Sie sind auf Seite 1von 17

A.

Ulkus Dekubitus
1. Definisi Ulkus Dekubitus
Ulkus dekubitus merupakan suatu luka di mana terjadi kerusakan
pada kulit akibat penekanan yang lama atau iritasi pada suatu lokasi yang
terdapat penonjolan tulang, yang menyebabkan aliran darah terhambat
sehingga dapat terjadi iskemia lokal dan nekrosis. Ulkus dekubitus berasal
dari bahasa latin decumbere yang berarti berbaring. Nama lain dari ulkus
dekubitus adalah bed ridden, bed rest injury, air-filled beds, air-filled sitting
device, low-airloss bed, low air-loss bed, air-fluidized bed, chronic
ulceration, pressure ulceration, dan decubitus ulceration. Ulkus dekubitus
atau luka baring adalah tipe luka tekan (Anders et al., 2010).
Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah
bagian di mana terdapat penonjolan tulang, yaitu siku, tumit, pinggul,
pergelangan kaki, bahu, punggung, dan kepala bagian belakang. Ulkus
dekubitus terjadi jika tekanan yang terjadi pada bagian tubuh melebihi
kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada usaha untuk mengurangi
atau memperbaikinya sehingga terjadi kerusakan jaringan yang menetap.
Bila tekanan yang terjadi kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk
memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus dapat
dicegah (Wong et al., 2015).

2. Morbiditas dan Mortalitas


Morbiditas dan mortalitas pasien yang mengalami ulkus dekubitus
akan meningkat pada pasien tersebut yang mengalami komplikasi berupa
infeksi. Infeksi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada
pasien ulkus dekubitus (Wong et al., 2015).
Infeksi yang terjadi berkaitan dengan pertumbuhan kuman, baik
aerob maupun anaerob. Kuman yang sering dijumpai pada ulkus dekubitus
adalah Proteus mirabilis, Streptococcus group D, Escherichia coli,
Staphylococcus species, Pseudomonas species, dan Corynebacterium.
Pasien dengan bakterimia lebih sering terinfeksi dengan Bacteroides sp pada

1
ulkus dekubitusnya yang ditandai dengan bau yang tidak sedap, leukositosis,
demam, hipotensi, takikardi, dan perubahan status mental. Bakterimia
terjadi pada 3,5 pasien di antara 10.000 (Kumar et al., 2014).
Mortalitas pada pasien dengan ulkus dekubitus meningkat sampai
50%. Sekitar 60.000 orang meninggal setiap tahun karena ulkus dekubitus.
Mortalitas dan morbiditas ini meningkat dengan terjadinya osteomyelitis,
amiloidosis sistemik, selulitis, abses sinus, arthritis septic, karsinoma sel
skuamousa, fistula periuretra, dan osifikasi heterotopik (Kumar dan Mahal,
2014).

3. Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab utama terbentuknya ulkus dekubitus adalah tekanan
yang menyebabkan iskemik. Meskpiun setiap jaringan mempunyai
kemampuan untuk mengatasi terjadinya iskemik akibat tekanan, tetapi
tekanan yang lama dan melewati batas pengisian kapiler akan menyebakan
kerusakan jaringan yang menetap (Garber dan Rintala, 2003).
Selain itu, ulkus dekubitus dapat disebabkan oleh kurangnya
mobilitas, kontraktur, spastisitas, berkurangnya fungsi sensorik, paralisis,
insensibilitas, malnutrisi, anemia, hipoproteinemia, dan infeksi bakteri.
Beberapa keadaan seperti usia yang tua, perawatan di rumah sakit yang
lama, orang yang kurus, inkontinesia urin dan alvi, merokok, penurunan
kesadaran mental dan penyakit lain (seperti diabetes melitus dan gangguan
vaskuler) akan mempermudah terjadinya ulkus dekubitus (Niezgoda et al.,
2006).
Faktor risiko yang telah diidentifikasi pada perkembangan dari
ulkus dekubitus dapat berupa usia tua, diabetes tak terkontrol, penyakit
neurovaskular, kerusakan tulang belakang, malnutrisi serta trauma
(Apostolopoulou et al., 2014).

4. Patofisologi
Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhi. Mmekanisme terbentuknya ulkus dekubitus berdasarkan

2
faktor yang mempengaruhinya dapat dibagi menjadi patomekanikal dan
patofisiologi (Crowe dan Brockbank, 2009).
a. Patomekanikal
Patomekanikal merupakan faktor ekstrisik atau faktor primer
terbentuknya ulkus dekubitus. Patomekanikal ulkus dekubitus meliputi:
1) Tekanan yang Lama
Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus
dekubitus adalah tekanan yang tidak terasa nyeri. Tekanan lama
yang melampaui tekanan kapiler jaringan pada jaringan yang
iskemik akan mengakibatkan terbentuknya ulkus dekubitus. Hal ini
karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan oksigen dan
nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan iskemik
dan hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi.
Pada keadaan iskemik, sel-sel akan melepaskan substansia H
yang mirip dengan histamine. Adanya substansi H dan akumulasi
metabolit seperti kalium, adenosine diphosphat (ADP), hidrogen dan
asam laktat akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Reaksi
kompensasi sirkulasi akan tampak sebagai hiperemia dan reaksi
tersebut masih efektif bila tekanan dihilangkan sebelum periode
kritis terjadi yaitu 1-2 jam. Suatu penelitian histologis
memperlihatkan bahwa tanda-tanda kerusakan awal terjadi di dermis
antara lain berupa dilatasi kapiler dan vena serta edema dan
kerusakan sel-sel endotel. Selanjutnya akan terbentuk perivaskuler
infiltrat, agregat platelet yang kemudian berkembang menjadi
hemoragik perivaskuler. Hal yang menarik, pada tahap awal ini, di
epidermis tidak didapatkan tanda-tanda nekrosis oleh karena sel-sel
epidermis memiliki kemampuan untuk bertahan hidup pada keadaan
tanpa oksigen dalam jangka waktu yang cukup lama. Selain itu,
perubahan patologis oleh karena tekanan eksternal tersebut terjadi
lebih berat pada lapisan otot daripada pada lapisan kulit dan
subkutaneus.

3
Sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila
kurang dari 2 jam. Seorang yang terpaksa berbaring berminggu-
minggu tidak akan mengalami ulkus dekubitus selama dapat
mengganti posisi beberapa kali perjamnya.
2) Tekanan antar Permukaan
Tekanan antarpermukaan adalah tekanan tegak lurus setiap
unit daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan
antarpermukaan dipengaruhi oleh kekakuan dan komposisi jaringan
tubuh, bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan karakteristik
pasien. Tekanan antarpermukaan yang melebihi 32 mmHg akan
menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik.
Faktor yang juga berpengaruh terhadap tekanan
antarpermukaan adalah kolagen. Pada penderita sklerosis amiotropik
lateral risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus berkurang karena
adanya penebalan kulit dan peningkatan kolagen dan densitasnya.
3) Luncuran
Luncuran merupakan tekanan mekanik yang langsung paralel
terhadap permukaan bidang. Luncuran mempunyai pengaruh
terhadap terbentuknya ulkus dekubitus terutama pada daerah sakrum.
Adanya gerakan anguler dan vertikal atau posisi setengah berbaring
akan mempengaruhi jaringan dan pembuluh darah daerah sacrum
sehingga berisiko untuk mengalami kerusakan. Penggunaan tempat
tidur yang miring seperti pada bedah kepala dan leher akan
meningkatkan tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya
ulkus dekubitus.
4) Gesekan
Gesekan adalah gaya antar dua permukaan yang saling
berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor untuk terjadinya ulkus
dekubitus karena gesekan antar penderita dengan sandarannya akan
menyebabkan trauma makroskopis dan mikroskopis. Kelembaban,
maserasi dan kerusakan jaringan akan meningkatkan tekanan pada

4
kulit. Kelembaban yang terjadi akibat kehilangan cairan dan
inkontinensia alvi dan urin akan menyebabkan terjadinya maserasi
jaringan sehingga kulit cenderung lebih mudah menjadi rusak.
5) Immobilitas
Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif
dan berbaring di atas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan
mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Tekanan eksternal 40-60 mmHg pada posisi terlentang ini
merupakan tekanan yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus
pada daerah sacrum, maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada
pasien posisi telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada
tekanan 50 mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus
bila tekanan berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas ischii.
Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi
nekrosis jaringan kulit.

Gambar 1. Patofisologi terbentuknya Ulkus Dekubitus (Anders et al., 2010)

5
Pada penderita dengan paralisis, kelaian neurologi, atau
dalam anestesi yang lama, syaraf aferen tidak mampu untuk
memberikan sistem balik sensoromotor. Akibatnya, tanda-tanda
tidak menyenangkan dari daerah yang tertekan tidak diterima,
sehingga tidak melakukan perubahan posisi.
Berbeda dengan orang tidur, untuk mengatasi tekanan yang
lama pada daerah tertentu secara otomatis akan terjadi perubahan
posisi tubuh setiap 15 menit. Gerakan perubahan posisi pada orang
tidur biasanya lebih dari 20 kali setiap malam. Bila kurang dari 20
kali, maka akan berisiko untuk terjadinya ulkus dekubitus (Kumar et
al., 2014).
b. Patofisiologi
Faktor patofisiologi merupakan faktor intrinsik atau sekunder
dalam terbentuknya ulkus dekubitus. Faktor intrinsik meliputi demam,
anemia, infeksi, iskemik, hipoksemia, hipotensi, malnutrisi, trauma
medula spinalis, penyakit neurologi, kurus, usia yang tua, dan
metabolisme yang tinggi (Ausili et al., 2013).
Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat
sehingga kulit akan tipis. Kandungan kolagen pada kulit yang berubah
menyebabkan elastisitas kulit berkurang sehingga rentan mengalami
deformasi dan kerusakan. Kemampuan sistem kardiovaskuler yang
menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang kompeten menyebabkan
penurunan perfusi kulit secara progresif. Sejumlah penyakit yang
menimbulkan ulkus dekubitus seperti DM yang menunjukkan insufisiensi
kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi kardiovaskuler seperti pada
sistem pernapasan menyebabkan tingkat oksigenisasi darah pada kulit
menurun. Gizi yang kurang dan anemia memperlambat proses
penyembuhan pada ulkus dekubitus (Rappl et al., 2009).
Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan
memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus
akan menyebabkan kadar albumin darah menurun. Pada orang malnutrisi,

6
ulkus dekubitus lebih mudah terbentuk daripada orang normal. Oleh
karena itu, faktor nutrisi ini juga penting dalam patofisiologi
terbentuknya ulkus dekubitus (Rappl et al., 2009).

5. Gejala
Bagian tubuh yang paling sering terjadi ulkus dekubitus adalah
daerah tekanan dan penonjolan tulang. Bagian tubuh yang sering terkena
ulkus dekubitus adalah tuberositas ischi (30%), trochanter mayor (20%),
sacrum (15%), tumit (10%), lutut, maleolus, siku, jari kaki, scapulae dan
processus spinosus vertebrae. Tingginya frekuensi tersebut tergantung pada
posisi penderita (Dharmarajan et al., 2002).
Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit
yang kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi
dapat meliputi epidermis, dermis, jaringan otot sampai tulang. Berdasarkan
gejala klinis, NPUAP mengklasifikasikan ulkus dekubitus menjadi empat
grade (Anders et al., 2010).
a. Grade 1
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada
kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium
ini umumnya reversibel dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari.

b. Grade 2
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke
jaringan adiposa. Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat
sembuh dalam 10 - 15 hari.

7
c. Grade 3
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah
mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya
struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan
infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.

d. Grade 4
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta
sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering disertai
anemia. Dapat sembuh dalam 3 - 6 bulan.

8
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu
ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit
sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga:
a. Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai di bawah lebih kurang 2,5oC
dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan sekitar
6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat
tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah sebenarnya
baik.
b. Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC antara daerah ulkus
dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan aliran darah
akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan
untuk terjadinya dekubitus di samping faktor tekanan. Dengan
perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
c. Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak akan
sembuh.

Hal penting yang harus diperhatikan sebagai ciri ulkus dekubitus


adalah adanya bau yang khas, sekret luka, jaringan parut, jaringan nekrotik,
dan kotoran yang berasal dari inkontinensia urin dan alvi. Ciri tersebut dapat
menunjukkan kontaminasi bakteri pada ulkus dekubitus dan penting untuk
penatalaksanaan.
Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun dapat
juga pada ulkus yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain
infeksi (sering bersifat multibakterial, baik yang aerobik ataupun anerobik),
keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,
osteomielitis, artritis septik, septikemia, anemia, hipoalbuminemia, bahkan
kematian.

9
6. Diagnosis
Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi untuk
menegakkan diagnosis ulkus dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan
laboratorium dan penunjang lainnya (Bluestein et al., 2008).
Beberapa pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah sebagai berikut.
a. Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhkan pada keadaan inkontinensia untuk melihat
apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama
pada trauma medula spinalis.
b. Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk
melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi
pseudomembranous colitis.
c. Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami
perbaikan dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus
kronik untuk melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada
keganasan. Selain itu, biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang
menginfeksi ulkus dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi
osteomyelitis.
d. Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel
darah putih dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi
bakteremia dan sepsis.
e. Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah kadar
albumin, kadar transferrin, dan kadar protein serum.

10
f. Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, scan
tulang atau MRI.

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus dekubitus harus dilakukan dengan baik dan
terpadu, karena proses penyembuhannya yang membutuhkan waktu yang
lama. Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) telah
membuat standar baku dalam penatalaksanaan ulkus dekubitus. Pengobatan
harus diberikan dengan segera ketika ulkus dekubitus mulai terbentuk.
Pengobatan yang diberikan dapat berupa tempat tidur yang termodifikasi
baik untuk penderita ulkus dekubitus, pemberian salep, krim, ointment,
solution, kassa, gelombang ultrasonik, atau lampu panas ultraviolet, gula,
dan tindakan pembedahan (Riordan et al., 2009).
Pemilihan terapi tergantung pada stadium ulkus dekubitus dan
tujuan pengobatan, seperti proteksi, pelembaban dan membuang jaringan
nekrosis. Hal yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan ulkus
dekubitus adalah sebagai berikut.
a. Perawatan luka harus dibedakan ke dalam metode operatif dan
nonoperatif.
b. Perawatan luka dengan metode nonoperatif dilakukan untuk ulkus
dekubitus grade 1 dan 2, sedangkan untuk grade 3 dan 4 harus
menggunakan metode operatif.
c. Sekitar 70-90% ulkus dekubitus adalah superfisial dan sembuh dengan
penyembuhan sekunder.
d. Mengurangi tekanan lebih lanjut pada daerah ulkus.

Secara umum penatalaksanaan ulkus dekubitus dibagi menjadi


nonmedikamentosa dan medikamentosa.
a. Nonmedikamentosa

11
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan nonmedikamentosa
meliputi pengaturan diet dan rehabilitasi medik. Seperti telah disebutkan
di atas, nutrisi adalah faktor risiko untuk terjadinya ulkus dekubitus.
Pemberian diet yang tinggi kalori, protein, vitamin dan mineral
akan meningkatkan status gizi penderita ulkus dekubitus. Meningkatnya
status gizi penderita ini akan memperbaik sistem imun penderita
sehingga mempercepat penyembuhan ulkus dekubitus (Crowe et al.,
2009).
Terapi rehabilitasi medik yang diberikan untuk penyembuhan
ulkus dekubitus adalah dengan radiasi infra merah, short wave diathermy,
dan pengurutan. Tujuan terapi ini adalah untuk memberikan efek
peningkatan vaskularisasi sehingga dapat membantu penyembuhan ulkus.
Sedangkan penggunaan terapi ultrasonik, sampai saat ini masih terus
diselidiki manfaatnya terhadap terapi ulkus dekubitus.
b. Medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus dekubitus dengan metode medikamentosa
meliputi:
1) Mempertahankan keadaan bersih pada ulkus dan sekitarnya
Keadaan tersebut akan menyebabkan proses penyembuhan
luka lebih cepat dan baik. Untuk hal tersebut dapat dilakukan
kompres, pencucian, pembilasan, pengeringan dan pemberian bahan-
bahan topikal seperti larutan NaC1 0,9%, larutan H202 3% dan NaC1
0,9%, larutan plasma dan larutan Burowi serta larutan antiseptik
lainnya.

Delapan Tipe Kompres Mayor dan karakteristiknya

Major Dressing Key Performance Characteristics


Categories
Alginates (sheets and Exudate absorption, obliterate dead space, and autolytic
fillers) debridement
Foams (sheets and fillers) Obliterate dead space, retain moisture, exudate
absorption, and mechanical debridement

12
Gauzes (woven and Obliterate dead space, retain moisture, absorb exudate,
nonwoven) and mechanical debridement
Hydrocolloids (wafers Occlusion, moisture retention, obliterate dead space, and
and fillers) autolytic debridement
Hydrogels (sheets and Retain moisture and autolytic debridement
fillers)
Transparent films Occlusion, retain moisture, and autolytic debridement
Wound fillers Obliterate dead space, absorb exudate, retain moisture,
and autolytic debridement
Wound pouches Exudate control

Kompres yang diberikan pada ulkus dekubitus adalah


semipermiabel dan tertutup, yang memungkinkan terjadinya
pertukaran gas dan transfer penguapan air dari kulit dan mencegah
maserasi kulit. Selain itu, kompres dapat mencegah terjadinya infeksi
sekunder dan mencegah faktor trauma. Tetapi, kompres ini tidak
berfungsi baik pada pasien dengan diaforesis dan eksudat yang banyak
(Anders et al., 2010).
Beberapa kategori untuk kompres dan topikal yang dapat
digunakan adalah antimikrobial, moisturizer, emollient, topical
circulatory stimulant, kompres semipermiabel, kompres kalsium
alginate, kompres hidrokoloid dan hidrogel, penyerap eksudat,
kompres dari basah/lembab ke kering dan enzim dan cairan atau gel
pembentuk film (Dozsa, 2014).
2) Mengangkat jaringan nekrotik.
Adanya jaringan nekrotik pada ulkus akan menghambat aliran
bebas dari bahan yang terinfeksi dan karenanya juga menghambat
pembentukan jaringan granulasi dan epitelisasi. Oleh karena itu
pengangkatan jaringan nekrotik akan mempercepat proses
penyembuhan ulkus. Terdapat 7 metode yang dapat dilakukan antara
lain (Riordan et al., 2009):

13
a) Autolytic debridement. Metode ini menggunakan balutan yang
lembab untuk memicu autolisis oleh enzim tubuh. Prosesnya
lambat tetapi tidak menimbulkan nyeri.
b) Biological debridement atau maggot debridement therapy. Metode
ini menggunakan maggot (belatung) untuk memakan jaringan
nekrosis. Oleh karena itu dapat membersihkan ulkus dari bakteri.
Pada Januari 2004, FDA menyetujui maggot sebagai live medical
devic untuk ulkus dekubitus.
c) Chemical debridement, or enzymatic debridement. Metode ini
menggunakan enzim untuk membuang jaringan nekrosis.
d) Mechanical debridement. Teknik ini menggunakan gaya untuk
membuang jaringan nekrosis. Caranya dengan menggunakan kasa
basah lalu membiarkannya kering di atas luka kemudian
mengangkatnya. Teknik ini kurang baik karena kemungkinan
jaringan yang sehat akan ikut terbuang. Pada ulkus stadium 4,
pengeringan yang berlebihan dapat memicu terjadinya patah tulang
atau pengerasan ligamen.
e) Sharp debridement. Teknik ini menggunakan skalpel atau intrumen
serupa untuk membuang jaringan yang sudah mati.
f) Surgical debridement. Ini adalah metode yang paling dikenal. Ahli
bedah dapat membuang jaringan nekrosis dengan cepat tanpa
menimbulkan nyeri.
g) Ultrasound-assisted wound therapy. Metode ini memisahkan
jaringan nekrosis dari jaringan yang sehat dengan gelombang
ultrasonik.
3) Menurunkan dan mengatasi infeksi.
Perlu pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Antibiotika
sistemik dapat diberikan bila penderita mengalami sepsis dan selulitis.
Ulkus yang terinfeksi harus dibersihkan beberapa kali sehari dengan
larutan antiseptik seperti larutan H202 3%, povidon iodin 1%, seng

14
sulfat 0,5%. Radiasi ultraviolet (terutama UVB) mempunyai efek
bakterisidal (Dozsa, 2014).
Antibiotik sistemik kurang dianjurkan untuk pengobatan ulkus
dekubitus karena akan menimbulkan resistensi. Antibiotik sistemik
yang dapat diberikan meliputi gologan penicillins, cephalosporins,
aminoglycosides, fluoroquinolones, dan sulfonamides. Antibiotik
lainnya yang dpat digunakan adalah clindamycin, metronidazole dan
trimethoprim (Riordan et al., 2009).
4) Merangsang dan membantu pembentukan jaringan granulasi dan
epitelisasi.
Untuk mempercepat pembentukan jaringan granulasi dan
epitelisasi pada ulkus dekubitus sehingga mempercepat penyembuhan
dapat diberikan:
a) Bahan-bahan topikal misalnya: salep asam salisilat 2%, preparat
seng (ZnO, ZnSO4).
b) Oksigen hiperbarik; selain mempunyai efek bakteriostatik terhadap
sejumlah bakteri, juga mempunyai efek proliferatif epitel,
menambah jaringan granulasi dan memperbaiki keadaan vaskular.
5) Tindakan bedah
Tindakan bedah bertujuan untuk membersihkan ulkus dan
mempercepat penyembuhan dan penutupan ulkus, terutama ulkus
dekubitus grade III & IV dan karenanya sering dilakukan tandur kulit,
myocutaneous flap, skin graft serta intervensi lainnya terhadap ulkus.
Intervensi terbaru terhadap ulkus dekubitus adalah Negative
Pressure Wound Therapy, yang merupakan aplikasi tekanan negatif
topikal pada luka. Teknik ini menggunakan busa yang ditempatkan
pada rongga ulkus yang dibungkus oleh sebuah lapisan yang kedap
udara. Dengan demikian, eksudat dapat dikeluarkan dan material
infeksi ditambahkan untuk membantu tubuh membentuk jaringan
granulasi dan membentuk kulit baru. Terapi ini harus dievaluasi setiap
dua minggu untuk menetukan terapi selanjutnya (Ciliers et al., 2014).

15
DAFTAR PUSTAKA

Anders J, et.al (2010). Decubitus Ulcers: Pathophysiology and Primary


Prevention. Deutsches rzteblatt International. 107(21): 37182
Apostolopoulou E, et.al (2014). Pressure ulcer incidence and risk factors in
ventilated intensive care patients. Health Science Journal. 8(3): 333-337
Ausili, et.al (2013). Treatment of pressure sores in spina bifida patients with
calcium alginate and foam dressings. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences (17): 1642-1647
Bluestein D, Javaheri A (2008). Pressure Ulcers: Prevention, Evaluation, and
Management. American Academy of Family Physicians 78(10): 1186-
1194
Ciliers G, Kotze J (2014). Pressure Ulcers: Surgical Intervention. Wound Healing
Southern Africa 7 (2): 45-52
Crowe T & Brockbank C (2009). Nutrition therapy in the prevention and
treatment of pressure ulcers. School of Exercise and Nutrition Sciences
Deakin University: 17(2)
Dharmarajan T.S, Ugalino J.T (2002). Pressure Ulcers: Clinical Features and
Management. Hospital Physician: 64-71
Dozsa C (2014). Results of A Decubitus Prevention and Wound Care Project.
Value in Health 17 : A323A68
Garber SL, Rintala DH (2003). Presure Ulcers in Veteran with Spinal Cord Injury:
A Retrospective Study. Journal of Rehabilitations Research and
Develpment: 433
Kumar A, Mahal R (2014). Pressure ulcer risk factors: There is no higher priority
than prevention. IOSR Journal of Nursing and Health Science 3(3): 22-25
Niezgoda JA, et.al (2006). The Effective Management of Pressure Ulcers.
Advances in Skin & Wound Care 19(1): 3-14
Rappl L, Hamm R (2009). Pathophisiology, Prevention, and Treatment of
Pressure Ulcers.

16
Riordan J, Voegeli D (2009). Preventions and Treatment of Pressure Ulcers.
British Journal of Nursing 18(20): 21-27
Wong H, et.al (2015). Efficacy of a pressure-sensing mattress cover system for
reducing interface pressure: study protocol for a randomized controlled
trial. Department of Clinical Neurosciences Foothills Hospital(16): 434

17

Das könnte Ihnen auch gefallen