Sie sind auf Seite 1von 28

BAB II

PENANGANAN EPISTAKSIS DENGAN AVASTIN (BEVACIZUMAB)

PADA HEREDITARY HEMORRHAGIC TELANGIECTASIA (HHT)

DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1 Hidung

2.1.1 Anatomi Hidung

2.1.1.1 Hidung Bagian Luar

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian

luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar

dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas: kubah tulang yang tak dapat

digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan,

dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk

hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1)

pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),

4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar

dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan

ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan

lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1) tulang hidung (os nasal) , 2)

prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)

5
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto & Wardani, 2007)

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar (Frank H Netter, 1989)

2.1.1.2 Hidung Bagian Dalam

Hidung bagian dalam dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya

menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang tidak sama ukurannya.

Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian

belakang disebut nares posterior atau disebut choana. Bagian dari rongga hidung

yang letaknya sesuai dengan ala nasi disebut vestibulum yang dilapisi oleh kulit

yang mempunyai kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang

disebut vibrisae. Rongga hidung dilapisi oleh membran mukosa yang melekat erat

pada periosteum dan perikondrium, sebagian besar mukosa ini mengandung

6
banyak pembuluh darah, kelenjar mukosa dan kelenjar serous dan ditutupi oleh

epitel torak berlapis semu mempunyai silia (Dhingra, 2007).

Kavum nasi terdiri dari: 1) Dasar hidung: dibentuk oleh prosesus palatina

os maksila dan prosesus horizontal os palatum. 2) Atap hidung: terdiri dari

kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal prosesus frontalis, os maksila,

korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk

oleh lamina kribrosa. 3) Dinding lateral: dinding lateral dibentuk oleh permukaan

dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media,

konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus

medial. 4) Konka: pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka

inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema

biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan konka yang terbesar dan

merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka

media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid. 5) Meatus nasi:

diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus

nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral

rongga hidung. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka

superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus

sfenoid. 6) Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi.

Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang

biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, bertingkat palsu, berbeda-beda pada

7
bagian hidung. Pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os

internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia, lanjutan epitel

kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi

kolumnar; silia pendek agak irreguler. Sel sel meatus media dan inferior yang

terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang tersusun rapi

(Dhingra, 2007).

Gambar 2. Anatomi Hidung Bagian Dalam (Dhingra, 2007)

2.1.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2)

fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir

8
udara untuk menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik yang berguna untuk

resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri

melalui konduksi tulang, 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan

beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas, 5) refleks nasal.

(Soetjipto & Wardani, 2007).

Penghidu

Indera penghidu pada manusia tergolong rudimenter dibandingkan hewan

lainnya, namun kepekaan organ ini cukup mengejutkan. Proses persepsi bau

belum dapat dipastikan, namun terdapat dua teori yang mengisyaratkan

mekanisme kimia atau undulasi. Menurut teori kimia, partikel-partikel zat yang

berbau disebarkan secara difusi lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia

saat mencapai epitel olfaktorius. Menurut teori undulasi, gelombang energi serupa

dengan tempaan ringan pada ujung saraf olfaktorius. Tanpa memandang

mekanismenya, indera penghidu dengan cepat menghilang. (Adams, 1997).

Tahanan Jalan Napas

Napas manusia dimulai dari lubang hidung. Usaha bernapas mengantarkan

udara lewat saluran pernapasan atas dan bawah kepada alveoli paru dalam

volume, tekanan, kelembaban, suhu, dan kebersihan yang cukup, untuk menjamin

suatu kondisi ambilan oksigen yang optimal, dan pada proses sebaliknya, juga

menjamin proses eliminasi karbon dioksida yang optimal, yang diangkut ke

alveoli lewat aliran darah. Hidung dengan berbagai katup inspirasi dan ekspirasi

serta kerja mirip katup dari jaringan erektil konka dan septum, menghaluskan dan

9
membentuk aliran udara, mengatur volume dan tekanan udara yang lewat, dan

menjalankan berbagai aktivitas penyesuaian udara (filtrasi, pengaturan suhu dan

kelembaban udara). (Adams, 1997).

Perubahan tekanan udara di dalam hidung selama siklus pernapasan telah

diukur memakai rinomanometri. Selama respirasi tenang, perubahan tekanan

udara di dalam hidung adalah minimal dan normalnya tidak lebih dari 10-15 mm

H2O dengan kecepatan aliran udara bervariasi antara 0 sampai 140 ml/menit. Pada

inspirasi, terjadi penurunan tekanan; udara keluar dari sinus. Sementara pada

ekspirasi tekanan sedikit meningkat; udara masuk ke dalam sinus. Secara

keseluruhan, pertukaran udara sinus sangat kecil, kecuali pada saat mendengus,

suatu mekanisme di mana hantaran udara ke membrana olfaktorius yang melapisi

sinus meningkat. (Adams, 1997).

Penyesuaian Udara

Dalam waktu yang singkat saat udara melintasi bagian horizontal hidung

yaitu sekitar 16-20 kali per menit, udara inspirasi dihangatkan (atau didinginkan)

mendekati suhu tubuh dan kelembaban relatifnya dibuat mendekati 100 persen.

Suhu ekstrim dan kekeringan udara inspirasi dikompensasi dengan cara mengubah

aliran udara. Hal ini dilakukan melalui perubahan fisik pada jaringan erektil

hidung. (Adams, 1997).

10
Purifikasi Udara

Rambut hidung atau vibrisa pada vestibulum nasi yang berlapis kulit

berperanan dalam filtrasi udara. Anatomi hidung dalam iregular menimbulkan

arus balik udara inspirasi, dengan akibat penimbunan partikel dalam idung dan

nasofaring. Benda asing, termasuk bakteri dan virus (seringkali menggumpal

membentuk partikel besar) akan diekspektorans atau diangkut melalui transpor

mukosiliar ke dalam lambung untuk disterilkan sekresi lambung. (Adams, 1997).

Gas-gas yang larut juga dikeluarkan dari udara saat melewati hidung.

Makin larut air suatu gas, makin sempurna pengeluarannya oleh mukosa hidung.

Polutan seperti hidrogen klorida, sulfur dioksida dan amonia semuanya sangat

larut dan karena itu dibersihkan sepenuhnya dari udara inspirasi. Sebaliknya,

karbon monoksida dan hidrokarbon mempunyai kelarutan yang sangat rendah dan

langsung menuju paru-paru. (Adams, 1997).

Fungsi Mukosiliar

Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di

sebelah posterior, di mana kemudian akan ditelen atau diekspektorans, merupakan

kerja silia yang menggerakkan lapisan mukus dengan partikel yang terperangkap.

Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang luas antara udara

inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan mukusnya, lapisan mukus berupa

selubung sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut

hidung, sinus, tuba eustakius, faring, dan seluruh cabang bronkus. Lapisan atas

dari lapisan mukus yang amat titpis ini kaya akan glikoprotein, lebih kental,

11
dengan kekuatan tegangan yang memungkinkan gerakan kaku silia ke depan

untuk mempertahankan gerakan lapisan ke posterior dalam aliran kontinu.

Lapisan bawah, lapisan perisiliaris lebih encer, menimbulkan sedikit hambatan

terhadap gerak pemulihan silia (membengkok). Lapisan mukus diperbaharui oleh

kelenjar submukosa dua atau tiga kali dalam satu jam. Seperti gerakan silia dari

epitel bronkopulmonar yang mendorong lapisan mukus ke arah faring, demikian

pula silia hidung dan telinga. Suatu tekanan negatif yang cukup bermakna tercipta

oleh tarikan silia pada lapisan mukus bila salah satu ruangan ini tersumbat oleh

mukus. Hal ini dapat berakibat nyeri sinus yang hebat saat sumbatan

membersihkan ostium, dan bila sumbat mukus turun ke dalam kanalis akustikus

dapat menyebabkan atelektasis membrana timpani. Kerja silia yang efektif telah

diperlihatkan dapat terganggu oleh udara yang sangat kering, seringkali terjadi di

rumah pada bulan-bulan musim dingin dengan pemanasan. Juga penting untuk

mempertahankan pH netral 7. Polusi udara mengganggu efektivitas silia dalam

berbagai cara. Nitrogen dioksida dan sulfur dioksida, komponen lazim dari asap

mengganggu kesehatan hidung. Partikel bermuatan positif dapat menetralisir

hitung ion atmosfer yang negatif normal terbentuk akibat radiasi matahari.

Gerakan silia terlihat berkurang atau bahkan terhenti setelah hitung ion menjadi

lebih positif. (Adams, 1997).

Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang

tertimbun dari udara inspirasi juga memindahkan panas, normalnya mukus

menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan udara ekspirasi, serta

melembabkan udara inspirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya.

12
Namun, bahkan dengan jumlah uap demikian sering kali tidak memadai untuk

melembabkan udara yang sangat kering, seringkali terdapat di rumah-rumah

dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini dapat berakibat mengeringnya

mukosa yang disertai berbagai gangguan hidung. Derajat kelembaban selimut

mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar seromukosa pada submukosa

hidung. (Adams, 1997).

Kecepatan gerak mukus yang ditentukan oleh kerja silia berbeda di

berbagai bagian hidung; pada segmen hidung anterior mungkin hanya seperenam

dari kecepatan segmen posterior, yaitu sekitar 1-20 mm/menit. (Adams, 1997).

Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel lemah,

juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi walaupun

organisme lebih mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit untuk mendapat

suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat pada lapisan mukus,

bersifat dekstruktif terhadap dinding sebagian bakteri. Fagositosis aktif dalam

membran hidung merupakan bentuk proteksi di bawah permukaan. Membran sel

pernapasan juga memberikan imunitas induksi selular. (Adams, 1997).

Sejumlah imunoglobin dibentuk dalam mukosa hidung, sebagian dibentuk

oleh sel plasma yang normal terdapat dalam jaringan tersebut. Sesuai kebutuhan

fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. (Adams, 1997).

13
Hubungan dengan Paru-paru

Fisiologi paru-paru normal bergantung pada pernapasan hidung.

Sedangkan tonus bronkus tergantung pada refleks nasopulmonaris yang juga

menyebabkan perubahan tahanan dan perfusi paru-paru total. Riset telah

menunjukan suatu refleks yang dihantarkan dari mukosa hidung ke paru-paru

homolateral. Suatu penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan vaskular

perifer juga telah dikaitkan dengan rangsangan membrana hidung. Namun tahanan

vaskular perifer tersebut tidak mengubah aliran karotis. (Adams, 1997).

Modifikasi Bicara

Hidung dan sinus, demikian pula nasofaring berperan pula dalam

artikulasi. Pada bunyi tertentu seperti m, n, dan ing, resonasi hidung adalah

penting. Secara umum, bicara yang abnormal akibat perubahan rongga-rongga

hidung dapat digolongkan sebagai hipernasal atau hiponasal. Hipernasal terjadi

bila insufisiensi velofaringeal menyebabkan terlalu banyak bunyi beresonasi

dalam rongga hidung. Pasien-pasien palatoskisis yang tidak diperbaiki secara khas

mewakili gangguan bicara ini. Hiponasal timbul bila bunyi-bunyi yang normalnya

beresonasi dalam rongga hidung menjadi terhambat. Sumbatan hidung dapat

menimbulkan kelainan ini dengan berbagai penyebab seperti infeksi saluran

pernapasan atas, hipertrofi adenoid, atau tumor hidung. (Adams, 1997).

14
2.1.3 Vaskularisasi Hidung

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri

maksilaris interna, di antaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri

sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus

sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka

media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri

fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri

sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina

mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach

letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi

sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. (Mangunkusumo &

Wardani, 2011).

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-

vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi

untuk mudahnya penyebaran infeksi samapi ke intrakranial. (Mangunkusumo &

Wardani, 2011).

15
Gambar 3. Sumber Perdarahan Epistaksis (Christy Krames, 2005)

2.2 Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)

2.2.1 Definisi

Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) adalah gangguan dominan

autosomal yang mengarah pada malformasi arteri vena (AVMs) terutama di paru,

hati, hidung, gastrointestinal, dan sirkulasi otak. HHT terjadi pada sekitar satu dari

5,000-8,000 individu, dan hasil HHT berasal dari mutasi gen yang mengkode

protein sehingga mengubah faktor pertumbuhan-beta (TGF-b) yang berada di

endotel vaskular. Patogenis saat ini adalah ketika gen bermutasi dalam HHT maka

akan menghasilkan ketidakmampuan pembuluh darah untuk tumbuh kuat secara

tepat. (Elphick, 2013)

16
Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) yang menyebabkan

displasia pembuluh darah viseral sehingga menimbulkan peningkatan risiko

perdarahan. Pasien dengan HHT dapat menimbulkan berbagai gejala. Epistaksis

adalah gejala yang paling umum dari HHT dan telangiektasia mukokutan tanda

yang paling umum. (Kumar Kar, 2015)

2.2.2 Etiologi

Berbagai anggota faktor pertumbuhan transformasi (TGF) -B superfamili

telah terlibat dalam patogenesis HHT. Renovasi dari endotel pembuluh darah

dalam pembuluh mukosa terjadi secara tidak teregulasi, yang menyebabkan

hilangnya elastisitas dan dilatasi komunikasi arteri-venula. Akibatnya, rapuh dan

berdinding tipis sehingga telangiektasis terbentuk di dalam rongga hidung dengan

aliran udara yang tinggi rentan terhadap kekeringan atau trauma mekanis

berulang. Telangiektasis cenderung berkumpul di sepanjang septum anterior,

kepala turbinat rendah, anterior dinding lateral hidung, dan anterior permukaan

mukosa hidung. Epistaksis berulang dan spontan sebagai hasil dari pecahnya

traumatis dari dinding pembuluh ectatic yang kurang kontraktil dan elemen

elastis. Kadar plasma faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF) yang

meningkat timbul pada pasien dengan HHT, sehingga pengobatan selama ini

bekerja sebagai penghambat VEGF. (Sautter, 2016)

17
2.2.3 Manifestasi Klinis

Epistaksis

Epistaksis spontan dan berulang epistaksis berulang dari telangiektasis di

mukosa hidung adalah manifestasi klinis yang paling umum dari HHT. Mimisan

adalah gejala klinis pertama penyakit di sekitar 80% kasus. Tingkat keparahan dan

frekuensi epistaksis sangat bervariasi bahkan di dalam keluarga yang sama.

Sumber perdarahan epistaksis anterior berasal dari kiesselbachs plexus,

sedangkan pada epistaksis posterior berasal dari arteri ethmoidalis anterior, arteri

ethmoidalis posterior, dan arteri sphenopalatina.

Telangiektasis mukokutan

Telangiectases dari kulit dan membran mukosa mulut terjadi pada 50-90%

dari HHT. Gejala Ini biasanya dapat timbul kemudian hari dibanding muncul

gejala epistaksis sesuai dengan usia. Telangiektasis mukokutan biasanya terjadi di

wajah, bibir, mukosa bukal, lidah, jari, tangan, telinga dan dada, tetapi dapat

terjadi di tempat lain. Gejala ini mungkin berdarah tapi jarang ke tingkat

signifikansi klinis.

Saluran pencernaan

Telangiektasis mukosa di saluran pencernaan dapat menyebabkan

perdarahan saluran cerna atas atau bawah berulang dalam 15- 33% dari pasien

HHT. Gejala ini timbul dengan anemia defisiensi besi, dan kadang-kadang dengan

saluran cerna akut. Prevalensi telangiektasis saluran cerna, termasuk telangiektasis

18
non-gejala, masih diragukan. Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi 75-

86%.

Hati

Asimtomatik hati AVM (HAVM) terjadi pada 30-74% pasien HHT.

Keterlibatan gejala pada hati kurang umum. Keterlibatan hati gejala meliputi:

output tinggi gagal jantung sekunder untuk shunt intrahepatik, portal hipertensi,

penyakit empedu, dan portal encephalopathy.

Paru-paru

Prevalensi malformasi arteri paru (PAVMs) pada pasien HHT tergantung

pada metode yang digunakan untuk deteksi dan jenis mutasi gen. Berdasarkan

CT-scan pada dada dan atau angiografi paru, PAVM dapat dideteksi di 26-56%

pasien HHT, dengan prevalensi 49-75% di antara HHT1 subtipe dan 5- 44% di

antara HHT2 subtipe. Sebuah penelitian baru menunjukkan shunt intrapulmonary

positif pada 85% pasien HHT1, dan 35% dari pasien HHT2 menggunakan kontras

echocardiography, dibandingkan dengan 7% pada populasi kontrol.

Sistem saraf pusat (SSP)

Khas utama yang berhubungan HHT terkait dengan otak dari cerebral

arteriovena malformations (CAVMs), arteriovenous fistula (AVFs), mikroAVMs

(berukuran <1 cm) dan telangiektasis kapiler. Ini dapat ditemukan di sekitar 23%

dari pasien HHT. Gejala yang berhubungan dengan lesi ini termasuk sakit kepala,

kejang, iskemia dari jaringan sekitarnya karena mencuri efek, atau perdarahan.

Manifestasi klinis lainnya yang termasuk adalah migrain, abses otak, serangan

19
iskemik transien, dan stroke biasanya komplikasi dari PAVM. AVMs paru adalah

sumber keterlibatan otak di 2/3 dari kasus di antaranya gejala neurologis

berkembang. AVMs tulang belakang secara signifikan lebih umum daripada

AVMs otak dan biasanya hadir dengan kelumpuhan dan / atau keluhan sakit

punggung. (Dheyauldeen, 2014)

2.2.4 Patofisiologi

Telangiektasis kecil pembuluh darah melebar di dekat permukaan kulit

atau pada selaput lendir, berukuran antara diameter 0,5 dan 1 milimeter. Penelitian

longitudinal, menyelidiki tentu saja yang dialami dari telangiectases, saat ini tidak

ada. Namun, telah menekankan bahwa perubahan morfologi awal dalam

patogenesis HHT berupa dilatasi pada fokus venula postcapillary. Sehingga

venula bertambah besar, baik diameter luminal dan ketebalan dinding pembuluh

darah, mereka menjadi berbelit-belit dan menyebabkan pembesaran arteriol

melalui segmen kapiler. Akhirnya segmen ini hilang, yang mengarah pada

arteriovena langsung. Dalam telangiektasis, sebagian besar venula menunjukkan

lapisan berlebihan sel otot polos tanpa serat elastis atau memiliki lapisan yang

tidak lengkap dari sel-sel otot polos.

Gen ENG dan ALK1 menyandi protein yang terlibat dalam pengiriman

informasi oleh pertumbuhan transformasi faktor beta - morphogenic tulang

protein (TGF-BMP) superfamili di sel endotel vaskular. TGF-BMP mengatur

pertumbuhan sel, diferensiasi dan perbaikan luka melalui kaskade transduksi

sinyal dari kompleks reseptor transmembran. Pembuluh darah dalam HHT

20
berkembang secara abnormal karena tidak baiknya pengiriman informasi pada

TGF-BMP selama membentuk pembuluh darah dan homeostasis. Hal ini

menyebabkan masih adanya fase aktivasi angiogenesis, seperti faktor

pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), yang diproduksi dan memainkan peran

potensial dalam angiodisplasia. (Dheyauldeen, 2014)

2.2.5 Diagnosis

Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) adalah diagnosis klinis,

dan kriteria Curacao adalah andalan diagnosis. Yang pasti HHT didiagnosis

dengan adanya 3 atau lebih fitur, termasuk (1) pendarahan spontan, hidung

berulang; (2) telangiectasias mucocutaneous di salah satu mukosa, seperti ujung

jari, bibir, mukosa mulut, dan / atau lidah; (3) keterlibatan viseral dengan

telangiektasis saluran cerna dan paru, hati, otak, dan / atau AVMs tulang

belakang; dan (4) riwayat keluarga. Jika hanya 2 kriteria yang hadir, maka HHT

adalah mungkin, dan diagnosis HHT tidak dapat ditegakkan apabila hanya

ditemukan satu atau kurang dari satu gejala yang timbul. Gejala klinis pada HHT

terkait dengan usia, yaitu gejala klinis hilang pada anak-anak dan dewasa muda,

yang terlihat tidak memiliki epistaksis atau telangiektasis belum tentu tidak

terkena HHT. Di sinilah letak salah satu manfaat utama dari pengujian genetik.

Hasil dari pengujian genetik di HHT adalah untuk menegakkan diagnosis

terutama pada usia anak-anak dan dewasa muda yang tidak dapat terlihat gejala

klinisnya dan pada pasien dengan kemungkinan HHT di antaranya tes genetik

positif dapat mengkonfirmasi diagnosis, dan untuk memperjelas mutasi tertentu

21
dalam keluarga. Saat ini teknik genetika tersedia membawa tingkat deteksi mutasi

sekitar 85%. (Parambil, 2016)

2.2.6 Prognosis

Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) dikaitkan dengan harapan

hidup yang lebih pendek dan sebagai penyebab kematian dini. Meskipun

komplikasi wanita saat hamil dapat menyebabkan kematian wanita saat

melahirkan karena perdarahan dari AVMs paru atau otak dalam beberapa kasus,

perbedaan yang signifikan secara statistik dalam harapan hidup antara gender dan

mutasi gen subkelompok penyakit belum terbukti. (Dheyauldeen, 2014)

2.3 Epistaksis

2.3.1 Definisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga

hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis

bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir

90% dapat berhenti sendiri. (Munir et al, 2006).

Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan akut dari dalam rongga

hidung termasuk nasofaring. (McLarnon & Carrie, 2012).

22
2.3.2 Etiologi

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya,

kadang-kadang jelas disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan

sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh

darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan

sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik,

perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

(Soetjipto & Wardani, 2007).

a. Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,

benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau

sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh, atau

kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda

asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis sering juga terjadi karena

adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina

itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang

mengalami pembengkakan.

b. Kelainan pembuluh darah (lokal)

Sering pada kasus kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan

ikat dan sel-selnya lebih sedikit.

23
c. Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti

rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur,

tuberkulosis, lupus, sifilis, atau lepra.

d. Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih

sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

e. Penyakit kardiovaskular

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada

arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat

menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi

seringkali hebat dan dapat berakibat fatal.

f. Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukimia, trombositopenia,

bermacam-macam anemia serta hemofilia.

g. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah

telengiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic

teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada Von

Wilenbrand disease.

24
h. Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue

hemorrhagic fever), demam tifoid, influensa dan morbili yang dapat

disertai epistaksis.

i. Perubahan udara atau tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang

cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan

adanya za-zat kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya

mukosa hidung.

j. Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena

pengaruh perubahan hormonal. (Soetjipto & Wardani, 2007)

2.3.3 Klasifikasi

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu

(Munir et al, 2006):

1. Epistaksis anterior

Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada

anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini

bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari

beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero

superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan

konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat

pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek

25
pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur

atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan

perdarahan.

2. Epistaksis posterior

Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri

etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan

sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,

arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

2.3.4 Tatalaksana

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari

sumber perdarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah

berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan

umunya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih

dulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah

atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Alat-alat yang diperlukan untuk

pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Pasien

dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar

dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah

duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan

sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. (Soetjipto & Wardani, 2007).

26
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis

yang cermat. Hal-hal yang penting adalah sebagai berikut (Adams, 1997):

1. Riwayat perdarahan sebelumnya

2. Lokasi perdarahan

3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior)

ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak

4. Lama perdarahan dan frekuensinya

5. Kecenderungan perdarahan

6. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

7. Hipertensi

8. Diabetes melitus

9. Penyakit hati

10. Penggunaan antikoagulan

11. Trauma hidung yang belum lama

12. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenilbutazon

2.4 Penanganan Epistaksis dengan Avastin (Bevacizumab) pada

Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)

Bevacizumab, merupakan sebuah antibodi monoklonal IgG1 rekombinan

yang menghambat aktivitas biologis dari VEGF, menurunkan frekuensi epistaksis,

telangiektasis dan menurunkan angka kejadian anemia defisiensi zat besi. Dosis

yang diberikan adalah 5 mg / kg setiap minggu dalam 6 kali suntikan, ditunjukkan

untuk mengurangi durasi epistaksis pada pasien HHT. (Azzorpadi, 2015)

27
Vascular Endothel Growth Factor (VEGF) menghambat sintesis dari

eritropoeitin, sementara Bevacizumab bekerja sebagai anti VEGF sehingga dapat

menyebabkan peningkatan dari retikulosit dan dapat menurunkan ketergantungan

transfusi pada pasien dengan HHT. Beberapa efek terapi Bevacizumab pada

pasien dengan HHT :

A. Menurunkan pembentukan AVMs

B. Meningkatkan eritropoeitin ( pengingkatan retikulosit, eritrosit dan

hemoglobin)

C. Meningkatkan jumlah trombosit dan fibrinogen yang dapat

menurunkan efek koagulasi pada AVMs (Kochanowski, 2015)

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dosis 40-80 kali lebih rendah dari

protokol onkologi secara signifikan akan meningkatkan keparahan dan frekuensi

dari epistaksis, serta gejala sinonasal keseluruhan dan gejala mental. Pengaruh

bevacizumab dosis rendah diukur dengan empat kualitas hidup pasien yang

disurvei dengan HHT. Bevacizumab terbukti bermafaat dalam mengurangi gejala

dan keparahan dari epistaksis dengan dua cara yaitu intravena dan intranasal.

Namun, pedoman dosis ideal dan frekuensi administrasi saat ini kurang, dengan

kebanyakan studi protokol onkologi dan bukti farmakokinetik bahwa dosis rendah

mampu menghasilkan penurunan yang signifikan dari kadar VEGF serum.

Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa parameter dosis onkologi tidak

diperlukan untuk perbaikan yang signifikan dalam epistaksis medis refrakter pada

pasien dengan HHT. (Thompson, 2014)

28
Tingkat keparahan dan frekuensi pada epistaksis menurun untuk semua

peserta dalam penelitian. Ada penurunan signifikan secara statistik pada nilai

Epistaxis Severity Score (ESS) selama protokol pengobatan. Awal rata-rata nilai

Epistaxis Severity Score (ESS) adalah 7,2, yang jatuh ke 3,3 setelah infus terakhir

(p 0,01; Gambar 1.). Selain itu, skor komposit dari SF-36 menunjukkan

peningkatan yang signifikan secara statistik pada pasien secara keseluruhan

kesejahteraan mental, yang diukur dengan skor komposit mental. (Thompson,

2014)

Protokol dosis yang digunakan ini tidak berpengaruh signifikan secara

statistik pada kedua tingkat hematokrit hemoglobin atau Rata-rata hemoglobin /

hematokrit sebelum dan sesudah perlakuan adalah 11,0 g / dL dan 34,4% dan

11.4g / dL dan 35,7%. Empat dari enam pasien memiliki peningkatan hemoglobin

/ hematokrit tapi hasilnya tidak signifikan secara statistik. (Thompson, 2014)

Efek samping dari pengobatan bevacizumab juga dipantau selama

penelitian. Efek samping yang paling umum dilaporkan selama penelitian adalah

sakit kepala, diikuti dengan perubahan sensasi rasa. Satu pasien melaporkan tidak

ada efek samping sama sekali, dan semua pasien melaporkan mengalami

penurunan gejala epistaksis. (Thompson, 2014)

Ada beberapa keuntungan menggunakan topikal intranasal bevacizumab

dibandingkan dengan bevacizumab IV untuk pengobatan epistaksis di HHT.

Pertama, pengobatan lebih lokal dan terfokus, sehingga mengurangi efek sistemik

potensi bevacizumab IV. administrasi intranasal lokal juga mengurangi

ketidaknyamanan kepada pasien karena akses IV tidak diperlukan. Selain itu,

29
terdapat penghematan biaya yang signifikan dengan aplikasi intranasal topikal

lebih bevacizumab IV. Harga bevacizumab topikal di lembaga peneliti adalah

sekitar $ 650 dibandingkan dengan beberapa ribu dolar per dosis bevacizumab IV.

(Brinkerhoff, 2012)

Pada kasus ini memiliki beberapa keterbatasan, yang paling jelas dari yang

ukuran sampel. penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah hasil

penelitian ini dan sebelumnya digeneralisasikan. Topikal intranasal bevacizumab

juga bisa cepat keluar dari hidung terutama ketika pembuluh darah pendarahan.

Sebaliknya, IV bevacizumab memungkinkan pemberian obat ditingkatkan dan

retensi. Topikal intranasal bevacizumab adalah efektif terapi pemeliharaan jangka

panjang yang layak dan biaya untuk epistaksis kronis pada pasien dengan HHT.

Penggunaan pengobatan topikal tampaknya aman dan efektif dan layak studi lebih

lanjut. Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan penurunan derajat

perdarahan hidung pada pasien HHT. (Brinkerhoff, 2012)

Lima dari delapan pasien menunjukkan perbaikan yang baik setelah

pengobatan pertama, sedangkan tiga pasien tidak. Untuk ini, tingkat keparahan

epistaksis, dinilai oleh IFT dan sistem ESS sebelum dan 4 minggu setelah

pengobatan pertama, tidak berubah (pasien 3, 5, dan 7 pada Tabel I). Dua dari tiga

pasien ini menerima satu lagi pengobatan setelah 4 minggu. Dosis kedua adalah

efektif pada pasien. Pasien ketiga belum menerima dosis tambahan.

(Dheyauldeen, 2012)

Penelitian ini dilakukan pada tiga pasien dengan HHT yang diberikan

semprotan topikal bevacizumab off-label. Para pasien terdiri dari dua laki-laki dan

30
satu perempuan berusia 67, 77 dan 66 tahun. Salah satu pasien memiliki riwayat

emboli paru sebelumnya diobati dengan warfarin dan tetap pada terapi antiplatelet

ganda selama penelitian karena penyakit arteri koroner yang berat. Ketiga pasien

sebelumnya telah berhasil dengan berdenyut kauter dye laser mukosa hidung

mereka diberikan pada sekitar secara bulanan hingga 20 tahun. Para pasien terus

menghadiri klinik ini dan menerima kauter dianggap perlu oleh dokter yang

merawat. (Wiley, 2013)

Setelah persetujuan diperoleh, setiap pasien menerima dosis total 100 mg

bevacizumab murni (volume total 4 ml) melalui perangkat intranasal atomisasi

diberikan di 100 aliquots ll ke setiap lubang hidung setiap lima menit sampai

selesai. Ini diulang setiap bulan untuk total 3 bulan. Keparahan gejala dinilai

menggunakan normalisasi Epistaksis Severity Score (Ness) untuk memberikan

nilai dari 10. Ini adalah instrumen divalidasi berdasarkan enam pasien melaporkan

gejala epistaksis keparahan dan mencakup frekuensi, durasi, intensitas,

pengobatan, anemia dan transfusi persyaratan ( Hoag et al, 2010). Berat dikaitkan

dengan setiap faktor sesuai dengan dampak relatif pada persepsi pasien

keparahan. Data juga dikumpulkan pada durasi rata-rata harian dari epistaksis,

jumlah perawatan laser yang diberikan setiap bulan, dan kebutuhan terapi besi

intravena. (Wiley, 2013)

Kesimpulannya, bevacizumab dapat diterapkan dengan aman sebagai

obat semprot hidung untuk pasien dengan HHT untuk menghasilkan pengurangan

berkelanjutan dalam epistaksis keparahan. Fakta bahwa ada pengurangan

persyaratan untuk laser kauter yang dapat dialihkan dengan menggunakan

31
bevacizumab untuk mengurangi kecenderungan dari telangiektasia. Hasil ini

menunjukkan bahwa pengobatan ini dapat menawarkan manfaat yang signifikan

pada keuangan pada pasien dan gejala yang ditimbulkan. (Wiley, 2013)

32

Das könnte Ihnen auch gefallen