Sie sind auf Seite 1von 18

1.

Diagnosis
Diagnosis sindrom coroner akut (SKA) berdasarkan keluhan khas angina.
Terkadang pasien tidak ada keluhan angina namun sesak napas atau keluhan
lain yang tidak khas seperti nyeri epigastrik atau sinkope yang disebut angina
equivalent. Hal ini diikuti perubahan elektrokardiogram (EKG) dan atau
perubahan enzim jantung. Pada beberapa kasus, keluhan pasien, gambaran
awal EKG dan pemeriksaan laboratorium enzim jantung awal tidak bisa
menyingkirkan adanya SKA, oleh karena perubahan EKG bersifat dinamis
dan peningkatan enzim baru terjadi beberapa jam kemudian. Pada kondisi ini
diperlukan pengamatan secara serial sebelum menyingkirkan diagnosis SKA.

a. Gejala
Gejala-gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada
retrosternal. Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada
iskemik SKA adalah:
- Lokasi nyeri : di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisasi
nyeri
- Deskripsi nyeri : pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit,
ditekan, diremas, panas atau dada terasa penuh. Keluhan tersebut
lebih dominan dibandingkan rasa nyeri yang sifatnya tajam. Perlu
diwaspadai juga bila pasien mengeluhkan nyeri epigastrik, sinkope,
atau sesak nafas (angina equivalent)
- Penjalaran nyeri : penjalaran ke lengan kiri, bahu, punggung,
epigastrium, leher rasa tercekik atau rahang bawah (rasa ngilu)
kadang penjalaran ke lengan kanan atau kedua lengan
- Lama nyeri : nyeri pada SKA dapat berlangsung lama, lebih dari 20
menit. Pada STEMI, nyeri lebih dari 20 menit dan tidak hilang
dengan istirahat atau nitrat siblungual
- Gejala sistemik : disertai keluhan seperti mual, muntah, atau keringat
dingin
Hal-hal dapat menyerupai nyeri dada iskemia :
- Diseksi aorta
- Emboli paru akut
- Tamponade jantung
- Tension pneumothorax
- Pericarditis
- Gastro Esofageal Refux Disease (GERD)

b. Pemeriksaa Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri dada lainnya dan
mengevaluasi adanya komplikasi SKA. Pemeriksaan fisik pada SKA
pada umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas, keringat dingin
atau didapat tanda komplikasi berupa takipnea takikardi-bradikardi,
adanya gallop S3, tonkhi basah halus di paru, atau terdengan bising
jantng (murmur). Bila tidak ada komplikasi hamper tidak ditemukan
kelainan yang berarti.

c. Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG pra rumah sakit (prehospital) menjadi perhatian
utama, untuk mengidentifikasi lebih awal adanya SKA, sehingga dapat
mendeteksi lebih awal adanya SKA dengan Elevasi ST (SKA STE)
sebelum sampai ke RS. Dengan mengetahui lebih awal, diharapkan
Rumah Sakit yang dituju dapat mempersiapkan tindakan reperfusi
(fibrinolosis atau PCI primer) sehingga dapat mempersingkat waktu dari
onset hingga reperfusi pada SKA STE atau IMA EST (STEMI) (First
Medical Contact-to-Ballon time, First medical contact-to-needle).
Pengurangan waktu reperfusi di Rumah Sakit, transportasi segera dan
pengobatan segera harus terjadi bersamaan dengan persiapan Rumah
Sakit saat menerima pasien di emergensi.
Pemeriksaan EKG pra rumah sakit dan kesiapan laboratorium
kateterisasi akan mempercepat dilakukannya reperfusi IKP rimer
(primary PCI) sehingga akan menurunan angka kematian. Dengan
adanya EKG pra rumah sakit dan pemberitahuan ke rumah sakit rujukan
akan menurunkan angka kemantian sebesar 32% bila dilakukan IKP
primer dan 24% bila dilakukan terapi fibrinolosis.
EKG 12 sadapan pra rumah sakit harus dilakukan segera pada
pasien dengan dugaan SKA. Pemberitahuan ke rumah sakit tujuan untuk
tindakan reperfusi baik fibrinolosis maupun IKP Primer harus dilakukan
bila didapat gambarat ST elevasi pada EKG.
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang yang
penting pada diagnosis SKA untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
Berdasarkan gambaran EKG, pasien SKA dapat diklafikasikan dalam 3
kelompok :
1) Elevasi segmen ST atau Left bundle branch block (LBBB)
baru/dianggao baru (new or presumably new LBBB). Didapatkan
gambaran elevasi segmen ST minimal di dua sadapan yang
berhubungan.
2) Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada
saat pasien mengeluh nyeri dada.
3) EKG non diagnostik baik normal ataupun hanya ada perubahan
minimal. Cara menilai deviasi segmen ST di EKG diperlihatkan
pada gambar di bawah ini :

Gambar 1. Cara mengukur deviasi segmen ST


Beberapa contoh gambaran EKG SKA dengan ST elevasi dan tanpa ST
elevasi serta gambar New LBBB

Gambar 2. STEMI Extensive Anterior Wall (terdapat ST elevasi di


sadapan V2-V6, I, aVL)

Gambar 3. STEMI inferior wall (terdapat ST elevasi di sadapan II, III,


aVF)
Gambar 4. EKG LBBB (komples QRS yang lebar di V5-V6, I dan aVL
disertai gelombang S yang dalam di V1-V2)

d. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menilai adanya tanda nekrosis
mikard seperti CK-MB, Troponin T dan I, serta Mioglobin dipakai untuk
menegakkan diagnosis SKA. Troponin lebih dipilih karena lebih
sensitive dari pada CKMB. Troponin berguna untuk diagnosis,
stratifikasi risiko, dan menentukan prognosis. Troponin yang meningkat
akan meningkatkan risiko kematian. Pada pasien SKA dengan ST
elevasi, reperfusi tidak boleh ditunda hanya untuk menunggu enzim
jantung.
Mioglobin merupakan suatu protein yang dilepas dari sel miokard
yang mengalami kerusakan, dapat meningkat setelah jam-jam awal
terjadinya infark dan mencapai puncak pada jam 1 s/d ke 4 dan tetap
tinggi sampai 24 jam.
CKMB merupakan isoenzim dari creatinin kinase, dengan
onsentrasi terbesar terdapat pada miokardium. Dalam jumlah kecil
CKMB dapat dijumpai di otot rangka, usus kecil atau diaphragm. Mulai
meningkat 3 jam setelah infark dan mencapai puncak 12-14 jam. CKMB
akan mulai menghilang dalam darah 48-72 jam setelah infark.
Troponin mengatur interaksi kerja aktin dan myosin dalam otot
jantung dan lebih spesifik dari CK-MB. Ada dua bentuk troponin yaitu T
da I. enzim ini mulai meningkat pada jam 3 hingga 12 jam setelah onset
iskemik dan mencapai puncak pada 12-24 jam serta masih tetap tinggi
sampai hari ke 8-21 (Trop T) dan 7-14 hari (Trop I). Peningkatan enzim
ini menjadi bukti adanya nekrosis miokard dan menunjukkan prognosis
yang buruk pada SKA. Pengukuran enzim troponin bersama dengan
EKG secara serial merupakan bagian dari evaluasi pasien dengan tanda
dan gejala yang mencurigai adanya SKA. Petugas medis perlu
mengetahui onset dari gejala sebelum melakukan pemeriksaan enzim
jantung, karena Troponin maupun CKMB baru meningkat 3 jam setelah
onset iskemik.
Penggunaan biomarker high sensitive-cardiac troponin I (hs-cTnI)
dan high sensitive-cardiac troponin I (hs-cTnT) dianjurkan bila tersedia,
mengingat biomarker ini lebih sensitif untuk mendeteksi adanya nekrosis
miokard lebih awal. Deteksi peningkatan troponin (Tn) diatas nilai
percentile 99 batas atas, sangat sensitive dan spesifik menunjukkan
adanya nekrosis miokard. Ambang batas deteksi untuk hs-cTnI 0,006
ng/dl sedangkan untuk hs-cTnT 0,005 ng/dL. Tidak direkomendasikan
untuk pemeriksaan hs-cTnI atau hs-cTnT pada jam ke 0 dan jam ke 2
tanpa melakukan stratifikasi risiko klinik untuk menyingkirkan diagnosis
SKA. Hasil pengukuran hs-cTnI dengan nilai kurang dari percentile 99
pada jam ke 0 dan jam ke 2 bersamaan dengan nilai stratifikasi risiko
klinis yang rendah ( TIMI skor 0 atau 1) memprediksi angka kejadian
major adverse cardiac event (MACE) dalam 30 hari kurang dari 1%.
Bila tidak tersedia pemeriksaan hs-cTnI atau hs-TnT, pemeriksaan
troponin I dan T yang negatif pada saat datang antara 3 sampai 6 jam
onset iskemik dapat digunakan bersamaan dengan stratifikasi risiko yang
rendah (TIMI skor 0, low risk Vancouver rule, North American Chest
Pain 0, dan usia < 50 tahun atau HEART Score rendah) dapat
memprediksi kurang dari 1% MACE dalam 30 hari.
2. Tatalaksana
Secara umum tatalaksana SKA dengan ST elevasi (IMA EST) dan SKA
tanpa ST elevasi hampir sama, baik pre rumah sakit maupun saat di rumah
sakit. Perbedaan terletak pada strategi reperfusi, di mana IMA EST lebih
untuk ditekankan segera dilakukan reperfusi, baik dengan medikamentosa
(fibrinolysis) maupun intervensi (intervensi koroner perkutan IKP).
Berdasarkan International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Science with Treatment Recommendation
(AHA/ACC) tahun 2010 yang diperbaharui pedoman 2015, sangat ditekankan
waktu efektif reperfusi terapi.

a. Pra rumah sakit (Gambar 5; kotak 2)


Tindakan-tindakan pra rumah sakit dilakukan oleh Emergency
Medical Service (Layanan Gawat Darurat) sebelum pasien tiba di rumah
sakit, biasanya dilakukan di dalam ambulans. Bila dicurigai SKA, segera
lakukan EKG 12 sadapan dan berikan pemberitahuan ke RS bila ada
rencana untuk dilakukan tindakan fibrinolysis atau IKP primer (primary
PCI)
Pemeriksaan EKG dengan pembacaan oleh mesin komputer tanpa
konfirmasi dengan dokter atau petugas medis terlatih tidak dianjurkan
mengingat tingginya hasil pembacaan positif palsu. Tindakan yang
dilakukan pada layanan gawat darurat adalah :
- Monitoring, dan amankan ABC. Persiapkan diri untukn melakukan
RJP dan defibrilasi.
- Berikan aspirin, dan pertimbangkan berikan oksigen, nitrogliserin, dan
morfin jika diperlukan.
- Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi. Jika ada ST elevasi,
informasikan RS, catat waktu onset dan kontak pertama dengan tim
medis.
- Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan
penerimaan pasien dengan SKA.
- Bila akan diberikan fibrinolitik pra rumah sakit, lakukan check list
terapi fibrinolitik.
Aspirin dapat diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan kecurigaan
SKA sehingga dapat diberikan pra rumah sakit secara dikunyah dengan dosis
160-325 mg. Sebelum memberikan aspirin pada pasien pastikan pasien tidak
memiliki alergi pada aspirin.

Gambar 5. Algoritme sindroma coroner akut


b. Tatalaksana awal di Rumah Sakit (Gambar 5; kotak 3)
Penanganan SKA di rumah sakit, di ruang gawat darurat dilakukan
dua kelompok tindakan secara simultan yaitu penilaian awal dan
tatalaksana umum awal.
Penilaian Awal di IGD (< 10 menit)
- Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
- Pasang akses intravena
- Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang singkat dan terarah
- Lengkapi checklist fibrinolitik, cek kontraindikasi
- Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
- Periksa foto toraks portable (<30 menit setelah pasien sampai di
UGD)
Tatalaksana awal di IGD
- Segera berikan Oksigen 4L/menit dengan kanul nasal bila didapatkan
dyspnea, hipoksemia, dan tanda gagal jantung atau saturasi oksigen
<90%
- Berikan aspirin (non enteric coated) 160-320 mg (bila pra rumah sakit
belum diberikan)
- Nitrogliserin/nitrat sublingual atau spray atau intravena
- Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin/nitrat.
Modalitas terapi pada SKA

1) Oksigen
Pada pedoman 2010, oksigen diberikan pada semua pasien dengan
sesak napasm tanda gagal jantung, syok, atau saturasi oksigen
<94%. Monitoring SpO2 akan sangat bermanfaat untuk
mengetahui perlu tidaknya diberikan oksigen pada pasien.
Consensus 2015 memuat beberapa pendapat yang mempersoalkan
tentang perlu tidaknya terapi oksigen pada pasien SKA dengan
SpO2 normal. AVOID Study menyatakan terapi oksigen malah
meningkatkan risiko injury miokard dan luasnya infark setelah 6
bulan, dan risiko reinfark dan aritmia meningkat pula. Penelitian
ini menyebutkan bahwa pemberian oksigen tidak mempengaruhi
angka kematian, hilangnya nyeri dada dan berkurangnya luas
infark. Namun demikian, terapi oksigen pada normoksia tidak
mempengaruhi angka kematian. Pedoman 2015
merekomendasikan untuk mempertimbangkan penundaan terapi
oksigen pada pasien dengan kecurigaan atau terbukti SKA dengan
SpO2 yang normal. Dan indikasi terapi oksigen adalah pada
kondisi :
- Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau
hemodinamik tidak stabil
- Pasien dengan tanda bendungan paru (gagal jantung akut)
- Pasien dengan saturasi oksigen <90%.

2) Aspirin dan NSAID


Aspirin dapat menurunkan reoklusi koroner dan berulangnya
kejadian iskemik setelah terapi fibrinolitik. Penggunaan aspirin
supositoria dapat dilakukan pada pasien dengan mual, muntah atau
ulkus peptic, atau gangguan pada saluran cerna atas. Dosis
pemeliharaan 75-100 mg/hari. Obat NSAID baik yang selektif
maupun nonselektif tidak boleh diberikan pada SKA selama di RS
karena dapat meningkatkan risiko kematian, reinfark, gagal
jantung, hipertensi, gagal jantungm, dan rupture miokard.

3) Nitrogliserin
Tablet nitrogliserin sublingual dapat diberikan sampai 3 kali
dengan interval 3-5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi. Obat
ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan tekanan darah
sistolok <90 mmHg atau > 30 mmHg lebih rendah dari
pemeriksaan tekanan darah awal (jika dilakukan), bradikardi
<50x/menit atau takikardi >100x/menit tanpa adanya gagal
jantung, dan adanya infark ventrikel kanan. Nitrogliserin adalah
venodilator dan penggunaannya harus berhati-hati pada pasien
yang menggunakan obat penghambat fosfodiesterase
(contoh:Viagra) dalam waktu <24 jam (48 jam pada tadafil).

4) Analgetik
Analgetik terpilih pada pasien SKA adalah morfin. Pemberian
morfin dilakukan jika pemberian nitrogliserin sublingual atau
semprot tidak respon. Morfin merupakan pengobatan yang cukup
penting pada SKA oleh karena :
- Menimbulkan efek analgesic pada SSP yang dapat
mengurangi neurohormonal dan menyebabkan pelepasan
katekolamin.
- Menyebabkan venodilatasi yang mengurangi beban
ventrikel kiri dan mengurangi kebutuhan oksigen.
- Menurunkan tahanan vascular sistemik, sehingga
mengurangi afterload ventrikel kiri.
- Membantu redistribusi volume darah pada edema paru
akut.

5) ADP/P2Y12 inhibitor dan antiplatelet lain


Pemberian ADP inhibitor yang dikombinasikan dengan aspirin
(DAPT, dual anti platelet) direkomendasikan pada pasien SKA.
Beberapa jenis ADP inhibitor yang saat ini digunakan pada pasien
SKA antara lain :
- Ticagrelor. Ticagrelor (180 mg loading dose per oral, 90
mg dua kali sehari) diberikan pada semua pasien SKA
jika tidak ada kontraindikasi.
- Prasugrel. (60 mg loading dose secara oral, 10 mg satu
kali sehari) dapat menggantikan klopidogrel saat atau
setelah angiografi pada pasien SKA yang dilakukan IKP.
- Klopidogrel. (300-600 mg loading dose per oral, 75 mg
satu kali sehari) diberikan pada pasien yang tidak dapat
menerima ticagrelor atau prasugrel.

c. Kaji EKG 12 sadapan (gambar 5; kotak 4)


EKG 12 sadapan harus diperoleh hasilnya dan diinterpretasikan dalam
10 menit pertama pasien datang diruang gawat darurat. Berdasarkan hasil
EKG, SKA dibagi menjadi :
- SKA dengan ST elevasi/ IMA EST (STEMI) bila terdapat
gambaran ST elevasi atau LBBB baru (kotak 5).
- Angina pektoris tidak stabil (APTS) risiko tinggi atau IMA NEST
(bila pada EKG ditemukan ST depresi atau inversi gelombang T).
- Angina pektoris tidak stabil risiko rendah/intermediate, bila EKG
normal atau perubahan ST segmen/gelombang T tidak diagnostic
(kotak 11).

d. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA EST-STEMI)


(Gambar 5; kotak 5-8)
Pasien dengan STEMI biasanya terjadi penyumbatan total pada arteri
coroner epikardial. Pengobatan utama pada STEMI adalah terapi reperfusi
segera yang dapat dilukakan dengan fibrinolitik atau IKP (PCI) primer.
Reperfusi pada terapi IMA EST merupakan perkembangan yang sangat
penting dalam pengobatan penyakit kardiovaskular saat ini. Terapi
fibrinolitik segera atau IKP primer sudah merupakan standar pengobatan
pasien STEMI yang onset serangan masih dalam 12 jam dan tidak terdapat
kontraindikasi. Terapi reperfusi dapat menyelamatkan fungsi miokard dan
mengurangi mortalitas. Makin pendek waktu reperfusi manfaatnya makin
besar.
Reperfusi pada pasien STEMI akan mengembalikan aliran coroner
pada arteri yang berhubungan dengan arena infark, mencegah perluasan
infark, dan menurunkan mortalitas jangka panjang. Fibrinolisis berhasil
mengembalikan aliran normal coroner pada 50-60% kasus. Sedangkan PCI
primer dapat mengembalikan aliran normal sampai 90% kasus, dan
manfaat ini lebih besar didapatkan pada pasien dengan syok kardiogenik.
PCI juga memiliki risiko perdarahan intakranial dan stroke yang lebih
rendah. Pada SKA dengan elevasi segmen ST dan LBBB baru atau dugaan
baru, sebelum melakukan terapi reperfusi harus dilakukan evaluasi sebagai
berikut:
Langkah 1 :
- Nilai waktu onset serangan
- Risiko STEMI
- Risiko fibrinolysis
- Waktu yang diperlukan dari transportasi kepada ahli
intervensi (katerisasi/PCI) yang tersedia
Langkah 2 :
- Pemilihan strategi reperfusi (fibrinolosis atau invasive)

Tabel 1. Pemilihan strategi terapi reperfusi pada IMA EST


Terapi Fibrinolisis Terapi invasif (PCI)
Onset <3 jam Onset < 12 jam
Terapi invasif bukan pilihan (tidak Tersedia ahli PCI
ada akses ke fasilitas PCI atau o Kontak medik - balon atau door
akses vaskular sulit) atau akan to balloon time < 90 menit
menimbulkan penundaan: o (Door to balloon time) minus
o Kontak medik balon atau door (door to needle time) < 1 jam
to baloon time > 90 menit Kontraindikasi fibrinolisis,
o (Door to balloon time) termasuk risiko perdarahan dan
dikurangi (door to needle time) perdarahan intraserebral
lebih dari 1 jam STEMI resiko tinggi (CHF, Killip
Tidak terdapat kontraindikasi > 3)
fibrinolisis Diagnosis STEMI diragukan

Terapi fibrinolisis
Sebelum dilakukan tindakan fibrinolisis, pasien harus dilakukan pemeriksaan ada
tidaknya kontraindikasi fibrinolisis. Kontraindikasi fibrinolisis adalah adalah sebagai
berikut:

Tabel 2. Kontraindikasi fibrinolisis


Kontraindikasi Absolut Kontraindikas Relatif
Perdarahan intrakranial kapanpun Tekanan darah yang tidak
Stroke iskemik kurang dari 3 bulan terkontrol
dan lebih dari 3 jam Tekanan darah sitolik >180 mmHg
Tumor intrakranial dan tekanan darah diastol >110
Adanya kelainan struktur vaskular mmHg
serebral Riwayat stroke iskemik >3 bulan,
Kecurigaan diseksi aorta demensia
Perdarahan internal aktif atau Trauma atau RJP lama (>10
gangguan sistem pembekuan darah menit) atau operasi besar <3 bulan
Cedera kepala tertutup atau cedera Perdarahan internal dalam 2-4
wajah dalam 3 bulan terakhir minggu
Penusukan pembuluh darah yang
sulit dilakukan penekanan
Hamil
Ulkus peptikum
Sedang menggunakan
antikoagulan dengan INR tinggi
Gambar 6. Ceklis fibrinolysis pra rumah sakit
Pengobatan fibrinolisis lebih awal (door-drug < 30 Menit) dapat
membatasi luasnya infark, memperbaiki fungsi ventrikel, dan mengurangi angka
kematian. Jenis obat fibrinolisis dibagi menjadi fibrin spesifik (Aleplase,
Reteplase, Tenecteplase) dan non fibrin spesifik (streptokinase). Di indonesia
umumnya yang tersedia adalah Streptokinase, dengan dosis pemberian sebesar 1,5
juta unit, di larutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% atau Dextrose 5%, diberikan secara
infus selama 30-60 menit.

Fibrinolisis bermanfaat untuk diberikan pada 1. ST Elevasi atau perkiraan


LBB baru, 2. Infark Miokard yang luas, 3. Pada usia muda dengan risiko
perdarahan intraserebral yang lebih rendah. Sedangkan pada STEMI dengan onset
seberangan antara 12-24 jam atau infark kecil, atau pasien > 75 tahun, strategi ini
dianggap kurang bermanfaat. Fibrinolisis mungkin berbahaya jika diberikan pada
1. Depresi segmen ST, 2. Onset >24 jam , 3. Tekanan darah yang tinggi (Tekanan
darah sistolik >175 mmHg).

Selama dilakukan fibrinolisis, penderita harus dimonitor secara ketat


(Bedside). Tanda vital dan EKG di evaluasi di setiap 5-10 menit untuk mendeteksi
resiko fibrinolisis yaitu: 1. Pencegahan, 2. Alergi, 3. Hipotensi, 4. Aritmia
reperfusi; Aritmia reperfusi ini sebenarnya adalah salah satu tanda keberhasilan
fibrinolisis namun apabila aritmia reperfusi yang terjadi adalah aritmia maligna
sebagai contoh ventrikular takikardia maka perlu dilakukan penanganan segera.

Penilaian keberhasilan fibrinolisis dilakukan 60-90 menit dimulai dari saat


obat fibrinolisis dimasukkan. Tanda keberhasilan fibrinolisis adalah 1. Resolusi
komplit dari nyeri dada, 2. ST elevasi menurun >50% (dilihat terutama pada
sadapan dengan ST elevasi tertinggi), 3. Adanya artimia reperfusi. Bila fibrinolisis
tidak berhasil maka penderita secepatnya harus dilakukan rescue PCI. Pada
pedoman AHA 2015, setiap pasien yang telah dilakukan fibrinolisis dianjurkan
untuk dilakukan angiografi dini dalam 3-6 jam pertama hingga 24 jam pasca
fibrinolisis.
Tindakan Intervensi Koroner Perkutan (IKP/PCI) Primer

Angioplasti koroner dengan atau tanpa pemasangan stent adalah terapi pilhan
pada tatalaksana STEMI bila dapat dilakukan kontak doctor-balloon atau door-
balloon < 90 menit pada pusat kesehatan yang mempunyai fasilitas IKP terlatih.
Pedoman 2015 merekomendasikan bahwa primary PCI dapat dilakukan bila
waktu dari onset keluhan kurang dari 12 jam dan waktu PPCI dari kontak dengan
tenaga kesehatan kurang dari 120 menit.
Rekomendasi pedoman 2015 AHA yang berhubungan dengan PCI
1) Bilamana terapi fibrinolysis pra rumah sakit memungkinkan untuk
dilakukan selama transfer menuju RS dengan fasilitas PPCI, maka lebih
diutamakan untuk mengirim ke RS untuk dilakukan PPCI daripada
fibronilisis, oleh karena factor risiko perdarahan lebih kecil jika dilakukan
PPCI, namun tidak terdapat perbedaan mortalitas antara kedua strategi
tersebut.
2) Pada pasien dewasa yang mengalami STEMI di IGD RS tanpa fasilitas
PCI, disarankan agar pasien tersebut segera dipindahkan tanpa fibrinolysis
ke RS dengan fasilitas PCI, bukan diberikan fibrinolysis di RS awal dan
bukan baru dilakukan pemindahan untuk dilakukan PCI oleh karena
adanya iskemik residual.
3) Kombinasi tindakan fibrinolysis dahulu kemudian diikuti dengan PPCI
tidak dianjurkan.
4) Jika telah dilakukan terapi fibrinolysis, perlu dipertimbankan untuk
mengirim pasien ke RS degan fasilitas PCI untuk dilakukan angiografi
coroner dalam 3-24 jam.
5) Jika waktu onset gejala timbul diketahui, interval antara kontak pertama
dengan petugas medis dan reperfusi harus tidak lebih dari 120 menit.
6) Pada STEMI dengan onset 2 jam, fibrinolysis segera lebih
direkomendasikan disbanding PPCI bila diperkirakan keterlambatan untuk
primary PCI lebih dari 60 menit.
7) Bila pasien STEMI tidak dapat dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas PCI
tepat waktu, maka sebagai alternatif terapi fibrinolitik diberikan kemudian
pasien dirujuk ke fasilitas PCI untuk angiografi coroner rutin.
8) Tindakan infasif segera dilakukan pada pasien SKA tanpa elevasi segmen
ST dengan risiko tinggi dan sangat tinggi.
9) Angiografi coroner emergensi segera dapat dilakukan pada pasien dengan
OHCA (out of hospital cardiac arrest) dengan kecurigaan penyebab dari
jantung atau elevasi segmen ST pada EKG.
10) Angiorafi coroner juga dilakukan pada pasien koma setelah OHCA yang
dicurigai penyebab dari jantung walau tanpa didaptkan elevasi segmen ST.
11) Angiografi coroner dianjurkan pada pasien pasca henti jantung baik koma
maupun sadar

Das könnte Ihnen auch gefallen