Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
SKLEROSIS MULTIPEL
Pembimbing :
dr. Hj. Mutia Sinta, Sp.S.
dr. Dwi Kusumaningsih, Sp.S.
Diajukan Oleh :
Ummi Utami, S. Ked. J510170066
Sares Daselva, S. Ked. J510170069
Yessi Nur Hapilah, S. Ked J510170107
Baiq Selsilya Prapita N, S. Ked. J510170108
REFERAT
SKLEROSIS MULTIPEL
OLEH:
Ummi Utami, S. Ked. J510170066
Sares Daselva, S. Ked. J510170069
Yessi Nur Hapilah, S. Ked J510170107
Baiq Selsilya Prapita N, S. Ked. J510170108
ii
DAFTAR ISI
A. DEFINISI ............................................................................................................... 2
B. EPIDEMIOLOGI ................................................................................................... 3
C. ETIOLOGI ............................................................................................................. 4
D. KLASIFIKASI ....................................................................................................... 4
E. PATOGENESIS..................................................................................................... 6
F. PATOFISIOLOGI ................................................................................................. 7
H. DIAGNOSIS ........................................................................................................ 12
J. TATALAKSANA ................................................................................................ 17
K. KOMPLIKASI ..................................................................................................... 21
L. PROGNOSIS ....................................................................................................... 21
iii
DAFTAR SINGKATAN
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Otak merupakan bagian tubuh yang bisa dikatakan paling vital. Sebab hampir
sebagian aktivitas yang dijalankan tubuh dikoordinasikan oleh otak. Ditambah lagi
anggapan yang menyatakan bahwa setelah lahir, otak kita tidak akan mengalami
penambahan jumlah sel otak, yang mengakibatkan kerusakan otak semakin sulit untuk
sembuh secara sempurna seperti organ-organ yang lainnya. Sistem Saraf pun demikian.
Sistem saraf mengandung ratusan juta bahkan milyaran sel yang siap mengantarkan
seluruh pesan yang akan kita kirimkan ke bagian tubuh yang lain.
Sklerosis multipel adalah salah satu penyakit saraf yang menyerang sel-sel saraf
di bagian sistem saraf pusat. Penyakit ini menyebabkan kerusakan pada selubung
myelin saraf manusia sehingga menyebabkan gangguan sistem hantaran impuls pada
saraf tersebut.
Sklerosis multipel mempengaruhi area dari otak dan syaraf tulang belakang yang
dikenal sebagai substansia alba. Sel-sel substansia alba membawa sinyal antara area
substansia grisea, dimana pemrosesan dilakukan, dan hasilnya dikirimkan ke tubuh.
Lebih khususnya, sklerosis multipel menghancurkan oligodendrosit yang merupakan
sel-sel yang bertanggung jawab untuk membuat dan memelihara satu lapisan lemak,
yang dikenal sebagai selubung myelin, yang membantu neuron membawa sinyal
elektrik. sklerosis multipel menyebabkan penipisan atau kerusakan total myelin dan
sering memotong perluasan neuron atau akson. Ketika myelin hilang, neuron tidak bisa
lagi secara efektif menghantarkan sinyal elektrik. Nama sklerosis multipel mengacu
pada jaringan parut (sklerosis lebih dikenal sebagai plak atau lesi) dalam substansia
alba. Tingkat kerusakan myelin dalam lesi ini menyebabkan gejala, bervariasi
tergantung atas daerah yang mengalami kerusakan. Hampir semua gejala neurologis
bisa menyertai penyakit ini. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan pada bab berikutnya.
1
BAB II
SKLEROSIS MULTIPEL
A. DEFINISI
2
B. EPIDEMIOLOGI
3
C. ETIOLOGI
D. KLASIFIKASI
4
oleh serangan yang tidak dapat diramalkan (relaps) diikuti oleh periode
remisi dari beberapa bulan sampai beberapa tahun dengan atau tanpa
gejala baru dari aktivitas penyakit. Gejala neurologis selama serangan
mungkin dapat menghilang atau mungkin saja menjadi permanen. Jika
gejala neurologis selalu menghilang antar serangan, hal inilah yang
disebut sebagai benign multilple sclerosis.5
2. Secondary progressive multiple sclerosis.
Sekitar 80 persen kasus relapsing remitting multiple sclerosis
berkembang menjadi satu pola penyakit secondary progresif, secara
perlahan-lahan dan progresif meningkatkan serangan tanpa adanya suatu
episode remisi kurang lebih 20 tahun setelah serangan pertama. Hal ini
menggambarkan suatu bentuk dari relapsing remitting multiple sclerosis
pada satu varian terpisah, walaupun tidak semua relapsing remitting
multiple sclerosis berlanjut menjadi secondary progressive multiple
sclerosis.5
3. Primary progressive multiple sclerosis
Penyakit ini mempunyai pola serangan yang lambat, biasanya terjadi
setelah umur 40 tahun, dan dimulai dengan suatu kelainan yang samar
dan progresif terutama pada medula spinalis tanpa eksaserbasi ataupun
remisi. Tidak seperti penyakit relapsing-remitting, dimana dua per tiga
dari kasus adalah wanita, Primary progressive multiple sclerosis
hanyalah sedikit lebih umum terjadi pada para wanita dengan
perbandingan sekitar 1.3:1. MRI otak dalam kasus ini kadang-kadang
normal, dan MRI medula spinalis dapat hanya memperlihatkan suatu
penghentian pertumbuhan medula spinalis. Secondary progressive adalah
jenis paling umum dari sklerosis multipel dan menyebabkan jumlah
kecacatan terbesar.5,6
4. Progressive relapsing multiple sclerosis
Progressive relapsing multiple sclerosis menggambarkan pasien dari
serangan sklerosis multipel, yang mempunyai suatu kemunduran
neurologis yang menetap tetapi juga menderita serangan yang bertingkat-
tingkat dan subtipe yang paling sedikit terjadi dari semua subtipe.5,6
5
Gambar 1. Klasifikasi Sklerosis Multipel
E. PATOGENESIS
Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medula spinalis,
serta nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan myelin dengan
akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang relatif
tampak normal yang berselang-seling dengan fokus inflamasi dan demyelinisasi
yang disebut juga plak, yang sering kali terletak dekat venula. Demyelinisasi
inflamasi jalur Sistem Saraf Pusat menyebabkan penurunan dan gangguan
kecepatan hantar saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras
tertentu.7
Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiring dengan waktu. Pada tahap
awal terjadi perombakan lokal sawar darah otak, diikuti inflamasi dengan edema,
hilangnya myelin, dan akhirnya jaringan parut sistem saraf pusat yaitu gliosis. Hasil
akhir akan menyebabkan daerah sklerosis yang mengerut, yang berkaitan dengan
defisit klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini sebagian
disebabkan oleh remyelinisasi yang merupakan potensi sistem saraf pusat dan juga
memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema. Keadaan
patologis ini berhubungan dengan pola klinis relaps sklerosis multipel, yaitu terjadi
6
gejala untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara parsial atau
total. Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah
ada sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis.
Plak tidak harus berhubungan dengan kejadian klinis spesifik, misalnya jika
plak hanya kecil saja dan terletak pada area sistem saraf pusat yang relatif tenang.
sklerosis multipel ditandai oleh fokus demyelinisasi (plak) dan berikutnya,
kerusakan dari badan sel akson dan neuron. Perubahan ini bisa tampak dimanapun
dalam sistem saraf pusat tetapi mempunyai tempat predileksi di daerah
periaquaduktus, dasar ventrikel keempat, dan area subpial saraf vertebralis. Neuron
dalam substansia grisea berwarna abu-abu dan keras, ditandai dengan proliferasi
glial, fibrillary gliosis, dan peningkatan kepadatan serat retikulin. Multipel dan
fokus sklerotik inilah yang memberikan nama pada penyakit ini.8
F. PATOFISIOLOGI
7
G. MANIFESTASI KLINIS
8
b. Gangguan penglihatan
Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada sklerosis
multipel adalah neuritis optik pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50%
pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan kabur,
pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan pada orang
asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan refleks
pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan
skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang
hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar.
Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil.
Selain itu pada neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada
orbita yang dapat timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola
mata. Selain itu terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut fenomena
Uhthofff dimana gejala penurunan visus (bersifat temporal) dieksaserbasi
oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia akibat lesi pada batang otak yang
menyerang nukleus atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular
dan nistagmus juga dapat muncul pada sklerosis multipel meskipun lebih
jarang dibandingkan neuritis optika. 3,11
c. Kelemahan spastik anggota gerak
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada
sklerosis multipel meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di
medula spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis
transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level
sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau
hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan
manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal
bilateral. Yang karakteristik, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi,
refleks patologis selalu bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram
otot pada pasien multipel sklerosis. Kelelahan/fatigue merupakan gejala non
spesifik pada sklerosis multipel dan terjadi pada hampir 90% pasien multipel
sklerosis. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu olahraga
9
berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan
mental.3,11
d. Tanda-tanda serebelum
Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus
(gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah horisontal atau vertikal)
dan ataksia serebelar dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan volunter,
dismetria, disdiadokokinesia, gangguan keseimbangan dan disartria maupun
artikulasi (bicara dengan kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan
tersendat-sendat).
e. Gejala dari gangguan batang otak
Trigeminal neuralgia terjadi pada 1,5% pasien sklerosis multipel dan
300 kali lebih banyak terjadi dalam kelompok ini dibandingkan di dalam
populasi umum. Trigeminal neuralgia, dua kali lipat terjadi bilateral dalam
pasien sklerosis multipel dibandingkan populasi pada umumnya. Seringkali,
nyeri muncul di antara serangan paroksismal, dan bisa saja nyeri terjadi
diluar dari distribusi syaraf trigeminal, kelumpuhan nervus fasialis, atau
gejala lain yang menyertai tanda gejala pada lesi pontine. Sklerosis multipel
dihubungkan dengan trigeminal neuralgia memberikan respon terhadap
pengobatan dengan prostaglandin. Ketulian mendadak atau serangan akut
vertigo dapat menyerupai suatu krisis vestibular akut, bisa juga merupakan
tanda dari sklerosis multipel yang jarang terjadi. 6
f. Disfungsi kandung kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan
pengaturan spingter sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi yang
menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang spastis. Kecuali
itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia.4
g. Gangguan afek
Banyak pasien menderita euforia, suatu perasaan senang yang tidak
realistik. Hal ini diduga disebabkan terserangnya substansia alba lobus
frontalis. Tanda lain gangguan serebral dapat berupa hilangnya daya ingat
dan demensia.4
10
h. Fenomena mirip bangkitan
Timbulnya serangan epileptik pada sklerosis multipel sudah
berulang-ulang diajukan dan diabaikan. Pada kelompok pasien sklerosis
multipel yang diteliti ternyata epilepsi 4 kali lebih sering dibandingkan
populasi umum. Serangan batang otak paroksismal harus membangkitkan
kecurigaan adanya sklerosis multipel terutama pada pasien muda. Kelainan
ini dapat terjadi sebagai tanda penyakit yang timbul, dengan cara yang sama
seperti serangan berupa kehilangan tonus otot yang menyebabkan pasien
jatuh atau seperti distonia paroksismal. Sebagian serangan berulang yang
berlangsung selama 15-45 detik, disertai oleh disartria paroksismal dan
ataksia.6
i. Gangguan mental
Pasien dengan sklerosis multipel tidak jarang memperlihatkan
euforia yang tidak sesuai kurangnya menyadari penyakitnya. Makin lama
perjalanan penyakitnya, makin mungkin timbul perubahan psikoorganik yang
terutama pada kasus-kasus dengan perjalanan penyakit yang panjang, dapat
menimbulkan demensia pada pasien. Gangguan mental dapat merupakan
gejala dari multipel sklerosis, biasanya berkaitan dengan kelainan batang
otak, tentu saja, gambaran psikotik dapat merupakan tanda dini dari penyakit
ini. Pada stadium yang lebih dini, tanda kelainan mental dapat ditemukan
pada kira-kira 3% kasus.6
j. Gangguan memori
Gangguan memori dapat terjadi pada pasien sklerosis multipel.
Menurut penelitian Thornton memori jangka pendek, working memori dan
memori jangka panjang umumnya terganggu pada pasien sklerosis multipel.
Selain itu juga didapatkan gangguan atensi. Gangguan emosi berupa
iritabilitas dan afek pseudobulbar berupa forced laughing atau forced crying
umum terjadi pada pasien sklerosis multipel disebabkan lesi hemisfer
bilateral.3,11
k. Gejala lain
Gejala yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral),
gangguan lain pada batang otak berupa paresis n. facialis perifer (bilateral),
11
gangguan pendengaran, tinitus, vrtigo, dan sangat jarang penurunan
kesadaran (stupor dan koma).3,11
H. DIAGNOSIS
Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis sklerosis multipel.
Sklerosis multipel ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan diagnosis
mempergunakan kriteria diagnostik seperti Kriteria McDonald. Saat ini yang
dipergunakan adalah Kriteria McDonald revisi 2010. Diagnosis sklerosis multipel
perlu dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala neurologis dengan episode remisi
dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak ditemukan sebab lain yang dapat
menjelaskan gejala tersebut.
Tabel 1. Kriteria McDonald
Sumber :
12
Dengan demikian, untuk menegakkan diagnosis sklerosis multipel, perlu
dilakukan pemeriksaan untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor
otak, infeksi otak, stroke, trauma kepala maupun gangguan metabolik.
Tujuan pemeriksaan pasien dengan kecurigaan sklerosis multipel adalah:
Mengumpulkan bukti anatomis lesi yang terpisah pada sistem saraf pusat.
Mendapatkan bukti gangguan imun sistem saraf pusat.
Menyingkirkan kemungkinan diagnosis lainnya.7
Sehubungan dengan luasnya ruang lingkup dan gejala, maka sklerosis
multipel tidak boleh didiagnosis hanya setelah beberapa bulan sampai 1 tahun
setelah serangan gejala. Dokter, terutama sekali ahli saraf, harus mencatat secara
rinci perjalanan penyakit dan melakukan pemeriksaan fisik dan neurologis.
Diagnosis dari sklerosis multipel biasanya dibuat pada pasien dewasa muda dengan
gejala relapsing-remitting yang dapat dijadikan acuan ke berbagai area dari
substansia alba dari sistem saraf pusat. Diagnosis lebih sulit dilakukan pada pasien
saat sedang mengalami keluhan neurologis atau pada bentuk klinis progresif
primer.1
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah untuk
menyingkirkan penyakit vaskuler kolagen, infeksi (Penyakit lyme, sipilis), kelainan
endokrin, kekurangan vitamin B-12, sarcoidosis, dan vaskulitis. Pemeriksaan dari
cairan serebro spinal digunakan untuk mendukung diagnosis dari sklerosis multipel.
Adanya protein dasar myelin di dalam cairan serebro spinal. Sebuah teknik
neuroimaging terbaru, Magnetic Resonance Spechtroscopy, bermanfaat dalam
mengamati jumlah N-acetyl-aspartate pada pasien dengan sklerosis multipel. N-
acetyl-aspartate adalah suatu asam amino yang ditemukan di dalam neuron dan
aksons otak. Pada pasien dengan relapsing-remitting sklerosis multipel, jumlah N-
acetyl-aspartate menurun, menandakan adanya kerusakan axonal bagaimanapun,
pada pasien dengan secondary progresive sklerosis multipel dengan banyak
kelainan, jumlah N-acetyl-aspartate berkurang secara signifikan. Pada fakta, pasien
dengan sklerosis multipel mempunyai jumlah yang lebih rendah N-acetyl-aspartate
bahkan di area otak sebelumnya secara alami, ketika dibandingkan dengan jumlah
N-acetyl-aspartate di dalam orang normal.1
13
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah:
CT scan dapat memperlihatkan plak-plak yang menunjukan peningkatan yang
abnormal setelah suntikan larutan yodium. MRI scan lebih sensitif
memperlihatkan lebih banyak plak daripada CT scan, begitu juga lesi-lesi
sampai sekecil 43 mm.
MRI otak dan medula spinalis, yang dapat menunjukkan lesi plak demyelinisasi.
Akan tetapi, gambaran ini tidak spesifik untuk sklerosis multipel (penyakit
pembuluh darah kecil juga dapat menunjukkan gambaran serupa) dan beberapa
pasien sklerosis multipel mungkin mengalami negatif palsu pada MRI.
Walaupun demikian, saat ini telah dibuat suatu kriteria yang memungkinkan
diagnosis sklerosis multipel setelah serangan klinis pertama, berdasarkan
gambaran MRI tertentu.7
Potensial bangkitan visual (visual evoked potentials), yang dapat menunjukkan
perlambatan konduksi sentral jalur visual, misalnya akibat neuritis optik
subklinis sebelumnya.7
Pemeriksaan cairan serebrospinal, yang dapat menunjukkan perubahan
nonspesifik termasuk limfositosis dengan penyakit aktif, dan peningkatan
protein (terutama imunoglobulin). Pemeriksaan cairan serebrospinal yang lebih
teliti untuk mendiagnosis sklerosis multipel adalah deteksi pita oligoklonal
dengan elektroforesis yang menunjukkan sintesis lokal imunoglobulin dalam
sistem saraf pusat. Akan tetapi, tes ini masih dapat menunjukkan positif palsu
pada keadaan imunologis atau infeksi lainnnya, dan pasien sklerosis multipel
jarang mengalami negatif palsu.7
Pemeriksaan tambahan
Beberapa pemeriksaan penunjang lainnya biasa juga dilakukan.
Elektroensefalografi pada minimal sepertiga kasus memperlihatkan abnormalitas
yang tidak spesifik yang tidak memiliki korelasi dengan gambaran status mental
pasien. Serum darah memperlihatkan kadar gamaglobulin yang meningkat dan
perubahan imunoelektroforetik hanya selama serangan akut. Tes serologik tidak
banyak gunanya pada saat diagnosa klinis ditegakkan walaupun kenyataan
bahwa antibodi otak yang bersirkulasi dapat diperlihatkan pada seperempat
sampai sepertiga pasien. Sayangnya antibodi-antibodi ini adalah tidak spesifik,
14
dapat ditemukan pada penyakit-penyakit lain yang mana terjadi kerusakan
jaringan otak. Sebagian besar dari pasien dengan sklerosis multipel
memperlihatkan titer antibodi yang tinggi terhadap virus campak dari pada yang
ditemukan pada populasi umum. Limfosit dari pasien-pasien ini lebih sering
memperlihatkan pengelompokan roset daripada sel-sel epitelial yang disuntik
dengan virus campak.
15
Pemeriksaan penunjang lebih penting dilakukan pada pasien dengan
penyakit primer progresif dimana kriteria klasik diagnosis klinis tidak dapat
digunakan. Pada pasien ini biasanya timbul gejala paraparesis spastik progresif.
Pemeriksaan penunjang kasus ini adalah pencitraan medula spinalis dengan MRI
untuk menyingkirkan lesi yang menekan medula spinalis (misalnya tumor), suatu
diagnosis banding utama yang dapat diterapi.7
I. DIAGNOSIS BANDING
16
sindrom virus dimana terjadi uveitis, gangguan gaya berjalan, leukodermia,
munculnya uban, ensepalitis, dan tanda meningeal yang berubah-ubah.
h. Behcets disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi okular, dan
manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.6,9,12
J. TATALAKSANA
1. Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan
diantaranya adalah.10,13
a. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan
program exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi
diberikan ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau
kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif
sebagai agen antispastik.
b. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin
memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal
dapat diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.
c. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan
pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan
ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder
atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine
efektif untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.
d. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada
pasienSklerosis Multipeldan harus diterapi sesegera mungkin untuk
menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada,
penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat membantu
spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan
antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare
yang terjadi bersamaan.
e. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan
libido, gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan
17
spastisitas, rasa sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien Multipel
sklerosis, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.
f. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien
dengan Multipel sklerosis. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat
dilakukan terapi suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek
sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat
digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit
kepala.
g. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan
medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil,
obat narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan
memiliki efek yang bagus pada pasien Multipel sklerosis. Obat diberikan
dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat
menghilangkan kelelahan pada pasien Multipel sklerosis. Amantadine
memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga
Maret.
2. Terapi relaps
Pengobatan yang diakui terbaik, disamping pengobatan nonfarmakologik,
saat ini adalah dengan interferon beta berupa injeksi Betaseron 250 mcg
subkutan selang sehari. Penelitian Benefit yang dilaporkan awal oktober 2005
menunjukan, bahwa selama lima tahun terjadi penurunan angka
kejadianSklerosis Multipelhingga 50% dengan dua tahun pengobatan pada kasus
yang sebelumnya adalah kemungkinan multipel sklerosis. Walaupun belum ada
terapi kuratif untuk multipel sklerosis, namun terdapat tiga aspek penting dalam
tatalaksana:
- tatalaksana relaps akut,
- modifikasi perjalanan penyakit,
- kontrol gejala.2
Tatalaksana Relaps Akut
Relaps pada seorang pasien yang cukup berat dan mengakibatkan
keterbatasan fungsi, misalnya karena kelemahan anggota gerak atau gangguan
18
visual, dapat diterapi dengan kortikosteroid. Saat ini kortikosteroid diberikan
dalam bentuk metilprednisolon dosis tinggi baik secara intravena maupun oral
(500 mg1 g per hari selama 35 hari ). Pengobatan ini dapat memperbaiki
penyembuhan tetapi bukan derajat penyembuhan dari eksaserbasi. Steroid
jangka panjang belum terbukti mempengaruhi keadaan perjalanan penyakit
alamiah.2
Pada pasien dengan Multipel sklerosis, fisoterapi harus selalu dilakukan
untuk meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy.
Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial,
masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group merupakan
bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam pengelolaan
Multipel sklerosis.
Disease-Modifying Therapies
a. Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk
mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun
1b. Beta interferon dapat mengurangi jumlah lesi inflamasi 50-80% yang
terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan untuk mendapatkan
terapi Interferon Beta.
b. Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein.
Pemberian Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan
frekuensi relaps pada RRMS.
c. Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obatSklerosis Multipeldalam sediaan oral.
Fingolimod diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi
pilihan berikutnya apabila pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak
memberikan hasil yang memuaskan.1
d. Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-
kasusSklerosis Multipelyang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak
memberikan hasil optimal dengan Interferon Beta, GA maupun Fingolimod
19
maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab, atau pada kasus-kasus yang
intoleran terhadap obat-obat sebelumya. Natalizumab tergolong dalam obat
lini kedua dalam terapi Multipel sklerosis.
e. Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan
progresifitas Multipel sklerosis. Mitoxantrone direkomendasikan pada
RRMS yang sangat aktif atau SPMS yang sangat progresif. Mitoxantrone
tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi Multipel sklerosis. Untuk tipe
PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan. Terapi hanya
bersifat simptomatis.
f. Fenitoin
Fenitoin yang merupakan obat antiepileptic. Dalam uji coba nya fenitoin
bersifat neuroprotective terhadap degenerasi serabut saraf retina pada pasien
neuritis optic. Fenitoin yang bekerja sebagai sodium channel blocker. Pada
daerah inflamasi, akson akan dipenuhi oleh sodium dan menyebabkan
masuknya calcium ke dalam sel yang menyebabkan kematian sel. Dengan
pemberian fenitoin sebagai sodium channel blocker maka dapat mencegah
kematian sel. Dosis yang dipergunakan dalam penelitian 15 mg/kgbb selama
3 hari dan dilanjutkan 4 mg/kgbb dalam 13 minggu. Hasil penelitian
menunjukkan pasien neuritis optic yang diberikan fenitoin dalam 3 bulan
dapat mencegah 30% lebih baik dibanding dengan pemberian placebo.14
3. Terapi Tahap Lanjut
Pasien denganSklerosis Multipeltahap lanjut mungkin membutuhkan
keterlibatan tim neurorehabilitasi. Pasien dengan penyakit yang berat
membutuhkan penanganan menyeluruh yang sesuai untuk pasien paraplegia,
terutama perawatan yang teliti pada daerah yang mengalami tekanan.
Perburukan gangguan berkemih mungkin memerlukan kateterisasi uretra atau
suprapubik.
Tim dari berbagai multidisiplin biasanya meliputi spesialis penyakit
saraf, urologi, ilmu pengobatan mata, neuropsikologi, dan pekerjaan sosial.
Perlunya pembedahan pada kasus ekstrem yaitu:
Tenotomi untuk terapi spastisitas dan spasme fleksor
20
Stimulasi kolumna dorsalis untuk rasa nyeri
Talamotomi stereotaktil untuk ataksia serebelar berat.1,2
K. KOMPLIKASI
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih12
L. PROGNOSIS
21
Multipel sklerosis memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi dan tidak bisa
diramalkan. Pada banyak penderita, penyakit ini dimulai dengan gejala tertentu,
yang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian tidak menunjukkan
gejala lebih lanjut. Pada penderita lainnya, gejala semakin memburuk dan lebih
meluas dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Cuaca hangat, mandi air
panas atau demam bisa memperberat gejala.Kekambuhan bisa terjadi secara
spontan atau dipicu oleh infeksi (misalnya influenza). Jika kekambuhan sering
terjadi maka kelainan semakin memburuk dan bisa bersifat menetap.
22
BAB III
KESIMPULAN
Multipel sklerosis adalah satu kondisi autoimun dimana sistem kekebalan tubuh
menyerang sistem saraf pusat (SSP), mendorong ke arah terjadinya demyelinisasi.
Penyakit ini menyebabkan luka-luka pada sarung pelindung myelin (lemak yang
melingkupi akson sel-sel saraf), oligodendrosit (sel-sel yang menghasilkan myelin),
akson dan sel-sel saraf. Gejala dariSklerosis Multipelbervariasi, tergantung pada lokasi
dari plak (daerah dari jaringan parut) di dalam sistem saraf pusat.
Penyebab dariSklerosis Multipeltetap tidak diketahui, walaupun kegiatan
penalitian dibidang ini sudah banyak dilakukan. Penelitian eksperimental mendukung
teori dari infeksi slow virus atau reaksi autoimun. Peran mekanisme imun pada
patogenesisSklerosis Multipeldidukung beberapa temuan, seperti adanya sel inflamasi
kronik pada plak aktif dan hubungan kondisi ini dengan gen spesifik pada kompleks
histokompatibilitas mayor (major histocompatibility, MHC).
Tanda patologikSklerosis Multipeladalah multisentrik, inflamasi SSP multifasik
dan demyelinisasi. Pada mulanya, setiap lukaSklerosis Multipelkemungkinan melalui
suatu peristiwa dari demyelinisasi dan remyelinisasi menuju ke plak kronik dengan
preserfasi relatif dari akson serta gliosis.
Manifestasi yang sering terjadi padaSklerosis Multipeladalah gangguan visual,
gejala dari gangguan batang otak, gejala gangguan serebelar, gejala ekstrapiramidal,
fenomena mirip bangkitan, gangguan mental, gangguan miksi, gangguan
sensorimotorik. Pada waktu evolusi gejala yang umum terjadi adalah gambaran klinis
memburuk selama beberapa hari atau minggu, mencapai plateu dan kemudian membaik
secara bertahap, sebagian atau total, selama beberapa minggu atau bulan.
Perjalanan alamiahSklerosis Multipelpada tiap pasien amat bervariasi. Beberapa
pasien dapat mengalami satu atau lebih episode inisial kemudian tidak ada gejala untuk
bertahuntahun. Subtipe dariSklerosis Multipelantara lain adalah relapsing remitting
Multipel sclerosis, secondary progressive Multipel sclerosis, primary progressive
Multipel sclerosis, progeressive relapsing Multipel sclerosis, devic syndrome, marburg
disease, balo concentric sclerosa, diffuse sclerosa, disseminated acute
encephalomyelitis.
23
Selama bertahun tahun, diagnosisSklerosis Multipelditegakkan berdasarkan
gejala klinis, timbulnya paling sedikit dua lesi SSP dengan karakteristik klinis yang
tepat, terpisah waktu dan ruang. Sehubungan dengan luasnya ruang lingkup dan gejala,
makaSklerosis Multipeltidak boleh didiagnosis hanya setelah beberapa bulan sampai 1
tahun setelah serangan gejala.
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah CT scan, VEP, pemeriksaan cairan
cerebrospinal, elektroensefalografi, serum darah. Karena pemeriksaan diatas tidak ada
yang 100% sensitif atau spesifik untuk multipel sklerosis, maka pemeriksaan ini harus
dipertimbangkan dan dinilai dengan baik. Pada pasien dengan gejala sensorik minor,
biasanya pemeriksaan penunjang diatas dapat ditunda dulu.
Walaupun belum ada terapi kuratif untuk multipel sklerosis, namun terdapat tiga
aspek penting dalam tatalaksana adalah tatalaksana relaps akut, modifikasi perjalanan
penyakit,dan kontrol gejala. Sejumlah pengobatan tersedia untuk menangani gejala-
gejala dan komplikasiSklerosis Multipelkronis, masing-masing dengan obat-obatan
yang spesifik. Beberapa jenis obat yang sering digunakan pada pasienSklerosis
Multipeladalah interferon, glatiramer asetat, natalizumab, mitoxantron.
Prognosis untuk seseorang denganSklerosis Multipeltergantung pada subtipe
penyakit; jenis kelamin individu, ras, umur, gejala awal, dan derajat kerusakan. Harapan
hidup dari penderita multipel sklerosis, untuk tahun-tahun awal, saat ini hampir sama
halnya dari pada orang normal. Secara umum sangatlah sulit untuk meramalkan
prognosisSklerosis Multipelkarena setiap individu memiliki variasi kelainan.
24
DAFTAR PUSTAKA
25