Sie sind auf Seite 1von 18

1

KONSEPSI DEMOKRASI
PASCA PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA

Akik Zaman (Mahasiswa program doktor ilmu hukum universitas sebelas maret)
Moh. Saleh (Lecturer of Law Faculty of Narotama University )
Jamal Wiwoho (Guru Besar Fakultas Hukum universitas Sebelas Maret )
Isharyanto (Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret)

Abstract
Conception of modern democracy in Indonesia can not be separated from the influence of the
ideas of the democracy philosophy and ideology of the world. This is as in the discussion of
the philosofische grondslag in the BPUPKI, PPKI and the Constituante session. Therefore, the
issues to be discussed are : (1) philosophical basic on the conception of modern democracy;
(2) the legal ideology of the democracy conception in Indonesia. The results of the discussion
that the philosophical basic on conception of modern democracy is derived from three
democratic philosophy, namely the philosophy of Islamic democracy, the philosophy of liberal
democracy, and the philosophy of communist democracy. These three democratic philosophy
that has been the root of the formation of three political ideologies of the world, namely the
Islamic ideology, the liberalism and the communism. The debate over the formulation of the
philosofische grondslag has been heavy influenced by the three ideological thinking of the
world. However, the Founding Fathers agreed that the philosofische grondslag as the ideology
of the nation must be based on the character of the Indonesian. Finally, they called Pancasila.
Pancasila is the idea source of Indonesian. Therefore,ideology of Pancasila must be basic in
democracy conception of Indonesia that was agreed, is deliberative democracy. However, as a
result of the demands of the 1998 reform, the deliberative democracy is changed to the liberal
democracy in the third amendment of the 1945 Constitution.
Key Words : Philosophy, Ideology, Democracy.

Pendahuluan

Lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 tidak bisa dilepaskan dari sejarah konfrontasi ideologi global yang melatar belakanginya. Sejarah
konfrontasi ideologi global tersebut sebenarnya telah menjadi inspirasi bagi para pendiri bangsa
(founding fathers) dalam pembentukan Ideologi Pancasila sebagai dasar penyelenggaraan demokrasi 1
Indonesia.

1
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos artinya rakyat dan kratos artinya kekuasaan.
Hal ini berarti demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana rakyat berkuasa (John T. Ishiyama & Marijke
Breuning, Ilmu Politik : Dalam Peradigma Abad Ke-21, Penerjemah : Ahmad Fedyani Saifudin, Jakarta :
Kencana, 2013, h. 444). Menurut Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim bahwa suatu negara yang menganut azas
kedaulatan rakyat disebut juga sebagai negara demokrasi (Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Moh. Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1988, h, 141). Pandapat yang sama disamapikan oleh Titik Triwulan Tutik bahwa
pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat. Lebih lanjut Titik Triwulan Tutik
menjelaskan bahwa negara demokrasi adalah negara yang sistem pemerintahannya (kedaulatannya) berada di
tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan
kekuasaan oleh rakyat (Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
2

Konfrontasi ideologi global yang telah lama berlangsung adalah pertarungan antara ideologi
liberal-kapitalis dan sosialis-komunis. Pertarungan kedua ideologi tersebut akhirnya berubah menjadi
ketegangan politik antara blok barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat penganut ideologi liberal-
kapitalis dengan blok timur yang dipelopori oleh Uni Soviet penganut ideologi sosialis-komunis.
Keduanya merupakan negara adikuasa yang berambisi untuk mengusai peta politik dan ekonomi global.
Ketegangan politik ini akhirnya menjadi perang dingin dan berakhir dengan ditandai runtuhnya Uni
Soviet tahun 1991 sebagai simbol kekuatan ideologi sosialis-komunis.2
Lahirnya dua ideologi besar dunia di atas sebenarnya berakar dari dua filsafat yang
dikembangkan oleh pemikir Eropa barat, yaitu Filsafat Idealisme (Philosofi of Idealism) dan Filsafat
Materialisme (Philosofi of Materialism). Filsafat Idealisme (Philosofi of Idealism) yang
mengedepankan faham rasionalisme dan individualisme. Di dalam kehidupan berpolitik faham ini telah
melahirkan ideologi Liberal-Kapitalis. Ide yang menjadi kekuatan dasar menempatkan manusia sebagai
pusat di alam semesta (centre of nature), manusia sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah.
Sedangkan Filsafat Materialisme (Philosofi of Materialism) mengedepankan faham emosionalisme
berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah
melahirkan ideologi Sosialis-Komunis. Ekonomi yang menjadi kekuatan dasar menjadi faktor penentu
terjadinya perubahan sejarah.3
Dua konfrontasi ideologis yang berakar dari dua pendekatan filsafat di atas, telah banyak
memberikan pengaruh terhadap para pembentuk dasar negara Pancasila. Akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa ideologi keagamaan terutama ideologi Islam juga besar peranannya dalam
perdebatan mengenai dasar negara, baik pada saat pembahasan dalam BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) maupun PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) tahun 1945 dan bahkan berlanjut di Konstituante tahun 1956. Oleh karena itu, pembentukan
dasar negara Pancasila dapat dikatakan sebagai sintesa atas pergulatan ideologis antara liberalisme,
komunisme dan Islam.
Pengaruh ketiga ideologi besar dunia di atas, sangat tampak dalam pendapat Tjokroaminoto
yang mengidealkan antara Islam, sosialisme, dan demokrasi..Pendapat ini sama dengan esai Soekarno
yang ditulis pada tahun 1926 dalam Majalah Indonesia Moeda berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme. Soekarno lebih mengidealkan sintesa ideologi-ideologi besar tersebut dalam kerangka
konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1930-an, Soekarno mulai merumuskan
sintesa dari substansi ketiga nilai ideologi kedalam istilah Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi.4

194, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 67). Oleh karena itu, maka dalam tulisan ini pemakaian
istilah kedaulatan rakyat disamakan dengan istilah demokrasi.
2
Marvin Perry, Peradaban Barat: Dari Revolusi Prancis Hingga Zaman Global, Penerjemah : Saut
Pasaribu, Bantul : Kreasi Wacana, 2013, h. 438-442
3
Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat : Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap
Dunia Ke-3, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007, h. 242-243
4
Ibid., h. 6-7
3

Konsepsi sosio-demokrasi yang dikembangkan oleh Soekarno sama dengan yang disampaikan
oleh Mohammad Hatta bahwa demokrasi di Indonesia harus bersendikan atas demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi secara bersamaan. Menurut Hatta bahwa demokrasi politik berakar pada
Individualisme, sedangkan demokrasi ekonomi berakar pada sosialisme, dimana keduanya belum
menemukan bentuknya yang sempurna. Oleh karena itu, demokrasi Indonesia tidak bisa manakala
mendasarkan pada demokrasi yang dikembangkan di barat, karena masyarakat Indonesia masih
bersendikan kepada kolektivisme. Berdasarkan faham kolektivisme inilah, maka menurut Hatta,
subbstansi dari demokrasi politik adalah pengambilan keputusan secara mufakat dengan berapat.
Sedangkan demokrasi ekonomi adalah tolong-menolong.5
Konsepsi Sosio-Demokrasi ala Soekarno dan Demokrasi Politik ala Hatta, kemudian menjadi
landasan perumusan konsepsi demokrasi Indonesia dalam Sidang I BPUPKI pada tanggal 29 Mei s/d
1 Juni 1945 dalam Sila ke-4 Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan. Oleh karena itu, Sila ke-4 Pancasila ini memiliki dua cakupan
demokrasi, yaitu mekanisme pengalihan kedaulatan rakyat kepada negara melalui sistem perwakilan
dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan melalui sistem musyawarah untuk mufakat6.
Indonesia sebagai negara merdeka telah menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi yang
telah dirumuskan dalam Sila ke-4 dasar negara Pancasila dan juga dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan
bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Pasal ini sebenarnya lebih sesuai dengan pemikiran politik para pendiri bangsa. Akan tetapi,
kekuasaan yang bertumpu pada satu lembaga ini telah berakibat pada adanya penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) dan telah melahirkan pemerintahan yang totaliter dan orotiter selama
pemerintahan orde lama dan orde baru. Kondisi inilah yang akhirnya melahirkan reformasi dan
menuntut perubahan UUD 1945. Dalam era reformasi, UUD 1945 telah dirubah sebanyak empat kali
yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Pada perubahan ketiga UUD 1945, konsepsi demokrasi
Indonesia terjadi perubahan yang sangat signifikan, yaitu pemegang kedaulatan tidak lagi dilaksanakan
oleh MPR, tetapi dijalankan berdasarkan UUD 1945. Hal ini sebagaimana bunyi perubahan ketiga UUD
1945, yaitu Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Landasan Filosofis Lahirnya Konsepsi Demokrasi Modern


Penelusuran terhadap konsepsi demokrasi modern banyak dilatarbelakangi oleh tiga pandangan
filosofis, yaitu demokrasi Islam, demokrasi liberalisme dan demokrasi komunisme.
1. Landasan Filosofis Demokrasi Islam

5
Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, Otonomi & Demokrasi, Bantul : Kreasi Wacana, 2014, h. 18-
22
6
Berdasarkan atas adanya dua cakupan demokrasi menurut Hatta, maka dalam tulisan ini akan
difokuskan pada demokrasi politik, yaitu sebagaimana yang dirumuskan dalam Sila ke-4 Pancasila, yaitu
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
4

Perkembangan pemikiran demokrasi setelah Yunani klasik, banyak dilahirkan oleh para
pemikir Muslim, di antaranya Al-Farabi atau yang dipanggil Al Pharabius (870-950 M) dengan
karyanya Madinatul Fadhilah, yang artinya Negara utama atau Model City, Ibnu Sina atau yang dikenal
Avicena (980-1037 M) dengan karyanya Siyaturrojul, artinya konsep Negara sosialis (Socialistik State)
berdasarkan kekeluargaan, Al Gazali (1058-1111 M) dengan karyanya Siyasatul Akhlak, artinya negara
moral (Ethic State), Ibnu Rusyd yang dikenal Averous (1126-1198 M) dengan karyanya Al Jumhuriah
wal Hakam, artinya negara demokrasi (democratic state) dan Ibnu Khaldum (1332-1406 M) dengan
karyanya Al Ashabiyah wal Iqtisad, artinya Negara kesejahteraan (walfare state). Dari kelima pemikir
Muslim inilah pemikiran demokrasi modern sebenarnya sudah dilahirkan. Akan tetapi, dalam tulisan
ini hanya akan membahas hasil pemiliran dari Al-Farabi dan Ibnu Khaldum yang bisa dibilang mewakili
dari kelima pandangan pemikir Muslim tersebut.
Dalam pandangan Al Farabi bahwa politik harus didasari usaha konsepsi bersama dari manusia
untuk mencapai kebahagian (conception of collective efford and minkind) yang tertinggi, dengan pikiran
dan tindakan pribadi yang suci dan dengan kerjasama masyarakat harmoni dan semangat simpati. Al
Farabi menggariskan bahwa yang dapat menjadi kepala negara adalah seorang filsuf serta
berpengetahuan agama. Seorang kepala negara harus melatih raykatnya mencapai kebahagiaan yang
sejati, dunia akhirat. Seorang kepala negara itu harus suci dan apabila tidak ada, maka harus dilakukan
pemilihan untuk mendapatkan beberapa orang ahli, yang masing-masing cakap dalam lapangannya.
Pemerintahan yang baik akan tercapai jika terjadi kerjasama antar mereka. Madinah menjadi inspirasi
bagi Al Farabi dalam mengembangkan filsafat politiknya, berupa Masyarakat Kota atau Negara Utama
yang dipimpin oleh filsuf suci yang disebut Nabi.7
Al Farabi mengembangkan teorinya yang disebut Theory of the Compact fo Mutual
Renunciation of Right, bahwa setiap warga negara secara bulat dengan suka rela dan penuh keikhlasan
saling menghilangkan hak-hak pribadinya demi kebahagiaan masyarakat serta negara. Sifat-sifat gotong
royong, kolektif dan kooperatif menjadi sifat yang hidup dalam seluruh masyarakat. Warga negaralah
yang menjadi pokok segala persoalan karena merekalah yang memiliki kemauan secara bulat untuk
mendirikan negara. Al Farabi lebih lanjut menjelaskan tipe warga negara yang ideal sebagai
pembentuk negara, yaitu pertama, memiliki kemauan bersama yang memiliki kepentingan dan tujuan
yang sama. Kedua, memiliki kecerdasan akal yang sanggup dikerahkan untuk menggali rahasia segenap
alam, baik alam materi maupun alam jasmani. Ketiga, memiliki ideologi sebagai penanggungjawab dari
negara yang didirikan, sehingga dalam sebuah Negara harus memiliki cita-cita yang dianutnya. Ideologi
itu harus tertanam dalam sanubari setiap warga Negara.8
Dengan mendasarkan pada ideologi negara, Al Farabi membagi negara menjadi dua bagian,
yaitu Madinatul Fadhilah (model state) atau negara utama dan Madinatul Jahiliah (state of ignorence).

7
Zainal Abidin Ahmad, Konsepsi Politik dan Ideologi Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1977, h. 98
8
Ibid., h. 103
5

Negara Madinatul Fadhilah adalah negara yang memiliki ideologi dimana warga negaranya sadar
dengan tujuan yang tegas. Sedangkan negara Madinatul Jahiliah adalah negara yang tidak memiliki
ideologi yang tinggi, dengan menganut ideologi yang salah derta bertentangan dengan kebahagiaan,
materil dan seperituil. Ide sebuah negara yang ingin menjajah dan jajahannya termasuk dalam katagori
jahiliah, ini sangat dikutuk oleh Tuhan. Adapun beberapa negara yang termasuk dalam Madinatul
Jahiliah meliputi : (1) Madinatul Fasiqah (Perverted State) yaitu negara yang menganut prinsip
ideologi Madinatul Fadhilah, tetapi tidak percaya kepada Tuhan, yaitu mereka yang berfaham
materialisme. (2) Madinatul Dallah (Mistaken State) yaitu negara penyeleweng dengan menganut
faham agama dan faham sosialis tetapi dalam tindakannya menyeleweng dari prinsip ideologinya.
Beberapa tipe negara yang masuk dalam kategori penyelewenang adalah : (a) Madinatul Karamah
Wattakrim (Feudal State) yaitu negara yang didorong oleh nafsu kebangsawanan yang berebut dan
berlomba mencari kemuliaan dirinya. (b) Madinatulibahiayah (bourgeoisie state) yaitu negara yang
didorong oleh nafsu mengumpulkan harta kekayaan untuk dirinya sendiri. (c) Madinatut Taqallub
(impelialistic state) yaitu negara yang didorong oleh nafsu kekuasaan dengan berusaha mrebut dan
menguasai daerah-daerah lain. (d) Madinatul Ruhbaniyah (Theocratic State) yaitu negara teokrasi yang
diperintah oleh pendeta secara hirarkis dan berpuncak pada pada Paus yang menjadi Raja Agama
sekaligus Raja Duniawi. (e) Madinatul la Diniyah (secularistic state) yaitu negara duniawi yang tidak
mau dicampuri oleh agama. Negara dipisahkan dari agama dan kepala negaranya mengakui bahwa
negaranya dijalankan tanpa campur tangan agama.9
Filosof Muslim lainnya adalah Ibnu Khaldum yang lebih dikenal sebagai Bapak Sosiologi
Dunia. Dalam pandangan politiknya Ibnu Khaldum mengatakan bahwa manusia memiliki sifat
kehewanan sehingga diperlukan seorang wasi yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, yang disebut
sebagai negara. Kekuasaan merupakan dasar pembelaan negara terhadap rakyatnya. Dalam negara
diperlukan adanya rasa ashabiyah (rasa golongan) untuk mengikat warga negara. Menurut Ibnu
Khaldum bahwa negara itu tidak terikat dengan adanya nubuwah (sifat kenabian), dalam urusan
penentuan kepala negara. Memang ashabiyah yang disertai agama akan bertambah kuat, tetapi agama
tidak akan berhasil apabila tidak disertai rasa golongan.10
Dalam karyanya yang berjudul Muqoddimah, Ibnu Khaldum mengemukakan beberapa syarat
sebagai kepala negara : pertama, berpengatahuan disertai kesanggupan dalam mengambil keputusan
sesua dengan syariat. Kedua, adil dalam menjalankan segala kewajiban termasuk dalam poisisinya
sebagai saksi, dan ketiga, segala fisik dan mental bebas dari cacat yang tidak memungkinkan
menjalankan tugas dengan baik. Untuk sistem pemerintahan, Ibnu Khaldum membagi menjadi tiga
macam, yaitu : pertama, pemerintahan natural yang membawa ummat manusia ke tujuan dan keinginan
nafsu, seperti arogan dan despotis. Pemerintahan ini berbentuk pemerintahan otoriter, individualis,

9
Ibid, h. 114-139
10
Deliar Nour, Pemikiran Politik di Negara Barat, Bandung : Mizan, 1999, h. 71-75
6

otokrasi dan inkonstitusional. Kedua, pemerintahan politik, yaitu negara yang mengantarkan
masyarakatnya sesuai dengan pandangan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah
kerusakan. Pemerintahan ini berbentuk republik dan konstitusional, tetapi menganut materialisme.
Ketiga, pemerintahan yang membawa semua orang berfikir sesuai dengan jalan agama. Untuk
memenuhi kebutuhan duniawi dan akhirat. Pemerintahan yang ketiga inilah yang diidealkan oleh Ibnu
Khaldum11.

2. Landasan Filosofis Demokrasi Liberalisme


Dalam konsepsi demokrasi modern, John Locke (1632-1704) merupakan pelatak dasar
landasan filosofis demokrasi liberalisme di barat melalui karyanya yang sangat monumental berjudul
Two Treaties of Government (1960). Karya inilah yang telah mengilhami revolusi liberal-borjuis
Perancis dan Revolusi Amerika. Dalam filsafat politiknya, Locke mengatakan bahwa kekuasaan
merupakan hasil perjanjian sosial (social contract) dan tidak bersifat mutlak. Kekuasaan bukan berasal
dari tuhan dan tidak datang secara turun temurun serta bukan atas dasar teks kitab suci. Untuk
menghindari penyalahgunaan kekuasaan, maka pembatasan kekuasaan sangat penting berdasarkan atas
kesepakatan antara warga dengan penguasa negara. Manusia dilahirkan setara tidak ada kelas atau
hirarkis kasta. Tuhan telah menganugerahkan kepada setiap manusia kesamaan nalar, kesamaan
keuntungan alamiah, kekuasaan, dan juridiksi. Kesemuanya ini telah ada sejak manusia berada dalam
keadaan alamiah (state of nature) yang berasal dari bawaan sejak lahir atau primordial basics.12
Menurut Locke bahwa terdapat tiga prinsip mengenai kekuasaan tertinggi (supreme power),
yaitu pertama, kekuasaan negara pada prinsipnya merupakan kepercayaan warga kepada penguasa yang
telah disekapati menjalankan kekuasaan. Adanya legitimasi kekuasaan dari rakyat berarti penguasa
harus bertanggungjawab kepada rakyat bukan kepada tuhan. Menurutnya kekuasaan itu bukan
transcendent, tetapi prophant dan politik bersifat sekuler. Kedua, kekuasaan tidak bebas dari
pengawasan rakyat sebagai pemberi legitimasi. Apabila terjadi penyelenggaraan kekuasaan yang
berlebihan oleh penguasa, maka akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan rakyat dan hak-hak
penguasa itu sendiri. Oleh karena itu, Locke mengakui perlawanan rakyat apabila penguasa
mencampuri kehidupan pemilikan individu dan berusaha menjadikan kehendaknya sebagai undang-
undang tanpa melalui proses legislatif. Ketiga, hak-hak rakyat meliputi hak hidup, hak atas kebebasan
dan hak atas kekayaan. Berdasarkan atas kontrak sosial antara rakyat dengan penguasa sebagai
pemegang supreme power, maka negara harus memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat
tersebut.13

11
M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, Jakarta : Gema Insani, 2002, h. 87-88.
12
Firdaus Syam, op. cit., h. 128-129
13
Frans Magnes Suseno, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta :
Gramedia, 1991, h. 226
7

Locke menolak bahwa kekuasaan didasarkan pada warisan seperti yang terdapat dalam
hubungan keluarga. Locke menentang keras pandapat yang dikemukakan oleh Sir Rober Filmer yang
mendukung kekuasaan absolutisme raja sebagaimana tergambar dalam tulisanya Patriacha : or The
Natural Power of Kings. Menurut Filmer bahwa kekuasaan mula-mula diberikan Tuhan kepada Adam,
dan Adam kemudian menurunkannya kepada ahli warisnya, sampai kepada ahli waris generasi
berikutnya. Hak dan kekuasaan raja sama dengan hak dan kekuasaan ayah kepada anak-anaknya yang
tidak pernah memiliki kebebasan meskipun sudah dewasa.14
Untuk membatasi kekuasaan absolut, Locke mengemukakan pentingnya konstitusi untuk
memperjelas peran dan kekuasaan negara. Adanya sentralisasi kekuasaan pada satu orang atau lembaga
nnegara harus dicegah. Pembatasan kekuasaan melalui konstitusi yang dimaksud oleh Locke dilakukan
dengan memisahkan kekuasaan politik dalam tiga fungsi, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif dan kekuasaan federatif. Kekuasaan eksekutif merupakan pelaksana undang-undang,
kekuasaan legislatif merupakan pembuat undang-undang dan hukum fundamental negara. Sedangkan
kekuasaan federatif berkaitan dengan masalah luar negeri, menentukan perang, perdamaian, aliansi
serta transaksi dengan negara asing. Secara hirarkhis kekuasaan legislatif lebih tinggi dari pada
kekuasaan eksekutif dan federatif. Dalam membuat undang-undang, kekuasaan legislatif tidak boleh
sewenang-wenang, tetapi melalui proses politik dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Oleh karena itu, prinsip utama dalam konstitusi Locke adalah prinsip mayoritas. Hal ini menjadi
prasyarat keabsahan dalam sistem demokrasi modern.15
Pemikiran demokrasi politik modern John Locke dalam hal pemisahan kekuasaan kemudian
dikembangkan dan disempurnakan lebih lanjut oleh Baron de Montesquieu (1689-1755). Dalam
karyanya yang berjudul de Isprit des Lois dikatakan bahwa untuk menjamin adanya kemerdekaan,
maka kekuasaan negara harus dibatasi dengan hukum. pembatasan kekuasaan tersebut dilakukan
dengan pemisahaan kekuasaan menjadi tiga, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan
kekuasaan yudikatif. Apabila ketiga kekuasaan digabungkan, maka tidak akan terjadi kemerdekaan,
tetapi yang terjadi adalah kekerasan dan penindasan oleh penguasa. Menurut Montesquieu bahwa
kemerdekaan itu, bukanlah kemerdekaan sesuka hati, yang memberikan hak kepada seseorang
mengangkat senjata, memaksakan kehendaknya dengan segala kekerasan terhadap orang lain,
kemerdekaan yang dimaksud adalah hak untuk berbuat apa yang dibenarkan dan diizinkan oleh hukum.
oleh karena itu, makna kemerdekaan adalah bentuk ketentraman hati yang ditimbulkan dari rasa aman
dimana seseorang tidak takut di hadapan yang lain, setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya,
aspirasi, keinginan dan gagasan dengan batas tidak keluar dari aturan hukum. Keadaan hukum harus
jelas, sehingga tidak ada kemungkinan bagi penguasa melakukan tindakan sewenangg-wenang.16

14
Deliar Nour, op. cit., , h. 118
15
Frans Magnes Suseno, op. cit., h. 223 dan 441
16
Deliar Noer, op. cit., h. 136-139
8

Sementara itu, pemikiran John Locke tentang perjanjian sosial (social contract) sebagai dasar
legitimasi kekuasaan kemudian dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Menurut
Rousseau bahwa pemegang kedaulatan adalah rakyat sebagai sumber kehendak bersama (volunte
generale). Oleh karena itu, kehendak bersama merupakan sumber hukum yang senantiasa didasarkan
pada kepentingan bersama bukan bagi kepentingan seseorang atau golongan tertentu 17 . Semboyan
retour a la nature (kembali ke alam) sangat tepat untuk menggambarkan pemikiran Rousseau. Dia
menolak keras rasionalisme sebagai tolak ukur kebenaran, hal inilah yang telah menyebabkan manusia
kehilangan perasaannya (La sensibilitie).18 Rousseau menginginkan manusia berada dalam keadaan
alamiah yang memiliki kebebasan, tetapi kebebasan itu masih bersifat elementer. Menurutnya, hanya
dalam masyatakat, manusia akan memiliki kebebasan penuh, hanya dalam masyarakat politik, manusia
akan menjadi manusia. Mereka harus bekerjasama untuk dapat memenuhi kebutuhannya, mulai dari
keluarga, sejumlah keluarga dan akhirnya membentuk masyarakat.
Lebih lanjut Rousseau menjelaskan bahwa manusia dalam kehidupan alami tidak ubahnya
seperti budak dari keinginan, nafsu, dan naluri, yang didorong oleh kebebasan alami manusia untuk
mengambil apa saja yang menarik minatnya. Kebebasan alami manusia ini menjadi tidak menentu dan
akan tetap diperoleh selama manusia dapat mempertahankannya. Dalam keadaan tidak menentu itulah
manusia kemudian memerlukan masyarakat atau badan politik dengan mengadakan perjanjian bersama
(social contract) yang dapat menjamin hak-haknya secara sama. Oleh karena itu, tiap anggota
masyarakat politik hanya patuh pada dirinya dan tinggal bebas seperti sediakala. Kebebasan yang
diperoleh dari masyarakat politik tidak sama dengan kebebasan alami, melainkan merupakan kebebasan
sipil, yaitu kebebasan yang didasarkan pada kehendak bersama (volunte generale) sebagai bentuk dari
kehendak rasional terhadak kepentingan umum yang harus dilaksanakan oleh semua. Kehendak
bersama dapat diartikan sebagai kepentingan yang dimiliki oleh setiap anggota untuk memajukan apa
yang menjadi kepentingan bersama. Oleh sebab inilah, maka bentuk negara yang sah menurut Rousseau
adalah republik sebagai negara yang didasarkan pada kehendak umum dan diperintah berdasarkan
hukum.19

3. Landasan Filosofis Demokrasi Komunisme


Konsepsi demokrasi komunisme merupakan anti tesis atas konsepsi demokrasi liberalisme.
Dalam konsepsi demokrasi komunisme menghendaki negara memiliki kekuasaan yang absolut. Peletak
dasar bangunan demokrasi komonisme ini adalah George Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831).
Menurut Hegel bahwa kekuasaan negara berada di atas hak-hak individu dan bahkan bersifat
transenden. Menurutnya, negara merupakan perkembangan ide yang absolut (absolute idea).

17
Ibid., hal. 155
18
Frans Magnis Suseno, op. cit., h. 243-239
19
Deliar Noer, op. cit., h. 155 dan 240
9

Pandangannya mengenai roh absolut telah mensakralkan negara sebagai the state is divine idea as it
exists on earth, sebagai bentuk keterlibatan tuhan di bumi20.
Hegel membangun filsafat mengenai dialektika idealistik dengan mengatakan bahwa sejarah
merupakan perkembangan roh di dalam waktu. Penyingkapan roh absolut merupakan tujuan akhir dari
sejarah. Pikiran universal, roh absolut, benda dalam dirinya sendiri, yang hakikatnya dapat difahami
melalui pemikiran. Bagi Hegel sejarah dunia tidak lain dari gerak maju kesadaran kebebasansebagai
tujuan absolut sejarah. Menurutnya, roh lebih dekat pada kesadaran. Esensi rasionalnya adalah
bergerak maju dari potensialitas menuju aktualitas. Dialektika adalah perjalanan panjang roh melalui
urusan-urusan manusia. Hegel berkeyakinan bahwa kebebasan adalah hakikat roh. Melalui sejarahlah
manusia bergerak maju menuju kesadaran atas kebebasan untuk mengatur kehidupan mereka secara
rasional menuju kesadaran mereka sendiri. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kesadaran kebebasan
sejati akan dicapai hanya dalam kelompok sosial. Oleh karena itu, manusia akan menemukan
karekternya yang hakiki, potensi moral dan sepiritualnya hanya sebagai warga negara dalam suatu
komunitas politik yang bersatu padu. Dalam hal ini, Hegel mengagumi negara kota Yunani Kono.21
Dalam hukum dan lembaga kekuasaan negara, yang merupakan perwujudan dan objektivisasi
roh, para individu menemukan suatu basis untuk menentukan secara rasioal terhadap kehidupan mereka
sendiri. Dengan inilah, kepentingan pribadi warga negara menjadi satu dengan kepentingan komunitas.
Roh mutlak yang merupakan akal terakhir, mewujudkan diri sendiri di dalam negara, sebagai bentuk
tertinggi perhimpunan manusia. Negara menggabungkan individu-indivisu yang terpecah-pecah ke
dalam suatu komunitas dan menggantikan kekuasaan naluri dengan kekuasaan keadilan. Negara
mengizinkan individu untuk menjalani kehidupan etis dan mengembangkan potensi menusiawi mereka.
Seorang individu tidak dapat mencapai tujuan-tujuan ini secara terpisah.22
Pemikiran filsafat politik Hegel tentang dialektika idealistik di atas telah mempengaruhi metode
pemikiran filsafat Karl Marx (1818-1883) tentang dialektika materialisme. Namun esensi pemikiran
filsafat antara Hegel dengan Marx berbeda. Dalam filsafat dialektika Materialisme Marx mengatakan
bahwa produksi dan pertukaran barang dan jasa menopang kehidupan manusia dan sebagai dasar dari
segala proses dan lembaga sosial serta sebagai faktor terpenting untuk membangun suprastruktur
kebudayaan, perundang-undangan, dan pemerintahan. Marx menjelaskan hubungan antara kondisi
material dan kehidupan masyarakat dengan idenya yang dikemukakan bahwa : bukan kesadaran
manusia yang menentukan keberadaannya, akan tetapi sebaliknya keberadaan sosial manusia itulah
yang menentukan kesadarannya23. Filsafat Marx ini sebenarnya mengkritik filsafat dialektika idealistik
Hegel yang menyatakan bahwa perubahan manusia ditentukan oleh kesadaran atas kebebasan dalam

20
Andrew Hacker, Political Theory, Philosophy, Ideology, Science, The Macmillan, New York, hal.
445
21
Marvin Perry, op. cit, h. 81-84
22
Ibid., h. 84
23
William Ebsenstein & Edwin Fogelman, Isme-Isme Dewasa Ini, Jakarta : Erlangga, 1990, h. 2-3
10

bentuk ide yang oleh Hegel disebut sebagai roh absolut. Pemikiran dialektika Marx telah
menghilangkan bentuk mistik dari dialektika Hegel.
Dalam dialektika Marx dikatakan bahwa sejarah ditentukan oleh keberadaan material. Bentuk
kekuatan produksi material tidak saja menentukan proses perkembangan dan hubungan sosial serta
formasi politik, tetapi juga pembagian kelas sosial. Pembagian kelas dimaksud meliputi kelas borjuis
dan kelas ploletar. Dalam pandangan Marx bahwa negara telah digunakan sebagai alat oleh kaum
borjuis untuk menindas kaum proletar. Oleh karena itu, dalam pandangan komunisme Marx bahwa
masyarakat komunis harus diperjuangakan layaknya gerakan kaum borjuis yang telah menghancurkan
kekuatan politik dan sosial kaum feodal dalam Revolusi Perancis. Keberhasilan perjuangan kaum
komunis adalah terwujudnya masyarakat tanpa kelas (unclasses), yang ditandai dengan hancurnya
negara sebagai penyebab terciptanya kelas. Dalam kondisi seperti inilah maka lahirlah masyarakat
komunisme.24. Menurut Marx bahwa pembebasan manusia tanpa kelas hanya dapat dicapai dengan
penguasaan dan kepemilikan alat produksi ditangan negara yang dikuasasi oleh masyarakat komunis,
bukan kaum borjuis.
Perjuangan Marx tentang masyarakat tanpa kelas dilanjutkan oleh pengikut setianya bernama
Fredrich Engels (1820-1895). Pandangan Engels tentang negara lebih keras dibandingkan Marx.
Menurut Engels bahwa kekuasaan sama dengan paksaan kemauan orang lain terhadap kita. Oleh karena
itu, revolusi sangat dibenarkan untuk mencapai masyarakat tanpa kelas, bahkan dengan cara teror
sekalipun.25
Pemikiran Marx dan Engels tentang perjuangan revolusi kaum ploletar dan terbentuknya
masyarakat tanpa kelas banyak mendapatkan kritik tajam dan bahkan disebut sebagai sesuatu yang
utopis. Akan tetapi, hal yang menarik dalam pemikiran tersebut adalah tentang kepemilikan bersama
atas semua alat produksi melalui kekuasaan negara untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Bangunan Konsepsi Demokrasi di Indonesia
Dalam perkembangan demokrasi modern sekarang, terdapat 3 (tiga) ideologi26 besar yang kuat
dan berpengaruh besar terhadap cita-cita bangsa dalam mewujudkan masa depan politiknya yang
terbaik. Ketiga ideologi tersebut adalah ideologi liberalisme, ideologi sosialis-komunisme dan ideologi
Islam27. Ketiga ideologi tersebut sebenarnya berakar dari pemiliran filsafat sebagaimana yang telah

24
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001, h. 286
25
Deliar Noer, op. cit., h. 329
26
Ideologi berasal bahasa Latin yaitu Ideo berarti pemikiran dan logis berarti pengetahuan. Sidney Hook
seorang ahli fisafat dari Amerika Serikat mengemukakan bahwa ideologi merupakan program aksi yang
diperuntukkan bagi suatu bangsa. Ideology merupakan pengetahuan sekaligus semi dan cara untuk merealisasikan
cita-cita bernegara, berpolitik dan membangun cita-cita masyarakat, dan diyakini mampu memberikan jawaban
dan harapan yang diinginkan Negara (Firdaus Syam, op. cit., h. 238-240)
27
Ideologi pada dasarnya merupakan ajaran, kumpulan nilai dan seni yang menjadi arah dan tujuan untuk
diperjuangkan. Dalam Islam, al quran dan sunnah mengandung berbagai nilai, ajaran dan seni dalam mencapai
kebahagiaan hidup, maka memungkinkan setiap muslim untuk mendasarkan ideologinya pada ajaran-ajaran
Islam. Mohammad Natsir mengatakan bahwa orang Islam itu mempunyai falsafah hidup, mempunyai ideologi
sebagaimana orang kristen mempunyai falsafah hidup dan ideologi, seperti juga orang fasis atau komunis
mempunyai falsafah hidup dan ideologinya sendiri.sendiri pula. Apakah dan bagaimanakah ideologi seorang
11

dibahas sebelumnya, yaitu filsafat liberalisme, filsafat idealisme, filsafat materialisme serta filsafat
Islam.
Menurut Mohammad Hatta bahwa terdapat tiga sumber yang mempengaruhi konsepsi
demokrasi para pemimpin-pemimpin Indonesia, yaitu pertama, faham sosialis barat, yang menarik
mereka karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran
Islam, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara
manusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia kemudian hari
haruslah suatu perkembangan dari pada demokrasi Asli, yang berlaku di dalam desa Indonesia 28 .
Pendapat Hatta ini, hampir sama dengan pendapat yang disampaikan oleh Soekarno bahwa pergerakan
rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat, yaitu nasionalisme, islamistis, dan marxistis. Ketiga faham ini
menurutnya telah menjadi roh pergerakan-pergerakan di Asia. Demi persatuan, ketiga faham itu tidak
perlu dipertentangkan, tetapi bisa bekerja bersama-sama menjadi satu ombak-topan yang tidak dapat
ditahan terjangnya. Pada tahun 1930-an, Soekarno akhirnya merumuskan sintesa dari ketiga faham
tersebut dengan melahirkan konsep sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi 29 . Berdasarkan atas
pendapat dari kedua Pendiri bangsa inilah, maka semakin menegaskan bahwa memang alam pemikiran
para perumus ideologi bangsa Indonesia sarat akan pengaruh dari ketiga ideologi besar dunia, yaitu
ideologi Islam, ideologi sosialis-komunisme dan ideologi liberalisme.
Perdebatan mengenai ideologi negara mulai dibicarakan dalam perumusan dasar negara yang
dilakukan oleh BPUPKI yang beranggotakan 62 orang dan diketuai oleh Radjiman Wediodiningrat.
Dalam perumusan dasar negara terdapat beberapa anggota yang menyampaikan pendangannya.
Pendangan yang menyatakan pentingnya nilai ketuhanan sebagai fundamen kenegaraan disampaikan
oleh Muhammad Yamin, Wiranatasoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agoes Salim,
Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan
Mohammad Hatta. Pandangan yang menyatakan pentingnya nilai kemanusiaan sebagai fundamen
kenegaraan disampaikan oleh Radjiman Wediodiningrat, Muhammad Yamin, Wiranatasoesoema,
Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Wongsonagoro, Soepomo, Liem Koen Hian dan Ki Bagoes
Hadikoesoemo. Pendangan yang menyatakan pentingnya nilai persatuan sebagai fundamen kenegaraan
disampaikan oleh Muhammad Yamin, Sosrodingrat, Wiranatasoesoema, Woerjaningrat, Soerio,
Soesanto Tirtoprodjo, A. Rachim Pratalykrama, Soekiman, Abdul Kadir, Soepomo, Dahler, dan Ki
Bagoes Hadikoesoemo. Pandangan yang menyatakan pentingnya nilai-nilai demokrasi
permusyawaratan sebagai fundamen kenegaraan disampaikan oleh Muhammad Yamin, Woerjaningrat,
Soesanto Tirtoprodjo, A. Rachim Pratalykrama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Soepomo. Pendangan
yang menyatakan pentingnya nilai keadilan/kesejahteraan sosial sebagai fundamen kenegaraan

muslim ? Amat luas dan lebar ketenagaannya, tetapi dapat disimpulkan dalam satu kalimat dalam al quran yang
maksudnya : Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia itu, melainkan untuk mengabdi kepada-Ku (QS. Az-Zariat :
56) (Ibid., h. 297-298)
28
Mohammad Hatta, op. cit., h. 102
29
Yudi Latif, op. cit., h. 7
12

disampaikan oleh Muhammad Yamin, Soerio, A. Rachim Pratalykrama, Abdul Kadir, Soepomo, dan
Ki Bagoes Hadikoesoemo.30
Beberapa pandangan di atas belum menerangkan secara sistematis dan lengkap mengenai dasar
negara. Pandangan yang lebih sistematis, lengkap, koheren serta monumental adalah disampaikan oleh
Soekarno dalam siding BPUPKI pada tanggaln 1 Juni 1945 yang disebutnya sebagai dasar negara
Indonesia dalam kerangka dasar falsafah (philosofische grondslag) atau pandangan dunia
(weltanschauung). Dasar falsafah tersebut disebut oleh Soekarno sebagai Pancasila yang meliputi lima
prinsip, yaitu : Pertama, Kebangsaan Indonesia; kedua, Internasionalisme, atau Perikemanusiaan,;
ketiga, Mufakat atau Demokrasi; keempat, Kesejahteraan Sosial; dan kelima, Ketuhanan yang
Berkebudayaan. Akan tetapi, untuk memberikan alternatif atas pandangannya, Soekarno kemudian
menyatakan bahwa lima dasar tersebut bisa menjadi tiga, yang disebutnya sebagai Tri Sila, yaitu Sosio-
Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ke-Tuhanan. Bahkan Soekarno kemudian mengumpulkan tiga
dasar tersebut menjadi satu dasar negara yang disebutnya Eka Sila, yaitu Gotong Royong. 31
Untuk membahas lebih lanjut atas berbagai usulan tersebut di atas, maka Ketua BPUPKI
membentuk Panitia Kecil berjumlah 8 orang dengan Ketua Soekarno. Akan tetapi secara informal,
Soekarno kemudian membentuk Panitia kecil beranggotakan 9 orang untuk menghormati keterwakilan
dari dua golongan, yaitu dari Golongan Nasionalis \berjumlah 5 orang termasuk Soekarno dan 4 orang
dari golongan Islam. Panitia Kecil ini kemudian dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan. Pada tanggal
22 Juni 1945, Panitia Sembilan ini menghasilkan rancangan Pembukaan UUD 1945 yang disebut
Mukaddimah, yang di dalamnya memuat dasar Negara Pancasila yang diletakkan dalam alinea keempat.
Dasar Negara Pancasila yang disampaikan Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengalami
penyempurnaan dan akhirnya bunyi Pancasila tersebut adalah : pertama, Ketuhanan dengan Kewajiban
Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya; kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab;
ketiga, Persatuan Indonesia; keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan; dan kelima, Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima dasar
negara ini kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Hasil rumusan dasar negara ini dikatakan oleh
Hatta bahwa sila pertama sebagai fundamen moralnya dan fundamen moral ini menjadi fundamen
politik bagi sila ke dua sampai sila kelima. Dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, hasil rumusan
Panitia Sembilan tersebut mendapatkan respon dan perdebatan khususnya pada sila pertama, yang
disebutnya sebagai tujuh kata. Akan tetapi akhirnya rumusan Mukaddimah disetujui.32
Ketua BPUPKI kemudian menugaskan kelompok yang diketuai oleh Soekarno untuk
membentuk Hukum Dasar. Untuk mengoptimalkan hasilnya, maka Soekarno membentuk Panitia kecil
berjumlah 6 orang diketuai oleh Soepomo. Dengan mendasarkan pada hasil Piagam Jakarta, maka

30
Ibid., h. 10-11
31
Ibid., h. 15-19
32
Ibid, h. 21-27
13

Panitia Kecil telah berhasil merumuskan lima pikiran pokok yang melingkupi semua pasal dalam batang
tubuh Hukum Dasar, yaitu33 :
1. Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. pokok
piriran ini menolak bentukan negarayang berdasar atas individualisme dan juga menolak
bentukan Negara klasse-staat, sebagai Negara yang hanya mengutamakan satu kelas, satu
golongan seperti menurut sistem Soviet, yang mengutamakan golongan pekerja dan petani.
2. Negara yang berdasarkan atas hidup kekeluargaan, akan menyelenggarakan dasar ini bukan
saja ke dalam, akan tetapi juga keluarjadi dengan ini, kita akan membentuk negara
berdasarkan kekeluargaan, tidak saja terhadap dunia dalam negeri, akan tetapi juga dunia di
luar negeri.
3. Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas
kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan.
4. Negara berdasar atas ke-Tuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, undang-undang dasar harus megandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-
lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
5. Negara Indonesia memperhatikan keistimewaan bagi penduduk yang terbesar dalam
lingkungan daerahnya, yaitu penduduk yang beragama Islam. Dengan terang dikatakan dalam
pembukaan, kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Dengan ini, negara
memperhatikan keistimewaan penduduk terbesar, yaitu yang beragama Islam.
Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, Hukum Dasar hasil BPUPKI kemudian disahkan
oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Akan tetapi, untuk sila pertama Piagam Jakarta yang terkandung
dalam alinea keempat pembukaan masih mendapatkan tantangan dari kelompok Kabangsaan, dan
akhirnya dirubah menjadi Ketuhan Yang Maha Esa.
Perdebatan antara golongan kebangsaan dan golongan Islam ini berlanjut pada sidang
Konstituante 1956. Setelah bersidang selama kurang lebih dua setengah tahun, Konstituante belum
menghasilkan kesepakatan mengenai perubahan UUD Sementara 1950. Perdebatan terjadi terkait
dengan dasar Negara. Kelompok kebangsaan tetap mempertahankan bunyi Pancasila sebagaimana hasil
pengesahan PPKI 18 Agustus 1945, sementara kelompok Islam berjuang memberlakukan Piagam
Jakarta. Padahal keadaan politik dan pemerintahan berada pada kondisi yang tidak stabil. Untuk
menghindari instabilitas politik dan menjaga kekosongan konstitusi, maka Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang memuat tiga diktum, yaitu : pertama, pembuabaran konstituante;
kedua, penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950; dan ketiga,
pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara (DPAS).34
Perdebatan dua golongan nasionalis dan golongan Islam di atas sebenarnya menggambarkan
adanya pergulatan ideologis dalam perumusan dasar negara oleh para pendiri dan pemimpin bangsa.
Oleh karena itu, hasil rumusan dasar negara Pancasila merupakan sintesa atau hasil kristalisasi dari

33
Ibid, h. 27-30
34
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan ke-4, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,
2011, h. 130-134
14

pengaruh tiga ideologi basar dunia, yaitu ideologi liberalism, ideologi sosialisme-komunisme dan
ideologi Islam. Menurut Mahfud MD bahwa Pancasila tidak bukan menganut negara agama dan bukan
negara sekuler, serta dalam kontek ideologi bukan individualisme dan bukan kolektivisme, tetapi secara
substansial menganut konsep prismatik, yakni mengambil segi-segi baik dari kedua konsep yang
bertentangan yang kemudian disatukan sebagai konsep tersendiri sehingga dapat selalu diaktualisasikan
dengan kenyataan masyarakat35. Pendapat ini sama dengan hasil penelitian disertasi yang dilakukan
oleh Jimly Asshiddiqie bahwa konsep kedaulatan rakyat atau demokrasi Indonensia adalah bersifat
kombinasi kreatif yang seimbang antara individualisme dan kolektivisme.36
Menurut Philipus M. Hadjon dalam hasil penelitiannya dikatakan bahwa Pancasila merupakan
dasar Negara dalam arti ideologi negara dan falsafah hidup. Dalam kedudukannya sebagai ideologi
negara dan falsafah hidup, maka Pancasila menjadi pedoman tingkah laku hidup kenegaraan dan hidup
bernegara37. Berdasarkan atas pendapat Philipus M. Hadjon inilah, maka Pancasila sebagai ideologi
negara harus menjadi landasan dalam penyelengaraan demokrasi di Indonesia. Konsep
penyelenggaraan demokrasi di Indonesia dirumuskan dalam sila ke-4 dasar negara Pancasila, yaitu
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno di antaranya menyampaikan pandangannya di depan sidang
BPUPKI mengenai konsep demokrasi Indonesia yaitu :
Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan
walaupun golongan kaya, tetapi, kita mendirikan Negara semua buat semua, satu buat semua,
semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia islah
permusyawaratan, perwakilan.kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi
barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup38

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan beragam suku, budaya, bahasa, agama dan
keyakinan. Oleh karena itu, konsep demokrasi yang dibangun mendasarkan pada jaminan
keseimbangan antara pemenuhan prinsip kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, yang berlaku bagi
segenap elemen bangsa. Dalam keragaman ideologi politik yang didasarkan pada pandangan atas anasir
demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosio-demokrasi barat, akhirnya perdebatan para pendiri bangsa
dipertemukan dalam gagasan demokrasi kekekuargaan, dan secara umum menolak demokrasi
individualisme39.

35
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 2010, h. 6
36
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia :
Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan
Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an, Disertasi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1993, h. 289
37
Philipus M. Hadjon, Pertlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia : Sebuah Studi tentang Prinsip-
Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi, Edisi Khusus, Peradaban, 2007, h. 58
38
Yudi Latif, op. cit., h. 383
39
Ibid., h. 403
15

Mengenai pilihan konsep demokrasi, Soepomo menjelaskan adanya tiga aliran tentang Negara:
pertama, teori individualisme, yang diajarkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques
Rousseau, Herbert Spencer, dan Laski. Menurut ajaran ini, negara adalah masyarakat hukum (legal
society) yang disusun atas kontraknya antara seluruh orang dalam masyarakat. Kedua, teori kelas yang
diajarkan oleh Karl Marx, Fredrich Engels, dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat dari suatu
golongan untuk menindas kelas lain. Ketiga, teori integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam
Muller, Hegel, dan lain-lain. Menurut teori ini negara adalah bukan untuk menjamin kepentingan
seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan.
Menurut Soepomo bahwa dari ketiga aliran di atas hanya aliran integralistik yang lebih cocok dengan
alam ketimuran masyarakat Indonesia. meskipun demikian, dalam perdebatan dalam siding BPUPKI,
Soepomo tetap menerima dan bersikap kompromis atas penerapan konsep demokrasi kekeluargaan di
Indonesia yang disebutnya sebagai dasar pengertian negara (staatsidee)40.
Konsep demokrasi kekeuargaan ini kemudian disampaikan oleh Soekarno dalam siding
BPUPKI, dengan istilah demokrasi permusyawaratan. Menurut Soekarno bahwa demokrasi
permusyawaratan memiliki fungsi ganda, yaitu di satu sisi permusyawaratan/perwakilan bisa menjadi
ajang untuk mengkonfrontasikan dan memperjuangkan aspirasi golongan-golongan yang ada dalam
masyarakat dan pada sisi yang lain demokrasi permusyawaratan hendak menguatkan negara persatuan,
bukan negara untuk satu golongan arau perorangan. Demokrasi Permusyawaratan yang diimpikan oleh
Soekarno adalah yang dilandaskan kekeuargaan agar dapat mencapai kebaikan bersama.41 Lebih lanjut
Soekarno menjelaskan bahwa demokrasi yang kita jalankan adalah demokrasi Indonesia, membawa
kepribadiaan Indonesia sendiri. Jika tidak bisa berfikir demikian itu, kita nanti tidak dapat
menyelenggarakan apa yang menjadi amanat penderitaan rakyat42.
Terkait dengan penyelenggaraan demokrasi permusyawaratan ini, Soepomo menjelaskan
tentang sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia :
Kedaulatan dilakukan oleh Badan Permusyawaratan Rakyat yang bersidang sekali dalam 5 tahun.
Oleh karena itu, Badan ini memegang kekuasaan yang tertinggi, maka pembaharuan Negara dapat
dilakukan, buat sehari-hari Presidenlah yang merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Dlam
pangreh Negara dibantu oleh Wakil Presiden, meteri-menteri, yang bertanggungjawab
kepadanya, dan oleh Dewan Pertimbangan Agung. Dalam membentuk undang-undang, Presiden
harus semufakat dengan Dewan Perwakilan Rakyat.43

Berdasarkan atas hasil perdebatan antar para pendiri bangsa tersebut di atas, maka akhirnya
semuanya sepakat bahwa demokrasi yang dianut di Indonesia bukanlah demokrtasi berdasarkan atas
ideologi politik barat ataupun berdasarkan atas ideologi politik Islam, tetapi demokrasi yang
disesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu demokrasi permusyawaratan. Untuk

40
Ibid., h. 421
41
Ibid., h. 423
42
Ibid, h. 475
43
Ibid., h. 436
16

menyelenggarakan sistem demokrasi permusyawaratan ini, maka dibentuklah MPR yang dilandasi
semangat kekeluargaan. Oleh karenanya, MPR ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara.
Kesepakatan ini kemudian dimasukkan dalam perumusan batang tubuh UUD 1945 pada Pasal 1 ayat
(2), yaitu Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar penyelenggaraan demokrasi
permusyawaratan ini kemudian dilakukan perubahan sebagai akibat dari tuntutan reformasi tahun 1998.
Perubahan terhadap pelaksana kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 itu dilakukan pada
perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001. Pembahasan mengenai perubahan Pasal 1 ayat (2) ini tidak
lagi memperdebatkan konsep demokrasi permusyawaratan yang telah menjadi nilai substansial dalam
perdebaran para pendiri bangsa tahun 1945. Dalam Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR ke-14,
yang diselenggarakan pada 10 Mei 2001, Anggota Tim Ahli, Jimly Asshiddiqie menyampaikan
laporannya bahwa44 :
....Di dalam rangka perubahan pertama, kedua dan kemudian dalam rangka perubahan yang
ketiga, ada pikiran untuk mengubah prinsip berpikir kita tentang kedaulatan rakyat, prinsip
pemisahan dan pembagian kekuasaan, dan prinsip penjelmaan kedaulatan rakyat itu dalam
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu, diusulkan kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar... Dengan
demikian, diusulkan rumusannya menjadi lebih feksibel, yaitu Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.

Lebih lanjut Anggota Ahli menjelaskan mengenai hasil rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,
yang berbunyi : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar, yaitu45 :
Kemudian mengenai negara kedaulatan rakyat itu tadi. Jadi kedaulatan rakyat berdasar atas
hukum. Jadi pada akhirnya diskusi berkenaan dengan kedaulatan ya, apa sesungguhnya yang
berdaulat dalam setiap negara itu? Siapa sih pemegang kedaulatan kekuasaan tertinggi itu?
Perdebatannya adalah apakah rakyat, apa hukum? Nah ini persis perdebatan filosofi, flsafat
hukum antara demokrasi atau nomokrasi.
Nah ketemunya adalah di dalam konsep yang dua tadi, yang satu demokratis secara rechtsstaat,
yang satu lagi contitutional democracy. Yang kalau kita gabung inginnya
dua-duanya itu dianut di dalam Undang-Undang Dasar kita. Dan memang kalau kita baca, pelajari
perdebatan sejak tahun 1930-an memang dua-duanya itu dianut oleh the founding fathers. Itu
sebabnya ada istilah sistem konstitusional, yang tadi dijelaskan di dalam rumusan yang dibuat
oleh Supomo itu, sistem konstitusional untuk menggambarkan ada constitutional democracy.
Nah ketika kita harus memperbaiki rumusan mengenai MPR, adanya MPR itu, kenapa kita tidak
masukkan di dalamnya? Jadi kita rumuskan di sini, Kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar,. Begitu kira-kira. Jadi jalan pikirannya antara

44
Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 1999-2002: Tahun Sidang 2001, Buku Dua, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008, h. 22, dalam
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, NaskahKonprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku II, Edisi
Revisi, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, h.348-
349
45
Ibid., hal. 357
17

nomokrasi dan demokrasi kita, apa namanya itu, kita jadikan dia sebagai dua sisi dari mata uang
yang sama, kira-kira begitu. Jadi negara hukum itu harus demokratis,
sebaliknya negara demokrasi itu kalau mau lengkap ya berdasar atas hukum, kira-kira begitu.

Berdasarkan atas pendapat di atas, maka berarti dasar perumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
hasil perubahan ketiga didasarkan pada pada prinsip rachtsstaat dan prinsip demokrasi konstitusional.
Hal ini berarti prinsip demokrasi permusyawaratan yang berasal dari kepribadian bangsa Indonesia
tidak lagi menjadi dasar argumentasi dalam rumusan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Padahal
konsep rachtsstaat dan konsep demokrasi konstitusional bukan berasal dari budaya politik bangsa
Indonesia, tetapi berasal dari konsep demokrasi barat. Konsep Rechsstaat berkembang di negara-negara
Eropa Kontinental yang menekankan kebebasan, persamaan, dan otonomi dari individu-individu di
dalam kerangka suatu tertib hukum yang berkepastian yang ditentukan oleh undang-undang dan
dijalankan oleh pengadilan yang independen. Menurut Carl Schmitt bahwa konsep Rechtsstaat liberal
sejalan dengan pandangan Filosofi liberal klasik bahwa kebebasan individu itu tidaklah tunduk pada
aturan-aturan yang dibuat oleh pribadi atau manusia lainnya melainkan hanya tunduk pada hukum nalar
(a state governed by the law of reason)46. Sedangkan konsep demokrasi konstitusional dikenal melalui
tulisan Walter F. Murphy dalam tulisannya yang berjudul Constitution, Constitusionalism, and
Democracy. Menurut Murphy bahwa konsep demokrasi konstitusional berasal dari penyatuan dua
konsep, yaitu konsep demokrasi dan konsep konstitusionalisme, yang keduanya sama-sama bertujuan
untuk mencapai penghormatan terhadap harkat kemanusiaan (human dignity) 47.
Sesuai dengan dasar argumentasi atas perumusan perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yang
berbunyi : : Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar, maka dapat dikatakan bahwa konsep demokrasi di Indonesia tidak lagi
didasarkan pada idelogi Pancasila yang berakar dari nilai-nilai dan kepribadian bangsa Indonesia, tetapi
telah mendasarkan atas ideologi barat yang bersifat liberal dalam penyelenggaraan demokrasi di
Indonesia.
Penutup
1. Bahwa landasan filosofis konsepsi demokrasi modern dipengaruhi oleh tiga pemikiran filsafat
demokrasi, yaitu filsafat demokrasi Islam, filsafat demokrasi liberal, dan filsafat demokrasi
komunis. Filsafat demokrasi Islam lebih menekankan pada kebersamaan dalam mencapai
kebahagiaan tertinggi, dunia dan akhirat. Filsafat demokrasi liberal menekankan bahwa negara
dibentuk atas dasar perjanjian sosial dengan menempatkan hak-hak alamiah dengan setara,
sehingga kekuasaan negara tidak absolut. Untuk menjalankan negara, maka kekuasaan harus
dibatasi melalui pemisahan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi. Sedangkan filsafat demokrasi

46
I Dewa Gede Palguna, Pengadulan Konstitusional (Constitutional Complaint) : Upaya Hukum
Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, h. 79-93
47
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, h. 23-24.
18

komunis menyatakan bahwa negara merupakan alat perjuangan untuk memperoleh hak-haknya
yang telah dikuasasi oleh golongan penindas atau kaum borjuis, sehingga tujuan yang ingin dicapai
adalah kepemilikan bersama atas semua alat produksi dan terbentuknya masyarakat komunis tanpa
kelas.
2. Bahwa bangunan konsepsi demokrasi Indonesia banyak dipengaruhi oleh 3 (tiga) ideologi besar
dunia, yaitu ideologi Islam, ideologi liberalisme, dan ideologi sosialisme-komunisme. Hal ini
sangat tampak dalam pembahasan dasar negara dalam sidang BPUPKI maupun PPKI tahun 1956
dan bahkan berlanjut pada sidang Konstituante tahun 1956. Dari perdebatan panjang tersebut,
akhirnya para pendiri bangsa bersepakat bahwa dasar negara Indonesia harus berakar dari bangsa
Indonesia, yang kemudian disebut Pancasila. Pancasila kemudian dijadikan landasan dalam
penyelenggaraan demokrasi Indonesia. Konsepsi demokrasi yang berkesesuaian dengan ideologi
Pancasila yang disepakati oleh para Pendiri Bangsa adalah demokrasi permusyawaratan, yang
dilandasi semangat kekeluargaan. Akan tetapi, sebagai akibat dari tuntutan reformasi tahun 1998,
konsepsi demokrasi permusyawaratan dirubah konsepsi demokrasi liberal yang dilandasi oleh
konsep rechtsstaat dan contitutional democracy yang berasal dan berkembang di negara-negara
demokrasi barat.

Das könnte Ihnen auch gefallen