Sie sind auf Seite 1von 18

HIDAYAH AL-QUR'AN

KEAGUNGAN AL-QURAN

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (para cendekia), (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Bila dijumpai sesuatu yang
mengagumkan, ia mengembalikannya kepada Allah yang menciptakan): Ya Tuhan Kami,
Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau. (Namun dengan
menyadari keterbatan ilmu yang berpotensi salah dalam penjelajahan inetelektualnya
sehingga senantiasa ia mohon ampunan Allah), maka peliharalah Kami dari siksa
neraka. {ALI IMRAN:190=191}
Muqaddimah

Al-Quran adalah mukjizat nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling agung
bila dibandingkan dengan mukjizat yang lain yang dimiliki oleh beliau dan atau bila
dibanding dengan mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki oleh para Nabi sebelum Nabi
Muhammad SAW. Adalah wajar jika sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti
keaslian al-Quran masih tetap terjaga. Karena mustahil tidak ada satu orang pun di dunia ini
yang dapat memalsukan / merubah ayat-ayat al-Quran apalagi mampu menyaingi keindahan
kalam-kalam al-Quran. Dan itulah salah satu hikmah Nuzulul Qur'an dan keutamaan Al-
Qur'an itu sendiri
Al-Quran adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Ta'ala kepada Rasulullah
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam 14 abad yang silam. al-Quran memiliki ciri khas
tersendiri yang tidak dimiliki oleh mukjizat yang lain yang hanya bisa dinikmati dan
disaksikan pada zamannya saja. Sejak pertama kali diturunkan al-Quran telah mampu
merubah arah dan
Sejarah Nuzulul Quran

Nuzulul Quran yang secara harfiah berarti turunnya Al Quran (kitab suci agama Islam)
adalah istilah yang merujuk kepada peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama
kepada nabi dan rasul terakhir agama Islam yakni Nabi Muhammad SAW. Dalam
pembahasan Nuzulul Quran menurut Berbagai Madzab kita telah mengetahui bahwa Al-
Quran diturunkan ke Baitul Izzah secara langsung. Dari Baitul Izzah itulah, Al-Quran
kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW. Wahyu pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah surat Al Alaq ayat 1-5 yang bila diterjemahkan
menjadi : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan 1. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah 2. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah
3. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam 4. Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya 5.
Saat wahyu ini diturunkan Nabi Muhammad SAW sedang berada di Gua Hira, ketika tiba-
tiba Malaikat Jibril datang menyampaikan wahyu tersebut. Adapun mengenai waktu atau
tanggal tepatnya kejadian tersebut, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama,
sebagian menyakini peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rabiul Awal pada tanggal 8 atau 18
(tanggal 18 berdasarkan riwayat Ibnu Umar), sebagian lainnya pada bulan Rajab pada tanggal
17 atau 27 menurut riwayat Abu Hurairah, dan lainnya adalah pada bulan Ramadhan pada
tanggal 17 (Al-Bara bin Azib), 21 (Syekh Al-Mubarakfuriy) dan 24 (Aisyah, Jabir dan
Watsilah bin Asqo) Nuzulul Quran yang kemudian diperingati oleh sebagian kaum
muslimin mengacu kepada tanggal pertama kali Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah
SAW di gua Hira. Jika sebagian besar umat Islam di Indonesia meyakini 17 Ramadhan
sebagai tanggal Nuzulul Quran, Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury menyimpulkan
Nuzulul Quran jatuh pada tanggal 21 Ramadhan. Lepas dari berapa tanggal sebenarnya,
Nuzulul Quran dalam arti turunnya Al-Quran kepada Rasulullah SAW secara bertahap atau
berangsur-angsur
Pelajaran Nuzulul Quran
Al-Quran pertama kali diturunkan pada malam Lailatul Qadar tanggal 17
Ramadhan tepatnya saat beliau Nabi Muhammad Saw berusia 40 tahun. al-Quran diturunkan
ke bumi tidak sama dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan hanya satu kali langsung
selesai. Tetapi al-Quran diturunkan dengan cara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit
(bertahap) sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan permasalah yang terjadi saat itu untuk
memberikan jawaban atas permasalah yang dihadapi para Sahabat Rasulullah shallallahu
a'alaihi wa sallam kala itu. Dan itulah sedikit mengenai keutamaan Nuzulul Qur'an.

Nuzulul Qur'an yang kemudian diperingati oleh sebagian kaum muslimin mengacu kepada
tanggal pertama kali Al-Qur'an diturunkan kepada Rasulullah SAW di gua Hira. Jika sebagian
besar umat Islam di Indonesia meyakini 17 Ramadhan sebagai tanggal Nuzulul Qur'an.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa malam Nuzulul Qur'an adalah malam ke 21
Ramadhan.

Kejadian sejarah Nuzulul Quran diturunkannya Al Quran secara utuh dari Lauhul
Mahfuzh di langit ketujuh, ke Baitul Izzah di langit dunia."Bulan Ramadhan, bulan yang di
padanya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS. Al
Baqarah: 185)
Banyak hikmah dapat kita petik dari kisah Nabi Ibrahim tersebut untuk merenungi ayat-ayat
kauniyah, ayat-ayat Allah di alam, untuk menemukan hakikat Allah dan mengambil pelajaran
darinya. Ya, membaca ayat-ayat-Nya. Hal yang sama dalam format berbeda diajarkan juga
oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW pada malam turunnya Al-Qur-an,
Nuzulul Qur-an:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. (QS Al-Alaq:1 5).
Bacalah bukan sekadar bermakna membaca ayat-ayat Allah di kitab, tetapi membaca juga
ayat-ayat Allah di alam semesta, ayat-ayat kauniyah. Membaca alam bermakna merenungi
ciptaan Allah. Asal usulnya, prosesnya, hukum-hukum yang berlaku padanya, dan
kesudahannya. Itulah menjadikan intelektualitas manusia berkembang. Kecendekiawanannya
lebih bermakna.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (para cendekia), (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Bila dijumpai sesuatu yang mengagumkan,
ia mengembalikannya kepada Allah yang menciptakan): Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau. (Namun dengan menyadari keterbatan
ilmu yang berpotensi salah dalam penjelajahan inetelektualnya sehingga senantiasa ia
mohon ampunan Allah), maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Pada ayat tersebut Allah mengajarkan kita semua untuk menjadi ulil albab, orang yang
senantiasa menggunakan akalnya. Menjadi cendekiawan yang senantiasa membaca alam.
Empat cirinya: berdzikir, berfikir, bertauhid, dan beristighfar. Senantiasa berdzikir (ingat)
kepada Allah dalam segala situasi. Tak jemu berfikir tentang segala fenomena alam.
Bertauhid mengesakan Allah yang menciptakan alam ini. Tak lupa beristighfar atas
kemungkinan lalai dan salah dalam pemikirannya.
Membaca alam secara mendalam kemudian menganalisisnya, merumuskannya, dan
mengujinya akan menghasilkan sains, ilmu pengetahuan. Al-Quran mendorong umat Islam
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Ayat pembuka saat turunnya Al-Quran iqra,
bacalah, menjadi motivasi utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Mestinya juga
menjadi pendorong untuk melahirkan inovasi.
Ada tiga peran utama sains yang juga diajarkan Al-Qur-an. Pertama, peran sains menjawab
keingintahuan manusia. Keingintahuan utama adalah asal-usul sesuatu dan mekanisme
kejadian di alam. Beberapa hal diisyaratkan di dalam Al-Quran untuk renungan bagi manusia
untuk memikirkannya. Kedua, peran sains melandasi pengembangan teknologi yang
memudahkan manusia. Sepanjang sejarah manusia, teknologi dikembangkan untuk
memudahkan aktivitas manusia. Perilaku alam yang dikaji sains banyak menginspirasi
pengembangan teknologi. Beberapa ayat Al-Quran pun memberi tantangan untuk menguasai
teknologi untuk mengungkap rahasia alam. Ketiga, menurut ajaran Islam sains juga berperan
membantu mendekatkan diri kepada Allah.
Mukjizat Al-Quran
Al-Quran merupakan satu-satunya kitab samawi yang dengan jelas dan tegas menyatakan
bahwa tidak seorang pun yang mampu mendatangkan kitab sepertinya, meskipun seluruh
manusia dan jin berkumpul untuk melakukan hal itu.[1] Bahkan, mereka tidak akan mampu
sekalipun untuk menyusun, misalnya, sepuluh surat saja,[2] atau malah satu surat pendek
sekalipun yang hanya mencakup satu baris saja.[3]

Oleh karena itu, Al-Quran menantang seluruh umat manusia untuk melakukan hal itu. Dan
banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang menekankan tantangan tersebut. Sesungguhnya
ketidakmampuan mereka untuk mendatangkan hal yang sama dan memenuhi tantangan
tersebut merupakan bukti atas kebenaran kitab suci itu dan risalah Nabi Muhammad saw. dari
Allah swt.[4]

Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Al-Quran telah membuktikan pengakuannya
sebagai mukjizat. Sebagaimana Rasul saw., pembawa kitab ini, tersebut telah
menyampaikannya kepada umat manusia sebagai mukjizat yang abadi dan bukti yang kuat
atas kenabiannya hingga akhir masa.

Hari ini setelah 14 abad berlalu bahana suara Ilahi itu masih terus menggema di tengah
umat manusia melalui media-media informasi dan sarana-sarana komunikasi, baik dari kawan
maupun lawan. Itu semua merupakan hujjah atas mereka.

Dari sisi lain, nabi Islam, Muhammmad saw. sejak hari pertama dakwahnya senantiasa
menghadapi musuh-musuh Islam dan para pendengki yang sangat keras. Mereka telah
mengerahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk memerangi agama Ilahi ini. Setelah putus
asa lantaran ancaman dan tipu daya mereka tidak berpengaruh sama sekali, mereka berusaha
melakukan pembunuhan dan pengkhianatan. Akan tetapi, usaha jahat itu pun mengalami
kegagalan berkat inayah Allah swt. dengan cara menghijrahkan Nabi saw. ke Madinah secara
rahasia pada malam hari.

Setelah hijrah, Rasul saw. menghabiskan sisa-sisa umurnya yang mulia dengan melakukan
berbagai peperangan melawan kaum musyrikin dan antek-antek mereka dari kaum Yahudi.
Dan semenjak wafatnya hingga hari ini, orang-orang munafik dari dalam dan musuh-musuh
Islam dari luar senantiasa berusaha memadamkan cahaya Ilahi ini. Mereka telah
mengerahkan segenap kekuatan dalam rangka ini. Seandainya mereka mampu menciptakan
sebuah kitab sepadan Al-Quran, pasti mereka akan melakukannya, tanpa ragu sedikitpun.

Di zaman modern sekarang ini, dimana kekuatan adidaya dunia melihat bahwa Islam adalah
musuh terbesar yang sanggup mengancam kekuasaan arogan mereka. Maka itu, mereka
senantiasa berusaha memerangi Islam dengan segala kekuatan dan sarana yang mereka miliki
berupa materi, strategi, politik dan informasi. Seandainya mereka mampu menjawab
tantangan Al-Quran, dan sanggup menulis satu baris saja yang menandingi satu surat pendek
darinya, pasti mereka sudah melakukannya dan menyebarkannya melalui media informasi
dunia. Karena memang cara semacam itu (menyebarkan informasi ke seluruh dunia)
merupakan usaha yang paling mudah dan paling efektif dalam menghadapi Islam dan
menahan perluasannya.
Atas dasar uraian di atas, setiap manusia berakal yang mempunyai kesadaran yang cukup
merasa yakin setelah memperhatikan hal-hal tersebut- bahwa Al-Quran merupakan kitab
samawi yang istimewa, yang tidak mungkin ditiru atau dipalsukan, dan tidak mungkin pula
bagi setiap individu atau kelompok manapun untuk mendatangkan kitab yang sepadan
dengannya, sekalipun mereka mengerahkan seluruh kekuatan dan telah menjalani pendidikan
dan pelatihan demi hal itu.

Artinya, kitab suci itu memiliki ciri-ciri kemukjizatan, yaitu luar biasa, tak bisa ditiru dan
dipalsukan, dan diturunkan sebagai bukti atas kebenaran kenabian seseorang). Tampak jelas
bahwa Al-Quran merupakan bukti yang paling akurat dan kuat atas kebenaran klaim
Muhammad saw sebagai nabi Allah. Dan agama Islam yang suci adalah hak dan karunia Ilahi
yang paling besar bagi umat Islam. Al-Quran diturunkan sebagai mukjizat abadi hingga
akhir masa, kandungannya merupakan bukti atas kebenarannya. Sebegitu sederhananya
argumentasi ini hingga dapat dipahami oleh setiap orang dan dapat diterima tanpa
mempelajarinya secara khusus.

Unsur-Unsur Kemukjizatan Al-Quran

Setelah secara global kita mengetahui bahwa Al-Quran merupakan kalam dan mukjizat Ilahi,
kami akan menjelaskan lebih luas lagi unsur-unsur kemukjizatan kitab suci ini.

1. Kefasihan dan Keindahan Al-Quran

Unsur pertama kemukjizatan Al-Quran ialah kefasihan dan balaghah-nya. Artinya, untuk
menyampaikan maksud dan tujuan dalam setiap masalah, Allah swt. menggunakan kata dan
kalimat yang paling lembut, indah, ringan, serasi, dan kokoh. Melalui cara tersebut, Dia
menyampaikan makna-makna yang dimaksudkan kepada para mukhathab (audiens), yaitu
melalui sastra yang paling baik dan mudah dipahami.

Tentunya, tidak mudah memilih kata dan kalimat yang akurat dan sesuai dengan makna-
makna yang tinggi dan mendalam kecuali bagi orang yang telah menguasai sepenuhnya ciri-
ciri kata, makna yang dalam dan hubungan timbal balik antara kata dan maknanya agar dapat
memilih kata dan ungkapan yang paling baik dengan memperhatikan seluruh dimensi,
kondisi dan kedudukan makna yang dimaksudkan. Pengetahuan lengkap tentang hal itu tidak
mungkin dapat dicapai oleh siapapun kecuali dengan bantuan wahyu dan ilham Ilahi

Sesungguhnya setiap manusia dapat mengetahui sejauh mana kandungan Al-Quran yang
mencakup nada malakuti dan irama yang syahdu. Setiap orang yang mengetahui bahasa Arab,
ilmu kefasihan dan keindahannya (Balaghah), pasti dapat menyentuh keunggulan sastra Al-
Quran.

Adapun untuk mengetahui kemukjizatan Al-Quran dari unsur balaghah, kefasihan dan
keindahan bahasanya, tidaklah mudah kecuali bagi orang-orang yang memiliki pengalaman
dan spesialisasi di dalam pelbagai ilmu sastra Arab dan melakukan perbandingan antara
keistimewaan-keistimewaan Al-Quran dan berbagai macam bahasa yang fasih dan baligh,
serta menguji kemampuan mereka dengan melakukan analogi dalam hal itu. Pekerjaan
semacam ini tidak sulit dilakukan kecuali oleh para penyair dan sastrawan Arab, karena
keistimewaan orang-orang Arab yang paling menonjol pada masa diturunkannya Al-Quran
ialah ilmu Balaghah dan sastra. Puncak kemahiran mereka pada masa itu tampak ketika
mereka mengadakan pemilihan bait-bait kasidah dan syair setelah diadakan penelitian dan
penilaian yang merupakan kegiatan seni dan sastra yang paling besar.

2. Ke-ummi-an Nabi saw.

Kendati ukurannya tidaklah besar, Al-Quran adalah kitab suci yang mancakup berbagai
pengetahuan, hukum-hukum dan syariat, baik yang bersifat personal maupun sosial. Untuk
mengkaji secara mendalam setiap cabang ilmu tersebut memerlukan kelompok-kelompok
yang terdiri dari para ahli di bidangnya masing-masing, keseriusan yang tinggi dan masa
yang lama agar dapat diungkap secara bertahap sebagian rahasianya, dan agar hakikat
kebenarannya bisa digali lebih banyak, meski hal itu tidak mudah, kecuali bagi orang-orang
yang betul-betul memiliki ilmu pengetahuan, bantuan dan inayah khusus dari Allah swt.

Al-Quran mengandung berbagai ilmu pengetahuan yang paling tinggi, paling luhur dan
berharga nilai-nilai akhlaknya, paling adil dan kokoh undang-undang pidana dan per-datanya,
paling bijak tatanan ibadah, hukum-hukum pribadi dan sosialnya, paling berpengaruh dan
bermanfaat nasehat-nasehat dan wejangannya, paling menarik kisah-kisah sejarahnya, dan
paling baik metode pendidikan dan pengajarannya. Singkat kata, Al-Quran mengandung
seluruh dasar-dasar yang dibutuhkan oleh setiap manusia untuk merealisasikan kebahagiaan
mereka di dunia dan akhirat. Semuanya itu dirangkai dengan susunan yang indah dan
menarik yang tidak ada bandingannya, sehingga semua lapisan masyarakat dapat mengambil
manfaat darinya sesuai dengan potensi mereka masing-masing.

Terangkumnya semua ilmu pengetahuan dan hakikat di dalam sebuah kitab seperti ini
mengungguli kemampuan manusia biasa. Akan tetapi yang lebih mengagumkan dan
menakjubkan adalah bahwa kitab agung ini diturunkan kepada seorang manusia yang tidak
pernah belajar dan mengenyam pendidikan sama sekali sepanjang hidupnya, serta tidak
pernah -walaupun hanya sejenak- memegang pena dan kertas. Ia hidup dan tumbuh besar di
sebuah lingkungan yang jauh dari kemajuan dan peradaban.

Yang lebih mengagumkan lagi, selama 40 tahun sebelum diutus menjadi nabi, ia tidak pernah
terdengar ucapan mukjizat semacam itu. Sedangkan ayat-ayat Al-Quran dan wahyu Ilahi
yang beliau sampaikan pada masa-masa kenabiannya memiliki metode dan susunan kata
yang khas dan berbeda sama sekali dari seluruh perkataan dan ucapan pribadinya. Perbedaan
yang jelas antara kitab tersebut dengan seluruh ucapan beliau dapat disentuh dan disaksikan
oleh seluruh masyarakat dan umatnya. Sekaitan dengan ini, Allah swt. berfirman:

Dan kamu tidak pernah membaca sebelum satu bukupun dan kamu tidak pernah menulis
satu buku dengan tanganmu. Karena -jika kamu pernah membaca dan menulis- maka para
pengingkar itu betul-betul akan merasa ragu (terhadap Al-Quran). (Qs. Al Ankabut: 48).

Pada ayat yang lainnya Allah swt. berfirman:

Katakanlah: Jikalah Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu


dan Allah tidak pula memberi tahukannya kepadamu. Sesungguhnya aku telah tinggal
bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?
(Qs.Yunus:16).

Dan kemungkinan besar bahwa ayat 23 surat Al-Baqarah: Dan jika kalian masih merasa
ragu terhadap apa yang kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah yang serupa
dengannya menunjukan unsur kemukjizatan ini. Yakni, kemungkinan besar kata ganti
nya yang terdapat pada kata serupa dengannya itu kembali kepada kata hamba Kami.

Kesimpulannya, barangkali kita berasumsi tentu mustahil bahwa ratusan kelompok yang
terdiri dari para ilmuan yang ahli di bidangnya masing-masing bekerja sama dan saling
membantu itu mampu membuat kitab yang serupa dengan Al-Quran. Namun, tidak mungkin
bagi satu orang yang ummi (tidak belajar baca-tulis sama sekali) mampu melakukan hal
tersebut. Dengan demikian, kedatangan Al-Quran dengan segenap keistimewaan dan
keunggulannya dari seorang yang ummi merupakan unsur lain dari kemukjizatan kitab suci
itu.

3. Konsistensi Kandungan Al-Quran

Al-Quran adalah sebuah kitab suci yang Allah turunkan selama 23 tahun dari kehidupan
Nabi Muhammad saw., yaitu masa-masa yang penuh dengan berbagai tantangan, ujian dan
berbagai peristiwa yang pahit maupun yang manis. Akan tetapi, semua itu sama sekali tidak
mempengaruhi konsistensi dan kepaduan kandungan Al-Quran serta keindahan susunan
katanya. Kepaduan dan ketiadaan ketimpangan dari sisi bentuk dan kandungannya
merupakan unsur lain dari kemukjizatan Al-Quran. Allah swt. berfirman:

Apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran. Seandainya Al-Quran itu datang dari
selain Allah, pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan. (Qs. An Nisa: 82)

Penjelasannya: minimalnya, setiap manusia menghadapi dua perubahan. Pertama,


pengetahuan dan pengalamannya itu akan bertambah dan berkembang. Semakin bertambah
dan berkembangnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan kemampuannya, akan
semakin mempengaruhi ucapan dan perkataannya. Sudah sewajarnya akan terjadi perbedaan
yang jelas di antara ucapan-ucapannya itu sepanjang masa dua puluh tahun.

Kedua, berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seseorang akan berdampak pada
berbagai kondisi jiwa, emosi dan sensitifitasnya seperti: putus asa, harapan, gembira, sedih,
gelisah dan tenang. Perbedaan kondisi-kondisi tersebut berpengaruh besar dalam cara pikir
seseorang, baik pada ucapannya maupun pada perbuatannya. Dan, dengan banyak dan
luasnya perubahan tersebut, maka ucapannya pun akan mengalami perbedaan yang besar.
Pada hakikatnya, terjadinya berbagai perubahan pada ucapan seseorang itu tunduk kepada
perubahan-perubahan yang terjadi pada jiwanya. Dan hal itu pada gilirannya tunduk pula
kepada perubahan kondisi lingkungan dan sosialnya.

Kalau kita berasumsi bahwa Al-Quran itu ciptaan pribadi Nabi saw. sebagai manusia yang
takluk kepada perubahan-perubahan tersebut, maka dengan memperhatikan berbagai
perubahan kondisi yang drastis dalam kehidupan beliau akan tampak banyaknya kontradiksi
dan ketimpangan di dalam bentuk dan kandungannya. Nyatanya, kita saksikan bahwa Al-
Quran tidak mengalami kontradiksi dan ketimpangan itu.

Maka itu, kepaduan, konsistensi dan ketiadaan kontradiksi di dalam kandungan Al-Quran
serta ihwal kemukjizatannya ini merupakan bukti lain bahwa kitab tersebut datang dari
sumber ilmu yang tetap dan tidak terbatas, yakni Allah Yang kuasa atas alam semesta, dan
tidak tunduk pada fenomena alam dan perubahan yang beraneka ragam.
SEBAB-SEBAB TURUN AYAT AL-QURAN

Semua umat Islam meyakini bahwa al-Quran sebagai sumber asasi ajaran Islam, kitab suci
yang bertugas memberi arah petunjuk perjalanan hidup manusia dari dunia yang fana menuju
akhirat yang baqo. Dikatakan pula bahwa al-Quran merupakan Hudan Lil Muttaqin. Dalam
rangka mendapatkan petunjuknya, umat Islam berlomba-lomba menjalankan ajaran Islam ke
dalam prilaku hidup manusia di dunia, karena itu dibutuhkan berbagai macam disiplin ilmu
guna mengungkap pesan dalam al-Quran itu sendiri, dan salah satu disiplin ilmu yang
memberikan peran penting dalam upaya menggali dan memahami makna-makna al-Quran
adalah dengan mengetahui sebab-sebab turunnya al-Quran.

Asbabun Nuzul merupakan ilmu yang menunjukkan hubungan dan dialektika antara nash
(teks) dengan realitas. Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain
sejarah. Al-Suyuthi menegaskan bahwa seseorang tidak berhak berbicara tentang al-Quran
tanpa bekal pengetahuan kronologi pewahyuan yang memadai.[1] Pada perkembangannya
sejarah merespon manusia untuk memahami al-Quran, mulai dari pemahaman awal masa
Rasulallah SAW dan terus berkembang hingga muncul tafsir-tafsir/ ilmu khusus asbabun
nuzul seperti Aly ibn al-Madany guru Imam al-Bukhari (324 H) yang dilanjutkan oleh al-
Wahidy (468 H) Asbab Nuzul al-Quran, al-Iraqi (567 H) Asbab Nuzul wa al-Qasas al-
Furqaniyyah, Ibnu al-Jauzi (597 H) Asbab Nuzul al-Quran, al-Jabary (732 H) Asbab
al-Nuzul, al-Asqalany (852 H) al-Ujab fi Bayan al-Sabab, al-Suyuthi (911 H) Lubab al-
Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Ibnu KhulaifahUlawi Jami al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,
Maqbal bin Hadid al WadiI al-Shahih al-Musnad min Asbab al-Nuzul.[2] Karena
kemajuan dan kemunduran umat Islam tergantung kepada kedekatan dan kekokohan dalam
pengejawantahan al-Quran.[3]

Metode penafsiran ayat menggunakan asbabun nuzul akan menambah pengetahuan baru
dalam memahami al-Quran. Sebagaimana al-Wahidi mengatakan bahwa untuk mengetahui
tafsir suatu ayat al-Quran tidak mungkin bisa tanpa mengetahui latar belakang peristiwa dan
kejadian diturunkannya. Pendapat lain menyebutkankan bahwa keterangan tentang sebab
turunnya ayat merupakan jalan kuat untuk memahami makna-makna al-Quran, hal ini
dikemukakan oleh Ibnu Daqiq al-Ied. Sedang Ibnu Taimiyyah menyebutkan mengetahui
sebab turunnya ayat, menolong sesorang memahami makna ayat, karena mengetahui sebab
turunnya itu memberikan dasar untuk mengetahui akibatnya.[4]

DEFINISI ASBABUN NUZUL

Asbabun nuzul merupakan susunan kata yang terdiri dari dua kata, yaitu Asbab dan al-
Nuzul. Secara etimologi, asbab yang merupakan bentuk plural dari kata sabab yang
mempunyai arti hakiki yaitu menunjukkan pada suatu yang dengannya dapat dicapai sebuah
tujuan dan maksud.[5] Dalam Lisan al-Arab kata sabab berarti saluran, yang artinya
dijelaskan sebagai segala sesuatu yang menghubungkannya dengan yang lain (adanya suatu
keterkaitan satu sama lain).[6] Jadi arti kata sabab adalah sesuatu yang menghantarkan
kepada perkataan atau jawaban.[7] Kedua, kata nuzul yang merupakan masdar dari kata
nazala yang memiliki arti meluncur dari atas ke bawah, turun.[8]

Secara terminologi para ulama salaf dan modern berbeda dalam mendefinisikan asbabun
nuzul diantaranya:

Menurut al-Zarqani
Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu ayat atau
beberapa ayat al-Quran yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu
terjadi.[9]

Al-Shabuni
Asbabun Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau
beberapa ayat al-Quran yang berhubungan dengan peristiwa tersebut baik berupa pertanyaan
yang diajukan kepada Nabi Muhammad atau kejadian yang berkaiatan dengan urusan agama.
[10]

Subhi Shalih
Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-
Quran yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai
penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.[11]

Mana al-Qathan
Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya al-Quran berkenaan dengan
waktu peristiwa itu terjadi baik berupa kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada
Nabi.[12]

Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi


Asbabun Nuzul adalah peristiwa yang melatarbelakangi pada saat turunnya al-Quran.[13]

Nurcholis Madjid
Menyatakan bahwa Asbabun Nuzul adalah sebuah konsep, teori atau berita tentang adanya
sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari al-Quran kepada nabi Muhammad baik berupa
satu ayat, satu rangkaian ayat, maupun satu surat.[14]

Salim Muhammad
Asbabun Nuzul adalah pertanyaan, permintaan, keterangan, penjelasan, kejadian, peristiwa
yang karenanya al-Quran diturunkan sebagai jawaban, penjelasan berdasarkan ketetapan
Allah.[15]
Kendatipun redaksi pendefinisian Asbabun Nuzul bermacam-macam, bisa disimpulkan
bahwa Asbabun Nuzul adalah suatu kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya
ayat atau beberapa ayat al-Quran dalam rangka menjawab dan menyelesaikan masalah-
masalah yang timbul dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi SAW. Definisi ini
memberikan pengertian bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan
adakalanya berbentuk pertanyaan.

Sebab turun ayat dalam bentuk peristiwa ada tiga macam, yaitu:[16]

Disebabkan peristiwa pertengkaran. Contoh peristiwa ini adalah perselisihan yang


berkecamuk antara suku Aus dengan suku Khazraj. Perselisihan tersebut muncul dari intrik-
intrik yang dihembuskan oleh kelompok Yahudi sehingga mereka berteriak senjata! Senjata
(perang! Perang!). Peristiwa ini menyebabkan turunnya suarat Ali Imran ayat 100 :

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi
al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi kafir.

Ayat tersebut dilanjutkan sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal ini merupakan cara
terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan merangsang orang untuk berkasih
sayang satu dengan yang lainnya, memiliki rasa persaudaraan yang tinggi dan kekompakan
atau kesepakatan yang kuat.

Disebabkan peristiwa kesalahan yang serius. Contoh, seorang menjadi Imam dalam shalat
dan dalam keadaan mabuk, sehingga menjadikannya salah dalam membaca surat al-Kafirun.
Imam tersebut tidak mengucapkan dalam bacaannya. Peristiwa ini menyebabkan
turunnya surat an-Nisa ayat 43 yang melarang mengerjakan shalat ketika mabuk.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghampiri (mengerjaka) shalat sedang
kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan

Disebabkan adanya cita-cita atau keinginan. Contoh, sejarah mencatat ada beberapa ucapan
yang ingin disampaikan sahabat, seperti Umar bin al-Khattab, tetapi dia tidak berani
mengucapkannya, kemudian turunlah ayat yang diinginkan Umar bin al-Khattab dalam surat
al-Mukminun ayat 14:


Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.

Selanjutnya, Sebab turun ayat dalam bentuk pertanyaan ada tiga macam, yaitu:[17]

Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu, seperti dalam surat al-Kahfi
ayat 83:


Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: Aku akan
bacakan kepadamu cerita tentangnya.

Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada saat itu, seperti
dalam surat al-Isra ayat 85:

dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu Termasuk urusan Tuhan-
ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.

Pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu di masa mendatang, seperti dalam surat an-
Naziat ayat 42:

(orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan,


kapankah terjadinya?

MACAM-MACAM ASBABUN NUZUL

Pembahasan mengenai Asbabun Nuzul harus lebih dipahami lebih dulu seperti apa cakupan
dari Asbabun Nuzul itu sendiri. Bila ditilik kembali, Asbabun Nuzul ada dua macam yaitu, 1)
turunnya didahului sebab tertentu, 2) tidak didahului sebab tertentu.[18] Untuk memahami al-
Quran tidak selalu mempelajari situasi dan masalah lokal saat itu sebagai latar belakang
turunnya al-Quran, tetapi juga harus memahami situasi dan kondisi masyarakat secara
keseluruhan ketika al-Quran diturunkan, yang kini kita sebut dengan Asbabun Nuzul terbagi
dua yaitu Mikro dan Makro.

Yang dimaksud dengan Asbabun Nuzul Mikro adalah ilmu yang mengelaborasi hubungan
antara suatu ayat al-Quran dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Pemahaman dalam
metode yang dikembangkan ulama salaf ini berimplikasi pada keharusan adanya Asbabun
Nuzul yang tersebut dalam al-Quran, sehingga hal-hal yang tidak disinggung dalam al-
Quran tidak bisa disebut sebagai Asbabun Nuzul.[19] Konsekuensi yang muncul adalah
banyak ayat al-Quran yang tidak bisa dipahami maksudnya karena tidak adanya Asbabun
Nuzul. Konsep ini hanya menerima periwayatan yang shahih dan tidak mengenal bentuk
ijtihad. Para mufassir yang menggunakan konsep ini diantaranya, al-Zarkasyi, al-Suyuthi dan
al-Zarqani.

Sedang Asbabun Nuzul Makro diperkenalkan pertama kali oleh Imam al-Syatibi dalam
kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah yang mendefinisikan Asbabun Nuzul sebagai
situasi dan kondisi yang melingkupi orang yang bicara, orang yang diajak bicara dan
pembicaraannya. Sebab, suatu peristiwa tertentu lahir dari realitas sosial tertentu. Setiap
peristiwa selalu merupakan akibat dari fungsi realitas.[20] Ide ini dikembangkan oleh Syekh
al-Dahlawi yang menganggap bahwasanya usaha para ulama dalam mengumpulkan riwayat
Asbabun Nuzul adalah mengada-ada. Yang dimaksud dengan asbabun nuzul makro adalah
latar belakang sosio-historis masyarakat Arab secara keseluruhan, yaitu memahami situasi
makro dalam kondisi Arab pra Islam dan ketika datang Islam.[21] Jelasnya, metode Makro
ini tidak hanya membahas bagian-bagian individual al-Quran saja, tetapi juga terhadap al-
Quran secara keseluruhan dengan latar belakang paganisme Mekkah. Dengan konsep ini
maka akan menghasilkan pemahaman secara menyeluruh tentang pesan al-Quran. Konsep
ini secara detail dapat dielaborasi dengan pemikiran Fazlurrahman dengan Double
Movementnya. Langkah pertama, dimulai dengan mengkaji situasi atau problem historis
dimana teks al-Quran tersebut merupakan jawabannya. Termasuk dalam langkah ini
mengkaji situasi makro dalam masyarakat, adat istiadat, lembaga-lembaga, termasuk
kehidupan bangsa Arab secara keseluruhan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui prinsip-
prinsip umum dalam al-Quran. Langkah kedua, berangkat dari prinsip-prinsip umum
tersebut harus ada gerakan kembali ke kasus-kasus yang dihadapi sekarang, tentunya dengan
mempertimbangkan kondisi sosial saat ini.

Penerapan Asbabun Nuzul yang sangat terbatas dikalangan ulama ini menimbulkan kesan
yang ambigu, yakni disatu sisi kegunaannya diakui mayoritas ulama, disisi lain penerapannya
terkesan sangat kasuistik. Minimnya peran Asbabun Nuzul dalam penafisran al-Quran
disebabkan karena Asbabun Nuzul lebih dipahami dalam konsep Mikro, sehingga ruang
lingkup pembahasannya sangatlah terbatas. Dan paradigam para ulama mengenai al-ibrah bi
umumi al-lafdzi laa bi khusisi al-sabab. Berbeda jika kita menggunakan konsep Mikro dan
Makro secara bersamaan maka akan menghasilkan pemahaman yang menyeluruh.

CARA MENGETAHUI ASBABUN NUZUL

Al-Quran merupakan respon atas situasi saat ayat tersebut turun. Sebab-sebab turunnya
suatu ayat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, al-Quran diturunkan berkaitan
dengan suatu peristiwa tertentu. Kedua, al-Quran diturunkan ketika nabi SAW ditanya
mengenai suatu masalah. Pengetahuan Asbabun Nuzul dapat diketahui dengan cara merujuk
pada suatu periwayatan yang shahih atau dengan berijtihad.

Periwayatan
Adanya sebab turunnya al-Quran adalah suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada masa Nabi
SAW, oleh karena itu untuk mengetahui Asbabun Nuzul tidak bisa hanya dengan rasio, akan
tetapi harus dengan riwayat yang shahih dan didengar langsung dari orang-orang yang
mengetahui sebab turunnya al-Quran atau dari orang yang memahami Asbabun Nuzul secara
mendalam, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat/ tabiin/
lainnya dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari para ulama yang dapat dipercaya.
[22]

Jika diriwayatkan oleh sahabat maka riwayatnya shahih dan dihukumi Marfu. Seperti yang
dikatakan al-Wahidy Mengenai asbabun nuzul tidak boleh seseorang mengatakan sesuatu
selain riwayat atau berita hadis yang didengar dari mereka yang mengalami masa turunnya
ayat-ayat al-Quran, memperhatikan sebab-sebabnya dan berusaha keras mencari
pengertiannya.[23]

Dan jika diriwayatkan berdasarkan hadis mursal[24] maka riwayatnya tidak diterima, kecuali
apabila diperkuat oleh hadis mursal yang lain yang rawinya belajar dari sahabat, seperti
Mujahid, Ikrimah, Said bin Zubair, Atho, Hasan al-Basri, Said al-Musayyab, adh-
Dhahhak.[25] Dengan demikian para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk
mengetahui asbabun nuzul kecuali dengan riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat
menerima hasil nalar atau ijtihad dalam masalah ini.

Ada dua alasan yang menyebabkan orang meragukan hadis tentang asbabun nuzul. Pertama,
gaya kebanyakan perawi tidak meriwayatkan asbabun nuzul, tetapi meriwayatkan suatu
kisah dan menghubungkannya dengan ayat-ayat al-Quran dan bukan atas dasar pengalaman
atau pengamatan. Kedua, pelarangan periwayatan hadis berlangsung sampai abad pertama
hijriyah mengakibatkan periwayatan secara maknawi kemungkinan mengalami perubahan.
[26]

Apabila riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul lebih dari satu, maka timbul 4
kemungkinan (menurut al-Zarqani).

Satu diantaranya shahih, apabila ada dua riwayat, pertama menggunakan redaksi yang jelas,
sedang yang satunya menggunakan redaksi yang merupakan istinbath, maka yang diambil
adalah yang lebih valid periwayatannya (yang menggunakan redaksi yang jelas)
Keduanya shahih tetapi yang satu punya dalil penguat sementara yang satunya tidak, maka
yang diambil adalah yang pertama.
Keduanya shahih dan sama-sama tidak dikuatkan oleh dalil lain, tetapi keduanya
memungkinkan untuk dikompromikan, maka ayat tersebut mempunyai dua asbabun nuzul.
Keduanya shahih, tetapi tidak ditemukan dalil yang menguatkan dan juga tidak dapat
dikompromikan, maka jalan keluarnya adalah ayat tersebut turun dua kali dengan latar
belakang yang berbeda.[27]
Beberapa redaksi/ sighat yang digunakan para sahabat ini dalam meriwayatkan asbabun nuzul
suatu ayat ada yang berupa lafadz yang jelas menunjukkan asbabun nuzul, ada pula yang
berupa indikasi.

Redaksi yang jelas, apabila seorang rawi menggunakan lafadz , artinya tidak
mengandung kemungkinan-kemungkinan makna lain.
Menggunakan huruf yang diletakkan pada ayat setelah suatu peristiwa diceritakan
, .
Dilihat melalui konteks dan jalan cerita suatu riwayat. Biasanya berupa jawaban atas suatu
pertanyaan.
Redaksi yang berupa asumsi atau indikasi asbabun nuzul. Apabila seorang rawi berkata
, . Redaksi ini belum bisa dipastikan untuk menunjukkan
Asbabun Nuzul.[28] Menurut al-Zarkasyi, penyebutan redaksi ini telah dimaklumi dari
kebiasaan para sahabat dan tabiin jika salah satu mereka berkata ayat ini turun tentang
demikian, maka sesungguhnya ia maksudkan ayat ini mengandung hukum ini, dan ini bukan
sebab bagi turunnya ayat tersebut.[29] Namun menurut al-Zarqani, satu-satunya cara untuk
menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah konteks
pembicaraanya.[30]
Ijtihad
Pendapat para ulama yang tidak setuju akan adanya ijtihad tidak selamanya diterima secara
mutlak. Jika ditilik kekinian dan lebih dikritisi lagi, sebagian ulama masih bisa menemukan
celah sebagai jalan ijtihad dalam masalah Asbabun Nuzul meski masih dalam lingkup yang
terbatas. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa banyak riwayat yang kadang
bertentangan dengan riwayat lainnya hingga diperlukan tarjih (mengambil riwayat yang lebih
kuat). Untuk melakukan pentarjihan ini diperlukan analisis dan ijtihad.[31]

Cara mengetahui asbabun nuzul dengan ijtihad dilakukan dengan bersandar pada sejumlah
unsur dan tanda-tanda internal atau eksternal dalam suatu ayat, karena asbabun nuzul
hanyalah konteks sosial suatu ayat sehingga sebab-sebab turunnya ayat dapat dicari dalam
ataupun luar teks.

Ijtihad sebagai cara mengetahui asbabun nuzul telah dilakukan oleh Imam al-SyafiI, seorang
tabi tabiin, dalam menjelaskan asbabun nuzul Qs. Al-Anam yang secara lahiriah
menyebutkan makanan yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah yang mengalir, daging
babi dan hewan yang disembelih tidak karena Allah. Ayat ini menurut Imam SyafiI bukan
merupakan pembatasan sesuatu yang diharamkan Allah sebagaimana pendapat Imam Malik,
tetapi ayat ini turun berkaitan dengan situasi orang-orang kafir yang mengharamkan apa yang
dihalalkan dan menghalalkan apa yang diharamkan. Pendapat Imam SyafiI juga didasarkan
pada urutan turunnya ayat dalam pelarangan khusus soal makanan adalah sebagai berikut:
QS. Al-Anam 145, QS, an-Nahl 115-116, QS al-Baqarah 172-173, kemudian Qs. Al-Maidah
4. Ayat yang membatasi makanan yang haram adalah ayat yang terakhir, yaitu QS. Al-Maidah
4.[32]

HUBUNGAN ASBABUN NUZUL DENGAN PENERAPAN HUKUM YANG


TERKADUNG DALAM SUATU AYAT

Ada dua pendapat yang mendasari tentang hubungan asbabun nuzul dengan penerapan
hukum yang terkandung dalam suatu ayat al-Quran, yaitu:

Dengan didasari kaidah , kandungan ayat dengan asbabun nuzul


tertentu tidak hanya berlaku pada kasus yang menjadi asbabun nuzul. Sebagai contoh dalam
peristiwa Hilal bin Umayyah yang menuduh istrinya berzina. Kemudian turun surat an-Nur
ayat 6:

dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
Sangat jelas bahwa sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, yaitu tuduhan Hilal terhadap
istrinya. Akan tetapi dalam nash menggunakan lafadz yang umum adalah isim maushul
untuk bentuk jama. Ayat ini menjelaskan hukum mulaanah tanpa takhshish atau
pengecualian. Dengan keumumannya, hukum dalam ayat ini berlaku untuk Hilal bin
Umayyah (sebagai orang yang menjadi sebab turunnya ayat) dan bagi orang-orang yang
menuduh istrinya berzina serta tidak dapat menghadirkan saksi-saksi atas tuduhan tersebut.

Dalam menerapkan ayat ini untuk selain Hilal tidak diperlukan dalil lain, qiyas misalnya.
Dilihat dari keumuman lafadz nashnya jelas jika memang peristiwa yang terjadi dikemudian
hari sama seperti yang dilakukan Hilal terhadap istrinya, maka tidak diperlukan adanya
ijtihad.

Metode ini membuka peluang untuk menggeneralisasi pesan ayat ke dalam realitas dan
peristiwa yang berbeda dengan realitas yang melatarbelakangi turunnya.[33]

Dengan didasari kaidah , kandungan ayat dengan asbabun nuzul


tertentu atau khusus hanya berlaku pada kasus yang menjadi sebab turunnya ayat itu (lafadz
ayat terbatas pada peristiwa yang mana lafadz itu turun karenanya). Adapun jika terjadi suatu
hal yang serupa dengan peristiwa itu, maka hukumnya tidak dapat diketahui dari nash ayat
tersebut, melainkan dari dalil lain yang berupa qiyas.
Dengan demikian, ayat qadzf (penuduhan zina terhadap istri) atas sebab peristiwa Hilal
dengan istrinya hanya berlaku khusus untuknya. Adapun jika terjadi kasus serupa pada masa
setelahnya, maka cara untuk menghukuminya dengan jalur qiyas. Seperti sabda Nabi:

hukumku atas seseorang adalah hukumku atas orang banyak.

Uraian dua penndapat diatas menunjukkan perbedaan yang jelas. Pendapat pertama yakni
pendapat mayoritas berpegang pada keumuman lafadz/ nash, sedang pendapat kedua,
pendapat minoritas berpegang pada kekhususan sebab.[34]

Atau dalam contoh lain, Misalnya seperti dalam surat al-Lail 17-21:

(20) ( 19) ( 18) ( 17)



21

Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan
hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seseorangpun
memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu
semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi Dan kelak Dia benar-
benar mendapat kepuasan.
Menurut riwayat yang bersumber dari Urwah bin menyatakan, bahwa Abu Bakar ash-
Shidiq telah memerdekakan 7 orang hamba sahaya yang disiksa karena menegakkan ajaran
Islam maka turunlah ayat tersebut. Dapat diapahami bahwa menurut asbabun nuzul ayat
tersebut ditujukan untuk Abu Bakar. Pendapat ini disetujui oleh jumhur ulama. Al-Wahidi
menyatakan bahwa ketaqwaan Abu Bakar diakui semua mufassir.[35]

Beberapa argument yang dilontarkan mereka yang menggunakan al-ibrah dengan sebab
khusus (minoritas), yaitu:

Seandainya yang dimaksudkan bukan menerangkan sebab suatu hokum namun menerangkan
hokum umum maka penjelasannya tidak perlu ditunda sampai terjadinya suatu peristiwa.
Apabila ibrah berlaku umum maka boleh meriwayatkan asbabun nuzul dengan ijtihad.
Apabila asbabun nuzul itu tidak berpengaruh kepada aspek hokum, maka seorang rawi tidak
akan pernah meriwayatkannya.
Apabila sebuah soal itu khusus sedang jawabannya umum maka tidak cocok dengan soal.
Seharusnya ada keserasian antara keduanya.
Jawaban atas argument diatas oleh mereka yang menggunakan al-ibrah dengan keumuman
lafadz (mayoritas), yaitu:

Sesungguhnya ayat-ayat al-Quran turun menurut ketentuan, tujuan dan hikmah Allah SWT.
Dalam kenyataannya tidak ada pertentangan dalam posisi sabab nuzul itu menjadi penjelas
dalam proses sebuah hokum. Maka seyogyanya mengambil ibrah dengan keumuman lafadz
melalui proses ijtihad.
Salah satu faedah periwayatan asbabun nuzul adalah untuk dijadikan dasar dalam proses
ijtihad, bukan malah menghalangi proses ijtihad.
Kalaulah yang dimaksudkan adalah ahrus ada kesesuaian antara jawaban dan soal, maka
sebenarnya sudah sesuai. Namun jika dimaksudkan adalah ajwaban soal dibatasi dan tidak
menerangkan perkara yang sesuai, itupun tidak terima, karena kenyataannya jawaban
dimaksud sering merupakan kesatuan tema.[36]
Bukan menjadi persoalan yang besar jika keduanya memperkuat argumennya atas
pendapatnya masing-masing, Yang perlu diingat, pertama, perbedaan pendapat ini hanya
berlaku pada lafadz umum yang qarinahnya (konteks) tidak menunjukkan takhshish
(pengkhususan) dengan sebab terkait. Akan tetapi jika qarinahnya menunjuk pada
pengkhususan, maka hukumnya terbatas pada sebabnya saja berdasarkan ijma ulama (contoh
pendapat kedua nomer 2).[37] Kedua, hukum nash yang umum dan turun atas sebab tertentu,
menurut pendapat mayoritas, hukum tersebut menjangkau siapapun yang serupa akan
peristiwanya, sedang menurut pendapat minoritas, hokum itu tidak bisa berlaku untuk
mereka, kecuali dengan melalui qiyas (analogi) atau dengan nash lain.[38]

Yang menjadi permasalahan adalah bagaiaman cara memeberlakukan suatu hukum atas
mereka yang mengalami hal serupa dengan latar belakang sebab yang sama. Singkatnya,
pendapat mayoritas menerapkan hukum secara langsung, sedang minoritas tidak secara
langsung, yakni dengan melalui jalur qiyas.
Menurut ahli tafsir Indonesia, Dr. M. Quraisy Syihab, ia lebih cenderung sependapat dengan
pendapat minoritas, karena baginya kaidah ini lebih mendukung perkembangan tafsir. Ia
menjelaskan bahwasanya setiap Asbabun Nuzul memiliki 3 unsur, peristiwa, pelaku, dan
waktu. Akan tetapi selama ini para ahli tafsir seringkali lebih menekankan pada peristiwanya
dan mengabaikan waktu dan pelakunya. Maka dari itu untuk menarik kesimpulan dari ayat
yang memiliki latar belakang asbabun nuzul, pendapat minoritas ini memerlukan qiyas.[39]

Pemahaman yang dikemukakan oleh Quraisy Syihab sejalan dengan pendekatan sosio-
historis dalam kajian keislaman. Kaidah ini memberi banyak peluang kepada mufassir untuk
mendapatkan interpretasi al-Quran yang sesuai dengan perkembangan zaman ketimbang
kaidah yang dianut oleh mayoritas. Akan tetapi penerapan kaidah ini tak semudah penerapan
kaidah mayoritas. Karena kondisi masayarakat saat berlangsungnya asbabun nuzul tidak
sama dengan kondisi zaman sekarang, mengingat waktu sebagai salah satu unsur asbabun
nuzul yang harus diperhitungkan dan menyebabkan penawaran tafsir yang banyak. Karena
itu, mayoritas ulama sampai saat ini masih berpegang pada al-Ibrah bi Umum al-Lafdzi laa bi
Khusus al-Sabab, sedang untuk menghadapi dan mengikuti perkembangan zaman, mereka
menganut kaidah al-Hukmu Yaduru maa al-Illat dan menggunakan metode istinbath al-
Mashalih al-Mursalah.[40]

FAEDAH MENGETAHUI ASBABUN NUZUL

Pengetahuan terhadap asbabun nuzul bukan hanya merupakan suatu observasi historis yang
melatarbelakangi turunnya nash al-Quran, namun tujuan yang terpenting adalah untuk
membantu memahami al-Quran dann medapatkan petunjuk al-Quran. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan apa yang telah diklaim oleh sebagian orang yang mengatakan tidak ada
faedahnya mengetahui asbabun nuzul yang tidak lebih hanya berupa sejarah yang telah lalu.
Padahal mempelajari Asbabun Nuzul memiliki beberapa faedah, diantaranya:[41]

Membantu mengetahui rahasia dan tujuan Allah yang melatarbelakangi disyariatkannya suatu
hukum melalui al-Quran.
Membantu memudahkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran dan menghindarkan
kesulitan.
Menolak dugaan adanya hashr (pembatasan) dalam suatu ayat yang menurut lahirnya
mengandung hashr.
Menghindari salah duga pemahaman sebuah ayat yang datang setelahnya ayat
mutakhashishnya.
Penentuan/ pengkhususan hukum terhadap ayat yang menggunakan redaksi umum. Hal ini
bagi mereka yang berpegang teguh pada kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab laa bi umum al-
lafdzi.
Menjelaskan terhadap siapa ayat tersebut ditujukan sehingga tidak terjadi spekulasi.
Mempermudah orang menghafal al-Quran serta memperkuat keberadaan wahyu dalam
ingatan orang yang mendengarnya jika ia mengetahui sebab turunnya.

Das könnte Ihnen auch gefallen