Sie sind auf Seite 1von 22

1

Interpretasi Foto Udara Pankromatik Sebagian Wilayah Wonogiri


(Nomor Peta 192-193) dan Pulau Sint Eustasius
Rizki Adriadi Ghiffari
Email: rizki.adriadi@gmail.com

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Interpretasi foto udara merupakan tindakan memeriksa gambar foto untuk tujuan
mengidentifikasi objek dan menilai signifikansi mereka (Colwell, 1997). Penafsiran citra visual dapat
didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang
tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya (howard, 1996).
Penafsiran citra merupakan kegiatan yang didasarkan pada deteksi dan identifikasi obyek dipermukaan
bumi pada citra satelit. Dengan mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsure-unsur utama spektral
dan spasial serta kondisi temporalnya.

Prinsip-prinsip interpretasi citra telah dikembangkan secara empiris lebih dari 150 tahun. Yang
paling dasar dari prinsip-prinsip ini adalah unsur-unsur interpretasi citra diantaranya: lokasi, ukuran,
bentuk, bayangan, nada / warna, tekstur, pola, tinggi/kedalaman dan situs/situasi/asosiasi. Unsur-unsur
ini secara rutin digunakan ketika menafsirkan sebuah foto udara atau menganalisis gambar foto. Seorang
juru gambar yang terlatih menggunakan banyak unsur-unsur selama analisis nya tanpa berpikir tentang
mereka. Namun, pemula mungkin tidak hanya harus memaksa dirinya untuk secara sadar mengevaluasi
objek yang tidak diketahui sehubungan dengan unsur-unsur, tetapi juga menganalisis makna dalam
kaitannya dengan objek lain atau fenomena dalam foto atau gambar.

Salah satu objek interpretasi dalam penginderaan jauh adalah foto udara pankromatik hitam
putih. Interpretasi foto udara pankromatik hitam putih dapat dilakukan dengan cara monoskopis maupun
dengan cara stereoskopis. Pengamatan stereoskopis menggunakan foto udara pankromatik hitam putih
berpasangan sehingga memberikan visualisasi 3D yang mempermudah dalam identifikasi litologi,
morfologi, proses geomorfologi serta penutup & penggunaan lahan.

1.2. Tujuan

Interpretasi foto udara ini dilakukan untuk mengidentifikasi topografi, pola aliran, tekstur aliran,
pola vegetasi, pola penggunaan lahan, rona, warna tekstur dan bentuk penampang aliran. Hasil
interpretasi ini akan menghasilkan peta bentuk lahan dan tutupan lahan. Objek interpretasi adalah foto
udara seri 192-193 Upper Wonogiri dan Pulau Sint Eustasius. Sementara sasaran-sasaran yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut adalah: mengidentifikasi pola aliran, mengidentifikasi asal proses bentuk
lahan, mengidentifikasi unit penggunaan lahan, mengidentifikasi litologi, struktur geologi, dan bentuk
lahan.

1.3. Metode Penelitian

Proses pengambilan data awal dilakukan secara sederhana karena bahan foto udara yang
digunakan adalah foto udara pankromatik tahun 1986, dengan warna gradasi hitam ke putih. Alat dan
bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2
Stereoskop cermin
Foto udara pankromatik hitam-putih skala 1:10.000 daerah upper wonogiri (nomor foto 192 dan
193) dan Foto udara skala 1:50.000 Pulau Sint Eustaius
Plastik transparansi, pencil OHP dan alat tulis lainnya
Pedoman interpretasi informasi geomorfologi oleh Van Zuidam (1983)
Referensi lain sebagai dasar interpretasi

Selanjutnya, proses pengambilan data dari foto udara adalah sebagai berikut:

Menggambar jaring-jaring / alur-alur sesuai foto udara pankromatik yang terlihat pada
strereoskop di atas plastik transparan dengan menggunakan pencil OHP.
Mengamati dan mengenali relief yang terlihat secara stereokopis
Mengamati dan mengenali satuan bentuk lahan dan fenomena geomorfologi yang tergambar
pada citra udara.
Mengenali masing-masing genesa bentuk lahan dan merinci lebih lanjut ke dalam satuan bentuk
lahan

Prosedur detail ditampilkan pada bagan dibawah ini.

Peta Kontur Klasifikasi Relief


Kemiringan Lereng

Pola Aliran
Interpretasi Proses Klasifikasi
Visual Geomorfik Bentuk Lahan
Penggunaan
Lahan

Struktur dan Komposisi


Litologi Material

3
PEMBAHASAN

Hal pertama yang dilakukan dalam interpretasi foto udara adalah membuat kunci interpretasi beserta penjelasannya. Berikut ini adalah
hasil interpretasi yang sudah dilakukan:

Tabel Kunci Interpretasi

Kunci-Kunci Interpretasi
Proses Satuan
Geomorfologi Bentuk Lahan Bayangan Pola Asosiasi Rona Tekstur Warna Struktur

Pulau Sint Eustasius


Bukit sisa (D1) Tidak ada Berombak Lahan kosong Agak Agak - Dapat berupa
dengan lereng gelap Kasar batuan masif,
landau vulkan ataupun
struktural
Perbukitan terkikis (D2) ada Membulat dan Lahan kosong Gelap Kasar - Dapat berupa
agak curam batuan masif,
vulkan ataupun
struktural
Pegunungan terkikis (D3) Ada Pegunungan Lahan kosong Gelap Kasar - Dapat berupa
curam batuan masif,
vulkan ataupun
Denudasional struktural
Bukit terisional (D4) Ada Bebatuan Lahan kosong Terang Kasar - Dapat berupa
terjal batuan masif,
vulkan ataupun
struktural
Dataran nyaris (D5) Tidak ada Miring dan Lahan kosong Agak Agak - Dapat berupa
hampir gelap halus batuan masif,
menuju datar vulkan ataupun
struktural
Plato (D6) Ada Hampir datar Lahan kosong Agak Agak - Dapat berupa
gelap halus batuan masif,

4
vulkan ataupun
struktural
Lereng Kaki (D7) Tidak ada Memanjang Lahan kosong Agak Agak - Dapat berupa
namun tidak terang kasar batuan masif,
dinamis vulkan ataupun
struktural
Pantai berbatu (M1) Tidak ada Berombak Lahan kosong Agak Kasar - Bercampur
gelap
Tebing Pantai (M2) Ada Tebing curam Lahan kosong Gelap Kasar - Berlapis,
memiliki
Marine
kemiringan
Gisik (M3) Tidak ada Hampir datar Lahan kosong Terang Halus - bercampur
Teras marin (M11) Ada Datar Pertanian Agak Halus - Berlapis kompak
terang
Kawah vulkanik (V1) Ada Cekungan Lahan kosong gelap Agak - Berlapis,
halus memiliki
kemiringan
Kerucut gunung api (V2) Tidak ada Tebing curam Lahan kosong Agak Kasar - Berlapis,
gelap memiliki
kemiringan
Lereng tengah (V4) Tidak ada Agak curam Pertanian dan Agak Agak - Berlapis,
Vulkanik sebagian terang kasar memiliki
permukiman kemiringan
Lereng kaki (V7) Tidak ada Miring dan Pertanian dan Agak Agak - Berlapis,
hampir permukiman terang halus memiliki
menuju datar kemiringan
Dataran vulkanik (V12) Tidak ada Datar Pertanian dan Agak Halus - Berlapis,
permukiman terang memiliki
kemiringan
Sebagian Wonogiri, Nomor Peta 192-193

5
Bukit sisa (D1) Ada Berbukit Pertanian Terang Agak - Dapat berupa
dengan lereng lahan kering kasar batuan masif,
agak curam vulkan ataupun
struktural
Denudasional
Lereng Kaki (D7) Ada Berombak Permukiman Gelap Agak - Dapat berupa
dengan lereng dan halus batuan masif,
landai perkebunan vulkan ataupun
struktural
Dataran banjir (F3) Tidak ada Datar Pertanian dan Agak Halus - Berlapis tidak
lahan kosong Terang kompak
Beting pasir (F4) Tidak ada Datar Lahan kosong Terang Halus - Berlapis tidak
kompak
Fluvial Dataran alluvial (F8) Tidak ada Hampir datar Pertanian Agak Agak - Berlapis tidak
lahan basah, terang halus kompak
lahan kering,
lading dan
permukiman

Parameter utama yang digunakan dalam pemetaan geomorfologi diantaranya adalah relief, pola aliran, dan vegetasi. Parameter ini dapat
dilengkapi lagi dengan parameter lainnya sebagai pendukung pengamatan seperti tekstur aliran, pola penggunaan lahan, rona/warna, bentuk
penampang aliran, iklim, struktur geologi, dan kerekayasaan. Pengamatan parameter tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi
karakteristik bentuk lahan yang lebih rinci. Berikut hasil interpretasi yang sudah dilakukan:

Tabel Identifikasi Bentuk Lahan

Pola Kenampakan
Pola
Proses Bentuk Lahan Topografi Pola Aliran Kerekayasaan Penggunaan pada Foto Udara
Vegetasi
Lahan Rona Tekstur
Pulau Sint Eustasius
Bukit sisa (D1) Landai sampai Paralel Tidak dimanfaatkan Rapat Lahan Agak Agak
Denudasional
curam kosong gelap Kasar

6
Perbukitan terkikis Curam Paralel Tidak dimanfaatkan Tidak rapat Lahan Gelap Kasar
(D2) kosong
Pegunungan Curam sampai Paralel Tidak dimanfaatkan Tidak rapat Lahan Gelap Kasar
terkikis (D3) terjal kosong
Bukit terisional Curam sampai Paralel Tidak dimanfaatkan Tanpa Lahan Terang Kasar
(D4) terjal vegetasi kosong
Dataran nyaris (D5) Landai sampai Paralel Tidak dimanfaatkan Rapat Lahan Agak Agak
curam kosong gelap halus
Plato (D6) Landai dendritik Tidak dimanfaatkan Rapat Lahan Agak Agak
kosong gelap halus
Lereng Kaki (D7) Landai sampai Paralel Tidak dimanfaatkan Rapat Lahan Agak Agak
curam kosong terang kasar
Pantai berbatu Landai - Tidak dimanfaatkan Tanpa Lahan Agak Kasar
(M1) vegetasi kosong gelap
Tebing Pantai (M2) Curam sampai - Tidak dimanfaatkan Tanpa Lahan Gelap Kasar
terjal vegetasi kosong
Marine
Gisik (M3) Landai - Tidak dimanfaatkan Tidak rapat Lahan Terang Halus
kosong
Teras marin (M11) Landai Dendritik Kawasan pertanian Rapat Pertanian Agak Halus
terang
Kawah vulkanik Curam sampai Radial Tidak dimanfaatkan Tanpa Lahan gelap Agak
(V1) terjal vegetasi kosong halus
Kerucut gunung api Curam sampai Radial Tidak dimanfaatkan Tidak rapat Lahan Agak Kasar
(V2) terjal kosong gelap
Vulkanik
Lereng tengah (V4) Curam Radial Kawasan pertanian Rapat Pertanian Agak Agak
dan terang kasar
sebagian
permukiman

7
Lereng kaki (V7) Landai Radial Kawasan Permukiman Rapat Pertanian Agak Agak
dan terang halus
permukiman
Dataran vulkanik Datar dan hampir Dendritik Kawasan permukiman Rapat Pertanian Agak Halus
(V12) datar dan terang
permukiman
Sebagian Wonogiri, Nomor Peta 192-193
Bukit sisa (D1) Curam Dendritik Kawasan pertanian Tidak rapat Pertanian Terang Agak
lahan kering kasar
Denudasional Lereng Kaki (D7) Landai sampai Dendritik Kawasan permukiman Rapat Permukiman Gelap Agak
curam dan halus
perkebunan
Dataran banjir (F3) Datar dan hampir Dendritik Kawasan pertanian Tidak rapat Pertanian Agak Halus
datar dan lahan Terang
kosong
Beting pasir (F4) Datar dan hampir Dendritik Tidak dimanfaatkan Tanpa Lahan Terang Halus
datar vegetasi kosong
Fluvial Dataran alluvial landai Dendritik Kawasan pertanian Tidak rapat Pertanian Agak Agak
(F8) lahan basah, terang halus
lahan
kering,
lading dan
permukiman

Selanjutnya dilakukan pembahasan secara rinci berdasarkan masing-masing parameter identifikasi bentuk lahan dan dampak serta cara
pengelolaan dari setiap satuan bentuk lahan.

8
2.1. Topografi

Dari foto udara skala 1:50.000 Pulau Sint Eustasius dapat diinterpretasikan 5 klasifikasi
topografinya berdasarkan pedoman klasifikasi Van Zuidam (1983) sebagai berikut:

Kelas Lereng (%) Karakteristik Warna Bentuk Lahan


02 Datar atau hampir datar Hijau tua Dataran vulkanik
Lereng kaki gunung api
27 Kemiringan lereng landai Hijau muda Dataran nyaris terangkat
Teras marin
Lereng kaki gunung api
7 15 Landai sampai curam Kuning muda Bukit sisa denudasional
Lereng kaki denudasional
Perbukitan denudasional
15 30 curam Kuning tua
Lereng tengah gunung api
Kawah gunung api
Kerucut gunung api
30 70 Curam sampai terjal Merah muda
Pegunungan denudasional
Tebing pantai
Topografi curam sampai terjal merupakan kemiringan tertinggi yang ada di Pulau Sint Eustasius,
diwkili oleh puncak gunung api pada bentuk lahan vulkanik, tebing pantai pada bentuk lahan marin, dan
pegunungan denudasional. Sedangkan wilayah dengan topografi datar dan hampir datar hanya terdapat
pada dataran vulkanik, sebagai pusat penduduk. Profil topografi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Kemudian dari Foto udara pankromatik hitam putih daerah Wonogiri (nomor foto 192 dan 193)
di interpretasikan terbentuk 4 relief, diantaranya:

Kelas Lereng (%) Karakteristik Warna Bentuk Lahan


02 Datar atau hampir datar Hijau tua Dataran banjir
27 Kemiringan lereng landai Hijau muda Dataran alluvial
7 15 Landai sampai curam Kuning muda Lereng kaki
15 30 curam Kuning tua Perbukitan
Relief dengan pola berbukit agak curam berkembang di bagian barat laut dan timur, berbukit
moderat berada di tengah dan mendominasi wilayah penelitian, sedangkan relief landai terdapat pada
bagian selatan, sedangkan relief datar terdapat pada sisi-sisi sungai. Selengkapnya ilustrasi penampang
profil topografi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

9
2.2. Morfologi

Pulau Sint Eustasius merupakan wilayah yang memiliki 3 kelompok besar pembagian berdasarkan
morfogenesisnya. morfogenensis vulkanik pada wilayah kerucut gunung api hingga bagian kawah, tampak
dari pola aliran sungai yang radial. Daerah dataran vulkanik yang cenderung datar dengan pola aliran
sungai dendritik, terbentuk akibat proses erosi yang dominan dan tersusun atas material alluvium.
Sedangkan pada perbukitan denudasioanl dengan morfologi perbukitan, tersusun atas litologi andesit.

Sebagian daerah Wonogiri (nomor foto 192 dan 193) merupakan daerah yang memiliki
morfogenesis fluvial tampak dari asosiasi antara sungai dengan dataran disekitarnya dan morfogenesis
denudasional yang tampak dari adanya area yang memiliki morfologi bergelombang-perbukitan. Akibat
aktivitas fluvial yang dominan pada daerah ini, daerah ini cenderung bermorfologi datar-berombak dan
tersusun dari material aluvium. Sedangkan perbukitan yang memiliki morfologi bergelombang-perbukitan
tersusun dari litologi andesit.

2.3. Litologi/Geologi

Materi penyusun atau litologi dapat ditentukan melalui topografi dan pola alirannya. Pada daerah
yang datar/landai litologinya adalah berupa tanah baru/belum berkembang. Hasil interpretasi foto udara
Pulau Sint Eustasius didapatkan bahwa kondisi litologi di pulau tersebut dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu: batuan beku dan sedimen di kawasan asal bentuk lahan denudasional, batuan sedimen bahan
vulkan di kawasan bentuk lahan vulkanik, dan vatuan alluvium marine di kawasan asal bentuk lahan
marine. Batuan sedimen yang berasal dari batuan vulkanis disimpulkan berdasarkan pola aliran sungai di
puncak gunung api Quill yang mengalir secara radial dengan pola aliran sentrifugal. Selain itu, dataran
vulkanik yang hampir seluruh permukaannya sudah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan
permukiman, litologinya berupa sedimen fluvio vulkan dimana batuan penyusunnya berupa batuan yang
berasal dari batuan vulkanis dari kerucut gunung api dan pengendapannya dilakukan oleh air sungai
dengan pola aliran dendritik. Kemudian pada wilayah dengan asal bentuk lahan denudasional yang
dicirikan oleh banyaknya perbukitan dan lembah, dengan pola aliran paralel, batuan penyusunnya berupa
batuan beku andesit yang sebagian telah mengalami pelapukan kibat factor eksogen. Akibat dari aktivitas
ini maka terbentuklah lembah yang memiliki tingkat kekerasan rendah dan bukit dengan kekerasan tinggi.

Hasil interpretasi sebagian wilayah Wonogiri (nomor peta 192-193), pada daerah dataran banjir,
dataran alluvial dan abandoned valley dimungkinkan ditemui tanah-tanah yang berasal dari material
aluvium yang ditransportasikan oleh aliran sungai dari daerah hulu dan diendapkan di daerah ini. Tanah
yang ditemui pada daerah dataran banjir, dataran alluvial dan abandoned valley cenderung tebal akan
tetapi belum terbentuk horizon tanah melainkan hanya lapisan tanah. Sedangkan pada perbukitan
denudasional, tanah yang mungkin ditemui juga berupa tanah muda/belum berkembang dengan material

10
induk dari batuan andesit yang lapuk. Tanah yang ditemui di derah perbukitan tipis akibat proses erosi
yang dominan.

2.4. Bentuk lahan

Bentuk lahan yang terbentuk pada Pulau Sint Eustasius terbagi dalam 3 kelompk besar bentuk
lahan, yaitu vulkanik, denudasional dan marin. Secara rinci sebagai berikut:

Bukit sisa/lahan bergelombang (D1): terbentuk dari sisa bukit denudasional yang terus menerus
tererosi sehingga menghasilkan perbukitan yang tidak terlalu curam dan cenderung hanya
bergelombang. Pada wilayah penelitian, bukit sisa merupakan zona transisi antara plato dengan
lereng kaki. Topografinya agak landai dan secara kenampakan di citra terlihat bebatuan induk
yang tersingkap ke permukaan akibat proses erosi.
Perbukitan terkikis (D2): perbukitan terkikis mempunyai topografi berbukit dan bergelombang
dengan lereng berkisar antara 15%-55%, dengan perbedaan tinggi (relief lokak) antara 50-500 m.
umumnya terkikis sedang hingga kecil. Memiliki kesamaan pada kondisi litologi, iklim, dan
vegetasi penutup lahannya.
Pegunungan terkikis (D3): karakteristik umum pada unit ini adalah mempunyai topografi
pegununan dengan lereng curam hingga sangat curam (55-140%) dengan perbedaan tinggi antara
tempat terendah dengan tempat tertinggi >500m. tingkat pengikisan tergantung dari kondisi
litologi, iklim, vegetasi penutup lahan, serta proses erosi yang bekerja pada lokasi tersebut.
Umumnya mempunyai lembah yang dalam dan berdinding terjal dan berbebtuk huruf V karena
proses yang dominan adalah proses yang cenderung pada pendalaman lembah (Valley deepenin).
Bentuk lahan ini bisa diidentifikasi dengan melihat melalui stereoskop untuk membedakannya
dengan kenampakan bentuk lahan perbukitan terkikis.
Perbukitan terisional/terpisah (inselberg) (D4): apabila bagian depan dinding suatu pegunungan
atau perbukitan mundur akibat proses denudasi dan lereng kaki bertambah lebar secara terus
menerus akan meninggalkan bentuk sisa lereng dinding bukit sisa yang curam. Umumnya bentuk
sisa terpisah tersebut adalah berbatu tanpa penutup lahan (Bare rock). Pada wilayah penelitian
terlihat seperti tower-tower batu dan sangat curam topografinya.
Dataran nyaris/peneplain (D5): Akibat proses denudasional yang bekerja pada
pegunungan/perbukitan secara terus menerus, maka permukaan lahan pada daerah tersebut
menurun ketinggiannya dan membentuk permukaan yang hampir datar yang disebut dataran
nyaris (peneplain). Dataran nyaris dikontrol oleh batuan penyususnnya yang mempunyai struktur
berlapis (layer). Apabila batuan penyusun tersebut masih dan mempunyai permukaan yang datar
akibat erosi, maka disebut permukaan planasi.
Dataran nyaris terangkat/plato (D6): dataran yang terletak di ketinggian. Terbentuk sebagai hasil
erosi dan sendimentasi. Bisa juga terbentuk karena tertimbun dari material dari lereng gunung di
sekitarnya. Berbentuk kawasan datar pada puncak perbukitan denudasional.
Lereng kaki (D7): merupakan daerah memanjang dan relatif sempit terletak di suatu
pegunungan/perbukitan dengan topografi landai hingga puncak dan mempunyai lereng landai
hingga lembut (nearly to gentle) dan tanpa hingga sedikit terkikis. Lereng kaki terjadi pada kaki
pegunungan dan lembah atau dasar cekungan (basin). Permukaan lereng kaki langsung berada
pada batuan induk (bed rock). Di permukaan lereng kaki terdapat fragmen batuan hasil pelapukan
daerah di atasnya yang diangkut oleh tenaga air ke daerah yang lebih rendah.

11
Pantai berbatu (M1): Wilayah datar/relief datar dan sempit di tepi laut akibat pengikisan ombak
laut, dari batuan keras.
Tebing batuan (M2): Tebing batuan di pinggir laut akibat pengikisan (abrasi) ombak laut.
Gisik (M3): material pasiran dan atau krakalan (kasar) profil tidak stabil, dinamika luasan bervariasi
menurut pasut. Lereng gisik bervariasi menurut ukuran butir sedimen.
Teras marin (M11): dataran pantai tua yang terangkat dan tererosi. Biasanya terdiri dari bahan
endapan laut yang berlapis-lapis.
Kawah vulkanik (V1): Cekungan/lubang dengan dinding-dinding curam di puncak kerucut volkan
langsung di atas lubang yang mengeluarkan bahan-bahan volkan dari perut bumi. Cekungan
volkan di bagian atas sistem gunung api strato biasanya bertambah besar karena penurunan
permukaan (collapse atau tererosi).
Kerucut gunung api (V2): Bagian lereng atas kerucut volkan yang curam, biasanya dengan garis-
garis kikisan yang dalam.
Lereng tengah gunung api (V4): Bagian lereng tengah kerucut volkan yang tidak terlalu curam
dengan pola drainase radial.
Lereng kaki gunung api (V7): bagian lereng bawah kerucut volkanyang agak melandai.
Dataran vulkanik (V12): Dataran (plain) yang terbentuk oleh lava atau bahan lain hasil letusan
gunung api. Pembagian selanjutnya berdasarkan relief, lereng, torehan, dan litologi

Secara spasial, bentuk lahan Pulau Sint Eustasius dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

12
13
Bentuk lahan yang terbentuk pada sebagian wilayah wonogiri (foto udara nomor 192-193)
umunya cukup sulit untuk di interpretasikan, disebabkan oleh dominasi bentuk lahan antropogenik yang
telah menutupi bentukan lahan alami. Kenampakan bentuk lahan alami baru dapat diinterpretasikan
dengan melihat titik-titik tertentu yang masih alami dan bentuk adaptasi yang dilakukan manusia
terhadap bentukan lahan tersebut. Selengkapnya dapat diperinci sebagai berikut:

Perbukitan Sisa (denudasional) (D1): merupakan hasil dari proses geomorfologi denudasional,
yaitu proses pelapukan, gerakan tanah, erosi dan kemudian proses pengendapan. Tingkat
pengikisan pada masing-masing perbukitan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi tingkat resistensi
batuan pembentuknya. Perbukitan denudasional di wilayah penelitian terletak di sebelah barat
laut dan timur. Bentuk asli dari proses erosi dan pelapukan oleh air dan angin hampir sulit
dideteksi karena pengaruh antropogenik yang dominan berupa pertanian lahan kering dengan
sistem terasering. Namun torehan-torehan masih dapat diamati dengan melihat adanya
penyempitan setiap petak pertanian terasering pada lokasi-lokasi tertentu
Lereng kaki (D2): Mempunyai daerah memanjang dan relatif sempit terletak di suatu perbukitan
dengan topografi landai hingga sedikit terkikis. Lereng kaki terjadi pada kaki pegunungan dan
lembah atau dasar cekungan (basin). Permukaan lereng kaki langsung berada pada batuan induk
(bed rok). Dipermukaan lereng kaki terdapat fragmen batuan hasil pelapukan daerah di atasnya
yang diangkut oleh tenaga air ke daerah yang lebih rendah. Permukaan atas lereng kaki di wilayah
penelitian umumnya digunakan sebagai kawasan permukiman dan beberapa vegetasi tanaman
tahunan. Sedangkan lerengnya dimanfaatkan sama seperti pada kawasan perbukitan diatasnya,
yakni sebagai pertanian sistem terasering. Lereng kaki dapat diidentifikasi dengan
memperhatikan punggung bukit/igir yang umumnya telah dimanfaatkan sebagai jaringan jalan.
Dataran banjir (F3): Bagian dari lembah sungai yang berbatasan dengan alur sungai, yang terdiri
dari bahan endapan dari sungai yang mengalir sekarang dan tergenang air bila air meluap pada
waktu banjir. Berdasarkan interpretasi foto udara, pada dataran banjir di wilayah penelitian tidak
terdapat permukiman penduduk. Hanya kawasan persawahan atau wilayah yang tidak
diusahakan penduduk setempat. Kondisi topografinya yang relative datar sejajar dengan bibir
sungai membuat bentuk lahan ini paling berpotensi terkena bencana banjir.
Point bar/beting pasir (F4): Bagian dalam dari lengkungan meander dimana diendapkan bahan
secara periodik yang makin lama makin melebar. Biasanya terdiri dari bahan-bahan berpasir atau
berdebu. Beting pasir di wilayah penelitian masuk kedalam area dataran banjir, namun dapat
dibedakan dengan kenampakan warna yang lebih terang karena kepadatan vegetasi sangat
rendah di beting pasir, serta berada tepat di sebelah dalam meander sungai.
Kipas alluvial tidak aktif/Dataran Aluvial (F8): terbentuk dari proses geomorfologi fluvial, berupa
dataran yang terbentuk akibat endapan yang terbawa oleh aliran sungai. Pola aliran sungai pada
bentuklahan ini adalah paralel dengan kerapatan vegetasi yang mengelompok. Penggunaan lahan
yang dominan dijumpai pada bentuklahan ini adalah pemukiman. Dataran alluvial merupakan
lokasi yang paling ideal di wilayah penelitian untuk kegiatan pertanian. Wilayah ini telah
tereksploitasi secara menyeluruh sebagai persawahan dan lading penduduk. Perbedaan
kenampakan dataran alluvial adalah lokasinya lebih tinggi dari dataran banjir, dan lebih datar dari
lereng kaki. Tenaga erosi bekerja lebih lambat pada bentuk lahan ini.

Secara spasial, bentuk lahan sebagian Wonogiri pada peta nomor 192-193 dapat dilihat pada peta
dibawah ini.

14
15
2.5. Proses Geomorfologi

Proses geomorfologi dapat dilihat dari parameter bentuk relief, pola aliran, dan vegetasi serta
parameter pendukung seperti tekstur aliran, pola penggunaan lahan, rona/warna, bentuk penampang
aliran, iklim, struktur geologi, dan kerekayasaan.

Pada Pulau Sint Eustasius, pengamatan keseluruhan pada proses geomorfologi adalah proses
denudasional di bagian utara, serta proses struktural dan vulkanik berupa pengangkatan gunung Api di
bagian selatan. Proses pengangkatan ini teridentifikasi dengan terbentuknya teras marin di sisi barat
pulau.

Pada wilayah Wonogiri (peta nomor 192-193), pengamatan secara keseluruhan pada proses
geomorfologi adalah proses denudasional sebagai lanjutan dari proses struktural. Sedangkan pada
sebagian kawasan lainnya terjadi proses fluvial. Pengamatan menunjukkan banyak terdapat igir dan
lembah yang terbentuk dari proses geomorfologi struktural. Pembentukan igir dan lembah ini terjadi dari
pengangkatan permukaan bumi yang dipengaruhi oleh tenaga endogen.

2.6. Tanah

Pengamatan jenis tanah sebenarnya tidak cukup hanya berdasarkan interpretasi visual pada foto
udara pankromatik hitam putih saja. Namun sudah cukup mampu untuk merepresentasikan proses
lithologi yang terjadi dengan mengamati pola vegetasi, penutup lahan, bentuk igir, bentuk lereng, dan
bentuk lembah. Penentuan jenis tanah dengan interpretasi visual ini mengacu pada ketentuan yang ditulis
dalam tabel jenis tanah utama di Indonesia dan ciri-ciri pokoknya (Supraptoharjo, 1960).

Diperoleh beberapa jenis tanah yang berkembang di Pulau SInt Eustasius. Yaitu inceptisol dan
vertisol pada bentuk lahan denudasional, entisol, alfisol dan inceptisol pada bentuk lahan vulkanik, serta
tanah entisol pada bentuk lahan marine.

Diperoleh 2 jenis tanah yang berkembang di sebagian wilayah Wonogiri (nomor peta 192-193),
yaitu aluvial dan litosol.

Aluvial berkembang pada satuan bentuk lahan fluvial dengan relief datar-landai, yaitu pada
bentuk lahan dataran alluvial dan dataran banjir. Materi aluvial ini berasal dari angkutan air
permukaan dan sungai yang mengarah dari tempat dengan elevasi tinggi ke arah tempat dengan
elevasi rendah. Pengangkutan materi ini menyebabkan penimbunan sehingga terbentuk dataran
dengan material yang relatif halus dan berlapis-lapis.
Litosol berkembang pada bentuk lahan perbukitan denudasional dan lereng kaki. Litosol memiliki
lapisan solum tebal dan berkembang pada perbukitan yang mengalami pengikisan sedang dan
tinggi dengan bentuk igir yang tumpul.

2.7. Pola Aliran

Pola aliran yang dapat teridentifikasi oleh interpretasi foto udara Pulau Sint Eustasius adalah pola
aliran radial di sekitar kerucut gunung api. Diindikasikan bahwa pola aliran tersebut merupakan sungai
musiman yang terisi saat hujan di puncak atau lereng gunung, ataupun sebagai jalur lava purba disaat
erupsi dan pasca erupsi Gunung Api Quill ribuan tahun yang lalu.

16
Pola aliran yang dapat diidentifikasi dari pengamatan stereoskopis foto udara pankromatik hitam
putih daerah Wonogiri 192-193 adalah polaaliran dendritik, dengan sebagian aliran merupakan sungai
musiman. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa daerah ini memiliki kerapatan drainase
halus (<0,3). Lembah sungai yang teridentifikasi memiliki lembah berbentuk U yang menunjukkan
kekuatan erosi horizontal hampir sama dengan kekuatan erosi vertikal. Pola vegetasi mengelompok,
bentuknya teratur dan berasosiasi dengan permukiman.

2.8. Penutup Lahan

Penutupan lahan (land cover) di pulau Sint Eustasius di dominasi oleh pertanian lahan kering yang
terletak di dataran vulkanik dan kaki gunung api, serta hutan kepadatan sedang-rendah yang menutupi
kawasan perbukitan denudasional. Persentase luasan setiap jenis penutup lahan di Pulau Sint Eustasius
dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Sementara distribusi spasialnya ditampilkan pada peta berikut.

Tebing Pantai, 2.91 Vegetasi di


Gunung Api, 17.70
Hutan Kepadatan
Runway Bandara,
Rendah-Sedang,
0.31
29.35
Pertanian
Lahan
Kawah Gunung Kering,
Lahan Api, 2.71 30.16
Kosong,
1.87
Bebatuan di
Lereng Terjal, 2.02 Pasir, 4.16 Permukiman, 8.82

17
18
Penutup lahan (land cover) di sebagian wilayah Wonogiri (nomor peta 192-193) didominasi oleh
pemukiman yang mengelompok. Selain itu terdiri dari vegetasi seperti persawahan, dan lahan kosong
dibagian kaki bukit. Berikut ini rincian interpretasinya:

Kawasan permukiman d wilayah penelitian cenderung berasosiasi dengan perkebunan dengan


diidentifikasi oleh kerpatan vegetasi tinggi.
Lahan kosong cenderung berada pada dataran banjir yang tergenang secara periodik dan memiliki
endapan pasir, sehingga tidak dimanfaatkan penduduk baik untuk permukiman maupun
pertanian.
Tanah ladang diidentifikasi dengan petak-petak yang lebih luas dari petak sawah dan memiliki
kerapatan vegetasi sedang dengan tekstur agak kasar, sehingga mencerminkan jarak tanam yang
lebih jauh dari pertanian.
Pertanian di wilayah penelitian terbagi atas 2 macam. Apabila terletak di lereng-lereng bukit
dengan petak-petak lebih sempit maka diindikasikan sebagai pertanian lahan kering, dan apabila
terletak di kawasan landau-dataran dengan ketersediaan air baik maka diindikasikan sebagai
pertanian lahan basah

Distribusi spasial setiap satuan tutupan lahan dapat dilihat secara detail pada grafik dan peta dibawah ini.

Ladang,
14.57%
Pertanian Lahan Basah,
Pertanian Lahan 11.06%
Kering, 39.84%

Permukiman,
32.58%

Lahan Kosong, 1.95%

19
20
2.9. Potensi Bencana

Potensi bahaya bencana pada Pulau Sint Eustasius adalah sebagai berikut:

Bencana erupsi gunung api: walaupun Gunung Api Quill di pulau Sint Eustasius terakhir meletus
1755-1635 tahun yang lalu, tapi berdasarkan penelitian terakir oleh Robool J dan Smith A.L.
(2004), menghasilkan bahwa Gunung Api Quill termasuk kedalam tipe dorman. Artinya walaupun
sudah tidak ada kegiatan vulkanik sejak lama, sewaktu-waktu Gunung Api Quill masih
memungkinkan untuk meletus.
Bencana gerakan tanah (longsor): wilayah lereng curam di sebelah barat laut Gunung Api Quill
merupakan kawasan rawan bencana longsor. Hal ini dibuktikan dengan torehan dengan warna
yang lebih terang yang juga mengindikasikan wilayah tersebut tanpa tutupan vegetasi atau bekas
terjadi longsor. Selain itu kawasan perbukitan denudasional di sebelah utara Pulau Sint Eustasius
juga masih terus tererosi dan sewaktu-waktu bisa terjadi longsor juga.

Potensi bahaya bencana pada sebagian wilayah Wonogiri (foto nomor 192-193) adalah sebagai berikut:

Bencana gerakan tanah (longsor): Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah antara lain
kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kedudukan batuan, kondisi keairan, penggunaan lahan,
struktur geologi, kegempaan, dan aktivitas manusia, dari beberapa faktor tersebut yang sangat
berpengaruh adalah kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kedudukan batuan dan kondisi ke airan.
Tingginya curah hujan akan berpengaruh pula terhadap tingkat kejenuhan batuan/tanah, semakin
jenuh maka batuan akan mudah bergerak. Runtuhan batu atau longsoran batu/tanah dalam skala
kecil (< 25 meter2) secara setempat dapat terjadi, terutama di perbukitan dengan kemiringan 25
% - > 40 %, hal ini dapat diamati di ruas jalan yang memotong atau mengupas tebing bukit.
Bencana banjir: Jika intensitas hujan di hulu sangat tinggi dan sungai tidak dapat menampung
jumlah air yang mengalir maka sangat mungkin terjadi bahaya banjir di daerah di bawahnya,
terutama pada datataran banjir. Dalam hal ini dataran yang berada di bawah bukit pada wilayah
penelitian berpotensi banjir cukup tinggi.

2.10. Potensi SDA

Pada Pulau Sint Eustasius, banyak memiliki potensi pertanian dikarenakan tanah yang terbentuk
dari proses vulkanik tergolong subur. Sementara adanya indikasi bahan tambang di kawasan perbukitan
denudasional, karena kawasan tersebut diindikasikan juga sebagai perbukitan stuktural yang memiliki
kemungkinan adanya perangkap mineral di bukit antiklinalnya. Potensi sumberdaya alam lainnya adalah
pariwisata dengan adanya gisik di wilayah barat pulau.

Melihat kondisi bentuk lahannya, wilayah Wonogiri (nomor peta 192-193) banyak memiliki
potensi di bidang pertanian pada dataran alluvial, dan juga ketersediaan air yang melimpah pada bnetuk
lahan tersebut. Sedangkan pada wilayah bukit dan lereng denudasional terdapat indikasi potensi bahan
galian tambang.

2.11. Perencanaan Tata Ruang

Pada Pulau Sint Eustasius dapt dikembangkan sebagai destinasi pariwisata, ditinjau dari beragam
bentuk lahannya, eksotika pulaunya serta memiliki pantai pasir putih yang landai. Juga bisa dikembangkan

21
kawasan pertambangan di perbukitan sebelah utara, dengan memperhatikan potensi bahaya tanah
longsor.

Melihat potensi sumber daya alam yang ada maka di daerah Wonogiri dapat dikembangkan
sebagai kawasan pertanian berkelanjutan. Pemerintah daerah perlu mengajak investor untuk mengolah
sumber daya alam itu menjadi produk yang menghasilkan nilai ekonomi. Namun daerah dataran Wonogiri
mempunyai potensi bencana longsor dan banjir. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha seperti
konservasi wilayah perbukitan.

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pada Pulau Sint Eustasius teridentifikasi 3 kelompok bentuk lahan: vukanik, marin dan
denudasional. Potensi bahaya yang ada adalah ancaman erupsi gunung api Quill dan potensi longsoran
tanah di kerucut gunung api dan perbukitan denudasional. Tapi dibalik itu semua, Pulau Sint Eustasius
menyimpan potensi pariwisata dan pertambangan.

Pada sebagian wilayah wonogiri (nomor peta 192-193), teridentifikasi 2 kelompok bentuk lahan:
denudasional dan fluvial. Terdapat potensi bahaya longsor pada kawasan perbukitan denudasional dan
potensi bahaya banjir luapan sungai pada dataran banjir dan dataran fluvial. Akan tetapi wilayah dataran
alluvial memiliki potensi pengembangan kawasan pertanian yang sangat baik, sedangkan kawasan
perbukitan terindikasi potensi pertambangan mineral.

DAFTAR PUSTAKA

Van Zuidam, R. A. 1983, Guide to Geomorfhology Ariel Photographic Interpretation and Mapping, ITC
Enschede The Nederland.
Colwell, R.N. 1997.The Visible Portion of The Spectrum In Remote Sensing of Environment. J.Lintz Jr and
D.S.Simonett, Addision-Wesly Publishing of Company, Inc, London.
John, A. Howard, 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumber Daya Hutan, Teori dan Aplikasi, Gajah Mada
University Press, Jogjakarta.
Lillesand.T.M. dan R.W.Kiefer, 1979. Remote Sensing and Image Interpretation, John Willey and Sons, New
York
Dibyosaputro, S. 2001. Survei dan Pemetaan Geomorfologi. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Fakultas Geografi UGM
Roobol, J., & Smith, A.L. 2004. Volcanology of Saba and St. Eustasius, Northern Lesser Antilles. Dutch
Caribbean Nature Alliance. Belanda
Verstappen, H. Th., 1977, The Use of Aerial Photographs in Geomorphological Mapping, ITC Textbook of
Photo-interpretation, Vol. VII, Ch. 5, ITC, Enschede
Estes, J. E and Simonett, D. S. 1975. Fundamnetals of Image Interpretation, In Manual of Remote Sensing.
The American Society of Photogrametru. Falls Chruch. Virginia.
Dudal, R. and M. Soepraptohardjo. 1960. Some Consideration on The Genetic Relationship between
Latosols and Andosols in Java (Indonesia).

22

Das könnte Ihnen auch gefallen