Sie sind auf Seite 1von 56

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air merupakan unsur yang sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan di

muka bumi ini. Walaupun merupakan sumber daya yang terbarukan, air terkadang

dirasakan langka. Di beberapa bagian dunia yang sering dilanda kekeringan, air

bahkan merupakan sesuatu yang mahal dan berharga. Jumlah penduduk yang

semakin meningkat seiring dengan kemajuan di berbagai sektor kehidupan,

mendorong dilakukannya eksploitasi air tanah.

Air tanah (groundwater) adalah air yang berada di bawah permukaan tanah pada

zona jenuh air, dengan tekanan hidrostatik yang sama atau lebih besar daripada

tekanan udara (Todd & Mays, 2005). Air tanah berasal dari siklus hidrologi yang

berawal dari penguapan air laut dan air-air yang tertampung di permukaan bumi.

Proses penguapan kemudian menurunkan air hujan ke permukaan bumi yang

sebagian mengalir di permukaan bumi sebagai aliran permukaan (run off) dan

sebagian lagi merembes ke dalam lapisan-lapisan tanah atau batuan. Air yang

merembes melalui lapisan-lapisan tanah atau batuan tersebut kemudian akan berhenti

pada suatu formasi geologi tertentu yang bersifat kedap air lalu mengalir sebagai

aliran bawah tanah. Daerah aliran air tanah disebut cekungan air tanah (CAT) atau

groundwater basin (bdk. UU nomor 7 Tahun 2004).

Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas

hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air tanah

berlangsung (Kodoatie, 2012). Berdasarkan pengertian di atas, maka CAT dapat


dikatakan merupakan suatu daerah yang memiliki luasan dan terdiri atas beberapa

komponen penyusun. Komponen-komponen penyusun CAT meliputi akuifer

(aquifer), akuiklud (aquiclude) dan akuitar (aquitard) (Kodoatie, 2012).

Menurut Todd dan Mays (2005), akuifer adalah suatu formasi yang mengandung

material-material yang cukup permeabel untuk dapat menghasilkan air dalam jumlah

yang signifikan bagi sumur dan mata air. Sifat akuifer untuk dapat menyimpan air

tanah disebut porositas (porosity) sedangkan sifat akuifer untuk dapat meloloskan air

disebut permeabilitas (permeability) (Purwoarminta, 2005). Akuifer sendiri dapat

dibedakan atas 3 yakni akuifer bebas (unconfined aquifer), akuifer semi tertekan

(leaky aquifer) dan akuifer tertekan (confined aquifer). Ketiga jenis akuifer ini akan

berpengaruh terhadap potensi dan karakteristik air tanah yang dikandungnya (Todd,

2005).

Pembentukan akuifer merupakan proses yang berlangsung cukup lama, seiring

dengan proses geologis yang menyusun dan membentuk morfologi suatu daerah.

Oleh karena itu karakteristik batuan penyusun suatu daerah sangat berpengaruh

terhadap proses pembentukan dan tipe akuifer. Penelitian terhadap karakteristik

batuan penyusun akuifer dapat memberikan pengetahuan mengenai potensi akuifer di

daerah penelitian dan lebih jauh lagi bagi cara pengelolaan dan pemanfaatan air

tanah yang berwawasan lingkungan.

1.1.1. Perumusan Masalah

Cekungan airtanah Yogyakarta berada di bagian selatan lereng Gunungapi

Merapi yang dibatasi oleh dua sungai utama yaitu Sungai Opak di bagian timur dan

Sungai Progo di bagian barat. Bagian selatan cekungan ini dibatasi oleh Samudera

Hindia. Secara morfologis rangkaian perbukitan Kulon Progo di bagian barat laut

dan rangkaian Perbukitan Baturagung di bagian tenggara juga membatasi cekungan


Yogyakarta. Secara geologis, cekungan Yogyakarta dibatasi oleh sesar utama yaitu,

sesar sepanjang Kali Opak di bagian timur dan sepanjang Kali Progo di bagian barat.

Selain itu, di dalam cekungan Yogyakarta terdapat juga beberapa sesar turun yang

berpasangan, antara lain yang membentuk Graben Bantul dan Graben Yogyakarta

(Mac Donald and Partner, 1984).

Sistem Akuifer yang membentuk cekungan air tanah Yogyakarta umumnya

merupakan perkembangan dari deposit gunung Merapi muda dan terbagi atas dua

formasi akuifer yakni formasi Sleman dan formasi Yogyakarta (MacDonald &

Partners, 1984). Sistem hidrogeologi yang dibentuk oleh Formasi Yogyakarta dan

Formasi Sleman dalam cekungan Yogyakarta membentuk tatanan akuifer yang

disebut Sistem Akuifer Merapi (SAM). SAM secara hidrologis membentuk satu

sistem akuifer, terdiri atas akuifer berlapis banyak (multilayer aquifer) yang memiliki

sifat-sifat hidrolika relatif sama dan saling berhubungan antara satu dengan yang

lainnya.

Perbedaan karakteristik lapisan batuan penyusun SAM, mengakibatkan adanya

keragaman dalam kemampuan akuifernya untuk menyimpan dan meloloskan air. Di

sisi lain penambahan jumlah penduduk dan aktivitas lainnya yang memerlukan

eksploitasi air tanah dapat membawa dampak pada tingkat kekritisan air tanah di

CAT Yogyakarta.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan beberapa masalah

yang berhubungan dengan penelitian penulis, antara lain:

1. bagaimana karakteristik akuifer di CAT Yogyakarta?

2. bagaimana potensi akuifer CAT Yogyakarta?

3. bagaimana tingkat kekritisan air tanah di CAT Yogyakarta?


1.1.2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai potensi akuifer dan metode-metode penelitiannya sudah

banyak dilakukan. Namun penelitian mengenai CAT Yogyakarta masih sedikit

dilakukan, apalagi dalam hubungannya dengan tingkat kekritisan air tanahnya.

Sebagai pembanding, berikut penulis paparkan beberapa penelitian yang berkaitan

dengan potensi akuifer pada tabel 1.1.


Tabel 1.1 Hasil Penelitian Terdahulu

N Nama Peneliti Jenis Penelitian Lokasi Penelitian Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil Penelitian
o. dan Tahun Penelitian Peneliti
Penelitian an
1. Agus Santoso, Karya Tulis Kecamatan Penelitian Kedalaman - Meneliti Geolistr Formatted Table
1999 Ilmiah, UPN Borobudur, Air Tanah Berdasar kedalaman ik
Veteran Kabupaten Metode Geolistrik muka air tanah
Yogyakarta Magelang Daerah Hotel - Mengetahui
Amanjiwo Kecamatan resistivitas
Borobudur Magelang batuan.
- Menghitung
potensi air
tanah

2. Agus Santoso, Karya Tulis Kecamatan Penelitian Kedalaman - Meneliti Geolistr


2000 Ilmiah, UPN Wonosari DIY Air Tanah Berdasar kedalaman ik
Veteran Metode Geolistrik muka air tanah
Yogyakarta Daerah Nitikan, - Mengetahui
Kecamatan Wonosari resistivitas
Daerah Istimewa batuan.
Yogyakarta - Menghitung
potensi air
tanah

3. Bambang Karya Tulis Kabupaten Klaten Kualitas & Kuantitas - Mengetahui Kimiaw Formatted Table
Triwibowo dan Ilmiah, UPN Air Tanah Daerah kandungan i
Poncomoyono K., Veteran Geblekan dan kimiawi air Geolistr
1992 Yogyakarta sekitarnya Kecamatan tanah ik
Kalikotes, Kabupaten - Menghitung
Klaten Jawa Tengah potensi air
tanah
4. Ananta Skripsi, Kabupaten Gunung Potensi Akuifer di - Mengetahui Statis - Terdapat dua
Purwoarminta, Universitas Kidul Seba-gian Cekungan karak-teristik Dinamis jenis akuifer
2005 Gadjah Mada Wonosari Kabupaten akuifer yakni akuifer
Gunung Kidul - Mengetahui tertekan dan
potensi akuifer semi tertekan
dan keterse- - Potensi air tanah
diaan air tanah sedang dan
se-bagai sumber rendah
air bersih di - Air tanah di
daerah pe- desa Ngipak
nelitian sangat
berlimpah dan
mencukupi.

5. Petrus D.R. Soge, Skripsi, UPN Kecamatan Analisis Potensi - Mengetahui Geolistr - Peta Kontur air
2014 Veteran Ngemplak, Akuifer di Sebagian karakteristik ik tanah
Yogyakarta Kabupaten Sleman Cekungan Air Tanah akuifer Pemetaa - Perbandingan
Yogyakarta - Mengetahui n tingkat
sifat hidraulik Kontur kekritisan air
batuan Air tanah
penyusun Tanah - Potensi akuifer
akuifer
- Mengetahui
tingkat
kekritisan air
tanah
1.2. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1. Maksud Penelitian

1. Mempelajari potensi akuifer di sebagian CAT Yogyakarta.

2. Melatih kemampuan mahasiswa dalam melakukan penelitian berdasarkan

ilmu yang diperoleh selama belajar di Program Studi Teknik Lingkungan

Kebumian Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

3. Memenuhi syarat menempuh ujian akhir untuk mendapatkan gelar

kesarjanaan strata-1 (S1) pada Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas

Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional Veteran

Yogyakarta.

1.2.2. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik akuifer di daerah penelitian.

2. Mengetahui sifat hidraulik dan batuan penyusun akuifer di daerah

penelitian

3. Mengetahui tingkat kekritisan air tanah di daerah penelitian berdasarkan

kondisi karakteristik akuifer.

1.2.3. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai karakteristik akuifer di daerah

penelitian.

2. Memberikan informasi atau gambaran mengenai tingkat kekritisan air

tanah di daerah penelitian.

3. Memberikan informasi mengenai kondisi air tanah di daerah penelitian

4. Dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya


1.3.Peraturan

Uraian singkat makna atau kaitan pasal dengan


No. Judul
penelitian
Peraturan pemerintah ini berisi definisi tentang air tanah, akuifer
dan cekungan air tanah serta batas-batas cekungan air tanah.
Peraturan Pemerintah No. Peraturan pemerintah ini berguna dalam penentuan batas-batas
1
43 Tahun 2008 definitif dari daerah penelitian yakni cekungan air tanah
Yogyakarta.

Undang-undang ini berhubungan dengan penggunaan sumber


daya air dan ppengelolaan ha katas air. Mengingat air tanah
berada di kawasan yang kadang-kadang melampaui batas-batas
Undang-undang No. 7 daerah, maka penggunaan sumber daya air ini harus
2 memperhatikan kepentingan antar daerah dan pengelolaannya
Tahun 2004
harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik.
Untuk itu diperlukan suatu pengelolaan yang dapat mencukupi
kebutuhan air bagi penduduk di tiap daerah sambil tetap
memperhatikan kelestarian air tanah.

Keputusan Presiden No. Keputusan Presiden ini berhubungan dengan penetapan batas -
3 batas cekungan air tanah. Hal ini berguna dalam penentuan batas -
26 Tahun 2011
batas daerah penelitian.

Peraturan Menteri ESDM Peraturan ini berhubungan dengan penghematan penggunaan air
4
No. 15 Tahun 2012 tanah.

Keputusan Menteri Energi


Dan Sumber Daya Kepmen ini berhubungan dengan perizinan pemakaian air tanah
5 dan izin pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas
Mineral Nomor : 3261
provinsi dan Negara.
K/40/MFM/2011

Peraturan Pemerintah Peraturan pemerintah ini berhubungan pengelolaan sumber daya


air. Pemanfaatan sumber daya air terutama berhubungan dalam
6 Republik Indonesia
penelitian ini dengan penggunaan air tanah oleh penduduk di
Nomor 42 Tahun 2008 lokasi penelitian.

Keputusan Presiden
Tahun 26 Tahun 2011
Keputusan Presiden Tahun 26 Tahun 2011 Tentang Penetapan
7. Tentang Penetapan
Cekungan Air Tanah (Lampiran)
Cekungan Air Tanah
(Lampiran)

Tabel 1.2. Peraturan


1.4. Tinjauan Pustaka

1.4.1. Air Tanah

Menurut UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Sumber Daya Air, air tanah adalah

air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Selain

itu, terdapat pula pengertian lain mengenai air tanah. Menurut Bouwer (1978);

Freeze dan Cherry (1979); Kodoatie (1996) air tanah adalah sejumlah air di bawah

permukaan bumi yang dapat dikumpulkan dengan sumur-sumur, terowongan atau

sistem drainase atau dengan pemompaan. Dapat juga disebut aliran yang secara

alami mengalir ke permukaan tanah melalui pancaran atau rembesan. Selain itu,

menurut Soemarto (Kodoatie, 2012), air tanah adalah air yang menempati rongga-

rongga dalam lapisan geologi. Lapisan tanah yang terletak di bawah permukaan

tanah dinamakan daerah jenuh.

1.4.1.1. Pembentukan dan Usia Air Tanah

Keberadaan dan sifat dinamis dari air yang berada di bumi, terkait erat

dengan siklus hidrologi. Hampir semua air tanah dapat dikatakan berasal dari siklus

hidrologi, termasuk air permukaan dan air atmosferik (meteorik) (Toddd & Mays,

2005). Dalam siklus hidrologi air mengalami berbagai tahap yang berlangsung terus-

menerus dalam kurun waktu tertentu. Salah satu proses dalam siklus hidrologi yang

sangat mempengaruhi kuantitas air tanah adalah infiltrasi. Infiltrasi merupakan

proses masuknya air permukaan dan atau air hujan ke dalam tanah. Menurut Asdak

(2007), infiltrasi merupakan aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya

kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal).

Selain adanya gaya gravitasi, terdapat faktor lain yang turut menentukan besaran dan

kecepatan infiltrasi, yakni porositas dan permeabilitas tanah dan atau batuan

(Kusumayudha, 2007). Setelah melalui proses infiltrasi, air kemudian masuk melalui
pori-pori tanah hingga mencapai suatu lapisan yang jenuh air. Bagian atas dari zona

yang jenuh air ini sering disebut dengan muka air tanah (water table), yang sering

diketahui dari ketinggian muka air sumur (Asdak, 2007).

Menurut Todd & Mays (2005), air yang tidak pernah mengalami kontak

dengan atmosfer dalam kurun waktu geologis yang cukup lama, disebut air connate

(connate water). Pada dasarnya, air ini terdiri atas air dari celah-celah fosil yang

telah berpindah dari lokasi asalnya. Air ini dapat berasal dari laut atau sumber-

sumber air tawar dan pada umumnya memiliki kandungan mineral yang sangat

tinggi. Air magmatik (magmatic water) adalah air yang berasal dari magma. Jika

berasal dari lokasi yang dalam, disebut air plutonik (plutonic water) sedangkan jika

berasal dari tempat yang relatif dangkal (3-5 km), maka disebut air volkanik

(volcanic water). Air baru, baik magmatik maupun yang berasal dari luar angkasa

(kosmik) yang tidak pernah menjadi bagian dari hidrosfer, disebut air juvenil

(juvenile water). Akhirnya, air metamorfik (metamorphic water) merupakan air yang

berasal atau terkandung di dalam batuan selama proses metamorfisme.

Sedangkan menurut Kusumayudha (2007), air tanah dibedakan menjadi:

a. Air Soil yaitu air yang membasahi tanah, yang berada di antara pori-pori tanah

yang tidak jenuh.

b. Air Meteorik yaitu air yang berasal dari hujan, masuk ke dalam tanah, kemudian

bergerak ke bawah karena gravitasi.

c. Air magmatis, air ini asal dan keberadaannya berkaitan dengan proses-proses

magmatis. Pada saat magma berada pada fase pembekuan, baik di permukaan

maupun di bawah permukaan, di dalam magma tersebut terjadi proses diferensiasi.

d. Air Jouvenil, merupakan semua jenis air yang berada di lingkungan gunung

berapi.
e. Air Kosmis (Cosmic water), adalah air yang berasal dari luar angkasa. Air

tersebut berada di bumi karena terbawa oleh benda-benda ruang angkasa, seperti

meteorit ketika jatuh ke bumi. Keberadaan air kosmis hanyalah berdasarkan

dugaan saja, karena asal dan genetikanya sulit dijelaskan sebagai fakta ilmiah.

f. Air Connate, air formasi, atau air fosil, adalah jenis air yang pada umumnya

banyak terdapat di lapangan-lapangan minyak bumi. Air ini secara genetik

terbentuk bersamaan dengan pembentukan sedimen yang mengandungnya. Air

connate pada umumnya mempunyai kandungan garam yang sangat tinggi,

bahkan kandungan garamnya melebihi kandungan kadar garam air laut pada

umumnya.

g. Air rejuvenasi: yaitu air formasi yang dipermudakan kembali, yang terlepas dari

batuan yang mengandungnya karena proses metamorfisme atau proses kompaksi.

Apabila air rejuvenasi mengalami ekstraksi dari bawah permukaan, maka ia akan

dapat terlibat kembali di dalam daur hidrologi.

1.4.1.2. Waktu Tinggal Air Bawah Tanah

Waktu tinggal air di bawah permukaan tanah selama ini masih merupakan

suatu topik yang didasarkan atas spekulasi saja. Namun dengan adanya radioisotop

(Todd & Mays, 2005), penentuan usia air tanah dapat dilakukan. Hidrogen-3

(tritium) dan karbon-14 adalah dua jenis isotop yang terbukti sangat berguna. Tritium

yang memiliki waktu paruh 12,33 tahun dan berasal dari lapisan atas atmosfer,

dihasilkan melalui radiasi kosmik dan terbawa ke permukaan bumi melalui hujan.

Selanjutnya pada saat berada di bawah permukaan bumi, secara alamiah tritium

mulai mengalami penguraian dalam fungsi waktu, sebagai berikut:


di mana A adalah nilai radioaktivitas yang dicari, Ao aktivitas awal pada saat air

memasuki akuifer, adalah konstanta pembusukan dan t adalah usia air.

Karbon-14 memiliki waktu paruh 5730 tahun dan juga dihasilkan pada level

yang konstan di atmosfer. Isotop ini terkandung dalam air tanah sebagai bikarbonat

terlarut yang berasal dari lapisan tanah yang memiliki aktivitas makhluk hidup di

mana CO2 dihasilkan dari pernapasan akar dan pembusukan sisa-sisa makhluk

hidup. Tritium dapat dipakai untuk memperkirakan waktu keberadaan air tanah

hingga 50 tahun, sementara karbon-14 mencapai usia dalam kurun waktu beberapa

ratus hingga 50000 tahun.

1.4.1.3. Pengaruh Karakteristik Batuan Terhadap Air Tanah

a. Akuifer

Air tanah terdapat dalam berbagai macam tipe formasi geologi. Namun

yang paling penting adalah yang dikenal dengan sebutan akuifer. Akuifer

didefinisikan sebagai formasi (geologi) yang mengandung material jenuh yang cukup

permeabel untuk dapat menghasilkan air dalam jumlah yang berarti (Todd & Mays,

2005). Secara tidak langsung ini berarti akuifer juga memiliki kemampuan untuk

menyimpan dan meloloskan air. Akuifer sering disebut juga dengan reservoir

(groundwater reservoir) dan formasi pembawa air (waterbearing formation).

Menurut Todd (Setyawan Purnama, Suyono dan Budi Sulaswono, 2007) ada

berbagai formasi geologi yang dapat berfungsi sebagai akuifer. Formasi geologi

tersebut adalah endapan aluvial, batu gamping, batuan vulkanik, batu pasir serta

batuan beku dan batuan metamorf. Sekitar 90% airtanah terdapat pada endapan

aluvial yang merupakan bahan lepas seperti pasir dan kerikil.

Akuifer tersebar di suatu daerah secara dominan dan biasanya dibatasi oleh

lapisan pembatas (confining bed) di atasnya atau di bawahnya. Lapisan pembatas ini
didefinisikan sebagai material-material yang secara relatif kedap air dan terhubung

ke beberapa akuifer dalam lapisan-lapisan. Beberapa tipe lapisan pembatas

(confining bed) yang sering diketemukan adalah:

a. akuiklud (aquiclude) yaitu formasi yang mungkin mengandung air (kadang-

kadang dalam jumlah besar) tetapi tidak dapat mengalirkan air dalam jumlah yang

signifikan di bawah kondisi biasa. Contoh material penyusunnya ialah lempung

(clay).

b. akuifug (aquifuge) yaitu formasi batuan yang tidak dapat menyimpan maupun

meloloskan air. Contoh material penyusunnya adalah Granit.

c. akuitar (aquitard) yaitu lapisan batuan yang sedikit lulus air dan tidak mampu

melepaskan air dalam arah mendatar, tetapi mampu melepaskan air dalam jumlah

yang cukup berarti ke arah vertikal. Contoh material penyusunnya adalah lempung

pasiran (Danaryanto, 2005).

b. Porositas

Bagian-bagian dari batuan yang tidak terisi oleh mineral-mineral padat,

dapat diisi oleh air tanah. Bagian-bagian tersebut biasa dikenal dengan sebutan

Ruang antarbutir (voids), celah (interstices), pori-pori (pores) atau ruang pori (pore

space) (Todd & Mays, 2005). Ruang-ruang tersebut dibedakan berdasarkan ukuran,

bentuk, ketidakteraturan dan distribusinya. Ruang antarbutir yang asli berasal dari

proses-proses geologis yang membentuk formasi geologis dan sering ditemukan pada

batuan sedimen dan batuan beku. Ruang antarbutir sekunder terbentuk setelah batuan

terbentuk. Contoh Ruang antarbutir sekunder ialah kekar, patahan, bukaan akibat

pelarutan dan bukaan-bukaan yang disebabkan oleh tumbuhan dan hewan.

Berdasarkan ukurannya, ruang antarbutir dibedakan atas kapiler,

superkapiler dan subkapiler. Celah kapiler berukuran cukup kecil sehingga gaya-
gaya tekanan permukaan akan menyimpan air di dalamnya. Celah superkapiler

berukuran lebih besar dari celah kapiler sedangkan celah subkapiler berukuran sangat

kecil sehingga air umumnya tersimpan oleh gaya adhesi. Berdasarkan hubungan

antar ruang, ruang antarbutir dibedakan lagi atas saling berhubungan atau terpisah

(Todd & Mays, 2005).

Porositas batuan atau tanah adalah ukuran perbandingan volume ruang

antarbutir dengan volume seluruhnya (Todd & Mays, 2005). Sedangkan menurut

Kodoatie (2012), porositas adalah perbandingan isi ruang antar butiran (voids) dibagi

total isi suatu material tanah. Porositas efektif merupakan perbandingan antara

jumlah ruang antarbutir yang saling berhubungan dengan total volume batuan atau

tanah. Porositas efektif sering disebut juga dengan spesific yield (Kodoatie, 2012)

c. Klasifikasi Tanah

Material-material geologis yang bersifat lepas seperti tanah, pada umumnya

diklasifikasikan menurut ukuran butir dan penyebarannya. Ada beberapa klasifikasi

tanah yang sering digunakan antara lain:

1. Klasifikasi Tanah berdasarkan ukuran partikel menurut Morris dan Johnson (Todd

& Mays, 2005) hal. 41

2. Klasifikasi tanah berdasarkan diameter butiran menurut Julien (1995) (Kodoatie,

2012) hal 113

Tekstur tanah didefinisikan berdasarkan hubungan antara pasir, lanau, dan

lempung yang hadir dalam analisis ukuran butir (Todd & Mays, 2005). Hal ini dapat

dilihat pada segitiga tekstur tanah berikut. Hal 42. Todd & Mays

1.4.1.4. Distribusi Vertikal Air Tanah

Air di bawah permukaan bumi terbagi ke dalam dua zona, yakni zona aerasi

(zones of aeration) dan zona saturasi (zones of saturation). Zona aerasi terdiri atas
ruang-ruang antarbutir yang sebagiannya terisi oleh air dan sebagiannya lagi oleh

udara. Sedangkan zona saturasi atau sering disebut zona jenuh air merupakan zona di

mana semua ruang antarbutirnya terisi oleh air di bawah tekanan hidrostatik (Todd &

Mays, 2005).

Zona aerasi terletak di atas zona saturasi hingga permukaan tanah. Pada zona

aerasi terdapat pula air vados (vadose water). Zona ini dapat dibagi lagi ke dalam

beberapa subbagian antara lain zona air tanah (soil water zone), zona peralihan

(intermediate vadose zone) dan zona kapiler (capillary zone). Menurut

Kusumayudha (2007), Zona aerasi atau zona tak jenuh (unsaturated zone / zones of

aeration) yaitu zona di bawah permukaan, yang hanya sebagian ruang pori-porinya

terisi air, sedangkan sebagian lainnya beiri udara. Zona ini masih dapat dibagi lagi

menjadi soil zone dan intermediate zone. Di dalam zona ini, air pada umumnya

secara leluasa dapat bergerak ke arah vertikal di bawah kendali gaya gravitasi

Zona saturasi dimulai dari permukaan daerah jenuh air hingga ke batuan

kedap air di bawahnya. Jika di atasnya tidak terdapat lapisan kedap air sebagai

pembatasnya, maka muka air tanah atau permukaan freatik (phreatic surface)

menjadi batas atas dari zona ini. Permukaan tersebut dapat didefinisikan sebagai

lokasi di mana terjadi tekanan atmosfer dan dapat ditentukan dengan permukaan air

pada sumur (Todd & Mays, 2005). Sedangkan menurut Kusumayudha (2007), zona

saturasi atau zona jenuh (saturated zone / zones of saturation) yaitu zona yang

seluruh pori-pori dan rongga-rongganya sepenuhnya terisi oleh air. Zona ini berada

di bawah zona tak jenuh. Di dalam zona ini, air tanah mulai bergerak secara lateral di

bawah kendali gradien hidrolika. Proses perkolasi, terjadi pada zona ini.

(GAMBAR hal.46 Groundwater Hydrology)


1. Zona Aerasi (Zones of Aeration)

a. Zona Air Tanah (Soil Water Zone)

Zona air tanah mencakup secara vertikal dari permukaan tanah hingga ke

daerah perakaran. Ketebalannya bervariasi, tergantung pada jenis tanah dan vegetasi

di atas permukaan tanah. Air pada zona ini sebagian besar digunakan untuk

pertanian. Daerah ini juga merupakan sumber air untuk tanaman. Jumlah air pada

zona ini bergantung pada tingkat kelembaban tanahnya (Todd & Mays, 2005). Air

pada zona ini akan hilang karena proses-proses transpirasi tanaman, evaporasi dan

perkolasi.

Menurut Driscoll (1987), pada zona ini keterdapatan air lebih disebabkan

karena adanya gerakan antar molekul-molekul, daya kapilaritas yang melawan gaya

gravitasi. Gerakan molekul cenderung mengisi air tanah pada lapisan permukaan

darimasing-masing partikel tanah. Daya kapilaritas mengisi air pada ruang-ruang

kecil di antara partikel-partikel tanah. Ketika kapasitas air tanah sudah penuh, maka

air mulai mengalami perkolasi karena adanya gaya gravitasi (Kodoatie, 2012).

b. Zona Tengah (Intermediate Vadose Zone)

Zona tengah ini membentang dari tepi bawah zona air tanah (soil water zone)

hingga ke batas atas zona kapiler (capillary zone). Ketebalan zona ini bervariasi

mulai dari nol, di mana zona pembatasnya bersatu dengan muka air tanah yang

mencapai permukaan tanah, hingga lebih dari 100 meter pada kondisi di mana muka

air tanahnya sangat dalam. Zona ini berfungsi terutama sebagai daerah penghubung

antara daerah dekat permukaan tanah dengan daerah dekat muka air tanah di mana

aliran air secara vertikal harus melaluinya (Todd & Mays, 2005)..

Menurut Kodoatie (2012), meskipun sebagian besar air pada zona ini

bergerak ke bawah, namun sebagian ada yang tertahan tetapi tidak dapat diambil.
Pada daerah lembab (basah), zona ini sangat sedikit atau bahkan tidak ada.

Kemungkinan kecil air mengalir semuanya melalui zona tengah pada daerah kering

dan sebagian kecil air mencapai muka air tanah karena perkolasi aliran dari air tanah

(soil water).

c. Zona Kapiler (Capillary Zone)

Zona kapiler membentang dari muka air tanah ke atas hingga batas kenaikan

air secara kapiler (Todd & Mays, 2005). Besarnya pipa kapiler tergantung dari rata-

rata ukuran butir material dari zona ini (Driscoll, 1987). Menurut Asdak (2007), zona

kapiler yaitu suatu zona di dalam tanah ketika air yang berasal dari zona jenuh,

ditarik oleh gaya kapiler ke dalam zona aerasi. Sedangkan menurut Kusumayudha,

pada zona kapiler molekul-molekul air yang berada pada bidang permukaan air tanah

dapat melakukan gerakan-gerakan ke atas melalui ruang-ruang pipa kapiler di antara

butir-butir batuan yang diameternya kurang dari 1 mm. Ketebalan zona kapiler

bervariasi dan berbanding terbalik dengan ukuran pori-pori tanah atau batuan.

2. Zona Saturasi (Zone of Saturation)

a. Spesific Retention (SR)

Spesific retention dari batuan atau tanah merupakan perbandingan volume air

yang akan ditampung tanah atau batuan tersebut setelah jenuh air terhadap gaya

gravitasi volumnya sendiri (Todd & Mays, 2005). Pengertian lainnya menurut

Karanth (1987), spesific retention merupakan kapasitas jenuh batuan untuk menahan

air setelah drainase, di mana volume air tertahan merupakan persentase dari total

volume batuan. Jumlah air yang akan dibuang dari batuan tergantung pada durasi

drainase, temperatur, kandungan kimia dan sifat fisik batuan (Kodoatie, 2012).
b. Spesific Yield (Sy)

Spesific yield dari tanah atau batuan adalah perbandingan volume air yang,

setelah jenuh, dapat dikeluarkan secara gravitasi dari volume tanah atau batuan itu

sendiri (Todd & Mays, 2005). Nilai spesific yield bergantung pada ukuran butir,

bentuk dan penyebaran pori-pori, kepadatan lapisan dan waktu drainase. Spesific

yield dapat diukur dengan berbagai metode termasuk laboratorium, lapangan dan

perkiraan. Pengukuran yang paling dapat diandalkan ialah metode yang berdasarkan

tes pemompaan.

1.4.2. Akuifer

Akuifer dapat dikelompokkan berdasarkan keterdapatan atau kondisi muka

air tanahnya (water table). Todd & Mays (2005) mengelompokkan akuifer menjadi 4

yaitu akuifer bebas (unconfined aquifer), akuifer tertekan (confined aquifer), akuifer

semitertekan/bocor (leaky aquifer) dan akuifer ideal (idealize aquifer). Sedangkan

menurut Kodoatie (2012), berdasarkan sistem terbentuk dan lokasinya, akuifer bebas

dapat dibagi lagi atas 3 jenis yaitu akuifer lembah (valley aquifer), akuifer bertengger

(perched aquifer) dan akuifer aluvial (alluvial aquifer).


1.4.2.1. Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer)

Akuifer bebas merupakan akuifer yang jenuh air (saturated). Lapisan

pembatasnya, yang merupakan akuitar, hanya pada bagian bawahnya dan tidak ada

pembatas akuitar di lapisan atasnya. Batas lapisan atas berupa muka air tanah.

Dengan kata lain, merupakan akuifer yang mempunyai muka air tanah (Kodoatie,

1996). Muka air tanah pada akuifer tidak tertekan bersifat bebas untuk naik turun

tergantung pada musim. Air tanah yang terdapat pada akuifer ini disebut sebagai air

tanah bebas. Menurut Kashef (1986), akuifer bebas terjadi ketika muka air tanah

bertemu pada bagian yang rendah, air akan mengalir ke samping, kolam, rawa, danau

pinggir laut dan rembesan air di atas mata air. Pada akuifer bebas, air tanah muncul

di bawah dan di atas muka air laut (Kodoatie, 2012).

Akuifer bebas terbagi lagi atas beberapa akuifer berdasarkan sistem terbentuk

dan lokasinya, yakni:

a. Akuifer lembah (valley aquifer), yakni akuifer yang terdapat pada suatu

lembah dengan sungai sebagai batasnya (inlet atau outletnya). Jenis-jenis

akuifer ini dapat dibedakan berdasakan lokasinya yaitu di daerah yang

banyak curah hujannya (humid zone) dan daerah dengan curah hujan sedikit

(arid zone).

b. Akuifer bertengger (Perched Aquifer), yakni akuifer yang biasanya terletak

bebas di suatu struktur tanah dan tidak berhubungan dengan sungai, serta

terletak di atas suatu lapisan formasi geologi kedap air (Kodoatie, 2012).

Akuifer ini, menurut Fetter (1994) merupakan akuifer di mana aliran air

lateral di atas lapisan permeabel sampai pada tepi muka air atau terbentuk

mata air. Akuifer ini terletak di atas lapisan tanah jenuh air. Biasanya akuifer
ini tidak begitu luas, suplai airnya hanya cukup untuk keperluan rumah

tangga (Todd & Mays, 2005).

c. Alluvial Aquifer, yakni akuifer yang terbentuk sebagai hasil pemampatan

sedimen di daerah gunung api. Kapasitas air di akuifer ini menjadi besar dan

umumnya volume air tanah seimbang dengan yang ada di sungai. Pengisian

akuifer ini umumnya terjadi di daerah hulu karena muka air tanahnya yang

relatif lebih tinggi dari dasar sungai. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran

dasar (baseflow) yang terjadi sepanjang tahun. Menurut Kodoatie (2012),

ditinjau dari kuantitas kandungan air yang dimilikinya, maka akuifer ini

merupakan akuifer yang paling baik jika dibandingkan dengan akuifer jenis

lain.

1.4.2.2. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer)

Akuifer tertekan terjadi ketika air tanah ditekan oleh tekanan yang lebih besar

dari tekanan atmosfir oleh suatu lapisan impermeabel di atasnya (Todd & Mays,

2005). Menurut Kodoatie (1996), akuifer tertekan merupakan akuifer jenuh air yang

dibatasi oleh akuiklud pada lapisan atas dan bawahnya dan tekanan airnya lebih

besar daripada tekanan atmosfir. Pada lapisan pembatasnya tidak ada air yang

mengalir.

Akuifer tertekan terisi penuh oleh air tanah dan tidak mempunyai muka air

tanah yang bersifat bebas, sehingga pengeboran yang menembus akuifer ini akan

menyebabkan naiknya muka air tanah di dalam sumur bor yang melebihi kedudukan

semula (Kodoatie, 2012).

1.4.2.3. Akuifer Semi-tertekan / Bocor (Leaky aquifer)

Merupakan akuifer jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas berupa akuitar

dan lapisan bawahnya berupa akuiklud. Pada lapisan pembatas di bagian atasnya,
karena bersifat akuitar, maka masih ada air yang mengalir ke akuifer tersebut

walaupun konduktivitas hidrauliknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan

konduktivitas hidraulik akuifernya. Tekanan air pada akuifernya lebih besar daripada

tekanan atmosfir (Kodoatie, 1996). Air yang keluar dari sumur pada akuifer ini

mengalir dalam dua arah yakni aliran horizontal di dalam akuifernya dan vertikal,

melalui lapisan akuitar menuju ke atas akuifer (Todd & Mays, 2005).

(GAMBAR)

1.4.3. Potensi Akuifer

Potensi akuifer merupakan kemampuan akuifer untuk menyimpan dan

meloloskan air (Purwoarminta, 2005). Penyelidikan potensi akuifer dapat dilakukan

melalui pemetaan kontur air tanah untuk mengetahui aliran air tanah, tes pemompaan

(pumping test) untuk mengetahui permeabilitas air tanah dan pengukuran geolistrik

resistivitas (tahanan jenis) untuk mengetahui ketebalan lapisan batuan. Selain itu,

penyelidikan potensi akuifer secara spesifik bertujuan untuk mengetahui sifat-sifat

batuan penyusun akuifer, luas akuifer (ketebalan dan kedalamannya), ketersediaan

air tanah pada akuifer yang diselidiki.

Menurut Todd dan Mays (2005), penyelidikan air tanah di permukaan tanah

dapat dilakukan dengan beberapa metode yakni metode geologi (geologic methods),

penginderaan jauh (remote sensing), eksplorasi geofisika (geophysical exploration).

metode resistivitas elektrik (electrical resistivity method), metode pantulan seismik

(seismic refraction method) dan metode gravitasi dan magnetis (gravity and

magnetic methods).

1.4.3.1. Metode Geologi (Geologic Methods)

Metode ini diawali dengan pengumpulan, analisis dan interpretasi

hidrogeologi terhadap peta topografi yang ada, foto-foto udara, peta dan bahan-bahan
geologi yang berhubungan. Semua ini biasanya dilengkapi juga dengan penelitian di

lapangan, evaluasi terhadap data hidrologis dari aliran permukaan dan mata air,

jumlah air yang bisa dihasilkan dari sumur, pengisian air tanah air tanah, pelepasan

air tanah, elevasi muka air tanah dan kualitas air tanah. Metode ini merupakan

langkah awal yang sangat membantu dalam metode penyelidikan air bawah

permukaan lainnya karena tidak memerlukan peralatan yang mahal. Selain itu,

informasi mengenai struktur dan komposisi geologis merupakan hal yang penting

bagi metode-metode penyelidikan lainnya (Todd & Mays, 2005).

1.4.3.2. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

Penginderaan jauh merupakan metode yang bekerja dengan cara

mengumpulkan data tentang objek, permukaan atau material tanpa kontak langsung

dan tanpa jarak pemisah antara pengobservasi dan alam. Pencitraan yang diperoleh

melalui pesawat atau satelit dalam panjang gelombang elektromagnetis tertentu,

dapat menghasilkan informasi yang sangat berguna berkenaan dengan kondisi-

kondisi air tanah. Gelombang elektromagnetik yang digunakan ialah infra merah.

Infra merah dapat memberikan informasi mengenai suhu, kandungan tanah, sirkulasi

air tanah hingga patahan yang mengarah pada penemuan akuifer (Todd & Mays,

2005).

1.4.3.3. Eksplorasi Geofisika (Geophysical Exploration)

Eksplorasi geofisika merupakan pengukuran ilmiah terhadap kerak bumi

untuk meneliti keberadaan mineral-mineral atau struktur geologi (Todd & Mays,

2005). Metode-metode geofisika bekerja dengan cara mendeteksi perbedaan-

perbedaan, atau keganjilan-keganjilan yang terjadi pada sifat-sifat fisik kulit bumi.

Densitas, sifat magnetis, elastisitas dan resistivitas merupakan sifat yang paling

sering diukur. Data-data tersebut kemudian diinterpretasikan lebih lanjut menjadi


data struktur geologis, tipe batuan dan porositas, kandungan yang terdapat dalam air

dan kualitas air.

1.4.4.4. Metode Resistivitas Elektrik (Electrical Resistivity Method)

Metode ini meliputi pengukuran permukaan material bumi untuk

mengendalikan aliran yang ada dengan konduksi ionik (Kodoatie, 2012). Formasi

batuan yang ada di bawah permukaan bumi memiliki resistivitas tertentu jika dialiri

arus listrik dengan tegangan yang berbeda-beda. Menurut Todd dan Mays (2005),

jika suatu material dengan tahanan R memiliki penampang melintang A dan panjang

L, maka resistivitasnya dapat dirumuskan sebagai:

Satuan resistivitas adalah ohm-m2/m, atau ohm-m.

Nilai resistivitas dari setiap formasi batuan bervariasi pada jarak tertentu

bergantung pada material, kepadatan, porositas, ukuran dan bentuk butir, kandungan

dan kualitas air tanah dan suhutidak ada nilai yang tepat untuk resistivitas setiap

batuan. Sebagai contoh batuan beku dan metamorf memiliki nilai resistivitas yang

berkisar pada 102-108 ohm-m. pada formasi-formasi batuan yang bersifat porous

(menyerap air), nilai resistivitasnya lebih banyak dipengaruhi oleh kandungan dan

kualitas air tanahnya dibandingkan resistivitas batuannya. Pada akuifer-akuifer yang

terdiri atas material yang tidak padat (unconsolidated), nilai resistivitasnya menurun

seiring dengan tingkat kejenuhan dan salinitas air tanahnya. berikut dipaparkan tabel

nilai resistivitas dari masing-masing formasi batuan:

(GAMBAR)

Resistivitas aktual (actual resistivity) ditentukan dari resistivitas semu

(apparent resistivity) yang diperoleh dari hasil komputasi pengukuran beda arus dan
potensial antara tiap elektroda yang diletakkan di permukaan tanah. Prinsip kerja

metode geolistrik meliputi pengukuran beda potensial antara dua pasang elektroda

yang dipasang sejajar dalam jarak tertentu yakni elektroda potensial dan elektroda

arus. Elektroda potensial terletak di bagian tengah diapit oleh elektroda arus. Jika

resistivitas di bawah permukaan seragam, maka akan terbentuk jaringan ortogonal

berupa pancaran-pancaran melingkar yang berasal dari arus dan garis ekuipotensial.

Beda potensial yang terukur adalah nilai tahanan dari daerah di bawah permukaan

yang dikontrol oleh jaringan yang terbentuk. Dengan demikian, arus dan beda

potensial yang terukur menampilkan nilai resistivitas semu (apparent resistivity) dari

suatu kedalaman tertentu. Jika jarak antara elektroda-elektroda tersebut diperpanjang,

maka akan terjadi penetrasi arus yang lebih dalam sehingga diperoleh nilai

resistivitas semu yang berbeda lagi.

Pada umumnya, nilai resistivitas aktual bergantung pada kedalaman; oleh

karena itu, resistivitas semu akan berubah ketika jarak elektroda diubah, namun tidak

dengan cara yang sama. Karena perubahan resistivitas pada daerah yang sangat

dalam hanya sedikit berpengaruh terhadap perubahan nilai resistivitas semu

dibandingkan dengan daerah yang dangkal, metode ini kurang efektif untuk

menentukan resistivitas aktual di bawah beberapa ratus meter.

Menurut Asra (2012), umumnya lapisan batuan tidak mempunyai sifat

homogen sempurna, seperti yang dipersyaratkan pada pengukuran geolistrik. Posisi

lapisan batuan yang terletak dekat dengan permukaan tanah akan sangat berpengaruh

terhadap hasil pengukuran tegangan dan ini akan membuat data geolistrik menjadi

menyimpang dari nilai sebenarnya. Hal yang dapat mempengaruhi homogenitas

lapisan batuan adalah fragmen batuan lain yang menyisip pada lapisan, faktor

ketidakseragaman dari pelapukan batuan induk, material yang terkandung pada jalan,
genangan air setempat, perpisahan dari bahan logam yang dapat menghantar arus

listrik, pagar kawat yang terhubung ke tanah dan sebagainya.

Dalam praktiknya, terdapat beberapa konfigurasi jarak elektroda; yang

paling sering digunakan ialah konfigurasi Wenner dan Schlumberger.

a. Konfigurasi Wenner

Konfigurasi Wenner memiliki elektroda potensial yang diatur dengan

jarak 1/3 dari elektroda arus (Todd & Mays, 2005). Menurut Damtoro (2007), jarak

elektroda potensial pada konfigurasi Wenner selalu sepertiga dari jarak elektroda

arus. Bila jarak elektroda arus diperbesar, maka jarak elektroda potensial juga harus

diubah sehingga jarak elektroda potensial tetap sepertiga jarak AB (Asra, 2012).

Rumus resistivitas semu (apparent resistivity) untu konfigurasi Wenner adalah

Di mana a adalah jarak antara elektrodaaa-elektroda yang berdekatan, V adalah

perbedaan tegangan antara elektroda potensial dan I adalah besar arus yang dialirkan

(Todd & Mays, 2005).

Keunggulan dari konfigurasi Wenner ini adalah ketelitian pembacaan

tegangan pada elektroda potensial yang relatif dekat dengan elektroda arus.

Sedangkan kelemahannya adalah tidak dapat mendeteksi homogenitas batuan di

dekat permukaan yang dapat berpengaruh terhadap hasil perhitungan (Asra, 2012).

(GAMBAR)

b. Konfigurasi Schlumberger

Pada Konfigurasi Schlumberger, elektroda potensial dipasang secara

berdekatan. Rumus untuk perhitungan resistivitas semu (apparent resistivity) dengan

konfigurasi ini yaitu:


(gambar)

di mana L dan b adalah jarak antara elektroda arus dan elektroda potensial. Secara

teori L b, namun untuk aplikasi praktis, hasil yang terbaik sering diperoleh jika L

5b (Todd & Mays, 2005).

1.4.4.5 Metode Pantulan Seismik (Seismic Refraction Method)

Metode ini dilakukan dengan cara memberikan tumbukan alat berat atau

ledakan kecil, kemudian diukur waktu yang dibutuhkan sampai terdengar suara, atau

besarnya cepat rambat gelombang yang dihasilkan. Metode ini menginformasikan

struktur geologi hingga ribuan meter di bawah permukaan. Waktu tempuh

gelombang seismik bergantung pada media yang dilalui gelombang tersebut. Cepat

rembat gelombang terbesar tercapai pada saat melalui batuan beku, sedangkan cepat

rambat gelombang terendah terjadi saat melalui material lepas (unconsolidated

materials) (Todd & Mays, 2005).

1.4.4.6. Metode Gravitasi dan Magnetik (Gravity and Magnetic Methods)

Metode gravitasi dilakukan dengan cara mengukur perbedaan kepadatan di

permukaan bumi yang mengindikasikan adanya struktur geologi tertentu. Metode ini

jarang dipakai dalam penelitian terhadap air bawah tanah karena mahal dan juga

karena perbedaan kandungan air di bawah permukaan jarang mencakup perbedaan

berat jenis yang dapat diukur di permukaan (Todd & Mays, 2005).

Metode magnetik merupakan metode yang dapat memetakan medan-medan

magnetik yang ada di bumi. Metode ini berguna dalam pengukuran-pengukuran yang

tidak berhubungan langsung dengan studi air tanah, seperti penentuan dike sebagai

pembatas akuifer.
1.4.4. Cekungan Air Tanah (Groundwater Basin)

Cekungan air tanah adalah unit hidrogeologis yang terdiri atas satu atau

beberapa akuifer besar yang tergabung dan saling berhubungan (Todd & Mays,

2005). Sedangkan menurut Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Air Tanah, cekungan air tanah adalah

suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian

hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah

berlangsung. Kriteria cekungan air tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43

Tahun 2008 adalah:

a. Mempunyai batas hidrogeologis yang dikontrol oleh kondisi geologis

dan/atau kondisi hidraulik air tanah. Batas hidrogeologis adalah batas

fisik wilayah pengelolaan air tanah. Batas hidrogeologis dapat berupa

batas antara batuan lulus dan tidak lulus air, batas pemisah air tanah dan

batas yang terbentuk oleh struktur geologi yang meliputi antara lain,

kemiringan lapisan batuan, patahan dan lipatan.

b. Mempunyai daerah imbuhan dan daerah lepasan air tanah dalam suatu

sistem pembentukan air tanah. Daerah imbuhan air tanah merupakan

kawasan lindung air tanah, di daerah tersebut air tanah tidak untuk

didayagunakan, sedangkan daerah lepasan air tanah secara umum dapat

didayagunakan, dapat dinyatakan sebagai kawasan budi daya air tanah.

c. Memiliki satu kesatuan sistem akuifer: yaitu kesatuan susunan akuifer,

termasuk lapisan batuan kedap air yang berada di dalamnya. Akuifer

dapat berada pada kondisi tidak tertekan atau bebas (unconfined) dan/atau

tertekan (confined).
1.4.5. Batas Cekungan Air Tanah

Seperti disebutkan dalam peraturan pemerintah, maka batas-batas

hidrogeologis cekungan air tanah yakni berupa batas dua batuan, yaitu batuan lolos

air (permeable) dan tidak lolos air (impermeable), batas pemisah air tanah dan batas

yang terbentuk karena struktur geologi, antara lain kemiringan lapisan batuan, lipatan

dan patahan.

Cekungan air tanah juga dibatasi oleh satu atau lebih batas daerah alirannya.

Menurut Toth (1990) dan Kupper (1990) kondisi batas dan kondisi awal cekungan

air tanah dapat dijelaskan dalam beberapa kondisi (Kodoatie, 2012).

1. Batas Ketinggian yang Diketahui (Prescribed Head Boundary)

Batas ini merupakan batas ketinggian (H) yang konstan, misalnya muka air

laut, muka air danau dan muka air sungai. Batas ini disesuaikan dengan datum yang

ada.

2. Batas Aliran yang Diketahui (Prescribed Flux Boundary)

Pada batas ini, besarnya aliran sudah diketahui. Aliran ini secara konstan

memberikan distribusi debit yang tetap namun bila tidak ada aliran dan h = konstan

maka disebut batas ketinggian konstan (constant head boundary).

3. Batas Muka Air

Batas ini merupakan batas muka air yang diketahui. Secara aplikatif batas ini

berarti aliran air akan berbias melalui batas yang konstruktif (muka air yang

diketahui) namun besarnya debit akan selalu konstan.

4. Batas Kedap Air

Merupakan suatu daerah yang kedap air (impermeable) sehingga aliran air

tidak dapat melewatinya. Sering disebut juga batas tanpa aliran (no flow boundary).
Selain itu, menurut Boonstra dan de Ridder (1981), batas cekungan air tanah

dibedakan atas 4 (Kodoatie, 2012) yakni:

1. Batas Tanpa Aliran

Batas tanpa aliran merupakan batas cekungan air tanah, dengan kondisi

hidraulik pada batas tersebut menunjukkan tidak terjadi aliran air tanah atau

alirannya tidak beraarti jika dibandingkan dengan aliran pada akuifer utama (zero-

flow boundaries/ non-flow boundaries/barier boundaries).

Menurut Danaryanto dkk. (2005), batas tanpa aliran ini dibedakan menjai tiga

tipe sebagai berikut (Kodoatie, 2012):

a. batas tanpa aliran eksternal (external zero-flow boundary), yaitu batas yang

merupakan kontak atau persinggungan antara akuifer dan bukan akuifer (akuiklud

atau akuifug) pada arah lateral atau mendatar.

b. batas tanpa aliran internal (internal zero flow boundary), yaitu batas yang

merupakan kontak antara akuifer dan bukan akuifer pada arah vertikal atau tegak.

Batas tersebut merupakan batas vertikal bagian bawah cekungan air tanah.

c. batas pemisah air tanah (groundwater divide), yaitu batas pada arah lateral yang

memisahkan dua aliran air tanah dengan arah berlawanan.

2. Batas Muka Air Permukaan (head controlled boundaries)

Batas muka air permukaan merupakan batas cekungan air tanah di mana pada

bagian atasnya dapat diketahui tekanan hidrauliknya. Batas tersebut dapat bersifat

tetap atau berubah terhadap waktu. Batas muka air permukaan dapat dibedakan

menjadi dua tipe:

a. batas muka air permukaan eksternal (external head controlled boundary), yaitu

batas muka air permukaan yang bersifat tetap misalnya muka air laut dan muka air

danau. Batas tersebut ditetapkan sebagai batas lateral cekungan air tanah jika
akuifer utama pada cekungan itu bersifat tak tertekan. Jika akuifer utama

merupakan akuifer tertekan, batas cekungan itu dapat beada di daerah lepas pantai.

b. batas muka air permukaan internal (internal head controlled boundary), yaitu

batas muka air permukaan yang berubah terhadap waktu, misalnya sungai dan

kanal, yang ditetapkan sebagai batas cekungan air tanah pada arah vertikal.

3. Batas Aliran Air Tanah

Batas aliran air tanah (flow controlled boundaries) atau batas imbuhan air

tanah (recharge boundary) merupakan batas cekungan air tanah di mana pada batas

tersebut volume air tanah per satuan waktu yang masuk ke dalam cekungan tersebut

berasal dari lapisan batuan yang tidak diketahui tekanan hidraulik atau keterusannya.

Berdasarkan arah alirannya, batas aliran air tanah dibedakan menjadi dua tipe

sebagai berikut:

a. batas aliran air tanah masuk (inflow boundary), yaitu batas cekungan air tanah

dengan arah aliran menuju ke dalam cekungan tersebut.

b. batas aliran air tanah ke luar (outflow boundary), yaitu batas cekungan air tanah

dengan arah aliran menuju ke luar cekungan tersebut.

Kedua batas aliran air tanah ini ditetapkan sebagai cekungan air tanah pada arah

lateral.

4. Batas Muka Air Tanah Bebas (Free Surface Boundary)

Batas muka air tanah bebas, merupakan batas cekungan air tanah di mana

pada batas tersebut diketahui tekanan hidrauliknya yakni sebesar tekanan udara luar.

Muka air tanah bebas, atau muka freatik, merupakan batas vertikal bagian atas

cekungan air tanah.


1.4.6. Cekungan Air Tanah Yogyakarta

Menurut Mc.Donalds (1984), cekungan air tanah Yogyakarta di lereng

selatan gunung Merapi dibatasi oleh dua sungai utama yaitu Kali Opak di bagian

timur dan Kali Progo di bagian barat. Di bagian selatan cekungan ini dibatasi oleh

pantai laut selatan. Perbukitan yang membatasi CAT Yogyakarta secara morfologis

adalah merupakan rangkaian perbukitan Kulon Progo dan rangkaian perbukitan

Baturagung. Secara geologis cekungan Yogyakarta dibatasi oleh dua sesar utama,

yaitu sesar sepanjang Kali Opak di timur dan sesar turun berpasangan yang

membentuk graben Bantul dan graben Yogyakarta.


BAB II

RUANG LINGKUP PENELITIAN

2.1. Lingkup Kegiatan Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu analisis mengenai potensi akuifer dalam

hubungannya dengan tingkat kekritisan air tanah di sebagian cekungan air tanah

Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis mengenai potensi akuifer pada dasarnya

merupakan analisis kuantitatif terhadap air tanah. Air tanah yang terdapat pada suatu

cekungan air tanah dengan komposisi akuifer tertentu merupakan sumber daya yang

sangat berharga dalam menunjang kelangsungan aktivitas makhluk hidup di suatu

daerah. Dengan demikian jenis penelitian ini merupakan analisis terhadap hubungan

antara ketersediaan air tanah yang terdapat dalam komposisi akuifer tertentu dengan

tingkat kebutuhan makhluk hidup di atasnya.

Komponen lingkungan yang termasuk dalam penelitian ini meliputi

komponen-komponen yang berpengaruh terhadap potensi akuifer dan tingkat

ketersediaan air tanah. Untuk penelitian mengenai potensi akuifer, komponen

lingkungan yang dilibatkan ialah komponen geofisik berupa kondisi litologi, curah

hujan dan bentuklahan daerah penelitian. Kondisi litologi diperlukan untuk

mengetahui karakteristik batuan penyusun akuifer, ketebalan akuifer, nilai

permeabilitas, kedudukan dan kualitas air tanah. Sedangkan curah hujan dan

bentuklahan diperlukan dalam analisis mengenai nilai konduktivitas hidrolik,

transmisivitas, daya tampung dan debit akuifer serta penentuan batas-batas cekungan

air tanah di daerah penelitian. Komponen lainnya yang juga dilibatkan dalam

penelitian ini meliputi komponen lingkungan sosial budaya yang berhubungan


dengan tingkat kebutuhan air pada masyarakat di daerah penelitian yang kemudian

berhubungan dengan analisis mengenai tingkat kekritisan air tanah.

2.2. Kerangka Alur Pikir Penelitian

Latar Belakang
Perumusan Masalah Cekungan air tanah merupakan penyedia air tanah
1. Bagaimana karakteristik akuifer di daerah penelitian? bagi pemenuhan kebutuhan makhluk hidup akan air
2. Bagaimana potensi akuifer di daerah penelitian? bersih. Peningkatan jumlah penduduk dapat
3. Bagaimana tingkat kekritisan air tanah di daerah berpotensi menurunkan debit maupun kualitas air
penelitian? tanah. Faktor yang berperan dalam menjaga kuantitas
maupun kualitas air tanah yaitu kondisi akuifer pada
suatu cekungan air tanah.

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik akuifer di daerah
penelitian Kegunaan Penelitian
2. Mengetahui potensi akuifer dan ketersediaan air 1. Memberikan informasi mengenai karakteristik dan
tanah sebagai sumber air bersih di daerah potensi akuifer di daerah penelitian.
penelitian 2. Memberikan informasi atau gambaran mengenai
3. Mengetahui tingkat kekritisan air tanah di tingkat kekritisan air tanah
daerah penelitian 3. Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian-
penelitian selanjutnya.

Kajian Teori
Metode Penelitian 1. Pengertian mengenai cekungan air tanah, air tanah
1. Geolistrik metode Schlumberger. dan hal-hal yang berkaitan dengan air tanah dan
2. Survey dan wawancara akuifer dalam undang-undang, keputusan menteri
3. Pemetaan kontur air tanah dan peraturan pemerintah.
2. Penelitian terdahulu mengenai potensi akuifer di
beberapa daerah cekungan air tanah di Pulau Jawa.
3. Metode-metode yang dipakai dalam pengujian
akuifer dan penelitian air tanah

Hasil Penelitian
1. Peta karakteristik akuifer
2. Peta kontur air tanah
3. Peta tingkat kekritisan air tanah

Gambar 2.1. Kerangka Alur Pikir Penelitian


2.3. Lingkup Daerah Penelitian

2.3.1. Lokasi Daerah Penelitian

Secara administratif, lokasi penelitian berada di kecamatan Ngemplak, Desa

Widodomartani, Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi

penelitian terletak 15 km ke arah utara Yogyakarta dan dapat ditempuh kurang lebih

dalam waktu 15-30 menit dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Batas administrasi Desa Widodomartani ialah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Pakem dan Kecamatan Cangkringan

Sebelah Timur : Desa Bimomartani

Sebelah Selatan : Kecamatan Kalasan

Sebelah Barat : Desa Umbulmartani dan Kecamatan Ngaglik

2.3.2. Batas Daerah Penelitian

Mengingat cekungan air tanah Yogyakarta tersebar di sepanjang lereng

selatan gunung Merapi hingga ke pantai selatan, maka batas permasalahan penelitian

dilakukan dengan mengacu pada batas-batas administratif daerah penelitian yang

direncanakan. Diharapkan penelitian pada daerah penelitian ini dapat memberikan

sedikit gambaran mengenai kondisi akuifer di cekungan air tanah Yogyakarta dan

tingkat kekritisan air tanah di daerah penelitian. Lingkup daerah penelitian dilakukan

denngan mempertimbangkan batas-batas sebagai berikut:

a. batas kegiatan

Batas kegiatan penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi

geomorfologi dan kepadatan penduduk di daerah penelitian.

b. batas ekologis

Batas ekologis pada penelitian ini berhubungan dengan tingkat kekritisan air

tanah akibat eksploitasi untuk kebutuhan makhluk hidup di atasnya. Maka batasan
ekologis penelitian ini berhubungan dengan jumlah dan tingkat kebutuhan air tanah

bagi keperluan sehari-hari makhluk hidup di daerah penelitian.

c. batas administrasi

Batas administrasi pada penelitian ini berhubungan dengan batas-batas

administrasi wilayah pemerintahan kecamatan dan kelurahan. Lokasi penelitian

terletak di Kelurahan Widodomartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman,

provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

2.4. Rona Lingkungan Hidup

Rona lingkungan hidup meliputi komponen aspek geofisik-kimia, biotis,

sosial (demografi), ekonomi, budaya, kesehatan masyarakat, dan penggunaan lahan

di lokasi penelitian.

2.4.1. Komponen Geofisik-Kimia

a. Iklim

Wilayah-wilayah di Kabupaten Sleman pada umumnya beriklim tropis basah

dengan musim hujan antara bulan Nopember-April dan musim kemarau antara bulan

Mei-Oktober. Pada tahun 2012, banyaknya hari hujan di kecamatan Ngemplak ialah

sebanyak 22 hari pada bulan Januari. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan

Januari yakni 113 mm, sedangkan curah hujan minimum terjadi di bulan Juli hingga

September yakni sebesar 0 mm.

Pada tahun 2012, suhu udara wilayah-wilayah di Kabupaten Sleman berkisar

antara 16,40-34,40 derajat Celsius. Daerah-daerah di daerah utara memiliki suhu

udara yang lebih dingin dibandingkan dengan daerah selatan karena terletak lebih

dekat dengan kaki gunung Merapi. Kelembaban udara minimum terjadi pada bulan

September yakni 19,9 % sedangkan kelembaban udara maksimum terjadi pada bulan

Oktober yakni sebesar 100,0%.


b. Bentuk Lahan

Ketinggian wilayah Kabupaten Sleman berkisar antara < 100 sd >1000 m dari

permukaan laut. Ketinggian tanahnya dapat dibagi menjadi tiga kelas yaitu

ketinggian < 100 m, 100 499 m, 500 999 m dan > 1000 m dari permukaan laut.

Ketinggian < 100 m dari permukaan laut seluas 6.203 ha atau 10,79 % dari luas

wilayah terdapat di Kecamatan Moyudan, Minggir, Godean, Prambanan, Gamping

dan Berbah. Ketinggian > 100 499 m dari permukaan laut seluas 43.246 ha atau

75,32 % dari luas wilayah, terdapat di 17 Kecamatan. Ketinggian > 500 999 m dari

permukaan laut meliputi luas 6.538 ha atau 11,38 % dari luas wilayah, meliputi

Kecamatan Tempel, Turi, Pakem dan Cangkringan. Ketinggian > 1000 m dari

permukaan laut seluas 1.495 ha atau 2,60 % dari luas wilayah meliputi Kecamatan

Turi, Pakem, dan Cangkringan.

Kecamatan Ngemplak terletak pada ketinggian 275 m dari permukaan laut.

Bentang alam kecamatan Ngemplak memiliki kemiringan lereng antara 1 hingga 5

derajat. Menurut pembagian yang dilakukan oleh Suratman (1974) daerah ini dapat

digolongkan ke dalam satuan bentuk lahan dataran kaki gunung api. Daerah di

sebelah utara kecamatan Ngemplak memiliki kemiringan yang lebih besar daripada

daerah di selatan karena berada lebih dekat dengan lereng gunung Merapi. Seperti

daerah-daerah di Kabupaten Sleman pada umumnya, kecamatan Ngemplak

merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian dan permukiman.

c. Tanah

Jenis tanah merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap terjadinya

peresapan air ke bawah (infiltrasi), di samping beberapa faktor lain yang

berpengaruh seperti lereng, vegetasi penutup, kejenuhan dan lainnya. Menurut


Dames (1955), secara keseluruhan jenis tanah di Yogyakarta dan Sleman termasuk

jenis tanah abu vulkanis muda hasil pelapukan erupsi Gunung Api Merapi.

Jenis tanah dominan di kecamatan Ngemplak adalah Regosol. Tanah Regosol

adalah tanah berbutir kasar dan berasal dari material gunung api. Tanah regosol

berupa tanah alluvial yang baru diendapkan dan tanah pasir. Material jenis tanah ini

ialah berupa tanah regosol, abu vulkan, napal dan pasir vulkan (Saraswati, 2013).

d. Penggunaan Lahan

Berdasarkan data penggunaan lahan di kecamatan Ngemplak tahun 2012,

penggunaan lahan di kecamatan Ngemplak terdiri atas industri dan pergudangan, jasa

dan perdagangan, pendidikan tinggi, permukiman kota, permukiman desa,

bendungan, lapangan, kebun campur, tegalan, sawah padi, sawah diselingi palawija,

dan waduk atau embung. Pemanfaatan lahan terbesar di Kecamatan Ngemplak ialah

lahan sawah diselingi palawija sebesar 31,52% atau 1.156,51 ha. Penggunaan yang

termasuk besar lainnya adalah kebun campur yang memiliki luasan 23,22% atau

852,09 ha dan sawah padi sebesar 22,08% atau 810,22 ha. Pemanfaatan yang paling

sedikit ialah bendungan dan kolam.

e. Satuan Batuan

Kecamatan Ngemplak tergolong ke dalam satuan bentuk lahan dataran kaki

gunung api. Daerah ini tersusun atas material tuff, fragmen-fragmen breksi,

aglomerat, kerakal, kerikil, pasir dan lempung yang merupakan hasil endapan aluvial

rombakan gunung api. Proses yang dominan pada daerah ini ialah erosi dan

pengendapan (Santoso, 1999). Secara umum, satuan batuan di daerah kecamatan

Ngemplak dapat dibedakan atas dua yakni satuan batupasir dengan satuan alluvial di

mana berdasarkan stratigrafi regional merupakan endapan vulkanik Merapi Muda

formasi Sleman (Santoso, 1999).


f. Hidrologi

1). Air Permukaan

Kondisi hidrologi Kabupaten Sleman merupakan bagian dari dataran kaki

fluvio vulkanik Merapi yang surplus airtanah dan air permukaan. Termasuk daerah

aliran sungai (DAS) Winongo, Code dan Opak Hulu. Air tanah mengalir lewat

akuifer lereng Merapi-Graben Bantul. Kedalaman air tanah antara 0,5-20 meter,

semakin ke selatan muka air tanah semakin dangkal sekaligus tercemar. Pencemaran

air tanah akibat praktek-praktek sanitasi yang buruk, baik dari limbah domestik

(rumah tangga) maupun non-domestik (industri, hotel atau rumah sakit). Indikasi

pencemaran adalah kandungan Nitrat (NH3) dan bakteri Coli yang cukup tinggi pada

bagian hilir atau selatan.

Berdasarkan data sumber air di desa Widodomartani pada tahun 2012, air

bersih cukup mudah diperoleh. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi kecamatan

Ngemplak yang dilalui oleh beberapa sungai yakni sungai Kuning, sungai Endong,

sungai Opak dan sungai Gendol. Sumber air pada umumnya diperoleh melalui air

ledeng, sumur pompa dan sumur bor.

2). Air Tanah

Akuifer di kecamatan Ngemplak tergabung pada cekungan air tanah

Yogyakarta. Secara hidrogeologis, cekungan air tanah Yogyakarta dibatasi oleh dua

sungai yakni sungai Opak di bagian timur dan sungai Progo di bagian barat. Di

bagian selatan cekungan ini dibatasi oleh pantai laut selatan. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa air tanah di daerah Ngemplak cukup berlimpah mengingat

lokasinya yang berada di bagian tengah cekungan air tanah Yogyakarta. Lapisan

pembawa air kemungkinan dapat ditemukan di daerah ini mengingat litologi

penyusunnya yang terdiri atas batupasir. Pemanfaatan air tanah di kecamatan


Ngemplak secara umum untuk kebutuhan domestik seperti mandi cuci dan kakus.

Hal ini dapat dilihat dari penggunaan sumur bor yang hanya terdapat sebanyak 12

sumur (BPS, 2012).

2.4.2. Komponen Biotis

a. Flora

Daerah kecamatan Ngemplak kelurahan Widodomartani merupakan daerah

yang subur. Di daerah ini terdapat beberapa jenis tumbuhan yang merupakan

tumbuhan khas di daerah beriklim tropis. Tanaman yang dapat ditemukan pada

daerah ini cukup bervariasi dari tanaman tingkat tinggi hingga rumput-rumputan.

Beberapa jenis tanaman tingkat tinggi antara lain pisang (Musa Paradisiaca), bambu

(Bambosa Variegata), nangka (Artocarpus Integra), dan kelapa (Cocos Nucifera).

Jenis tanaman rendah antara lain rumput-rumputan (Paunicum Caudiglum), putri

malu (Mimosa Pudica) dan alang-alang (Impperata Cilindrica). Jenis tanaman

lainnya ialah tanaman pertanian seperti padi (Oryza Sativa), tebu (Saccharum

Officinarum), palawija ( dan singkong (Manihot Utilissima).

b. Fauna

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di kecamatan Ngemplak khususnya

desa Widodomartani, jenis hewan yang terdapat pada umumnya terdiri atas hewan

peliharaan yang diternakan seperti ayam, sapi, kerbau dan kambing.

2.4.3. Komponen Sosial

a. Demografi

Berdasarkan konsep bps, yang dimaksud dengan penduduk Indonesia

mencakup warga negara indonesia (wni) maupun warga negara asing (wna) yang

tinggal dalam wilayah geografis indonesia, baik yang bertempat tinggal tetap

maupun yang bertempat tinggal tidak tetap (seperti tuna wisma, pengungsi, awak
kapal berbendera Indonesia, masyarakat terpencil/terasing, dan penghuni

perahu/rumah apung). Perkembangan jumlah penduduk kecamatan ngemplak pada

tahun 1990, 2000 dan 2010 menunjukkan trend peningkatan. Dalam kurun waktu

tersebut jumlah penduduk kecamatan Ngemplak tumbuh sekitar 2,35 persen per

tahun. Pertumbuhan penduduk yang meningkat ini disebabkan oleh karena

Ngemplak juga merupakan salah satu daerah tujuan migrasi penduduk. Hal ini

terlihat dari munculnya perumahan-perumahan baru dan kost di wilayah ini.

Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2012, jumlah penduduk di desa

Widodomartani pada tahun 2012 tercatat sebanyak 7701, dengan persentase

penduduk laki-laki sebanyak 48,89% dan perempuan sebanyak 51,11%. Kepadatan

penduduk di desa Widodomartani adalah 13 jiwa perkilometer persegi dengan

jumlah keluarga sebanyak 2388 dan rata-rata jiwa per rumah tangga sebanyak 3 jiwa.

b. Ekonomi

Menurut pendataan program perlindungan sosial yang dilakukan oleh Badan

Pusat Statistik tahun 2008, jumlah rumah tangga miskin di kecamatan Ngemplak

selama tahun 2005-2008 mengalami penurunan sebesar 37,54 persen dari 2.906

rumah tangga pada tahun 2005 menjadi 1.815 rumah tangga pada tahun 2008. Data

lain yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan penduduk adalah jumlah

penerima beras miskin (raskin) dan penerima gakin. Dari data yang tercatat di

kecamatan Ngemplak, penerima raskin Juni 2012 mengalami peningkatan sebanyak

20,77 persen dibanding penerima raskin mei 2012. sedangkan penerima gakin

mengalami penurunan pada tahun 2011 sebanyak 23,07 persen dari tahun 2010

sebanyak 3.194 rumah tangga.

Mengingat sedikitnya tempat rekreasi maupun lokasi industri yang

mendukung kemajuan ekonomi kecamatan Ngemplak, maka salah satu parameter


kemajuan perekonomian di kecamatan Ngemplak adalah sektor peternakan. Data

yang tercatat pada subdinas peternakan kabupaten Sleman, peternakan yang terdapat

di kecamatan Ngemplak adalah sapi potong, kambing, domba, ayam, dan itik.

Selain sektor peternakan, sektor pertanian di kecamatan ngemplak juga

mempunyai peranan yang sangat penting, di mana hasilnya mampu menyumbang

sekitar 22,53 persen untuk pdrb kabupaten Sleman. Kecamatan Ngemplak berpotensi

untuk menghasilkan tanaman padi sawah karena luas panennya lebih dari 3.690

hektar.

No. Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah (orang)


1. Petani 512 500 1012
2. Buruh tani 368 340 708
3. Buruh migran perempuan 2 44 46
4. Buruh migran laki-laki 90 2 92
5. Pegawai negeri sipil 195 140 335
6. Pengrajin industri rumah tangga 11 21 32
7. Pedagang keliling 13 14 27
8. Peternak 2 0 2
9. Nelayan 1 0 1
10. Montir 8 0 8
11. Dokter swasta 2 4 6
12. Bidan swasta 0 2 2
13. Perawat swasta 0 8 8
14. Pembantu rumah tangga 1 27 28
15. TNI 40 0 40
16. Polri 44 1 45
17. Pengusaha kecil dan menengah 2 0 2
18. Pengacara 2 0 2
19. Notaris 1 4 5
20. Jasa pengobatan alternatif 1 0 1
21. Dosen swasta 12 1 13
22. Arsitek 1 0 1
23. Seniman 3 0 3
24. Karyawan perusahaan swasta 40 38 78
25. Karyawan perusahaan pemerintah 18 11 29
TOTAL 2526
c. Sosial Budaya

Kecamatan Ngemplak merupakan daerah yang berkembang karena

merupakan daerah penyangga bagi kota Yogyakarta. Mengingat kabupaten Sleman,

merupakan daerah tujuan pendidikan dan wisata budaya, maka tidak heran jika setiap

tahunnya selalu saja banyak orang yang datang ke Sleman untuk liburan atau sekolah

dan bekerja di wilayah ini. Hal tersebut juga terjadi di kecamatan Ngemplak di mana

kedatangan penduduk baru adalah hal yang biasa. Di kecamatan Ngemplak muncul

banyak perumahan baru untuk menampung kebutuhan perumahan bagi penduduk

migran.

Kedatangan dan kepindahan penduduk ini tentu saja mempengaruhi

perkembangan jumlah penduduk suatu wilayah, termasuk kecamatan Ngemplak.

pada tahun 2010, kedatangan penduduk masuk ke dalam kecamatan ngemplak

tercatat sebanyak 1.070 orang, sedangkan pada tahun 2012 tercatat 1.182 orang. hal

ini menunjukkan bahwa kedatangan di kecamatan Ngemplak pada tahun 2010-2012

mengalami kenaikan. Sedangkan penduduk yang pindah meninggalkan kecamatan

ngemplak pada tahun 2010 sebesar 602 dan tahun 2012 sebanyak 759.

Variasi penduduk di kecamatan Ngemplak dapat dilihat juga dari jumlah

pemeluk agama yang ada di daerah ini. Menurut data distribusi penduduk kecamatan

Ngemplak berdasarkan agama yang dianut, pada tahun 2012 penduduk yang

memeluk agama Islam merupakan mayoritas dengan jumlah sebanyak 52.507 orang

atau 94,42 persen dari total penduduk. Kemudian pemeluk agama Kristen Protestan

sebanyak 818 orang atau 1,47 persen, pemeluk agama Kristen Katholik sebanyak
2.189 orang atau 3,94 persen, pemeluk agama Hindu sebanyak 76 orang atau 0,14

persen dan pemeluk agama Budha sebanyak 19 orang atau 0,03 persen.

2.5. Isu Pokok

Daerah kecamatan Ngemplak terletak di kaki gunung Merapi dan merupakan

salah satu daerah imbuhan air tanah bagi daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Selain

itu di kecamatan Ngemplak juga mengalir beberapa sungai yakni sungai Kuning,

sungai Gajah Wong, sungai Opak dan sungai Endong. Namun erupsi gunung Merapi

beberapa waktu belakangan membawa masalah yang masih terasa hingga sekarang

yakni tercemarnya aliran sungai dengan belerang sehingga di beberapa sumber air

masih tercium aroma belerang yang cukup kuat.

Selain itu akibat erupsi Merapi terjadi pula perubahan pola mata air akibat

adanya endapan material vulkanik terutama di sekitar aliran sungai Kuning, sungai

Gendol dan sungai Woro. Hal ini dapat membawa dampak pada berkurangnya suplai

air untuk kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Untuk itu perlu dilakukan kajian

potensi kerentanan air tanah bebas pencemaran.

BAB III

CARA PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian dan Parameter Yang Digunakan


Metode penelitian dalam analisis potensi akuifer dan tingkat kekritisan air

tanah di sebagian cekungan air tanah Yogyakarta ini terdiri atas beberapa metode.

Untuk memperoleh data primer, penulis menggunakan metode geolistrik tahanan

jenis konfigurasi Schlumberger, metode survey dan wawancara dan pemetaan air

tanah. Metode lain yang digunakan adalah metode analisis yang diterapkan di studio,

untuk menginterpretasi data-data primer dan sekunder.

3.1.1. Metode Geolistrik

Pemakaian metode geolistrik dalam penelitian ini diperlukan untuk

mengetahui karakteristik batuan penyusun akuifer, kedalaman air tanah dan jenis

perlapisan batuan pada akuifer. Selanjutnya data-data yang diperoleh dari hasil

pengukuran akan diolah menggunakan software IP2iwin untuk mendapatkan

gambaran mengenai jumlah perlapisan akuifer, nilai tahanan jenis aktual dari setiap

material penyusun lapisan dan kedalaman lapisan (Purwoarminta, 2005). Konfigurasi

yang digunakan ialah konfigurasi Schlumberger.

3.1.2. Metode survey dan wawancara

Metode ini merupakan metode yang digunakan untuk mendapatkan data

lapangan dengan cara pengamatan, pengukuran, pencatatan secara sistematik pada

fenomena yang diteliti. Metode ini dilakukan dengan menggunakan alat seperti GPS

(global pisitioning system), meteran maupun kuesioner. Metode survey yang

dilakukan dalam penelitian ini, digunakan untuk mengumpulkan data-data primer

dan sekunder mengenai kebutuhan air tanah, pemetaan kontur air tanah dan data-data

primer maupun sekunder lainnya yang berhubungan dengan penelitian.

3.1.3. Metode Statis dan Dinamis

Metode ini digunakan untuk menghitung ketersediaan air tanah. Perhitungan

dalam metode ini dilakukan berdasarkan kondisi air tanah yang statis maupun
dinamis. Metode statis menggunakan faktor volume dan spesific yield sedangkan

metode dinamis menggunakan faktor debit, infiltrasi dan luasan. Dengan mengetahui

tingkat ketersediaan air tanah maka diharapkan dapat diketahui pula tingkat

kekritisan air tanah.

No Kriteria Akuifer Parameter Yang Dibutuhkan


1. Material penyusun tertentu 1. Jenis batuan dan perlapisannya
2. Karakteristik batuan
3. Nilai Resistivitas dan Permeabilitas
batuan
4. Volume akuifer
5. Struktur geologi yang terdapat pada
akuifer: kemiringan lapisan batuan,
patahan, lipatan, dsb.
2. Mampu menampung dan menyalurkan air tanah
1. Jenis akuifer
2. Kedalaman muka air tanah
3. Batas pemisah air tanah
4. Arah aliran air tanah

3. Mengandung air tanah 1. Debit air tanah


2. Nilai infiltrasi
3. Curah hujan
4. Bernilai ekonomis 1. Penggunaan lahan
2. Sumur dan mata air
3. Kebutuhan air tanah
4. Ketersediaan air tanah
Tabel 3.1. Parameter yang dipakai dalam penelitian potensi akuifer

3.2. Teknik dan Penentuan Lokasi Sampling

Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dengan metode geolistrik

dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling. Hal ini dilakukan dengan

asumsi bahwa kondisi batuan penyusun di lokasi penelitian adalah seragam, sehingga

diharapkan pengambilan sampel di beberapa titik saja dapat memberikan gambaran

secara keseluruhan mengenai kondisi akuifer di daerah penelitian. Sedangkan untuk

penyelidikan air tanah, teknik sampling yang digunakan adalah dengan mengukur

kedalaman sumur-sumur gali yang ada di sekitar lokasi penelitian untuk mengetahui

ketinggian muka air tanah dan arah alirannya.


Lokasi pengambilan sampel direncanakan dilakukan di desa Widodomartani

Kecamatan Ngemplak. Penentuan titik-titik pendugaan geolistrik di daerah penelitian

dilakukan dengan menyesuaikan keadaan di lokasi antara lain tidak berdekatan

dengan hal-hal yang bisa mengganggu akurasi pendugaan tersebut seperti tiang

listrik, pipa air dan sebagainya. Untuk itu, titik penelitian akan dilakukan di daerah

dengan tanah yang datar dan lapang.

3.3. Perlengkapan Penelitian

Bahan dan alat yang diperlukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel

berikut.

No Perlengkapan Penelitian Kegunaan Hasil

1. Bahan
a. Peta RBI, skala 1 : 25.000 lembar Pakem Tafsiran batas daerah pene- Peta dasar
b. Peta Geologi, skala 1 : 100.000 litian
2. Alat
a. GPS Menentukan titik koodinat Data pembuatan peta tematik
pada peta
b. Pita ukur Mengukur kedalaman sumur Data pembuatan peta arah aliran
air tanah
c. Alat geolistrik Schlumberger Mengukur nilai tahanan Data analisis ketebalan akuifer
jenis dan karakteristik batuan
d. Kamera Dokumentasi Gambar lokasi penelitian dan
kegiatan penelitian
3 Studio
a. Alat tulis Dokumentasi Karya tulis ilmiah hasil pene-
b. Komputer Interpretasi data litian
Tabel 3.2. Perlengkapan Penelitian, Kegunaan dan Hasil yang diperoleh

3.4. Tahapan Penelitian

Data untuk penelitian ini, baik data primer maupun sekunder, diperoleh

melalui beberapa tahapan penelitian. Secara garis besar tahap-tahap penelitian dapat

dikelompokkan menjadi 4 tahapan meliputi: tahap persiapan, tahap kerja lapangan,

tahap analisis data dan tahap penulisan laporan.


3.4.1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan merupakan tahap awal dari kegiatan penelitian. Pada tahap

persiapan ini, tahapan yang dilakukan meliputi :

a. Studi pustaka

Studi pustaka, dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan

dengan penelitian yang akan dilakukan. Studi pustaka mencakup studi mengenai

literatur-literatur, jurnal ilmiah, hasil penelitian terdahulu, buku, maupun peta-peta

tematik.

b. Administrasi

Menyelesaikan persyaratan administrasi dengan pihak akademik maupun

instansi-instansi terkait merupakan tahapan dari proses persiapan. Hal ini bertujuan

untuk mendapatkan ijin dan dukungan dari akademik serta instansi tersebut guna

kelancaran proses penelitian.

c. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah melalui prosedur surat ijin

yang telah disetujui pihak Program Studi. Jenis data sekunder dapat dilihat pada

Tabel 3.2 di bawah ini:

No Data Sekunder Parameter Sumber Data


1. Data Geofisik:
1. Data Curah Hujan BPS Yogyakarta
2. Data Angin BPS Yogyakarta
a. Iklim
3. Data Suhu Udara BPS Yogyakarta
4. Data Tipe Iklim BPS Yogyakarta
1. Data Lokasi Sumur Bor
2. Data Pengambilan Air Tanah
b. Hidrologi
3. Data Muka Air Tanah
4. Data Log Bor
c. Tanah 1. Data Jenis & Tekstur Tanah
2. Data Porositas Tanah
3. Topografi
1. Data Satuan Batuan
d. Batuan
2. Data Pumping Test
2. Data Biotis
Data Jenis Tumbuhan dan He-
Flora dan Fauna
wan
3. Data Sosekbud
1. Data Kepadatan Penduduk BPS Yogyakarta
2. Data Kebutuhan Air Bersih BPS Yogyakarta
3. Data Tataguna Lahan BPS Yogyakarta
Demografi
4. Data Mata Pencaharian BPS Yogyakarta
5. Data Penyebaran Penduduk BPS Yogyakarta
6. Data Kesehatan Masyarakat BPS Yogyakarta
Tabel 3.2. Data Sekunder, Parameter dan Sumber Data

d. Penyiapan perlengkapan

Penyiapan perlengkapan merupakan faktor pendukung untuk berjalannya

penelitian. Penyiapan perlengkapan meliputi persiapan alat dan bahan penelitian baik

di lapangan, laboratorium maupun di studio.

e. Observasi lapangan

Observasi lapangan perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi lingkungan

dan permasalahan daerah penelitian, selain itu observasi dilakukan untuk

memperoleh data sekunder sebagai pendukung dalam penelitian.

f. Pembuatan peta tentatif

Peta tentatif merupakan peta sekunder yang dibutuhkan untuk memulai

penelitian dengan fungsi sebagai peta dasar untuk mengetahui daerah penelitian.

3.4.2. Tahap Kerja Lapangan

Tahap kerja lapangan merupakan tahap pengumpulan data primer. Data

primer yang diperoleh merupakan data yang beraal dari pengukuran geolistrik dan

pengukuran kedalaman muka air tanah pada sumur-sumur di lokasi penelitian. Untuk
itu diperlukan suatu teknik sampling yang dapat menghasilkan data yang sahih dan

dapat dipercaya.

Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan ialah random sampling

yang merupakan suatu teknik pengambilan sampel di titik-titik yang telah ditentukan

secara acak. Teknik ini digunakan untuk pendugaan geolistrik. Alasan penulis

menggunakan teknik ini ialah berdasarkan peta geologi daerah penelitian yang terdiri

atas batuan yang hampir seragam yaitu batupasir (sandstone) yang merupakan batuan

dominan di sistem akuifer Merapi.

Pengukuran geolistrik terhadap akuifer di daerah penelitian menggunakan

konfigurasi Schlumberger. Titik pendugaan akan dilakukan pada beberapa titik,

dengan menyesuaikan pada topografi wilayah penelitian. Banyaknya titik pendugaan

yang direncanakan ialah sebanyak 14 titik. Pendugaan dilaksanakan dengan

membentangkan dua jenis elektroda pada alat pendugaan geolistrik tersebut sejauh

beberapa meter. Hasil pembacaan nilai tahanan jenis pada konfigurasi Schlumberger

bergantung juga pada jarak antarelektroda yang diterapkan. Semakin jauh jarak

antarelektroda maka hasil pembacaan nilai tahanan jenis batuannya akan semakin

dalam. Hasil pembacaan kemudian dapat digunakan untuk menganalis karakteristik

akuifer di daerah penelitian.

Selain pendugaan geolistrik, pada tahap ini juga dilakukan pengukuran

kedalaman muka air tanah dengan cara mengukur kedalaman muka air pada sumur-

sumur di sekitar lokasi penelitian. Data-data yang diperoleh akan dipergunakan untuk

membuat peta aliran air tanah sehingga dapat diketahui arah aliran air tanah.Data

lainnya yang dapat diperoleh pada tahap ini antara lain data-data sekunder yang

belum dilengkapi seperti data bor, data curah hujan dan data demografi seperti

kebutuhan air bagi penduduk di lokasi penelitian.


Parameter data primer yang ingin dikumpulkan beserta karakteristiknya dapat

dilihat pada tabel 3.3.

No Parameter Yang Dibutuhkan Karakteristiknya


1. Batuan pembentuk akuifer 1. Jenis batuan, ketebalan dan perlapisannya
2. Jenis akuifer
3. Nilai Resistivitas dan Permeabilitas
4. Struktur geologi yang terdapat pada
akuifer: kemiringan lapisan batuan,
patahan, lipatan, dsb.
2. Air Tanah 1. Jumlah Sumur
2. Kedalaman muka air tanah
3. Ketersediaan air tanah
4. Debit air tanah
3. Tanah 1. Sifat Fisik Tanah
2. Horizon Tanah
3. Ketebalan Tanah
3. Demografi 1. Kebutuhan air bersih
2. Jumlah Penduduk
3. Penggunaan Lahan
4. Jumlah Sumur
Tabel 3.3. Parameter Data Primer dan Karakteristiknya

3.4.3. Tahap Pengolahan dan Analisis Data

Setelah dilakukan pengukuran dan penelitian di lapangan, maka tahapan

penelitian selanjutnya ialah tahap pengolahan dan analisis data. Pada tahap ini data-

data primer maupun sekunder disatukan dan dianalisis sesuai dengan nilai parameter

yang dibutuhkan. Selain menggunakan cara analisis dan perhitungan hasil-hasil

penelitian sebelumnya, tahap ini juga dikerjakan dengan bantuan software maupun

beberapa metode matematis yang berhubungan dengan proses analisis data.

Pengolahan data dilakukan dengan menyatukan hasil-hasil perhitungan dan

pengukuran di lapangan. Data-data yang diolah pada tahap ini ialah data resistivitas

batuan hasil pendugaan geolistrik, data kedalaman muka air tanah, data ketersediaan

air tanah, data kebutuhan air tanah dan nilai permeabilitas batuan. Data-data tersebut

merupakan data primer maupun sekunder yang diperoleh selain dari pengukuran atau

wawancara langsung di lapangan, namun juga dari instansi-instansi terkait.


Selanjutnya, analisis data pada tahap ini meliputi analisis data muka air tanah,

analisis hidrostratigrafi, analisis sifat fisik hidrolik dan analisis deskriptif-komparatif

yang terdiri atas analisis karakteristik akuifer, analisis potensi air tanah dan analisis

ketersediaan dan kebutuhan air tanah.

a. Analisis Muka Air Tanah

Analisis muka air tanah dilakukan dengan menginterpolasi titik-titik

kedalaman muka air tanah pada sumur-sumur yang terdapat di lokasi penelitian.

Hasil interpolasi tersebut menghasilkan peta kontur aliran air tanah yang dapat

digunakan bersama data resistivitas batuan untuk membuat suatu model

hidrostratigrafi. Model hidrostratigrafi kemudian digunakan untuk menggambarkan

struktur atau susunan geologis penyusun akuifer secara vertikal.

b. Analisis Hidrostratigrafi

Analisis hidrostratigrafi dilakukan berdasarkan data pendugaan geolistrik

yang dilakukan. Data hasil pendugaan geolistrik sebelumnya dianalisis dahulu

dengan bantuan software IPI2Win. Hasil analisis ini akan menunjukkan jumlah

perlapisan akuifer, nilai resistivitas material setiap penyusun lapisan dan kedalaman

lapisan. Berdasarkan analisis kemudian dapat dibuat model stratigrafinya, yaitu

susunan atau struktur material/batuan secara vertikal, baik kedalaman maupun

ketebalan setiap lapisan.

c. Analisis Sifat Fisik Hidrolik

Analisis ini dilakukan dengan menggunakan data log sumur untuk

memperkirakan nilai porositas, permeabilitas dan transmisivitas. Data log untuk

analisis sifat fisik hidrolik ini, diperoleh dari instansi pemerintah yang berhubungan
dengan penelitian air tanah sehingga termasuk data sekunder. Analisis data-data

tersebut menggunakan beberapa rumus matematis.

d. Analisis deskriptif-komparatif

Analisis ini terdiri atas analisis karakteristik akuifer, analisis potensi air tanah

dan analisis ketersediaan dan tingkat kebutuhan air tanah. Analisis karakteristik

akuifer dilakukan berdasarkan perbandingan antara hasil interpretasi pendugaan

geolistrik dan data hidrostratigrafi. Analisis ini menghasilkan deskripsi jenis akuifer

di lokasi penelitian. Analisis potensi air tanah dilakukan dengan melakukan

perbandingan antara peta kontur air tanah, model hidrostratigrafi dan data

konduktivitas hidrolika. Sedangkan analisis ketersediaan dan kebutuhan air tanah

dilakukan dengan menganalisis data-data sekunder berupa data curah hujan, data log

sumur dan wawancara.

3.5. Tahap Penulisan dan Penyusunan Laporan

Tahap ini merupakan tahap yang mencakup seluruh tahapan penelitian. Tahap

ini bukanlah suatu tahap yang berdiri sendiri namun merupakan tahap yang

dilakukan di sepanjang proses penulisan laporan hasil penelitian. Penekanan pada

tahap ini ialah mengenai kaidah penulisan maupun bahasa yang digunakan agar

sesuai dan mempunyai bobot ilmiah yang diwajibkan bagi karya skripsi ini. Dalam

tahap ini penulis mengikuti pedoman penulisan yang ditentukan dalam Buku

Panduan Penulisan Skripsi Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknologi

Mineral, UPN Veteran Yogyakarta.


Tahap Persiapan
Pengumpulan Data
Studi Literatur
Sekunder

Peta Hidrogeologi Peta Geologi Peta RBI DI Yogyakarta Data Kependudukan Data dan Peta lainnya yang
mendukung penelitian, yakni:

1. Data Curah Hujan


2. Data Bor (Stratigrafi Batuan)
3. Penggunaan lahan
4. Peta Tanah
Penyusunan Batas Daerah Penelitian sebagai Penyusunan Data Survey dan Wawancara 5. Peta Satuan Batuan
Tahap Kerja Lapangan

Tahap Analisis Data

Keterangan:

Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian

3.4.4. Jadwal Penelitian

Kegiatan Bulan ke I Bulan ke II Bulan ke III Bulan ke IV


1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1. Tahap Persiapan

2. Tahap Kerja Lapangan

3. Tahap Kerja Studio

a. Pembuatan Peta Tematik

b. Analisis data dan evaluasi

c. Penulisan laporan

4. Pengecekan lapangan bersama pem-


bimbing

5. Konsultasi draft skripsi

6. Kolokium

7. Perbaikan draft skripsi hasil kolo-


kium

8. Ujian Tugas Akhir (Pendadaran)

9. Perbaikan draft hasil ujian akhir

10. Pengumpulan dokumen final


skripsi

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C. (2010). Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.
Hartono. (1994). Studi Hidrogeologi di Daerah Majalengka dan Sekitarnya.
Yogyakarta: UPN "Veteran".

Kodoatie, R. J. (2012). Tata Ruang Air Tanah. Yogyakarta: Andi.

Kodoatie, R. J. (2012). Tata Ruang Air Tanah. Yogyakarta: Andi.

Purwoarminta, A. (2005). Potensi Akuifer di Sebagian Cekungan Wonosari


Kabupaten Gunung Kidul. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.

Santoso, A. (1999). Penelitian Kedalaman Air Tanah Berdasar Metode Geolistrik


Kecamatan Ngemplak DI Yogyakarta. Yogyakarta: UPN "Veteran".

Santoso, A. (1999). Penelitian Kedalaman Air Tanah Berdasarkan Metode


Geolistrik Daerah Hotel Amanjiwo Kecamatan Borobudur. Yogyakarta: UPN
"Veteran".

Santoso, A. (1999). Penyelidikan Geolistrik Daerah Perumahan Regency Semarang.


Yogyakarta: UPN "Veteran".

Sutedjo, B. (1995). Potensi Umum Sumber Daya Airtanah Pada DAS OPAK dan
DAS Progo Yogyakarta. Yogyakarta: UPN "Veteran".

Todd, D. K., & Mays, L. W. (2005). Groundwater Hydrology (3rd ed.). New York:
John Wiley & Sons.

Triwibowo, B., & Poncomoyono, K. (1992). Kualitas dan Kuantitas Air Tanah
Daerah Gemblekan dan Sekitarnya Kecamatan Kalikotes, Kabupaten Klaten
Jawa Tengah. Yogyakarta: UPN "Veteran".

Das könnte Ihnen auch gefallen