Sie sind auf Seite 1von 24

STIMULASI MAGNETIK TRANSKRANIAL UNTUK PENGOBATAN

DEPRESI BERAT

Abstrak: Depresi mayor seringkali sulit didiagnosis secara akurat. Bahkan saat
diagnosis dilakukan dengan benar, pendekatan pengobatan standar (misalnya,
psikoterapi, pengobatan, atau kombinasinya) seringkali tidak memadai untuk
mengendalikan gejala akut atau mempertahankan manfaat awal. Hambatan tambahan
melibatkan masalah keamanan dan tolerabilitas, yang seringkali menghalangi tujuan
penanganan yang memadai. Hal ini membuat kesenjangan penting pada kemampuan
kita mengelola depresi berat dengan benar dalam proporsi pasien yang substansial,
membuat mereka rentan terhadap komplikasi yang terjadi (misalnya ketidakmampuan
terkait pekerjaan, meningkatnya risiko bunuh diri, gangguan medis komorbid, dan
penyalahgunaan zat). Dengan demikian, ada kebutuhan untuk pendekatan yang lebih
efektif dan dapat ditolerir lebih baik. Stimulasi magnetik transkranial adalah teknik
neuromodulasi yang semakin banyak digunakan untuk mengisi kekosongan terapeutik
ini. Dalam konteks mengobati depresi, kami secara kritis meninjau perkembangan
stimulasi magnetik transkranial, yang berfokus pada hasil percobaan terkontrol dan
pragmatik untuk depresi, yang mempertimbangkan keampuhan, keamanan, dan
tolerabilitasnya.

Kata kunci: terapi elektrokonvulsif, depresi resisten pengobatan, depresi berat,


stimulasi magnetik transkranial

PENGANTAR

Depresi merupakan kontributor utama kecacatan di seluruh dunia. Selanjutnya,


manajemennya bisa menjadi tantangan bagi para dokter berpengalaman sekalipun.
Masalah dimulai dengan mengenali dan mendiagnosa dengan benar pasien yang
mengalami gangguan ini. Misalnya, diperkirakan sekitar setengah dari individu di AS
yang mengalami episode depresi berat setiap tahun tidak terdiagnosis dengan benar.
Dari mereka yang diidentifikasi dan menerima perawatan (misalnya, psikoterapi,
pengobatan, atau berbagai kombinasi terapi ini), hanya mendapat sekitar setengah
manfaatnya. Hal ini terjadi karena banyak pasien yang sering tidak menerima terapi
percobaan yang memadai untuk mencapai pengurangan gejala yang cukup, awalnya
menguntungkan namun kemudian kehilangan efek ini dari waktu ke waktu, atau tidak
mentolerir pendekatan standar. Masalah ini disorot oleh hasil National Institute of
Mental Health (NIMH) yang disponsori Sequenced Treatment Alternatives to Relieve
Depression (STAR*D rangkaian pengobatan alternatif untuk mengobati depresi). Uji
coba klinis seminaturalistik yang besar (n = 4.040) ini menemukan bahwa setelah
sampai pada empat strategi pengobatan agresif, sekitar sepertiga pasien masih belum
mencapai remisi. Singkatnya, ada kebutuhan penting untuk memperbaiki identifikasi
depresi dalam praktik klinis dan untuk mengembangkan terapi alternatif untuk
mengelola kelainan ini dengan lebih baik.

Dalam hal pendekatan pengobatan alternatif, salah satu pilihan adalah


neuromodulasi terapeutik, yang melibatkan penggunaan berbagai perangkat untuk
mengubah aktivitas listrik di sistem saraf pusat. Pendekatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa otak adalah organ elektrokimia dan oleh karena itu dapat dimodulasi
dengan cara kelistrikan seperti farmakologis. Sementara aplikasi terapeutik
neuromodulasi terutama berfokus pada depresi, gangguan neuropsikiatri lainnya
(misalnya, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan rasa sakit) mungkin juga mendapat
manfaat dari strategi ini.

Dalam konteks depresi, berbagai perangkat neuromodulasi tampak


mempengaruhi area otak (misalnya sirkuit mood pada limbik mesokorteks) yang terlibat
dalam patofisiologinya. Contoh prototipiknya adalah terapi elektrokonvulsif
(electroconvulsive therapy - ECT) yang telah tersedia selama 75 tahun. Penggunaannya,
bagaimanapun, dibatasi oleh beberapa kelemahan, termasuk kurangnya akses di banyak
area, efek kognitif yang merugikan, tingkat kambuhan yang substansial setelah
perawatan akut yang berhasil, dan citra publik yang negatif. Selanjutnya, biasanya
disediakan untuk pasien yang paling parah sakitnya yang ditemui dalam praktik klinis.
Jadi, ada sebagian besar pasien depresi yang tidak responsif terhadap pendekatan
pengobatan lini pertama dan kedua serta bukan kandidat ideal untuk ECT atau menolak
untuk menganggapnya sebagai pilihan. Sebagai tanggapan atas dilema ini, sejumlah
pendekatan neuromodulasi sedang dalam pengembangan. Dua pilihan seperti yang saat
ini dinyatakan oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan depresi
adalah stimulasi saraf vagus (vagus nerve stimulation - VNS) dan stimulasi magnetik
transkranial (transcranial magnetic stimulation - TMS). Meski tersedia sejak 2005,
hingga saat ini VNS tidak banyak dimanfaatkan. Hal ini sebagian karena kebutuhan
akan prosedur pembedahan untuk menanamkan perangkat dan kebutuhan pemaparan
yang terlalu lama selama berbulan-bulan untuk mencapai hasil yang optimal.
Selanjutnya, di AS, kebanyakan perusahaan asuransi tidak mengganti proses ini, dan
pasien yang memenuhi syarat biasanya harus mengeluarkan biaya sendiri, dengan biaya
yang biasanya melebihi $ 25.000. Sebaliknya, TMS, yang telah tersedia secara klinis
sejak 2008, adalah prosedur non-invasif dengan lebih dari 35 uji coba terkontrol acak
yang mendukung manfaatnya pada pengobatan episode depresi berat akut. Dari
catatannya, TMS menghasilkan sedikit efek samping dan biasanya ditoleransi lebih baik
daripada pengobatan atau pendekatan neuromodulasi terapeutik lainnya. Selain itu,
relatif terhadap VNS dan ECT, biaya serangkaian perawatan akut di AS lebih rendah
(biasanya berkisar antara $ 10 - $ 12.000); dan tidak seperti VNS, perusahaan asuransi
semakin memberikan cakupan.

Tinjauan ini mempertimbangkan sejarah perkembangan TMS sebagai strategi


pengobatan, prinsip dasarnya, mekanisme tindakan yang dimaksud, dan hasil uji klinis
untuk manajemen depresi akut dan pemeliharaan.

SEJARAH

Galvani pertama kali melakukan stimulasi listrik pada otot dan serabut saraf di
akhir abad ke-18. Selanjutnya, Michael Faraday menemukan prinsip-prinsip induksi
elektromagnetik pada tahun 1831, sehingga menimbulkan kemungkinan menggunakan
medan magnet sebagai pengganti arus listrik untuk merangsang jaringan saraf. Namun,
ada sedikit usaha di abad ke-19 untuk mempelajari efeknya pada otak, terutama karena
keterbatasan teknologi yang mencegah generasi terpercaya yang kuat dan cepat
bergantian pada ranah elektromagnetik. Dengan demikian, terbatasnya penggunaan
teknik ini dalam penelitian atau pengaturan klinis sampai pertengahan 1970an. Pada saat
itu, Anthony Barker memulai sebuah program penelitian di University of Sheffield
menggunakan getar magnetik ultrabrief (yang sangat singkat ) untuk merangsang
jaringan saraf. Pada tahun 1985, Barker dkk merancang dan membangun perangkat
stimulasi elektromagnetik praktis pertama untuk penggunaan manusia. Tujuan awalnya
adalah untuk merangsang sumsum tulang belakang, karena para peneliti ini prihatin
terhadap efek TMS yang tidak dapat diprediksi pada memori (komunikasi pribadi,
George MS 2013). Meskipun demikian, TMS akhirnya ditemukan sangat sesuai untuk
mengeksplorasi fungsi kortikal dan digunakan secara luas untuk tujuan ini. Mark
George, seorang sarjana tamu di Inggris, yang pertama menerapkan TMS untuk
pengobatan depresi setelah ia pindah ke National Institutes of Health (NIH)
(komunikasi pribadi, George MS, 2013). Pada tahun 1995, uji coba percobaan klinis
percontohan pertama diterbitkan yang melaporkan hasil TMS pada enam pasien depresi
yang sangat resisten pengobatan (treatment-resistant depressed - TRD). Hal ini diikuti
oleh beberapa percobaan awal dan dua percobaan besar yang akhirnya mengarah pada
dikeluarkan nya perangkat TMS pertama oleh FDA untuk pengobatan depresi berat
pada tahun 2008. Percobaan besar berikutnya dengan perangkat "TMS dalam" yang
menyebabkan pengeluarannya pada tahun 2013.

PRINSIP DASAR

Berdasarkan prinsip induksi elektromagnetik, TMS memodulasi lingkungan


listrik otak dengan menggunakan medan magnet, yang melewati kulit kepala dan
tengkorak tanpa hambatan. Medan ini dihasilkan dengan melewatkan arus listrik yang
bergantian dengan cepat melalui koil dengan inti feromagnetik (yaitu elektromagnet
sebagai pengganti magnet permanen). Kekuatan medan magnet yang dihasilkan oleh
TMS bervariasi dari 1,5 hingga 3 T dan sebanding dengan perangkat MRI, kecuali
bahwa ia berfokus pada area terbatas korteks menggunakan desain melingkar, bentuk
delapan, kerucut, atau helm seperti koil (misalnya , H-coil). TMS dapat diberikan dalam
getaran tunggal atau sebagai rangkaian singkat getaran, yang disebut rentetan, untuk
tujuan penelitian, diagnostik, dan terapeutik. Bila digunakan secara klinis, beberapa ribu
getar biasanya digunakan selama beberapa menit hingga jam. Hal ini disebut stimulasi
magnetik transkranial berulang (repetitive transcranial magnetic stimulation) atau
"rTMS". Getaran ini dapat disampaikan dengan cara berulang yang cepat (yaitu, > 1-20
Hz), meningkatkan aktivitas kortikal; atau dengan cara berulang yang lambat (yaitu < 1
Hz), menghambat aktivitas korteks. Pada review (tinjauan) ini, kita akan menggunakan
istilah TMS.

Parameter Stimulasi untuk Depresi Mayor

Ada beberapa parameter penting yang dapat disesuaikan saat mengantarkan


TMS. Hal ini termasuk lokasi koil, yang biasanya berada di atas korteks prefrontal
dorsolateral kiri atau kanan (dorsolateral prefrontal cortex - DLPFC). Motor threshold
(MT) adalah intensitas medan magnet yang dibutuhkan saat koil ditempatkan di atas
korteks motor utama untuk mengaktifkan otot rangka. Ambang batas ini telah dipelajari
secara luas sebagai parameter neurofisiologis dasar, dan determinasinya memungkinkan
praktisi untuk mengubah variasi intensitas stimulasi pada individu dengan tujuan
mengoptimalkan khasiat dan meminimalkan efek samping (misalnya kejang).

Getar magnetik dikirim dalam rentetan stimulasi yang biasanya berdurasi 1-5
detik. Frekuensi (Hz) getar selama periode ini biasanya bervariasi (misalnya, < 1-20
Hz), dengan frekuensi yang lebih rendah menghambat dan frekuensi yang lebih tinggi
yang memfasilitasi depolarisasi neuron. Interval antar rentetan digunakan untuk
memungkinkan pendinginan koil, pengisian kembali kapasitor untuk rentetan
berikutnya, dan mengurangi probabilitas menginduksi kejang.

Karena keamanan berbagai parameter TMS yang digunakan untuk tujuan


pengobatan lebih dipahami dari waktu ke waktu, para praktisi telah meningkatkan
jumlah getaran, durasi perawatan, dan intensitas stimulasi yang relatif terhadap MT.
Tabel 1 mencantumkan parameter yang paling umum diterapkan yang bervariasi
berdasarkan perangkat TMS spesifik dan dampak yang ditimbulkan pada aktivitas
neuron.

Tabel 1 Stimulasi magnetik transkranial: parameter pengobatan umum pada gangguan


depresi mayor

Singkatan: DLPFC, dorsolateral prefrontal cortex (korteks prefrontal dorsolateral); MT,


motor threshold (ambang motor); EMG, electromyography (elektromiografi); HF, high
frequency (frekuensi tinggi); LF, low frequency (frekuensi rendah); TBS, theta burst
(ledakan theta); ms, milliseconds (milidetik), s, seconds (detik), Hz, hertz.

MEKANISME AKSI

Prinsip fisik dasar TMS dan pengaruhnya terhadap otak pada tingkat molekuler,
elektrofisiologis, dan neuroimaging telah dipelajari secara ekstensif, dan penerapannya
dalam paradigma eksperimental dan diagnostik terdokumentasi dengan baik. Badan
penelitian ini menyediakan dasar biologis yang masuk akal untuk penggunaan TMS
dalam mengobati berbagai gangguan neuropsikiatri. Misalnya, dalam konteks depresi,
ada banyak efek biologis yang serupa yang terkait dengan respons terhadap TMS dan
respons terhadap ECT atau obat antidepresan, yang menunjukkan bahwa mekanisme
aksi mereka serupa. Seperti halnya modalitas perawatan lainnya, dan terlepas dari bukti
klinis untuk efikasinya, mekanisme aksi TMS pada depresi tidak dipahami secara jelas.
Kesenjangan ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya teori patofisiologis depresi
yang kuat sebagai gangguan kejiwaan. Selanjutnya, validitas kriteria Petunjuk
Diagnostik dan Statistik Mental Disorder untuk gangguan depresi mayor telah
dipertanyakan. Akibatnya, heterogenitas dalam mendiagnosis depresi berkontribusi
secara signifikan terhadap pemahaman terbatas kita tentang penyebab utamanya.

Patofisiologi depresi dikonseptualisasikan pada tingkat aksi neurotransmiter dan


rangkaian kortikal dan subkortikal di otak. Sebagai contoh, penelitian hewan dan
manusia menunjukkan bahwa peningkatan transmisi dopaminergik terjadi di daerah
kortikal dan subkortikal otak setelah TMS. Hipotesis saat ini, yang menyebabkan
penerapan rangsang TMS frekuensi tinggi melalui DLPFC mengasumsikan adanya
hubungan yang tidak seimbang antara daerah limbik (misalnya hippocampus, amigdala,
anterior cingulate, dan insula) dan korteks prefrontal (prefrontal cortex - PFC).
Pencitraan otak pasien depresi menunjukkan penurunan aktivitas di DLPFC, area yang
terlibat dalam disregulasi perilaku yang konsisten dengan depresi (misalnya, perubahan
nafsu makan, gangguan siklus tidur-bangun, penurunan tingkat energi). Selain itu, studi
neurofisiologis dan tomografi emisi positron (positron emission tomography - PET)
terhadap pasien stroke menghasilkan "teori valensi emosi". Meski kemudian dibantah,
hipotesis ini menyarankan adanya lateralisasi emosi yang berhubungan dengan depresi
ke belahan otak kiri (kebahagiaan, kegembiraan, kemarahan) dan berpengaruh pada
pilihan untuk merangsang PFC kiri dengan frekuensi tinggi, yang mencetuskan getaran
TMS.

Depolarisasi neuron korteks dengan TMS yang cepat dan berulang secara
sementara meningkatkan aliran darah dan metabolisme di daerah lokal dimana koil
ditempatkan. Selain itu, koneksi trans-sinaps mempengaruhi area kortikal dan area otak
dalam lainnya. Misalnya, ketika TMS berfrekuensi tinggi diterapkan di sebelah kiri
DLPFC, "neurosirkuit mood" mesolimbik dapat dimodulasi. Hal ini dapat dilakukan
melalui entrainment irama osilasi serebral yang diperlukan untuk aktivitas neuron
regional yang sesuai berdasarkan tuntutan lingkungan. Sebaliknya, stimulasi selektif
interneuron inhibitor dan hiperpolarisasi lanjutan dengan TMS frekuensi rendah di atas
DLPFC yang tepat dapat menyebabkan penurunan aktivitas neuron lokal dan juga dapat
menghasilkan efek antidepresan. Dalam skenario ini, ada kemungkinan penghambatan
jaringan kortikal dan subkortikal yang terkait dapat mengubah aliran darah ke struktur
limbik seperti amigdala, area yang sering dikaitkan dengan modulasi kecemasan dan
ketakutan, yang merupakan ciri menonjol dari banyak episode depresi.

Penanda Biologis

Penelitian lebih baru yang memanfaatkan pencitraan otak dan TMS


menunjukkan adanya hubungan antara korteks anterior cingulate dan DLPFC. Daerah
ini sangat "tidak berkolerasi" dalam depresi, dimana terlalu banyak aktivitas anterior
cingulate dan hypoactivity dari DLPFC terjadi. Dalam konteks ini, respon positif
terhadap pengobatan dengan TMS diprediksi oleh korelasi nya dan memegang harapan
dalam penggunakan parameter terapi individual berbasis citra di masa depan.
Sebuah tinjauan komprehensif dan terrinci tentang perubahan neurobiologis
yang diamati pada otak hewan dan manusia yang disebabkan oleh TMS berada di luar
cakupan artikel ini. Sebuah tinjauan sistematis terbaru marker biologis pada TMS dan
depresi dapat ditemukan di tulisan Fidalgo et al. Para penulis mengkaji lebih dari 50
penelitian, lebih dari setengahnya menggunakan metode neuroimaging selain
pengukuran hasil klinis dari depresi. Mereka menemukan bahwa penelitian
neuroimaging menggunakan berbagai teknik (misalnya, fMRI, PET, SPECT, MTS)
menunjukkan korelasi yang paling kuat dengan hasil klinis, diikuti dengan faktor
neurotropika yang diturunkan dari otak dan studi rangsang kortikal. Korelasi semacam
itu tidak konsisten untuk penanda lain seperti aktivitas hormon perangsang tiroid atau
electroencephalogram (EEG). Bertentangan dengan perubahan yang diamati pada
penelitian hewan TMS, tinjauan ini tidak menemukan korelasi klinis yang signifikan
yang melibatkan dopamin, serotonin, dan gerakan mata sakadik (berulang-ualng yang
cepat dari fiksasinya).

UJI KLINIS TMS UNTUK PENGOBATAN DEPRESI BERAT

Jenis Percobaan

Studi awal tentang TMS untuk depresi berat mencakup laporan kasus, serial
kasus, dan uji coba berlabel terbuka kecil yang menjanjikan. Hal ini berujung pada uji
coba terkontrol yang lebih definitif dan lebih besar dengan TMS baik sebagai terapi
monoterapi atau augmentasi. Yang terakhir ini sangat penting karena pendekatan
gabungan menggunakan modalitas yang berbeda sering dibutuhkan untuk TRD. Selain
itu, ada beberapa penelitian nonblinded (terbuka), acak, dan non acak yang
membandingkan efek akut TMS terhadap ECT. Akhirnya, ada sejumlah studi hasil
pragmatis yang mempertimbangkan keampuhan TMS yang akut dan jangka panjang
pada situasi dunia nyata.
Percobaan Terkendali Monoterapi TMS Palsu

Sekarang ada beberapa percobaan yang palsu terkendalikan yang bervariasi


dalam hal kualitasnya, yang mempertimbangkan monoterapi TMS dalam pengelolaan
TRD. Beberapa tinjauan sistematis dan meta-analisis telah merangkum hasilnya (Tabel
2). Baru-baru ini, Gaynes dkk mengidentifikasi 18 percobaan (n = 1.970) yang
memenuhi kriteria kualitas yang baik atau wajar. Mereka melaporkan bahwa TMS aktif
lebih unggul daripada prosedur palsu pada ketiga hasil utama mereka: tingkat keparahan
gejala depresi; tingkat respon; dan tingkat remisi. Dengan demikian, TMS aktif rata-rata
menurunkan lebih dari 4 poin lebih tinggi pada skor Skala Rating Depresi Hamilton
(Hamilton Depression Rating Scale - HDRS) dibandingkan dengan prosedur palsu.
Selanjutnya, mereka yang menerima TMS aktif tiga kali lebih mungkin untuk mencapai
respons dan lima kali lebih mungkin untuk mencapai remisi dibandingkan dengan
kelompok palsu. Penulis menyimpulkan bahwa untuk pasien dengan depresi berat yang
telah gagal dalam dua atau lebih percobaan obat antidepresan yang memadai, TMS
mewakili alternatif yang masuk akal dan efektif. Mereka juga merekomendasikan studi
komparatif dengan pengobatan alternatif seperti kombinasi ECT atau obat untuk lebih
memperjelas peran TMS pada TRD. Akhirnya, mereka merekomendasikan uji coba
perawatan lebih lama untuk menilai durasi manfaat TMS akut.

Percobaan Terkendali Augmentasi TMS Palsu

Liu dkk juga baru-baru ini menerbitkan penelitian meta-analisis pertama yang
menggunakan TMS sebagai strategi augmentasi pada TDR. Mereka mengidentifikasi
tujuh percobaan palsu acak terkontrol yang memenuhi kriteria mereka untuk
dimasukkan. Total ukuran sampel adalah 279 (171 pada kelompok TMS; 108 pada
kelompok palsu). Tingkat respons gabungan untuk TMS aktif dibandingkan dengan
prosedur palsu adalah masing-masing 46,6% dan 22,1% (OR = 5.12; 95% CI = 2.11-
12.45; z = 3.60; P < 0.0003). TMS aktif juga lebih unggul dari prosedur palsu dalam hal
perubahan nilai dasar HDRS (yaitu, gabungan perbedaan rata-rata terstandar adalah
0,86; P < 0.00001). Penulis menyimpulkan bahwa augmenstasi TMS secara signifikan
lebih unggul dari kondisi palsdu pada TRD. Namun, mengingat jumlah penelitian yang
kecil dan heterogenitas dalam analisis subkelompok, mereka menyarankan agar
percobaan yang dirancang lebih ketat diperlukan untuk mengkonfirmasi pengamatan ini.

Table 2 Meta-analisis menilai keampuhan TMS untuk gangguan depresi mayor


Singkatan: NNT, number needed to treat (jumlah yang dibutuhkan untuk diobati); TMS,
transcranial magnetic stimulation (stimulasi magnetik transkranial); ES, effect size
(ukuran efek); SMD, standardized mean difference (perbedaan mean standar); MD,
major depression (depresi berat); TRD, treatment-resistant depression (depresi yang
resisten terhadap pengobatan); HF-TMS, high frequency (frekuensi tinggi) TMS; OR,
odds ratio (rasio odds); LF-TMS, low frequency (frekuensi rendah) TMS; HDRS,
Hamilton Depression Rating Scale; NR, non reported (tidak dilaporkan); CI, confidence
interval (interval kepercayaan), DLPFC, dorsolateral prefrontal cortex (korteks
prefrontal dorsolateral).

Studi Kritis

Di antara studi plasu acak terkendali, empat yang menonjol karena ukuran dan
implikasi klinisnya. Dua penelitian pertama menggunakan versi penelitian perangkat
Neuronetics dan mencakup 491 pasien (masing-masing 301 dan 190). Keduanya hanya
melibatkan pasien TRD tidak diobati yang diacak untuk baik TMS aktif maupun palsu.
Studi ini juga berbeda dari yang lain dalam penggunaan parameter perawatan yang lebih
agresif berdasarkan catatan keselamatan yang diperoleh dari percobaan sebelumnya dan
analisis sebelumnya yang menunjukkan bahwa parameter tersebut memperbaiki hasil
klinis. Parameter yang paling relevan adalah penempatan koil di sebelah kiri DLPFC;
frekuensi 10 Hz; intensitas stimulasi sebesar 120% MT; rentetan getaran 4 detik;
interval antar rentetan 26 detik; dan hingga 90.000 getar yang dikirim pada lebih dari 30
sesi. Selain itu, penelitian buta ditingkatkan pada kedua studi tersebut dengan
merancang dan menggunakan perawatan palsu yang sangat meyakinkan. Misalnya, studi
yang disponsori NIH juga mencakup rangsangan listrik pada kulit kepala untuk
menutupi perbedaan sensasi yang dihasilkan oleh prosedur TMS yang aktif dan palsu.
Hasil dari dua percobaan sejajar dengan sangat baik. Sebagai contoh, berdasarkan
HDRS peningkatan skor 24, tingkat remisi kira-kira 5% untuk prosedur palsu dan 15%
untuk TMS aktif di kedua uji coba. Selanjutnya, tolerabilitas dan keamanan sebanding
antara dua penelitian (misalnya, tidak ada kasus bunuh diri, tidak ada kejang, tidak ada
efek samping kognitif, tingkat putus sekolah yang rendah dikarenakan efek samping).

RCT besar ketiga (n = 212) menggunakan desain koil baru (yaitu, H-coil)
digabungkan ke stimulator Magstim. Sistem ini menghasilkan medan magnet kuat yang
menembus lebih dalam ke otak. Hasil penelitian ini dipresentasikan ke FDA yang
menyatakan bahwa sistem ini untuk pengobatan gangguan depresi berat pada pasien
yang telah gagal setidaknya satu percobaan pengobatan antidepresan yang memadai.
Dalam penelitian doubleblind ini, penelitian palsu terkendali, penempatan koil di atas
PFC medial dan lateral serta parameter terapi mencakup frekuensi 18 Hz, intensitas
stimulasi 120% MT, 1.980 getar per sesi diberikan selama durasi 20,2 menit, dan
pemberian 5 hari dalam seminggu dengan total 20 sesi. Prosedur palsu melibatkan
penggunaan arus terbalik, yang menghasilkan medan magnet yang dapat diabaikan.
Setelah fase pengobatan akut, pasien diobati dua kali seminggu selama 12 minggu
tambahan selama fase perawatan. Berdasarkan HDRS nilai perubahan 21, TMS secara
signifikan terpisah dari prosedur palsu (yaitu, 6,39 versus penurunan 3,28 poin; P <
0,008). Selanjutnya, tingkat respons (37,0% berbanding 27,8%; P < 0,03) dan tingkat
remisi (30,4% berbanding 15,8%; P < 0,016) berbeda secara signifikan antara perlakuan
koil aktif dan palsu. Efek samping yang umum adalah rangsangan nyeri di lokasi dan
nyeri rahang. Satu kejang (dikacaukan oleh penggunaan alkohol berat) dilaporkan, dan
tidak ada efek samping kognitif yang diamati.

Akhirnya, percobaan palsu terkendali multicenter besar (n = 170) keempat


dilakukan di 18 lokasi di Prancis membandingkan TMS frekuensi rendah terhadap
venlafaxine (VEN) untuk TRD. Penelitian ini melibatkan tiga cara: TMS aktif ditambah
VEN, TMS aktif ditambah tablet plasebo, dan TMS palsu ditambah VEN. Kelompok
TMS yang aktif menerima stimulasi harian mengenai DLPFC kanan pada frekuensi 1
Hz; intensitas 120% MT; durasi 8,5 menit; dan total 360 getaran per hari selama 2-6
minggu. Dosis rata-rata VEN adalah 179,0 ( 36,6) mg per hari. Berdasarkan hasil
utama, semua kelompok mencapai jumlah pengingat yang sebanding. Karena TMS
sendiri sebanding dengan kombinasi dan kelompok khusus VEN, penulis menyarankan
bahwa ini mungkin merupakan alternatif yang berguna dalam populasi ini.

TMS versus ECT

ECT dianggap sebagai pengobatan paling efektif yang tersedia untuk episode
depresi yang lebih parah. Namun, ada sejumlah keterbatasan yang terkait dengan ECT,
termasuk kurangnya ketersediaan di banyak area, efek samping kognitif jangka pendek
yang signifikan, efek daya tahan yang buruk pada sejumlah besar responden akut,
keengganan pasien untuk menerima perawatan ini, dan biayanya. Dalam konteks ini,
TMS sering dianggap sebagai pengganti potensial atau pengobatan komplementer
dengan ECT.

Ada beberapa percobaan yang secara langsung membandingkan dua pendekatan


ini, terutama untuk pasien yang dianggap tepat secara klinis untuk ECT (Tabel 3).
Dalam konteks ini, dua tinjauan sistematis dan meta analisis baru-baru ini
mempertimbangkan uji coba secara acak yang membandingkan manfaat relatif TMS
terhadap ECT untuk penanganan episode depresi akut yang lebih parah.

Tabel 3 Uji klinis acak yang membandingkan ECT dan TMS


Singkatan: ECT, electroconvulsive therapy (terapi elektrokonvulsif); TMS, transcranial
magnetic stimulation (stimulasi magnetik transkranial); HDRS, Hamilton Depression
Rating Scale (Skala Rating Depresi Hamilton); GAS, global assessment scale (skala
penilaian global); UND-ECT, unilateral nondominant ECT; BL-ECT, bilateral ECT;
MT, motor threshold (ambang motor); MD, mayor depression (depresi berat); HF-TMS,
high frequency (frekuensi tinggi) TMS; LF-TMS, low frequency (frekuensi rendah)
TMS.

Micallef-Trigona melaporkan meta analisis pertama dari perbandingan seperti


itu yang mencakup sembilan percobaan (n = 384). Penulis menemukan bahwa
kelompok pasien yang resistan terhadap pengobatan ini mengalami penurunan gejala
depresi yang signifikan dari baseline yang diukur dengan HDRS. Secara khusus,
kelompok TMS memiliki penurunan rata-rata 9,3 poin dan kelompok ECT, penurunan
rata-rata 15,4 poin. Ketika membandingkan kedua modalitas perlakuan, bagaimanapun,
kelompok ECT mengalami penurunan poin secara signifikan lebih besar (P < 0,011).
Secara keseluruhan, ukuran efek rata-rata adalah 1,33 untuk TMS dan 2,14 untuk ECT.
Penulis menyimpulkan bahwa sementara ECT lebih unggul dari TMS, setidaknya
beberapa pasien yang mungkin dirujuk untuk ECT berpotensi mendapat manfaat dari
TMS sebagai alternatif. Selanjutnya, mereka berpendapat bahwa peran utama TMS
dalam depresi yang lebih parah sebagian bergantung pada kemajuan teknologi dan
logistik dalam pemberiannya

Sebuah tinjauan sistematis kedua dan meta-analisis oleh Ren et al mencakup


sembilan percobaan (n = 425). Penulis melaporkan bahwa ECT lebih unggul dari TMS
frekuensi tinggi saat pasien depresi psikotik dimasukkan, baik dari segi respon (P <
0,03) dan remisi (P < 0,006); tetapi ECT dan TMS frekuensi tinggi sebanding pada
kelompok depresi nonpsikotik. Dari catatan, tingkat penghentian keseluruhan rendah
(yaitu, ~ 9%) dan tidak berbeda antara kedua kelompok perlakuan. Efek kognitif yang
merugikan (misalnya, memori visual, kefasihan verbal) lebih sering terjadi pada
kelompok ECT. Penulis meminta uji coba dengan kualitas yang lebih baik untuk
menilai hasil jangka panjang antara kedua perawatan ini, terutama dalam hal efek
kognitif. Mereka juga mencatat bahwa lebih banyak pekerjaan diperlukan untuk
mengoptimalkan pengiriman stimulus dengan TMS.

Satu studi percontohan yang positif juga menemukan bahwa TMS yang
dikombinasikan dengan ECT (disbanding ECT saja) untuk pengobatan depresi akut
mengurangi jumlah sesi ECT yang diperlukan, sehingga meminimalkan efek samping
(misalnya kognitif). Data pendahuluan dan peningkatan pengalaman klinis juga
menyarankan adanya peran pemeliharaan potensial dengan TMS setelah uji coba ECT
akut yang sukses.

Hasil Penelitian TMS

Uji coba ini dilakukan untuk menilai lamanya manfaat antidepresan setelah
program TMS akut yang sukses. Mereka dapat dibagi menjadi studi lanjutan setelah
respon TMS akut dalam percobaan terkontrol atau studi lanjutan setelah mendapat
respon terhadap TMS akut dalam rangkaian praktik klinis. Dari catatan, penelitian ini
menggunakan pengenalan kembali sesi TMS bila diperlukan, di samping terapi
perawatan standar yang melibatkan pengobatan dan psikoterapi
Hasil studi berskala besar dan semi-terkontrol pertama melibatkan pasien yang
dianggap paling sedikit berespon parsial (yaitu, setidaknya penurunan 25% pada nilai
HDRS awal mereka) setelah perawatan akut dalam percobaan penting yang
menyebabkan keluarnya pernyataan FDA pada perangkat TMS pertama pada
pengobatan depresi. Dalam penelitian ini, pasien (n = 99) awalnya meruncing dari
jadwal TMS 5 hari per minggu selama periode 3 minggu, saat secara bersamaan dititrasi
dengan obat antidepresan tunggal untuk tujuan perawatan. Selama 6 bulan berikutnya,
mereka secara teratur dinilai untuk tanda awal kekambuhan depresi. Jika ini terjadi,
mereka kemudian menerima perawatan TMS tambahan untuk mendapatkan kembali
stabilitas suasana hati. Pada akhir percobaan 6 bulan, 10 (13%) pasien telah kambuh.
Tiga puluh delapan (38%) memenuhi kriteria untuk gejala yang memburuk dan diterapi
kembali dengan sesi TMS pengenalan ulang (rata-rata ~ 14 perlakuan tambahan). Tiga
puluh dua (84%) kelompok kambuh yang tertunda ini mampu mencapai kembali
stabilitas simtomatik. Dalam studi lanjutan kedua, 50 pasien yang telah mencapai remisi
selama fase akut dari uji coba TMS yang disponsori oleh NIH kemudian diikuti selama
3 bulan. Setelah TMS diruncingkan dan kemudian melanjutkan farmakoterapi atau
follow up naturalistik, 29 (58%) mempertahankan remisi; dua (4%) mempertahankan
respons parsial; dan satu (2%) kambuh.

Hasil percobaan perawatan terkontrol baru-baru ini dilaporkan hanya dalam


bentuk abstrak penyajiannya. Kelompok TRD bebas pengobatan (n = 67) menerima
program TMS akut. Responden kemudian diacak menjadi 12 bulan penilaian tindak
lanjut dengan atau tanpa sesi TMS profilaksis yang dijadwalkan pada setiap kunjungan.
Pasien di kedua kelompok juga dapat menerima pengobatan TMS pengenalan ulang
akut jika mereka memenuhi kriteria perburukan yang telah ditetapkan. Sekitar dua
pertiga dari pasien ini mencapai remisi selama fase pengobatan TMS akut. Setelah 1
tahun, berdasarkan proporsi pasien tanpa gejala perburukan, ada kecenderungan yang
mendukung kelompok perlakuan profilaksis TMS bulanan. Hasil awal ini menunjukkan
bahwa monoterapi TMS untuk tujuan akut dan pemeliharaan mungkin merupakan
strategi yang tepat untuk beberapa pasien
Beberapa penelitian melaporkan hasil pada pasien depresi yang menerima uji
coba TMS akut dalam praktik klinis rutin dan kemudian dinilai setelah periode waktu
yang bervariasi untuk mendapatkan manfaat berkelanjutan. Misalnya, satu percobaan (n
= 59) mengikuti pasien TRD yang mendapat manfaat dari program TMS akut selama 20
minggu. Tiga puluh tujuh pasien ini menerima perawatan TMS dan 22 tidak menerima
pengobatan TMS tambahan. Pada akhir periode ini, 82% pasien tanpa perawatan TMS
telah kambuh dibandingkan hanya 38% yang menerima perawatan TMS (P < 0,004).
Dalam laporan retrospektif lain, penulis menilai 42 pasien yang awalnya berespon atau
mengundurkan diri setelah percobaan TMS akut pada episode depresi unipolar atau
bipolar mereka. Pada kelompok ini, 62% mengalami manfaat lanjutan selama periode 6
bulan saat menerima TMS perawatan tambahan.

Dalam studi pragmatis terbesar sampai saat ini, Dunner dkk melaporkan hasil
pada 257 pasien TRD yang berhasil menyelesaikan program TMS akut dan setuju untuk
di follow up selama 52 minggu. Pasien menerima pengobatan pemeliharaan
berkelanjutan sesuai dengan kebijaksanaan dokter dan juga memiliki pilihan untuk
menerima TMS pengenalan kembali jika mereka menunjukkan gejala yang memburuk.
Dari 120 pasien yang memenuhi kriteria respon dan remisi pada akhir pengobatan TMS
akut mereka, 75 (62,5%) terus memenuhi kriteria respon selama periode 1 tahun.
Penulis menyimpulkan bahwa TMS menunjukkan bukti nyata dan klinis durasi manfaat
positif yang bermakna selama 12 bulan.

Seleksi Pasien untuk TMS

Berdasarkan hasil uji klinis tersebut di atas serta pengalaman klinis yang ada,
pasien yang optimal untuk TMS tampaknya adalah seseorang yang episode depresifnya
bertahan 3 tahun atau kurang; telah gagal antara satu dan empat percobaan antidepresan
yang memadai (baik pengobatan maupun psikoterapi); dan tidak memiliki fitur psikotik.

Keamanan dan Tolerabilitas TMS


Keefektifan pengobatan secara keseluruhan harus mempertimbangkan
keampuhannya sebaik mempertimbangkan masalah keamanan dan tolerabilitas. Dalam
konteks ini, TMS tampaknya merupakan pengobatan yang relatif aman dan dapat
ditolerir dengan cukup baik. Efek samping yang terkait dengan pendekatan terapeutik
ini melibatkan sejumlah masalah lokal di lokasi penempatan koil. Masalah yang paling
umum termasuk ketidaknyamanan pada area pemakaian tersebut atau rasa sakit. Hal ini
terjadi sebagai akibat dari getaran magnetik yang terus menerus yang diterapkan melalui
DLPFC. Sedangkan sekitar 50% pasien akan mengalami masalah ini, paling aklimat
dalam jangka waktu yang relatif singkat. Untuk membantu pasien mengatasi
ketidaknyamanan ini, berbagai parameter bisa disesuaikan, biasanya untuk sementara.
Termasuk menurunkan intensitas stimulasi, mengubah putaran atau sudut koil, atau
sedikit mengubah lokasinya. Karena adanya persarafan yang kaya di daerah ini,
stimulasi cabang saraf tertentu (misalnya, saraf trigeminal) dapat menyebabkan
kontraksi otot di sekitar mata, sensasi di hidung dan gigi, atau menangis. Ini terjadi saat
rangsangan sedang dikirim dan jarang bertahan sesudahnya. Karena kontraksi otot, sakit
kepala seperti tegang (tension type headache) juga terjadi pada sekitar setengah pasien.
Biasanya tingkat keparahannya ringan hingga sedang dan sedikit demi sedikit mereda
setelah beberapa sesi perawatan pertama. Penggunaan analgesik (misalnya aspirin,
asetaminofen, ibuprofen) sebagai premedikasi dapat menghalangi sakit kepala atau
digunakan untuk mengelolanya jika terjadi.

Efek samping potensial yang paling serius adalah kejang yang tidak disengaja.
Insiden ini tampaknya sekitar 0,1% selama keseluruhan perawatan TMS. Hal ini
sebanding dengan kejadian kejang dengan banyaknya obat yang digunakan untuk
mengatasi depresi. Kejang dilaporkan selalu terjadi saat pasien menerima pengobatan,
sembuh secara spontan dengan terapi suportif, dan tidak mengakibatkan komplikasi
neurologis atau medis jangka panjang. Dalam dua penelitian terbesar sampai saat ini,
yang menggunakan parameter perawatan agresif, tidak ada kejang yang terjadi. Dalam
studi TMS yang dalam, satu kejadian kejang dilaporkan terjadi. Akibatnya, riwayat
kejang sebelumnya adalah kontraindikasi relatif terhadap penggunaan TMS.
Selanjutnya, perawatan harus dilakukan untuk menghindari situasi di mana beberapa
obat yang dapat menurunkan ambang kejang dikombinasikan dengan perawatan TMS
untuk memastikan bahwa koil ditempatkan cukup tepat di anterior ke korteks motor,
untuk menghindari periode kurang tidur, untuk meminimalkan penggunaan alcohol atau
zat lainnya, dan untuk meminimalkan perubahan signifikan dalam diet dan asupan
cairan yang bisa mengubah MT.

Arahan Masa Depan

Selain menyelidiki penanda biologis respons TMS seperti yang disebutkan


sebelumnya, ada beberapa proyek yang sedang berjalan untuk memperbaiki pemakaian
TMS lebih lanjut untuk mencapai peningkatan terapeutik. Di bawah ini kami
merangkum beberapa perkembangan ini.

Magnet Multipel (Cervel Neurotech)

Perangkat investigasi ini memiliki koil multipel yang memanfaatkan teknologi


penjumlahan spasial untuk secara langsung merangsang struktur yang lebih dalam dan
mencapai spesifisitas tingkat sirkuit yang lebih tinggi di otak. Meskipun tidak
terpublikasikan, perusahaan melaporkan bahwa percobaan klinis perintis sampai saat ini
telah menghasilkan hasil statistik dan klinis yang positif secara relevan

Stimulasi Ledakan Theta

Dibandingkan desain atau konfigurasi magnet yang berbeda, ini adalah


modifikasi parameter getaran yang memanfaatkan frekuensi tinggi dan rendah pada
rentetan stimulus yang sama dengan menerapkan medan magnet frekuensi sangat tinggi
(50 Hz) dalam ledakan yang sangat singkat, yang memiliki frekuensi sendiri 4-7 Hz
(dengan demikian, theta) (yaitu, tiga ledakan 50 Hz dikirimkan lima kali per detik). Ini
dimodelkan setelah penelitian hewan, mengeksplorasi pola penembakan neuron
hippocampus dan depresi jangka panjang serta mekanisme potensiasi jangka panjang.
Jika diberikan terus menerus (misalnya, cTBS), pola stimulus ini serupa dengan TMS
lambat (1 Hz), dan bila dikirimkan sebentar-sebentar (yaitu 8 detik jeda antara ledakan),
ini serupa dengan TMS cepat (10-20 Hz). Penelitian klinis rintisan pada manusia untuk
pengobatan depresi telah menghasilkan hasil positif awal. Meskipun tidak ada penelitian
perbandingan langsung, TBS dapat memberikan manfaat klinis yang sama seperti TMS
namun dengan sesi perawatan yang lebih pendek dan intensitas magnetik yang lebih
rendah.

Fase Dan Frekuensi TMS Digabungkan ke EEG (Neosync)

Perangkat ini menggunakan medan magnet rendah yang dihasilkan oleh putaran
magnet bumi aneh yang bulat, yang disinkronkan dengan frekuensi EEG alfa frontal
pasien yang diukur oleh perangkat. Secara hipotetis, ini dapat menyebabkan ritme
osilasi pada sirkuit otak yang berhubungan dengan mood.
Peningkatan Konsistensi dan Ketepatan Penempatan Koil dengan MRI Struktural

Protokol perawatan TMS saat ini menentukan penempatan koil di atas DLPFC
berdasarkan perkiraan pengukuran, yang mengandalkan homunculus korteks motor
primer atau standar koordinat EEG 10-20. Ada perangkat TMS, bagaimanapun, yang
menggabungkan navigasi berbasis MRI yang canggih dalam desain mereka dan
digunakan dalam pemetaan pre bedah saraf korteks (pusat motor dan bicara). Peranan
individual dan ketepatan penempatan koil belum diketahui dan mungkin tidak penting
untuk khasiat pengobatan dengan protokol saat ini. Pendekatan ini, bagaimanapun,
mungkin menjadi penting dalam perawatan terhadap individu yang jauh lebih muda dan
ketika desain titik koil lebih banyak dicapai di masa depan.

Perbandingan Langsung Modalitas dan Perangkat TMS

Saat berbagai desain koil, perangkat, dan parameter perawatan terus


berkembang, dokter akan ditantang dalam membuat analisis biaya-manfaat-risiko untuk
menentukan modalitas pengobatan mana yang optimal. Meskipun sulit untuk dilakukan,
perbandingan langsung dari modalitas ini akan sangat penting untuk memahami
perbedaan dan kesamaan perangkat ini dalam praktik klinis. Jenis penelitian ini juga
dapat memperbaiki pemahaman kita tentang mekanisme tindakan dan subtipe depresi.

Dalam konteks ini, ada beberapa penelitian kecil yang membandingkan


frekuensi tinggi, TMS sisi kiri dengan frekuensi rendah, TMS sisi kanan. Mereka
menyarankan kedua modalitas ini bermanfaat tanpa perbedaan efikasi yang dramatis.
Namun, sampai saat ini, studi terkontrol palsu paling banyak melibatkan penggunaan
pengobatan dengan sisi kiri frekuensi tinggi. Berdasarkan data yang ada, pengobatan
dengan sisi kanan frekuensi rendah mungkin lebih disukai pada pasien dengan risiko
kejang yang lebih tinggi. Studi ini juga menunjukkan bahwa durasi sesi dapat
dipersingkat dengan pengobatan sisi kanan frekuensi rendah.
Penghambatan Langsung Korteks Anterior Cingulatum

Beberapa studi pencitraan menunjukkan bahwa terlalu banyak aktivitas anterior


cingulatum sangat berkorelasi dengan depresi berat. Perangkat saat ini hampir tidak
mencapai wilayah ini dan kemungkinan akan memengaruhinya secara tidak langsung
melalui koneksi sinaptik. Hal ini memunculkan hipotesis yang dapat diuji bahwa secara
langsung menghambat aktivitas korteks anterior cingulatum dengan koil TMS yang
dapat dijangkau dan dipusatkan pada daerah ini dapat memperbaiki hasil klinis.

Kombinasi Simultan dengan Perawatan Aktif (Psikoterapi, Kinerja Tugas) dan /


atau Perawatan Pasif Lainnya (Terapi Cahaya Terang, Ketamin)

TMS adalah pengobatan pasif dari sudut pandang pasien. Vedeniapin dkk
menerbitkan sebuah laporan kasus yang menunjukkan bahwa CBT selama TMS pada
depresi layak dilakukan dan dapat menghasilkan efek aditif. Selain itu, dalam uji coba
palsu single-blind terkendali, Hoy dkk memaparkan sepuluh peserta studi yang sehat
terhadap rangsangan afektif saat mereka menjalani sesi TMS tunggal, yang
menunjukkan bahwa TMS durasi pendek tidak mengubah mood subyek yang sehat.
Selain tugas aktif, perawatan pasif lainnya seperti terapi cahaya dan infus ketamin dapat
dikombinasikan dan berpotensi meningkatkan efek antidepresan TMS.

Sebuah studi multisite juga saat ini sedang dilakukan untuk pengobatan penyakit
Alzheimer. Uji coba ini menggabungkan kinerja tugas spesifik area dengan TMS di
berbagai wilayah korteks.

Kombinasi Serial dengan Perawatan Neuromodulasi Lainnya (ECT, tDCS)


Strategi kombinasi lainnya mungkin secara berurutan melakukan perawatan
stimulasi otak lainnya seperti ECT atau stimulasi korteks langsung transkranial
(transcranial direct cortical stimulation - tDCS) dengan TMS.

KESIMPULAN

Singkatnya, TMS adalah pengobatan antidepresan baru yang menjanjikan, yang


masih relatif dini dalam perkembangannya. Efikasi dan keamanannya telah meningkat
secara signifikan dengan penelitian lanjutan dan pengalaman klinis. Ukuran efek untuk
efikasi antidepresan TMS paling sedikit sebanding dengan obat antidepresan meskipun
penelitian hanya melibatkan pasien depresi yang resisten terhadap pengobatan atau
intoleran terhadap perawatan. Sampai saat ini, basis bukti ini memenuhi ambang batas
kritis untuk keluarnya pernyataan FDA dan persetujuan cakupan oleh sebagian besar
pembayar pihak ketiga (asuransi) dalam perawatan kesehatan. Selanjutnya, ada sinyal
bahwa TMS dapat memberi manfaat pada subkelompok pasien tertentu yang
sebelumnya akan dirujuk untuk ECT. Akhirnya, durasi manfaat antidepresan TMS dan
profil keamanan dan tolerabilitasnya menjadikannya sebuah pilihan perawatan yang
menarik bagi pasien tertentu. Meskipun TMS padat usaha dibandingkan dengan obat-
obatan, keampuhan, keamanan, dan tolerabilitasnya terhadap depresi serta kemungkinan
gangguan lainnya mendorong penelitian tambahan untuk memperbaiki dan
meningkatkan potensi terapeutiknya.

PENYINGKAPAN RAHASIA

Dr Janicak telah menjabat sebagai konsultan dan mendapat dukungan hibah


penelitian dari Neuronetics, Inc dalam 12 bulan terakhir. Penulis melaporkan tidak
adanya konflik kepentingan lainnya dalam karya ini.

Das könnte Ihnen auch gefallen