Sie sind auf Seite 1von 22

LAPORAN KASUS

GAGAL JANTUNG KONGESTIF FC III-IV


DENGAN ATRIAL FIBRILASI RESPON VENTRIKEL NORMAL

Disusun Oleh:
Alvin Pratama Jauharie
I11111063

Pembimbing:
Letkol (CKM) dr. Prihati Pujowaskito, Sp. JP (K), MMRS

SMF ILMU PENYAKIT JANTUNG


RUMAH SAKIT TINGKAT II DUSTIRA CIMAHI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2017
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:


Gagal Jantung Kongestif Fc III-IV Dengan Atrial Fibrilasi Respon Ventrikel Normal
Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Kardiologi

Telah disetujui,
Cimahi, Oktober 2017
Pembimbing Penulis

dr. Prihati Pujowaskito, Sp. JP (K), MMRS Alvin Pratama Jauharie

1
BAB I
PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama Penderita : Ny. Ummy Chettya Riani
No RM : 517075
Umur : 40 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Jabatan/Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Gajah XVII no 17
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 27 September 2017

B. ANAMNESA
Keluhan Utama : Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien juga mengeluh sesak napas sejak 1 bulan yang lalu yang semakin berat sejak 7 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan setelah melakukan aktivitas ringan seperti
berjalan ke WC dan dirasakan hanya berkurang sedikit saat pasien duduk dan beristirahat.
Pasien biasanya tidur menggunakan 2-3 bantal agar tidak merasa sesak. Pasien kadang-
kadang terbangun pada malam hari karena sesak. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada
kedua kaki sejak 1 bulan yang lalu,perut terasa penuh serta mengeluhkan dada berdebar.
Tidak ada nyeri dada, batuk pada malam hari dan berkeringat dingin. Keluhan demam,
mual dan muntah disangkal pasien. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien memiliki riwayat hipertensi (+) dan riwayat jantung (+), menurut pasien adalah
riwayat penebalan jantung (+). Pasien juga memiliki riwayat alergi antibiotic amoxicillin
dan penicillin (+). Tidak ada riwayat diabetes, asthma.

Riwayat Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi pada keluarga (+), Stroke (-), jantung (+), DM (-)

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos Mentis GCS 15 E4M6V5
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Status gizi : BB: 85 kg, Tb: 170 cm, IMT: 29.4 kg/m2

Tanda vital
Tekanan darah : 170/100 MmHg
Nadi : 104 x/menit, iregular
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Saturasi Oksigen : 96% tanpa nasal kanul O2

Mata : Anemis (-), ikterus (-)


Bibir : Sianosis (-), Mukosa bibir kering (-)
Leher : JVP 5+3 cm H2O

Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan

Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris kesan normal
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : vesikuler
Bunyi tambahan : ronki +/+ basal, wheezing -/-

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung: S I/II irreguler, gallop (-), murmur (-), extrasistole (-)

3
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : Timpani (+) Ascites (-)

Pemeriksaan Ekstremitas
Feel : Ekstremitas teraba hangat
Edema pretibial +/+
Edema dorsum pedis +/+
Look : deformitas(-)
Movement : kelemahan anggota gerak (-)

Skor Farmingham untuk pasien ini :


Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspneu (+) Edema ekstremitas (+)
Distensi vena leher (-) Batuk malam hari (-)
Ronkhi paru (+) Dispneu deffort (+)
Kardiomegali (-) Hepatomegali (-)
Edema paru akut (-) Efusi pleura (-)
Gallop S3 (-) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peninggian tekanan vena jugularis (+) (-)
Refluks hepatojugular (-) Takikardi (>120 x/menit) (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin Hemoglobin : 13,8
Leukosit : 12,3 x 103 GDS : 88
Eritrosit : 4,6 x 106 Ureum : 22
Trombosit : 221 x 103 Creatinin : 0,8
Hematokrit : 41,7

4
EKG:

Interpretasi :
Interval R-R ireguler, tidak ada gelombang P, dengan HR 75-150 bpm
Axis :
Frontal axis : RAD
Horizontal axis : clock wise (V4-V5)
PR interval : tidak dapat ditentukan
QRS complex : 0,16 ms
QT interval : tidak dapat ditentukan

Kesimpulan : Atrial fibrilasi normal ventrikel respon, left ventricular hypertrophy (LVH)

5
E. RENCANA PEMERIKSAAN
F. Rontgen Thorax PA
BNP
Echocardiography

G. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Klinis : CHF FC III-IV, atrial fibrilasi dengan normal ventricular
response
2. Diagnosis Anatomis : Left Ventricle Hypertrophy
3. Diagnosis Etiologi : Hipertensi Heart Disease

H. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
1. Balance cairan negatif
2. Tirah baring untuk membatasi kerja jantung.
3. O2 Nasal Kanul 2-4 lpm
4. Kateter urin
5. Diet restriksi garam < 2 gr/ hari, restriksi cairan 800-1000 cc/ hari jika ada overload,
1500 cc/hari jika tidak ada overload
6. Venflon

Medikamentosa
1. Diuretik (Furosemide 2 x 40mg iv)
2. ARB (Valsartan 1x 80 mg)
3. B-blocker ( Bisoprolol 1x2,5mg)
4. Spironolacton 1x25mg
5. Digoxin 1x 0,25 mg
6. Aspilet 1x80 mg
7. Atorvastatin 1x20 mg (malam hari)

I. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad malam
Quo ad Functional : dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : dubia ad malam
6
BAB II
PEMBAHASAN

Pada kasus ini diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaanfisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pasien atas nama Ny. Ummy, 40 tahun, mengeluh sesak napas sejak
1 bulan yang lalu dan memberat sejak 7 hari yang lalu. Sesak memberat dirasakan saat pasien
beraktivitas ringan seperti berjalan ke kamar mandi. Saat berbaring pasien juga merasa sesak.
Sesak napas berkurang setelah pasien duduk istirahat. Pasien tidur dengan 2-3 bantal. Pasien
kadang-kadang terbangun pada malam hari karena sesak. Sesak napas disertai dengan jantung
terasa berdebar-debar yang dirasakan sejak 7 hari yang lalu. Pasien tidak mengeluhkan nyeri
dada dan berkeringat dingin,
Keluhan dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan
gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Penyebab dari sesak nafas dapat dibagi menjadi 4
tipe. Tipe kardiak yaitu Gagal jantung, penyakit arteri koroner, infark miokard,
kardiomiopati, disfungsi katup, hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi asimetrik septum,
pertikarditis, aritmia. Tipe Pulmoner yaitu Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Asma, Penyakit
paru restriksi, Gangguan penyakit paru, herediter, pneumotoraks. Tipe Campuran kardiak dan
pulmoner yaitu PPOK dengan hipertensi, pulmoner, emboli paru kronik, trauma Tipe Non
kardiak dan non pulmoner yaitu Kondisi metabolik, nyeri, gangguan neuromuskular,
gangguan panik, hiperventilasi, psikogenik, gangguan asam basa, gangguan di saluran
pencernaan (reflux, spasme oesophagus, tukak peptic).1,2,3
Pada kasus ini keluhan sesak napas pada pasien disebabkan oleh cardio yang
disebabkan oleh gagal jantung. Oleh karena menurunnya perfusi jaringan, tubuh berusaha
untuk mengambil oksigen lebih banyak untuk diedarkan. Peningkatan kebutuhan oksigen
berdampak pada peningkatan frekuensi pernapasan, yang diartikan sebagai sesak napas.
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung
sehingga jantung tidak bisa memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan. Gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung kiri, gagal jantung kanan dan gagal
jantung kongestif, yakni gabungan gagal jantung kiri dan kanan. 4
Gagal jantung kiri ditandai oleh dispneu deffort, kelelahan, orthopnea, paroksismal
nokturnal dispnea, batuk, pembesaran jantung, irama derap, bunyi derap S3 dan S4,
pernapasan cheyne stokes, takikardi, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Gagal jantung
kanan ditandai oleh adanya kelelahan, pitting edema, ascites, peningkatan tekanan vena
jugularis, hepatomegali, pembesaran jantung kanan, irama derap atrium kanan, murmur dan
7
bunyi P2 mengeras, sedangkan gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gejala gabungan
keduanya.4
Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor dan 2 kriteria minor kriteria framingham, ditambah dengan pemeriksaan
penunjang. Yang termasuk kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal paroksismal atau
orthopneu, peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah tidak nyaring, kardiomegali,
edema paru akut, irama derap S3, peningkatan vena > 16 cm H2O dan refluks hepatojugular.
Kriteria minor yakni: edema pergelangan kaki, batuk pada malam hari, dispneu deffort,
hepatomegali, efusi pleura, kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum dan takikardi
(>120x/menit). Foto rontgen toraks dapat mengarah ke kardiomegali dengan corakan
bronkovaskuler yang meningkat.4
Pada pasien ini, dari hasil anamnesis didapatkan adanya sesak nafas, sesak
dipengaruhi oleh aktifitas (dispneu deffort), pasien juga sering terbangun pada malam hari
karena sesak (dispneu nokturnal paroksismal), selain itu pasien juga lebih nyaman jika berada
dalam posisi duduk (orthopneu). Tidak adanya keluhan-keluhan lain seperti mual, muntah,
bengkak pada kelopak mata mendukung bahwa sesak yang dialami oleh pasien berhubungan
dengan jantung bukan dari organ yang lain. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum dari pasien adalah tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tanda-tanda vital
sebagai berikut tekanan darah 170/100 mmHg, heart rate 104 x/menit irregular, respiration
rate 30x/menit, suhu badan 36,5C, dan saturasi oksigen sebesar 96% tanpa O2 dan 99%
dengan O2 4 lpm, ronkhi pada kedua basal paru, adanya pelebaran batas jantung dan edem
pitting pada kedua kaki. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas, dapat
disimpulkan bahwa pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif,
karena kriteria framingham sudah terpenuhi.
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti
dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki
basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri,
atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan
berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik,
ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah
(wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold)
dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi
empat kelas, yaitu: Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm), Kelas II (B) : basah dan

8
hangat (wet warm), Kelas III (L) : kering dan dingin (dry cold), Kelas IV (C) :basah dan
dingin (wet cold).
Pembagian New York Heart Association berdasarkan fungsional jantung yaitu:
Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari
tanpa keluhan.
Kelas 3: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah
baring
Pada kasus ini pasien mengeluhkan timbulnya sesak napas ketika melakukan aktivitas
sehari-hari berupa sesak timbul menuju kamar mandi dan ketika berbaring. Keluhan tersebut
dapat diklasifikasikan dalam NYHA fungsional ke III-IV.
Pasien kemudian dilakukan EKG. Hasil EKG menunjukkan gambaran berupa irama
aritmia irama atrial, dengan heart rate 75-150x/menit, aksis frontal deviasi ke kanan dan aksis
horizontal deviasi searah arum jam. Ditemukan abnormalitas berupa tidak adanya gelombang
p disertai interval RR yang ireguler. sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil ekg
adalah atrial fibrilasi. Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan laju respon ventrikel, dibagi
menjadi :
AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel lebih dari 100 kali permenit
AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel lebih kurang dari 60 kali
permenit
Af respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100 kali permenit.
Pada pasien untuk mengukur heart rate dilakukan perhitungan pada EKG dengan
menghitung jumlah gelombang R pada salah satu lead panjang selama 6 detik dikalikan 10,
dan didapatkan heart rate pada pasien 90. Sehingga pada pasien adalah atrial fibrilasi dengan
normal ventricular response.
Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan
ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu
sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi
supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi
mekanik atrium. Keadaan ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa
darah jantung.5

9
AF sebenarnya merupakan bagian dari aritmia, yaitu suatu keadaan abnormalitas dari
irama jantung yang ditandai dengan pola pelepasan sinyal elektrik yang sangat cepat dan
berulang. Keadan ini secara umum bisa diakibatkan oleh gangguan potensial aksi, gangguan
konduksi ataupun bisa gangguan dari keduanya. Pada AF, gangguan terjadi pada
ketidakteraturan irama jantung dan peningkatan denyut jantung. Secara umum, gangguan AF
dapat dikatakan sebagai takikardi, karena denyut jantung pada AF mencapai lebih dari
100x/menit. Takikardi sendiri dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu takikardi
supraventrikuler dan takikardi ventrikuler. AF merupakan takikardi supraventrikuler, dimana
gangguan potensial aksi ataupun konduksi berasal dari sistem konduksi diatas berkas HIS,
yang meliputi nodus SA, nodus AV dan berkas HIS sendiri. Sedangkan takikardi ventrikuler
lebih disebabkan tidak hanya dari sistem konduksi serabut purkinje, tetapi peran takikardi
supraventrikuler juga bisa menyebabkan takikardi ventrikuler. 5,6
Takikardi supravenrikuler tidak hanya AF, tetapi meliputi ekstrasistol atium, flutter
atrium dan takikardi supraventrikuler. Pada AF, mekanisme terjadinya melalui 2 proses, yaitu
aktivasi lokal atau multiple wavelets reentry. Pada aktivasi lokal lebih didominasi karena
adanya fokus ektopik pada vena pulmonalis superior, sedangkan multiple wavelets reentry
lebih cenderung disebabkan oleh pembesaran atrium, pemendekan periode refractory dan
penurunan kecepatan konduksi. Selain itu, sebenarnya masih ada faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya AF, yaitu detak jantung prematur, aktivitas saraf otonom, iskemik
atrium, konduksi anisotropik dan peningkatan usia. 5,6
Terjadinya AF akan menimbulkan disfungsi hemodinamik jantung, yaitu hilangnya
koordinasi aktivitas mekanik jantung, ketidakteraturan respon ventrikel dan ketidakteraturan
denyut jantung. Ketiga hal ini akan berpengaruh pada penurunan cardiac output, karena
kontraksi jantung tidak sempurna walaupun terjadi proses depolarisasi yang berulang.
Hilangnya koordinasi proses mekanik lebih disebabkan karena cepat dan seringnya
depolarisasi. Depolarisasi yang cepat dan berulang pada AF mempunyai sifat yang tidak
sempurna, sehingga proses kontraktilitas jantung juga tidak bisa maksimal. Selain itu,
peningkatan depolarisasi dan denyut jantung pada atrium akan direspon secara fisiologis oleh
ventrikel dengan penurunan denyut jantung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi peningkatan
potensial aksi pada atrium yang menyebabkan ketidakteraturan penerimaan denyut pada
ventrikel. Penurunan denyut pada ventrikel terjadi karena proses fisiologis yang diperankan
oleh sistem nodus AV. Nodus AV akan memperantarai proses ini dengan meningkatkan
kinerja sistem saraf parasimpatis dan menurunkan kinerja saraf simpatis pada sistem
konduksi AV. Sedangkan untuk ketidakteraturan denyut jantung akibat AF, memang
10
diakibatkan dari peningkatan depolarisasi dan masuknya sinyal elektrik secara berulang-
ulang. 5,6
Efek dari terjadinya AF disamping ketidakteraturan denyut jantung dan peningkatan
denyut jantung, tromboembolisme juga merupakan efek yang berbahaya pada jantung akibat
dari AF. Tromboembolisme terjadi akibat dari 3 faktor, yaitu statis, disfungi endotel dan
hiperkoagulasi. Mekanisme ini terjadi dari statis dan kerusakan endotel darah akibat kontraksi
dan aliran darah yang tidak sempurna. Selain itu adanya hiperkoagulasi meningkatkan adanya
proses bekuan darah yang merupakan bagian penyebab dari tromboembolisme. 5,6
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan
menjadi 4 jenis, yaitu5:

a. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama. Tahap ini
merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru pertama
kali terdeteksi.
b. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode pertama kali
kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini juga mempunyai
kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa bantuan
kardioversi.
c. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari.
Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari kardioversi untuk
mengembalikan irama sinus kembali normal.
d. Kronik/permanen AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,
penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Pada kasus ini kejadian atial fibrilasi merupakan AF deteksi pertama karena
sebelumnya tidak diketahui riwayat penyakit jantung. Etiologi yang terkait dengan AF terbagi
menjadi beberapa faktor : 7
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
11
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi yaitu Pericarditis/miocarditis, Amiloidosis dan sarcoidosis,
Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi yaitu Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin yaitu Hipertiroid, Feokromositoma
e. Neurogenik yaitu Stroke, Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium yaitu Infark miocardial
g. Obat-obatan yaitu Alkohol, Kafein
h. Keturunan/genetic
Faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah : Diabetes Melitus, Hipertensi,
Penyakit Jantung Koroner, obesitas, Penyakit Katup Mitral, Penyakit Tiroid, Penyakit Paru-
Paru Kronik, Post. Operasi jantung, Usia 60 tahun, Life Style. Pada kasus ini faktor risiko
berupa obesitas, penyakit jantung koroner, dan usia lebih dari 60 tahun.
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple wavelet
reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi
berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena
pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava
superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang
mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan
oleh nodus SA.6
Multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan
melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung
pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada
sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet
reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory,
besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada
pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan
penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF.1,6

12
Gambar 1. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets
Reentry Atrial

Gambar 2. CHA2DS2-VASc and HAS-BLED8

Pada kasus skor CHA2DS2-VASc adalah 3. Skor HAS-BLED adalah 1.

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama


jantung, menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya
komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat
dilakukan untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana
yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung.
Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological
Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion).6
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah adanya
komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan atau

13
antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya
trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang
sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam,
diantaranya adalah
1. Antagonis Vit K (AVK)
Warfarin dan coumadin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam
proses pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak
konsentrasi plasma dalam waktu 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin di
metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang kemudian
diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja 40 jam.
2. Anti Koagulan Baru (AKB)
Saat ini terdapat 3 jenis AKB yang bukan merupakan AVK di pasaran Indonesia,
yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Dabigatran bekerja dengan cara
menghambat langsung trombin sedangkan rivaroxaban dan apixaban keduanya
bekerja dengan cara menghambat faktor Xa.

Gambar 3. Diagram pemilihan terapi antikoagulan

14
Gambar 4. Terapi anti trombotik di berbagai tingkat pelayanan

b. Penutupan aurikel atrium kiri (AAK)


Aurikel atrium kiri merupakan tempat utama terbentuknya trombus yang bila lepas
dapat menyebabkan stroke iskemik pada FA. Dikatakan hampir 90% trombus pada FA
terbentuk di AAK.24 Angka stroke yang rendah didapatkan pada pasien yang dilakukan
pemotongan AAK pada saat operasi jantung. Baru-baru ini suatu teknik invasif epikard
dan teknik intervensi transeptal telah dikembangkan untuk menutup AAK.64-66 Teknik
ini dapat merupakan alternatif terhadap antikoagulan oral bagi pasien FA dengan risiko
tinggi stroke tetapi kontraindikasi pemberian antikoagulan oral jangka lama.
Saat ini dua jenis alat penutup AAK yang dapat mengembang sendiri yaitu
WATCHMAN (Boston Scientific, Natick, MA, USA) dan Amplatzer Cardiac Plug (St.
Jude Medical, St Paul, MN, USA), yang ditempatkan di AAK secara transeptal sudah
mulai dipakai di Eropa.

15
c. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan peningkatan
denyut jantung, yaitu obat digitalis, -blocker dan antagonis kalsium. Obat-obat tersebut
bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi.
1. Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih efisien.
Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang abnormal dari atrium
ke ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi
atrium yang abnormal.
2. -blocker
Obat -blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf simpatis.
Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan
kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.
3. Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung akibat
dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati Ca2+ channel
yang terdapat pada membran sel.

Gambar 5. Terapi AF pada Gagal Jantung

16
Gambar 6. Terapi intravena untuk kendali laju fase akut
d. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk
menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu
tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan
denyut jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan
farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical
Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia) yaitu Amiodarone, Dofetilide,
Flecainide, Ibutilide, Propafenone, Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam
(bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah mengembalikan
irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR (nodus sinus rhythm).
3. Operatif
a. Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan pada
daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah utma hingga
17
masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat elektroda yang
berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung jawab terhadap
terjadinya AF.
b. Maze operation
Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi
pada maze operation, akan mengahasilkan suatu labirin yang berfungsi untuk
membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.
Artificial pacemaker Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang
ditempatkan di jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.

Gambar 7. Pilihan obat antiaritmia untuk kardioversi farmakologis.


ACEI: Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor, ARB: Angiotensin
II Receptor Blocker, PJK: Penyakit Jantung Koroner, GJK: Gagal
Jantung Kongestif

Terapi yang diberikan adalah furosemid 3 x 40 mg, pemberian diuretika ini bertujuan
untuk mengurangi beban awal jantung tanpa mengurangi curah jantung. Valsartan 1x80mg
untuk menurunkan tekanan darah yang digunakan mencegah stroke, heart attack, dan masalah
ginjal, Valsartan juga digunakan untuk menurunkan afterload pemberian ARB dimulai degan
dosis rendah dan dinaikkan perlahan.. Untuk mengontrol laju jantung menggunakan kardio

18
selektif yaitu beta blocker, bisoprolol 1 x 2,5 mg PO. Selain itu, beta blocker juga memiliki
efek inotropic negative dan konotropik positif. Pemberian beta blocker menggunakan prinsip
mulai dosis rendah dan dinaikkan perlahan. Untuk mengontrol kontraktilitas diberikan
digoxin 1 x 0,25 mg, selain memiliki efek kronotropik negative untuk mengontrol rate,
digozin juga memiliki efek inotropic positif untuk mengontrol kontraktilitas. Selain itu pada
pasien juga diberikan digoxin per oral karena atrial fibrilasi dengan normal ventricular
response, apabila didapatkan atrial fibrilasi dengan rapid ventricular response dapat
dipertimbakan pemberian secara intravena. Pada kasus didapatkan skor CHA2DS2-VASc
adalah 3. Skor HAS-BLED adalah 1, sehingga dapat diberikan antikoagulan baru, Dabigatran
(pradaxa) 2x110 mg dapat diberikan untuk mencegah adanya komplikasi dari AF.
Atorvastatin sebagai inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase diberikan tanpa
melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet.

19
BAB III
KESIMPULAN

Perempuan, 40 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan utama yaitu sesak napas
sejak 1 bulan yang lalu yang semakin berat sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
dirasakan setelah melakukan aktivitas ringan seperti berjalan ke WC dan dirasakan hanya
berkurang sedikit saat pasien duduk dan beristirahat. Pasien biasanya tidur menggunakan 2-3
bantal agar tidak merasa sesak. Pasien kadang-kadang terbangun pada malam hari karena
sesak. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kaki sejak 1 bulan yang lalu,perut
terasa penuh serta mengeluhkan dada berdebar. Tidak ada nyeri dada, batuk pada malam hari
dan berkeringat dingin. Keluhan demam, mual dan muntah disangkal pasien.
Pada kasus ini diberikan tatalaksana yaitu non Medikamentosa, balance cairan negative,
tirah baring, O2 2-4 lpm, kateter urin, diet restriksi garam, restriksi cairan. Untuk
medikamentosa Furosemide 2 x 40mg iv, Valsartan 1x 80 mg, Bisoprolol 1x2,5mg,
Spironolacton 1x25mg, Digoxin 1x 0,25 mg, pradaxa 2x110 mg, Atorvastatin 1x20 mg
(malam hari).

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta; EGC. 2006
2. Guyton AC. Hall JE. Textbook of medical physiology, 13th Ed. Philade. 2010.
3. Rahmatullah, Pasian. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th Ed Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing. 2010.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata Laksana Gagal
JAntung. 2015.
5. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-12-04.
Archived from the original on 2009-03-28.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata Laksana
FIbrilasi Atrium. 2014.
7. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). Relationship between
left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular chronic
atrial fibrillation and atrial flutter. Circulation Journal 67.
8. Lane. Use of the CHA2DS2-VASc and HAS-BLED Scores to Aid Decision Making for
Thromboprophylaxis in Nonvalular Atrial Fibrillation.2012.

21

Das könnte Ihnen auch gefallen