Sie sind auf Seite 1von 8

Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja

(Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta)

Fiana Dwiyanti
Universitas Indonesia
fiana.dwiyanti@gmail.com
Abstract
This study is about sexual harassment in the workplace in Jakarta municipal police.
Written using feminist criminology perspective, this study used a qualitative approach
with participatory observation method which enables researchers to come to feel what is
experienced by the research subject and understanding the phenomena that occurs directly in
it. This study describes the forms of abuse that occur in the Office of DKI Jakarta municipal
police, the factors that cause sexual harassment in the Office of DKI Jakarta municipal
police, and the resistance of the victims of sexual harassment in the office.

Keyword: Feminist criminology, sexual harassment, male domination, gender, resistance

Abstrak
Penelitian ini mengenai pelecehan seksual di tempat kerja pada di polisi kota Jakarta. Menggu-
nakan perspektif kriminologi feminis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif den-
gan metode observasi partisipatif yang memungkinkan peneliti untuk ikut merasakan apa yang
dialami oleh subjek penelitian dan memahami fenomena yang terjadi secara langsung di da-
lamnya. Penelitian ini menggambarkan bentuk kekerasan yang terjadi di Kantor Satpol PP DKI
Jakarta, faktor-faktor yang menyebabkan pelecehan seksual di Kantor Satpol PP DKI Jakarta,
dan perlawanan dari para korban pelecehan seksual di kantor.

Kata Kunci: Kriminologi feminis, pelecehan seksual, dominasi laki-laki, jenis kelamin, resistensi

Pendahuluan

C
atatan Tahunan Komnas dihimpun menunjukkan korban berusia 13
Perempuan 2011 menunjukkan hingga 40 tahun.
bahwa terdapat 119.107 kasus Kekerasan seksual adalah bentuk
kekerasan yang ditangani oleh lembaga kekerasan yang paling mencuat dalam
pengada layanan sepanjang tahun 2011. Catatan Tahunan (Catahu) 2011, terutama
Kasus kekerasan di dalam rumah tangga di ranah domestik dan publik. Dari 113.878
(KDRT) masih menjadi kasus yang paling kasus di ranah domestik, lebih dari 97%
banyak ditangani oleh lembaga pengada (110.468 kasus) adalah kekerasan terhadap
layanan 113.878 kasus (95,61%). Sebanyak istri, dan ada 1.405 kasus kekerasan dalam
5.187 kasus (4,35%) terjadi di ranah publik, pacaran. Teridentifikasi bahwa di dalam
dan sisanya 42 kasus (0,03%) terjadi di ranah domestik, kekerasan psikis paling
ranah negara. Perempuan dalam usia antara banyak dialami (103.691), dan berturut-
25 hingga 40 tahun adalah yang paling turut jenis kekerasan ekonomi (3.222),
rentan kekerasan, meskipun data yang kekerasan fisik (2.790), serta kekerasan

29
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 10 Nomer 1, Mei 2014
29-36

seksual (1.398). Sementara itu, jenis bukanlah hal yang langka terjadi. Semenjak
kekerasan terhadap perempuan di ranah ditetapkan pada tahun 1975, Equal
Negara ini mencakup kekerasan yang Opportunities Commission (EOC) telah
dilakukan oleh aparat (31 kasus), pengambil memerhatikan masalah pelecehan seksual
alihan lahan (6), pelayanan publik berkaitan di tempat kerja. Bertahun-tahun komisi
dengan kewarganegaraan (2), penahanan tersebut telah menggunakan kekuatannya
(2), dan penembakan (1). dibawah Sex Discrimination Act (SDA)
Di ranah komunitas, kasus kekerasan untuk mendukung tuntutan terhadap
seksual adalah yang terbanyak (57%, 2.937 pelecehan seksual kepada pengadilan tenaga
kasus), dan ada 1.408 kasus kekerasan fisik kerja untuk mengembangkan kasus hukum
(1.408), 267 kekerasan psikis (267). Catahu dan telah mendapat perhatian terhadap
2011 juga mencatat 289 kasus trafficking, masalah tersebut melalui kampanye dan
105 kekerasan yang dialami oleh pekerja melobi (Hunt, Davidson, Fielden, & Hoel,
migran dan 43 kekerasan di tempat kerja 2007: 5).
yang berkaitan dengan masalah ketenaga Mengacu pada definisi yang dikutip
kerjaan. Yang dimaksud dengan kekerasan Judith Berman dari Advisory Commitee
seksual dalam kategori kekerasan yang Yale College Grievance Board and
terjadi di ranah Komunitas ini termasuk: New York University telah dirumuskan
pencabulan, perkosaan, percobaan pengertian sexual harassment, yakni: semua
perkosaan, persetubuhan, pelecehan seksual, tingkah laku seksual atau kecenderungan
aborsi, eksploitasi seksual, prostitusi, dan untuk bertingkah laku seksual yang tidak
pornografi. Sebanyak 87 kasus dialami oleh diinginkan oleh seseorang baik verbal
perempuan dengan orientasi seksual sejenis (psikologis) atau fisik yang menurut si
dan transgender. Jenis kekerasan yang penerima tingkah laku sebagai merendahkan
dialami mencakup pengusiran sebanyak 80 martabat, penghinaan, intimidasi, atau
korban oleh warga setempat (di Jakarta), paksaan (Sihite, 2007, hal. 69).
penganiayaan yang dilakukan oleh warga Pada tahun 2010, sebuah survei
karena orientasi seksual sebanyak 5 yang dilakukan oleh Reuters dan Ipsos
kasus, penolakan kepada transgender di Global Advisory terhadap 22 negara
tempat hiburan sebanyak satu kasus, dan mengungkapkan, satu dari 10 pekerja
pelarangan berpacaran dengan sesama jenis merasa mengalami pelecehan seksual dari
juga sebanyak satu kasus (Wibisono, 2011: atasannya. Dari sejumlah penelitian lain,
4). terlihat pula bahwa tingkat pelecehan seksual
Kekerasan yang menimpa perempuan di negara-negara Asia Pasifik mencapai 30-
dapat terjadi di mana saja, di ruang publik 40 persen dari masalah ketenagakerjaan.
maupun di ruang privat. Kekerasan ini ada Sebuah survey di Hongkong pada Februari
yang menimbulkan kerugian fisik dan ada tahun 2007 menunjukan hampir 25%
yang tidak. Pelecehan seksual atau sexual pekerja yang telah diwawancari menderita
harassment pertama kali dinamakan pada pelecehan seksual oleh satu sampai tiga
tahun 1975. Sebelumnya, ia belum muncul, orang di tempat kerja mereka.
karena tindakan-tindakan pelecehan Selanjutnya, berdasarkan pada sebuah
tersebut masih dianggap hanyalah tabu laporan di Italia tahun 2004, 55,4%
sampai pada akhirya tindakan-tindakan perempuan dalam jangkauan umur 14
tersebut menjadi nyata. Pelecehan seksual sampai 59 tahun dilaporkan telah menjadi
yang terjadi di tempat kerja, sebenarnya korban dari pelecehan seksual. Satu dari

30
Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta)
Fiana Dwiyanti

tiga pekerja perempuan menjadi korban seksual sebagai kebiadapan individu yang
intimidasi seksual terhadap kemajuan karir ditujukan kepada kaum perempuan dan hal
dengan 65% menerima surat kaleng setiap tersebut telah melanggar norma dan nilai
minggunya dengan pelaku pelecehan yang sosial, sedangkan hukum anti diskriminasi
sama, biasanya partner kerjanya ataupun beranggapan bahwa pelecehan seksual lebih
supervisornya. Lebih jauh, 55,6% perempuan sebagai paksaan ekonomi, atau pun paksaan
yang terintimidasi secara seksual akhirnya intelektual (Tong R., 1984).
keluar dari pekerjaannya. Dari data yang Pelecehan seksual adalah penyalahgunaan
dimiliki oleh Koran Kompas, di Uni Eropa, kekuasaan serta ekspresi dari seksualitas
40-50% perempuan telah melaporkan laki-laki. Dimana pelecehan dapat terjadi
beberapa pengaduan mengenai pelecehan karena berasal dari relasi posisi yang
seksual di tempat kerja. Data sebenarnya menempatkan lelaki lebih tinggi dari pada
jauh lebih banyak daripada yang tercatat. perempuan, dan dalam hal ini si pelaku
Hal ini disebabkan keengganan para korban pelecehan memegang kendali atas posisi
kekerasan seksual untuk melaporkan superiornya.
kasusnya dikarenakan rasa malu, trauma, Stigma dan pendapat mengenai Satpol
serta tidak mendapat dukungan dari orang- PP merupakan lahan pekerjaan untuk
orang terdekatnya. laki-laki menempatkan perempuan yang
Pelecehan seksual diakui dapat menimpa bekerja di kantor Satpol PP Provinsi DKI
siapa saja: kelas ekonomi, ras, jenis kelamin Jakarta mendapatkan perlakuan yang
apa pun. Ketika pelecehan seksual lebih kurang menghargai martabat perempuan.
dilihat sebagai isu kekuasaan daripada isu Karyawan perempuan yang berada di kantor
penyerangan, diberlakukanlah pedekatan dan juga di lapangan seringkali mengalami
hukum kerugian, yang lebih melihat dan pelecehan seksual, yang disadari maupun
menekankan pada perilaku seksual yang yang tidak disadari. Sayangnya, pelecehan
tidak pantas. Tanggapan dari kaum feminis: seksual yang terjadi ini sudah dianggap
Pelecehan seksual dapat terjadi dikarenakan hal yang biasa atau lumrah di lingkungan
relasi kekuasaan yang tidak imbang, pekerjaan tersebut. Keberadaan karyawan
dimana perempuan memiliki kedudukan dan petugas perempuan di Satpol PP penting
yang inferior. Relasi kekuasaan yang tidak guna menunjang kinerja Satuan Kerja
imbang antara laki-laki dan perempuan Perangkat Daerah (SKPD) Satpol PP, namun
tidak hanya terlihat dari bentuk fisik saja, pada prakteknya karyawan perempuan di
namun secara umum, ketimpangan ini juga SKPD Satpol PP menerima perlakuan yang
dapat dilihat dari siapa yang memegang berbeda dari karyawan perempuan yang
kekuasaan di ranah politik, sosial, ekonomi, bekerja di SKPD DKI Jakarta yang lain.
dan pemerintahan, dimana kaum laki-laki
lebih memiliki andil besar daripada kaum Kerangka Pemikiran
perempuan. Kurangnya keseragaman konsep dan
Karena hukum anti diskriminasi pengukuran terhalang pemahaman tentang
lebih sensitif terhadap dinamika berbagai jenis pelecehan dan dampak dari
permasalahan kekuasaan ini, maka berbagai bentuk target (Gruber, Smith, &
hukum anti diskriminasi dirasa tepat Toropainen, 1996: 152). Oleh karena itu
untuk menyelesaikan permasalahan dalam penelitian ini peneliti menggunakan
pelecehan seksual di banding dengan fort tipologi mengenai pelecehan seksual yang
law. Hukum kerugian melihat pelecehan digunakan oleh Gruber untuk melakukan

31
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 10 Nomer 1, Mei 2014
29-36

survey penelitiannya. Analisis kritis dari 18 Alur pemikiran penelitian ini terfokus
survei pelecehan seksual menemukan bahwa pada tiga hal yang saling berhubungan
ketika kategori yang berbeda dari pelecehan dalam adanya pelecehan seksual yaitu, (1)
seksual dibandingkan dan dimasukkan di faktor-faktor penyebab, (2) bentuk-bentuk
bawah judul umum, komentar seksual pelecehan seksual, dan (3) resistensi korban
adalah bentuk paling umum dari pelecehan, dalam menanggapi pelecehan seksual itu
diikuti oleh sikap seksual, sentuhan sendiri. Hubungan yang dimaksud dalam
seksual, dan tekanan relasional. Urutan alur pikir ini dapat merupakan hubungan
ini bertahan meskipun perbedaan besar langsung ataupun hubungan tidak langsung,
di antara survei ini dalam persentase tergantung dari data yang diperoleh.
perempuan yang mengindikasikan bahwa Ketiga poin ini berhubungan secara
mereka telah dilecehkan secara seksual langsung dan tidak langsung berdasarkan
(Gruber, Smith, & Toropainen, 1996: 155). perolehan data lapangan. Faktor-faktor
penyebab sangat berhubungan atau
Tabel 2.1 Jenis Pelecehan Seksual Menurut
Gruber (1996) berkaitan dengan bentuk-bentuk pelecehan
yang terjadi dan juga resistensi dari para
korban, namun sebaliknya resistensi
korban dan bentuk-bentuk pelecehan tidak
berhubungan secara langsug karena masih
terdapat alasan-alasan pribadi dari masing-
masing korban ataupun karakteristik dari
masing-masing korban. Bentuk-bentuk
pelecehan seksual di kantor Satpol PP
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
terdapat di kantor tersebut sehingga bentuk
tersebut pun akhirnya mempengaruhi
resistensi para korban. Resistensi korban
jelas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
dan bentuk-bentuk dari pelecehan seksual,
dan secara tidak langsung mempengaruhi
faktor-faktor dan bentuk-bentuk pelecehan
seksual itu sendiri. Kurang lebih seperti
itulah hubungan dan keterkaitan antara tiga
poin terpenting penelitian ini.
Skema 2.1 Alur Pikir tentang Pelecehan Seksual
Pada Perempuan di Tempat Kerja (Studi Kasus
Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta) Metode Penelitian
Penelitian ini menjadikan Kantor
Satpol PP Provinsi DKI Jakarta sebagai
tempat terjadinya kasus. Ditulis
dengan menggunakan perspektif
kriminologi feminis, penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode observasi-partisipatoris
yang memungkinkan peneliti untuk ikut
merasakan apa yang dialami oleh subjek

32
Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta)
Fiana Dwiyanti

penelitian dan memahami langsung di lecehkan.


fenomena yang terjadi di dalamnya. Lalu, resistensi yang dipilih oleh para
korban adalah diam, dan lebih memilih
Analisis Hasil menghindar. Korban merasa apa yang
Analisis kritis dari 18 survei pelecehan terjadi dengan mereka tidak akan di tindak
seksual menemukan bahwa ketika kategori lanjuti oleh atasannya karena atasannya
yang berbeda dari pelecehan seksual kebanyakan adalah para pelaku pelecehan
dibandingkan dan dimasukkan di bawah seksual itu sendiri.
judul umum, komentar seksual adalah Data yang diperoleh dapat menjelaskan
bentuk paling umum dari pelecehan, diikuti hubungan tiga hal tersebut. Faktor-faktor
oleh sikap seksual, sentuhan seksual, dan pelecehan seksual di Satpol PP Provinsi DKI
tekanan relasional. Urutan ini bertahan Jakarta beragam macamnya. Faktor-faktor
meskipun perbedaan besar di antara survei yang ditemukan dalam data adalah faktor
ini dalam persentase perempuan yang lingkungan kerja yang terdiri dari (a) budaya
mengindikasikan bahwa mereka telah lingkungan kerja itu sendiri yang termasuk
dilecehkan secara seksual (Gruber, Smith, & di dalamnya adalah rasio perbandingan
Toropainen, 1996, p. 155). jumlah pegawai laki-laki dan perempuan
Pelecehan seksual yang terjadi di Kantor di Satpol PP Provinsi DKI Jakarta, (b)
Satpol PP Provinsi DKI Jakarta memiliki karakteristik korban, dan (c) karakteristik
beberapa bentuk. Beberapa macam bentuk pelaku.
pelecehan seksual tersebut adalah sebagai Ketimpangan rasio jumlah pegawai laki-
berikut. Permintaan secara verbal yang laki dan perempuan di kantor Satpol PP
berupa: (a). penyuapan seksual, (b) dorongan Provinsi DKI Jakarta yang sangat tinggi
halus seperti pertanyaan sekitar kehidupan yaitu tujuh (7) pegawai laki-laki dan satu
seksual, petunjuk halus, sindiran-sindiran, (1) pegawai perempuan menjadi salah satu
saran, atau referensi yang bersifat seksual. faktor yang paling utama. Lingkungan kerja
Komentar lisan yang berupa: (a) komentar yang mengharuskan pegawai perempuan
pribadi, (b) objektifikasi subjektif, dan (c) harus berhubungan dengan pegawai
pernyataan kategoris seksual. Tampilan ataupun petugas laki-laki yang lebih banyak
nonverbal berupa: (a) sentuhan seksual, (b) menjadikan posisi pegawai perempuan
sikap seksual, dan (c) material seksual. rentan terhadap pelecehan seksual di tempat
Adanya bentuk pelecehan seksual yang kerja.
bermacam-macam ini dipengaruhi oleh Beberapa studi telah menemukan bahwa
faktor-faktor penyebab pelecehan seksual kantor atau institusi yang jumlah pegawai
di Kantor Satpol PP DKI Jakarta. Adapun laki-laki dan perempuannya tidak seimbang
tiga faktor-faktor utama penebab terjadinya (dengan jumlah pegawai laki-laki yang
pelecehan seksual di kantor Satpol PP lebih banyak) beresiko untuk mengalami
Provinsi DKI Jakarta sebagai berikut. pelecehan seksual lebih besar dari pada
Budaya lingkungan kerja yang di dominasi kantor yang jumlah pegawai laki-laki dan
oleh laki-laki dan bersifat maskulin. perempuannya lebih seimbang. Hal ini
Karakteristik korban yang rentan tertimpa disebutkan oleh Stockdale (1996) sebagai
pelecehan seksual adalah perempuan yang karakteristik pekerjaan dan organisasi
sudah menikah. Dan karakter pelaku yang (Stockdale, 1996: 7).
kebanyakan adalah para laki-laki yang Ketimpangan rasio jumlah pegawai
memiliki jabatan yang lebih tinggi dari yang laki-laki dan perempuan disini juga

33
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 10 Nomer 1, Mei 2014
29-36

mempengaruhi budaya kantor tersebut. sudah menikah cenderung lebih ramah dan
Adanya dominasi laki-laki mempermudah mudah untuk diberikan perhatian seksual.
kantor tersebut menganut sistem patriarki Terlebih jika perhatian tersebut berujung
dimana perempuan diopresi oleh laki-laki pada terjalinnya relasi yang melibatkan
dan tidak mendapatkan kekuatan untuk hubungan fisik (hubungan intim), dan
melawan jika dilecehkan secara seksual. terjadi kehamilan pada sang korban, maka
Heather McLaughlin, Christoher Uggen, pelaku tidak harus bertanggung jawab
dan Ammy Blackstone dalam Sexual karena korban sudah bersuami.
Harassement, Workplace Authority, and Faktor ketiga adalah karakteristik
The Paradox Of Power yang ditulis pada pelaku. Hidayana (2004) menyebutkan
tahun 2009, mendapatkan hasil bahwa bahwa pelaku pelecehan seksual biasanya
dominasi gender dan budaya/kebiasaan di adalah laki-laki dengan posisi jabatan yang
lingkungan kerja mempengaruhi pelecehan lebih tinggi (manajer, supervisor, dan lain
seksual yang terjadi di tempat kerja. sebagainya) ataupun sesama rekan kerja.
Faktor yang kedua adalah karakteristik Hal ini disebabkan karena di tempat kerja
korban pelecehan seksual di Kantor terdapat hubungan yang cukup intens
Satpol PP Provinsi DKI Jakarta. Dari data antara laki-laki dan perempuan, dan adanya
yang diperoleh, terdapat keunikan dalam suasana kerja yang memungkinkan tumbuh
karakteristik korban di lokasi penelitian suburnya praktek pelecehan seksual. Dari
ini. Stockdale (1996) menuliskan dalam hasil temuan lapangan, subjek penelitian
tulisannya bahwa Fain & Anderton (1987) mengatakan para pelaku pelecehan seksual di
serta Gutek (1985) menyebutkan bahwa kantornya adalah kebanyakan laki-laki yang
karakteristik korban pelecehan adalah sudah menikah. Alasan dari masing-masing
kebanyakan perempuan muda yang tidak/ pelaku ini sendiri bermacam-macam. Subjek
belum menikah. Hal ini juga di pertegas penelitian mengatakan bahwa kebanyakan
dalam jurnal Sexual Harassment in the dari pelaku pelecehan seksual di kantornya
Federal Workplace yang ditulis oleh akan melakukan pelecehan seksual berkali-
Meredith A. Newman, Robert A. Jackson kali, seperti sudah menjadi suatu kebiasaan
and Douglas D. Baker pada tahun 2003, dari pelaku tersebut. Pernyataan subjek
bahwa perempuan muda yang lajang, atau penelitian tersebut didukung oleh tulisan
bercerai di dataran status pekerjaan yang Anne M OLeary-Kelly, Ramona L. Paetzold
rendah yang paling mungkin menerima dan Ricky W. Griffin pada tahun 2000
jenis perhatian yang tidak diinginkan. yang berjudul Sexual Harassement as
Namun dari data lapangan yang Aggressive Behavior: An actor-Based
diperoleh, kantor Satpol PP memiliki Perspective pelaku pelecehan akan
karakteristik tersendiri untuk karakteristik mengulangi perbuatannya terus menerus
korban yang rentan adalah perempuan selama ia menginginkannya.
yang sudah menikah, yang paling mudah Poin penting adalah bentuk-bentuk
terkena pelecehan seksual. Alasan mengapa pelecehan seksual di kantor Satpol PP
perempuan yang sudah menikah lebih rentan Provinsi DKI Jakarta. Seperti yang telah
menerima pelecehan seksual ini beragam. disebutkan di atas, penelitian ini mengacu
Menurut penuturan salah satu subjek pada kategorisasi yang disusun oleh Gruber
penelitian, pelecehan seksual yang ditujukan dan dari data yang diperoleh terdapat
kepada perempuan yang sudah menikah beberapa bentuk pelecehan seksual yang
tersebut terjadi, karena perempuan yang terjadi di lokasi penelitian. Dari data yang

34
Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta)
Fiana Dwiyanti

diperoleh, yang berhubungan langsung resistensi korban pelecehan di kantor Satpol


dengan faktor penyebab adalah pelecehan PP Provinsi DKI Jakarta. Dominasi laki-laki
berbentuk pertanyaan sekitar kehidupan dan sistem yang patriarki membuat subjek
seksual. penelitian yang menjadi korban pelecehan
Mengapa dikatakan berhubungan seksual enggan untuk melaporkan hal yang
langsung? Hal ini dikarenakan karakteristik menimpa dirinya.
korban yang sudah menikah kerap membuat Salah satu korban mengatakan, ia
ia menerima pertanyaan seputar kehidupan tidak mau mengadukan pelecehan yang
seksualitasnya, yang membuatnya sangat menimpanya, karena ia berpikir atasannya
tidak nyaman. Faktor lainnya, dominasi tidak akan menggubris pelecehan yang
laki-laki dan budaya tempat korban bekerja. menimpa dirinya. Subjek penelitian utama
Faktor ini mempengaruhi bentuk-bentuk dalam penelitian ini yang merupakan salah
pelecehan yang menimpa para korban satu korban pelecehan seksual di kantor
seperti komentar verbal yang dilontarkan Satpol PP Provinsi DKI Jakarta melakukan
secara langsung maupun tidak langsung penolakan yang dilakukan secara halus
terhadap bentuk tubuh ataupun seksualitas ataupun secara tegas terhadap pelaku-
korban. Akibat jumlah pegawai perempuan pelaku yang melecehkan dirinya. Sistem
lebih sedikit dan pegawai laki-laki lebih patriarki yang terdapat di lingkungan kantor
banyak, maka pegawai perempuan pun pun tidak jarang membuat korban hanya
tidak bisa berbuat apa-apa terhadap bisa diam jika pelecehan tersebut sudah
perlakuan ini. Sama halnya dengan budaya terjadi. Menurut Scott (1985), diam adalah
di lokasi penelitian, adanya budaya patriarki suatu bentuk resistensi yang bertujuan
yang sangat kental bisa mengakibatkan untuk memperkecil atau menolak sama
perempuan lebih rentan menjadi korban sekali klaim-klaim yang diajukan kelas
pelecehan seksual. dominan atau mengajukan klaim-klaim
Lalu, poin penting terakhir adalah dalam menghadapi kelas-kelas yang lebih
resistensi dari para korban. Sebelum dominan.
memasuki resistensi, disini telah dipastikan Resistensi juga mempengaruhi sebagian
bahwa subjek penelitian memahami faktor-faktor yang menyebabkan pelecehan
pelecehan seksual. Dari hasil wawancara seksual di Kantor Satpol PP Provinsi DKI
mendalam dengan empat orang subjek Jakarta secara tidak langsung. Korban
penelitian, ke-empatnya sudah memahami pelecehan yang diam dan tidak melaporkan
pelecehan seksual walaupun hanya sebatas pelecehan yang menimpa dirinya sedikit
pengertian umum. Setidaknya mereka sudah banyak mempengaruhi lingkungannya
bisa menyadari jika pelecehan tersebut bekerja yang membuat pelecehan seksual
menimpa diri mereka. Sama seperti hal di tempat kerjanya tidak dilaporkan dan
sebelumnya, faktor-faktor pelecehan seksual akhirnya membentuk suatu budaya yang
ini juga mempengaruhi secara langsung terbiasa dengan pelecehan seksual.

Daftar Referensi
Belknap, J. (1996). The Invisible Wom- lisher, Inc.
an: Gender, Crime, and Justice. United Gutek, B. A. (1985). Sex and The Workplace:
States: Wadsworth Publishing Company. The Impact of Sexual Behavior and Ha-
Britton, D. M. (2011). The Gender of Crime. rassment on Women, Men, and Organi-
Maryland: Rowman & Littlefield Pub- zations. San Fransisco: Jossey-Bass.

35
Jurnal Kriminologi Indonesia
Volume 10 Nomer 1, Mei 2014
29-36

Gruber, J. E., Smith, M., & Toropainen, K. Komnas Perempuan.


K. (1996). Sexual Harassment Types and Stockdale, M. S. (1996). What We Know and
Severity: Linking Research and Policy. In What We Need to Learn About Sexual
M. S. Stockdale, Sexual Harassment in Harassment. In M. S. Stockdale, Sexual
the Workplace (pp. 151 - 173). London: Harassment in the Workplace (pp. 3 -
SAGE Publication. 25). London: SAGE Publication.
Hunt, C., Davidson, M., Fielden, S., & Hoel, Tong, R. P. (1998). Feminist Thought: Pen-
H. (2007). Sexual Harassement in The gantar Paling Komprehensif kepada
Workplace: Literatyre Review. Manches- Arus Utama Pemikiran Feminis. Colora-
ter: Manchester Business School, Uni- do: Westview Press.
versity of Manchester. Tong, R. (1984). Womem, Sex and the Law.
Perempuan, K. N. (2012). Stagnansi Sistem New Jersey: Rowman & Allanheld.
Hukum: Menggantung Asa Perempuan
Korban. Catatan KtP 2011. Jakarta:

36

Das könnte Ihnen auch gefallen