Sie sind auf Seite 1von 38
=== BAGIAN KELIMA AGAMA JAWA SUNDA’ A. Pendahuluan Keberadacn “agama budaya” atau “religi lokol” di Indonesia, seperti telah dijelaskan di muka, terdapat cukup banyak jumlahnya. Salah satu diantara yang mosih “ada” dan diikuti secara setia oleh para pengonuinya di kawason Jawa Borat adalah “Agama Jawa Sunda”. Agoma ini didirikan oleh seorang tokoh bernama Kiyai ‘Madrais alics Pangeran Alibasa Kusuma Wijoya yang hidup antora ichun 1825 hingga tahun 1936. la bermukim di deso Cigugur,? lebih kurang 4 km arah barat dari kota Kuningan, Jawa Barat. Desa ity sejak periengahan abad 19 menjadi pusat penyebaran ajaran Agama Jawa Sunda. Pada awal abad 20 penganut Agama Jawa Sunda diperkirakan berjumlah kurang lebih 10.000 orang yang tersebar di daerah-daerch pegunungan di Kuningan, Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan Cirebon (Pius Suraiman, 1986: 1). Pada masa kolonial pemimpin ‘agama ini sering dicurigai oleh pemerintah pada wakiu itu, karene dipandang sebagai menyimpan potensi perlowanan. Karena itv beberapa kali pemimpin agama ini ditangkap dijebloskan dalam tohanan kemudian diasingkan, laly dilepes lagi. Di masa kemerdekaan, ogama ini juga dipermasolahkan oleh pemerintch yang berkuasa pada wakiu itu. Pada thun 1964 PAKEM Pengawas Aliran Kepercayaen Mesyaraka!) mengeluarkan larangon ethadap agama Jawa Sunda untuk dikembangkan di masyarakat, Oleh korena kelompok aliran ini mengojarken dan memprakiekon Oleh: Muhomad Hisyarn 2 Desa Cigugur menjadi Kelurohan sejak tahun 1981, dan sejok 1992. ditingkatkan stotusnya_ menjadi Kecamoten yang merupokan pemekaron dari Kecamotan Kuningan. 137 Bagi Kea Agana la Sunda *Syariat” perkawinan sendiri menurut cara agama ini. Tata cara perkawinan menurut agama Jawa Sunda ini sebenamya sudah berlangsung sejak pertengahan abad 19, Namun karena tengah terjodi ketegangan ideology politik negara yang menyebobkan munculnya konflik ideology baik di fingkat nasional don lokal,, maka imbasnya menyentuh pula aspek agama don masyarakat. Dari lator belokang persoalan iniloh moka muncul tekonan masyarakat fethadap masalah nilai-nilai social budaya yang dipandang menjadi wilaych agama dan bersifat sacral seperti lembaga perkawinan dan lainnyo, horus berdasarkan agama bukan eligi lokal. Dari pemahaman masyarokat !vas dan diakui pula oleh Negara maka muncullah pandangan bahwa perkawinan yang berdasarkan tata cara “syareat” Agama Jawa Sunda dianggop tidak syah. Akibat dari sikap pemerintah itu menjadikon Pemimpin Agama Jawa Sunda pada waktu itu, Pangeran Tejabuwano, yang merupakan putera Pangeran Madrais menyatakan diri masuk agama Katolik. Konversi ity segera disusul oleh sebagian besar pengikuinya di Desa Cigugur dan desa- desa {ain di mana terdapat komunitas Agama Jawa Sunda. Maka berdirilah Gereja Katolik di Cigugur yang penuh dengan pengikut Madrais itv. Tetapi kesetiaan penganut Madrais pada Agama Katofik di Cigugur hanya berlangsung selama 16 tohun, karena peda tahun 1981 Pangeran Djatikusuma, putera Pangeran Tejabuwana, yang berarfi juga cucu Pangeran Modrais mengumumkan kelvar dori ‘agama Katolik bersama 2000 pengikutnya. fa kemudian mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang yang disingkat PACKU, don diduga merypakan inkanasi Agoma Jawa Sunda. Karena hybungan genealogis dengan Agama Jawa Sunda yang tak dopat disangkol itu, maka oleh Kejaksaan Negeri Kuningan, PACKU pun dilarang sebelum perkumpulan ini mencapai umur 2 tohun.” Mereka lalu bertebaran masuk ke dalam berbagai agama formal seperti Islam, Katolik dan Kristen. Namun demikian, terdopat kurang lebih 350 orang yong tetap bertahan mengikuti ojaron Madrais, (Pius Suratman, 1986, 2) sekalipun tidok nyala-nyata menggunakan nama Agama Jawa Sunda 138 Baga lima — Aga a Sunda hingga sekarang. Sekarang mereka menamakan diri kelompok AKUR, singkatan dari Adot Keruhun Urang. Di Cigugur, komunitas agama ini masih eksis, sekalipun terpencar di berbagai sudut desa dan desa sekitarnya, Menurvt statistik Cigugur, jumlah penganut Madraisme (disebut sebogai Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yong Maha Eso) tchun 2000 adalah 41 KK. Di Cigugur iniloh tinggol Pangeran Diatikusumah, di Paseban Tri Panca Tunggal, situs warisan ‘Agama Jawa Sunda, yong hingga sekarang masih dipelthara sebagei bongunan cagar budaya yang dilindungi. Selain di Cigugur, pengikut Madrais yang benor-benar merupakan sebuch komunitas masih terdapat di Desa Susuru, Kecamatan Kawali, Ciamis. Di dua desa inilah penelitian lapangan ini dilokukan. Permasalahan penelifian untuk ini seccra singkat dirumuskon dolom beberapa perianyoan penelitian berikut ini: 1. Faktor-foktor apa yang mempengaruhi komunitas Agama Jawa Sunda di deso Cigugur dan Susuru itu bertchan dalam kepercayaan mereka, walaupun pemeriniah dan agama-agama resmi melakukan penetrosi bertubi-iubi atas eksistensi agama mereka.? 2. Apokah di era reformasi yang memberi kebebasan kepada setiap orang atay komunitas untuk mengekspresikan keyakinan keagamaon dan kepercayaan fanpe fekanan mempengarvhi sisa- sisa pengikut ojaran Madraisme untuk bongkit kembali? 3. Bagoimanakch pandangan hidup pengikut ajaran Madraisme diartikulasikan dalam kehidupan masyarakat yang sekarang telah menjadi songat majemuk (pluralistik) itu? Penslifian mengenai masalah ini ditempuh dengan pendekatan etnografis. Metode pengumpulan data dipakai wawancara mendalam, terutama dengan para pemimpin Agama 139 ‘agian Keima ~ Agama Jewa Sunda Jawa Sunda di Cigugur? dan Susuru, pengamatan dan telaah teks keagamaan mereka. B, Perkembangan Agama Jawa Sunda B.A. Asal usul Kiyai Madrais Muhammad Rais yang lebih populer dengan sebuian Madrais, “pendiri” Agama Jawa Sunds, menurvt riwayat adalah seorang Pongeran dari Gebang, sebuah pusat kekuasaan jaman VOC yang letoknya di sebelah fimur Cirebon, kira-kira 9 km dari kota Losari, Kabupaten Brebes, menurui keadaan sekarang. Gebang dahulunya merupakan bagian dari Kesulfanan Cirebon, dan oleh campur tangan VOC di tchun 1689 Gebang memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon, Pemisahon ini merupakan keinginan Pangeran Gebang, Karena dengan menjadi bawahan Cirebon yang telah mengikat perjanjian menjadi sekuty VOC, berarti pula telah menjadi sekuty VOC. Sejak itu, Gebang menjadi pusat kekuasoon yang merdeka, sama statusnya dengan Cirebon dan daerah-daerah lain, seperti Sumedang, Indramayu, Pamanukan, Ciasem, Tanjung Pura dan Priangan, (Pemaparan Budayo Spiritucl, MS. 1995, h. 3). Pada akhir abad 18, terjadi pemberontakan rakyat Gebang Sasaran pembrontakan adalah orang-orang Cina dan VOC serta penguasa Cirebon, karena dianggap telch menjadi antek VOC. Pemberontakan-pemberontakan dapat ditumpas, ‘eiopi selolu muncul kembali. Tahun 1802 (VOC telah diganfi oleh pemerintahan Hindia Belanda) meletus lagi pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Sidung Avisim dan Suarsa dori Gebang. Sefelah pembrontakan itu 3 Penulis mengucapkan terima kosih dan penghargaan yang tinggi kepada Bopak Pangeran Djofikusumah di Posebon Ti Panca Tungal, Cigugur yang telch menyediakan tenago dan wakiunya untuk wawancara mendalam, Keterbukaan beliov sangat_membantu pengumpuan data ini.Ucapan yang sama juge disampoikan kepada Bopak K. Subarmen. 140 agin Kea — Agama Java Sunda dopat ditumpas maka Pangeran Gebang dicopot dari kekvosaan “karena diangap tidak depot mengendalikan rakyainya. Wiloyah Gebang aly dibagi-bagi kepada tiga kesultanen Cirebon, yakni Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan. Pangeran Gebang terokhir yong berkuasa pada wokiu itu adalah Pangeran Alibasso. la merupakan Pangeran Gebang ke 9. Pongeran pertoma yang diangkat oleh Sultan Cirebon adalah Pangeran Wira Sutajaya. Pangeran Alibassa menikah dengan R. Kastewi, keturunan ke lima Tumenggung Jayadipura Susukan. Dori perkawinan ini lahirlah di Susukan Ciawigebang, Pangeran Sadewa pada tahun 1822. Dalam silsilch ia juga dikenal sebagai Pangeran Surya Nota alias Pangeran Kusuma Adi Ningrat. Pada usia 3 tahun, anak tersebut ditipkan kepada Ki Sastrawadana di desa Cigugur, Kuningan. Menurut riwayat, penifipan itu dengan maksud menghilangkan jejaknya dari kemungkinan dicurigai oleh Belanda. Maka diakulah pangeran kecil ity sebagai anak Ki Sostrawadana, dan diberilah ia nama Muhammad Rais, yang seperti disebut di atas, oleh kebiascan setempat disebut Madrais.* Pada usia 10 tahun io bekerja kepada Kuwu Sogarahiyang menjadi gembala kerbau. Dari Sagorahiyong ia berkelana, belajar dari pesantren ke pesoniren mendalami agama Islam. Pada tahun 1840, Madrais kembali ke Cigugur, tetapi sering berkelana lagi, sampai akhimya kembali dan menetap di Cigugur dan mendirikan pesontren. Pesantren ini cepat menjadi terkenal, Di Pesantren Heubeul Isuk dan Ciwedus, Gebang, nama Kiyai Modrais dikenal sebagai kiyai yang sangat aim don berpengoruh lvas. Setelah Keraion Cirebon mengakui asal usulnya, maka dibolehkanich ia memakai gelar kebangsowanannya. Dipakailah nama aychnya, dan jadilah nama “ Menurut versi lain, Madtois memang putera Penguasa Gebang, Pangeran Alibossa, tetopi dar ister selir, atau mungkin dari perempuan yang tidak dinikahi, schingga karenanya ia semocom dibuang ke Cigugur. {wawancara). 144

Das könnte Ihnen auch gefallen