Sie sind auf Seite 1von 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Istilah Neurogenic bladder tidak mengacu pada suatu diagnosis spesifik
ataupun menunjukkan etiologinya, melainkan lebih menunjukkan suatu
gangguan fungsi urologi akibat kelainan neurologis. Fungsi kandung
kemih normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi antara sistem saraf
otonomi dan somatik. Jaras neural yang terdiri dari berbagai refleks fungsi
destrusor dan sfingter meluas dari lobus frontalis ke medula spinalis bagian sakral,
sehingga penyebab neurogenik dari gangguan vesica urinaria dapat diakibatkan
oleh lesi pada berbagai derajat. Banyak penyebab yang mendasari timbulnya
Neurogenic bladder sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum
diagnosis ditegakkan (Peter,2012).
Prevalensi dan perjalanan penyakit Neurogenik Bladder pada tahun 2004,
diperkirakan bahwa 247.000 orang Amerika hidup dengan cedera sumsum tulang
belakang. Perkiraan insidence dari cedera tulang belakang bervariasi dari 21,2 per
juta penduduk menjadi 60 per juta, sekitar 85% dari cedera ini mempengaruhi
segmen tulang belakang terletak di atas vertebra toraks kedua belas dan lesi ini
biasanya menghasilkan refleks inkotinensia urin. Reflex inkontinensia urin juga
dapat terjadi antara orang-orang dengan penyakit dengan gangguan intervetebral,
stenosis tulang belakang, dan spondylosis serviks. Th eprevalence kondisi ini tidak
diketahui, tapi kejadian tahunan intervensi bedah untuk masalah ini telah
diperkirakan 52,3 per 100.000 penduduk. (Dorothy,2006)
Neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga overaktivitas,
tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin
terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktivitas
dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih. Terapi yang cocok
ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan medis yang bagus dan
perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan
pemeriksaan radiologi terpilih.
Neurogenik bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis
tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada
40%-90% pasien dengan multiple sclerosis, 37%-72% pada pasien dengan
parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke (Langsang, 2004). Diperkirakan
bahwa 70%-84% pasien dengan spinal cord injury paling tidak mempunyai
gangguan di kandung kermih (Manack,2011)
Terapi optimal untuk Neurogenik Bladder tergantung pada evaluasi
menyeluruh, diikuti terapi semua penyebab yang ada dan faktor yang berperan.
Timbulnya gejala biasanya multifaktor, dan terapi multimodal yang meliputi
konservatif dan operatif dapat diberikan. (Dorothy,2006)
Oleh karena itu, dibutuhkan tenaga keperawatan yang professional dalam
memberikan asuhan keperawatan di rumah sakit pada pasien maupun keluarga
pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari penyakit neurogenic bladder?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit neurogenic bladder?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit neurogenic bladder?
4. Bagaimana patofisiologi dari penyakit neurogenic bladder?
5. Bagaimana WOC dari penyakit neurogenic bladder?
6. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit neurogenic bladder?
7. Bagaimana penatalaksanaan dan pengobatan dari penyakit neurogenic
bladder?
8. Bagaimana komplikasi dari penyakit neurogenic bladder?
9. Bagaimana prognosis dari penyakit neurogenic bladder?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui definisi dari penyakit neurogenic bladder?
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit neurogenic bladder?
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari penyakit neurogenic bladder?
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit neurogenic bladder?
5. Untuk mengetahui WOC dari penyakit neurogenic bladder?
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari penyakit neurogenic
bladder?
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dan pengobatan dari penyakit
neurogenic bladder?
8. Untuk mengetahui komplikasi dari penyakit neurogenic bladder?
9. Untuk mengetahui prognosis dari penyakit neurogenic bladder?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi neurogenic bladder


Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat
kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih. Keadaan ini bisa berupa kandung kemih tidak mampu berkontraksi
dengan baik untuk miksi (underactive bladder) maupun kandung kemih terlalu
aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih berdasar refleks yang tak
terkendali (overactive bladder) (Rackley, 2009; Waxman, 2010)
Dengan menggunakan sistem ini maka neurogenic bladder diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Lesi diatas pusat miksi pons, contoh: stroke atau tumor otak
2. Lesi antara pusat miksi pons dan sakral medula spinalis, contoh: trauma
medula spinalis, atau multiple sclerosis medula spinalis
3. Lesi di sacral medula spinalis
4. Lesi di sacral medula spinalis dan kerusakan nervus pudendus
5. Lesi Lower Motor Neuron (LMN)
Neurogenic Bladder juga dikelompokkan dalam 3 besar oleh Saputra (2002), yaitu:
1. Neurogenic Bladder Spastik: lesi diatas pusat miksi di sakral medula
spinalis
2. Neurogenik Bladder Flassid: Lesi dibawah pusat miksi di sakral medula
spinalis
3. Neurogenik Bladder Campuran: Lesi terdapat di atas dan di bawah pusat
miksi di sakral medula spinalis
Berikut klasifikasi neurogenic bladder menurut Carpenitto (2009):
a. Neurogenic Bladder otonom
Merupakan hasil dari kerusakandaripusatkandung kemihdi sumsum tulang
belakang sacralpada atau di bawahT12-L1. klien merasa ada sensasi sadar untuk
membatalkan dan tidak memiliki refleks berkemih.
b. Neurogenic Bladder reflex
Kerusakan antara sumsum tulang belakang sakral dan korteks serebral , di atas T12
- L1 . Klien tidak memiliki sensasi untuk membatalkan dan tidak bisa membatalkan
atas keinginannya . The constractions detrusor unhibited mungkin buruk
dipertahankan dengan pengosongan kandung kemih tidak efisien . Jika refles
berkemih busur utuh , refleks berkemih dapat terjadi . Jika ada detrusor - spincter
dyssynergy , akan ada peningkatan tekanan kandung kemih dan urine sisa yang
tinggi .
c. Neurogenic Bladder kelumpuhan motorik
Terjadi ketika ada kerusakan pada sel-sel tanduk anterior dari akar ventral S2 - S4
dan kerusakan reflek berkemih . Klien memiliki sensasi utuh , tetapi mengalami
hilangnya sebagian atau seluruh fungsi motorik. Kapasitas kandung kemih dapat
meningkat dengan urin residual yang besar . kemuungkinan ada inkontinensia
overflow.
d. Neurogenic Bladder kelumpuhan sensorik
Terjadi ketika akar dorsal S2-S4 atau jalur sensorik ke korteks serebral mengalami
kerusakan. Klien kehilangan sensasi, tetapi dapat mengontrol kapasitas kandung
kemih.
e. Neurogenic Bladder uninhibitited
hasil dari kerusakan pada kandung kemih pusat di korteks serebral . Klien memiliki
sensasi terbatas terhadap distensi kandung kemih , tetapi tidak memiliki
kemampuan untuk menghambat buang air kecil . Urgensi yang merupakan hasil
dari waktu yang singkat antara sensasi yang terbatas untuk membatalkan dan
kandung kemih berkontraksi tanpa hambatan . Kandung kemih biasanya dalam
kondisi kosong sepenuhnya.

2.2 Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya struktur uretra di bagi menjadi 3 jenis :
a. Struktur uretra kongenital
Striktur ini bisanya sering terjadi di fossa navikularis dan pars membranase, sifat
striktur ini adalah stationer dan biasanya timbul terpisah atau bersamaan dengan
anomalia sakuran kemih yang lain.
b. Struktur uretra traumatik
Trauma ini akibat trauma sekunder seperti kecelakaan, atau karena instrumen,
infeksi, spasmus otot, atau tekanan dari luar, atau tekanan oleh struktur sambungan
atau oleh pertumbuhan tumor dari luar serta biasanya terjadi pada daerah kemaluan
dapat menimbulkan ruftur urethra, Timbul striktur traumatik dalam waktu 1 bulan.
Striktur akibat trauma lebih progresif daripada striktur akibat infeksi. Pada ruftur
ini ditemukan adanya hematuria gross.
c. Struktur akibat infeksi
Struktur ini biasanya sissebabkan oleh infeksi veneral. Timbulnya lebih lambat
daripada striktur traumatik

2.3 Manifestasi Klinis


1. Pancaran air kencing lemah
2. Pancaran air kencing bercabang
Pada pemeriksaan sangat penting untuk ditanyakan bagaimana pancaran urinnya.
Normalnya, pancaran urin jauh dan diameternya besar. Tapi kalau terjadi
penyempitan karena striktur, maka pancarannya akan jadi turbulen.
Frekuensi
Disebut frekuensi apabila kencing lebih sering dari normal, yaitu lebih dari tujuh
kali. Apabila sering krencing di malam hari disebut nocturia. Dikatakan nocturia
apabila di malam hari, kencing lebih dari satu kali, dan keinginan kencingnya itu
sampai membangunkannya dari tidur sehingga mengganggu tidurnya.
Overflow incontinence (inkontinensia paradoxal)
Terjadi karena meningkatnya tekanan di vesica akibat penumpukan urin yang terus
menerus. Tekanan di vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan di uretra.
Akibatnya urin dapat keluar sendiri tanpa terkontrol. Jadi disini terlihat adanya
perbedaan antara overflow inkontinensia (inkontinesia paradoksal) dengan flow
incontinentia. Pada flow incontinenntia, misalnya akibat paralisis musculus
spshincter urtetra, urin keluar tanpa adanya keinginan untuk kencing. Kalau pada
overflow incontinence, pasien merasa ingin kencing (karena vesicanya penuh),
namun urin keluar tanpa bisa dikontrol. Itulah sebabnya disebut inkontinensia
paradoxal.
5. Dysuria
6. hematuria
7. Keadaan umum pasien baik
2.4 Patofisiologis dan WOC
Neurogenic Bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf yang terjadi
pada sistem persarafan manusia. Sistem saraf pada pada manusia terdapat sistem
saraf pusat dan tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang
belakang (saraf parasimpatis dan simpatis) sedangkan sistem saraf perifer terdiri
atas sistem saraf somatik dan otonom.
Proses berkemih membutuhkan sistem persarafan yang cukup komplek,
pada sistem saraf pusat terdapat Pusat miksi Pons yang mengatur miksi melalui
refleks pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kemih dan daerah kortikal
serta daerah subkortikal di lobus frontal otak yang memberikan rangsang yang
akan berpengaruh pada sfingter eksternal uretra. Sedangkan pada sistem persarafan
perifer terdapat persarafan otonom yang akan mengatur refleks berkemih secara
volunter.
Lebih spesifik lagi, sistem saraf pusat yang mengatur reflek berkemih
terdapat pada saraf parasimpatik dan saraf simpatik. Pada saraf parasimpatik
terdapat pada kolumna medula spinalis antara S2 dan S4, terdapat 2 bentuk
persarafan yaitu serabut saraf sensorik dan serabut saraf motorik, pada serabut
sensorik akan mendeteksi peregangan kandung kemih sehingga akan memicu
refleks pengosongan kandung kemih, sedangkan pada serabut motorik akan
memicu kontraksi otot detrusor pada kandung kemih. Pada saraf simpatik terletak
pada L2 medula spinalis, serabut saraf simpatis ini merangsang pembuluh darah
dan memberi sedikit efek terhadap kontraksi kandung kemih.
Sehingga apabila terjadi cidera atau lesi pada lobus frontal otak, pons, medula
spinalis dan saraf perifer maka akan mengakibatkan gangguang persarafan pada
proses miksi sehingga menimbulkan gangguan perkemihan yang kita sebut
Neurogenic Bladder. Sebuah kondisis disfungsi menghasilkan gejala yang berbeda,
berkisar antara retensi urin akut hingga overaktivitas kandung kemih atau
kombinasi keduanya.
Karena terdapat beberpa daerah atau organ yang terlibat dalam persarafan
proses bermiksi maka ditentukan klasifikasi yang berdasarkan pada letak cidera
atau lesi yang akan membantu menuntun terapis untuk memberikan
penatalaksanan, klasifikasinya dan patofisiologinya adalah sebagai berikut:
1. Lesi di otak
Contoh penyebab lesi otak adalah, stroke, tumor otak, parkinson,
hidrosepahlus, cerebal palsy, dan Shy-Drager syndrome (progressive dan
degeneratif system). Lesi otak diatas pons merusak pusat kontrol dan menyebabkan
hilangnya kontrol ekskresi secara keseluruhan akan tetapi refleks ekskresi masih
tetap utuh atau ada. Klien memiliki sensasi terbatas terhadap distensi kandung
kemih, tetapi tidakmemiliki kemampuan untuk menghambat buang air kecil.
Individu hanya mengeluhkan ketidakmampuan mengendalikan ekskresi yang parah
karena pengosongan kandung kemih yang terlalu cepat dengan jumlah urin yang
sedikit. Biasanya, orang dengan masalah lesi otak akan berlari cepat ke kamar
mandi akan tetapi urin keluar sebelum mereka mencapai kamar mandi.
2. Lesi di antara pons hingga sakral medula spinalis (Upper Motor Neuron)
Contoh penyebab lesi diantara pons hingga sakral (di atas T12 L1) ini
adalah spinal cord injury, multiple sclerosis, myelomeningocele / spina bifida.
Lesi di Upper Motor Neuron ini memiliki karakteristik Disinergia Detrussor
Spingter (DDS), pada keadaan fisiologis miksi, sfingter eksterna akan berelaksasi
mendahului kontraksi destrusor, akan tetapi pada DDS ini terjadi kontraksi
bersamaan antara sfingter eksterna dan otot detrusor, hail ini mengakibatkan miksi
terhambat sehingga meningkatkan tekanan intravesikal dan dapat mengakibatkan
vesikoureteral reflux yang dapat mengakibatkan kerusakan ginjal.
Pengosongan kandung kemih sangat cepat dan sering begitu juga kontraksi
sfingter eksterna yang bersamaan dengan kontraksi otot detrussor mengakibatkan
klien merakan ingin berkemih akan tetapi urin yang dikeluarkan sangat sedikit,
karena kandung kemih ingin mengeluarkan urinnya akan tetapi kontraksinya
sfingter eksterna membuat terhalangnya urin keluar sehingga pengosongan
kandung kemih tidak efisien dan tidak menimbulkan kepuasaan karena terdapat
sisa urin yang tinggi pada kandung kemih.
3. Lesi di akar ventral di S2 S4 (the Mixed Type A Bladder)
Lesi di tempat ini mengakibatkan kelumpuhan motorik, klien memiliki
sensasi utuh untuk berkemih akan tetapi mengalami hilangnya sebagian atau
seluruhnya fungsi motorik yaitu klien tidak bisa mengeluarkan urinnya sehingga
meninmbulkan retensi urin. Adanya retensi urin ini akan mengakibatkan volume
urin residual meingkat pada kandung kemih sehingga memungkinkan terjadinya
inkontinensia overflow
4. Lesi di akar dorsal di S2 S4 (the Mixed Type B Bladder)
Lesi ditempat ini mengakibatkan kelumpuhan sensorik, klien tidak
memiliki sensasi untuk berkemih akan tetapi fungsi motoriknya masih bagus
sehingga klien mengeluarkan urin tanpa didahului rasa ingin berkemih.. hal ini
akan menimbulkan inkontinensia urin pada umumnya.
5. Lesi di Lower Motor Neuron (dibawah T12 L1) dan saraf perifer
Lesi di Lower Motor Neuron mengakibatkan klien merasa ada sensasi sadar
untuk membatalkan akan tetapi tidak memiliki refleks untuk berkemih karena
hilangnya sensibilitas kandung kemih. Proses miksi secara volunter juga
menghilang dan mekanisme untuk kontraksi detrusor hilang dan hal ini
mengakibatkan hipokontraktil pada kandung kemih. Compliance kandung kemih
juga hilang.
Pada saraf perifer, Diabetes melitus dan AIDS adalah 2 kondisi yang
mengakibatkan periferal neuropathy yang menyebabkan retensi urin. Penyakit ini
merusak saraf kandung kemih, distensi kandung kemih akan tetapi terasa tidak
nyeri. Pada pasien diabetes kronis akan kehilangan sensasi dari kandung kemih
2.5 Pemeriksaan Diagostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan
1. Pemeriksaan urodinamika : terdiri dari sistometri, uroflometri, profil tekanan
uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja kandung kemih
untuk penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran
urin keluar darikandung kemih pada saat buang air kecil.
2. Retrograde urethroghraphy : mengungkapkan keberadaan striktur dan
divertikulum.
3. Pemeriksaan aliran urine : berkurangnya atau terganggunya aliran urine.
(Saputra, 2012)
Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada kondisi seseorang.
Penelitian yang lebih rinci dari saluran kemih ( misalnya, cystography, cystoscopy,
dan cystometrography) dapat dilakukan untuk memeriksa fungsi kandung kemih
atau untuk membantu menentukan durasi dan penyebab kandung kemih
neurogenik. (Shenot, 2012)
2.6 Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penatalaksanaan serta pengobatan yang tepat ditentukan oleh gejala, jenis,
dan tingkat kerusakan saraf, dan mendiskusikannya dengan klien dapat membantu
mencegah disfungsi permanen dan kerusakan kandung kemih. Prioritas tata laksana
kandung kemih neurogenik adalah pemeliharaan fungsi ginjal. Tata laksananya
meliputi pengosongan kandung kemih dengan baik, penurunan tekanan intravesika,
pencegahan infeksi saluran kemih, serta penanganan inkontinensia, yang dilakukan
dengan terapi medikamentosa atau tindakan urologik antara lain clean intermittent
catheterization (CIC), sistoplastik, atau pemasangan sfingter artifisial. (Febriyanto
2012)
Pada sepertiga anak dengan kelainan mielomeningokel didapatkan otot
detrusor yang arefleksia dan sebagian besar disertai dis-sinergi kandung kemih dan
sfingter. Hal ini menyebabkan anak tersebut rentan mengalami hidronefrosis
sehingga pilihan terapi pada kasus ini adalah kombinasi antara CIC dan pemberian
antikolinergik oral. Pada Gambar, disajikan jenis kandung kemih neurogenik dan
tata laksananya. (Febriyanto 2012)
a. Clean intermittent catheterization
Pilihan tata laksana awal penanganan kandung kemih neurogenik adalah
dengan cara Clean Intermittent Catheterization (CIC). Tindakan tersebut bertujuan
untuk mengosongkan kandung kemih secara adekuat dan aman. Keluarga dan
pasien harus memahami bahwa kelainan terjadi pada kandung kemih dan
sfingternya, alasan penggunaan CIC, dan mereka harus belajar cara melakukan
kateterisasi yang benar. Beberapa institusi menyarankan penggunaan CIC dini pada
bayi dengan kandung kemih neurogenik yang disertai disfungsi sfingter karena
untuk memulai pada usia yang lebih dewasa akan lebih sulit. Tindakan tersebut
juga bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan dan membantu keluarga agar lebih
siap dalam membantu anak menghadapi penyakitnya. (Febriyanto 2012)
Beberapa faktor yang mempengaruhi frekuensi tindakan CIC perhari, di
antaranya asupan cairan perhari, kapasitas kandung kemih, dan tekanan intra-
vesika pada saat pengisian dan pengosongan kandung kemih. Biasanya, pada bayi
CIC dilakukan enam kali sehari sedangkan pada anak usia sekolah dilakukan
sebanyak lima kali. Risiko infeksi akibat tindakan CIC rendah asalkan
pengosongan kandung kemih tercapai sempurna. Pencegahan terjadinya striktur
terutama pada anak lelaki dapat dikurangi dengan penggunaan lubrikan dan
meminimalisir manipulasi saat pemasangan kateter. Konstipasi merupakan penyulit
proses pengisian dan pengosongan kandung kemih sehingga perlu diatasi untuk
menunjang keberhasilan terapi. Tindakan CIC juga mengurangi angka
dilakukannya augmentasi pada leher kandung kemih (level of evidence: 2,
rekomendasi derajat B). (Febriyanto 2012)
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang sering digunakan adalah oksibutinin, tolterodin,
trospium, dan propiverin. Sebagian besar studi yang dilakukan terhadap oksibutinin
menunjukkan hasil memuaskan, meskipun validitasnya masih rendah karena tidak
terdapat kelompok kontrol (level of evidence: 3, Grade B recommendation).
Oksibutinin lebih banyak diberikan secara intra vesika dibandingkan per oral
karena lebih dapat ditolerir. Dosisnya antara 0,3 0,6 mg/kgbb perhari terbagi
dalam 2 3 dosis, yang dapat ditingkatkan hingga 0,9 mg/kgbb perhari. Terapi
medikamentosa lainnya adalah obat penghambat reseptor alfa-adrenergik yang juga
memberikan respons yang baik, namun penelitian mengenai penggunaan obat itu
belum menggunakan kelompok kontrol dan belum ada laporan pemantauan jangka
panjang (level of evidence: 4, grade C recommendation). Angka keberhasilan
pengobatan kombinasi oksibutinin dan CIC cukup tinggi yakni sebesar
90%.(Febriyanto 2012)
Antidepresan seperti amitryptiline (Elavil) juga membantu mengurangi
kontraksi dengan relaksasi otot polos kandung kemih. Estrogen (Premarin) dapat
digunakan oleh wanita pasca-menopause untuk mengobati ringan sampai sedang
inkontinensia stres. Alpha- adrenergic blocker: terazosin (hytrin), doksazosin
(cardura). Antikolinergic : memperbaiki fungsi penampungan air kemih
olehkandung kemih. Misal, darifenasin (enablex), hiosiamin (levbid).(Febriyanto
2012)
Pada kandung kemih neurogenik yang refrakter terhadap antikolinergik, ada
pengobatan alternatif yaitu injeksi toksin Botulinum. Pada pasien dewasa terapi ini
memberikan hasil yang menjanjikan namun pada anak masih jarang dilakukan.
Sejauh ini penelitian yang ada bersifat terbuka (open trials) dan kurang
menggunakan kelompok kontrol. Toksin Botulinum disuntikkan langsung pada
otot detrusor dan hasilnya aman serta efektif pada kelompok dewasa. Pada orang
dewasa toksin Botulinum dapat diberikan berulangkali namun pada anak belum
ada penelitian mengenai frekuensi pemberian yang aman dan efektif (level of
evidence: 3) (Febriyanto 2012)
c. Operasi
Aksesoris buatan seperti sfingter buatan terdiri dari manset yang sesuai di
sekitar leher kandung kemih, balon tekanan yang mengatur, dan pompa yang
mengembang manset. Balon ditempatkan di bawah otot perut. Pompa ini
ditempatkan di labia pada wanita dan dalam skrotum untuk pria. Mengaktifkan
pompa mengirimkan cairan dari manset untuk balon, yang memungkinkan otot
sphincter untuk bersantai dan urin untuk lulus. Manset otomatis mengembang
kembali dalam tiga sampai lima menit. Stent uretra, yang mirip dengan kateter
internal dapat dimasukkan melalui otot sfingter untuk memperluas dan
memungkinkan urin untuk dikeringkan. (Febriyanto 2012)
Kegagalan terapi medikamentosa dalam mengembalikan fungsi kandung
kemih merupakan indikasi tindakan bedah. Ada beberapa teknik pembedahan yang
bergantung pada permasalahan yang dihadapi. Bila masalahnya terletak pada
kontraksi otot detrusor lemah dan kapasitas kandung kemih yang rendah pasca
terapi medikamentosa, maka tindakan pembedahan yang dilakukan adalah
menambah kapasitas kandung kemih dengan sistoplasti. Tindakan tersebut
dilakukan dengan menggunakan usus halus yang kemudian digabungkan dengan
kandung kemih. Syarat dilakukannya tindakan ini adalah fungsi sfingter harus baik
dan uretra yang paten untuk tindakan kateterisasi. (Febriyanto 2012)
Koreksi terhadap jalur keluar kandung kemih dilakukan jika detrusor dan
sfingter memiliki aktivitas yang lemah. Ada beberapa teknik tindakan untuk
meningkatkan tahanan pada sfingter namun hal ini jarang dikerjakan oleh ahli
bedah. Mereka lebih memilih untuk tetap melakukan tindakan konservatif dan
membiarkan leher kandung kemih dan uretra posterior dalam keadaan intak.
Pemasangan stoma menetap dilakukan jika tindakan bedah pada jalan keluar
kandung kemih gagal. Hal ini terutama dilakukan pada penderita spina bifida yang
tergantung dengan kursi roda yang memiliki kesulitan dalam melakukan
kateterisasi dan tergantung dengan orang lain. (Febriyanto 2012)
d. Pemantauan
Pasien kandung kemih neurogenik pada dasarnya membutuhkan pemantauan
jangka panjang terutama pemantauan fungsi ginjal. Pengawasan ditekankan pada
gejala kelainan saluran kemih atas, fungsi ginjal, dan kandung kemih. Pemeriksaan
fungsi ginjal dilakukan secara berkala, tes urodinamik perlu diulang setiap tahun.
Pemeriksaan pencitraan dilakukan untuk mendeteksi hidronefrosis atau refluks
vesiko ureter. Pada Tabel 3 ditampilkan pemeriksaan serta waktu untuk melakukan
evaluasi terhadap terapi yang telah diberikan.(Febriyanto 2012)
e. Managemen medis (Saputra,2012)
Terapi manuver valsava pada pemasangan kateter urin yang intermitten.
Seperti manuver crede, produk inkontinensia, alat oklusi ureter, bladder training
(untuk memperbaiki fungsi kandung kemih)
Terapi fisik-psikologis. Terapi ini disebut juga dengan berkemih waktunya,
menggabungkan kekuatan kemauan dan latihan. Cara yang dapat dilakukan yaitu
dengan membuat catatan jumlah dan waktu minum cairan, berapa kali buang air
kecil setiap hari, dan apakah pernah bocor urin harus dituliskan. Catatan ini
(voiding diary) dapat membantu menentukan waktu hari Anda harus dekat kamar
mandi, dan saat-saat harus berusaha untuk buang air kecil. Hal ini akan melatih
kontrol buang air kecil.
Terapi listrik-stimulasi. Penggunaan elektroda dan stimulator kecil
ditempatkan di dekat saraf tertentu selama prosedur bedah minor. Stimulator
ditempatkan di bawah kulit dan memberikan impuls listrik seperti yang
disampaikanoleh saraf yang normal. Perangkat ini telah disetujui oleh US Food and
Drug Administration untuk mengobati inkontinensia dan retensi urin pada klien
yang terapi lain gagal.
f. Monitoring
tanda vital dan asupan atau keluaran cairan
g. Diet
menghindari stimulant seperti makanan yang berbumbu pedas, kuat
rempah-rempah (kari, cabai, dan cabai rawit) dan panas berkontribusi untuk
inkontinensia. Buah-buahan yang kaya kalium dapat memperburuk dorongan
inkontinensia seperti anggur dan jeruk. Selain itu coklat yang mengandung kafein
harus dihindari karena memperburuk gejala iritasi kandung kemih. Kafein adalah
diuretik alami, dan memiliki efek rangsang langsung pada otot polos kandung
kemih. Penelitian telah menunjukkan bahwa minum minuman berkarbonasi, jeruk
buah minuman, dan jus asam dapat memperburuk berkemih iritasi atau mendesak
gejala. Konsumsi pemanis buatan juga telah berteori untuk berkontribusi
inkontinensia . Begitu pula asupan cairan harus yang terkendali sesuai kebutuhan
setiap tubuh manusia.

2.7 Komplikasi
Komplikasi utama kandung kemih neurogenik adalah infeksi yang terjadi
akibat stasis urin dan kateterisasi yang dilakukan kemudian. Hipertrofi dinding
kandung kemih juga terjadi dan akhirnya menimbulkan refluks vesikouretral
(kembalinya urin dari kandung kemih ke dalam ureter) dan hidronefrosis (dilatasi
struktur internal ginjal dengan meningkatnya tekanan dari urin yang mengalir
balik). Pada klien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk
meningkatkan resiko gangguan saluran keluar kandung kemih (bladder outlet
obstruction). (Ginsberg 2013).
Urolitiasis (batu dalam saluran kemih) dapat terjadi akibat stasis serta
infeksi kemih dan demineralisasi tulang karena tirah baring yang lama. Pada klien
dengan neurogenic bladder , jika mereka tidak diobati secara optimal maka juga
bisa menyebabkan batu buli, sepsis dan gagal ginjal Gagal ginjal merupakan
penyebab utama kematian pada pasien gangguan neurologik vesika urinaria
(Smeltzer & Bare, 2010).
2.8 Prognosis
Prognosis baik jika segera ditangani dan tidak sampai terjadi gagal ginjal.
Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan
kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012)
BAB III
ASUHAN KEPERERAWATAN
STUDI KASUS
Pada tanggal 10 Maret 2016 Tn. N berusia 62 tahun datang ke RS Haji dengan
keluhan nyeri perut bagian bawah ketika kencing dan ketika ditekan, rasa nyerinya
seperti ditusuk jarum klien juga mengatakan kencing terus-menerus namun
keluarnya sedikit-sedikit dan juga mengeluh badannya lemas, dan panas, Klien
bercerita bahwa seminggu yang lalu klien terpeleset saat di kamar mandi dan jatuh
terduduk. Keluarga klien mengatakan bahwa Tn. N memiliki riwayat penyakit
stroke. Hasil pemeriksaan TTV didapatkan suhu 39C, nadi 100x/menit, tekanan
darah 160/100 mmHg, RR 24x/menit. pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
distensi kandung kemih, saat perkusi kandung kemih ditemukan suara
dullnes,Hasil laboraturium urin belum menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi,
Ph urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3 juta sel/mm3; WBCs (White Blood Cells)
10.500sel/mm3 Jumlah urin 500 ml/hari.
3.1 PENGKAJIAN
1) Identitas
a) Nama :Tn N
b) Jenis kelamin :laki-laki
c) Umur :62 tahun
d) Agama :islam
e) Pendidikan :SD
f) Pekerjaan :petani
g) Alamat :Jl. Melati no. 13 Surabaya
h) Tanggal masuk :10 Maret 2016 jam 10.00 WIB
2) Riwayat Kesehatan
A. Alasan masuk rumah sakit
Tn N mengeluh sering kencing namun keluarnya sedikit-sedikit.
B. Keluhan Utama
Merasa sakit di perut bagian bawah ketika kencing dan ketika ditekan.
C. Riwayat penyakit sekarang
Seminggu sebelum MRS, klien jatuh terpeleset di kamar mandi. Klien
duduk terjatuh. Beberapa hari setelahnya klien kencing terus-menerus namun
keluar sedikit-sedikit disertai rasa sakit di perut bawah.
D. Riwayat penyakit dahulu
Stroke
E. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal seperti klien.
3) Pemeriksaan Fisik
KL ( kepala Leher )
- S : 39C
b) Review of System
B1 (Breathing)
Inspeksi: simetrs
Palpasi: normal
Perkusi: suara sonor
Auskultasi: vesikuler
Respirasi rate klien 24x/menit
B2 (Blood)
Inspeksi:normal, simetris
Palpasi: normal
Perkusi:normal
Auskultasi:
- Nadi : 100/menit
- TD : 160/100 mm/Hg
B3 (Brain)
- GCS = 456
B4 (Bladder)
Inspeksi: distensi kandung kemih
Palpasi:
Perkusi: tedapat suara dullnes
- Kandung kemih penuh
- sering berkemih tapi sedikit
- distensi bladder
B5 (Bowel)
Tidak ditemukan masalah.
B6 (Bone)
Tidak ditemukan masalah.
4) Pemeriksaan Penunjang
Belum dilakukan
5) Pemeriksaan Laboraturium
- pH urin 6 (normal: 4,5-7,5)
- RBCs 3juta sel/mm3(normal: 3,2-5,2 juta sel/mm3)
- WBCs 10.500sel/mm3(normal: 3.500-10.000sel/mm3)
- Jumlah urin 500 ml/hari.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Nyeri akut berhubungan dengan distensi abdomen
2. Hipertermi berhubungan dengan cemas
3. Gangguan elimiasi urine berhubungan dengan status neurologi: fungsi motorik

ANALISA DATA
NO DATA ETOLOGI PROBLEM
1. Data Subjektif:
klien mengeluh nyeri perut
bagian bawah ketika kencing
Data Objektif: Pengosongan
P: nyeri kandung kemih kandung kemih
Q: nyeri seperti tertusuk
jarum Frekuensi urin dan Nyeri akut
R: perut bagian bawah urin sedikit
(kandung kemih)
S: 7 Distensi abdomen
T: ketika ditekan
nadi 100x/menit, TD:
160/100 mmHg,
2. Data Subjektif: Distensi abdomen Hipertermi
klien mengeluh badannya
lemas, dan panas Nyeri abdomen
Data Objektif:
Pemeriksaan TTV pasien cemas
didapatkan suhu 39C, RR
24x/menit. klien terlihat
lemas
WBCs
10.500sel/mm3(normal:
3.500-10.000sel/mm3)

3. Data Subjektif:
klien mengaku Klien
terpeleset dan jatuh di kamar
Kelumpuhan motorik
mandi,sering kencing, namun
hanya sedikit
Sensasi urin ada,tapi
Data Objektif:
urinyang dikeluarkan
pada pemeriksaan fisik, di Gangguan Eliminasi
sedikit
temukan adanya distensi Urin
kandung kemih dan suara
Gangguan sensori
dullness ketika dilakukan
motorik
perkusi
Jumlah urin 500 ml/hari.
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA
NO INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan Mandiri :
dengan Agen cidera 1. Lakukan 1. Untuk megetahui
biologis: Distensi pengkajian secara daerah nyeri
Abdomen komprehensif kualtas kapan
Tujuan: termasuk lokasi, nyeri dirasakan,
Setelah dilakukan karateristik, durasi, faktor pencentus,
tindakan keperawatan frekuensi, kualitas, berat ringannya
selama 3x24 jam, rasa dan faktor nyeri dirasakan.
nyaman sudah presipitasi.
terkontrol dan sudah
tidak merasa nyeri 2. Gunakan teknik 2. Untuk mengetahui
Kriteria hasil: komunikasi apa yang dirasakan
- Mampu mengonrol terapeutik untuk pasien dan
nyeri ( tahu mengetahui memberikan
penyebab nyeri, pengalaman nyeri dukungan pada
mampu pasien pasien.
menggunakan tehnik Kolaborasi :
nonfarmakologi 1. Berkolaborasi 1.Untuk membantu
untuk mengurangi dengan dokter mengurangi rasa
nyeri, mencari untuk memberikan nyeri pada pasien
bantuan) analgesic
- Melaporkan bahwa farmakologi untuk
nyeri berkurang mengurangi nyeri
dengan pasien
menggunakan HE :
manajemen nyeri 1. Ajarkan tentang teknik 1.Untuk mengajarkan
- Mampu mengenali non-farmakologi pasien menangani
nyeri (skala, nyeri apabila nyeri
intensitas, frekuensi, timbul
dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa Observasi :
nyaman setelah 1. Monitor TTV 1. Untuk mengetahui
nyeri berkurang keadaan umum
pasien
2. Hipertermia Mandiri :
berhubungan dengan 1. Kompres pasien 1. Untuk membantu
Ansietas pada lipat paha dan menurunkan suhu
Tujuan: aksila tubuh
Setelah dilakukan Kolaborasi :
tindakan perawatan 1. Berkolaborasi 1. Untuk mengetahui
selama 3x24 jam tidak dengan dokter dosis obat antipiretik
terjadi peningkatan memberikan secara tepat
suhu tubuh antipiretik 2. Untuk menjaga
Kriteria hasil: 2. Berkolaborasi keseimbangan cairan
- Suhu tubuh dalam dengan dokter dalam tubuh pasien
rentang normal memberikan cairan
- Nadi dan RR intravena
dalam rentang HE:
normal 1. Ajarkan indikasi 1. Agar pasien
- Tidak ada dari hipotermi dan mengetahui
perubahan warna penanganan yang penanganan cepat
kulit dan tidak ada diperlukan dari hipotermi
pusing Observasi :
1. Monitor warna dan 1. Untuk mengetahui
suhu tubuh perubahan suhu
2. Monitor intake dan tubuh pasien
output 2. Untuk mengetahui
jumlah intake output
3. Gangguan Eliminasi Mandiri :
Urin berhubungan 1. merangsang refleks 1. Untuk melatih
dengan status kandung kemih dengan refleks kandun kemih
neurologi: fungsi menerapkan dingin agar memudahkan
motorik untuk perut,membelai mengosongkan
Tujuan: tinggi batin,atau air kandung kemih
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 2. Memantau tingkat 2. Untuk mengetahui
selama 3x24 jam, distensi kandung kemih distensi pada
distensi kandung kemih dengan palpasi dan kandung kemih
hilang, dan dapat perkusi
berkemih secara normal Kolaborasi :
dengan aliran yang 1. Berkolaborasi 1. Untuk mengetahui
lancar dengan untuk dosis pemberian obat
Kriteria hasil: memberikan terapi secara tepat
- klien dapat berkemih farmakologi
dengan puas HE :
- masukan cairan secara 1. Ajarkan keluarga 1. Agar keluarga pasien
adekuat untuk membantu pasien dapat membantu
- klien dapat berkemih ke toilet secara berkala mengingatkan pasien
di toilet secara mandiri untuk berkemih
- klien dapat secara berkala
berkemih>100-200 ml Observasi :
1. Monitor intake dan 1. Untuk mengetahui
output cairan jumlah intake dan
output cairan dalam
tubuh pasien
2. Memantau tingkat 2. Untuk mengetahui
distensi kandung skala distensi
kemih kandung kemih
3.4 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Waktu
NO
Tgl/ja Catatan Perkembangan TTD
Dx Tindakan
m
1 11-05- 1. Melakukan pengkajian S: klien sudah tidak TTD
2017 secara komprehensif mengeluh nyeri perut ketika
(09.00) termasuk lokasi, kencing
karateristik, durasi, O: Rasa nyeri sudah
frekuensi, kualitas, dan terkontrol,
faktor presipitasi. nadi 90x/menit, TD: 120/80
2. Menggunakan teknik mmHg, RR 20x/menit.
komunikasi terapeutik A: masalah teratasi
untuk mengetahui P: intervensi dihentikan
pengalaman nyeri pasien
3. Memonitor TTV
4. Berkolaborasi dengan
dokter untuk memberikan
analgesic farmakologi
untuk mengurangi nyeri
pasien
5. Menginstruksikan pada
pasien dan keluarga untuk
mencatat output urine
2. 11-05- 1. Memonitor intake S: klien sudah merasa tidak TTD
2017 danoutput lemas dan badannya tidak
(19.00) 2. Mengompres pasien pada panas
lipat paha dan aksila O: suhu dalam batas normal
3. Memonitor warna dan 370C, pasien terlihat aktif, RR
suhu kulit 24x/mnt.
4. Berkolaborasi dengan A: Masalah teratasi
dokter memberikan P: intervensi dihentikan
antipiretik
5. Berkolaborasi dengan
dokter memberikan cairan
intravena
6. Mengajarkan indikasi dari
hipotermi dan penanganan
yang diperlukan
3. 11-05- 1. Merangsang refleks S: klien mengaku kencing TTD
2017 kandung kemih dengan sudah normal.
(12.00) menerapkan dingin untuk O: pada pemeriksaan fisik,
perut,membelai tinggi sudah tidak di temukan
batin,atau air adanya distensi kandung
2. Memantau tingkat distensi kemih dan suara dullness
kandung kemih dengan ketika dilakukan perkusi
palpasi dan perkusi A: Masalah teratasi
3. Berkolaborasi dengan P: intervensi dihentikan
untuk memberikan terapi
farmakologi
4. Ajarkan keluarga untuk
membantu pasien ke toilet
secara berkala
5. Monitor intake dan output
cairan
6. Memantau tingkat distensi
kandung kemih
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat
kerusakan sistem saraf pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian
berkemih
Daftar Pustaka
A. J. Wein, (2007)Lower urinary tract dysfunction in neurologic injury and
disease, inCampbell-Walsh Urology, A. J. Wein, L. R. Kavoussi, A. C. Novick,
A.W. Partin, and C. A. Peters, Eds., pp. 20112045, Saunders, New York, NY,
USA, 9th edition,
A. Manack, S. P. Motsko, C. Haag-Molkenteller et al., (2011) .Epidemiology and
healthcare utilization of neurogenic bladder patients in a US claims
database,Neurourology and Urodynamics, vol. 30, no. 3, pp. 395401,.
Benevento B.T. and Marca L. Sipski. 2002.Neurogenic Bladder, Nuerogenic
Bowel, and Sexual
Black, J. M. Medical-Surgical Nursing Ed.8th. Philadelphia: Saunders Elsevier.
2009
Carpenito, Lynda Juall. (2009). Nursing Care Plan & Documentation edisi 5.
China: Library of Catloging
Charlene J. reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica,
2001.
Dorsher, Peter T.; McIntosh, Peter M., (2011). Neurogenic Bladder. Review
articer, Advance in Urology, volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi Publishing
Corporation
Dysfunction in People With Spinal Cord Injury. Phys Ther. 82 (6): 601-612. Faiz
and Moffat. 2004. At a Glance ANATOMI. Jakarta : Erlangga
Elsevier. 2012. Nursing Diagnosis : Urinary Tracty Infection. Saunders : Elsevier
Febriyanto, Rhyno. Bernadetha Nadeak. etc. (2012). Kandung Kemih Neurogenik
pada Anak: Etiologi, Diagnosis dan Tata Laksana. Jakarta : Majalah Kedokteran
FK UKI 2012 Vol XXVIII No.
Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic
Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194.

Guyton, Arthur C dan Hall John. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
Japaradi, D. I. (2002). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU digital
Library , 4-6.
Lemone, Priscilla, Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing : Critical
Thinking in Client Care, 4th edition. Pearson Education, Inc.,
M. Verhoef, M. Lurvink, H. A. Barf et al., (2005) High prevalence of
incontinence among young adults with spina bifida: description, prediction and
problem perception, Spinal Cord, vol. 43, no. 6, pp. 331340,
Morton, Patricia Gonce, fontaine, Dorrie, C., (2013). Essential of Critical Care
Nursing : a Holistic Approach. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Nursalam. (2008). Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik
. Jakarta: Salemba Medika.
R. S. Lansang and A. C. Krouskop, (2004). Bladder management, in eMedicine,
T. L. Massagli et al., Ed.,
Rackley R. 2009. Neurogenic Bladder. Medscape reference. In :
http://emedicine.medscape.com/article/453539-overview#a7 (Diakses 3 April 2011
Saputra, Dr. Lyndon. (2012). Buku Saku Kpererawatan Klien dengan Gangguan
Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh Kasus Klinik. Tanggerang: Bina
rupa Aksara Publisher.
Shenot,Patrick J. (2012). Merck Manual Home Health Handbook Neurogenic
Bladder.http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders
/disorders_of_urination/neurogenic_bladder.html Diakses pada 22 Maret 2016
pukul 9:11 WIB
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarths Textbook
of Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2010). Brunner & Suddarths
Textbook of Medical Surgical Nursing 10th edition.Philadelphia : Lippincott
Williams & Wilkins
Snell, Richard S. 2013. Neuroanatomi Kilinik Edisi 6 untuk Mahasiswa
Kedokteran. Jakarta : EGC.
The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191-194
(2013).NeurogenicBladder.
Willacey, Haley (2012) http://patient.info/doctor/neurogenic-bladder. Diakses pada
13 Maret 2016 pukul 14.32

Das könnte Ihnen auch gefallen