Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENYAKIT HIRSCHRUNG
Disusun Oleh:
Achya Fadlin 100100002
Gheavita Chandra Dewi 100100045
Kevin Dillian Suganda 100100075
Rizki Masharida Nasution 100100216
Indah S.A Sembiring 100100222
Venusya Dharmalingam 100100422
Thinagari Tambusamy 100100379
Ranjeetha Namasivayam 100100271
Nageintheree Ramaksihnan 100100379
Archanaa Samanthan 100100201
Pembimbing:
dr. Iqbal Pahlevi, Sp.B
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus
yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian
tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai
bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis
melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion
yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan
submukosa (meissner). Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek
yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang
diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya.
Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan
pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena
pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.7
2.3.2. Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahian 35 permil, maka diprediksikan akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit hirschsprung akan dirujuk setiap
tahunnya ke RSUPN Cipto MAngunkusumo Jakarta.10
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki,
sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit
ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat
ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang
memiliki angka yang cukup signifikan, yaitu Down Syndrome (5-10%) dan kelainan
urologi seperti refluks vesikoureter, hydronefrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/ kasus).4
2.3.3. Etiologi
Penyakit Hirschprung terjadi saat perkembangan fetus dimana terjadi kegagalan
perkembangan serabut saraf, kegagalan migrasi serabut saraf, atau terhentinya
perkembangan serabut saraf pada segmen usus. Faktor genetik juga berperan dalam
menyebabkan penyakit Hirschprung. 10% anak dengan Down syndrome (abnormalitas
kromosom) menderita penyakit Hirschprung. Tahun 2001 teknik diagnostik molekuler
menemukan 6 gen yang terlibat sebagai penyebab seseorang rentan menderita penyakit
Hirscprung. Enam gen tersebut adalah gen RET, gen sel glial yang berperan sebagai
neurotropik, gen reseptor B-Endothelin, enzim pengubah endothelin, gen Endothelin-3,
SRY berhubungan dengan faktor transkripsi SOX 10.11
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan Kongenital sebagai
berikut:12
1. Sindroma Down
2. Sindroma Neurocristopathy
3. Sindroma Waardenburg-Shah
4. Sindroma buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindroma Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat
9. Cartilage-hair hypoplasia
10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondines curse)
11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma menginvasi langsung
dinding usus dan menghancurkan pleksus.
Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu polyhidramnion saat hamil ;
adanya obstruksi usus organik karena neoplasma dan penyempitan usus karena
inflammasi; toxic Megakolon komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan
gangguan psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak berhubungan dengan
berkurangnya ganglia dinding usus.12
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis
mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium
yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.
Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan
Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam
setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang
pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau
busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan
kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).
(ii). Anak. Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di
dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang
air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.
2.3.5. Patofisiologi
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka
dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan
feces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun
disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerrah rektum dan
sigmoid (Kartono,1993, Fonkalsrud dkk, 1997).
Swenson pada tahun 1955 mempelopori pemeriksaan histopatologi dengan eksisi seluruh
tebal dinding otot rektum, untuk mendapatkan gambaran pleksus mienterik. Secara tekhnis,
metode ini sulit dilakukan sebab memerlukan anastesi umum, dapat menyebabkan inflamasi
dan pembentukan jaringan ikat yang mempersulit tindakan bedah definitif. Noblett tahun
1969 mempelopori tekhnik biopsi hisap dengan menggunakan alat khusus, untuk
mendapatkan jaringan mukosa dan sub-mukosa sehingga dapat melihat keberadaan pleksus
Meissner. Metode ini kini telah menggantikan metode biopsi eksisi sebab tidak memerlukan
anastesi dan akurasi pemeriksaan mencapai 100% (Junis dkk, Andrassy dkk). Biasanya biopsi
hisap dilakukan pada 3 tempat : 2,3,dan 5 cm proksimal dari anal verge. Apabila hasil biopsi
hisap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum untuk menilai pleksus
Auerbach. Dalam laporannya, Polley (1986) melakukan 309 kasus biopsi hisap rektum tanpa
ada hasil negatif palsu dan komplikasi (Kartono,1993; Swenson dkk,1990; Swenson,2002).
2.3.8. Manometri anorektal
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik.
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah
distensi rektum akibat desakan feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono,1993;
Tamate,1994; Neto,2000).
2.3.9. Penatalaksanaan
Tatalaksana Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan Pulltrough
ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari terapi awal..
Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan
kateter pada rektum harus dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi
hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu
dilakukan colostomy Step 1: The diseased segment is removed. Step 2: The healthy intestine
is moved to an opening in the abdomen where a stoma is created. Diagnosis dari penyakit
hirschsprung pada semua kasus membutuhkan pendekatan pembedahan klinik terdiri dari
prosedur tingkat multipel. Hal ini termasuk kolostomi pada neonatus, diikuti dengan operasi
pull-through definitif setelah berat badan anak >5 kg (10 pon). Ada 3 pilihan yang dapat
digunakan, untuk setiap prosedurnya, prinsip dari pengobatan termasuk menentukan lokasi
dari usus di mana zona transisi antara usus ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang
aganglionik dari usus dan melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau
bantalan mukosa rektum.
Dewasa ini ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan secara
aman bahkan pada periode neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip terapi yang sama
seperti pada prosedur bertingkat melindungi pasien dari prosedur pembedahan tambahan.
Banyak dokter bedah melakukan diseksi intra abdominal menggunakan laparoskop. Cara ini
terutama banyak pada periode neonatus yang dapat menyediakan visualisasi pelvis yang baik.
Pada anak-anak dengan distensi usus yang signifikan adalah penting untuk dilakukannya
periode dekompresi menggunakan rectal tube jika akan dilakukan single stage pull-through.
Pada anak-anak yang lebih tua dengan kolon hipertrofi, distensi ekstrim, kolostomi dilakukan
dengan hati-hati sehingga usus dapat dekompresi sebelum dilakukan prosedur pull-through.
Namun, harus ditekankan, tidak ada batas umur pada prosedur pull-through. Dari ketiga
prosedur pull-through yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung yang pertama adalah
prosedur Swenson. Pada operasi ini rektum aganglionik diseksi pada pelvis dan dipindahkan
ke anus. Kolon ganglionik lalu dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineal. Pada
prosedur Duhamel, diseksi di luar rektum dibatasi terhadap ruang retrorektal dan kolon
ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari kolon
ganglionik dan dinding posterior dari rektum aganglionik dianastomosis menggunakan
stappler. Walaupun kedua prosedur ini sangat efektif, namun keterbatasannya adalah adanya
kemungkinan kerusakan syaraf parasimpatis yang menempel pada rektum. Untuk mengatasi
masalah ini, prosedur Soave menyertakan diseksi seluruhnya dari rektum. Mukosa rektum
dipisahkan dari mukosa muskularis dan kolon yang ganglionik dibawa melewati mukosa dan
dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Dalam banyak
kasus, sangat penting untuk menentukan dimana terdapat usus yang ganglionik. Banyak ahli
bedah mempercayai bahwa anastomosis dilakukan setidaknya 5 cm dari daerah yang sel
ganglion terdeteksi. Dihindari dilakukannya pull-through pada zona transisi yang
berhubungan dengan tingginya angka komplikasi karena tidak adekuatnya pengosongan
segmen usus yang aganglionik. Sekitar 1/3 pasien yang di pull-through pada zona transisi
akan membutuhkan reoperasi.
Komplikasi utama dari semua prosedur diantaranya enterokolitis post operatif,
konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hasil jangka
panjang dengan menggunakan prosedur sebanding dan secara umum berhasil dengan baik
bila ditangani oleh tangan yang ahli. Ketiga prosedur ini juga dapat dilakukan pada
aganglionik kolon total dimana ileum digunakan sebagai segmen yang di pull-through. 3
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan penyakit hirschsprung:
Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen kemudian dalakukan
identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsy seromuskuler. Terapi definitive yang
dilakukan pada penyakit hirschprung ada 3 metode:
1. Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas sphincter ani interna
dan dilakukan anastomosis coloanal pada perineum.
2. Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian yang ganglionik
ditarik ke bagian belakang ujung daerah aganglioner. stapler GIA kemudian
dimasukkan melalui anus. 3. Teknik Soave: pemotongan mukosa endorectal dengan
bagian distal aganglioner.
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun
terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada
pascaoperasi.
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung dapat
digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang
berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua tepi
sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur
atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari
abses rongga pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian.
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein,
stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis
memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang terjadi dapat berupa
kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga fistula perianal.
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat
kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis
mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk
prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah
3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel modifikasi.
Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda enterokolitis
adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rektal
untuk dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta
pemberian antibiotika yang tepat.
2.3.10. Komplikasi
2.3.11. Prognosis