Sie sind auf Seite 1von 19

LAPORAN KASUS

PENYAKIT HIRSCHRUNG

Disusun Oleh:
Achya Fadlin 100100002
Gheavita Chandra Dewi 100100045
Kevin Dillian Suganda 100100075
Rizki Masharida Nasution 100100216
Indah S.A Sembiring 100100222
Venusya Dharmalingam 100100422
Thinagari Tambusamy 100100379
Ranjeetha Namasivayam 100100271
Nageintheree Ramaksihnan 100100379
Archanaa Samanthan 100100201

Pembimbing:
dr. Iqbal Pahlevi, Sp.B

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii

BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 6


2.1. Anatomi dan Fisiologi Usus.............................................................
2.2. Hirschprung Disease........................................................................ 6
2.2.1. Definisi........................................................................ 6
2.2.2. Etiologi........................................................................ 6
2.2.3. Epidemiologi............................................................... 6 7
2.2.4. Gejala Klinis................................................................ 8
2.2.5. Patofisiologi................................................................ 9
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang.......................................... 10
2.2.7. Penatalaksanaan.......................................................... 10
2.2.8. Komplikasi.................................................................. 11
2.2.9. Prognosis..................................................................... 12

BAB 3 LAPORAN KASUS........................................................................ 31


BAB 4 KESIMPULAN.............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh
kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal,
melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas
pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai seluruh usus sampai pylorus.1
Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik
sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang
berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.2
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, dan
belum diketahui secara pasti patofisiologi terjadinya penyakit ini hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada
kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltic dibagian distal usus akibat defisiensi
ganglion pada usus tersebut.3
Insidensi penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 per mil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir sekitar
1400 bayi dengan penyakit Hirschprung. Laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding
perempuan.2
Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit megakolon kongenital masih
rendah, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Hal ini menyebabkan
keterlambatan dalam diagnosis penyakit megakolon kongenital yang berujung pada
keterlambatan dalam penatalaksanaan penyakit ini.4
Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran mekonium yang
terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan perut membuncit
keseluruhan.4
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan.4
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah
sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk
dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai
ganglion normal bagian distal.4
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa
pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan
septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan komplikasi
yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani
dengan sempurna. Mortalitas dari kondisi ini dapat dikurangi dengan peningkatan
dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik pembedahan, dan diagnosis
dan penatalaksanaan penyakit Hirschprung dengan enterokolitis. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan embriologi kolon


Secara embriologik , kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri
sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan embriologik kadang
terjadi gangguan rotasi usus embrional sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai
mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus
sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang panjang pada
kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.5
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih
besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus
diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum
terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati
sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus
dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens,
dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan
kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid
mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah
membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbentang dari kolon
sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang
dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah
5,9 inci.6
Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, tela
submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-gambaran yang
khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek
daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang
disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak
yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus
lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus.
Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri
mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua
pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang
utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri
mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon
transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga
cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea.
Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria
hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui
vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari
sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior
mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada
anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan
tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan
hemorroid. Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta
pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui
sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan
jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam
kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti
aliran pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke
nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum
mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus
yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian
tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai
bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis
melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion
yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan
submukosa (meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek
yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya.
Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan
pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena
pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.7

2.2. Fisiologi Kolon


Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mucus serta
menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 ml cairan usus halus
yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya.
Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di
dalamnya di serap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari
peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada
infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di
saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.8

2.3. Penyakit Hirschsprung


2.3.1.Definisi
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan oleh
kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal,
melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rectum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas
pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai selruh usus sampai pylorus.9

Gambar 6. Gambaran Megacolon Kongenital10

2.3.2. Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahian 35 permil, maka diprediksikan akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit hirschsprung akan dirujuk setiap
tahunnya ke RSUPN Cipto MAngunkusumo Jakarta.10
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki,
sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit
ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat
ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang
memiliki angka yang cukup signifikan, yaitu Down Syndrome (5-10%) dan kelainan
urologi seperti refluks vesikoureter, hydronefrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/ kasus).4

2.3.3. Etiologi
Penyakit Hirschprung terjadi saat perkembangan fetus dimana terjadi kegagalan
perkembangan serabut saraf, kegagalan migrasi serabut saraf, atau terhentinya
perkembangan serabut saraf pada segmen usus. Faktor genetik juga berperan dalam
menyebabkan penyakit Hirschprung. 10% anak dengan Down syndrome (abnormalitas
kromosom) menderita penyakit Hirschprung. Tahun 2001 teknik diagnostik molekuler
menemukan 6 gen yang terlibat sebagai penyebab seseorang rentan menderita penyakit
Hirscprung. Enam gen tersebut adalah gen RET, gen sel glial yang berperan sebagai
neurotropik, gen reseptor B-Endothelin, enzim pengubah endothelin, gen Endothelin-3,
SRY berhubungan dengan faktor transkripsi SOX 10.11
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital sebagai
berikut:12
1. Sindroma Down
2. Sindroma Neurocristopathy
3. Sindroma Waardenburg-Shah
4. Sindroma buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindroma Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat
9. Cartilage-hair hypoplasia
10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondines curse)
11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi langsung
dinding usus dan menghancurkan pleksus.
Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat hamil ;
adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus karena
inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan
gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak berhubungan dengan
berkurangnya ganglia dinding usus.12

2.3.4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis
mulai terlihat :

(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium
yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan
Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam
setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang
pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau
busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).

(ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di
dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang
air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

2.3.5. Patofisiologi

Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer dengan


tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus submukosa (Meissner)
dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau lebih. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik),
yang menyebabkan akumulasi/ penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan
dengan kerusakan (megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk
berelaksasi berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat
mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas. Persarafan parasimpatik yang
tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal,
konstipasi dan obstruksi usus fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi
penebalan dan pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.

Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal pada


prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia kehamilan minggu
ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat distensi pada
dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus
dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi/anak dengan penyakit
Hirschsprung.

2.3.6. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit


Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak
rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema,
dimana akan dijumpai 3 tanda khas :

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi.

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah


dilatasi.

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Kartono,1993).

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka
dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan
feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun
disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerrah rektum dan
sigmoid (Kartono,1993, Fonkalsrud dkk, 1997).

2.3.7. Pemeriksaan patologi anatomi


Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion
pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan
pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai
asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-
antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan immunohistokimia
memerlukan ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat
memberikan interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan (Cilley dkk,2001).

Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh
tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis,
metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi
dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun
1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk
mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus
Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan
anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi
hisap dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi
hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa
ada hasil negatif palsu dan komplikasi (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).
2.3.8. Manometri anorektal

Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari


fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam
prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis
dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser
yang sensitif terhadap tekanan seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat
seperti poligraph atau komputer (Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :

1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.

2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik.

3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah
distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono,1993;
Tamate,1994; Neto,2000).

2.3.9. Penatalaksanaan
Tatalaksana Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan Pulltrough
ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari terapi awal..
Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan
kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi
hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu
dilakukan colostomy Step 1: The diseased segment is removed. Step 2: The healthy intestine
is moved to an opening in the abdomen where a stoma is created. Diagnosis dari penyakit
hirschsprung pada semua kasus membutuhkan pendekatan pembedahan klinik terdiri dari
prosedur tingkat multipel. Hal ini termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi
pull-through definitif setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat
digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi
dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang
aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau
bantalan mukosa rektum.
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan secara
aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip terapi yang sama
seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan.
Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini
terutama banyak pada periode neonatus yang dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik.
Pada anak-anak dengan distensi usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya
periode dekompresi menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through.
Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan
dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan prosedur pull-through.
Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-through. Dari ketiga
prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung yang pertama adalah
prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan
ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada
prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon
ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon
ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan
stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya
kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum. Untuk mengatasi
masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum
dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan
dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak
kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli
bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel
ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang
berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan
segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona transisi
akan membutuhkan reoperasi.
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,
konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil jangka
panjang dengan menggunakan prosedur sebanding dan secara umum berhasil dengan baik
bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada
aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through. 3
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit hirschsprung:
Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen kemudian dalakukan
identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy seromuskuler. Terapi definitive yang
dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani interna
dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum.
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang ganglionik
ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler GIA kemudian
dimasukkan melalui anus. 3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan
bagian distal aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun
terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada
pascaoperasi.
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi
sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur
atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari
abses rongga pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein,
stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.

3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat
kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis
mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk
prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah
3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis
adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal
untuk dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta
pemberian antibiotika yang tepat.
2.3.10. Komplikasi

Kebanyakan pasien Hirschsprungs disease yang diobati tidak mengalami komplikasi.


Namun demikian, sampai dengan 10% bias mengalami konstipasi, dan kurang dari 1%
mungkin mengalami inkontinensia feses. Enterokolitis dan ruptur kolon adalah komplikasi
yang paling serius berkaitan dengan penyakit ini dan merupakan penyebab tersering dari
kematian akibat Hirschsprungs disease.

Komplikasi yang unik dan sangat mematikan berkaitan dengan Hirschsprung's


disease, baik sebelum maupun sesudah operasi, adalah enterokolitis. Faktor-faktor yang
meningkatkan resiko terjadinya enterokolitis termsuk penundaan diagnosis, penyakit segmen
panjang, riwayat keluarga positif untuk Hirschsprung's disease, dan adanya kelainan lain
yang terkait, terutama Down syndrome. Enterokolitis terjadi pada sekitar 50% pasien dengan
Down syndrome dan mungkin berkaitan dengan defisiensi imunologis intrinsik yang terdapat
pada pasien semacam ini.
Suatu survei oleh anggota dari Surgical Section of the American Academy of
Pediatrics, yang diterbitkan pada tahun 1979, melaporkan suatu tungkat kematian 30%
berkaitan dengan enterokolitis. Sekarang ini tingkat mortalitasnya hanya 1 sampai 3%,
namun masih merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan Hirschsprung's
disease, yang merupakan 50% dari seluruh kematian.

2.3.11. Prognosis

Belum ada penelitian prospektif yang membandingkan masing-masing jenis operasi.


Dalam keseluruhan prosedur, hasil fungsional mengalami perbaikan seiring dengan waktu,
sehingga dalam 10 tahun follow up 90% pasien akan memiliki fungsi usus yang normal'.

Das könnte Ihnen auch gefallen