), model speed 0,8 m/s

Figure .17 Wave profile on Water level 0.150 m (1.1d), model speed 0,6 m/s

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 360


Figure .18 Wave profile on Water level 0.150 m (1.1d), model speed 0,4 m/s

Figure .19 Sedimentation rate cause by various speed of ship model

Sedim entation rate byvarious heading of m ode and


certain speedl
height,sedimentatio

60.0

40.0
Wave

20.0
n

0.0
-10 -5 0 5 10 15 20
-20.0
Heading QA
QB

Figure .20 Sedimentation rate cause by various heading angle of ship model

Sedim entation rate byvarious heading of m ode and


certain speedl
height,sedimentatio

60.0

40.0
Wave

20.0
n

0.0
-10 -5 0 5 10 15 20
-20.0
Heading QA
QB

Figure .21 Sedimentation rate cause by various heading angle and speed of ship model with
water level H/d-2

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 361


Sedim entation rate on various heading of
m odel w ith certain m odel speed

0.004

Sedimentain rate
0.003
0.002 QA
0.001 QB
0
-10 -0.001 0 10 20
Model speed (m /s)

Figure .22 Sedimentation rate cause by various heading angle and speed of ship model with
water level H/d=1.5

Sedim entation rate on various heading ofship


m ode w ith certain speed m odell
Heading of mode;

0.008
0.006
0.004
0.002
0.000
-10 -0.002 0 10 20

Model speed (m/s) QA


QB
Figure .22 Sedimentation rate cause by various heading angle and speed of ship model with
water level H/d=1.1

For correlation between sedimentation rate and variation water depth at shallow water tank (H /
0
d) with heading angle model ship (0 ) as below Figure.23

Sedimentation rate on probe Aand probe B with


various waterlevel (H/d)

2
Sedimentation rate

1.5
( M3/day)

QA
1
QB
0.5

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
Water Level ( H/d)

Figure 23 Sedimentation rate cause by speed of ship model at various water level

The correlation between sedimentation rate and main dimension of ship (Length of ship, breadth,
and displacement) can be analyze by calculation with related to fraude number as below:

fn v
(6)
gl
With V : Model speed
g : Gravitation
L : Length of model ship

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 362


Sedimentation cause by dimension of ship

350000
300000

Sedimentation rate
250000
Series1

(m3/day)
200000
Series2
150000
Series3
100000
Series4
50000
0
-50000 0 1 2 3 4 5

L(m) , Speed m/s

Figure 24 Sedimentation rate cause by fraude number and various speed of ship model

The result of correlation between sedimentation rate per day and displacement of ship model
can be show as mentioned below. Sedimentation rate and displacement is function of the speed
ship model length as mention below:

v
Th (7)
displ 1 / 3

with, V : Speed model test


Displ.. : Displacement of ship model

Further the result of test at Hydrodynamic Laboratory with various speed can be determine
sedimentation rate. So if both the equation (5) and (7) the above mentioned can be obtain the
equation correlation below:
v3 (8)
Displ
Qs
Which, Displ. : Ship Displacement
V : Ship speed
Qs : Sedimentation rate

Sedimentation rate cause by displasment

0.0000009
0.0000008
Sedimentation rate

0.0000007
0.0000006
0.0000005
QA
0.0000004
0.0000003 QB
0.0000002
0.0000001
0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07

Displasment

Figure 25 Sedimentation rate cause by displacement of the ship model

6. The Model Test Analyze


The result of model test at hydrodynamic laboratory can be concluded that correlation between
sedimentation rate and model speed, water depth ratio, and displacement of ship as below:

Sedimentation rate on probe A appear bigger then sedimentation rate on probe B (Drw . 3).
Because of on the probe A superposition waves are coming due to the ship model moving from
probe B to probe A.

At water level variation (H/d), (Drw.23) concluded that condition of H/d small, the sedimentation
rate also small. This case cause of the fluk energy on the H/d ( crest waves ) smaller, On the
(Drws. 24 and 25) appear that sedimentation rate Probe B smaller then sedimentation rate on
probe A. Because of the effect of waves superposition act on probe B cause of the ship model
coming from direction probe B to probe A.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 363


7. Conclusion Of Research
1. The volume erosion and abrasion cause of flux energy produced by passing of the ship
model is proportional with sedimentation rate.
2. The sedimentation rate cause of the wave effect coming from hull lines comparable with fluk.
energy coming to the water bank.. So possibilities to reduce the flux energy by using the
pusher barge type 9) .
3. The sedimentation rate will be proportional with increased the speed of the ship model,
heading angle and water depth at shallow water.

Reference

Zhao Chen Sun (1993), Numerical Simulation of Solitary Wave Run-up on Slopes, The
rd
Proceedings of the 3 International Offshore and Polar Engineering Conference (ISOPE),
Vol. III, Singapore.
Eichi Baba (2000), Shore Line Erosion by Wake Wash and Hull Form With Low Wake Wash,
th
Proceeding of DGHE-JSPS, The 4 JSPS Seminar and Panel Discussion in Marine
Transportation Engineering, Jakarta.
Coastal Engineering Research Center, US Army Corp. of Engineering, USA (1984), Shore
Protection Manual.
Larry Elliot (1999), The Prediction, Measurement and Analysis of Wake Wash from Marine
Vessel, MARIN Magazine, Nederland.
Bambang Triatmodjo (1999), Coastal Engineering, Beta Offset, Yogyakarta , (in Indonesian).
Van der Velden J.H (1989), Coastal Engineering Vol. II.

Katsuro Kijima (1990), On the Maneuvering Performaces of a Ship with the parameter of
Loading Condition, Autumn Meeting of The SNAJ, Japan.
Chun Beom Hong (June 2003), Numerical investigation of high-speed ship wash in restricted
water way.
Proceeding of seminar on river transportation organized by centre for assessment and
application of industrial technology and transportation system agency for assessment and
application of technology and Japan Society for The Promotion Of Science Directorate
General Of Higher education Sponsored by Japan Marine Science Inc Jakarta, August 23
rd, 2004.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 364


DISTRIBUSI, KOMPOSISI, DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN
SEDIMEN PERMUKAAN PERAIRAN TELUK BANTEN
1 2 2
Gunardi KUSUMAH* , Tubagus SOLIHUDDIN , Dini PURBANI
1
Loka Penelitian Sumberdaya Laut dan Kerentanan Pesisir, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan Perikanan, Padang.
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan Perikanan, Jakarta.
*Email: gkusumah@gmail.com

Abstract
Research on surficial sediment in Banten Bay waters aimed to determine distribution, composition, and environment of
sediment deposition in relation to environmental capacity to support marine aquacultures development. Visual
estimation and description in the field was the first stage to obtain sediment characteristics and followed by grain size
analysis in the laboratory. Some 25 sediment samples have been collected using a 1-litre sediment grab sampler across
the selected transects. Based on grain size analysis, surficial sediment composition can be grouped into 2 (two) textural
units: silt (Z) and sand (S), representing approximately 90% and 10% of the study area respectively. Whilst grain
statistical parameters analysis resulted in mean size in range of 2.155 5.989 (fine sand silt), sorting ranged between
0.690 and 1.287 (moderately poorly sorted), and skewness ranged from a low of -0.077 to 0.200 (positive near
symmetrical), indicating that fine grain sediment were dominant, deposition processes were traction and suspension,
and environment of sediment deposition was dominated by fluvial/rivers processes.

Keywords: surficial sediment, environmental capacity, marine aquacultures

1. Pendahuluan
Perairan Teluk Banten terletak di ujung Barat Laut Pulau Jawa, merupakan bagian dari Laut
2
Jawa dengan luas wilayah permukaan totalnya 150 km dan kedalaman rata-rata 7 m. Secara
geografis, Teluk Banten berada pada koordinat 5 55 6 1 Lintang Selatan (LS) dan 106 5
106 15 Bujur Timur (BT), sedangkan secara administratif termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Gambar 1).

Gambar 1. Peta petunjuk lokasi penelitian

Beberapa peneliti terdahulu fokus pada penelitian karakteristik wilayah perairan dan genesa
Delta Ciujung. Helfinalis (2002) telah mengidentifikasi sebaran sedimen serta sedimen
tersuspensi pada wilayah yang lebih luas di Teluk Banten. Pengaruh sungai yang besar berasal
dari Sungai Ciujung yang membawa material sedimen ke laut kemudian diendapkan di dasar
laut dengan dipengaruhi oleh arah dan kecepatan arus laut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui data sebaran sedimen permukaan dasar laut yang
terdiri dari distribusi, komposisi, serta lingkungan pengendapan sedimen hubungannya dengan
daya dukung lingkungan dalam upaya pengembangan kawasan budidaya perikanan. Selain itu,
data sebaran sedimen juga dapat dijadikan data dasar bagi identifikasi zonasi pantai baik

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 365


berupa kawasan konservasi, wisata, pertambakan ataupun rencana pelabuhan, seta
bermanfaat untuk melihat hubungan kondisi substrat dasar laut terhadap kelimpahan jenis ikan.

2. Metode
2.1 Pengambilan sampel
Untuk menginventarisasi data distribusi sedimen pantai daerah penelitian, sebanyak 25 contoh
sedimen dasar laut telah diambil dengan menggunakan alat pemercontoh comot (grab sampler)
pada transek yang telah ditentukan di perairan Teluk Banten (Gambar 2). Preparasi contoh
sedimen berupa analisis makroskopis dengan bantuan lensa tangan (hand lens) pembesaran
hingga 20x merupakan tahapan awal sebelum dilakukan analisis besar butir di laboratorium
menggunakan metode ayakan (sieving).

PETA LOKASI PENGAMBILAN


CONTOH SEDIMEN

Gambar 2. Peta lokasi pengambilan contoh sedimen

2.2 Analisis laboratorium


Analisis laboratorium terdiri dari metode ayakan dan pipet. Metode ayakan bertujuan untuk
memisahkan sedimen berukuran butir halus dan kasar dengan ayakan yang mempunyai
ukuran kasa (mesh) tertentu. Berat setiap contoh sedimen yang dianalisis besar butir
kurang lebih 100 gr dengan interval ayakan yang digunakan phi (), yaitu mesh 10, 18,
35, 45, 60, 80, 120, 200, dan 230.

Metode pipet memiliki tujuan yang sama dengan metode ayakan, namun metode ini
digunakan untuk sedimen berukuran butir sangat halus seperti lanau dan lempung. Metode
ini didasarkan pada Hukum Stocks, yaitu mengukur kecepatan pengendapan setiap partikel
sedimen pada setiap waktu yang telah ditentukan. Kecepatan pengendapan partikel
sedimen berbanding lurus dengan ukuran partikel sedimen tersebut.

2.3 Penamaan besar butir


Hasil dari analisis besar butir dilakukan klasifikasi besar butir berdasarkan diagram segitiga
(Folk, 1980) yang menggambarkan perbandingan kerikil, pasir dan lumpur (Gambar 3).
Berdasarkan perbandingan relatif dari ketiga sedimen ini, maka penamaan tekstur sedimen

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 366


dapat dikelompokkan menjadi 15 (limabelas) tekstur sedimen seperti konglomerat pasiran,
lumpur sedikit kerikilan atau pasiran dll.

Gambar 3. Diagram segitiga Folk (1980)

2.4 Lingkungan pengendapan sedimen


Lingkungan pengendapan sedimen dan arah pengangkutan sedimen diselidiki melalui
pendekatan analisis parameter satistik butiran yang terdiri dari besar butir rata-rata (mean grain
size), pilahan (sorting), dan kepencongan (skewness) (Friedman, 1967). Rumus-rumus statistik
yang dipakai dalam perhitungan ini menggunakan metode logaritmik dari Folk dan Ward (1957),
sebagai berikut :

16 50 84
1. Harga ukuran butir rata-rata (Mean) : (1)
3
84 16 95 5
2. Pemilahan (Sorting) : (2)
4 6, 6
(16 84) 2 50 ( 5 95) 2 50
3. Kepencongan (Skewness): (3)
2( 84 16) 2 ( 95 5)
95 5
4. Keruncingan (Kurtosis) : (4)
2, 44 ( 75 25)

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Tekstur Sedimen
Berdasarkan hasil analisis besar butir (Tabel 1), sedimen permukaan dasar laut di daerah
penelitian secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) satuan tekstur sedimen,
yaitu: lanau (Z) dan pasir (S). Sementara distribusi spasial tekstur sedimen dituangkan
dalam bentuk peta (Gambar 4) dan rasio antara pasir, lanau dan lempung diplot pada
diagram segitiga (Folk, 1980) tertera pada Gambar 5.

(1) Lanau (Z)


Satuan lanau (silt) tersebar hampir 90% luas daerah penelitian dan terendapkan pada
kedalaman yang bervariasi. Satuan ini berwarna abu-abu gelap hingga kehijauan, mengandung
cangkang dan bahan organik. Berdasarkan hasil analisa besar butir, rata-rata terdapat
kandungan mineral lempung dengan persentase 10% - 15%. Dengan besar butirnya yang

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 367


paling halus dibandingkan satuan lain, sedimen ini diperkirakan berasal dari Sungai Banten dan
Anyer yang ditransportasikan ke laut melalui kanal-kanalnya, tersuspensikan dan tersebar ke
seluruh perairan oleh arus laut.

(2) Pasir (S)


Satuan pasir (sand) tersebar seluas 10% di wilayah penelitian, terendapkan pada kedalaman
0 4 meter. Pola sebaran satuan ini sejajar dengan garis pantai dan di wilayah Teluk Banten
ditemukan di wilayah Tanjung Balok tersebar paling luas di wilayah Kecamatan Tirtayasa.
Secara megaskopis, sedimen pasir mengandung mineral hitam, sedikit mineral kuarsa, fragmen
batuan serta cangkang dan tumbuhan. Berdasarkan hasil analisis besar butir, satuan ini
termasuk ke dalam jenis pasir halus hingga sedang. Satuan ini diperkirakan hasil dari
morfogenesa wilayah Delta Ciujung, berupa material yang berasal dari daratan yang diangkut
ke pantai melalui muara-muara sungai Ciujung dan cabangnya, tersebar di sepanjang pantai
oleh arus laut sejajar pantai (longshore current).

Tabel 1. Hasil analisis besar butir sedimen permukaan dasar laut perairan Teluk Banten

Nomor Metode Logaritmik Folk & Ward Persentase (%) Grup Tekstur
No
Contoh Mean Sorting Skewness Gravel Sand Silt Clay (Folk, 1980)
1 Sed-1 5,899 1,287 0,001 0,0% 4,8% 15,9% - Lanau Z
2 Sed-2 5,954 1,244 0,009 0,0% 2,2% 16,3% - Lanau Z
3 Sed-3 5,973 1,230 0,011 0,0% 1,2% 16,5% - Lanau Z
4 Sed-4 5,988 1,219 0,013 0,0% 0,5% 16,6% - Lanau Z
5 Sed-5 5,934 1,260 0,006 0,0% 3,1% 16,1% - Lanau Z
6 Sed-6 5,987 1,219 0,013 0,0% 0,6% 16,6% - Lanau Z
7 Sed-7 5,893 1,291 0,001 0,0% 5,0% 16,0% - Lanau Z
8 Sed-8 5,985 1,221 0,013 0,0% 0,7% 16,4% - Lanau Z
9 Sed-9 5,916 1,273 0,004 0,0% 3,9% 16,1% - Lanau Z
10 Sed-10 5,968 1,234 0,010 0,0% 1,5% 16,0% - Lanau Z
11 Sed-11 5,932 1,261 0,006 0,0% 3,2% 15,6% - Lanau Z
12 Sed-12 5,654 1,262 0,004 0,0% 3,8% 16,0% - Lanau Z
13 Sed-13 5,860 1,417 -0,077 0,0% 6,4% 15,8% - Lanau Z
14 Sed-14 2,252 1,079 0,346 0,0% 90,5% 16,6% - Pasir S
15 Sed-15 5,683 1,351 0,001 0,0% 4,9% 16,4% - Lanau Z
16 Sed-16 5,984 1,221 0,013 0,0% 0,7% 16,6% - Lanau Z
17 Sed-17 5,960 1,240 0,009 0,0% 1,9% 16,4% - Lanau Z
18 Sed-18 5,988 1,219 0,013 0,0% 0,5% 16,6% - Lanau Z
19 Sed-19 5,976 1,227 0,012 0,0% 1,1% 16,5% - Lanau Z
20 Sed-20 5,934 1,259 0,006 0,0% 3,1% 16,2% - Lanau Z
21 Sed-21 5,967 1,235 0,010 0,0% 1,6% 16,4% - Lanau Z
22 Sed-22 5,980 1,225 0,012 0,0% 0,9% 16,5% - Lanau Z
23 Sed-23 5,950 1,247 0,008 0,0% 2,3% 16,3% - Lanau Z
24 Sed-24 5,989 1,218 0,013 0,0% 0,5% 16,6% - Lanau Z
25 Sed-25 2,159 0,690 0,200 0,0% 95,6% 0,7% - Pasir S

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 368


Gambar 4. Peta Sebaran Sedimen Perairan Teluk Banten

Gambar 5. Diagram rasio Sand Mud lokasi penelitian

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 369


3.2 Lingkungan pengendapan sedimen
Proses sedimentasi di pantai dipengaruhi oleh sumber sedimen dan media pembawanya.
Sumber sedimen bisa berasal dari darat melalui sungai yang mengalir ke laut atau dari daerah
lain yang terbawa oleh arus laut. Arus kuat akan mengendapkan sedimen berukuran relatif
kasar, sedangkan arus yang lemah akan mengendapkan sedimen relatif berukuran halus.

Perairan Teluk Banten dialiri oleh sungai-sungai aktif diantaranya adalah Sungai Domas, Soge,
Cikemayungan, Banten, Pelabuhan, Wadas, Baros, Ciujung, Anyer, Cilid, Kesuban, Baru,
Serdang, Suban, Kedungingus dan Candi. Sungai yang paling besar adalah Sungai Ciujung
dan Anyer (Peta LPI Lembar 1110-09 Teluk Banten, 1999). Sungai-sungai tersebut membawa
material sedimen ke perairan Teluk Banten sebagai dampak dari proses erosi dan perubahan
tata guna lahan di daerah hulu dan hilir sehingga mempengaruhi kualitas perairan Teluk Banten
dan morfologi pesisirnya.

Lingkungan pengendapan serta dinamika sedimentasi di daerah penelitian diinterpretasi melaui


pendekatan analisis parameter statistik butiran meliputi besar butir rata-rata (mean grain size),
pilahan (sorting) dan kepencongan (skewness). Berdasarkan hasil analisis data dari setiap
parameter tekstur sedimen, maka diperoleh gambaran umum tentang proses dan dinamika
sedimentasi di kawasan perairan Teluk Banten.

Berdasarkan hasil analisis parameter statistik diperoleh kisaran nilai rata-rata antara 2.155
5.989 (pasir halus lanau), nilai pilahan antara 0.690 dan 1.287 (terpilah sedang buruk), dan
nilai kepencongan antara -0.077 0.200 (positif hampir simetris), mengindikasikan bahwa
sebagian besar populasi sedimen berbutir halus, proses pengendapan traksi dan suspensi, dan
lingkungan pengendapan sedimen didominasi oleh proses fluvial/sungai. Dari data tersebut
dapat dikatakan bahwa sebagian besar material sedimen merupakan sedimen darat yang
diangkut melalui sungai-sungai aktif kemudian diendapkan di laut. Daerah yang dekat dengan
muara sungai cenderung memiliki butiran sedimen lebih kasar dibandingkan dengan sedimen
yang diendapkan jauh dari muara sungai terutama sungai-sungai yang memiliki debit yang
besar. Arus sejajar pantai yang mengangkut material sedimen menyusuri pantai, semakin jauh
dari muara sungai, butiran semakin menghalus. Pola arus di wilayah Teluk Banten dipengaruhi
oleh iklim Monsoon. Hal tersebut secara langsung telah mempengaruhi pola dan arah sebaran
sedimen di lokasi penelitian.

3.3 Prospek pengembangan kawasan budidaya


Jenis sedimen dasar laut berpengaruh terhadap jenis hewan dasar yang hidup pada daerah
tersebut. Kehidupan biota sesuai dengan habitatnya, dimana pada sedimen dasar yang keras
dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan pada sedimen dasar yang lunak dihuni oleh
organisme yang mampu membuat lubang (Odum, 1979). Sedangkan Dahuri (2003) mengatakan
bahwa sedimen dasar juga berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup
perlindungan dari arus air dan tempat pengolahan serta pemasukan nutrien. Jenis dan ukuran
sedimen dasar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan
disrtribusi bentos. Semakin halus tekstur tersebut semakin tinggi kemampuan untuk menjebak
bahan organik (Nybakken, 1992).

Berdasarkan data sebaran sedimen dasar laut yang sebagian besar terdiri dari lanau (lumpur),
maka perairan ini mendapatkan bobot terendah untuk dikembangkan usaha budidaya dibanding
dengan sedimen dasar lainnya seperti pasir atau terumbu karang. Sedimen dasar perairan yang
baik untuk lokasi budidaya adalah gugusan wilayah perairan yang sesuai dengan habitat
masing-masing organisme. Misalnya sedimen dasar yang cocok untuk budidaya tiram adalah
gugusan terumbu karang atau karang berpasir, sedangkan untuk ikan kerapu dan rumput laut
akan cocok pada sedimen dasar berpasir dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996; Radiarta et
al., 2003).

Akan tetapi, apabila daerah perairan Teluk Banten akan dikembangkan usaha budidaya ikan
laut, maka jenis komoditas yang dibudidayakan harus memiliki toleransi tinggi terhadap
perubahan kondisi perairan seperti ikan kerapu lumpur, kerapu macan, kakap, dan kerang-
kerangan. Peubah fisik air seperti turbiditas, suhu, dan salinitas sangat berfluktuasi sesuai

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 370


dengan karakteristik perairan yang bermuara sungai-sungai besar.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis besar butir, distribusi sedimen permukaan di perairan Teluk Banten
didominasi oleh lanau dengan luas sebaran sekitar 90%. Sementara hasil analisis parameter
statistik butiran yang terdiri dari nilai rata-rata, nilai pilahan, dan nilai kepencongan,
mengindikasikan bahwa sebagian besar populasi sedimen berbutir halus, proses pengendapan
traksi dan suspensi, serta lingkungan pengendapan sedimen didominasi oleh proses
fluvial/sungai. Berdasarkan data sebaran sedimen tersebut, maka prospek pengembangan
budidaya perikanan sebaiknya dipilih jenis ikan yang memiliki toleransi tinggi terhadap
perubahan kondisi perairan seperti ikan kerapu lumpur, kerapu macan, kakap, dan kerang-
kerangan.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didanai oleh Kementrian Riset dan Teknologi melalui skema dana hibah penelitian
tahun 2010. Peralatan yang digunakan selama survey lapangan didukung oleh Puslitbang
Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kepada seluruh anggota tim
penelitian Optimalisasi data fisik perairan untuk kajian kelimpahan dan jenis ikan di Teluk
Banten tahun 2010 serta nelayan lokal yang telah menyediakan perahu serta bantuan tenaga
selama survey lapangan kami ucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

References
Bakosurtanal. (1996): Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin Kupang NTT. Pusat
Bina Aplikasi Inderaja dan Sistem Informasi Geografis, Cibinong.
Bakosurtanal. (1999): Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), Lembar 1110-09, Teluk Banten.
Cibinong.
Dahuri, R. (2003): Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.
PT Gramedia. Jakarta
Folk, R.L. (1980): Petrology of Sedimentary Rocks. Hemphill Publishing, Austin, TX, 184p
Folk, R. L. and Ward, Wiley. (1957): Brazos River bar: a study in the significance of grain size
parameter. Jour. Sedimentary Petrology, V. 27, p. 3-26.
Friedman, G. M. (1967): Dynamic Processes and Statistical Parameters Compared for Size
Frequency Distribution of Beach and River Sands, Journal of Sedimentary Petrology,
Vol 37, p. 327 354.
Helfinalis. (2002): Sebaran Sedimen dan Suspensi di Perairan Teluk Banten, Jurnal
Oseanografi, Biologi dan Lingkungan, P2O LIPI, p.133-145.
Kementrian Lingkungan Hidup. ( 2004): Keputusan Menteri KLH No. 51/2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
Nybakken, J.W. (1992): Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia, Jakarta .
Odum, E. P. (1979): Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Original
English Edition. Fundamental of Ecology Third Edition, Yogyakarta.
Radiarta, I. Ny., S. E. Wardoyo., B. Priyono dan O. Praseno. (2003): Aplikasi Sistem Informasi
Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut di Teluk Ekas, NTB.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Pusat Riset Perikanan Budidaya, Jakarta. Vol
9, No.1, Hal 67 71.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 371


ANALISA UMUR KELELAHAN SAMBUNGAN KAKI JACK-UP DENGAN MUDMAT
PADA MALEO MOPU DENGAN PENDEKATAN MEKANIKA KEPECAHAN
1 *1 1 1
Abi L. HAKIM , Eko B. DJATMIKO , Murdjito , dan Nur SYAHRONI
1
Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya
*e-mail: ebdjatmiko@oe.its.ac.id

Abstract
This paper explains a case study carried out on the structure of Maleo MOPU (Mobile Offshore Production Unit)
operated by SANTOS (Madura) Pty. Ltd. at Maleo Block, Madura Strait, at the 57m water depth. Maleo MOPU is
basically a jack-up type offshore structure consisting of a bouyant hull, legs, and a jacking system, hence allow the
structure to be transferred from one operational site to another. The particular case study is established by referring to
the crack indicated to have taken place in the joint between jack-up leg and the mudmat. Fracture mechanics method is
adopted to conduct the corresponding fatigue analysis. Variation in the crack depth is evaluated by an appropriate
criteria from DNV OS C101 to determine the remaining life. By imposing cyclical loads the failure and hence the
remaining life is defined when the through-the thickness-cracking is attained. A finite element tool is used to model the
global and local structural behaviors, especially to yield stresses in the vicinity of the crack tip. The level of stresses are
further related to the peculiar stress intensity factors to be included in the Paris-Erdogan equation. For the strcutural
case studied, and by applying the method aforementioned, the remaining life of the joint between jack-up leg and the
mudmat is found to be some 5.2years.

Keywords: Maleo MOPU, jack-up to mudmat joint, crack, fracture mechanics

1. Pendahuluan
Jack-Up platform adalah suatu struktur kompleks yang digunakan sebagai bangunan lepas
pantai dalam berbagai mode operasi. Jack-Up telah menjadi salah satu bangunan eksplorasi
industri minyak lepas pantai sejak tahun 1950-an. Jack-Up digunakan dalam berbagai fungsi
diantaranya yaitu sebagai eksplorasi pengeboran, produksi, akomodasi, dan sebagai platform
perawatan (maintenance platform). Seperti halnya dengan setiap teknologi inovatif, Jack-Up
telah digunakan dengan keterbatasan operasional dan desainnya. Keterbatasan ini meliputi
batasan beban dek ketika mengapung, kemampuan membawa beban ketika proses lifting,
batasan lingkungan, batasan pengeboran, dan batasan tanah khusunya pondasi. Alasan untuk
mendorong batas-batas ini dikarenakan keinginan untuk menjelajahi perairan yang lebih dalam,
reservoir yang lebih dalam di lingkungan yang lebih keras, dan di daerah dimana tanah dan
pondasi mungkin sulit stabil atau bahkan tidak stabil [1].
Salah satu perusahaan yang menggunakan jack-up adalah SANTOS (Madura) Pty.Ltd. Jack-Up
milik perusahaan ini bernama Maleo MOPU (Mobile Offshore Production Unit) yang terletak di
Maleo field, 40 km dari tenggara Pulau Madura, 25 km dari selatan Pulau Puteran. Struktur ini
beroperasi di Selat Madura dengan kedalaman kira-kira 57 m dari Mean Sea Level (MSL).
Gambar dari Maleo MOPU ditunjukkan pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Maleo MOPU [2]


Maleo MOPU ini dibangun pada tahun 1978 di Bethlehem Steel, Beaumont Texas yard. Saat
dilakukan inspeksi tahunan di bulan Agustus 2010, ditemukan retakan pada sambungan antara
mudmat dengan kaki jack-up, terutama pada gusset plate di setiap kaki jack-up. Retakan ini

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 372


tentunya berpengaruh terhadap respon inplace struktur secara global. Gambar 2 menunjukkan
gusset plate dan contoh retakan yang ditemukan serta lokasi dari setiap retakan di kaki jack-up.

Gambar 2. Lokasi retakan pada kaki jack-up Maleo MOPU [2]

Menurut [3], pada era 1968-1989 diperkirakan terdapat 11 jack-up yang dikonversi menjadi unit
produksi. Merubah fungsi dari jack-up tentu akan membawa dampak yang cukup bearti terha-
dap umur dari struktur tersebut. Suatu struktur yang telah retak, jika dikenai beban yang beru-
lang atau dikenai beban kombinasi lingkungan maka keretakan tersebut akan terus membesar
seiring dengan waktu. Semakin panjang retakan, semakin besar konsentrasi tegangan yang
terjadi. Hal ini bearti bahwa laju perambatan retak akan meningkat seiring dengan waktu [4].

2. Metode Penelitian
2.1 Studi Literatur
Dalam tugas akhir ini, literatur-literatur yang dipelajari adalah penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya dan makalah-makalah ilmiah yang berkaitan langsung dengan penelitian ini, serta
buku-buku sebagai tambahan referensi dalam penyelesaian masalah.

2.2 Pengumpulan Data


Data-data yang digunakan adalah data-data yang didapatkan dari laporan analisa global milik
SANTOS (Madura) Pty.Ltd. Data-data tersebut diantaranya adalah:
1. Data Geometri Struktur
i. Mudmat
Mudmat jack-up ini seperti barge berbentuk huruf A dengan ukuran 64m 51.82m
3m dengan ketebalan 9.53mm hingga 31.75mm.

ii. Kaki jack-up


Berbentuk kolom silinder dengan OD 3.6m.
Panjang kaki dari dasar mudmat 95.1m (sebelum dikonversi) dan 86m (setelah
dikonversi)
Ketebalan bervariasi antara 28.58mm hingga 76.2mm.
Sambungan antara kaki dengan mudmat berupa gusset plate.
iii. Deck Jack-Up
Deck berbentuk menyerupai barge dengan ukuran panjang 53.6m, lebar 40.23m dan
tinggi 6.1m.
2. Data Lingkungan
Data lingkungan yang dipakai adalah data lingkungan Selat Madura untuk 100 tahunan.

i. Kondisi geografis, seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.


ii. Kedalaman laut dan kondisi pasang surut
Kedalaman laut di lokasi yaitu 57m dari MSL.

iii. Gelombang
Data gelombang yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah data gelombang pada
Laporan Metocean Maleo Field dengan periode ulang 100-tahunan.
3. Data Material
Material yang dipakai adalah material baja yang memiliki properti seperti dalam Tabel 1.
4. Data Retakan
Data retakan yang digunakan dalam makalah ini yaitu data retakan yang didapatkan dari
laporan inspeksi tahunan tahun 2010,seperti dimuat dalam Tabel 2.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 373


Gambar 3. Kondisi geografis perairan sekitar lokasi operasi Maleo MOPU [2]

Tabel 1. Properti material


Yield Strength, y (MPa) 248
Modulus Young, E (MPa) 2.06x105
Poisons Ratio, 0.3
Fracture Toughness, KIC 85
(ksiin)

Tabel 2. Data retakan hasil inspeksi 2010


MPI
Original
Length ACFM ACFM
MPI Width
Gusset ID After length Depth Comments
Length (mm)
Grinding (mm) (mm)
(mm)
(mm)
2A leg toe 150 147 157 23.7 < 0.2
2A cap - 67 71 7.6 < 0.2
2D leg toe 57 51 57 14.4 < 0.2
2D cap 27 - - - < 0.2 Outside of SOW
2G cap 80 89 97 21.7 < 0.2
2G vertical cap 85 - - - hairline Outside of SOW
1A leg toe 100 45 51 6.1 hairline
1A cap 30 - - - hairline Outside of SOW
1H horiz 267 255 267 28.3 > 2.0
1H leg toe 110 886 93 20.5 hairline
3A leg toe 120 130 140 26.7 hairline
3A cap 41 35 40 10.8 hairline
3G leg toe 129 150 160 22.6 < 0.2

2.3 Pembuatan Model Global


Pemodelan struktur secara global dilakukan dengan metode elemen hingga, seperti ditunjukkan
pada Gambar 4. Tujuan pemodelan ini adalah untuk mendapatkan besarnya tegangan nominal
yang terjadi di kaki jack-up, yang selanjutnya akan digunakan untuk pemodelan lokal.

El (+)
El (+) 25.618
29.701 El (+) 19.560

El (+)
14.531

El (-) 53.415

El (-)
56.501
Gambar 4. Model global struktur jack-up Maleo MOPU

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 374


Pemodelan menggunakan metode elemen hingga selanjutnya adalah pada struktur lokal,
seperti diilustrasikan dalam Gambar 5. Pemodelan ini bertujuan untuk mengetahui letak kon-
sentrasi tegangan yang menyebabkan terjadinya retakan. Berdasarkan hasil inspeksi diketahui
bahwa retak terbesar terjadi pada leg 1, maka untuk pemodelan lokal selanjutnya dibatasi pada
bagian tersebut.

Gambar 5. Model lokal kaki Jack-up pada leg 1


Pemodelan tahap selanjutnya tetap menggunakan metode elemen hingga untuk sub-lokal,
seperti ditunjukkan dalam Gambar 6. Pemodelan ini dikhususkan untuk memodelkan retakan
pada sambungan antara gusset dengan kaki jack-up, dengan tujuan mendapatkan tegangan di
sekitar ujung retakan, yang akan digunakan untuk perhitungan selanjutnya. Dikarenakan keter-
batasan kapasitas komputer yang digunakan, maka pemodelan dibatasi dalam ranah 2D.

Gambar 6. Model sub-lokal sambungan gusset dengan kaki jack-up

2.4 Evaluasi Retak Awal (Crack Initiation)


Cacat (defect) pada struktur dapat bertindak sebagai awal keretakan. Cacat pada struktur
berdasarkan asal terbentuknya dapat dikategorikan menjadi dua kelompok:

1. Cacat yang terbentuk selama masa fabrikasi, disebabkan oleh:


Cacat lateral yang terjadi pada material (material defect).
Proses pengerjaan material (manufacturing defect).
Pemilihan material yang salah atau proses perlakuan panas material /poor choise of
material or heat treatment.
Teknik produksi dari material yang salah (poor choise of production technique).
Desain material yang salah (poor detail design).
2. Cacat yang terbentuk selama service struktur, diantaranya disebabkan oleh:
Kelelahan struktur, terjadi saat struktur mencapai umur kelelahannya.
Fluktuasi tegangan pada permukaan yang telah mengalami korosi.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 375


Mengacu pada Det Norske Veritas [5], jika data retak awal tidak dapat diperoleh dari hasil
inspeksi atau tidak diketahui maka retak awal dapat diasumsikan sebesar 0.5 mm.

2.5 Perambatan Retak (Crack Propagation)


Proses kepecahan dapat diperlihatkan terdiri dari tiga fase, yaitu pertumbuhan retak tanpa
pembebanan, petumbuhan retak stabil, dan pertumbuhan retak tidak stabil [6]. Pertumbuhan
atau perambatan retak terjadi akibat medan tegangan dan regangan di sekitar ujung retak,
ditunjukkan dengan parameter stress intensity factor atau faktor intensitas tegangan, K, yang
merupakan fungsi dari tegangan, geometri dan dimensi retak. Faktor intensitas tegangan dalam
menentukan pertumbuhan retak dapat ditinjau dalam dua aspek, yaitu rentang faktor intensitas
tegangan, K, dan faktor intensitas tegangan maksimum. Kmax [7]. Pada mulanya, retak awal
terjadi setelah adanya kondisi kritis [8]. Perambatan retak terjadi dalam waktu yang lama dalam
kondisi operasi normal. Dari konsep mekanika kepecahan, laju perambatan retak dinyatakan
dengan da/dN yang merupakan fungsi dari sifat material, panjang retak, dan tegangan operasi.
Perambatan retak terdiri atas tiga tahapan (Gambar 7).

Gambar 7. Tahapan perambatan retak

Region I: perambatan retak pada region ini menunjukkan karakteristik fatigue treshold yang
merupakan fluktuasi kenaikan nilai faktor intensitas tegangan dengan parameter Kth. Nilai K
harus lebih besar dari nilai Kth untuk memungkinkan terjadinya perambatan retak. Laju peram-
batan retak da/dN antara region I dan region II dapat dihitung dengan mempertimbangkan
parameter perambatan retak C dan m, sebagai berikut:
da
dN

C K m K h m (1)

Region II: pada region ini perambatan retak mulai terjadi. Laju perambatan retak dalam region
ini dapat dihitung menggunakan hukum Paris-Erdogan:
da
dN

C K m (2)

Nilai da/dN antara region II dan region III, bila efek rasio tegangan R (= min/max)
diperhitungkan, adalah:
CK m (3)
da
dN (1 R) K c K

Region III: perambatan retak yang terjadi lebih cepat daripada region II, yang merupakan awal
terjadinya kepecahan.
Laju prambatan retak da/dN dapat dituliskan dalam bentuk umum untuk region I, II dan region III
dengan memperhitungkan efek R, yakni:

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 376


1/ 2
K 2 (K K h)(1 R) (4)
da
dN 4 E (1 R) K K
y c
2.6 Fracture Mechanics
Fracture mechanics atau mekanika kepecahan adalah suatu cara analisis untuk penyelesaian
permasalahan kepecahan dengan cara mendefinisikan kondisi lokal dari tegangan dan regang-
an di sekitar retakan yang dikorelasikan dengan parameter-paremeter globalnya (beban-beban,
geometri dan sebagainya) dimana retakan akan merambat [9]. Selanjutnya dapat dijelaskan
bahwa mekanika kepecahan dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni linear-elastic fracture
mechanics (LEFM) dan elastic-plastic fracture mechanics (EPFM). LEFM adalah metode yang
menunjukkan hubungan antara medan tegangan dan distribusinya di sekitar ujung retak dengan
ukuran, bentuk, orientasi retak dan material properti akibat tegangan nominal yang dikenakan
pada struktur. Metode ini menggunakan parameter K, untuk menunjukkan karakteristik dari me-
dan tegangan yang terjadi. EPFM lebih sering digunakan pada material yang bersifat ductile,
dimana terjadi perilaku elastic-plastic pada material akibat pembebanan yang terjadi. Metode ini
merupakan pengembangan dari LEFM, dengan penambahan analisa yang dapat menunjukkan
deformasi plastis dari material.

Mode deformasi retak, seperti diilustrasikan dalam Gambar 8, dapat digolongkan dalam tiga
mode deformasi:

Mode I (opening mode) adalah retak yang diakibatkan oleh adanya tegangan tarik yang
tegak lurus terhadap arah/bidang penjaran retak. Jadi displasemen permukaan tegak
lurus bidang retak.
Mode II (sliding mode) adalah retak yang diakibatkan oleh tegangan geser yang searah
dengan penjalaran retak. Displasement permukaan retak adalah dalam bidang retak dan
tegak lurus leading edge dari retak.
Mode III (tearing mode) adalah retak yang diakibatkan karena tegangan geser yang
bekerja pada arah melintang dan membentuk sudut dengan arah penjalaran retak.

Gambar 8. Tiga mode deformasi retak

Menurut Naess [9], tegangan dan displasemen pada setiap titik dekat dengan retakan, seperti
dapat dilihat dalam Gambar 9, dapat diturunkan berdasar teori elastisitas dan fungsi kompleks
tegangan.

Gambar 9. Koordinat sistem dan komponen tegangan di sekitar ujung retak


Tegangan elastis dekat titik retakan (r/a<<1) untuk mode I adalah:
KI 3
y cos 1 sin sin (5)
2r 2 2 2

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 377


KI 3
x cos 1 sin sin (6)
2r 2 2 2
KI 3
xy sin cos cos ] (7)
2r 2 2 2

z xz xz 0 untuk plane stress (8)

z x y (9)

xz yz 0 (10)

Kedalaman retak kritis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:


2
K IC
acr

(11)
max
Hasil perhitungan perambatan retak umumnya ditunjukkan sebagai umur kelelahan dari struktur
yang ditinjau. Dengan memberikan masukan berupa besar retak awal dan retak akhir akan
diketahui jumlah batas siklus yang masih aman dengan mengintegralkan persamaan laju
keretakan berikut [8]:

af

N da / da / dN (12)
a0

dengan mensubstitusi pers. (2) didapatkan persamaan baru, yaitu:


af

N da / CK m (13)
a0

Pada persamaan-persamaan di atas variabel a0 adalah merupakan ukuran retak awal, af adalah
retak saat terjadinya kegagalan atau failure, yang terjadi setelah pembebanan. Nilai K didapat
dari selisih nilai faktor intensitas tegangan maksimum dan minimum, yaitu Kmaks - Kmin.
3. Hasil dan Diskusi
3.1 Analisa Pemodelan Global
Beban-beban yang diinputkan dalam pemodelan global ini yaitu beban-beban yang bekerja
pada struktur jack-up baik itu beban mati, beban hidup, maupun beban lingkungan. Analisa
pada setiap element menggunakan standard [10] dan [11]. Dalam pembebanan model global ini
digunakan 39 beban kombinasi disesuaikan dengan tinggi gelombang yang terjadi dengan
interval beban gelombang 0.25 m.

Dari masing-masing beban kombinasi akan didapatkan gaya dan momen di setiap kaki jack-up.
Berdasarkan hasil laporan inspeksi diketahui bahwa keretakan terbesar terjadi pada leg 1, oleh
karena itu untuk analisa selanjutnya yang ditinjau hanyalah leg 1. Hasil running pemodelan
global yang akan digunakan sebagai data input dalam analisa selanjutnya (analisa lokal) yaitu
member forces. Member forces minimum sebesar 13584.06kN dan maksimum sebesar
13430.31kN.

3.2 Analisa Pemodelan Lokal


Dengan memasukkan hasil output pemodelan elemen hingga secara global sebagai input
pemodelan lokal ini, didapatkan besarnya tegangan yang terjadi dan konsentrasi tegangan
tersebut pada model, seperti dalam Gambar 10. Berdasarkan hasil pemodelan lokal, diketahui
bahwa tegangan maksimum yang terjadi terdapat di sambungan antara gusset dengan kaki. Hal
ini sesuai dengan laporan inspeksi yang menyebutkan bahwa retakan terjadi pada gusset 1H.

3.3 Analisa Pemodelan Sub-Lokal


Pemodelan sub-lokal ini menggunakan prinsip pemodelan elemen hingga seperti Gambar 11

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 378


yang tampak di bawah ini. Pemodelan sub-lokal ini memodelkan retakan dengan meshing
sensivity 0.002m
1 dan 0.001m pada daerah sekitar retakan.
NODAL SOLUTION
Untuk menghitung nilai faktor intensitas tegangan diperlukan data geometri setiap node di
JUL 23 2012
STEP=1
sekitar ujungSUB retakan
=1 (crack tip). 14:37:04
TIME=1
SEQV (AVG)
DMX =.757E-06
SMN =.002739 MN
SMX =48979

MX

Z X

50308

.002739
Gambar 10. 14694
Hasil pemodelan lokal
1
ELEMENTS
29388
tampak isometris
50297
44081 50296
50295 JUL 23 2012
7347 22041 50294
36734
50293
15:09:10 48979
50292
MODEL JOINT LEG MUDMAT 6887

6886 6888
6894
50422 6903
6915
6880

6879 6881

4096 4094 4092


4100 4098
6885 6878 3986 3988 3990 3992 3994
50423 3996

6877 6875

6876 6914
6902
6893
6884 6882

50424

6883 10887
10896
10905

Gambar 11.Hasil meshing sub-lokal dengan pembesaran pada daerah ujung retakan
Dengan memasukkan hasil output pemodelan global yang didapatkan dari pemodelan elemen
hingga secara global sebagai input pemodelan retak ini, didapatkan besarnya tegangan yang
terjadi di setiap node di sekitar ujung retakan.
Semakin mendekati ujung retakan maka tegangan yang terjadi semakin besar. Secara visua-
lisasi tampak seperti dalam Gambar 12.

Gambar 12. Distribusi tegangan ujung retak (load case 139)


3.4 Perhitungan Faktor Intensitas Tegangan
Perhitungan faktor intensitas tegangan K menggunakan pers. (5) hingga (10) dengan
menggunakan tegangan hasil output dari pemodelan sub-lokal. Sehingga didapatkan Kmin
sebesar 7177.71 MPa.m dan Kmaks sebesar 10220.83 MPa.m. Kmin terjadi saat
gelombang 0.25m (load case 101) sedangkan Kmaks terjadi saat gelombang 9.5m (load
case 139).

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 379


3.5 Perhitungan Rentang Faktor Intensitas Tegangan
Berdasarkan hukum Paris-Erdogan, nilai rentang faktor intensitas tegangan K didapatkan
dari selisih nilai K saat pembebanan maksimum dengan nilai K saat pembebanan
minimum. Sehingga nilai K maksimum didapatkan dari selisih nilai K saat pembebanan
maksimum, yakni tinggi gelombang 9.5m dengan nilai K saat pembebanan minimum, pada
tinggi gelombang 0.25m.

3.6 Parameter Keretakan


Untuk mencari laju perambatan retak (da/dN) dibutuhkan parameter keretakan (C dan m)
berdasarkan jenis material yang mengalami retak. Nilai C dan m tiap material didapatkan
secara empiris menggunakan data yang didapatkan dari tes kelelahan. Jenis material yang
digunakan dalam penelitian ini adalah baja martensitic ASTM A 514 sehingga nilai dari C
dan m adalah 0.66 x 10-8 dan 2.25.

3.7 Laju Perambatan Retak


Dengan menggunakan pers. (2) didapatkan nilai laju perambatan retak dari masing
masing load case. Nilai K maksimum terdapat pada selisih nilai K saat gelombang
mempunyai tinggi 9.5m dengan gelombang 0.25m. Nilai K maksimum menghasilkan nilai
kecepatan rambat retak (da/dN) maksimum pula. Dari tabel diketahui nilai perambatan
retaknya yakni 2.70045 x 10-11m/cycle, seperti dapat dilihat dalam Gambar 13.

Gambar 13. Grafik hubungan antara nilai K dengan laju perambatan retak
Berdasarkan grafik dalam Gambar 14 dapat diketahui bahwa sesuai dengan hukum Paris-
Erdogan laju perambatan retak berubah secara linier dalam region II.
3.8 Penentuan Kedalaman Retak Kritis
Kedalaman retak kritis (acr) didapatkan dengan menggunakan pers. (11), di mana KIC
mempunyai harga 85ksiin atau sama dengan 3677.23MPam, dan max adalah
39924.00MPa. Sehingga nilai dari acr sebesar 0.16321m. Berdasarkan nilai acr dapat
diketahui bahwa secara teoritis material tidak akan runtuh walaupun retak telah menembus
ketebalan dindingnya.

3.9 Perhitungan Sisa Umur Struktur


Perhitungan sisa umur struktur dilakukan dengan menggunakan pers. (13), dan
ditabulasikan seperti dalam Tabel 3 dan divisualisasikan dalam bentuk grafik pada Gambar
15.
Tabel 3. Sisa umur struktur berdasarkan panjang kedalaman retak
ai thickness (t) af da/dN N
(m) (m) n.t (m) (m/cycle ) cycle tahun
0.0283 0.0635 0.5t 0.03175 2.700.E-11 1.278.E+08 0.51
0.6t 0.03810 2.700.E-11 3.629.E+08 1.45
0.7t 0.04445 2.700.E-11 5.980.E+08 2.39
0.8t 0.05080 2.700.E-11 8.332.E+08 3.33
0.9t 0.05715 2.700.E-11 1.068.E+09 4.27
t 0.06350 2.700.E-11 1.303.E+09 5.20

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 380


Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat variasi nilai kedalaman retak setelah pembebanan (af) mulai
dari 0.5t hingga 1.0t. Divariasikan kedalaman retak hingga ketebalan t karena retak yang terjadi
diasumsikan menembus ketebalan, atau through thickness crack.
Material struktur ini cukup bagus karena memiliki acr lebih dari ketebalannya sehingga walaupun
keretakan melampui ketebalannya struktur tersebut tidak pecah secara menyeluruh. Dalam
istilah teknik disebut leak before break, hal ini bisa terjadi jika acr bernilai lebih besar dari
ketebalan dari material tersebut.

Gambar 14. Grafik hubungan antara nilai kedalaman retak dengan


sisa umur kelelahan struktur.

Det Norske Veritas [12] menyatakan bahwa definisi kegagalan kelelahan terjadi ketika retak
tumbuh hingga mencapai ketebalan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapatlah diketahui
bahwa waktu yang diperlukan retak menjalar hingga menembus ketebalan kaki jack-up tersebut
yakni 5.2 tahun. Jika terhitung mulai dari ditemukannya keretakan yakni inspeksi pada bulan
Agustus 2010, maka secara teoritis pada bulan Oktober 2015 retak sudah menembus
ketebalan kaki jack-up.

4. Kesimpulan
Dari kajian dan analisa yang telah dilakukan maka didapatkan sejumlah kesimpulan sebagai
berikut:
Nilai faktor intensitas tegangan minimum (KI min) dan maksimum (KI max) dari kaki jack-
up dengan mudmat diperoleh sebesar 7177.72MPam dan 10220.83MPam.
Arah perambatan retak yang terjadi melampui ketebalan dari leg karena nilai kedalaman
retak kritis (acr) yang melebihi nilai ketebalan dari leg tersebut, atau disebut juga through
thickness crack.
Sisa umur struktur ini dengan pendekatan Linear Elastic Fracture Mechanics didapatkan
sebesar 5.2 tahun, dengan asumsi retak menembus hingga ketebalan kaki jack-up. Jika
terhitung mulai dari ditemukannya keretakan yakni inspeksi pada bulan Agustus 2010,
maka secara teoritis pada bulan Oktober 2015 retak sudah menembus ketebalan kaki
jack-up.

Ucapan Terima Kasih


Dalam pengerjaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan serta dorongan moral maupun
material dari banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada PT Biro Klasifikasi Indonesia yang telah membantu dalam
menyediakan data untuk melaksanakan penelitian ini.

References
Bennet, Jack Up Units, A Technical Primer for The Ofshore Industry Professional, Keppel
FELS (2005)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 381


PT. Singgar Mulia, Maleo MOPU Global In-Place Analysis, Doc.no. 9701-90-RPT-0002,
(2011)
Kobus, L.C.S., Fogal, R.W., and Sacchi, E., Jack-Up Conversion for Production, Marine
Structures 2, 193-211 (1989)
Broek, D., Elementary Engineering Fracture Mechanics, Kluwer Academic Publishers, USA
(1987)
Det Norske Veritas, DNV-RP-C203 Fatigue Design of Offshore Steel Structure,, DNV,
Norway (2011)
Salvadori, A., dan Carini, A., Minimum Theorems in Incremental Linear Elastic Fracture
Mechanic, International Journal of Solids and Structures 48, 13621369 (2011)
Stoychev, S. dan Kujawski, D., Crack-tip Stresses and Their Effect on Stress Intensity
Factor for Crack Propagation, Engineering Fracture Mechanics 75, 2469-2479
(2008)
Varga, T., Crack Initiation, Propagation and Arrest Criteria for Steel Structure Safety
Assessment, Structural Safety 12, 93-98 (1993)
Naess, A., Fatigue Handbook Offshore Steel Structure, Trondheim, (1985)
American Institute of Steel Construction (AISC), Manual of Steel Construction Allowable
Stress Design, 9th Ed (1989)
American Petroleum Institut, API RP 2A Recommended Practice for Planning, Designing,
and Constructing Fixed Offshore Platforms-Working Stress Design, API Publishing
Services, Washington D.C. , (2005)
Det Norske Veritas, DNV-OS-C101 Design of Offshore Steel Structures, General (LRFD
Method), DNV, Norway (2004)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 382


ANALISIS KELELAHAN STRUKTUR PENYANGGA TOP SIDE MODULE PADA TLP
TIPE SEASTAR AKIBAT BEBAN LINGKUNGAN LAUT UTARA
1 *1 1
Mirba H. Dwi SADYAH , Eko B. DJATMIKO , dan Murdjito
1
Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknik Kelautan, ITS - Surabaya
*e-mail: ebdjatmiko@oe.its.ac.id

Abstract
TLP or Tension Leg Platform is a type of semi-submerged structure dynamically stabilized by fastening to the seabed
through a tendon system. A TLP is subjected to cyclical loads which generate fatigue failure on its structural components.
This paper presents an investigation performed to explore fatigue failure on the structural components which support the
top side module of a TLP. The TLP is configured by referring to the Seastar Matterhorn and sized on the basis of the
West Seno TLP-A, and is notionally operated in the North Sea region. The main support system comprises of four
cylindrical steel columns having OD of 2.0m with 30mm plate thickness, strengthened by cylindrical bracings having OD
of 1.0m with 16mm plate thickness. The basic loads on the support system are due to intertial forces and moments
brought about the global TLP motions, which are then extended to derive the long-term cyclical loads by applying the
deterministic method in accordance with the joint probability distribution of Hs and Tp. The TLP motion is characterized
by the maximum RAOs in the surge, sway, heave, roll, pitch dan yaw, respectively, in the order of 0.884m/m, 0.884m/m,
0.390m/m, 0.320deg/m, 0.340deg/m, and 0.160deg/m. By accounting for these and further combined with the on site
25-year operational wave data, the fatigue life of the supporting system is found to be about 78years. This final result
indicates the design satisfy the crieria which requires the fatigue life of the structure should be higher than three times of
the operational life.

Keywords: fatigue, support structure, top side module, seastar TLP, North Sea

1. Pendahuluan
Kebutuhan akan minyak dan gas yang semakin meningkat mendorong inovasi harus intensif
dilakukan untuk mendukung teknologi eksplorasi dan eksploitasi. Pengeboran laut dangkal
yang sudah semakin terbatas telah mendorong bergesernya pengeboran di laut dalam. Inovasi
yang dilakukan adalah pengembangan struktur lepas pantai yang digunakan. Berawal dari
struktur terpancang, kini berkembang secara luas ke pengoperasian struktur terapung. Salah
satu bangunan lepas pantai yang digunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi
hidrokarbon di perairan laut dalam adalah Tension Leg Platform (TLP). TLP adalah salah satu
anjungan lepas pantai dengan tipe semi apung lentur atau semi-submerged compliant structure,
yang terdiri dari struktur lambung (hull), kolom utama (column top frame), ponton (pontoon),
geladak modul atas (topside module deck), sistem tendon (tendon system) dan sistem pondasi
template (template foundation system) [1]. Dalam konfigurasi yang lebih lengkap juga meliputi
sistem riser dan sistem sumur minyak (well system) [2]. Pengikatan TLP dengan tendon secara
praktis tidak boleh kendor tetapi juga tidak boleh terlalu kencang. TLP mengikuti pasang surut
air laut dan bisa bergerak bebas di permukaan air pada mode horisontal, yakni surge, sway
atau pun yaw, namun dibatasi dalam gerak vertikalnya, yakni heave, roll, dan pitch. TLP yang
selalu terkena gaya-gaya horizontal dan vertikal akibat beban lingkungan harus dirancang
dengan kekuatan struktur yang memadai, terutama guna penyebaran tegangan [3].
Permasalahan yang selalu terjadi pada bangunan lepas pantai adalah kerusakan yang dapat
menyebabkan struktur tersebut gagal memenuhi fungsinya. Kerusakan bangunan laut terutama
terjadi akibat kelelahan (fatigue), baik pada komponen struktur utama maupun struktur sekun-
der dan tersier [4]. Bangunan lepas pantai cenderung mengalami kelelahan karena beban ling-
kungan yang bekerja didomonasi oleh gelombang yang bersifat siklis, sehingga kelelahan ada-
lah penyebab utama kerusakan pada bangunan lepas pantai, dimana struktur merespon secara
dinamis gelombang acak [5]. Di samping itu faktor-faktor operasi lain pada tingkat tertentu juga
dapat menambah beban siklis, sehingga keadaan struktur bertambah kritis [4]. Oleh karenanya
analisis kelelahan sangat penting dalam serangkaian pembangunan suatu struktur lepas pantai.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai analisis pada struktur penyangan top side module
pada Seastar TLP silindris guna mengetahui umur kelelahan pada struktur tersebut. Dalam
analisis ini beban yang digunakan adalah beban gelombang dan berat struktur top side. Model
yang digunakan mempunyai konfigurasi mengacu pada Seastar Matterhorn TLP milik SBM
Atlantia Inc. [6], seperti ditunjukkan dalam Gambar 1, dengan ukuran disesuaikan terhadap
West Seno TLP-A, melalui similaritas parameter displasemen dan sarat air operasionalnya. TLP
tersebut diasumsikan akan dioperasikan di Laut Utara atau di North Sea.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 383


Gambar 1. TLP Seastar Matterhorn [6]

2. Metode Penelitian
Pengkajian diawali dengan studi literatur dan pengumpulan data struktur maupun lingkungan.
Kemudian dilakukan pemodelan struktur TLP mengacu pada similaritas parameter displasemen
dan sarat air. Selanjutnya dilakukan analisis gerakan untuk memperoleh RAO pada kondisi free
floating dan tertehered untuk mengetahui efektivitas tendon yang dipasang dan juga menge-
tahui percepatan pada masing-masing penyangga. Percepatan digunakan untuk menghitung
gaya dan momen gaya inersia yang bekerja pada masing-masing struktur penyangga top side.
Hasil perhitungan gaya dan momen nantinya dijadikan input untuk analisa tegangan dengan
menggunakan metode elemen hingga. Data tegangan yang didapatkan akan digunakan untuk
melakukan perhitungan umur kelelahan pada struktur, dengan menerapkan metode determinis-
tik, mengacu pada peluang kejadian kombinasi dari tinggi, Hs, dan periode, Tp, gelombang.
Dalam Table 1, Tabel 2, dan Tabel 3 dimuat data-data awal yang digunakan untuk analisis.

Tabel 1. Data struktur TLP yang telah disimilaritas


Bagian West Seno TLP-A Seastar TLP Silindris
Geometri Kotak Silinder
Kolom Ukuran 9.6m x 9.6m x 36.26 (LxBxH) r=9.0m x 38.1m (H)
Jumlah 4 1
Ponton Geometri Kotak Kotak-Trapesium
Ukuran 9.6m x 9.6m x 36.1 (BxHxL) 10m x 12m x 42.0 (BxHxL)
Jumlah 4 3
Sarat Air 28.95m 28.95m
Topside Structure 3,193ton 3,193ton
Displasemen 12,773ton 12,773ton

Tabel 2. Data gelombang North Sea [7]

Tabel 3. Properti material


2
Yield strength 248N/mm
Youngs modulus 2.06E+05
Poisons ratio 0.3Ksiin

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 384


2.1 Prediksi Gerakan TLP
Tahap selanjutnya setelah data diperoleh adalah melakukan pemodelan gerakan TLP menggu-
nakan teori difraksi 3-D untuk memperoleh RAO gerakan. Pemodelan dilakukan untuk delapan
arah pembebanan gelombang, yaitu 0, 45, 90, 135, 180, 225, 270, dan 315 derajat. Analisis ini
dilakukan pada kondisi terapung bebas (free floating) dan kondisi terikat (tethered condition).
Hal ini dimaksudkan untuk mengevaluasi efektivitas tendon dengan melihat perbandingan RAO
pada kedua kondisi tersebut. Evaluasi efektivitas tendon dimaksudkan untuk mengetahui apa-
kah tendon mampu mereduksi gerakan dari TLP secara memadai. Sehubungan dengan itu,
RAO adalah merupakan fungsi transfer yaitu fungsi respon struktur per meter amplitudo gelom-
bang dalam rentang frekuensi tertentu, yang dapat diekspresikan oleh persamaan [8]:

(1)

di mana xP () adalah amplitudo respons struktur dan () adalah amplitudo gelombang. RAO
adalah besaran yang baru mengindikasikan karakteristik gerakan di gelombang reguler. Agar
dapatnya diperoleh indikasi gerakan di gelombang riil yang bersifat acak maka dapat dilakukan
dengan analisis spektra [4,8]. Untuk melakukan analisis ini diperlukan informasi spektra gelom-
bang, yang mana untuk daerah North Sea akan tepat didekati dengan formulasi JONSWAP,
dengan bentuk:

(2)

di mana:
= parameter puncak spektra (peakedness parameter), mempunyai harga bervariasi
antara 1.0 sd 7.0. Untuk North Sea kurang lebih berharga 3.3,
= parameter bentuk (shape parameter), mempunyai harga 0.07 bilamana 0 dan
0.09 bila 0 ,
= 0.0076 (X0) - 0,22. Jika harga X0 tidak diketahui maka dapat diambil harga 0.0081.

Bila akurasi perhitungan ingin didapat, maka harga parameter puncak spektra dapat dihitung
dengan:
TP TP
4
EXP 3,4843 1 0,1975 0,036 0,0056
H S H S
2
(3)

Dalam hal ini Tp adalah periode puncak spektra dan Hs adalah tinggi gelombang signifikan.
Mengacu pada RAO dan spektrum gelombang, maka selanjutnya dapat dilakukan perhitungan
spektra respons SR( untuk setiap kenaikan frekuensi gelombang , dengan persamaan:
S R RAO S
2
(4)
2.2 Prediksi Respons Struktur
Dengan mengacu pada amplitudo respons gerakan akan dapat dihitung percepatan gerakan
pada masing-masing bagian struktur penyangga top side, dengan penurunan terhadap waktu.
Bila perecepatan gerak telah didapat maka gaya dan momen gaya inersia yang bekerja dapat
dihitung dengan persamaan berikut:
(5)
(6)
dengan mts dan Its masing-masing adalah massa dan momen inersia massa struktur yang
ditinjau, dalam hal ini adalah top side, sedangkan dan adalah masing-masing percepatan
translasi dan rotasi pada posisi yang ditinjau. Momen inersia massa dapat dihitung dengan inte-
grasi seluruh perkalian antara elemen massa terhadap harga kuadrat jari-jari girasi yang berse-
suaian, terhadap posisi titik tinjau.
Pada tahap berikutnya dilakukan analisis tegangan pada struktur yang ditinjau, berdasar pemo-

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 385


delan elemen hingga. Pada elemen tiga dimensi, bekerja tegangan-tegangan searah sumbu x,
y, dan z. Pada tiap-tiap sumbu dapat diketahui tegangan utama (1, 2, 3) yang dihitung dalam
komponen tegangan dengan persamaan berikut:

(7)

di mana:
0 = tegangan utama yang bekerja pada sumbu,
x = tegangan arah sumbu x,
y = tegangan arah sumbu y,
z = tegangan arah sumbu z,
xy = tegangan arah sumbu xy,
xz = tegangan arah sumbu xz,
yz = tegangan arah sumbu yz.
Penggabungan tegangan-tegangan utama pada suatu elemen merupakan suatu cara untuk
mengetahui nilai tegangan von Mises yang terjadi pada suatu node. Salah satu cara
mendapatkan tegangan gabungan adalah menggunakan formula berikut [9]:

(8)

di mana e adalah tegangan von Mises, serta 1, 2 dan 3 masing-masing adalah tegangan
utama 1, 2 dan 3.

2.3 Prediksi Umur Kelelahan


Dalam hal prediksi umur kelelahan bangunan laut, analisis dapat dilakukan dengan mene-
rapkan hipotesa kerusakan kumulatif dari Palmgren-Miner, dikombinasikan dengan perhitungan
beban siklus secara deterministik sebagai berikut [4]:

(9)

di mana:
D = kerusakan kumulatif, yang secara teoretis akan terjadi bila mencapai harga 1.0,
ni = jumlah siklus rentang tegangan dengan harga Si yang sebenarnya terjadi akibat
eksitasi gelombang,
Ni = jumlah siklus rentang tegangan dengan harga Si yang akan mengakibatkan kelelahan,
pi = peluang kejadian dari tegangan Si, yang pada dasarnya adalah sama dengan peluang
kejadian gelombang dengan harga tinggi Hsi dan periode Ti yang mengakibatkan
timbulnya tegangan Si,
Ti = periode gelombang, yang dapat direpresentasi oleh periode puncak Tp,
T = umur kelelahan, yang secara esensi dapat diperoleh dengan membalik persamaan (9)
dan memberikan harga D = 1.0, sebagai berikut:
(10)

Jumlah siklus yang mengakibatkan kelelahan Ni pada harga tegangan tertentu, Si, dapat dipero-
leh dengan membaca kurva S-N, seperti pada Gambar 2, untuk jenis sambungan yang sesuai.
Harga-harga parameter kurva S-N untuk semua jenis sambungan dalam Gambar 2 bisa didapat
dari Table 4.
Sebagaimana lazimnya, pada perancangan struktur harus dipertimbangkan faktor keselamatan.
Dalam hal kelelahan struktur anjungan lepas pantai, maka faktor keselamatan harus memenuhi
kriteria yang dipersyaratkan oleh codes atau standar tertentu. Dalam studi ini telah dipakai acu-
an kriteria dari DNV, seperti ditunjukkan dalam Tabel 5. Pada kolom sebelah kiri tabel ini ditun-
jukkan nilai faktor perancangan kelelahan, dan pada kolom sebelah kanan adalah klasifikasi
struktur yang ditinjau. Mengingat struktur yang ditinjau pada studi kasus dalam makalah ini ada-
lah merupakan struktur eksternal dan terhadapnya dapat dilakukan inspeksi periodik dan perba-
ikan dalam kondisi kering dan bersih maka harus diambil faktor perancangan sebesar 2.0.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 386


Namun dari sisi lain perlu dipertimbangkan juga bahwa struktur penyangga top side module
adalah merupakan struktur yang kritis, yang kegagalannya akan mempengaruhi proses operasi
secara luas. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk mengambil faktor keselamatan yang
lebih besar [12,13], yaitu 3.0. Hal ini berarti bahwa umur kelelahan struktur harus tiga kali lebih
besar dari umur operasi. Karena umur operasi dirancang selama 25 tahun, maka umur
kelelahan struktur penyangga minimal harus mencapai 75 tahun.

Gambar 2. Grafik dan kurva S-N [10]

Tabel 4. Tipe sambungan [10]

Tabel 5. Design fatigue factor [11]


DFF Structural Element
2 Internal structure, accessible and not welded
directly to the submerged part
2 External structure, accessible for regular
inspection and repair in dry and clean condition
3 Internal structure, accessible and welded directly
to the submerged part
3 External structure, not accessible for regular
inspection and repair in dry and clean condition
10 Non-accessible areas, areas not planned to be
accessible for inspection and repair during
operation

3. Hasil dan Diskusi


Diskusi mengenai hasil studi yang telah diperoleh akan disampaikan dalam sub-bab ini, diawali
dengan penjabaran hasil pemodelan gerakan struktur, dilanjutkan dengan penentuan perce-
patan gerak untuk melakukan komputasi gaya dan momen akibat efek inersia, serta tahap beri-
kutnya dalam menentukan respons struktur, dan akhirnya memprediksi umur kelelahan. Hasil
pemodelan gerakan Seastar TLP disajikan dalam bentuk grafik RAO pada kondisi mengapung
bebas dan pada kondisi terikat, pada lima arah pembebanan gelombang, yaitu 0, 45, 90, 135,
180 derajat. Untuk tiga arah pembebanan yang lain, yaitu 225, 270 dan 315 derajat merupakan
arah yang simetri, masing-masing, dengan 45, 90 dan 135 derajat, dan pemodelan menunjuk-
kan hasil-hasil yang identik. Oleh karenanya lima arah pembebanan sudah dapat mewakili
analisis efektivitas tendon untuk delapan arah propagasi gelombang. Grafik RAO dapat dilihat

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 387


pada Gambar 3. Dari keseluruhan enam gerakan hanya tiga mode yang disajikan, yakni heave,
roll dan pitch, yang menurut pengamatan mempunyai harga respons relatif lebih besar diban-
dingkan tiga mode yang lain, yaitu surge, way dan yaw. Grafik RAO menunjukkan adanya
penurunan nilai respon gerakan dari kondisi terapung bebas dan kondisi terikat. Fakta ini
membuktikan tendon berfungsi dengan baik sehingga dapat mereduksi gerakan struktur.

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)
Gambar 3. Perbandingan RAO free floating dan tethered ; (a) heave free floating; (b) heave
tethered; (c) roll free floating; (d) roll tethered; (e) pitch free floating; (f) pitch tethered.

Tabel 6. Nilai maksimum RAO dan frekuensi natural


Moda RAO maksimum Frekuensi
Kondisi
gerakan 0 deg 45 deg 90 deg 135 deg 180 deg natural (rad/s)
free floating 0.95 0.671 0.644 0.671 1.007 -
Surge
tethered 0.884 0.625 0.049 0.625 0.884 -
free floating 0 0.691 0.949 0.672 0 -
Sway
tethered 0 0.625 0.884 0.625 0 -
free floating 0.994 1 0.994 0.994 1.17 0.8976
Heave
tethered 0.39 0.39 0.39 0.39 0.39 0.5712
free floating 0.002 2.222 2.15 2.567 0.003 0.7854
Roll
tethered 0 0.028 0.32 0.027 0 0.6283
free floating 6.471 2.268 4.803 2.595 4.647 0.7854
Pitch
tethered 0.034 0.023 0.027 0.022 0.034 0.6283
free floating 0 0.491 0.692 0.526 0 -
Yaw
tethered 0 0.113 0.16 0.113 0 -

Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 6, efektifitas pengikatan tendon dalam mengurangi ge-
rakan dapat disampaikan sebagai berikut, dengan mengacu pada harga terbesar untuk tiap-tiap
mode gerakan dalam semua arah gelombang. Harga penurunan masing-masing untuk surge,
sway, heave, roll, pitch dan yaw adalah 1.14, 1.07, 3.0, 95.07, 198.26 dan 4.33. Harga-harga ini

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 388


menyatakan bahwa pengikatan tendon akan sangat banyak mengurangi gerakan rotasi. Se-
dangkan gerakan translasi yang lebih banyak dikurangi adalah mode heave. Pada Tabel 6 juga
ditunjukkan pengaruh pengikatan tendon dalam mereduksi frekuensi alami gerakan vertikal.

Tabel 7. Amplitudo percepatan gerak maksimum pada penyangga top side Seastar TLP
Maximum Single Amplitude Acceleration
Hs T Heading Surge Sway Heave Roll Pitch Yaw
(m) (sec) (deg) (m/s) (rad/s)
1.5 3 45 0.040 0.055 0.062 0.022 0.047 0.038
1.5 3 90 0.011 0.078 0.047 0.051 0.021 0.045
1.5 3 135 0.059 0.058 0.057 0.024 0.045 0.039
3.5 5 45 0.537 0.590 0.177 0.114 0.110 0.467
3.5 5 90 0.133 0.926 0.133 0.124 0.103 0.658
3.5 5 135 0.772 0.751 0.173 0.114 0.107 0.467
5.5 8 45 2.119 2.182 0.293 0.183 0.180 0.774
5.5 8 90 0.326 3.197 0.260 0.213 0.172 1.085
5.5 8 135 2.405 2.394 0.286 0.187 0.176 0.770
7.5 10 45 3.695 3.785 0.400 0.280 0.245 1.050
7.5 10 90 0.470 5.445 0.370 0.305 0.240 1.485
7.5 10 135 4.015 3.990 0.405 0.260 0.240 1.055
9.5 12 45 5.225 5.333 0.507 0.329 0.342 1.387
9.5 12 90 0.602 7.625 0.469 0.386 0.336 1.938
9.5 12 135 5.561 5.529 0.519 0.348 0.336 1.393
10.5 13 45 5.957 5.978 0.560 0.364 0.385 1.547
10.5 13 90 0.665 8.834 0.525 0.441 0.378 2.177
10.5 13 135 6.300 6.279 0.581 0.385 0.385 1.582
12.5 14 45 7.867 7.992 0.667 0.433 0.483 1.908
12.5 14 90 0.800 11.400 0.633 0.558 0.475 2.683
12.5 14 135 8.267 8.225 0.717 0.467 0.467 1.908
13.5 15 45 8.559 8.685 0.774 0.531 0.612 2.178
13.5 15 90 0.882 12.375 0.711 0.630 0.639 3.060
13.5 15 135 8.955 8.910 0.783 0.531 0.558 2.178

Tabel 8. Gaya inersia dan momen gaya inersia pada penyangga top side Seastar TLP
Gaya Inersia (Fi) Momen Gaya Inersia (Mi )
Hs T Heading Surge Sway Heave Heave Tot Roll Pitch Yaw
(m) (sec) (deg) kN kN.m
1.5 3 45 127.73 175.63 197.98 501.34 116,968.75 249,887.78 202,036.93
1.5 3 90 35.13 249.07 150.08 434.28 271,154.82 111,651.99 239,254.26
1.5 3 135 188.40 185.21 182.02 555.63 127,602.27 239,254.26 207,353.69
3.5 5 45 1,713.71 1,885.08 566.27 4,165.06 607,883.04 583,071.48 2,481,155.25
3.5 5 90 424.70 2,958.01 424.70 3,807.42 657,506.14 545,854.16 3,498,428.90
3.5 5 135 2,466.25 2,399.20 551.37 5,416.82 607,883.04 570,665.71 2,481,155.25
5.5 8 45 6,767.56 6,966.61 936.69 14,670.85 974,739.56 955,244.77 4,113,400.95
5.5 8 90 1,042.06 10,209.88 831.31 12,083.26 1,130,697.89 916,255.19 5,770,458.21
5.5 8 135 7,680.83 7,645.70 913.27 16,239.81 994,234.35 935,749.98 4,093,906.16
7.5 10 45 11,799.06 12,086.45 1,277.30 25,162.81 1,488,693.15 1,302,606.51 5,582,599.31
7.5 10 90 1,500.83 17,387.25 1,181.50 20,069.58 1,621,612.18 1,276,022.70 7,895,390.46
7.5 10 135 12,820.90 12,741.07 1,293.27 26,855.23 1,382,357.93 1,276,022.70 5,609,183.12
9.5 12 45 16,684.73 17,028.54 1,617.91 35,331.18 1,750,986.71 1,818,332.35 7,374,347.85
9.5 12 90 1,921.27 24,349.60 1,496.57 27,767.44 2,054,042.10 1,784,659.53 10,303,883.30
9.5 12 135 17,756.60 17,655.48 1,658.36 37,070.44 1,852,005.17 1,784,659.53 7,408,020.68
10.5 13 45 19,022.19 19,089.25 1,788.22 39,899.66 1,935,301.10 2,046,953.08 8,225,029.65
10.5 13 90 2,123.51 28,209.17 1,676.46 32,009.14 2,344,691.71 2,009,735.75 11,574,589.24
10.5 13 135 20,117.48 20,050.42 1,855.28 42,023.17 2,046,953.08 2,046,953.08 8,411,116.30
12.5 14 45 25,120.23 25,519.39 2,128.83 52,768.46 2,303,929.88 2,569,767.94 10,146,152.72
12.5 14 90 2,554.60 36,403.05 2,022.39 40,980.04 2,968,525.03 2,525,461.59 14,266,642.69
12.5 14 135 26,397.53 26,264.48 2,288.50 54,950.51 2,481,155.25 2,481,155.25 10,146,152.72
13.5 15 45 27,331.03 27,733.38 2,471.58 57,535.98 2,823,200.22 3,253,857.89 11,579,906.00
13.5 15 90 2,816.45 39,516.47 2,270.40 44,603.32 3,349,559.59 3,397,410.44 16,269,289.43
13.5 15 135 28,595.55 28,451.86 2,500.31 59,547.73 2,823,200.22 2,966,752.78 11,579,906.00

Dengan mengacu pada respons gerakan, percepatan gerak pada pososi struktur yang ditinjau
dapat dihitung, dan hasilnya disajikan dalam Tabel 7. Hasil komputasi menunjukkan percepatan
pada keempat struktur penyangga top side menunjukkan nilai yang identik. Oleh karenanya
untuk analisis kelelahan dapat dilakukan pada satu penyangga saja, yang akan mewakili ketiga
penyangga lainnya, dengan mengambil percepatan terbesar yang terjadi, seperti diberikan da-
lam Tabel 7. Setelah percepatan maksimum akibat semua mode gerakan ditentukan, langkah

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 389


berikutnya adalah melakukan perhitungan gaya inersia dan momen gaya inersia pada struktur,
dengan menerapkan persamaan (5) dan (6). Hasil perhitungan ini kemudian disajikan dalam
Tabel 8. Kenaikan percepatan ataupun beban inersia tidaklah linier bersamaan dengan kenai-
kan tinggi gelombang signifikan, karena adanya efek frekuensi modal spektra [14].
Gaya inersia dan momen gaya inersia itu akan digunakan untuk mencari tegangan von Mises
melalui pemodelan struktur dengan metode elemen hingga. Analisis dilakukan dengan pemode-
lan lokal pada struktur penyangga yang dilengkapi x-brace sebagai elemen penerima distribusi
beban. Komponen penyangga utama berupa silinder baja dengan ukuran diameter luar OD =
2.0m dengan ketebalan 30mm, sedangkan brace berukuran OD = 1.0m dengan ketebalan
16mm, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4. Perlu dicatat di sini bahwa sebelum
diperoleh ukuran akhir struktur, analisis telah dilakukan secara bertahap dengan mengubah
ketebalan struktur penyangga dan brace. Dalam pemodelan dengan metode elemen hingga
telah dilakukan pengecekan meshing sensitivity, yaitu iterasi untuk memperoleh tegangan yang
bernilai stabil sesuai dengan variasi ukuran meshing, yang hasilnya diberikan dalam Gambar 5.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin besar jumlah elemen maka tegangan yang
diperoleh akan semakin stabil. Dari pengecekan ini kemudian ditetapkan analisis akan
dilakukan pada struktur lokal dengan membagi menjadi 116.385 elemen.

(a) (b)

Gambar 4. Pemodelan lokal struktur penyangga top side:


(a) Model dasar, (b) Lokasi tegangan maksimum

125
Tegangan (N/mm 2 )

123
121
119
117
115
1.160E+05 1.162E+05 1.164E+05 1.166E+05
Jumlah Elemen
Gambar 5. Grafik meshing sensitivity

Komputasi menggunakan pemodelan elemen hingga dilakukan berulang sebanyak 24 kali,


yakni mencakup delapan variasi tinggi gelombang dan tiga variasi arah datang gelombang. Dari
tiap-tiap komputasi akan dihasilkan tegangan von Mises pada lokasi hot spot. Sebagaimana
dapat dilihat dalam Gambar 4b, lokasi hot spot ternyata terjadi pada sambungan antara pe-
nyangga dan bracing di ujung tempat meletaknya top side structure. Posisi lain yang mempu-
nyai harga tegangan relatif besar adalah pada sambungan penyangga dengan bracing pada
dudukan di bagian atas kolom. Harga-harga tegangan von Mises pada lokasi hot spot disajikan
dalam kolom keempat pada Tabel 9. Secara umum tegangan kurang lebih akan naik secara
polinomial yang berkorelasi dengan harga kuadrat dari tinggi gelombang signifikan.
Tabel 9 adalah merupakan bentuk tabulasi untuk melakukan perhitungan kelelahan dengan me-
nerapkan persamaan (9) dan (10), yang didasarkan pada eksitasi siklis gelombang yang berva-

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 390


riasi, sebagaimana diberikan dalam kolom pertama sampai dengan ketiga. Kolom kelima me-
muat data peluang kejadian gabungan atau joint probability antara tinggi, periode dan arah ge-
lombang, yang didasarkan pada data dasar kejadian gelombang di Laut Utara dalam Tabel 2.
Pada kolom keenam dimuat harga jumlah siklus beban pada harga tegangan Si yang akan
mengakibatkan terjadinya kelelahan, yang diberi notasi Ni. Nilai-nilai Ni diperoleh dari perhi-
m
tungan dengan persamaan Ni=A/Si , di mana nilai variabel A dan m didapat dari kurva S-N
sebagaimana diberikan dalam Gambar 2 dan Tabel 4. Variable A merupakan intersepsi sumbu
logaritmik kurva S-N, sedangkan m adalah kemiringan kurva S-N. Dalam studi kasus ini struktur
diasumsikan mempunyai kualitas tinggi, dan dapat dimasukkan dalam klasifikasi sambungan B1,
12
yang menurut Tabel 4 mempunyai log A seharga 12.436, atau A sebesar 2.7289x10 dan nilai
m adalah 3.

Tabel 9. Perhitungan umur kelelahan


Hi Ti Heading Si pi Ni pi/(Ni*Ti)
(m) (secs) (deg) (N/mm2)
1.5 3 45 5.438 0.096845 1.697E+10 1.902E-12
1.5 3 90 6.213 0.193690 1.138E+10 5.674E-12
1.5 3 135 5.766 0.096845 1.424E+10 2.268E-12
3.5 5 45 14.437 0.114560 9.069E+08 2.526E-11
3.5 5 90 17.544 0.229120 5.054E+08 9.067E-11
3.5 5 135 16.874 0.114560 5.680E+08 4.034E-11
5.5 8 45 27.120 0.030074 1.368E+08 2.748E-11
5.5 8 90 25.320 0.060148 1.681E+08 4.472E-11
5.5 8 135 27.819 0.030074 1.268E+08 2.966E-11
7.5 10 45 42.728 0.007028 3.498E+07 2.009E-11
7.5 10 90 43.234 0.014056 3.377E+07 4.162E-11
7.5 10 135 42.335 0.007028 3.597E+07 1.954E-11
9.5 12 45 64.230 0.001279 1.030E+07 1.035E-11
9.5 12 90 62.345 0.002559 1.126E+07 1.893E-11
9.5 12 135 63.954 0.001279 1.043E+07 1.022E-11
10.5 13 45 70.256 0.000139 7.870E+06 1.354E-12
10.5 13 90 73.468 0.000277 6.882E+06 3.096E-12
10.5 13 135 72.687 0.000139 7.106E+06 1.499E-12
12.5 14 45 96.211 0.000068 3.064E+06 1.585E-12
12.5 14 90 95.213 0.000136 3.162E+06 3.073E-12
12.5 14 135 94.283 0.000068 3.256E+06 1.492E-12
13.5 15 45 114.377 0.000008 1.824E+06 2.741E-13
13.5 15 90 115.549 0.000015 1.769E+06 5.653E-13
13.5 15 135 115.274 0.000008 1.782E+06 2.806E-13
Sum = 4.019E-10
Fatigue Life (secs) = 2.488E+09
Fatigue Life (years) = 78.89

Kolom terakhir adalah merupakan perhitungan dengan mengkombinasikan harga-harga dalam


kolom kedua, kelima dan keenam, yang bila dijumlahkan adalah merupakan inversi dari persa-
maan (10). Dengan memasukkan kondisi kegagalan kumulatif, yaitu D = 1.0 serta mengalikan-
nya dengan inversi penjumlahan dalam kolom terakhir maka umur kelelahan akan diperoleh.
Umur kelelahan struktur yang ditinjau, sebagai hasil akhir perhitungan dalam Tabel 9, adalah
9
sebesar 2.488x10 detik atau 78.89 tahun. Umur kelelahan ini telah memenuhi persyaratan,
yakni lebih dari tiga kali dari umur operasi yang dirancang, yakni 75 tahun.

4. Kesimpulan dan Saran


Kajian telah dilakukan untuk meninjau umur kelelahan struktur penyangga top side module
pada sebuah Seastar TLP. Konfigurasi TLP ini dirancang dengan mengacu pada Seastar
Matterhorn TLP, dan ukurannya ditentukan berdasarkan similaritas parameter dengan West
Seno TLP-A. Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari kajian tersebut adalah:
Seastar TLP yang dirancang pada kondisi terikat dengan tendon mempunyai karakteristik
gerakan yang baik, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai RAO maksimum dari semua
mode gerakan yang kurang dari 1.0. Hal ini berarti amplitudo respon akan selalu lebih
kecil dari amplitudo gelombang yang datang. RAO maksimum gerakan surge, sway,

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 391


heave, roll, pitch dan yaw berturut-turut adalah 0.884m/m, 0.884m/m, 0.390m/m,
0.320m/m, 0.340m/m, dan 0.160m/m. Frekuensi alami untuk gerakan vertikalnya adalah
0.57rad/s untuk gerakan heave, serta 0.63rad/s baik untuk gerakan roll maupun pitch.
Amplitudo gerakan yang rendah, berarti juga mempunyai percepatan gerak yang rendah,
sehingga berpengaruh baik pada timbulnya beban inersia pada struktur penyangga yang
relatif rendah pula.
Struktur penyangga utama top side module dirancang berbentuk silinder tegak dengan
ukuran OD = 2.0m dan ketebalan 30mm, diperkuat dengan bracing berukuran OD = 1.0m
dan ketebalan 16mm. Berdasarkan hasil analsis diterministik umur kelelahan struktur
penyangga akan mencapai sedikit lebih dari 78 tahun. Kelelahan akan terjadi pada hot
spot yang berlokasi pada sambungan antara penyangga dan bracing di ujung tempat
meletaknya struktur top side.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan analisis kelelahan struktur penyang-
ga top side module Seastar TLP dengan pendekatan spektral dan/atau mekanika kepecahan.
Hasil dari kedua pendekatan tersebut dapat dibandingkan dengan hasil yang disajikan makalah
ini, untuk keperluan verifikasi.

Ucapan Terima Kasih


Penulis menyampaikan banyak terima kasih atas bantuan semua pihak yang telah mendukung
terselesaikannya penelitian yang hasilnya disajikan dalam makalah ini.

References
ABS, 2003, Floating Production Installations, American Bureau of Shipping, Houston
API, 1977, Recommended Practice for Planning, Designing, and Constructing Tension Leg
Platforms, API-RP-2T, American Petroleum Institute
st
Soegiono, 2004, Teknologi Produksi dan Perawatan Bangunan Laut, 1 ed., Airlangga
University Press
Djatmiko, E.B., 2003, Analisis Kelelahan Struktur Bangunan Laut, Kursus Singkat Offshore
Structure Design and Modelling, Surabaya
Wirsching, P.H., dan Chen, Y, N., 1988, Consideration for Marine Structure, SNAME, One
World, New York
SBMAtlantia, 2011, Matterhorn Seastar TLP, http://www.sbmatlantia.com/products/floating-
solution/tlps/seastar/matterhorn, (2011)
Lewis, E.V., 1988, Principles of Naval Architecture, Society of Naval Architect and Marine
Engineers, New Jersey, USA
Chakrabarti, S.K., 1987, Hydrodinamics of Offshore Structures, Computational Mechanics
Publications, Southampton
Indiyono, P., 2004, Hidrodinamika Bangunan Lepas Pantai, FTK-ITS, Surabaya
DNV, 2010, Fatigue Design of Offshore Steel Structures, DNV-RP-C203, Norway
DNV, 2006, Fatigue Methodology of Offshore Ship, DNV-RP-C206, Norway
Galgoul, NS, 2007, Fatigue Analysis of Offshore Fixed and Floating Structures, Lecture Notes,
TU-Harburg, Germany, Jan.
Karsan, D.I., Marshall, P.W., Pecknold, D.A., Mohr, W.C. and Bucknelll, J., 2005, The New API
nd
RP 2A, 22 Edition Tubular Joint Design Practice, Proceedings of Offshore Technology
Conference, Paper No. OTC-17236, Houston, Texas, USA
Reeve, D.T., 2011, The Stochastic Analysis of Ocean Waves: Vital for the Design and Safe
Operation of Offshore Structures, Internal Report, University of Lancaster, UK, Apr.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 392


PERGERAKAN ARUS DI TELUK BANTEN
1 12 13 1
Eva MUSTIKASARI , Agustin RUSTAM , Novi Susetyo ADI , Dini PURBANI
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
2
Mahasiswa Doktoral Institut Pertanian Bogor
3
Mahasiswa Doktoral The University of Queensland, Australia
*Email: eva.mustikasari@gmail.com

Abstract

Morphology beaches of Banten Bay are sandy beach, coral beach, mangrove and mud beach. Water conditions and the
morphology of the resulting movement of currents in the Banten Bay have different patterns. Current movement
research conducted in July 2010 through the first two approaches to simulation model using equation approach
hydrodynamic 2nd Dimension (2D) developed by DHI Water & Environment (2005), both by in situ measurement in the
field using current meter and floater. The results could be the current in the Banten Bay by insitu measurements ranged
from 0.0524109 to 0.36855037 m/s. Lowest flow direction towards the inner bay or south being the largest current
direction toward the left side of the bay or to the northwest. Based on a simulation model of the flow pattern in tidal and
wind raised by the results that the presence of the wind speed input monthly average of 2.5 m / sec to about -70 west
and north to the Bay of Banten then the model would theoretically increase the speed of water flow around. If the
absence of the wind speed maximum current that occurs in the eastern reaches 0:26 m / s then when the input current
reaches a maximum wind speed of 0.3 m / sec.

Keywords: Banten Bay, flow, simulation model, in situ

1. Pendahuluan
Wilayah pesisir Utara Propinsi Banten, termasuk Teluk Banten terbentuk sebagai hasil interaksi
kekuatan-kekuatan asal laut dan darat yang bersifat dinamis. Keadaan tersebut tercermin dari
adanya segmen-segmen pantai yang erosional, akresi dan stabil; dan dalam 100 tahun terakhir
telah terjadi perubahan besar di kawasan tersebut yang dipicu oleh aktivitas manusia.
Pemindahan muara sungai dari Tanjung Pontang ke kawasan Tengkurak misalnya telah
menyebabkan perubahan karakter pantai dari kedua kawasan tersebut. Kawasan Tanjung
Pontang yang semula bersifat ekspansif atau akresi, berubah menjadi erosional; sedangkan
kawasan Tengkurak yang semula relatif stabil, berubah menjadi ekspansif atau akresi
(Setyawan, W.B, 2003). Selain itu aktivitas manusia di daratan pesisir telah menyebabkan
masuknya berbagai bahan pencemar ke perairan pesisir. Perubahan morfologi pantai dan
dinamika di wilayah hulu ditambah dengan aktivitas manusia tersebut akan berpengaruh
terhadap dinamika dan pola arus di wilayah teluk dipengaruhi oleh iklim Monsoon. Data arus
tersebut secara langsung telah mempengaruhi pola dan arah sebaran sedimen di lokasi
penelitian (Gambar 1)

Gambar 1. Pola arus wilayah Teluk Banten


(sumber: Hoitink, A.J.F., 2003)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 393


2. Metodologi
Dalam penelitian ini, perhitungan arus laut wilayah Teluk Banten dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu pertama dengan pendekatan simulasi model dan kedua dengan perhitungan
langsung dilapangan.

2.1 Pendekatan Simulasi Model


Simulasi model menggunakan persamaan hdrodinamika 2 Dimensi (2D) yang dikembangkan
oleh DHI Water & Environment, 2005. Model ini dipilih karena mampu menghitung dan
mensimulasikan pola arus secara detil. Persamaan pengatur yang digunakan dalam simulasi
adalah persamaan kontinuitas dan persamaan gerak 2D. Dalam pembuatan model maka
ditentukan luas cakupan daerah model.

Luas cakupan daerah model adalah perairan Teluk yang memiliki panjang gelombang daerah
sekitar 21 km dan lebar daerah sekitar 17 km, batas daerah Utara, Selatan, Barat dan Timur
dibatasi oleh koordinat sbb:
o
Batas Utara : 5 52
o
Batas Selatan : 6 02
o
Batas Barat : 106 04
o
Batas Timur : 106 16
Grid yang digunakan adalah finite elemen yaitu bentuk grid sigitiga, dimana grid ini didisain
untuk menjangkau area yang sempit dengan detil, jumlah grid pada simulasimode ini adalah
2907 elemen, seperti yang terlihat pada Gambar 2.

2.2 Data input model


Data input simulasi model adalah data a. coastline, b. bathymetri, c. data Pasang Surut , d. data
kecepatan angin dan e. data iklim.

2.2.1 Coastline (Garis Pantai)


Data coastline (sumber data coastline extractor) sebagai input batas tertutup model. Data ini
diredistribute/penyekalaan dengan tujuan untuk menyamakan jarak titik-titik garis pantai,
sehingga tersusun dengan jarak yang sama dan mengurangi jumlah titik coastline sesuai
dengan format input data model, sehinga jumlah titik yang di input tidak terlalu banyak karena
jumlah titik yang terlalu banyak akan menghambat prose running model. selanjutnya melakukan
gridding daerah model sebelum melakukan tahap interpolasi bathymetri.

2.2.2 Bathymetri
Bathymetri daerah model menggunakan bathymetri resolusi 5 menit (sumber data GEBCO: IOC,
IHO dan BODC, 2003) Persiapan input data batimetri dengan merubah format data ASCII
dalam bentuk koordinat x,y dan z (z adalah kedalaman perairan), jarak antar titik kira-kira 9.25
km (1 menit ekivalen dengan 1.85 km). Selanjutnya melakukan interpolasi data batimetri
sebagai syarat input model (Gambar 2).

Gambar 2. Daerah Model, Gridding dan Batymetri (m) sebagai daerah Model

2.2.3 Data Pasang Surut


Terdapat 3 batas terbuka model yang telah di tentuka. Data yang dijadikan input batas terbuka
adalah data prediksi pasang surut (elevasi) yang diambil dari Tidal Model Driver (TMD, Padman
and Erofeeva, 2005), pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software MATLAB,
hasil pengolahan data TMD kemudian diolah lagi dalam software model.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 394


2.2.4 Data Kecepatan Angin
Data angin yang digunakan dalam melakukan running model ini adalah data hasil reanalisis dari
National Centre for Environmental Prediction (NCEP). Data NCEP berbentuk 4-dimensi (4D):
lintang, bujur, waktu, dan level ketinggian dan memiliki 2 format grid, yaitu fixed grid (2.5 x 2.5
dengan jumlah grid 73 x 144) dan Gaussian grid (T62 dengan jumlah grid 94 x 192). Dalam
model arus ini format grid yang digunakan adalah format Gaussian grid. Data NCEP memiliki
format penyimpanan NetCDF (Network Common Data Format), dengan extension nama file
berakhiran .nc. Untuk dapat membaca format ini, kita memerlukan NetCDF library yang dapat
diunduh di website: www.unidata.ucar.edu/software/netcdf/. Ada beberapa perangkat lunak
yang mendukung pembacaan data berformat NetCDF ini, dua diantaranya adalah GrADS (Grid
Analysis and Display System) dan Matlab. Dalam kegiatan model arus ini, pengolahan data
angin dilakukan dengan mengunakan program MATLAB NetCDF Toolbox (Setiawan A. 2007,
Modul pelatihan penggunaan software pengolahan data oseanogarfi, membaca File dalam
Format NetCDF dari NCEP). Saat ini data dengan format NetCDF sudah banyak digunakan
dalam sains kebumian (geoscience), termasuk oseanografi.

2.2.5 Data Iklim


Data iklim digunakan sebagai data tambahan, dalam rangka analisis hasil simulasi model. Data
iklim ini mencakup data temperatur udara, dan data curah hujan.

2.3 Skenario Simulasi Model


Pengerjaan simulasi model dilakukan secara bertahap dengan skenario simulasi pola arus yang
dibangkitkan oleh gaya pembangkit pasang surut dan simulasi pola arus yang dibangkitkan oleh
pasang surut dan angin. Hasil simulasi model perlu dilakukan verikasi untuk membandingkan
dengan membandingkan hasil perhitungan model dengan hasil simulasi model yang sudah ada
(Kurnia.A 2004) dan data lapangan.

2.4 Pengukuran Lapangan


Dalam membuat simulasi model dilakukan pengukuran dilapangan dilakukan pada bulan Juli
2010. Alat ukur yang digunakan ada dua (2):
1. Current Meter
Unsur-unsur yang terdapat dalam current meter mencakup; bandul (pemberat, baling-
baling, alat ukur (cm/det) kabel penghubung serta tambang. (Gambar 3)
2. Floater sederhana
Floater dibuat dengan menggunakan lempengan seng yang dibuat melintang, dua buah
pelampung, stop watch, tambang sebagai alat ukur jarak (m) dan kompas sebagai
penunjuk arah.
a b

Gambar 3. Alat Current meter terdiri dari :a. Baling-baling dan Bandul,
b. Alat ukur
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Simulasi Pola Srus Model Hidrodinamika 2D (DHI Water & Environment, 2005) Teluk
Banten
Running simulasi dilakukan selama satu bulan (bulan Juli 2010) dengan input data Pasut dan
data angin sebagai faktor pengerak. Data pasut di format dengan langkah waktu per jam (3600
detik), selama 32 hari langkah waktu yang diperlukan adalah 768 (32 hari x 24 jam), jumlah grid
ditentukan berdasarkan syarat batas yang sudah di tentukan. Sedangkan untuk data angin di
atur sekitar 6 jam an, dengan langkah waktu 21600 (6 x 3600).

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 395


3.1.1 Hasil Simulasi Pola Arus yang dibangkitkan oleh Pasang Surut
Kondisi Pasang Purnama (Spring), saat posisi bumi, bulan dan matahari berada dalam satu
garis lurus.
- Saat pasang tertinggi
Pola arus bergerak menuju arah timur perairan, elevasi berkisar antara 0.3 - 0.35 m.
Semakin menuju ke timur arah dan kecepatan arus semakin bertambah besar.
- Saat menuju surut
Pola arah dan kecepatan arus di daerah teluk lebih kecil dibandingkan di daerah
menuju laut lepas. Pola arah dan kecepatan arus pada saat ini lebih merata di
seluruh perairan menuju laut lepas dengan elevasi berkisar antara 0.05m 0.1 m.
- Saat surut terendah
Pada kondisi ini elevasi berkisar antara 0.4 m 0.3m (-) dibawah Mean Sea Level
(MSL) arah arus menuju ke arat timur perairan dengan pola kecepatan arus semakin
membesar saat menuju laut lepas.
- Saat menuju pasang
Kisaran elevasi pada kondisi ini adalah 0.1 m 0.15 m, arus bergerak menuju teluk,
semakin menuju teluk, pola kecepatan arus semakin meningkat.

Kondisi Pasang Perbani (Neap), saat posisi bumi, bulan dan matahari membentuk sudut tegak
lurus.
- Saat pasang tertinggi
Pada kondisi ini elevasi berkiran antara 0.15 m 0.2 m. Arah arus bergerak dari
barat menuju timur, sebagian gerakannya ke arah teluk. Kecepatan arus
menunjukkan kecepatan yang tinggi hampir diseluruh wilayah perairan Teluk Banten.
- Saat menuju surut
Pada saat ini elevasi berkisar antara 0.05 m 0.1 m. Pola arus hampir sama
dengan saat kondisi pasang tertinggi, hanya pada kondisi ini pergerakan arus
dominan menuju timur perairan.
- Saat surut terendah
Elevasi berkisar antara -0.15m (-0.2)m. Pada kondisi ini pola pergerakan arus
mengalami perubahan arah. Arah arus dominan menuju arah barat perairan,
kecepatan arus di wilayah teluk relatif lebih rendah.
- Saat menuju pasang
Pola arus saat kondisi ini mengarah ke barat perairan, namun sebagian arah arus
menuju teluk, saat menuju teluk kecepatan arus mengecil. Elevasi berkisar antara 0
-0.05 m.
Kecepatan arus hasil simulasi berkisar antara 0.05m/det sampai 0.2 m/det.
Pola arus hasil simulasi pada saat Spring dan Neap terlihat pada Gambar 4 dan
Gambar 5.

Gambar 4. Hasil Simulasi Model Pola Arus pada saat Kondisi Pasang Purnama (Spring)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 396


Gambar 5. Hasil Simulasi Model Pola Arus pada saat Kondisi pasang Perbani (Neap)

3.1.2 Hasil Simulasi Pola Arus yang dibangkitkan oleh Pasang Surut dan Angin
Besarnya kisaran elevasi dan pola arus pada hasil simulasi ini cenderung menunjukan nilai
yang lebih tinggi karena pada simulasi ini faktor angin yang menjadi penggerak utama di input
ke dalam model. Kecepatan angin rata-rata berkisar antara 2 sampai 2.5 m/det. Arah angin
dominan ke arah timur laut menuju selatan (Gambar 6). Pengaruh angin sangat besar terhadap
nilai kecepatan arus. Dibandingkan dengan hasil simulasi pada yang di bangkitkan oleh pasang
surut saja, maka hasil simulasi ini memberikan nilai elevasi dan kecepatan angin yang
cenderung meningkat. Kecepatan angin maksimum hasil perhitungan simulasi model yang di
bangkitkan oleh pasang surut dan angin ini mencapai 0.39 m/det. Hasil simulasi pola arus yang
digerakan pasang surut dan angin pada saat spring dan neap dapat dilihat pada Gambar 7 dan
Gambar 8.

Gambar 6. Windrose (Pola Angin Teluk Banten)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 397


Gambar 7. Hasil Simulasi Model Pola Arus yang dibangkitkan oleh Pasang Surut dan
Angin pada saat Pasang Purnama (Spring)

Gambar 8. Hasil Simulasi Model Pola Arus pada saat Kondisi pasang Perbani (Neap)

3.1.3 Hasil Pengukuran Lapangan


Dari hasil pengukuran lapangan diperoleh data Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Data dan Perhitungan hasil pengukuran kecepatan arus in situ (Juli 2010)

Arus total
No Jam Kecepatan arah
Stat. (m/det) (der)
1 9 0.26857654 290
2 10 0.07092199 300
3 14 0.1610306 300
4 15 0.36855037 280
5 16 0.30769231 300
6 17 0.0524109 160
7 18 0.33898305 120
8 19 0.23382697 140
9 20 0.27548209 160

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 398


10 21 0.0872093 150
11 22 0.10043522 160
12 23 0.14584346 230
13 24 0.08264463 220
14 1 0.16750419 280
15 2 0.14520813 230
16 3 0.03648304 300

Pengukuran di lapangan secara langsung (in situ) mencakup:


1. Waktu pengukuran
2. Kecepatan arus (m/det)
3. Arah (derajat)

Dari hasil perhitungan in situ yang dilakukan pada bulan Juli 2010, diperoleh hasil bahwa
kecepatan arus maksimum pada bulan tersebut sebesar 0.368 m/det. Arus bergerak ke arah
o
barat laut (sekitar 300 ). Kondisi angin pada saat pengukuran sangat kencang. Bulan Juli
merupaka musim timur, umumnya di tandai dengan musim kemarau dan gerakan angin
cenderung ke arah barat.

3.1.4 Menyebandingkan Hasil Simulasi Lapangan dengan Peneliti Terdahulu


Hasil simulasi model hidrodinakima 2D yang telah dilakukan oleh Kurnia.A, 2004 dipilih sebagai
model verifikasi karena mencakup kajian dan daerah model yang sama. Pola Arus yang di
bangkitkan oleh pasut dan angin memberikan hasil bahwa dengan adanya input kecepatan
o
angin rata-rata bulanan 2.5 m/det ke arah barat sekitar -70 dan arat utara pada model Teluk
Banten maka secara teoritis akan menambah kecepatan arus disekitar perairan. Jika tanpa
adanya angin kecepatan arus maksimum yang terjadi dibatas timur mencapai 0.26 m/det maka
ketika adanya input angin kecepatan arus maksimum mencapai 0.3 m/det.

3.1.5 Verifikasi
Simulasi model dengan menggunakan dua skenario, yaitu:
1. Model arus yang dibangkitkan oleh pasang surut
2. Model arus yang di bangkitkan oleh pasang surut dan angin
Telah disimulasikan pada bulan Juli 2010 sesuai dengan waktu pelaksanaan survei pengukuran
serta perhitungan data lapangan, maka hasil simulasi menunjukan kesamaan nilai kecepatan
dan pola pergerakan arus di perairan Teluk Banten dengan hasil perhitungan lapangan. Begitu
juga jika di bandingkan dengan hasil simulasi model hidrodinamika 2D yang sudah dilakukan
oleh Kurnia. A,2004, maka secara umum hasil simulasi model juga menunjukan nilai kecepatan
arus di perairan Teluk Banten mendekati sama yaitu maksimum kecepatan berkisar 0.3 m/det.

4. Kesimpulan dan saran


Hasil pengamatan bulan Juli 2010, diperoleh hasil bahwa kecepatan arus maksimum pada
o
bulan tersebut sebesar 0.368 m/det. Arus bergerak ke arah barat laut (sekitar 300 ). Diperlukan
pengamatan dalam empat musim yaitu: musim barat, peralihan1, musim timur dan peralihan 2
untuk pengamatan pola arus agar data empat musim berperan besar dalam mengetahui pola
pergerakan arus dengan memanfaatkan model agar lebih valid dan akurat.

References
Hoitink, A.J.F.; Hoekstra, P., 2003, Hydrodynamic control of the supply of reworked terrigenous
sediment to coral reefs in the Bay of Banten (NW Java, Indonesia) Estuarine, Coastal
and Shelf Sciences, Volume 58, Issue 4, p.743-755.
Peta Lingkungan Pantai Indonesia, Lembar LPI 1110-09, Teluk Banten, 1999. Bakosurtanal dan
Dishidros.
Setyawan, W.B. dkk. 2003. Studi Karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten. Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Jakarta.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 399


PARAMETER SISTEM KARBON DI TELUK BANTEN KAITANNYA DENGAN
KESUBURAN PERAIRAN
12 13 1 1
Agustin RUSTAM* , Novi Susetyo ADI , Dini PURBANI , Eva MUSTIKASARI

1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
2
Mahasiswa Doktoral Institut Pertanian Bogor
3
Mahasiswa Doktoral The University of Queensland, Australia
*Email: sriagustinrustam@yahoo.com / a_rustam@kkp.go.id

Abstract
The study was conducted according to a study in Banten Bay in 2010. The sampling method in the Banten Bay was
purposive sampling at 15 location. Measurement parameters of DIC (Disoolved Inorganic Carbon), Total Alkalinity, pH
(Anderson dan Robinson, 1946, Dickson et al, 2007), environmental conditions (APHA, 2005) and analysis software
pCO2 were done by CO2SYS (Lewis and Wallace, 1998; Pierrot, 2007).The results can range in value of DIC is 1329.87
to 1724.95 umol / kg, TA 1767.5 to 2256.8 and the pH from 8.11 to 8.42, pCO2 results ranged from 124 to 262.1 uatm.
Sink-source analysis obtained in this study is an indication of almost any location in the state sink, which can be said to
be the sequestration of carbon from the atmosphere for photosynthesis exploited aquatic biota which ultimately
increases the fertility waters. But all this is still a preliminary study that needs to do more research.

Keywords: Carbon, Dissolved Inorganic Carbon (DIC), partial pressure (pCO2) and fertility

1. Pendahuluan
Perairan Teluk Banten terletak di ujung barat laut Pulau Jawa, merupakan bagian dari Laut
Jawa dengan luas wilayah permukaan totalnya 150 km2, dan kedalaman rata-rata 7 m. Teluk
Banten berada di wilayah administrasi Propinsi Banten, memiliki pulau-pulau kecil seperti:
Pulau Dua, Pulau Menjangan, Pulau Lima, Pulau Kubur, Pulau Pisang, Pulau Pamujan dan
pulau terbesar yang berpenghuni adalah Pulau Panjang yang posisinya kurang lebih di sebelah
Barat mulut Teluk Banten (Gambar 1).

Gambar 1. Teluk Banten (sumber Hoitink dan Hoesktra, 2003)

Kondisi perairan Teluk Banten memiliki potensi sumberdaya alam yang berlimpah antara lain
perikanan laut seperti ikan laut, udang, kerang dan rumput laut. Selain itu Teluk Banten
merupakan daerah yang sangat dinamis, dimana disekitar Teluk Banten cukup banyak aktivitas
didaratannya seperti adanya pelabuhan Bojonegoro dan beberapa pabrik di sebelah barat teluk
serta adanya bagang-bagang nelayan di bagian tengah dan selatan teluk. Selain itu wilayah
pesisir Utara Propinsi Banten, termasuk Teluk Banten terbentuk sebagai hasil interaksi
kekuatan-kekuatan asal laut dan darat yang bersifat dinamis. Dimana dalam 100 tahun terakhir
telah terjadi perubahan besar di kawasan tersebut yang dipicu oleh aktivitas manusia. Salah
satu contohnya adalah pemindahan muara sungai dari Tanjung Pontang ke kawasan Tengkurak
telah menyebabkan perubahan karakter pantai dari kedua kawasan tersebut. Kawasan Tanjung
Pontang yang semula bersifat ekspansif atau akresi, berubah menjadi erosional; sedangkan
kawasan Tengkurak yang semula relatif stabil, berubah menjadi ekspansif atau akresi
(Setyawan, W.B, 2003).

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 400


Dinamisnya perairan Teluk Banten terkait erat dengan sistem CO2. Dimana fitoplankton dan
ekosistem vegetasi pesisir lainnya memanfaatkan karbon anorganik terlarut dalam air untuk
pertumbuhan atau pertambahan biomassa bagi tubuhnya. Hal ini mengartikan bahwa studi
sistem CO2 juga dapat menjadi indikator kesehatan perairan pesisir yang berpengaruh pada
sektor perikanan. Selain itu, studi mengenai sistem CO2 di perairan pesisir juga bersentuhan
langsung dengan isu perubahan iklim yang sedang terjadi, khususnya mengenai peran perairan
pesisir sebagai pelepas atau penyerap CO 2 yang ada di atmosfer. Seperti diketahui CO2 adalah
merupakan salah satu gas rumah kaca utama yang menyebabkan pemanasan global. Selain itu
ekosistem pesisir seperti mangrove, lamun, karang dan saltmarsh berpeluang sebagai
penyerap karbon di atmosfir dengan kemampuannya memanfaatkan karbon inorganik terlarut di
dalam air yang dapat tersimpan dalam tubuh maupun akar dan sedimen yang dikenal dengan
blue carbon (Nelleman, et.al, 2009). Terlepas dari itu semua perairan pesisir dengan
kemampuannya sebagai penyumbang produktivitas primer perairan, sangat penting perannya
dalam mensuplai makanan dalam suatu rantai makanan yang akan berimbas pada ikan
ekonomis penting di perairan pesisir sendiri maupun perairan laut lepas.

2. Metodologi
Parameter sistem CO2 utama yang diukur adalah DIC, pH dan alkalinitas. Parameter
pendukung yang diukur adalah produktivitas primer, kedalaman sechii disk, DO dan suhu. pH
diukur dua kali, yaitu secara in situ menggunakan alat multiparameter YSI 556 MPS dan di
laboratorium menggunakan pH meter 691 merk Metrohm buatan Swiss. pH meter Metrohm juga
digunakan untuk semua analisis yang memerlukan pH di laboratorium, termasuk DIC dan
alkalinitas. Pengukuran DO dan suhu dilakukan secara in situ menggunakan alat
multiparameter YSI 556 MPS. Sechii disk diukur secara in situ menggunakan lempengan papan
yang dicat hitam dan putih dan kemudian diberi tali dan pemberat.
Sampling air dilakukan menggunakan water sampler vandorn (Gambar 2) pada lokasi sampling
yang telah ditentukan. Pengambilan sampel dilakukan pada kedalaman permukaan sekitar 0.5
meter untuk semua stasiun tergantung pada kedalaman maksimal titik sampling. Untuk
parameter sistem CO2 (DIC, alkalinitas dan pH lab), sesaat setelah pengambilan sampel
ditambahkan HgCl2 pada sampel air untuk menghentikan aktivitas biologi dan sampel disimpan
dalam coolbox yang selalu ditambahkan es batu agar suhu tetap rendah untuk mencegah
terlepasnya CO2 ke udara. Untuk analisa parameter CO2, sampel kemudian disaring
menggunakan kertas saring Whatman ukuran 0.45 m dan hasil saringan ditempatkan pada
botol sampel khusus merk Duran 500 ml secara penuh tanpa gelembung udara untuk analisis
lanjut (Dickson et.al, 2007).

3. Analisis
Pada studi ini analis terutama dilakukan pada variabilitas parameter CO 2 utama, yaitu DIC,
alkalinitas, pH dan pCO2. Sistem CO2 di perairan dapat dikaji melalui empat parameter yang
dapat diukur (measureble), yaitu DIC, total alkalinitas (alk), pH dan pCO2 (tekanan parsial CO 2)
atau fCO2 (fugasitas CO2) (Lewis dan Wallace, 1997). Dua dari parameter tersebut dapat
dihitung dari dua parameter lainnya (Lewis dan Wallace, 1997). Pada studi ini DIC diukur
menggunakan metode titrasi dengan prinsip mendasarkan pada perubahan pH setelah
ditambahkan HCl dan NaOH pada sampel air yang telah disaring (Anderson dan Robinson,
1946; Dickson et.al, 2007). Alkalinitas kemudian didapatkan dari suatu perhitungan.

Tekanan parsial CO2 (pCO2) dihitung dari DIC dan pH menggunakan prinsip dasar dari Cai dan
Wang (1998), yaitu :
[CO 2] DIC{H }2
pCO2 (1)
Kh ({H }2 {H }K1 K1 K 2 ) K H

dimana : DIC = dissolved inorganic carbon, Kh adalah konstanta solubilitas gas dalam air
-pH
menurut Weiss (1974), {H}= 10 , K1 dan K2 adalah konstanta disosiasi dari asam
karbonat

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 401


Secara praktis pCO2 ini dihitung menggunakan perangkat lunak CO2SYS yang dikembangkan
oleh Ernie Lewis dan Doug Wallace (1997) dan Pierrot (2007). Di dalam perangkat tersebut
terdapat beberapa model perhitungan yang kemudian akan menentukan asumsi dan konstanta
yang digunakan untuk menghitung pCO2. Model yang digunakan pada studi ini adalah
GEOSECS (Takahashi et.al, 1982).

Analisis sink & source CO2 dilakukan untuk menentukan apakah suatu perairan penyerap atau
pelepas CO2. Analisis ini dilakukan dengan mengurangkan nilai pCO2 atm, atau tekanan parsial
CO2 di atmosfer dengan nilai pCO2water yang telah didapatkan dari perhitungan (formula 1
dihitung dengan CO2SYS). Secara ideal pCO2atm didapatkan melalui pengukuran langsung
secara simultan dengan pCO2air. Namun karena keterbatasan peralatan, pCO2atm didapatkan
dari nilai IPCC tahun 1997 yaitu 370 atm dan diasumsikan seragam untuk semua wilayah.
Formula umumnya :

pCO2 = pCOwater pCO2atm (2)

Suatu perairan berperan sebagai source atau pelepas CO 2 ke udara / atmosfer jika nilai pCO2-
nya lebih tinggi dari nilai pCO2atm (nilai positif) karena akan terjadi aliran CO 2 dari air ke
atmosfer dan sebaliknya berperan sebagai penyerap / sink CO 2 dari atmosfer jika nilai pCO2-
nya lebih rendah dari pCO2atm (nilai negatif).

Suatu perairan yang sehat dapat berfungsi sebagai penyerap CO2 yang baik melalui aktivitas
fotosintesa yang dilakukan oleh fitoplankton dan ekosistem vegetasi yang lain seperti lamun
dan bakau. Jika bahan pencemar karbon anorganik, seperti DIC, PIC dan TIC jumlahnya
melebihi kemampuan daya serap perairan tersebut, maka suatu perairan menjadi tidak sehat.

4. Pembahasan
Gambar 2 adalah peta sebaran parameter karbon sesuai dengan stasiun pengukuran karbon
pada bulan Juli 2010. Lamun (seagrass) dapat ditemukan di beberapa tempat, antara lain
sepanjang pantai bagian barat teluk (stasiun C6 dan C11), paparan terumbu beberapa pulau
karang (Pulau Panjang, Tarahan, Lima, Kambing, Pamujan Besar dan Kepuh ) yaitu di stasiun
C5 dan C15 pada daerah terumbu karang intertidal hingga kedalaman 6 meter.

Kedalaman teluk berkisar antara 1 10 meter dari muara hingga mendekati ujung teluk.
Sedimen teluk Banten terdiri dari lumpur dan pasir (Green and Short, 2003), nilai salinitas
bervariasi antara 28.23 35,34 psu (Green and Short, 2003). Musim penghujan berlangsung
antara November hingga Maret dan musim kemarau antara April Oktober. Bakau (mangrove)
dapat ditemukan di sepanjang Grenyang, bagian Timur teluk, hingga ke Tanjung Pontang di
sebelah Barat Teluk, dan juga di sebelah Selatan pulau Panjang (stasiun C1, C8 dan C9).

Nilai pengukuran parameter system karbon di perairan Teluk Banten dapat dilihat pada Gambar
3. Bahwa berdasarkan hasil perhitungan dengan CO2SYS diseluruh lokasi penelitian nilai
pCO2 yang di dapat yang merupakan pengurangan dari pCO2 air dikurangi pCO2 udara
menghasiklan nilai minus pada saat pengukuran yang mengindikasikan bahwa pada kondisi
saat itu perairan Teluk Banten dalam keadaan sink atau menyerap karbon dari atmosfer. Nilai
rata-rata dari parameter karbon di Teluk Banten yang di ukur dapat dilihat pada Tabel 1 di
bawah ini.

Tabel 1. Nilai rata-rata dan kisaran parameter sistem karbon di Teluk Banten Juli 2010
Parameter Sistem Karbon di Perairan Teluk Banten
Klorofi NO3 PO4 Si DIC pC
l-a (Nitrat) TSS mol mol umol/k O2 pC
ug/L mg/L mg/L /kg /kg pH g TA air O2
-
0.0405 1599.3 2060. 179. 190.
Rata-rata 1.9544 3 85.4 0.242 25.58 8.28 47 8 7 3

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 402


-
Maksimu 1724.9 2256. 262. 107.
m 10.787 0.084 155 0.421 42.33 8.42 5 8 1 9
1329.8 1767.
Minimum 0.356 0.001 67 0.103 14.16 8.11 7 5 124 -246
Standar 0.0233 98.192 139.8 43.1 43.1
Deviasi 2.5793 3 21.6 0.087 7.78 0.09 67 3 4 4

Gambar 2. Peta Sebaran Sistem Karbonat Perairan Teluk Banten Juli 2010

Distribusi spasial konsentrasi DIC dan TA pada bulan Juli 2010 ditampilkan pada Gambar 3,
yang secara umum menunjukkan konsentrasi yang tinggi di daerah pesisir yang dekat dengan
daratan dan berangsur menurun pada perairan laut.

Gambar 3: Sebaran DIC dan TA Teluk Banten Juli 2010 (panel kiri) Sebaran pH dan salinitas
Teluk Banten Juli 2010 (panel kanan)

Variabilitas DIC (Dissolved Inorganic Carbon) dan TA (Total Alkalinitas) di perairan Teluk Banten
pada kedalaman permukaan (0.5 m) terlihat adanya fluktuasi dengan pola yang sama. Pada
umumnya nilai DIC dan TA tinggi berada pada stasiun yang terletak di pinggir teluk yaitu stasiun
C2 (tertinggi 1724,95 mol/kg), C9, C15 (stasiun kecuali di stasiun C1). Tingginya nilai DIC di
pinggir teluk lebih disebabkan adanya pengaruh antropogenik dari daratan (sungai) yang masuk

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 403


ke teluk. Walaupun demikian perlu diperhatikan juga bahwa kondisi pola arus lokal di dalam
teluk serta pengaruh laut dari Selat Sunda serta Laut Jawa dapat mempengaruhi distribusi DIC
di Teluk Banten.
Rendahnya DIC di perairan estuari pada studi ini (stasiun C1) diduga karena faktor biologi dan
proses fotosintesis di daerah estuari lebih dominan mengingat di stasiun C1 terdapat juga
ekosistem mangrove. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rajesh, et.al, 2001,
terhadap vegetasi bentik yang terdapat di daerah estuari Pantai Baratdaya India hasil yang
2
didapatkan bahwa nilai produktivitas primer dari vegetasi bentik sebesar 33,59 gC/m
2
sedangkan perairan hanya 10,51 gC/m . Ini mengindikasikan bahwa adanya pemanfaatan
karbon in organik yang lebih besar terjadi di daerah pesisir yang memiliki vegetasi (mangrove)
sehingga meningkatkan produktivitas primer perairan yang akhirnya menjadikan daerah
tersebut sebagai daerah penghasil makanan dan berlanjut sebagai daerah nursery ground dan
feeding ground untuk berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya yang ekonomis penting (kerang,
udang).
Aspek tambahan yang juga perlu disertakan untuk mengetahui distribusi parameter CO 2 adalah
faktor oseanografi, khususnya pola arus lokal yang dapat berperan mendistribusikan parameter
CO2. Hal ini terlihat adanya anomali pada stasiun C1 dimana DIC paling rendah dibandingkan
stasiun lainnya, diketahui bahwa posisi stasiun C1 berada dipinggir mulut teluk di muara sungai
Karangantu yang terdapat vegetasi mangrove. Selain faktor biologi yang menyebabkan
konsentrasi DIC rendah dapat pula disebabkan oleh adanya faktor oseanografi seperti pola arus
lokal dan pasang surut. Konsentrasi DIC pada lokasi dan bulan yang sama pada Juli 2009
menunjukkan nilai lebih tinggi sebesar 1782,41 mol/kg sedangkan pada bulan Juli 2010
1329,87 mol/kg. Rendahnya nilai DIC pada tahun ini di muara sungai Karangantu stasiun C1
dapat juga dikaitkan pada saat pengambilan sampel yang dilakukan siang hari sehingga proses
biologi yang terjadi lebih tinggi. Selain itu hasil pengukuran arus secara insitu maupun dengan
pemodelan arus selama bulan Juli 2010, arus bergerak dengan kecepatan 0,269 m/det ke arah
barat laut (sekitar 300), sehingga rendahnya nilai DIC di stasiun C1 dapat disebabkan karena
adanya arus yang membawa DIC ke arah barat laut dan tengah teluk. Hal ini menjelaskan juga
tingginya DIC di stasiun C2 mungkin didapat dari DIC dari sungai di stasiun C1 sudah terbawa
ke posisi C2.
Selain itu rendahnya DIC di stasiun C1 yang terletak di muara dan dapat dikatakan masih
dalam pengaruh estuari. Perairan estuari sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan mempunyai
waktu tinggal (residence time) cukup lama bagi massa air tawar yang dapat menstimulasi
aktivitas kimia dan biologi materi yang terbawa oleh sungai. Hal ini berarti bahwa perairan
estuari dapat merupakan perairan dengan aktivitas biologi yang tinggi dan dapat menurunkan
konsentrasi DIC. Suburnya perairan estuari juga terbukti pada data klorofil yang diukur pada
studi ini (Gambar 4), yang secara umum tinggi pada perairan estuari dan berangsur rendah
pada perairan oseanik, dimana yang tertinggi pada stasiun C9 (estuari) yaitu 10,787 g/L.

Klorofil dan Silikat Nitrat - Phosphat


12
0.09
10 0.08
0.07
8
Konsentrasi

0.06
mg/L

6
0.05
0.04
4 0.03
0.02
2 0.01
0
0
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Stasiun PO4 mg/L NO3 (Nitrat) mg/L
Stasiun Klorofil-a ug/L Si mg/L

Gambar 4. Variabilitas klorofil dan Silikat (panel kiri) variabilitas nitrat-phosphat (panel kanan) di
Teluk Banten Juli 2010
Tingginya klorofil di stasiun C9 pada saat penelitian hal ini dapat disebabkan bahwa di daerah
tersebut daerah estuari dimana terdapat sungai yang cukup besar sehingga masukan nutrien
dari daratan menyebabkan tingginya produktivitas perairan terutama dari fitoplankton yang

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 404


dapat dilihat dari tingginya nilai silikat dibandingkan stasiunnya lainnya yaitu 2,603 mg/L dimana
diketahui bahwa silikat merupakan salah satu unsur penyusun dari fitoplankton terutama diatom
(Gambar 4 panel kiri). Nilai nutrien di stasiun C9 untuk nilai phosphat dan nitrat adalah sebagai
berikut 0,023 mg/L dan 0,062 mg/L (Gambar 5).

Stasiun yang terdapat ekosistem lamun dan terdapat pabrik gula yang dapat menyebabkan
terjadinya eutrofikasi pada penelitian ini terlihat cukup rendah, hal ini diperkuat dengan nilai
posfat, nitrat dan silikat di stasiun C11 yang cukup rendah dibandingkan stasiun yang sama
memiliki ekosistem lamun yaitu stasiun C5 (0,023 mg/L; 0,062 mg/L dan 2,603 mg/L). Tetapi
nilai DIC pada stasiun ini tidak tinggi dapat disebabkan bahwa zat karbon dimanfaatkan oleh
tanaman (lamun, alga dan fitoplankton) dalam memproduksi makanan (fotosintesis) sehingga
nilai karbon yang masuk tinggi (dari atmosfir atau dari daratan melalui sungai) akan selalu
dapat dimanfaatkan oleh tanaman yang ada di perairan laut. Disini terlihat bahwa adanya
pemanfaatan aktivitas biologi (fotosintesis) yang lebih baik pada stasiun C1 (estuari dan
mangrove) dibandingkan pada stasiun C5 dan C11, sehingga dapat dikatakan juga bahwa
antropogenik lebih besar terjadi pada stasiun C1 dimana karbon dan fosfat (Gambar 4 panel
kanan) masuk melalui sungai Karangantu lebih banyak dibandingkan dengan stasiun lamun
dimana juga terdapat sungai. Semua faktor sebagai penentu proses biologi (fotosintesis) seperti
DIC, nitrat dan fosfat pada stasiun yang memiliki vegetasi terlihat dapat dimanfaatkan dengan
baik oleh produser yang ada seperti mangrove (C1) maupun lamun (C5 dan C11).

Kondisi pH perairan (Gambar 3 panel kanan) juga menunjukkan variabilitas yang kurang lebih
berkebalikan dengan DIC dan TA yaitu nilai pH rendah pada salinitas rendah dan sedikit
meningkat pada perairan oseanik kecuali pada stasiun C11 ( (estuaria), keadaan pasang.
Variabilitas pH di wilayah studi diduga disebabkan oleh pengaruh pasang surut yang
mendistribusikan massa air tawar ke arah laut dimana di daratan pada saat penelitian sering
terjadi hujan. Pola arus lokal juga dapat menyebabkan adanya perpindahan sejumlah massa air
tawar yang dapat menurunkan pH, walaupun secara keseluruhan kisaran pH di Teluk Banten
(7,85 8,31) merupakan pH air laut. Pentingnya pH dalam pengukuran sistem karbon di laut
terkait erat dengan mekanisme sistem karbonat itu sendiri dimana pergeseran pH yang sangat
2 3 2-
kecil akan menyebabkan pergeseran jumlah spesies (CO , HCO - atau CO3 ) dari sistem
karbonat itu sendiri.
Nilai dan pola DIC, TA dan pH yang didapatkan dan pada studi awal ini berkesesuaian dengan
yang didapatkan oleh Frankigenoule et.al (1996) yang mengukur parameter CO2 di sungai
Scheldt yang merupakan salah satu sungai tercemar di Eropa. Salah satu kesimpulan yang
didapatkan pada penelitian tersebut adalah bahwa faktor antropogenik lebih berperan pada
konsentrasi DIC dan alkalinitas dibandingkan faktor biologi.

Satu hal yang perlu ditambahkan pada pembahasan mengenai DIC ini adalah bahwa lokasi
mangrove (C1) dan lamun (seagrass), yaitu pada stasiun C5 dan C11 mempunyai konsentrasi
DIC yang relatif rendah (1329,87; 1605,19 dan 1522,24 mol/kg). Hal ini memunculkan dugaan
bahwa ekosistem mangrove dan lamun dapat menyerap DIC walaupun kesimpulan final baru
dapat dihasilkan setelah dilakukan lebih banyak pengukuran dan pengujian lebih lanjut.
Walaupun demikian keberadaan ekosistem mangrove dan lamun merupakan daerah ekologi
yang sangat penting terkait dengan perikanan. Dimana ekosistem mangrove dan lamun
merupakan daerah spawning ground dan nursery ground bagi banyak ikan dan biota ekonomis
penting seperti Peperek, Teri, Lemuru, Tongkol, Tembang, Tenggiri, Pari, Manyung, Kuwe, Ekor
kuning, Tembang, Teri, Kembung, Selar dan Cumi.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 405


pCO2 pCO2
1000
300
900
800
250

Konsentrasi
700
200 600
500
uatm

150 400
300
100
200

50

)
0

)
m
m

m
on

on

on

on

on

(3
(3

(3

0
b

(2

(2
Cr

Cr

Cr

Cr

Cr

7
5

on
on

on

7
0

on

on
b
b

Cr
Cr

Cr

b
July

Cr

Cr
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
Stasiun Stasiun August

Gambar 5. Variabilitas pCO2 bulan Juli 2010 di Teluk Banten (panel kiri) Variabilitas pCO2 bulan
Juli dan Agustus 2009 di teluk Banten (panel kanan) (Sumber: Adi dan Rustam, 2010)

Rendahnya nilai DIC di perairan Teluk Banten dengan cukup tingginya nutrien (fosfat dan silikat),
salinitas dan pH akan mempengaruhi nilai pCO 2 (Gambar 5 panel kiri). Dimana pada Gambar
5 panel kiri terlihat mempunyai pola relatif sama, dengan adanya pergeseran nilai tertinggi DIC
dan pCO2 yaitu nilai pCO2 tinggi pada perairan stasiun C3 (salinitas cukup rendah 31,02 ; pH
8,15) terletak di pesisir dekat dengan mangrove dan sungai serta di satsiun C11 salinitas dan
rendah pada perairan oseanik (salinitas tinggi) stasiun C15 yang terletak di bagian mulut teluk
Banten yang berhadapan dengan Laut Jawa dan sebelah barat Selat Sunda. Seperti telah
disebutkan pada bagian metode, pCO2 pada studi ini dihitung dari nilai DIC dan pH dan
tambahan faktor nutrien yaitu fosfat dan silikat dengan software CO2SYS, sehingga hasil akhir
akan terpengaruh oleh keempat variabel tadi. Perbedaan nilai pCO 2 pada perairan estuari
antara bulan Juli 2009 (Adi dan Rustam, 2010) pada Gambar 5 panel kanan dan Juli 2010 pada
tiga stasiun yang sama (C4, C5 dan C12) diduga dipengaruhi oleh perbedaan pasang surut
saat pengambilan sampel. Aliran massa air dari sungai akan membawa lebih banyak DIC yang
dapat meningkatkan nilai pCO2. Pola dari nilai pCO2 pada studi ini juga seperti yang didapatkan
oleh Frankigenoule et.al (1996) di sungai Scheldt.

Differential pCO2
0
C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11 C12 C13 C14 C15
-50

-100
pCO2 (uatm)

-150

-200

-250

-300
pCO2 pCO2 Juli 2009

Gambar 6. Perbedaan konsentrasi pCO2water pCO2atm bulan Juli 2009 (Adi dan Rustam,
2010) dan bulan Juli 2010 di Teluk Banten. Satuan yang digunakan = atm.

Gambar 6 menampilkan hasil selisih antara nilai pCO 2water pCO2atm (formula 2). Hasil analisis
menunjukkan perairan pesisir merupakan penyerap (sink) CO2 ke atmosfer yang ditunjukkan
oleh nilai pCO2 negatif. Hal ini menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian
sebelumnya (Adi dan Rustam, 2010) pada tahun 2009 di tempat yang sama, yang menunjukkan
bahwa perairan Teluk Banten yang memiliki vegetasi cenderung menjadi penyerap CO 2 dari
atmosfer. Namun menurut hasil penelitian dari Frankigenoule et.al, 1996; Cai et.al, 2006;
Borges et.al, 2006; Borges, 2005, perairan estuari cenderung sebagai source CO2 ke atmosfir
dikarenakan tingginya pengaruh darat termasuk input bahan-bahan anorganik terlarut. Tetapi
kemungkinan hal ini tidak berlaku pada daerah estuari yang bervegetasi mangrove (Rajesh,

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 406


et.al, 2001), mungkin perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal terutama waktu
pengambilan sampel yang dilakukan siang hari yang merupakan waktunya produser perairan
melakukan fotosintesis sehingga CO2 dapat dimanfaatkan secara maksimal diperairan yang
menyebabkan adanya perbedaan tekanan parsial posistif sehingga CO 2 di atmosfir masuk ke
dalam perairan. Tetapi jika dilakukan penelitian yang menyeluruh bisa saja mendapatkan hasil
yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang menyeluruh dan komprehensif terkait
dengan sistem karbonat seperti pengukuran yang detail melibatkan waktu pasang surut, arus
lokal dan kondisi atmosfir itu sendiri.

5. Kesimpulan
Hasil dari pengamatan dan analisa di laboratorium didapatkan pada bulan Juli 2010 pada
semua stasiun pengamatan mengalami penyerapan karbon (sink) dari atmosfer oleh kolom air
permukaan. Terdapat konsentrasi DIC (Dissolved Inorganic Carbon) yang tinggi di daerah
pesisir yang dekat dengan daratan dan berangsur menurun pada perairan laut, diduga karena
faktor biologi dan proses fotosintesis. Adanya variabilitas pCO2 di wilayah Teluk Banten lebih
2
dipengaruhi oleh pH dengan nilai R 0,9321 dibandingkan dengan suhu, alkalinitas ataupun
klorofil. Kesuburan perairan dapat dilihat berdasarkan parameter sistem karbon dimana
berdasarkan penelitian ini adanya kecenderungan perairan dalam keadaan subur dengan
adanya penyerapan karbon dari atmosfer yang diasumsikan dimanfaatkan oleh produser
perairan seperti fitoplankton, lamun dan mangrove.

Saran
Diperlukan pengamatan dalam empat musim yaitu: musim barat, peralihan1, musim timur dan
peralihan 2 untuk pengamatan parameter karbon serta kualitas perairan, serta kondisi
oseanografi, sehingga dapat diketahui pola sistem karbon pada daerah pesisir untuk
mengetahui tingkat kesuburan perairan. Lebih lanjut dilakukan berdasarkan harian terkait
dengan pasang surut dan berkesinambungan sehingga dapat dilakukan suatu pemodelan untuk
memprediksi sistem karbon dan tingkat kesuburan lebih akurat.

Ucapan terima kasih


Penelitian ini terselenggara berkat adanya dana hibah peneliti dari Kemenristek 2010,
didukung P3SDLP-Balitbang KP dan dinas terkait Provinsi Banten.

References
Baum, A., T. Rixen, and J. Samiaji .2007. Relevance of peat draining rivers in central Sumatra
for the riverine input of dissolved organic carbon into the ocean, Estuarine Coastal
Shelf Sci., 73, 563570.
Borges, A.V. 2005. Do We Have Enough Pieces of the Jigsaw to Integrate CO2 Fluxes in the
Coastal Ocean?. Estuaries Vol. 28, No. 1, p. 327.
Borges, A.V., L.S. Schiettecatte , G. Abril , B. Delille and, F. Gazeau. 2006. Carbon Dioxide In
European Coastal Waters. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 70, 375-387
Cai, W.J., Dai, M., and Wang, Y. 2006. Air-Sea Exchange of Carbon Dioxide in Ocean
Margins : A Province Based Synthesis. Geophysical Research Letters, Vol.33.
L12603, doi:10.1029/2006GL026219.
Cai, W.-J., Wang, Y., 1998. The chemistry, fluxes and sources of carbon dioxide in the
estuarine waters of the Satilla and Altamaha Rivers, Georgia. Limnology and
Oceanography 43, 657668.
Chen.F, W.J, Cai, C.B, Nelson, and Y.Wang. Sea Surface PCO 2-SST Relationships Across A
Cold-Core Cyclonic Eddy: Implications For Understanding Regional Variability And
Air-Sea Gas Exchange. Geophysical Research Letters, Vol. 34, L10603,
Doi:10.1029/2006gl028058.
Chierici, M, A.Olsen, T. Johannessen, J. Trinanes and R. Wanninkof. 2009. Algorithms to
Estimate the Carbon Dioxide Uptake in the Northern North Atlantic Using

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 407


Shipboard Observations, Satellite and Ocean Analysis Data. Deep Sea Research
II, 56, 630-639.
Frankigenoule. M, I. Bourge and R. Wollast.1996. Atmospheric CO 2 Fluxes in a Highly Polluted
Estuary (the Scheldt). Limnology and Oceanography. 41(2), 365-369.
Green, E.P and F.T. Short. 2003. World Atlas of Seagrass. UNEP &
WCMCgsfc.nasa.gov/IAS/handbook/handbook_toc.html, 2008, (diunduh tanggal 2
februari 2008)
Hoitink, A.J.F.; Hoekstra, P., 2003, Hydrodynamic control of the supply of reworked terrigenous
sediment to coral reefs in the Bay of Banten (NW Java, Indonesia) Estuarine, Coastal
and Shelf Sciences, Volume 58, Issue 4, p.743-755.
Lewis, E and D.Wallace. 1997. CO2SYS. Program Developed for CO 2 System Calculations.
Department of Applied Science, Brookhaven National Laboratory, Upton, New York
Setyawan, W.B. dkk. 2003. Studi Karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten. Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Jakarta.
Takahashi, T., R. T. Williams, and D. L. Bos. 1982. Carbonate chemistry. pp. 77-83. In W. S.
Broecker, D. W. Spencer, and H. Craig, GEOSECS Pacific Expedition, Volume 3,
Hydrographic Data 1973-1974. National Science Foundation, Washington, D.C.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 408


TEKNIK
&
MANAJEMEN PANTAI

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 409


THE COMMUNITY STATUS OF SEAGRASS IN RUTONG COASTAL WATERS OF
SOUTH AMBON ISLAND, MALUKU

Charlotha I. TUPAN

Mahasiswa Pascasarjana FPIK Universitas Brawijaya, Malang


Email : lotjetupan@yahoo.com

Abstract

Contribution of seagrass in coastal waters is determined by the status of their communities. One of the criteria for
determining the community status of seagrass is based on the Kepmen Negara Lingkungan Hidup RI No. 200/2004.
This study aims to determine the community status of seagrass in Rutong Coastal waters of South Ambon Island, by
measuring the community structure of seagrass to analyze the potency and determination of the status of their
communities. The result found 7 species of seagrass. Cymodocea serrulata has the highest density, frequency, cover
percentage and potency, and vice versa with the species of Halophila ovalis. Based on the values of community
structure and according to Kepmen Negara Lingkungan Hidup RI No. 200/2004, the community status of seagrass in
Rutong coastal waters of South Ambon Island was less healthy or less wealthy.

Keyword : seagrass, community status, South Ambon Island

1. Pendahuluan
Lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang ditemukan tumbuh dengan subur pada
daerah pasang surut, perairan pantai atau laguna yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil
dan patahan karang mati dengan kedalaman sampai 4 meter. Pada perairan yang jernih, lamun
dapat ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8-15 meter bahkan sampai 40 meter (den Hartog,
1970; Erftemeijer, 1993 dalam Dahuri, 2003). Padang lamun dapat membentuk vegetasi
tunggal yang disusun oleh hanya satu spesies lamun atau vegetasi campuran yang disusun
oleh 2 sampai 12 spesies lamun yang tumbuh bersama-sama pada suatu substrat (Kiswara,
1999).

Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai akar, rhizoma, daun,
bunga dan buah (Gambar 1). Lamun memiliki sistem perakaran yang nyata, sistem tranportasi
internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas. Sebagai
tumbuhan berakar lamun tidak bergantung pada konsentrasi nutrien didalam kolom air. Hal ini
disebabkan sistem perakaran pada lamun dapat mengabsorbsi nutrient dari sedimen atau
substrat dasar. Dalam hal ini, lamun mampu mendaur ulang nutrient ke dalam ekosistem yang
selanjutnya akan terperangkap di substrat dasar peraiaran padang lamun (Nybakken, 1992).
Tumbuhan tersebut dapat menyerap nutrient dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung
akar, kemudian untuk menjaga agar tumbuhan tetap mengapung di dalam kolom air, tumbuhan
dilengkapi dengan ruang udara.

Selain memiliki fungsi fisik seperti perangkap sedimen, menstabilkan sedimen dasar,
mengurangi (meredam) gelombang dan energi arus, lamun juga berfungsi sebagai tempat
berlindung, mencari makan, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, dan sebagai produsen
detritus dan zat hara. Oleh sebab itu kehadiran padang lamun sangat penting bagi
kelangsungan hidup dari berbagai organsme perairan laut.

Pemanfaatan wilayah pesisir akhir-akhir ini terjadi secara tidak terarah yang dilakukan oleh
masyarakat setempat seperti pengambilan pasir dan batu, serta pembuangan limbah padat dan
cair ke pantai yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem pantai termasuk ekosistem
padang lamun. Kerusakan ini sekaligus dapat menyebabkan musnahnya tempat-tempat
perkembang biakan atau pembibitan berbagai organisme laut atau menurunnya produktivitas
habitat yang dimanfaatkan untuk bahan makanan dan pelindung. Dengan adanya aktivitas dari
masyarakat sekitar mengindikasikan terjadinya degradasi lingkungan yang berhubungan

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 410


dengan produktivitas sumberdaya seperti ekosistem lamun. Pengelolaan yang tidak rasional
terhadap sumberdaya ini salah satunya muncul sebagai akibat kurangnya informasi tentang
potensi dan status sumberdaya tersebut. Oleh sebab itu informasi yang komprehensif tentang
sumberdaya tersebut perlu diketahui untuk pengelolaan tanpa mengganggu kelestariannya dan
tetap mempertahankannya pada tingkat produktif.

Perairan pantai Desa Rutong, bagian selatan Pulau Ambon memiliki ekosistem produktif,
khusus daerah tropis seperti ekosistem padang lamun, yang cukup potensial dalam menunjang
keanekaragaman biota laut. Mengingat peran dari ekosistem padang lamun serta mengamati
adanya berbagai ancaman terhadap ekosistem tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mendapat gambaran terhadap ekosistem padang lamun yang ada. Karenanya tujuan dari
penulisan ini adalah memberikan gambaran tentang potensi padang lamun yang ada di
perairan pantai Desa Rutong, bagian selatan Pulau Ambon dan menentukan status
komunitasnya.

Gambar 1. Morfologi Lamun (Short and Coles, 2001)

2. Metode Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel lamun dilakukan pada bulan Nopember 2011 di perairan bagian selatan
Pulau Ambon, tepatnya di perairan Desa Rutong, dengan menggunakan metode line transect.
Tali transek ditarik tegak lurus garis pantai dengan jarak antara transek adalah 25 m. Pada
setiap transek diletakkan kuadrat yang berukuran 50 x 50 cm dengan jarak antar kuadrat 10 m,
dan jumlah kuadrat yang diletakkan pada masing-masing transek tidak sama, tergantung batas
tumbuhnya lamun. Pada setiap kuadrat dihitung jumlah tegakan dari masing-masing spesies
lamun untuk mengetahui kerapatan. Sedangkan untuk mengetahui persentase penutupan, pada
kuadrat yang berukuran 50 x 50 cm tersebut dibuat petak-petak kecil berukuran 10 x 10 cm
yang berjumlah 25 petak (Saito and Atobe, 1970 dalam English et al., 1994).

3. Metode Analisa Data


Untuk menganalisis potensi dan status lamun diawali dengan menganalisis struktur
komunitasnya, yaitu :
2
1. Kerapatan jenis (Centron et al, 1984), (Teg/m ) = Jumlah tegakan suatu spesies
Luas daerah pengamatan
2. Frekuensi Kehadiran Jenis = Jumlah kuadrat dimana suatu spesies ditemukan

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 411


Total kuadrat
3. Potensi (ind/ha) = Jml. ind. suatu sp pd lokasi pengamatan
Luas area pengamatan
Untuk menentukan persentase penutupan berdasarkan petak pengamatan diklasifikasikan
berdasarkan tabel sebagai berikut :
Tabel 1. Persentase Penutupan Lamun

Kelas Luas area penutupan % penutupan area Titik tengah % (M)


5 1/2 -- penuh 50 100 75
4 1/4 1/2 25 50 37.5
3 1/8 1/4 12.5 25 18.75
2 1/16 1/8 6.25 12.5 9.38
1 < 1/16 < 6.25 3.13
0 Tidak ada 0 0

4. Nilai persentase penutupan spesies pada setiap kuadrat pengamatan menurut Saito and
Atobe (1970) dalam English et al, (1994) adalah:

(Mi x i)
C=

dimana:
C = persentase penutupan jenis lamun (i)
Mi = persentase titik tengah dari kelas (i)
f = frekuensi (jumlah petak yang mempunyai dominansi kelas yang sama (i))
Dengan menggunakan pendekatan persentase penutupan seperti yang tertuang dalam
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. No 200 Tahun 2004, maka status komunitas lamun
dapat dikategorikan berdasarkan tabel 2 dibawah ini:

Tabel 2. Status padang lamun

Kondisi Penutupan (%)


Baik Kaya/Sehat 60

Kurang sehat 30 59.9


Rusak
Miskin 29.9

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Potensi Lamun
Perairan pulau Ambon bagian selatan memiliki komunitas lamun yang ditemukan hanya pada 2
desa yakni perairan Desa Leahari dan Desa Rutong. Perairan selatan Pulau Ambon umumnya
memiliki topografi pantai yang agak terjal dan didominasi oleh substrat keras, dengan kondisi
pantai yang terbuka, berhadapan langsung dengan Laut Banda. Hal ini menyebabkan
pengaruh ombak yang cukup besar, sehingga kurang menunjang untuk tumbuhnya komunitas
lamun dan mangrove. Menurut Nybakken (1992) lamun dapat tumbuh dengan baik pada
perairan yang terlindung dengan pengaruh arus dan gelombang yang tidak terlalu besar.

Perairan pesisir Rutong merupakan perairan teluk berbentuk lengkung setengah busur yang
diapit oleh Tanjung Riki di bagian selatan (Perairan Leahari) dan Tanjung Hutumuri (Perairan
Hutumuri) di bagian utara. Panjang garis pantai Desa Rutong adalah 1.439 m dan luas
2
kawasan pasang surut adalah 35.960 m . Peraiaran ini merupakan perairan pantai dengan
tipe substrat pasir, pasir bercampur kerikil dan patahan karang, dimana komunitas lamun
tumbuh pada jarak 2 250 meter dari garis pantai ke arah laut.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 412


Perairan pantai Desa Rutong memiliki 7 spesies lamun yaitu, Cymodocea rotundata,
Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia, Siringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii, dan Halophila ovalis. 7 spesies ini tergolong dalam 2 famili yakni famili
Potamogetonaceae untuk 4 spesies pertama dan famili Hydrocaritaceae untuk 3 spesies
terakhir (Tabel 3). Ke 7 spesies ini tersebar mulai dari substrat pasir berlumpur sampai kerikil
sedang dan karang mati. Jika dibandingkan dengan spesies yang ditemukan di perairan Teluk
Ambon Dalam (Tuhumury, 2008), maka perairan Rutong bagian selatan Pulau Ambon memiliki
jumlah spesies yang lebih bervariasi, sedangkan untuk perairan Maluku sendiri memiliki jumlah
spesies sebesar 13 spesies sama dengan jumlah spesies yang ditemukan di perairan Indonesia
(Kiswara,1999).

Tabel 3. Komposisi Spesies Lamun di Perairan Rutong, Selatan Pulau Ambon

Divisi Kelas Famili Genus Spesies


Antophyta Angiospermae Potamogetonaceae Cymodocea C. rotundata
C. serrulata
Halodule H. pinifolia
Siringodium S. isoetifolium
Hidrocharitaceae Enhalus E. acoroides
Halophila H. ovalis
Thalassia T. hemprichii

Berdasarkan analisa struktur komunitas diketahui bahwa Cymodocea serrulata memiliki potensi
2
terbesar (11825 teg/ha) dengan nilai kerapatan tertinggi (118,25 teg/m ) dan frekuensi tertinggi
(0.43). Sedangkan Halophila ovalis memiliki potensi terendah (860 teg/ha) dengan nilai
2
kerapatan (8,60 teg/m ) (Tabel 4). Perairan pantai Desa Rutong sebagian besar didominasi oleh
substrat berpasir dan karang, sehingga spesies-spesies yang ditemukan adalah speies-spesies
yang mampu beradaptasi dengan substrat tersebut. Cymodocea serrulata ditemukan melimpah
pada substrat berpasir sampai kerikil halus, kemudian diikuti oleh Thalassia hemprichii yang
juga hidup pada substrat yang sama. Sedangkan Halophila ovalis ditemukan sedikit karena
spesies ini menyenangi substrat yang lunak sehubungan dengan akarnya yang pendek, lembut
dan banyak rambut-rambut akar.

Tabel 4. Nilai-Nilai Potensi Lamun


Speises Krptn F. khdrn Potensi
2
Teg/m (Teg/ha)
C. rotundata 31.73 0.13 3173
C. serrulata 118.25 0.43 11825
H. pinifolia 108.80 0.32 10880
S. isoetifolium 9.00 0.03 900
E. acoroides 83.00 0.42 8300
H. ovalis 8.60 0.04 860
T. hemprichii 34.50 0.15 3450

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Cymodocea serrulata juga memiliki persentase
penutupan tertinggi sekitar 38 % (Gambar 2). Hal ini didukung oleh kerapatan yang tinggi dan
frekuensi kehadiran atau penyebarannya yang luas. Secara morfologi spesies Enhalus
acoroides memiliki struktur tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan spesies lainnya.
Spesies ini juga memiliki penyebaran yang cukup luas ditunjukan oleh nilai frekuensi kehadiran
(0.42) yang hampir sama dengan Cymodocea serrulata. Namun demikian spesies ini memiliki
jumlah tegakan yang kurang sehingga tidak merupakan spesies yang dominan. Hal ini berbeda
dengan yang ditemukan pada perairan Teluk Ambon Dalam dimana spesies Enhalus acoroides
merupakan spesies yang dominan dengan persentase penutupan yang yang besar mencapai
75 % (Tuhumury, 2008).

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 413


Gambar 2. Persentase Penutupan Spesies Lamun

4.2 Status Komunitas Lamun


Berdasarkan pendekatan persentase penutupan telah dikeluarkan Surat keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 yang menetapkan pedoman penentuan status
padang lamun di Indonesia, sebagai berikut:
a. Padang lamun dalam kondisi baik (kaya/sehat) bila penutupan terhadap luas area lebih
dari atau sama dengan 60 %
b. Kondisi rusak (kurang kaya/kurang sehat) apabila penutupan terhadap luas area antara
30 % sampai dengan 59,9 %.
c. Kondisi rusak (miskin) apabila tutupan terhadap luas area kurang dari atau sama dengan
29,9 %.

Penelitian ini mencoba menampilkan gambaran tentang keadaan komunitas lamun di perairan
pantai Desa Rutong, selatan Pulau Ambon. Berdasarkan hasil perhitungan persentase
penutupan terhadap semua jenis lamun, diperoleh nilai 39.63%. Dengan mengacu pada
pendekatan persentase penutupan yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No. 200 Tahun 2004, maka status komunitas lamun dapat dikategorikan dalam kondisi
kurang kaya atau kurang sehat.

Kenyataan ini memberi gambaran bahwa telah terjadi degradasi kawasan pesisir, khususnya
pada kawasan komunitas lamun. Berdasarkan penelitian sebelumnya diketahui bahwa
komunitas lamun dengan potensi tertinggi mencapai nilai 17703 teg/ha dengan persentase
penutupan mencapai 77% (Tupan dan Makailipessy, 2006) dan nilai-nilai ini menurun dalam
penelitian ini. Secara visual diamati adanya penambangan pasir dan batu serta aliran limbah
domestik dan tumpahan minyak perahu motor yang dapat menyumbangkan limbah yang cukup
perpengaruh terhadap komunitas pesisir. Dengan demikian penelitian ini telah memberi warning
tentang keberadaan komunitas lamun perairan Rutong, selatan Pulau Ambon, sehingga
keberlanjutan sumberdaya yang bergantung padanya harus dapat dipertahankan.

5. Kesimpulan
Perairan pantai Rutong, bagian selatan Pulau Ambon memiliki 7 spesies lamun, dimana spesies
Cymodocea rotundata hadir sebagai spesies dengan potensi, kerapatan, frekuensi kehadiran
dan persentase penutupan tertinggi, dan sebaliknya dengan spesies Halophila ovalis. Hasil
analisis status komunitas menunjukan bahwa komunitas lamun pada perairan pantai Rutong,
bagian selatan Pulau Ambon berada dalam kondisi kurang kaya atau kurang sehat.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 414


References
Centron, G. (1984): Methods for Studying Mangrove Structure in the Mangrove Ecosystem
Research Methods. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization.

Dahuri, R. (2003): Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia.


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal 38-52.

English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. (1994): Survey Manual for Tropical Marine Resources.
Australian Institute ofMarine Science. Townsvile.

Kiswara, W. (1999): Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Sumatera Utara. Prosiding
Seminar Kelautan Regional Sumatera Kedua. Fakultas Perikanan. Universitas Bung
Hatta. Padang.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI. No. 200 Tahun 2004. Kriteria Baku Kerusakan
dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun, Jakarta.

Nybakken, J. W. (1992): Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta.

Short, F. T and R. G Coles. (2001): Global Seagrass Research Methods. Elsevier Science B. V.
Amsterdam.

Tupan, Ch. I dan M. Makailipessy. (2006): Potensi Lamun di Perairan Pantai Desa Rutong.
Prosiding Seminar. Potensi dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Hayati Pesisir
Desa Rutong. PS. MSP. FPIK. UNPATTI. Ambon

Tuhumury, S. F. (2008): Status Komunitas Lamun di Perairan Pantai Teluk Ambon Dalam.
Ichthyos. Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Perikanan dan Kelautan. Vol 7.No 2. 85-88

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 415


KUALITAS PERAIRAN TELUK BANTEN UNTUK PERIKANAN TANGKAP
1 12 1
Dini PURBANI* , Agustin RUSTAM , Eva MUSTIKASARI
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
2
Mahasiswa Doktoral Institut Pertanian Bogor
*Email: diniwilnon@gmail.com

Abstract

Banten Bay waters, located at the western tip of the island of Java, is part of the Java Sea with a total surface area of
150 km2 and an average depth of 7 m. In this research, taking as many as 22 water sampling points at different
locations. Water samples were observed for brightness, dissolve Oxigen, temperature, salinity and pH. Meanwhile water
samples for the observation of Chlorophyll-A, Phosphate and Nitrate were done as many as 12 points. Taking samples
were conducted by purposive sampling. The results of the analysis showed the average value for the brightness,
dissolve Oxigen, temperature, salinity and pH is 2.1 m, 6.22 mg / L, 30 , 31.1 ppt and 8.2. Further to the average value
of chlorophyll-a, nitrate (NO3) and Phosphate (PO4) is 1.95 mg / L, 0.04 mg / L and 0.02 mg / L. Water conditions are
very suitable value for fisheries habitat such as pompano, yellow tail, Tembang, Teri, Bloating, Selar and squid are
abundant in July to August (banten.go.id., 2010).
Keywords: Water Quality, Klorofil-a, Nitrat and Phosphat, Catching Fisheries, Banten bay waters

1. Pendahuluan
Wilayah pesisir Utara Propinsi Banten, termasuk Teluk Banten terbentuk sebagai hasil interaksi
kekuatan-kekuatan asal laut dan darat yang bersifat dinamis. Keadaan tersebut tercermin dari
adanya segmen-segmen pantai yang erosional akresi dan stabil yang berlangsung dalam 100
tahun terakhir mengakibatkan terjadi perubahan besar di kawasan tersebut yang dipicu oleh
aktivitas manusia. Disamping itu terjadi pemindahan muara sungai dari Tanjung Pontang ke
kawasan Tengkurak menyebabkan perubahan karakter pantai dari kedua kawasan tersebut.
Kawasan Tanjung Pontang yang semula bersifat ekspansif atau akresi, berubah menjadi
erosional, sedangkan kawasan Tengkurak yang semula relatif stabil, berubah menjadi ekspansif
atau akresi (Setyawan, W.B, 2003). Selain itu aktivitas manusia di daratan pesisir telah
menyebabkan masuknya berbagai bahan pencemar ke perairan pesisir. Perubahan morfologi
pantai dan dinamika di wilayah hulu ditambah dengan aktivitas manusia tersebut akan
berpengaruh terhadap dinamika fluks karbon di wilayah pesisir Banten, termasuk Teluk Banten
yang pada akhirnya akan berpengaruh pada sektor perikanan.

Perairan Teluk Banten memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang berperan penting
dalam perikanan maupun wisata bahari. Potensi sumberdaya alam yang berlimpah antara lain
perikanan laut seperti seperti ikan laut, udang, kerang dan rumput laut. Kelimpahan perikanan
di perairan tersebut dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain kondisi kualitas air juga
konsentrasi Klorofil-a, Nitrat dan Phosphat. Namun perairan Teluk Banten merupakan tempat
bermuaranya beberapa sungai antara lain sungai sungai Domas, Soge, Cikemayungan, Banten,
Pelabuhan, Wadas, Baros, Ciujung, Anyer, Cilid, Kesuban, Baru, Serdang, Suban, Kedungingus
dan Candi sehingga menyebabkan terjadinya sedimentasi yang mempengaruhi kualitas
perairan. Disamping sedimentasi di sekitar Teluk Banten terdapat limbah perkotaan dari kota
Serang dan Cilegon terutama Bojonegoro sehingga mempengaruhi kondisi perairan Teluk
Banten.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perairan dan kondisi kelimpahan ikan di Teluk
Banten. Dari penelitian ini diharapkan apakah perairan tersebut masih dapat layak untuk lokasi
penangkapan ikan atau tidak.

2. Metodologi Penelitian
Perairan Teluk Banten terletak di ujung Barat Laut Pulau Jawa, merupakan bagian dari Laut
2
Jawa dengan luas wilayah permukaan totalnya 150 km dan kedalaman rata-rata 7 m
(Suparjaka, et al. 2010 dalam http://repository.ipb.ac.id). Beberapa aliran sungai kecil yang
bermuara di Teluk Banten, antara lain Sungai Cibeureun, Sungai Cibanten dan Sungai
Cikadueun. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara, di selatan dengan
Kecamatan Kasemen dan Kramatwatu dan di timur berbatasan dengan Kecamatan Pontang

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 416


dan Tirtayasa. Di sebelah utara Teluk Banten berbatasan dengan Laut Jawa. Pulau yang
terletak di perairan tersebut yaitu Pulau Panjang, P. Lima, P. Kambing, P. Kubur, P. Pamujan
Besar, P. Pamujan Kecil, P. Tarahan, P. Kalidua, P. Kalisatu, P. Kemanisan dan P. Cikantung.

Penelitian ini dilakukan Bulan Juli 2010 hingga November 2010. Secara geografis, Teluk Banten
berada pada koordinat 5 55 6 1 LS dan 106 5 106 15 BT, sedangkan secara
administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Serang, Propinsi Banten (Gambar 1).

Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Pengamatan yang dilakukan untuk kualitas air meliputi kecerahan, oksigen terlarut (Dissolve
Oxigen/DO), suhu permukaan, salinitas dan pH (Gambar 2). Contoh air yang diamati berjumlah
22 titik secara purposive sampling. Setelah itu dengan menggunakan alat multiparameter merk
YSI 556 MPS dilakukan pengukuran parameter yaitu: 1. pH, 2. DO, 3. temperatur dan 4.
salinitas. Disamping itu diukur juga kecerahan perairan menggunakan Seichidisk. Proses
selanjutnya pengambilan air sedalam 1 m menggunakan Vandom untuk mengukur klorofil-a,
nitrat dan phosphat. Titik pengambilan contoh air berjumlah 12 titik dilakukan juga secara
purposive sampling. Parameter tersebut digunakan untuk mengukur kelimpahan ikan sesuai
dengan baku mutu untuk wisata bahari dan biota yaitu KepmenLH No. 51 tahun 2004.
a b

d c

Gambar 2. Pengambilan sampel air menggunakan alat terdiri dari: a dan b. multiparameter
merk YSI 556 MPS, c. seichidisk dan d. vandorn

3. Hasil dan Pembahasan


Hasil pengamatan kualitas air di 22 titik pengamatan yang diamati menggunakan alat
multiparameter merk YSI 556 MPS, diperoleh nilai rata-rata, maksimum, mnimum dan standar
deviasi seperti tertera pada Tabel 1.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 417


Tabel 1. Nilai Kualitas Air Titik Pengamatan
Salinitas
Keterangan Kecerahan (m) DO (mg/L) Temperatur (C) () pH
Rerata 2.10 6.18 30.00 31.10 8.18
Standar
deviasi 1.06 0.48 0.43 0.57 0.10
Maksimum 3.51 6.88 30.87 31.74 8.31
Minimum 0 4.72 29.31 29.05 7.85

Titik pengamatan kecerahan, DO, suhu permukaan laut, salinitas dan pH dituangkan dalam
bentuk keruangan agar dapat diketahui sebaran masing-masing parameter kualitas air. Sebaran
pengamatan dari kecerahan, DO, suhu permukaan laut, salinitas dan pH dapat terlihat di
gambar 3,4,5,6 dan 7. Pada gambar 3 atau peta 1 (Peta Sebaran Kecerahan) menunjukkan
kisaran kecerahan dari 0,72 m-5,58 m. Pola sebaran bergradasi dari nilai kecerahan 0,72 m
yang berada di pesisir menuju perairan lepas kecerahan meningkat menjadi 5,58 m. Fenomena
ini kemungkinan diakibatkan oleh sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk
Banten. Warna perairan di pesisir Teluk Banten berwarna hijau, lebih keruh disekitar muara
sungai, dan biru tua menuju laut lepas (Bapedal, 2006 dalam http://repository.ipb.ac.id). Nilai
kecerahan berangsur-angsur meningkat ke arah laut lepas, dimana pengaruh sedimentasi
sudah berkurang (Gambar 3).

Selanjutnya sebaran oksigen terlarut yang dilustrasikan pada gambar 4 (Peta Sebaran Dissolve
Oksigen/DO) memperlihatkan kisaran nilai DO 5,4 mg/L-6,74 mg/L. Kontur sebaran nilai 5,4
mg/L berada di sisi barat dekat dengan daratan Bojonegara nilai berangsur-angsur menjadi
tinggi di selatan dekat dengan pesisir daratan Banten. Hal ini disebabkan karena di pesisir
Banten tempat bermuaranya sungai dari Kab Serang dan Cilegon yang melarutkan limbah baik
dari industri maupun perumahan sehingga meningkatkan nilai Oksigen terlarut (DO).
o o
Ulasan berikutnya suhu permukaan laut memiliki kisaran 29,67 C-30,46 C (Gambar 5). Suhu
o
permukaan laut berada di dekat pesisir memiliki suhu 30,46 C suhu tersebut berangsur-angsur
o
menurun menuju laut lepas menjadi 29,67 C. Kondisi demikian diakibatkan di wilayah pesisir
menerima berbagai limpahan dari daratan dan muara sungai yang mengakibatkan tingginya
suhu permukaan laut, namun semakin menjauh dari pesisir suhu permukaan laut menurun.
Hasil pengukuran suhu air laut di perairan sekitar Teluk Banten yang dilakukan oleh
Departemen Kelautan tahun 2002 (Bapedal, 2006 dalam http://repository.ipb.ac.id) berkisar
antara 30 32 C. Suhu tersebut dipengaruhi oleh kondisi meteorologi daerah seperti curah
hujan, penguapan, arus serta intensitas radiasi matahari

Sebaran salinitas memiliki kisaran 29,59 ppt-31,74 ppt (Gambar 6). Kadar salinitas di pesisir
timur Teluk Banten rendah (25,59 ppt). Namun berangsur-angsur kadar salinitas meningkat di
sisi barat teluk Banten yaitu daratan Bojonegoro dan pesisir Banten. Meningkatnya salinitas
disebabkan limpahan dari pesisir dan tempat bermuaranya sungai-sungai. Salinitas di perairan
sekitar Teluk Banten berkisar antara 32-34 . Salinitas tertinggi terjadi pada bulan Mei-Juni dan
terendah terjadi pada bulan Januari-Februari. Hal ini terkait dengan debit air tawar yang masuk
ke perairan laut yang sejalan dengan variasi curah hujan (Bapedal, 2006 dalam
http://repository.ipb.ac.id).

Pengamatan kualitas air untuk pH secara umum diatas 7 yang dapat diartikan perairan Teluk
Banten bersifat basa. Nilai pH semakin mendekati pesisir Teluk Banten tingkat kebasaan tinggi
yaitu 8,30 nilai tersebut semakin menurun menuju laut lepas menjadi 7,94 (Gambar 7).

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 418


Gambar 3. Peta Sebaran Kecerahan Gambar 4. Peta Sebaran Oksigen Terlarut
(Dissolve Oxigen)

Gambar 5. Peta Sebaran Suhu Permukaan Gambar 6. Peta Sebaran Salinitas

Gambar 7. Peta Sebaran pH

Nilai dari setiap parameter kualitas air kemudian dirata-ratakan untuk mengetahui secara umum
kondisi perairan di Teluk Banten apakah masih sesuai dengan nilai baku mutu kualitas air KLH
2005. Hasil perhitungan rata-rata tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai Rata-rata Kualitas Air disebandingkan dengan Nilai Kualitas Air Baku KLH
No Parameter Kualitas Air di Nilai Rata-rata Kualitas Air Nilai Kualitas Baku Air
Teluk Banten di Teluk Banten
coral >5
1 Kecerahan 2.10
lamun<3
coral 28-30
o
2 Temperatur C 30.00 lamun 28-30
mangrove 28-32
3 DO (mg/L) 6.18 >5
4 pH 8.18 pH 7-8.5

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 419


5 Sal (ppt) 31.10 coral 33-34
mangrove s/d 34
lamun 33-34

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan perairan Teluk Banten sesuai untuk perikanan
tangkap karena nilai parameter kualitas air sesuai dengan nilai baku mutu dari KLH. Setelah
dilakukan pengambilan contoh kualitas air di 22 titik, tahap berikutnya pengambilan contoh
untuk Klorofil-a, Nitrat dan Phosphat untuk mengetahui kesuburan peraiaran. Hasil analisis
laboratorium menunjukkan nilai maksimum Klorofil-a: 10.79 g/L, Nitrat: 0,08 mg/L dan
Phosphat: 0,041 mg/L.

Pola sebaran klorofil-a, nitrat dan phosphat ditujukkan dalam gambar 8,9 dan 10. Kisaran
klorofil-a 0,36-10,79 g/L, nilai klorofil-a tertinggi berada di sisi timur Teluk Banten mendekati
pesisir dan nilai terendah berada di selatan (Gambar 8). Fenomena ini berkaitan dengan suhu
permukaan laut (spl). Tampak pada gambar 5 (Peta SPL) di sisi timur bagian atas memiliki suhu
o
terendah yaitu 29,67 C namun nilai kloril-a tertinggi yaitu 11,19 g/L. Hasil penelitian Kunarso
et al. 2011 Jauh dekatnya pergerakan SPL terendah dan klorofil-a tinggi tampak dipengaruhi
nilai IOD (Indian Oscillation Dipole Mode).

Selanjutnya pola sebaran nitrat (NO3) kisaran nilai 0,00-0,08 mg/L, nilai terendah berada di laut
lepas berangsur-angsur meningkat mendekati sisi timur bagian bawah Teluk Banten (Gambar 9).
Hal ini disebabkan karena banyaknya aktivitas di sisi timur bagian bawah Teluk Banten
sehingga meningkatkan nilai nitrat dibandingkan dengan di utara mendekati Pulau Panjang nilai
nitrat rendah.

Ulasan berikutnya phosphat (PO4) memiliki kisaran 0,00-0,04 mg/L. Pola sebaran phosphat nilai
terendah 0,02 mg/L berada di laut lepas namun mendekati pesisir nilai meningkat menjadi 0,04
mg/L. Hal ini disebabkan karena di pesisir kemungkinan dipengaruhi oleh arus laut yang
membawa fitoplankton. Penelitian ini hanya mengamati dipermukaan tidak kedalaman laut,
sehingga nilai phosphat rendah.

Gambar 8. Peta Sebaran Klorofil-a Gambar 9. Peta Sebaran Nitrat

Gambar 10. Peta Sebaran Phosphat

Pengamatan ini bersifat temporal sehingga untuk melihat perikanan tangkap perlu pengamatan
bersifat musiman. Kondisi perikanan tangkap di Teluk Banten pada umunya peperk, teri, lemuru,

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 420


tongkol, tembang, tenggiri, pari, manyung. Musim tangkap April hingga Oktober dengan puncak
musim Agustus hingga September. Sedangkan Kabupaten Cilegon pada umumnya kuwe, ekor
kuning, tembang, teri, kembung, selar, cumi. Musim tangkap April hingga Oktober dengan
puncak musim Juli hingga Agustus(banten.go.id. 2010). Alat tangkap yang digunakan oleh
masyarakat salah satunya menggunakan keramba jaring apung (Gambar 11).

Gambar 11. Keramba jaring apung berada dekat stasiun TOA 20

4. Kesimpulan
Memperhatikan pengamatan kualitas air (kecerahan, oksigen terlarut, suhu permukaan laut,
salinitas dan pH) dan kandungan klorofil-a, nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) yang diamati pada
bulan Juli 2010 maka dapat dikatakan bahwa:
1. Kecerahan air meningkat di laut lepas namun menurun di pesisir selatan Teluk Banten
2. Oksigen terlarut (DO) meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun menurun di sisi
barat Teluk Banten
3. Suhu permukaan laut (SPL) meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun menurun
di laut lepas
4. Salinitas meningkat di laut lepas namun menurun di sisi timur bagian atasTeluk Banten
5. pH meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun meningkat di laut lepas
6. Klorofil-a meningkat di sisi timur bagian atas Teluk Banten namun menurun di pesisir
selatan Teluk Banten
7. Nitrat meningkat di sisi timur bagian bawah Teluk Banten namun menurun di sekitar
Pulau Panjang
8. Phosphat meningkat di pesisir selatan Teluk Banten namun menurun di laut lepas.
9. Nilai kualitas air secara garis besar berada dalam kisaran layak untuk perikanan
tangkap. Diindikasikan banyak terdapat keramba jaring apung, hasil tangkapan ikan
pada umunya ikan pelagis kecil pada musim April hingga September.

Saran
Diperlukan pengamatan dalam empat musim yaitu: musim barat, peralihan1, musim timur dan
peralihan 2 untuk pengamatan kualitas perairan, serta kondisi oseanografi, sehingga dapat
diketahui pola kualitas perairan pada daerah pesisir untuk mengetahui tingkat kesuburan
perairan. Lebih lanjut dilakukan berdasarkan harian terkait dengan pasang surut dan
berkesinambungan sehingga dapat dilakukan suatu pemodelan untuk memprediksi sistem
kualitas perairan dan tingkat kesuburan lebih akurat.

Ucapan Terima Kasih


Penelitian ini didanai oleh Kementrian Riset dan Teknologi melalui skema dana hibah penelitian
tahun 2010. Peralatan yang digunakan selama survey lapangan didukung oleh Puslitbang
Sumberdaya Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan. Kepada seluruh anggota tim
penelitian Optimalisasi data fisik perairan untuk kajian kelimpahan dan jenis ikan di Teluk
Banten tahun 2010 serta nelayan lokal yang telah menyediakan perahu serta bantuan tenaga
selama survei lapangan kami ucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.
References

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 421


Bakosurtanal. (1999) Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), Lembar 1110-09, Teluk Banten.
Cibinong.
banten.go.id. (2010) Profil Provinsi Banten, www.banten.go.id (diunduh tanggal 2 Oktober 2010).
http://repository.ipb.ac.id) diunduh tanggal 15 Oktober 2012)
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). 2004. Keputusan Menteri KLH No. 51/2004
Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
Kunarso, S Hadi, NS Ningsih, MS Baskoro. 2011. Variabilitas Suhu dan Klorofil-a di Daerah
Upwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di Perairan Selatan Jawa sampai
Timor. Journal Ilmu Kelautan September 2011. Vol. 16 (3) 171-180.
Setyawan, W.B. dkk. 2003. Studi Karakteristik Garis Pantai Propinsi Banten. Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. Jakarta.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 422


Lampiran 1

Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut
No Parameter Satuan Baku Mutu Wisata Baku Mutu Biota
Bahari Laut
Fisika
1. Warna Pt, Co 30 -
3
2. Bau Tidak berbau alami
3. Kecerahan m >6 Coral: > 5
Mangrove:-
Lamun: > 3
a
4. Kekeruhan ntu 5 <5
b
5. Padatan tersuspensi total mg/l 20 Coral: 20
Mangrove:80
Lamun: 20
c o 3( c) 3( c)
6. Suhu C alami alami
Coral: 28 - 30
Mangrove:28- 32
Lamun: 20 -30

Kimia
d ( d) ( d)
1. pH - 7 - 8,5 7 - 8,5
e 3( e) 3( e)
2. Salinitas %o alami alami
Coral: 33 -34
Mangrove:s/d 34
Lamun: 33 - 34
3. Oksigen Terlarut (DO) mg/ >5 >5
4. Fosfat (PO4-P) mg/l 0,015 0,015
5. Nitrat (NO3-N) mg/l 0,008 mg/l 0,008 0,008

Keterangan:
a Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic
b Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman
c Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami
d Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH
e Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 423


PROGRAM HI-LINK : BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT UNTUK
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR KAB.
PROBOLINGGO
*1 2 1 4 5
Eko NURMIANTO , Dedi ISWANDY , Haryo D. ARMONO , Damanhuri , Titiek INDHIRA A. ,
1
Nugroho P. NEGORO
1
Jurusan Teknik Industri FTI - ITS, Surabaya
*E-mail: nurmi@sby.centrin.net.id
2
Dinas Perikanan dan Kelautan, Kab Probolinggo
3
Jurusan Teknik Kelautan FTK - ITS Surabaya
4
UD MAWAS Surabaya
5
Jurusan Perikanan, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, UHT, Surabaya

Abstract

Probolinggo is one from many cities in East Java which have great potention to develop seaweed cultivation because it
has 44,5 miles of shore line and 178 mi2 wide area. The potention in Probolinggo are yet to developing, Our institute
(Sepuluh Nopember Institute of Technology) have some research about seaweed cultivation, so we suggest Hi-Link
Program to improve the prosperity for the occupant in the coast of Probolinggo. On Hi-Link Program, ITS in cooperate
with UD MAWAS as industry partner to acquire high quality seaweed and Hang Tuah Unoversity as institute partner
which have facility keraginan extraction training. First step, ITS will introduce a seaweed cultivation methods which more
effective and efficient which is rakit long line. Rakit Long line is made from High Density Polyethilene (HDPE) and
develop post-harvest handling to acquire higher quality seaweed. Secondly, Our institute will improve the building
capacity of the population in Coast of Probolinggo by creating smaller groups to process the food product based on
seaweed in expectation that seaweed in Probolinggo not only sale in the form of rough ingredients.Third year, those
smaller groups will develop with the made of the mini plant product which will be the icon of particular product belong to
Probolinggo City. Third Year, those small groups will developing with the construction of seaweed mini plant which can
be the icon of Probolinggo city particular product.
The advantage of Hi-Link Program :
1. Cooperation model of research based technology application between ITS UD MAWAS Dinas
Kelautan dan Perikanan Pemda Kab Probolinggo
2. The increase of Seaweed cultivation business unit
3. Improvement of building capacity in Probolinngos coast occupant through the form of UMKM and
establishment of Seaweed Mini plant.
4. ITS as the proposer can will improve partnership with local state goverment and the industries related
5. Increased competitiveness of UD MAWAS in industrial development food product based on seaweeds
6. Prosperity improvement in the coast occupant as the improving of their seaweed cultivation skills

Keywords : seaweed cultivation development, rakit long line methods from the High Density Polyethilene
(HDPE), seaweed based food product, population prosperity, coast of Probolinggo City

1. Pendahuluan
1.1. Profil dan Kebutuhan Industri Mitra (UD. Mawas)
UD Mawas adalah suatu unit usaha yang bergerak dibidang rumput laut, unit usaha ini didirikan
pada tahun 1995 oleh H. Damanhuri dengan modal pribadi saat itu sebesar 3,2 juta rupiah.
Awal produksi adalah rumput laut kering yang di budidaya di daerah Banyuwangi tepatnya di
daerah Rajakwesi dengan kapasitas produksi pada saat itu mencapai 28 ton pertahun dengan
luas area 2 ha, selanjutnya budidaya berkembang ke daerah Wongsorejo dengan luas area 4
ha produksi mencapai 60 ton per tahun rumput laut kering dengan kualitas ekspor. UD Mawas
terus melakukan ekspansi budidaya rumput laut sampai di daerah di luar pulau jawa salah
satunya di Lampung dengan total produksi rumput laut kering kualitas ekspor sebesar 140 ton
per tahun dengan rata-rata panen 35 ton rumput laut kering. Selanjutnya dengan semakin
tingginya permintaan bahan baku rumput laut kering di pasar internasional maka UD Mawas
kembali mengembangkan budidaya rumput laut di daerah Pacitan-Jawa Timur dengan
kapasitas produksi mencapai 45 ton rumput laut kering setiap panen atau 180 ton per tahun.
Awal produksi rumput laut kering UD Mawas hanya memiliki 11 orang tenaga kerja (budidaya
rumput laut) kemudian berkembang menjadi 22 orang. Peningkatan usaha budidaya rumput
laut disebabkan karena mudah, lahan yang tersedia cukup luas, masa panen relatif singkat dan
harga jual yang relatif tinggi.

UD Mawas memiliki obsesi untuk dapat mengubah badan usahanya dari UD menjadi CV,
namun ada kendala-kendala yang dialaminya diantaranya adalah masalah pemodalan,

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 424


pemasaran, kualitas SDM serta teknologi. Selain itu UD Mawas juga mempunyai ancaman
akan munculnya industri kompetitor produk sejenis. Oleh karena itu UD Mawas bersedia
menjadi industri mitra dalam program Hi-Link yang diusulkan oleh ITS dengan harapan produksi
dan pemasaran UD Mawas dapat berkembang maju. ITS adalah salah satu perguruan tinggi
negeri di Surabaya yang memiliki pengalaman penelitian tentang rumput laut mempunyai
peluang untuk dapat melaksanakan program Hi-Link agar dapat membantu industri mitra.
Kontribusi UD Mawas dalam program Hi-Link adalah menyediakan tempat dan fasilitas
pelatihan pengolahan produk rumput laut bagi masyarakat Kabupaten Probolinggo sebagai
mitra pemda dalam program Hi-Link.

1.2. Profil dan kebutuhan pemda (Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Probolnggo)
Kabupaten Probolinggo (Gambar 1) merupakan salah satu kabupaten yang berada di Propinsi
2
Jawa Timur dengan luas wilayah 56.667m , dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan. Luas
kawasan Laut dan Pesisir Kabupaten Probolinggo + 13.593,83 ha atau 9,07 % dari luas daratan
dengan panjang pantai 71,6 km. Wilayah yang termasuk dalam kawasan pantai meliputi
wilayah 7 kecamatan, 34 desa dan 1 pulau. Potensi sumberdaya alam ini cukup besar dan
merupakan modal pembangunan yang potensial untuk dikembangkan dengan menerapkan
prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu keragaman sumberdaya alam laut
dan pesisir yang sangat menunjang kehidupan masyarakat pantai adalah potensi perikanan
tangkap dan budidaya rumput laut.

Budidaya rumput laut di Kabupaten Probolinggo mulai dikembangkan sejak tahun 2007 yang
terkonsentrasi di Kecamatan Sumberasih, Kecamatan Dringu dan Kecamatan Gending.
(Gambar 2) Produksi rumput laut di Kabupaten Probolinggo meningkat setiap tahun seperti
yang disajikan pada Tabel 1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Probolinggo sangat
mendukung perkembangan budidaya rumput laut, hal ini tercantum dalam laporan anggaran
tahunan yang selalu melaksanakan program peningkatan budidaya rumput laut. Pada tahun
2011 dinas Perikanan dan Kealutan Kab. Probolinggo melaksanakan program pengembangan
usaha udidaya rumput laut, dengan anggaran (DAU + DAK) sebesar Rp. 184.000.000,- realisasi
Rp. 181.200.000,- dipergunakan untuk pengadaan sarana angkut/ panen rumput laut,
pengadaan sarana budidaya rumput laut (Anonymous, 2011).

Tabel 1. Produksi Rumput Laut Kering di Kabupaten Probolinggo


Tahun Luas Area Volume Nilai (Rp)
(ha) (ton)
2007 1,6 169,3 107.386.000
2008 1,0 121,1 94.250.000
2009 1,2 123,1 156.020.000
2010 2,4 203,5 440.245.000
2011 2,7 307,08 444.563.000
Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Probolinggo

Selama perjalanan waktu, jumlah pembudidaya rumput laut mengalami penurunan hal ini
disebabkan karena penurunan motivasi pembudidaya. Sampai tahun 2012 hanya dua desa
yang masih aktif melakukan kegiatan budidya yaitu Desa Gending dan Desa Banjarsari.
Permasalahan yang dihadapi oleh pembudidaya adalah cuaca, pada umumnya petani budidaya
rumput laut melakukan aktifitas penanaman bibit rumput laut pada bulan Mei sampai dengan
Nopember. Bulan Desember sampai dengan bulan April cuaca sangat tidak mendukung yaitu
angin bertiup kencang dan gelombang tinggi, kondisi ini sangat merugikan petani rumput laut
karena bibit yang mereka tanam terbawa oleh arus. Metode budidaya rumput laut yang
dilakukan oleh masyarakat adalah metode rakit

1.3. Profil perguruan tinggi mitra dan fungsi keterlibatannya


Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya sebagai Perguruan Tinggi Swasta milik Tentara
Nasional Angkatan Laut (TNI AL) memiliki komitmen tinggi di bidang kelautan. UHT memiliki
fakultas/jurusan yang orientasinya adalah bidang kelautan. Sehingga sesuai dengan bidang
keahlian para staf pengajar dan fasilitas yang dimiliki oleh kampus tidak terlepas dari bidang

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 425


kelautan. Dengan demikian ketika terjadi permasalahan pada masyarakat di sekitar wilayah
pesisir, terutama bila lokasinya tidak jauh dari kampus, maka para staf pengajar UHT tergerak
untuk mengajukan Usul Kegiatan sesuai dengan potensi dan permasalahan masyarakat
setempat.

Jurusan Perikanan salah satu jurusan di Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan UHT yang
memiliki Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan (Lab. PHP). Berbagai kegiatan pelatihan
khususnya pelatihan tentang pengolahan hasil perikanan termasuk ektraksi karaginan dari
rumput laut skala laboratorium dapat dilakukan di Lab. PHP yang memiliki fasilitas dan
peralatan lengkap untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Perguruan Tinggi UHT telah
beberapa kali melaksanakan kegiatan yang terkait dengan bidang kewirausahaan dan
penerapan ipteks.

1.4. Tujuan
Secara umum program yang di usulkan dapat meningkatkan taraf hidup (aspek ekonomi)
masyarakat pesisir Probolinggo dengan memanfaatkan sumberdaya pesisirnya.melalui
penerapan teknologi yang dimiliki perguruan tinggi (ITS) dalam budidaya rumput laut. Hal ini
berarti juga meningkatkan capacity building ITS dalam mengaplikasikan teknologi yang
dimilikinya.
Secara khusus program ini bertujuan untuk :
1. Meningkatkan capacity building masyarakat pesisir Kab Probolinggo dalam penerapan
teknologi temuan Perguruan Tinggi yang dibutuhkan dalam budidaya, pengolahan dan
pemasaran rumput laut hasil budidaya;
2. Menciptakan pola budidaya dan pengelolaan rumput laut oleh masyarakat secara
berkelanjutan dan institusional;
3. Mewujudkan kemitraan antara industri dan masyarakat budidaya rumput laut untuk
memperkuat daya saing;
4. Membangun capacity building masyarakat melalui UMKM sebagai inkubator bisnis dan
mini palnt sebagai sarana produksi produk rumput laut khas Probolinggo.

1.5. Manfaat
Dengan perbaikan metode Budidaya Rumput Laut di masyarakat pesisir Kab. Probolinggo,
dalam kegiatan ini diharapkan dapat terjadi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat
pesisir pembudidaya rumput laut melalui kerjasama antara mitra industri dengan lembaga yang
dibentuk masyarakat pesisir.(kelompok tani / UMKM). Selanjutnya diharapkan dapat terjadi
peningkatan daya saing dan keunggulan lokal dalam kegiatan budidaya rumput laut di pesisir
kabupaten Probolinggo..

Bagi Kabupaten Probolinggo sendiri, kegiatan ini sangat bermanfaat dan mendukung program
kerja Dinas Kelautan dan Perikanan yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga
yang bertanggung jawab pada Bupati untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir melalui
kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang lestari. Industri rumput laut merupakan industry
yang ramah lingkungan dan zero waste product, karena hasil limbah pengolahan rumput laut
pun masih dapat di olah menjadi pupuk yang bermanfaat.

2. Konsep Program
2.1. Penerapan Teknologi Pada Industri Mitra dan Masyarakat
2.1.1. Tahun Pertama
Pada tahun pertama program Hi-Link akan membenahi sistem budidaya rumput laut di Desa
Banjarsari yang meliputi perbaikan metode budidaya, pembinaan pemeliharaan, pembinaan
pasca panen dan administrasi kelompok pembudidaya rumput laut. Perbaikan metode budidaya
dengan diseminasi teknologi budidaya rumput laut dengan metode rakit long line yang gterbuat
dari bahan HDPE. Dalam kegiatan ini, bambu sebagai material utama budidaya rakit rumput
laut diganti dengan material HDPE. Material ini memang relative lebih mahal dibanding dengan
bambu, namun memiliki fleksibilitas, kekuatan dan daya tahan yang cukup bagus, bahkan
mampu bertahan hingga 50 tahun. Dengan penggunaan material HDPE untuk budidaya rumput
laut, petani tidak akan disibukkan dengan kegiatan penggantian bambu tiap tahun, sehingga
mereka akan lebih berkonsentrasi pada upaya pembibitan, perawatan dan pasca panen. Uji

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 426


kekuatan material HDPE dan konstruksinya untuk budidaya rumput laut akan dilakukan di
saluran gelombang Jurusan Teknik Kelautan. Dengan pengujian model, akan dapat dirancang
metode budidaya rumput laut yang tahan terhadap gelombang dan cuaca yang menjadi
masalah utama petani rumput laut di Kab. Probolinggo

2.1.2. Tahun Kedua


Menteri Kelautan dan Perikanan menegaskan, pihaknya akan membatasi ekspor rumput laut
dalam bentuk kering ("dried seaweed") pada tahun 2012 untuk mendorong tumbuhnya industri
pengolahan rumput laut dalam negeri. Hingga tahun 2008, sebagian besar ekspor rumput laut
adalah dalam bentuk kering dan bukan dalam bentuk olahan oleh pihak pengusaha Indonesia
(Anonymous, 2012). Kebijakan pemerintah tentang larangan ekspor rumput laut dalam bentuk
raw material (bahan baku kering) mendorong kami untuk memberikan pelatihan tentang
pengolahan rumput laut sehingga program Hi-Link pada tahun kedua adalah pembinaan
pengolahan rumput laut yang meliputi pelatihan dasar pengolahan rumput laut menjadi produk
setengah jadi (intermediate product) yang dibutuhkan industri yaitu pelatihan dasar tentang
ekstraksi rumput laut menjadi ATC (Alkali Treated Cottonii) dan karaginan yang akan
dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Universitas Hang Tuah, Surabaya.
Selain itu akan dibina pula tentang pengolahan rumput menjadi berbagai produk pangan yang
dapat dikembangkan menjadi produk unggulan daerah khas Probolinggo. Pelatihan pengolahan
rumput laut menjadi produk makanan akan dilaksanakan di UD Mawas yang memiliki fasilitas
produksi skala home industri.

2.1.3. Tahun Ketiga


Pembangunan miniplant. Mini-plant chips processing dengan syarat sebagai berikut:
dilakukan di dekat sentra budidaya, perlu dibuat prototype lebih dahulu untuk untuk menjamin
kesiapan teknologi, dan dapat dimiliki oleh kelompok.

3. Metode implementasi
Paparan kegiatan program secara rinci dalam 3 tahun duraikan sebagai berikut :
Pada tahun pertama, diseminasi teknologi budidaya rumput laut, meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan motivasi kelompok pembudidaya rumput laut. Masyarakat akan mulai
mengetahui akan pentingnya rumput laut dan mengetahui cara budidaya dan penanganan
pasca panen rumput laut yang benar. Pada tahun pertama, diharapkan kelompok-kelompok
budidaya rumput laut termotivasi untuk meningkatkan produksi dan kualitas hasil panennya.
Teknologi budidaya rumput laut yang akan diintroduksikan pada masyarakat adalah rakit long
line yang terbuat dari bahan HDPE. Rakit ini memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan
rakit bambu yang selama ini digunakan oleh para pembudidaya. Dengan pembinaan perawatan
selama budidaya rumput maka akan meningkatkan produksi rumput laut baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya. Sebelum memasuki tahun kedua, untuk menciptakan sebuah program
yang berkelanjutan, dilaksanakan evaluasi program pada tahun pertama. Hal ini dilakukan
untuk memastikan bahwa masyarakat telah siap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya.

Pada tahun kedua, program diarahkan untuk memperkenalkan kepada masyarakat mengenai
pengolahan rumput laut pasca panen. Masyarakat akan diperkenalkan dengan produk-produk
yang bisa dihasilkan dari bahan dasar rumput laut dan intermediate product yang berupa ATC
dan karaginan. Pada tahun ini, diharapkan muncul UMKM-UMKM pengolah hasil budidaya
rumput laut. Seperti pada tahun sebelumnya, akan dilakukan pula evaluasi terkait pengolahan
hasil budidaya rumput laut ini. Jika masyarakat sudah siap, maka di tahun ketiga UMKM yang
sudah terbentuk akan diarahkan untuk berkembang menjadi lebih besar. Mereka akan dibekali
berbagai ilmu, termasuk mekanisasi proses dan strategi pemasaran untuk memasarkan produk-
produk mereka.

Pada tahun ketiga. Berkembangnya pemasaran produk olahan rumput laut yang dihasilkan
oleh UMKM yang teebentuk pada tahun II mendorong tim Hi-Link untuk memibangun Mini Plant
Rumput Laut sebagai sarana untuk meningkatkan produksi. Mini plant dirancang untuk
memproduksi berbagai jenis olahan makanan yang terbuat dari rumput laut selain itu juga akan
dirancang untuk memproduksi produk semi refine carrageena (SRC). Pembangunan mini plant
dilakukan dalam 3 tahap yaitu tahap pertama adalah sosialisasi kepada masyarakat yang

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 427


bertujuan agar masyarakat ikut berperan aktif dalam keberlangsungan mini plant, tahap kedua
adalah pengadaan beberapa sarana produksi yang dibutuhkan baik untuk produski produk
makanan maupun sarana produksi SRC dan tahap ketiga adalah pembuatan sistem
pengolahan limbah. Dengan dibangunnya mini plant ini di harapkan harga jual rumput laut
menjadi stabil karena rumput laut tidak jatuh ke pihak pengepul sehingga kesejahteraan
kelompok pembudidaya rumput laut meningkat. Skenario implementasi program di atas (tahun
I tahum III) diawali dengan survey ke lokasi budidaya rumput laut di Kab Probolinggo.

3.1. Survey Lokasi dan Penentuan Program Kegiatan


Dalam rangka penyusunan proposal ini seluruh tim (ketua dan anggota) telah mengadakan
rapat koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan (Diskanla) Kab. Probolinggo pada hari
Selasa tanggal 28 Maret 2012. Dalam rapat tersebut telah dibahas agenda persiapan
penyusunan program kegiatan dalam proposal Hi-Link berdasarkan potensi yang dimiliki daerah
setempat dan problem yang mereka hadapi. Kab. Probolinggo memiliki potensi budidaya
rumput laut namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Masyarakat pada
umumnya menjual rumput laut dalam bentuk rumput laut basah sehingga nilai jualnya relatif
rendah. Rapat koordinasi tim Hi-Link dengan Kepala Dinas beserta staff

3.2. Implementasi Program


3.2.1. Sosialisasi Program
Sosialisasi program perlu dilakukan agar seluruh pihak yang terkait dalam hal ini adalah pemda
khususnya dinas kelautan dan perikanan Kab. Probolinggo, warga petani rumput laut
mengtahui dengan jelas program kegiatan yang akan diselenggarakan. Tujuan sosialisasi ini
adalah agar program berjalan sesuai jadwal yang direncanakan oleh tim Hi-Link dan disertai
dengan peran aktif masyarakat.

3.2.2. Konstruksi Rakit HDPE


Konstruksi rakit long line berbahan HDPE dibuat sesuai dengan kontruksi yang telah diaplikasi
di perairan Pulau Panjang, Banten (Gambar 10). Dalam kegiatan ini, bambu sebagai material
utama budidaya rakit rumput laut diganti dengan material HDPE (Gambar 11). Rancangan
Media budidaya dengan HDPe akan dijelaskan pada Bagian 5.6 Aplikasi Teknologi
Baru.Material ini memang relative lebih mahal dibanding dengan bambu, namun memiliki
fleksibilitas, kekuatan dan daya tahan yang cukup bagus, bahkan mampu bertahan hingga 50
tahun. Dengan penggunaan material HDPE untuk budidaya rumput laut, petani tidak akan
disibukkan dengan kegiatan penggantian bambu tiap tahun, sehingga mereka akan lebih
berkonsentrasi pada upaya pembibitan, perawatan dan pasca panen. Uji kekuatan material
HDPE dan konstruksinya untuk budidaya rumput laut akan dilakukan di saluran gelombang
Jurusan Teknik Kelautan. Dengan pengujian model, akan dapat dirancang metode budidaya
rumput laut yang tahan terhadap gelombang dan cuaca yang menjadi masalah utama petani
rumput laut di Kab. Probolinggo

3.2.3. Pelatihan
Pelaksanaan program pelatihan di tiap tahapannya melalui sebuah siklus pelatihan. Siklus
pelatihan ini dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13. Masyarakat akan mendapatkan
pelatihan. Pelatihan ini akan diberikan oleh industri mitra dan juga perguruan tinggi. Perguruan
tinggi akan memberikan teori-teori yang berkaitan dengan program budidaya rumput laut
sedangkan industri mitra akan memberikan materi dan contoh budidaya rumput laut. Industri
mitra akan mencontohkan secara langsung kepada masyarakat mengenai tata cara budidaya
yang benar. Setelah mendapatkan pelatihan, masyarakat akan melaksanakan material yang
sudah diberikan dalam pelatihan tersebut. Selama pelaksanaan, masyarakat akan didampingi.
Pada akhir pelaksanaan tahapan program, akan diadakan evaluasi. Evaluasi ditujukan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dari pelaksanaan program untuk selanjutnya dilakukan
perbaikan.

a. Pelatihan Pengolahan Rumput Laut


Pengolahan Rumput Laut menjadi produk makanan siap konsumsi
Rumput laut akan bernilai ekonomis setelah mendapat penanganan lebih lanjut. Pada
umumnya penanganan pasca panen rumput laut oleh petani hanya sampai pada

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 428


penggeringan saja. Rumput laut kering masih merupakan bahan baku yang harus diolah
lagi. Pengolahan rumput laut kering dapat menghasilkan agar-agar, keraginan atau
alginat, tergantung kandungan yang terdapat di dalam rumput laut. Pengolahan ini
kebanyakan dilakukan oleh pabrik namun sebenarnya dapat juga oleh petani.
Rumput khususnya jenis Eucheuma cottonii merupakan bahan pangan yang memiliki
komposisi proksimat sebagai berikut kadar abu 19,92%, protein 2,80 %, lemak 1,78 %,
serat kasar 7,02 % dan karbohidrat 68,48 %. Sehingga memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi produk makanan yang siap konsumsi. Perkembangan teknologi
mendorong konsumen dalam memilih makanan yang akan dikonsumsinya tidak sekedar
enak tapi juga yang memiliki kesehatan yang tinggi. Hasil penelitian Titiek (2006) dalam
fortifikasi biskuit dengan jus rumput laut E. cottonii diperoleh bahwa kandungan yodium dan
serat biskuit secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan biskuit kontrol.
Dalam program Hi-Link petani rumput laut di Kab Probolinggo akan diberi pelatihan tentang
penangan pasca panen dan pengolahan produk makanan dari rumput laut. Pelatihan
pengolahan rumput laut yang diselenggarakan meliputi pelatihan pengolahan dodol rumput
laut, pengolahan jelly rumput laut, pengolahan minuman rumput laut dan beberapa produk
makanan lainnya yang berbasis rumput laut. Tingginya permintaan produk makanan dari
rumput laut mendorong tim Hi-Link ITS mengadakan pelatihan pengolahan rumput laut.
Pelaithan ini akan melibatkan 120 orang dan akan diselenggarakan di industri pengolahan
rumput laut yaitu UD Mawas. Dalam pelaksanaan pelatihan peserta akan dibagi ke dalam 6
kelompok sehingga masing-masing kelompok memiliki anggota 20 orang.

Pengolahan rumput laut menjadi intermediate Product (ATC dan Karaginan)


ATC (Alkali Treated Cottonii) adalah rumput laut khususnya dari jenis Eucheuma cottonii
yang diberi perlakuan alkali dan dikeringkan sehingga menjadi bahan baku pembuatan
karaginan. Karaginan adalah produk hidrokoloid yang diekstrak dari rumput laut jenis
Eucheuma cottonii atau Eucheuma spinosum, karaginan yang diekstrak dari E. cottonii
memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dari pada yang diekstrak dari E. spinosum. Metode
ekstraksi akan berpengaruh terhadap rendemen dan kualitas karaginan yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil penelitian Titiek (2009) metode ekstraksi yang baik adalah metode
ekstraksi dua tahap yaitu tahap I adalah ekstrasi alkali dingin dan tahap II adalah ekstraksi
alkali panas. Hasil ekstraksi dengan metode ini memperoleh rendemen dan nilai derajd
putih yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode satu kali ekstraksi.

ATC dan karaginan merupakan intermediate product yang dibutuhkan industri besar baik
industri dalam negeri maupun luar negeri. Kebijakan pemerintah yang membatasi ekspor
rumput laut dalam bentuk bahan baku kering mendorong tim Hi-Link untuk memberikan
pelatihan dasar tentang pengolahan rumput laut menjadi ATC dan karaginan. Tujuan
pelatihan ini adalah meningkatkan kualitas rumput laut yang hasilkan oleh petani rumput
laut di Kab. Probolinggo agar dapat mengolah rumput laut hasil panennya menjadi ATC dan
karaginan. Pelatihan ini akan diselenggarakan pada tahun kedua untuk 120 orang yang
akan di bagi dalam 6 kelompok, masing-masing kelompok memiliki anggota 20 orang.
Pealtihan akan diselenggarakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan UHT,
Surabaya.
b. Pelatihan Kewirausahaan
Pelatihan kewirausahaan dalam program Hi-Link ini dilatarbelakangi oleh adanya beberapa
kelemahan yang dimiliki oleh pembudidaya rumput laut diantaranya : ketrampilan dan Mental
SDM yang masih rendah, tenaga penjualan lemah dan kurangnya modal usaha baik finansial
dan non-finansial.
Tujuan program pelatihan ini (Eko Nurmianto dkk, 2005) secara umum antara lain :
mengembangkan kompetensi berwirausaha, mengembangkan kemampuan budidaya rumput
laut dan mengembangkan jaringan pemasaran. Berbagai macam pelatihan rumput laut yang
telah dipersiapkan dan telah pernah dilakukan sebelumnya meliputi beberapa pelatihan antara
lain : Pelatihan Life Skill, Pelatihan Dasar Dasar Manajemen, Pelatihan Proses Produksi,
Pelatihan Desain Logo dan Kemasan, Pelatihan Quality Function Deployment, Pelatihan
membuat rencana bisnis

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 429


3.3. Inkubasi bisnis dan teknologi
Inkubasi bisnis dan teknologi dalam Program Hi-Link ini dapat dilakukan dengan cara
mengawasi proses bisnis UMKM Rumput Laut hasil binaan ITS sambil mengawaasi secara rutin
proses budidayanya. Proses bisnis tersebut adalah dengan mengevaluasi dan mengontrol
kesesuaian Struktur organisasi yang jelas, meningkatkan jumlah dan kualitas SDM,
meningkatkan jumlah modal minimal, menambah kapasitas produksi, Besaran nilai transaksi
perlu ditingkatkan. Adapun inkubasi teknologinya adalah membimbing, mengawasi dan
mengontrol pemakaian teknologi yang akan diterapkan, yaitu teknologi budidaya yaitu sistem
HDPE, dan penggunaan teknologi pengolahan dengan menggunakan alat-alat seperti, blender,
pencacah, oven dan sealer, melalui pembuatan manual dan SOP sederhana.
3.4. Aplikasi Teknologi Baru
3.4.1. Mesin Mini Plant
Dalam program Hi-Link ini akan dipakai mesin-mesin untuk pengolahan rumput laut seperti
tampak pada Gambar 14 kepada kelompok petani rumput laut di Kabupaten Probolinggo. Mesin
tersebut adalah : 1) Mesin blender rumput laut yang digunakan untuk menghancurkan rumput
laut menjadi bubur rumput laut sebagai bahan baku berbagai olahan produk rumput laut, 2)
Mesin pengaduk rumput laut yang digunakan untuk pembuatan dodol rumput laut, 3) Mesin
oven pengering yang digunakan untuk mengeringkan dodol rumput laut di saat musin hujan, 4)
Mesin sealer kemasan yang digunakan mengemas berbagai produk olahan rumput laut.
3.4.2. Rakit Budidaya Rumput Laut HDPE
Selain aplikasi mesin-mesin di atas, kelompok nelayan juga akan mengganti media budidaya
rumput laut selama ini menggunakan bambu yang usianya relatif singkat, mudah rusak dan
tidak tahan lama dengan dengan material HDPE yang secara fisik memiliki beberapa
keunggulan. Diantara keunggulan tersebut ringan, kualitas seragam, tahan ultraviolet, abrasi
dan asam, serta ramah lingkungan (bisa di daur ulang). Material HDPE ini juga bisa dibentuk
sesuai dengan keinginan dengan proses blow molding, dalam kegiatan ini akan digunakan
material berupa pipa-pipa HDPE dan kubus-kubus HDPE yang dikenal dengan nama Floaton
sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 12.Pada gambar tersebut 1 unit media budidaya
rumput berukuran 6x34 meter dengan menggunakan 8 (delapan) Floaton unit berukuran 25x25
x 40 cm dengan 8 titik untuk penjangkaran agar media tidak terbawa gelombang / arus. Untuk
jarak tali ris

4. Hasil
Kegiatan program h-link telah berjalan beberapa bulan dan hasil yag telah dicapai adalah :
budidaya rumput laut, pelatihan pengolahan mamin dari bahan rumput laut dan pelatihan
pemodalan dan keuangan serta pengemasan dan branding produk rumput laut

4.1. Kegiatan budidaya rumput laut


Pada tanggal 24 April 2012 ditanam bibit rumput laut sebanyak 8.750 kg sebanyak 35 longline
dan dipanen pada tanggal 29 mei menghasilkan 20.250 kg rumput laut basah. Tebar lagi bibit
pada tanggal 31 mei 2012 sebanyak 2.900 kg dan pada tanggal 4 juli 2012 dipanen dengan
hasil sebanyak 700 kg basah. Ditanam lagi bibit pada tanggal 6 juli 2012 dengan bibit sebanyak
1.200 kg dan pada tanggal 26 juli hanya menghasilkan sebanyak 500 kg rumput laut basah.
Tanam terakhir pada tanggal 2 Agustus 2012 dengan bibit sebanyak 1.000 kg dan pada tanggal
8 september dipanen dan menghasilkan sebanyak 2.00 kg rumput laut basah. Kegiatan
budidaya rumput laut telah lama berkembang di Kabupaten Probolinggo, akan tetapi karena
adanya pengaruh adanya angin slawung sehingga rumput laut harus dipanen, selain itu adanya
musim angin barat yang biasanya pada bulan Desember s/d April menyebabkan kegiatan
budidaya rumput laut tidak dapat dilanjutkan dikarenakan angin dan gelombang yang besar
merusak dan menghancurkan long line yang menjadi wadah budidaya rumput laut.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 430


Pengangkutan bibit Cottoni Pengangkutan rumput laut Penimbangan rumput Laut
(dalam karung) ke tengah pada dari perahu ke lokasi sebelum di jemur
laut penjemuran

4.2. Pengolahan makanan dan minuman dari bahan rumput laut


Pelatihan produk olahan rumput laut di Kelompok Sumber Rejeki, Desa Banjarsari, Kec.
Sumberasih dan di Kelompok Jangkar Mas, Desa Gending, KecGending.

Peserta pelatihan foto Proses pembuatan dodol Hasil pelatihan Jelly rumput
bersama rumput laut laut

4.3. Kemajuan kegiatan pelatihan pemodalan dan keuangan serta pengemasan dan
branding produk rumput laut
Pelatihan dilaksanakan di Kelompok Sumber Rejeki, Desa Banjarsari, Kec. Sumberasih dan di
Kelompok Jangkar Mas, Desa Gending, Kec Gending.

Pelatihan Pemodalan Dan Pelatihan Pengemasan Suasana pendampingan


Keuangan Usaha Rumput Produk Rumput Laut pembuatan makanan rumput
Laut laut

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 431


Ucapan terima kasih
Para peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pemberi DP2M Dikti Jakarta yang telah
memberikan dana untuk Program Hi-Link.

References
Ananymous, (2011): KKP Siapkan 60 Klaster Rumput Laut. http://:kkp-siapkan-60-klaster-
produksi-rumput-laut. Diakses 01 Maret 2012
Anonymous, (2011): Laporan Tahunan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Probolinggo.
Nurmianto, E., Trisunarno, L., Hardi. (2005): Program pengembangan usaha kecil bagi usaha
produksi rokok, usaha kerajinan tangan (handicraft), usaha pengolahan ikan. Materi
pelatihan : life skill, dasar - dasar manajemen, desain logo & kemasan, perancangan
sim pemasaran, proses produksi, desain katalog, quality function deployment, dan cara
menjual di lapangan. Dilaksanakan atas kerjasama antara LPPM ITS PT YTL.
Laporan berkala. Lembaga Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 2005.
Nurmianto, E., Waluyohadi, dan Arsyad, I., (2009): Program Manajemen Ergonomi Pada
Pengolahan Limbah Sabut Kelapa Menjadi Industri Kreatif yang Berkelanjutan (Best
Practice: Pelaksanaan CSR di PT. Pupuk Kaltim Bontang). Prosiding Seminar Nasional
XIV - FTI-ITS, Surabaya, 22 - 23 Juli 2009.
Nurmianto, E., Priyo Negoro, N., dan Rahmiati, R. (2010): Ergonomic Design on Mobile and
Portable Fish Smooking Tool To Improvement Fish Processing For Improving SME
Competitiveness. Proceedings of International Seminar on Applied Technology, Science,
nd
and Arts (2 APTECS). Surabaya. ISSN 2086-1931. 53-57.
Nurmianto, E., Nugroho Priyo Negoro, And Waluyohadi (2010): Sand and Shell Crafts
Bussiness Group Development in Paiton District, Probolinggo Regency. Proceedings of
International Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (2nd APTECS),
Surabaya, 21-22 Dec. 2010, ISSN 2086-1931
Dwito Armono, H. dan Nurmianto, E. (2012): Pengembangan Budidaya Rumput Laut di
Kabupaten Nunukan Sebagai Daerah Perbatasan Indonesia-Malaysia. BNPP (Badan
Nasional Pengembangan Perbatasan), Jakarta, Indonesia.
Titiek Indhira A. (2006): Kajian Kandungan Yodium dan Nilai Organoleptik Biskuit yang
Ditambah dengan Jus Rumput Laut (Eucheuma cottoni). Prosiding Seminar Nasional
dan Gelar Makanan Tradisional Potensi Bahan Pangan Lokal sebagai Makanan
Fungsional UNESA, Surabaya, 10 September 2005. ISBN: 979-445-038-3. Makalah
Hal. A56
Titiek Indhira A. (2009): Modifikasi Metode Ekstraksi Karaginan dari Eucheuma cottonii yang
Dipanen dari Perairan Sumenep Madura. Jurnal Neptunus Majalah Ilmiah Kelautan
Vol. 15 No. 2, Januari 2009 ISSN 0852-2812 Makalah Hal. 74-81
Titiek Indhira A., Arief W dan Taufiqurrahman.. (2011): Ipteks bagi Masyarakat. IbM Rancang
Bangun Mesin Pengolah Limbah Kulit Singkong di UKM TKM Flour Mill. Sampang
Indonesia.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 432


ERGO-DESAIN ALAT PENGASAPAN IKAN YANG MOBILE DAN PORTABLE UNTUK
MENINGKATKAN NILAI EKONOMI PADA UMKM PERIKANAN DI WILAYAH PESISIR
LAMONGAN
*1 1 1
Eko NURMIANTO , Naning ARANTI WESSIANI , Nugroho PRIYO NEGORO , Titiek
2
INDHIRA A.
1
Jurusan Teknik Industri FTI - ITS, Surabaya
2
Jurusan Perikanan, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan, UHT, Surabaya
*E-mail: nurmi@sby.centrin.net.id

Abstract

This paper contain the IBMs (Iptek Bagi Masyarakat) Fish Fumigation activities with the mobile, portable and
environment friendly fish fumigation device, the technology implementation expect the population in increasing
knowledge, skills, mainly for them to be able to make bloater (ikan asap), improve employment in the fishery field. The
purpose is to motivate their entrepeneurship, and improving the entrepeneur business about fishery business.
The benefit from IBM program is to reduce the environmental effect from open fish fumigation system so the air quality
get better ecpecially the area around UKM fishery, support and strengthen the developing fish industy espicially the local
UKM, gain better quality and quantity profitable patent from the dedication of the local society which sponsored by
Ditlitabmas DIKTI Jakarta.

Kata kunci : technology for society, ergo-desain, fish fumigation, mobile dan portable, UMKM competitiveness

1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Industri pengolahan ikan yang berada di Brondong telah ada sejak beberapa tahun yang lalu
akan tetapi sampai sekarang masih belum berkembang dengan baik. Kekurangan modal
membuat mereka tidak mampu untuk meningkatkan kapasitas produksi serta pemasaran yang
terbatas. Mereka masih menggunakan teknologi tradisional.

Melihat keadaan yang demikian, maka masih terdapat peluang untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas melalui PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA KECIL yang sesuai dengan
situasi dan kondisi industri tersebut. Perancangan manajemen, sumber daya manusia, produksi,
keuangan, dan desain pada gilirannya akan meningkatkan daya saing industri kecil tersebut.

Tenaga kerja yang ada di UKM OLAH IKAN memperoleh ketrampilan membuat olah ikan dari
pengalaman kerja selama bertahun-tahun dan ditularkan secara informal. Pekerja UKM OLAH
IKAN berjumlah 6 orang dan masih memiliki hubungan keluarga..

Jumlah pekerja UKM hanya 5 orang, maka spesialisasi pekerjaan belum ada. Sistem
administrasi belum teratur. Mereka masih banyak yang merangkap pekerjaan tanpa melihat job
spesification dan job description, sehingga fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian tidak jelas dan saling tumpang tindih.

Pelaksanaan produksi di UKM OLAH IKAN sudah dilaksanakan dengan aktivitas awal proses
produksi pengasapan ikan lele, dan sampai akhir Januari 2005 sudah menjual ke beberapa
tempat diantaranya SD, forum - forum formal LSM, namun jenis produknya mempunyai cita
rasa dan aroma yang tidak kalah dengan OLAH IKAN lainnya.

Pada saat itu alat yang digunakan adalah alat untuk pembakaran sate kambing atau sate ayam
seperti terlihat pada gambar satu. Alat tersebut kurang memadai dikarenakan hanya dapat
menampung kurang lebih 20 sampai 30 ekor ikan dalam sekali proses pengasapan ikan.
Padahal dalam sekali proses pengasapan ikan memerlukan waktu kurang lebih satu jam,
sehingga kurang dapat mencukupi jumlah pesanan dari konsumen. Disamping itu alat ini
mempunyai kekurangan pada saat proses pengolahan ikan asap, sebagian besar asapnya
mengganggu tetangga atau masyarakat sekitar atau kurang ramah lingkungan (gambar
1).Berdasarkan pada kondisi di atas maka munculah ide Ergo-Desain Alat Pengasapan Ikan
yang Mobile Dan Portable (gambar 2).

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 433


Pada tanggal 29 Juli 20012 ditandatangani kontrak kerjasama antara HNSI Lamongan Jawa
Timur dan LPPM ITS tentang program pengembangan usaha kecil bagi usaha pengolahan ikan.
Salah satu hasil dari program kerjasama tersebut adalah disumbangkannya alat pengasapan
ikan seperti terlihat pada gambar 2. Alat tersebut adalah alat untuk mengolah pengasapan ikan
dengan kapasitas 120 ekor dalam sekali proses. Alat ini memiliki keistimewaan yaitu sebagian
besar asapnya tidak mengganggu masyarakat (ramah lingkungan) ditandai dengan adanya
cerobong asap yang tingginya 5 meter sehingga asap bisa terbuang ke udara bebas dan tidak
mengganggu masyarakat sekitar UMKM. Disamping itu alat ini dilengkapi dengan pintu yang
dapat dibuka di bagian muka dan belakang sehingga mudah di dalam penempatan ikan
sebelum dan sesudah proses pengasapan.

Gambar 1 Alat pengasapan ikan yang disumbangkan ke UMKM pada saat program kerjasama
antara PT Power Gen Jawa Timur dan LPPM ITS pada tahun 2005. (Nurmianto dkk, 2005)

1.2 Tujuan
Adapun Tujuan dari kegiatan ini adalah:

a. Merancang alat asap ikan yang mobile, portable dan ramah lingkungan
b. Menerapkan ipteks tentang pengasapan ikan sehingga dapat menambah pengetahuan
pada masyarakat.
c. Meningkatkan lapangan kerja dalam bidang usaha pengolahan hasil perikanan.
d. Dengan adanya kegiatan ini dapat menumbuhkan minat masyarakat untuk berwirausaha
bagi yang belum memulai usaha dan akan meningkatkan usahanya bagi yang telah
memulai usaha pengolahan pengolahan hasil perikanan.

1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diberikan dengan terlaksananya penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Berkurangnya polusi udara yang diakibatkan alat pengasapan ikan sistem terbuka sehingga
kualitas lingkungan udara terutama di sekitar UKM pengolahan ikan menjadi lebih baik.
b. Dapat mendukung dan memperkuat industri pengolahan ikan yang mulai berkembang dan
terutama mendukung UMKM setempat.
c. Menambah kuantitas dan kualitas paten yang dapat dihasilkan dari kegiatan pengabdian
masyarakat oleh LPPM ITS.

2. Tinjauan Pustaka
Pada saat ini, lebih dari 90 % produksi perikanan di Indonesia dihasilkan oleh perikanan rakyat
dan 50 % dari hasil tersebut diperoleh secara tradisional. Peningkatan produksi hasil perikanan
umumnya berorientasi pada kegiatan ekonomi, baik peningkatan produksi pada usaha
perikanan rakyat maupun perikanan industri. Kegiatan industri pengolahan hasil perikanan saat
ini kebanyakan masih menggunakan teknologi sederhana dan pada umumnya masih bersifat
industri rumah tangga, sedangkan industri skala besar umumnya terbatas pada usaha
pengalengan dan pembekuan ikan.

Ada bermacam-macam pengawetan ikan (Moeljanto, 1987), antara lain dengan cara

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 434


penggaraman, pengeringan, pemindangan, pengasapan, peragian dan pendinginan ikan.
Manfaat makan ikan sudah banyak diketahui orang, seperti di Jepang dan Taiwan merupakan
makanan utama dalam lauk sehari-hari yang memberikan efek awet muda dan harapan hidup
lebih tinggi dari negara lainnya. Pengolahan ikan dengan berbagai cara dan rasa menyebabkan
orang mengkonsumsi ikan lebih banyak.

Pada kondisi dimana musim ikan mencapai puncaknya nelayan mengalami kesulitan dalam
pemasaran mengingat harga jual menjadi rendah. Salah satu alternatif yang dapat
dikembangkan oleh masyarakat nelayan dan keluarganya adalah mengembangkan usaha
pembuatan dendeng ikan berbasis hasil perikanan setempat.

Pengasapan ikan (Departemen Perindustrian, 2008) adalah pengawetan ikan dengan proses
pengasapan yang dihasilkan dari pembakaran kayu. Proses pengasapan ikan merupakan
gabungan aktifitas penggaraman, penggeringan dan pengasapan. Adapun tujuan utama proses
penggaraman dan penggeringan adalah membunuh bakteri dan membantu mempermudah
melekatnya partikel-partikel asap waktu proses pengasapan berlangsung.

Dalam proses pengasapan (Nurmianto, dkk, 2009), unsur yang paling berperan adalah asap
yang dihasilkan dari pembakaran kayu. Pada pengasapan menghasilkan efek pengawetan yang
berasal dari beberapa senyawa kimia yang terkandung di dalamnya, khususnya senyawa-
senyawa :

-Alcohol (methyl alcohol dan ethyl alcohol),


- Aldehide (formaldehide dan acetaldehyde), dan
- Asam-asam organic (asam semut dan asam cuka)
Sementara itu, salah satu kunci suksesnya program pengasapan sektor Pengolahan Ikan
(Nurmianto Eko, Lantip Trisunarno, John Hardi, 2005) adalah adanya peran serta
masyarakat. Peran serta masyarakat diartikan sebagai kegiatan masyarakat yang timbul
atas kehendak dan keinginan sendiri untuk bergerak dalam penyelenggaraan program
pengasapan.

3. Metode
Program pengabdian masyarakat ini akan dilaksanakan oleh tim yang terdiri dari :

Dua dosen pengabdi dan dua mahasiswa pengabdi. Daerah sasaran pengabdian adalah
Kab.Lamongan , dimana akan dilakukan enam kali perjalanan dari Surabaya ke Lamongan (PP)
untuk survey ke Brondong, Lamongan, Perencanaan Pengabdian, Pelaksanaan Pengabdian,
Pelaksanaan Pelatihan, monitoring Pengabdian dan evaluasi Pengabdian.

Adapun pelatihan pengasapan ikan akan diadakan dengan dua level yaitu Pelatihan
Pengasapan Ikan (Tingkat Dasar) dan Pelatihan Pengasapan Ikan (Tingkat Terampil).
Sementara itu kebutuhan peralatan dan bahan sebagai penunjang kegiatan pengabdia ini
meliputi:

Alat pengasapan ikan yang mobile dan portable, kertas kwarto, hard disk, cartridge printer.
Untuk pembuatan alat asap ikan dikerjakan oleh bengkel permesinan dengan melibatkan
tukang las, tukang potong dan tukang cat.
Dalam pengabdian masyarakat ini akan diberikan bimbingan teknis yang di dukung oleh
buku panduan, spanduk, dan konsumsi. Adapun laporan akan dipublikasikan lewat seminar
atau jurnal.

3.1 Metode Pelaksanaan


Adapun urutan dari metode pelaksanaan dalam program pengabdian masyarakat ini adalah
sebagai berikut:
1. Analisis permasalahan UKM dalam aspek proses produksi dan alat.
2. Pembuatan alternatif solusi teknologi tepat guna.
3. Pemilihan alternatif desain alat pengasapan ikan.
4. Pembuatan prototype alat pengasapan ikan.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 435


5. Uji coba prototype alat pengasapan ikan.
6. Evaluasi pertama
a. Jika tidak sesuai dengan kondisi di lapangan maka dilakukan revisi desain.
b. Jika sesuai dengan kondisi di lapangan maka dilakukan implementasi di
masyarakat.
7. Evaluasi kedua
a. Jika belum sesuai dengan harapan masyarakat, maka dilakukan revisi desain.
b. Jika sudah sesuai dengan harapan masyarakat, maka alat akan disumbangkan
kepada masyarakat sebagai bentuk bantuan dari LPPM ITS.
8. Pelatihan bongkar pasang alat pengasapan ikan.
9. Pelatihan pengasapan ikan.
10. Pembuatan laporan kemajuan program pengabdian masyarakat.
11. Pembuatan Laporan Akhir.
12. Presentasi.

3.2 Metode Pengasapan


Pengasapan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengasapan dingin dan pengasapan
panas
a. Pengasapan dingin (cold smoking)
adalah proses pengasapan dengan cara meletakkan ikan yang akan diasap agak jauh dari
sumber asap (tempat pembakaran kayu), dengan suhu sekitar 40 500C dengan lama
proses pengasapan beberapa hari sampai dua minggu
b. Pengasapan panas ( hot smoking )
Pengasapan panas (hot smoking) adalah proses pengasapan ikan dimana akan diasapi
0
diletakkan cukup dekat dengan sumber asap.Suhu sekitar 70 100 C, lamanya
pengasapan 2 4 jam

3.3 Cara Membuat Ikan Asap


a. Buang insang dan isi perut melalui tutup insang / rongga mulut dengan menggunakan
pinset atau kawat lengkung.
b. Cuci bersih dan tiriskan.
c. Buat larutan garam 20 25% ( untuk 8 kg ikan siapkan 5 liter air dan tambahkan 1 1
kg gram).
d. Rendam ikan dalam larutan garam tersebut selama 30 60 menit dan beri pemberat di
atasnya agar ikan tidak terapung.
e. Cuci ikan, kemudian tiriskan sambil diangin-anginkan sampai permukaan ikan kelihatan
kering. Penirisan ikan dengan cara mengantung ikan pada kawat (mengait bagian anus
dengan posisi mulut di bawah).
0
f. Nyalakan kayu bakar, sampai didapat asap dengan temperature 60 70 C.
g. Atur ikan di atas rak pengasapan kemudian lakukan proses pengasapan sampai ikan
matang dan berwarna kuning kecoklatan mengkilap
h. Keluarkan rak ikan dari rumah asap dan biarkan hingga dingin

4. Hasil
4.1. Pembuatan Alat Pengasapan Ikan
Dalam pembuatan Alat Pengasapan Ikan diperlukan gambar kerja, gambar 3D Auto CAD dan
foto hasil produk yang telah dibuat, yang ditunjukkan pada beberapa gambar di bawah ini.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 436


(a) (b)
Gambar 2 (a) Gambar 3-D Auto CAD (b) Teknologi tepat guna berupa alat pengasapan ikan
yang mobile dan portable
4.2 Pelatihan Pengasapan Ikan
Pelatihan Pengasapan Ikan ini diawali dengan pengenalan alat dan cara pemakaian dilakukan
dengan cara menunjukkan alat secara langsung dan demo cara pemakaiannya beserta
pelatihannya.

Adapun materi pelatihannya adalah sebagai berikut :


Pengetahuan tentang pengolahan hasil perikanan.
Pengetahuan tentang pembuatan ikan asap.
Pengetahuan tentang pengujian kualitas produk ikan asap (organoleptik)
Pengetahuan tentang pengemasan dan labeling.
Praktek pembuatan pembuatan ikan asap.
Pengetahuan tentang kewirausahaan.
Pengetahuan tentang manajemen usaha dan pemodalan
4.3. Analisis Capaian Luaran

- Teknologi Tepat Guna Untuk Masyarakat


Teknologi Tepat Guna berupa Alat Pengasapan Ikan adalah sebuah alat yang tepat guna
untuk mengolah ikan menjadi ikan asap. Dengan menggunakan alat tersebut maka
Pengembangan Kelompok Usaha Pengasapan Ikan di Brondong dapat berjalan lebih maksimal.
Dari alat tersebut dapat diasap berbagai jenis ikan, ayam, bebek dan jenis bahan asap lainnya.
Serta dapat membantu masyarakat untuk mengenal teknologi asap ikan sebagai alternatif
wirausaha mandiri.
- Peningkatan ketramplan baru masyarakat
Peningkatan ketrampilan masyarakat adalah berupa ketrampilan mengasap ikan yang secara
praktek dapat ditunjukkan oleh beberapa gambar berikut :

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 437


Gambar 3 (a) Foto seluruh peserta (b) Proses pengasapan ikan

Gambar 4 (a) Foto bersama instruktur dan seluruh peserta (b) Seleksi peserta

(b). Alat pengasapan ikan yang


Gambar 5 (a). Alat Pengasapan Ikan yang disumbangkan ke UMKM pada saat program
tradisional saat ini IbM Usaha Pengasapan Ikan di Lamongan
tahun 2012

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 438


(a) (b)

(c) (d)

Gambar 6 (a) Ikan sebelum diasap (b) Ikan sesudah diasap (c) Ikan asap siap disajikan (d)
Foto bersama setelah pelatihan

5. Kesimpulan

Dari hasil program pengabdian masyarakat, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Telah dilaksanakan penerapan Pengabdian bagi Masyarakat berupa pelatihan ketrampilan
tentang Metode Pengasapan Ikan dengan materi sebagai berikut :
Pengembangan jiwa wirausaha
Manajemen Keuangan
Desain Kemasan Kreatif
Implementasi Alat Pengasapan Ikan Yang Mobile Dan Portable Untuk Meningkatkan
Pengolahan Ikan Sehingga Dapat Meningkatkan Daya Saing

2. Meningkatkan kemandirian masyarakat dan memberikan pendapatan masyarakat melalui


kegiatan kewirausahaan.
3. Terampil dalam membuat mengasap ikan.
4. Berfungsi sebagai sarana berusaha bagi masyarakat.

Ucapan terima kasih

Para peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pemberi DP2M DIKTI Jakarta yang telah
memberikan dana untuk Program IbM Usah Pengasapan Ikan ini.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 439


References

Anonymous (2008): Ikan asap. Jakarta : Dirjen Industri Kecil, Departemen Perindustrian.
Moeljanto (1987) Pengasapan dan fermentasi. Jakarta : Penebar Swadaya.
Nurmianto, Eko (2004): Ergonomi : Konsep Dasar dan Aplikasinya (Edisi Kedua), Guna Widya,
Jakarta
Nurmianto, Eko.,Trisunarno, Lantip.,Hardi, John., (2005): Laporan Berkala Program
Pengembangan Usaha Kecil Bagi Usaha Produksi Rokok, Usaha Kerajinan Tangan
(Handicraft), Usaha Pengolahan Ikan. Materi Pelatihan : Life Skill, Dasar - Dasar
Manajemen, Desain Logo & Kemasan, Perancangan SIM Pemasaran, Proses Produksi,
Desain Katalog, Quality Function Deployment, Cara Menjual di Lapangan. Dilaksanakan
atas kerjasama antara LPPM ITS PT YTL. 28 Februari 5 Maret 2005
Nurmianto, Eko., Priyo, Nugroho., Waluyohadi, Rahmiati, Retnani., Wahyu Sasmito Hadi,
Radiq.,Hutama, Irwan.,Anggarini, Mairina., (2009): Implementasi Ergonomi Makro Dan
Teknologi Pangan Dalam Mengolah Limbah Ikan Menjadi Produk Makanan Yang
Sustainable (Best Practice: CSR PT. Indonesia Power UBPPGT, Pasuruan). Prosiding
Seminar Nasional XIV - FTI-ITS, Surabaya, 22 - 23 Juli 2009
Nurmianto, Eko,.Tavip Indrojarwo, Baroto.,Hidayat, Taufik (2009): Ergonomic Design For Mobile
And Portable Emergency Disaster Kitchen. 3rd International Conference On Operations
And Supply Chain Management, Penang, Malaysia, 9 - 11 December 2009

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 440


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI MELALUI PEMANFAATAN LIMBAH
MENJADI HANDYCRAFT KREATIF UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN
EKONOMI MASYARAKAT DI KAB. LAMONGAN

*1 1 1
Eko NURMIANTO , Naning ARANTI WESSIANI , Nugroho PRIYO NEGORO , Lantip
1
TRISUNARNO
1
Jurusan Teknik Industri FTI - ITS, Surabaya
*E-mail: nurmi@sby.centrin.net.id

Abstract

Until today, sand, shell and corn waste(klobot) commonly considered as less-used waste. Very unfortunate those waste
above are sold as low price rough ingredients instead of a product which can be sold at better price.
We can make those waste into an handy craft such as tissue box, photo frame, pencil box, etc (see pictures 1 8), all
we need is just a crafting skill which is easy to be done.
The methods we can use is indentify the shore waste, continued by collecting and choosing the preferred waste into
rough ingredient, analyze the society problem around the waste disposal, give gradual training about how to make a
hady craft (basic training, craft, adept), mentoring and monitoring post-training, modal allocation to advance the small
scale craft industry.
Macro ergonomic used as harmonization control between, goverment, private industry, society around the industry and
the waste disposal around the local population as the raw materials.The harmonization is included to related company
which responsible to the local society Corporate Social Respocsibility, CSR).
Goverment already obligate CSR to private firm to improve 3 matters which is people, Profit and Planet, where those 3
matters are appropriate to sustainability concepts. Sustainabiliy concepts is describes that People is local society
around the company,Profit is the benefit from the company used to give training to society and Planet is processing
the waste around the society and the company into a valuable goods.
With the existance of CSR as a training to society had given them an extra point by constructing an oriented crafting
industry in opening an employment and reduce the amount of unemployeed person.

Keywords : society empowerment, coast, creative handycraft, prosperity of the societies economic, CSR

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Di masa krisis ekonomi saat ini dunia industri menghadapi tantangan yang serius.
Meningkatnya nilai tukar US$ terhadap Rupiah telah membuat perusahaan yang bergantung
pada impor mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan baku. Sementara itu bahan baku
dalam negeri belum banyak dioptimalkan proses nilai tambahnya.

Kelapa banyak terdapat pada daerah tropik, terutama di sekitar daerah katulistiwa. Di Indonesia
sejak jaman dahulu telah banyak tumbuh pohon kelapa dan merupakan daerah terluas di dunia
yang ditumbuhi pohon kelapa (3,172 juta Ha). Pohon kelapa tumbuh hampir di seluruh
hamparan pulau-pulau di Indonesia. Sehingga tak salah jika Ismail Marzuki melahirkan karya
lagu rayuan pulau kelapa.

Pasir dan kerang banyak terdapat pada daerah tropik, terutama di sekitar daerah katulistiwa. Di
Indonesia sejak jaman dahulu telah banyak pasir dan kerang yang merupakan daerah terluas
nomer dua di dunia yang ada pasir dan kerang. Pasir dan kerang terdapat hampir di seluruh
hamparan pantai-pantai di Indonesia.

Binatang-binatang pantai yang mati di tepi pantai biasanya dianggap sampah atau limbah oleh
masyarakat sehingga limbah tersebut sangat jarang digunakan untuk bahan baku pembuatan
produk-produk kreatif. Padahal, jumlah limbah yang berasal dari binatang-binatang pantai yang
sudah mati sangat melimpah. Gambaran mengenai melimpahnya jumlah limbah sabut kelapa,
pasir kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati dapat dilihat pada gambar 1.1.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 441


Gambar 1 Limbah Sabut Kelapa, Pasir Kerang, dan Binatang Pantai yang Mati

Selama ini, kelapa yang dihasilkan oleh petani kelapa masih dijual dalam bentuk bahan baku
dan belum diolah menjadi produk jadi. Padahal, kelapa mempunyai berbagai manfaat misalnya
batang kelapa dapat dibuat menjadi berbagai macam produk, seperti kursi, meja, sketsel,
lampion, almari dan masih banyak lagi produk dari kelapa. Disamping itu sabut dan batok
kelapa dapat digunakan untuk kerajinan seperti Box Tissue, Frame Foto, Jam dinding, Tempat
Pensil, dll (Contoh produk dapat dilihat pada gambar 1.2). Hal itu dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat, terutama di sekitar pesisir.

Selain itu, pemanfaatan pasir dan kerang saat ini hanya sebatas sebagai pelengkap mainan
anak-anak. Sehingga harga pasir dan kerang menjadi sangat murah, disebabkan belum
optimalnya masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan pasir dan kerang. Indonesia
mempunyai potensi penghasil pasir dan kerang yang besar. Selama ini, pasir dan kerang yang
dihasilkan oleh masyarakat nelayan masih dijual dalam bentuk bahan baku dan belum diolah
menjadi produk jadi. Padahal, pasir dan kerang mempunyai berbagai manfaat dan dapat diolah
menjadi produk-produk kreatif (Contoh produk dapat dilihat pada gambar). Hal itu dapat
meningkatkan kemakmuran bagi rakyat setempat.

Jam meja untuk rumah dan perkantoran Kreatifitas masyarakat diekpresikan dalam
(Sabut kelapa) membuat produk (Sabut kelapa)

Botol bekas dan tempat pensi yang telah Frame foto dengan kombinasi ornamen dari
diornamen (Sabut kelapa) buah kering (Sabut kelapa)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 442


Jam Meja (Pasir Kerang) Produk-produk dari Pasir Kerang

Gantungan Kunci Hasil Resin


Produk-Produk Hasil Resin

Gambar 2 Contoh Produk Hasil Pelatihan

Sangat disayangkan, jika limbah sabut kelapa maupun pasir dan kerang yang sangat melimpah
hanya dijual dalam bentuk bahan baku yang bernilai tambah kecil dibandingkan dengan produk
jadi tersebut di atas yang bernilai tambah lebih besar.

Proses pembuatan produk dari limbah sabut kelapa, pasir & kerang, dan binatang-binatang
pantai yang mati telah diteliti oleh Eko Nurmianto (2006) dan sebenarnya merupakan suatu
kegiatan membuat kerajinan yang bersifat padat karya sehingga dapat menyerap tenaga kerja
yang besar. Bila industri kerajinan dapat tumbuh dan berkembang, maka akan mengurangi
pengangguran dalam jumlah besar.

Untuk memproses limbah sabut kelapa, pasir & kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati
menjadi produk-produk seperti Box Tissue, Frame Foto, Jam dinding, Tempat Pensil, dan lain
sebagainya hanya membutuhkan keterampilan sederhana, yang sebenarnya dapat dilakukan
masyarakat. Pelatihan dalam membuat kerajinan kreatif bagi masyarakat merupakan suatu
hal yang penting untuk meningkatkan pendapatan dan membebaskan warga dari jerat
kemiskinan. Bahkan jika dikembangkan dapat menjadi industri kerajinan pasir tangan
(handycraft) berorientasi membuka lapangan kerja dan mengurangi jumlah
pengangguran.

Selain permasalahan yang di atas, permasalahan lain yang ada pada mitra selain
permasalahan di atas adalah mitra hanya memiliki pembeli tunggal, pembeli tunggal ini akan
membeli dengan jumlah banyak kemudian akan menjualnya dengan harga tinggi di lain tempat.
Ini sangat merugikan mitra karena mitra menjual dengan harga rendah tetapi pembeli tersebut
justru menjual dengan harga tinggi. Hal lain, jika pembeli tersebut tidak memesan dalam jangka
waktu yang lama, maka mitra akan mengalami kebangkrutan.
Permasalahan paling klasik dihadapi oleh mitra adalah menjual barang secara ceroboh dan
dan teledor, dalam ini dikaitkan dengan mitra sering kali tidak memberikan pembungkus
(packaging) pada produk yang ingin dijual, ini membuat pembeli yang ingin membeli produk

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 443


mendapat kesan bahwa produk tersebut tidak memiliki estetika dan ini merupakan kerugian
bagi mitra. Selain tidak memberikan pembungkus pada produk, pelayanan mitra kepada
konsumen kurang ramah, karena mitra adalah UKM berbasis job order maka mitra sering tidak
melayani order dari pelanggan jika dirasa mitra malas untuk mengerjakan. Mitra juga seringkali
menjual dengan produk yang mempunyai variasi tidak banyak, maka pembeli akan melihat
bahwa kreatifitas dari mitra sangat kecil, pembeli akan memilih produsen lain. Kerugian ini
berakibat fatal, dengan kreasi sedikit kompetisi mitra dengan kompetitor. Oleh karena itu,
penelitian yang berbasis pengabdian kepada masyarakat ini sangat bermanfaat untuk
dilaksanakan.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah:
1. Meningkatkan Public Private Partnership antara Pemda Lamongan dan swasta (Kelompok
Usaha Bersama)
2. Memberikan latihan keterampilan tentang cara pembuatan kerajinan kreatif yang berbahan
baku limbah sabut kelapa, pasir kerang, dan binatang-binatang pantai
3. Meningkatkan minat masyarakat berusaha di bidang kerajinan kreatif
4. Meningkatkan nilai tambah limbah pantai
5. Mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan
6. Membantu masyarakat terutama rumah tangga di sekitar pesisir pantai untuk memperoleh
penghasilan rata-rata Tiga Juta Rupiah per Bulan.
1.3. Relevansi
Relevansi penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Tersedianya limbah sabut kelapa, pasir & kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati
dengan jumlah yang sangat melimpah sebanding dengan banyaknya masyarakat pesisir
pantai (terutama ibu-ibu rumah tangga) yang kurang memiliki kegiatan produktif
b. Program yang akan dijalankan pada penelitian ini sejalan dengan program pemerintah
daerah Lamongan yang akan memperdayakan masyarakat pesisir pantai agar menjadi
masyarakat yang produktif
c. Anggota peneliti pada program ini memiliki kompetensi masing-masing (bisa dilihat pada
tabel) yang sesuai dengan program penelitian yang akan dijalankan

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Limbah Sabut Kelapa
Tanaman kelapa disebut juga tanaman serbaguna, karena dari akar sampai ke daun kelapa
bermanfaat, demikian juga dengan buahnya. Buah adalah bagian utama dari tanaman kelapa
yang berperan sebagai bahan baku industri. Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu
sabut kelapa, tempurung kelapa, daging buah kelapa dan air kelapa (Nurmianto, dkk, 2005).

Daging buah adalah komponen utama yang dapat diolah menjadi berbagai produk bernilai
ekonomi tinggi. Sedangkan air, tempurung, dan sabut sebagai hasil samping (by product) dari
buah kelapa juga dapat diolah menjadi berbagai produk yang nilai ekonominya tidak kalah
dengan daging buah (Nurmianto, 2007; Nurmianto dkk., 2009; Wuryani, 2006). Berbagai produk
dapat dihasilkan dari buah kelapa.

Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus tempurung kelapa.
Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas lapisan terluar (exocarpium) dan
lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium mengandung serat-serat halus yang dapat
digunakan sebagai bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet, sikat, keset, isolator panas dan
suara, filter, bahan pengisi jok kursi/mobil dan papan hardboard. Satu butir buah kelapa
menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30% serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri
atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas, arang, ter, tannin, dan potasium (Nurmianto dkk,
2009; Wuryani, 2005).

India dan Sri Lanka adalah produsen terbesar produk-produk dari sabut dengan volume ekspor
tahun 2000 masing-masing 55.352 ton dan 127.296 ton dan masing-masing terdiri atas 6 dan 7
macam produk. Pada saat yang sama, Indonesia mengekspor satu jenis produk (berupa serat

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 444


mentah) dengan volume 102 ton.

Produk primer dari pengolahan sabut kelapa terdiri atas serat (serat panjang), bristle (serat
halus dan pendek), dan debu abut. Serat dapat diproses menjadi serat berkaret,
matras,geotextile, karpet, dan produk-produk kerajinan/industri rumah tangga. Matras dan serat
berkaret banyak digunakan dalam industri jok, kasur, dan pelapis panas. Debu sabut dapat
diproses jadi kompos dan cocopeat, dan particle board/ hardboard.
Cocopeat digunakan sebagai substitusi gambut alam untuk industri bunga dan pelapis
lapangan golf. Di samping itu, bersama bristle dapat diolah menjadi hardboard (Nurmianto dkk.,
2009).

2.2 Limbah Pasir dan Kerang


Salah satu komoditas laut yang memiliki potensi bisnis cukup tinggi adalah kerang. Kerang
adalah hewan air yang termasuk hewan bertubuh lunak (moluska). Berasal dari bahasa latin,
molluscus yang berarti lunak, tubuhnya lunak dan tidak bersegmen, terbungkus oleh mantel
yang terbuat dari jaringan khusus, dan umumnya dilengkapi dengan kelenjar-kelenjar yang
dapat menghasilkan cangkang (Wikipedia, 2012). Selain dagingnya banyak dinikmati
penggemar seafood (makanan laut), cangkang kerang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
utama pembuatan aneka kerajinan yang sangat cantik.

Semua kerang-kerangan memiliki sepasang cangkang disebut juga cangkok atau katup yang
biasanya simetri cermin dan pada bagian tengah dorsal yang dihubungkan oleh jaringan ikat
(ligamen), berfungsi seperti engsel untuk membuka dan menutup cangkang dengan cara
mengencangkan dan mengendurkan otot (Wikipedia, 2012).

Pasir adalah contoh bahan material butiran. Butiran pasir umumnya berukuran antara 0,0625
sampai 2 milimeter. Materi pembentuk pasir adalah silikon dioksida, tetapi di beberapa pantai
tropis dan subtropis umumnya dibentuk dari batu kapur. Pasir tidak dapat di tumbuhi oleh
tanaman, karena rongga-rongganya yang besar-besar. Pasir paling banyak berada di sekitar
pantai atau sungai (Wikipedia, 2012).

2.3 Resin binatang-binatang Pantai yang Mati


Resin atau dammar adalah suatu campuran yang kompleks dari ekskret tumbu-tumbuhan dan
insekta, biasanya berbentuk padat dan amorf dan merupakan hasil terakhir dari metabolisme
dan dibentuk dari ruang-ruang skizogen dan skizolisigen. Secara fisis, resin (damar) ini
biasanya keras, transparan plastis dan pada pemanasan menjadi lembek. Secara kimiawi, resin
adalah campuran yang kompleks dari asam-asam resinat, alkoholresinat, resinotannol, ester-
ester dan resene-resene. Bebas dari zat lemas dan mengandung sedikit oksigen karena
mengandung zat karbon dalam kadar tinggi, maka kalau dibakar menghasilkan angus. Ada juga
yang menganggap bahwa resin terdiri dari zat-zat terpenoid, yang dengan jalan addisi dengan
air menjadi dammar dan fitosterin.sifatny tidak larut dalam air, sebagian larut dalam alcohol,
larut dalam eter, aseton, petroleum eter, kloroform, dan lain-lain. Apabila resin-resin dipisahkan
dan dimurnikan, biasanya dibentuk dalam zat padat yang getas dan amorf, yang kalau
dipanaskan akan menjadi lembek dan akan habis terbakar. Resin ini juga tidak larut dalam air.

3. Metode
Adapun Pelatihan Pembuatan Kerajinan ini Di Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan
akan diadakan dengan empat tahapan yaitu
Pelatihan Tahap 1: Penyuluhan dan Praktek Pembuatan Kerajinan dari limbah sabut
kelapa, pasir kerang, dan binatang-binatang pantai yang mati
Pelatihan Tahap 2: Penyuluhan dan Praktek Desain Kreatif
Pelatihan Tahap 3: Penyuluhan dan Praktek Pemodalan dan Keuangan UKM
Pelatihan Tahap 4: Penyuluhan dan Praktek Teknik Penjualan dan Pemasaran
Metode yang akan digunakan Program penelitian ini akan dilaksanakan oleh tim yang
terdiri dari :
Empat dosen peneliti dan tiga mahasiswa peneliti. Daerah sasaran penelitian adalah
Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan dimana akan dilakukan enam kali

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 445


perjalanan dari Surabaya ke Lamongan (pp) untuk survey ke Lamongan, Perencanaan
Penelitian, Pelaksanaan Penelitian, Pelaksanaan Pelatihan, Monitoring dan Evaluasi
Hasil Pelatihan.

Adapun urutan dari metode pelaksanaan dalam program penelitian ini adalah sebagai berikut:
13. Penyampaian langsung
14. Diskusi / Tanya jawab
15. Latihan dan Implementasi
16. Monitoring dan Pendampingan
17. Pembuatan laporan kemajuan program pengabdian masyarakat
18. Pembuatan Laporan Akhir
19. Presentasi.

4. Hasil Kegiatan
4.1. Hasil pengabdian
Program Pengabdian ini memberikan hasil pengabdian berupa proses pelatihan bertahap untuk
mengembangkan usaha kerajinan pasir kerang. Proses pengembangan tersebut dapat dilihat
pada beberapa gambar sebagai berikut .

Gambar 1 Pekerjaan peserta dari


Pelatihan Pembuatan Produk Kerajinan Gambar 2 Hasil pelatihan
Kreatif

Gambar 3 Hasil pekerjaan peserta dari Pelatihan Pembuatan Produk Kerajinan Pasir
Kerang. Produk ini dihasilkan oleh peserta dimana sebelumnya melalui proses sebagai
berikut :
1. Pemotongan karton
2. Merakit produk
3. Pewarnaan pasir
4. Pengeringan pasir warna
5. Proses pembuatan ornamen menggunakan tinta timbul
6. Proses penempelan pasir warna

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 446


5. Kesimpulan
Dari hasil program pengabdian masyarakat, ditarik kesimpulan sebagai berikut:
5. Telah dilaksanakan penerapan berupa pelatihan ketrampilan tentang cara pembuatan
kerajinan dengan materi sebagai berikut :
Pengembangan jiwa wirausaha
Manajemen Keuangan
Desain Kreatif
Pengolahan bahan baku pasir kerang yang terdapat di pesisir pantai
Manajemen Pemasaran sebagai analisa pesaing produk kerajinan
6. Meningkatkan kemandirian masyarakat dan memberikan pendapatan masyarakat
melalui kegiatan kewirausahaan.
7. Terampil dalam membuat kerajinan pasir dan kerang.
8. Berfungsi sebagai sarana berusaha bagi masyarakat.

Ucapan terima kasih


Para peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada pemberi LPPM ITS yang telah
memberikan dana untuk Program Penelitian Laboratorium ini.

References
Nurmianto Eko, Lantip Trisunarno, dan Hardi (2005) Laporan Berkala Program Pengembangan
Usaha Kecil Bagi Usaha Produksi Rokok, Usaha Kerajinan Tangan (Handicraft), Usaha
Pengolahan Ikan. Materi Pelatihan : Life Skill, Dasar - Dasar Manajemen, Desain Logo &
Kemasan, Perancangan SIM Pemasaran, Proses Produksi, Desain Katalog, Quality
Function Deployment, Cara Menjual di Lapangan. Dilaksanakan atas kerjasama antara
LPPM ITS PT YTL. 28 Februari 5 Maret 2005
Nurmianto Eko (2007) Pelatihan Pembuatan Kerajinan Sabut Kelapa, Kerjasama antara
LPPM-ITS dan PT. Pupuk Kaltim Tbk Cabang PKBL (Program Kemitraan & Bina
Lingkungan) Wilayah Cabang Kalimantan Timur, Bontang, 04 06 Desember 2007
Nurmianto Eko, Waluyohadi, dan Idrus Arsyad (2009) Program Manajemen Ergonomi Pada
Pengolahan Limbah Sabut Kelapa Menjadi Industri Kreatif yang Berkelanjutan (Best
Practice: Pelaksanaan CSR di PT. Pupuk Kaltim Bontang). Prosiding Seminar Nasional
XIV - FTI-ITS, Surabaya, 22 - 23 Juli 2009.
Nurmianto Eko (2009) Pelatihan Pembuatan Kerajinan Sabut Kelapa (Tingkat Dasar),
Kerjasama antara PT ITS Kemitraan dan PT. Pupuk Kaltim Cabang PKBL (Program
Kemitraan & Bina Lingkungan) Wilayah Cabang Kalimantan Timur, Kandangan, 9
Nopember 13 Desember 2009
Nurmianto Eko, Nugroho Priyo Negoro, And Waluyohadi (2010) Sand and Shell Crafts
Bussiness Group Development in Paiton District, Probolinggo Regency. Proceedings of
International Seminar on Applied Technology, Science, and Arts (2nd APTECS), Theme:
Empowering Creativity Through Science And Technology To Enhance Nations
Competitiveness, Surabaya, 21-22 Dec. 2010, ISSN 2086-1931
Nurmianto Eko, Naning Aranti Wessiani, And Waluyohadi (2011) Improving the Society Living
Standards through Training on Making Coconut Handycraft in Paciran District, Lamongan
Regency. Proceedings of International Seminar on Applied Technology, Science, and Arts
(3rd APTECS), Theme : Resources Optimization Based On Science And Technology
For Nations Self-Reliance, Surabaya, 6 Dec. 2010, ISSN 2086-1931
Wuryani Siti (2005) Kreasi Cangkang Kerang 2, Penerbit Trubus Agrisarana Surabaya
Wuryani Siti (2006) Kreasi Limbah Batok / Tempurung Kelapa. Penerbit Trubus Agrisarana
Surabaya

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 447


LIVING ROOM DESIGN LOAD FISH CATCH FISHERMAN TRADITIONAL FISHING IN
THE FOREGOING BY SHIP CONTAINER SYSTEM

Hariyanto SOEROSO

hariyanto.soeroso@gmail.com
Shipping Surabaya State Polytechnic

Abstract

Rising culinary enthusiast-food products originally came from the sea in Surabaya are very significant in particular,
especially in deep sea fish living conditions, along with that many fish resto-popping life. Beside the rise of food laced
with preservatives lately very troubling the consumers. In those occasions, many consumers have turned to prefer
buying a living fish instead of dead fish. Means of transport of fresh living fish from the traditional fisherman should be
considered in continuity, from the fish capturing, transport and removal from ship to shore and then delivery to the buyer.
Transportation system using container is expected to gain efficiency, where the container is made in accordance with
the location of cargo hold, so when unloading the cargo from ship to shore are sufficiently lifted by two people.

Keywords: live fish, the cargo hold, container

1. Pendahuluan
Meningkatnya permintaan ikan laut hidup karena adanya paradigma kesadaran dari konsumen
penggemar ikan laut di perkotaan besar menjauhkan konsumsi makanan yang mengandung
bahan pengawet. Sehingga mereka mengalihkan pilihannya dalam hal mengkonsumsi ikan laut
dengan ikan yang kondisi hidup daripada kondisi mati, sebelum dimasak. Dampak dari
banyaknya permintaan ikan laut kondisi hidup ini menjadikan menjamurnya usaha resto yang
menyajikan makanan siap saji ikan laut yang betul-betul ikan yang masih segar. Apalagi dari
jenis ikan Kerapu lumpur, Kerapu macan, Kerapu batu,Kerapu dewa, Kerapu Merah dan
Kerapu Tikus dalam kondisi hidup harga lokalnya saat ini (tahun 2012) sudah mencapai
berkisar Rp 80.000,- sampai Rp 450.000,- per Kg nya. Selain Ikan Kerapu, ikan Baronang dan
Kakap juga menjadi pasar permintaan konsumen yang tidak sedikit. Dari hasil wawancara
pengusaha resto sea food, setiap harinya permintaan masing-masing jenis ikan di restoran rata-
rata 7 ~ 10 Kg, Sayangnya yang bisa menikmati ikan laut hidup rata-rata dari golongan
menengah keatas, jadi belum merata dikalangan masyarakat kecil dapat menikmati.

Ikan laut hidup seperti Kerapu, Baronang, Kakap dan jenis-jenis lainnya merupakan barang
komersial yang dapat cepat mengalami kematian dan kemudian rusak (membusuk). Dengan
demikian karena sifat alami barang ini, maka perlu ada upaya menjaga mutu dari kerusakan.
(Sudradjat et al, 1999). Dalam hal ini perlu dipikirkan oleh para ahli teknologi dalam mengelola
dari saat cara penangkapan, penempatan, pengangkutan/transportasi dilaut maupun didarat
sampai di tempat tujuan konsumen ikan dalam kondisi hidup, hal ini akan menjadikan
penentuan harga jual pasar yang tinggi.(Anonymous, 1986), sehingga diharapkan para nelayan
akan mendapat penghasilan yang lebih baik dari sebelumnya.

Penelitian mengenai pengembangan tentang pengangkutan/transportasi ikan laut dalam kondisi


hidup telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya mengenai ;transportasi kan kerapu
dengan beberapa sistim kemasan (Suryaningrum & Utomo, 2001), transportasi udang
karang/lobster(Suryaningrum et al.,1997), teknik transpotasi ikan hidup dan fasilitasnya (Philip
Teguh Imanto, 2008).Tugas Akhir Rancang & Modifikasi Ruang Muat Kapal ikan Untuk Ikan
hidup dan ikan mati(Arga Yonathan.S.K, at al.,2009), ini masih perlu adanya penelitian lebih
lanjut khususnya pada kapal-kapal nelayan tradisional.

Penelitian ini akan membahas selain masalah perencanaan tempat ikan hidup, tetapi juga
masalah bongkar muatan ikan hidup ditempat pelelangan ikan dan penanganan transportasi ke
alamat pelanggan, serta diharapkan ikan tidak rusak akibat bongkar muat, sehingga harga nilai
jual akan menjadi tinggi.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 448


Gambar 1. Geladak Kapal yang rencana akan dimodifikasi.

Gambar 2. Body Plan

Gambar 3. Garis Air

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 449


Gambar 4. Potongan Memanajang

Gambar 5. Rencana Umum Kapal Modifikasi

Gambar diatas adalah kapal yang di survey, yang akan dilakukan modifikasi ruang muatnya
untuk menampung ikan laut dalam kondisi hidup, dan gambar 3 dibawah adalah penampang
melintang kapal. Dari penampang gambar ini dirancang penempatan kontainer setiap palkanya,
seperti pada gambar 4.

Gambar 6. Penampang Melitang Kapal

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 450


Gambar 7. Rencana Kontainer untuk palka

2. Sirkulasi dan Pengoksigenan


2.1 Sirkulasi dengan media air
Dalam pengangkutan ikan laut hidup biasanya diperlukan waktu yang cukup panjang, mulai
saat penangkapan sampai ketempat tujuan. Ikan-ikan hasil tangkapan biasanya tidak dilakukan
pemuasaan, sehingga perlu adanya sirkulasi air. Dengan adanya sirkulasi air ini untuk
menghindari menumpuknya zat amonia akibat hasil dari metabolisme (kotoran) ikan, sirkulasi ini
maka zat ammonia akan diangkut keluar dari bak penampungan. Adanya terjadinya amonia
dihasilkan dari sisa pencernaan dan metabolisme, zat ini sifatnya beracun bila kadar dalam air
mencapai 0,6mg/l,semakin tinggi konsentrasi didalam air mengakibatkan ammonia dalam darah
ikan meninggi membuat peningkatan pH darah tinggi, sehingga berpengaruh reaksi berantai
enzim pada proses metabolisme ikan. Tujuan ikan dibuat puasa dan adanya sirkulasi air adalah
mengurangi pengeluaran ammonia dan memperkecil kadar polutan dalam air yang
terjadi.(Anonymous, 1986)

1
2 4

5
7
6

Gambar 8. Instalasi sirkulasi air dan pemasok oksigin

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 451


Keterangan: 1. Botol O2
2. Katup Pengatur O2
3. Katup Pencampur
4. Pompa air
5. Pipa masuk (inlet)
6. Katup
7. Pipa keluar (outlet)

Sirkulsi air secara fisik akan berpengaruh selain temperatur juga tingkat kelarutan oksigen
didalam air, semakin temperatur turun maka konsentrasi kadar oksigen akan semakin
tinggi.(Schmittou, 1991). Selain itu juga tempratur juga mempunya peran secara proses biologis
pada aktivitas peredaran darah ikan, serta proses pencernaan dan metabolisme. Setiap adanya
peningkatan temperatur media air akan menyebabkan aktivitas metabolisme dan mengurangi
kadar oksigen, demikian juga adanya peningkatan metabolisme yang tinggi akan mempercepat
penurunan kwalitas air oleh senyawa metabolit.(Suparno&Irianto, 1995). Sebaliknya bila
temperatur air menurun secara langsung akan mempengaruhi suhu badan ikan dan suhu
darah. Secara hukum fisika, bahwa bila terjadi temperatur turun, cairan viskositasnya makin
rapat, hal ini terjadi di darah bearti darah akan mengental dan aliran akan melambat (Fujaya,
1999). Dalam proses pencernaan temperatur tubuh berperan pada pengeluaran sekresi asam
lambung, menurunnya proses metabolisme mengakibatkan menurunnya kebutuhan bioenergi
dan secara langsung berdampak pada menurunnya kebutuhab oksigen. Jadi menurunnya
temperatur akan berdampak pada proses menurunnya metabolisme dan kebutuhan oksigen,
sehingga terbentuknya zat toxic (racun) baik berbentuk ammonia (NH ) maupun gas
CO2.(Wedemeyer, 1996).

2.2 Pemberian Oksigen


Kebutuhan oksigen tergantung pada jenis dan ukuran ikan dalam kaitannya dengan aktifitas
ikan tersebut. Konsumsi oksigen setiap ikan sangat penting untuk diketahui, sehingga
perhitungan pasokan oksigen untuk pengangkutan ikan laut hidup dapat dipersiapkan secara
optimal.(Suparno& Irianto, 1995).

Tabel .1 Konsentrasi oksigen terlarut pada beberapa suhu air laut dan salinitas

DO (mg/L) dalam air laut (ppt)


Suhu( C )
5 20 35
15 9,8 8,9 8,1
20 8,8 8,1 7,4
25 8 7,4 6,8
30 7,3 6,8 6,2

Schmittou (1991)
Oksigen sebagai bahan pernapasan yang dibutuhkan sel untuk melakukan proses reaksi
metabolisme, masuknya oksogen melalui alat pernapasan (insang), pemasokan oksigen murni
bertujuan meningkatkan kadar oksigen terlarut sehingga meningkatkan tekanan pasial gas
oksigen di dalam air untuk meningkatkan proses difusi oksigen ke dalam darah.

Pengangkutan ikan laut dalam kondisi hidup merupakan hal yang sangat penting untuk
dipikirkan dan ditindak lanjuti khususnya untuk kapal nelayan tradisional, masalah ini akan
dapat meningkatkan pendapatan para nelayan dikarenakan harga jul ikan hidup lebih tinggi
disbanding ikan mati.

Rekayasa masalah pengangkutan ikan hidup dari laut ke darat sampai tujuan pelanggan
memanfaatkan beberapa disiplin ilmu, antara lain,bidang biologi,fisika, kimia dan perkapalan
Dari bidang ilmu biologi, adanya manupulasi kondisi biologis (pemuasaan) bertujuan
pengkondisian untuk menekan aktivitas ikan, pencernaan dan metabolisme yang berdampak
pada menurunnya tingkat konsumsi oksigen dan meminimalisir kotoran yang akan menjadikan

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 452


ammonia dan CO2.

Di bidang fisik lingkungan, pengaruh dari temperatur akan berpengaruh, misalnya terjadinya
penurunan suhu air media, mempunyai tujuan menekan tingkat aktifiras ikan sehingga terhindar
dari stress, dengan turunnya aktivitas metabolisme, sekresi enzim pengguna bioenergi menurun
yang berarti kebutuhan oksigen juga turun.

Berkaitan dengan dasar Kimia air, penurunan kadar garam bertujuan untuk menurunkan
aktivitas ikan yang berkaitan dengan bioenergi, serta oksigen terlarut mempertinggi tekanan
parsial gas oksigen didalam air laut sebagai media pengangkut, sehingga proses diffuse
oksigen ke dalam darah semakin mudah.

Dalam bidang perkapalan, mencoba memodifikasi kapal nelayan yang sudah ada,dibuat
pengangkut ikan hidup dengan sistim container . Hal ini untuk mempermudah menjaga ikan
hasil tangkapan tetap hidup, dan saat bongkar muat mudah serta ikan tidak rusak akibat
bongkar muat.

References
Anonymous. 1986. Traning Manual on Marine Finfish Netcage Culture in Singpore. Regional
Seafarming Project RAS/86/024.
Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan. Dasar Pengembangan Teknik Perikanan.PT Rineka Cipta.
Jakarta.
Hydromax, 1994-2002, Hydromax Pro User Manual, Formating Design Pty Ltd
Jan Olof-Traung, 1955, 1960, Fishing Boats Of The World Vol. 1 and 2, Fishing News Book
Ltd Farnham, Surrey, England
Maxsurf, 1994-2002, Maxsurf Pro 7.16 User Manual, Formating Design Ltd
Schmittou, H.R. 1991. Cage Culture , A Methode of Fish Production in Indonesia. Central
Research Institute for Fisheries. Jakarta.
Sudrajad, A., W Ismail, dan P.T. Imanto . 1999. Perkembangan Marikultur di Indonesia. Makalah
disampaikan pada Rapat Kerja Teknis Puslitbang Perikanan. Caringin.
Suparno dan H.E. Irianto. 1995. Transportasi Ikan Hidup dan Teknologi Pascapanen. Proseding
Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring apung Bagi Budidaya Laut.
Jakarta.
Suryaningrum,T.D.,et al. 2001. Ikan Kerapu Hidup Penanganan dan Transportasinya dalam
buku Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Pusliang
Eksplorasi Laut dan Perikanan. Jakarta.
Wedemeyer, G.A. 1996. Physiology og Fish In Intensive Culture Systems. International
Thomson Publishing Chapman & Hall. New York.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 453


DISTRIBUSI KONSENTRASI TSS DI PERAIRAN TELUK BANTEN DAN DAMPAKNYA
TERHADAP EKOSISTEM LAUT DAN PERIKANAN
1 2 1
Tubagus SOLIHUDDIN* , Gunardi KUSUMAH , Dini PURBANI
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian
dan Pengembangan Kelautan Perikanan, Jakarta.
2
Loka Penelitian Sumberdaya Laut dan Kerentanan Pesisir, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan Perikanan, Padang.
*Email: solihuddin@gmail.com

Abstract

The total suspended solid (TSS) is a solid matter that cause turbidity in the body of water. The higher concentration of
TSS in water would cause marine biota deterioration and ecological damage. This study aimed to derive the distribution
of TSS concentrations and its impact on marine ecosystems and potential fisheries development in Banten Bay waters.
The methods involved in this study were remote sensing applications, field work and sampling, and laboratory analysis.
Based on Landsat 5 TM analysis acquired on 18 May 1992, the distribution of TSS concentrations ranged from a low of
<50 mg/l to a high of 70 mg/l and were largely distributed in the estuary and surrounding coasts, indicating the dominant
of fluvial processes. Whilst the analysis of Landsat 7 ETM+ dated 7 August2001 showed the increasing trends of TSS
distribution in both spreading and concentrations, designating the high sediments supply from the river and were
subsequently distributed seaward by the currents and waves. Moreover, the analysis of seawater samples obtained the
TSS concentrations in range of 48156mg/l, showing that the TSS concentrations in Banten Bay were considerably high.
This condition might directly influence the sustainability of marine ecosystems such as coral reefs, seagrass, and
mangroves, which need hospitable environment to survive. Additionally, the potential fisheries development through
marine aquaculture is not recommended in this area regarding the concentrations of TSS were far higher than the
recommended limit for marine biota (5-25mg/l) issued by the State Ministry for Environment (2004).
Keywords: TSS concentrations, marine ecosystems, potential fisheries development

1. Pendahuluan
Total suspended solid (TSS) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan
kekeruhan pada air; merupakan padatan tidak larut dan tidak dapat mengendap secara
langsung. Padatan tersuspensi ini terdiri dari partikel-partikel yang ukurannya > 0.45 m,
misalnya: lumpur, pasir halus, bahan-bahan organik tertentu, jasad-jasad renik dan lainnya
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai padatan
tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan tetapi, tingginya padatan terlarut
tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang
tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi, 2003).

Konsentrasi TSS yang berlebih (diukur dalam mg/l) d a p a t menciptakan resiko tinggi terhadap
kehidupan biota dalam air dan memiliki dampak langsung terhadap kerusakan ekologis melalui
beberapa mekanisme berikut ini: 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan
tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3)
Menghambat tumbuhnya telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4)
Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi
makanan; 5) Gangguan terhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena
padatan menghalangi sinar yang masuk; 6) Perubahan integritas habitat akibat perubahan
ukuran partikel. Dampak tersebut pada gilirannya akan mengurangi keberadaan ikan di laut
karena lingkungan hidupnya sudah rusak atau tercemar (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran konsentrasi TSS di perairan Teluk Banten
(Gambar 1) hubungannya dengan kondisi lingkungan laut dan potensi perikanan. Pendekatan
yang digunakan adalah integrasi aplikasi penginderaan jauh dan pengambilan sampel, serta
analisis laboratorium.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 454


Gambar 1. Peta petunjuk lokasi penelitian

2. Metode
2.1. Analisis data citra
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari citra satelit Landsat 5 TM path 123 dan
+
row 064 akuisisi tanggal 18 Mei 1992, citra satelit Landsat 7 ETM path 123 dan row 064
akuisisi tanggal 07 Agustus 2001, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar 1110 311
(Bojonegara), lembar 1110 312 (Pasirputih), lembar 1109 633 (Cilegon), dan lembar
1109 634 (Serang), skala 1:25.000 terbitan Bakosurtanal edisi I tahun 1999. Perangkat lunak
yang digunakan terdiri dari ER Mapper 7.0, MapInfo 7.0, dan Arc View 3.2 yang dilengkapi
image analysis untuk mengolah data raster dan vektor serta dalam pembuatan peta-peta
tematik.

Formula yang digunakan untuk mendapatkan nilai konsentrasi TSS pada citra diturunkan dari
algoritma Budiman (2004), hasil penelitiannya di perairan Delta Mahakam. Algoritma tersebut
menggunakan nilai reflektan irradian (R(0-)) dari kanal merah sebagai input, tetapi pada
penelitian ini digunakan nilai reflektan kanal merah yang terkoreksi atmosferik, penurunan
algoritma TSS untuk masing-masing data citra yang digunakan adalah sebagai berikut:
(23.769 * kanal merah)
Landsat 5 TM : TSS (mg/l) = 8.2054 * exp (1)
+
Landsat 7 ETM :
(23.704 * kanal merah)
TSS (mg/l) = 8.1429 * exp (2)

Tahapan selanjutnya adalah klasifikasi citra, bertujuan untuk mengelompokan nilai TSS ke
dalam kelas tertentu. Algoritma yang digunakan untuk proses klasifikasi pada tool formula editor
perangkat lunak ER Mapper 7.0 adalah sebagai berikut:

if i1>0 and i1<50 then 1 else if i1>=50 and i1<60 then 2 else if i1>=60 and
i1<70 then 3 else if i1>=70 and i1<80 then 4 else if i1>=80 and i1<90 then 5
else if i1>=90 and i1<100 then 6 else if i1>=100 and i1<110 then 7 else if
i1>=110 and i1<120 then 8 else if i1>=120 and i1<130 then 9 else if i1>=130
then 10 else null (3)

2.2. Pengambilan sampel dan analisis laboratorium


Untuk memperoleh gambaran distribusi konsentrasi TSS berdasarkan data lapangan, maka

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 455


dilakukan pengambilan sampel air laut sejumlah 25 sampel. Pemilihan titik sampel dilakukan
dengan metode purposif yang mewakili seluruh perairan Teluk Banten. Jarak antar titik sampel
+/- 1 menit grid latitude-longitude atau sekitar 1,8 km (Gambar 2). Setiap titik sampel diambil 1
liter air pada kedalaman 1 2m dari permukaan laut, setelah itu dilakukan analisa
laboratorium untuk memperoleh kandungan konsentrasi TSS.

Analisis sampel air laut dilakukan di laboratorium Produktifitas air dan Lingkungan (ProLing) IPB.
Metode analisis yang dipakai untuk mengukur TSS adalah analisis gravimetri, dimana sampel
air yang ada dimasukan ke dalam gelas fiber dan residu dari air akan nampak di atas filter yang
panas; suhu filter konstan antara 103 - 105. Penambahan berat yang ada pada filter
merepresentasikan berat dari TSS yang terkandung dalam satuan volume sampel.

PETA TITIK LOKASI


PENGAMBILAN SAMPEL AIR LAUT
-TSS

Gambar 2. Peta titik lokasi pengambilan sampel air laut

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Analisis data citra
Distribusi konsentrasi TSS dari nilai rata-rata reflektan spektral kanal merah citra Landsat yang
+
terdiri dari a) Citra Landsat 5 TM tahun 1992, dan b) Citra Landsat 7 ETM tahun 2001
diperoleh nilai kandungan TSS perairan Teluk Banten yang dikelompokkan ke dalam 10
(sepuluh) kelas sebagai berikut (Tabel 1):

Tabel 1. Pembagian kelas konsentrasi TSS perairan Teluk Banten

No Kelas Nilai reflektan (R) citra Konsentrasi TSS


1 1 0 < R < 50 0 mg/l < TSS < 50 mg/L
2 2 50 R < 60 50 mg/l TSS <60 mg/L
3 3 60 R < 70 60 mg/l TSS < 70 mg/L
4 4 70 R < 80 70 mg/l TSS < 80 mg/L
5 5 80 R < 90 80 mg/l TSS < 90 mg/L
6 6 90 R < 100 90 mg/l TSS < 100 mg/L
7 7 100 R < 110 100 mg/l TSS < 110 mg/L
8 8 110 R < 120 110 mg/l TSS < 120 mg/L

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 456


9 9 120 R < 130 120 mg/l TSS < 130 mg/L
10 10 R 130 TSS 130 mg/L

3.1.1 Landsat 5 TM tahun 1992


Pada citra landsat 5 TM tanggal 18 Mei 1992, distribusi konsentrasi TSS di perairan Teluk
Banten berkisar antara <50 mg/L hingga 70 mg/L. Dilihat dari pola sebarannya, nampak terlihat
jelas pasokan sedimen dari sungai-sungai aktif seperti Sungai Cibanten, Cikemayungan,
Cianyar, dan Ciujung, dibawa oleh arus menyusuri pantai, sehingga nilai konsentrasi TSS kelas
2 (5060 mg/l) dan kelas 3 (6070 mg/l) cenderung tersebar di sekitar garis pantai, sementara
konsentrasi TSS kelas 1 (<50 mg/L) berada agak ke tengah laut (Gambar 3).

PETA DISTRIBUSI
KONSENTRASI TSS
PERAIRAN TELUK BANTEN

Keterangan:
Kelas 1 (050 mg/l)
Tl. Banten Kelas 2 (5060 mg/l)
Kelas 3 (6070 mg/l)

Gambar 3. Peta distribusi TSS Teluk Banten (citra Landsat 5 TM 18 Mei 1992)

+
3.1.2 Landsat 7 ETM tahun 2001
Pada citra landsat 7 ETM+ tanggal 7 Agustus 2001, distribusi konsentrasi TSS di perairan Teluk
Banten cenderung meningkat jika dibandingkan dengan distribusi konsentrasi TSS pada tahun
1992 baik dari luas sebaran maupun konsentrasinya. Hal tersebut terlihat jelas dari
perbandingan pola sebaran, dimana konsentrasi TSS paling rendah adalah kelas 4 (7080
mg/l) dan paling tinggi kelas 10 (>130 mg/l) (Gambar 4).

PETA DISTRIBUSI
KONSENTRASI TSS
PERAIRAN TELUK BANTEN

Keterangan:

Kelas 4 (7080 mg/l)


Tl. Banten
Kelas 5 (8090 mg/l)
Kelas 6 (90100 mg/l)
Kelas 7 (100110 mg/l)
Kelas 8 (110120 mg/l)
Kelas 9 (120130 mg/l)
Kelas 10 (>130 mg/l)

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 457


Gambar 4. Peta distribusi TSS Teluk Banten (citra Landsat 7 ETM+ 7 Agustus 2001)

3.1.3 Analisis dinamika konsentrasi TSS


Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh Angin Monson dan Gelombang La Nina atau El
Nino. Saat musim penghujan (Nopember Maret) cuaca didominasi oleh angin Barat (dari
Sumatera, Samudra Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari Asia
yang melewati Laut Cina Selatan. Pada bulan April Agustus, cuaca didominasi oleh angin
Timur yang menyebabkan di wilayah Banten mengalami kekeringan terutama di wilayah bagian
pantai utara, terlebih lagi bila berlangsung El Nino (www.banten.go.id).

Berdasarkan kondisi iklim di wilayah Banten, waktu akuisisi data citra yaitu tanggal 18 Mei
1992 dan 07 Agustus 2001, kedua citra Landsat tersebut diakusisi pada musim yang sama,
yaitu musim kemarau. Artinya tidak ada perbedaan iklim pada saat akuisisi kedua data citra
tersebut. Hal ini perlu disampaikan, karena jika musim berbeda, maka distribusi konsentrasi
TSS di perairan pun akan berbeda. Pada saat musim hujan, debit air sungai yang masuk ke
perairan Teluk Banten lebih tinggi, sehingga akan membawa material suspensi sedimen yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pada saat musim kemarau.

Selain faktor musim, arus laut yang terjadi baik diakibatkan oleh pasang surut maupun
gelombang merupakan salah satu parameter penting dalam mengontrol dinamika distribusi TSS
di perairan. Karena keberadaan TSS di perairan mengapung (floating), sehingga
pergerakannya tergantung dari arah arus. Untuk mendapatkan gambaran kondisi arus daerah
penelitian dilakukan pemodelan numerik arus laut menggunakan software mike21 dan
pengukuran arah dan kecepatan arus laut secara insitu di lapangan. Kecepatan arus hasil
simulasi berkisar antara 0.05 m/det sampai 0.2 m/det, sedangkan berdasarkan pengukuran
arus secara insitu, kecepatan arus maksimum pada saat pengukuran dilakukan (bulan Juli)
sebesar 0.368 m/det. Sementara arah arus pada saat pengukuran umumnya bergerak ke arah
o
baratlaut (sekitar 300 ).

3.2 Analisis distribusi TSS berdasarkan data lapangan


Berdasarkan hasil uji laboratoium kandungan TSS di setiap stasiun pengamatan (Tabel 2),
diperoleh nilai konsentrasi TSS di perairan Teluk Banten berkisar antara 48 156 mg/L
(Gambar 5). Mengacu kepada baku mutu air laut yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup tahun 2004, nilai kandungan TSS yang baik untuk usaha budidaya perikanan
laut adalah 5 25 mg/l (KLH, 2004), sementara untuk ekosistem laut seperti terumbu karang
adalah 20 mg/l, mangrove 80 mg/l, dan lamun 20 mg/l. Berdasarkan kandungan TSS perairan
Teluk Banten yang disebandingkan dengan kriteria baku muku air laut perikanan, maka
perairan Teluk Banten secara keseluruhan tidak direkomendasikan untuk dikembangkan
usaha budidaya.

Kekeruhan yang terjadi di perairan ini lebih disebabkan oleh beranekaragamnya campuran
partikel terlarut seperti lempung, pasir halus dan bahan organik yang diuraikan oleh detritus,
fitoplankton yang berada di permukaan dan jenis organisme mikroskopis lainnya. Pada
umumnya, kumpulan berbagai partikel ini berasal dari aliran yang terbawa dari darat dan juga
berasal dari perairan itu sendiri, sehingga berdampak pada bervariasinya tingkat kekeruhan di
perairan Teluk Banten dari waktu ke waktu.

Adanya perbedaan penyebab kekeruhan di perairan juga menjadi penyebab perubahan


komposisi dari komunitas organisme perairan di badan air tersebut. Apabila terdapat kekeruhan
terjadi akibat besarnya volume partikel sedimen yang tersuspensi akan menjadi penyebab
berkurangnya penetrasi cahaya, sehingga menghambat aktivitas fotosintesis fitoplankton,
alga dan makropita yang berada jauh dari permukaan. Sedangkan jika kekeruhan lebih
besar dipengaruhi oleh blooming alga, cahaya tidak akan jauh menembus ke dalam badan air,
sehingga produsen primer menjadi terbatas khususnya yang berada di lapisan paling atas.
Cyanobacter (blue-green algae) sangat menyukai kondisi seperti ini dan secara perlahan

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 458


mengapung di permukaan. Secara keseluruhan, adanya kekeruhan menyebabkan
berkurangnya organisme yang melakukan fotosintesis untuk menyediakan makanan bagi
kebanyakan invertebrata. Sehingga semua invertebrata mengalami penurunan yang
menyebabkan turunnya populasi ikan di perairan (http://www.ourlake.org/html/turbidity.html).

Tabel 2. Hasil uji laboratorium kandungan TSS air laut perairan Teluk Banten

KODE KADAR TSS


NO
SAMPEL (mg/l)
1 TSS-1 85
2 TSS-2 86
3 TSS-3 85
4 TSS-4 72
5 TSS-5 97
6 TSS-6 82
7 TSS-7 103
8 TSS-8 103
9 TSS-9 84
10 TSS-10 76
11 TSS-11 110
12 TSS-12 86
13 TSS-13 78
14 TSS-14 70
15 TSS-15 86
16 TSS-16 94
17 TSS-17 67
18 TSS-18 48
19 TSS-19 79
20 TSS-20 83
21 TSS-21 67
22 TSS-22 156
23 TSS-23 73
24 TSS-24 149
25 TSS-25 68

Gambar 5. Peta kontur distribusi TSS perairan Teluk Banten berdasarkan data Insitu

4. Kesimpulan

Hasil analisis citra Landsat tahun 1992 dan 2001 menunjukkan telah terjadi peningkatan
distribusi konsentrasi TSS di perairan Teluk Banten baik dari luas sebaran maupun
konsentrasinya. Sementara hasil analisis sampel air laut di laboratorium juga memperlihatkan
nilai konsentrasi TSS yang tinggi yaitu antara 48 156 mg/L. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa konsentrasi TSS di perairan Teluk Banten cukup tinggi dan akan berdampak
langsung terhadap kelestarian ekosistem laut yang memiliki batas toleransi nilai konsentrasi
TSS di perairan seperti terumbu karang (20 mg/l), padang lamun (20 mg/l), dan mangrove (80
mg/l). Selain itu, untuk potensi pengembangan budidaya perikanan laut juga kurang cocok
karena nilai konsentrasi TSS telah melebihi batas toleransi yang direkomendasikan oleh KLH
(2004) untuk biota laut, yaitu 5-25 mg/l.

Ucapan Terima Kasih


Kami mengucapakan terima kasih kepada Dr. Budi Sulistiyo, Kepala Puslitbang Sumberdaya
Laut dan Pesisir, Balitbang Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan izin serta dukungan
peralatan untuk terselenggaranya penelitian ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan
kepada Kementrian Riset dan Teknologi yang telah mendanai penelitian ini melalui skema dana
hibah penelitian tahun 2010. Kepada seluruh anggota tim penelitian serta nelayan lokal yang
telah membantu selama survey lapangan kami ucapkan terima kasih atas bantuan dan
kerjasamanya.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 459


References
Budiman, S. (2004): Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid
Tropical Coastal Waters of Mahakam Delta, Indonesia. Master Thesis, Geo-
Information Science and Earth Observation, ITC, Enschede the Netherland.
Effendi H. ( 2003): Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. PT. Kanisius. 257 hal.
Hardjojo B dan Djokosetiyanto. (2005): Pengukuran dan Analisis Kualitas Air. Edisi
Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup. ( 2004): Keputusan Menteri KLH No. 51/2004 Tentang
Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. KLH, Jakarta.
banten.go.id. (2010): Profil Provinsi Banten, www.banten.go.id (diunduh tanggal 2 Oktober
2010).
ourlake.org/html/turbidity.htm. (2010): Water turbidity, http://www.ourlake.org/html/turbidity.htm.
(diunduh tanggal 15 Oktober 2010).

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 460


PRELIMINARY STUDY TBT SUBSTITUTION WITH DUST EXTRACT OF TOBACCO
(Nicotiana tabacum) ASANTIFOULING
1 1 2
Aunurohim* , Nurlita ABDULGANI , Januar Indra YUDHATAMA
1
Staf pengajar jurusan Biologi FMIPA ITS
2
Alumni Biologi FMIPA ITS
*e-mail :aunurohim@bio.its.ac.id

Abstract

The use of TBT (Tributyltin) as part of antifouling paint has been long time. But the negative effects of TBT, especially to
marine organisms tend to be high; one of them is causing imposex. Dust tobacco (Nicotiana tabacum), which is a waste
of tobacco are known to have Solanesol, a chemical metabolites, which are chemically belonged terpenoids and
potentially use as antifouling. Therefore, the initial test was done using maceration extract of leaves mixed with to ship
antifouling paint. The results after for 28 days showed that the biomass and the extent of biofouling is still quite high and
significant value. Allegedly, the maceration process is still considered insufficient to produce a pure compound
Solanesol.

Keywords: dust tobacco (Nicotiana tabacum), antifouling

1. Pendahuluan
Biofouling adalah proses penempelan biota pada benda-benda di laut, termasuk diantaranya
adalah kapal (Sabdono, 2007). Penempelan biota fouling tersebut dapat menyebabkan dinding
kapal menjadi tidak mulus dan berindikasi kasar. Hal ini dapat menurunkan kecepatan dan daya
manuver kapal, bahkan meningkatkan konsumsi bahan bakar. Iselin (1967) menyatakan bahwa
konsumsi bahan bakar kapal yang berlayar di perairan beriklim sedang selama enam bulan di
laut akan meningkat sebesar 35-50%, jika body kapal mengalami penempelan biota fouling.

Selain meningkatkan konsumsi bahan bakar, biofouling juga menyebabkan umur kapal menjadi
lebih pendek karena terjadi korosi. Lukasheva, et al., (1992) dalam Railikin (2004) menyatakan
bahwa penempelan suatu organisme pada material logam secara intensif dapat menimbulkan
korosi pada media di air laut. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa, salah satu hewan biofouling
yaitu teritip dapat merusak lapisan cat yang ada pada material logam. Cangkang teritip yang
tajam mampu merusak lapisan cat hingga setebal 0,2 mm. Dan lapisan cat yang rusak ini
memungkinkan peningkatan korosifitas logam sehingga mengakibatkan umur kapal menjadi
pendek.

Namun, para ilmuwan sudah berhasil menemukan senyawa kimia yang digabungkan dengan
cat kapal yang disebut Trybutyltin (TBT), yang dapat berfungsi sebagai biosida alga, jamur
ataupun serangga (Berge and Walday, 1999). Namun, TBT diketahui mempunyai efek toksik di
perairan sehingga tidak hanya menghambat penempelan biofouling tetapi juga menyebabkan
kelainan imposex pada hewan non target seperti gastropoda Buccinum undatum dan Nucella
lapillus. Kondisi ini akan dapat menyebabkan populasi gastropoda tersebut dapat terancam
punah dan mengganggu kestabilan komunitas di perairan tersebut.

Sidhartan and Shin (2007) berhasil membuktikan bahwa zat metabolit sekunder yang diperoleh
dari tanaman jeruk, jahe, cengkeh, melati dan juga tembakau mampu menghambat biofouling.
Disebutkan pula, daun tembakau (Nicotiana tabacum) memiliki zat antifouling yang paling
efektif mengurangi jumlah pelekatan spora alga. Zat tersebut adalah Solanesol dari golongan
Terpenoid. Diketahui pula, tembakau memiliki kandungan berupa Alkaloid dan asam lemak.

Berpijak dari informasi tersebut, maka dilakukan ujicoba yang bersifat trial and error atau
preliminary study dengan menggunakan ekstrak daun tembakau melalui proses maserasi biasa

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 461


dan diaplikasikan pada cat kapal pada kondisi lapangan. Dan parameter umum yang dilihat
adalah biomassa dan luasan penempelan organism penyebab biofouling pada substrat baja
yang telah dimodifikasi sesuai dengan alur pengecatan umum pada suatu dinding kapal.

2. Metodologi
2.1 Objektif Penelitian
Kegiatan ini sebenarnya merupakan kegiatan yang bersifat trial and error, dengan asumsi
bahwa ekstrak debu daun tembakau mempunyai kandungan senyawa metabolit Solanesol yang
diketahui mempunyai khasiat sebagai antifouling. Oleh karena itu, teknis mekanisme perolehan
senyawa metabolit tersebut diarahkan dengan menggunakan metode yang paling sederhana,
yaitu maserasi.

2.2 Preparasi Awal dan Ekstraksi Debu Tembakau


Panel uji yang digunakan adalah plat baja dengan dimensi 150 x 50 x 10 mm sebanyak 15
buah, dengan sisi lebar bagian tengah atas dilubangi 15 mm dengan diameter 10 mm sebagai
tempat mengikat tali di lokasi penelitian.

Sementara itu, debu tembakau diperoleh dari pabrik pengolahan tembakau dan diambil
sebanyak 5 kg. Debu tembakau kemudian direndam dalam ethanol 96% pada erlenmeyer 500
ml dan di shaker/goyang selama 7 hari sehingga terbentuk filtrat yang jernih (Intan, 2008).
Konsep ini disebut dengan metode maserasi. Proses ini sangat menguntungkan karena
perendaman sampel bahan tanaman akan mengakibatkan pemecahan dinding dan membran
sel akibat perbedaan tekanan didalam dan diluar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada
dalam sel dapat larut dalam pelarut organik (Darwis, 2000). Dari proses maserasi akan
dihasilkan supernatant dan pellet. Supernatant merupakan larutan yang berisi pelarut ethanol
dan senyawa metabolit sekunder yang telah larut, sedangkan pellet merupakan bahan debu
tembakau.

Sementara pellet dibuang, supernatant ditampung dalam botol flask 250 ml untuk dikeringkan
dengan menggunakan freeze dryer, yang mempunyai prinsip kerja menghilangkan larutan air
pada bahan ekstrak dengan cara sublimasi. Pada fase ini, larutan ekstrak debu tembakau
0
mengalami proses pembekuan hingga suhu - 4 C dan dikeringkan dengan tekanan dibawah
6,11 mbar selama kurang lebih 8 jam. Dari proses pengeringan tersebut dihasilkan padatan
ekstrak kasar debu tembakau dengan berat mencapai 2,615 gram.

2.3 Proses Pelarutan Ekstrak Kasar Debu Tembakau


Ekstrak kasar debu tembakau belum bisa diaplikasikan dengan mencampurkannya kedalam cat
yang akan digunakan sebelum dilakukan pelarutan. Satu gram ekstrak kasar debu tembakau
dilarutkan dalam ethanol 96% sebanyak satu liter, sehingga diperoleh campuran ekstrak debu
tembakau dengan konsentrasi 1000 ppm. Larutan inilah yang akan digunakan sebagai
campuran pada cat yang akan diaplikasikan pada kapal. Metode yang digunakan adalah
monolithic coating, dengan asumsi pada metode ini senyawa aktif dalam ekstrak dapat larut dan
tersebar (Al Juhni, 2006).

Dan selanjutnya, ekstrak debu tembakau tersebut dengan konsentrasi 1000 ppm diencerkan
sehingga diperoleh konsentrasi perlakuan 10 dan 25 ppm, serta kontrol dengan kandungan
ekstrak debu tembakau nihil atau 0 ppm.

2.4 Proses Pengecatan dan Perlakuan Pemberian Ekstrak Debu Tembakau


Proses pengecatan menggunakan metode spray dengan ketebalan 80 mikron yang diukur
dengan Dry Film Thickness (DFT). Untuk selanjutnya ekstrak debu tembakau dengan
konsentrasi 0, 10 dan 25 ppm dicampurkan dalam lapisan finishing coating atau cat dekoratif
dengen tiga kali pengulangan dengan menggunakan warna hitam. Warna ini merupakan salah
satu warna yang paling disukai oleh biota biofouling (Rachmawati, 2002), sehingga diasumsikan
sebagai warna yang akan mudah ditempeli oleh biofouling.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 462


2.5 Pengukuran Faktor Fisik Air Laut
Pengukuran faktor fisik air laut meliputi kecerahan dengan menggunakan secchi disk, salinitas
dengan refractometer, temperatur dengan termometer air raksa dan arus serta pasang surut air
laut dengan mendasarkan pada data sekunder dari Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut.

2.6 Pengukuran Biomassa dan Luasan Biofouling


Salah satu parameter keberhasilan trial and error ini adalah jumlah biomassa dan luasan
biofouling yang diperoleh. Jika jumlah biomassa dan luasan biofouling ini cenderung sedikit,
dengan mengacu pada kriteria penutupan menurut Zhu and Huang (2004), maka ujicoba ini
bisa dikatakan berhasil.

Proses perendaman plat baja dilakukan selama 30 hari. Berat awal (BA) plat baja ditimbang
sebelum perendaman, dan setelah 30 hari perlakuan, plat baja ditimbang lagi sebagai Berat
Basah (BB), sehingga dapat diketahui biomassa basah penempelan dari biofouling dengan cara
mengurangi BB dengan BA. Sementara untuk luasan penempelan, dibuat pola penempelan
dengan menggunakan kertas mika yang kemudian dilakukan lay up untuk mengetahui luasan
penempelan. Kriteria kategori persentase (%) penutupan menurut Zhu and Huang (2004)
adalah :
Tabel 1
Persen penutupan (%) Kategori
< 10 Rendah
10 30 Agak rendah
30 50 Sedang
50 80 Tinggi
80 100 Sangat tinggi

3. Hasil dan Pembahasan


Fokus dari hasil kegiatan ini sebenarnya adalah trial and error dengan menggunakan ekstrak
debu daun tembakau melalui proses maserasi sederhana dan diaplikasikan langsung di
lapangan dengan menggunakan plat baja yang umum digunakan di PT DOK Perkapalan
Surabaya.

3.1 Biomassa dan Luasan Penempelan Biofouling


Setelah perendaman 30 hari, panel baja yang diikat pada tali tampar sepanjang 5 meter dengan
jarak antar perlakuan 1,42 meter tersebut ditimbang dan dihitung biomassa basah serta luasan
penempelan, dengan data sebagai berikut :

Gambar 1. Diagram rerata biomassa basah biofouling (dalam gram)


pada beberapa perlakuan konsentrasi ekstrak debu tembakau yang
direndam selama 30 hari pada skala percobaan lapangan di sekitaran
PT Dok Perkapalan Surabaya.

Dari gambar 1 belum dapat diperoleh kecenderungan rerata biomassa basah biofouling yang

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 463


mengarah pada pola menurun. Secara teoritis, semakin tinggi konsentrasi ekstrak debu
tembakau, maka seharusnya semakin rendah biomassa basah biofouling. Namun, pada
penelitian ini justru biomassa basah biofouling pada konsentrasi 20 ppm cenderung lebih tinggi
dibandingkan konsentrasi 10 ppm, yaitu dari 74,47 gram dengan 61,01 gram. Kondisi ini
mengarah bahwa ekstrak debu tembakau dianggap tidak memberikan pengaruh pada
penempelan biofouling. Asumsi ini diperkuat dengan hasil uji ANOVA one way yang
menunjukkan bahwa p-value bernilai 0,237 atau lebih besar dari 0,05 sehingga disimpulkan
bahwa ketiga konsentrasi tersebut tidak berpengaruh terhadap rerata biomassa basah
biofouling.

Sementara, dari tinjauan persentase luasan biofouling dari berbagai konsentrasi disajikan
sebagai berikut :

Gambar 2. Menunjukkan persentase rerata luasan


biofouling (dalam %) yang terjadi pada plat baja yang
diujicobakan. Terlihat bahwa persentase biofouling antar
konsentrasi cenderung tidak memberikan perbedaan
secara signifikan.

Dari gambar 2 terlihat bahwa perbedaan perlakuan dengan konsep konsentrasi ekstrak debu
tembakau yang berbeda ternyata tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan. Secara
teoritis, seharusnya semakin tinggi konsentrasi, maka semakin sedikit luasan biofouling yang
ditemukan. Gambar tersebut memang menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase rerata
luasan, sehingga untuk menyakinkan hasil ini, dilakukan uji ANOVA one way, dan hasilnya
menyatakan bahwa p-value = 0,405, yang berarti tidak terjadi perbedaan yang signifikan antar
perlakuan antar konsentrasi ekstrak terhadap persentase luasan biofouling yang terjadi.

Selain itu, dengan menggunakan criteria dari Zhu and Huang (2004), dapat dinyatakan bahwa
penutupan biofouling yang terjadi dikategorikan sangat tinggi. Dan jika digabungkan antara
biomassa basah biofouling dan persentase penutupannya, terlihat bahwa perlakuan dengan
menggunakan gradasi konsentrasi dianggap tidak signifikan.

3.2 Identifikasi Organisme Makrofouling


Terlepas dari ketidakberhasilan preliminary study ini, perlu dilakukan identifikasi organisme
makrofouling yang diperoleh di plat baja yang diperlakukan. Diketahui ada dua jenis
makrofouling yang mendominasi, dan disajikan sebagai berikut :

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 464


Klasifikasi Balanus amphitrite :

Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub Class : Cirripedia
Order : Thoracia
Family : Balanidae
Genus : Balanus
Species : Balanus amphitrite
Southward (1963)
Gambar 3. Balanus amphitrite
Klasifikasi Tubeworm :

Kingdom : Animalia
Phyllum : Annelidae
Class : Polychaeta
Order : Spionida
Family : Spionidae

Order : Sabellida
Family : Serpulidae
Tann (1988)

Gambar 4. Tubeworm

Dari gambar 3, spesies Balanus amphitrite diketahui mendominasi penempelan pada plat baja.
Penempelan ini diduga salah satunya dipengaruhi oleh kecerahan. Larva Balanus dikenal
memiliki sifat menghindari cahaya atau fototropik negatif (Ermaitis, 1984). Pada lokasi
perendaman plat baja, tingkat penetrasi cahaya hanya berkisar 98 cm dari permukaan air.
Selain itu, Balanus sp juga memiliki kemampuan untuk menempel dengan baik pada substrat
yang terendam pada perairan laut. Zimmer (2001) dalam Purwani (2006) menyatakan bahwa
Balanus dewasa akan mengirimkan sinyal berupa senyawa kimia Glycyl-Glycyl L-Arginine
(GGR) yang berfungsi sebagai pemicu larva untuk menempel pada suatu substrat dan
kemudian melanjutkan perkembangan ke stadia berikutnya untuk menjadi Balanus dewasa.

Sedangkan dari gambar 4, selain Balanus, organisme lain yang mendominasi adalah dari
phylum Annelida (cacing-cacingan yang berbentuk bulat) yang juga ditemukan menempel pada
plat baja. Morfologi cacing ini berwarna putih, berbentuk seperti tabung dan berkelompok.
Identifikasi cacing tersebut hanya bisa sampai taksa family, yang diduga dari family Spionidae
atau family Serpulidae.

Tann (1988) menyatakan bahwa tubeworm dari family Spionidae merupakan organisme yang
menetap dan umum ditemukan di bebatuan, lumpur ataupun substrat berpasir. Berukuran 0,5-
1,5 cm dan bersifat filter feeders. Sedangkan family Serpulidae umum ditemukan pada
bebatuan lumpur dan substrat berpasir, dan memiliki ukuran lebih besar dibanding Spionidae
dengan kisaran 5-8 cm.

3.3 Koreksi Ketidaksignikasian Hasil Penelitian


Hasil trial and error menunjukkan bahwa penelitian masih dianggap belum sesuai dengan
keinginan. Kegagalan ini dapat ditinjau dari beberapa hal, diantaranya :

- Konsep laju perbedaan kuantitas dan laju pelepasan senyawa bioaktif antifouling dari
ekstrak.
Burgess, et al., (2003) menyatakan bahwa pada saat ekstrak diberikan bersama-sama
dengan cat, maka ada kemungkinan terjadi laju pembebasan senyawa aktif tersebut ke
permukaan cat dengan kecepatan yang berbeda sehingga akan mempengaruhi
aktivitasnya terhadap organism target. Oleh karena itu, senyawa aktif ini menjadi tidak
efisien dalam mekanisme kerjanya sebagai antifouling.

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 465


Sementara Matsumura, et al., (2000) juga memberikan hipotesisnya bahwa uji
antifouling yang dilakukan pada skala lapangan biasanya akan memberikan hasil yang
kurang signifikan yang diduga disebabkan oleh terlalu cepatnya senyawa aktif terlepas
dari cat (leached), sehingga aktivitas antifouling dari ekstrak hilang dalam waktu yang
singkat.

- Teknik ekstraksi dengan metode maserasi dianggap masih belum mencukupi untuk dapat
menghasilkan ekstrak dengan senyawa aktif seperti Solanesol yang dianggap mempunyai
kemampuan sebagai antifouling.
Proses ekstraksi dengan maserasi dianggap masih belum cukup untuk mengetahui
kadar dan senyawa apa saja yang terkandung dalam ekstrak debu tembakau.
Prasetyoko (2012, short discussion) menyampaikan bahwa perlu beberapa proses
lanjutan untuk mengetahui apakah ekstrak debu tembakau memang mengandung
senyawa Solanesol seperti yang diinginkan. Proses tersebut adalah Kromatografi Layar
Tipis (KLT) untuk mengetahui senyawa apa saja yang ada dalam ekstrak. Setelah
diketahui senyawa metabolit tersebut, maka langkah selanjutnya adalah memisahkan
senyawa yang diinginkan dengan menggunakan alat Gas Chromatography Mass
Spectrofotometry (GC MS), dengan syarat berat molekul senyawa yang akan dicari
telah diketahui dari produk senyawa sejenis yang telah tersedia di pasaran.
Harapannya, dari proses GC MS tersebut, maka dapat diperoleh senyawa Solanesol
dari golongan Terpenoid dan Nikotin dari golongan Alkaloid. Dua golongan senyawa
metabolit sekunder ini dikenal memiliki kemampuan antibakteri yang baik, sehingga
dapat digunakan sebagai senyawa antifouling, terutama pembentukan biofilm, karena
biofouling diinisiasi terjadinya proses penempelan bakteri pada substrat yang
membentuk biofilm.

- Uji chemotaxis assay dan antifouling assay skala lapangan memiliki banyak bias sehingga
mempengaruhi hasil penelitian mengingat parameter-parameter lingkungan tidak bisa
dikendalikan dengan baik.
Oleh karena itu, langkah awal setelah diperoleh ekstrak melalui proses GC MS adalah
dengan melakukan uji chemotaxis assay skala laboratorium. Perbedaan utama antara
kerja senyawa alami antifouling dengan TBT terletak pada mekanisme kerjanya,
dimana TBT cenderung bersifat toksik dengan mekanisme kerja yang sederhana
dengan membunuh bakteri penempel. Sedangkan senyawa alami anfiouling cenderung
bersifat ramah lingkungan dengan mekanisme repellant atau anti adhesive.
Railikin (2004) melakukan suatu percobaan chemotaxis assay sederhana dengan
menggunakan chemotatic chamber yang terbuat dari Plexiglass dengan ukuran 36 x 40
x 80 mm dengan tiga ruang terpisah. Mikroorganisme diletakkan pada bagian tengah
ruang, sedangkan senyawa antifouling diisikan pada ruang yang berbeda dan air laut
pada ruang yang berbeda pula. Kemudian dihitung jumlah mikroorganisme yang berada
pada ruang yang berisi larutan antifouling dan ruang yang berisi air laut.

Chen, et al., (2008) melakukan uji antifouling assay pada skala laboratorium dengan
menggunakan Balanus albicostatus dewasa dan senyawa antifouling dari akar
mangrove Ceriops tagal. Langkah awal, B.albicostatus dimasukkan dalam air laut
0
buatan dengan salinitas 30 promil dan temperature 25 C. setelah 12 jam, B.albicostatus
akan menghasilkan larva tahap nauplius. Larva ini dipelihara selama 6 hari dengan
kondisi salinitas dan temperatur yang sama agar mencapai tahap cyprids. Tahap
cyprids inilah yang kemudian dipapar dengan beberapa konsentrasi senyawa
antifouling yang diperoleh dari akar mangrove C.tagal. Jumlah cyprids yang berhasil
menempel dan mati dihitung dengan menggunakan mikroskop stereo. Dan dari sini

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 466


pula dapat diprediksi konsentrasi senyawa antifouling yang sebaiknya digunakan untuk
uji penelitian skala lapangan.

4. Kesimpulan
o Beberapa konsentrasi ekstrak debu tembakau dengan proses maserasi
menggunakan pelarut ethanol 96% tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap
biomassa basah dan juga luasan penempelan biofouling pada plat baja yang
direndam selama 30 hari perlakuan.
o Makrofouling yang dominan menempel pada plat baja percobaan adalah Balanus
amphitrite dan Tubeworm dari family Spionidae dan/atau Serpulidae.
o Perlu dilakukan teknik ekstraksi yang lebih detail dibandingkan metode maserasi
biasa, sehingga dapat dipastikan akan diperoleh senyawa metabolit sesuai yang
diinginkan yaitu Solanesol yang lebih murni.
o Uji pada skala lapangan sebaiknya dilakukan setelah uji skala laboratorium dengan
menggunakan teknik chemotaxis assay ataupun antifouling assay, sehingga
standar konsentrasi yang bisa diaplikasikan pada skala lapangan menjadi lebih
fokus.

Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terima kasih pada pihak PT Dok Perkapalan Surabaya yang
menyediakan lokasi untuk penelitian ini, kemudian pihak PT Hempel yang memberikan bantuan
berupa plat baja standar untuk pembuatan kapal dan juga pihak-pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu dalam paper ini.

References
Al Juhni, A.A. 2006. Incorporation of Less Toxic Antifouling Compounds Into Silicone Coatings to
Study Their Release Behaviors. A Disertation University of Akron. Akron United
States
Burgess, J. G., K.G. Boyd, E. Armstrong, Z. Jiang. L. Yan, M. Berggren, U. May. T. Pisacane, A.
Granmo, and D,R. Adams. 2003. The Development of a Marine Natural Product
Based Antifouling Paint. Biofouling 19 : 197-205
Berge, J.A and Walday, M. 1999. Alternatives to the use of TBT as an antifouling agent on the
Hull of Ships With Special Reference to Methods not Involving leaching of Toxic
Compounds to the Water. Report No. O-98149 Norwegian Institute for Water
Research pp. 1-34
Chen et al. 2008. Antifouling Metabolites from the Mangrove Plant Ceriops tagal. MDPI 13, 212-
219
Darwis, D. 2000. Teknik Dasar Laboratorium dalam Penelitian Senyawa Bahan Alam Hayati.
Workshop Pengembangan Sumber Daya Manusia di dalam Bidang Kimia Organik
Bahan Hayati. FMIPA, Universitas Andalas. Padang
Ermaitis. 1984. Beberapa Catatan Mengenai Marga Balanus. Buletin Oseanografi Indonesia
LIPI Jakarta Vol IX No :3 :96-105
Intan, S. M. 2008. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Majapahit (Cresentia cujete C.) Terhadap
Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aereus dan Streptococcus pyogenes Secara
Invitro. Tugas Akhir Program Sarjana Biologi FMIPA ITS. Surabaya
Iselin.1967. The Effect Of Fouling In : US NAVAL INSTITUTE Marine Fouling and its Prevention.
Contrib n 580. Annapolis. Woods Hole Oceanographic Institution
Matsumura, K, Hills J.M, Thomason, P.O, Thomason, J.C, Clare, A.S. 2000. Discrimination at
Settlement in Barnacles: Laboratory and Field Experiments on Settlement Behaviour
in Response to Settlement-Inducing Protein Complexes. Biofouling: The Journal of
Bioadhesion and Biofilm Research Vol 16(2-4), pp 181-190
Prasetyoko, D. 2012. Short Discussion as personal expert.
Purwani, I.D. 2006. Kelimpahan Larva Teritip di Perairan Sekiar Tiang Pancang Jembatan
Suramadu Surabaya. Tugas Akhir Program Studi Biologi FMIPA ITS. Surabaya
Rachmawati, A. 2002. Pengaruh Warna Cat Dekoratif Terhadap Penempelan Teritip dan
Biomassa Biofouling pada Substrat Baja di Perairan Ujung Surabaya. Tugas Akhir

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 467


Program Studi Biologi FMIPA ITS. Surabaya
Railikin. 2004. Marine Biofouling : Communities on Submerged Hard Bodies. ISBN 0-8493-
1419-4.CRC Press.
Sabdono, A. 2007. Pengaruh Ekstrak Antifouling Bakteri Karang Pelagiobacter variabilis Strain
USP3.37 Terhadap Penempelan Barnakel di Perairan Pantai Teluk Awur, Jepara.
Jurnal Ilmu Kelautan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Volume 12 (1) : 18-23.
Jakarta
Sidhartan, M and Shin, H.W. 2007. Influence of Fiver Organic Antifouling Candidates On Spore
Attachement and Germination Of a Fouling Alga Ulva petrusa. Journal of
Environmental Biology. Tribeni Enterprises. India
Southward, A.J. 1963. Cataloge of Marine Fouling Organism : Volume 1 Barnacle. Organisation
of European Economic for Cooperation and Development
Tann, Leo, WH. 1988. A guide to Seashore. Singapore Science Center. Singapore
Zhu, X and Huang, G. 2004. Evaluation and Clasification of Seawater Corrosivenes by
Environmental Factor. Qingdao Marine Institute. China

Seminar Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 5 Desember 2012 X - 468

Das könnte Ihnen auch gefallen