Sie sind auf Seite 1von 32

Related Links

Search Encyclopedia: List of Topics Print This Page


Request an
Appointment
Online or call
< back 1-800-789-
PENN (7366)
Myelin and nerve structure

Myelin is the layer that forms around nerve cells. Its purpose is to speed the
transmission of impulses along nerve cells.

Review Date: 9/26/2011


Reviewed By: David Zieve, MD, MHA, Medical Director, A.D.A.M., Inc. Luc Jasmin,
MD, PhD, Department of Neurosurgery at Cedars-Sinai Medical Center, Los Angeles,
and Department of Anatomy at UCSF, San Francisco, CA. Review provided by
VeriMed Healthcare Network.
A.D.A.M., Inc. is accredited by URAC, also known as the American Accreditation HealthCare Commission
(www.urac.org). URAC's accreditation program is the first of its kind, requiring compliance with 53 standards
of quality and accountability, verified by independent audit. A.D.A.M. is among the first to achieve this
important distinction for online health information and services. Learn more about A.D.A.M.'s editorial process.
A.D.A.M. is also a founding member of Hi-Ethics (www.hiethics.com) and subscribes to the principles of the
Health on the Net Foundation (www.hon.ch).

The information provided herein should not be used during any medical emergency or
for the diagnosis or treatment of any medical condition. A licensed physician should be
consulted for diagnosis and treatment of any and all medical conditions. Call 911 for all
medical emergencies. Links to other sites are provided for information only -- they do
not constitute endorsements of those other sites. Copyright 2002 A.D.A.M., Inc. Any
duplication or distribution of the information contained herein is strictly prohibited.
Sistem saraf
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Diagram sistem saraf manusia

Sistem saraf adalah sistem organ pada hewan yang terdiri atas serabut saraf yang tersusun
atas sel-sel saraf yang saling terhubung dan esensial untuk persepsi sensoris indrawi, aktivitas
motorik volunter dan involunter organ atau jaringan tubuh, dan homeostasis berbagai proses
fisiologis tubuh. Sistem saraf merupakan jaringan paling rumit dan paling penting karena
terdiri dari jutaan sel saraf (neuron) yang saling terhubung dan vital untuk perkembangan
bahasa, pikiran dan ingatan. Satuan kerja utama dalam sistem saraf adalah neuron yang diikat
oleh sel-sel glia.

Sistem saraf pada vertebrata secara umum dibagi menjadi dua, yaitu sistem saraf pusat (SSP)
dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SST
utamanya terdiri dari saraf, yang merupakan serat panjang yang menghubungkan SSP ke
setiap bagian dari tubuh. SST meliputi saraf motorik, memediasi pergerakan pergerakan
volunter (disadari), sistem saraf otonom, meliputi sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis dan fungsi regulasi (pengaturan) involunter (tanpa disadari) dan sistem saraf
enterik (pencernaan), sebuah bagian yang semi-bebas dari sistem saraf yang fungsinya adalah
untuk mengontrol sistem pencernaan.

Pada tingkatan seluler, sistem saraf didefinisikan dengan keberadaan jenis sel khusus, yang
disebut neuron, yang juga dikenal sebagai sel saraf. Neuron memiliki struktur khusus yang
mengijinkan neuron untuk mengirim sinyal secara cepat dan presisi ke sel lain. Neuron
mengirimkan sinyal dalam bentuk gelombang elektrokimia yang berjalan sepanjang serabut
tipis yang disebut akson, yang mana akan menyebabkan bahan kimia yang disebut
neurotransmitter dilepaskan di pertautan yang dinamakan sinaps. Sebuah sel yang menerima
sinyal sinaptik dari sebuah neuron dapat tereksitasi, terhambat, atau termodulasi. Hubungan
antara neuron membentuk sirkuit neural yang mengenerasikan persepsi organisme dari dunia
dan menentukan tingkah lakunya. Bersamaan dengan neuron, sistem saraf mengangung sel
khusus lain yang dinamakan sel glia (atau sederhananya glia), yang menyediakan dukungan
struktural dan metabolik.

Sistem saraf ditemukan pada kebanyakan hewan multiseluler, tapi bervariasi dalam
kompleksitas.[1] Hewan multiselular yang tidak memiliki sistem saraf sama sekali adalah
porifera, placozoa dan mesozoa, yang memiliki rancangan tubuh sangat sederhana. Sistem
saraf ctenophora dan cnidaria (contohnya, anemon, hidra, koral dan ubur-ubur) terdiri dari
jaringan saraf difus. Semua jenis hewan lain, terkecuali beberapa jenis cacing, memiliki
sistem saraf yang meliputi otak, sebuah central cord (atau 2 cords berjalan paralel), dan saraf
yang beradiasi dari otak dan central cord. Ukuran dari sistem sarad bervariasi dari beberapa
ratus sel dalam cacing tersederhana, sampai pada tingkatan 100 triliun sel pada manusia.

Pada tingkatan paling sederhana, fungsi sistem saraf adalah untuk mengirimkan sinyal dari 1
sel ke sel lain, atau dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh lain. Sistem saraf rawan terhadap
malfungsi dalam berbagai cara, sebagai hasil cacat genetik, kerusakan fisik akibat trauma
atau racun, infeksi, atau sederhananya penuaan. Kekhususan penelitian medis di bidang
neurologi mempelajari penyebab malfungsi sistem saraf, dan mencari intervensi yang dapat
mencegahnya atau memperbaikinya. Dalam sistem saraf perifer/tepi (SST), masalah yang
paling sering terjadi adalah kegagalan konduksi saraf, yang mana dapat disebabkan oleh
berbagai macam penyebab termasuk neuropati diabetik dan kelainan demyelinasi seperti
sklerosis ganda dan sklerosis lateral amiotrofik.

Ilmu yang memfokuskan penelitian/studi tentang sistem saraf adalah neurosains.

Daftar isi

1 Struktur
o 1.1 Sel
1.1.1 Neuron
1.1.2 Sel Glia
o 1.2 Anatomi pada vertebrata
2 Anatomi perbandingan dan evolusi
o 2.1 Pendahulu saraf dalam porifera
o 2.2 Radiata
o 2.3 Bilateria
o 2.4 Artropoda
o 2.5 Neuron "Teridentifkasi"
3 Fungsi
o 3.1 Neuron dan sinaps
o 3.2 Sistem dan sirkuit saraf
3.2.1 Sirkuit refleks dan rangsang stimulus lainnya
3.2.2 Penghasilan pola intrinsik
4 Penghantaran rangsang
5 Perkembangan
6 Patologi
7 Referensi
8 Pranala luar

Struktur

Nama sistem saraf berasal dari "saraf", yang mana merupakan bundel silinder serat yang
keluar dari otak dan central cord, dan bercabang-cabang untuk menginervasi setiap bagian
tubuh.[2] Saraf cukup besar untuk dikenali oleh orang Mesir, Yunani dan Romawi Kuno,[3]
tapi struktur internalnya tidaklah dimengerti sampai dimungkinkannya pengujian lewat
mikroskop.[4] Sebuah pemeriksaan mikroskopik menunjukkan bahwa saraf utamanya terdiri
dari adalah akson dari neuron, bersamaan dengan berbagai membran (selubung) yang
membungkus saraf dan memisahkan mereka menjadi fasikel. Neuron yang membangkitkan
saraf tidak berada sepenuhnya di dalam saraf itu sendiri; badan sel mereka berada di dalam
otak, central cord, atau ganglia perifer (tepi).[2]

Seluruh hewan yang lebih tinggi tingkatannya daripada porifera memiliki sistem saraf.
Namun, bahkan porifera, hewan uniselular, dan non-hewan seperti jamur lendir memiliki
mekanisme pensinyalan sel ke sel yang merupakan pendahulu neuron.[5] Dalam hewan
simetris radial seperti ubur-ubur dan hidra, sistem saraf terdiri dari jaringan difus sel
terisolasi.[6] Dalam hewan bilateria, yang terdiri dari kebanyakan mayoritas spesies yang ada,
sistem saraf memiliki stuktur umum yang berasal awal periode Kambrium, lebih dari 500 juta
tahun yang lalu.[7]

Sel

Sistem saraf memiliki 2 kategori atau jenis sel: neuron dan sel glia.

Neuron
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Neuron

Sel saraf didefinisikan oleh keberadaan sebuah jenis sel khusus neuron (kadang-kadang
disebut "neurone" atau "sel saraf").[2] Neuron dapat dibedakan dari sel lain dalam sejumlah
cara, tapi sifat yang paling mendasar adalah bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan sel
lain melalui sinaps, yaitu pertautan membran-ke-membran yang mengandung mesin
molekular dan mengizinkan transmisi sinyal cepat, baik elektrik maupun kimiawi.[2] Setiap
neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari
badan sel keluar dua macam serabut saraf, yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi
mengirimkan impuls ke badan sel saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari
badan sel ke sel saraf yang lain atau ke jaringan lain. Akson biasanya sangat panjang.
Sebaliknya, dendrit pendek. Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan minimal satu
dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar akson terdapat lapisan
lemak disebut mielin yang dibentuk oleh sel Schwann yang menempel pada akson. Sel
Schwann merupakan sel glia utama pada sistem saraf perifer yang berfungsi membentuk
selubung mielin. Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari
akson yang tidak terbungkus mielin disebut nodus Ranvier, yang dapat mempercepat
penghantaran impuls.

Bahkan dalam sistem saraf spesies tunggal seperti manusia, terdapat beratus-ratus jenis
neuron yang berbeda, dengan bentuk, morfologi, dan fungsi yang beragam.[8] Ragam tersebut
meliputi neuron sensoris yang mentransmutasikan stimuli fisik seperti cahaya dan suara
menjadi sinyal saraf, dan neuron motorik yang mentransmutasikan sinyal saraf menjadi
aktivasi otot atau kelenjar; namun dalam kebanyakan spesies kebanyakan neuron menerima
seluruh masukan mereka dari neuron lain dan mengirim keluaran mereka pada neuron lain.[2]

Sel Glia

Sel glia (berasal dari bahasa Yunani yang berarti "lem") adalah sel non-neuron yang
menyediakan dukungan dan nutrisi, mempertahankan homeostasis, membentuk mielin, dan
berpartisipasi dalam transmisi sinyal dalam sistem saraf.[9] Dalam otak manusia, diperkirakan
bahwa jumlah total glia kasarnya hampir setara dengan jumlah neuron, walaupun
perbandingannya bervariasi dalam daerah otak yang berbeda.[10] Di antara fungsi paling
penting dari sel glia adalah untuk mendukung neuron dan menahan mereka di tempatnya;
untuk menyediakan nutrisi ke neuron; untuk insulasi neuron secara elektrik; untuk
menghancurkan patogen dan menghilangkan neuron mati; dan untuk menyediakan petunjuk
pengarahan akson dari neuron ke sasarannya.[9] Sebuah jenis sel glia penting (oligodendrosit
dalam susunan saraf pusat, dan sel schwann dalam sistem saraf tepi) menggenerasikan
lapisan sebuah substansi lemak yang disebut mielin yang membungkus akson dan
menyediakan insulasi elektrik yang mengijinkan mereka untuk mentransmisikan potensial
aksi lebih cepat dan lebih efisien.

Macam-macam neuroglia di antaranya adalah astrosit, oligodendrosit,mikroglia, dan


makroglia .

Anatomi pada vertebrata

Diagram yang menunjukkan pembagian utama dari sistem saraf vertebrata.

Sistem saraf dari hewan vertebrata (termasuk manusia) dibagi menjadi sistem saraf pusat
(SSP) dan sistem saraf tepi (SST).[11]
Sistem saraf pusat (SSP) adalah bagian terbesar, dan termasuk otak dan sumsum tulang
belakang.[11] Kavitas tulang belakang mengandung sumsum tulang belakang, sementara
kepala mengandung otak. SSP tertutup dan dilindungi oleh meninges, sebuah sistem
membran 3 lapis, termasuk lapisan luar berkulit yang kuat, yang disebut dura mater. Otak
juga dilindungi oleh tengkorak, dan sumsum tulang belakang oleh vertebra (tulang belakang).

Sistem saraf tepi (SST) adalah terminologi/istilah kolektif untuk struktur sistem saraf yang
tidak berada di dalam SSP.[12] Kebanyakan mayoritas bundel akson disebut saraf yang
dipertimbangkan masuk ke dalam SST, bahkan ketika badan sel dari neuron berada di dalam
otak atau spinal cord. SST dibagi menjadi bagian somatik dan viseral. Bagian somatic terdiri
dari saraf yang menginervasi kulit, sendi dan otot. Badan sel neuron sensoris somatik berada
di 'dorsal root ganglion sumsum tulang belakang. Bagian viseral, juga dikenal sebagai sistem
saraf otonom, mengandung neuron yang menginervasi organ dalam, pembuluh darah, dan
kelenjar. Sistem saraf otonom sendiri terdiri dari 2 bagian sistem saraf simpatis dan sistem
saraf parasimpatis. Beberapa pengarang juga memasukkan neuron sensoris yang badan selnya
ada di perifer (untuk indra seperti pendengaran) sebagai bagan dari SST; namun yang lain
mengabaikannya.[13]

Potongan horisontal kepala perempuan dewasa yang menunjukkan kulit, tengkorak, dan otak
dengan grey matter (coklat dalam gambar ini) dan white matter yang berada di bawahnya.

Sistem saraf vertebrata juga dapat dibagi menjadi daerah yang disebut grey matter ("gray
matter" dalam ejaan Amerika) dan white matter.[14] Grey matter (yang hanya berwarna abu-
abu bila disimpan, dan berwarna merah muda (pink) atau coklat muda dalam jaringan yang
hidup) mengandung proporsi tinggi badan sel neuron. White matter komposisi utamanya
adalah akson bermielin, dan mengambil warnanya dari mielin. White matter meliputi seluruh
saraf dan kebanyakan dari bagian dalam otak dan sumsum tulang belakang. Grey matter
ditemukan dalam kluster neuron dalam otak dan sumsum tulang belakang, dan dalam lapisan
kortikal yang menggarisi permukaan mereka. Ada perjanjian anatomis bahwa kluster neuron
dalam otak atau sumsum tulang belakang disebut nukleus, sementara sebuah kluster neuron
di perifer disebut ganglion.[15] Namun ada beberapa perkecualian terhadap aturan ini, yang
tercatat termasuk bagian dari otak depan yang disebut basal ganglia.[16]
Anatomi perbandingan dan evolusi

Pendahulu saraf dalam porifera

Porifera tidak memiliki sel yang berhubungan dengan satu sama lain dengan pertautan
sinaptik, yaitu, tidak ada neuron, dan oleh karena itu tidak ada sistem saraf. Namun, mereka
memiliki homolog dari banyak gen yang memainkan peran penting dalam fungsi sinaptik.
Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa sel porifera mengekspresikan sekelompok
protein yang berkelompok bersama membentuk struktur yang mirip dengan sebuah densitas
postsinaptik (bagian sinaps yang menerima sinyal).[5] Namun, fungsi struktur ini saat ini
masih belum jelas. Walaupun sel porifera tidak menunjukkan transmisi sinaptik, mereka
berkomunikasi dengan satu sama lain melalui gelombang kalsium dan impuls lain, yang
memediasi beberapa aksi sederhana seperti kontraksi seluruh tubuh.[17]

Radiata

Ubur-ubur, jelly sisir, dan hewan lain yang berhubungan memiliki jaringan saraf difus
daripada sebuah sistem saraf pusat. Dalam kebanyakan ubur-ubur, jaringan saraf tersebar
kurang lebih merata di seluruh tubuh; dalam jelly sisir jaringan saraf terkonsentrasi dekat
dengan mulut. Jaringan saraf terdiri dari neuron sensoris, yang mengambil sinyal kimia,
taktil, dan visual; neuron motorik, yang dapat mengaktivasi kontraksi dinding tubuh; dan
neuron intermediat, yang mendeteksi pola aktivitas dalam neuron sensoris, dan dalam
respons, mengirim sinyal ke kelompok neuron motorik. Dalam beberapa kasus, kelompok
neuron sedang berkelompok menjadi ganglia yg berlainan.[6]

Perkembangan sistem saraf dalam radiata relatif tidak terstruktur. Tidak seperti bilateria,
radiata hanya memiliki 2 lapisan sel primordial, endoderm dan ektoderm. Neuron
digenerasikan dari sebuah sel khusus dari sel pendahulu ektodermal, yang juga bertindak
sebagai pendahulu untuk setiap jenis sel ektodermal lain.[18]

Bilateria

Kebanyakan hewan yang ada adalah bilateria, yang artinya hewan dengan sisi kiri dan kanan
yang kurang lebih simetris. Semua bilateria diperkirakan diturunkan dari nenek moyang
bersama seperti cacing yang muncul pada periode Kambrium, 550600 juta tahun yang
lalu.[7] Bentuk tubuh bilateria dasar adalah sebuah tuba dengan kavitas usus yang berjalan
dari mulut ke anus, dan sebuah nerve cord dengan perbesaran (sebuah "ganglion") untuk
setiap segmen tubuh, dengan kekhususan sebuah ganglion besar di depan, yang disebut
"otak".
Daerah permukaan tubuh manusia yang diinervasi oleh setiap saraf tulang belakang.

Bahkan mamalia, termasuk manusia, menunjukkan rencana tubuh bilateria tersegmentasi


pada tingkatan sistem saraf. Sumsum tulang belakang mengandung serangkaian segmental
ganglia, yang masing masing membangkitkan saraf motorik dan sensorik yang menginervasi
bagian permukaan tubuh dan otot-otot yang membawahinya. Pada anggota tubuh, tata letak
pola inervasi kompleks, tapi pada bagian ini muncul serangkaian pita sempit. Tiga segmen
teratas dimiliki oleh otak, membangkitkan otak depan, otak tengah, dan otak belakang.[19]

Bilateria dapat terbagi, berdasarkan peristiwa yang dapat terjadi sangat awal dalam
perkembangan embrionik, menjadi 2 kelompok (superfila) yang disebut protostomia dan
deuterostomia.[20] Deuterostomia meliputi vertebrata sebagaimana echinodermata,
hemichordata, dan xenoturbella.[21] Protostomia, kelompok yang lebih beragam, meliputi
artropoda, moluska, dan berbagai jenis cacing. Ada perbedaan mendasar di antara 2
kelompok dalam penempatan sistem saraf di dalam tubuh: protostomia memiliki sebuah
nerve cord pada bagian sisi ventral (biasanya di bawah), sementara dalam deuterostomia
nerve cord biasanya ada di sisi dorsal (biasanya atas). Nyatanya, berbagai aspek tubuh
terbalik pada kedua kelompok, termasuk pola ekspresi beberapa gen menunjukkan gradien
dorsal-ke-ventral. Kebanyakan anatomis sekarang mempertimbangkan badan protostomes
dan deuterostomes "terbalik" satu sama lain, sebuah hipotesis yang pertama kali diajukan
oleh Geoffroy Saint-Hilaire untuk serangga dalam perbandingan dengan vertebrata. Jadi
serangga, contohnya, memiliki nerve cord yang berjalan sepanjang garis tengah ventral
tubuh, sementara seluruh vertebrata memiliki sumsum tulang belakang yang berjalan
sepanjang garis tengah dorsal.[22]

Artropoda

Anatomi internal seekor laba-laba, menunjukkan sistem saraf dalam warna biru .
Artropoda, seperti serangga dan krustasea, memiliki sebuah sistem saraf terbuat dari
serangkaian ganglia, terhubung oleh ventral nerve cord yang terdiri dari 2 koneksi paralel di
sepanjang perut..[23] Secara umum, setiap segmen tubuh memiliki 1 ganglion pada setiap sisi,
walaupun beberapa ganglia berfungsi membentuk otak dan ganglia besar lain. Segmen kepala
mengandung otak, juga dikenal sebagai supraesophageal ganglion. Dalam sistem saraf
serangga, otak secara anatomis dibagi menjadi protocerebrum, deutocerebrum, dan
tritocerebrum. Langsung di belakang otak adalah subesophageal ganglion, yang terbuat dari
3 pasangan ganglia yang berfusi. Ini mengontrol bagian mulut, kelenjar ludah dan otot
tertentu. Banyak artropoda memiliki organ sensoris yang berkembang baik, termasuk mata
untuk penglihatan dan antena untuk penciuman bau dan feromon. Informasi sensoris dari
organ-organ ini diproses oleh otak.

Dalam serangga, banyak neuron memiliki badan sel yang bertempat di ujung otak dan secara
elektris pasif badan sel bertugas hanya untuk menyediakan dukungan metabolik dan tidak
berpartisipasi dalam pensinyalan. Sebuah serat protoplasmik dari badan sel dan bercabang,
dengan beberapa bagian mentransmisikan sinyal dan bagian lain menerima sinyal. Oleh
karena itu, kebanyakan bagian dari otak serangga memiliki sel pasif badan sel yang diatur
sepanjang periferal, sementara pemrosesan sinyal neural berlangsung dalam sebuah serat
protoplasmik disebut neuropil, di bagian dalam.[24]

Neuron "Teridentifkasi"

Sebuah neuron disebut teridentifikasi jika ia memiliki sifat yang membedakannya dari setiap
neuron lain dalam hewan yang samasifat seperti lokasi, neurotransmitter, pola ekspresi
gen, dan keterhubungan dan jika setiap individu organisme yang berasal dari spesies yang
sama memiliki satu-satunya neuron dengan set sifat yang sama.[25] Dalam sistem saraf
vertebrata sangat sedikit neuron yang "teridentifikasi" dalam pengertian ini dalam
manusia, tidak ada tapi dalam sistem saraf yang lebih sederhana, beberapa atau semua
neuron mungkin jadi akhirnya unik. Dalam cacing bulat C. elegans yang sistem sarafnya
paling banyak digambarkan, setiap neuron dalam tubuh secara unik teridentifikasi, dengan
lokasi yang sama dan koneksi yang sama dalam setiap individu cacing. Satu akibat yang
tercatat dari fakta ini adalah bahwa bentuk sistem saraf C. elegans secara utuh dispesifikkan
oleh genom, dengan tidak adanya plasisitas yang tergantung pada pengalaman.[26]

Otak dari kebanyakan moluska dan serangga juga mengandung sejumlah neuron
teridentifikasi substansial.[25] Dalam vertebrata, neuron teridentifikasi yang paling dikenal
adalah sel Mauthner ikan.[27] Setiap ikan memiliki 2 sel Mauthner, yang terletak di bagian
bawah dari batang otak, 1 di sisi kiri dan 1 di sisi kanan. Setiap sel Mauthner memiliki akson
yang menyebrang, menginervasi neuron pada tingkatan otak yang sama dan kemudian
berjalan turun sepanjang sumsum tulang belakang, membentuk berbagai koneksi di sepanjang
jalurnya. Sinaps digenerasikan oleh sebuah sel Mauthner yang sangat kuat hingga sebuah
potensi aksi tunggal dapat membangkitkan respons tingkah laku mayor: dalam waktu
millidetik ikan mengkurvakan tubuhnya menjadi bentuk C, kemudian meluruskan diri, oleh
karena itu meluncur secara cepat ke depan. Secara fungsional ini adalah respons melarikan
diri cepat, dipicu paling mudah oleh sebuah gelombang suara kuat atau gelombang tekanan
yang menekan organ garis lateral (sisi) ikan. Sel Mauthner bukanlah satu-satunya sel neuron
teridentifikasi pada ikan, masih ada lebih dari 20 jenis, termasuk pasangan "analog sel
Mauthner " dalam setiap inti tulang belakang segmental. Walaupun sebuah sel Mauthner
mampu membangkitkan respons melarikan diri secara individual, dalam konteks tingkah laku
biasa dari jenis sel lain biasanya berkontribusi dalam membentuk amplitudo dan arah
respons.

Sel Mauthner telah digambarkan sebagai neuron perintah. Sebuah neuron pemberi perintah
adalah tipe khusus dari neuron teridentifikasi, didefinisikan sebagai sebuah neuron yang
mampu mengendalikan sebuah tingkah laku spesifik secara individual.[28] Neuron seperti ini
tampaknya paling umum dalam sistem melarikan diri dari berbagai spesies akson raksasa
cumi-cumi dan sinaps raksasa cumi-cumi, yang digunakan untuk percobaan dalam
neurofisiologi karena ukurannya yang sangat besar, berpartisipasi dalam sirkuit pelarian diri
yang cepat. Namun, konsep sebuah neuron pemberi perintah masih kontroversial karena
penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa beberapa neuron yang awalnya tampak cocok
dengan deskripsi tersebut ternyata hanya mampu menimbulkan respons dalam keadaan yang
terbatas.[29]

Fungsi

Pada tingkatan paling dasar, fungsi sistem saraf adalah untuk mengirimkan sinyal dari 1 sel
ke sel lain, atau dari 1 bagian tubuh ke bagian tubuh lain. Ada berbagai cara sebuah sel dapat
mengirimkan sinyal ke sel lain. Satu cara adalah dengan melepaskan bahan kimia yang
disebut hormon ke dalam sirkulasi internal, sehingga mereka dapat berdifusi tempat-tempat
yang jauh. Berkebalikan dnegan modus pensinyalan "pemancaran", sistem saraf menyediakan
sinyal dari tempat ke tempatneuron memproyeksikan akson-akson mereka ke daerah
sasaran spesifik dan membentuk koneksi sinaptik dengan sel sasaran spesifik.[30] Oleh sebab
itu, pensinyalan neural memiliki spesifitas yang jauh lebih tinggi tingkatannya daripada
pensinyalan hormonal. Hal tersebut juga lebih cepat: sinyal saraf tercepat berjalan pada
kecepatan yang melebihi 100 meter per detik.

Pada tingkatan lebih terintegrasi, fungsi primer sistem saraf adalah untuk mengontrol
tubuh.[2] Hal ini dilakukan dengan cara mengambil informasi dari lingkungan dengan
menggunakan reseptor sensoris, mengirimkan sinyal yang mengodekan informasi ini ke
dalam sistem saraf pusat, memproses informasi untuk menentukan sebuath respons yang
tepat, dan mengirim sinyal keluaran ke otot atau kelenjar untuk mengaktivasi respons.
Evolusi sebuah sistem saraf kompleks telah memungkinkan berbagai spesies hewan untuk
memiliki kemampuan persepsi yang lebih maju seperti pandangan, interaksi sosial yang
kompleks, koordinasi sistem organ yang cepat, dan pemrosesan sinyal yang
berkesinambungan secara terintegrasi. Pada manusia, kecanggihan sistem saraf membuatnya
mungkin untuk memiliki bahasa, konsep representasi abstrak, transmisi budaya, dan banyak
fitur sosial yang tidak mungkin ada tanpa otak manusia.

Neuron dan sinaps


Elemen utama dalam transmisi sinaptik. Sebuah gelombang elektrokimia yang disebut potensial aksi
berjalan di sepanjang akson dari sebuah neuron. Ketika gelombang mencapai sebuah sinaps, ia akan
memicu pelepasan sejumlah kecil molekul neurotransmitter, yang berikatan dengan molekul
reseptor kimia yang terletak di membran sel sasaran.

Kebanyakan neuron mengirimkan sinyal melalui akson, walaupun beberapa jenis mampu
melakukan komunikasi dendrit ke dendrit. (faktanya, jenis-jenis neuron disebut sel amakrin
tidak memiliki akson, dan berkomunikasi hanya melalui dendrit mereka.) Sinyal neural
berpropagasi sepanjang sebuah akson dalam bentuk gelombang elektrokimia yang disebut
potensial aksi, yang menghasilkan sinyal sel ke sel di tempat terminal akson membentuk
kontak sinaptik dengan sel lain.[31]

Sinaps dapat berupa elektrik atau kimia. Sinaps elektrik membuat hubungan elektrik langsung
di antara neuron-neuron,[32] tetapi sinaps kimia lebih umum, dan lebih beragam dalam
fungsi.[33] Di sebuah sinaps kimia, sel mengirimkan sinyal yang disebut presinaptik, dan sel
yang menerima sinyal disebut postsinaptik. Baik presinaptik dan postsinaptik penuh dengan
mesin molekular yang membawa proses sinyal. Daerah presinaptik mengandung sejumlah
besar vessel bulat yang sangat kecil yang disebut vesikel sinaptik, dipenuhi oleh bahan-bahan
kimia neurotransmitter.[31] Ketika terminal presinaptik terstimulasi secara elektrik, sebuah
susunan molekul yang melekat pada membran teraktivasi, dan menyebabkan isi dari vesikel
dilepaskan ke dalam celah sempit di antara membran presinaptik dan postsinaptik, yang
disebut celah sinaptik (synaptic cleft). Neurotransmitter kemudian berikatan dengan reseptor
yang melekat pada membran postsinaptik, menyebabkan neurotransmiter masuk ke dalam
status teraktivasi.[33] Tergantung pada tipe reseptor, efek yang dihasilkan pada sel
postsinaptik mungkin eksitasi, penghambatan, atau modulasi dalam berbagai cara yang lebih
rumit. Contohnya, pelepasan neurotransmitter asetilkolin pada kontak sinaptik di antara
neuron motorik dan sebuah sel otot menginduksi kontraksi cepat dari sel otot.[34] Seluruh
proses transmisi sinaptik memerlukan hanya sebuah fraksi dari sebuah milidetik, walaupun
efek pada sel postsinaptik mungkin berlangsung lebih lama (bahkan tidak terbatas, dalam
kasus ketika sinyal sipatik mengarah pada informasi sebuah jejak ingatan).[8]

Secara harfiah ada beratus-ratus jenis sinaps. Faktanya, ada lebih dari seratus
neurotransmitter yang diketahui, dan banyak di antara mereka memiliki jenis reseptor
ganda.[35] Banyak sinaps menggunakan lebih dari 1 neurotransmittersebuah pengaturan
umum untuk sebuah sinaps adalah menggunakan sebuah molekul neurotransmiter kecil yang
bekerja cepat seperti glutamat atau GABA, sejalan dengan 1 atau lebih neurotransmiter
peptida yang memainkan peran modulatoris yang lebih lambat. Ahli saraf molekular biasanya
membagi reseptor menjadi 2 kelompok besar: kanal ion berpagar kimia (chemically gated ion
channels) dan sistem pengantar pesan kedua (second messenger system). Ketika sebuah kanal
ion berpagar kimia teraktivasi, kanal tersebut akan membentuk sebuah tempat untuk dapat
dilalui yang mengizinkan jenis ion tertentu yang spesifik untuk mengalir melalui membran.
Tergantung jenis ion, efek pada sel sasaran mungkin eksitasi atau penghambatan. Ketika
sebuah sistem pengantar pesan kedua teraktivasi, sistem ini akan memulai kaskade interaksi
molekular di dalam sel sasaran, yang pada akhirnya akan memproduksi berbagai macam efek
rumit/kompleks, seperti peningkatan atau penurunan sensitivitas sel terhadap stimuli, atau
bahkan mengubah transkripsi gen.

Menurut hukum yang disebut prinsip Dale, yang hanya memiliki beberapa pengecualian,
sebuah neuron melepaskan neurotransmiter yang sama pada semua sinapsnya.[36] Walaupun
demikian, bukan berarti bahwa sebuah neuron mengeluarkan efek yang sama pada semua
sasarannya, sebab efek sebuah sinaps tergantung tidak hanya pada neurotransmitter, tetapi
pada reseptor yang diaktivasinya.[33] Karena sasaran yang berbeda dapat (dan umumnya
memang) menggunakan berbagai jenis reseptor, hal ini memungkinkan neuron untuk
memiliki efek eksitatori pada 1 set sel sasaran, efek penghambatan pada yang lain, dan efek
modulasi rumit/kompleks pada yang lain. Walaupun demikian, 2 neurotransmitter yang
paling sering digunakan, glutamat dan GABA, masing-masing memiliki efek konsisten.
Glutamat memiliki beberapa jenis reseptor yang umum ada, tetapi semuanya adalah eksitatori
atau modulatori. Dengan cara yang sama, GABA memiliki jenis reseptor yang umum ada,
tetapi semuanya adalah penghambatan.[37] Karena konsistensi ini, sel glutamanergik kerapkali
disebut sebagai "neuron eksitatori", dan sel GABAergik sebagai "neuron penghambat". Ini
adalah penyimpangan terminologi reseptornyalah yang merupakan eksitatori dan
penghambat, bukan neuronnya tetapi hal ini umum terlihat bahkan dalam publikasi ilmiah.

Satu subset sinaps yang paling penting mampu membentuk jejak ingatan dengan cara
perubahan dalam kekuatan sinaptik tergantung aktivitas yang bertahan lama.[38] Ingatan
neural yang paling dikenal adalah sebuah proses yang disebut potensiasi jangka panjang
(long-term potentiation, disingkat LTP), yang beroperasi pada sinaps yang menggunakan
neurotransmitter glutamat yang bekerja pada sebuah jenis reseptor khusus yang dikenal
sebagai reseptor NMDA.[39] Reseptor NMDA memiliki sifat "assosiasi" : jika 2 sel terlibat
dalam sinaps yang terkavitasi keduanya pada kurang lebih waktu yang sama, sebuah kanal
terbuka sehingga mengizinkan kalsium untuk mengalir menuju sel sasaran.[40] Pemasukan
kalsium memicu sebuah kaskade pengantar pesan kedua yang pada akhirnya mengarah pada
peningkatan sejumlah reseptor glutamat dalam sel sasaran, sehingga meningkatkan kekuatan
efektif sinaps. Perubahan kekuatan ini dapat berlangsung beberapa minggu atau lebih
panjang. Sejak penemuan LTP pada tahun 1973, banyak jenis jejak ingatan sinaptik
ditemukan, termasuk peningkatan atau penurunan dalam kekuatan sinaptik yang diinduksi
oleh berbagai kondisi, dan berlangsung dalam berbagai periode yang beragam.[39]
Pembelajaran pahala (reward learning), contohnya, bergantung pada bentuk variasi dari LTP
yang dikondisikan pada sebuah ekstra masukan yang berasal dari jalur pensinyalan pahala
(reward-signalling pathway) menggunakan dopamin sebagai neurotransmitter.[41] Semua
bentuk modifikasi sinaptik ini, secara kolektif, menimbulkan neuroplastisitas, yaitu
kemampuan sebuah sistem saraf untuk beradaptasi pada variasi dalam lingkungan.

Sistem dan sirkuit saraf

Fungsi dasar neuronal mengirimkan sinyal kepada sel lain meliputi kemampuan neuron untuk
mengubah sinyal dengan yang lain. Jaringan kerja terbentuk dengan kelompok saling
terhubung dari neuron mampu menjalankan berbagai fungsi, termasuk fitur deteksi, generasi
pola, dan pengaturan waktu.[42] Nyatanya, sulit untuk menentukan batas proses jenis
informasi yang dapat dikerjakan oleh jaringan saraf: Warren McCulloch dan Walter Pitts
menunjukkan pada tahun 1943 bahwa bahkan jaringan saraf tiruan dibentuk dari sebuah
abstraksi matematika yang sangat disederhanakan mampu melakukan perhitungan
universal.[43] Dengan mempertimbangkan fakta bahwa neuron secara individual mampu
menggenerasikan pola aktivitas temporal kompleks secara bebas, rentang kemampuan sangat
mungkin ada bahkan untuk sekelompok kecil neuron di luar pengertian yang ada sekarang.[42]

Penggambaran jalur rasa sakit, dari Treatise of Man karya Ren Descartes.

Dalam sejarah, selama bertahun-tahun pandangan utama dalam fungsi sistem saraf adalah
penghubung stimulus-respons.[44] Dalam konsep ini, proses saraf dimulai dengan stimuli yang
mengaktifkan neuron sensoris, menghasilkan sinyal yang berpropagasi melalui serangkaian
hubungan dalam sumsum tulang belakang dan otak, mengaktifkan neuron motorik dan maka
menghasilkan respons seperti kontraksi otot. Descartes percaya bahwa semua tingkah laku
hewan, dan kebanyakan tingkah laku manusia, dapat dijelaskan dalam kerangka sirkuit
stimulus-respons, walaupun ia juga percaya bahwa fungsi kognitif yang lebih tinggi seperti
bahasa tidak mampu dijelaskan secara mekanis.[45] Charles Sherrington, dalam bukunya pada
tahun 1906 yang berjudul The Integrative Action of the Nervous System,[44] mengembangkan
konsep mekanisme stimulus-respons dengan cara yang lebih detail, dan Behaviorisme,
mazhab yang mendominasi psikologi sepanjang pertengahan abad ke-20, mencoba untuk
menjelaskan setiap aspek tingkah laku manusia dalam rangka stimulus-respons.[46]
Namun, penelitian elektrofisiologi yang dimulai pada awal abad 20 dan mencapai
produktivitasnya pada tahun 1940 menunjukkan bahwa sistem saraf mengandung berbagai
mekanisme untuk menghasilkan pola aktivitas secara intrinsik, tanpa memerlukan stimulus
eksternal.[47] Neuron-neuron ditemukan mampu memproduksi rangkaian potensial aksi
reguler, atau rangkaian ledakan (sequences of bursts), bahkan dalam isolasi penuh.[48] Ketika
neuron aktif secara intrinsik terhubung dengan yang lain dalam sirkuit kompleks,
kemungkinan penghasilan pola temporer yang lebih rumit menjadi jauh lebih besar.[42]
Konsep modern memandang fungsi sistem saraf sebagian dalam kerangka rangkaian
stimulus-respons, dan sebagian dalam kerangka pola aktivitas yang dihasilkan secara intrinsik
kedua jenis aktivitas berinteraksi dengan yang lain untuk menggenerasikan tingkah laku
berulang-ulang.[49]

Sirkuit refleks dan rangsang stimulus lainnya

Skema fungsi saraf dasar yang disederhanakan: sinyal diambil oleh reseptor sensoris dan dikirim ke
sumsum tulang belakang dan otak, tempat terjadinya pemrosesan yang menghasilkan sinyal dikirim
kembali ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke neuron motorik.

Jenis sirkuit saraf yang paling sederhana adalah lengkung refleks (reflex arc), yang dimulai
dari masukan sensoris dan berakhir dengan keluaran motorik, melewati serangkaian neuron di
tengahnya.[50] Contohnya, pertimbangkan "refleks penarikan" yang menyebabkan tangan
tertarik ke belakang setelah menyentuh kompor panas. Sirkuit dimulai dengan reseptor
sensoris di kulit yang teraktivasi oleh kadar panas yang membahayakan: sebuah jenis struktur
molekuler khusus melekat pada membran menyebabkan panas untuk mengubah medan listrik
di sepanjang membran. Jika perubahan dalam potensial ekletrik cukup besar, ia akan
membangkitkan potensial aksi, yang ditransmisikan sepanjang akson sel reseptor, menuju
sumsum tulang belakang. Di sana akson akan membuat kontak sinaptik eksitatori dengan sel
lain, beberapa dari antaranya memproyeksikan (mengirim keluaran aksonal) ke regio yang
sama dari sumsum tulang belakang, dan yang lain memproyeksikan ke dalam otak. Satu
sasaran adalah serangkaian interneuron tulang belakang yang memproyeksikan ke neuron
motorik untuk mengontrol otot lengan. Interneuron mengeksitasi neuron motorik, dan jika
eksitasi cukup kuat, beberapa dari neuron motorik menghasilkan potensial aksi, yang berjalan
sepanjang akson ke titik di mana mereka membuat kontak sinaptik eksitatori dengan sel otot.
Sinyal eksitatori memicu kontraksi sel otot, yang menyebabkan sudut sendi dalam lengan
berubah, menarik lengan menjauh.

Dalam kenyataannya, skema ini berkaitan dengan berbagai komplikasi.[50] Walaupun untuk
refleks yang paling sederhana ada jalur saraf pendek dari neuron sensoris ke neuron motorik,
ada juga neuron yang dekat yang berpartisipasi dalam sirkuit dan memodulasi respons. Lebih
lanjut lagi, ada proyeksi dari otak ke sumsum tulang belakang yang mampu meningkatkan
atau menghambat refleks.

Walaupun refleks paling sederhana mungkin dimediasi oleh sirkuit berada sepenuhnya di
dalam sumsum tulang belakang, respon lebih kompleks/rumit bergantung pada pemprosesan
sinyal di dalam otak.[51] Pertimbangkan, contohnya, apa yang terjadi ketika sebuah benda
dalam daerah visual perifer bergerak, dan seseorang melihat ke arahnya. Respons sensoris
awal, dalam retina mata, dan respons motorik akhir, dalam inti okulomotor dari batang otak,
semuanya tidaklah berbeda dari semua di refleks sederhana, tetapi dalam tahap antara benar-
benar berbeda. Tidak hanya 1 atau 2 langkah rangkaian pemrosesan, sinyal visual melewati
mungkin selusinan tahap integrasi, melibatkan thalamus, cerebral cortex, basal ganglia,
superior colliculus, cerebellum, dan beberapa inti batang otak). Daerah-daerah ini
membentuk fungsi pemrosesan sinyal yang meliputi deteksi fitur, analisis persepsi,
pemanggilan kembali ingatan, pengambilan keputusan, dan perencanaan motorik.[52]

Deteksi fitur adalah kemampuan untuk mengekstraksi secara biologis informasi yang relevan
dari kombinasi sinyal sensoris.[53] Dalam sistem penglihatan, contohnya, reseptor sensoris
dalam retina mata hanya mampu untuk mendeteksi "titik cahaya" dalam dunia luar secara
individual.[54] Neuron penglihatan tingkat kedua menerima masukan dari kelompok-
kelompok reseptor primer, neuron yang lebih tinggi menerima masukan dari kelompok-
kelompok neuron tingkat kedua, dan seterusnya, membentuk tingkatan proses hierarkis. Pada
setiap tahapan, infromasi penting diekstraksi dari sinyal yang dikumpulkan dan informasi
yang tidak penting dibuang. Di akhir proses, masukan sinyal mewakili "titik cahaya" telah
ditransformasikan menjadi perwakilan saraf dari obyek dalam dunia sekitarnya dan sifatnya.
Pemrosesan sensoris paling canggih terjadi dalam otak, tetapi fitur ekstraksi kompleks juga
terjadi di sumsum tulang belakang dan organ sensoris periferal seperti retina.

Penghasilan pola intrinsik

Walaupun mekanisme respons-stimulus adalah yang paling mudah dimengerti, sistem saraf
juga dapat mengontrol tubuh dalam berbagai cara yang tidak memerlukan stimulus luar,
melalui irama aktivitas yang dihasilkan dari dalam. Karena berbagai kanal ion sensitif
terhadap voltasi yang dapat melekat dalam membran dalam sebuah neuron, berbagai jenis
neuron mampu, bahkan dalam isolasi, menggenerasikan sekuens irama potensial aksi, atau
perubahan irama di antara ledakan tingkat tinggi dan masa tenang. Ketika neuron secara
irama intrinsik terkoneksi dengan yang lain oleh respons sinaps-sinaps eksitatoris atau
penghambatan, jaringan kerja yang dihasilkan mampu menghasilkan tingkah laku dinamis
yang beragam, termasuk dinamika penarikan (attractor), periodisitas, dan bahkan chaos.
Sebuah jaringan kerja neuron yang menggunakan struktur internalnya untuk menghasilkan
keluaran terstruktur secara temporer, tanpa memerlukan stimulus terstruktur yang
berkorespondensi secara temporer disebut sebagai generator pola pusat.
Penggenerasian pola internal beroperasi dalam rentang yang luas berdasarkan skala waktu,
dari millidetik sampai jam atau lebih lama lagi. Satu dari jenis penting pola temporal adalah
irama sirkadian yaitu, irama dengan sebuah periode kira-kira 24 jam. Semua hewan yang
telah diteliti menunjukkan fluktuasi sirkadian dalam aktivitas neural, yang mengontrol
perubahan sirkadian dalam tingkah laku seperti siklus tidur-bangun. Penelitian dari tahun
1990an telah menunjukkan bahwa irama sirkadian digenerasikan oleh sebuah "jam genetik"
yang terdiri dari sekelompok gen khusus yang kadar ekspresinya meningkat dan menurun
sepanjang hari. Hewan yang beragam seperti serangga dan vertebrata memiliki sistem jam
genetik yang sama. Jam sirkadian dipengaruhi oleh cahaya tetapi terus berlanjut bekerja
bahkan ketika kadar cahaya dipertahankan konstan dan tidak ada petunjuk waktu hari
eksternal lain tersedia. Gen jam ini diekspresikan dalam berbagai bagian sistem saraf
sebagaimana banyak organ periferal, tetapi dalam mamalia seluruh "jam jaringan" ini
dipertahankan dalam sinkronisasi oleh sinyal yang keluar dari sebuah penjaga waktu utama
dalam bagian kecil dalam otak yang disebut inti suprakiasmatik.

Penghantaran rangsang

Semua sel dalam tubuh manusia memiliki muatan listrik yang terpolarisasi, dengan kata lain
terjadi perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam dari suatu membran sel, tidak
terkecuali sel saraf (neuron). Perbedaan potensial antara bagian luar dan dalam membran ini
disebut potensial membran. Informasi yang diterima oleh Indra akan diteruskan oleh saraf
dalam bentuk impuls. Impuls tersebut berupa tegangan listrik. Impuls akan menempuh jalur
sepanjang akson suatu neuron sebelum dihantarkan ke neuron lain melalui sinapsis dan akan
seperti itu terus hingga mencapai otak, dimana impuls itu akan diproses. Kemudian otak
mengirimkan impuls menuju organ atau indra yang dituju untuk menghasilkan efek yang
diinginkan melalui mekanisme pengiriman impuls yang sama.

Membran hewan memiliki potensial istirahat sekitar -50 mV s/d -90 mV, potensial istirahat
adalah potensial yang dipertahankan oleh membran selama tidak ada rangsangan pada sel.

Datangnya stimulus akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan hiperpolarisasi pada


membran sel, hal tersebut menyebabkan terjadinya potensial kerja. Potensial kerja adalah
perubahan tiba-tiba pada potensial membran karena datangnya rangsang. Pada saat potensial
kerja terjadi, potensial membran mengalami depolarisasi dari potensial istirahatnya (-70 mV)
berubah menjadi +40 mV. Akson vertebrata umumnya memiliki selubung mielin. Selubung
mielin terdiri dari 80% lipid dan 20% protein, menjadikannya bersifat dielektrik atau
penghambat aliran listrik dan hal ini menyebabkan potensial kerja tidak dapat terbentuk pada
selubung mielin; tetapi bagian dari akson bernama nodus Ranvier tidak diselubungi oleh
mielin.

Penghantaran rangsang pada akson bermielin dilakukan dengan mekanisme hantaran


saltatori, yaitu potensial kerja dihantarkan dengan "melompat" dari satu nodus ke nodus
lainnya hingga mencapai sinapsis.

Pada ujung neuron terdapat titik pertemuan antar neuron bernama sinapsis, neuron yang
mengirimkan rangsang disebut neuron pra-sinapsis dan yang akan menerima rangsang
disebut neuron pasca-sinapsis. Ujung akson setiap neuron membentuk tonjolan yang
didalamnya terdapat mitokondria untuk menyediakan ATP untuk proses penghantaran
rangsang dan vesikula sinapsis yang berisi neurotransmitter umumnya berupa asetilkolin
(ACh), adrenalin dan noradrenalin.
Ketika rangsang tiba di sinapsis, ujung akson dari neuron pra-sinapsis akan membuat
vesikula sinapsis mendekat dan melebur ke membrannya. Neurotransmitter kemudian
dilepaskan melalui proses eksositosis. Pada ujung akson neuron pasca-sinapsis, protein
reseptor mengikat molekul neurotransmitter dan merespon dengan membuka saluran ion pada
membran akson yang kemudian mengubah potensial membran (depolarisasi atau
hiperpolarisasi) dan menimbulkan potensial kerja pada neuron pasca-sinapsis.

Ketika impuls dari neuron pra-sinaps berhenti neurotransmitter yang telah ada akan
didegradasi. Molekul terdegradasi tersebut kemudian masuk kembali ke ujung akson neuron
pra-sinapsis melalui proses endositosis.

Perkembangan

Dalam vertebrata, hal penting dalam perkembangan saraf embrionik meliputi kelahiran dan
diferensiasi neuron dari sel punca, migrasi neuron yang belum matang dari tempat kelahiran
mereka dalam embrio ke posisi akhir mereka, pertumbuhan akson dari neuron dan
pengarahan growth cone motil melalui embrio menuju rekan postsinaptik, penghasilan sinaps
di antara akson-akson ini dan rekan postsinaptik mereka, dan akhirnya perubahan seumur
hidup dalam sinaps yang diduga mendasari pembelajaran dan ingatan.[55]

Semua hewan bilateria pada tahap awal perkembangan membentuk sebuah gastrula yang
terpolarisasi, dengan sebuah ujung yang disebut kutub hewan dan yang lain kutub vegetal.
Gastrula memiliki bentuk cakram dengan 3 lapisan sel, lapisan terdalam disebut endoderm,
yang membangkitkan dasar dari kebanyakan organ dalam, sebuah lapisan tengah yang
disebut mesoderm, yang membangkitkan tulang dan otot, dan lapisan terluar yang disebut
ektoderm, yang membangkitkan kulit dan sistem saraf.[56]

Embrio manusia, menunjukkan Empat tahapan dalam perkembangan tabung saraf dalam
lekukan saraf (neural groove). embrio manusia.

Dalam vertebrata, tanda pertama kemunculan sistem saraf adalah kemunculan sel tipis di
sepanjang bagian tengah punggung yang disebut piringan saraf (neural plate. Bagian dalam
piringan saraf (sepanjang garis tengah) ditujukan untuk menjadi sistem saraf pusat (SSP), dan
bagian luar sistem saraf tepi (SST). Sebagaimana perkembangan berlanjut, sebuah lipatan
disebut lekukan saraf (neural groove) muncul di sepanjang garis tengah. Lipatan ini menjadi
dalam dan kemudian menutup di atas. Pada titik ini SSP yang mendatang, tampak seperti
struktur silindris yang disebut sebagai tabung saraf, tempat SST yang akan jadi tampak
seperti 2 garis jaringan yang disebut puncak saraf (neural crest), yang ada di atas tabung
saraf. Rangkaian tahapan dari piringan saraf ke tabung saraf dan puncak saraf dikenal sebagai
neurulasi.

Pada awal abad 20, serangkaian percobaan terkenal oleh Hans Spemann dan Hilde Mangold
menunjukkan bahwa pembentukan jaringan saraf "diinduksi" oleh sinyal dari sebuah
kelompok mesodermal yang disebut "wilayah pengatur" (organizer region).[55] Namun,
selama beberapa dasawarsa, sifat proses induksi tidak dapat diketahui, sampai pada akhirnya
hal ini terpecahkan melalui pendekatan genetic pada tahun 1990an. Induksi jaringan saraf
memerlukan penghambatan gen yang disebut protein morfogenetik tulang (bone
morphogenetic protein, disingkat BMP). Secara khusus, protein BMP4 tampaknya terlibat.
Dua protein yang disebut Noggin dan Chordin disekresikan oleh mesoderm tampaknya
mampu menghambat BMP4 dan oleh karenanya menginduksi ektoderm untuk berubah
menjadi jaringan saraf. Tampaknya sebuah mekanisme molekular yang sama terlibat dalam
berbagai jenis hewan yang berbeda, termasuk artropoda dan juga vertebrata. Namun, dalam
beberapa hewan, sebuah jenis molekul lain yang disebut faktor pertumbuhan fibroblas
(Fibroblast Growth Factor, disingkat FGF) mungkin dapat berperan dalam induksi.

Induksi jaringan neural menyebabkan pembentukan sel pendahulu saraf yang disebut
neuroblas.[57] Dalam drosophila, neuroblas terbagi secara asimetris, sehingga 1 produk adalah
sebuah "sel induk ganglion" (ganglion mother cell, disingkat GMC), dan yang lain adalah
sebauah neuroblas. Sebuah GMC terbagi sekali dan menghasilkan baik pasangan neuron atau
pasangan sel glial. Secara keseluruhan, sebuah neuroblas mampu menghasilkan sejumlah
neuron atau glia yang tak terbatas.

Sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian tahun 2008, sebuah faktor yang umum pada
seluruh organisme bilateral (termasuk manusia) adalah kelompok molekul yang
mensekresikan molekul pensinyalan yang disebut neurotrofin yang mengatur pertumbuhan
dan kelangsungan hidup neuron.[58] Zhu et al. mengidentifikasi DNT1, neurotrofin pertama
yang ditemukan pada lalat. Struktur DNT1 mirip dengan semua neurotrofin yang dikenal dan
merupakan sebuah faktor penting dalam penentuan nasib neuron dalam Drosophila. Karena
neurotrofin sekarang telah teridentifikasi dalam vertebrata dan invertebrata, bukti ini
menunjukkan bahwa neurotrofin ada alam nenek moyang yang umum organisme bilateral
dan mungkin mewakili sebuah mekanisme umum untuk pembentukan sistem saraf.

Patologi

Sistem saraf Pusat (SSP) dilindungi oleh sawar (barrier) fisik dan kimia. Secara fisik, otak
dan sumsum tulang belakang dikelilingi oleh membran meningeal yang kuat, dan dibungkus
oleh tulang tengkorak dan vertebra tulang belakang, yang membentuk perlindungan fisik
yang kuat. Secara kimia, otak dan sumsum tulang belakang terisolasi oleh yang disebut sawar
darah-otak, yang mencegah kebanyakan jenis bahan kimia berpindah dari aliran darah
kedalam bagian dalam SSP. Perlindungan ini membuat SSP kurang rentan bila dibandingkan
dengan SST; namun, di sisi lain, kerusakan pada SSP cenderung lebih serius dampaknya.
Walaupun saraf cenderung berada di bawah kulit kecuali di beberapa tempat, seperti saraf
ulnar dekat dengan persambungan sendi siku, saraf-saraf ini cenderung terpapar kerusakan
fisik, yang dapat menyebabkan rasa sakit, kehilangan sensasi rasa, atau kehilangan kontrol
otot. Kerusakan pada saraf juga dapat disebabkan oleh pembengkakan atau memar di tempa
saraf lewat di antara kanal tulang yang ketat, seperti terjadi pada sindrom lorong karpal. Jika
sebuah saraf benar-benar terpotong, saraf akan beregenerasi, tetapi untuk saraf yang panjang,
proses ini mungkin akan memakan waktu berbulan-bulan untuk selesai. Sebagai tambahan
pada kerusakan fisik neuropati periferal dapat disebabkan oleh masalah medis lain, termasuk
kondisi genetik, kondisi metabolik seperti diabetes, kondisi peradangan seperti sindrom
GuillainBarr, defisiensi vitamin, penyakit infeksi seperti kusta atau herpes zoster, atau
keracunan oleh racun seperti logam berat. Banyak kasus tidak memiliki penyebab yang dapat
teridentifikasi, dan disebut idiopatik. Saraf juga dapat kehilangan fungsinya untuk sementara
waktu, mengakibatkan ketiadaan rasa penyebab umum meliputi tekanan mekanis,
penurunan suhu, atau interaksi kimia dengan obat seperti lidokain.

Kerusakan fisik pada sumsum tulang belakang mungkin berakibat pada kehilangan sensasi
atau pergerakan. Jika sebuah kecelakaan pada tulang punggung menghasilkan sesuatu yang
tidak parah dari pembengkakan, gejala hanya sementara, tetapi apabila serabut saraf di tulang
belakang hancur, kehilangan fungsi biasanya menetap. Percobaan telah menunjukkan bahwa
serabut saraf tulang belakang biasanya mencoba untuk tumbuh kembali dengan cara yang
sama seperti serabut saraf, teapi dalam sumsum tulang belakang, kerusakan jaringan biasanya
menghasilkan jaringan parut yang tidak dapat dipenetrasi oleh saraf yang tumbuh kembali.

Referensi

1. ^ "Nervous System". Columbia Encyclopedia. Columbia University Press.


2. ^ a b c d e f Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 2: Nerve cells and behavior".
Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
3. ^ Finger S (2001). "Ch. 1: The brain in antiquity". Origins of neuroscience: a history of
explorations into brain function. Oxford Univ. Press. ISBN 978-0-19-514694-3.
4. ^ Finger, pp. 4350
5. ^ a b Sakarya O, Armstrong KA, Adamska M, et al. (2007). "A post-synaptic scaffold at the
origin of the animal kingdom". In Vosshall, Leslie. PLoS ONE 2 (6): e506.
doi:10.1371/journal.pone.0000506. PMC 1876816. PMID 17551586.
6. ^ a b Ruppert EE, Fox RS, Barnes RD (2004). Invertebrate Zoology (ed. 7). Brooks / Cole.
hlm. 111124. ISBN 0-03-025982-7.
7. ^ a b Balavoine G (2003). "The segmented Urbilateria: A testable scenario". Int Comp Biology
43 (1): 13747. doi:10.1093/icb/43.1.137.
8. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 4: The cytology of neurons".
Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
9. ^ a b Allen NJ, Barres BA (2009). "Neuroscience: Glia - more than just brain glue". Nature 457
(7230): 6757. doi:10.1038/457675a. PMID 19194443.
10. ^ Azevedo FA, Carvalho LR, Grinberg LT, et al. (2009). "Equal numbers of neuronal and
nonneuronal cells make the human brain an isometrically scaled-up primate brain". J. Comp.
Neurol. 513 (5): 53241. doi:10.1002/cne.21974. PMID 19226510.
11. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 17: The anatomical organization of
the central nervous system". Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional.
ISBN 978-0-8385-7701-1.
12. ^ Standring, Susan (Editor-in-chief) (2005). Gray's Anatomy (ed. 39th). Elsevier Churchill
Livingstone. hlm. 233234. ISBN 978-0-443-07168-3.
13. ^ Hubbard JI (1974). The peripheral nervous system. Plenum Press. hlm. vii. ISBN 978-0-306-
30764-5.
14. ^ Purves D, Augustine GJ, Fitzpatrick D, Hall WC, LaMantia A-S, McNamara JO, White LE
(2008). Neuroscience. 4th ed. Sinauer Associates. hlm. 1516.
15. ^ "ganglion" di Dorland's Medical Dictionary
16. ^ Afifi AK (July 1994). "Basal ganglia: functional anatomy and physiology. Part 1". J. Child
Neurol. 9 (3): 24960. doi:10.1177/088307389400900306. PMID 7930403.
17. ^ Jacobs DK1, Nakanishi N, Yuan D, et al. (2007). "Evolution of sensory structures in basal
metazoa". Integr Comp Biol 47 (5): 712723. doi:10.1093/icb/icm094. PMID 21669752.
18. ^ Sanes DH, Reh TA, Harris WA (2006). Development of the nervous system. Academic Press.
hlm. 34. ISBN 978-0-12-618621-5.
19. ^ Ghysen A (2003). "The origin and evolution of the nervous system". Int. J. Dev. Biol. 47 (7
8): 55562. PMID 14756331.
20. ^ Erwin DH, Davidson EH (July 2002). "The last common bilaterian ancestor". Development
129 (13): 302132. PMID 12070079.
21. ^ Bourlat SJ, Juliusdottir T, Lowe CJ, et al. (November 2006). "Deuterostome phylogeny
reveals monophyletic chordates and the new phylum Xenoturbellida". Nature 444 (7115):
858. doi:10.1038/nature05241. PMID 17051155.
22. ^ Lichtneckert R, Reichert H (May 2005). "Insights into the urbilaterian brain: conserved
genetic patterning mechanisms in insect and vertebrate brain development". Heredity 94
(5): 46577. doi:10.1038/sj.hdy.6800664. PMID 15770230.
23. ^ Chapman RF (1998). "Ch. 20: Nervous system". The insects: structure and function.
Cambridge University Press. hlm. 533568. ISBN 978-0-521-57890-5.
24. ^ Chapman, hal. 546
25. ^ a b Hoyle G, Wiersma CAG (1977). Identified neurons and behavior of arthropods. Plenum
Press. ISBN 978-0-306-31001-0.
26. ^ "Wormbook: Specification of the nervous system".
27. ^ Stein PSG (1999). Neurons, Networks, and Motor Behavior. MIT Press. hlm. 3844.
ISBN 978-0-262-69227-4.
28. ^ Stein, hal. 112
29. ^ Simmons PJ, Young D (1999). Nerve cells and animal behaviour. Cambridge University
Press. hlm. 43. ISBN 978-0-521-62726-9.
30. ^ Gray PO (2006). Psychology (ed. 5). Macmillan. hlm. 170. ISBN 978-0-7167-7690-1.
31. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 9: Propagated signaling: the action
potential". Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
32. ^ Hormuzdi SG, Filippov MA, Mitropoulou G, et al. (2004). "Electrical synapses: a dynamic
signaling system that shapes the activity of neuronal networks". Biochim. Biophys. Acta 1662
(12): 11337. doi:10.1016/j.bbamem.2003.10.023. PMID 15033583.
33. ^ a b c Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 10: Overview of synaptic
transmission". Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-
7701-1.
34. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 11: Signaling at the nerve-muscle
synapse". Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
35. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 15: Neurotransmitters". Principles of
Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
36. ^ Strata P, Harvey R (1999). "Dale's principle". Brain Res. Bull. 50 (56): 34950.
doi:10.1016/S0361-9230(99)00100-8. PMID 10643431.
37. ^ Marty A, Llano I (June 2005). "Excitatory effects of GABA in established brain networks".
Trends Neurosci. 28 (6): 2849. doi:10.1016/j.tins.2005.04.003. PMID 15927683.
38. ^ Paradiso MA; Bear MF; Connors BW (2007). Neuroscience: Exploring the Brain. Lippincott
Williams & Wilkins. hlm. 718. ISBN 0-7817-6003-8.
39. ^ a b Cooke SF, Bliss TV (2006). "Plasticity in the human central nervous system". Brain 129
(Pt 7): 165973. doi:10.1093/brain/awl082. PMID 16672292.
40. ^ Bliss TV, Collingridge GL (January 1993). "A synaptic model of memory: long-term
potentiation in the hippocampus". Nature 361 (6407): 319. doi:10.1038/361031a0.
PMID 8421494.
41. ^ Kauer JA, Malenka RC (November 2007). "Synaptic plasticity and addiction". Nat. Rev.
Neurosci. 8 (11): 84458. doi:10.1038/nrn2234. PMID 17948030.
42. ^ a b c Dayan P, Abbott LF (2005). Theoretical Neuroscience: Computational and
Mathematical Modeling of Neural Systems. MIT Press. ISBN 978-0-262-54185-5.
43. ^ McCulloch WS, Pitts W (1943). "A logical calculus of the ideas immanent in nervous
activity". Bull. Math. Biophys. 5 (4): 115133. doi:10.1007/BF02478259.
44. ^ a b Sherrington CS (1906). The Integrative Action of the Nervous System. Scribner.
45. ^ Descartes R (1989). Passions of the Soul. Voss S. Hackett. ISBN 978-0-87220-035-7.
46. ^ Baum WM (2005). Understanding behaviorism: Behavior, Culture and Evolution. Blackwell.
ISBN 978-1-4051-1262-8.
47. ^ Piccolino M (November 2002). "Fifty years of the Hodgkin-Huxley era". Trends Neurosci. 25
(11): 5523. doi:10.1016/S0166-2236(02)02276-2. PMID 12392928.
48. ^ Johnston D, Wu SM (1995). Foundations of cellular neurophysiology. MIT Press. ISBN 978-
0-262-10053-3.
49. ^ Simmons PJ, Young D (1999). "Ch 1.: Introduction". Nerve cells and animal behaviour.
Cambridge Univ. Press. ISBN 978-0-521-62726-9.
50. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 36: Spinal reflexes". Principles of
Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
51. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 38: Voluntary movement". Principles of
Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
52. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 39: The control of gaze". Principles of
Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
53. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 21: Coding of sensory information".
Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
54. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 25: Constructing the visual image".
Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
55. ^ a b Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 52: The induction and patterning of
the nervous system". Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-
8385-7701-1.
56. ^ Sanes DH, Reh TH, Harris WA (2006). "Ch. 1, Neural induction". Development of the
Nervous System. Elsevier Academic Press. ISBN 978-0-12-618621-5.
57. ^ Kandel ER, Schwartz JH, Jessel TM, ed. (2000). "Ch. 53: The formation and survival of nerve
cells". Principles of Neural Science. McGraw-Hill Professional. ISBN 978-0-8385-7701-1.
58. ^ Zhu B, Pennack JA, McQuilton P, Forero MG, Mizuguchi K, Sutcliffe B, Gu CJ, Fenton JC,
Hidalgo A (Nov 2008). "Drosophila neurotrophins reveal a common mechanism for nervous
system formation". In Bate, Michael. PLoS Biol 6 (11): e284.
doi:10.1371/journal.pbio.0060284. PMC 2586362. PMID 19018662.
ORIGINAL ARTICLE

Year : 2010 | Volume : 58 | Issue : 4 | Page : 542-548

Sural nerve biopsy in chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: Are supportive


pathologic criteria useful in diagnosis?

Girish B Kulkarni1, Anita Mahadevan2, Arun B Taly1, A Nalini1, SK Shankar2


1
Department of Neurology, National Institute of Mental Health & Neurosciences, Bangalore
- 560 029, India
2
Department of Neuropathology, National Institute of Mental Health & Neurosciences,
Bangalore - 560 029, India

Date of Acceptance 03-Jun-2010

Date of Web Publication 24-Aug-2010

Correspondence Address:
Arun B Taly
Department of Neurology, National Institute of Mental Health & Neurosciences, Bangalore -
560 029
India

DOI: 10.4103/0028-3886.68673

PMID: 20739789

Abstract

Background : According to American Academy of Neurology (AAN) criteria, demonstration


of demyelination in the sural nerve by teased fiber or ultrastructure is considered mandatory
for diagnosis of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathies (CIDP). In resource-
restricted settings where these techniques are not freely available, it is useful to determine the
utility of 'supportive' pathologic criteria (subperineurial edema, inflammation, onion bulb
formation, and demyelination) proposed by AAN for diagnosis of CIDP. Settings and
Design : Tertiary care hospital, retrospective study. Patients and Methods : Forty-six
patients with idiopathic CIDP (32 with progressive course and 14 with relapsing-remitting
course) satisfying AAN clinical and electrophysiologic criteria evaluated between January
1991 and August 2004 were reviewed. Frequency of specific pathological alterations such as
demyelination, inflammation, onion bulb formation, and axonal changes in sural nerve
biopsies was evaluated. Statistical Analysis : SPSS statistical package was used to calculate
mean, range, and standard deviation. Student's t test, chi-square test, and ANOVA were used
for determining statistical significance. Results and Conclusion : Reduction in myelinated
fiber density was most frequent (93.5%), followed by demyelination (82.8%), inflammation
(58.7%), and onion bulb formation (28.3%). Endoneurial inflammation was frequent in the
relapsing-remitting form and epineurial inflammation and axonal changes in those with
progressive course. Greater disability at presentation, poor response to immunomodulation,
and lower CSF protein levels was seen in those with axonal pathology. Pathological
abnormalities were demonstrable in all (100%), whereas electrophysiological abnormalities
were detected in 90.8%, suggesting that supportive histologic AAN criteria are helpful in
diagnosis of CIDP.

Keywords: American Academy of Neurology, chronic inflammatory demyelinating


polyneuropathies, diagnosis, neuropathology, supportive pathologic criteria, sural nerve
biopsy

How to cite this article:


Kulkarni GB, Mahadevan A, Taly AB, Nalini A, Shankar S K. Sural nerve biopsy in chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy: Are supportive pathologic criteria useful in diagnosis?. Neurol India
2010;58:542-8

How to cite this URL:


Kulkarni GB, Mahadevan A, Taly AB, Nalini A, Shankar S K. Sural nerve biopsy in chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy: Are supportive pathologic criteria useful in diagnosis?. Neurol India
[serial online] 2010 [cited 2014 Nov 7];58:542-8. Available
from: http://www.neurologyindia.com/text.asp?2010/58/4/542/68673

Introduction

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP), first recognized by Austin in 1958, [1] is
clinically a heterogeneous disorder. The classical form is a symmetric, predominantly proximal,
demyelinating motor polyneuropathy, but several variants like predominantly distal, [2] axonal, [3] or
sensory forms, [4] and asymmetric or focal presentations are described. [5] Several diagnostic criteria
have been proposed based upon clinical and electrophysiological features and cerebrospinal fluid
(CSF) and nerve biopsy findings in different combinations [6],[7],[8],[9] to accommodate the variants.
Biopsy evidence of demyelination in sural nerve was considered mandatory in the American
Academy of Neurology (AAN) criteria, while subperineurial edema, inflammatory cell infiltration,
onion bulb formation, and variation in fascicular involvement were considered supportive of the
diagnosis. [7]

Demonstration of mandatory pathologic criteria requires teased fiber and electron microscopy, both
of which are labor intensive and expensive, making their routine use impractical. In resource-
restricted settings, it would be useful to evaluate the utility of supportive criteria in the diagnosis of
CIDP. We evaluated the contribution of supportive histological features in sural nerve biopsy in
ascertaining diagnosis, excluding mimickers, and prognostication in a large cohort of cases clinically
diagnosed as CIDP.

Patients and Methods

Patient selection

All patients evaluated between January 1991 and August 2004 and who met the AAN clinical and
electrophysiologic criteria for CIDP were included in the study. The clinical findings, demographic
details, and treatment response were reviewed by reference to the case records. Patients with
retinitis pigmentosa, icthyosis, history of exposure to drugs or environmental toxins known to cause
peripheral neuropathy, presence of low serum B 12 , hypothyroidism, family history of neuropathy, as
well as cases of amyloid neuropathy, Hansen's neuritis, and leukodystrophies were excluded.

Investigations essential for establishing the diagnosis of CIDP (CSF examination and electrodiagnostic
studies) and for detecting other associated conditions (routine hematology, blood glucose and other
biochemical parameters, serological tests for HIV and paraproteinemia, and vasculitis workup) were
carried out. The neurological disability was measured according to the Modified Rankin Scale. The
modality of therapy used, treatment response, and the clinical outcome were analyzed. All cases
recognized to have concurrent illnesses such as diabetes, paraproteinemia, or Polyneuropathy
Organomegaly Endocrinopathy M protein, Skin abnormalities (POEMS) were excluded from the
study, and only those with idiopathic CIDP (CIDP-I) were analyzed.

Nerve biopsies

Sural nerve biopsies were performed in 46 of the 118 cases clinically diagnosed as CIDP (32 with
progressive course and 14 with relapsing-remitting course) after obtaining informed consent. An
approximately 1- to 1.5-cm length of sural nerve was biopsied, fixed in 2% gluteraldehyde, and
processed for routine paraffin embedding. Sections were stained with hematoxylin and eosin (H and
E), Mason's trichome for collagen, and Kulchitsky Pal (K Pal) stain for myelin. Immunohistochemistry
was carried out by indirect immunoperoxidase technique, using antibodies to phosphorylated
neurofilament (SMI-31, 1:1000, monoclonal, Sternberger Monoclonal Inc.) to delineate axonal
pathology, leukocyte common antigen (LCA) - a leukocyte marker (1:25, polyclonal, DAKO, USA), and
CD68 - a macrophage marker (1:200, monoclonal, DAKO, USA).

Biopsies were evaluated for myelin alterations such as active myelin degeneration and presence of
onion bulbs (defined as more than one concentric supernumery Schwann cell lamella surrounding
the entire circumference of a myelinated axon. [10] Thin myelin sheaths and reduction in myelinated
fiber density on myelin stains was taken as evidence of de/remyelination. Degree of loss of
myelinated fibers and variability in fascicular involvement was assessed. Depletion of neurofilament-
labeled axons was considered evidence of axonal loss. Endoneurial fibrosis was evaluated on
trichrome stain. Axonal regenerating clusters was defined as three or more closely apposed small
myelinated fibers with myelin thickness <50% of the thickest fiber in the fascicle. [11] Findings were
considered predominantly demyelinating when axonal changes constituted less than 25% and vice
versa. When axonal degeneration and demyelination was 50% 10%, the changes were considered
mixed, in accordance with previously published studies. [6] Presence of inflammation and the
inflammatory cell type were characterized by immunohistochemistry. Histopathological changes
were visually graded as mild (up to 30%), moderate (30%-60%), and severe (>60%), and the results
were tabulated.

Statistical methods

Mean, range, and standard deviation were derived and significance was calculated using Student's t
test for continuous variables and the chi-square test and ANOVA for categorical variables. Probability
level (P-value) <.05 was considered significant.

Results

Among the 118 patients of CIDP diagnosed clinically (male/female ratio 87:31), 91 (77.1%) were
idiopathic CIDP (CIDP-I), of whom 46 underwent diagnostic sural nerve biopsy. Age at presentation
ranged from 5 to 78 years (mean 37.2 16.7 years). CIDP associated with concurrent disease was
identified in 27 (22.9%) patients and were excluded from the study.

Clinical profile

Patients with CIDP-I were classified into two major subgroups based on clinical course as progressive
(32, 69.5%) and relapsing-remitting (14, 30.4%). Relapse was defined as worsening of symptoms or
signs after an initial episode and resulting in an increase in the disability by one or more grades on
the disability scale, with subsequent improvement. [12]

Neuropathological features

Pathological abnormalities of varying severity were observed in all the nerve biopsies studied [Table
1].
Table 1 :Comparison of salient pathological features in different clinical
forms of CIDP

Click here to view

All four pathological features (subperineurial edema, demyelination, onion bulb formation, and
inflammation) were seen in four cases, any three features in 18, two features in 14, and any one
feature in ten, though all of them met the clinical and electrophysiological criteria of AAN. Myelin
alterations could be demonstrated in all the cases concordant with demyelinating neuropathy, with
loss of myelinated fiber density (93.5%) being the most frequent finding followed by evidence of
de/remyelination in 82.8% of cases [Figure 1]b,[Figure 2]a, and c and onion bulb formation in 28.3%
[Figure 1]c. Axonal loss was evident in in 56.6% of cases [Figure 2]b and d. Endoneurial Schwann cell
proliferation and focal onion bulb formation was more frequent in the progressive than the
relapsing-remitting group (33% vs 21%).

Figure 1 :Sural nerve biopsy demonstrating the characteristic supportive


histologic features of CIDP with subperineurial edema (a, asterix),
prominent thinly myelinated fibers reflecting de/remyelination (b), onion
bulb formation (c, arrow), and mononuclear cell infiltration surrounding
small vessels (V) in the endoneurium (d, arrow) and epineurium (e,
arrow). The inflammatory cells are immunohistochemically lymphocytes
(inset, d) and macrophages (inset, e). [a: HE Obj.5, b: Kulchitsky Pal stain
Obj.10, c: HE Obj.20, d: HE Obj.10, d Inset: LCA Obj. 40, e: HE
Obj.20, e Inset: CD-68 Obj.40]

Click here to view

Figure 2 :Transverse sections of sural nerve biopsy stained for myelin


(Kulchitsky Pal) and axons (neurofilament immunostain) shows
predominant myelin loss (a) with relative preservation of axons (b) in a
case with relapsing remitting form; in contrast, a case with the
progressive form shows greater degree of axonal dropout (d) than
demyelination (c). [a, c: Kulchitsky-Pal Obj.10; b, d: Neurofilament
immunostain Obj.10]

Click here to view

Subperineurial edema [Figure 1]a was noted in more than half the cases, with no significant
difference between relapsing-remitting and progressive forms. Inflammation in the endoneurial and
epineurial compartment was seen in 58.7% of cases [Figure 1]d and e, essentially lymphocytic in
50%-60% [Figure 1]d, inset, and lymphohistiocytic in 10%-18% of cases [Figure 1]e, inset.
Endoneurial inflammation was more evident in the remitting-relapsing form of CIDP-I [Figure1]d,
inset in contrast to perivascular epineurial inflammation [Figure 1]e, inset which was more common
in the progressive form of CIDP [Table 1].

Overall, the disease pattern was predominantly demyelinating in 65.2% (30/46) [Figure 2]a and b,
axonal in 8.7% (4/46) [Figure 2]c and d, and mixed axonal and demyelinating in 26.1% (12/46).
Histopathological abnormalities were demonstrable in all the cases (100%) in contrast to
electrophysiological alterations that were observed in 90.8% of cases. Correlation of pathological
features with nerve conduction studies showed concordance in 37 patients (68.5%) and discordance
in 17 (31.5%). Clinically, sensory symptoms in the lower limbs were observed in 70.4% of patients
and sensory signs in 80%, suggesting that pathological alterations precede electrophysiological
abnormalities and clinical features.

Endoneurial inflammation and demyelination was more common in the relapsing-remitting form. In
contrast, purely axonal changes in biopsy were noted in four cases (8.7%), all of whom had
progressive course. Disability rated by Modified Rankin Scale was highest in patients with
predominant axonal pathology and this difference was maintained during follow-up visits, with
poorer response to immunomodulation, and lower CSF protein levels compared to demyelinating or
mixed forms. Mean CSF protein levels were highest (188.9 182.2 mg%) in cases with mixed
demyelination and axonal changes on electrophysiology followed by demyelinating (129 97.9
mg%) and axonal group of patients (112.3 73.5 mg%).

Discussion

Several studies have evaluated the usefulness of the mandatory pathologic AAN criteria
[6],[13],[14],[15],[16],[17]
in the diagnosis of CIDP. While some believe that sural nerve biopsy is of limited
[14],[16]
value, others support the view that nerve biopsy is valuable in atypical presentations [17] or
when electrodiagnostic criteria are not met. [8],[15] The frequency of detection of various specific
pathological features appear to be highly variable in different studies [Table 2]. Variability in the
pathological findings is determined by duration of disease, response to treatment, and the nerve
chosen for biopsy. Autopsy studies have demonstrated that inflammation and demyelination more
often involves the spinal radicals in a patchy multifocal manner and it may be completely lacking in
the segment of distal (e.g., sural) nerve sampled.
Table 2 :Comparison of pathologic findings in CIDP in published literature

Click here to view


The major limitation of the specified mandatory histologic criteria as proposed by the AAN is
suboptimal sensitivity and specificity. The key diagnostic neuropathological feature of CIDP is
unequivocal demonstration of demyelination that requires teased fiber preparation and electron
microscopy. Demyelination on nerve fiber teasing was found in 48%-88% of cases in various studies.
[13],[15],[20],[23]
Electron microscopic evidence of demyelination was found in 79% [15] of cases, including
a subset of patients who did not meet the electrodiagnostic criteria for demyelination, suggesting
higher sensitivity of nerve biopsies in the diagnosis. [15] In our study, where we assessed supportive
criteria alone, histopathological abnormalities were demonstrable in 100% of sural nerves,
compared to demonstration of abnormality in electrodiagnostic features in 90.8%. Inflammatory
infiltration of endoneurium by lymphomononuclear cells and macrophages that initiate
demyelination [18],[24] is observed only in a minority (10%-18%) of cases in the sural nerve, [6],[18],[20],[25]
as significant perivascular inflammation is often confined to the proximal nerve roots and sensory
ganglia. [18],[26] In our study, inflammation was demonstrable in a significant number (58.7%) by
immunohistochemistry similar to other studies. [13],[21],[22] In the present study, endoneurial
inflammation was frequent in the remitting-relapsing form, in contrast to epineurial perivascular
inflammation in the progressive form of CIDP-I. It is tempting to speculate that the more prominent
axonal pathology, greater disability, and poor response to therapy in the progressive group could be
a consequence of epineurial perivascular inflammation producing a sequence of pathogenetic
events, similar to what is seen in vasculitic neuropathy.

In the literature, the combination of inflammation with segmental demyelination is reported in less
than half the cases. [10],[27],[28] The universal involvement of sural nerves seen in our study is rather
surprising as other studies [6],[12],[19] have reported 10%-15% of biopsied nerves to be normal. This
may be due to the extensive search we made for pathology, the clinical stage at which biopsy was
carried out, or changes coexisting in the nerves that were unrelated to CIDP. Onion bulbs, a
characteristic feature in CIDP is reported in 15%-40% of cases. [18],[19] Dyck and Engelstad [29] reported
a mixed pattern of distribution, with well-developed large onion bulbs intermixed with smaller
evolving forms as a characteristic finding in CIDP. In our study, onion bulbs were demonstrable in
28.3% of cases, more commonly in the progressive than in the relapsing-remitting form. Evidence of
axonal degeneration and sprouting can accompany de/remyelination [13],[15],[16],[27] and is considered a
bystander effect. Axonal pathology in our study predominated in the progressive form and these
patients had greater disability at presentation, poorer response to immunomodulation, and lower
CSF protein, as has also been reported by others. [16],[20] Axonal changes at onset of disease have
been found to be a poor prognostic indicator, requiring change to cytotoxic therapy, [30] and more
frequent relapses were noted in this group. [22]

None of these pathological findings are however specific to CIDP. Endoneurial edema and infiltration
by T cells are detected in patients with HMSN type I. [31] Bosboom et al. [16] and Molenaar and
colleagues [14] found considerable overlap of findings between CIDP and chronic idiopathic axonal
neuropathies (CIAP), including presence of T cells, supporting their view that sural nerve biopsy has
limited diagnostic value in CIDP. [14],[16],[32] In recent literature, more specific alterations in nerve
biopsies are reported to differentiate CIDP from other inflammatory neuropathies, particularly
vasculitis; these include signs of T cell activation, detection of matrix metalloproteinases 2 and 9,
[33],[34],[35]
chemokine receptors and interferon--inducible protein (IP-10),[36] and upregulation of Th1
cytokine IL-17 and IFN-.[37] Macrophage differentiation antigens and 'macrophage clustering'
(defined as presence of three or more macrophages around a blood vessel) around endoneurial
vessels have been used to differentiate between inflammatory and hereditary neuropathies. [38],[39]

Several authors have reported cases of CIDP that do not fulfill the electrophysiologic criteria of the
AAN but who responded to immunomodulatory therapy [8],[15],[17],[40] and suggest that sural nerve
biopsies are indicated in clinically suspected cases of CIDP not satisfying the electrodiagnostic
criteria for CIDP. Gabriel and coworkers [41] documented change in diagnosis following nerve biopsy
in 14% of their patients.

Based on available evidence, it is emphasized that while sural nerve biopsy may provide supportive
evidence for diagnosing CIDP, the findings are not highly specific and their absence does not exclude
a diagnosis. Sensitivity of detection requires deployment of several advanced neuropathological
techniques, some of which are not available in many laboratories in India. The European Federation
of Neurological Society/Peripheral Nerve Society (EFNS/PNS) recommend the use of semithin
sections, electron microscopy, and teased-fiber study for optimum reporting but this is not
mandatory. [9] Despite these drawbacks, nerve biopsy will remain useful to support a diagnosis of
CIDP in atypical cases and help exclude other causes of neuropathy like hereditary neuropathies,
vasculitis, and infectious neuropathies, and amyloidosis, particularly in cases without family history
and where facility for molecular genetic tests are not available. The clinical distinction is crucial
because of potential therapeutic implications. Only one other study [15] that assessed the usefulness
of supportive criteria for diagnosis of CIDP concurs with our study, supporting the view that even in
the absence of advanced techniques for nerve biopsy processing, detection of supportive features of
CIDP still aids in diagnosis, prognostication, and management in developing countries.

Acknowledgments

The authors wish to acknowledge the technical assistance provided by Mrs. V. Rajyasakti and
Mr.Shivaji Rao. The assistance in photographic documentation by Mr. K. Manjunath, Human Brain
Tissue Repository (Brain Bank), Department of Neuropathology, National Institute of Mental Health
and Neurosciences, Bangalore, is gratefully acknowledged.

References

1. Austin JH. Recurrent polyneuropathies and their corticosteroid treatment; with five-year
observations of a placebo-controlled case treated with corticotrophin, cortisone, and
prednisone. Brain 1958;81:157-92.

2. Katz JS, Saperstein DS, Gronseth G, Amato AA, Barohn RJ. Distal acquired demyelinating
symmetric neuropathy. Neurology 2000;54:615-20.
3. Uncini A, Sabatelli M, Mignogna T, Lugaresi A, Liguori R, Montagna P. Chronic progressive
steroid responsive axonal polyneuropathy: a CIDP variant or a primary axonal disorder? Muscle
Nerve 1996;19:365-71.

4. Oh SJ, Joy JL, Kuruoglu R. 'Chronic sensory demyelinating neuropathy': chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy presenting as a pure sensory neuropathy. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 1992;55:677-80.

5. Saperstein DS, Amato AA, Wolfe GI, Katz JS, Nations SP, Jackson CE, et al. Multifocal acquired
demyelinating sensory and motor neuropathy: the Lewis-Sumner syndrome. Muscle Nerve
1999;22:560-6.

6. Barohn RJ, Kissel JT, Warmolts JR, Mendell JR. Chronic inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Clinical characteristics, course, and recommendations for diagnostic
criteria. Arch Neurol 1989;46:878-84.

7. Research criteria for diagnosis of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP).


Report from an Ad Hoc Subcommittee of the American Academy of Neurology AIDS Task Force.
Neurology 1991;41:617-8.

8. Saperstein DS, Katz JS, Amato AA, Barohn RJ. Clinical spectrum of chronic acquired
demyelinating polyneuropathies. Muscle Nerve 2001;24:311-24.

9. Joint Task Force of the EFNS and the PNS. European Federation of Neurological
Societies/Peripheral Nerve Society Guideline on management of chronic inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy. Report of a joint task force of the European Federation
of Neurological Societies and the Peripheral Nerve Society. J Peripher Nerv Syst 2005;10:220-
8.

10. Low PA, McLeod JG, Prineas JW. Hypertrophic Charcot-marie-Tooth disease. Light and electron
microscope studies of sural nerve. J Neurol Sci 1978;35:93-115.

11. Llewelyn JG, Gilbey SG, Thomas PK, King RH, Muddle JR, Watkins PJ. Sural nerve morphometry
in diabetic autonomic and painful sensory neuropathy. A clinicopathologic study. Brain
1991;114:867-92.

12. McCombe PA, Pollard JD, McLeod JG. Chronic inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. A clinical and electrophysiological study of 92 cases. Brain
1987;110:1617-30.

13. Krendel DA, Parks HP, Anthony DC, St Clair MB, Graham DG. Sural nerve biopsy in chronic
inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. Muscle Nerve 1989;12:257-64.

14. Molenaar DS, Vermeulen M, de Haan R. Diagnostic value of sural nerve biopsy in chronic
inflammatory demyelinating polyneuropathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1998;64:84-9.

15. Haq RU, Fries TJ, Pendlebury WW, Kenny MJ, Badger GJ, Tandan R. Chronic inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy: a study of proposed electrodiagnostic and histologic
criteria. Arch Neurol 2000;57:1745-50.

16. Bosboom WM, van den Berg LH, Franssen H, Giesbergen PC, Flach HZ, van Putten AM, et al.
Diagnostic value of sural nerve demyelination in chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy. Brain 2001;124:2427-38.

17. Vallat JM, Tabaraud F, Magy L, Torny F, Bernet-Bernady P, Macian F, et al. Diagnostic value of
nerve biopsy for atypical chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: evaluation of
eight cases. Muscle Nerve 2003;27:478-85.

18. Dyck PJ, Lais AC, Ohta M, Bastron JA, Okazaki H, Groover RV. Chronic inflammatory
polyradiculoneuropathy. Mayo Clin Proc 1975;50:621-37.

19. Prineas JW, McLeod JG. Chronic relapsing polyneuritis. J Neurol Sci 1976;27:427-58.

20. Bouchard C, Lacroix C, Plant V, Adams D, Chedru F, Guglielmi JM, et al. Clinicopathologic
findings and prognosis of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. Neurology
1999;52:498-503.

21. Rizzuto N, Morbin M, Cavallaro T, Ferrari S, Fallahi M, Galiazzo Rizzuto S. Focal lesions area
feature of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP). Acta Neuropathol
1998;96:603-9.

22. Vital C, Vital A, Lagueny A, Ferrer X, Fontan D, Barat M, et al. Chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy: immunopathological and ultrastructural study of peripheral
nerve biopsy in 42 cases. Ultrastruct Pathol 2000;24:363-9.

23. Matsumuro K, Izumo S, Umehara F, Osame M. Chronic inflammatory demyelinating


polyneuropathy: histological and immunopathological studies on biopsied sural nerves. J Neurol
Sci 1994;127:170-8.

24. Prineas JW. Demyelination and remyelination in recurrent idiopathic polyneuropathy. An


electron microscope study. Acta Neuropathol 1971;18:34-57.

25. Dalakas MC, Engel WK. Chronic relapsing (dysimmune) polyneuropathy: pathogenesis and
treatment. Ann Neurol 1981;9:134-45.

26. Thomas PK, Lascelles RG, Hallpike JF, Hewer RL. Recurrent and chronic relapsing Guillain-Barr
polyneuritis. Brain 1969;92:589-606.

27. Dyck PJ, Prineas J, Pollard J. Chronic inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy. In:
Dyck PJ, Thomas PK, Griffin JW, Low PA, Poduslo JF, editors. Peripheral neuropathy. 3 rd ed.
Philadelphia: W.B. Saunders; 1993. p. 1498-517.

28. Uncini A, De Angelis MV, Di Muzio A, Callegarini C, Ciucci G, Antonini G, et al. Chronic
inflammatory demyelinating polyneuropathy in diabetics: motor conductions are important in
the differential diagnosis with diabetic polyneuropathy. Clin Neurophysiol 1999;110:705-11.
29. Dyck PJ, Engelstad J. Pattern of onion-bulb distribution predicts acquired versus inherited
hypertrophic neuropathy. Ann Neurol 1999;46:482.

30. Andrade R, Gonzlez I, Machado A, Garca A. Can sural nerve biopsy be used to orientate the
treatment of chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy? Rev Neurol 2001;33:1005-
9.

31. Gabrels-Festen AA, Gabrels FJ, Hoogendijk JE, Bolhuis PA, Jongen PJ, Vingerhoets HM.
Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy or hereditary motor and sensory
neuropathy? Diagnostic value of morphological criteria. Acta Neuropathol 1993;86:630-5.

32. Bosboom WM, Van den Berg LH, De Boer L, Van Son MJ, Veldman H, Franssen H, et al. The
diagnostic value of sural nerve T cells in chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy.
Neurology 1999;53:837-45.

33. Leppert D, Hughes P, Huber S, Erne B, Grygar C, Said G, et al. Matrix metalloproteinase
upregulation in chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy and nonsystemic vasculitic
neuropathy. Neurology 1999;53:62-70.

34. Kieseier BC, Seifert T, Giovannoni G, Hartung HP. Matrix metalloproteinases in inflammatory
demyelination: targets for treatment. Neurology 1999;53:20-5.

35. Jann S, Bramerio MA, Beretta S, Koch S, Defanti CA, Toyka KV, et al. Diagnostic value of sural
nerve matrix metalloproteinase-9 in diabetic patients with CIDP. Neurology 2003;61:1607-10.

36. Kieseier BC, Tani M, Mahad D, Oka N, Ho T, Woodroofe N, et al. Chemokines and chemokine
receptors in inflammatory demyelinating neuropathies: a central role for IP-10. Brain
2002;125:823-34.

37. Mei FJ, Ishizu T, Murai H, Osoegawa M, Minohara M, Zhang KN,et al. Th1 shift in CIDP versus
Th2 shift in vasculitic neuropathy in CSF. J Neurol Sci 2005;228:75-85.

38. Kiefer R, Kieseier BC, Brck W, Hartung HP, Toyka KV. Macrophage differentiation antigens in
acute and chronic autoimmune polyneuropathies. Brain 1998;121:469-79.

39. Sommer C, Koch S, Lammens M, Gabreels-Festen A, Stoll G, Toyka KV. Macrophage clustering as
a diagnostic marker in sural nerve biopsies of patients with CIDP. Neurology 2005;65:1924-9.

40. Rotta FT, Sussman AT, Bradley WG, Ram Ayyar D, Sharma KR, Shebert RT. The spectrum of
chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy. J Neurol Sci 2000;173:129-39.

41. Gabriel CM, Howard R, Kinsella N, Lucas S, McColl I, Saldanha G,et al. Prospective study of the
usefulness of sural nerve biopsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;69:442-6.

Das könnte Ihnen auch gefallen