Sie sind auf Seite 1von 68

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/280776552

Geographic Information System (GIS)-Based


Landslide Susceptible Area Detection using
Geospatial and Satellite Data (Case...

Thesis May 2011


DOI: 10.13140/RG.2.1.1720.3040

CITATIONS READS

0 346

1 author:

Ardhi Adhary Arbain


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
20 PUBLICATIONS 38 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ardhi Adhary Arbain on 08 August 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.
UNIVERSITAS INDONESIA

DETEKSI DAERAH RAWAN LONGSOR


MENGGUNAKAN DATA GEOSPASIAL DAN SATELIT BERBASIS
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
(Studi Kasus Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat)

TESIS

ARDHI ADHARY ARBAIN


0806424213

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
DEPOK
MEI 2011
UNIVERSITAS INDONESIA

DETEKSI DAERAH RAWAN LONGSOR


MENGGUNAKAN DATA GEOSPASIAL DAN SATELIT BERBASIS
SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
(Studi Kasus Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik

ARDHI ADHARY ARBAIN


0806424213

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
KEKHUSUSAN TEKNIK TELEKOMUNIKASI
DEPOK
MEI 2011
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Ardhi Adhary Arbain


NPM : 0806424213
Tanda Tangan :
Tanggal : 30 Mei 2011

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Ardhi Adhary Arbain
NPM : 0806424213
Program Studi : Teknik Elektro
Judul Tesis : Deteksi Daerah Rawan Longsor Menggunakan Data
Geospasial dan Satelit Berbasis Sistem Informasi
Geografis (Studi Kasus Provinsi Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Teknik
pada Program Studi Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Ir. Dodi Sudiana, M.Eng. (. )

Penguji : Prof. Dr. Ir. Harry Sudibyo, DEA (. )

Penguji : Dr. Ir. Arman D. Diponegoro (. )

Penguji : Ir. Purnomo Sidi Priambodo, M.Sc., Ph.D. (.. )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 1 Juli 2011

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Buku tesis ini
dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik Program
Studi Teknik Elektro pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Penulis menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, karya ilmiah ini akan sulit
untuk diselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Dodi Sudiana M.Eng., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penelitian ini.
2. Dr. Ir. Agus Wibowo M.Sc., yang telah memberi kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian di Laboratorium Nusantara Earth Observation
Network (NEONet) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta.
3. Dr. Fadli Syamsudin, atas dorongan moral dan dukungan kepada penulis selama
masa studi dan penelitian di UI.
4. Kedua orangtua dan adik-adikku tercinta, untuk segala doa dan dukungan tiada
akhir hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ilmiah ini.
5. Kekasihku Firdana Ayu Rahmawati, untuk kesabaran dan semangat yang
diberikan kepada penulis hingga saat ini.
6. Teman-teman HARIMAU (Reni, Sopi, Nana, Ina, Tata, Galih, Iyan), rekan-rekan
NEONet (Mas Uut, Mas Hartanto dll) dan PTISDA (Mas Laju, Mbak Ziah dll)
serta berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia di masa yang akan datang.

Depok, 30 Mei 2011

Ardhi Adhary Arbain


v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TESIS UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:

Nama : Ardhi Adhary Arbain


NPM : 0806424213
Program Studi : Teknik Telekomunikasi
Departemen : Teknik Elektro
Fakultas : Teknik
Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

DETEKSI DAERAH RAWAN LONGSOR MENGGUNAKAN DATA


GEOSPASIAL DAN SATELIT BERBASIS SISTEM INFORMASI
GEOGRAFIS (Studi Kasus Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat)

berserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan seminar saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 30 Mei 2011
Yang menyatakan

(Ardhi Adhary Arbain)

vi
ABSTRAK

Nama : Ardhi Adhary Arbain


Program Studi : Teknik Elektro
Judul : Deteksi Daerah Rawan Longsor Menggunakan Data Geospasial
dan Satelit Berbasis Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus
Provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat)

Penelitian ini membahas teknik deteksi daerah rawan longsor di wilayah Banten, DKI
Jakarta dan Jawa Barat, menggunakan data geospasial dan satelit dengan
memanfaatkan metode Weighted Linear Combination (WLC) berbasis Sistem
Informasi Geografis. Beberapa pembobotan berbeda dilakukan untuk menguji faktor-
faktor yang paling dominan menyebabkan longsor, seperti elevasi, kemiringan lereng,
jenis tanah, tutupan lahan, rata-rata dan simpangan baku curah hujan. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa kemiringan lereng adalah faktor dominan
penyebab longsor. Penelitian ini juga mengkaji distribusi daerah rawan longsor
selama beberapa tahun yang tidak hanya bergantung pada fluktuasi faktor dinamis
seperti tutupan lahan dan curah hujan. Keakuratan dari hasil penelitian ini bergantung
pada presisi dan skala dari data geospasial yang dapat ditingkatkan dengan
menggunakan data satelit terbaru.

Kata kunci :
Kerawanan longsor, penginderaan jauh, Weighted Linear Combination, Sistem
Informasi Geografis

vii
ABSTRACT

Name : Ardhi Adhary Arbain


Study Program : Electrical Engineering
Judul : Geographic Information System (GIS)-Based Landslide
Susceptible Area Detection using Geospatial and Satellite Data
(Case study of Banten, DKI Jakarta and Jawa Barat provinces)

This study focused on detection technique of landslide susceptible areas in Banten,


DKI Jakarta and Jawa Barat by utilizing Weighted Linear Combination (WLC)
method based on Geographic Information System using geospatial and satellite data.
Several weighting approaches were used to examine the dominant landslide-
controlling factors, e.g. : elevation, slope, soil type, land cover, rainfall average and
standard deviation. WLC results showed that slope gradient was the most dominant
factor which caused landslide events. This study also assessed the yearly distribution
of landslide susceptible areas which not only depend on fluctuation of dynamic
factors such as land cover and rainfall. The accuracy of the results depend on the
precision and scale of geospatial data which could be increased using the latest
satellite data.

Keywords :
Landslide susceptibility, remote sensing, Weighted Linear Combination, Geographic
Information System

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN SAMPUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS . iii
HALAMAN PENGESAHAN .. iv
KATA PENGANTAR .. v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI . ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL . xii
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 3

2. TINJAUAN PUSTAKA .. 4
2.1 Bencana Tanah Longsor . 4
2.1.1 Definisi 4
2.1.2 Tanah Longsor 5
2.1.3 Faktor Penyebab Longsor 7
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) . 10
2.2.1 Definisi .. 10
2.2.2 Komponen SIG . 11
2.2.2.1 Perangkat Keras (hardware) 11
2.2.2.2 Perangkat Lunak (software) 11
2.2.2.3 Data Geospasial .. 12
2.2.2.4 Manajemen . 12
2.2.3 Cara Kerja SIG .. 12

3. METODOLOGI PENELITIAN . 14
3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian 14
3.2 Penentuan Wilayah dan Waktu Penelitian 15
3.3 Perangkat Pengolahan Data Geospasial 15
3.4 Pengumpulan Data Geospasial . 16
3.4.1 Data Model Elevasi Digital dan Turunannya 16
3.4.2 Data Tutupan Lahan . 20
3.4.3 Data Jenis dan Tekstur Tanah 21
3.4.4 Data Curah Hujan Spasial 27
3.5 Pengolahan Data Geospasial . 29
3.5.1 Koreksi Georeferensi 29
3.5.2 Klasifikasi dan Normalisasi Faktor Pengontrol Longsor . 31
ix
3.5.3 Weighted Linear Combination .. 32

4. HASIL DAN ANALISIS .. 34


4.1 Jenis Pembobotan dan Data Pembanding . 34
4.2 Hasil Pembobotan Dengan Metode WLC 37
4.3 Analisis Daerah Rawan Longsor di Wilayah Banten, DKI Jakarta dan
Jawa Barat 39
4.5 Pengembangan Model untuk Sistem Peringatan Dini dan Risiko Bencana
Tanah longsor 45

5. KESIMPULAN 49

DAFTAR REFERENSI 51

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian . 14


Gambar 3.2 Peta wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat .. 15
Gambar 3.3 Data elevasi (DEM) SRTM 90m . 18
Gambar 3.4 Komponen gradien dan aspect dari lereng, dan data
kelerengan yang diturunkan dari data DEM 19
Gambar 3.5 Data tutupan lahan MODIS MCD12Q1 . 20
Gambar 3.6 Data Harmonized World Soil Database (HWSD) ..... 22
Gambar 3.7 Segitiga tekstur tanah berdasarkan klasifikasi USDA ... 24
Gambar 3.8 Contoh data TMPA 3B43 yang memberikan informasi
curah hujan di wilayah Indonesia untuk bulan Maret
2011 . 27
Gambar 3.9 Pola spasial dari rata-rata curah hujan dan simpangan
baku curah hujan dalam Periode 1998-2010 untuk
wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat yang
diolah dari data TMPA 3B43 28
Gambar 3.10 Posisi daerah kajian dalam sistem koordinat UTM 31
Gambar 4.1 Titik-titik kejadian longsor di wilayah Banten, DKI
Jakarta dan Jawa Barat . 37
Gambar 4.2 Peta daerah rawan longsor yang dihasilkan metode
WLC dengan pembobotan Hong dan Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi 38
Gambar 4.3 Peta rawan longsor hasil metode WLC dengan
pembobotan terbesar pada kemiringan lereng (0.5) . 41
Gambar 4.4 Daerah rawan longsor pada tahun 2004-2009 . 42
Gambar 4.5 Distribusi daerah rawan longsor berdasarkan persentase
periode tahun 2004-2009 . 43
Gambar 4.6 Persentase daerah sangat rawan longsor (kategori 7) di
wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat periode
tahun 2004-2010 .. 44
Gambar 4.7 Fluktuasi pola curah hujan terhadap daerah sangat
rawan longsor tahun 2004-2010 .. 45
Gambar 4.8 Hubungan empirik antara nilai akumulasi curah hujan
dan lamanya hujan oleh Caine (1990) seperti dikutip
oleh Hong (2006) . 46

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Nilai kerawanan longsor untuk berbagai jenis tutupan


lahan dari data MODIS 21
Tabel 3.2 Jenis tanah untuk daerah Jawa Barat, DKI Jakarta dan
Banten berdasarkan data HWSD . 23
Tabel 3.3 Kelompok pisahan tanah berdasarkan klasifikasi USDA 24
Tabel 3.4 Kelas tekstur tanah berdasarkan klasifikasi USDA 25
Tabel 3.5 Klasifikasi tanah di wilayah Banten, DKI Jakarta dan
Jawa Barat berdasarkan tingkat kerawanan longsor 26
Tabel 4.1 Pembobotan yang digunakan untuk metode WLC .. 34
Tabel 4.2 Daftar kejadian longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat tahun 2004-2011 . 35
Tabrl 4.3 Nilai akurasi titik-titik kejadian longsor dari tiap model
kerawanan longsor .. 40
Tabel 4.4 Distribusi nilai kerawanan longsor di wilayah Banten,
DKI Jakarta dan Jawa Barat 44

xii
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Tanah longsor (landslide) atau yang lebih populer disebut longsor, adalah salah
satu bencana alam yang paling umum terjadi di seluruh dunia [1] dan merupakan
salah satu bencana yang menyebabkan kerugian materiil dan non-materiil dalam
jumlah sangat besar setiap tahunnya [2]. Longsor yang terjadi pada tahun 1982 di
seluruh wilayah Amerika Serikat bagian barat (meliputi California, Washington,
Utah, Nevada, Idaho) merupakan salah satu bencana alam yang menyebabkan
kerugian materiil terbesar dalam sejarah Amerika Serikat [3]. Sementara, longsor
Mameyes yang dipicu oleh badai tropis Isabel pada bulan Oktober 1985 memakan
korban tewas sebanyak 129 orang dan merupakan salah satu bencana tanah longsor
terburuk dalam sejarah negara tersebut [4].
Di Indonesia, tanah longsor merupakan bencana alam yang paling sering terjadi
setelah banjir, di mana persentase kedua jenis bencana ini mencapai 60 persen dari
keseluruhan bencana yang pernah terdata oleh Badan Nasional Penanggulangan
Bencana [5]. Walaupun jumlah kejadiannya masih belum sebanyak banjir, namun
longsor kerap kali terjadi secara tiba-tiba, sehingga mengakibatkan kerugian yang
besar dalam waktu singkat. Hal ini diperparah oleh belum tersedianya sistem yang
efektif dan efisien untuk peringatan dini bencana longsor di Indonesia.
Kejadian longsor bergantung kepada interaksi yang kompleks antara sejumlah
besar faktor yang saling berhubungan. Faktor-faktor ini, menurut Dai dan Lee [6]
dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori : (1) faktor penyebab, misalnya
kemiringan lereng, sifat-sifat tanah, elevasi, aspek, tutupan lahan, jenis batuan dan
lain-lain; serta (2) faktor pemicu, misalnya curah hujan lebat, gempa bumi atau
semburan gletser. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya,
kondisi geografis Indonesia diyakini merupakan salah satu faktor kunci penyebab
1
Universitas Indonesia
2

tanah longsor yang sering terjadi di negara ini. Indonesia berada di pertemuan tiga
pelat tektonik besar dan Sembilan pelat tektonik kecil, yang mengakibatkan negara
ini sangat rawan gempa bumi. Karena gempa bumi merupakan salah satu faktor
pemicu longsor, maka Indonesia juga termasuk negara yang rawan longsor. Salah
satu contohnya adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Cianjur, 5 September
2009 silam. Sebanyak 33 orang dari 57 warga Kampung Babakan Caringin Desa
Pamoyanan Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur yang menjadi korban longsor
akibat gempa bumi berkekuatan 7,3 SR [7].
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang berada di wilayah tropis
ekuator yang sering disebut sebagai benua maritim [8] karena dikelilingi lautan
yang lebih hangat dibandingkan daerah tropis lainnya. Konveksi aktif yang terjadi di
wilayah ini menyebabkan Indonesia memiliki curah hujan yang relatif tinggi
sepanjang tahun [9]. Hal ini mengindikasikan bahwa, selain gempa bumi, bencana
tanah longsor yang dipicu oleh curah hujan tinggi juga sangat rawan terjadi di
wilayah Indonesia.
Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang paling rawan
mengalami bencana tanah longsor. Dalam tahun 2005 misalnya, dari 47 bencana
tanah longsor yang mengakibatkan 243 orang tewas di seluruh Indonesia, 39 di
antaranya terjadi di Jawa Barat [10]. Selain gempa bumi dan curah hujan, kondisi
geografis seperti topografi dan tata guna lahan yang buruk merupakan penyebab
utama terjadinya tanah longsor di provinsi ini.
Secara konvensional, survey lapangan merupakan metode terbaik untuk mengkaji
kerawanan longsor. Namun, melakukan analisis terhadap potensi longsor yang
mungkin terjadi pada suatu wilayah yang luas relatif sukar serta menghabiskan waktu
dan biaya, terutama pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana
jaringan observasi kebumian relatif terbatas dan banyaknya daerah pegunungan yang
sulit dijangkau. Untuk mengatasi masalah ini, informasi yang diperoleh melalui
penginderaan jauh merupakan salah satu solusi terbaik yang dapat diperoleh. Data
penginderaan jauh yang saat ini tersedia dapat memberikan informasi yang akurat dan

Universitas Indonesia
3

berguna dari fitur-fitur permukaan dan proses dinamis yang berhubungan dengan
kejadian longsor.

1.2. Tujuan penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk memberikan analisis dan informasi terhadap
daerah yang rawan bencana tanah longsor, khususnya di wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat. Informasi ini merupakan hasil pengolahan data geospasial yang
merupakan kombinasi dari data hasil penginderaan jauh beberapa satelit (SRTM,
Aqua, Terra dan TRMM) dengan hasil observasi lapangan (ground observation).
Hasil penelitian ini dituangkan ke dalam bentuk peta spasial yang menggambarkan
lokasi-lokasi lawan longsor dalam wilayah ketiga provinsi yang telah disebutkan di
atas. Informasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk meminimalisasi
kerugian yang ditimbulkan oleh bencana ini di masa mendatang, meningkatkan
kewaspadaan masyarakat yang tinggal di lokasi-lokasi rawan longsor, serta
membantu para pengambil keputusan (pemerintah) dalam hal perencanaan dan
pengembangan wilayah di ketiga provinsi tersebut.

Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bencana Tanah Longsor


2.1.1 Definisi
Quarantelli diacu dalam Alhasanah [11] memberikan pengertian bencana
sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau dengan
diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya merupakan
fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami kerugian akibat
bencana tersebut. Secara lebih rinci, definisi bencana difokuskan pada ruang dan
waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya
berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta
benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut
untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar.
Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas dari
bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan
atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya,
terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu seperti hujan
lebat, gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah
longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang lebih
banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain.
Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya (hazard)
dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor
bahaya dan kerentanan yang terdapat disuatu daerah, agar daerah tersebut dapat
terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard mempunyai
kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang
berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah jadi bencana apabila telah

4
Universitas Indonesia
5

mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan


lingkungan.

2.1.2 Tanah longsor (landslide)


Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor atau landslide
adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan
bergeraknya massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Gaya yang
menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik tanah
dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja disepanjang lereng.
Perubahan gaya-gaya tersebut ditimbulkan oleh pengaruh perubahan alam
maupun tindakan manusia. Perubahan kondisi alam dapat diakibatkan oleh gempa
bumi, erosi, kelembaban lereng karena penyerapan air hujan dan perubahan aliran
permukaan. Pengaruh manusia terhadap perubahan gaya-gaya antara lain adalah
penambahan beban pada lereng dan tepi lereng, penggalian tanah di tepi lereng dan
penajaman sudut lereng. Tekanan jumlah penduduk yang banyak mengokupasi tanah-
tanah berlereng sangat berpengaruh terhadap peningkatan resiko longsor. Faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah antara lain: tingkat kelerengan,
karakteristik tanah, keadaan geologi, keadaan vegetasi, curah hujan/hidrologi dan
aktivitas manusia di wilayah tersebut [12]. Cruden [13] mengemukakan longsoran
(landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan
material penyusun lereng (yang merupakan pencampuran tanah dan batuan) menuruni
lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan
yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal
dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi
sebagai bidang luncur. Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya
gravitasi yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini,
besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya
sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (kelerengan). Semakin besar
kelerengan, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu juga
sebaliknya.
Universitas Indonesia
6

Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau
kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau batuan. Kondisi tersebut
sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat
adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya
pengurangan kekuatan geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Besarnya gaya
penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai kekuatan geser (shear
strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari
alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana
dikemukakan Sutikno [12], yaitu sebagai berikut:
1. Komposisi dan tekstur material.
2. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan
seragam.
3. Reaksi kimia.
4. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung.
5. Pengaruh tekanan air pori.
6. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan
7. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.

Selanjutnya, Sutikno [12] juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser


dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain:
1. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan,
penambahankemiringan lereng, dan pemotongan lereng.
2. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan
diatas lereng dan genangan air di atas lereng.
3. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan.
4. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, penambangan
batuan, pembuatan terowongan dan eksploitasi air tanah berlebihan.
5. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antar butiran tanah dan
pengembangan tanah.

Universitas Indonesia
7

6. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah


kontak antar batuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan,
rekahan, sesar dan perlapisan batuan yang terlampau miring.
7. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan
vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak.
Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau
kurang kompak.
8. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air
yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong
munculnya pergerakan tanah atau longsor.
9. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks.
Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai
lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai
penahan masa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran
yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi
yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tersebut
tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan
sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor.

2.1.3 Faktor penyebab longsor


Terjadinya longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara
bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya satu volume tanah di atas satu
lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau
mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai
peluncuran [14]. Karnawati diacu dalam Febriana [15]-[16] menyatakan salah satu
faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor adalah air hujan. Air hujan yang
telah meresap ke dalam tanah lempung pada lereng akan tertahan oleh batuan yang
lebih kompak dan lebih kedap air. Derasnya hujan mengakibatkan air yang tertahan
semakin meningkatkan debit dan volumenya dan akibatnya air dalam lereng ini
semakin menekan butiran-butiran tanah dan mendorong tanah lempung pasiran untuk
Universitas Indonesia
8

bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air
dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai
penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin
curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat.
Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah tersebut
meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin tebal
tumpukan tanah, maka semakin besar volume massa tanah yang longsor. Tanah yang
longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang
pada saat longsor sering menimbulkan suara gemuruh.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat
aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam
memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang
memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan
yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada
kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng
menjadi rawan longsor. Menurut Arsyad [14] longsoran akan terjadi jika terpenuhi
tiga keadaan sebagai berikut:
1. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah.
2. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur.
3. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air dapat berupa
tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi atau dapat juga berupa
lapisan batuan, seperti napal liat (clay shale).

Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi faktor alam dan
faktor manusia merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor. Faktor alam
meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi, erosi dan
pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek,
Universitas Indonesia
9

butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam (gempa
bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air bawah
tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke atas lereng yang
berfungsi sebagai bidang longsoran.
Faktor manusia misalnya lereng yang menjadi terjal akibat pemotongan lereng
dan penggerusan oleh air saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata
lahan menjadi lahan basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran
mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan
dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan hutan
sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak
memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng
bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air
(drainase) yang seharusnya, dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut
perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk menyebabkan
perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng bukit) yang tidak
sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada lereng
(surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai,
atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki lereng, terjadinya
kembang susut material pembentuk lereng, dan lain-lain menyebabkan terjadinya
peningkatan tegangan geser.
Longsor merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai
tindakan/perbuatan manusia [17]. Sehubungan dengan proses- prosesnya secara alami
maupun buatan, dengan demikian secara keseluruhannya yang menjadi penyebab dan
mempengaruhi besarnya laju longsor terdapat lima faktor utama dan satu faktor
sebagai penyebab besarnya resiko terjadinya bencana longsor, yaitu : iklim, tanah,
topografi , tutupan lahan/vegetasi, geologi atau jenis batuan, kegiatan/aktivitas
manusia. Faktor-faktor penyebab tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya
Universitas Indonesia
10

dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah
terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-
faktor ini satu sama lainnya.

2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG)


2.2.1 Definisi
Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan suatu sistem berbasiskan komputer
yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografis.
SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis objek-objek dan
fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis
untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki
empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan
data, pengelolaan atau manajemen data (menyimpan atau pengaktifan kembali),
analisis dan manipulasi data serta keluaran data. Pemasukan data ke dalam SIG
dilakukan dengan cara digitasi dan .
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasis komputer yang terdiri
atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografis
dan sumberdaya manusia (brainware) yang mampu merekam, menyimpan,
memperbaharui, menampilkan dan menganalisis informasi yang bereferensi geografis
[18]. Kelebihan SIG terutama berkaitan dengan kemampuannya dalam
menggabungkan berbagai data yang berbeda struktur, format dan tingkat ketepatan.
Sehingga memungkinkan integrasi berbagai disiplin keilmuan yang sangat diperlukan
dalam pemahaman fenomena bahaya longsoran, dapat dilakukan lebih cepat. Salah
satu kemudahan utama penggunaan SIG dalam pemetaan bahaya longsoran adalah
kemampuannya menumpang-tindihkan longsoran dalam unit peta tertentu sehingga
dapat dianalisis secara kuantitatif [19].

2.2.2 Komponen SIG


Menurut Lo [20], SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan, subsistem
analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem pemprosesan data
Universitas Indonesia
11

mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data


mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk.
Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan
pada suatu masalah. Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki
peranan dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk
memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah
input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada tiga kategori data
secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu: Alfanumerik, Piktorial atau grafik
dan data penginderaan jauh dari bentuk digital. Gistut diacu dalam Prahasta [21]
menyatakan bahwa SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi
dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan
jaringan. Sistem ini terdiri dari beberapa komponen, yaitu: perangkat keras, perangkat
lunak, data geospasial, dan sumber daya manusia.

2.2.2.1 Perangkat keras (hardware)


SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC (personal
computer) desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh
banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan
tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas
memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat
secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga
keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering
digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, keyboard, digitizer, printer,
scanner dan CD-Writer.

2.2.2.2 Perangkat lunak (software)


SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular
dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan
dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga
tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program
Universitas Indonesia
12

yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. Saat ini terdapat banyak sekali
perangkat lunak SIG baik yang berbasis vektor maupun yang berbasis raster. Nama
perangkat lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO, Arc VIEW, Map
INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat lunak SIG yang berbasis
raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS dan sebagainya.

2.2.2.3 Data geospasial


SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan
baik secara tidak langsung dengan cara menurunkannya dari perangkat-perangkat
lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya
dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan
menggunakan keyboard.

2.2.2.4 Manajemen
Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah sumberdaya manusia
yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia ini adalah untuk menjalankan sistem yang
meliputi pengoperasian perangkat keras dan perangkat lunak, serta menangani data
geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia juga merupakan
sistem analis yang menerjemahkan permasalahan riil di permukaan bumi dengan
bahasa SIG, sehingga permasalahan tersebut bisa teridentifikasi dan memiliki
pemecahannya.

2.2.3 Cara kerja SIG


SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) di atas monitor
komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas. Tetapi, SIG memiliki
kekuatan lebih dan fleksibilitas daripada lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang
dipresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya taman,
sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa berupa titik, garis dan
poligon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu
mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya. SIG menyimpan semua informasi
Universitas Indonesia
13

deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut basis data. Kemudian, SIG


membentuk dan menyimpannya dalam tabel-tabel. Setelah itu SIG menghubungkan
unsur-unsur diatas dengan tabel-tabel yang bersangkutan. Dengan demikian, atribut-
atribut dapat diakses melalui lokasi-lokasi unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta
juga dapat diakses melalui atributnya. Oleh karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat
ditemukan berdasarkan atribut-atributnya. SIG menghubungkan sekumpulan unsur-
unsur peta dengan atributnya di dalam satuan-satuan yang disebut layer. Sungai,
bangunan, jalan, laut, batas-batas administratif, perkebunan dan hutan merupakan
contoh layer. Kumpulan layer tersebut membentuk basis data SIG. Dengan demikian,
perancangan basis data akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses
masukan, pengelolaan dan keluaran. SIG memiliki kemampuan untuk keperluan
analisis keruangan. Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Klasifikasi/reklasifikasi, digunakan untuk mengklasifikasikan atau
reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan
memakai kriteria tertentu.
2. Penumpukan (overlay), digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau
gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu
peta yang menggambarkan luasan atau polygon yang terbentuk dari irisan dari
beberapa peta. Selain itu, overlay juga menghasilkan gabungan data dari
beberapa peta yang saling beririsan.

Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Diagram alir metodologi penelitian


Secara umum, diagram alir dari penelitian ini dapat dideskripsikan pada Gambar
3.1. Penjelasan terperinci mengenai proses pada tiap blok diagram akan dijelaskan
pada sub bab-sub bab berikutnya.

Gambar 3.1 Diagram alir metodologi penelitian


14
Universitas Indonesia
15

3.2 Penentuan wilayah dan waktu penelitian


Penilitian ini dilakukan untuk mengkaji daerah yang rawan mengalami bencana
tanah longsor, meliputi wilayah dari propinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat
dalam rentang koordinat 5o50 - 7o50 LS dan 104o48 - 108o48 BT. Penelitian
dimulai sejak bulan Februari 2011 hingga Mei 2011, di mana proses pengolahan dan
analisis dilakukan di laboratorium Nusantara Earth Observation Network (NEONet)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Gambar 3.2 Peta wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat

3.3 Perangkat pengolahan data geospasial


Perangkat keras (hardware) yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu unit
PC Dell Inspiron 1318 (Prosesor Intel Core 2 Duo T8100 2.1 GHz, RAM 4 GB)
untuk pemrosesan data dan sebuah harddisk eksternal (Buffalo HD-LB2) sebagai
media penyimpanan data geospasial yang diolah. Perangkat lunak (software) yang
digunakan untuk pemrosesan data adalah ArcGIS 9.3, Grid Analysis and Display
System (GrADS) 2.09, Harmonized World Soil Database Viewer 1.1, MODIS
Reprojection Tool 4.1 dan Microsoft Office 2007. Sistem Operasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Microsoft Windows Vista dan Linux Mint 10 Julia.

Universitas Indonesia
16

3.4 Pengumpulan data geospasial


Penelitian ini menggunakan data Geospasial dari beberapa parameter yang
merupakan faktor pengontrol terjadinya tanah longsor. Data Geospasial yang menjadi
masukan model diperoleh dari hasil observasi langsung di lapangan dan observasi
wahana penginderaan jauh dengan berbagai format, antara lain GeoTIFF (Geo
Tagged Image File Format), NetCDF (Network Common Data Format) dan HDF-
EOS (Hierarchical Data Format Earth Observation System). Resolusi spasial yang
digunakan berkisar antara 90-meter sampai 0,25 (ukuran grid).
Proses pengolahan data dimulai dengan penurunan beberapa faktor pengontrol
longsor dari data geospasial yang ada, misalnya data kemiringan lereng yang
diturunkan dari data DEM SRTM 90m. Penggunaan data turunan ini didasari oleh
beberapa studi tentang longsor yang pernah dilakukan sebelumnya, antara lain : Dai
dan Lee [6], Carrara et al. [22], Anbalagan et al. [23], Larsen dan Torres Sanchez [24],
Lee dan Min [25], Saha et al. [26]-[27], Fabbri et al. [28], Sarkar dan Kanungo [29]
serta Coe et al. [30]. Studi-studi di atas menyimpulkan bahwa parameter-parameter
seperti lereng, jenis dan tekstur tanah, akumulasi aliran, elevasi serta tutupan lahan
merupakan faktor-faktor dominan yang menyebabkan longsor. Sementara itu, dalam
beberapa studi lain mengenai tanah longsor di Indonesia, antara lain oleh Suryolelono
[31] dan Karnawati [15], menyimpulkan bahwa curah hujan tropis yang tinggi
sepanjang tahun merupakan salah satu faktor pengontrol utama kejadian tanah
longsor di Indonesia.
Berdasarkan studi-studi di atas, maka data yang digunakan untuk model daerah
rawan longsor dalam penelitian ini adalah : elevasi, jenis dan tekstur tanah,
kelerengan, tutupan lahan dan curah hujan. Deskripsi singkat mengenai data-data
tersebut dijelaskan dalam beberapa sub bab berikut.

3.4.1 Data model elevasi digital dan turunannya


Elevasi, menurut Coe et al. [30] merupakan salah satu faktor utama penyebab
terjadinya longsor. Daerah yang lebih tinggi elevasinya lebih beresiko mengalami

Universitas Indonesia
17

longsor karena jumlah curah hujan yang diterimanya (akibat efek orografik) lebih
besar dibandingkan dengan daerah dengan elevasi yang lebih rendah.
Data model elevasi digital atau Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah
satu data dasar yang paling esensial dalam penelitian ini. DEM yang digunakan
adalah data Shuttle Radar Topography Mission (The Shuttle Radar Topography
Mission, 1) milik National Aeronautics and Space Administration (NASA) Amerika
Serikat. Data SRTM merupakan salah satu terobosan baru dalam teknologi pemetaan
digital bumi (dengan resolusi spasial hingga 30 meter dan vertical error kurang dari
16 meter) dan mampu menyajikan data elevasi berkualitas tinggi dalam cakupan yang
luas di daerah tropis dan bagian dunia lainnya. Data SRTM didistribusikan dalam dua
level data : SRTM1 (untuk wilayah Amerika Serikat) dengan data yang disampel
dalam interval 1 arc-second pada lintang dan bujurnya, serta SRTM3 (untuk wilayah
cakupan 60 LU - 60 LS) yang disampel dalam interval 3 arc-second. Resolusi
horizontal dari SRTM1 mencapai 30 meter, sedangkan SRTM3 memiliki resolusi
kurang lebih 90 meter di wilayah ekuator.
Produk data SRTM yang digunakan dalam penelitian ini adalah SRTM 90m yang
dapat diunduh secara bebas melalui situs CGIAR-CSI GeoPortal. SRTM 90m
merupakan produk turunan dari data SRTM3 yang diproses lebih lanjut untuk
menghilangkan beberapa kekosongan data (no-data void) akibat beberapa fitur
hidrologi yang mencegah proses kuantisasi data elevasi. Sesuai namanya, data SRTM
90m memiliki resolusi spasial 90 meter dengan format GeoTIFF.

Universitas Indonesia
18

Gambar 3.3 Data elevasi (DEM) SRTM 90m

Data DEM tidak hanya dapat digunakan untuk memperoleh informasi elevasi,
namun juga dapat diturunkan untuk memperoleh faktor-faktor topografi lainnya,
misalnya lereng, aspect, hill shading, kurvatur lereng, kekasaran lereng, daerah lereng
maupun klasifikasi kualitatif pembentukan lahan [32]. Lereng didefinisikan sebagai
nilai tangen bidang terhadap suatu permukaan topografik, yang dimodelkan oleh
DEM pada suatu titik [33]. Lereng diklasifikasikan sebagai suatu vektor yang
memiliki besar (gradien) dan arah (aspect). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar
3.4.
Gradien suatu lereng didefinisikan sebagai laju perubahan maksimum dalam
ketinggian (tan ), sedangkan aspect didefinisikan sebagai arah (kompas) dari gradien
lereng (). Nilai gradien lereng dapat dinyatakan dalam sudut dan atau persentase,
sedangkan aspect dinyatakan dalam arah angin (utara, timur laut dan lain-lain). Bila
elevasi dinyatakan sebagai Z, maka gradien lereng S pada suatu titik merupakan
turunan pertama dari Z, dengan aspect sebagai arah lerengnya. Sehingga :


= = (3.1)

Universitas Indonesia
19

(a) Kenaikan


Jarak horizontal

Gradien
Lereng

Aspect

(b)

Gambar 3.4 Komponen gradien dan aspect dari lereng (a) dan data kelerengan yang diturunkan
dari data DEM (b)

Coe et al. [30] menguji keefektifan peta rawan longsor yang diturunkan dari
empat parameter topografi (elevasi, sudut kelerengan, kurvatur dan aspect) dan
menemukan bahwa dua di antaranya, yaitu kombinasi dari elevasi dan sudut
kelerengan, memberikan hasil terbaik untuk memetakan daerah rawan longsor. Hal
serupa juga dikemukakan oleh Fabri et al. [28] yang menemukan bahwa tiga layer
data (lereng, elevasi dan aspect), yang diturunkan dari data DEM, memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan enam layer data (termasuk faktor geologi lainnya,
material permukaan dan tata guna lahan). Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa topografi merupakan faktor dominan dalam menentukan daerah yang rawan
longsor.
Universitas Indonesia
20

3.4.2 Data tutupan lahan


MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectrometer) merupakan salah satu
instrumen kunci dari satelit Terra dan Aqua. Orbit Terra diatur untuk melintasi
ekuator dari utara menuju selatan di pagi hari, sementara Aqua melintasi ekuator dari
selatan ke utara di sore hari. MODIS mengamati seluruh permukaan Bumi dalam
periode 1-2 hari dan mengumpulkan data dalam 36 pita spektral atau beberapa
kelompok panjang gelombang. Data-data ini mampu mengembangkan pemahaman
kita terhadap dinamika dan proses global yang terjadi di darat, laut dan atmosfer
bagian bawah. Data tutupan lahan global dari MODIS dapat digunakan untuk
mengidentifikasi jenis vegetasi dan tutupan lahan di permukaan Bumi. Data MODIS
yang digunakan dalam penelitian ini adalah produk kombinasi level 3 dari satelit
Terra dan Aqua (MCD12Q1) yang memberikan informasi tipe tutupan lahan tahunan
dengan proyeksi sinusoidal dan resolusi spasial 500 meter, dalam format HDF-EOS,
dengan seri observasi tahun 2005 sampai tahun 2009.

Gambar 3.5 Data tutupan lahan MODIS MCD12Q1

Produk MCD12Q1 mampu mengidentifikasi sebaran geografis dari 17 kelas


tutupan lahan dengan menggunakan skema yang didefinisikan oleh International
Geosphere Biosphere Programme (IGBP). Satu produk MCD12Q1 memiliki
beberapa layer data, antara lain tipe tutupan lahan (dalam angka 0-16), assessment
layer dan quality flag untuk tiap jenis tutupan lahan. Dengan melakukan pendekatan

Universitas Indonesia
21

yang dikemukakan oleh Larsen dan Torres Sanchez [24], tutupan lahan dapat
dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yaitu : (a) daerah hutan, (b) daerah semak
belukar, (c) padang rumput, (d) daerah pertanian/budidaya dan (e) daerah
berkembang atau jalan. Kategori tutupan lahan tersebut menggambarkan rangkaian
urutan tutupan lahan mulai dari yang kurang berpotensi menyebabkan longsor (a)
sampai yang sangat berpotensi menyebabkan longsor (e). Dalam penelitian ini,
pendekatan serupa dilakukan dengan mengklasifikasikan 17 tipe tutupan lahan dari
data MODIS MCD12Q1 ke dalam 11 kategori, di mana nilai kerawanan longsor
berkisar antara 0 sampai 1 untuk setiap kategori (Tabel 3.1). Nilai yang tinggi
(mendekati 1) menyatakan tingkat kerawanan yang tinggi, sedangkan nilai yang
rendah (mendekati 0) menyatakan tingkat kerawanan yang rendah terhadap longsor.

Tabel 3.1 Penentuan nilai kerawanan longsor untuk berbagai jenis tutupan lahan dari data MODIS
Nilai
Kelas
Kategori Jenis tutupan lahan Kerawanan
MODIS
Longsor
0 0, 15 Perairan, tutupan salju dan es permanen 0
1 11, 1, 2 Hutan lebat, daerah basah permanen 0.1
2 3, 4 Hutan musiman 0.2
3 5 Hutan campuran 0.3
4 6, 7 Semak belukar 0.4
5 8, 9 Sabana 0.5
6 10 Padang rumput 0.6
7 12 Daerah pertanian 0.7
8 14 Daerah vegetasi campuran/perkebunan 0.8
9 16 Daerah tandus/sedikit vegetasi 0.9
10 13 Daerah yang dikembangkan, jalan, daerah pantai 1.0

3.4.3 Data jenis dan tekstur tanah


Data jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Harmonized World
Soil Database (HWSD) yang dikembangkan oleh International Institute for Applied
System Analysis (IIASA) dan Food and Agriculture Organization (FAO) PBB. Data

Universitas Indonesia
22

ini memiliki format raster dengan resolusi spasial 1 km yang mampu memetakan
lebih dari 16 ribu jenis tanah yang merupakan kombinasi dari data jenis tanah di
seluruh dunia (SOTER, ESD, Soil Map of China, WISE) dengan informasi tanah
dunia yang dimiliki oleh FAO-UNESCO.

Gambar 3.6 Data Harmonized World Soil Database (HWSD)

Basis data HWSD mencakup beberapa parameter penting antara lain : jenis tanah,
tekstur tanah, kedalaman tanah, dan kapasitas kelembaban tanah. Data ini dapat
diunduh secara bebas melalui situs resmi IIASA.
Berbeda dengan data geospasial lain yang digunakan dalam penelitian ini, HWSD
tidak berasal dari observasi penginderaan jauh secara langsung, melainkan melalui
survey langsung di lapangan maupun dari basis data tanah berbagai negara di seluruh
dunia.
Berdasarkan data HWSD, terdapat tak kurang dari 20 jenis tanah di daerah yang
mencakup propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Klasifikasi jenis tanah untuk
daerah wilayah-wilayah ini dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Universitas Indonesia
23

Tabel 3.2 Jenis tanah untuk daerah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten berdasarkan data HWSD
Kode unit Tekstur tanah Tekstur tanah
Kelompok Nama jenis tanah
pemetaan bagian atas bagian bawah
tanah dominan (FAO74)
tanah (USDA) (USDA)
4446 Acrisols Ferric Acrisols sandy clay loam clay loam
4455 Acrisols Gleyic Acrisols loam clay loam
3643, 3653,
4466, 4467 Acrisols Orthic Acrisols sandy clay loam clay loam
3856 Andosols Humic Andosols loam loam
4575 Andosols Ochric Andosols loam loam
4580 Andosols Vitric Andosols loamy sand loamy sand
4475 Cambisols Eutric Cambisols loam loam
4477 Cambisols Gleyic Cambisols loam clay loam
4482 Cambisols Vertic Cambisols clay light clay light
3749, 4515 Fluvisols Calcaric Fluvisols loam loam
4518, 4519 Fluvisols Dystric Fluvisols loam loam
4508 Leptosols Lithosols loam loam
4509 Leptosols Lithosols loam loam
4534, 4535 Lixisols Orthic Luvisols loam clay loam
4538 Lixisols Vertic Luvisols clay light clay light
4529 Luvisols Chromic Luvisols clay light clay light
4541, 4543 Nitisols Dystric Nitosols clay light clay heavy
4545 Nitisols Eutric Nitosols clay light clay heavy
4581 Vertisols Chromic Vertisols clay light clay light
4585 Vertisols Pellic Vertisols clay light clay light

Nilai kerawanan longsor dari suatu tipe tanah dapat ditentukan berdasarkan
tekstur dari suatu tanah. Tekstur tanah adalah sifat yang menggambarkan proporsi
relatif dari berbagai ukuran partikel mineral dari suatu tanah. Data HWSD
memberikan informasi tekstur tanah yang mengikuti klasifikasi dari United States
Departement of Agriculture (USDA), yang membagi tipe tanah berdasarkan ukuran
partikelnya. Partikel-partikel tersebut dikelompokkan berdasarkan ukuran butirannya,
ke dalam tiga kelompok utama yang disebut pisahan tanah (soil separates), yaitu :
tanah liat (clay), lumpur (silt) dan pasir (sand). Tabel 3.3 menunjukkan kelompok
pisahan tanah berdasarkan ukuran partikelnya.

Universitas Indonesia
24

Tabel 3.3 Kelompok pisahan tanah berdasarkan klasifikasi USDA


Pisahan tanah (soil separates) Batas Diameter (mm)
Tanah liat (clay) Kurang dari 0.002
Lumpur/endapan (silt) 0.002 0.05
Pasir (sand) 0.05 2.00

Selanjutnya, tekstur tanah (misalnya tanah liat, pasir, lempung dan lain-lain)
diklasifikasikan berdasarkan persentase komposisi dari tiga kelompok pisahan tanah
di atas. Pengklasifikasian ini dapat digambarkan dengan segitiga tekstur tanah seperti
pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7 Segitiga tekstur tanah berdasarkan klasifikasi USDA


(HWSD Documentation, 13)

Dari Gambar 3.7, terlihat bahwa USDA membagi tekstur tanah ke dalam 13
kelas berdasarkan persentase komposisi pisahan tanah, mulai dari yang paling halus
(tanah liat) sampai yang paling kasar (pasir). 13 kelas tekstur tanah dari Gambar 3.7
dapat disederhanakan seperti pada Tabel 3.4.

Universitas Indonesia
25

Tabel 3.4 Kelas tekstur tanah berdasarkan klasifikasi USDA


Kode kelas Tekstur tanah
1 Clay (heavy)
2 Silty clay
3 Clay
4 Silty clay loam
5 Clay loam
6 Silt
7 Silt loam
8 Sandy clay
9 Loam
10 Sandy clay loam
11 Sandy loam
12 Loamy sand
13 Sand

Dari Tabel 3.4, tekstur tanah yang paling halus (persentase tanah liat tertinggi)
memiliki kode kelas terkecil, sedangkan tekstur tanah yang paling kasar (persentase
pasir tertinggi) memiliki kode kelas terbesar.
Beberapa penelitian mengenai longsor sebelumnya, seperti Lee dan Min [25],
Dai dan Lee [6], Hong et al [34], serta Roslee [35], menyatakan bahwa tingkat
kerawanan longsor dari suatu tanah dapat ditentukan secara empirik berdasarkan jenis
tekstur tanahnya. Tanah yang memiliki tekstur lebih kasar dan renggang seperti pasir
akan memiliki tingkat kerawanan longsor yang lebih tinggi dibandingkan tanah
dengan tekstur halus dan rapat seperti tanah liat. Berdasarkan penelitian dan
klasifikasi tekstur tanah USDA di atas, maka jenis tanah yang diperoleh dari data
HWSD untuk daerah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat (Tabel 3.2) dapat
diklasifikasikan kembali berdasarkan tingkat kerawanan longsornya seperti
ditunjukkan oleh Tabel 3.5.

Universitas Indonesia
26

Tabel 3.5 Klasifikasi tanah di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat berdasarkan tingkat
kerawanan longsor
Tekstur tanah bagian atas Tekstur tanah bagian Kelas
Nama jenis tanah (USDA) bawah (USDA) Kerawanan
(FAO74)
Kode Tekstur Kode Tekstur Longsor
Dystric Nitosols 3 clay 1 clay (heavy) 1
Eutric Nitosols 3 clat 1 clay( heavy) 1
Vertic Cambisols 3 clay 3 clay 2
Vertic Luvisols 3 clay 3 clay 2
Chromic Luvisols 3 clay 3 clay 2
Chromic Vertisols 3 clay 3 clay 2
Pellic Vertisols 3 clay 3 clay 2
Gleyic Acrisols 9 loam 5 clay loam 3
Gleyic Cambisols 9 loam 5 clay loam 3
Orthic Luvisols 9 loam 5 clay loam 3
Ferric Acrisols 10 sandy clay loam 5 clay loam 4
Orthic Acrisols 10 sandy clay loam 5 clay loam 4
Humic Andosols 9 loam 9 loam 5
Ochric Andosols 9 loam 9 loam 5
Eutric Cambisols 9 loam 9 loam 5
Calcaric Fluvisols 9 loam 9 loam 5
Dystric Fluvisols 9 loam 9 loam 5
Lithosols 9 loam 9 loam 5
Vitric Andosols 12 loamy sand 12 loamy sand 6

Dari Tabel 3.5, terlihat bahwa terdapat 6 kelas tanah di wilayah daerah kajian
berdasarkan tingkat kerawanan longsornya, yang terendah masuk dalam kelas 1,
sedangkan yang tertinggi masuk dalam kelas 6. Tanah yang paling rawan longsor
adalah dari jenis Vitric Andosols, sedangkan yang paling aman longsor adalah dari
jenis Dystric Nitosols. Pada Tabel 3.5 juga tampak bahwa tanah yang memiliki jenis
induk yang sama tidak selalu memiliki tekstur yang sama, sehingga tingkat
kerawanan longsornya juga bisa berbeda. Contohnya, tanah dari jenis Eutric
Cambisols memiliki tingkat kerawanan longsor yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanah Vertic Cambisols karena tekstur tanah bagian atas dan bawahnya lebih
kasar dan renggang.

Universitas Indonesia
27

3.4.4 Data curah hujan spasial


Data curah hujan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data TMPA
(TRMM-based Multi-satellite Precipitation Analysis) yang merupakan kombinasi
antara estimasi curah hujan dari berbagai satelit dengan analisis penakar hujan di
permukaan Bumi, pada resolusi spasial 0,25 x 0,25 dan resolusi temporal mulai dari
3 jam, 1 hari hingga 1 bulan dalam rentang koordinat 50 LU 50 LS. TRMM
(Tropical Rainfall Measuring Mission) sendiri merupakan misi ruang angkasa hasil
kerja sama NASA dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) yang dirancang
untuk mengamati dan mempelajari curah hujan di daerah tropis.
TMPA adalah produk baku TRMM dalam periode tahun 1998 sekarang dan
tersedia baik secara real-time maupun setelah pengamatan. Data TMPA yang menjadi
masukan model dalam penelitian ini adalah produk 3B43, dengan resolusi spasial
0,25 x 0,25 (grid) dan resolusi temporal 1 bulan. Periode pengamatan yang
digunakan adalah dari bulan Januari 1998 Desember 2010. Produk 3B43 dapat
diunduh secara bebas melalui situs TRMM NASA. dalam dua jenis format, HDF dan
NetCDF.

Gambar 3.8 Contoh data TMPA 3B43 yang memberikan informasi curah hujan di wilayah Indonesia
untuk bulan Maret 2011.

Universitas Indonesia
28

Untuk daerah tropis seperti Indonesia, curah hujan merupakan salah satu faktor
utama yang menjadi pemicu longsor. Menurut Subhan [36], terdapat dua jenis hujan
yang dapat memicu terjadinya longsor, yaitu (1) hujan sedang (kurang deras) yang
terjadi terus-menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari dan (2) hujan deras
yang mencapai 70 mm 100 mm per hari. Hujan jenis pertama umumnya lebih
disebabkan oleh siklus musiman, misalnya pada musim monsun barat (musim hujan)
yang terjadi pada awal dan akhir tahun di Indonesia. Hujan jenis kedua umumnya
lebih disebabkan oleh siklus harian yang disebabkan oleh kuatnya konveksi lokal.
Konveksi kuat yang terjadi dapat meningkatkan pertumbuhan awan Cumulonimbus
(Cb) yang merupakan pemicu terjadinya hujan badai (thunderstorm).

(a) (b)

Gambar 3.9 Pola spasial dari rata-rata curah hujan (a) dan simpangan baku curah hujan (b) dalam
periode 1998-2010 untuk wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten yang diolah dari data TMPA
3B43.

Data TMPA 3B43 dapat memberikan informasi curah hujan di suatu daerah
dalam rentang waktu yang cukup panjang (1998-sekarang), sehingga dapat digunakan
untuk analisis iklim di suatu daerah. Dalam studi ini, faktor curah hujan yang
dijadikan sebagai masukan model kerawanan longsor adalah rata-rata dan simpangan
baku curah hujan. Informasi rata-rata curah hujan dapat memberikan gambaran umum
tentang besar kecilnya curah hujan di suatu daerah dalam periode tertentu, sedangkan
simpangan baku bermanfaat untuk mengetahui karakteristik curah hujan di suatu
daerah. Daerah dengan simpangan baku curah hujan tinggi menandakan bahwa curah

Universitas Indonesia
29

hujan di wilayah itu relatif fluktuatif terhadap nilai rata-ratanya, artinya suatu waktu
curah hujan dapat bernilai sangat tinggi, dan di waktu lain bisa sangat rendah atau
tidak ada hujan sama sekali. Berdasarkan dua parameter curah hujan tersebut, bisa
disimpulkan bahwa daerah yang rawan longsor umumnya memiliki rata-rata curah
hujan yang tinggi dan/atau simpangan baku yang tinggi.

3.5 Pengolahan data geospasial


Kerawanan tanah longsor dapat dipetakan dengan menggunakan berbagai metode
yang bergantung pada ketersediaan data [37]. Penelitian yang dilakukan oleh Fabbri
et al. [28] dan Coe et al. [30] menunjukkan bahwa data yang jumlahnya terbatas tidak
hanya bisa menghasilkan peta daerah rawan longsor, namun juga mampu
memberikan hasil yang akurat. Informasi yang lebih banyak tidak selalu mengarah
pada hasil yang lebih baik, semuanya bergantung pada kualitas dari data yang akan
diolah.
Secara garis besar, proses pengolahan data yang dilakukan pada penelitian ini
dapat dijabarkan dalam beberapa langkah berikut :
1. Koreksi georeferensi, konversi dari sistem koordinat geografis ke sistem
koordinat Universal Transverse Mercator (UTM).
2. Penentuan nilai kerawanan longsor untuk setiap faktor dalam skala 0-1. Nilai
0 berarti tidak rawan longsor, sedangkan 1 berarti rawan longsor.
3. Pemetaan daerah rawan longsor dengan menggunakan metode Weighted
Linear Combination.

3.5.1 Koreksi georeferensi


Koreksi geometri atau georeferensi merupakan proses proyeksi peta ke dalam
suatu sistem proyeksi peta tertentu. Penyeragaman data-data ke dalam sistem
koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah proses
pengintegrasian data-data. Proyeksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTM
(Universal Transverse Mercator) yang membagi permukaan Bumi dalam rentang 80
LS dan 84 LU ke dalam 60 zona, dalam setiap kelipatan lebar 6 bujur ke arah timur.
Universitas Indonesia
30

Berbeda dengan sistem koordinat geografis yang menyatakan lokasi suatu daerah
dalam derajat lintang dan bujur, UTM menentukan zona (grid) suatu daerah dalam
jarak timur-utara (easting-northing). Posisi suatu lokasi dalam sistem koordinat
geografis dapat dikonversi ke dalam UTM. Jika posisi lintang dari suatu titik
dinyatakan dalam dan posisi bujurnya dinyatakan dalam , maka :

1
() = (3.2)
1 2 2
= ( 0 ) (3.3)
2 3 4 5 6 3 2 3 4 45 6 15 4 45 6
() = 1 + + 2 + + 4
4 64 256 8 32 1024 256 1024
(3.4)
35 6
6
3072
= 2 (3.5)
2
= 2 (3.6)
1 2

Di mana 0 merupakan koordinat bujur referensi dari . Sehingga :

3 5
= 0 + 0 () + (1 + ) + (5 18 + 2 ) (3.7)
6 120

2 4 6
= 0 + 0 () + () + (5 + 9 + 4 2 ) + (61 58 + 2 ) (3.8)
2 24 720

E adalah jarak dalam arah timur (easting), dan N adalah jarak dalam arah utara
(northing), keduanya memiliki satuan dalam meter.
Berdasarkan posisinya dalam sistem koordinat geografis (lintang, bujur), maka
posisi daerah kajian dalam sistem koordinat UTM berada pada lokasi 477859.3 meter
E dan 9355583.6 m N, hingga 257404.6 meter E dan 9133861 meter N. Dengan
demikian, wilayah kajian berada dalam zona 48S 49S dalam sistem koordinat UTM.

Universitas Indonesia
31

Gambar 3.10 Posisi daerah kajian (kotak merah) dalam sistem koordinat UTM
(diolah kembali dari : Wikipedia:UTM,1)

3.5.2 Klasifikasi dan normalisasi faktor pengontrol longsor


Proses selanjutnya adalah pengklasifikasian setiap faktor/data pengontrol longsor
ke dalam berbagai kategori. Dari uraian sebelumnya mengenai data-data yang
digunakan untum masukan model, dapat disimpulkan bahwa nilai kerawanan tiap
faktor pengontrol longsor dapat ditentukan berdasarkan beberapa asumsi empirik
berikut :
1. Lereng yang lebih curam/tinggi memiliki nilai kerawanan yang lebih tinggi.
2. Tekstur tanah yang lebih kasar/renggang memiliki nilai kerawanan yang lebih
tinggi.
3. Tutupan lahan yang lebih terbuka dan miskin vegetasi memiliki nilai
kerawanan yang lebih tinggi.
4. Elevasi yang lebih tinggi memiliki nilai kerawanan yang lebih tinggi.
5. Curah hujan (rata-rata dan simpangan baku) yang lebih tinggi memiliki
kerawanan yang lebih tinggi.

Misalnya saja dengan menggunakan asumsi pada poin 1 di atas, maka nilai 0
dapat diberikan pada titik yang memiliki lereng paling landai, dan nilai 1 pada titik
yang memiliki lereng paling curam. Dengan demikian, nilai numerik untuk titik x k (i,j)

Universitas Indonesia
32

dari parameter/faktor pengontrol longsor k dapat dinormalisasi ke dalam nilai 0


sampai 1, seperti ditunjukkan pada Persamaan (3.1) :

(, )
(, ) = (3.9)

Nilai x k (i,j) adalah nilai numerik asli dari faktor ke-k di lokasi piksel (i,j) dan
y k (i,j) adalah nilai numerik yang dinormalisasi dari x k (i,j). Di mana (dan )
adalah nilai maksimum (dan minimum) dari faktor ke-k. Dengan menggunakan
Persamaan di atas, nilai akhir kerawanan longsor yang akan diperoleh merupakan
kombinasi dari beberapa nilai numerik dari tiap faktor pengontrol longsor.

3.5.3 Weighted Linear Combination


Salah satu metode yang dapat digunakan untuk merepresentasikan dan menguji
faktor-faktor pengontrol longsor secara interaktif adalah Weighted Linear
Combination (WLC). WLC adalah metode yang mengkombinasikan faktor-faktor
pengontrol longsor dengan menerapkan pembobotan primer dan pembobotan tingkat-
kedua [38]. Dalam penelitian ini, metode WLC diterapkan untuk menghasilkan nilai
kerawanan longsor akhir, seperti yang ditunjukkan pada Persamaan (3.2) :

(, ) = (, ) = 1 (3.10)
=1 =1

(, ) adalah nilai kerawanan akhir dari piksel (i,j) dan adalah bobot
kombinasi linear untuk faktor ke-k, di mana dalam penelitian ini, k bernilai 1 sampai
7 (1 untuk lereng, 2 untuk elevasi, 3 untuk tipe tanah, 4 untuk tutupan lahan, 5 untuk
densitas drainase, 6 untuk rata-rata curah hujan dan 7 untuk simpangan baku curah
hujan). Langkah berikutnya adalah menentukan nilai bobot untuk tiap
faktor/parameter pengontrol longsor. Dalam penelitian ini digunakan beberapa model
pembobotan berdasarkan studi-studi mengenai longsor sebelumnya.
Universitas Indonesia
33

Coe et al. [30] dan Fabbri et al. [28] menemukan bahwa topografi adalah faktor
dominan dalam menentukan lokasi rawan longsor. Dai dan Lee [6] serta Lee dan Min
[25] melaporkan bahwa kecuraman lereng adalah faktor yang paling mempengaruhi
terjadinya longsor, diikuti oleh jenis dan tekstur tanah yang menutupi lereng tersebut.
Parameter lain seperti tutupan lahan [24], elevasi [30], dan densitas drainase [29],
juga memainkan peranan yang cukup penting dalam menentukan potensi terjadinya
longsor. Untuk penelitian yang dilakukan di wilayah Indonesia, Suryolelono [31] dan
Karnawati [15] menyimpulkan bahwa curah hujan adalah faktor dominan yang
menyebabkan tanah longsor. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi seperti yang dikutip Alhasanah [11], di
mana curah hujan adalah pengontrol utama terjadinya longsor di Indonesia, diikuti
oleh jenis tanah, geologi, tata guna lahan dan lereng.
Untuk memberikan hasil terbaik, nilai akhir kerawanan longsor dari metode
WLC diperoleh dengan menggunakan beberapa model pembobotan berdasarkan studi
tentang longsor yang telah disebutkan di atas, disertai beberapa percobaan terhadap
pembobotan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Nilai akhir yang diperoleh dari beberapa pembobotan ini kemudian digambarkan
dalam bentuk peta spasial dan dibandingkan dengan kejadian-kejadian longsor yang
pernah terjadi di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Model pembobotan
terbaik adalah model yang hasilnya paling merepresentasikan atau mendekati
kejadian-kejadian longsor yang pernah terjadi sebelumnya.

Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN ANALISIS

4.1 Jenis pembobotan dan data pembanding


Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, data geospasial yang menjadi
masukan penelitian ini diolah dengan metode WLC dengan menggunakan beberapa
pembobotan untuk menghasilkan suatu peta daerah rawan longsor di wilayah Jawa
Barat, DKI Jakarta dan Banten. Beberapa pembobotan yang digunakan dalam
penelitian ini dijelaskan pada Tabel 4.1 berikut :

Tabel 4.1 Pembobotan yang digunakan untuk metode WLC


No. Pembobotan Sl SoT El LC PAv PStd
1 Hong (2006), Dai & Lee (2002) 0.4 0.4 0.1 0.1 - -
2 Direktorat VMBG Indonesia (2004) 0.15 0.2 0.2 0.15 0.3 -
3 Roslee (2010) 0.3 0.1 0.1 0.05 0.2 0.2
4 Arbain I (2011) 0.5 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
5 Arbain II (2011) 0.25 0.15 0.25 0.15 0.1 0.1
6 Arbain III (2011) 0.3 0.2 0.1 0.1 0.15 0.15
7 Arbain IV (2011) 0.4 0.1 0.1 0.1 0.15 0.15

Sl : Kemiringan lereng (SRTM) LC : Tutupan lahan (MODIS)


SoT : Jenis dan tekstur tanah (HWSD) PAv : Rata-rata curah hujan (TRMM)
El : Elevasi (SRTM) PStd : Simpangan baku curah hujan (TRMM)

Untuk mengetahui seberapa besar pembobotan yang dilakukan mendekati hasil


yang sebenarnya, digunakan data pembanding berupa catatan kejadian longsor yang
pernah terjadi di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat yang dihimpun dari
berbagai sumber seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, beberapa media nasional dan
hasil survey langsung di lapangan, sejak tahun 2004 sampai tahun 2011.

34
Universitas Indonesia
35

Tabel 4.2 Daftar kejadian longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat tahun 2004-2011

Korban
Tanggal Lokasi Longsor Lintang Bujur Jiwa Kerugian Materiil
Kecamatan Cibeber,
23-Apr-04 Cianjur 107.135 -6.943 0 1 ruas jalan tertimbun
Kecamatan
18-Nov-04 Sindangbarang, Cianjut 107.068 -7.419 0 1 ruas jalan tertimbun
Kecamatan Cidaun.
18-Nov-04 Cianjur 107.346 -7.416 0 1 ruas jalan tertimbun
Sukagalih, Kecamatan Saluran irigasi
2-Feb-05 Takokak, Cianjur 106.985 -7.174 0 tertimbun
Leuwigajah, Cimahi
21-Feb-05 Selatan, Kab. Bandung 107.537 -6.907 156 Ratusan rumah rusak
Desa Kertasari, 1 masjid, 1 sekolah
Kecamatan dan ratusan rumah
27-Sep-05 Sindangbarang, Cianjur 107.072 -7.423 0 rusak
Desa Nyalindnug,
Kecamatan Cipatat,
13-Mei-06 Kab. Bandung 107.457 -6.794 15 -
Kampung Ciherang,
Desa Sukasirna,
Kecamatan
Campakamulya,
8-Jan-07 Cianjur 107.181 -7.069 0 54 rumah rusak
Kampung Hanjawar,
Desa Mekarlaksana,
Kecamatan Cikadu,
9-Mar-07 Cianjur 107.278 -7.323 2 -
Kecamatan Cibinong,
28-Apr-07 Cianjur 107.130 -7.325 0 1 ruas jalan tertimbun
Kecamatan Cidaun,
Kabupaten Cianjur,
12-Nov-08 Cianjur 107.346 -7.486 0 1 ruas jalan tertimbun
Kampung Leuwiletak,
Desa Girimukti,
26-Nov-08 Tasikmalaya 107.891 -7.468 1 3 rumah rusak
Desa Kebon Manggu,
Kecamatan Guruh,
5-Apr-09 Sukabumi 106.866 -6.934 0 40 rumah ambruk
Desa Cikangkareng,
Kecamatan Cibinong,
2-Sep-09 Cianjur 107.194 -7.323 33 Ratusan rumah rusak
Desa Cimanintin
Kecamatan 3 rumah rusak berat, 5
25-Des-09 Jatinunggal, Sumedang 108.194 -6.922 0 rumah rusak ringan
Kecamatan Terisi,
17-Feb-10 Indramayu 108.150 -6.483 0 1 Tanggul rusak
23-Feb-10 Pasir Jambu, Ciwedey, 107.490 -7.083 65 35 bedeng tertimbun
Universitas Indonesia
36

Kab. Bandung
Kampung
Sindangpalay, Desa
Pasawahan,
Kecamatan Cicurug,
2-Mar-10 Sukabumi 106.770 -6.739 0 2 rumah rusak
Kampung Cileles,
Kelurahan Cisarua,
Kecamatan Cikole,
8-Mar-10 Sukabumi 106.933 -6.913 2 1 rumah rusak
Kampung Ciawitali,
Desa Sukamekar,
Kecamatan
12-Mar-10 Sukanagara, Cianjur 107.139 -7.061 6 puluhan rumah rusak
Cadas Pangeran,
15-Mei-10 Sumedang 107.886 -6.865 0 1 ruas jalan tertimbun
Tanjung Priok, Jakarta
16-Sep-10 Utara 106.870 -6.117 0 1 jalan amblas
Desa Belawa,
Kecamatan
3-Feb-11 Lemahabang, Cirebon 108.621 -6.830 0 1 jalan amblas
Kecamatan Pagelaran 16 rumah rusak berat,
dan Campakamulya, 17 rumah nyaris
19-Feb-11 Cianjur 106.857 -7.050 0 ambruk
Desa Sindang Panji,
8-Mar-11 Cikijing, Majalengka 108.382 -7.025 0 1 ruas jalan tertimbun
Desa Padamulya,
Kecamatan
28-Mar-11 Cihaurbeuti, Ciamis 108.224 -7.200 2 Beberapa rumah rusak
Kecamatan
Kalapanunggal,
31-Mar-11 Sukabumi 106.658 -6.839 1 1 rumah rusak
Desa Kadudampit,
Kecamatan Saketi,
1-Apr-11 Pandeglan 105.996 -6.398 0 6 rumah rusak
Kampung Cigulawing,
Kelurahan Margawati,
30-Apr-11 Kec Garut Kota, Garut 107.907 -7.253 1 1 sawah rusak
Kampung Pagelaran,
5-Mei-11 Cianjur 107.206 -7.204 2 1 rumah rusak
Kecamatan Cikelet, 37 rumah rusak, 4
6-Mei-11 Garut 107.676 -7.612 7 jembatan tertimbun

Universitas Indonesia
37

Data kejadian longsor pada Tabel 4.2 kemudian dipetakan (Gambar 4.1) dan
akan ditumpangkan pada peta rawan longsor hasil pembobotan dengan metode WLC.

Gambar 4.1 Titik-titik kejadian longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat

4.2 Hasil pengolahan data dengan metode WLC


Pembobotan pertama merupakan hasil penelitian dari hasil penelitian Hong serta
Dai dan Lee, dengan memberikan bobot 0.4 untuk kemiringan lereng, 0.4 untuk tipe
dan tekstur tanah, serta 0.1 untuk elevasi dan tutupan lahan. Pembobotan yang
dilakukan Hong tidak memperhitungkan data curah hujan sebagai faktor pengontrol
longsor, namun sebagai pemicu longsor. Oleh karena itu data curah hujan (rata-rata
dan simpangan baku tidak disertakan dalam pembobotan.
Peta rawan longsor yang dihasilkan metode WLC dengan pembobotan Hong
seperti yang ditunjukkan Gambar 4.2 (a) menampilkan daerah-daerah rawan longsor
dengan batasan yang tegas, terutama pada daerah utara Banten, DKI Jakarta dan Jawa
Barat. Daerah rawan longsor paling dominan berada di wilayah Jawa Barat bagian
tengah dan selatan. Batasan daerah rawan longsor yang tegas disebabkan karena
Hong memberi bobot lebih pada data kemiringan lereng serta data jenis dan tekstur
tanah dibandingkan data lainnya.

Universitas Indonesia
38

(a)

(b)

Gambar 4.2 Peta daerah rawan longsor yang dihasilkan metode WLC dengan pembobotan Hong (a)
dan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (b). Titik-titik hitam adalah lokasi kejadian
longsor mulai tahun 2004-2011.

Peta rawan longsor kedua dihasilkan oleh metode WLC dengan pembobotan dari
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG). Daerah rawan
longsor paling dominan berada di Jawa Barat bagian tengah. Pembobotan DVMBG
lebih menitikberatkan pada curah hujan, jenis tanah serta elevasi, sehingga daerah-

Universitas Indonesia
39

daerah pesisir utara dan selatan Jawa Barat memiliki kerawananan longsor yang lebih
rendah dibandingkan daerah Jawa Barat bagian tengah. Selain peta rawan longsor
yang dihasilkan metode WLC dengan pembobotan Hong dan DVMBG, beberapa
pembobotan lain juga diuji dan dibandingkan dengan data kejadian longsor
(perhatikan Tabel 4.1). Masing-masing memberikan pembobotan berlebih pada satu
atau dua faktor dibandingkan faktor yang lainnya. Pembobotan keempat (Arbain)
merupakan kombinasi dari ketiga pembobotan sebelumnya dengan memberi bobot
lebih pada kemiringan lereng.

4.3 Analisis daerah rawan longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa
Barat
Pengujian terhadap model kerawanan longsor terbaik dilakukan dengan
membandingkan nilai grid (piksel) dari posisi kejadian longsor dalam periode 2004-
2011 dengan nilai grid pada koordinat yang sama pada peta kerawanan longsor dari
tiap model.
Apabila kejadian longsor dengan koordinat (i,j) dinyatakan dengan l(i,j) dan nilai
kerawanan longsor dari model di posisi yang sama dinyatakan dengan y(i,j), di mana
0 l(i,j) 1 dan 0 y(i,j) 1, maka tingkat akurasi suatu model kerawanan longsor
pada suatu titik dapat dinyatakan dengan :

(, ) = 1 |(, ) (, )| (4.1)
di mana, 0 r(i,j) 1.
Seperti halnya proses klasifikasi data, perhitungan tingkat akurasi model
kerawanan juga diawali dengan normalisasi pada kedua jenis data yang akan
dibandingkan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti kedua jenis data tidak memiliki
korelasi sama sekali, sehingga akurasinya paling rendah, dan sebaliknya untuk nilai 1.
Normalisasi untuk tiap grid peta kerawanan longsor dari model dapat dinyatakan
dengan :
(, ) (4.2)
(, ) =

Universitas Indonesia
40

Nilai x max adalah nilai tertinggi grid yang ada pada peta kerawanan longsor,
sedangkan x min adalah nilai terendah. Untuk data kejadian longsor, grid l(i,j) otomatis
akan bernilai 1, karena grid tersebut merupakan posisi di mana longsor sudah terjadi.
Dengan demikian Persamaan 4.1 dapat dituliskan sebagai berikut :

(, ) = 1 |1 (, )| (4.3)

Berdasarkan Persamaan 4.1 dan 4.3, maka nilai total akurasi untuk n titik
kejadian longsor yang dibandingkan dengan peta kerawanan longsor dapat dinyatakan
dengan:

1 |1 ( , )| (4.4)
=

=1

di mana 0 r total 1.
Jumlah total titik kejadian longsor yang diuji dalam penelitian ini adalah 31 titik.
Nilai akurasi pada titik-titik peta kerawanan longsor dari tiap model yang dihitung
dengan Persamaan 4.4 ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Nilai akurasi titik-titik kejadian longsor dari tiap model kerawanan longsor

p (i,j)
Lon (i) Lat (j)
Hong DVMBG Roslee Arbain 1 Arbain 2 Arbain 3 Arbain 4
107.135 -6.943 0.019954 0.016443 0.015468 0.021007 0.015118 0.014196 0.010786
107.068 -7.419 0.011089 0.008568 0.010782 0.017657 0.008789 0.007671 0.0064
107.346 -7.416 0.022025 0.018743 0.017379 0.02037 0.018179 0.016993 0.013529
106.985 -7.174 0.019657 0.0196 0.018796 0.017873 0.017932 0.017921 0.015082
107.537 -6.907 0.0203 0.016011 0.014996 0.019 0.015904 0.014164 0.010432
107.072 -7.423 0.014279 0.016154 0.011914 0.010603 0.011511 0.012971 0.00805
107.457 -6.794 0.014789 0.018875 0.014925 0.008987 0.015107 0.017175 0.014443
107.181 -7.069 0.019739 0.016229 0.015443 0.01715 0.016007 0.0144 0.010707
107.278 -7.323 0.024221 0.019575 0.018382 0.02212 0.0194 0.017325 0.012839
107.130 -7.325 0.017868 0.02165 0.016596 0.01183 0.016182 0.018404 0.013296
107.346 -7.486 0.020721 0.017596 0.0163 0.019117 0.0169 0.015732 0.012189
107.891 -7.468 0.019621 0.016571 0.015182 0.017737 0.015464 0.014368 0.010364

Universitas Indonesia
41

106.866 -6.934 0.023579 0.022275 0.0203 0.021533 0.019521 0.018689 0.012193


107.194 -7.323 0.016339 0.014757 0.016107 0.01331 0.015504 0.013457 0.010221
108.194 -6.922 0.021807 0.01945 0.017979 0.018447 0.018875 0.017661 0.014039
108.150 -6.483 0.024607 0.020468 0.020218 0.019883 0.021511 0.018982 0.015375
107.490 -7.083 0.015946 0.014014 0.016011 0.0233 0.013782 0.012107 0.008511
106.770 -6.739 0.017157 0.014893 0.017146 0.021253 0.015693 0.013454 0.010243
106.933 -6.913 0.019057 0.018086 0.019268 0.019443 0.017464 0.016175 0.012482
107.139 -7.061 0.016032 0.015082 0.017157 0.019213 0.014639 0.013686 0.011389
107.886 -6.865 0.021475 0.019721 0.018943 0.021887 0.017932 0.017768 0.014939
106.870 -6.117 0.018168 0.018079 0.019961 0.019153 0.017782 0.017011 0.015114
108.621 -6.830 0.011789 0.013489 0.013507 0.0182 0.011189 0.012011 0.010032
106.857 -7.050 0.015354 0.016943 0.015243 0.02384 0.013532 0.015282 0.013468
108.382 -7.025 0.017096 0.016907 0.014329 0.018693 0.013807 0.014936 0.012346
108.224 -7.200 0.024704 0.023132 0.022007 0.014583 0.021768 0.021196 0.017771
106.658 -6.839 0.012914 0.011571 0.010529 0.01469 0.009493 0.0095 0.006339
105.996 -6.398 0.019679 0.016929 0.017225 0.022717 0.014868 0.014943 0.012311
107.907 -7.253 0.011868 0.02165 0.016596 0.01419 0.016182 0.018404 0.013296
107.206 -7.204 0.011789 0.013489 0.013507 0.01791 0.011189 0.012011 0.010032
107.676 -7.612 0.016339 0.022275 0.0203 0.021533 0.019521 0.018689 0.012193
r total 0.559964 0.539225 0.512496 0.56723 0.490746 0.477282 0.370414

Berdasarkan Tabel 4.3, tampak bahwa kemiringan lereng merupakan faktor


pemicu longsor yang paling dominan di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Gambar 4.3 Peta rawan longsor hasil metode WLC dengan pembobotan terbesar pada kemiringan
lereng (0.5).

Universitas Indonesia
42

Hal ini terlihat jelas pada peta-peta rawan longsor yang dihasilkan dengan
pembobotan tertinggi terhadap kemiringan lereng. Untuk lebih jelasnya perhatikan
Gambar 4.3. Dengan menggunakan pembobotan 0.5 untuk kemiringan lereng, 0.1
untuk elevasi, tutupan lahan, jenis tanah, rata-rata dan simpangan baku curah hujan,
hasilnya secara kualitatif sangat mendekati data kejadian longsor yang terjadi dalam
kurun waktu tahun 2004-2011. Faktor lain seperti elevasi, jenis tanah dan tutupan
lahan juga ikut memberikan pengaruh terhadap kejadian longsor, walaupun tidak
sebesar kemiringan lereng.

2004 2005

2006
2007

2008 2009

Gambar 4.4 Daerah rawan longsor pada tahun 2004-2009. Titik-titik hitam adalah lokasi longsor pada
tahun yang bersangkutan.

Universitas Indonesia
43

Bila diperhatikan dari peta kerawanan longsor tahunan, dapat dilihat bahwa curah
hujan berpengaruh pada kecenderungan longsor di suatu daerah. Daerah yang
memiliki rata-rata dan simpangan baku curah hujan yang tinggi akan memiliki resiko
longsor yang lebih tinggi. Karena nilai curah hujan bersifat dinamis, maka kerawanan
longsor dapat bervariasi dari tahun ke tahun (Gambar 4.4)
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, bisa disimpulkan bahwa faktor utama
(primer) yang paling mempengaruhi terjadinya longsor di wilayah Banten, DKI
Jakarta dan Jawa Barat adalah kemiringan lereng, diikuti oleh jenis dan tekstur tanah,
elevasi, tutupan lahan, rata-rata curah hujan dan simpangan baku curah hujan sebagai
faktor sekunder.
Skala kontinyu dari indeks numerik kerawanan longsor dapat diklasifikasikan
kembali ke dalam beberapa kategori [29]. Salah satu cara terbaik untuk menentukan
klasifikasi tersebut adalah dengan mencari batas-batas kategori yang mengalami
perubahan drastis/tajam pada histogram dari nilai kerawanan longsor [39].

Distribusi Daerah Rawan Longsor di Wilayah


Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat
30
25
Persentase (%)

2004
20
2005
15
10 2006

5 2007
0 2008
1 2 3 4 5 6 7 2009
Kategori

Gambar 4.5 Distribusi daerah rawan longsor berdasarkan persentase periode tahun 2004-2009

Dari histogram tersebut, nilai kerawanan longsor dapat dibagi menjadi 7


kategori : (1) sangat rendah, (2) rendah, (3) cukup rendah, (4) sedang, (5) cukup
tinggi, (6) tinggi, (7) sangat tinggi. Dengan cara ini, fluktuasi dari distribusi daerah

Universitas Indonesia
44

rawan longsor dari suatu daerah dapat diketahui. Gambar 4.5 menunjukkan distribusi
kategori kerawanan longsor selama tahun 2004-2009. Gambar 4.6 menunjukkan
persentase dari wilayah sangat rawan longsor (kategori 7) periode 2004-2009.
Gambar 4.5 dan 4.6 menunjukkan bahwa daerah kerawanan longsor dapat
berfluktuasi, bergantung pada pemicu longsor, dalam hal ini curah hujan yang
fluktuatif setiap tahun.

Persentase Daerah Sangat Rawan Longsor di


Wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat
2.8
2.7
Persentase (%)

2.6
2.5
2.4
2.3
2.2
2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 4.6 Persentase daerah sangat rawan longsor (kategori 7) di wilayah Banten, DKI Jakarta dan
Jawa Barat periode tahun 2004-2010

Tabel 4.4 Distribusi nilai kerawanan longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat
Kategori 1 2 3 4 5 6 7 5+6+7
Kerawan Sangat Rendah Cukup Sedang Cukup Tinggi Sangat Cukup Tinggi-
an Rendah Rendah Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
% 2004 11.14 17.37 23.08 22.25 15.90 7.87 2.39 26.16
% 2005 12.12 18.29 23.52 20.01 14.75 8.55 2.75 26.05
% 2006 7.60 21.19 25.85 19.93 14.79 8.15 2.50 25.44
% 2007 11.33 14.38 25.95 21.91 15.37 8.29 2.76 26.42
% 2008 8.84 16.89 23.39 23.93 16.59 7.69 2.66 26.94
% 2009 8.32 19.51 25.27 21.16 15.07 8.10 2.55 25.72
Persentase rata-rata dari total persentase daerah rawan longsor 26.12

Dari Gambar 4.5 dan Tabel 4.3 tampak bahwa daerah rawan longsor untuk
wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat berkisar antara 25-26% dari total
seluruh wilayah dan sebagian besar berada dalam wilayah Jawa Barat, terutama di
Jawa Barat bagian tengah dan selatan. Daerah-daerah rawan longsor di Jawa Barat

Universitas Indonesia
45

yang termasuk dalam kategori 7 antara lain : Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor,
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka,
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Tasikmalaya. Daerah
DKI Jakarta relatif aman terhadap longsor, sedangkan untuk Banten, daerah rawan
longsor meliputi sebagian Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Cilegon.

Pola Rata-rata dan Simpangan Baku Curah Hujan


vs Daerah Sangat Rawan Longsor (Kategori 7)
3.5
Rata-rata Curah
3
Hujan
2.5
2 Simpangan
1.5 Baku Curah
1 Hujan
0.5 Daerah Kategori
7
0
2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 4.7 Fluktuasi pola curah hujan terhadap daerah sangat rawan longsor tahun 2004-2009

Salah satu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah, distribusi daerah
rawan longsor dari tahun ke tahun memiliki pola yang cenderung mengikuti nilai
curah hujan. Pada gambar 4.6 sebelumnya, tampak bahwa persentase daerah rawan
longsor bernilai paling rendah pada tahun 2004 dan 2006, di mana pada saat yang
sama terjadi fenomena El Nino. Walaupun El Nino yang terjadi masih tergolong
lemah, pengaruhnya cukup signifikan terhadap intensitas curah hujan yang relatif
rendah pada tahun-tahun tersebut. Pada Gambar 4.6 dan 4.7 jelas terlihat bahwa, pola
distribusi daerah rawan longsor tertinggi terjadi pada tahun 2007, di mana saat itu
terjadi kombinasi fenomena cuaca antara lain fenomena La Nina, Dipole Mode
negatif dan Cold Surge yang berakibat pada tingginya curah hujan pada daerah kajian.
Hal ini menunjukkan bahwa, selain merupakan faktor pemicu longsor utama, nilai

Universitas Indonesia
46

curah hujan juga bisa digunakan untuk memprediksi pola kejadian longsor di masa
mendatang.

4.4 Pengembangan model untuk sistem peringatan dini dan risiko bencana
tanah longsor
Peta kerawanan longsor yang diperoleh akan memberikan panduan dalam
mengkaji distribusi spasial bencana longsor yang dapat terjadi dengan
mengidentifikasi daerah-daerah yang rawan longsor. Informasi daerah kerawanan
longsor ini dapat lebih ditingkatkan dengan melakukan validasi atau ground truth
pada daerah-daerah tersebut. Dengan demikian, informasi kerawanan longsor ini akan
sangat berguna untuk penelitian atau evaluasi dari bencana tanah longsor yang sudah
atau yang akan terjadi.
Penelitian ini pada dasarnya masih dapat dikembangkan lagi untuk memberikan
peringatan dini terhadap kejadian longsor di masa mendatang, misalnya dengan
mengkombinasikan data curah hujan dengan resolusi spasial dan temporal tinggi
dengan peta kerawanan longsor untuk mendeteksi kapan dan di mana longsor akan
terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kalibrasi terhadap nilai batas curah
hujan yang berpotensi menyebabkan longsor. Salah satu penelitian untuk tujuan ini
telah dipublikasikan oleh Caine [40] serta Larsen dan Simon [41], yang mempelajari
hubungan empirik antara nilai curah hujan dengan kejadian longsor dalam secara
global maupun pada daerah-daerah iklim tertentu.

Gambar 4.8 Hubungan empirik antara nilai akumulasi curah hujan dan lamanya hujan oleh Caine
(1990) seperti dikutip oleh Hong (2006)

Universitas Indonesia
47

Dengan demikian, bahaya longsor (H) di lokasi (i,j) dan waktu (t) dapat
dituliskan sebagai fungsi dari kerawanan longsor (z) dan intensitas curah hujan (r)
pada suatu domain ruang-waktu (Persamaan 4.5). Lokasi dan waktu dari nilai batas
curah hujan dan kejadian longsor dapat diidentifikasi dan dibandingkan dengan
laporan kejadian longsor yang telah terjadi.

(, , ) = [(, , ), (, , )] (4.5)

Lebih jauh lagi, penilitian ini juga dapat dikembangkan untuk menghasilkan
suatu model risiko kerawanan longsor. Paripurno [42] mengemukakan bencana
(disaster) merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen
ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan
kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain serta (risk) risiko yang
ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki
kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber
ancaman tersebut.
Risiko merupakan gabungan dari unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya serta
kerentanan. Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan
secara metematis diformulasikan sebagai berikut :

= ()() (4.6)

dimana :
Rt : Risiko
E : Unsur-unsur dari Risiko
H : Bahaya
V : Kerentanan

Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti
dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan
dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun unsur-unsur dari risiko

Universitas Indonesia
48

(E) terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan


masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang memiliki risiko pada suatu
area. Bahaya (H) adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu
pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam. Selanjutnya,
kerentanan (V) diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur risiko dari suatu
fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1
(kerusakan total).
Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas dari
dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko perlu
ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko tersebut.
Di sisi lain, untuk memperoleh nilai resiko ini, tentunya dibutuhkan data unsur-unsur
resiko seperti populasi, bagunan-bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat,
fasilitas dan infrastruktur, dan lain-lain, sehingga dapat diperoleh suatu model resiko
longsor yang akurat.

Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN

Tujuan utama dari penelitian ini adalah pendeteksian daerah-daerah rawan


longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat yang dituangkan dalam
bentuk peta spasial, dengan menggunakan data atau produk utama dari hasil
penginderaan jauh beberapa satelit seperti SRTM, Terra, Aqua dan TRMM. Dengan
menggunakan teknik penumpangan (overlay) berbasis GIS, nilai-nilai kerawanan
longsor yang diperoleh merupakan hasil penjumlahan linear berbobot dari kemiringan
lereng, elevasi, jenis dan tekstur tanah, tutupan lahan, rata-rata curah hujan dan
simpangan baku curah hujan.
Dari hasil pengolahan data, terlihat bahwa kemiringan lereng merupakan faktor
yang paling dominan dalam menyebabkan bencana tanah longsor, terutama pada
wilayah Jawa Barat bagian tengah dan selatan. Hal ini terbukti melalui pengujian
akurasi (r) antara kejadian longsor yang terjadi dalam periode 2004-2009 dengan nilai
kerawanan pada titik yang sama, di mana nilai r terbaik diperoleh untuk pembobotan
tertinggi pada kemiringan lereng, yaitu sebesar 0.56723. Hasil pengolahan juga
menunjukkan bahwa faktor-faktor dinamis seperti perubahan tutupan lahan dan
besarnya curah hujan ikut memberikan pengaruh terhadap distribusi dari daerah
rawan longsor. El Nino pada tahun 2004 dan 2006 menyebabkan berkurangnya curah
hujan di wilayah Indonesia yang berimbas pada nilai persentase daerah rawan longsor
yang rendah di wilayah kajian. Sebaliknya, La Nina yang terjadi bersamaan dengan
fenomena Dipole Mode negatif dan Cold Surge pada tahun 2007 di wilayah kajian,
menyebabkan peningkatan curah hujan yang berakibat pada tingginya persentase
daerah rawan longsor di wilayah tersebut.
Kualitas dari peta kerawanan longsor yang diperoleh pada penelitian ini sangat
bergantung kepada keakuratan dan skala informasi data geospasial yang digunakan,
serta data kejadian longsor yang telah terjadi sebagai data pembanding. Lebih dari itu,

49
Universitas Indonesia
50

peta rawan longsor ini juga memerlukan validasi dari data di lapangan, sehingga
keakuratannya dapat lebih ditingkatkan. Peta rawan longsor dari penelitian ini dapat
diperbaharui kapan saja, apabila terdapat data geospasial yang lebih baik sebagai
masukan model. Pembaharuan peta rawan longsor ini juga dapat dilakukan secara
dinamis, mengingat beberapa data masukan yang digunakan juga diperbaharui secara
periodik, misalnya data tutupan lahan MODIS dan data curah hujan dari TRMM.
Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa keakuratan peta kerawanan longsor untuk
wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat ini akan meningkat seiring dengan
berjalannya waktu.

Universitas Indonesia
51

DAFTAR REFERENSI

[1] E. Bryant. Natural Hazards, 2nd ed., Cambridge Univ. Press, New York, 2005.
[2] The Broker Online (2009, Jun. 17). World Disaster Reports 2009 : A huge
Death Toll. Available: http://www.thebrokeronline.eu/en/Online-
discussions/Blogs/Thea-Hilhorst/World-Disaster-Report-2009-A-huge-death-
toll.
[3] E. C. Spiker and P. L. Gori, National landslide hazards mitigation strategy a
framework for loss reduction, U.S. Geol. Surv. Circ., 2003, pp. 1244:1-64.
[4] R.W. Jibson, Debris Flows in Southern Puerto Rico, in Proceedings:
Landslide Processes of Eastern United States and Puerto Rico, edited by A. P.
Schulta and R. W. Jibson, Spec. Pap. Geol. Soc. Am., vol. 236, 1989, pp. 29-55.
[5] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Prov. Nusa Tenggara Timur (2010,
Sep. 30). Bencana Alam di Indonesia Didominasi Banjir.
Available: http://www.bpbd.nttprov.go.id/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=66:-bencana-alam-di-indonesia-didominasi-
banjir&catid=9:berita-nasional&Itemid=61.
[6] F. C. Dai and C. F. Lee, Landslide characteristic and slope instability
modelling using GIS, Lantau Island, Hongkong, Geomorphology, vol. 42,
2003, pp. 213-238.
[7] Berita Sore (2009, Sep. 5). 33 korban longsor masih tertimbun. Available:
http://beritasore.com/2009/09/05/33-korban-longsor-di-cianjur-masih-
tertimbun/.
[8] C.S. Ramage, Role of a tropical maritime continent in the atmospheric
circulation, Mon. Wea. Rev, vol. 96, 1968, pp. 365-369.
[9] J. Hamada et. al. Spatial and temporal variations of the rainy season over
Indonesia and their link to ENSO, Journal of the Meteorological Society of
Japan, Vol.80, No.2, 2002, pp. 285-310.
52

[10] Portal Nasional Republik Indonesia (2008, Jan. 24). Jabar, Kawasan Paling
Rawan Bencana Longsor.
Available: http://ina.indonesia.go.id/index.php/en/regional-government/west-
java-province/1172.html.
[11] F. Alhasanah, Pemetaan dan analisis daerah rawan tanah longsor serta upaya
mitigasinya menggunakan Sistem Informasi Geografis (studi kasus kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa
Barat), M.Sc. Thesis, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 2006.
[12] Sutikno, Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat
Gerakan Massa Tanah/Batuan, Prosiding Seminar Mitigasi Bencana Alam 16-
17 September 1994. Kerjasama Fakultas Geografi UGM-Bakornas
Penanggulangan Bencana RI. Yogyakarta, 1994.
[13] Cruden, A simple definition of landslide, Bulettin Int. Assoc. for Engineering
Geology, vol. 43, 1991, pp. 27-29.
[14] S. Arsyad, Konservasi Tanah dan Air, IPB In Press., 1989.
[15] D. Karnawati, Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi
dan Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan
Bencana Tanah Longsor di Indonesia, P3-TPSLK BPPT dan HSF, Jakarta,
2004.
[16] I. Febriana, Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah
Longsor dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Gunung Mandalawangi dan
sekitarnya, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat), B.Sc. Thesis, Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
2004.
[17] M. Sutedjo et al., Teknologi Konservasi Tanah dan Air, edisi kedua, PT. Abdi
Mahasatay, Jakarta, 1985.
[18] I. N. S. Jaya et al., Analisis Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan Citra
Satelit Spot 5 di Wilayah Kabupaten Bogor, Kerjasama antara Badan
53

Perencanaan Daerah Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Fakultas Kehutanan


IPB, Bogor, 2003.
[19] B. Barus, Pemetaan bahaya longsoran berdasarkan klasifikasi statistik peubah
tunggal menggunakan SIG, J. Ilmu Tanah dan Lingkungan, 1999, ch. 2, pp. 7-
16.
[20] C. P. Lo, Penginderaan Jauh Terapan, Terjemahan, Penerbit Universitas Indonesia
Jakarta, 1995
[21] E. Prahasta, Konsep-konsep Dasar SIG. Informatika, Bandung, 2001
[22] A. Carrara et al., GIS techniques and statistical models in evaluating landslide
hazard, Earth Surf Proc Land, vol. 16, 1991, pp. 427-445.
[23] R. Anbalagan, Landslide hazard evaluation and zonation mapping in
mountainous terrain, Eng Geol, vol. 32, 1992, pp. 269-277.
[24] M.C. Larsen and A.L. Torres Sanchez, The frequency and distribution of
recent landslides in three montane tropical regions of Puerto Rico,
Geomorphology, vol. 24, 1998, pp. 309-331.
[25] S. Lee and K. Min, Statistical analysis of landslide susceptibility at Yongin,
Korea, Environ Geol, vol. 40, 2001, pp. 1095-1113.
[26] A. K. Saha et al., GIS-based landslide hazard zonation in the Bagirathi
(Gangga) Valley, Himalayas, Int J Remote Sens, vol. 23(2), 2002, pp. 357-369.
[27] A. K. Saha et al., An approach for GIS-based statistical landslide susceptibility
zonation-with a case study in the Himalayas, Landslides, vol. 2, 2005, pp. 61-
69.
[28] A. G. Fabbri, Is prediction of future landslides possible with GIS?, Nat
Hazards, vol. 30, 2003, pp. 487-499.
[29] S. Sarkar and D.P. Kanungo, An integrated approach for landslide
susceptibility mapping using remote sensing and GIS, Photo Eng Remote
Sens, vol.70, 2004, pp. 617-625.
[30] J. A. Coe et al., Landslide susceptibility from topography in Guatemala In:
Lacerda et al. (eds) Landslided evaluation and stabilization, Taylor and Francis
Group, London, 2004, pp. 69-78.
54

[31] K. B. Suryolelono (2005, Mar. 01). Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif
Ilmu Geoteknik.
Available: http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc.
[32] T. Fernandez, Methodology for landslide susceptibility mapping by means of a
GIS, application to the contraversia area (Granada, Spain), Nat Hazards, vol.
30, 2003, pp. 297-308.
[33] P. A. Burrough, Principle of Geographical Information Syistem for Land
Resources Assessment, Clarendon Press, Oxford, 1986
[34] Y. Hong et al., Use of satellite remote sensing data in the mapping of global
landslide susceptibility, Nat Hazards, 2006.
[35] R. Roslee et al., Integrated geospatial technology on landslide susceptibility
analysis in Kota Kinibalu area, Sabah, Malaysia, Map Malaysia, 2010, pp.1-18
[36] Subhan, Identifikasi dan Penentuan Faktor-faktor Utama Penyebab Tanah
Longsor di Kabupaten Garut, Jawa Barat, M.Sc, Thesis, Sekolah Pasca
Sarjana.Institut Pertanian Bogor, 2006.
[37] F. Guzzetti et al., Landslide hazard evaluation: a review of current techniques
and their application in a multi-scale study, Central Italy, Geomorphology, vol.
31, 1999, pp. 181-216
[38] L. Ayalew et al., Landslide susceptibility mapping using GIS-based weighted
linear combination, the case in Tsugawa area of Agano River, Niigata
Prefecture, Japan, Landslide, 2004, ch. 1, pp. 73-81.
[39] J. C. Davis, Statistics and data analysis in geology, John Wiley & Sons, New
York, 1986.
[40] N. Caine. The rainfall intensity-duration control of shallow landslide and
debris flows, Geografiska Annaler, vol. 62A, 1980, pp. 23-27.
[41] M.C. Larsen and A. Simon, A rainfall intensity-duration threshold for
landslides in a humid-tropical environtment, Puerto Rico, Geografiska
Annaler, vol. 75A, 1993, pp. 13-23.
55

[42] E.T. Paripurno, Partisipasi Masyarakat Dalam Penanggulangan Bencana


Longsor, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana
Tanah Longsor di Indonesia, P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta, 2004

View publication stats

Das könnte Ihnen auch gefallen