Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
eshurd@northwestern.edu
847.467.5412
to failure.
In Rule of Experts, Timothy Mitchell writes that, the possibility of social science
is based upon taking certain historical experiences of the West as the template for a
social inquiry determine the kinds of questions that are askable and worth asking about
recognition must be given to the way Western concepts (religion, political, secular,
This paper has two objectives. First, I analyze the terms through which political
understandings of political Islam rely upon commonly held secular definitions and
assumptions about religion and politics. As a result, they do not consider the
fundamental question that motivates the conceptual work of this essay: in what ways do
-1-
1 We need to ask the fundamental question: is Islam compatible with laicism? But then,
of which laicism are we speaking? (authors translation).
2 Mitchell 2002, p. 7.
3 Asad 1996, p. 11.
4 Hirschkind 1997, p. 14.
-2-
assumptions about what religion is and how it relates to politics determine the kind of
questions worth asking about political Islam and the kinds of answers one expects to
find? I argue that secularist habits, dispositions and interpretive traditions are part of the
Relations requires and assumes a particular kind of religious subject that is produced
through a series of practices that are at the core of modern secularist authority.6
Internasional kontemporer. Mereka adalah bagian tersirat dari ontologi tradisi penelitian
'agama' tertentu yang dihasilkan melalui serangkaian praktik yang merupakan inti dari
Second, this paper explores the effects of these secularist understandings upon
contemporary European and American foreign policy toward Islamic political actors
and movements. I argue that one variation of these secularist dispositions contributes to a
tendency in European foreign policy to seek to engage and transform political Islamists
American foreign policy to try to eliminate Islamist actors and movements by starving
them both diplomatically and economically. This engage versus strangle policy
Kedua, makalah ini membahas dampak dari pemahaman sekuler ini terhadap kebijakan
luar negeri Eropa dan Amerika kontemporer terhadap aktor politik 'Islam'
-3-
dan gerakan. Saya berpendapat bahwa satu variasi dari disposisi sekuler ini berkontribusi
pada kecenderungan kebijakan luar negeri Eropa untuk berusaha melibatkan dan
mentransformasikan 'Islamis politik' baik secara politik maupun ekonomi. Variasi kedua
mencoba menghilangkan pelaku dan gerakan 'Islam' dengan kelaparan baik secara
The commonality of views that bound the United States and Europe
together is fading. Since September 11, 2001, after a brief flurry of
togetherness, they have been unmistakably drifting apart. The sense of a
terrorist threat has initiated a profound transformation in U.S. foreign
policy, but one that Europeans do not share and do not begin to
understand. This misunderstanding is mutual. It affects all aspects of
international relations, from mediation (of the lack of it) in the Middle
East to cooperation (of the lack of it) in defense and from disruptions of
trans-Atlantic trade to policy on weapons of mass destruction.7
This paper explains these policy divergences and opens possibilities for new ways of
think about and relating to political Islam. Secularist epistemology provides the terms
through which crucial distinctions are made between public and private, religious and
5 White 2000, p. 3.
6 Mahmood 2005, p. 33.
7 Gowers 2002, p. 33.
-4-
political and sacred and secular. These modes of apprehending political Islam have
Makalah ini menjelaskan perbedaan kebijakan ini dan membuka kemungkinan untuk
publik dan swasta, religius dan politik dan keramat dan sekuler. Cara memahami
'Islam politik' ini memiliki konsekuensi politik yang signifikan dalam hubungan
internasional.
The term political Islam was coined in the 1970s to refer to what Denoeux has
symbols and events taken from the Islamic traditionin order to articulate a distinctly
political agenda.8 For Ayubi political Islam refers to the doctrine and/or movement
which contends that Islam possesses a theory of politics and the State.9
Istilah 'Islam politik' diciptakan pada tahun 1970an untuk mengacu pada apa yang
digambarkan Denoeux sebagai "bangkitnya gerakan dan ideologi yang mengacu pada
rujukan Islam - istilah, simbol dan peristiwa yang diambil dari tradisi Islam - untuk
mengartikulasikan sebuah agenda politik yang jelas. . "8 Untuk Islam politik Ayubi
'mengacu pada" doktrin dan / atau gerakan yang berpendapat bahwa Islam memiliki teori
-5-
Hefner describes a resurgence of piety and public religious activity
unprecedented in modern history in the Muslim world during the 1970s and 1980s,
between public expressions of Muslim piety and identity and political Islam.10
Salvatore approaches political Islam as a conceptual and symbolic construct, and never
divergence of this religion from the assumed normality, and the degree of the divergence
masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern" di dunia
Muslim selama tahun 1970an dan 1980an, menekankan keragaman komitmen dalam
gerakan ini dan membedakan antara ekspresi publik tentang kesalehan dan identitas
Salvatore mendekati 'Islam politik' sebagai "konstruksi konseptual dan simbolis, dan
tidak pernah sebagai deskripsi problematis tentang fenomena yang jelas." 11 Seperti yang
dia katakan, "atribusi/sifat/kedudukan kepada Islam tentang dimensi politik yang melekat
menyatakan tingkat perbedaan agama ini dari keadaan yang diasumsikan, dan tingkat
-6-
leftist projects advocating ideas and programmes of socio-political transformation based
on Islam). Zubaida 2000.
10 Hefner 2005, p. 18.
11 Salvatore 1999, note 1, p. xxvi.
12 Ibid., p. xx.
-7-
Hefner and Salvatore are onto something important when they identify the
diversity of commitments within these movements and extent to which political Islam is
political order, or as a combination of all of the above. Widely held interpretive and
evaluative frameworks about Islam and politics form the cultural and religious backdrop
out of which Europeans and Americans understand and engage with political Islam.
Hefner dan Salvatore menjadi sesuatu yang penting ketika mereka mengidentifikasi
keragaman komitmen dalam gerakan dan tingkat di mana 'Islam politik' sering dianggap
menyimpang dari politik 'normal'. 'Islam Politik' ditafsirkan secara monolitik oleh analis
ruang publik netral sekuler , sebagai kemunduran bentuk-bentuk tatanan politik Muslim
pra-modern, atau sebagai kombinasi dari semua hal di atas. Kerangka penafsiran dan
evaluatif yang dipegang secara luas tentang Islam dan politik membentuk latar belakang
budaya dan agama yang darinya orang Eropa dan Amerika memahami dan terlibat
dengan 'Islam politik.' Dua asumsi sekuleris beroperasi dalam latar belakang budaya ini.
In the first, which I describe below as laicism, political Islam appears a superficial
societies. It threatens democratic public order and marks a step toward theocracy. In
between religious and political authority are not only historically absent from Muslim-
majority societies but are unthinkable due to fixed characteristics of the Islamic religion.
political Islam appears as a refusal to acknowledge the privileged status of the private
ekonomi dan politik yang lebih mendasar dan pelanggaran bentuk-bentuk agama yang
tidak rasional atas kehidupan publik sekuler di masyarakat mayoritas Muslim. Ini
mengancam ketertiban umum yang demokratis dan menandai langkah menuju teokrasi.
Pada bagian kedua, yang digambarkan di bawah ini sebagai 'sekularisme Yahudi-
Kristen', 'Islam politik' muncul sebagai ajakan Islam dan politik yang tidak demokratis
yang membedakannya dengan pemisahan gereja dan negara modern (Kristen atau
Yudeo-Kristen ).13 Perbedaan antara otoritas agama dan politik tidak hanya secara
historis absen dari masyarakat berpenduduk mayoritas Muslim tapi tidak terpikirkan
karena karakteristik tetap agama Islam. Dalam kedua tradisi penafsiran ini, yang
penolakan untuk mengakui status istimewa dari ranah privat dan pelanggaran kategori
The problem with this understanding of political Islam is, as Connolly argues,
that it adopts as neutral terms of analysis several concepts and themes that became
13 Hurd 2004.
-9-
14 For a related argument regarding the alleged refusal of the Iranian hostage takers
of 1979 to acknowledge the sanctity of the Western private sphere see McAlister
2001, p. 220.
-10-
authoritative only through the hegemony of [particular forms of] Western secularism.15
political Islam, at the same time that, to paraphrase Euben, they conceal their
less about what [political Islam] really is than about the ways in which [secularist]
of [it].16 In other words, secularist epistemology relies upon and produces a particular
kind of religious subject and a particular understanding of normal politics that lends a
Masalah dengan pemahaman tentang 'Islam politik' ini, seperti yang oleh Connolly, yang
diadopsinya sebagai "aturan murnia dari analisis beberapa konsep dan tema yang menjadi
authortative hanya melalui hegemoni [bentuk khusus dari sekularisme Barat." 15 Euro-
Amerika sekuler epistemologi telah menghasilkan pemahaman khusus tentang 'Islam
politik,' pada saat yang sama, untuk menguraikan orang-orang Euben, mereka
"menyembunyikan 'mekanisme produksi' mereka dalam klaim objektivitas yang
menghasilkan gambar yang tidak banyak mengatakan tentang [Islam politik] sebenarnya
adalah 'daripada tentang bagaimana asumsi [sekuler] berasal dari sejarah dan pengalaman
Barat ... menghasilkan pemahaman kita tentang hal itu. "16 Dengan kata lain, epistemologi
sekuler bergantung dan menghasilkan jenis' subjek 'religius tertentu dan pemahaman
khusus tentang 'politik normal' yang memberi pewarnaan khusus terhadap praktik-praktik
politik di masyarakat berpenduduk mayoritas Muslim. Efek dari produksi subjektivitas
agama ini adalah menyamakan kemunculan agama 'Islam' dalam praktik 'politik' dengan
fundamentalisme dan intoleransi.
These framing effects have not gone unnoticed. Raymond Baker for example
alludes to a Western tendency to frame political Islam in negative terms in his account
of the New Islamist movement in Egypt.17 As Baker argues, there are no sound
scholarly reasons for the critical gap in the Western understanding of Islamlanguage
barriers and cultural differences have meant that these important aspects of mainstream
Islam that flow from New Islamist interpretations have been largely ignored in the
-11-
West.18 Fawaz Gerges has remarked that, the underlying cultural values of
important contributors to these cultural differences and cultural values identified but
'Efek framing' ini tidak luput dari perhatian. Raymond Baker misalnya
dalam kisahnya tentang gerakan Islamis Baru di Mesir.17 Seperti yang Baker katakan,
"tidak ada alasan ilmiah yang kuat untuk kesenjangan kritis dalam pemahaman Barat
tentang Islam ... hambatan bahasa dan perbedaan budaya berarti bahwa aspek penting
arus utama Islam yang mengalir dari interpretasi New Islamis telah diabaikan oleh
Barat. "18 Fawaz Gerges telah mengatakan bahwa," nilai-nilai budaya Amerika yang
mendasar memainkan peran utama dalam membentuk persepsi sebagian besar pembuat
kebijakan tentang kelompok Islam. "19 Argumen saya adalah bahwa bentuk sekularisme
Eropa dan Amerika adalah kontributor penting dari 'perbedaan budaya' dan 'nilai budaya'
yang diidentifikasi namun tidak dijelaskan oleh Baker dan Gerges. Meskipun
terhadap konstitusi dari hambatan 'budaya' yang tidak bisa dijelaskan ini.
-12-
and Gerges. Although the causalities are complex, secularist epistemology contributes in
their transgressive and/or regressive capacity, and tend to be equated and conflated with
fundamentalism. As van der Veer and Lehmann note, when religion manifests itself
negative social force directed against science, rationality, secularismin short, against
with disagreeable images of female subjugation and abuse, religious intolerance and
persecution, despotic governments and caste systems, child labor and illiteracy, and other
unsavory practices that are hardly consonant with the vision of a universal moral
with the transgression of universal norms in part because from the point of view of
secularism, religion has the option either of confining itself to private belief and worship
or of engaging in public talk that makes no demands on life.22 Because the forms of
Political Islam is defined a priori as a threat to the privileged status of the private
sphere and as a step toward theocracy. This presumptive transgression is often linked
-13-
22 Talal Asad, Religion, Nation-State, Secularism, in Van der Veer and Lehmann 1999,
p. 191.
23 Lynch 2000, pp. 741-759.
-14-
rhetorically to the alleged Muslim proclivity for terrorism and totalitarianism, both of
which also refuse to honor the privileged status of the private sphere.24
Langkah kedua dalam argumen saya adalah menyarankan bahwa evaluasi sekuler
dari 'Islam politik' memiliki konsekuensi kebijakan yang signifikan dalam hubungan
Seperti yang van der Veer dan Lehmann catat, "ketika agama memanifestasikan
dirinya sendiri secara politis ... ini dikonseptualisasikan sebagai fundamentalisme ...
Hampir selalu diartikan sebagai kekuatan sosial negatif yang diarahkan pada ilmu
kasta, pekerja anak dan buta huruf, dan praktik buruk lainnya yang tidak sesuai
agama memiliki pilihan untuk membatasi kepercayaan dan pemujaan pribadi atau
terlibat dalam pembicaraan publik yang tidak menuntut kehidupan. "22 Karena
bentuk politik yang diidentifikasi oleh sekuler sebagai 'Islam politik' tidak sesuai
-15-
dengan salah satu dari persyaratan, epistemologi sekuleris menyamakannya dengan
'Islam politik' didefinisikan secara apriori sebagai ancaman terhadap status istimewa
dari ranah privat dan sebagai langkah menuju teokrasi. Pelanggaran dugaan ini sering
the forms and degrees of separation between public and private, sacred and secular, Islam
and politics that do exist in contemporary Muslim-majority societies either do not appear
at all, or appear as ill-fitting imitations of a Western secular ideal. On the one hand,
are depicted as derivative discourses of a more successful and authentic Western secular
ideal. Political Islam, on the other hand, is depicted in oppositional terms vis--vis
these derivative secularist discourses and represented as a unitary and unified threat to
otherwise viable local variations of Western secularism. Legitimate negotiations over the
terms in which religion enters into public life in Muslim-majority contexts that take place
dan tingkat pemisahan antara publik dan swasta, sakral dan sekuler, Islam dan politik
yang ada di masyarakat mayoritas Muslim kontemporer tidak muncul sama sekali, atau
tampak sebagai tiruan yang tidak tepat dari cita-cita sekuler Barat. Di satu sisi, upaya
digambarkan sebagai 'wacana turunan' dari cita-cita sekuler Barat yang lebih sukses dan
otentik. 'Islam Politik', di sisi lain, digambarkan dalam istilah oposisi berhadapan dengan
-16-
wacana sekularis derivatif/turunanan/bukan asli ini dan diwakili sebagai ancaman
kesatuan dan terpadu terhadap variasi lokal sekularisme Barat yang lain. Perundingan
yang sah mengenai persyaratan di mana agama memasuki kehidupan publik dalam
revivify anachronistic local tradition, though each of these factors may be operative to
sometimes works outside of, and (occasionally) overturns fundamental assumptions about
religion and politics that are embedded in the forms of Western secularism that
emerged out of Latin Christendom. These forms of secularism are themselves social and
labor that fell out of that historic compromise within predominantly Christian states that
provided fragile protection against sectarian conflict and intolerance for a few
-17-
centuries. However, he continues, it also spawned practices of public life too dogmatic
and terse to sustain the creative tension needed between democratic governance and
supported to non-Christian countries left a lot to be desired too.26 The impact of these
Islam politik 'tidak hanya merupakan reaksi balik terhadap modernisasi, juga bukan
merupakan ekspresi epifen dari ketertarikan material yang lebih mendasar, atau
'Islam Politik' adalah bahasa politik modern yang menantang, terkadang bekerja
'politik' yang tertanam dalam bentuk sekularisme Barat yang muncul dari
Kristen juga banyak yang diinginkan. "26 Dampak dari 'orientasi destruktif' ini
This is not to deny that there are forms of Islamism, such as those espoused by
-18-
Khomeini and his followers in post-revolutionary Iran, the Armed Islamic Group (French
acronym GIA) in Algeria, the National Islamic Front (NIF) in Sudan, the Taliban in
Afghanistan and Al-Qaeda globally, which are transgressive or regressive by almost any
standard of judgment. (The extent to which al-Qaeda can be legitimately associated with
any version of Islamic tradition is questionable, however, because the group adamantly
rejects the authority of all established Islamic authorities. According to Carapico, Al-
Qaedado not respect or abide by Islamic law as understood by those who know what it
even the goal of an "Islamic state" per se is more imputed than articulated.27) These
parties and movements, however categorized, threaten the status of almost any
relationship between religion and politics, and deserve international condemnation. With
regard to such cases, I agree with Algerian historian Mohammed Arkoun in his
observation that, the tyranny of faith in militant Islam is no more acceptable than the
tyranny of reason.28 Yet these extreme forms of Islamist politics are the exception
rather than the rule.29 As Carapico concludes, there is no evidence of a mass following
or
26 Connolly 1999, p. 6.
27 Carapico 2005.
28 Robert D. Lee, Introduction, in Arkoun 1994, p. x.
29 Ayoob 2004, p. 5.
-19-
widespread public support in North Africa, the Levant or the Arabian Peninsula for a
representative of Islamism and its pronouncements are not consonant with those of any
Ini bukan untuk menyangkal bahwa ada bentuk-bentuk Islamisme, seperti yang dianut
oleh Khomeini dan para pengikutnya di Iran pasca revolusi, Kelompok Islam
Bersenjata (akronim GIA Prancis) di Aljazair, Front Islam Nasional (NIF) di Sudan,
Taliban di Afghanistan dan Al-Qaeda secara global, yang bersifat transgresif atau
regresif oleh hampir semua standar penilaian. (Sejauh mana al-Qaeda dapat dikaitkan
secara sah dengan versi tradisi 'Islam' apa pun, bagaimanapun, karena kelompok
tersebut dengan tegas menolak otoritas semua otoritas Islam yang mapan. Menurut
Carapico, "Al-Qaeda ... tidak menghormati atau mematuhi hukum Islam sebagaimana
dipahami oleh mereka yang mengetahui apa itu. Mereka adalah nihilis-reaksioner
mengancam status hampir semua konseptualisasi lingkungan pribadi dan upaya untuk
dan layak mendapat kutukan internasional. Berkenaan dengan kasus semacam itu, saya
"tirani iman terhadap Islam militan islam lebih tidak dapat diterima
Islam ini adalah pengecualian dan bukan aturan.29 Seperti yang Carapico simpulkan,
"tidak ada bukti adanya massa atau dukungan publik yang meluas di Afrika Utara,
-20-
Levant atau Semenanjung Arab untuk sebuah kelompok yang menyebut dirinya al-
Qaeda, apalagi al-Qaeda di Eropa ... al- Qaeda tidak mewakili Islamisme dan
My point is that not all forms of what secularist authority designates as political
Islam pose this kind of threat. There is more going on than is suggested by authoritative
science (in turn influenced by the grammar of theories of civil society) cannot completely
capture the rich and complex idiom of these movements.31 Political Islam raises
important critical questions about the foundational principles of collective life, including
secularist collective life. The shift of many Islamist movements in recent years away
from radical politics and toward a more cultural orientation does not attest to the
failure of Islamism as Olivier Roy has suggested.32 As Gle has shown, the result of
this shift is that, instead of disappearing as a reference, Islam penetrates even more into
the social fiber and imaginary, thereby raising new political questions, questions not
addressed solely to Muslims but concerning the foundational principles of collective life
in general.33
Maksud saya adalah bahwa tidak semua bentuk dari apa yang oleh otoritas sekuler
disebut sebagai 'Islam politik' menimbulkan ancaman semacam ini. Ada lebih banyak
terjadi daripada yang disarankan oleh kategorisasi sekuler otoritatif. Seperti yang
Leivine dan Salvatore katakan, "kosa kata ilmu sosial (pada gilirannya dipengaruhi oleh
termasuk kehidupan kolektif sekuler. banyak Pergeseran gerakan Islam dalam beberapa
-21-
tahun terakhir ini jauh dari politik radikal dan menuju orientasi yang lebih 'budaya' tidak
Sebagaimana ditunjukkan Gle, hasil dari pergeseran ini adalah bahwa , "Alih-alih
menghilang sebagai referensi, Islam semakin merambah ke dalam serat dan imajiner
pertanyaan yang tidak ditujukan hanya kepada umat Islam tapi juga mengenai prinsip-
In sum, most varieties of political Islam operate outside both the epistemological
theorists for understanding religion and politics, these forms of politics pose a challenge
the epistemological and cultural assumptions of the academics and policy-makers who
30 Carapico 2005.
31 Mark LeVine and Armando Salvatore, Socio-Religious Movements and the
Transformation of
Common Sense into a Politics of Common Good, in LeVine and Salvatore 2005, p. 51.
32 Roy 1992.
33 Gle 2002, p. 174.
-22-
have been immersed in these secularist traditions. The rise of different trajectories of
political Islam provides an opportunity to revisit these assumptions and to rethink the
policy recommendations that follow from them.34 The next two sections focus on
epistemologi dan membatasi untuk menjelaskan tradisi sekularis HI. Dengan gagal
menyesuaikan diri dengan kategori yang tersedia bagi para teoretikus Hubungan
Internasional untuk memahami agama dan politik, bentuk-bentuk politik ini menjadi
tantangan asumsi epistemologis dan budaya para akademisi dan pembuat kebijakan
yang telah tenggelam dalam tradisi sekuler ini. Munculnya berbagai lintasan 'Islam
politik' memberi kesempatan untuk meninjau kembali asumsi-asumsi ini dan untuk
berikutnya berfokus pada dua lintasan sekularisme, laisme dan sekularisme Yudeo-
Kristen, dan konsekuensinya. untuk kebijakan luar negeri terhadap 'Islam politik'.
Political scientists are socialized in the tenets of classical liberalism with its
emphasis on the benefits of a strict separation of religion and politics. This is laicism.
European foreign policy. It is most powerful when it appears as the natural order that
counterpart. The public sphere is the domain of reason, objectivity, deliberation and
justice; and the private the domain of subjectivity, transcendence, effeminacy and affect.
Laicism warns against religion in the public sphere and construes it as unnatural,
undemocratic and even theocratic. Religion is assigned a fixed place out of this sphere; it
is to be excluded from the spheres of power and authority in modern societies as well as
-24-
from political analyses of these spheres. The relationship between religion and politics is
Ilmuwan politik disosialisasikan dalam ajaran liberalisme klasik dengan penekanan pada
manfaat pemisahan ketat agama dan politik. Ini adalah laisme. Laisisme adalah bentuk
otoritas politik yang sangat berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Eropa kontemporer.
Hal ini paling kuat bila muncul sebagai tatanan alamiah yang muncul saat tidak ada
ideologi yang hadir, "35 bukan sebagai" mode kehidupan spiritual tertentu ... yang
umum, netral dan bernilai- bebas, dan mengartikan agama sebagai mitra pribadinya,
afektif dan bernilai tinggi. Lingkup publik adalah WILAYAH DARI akal, objektivitas,
dan menafsirkannya sebagai sesuatu yang tidak wajar, tidak demokratis dan bahkan
teokratis. Agama diberi tempat tetap di luar bidang ini; itu harus dikecualikan dari
lingkup kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat modern dan juga dari analisis politik
bidang-bidang ini. Hubungan antara agama dan politik dengan demikian tunduk pada
seperangkat peraturan yang dianggap berlaku secara universal terlepas dari situasi
former,
-25-
political Islam is represented as an epiphenomenal expression of more fundamental
Graham Fuller, Fred Halliday, Bassam Tibi, and, in some of his writings, John Esposito,
adopt variations of this approach. Owen describes political Islam as a response to the
perceived failures of the secular developmentalist ideologies and strategies which had
been used to legitimate most newly independent regimes.39 Fuller argues that, most
regimes see almost any form of political Islam as a threat, since it embodies a major
the secular modernity associated with radical nationalist politics and with the
modernizing state;41 and Tibi argues that, the foremost issue related to the pertinence
of politicized
religion for IR is exactly the revolt against the West directed against the existing secular
order.42 Esposito stresses that, the failures of increasingly discredited secular forms
of
-26-
nationalismstrengthened new voices who appealed to an Islamic alternative43
Representasi Laisis tentang 'Islam politik' sesuai dengan apa yang Daniel, dalam
secara lokal. "38 Roger Owen, Graham Fuller, Fred Halliday, Bassam Tibi, dan,
dalam beberapa tulisannya, John Esposito, mengadopsi variasi dari pendekatan ini.
yang telah digunakan untuk melegitimasi sebagian besar rezim baru yang
semua bentuk Islam politik sebagai ancaman, karena ini merupakan tantangan
besar bagi presiden mereka yang tidak populer/TDK disukai, gagal dan tidak sah-
terhadap modernitas sekuler yang terkait dengan politik nasionalis radikal dan
dengan negara modernisasi. "41 dan Tibi berpendapat bahwa," isu terdepan yang
melawan Barat' yang diarahkan pada tatanan sekuler yang ada. "42 Esposito
modernitas pada umumnya dan kondisi ekonomi dan politik domestik yang tidak
Hirschkind describes this position, the term political Islam is adopted to identify this
seeming unprecedented irruption of Islamic religion into the secular domain of politics
and thus to distinguish these practices from the forms of personal piety, belief, and ritual
of modern living and inconsistent with the game of modern politics, science and
from the norm of the separation of religion and politics, and harbors the potential to be
irrational, dangerous and extremist. Political Islam is a refusal of the privileged status
of the modern private sphere and a transgression against secular democratic categories of
Dalam variasi kedua laisme, 'Islam politik' diwakili sebagai ancaman terhadap
sebelumnya ke dalam ranah politik sekuler dan dengan demikian membedakan praktik-
praktik ini dari bentuk kesalehan, kepercayaan, dan ritual pribadi yang disandarkan
secara konvensional. Beasiswa Barat di bawah kategori "Islam" yang tidak bertanda
tangan. "44 Dalam pandangan ini, 'Islam politik' diwakili sebagai" bertentangan dengan
prinsip-prinsip kehidupan modern dan tidak sesuai dengan permainan politik modern, IP
-28-
dan pembangunan, dan oleh karena itu sepantasnya menghadapi kepunahan. "45 Ini
adalah kepergian yang mengancam dari norma pemisahan agama dan politik, dan
berpotensi menjadi tidak masuk akal, berbahaya dan ekstremis. 'Islam Politik' adalah
penolakan terhadap status istimewa dari ranah privat modern dan pelanggaran terhadap
political Islam emerges as either a reaction against unfavorable political and economic
of religion outside the supposedly normal domain of private worship, and thus as a
43 Esposito 1997, p. 2.
44 Hirschkind 1997, p. 12.
45 Ashis Nandy, The Politics of Secularism and the Recovery of Religious Tolerance
in Walker and Mendlovitz 1990, p. 140.
46 Mahmood uses the term in discussing the study of Muslim women and in
particular the assumptions triggered in the Western imagination [by this term]
concerning Islams patriarchal and misogynist qualities. Mahmood 2005, pp. 189-90.
-29-
historical anomaly requiring explanation if not rectification.47 Some approaches focus
on explaining political Islam, while others are more concerned with rectifying it. These
evaluative stances are politically significant because they are politically effective. Their
rather the way these critiques function within a vast number of institutional sites and
practices aimed at transforming economic, politics, and moral life in the Middle East
from international financial institutions to human rights associations to national and local
as
a reactive infringement upon secular public space contributes to the insistence on the part
Laisisme adalah apa yang Mahmood sebut sebagai "sikap evaluatif" 46 di mana 'Islam
politik' muncul sebagai reaksi terhadap kondisi politik dan ekonomi yang tidak
menguntungkan dan / atau pelanggaran berbahaya terhadap wacana dan institusi sekuler
modern. Dalam kedua kasus tersebut, "Islamisme neologisme '... membingkai objeknya
sebagai letusan agama di luar SEPERTI wilayah "normal" dari menyembah ranah
pribadi, dan karenanya sebagai anomali historis yang memerlukan penjelasan jika tidak
yang lain lebih peduli dengan meluruskannya. Sikap evaluatif ini secara politis signifikan
karena efektif secara politis. Pentingnya mereka, seperti yang Mahmood lihat, "bukan
sekadar pertanyaan tentang bias ideologis, melainkan cara kritik ini berfungsi dalam
sejumlah besar situs dan praktik institusional yang bertujuan mengubah kehidupan
-30-
ekonomi, politik, dan moral di Timur Tengah - dari internasional lembaga keuangan
untuk asosiasi hak asasi manusia terhadap birokrasi administrasi nasional dan lokal. "48
Membingkai 'Islam politik' sebagai salah satu epifenomenal atau sebagai pelanggaran
reaktif terhadap ruang publik sekuler berkontribusi pada desakan pada pihak masyarakat
lintasan perkembangan dan modernisasi lais, dengan penekanan pada bentuk pemisahan
political relations with the Muslim-majority countries of North Africa and the Middle
East. Gilles Kepel for example argues that the separation of the secular and religious
domains is the prerequisite for liberating the forces of reform in the Muslim world.49
According to Kepel Islam must be reconciled with modernity, meaning that the
style democracy, the secularization of civil society and the separation of mosque and
Muslim-majority societies.
Laicist assumptions about political Islam are also influential among U.S. foreign
Tengah. Gilles Kepel misalnya berpendapat bahwa "pemisahan wilayah sekuler dan
49
Menurut Kepel Islam harus didamaikan dengan modernitas, yang berarti bahwa
kekurangan Islam dalam politik harus diatasi melalui impor demokrasi bergaya Barat,
-31-
sekularisasi masyarakat sipil dan pemisahan masjid dan negara. 'Islam Politik' secara
Asumsi lincah tentang 'Islam politik' juga berpengaruh di kalangan pembuat kebijakan
luar negeri A.S. yang terlibat dengan masyarakat mayoritas Muslim. Seperti yang
dikemukakan Gerges:
47 Ibid., p. 189.
48 Ibid., p. 191.
49 Kepel 2004, p. 295.
-32-
Actual American policies toward Islamic movements and states reveal a
has not only supported its traditional friendsin their fight against
Islamistsbut has done little persuade them to open up the political field
during the heyday of modernization theory in the 1950s and 1960s,51 and also stood
behind the state imposition of secularism (much lauded in Western accounts) that
pada masa kejayaan teori modernisasi di tahun 1950an dan 1960an, 51 dan juga berdiri
di belakang pengenaan sekulerisme negara bagian (banyak dipuji dalam akun Barat)
At least three significant policy consequences follow from the commitments and
assumptions identified here as laicism. First, the laicist framing of political Islam
makes it difficult for oppositional politics cast in religious language to flourish in the
-33-
public spheres of Muslim-majority societies. As Gerges observes, a strain of skepticism
exists within U.S. foreign policy-making circles regarding the compatibility between
political Islam and democracy. U.S. discourse, replete with implicit references to
viable democracy, the rise in the fortunes of Islamic revivalism is viewed with alarm.54
Yet, as Asad and others point out, given the structures of authority in these societies
religious activists of any kind, extremist or not, have little choice but to engage state
-34-
institutions and discourse: Islamisms preoccupation with state power is the result not
of its commitment to nationalist ideas but of the modern nation-states enforced claim to
is not that the pietists have politicized the spiritual domain of Islam (as some scholars
of Islamism claim) but that conditions of secular liberal modernity are such that for any
Namun, seperti yang Asad dan yang lainnya tunjukkan, mengingat struktur otoritas
dalam aktivis agama 'agama' semacam itu, ekstremis atau tidak, tidak memiliki banyak
pilihan selain melibatkan institusi dan diskursus negara: "Keasyikan Islamisme dengan
-35-
kekuasaan negara adalah hasil bukan dari komitmennya terhadap gagasan nasionalis
namun klaim negara-negara modern yang ditegakkan itu merupakan identitas sosial
yang sah. "55 Mengikuti Asad, Mahmood berpendapat bahwa," bukan karena kaum
pietis/org alim telah "mempolitisir" wilayah spiritual Islam (seperti yang diketahui
sedemikian rupa sehingga untuk proyek pembuatan dunia apapun (spiritual atau
sebaliknya) untuk sukses dan efektif, ia harus terlibat dengan institusi dan struktur tata
kelola modern yang mencakup semua, entah itu menginginkan kekuasaan negara atau
tidak. " 56
Hirschkind membuat poin yang sama ketika dia mengemukakan bahwa, "untuk
dimasukkan ke dalam (dan ditransformasikan oleh) legal dan struktur hukum yang
terkait dengan negara, proyek (tradisional) untuk melestarikan kebajikan tersebut akan
tentu menjadi "politis" jika ingin sukses. "Naskah artikulasi tradisi politik Islam non-
hegemonik harus melibatkan struktur negara agar efektif di ranah publik masyarakat
berpenduduk mayoritas Muslim, sebuah hasil yang tidak dapat diterima oleh para
berlaku/terjadi
Konsekuensi kedua dari pembingkaian laisis tentang 'Islam politik' adalah bahwa
negosiasi antara publik dan swasta, sakral dan sekuler, kaum pietis dan sekuler, yang saat
yang tidak wajar dan tidak tepat untuk mewujudkan modern (laicist) ideal. Upaya untuk
menegosiasikan modalitas pemisahan antara agama dan politik dianggap sebagai apa
yang Partha Chatterjee dan L. Carl Brown (meskipun dari perspektif yang sangat
antara penemuan Barat dan tiruan non western yang tidak terhormat." 59 'Islam Politik'
ditafsirkan dalam istilah oposisi berhadapan dengan khotbah laisis derivatif ini. Hal ini
diwakili sebagai ancaman kesatuan dan terpadu terhadap variasi lokal sekulerisme Barat
lainnya. Tibi memajukan versi argumen ini saat dia mengemukakan bahwa, "Islam politik
dan konsep tatanannya didasarkan pada sikap bermusuhan terhadap globalisasi model
Barat dan universalisasi nilai-nilai mereka; itu menghidupkan kembali pandangan dunia
yang tidak sesuai dengan konsep tatanan dunia Eropa. "60 Seperti yang ditunjukkan
Augustus Richard Norton dengan meyakinkan, bagaimanapun, ini sama sekali bukan
Lebanon bukanlah cerminan sederhana dari penolakan Syiah terhadap otoritas sekuler ...
Sejarah penuh dengan contoh akomodasi, dan sebagian besar Syiah Lebanon tidak
menolak legitimasi semua temporal negara bagian, meskipun mereka menemukan negara
-37-
Konsekuensi ketiga dari pembacaan laisist dari 'Islam politik' adalah bahwa hal itu
menghalangi keterlibatan efektif antara sekuler dan apa yang telah diidentifikasi Hefner
sebagai kelompok Islam 'moderat' seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di
Indonesia dan gerakan Islamis Baru di Mesir.62 Baker menggambarkan yang terakhir
sebagai gerakan moderat Islam yang berpengaruh yang muncul dari Ikhwanul Muslimin
kira-kira dua dekade yang lalu:
Di bawah kondisi otoriter, mereka telah membentuk diri mereka sebagai "sekolah
intelektual" yang fleksibel dan tangguh, tidak terikat pada satu gerakan tertentu atau
perluasan otoritas resmi, namun tetap dapat memberikan koherensi terhadap tafsir kolektif
dan kerja praktek mereka di banyak bidang. 63
Membingkai 'Islam politik' sebagai sesuatu yang epifenomenal atau sebagai pelanggaran
terhadap ruang publik netral yang menggoncangkan potensi demokrasi bentuk-bentuk
Islam yang dikejar oleh Islamis Baru Mesir, Partai Keadilan dan Pembangunan Turki
(JDP), gerakan reformasi Khatami di Iran, Jamaat-i -Islami di Pakistan dan gerakan serupa
lainnya. Seperti Asad, contoh-contoh dari apa yang digambarkan oleh Casanova sebagai
'agama yang kekurangan dana', dan yang lainnya seperti pemilihan 1992 di Aljazair dan
kebangkitan Partai Kesejahteraan 1997 di Turki, "tidak dapat ditolerir oleh sekularis
terutama karena motif tersebut diperhitungkan kepada lawan mereka bukan untuk apa pun
yang terakhir telah benar-benar dilakukan. Motif-motif tersebut menandakan potensi
masuknya agama ke luar angkasa yang sudah ditempati sekuler. "64 Singkatnya, laisme
dalam kebijakan luar negeri berkontribusi pada persepsi bahwa sebuah versi Barat tentang
pemisahan agama dan politik menawarkan satu-satunya jalan menuju demokrasi liberal,
sebuah posisi yang digambarkan oleh Amartya Sen: "Kebebasan yang semakin sering
terjadi dalam generalisasi cepat tentang literatur masa lalu negara-negara non-Barat untuk
membenarkan pemerintah-pemerintah Asia yang otoriter tampaknya memiliki analognya
dalam kepercayaan Barat yang sama cepatnya bahwa pemikiran tentang keadilan dan
demokrasi hanya berkembang di Barat, dengan anggapan bahwa seluruh dunia akan merasa
sulit untuk bersaing dengan Barat. "65
Istilah 'Islam politik' berusaha untuk mencakup berbagai bentuk politik yang berbeda,
banyak di antaranya berada di luar jangkauan epistemologi sekuler. Seperti yang dikatakan
LeVine dan Salvatore, "ada konsep tentang kebaikan bersama yang digunakan oleh gerakan
sosio-religius Muslim kontemporer yang tidak mematuhi dinamika atau norma - dan
memang, seperti yang kita pelajari dari Foucault, teknik kekuasaan dan subjektivitas - dari
lintasan sejarah utama bidang publik Eropa. "66 Untuk mengenali bentuk-bentuk politik ini
dan memahami akibatnya, mereka harus mengakui bahwa tradisi sekuler yang digunakan
untuk menafsirkannya menghasilkan dan mengandalkan asumsi ontologis dan
epistemologis tertentu dan kontroversial. Epistemologi sekuler tidak diberikan sebelumnya
namun secara sosial dan historis dibangun. Bentuk politik yang terkait dengan 'Islam
politik' oleh karena itu tidak hanya menimbulkan tantangan politik, tapi juga secara
fundamental merupakan tantangan epistemologis dan ontologis terhadap kategorisasi
'agama' Eropa dan Amerika.
'Politik,' ke konseptualisasi sekuritas Euro-Amerika. Seperti yang Asad simpulkan, "Jika
tesis sekularisasi tidak lagi membawa bobot yang pernah dia lakukan, ini karena kategori
politik dan agama saling terkait satu sama lain lebih dalam dari yang kita duga." 67
Implikasi agama ini dalam politik yang digambarkan oleh Asad terbukti dalam lintasan
kedua sekularisme yang telah mempengaruhi pemahaman Barat tentang politik Islam.
Pada tahun 1907, Presiden Theodore Roosevelt mengakui secara pribadi bahwa, "tidak
dekade kemudian, Jeane Kirkpatrick mengamati bahwa," dunia Arab adalah satu-satunya
bagian dunia di mana saya telah terguncang dalam keyakinan saya bahwa jika Anda
secara fundamental. "69 Robert W. Merry, presiden dan penerbit Congressional Quarterly
dan seorang mantan reporter untuk Wall Street Journal, mengemukakan dalam bukunya
tahun 2005 Sands of Empire bahwa keterpisahan agama dan politik adalah "Terukir dalam
-38-
kesadaran budaya" Muslim dunia.70
Sekulerisme Yudeo-Kristen adalah bentuk otoritas politik yang sangat berpengaruh dalam
politik Amerika dan kebijakan luar negeri. Ini adalah sikap evaluatif di mana
' politik islam' dipandang sebagai manifestasi dari agama dan politik yang unik, berakar
secara budaya dan irasional yang berbeda dari pendekatan pemisahan Yahudi Yudeo-
Kristen terhadap agama dan negara. Dalam pandangan ini, ada hubungan antara agama
Muslim.71 Potensi sekularisasi adalah konsekuensi dari karakteristik budaya dan agama
yang melekat pada komunitas tertentu. Masyarakat berpenduduk mayoritas Muslim secara
kultural dan religius tidak diperlengkapi atau hanya diperlengkapi dengan lemah untuk
Bentuk-bentuk politik yang diidentifikasikan sebagai ' politik islam', dan khususnya
kejadian 'agama' yang tidak diinginkan ke ruang publik, dianggap sebagai konsekuensi
alami yang sangat disayangkan, terlepas dari perbedaan tetap antara agama dan
peradaban.
Singkatnya, "semua bentuk Islamisme (dari yang lebih militan sampai yang lebih tenang)
agama dan politik tidak hanya absen dari sejarah masyarakat mayoritas Muslim, namun
diperkirakan tidak akan terwujud di masa depan. Seperti yang Lewis anggap sebagai
contoh tesis ini, "identitas agama dan pemerintah terhapuskan pada ingatan dan kesadaran
umat beriman dari tulisan, sejarah dan pengalaman mereka sendiri yang sakral." 73 Harris
menyarankan bahwa, "masa depan di mana Islam dan Barat tidak berdiri di ambang
pemusnahan bersama adalah masa depan di mana kebanyakan orang Muslim telah belajar
-39-
untuk mengabaikan sebagian besar dari mereka, sama seperti kebanyakan orang Kristen
Islam. "74
Peradaban Islam, menurut pandangan ini, tidak memiliki bentuk sekularisme pribumi dan
menolak sekularisme yang diimpor dari Barat.75 Seperti yang disarankan Barber, "Islam
mengajukan sebuah dunia di mana agama Islam dan negara Islam digabungkan dan tidak
dapat dipisahkan, dan beberapa pengamat berpendapat bahwa ini memiliki ruang sekuler
yang lebih sedikit daripada agama dunia besar lainnya. "76 Lewis menggambarkan
skenario ini sebagai" benturan peradaban - reaksi pastoral kuno yang mungkin tidak
rasional namun pasti historis terhadap warisan Yudeo-Kristen kita, kehadiran sekuler kita,
dan ekspansi di seluruh dunia dari keduanya. "77 Dalam Islam dan Barat, dia berpendapat
bahwa otoritas politik dan agama semakin terpisah di Barat sejak bangkitnya sekularisme,
dan semakin bersatu di Timur Tengah sejak bangkitnya Islam di abad ke-7 CE:
Islam ... terkait dengan pelaksanaan kekuasaan sejak awal ... Hubungan
... dilihat ... teks-teks agama di mana umat Islam mendasarkan keyakinan
tidak, seperti di dunia Kristen, satu sektor atau segmen kehidupan yang
mengatur beberapa hal dan tidak termasuk orang lain; Ini berkaitan
yurisdiksi/kekuasaan total.78
-40-
This perspective also makes its way into European commentaries. Consider the
following excerpt from a 2003 book review by A.C. Grayling of the Financial Times:
It is hard not to feel that one of many things the Palestinian philosopher
one. It is that the disjunction between religious and secular aspects of life
technological and industrial progress has occurred. And with this progress
those influenced by it to see the Islamic refusal to honor the special status of the secular
-41-
private sphere as confirmation of the hopelessness of Islamic civilization. Barber
illustrates this in his suggestion that, Islamis relatively inhospitable to democracy and
worldviews that lead to the creation of incompatible social and political systems. Policy
options are limited to either tense coexistence, violent confrontation or, in some cases,
conversion.81
Political Islam is defined a priori as a threat to democracy, the privileged status of the
private sphere and a step toward theocracy. This presumptive transgression is often
linked rhetorically to the alleged Muslim proclivity for terrorism and totalitarianism, both
of which also refuse to honor the privileged status of the private sphere.82 As with
laicism, one consequence of this perspective on Islam and politics is that the forms and
degrees of separation and accommodation between public and private, sacred and secular,
not appear at all, or appear as unnatural and ill-fitted imitations of a superior yet
The difference between laicism and Judeo-Christian secularism is that in the latter
Islam is seen as incompatible with any modality of separation between politics and
religion, while in the former it is not. For laicists, Muslim-majority societies can be
modernized if, like Turkey, they follow in the footsteps of their secular Western role
models and enforce the exclusion of religion from politics. This laicist thinking underlies
the foreign policies of many European countries, as they seek to engage in diplomatic
-43-
dialogue with political Islamists to lure them toward a European model of secularism
and punish them economically and politically should they stray from this trajectory. An
example of this attempted engagement is the French and Russian position advocating
direct dialogue with Hamas after the Palestinian elections of January 2006.
the assumption that it is necessary to stamp out Islamist political movements on the
position is reflected in the American position toward Hamas, which refused engagement
on the grounds that, according to President Bush, Hamas has one foot in politics and
another in terror.83 Though not identical, this kind of thinking is reflected and
reinforced by Merrys argument, cited above, that the inseparability of religion and
politics is
Perspektif ini juga masuk ke dalam komentar Eropa. Pertimbangkan kutipan berikut dari
sebuah ulasan buku tahun 2003 oleh A.C Grayling dari Financial Times:
Sulit untuk tidak merasakan bahwa salah satu dari banyak hal yang dikatakan oleh filsuf
Palestina Edward Said mengkritik pengamat barat - yaitu, melihat peradaban Islam
sebagai orang beku dan terbelakang, tertinggal di belakang wilayah ilmiah, berteknologi,
barat industri karena terkunci dalam abad pertengahan yang tidak agresif. -mungkin
benar. Penjelasan untuk ini tidak nyaman untuk ditawarkan, tapi Wheatcroft dan Fletcher
menyiratkan hal yang masuk akal. Ini adalah bahwa disjungsi antara aspek kehidupan
religius dan sekuler di barat, dan keterbukaannya untuk berdebat, mempertanyakan dan
mengubah diri sendiri, justru itulah yang tidak dimiliki oleh Islam tradisional. Akibatnya,
di barat ... kemajuan teknologi dan industri telah terjadi. Dan dengan kemajuan ini,
-44-
muncullah bentuk-bentuk organisasi sosial yang lebih fleksibel, yang memimpin
menghormati status khusus dari ranah privat sekuler sebagai penegasan keputusasaan'
peradaban Islam '. Barber menggambarkan hal ini dalam saran bahwa, "Islam ... relatif
tidak ramah terhadap demokrasi dan bahwa inhospitality pada gilirannya memelihara
permusuhan terhadap" orang lain "- karakteristik yang membentuk apa yang saya sebut
Jihad." 80 Dalam kisah tersebut, Islam dan modernitas adalah pandangan dunia yang
tidak dapat dibandingkan yang mengarah pada penciptaan sistem sosial dan politik yang
tidak sesuai. Pilihan kebijakan terbatas pada koeksistensi tegang, konfrontasi kekerasan
'Islam politik' didefinisikan secara apriori sebagai ancaman bagi demokrasi, status
istimewa dari ranah privat dan langkah menuju teokrasi. Pelanggaran presumtif ini sering
dikaitkan secara retoris dengan dugaan kecenderungan Muslim untuk terorisme dan
totalitarianisme, yang keduanya juga menolak untuk menghormati status istimewa dari
lingkungan privat.82 Seperti halnya laisme, satu konsekuensi dari perspektif Islam dan
politik ini adalah bahwa bentuk dan tingkat pemisahan dan akomodasi antara agama
umum dan pribadi, sakral dan sekuler, agama dan politik yang ada di masyarakat
mayoritas Muslim saat ini, baik donot muncul sama sekali, atau tampak sebagai imitasi
yang tidak wajar dan tidak sesuai dari sekuler Barat yang superior dan tidak dapat
direalisasikan. 'ideal.
Perbedaan antara laisme dan sekularisme Yudeo-Kristen adalah bahwa dalam Islam yang
terakhir dipandang tidak sesuai dengan modalitas pemisahan antara politik dan agama,
-45-
sementara di masa sebelumnya tidak demikian. Bagi para ilmuwan, masyarakat
mengikuti jejak model peran Barat 'sekuler' mereka dan memaksakan pengecualian
agama dari politik. Pemikiran lais ini mendasari kebijakan luar negeri banyak negara
Eropa, karena mereka berusaha untuk melakukan dialog diplomatik dengan 'kaum
Islamis politik' untuk menarik mereka menuju model sekularisme Eropa dan menghukum
mereka secara ekonomi dan politik jika mereka menyimpang dari lintasan ini. Contoh
keterlibatan usaha ini adalah posisi Prancis dan Rusia yang menganjurkan dialog
Bagi sekularis Yudeo-Kristen, prospek transformasi kurang optimis. Hal ini tercermin
dalam kebijakan luar negeri Amerika kontemporer yang beroperasi dengan asumsi
bahwa perlu 'membasmi' gerakan politik Islam dengan alasan bahwa 'pertobatan'
posisi tercermin dalam posisi Amerika terhadap Hamas, yang menolak keterlibatan
dengan alasan bahwa, menurut Presiden Bush, Hamas memiliki "satu kaki dalam politik
dan yang lainnya dalam teror." 83 Meskipun tidak identik, pemikiran seperti ini
tercermin dan diperkuat oleh Argumen Merry, yang dikutip di atas, bahwa keterpisahan
agama dan politik "tergores dalam kesadaran budaya" umat Islam dunia.
understandings of Islam and politics, the relationship between public and private, sacred
-46-
and secular and Islam and democracy in Muslim-majority societies is complex and
contested. As Ayoob argues, the distinction between temporal and religious affairs and
the temporal authoritys de facto primacy over the religious establishment continued
-47-
through the reign of the three great Sunni dynastiesthe Umayyad, the Abbasid, and the
thinking as anything the Islamists now offer.85 Lapidus suggests that a fundamental
differentiation between state and religion has existed in Muslim societies since classical
Umayyad and Abbasid periods.86 He argues that the integration of state and religious
community has characterized only a small segment of Middle Eastern and other Muslim
lineage or tribal societies.87 Esposito notes that the relation between Muslim religious
and temporal authorities, including Shii Islam in Iran, has been ambiguous. As he
argues, despite the popular Western image of Shii Islam as a religion of revolution and
martyrdom, its relationship to the state in Iran throughout Islamic history has been
diverse and multifacetedthe relationship of the ulama to the state in Iranian history
There is disagreement over the proper relationship that should obtain between political
Asad argues, the political ordinances of Quran and Sunnahdo not lay down any
specific form of state: that is to say, the shariah does not prescribe any definite pattern to
84 Ayoob 2004, p. 9.
85 Halliday 1996, p. 118.
86 Lapidus 1975, pp. 363-385. Despite the origins of Islam and its own teachings
about the relationship between religious and political life, Islamic society has evolved in
un-Islamic ways. In fact, religious and political life developed distinct spheres of
experience with independent values, leaders and organizations. From the middle of the
tenth century effective control of the Arab-Muslim empire had passed into the hands of
generals, administrators, governors, and local provincial lords; the Caliphs had lost all
effective political power. Governments in Islamic lands were henceforth secular
regimessultanatesin theory authorized by the Caliphs, but actually legitimized by
the need for public order. Henceforth, Muslim states were fully differentiated political
-48-
bodies without any intrinsic religious character, though they were officially loyal to
Islam and committed to its defense.
87 Lapidus 1996, p. 24.
88 Esposito 1999, p. 106.
-49-
which an Islamic state must conform, not does it elaborate in detail a constitutional
theory.89 The relationship between Islam and democracy and the extent to which
As Hefner argues, rather than an unchanging religious ideology established 1400 years
ago, Muslim politicshas been shaped by broad changes in the state and society,
As suggested by the public presence of the New Islamists in Egypt, the Moroccan
PJD (Parti pour la Justice et le Developpement), the AKP in Turkey, the democratic
Muslim politics92) the public and democratic negotiation of the relationship between
religion and politics in Muslim-majority societies often takes place under the aegis of
discursive tradition that connects variously with the formation of moral selves, the
knowledge.93 As Ayubi has shown, it is not an old doctrine that is currently being
resurrected, but rather a new doctrine that is in the process now of being invented.94
Political Islam is a diverse, contested and evolving set of languages of religion and
-51-
politics involving a general mobilization of people around cultural, political, and social
issues that are presented and interpreted through an Islamic idiom.95 As Eickelman
and Piscatori argue, Muslim politics relate to a widely shared, although not doctrinally
defined, tradition of ideas and practice,96 involving the competition and contest over
both the interpretation of symbols and control of the institutions, formal and informal,
that produce and sustain them.97 As Ayubi argues, apart from a moral code and few
fixations related to dress, penalties, and halal/haram foods, drinks and social practices,
and encapsulated within a multitude of ideal social, political, and cultural identities that
This historical dynamism in the relationship between Islam and politics suggests
authoritative secularist traditions as Islamist are not the expression of deeper structural,
multi-faceted set of languages and discursive traditions in which moral and political order
-53-
elements of both may be present. As Mahmood writes, to read the activities of the
mosque movement primarily in terms of the resistance it has posed to the logic of
dimension of politics that remains poorly understood and undertheorized within the
public settlements that emerged from Latin Christendom, including particular formations
of secularism. Political Islam contests the terms through which secularist epistemology
organizes religion and politics. It stands apart from the most fundamental
of Latin Christendom, including the rationalist assumptions that serve as the foundation
As Asad argues, the important point is what circumstances oblige Islamism to emerge
publicly as a political discourse, and whether, and if so in what way, it challenges the
deep structures of secularism.102 Sayyid Qutb, as Euben shows, appears in this light
secularism that have come to organize public life in the West. Qutb criticized post-
-55-
argued that the European imposition of a division between faith and reason, or what
Berman describes as the liberal idea that religion should stay in one corner and secular
life in another,104 upon the Muslim peoples had resulted in their alienation and
human faculties, and that knowledge of such truths can legitimate human mastery over
nature and human nature, and the exclusion of divine authority from the public
sphere.107
political Islam is perceived as more threatening to Western ways of life than political
Christianity. The latter also challenges the secular public/private distinction on a variety
Western democracies differs from the reception of political Islam, as suggested by the
fact that the term political Christianity is rarely if ever used despite the public role of
Christianity in European and American politics and foreign policy.108 This is because
-57-
democracy, if not a significant contributor to it. As Tocqueville famously observed, for
Americans the ideas of Christianity and liberty are so completely mingled that it is almost
impossible to get them to conceive of one without the other109 It is often argued that
Christian values (and since World War II Judeo-Christian values) serve as the basis of
American national identity and the source of American political ideals. Islam, on the
other hand, has a different history of negotiating the public/private distinction than does
Conclusion
Martha Nussbaum has written that, one of the greatest barriers to rational
deliberation in politics is the unexamined feeling that ones own preferences and ways
are neutral and natural.110 We may never achieve pure rational deliberation in
politics. Yet in suggesting that we examine our unexamined ways and preferences
Nussbaum makes an important point. The traditions of secularism that have come to
dominate Western ways of organizing religion and politics are among our most
significant unexamined ways and preferences. They are considered to be neutral and
natural starting points for public deliberations about religion and politics. As I have
shown, they are neither neutral nor natural. They are political settlements and not
uncontestable dictates of public discourse.111 They are social and historical constructs.
These settlements and constructs have significant implications for how Europeans and
European settler
-58-
109 Tocqueville 1969, p. 293.
110 Martha Nussbaum, Patriotism and Cosmopolitanism, in Cohen and Nussbaum
2002, p. 11.
111 Connolly 1999, p. 36.
-59-
colonies, including the United States, understand and relate to the rest of the world, and
of religion and politics are seen as attempts to either approximate Western ideals or react
politics and their intended moral orders as legitimate contexts for imagining the
alternatives to the present moral order.112 Many of the forms of politics designated by
and secularist International Relations theory. They throw into disarray the fundamental
terms through which secularism organizes religion and politics. In addition, as Ayoob
epistemological and political challenges, secularists are quick to attribute the Muslim
refusal to acknowledge the special status of the secularist private sphere as a harbinger
difficult, if not impossible, to imagine a non-hegemonic and non-dogmatic role for Islam
-60-
Perspektif ini juga masuk ke dalam komentar Eropa. Pertimbangkan kutipan berikut dari
sebuah ulasan buku tahun 2003 oleh A.C Grayling dari Financial Times:
Sulit untuk tidak merasakan bahwa salah satu dari banyak hal yang dikatakan oleh filsuf
Palestina Edward Said mengkritik pengamat barat - yaitu, melihat peradaban Islam
sebagai orang beku dan terbelakang, tertinggal di belakang wilayah ilmiah, berteknologi,
barat industri karena terkunci dalam abad pertengahan yang tidak agresif. -mungkin
benar. Penjelasan untuk ini tidak nyaman untuk ditawarkan, tapi Wheatcroft dan Fletcher
menyiratkan hal yang masuk akal. Ini adalah bahwa disjungsi antara aspek kehidupan
religius dan sekuler di barat, dan keterbukaannya untuk berdebat, mempertanyakan dan
mengubah diri sendiri, justru itulah yang tidak dimiliki oleh Islam tradisional.
Akibatnya, di barat ... kemajuan teknologi dan industri telah terjadi. Dan dengan
kemajuan ini, muncullah bentuk-bentuk organisasi sosial yang lebih fleksibel, yang
memimpin (bagaimanapun juga) terhadap evolusi demokrasi dan hak asasi manusia.79
menghormati status khusus dari ranah privat sekuler sebagai penegasan keputusasaan'
peradaban Islam '. Barber menggambarkan hal ini dalam saran bahwa, "Islam ... relatif
tidak ramah terhadap demokrasi dan bahwa inhospitality pada gilirannya memelihara
permusuhan terhadap" orang lain "- karakteristik yang membentuk apa yang saya sebut
Jihad." 80 Dalam kisah tersebut, Islam dan modernitas adalah pandangan dunia yang
tidak dapat dibandingkan yang mengarah pada penciptaan sistem sosial dan politik yang
tidak sesuai. Pilihan kebijakan terbatas pada koeksistensi tegang, konfrontasi kekerasan
'Islam politik' didefinisikan secara apriori sebagai ancaman bagi demokrasi, status
-61-
istimewa dari ranah privat dan langkah menuju teokrasi. Pelanggaran presumtif ini
sering dikaitkan secara retoris dengan dugaan kecenderungan Muslim untuk terorisme
dan totalitarianisme, yang keduanya juga menolak untuk menghormati status istimewa
dari lingkungan privat.82 Seperti halnya laisme, satu konsekuensi dari perspektif Islam
dan politik ini adalah bahwa bentuk dan tingkat pemisahan dan akomodasi antara agama
umum dan pribadi, sakral dan sekuler, agama dan politik yang ada di masyarakat
mayoritas Muslim saat ini, baik donot muncul sama sekali, atau tampak sebagai imitasi
yang tidak wajar dan tidak sesuai dari sekuler Barat yang superior dan tidak dapat
direalisasikan. 'ideal.
Perbedaan antara laisme dan sekularisme Yudeo-Kristen adalah bahwa dalam Islam yang
terakhir dipandang tidak sesuai dengan modalitas pemisahan antara politik dan agama,
mengikuti jejak model peran Barat 'sekuler' mereka dan memaksakan pengecualian
agama dari politik. Pemikiran lais ini mendasari kebijakan luar negeri banyak negara
Eropa, karena mereka berusaha untuk melakukan dialog diplomatik dengan 'kaum
Islamis politik' untuk menarik mereka menuju model sekularisme Eropa dan
menghukum mereka secara ekonomi dan politik jika mereka menyimpang dari lintasan
ini. Contoh keterlibatan usaha ini adalah posisi Prancis dan Rusia yang menganjurkan
Bagi sekularis Yudeo-Kristen, prospek transformasi kurang optimis. Hal ini tercermin
dalam kebijakan luar negeri Amerika kontemporer yang beroperasi dengan asumsi
bahwa perlu 'membasmi' gerakan politik Islam dengan alasan bahwa 'pertobatan'
posisi tercermin dalam posisi Amerika terhadap Hamas, yang menolak keterlibatan
-62-
dengan alasan bahwa, menurut Presiden Bush, Hamas memiliki "satu kaki dalam politik
dan yang lainnya dalam teror." 83 Meskipun tidak identik, pemikiran seperti ini
tercermin dan diperkuat oleh Argumen Merry, yang dikutip di atas, bahwa keterpisahan
agama dan politik "tergores dalam kesadaran budaya" umat Islam dunia.
-63-
This epistemological narrowing presents a major stumbling block for secularist
policy-makers in both Europe and the United States. As Foucault noted, the problem of
Islam as a political force is an essential one for our time and for years to come, and we
hatred.114 The blanket ascription of threat to all forms of Islamist politics starts out
from such a position. It empowers radicals who argue that the West aspires to global
hegemony through a crusade against Islam, while silencing their rivals who are either
movements like Hezbollah and Hamas have gained a strong and legitimate political and
cultural foothold that cannot be effortlessly washed away. As Tamimi observed after the
Palestinian elections of 2006, Hamas is not isolated at all; it has more windows open to
it today than ever before.115 Blanket ascriptions of threat and indiscriminate anti-
Islamic rhetoric and policy strengthen the radical fringe elements of such groups and
disenfranchise their more moderate rivals. As Ottaway concludes in a recent report from
the Carnegie Endowment, No matter what the United States says or does, the Islamist
parties will remain the strongest players in the politics of Arab countries. The only
question is whether they will continue to manifest that strength by competing in elections,
think hard about definitions. Although they do contest many of the fundamental
-65-
designated by secularists as political Islam are not necessarily aberrant. The question of
argues, no two Islamisms are alike because they are determined by the contexts in which
Second, the forms and degrees of separation between Islam and politics that do
secular ideal. They are local modalities of separation and accommodation between
religion and politics that may or may not have any relation to the forms of secularism that
Muslim-majority settings can and often are promulgated by those currently identified as
to otherwise viable local variations of Western secularism. Instead, like the traditions
which relations between metaphysics, politics and contemporary forms of political order
-67-
References
Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers
(Robert D. Lee, ed. and trans.). Boulder: Westview Press, 1994.
Asad, Muhammad. The Principles of State and Government in Islam. Berkeley: University
of
California Press, 1961.
Asad, Talal. The Idea of an Anthropology of Islam, Center for Contemporary Arab
Studies
Occasional Paper Series. Washington, D.C.: Georgetown University, 1996.
Ayoob, Mohammed. Political Islam: Image and Reality. World Policy Journal 21, no. 3
(Fall
2004): 1-14.
Ayubi, Nazih N. Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. New York:
Routledge,
1992.
Baker, Raymond William. Islam Without Fear: Egypt and the New Islamists.
Cambridge: Harvard University Press, 2003.
Barber, Benjamin. Jihad vs. McWorld: How Globalism and Tribalism are Reshaping
the World. New York: Ballantine Books, 1996 (1995).
Berman, Paul. The Philosopher of Islamic Terror. New York Times Magazine (23 March
2003):
24-29.
Boroujerdi, Mehrzad. Iranian Islam and the Faustian Bargain of Western Modernity.
Journal of
Peace Research 34: 1 (1997): 1-5.
Brown, L. Carl. Religion and State: The Muslim Approach to Politics. New York:
Columbia
University Press, 2000.
Brumberg, Daniel. Islamists and the Politics of Consensus. Journal of Democracy 13: 3
(2002):
109-115.
-68-
Brumberg, Daniel. Dissonant Politics in Iran and Indonesia. Political Science
Quarterly 116, no. 3 (2001): 381-411.
Burke, Jason. On the Road to Kandahar: Travels Through Conflict in the Islamic World.
Bond
Street Books, 2006.
Buruma, Ian and Avishai Margalit. Occidentalism: The West in the Eyes of its Enemies.
New
York: Penguin Books, 2004.
-69-
Carapico, Sheila. Killing Live 8, Noisily: The G-8, Liberal Dissent and the London
Bombings.
Middle East Report Online (July 14, 2005).
Chatterjee, Partha. The Nation and its Fragments: Colonial and Postcolonial
Histories. Princeton: Princeton University Press, 1993a.
Cohen, Joshua and Martha C. Nussbaum (Eds.). For Love of Country? Boston: Beacon
Press,
2002.
Daniel, Norman. Islam and the West: The Making of an Image. New York: Columbia
University
Press, 1989.
Denoeux, Guilain. The Forgotten Swamp: Navigating Political Islam. Middle East
Policy IX: 2 (2002): 56-81.
Eickelman, Dale F. and James Piscatori. Muslim Politics. Princeton: Princeton University
Press,
1996.
Emerson, Rupert. From Empire to Nation: The Rise to Self-Assertion of Asian and African
Peoples. Boston: Beacon Press, 1960.
Esposito, John L. The Islamic Threat: Myth or Reality? (3rd ed.). New York: Oxford
University
Press, 1999.
Euben, Roxanne L. Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of
Modern
Rationalism. Princeton: Princeton University Press, 1999.
2002): 48-60. Gaess, Roger. Interview: Azzam Tamimi, Middle East Policy Vol. XIII,
-71-
Gerges, Fawaz. America and Political Islam: Clash of Cultures or Clash of Interests?
Cambridge: Cambridge University Press, 1999.
Gle, Nilfer. Islam in Public: New Visibilities and New Imaginaries. Public
Culture 14: 1 (2002): 173-190.
Gowers, Andrew. The Power of Two, Foreign Policy (Sept./Oct. 2002): 32-33.
Grayling, A.C. The New Crusadefor Understanding. The Financial Times Weekend
(May
3/May 4, 2003): 5.
Halliday, Fred. The Middle East in International Relations: Power, Politics and
Ideology. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
Halliday, Fred. Islam and the Myth of Confrontation: Religion and Politics in the
Middle East. London: I.B. Tauris, 1996.
Harris, Sam. The End of Faith: Religion, Terror and the Future of Reason. New
York: W.W. Norton & Co., 2004.
International Relations.
European Journal of International Relations 10: 2 (June 2004): 235-262.
Inglehart, Ronald (Ed.) Islam, Gender, Culture, and Democracy: Findings from the World
Values Survey and the European Values Survey. Willowdale, ON: de Sitter Publications,
2003.
Juergensmeyer, Mark. The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the
Secular State. Berkeley: University of California Press, 1993.
Kepel, Gilles. The War for Muslim Minds: Islam and the West. Cambridge, Mass.:
Belknap Press of Harvard University Press, 2004.
King, Richard. Orientalism and Religion: Postcolonial Theory, India and the
Mystic East. London: New York: Routledge, 1999.
-72-
Kirkpatrick, David D. Wrath and Mercy: The Return of the Warrior Jesus. The New York
Times
(April 4, 2004).
Kramer, Martin. Islam vs. Democracy, Commentary 95: 1 (January 1993): 35-42.
-73-
Lawrence, Bruce. Defenders of God: The Fundamentalist Revolt against the Modern Age.
San
Francisco: Harper & Row, 1989.
Lapidus, Ira M. State and Religion in Islamic Societies. Past and Present 151
(1996): 3-27. Lapidus, Ira M. The Separation of State and Religion in the
Lawrence, Bruce. Shattering the Myth: Islam Beyond Violence. Princeton, N.J.: Princeton
University Press, 1998.
LeVine, Mark and Armando Salvatore (Eds.) Religion, Social Practice, and Contested
Hegemonies. New York: Palgrave MacMillan, 2005.
Lewis, Bernard. What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response.
Oxford: Oxford University Press, 2002.
Lewis, Bernard. Islam and the West. Oxford: Oxford University Press, 1993.
Lewis, Bernard. Islam and Liberal Democracy, Atlantic Monthly (February 1993).
Lewis, Bernard. The Roots of Muslim Rage. The Atlantic Monthly 266: 3 (September
1990):
47-60.
Lewis, Bernard. The Return of Islam, Commentary 61: 1 (January 1976): 39-49.
Little, Douglas. American Orientalism: The United States and the Middle East
since 1945. Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2002.
Mahmood, Saba. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject.
Princeton: Princeton University Press, 2005.
Marquand, David and Ronald L. Nettler (Eds.) Religion and Democracy. Oxford:
Blackwell
Publishers, 2000.
McAlister, Melani. Epic Encounters: Culture, Media and U.S. Interests in the
Middle East. Berkeley: University of California Press, 2001.
Merry, Robert W. Sands of Empire: Missionary Zeal, American Foreign Policy, and the
Hazards of Global Ambition. New York: Simon & Schuster, 2005.
-74-
Mitchell, Timothy. Rule of Experts: Egypt, Techno-Politics, Modernity. Berkeley:
University of
California Press, 2002.
-75-
Ottaway, Marina S. Promoting Democracy after Hamas Victory. Carnegie
Endowment for International Peace Working Paper Series, February 2, 2006.
(http://www.carnegieendowment.org/publications/index.cfm?fa=view&id=17978&prog
=zgp&pr oj=zdrl, accessed 7/18/06).
Owen, Roger. State, Power and Politics in the Making of the Modern Middle East
(3rd ed.). London: Routledge, 2004.
Parla, Taha and Andrew Davison. Corporatist Ideology in Kemalist Turkey: Progress or
Order?
Syracuse: Syracuse University Press, 2004.
Pipes, Daniel. Political Islam is a Threat to the West in Islam: Opposing Viewpoints.
Greenhaven Press, 1995.
Re, Jonathan. The Treason of the Clerics. The Nation (August 15,
1999.
Sahliyeh, Emile (Ed.) Religious Resurgence and Politics in the Contemporary World.
Albany, N.Y.: State University of New York Press, 1990.
Salvatore, Armando. Political Islam and the Discourse of Modernity. Reading, UK: Ithaca
Press,
1999 (1997).
Secor, Laura. Sands of Empire: Civilizations and their Discontents. The New York
Times Book
Review. June 26, 2005.
Tocqueville, Alexis de (J.P. Mayer, ed.) Democracy in America, Vol. 1. New York:
Doubleday,
1969.
van der Veer, Peter and Hartmut Lehmann (Eds.), Nation and Religion: Perspectives on
Europe and Asia. Princeton: Princeton University Press, 1999.
-76-
White, Jenny. Islamic Mobilization in Turkey: A Study in Vernacular Politics. Seattle:
University of Washington Press, 2002.
White, Stephen K. Sustaining Affirmation. Princeton: Princeton University Press,
2000. Yavuz, M. Hakan. Islamic Political Identity in Turkey. New York: Oxford
University Press,
2003.
-77-