Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Erythematosus)
Download ASKEP DISINI atau klik download link:
http://www.ziddu.com/download/16469146/askepSLE.docx.html
BAB I
PENDAHULUAN
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus
Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang
per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti
bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-
kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006).
Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun
bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE,
penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di
Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39
kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini
pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000
populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006). Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE
secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di
Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data
morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang
dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis,
dan low back pain.
Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh
manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE
dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh
karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk
penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk
penderita maupun keluarganya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
SLE (Systemic Lupus Erythematosus) merupakan penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
2.2 Epidemiologi
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 : 1.
Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat. Penyakit SLE
juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 64 tahun. Meskipun begitu, penyakit ini
dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002).
Prevalensi SLE berbeda beda untuk tiap etnis yaitu etnis Afrika Amerika mempunyai
prevalensi sebesar 1 kasus per 2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per
100.000 populasi terjadi di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di
New Zealand, terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per
100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000 populasi (Bartels,
2006).
2.3 Etiologi
a. Genetik
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative)
yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak
gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin
(Albar, 2003) .
b. Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah
tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat
tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing
oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk
menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
c. Makanan
Seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino L-cannavine dapat
mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan SLE (Delafuente,
2002).
2.4 Klasifikasi
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic
lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
a. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,
lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit
secara menetap (Hahn, 2005).
2.5 Patofisiologi
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,
peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi
autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B
disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-
bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam
yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau
berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs
menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk
autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan
bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Epstein, 1998).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi
mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel
B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang
diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-
mediated immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan
hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan
ekspresi sel T (Mok dan Lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan
fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-
antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun
(Silvia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada
sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan
menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+
(supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B
terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi
terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998).
Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T
dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum
disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi
(Mok and Lau, 2003). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu
jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas (Albar, 2003) melalui 3 mekanisme
yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan
dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi
tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan,
komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan
dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap
kerusakan jaringan (Epstein, 1998).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,
gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada
limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1
dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor
FcRIIA dan FcRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen
C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap
sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang
menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus
koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis
sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel
limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat
mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi
sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada
saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP,
SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor
membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor V3, CD36,
CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan
dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcR yang akan
menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag,
pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-
2 (Bijl et al., 2001).
WOC
infeksi Hormonal Lingkungan Obat-Obatan
Estrogen prokainamid)
Perub struk.
DNA memperlambat
asetilasi obat
SLE
Darah di retina
MK: Resiko
cidera efusi plura nyeri dada napas pendek
MK: Gg
kognitif MK: Gg pola napas MK: Gg rasa nyaman (nyeri)
Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada
penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan
kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang
lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun
dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama lupus
glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang tenang (dorman).
Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe
dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang
menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik
untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada
penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar
dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen
yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana
and Pagana, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong dalam
mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa
eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat
timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi cakram
terjadi pada 10% 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis eritema
periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis, miokarditis, gangguan
katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs.
Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi,
kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga
dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi:
Pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan
batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi.
Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain
yang sering timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis,
perforasi usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan
sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga
timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada
sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat
mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak
memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien dan harus
diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai dengan
pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar yang
memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan (VIII, IX); adanya
antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan darah sehingga perdarahan terjadi
terus-menerus (Hahn, 2005).
Pada wanita dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal setelah
melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau kelahiran prematur.
Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi yang disebabkan kehamilan juga dapat
memperparah penyakitnya (Delafuente, 2002).
Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari tingginya serum kreatinin atau
adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut
WHO, lupus nefritis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya
yaitu kelas I (normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal proliferative),
kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous glomerulonephritis). Selama
perjalanan penyakit pasien dapat mengalami progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain.
Pada pasien dengan lupus nefritis terutama ras Afrika Amerika dapat terjadi peningkatan
serum kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi, dan sindrom
nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
2.9 Komplikasi
Gejala klinis dan perjalanan pada SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak
disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan
gejala satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem lain. Pada tipe
menahun dimana terdapat remisi dan eksaserbasi, remisinya mungkin berlangsung bertahun-
tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan
sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan
dan trauma fisik/ psikis.
Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise,
kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, iritabilitas, yang paling menonjol
adalah demam kadang-kadang disertai menggigil, kerusakan organ internal.
Pemeriksaan khusus
Biopsi ginjal
Biopsi kulit
Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal
junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).
Evaluasi Diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihan serta penurunan berat
badan dan kemungkinan pula artritis, peuritis dan perikarditis. Pemeriksaan serum : anemia
sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leukopenia dan antibodi antinukleus
yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mendukung tapi tidak memastikan diagnosis.
b. Terapi
1. Obat-obatan non-steroidal anti inflammatory, seperti ibuprofen (advil & motrin), naproxen,
naprosyn (aleve), clinoril, feldene, voltaren membantu mengurangi peradangan dan sakit pada
otot-otot, sendi-sendi, dan jaringan-jaringan lain.
3. Obat-obatan anti malaria sangat efektif untuk persendian yang sakit, luka kulit dan borok di
dalam hidung atau mulut, dan gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan. Obat anti
malaria yang sering diberikan adalah plaquonil (hydroxichloroquine). Efek-efek sampingannya
meliputi diare, gangguan perut, dan perubahan-perubahan pigmen mata. Perubahan-perubahan
pigmen mata adalah jarang, namun memerlukan pengawasan (monitoring), dan mengurangi
secara signifikan frekuensi dari gumpalan-gumpalan darah abnormal pada pasien-pasien
dengan SLE sistemik.
4. Immunosuppressants/ chemotherapy. Obat ini untuk menyetop over aktifitas sistem kekebalan
dan juga membantu membatasi kerusakan yang terjadi dan mengembalikan fungsi organ.
(lupus bukan sejenis cancer) disebut obat-obat cytotoxic. Obat-obat peneken imunitas
digunakan untuk merawat pasien-pasien dengan manisfestasi-manifestasi yang lebih berat dari
SLE dengan kerusakan pada organ-organ internal. Contoh-contoh dari obat-obat peneken
kekebalan termasuk methotrexate (Rheumatrex, Trexall), azathioprine (Imuran),
cyclophosphamide (Cytoxan), chlorambucil (Leukeran), dan cyclosporine (Sandimmune).
Semua obat-obat peneken kekebalan dapat menekan secara serius jumlah sel darah dan
meningkatkan risiko infeksi dan perdarahan. Efek-efek sampingan lainnya adalah khas untuk
setiap obat. Contohnya, Rheumatrex dapat menyebabkan keracunan hati, sedangkan
Sandimmune dapat menggangu fungsi ginjal.
6. Pada pertemuan National Rheumatology tahun 2007, ada suatu makalah yang disajikan
menyarankan bahwa tambahan makanan dari minyak ikan omega-3 dalam dosis rendah dapat
membantu pasien-pasien lupus dengan mengurangi aktivitas penyakit dan kemungkinan
mengurangi risiko penyakit jantung.
3) Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
namun secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
c. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan :
1) Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
2) Nyeri berhubungan dengan inflamasi
NOC
Control nyeri p. 326
Defenisi: perilaku individu dalam mengontrol nyeri.
Indicator:
Mengakui factor penyebab
Mengetahui nyeri
Menggunakan obat analgesic
Menjelaskan gejala nyeri
Melaporkan control nyeri yang telah dilakukan
NIC
Pain management (Manajemen nyeri) p. 412
Aktivitas:
o Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan factor presipitasi
o Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
o Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien
o Kaji budaya yang mempengaruhi respion nyeri
o Determinasi akibat nyeri terhadap kualitas hidup
o Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
o Control ruangan yang dapat mempengaruhi nyeri
o Kurangi factor presipitasi nyeri
o Pilih dan lakukan penanganan nyeri
o Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri
o Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
o Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
o Evaluasi keefektifan control nyeri
o Tingkatkan istirahat
o Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
o Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
NANDA
Gangguan integritas kulit b.d penumpukan kompleks imun, ketidakseimbangan nutrisi.
Defenisi: perubahn epidermis dan dermis
Batasan karakteristik:
Gangguan lapisan kulit
Gangguan penampilan kulit
Inflasi struktur tubuh
NOC
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa p. 427
Defenisi : keutuhan struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane mukosa.
Indicator:
Temperature jaringan dalam batas normal
Sensasi
Pigmentasi
Tekstur
Lesi jaringan
Perfusi jaringan
Keutuhan kulit
NIC
Perawatan kulit p. 512
Defenisi: mengumpulkan dan menganalisis data pasien dalam memelihara integritas kulit dan
membrane mukosa.
Aktivitas:
o Mengobservasi warna, panas, pembengkakan,tekstur, dan edema ekstremitas
o Menginspeksi kulit dan membrane mukosa apakah kemerahan atau panas tinggi
o Memonitoring area kulit yang kemerahan dan mengalami gangguan
o Memonitor kulit dan membrane mukosa terhadap perubahan warna dan memar
o Monitor warna kulit
o Monitor suhu kulit
BAB III
PENUTUP
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya
perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah
yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun
terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu
sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh
yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak
sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut,
anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions Classification (NIC). St. Louis
:Mosby Year-Book.
Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis :Mosby Year-Book
Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi
10.Jakarta:EGC
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta.
EGC
Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah : Brunner
Suddarth, Vol. 2. EGC : Jakarta.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2009-2011,
NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd