Sie sind auf Seite 1von 33

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan perkembangan pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik
dimana keterampilan sosial yang diharapkan perkembangan bahasa, dan
kejadian perilaku tidak berkembang secara sesuai atau hilang pada masa
kanak-kanak awal. Gangguan perkembangan pervasif mempengaruhi
berbagai bidang perkembangan, bermanifestasi pada awal kehidupan dan
menyebabkan disfungsi yang persisten (Kaplan,2010). Gangguan pervasif
bermacam- macam diantaranya gangguan autistik (autisme infantil), sindrom
Rett, sindrom Asperger dan gangguan disintegrasi masa kanak-kanak
(Kaplan, 2010 ).
Menurut Kaplan (2010) prevalensi gangguan autistik berkisar antara 2
sampai 5 kasus er 10.000 anak (0,02 sampai 0,05 persen) di bawah usia 12
tahun. Pada sebagian besar kasus autisme mulai sebelum 36 bulan tetapi tidak
mungkin terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan
keparahan gangguan. Gangguan autistik lebih sering terkena pada anak laki-
laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 3:1. Beberapa survei
yang dilakukan, satu survei menyatakan prevalensi 6 sampai 7 kasus
gangguan rett per 100.000 anak perempuan. Dalam international
Classification of Disease revisi ke 10 (ICD 10), gangguan asperger
dinamakan sindrom asperger dan ditandai oleh gangguan sosial kualitatif,
tidak adanya keterlambatan bahasa dan kognitif yang bermakna dan adanya
minat dan perilaku yang terbatas. Menurut data epidemiologi gangguan
disintegrasi masa kanak-kanak diperkirakan sekurang-kurangnya
sepersepuluh dari gangguan autistik, dan prevalensi diperkirakan kira kira 1
kasus pada 100.000 anak laki-laki (Kaplan, 2010).
ADHD (Attention deficit hyperactive disorder) adalah salah satu dari
banyak gangguan tingkah laku pada anak-anak. Gangguan ini diperkirakan
terdapat pada 3% sampai 7% dari 100 anak usia sekolah. Sebuah penelitian
yang dilakukan di Inggris sebanyak 10.438 anak-anak antara usia 5 sampai 15
tahun ditemukan 3,62% anak laki-laki dan 0,85% anak perempuan dengan
ADHD. Gangguan ini tidak hanya berpengaruh pada anak-anak saja tetapi
2

permasalahan ini juga berlanjut dewasa. Inti dari gejala ADHD adalah tingkat
perkembangan yang tidak sesuai, meliputi dari inatensi, hiperaktif dan
impulsif. Masalah-masalah ini tetap dan biasanya menimbulkan kesulitan
dalam satu atau lebih area kehidupan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan kantor maupun hubungan sosial. Tidak semua anak-anak
dan remaja memiliki jenis ADHD yang sama. Karena gangguan bervariasi
antara individu, anak-anak dengan ADHD tidak akan semua memiliki
masalah yang sama. Beberapa mungkin hiperaktif. Lainnya mungkin yang
kurang aktif. Beberapa mungkin memiliki masalah dengan perhatian. Lainnya
mungkin terlalu impulsif. Yang lain mungkin memiliki masalah yang
signifikan di semua tiga bidang (perhatian, hiperaktif, dan impulsif)
(Ford,2003;Fowler, 2004).
Etiologi ADHD terjadi karena pengaruh genetik dan pengaruh
lingkungan, tetapi penyebab ADHD belum ditemukan secara pasti, dari
beberapa penelitian menyebutkan bahwa peranan gen sangat berperan penting
dalam timbulnya ADHD. Sebanyak sekitar 76% anak-anak dengan ADHD
memiliki riwayat keluarga yang juga mengalami keluhan yang sama.
Kelahiran bayi yang prematur, riwayat merokok pada wanita hamil atau stress
selama kehamilan, terpapar alkohol saat masih didalam kandungan, dan
cedera kepala juga berkontribusi dalam perkembangan ADHD (AACAP,
2007). Gejala ADHD menunjukkan pengaruh genetik cukup kuat. Studi yang
dilakukan oleh twin menunjukkan bahwa sekitar 75% dari variasi dalam
gejala ADHD dalam populasi adalah karena faktor genetik (heritabilitas
perkiraan sebesar 0,7 sampai 0,8) (Faraone et al., 2005). Berbagai faktor yang
mempengaruhi perkembangan otak selama perinatal dan anak usia dini
dikaitkan dengan peningkatan risiko ADHD atau perhatian gangguan defisit
tanpa hiperaktivitas, termasuk akibat ibu merokok, konsumsi alkohol dan
heroin selama kehamilan, berat badan lahir sangat rendah, cedera otak,
paparan racun seperti timbal dan kekurangan zinc. Pengaruh faktor makanan
dalam ADHD telah menarik banyak perhatian publik seperti makanan yang
mengandung zat aditif, gula, dan pewarna sering dianggap sebagai penyebab
ADHD (McCann et al, 2007).
3

Tindak lanjut penelitian dari anak yang didiagnosis dengan ADHD secara
konsisten menunjukkan penurunan fungsi akademis mereka. Anak-anak dan
remaja dengan ADHD telah terbukti memiliki gangguan perhatian yang lebih
besar, kontrol impuls yang kurang, gelisah dan cara berbicara yang buruk
(Fischer et al, 1990.), kemampuan membaca yang buruk (McGee et al, 1992.)
dan pidato dan masalah bahasa (Hinshaw, 2002) jika dibandingkan dengan
anak-anak yang sehat. Selain itu anak dengan ADHD cenderung sering
mengalami tinggal kelas (Hinshaw, 2002), dan lebih sulit untuk
menyelesaikan sekolah bila dibandingkan dengan anak-anak yang tidak
memiliki ADHD (Mannuzza et al., 1993).
Adanya gangguan yang berkelanjutan dari penderita ADHD dan
gangguan pervasif hingga dewasa, serta berbagai faktor resiko penyebabnya
maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai gangguan
pervasif dan ADHD.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan referat ini ialah untuk mengetahui lebih
mendalam tentang gangguan perkembangan pervasif dan ADHD.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penulisan referat ini ialah untuk mengetahui lebih
mendalam tentang pengertian, etiologi, penegakan diagnosis, dan terapi
dari ADHD dan gangguan perkembangan pervasif yang meliputi :
a. Gangguan Autis Masa Kanak
b. Sindrom Rett
c. Gangguan Disintegrasi Masa Anak Lainnya
d. Sindrom Asperger

C. Manfaat
Manfaat dari penulisan referat ini adalah dapat menambah wawasan
pengetahuan mengenai gangguan perkembangan pervasif dan ADHD yang
nantinya dapat berguna dalam praktek klinik.
4
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGGUAN PERVASIF
1. Definisi
Gangguan Pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik dimana
keterampilan sosial yang diharapkan, perkembangan bahasa dan kejadian
perilaku tidak berkembang secara sesuai ( Kaplan, 2010).
2. Klasifikasi
Gangguan pervasif digolongkan dalam beberapa macam yaitu
gangguan autisme masa kanak-kanak, autisme tak khas, sindrom rett,
gangguan disintegrasi masa kanak lainnya, sindrom asperger
(Maslim,2001).
1) Autisme
Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu
yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum
(1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan
sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering
disebut orang yang hidup di alamnya sendiri. Belakangan istilah
psikosis cenderung dihilangkan dan dalam Diagnostic and Statistical
Maunal of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV) Autisme digolongkan
sebagai gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental
disorders), secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini
ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar
majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan
bahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan
gerakan-gerakan motorik. Autisme atau autisme infantil (Early
Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943
seorang psikiatris Amerika (Center, 2011).
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak
yang ditandai dengan munculnya gangguan keterlambatan dalam
bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial dan
perilakunya (Sadock,2007)
6

Etiologi
Sampai dengan saat ini belum ada ketentuan yang pasti tentang
penyebab gangguan autism ini, ada beberapa anggapan sebagai
berikut:
a. Teori Psikoanalitik (efrigerator mother). Menurut teori ini, Autism
disebabkan pengasuhan ibu yang tidak hangat (Bruno Bettelheim).
b. Teori berpandangn kognitif (Theory of Mind). Menurut teori ini,
Autis disebabkan ketidak mampuan membaca pikiran orang lain
mindblindness (Baron-Ohen, Alan Leslie).
c. Autisme sebagai gejala neurologis atau gangguan Neuro-Anatomi
dan Bio-Kimiawi Otak. Menurut penelitian yang ada, 43% dari
penyandang autism mempunyai kelainan yang khas didalam lobus
parientalisnya (menyebabkan keterbatasan perhatian terhadap
lingkungan), menurut Eric Courchesne dari Department of
Neurososciences, School of Medicine, University of California,
SanDiego, para penyandang autisme memiliki cerebellum yang
lebih kecil (bertanggung jawab terhadap proses sensori, daya ingat,
berpikir, bahasa, dan perhatian).
d. Teori Biologi, Menurut teori ini, Autis disebabkan oleh Faktor
genetik.
e. Teori Imunologi, Menurut teori ini, Autis disebabkan karena
inkompatibilitas imunologi antara ibu dan embrio atau janin.

Beberapa gejala-gejala khas pada autisme diantaranya (Center, 2011):


a) Gangguan dalam komunikasi verbal seperti terlambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat
dimengerti, echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa
dimengerti maknanya, maupun gangguan komunikasi non verbal
yaitu contohnya adalah gangguan dalam mengungkapkan bahasa
dalam bentuk isyarat (gesture), gerak gerik (movement), postur
ataupun tipologi.
b) Gangguan dalam bidang interaksi sosial, seperti menghindari
kontak mata, tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk,
lebih suka bermain sendiri.
c) Gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dari adanya perilaku
yang berlebih (excessive) seperti impulsif, hiperaktif, repetitif) dan
7

kekurangan (deficient) seperti sewaktu berbicara terkesan


pandangan mata kosong, melakukan permainan yang sama dan
monoton. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu
seperti gambar, karet, boneka dan lain-lain yang dibawanya
kemana-mana.
d) Gangguan pada bidang perasaan atau emosi, seperti kurangnya
empati, simpati, dan toleransi; kadang-kadang tertawa dan marah
sendiri tanpa sebab yang nyata dan sering mengamuk tanpa kendali
bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
e) Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan
menggigit mainan atau benda, bila mendengar suara tertentu
langsung menutup telinga, tidak menyukai rabaan dan pelukan.
f) Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semuanya pada setiap
anak autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang
diderita anak.

2) Sindrom Rett
Gangguan rett dikenalkan oleh Andreas Rett (1965) untuk
menjelaskan perkembangan 22 anak perempuan yang mengalami
perkembangan normal selama sekurangnya enam bulan, diikuti oleh
pemburukan perkembangan yang menakutkan (Center, 2011). Sindrom
Rett adalah kelainan degeneratif yang kebanyakan mengenai
perempuan dan biasanya timbul pada usia sampai 1 tahun.
Beberapa karakteristik perilaku yang ditunjukan meliputi kehilangan
daya bicara, meremas-remas tangan secara repetitif, mengayun-
ayunkan badan, dan menarik diri (social withdrawal). Mereka yang
mengalami kelainan ini mungkin juga menderita retardasi mental yang
berat (Kasran, 2003). Perbedaan sindrom rett dengan autisme adalah
(Center, 2011):
a) Pada gangguan autis penyimpangan perkembangan secara umum
terjadi sejak awal.
b) Pada gangguan Rett, gerakan tangan yang spesifik dan
karakteristik selalu ditemukan, sementara pada autis tidak.
c) Koordinasi yang buruk, ataxia dan apraxia banyak ditemukan pada
gangguan Rett.
8

d) Gangguan verbal biasanya hilang sama sekali.


e) Pada gangguan Rett kejang ditemukan sejak awal, sementara pada
gangguan autis biasanya sering terjadi pada masa remaja.
f) Adanya disorganisasi pernafasan.

3) Sindrom Asperger
Sindrom Asperger pertama kali dijelaskan oleh seorang pediatri
(ahli kesehatan anak) dari Wina, Hans Asperger. Dalam tesis doktoral
yang dipublikasikan pada 1944, Hans Asperger menggambarkan empat
anak laki-laki yang tidak memiliki kemampuan berinteraksi, linguistik,
dan kognitif. Ia menggunakan istilah Psikopati Autistik untuk
menjelaskan gejala ini. Baik Leo Kanner maupun Hans Asperger
menggambarkan anak-anak tersebut sebagai orang yang memiliki
interaksi sosial yang sangat minim, kegagalan berkomunikasi, dan
perkembangan pada minat-minat khusus. Leo Kanner menggambarkan
anak-anak dengan ekspresi Autism yang lebih para, sementara Hans
Asperger menjelaskan anak-anak yang lebih memiliki kecakapan
(Center, 2011).
Sindrom Asperger disifati oleh adanya cara berpikir yang
konkrit dan harafiah, obsesi terhadap topik tertentu, daya ingat yang
luar biasa. Individu dalam kelompok ini tergolong mereka yang
berfungsi sangat baik dan berkemampuan memiliki kerja tetap serta
hidup indipenden (Kasran, 2003). Sindrom Asperger dicirikan dengan
hendaya dalam interaksi sosial, dimana terdapat pola perilaku yang
steriotipik, keterbatasan dalam aktivitas dan minat, tanpa disertai
dengan keterlambatan perkembangan kognitif atau berbahasa
(Widyawati, 2012).
Gejala sindrom asperger diantaranya (Center, 2011):
a) Kesulitan berkomunikasi dengan lingkungannya
b) Interaksi sosial yang sedikit, sering mengulang-ulang pembicaraan
dan canggung dalam melakukan gerakan serta berperilaku aneh.
Tetapi anak dengan sidrom asperger umumnya memiliki
kemampuan daya ingat yang cukup baik
c) Terlambatnya kemampuan motorik, ceroboh, minat yang terbatas,
dan perhatian yang berlebihan terhadap kegiatan tertentu.
4) Gangguan disintegrasi masa anak-anak
9

Dikenal juga sebagai sindroma Heller dan psikosis disintegratif


atau childhood disintegrative disorder (CDD), dijelaskan pertama kali
pada tahun 1908. Prevalensi kejadian kira-kira 1 dari 100.000 anak
laki-laki. Pada Gangguan disintegrasi masa kanak, hal yang mencolok
adalah bahwa anak tersebut telah berkembang dengan sangat baik
selama beberapa tahun, sebelum terjadi kemunduran yang hebat.
Gejalanya biasanya timbul setelah umur 3 tahun. Anak tersebut
biasanya sudah bisa bicara dengan sangat lancar, sehingga kemunduran
tersebut menjadi sangat dramatis. Bukan saja bicaranya yang
mendadak terhenti, tapi juga ia mulai menarik diri dan
ketrampilannyapun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan
juga timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik. Anak penderita
gangguan disintegrasi ini biasanya berkembang secara normal ketika
mereka mencapai usia 2-4 tahun tapi kemudian anak mendadak akan
memperlihatkan hilangnya kemampuan berkomunikasi dan
bersosialisasi yang cukup besar. Gangguan disintegrasi anak sangat
mirip dengan autisme karena keduanya berada dalam satu kelompok
gangguan mental yang disebut dengan pervasive developmental
disorders atau autism spectrum disorders. Meski begitu gangguan
disintegrasi anak terjadi lebih lambat dari autisme dan melibatkan
kehilangan kemampuan berbahasa, sosialisasi dan motorik yang lebih
dramatis daripada autisme. Namun gangguan ini lebih jarang terjadi
ketimbang autisme. (Center, 2011).

3. Tanda-Tanda Klinis
1. Austisme
a. Usia 18 bulan (Anonim, 2011)
1) Tidak melakukan kontak mata.
2) Tidak merespon segera jika dipanggil nama.
3) Tampak berada didunianya sendiri.
4) Mengalami hambatan perkembangan bahasa.
5) Kehilangan kemampuan berbahasa.
6) Tidak menggunakan sikap tubuh.
7) Memegang tangan orang dewasa dan menaruhnya pada
sesuatu yang ingin dia buka.
8) Tidak memahami sikap tubuh orang lain.
9) Tidak bermain pura-pura.
10

10) Lebih tertarik pada bagian-bagian permainan.


11) Menghabiskan banyak waktu untuk membariskan benda-
benda.
12) Dan melakukan gerakan-gerakan tidak umum (ex. Jalan
jinjit).
13) Memaksa membawa dua benda, satu disetiap tangan,
seringkali dengan bentuk dan warna sama.
b. Usia 3-5 tahun (Anonim, 2011)
1) Tidak melakukan kontak mata dengan baik.
2) Tidak tertarik dengan orang lain dan lebih suka bermain
sendirian.
3) Menunjukka respon yang tidak biasa yang mengganggu
orang lain.
4) Menggunakan bahasa yang berbeda dengan anak-anak lain
(sangat sedikit berbahasa, berbahasa dengan baik tapi
diulang-ulang, mengulangi kata-kata dari film, video atau
program TV, ekolalia, sulit mengerti perkataan orang lain.
5) Punya sedikit atau tidak tertarik dengan permainan imajinasi.
6) Tidak tertarik bergabung dalam permainan kelompok.
7) Sangat terpaku pada beberapa permainan atau permainan
tertentu.
8) Perilaku sangat rutinitas.
9) Membuat gerakan tidak biasa seperti berputar atau berayun.
10) Sangat senditif dengan suara
11) Sangat sensitif dengan bau-bauan.
12) Sangat sensitif dengan sentuhan.
c. Usia 6-11 tahun (Anonim, 2011)
1) Melakukan kontak mata yang buruk.
2) Tidak suka menggunakan sikap seperti menunjuk, memberi
tanda, melambai.
3) Tidak punya teman sebaya.
4) Tidak menunjukkan pekerjaannya kepada guru meskipun
diminta.
5) Lebih sulit berbagi dengan anak-anak lain.
6) Sulit untuk saling bergantian, dan selalu ingin menjadi yang
pertama.
7) Tampak tidak peduli dengan perasaan anak-anak lain.
8) Mengatakan hal yang sama berulang-ulang.
9) Tidak ingin dan tidak menikmati permainan berpura-pura.
10) Tidak mudah berbicara dengannya, tentang apa yang ingin
anda bicarakan.
11) Bicara dengan cara yang tidak biasa (intonasi).
11

12) Ingin bermain dengan benda yang sama selama periode


waktu yang panjang.
13) Mengepakkan tangannya atau membuat gerakan aneh saat
kesal atau bersemangat.
d. Usia 12-17 tahun (Anonim, 2011)
1) Sulit membuat kontak mata.
2) Membuat ekspresi wajah yang datar atau tidak biasa.
3) Sulit memiliki atau mempertahankan teman.
4) Menunjukkan pemahaman buruk atas kebutuhan orang lain
dalam pembicaraan.
5) Mengalami kesulitan memperkirakan apa yang orang lain
pikirkan.
6) Menunjukkan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial.
7) Menunjukkan kebutuhan obsesif atau rutinitas.
8) Menunjukkan sikap kompulsif.
2. Sindrom Rett (Center, 2011)
a. Perlambatan pertumbuhan kepala antara usia 5 dan 48 bulan.
b. Hilangnya keterampilan tangan bertujuan yang sebelumnya telah
dicapai antara usia 5 dan 30 bulan dengan diikuti perkembangan
gerakan tangan stereotipik (misalnya, memuntirkan tangan atau
mencuci tangan).
c. Hilangnya keterlibatan sosial dalam awal perjalanan (walaupun
seringkali interaksi sosial tumbuh kemudian).
d. Terlihatnya gaya berjalan atau gerakan batang tubuh yang
terkoordinasi secara buruk.
e. Gangguan parah pada perkembangan bahasa ekspresif dan reseptif
dengan retardasi psikomotor yang parah.
3. Sindrom Asperger
a. Interaksi sosial
Penderita gangguan Asperger mengalami isolasi sosial,
tetapi tidak selalu menarik diri di antara orang lain. Walaupun
demikian pendekatan mereka terhadap orang lain adalah
inappropriate atau dengan cara eksentrik. Mereka menunjukkan
perhatian untuk bersahabat bila bertemu orang lain, tapi selalu
terhambat oleh pendekatan yang kaku dan tidak sensitif terhadap
perasaan orang lain. Mereka juga tidak sensitif atas komunikasi
samar-samar dari orang lain, misalnya tidak memahami tanda
kebosanan, pergi karena terburu-buru dan keadaan yang
memerlukan privacy. Hal ini menyebabkan kesulitan membina
12

hubungan persahabatan. Mereka tidak mengerti petunjuk yang


halus/samar, gaya bicara metafora, dan seringkali dianggap
konkrit, mengerti pertanyaan, tetapi tidak dapat menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya untuk memecahkan masalah.
Penderita gangguan Asperger tidak dapat mengomentari tujuan
aktivitas sosial, perasaan dan elemen sosial lainnya dari suatu
cerita. Penderita gangguan ini mampu menjelaskan dengan benar
(kognitif dan cara yang formal) tentang emosi, maksud yang
diharapkan dan aturan sosial. Namun demikian tidak dapat
menerapkan pengetahuan ini secara intuitif dan spontan,
sehingga kehilangan waktu untuk berinteraksi. Terhadap orang
lain, mereka sangat kaku, bereaksi tidak sesuai dan gagal
berinterpretasi, serta kurang mempunyai ekspresi wajah. Mereka
kurang peka terhadap lingkungan, tidak peduli dengan ekspresi
emosi orang lain dan kurang empati dengan perasaan orang lain
sehingga Gillberg mengklasifikasikannya ke dalam kelompok
gangguan empati. Saat sedang berbicara, penderita tidak menatap
sehingga memperlihatkan kurang atensi dan kurang berespons
dengan isyarat sosial. Dengan demikian menunjukkan komunikasi
yang kurang mendalam. Gangguan Asperger menyebabkan
hambatan untuk mengenal wajah orang lain. Keadaan ini
merupakan inti dari disabilitas social. Penderita gangguan ini
menyenangi lingkungan yang penuh rutinitas dan terstruktur.
Mereka suka dipuji, suka memperoleh kemenangan, dan mampu
menjadi juara, akan tetapi sering mendapatkan kegagalan,
ketidaksempurnaan dan kritik (Kaunang, 2005).
b. Motorik
Anak dengan gangguan Asperger mempunyai riwayat
kemahiran motorik yang tertunda seperti mengayuh sepeda,
menangkap bola (tidak ada koordinasi antara kedua tangan)
membuka botol dan panjat-memanjat. Mereka sulit mengikat dasi
atau tali sepatu. Mereka tampak kurang koordinasi serta
menunjukkan pola jalan yang resmi, aneh dan sulit untuk berbaris.
13

Terdapat motoric clumsiness, yaitu menunjukkan kesulitan menulis


dengan tangan, sehingga menjadi malu atau marah karena
ketidakmampuan menulis rapi. Mereka mempunyai kemampuan
menggunakan komputer dan keyboard sehingga lebih memilih
komputer daripada menulis tangan. Tampak jelas terdapat
gangguan ketrampilan motorik-visual dan visuospatial. Mereka
mengalami kesulitan menggunting bentuk dari kertas. Dalam hal
psikomotor mereka menunjukkan gerakan stereotipik (Kaunang,
2005).
c. Kognitif
Kemampuan intelektual penderita menetap. Tidak ada
defisit kognitif namun beberapa penelitian menggambarkan adanya
defisit daya ingat dalam beberapa aspek. Kepustakaan lain
mengatakan bahwa kemampuan daya ingat cukup baik dan
mereka mengingat tanpa berpikir. Penderita Asperger dapat
mengingat dengan seksama fakta, bentuk, data, waktu dan lain-
lain. Mereka tertarik pada topik luar biasa yang mendominasi
pembicaraan mereka. Mereka mengumpulkan banyak informasi
tentang fakta di dunia. Sejumlah besar topik dikumpulkan dengan
semangat. Mereka mempelajari topik seperti ular, nama binatang,
pemandu televisi, musim, data pribadi anggota kongres, jadwal
kereta api dan astronomi, tanpa pengertian luas dari fenomena
yang terlibat. Mereka unggul dalam bidang matematika dan ilmu
pengetahuan. Mereka dapat mengingat banyak frasa tapi tidak
dapat menggunakannya dalam konteks yang benar. Pada umumnya
IQ mereka normal sampai superior. Verbal IQ lebih tinggi
dibandingkan dengan performance IQ. Akan tetapi terdapat
gangguan dalam konsep belajar. Suatu penelitian melalui story-
telling memperlihatkan adanya gangguan imajinasi. Penelitian
lain juga mendapatkan gangguan kreativitas dan imajinasi
(Kaunang, 2005).
d. Bahasa
Secara kasar perkembangan bahasa penderita gangguan
Asperger nampak normal, tidak ada kesulitan menempatkan
14

bahasa. Pasien berbicara agak formal dengan tata bahasa yang


tinggi, sehingga pada awal perkembangan tidak dapat didiagnosis.
Asperger menyebutkannya little professor. Ada tiga aspek pola
komunikasi yang menarik secara klinik pada gangguan Asperger
yaitu (Kaunang, 2005) :
1) Pembicaraan ditandai dengan kurangnya prosodi, pola intonasi
terbatas, walaupun nada suara dan intonasi tidak sekaku dan
semonoton gangguan autistic. Bicaranya terlalu cepat,
tersentak-sentak, dengan volume yang kurang modulasi,
misalnya suara keras walaupun lawan bicara berada dalam
jarak dekat. Kurang pertimbangan untuk situasi sosial tertentu,
misalnya di perpustakaan atau pada keadaan gaduh
2) Pembicaraan tangensial dan sirkumstansial, sehingga memberi
kesan suatu asosiasi longgar dan inkoheren Sebagian pasien
memberi kesan gangguan proses pikir. Gaya bicara
egosentris dengan menggunakan kata-kata harfiah, seperti
monolog tentang nama, kode, atribut di televisi dari berbagai
negara. Gagal memberi alasan atau komentar tentang suatu
pembicaraan dan secara jelas membatasi topik.
3) Gaya bicara bertele-tele tentang subyek favorit dan tidak
peduli apakah pendengar tertarik,menolak atau mencoba
menyelipkan kata-kata untuk mengganti subyek. Mereka
tidak pernah sampai pada satu titik kesimpulan. Lawan bicara
seringkali gagal mencoba menguraikan masalah atau logika,
ataupun mengalihkan topik (Kaunang, 2005).
4. Gangguan disintegrasi pada masa anak-anak
Pertumbuhan yang normal pada usia 1 sampai 3 tahun kemudian
kehilangan kemampuan yang sebelumnya telah dikuasai dengan baik.
Gejala biasanya muncul setelah umur 3 tahun. Gejalanya adalah
mendadak berhenti berbicara, menarik diri, ketrampilan yang
berkurang, cuek, dan gerakan berulang (Center, 2011).

4. Kriteria Diagnosis
Terdapat beberapa kelainan yang termasuk dalam gangguan pervasif,
diantaranya Autisme masa kanak, Sindrom Rett, Gangguan Disintegratif
15

masa kanak, Sindrom Asperger dan Gangguan Perkembangan Pervasif


lainnya.
a. Autisme Masa Kanak
A. Total enam (atau lebih) hal dari (1), (2) dan (3) dengan sekurang-
kurangnya dua dari (1), dan masing- masing satu dari (2) dan (3):
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial
a) Ciri gangguan yang jelas dalam penggunaan berbagai
perilaku non verbal (bukan lisan) seperti kontak mata,
ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak isyarat untuk
melakukan interaksi sosial.
b) Ketidakmampuan mengembangkan hubungan pertemanan
sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya
c) Ketidakmampuan turut merasakan kegembiraan orang lain
d) Ketidakmampuan dalam berhubungan emosional secara
timbal balik dengan orang lain
2) Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi
a) Keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam
berbahasa lisan
b) Ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai
atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun
dalam percakapan sederhana
c) Penggunaan bahasa yang repetitive (diulang-ulang) atau
stereotype (meniru-niru) atau bersifat idiosinkratik (aneh)
d) Kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura
atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
3) Pola perilaku, minat yang terbatas, berulang dan streotipik
a) Meliputi keasyikan dengan satu atau lebih pola minat yang
terbatas atau stereotype yang bersifat abnormal baik dalam
intensitas maupun fokus.
b) Kepatuhan yang tampaknya didorong oleh rutinitas atau ritual
spesifik yang nonfungsional
c) Perilaku gerakan stereotype dan repetitive (seperti terus
menerus membuka tutup genggaman, memuntir jari atau
tangan, atau menggerakan tubuh dengan cara yang
kompleks).
d) Keasyikan yang terus menerus terhadap bagian-bagian dari
sebuah benda.
16

B. Keterlambatan atau fungsi abnormal pada sekurang-kurangnya satu


bidang berikut, dengan onset sebelum usia 3 tahun: (1) interaksi
sosial,(2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial, atau (3)
permainan simbolik atau imaginatif.
C. Gangguan tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan rett atau
gangguan disintegrasi masa kanak- kanak.
b. Sindrom Rett
Adapun kriteria diagnostik sindrom RETT menurut DSM-IV adalah sebagai
berikut:

A. Semua berikut:
1. Perkembangan pranatal dan perinatal yang tampaknya normal.
2. Perkembangan psikomotor yang tampaknya normal selama lima
bulan pertama setelah lahir.
3. Lingkaran kepala yang normal saat lahir.
B. Onset semua berikut ini setelah periode perkembangan normal:
1. Perlambatan pertumbuhan kepala antara usia 5 dan 48 bulan.
2. Hilangnya keterampilan tangan bertujuan yang sebelumnya telah
dicapai antara usia 5 dan 30 bulan dengan diikuti perkembangan
gerakan tangan stereotipik (misalnya, memuntirkan tangan atau
mencuci tangan).
3. Hilangnya keterlibatan sosial dalam awal perjalanan (walaupun
seringkali interaksi sosial tumbuh kemudian).
4. Terlihatnya gaya berjalan atau gerakan batang tubuh yang
terkoordinasi secara buruk.
5. Gangguan parah pada perkembangan bahasa ekspresif dan
reseptif dengan retardasi psikomotor yang parah.

c. Gangguan Disintegrasi Masa Kanak Lainnya


Adapun kriteria diagnostik gangguan disintegratif masa anak-anak
seperti dijelaskan dalam DSM-IV adalah sebagai berikut:

A. Pertumbuhan yang tampaknya normal selama sekurangnya dua


tahun pertama setelah lahir seperti yang ditunjukkan oleh adanya
komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai dengan usia,
hubungan sosial, permainan dan perilaku adaptif.
B. Kehilangan bermakna secara klinis keterampilan yang telah dicapai
sebelumnya (sebelum usia 10 tahun) dalam sekurangnya bidang
berikut:
17

1)Bahasa ekspresif atau reseptif


2)Keterampilan sosial atau perilaku adaptif.
3)Pengendalian usus atau kandung kemih.
4)Bermain.
5)Keterampilan motorik.
C. Kelainan fungsi dalam sekurangnya dua bidang berikut:
1) Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial (misalnya, gangguan
dalam perilaku non verbal, gagal untuk mengembangkan
hubungan teman sebaya, tidak ada timbal balik sosial atau
emosiaonal).
2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi (misalnya, keterlambatan
atau tidak adanya bahasa ucapan, ketidak mampuan untuk
memulai atau mempertahankan suatu percakapan, pemakaian
bahasa yang stereotipik dan berulang, tidak adanya berbagai
permainan khayalan).
3) Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang dan
stereotipik, termasuk stereotipik dan manerisme motorik.
D. Gangguan tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan
perkembangan pervasif spesifik lain atau oleh skizofrenia.

d. SindromAsperger
Adapun kriteria diagnostik gangguan Asperger menurut DSM-IV adalah
sebagai berikut:

A. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, seperti ditunjukkan oleh


sekurangnya dua dari berikut:
1) Gangguan jelas dalam penggunaan perilaku non verbal multipel
seperti tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerak-
gerik untuk mengatur interaksi sosial.
2) Gagal untuk mengembangkan hubungan dengan teman sebaya
yang sesuai menurut tingkan perkembangan.
3) Gangguan jelas dalam ekspresi kesenangan dalam kegembiraan
orang lain.
4) Tidak ada timbal balik sosial atau emosional.
B. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan
stereotipik, seperti ditunjukkan oleh sekurangnya satu dari berikut:
1) Preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang stereotipik dan
terbatas, yang abnormal baik dalam intensitas maupun fokusnya.
2) Ketaatan yang tampaknya tidak fleksibel terhadap rutinitas atau
ritual yang spesifik dan non fungsional.
3) Manerisme motorik stereotipik dan berulang (misalnya,
menjentikkan atau memuntirkan tangan atau jari, atau gerakan
kompleks seluruh tubuh).
18

4) Preokupasi persisten dengan bagian-bagian benda.

C. Gangguan menyebabkan ganggguan yang bermakna secara klinis


dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
D. Tidak terdapat keterlambatan menyeluruh yang bermakna secara
klinis dalam bahasa (misalnya, menggunakan kata tunggal pada usia
2 tahun, frasa komunkatif digunakan pada usia 3 tahun).
E. Tidak terdapat keterlambatan yang bermakna secara klinis dalam
perkembangan kognitif atau dalam perkembangan keterampilan
menolong diri sendiri dan perilaku adaptif yang sesuai dengan usia
(selain dalam interaksi sosial), dan keinginan tahuan tentang
lingkungan pada masa anak-anak.
F. Tidak memenuhi kriteria untuk gangguan perkembangan pervasif
spesifik atau skizofrenia.

5. Penatalaksanaan
Tujan terapi adalah menurunkan gejala perilaku dan membantu
perkembangan fungsi yang terlambat, rudimenter seperti keterampilan
bahasa dan merawat diri sendiri.
1) Farmakoterapi
Tujuan dari terapi autisme adalah mengurangi gejala-gejala yang ada
semaksimal mungkin sehingga anak tersebut nantinya bisa berbaur
dengan anak-anak lain secara normal. Obat-obatan untuk memperbaiki
keseimbangan neorutransmitter serotonin dan dopamin (Efek samping:
Ngiler,ngantuk, kaku otot). Pemberian haloperidol menurunkan gejala
perilaku dan mempercepat belajar. Terapi yang digunakan pada
sindrom Rett ditujukan pada intervensi simptomatik. Pemberian obat
atikonvulsan sangat dibutuhkan untuk mengendalikan kejang. Pada
sindrom Asperger tidak ada obat yang khusus untuk menanganinya.
Tapi, obat-obatan bisa digunakan untuk mengatasi gejala khusus,
seperti kecemasan, depresi, serta perilaku yang hiperaktif dan terobsesi
Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a) Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak.
b) Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur
anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk
berhasil.
c) Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
19

d) Bicara dan bahasa, 20 % penyandang autis tidak mampu berbicara


seumur hidup, sedangkan sisanya mempunyai kemampuan bicara
dengan kefasihan yang berbeda-beda. Mereka dengan kemampuan
bicara yang baik mempunyai prognosis yang lebih baik.
e) Terapi yang intensif dan terpadu.
2) Psikoterapi
Pada autisme dapat dilakukan terapi wicara, terapi perilaku. Pada
sindrom Rett fisioterapi sangat bermanfaat bagi disfungsi otot serta
terapi perilaku yangn berguna untuk mengendalikan perilaku melukai
diri sendiri, seperti juga dalam terapi gangguan autistik, dan dapat
membatu mengatur disorganisasi pernafasan.
Sedangkan pada sindrom Asperger dibutuhkan:
a) Pendidikan khusus: Pendidikan yang didisain untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan anak yang unik.
b) Modifikasi perilaku: Hal ini meliputi strategi untuk mendukung
perilaku positif dan mengurangi perilaku bermasalah.
c) Terapi bicara, fisik dan terapi okupasional: Terapi ini didisain untuk
meningkatkan kemampuan fungsional anak.

B. ADHD
1. Definisi
ADHD adalah Gangguan ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan
anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi,
sehingga rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan
anak lain yang seusia, Biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan
tingkah laku yang impulsif. Kelainan ini dapat mengganggu
perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun
komunikasi.
2. Predisposisi
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8 - 10 persen, hal
tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling
umum pada masa kanak-kanak (Pliszka, 2007; Merikangas et al, 2007)
Rasio ADHD pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan
yaitu 4:1 (untuk ADHD yang didominasi oleh hiperaktif) dan 2:1 (untuk
ADHD yang didominasi oleh inatensi/kesulitan dalam memusatkan
20

perhatian) (Green et al, 1999). Hasil survey yang dilakukan oleh National
Survey of Childrens Health (NSCH) ada tahun 2007, prevalensi ADHD
untuk anak laki-laki adalah 13,2 % dan pada anak perempuan 5,6 % (CDC,
2010). Di Inggris, survei dari 10.438 anak-anak antara usia 5 dan 15 tahun
menemukan bahwa 3,62% dari anak laki-laki dan 0,85% anak perempuan
telah ADHD (Hill, 2001).
3. Gejala ADHD
ADHD ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak untuk
memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang
perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia.
Biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif.
Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam hal kognitif,
perilaku, sosialisasi maupun komunikasi (Center, 2011). Terdapat tiga
gejala utama gangguan ADHD yaitu:
1. Tidak ada perhatian
Ketidakmampuan memusatkan perhatian pada beberapa hal seperti
membaca, menyimak pelajaran, atau melakukan permainan. Seseorang
yang menderita ADHD akan mudah sekali teralih perhatiannya karena
bunyi bunyian, gerakan, bau bauan atau pikiran, tetapi dapat
memusatkan perhatian dengan baik jika ada yang menarik minatnya
(Riksma, 2011). Beberapa tanda-tanda dari tidak ada perhatian adalah
(Riksma, 2011):
a. Sering lalai memberi perhatian seksama pada detail.
b. Mempunyai kesukaran mempertahankan perhatian pada kerja dan
bermain.
c. Tidak tampak mendengarkan kalau berbicara secara langsung.
d. Sering tidak melaksanakan perintah dan lalai menyelesaikan tugas.
e. Sering mempunyai kesukaran melakukan tugas dan aktivitas.
f. Sering menghindar, sebel, atau enggan untuk terlibat dalam tugas
yang memerlukan usaha mental terus-menerus.
g. Sering kehilangan barang.
h. Perhatian mudah dialihkan dengan hal yang tak ada hubungannya
dengan rangsangan.
i. Sering pelupa.
2. Hiperaktif
21

Mempunyai terlalu banyak energi. Misalnya berbicara terus


menerus, tidak mampu duduk diam, selalu bergerak, dan sulit tidur.
Tanda-tanda dari hiperaktif diantaranya (Riksma, 2011):
a. Sering memain-mainkan tangan atau kaki atau menggeliat.
b. Sering meninggalkan tempat duduk di ruang kelas dan tempat
lainnya.
c. Sering berlari kesana-kemari atau merambat naik seacara
berlebihan.
d. Sulit untuk bermain atau terlibat dalam aktivitas yang diam.
e. Sering bergerak atau bertingkah seolah-olah digerakkan oleh
mesin.
f. Sering berbicara berlebihan
3. Impulsif
Bertindak tanpa dipikir, misalnya mengejar bola yang lari ke jalan
raya, menabrak pot bunga pada waktu berlari di ruangan, atau
berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu akibatnya (Riksma, 2011).
Beberapa tanda dari impulsif adalah (Riksma, 2011):
a. Sering mengucapkan jawaban tanpa berpikir sebelum pertanyaan
komplit.
b. Sering mempunyai kesukaran menunggunya giliran.
c. Sering menyela atau mengganggu orang lain.

4. Tanda- tanda klinis ADHD


Tanda-tanda klinis ADHD, mulai dari yang ringan hingga berat atau
bisa terjadi dengan jumlah gejala minimal hingga lebih banyak gejala.
Tampilan klinis Gangguan Pemusatan Perhatian atau sering disebut
ADHD tampaknuya sudah bisa dideteksi sejak dini (Anonim, 2009).
1. Bayi
Sebagian anak yang telah diidentifikasi sebagai kurang perhatian
mungkin menunjukan perilaku berikut ini pada usia dini (Anonim,
2009).
a. Sulit tidur dan sulit makan
b. Rewel, sulit ditenangkan, serta menolak untuk dipegang
c. Sangat peka terhadap stimulus-stimulus seperti suara, cahaya
sampai jenis pakaian.
d. Siaga, aktif, dan mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi
2. Anak-anak pra sekolah
Sebagian besar orangtua anak ADHD menggambarkan tingkah laku
anak ADHD pra sekolah dengan ketidak acuhan atau overaktif
(Anonim, 2009).
22

a. Anak kecil yang mengidap ADHD tipe impulsif hiperaktif selalu


resah dan sibuk, sering mengganggu orang lain dengan cara
mengajak berbicara, menyentuh, mengganggu permainan
temannya.
b. Semakin lemahnya kemampuan anak untuk berkonsentrasi dan
fokus pada suatu hal.
c. Terlambat bicara dibandingkan dengan anak seusianya.
d. Sebagian anak pra sekolah menunjukan pola ritmis seperti
memukul-mukul dan menggoyang-goyangkan kepala.
3. Anak-anak usia sekolah
Setelah anak ADHD memasuki sekolah, ia memikul sebuah beban
social yang besar di pundaknya. Sekolah sangat menuntut pada
beberapa bidang yang ia tidak mampu dan menciptakan tekanan
baginya (Anonim, 2009).
a. Anak ADHD biasanya suka melamun, berbicara keras, tidak bisa
duduk diam, dan kehilangan ide.
b. Anak ADHD bekerja dengan cepat dan sering membuat kesalahan-
kesalahan ejaan dengan menghilangkan huruf-huruf, mengalami
kesulitan dengan masalah operasional pelajaran matematika, dan
pelupa terhadap barang miliknya.
4. Remaja
Masa remaja menjadi masalah yang sangat besar bagi anak ADHD.
Hal tersebut terjadi karena kurangnya perhatian mengganggu
keberhasilan penguasaan tugas-tugas perkembangan masa remaja. Para
remaja ADHD mengalami kegagalan akademis, isolasi social,
kurangnya harapan mengenai harapan di masa depan, depresi dan
harga diri yang rendah.
5. Orang dewasa
Gejala-gejala yang timbul pada orang dewasa, bermasalah dengan
pengendalian diri, seperti terlilit hutang berlebih, susah makan,
penyalahgunaan zat dan kecanduan, sulit mengatur dan menjaga
keharmonisan keluarga, sering mengalami konflik antar pribadi,
prestasi sekolah yang buruk, kesulitan dengan pelaksanaan proyek atau
tugas meskipun memiliki niat untuk menyelesaikannya, mudah bosan,
keterlambatan kronis, serta prestasi kerja yang tidak konsisten
(Anonim, 2009).
23

5. Patofisiologi
Patofisiologi ADHD atau di indonesia dikenal dengan GPPH
(Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif) memang tak jelas. Hasil
penelitian Faraonen dkk, 2000 dan Barkley, 2003 mengatakan bahwa
terdapat faktor yang berpengaruh terhadap munculnya ADHD :
1) Faktor genetika
Bukti penelitian menyatakan bahwa faktor genetika merupakan
faktor penting dalam memunculkan tingkah laku ADHD. Satu pertiga
dari anggota keluarga ADHD memiliki gangguan, yaitu jika orang
tua mengalami ADHD, maka anaknya beresiko ADHD sebesar 60 %.
Pada anak kembar, jika salah satu mengalami. ADHD, maka
saudaranya 70-80 % juga beresiko mengalami ADHD.
Pada studi gen khusus beberapa penemuan menunjukkan
bahwa molekul genetika gen-gen tertentu dapat menyebabkan
munculnya ADHD. Dengan demikian temuan-temun dari aspek
keluarga, anak kembar, dan gen-gen tertentu menyatakan bahwa
ADHD ada kaitannya dengan keturunan.
Mutasi gen pengkode neurotransmiter dan reseptor Dopamin (D2
dan D4) pada kromosom 11p memegang peranan terjadinya
ADHD.Terdapat lima reseptor Dopamin yaitu D1, D2, D3, D4 dan D5,
sedangkan yang berperan terhadap ADHD adalah reseptor D2 dan D4.
Neurotransmiter dan reseptor Dopamin pada korteks lobus frontalis dan
subkorteks (ganglia basalis) berperan terhadap sistem inhibisi dan
memori, sehingga apabila ada gangguan akan terjadi gangguan inhibisi
dan memori. Di samping Dopamin, gen pengkode sistem noradrenergik
dan serotoninergik terkait dengan patofisiologi terjadinya ADHD. Dua
Gen reseptor dopamin dan gen DAT telah diidentifikasi kemungkinan
berperan dalam GPPH. Faktor neurologi terlihat berperan dalam onset
GPPH.
2) Faktor neurobiologis
Beberapa dugaan dari penemuan tentang neurobiologis
diantaranya bahwa terdapat persamaan antara ciri-ciri yang muncul
pada ADHD dengan yang muncul pada kerusakan fungsi lobus
prefrontal. Demikian juga penurunan kemampuan pada anak ADHD
pada tes neuropsikologis yang dihubungkan dengan fungsi lobus
24

prefrontal. Temuan melalui MRI (pemeriksaan otak dengan


teknologi tinggi) menunjukan ada ketidaknormalan pada bagian otak
depan. Bagian ini meliputi korteks prefrontal yang saling
berhubungan dengan bagian dalam bawah korteks serebral secara
kolektif dikenal sebagai basal ganglia. Bagian otak ini berhubungan
dengan atensi, fungsi eksekutif, penundaan respons, dan organisasi
respons. Kerusakan-kerusakan daerah ini memunculkan ciri-ciri yang
serupa dengan ciri-ciri pada ADHD. Informasi lain bahwa anak
ADHD mempunyai korteks prefrontal lebih kecil dibanding anak yang
tidak ADHD.
3) Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet

memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di

samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat,

ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat

hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif.


4) Faktor Kultural dan psikososial
a) Pemanjaan.
Pemanjaan dapat juga disamakan dengan memperlakukan anak
terlalu manis, membujuk-bujuk makan, membiarkan saja, dan
sebagainya. Anak yang terlalu dimanja itu sering memilih caranya
sendiri agar terpenuhi kebutuhannya.
b) Kurang disiplin dan pengawasan.
Anak yang kurang disiplin atau pengawasan akan berbuat sesuka
hatinya, sebab perilakunya kurang dibatasi. Jika anak dibiarkan
begitu saja untuk berbuat sesuka hatinya dalam rumah, maka anak
tersebut akan berbuat sesuka hatinya ditempat lain termasuk di
sekolah dan orang lain juga akan sulit untuk mengendalikannya.
c) Orientasi kesenangan.
Anak yang memiliki kepribadian yang berorientasi kesenangan
umumnya akan memiliki ciri-ciri hiperaktif secara sosio-psikologis
dan harus dididik agak berbeda agar mau mendengarkan dan
25

menyesuaikan diri. Anak yang mempunyai orientasi kesenangan


ingin memuaskan kebutuhan atau keinginan sendiri.

6. Kriteria Diagnostis
Penegakan diagnosis ADHD berdasarkan PPDGJ III (2001) yaitu
kriteria umum mengenai gangguan hiperkinetik telah terpenuhi tetapi
kriteria untuk gangguan tingkah laku tidak terpenuhi. Ciri-ciri utama dari
gangguan hiperkinetik ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas
berlebihan. Kedua ciri ini menjadi syarat mutlak untuk diagnosis dan
haruslah nyata ada pada lebih dari satu situasi (misalnya dirumah, di kelas,
di klinik).
Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya
tugas dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai. Anak-
anak ini sering beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain, rupanya
kehilangan minatnya terhadap tugas yang satu, karena perhatiannya
tertarik kepada kegiatan lainnya. Berkurangnya dalam ketekunan dan
perhatian ini seharusnya hanya didiagnosis bila sifatnya berlebihan bagi
anak dengan usia atau IQ yang sama.
Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan,
khususnya dalam situasi yang menuntut keadan relatif tenang. Hal ini,
tergantung dari situasinya, mencakup anak itu berlari-lari atau berlompat-
lompat sekeliling ruangan, ataupun bangun dari duduk/kursi dalam situasi
yang menghendaki anak itu tetap duduk, terlalu banyak bicara dan ribut,
atau kegugupan/kegelisahan yang berputar-putar (berbelit-belit). Tolok
ukur untuk penilaiannya ialah bahwa suatu aktivitas disebut berlebihan
dalam konteks apa yang diharapkan dalam suatu situasi dan dibandingkan
dengan anak-anak lain yang sama umur dan nilai IQ nya. Ciri khas
perilaku ini paling nyata di dalam suatu situasi yang berstruktur dan diatur
yang menuntut suatu tingkat sikap pengendalian diri yang tinggi.
Gambaran penyerta tidaklah cukup bahkan tidak diperlukan bagi suatu
diagnosis, namun demikian ia dapat mendukung. Kecerobohan dalam
hubungan-hubungan sosial, kesembronoan dalam situasi yang berbahaya
dan sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial (yang
diperlihatkan dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan orang
26

lain, terlampau cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum


lengkap diucapkan orang, atau tidak sabar menunggu gilirannya),
kesemuanya merupakan ciri khas dari anak-anak dengan gangguan ini.
Sedangkan gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola
tingkah laku dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap
(Maslim, 2001).
Sedangkan kriteria diagnosis ADHD menurut DSM IV (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders IV) adalah:
A. Baik : (1) atau (2)
1) Gangguan Pemusatan Perhatian (Inatensi)
Sekurang-kurangnya ada 6 dari gejala gangguan pemusatan perhatian
ini yang muncul dalam 6 bulan terakhir.
a) Tidak mampu memberikan perhatian terhadap hal-hal yang kecil,
sering membuat kesalahan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi
saat mengerjakan tugas di sekolah.
b) Tidak mampu memusatkan perhatian secara terus-menerus pada
saat menyelesaikan tugas atau bermain.
c) Sering tampak seperti tidak memperhatikan.
d) Sering tidak dapat mengikuti perintah dan gagal menyelesaikan
tugas sekolah atau tugas lainnya.
e) Sering mengalami kesulitan mengatur tugas atau aktivitas lainnya.
f) Sering menolak atau tidak menyukai tugas yang memerlukan
perhatian terus-menerus.
g) Sering kehilangan barang-barang atau alat yang diperlukan.
h) Perhatian mudah teralih oleh rangsangan dari luar.
i) Sering lupa menyelesaikan tugas/kegiatan rutin sehari-hari.
2) Hiperaktivitas dan impulsivitas
Sekurang-kurannya ada 6 dari gejala gangguan hiperaktivitas dan
impulsivitas ini yang muncul dalam 6 bulan terakhir.
Hiperaktivitas
a) Sering tangan dan kaki tidak bisa diam atau banyak bergerak
ditempat duduk.
b) Sering meninggalkan tempat duduk saat mengikuti kegiatan di
kelas atau kegiatan lain yang mengaharuskannya tetap duduk.
c) Sering berlari-lari atau memanjat-manjat secara berlebihan.
d) Tidak dapat mengikuti aktivitas atau bermain dengan tenang dan
santai.
e) Selalu bergerak terus seperti digerakkan oleh mesin.
27

f) Sering banyak bicara.

Impulsivitas
a) Terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai
didengar.
b) Sulit menunggu giliran.
c) Sering melakukan interupsi atau mengganggu orang lain.
B. Gejala-gejala tersebut terjadi sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut terjadi pada lebih dari satu situasi.
D. Gejala-gejala tersebut secara klinis nyata menimbulkan hendaya
dalam kegiatan sosial, akademis, dan tugas-tugas lainnya.
E. Gejala-gejala tersebut tidak diakibatkan oleh gangguan perkembangan
pervasif, schizophrenia dan gangguan jiwa yang lain (misalnya
gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif atau
gangguan kepribadian.
Anak yang memenuhi kriteria diagnostik untuk gejala-gejala perilaku
ADHD tetapi tidak menunjukkan hendaya fungsional tidak dapat
didiagnosis ADHD. Gejala-gejala ADHD harus ada di dua atau lebih
situasi (seperti di rumah dan di sekolah) dan perilaku harus berpengaruh
buruk secara fungsional baik di sekolah maupun di lingkungan social.
7. Penatalaksanaan
1) Farmakoterapi
Terapi farmakologi yang digunakan untuk terapi ADHD yaitu obat-
obat stimulansia. Di Indonesia stimulansia yang beredar saat ini adalah
methylphenidate (Ritalin), penggunaan untuk anak usia sekolah
dianjurkan dimulai dengan dosis 5 mg diberikan sebelum sarapan pagi
dan makan siang karena methylphenidate uumnya efektif untuk 3
sampai 4 jam. Bila perlu dosis ditingkatkan sampai bertahap 5-10
mg/minggu. Pasien usia sekolah umumnya sudah berespon pada dosis
0,3-0,8 mg/kgBB. Dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan efek
buruk pada konsentrasi dan belajar. Pengobatan lainnya dengan
amfetamin (stimulan yang memiliki efek paradoksal terhadap anak
hiperkinetik dan bekerja sebagai penenang). Selain obat-obatan
stimulansia pengobatan ADHD meliputi antidepresan trisiklik terutama
imipramin, amitriptilin dan desipramin, merupakn komponen
farmakoterapi kedua terbanyak untuk ADHD. Neuroleptik potensi
28

rendah seperti thioridazine dan chlorpromazine, juga potensi tinggi


seperti haloperidol mampu menurunkan perilaku distruptif
(mengganggu) dalam penelitian terkontrol. Gangguan fisiologis ini
biasanya menghilang antara umur 12-18 tahun, medikasi lalu
dihentikan. (Romadhon, 2005; Maramis, 2009).
2) Terapi perilaku
Terapi perilaku bertujuan untuk mengidentifikasi gangguan tingkah
laku anak kemudian berusaha melakukan perubahan tingkah laku sesuai
dengan target yang dikehendaki. Perubahan ini dilakukan pada anak
oleh orang tua dan gurunya, dilakukan di lingkungan keluarga di rumah,
di sekolah dan di lingkungan anak bergaul. Di dalam melakukan terapi
perilaku perlu dilakukan perencanaan, mengorganisir setiap
perencanaan dan menggunakan pekerjaan rumah dan catatan organisasi
setiap perencanaan. Untuk keperluan ini perlu dilakukan pelatihan
kepada orang tua, guru dan ketrampilan sosial. Orang tua penderita
ADHD juga dibekali pengetahuan tentang pengelolaan stres seperti
meditasi, tehnik relaksasi, olahraga untuk meningkatkan toleransi
terhadap frustasi, sehingga dapat merespon gangguan tingkah laku
anaknya dengan sabar dan tenang. Terapi perilaku termasuk terapi
perilaku kognitif yaitu membantu anak-anak melakukan adaptasi
terhadap skill dan memperbaiki kemampuan pemecahan masalah.
Terdapat lima modul materi latihan terapi perilaku, yaitu :

1) Feedback positive. Digunakan apabila target perilaku positif tercapai


2) Ignore-attend-praise. Digunakan ketika terungkap satu atau lebih
adanya perilaku yang tidak cocok
3) Teaching interaction. Digunakan untuk koreksi terhadap perilaku
yang tidak sesuai dan anak belum mempelajari suatu ketrampilan. Ini
berguna untuk memberikan alternatif yang cocok dan praktis bagi
anak untuk suatu ketrampilan.
4) Penanganan langsung. Cara ini digunakan untuk menghentikan
tingkah laku yang tidak sesuai apabila dengan cara Ignore attend
praise tidak berhasil.
29

5) Cara duduk dan memperhatikan. Cara ini digunakan untuk


menghentikan tingkah laku agresif dan merusak.
30

BAB III
RINGKASAN

1. Gangguan perkembangan pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik


dimana keterampilan sosial yang diharapkan perkembangan bahasa, dan
kejadian perilaku tidak berkembang secara sesuai atau hilang pada masa
kanak-kanak awal. Gangguan perkembangan pervasif diantaranya gangguan
autistik (autisme infantil), sindrom Rett, sindrom asperger dan gangguan
disintegrsasi masa kanak-kanak.
2. Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak yang ditandai
dengan munculnya gangguan keterlambatan dalam bidang kognitif,
komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial dan perilakunya. Autisme
berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau dengan kata
lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subyektifnya sendiri daripada
melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Gejala-gejala khas pada
autisme diantaranya: gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal,
gangguan dalam bidang interaksi sosial, gangguan dalam perilaku seperti
impulsif ataupun hiperaktif, gangguan pada pengontrolan perasaan dan
emosi, serta gangguan dalam persepsi sensoris (seperti tidak menyukai
rabaan dan pelukan).
3. Sindrom Rett adalah kelainan degeneratif yang kebanyakan mengenai
perempuan dan biasanya timbul pada usia sampai 1 tahun. Beberapa
karakteristik perilaku yang ditunjukan meliputi kehilangan daya bicara,
meremas-remas tangan secara repetitif, mengayun-ayunkan badan, dan
menarik diri (sosial withdrawal).
4. Sindrom Asperger pertama kali dijelaskan oleh Hans Asperger yang
menggambarkan empat anak laki-laki yang tidak memiliki kemampuan
berinteraksi, linguistik, dan kognitif. Ia menggunakan istilah Psikopati
Autistik untuk menjelaskan gejala ini, digambarkan anak-anak tersebut
sebagai orang yang memiliki interaksi sosial yang sangat minim, kegagalan
berkomunikasi, dan perkembangan pada minat-minat khusus. Sindrom
Asperger disifati oleh adanya cara berpikir yang konkrit dan harafiah, obsesi
terhadap topik tertentu, daya ingat yang luar biasa. Individu dalam kelompok
ini tergolong mereka yang berfungsi sangat baik dan berkemampuan
31

memiliki kerja tetap serta hidup independen. Sindrom Asperger dicirikan


dengan hendaya dalam interaksi sosial, dimana terdapat pola perilaku yang
steriotipik, keterbatasan dalam aktivitas dan minat, tanpa disertai dengan
keterlambatan perkembangan kognitif atau berbahasa. Gejala sindrom
asperger diantaranya: Kesulitan berkomunikasi dengan lingkungannya,
Interaksi sosial yang sedikit, sering mengulang-ulang pembicaraan dan
canggung dalam melakukan gerakan serta berperilaku aneh. Terlambatnya
kemampuan motorik, ceroboh, minat yang terbatas, dan perhatian yang
berlebihan terhadap kegiatan tertentu.
5. Gangguan disintegrasi masa anak-anak, dikenal juga sebagai sindroma Heller
dan psikosis disintegratif atau childhood disintegrative disorder (CDD). Pada
Gangguan disintegrasi masa kanak, hal yang mencolok adalah bahwa anak
tersebut telah berkembang dengan sangat baik selama beberapa tahun,
sebelum terjadi kemunduran yang hebat. Gejalanya biasanya timbul setelah
umur 3 tahun. Anak tersebut biasanya sudah bisa bicara dengan sangat lancar,
sehingga kemunduran tersebut menjadi sangat dramatis. Bukan saja
bicaranya yang mendadak terhenti, tapi juga ia mulai menarik diri dan
ketrampilannyapun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan juga
timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik. Anak penderita gangguan
disintegrasi ini biasanya berkembang secara normal ketika mereka mencapai
usia 2-4 tahun tapi kemudian anak mendadak akan memperlihatkan hilangnya
kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi yang cukup besar.
6. ADHD adalah gangguan yang ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak
untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga
rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang
seusia, Biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang
impulsif. Terdapat tiga gejala utama ADHD, yaitu: tidak adanya perhatian,
hiperaktif, dan impulsif. Terapi farmakologi untuk penderita ADHD berupa
terapi perilaku dan terapi Farmakologi yaitu obat-obatan stimulansia yaitu
methylphenidate dan antidepresan trisiklik terutama imipramin, amitriptilin
dan desipramin.
32

DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. 2007. ADHD Parents
Medication Guide.
Barkley RA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis
and Treatment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 1996
Hinshaw, S. P. (2002) Preadolescent girls with attention-deficit/hyperactivity
disorder: I. Background characteristics, comorbidity, cognitive and social
functioning, and parenting practices. Journal of Consulting and Clinical
Psychology, 70, 10861098.

Faraone SV, Sergent J, Gillberg C, Biederman J. 2003. The worldwide prevalence


of ADHD : is it an American condition?. World Psychiatry, 104-13.
Faraone,S.V. 2005. The scientific foundation for understanding
attentiondeficit/hyperactivity disorder as a valid psychiatric disorder.
European Child and Adolescent Psychiatry, 14, 110.
Fischer, M., Barkley, R. A., Edelbrock, C. S., et al. (1990) The adolescent
outcome of hyperactive children diagnosed by research criteria: II.
Academic, attentional, and neuropsychological status. Journal of Consulting
and Clinical Psychology,58, 580588.

Friedman SL, Munir KM. Anxiety Disorder, Specific Phobia. Last updatedDec 5,
2008. Available from http://emedicine.medscape.com/article/917056-
overview
Ford, T., Goodman, R. & Meltzer, H. (2003) The British Child and Adolescent
Mental Health Survey 1999: the prevalence of DSM-IV disorders. Journal
of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 42, 1203
1211.
Fowler, mary. 2004. Attention deficit/hyperactivity disorder. National
Dissemination Center for Children with Disabilities ed:3
Hill P., Taylor, E. 2001. An auditable protocol for treating attention
decit/hyperactivity disorder. London UK. Arch Dis Child. 84: pp 404409
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Grebb, J., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tanggerang: Binarupa Aksara.
Kasran, S. (2003). Autisme: Konsep yang sedang berkembang. Jurnal Kedokteran
Trisakti , 22, 24-30.

Mannuzza, S., Klein, R. G., Bessler, A., et al. (1993) Adult outcome of
hyperactive boys: educational achievement, occupational rank, and
psychiatric status. Archives of General Psychiatry, 50, 565576.
33

Maramis, Willy. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press
McGee, R., Williams, S. & Feehan, M. (1992) Attention deficit disorder and age
of onset of problem behaviors. Journal of Abnormal Child Psychology, 20,
48 -502.

Merikangas KR, He JP, Brody D, et al. Prevalence and treatment of mental


disorders among US children in the 2001-2004 NHANES. Pediatrics 2010;
125:75.
McCann, D., Barrett, A., Cooper, A., et al. (2007) Food additives and hyperactive
behaviour in 3-year-old and 8/9-year-old children in the community: a
randomised, double-blind, placebo-controlled trial. The Lancet, 3, 1560
1567.
Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta : Nuh Jaya
Pliszka S, AACAP Work Group on Quality Issues. Practice parameter for the
assessment and treatment of children and adolescents with attention-
deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2007;
46:894.
Romadhon, Yusuf. 2005. Aspek Klinik dan Farmakoterapi Anak dengan
Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas. Cermin Dunia
Kedokteran:149;32-37
Sadock, B.J dan Alcot, v. 2007. Kaplan and Sadocks Synopsis of Psychiatry
Behavioural Science/Clinical Psychiatry. 10th edition. University School of
Medicine New York; Chapter 42

The British Psychological Society & The Royal College of Psychiatrists. 2009.
Attention deficit hyperactivity disorder, diagnosis and management of
ADHD in children, young people and adults. Alden press:Great Britain.
Widyawati, Ika. 2012. Aspergers Syndrome. Available from URL:
http://staff.ui.ac.id/internal/140078235/material/ASPERGERSYNDROMEB
ELLA.pdf. Retrieved Maret 4, 2013.

Das könnte Ihnen auch gefallen