Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/280776552
CITATIONS READS
0 346
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Ardhi Adhary Arbain on 08 August 2015.
The user has requested enhancement of the downloaded file. All in-text references underlined in blue are added to the original document
and are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
DEPOK
MEI 2011
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
KEKHUSUSAN TEKNIK TELEKOMUNIKASI
DEPOK
MEI 2011
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
iii
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 1 Juli 2011
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Buku tesis ini
dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Teknik Program
Studi Teknik Elektro pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Penulis menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, karya ilmiah ini akan sulit
untuk diselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Dodi Sudiana M.Eng., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penelitian ini.
2. Dr. Ir. Agus Wibowo M.Sc., yang telah memberi kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian di Laboratorium Nusantara Earth Observation
Network (NEONet) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jakarta.
3. Dr. Fadli Syamsudin, atas dorongan moral dan dukungan kepada penulis selama
masa studi dan penelitian di UI.
4. Kedua orangtua dan adik-adikku tercinta, untuk segala doa dan dukungan tiada
akhir hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ilmiah ini.
5. Kekasihku Firdana Ayu Rahmawati, untuk kesabaran dan semangat yang
diberikan kepada penulis hingga saat ini.
6. Teman-teman HARIMAU (Reni, Sopi, Nana, Ina, Tata, Galih, Iyan), rekan-rekan
NEONet (Mas Uut, Mas Hartanto dll) dan PTISDA (Mas Laju, Mbak Ziah dll)
serta berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia di masa yang akan datang.
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
berserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan seminar saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 30 Mei 2011
Yang menyatakan
vi
ABSTRAK
Penelitian ini membahas teknik deteksi daerah rawan longsor di wilayah Banten, DKI
Jakarta dan Jawa Barat, menggunakan data geospasial dan satelit dengan
memanfaatkan metode Weighted Linear Combination (WLC) berbasis Sistem
Informasi Geografis. Beberapa pembobotan berbeda dilakukan untuk menguji faktor-
faktor yang paling dominan menyebabkan longsor, seperti elevasi, kemiringan lereng,
jenis tanah, tutupan lahan, rata-rata dan simpangan baku curah hujan. Hasil
pengolahan data menunjukkan bahwa kemiringan lereng adalah faktor dominan
penyebab longsor. Penelitian ini juga mengkaji distribusi daerah rawan longsor
selama beberapa tahun yang tidak hanya bergantung pada fluktuasi faktor dinamis
seperti tutupan lahan dan curah hujan. Keakuratan dari hasil penelitian ini bergantung
pada presisi dan skala dari data geospasial yang dapat ditingkatkan dengan
menggunakan data satelit terbaru.
Kata kunci :
Kerawanan longsor, penginderaan jauh, Weighted Linear Combination, Sistem
Informasi Geografis
vii
ABSTRACT
Keywords :
Landslide susceptibility, remote sensing, Weighted Linear Combination, Geographic
Information System
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN SAMPUL ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS . iii
HALAMAN PENGESAHAN .. iv
KATA PENGANTAR .. v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI . ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL . xii
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penelitian 3
2. TINJAUAN PUSTAKA .. 4
2.1 Bencana Tanah Longsor . 4
2.1.1 Definisi 4
2.1.2 Tanah Longsor 5
2.1.3 Faktor Penyebab Longsor 7
2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) . 10
2.2.1 Definisi .. 10
2.2.2 Komponen SIG . 11
2.2.2.1 Perangkat Keras (hardware) 11
2.2.2.2 Perangkat Lunak (software) 11
2.2.2.3 Data Geospasial .. 12
2.2.2.4 Manajemen . 12
2.2.3 Cara Kerja SIG .. 12
3. METODOLOGI PENELITIAN . 14
3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian 14
3.2 Penentuan Wilayah dan Waktu Penelitian 15
3.3 Perangkat Pengolahan Data Geospasial 15
3.4 Pengumpulan Data Geospasial . 16
3.4.1 Data Model Elevasi Digital dan Turunannya 16
3.4.2 Data Tutupan Lahan . 20
3.4.3 Data Jenis dan Tekstur Tanah 21
3.4.4 Data Curah Hujan Spasial 27
3.5 Pengolahan Data Geospasial . 29
3.5.1 Koreksi Georeferensi 29
3.5.2 Klasifikasi dan Normalisasi Faktor Pengontrol Longsor . 31
ix
3.5.3 Weighted Linear Combination .. 32
5. KESIMPULAN 49
DAFTAR REFERENSI 51
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR TABEL
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Tanah longsor (landslide) atau yang lebih populer disebut longsor, adalah salah
satu bencana alam yang paling umum terjadi di seluruh dunia [1] dan merupakan
salah satu bencana yang menyebabkan kerugian materiil dan non-materiil dalam
jumlah sangat besar setiap tahunnya [2]. Longsor yang terjadi pada tahun 1982 di
seluruh wilayah Amerika Serikat bagian barat (meliputi California, Washington,
Utah, Nevada, Idaho) merupakan salah satu bencana alam yang menyebabkan
kerugian materiil terbesar dalam sejarah Amerika Serikat [3]. Sementara, longsor
Mameyes yang dipicu oleh badai tropis Isabel pada bulan Oktober 1985 memakan
korban tewas sebanyak 129 orang dan merupakan salah satu bencana tanah longsor
terburuk dalam sejarah negara tersebut [4].
Di Indonesia, tanah longsor merupakan bencana alam yang paling sering terjadi
setelah banjir, di mana persentase kedua jenis bencana ini mencapai 60 persen dari
keseluruhan bencana yang pernah terdata oleh Badan Nasional Penanggulangan
Bencana [5]. Walaupun jumlah kejadiannya masih belum sebanyak banjir, namun
longsor kerap kali terjadi secara tiba-tiba, sehingga mengakibatkan kerugian yang
besar dalam waktu singkat. Hal ini diperparah oleh belum tersedianya sistem yang
efektif dan efisien untuk peringatan dini bencana longsor di Indonesia.
Kejadian longsor bergantung kepada interaksi yang kompleks antara sejumlah
besar faktor yang saling berhubungan. Faktor-faktor ini, menurut Dai dan Lee [6]
dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori : (1) faktor penyebab, misalnya
kemiringan lereng, sifat-sifat tanah, elevasi, aspek, tutupan lahan, jenis batuan dan
lain-lain; serta (2) faktor pemicu, misalnya curah hujan lebat, gempa bumi atau
semburan gletser. Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya,
kondisi geografis Indonesia diyakini merupakan salah satu faktor kunci penyebab
1
Universitas Indonesia
2
tanah longsor yang sering terjadi di negara ini. Indonesia berada di pertemuan tiga
pelat tektonik besar dan Sembilan pelat tektonik kecil, yang mengakibatkan negara
ini sangat rawan gempa bumi. Karena gempa bumi merupakan salah satu faktor
pemicu longsor, maka Indonesia juga termasuk negara yang rawan longsor. Salah
satu contohnya adalah bencana tanah longsor yang terjadi di Cianjur, 5 September
2009 silam. Sebanyak 33 orang dari 57 warga Kampung Babakan Caringin Desa
Pamoyanan Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur yang menjadi korban longsor
akibat gempa bumi berkekuatan 7,3 SR [7].
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang berada di wilayah tropis
ekuator yang sering disebut sebagai benua maritim [8] karena dikelilingi lautan
yang lebih hangat dibandingkan daerah tropis lainnya. Konveksi aktif yang terjadi di
wilayah ini menyebabkan Indonesia memiliki curah hujan yang relatif tinggi
sepanjang tahun [9]. Hal ini mengindikasikan bahwa, selain gempa bumi, bencana
tanah longsor yang dipicu oleh curah hujan tinggi juga sangat rawan terjadi di
wilayah Indonesia.
Jawa Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia yang paling rawan
mengalami bencana tanah longsor. Dalam tahun 2005 misalnya, dari 47 bencana
tanah longsor yang mengakibatkan 243 orang tewas di seluruh Indonesia, 39 di
antaranya terjadi di Jawa Barat [10]. Selain gempa bumi dan curah hujan, kondisi
geografis seperti topografi dan tata guna lahan yang buruk merupakan penyebab
utama terjadinya tanah longsor di provinsi ini.
Secara konvensional, survey lapangan merupakan metode terbaik untuk mengkaji
kerawanan longsor. Namun, melakukan analisis terhadap potensi longsor yang
mungkin terjadi pada suatu wilayah yang luas relatif sukar serta menghabiskan waktu
dan biaya, terutama pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana
jaringan observasi kebumian relatif terbatas dan banyaknya daerah pegunungan yang
sulit dijangkau. Untuk mengatasi masalah ini, informasi yang diperoleh melalui
penginderaan jauh merupakan salah satu solusi terbaik yang dapat diperoleh. Data
penginderaan jauh yang saat ini tersedia dapat memberikan informasi yang akurat dan
Universitas Indonesia
3
berguna dari fitur-fitur permukaan dan proses dinamis yang berhubungan dengan
kejadian longsor.
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Universitas Indonesia
5
Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau
kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau batuan. Kondisi tersebut
sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat
adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan menyebabkan terjadinya
pengurangan kekuatan geser serta peningkatan tegangan geser tanah. Besarnya gaya
penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai kekuatan geser (shear
strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari
alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana
dikemukakan Sutikno [12], yaitu sebagai berikut:
1. Komposisi dan tekstur material.
2. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan
seragam.
3. Reaksi kimia.
4. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung.
5. Pengaruh tekanan air pori.
6. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan
7. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah.
Universitas Indonesia
7
bergerak longsor. Batuan yang kompak dan kedap air berperan sebagai penahan air
dan sekaligus sebagai bidang gelincir longsoran, sedangkan air berperan sebagai
penggerak massa tanah yang tergelincir di atas batuan kompak tersebut. Semakin
curam kemiringan lereng maka kecepatan penggelinciran juga semakin cepat.
Semakin gembur tumpukan tanah lempung maka semakin mudah tanah tersebut
meloloskan air dan semakin cepat air meresap ke dalam tanah. Semakin tebal
tumpukan tanah, maka semakin besar volume massa tanah yang longsor. Tanah yang
longsor dengan cara demikian umumnya dapat berubah menjadi aliran lumpur yang
pada saat longsor sering menimbulkan suara gemuruh.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang terbuka akibat
aktivitas makhluk hidup terutama berkaitan dengan budaya masyarakat saat ini dalam
memanfaatkan alam berkaitan dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan), kurang
memperhatikan pola-pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Penebangan hutan
yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja dilakukan, sehingga lahan-lahan pada
kondisi lereng dengan geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng
menjadi rawan longsor. Menurut Arsyad [14] longsoran akan terjadi jika terpenuhi
tiga keadaan sebagai berikut:
1. Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah.
2. Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan
lunak, yang akan menjadi bidang luncur.
3. Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air dapat berupa
tanah liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi atau dapat juga berupa
lapisan batuan, seperti napal liat (clay shale).
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi faktor alam dan
faktor manusia merupakan salah satu pemicu terjadinya tanah longsor. Faktor alam
meliputi lereng terjal yang diakibatkan oleh patahan dan lipatan kulit bumi, erosi dan
pengikisan, daerah longsoran lama, ketebalan tanah pelapukan bersifat lembek,
Universitas Indonesia
9
butiran halus, jenuh karena air hujan, adanya retakan karena proses alam (gempa
bumi, tektonik), air (hujan di atas normal, susut air cepat, banjir, aliran air bawah
tanah pada sungai lama), lapisan batuan yang kedap air miring ke atas lereng yang
berfungsi sebagai bidang longsoran.
Faktor manusia misalnya lereng yang menjadi terjal akibat pemotongan lereng
dan penggerusan oleh air saluran di tebing, tanah lembek dipicu oleh perubahan tata
lahan menjadi lahan basah, adanya kolam ikan, genangan air, retakan akibat getaran
mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu oleh beban kendaraan, bangunan
dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau material longsoran lama
pada tebing, bocoran air saluran, luapan air saluran, kolam ikan, penggundulan hutan
sehingga terjadi pengikisan oleh air permukaan.
Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/perkebunan tidak
memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan lahan-lahan baru di lereng-lereng
bukit menyebabkan permukaan lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air
(drainase) yang seharusnya, dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut
perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya penduduk menyebabkan
perkembangan perumahan ke arah daerah perbukitan (lereng-lereng bukit) yang tidak
sesuai dengan peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada lereng
(surcharge) semakin bertambah berat. Erosi di bagian kaki lereng akibat aliran sungai,
atau gelombang air laut mengakibatkan lemahnya bagian kaki lereng, terjadinya
kembang susut material pembentuk lereng, dan lain-lain menyebabkan terjadinya
peningkatan tegangan geser.
Longsor merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan air dan angin, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai
tindakan/perbuatan manusia [17]. Sehubungan dengan proses- prosesnya secara alami
maupun buatan, dengan demikian secara keseluruhannya yang menjadi penyebab dan
mempengaruhi besarnya laju longsor terdapat lima faktor utama dan satu faktor
sebagai penyebab besarnya resiko terjadinya bencana longsor, yaitu : iklim, tanah,
topografi , tutupan lahan/vegetasi, geologi atau jenis batuan, kegiatan/aktivitas
manusia. Faktor-faktor penyebab tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya
Universitas Indonesia
10
dan menentukan besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah
terhadap bencana tanah longsor ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor-
faktor ini satu sama lainnya.
yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri. Saat ini terdapat banyak sekali
perangkat lunak SIG baik yang berbasis vektor maupun yang berbasis raster. Nama
perangkat lunak SIG yang berbasis vektor antara lain ARC/INFO, Arc VIEW, Map
INFO, CartaLINX dan AutoCAD Map. Sedangkan perangkat lunak SIG yang berbasis
raster antara lain ILWIS, IDRISI, ERDAS dan sebagainya.
2.2.2.4 Manajemen
Komponen terakhir yang tak terelakan dari SIG adalah sumberdaya manusia
yang terlatih. Peranan sumberdaya manusia ini adalah untuk menjalankan sistem yang
meliputi pengoperasian perangkat keras dan perangkat lunak, serta menangani data
geografis dengan kedua perangkat tersebut. Sumberdaya manusia juga merupakan
sistem analis yang menerjemahkan permasalahan riil di permukaan bumi dengan
bahasa SIG, sehingga permasalahan tersebut bisa teridentifikasi dan memiliki
pemecahannya.
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 3.2 Peta wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat
Universitas Indonesia
16
Universitas Indonesia
17
longsor karena jumlah curah hujan yang diterimanya (akibat efek orografik) lebih
besar dibandingkan dengan daerah dengan elevasi yang lebih rendah.
Data model elevasi digital atau Digital Elevation Model (DEM) merupakan salah
satu data dasar yang paling esensial dalam penelitian ini. DEM yang digunakan
adalah data Shuttle Radar Topography Mission (The Shuttle Radar Topography
Mission, 1) milik National Aeronautics and Space Administration (NASA) Amerika
Serikat. Data SRTM merupakan salah satu terobosan baru dalam teknologi pemetaan
digital bumi (dengan resolusi spasial hingga 30 meter dan vertical error kurang dari
16 meter) dan mampu menyajikan data elevasi berkualitas tinggi dalam cakupan yang
luas di daerah tropis dan bagian dunia lainnya. Data SRTM didistribusikan dalam dua
level data : SRTM1 (untuk wilayah Amerika Serikat) dengan data yang disampel
dalam interval 1 arc-second pada lintang dan bujurnya, serta SRTM3 (untuk wilayah
cakupan 60 LU - 60 LS) yang disampel dalam interval 3 arc-second. Resolusi
horizontal dari SRTM1 mencapai 30 meter, sedangkan SRTM3 memiliki resolusi
kurang lebih 90 meter di wilayah ekuator.
Produk data SRTM yang digunakan dalam penelitian ini adalah SRTM 90m yang
dapat diunduh secara bebas melalui situs CGIAR-CSI GeoPortal. SRTM 90m
merupakan produk turunan dari data SRTM3 yang diproses lebih lanjut untuk
menghilangkan beberapa kekosongan data (no-data void) akibat beberapa fitur
hidrologi yang mencegah proses kuantisasi data elevasi. Sesuai namanya, data SRTM
90m memiliki resolusi spasial 90 meter dengan format GeoTIFF.
Universitas Indonesia
18
Data DEM tidak hanya dapat digunakan untuk memperoleh informasi elevasi,
namun juga dapat diturunkan untuk memperoleh faktor-faktor topografi lainnya,
misalnya lereng, aspect, hill shading, kurvatur lereng, kekasaran lereng, daerah lereng
maupun klasifikasi kualitatif pembentukan lahan [32]. Lereng didefinisikan sebagai
nilai tangen bidang terhadap suatu permukaan topografik, yang dimodelkan oleh
DEM pada suatu titik [33]. Lereng diklasifikasikan sebagai suatu vektor yang
memiliki besar (gradien) dan arah (aspect). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar
3.4.
Gradien suatu lereng didefinisikan sebagai laju perubahan maksimum dalam
ketinggian (tan ), sedangkan aspect didefinisikan sebagai arah (kompas) dari gradien
lereng (). Nilai gradien lereng dapat dinyatakan dalam sudut dan atau persentase,
sedangkan aspect dinyatakan dalam arah angin (utara, timur laut dan lain-lain). Bila
elevasi dinyatakan sebagai Z, maka gradien lereng S pada suatu titik merupakan
turunan pertama dari Z, dengan aspect sebagai arah lerengnya. Sehingga :
= = (3.1)
Universitas Indonesia
19
(a) Kenaikan
Jarak horizontal
Gradien
Lereng
Aspect
(b)
Gambar 3.4 Komponen gradien dan aspect dari lereng (a) dan data kelerengan yang diturunkan
dari data DEM (b)
Coe et al. [30] menguji keefektifan peta rawan longsor yang diturunkan dari
empat parameter topografi (elevasi, sudut kelerengan, kurvatur dan aspect) dan
menemukan bahwa dua di antaranya, yaitu kombinasi dari elevasi dan sudut
kelerengan, memberikan hasil terbaik untuk memetakan daerah rawan longsor. Hal
serupa juga dikemukakan oleh Fabri et al. [28] yang menemukan bahwa tiga layer
data (lereng, elevasi dan aspect), yang diturunkan dari data DEM, memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan enam layer data (termasuk faktor geologi lainnya,
material permukaan dan tata guna lahan). Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa topografi merupakan faktor dominan dalam menentukan daerah yang rawan
longsor.
Universitas Indonesia
20
Universitas Indonesia
21
yang dikemukakan oleh Larsen dan Torres Sanchez [24], tutupan lahan dapat
dikategorikan menjadi beberapa kelompok, yaitu : (a) daerah hutan, (b) daerah semak
belukar, (c) padang rumput, (d) daerah pertanian/budidaya dan (e) daerah
berkembang atau jalan. Kategori tutupan lahan tersebut menggambarkan rangkaian
urutan tutupan lahan mulai dari yang kurang berpotensi menyebabkan longsor (a)
sampai yang sangat berpotensi menyebabkan longsor (e). Dalam penelitian ini,
pendekatan serupa dilakukan dengan mengklasifikasikan 17 tipe tutupan lahan dari
data MODIS MCD12Q1 ke dalam 11 kategori, di mana nilai kerawanan longsor
berkisar antara 0 sampai 1 untuk setiap kategori (Tabel 3.1). Nilai yang tinggi
(mendekati 1) menyatakan tingkat kerawanan yang tinggi, sedangkan nilai yang
rendah (mendekati 0) menyatakan tingkat kerawanan yang rendah terhadap longsor.
Tabel 3.1 Penentuan nilai kerawanan longsor untuk berbagai jenis tutupan lahan dari data MODIS
Nilai
Kelas
Kategori Jenis tutupan lahan Kerawanan
MODIS
Longsor
0 0, 15 Perairan, tutupan salju dan es permanen 0
1 11, 1, 2 Hutan lebat, daerah basah permanen 0.1
2 3, 4 Hutan musiman 0.2
3 5 Hutan campuran 0.3
4 6, 7 Semak belukar 0.4
5 8, 9 Sabana 0.5
6 10 Padang rumput 0.6
7 12 Daerah pertanian 0.7
8 14 Daerah vegetasi campuran/perkebunan 0.8
9 16 Daerah tandus/sedikit vegetasi 0.9
10 13 Daerah yang dikembangkan, jalan, daerah pantai 1.0
Universitas Indonesia
22
ini memiliki format raster dengan resolusi spasial 1 km yang mampu memetakan
lebih dari 16 ribu jenis tanah yang merupakan kombinasi dari data jenis tanah di
seluruh dunia (SOTER, ESD, Soil Map of China, WISE) dengan informasi tanah
dunia yang dimiliki oleh FAO-UNESCO.
Basis data HWSD mencakup beberapa parameter penting antara lain : jenis tanah,
tekstur tanah, kedalaman tanah, dan kapasitas kelembaban tanah. Data ini dapat
diunduh secara bebas melalui situs resmi IIASA.
Berbeda dengan data geospasial lain yang digunakan dalam penelitian ini, HWSD
tidak berasal dari observasi penginderaan jauh secara langsung, melainkan melalui
survey langsung di lapangan maupun dari basis data tanah berbagai negara di seluruh
dunia.
Berdasarkan data HWSD, terdapat tak kurang dari 20 jenis tanah di daerah yang
mencakup propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Klasifikasi jenis tanah untuk
daerah wilayah-wilayah ini dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Universitas Indonesia
23
Tabel 3.2 Jenis tanah untuk daerah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten berdasarkan data HWSD
Kode unit Tekstur tanah Tekstur tanah
Kelompok Nama jenis tanah
pemetaan bagian atas bagian bawah
tanah dominan (FAO74)
tanah (USDA) (USDA)
4446 Acrisols Ferric Acrisols sandy clay loam clay loam
4455 Acrisols Gleyic Acrisols loam clay loam
3643, 3653,
4466, 4467 Acrisols Orthic Acrisols sandy clay loam clay loam
3856 Andosols Humic Andosols loam loam
4575 Andosols Ochric Andosols loam loam
4580 Andosols Vitric Andosols loamy sand loamy sand
4475 Cambisols Eutric Cambisols loam loam
4477 Cambisols Gleyic Cambisols loam clay loam
4482 Cambisols Vertic Cambisols clay light clay light
3749, 4515 Fluvisols Calcaric Fluvisols loam loam
4518, 4519 Fluvisols Dystric Fluvisols loam loam
4508 Leptosols Lithosols loam loam
4509 Leptosols Lithosols loam loam
4534, 4535 Lixisols Orthic Luvisols loam clay loam
4538 Lixisols Vertic Luvisols clay light clay light
4529 Luvisols Chromic Luvisols clay light clay light
4541, 4543 Nitisols Dystric Nitosols clay light clay heavy
4545 Nitisols Eutric Nitosols clay light clay heavy
4581 Vertisols Chromic Vertisols clay light clay light
4585 Vertisols Pellic Vertisols clay light clay light
Nilai kerawanan longsor dari suatu tipe tanah dapat ditentukan berdasarkan
tekstur dari suatu tanah. Tekstur tanah adalah sifat yang menggambarkan proporsi
relatif dari berbagai ukuran partikel mineral dari suatu tanah. Data HWSD
memberikan informasi tekstur tanah yang mengikuti klasifikasi dari United States
Departement of Agriculture (USDA), yang membagi tipe tanah berdasarkan ukuran
partikelnya. Partikel-partikel tersebut dikelompokkan berdasarkan ukuran butirannya,
ke dalam tiga kelompok utama yang disebut pisahan tanah (soil separates), yaitu :
tanah liat (clay), lumpur (silt) dan pasir (sand). Tabel 3.3 menunjukkan kelompok
pisahan tanah berdasarkan ukuran partikelnya.
Universitas Indonesia
24
Selanjutnya, tekstur tanah (misalnya tanah liat, pasir, lempung dan lain-lain)
diklasifikasikan berdasarkan persentase komposisi dari tiga kelompok pisahan tanah
di atas. Pengklasifikasian ini dapat digambarkan dengan segitiga tekstur tanah seperti
pada Gambar 3.7.
Dari Gambar 3.7, terlihat bahwa USDA membagi tekstur tanah ke dalam 13
kelas berdasarkan persentase komposisi pisahan tanah, mulai dari yang paling halus
(tanah liat) sampai yang paling kasar (pasir). 13 kelas tekstur tanah dari Gambar 3.7
dapat disederhanakan seperti pada Tabel 3.4.
Universitas Indonesia
25
Dari Tabel 3.4, tekstur tanah yang paling halus (persentase tanah liat tertinggi)
memiliki kode kelas terkecil, sedangkan tekstur tanah yang paling kasar (persentase
pasir tertinggi) memiliki kode kelas terbesar.
Beberapa penelitian mengenai longsor sebelumnya, seperti Lee dan Min [25],
Dai dan Lee [6], Hong et al [34], serta Roslee [35], menyatakan bahwa tingkat
kerawanan longsor dari suatu tanah dapat ditentukan secara empirik berdasarkan jenis
tekstur tanahnya. Tanah yang memiliki tekstur lebih kasar dan renggang seperti pasir
akan memiliki tingkat kerawanan longsor yang lebih tinggi dibandingkan tanah
dengan tekstur halus dan rapat seperti tanah liat. Berdasarkan penelitian dan
klasifikasi tekstur tanah USDA di atas, maka jenis tanah yang diperoleh dari data
HWSD untuk daerah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat (Tabel 3.2) dapat
diklasifikasikan kembali berdasarkan tingkat kerawanan longsornya seperti
ditunjukkan oleh Tabel 3.5.
Universitas Indonesia
26
Tabel 3.5 Klasifikasi tanah di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat berdasarkan tingkat
kerawanan longsor
Tekstur tanah bagian atas Tekstur tanah bagian Kelas
Nama jenis tanah (USDA) bawah (USDA) Kerawanan
(FAO74)
Kode Tekstur Kode Tekstur Longsor
Dystric Nitosols 3 clay 1 clay (heavy) 1
Eutric Nitosols 3 clat 1 clay( heavy) 1
Vertic Cambisols 3 clay 3 clay 2
Vertic Luvisols 3 clay 3 clay 2
Chromic Luvisols 3 clay 3 clay 2
Chromic Vertisols 3 clay 3 clay 2
Pellic Vertisols 3 clay 3 clay 2
Gleyic Acrisols 9 loam 5 clay loam 3
Gleyic Cambisols 9 loam 5 clay loam 3
Orthic Luvisols 9 loam 5 clay loam 3
Ferric Acrisols 10 sandy clay loam 5 clay loam 4
Orthic Acrisols 10 sandy clay loam 5 clay loam 4
Humic Andosols 9 loam 9 loam 5
Ochric Andosols 9 loam 9 loam 5
Eutric Cambisols 9 loam 9 loam 5
Calcaric Fluvisols 9 loam 9 loam 5
Dystric Fluvisols 9 loam 9 loam 5
Lithosols 9 loam 9 loam 5
Vitric Andosols 12 loamy sand 12 loamy sand 6
Dari Tabel 3.5, terlihat bahwa terdapat 6 kelas tanah di wilayah daerah kajian
berdasarkan tingkat kerawanan longsornya, yang terendah masuk dalam kelas 1,
sedangkan yang tertinggi masuk dalam kelas 6. Tanah yang paling rawan longsor
adalah dari jenis Vitric Andosols, sedangkan yang paling aman longsor adalah dari
jenis Dystric Nitosols. Pada Tabel 3.5 juga tampak bahwa tanah yang memiliki jenis
induk yang sama tidak selalu memiliki tekstur yang sama, sehingga tingkat
kerawanan longsornya juga bisa berbeda. Contohnya, tanah dari jenis Eutric
Cambisols memiliki tingkat kerawanan longsor yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tanah Vertic Cambisols karena tekstur tanah bagian atas dan bawahnya lebih
kasar dan renggang.
Universitas Indonesia
27
Gambar 3.8 Contoh data TMPA 3B43 yang memberikan informasi curah hujan di wilayah Indonesia
untuk bulan Maret 2011.
Universitas Indonesia
28
Untuk daerah tropis seperti Indonesia, curah hujan merupakan salah satu faktor
utama yang menjadi pemicu longsor. Menurut Subhan [36], terdapat dua jenis hujan
yang dapat memicu terjadinya longsor, yaitu (1) hujan sedang (kurang deras) yang
terjadi terus-menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari dan (2) hujan deras
yang mencapai 70 mm 100 mm per hari. Hujan jenis pertama umumnya lebih
disebabkan oleh siklus musiman, misalnya pada musim monsun barat (musim hujan)
yang terjadi pada awal dan akhir tahun di Indonesia. Hujan jenis kedua umumnya
lebih disebabkan oleh siklus harian yang disebabkan oleh kuatnya konveksi lokal.
Konveksi kuat yang terjadi dapat meningkatkan pertumbuhan awan Cumulonimbus
(Cb) yang merupakan pemicu terjadinya hujan badai (thunderstorm).
(a) (b)
Gambar 3.9 Pola spasial dari rata-rata curah hujan (a) dan simpangan baku curah hujan (b) dalam
periode 1998-2010 untuk wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten yang diolah dari data TMPA
3B43.
Data TMPA 3B43 dapat memberikan informasi curah hujan di suatu daerah
dalam rentang waktu yang cukup panjang (1998-sekarang), sehingga dapat digunakan
untuk analisis iklim di suatu daerah. Dalam studi ini, faktor curah hujan yang
dijadikan sebagai masukan model kerawanan longsor adalah rata-rata dan simpangan
baku curah hujan. Informasi rata-rata curah hujan dapat memberikan gambaran umum
tentang besar kecilnya curah hujan di suatu daerah dalam periode tertentu, sedangkan
simpangan baku bermanfaat untuk mengetahui karakteristik curah hujan di suatu
daerah. Daerah dengan simpangan baku curah hujan tinggi menandakan bahwa curah
Universitas Indonesia
29
hujan di wilayah itu relatif fluktuatif terhadap nilai rata-ratanya, artinya suatu waktu
curah hujan dapat bernilai sangat tinggi, dan di waktu lain bisa sangat rendah atau
tidak ada hujan sama sekali. Berdasarkan dua parameter curah hujan tersebut, bisa
disimpulkan bahwa daerah yang rawan longsor umumnya memiliki rata-rata curah
hujan yang tinggi dan/atau simpangan baku yang tinggi.
Berbeda dengan sistem koordinat geografis yang menyatakan lokasi suatu daerah
dalam derajat lintang dan bujur, UTM menentukan zona (grid) suatu daerah dalam
jarak timur-utara (easting-northing). Posisi suatu lokasi dalam sistem koordinat
geografis dapat dikonversi ke dalam UTM. Jika posisi lintang dari suatu titik
dinyatakan dalam dan posisi bujurnya dinyatakan dalam , maka :
1
() = (3.2)
1 2 2
= ( 0 ) (3.3)
2 3 4 5 6 3 2 3 4 45 6 15 4 45 6
() = 1 + + 2 + + 4
4 64 256 8 32 1024 256 1024
(3.4)
35 6
6
3072
= 2 (3.5)
2
= 2 (3.6)
1 2
3 5
= 0 + 0 () + (1 + ) + (5 18 + 2 ) (3.7)
6 120
2 4 6
= 0 + 0 () + () + (5 + 9 + 4 2 ) + (61 58 + 2 ) (3.8)
2 24 720
E adalah jarak dalam arah timur (easting), dan N adalah jarak dalam arah utara
(northing), keduanya memiliki satuan dalam meter.
Berdasarkan posisinya dalam sistem koordinat geografis (lintang, bujur), maka
posisi daerah kajian dalam sistem koordinat UTM berada pada lokasi 477859.3 meter
E dan 9355583.6 m N, hingga 257404.6 meter E dan 9133861 meter N. Dengan
demikian, wilayah kajian berada dalam zona 48S 49S dalam sistem koordinat UTM.
Universitas Indonesia
31
Gambar 3.10 Posisi daerah kajian (kotak merah) dalam sistem koordinat UTM
(diolah kembali dari : Wikipedia:UTM,1)
Misalnya saja dengan menggunakan asumsi pada poin 1 di atas, maka nilai 0
dapat diberikan pada titik yang memiliki lereng paling landai, dan nilai 1 pada titik
yang memiliki lereng paling curam. Dengan demikian, nilai numerik untuk titik x k (i,j)
Universitas Indonesia
32
(, )
(, ) = (3.9)
Nilai x k (i,j) adalah nilai numerik asli dari faktor ke-k di lokasi piksel (i,j) dan
y k (i,j) adalah nilai numerik yang dinormalisasi dari x k (i,j). Di mana (dan )
adalah nilai maksimum (dan minimum) dari faktor ke-k. Dengan menggunakan
Persamaan di atas, nilai akhir kerawanan longsor yang akan diperoleh merupakan
kombinasi dari beberapa nilai numerik dari tiap faktor pengontrol longsor.
(, ) = (, ) = 1 (3.10)
=1 =1
(, ) adalah nilai kerawanan akhir dari piksel (i,j) dan adalah bobot
kombinasi linear untuk faktor ke-k, di mana dalam penelitian ini, k bernilai 1 sampai
7 (1 untuk lereng, 2 untuk elevasi, 3 untuk tipe tanah, 4 untuk tutupan lahan, 5 untuk
densitas drainase, 6 untuk rata-rata curah hujan dan 7 untuk simpangan baku curah
hujan). Langkah berikutnya adalah menentukan nilai bobot untuk tiap
faktor/parameter pengontrol longsor. Dalam penelitian ini digunakan beberapa model
pembobotan berdasarkan studi-studi mengenai longsor sebelumnya.
Universitas Indonesia
33
Coe et al. [30] dan Fabbri et al. [28] menemukan bahwa topografi adalah faktor
dominan dalam menentukan lokasi rawan longsor. Dai dan Lee [6] serta Lee dan Min
[25] melaporkan bahwa kecuraman lereng adalah faktor yang paling mempengaruhi
terjadinya longsor, diikuti oleh jenis dan tekstur tanah yang menutupi lereng tersebut.
Parameter lain seperti tutupan lahan [24], elevasi [30], dan densitas drainase [29],
juga memainkan peranan yang cukup penting dalam menentukan potensi terjadinya
longsor. Untuk penelitian yang dilakukan di wilayah Indonesia, Suryolelono [31] dan
Karnawati [15] menyimpulkan bahwa curah hujan adalah faktor dominan yang
menyebabkan tanah longsor. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi seperti yang dikutip Alhasanah [11], di
mana curah hujan adalah pengontrol utama terjadinya longsor di Indonesia, diikuti
oleh jenis tanah, geologi, tata guna lahan dan lereng.
Untuk memberikan hasil terbaik, nilai akhir kerawanan longsor dari metode
WLC diperoleh dengan menggunakan beberapa model pembobotan berdasarkan studi
tentang longsor yang telah disebutkan di atas, disertai beberapa percobaan terhadap
pembobotan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Nilai akhir yang diperoleh dari beberapa pembobotan ini kemudian digambarkan
dalam bentuk peta spasial dan dibandingkan dengan kejadian-kejadian longsor yang
pernah terjadi di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Model pembobotan
terbaik adalah model yang hasilnya paling merepresentasikan atau mendekati
kejadian-kejadian longsor yang pernah terjadi sebelumnya.
Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN ANALISIS
34
Universitas Indonesia
35
Tabel 4.2 Daftar kejadian longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat tahun 2004-2011
Korban
Tanggal Lokasi Longsor Lintang Bujur Jiwa Kerugian Materiil
Kecamatan Cibeber,
23-Apr-04 Cianjur 107.135 -6.943 0 1 ruas jalan tertimbun
Kecamatan
18-Nov-04 Sindangbarang, Cianjut 107.068 -7.419 0 1 ruas jalan tertimbun
Kecamatan Cidaun.
18-Nov-04 Cianjur 107.346 -7.416 0 1 ruas jalan tertimbun
Sukagalih, Kecamatan Saluran irigasi
2-Feb-05 Takokak, Cianjur 106.985 -7.174 0 tertimbun
Leuwigajah, Cimahi
21-Feb-05 Selatan, Kab. Bandung 107.537 -6.907 156 Ratusan rumah rusak
Desa Kertasari, 1 masjid, 1 sekolah
Kecamatan dan ratusan rumah
27-Sep-05 Sindangbarang, Cianjur 107.072 -7.423 0 rusak
Desa Nyalindnug,
Kecamatan Cipatat,
13-Mei-06 Kab. Bandung 107.457 -6.794 15 -
Kampung Ciherang,
Desa Sukasirna,
Kecamatan
Campakamulya,
8-Jan-07 Cianjur 107.181 -7.069 0 54 rumah rusak
Kampung Hanjawar,
Desa Mekarlaksana,
Kecamatan Cikadu,
9-Mar-07 Cianjur 107.278 -7.323 2 -
Kecamatan Cibinong,
28-Apr-07 Cianjur 107.130 -7.325 0 1 ruas jalan tertimbun
Kecamatan Cidaun,
Kabupaten Cianjur,
12-Nov-08 Cianjur 107.346 -7.486 0 1 ruas jalan tertimbun
Kampung Leuwiletak,
Desa Girimukti,
26-Nov-08 Tasikmalaya 107.891 -7.468 1 3 rumah rusak
Desa Kebon Manggu,
Kecamatan Guruh,
5-Apr-09 Sukabumi 106.866 -6.934 0 40 rumah ambruk
Desa Cikangkareng,
Kecamatan Cibinong,
2-Sep-09 Cianjur 107.194 -7.323 33 Ratusan rumah rusak
Desa Cimanintin
Kecamatan 3 rumah rusak berat, 5
25-Des-09 Jatinunggal, Sumedang 108.194 -6.922 0 rumah rusak ringan
Kecamatan Terisi,
17-Feb-10 Indramayu 108.150 -6.483 0 1 Tanggul rusak
23-Feb-10 Pasir Jambu, Ciwedey, 107.490 -7.083 65 35 bedeng tertimbun
Universitas Indonesia
36
Kab. Bandung
Kampung
Sindangpalay, Desa
Pasawahan,
Kecamatan Cicurug,
2-Mar-10 Sukabumi 106.770 -6.739 0 2 rumah rusak
Kampung Cileles,
Kelurahan Cisarua,
Kecamatan Cikole,
8-Mar-10 Sukabumi 106.933 -6.913 2 1 rumah rusak
Kampung Ciawitali,
Desa Sukamekar,
Kecamatan
12-Mar-10 Sukanagara, Cianjur 107.139 -7.061 6 puluhan rumah rusak
Cadas Pangeran,
15-Mei-10 Sumedang 107.886 -6.865 0 1 ruas jalan tertimbun
Tanjung Priok, Jakarta
16-Sep-10 Utara 106.870 -6.117 0 1 jalan amblas
Desa Belawa,
Kecamatan
3-Feb-11 Lemahabang, Cirebon 108.621 -6.830 0 1 jalan amblas
Kecamatan Pagelaran 16 rumah rusak berat,
dan Campakamulya, 17 rumah nyaris
19-Feb-11 Cianjur 106.857 -7.050 0 ambruk
Desa Sindang Panji,
8-Mar-11 Cikijing, Majalengka 108.382 -7.025 0 1 ruas jalan tertimbun
Desa Padamulya,
Kecamatan
28-Mar-11 Cihaurbeuti, Ciamis 108.224 -7.200 2 Beberapa rumah rusak
Kecamatan
Kalapanunggal,
31-Mar-11 Sukabumi 106.658 -6.839 1 1 rumah rusak
Desa Kadudampit,
Kecamatan Saketi,
1-Apr-11 Pandeglan 105.996 -6.398 0 6 rumah rusak
Kampung Cigulawing,
Kelurahan Margawati,
30-Apr-11 Kec Garut Kota, Garut 107.907 -7.253 1 1 sawah rusak
Kampung Pagelaran,
5-Mei-11 Cianjur 107.206 -7.204 2 1 rumah rusak
Kecamatan Cikelet, 37 rumah rusak, 4
6-Mei-11 Garut 107.676 -7.612 7 jembatan tertimbun
Universitas Indonesia
37
Data kejadian longsor pada Tabel 4.2 kemudian dipetakan (Gambar 4.1) dan
akan ditumpangkan pada peta rawan longsor hasil pembobotan dengan metode WLC.
Gambar 4.1 Titik-titik kejadian longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat
Universitas Indonesia
38
(a)
(b)
Gambar 4.2 Peta daerah rawan longsor yang dihasilkan metode WLC dengan pembobotan Hong (a)
dan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (b). Titik-titik hitam adalah lokasi kejadian
longsor mulai tahun 2004-2011.
Peta rawan longsor kedua dihasilkan oleh metode WLC dengan pembobotan dari
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG). Daerah rawan
longsor paling dominan berada di Jawa Barat bagian tengah. Pembobotan DVMBG
lebih menitikberatkan pada curah hujan, jenis tanah serta elevasi, sehingga daerah-
Universitas Indonesia
39
daerah pesisir utara dan selatan Jawa Barat memiliki kerawananan longsor yang lebih
rendah dibandingkan daerah Jawa Barat bagian tengah. Selain peta rawan longsor
yang dihasilkan metode WLC dengan pembobotan Hong dan DVMBG, beberapa
pembobotan lain juga diuji dan dibandingkan dengan data kejadian longsor
(perhatikan Tabel 4.1). Masing-masing memberikan pembobotan berlebih pada satu
atau dua faktor dibandingkan faktor yang lainnya. Pembobotan keempat (Arbain)
merupakan kombinasi dari ketiga pembobotan sebelumnya dengan memberi bobot
lebih pada kemiringan lereng.
4.3 Analisis daerah rawan longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa
Barat
Pengujian terhadap model kerawanan longsor terbaik dilakukan dengan
membandingkan nilai grid (piksel) dari posisi kejadian longsor dalam periode 2004-
2011 dengan nilai grid pada koordinat yang sama pada peta kerawanan longsor dari
tiap model.
Apabila kejadian longsor dengan koordinat (i,j) dinyatakan dengan l(i,j) dan nilai
kerawanan longsor dari model di posisi yang sama dinyatakan dengan y(i,j), di mana
0 l(i,j) 1 dan 0 y(i,j) 1, maka tingkat akurasi suatu model kerawanan longsor
pada suatu titik dapat dinyatakan dengan :
(, ) = 1 |(, ) (, )| (4.1)
di mana, 0 r(i,j) 1.
Seperti halnya proses klasifikasi data, perhitungan tingkat akurasi model
kerawanan juga diawali dengan normalisasi pada kedua jenis data yang akan
dibandingkan dalam skala 0 sampai 1. Nilai 0 berarti kedua jenis data tidak memiliki
korelasi sama sekali, sehingga akurasinya paling rendah, dan sebaliknya untuk nilai 1.
Normalisasi untuk tiap grid peta kerawanan longsor dari model dapat dinyatakan
dengan :
(, ) (4.2)
(, ) =
Universitas Indonesia
40
Nilai x max adalah nilai tertinggi grid yang ada pada peta kerawanan longsor,
sedangkan x min adalah nilai terendah. Untuk data kejadian longsor, grid l(i,j) otomatis
akan bernilai 1, karena grid tersebut merupakan posisi di mana longsor sudah terjadi.
Dengan demikian Persamaan 4.1 dapat dituliskan sebagai berikut :
(, ) = 1 |1 (, )| (4.3)
Berdasarkan Persamaan 4.1 dan 4.3, maka nilai total akurasi untuk n titik
kejadian longsor yang dibandingkan dengan peta kerawanan longsor dapat dinyatakan
dengan:
1 |1 ( , )| (4.4)
=
=1
di mana 0 r total 1.
Jumlah total titik kejadian longsor yang diuji dalam penelitian ini adalah 31 titik.
Nilai akurasi pada titik-titik peta kerawanan longsor dari tiap model yang dihitung
dengan Persamaan 4.4 ditunjukkan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Nilai akurasi titik-titik kejadian longsor dari tiap model kerawanan longsor
p (i,j)
Lon (i) Lat (j)
Hong DVMBG Roslee Arbain 1 Arbain 2 Arbain 3 Arbain 4
107.135 -6.943 0.019954 0.016443 0.015468 0.021007 0.015118 0.014196 0.010786
107.068 -7.419 0.011089 0.008568 0.010782 0.017657 0.008789 0.007671 0.0064
107.346 -7.416 0.022025 0.018743 0.017379 0.02037 0.018179 0.016993 0.013529
106.985 -7.174 0.019657 0.0196 0.018796 0.017873 0.017932 0.017921 0.015082
107.537 -6.907 0.0203 0.016011 0.014996 0.019 0.015904 0.014164 0.010432
107.072 -7.423 0.014279 0.016154 0.011914 0.010603 0.011511 0.012971 0.00805
107.457 -6.794 0.014789 0.018875 0.014925 0.008987 0.015107 0.017175 0.014443
107.181 -7.069 0.019739 0.016229 0.015443 0.01715 0.016007 0.0144 0.010707
107.278 -7.323 0.024221 0.019575 0.018382 0.02212 0.0194 0.017325 0.012839
107.130 -7.325 0.017868 0.02165 0.016596 0.01183 0.016182 0.018404 0.013296
107.346 -7.486 0.020721 0.017596 0.0163 0.019117 0.0169 0.015732 0.012189
107.891 -7.468 0.019621 0.016571 0.015182 0.017737 0.015464 0.014368 0.010364
Universitas Indonesia
41
Gambar 4.3 Peta rawan longsor hasil metode WLC dengan pembobotan terbesar pada kemiringan
lereng (0.5).
Universitas Indonesia
42
Hal ini terlihat jelas pada peta-peta rawan longsor yang dihasilkan dengan
pembobotan tertinggi terhadap kemiringan lereng. Untuk lebih jelasnya perhatikan
Gambar 4.3. Dengan menggunakan pembobotan 0.5 untuk kemiringan lereng, 0.1
untuk elevasi, tutupan lahan, jenis tanah, rata-rata dan simpangan baku curah hujan,
hasilnya secara kualitatif sangat mendekati data kejadian longsor yang terjadi dalam
kurun waktu tahun 2004-2011. Faktor lain seperti elevasi, jenis tanah dan tutupan
lahan juga ikut memberikan pengaruh terhadap kejadian longsor, walaupun tidak
sebesar kemiringan lereng.
2004 2005
2006
2007
2008 2009
Gambar 4.4 Daerah rawan longsor pada tahun 2004-2009. Titik-titik hitam adalah lokasi longsor pada
tahun yang bersangkutan.
Universitas Indonesia
43
Bila diperhatikan dari peta kerawanan longsor tahunan, dapat dilihat bahwa curah
hujan berpengaruh pada kecenderungan longsor di suatu daerah. Daerah yang
memiliki rata-rata dan simpangan baku curah hujan yang tinggi akan memiliki resiko
longsor yang lebih tinggi. Karena nilai curah hujan bersifat dinamis, maka kerawanan
longsor dapat bervariasi dari tahun ke tahun (Gambar 4.4)
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, bisa disimpulkan bahwa faktor utama
(primer) yang paling mempengaruhi terjadinya longsor di wilayah Banten, DKI
Jakarta dan Jawa Barat adalah kemiringan lereng, diikuti oleh jenis dan tekstur tanah,
elevasi, tutupan lahan, rata-rata curah hujan dan simpangan baku curah hujan sebagai
faktor sekunder.
Skala kontinyu dari indeks numerik kerawanan longsor dapat diklasifikasikan
kembali ke dalam beberapa kategori [29]. Salah satu cara terbaik untuk menentukan
klasifikasi tersebut adalah dengan mencari batas-batas kategori yang mengalami
perubahan drastis/tajam pada histogram dari nilai kerawanan longsor [39].
2004
20
2005
15
10 2006
5 2007
0 2008
1 2 3 4 5 6 7 2009
Kategori
Gambar 4.5 Distribusi daerah rawan longsor berdasarkan persentase periode tahun 2004-2009
Universitas Indonesia
44
rawan longsor dari suatu daerah dapat diketahui. Gambar 4.5 menunjukkan distribusi
kategori kerawanan longsor selama tahun 2004-2009. Gambar 4.6 menunjukkan
persentase dari wilayah sangat rawan longsor (kategori 7) periode 2004-2009.
Gambar 4.5 dan 4.6 menunjukkan bahwa daerah kerawanan longsor dapat
berfluktuasi, bergantung pada pemicu longsor, dalam hal ini curah hujan yang
fluktuatif setiap tahun.
2.6
2.5
2.4
2.3
2.2
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 4.6 Persentase daerah sangat rawan longsor (kategori 7) di wilayah Banten, DKI Jakarta dan
Jawa Barat periode tahun 2004-2010
Tabel 4.4 Distribusi nilai kerawanan longsor di wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat
Kategori 1 2 3 4 5 6 7 5+6+7
Kerawan Sangat Rendah Cukup Sedang Cukup Tinggi Sangat Cukup Tinggi-
an Rendah Rendah Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
% 2004 11.14 17.37 23.08 22.25 15.90 7.87 2.39 26.16
% 2005 12.12 18.29 23.52 20.01 14.75 8.55 2.75 26.05
% 2006 7.60 21.19 25.85 19.93 14.79 8.15 2.50 25.44
% 2007 11.33 14.38 25.95 21.91 15.37 8.29 2.76 26.42
% 2008 8.84 16.89 23.39 23.93 16.59 7.69 2.66 26.94
% 2009 8.32 19.51 25.27 21.16 15.07 8.10 2.55 25.72
Persentase rata-rata dari total persentase daerah rawan longsor 26.12
Dari Gambar 4.5 dan Tabel 4.3 tampak bahwa daerah rawan longsor untuk
wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat berkisar antara 25-26% dari total
seluruh wilayah dan sebagian besar berada dalam wilayah Jawa Barat, terutama di
Jawa Barat bagian tengah dan selatan. Daerah-daerah rawan longsor di Jawa Barat
Universitas Indonesia
45
yang termasuk dalam kategori 7 antara lain : Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor,
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka,
Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Tasikmalaya. Daerah
DKI Jakarta relatif aman terhadap longsor, sedangkan untuk Banten, daerah rawan
longsor meliputi sebagian Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Cilegon.
Gambar 4.7 Fluktuasi pola curah hujan terhadap daerah sangat rawan longsor tahun 2004-2009
Salah satu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah, distribusi daerah
rawan longsor dari tahun ke tahun memiliki pola yang cenderung mengikuti nilai
curah hujan. Pada gambar 4.6 sebelumnya, tampak bahwa persentase daerah rawan
longsor bernilai paling rendah pada tahun 2004 dan 2006, di mana pada saat yang
sama terjadi fenomena El Nino. Walaupun El Nino yang terjadi masih tergolong
lemah, pengaruhnya cukup signifikan terhadap intensitas curah hujan yang relatif
rendah pada tahun-tahun tersebut. Pada Gambar 4.6 dan 4.7 jelas terlihat bahwa, pola
distribusi daerah rawan longsor tertinggi terjadi pada tahun 2007, di mana saat itu
terjadi kombinasi fenomena cuaca antara lain fenomena La Nina, Dipole Mode
negatif dan Cold Surge yang berakibat pada tingginya curah hujan pada daerah kajian.
Hal ini menunjukkan bahwa, selain merupakan faktor pemicu longsor utama, nilai
Universitas Indonesia
46
curah hujan juga bisa digunakan untuk memprediksi pola kejadian longsor di masa
mendatang.
4.4 Pengembangan model untuk sistem peringatan dini dan risiko bencana
tanah longsor
Peta kerawanan longsor yang diperoleh akan memberikan panduan dalam
mengkaji distribusi spasial bencana longsor yang dapat terjadi dengan
mengidentifikasi daerah-daerah yang rawan longsor. Informasi daerah kerawanan
longsor ini dapat lebih ditingkatkan dengan melakukan validasi atau ground truth
pada daerah-daerah tersebut. Dengan demikian, informasi kerawanan longsor ini akan
sangat berguna untuk penelitian atau evaluasi dari bencana tanah longsor yang sudah
atau yang akan terjadi.
Penelitian ini pada dasarnya masih dapat dikembangkan lagi untuk memberikan
peringatan dini terhadap kejadian longsor di masa mendatang, misalnya dengan
mengkombinasikan data curah hujan dengan resolusi spasial dan temporal tinggi
dengan peta kerawanan longsor untuk mendeteksi kapan dan di mana longsor akan
terjadi. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kalibrasi terhadap nilai batas curah
hujan yang berpotensi menyebabkan longsor. Salah satu penelitian untuk tujuan ini
telah dipublikasikan oleh Caine [40] serta Larsen dan Simon [41], yang mempelajari
hubungan empirik antara nilai curah hujan dengan kejadian longsor dalam secara
global maupun pada daerah-daerah iklim tertentu.
Gambar 4.8 Hubungan empirik antara nilai akumulasi curah hujan dan lamanya hujan oleh Caine
(1990) seperti dikutip oleh Hong (2006)
Universitas Indonesia
47
Dengan demikian, bahaya longsor (H) di lokasi (i,j) dan waktu (t) dapat
dituliskan sebagai fungsi dari kerawanan longsor (z) dan intensitas curah hujan (r)
pada suatu domain ruang-waktu (Persamaan 4.5). Lokasi dan waktu dari nilai batas
curah hujan dan kejadian longsor dapat diidentifikasi dan dibandingkan dengan
laporan kejadian longsor yang telah terjadi.
(, , ) = [(, , ), (, , )] (4.5)
Lebih jauh lagi, penilitian ini juga dapat dikembangkan untuk menghasilkan
suatu model risiko kerawanan longsor. Paripurno [42] mengemukakan bencana
(disaster) merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen
ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan
kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain serta (risk) risiko yang
ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki
kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber
ancaman tersebut.
Risiko merupakan gabungan dari unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya serta
kerentanan. Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan
secara metematis diformulasikan sebagai berikut :
= ()() (4.6)
dimana :
Rt : Risiko
E : Unsur-unsur dari Risiko
H : Bahaya
V : Kerentanan
Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti
dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan
dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun unsur-unsur dari risiko
Universitas Indonesia
48
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN
49
Universitas Indonesia
50
peta rawan longsor ini juga memerlukan validasi dari data di lapangan, sehingga
keakuratannya dapat lebih ditingkatkan. Peta rawan longsor dari penelitian ini dapat
diperbaharui kapan saja, apabila terdapat data geospasial yang lebih baik sebagai
masukan model. Pembaharuan peta rawan longsor ini juga dapat dilakukan secara
dinamis, mengingat beberapa data masukan yang digunakan juga diperbaharui secara
periodik, misalnya data tutupan lahan MODIS dan data curah hujan dari TRMM.
Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa keakuratan peta kerawanan longsor untuk
wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat ini akan meningkat seiring dengan
berjalannya waktu.
Universitas Indonesia
51
DAFTAR REFERENSI
[1] E. Bryant. Natural Hazards, 2nd ed., Cambridge Univ. Press, New York, 2005.
[2] The Broker Online (2009, Jun. 17). World Disaster Reports 2009 : A huge
Death Toll. Available: http://www.thebrokeronline.eu/en/Online-
discussions/Blogs/Thea-Hilhorst/World-Disaster-Report-2009-A-huge-death-
toll.
[3] E. C. Spiker and P. L. Gori, National landslide hazards mitigation strategy a
framework for loss reduction, U.S. Geol. Surv. Circ., 2003, pp. 1244:1-64.
[4] R.W. Jibson, Debris Flows in Southern Puerto Rico, in Proceedings:
Landslide Processes of Eastern United States and Puerto Rico, edited by A. P.
Schulta and R. W. Jibson, Spec. Pap. Geol. Soc. Am., vol. 236, 1989, pp. 29-55.
[5] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Prov. Nusa Tenggara Timur (2010,
Sep. 30). Bencana Alam di Indonesia Didominasi Banjir.
Available: http://www.bpbd.nttprov.go.id/index.php?option=com_content&vie
w=article&id=66:-bencana-alam-di-indonesia-didominasi-
banjir&catid=9:berita-nasional&Itemid=61.
[6] F. C. Dai and C. F. Lee, Landslide characteristic and slope instability
modelling using GIS, Lantau Island, Hongkong, Geomorphology, vol. 42,
2003, pp. 213-238.
[7] Berita Sore (2009, Sep. 5). 33 korban longsor masih tertimbun. Available:
http://beritasore.com/2009/09/05/33-korban-longsor-di-cianjur-masih-
tertimbun/.
[8] C.S. Ramage, Role of a tropical maritime continent in the atmospheric
circulation, Mon. Wea. Rev, vol. 96, 1968, pp. 365-369.
[9] J. Hamada et. al. Spatial and temporal variations of the rainy season over
Indonesia and their link to ENSO, Journal of the Meteorological Society of
Japan, Vol.80, No.2, 2002, pp. 285-310.
52
[10] Portal Nasional Republik Indonesia (2008, Jan. 24). Jabar, Kawasan Paling
Rawan Bencana Longsor.
Available: http://ina.indonesia.go.id/index.php/en/regional-government/west-
java-province/1172.html.
[11] F. Alhasanah, Pemetaan dan analisis daerah rawan tanah longsor serta upaya
mitigasinya menggunakan Sistem Informasi Geografis (studi kasus kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa
Barat), M.Sc. Thesis, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, 2006.
[12] Sutikno, Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat
Gerakan Massa Tanah/Batuan, Prosiding Seminar Mitigasi Bencana Alam 16-
17 September 1994. Kerjasama Fakultas Geografi UGM-Bakornas
Penanggulangan Bencana RI. Yogyakarta, 1994.
[13] Cruden, A simple definition of landslide, Bulettin Int. Assoc. for Engineering
Geology, vol. 43, 1991, pp. 27-29.
[14] S. Arsyad, Konservasi Tanah dan Air, IPB In Press., 1989.
[15] D. Karnawati, Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi
dan Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan
Bencana Tanah Longsor di Indonesia, P3-TPSLK BPPT dan HSF, Jakarta,
2004.
[16] I. Febriana, Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah
Longsor dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem
Informasi Geografis (Studi Kasus Di Kawasan Gunung Mandalawangi dan
sekitarnya, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat), B.Sc. Thesis, Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
2004.
[17] M. Sutedjo et al., Teknologi Konservasi Tanah dan Air, edisi kedua, PT. Abdi
Mahasatay, Jakarta, 1985.
[18] I. N. S. Jaya et al., Analisis Perubahan Tutupan Lahan Berdasarkan Citra
Satelit Spot 5 di Wilayah Kabupaten Bogor, Kerjasama antara Badan
53
[31] K. B. Suryolelono (2005, Mar. 01). Bencana Alam Tanah Longsor Perspektif
Ilmu Geoteknik.
Available: http://lib.ugm.ac.id/data/download/1079402588_bencana.doc.
[32] T. Fernandez, Methodology for landslide susceptibility mapping by means of a
GIS, application to the contraversia area (Granada, Spain), Nat Hazards, vol.
30, 2003, pp. 297-308.
[33] P. A. Burrough, Principle of Geographical Information Syistem for Land
Resources Assessment, Clarendon Press, Oxford, 1986
[34] Y. Hong et al., Use of satellite remote sensing data in the mapping of global
landslide susceptibility, Nat Hazards, 2006.
[35] R. Roslee et al., Integrated geospatial technology on landslide susceptibility
analysis in Kota Kinibalu area, Sabah, Malaysia, Map Malaysia, 2010, pp.1-18
[36] Subhan, Identifikasi dan Penentuan Faktor-faktor Utama Penyebab Tanah
Longsor di Kabupaten Garut, Jawa Barat, M.Sc, Thesis, Sekolah Pasca
Sarjana.Institut Pertanian Bogor, 2006.
[37] F. Guzzetti et al., Landslide hazard evaluation: a review of current techniques
and their application in a multi-scale study, Central Italy, Geomorphology, vol.
31, 1999, pp. 181-216
[38] L. Ayalew et al., Landslide susceptibility mapping using GIS-based weighted
linear combination, the case in Tsugawa area of Agano River, Niigata
Prefecture, Japan, Landslide, 2004, ch. 1, pp. 73-81.
[39] J. C. Davis, Statistics and data analysis in geology, John Wiley & Sons, New
York, 1986.
[40] N. Caine. The rainfall intensity-duration control of shallow landslide and
debris flows, Geografiska Annaler, vol. 62A, 1980, pp. 23-27.
[41] M.C. Larsen and A. Simon, A rainfall intensity-duration threshold for
landslides in a humid-tropical environtment, Puerto Rico, Geografiska
Annaler, vol. 75A, 1993, pp. 13-23.
55