Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
PENDAHULUAN
Latar belakang
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Anestesi pada operasi tumor kepala dan leher adalah tindakan anestesi yang dilakukan
pada pasien yang menjalani pembedahan yang bertujuan menciptakan suasana operasi yang
memadai dan mengupayakan agar hemostasis intra dan ekstrakranial optimal.
Jaringan lunak adalah bagian dari tubuh yang terletak antara kulit dan tulang serta organ
tubuh bagian dalam. Tumor jaringan lunak atau Soft Tissue Tumor (STT) adalah suatu benjolan
atau pembengkakkan abnormal yang disebabkan pertumbuhan sel baru.
Tumor mesenkimal jinak 100 kali lebih banyak dibandingkan sarcoma, sementara
tumor mesenkimal ganas insidennya kurang dari 1% dari keseluruhan tumor ganas di tubuh.
Bisa ditemukan pada semua kelompok umur. Sarcoma jaringan lunak bisa timbul dimana saja,
tetapi 75% timbulnya pada ekstremitas bawah, 13% pada ekstremitas atas, 9% pada kepala dan
leher.
Pemilihan jenis anestesi untuk Soft Tissue Tumor ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana. Kesulitan tatalaksana jalan napas pada
saat anestesi dapat terjadi, akibat lesi obstruktif atau riwayat radioterapi prabedah yang dapat
mengubah anatomi pasien. Selain itu memerlukan evaluasi perubahan tingkat kesadaran,
kejang, trauma, perdarahan luka operasi, dan lama operasi.
Induksi intravena harus dilakukan dengan hati-hati, dianjurkan untuk melakukan
laringoskopi pada saat pasien terjaga atau kooperatif, serta melakukan induksi inhalasi atau
intravena dengan mempertahankan napas spontan. Sebaiknya digunakan endotrakeal non
kingking untuk mencegah sumbatan jalan napas, yang selanjutnya fiksasi adekuat untuk
mencegah terlepasnya pipa.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Soft tissue atau jaringan lunak merupakan semua jaringan nonepitel selain tulang,
tulang rawan, otak dan selaputnya, sistem saraf pusat, sel hematopoietik, dan jaringan limfoid.
Tumor jaringan lunak umumnya diklasifikasikan berdasarkan jenis jaringan yang
membentuknya, termasuk lemak, jaringan fibrosa, otot dan jaringan neurovaskular. Namun,
sebagian tumor jaringan lunak tidak diketahui asalnya.2 Tumor (berasal dari tumere bahasa
Latin, yang berarti "bengkak"), merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi. Namun,
istilah ini sekarang digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan jaringan biologis yang
tidak normal. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (malignant) atau jinak
(benign). Tumor jaringan lunak atau Soft Tissue Tumor (STT) adalah suatu benjolan atau
pembengkakan abnormal yang disebabkan pertumbuhan sel baru.4
2
ligamen, dan simfisis pubis. Fungsinya antara lain sebagai penyokong dan pelindung,
penghubung antara otot dan tulang serta penghubung antara tulang dan tulang.6
Otot
Otot adalah sebuah jaringan dalam tubuh dengan kontraksi sebagai tugas utama.
Otot diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu otot lurik, otot polos dan otot jantung. Otot
menyebabkan pergerakan suatu organisme maupun pergerakan dari organ dalam organisme
tersebut.7
- Otot lurik
Otot lurik bekerja di bawah kehendak (otot sadar) sehingga disebut otot
volunteer. Pergerakannya diatur sinyal dari sel saraf motorik. Otot ini menempel
pada kerangka dan digunakan untuk pergerakan.
- Otot polos
Otot yang ditemukan dalam intestinum dan pembuluh darah bekerja dengan
pengaturan dari sistem saraf tak sadar, yaitu saraf otonom.
- Otot jantung
Kontraksi otot jantung bersifat involunter, kuat dan berirama.5
1) Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
3
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar
dan pericranium. Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital.
2) Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan :
a) Duramater
b) Selaput Arakhnoid
c) Piamater
3) Otak
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi
memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan.Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
4) Cairan Cerebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior.
ETIOLOGI
a. Kondisi genetic
Ada bukti tertentu pembentukan gen dan mutasi gen adalah faktor predisposisi untuk
beberapa tumor jaringan lunak, dalam daftar laporan gen yang abnormal, bahwa gen
memiliki peran penting dalam diagnosis.
b. Radiasi
4
Mekanisme yang patogenik adalah munculnya mutasi gen radiasi-induksi yang
mendorong transformasi neoplastik.
c. Lingkungan karsinogen
Sebuah hubungan antara eksposur ke berbagai karsinogen dan setelah itu dilaporkan
meningkatnya insiden tumor jaringan lunak.
d. Infeksi
Infeksi virus Epstein-Barr dalam orang yang kekebalannya lemah juga akan
meningkatkan kemungkinan tumor jaringan lunak.
KLASIFIKASI
No. Soft tissue tumor
Lipoma
1. Tumor Jaringan Lemak
Liposarkoma
Fasilitis Nodularis
Fibromatosis
Tumor dan Lesi Mirip-Tumor pada Jaringan
2. Fibromatosis Superfisialis
Fibrosa
Fibromatosis Profunda
Fibrosarkoma
Histiositoma Fibrosa
Dermatofibrosarkoma
3. Tumor Fibriohistiositik Protuberans
Histiositoma Fibrosa
Maligna
Rabdomioma
4. Tumor Otot Rangka
Rabdomiosarkoma
Leiomioma
Leiomiosarkoma
5. Tumor Otot Polos Tumor otot polos dengan
potensi keganasan tidak
jelas
Hemangioma
Limfangioma
6. Tumor Vaskular Hemangioendotelioma
Hemangioperisitoma
Angiosarkoma
Neurofibroma
Schwannoma
7. Tumor Saraf Perifer
Tumor ganas selubung
saraf perifer
Tumor Sel Granular
Sarkoma Sinovium
8. Tumor yang Histogenesisnya Tidak Jelas Sarkoma bagian lunak
alveolus
Sarkoma Epitelioid
5
DIAGNOSA
Metode diagnosis yang paling umum selain pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan
biopsi, bisa dapat dengan biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) atau biopsi dari jaringan tumor
langsung berupa biopsi insisi yaitu biopsi dengan mengambil jaringan tumor sebagian sebagai
contoh bila ukuran tumornya besar. Bila ukuran tumor kecil, dapat dilakukan biopsi dengan
pengangkatan seluruh tumor. Jaringan hasil biopsi diperiksa oleh ahli patologi anatomi dan
dapat diketahui apakah tumor jaringan lunak itu jinak atau ganas. Bila jinak maka cukup hanya
benjolannya saja yang diangkat, tetapi bila ganas setalah dilakukan pengangkatan benjolan
dilanjutkan dengan penggunaan radioterapi dan kemoterapi. Bila ganas, dapat juga dilihat dan
ditentukan jenis subtipe histologis tumor tersebut, yang sangat berguna untuk menentukan
tindakan selanjutnya.
PENATALAKSANAAN
Secara umum, pengobatan untuk jaringan lunak tumor tergantung pada tahap dari tumor. Tahap
tumor yang didasarkan pada ukuran dan tingkatan dari tumor. Pengobatan pilihan untuk
jaringan lunak tumors termasuk operasi, terapi radiasi, dan kemoterapi.
6
membuktikan untuk lebih efektif. Jika kanker telah menyebar ke area lain dari tubuh,
kemoterapi dapat digunakan untuk Shrink Tumors dan mengurangi rasa sakit dan
menyebabkan kegelisahan mereka, tetapi tidak mungkin untuk membasmi penyakit.
7
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi
/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
Pemeriksaan praoperasi anestesi7,8
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
8
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.
II. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk,
tonsilla palatina dan tonsilla pharingeal
ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
9
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG pada anak
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi.Adapun tujuan
dari premedikasi antara lain :1,2
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan2.
Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi1,2,3 :
1. Premedikasi
Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk
dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk sufentanil
(0,25-0,5 mcg/kgBB).Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat
10
menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu
ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid berhubungan
dengan perkembangan toleransi akut.Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang
lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik
dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi
perioperatif3.
11
2. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan
anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah
induksi.
a. Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi3.
Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan
merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif
dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat
memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan
kemungkinan adanya skuele neurologik2,3.
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,
apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg)1,3.
3. Pemeliharaan
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan
soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas
12
ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen dan
ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan
analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena
Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat
dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi
selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah
sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%2.3.
Sevofluran
Sevofluran memiliki kecepatan induksi 2-3 menit.Konsentrasi induksi 6-7%
dengan konsentrasi pemeliharaan 2-3%.Efek samping yang diberikan adalah
vasodilatasi hingga menyebabkan hipotensi dan depresi napas.Keuntungan dari
sevofluran ialah induksi cepat dan lancar, tidak iritatif terhadap mukosa saluran
pernapasan, dan pemulihan paling cepat. Namun kelemahan dari sevofluran ialah
analgesia dan relaksasi yang kurang sehingga perlu dikombinasikan dengan obat lain.3
4. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka.Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali1,2.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu
antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
13
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja
obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya
atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan
penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atracurium
besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu dingin dan
perlindungan terhadap penyinaran.
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv
14
dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang = 6 ml/kgBB/jam
Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
7. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU.Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya2.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage1,6.
15
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Aktivitas Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas 1
perintah atau secara sadar.
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi Nafas adekuat dan dapat batuk 2
Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran Sadar penuh 2
Bangun jika dipanggil 1
Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit Kemerahan atau seperti semula 2
Pucat 1
Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
16
Tabel 3. Robertson Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4
Tidur ringan 3
Membuka mata atas perintah 2
Tidak ada respon 1
2 Jalan napas Batuk atas perintah 3
Jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi 1
kepala 0
Tanpa bantuan obstruksi
3 Aktifitas Mengangkat tangan atas perintah 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0
17
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : IKS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Berat Badan : 80 kg
Agama : Hindu
Alamat : Banjar Kubu, Banjarangkan Klungkung
No. RM : 211710
Diagnosis : Soft Tissue Tumor Occipital
Tgl pemeriksaan : 06 September 2017
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 06 September 2017, pukul 11.00
WITA di Ruang OK RSUD Klungkung.
a. Keluhan utama : Benjolan pada kepala belakang sebelah kanan
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan ada benjolan pada kepala belakang sisi
kanan, benjolan muncul sejak ± 2 tahun yang lalu, benjolan berjumlah satu yang
awalnya kecil berukuran sebesar biji kelereng yang semakin lama semakin
membesar berukuran 3x3 cm, benjolan tidak terasa nyeri, pada perabaan terasa
lunak, dan mudah digerakkan. Pasien menyangkal adanya tanda-tanda kulit
kemerahan, nyeri, dan panas, keluar nanah, maupun berbau. Riwayat benjolan di
bagian tubuh lain, penurunan berat badan, keluhan sesak disangkal pasien. Keluhan
lainnya seperti sakit kepala, demam, mual, muntah, batuk disangkal. Pasien tidak
memiliki riwayat pengobatan radiasi maupun riwayat keganasan pada keluarga.
Pasien tidak memiliki gigi goyang atau menggunakan gigi palsu. Pasien makan dan
minum terakhir 8 jam yang lalu.
18
c. Riwayat penyakit dahulu :
e. Riwayat sosial
Pasien merokok 2 batang perhari, tetapi tidak minum alkohol dan obat-obatan.
C. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan pada 06 September 2017)
Status Generalis
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 120/65 mmHg
Nadi : 81 x/menit
Suhu : 37oC
Pernapasan : 16 x/menit
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 80 kg
BB ideal : 63 kg
Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup,capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba hangat.
Kepala : Pada regio oksipital terdapat benjolan brukuran 3x3 cm, tidak panas, dan
tidak terasa nyeri.
Mata : Isokor, tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik, terdapat
pterigium grade 2 OS.
Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada kekakuan leher, jejas (-)
Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid.
19
Pemeriksaan Thorax :
Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba kuat
Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra
Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra
Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra
Auskultasi : S1 S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler, ronki (-), whezzzing (-)
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Perut datar, asites (-), massa abdominal (-)
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak teraba.
Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis, CRT < 2 detik, akral hangat
Status Lokalis
Regio Occipital
Inspeksi : benjolan pada regio occipital, warna kulit sama dengan sekitar, venektasi
tidak terlihat.
Palpasi : benjolan padat ukuran 3x3 cm, batas tegas, bentuk bulat, nyeri tekan tidak ada,
fluktuasi tidak ada, suhu sama dengan sekitar, mobile.
20
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Darah rutin :
Parameter Hasil
WBC 7,64 (10^3/uL)
RBC 4,82 (10^6/uL)
HB 14,9 (g/dL)
HCT 43,0 (%)
PLT 382 (10^3/uL)
Hematologi
Parameter Hasil
Waktu Perdarahan 2:00 menit
Waktu Pembekuan 12:00 menit
Foto Thorak
21
Cor : besar dan bentuk normal
Pulmo : tak tampak infiltrate
Sinus phrenocostalis kanan dan kiri tajam
Diafragma kanan dan kiri normal
Skelet hemithorak : yang tervisualisasi tampak fraktur
Kesan : Cor dan Pulmo tak tampak kelainan
Pemeriksaan EKG
E. KESAN ANESTESI
Laki-laki 44 tahun menderita Soft Tissue Tumor Occipital dengan ASA I
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum yaitu :
Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
Pro eksisi biopsi
Informed Consent Operasi
Konsul ke Bagian Anestesi
G. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Soft Tissue Tumor Occipital
Status Operatif : ASA 1, Mallampati II
Jenis Operasi : Eksisi biopsi
Jenis Anastesi : General Anastesi
22
H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Soft Tissue Tumor Occipital
2. Diagnosis Pasca Bedah
Post Eksisi Biopsy Soft Tissue Tumor Occipital
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Eksisi biopsi
b. Jenis Anestesi : General Anestesi
c. Teknik Anestesi : General Anastesi dengan tekhnik semi closed circuit
system dengan OTT No 7
d. Mulai Anestesi : 06 September 2017, pukul 12.00 WITA
e. Mulai Operasi : 06 September 2017, pukul 12.10 WITA
f. Premedikasi : Ondansentron 4 mg (iv)
Dexamenthasone 5 mg (iv)
Sulfas atropine 0,25 mg (iv)
g. Induksi : Fentanyl 100 mg (iv)
Propofol 160 mg (iv)
h. Relaksasi : Antracurium 25 mg (iv)
i. Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg (iv)
j. Maintanance : O22 lt, N2O 2 lt , sevoflurane 1.5 vol%
k. Intubasi : Laringoskop blade no 2
OTT no 7
l. Respirasi : Pernapasan terkendali
m. Posisi : Lateral
n. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml
o. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Terlampir
p. Selesai operasi : 12.45 WITA
23
BAB IV
ANALISA KASUS
24
5. Bowel
Tidak ada nyeri tekan, tidak ditemukan pembesaran hepar, bising usus normal,
asites (-), massa abdominal (-)
6. Bone
Bentuk leher simetris, tidak ada kelainan tulang belakang, patah tulang (-), kaku
kuduk (-).
Penatalaksanaan anestesi :
Persiapan sebelum pembedahan
Pengosongan lambung
Pengosongan kandung kemih
Inform consent (surat izin operasi dan anestesi)
Evaluasi praoperatif
Pukul 12.00 dilakukan kembali pemeriksaan fisik
Pelepasan aksesoris yang digunakan
Infus RL terpasang pada tangan kanan
Kateter urin tidak terpasang
Evaluasi khusus jalan napas, khususnya posisi trakea untuk menilai kemungkinan
penyulit pemasangan OTT.
Persiapan STATICS
Jenis Anestesi : General anestesi, respirasi control dengan OTT nasal no 7
Premedikasi
Pukul 12.10, pasien diposisikan miring kiri
Evaluasi infuse pasien, mesin anestesi, gas anestesi yang digunakan, dan menyiapkan
stetoskop dan kanul oksigen.
Diberikan intravena (5-10 menit sebelum anestesi dilakukan)
Ondansentron 4 cc
Dexametasone 5 mg
Sulfas Atropin 0,25 mg/ml
Fentanyl 100 ml
Induksi
Induksi dimulai pukul 12.25, dilakukan dengan pemberian propofol 160 mg (iv).
Dilakukan pemasangan OTT melalui mulut dengan laringoskop lalu dimasukkan ke
trakea. Cuff dikembangkan agar OTT terfiksasi.
25
Mengawasi pola napas pasien, denyut nadi, dan tekanan darah.
Pemantauan selama anestesi :
Waktu TD Nadi SpO2 Keterangan
12.00 125/83 88 100% Terpasang infuse
12.10 121/85 85 100% General anestesi dilakukan
12.15 123/83 87 100% Pelaksanaan operasi
12.20 120/86 83 100%
12.25 118/79 79 100%
12.30 115/78 80 100%
12.35 120/76 78 100% Operasi selesai
12.40 119/77 78 100%
12.45 110/83 80 100%
26
Pemulihan anestesi :
Segera setelah operasi, menghentikan aliran obat anestesi.
Bersihkan jalan napas
Ekstubasi setelah pasien napas spontan dan adekuat serta jalan napas sudah bersih
Pasca bedah :
Pukul 12.45, pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi terlentang, dilakukan
monitoring tanda vital, infuse RL, dan diberikan O2 3 liter/menit, memantau
kemungkinan terjadi perdarahan luka operasi, sumbatan jalan nafas, kelumpuhan pita
suara.
Tekanan darah 125/78 mmHg, nadi 77 x/menit
Pukul 13.00, pasien dalam posisi stabil dipindahkan ke bangsal apel.
Table monitoring pasca anestesi
Waktu TD Nadi RR Keterangan
12.45 110/73 80 20 O2 3 lpm,
12.50 112/78 81 20 monitoring tanda
12.55 110/79 72 20 vital
13.00 111/74 74 20
27
KESULITAN ANESTESI
Evaluasi 8T :
T1 (Teeth)
Tidak ditemukan gigi goyang atau menonjol, tidak menggunakan gigi palsu.
T2 (Tongue)
Bentuk lidah normal, todak ada kelainan.
T3 (Temporomandibular joint)
Tidak kaku, trismus (-), dapat membuka mulut > 2 jari.
T4 (Tonsil)
Tidak ditemukan adanya hipertrofi tonsil
T5 (Torticolis)
Tidak ada tortocilis yang menyulitkan dalam ekstensi dan fleksi kepala.
T6 (Tiroid notch)
Jarak antara tiroid dan simfisis mandibular > 3 jari dengan ekstensi kepala maksimal.
T7 (Trakea)
Trakea berada di tengah, deviasi trakea (-), tumor leher (-).
T8 (Tumor)
Tidak ada tumor atau polip dalam faring atau laring,
PREOPERATIF
Evaluasi pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik, penyakit arteri coroner,
alkoholisme kronik, pneumonia aspirasi, dan malnutrisi.
Kesulitan tatalaksana jalan napas dapat terjadi akibat lesi obstruktif atau riwayat
radioterapi prabedah yang dapat mengubah anatomi pasien.
INTRAOPERATIF
Karena ada risiko kehilangan darah, dibutuhkan pemantauan tekanan darah, analisis
gas darah, hematrokit.
Selama ventilasi dengan O2, pipa endotrakeal sebaiknya dibersihkan dengan penghisap
(suction) untuk menghindari risiko aspirasi darah dan secret.
Peningkatan tekanan inspirasi segera setelah trakeostomi merupakan tanda kesalahan
posisi pipa atau bronkospasme pada trakea.
Tekanan perfusi otak mungkin akan terganggu terutama bila tumor terdapat pada
daerah arteri karotis (menurunkan tekanan arteri otak) atau vena jugular (meningkatkan
tekanan vena otak)
28
Posisi kepala lebih tinggi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya emboli udara
vena.
Kehilangan darah dapat terjadi, sehingga keputusan transfuse harus
mempertimbangkan risiko transfuse dengan kecukupan penghantaran O2 ke jaringan.
Manipulasi sinus karotis dan ganglion stelata selama dilakukan reseksi leher radikal
(sisi kanan lebih sering dibandingkan sisi kiri) berhbungan dengan perubahan besar
tekanan darah, bradikardia, aritmia atau pemanjangan interval QT
POST OPERATIF
Edema
Kejang atau kenaikan tekanan intracranial > 30 mmHg
KOMPLIKASI ANESTESI
Perubahan tingkat kesadaran
Pengendalian tekanan intrakranium
Pengendalian kejang
Ancaman gagal napas
Kegoncagan sirkulasi
Trauma
Perdarahan luka operasi
Lama operasi
RESUME
Pasien, An. IKS, 44 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi
eksisi biopsi pada tanggal 06 September 2017 dengan diagnosis pre operatif Soft
Tissue Tumor Occipital. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 06 September
2017. Dari anamnesis terdapat keluhan benjolan di kepala bagian belakang kanan
yang sudah disadari sejak ± 2 tahun yang lalu. Dokter menganjurkan untuk dilakukan
operasi eksisi biopsi. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah
120/65 mmHg; nadi 81 x/menit; respirasi 16x/menit; suhu 37OC. Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 24 Agustus 2017 dengan hasil: Hb
14,9 g/dl; BT / CT : 2’00” / 12’00”. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I karena tidak
memiliki gangguan sistemik.
29
Operasi eksisi biopsi dilakukan pada tanggal 06 September 2017 . Pasien
dikirim dari bangsal Apel. Pasien masuk keruang OK 1 pada pukul 12.00 dilakukan
pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 120/65 mmHg; Nadi 81 x/menit, dan SpO2
100%. Dilakukan injeksi Ondansentron 4 mg, dexamethasone 5 mg dan fentanyl 100
mg. Ondansentron adalah antagonis reseptor 5-HT3 selektif untuk mencegah mual
dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi saat operasi. Pemberian fentanyl yang
merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa bersifat induksi. Penggunaan
premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien
dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa
khawatir. Dokter anestesi memilih untuk dilakukan OTT.
Pasien disungkupkan dengan sungkup muka yang telah terpasang pada mesin
anestesi yang menghantarkan gas (sevoflurane) dengan ukuran 1,5vol% dengan
oksigen dari mesin ke jalan napas pasien sambil melakukan bagging selama kurang
lebih 2 menit untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari
pelemas otot sehingga mempermudah dilakukannya pemasangan OTT. Penggunaan
sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai efek induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, tidak terlalu berbau, tidak merangsang
jalan nafas dan tidak meningkatkan sekresi saluran nafas. Sevofluran mungkin paling
tidak iritasi pada saluran nafas dibanding agent inhalasi lainnya. Efek terhadap
kardiovaskular pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan OTT, maka dialirkan
sevofluran 1,5 vol%, oksigen sekitar 50 ml/menit sebagai anestesi rumatan. Ventilasi
dilakukan dengan bagging dengan laju napas 20 x/ menit. Sesaat setelah operasi
selesai gas anestesi diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan
untuk membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan menjelang operasi hampir selesai.
Operasi selesai tepat jam 12.45 WITA. Lalu mesin anestesi diubah ke manual
supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevofluran dihentikan karena
pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan ekstubasi endotracheal
secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih lanjut.
Pada pukul 12.45 WITA, pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan
akhir TD 110/70 mmHg; Nadi 80x/menit, dan SpO2 100%. Pembedahan dilakukan
selama 20 menit dengan perdarahan ± 50 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang
pemulihan (Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan
30
baik, pernafasan spontan dan adekuat serta kesadaran composmentis. Tekanan darah
selama 15 menit pertama pasca operasi stabil yaitu 110/70 mmHg.
31
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Tuan IKS usia 40 tahun, berat badan 80 kg, tinggi badan 170 cm, dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik didiagnosis soft tissue tumor regio occipital dengan ASA 1 yang dilakukan
teknik anestesi umum dengan OTT no 7 cuff (+) respirasi terkendali.
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yng
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya. Untuk
mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada diantisipasi terlebih
dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal
mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan
anestesi berlangsung dengan baik.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Soft Tissue Tumor. Otolaryngology Head
and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
3. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
4. Lab/SMFAnestesiologi & reanimasi. 2010. Panduan Kepaniteraan Klinik
Anestesiologi.
5. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI,
edisi ke- 4. Jakarta:Gaya baru.
6. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
7. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta
Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius
8. Better Health Channel.2011. Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia.
http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 23 Maret 2013
9. Lauro, Joseph. 2011. Soft Tissue Tumor. Lautheran Emergency Medicine Medical
Centre. http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal
19 September 2017.
10. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD. Hipnotik – Sedatif dan Alkohol :
Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK-UI. Edisi 5. Jakarta. 2007. Hal:
139-160.
11. Reves J.G. Nonvolatile anesthetic agents. In:Morgan G.E, Mikhail M.S, Murray M.J,
Eds. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill Companies,Inc; 2006. p. 179-
204.
12. Stoelting Robert.K, Miller Simon.C. Benzodiazepine. In: Stoelting R.K, Hiller S.C,
Eds. 2nd ed. Handbook of pharmacology and physiology in anesthetic practice.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p.140-154.
33