Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan perkembangan pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik
dimana keterampilan sosial yang diharapkan perkembangan bahasa, dan
kejadian perilaku tidak berkembang secara sesuai atau hilang pada masa
kanak-kanak awal. Gangguan perkembangan pervasif mempengaruhi
berbagai bidang perkembangan, bermanifestasi pada awal kehidupan dan
menyebabkan disfungsi yang persisten (Kaplan,2010). Gangguan pervasif
bermacam- macam diantaranya gangguan autistik (autisme infantil), sindrom
Rett, sindrom Asperger dan gangguan disintegrasi masa kanak-kanak
(Kaplan, 2010 ).
Menurut Kaplan (2010) prevalensi gangguan autistik berkisar antara 2
sampai 5 kasus er 10.000 anak (0,02 sampai 0,05 persen) di bawah usia 12
tahun. Pada sebagian besar kasus autisme mulai sebelum 36 bulan tetapi tidak
mungkin terlihat bagi orang tua, tergantung pada kesadaran mereka dan
keparahan gangguan. Gangguan autistik lebih sering terkena pada anak laki-
laki dibanding anak perempuan dengan perbandingan 3:1. Beberapa survei
yang dilakukan, satu survei menyatakan prevalensi 6 sampai 7 kasus
gangguan rett per 100.000 anak perempuan. Dalam international
Classification of Disease revisi ke 10 (ICD 10), gangguan asperger
dinamakan sindrom asperger dan ditandai oleh gangguan sosial kualitatif,
tidak adanya keterlambatan bahasa dan kognitif yang bermakna dan adanya
minat dan perilaku yang terbatas. Menurut data epidemiologi gangguan
disintegrasi masa kanak-kanak diperkirakan sekurang-kurangnya
sepersepuluh dari gangguan autistik, dan prevalensi diperkirakan kira kira 1
kasus pada 100.000 anak laki-laki (Kaplan, 2010).
ADHD (Attention deficit hyperactive disorder) adalah salah satu dari
banyak gangguan tingkah laku pada anak-anak. Gangguan ini diperkirakan
terdapat pada 3% sampai 7% dari 100 anak usia sekolah. Sebuah penelitian
yang dilakukan di Inggris sebanyak 10.438 anak-anak antara usia 5 sampai 15
tahun ditemukan 3,62% anak laki-laki dan 0,85% anak perempuan dengan
ADHD. Gangguan ini tidak hanya berpengaruh pada anak-anak saja tetapi
2
permasalahan ini juga berlanjut dewasa. Inti dari gejala ADHD adalah tingkat
perkembangan yang tidak sesuai, meliputi dari inatensi, hiperaktif dan
impulsif. Masalah-masalah ini tetap dan biasanya menimbulkan kesulitan
dalam satu atau lebih area kehidupan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan kantor maupun hubungan sosial. Tidak semua anak-anak
dan remaja memiliki jenis ADHD yang sama. Karena gangguan bervariasi
antara individu, anak-anak dengan ADHD tidak akan semua memiliki
masalah yang sama. Beberapa mungkin hiperaktif. Lainnya mungkin yang
kurang aktif. Beberapa mungkin memiliki masalah dengan perhatian. Lainnya
mungkin terlalu impulsif. Yang lain mungkin memiliki masalah yang
signifikan di semua tiga bidang (perhatian, hiperaktif, dan impulsif)
(Ford,2003;Fowler, 2004).
Etiologi ADHD terjadi karena pengaruh genetik dan pengaruh
lingkungan, tetapi penyebab ADHD belum ditemukan secara pasti, dari
beberapa penelitian menyebutkan bahwa peranan gen sangat berperan penting
dalam timbulnya ADHD. Sebanyak sekitar 76% anak-anak dengan ADHD
memiliki riwayat keluarga yang juga mengalami keluhan yang sama.
Kelahiran bayi yang prematur, riwayat merokok pada wanita hamil atau stress
selama kehamilan, terpapar alkohol saat masih didalam kandungan, dan
cedera kepala juga berkontribusi dalam perkembangan ADHD (AACAP,
2007). Gejala ADHD menunjukkan pengaruh genetik cukup kuat. Studi yang
dilakukan oleh twin menunjukkan bahwa sekitar 75% dari variasi dalam
gejala ADHD dalam populasi adalah karena faktor genetik (heritabilitas
perkiraan sebesar 0,7 sampai 0,8) (Faraone et al., 2005). Berbagai faktor yang
mempengaruhi perkembangan otak selama perinatal dan anak usia dini
dikaitkan dengan peningkatan risiko ADHD atau perhatian gangguan defisit
tanpa hiperaktivitas, termasuk akibat ibu merokok, konsumsi alkohol dan
heroin selama kehamilan, berat badan lahir sangat rendah, cedera otak,
paparan racun seperti timbal dan kekurangan zinc. Pengaruh faktor makanan
dalam ADHD telah menarik banyak perhatian publik seperti makanan yang
mengandung zat aditif, gula, dan pewarna sering dianggap sebagai penyebab
ADHD (McCann et al, 2007).
3
Tindak lanjut penelitian dari anak yang didiagnosis dengan ADHD secara
konsisten menunjukkan penurunan fungsi akademis mereka. Anak-anak dan
remaja dengan ADHD telah terbukti memiliki gangguan perhatian yang lebih
besar, kontrol impuls yang kurang, gelisah dan cara berbicara yang buruk
(Fischer et al, 1990.), kemampuan membaca yang buruk (McGee et al, 1992.)
dan pidato dan masalah bahasa (Hinshaw, 2002) jika dibandingkan dengan
anak-anak yang sehat. Selain itu anak dengan ADHD cenderung sering
mengalami tinggal kelas (Hinshaw, 2002), dan lebih sulit untuk
menyelesaikan sekolah bila dibandingkan dengan anak-anak yang tidak
memiliki ADHD (Mannuzza et al., 1993).
Adanya gangguan yang berkelanjutan dari penderita ADHD dan
gangguan pervasif hingga dewasa, serta berbagai faktor resiko penyebabnya
maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai gangguan
pervasif dan ADHD.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan referat ini ialah untuk mengetahui lebih
mendalam tentang gangguan perkembangan pervasif dan ADHD.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penulisan referat ini ialah untuk mengetahui lebih
mendalam tentang pengertian, etiologi, penegakan diagnosis, dan terapi
dari ADHD dan gangguan perkembangan pervasif yang meliputi :
a. Gangguan Autis Masa Kanak
b. Sindrom Rett
c. Gangguan Disintegrasi Masa Anak Lainnya
d. Sindrom Asperger
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan referat ini adalah dapat menambah wawasan
pengetahuan mengenai gangguan perkembangan pervasif dan ADHD yang
nantinya dapat berguna dalam praktek klinik.
4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GANGGUAN PERVASIF
1. Definisi
Gangguan Pervasif adalah kelompok kondisi psikiatrik dimana
keterampilan sosial yang diharapkan, perkembangan bahasa dan kejadian
perilaku tidak berkembang secara sesuai ( Kaplan, 2010).
2. Klasifikasi
Gangguan pervasif digolongkan dalam beberapa macam yaitu
gangguan autisme masa kanak-kanak, autisme tak khas, sindrom rett,
gangguan disintegrasi masa kanak lainnya, sindrom asperger
(Maslim,2001).
1) Autisme
Autisme berasal dari kata autos yang berarti segala sesuatu
yang mengarah pada diri sendiri. Dalam kamus psikologi umum
(1982), autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan
sendiri atau dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran
subyektifnya sendiri daripada melihat kenyataan atau realita
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme sering
disebut orang yang hidup di alamnya sendiri. Belakangan istilah
psikosis cenderung dihilangkan dan dalam Diagnostic and Statistical
Maunal of Mental Disorder edisi IV (DSM-IV) Autisme digolongkan
sebagai gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental
disorders), secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini
ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar
majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan
bahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan
gerakan-gerakan motorik. Autisme atau autisme infantil (Early
Infantile Autism) pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner 1943
seorang psikiatris Amerika (Center, 2011).
Autisme merupakan salah satu kelompok gangguan pada anak
yang ditandai dengan munculnya gangguan keterlambatan dalam
bidang kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial dan
perilakunya (Sadock,2007)
6
Etiologi
Sampai dengan saat ini belum ada ketentuan yang pasti tentang
penyebab gangguan autism ini, ada beberapa anggapan sebagai
berikut:
a. Teori Psikoanalitik (efrigerator mother). Menurut teori ini, Autism
disebabkan pengasuhan ibu yang tidak hangat (Bruno Bettelheim).
b. Teori berpandangn kognitif (Theory of Mind). Menurut teori ini,
Autis disebabkan ketidak mampuan membaca pikiran orang lain
mindblindness (Baron-Ohen, Alan Leslie).
c. Autisme sebagai gejala neurologis atau gangguan Neuro-Anatomi
dan Bio-Kimiawi Otak. Menurut penelitian yang ada, 43% dari
penyandang autism mempunyai kelainan yang khas didalam lobus
parientalisnya (menyebabkan keterbatasan perhatian terhadap
lingkungan), menurut Eric Courchesne dari Department of
Neurososciences, School of Medicine, University of California,
SanDiego, para penyandang autisme memiliki cerebellum yang
lebih kecil (bertanggung jawab terhadap proses sensori, daya ingat,
berpikir, bahasa, dan perhatian).
d. Teori Biologi, Menurut teori ini, Autis disebabkan oleh Faktor
genetik.
e. Teori Imunologi, Menurut teori ini, Autis disebabkan karena
inkompatibilitas imunologi antara ibu dan embrio atau janin.
2) Sindrom Rett
Gangguan rett dikenalkan oleh Andreas Rett (1965) untuk
menjelaskan perkembangan 22 anak perempuan yang mengalami
perkembangan normal selama sekurangnya enam bulan, diikuti oleh
pemburukan perkembangan yang menakutkan (Center, 2011). Sindrom
Rett adalah kelainan degeneratif yang kebanyakan mengenai
perempuan dan biasanya timbul pada usia sampai 1 tahun.
Beberapa karakteristik perilaku yang ditunjukan meliputi kehilangan
daya bicara, meremas-remas tangan secara repetitif, mengayun-
ayunkan badan, dan menarik diri (social withdrawal). Mereka yang
mengalami kelainan ini mungkin juga menderita retardasi mental yang
berat (Kasran, 2003). Perbedaan sindrom rett dengan autisme adalah
(Center, 2011):
a) Pada gangguan autis penyimpangan perkembangan secara umum
terjadi sejak awal.
b) Pada gangguan Rett, gerakan tangan yang spesifik dan
karakteristik selalu ditemukan, sementara pada autis tidak.
c) Koordinasi yang buruk, ataxia dan apraxia banyak ditemukan pada
gangguan Rett.
8
3) Sindrom Asperger
Sindrom Asperger pertama kali dijelaskan oleh seorang pediatri
(ahli kesehatan anak) dari Wina, Hans Asperger. Dalam tesis doktoral
yang dipublikasikan pada 1944, Hans Asperger menggambarkan empat
anak laki-laki yang tidak memiliki kemampuan berinteraksi, linguistik,
dan kognitif. Ia menggunakan istilah Psikopati Autistik untuk
menjelaskan gejala ini. Baik Leo Kanner maupun Hans Asperger
menggambarkan anak-anak tersebut sebagai orang yang memiliki
interaksi sosial yang sangat minim, kegagalan berkomunikasi, dan
perkembangan pada minat-minat khusus. Leo Kanner menggambarkan
anak-anak dengan ekspresi Autism yang lebih para, sementara Hans
Asperger menjelaskan anak-anak yang lebih memiliki kecakapan
(Center, 2011).
Sindrom Asperger disifati oleh adanya cara berpikir yang
konkrit dan harafiah, obsesi terhadap topik tertentu, daya ingat yang
luar biasa. Individu dalam kelompok ini tergolong mereka yang
berfungsi sangat baik dan berkemampuan memiliki kerja tetap serta
hidup indipenden (Kasran, 2003). Sindrom Asperger dicirikan dengan
hendaya dalam interaksi sosial, dimana terdapat pola perilaku yang
steriotipik, keterbatasan dalam aktivitas dan minat, tanpa disertai
dengan keterlambatan perkembangan kognitif atau berbahasa
(Widyawati, 2012).
Gejala sindrom asperger diantaranya (Center, 2011):
a) Kesulitan berkomunikasi dengan lingkungannya
b) Interaksi sosial yang sedikit, sering mengulang-ulang pembicaraan
dan canggung dalam melakukan gerakan serta berperilaku aneh.
Tetapi anak dengan sidrom asperger umumnya memiliki
kemampuan daya ingat yang cukup baik
c) Terlambatnya kemampuan motorik, ceroboh, minat yang terbatas,
dan perhatian yang berlebihan terhadap kegiatan tertentu.
4) Gangguan disintegrasi masa anak-anak
9
3. Tanda-Tanda Klinis
1. Austisme
a. Usia 18 bulan (Anonim, 2011)
1) Tidak melakukan kontak mata.
2) Tidak merespon segera jika dipanggil nama.
3) Tampak berada didunianya sendiri.
4) Mengalami hambatan perkembangan bahasa.
5) Kehilangan kemampuan berbahasa.
6) Tidak menggunakan sikap tubuh.
7) Memegang tangan orang dewasa dan menaruhnya pada
sesuatu yang ingin dia buka.
8) Tidak memahami sikap tubuh orang lain.
9) Tidak bermain pura-pura.
10
4. Kriteria Diagnosis
Terdapat beberapa kelainan yang termasuk dalam gangguan pervasif,
diantaranya Autisme masa kanak, Sindrom Rett, Gangguan Disintegratif
15
A. Semua berikut:
1. Perkembangan pranatal dan perinatal yang tampaknya normal.
2. Perkembangan psikomotor yang tampaknya normal selama lima
bulan pertama setelah lahir.
3. Lingkaran kepala yang normal saat lahir.
B. Onset semua berikut ini setelah periode perkembangan normal:
1. Perlambatan pertumbuhan kepala antara usia 5 dan 48 bulan.
2. Hilangnya keterampilan tangan bertujuan yang sebelumnya telah
dicapai antara usia 5 dan 30 bulan dengan diikuti perkembangan
gerakan tangan stereotipik (misalnya, memuntirkan tangan atau
mencuci tangan).
3. Hilangnya keterlibatan sosial dalam awal perjalanan (walaupun
seringkali interaksi sosial tumbuh kemudian).
4. Terlihatnya gaya berjalan atau gerakan batang tubuh yang
terkoordinasi secara buruk.
5. Gangguan parah pada perkembangan bahasa ekspresif dan
reseptif dengan retardasi psikomotor yang parah.
d. SindromAsperger
Adapun kriteria diagnostik gangguan Asperger menurut DSM-IV adalah
sebagai berikut:
5. Penatalaksanaan
Tujan terapi adalah menurunkan gejala perilaku dan membantu
perkembangan fungsi yang terlambat, rudimenter seperti keterampilan
bahasa dan merawat diri sendiri.
1) Farmakoterapi
Tujuan dari terapi autisme adalah mengurangi gejala-gejala yang ada
semaksimal mungkin sehingga anak tersebut nantinya bisa berbaur
dengan anak-anak lain secara normal. Obat-obatan untuk memperbaiki
keseimbangan neorutransmitter serotonin dan dopamin (Efek samping:
Ngiler,ngantuk, kaku otot). Pemberian haloperidol menurunkan gejala
perilaku dan mempercepat belajar. Terapi yang digunakan pada
sindrom Rett ditujukan pada intervensi simptomatik. Pemberian obat
atikonvulsan sangat dibutuhkan untuk mengendalikan kejang. Pada
sindrom Asperger tidak ada obat yang khusus untuk menanganinya.
Tapi, obat-obatan bisa digunakan untuk mengatasi gejala khusus,
seperti kecemasan, depresi, serta perilaku yang hiperaktif dan terobsesi
Keberhasilan terapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:
a) Berat ringannya gejala atau berat ringannya kelainan otak.
b) Usia, diagnosis dini sangat penting oleh karena semakin muda umur
anak saat dimulainya terapi semakin besar kemungkinan untuk
berhasil.
c) Kecerdasan, makin cerdas anak tersebut makin baik prognosisnya
19
B. ADHD
1. Definisi
ADHD adalah Gangguan ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan
anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi,
sehingga rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan
anak lain yang seusia, Biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan
tingkah laku yang impulsif. Kelainan ini dapat mengganggu
perkembangan anak dalam hal kognitif, perilaku, sosialisasi maupun
komunikasi.
2. Predisposisi
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8 - 10 persen, hal
tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling
umum pada masa kanak-kanak (Pliszka, 2007; Merikangas et al, 2007)
Rasio ADHD pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan
yaitu 4:1 (untuk ADHD yang didominasi oleh hiperaktif) dan 2:1 (untuk
ADHD yang didominasi oleh inatensi/kesulitan dalam memusatkan
20
perhatian) (Green et al, 1999). Hasil survey yang dilakukan oleh National
Survey of Childrens Health (NSCH) ada tahun 2007, prevalensi ADHD
untuk anak laki-laki adalah 13,2 % dan pada anak perempuan 5,6 % (CDC,
2010). Di Inggris, survei dari 10.438 anak-anak antara usia 5 dan 15 tahun
menemukan bahwa 3,62% dari anak laki-laki dan 0,85% anak perempuan
telah ADHD (Hill, 2001).
3. Gejala ADHD
ADHD ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak untuk
memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang
perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia.
Biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif.
Kelainan ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam hal kognitif,
perilaku, sosialisasi maupun komunikasi (Center, 2011). Terdapat tiga
gejala utama gangguan ADHD yaitu:
1. Tidak ada perhatian
Ketidakmampuan memusatkan perhatian pada beberapa hal seperti
membaca, menyimak pelajaran, atau melakukan permainan. Seseorang
yang menderita ADHD akan mudah sekali teralih perhatiannya karena
bunyi bunyian, gerakan, bau bauan atau pikiran, tetapi dapat
memusatkan perhatian dengan baik jika ada yang menarik minatnya
(Riksma, 2011). Beberapa tanda-tanda dari tidak ada perhatian adalah
(Riksma, 2011):
a. Sering lalai memberi perhatian seksama pada detail.
b. Mempunyai kesukaran mempertahankan perhatian pada kerja dan
bermain.
c. Tidak tampak mendengarkan kalau berbicara secara langsung.
d. Sering tidak melaksanakan perintah dan lalai menyelesaikan tugas.
e. Sering mempunyai kesukaran melakukan tugas dan aktivitas.
f. Sering menghindar, sebel, atau enggan untuk terlibat dalam tugas
yang memerlukan usaha mental terus-menerus.
g. Sering kehilangan barang.
h. Perhatian mudah dialihkan dengan hal yang tak ada hubungannya
dengan rangsangan.
i. Sering pelupa.
2. Hiperaktif
21
5. Patofisiologi
Patofisiologi ADHD atau di indonesia dikenal dengan GPPH
(Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif) memang tak jelas. Hasil
penelitian Faraonen dkk, 2000 dan Barkley, 2003 mengatakan bahwa
terdapat faktor yang berpengaruh terhadap munculnya ADHD :
1) Faktor genetika
Bukti penelitian menyatakan bahwa faktor genetika merupakan
faktor penting dalam memunculkan tingkah laku ADHD. Satu pertiga
dari anggota keluarga ADHD memiliki gangguan, yaitu jika orang
tua mengalami ADHD, maka anaknya beresiko ADHD sebesar 60 %.
Pada anak kembar, jika salah satu mengalami. ADHD, maka
saudaranya 70-80 % juga beresiko mengalami ADHD.
Pada studi gen khusus beberapa penemuan menunjukkan
bahwa molekul genetika gen-gen tertentu dapat menyebabkan
munculnya ADHD. Dengan demikian temuan-temun dari aspek
keluarga, anak kembar, dan gen-gen tertentu menyatakan bahwa
ADHD ada kaitannya dengan keturunan.
Mutasi gen pengkode neurotransmiter dan reseptor Dopamin (D2
dan D4) pada kromosom 11p memegang peranan terjadinya
ADHD.Terdapat lima reseptor Dopamin yaitu D1, D2, D3, D4 dan D5,
sedangkan yang berperan terhadap ADHD adalah reseptor D2 dan D4.
Neurotransmiter dan reseptor Dopamin pada korteks lobus frontalis dan
subkorteks (ganglia basalis) berperan terhadap sistem inhibisi dan
memori, sehingga apabila ada gangguan akan terjadi gangguan inhibisi
dan memori. Di samping Dopamin, gen pengkode sistem noradrenergik
dan serotoninergik terkait dengan patofisiologi terjadinya ADHD. Dua
Gen reseptor dopamin dan gen DAT telah diidentifikasi kemungkinan
berperan dalam GPPH. Faktor neurologi terlihat berperan dalam onset
GPPH.
2) Faktor neurobiologis
Beberapa dugaan dari penemuan tentang neurobiologis
diantaranya bahwa terdapat persamaan antara ciri-ciri yang muncul
pada ADHD dengan yang muncul pada kerusakan fungsi lobus
prefrontal. Demikian juga penurunan kemampuan pada anak ADHD
pada tes neuropsikologis yang dihubungkan dengan fungsi lobus
24
samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat,
ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat
6. Kriteria Diagnostis
Penegakan diagnosis ADHD berdasarkan PPDGJ III (2001) yaitu
kriteria umum mengenai gangguan hiperkinetik telah terpenuhi tetapi
kriteria untuk gangguan tingkah laku tidak terpenuhi. Ciri-ciri utama dari
gangguan hiperkinetik ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas
berlebihan. Kedua ciri ini menjadi syarat mutlak untuk diagnosis dan
haruslah nyata ada pada lebih dari satu situasi (misalnya dirumah, di kelas,
di klinik).
Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya
tugas dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai. Anak-
anak ini sering beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain, rupanya
kehilangan minatnya terhadap tugas yang satu, karena perhatiannya
tertarik kepada kegiatan lainnya. Berkurangnya dalam ketekunan dan
perhatian ini seharusnya hanya didiagnosis bila sifatnya berlebihan bagi
anak dengan usia atau IQ yang sama.
Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan,
khususnya dalam situasi yang menuntut keadan relatif tenang. Hal ini,
tergantung dari situasinya, mencakup anak itu berlari-lari atau berlompat-
lompat sekeliling ruangan, ataupun bangun dari duduk/kursi dalam situasi
yang menghendaki anak itu tetap duduk, terlalu banyak bicara dan ribut,
atau kegugupan/kegelisahan yang berputar-putar (berbelit-belit). Tolok
ukur untuk penilaiannya ialah bahwa suatu aktivitas disebut berlebihan
dalam konteks apa yang diharapkan dalam suatu situasi dan dibandingkan
dengan anak-anak lain yang sama umur dan nilai IQ nya. Ciri khas
perilaku ini paling nyata di dalam suatu situasi yang berstruktur dan diatur
yang menuntut suatu tingkat sikap pengendalian diri yang tinggi.
Gambaran penyerta tidaklah cukup bahkan tidak diperlukan bagi suatu
diagnosis, namun demikian ia dapat mendukung. Kecerobohan dalam
hubungan-hubungan sosial, kesembronoan dalam situasi yang berbahaya
dan sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial (yang
diperlihatkan dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan orang
26
Impulsivitas
a) Terlalu cepat memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai
didengar.
b) Sulit menunggu giliran.
c) Sering melakukan interupsi atau mengganggu orang lain.
B. Gejala-gejala tersebut terjadi sebelum usia 7 tahun.
C. Gejala-gejala tersebut terjadi pada lebih dari satu situasi.
D. Gejala-gejala tersebut secara klinis nyata menimbulkan hendaya
dalam kegiatan sosial, akademis, dan tugas-tugas lainnya.
E. Gejala-gejala tersebut tidak diakibatkan oleh gangguan perkembangan
pervasif, schizophrenia dan gangguan jiwa yang lain (misalnya
gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif atau
gangguan kepribadian.
Anak yang memenuhi kriteria diagnostik untuk gejala-gejala perilaku
ADHD tetapi tidak menunjukkan hendaya fungsional tidak dapat
didiagnosis ADHD. Gejala-gejala ADHD harus ada di dua atau lebih
situasi (seperti di rumah dan di sekolah) dan perilaku harus berpengaruh
buruk secara fungsional baik di sekolah maupun di lingkungan social.
7. Penatalaksanaan
1) Farmakoterapi
Terapi farmakologi yang digunakan untuk terapi ADHD yaitu obat-
obat stimulansia. Di Indonesia stimulansia yang beredar saat ini adalah
methylphenidate (Ritalin), penggunaan untuk anak usia sekolah
dianjurkan dimulai dengan dosis 5 mg diberikan sebelum sarapan pagi
dan makan siang karena methylphenidate uumnya efektif untuk 3
sampai 4 jam. Bila perlu dosis ditingkatkan sampai bertahap 5-10
mg/minggu. Pasien usia sekolah umumnya sudah berespon pada dosis
0,3-0,8 mg/kgBB. Dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan efek
buruk pada konsentrasi dan belajar. Pengobatan lainnya dengan
amfetamin (stimulan yang memiliki efek paradoksal terhadap anak
hiperkinetik dan bekerja sebagai penenang). Selain obat-obatan
stimulansia pengobatan ADHD meliputi antidepresan trisiklik terutama
imipramin, amitriptilin dan desipramin, merupakn komponen
farmakoterapi kedua terbanyak untuk ADHD. Neuroleptik potensi
28
BAB III
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Child and Adolescent Psychiatry. 2007. ADHD Parents
Medication Guide.
Barkley RA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis
and Treatment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 1996
Hinshaw, S. P. (2002) Preadolescent girls with attention-deficit/hyperactivity
disorder: I. Background characteristics, comorbidity, cognitive and social
functioning, and parenting practices. Journal of Consulting and Clinical
Psychology, 70, 10861098.
Friedman SL, Munir KM. Anxiety Disorder, Specific Phobia. Last updatedDec 5,
2008. Available from http://emedicine.medscape.com/article/917056-
overview
Ford, T., Goodman, R. & Meltzer, H. (2003) The British Child and Adolescent
Mental Health Survey 1999: the prevalence of DSM-IV disorders. Journal
of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 42, 1203
1211.
Fowler, mary. 2004. Attention deficit/hyperactivity disorder. National
Dissemination Center for Children with Disabilities ed:3
Hill P., Taylor, E. 2001. An auditable protocol for treating attention
decit/hyperactivity disorder. London UK. Arch Dis Child. 84: pp 404409
Kaplan, H.I., Sadock, B.J. & Grebb, J., 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri
Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tanggerang: Binarupa Aksara.
Kasran, S. (2003). Autisme: Konsep yang sedang berkembang. Jurnal Kedokteran
Trisakti , 22, 24-30.
Mannuzza, S., Klein, R. G., Bessler, A., et al. (1993) Adult outcome of
hyperactive boys: educational achievement, occupational rank, and
psychiatric status. Archives of General Psychiatry, 50, 565576.
33
Maramis, Willy. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press
McGee, R., Williams, S. & Feehan, M. (1992) Attention deficit disorder and age
of onset of problem behaviors. Journal of Abnormal Child Psychology, 20,
48 -502.
The British Psychological Society & The Royal College of Psychiatrists. 2009.
Attention deficit hyperactivity disorder, diagnosis and management of
ADHD in children, young people and adults. Alden press:Great Britain.
Widyawati, Ika. 2012. Aspergers Syndrome. Available from URL:
http://staff.ui.ac.id/internal/140078235/material/ASPERGERSYNDROMEB
ELLA.pdf. Retrieved Maret 4, 2013.