Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Diagnosis
Diagnosis sindrom coroner akut (SKA) berdasarkan keluhan khas angina.
Terkadang pasien tidak ada keluhan angina namun sesak napas atau keluhan
lain yang tidak khas seperti nyeri epigastrik atau sinkope yang disebut angina
equivalent. Hal ini diikuti perubahan elektrokardiogram (EKG) dan atau
perubahan enzim jantung. Pada beberapa kasus, keluhan pasien, gambaran
awal EKG dan pemeriksaan laboratorium enzim jantung awal tidak bisa
menyingkirkan adanya SKA, oleh karena perubahan EKG bersifat dinamis
dan peningkatan enzim baru terjadi beberapa jam kemudian. Pada kondisi ini
diperlukan pengamatan secara serial sebelum menyingkirkan diagnosis SKA.
a. Gejala
Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada
retrosternal. Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada
iskemik SKA adalah:
- Lokasi nyeri : di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi
nyeri
- Deskripsi nyeri : pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit,
ditekan, diremas, panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut
lebih dominan dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu
diwaspadai juga bila pasien mengeluhkan nyeri epigastrik, sinkope,
atau sesak nafas (angina equivalent)
- Penjalaran nyeri : penjalaran ke lengan kiri, bahu, punggung,
epigastrium, leher rasa tercekik atau rahang bawah (rasa ngilu)
kadang penjalaran ke lengan kanan atau kedua lengan
- Lama nyeri : nyeri pada SKA dapat berlangsung lama, lebih dari 20
menit. Pada STEMI, nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang
dengan istirahat atau nitrat siblungual
- Gejala sistemik : disertai keluhan seperti mual, muntah, atau keringat
dingin
Hal-hal dapat menyerupai nyeri dada iskemia :
- Diseksi aorta
- Emboli paru akut
- Tamponade jantung
- Tension pneumothorax
- Pericarditis
- Gastro Esofageal Refux Disease (GERD)
b. Pemeriksaa Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri dada lainnya dan
mengevaluasi adanya komplikasi SKA. Pemeriksaan fisik pada SKA
pada umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas, keringat dingin
atau didapat tanda komplikasi berupa takipnea takikardi-bradikardi,
adanya gallop S3, tonkhi basah halus di paru, atau terdengan bising
jantng (murmur). Bila tidak ada komplikasi hamper tidak ditemukan
kelainan yang berarti.
c. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG pra rumah sakit (prehospital) menjadi perhatian
utama, untuk mengidentifikasi lebih awal adanya SKA, sehingga dapat
mendeteksi lebih awal adanya SKA dengan Elevasi ST (SKA STE)
sebelum sampai ke RS. Dengan mengetahui lebih awal, diharapkan
Rumah Sakit yang dituju dapat mempersiapkan tindakan reperfusi
(fibrinolosis atau PCI primer) sehingga dapat mempersingkat waktu dari
onset hingga reperfusi pada SKA STE atau IMA EST (STEMI) (First
Medical Contact-to-Ballon time, First medical contact-to-needle).
Pengurangan waktu reperfusi di Rumah Sakit, transportasi segera dan
pengobatan segera harus terjadi bersamaan dengan persiapan Rumah
Sakit saat menerima pasien di emergensi.
Pemeriksaan EKG pra rumah sakit dan kesiapan laboratorium
kateterisasi akan mempercepat dilakukannya reperfusi IKP rimer
(primary PCI) sehingga akan menurunan angka kematian. Dengan
adanya EKG pra rumah sakit dan pemberitahuan ke rumah sakit rujukan
akan menurunkan angka kemantian sebesar 32% bila dilakukan IKP
primer dan 24% bila dilakukan terapi fibrinolosis.
EKG 12 sadapan pra rumah sakit harus dilakukan segera pada
pasien dengan dugaan SKA. Pemberitahuan ke rumah sakit tujuan untuk
tindakan reperfusi baik fibrinolosis maupun IKP Primer harus dilakukan
bila didapat gambarat ST elevasi pada EKG.
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang
penting pada diagnosis SKA untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
Berdasarkan gambaran EKG, pasien SKA dapat diklafikasikan dalam 3
kelompok :
1) Elevasi segmen ST atau Left bundle branch block (LBBB)
baru/dianggao baru (new or presumably new LBBB). Didapatkan
gambaran elevasi segmen ST minimal di dua sadapan yang
berhubungan.
2) Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada
saat pasien mengeluh nyeri dada.
3) EKG non diagnostik baik normal ataupun hanya ada perubahan
minimal. Cara menilai deviasi segmen ST di EKG diperlihatkan
pada gambar di bawah ini :
d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis
mikard seperti CK-MB, Troponin T dan I, serta Mioglobin dipakai untuk
menegakkan diagnosis SKA. Troponin lebih dipilih karena lebih
sensitive dari pada CKMB. Troponin berguna untuk diagnosis,
stratifikasi risiko, dan menentukan prognosis. Troponin yang meningkat
akan meningkatkan risiko kematian. Pada pasien SKA dengan ST
elevasi, reperfusi tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim
jantung.
Mioglobin merupakan suatu protein yang dilepas dari sel miokard
yang mengalami kerusakan, dapat meningkat setelah jam-jam awal
terjadinya infark dan mencapai puncak pada jam 1 s/d ke 4 dan tetap
tinggi sampai 24 jam.
CKMB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, dengan
onsentrasi terbesar terdapat pada miokardium. Dalam jumlah kecil
CKMB dapat dijumpai di otot rangka, usus kecil atau diaphragm. Mulai
meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai puncak 12-14 jam. CKMB
akan mulai menghilang dalam darah 48-72 jam setelah infark.
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot
jantung dan lebih spesifik dari CK-MB. Ada dua bentuk troponin yaitu T
da I. enzim ini mulai meningkat pada jam 3 hingga 12 jam setelah onset
iskemik dan mencapai puncak pada 12-24 jam serta masih tetap tinggi
sampai hari ke 8-21 (Trop T) dan 7-14 hari (Trop I). Peningkatan enzim
ini menjadi bukti adanya nekrosis miokard dan menunjukkan prognosis
yang buruk pada SKA. Pengukuran enzim troponin bersama dengan
EKG secara serial merupakan bagian dari evaluasi pasien dengan tanda
dan gejala yang mencurigai adanya SKA. Petugas medis perlu
mengetahui onset dari gejala sebelum melakukan pemeriksaan enzim
jantung, karena Troponin maupun CKMB baru meningkat 3 jam setelah
onset iskemik.
Penggunaan biomarker high sensitive-cardiac troponin I (hs-cTnI)
dan high sensitive-cardiac troponin I (hs-cTnT) dianjurkan bila tersedia,
mengingat biomarker ini lebih sensitif untuk mendeteksi adanya nekrosis
miokard lebih awal. Deteksi peningkatan troponin (Tn) diatas nilai
percentile 99 batas atas, sangat sensitive dan spesifik menunjukkan
adanya nekrosis miokard. Ambang batas deteksi untuk hs-cTnI 0,006
ng/dl sedangkan untuk hs-cTnT 0,005 ng/dL. Tidak direkomendasikan
untuk pemeriksaan hs-cTnI atau hs-cTnT pada jam ke 0 dan jam ke 2
tanpa melakukan stratifikasi risiko klinik untuk menyingkirkan diagnosis
SKA. Hasil pengukuran hs-cTnI dengan nilai kurang dari percentile 99
pada jam ke 0 dan jam ke 2 bersamaan dengan nilai stratifikasi risiko
klinis yang rendah ( TIMI skor 0 atau 1) memprediksi angka kejadian
major adverse cardiac event (MACE) dalam 30 hari kurang dari 1%.
Bila tidak tersedia pemeriksaan hs-cTnI atau hs-TnT, pemeriksaan
troponin I dan T yang negatif pada saat datang antara 3 sampai 6 jam
onset iskemik dapat digunakan bersamaan dengan stratifikasi risiko yang
rendah (TIMI skor 0, low risk Vancouver rule, North American Chest
Pain 0, dan usia < 50 tahun atau HEART Score rendah) dapat
memprediksi kurang dari 1% MACE dalam 30 hari.
2. Tatalaksana
Secara umum tatalaksana SKA dengan ST elevasi (IMA EST) dan SKA
tanpa ST elevasi hampir sama, baik pre rumah sakit maupun saat di rumah
sakit. Perbedaan terletak pada strategi reperfusi, di mana IMA EST lebih
untuk ditekankan segera dilakukan reperfusi, baik dengan medikamentosa
(fibrinolysis) maupun intervensi (intervensi koroner perkutan IKP).
Berdasarkan International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendation
(AHA/ACC) tahun 2010 yang diperbaharui pedoman 2015, sangat ditekankan
waktu efektif reperfusi terapi.
1) Oksigen
Pada pedoman 2010, oksigen diberikan pada semua pasien dengan
sesak napasm tanda gagal jantung, syok, atau saturasi oksigen
<94%. Monitoring SpO2 akan sangat bermanfaat untuk
mengetahui perlu tidaknya diberikan oksigen pada pasien.
Consensus 2015 memuat beberapa pendapat yang mempersoalkan
tentang perlu tidaknya terapi oksigen pada pasien SKA dengan
SpO2 normal. AVOID Study menyatakan terapi oksigen malah
meningkatkan risiko injury miokard dan luasnya infark setelah 6
bulan, dan risiko reinfark dan aritmia meningkat pula. Penelitian
ini menyebutkan bahwa pemberian oksigen tidak mempengaruhi
angka kematian, hilangnya nyeri dada dan berkurangnya luas
infark. Namun demikian, terapi oksigen pada normoksia tidak
mempengaruhi angka kematian. Pedoman 2015
merekomendasikan untuk mempertimbangkan penundaan terapi
oksigen pada pasien dengan kecurigaan atau terbukti SKA dengan
SpO2 yang normal. Dan indikasi terapi oksigen adalah pada
kondisi :
- Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau
hemodinamik tidak stabil
- Pasien dengan tanda bendungan paru (gagal jantung akut)
- Pasien dengan saturasi oksigen <90%.
3) Nitrogliserin
Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali
dengan interval 3-5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat
ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan tekanan darah
sistolok <90 mmHg atau > 30 mmHg lebih rendah dari
pemeriksaan tekanan darah awal (jika dilakukan), bradikardi
<50x/menit atau takikardi >100x/menit tanpa adanya gagal
jantung, dan adanya infark ventrikel kanan. Nitrogliserin adalah
venodilator dan penggunaannya harus berhati-hati pada pasien
yang menggunakan obat penghambat fosfodiesterase
(contoh:Viagra) dalam waktu <24 jam (48 jam pada tadafil).
4) Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian
morfin dilakukan jika pemberian nitrogliserin sublingual atau
semprot tidak respon. Morfin merupakan pengobatan yang cukup
penting pada SKA oleh karena :
- Menimbulkan efek analgesic pada SSP yang dapat
mengurangi neurohormonal dan menyebabkan pelepasan
katekolamin.
- Menyebabkan venodilatasi yang mengurangi beban
ventrikel kiri dan mengurangi kebutuhan oksigen.
- Menurunkan tahanan vascular sistemik, sehingga
mengurangi afterload ventrikel kiri.
- Membantu redistribusi volume darah pada edema paru
akut.
Terapi fibrinolisis
Sebelum dilakukan tindakan fibrinolisis, pasien harus dilakukan pemeriksaan ada
tidaknya kontraindikasi fibrinolisis. Kontraindikasi fibrinolisis adalah adalah sebagai
berikut:
Angioplasti koroner dengan atau tanpa pemasangan stent adalah terapi pilhan
pada tatalaksana STEMI bila dapat dilakukan kontak doctor-balloon atau door-
balloon < 90 menit pada pusat kesehatan yang mempunyai fasilitas IKP terlatih.
Pedoman 2015 merekomendasikan bahwa primary PCI dapat dilakukan bila
waktu dari onset keluhan kurang dari 12 jam dan waktu PPCI dari kontak dengan
tenaga kesehatan kurang dari 120 menit.
Rekomendasi pedoman 2015 AHA yang berhubungan dengan PCI
1) Bilamana terapi fibrinolysis pra rumah sakit memungkinkan untuk
dilakukan selama transfer menuju RS dengan fasilitas PPCI, maka lebih
diutamakan untuk mengirim ke RS untuk dilakukan PPCI daripada
fibronilisis, oleh karena factor risiko perdarahan lebih kecil jika dilakukan
PPCI, namun tidak terdapat perbedaan mortalitas antara kedua strategi
tersebut.
2) Pada pasien dewasa yang mengalami STEMI di IGD RS tanpa fasilitas
PCI, disarankan agar pasien tersebut segera dipindahkan tanpa fibrinolysis
ke RS dengan fasilitas PCI, bukan diberikan fibrinolysis di RS awal dan
bukan baru dilakukan pemindahan untuk dilakukan PCI oleh karena
adanya iskemik residual.
3) Kombinasi tindakan fibrinolysis dahulu kemudian diikuti dengan PPCI
tidak dianjurkan.
4) Jika telah dilakukan terapi fibrinolysis, perlu dipertimbankan untuk
mengirim pasien ke RS degan fasilitas PCI untuk dilakukan angiografi
coroner dalam 3-24 jam.
5) Jika waktu onset gejala timbul diketahui, interval antara kontak pertama
dengan petugas medis dan reperfusi harus tidak lebih dari 120 menit.
6) Pada STEMI dengan onset 2 jam, fibrinolysis segera lebih
direkomendasikan disbanding PPCI bila diperkirakan keterlambatan untuk
primary PCI lebih dari 60 menit.
7) Bila pasien STEMI tidak dapat dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas PCI
tepat waktu, maka sebagai alternatif terapi fibrinolitik diberikan kemudian
pasien dirujuk ke fasilitas PCI untuk angiografi coroner rutin.
8) Tindakan infasif segera dilakukan pada pasien SKA tanpa elevasi segmen
ST dengan risiko tinggi dan sangat tinggi.
9) Angiografi coroner emergensi segera dapat dilakukan pada pasien dengan
OHCA (out of hospital cardiac arrest) dengan kecurigaan penyebab dari
jantung atau elevasi segmen ST pada EKG.
10) Angiorafi coroner juga dilakukan pada pasien koma setelah OHCA yang
dicurigai penyebab dari jantung walau tanpa didaptkan elevasi segmen ST.
11) Angiografi coroner dianjurkan pada pasien pasca henti jantung baik koma
maupun sadar