Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
KULIAH
Korespondensi :
Ismoedijanto
Divisi Penyakit Infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya
Jl. Mayjen Prof Moestopo 6-8 Surabaya
Telp. 031-5018934, 031-5501697 Fax 031-5501748
Email : ismoe@indosat.net.id
ABSTRACT
Acute anterior poliomyelitis has been long since known as a disease with clinical
sign of paralysis. The disease may occur anytime at all age, especially in children
under age of 3. The invention of polio vaccine in 1955 which drastically reduced
the polio incidence was followed by an attempt of worldwide polio eradication,
considering the historical successful elimination of smallpox. Polio eradication
(Eradikasi polio = ERAPO) was implemented in 1988 using strategies of routine
immunization (Universal Child Immunization = UCI), National Immunization Day
(NID) or Pekan Imunisasi Nasional (PIN), Surveillance on Acute Flaccid Paralysis
(SAFP) and ‘mopping up’, with an expectation of World Free Polio in 2005.
The integrated immunization program and AFP Surveillance (SAFP) had faced a
big challenge when Indonesia received imported Wild Polio Virus. Other
important issues were the detected VAPP (Vaccine Associated Paralytic
Poliomyelitis) cases and outbreak of VDPV (Vaccine Derived Polio Virus) leading
to difficulty in eradicating polio in Indonesia
ABSTRAK
Poliomielitis anterior akut telah lama dikenal manusia dengan tanda klinik
kelumpuhan, dapat menyerang semua usia terutama usia dibawah 3 tahun.
Ditemukannya vaksin polio pertama pada tahun 1955 dapat menurunkan kasus
secara drastis, sehingga dicoba untuk menghilangkan polio dari dunia mengacu
pada keberhasilan manusia memerangi penyakit cacar. Eradikasi polio (ERAPO)
yang ditetapkan pada tahun 1988 dilaksanakan dengan strategi imunisasi rutin,
PIN (Pekan Imunisasi Nasional), surveilans AFP (‘Acute Flaccid Paralysis’), dan
‘mopping up’, dengan harapan dunia bebas polio tahun 2005.
Poliomielitis anterior akut telah lama dikenal oleh manusia dengan tanda
klinik kelumpuhan akibat kerusakan motor neuron pada cornu anterior dari
sumsum tulang belakang akibat infeksi virus.1 Selain ditemukannya mumi
dengan gambaran klinik polio, pada salah satu inskripsi Mesir kuno (1580-1350
SM) terdapat gambaran seorang pendeta muda dengan kaki sebelah kiri yang
memendek dan mengecil, telapak kaki pada posisi equinus, yang merupakan
gambaran keadaan klinik lumpuh layuhh.2 Pada tahun 1789 Michael Underwood
membuat deskripsi penyakit polio sebagai suatu kesatuan klinik yang utuh,
disusul oleh Heine pada tahun 1840 merinci kelainan kliniknya dan tahun 1870
Medin melaporkan gambaran epidemiologiknya.2,3
Penyakit ini meskipun dapat menyerang semua usia, namun sebagian
besar (50-70%) akan menyerang anak usia dibawah tiga tahun.1-3 Adanya
kepadatan penduduk dalam kota-kota dan perbaikan sanitasi dan lingkungan
pada akhir abad ke 19, menyebabkan paparan virus menjadi lebih lambat dan
terjadi akumulasi anak rentan terhadap virus polio, sehingga pola penyakit yang
semula endemik berubah menjadi epidemik dengan pola penuh letusan wabah.
Selain terjadi kenaikan kasus, juga terjadi kenaikan proporsi penderita dengan
kelumpuhan bulbar4, yang memerlukan bantuan pernafasan mekanik, dengan
Drinker respirator (iron lung).4 Perawatan klinik yang memerlukan biaya
perawatan besar, dengan cacat menetap yang terlihat sepanjang hidup, telah
memaksa para ahli mencari jalan keluar ke arah pencegahan.
Akhirnya ditemukan vaksin polio pertama pada tahun 1955 dalam bentuk
suntikan IPV (Inactivated Polio Vaccine) dan kemudian disusul dengan vaksin
oral OPV ( Oral Polio Vaccine) tahun 1961 dan eIPV (enhanced Inactivated Polio
Vaccine) yang dikembangkan dan memperoleh lisensi pada tahun 1988. Sejak
penemuan vaksin, imunisasi terhadap polio dilancarkan dan menjadi salah satu
antigen yang wajib diberikan dalam program imunisasi dasar rutin. Hasilnya
menunjukkan penurunan kasus secara drastis, sehingga beberapa ahli mencoba
mencari terobosan untuk menghilangkan polio dari dunia.5 Pengalaman manusia
memerangi penyakit cacar dengan berhasilnya program SEP (Smallpox
Eradication Program) yang berpijak pada metode imunisasi dan kesamaan
faktor faktor biologik yang mendukung, yakni manusia merupakan satu-satunya
inang (host) bagi virus cacar dan polio menimbulkan gagasan untuk
mengebalkan semua manusia agar transmisi VPL(virus polio liar) berhenti.6
Pada saat WHA (World Health Assembly) tahun 1988 menetapkan
program Polio Eradication Initiative (ERAPO), terdapat 350 000 kasus
kelumpuhan akibat polio setiap tahun di 125 negara.3,5,7 Di Indonesia pada
tahun 50-an kasus polio dianggap bukan masalah kesehatan dengan alasan
anak telah terpapar virus pada usia dini (karena lingkungan kumuh dan higiene
pribadi yang kurang), namun M La Force yang melakukan survei kelumpuhan
(lame survey) yang dilakukan di Bali dan Jawa Timur secara mengejutkan
menghasilkan angka yang sama dengan angka kejadian di Amerika sebelum
negara tersebut memulai imunisasi. Adanya fakta tingginya prevalensi
seronegatif pada kelompok Balita di daerah kumuh di Bandung dan Jakarta,
serta tingginya kelompok seronegatif pada bayi di rumah bersalin elit di Jakarta
makin mendukung adanya sirkulasi virus polio liar di Indonesia. Hipotesis yang
menyatakan bahwa rendahnya angka kesakitan karena kekebalan alamiah
akibat higiene sanitasi yang jelek ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.8
menghasilkan dua macam vaksin yaitu yang pertama adalah IPV dan disusul
dengan OPV. Kedua vaksin terbukti dapat menurunkan angka kelumpuhan dan
angka kesakitan akibat virus polio, namun harus dipilih vaksin mana yang lebih
baik untuk memberantas penyakitnya. Kriteria vaksin tersebut adalah vaksin itu
harus antigenik, proporsi vaksin trivalen harus sesuai dengan virus liar yang ada
di lingkungan, replikasi dan mutasi harus sangat minimal. Vaksin OPV
mengandung vaksin yang masih hidup sehingga bisa hidup dan berbiak dalam
usus. Imunisasi cara ini tidak hanya membentuk antibodi humoral yang dapat
menghambat virus polio menimbulkan infeksi di SSP, namun juga merangsang
secretory IgA, antibodi sekretori yang mencegah perlekatan dan replikasi virus di
epitel usus. Virus vaksin dapat bertahan sampai 17 bulan setelah imunisasi dan
pada anak dengan agammaglobulinemia, bahkan dapat bereplikasi terus sampai
684 hari. Suntikan IPV bisa menimbulkan antibodi antipolio humoral yang tinggi,
namun karena tidak menimbulkan kekebalan intestinal yang cukup IPV tidak bisa
menghentikan transmisi VPL.8,12,13
trivalen virus polio secara oral (OPV) secara luas. Enhanced potency IPV (eIPV)
yang menggunakan molekul yang lebih besar dan menimbulkan kadar antibodi
lebih tinggi mulai digunakan tahun 1988. IPV merupakan vaksin yang cukup
efektif, 2 dosis akan menimbulkan antibodi yang protektif pada sekitar 90%
resipien, sedang 3 dosis akan meningkatkan protektifitas sampai 99%.
Protektifitas terhadap kelumpuhan berkaitan dengan tingginya kadar antibodi
serum. Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah dinonaktifkan sehingga
tidak bisa replikasi. Vaksin ini aman dalam arti tidak menimbulkan kelumpuhan
akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi penderita defisiensi imun, meskipun
vaksin tersebut tetap dibuat dari virus polio liar. Kerugiannya adalah vaksin ini
harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang merangsang timbulnya antibodi IgA
sekretori di usus, sehingga tidak dapat menghambat perlekatan, replikasi virus
polio liar dan tidak dapat menghentikan transmisi virus tersebut.8,12,14
Oral Polio Vaccine (OPV) merupakan vaksin pilihan karena dapat
menimbulkan antibodi yang tinggi. Dosis tunggal akan menimbulkan kekebalan
pada 50% resipien, 3 dosis akan meningkatkan kekebalan sampai 95%.
Kekebalan yang terjadi tidak timbul secara bersamaan tetapi bersifat sekuensial.
Respon pertama terutama terhadap virus tipe 1 (paling imunogenik) disusul virus
tipe 2 dan terakhir tipe 3. Serokonversi terjadi paling cepat dengan tipe 1,
sedang protektifitas terhadap tipe 3 tercapai setelah 4-5 dosis, bahkan pada
penelitian di Cuba, protektifitas diatas 95 % tercapai setelah dosis kedelapan.
Keuntungan vaksin ini adalah mudah diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya
jauh lebih murah dibanding IPV. OPV selain dapat mencegah kelumpuhan, juga
merangsang timbulnya kekebalan usus dan menghambat penempelan, invasi
dan replikasi virus liar. Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah akan
menaikkan kadar secretory IgA usus terhadap virus polio dan memutus rantai
hidup virus liar.8,12,14
Imunisasi polio
Merupakan bagian dari program EPI (Expanded Program on
Immunization) yang telah dilaksanakan sejak tahun 1978 dan harus terus
dilaksanakan, hingga WHO memutuskan untuk dihentikan. Imunisasi rutin
Imunisasi suplemen
Imunisasi suplemen diberikan untuk memutus rantai penularan dan
transmisi virus polio liar. Adanya individu atau kelompok yang belum kebal akan
menimbulkan resiko infeksi oleh virus polio, mengingat virus ini hanya mampu
berbiak pada manusia. Kelompok atau individu yang tidak kebal akibat tercecer
dari imunisasi rutin, menolak imunisasi, kurang gizi, sakit atau rendahnya respon
• Surveilans AFP umumnya belum adekuat pada tahap awal sehingga tidak
dapat digunakan untuk menentukan daerah atau kelompok resiko tinggi.
Surveilans AFP
Pengamatan terhadap transmisi virus polio liar, idealnya harus
dilaksanakan sebelum program EPI dimulai. Hal ini hanya terjadi di beberapa
negara maju, sehingga mereka sudah mendapat sertifikasi, karena cakupan
imunisasi dan sistem surveilans yang ketat telah membuktikan bahwa transmisi
virus polio liar sudah tidak ada lagi di negaranya. Sedangkan di negara
berkembang, pengamatan terhadap transmisi VPL ini baru dilaksanakan sejak
program eradikasi polio dilancarkan. Pengamatan terhadap transmisi VPL ini,
baik melalui sistem surveilans rutin, ataupun surveilans AFP harus dilaksanakan
sampai tiga tahun setelah program imunisasi dihentikan oleh WHO.16
Surveilans AFP ditujukan untuk mendeteksi adanya transmisi virus-polio
liar, dan menentukan daerah resiko tinggi dimana transmisi virus-polio liar terjadi
atau kemungkinan dapat terjadi (High Risk Area). Surveilans dilakukan dengan
mendeteksi penderita lumpuh layuh pada anak usia dibawah 15 tahun tanpa
adanya rudapaksa, untuk dibuktikan kelumpuhan tersebut bukan disebabkan
oleh karena polio.
Pada surveilans AFP, laboratorium yang telah diakreditasikan oleh WHO
melakukan pemeriksaan spesimen tinja dari kasus AFP yang dilaporkan.
jumlahnya adalah
≥ 1 per 100.0000
anak < 15 tahun
POLIO pertahun
Bukan Bukan
Polio Polio
Polio Kompatibel
l § Paralisis residual (+)
AFP
§ Tak ada follow up
§ Meninggal sebelum
kunjungan ulang 60 Komisi
hari Ahli
Spesimen tidak
adekuat*
Spesimen
adekuat Bukan kasus polio
Mopping-up17,20
Mopping-up dilaksanakan pada daerah dimana transmisi VPL terjadi
secara terbatas, sesuai dengan hasil surveilans AFP. Alasan mopping-up
dilakukan pada tahap akhir dari suatu program eradikasi polio adalah:
• Transmisi virus-polio liar telah tereduksi dan transmisi yang masih ada,
terjadi pada suatu wilayah terbatas (focal),
• Surveilans AFP umumnya telah adekuat, sehingga dapat diidentifikasikan
wilayah atau kelompok populasi dimana transmisi virus polio liar masih
terjadi
Perbedaan yang mendasar antara mopping-up dan NID adalah dari luas
wilayah dan sisi operasionalnya, dimana pada mopping-up dilakukan kunjungan
rumah ke rumah untuk mencapai sasaran. Hal ini dilakukan untuk memastikan
agar semua sasaran dapat tercakup. Baik imunisasi rutin maupun imunisasi
suplemen (berupa imunisasi koreksi seperti sweeping dan backlog fighting, NID
dan Mopping Up) bertujuan memberikan imunisasi dan kekebalan pada semua
penduduk dunia tanpa kecuali.
Kriteria wilayah mopping-up yang direkomendasikan oleh ICCPE
(International Certification Commission for Polio Eradication) - SEARO pada
tahun 1998 adalah daerah yang cukup luas (…...Normally, mop-up operations
are conducted as a house to house campaign and cover very large selected
areas. ……)2
NID dan Mopping up biasa disebut imunisasi suplemen, ditujukan
terutama untuk memutus transmisi virus polio liar.
The Global TCG (Technical Consultation Group), badan pakar polio, telah
mengumpulkan wacana mengenai bagaimana melindungi penduduk selama
penghentian vaksinasi dan bagaimana menurunkan resiko kembalinya virus ini
serta bagaimana menanggulangi bila ini terjadi.19,21 Pilihan vaksin mana yang
akan digunakan selama masa transisi dan kapan serta bagaimana cara
penghentian imunisasinya belum diputuskan.33
Kondisi bebas VPL sangat sukar dicapai karena pada dasarnya vaksin
yang digunakan adalah virus polio yang dilemahkan. Program eradikasi cacar
merupakan acuan eradikasi polio, namun ada perbedaan yang mendasar
dibandingkan dengan imunisasi cacar. Vaksin cacar terbuat dari virus vaccinia
yang meskipun masih bersaudara dengan virus cacar, namun bukan virus cacar.
Kalaupun terjadi back-mutation atau terjadi komplikasi yang berat pada vaksinasi
cacar, tidak pernah terjadi kasus klinik cacar, karena vacccinia tidak
menyebabkan kasus klinik cacar. OPV yang dibuat dari virus polio liar yang
dilemahkan, tetap merupakan gabungan ketiga serotipe polio yang bila
mengalami back mutation menjadi neurogenik kembali, akan kembali bersifat
seperti virus polio liar dan dapat menimbulkan wabah kembali. IPV meskipun
juga berasal dari ketiga serotipe virus polio, kecil kemungkinannya menjadi aktif
kembali, setelah dinonaktifkan / dibunuh dengan panas dan bahan kimia.
Containment (pencekalan) virus dapat dilakukan dengan mudah pada
program SEP (Smallpox Eradication Programme) karena yang disimpan adalah
virus vaccinia (virus cacar liar dapat dimusnahkan atau disimpan pada 1 tempat
saja) sedang penelitian pengembangan vaksin yang baru dapat dilakukan
dengan virus vaccinia yang ada. Pada program ERAPO, yang disimpan tetap
virus polio dan apabila diperlukan penelitian, harus digunakan virus polio liar,
sehingga containment virus polio liar jauh lebih sukar dilakukan. Kecelakaan
(accidental release) dapat terjadi, misalnya peneliti tanpa sengaja mendapatkan
adanya Enterovirus yang tumbuh pada kultur jaringan adalah virus polio.
Demikian pula para peneliti di laboratorium yang membiakkan virus dari tinja
dapat tanpa sengaja membiakkan virus polio, sehingga pencekalan virus polio
jauh lebih rumit dan berbahaya dibanding dengan pencekalan virus cacar pada
masa lalu.
VAPP adalah bentuk KIPI dari OPV dan jumlah kasus global VAPP
adalah 250-500 kasus per tahun.
Kemungkinan VAPP telah dikenal sejak 1962, sesaat setelah penggunaan
vaksin monovalen P3. Resiko kasus VAPP adalah sekitar satu kasus per 3.3 juta
dosis, pada saat PIN sekitar satu kasus per 6 juta dosis dan terutama terjadi
pada pemberian vaksinasi yang pertama. Meskipun sampai sekarang banyak
yang menyatakan kelumpuhan ini akibat berbagai faktor penyebab yang
berbeda, namun evidence ini mendukung adanya hubungan25 :
1. sindroma kliniknya mirip poliomielitis
2. virus vaksin sering di isolasi dari tinja kasus
3. ada riwayat paparan vaksin
4. kasus resipien dan kontak menbentuk gerombolan (cluster)
setelah mendapat OPV
5. virus yang diekskresi menunjukkan mutasi kearah neurovirulent
6. prevalensi VAPP paling tinggi pada penderita imunodefisiensi (B
cell deficiencies), kelompok yang juga rentan terhadap VPL
poliovirus.
Resiko VAPP pada penderita immunocompromised naik menjadi 3200 kali
lebih sering dibanding dengan anak yang imunokompeten. Sebagian besar
kasus adalah penderita kelainan B-cell (humoral) dengan agammaglobulinaemia
atau hipogammaglobulinemia. Polio virus type 1 jarang pada kasus VAPP;
sebagian besar adalah tipe 2 , sedang pada penderita yang imunokompeten
yang tersering adalah tipe 3 .22-24 Selain tidak mampu menetralisir virus dari SSP
(susunan syaraf pusat), mereka juga mensekresi polio vaksin sampai 7 bahkan
16 tahun. Larangan memberikan OPV pada kasus imunodefisien kurang
insufisien karena diagnosis kasus paling dini dilakukan pada usia 2 bulan, saat
pemberian OPV yang pertama.22,23
Pada tahun 1997, ACIP merekomendasikan penggantian secara
sekuensial OPV dengan IPV, bahkan pada tahun 1999, rekomendasinya adalah
menggunakan IPV saja.27,28
Kepustakaan
1. Ismoedijanto dan St Nurul H Penyakit poliomyelitis anterior akuta. Dalam:
Ismoedijanto, Yuwono Sidharta, Sholah Imari eds. Dalam Buku rujukan
Eradikasi polio di Indonesia , Jakarta , Dep. Kesehatan 2002 : 55 - 63
2. Modlin JF. Enterovirus. In: Gerhson AA, Hotez PJ, Katz SL, Eds. Infectious
diseases in children. 11th ed. New York: Mosby & Co, 2003:123-136.
3. Sutter et al. Live attenuated Poliovaccine. In: Plotkin & Orenstein, Eds.
Vaccine. 4th ed. Philadelphia : WB Saunders, 2003.
4. Modlin JF. Poliomyelitis. In: Rotbart HA, Ed. Human Enterovirus Infections.
Washington DC, American Society for Microbiology 1995:195-220.
5. Joklik WK. The enterovirus. In : Joklik, Ed. Virology. 3rd ed. Philadelphia : WB
Saunders,1968:188-92.
6. Melnick J. Poliovirus. In: Fields, Ed. Virology. 3rd ed. Philadelphia : WB
Saunders, 1996:656-708.
7. WHO. Global Eradication of Poliomyelitis by the year 2000. Geneva: WHO,
1988 (Resolution WHO 41.28).
8. Ismoedijanto: Imuniasi poliomyelitis : imunisasi rutin dan imunisasi suplemen.
Dalam: Ismoedijanto, Yuwono Sidharta, Sholah Imari eds, Buku rujukan
Eradikasi polio di Indonesia , Jakarta , Dep. Kesehatan 2002 :19-26
9. Modlin JF. Enterovirus. In: Long SS, Pickering LK, Prober CG, Eds. Principles
and Practice of Pediatric Infectious Diseases. New York : Churchill
Livingstone, 2003:1179.
Pertanyaan :
1. Bagaimana end game penghentian imunisasi ?
2. Apa pengaruh kasus VAPP dan KLB cVDVP pada sertifikasi polio?
3. Uraikan tujuan dan program surveilans AFP baik yang berbasis komunitas
maupun berbasis rumah sakit !
4. Berikan analisis anda pada kegagalan mencapai UCI desa !
5. Ceritakan dasar-dasar biologik strategi eradikasi polio ?