Sie sind auf Seite 1von 23

Presentasi kasus

Morbus Hansen

DOSEN PENGUJI:
dr. Hendrik Kunta Adjie, SpKK

Disusun oleh:
Ardy Fiansyah

406152024

KEPANITRAAN ILMU KULIT

RUMAH SAKIT HUSADA

PERIODE 21 AGUSTUS 2017 23 SEPTEMBER 2017

UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT KLIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT : RS HUSADA

Nama : Ardy Fiansyah Tanda Tangan


NIM : 406152024
.
dr. Pembimbing / Penguji :
dr. Hendrik Kunta Adjie, SpKK

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. I

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 30 tahun

Alamat : Mangga Besar

Pekerjaan : Wiraswasta

Status perkawinan : Belum Menikah

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 1
B. ANAMNESA

Autoanamnesa pada tanggal 26 Agustus 2017, PK 10.00 WIB

Keluhan Utama : Punggung kaki kiri gatal sejak 4 tahun yang lalu

Keluhan Tambahan : Terdapat berjak putih di tangan kiri

Riwayat Penyakit sekarang :

Os datang ke poli kulit dengan keluhan gatal di tungkai kaki kiri sejak 4 tahun yang lalu.
Ketika rasa gatal muncul Os sering menggaruk lesinya. Gatal yang dirasakan tidak terlalu berat,
tetapi tidak kunjung hilang. Os pernah berobat ke Rumah sakit 2 tahun yang lalu dan diberi obat
anti jamur namun tidak kunjung sembuh. Lesi kulit muncul pertama kali 4 tahun yang lalu di
tungkai kaki kiri, kemudian muncul di tangan kiri bawah. Os bekerja sebagai tukang ojek,
Keluarga dan teman kerja tidak mempunyai riwayat penyakit yang serupa.

Riwayat alergi (+) telur, Asma (-), DM (-), Hipertensi (-), maag (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :

Os tidak pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya.

C. Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Status Gizi : Baik

Tekanan Darah : 120/80

Suhu : Afebris

Berat Badan : 50 kg

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 2
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Gigi : Hygiene baik, karies (-)

THT : Dalam batas normal

Tes Sensibilitas : (-) pada semua lesi

Tes Panas dingin : (-) pada semua lesi

Tes Nyeri : (-) pada semua lesi

D. STATUS DERMATOLOGI

1. Distribusi : Lokalisata
Lokasi : Pre Tibialis sinistra
Efloresensi : Makula erythema, berukuran plakat, tidak berbatas tegas disertai
likenifikasi

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 3
2. Distribusi : Lokalisata
Lokasi : Volar sinistra
Efloresensi : Makula hipopigmentasi berukuran plakat tidak berbatas tegas

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan bakterioskopik (Pewarnaan Ziehl Nielsen):

2+ pada telinga kiri


2+ pada telinga kanan
2+ pada lesi volar sinistra
2+ pada lesi pretibialis

IB (Indeks Bakteri) = 2+

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 4
Pengambilan s
Indeks bakter
daerah preti

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 5
Bakteri Tahan Asam

Pemeriksaan bakterioskopik yang diambil


dari salah satu lesi penderita
F. RESUME

Os datang ke poli kulit dengan keluhan gatal di tungkai kaki kiri sejak 4 tahun yang lalu.
Ketika rasa gatal muncul Os sering menggaruk lesinya. Gatal yang dirasakan tidak terlalu berat,
tetapi tidak kunjung hilang. Os pernah berobat ke Rumah sakit 2 tahun yang lalu dan diberi obat
anti jamur namun tidak sembuh. Lesi kulit muncul pertama kali 4 tahun yang lalu di tungkai kaki
kiri, kemudian muncul di tangan kiri bawah. Os bekerja sebagai tukang ojek, Keluarga dan
teman kerja tidak mempunyai riwayat penyakit yang serupa.

Riwayat alergi (+) telur, Asma (-), DM (-), Hipertensi (-), maag (-)

Os tidak pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya.

TD = 120/80 mmHg, suhu afebris

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 6
Status Dermatologis :

1. Distribusi : Lokalisata
Lokasi : Pre Tibialis sinistra
Efloresensi : Makula erythema, berukuran plakat, tidak berbatas tegas disertai
likenifikasi
2. Distribusi : Lokalisata
Lokasi : Volar sinistra
Efloresensi : Makula hipopigmentasi berukuran plakat tidak berbatas tegas

G. DIAGNOSIS

Diagnosis Banding :

NeuroDermatitis
Tinea versikolor
Vitiligo

Diagnosis Kerja :

Morbus Hansen Tipe BT

H. PENATALAKSANAAN

Rifampisin 300 mg 1 dd 2 No II
Dapsone 100 mg 1 dd 1 No XVIII
Klofazimin 50 mg 1 dd 1 No XVIII
Kompres gliserin pada lesi di pre tibialis

Pengobatan Rifampisin dan Dapsone diberikan selama 2-3 tahun, kemudian

Melakukan pemeriksaan klinis tiap bulan


Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada
Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 7
Melakukan pemeriksaan bakterioskopik setiap tiga bulan
Setelah 2 3 tahun dinyatakan Release From Treatment
Lalu dilakukan pemeriksaan klinis dan bakterioskopik setiap tahun selama 5 tahun,
kemudian bila hasil (-) maka dinyatakan Release From Control

I. PROGNOSIS

Ad Vitam : Bonam

Ad Functionam : Dubia ad malam

Ad Sanationam : Dubia ad malam

Ad Cosmeticam : Dubia ad bonam

ANALISA KASUS

Os laki-laki berumur 30 tahun datang ke RS Husada dengan keluhan gatal pada


pretibialis sinistra. Setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan gejala klinis, didapatkan
diagnosa MH tipe BT. Keluhan pasien yang menahun menandakan penyakit yang diderita oleh
Os merupakan penyakit yang kronik. Lesi pada bagian kaki pasien mengalami likenifikasi yang
membuat kecurigaan terhadap neurodermatitis, namun lesi pada tangan membuat diagnosa
neurodermatitis kurang tepat. Lesi pada tangan hanya merupakan suatu makula hipopigmentasi
yang tidak berbatas tegas, gatal yang dirasakan juga tidak terlalu gatal. Tinea versikolor mirip
dengan gambaran ini, namun tidak terlihat adanya skuama yang jelas dan pemberian anti jamur
yang tidak efektif dan tidak ada perbaikan menunjukkan bahwa penyakit ini kemungkinan besar

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 8
bukan merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur. Kemudian dilakukan tes sensibilitas,
panas dingin, dan tes nyeri untuk mengetahui fungsi sensorik pada daerah lesi Os tersebut. Dari
ketiga tes tersebut didapatkan bahwa Os tidak dapat merasakan adanya rangsangan sentuhan,
dingin/ panas dan tidak berasa adanya nyeri, dari ketiga hal ini menunjukkan bahwa penyakit
yang diderita Os menyebabkan kerusakan saraf sensorik. Untuk memastikan lesi pada pasien ini
merupakan lesi Morbus Hansen, dilakukanlah pemeriksaan bakterioskopik yang preparatnya
diambil dari lesi Os. Dari pemeriksaan bakterioskopik didapatkan BI (Bakterial Index) = 2+,
sehingga dapat disimpulkan bahwa Os menderita Morbus Hansen. MH Tipe BT ditegakkan
berdasarkan jumlah lesi Os yang berjumlah 2, dari gejala anesthesi Os yang cukup jelas dan
didapatkan dari nilai BI Os yaitu yang bernilai 2+. Namun karena adanya BTA yang positif maka
pengobatan masuk ke dalam regimen MB (Multi Basiler), yaitu menggunakan kombinasi
Rifampisin, Dapsone dan Klofazimin.

TINJAUAN PUSTAKA

MORBUS HANSEN

A. Definisi

Morbus hansen atau yang lebih sering disebut lepra merupakan penyakit infeksi yang
kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 9
B. Epidemiologi

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam
droplet.

Masa tunas antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh
dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.
Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-
orang Cina. Distribuasi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata
berbeda-beda.

Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan,
keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan,
perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung
M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dapat menyerang semua umur, anak-anak
lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun
didapatkan 13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat
pada kelompok umur antar 25 35 tahun.

Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan
subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin
berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja,
tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 10
ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang
berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.

C.ETIOLOGI

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media
artifisial. M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan alkohol
serta Gram Positif.

D. PATOGENESIS

Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 11
E. KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINIS

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis dan histopatologis.


Di antara ketiga ini, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil
bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15 30 menit, sedangkan histopatologik 10-14
hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan
tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan
agar dapat menetapkan terapi yang sesuai

Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai
dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 12
(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS
rendah memberikan gambaran lepromatosa.

Oleh Ridley & Jopling jenis penyakit Lepra dibagi menjadi TT, BT, BB, BL dan LL.
Oleh WHO penyakit lepra ini dibagi hanya menjadi 2 jenis, yaitu PB (Pausi Basiler) dan MB
(Multi Basiler). Di mana tipe TT, BT termasuk dalam Pausi Basiler dan BB, BL dan LL
termasuk dalam Multi Basiler. Pembagian PB dan MB dipakai untuk kepentingan pengobatan.
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan
kulit. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta
MB. Pengobatan PB adalah dengan menggunakan MDT PB (Multi Drug Treatment Pausi
Basiler) sedangkan untuk MB dengan menggunakan MDT MB.

Zona Spektrum Kusta menurut macam klasifikasi

Bagian Diagnosis Klinis menurut WHO (1995)

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 13
Klasifikasi dan Bentuk Lepra berdasarkan WHO dan Ridley Jopling

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 14
Lesi PausiBasiler (TT)

Lesi Multi Basiler (LL)

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 15
Antara diagnosis secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat
persamaan maupun perbedaan tie. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus
didasarkan hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaliknya jangan
hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di
wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan
kulit) pun dapat berbeda tipenya, umpamanya di sisi kiri berbeda dengan sisi kanan.
Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosa klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu
dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sedehana yaitu: jarum, kapas, tabung reaksi
masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau cacat tubuh.
Orang awampun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang penting bagi kita
sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barangkali para ahli kecantikan dapat
menduga ke arah penyakit kusta, terutma bagi kelainan kulit yang masih berupa makula
hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa.

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja,
infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta ini merupakan salah satu dari penyakit the great
imitator disease. Penyakit ini dapat menyerang ke saraf perifer sehingga perlu diperhatikan
pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak pada syaraf. Gejala yang timbul bergantung akan
syaraf mana yang terkena, misal saraf ulnaris akan memberikan gejala clawing kelingking dan
jari manis, N. Medianus akan memberikan gejala clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, N.
Radialis akan memberikan gejala wrist drow, N. Poplitea lateralis akan memberikan gejala foot
drop, N. tibialis posterior menyebabkan claw toes, N. Fasialis akan menyebabkan kelumpuhan
sebaian otot wajah dan N. Trigeminus yang aka menyebabkan anesthesi pada daerah wajah.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 16
kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSEN.
Bakterioskopik negatif pada seorang penderita bukan berarti orang tersebut tidak
mengandung basil M.Lepra.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6
tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif,
berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga
tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar
pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak.
Kepadatan BTA dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB)/ Bacterial index (BI)
dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. Nilai 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang, nilai 1+ bila terdapat 1 10 BTA pada 100 lapang pandang, 2+ bila terdapat 1-
10 BTA pada 10 lapang pandang, 3+ bila terdapat 1-10 BTA pada 1 lapang pandang, 4+
bila terdapat 11-100 BTA pada 1 lapang pandang, 5+ bila terdapat 101 1000 BTA pada
1 lapang pandang, dan 6+ bila terdapat >1000 BTA pada 1 lapang pandang.

2. Pemeriksaan Histopatologik
Pada pemeriksaan Histologik dapat ditemukan adanya sel Virchow atau sel lepra
atau sel busa yaitu merupakan histiosit (monosit) yang didalamnya ditemukan M. Lepra
dimana biasa itemukan pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hnaya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut.

3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M.Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik
terhadap M. Leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD. Pemeriksaan serologi dapat menggunakan ELISA, Uji
MLPA, dan ML dipstick.
Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada
Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 17
G. KOMPLIKASI (REAKSI KUSTA)

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut apda perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Terdapat 2 reaksi Kust, yaitu ENL (Erythema Nodosum Leprosum)
dan reaksi reversal. ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL.
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri dengan tempat
predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis dan nefritis yang akut dengan adanya
proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan
secara imunologik pula.

Erythema Nodosum leprosum

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula menjadi
infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh
gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena
sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut
pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 18
Reversal Reaction
Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non-nodular difus. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna
merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas
ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura dan bula, kemudian
dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 19
Lucio phenomenon

H. PENGOBATAN

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pengobatan ini sering disebut sebagai MDT (Multi
Drug Treatment). Obat alternatif lain yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin.

Pengobatan MDT pada pasien yang masuk kedalam kategori MB, ia harus memakan
pengobatan rifampisin 600 mg setiap bulan, DDS 100 mg, dan klofazimin 50 mg setiap hari
selama 2-3 tahun. Selama pengobatan ini harus dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan
pemeriksaan bakteriologi setiap 3 bulan. Setelah 2-3 tahun pemeriksaan bakterioskopik harus (+),
bila masih (+) pengobatan dilanjutkan sampai hasil bakterioskopik (-). Setelah 2-3 tahun pasien
dinyatakan RFT (Release From Treatment), kemudian penderita harus melakukan pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan bakterioskopik setiap tahun selama 5 tahun. Bila bakterioskopik tetap
negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut
RFC (Release From Control).

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 20
Pengobatan MDT pada penderita yang masuk kedalam kategori PB, ia harus memakan
pengobatan rifampisin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari selama 6-9 bulan.
Selama pengobatan ini harus dilakukan pemeriksaan klinis setiap bulan dan pemeriksaan
bakterioskopik setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Setelah 6-9 bulan pemeriksaan
bakterioskopik harus tetap negatif. Setelah 6-9 bulan pasien dinyatakan RFT (Release From
Treatment). Kemudian pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis
dan bakterioskopik. Bila tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif,
maka dinyatakan RFC (Release From Control).

Bila terjadi resistensi rifampisin, biasanya akan resisten pula dengan DDS sehingga
hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan menjadi klofazimin 50 mg,
ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50
mg ditambah ofloksasin 40 mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan. Bagi
penderita MB yang menolak klofazimin dapat diberikan ofloksasi 400 mg/hari atau minosiklin
100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan
ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal seiap bulan selama 24 bulan.

Pengobatan ENL dapat diberikan tablet kortikosteroid antara lain prednison. Dosisnya
bergantung pada berat ringannya raksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari. Makin berat
reaksinya makin tinggi dosisnya. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara
bertahap sampai berhenti sama sekali.

Pengobatan reaksi reversal harus memperhatikan disertai adanya neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan
perlahan-lahan.

I. PROGNOSIS

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 21
Prognosis bergantung akan stadium penyakitnya. Tipe Tuberkuloid biasanya
menyebabkan kerusakan saraf yang cukup parah. Prognosis juga bergantung akan kepatuhan
dalam memakan pengobatan lepra ini.

Relapse (penyakit baru setelah MDT telah diselesaikan) terjadi pada 0.01% 0.14%
pasien yang telah menyelesaikan MDT secara adekuat pada 10 tahun pertama. Kira-kira 5-10%
pasien mengalami reaksi reversal pada tahun pertama penderita menyelesaikan MDT.

Karena adanya penurunan sistem imun pada kehamilan, maka reaksi ENL dapat terjadi
pada wanita mengandung yang berumur kurang dari 40 tahun.

Secara keseluruhan, anak-anak mempunyai prognosis yang baik karena penyakit


multibacilar dan reaksi leprosa sangat jarang.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.who.int/lep diakses terakhir tanggal 27 Februari 2013


2. http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.html diakses
terakhir tanggal 27 Februari 2013
3. http://dermatology-s10.cdlib.org/142/case_reports/lucio/thappa.html diakses terakhir
tanggal 27 Februari 2013
4. http://emedicine.medscape.com/article/1104977-followup#a2650 diakses terakhir tanggal
27 Februari 2013
5. Prof. Dr. dr. Adhi Djuanda. Dkk. Fakultas kedokteran universitas indonesia. Edisi kelima.
ilmu penyakit kulit dan kelamin. 2010

Morbus Hansen | Kepaniteraan Kulit | RS Husada


Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara 21 Agustus 2017 23 September 2017 Page 22

Das könnte Ihnen auch gefallen