Sie sind auf Seite 1von 38

CASE REPORT SESSION

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A107022/2013


** Pembimbing dr. Sulistyowati, Sp.An

GENERAL ANESTESI PADA PASIEN GAGAL GINJAL

Oleh :

Vivi Permana Sarie, S.ked / G1A107022

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ANESTESI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS JAMBI
RSUD. RADEN MATTAHER PROV. JAMBI
2013

1
BAB I
PENDAHULUAN

Ginjal merupakan salah satu organ vital tubuh, dengan berbagai macam
fungsi. Fungsi utama dari ginjal adalah untuk filtrasi plasma dan ekskresi sisa
sisa produk, mempertahankan homeostatis air, elektrolit dan asam basa. Ginjal
juga mensekresi renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah dan
keseimbangan cairan. Berbagai macam gangguan dapat terjadi pada ginjal, salah
satu dari gangguan tersebut adalah gagal ginjal kronik seperti pada kasus ini.1
Gagal ginjal kronik merupakan suatu proses penurunan fungsi ginjal yang
telah berlangsung lama dan perlahan-lahan (menahun). Pada keadaan ini
kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh telah
terganggu, sehingga sisa-sisa metabolisme tersebut menumpuk dan menimbulkan
gejala klinik dan laboratorium yang abnormal disebut sindrom uremik. Sindrom
uremik akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan
klirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease)
akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi.1
Banyak obat-obatan yang digunakan selama anestesia yang setidaknya
sebagian tergantung pada eksresi renal untuk eliminasi atau fungsi ginjal. Dengan
adanya gagal ginjal, pemilihan obat, modifikasi dosis harus dilakukan untuk
mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Terapi cairan juga sangat penting
pada kasus ini, keadaan hipovolemia akan menyebabkan penurunan perfusi ginjal
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal post operasi. Angka kematian dari gagal
ginjal post operasi 50%60%, oleh karna itu dibutuhkan manajemen anestesi
yang tepat mulai persiapan pasien pre operasi hingga post operasi.2

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. NH
Umur : 33 tahun
BB : 40 kg
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Desa Sei. Benam
Agama : Islam
MRS : 27 februari 2013

2.2 Anamnesis (Autoanamnesis, tanggal 16 Maret 2013)


1. Keluhan Utama :
Nyeri perut kiri (stoma) 1 bulan SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Os mengeluh nyeri pada perut kiri (stoma) 1 bulan SMRS, nyeri
dirasakan seperti terbakar, awalnya nyeri dirasakan hilang timbul namun
lama kelamaan menjadi semakin sering sehingga pasien tidak bisa
beraktifitas, mual (+), muntah (+), nafsu makan , sulit tidur (+). BAK
normal, BAB terganggu.

3. Riwayat penyakit dahulu :


Os terlahir dengan keadaan atresia ani, selama 12 tahun (0-12 tahun
BAB keluar melalui vagina. Umur 13 tahun os menjalani operasi
pembuatan lobang anus namun BAB dirasakan masih sulit, os hanya
dianjurkan oleh dokter untuk makan makanan lunak
Tahun 2008 os menjalani operasi colostomi

3
Tahun 2012 os mengetahui bahwa menderita penyakit ginjal, edema (-
), keluhan hanya mudah capek.
Os memiliki riwayat asma, kumat bila cuaca dingin, setiap serangan os
selalu minum obat dexametason dan teosal yang diperoleh dari bidan.
Riwayat DM (-), hipertensi (+)
Riwayat wajah sembab dan kaki bengkak saat kecil (+)

4. Riwayat penyakit keluarga :


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti yang
dialami oleh pasien. Riwayat penyakit DM, hipertensi, asma, pada anggota
keluarga disangkal.

5. Riwayat Sosial:
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, dengan pendidikan terakhir
SMA dan beragama Islam.

2.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal 16 Maret 2013)


1. Status Present
- Keadaan Umum: tampak sakit sedang
- Kesadaran: Composmentis
- Vital Sign: TD : 160/100 mmHg
Nadi : 86 x/menit
RR : 18 x/menit
T : 36,8C

2. Status General
- Kepala : Normocephali
- Mata : CA -/-, SI -/-, edema palbebra (+/+) minimal, Pupil
Isokhor, RC +/+
- THT : discharge (-), dbn
- Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-), dbn

4
- Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba membesar
3. Thorax:
Paru:
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan kiri.
- Palpasi : Vocal fremitus normal, kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung:
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV, luas 2 cm, kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kanan linea parasternal kanan, batas jantung
kiri ICS IV linea midklavikula kiri, batas pinggang jantung ICS III
parasternal kiri, batas atas jantung ICS II parasternal kiri
- Auskultasi: BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : datar, stoma di kuadran lumbal kiri
- Auskultasi : BU (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (+), massa (-), undulasi (-)
- Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (+) minimal
- Ginjal : Ballotement (+) , nyeri ketok CVA (-)

Ekstremitas:
- Superior : akral hangat, edema (-/-)
- Inferior : akral hangat, edema (+/+) minimal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
a. Darah rutin ( 10 Maret 2013)

5
WBC : 7.4 103/mm3 (3,5-10,0 103/mm3)
RBC : 4.28 106/mm3 (3,80-5,80 106/mm3)
HGB : 11.5 g/dl (11,0-16,5 g/dl)
HCT : 35.7 % (35,0-50%)
PLT : 121 103/mm3 (150-390 103/mm3)
GDS : 102 mg/dl
Ct/Bt : 3/5

b. Kimia Darah Lengkap (14 Maret 2013)


Faal Ginjal:
Ureum : 35,5 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 2,2 mg/dl (0,6-1,1)

Elektrolit: (15 Maret 2013)


Na+ : 123,9 mmol/L
K+ : 3,52 mmol/L
Cl- : 88,3 mmol/L
Ca+ : 2,11 mmol/L

2. Radiologi
Foto Thoraks AP : kardiomegali, LVH
USG: chronic kidney disease grade IV bilateral dengan ascites

2.5 Diagnosis Kerja Pre-Op:


Prolaps colostomy + CRF

2.6 Pra Anastesi


Penentuan Status Fisik ASA: 1 / 2 / 3 / 4 / 5 / E
Mallampati: 1

6
Persiapan Pra Anestesi:
- Pasien telah diberikan Informed Consent
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Persiapkan 2 kantong PRC
- Persiapkan ICU untuk post operasi

2.8 Laporan Anestesi


Operasi laparatomi dan reseksi colostomi dilaksanakan pada tanggal 16 Maret
2013
- Tindakan Anestesi
1) Metode : Anestesi Umum (Intubasi)
2) Premedikasi : Ondansentron 4mg, Ranitidin 50 mg, Sulfas
Atropin 0,25mg
3) Induksi : Propofol 130 mg
4) Intubasi : Insersi ETT no.7 difasilitasi dengan atracurium
25mg
5) Maintenance : Sevoflurans 0,5 vol% + N2O (2L) : O2 (2L)

- Keadaan selama operasi


1) Posisi Penderita : Supine
2) Penyulit waktu anestesi : tidak ada
3) Lama Anestesi : 1,5 jam
4) Jumlah Cairan
Input : RL 2 Kolf 1000ml
Fima HES 1 Kolf 500ml +
Total 1500 ml
Output : 200 cc
Perdarahan : 400 cc

Kebutuhan Cairan Pasien ini:


BB = 40 kg

7
- Defisit Cairan karena Puasa (P)
P = 8 x BB x 2cc
P = 8 x 40 x 2cc = 640 cc
- Maintenance (M)
M = BB x 2cc
M = 40 x 2 cc = 80 cc
- Stress Operasi (O)
O = BB x 6cc (operasi sedang)
O = 40 x 6 = 240 cc
- Perdarahan
Total = Suction + Kassa
Total = 300cc + 100cc = 400cc
Kebutuhan cairan selama 1,5 jam operasi:
Jam I : (640) + 80 + 240 = 640cc
Jam II : (640) + 80 + 240 = 480cc jam = 240
Total cairan: 640cc + 240cc + 400cc = 1280 cc

5) Monitoring
TD awal: 160/100 mmHg, N: 86 x/i, RR: 18x/i, T: 36,5C
Jam TD (mmHg) Nadi (x/i) RR (x/i)
09.15 125/78 100 21
09.30 120/75 98 20
09.45 118/84 104 20
10.00 155/104 120 21
10.15 135/90 110 22
10.30 160/105 100 20
10.45 160/105 98 20

- Ruang Pemulihan (RR)


1) Masuk Jam : 11.00 wib

8
2) Keadaan Umum : Kesadaran CM, GCS:15
3) Tanda Vital : TD: 160/100 mmHg, N: 92x/i, RR: 18 x/i
4) Pernafasan : baik
5) Skoring Alderate :
Aktifitas :1
Pernafasan :2
Warna Kulit : 2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah :9
6) Instruksi Post Op :
- Pasien masuk ICU
- Monitoring KU dan TTV
- Pasien puasa sampai sadar penuh
- Tidur tanpa bantal 1x24 jam
- Analgetik Ketorolac + Tramadol 30 tts/menit
- Pantau balance cairan
- Cek Hb post op dan transfusi jika < 10 g/dl tansfusi 1 kolf.
- Terapi selanjutnya sesuai dr. Azis Sp. B

2.9 Diagnosa Post-op


Post operasi Laparatomi + reseksi colostomy

2.10 Prognosis
Quo ad vitam: dubia
Quo ad fungsionam: dubia ad malam

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anestesi Umum


3.1.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum memiliki
karakteristik menyebabkan amnesia bagi pasien yang bersifat anterogard yaitu
hilang ingatan kedepan maksudnya pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah
terjadi saat dia dianestesi / operasi, sehingga saat pasien bangun dia hanya tau
kalo dia tidak pernah menjalani operasi. Karakteristik selanjutnya adalah
reversible yang berarti anestesi umum akan menyebabkan pasien bangun kembali
tanpa efek samping3-5.

3.1.2 Komponen dalam Anestesi Umum


Dahulu dikenal istilah Trias Anetesia yaitu hipnosi, analgesia, dan
arefleksia. Namun, sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai tiga
komponen itu saja. Secara umum komponen yang ada dalam anestesi umum
yaitu3-5:
1. Hipnosis
2. Analgesia
3. Arefleksia
4. Relaksasi otot
5. Amnesia.

3.1.3 Keuntungan dan Kerugian Anestesia Umum


Tidak semua pasien atau prosedur medis ideal untuk dijalani di bawah
anestesia umum. Namun demikian, semua teknik anestesia harus dapat sewaktu-
waktu dikonversikan menjadi anestesia umum. Keuntungan anestesia umum: 3
Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.

10
Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama.
Memudahkan kontril penuh ventilasi pasien.

Sedangkan kerugian anestesia umum :3


Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesia umum.
Memerlukan pemantauan yang lebih holostik dan rumit.
Tidak dapat mendeteksi gangguan SSP, misalnya perubahan kesadaran.
Risiko komplikasi pascabedah lebih besar.
Memerlukan persiapan pasien yang lebih lama.

3.1.4 Jenis Anestesi Umum


3.1.4.1 Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi merupakan suatu anestesi yang menggunakan inhalan
berupa gas. Obat anestesi inhalasi yang sering digunakan saat ini adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran. Mekanisme kerja obat inhalasi ditentukan oleh
ambilan paru, difusi gas dari paru ke darah dan distribusi ke organ. Sedangkan
konsentrasi uap obat anestetik dalam alveoli ditentukan oleh konsentrasi inspirasi,
ventilasi alveolar, koefisien gas darah, curah jantung, dan perfusi.4,5

3.1.4.2 Anestesi Intravena


Anestesi intravena merupakan suatu tindakan pemberian anestesi dengan
memasukkan obat melalui intravena.
Obat-obatan anestesi intravena: 3-5
1. Barbitura kerja ultra singkat
Walaupun terdapat beberapa babiturat dengan masa kerja ultra singkat,
tiopental merupakan obat terlazim yang digunakan untuk induksi anestesi dan
banyak dipergunakan dalam bentuk kombinasi anestetik inhalasi lainnya.

11
Setelah pemberian secara intra vena, tiopental akan melewati sawa darah otak
secara tepat dan, jika diberikan pada dosis yang mencukupi, akan
menyebabkan akan mengakibatkan hypnosis dalam waktu sirkulasi. Efek sama
akan terlihat pada pemberian barbiturate dengan masa kerja ultra singkat
lainnya seperti diamilan dan metoheksitan
2. Benzodiazepine
Anggota tertentu dalam kelompok obat sedative hypnosis seperti diazepam,
lorazepam, dan midazolam, yang dipergunakan pada prosedur anestesi. (dasar-
dasar farmakologi benzodiazepin) diazepam dan lorazepan tidak larut dalam
air dan penggunaan intravenanya memerlukan vehikulum yang tidak encer,
sehingga pemberian intravena dapat menyebabkan iritasi luka. Formulasi
mudah larut dalam air dan kurang iritasi tetapih mudah larut dalam lemak
pada pH fisiologis serta mudah melewati sawa darah otak.
3. Anestesi analgesik opioid
Dosis besar analgesik opioid telah digunakan untuk anestesi umum, terutama
pada penderita operasi jantung atau operasi besar lainnya ketika sirkulasi
dalam keadaan minimal. Pemberian morfin, secara intravena dengan dosis 1
sampai 3 per kg digunakan dalam keadaan sirkulasi yang berat.
4. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat
menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian barbiturat
secara intravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat.
5. Etomidat
Etomidat merupakan imidazol karboksilasi yang digunakan untuk induksi
anestesi dan teknik anestesi secara seimbang yang tidak boleh diberikan untuk
jangka lama. Kelebihan utama dari anestestik ini yaitu depresi kardiovaskular
dan repilasi yang minimal.
6. Ketamin
Ketamin menimbulkan anestesi disosiatif yang ditandai dengan kataton,
amenesia, dan analgesia. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara

12
menghambat efek membran eksitator neurotrasmiter asam glutamate pada
subtype reseptor NMDA.

3.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum


A. Faktor Respirasi 4
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial

B. Faktor Sirkulasi 4
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.

C. Faktor Jaringan 4
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
2. Koefisien partisi jaringan/darah
3. Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya
pembuluh darah, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit
pembuluh darah)

13
D. Faktor Zat Anestetika4
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang
rasa sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.

E. Faktor Lain4
1. Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
2. Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anesthesia
3. Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga
pendalaman anestesia semakin cepat.

3.1.6. Stadium-Stadium Anestesi Umum


Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur ernest Guedel pada tahun 1937,
meliputi: 3
1. Stadium 1 (Stadium Induksi), merupakan periode sejak masuknya obat induksi
hingga hilangnya kesadaran, yang ditandai dengan hilangnya reflex bulu mata.
2. Stadium 2 (Stadium Eksitasi), merupakan periode setelah kesadaran hilang,
timbul eksitasi dan delirium. Pernafasan menjadi ireguler, dapat terjadi pasien
menahan nafas. Terjadi REM. Timbul gerakan-gerakan involuntari, seringkali
spastic. Pasien juga dapat muntah sehingga membahayakan jalan nafas.
Aritmia jantung pun dapat terjadi, pupil dilatasi sebagi tanda peningkatan tonus
simpatis. Stadium ini merupakan stadium beresiko tinggi.
3. Stadium 3 (Stadium Pembedahan), pada stadium ini otot-otot skeletal akan
relaks, pernapasan menjadi teratur, dan pembedahan dapat dimulai. Stadium ini
dibagi atas empat plana, yaitu :
a. Plana 1 : mata berputar, kemudian terfiksasi.
b. Plana 2 : reflex korne dan reflex laring hilang.
c. Plana 3 : dilatasi pupil, reflex cahaya hilang.

14
d. Plana 4 : kelumpuhan otot interkostal, pernapasan menjadi abdominal
dan dangkal.
4. Stadium 4 (Stadium Overdosis Obat Anestetik), merupakan stadium anestesi
menjadi terlalu dalam, terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk
batang otak. Stadium ini letal.

Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha untuk memperbaiki


teknik anestesi, yang mengutamakan keselamatan pasien. Obat induksi masa kini
bekerja cepat dan melampaui stadium 2, sekarang hanya dikenal tiga stadium
dalam anestesi umum, yaitu induksi, rumatan (maintenance) dan emergence.3

3.1.7. Manajemen Perianestesi


A. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun
darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan
pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra
anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan
pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Tujuan kunjungan pra
anestesi: 3-5
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.

15
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai
keadaan fisik dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang
mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal
ini dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai
gambaran prognosis pasien secara umum.

Secara garis besar, hal-hal yang biasa dikerjakan ketika melakukan


kunjungan pra anestesi adalah : 3-5
1. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui
keluarga pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan
pendekatan psikologis serta berkenalan dengan pasien. Yang harus
diperhatikan pada anamnesis:
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat
menjadi penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes
mellitus, penyakit paru-paru kronik (asma bronchial, pneumonia,
bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (infark miokard, angina
pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotika
golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung seperti digitalis, diuretika,
obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu,
berapa kali, dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi
saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti: merokok dan alkohol.

16
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui
apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek
dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum


tentu tidak boleh dilewatkan seperti keadaan hemodinamik, serta
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh
pasien. 3-5

3. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Rutinitas pemeriksaan darah tepi pada
orang sehat seharusnya sudah ditinggalkan. Sebaliknya tidak dibenarkan
mengesampingkan pemeriksaan EKG atau foto X-Ray Thoraks semata-
mata karena berusia muda.3-5

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


laboratorium, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik
anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada diabetes mellitus, induksi
tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan hiperglikemia. Pada
penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan teknik
analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan
komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,

17
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah
dapat dihindari. 3-5

4. Status Fisik
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan
yang tidak perlu harus dihindari.
Berdasarkan status fisik pasien pra anestesi, ASA (The American Society
of Anesthesiologists) membuat klasifikasi yang membagi pasien kedalam 5
kelompok atau kategori sebagai berikut:
ASA I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan
mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III
E. 3,5

5. Puasa
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anesthesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Lamanya puasa
disesuaikan dengan umur pasien, kondisi fisik dan rencana operasinya.

18
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anesthesia. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.3-5

6. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya : 3-5
- Meredakan kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi anestesia
- Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
- Meminimalkan jumlah obat anestetik
- Mengurangi mual muntah pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada


situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam
sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.3
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan
antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral
ranitidin 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi atau ranitidine 50 mg
intravena 5-10 menit sebelum operasi. Untuk mengurangi mual muntah
pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan intramuscular untuk

19
dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg atau odansentron 2-
4 mg intravena 5-10 menit sebelum operasi.3

B. Periode Intra Bedah


Hal pertama ketika memasuki ruang operasi adalah memastikan sumber
listrik terpasang pada peralatan elektronik. Lampu ruangan, mesin anestesi,
berbagai alat pantau, mesin penghangat tempat tidur/blanket rol, infusion pumps,
syringe pumps, defibrillator dan sebagainya yang harus dipastikan dapat berfungsi
dengan baik. Sumber gas terutama O2 harus dihubungkan dengan mesin anestesi,
pengecekan dengan cara melihat gerakan flowmeter, memastikan tidak ada
kebocoran pada sirkuit pernapasan, memeriksa kondisi APL valve (adjustable
pressure limiting valve). Berikutnya adalah menyiapkan STATICS.3-5
1. Scope : Laringoscope dan Stetoscope
2. Tubes : Pipa trakea yang diplih sesuai usia
3. Airway : Orotracheal airway, untuk menahan lidah pasien saat pasien
tidak sadar, untuk menjaga agar lidah tidak menutup jalan
nafas.
4. Tape : Plaster untuk memfiksasi orotracheal airway.
5. Introducer : Mandrain atau stilet dari kawat untuk memandu agar pipa trakea
mudah untuk dimasukkan.
6. Conector : Penyambung antara pipa dan alat anestesia
7. Suction : Penyedot lendir.

Ketika pasien masuk ke ruang operasi, dua hal pertma yang harus dilakukan
adalah memeriksa patensi akses intravena dan memasang alat pantau pada pasien.
Ada dua masa kritikal dalam anestesi, yaitu ketika induksi anestesi dan ketika
pengakhiran anestesi (emergence). Pemantauan dan pencatatan untuk menjaga
keselamatn pasien adalah pekerjaan terbesar yang harus dilkaukan secara
kontiniu, sejak pasien tiba di ruang operasi hingga keluar dari recovery room,
terkadang pemantauan dilanjutkan lagi di ICU atau PACU. 3,5

20
C. Periode Pasca Bedah
Pasien yang sejak pra bedah sudah direncanakan menjalani perawatan di
ICU/PACU, begitu operasi usai harus segera dibawa menuju ruang tersebut, jika
kondisinya memungkinkan. Semua pasien yang tidak memerlukan perawatan di
ICU/PACU harus diobservasi di ruang pemulihan. Pemantauan standar dilakukan
sesuai kriteria Alderette. 3-5
(Skala Aldrete)
GERAKAN SKOR
Dapat menggerakan ke 4 ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah 2
Dapat menggerakkan ke 2 ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah 1
Tidak dapat menggerakkan ekstremitasnya sendiri atau dengan perintah 0
PERNAPASAN
Bernapas dalam dan kuat serta batuk 2
Bernapas berat atau dispnu 1
Apneu atau napas dibantu 0
TEKANAN DARAH SKOR
Sama dengan nilai awal + 20% 2
Berbeda lebih dari 20-50% dari nilai awal 1
Berbeda lebih dari 50% dari nilai awal 0
KESADARAN SKOR
Sadar penuh 2
Tidak sadar, ada reaksi terhadap rangsangan 1
Tidak sadar, tidak ada reaksi terhadap rangsangan 0
WARNA KULIT SKOR
Merah 2
Pucat , ikterus, dan lain-lain 1
Sianosis 0
Catatan: Dianggap sudah pulih dari anestesia dan dapat pindah dari ruang
pemulihan ke ruang perawatan apabila skor>8.

21
3.2 Anastesi pada Pasien Gagal Ginjal
3.2.1 Perubahan Fungsi Ginjal Dan Efeknya Terhadap Agen-Agen Anestesi
Beberapa obat yang biasanya dipakai pada saat anestesi sebagian kecil
tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal,
modifikasi dosis mungkin diperlukan untuk mencegah akumulasi obat atau
metabolit aktif. Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja
farmakologikal dari agen-agen ini. Pada observasi terakhir mungkin disebabkan
akibat menurunnya ikatan protein dengan obat, perembesan ke otak karena
perubahan pada sawar darah otak, atau efek sinergis dengan toksin yang tertahan
pada gagal ginjal.2,6,7

Agen Intravena 2,6,7

Propofol dan Etomidate


Farmakokinetik dari keduanya, propofol dan etomiate, secara
signifikan tidak dipengaruhi oleh gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan
protein dari etomidate pada pasien dengan hipoalbuminemia bisa
meningkatkan efek farmakologiknya.
Barbiturat
Pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensifitas
terhadap barbiturat selama induksi, meskipun profil farmakokinetik tampak
tidak berubah. Mekanismenya terlihat dengan meningkatnya barbiturat bebas
yang bersirkulasi sebagai akibat dari penurunan ikatan protein. Asidosis juga
bisa menyebabkan agen ini lebih cepat masuk ke otak dengan meningkatkan
fraksi non ion pada obat.
Ketamine
Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal.
Beberapa metabolit aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan dapat
berpotensi terakumulasi pada gagal ginjal. Efek hipertensi sekunder dari
ketamin tidak diinginkan pada pasien hipertensi ginjal.

22
Benzodiazepin
Benzodiazepin mengalami metabolisme dan konjugasi di hati sebelum
dieliminasi di urin. Karena sebagian besar terikat kuat dengan protein,
peningkatan sensitifitas bisa terlihat pada pasien-pasien dengan
hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan dengan hati-hati pada
adanya kerusakan ginjal karena potensi untuk terjadinya akumulasi metabolit
aktif.
Opioid
Sebagian besar opioid sekarang ini digunakan pada terapi anestesi
(morfin, meperidin, fentanyl, sulfentanyl, dan alfentanyl) di inaktifasi oleh
hati, beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik
remifentanil tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang
cepat di dalam darah. Dengan pengecualian morfin dan meperidin, akumulasi
signifikan dari metabolit aktif umumnya tidak terjadi pada agen tersebut.
Akumulasi metabolit morfin (morphine-6-glucoronide) dilaporkan
memperpanjang depresi pernapasan pada beberapa pasien dengan gagal
ginjal. Peningkatan level normepiridin, metabolit meperidin, dihubungkan
dengan kejang. Farmakokinetik dari kebanyakan agonis-antagonis opioid
yang sering digunakan (butorphanol, nalbuphine, dan buprenorphine) tidak
dipengaruhi oleh gagal ginjal.
Agen-agen Antikolinergik
Dalam dosis yang digunakan untuk premedikasi, atropin dan
glikopirolat umumnya bisa digunakan secara aman pada pasien-pasien
dengan kerusakan ginjal. Karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan
metabolit aktifnya secara normal diekskresi melalui urin, akan tetapi potensi
akumulasi terjadi bial dosis diulang. Scopolamin kurang tergantung pada
ekskresi ginjal, tetapi efek sistem saraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia.
Phenothiazines, H2 blocker, dan agen-agen yang berhubungan
Beberapa phenothiazine, seperti prometahazine dimetabolisme menjadi
komponen tidak aktif oleh hati. Meskipun profil farmakokinetik tidak mampu
diubah oleh adanya kerusakan ginjal, potensinya terhadap efek depresi pusat

23
oleh azotemia juga dapat terjadi. Efek antiemetiknya terutama dapat berguna
untuk penanganan mual perioperatif. Droperidol sebagian tergantung pada
ginjal untuk diekskresikan. Akumulasi dapat dilihat pada dosis besar pada
pasien dengan kerusakan ginjal, secara relatif dosis kecil droperidol (<2,5mg)
biasanya digunakan di klinik.
Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal.
Metoclopramid sebagian diekskresikan tidak berubah di urin dan juga akan di
akumulasi pada gagal ginjal. Meskipun diatas 50% dari dolasetron
diekskresikan di urin, tidak ada dosis penyesuaian yang direkomendasikan
untuk beberapa 5-HT3 blocker pada pasien dengan insufisiensi ginjal.

Agen-agen Inhalasi 2,6,7

Agen-agen volatile
Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi
ginjal karena kurangnya ketergantungan mereka pada ginjal untuk eliminasi,
kemampuannya untuk mengontrol tekanan darah, dan biasanya mempunyai
efek langsung minimal pada aliran darah ginjal. Meskipun pasien dengan
gangguan ginjal ringan sampai sedang tidak menunjukkan perubahan pada
uptake atau distribusi, induksi cepat dan segera bisa dilihat pada pasien
anemia berat (hemoglobin < 5 g/dl) dengan gagal ginjal kronik, observasi ini
dapat dijelaskan oleh turunnya kofisien pemisah gas atau turunnya
konsentrasi alveolar minimum. Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran <
2L/menit) tidak disarankan untuk pasien dengan penyakit ginjal yang
menjalani prosedur lama karena potensi terjadinya akumulasi fluoride.
Nitrous Oxide
Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan nitrous
oxide sampai 50% pada pasien dengan gagal ginjal dengan tujuan untuk
meningkatkan kandungan O2 arteri pada keadaan anemia. Dasar pemikiran
ini bisa dibenarkan hanya pada pasien anemia berat (hemoglobin < 7 g/dl),
dimana peningkatan kecil dari kandungan oksigen bisa menunjukkan
persentase signifikan perbedaan O2 arteri dan vena.

24
Pelumpuh Otot 2,6,7

Succinylcholine
Succinylcholine bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, asalkan
konsentrasi kalium serum kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila
kalium serum lebih tinggi atau diragukan, pelumpuh otot nondepolarisasi
sebaiknya digunakan. Meskipun penurunan kadar pseudokolinesterase
dilaporkan pada beberapa pasien uremik yang menjalani dialisis,
pemanjangan signifikan dari blokade neuromuskular jarang terlihat.
Cisatracurium, Atracurium, dan Mivacurium
Mivacurium tergantung secara minimal pada ginjal untuk eliminasi.
Efek yang sedikit memanjang dapat dilihat karena menurunnya
pseudokolinesterase plasma. Cisatracurium dan atracurium didegradasi di
plasma oleh eliminasi enzim hidrolisis ester dan nonenzim Hofmann. Agen-
agen tersebut mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada
pasien-pasien dengan gagal ginjal.
Vecuronium dan Rocuronium
Eliminasi vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dri 20% dari
obat ini dieliminasi melalui urin. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1
mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien insufisiensi ginjal. Recuronium
secara primer mengalami eliminasi hepatik, tetapi perpanjangan kerja pada
penyakit ginjal berat pernah dilaporkan.
Curare
Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi
empedu; 40-60% dosis curare secara normal diekskresi di urin.
Meningkatnya pemanjangan efek terlihat pada pemberian dosis berulang
pada pasien dengan kerusakan ginjal signifikan. Dosis lebih rendah dan
perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk pemeliharaan agar
pelumpuh otot optimal.

25
Pacuronium, Pipecuronium, Alcuronium, dan Doxacurium
Agen-agen tersebut tergantung terutama pada ekskresi ginjal (60-
90%). Walaupun pancuronium dimetabolisme di hati menjadi metabolit
intermediat yang kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung
pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuskular harus dimonitor ketat
jika obat-obat tersebut digunakan pasien dengan fungsi ginjal abnormal.
Metocurine, Gallamine, dan Decamethonium
Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal
untuk eliminasi dan harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan
kerusakan fungsi ginjal
Obat-obat Reversal
Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi endrophonium,
neostigmine, dan pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien
dengan kerusakan ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot
sebelumnya di atas.

3.2.2 Pertimbangan Preoperasi


Gagal ginjal kronis dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal
yang progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya
adalah hipertensi nefrosklerosis, diabetik nefropati, glomerulonefritis kronis, dan
penyakit ginjal polikistik. Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal
dengan uremia yang akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit.
Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage
renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan
transplantasi. Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan
dialisis. Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR dapat diketahui
melalui kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya
perubahan klinis pada fungsi ginjal. Pasien dengan gangguan ginjal ringan tetap
harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal. Perhatian dalam perawatan
pasien ini merupakan pemeliharaan terhadap fungsi ginjal yang tersisa, yaitu
dengan mempertahankan keadaan normovolemia.2,6,7

26
Kreatinin klirens dengan 25 40 mL/menit, merupakan gangguan ginjal
sedang dan bisa disebut insufisiensi ginjal. Azotemia yang signifikan selalu
muncul, dan hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi
yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat.
Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting dalam
berkembangnya gagal ginjal akut postoperatif. Penekanan dalam penanganan
pasien ini adalah pada pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post
operatif sebesar 50%60%. Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan
kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes. 2,6,7

3.2.3 Evaluasi Preoperasi


Efek umun dari azotemia harus dievaluasi secara teliti pada pasien gagal
ginjal. Sebagian besar pasien dengan gagal ginjal akut yang memerlukan operasi
penyakitnya menjadi kritis. Gagal ginjalnya berhubungan dengan komplikasi post
operatif atau trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut juga mempercepat
pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis
preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat
dilakukan melalui kateter dialysis sementara pada jugular interna, dialisis dengan
subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat
disesuaikan dengan kebutuhan individual 2,6,7
Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan
pernafasan. Tandatanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui.
Analisa gas darah arteri juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan
mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas. EKG
harus diperiksa secara hati-hati untuk tanda-tanda dari hiperkalimia atau
hipokalsemia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi.
Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada
pasien dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi
ejeksi fraksi dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi hipertrofi dan derajat
hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard. Adanya

27
friction rub bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi
perikard. 2,6,7
Transfusi sel darah merah pre operatif harusnya diberikan hanya pada
pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah
sewaktu operasi. Pemeriksaan waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan,
khususnya jika ada pertimbangan regional anestesi. Elektrolit serum, BUN, dan
pengukuran kreatinin dapat menentukan keadekuatan dialisis. Pengukuran glukosa
dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin
perioperatif. Terapi obat preoperatif harus diberikan secara hati-hati pada obat
yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika
memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat.2,6,7

Premedikasi
Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis
dari opioid atau benzodiazepin. Promethazine, 12.5-25 mg intramuscular, berguna
sebagai sedasi tambahan dan sebagai antiemetic. Profilaksis untuk aspirasi dengan
H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran
cerna. Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga
berguna dalam mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan
menurunkan resiko aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi
harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.2,6,7

3.2.3. Pertimbangan Intraoperatif


3.2.3.1 Monitoring
Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara
menyeluruh. Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak
diukur dari cuff pada lengan dengan fistula arteriovena. Monitoring intraarterial,
vena sentral, dan arteri paru diindikasikan, terutama pada pasien dibawah
prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler sering sulit
disesuaikan hanya dari tanda klinis. Monitoring tekanan darah intraarteri secara

28
langsung diindikasikan pada pasien yang hipertensinya tidak terkontrol.
Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes
dengan penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien
jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien
diabetes tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi
pada komplikasi kardiovaskular pada grup pertama. 2,6,7

3.2.3.2 Induksi
Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus
menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid. Dosis dari zat induksi harus
dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2
mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Opioid, beta-bloker (esmolol), atau
lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada intubasi.
Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar
kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15
mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan
untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini
umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat
digunakan sebagai alternatif, namun pemanjangan efeknya harus diperhatikan.
Penggunaan laringaeal mask airway, jika tersedia, biasanya menghindarkan
respon simpatis (hipertensi) yang berlebihan yang kadang-kadang berhubungan
dengan intubasi dan membutuhkan paralisis otot.2,6,7

3.2.3.3 Pemeliharaan
Teknik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi
dengan efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output
merupakan mekanisme kompensasi yang prinsipil pada anemia. Anestesi volatil,
nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, remifentanyl, hydromorphone dan
morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan. Isoflurane dan

29
desflurane merupakan agen volatile yang pilihan karena mereka memiliki efek
yang sedikit pada cardiac output. Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati
pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada
pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk
pemberian 100% oksigen. Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena
akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek
kelanjutannya perlu diperhatikan.Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada
pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan yang tidak adekuat dengan
hipercarbi progreif dibawah pengaruh anestesi dapat menyebabkan asidosis
respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium
serum yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser
kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah
ada, dan menurunkan aliran darah otak. 2,6,7

3.2.3.4 Terapi Cairan


Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan
penggantian untuk kehilangan cairan insensible dengan 5 % dekstrosa dalam air.
Prosedur yang berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak atau
pergeseran membutuhkan kristalloid isotonik, koloid, atau keduanya. Ringer
laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia yang membutuhkan banyak
cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan.
Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan
dengan uremia. Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells.
Transfusi darah tidak memiliki efek atau mungkin bermanfaat bagi pasien gagal
ginjal yang merupakan calon donor ginjal; transfusi menurunkan kemungkinan
reaksi penolakan transplantasi ginjal pada beberapa pasien. 2,6,7

30
3.3 Anestesi pada Pasien dengan Gangguan Ginjal Ringan sampai Sedang
3.3.1 Pertimbangan Preoperatif
Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR, yang dapat
diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa
adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan
kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya
memiliki gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan
ginjal. Perhatian dalam perawatan pasien ini merupakan pemeliharaan terhadap
fungsi ginjal yang tersisa, yaitu dengan mempertahankan keadaan normovolemia.
Ketika kreatinin klirens mencapai 25 40 mL/menit, merupakan gangguan
ginjal sedang dan pasien bisa disebut memiliki insufisiensi ginjal. Azotemia yang
signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun anemia secara bersamaan.
Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada pasien
gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama selama prosedur yang
berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal ginjal postoperatif, seperti
pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta. Kehilangan volume intravaskular,
sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan aminoglikosid,
angiotensin converting enzim inhibitor, atau terapi NSAID adalah faktor resiko
mayor tambahan pada perburukan akut pada fungsi ginjal. Hipovolemia muncul
khususnya sebagai faktor yang penting dalam berkembangnya gagal ginjal akut
postoperatif. Penekanan dalam penanganan pasien ini adalah pada pencegahan,
karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar 50%60%.
Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan kombinasi penyakit ginjal
lanjut dan diabetes.
Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan
diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi jantung, rekonstruksi aorta mayor,
dan kemungkinan prosedur pembedahan lainnya. Mannitol (0,5 g/kg) sering
digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi. Meskipun controversial,
efek menguntungkan dari manitol muncul berkaitan dengan cairan dieresis
daripada efek antioksidannya. Cairan intravena harus diberikan untuk mencegah
kehilangan cairan intra vaskular. Infus intravena dengan fenoldopam atau

31
dopamin dosis rendah dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan meningkatkan
dieresis melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah
ginjal. Loop diuretik juga dibutuhkan untuk membantu diueresis,
mempertahankan output urin yang adekuat dan mencegah kelebihan cairan.2,6,7

3.3.2 Pertimbangan Intraoperatif


3.3.2.1 Monitoring
Monitor standard digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan
yang minimal. Untuk operasi yang berhubungan dengan kehilangan cairan atau
darah yang signifikan, pemantauan urin output dan volume intravaskular perjam
sangat penting. Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan
fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar
dari 0,5 mL/kgBB/jam. Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika
terjadi perubahan tekanan darah yang cepat, misalnya pada pasien dengan
hipertensi tidak terkontrol atau sedang dalam prosedur yang berhubungan dengan
perubahan yang mendadak pada preload maupun afterload jantung. 2,6,7

3.3.2.2 Induksi
Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume
intravaskular yang cukup untuk induksi. Anestesi induksi pada pasien dengan
insuffisiensi ginjal biasanya menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia.
Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi
atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia
semakin buruk, sebagai hasil pertama adalah hipotensi dan kemudian secara
simpatis atau farmakologis diperantarai oleh vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut,
penurunan perfusi ginjal mengakibatkan kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi
preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini.2,6,7

32
3.3.2.3Pemeliharaan
Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali sevoflurane yang diatur
dengan aliran gas yang rendah. Walau enflurane bisa digunakan secara aman pada
prosedur singkat, namun lebih baik dihindari pada pasien dengan insuffisiensi
ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang memuaskan. Pemburukan fungsi
ginjal selama periode ini dapat dihasilkan dari efek hemodinamik lebih lanjut dari
pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung atau hipotensi), efek
hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi
tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena
yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau
meluas. Pemberian utama dari vasopresor adrenergik (phenyleprine dan
norepineprine) juga dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat
mungkin bisa berguna untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum
pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi. Jika mean
tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler cukup, infus dopamin
dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat diberikan pada pasien dengan
batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan fungsi ginjal.
Dosis dopamin untuk ginjal juga dapat menunjukkan setidaknya sebagian
membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor
adrenergik (norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama. 2,6,7

3.2.3.4 Terapi Cairan


Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun
masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu
dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan
maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah. 2,6,7

33
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien Ny. NH, 33 tahun, dirawat dengan diagnosa pre operasi adalah
prolaps colostomy dan CRF. Pada saat kunjungan pra anestesi, dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang didapatkan status fisik pada pasien
ini adalah ASA III, yaitu pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas. Pada pasien ini terdapat kelainan sistemik berupa:
Pasien memiliki riwayat asma
Peningkatan kadar kreatinin : 2,2 mg/dl
Pemeriksaan rontgen thorax : didapatkan kesan kardiomegali (left ventrikel
hipertrofi)
Pemeriksaan USG chronic kidney disease grade IV bilateral dengan ascites
Kondisi pasien ini juga cukup lemah dan mengeluh sakit sehingga membuat
pasien tidak bisa leluasa melakukan aktivitas rutin sehari hari, dan juga
membuat pasien sulit tidur, ditambah lagi pasien mempunyai penyakit darah
tinggi.

Tindakan premedikasi pada pasien ini, yaitu pemberian obat 1 jam


sebelum induksi bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia diantaranya untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar
induksi anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan
jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan
amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang
membahayakan. Pada pasien ini obat premedikasi yang telah diberikan adalah :
ranitidine 50 mg (golongan antagonis reseptor H2 Histamin), tujuannya adalah
untuk mengurangi isi cairan lambung sehingga mencegah pneumonitis asam,
sebab cairan lambung bersifat asam dengan PH 2,5 dapat menyebabkan keadaan
tersebut. Pada pasien ini juga diberikan ondancentron 4 mg (golongan antiemetik)
untuk mengurangi mual dan muntah pasca pembedahan. Pemberian sulfas atrofin
0,50 mg disini sebagai antikolinergik untuk mengurangi sekresi ludah dan

34
bronkus, mencegah spasme laring pada saat intubasi, dan untuk mencegah reflek
vagal, diberikan dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB. serta diberikan juga fentanyl
30g (golongan opioid) untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien dan
menciptakan kenyamanan bagi pasien dan mengurangi rasa sakit saat penyuntikan
obat induksi (propofol) secara intravena.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan
general anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan
rumatan inhalasi. Induksi pada pasien ini dengan injeksi propofol 130 mg dan
insersi ETT ukuran 7 difasilitasi dengan atracurium 25 mg. Dosis pemeliharaan
dengan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans 0,5 vol% + N2O (2L) : O2
(2L) . Propofol dipilih sebagai obat induksi karna efek depresi pernapasannya
lebih sedikit dan juga mempunyai efek/kemampuan menurunkan tekanan darah
sehingga cocok untuk pasien dengan tekanan darah tinggi dan aman bagi pasien
gagal ginjal karna propofol dieliminasi dihepar sehingga aman diberikan pada
pasien gagal ginjal. Musle relaksan atracurium dipilih karna obat ini dirusak oleh
enzim ester hidrolisis dan oleh non enzim alkaline degradasi (eliminasi Hofmann)
menjadi produk yang tidak aktif dan ekresinya tidak tergantung oleh ginjal eksresi
sehingga aman bagi pasien gagal ginjal.
Pengelolaan pemberian cairan selama pembedahan pada pasien ini,
meliputi penggantian cairan karena puasa, cairan pemeliharaan (maintenance)
selama operasi, stress operasi dan perdarahan yang terjadi, pada pasien ini telah :
1. Dilakukan loading dose cairan sebelum operasi dengan tekanan darah
160/100 mmHg, diberikan Ringer Laktat 2 kolf, 1 kolf yang berisi ranitidin
dan ondansentron, dan untuk mengganti defisit cairan karena puasa selama 8
jam. Perhitungan :
Puasa = 8 jam x BB x 2 cc
= 8 x 40 kg x 2 cc = 640 cc
Penggantian cairan karena puasa terpenuhi, dimana 1 kolf cairan Ringer laktat
500 cc dan 1 kolf fima HES 50 cc, cairan diberikan pada pukul 09.00-10.00,
habis dalam waktu 1 jam
2. Cairan pemeliharaan (Maintenance)

35
Maintenance = BB x 2cc
= 40 kg x 2cc = 80 cc

3. Stress Operasi
O = BB x 6 cc (operasi sedang 4-6 cc/kgBB)
O = 40 x 6cc = 240 cc

4. Perdarahan yang terjadi


- Suction : 500cc, yang dikurangi dengan NaCl untuk pembilasan sebanyak
200 cc sehingga perdarahan murni 500 cc 200 cc = 300 cc
- Dari kassa, didapatkan 100cc
- Total perdarahan = 300cc + 100cc = 400cc

5. Kebutuhan cairan selama operasi:


- Jam I : (640) + 80 + 240 = 640cc
- Jam II : (640) + 80+ 240= 480cc
- Total cairan selama operasi : jam I + jam II = 640cc + 240cc = 880 cc

Kebutuhan total cairan selama operasi pada pasien ini adalah 880 cc
sedangkan perdarahan 400cc dan urin output total adalah 200 cc. Operasi
dilakukan mulai jam 09.30 sampai 11.00 yang berlangsung selama 1,5 jam.
a. Jam I dibutuhkan 640cc
- input :
RL 1 kolf loading dose (500cc)
RL 1 kolf 30 tetes per menit (500cc)

b. Jam ke-II dibutuhkan 240cc


- input :
fima HES 1 kolf loading dose (500cc)

36
Transfusi diberikan apabila kehilangan darah sekitar 20% EBV, pada
pasien ini didapatkan berat badan 40 kg, perkiraan total volume darah untuk
dewasa wanita adalah 65 ml/kgBB, jadi 65 ml x 40 kg = 2600, 20 % dari EBV
pasien ini yaitu, 2600 x 20% = 520cc, dan pada pasien ini didapatkan total
perdarahan 400 cc sehingga tidak dibutuhkan transfusi darah. Kebutuhan cairan
pada pasien ini telah tercukupi, yaitu total cairan yang dibutuhkan 880cc,
perdarahan 400 cc, output 200 cc dan sudah diberikan 1500cc, namun tetap harus
dipantau dalam pengawasan ketat, terutama Hb dan urin output. Setelah operasi
selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Pada saat di RR, dilakukan
monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi
oksigen, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti
apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat , misalnya
karena hipovolemik). Tekanan darah pasien sewaktu di RR adalah 160/100 mmHg
dengan Nadi 92x / menit dan RR 18 x/ menit, Sp02 98%, pasien tidak tampak
sesak namun tampak gelisah karena kesakitan. Pasien diberikan oksigen nasal
kanul 2 liter/ menit dan pemberian obat analgetik yaitu ketorolac dan tramadol
dalam 500cc ringer laktat. Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai
skor Aldrete lebih dari 8. Pada pasien ini, didapatkan skornya 9. Pasien pindah
dan dibawa ke ICU pukul 12.45 Pada pasien ini diperlukan pengelolaan post
operasi yang intensive dengan monitoring di ICU karena pasien ini memiliki
riwayat penyakit ginjal kronis sehingga komplikasi berat post operasi dapat
dihindari atau dikurangi.

37
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Pemeriksaan praanestesi memegang peranan penting pada setiap
operasi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada laporan kasus ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi
umum pada operasi laparatomi + reseksi colostomy pada wanita, usia 33 tahun,
status fisik ASA 3 dengan diagnosis pre op prolaps colostomy dan menggunakan
teknik anestesi umum dengan endotrakeal tube no.7 sehingga respirasi terkontrol.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama
operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi
maupun dari tindakan operasinya. Secara umum pelaksanaan operasi dan
penanganan anestesi berlangsung dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian.

38

Das könnte Ihnen auch gefallen