Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
1. P engertian Ketetapan
Dalam self assessment system, beban pembuktian untuk menyatakan bahwa pajak yang
terutang dalam SPT adalah tidak benar berada pada pihak fiskus (Dirjen Pajak), sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 12 ayat 3 UU KUP yg bunyinya Apabila Dirjen Pajak mendapatkan bukti
jumlah pajak yg terutang menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Dirjen
Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Proses pembuktian atau bukti yang diperoleh dapat berasal dan pemeriksaan atau adanya
keterangan ain. Maka apabila dan bukti tersebut ternyata jumlah pajak yang terutang menurut WP
sebagaimana dilaporkan dalam SPT tidak benar, maka Dirjen Pajak menetapkan jumlah pajak yang
terutang dengan menerbitkan SURAT Ketetapan Pajak (SKP). Contoh : PT XYZ adalah WP
Badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang-barang elektronik. PT XYZ
melaporkan seluruh penghasilan tahun 2012 dan kredit pajaknya dalam SPT Tahunan PPh badan
Tahun 2012, dengan perincian sbb:
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan PT
XYZ dalam SPT PPh Tahun 2012 tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang
sebenarnya sehingga PPh terutang kurang dilaporkan, maka Dirjen Pajak menetapkan besarnya
pajak yang terutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
SKP KB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan
jumlah pajak yang masih harus dibayar. Dan definisi tersebut maka format SKP KB adalah
sebagai berikut:
Jumlah Pokok Pajak Rp.15.000.000,00\
Jumlah Kredit Pajak Rp. 5.000.000,00
Jumlah Kekurangan Pembayaran
Pokok Pajak Rp. 10.000.000,00
Besarnya Sanksi Administrasi Rp. 2.000.000,00
Jumlah Pajak Yang Masih Harus
Dibayar Rp. 12.000.000,00
Pasal 13 ayat 1 UU KUP menyatakan bahwa: Dalam jangka waktu 5 (lima tahun) setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Dirjen
Pajak dapat menerbitkan SKP KB dalam hal-hal sebagai berikut:
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar;
b. apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan
dalam Surat Teguran;
c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai PPN dan PPN BM ternyata
tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol
persen);
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga
tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
e. apabila kepada WP diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
1. Pasal 13 ayat (2) menyatakan bahwa : Atas jumlah kekurangan pajak yg terutang dalam SKP
KB tersebut ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) per
bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya
SKP KB.
Contoh : PT XYZ adalah WP Badan yang melakukan usaha perdagangan barang - barang
elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2012 (tahun takwim) pada tgl 30 April 2013,
dengan perincian sbb:
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut telah dibayar tgl 29 April 2010.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Penghasilan Kena Pajak seharusnya
adaiah Rp.1.100.000.000,- sehingga PPh terutang seharusnya adalah Rp.312.500.000,00 dan
seandainya SKP KB diterbitkan tanggal 10 Oktober 2013, maka rincian SKP KB adalah sbb:
Jumlah Pokok Pajak Rp.312.500.000,-
Jumlah Kredit Pajak Rp.282.500.000,-
Jumlah Kekurangan Pokok Pajak Rp. 30.000.000,-
Sanksi administrasi berupa bunga selama 10 bulan ( Januari s.d Oktober 2% x 10
bulan x Rp. 30.000.000,-) Rp. 6.000.000,-
Jumlah pajak yang masih harus Dibayar Rp. 36.000.000,-
2. Atas jumlah kekurangan pajak dalam SKP KB yang diterbitkan berdasar kan Pasal 13 ayat
(1) huruf b, c dan huruf d (angka 2, 3 dan 4 tersebut diatas), ditambah dengan sanksi admnistrasi
berupa kenaikan menurut pasal 13 ayat (3) UU KUP sebesar:
a. 50 % (lima puluh persen) dan Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu
Tahun Pajak;
b. 100 % (seratus persen) dan Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau
kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang
disetor; atau
c. 100 % (seratus persen) dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
Sebagal contoh, atas PPh badan tahun pajak 2009 yang saat terutang pajaknya adalah akhir
Desember 2009, dalam jangka waktu sejak awal Januari 2010 sampai dengan akhir Desember 2014
Dirjen Pajak berhak menerbitkan SKP KB dengan kriteria di atas. Sejak awal Januari 2015, SKP
KB hanya dapat diterbitkan (dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48%) apabila WP
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kewenangan dan kriteria penerbitan SKP KBT diatur dalam Pasal 15 ayat 1 UU KUP yang
berbunyi :Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP KBT dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah
saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKP KBT.
Yang dimaksud data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan
untuk menghitung besarnya jumlah pajak terutang yang oleh WP belum diberitahukan pada waktu
penetapan semula, baik dalam SPT dan lampiran lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data baru
adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh WP dalam SPT beserta Iampirannya (termasuk laporan keuangan);
dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula WP tidak mengungkapkan data dan/atau
memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga.
tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundangu undangan
perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
c. Walaupun WP telah memberitahukan data dalam SPT atau mengungkapkannya pada waktu
pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau
mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin
menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang
terutang ditetapkan kurang dan yang seharusnya, hal tersebut
termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
Dalam SPT dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya Gaji Rp.10.000.000,00, sedangkan
sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp.5.000.000,00 biaya gaji pegawai dan Rp.5.000.000,00
sisanya adalah PPh yang ditanggung perusahaan (natura) yang tidak boleh dibebankan sebagai
biaya. Apabila pada saat penetapan semula WP tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga
fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa biaya PPh atau natura sehingga pajak yang
terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa biaya PPh atau
riatura tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dan Pengusaha Kena Pajak lain
dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-
barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak
tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli. Apabila pada
saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang
tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut
oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar. Apabila setelah tu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan
Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data
atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Pada bulan Mel 2013 ditemukan data baru berupa objek PPh Pasal 21 yang belum dipotong oleh
PT FGH dan seharusnya dilaporkan dalam SPT Masa Desember 2011 dengan jumlah pokok
pajak Rp.20juta. Sehingga seharusnya jumlah pokok pajak pada Masa Desember 2009 adalah
Rp.l20 juta. Misalkan setelah dilakukan pemeriksaan diterbitkan SKP.KBT tanggal 25 Mel 2013,
maka rincian SKP.KBT adalah sebagai berikut:
Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan SKP LB apabila jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari pada jumlah pajak yang terutang. (Pasal 17 ayat
{1} UU KUP). SKP LB disini adalah akibat dilakukannya pemeriksaan atas SPT yang
disampaikan WP yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar dan tidak disertai
dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Apabila WP setelah menerima
SKP LB, menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, WP wajib mengajukan
permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). Hal ini dapat terjadi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang (untuk PPh dan PPN) atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari pada jumlah pajak
yang terutang (untuk PPn BM).
Contoh : PT XYZ adalah WP Badan yang melakukan usaha perdagangan barang barang
elektronik, menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2012 (tahun takwim) pada tgl 30 April 2013,
dengan perincian sbb:
Penghasilan Kena Pajak Rp.1.000.000.000,00
PPh terutang Rp. 282.500.000,00
Kredit Pajak (Rp. 202.500.000,00)
Pajak yang kurang dibayar Rp. 80.000.000,00
Kekurangan (PPh Pasal 29) tersebut dibayar tgl 29 April 2013.
Apabila berdasarkan hash pemeriksaan ternyata Penghasilan Kena Pajak seharusnya adalah
Rp.900.000.000,00 sehingga PPh terutang seharusnya adalah Rp.252.500.000,00, maka Dirjen
Pajak menerbitkan SKPLB dengan rincian sbb:
Pajak Yang Terutang Rp.252.500.000,00
Jumlah Kredit Pajak (Rp.282.500.000,00)
Jumlah Kelebihan Pembayaran Pajak (Rp. 30.000.000,00)
SKP Nihil adalah Surat ketetapan yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya
dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak (Pasal 1 angka 18
UU KUP). Ketentuan mengenai penerbitan SKP Nihil diatur dalam Pasal 17A yang berbunyi:
Dirjen Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan SKP Nihil apabila jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang
dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. Hal ini dapat terjadi apabila:
untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak;
untuk PPN, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak;
untuk PPnBM, jumlah pajak yg dibayar sama dengan jumlah pajak yg terutang atau pajak tidak
terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
Contoh PT ABC adalah WP badan yang melakukan kegiatan usaha industri garmen
menyampaikan SPT PPh badan Tahun 2012 pada tgl 30 April 2013 yang menyatakan rugi,
dengan perincian sbb:
Rugi Neto Rp.1 .000.000.000,00
PPh terutang Rp. --
Kredit Pajak Rp. --
Pajak yang kurang/(lebih) dibayar Rp. N i h i l
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata rugi neto seharusnya adalah Rp.400.000.000,00
dan PPh terutang tetap nihil. Karena berdasarkan hash pemeriksaan tidak ada PPh terutang dan
tidak ada kredit pajak maka selanjutnya Dirjen Pajak menerbitkan SKP Nihil.
STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda (Pasal 1 angka 20 UU KUP). Dengan demikian fungsi STP
adalah untuk melakukan:
tagihan pajak dan/atau
tagihan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Contoh : PT DEF membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh Tahun 2009 pada tanggal 20 Februari
2011, yang semula menyatakan jumlah pajak terutang sebesar Rpl00 juta dan kredit pajak
sebesar Rp80juta, dibetulkan seharusnya jumlah pajak terutang sebesar Rpl30 juta dan kredit
pajak tetap. Kekurangan pembayaran pajak sebesar Rp30j uta dibayar pada tanggal 18 Februari
2011.
Dan kasus di atas maka PT ABC dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan Pasal 8
ayat 2 UU KUP sebesar:
2% x 10 x Rp30.000.000,00 = Rp6.000.000,00
Jumlah bulan dihitung sejak 1 Mei 2010 20 Februari 2011 = 10 bulan.
DJP menerbitkan STP untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga tsb.
Terhadap pengusaha atau PKP tersebut, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dan Dasar Pengenaan Pajak (Pasal 14
ayat 4 UU KUP).
Contoh : PKP A pada tanggal 30 Mel 2010 menyerahkan BKP dengan harga jual Rp10juta
kepada PKP B. Pelunasan dilakukan oleh A pada tanggal 2 Juli 2010 dan bersamaan dengan itu
PKP A menerbitkan Faktur Pajak tertanggal 2 Juli 2009.
PKP A terlambat membuat Faktur Pajak Standar yang seharusnya paling lambat tanggal 30 Mel
2010. Apabila keterlambatan tersebut diketahui DJP misal melalui pemeriksaan, maka PKP A
dikenal sanksj administrasi berupa denda sebesar 2% x DPP (2% x Rp.10.000 000 00 =
Rp.200.000,00) dan penagihannya dilakukan dengan penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP).