Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
Abstract
This article aims at promoting an appropriate term to depict the substantial
meaning of Islamic civilization. Even though there are various terms in Arabic
that refer to the meaning of civilization, such as h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân, the
term that substantially compatible with Islam is tamaddun. From a linguistic
perspective the root of tamaddun can be traced back to the word dîn, meaning
religion. In this case the relation between civilization in the form of scientific
movement and political authority with religion is considerably clearer and even
provable with historical facts. From the time of the Prophet Muhammad,
Umayyad Caliphate, Abbasid Caliphate, until the Ottoman Caliphate the
relationship of religion and civilization was manifested. In Islamic history, when
Islam entered to a region, the knowledge there will grow rapidly so as to bring
prosperity and welfare. When Islam expanded its territory, it did three important
stages: First, the expansion of political power dominated by military forces;
second, the spreading of religion to the society such Islamic preaching and
scientific activity based on al-Qur’an was dominated. Here, the people tried to
integrate the teaching of al-Qur’an with the science that comes from other
civilizations, especially Greek, Indian, and Persian; third is the spreading of
Arabic language to become the official language of science and communication.
These three stages proved that the widespread political power in Islamic history
was always based on dîn and the development of science, which in turn, becomes
civilization of science as well as religion, which defines tamaddun. Therefore,
Islam accepted by any nation either non-Muslim or non-Arab for it departed
from rational dîn which develops into tamaddun.
* Kampus Pusat UNIDA Gontor, Jl. Raya Siman Km. 06, Siman, Ponorogo Jawa
Timur, Telp: +62352 483762 Fax: +62352 488182
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk mengangkat istilah yang tepat untuk
menggambarkan makna peradaban Islam secara substantial. Meskipun dalam
bahasa Arab terdapat berbagai istilah yang merujuk kepada makna peradaban,
seperti h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân dan sebagainya, namun istilah yang secara substansial
sesuai dengan watak Islam adalah tamaddun. Dari sisi kebahasaan akar kata tamaddun
dapat dilacak dari kata dîn yang berarti agama. Di sini hubungan antara peradaban
dalam bentuk gerakan keilmuan dan kekuasaan politik dengan agama tampak
jelas sekali dan bahkan terbukti oleh fakta-fakta sejarah. Dari sejak zaman Nabi
SAW, kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani membuktikan
bahwa hubungan itu jelas ada. Dalam sejarahnya, ketika Islam memasuki suatu
wilayah maka ilmu pengetahuan di situ akan berkembang pesat, sehingga mampu
membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya. Ketika umat Islam
meluaskan wilayah kekuasaannya, mereka melakukan tiga tahap penting. Tahap
pertama adalah perluasan kekuasaan politik yang didominasi oleh kekuatan militer.
Kedua adalah penyebaran agama ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini
yang dominan adalah kegiatan dakwah dan kegiatan keilmuan yang berpegang
pada al-Qur’an. Umat berupaya mengintegrasikan ajaran-ajaran dalam al-Qur’an
dengan ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban lain, terutama Yunani, India, dan
Persia. Ketiga adalah penyebaran bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan
dan bahasa komunikasi. Dari ketiga tahap ini dapat dikatakan bahwa meluasnya
kekuasaan politik dalam sejarah Islam selalu berdasarkan agama (dîn) dan
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi peradaban ilmu dan agama
sekaligus, itulah makna sesungguhnya dari tamaddun. Jadi Islam diterima oleh
bangsa-bangsa non-Arab dan non-Muslim berangkat dari dîn yang rasional yang
berkembang menjadi tamaddun.
Pendahuluan
T
idak dipungkiri bahwa Islam adalah agama dan peradaban,
namun istilah untuk menggambarkan makna Islam sebagai
peradaban masih merupakan kontroversi, meskipun tidak
mengakibatkan perselisihan yang serius. Dalam tradisi intelektual
Islam terdapat istilah-istilah seperti tamaddun, h} ad}ârah, tsaqâfah,
‘umrân, dan sebagainya yang secara etimologis berbeda antara satu
dengan lainnya. Kontroversi itu barangkali disebabkan oleh adanya
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 3
Sebuah Definisi
Istilah untuk merujuk kepada peradaban dalam tradisi intelek-
tual Islam sedikitnya ada empat yaitu h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân, dan
tamaddun. Kata h} a d} â rah akar katanya adalah kata kerja tsulâtsi
“h}ad}ara” yang berarti hadir bertempat tinggal, kebalikan dari nomad
(orang yang selalu mengembara) atau badâwah. 1 Dalam istilah
h}ad}â rah ini, tidak terdapat unsur agama atau kepercayaan, dan
karena itu dapat digunakan untuk makna kebudayaan yang bukan
Islam. Adapun tsaqâfah, berarti aktivitas atau perbuatan yang ber-
kaitan dengan dan mengarah kepada ketrampilan. Terkadang dikait-
kan dengan masalah keilmuan, sehingga kata mutsaqqaf berarti ter-
pelajar atau berilmu.2 Selain tsaqâfah, terdapat pula istilah yang
diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun sebagai ‘umrân. ‘Umrân adalah
1
Lihat E.W. Lane, Arabic English Lexicon, Islamic Text Society, Jilid I, (England:
Cambridge, 1863), 589.
2
Kata tsaqafa artinya memahami atau memperoleh dengan ilmu dan perbuatan; tsaqaftu
al-syai’ artinya saya menjadi terampil dalam suatu hal. Tsaqaftu al-‘ilm artinya saya memperoleh
ilmu. Lihat E.W. Lane, Ibid., 342-343
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 5
4
Dalam pernyataan Alparslan Acikgence jelas sekali disebutkan bahwa every human
activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Lihat
Alparslan Acikgence, “The Framework for a History of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah,
Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, Vol. 1. No. 1&2,
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 6. Lihat juga Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations
of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s Sons, T.Th.) 1-2.
5
Seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League
Journal, edisi November-Desember, 1983, 38-42.
6
Ibid.
7
Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, Jilid 13, (Beirut: Dâr S}âdir, T.Th), 170-171.
8
Sumber-sumber yang dirujuk adalah sebagai berikut: Ibrahim Anis, et.al., al-Mu‘jam
al-Wasît}, Juz 1, (Mesir: Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, 1972), 307; Ahmad ‘Athiyyah
Allah, al-Qâmûs al-Islâmî, Jilid 2, (Kairo: Maktabat al-Nad}ah al-Mis}riyyah, 1966), 423-424;
Abu al-Husayn Ahmad bin Fariz bin Zakariya, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2, Edited by
‘Abd al-Salam Muhammad, (Kairo: Maktabat al-Habikhi, 1981), 319-320; Jamâ‘ah min Kibâr
al-Lughawiyyîn al-‘Arab, al-Mu‘jam al-‘Arabi al-Asâsî, (Beirut: Larousse, T.Th.), 475.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 7
Ibnu Faris berpendapat bahwa dîn bermakna semua jenis dari ke-
tertundukan dan keterhinaan (al-inqiyâd wa al-dhull). Bila merujuk
pada pandangan Ibnu Faris, maka semua makna etimologis yang
dikemukakan di atas merupakan spesies dari makna genus ‘keter-
tundukan dan keterhinaan’.9
Masih sejalan dengan makna-makna seminal itu semua, dîn
dapat dilacak dari kata daynun yang artinya hutang. Oleh karena
itu, ber-Islam dapat diartikan sebagai proses membayar hutang
kepada Sang Khalik. Makna ini dapat digambarkan dalam sebuah
struktur keberagamaan dan kehidupan sekaligus. Dalam kaitannya
dengan makna ini, maka kata kerja “dayâna” artinya memberi
hutang, “dâna” artinya berhutang. Maka di sini sebutan Allah adalah
“al-Dayyân” maknanya Pemberi hutang, sedangkan Nabi SAW
diberi julukan (laqab) “Dayyân” artinya pengatur hutang piutang
atau menghutangkan dirinya. Dalam kaitannya dengan makna
hukum, Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai penguasa hukum,
sehingga dipanggil oleh para pujangga Arab: Ya Sayyid al-Nâs wa
Dayyân al-‘Arab. Dari pengertian berhutang di dalam makna dîn
terdapat sebuah minhaj, sistem, atau aturan hidup yang berdasarkan
hukum yang menyeluruh dan lengkap. Sebab keberhutangan, ber-
kaitan dengan susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderu-
ngan manusia untuk membentuk masyarakat yang menaati hukum
dan mencari pemerintah yang adil, telah menggambarkan sebuah
peradaban.10
Dalam istilah dîn tersembunyi suatu sistem kehidupan yang
teratur berdasarkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, ketika dîn
(agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan
dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat yang sebelumnya
bernama Yatsrib itu diubah menjadi Madinah. Dari akar kata dîn
dan madînah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti
membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan, dan
memartabatkan.11 Dari akar kata madana lahir kata benda tamad-
dun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti
juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudaya-
9
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2,
319-320.
10
Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam, Religion, and Morality”, dalam
Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 43-44
11
Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, Jil. 13, 402.
an kota (culture of the city). Jika ditelusur dari akar katanya tamaddun
dapat diartikan sebagai tempat yang dibangun atas dasar agama.
Dalam teori sejarah ilmu, jika suatu kata diterima oleh
masyarakat dan digunakan dalam kehidupan mereka, maka kata
itu telah sah menjadi istilah teknis (technical term) untuk disiplin
ilmu yang bersangkutan. Istilah tamaddun adalah istilah yang
digunakan oleh masyarakat Muslim. Di kalangan penulis Arab,
perkataan tamaddun digunakan untuk pertama kalinya oleh Jurji
Zaydan dalam sebuah judul buku Târi>kh al-Tamaddun al-Islâmî (Se-
jarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejauh pengetahuan pe-
nulis, semenjak itu perkataan tamaddun atau derivatifnya diguna-
kan umat Islam sebagai istilah untuk peradaban. Di dunia Melayu
digunakan pula istilah tamaddun, di Iran orang dengan sedikit ber-
beda menggunakan istilah tamaddun dan madaniyat. Namun di Turki
istilahnya mengikuti akar kata madinah atau madana atau madaniy-
yah, namun diubah dengan dialek Turki medeniyet dan medeniyeti.
Di anak benua Indo-Pakistan, tamaddun digunakan hanya untuk
pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah
tahdhi>b. Jika istilah tamaddun dapat digunakan untuk istilah per-
adaban Islam, maka di dalam Islam sebagai dîn terkandung makna
tamaddun atau peradaban.
Asumsi dasar yang ingin ditawarkan di sini adalah, bahwa
Islam adalah agama dan peradaban, sebab al-Qur’an, sebagai kitab
suci agama Islam, tidak hanya mengajarkan doktrin teologis dan
ritual keagamaan saja, tapi juga memproyeksikan suatu pandangan
hidup rasional yang kaya dengan berbagai konsep seminal (khusus-
nya tentang ilmu pengetahuan) yang menjadi asas kehidupan baik
individu maupun sosial sehingga berkembang menjadi suatu per-
adaban. Artinya, Islam adalah sebuah dîn yang telah berkembang
menjadi tamaddun atau peradaban. Berikut penjelasan bagaimana
Islam sebagai dîn berkembang menjadi tamaddun dengan tradisi
intelektual dan politiknya.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 9
12
QS. al-‘Alaq: 1-4.
13
QS. Thaha: 114.
14
QS. al-Zumar: 9.
15
QS. al-A’raf: 179.
16
QS. al-An’am: 97-98.
17
QS. al-Baqarah: 269.
18
QS. al-Baqarah: 247.
19
QS. al-Baqarah: 30.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 11
22
Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini dengan
menunjukkan sistem kata yang menjadi anasir utama dalam kosa-kata bahasa Arab pra-Islam.
Contoh yang diberikan di sini adalah kata Allâh yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang
sangat sentral yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam
sistem kata pada masa pra-Islam, Allâh tidak mempunyai kedudukan yang sangat sentral,
Allâh adalah tuhan dalam hierarki tuhan-tuhan yang lain. Penjelasan lebih detail lihat Toshihiko
Izutsu, God and Man in The Qur’an, Semantic of the Qur’anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur:
Islamic Book Trust, New Edition, 2002), 36-38.
23
Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang diturunkan
di Makkah dan Madinah lihat Abu Ammar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the
Qur’an, (Birmingham: al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999), 100-101.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 13
24
De Boer misalnya berasumsi bahwa sains dalam Islam lebih banyak ditentukan
oleh pengaruh asing dan karena itu “keseluruhannya bukan hasil murni” umat Islam. Sebab
pada abad pertama Islam tidak terdapat kesadaran akan metode dan sistem. Bahkan baginya
filsafat Islam hanyalah eklektisisme, yang bergantung kepada hasil-hasil kerja terjemahan
karya Yunani, dan merupakan asimilasi daripada karya asli. Lihat TJ. De Boer, The History of
Philosophy in Islam, (U.K: Curzon Press-Richmond, 1994), 28-29, 309. The emphasize on
translation see, Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western World, (New York:
Fredrick Ungar Publishing Co, 196), 7-8. Senada dengan itu Alfred Gullimaune menyatakan
bahwa framework, skop, dan materi filsafat Arab harus dilacak dari bidang-bidang di mana
filsafat Yunani begitu dominan dalam sistem mereka. Alfred Gullimaune, “Philosophy and
Theology” in The Legacy of Islam, (UK: Oxford University Press, 1948), 239. Demikian pula
De Lacy O’Leary menganggap pemikiran Arab hanyalah transmisi filsafat Yunani dari versi
Hellenisme Syriac kepada Barat Latin. De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its Place in
History, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1963), viii.
25
See “Islamic Philosophy”, Chapter XXXII, in Sarvepalli Radhakrishnan, History of
Philosophy; Eastern and Western, (London: George Allan & Unwin Ltd., 1957), 120-149.
26
Majid Fakhry menekankan pengaruh kebudayaan asing seperti Yunani, India, dan
Persia ke dalam filsafat Islam. Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York:
Columbia University Press, 1983), viii-ix.
27
Watt menggambarkan lahirnya filsafat dan teologi Islam dari dua gelombang
Hellenisme. Gelombang pertama adalah periode penerjemahan karya Yunani dan kedua
adalah munculnya filosof Muslim Neoplatonic Aristotelian, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan
lain-lain. Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburgh: University
of Edinburgh Press, 1985), 33-64; 69-128.
28
Alparslan Acikgence, Islamic Science…, 81.
29
Rosenthal mencatat lebih dari seratus definisi ‘ilm dalam tradisi intelektual Islam,
dan mengategorikannya menjadi dua belas kategori, F. Rosenthal, Knowledge the Triumphant,
52-69.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 15
30
Khalifah bin Khayyat, al-Târîkh, dengan komentar dari Akram Diya’ al-’Umari,
Vol. 1, (Najaf: al-Adab Press, 1967), 321.
31
Lihat Abu Daud al-Sijistani, al-Sunan, Vol. 2, (Egypt: Mus}t}afâ al-Bâbi al-Halabi,
1371), 237; Ibnu Majah, al-Sunan, Jil. 2, Tahkik oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Cairo:
Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953), 70.
32
Mengenai jumlah peserta dalam komunitas ilmuwan dan materi yang dikaji, lihat
Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Asbahani, H}ilyat al-Auliyâ’, Jil. 1, (Mesir: al-Sa’âdah
Press, 1357), 339, 341.
33
Ibid., 1/341.
34
Kesempurnaan konsep-konsep dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak berarti bahwa
di dalamnya terdapat semua konsep secara mendetail. Kesempurnaannya terletak pada sifatnya
yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
35
F. Rosenthal, Knowledge the Triumphant, 52-69.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 17
36
Di Kufah kita mengenal al-Dhahhak bin Muzahim (w. 723) yang mendirikan sekolah
dasar (kuttâb) dan tidak memungut bayaran dari siswa. Pada abad kedua Hijriah kita juga
mendengar seorang Badui di Bashrah yang mendirikan sekolah dengan memungut biaya.
37
Wakil Abdul Malik (695) di Irak.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 19
42
Sa’id bin Ahmad, T}abaqat al-Umam, Edited by L. Cheikho, (Beirut: T.K, 1912),
49-50.
43
George F. Kneller, Science as a Human Endeavor, (New York: Columbia University
Press, 1978), 3-4.
44
William R. Cook dan Ronald B Herzman, The Medieval Worldview, (New York:
Oxford University Press, 1983), 119-120.
45
Demitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, (London: Routledge, 1988), 13.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 21
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 23
yang megah, tapi pada masa penaklukan Ferdinand III tahun 1236
M, diubah menjadi katedral Kristen. Selain itu, menurut Philip K.
Hitti Cordova telah memprakarsai gerakan intelektual yang mem-
buat Spanyol-Islam dari abad ke-9 sampai ke-11 Masehi menjadi
salah satu pusat kebudayaan Islam.47 Di sini bisa dicatat bahwa masjid
yang merupakan tempat ibadah kepada Allah juga menjadi tempat
belajar ilmu pengetahuan yang berdampak positif pada peradaban.
Kemajuan dalam bidang seni, sastra, ilmu agama, sains, filsafat, tata
kota, dan lain-lain tidak dapat dipungkiri lagi. Sekali lagi terbukti di
sini din berkembang menjadi tamadun. Peradaban ilmu inilah yang
telah mempesona orang-orang Kristen di Eropa sehingga mereka
terdorong untuk belajar dan bahkan meniru gaya hidup orang Islam.
Karena jumlah mereka cukup banyak dan membentuk kelas sosial
tersendiri, maka akhirnya orang-orang peniru itu diberi julukan
Mozarab (arabnya Musta’rib), yaitu orang non-Arab yang ke-Arab-
Araban. Begitulah tamaddun Islam tidak melulu kekuasaan yang
hegemonik tapi juga berwajah ilmu pengetahuan dan kemakmuran
rakyat yang terhitung selama 800 tahun (dari 755 M hingga 1492
M). Maka dari itu, ketika orang-orang Kristen mengalahkan dan
mengusir umat Islam dari Granada pada tahun 1492 M, mereka tidak
hanya merebut istana-istana dan masjid-masjid, tapi juga membakar
buku-buku karya umat Islam.
Dengan berakhirnya kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah,
ternyata pada abad ke-13 masih berdiri lagi kekhalifahan yang
kemudian menjadi lebih besar dari pendahulunya, yaitu kekhalifahan
Turki Utsmani. Kekhalifahan ini pada mulanya didirikan oleh bangsa
non-Arab, yaitu bangsa Seljuk pada tahun 1299 M. Namun Turki
resmi menjadi sebuah kekhalifahan setelah peristiwa penaklukan
Konstantinopel (kemudian disebut Istanbul) pada tahun 1453 M.
Seperti halnya penaklukkan di masa kekhalifahan Umayyah,
kedatangan Islam diterima dengan sukarela oleh penganut agama
Kristen, sehingga kini hampir dikatakan tidak tampak dominasi
penganut agama itu di Turki.
Kekhalifahan Turki ini berkuasa hingga 1924 M, dengan luas
kekuasaannya meliputi tiga benua, yaitu Eropa Tenggara, Timur
Tengah, dan Afrika Utara, membentang dari Selat Gibraltar di Barat,
hingga Laut Kaspia dan Teluk Persia di Timur. Dari pinggiran Austria,
47
Philip K. Hitti, History…, 647.
Penutup
Islam adalah agama yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an
dan sunah Nabi SAW yang kemudian berkembang menjadi tradisi
keilmuan yang didukung oleh kekuatan politik. Ini juga merupakan
bukti bahwa perjalanan peradaban Islam selalu berdasarkan pada
dan bermula dari pemahaman dan pengamalan terhadap Islam
sebagai dîn. Artinya, perjalanan komunitas Muslim itu dimotori oleh
pandangan hidup yang berkembang menjadi peradaban ilmu. Dari
48
H. Ýnalcýk, “The rise of the Ottoman Empire” dalam P.M. Holt, A.K.S. Lambstone,
and B. Lewis (eds), The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University
Press, T.Th.), 295-200.
49
Philip K. Hitti, History…, 913.
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 25
50
Demitri Gutas, Greek Thought…, 13.
Daftar Pustaka
Acikgence, Alparslan. 1981. Islamic Science Towards Definition. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Al-Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah. 1357. H}ilyat al-
Auliyâ’, Jil. 1. Mesir: al-Sa’âdah Press.
‘Athiyyah Allah, Ahmad. al-Qâmûs al-Islâmî, Jilid 2. Kairo: Maktabat
al-Nahd}ah al-Mis}riyyah.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. “Islam, Religion, and
Morality”, dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Alparslan Acikgence, 1996. “The Framework for a History of Islamic
Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute
of Islamic Thought and Civilization, Vol. 1. No. 1&2. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Anis, Ibrahim. et.al., 1972. al-Mu‘jam al-Wasît}, Juz 1. Mesir: Majma‘
al-Lughah al-‘Arabiyyah.
Beg, Muhammad Abdul Jabbar. 1983. The Muslim World League
Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 27
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat
Hamid Fahmy Zarkasyi
Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Indonesia
Email: hfzark4@gmail.com
Abstract
In the era when the idea of similarity, equality and pluralism are
disseminated in diversified area, one might face difficulty to distinguish one
civilization from the other. Now capitalism is the most dominant system of
economic in the world and even developed into a civilization that has a
worldveiw. Capitalism also used to be claimed and accepted as universal system
that could be applied to the whole world. In response to this state of mind, it
is imperative that capitalism be studied and identified from its very basic concept,
i.e worldview perspective, and then compared it with Islam. This paper is a
preliminary attempt to identify capitalist worldview and prove that it differs
fundamentally from the worldview of Islam. The capitalist vision on religion,
world, life style, justice, freedom of thought, wealth, economic activities which
are influenced by Western worldview is diametrically different from Islamic
worldview. Based on this study it must be very clear that Muslim intellectual
who intend to borrow certain concept of capitalism for the development of
Islamic economic should realize there are fundamental principles of capitalism
that are irreconciliable with that of Islamic economic.
* Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, telp. (0352)
488220.
worldview, dan kemudian dibandingkan dengan Islam. Makalah ini adalah upaya
awal untuk mengidentifikasi worldview kapitalis dan membuktikan bahwa ia
berbeda secara mendasar dari worldview Islam. Pandangan kapitalis tentang agama,
dunia, gaya hidup, keadilan, kebebasan berpikir, kekayaan, kegiatan ekonomi
yang dipengaruhi oleh worldview Barat berbeda secara diametrik dari worldview
Islam. Berdasarkan kajian ini jelaslah sudah bahwa cendekiawan Muslimyang
berhasrat untuk meminjam konsep tertentu dari kapitalisme bagi pengembangan
ekonomi Islam, perlu menyadari bahwa prinsip-prinsip dasar kapitalism tidak
dapat disatukan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
Pendahuluan
K
ajian tentang Islam dalam konteks ideologi dan peradaban
modern, khususnya Barat memerlukan suatu pendekatan
yang seimbang sehingga memungkinkan adanya suatu
kajian perbandingan. Pendekatan menjadi seimbang jika Islam
diletakkan sebagai ideologi dan peradaban pula dan bukan melulu
sebagai agama dalam arti sempit. Identitas suatu ideologi dan
peradaban dapat ditemukan secara fundamental melalui teori
pandangan hidup (worldview) yang sejatinya merupakan asas dari
setiap peradaban. Islam dan Barat selalu digambarkan sebagai dua
kekuatan yang saling berhadapan dan yang satu menjadi ancaman
bagi yang lain. Ketika Samuel Huntington menyatakan bahwa
konflik paska Perang Dingin bukan lagi ideologis, politik atau
ekonomi, tapi kultural temasuk bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat,
dan yang paling penting adalah agama. Sebenarnya ia berbicara
tentang ancaman terhadap kapitalisme Barat. 1 Sebab identitas
kultural Barat bukanlah agama Katolik atau Protestan, tapi The
Civilization of Capitalism, sedangkan identitas Islam dilihat hanya
sebagai agama, padahal sejatinya ia adalah agama dan peradaban.
Sementara itu, kapitalisme kini tidak hanya diartikan sebagai sistem
ekonomi yang menjunjung kepemilikan pribadi yang tak terbatas,
1
Lihat Samuel P. Huntingto, The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, (New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996), 21; lihat juga Samuel P.
Huntington, “Clash of Civilization?” Foreign Affair 72 (Summer 1993), 22-49.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 17
2
Capitalism is economic system characterized by the following: private property
ownership exists; individuals and companies are allowed to compete for their own economic
gain; and free market forces determine the prices of goods and services. Such a system is
based on the premise of separating the state and business activities. Capitalists believe that
markets are efficient and should thus function without interference, and the role of the state
is to regulate and protect. http://www.investorwords.com/713/capitalism.html, dirujuk pada
tanggal 10 April 2007
Pengertian Worldview
Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada
pengertian ideologis, sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat
doktrin-doktrin teologis dalam kaitannya dengan visi keduniaan.
Artinya worldview dipakai untuk menggambarkan dan membeda-
kan hakikat sesuatu agama, peradaban, atau kepercayaan. Terkadang
ia juga digunakan sebagai metode pendekatan ilmu perbandingan
agama. Namun karena terdapat agama dan peradaban yang memiliki
spektrum pandangan yang lebih luas dari sekadar visi keduniaan,
maka makna pandangan hidup diperluas. Tapi kosa kata bahasa
Inggris tidak memiliki istilah yang tepat untuk mengekspresikan
visi yang lebih luas dari sekadar realitas keduniaan selain dari kata-
kata worldview. Oleh sebab itu cendekiawan Muslim mengambil
kata-kata worldview (untuk ekspresi bahasa Inggris) untuk makna
pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau realitas keduniaan
dan keakhiratan dengan menambah kata sifat “Islam”. Namun
dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan
istilah yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat
digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara
umum tanpa melihat bangsa atau agama, maka beberapa definisi
tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya
spektrumnya dapat dikemukanan di sini. Menurut Ninian Smart,
misalnya, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang
terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi
keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. 4 Hampir serupa
dengan Smart, Thomas F. Wall mengemukakan bahwa worldview
adalah sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakikat diri
kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of
basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of
existence).5 Lebih luas dari kedua definisi di atas Prof.Alparslan
3
Lihat Joseph A Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democarcy, (New York dan
London: Harper & Brothers Publishers, 1942), 121.
4
Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus untuk
menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart,
Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s sons,
n.d.), 1-2.
5
Thomas F. Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern
Introduction, Wadsworth, (Australia: Thomson Learning, 2001), 532.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 19
6
Asli Inggrisnya the foundation of all human conduct, including scientific and
technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such
it is reducible to that worldview. Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of
Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought
and Civlization, vol.1. Nos. 1&2, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 6.
7
Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea
dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia” Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2, (Chicago:
Univerity of Chicago Press, 1970), 24.
8
Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (California:
Wardsworth, 1997), 340, 355, 368, 370.
9
Abu al-A’la Mawdûdî, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967), 14, 41.
10
Shaykh thif al-Zayn, al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr al- Kitâb al-
Lubnânî, 1989), 13.
11
M. Sayyid Qutb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Shurûq, tt),
41
12
S.M.N. al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the
Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 2.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 21
Elemen Worldview
Sebagai sebuah sistem yang secara definitif begitu jelas,
worldview atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri
yang ditentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang
penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan
hidup lain berbeda karena berbeda elemennya atau karakteristiknya.
Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mem-
pengaruhi penentuan elemen di dalamnya. Di sini akan dibanding-
kan secara singkat antara elemen pandangan hidup dalam perspektif
pemikir Barat dan pemikiran Muslim. Menurut Thomas suatu pan-
dangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam
bidang pembahasan yaitu: 1) Tuhan, 2) Ilmu, 3) Realitas, 4) Diri, 5)
Etika, dan 6) Masyarakat.13 Seperti disebutkan di atas bagi Thomas
elemen-elemen pandangan hidup di atas merupakan suatu sistem
yang integral, di mana antara satu konsep berkaitan dengan konsep
yang lain secara sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan
Thomas berikut ini:
It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element
in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely
13
Thomas F. Wall, Thinking…, 16
to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are consistent, we
will also believe that the source of moral value is not just human convention but
divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe
that knowledge can be of more than what is observable and that that there is a
higher reality – the supernatural world. … if on the other hand, we believe that
there is no God and that there is just this one world, what would we then be
likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life,
the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.14
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 23
16
Shaykh thif al-Zayn, al-Islâm.., 11-12
17
M. Sayyid Qutb, al-Tashawwur al-Islâmî wa Muqawamâtuhû, (Cairo: al-Babi al-
Halabi, 1962), 45;Lihat juga, 30-34
18
S.M.N. al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam
Sharifah Shifa al-Attas (ed.), Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural
Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context,
Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 29.
19
S.M.N. al-Attas, Prolegomena…, ix.
20
Penjelasan al-Attas tentang konsep worldview Islam dan penjabaran elemen-
elemen asasnya terdapat dalam karyanya Prolegomena to The Metaphysics of Islam. Pendahuluan
buku ini menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan hidup Islam yang berbeda dari pandangan
hidup Barat. Teori ini kemudian mendapat penjelasan lebih detail dalam kaitannya dengan
timbulnya sains dan tradisi intelelktual Islam, dari Professor Alparslan. Professor Alparslan
yang telah lama mengkaji teori worldview dalam kaitannya dengan sains dan sistem pemikiran,
kemudian menulis risalah berjudul Islamic Science Towards definition. Untuk proses perjalanan
pengkajiannya itu lihat “acknowledgement” halaman. v. al-Attas, SMN, Prolegomena…, lihat
“Introduction” 1-37. Cf. Al-Attas, S.M.N., “Opening Address, The Worldview of Islam, an
Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and
Contemporary Contexts, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 28-29.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 25
21
S.M.N. Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000),
164-165.
22
Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western Word, (New York: Fredrick
Ungar Publishing Co., 1964), 83.
23
Alain Touraine, Critique of Modernity, (UK: Blackwell, Oxford, 1995), 9-10.
24
JW. Schoorl, Modernization, terjemahan bahasa Indonesia oleh RG.Soekadijo,
Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Berkembang, (Jakarta: Gramedia,
1981), 4.
25
Menurut Huston Smith pendekatan yang bersifat teistik para pemikir Barat, yang
ditandai oleh pemikiran yang memposisikan konsep Tuhan secara sentral dalam berbagai
diskursus hanya berjalan hingga abad ke sebelas. Lihat Huston Smith, Beyond The Post-
Modern Mind, (Wheaton, Illinois, USA: Quest Book, The Theosophical Publishing House,
1989), 5.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 27
26
David Harvey, The Condition of Postmodernity, (Cambridge: Blackwell, 1991), 12-
13.
27
James E.Crimmins (ed.), Religions, Secularizatin dan Political Thought, (London:
Routledge, 1990), 7.
28
Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind, Trans. by Judith Friedlander, (New
York: Columbia University Press, 1995), 18.
29
Ibid, 19.
Worldview Kapitalisme
Makna kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berorientasi
pada cara-cara produksi secara individu atau dimiliki oleh individu,
di mana distribusi, penentuan harga dan jasa-jasa pelayaan di
dalamnya ditentukan oleh pasar bebas. Pengertian individu di sini
dapat juga diartikan sebagai individu secara kolektif dalam bentuk
perusahaan (corporate ownership) dan bukan milik masyarakat atau
milik negara.30 Oleh sebab itu, kapitalisme juga disebut dengan sistem
ekonomi dengan pendekatan pasar bebas (free market). Para
pendukung sistem ini percaya bahwa pasar adalah efisien dan harus
berfungsi secara bebas tanpa campur tangan pihak manapun, tugas
negara hanya mengatur dan memproteksi.31 Jika kapitalisme mene-
kankan pasar bebas dan kompetisi, maka sosialisme berdasarkan
pada kerjasama (koperasi) yang menekankan pada perencanaan dan
distribusi yang disentralisir.32
Kapitalisme adalah sistem ekonomi produk dari kebudayaan
Barat modern. Ia dianggap juga sebagai sistem sosial (social system)
yang pertama dan terpenting di Barat yang berkembang menjadi
30
John Schrems, Understanding Principles of Politics and the State, (PageFree Publishing,
2004), 234.
31
http://www.investorwords.com/713/capitalism.html
32
http://www.investorwords.com/4613/socialism.html
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 29
33
Immanuel Wallestein, Historical Capitalism with Capitalist Civilization, (London-
New York: Verso, 1996), 13; Schumpeter menggunakan istilah “Civilization of Capitalisme”
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, 121.
34
Gordon Marshal, In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s
Protesteant Ethic, (New York: Columbia University Press, 1982), 97.
35
Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Trans. by Talcott
Parsons, Anthony Giddens, (London-Boston: Unwin Hyman, 1930). lihat Bab II.
36
Ibid., 48-55.
37
Raplh Kercham, “Benyamin Franklin”, The Encyclopedia Americana, International
Edition (New York: Americana Corporation, 1974), vol. 12, hal. 8-12.; lihat juga Kurt
Samuelson, Religion and Economic Actioin: A Critique of Max Weber, (New York: Harper
Torch Books And Row Publication, 19640), 55-56.
38
Weber, The Protestant Ethic…, hal. 57
39
Ibid., 40-41.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 31
40
The New Encyclopedia Britanica, vol. 2, Encyclopedia Britanica inc, The University
of Chicago, 1991, 831.
41
http://cepa.newschool.edu/het/profiles/weber.htm dilihat pada tanggal 15 April
2007
42
Weber, The Protestant…, bab II.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 33
43
Joseph A. Schumpeter, Capitalism…, 121-124.
44
Immanuel Wallerstein, Historical Capitalism…, 81.
45
Gibson-Graham J.K., The End of Capitalism (as we knew it), (Feminist Critique of
Political Economy, Blackwell Publisher, 1996), 125.
46
Joseph A. Schumpeter, Capitalism…, 109.
47
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
48
http://www.newyorker.com/critics/books/?040517crbo_books
49
Thomas F Wall, Thinking…, 16
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 35
asumsi utopis bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas nilai, rasional,
analitis dan teknis. Sistem ekonomi kapitalisme berpegang pada teori
bahwa perkembangan ekonomi ditentukan oleh pasar yang dalam
buku-buku ekonomi disebut kompetisi sempurna, atau dalam istilah
Adam Smith dinamakan the invisible hand.
Pandangan hidup Islam tidak berangkat dari pemikiran
tentang kehidupan dunia tapi kehidupan dunia dan akhirat sekaligus.
Oleh sebab itu, konsep-konsep tentang kehidupan dunia selalu
terkait erat dengan konsep kehidupunan akherat. Maka dari itu,
jika kapitalisme memisahkan moralitas dari teologi, maka Islam
tidak. Islam tidak menafikan perlunya rasionalitas untuk menyelesai-
kan masalah kehidupan dunia, tapi konsep rasional dalam Islam
tidak hanya terbatas pada logika matematis, ia melibatkan pula
dimensi spiritual metafisis.
Secara keseluruhan Islam berbeda dari pandangan hidup Barat
Kapitalis. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and
the Last Man mengakui bahwa kini dunia Barat Posmodern dengan
prinsip ‘free market” kapitalisme dan “liberalisme” merupakan babak
akhir dari sejarah manusia (the end of History). Artinya paham liberal-
isme adalah alternatif terakhir bagi umat manusia, faham apapun
yang tidak dapat mengakomodir ciri-ciri ini akan tersingkir dari
proses evolusi menuju kesempurnaan sejarah atau tertinggal jauh
di belakang. Namun ia mengakui pula bahwa Islam memiliki nilai
moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri.
Ia bahkan meletakkan Islam sejajar dengan ideologi Liberalisme,
Kapitalisme, Komunisme, dan sebagainya. Cara pandang Fukuyama
ini membuktikan bahwa Islam, liberalisme, kapitalisme, dan komu-
nisme adalah sederet worldview yang secara konseptual tidak
mungkin ada konvergensi konseptual.
Di dalam bukunya itu, Fukuyama juga menyatakan bahwa
dalam politik Islam pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal
dan praktek-praktek liberal. Tapi kini menurutnya kekuatan Islam
tidak demikian bahkan kondisi Islam kini menjadi terbalik. Maka
dari itu dia menyimpulkan:
Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nam-
pak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya,
sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau
banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya
Penutup
Kajian tentang kapitalisme sebagai sistem ekonomi telah
banyak dilakukan orang, namun kajian tentang kapitalisme sebagai
kebudayaan dan pandangan hidup memerlukan pembahasan yang
lebih komprehensif dan lebih mendetail. Jika konsep sentral world-
view Islam adalah Tuhan, maka konsep utama worldview kapitalis
adalah kekayaan dan kemakmuran hidup di dunia. Konsep utama
ini pada gilirannya akan mempengaruhi konsep-konsep yang lain.
Meskipun konsep-konsep lain yang akan dikembangkan itu relatif
sama seperti harta, kebahagiaan, kenikmatan, keadilan, distribusi,
konsumsi, monopoli dan lain sebagainya, namun perbedaan konsep
sentral itu akan membedakan konsep turunannya yang dikembang-
kan kemudian. Oleh sebab itu dengan berkaca kepada kapitalisme
sebagai sistem eknomi yang memiliki worldview tersendiri dengan
konsep-konsep sentralnya sendiri, maka ekonomi Islam secara
50
Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas
in the long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful
Muslim adherent over the past century and a half. Part of the the reason for current,
fundamentalist revival is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to
traditional Islamic societies. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New
York: Avon Book, 1992), 45-46.
Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 37
Daftar Pustaka
Acikgence, Alparslan. “The Framework for A history of Islamic
Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute
of Islamic Thought and Civlization, vol.1. Nos. 1&2, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1996), 6.
al-Attas, S.M.N. “Opening Address, The Worldview of Islam, an
Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of
Modernity, Historical and Contemporary Contexts, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1996).
_______. Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of
the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995).
_______. Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000).
al-Zayn, Sheykh thif. al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr
al- Kitâb al-Lubnânî, 1989).
Crimmins, James E. (ed.). Religions, Secularizatin dan Political
Thought, (London: Routledge, 1990).
Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives,
(California: Wardsworth, 199).
Finkielkraut, Alain. The Defeat of The Mind, Trans. by Judith
Friedlander, (New York: Columbia University Press, 1995).
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man, (New York:
Avon Book, 1992).
Harvey, David. The Condition of Postmodernity, (Cambridge: Blackwell, 1991).
Huntington, Samuel P. “Clash of Civilization?” Foreign Affair 72
(Summer 1993).
________. If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/
Samuel-p-huntington/index.html
________. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order,
(New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996).
J.K. Graham Gibson, The End of Capitalism (as we knew it), (Feminist
Critique of Political Economy, Blackwell Publisher, 1996).
Kercham, Raplh. “Benyamin Franklin”, The Encyclopedia Americana,
International Edition, Vol. 12, (New York: Americana Corpo-
ration, 1974).
Kuhn, Thomas S. “The Structure of Scientific Revolution”, Inter-
national Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2, (Chicago:
Univerity of Chicago Press, 1970).
Marshal, Gordon. In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on
Max Weber’s Protesteant Ethic, (New York: Columbia University
Press, 1982).
Mawdûdî, Abu al-A’la. The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967).
Myers, Eugene A. Arabic Thought and The Western Word, (New York:
Fredrick Ungar Publishing Co., 1964).
Qutb, M. Sayyid. al-Tas}awwur al-Islâmî wa Muqawamâtuhû, (Cairo:
al-Babi al-Halabi, 1962).
Samuelson, Kurt. Religion and Economic Actioin: A Critique of Max Weber,
(New York: Harper Torch Books And Row Publication, 19640).
Schrems, John. Understanding Principles of Politics and the State,
(PageFree Publishing, 2004).
Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism and Democarcy, (New
York dan London: Harper & Brothers Publishers, 1942).
Smart, Ninian. Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief,
(New York: Charles Sribner’s sons, n.d).
Smith, Huston. Beyond The Post-Modern Mind, (Wheaton, Illinois,
USA: Quest Book, The Theosophical Publishing House, 1989).
The New Encyclopedia Britanica, Vol. 2, Encyclopedia Britanica inc,
(US: The University of Chicago, 1991)
Wall, Thomas F. Thinking Critically About Philosophical Problem, A
Modern Introduction, (Australia: Thomson Learning, 2001).
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme
dan Framework Studi al-Qur’an
Hamid Fahmy Zarkasyi
Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo
Email: hfzark@yahoo.co.uk
Abstract
Orientalism is a field of study that deals with Eastern and Islamic studies
as it object of study. Being a discipline of knowledge it must have specific
theory and methodology or framework of study. However, since it emerged
in Western intellectual tradition, it is permeated by Western worldview. In other
words, being a science orientalism is value laden. This paper tries to prove the
correlation between the traditions of orientalism, where religious, cultural and
political melieu permeated their framework, with the study of the Qur’an. The
finding suggests that the framework of orientalis in their study of the Qur’an
could be resumed into four: trying to employ previous sacred text as their
standard of Qur’anic studies, preferring the textual studies rather than narration,
questioning the process of compilation, examining the content of the Qur’an
using their own logic and experience, and finally employing the Biblical
methodology. Those frameworks inevitably has resulted incongruencies that
could lead one to be misunderstanding the Qur’an
* Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Telp. (0352)
488220.
Pendahuluan
O
rientalisme adalah tradisi kajian ketimuran dan keislaman di
dunia Barat yang telah berumur berabad-abad, karena itu maka
semangat dan kualitas kajian dapat dikatakan ilmiah. Namun,
karena subyek kajian ini umumnya adalah manusia Barat maka bias
ideologis, kultural dan religius tidak dapat dihindari.1 Akibat dari
bias-bias tersebut orientalisme menghasilkan frameworknya sendiri
dalam mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman.
Framework ini bagi cendekiawan Muslim yang tidak kritis akan
nampak objektif dan bahkan baru sehingga diadopsi. Salah satu
bidang kajian keislaman yang menunjukkan frameworknya yang
khas orientalis adalah bidang kajian al-Qur’an.2 Makalah ini mencoba
menemukan benang merah antara nilai-nilai dan metodologi yang
menjadi latar belakang bidang studi orientalis dengan metodologi
atau framework kajian al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan itu, maka
framework orientalis yang mencoba menjadikan kitab-kitab
terdahulu sebagai standar kajian al-Qur’an, mengutamakan rasm
(teks dari riwayah), mempermasalahkan proses pembentukan
mushaf, mempersoalkan kandungan al-Qur’an dan penggunaan
metodologi Bible merupakan topik-topik yang akan menjadi kajian
makalah ini. Namun agar kajian ini lebih komprehensif, framework
kajian al-Qur’an orientalis perlu dicari benang merahnya dengan
worldview orientalis. Maka dari itu akan dipaparkan terlebih dahulu
1
Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage Books, 1979), h. 204.
2
Kajian lebih detail mengenai pemikiran kelima tokoh orientalis tentang al-Qur’an
lihat Muhammad Mohar Ali, The Qur’an and the Orientalists: An Examination of their Main
Theories and Assumption,s Jam’iyat Ihyaa’ Minhaaj al-Sunnah (JIMAS) 2004.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 3
Tradisi Orientalisme
Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) diberi nama
orientalisme baru abad ke 18, meskipun aktivitas kajian bahasa dan
sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.3
Namun istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah
orientalisme. A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan
istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang
anggota gereja Timur (Yunani). Menurutnya orientalis adalah “orang
yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.”
Adapun definisi dan skop kajian orientalisme yang merujuk
akar kata orient (timur) yang merupakan lawan kata occident (barat)
adalah scholarship or learning in oriental subject.4 Dalam kaitannya
dengan agama-agama pengertian ini dapat dipersempit menjadi
kegiatan penyelidikan para ahli ketimuran di Barat tentang agama-
agama di Timur. Namun secara luas berarti kegiatan kajian tentang
hal-hal yang menyangkut bangsa-bangsa di dunia Timur beserta
lingkungannya sehingga meliputi berbagai bidang kehidupan. Hal
ini menyangkut bidang sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan,
istiadat, politik, ekonomi dan sebagainya. Secara disipliner Edward
Sa‘id mendifinisikan orientalisme sebagai:
…..bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada
[pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang
dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.”5
3
The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, h.200
4
Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow, Longman, 1984),
h. 1035
5
Edward Said, Orientalism…, h. 92
6
Ibid., h. 204.
7
Thomas Wright, Early Christianity in Arabia, A Historical Essay (New
Jersey:Theological Seminary Princeton, tt.), h. 92
8
W.C.Smith, Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996), h. 166.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 5
9
R.W. Southern Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition, (Harvard:
Harvard University Press, 1978), h. 91-92, 108-109.
10
Norman Daniel, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston: Oneworld
Publication, 2000), h. 246-296.
11
Lihat W.Cantwell Smith On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981),
h. 296
12
Sir Hamilton Gibb, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard: Harvard
Theological Review, 55, 1962), h. 269.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 7
Objektivitas Orientalis
Jadi demikianlah, mulanya para orientalis itu hanyalah sebuah
circle yang memiliki semangat anti-Islam, dalam perkembangannya
nuansa anti-Islamnya lalu dikurangi dan diganti dengan pendekatan
yang menggunakan logika, pengetahuan dan argumentasi. Meski-
pun demikian tujuan orientalisme adalah tetap sama. Contoh yang
jelas adalah jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Samuel
Zwemmer tahun 1920. Pada mulanya jurnal ini terang-terangan
diperuntukkan bagi media informasi bagi para missionaris tentang
Islam dan dunia Islam. Ini sesuai dengan motto mereka yang terkenal
yaitu know your enemy, (ketahuilah musuhmu). Tapi kemudian jurnal
itu menjadi media kajian Islam yang serius dan ilmiah. Oleh sebab
itu orientalisme dikenal sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang
Islam yang menggunakan jubah intelektualisme dan dedikasi
akademik.13 Mereka bahkan dianggap memiliki disiplin dan sikap
ilmiah yang ‘khas’, yang membentuk sebuah framework pengkajian.
Namun meski bersifat ilmiah dan terkesan objektif, framework
kajian orientalis tidak lepas dari warna dan latar belakang agama,
politik, worldview dan nilai-nilai peradaban Barat. Bagi yang berfikir
kritis perubahan sikap orientalis ini akan mendapati bahwa kajian
para orientalis itu berpijak pada subyektifitas mereka sebagai orang
Barat. Kajian Edward Said melahirkan kesimpulan bahwa apa saja
yang dikatakan oleh orang Eropah tentang Timur tetap saja rasial,
imperialis dan etnocentris.14 Subyektivitas itu digambarkan dengan
sangat jelas sekali oleh Anwar al-Jundi dalam bukunya al-Fikr al-
‘Arabi al-Mu‘a>s}ir fi> Ma’rakat al-Taghri>b.15 Menurutnya para orientalis
itu pertama-tama menentukan tujuan dan proposisi. Kemudian
untuk membuktikan proposisi mereka, mereka mengumpulkan
berbagai macam data, seperti teks-teks keagamaan, cerita-cerita fiksi,
syair-syair, kisah-kisah, dan lain-lain yang otentik ataupun yang tidak
dan kemudian menafsirkan sesuai dengan tujuan dan proposisi
mereka itu. Data yang tidak sesuai dengan tujuan mereka dibuang.
Proposisi digunakan untuk membuat teori-teori “baru”, tanpa mem-
perdulikan apakah teori-teori mereka itu sesuai dengan fondasi
13
Lihat Dr. Afaf, al-Mushtashriku>n wa Mushkilat al-H}ad}a>rah, (Cairo: Dar al-NahÌah
al-‘Arabiyyah, 1980), h. 33-34
14
Edward Said, Orientalisme…, h. 204
15
Anwar al-Jundi, al-RisÉlah, (Cairo, tt.), h. 133-137
ajaran Islam atau tidak. Kajian al-Jundi hanyalah salah satu dari
sekian framework kajian orientalis. Berbeda bidang kajian berbeda
pula frameworknya, dan berbeda periode berbeda pula tehnik dan
metode kajiannya.
A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, me-
nyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal
terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam,
tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif
missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan objektif.
Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengung-
kapan hal-hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan
fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen.
Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang
kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Ini jelas sekali ketika
diketahui bahwa para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong
dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam itu direformasi.16
Sebagai contoh dapat dilihat dari pendapat Montgomery Watt.
Watt menyatakan bahwa “rekonstruksi intelektual pandangan hidup
Islam secara mendasar adalah penting jika bertujuan untuk meng-
hilangkan elemen-elemen yang salah dan keliru, dan untuk mem-
berikan gambaran yang lebih tepat tentang kedudukan Islam dalam
dunia kontemporer.”17 Dia memberikan beberapa contoh tentang
“apa yang dianggap kesalahan yang serius menurut kritik sejarah
Barat,” seperti kisah Maryam yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang
oleh Watt dianggap salah karena Al-Qur’an tidak membedakan antara
Miriam saudara Harun (Maryam [19]: 28) dan Meri, ibunda Nabi
Isa a.s. Kesalahan lain yang lebih serius tentang informasi sejarah,
menurut Watt, adalah penolakan Al-Qur’an terhadap cerita yang
mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. disiksa dan mati di tiang salib (an-
Nisa’ [4]: 157), sedangkan menurut mereka “penyiksaan yang mem-
bawa kematian Nabi Isa a.s. adalah satu diantara bukti sejarah masa
silam yang paling pasti.”18 Selain itu Watt ternyata meragukan oten-
tisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa
bagian al-Qur’an dan Hadits itu dibuat-buat dan tidak konsisten,
16
A.L. Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam
The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, h. 41.
17
William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and
New York: Routledge, 1988), h. 88.
18
Ibid., h. 83, 88.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 9
dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam.
Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an.19
Kajian orientalis tentang Islam dan sejarahnya nampak sangat
canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam,
alias bukan pakar tidak mudah mengetahui implikasi-implikasi
negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi,
penentuan sumber data yang selektif demi tujuan dan kepentingan
tertentu. Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam
The World, The Text and the Critic,20 yakin bahwa Orientalis dan Barat
adalah diskrimatif. Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat
kental. Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk
kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan
bahkan biologi hingga abad ke 19.
Selain dari itu, pandangan dan kritik orientalis berdasarkan
kajian mereka yang sangat spesifik. Artinya jika mereka mengkaji
suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain.
Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan
dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan
dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir,
bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan
metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik
Barat sekuler dst. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam
Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam,
tapi Barat.
Jadi, kajian orientalis yang dianggap objektif dan ilmiah itu
sangat mungkin untuk terjerumus dalam kesalahan. Cara pandang
mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih
tidak bisa lepas bebas dari pengaruh orientalis periode awal yang
diwarnai permusuhan dan oleh pengalaman manusia Barat. Artinya
orientalisme sebagai ilmu itu tidak bebas nilai.
21
Arthur Jeffery, “Progress in the Study of the Qur’an Text”, Muslim World, 1935, h.
4-16.
22
Richard Bell & W.M.Watt, Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1970)
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 11
26
Karl Heinz Ohlig et.al, “Neue Wege der Koranforschung” seperti dikutip oleh
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, h.11
27
Lihat “The Koran”, Encyclopedia Britannica, ed. ke 9, 1891, jld. 16, hlm. 597ff.
Dicetak kembali dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s
Holy Book, (NY: Prometheus Books, Amherst, 1998), h. 36-63.
28
T. Noldeke, “The Koran”, dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, h. 43.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 13
29
Qur’an 19: 28
30
Lihat komentar Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, mengenai ayat 3: 35 dan 19: 28.
31
Seperti dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2005), h. 139.
32
Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of Mohammad,
(London: Allen and Unwin, 1985), h. 45
33
Muhammad Hamidullah, Introduction to Islam, (London: MWH Publishers, 1979), 17
34
Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic Poetry, (Ohio: Ohio State
Press, 1978), p.14.
35
Menurut Jeffery, “Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Al-
Qur’an yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi
Muhammad “, maksudnya dalam hal susunan surah dan ayat-ayatnya.
36
Lihat John Wnasbrough, Qur’anic Studies, Sources and Methods of Scriptural
Interpretation, (Oxfrod: Oxford University Press, 1977).
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 15
37
Lihat Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old
Codices, (Leiden, E.J.Brill, 1937).
38
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intellektual, (Jakarta: Gema Insani Press,
2008), h. 10
39
MM. Al-Az}ami>, “The History of the Qur’anic Text, comparative Study with the
Old and New Testaments, From Revelation to Compilation”, di Indonesiakan oleh Sohirin
Solihin dkk, Sejarah Teks al-Qur’an, dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani
Press, International Islamic University, 2005), h. 224
40
W. M.Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1970), h. 2-3.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 17
tentang asal usul Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadits, sunnah nabi,
tafsir dan sejarah adalah produk dari aktifitas kesusasteraan yang
harus dianalisa sebagai sastra dengan menggunakan juga metode
kritik sastra (literary-critical methods). Sebab, alasannya, kesimpulan
terbaik dari fakta-fakta sejarah itu adalah analisis kesusasteraan41 dan
itu ia ambil dari kajian bible (biblical studies). Metode kritik kesusas-
teraan ini pada akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa keper-
cayaan tradisional Muslim tentang al-Qur’an yang diwahyukan
melalui Nabi Muhammad dan teks resminya itu merupakan koleksi
dan perbaikan redaksi tidak lama dari meninggalnya Nabi adalah
tidak benar. Kepercayaan ini menurut Wansbrough hanyalah fiksi,
yang nampaknya mengikuti model kitab suci Yahudi.
Dalam dua bukunya Qur’anic Studies: Sources and Method of
Scriptural Interpretation42 Wansbrough menggambarkan perlunya
kajian kritis terhadap kualitas sumber informasi dari perspektif
kesusateraan agar terhindar dari pengaruh pendekatan teologis.
Oleh sebab itu pertanyaan pertama yang diajukannya dan tidak
pernah dipersoalkan orang dalam studi Islam adalah “apa buktinya?”
Dan ketika arah pertanyaan Wansbrough ditujukan ke al-Qur’an
maka pertanyaan menjadi:”Bukti apakah yang ada untuk mem-
buktikan akurasi sejarah dari penjelasan Muslim tradisional tentang
“kompilasi” al-Qur’an sesudah wafatnya Nabi Muhammad?”
Pertanyaan curiga ini dijadikan landasan untuk mengkaji teks
al-Qur’an dengan dalih bahwa seluruh dokumentasi kitab harus
dilihat dari analisas kesusasteraan yang disebut dengan teori
“salvation history”. Model analisa ini dikembangkan dengan serius
oleh Bultmann dan Neusner dalam kajian Bible.43 Teorinya bermula
dari proposisi bahwa meskipun dokumentasi tentang “salvation
41
J.Wansbrough, The sectarian milieu: Content and composition of Islamic salvation
history (Oxford: Oxford University Press, 1978), h. ix, 118–19.
42
John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation,
(Oxford: Oxford University Press, 1977)
43
Teorinya dapat dibaca dari Rudolf Bultmann, The History of the Synopic Tradition,
trans. John Marsh, 2nd ed., Oxford: Blackwell, 1968; sedangkan Neusner menulis dalam
bentuk makalah-makalah seperti misalnya “The Study of Religion as the Study of Tradition
in Judaism” dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious Studies, (Chicago,
California: New Horizon Press, 1975), h. 31-48. Salvation history bukan penjelasan sejarah
yang dapat dikaji oleh sejarawan, tapi merupakan kesusasteraan yang memiliki konteks
sejarahnya sendiri. Sebab sejarah keselamatan ini menurut Bultmann diterima dari generasi
ke generasi dalam bentuk sastra dan harus didekati dengan cara yang sesuai yaitu analisas
kesusasteraan.
44
Lihat Andrew Rippin, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The
Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (Ed) Approach to Islam In
Religious Studies, (Oxford: Oneworld, 2003), h. 151-163.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 19
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 21
45
J. Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1964), lihat
kandungan isi.
46
M.M al-A’zami, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation,
terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya,
Gema Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia, (Jakarta: 2005), h. 337-343;
lihat juga J. Wansbrough, Quranic Studies, lihat Daftar Isi.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 23
52
Arthur Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what
was and what was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its
own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid
for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’a>n as Scripture,” The Moslem
World 40 (1950), h. 43.
53
Arthur Jeffery, The Qur’a>n as Scripture (New York: Russell F. Moore Company,
1952), h. 94-95.
54
Menurut Westcott dan Hort, teks Alexandria dalam tahap tertentu terjaga di dalam
kodeks Ephraemi (C), kodeks Regius (L), kodeks 33, dan versi-versi Koprik (Khususnya
Bohairik), sebagaimana juga kutipan-kutipan dari Gerejawan Alexandria, Klement, Origen,
Dionysius, Didymus dan Cyril. Dikutip dari Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament,
h. 133.
55
Dalam pandangan Westcott dan Hort, teks Netral adalah teks yang paling bebas
dari kerusakan dan percampuran dan yang paling dekat dengan teks otograf. Kodeks Vaticanus
(B) dan kodeks Sinaiticus (à) yang paling mewakili teks Netral. Lihat lebih lanjut Bruce M.
Metzger, The Text of the New Testament, h. 133.
56
Teks Barat terjaga di dalam manuskrip-manuskrip inci tertentu yang dalam dua
bahasa (certain bilingual uncial manuscripts), utamanya kodeks Bezae tentang Bibel dan
Perbuatan-Perbuatan (D) dan kodeks Claromontanus tentang Surat-Surat (Dp) dalam versi
Latin Kuno (s) dan dalam manuskrip-manuskrip Kuretonia (Curetonian) yang berbahasa
Syiriak Kuno. Lihat penjelasan lebih lanjut di Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament,
132; 213-14.
57
Mungkin teks Kaesarea berasal dari Mesir dan dibawa oleh Origen ke Kaesarea,
dan dari situ dibawa ke Israil. Karakteristik khusus dari teks Kaesarea adalah percampuran
antara bacaan Barat (Western readings) dan Alexandria (Alexandria readings). Lihat Bruce M.
Metzger, The Text of the New Testament, 214-15.
58
Arthur Jeffery menulis: “What we needed, however, was a critical commentary which
should embody the work done by modern Orientalists as well as apply the methods of modern
critical research to the elucidation of the Koran. Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the
Qur’Én Text, The Moslem World 25 (1935), h. 4.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 25
59
John Wansbrough, Quranic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation
(Oxford: Oxford University Press, 1970), h. ix
60
Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syro-
aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye:
Journal of Syiriac Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6NO1/
HV6N1PRPhenixhorn.html
Penutup
Dari uraian diatas jelaslah bahwa pemahaman orientalis
terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu yang penuh
dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap
sejarah al-Qur ’an, proses kompilasinya, status ontologisnya,
kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan
ilmu pengetahuan Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan
tradisi agama Kristen dan Yahudi. Karena pendekatan ini berbeda
dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka
hasilnya pun akan berbeda. Ketika mereka menerapkan metodologi
Bibel, teks al-Qur’an dianggap sama dengan teks Bibel, padahal
keduanya berbeda secara historis maupun secara tekstualnya. Kajian
terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedang-
kan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan, sehingga
hal-hal yang bersifat doktriner ditinggalkan. Kajian yang hanya
mengandalkan akal hanya akan menimbulkan keraguan ketika
menemui masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal.
Satu hal yang perlu diakui adalah bahwa setiap teks memiliki
latar belakang sejarahnya sendiri sendiri. Oleh sebab itu, menerapkan
metodologi suatu teks, seperti Bible kedalam kajian teks yang lain,
khususnya al-Qur’an tidaklah tepat. Metodologi yang tidak sesuai
untuk mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru
bertentangan dengan esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya al-
Qur’an telah memiliki metodologi tersendiri. Metodologi kajian al-
Qur’an yang diwarisi dari para ulama itu adalah ‘ulum al-Qur’an.
Meskipun ada beberapa persamaan antara ‘ulum al-Qur’an dan
biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan yang mendasar
terutamanya status teks itu sendiri.
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 27
Daftar Pustaka
Afaf, al-Musytasyriqu> n wa Musykila> t al-H} ad} a > r ah, (Cairo: Dar al-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1980)
al-A’zami, M.M, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to
Compilation, terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks Al-
Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, (Jakarta: Gema
Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia,
2005).
Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of
Mohammad, (London: Allen and Unwin, 1985).
Ali, Muhammad Mohar, The Qur’an and the Orientalists: An
Examination of their Main Theories and Assumption,s Jam’iyat
Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 29
______, Progress in the Study of the Qur’a>n Text, The Moslem World
25 (1935).
______, The Qur’a> n as Scripture (New York: Russell F. Moore
Company, 1952).
Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, Longman
London and New York, 1983.
Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow,
Longman, 1984)
Metzger, Bruce M., The Text of the New Testament, 133.
Mingana, Alphonse, “Syiriac Influence on the Style of the Qur’a>n,”
Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927.
Neusner “The Study of Religion as the Study of Tradition in Judaism”
dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious
Studies, (Chicago, California: New Horizon Press, 1975).
Phenix Jr., Robert R. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg
(ps.) “Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur
Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac
Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/
Vol6NO1/HV6N1PRPhenixhorn.html
Rippin, Andrew, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The
Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin
(Ed) Approach to Islam In Religious Studies, (Oxford: Oneworld,
2003).
______, Introduction The Quran: Style and Contents, editor Andrew
Rippin (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001).
Said, Edward, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979)
______, The World, the Text, and the Critic, (Cambridge: Harvard
University Press, 1984).
Schacht, J., An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ.
Press, 1964).
Sell, Canon, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation,
1985; pertama kali terbit tahun 1928)
Smith, W.C., Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996).
______, On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981).
Southern, R.W.: Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition,
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam:
Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis
Hamid Fahmy Zarkasyi
Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Ponorogo
email: hfzark@yahoo.co.uk
Abstract
Factually, liberalism in social sciences and politics in Western Civilization
has marginalized religion or separated religion from social lives and politics
step by step. When liberalism became parts of religious thought of Christianity,
Catholic and Protestant, it had subordinated the church under the political interest
and humanism, and reduced its theological role in almost all aspects of social
lives. Therefore, in liberalism of religious thought, the main problem to be
argued is the concept of God (Theology) then doctrine and religious dogma.
After that, liberalism argued and separated the relationship between religion
and politics (Secularism). Finally, liberalism of religious thought became
secularism, and influenced by the wave of postmodernism thought which
enhances pluralism, equality and relativism. In its expansive movement, through
globalization, modernization, and westernization, the West subsequently becomes
the challenge of all nations and other civilization include Islam. Specifically,
Western Civilization could be seen from three cultural sources; missionaries,
orientalism, and colonialism. These three movements essentially disseminate
the principle or element of Western way of life.
Pendahuluan
T
antangan fundamental yang dihadapi umat Islam dewasa ini
sebenarnya bukan berupa ekonomi, politik, sosial dan budaya,
tapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang timbul dalam
bidang-bidang tersebut serta bidang-bidang terkait lainnya, jika
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 3
1
Menurut Akbar S Ahmed, salah satu ciri postmodernisme adalah semangatnya
yang berhadapan dengan fundamentalisme, lihat Akbar S Ahmed, Postmodernisme, Bahaya
dan Harapan Bagi Islam (terjemahan M.Sirozi), (Bandung: Mizan, 1994), p. 26.
2
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press,
1996), v.s. liberalism.
3
Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political
Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip, (Blackwell Publishing, 1995), p.
440.
4
Brinkley, Alan.Liberalism and Its Discontents. (Harvard Univ. Pr., 1998); Lihat juga
Gray, John.The Two Faces of Liberalism, (New Pr., 2000); Kloppenberg, James T.The Virtues of
Liberalism, (Oxford, 1998).
kan rakyat jelata tidak diberi kesempatan secara leluasa untuk meng-
gunakan hak-hak mereka, apalagi hak untuk ikut serta dalam mo-
bilisasi sosial yang dapat mengantarkan mereka menjadi kelas atas.
Perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja
John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang
mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan
bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja
John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early
liberalism). Liberalisme awal sendiri ditandai dengan perlawanan dan
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah yang cenderung
absolut.
Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi
tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal
dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi ini berhasil
menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII)
dari Scotland) serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja.
Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah
undang-undang hak rakyat (Bill of Right) yang memuat peng-
hapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak
dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Pada saat bersamaan,
seorang filsuf Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang
terlahir dengan hak-hak dasar (natural right) yang tidak boleh
dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk
memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan
berbicara. Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690),
John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk
menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak-
hak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.
Di bidang ekonomi, liberalisme berkembang melalui kebijakan
laissez faire seorang ekonom Scotties, Adam Smith, di dalam
bukunya, The Wealth of Nations (1776). Di kemudian hari, gagasan-
gagasan ekonomi Adam Smith ini dijadikan dasar untuk mem-
bangun sistem ekonomi kapitalis yang menawarkan liberalisasi
kegiatan ekonomi bagi setiap orang. Kibijakan ini akhirnya
membatasi Negara untuk campur tangan dalam kegiatan ekonomi
rakyat.
Di Prancis, sejak tahun 1700-an, filsuf terkenal Prancis
Montesquieu dalam bukunya, The Spirit of the Laws (1748)
mengajarkan pemisahan kekuasaan negara (separation of powers):
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 5
5
Chandran Kukathas, The Many and the One: Pluralism in the Modern World, Richard
Madsen and Tracy B. Strong, editors, (2003), p. 61
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 7
6
The New Encyclopedia of Britanica, University of Chicago, 1991, vol. 11, p. 693
7
Http://uk.search.yahoo.com/search;_ylt=A0oGkuebQs9Hd0kBPmtLBQx.?p =
origin + of +religious+liberalism&y=Search&fr=slv8-acd&ei=UTF-8&rd=r1
8
Nicholas F. Gier, “Religious Liberalism and The Founding Fathers”, dalam Peter
Caws, ed. Two Centuries of Philosophy in America, (Oxford: Basil Blackwell Publishers, 1980),
p. 22-45.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 9
9
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New York: Avon Book,
1992), p. 64.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 11
10
Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the
long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim
adherent over the past century and a half. Part of the the reason for current, fundamentalist revival
is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic societies.
Francis Fukuyama, Ibid., p. 45-46.
11
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
12
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
13
Istilah Westernisasi dunia dikenal pasca perang Salib yang berarti perluasan
imperium orang kulit putih keseluruh dunia. Tujuan utamanya adalah kolonisasi, Kristenisasi
(evangelization), pencarian pasar, supplai bahan mentah, pencarian dunia baru dan pemenuhan
kebutuhan akan tenaga kerja. Lihat Serge Latouche, The Westernizationi of the World, The
Significance, Scope and Limits of the Drive towards Global Uniformity, terjemahan bahasa
Inggeris dari bahasa Perancis oleh Rosemary Morris, (Cambridge: Polity Press, 1996), p. 5
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 13
a. Missionaris
Ketika Barat masuk ke negara-negara Islam ia membawa serta
misi agama, politik, ekonomi dan kebudayaan. Namun tidak banyak
yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat
doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal
ini dapat dicermati dari fakta sejarah bahwa gerakan kolonialisme
selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan missionaris
Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain
dari aktivitas untuk mempengaruhi cara berfikir. Kerjasama
missionaris, orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat
dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands
bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, seperti yang
dikutip oleh Dr. Aqib Suminto berikut ini:
“……kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan
dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi peme-
rintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi
setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.” 14
14
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 26.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 15
b. Orientalis
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang
dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang
15
Ali Gharisah, Wajah Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1989), p. 41
16
Lihat dalam Maryam Jameela, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: 1994), p. 8-9, 51-52.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 17
17
M. Watt, Muhammad at Mecca, (Edinbrugh: Edinburgh University Press, 1960), p.
103; Lebih detail lagi tentang kajian orientalis terhadap al-Qur’an tulisan dapat dibaca kajian
Adnin Armas berjudul Metodologi Orientalis Dalam Studi al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004).
18
Lihat Dr. Afaf, al-Mustasyriqu>n wa Musykilat al-Had}a>rah, ) Cairo: Dar al-Nahdah al-
‘Arabiyyah, 1980), p. 33-34.
19
lihat Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam
The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, p. 41.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 19
20
Lihat Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage, 1979), p. 1-3, 5.
21
Perlu dicatat dalam beberapa kasus nama-nama dan bidang kepakaran orientalis
terkadang bertumpang tindih (overlap), ada yang menguasai lebih dari satu bidang.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 21
22
Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol.
17, No. 5, January 1999, p. 5.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 23
c. Kolonialis
Seperti disebutkan di atas bahwa orientalis pernah bekerjsama
dengan kolonialis dan missionaris. Pengertian kolonialisme dalam
hal ini menyesuaikan dengan kondisi pascaperang dunia kedua, yang
bergeser dari pendudukan menjadi penguasaan dalam bidang-bidang
tertentu secara strategis. Kolonialisme kini tidak mesti berarti
exploitasi sumber daya manusia dan alam seperti di zaman penjaja-
han, tapi monopoli dalam perdagangan, penguasaan sistem ekonomi
politik dan liberalisasi perdagangan. Untuk itu kolonialis berke-
pentingan untuk menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga
ide-ide atau pemikiran Islam dan umat Islam sejalan dengan
pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya kepentingan
ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat berjalan
dengan mulus.
Strategi bagaimana agar ide-ide dan pemikran umat Islam
sejalan dengan kolonialis, dan bagaimana sebuah pemikiran berubah
menjadi kebijakan strategis, sebaiknya kita rujuk sebuah buku yang
berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies,
(2003). Buku yang ditulis oleh Cheryl Bernard 23 ini menjelaskan
tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat
untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya
untuk melawan apa yang mereka istilahkan dengan “terorisme dan
fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia
menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After
9/11 (2004), The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years
After: Next Steps in the War on Terror (2005).
Cheryl Bernard menulis ini di bawah proyek penelitian sebuah
lembaga swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand
Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga
independen yang membuat “analisa objektif dan solusi efektif
terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu
23
Cheryl Bernard adalah sosiolog yang pernah menulis novel-novel feminis yang
memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya
diambil dari pemahaman yang salah terhadap al-Qur’an, dan merupakan simbol pemaksanaan
dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi
asisten khusus Presiden George W Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National
Security Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu ia pada
tahun 1980 bekerja dibawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada saat terjadi
perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris menteri pertahanan.
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 25
Penutup
Masalah pemikiran adalah masalah yang berkaitan dengan
ilmu, dan masalah ilmu berkaitan dengan ibadah. Jika terjadi
kerancuan pemikiran maka upaya atau meng-islah permikiran
tersebut adalah termasuk dalam bab ibadah. Kerancuan pemikiran
yang disebabkan oleh masuknya anasir peradaban di luar Islam
bukan terjadi pada masa sekarang saja, tapi sejak periode awal
peradaban Islam bangkit dan berkembang. Dalam situasi perang
pemikiran seperti ini Islam sebagai agama yang s}a>lih} likulli zama>n
wa maka>n telah memiliki mekanisme tersendiri untuk merespon.
Namun perlu diingat bahwa perang pemikiran memerlukan rentang
waktu yang lebih lama, ia bahkan boleh jadi berlangsung sepanjang
satu generasi. Maka dari itu dalam perang pemikiran yang dipicu
oleh globalisasi dan westernisasi ini umat Islam tidak perlu
membawanya kepada peperangan fisik.
Akhirul kalam, perlu disadari bahwa pemikiran mempunyai
peran penting dalam pembangunan peradaban Islam, sebab dalam
Islam pemikiran selalu mendahului perilaku individu, ilmu selalu
mendahului amal. Rusaknya amal disebabkan oleh rusaknya ilmu.
Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong
(al-Ghazzali). Amal tanpa ilmu lebih cenderung merusak daripada
memperbaiki. Oleh sebab itu dalam menghadapi perang pemikiran
prioritas utama perlu diberikan kepada peningkatan ilmu pengetahu-
Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 27
Daftar Pustaka
Afaf, al-Mustasyriqu>n wa Mushkila>t al-Had}a>rah, (Cairo: Dar al-NahÌah
al-‘Arabiyyah, 1980).
Ahmed, Akbar S, Postmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam
(terj. M.Sirozi), (Bandung: Mizan, 1994).
Armas, Adnin, Metodologi Orientalis dalam Studi al-Qur’an. (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004).
Blackburn, Simon, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford
University Press, 1996).
Brinkley, Alan.Liberalism and Its Discontents. (Harvard Univ. Pr., 1998)
Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary
Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit,
Philip, (Blackwell Publishing, 1995).
Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, (New York:
Avon Book, 1992).
Gharisah, Ali, Wajah Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 1989).
Gier, Nicholas F., “Religious Liberalism and The Founding Fathers”,
dalam Peter Caws, ed. Two Centuries of Philosophy in America,
(Oxford: Basil Blackwell Publishers, 1980)
Gray, John.The Two Faces of Liberalism, (New Pr., 2000)
Huntington, Samuel P., If Not Civilizations, What? Samuel Huntington
Responds to His Critics, dalam
http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
Jameela, Maryam, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: 1994)
Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New
Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap
Paham Liberalisasi Syariat Islam
Nirwan Syafrin
ISTAC-IIUM Kuala Lumpur Malaysia
Email: nirwan_syafrin@yahoo.com
Abstract
The movement of liberalism in Islamic world at the time being has
made the Islamic syari’ah as the object of criticism which must be banned
because it considered as the problem of history. Strangely, they always proud
on what they have done as interpretation and renovation. In Indonesia liberalism
movement factually not without the chesing scenario of politics and world
intellects. It is really difficult to avoid the influence of America and its campaign
against terrorism in this movement. They try to raise a positive image then
what has been presented by the groups of radicalism, fundamentalism, and
conservatism, they seem like to change this image, but finally they changed their
own image which tend to be more Westernised than the West itself. At least
there are three categories, the argumentation of the liberalist against the
enforcement of Islamic syariat, that is: historical argumentation, with
consideration on Shariah purposes and human right. This article elaborates the
position of liberalism view in contemporary Islamic thought, retrieves the
process of liberalism in the view of Syari’ah modernisation and criticism toward
argumentations of liberalists.
Pendahuluan
K
ehadiran gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenal
dengan sebutan ‘Islam liberal,’ dalam dunia pemikiran Islam
akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan
kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan
gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-
prinsip dasar aqidah dan syariat Islam. Di antara ide yang paling
menonjol adalah seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitas
al-Qur’an;1 mengkritik otoritas nabi beserta hadith-hadith sahih-nya,
menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para
ulama. Umumnya pendukung liberal ini menolak penerapan syari’at
Islam secara formal oleh negara. Untuk tujuan ini mereka mencoba
mereka-reka berbagai alasan. Ada alasan budaya, HAM, tidak
prinsip, dan lain-lain.
Inilah beberapa masalah keislaman yang belakangan ini
mencuat dalam wacana pemikiran Islam di dunia pada umumnya
dan di Indonesia pada khususnya yang sempat menimbulkan
keresahan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam. Artikel ini
mencoba untuk mengeksplorasi dan sekaligus mengkritisi beberapa
pandangan pemikiran liberal tentang sejumlah isu yang terkait
dengan syariat Islam. Namun sebelum membahas topik tersebut,
penulis akan menjelaskan makna liberal dan isu-isu yang terkait
dengannya.
1
Ide ini banyak disuarakan oleh Mohammad Arkoun, pemikir asal al-Jazair yang sudah
puluhan tahun menetap di Perancis dan menjadi Professor di Sarbone University dalam bidang
kajian keIslaman. Idenya ini dapat dibaca dalam beberapa karyanya seperti, Mohammad Arkoun,
Al-Fikr al-Isla>mi: Qira>’ah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-
Thaqafi al-‘Arabi, 1996); idem, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mawru>ts ila> tahlil al-Khit}a>b al-Dini,
terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr); idem, Ta>rikhiyyah al-Fikr al-
Islami, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-
‘Arabi,1996). Ringkasan ide-ide Arkoun tentang al-Qur’an ini dapat dibaca di Ahmad Idris al-
Ta’an al-Hajj, “Intihak Qadasah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-Muslim al-Mu’a>si} r, no. 115,
2005, p. 103 -123; Nu’man ‘Abd al-Razzaq al-Samarra’i, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr al-Ishtishra>qi
bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id (Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’),
p. 57-66. Dan studi kritis atas idenya bisa dilihat pada, Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist
Approach to the Qur’an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings of Two
Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun (Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral
di International Islamic University Malaysia (IIUM), 2003), dan Adnin Armas, Metodologi Bibel
dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 63-69.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 53
2
Muhammad Nuwayhi “A Revolution in Religious Thought,” in John J. Donohue
and John L. Esposito (eds.), Islam in Transition: Muslim Perspectives (New York and Oxford:
Oxford University Press, 1982), p. 106.
3
Monah A. Khouri, “Criticism and the Heritage: Adonis as Advocate of a New
Arab Culture,” dalam George N. Atiyeh dan Ibrahim M. Oweiss (ed.), Arab Civilization:
Challenges and Responses, studies in honous of Constantine K. Zurayk (New York: State
University of New York, 1988), p. 183-207.
Indonesia hari ini. Dan secara khusus kelompok ini telah menem-
patkan dirinya sebagai respon dan reaksi terhadap fenomena baru
yang mereka beri label sebagai ‘radikalisme dan fundamentalisme
Islam’ yang mulai marak seiring dengan jatuhnya rezim peme-
rintahan Orde Baru. Yang mereka maksudkan dengan kelompok
terakhir ini adalah mereka yang secara getol berusaha untuk
menerapkan syari’at Islam sebagai hukum positif dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Ada yang melihat gerakan liberal ini tak
lain hanya merupakan kelanjutan dari usaha ‘pembaruan’ yang
pernah digagas Nucholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad
Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution dan lain-lain.4 Tapi bukan
tidak mungkin gerakan liberal ini juga sebuah ungkapan ketidak-
berdayaan para pendukungnya dalam berhadapan dengan fenomena
global yang saat ini didominasi dan dihegemoni oleh peradaban Barat.
Mereka merasa begitu rendah diri sekali (inferior) serta sangat silau
dengan kemajuan yang diraih Barat sehingga timbul keyakinan
bahwa bila umat Islam ingin maju maka mereka harus mengikuti
setiap jejak langkah Barat. Umat Islam harus mengadopsi demokrasi,
kebebasan agama dan berpendapat, persamaan kedudukan laki-laki
dan wanita, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya.
Karena hanya dengan begitu, mereka yakin, masyarakat Islam akan
terlepas dari keterpurukan yang sedang mereka alami.
Tidak dapat dinafikan bahwa dunia Islam saat ini memang
sedang dalam krisis yang sangat dalam. Ungkapan Isma‘il Faruqi
mungkin sangat tepat menggambarkan keberadaan umat Islam hari
ini: The world-ummah of Islam stands presently at the lowest rung of
the ladder of nations. In this century, no other nation has been subjected
to comparable defeat or humiliation. 5
Dalam kolom khusus di harian al-Ahram,6 Ridwan al-Sayyid,
pemikir Islam asal Lubnan, sempat dikutip seperti berikut. Dia
mengatakan: “the Middle East region seems to me to be the only place
in the world which has witnessed the return of colonialism in its oldest
ruthless form- direct military intervention.” Dia lantas memperkuat
4
Untuk keterangan lanjut tentang proses lahir dan berkembangnya Jaringan ini bisa
dibaca pada Muhamad Ali, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary
Indonesia,” American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 22, no. 1, 2005, p. 1-27.
5
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan
(Virginia, Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1982), p. 1.
6
4-10 November, no. 715
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 55
7
Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan
Pierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1979), p. 324.
8
Lihat misalnya karya Mohammad Arkoun, Min al-Ijtiha>d ila> Naqd al-‘Aql al-Isla>mi,
terj. Hashim Saleh (London: Dar al-Saqi,19910; idem, al-Fikr al-Isla>mi: naqd wa ijtiha>d
(London: Dar al-Saqi, 1998).
9
Bustami Muhammad Sa’id, Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n (Kuwait: Dar al-Da’wah, 1984), p.
40, 41, dan 43.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 57
12
Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Arab World
(Albany: State University of New York Press, 1966), p. 262.
13
Ahmad Jawdah, H}iwa>ra>t H}awla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990), p. 14.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 59
Islam ideal yang dapat dijadikan contoh. Dia sering menuduh kaum
Muslim itu terlalu mengagungkan sejarah masa silam. Padahal
ungkapnya sejarah masa silam Islam tidaklah seindah yang mereka
sangkakan; ia sesungguhnya penuh dengan noda dan dosa. Sejarah
Islam adalah sejarah tragis umat manusia yang dibayangi perkelahian
dan pertumpahan darah, tandas Fawdah. Untuk memperkuat
argumentasinya dia kemudian merujuk pada kasus kematian tiga
al-khulafa>’ al-ra>shidu>n yang meninggal akibat pembunuhan. Dengan
cara ini, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa penerapan syariat
Islam belum tentu dapat menjamin seluruh persoalan umat dapat
selesasi. Banyak peristiwa tragis dan memalukan di masa lalu berlaku
bahkan ketika syariat Islam masih diterapkan. Misalnya skandal
politik para sahabat ternama seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Talhah ibn
‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Awf. Ia bahkan menuduh Ibn
‘Abbas terlibat korupsi.14
Selain Fawdah, Muhammad Sa’id ‘Ashmawi juga terhitung
sebagai cendikiawan Muslim Mesir yang keras menentang
penerapan syariat. Menurut As’ad Abukhalil, Fawdah sendiri
sebenarnya banyak terinspirasi oleh tokoh ini. 15 Berbeda dengan
Fawdah, ‘Ashmawi memang memiliki kepakaran dalam bidang
hukum. ‘Ashmawi kerap mengkritik gerakan Islam sehingga
menyebabkannya beberapa kali mendapat ancaman bunuh. Dia
sempat mencetuskan polemik dengan al-Azhar karena mengkritik
legalitas yang diberikan kepada institusi ini untuk menyensor musik,
film dan video. Kritiknya ini telah menimbulkan kemarahan ulama
al-Azhar sehingga sempat melarang peredaran beberapa bukunya.
Pelarangan itu ditarik kembali setelah intervensi Presiden Mesir
Husni Mubarak.16
Dalam karyanya ‘Ashmawi selalu membedakan dua tipe Islam.
Pertama apa yang disebutnya dengan “political Islam” dan yang
14
Issa J. Boullata, Trends and Issues, p. 157-159; Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins,
p. 256-257; As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist Tendencies in
Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalam Charles E. Butterworth dan I William Zartman
(eds.), Between the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press and Cambridge
University Press, 2001), p. 117 – 120.
15
Lihat catatan kaki no. 31 dari tulisan As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of
Islam”, p. 123.
16
William E. Shepard, “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The Application of the
Shari’a in Eypt”, dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February
1996, p. 42-43.
17
Ibid., p. 43.
18
Ibid., 43 dan 44; As’ad Abukhlail, “Against the Taboo of Islam”, p. 125-126.
19
Dikutip dari Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li Shari>’ah al-Isla>miyyah
(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991), p. 20.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 61
20
‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), p. 22.
21
Al-Ghazali, Al-Mustasfa, di edit oleh Hamzah Zuhayr Hafidh, 1, p. 273, 276. Dikutip
dari Yusuf al-Qardawi, al-Siya>sah al-Syar’iyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), p. 18.
22
Muhammad bin ‘Abd al-Hamid al-Asmandi, Badhl al-Naz}ar fi al-Us}ul> , ed. Muhammad
Zaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabah Dar al-Turath, 1992), p. 6.
23
Para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalam
definisi ini. Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pasti
dan yakin (al-qaÏ‘)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat zann. Oleh sebab itu Abu Ishaq
al-Syirazi mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al-ah}ka>m. Abu Ishaq Ibrahim al-
Syirazi (w. 393), Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-
Islami, 1989) 1, p. 158-9. Seperti Syirazi, Sadr al-Shari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama.
Menurutnya fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma> lahu wa ma> ‘alayh”. Al-Talqi>h Syarh al-Tanqi>h,
diedit oleh Najm al-Din Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), p. 26.
24
Abu Muzaffar al-Sam’ani (426-489), Qawa>t}i’ al-Adillah fi al-Us}u>l, ed. Muhammad
Hasan Hitu (bayrut: Muassasah al-Risalah, 1996), p. 33.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 63
ada yang mengatakan bahwa ini termasuk bagian fiqh, ada juga yang
mengatakan sebaliknya.25 ‘Umar Sulayman al-Ashqar menjelaskan
bahwa fiqh adakalanya bisa menjadi syariat yaitu ketika ijtihad yang
dilakukan ulama tersebut mengenai sasaran sesuai dengan ketetapan
Allah. Tapi ada kalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh tetap
sebagai fiqh tidak berubah menjadi syariat.26
‘Ashmawi selanjutnya menegaskan agar kita membedakan
antara agama dan pemikiran keagamaan. Agama merupakan
seperangkat prinsip yang disampaikan oleh nabi atau rasul, tapi
pemikiran keagamaan adalah metode dalam memahami dan
mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Pemahaman atau
penafsiran atas teks keagamaan adalah pemikiran keagamaan bukan
agama. Sebagai pemikiran ia bisa saja sesuai dengan inti ajaran
agama, tapi bisa juga tidak. 27 Pendapat ini sama dengan yang
ditegaskan Nasr Hamid dalam karyanya Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni.
Menurutnya salah satu kesalahan kelompok Islamis adalah mereka
tidak bisa membedakan antara al-din dan al-fikr al-di>ni. Akibatnya
mereka terjerumus pada pensucian pemikiran (taqdi>s al-afka>r).28
Terhadap pendapat kedua pemikir liberal ini, ada beberapa
persoalan yang perlu dipertanyakan. Apakah kriteria yang dapat
dijadikan ukuran untuk membedakan ‘agama’ dan ‘pemikiran
keagamaan’? Hal ini perlu dipertanyakan karena kekeliruan
memahami kedua hal tersebut dapat mengakibatkan problem yang
sangat fatal lagi. Menganggap pemikiran keagamaan sebagai agama
adalah salah, tapi demikian juga sama salahnya mereka yang
menganggap agama sebagai pemikiran keagamaan. Kalau kelompok
konservatif dituduh oleh orang liberal jatuh pada kesalahan pertama,
kebanyakan orang liberal melakukan kesalahan kedua: mereka
menyamaratakan agama dengan pemikiran keagamaan. Maka tak
heran jika belakangan ini kita mendengar suara-suara dari kalangan
liberal hari ini yang mereduksi ajaran Islam menjadi sekedar budaya
25
Untuk penjelasan lanjut dapat dibaca ‘Abid bin Muhammad Sufyan, al-Tsaba>t wa al-
Syumu>l fi al-Syari>’ah al-Isla>miyyah, p. 63-73.
26
Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’at lihat ‘Umar Sulayman
al-Asyqar, Tari>kh al-Fiqh al-Isla>mi, p. 17-19.
27
Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi, Us}u>l al-Shari’ah (al-Qahirah: Sina, 1992), 28
sebagaimana yang dikutp oleh As’ad Abu Khalil, “Against the Taboo of Islam”, p. 125.
28
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Dini, cet. 3 (al-Qahirah: Madbuli, 1995),
67ff.
29
Lihat misalnya wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti
dari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.
30
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni, p. 126.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 65
37
Ann Elizabeth Meyer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Boulder
and San Francisco: Westview Press, 1991), p. 98; Donna Arzt, “The Treatment of Religious
Dissidents under Islamic Law,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious
Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff
Publishers, 1996), p. 413-416.
38
Donna Azrt, Ibid., p. 412-414.
39
Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation, p. 49-50.
40
Abdullah Ahmad an-Na’im, “Islamic Foundations of Islamic Human Rights,” dalam
John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective:
Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), p. 70.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 67
41
Pemikiran keagamaan Mahmud Muhammad Taha dapat dibaca pada Mohamed
Mahmoud, “Mahmud Muhammad Taha’s Second Message of Islam and His Modernist
Project,” dalam John Coper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islam and
Modernity: Muslim Intellectuals Respond (London and New York: I.B Tauris, 1998), p. 105-
128.
42
Abdullah Ahmad an-Na’em, Toward an Islamic Reformation, p. 56 dan 180.
43
Ibid., p. 13.
44
Ibid., p. 13.
1. Argumentasi Historis
Argumen ini berbunyi bahwa hukum Islam yang ada sekarang
adalah produk abad pertengahan. Ia dibentuk berdasarkan latar
belakang sosial dan politik masyarakat ketika itu. Ia merupakan
sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat
itu. Menurut Fazlur Rahman: “The Qur’an is the divine response to
Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation
of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial
Meccan society of his day.”45
Karena itulah, kata mereka, tidak menutup kemungkinan
bahwa hukum Islam pun dipengaruhi sistem budaya, politik, dan
ideologi yang berlaku ditengah-tengah masyarakat waktu itu.
Menurut Khalil ‘Abdul Karim, pemikir liberal Mesir, banyak hukum-
45
Fazlur Rahman, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979), p. 2.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 69
46
Lihat misalnya Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj.
Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)
47
The Jakarta Post, 3 October 2004.
48
Amina Wadud, Qur’an and Women, p. 80.
49
Lihat ‘Abd al-Hadi ‘Abd al-Rahman, Sultah al-Nass: qiraa’t fi tawzif al-nass al-dini
(Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 152-153; Fazlur Rahman, A Survey of
Modernization, p. 463.
50
Mufidah Ch, Paradigma Gender, p. 190.
51
Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse
University Press, 1990), p. 59.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 71
52
Lihat Ahmad Raysuni, Nazariyyah al-Maqa>s}id ‘Ind al-Ima>m al-Sha>t}ibi (Virginia:
The International of Islamic Thought and Civilization, 1997)
53
Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18
November 2002.
54
Wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,”
16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.
55
Robert, Tanner, “Studies say death penalty deters crime’, AP, National Writer.
56
Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Al-Madkhal al-Maqa>si} di li al-Khit}ab
> la-‘Ilmani: dirasah
naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 114, Oktober-Nov.-Des 2004, p. 21.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 73
57
Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml.org/english/
newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549
58
Abd Moqsith Ghazali, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/2005, http://
islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774
Penutup
Gerakan liberalisasi Islam dengan menjadikan Barat sebagai
rujukan utama sebenarnya sudah lama dipraktikkan beberapa dunia
Islam. Benihnya bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyyah mulai
mengadopsi beberapa pemikiran Barat, yang bermulan saat Kamal
Attaturk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Uthmaniyyah dan
mendirikan negara Turki berideologi sekularisme. Proses westernisasi
pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hampir
satu abad negara Turki sekuler sudah berdiri namun hingga hari ini
59
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), p. 87.
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 75
tetap tidak ada bedanya dengan negara dunia ketiga yang lain,
terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.
Kasus Turki itu mestinya memberikan ‘itibar bahwa
sekularisasi dengan mencontoh dan mengikuti Barat secara membabi
buta bukanlah jalan keberhasilan untuk menggapai kemajuan.
Mungkin kita bisa bertanya: apakah dengan diharamkannya
poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan
perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang
diinginkan para pemikir Muslim kontemporer, masyarakat Islam
akan menjadi lebih mulia dan terhormat, dihargai dan disanjung,
menjadi lebih maju dan berkembang?
Sesungguhnya sejak zaman kolonialisme umat Islam telah jauh
meninggalkan syariat Islam. Mereka telah mengadopsi hukum Barat
untuk diaplikasikan di negara mereka masing-masing. Hingga hari
ini, negeri-negeri Muslim itu bukannya bertambah maju. Sebagian-
nya malah menjadi lebih sengsara. Maka, kita bertanya, apakah hu-
kum Islam yang tidak diterapkan itu yang salah, atau justru hukum
model Barat yang menjadi biang kehancuran umat hari ini?[]
Daftar Pustaka
Abdalla, Ulil Abshar, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,”
Kompas, 18 November 2002.
Abukhalil, As’ad, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist
Tendencies in Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalam
Charles E. Butterworth dan I William Zartman (eds.), Between
the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press
and Cambridge University Press, 2001)
Al-‘Ashmawi, Muhammad Sa’id, Us}ul> al-Shari>’ah (al-Qahirah: Sina, 1992)
Al-Asmandi, Muhammad bin ‘Abd al-Hamid, Badhl al-Naz}ar fi al-
Us}u>l, ed. Muhammad Zaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabah
Dar al-Turath, 1992)
Al-Asyqar, ‘Umar Sulayman, Ta>rikh al-Fiqh al-Isla>mi, (?)
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics
of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilization, 1995)
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamization of Knowledge: General Principles
and Workplan (Virginia, Herndon: The International Institute
Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 77
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat
Dinar Dewi Kania
Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor
Email: dinargainer@yahoo.com
Abstract
The Western’s conception of values, morals and ethics are so different
with Islamic conception. In fact, there is difference about it between western
scholars. These is a consequence from secularization that spread upon the whole
Europe after their people’s believe of church’s conductiveness disappeared.
This secularization impacts to the separation between religion’s doctrines and
life activities as politic, education even to the marriage. In the end, Western
society considers the values of religion are just subjective phenomenal that
experienced by individual and are not universally. Religion has space its self that
different with space of non-religion. The value and moral concept in West
would be evolved and developed according to western society’s conception
of human being reality, religion, sciences and life it’s self. This paper has a
purpose to describes western scholar’s thoughts about values and moralities
chronologically, starting from medieval centuries when Churches have the power
of high legitimacy in western society until renaissance era and then describing
about glorious era that the western scholar’s thoughts still influences the concept
of values in this century.
* Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Kd. Badak Bogor 16162, Telp dan Fax: +62251 835-
6884
Abstrak
Konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika, sangat berbeda dengan
Islam. Bahkan, di antara pemikir Barat pun, konsep tentang hal tersebut berbeda.
Hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi dari sekularisasi yang melanda
Eropa setelah hilangnya kepercayaan Masyarakat Barat terhadap kepempinan
gereja. Sekulerisasi berdampak pada pemisahan agama dengan segala aktivitas
kehidupan duniawi, seperti politik, pendidikan, ataupun perkawinan. Pada
akhirnya, Masyarakat Barat menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena
subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal.
Agama memiliki ruangnya tersendiri yang berbeda dengan ruang non-agamis.
Konsep nilai dan moral di Barat kemudian akan terus berevolusi, berkembang
sesuai dengan konsepsi Masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama,
ilmu, dan kehidupan itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan
pemikiran tokoh-tokoh Barat tentang nilai dan moralitas atau etika secara
kronologis, dimulai pada Abad Pertengahan di saat gereja menjadi pemegang
kekuasan tertinggi dalam Masyarakat Barat, hingga munculnya Zaman Renaissance,
dilanjutkan dengan Zaman Pencerahan yang pemikiran tokoh-tokohnya terus
mempengaruhi teori-teori nilai di abad ini.
Pendahuluan
P
embahasan tentang nilai (value) dan moral telah lama menjadi
topik sentral dalam kajian ilmu filsafat, dan ilmu sosial lainnya.
Tidak ketinggalan, ahli-ahli pendidikan Barat sejak abad ke-20
mencoba merumuskan pendidikan yang berorientasi kepada nilai
dan moral atau etika sebagai solusi dalam mengatasi problematika
abad modern yang semakin kompleks dan multidimensi. Dalam
ilmu sosiologi, nilai secara umum dikonsepsikan sebagai “group con-
ceptions of relative desirability things” atau berarti konsepsi kelom-
pok atas keinginan relatif terhadap sesuatu.1 Secara kultural nilai
diartikan sebagai ide tentang sesuatu yang dianggap penting. Nilai
dibedakan menjadi nilai ideal (ideal value) yang diklaim oleh suatu
masyarakat dan ada nilai sesungguhnya (real value), yaitu nilai yang
dipraktikkan dalam masyarakat tersebut.2 Teori tentang nilai disebut
etika yang bersumber pada akal pikiran manusia.
1
http://www.sociologyguide.com/basic-concepts/Values.php, 10 Des 2010.
2
Kathy. S Stoley, The Basic of Sociology, (Westport: Greenwood Press, 2005), 45-46.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 247
3
James Arthur, Education with Character; The Moral Economic of Schooling, (London:
RoutledgeFalmer, 2003), 27.
4
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993), 16.
5
Eric O. Hanson menjelaskan ketika terjadi konflik antara Paus Gregorius VII dan
Raja Hendri IV pada abad ke-11 mengenai kekuasaan absolut gereja. Raja Henry IV menolak
klaim Paus tersebut dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang dari Tuhan. Menghadapi
tantangan tersebut, Gregorius menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV, sehingga
pada akhirnya ia menyerah dan dipaksa menemui Gregorious di Canossaa pada 1077. Paus
kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya dan
menunjukan betapa efektifnya kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun
tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap raja yang sangat besar kekuasaannya di
Eropa. Lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 33.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 249
6
F. Clark Power, et.all (ed), Moral Education: A Handbook; Volume 1 & 2, (Westport:
Praeger, 2008), 19.
7
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan II,
2004), 606.
8
F. Clark Power, et.all (ed), Moral Education…, 20-21.
9
Horald Hoffding, A History of Modern Philosophy; A Sketch of the History of Philosophy,
Volume I, (USA: Dover Publication, 1955), 184.
10
Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan
Komparatif, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan IV, 2007), 643.
11
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 656.
12
Michael W. Kelley, The Impulse of Power, Formative Ideals of Western Civilization,
(Minneapolis: Contra Mundum Books, 1998), 190.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 251
13
Burckhardt dalam Bertand Russell, Sejarah Filsafat Barat, 660.
14
Alison Brown, Sejarah Renaisans Eropa, (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 149.
15
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
Cetakan Ke-24, 2011), 24-25.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 253
18
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah…, 34-35.
19
Deisme adalah suatu aliran yang mengakui adanya pencipta alam semesta ini,
namun setelah dunia diciptkan Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri, sebab ia
telah memasukan hukum-hukum dunia kedalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan
hukum-hukum tersebut sehingga manusia dianggap telah berbakti kepada Tuhan apabila
telah hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Lihat, Harun Hadiwijoyo, Ibid, 47 – 49.
20
William L. Langer, et.al, Western Civilization; The Struggle for Empire to Europe in
Modern World, (New York: A Harper-Amerikan Text Book, 1968), 189.
21
MAW. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman,
(Bandung: Penerbit Alumni, Cetakan Ke-3, 1986), 63.
22
Alexander E. Hooke, Virtuous Persons, Vicious Deeds, (Mountain View: Mayfield
Publishing Company, 1998), 180.
23
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah …, 56.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 255
24
Ibid, 58.
25
Keadaan alamiah di mana manusia hidup atas dasar dirinya sendiri, kesepian, dan
sendirian, di tengah-tengah hutan yang lebat, dengan memiliki dirinya sendiri segala kekuatan
rohaniah dan badaniah. Manusia tidak menghasilkan lebih dari apa yang diperlukan sendiri.
Pada waktu itu tiada hukum alam, sebab tidak perlu aturan-aturan hukum dirumuskan bagi
orang-orang yang tidak saling memerlukan. Selengkapnya lihat: Harun Wijono, Sari
Sejarah…, 60.
26
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 908.
27
David Carr, Educating the Virtues; an Essay on the Philosophical Psychology of Moral
Development and Education, (London: Routledge, 1991), 69-71.
28
Selengkapnya lihat Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah…, 62-63.
29
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 887.
30
Ibid, 885-886.
31
Fanz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cetakan
Ke-5, 2009), 59.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 257
32
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 918.
33
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 73.
34
Kant berkata, “Berlakulah seolah-olah kaidah tindakan anda itu anda harapkan
menjadi hukum alam umum.” Lihat, Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 927-928.
35
Lihat Steven Hitlin and Stephen Vaisey (eds.), Handbook of the Sociology of Morality,
(New York: Springer Science - Business Media, 2010), 15.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 259
38
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 110.
39
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 1013-1014.
40
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 114.
41
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 1013-1014.
42
J.J. Smart dalam Chistina Sommers and Fred Sommers, Vice & Virtue in Everyday
Life; Introductory Reading in Ethicc, (Orlando: Harcourt Brace & Company, 1997), 110.
Penutup
Kehidupan intelektual abad ke-19 di Barat merupakan masa
yang kompleks dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Ada
beberapa sebab yang mendasari hal ini: 1) Amerika dan Rusia mem-
berikan kontribusi penting dalam bidang pemikiran, 2) Eropa mulai
menyadari kehadiran Filsafat India, baik kuno maupun modern, 3)
produksi mesin mengubah struktur sosial secara besar-besaran, dan
4) terjadi pemberontakan radikal baik filosofis maupuan politik
melawan sistem-sistem tradisional dalam hal pemikiran, politik, dan
ekonomi. Pemberontakan ini memiliki dua bentuk, yaitu romantik
dan lainnya adalah rasionalistik. Tokoh-tokoh pemberontakan
romantik adalah Byron, Schopenhauer, Nietzsche, Musollini, dan
Hitler. Pemberontakan rasionalistik diawali oleh filsuf-filsuf revolusi
Prancis, berlanjut ke arah radikal filosofis di Inggris, kemudian
berujung pada Marx di Soviet, Rusia.43
Sebab-sebab di atas tentu saja berpengaruh terhadap perkem-
bangan konsep nilai dalam Masyarakat Barat pada abad setelahnya (abad
ke-20 dan 21). Pemberontakan terhadap etika agama Kristen yang tidak
lagi diyakini kebenarannya, pada akhirnya memunculkan berbagai
macam teori nilai yang berlandaskan pada akal. Munculah aliran-aliran
baru yang tentunya terinspirasi oleh filsafat pada Zaman Renaisans dan
Pencerahan, seperti aliran Pragmatisme dengan tokohnya William James
dan John Dewey, Fenomenologi oleh Edmund Husserl, dan
Ekstensiallisme dengan tokohnya seperti Martin Heidegger, Jean Paul
Sartre, serta Soren Aabye Kierkegaard, dan masih banyak lagi.
Perkembangan konsep nilai di Barat dari sejarah yang telah
dipaparkan di atas, menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan
berhenti dalam merumuskan nilai-nilai yang dianggap baik bagi
kehidupan masyrakatnya. Sejarah memperlihatkan perubahan nilai
di Barat secara radikal, dimulai dari penerimaan pada etika moral
gereja, sampai akhirnya berujung kepada penghapusan unsur-unsur
metafisika dalam etika moralnya. Dahulu gereja mengharamkan
tindakan homoseksual karena tidak sesuai dengan nilai etika agama
tersebut, namun saat ini dunia menyaksikan seorang homoseksual
telah diangkat menjadi Uskup di Gereja Anglikan, New Hamshire
pada tahun 2003 lalu. Konsep nilai dan moral di Barat akan terus
berevolusi, berkembang sesuai dengan konsepsi Masyarakat Barat
terhadap hakikat manusia, agama, ilmu, dan kehidupan itu sendiri.[]
43
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 938-939.
Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 261
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC).
Arthur, James. 2003. Education with Character; The Moral Economic
of Schooling, London: RoutledgeFalmer.
Brouwer, M.A.W. dan M. Puspa Heryadi. 1986. Sejarah Filsafat Barat
Modern dan Sezaman. Bandung: Penerbit Alumni. Cetakan Ke-3.
Brown, Alison. 2009. Sejarah Renaisans Eropa. Bantul: Kreasi Wacana.
Carr, David. 1991. Educating the Virtues; an Essay on the Philosophical
Psychology of Moral Development and Education. London:
Routledge.
Hadiwijoyo, Harun. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-24.
Hitlin, Steven and Stephen Vaisey (eds.). 2010. Handbook of the
Sociology of Morality. New York: Springer Science - Business
Media.
Hoffding, Horald. 1955. A History of Modern Philosophy; A sketch of
the History of Philosophy. Volume I. USA: Dover Publication.
Hooke, Alexander E. 1998. Virtuous Persons, Vicious Deeds. Mountain
View: Mayfield Publishing Company.
http://www.sociologyguide.com/basic-concepts/Values.php, 10 Des
2010
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani
Press.
Kelley, Michael W. 1998. The Impulse of Power, Formative Ideals of
Western Civilization. Minneapolis: Contra Mundum Books.
Langer, William L., et.al. 1968. Western Civilization; The Struggle for
Empire to Europe in Modern World. New York: A Harper-
Amerikan Text Book.
Power, F. Clark. et.al (ed). 2008. Moral Education: A Handbook; Volume
1 & 2. Westport: Praeger.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cetakan II.
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer,
Antara Mode Pemikiran dan Model Pembacaan
Mohammad Muslih
Program Pascasarjana ISID Gontor
Email: muslih@isid.gontor.ac.id
Abstract
This paper examines mode of Islamic thought is developing today, which
was then known as Contemporary Islamic Thought, by searching the role of
logic and reasoning behind the idea. Three main issues are addressed: first, the
project of contemporary Islamic thought, which is a radical reading of the
construction of epistemology of sciences and building of logical basic of
traditions, culture and civilization, by taking the authentic (al-ashâlah) and inner
structure (bunyah), so that it can be transformed to the present. Second, the mode
of contemporary Islamic thought, related to attitudes toward tradition (turâts)
on the one hand and attitudes towards modernity (hadâtsah) on the other. In
contrast to the traditional thought that addressing modernity with a priori for
conservation, are also different from modern thought that response to the
tradition as something that must be eliminated for the sake of progress;
Contemporary Islamic thought involved a critical reading of tradition and
modernity, before bringing them within the framework of contemporary
challenges. And third, the model of contemporary readings, by indicate
methodological tools of scientific work. Hermeneutics, criticism, and
deconstruction are three species of readings that be able to break through the
scarcity of methodological for reading complexity of culture and problems
of humanity in general, which has not been available instrument for that.
Tulisan ini mengkaji mode pemikiran Islam (mode of thought) yang ber-
kembang dewasa ini, yang kemudian dikenal dengan Pemikiran Islam Kontem-
porer, dengan melakukan penelusuran terhadap logika dan nalar yang berperan
di balik pemikiran itu. Tiga isu utama yang dibahas, yaitu pertama, proyek pemi-
Pendahuluan
T
iga sampai empat dasawarsa terakhir ini dinamika pemikiran
Islam menunjukkan trend yang sama sekali baru.
Perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya-karya
akademis dan intelektual sebagai pembacaan ulang terhadap warisan
budaya dan intelektual Islam. Bila dilihat dari awal kemunculannya,
fenomena pemikiran baru ini sesungguhnya merupakan respon atas
kekalahan bangsa Arab di tangan Israel pada perang enam hari Juni
1967. Peristiwa itulah yang menjadi garis pemisah antara apa yang
disebut dengan pemikiran modern dan pemikiran kontemporer,
Problem utama pemikiran Islam Kontemporer umumnya
terkait sikap terhadap tradisi (turâts) di satu sisi dan sikap terhadap
modernitas (h}adâtsah) di sisi yang lain. Berbeda dengan pemikiran
tradisional yang menyikapi modernitas dengan apriori demi
konservasi, juga berbeda dengan pemikiran modern yang menyikapi
tradisi sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan demi kemajuan;
pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan kritis terhadap
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 349
1
Lihat misalnya Hasan Hanafi dengan proyek al-Turath wa al-Tajdid (Al-Qahirah:
Maktabah Anjlu Misriyyah, 1987), demikian pula Abied Jabiri dengan proyek al-Turats wa
al-Hadatsah. (Beirut, Al-Markas al-Tsaqafi al-Arabi, 1991)
2
M. Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, (Bandung: Pustaka,
1997), h. 120. M. Arkoun membedakan antara modernism material dan modenisme pemikiran.
Yang pertama terkait kerangka eksternal eksistensi manusia seperti industrialisasi. Sedangkan
modernism pemikiran adalah mencakup metode atau kerangka berfikir dan sikap rasional
yang mempercayai rasionalitas lebih sesuai dengan realitas.
3
Istilah “pembacaan kontemporer” dipinjam dari beberapa intelektual Muslim
kontemporer seperti Muhammad Syahrur dan Abied al-Jabiri yang telah memperkenalkan
qirâ’ah mu’âshirah terkait metode interpretatif yang mereka tawarkan. Syahrur menulis di
antaranya: Al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu’âshirah, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992). Sedang
Abied al-Jabiri tampak dalam karyanya: Nahnu wa Turats: Qirâ’ah Mu’âshirah fi Turâtsina al-
Falsafi, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1993)
4
Ghada Talhami, “An interview with Sadik Al-Azm - University of Damascus
professor - Interview,” Arab Studies Quarterly (ASQ). Summer, 1997. FindArticles.com. 11
Jun. 2007. http://findarticles.com/p/articles/mi_m2501/is_n3_v19/ai_20755838.
5
R. Hrair Dekmejian, Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World
(Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1985), 84.
6
Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought. SUNY,1990, 2.
7
Misalnya Adib Nasur, al-Naksah wa al-Kha ’ (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1968);
Yusuf al-Qaradawi, Dars al-Nakbah al-Thaniyah: Limadha Inhazamna wa Kayfa Nantasir
(Al-Qahirah, 1987).
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 351
8
Nakhlah Wahbah mencoba menganalisa seluruh bentuk respond an reaksi serta
interpretasi intelektual Arab terhapad peristiwa ini dalam artikelnya yang berjudul, “Ittijahat
al-Mufakkirin al-‘Arab hawl al-Hazimah 1967,” al-Mustaqbal al-‘Arabi, Vol. 9, no, 88, June
1986, 18-39.
9
‘Abdullah al-‘Arwi, Ayduyulujiyyah al-‘Arabiyyah al-Mu‘asirah, 2nd ed (Beirut: Al-
Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1999). 1st ed 1967.
10
Beirut: Dar al-Tala‘ah, 1969, “A summary discussion of this book can be read” in
Nissim Rejwan, Arabs Face Modern World (Gainesville: University Press of Florida, 1998),
107-113.
11
Syria: Dar al-Hisad li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1997. 2nd ed.
12
Adonis, “Khawatir hawl Mazahir al-Takhalluf al-Fikri fi al-Mujtama‘ al-‘Arabi,” al-
Adab, no. 5, May 1974, 27.
13
Buku ini diterjemahkan Hashim Salih, murid dan juga teman baik Arkoun, kedalam
bahasa Arab dan diberi judul Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, (Beirut: Markaz al-Inma’
al-Qawmi, 1986). Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dan
diberi judul Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta:
INIS, 1994).
14
Mohammad ‘Abied al-Jabiri, pemikir muslim kontemporer adalah seorang
antropolog kelahiran Maroko, 1936. Gelar doktornya diperoleh pada Universitas al-Khamis
Rabat Maroko. Di tempat yang sama, sejak tahun 1976 menjadi dosen dalam bidang filsafat
dan pemikiran Islam pada Fakultas Sastra.
15
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats (Al-Dar al-Bayda’: Al-Markaz al-
Thaqafi al-’Arabi, 1983).
16
Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990.
17
Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1991.
18
Hisham Sharabi, Al-Nizam al-Abawi wa Isykaliyah Takhalluf al-Mujtama’ al-‘Arabi,
(Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1993)
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 353
22
Lihat Zuhairi Misrawi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme Islam,
Geliat Pemikiran Islam Arab”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, 58-59.
23
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Translated by JMD. Meiklejohn, (New
York: Prometheus Books, 1990)
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 355
29
M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisonalisme Islam, (peny. Ahmad Baso), (Yogyakarta:
LKIS, 2000), xxxii.
30
Mohammed Abied Al-Jabiri, Takwîn..., 5-6 & 13-16.
31
M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisonalisme..., 24.
32
Ibid, 25.
33
Ibid, 28.
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 357
34
Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”,
dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, 33.
35
Beirut: Dar ath-Thali’a, 1980.
36
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta:
LKIS, 2001), 64.
37
Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal Arab:
Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”, dalam M. Aunul Abied Shah
(ed.), Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001),
304.
38
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi..., 65.
39
M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisionalisme…., 6.
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 359
yang menurut skema al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu:
Pertama, disiplin “eksplikasi” (‘ulum al-bayân) yang didasarkan pada
metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan
memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan me-
nyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui,
apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua,
disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfân) yang didasarkan pada wahyu dan
“pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan me-
masukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap
Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin
bukti “inferensial” (‘ulum al-burhân) yang didasarkan atas pada me-
tode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelek-
tual.40 Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani
adalah intuitif, dan metode burhâni adalah empirik, dalam episte-
mologi umumnya.
40
M. Abied Al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘arabi, Vol 1, 56-71.
makna dari teks atau wacana, serta proses produksinya, bukan pada
realitas yang menjadi objek “pembicaraan” teks atau wacana. Yang
terakhir ini juga ciri paling mencolok yang membedakannya dengan
model pembacaan tradisional pada umumnya.
Sebagai model pembacaan kontemporer, kehadiran hermeneu-
tika, kritik, dan dekonstruksi sebenarnya merupakan reaksi dan
kritik atas model pembacaan tradisional dan konvensional yang
mempercayai kekuatan metodologi dan sistem (manhaj) secara rigit.
Artinya, hanya dengan metodologi dan sistem yang tepat, pembaca
dapat mengambil makna dengan tepat pula. Karena bacaan, teks,
wacana, dan pengetahuan pada umumnya, diandaikan terbangun
hanya dengan metodologi dan sistem yang rigit juga. Pandangan
demikian memang cukup populer dan dominan pada pemikiran
modern dengan patok-patok standar ilmiah (scientific) dan pemikiran
klasik dengan kekuatan otoritasnya. Dengan begitu, sisi-sisi personal
dan psikis pembaca, kondisi sosio-kultural dan interest pembaca, dan
kekuatan hegemonik ideologis-politis pembaca, tidak mendapat
dukungan metodologis, sehingga bukan saja perannya diabaikan,
tetapi bahkan peran itu dianggap tidak ada sama sekali.
Hermeneutika bukan hanya menerima peran sisi personal dan
sosial pembaca, tetapi ia bahkan menyediakan dukungan metodo-
logis untuk aspek personal dan sosial itu sebagai bagian tak terpisah-
kan dalam proses pembacaan (dan produksi pengetahuan). Jadi ter-
jadi pertemuan antara subyektifitas pembaca dan obyektivitas teks.41
Sementara “kritik”, lebih jauh lagi, ia memasuki basis ideologis-politis
dan berbagai interest42 di balik produksi teks dan wacana. Sedang
dekonstruksi (bukan destruksi) melakukan pembongkaran terhadap
pemikiran (apapun), yang selama ini diterima begitu saja, dengan
41
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Hans-George Gadamer dan Pengembangan
Ulumul Qur’an dan Pembacaan Al-qur’an Pada Masa Kontemporer, dalam Syafa’atun Almirzanah
dan Sahiron Syamsuddin (editor),Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan
Hadis, (Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2009), 38-39
42
Sekedar contoh, seperti tampak pada proyek metodologis “Kritik Nalar” Al-Jabiri,
yang terbagi atas dua model, yaitu kritik nalar epistemologis dan kritik nalar politik. Kritik
nalar epistemologis, sifatnya spekulatif, yang mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Sedangkan nalar politik adalah nalar praktis yang melakukan kritik pemikiran
dalam bagaimana cara berkuasa, menguasai, dan mempertahankan kekuasaan. Lihat Ahmad
Baso, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal Tashwirul
Afkar, No. 10, Tahun 2001, 33.
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 361
43
Deconstruction (al-tafkik) adalah istilah metodologis untuk menunjuk suatu upaya
penelusuran dari dalam dengan mengungkap aneka ragam aturan yang sebelumnya tidak
tampak dan tidak dikatakan dalam teks, l’impense (yang tidak pernah terpikirkan), l’impensable
(yang tidak mungkin terpikirkan), dan le pense (yang dapat dipikirkan), lihat Mohammed
Arkoun, al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, Hasyim Shalih (pent.), (Beirut: Markaz al-
Inma’ al-Qawmi, 1987), h. 23.
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 363
Penutup
Kekalahan politik Arab-Islam oleh Barat pada tahun 1967, telah
dilihat pemikir muslim sebagai kekalahan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bahkan kekalahan peradaban. Limadha taakhkhara al-
muslimun wa taqaddama ghairuhum, demikian kegelisahan mereka
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 365
Daftar Pustaka
Adonis, “Khawatir Hawl Mazahir al-Takhalluf al-Fikri fi al-Mujtama‘
al-‘Arabi,” al- dab, no. 5, May 1974.
Al-‘Arwi, ‘Abdullah, Ayduyulujiyyah al-‘Arabiyyah al-Mu‘asirah,
(Beirut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1999).
Al-‘Azm, Sadiq Jalal, al-Naqd al-Dhâti ba‘d al-Hazimah, (Beirut: Dar
al-Fala‘ah, 1969
Al-Fajjari, Mukhtar, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhammad Arkoun,
(Dar al-Thali’ah).
Al-Jabiri, Abied, al-Tura> ts wa al-H}ada> tsah. (Beirut, Al-Markas al-
Tsaqafi al-Arabi, 1991).
Al-Jabiri, Abied, Nah}nu wa Turats: Qirâ’ah Mu’âshirah fi Turâtsina
al-Falsafi, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1993).
Al-Jabiri, M. Abied, Post Tradisonalisme Islam, (peny. Ahmad Baso),
(Yogyakarta: LKIS, 2000), p. xxxii.
Al-Jabiri, Mohammed Abied, Takwîn al-’Aql al-’Arabi, (Beirut:
Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2002);
Binyah al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah
al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2004)
Al-Jabiri, Muhammad Abied, Nahnu wa al-Turats (Al-Dar al-Bayda’:
Al-Markaz al-Thaqafi al-’Arabi, 1983).
Al-Qaradawi, Yusuf, Dars al-Nakbah al-Tsaniyah: Limadha
Inhazamna wa Kayfa Nantasir (Al-Qahirah, 1987).
Al-’Ulwani, Taha Jabir, Islah al-Fikr al-Islami (Virginia: Al-Ma’had
al-’Alami li al-Fikr al-Islami).
An-Na’im, Abdullah Ahmad, Towards an Islamic Reformation
(Syracuse: Syracuse University Press, 1990)
Arkoun, M. dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok,
(Bandung: Pustaka, 1997).
Arkoun, Mohammad, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa
Nafhamu al-Islam al-Yawm?, (Dar al-Thali’ah).
Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 367
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam:
Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
Nirwan Syafrin
International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur
Email: nirwan_syafrin@yahoo.com
Abstract
Islamic Jurisprudence is a knowledge on the practical Islamic law based
on its detailed approve concerning with the deeds of human. This article
discusses on the position of Jurisprudence in relation with two different functions,
indeed as a positive law and moral standard. In order to derive the Islamic law
from its primary sources, al-Qur’an and the Sunnah, Islamic Jurisprudence
needs theoretical tool and methodology which commonly named as the Principle
of Islamic Jurisprudence. So the Islamic Jurisprudence is considered as Islamic
epistemology which stands as the basis of the development of Islamic
Jurisprudence as a knowledge. As the basis of epistemology, the principle of
Islamic Jurisprudence is closely related to theology. Furthermore, this knowledge
develops a principle on adillah which its foundation has been constructed by
Syafi’i, indeed al-Qur’an, the Sunnah, Ijma’ and Qiyas. Since constructed by Syafi’i,
this Principle of Islamic Jurisprudence has some changes and innovations. This
innovation has been in the long duration of time with complicated problems
and helped the ummah to solve the problems.
Pendahuluan
F
iqh menempati posisi penting dalam peta pemikiran Islam. Ia
merupakan salah satu produk par excellence yang pernah
dihasilkan peradaban Islam; ia bukan hasil adopsi apa lagi
jiplakan dari Hukum Romawi (Roman Law) seperti dikatakan
sebagian orientalis, tapi murni hasil kreativitas intelektual Muslim
yang sepenuhnya berakar pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
1
Profesor Bernard Weiss menulis “The refusal to accord to law an autonomous textual
basis created in Muslims an attitude which made it impossible for them to embrace Roman law...what
is important here is that Roman law could not be formally received into Islam: that was impossible.”
Bernard Weiss, “Law in Islam and in the West: Some Comparative Observation”, dalam
Wael B. Hallaq and Donald P. Little (eds.), Islamic Studies Presented to Charles J. Adams
(Leiden: E.J. Brill, 1991), p. 245. Muhammad ‘Abid Al-Jabiri mengatakan apapun usaha yang
dilakukan untuk mengaitkan fiqh Islam dengan hukum Roman hanya akan sia-sia saja.
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-
‘Arabiyyah, 1989), p. 96.
2
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, p. 96.
3
Joseph Schacht, “Theology and Law in Islam”, dalam G.E. von Grunebaum (ed.),
Theology and Law in Islam, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1969); p. 3. Jauh sebelum
Schacht, Hurgronje, orientalis kawakan asal Hungaria, juga pernah menyatakan pernyataan
yang sama: “Islam is a religion of law in full meaning of the word.” Lihat G-H. Bosquet dan
Joseph Schact (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957), p. 48.
4
H.A.R. Gibb, Mohammadenism (London: 1949), p. 106. Pernyataan ini mulanya
diungkapkan oleh Bergstrasser. Kemudian dikutip oleh Gibb, dan selanjutnya dipopulerkan
oleh Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law. Schacht menuliskan
“Islamic laa is the epitome of Islamic thought, the most typical manifestation of the Islamic
way oflife, the core and kernel of Islam itself.” An Introduction to Islamic Law (Oxford:
Clarendon Press, 1984), p. 1. lihat juga idem, “Islamic Religious Law”, dalam Joseph Schacht
dan Charles E. Bosworth (eds.), The legacy of Islam (Oxford: Clarendon Press, 1974), p. 392.
5
Wilfred Cantwell Smith, “The Concept of Shari‘a Among Some Mutakallimin”,
dalam George Makdisi (ed.), Arabic and Islamic Studies in Honor of Hamilton A.R. Gibb
(Leiden: E.J. Brill, 1965). Daniel S. Lev menulis: “but for many devout Muslims, traditionalist
and modernist, Islam without Law is imaginable”. Islamic Courts in Indonesia (Berkeley:
University of California Press, 1972), p. 228; Joseph Schacht, “Theology and Law in
Islam”, p. 3.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 229
6
Muhammad Mustafa Imyani menyebutkan sebelas bahasan pokok fiqh yaitu, ‘Ibadat,,
Mu‘amalat, hukum keluarga, hukum makanan dan minuman, hubungan internasioanl pada
masa perang dan aman, hudud dan jinayat, kehakiman (judicial/al-qad}a’> ), sumpah (al-Ayma>n),
hukum tentang hamba, hukum tentang pelombaan dan permainan, dan terakhir hukum yang
bersangkutan dengan kematian. Lihat “Al-Dirasat al-Fiqhiyyah”, dalam Al-Dirasat al-
Islamiyyah, silsilah al-nadwat (Al-Qahirah: Dar al-Fikr, 1981), p. 143-146. Bandingkan dengan
‘Umar Sulayman al-Ashqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982), p. 19-
21.
7
‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}ul al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), p. 22. Para
‘ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalam definisi ini.
Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pasti dan yakin (al-
qat}‘i)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat d}anni. Oleh sebab itu Abu Isha>q al-Syira>zi
mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al-ahkam. Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi (w.
393), Syari al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-Islami, 1989)
1. p. 158-9. Seperti Syirazi, Hadr al-Syari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama. Menurutnya
fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma laha wa ma ‘alayha”. Al-Talqih Syari al-Tanqih, diedit oleh
Najm al-Dan Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), p. 26.
8
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and
Unwin Ltd, 1957), p. 178 dan 193.
9
Fyzee, A Modern Approach to Islam (Bombay: Asia Publishing House, 1963), p. 31.
10
N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edindurgh: Edinburgh University Press,
1978), p. 83.
11
Robert Brunschvig, “Logic and Law in Classical Islam,” dalam G. E. von
Grunebaum (ed.), Logic in Classical Islamic Culture (Weisbaden: otto Harrasowitz, 1970), p. 9.
12
Bernard G. Weiss, “Introduction”, dalam Bernard G. Weiss, The Search for God’s
Law (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992), p. 7
13
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and Orientalists (Lahore: Islamic
Publications (Pvt) LTD, 1994), p. 245.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 231
14
Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’ah lihat ‘Umar Sulayman
al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, p. 17-19.
15
Jamal al-Din ‘Abd al-Rahim bin al-Hasan al-Asnawi (w. 772), Nihayah al-Suwl fi
Shari Minhaj al-Usul (w. 685), (Bayrut: ‘Alam al-Kutub, t.t),vol.1, 5. Para ‘ulama mendefinisikan
‘ilm ini secara variatif.. Baqillani menyebutnya sebagai “dasas pokok ilmu tentang hukum
perbuatan mukallaf”, lihat, Al-Taqrib wa al-Irsyad, 1:172. Sementara itu, Imam al-Haramayn
mendefinisikannya sebagai “dalil-dalil fiqh” saja, Al-Burhan, p. 8.
16
‘Ali Sama al-Nasysyar, Manahij al-Bahth ‘Inda Mufakkir al-Islam (Qahirah: Dar al-
Ma‘arif, 1966), p. 64-65.
17
Lihat misalnya Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syawkani (w. 1255), Irsya>d
al-Fuh}u>l ila> Tah}qiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}u<l, diedit oleh Ahmad ‘Abd al-Salam (Bayrut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah,1994), p. 373.
18
Abu Zakariyya Muhy al-Din bin Sharf Al-Nawawi (W .676), Tahdhib al-Asma’ wa
al-Lugha>t (Mesir: Idarah al-Tiba‘ah al-Muniriyyah, t.t), 1: 49; Abu al-Fala ‘Abd al-Hayy bin al-
‘Imadi al-Hanbali (d. 1089), Syadhara>t al-Dhahab fi Akhba>r man Dhahab (Bayrut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, n.d), 2:10; Abu al-‘Abbas Shams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abu
Bakr bin Khalkan, Wafaya>t al-‘A’ya>n wa Anba> ‘u Abna’ al-Zama>n, ed. Ihsan ‘Abbas (Qum:
Mansyurat al-Rida, 1342), 4:165. Belakangan ini beberapa penulis meragukan pendapat ini.
Ahmad Hasan misalnya menulis “the claim that Shafi‘i was the first legal thinker who introduced
the principles of law would not seem to be correct.” Ini berdasarkan keterangan Ibn Nadim yang
menyatakan bahwa Imam Syaybani dan Abu Yusuf juga memiliki buku yang berjudul Usul
Fiqh. Bahkan ada pendapat yang mengatakan Wahil bin ‘Ata’ lah orang yang pertama sekali
menulis tentang usul fiqh.Ahmad Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad,
Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1994), p. 179ff.
19
Fakhr al-Din al-Razi, Mana>qib al-Imam al-Syafi‘i (Bayrut: Dar al-Jil, 1413/1993), p.
146.
20
Muhammad Jamal Barut, “Al-Ijtihad bayn al-Nas} wa al-Waqi‘,” in Ahmad Raysani
and Muhammad Jamal Barut , Al-Ijtiha>d: al-nas}, al-waqi‘, al-mas}lah}ah (Bayrut: Dar al-Fikr al-
Mu‘a>s}ir & Dimashq: Dar al-Fikr, 2000), p. 77-78.
21
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, p. 100.
22
‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, p. 15.
23
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal
(New York: Pantheon Books, 1958), vol. 3, 24. Lihat juga misalnya ‘Abd al-Wahhab Ibrahim
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 233
Abu Sulayman, Al-Fikr al-Usuli, dirasah tahliliyyah naqdiyyah (Jeddah: Dar al-Shuruq, 1984);
Taha Jabir al-‘Ulwani, Usul al-Fiqh manhaj bah}ts wa ma’rifah (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li
al-Fikr al-Islami, 1995). Dalam bukunya Tamhid li t-Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Mustafa
‘Ali Abdul Raziq telah membahas bagaimana tradisi ijtihad, ketika itu dinamakan al-ra’y,
sesungguhnya sudah berkembang sejak zaman Rasul. Dengan demikian beliau membantah
pandangan orientalis yang selalu mengaitkan perkembangan pemikiran Islam, baik falsafah
maupun fiqhnya, dengan pengaruh Yunani, Kristen, dan empayar Roman. Lihat Mustafa ‘Ali
‘Abdul Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah (Al-Qahirah: Maktabah al-Thaqafah
al-Diniyyah,TT).
24
N.J. Coulson, A History of Islamic Law, p. 55.
25
Joseph Schact, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon
Press, 1959), p. 137.
26
C. E. Bosworth et al (eds.), The encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1997),
“Shafi‘i”, vol. 9, p. 1983.
27
Wael Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University
Press, 1997), p. 37
28
Al-Baqillani, Al-Taqrib wa al-Irsya>d, vol.1, 172ff.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 235
29
Al-Ghazali, Al-Mustas}fa>, vol.1, p. 45.
30
Al-Juwayni, Al-Burha>n, p. 7.
31
Lihat Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, terj. Roshental, vol. 3, p. 29-30.
32
Untuk keterangan lanjut tentang proses integrasi usul fiqh dengan ilmu kalam lihat
Qutb Mustafa Sano, “Al-Mutakallimun wa Usul al-Fiqh,” Isla>miyyah al-Ma’rifah, no.9, July
1997, p. 37-70.
33
Gorge Makdidi, “Ther Juridical Theology of Sha>fi‘i> - Origins and Significance of
Us}ul Fiqh,” Studia Islamica, MCMLXXXIV, p. 45.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 237
37
Fakhr al-Din al-Razi, Mana>qib, p. 63.
38
Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Imam Syafi‘i wa ta’sis al-aydulu>jiyyah al-wasat}iyyah
(Al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1996), cet.2, p. 93.
39
‘Abd al-Wahhab Ibrahim Abu Sulayman, Manhajiyyah Al-Imam Muhammad bin
Idris al-Syafi‘i (ra) fi Us}u>l al-Fiqh: ta’sil wa tah}lil (Bayrut; Dar Ibn Hazm & Makkah al-
Mukarramah: Al-Maktabah al-Makkiyah, 1999), p. 27 & 28.
40
Manna‘ Qattan, Tarikh Tasyri’ Islami, p. 374.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 239
43
Lihat Mahmud Muhammad al-Hanawi, Al-Madkhal ila al-Fiqh al-Islami: Tarikh
Tasyri’ wa Mahdiruhu..wa Nazariyyat al-Fiqhiyyah (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1408H/
1987), p. 118-122; ‘Abd al-Rahman al-Albani et al, Al-Madkhal al-Fiqhi wa Tarikh al-Tasyri‘ al-
Islami (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1982), p. 249-252. Apalagi ketika sunnah rasul tersebut
dianggap telah menyatu menjadi bagian sistem sosial masyarakat Madinah sehingga praktek-
praktek masyarakat Madinah (‘amal ahl madinah) pun dijadikan referensi hukum sebagaimana
yang dilakukan oleh Imam Malik. Keterangan lanjut tentang otoritas praktek-praktek
masyarakat Madinah ini, lihat: Yasin Dutton, The Origins of Islamic Law (Surrey: Curzon
Press, 1999).
44
Al-Juwayni, Al-Burha>n, p. 8.
45
Al-Razi, al-Maqa>l, vol.1, p. 45.
46
Perdebatan seputar ta‘lil al-ahka>m ini sudah banyak dibahas para ‘ulama dulu dan
sekarang. Salah satu buku yang secara ekstensif membahas masalah ini adalah karya
MuÍammad Mustafa Syalabi yang diangkat dari disertasi doktornya di Azhar. Ta‘lil al-Ahka>m
(Bayrut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1981). Isu ini juga dibahas Ahmad Raysani, Nazariyyah
al-Maqasid ‘Ind al-Imam al-Syaibani (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995),
terutama Bab 3, fasal 1.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 241
52
Al-Syatibi, al-Muwafaqa>t, vol. 1, p. 56.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 243
mengetahui semua ini hanya dengan akal atau indera semata. Karena
alam metafisika diluar jangkauan kedua sumber ini. Kita tidak tahu
Tuhan karena Dia sendiri yang mendiskripsikan tentang diriNya ke-
pada kita melalui firmanNya dalam al-Qur’an. Tanpa wahyu ini, kita
akan buta sama sekali mengenai Tuhan. Karena bersumber dari yang
Maha Mengetahui, maka mustahil ia salah. “Revelation (wahy), which
all prophets received from Divine source, is the most certain knowledge.”53
Selain al-Qur’an, Sunnah juga merupakan sumber otoritatif
ilmu. Berbeda dengan al-Qur’an yang keselurahannya dijamin benar,
sunnah tidak demikian. Karena tidak seluruh sunnah qat}‘i al-wurud.
Hanya yang qat}‘i al-wurud, dalam hal ini hadits mutawatir, yang
dijamin kebenaranya. Berbicara mengenai sunnah maka kita tidak
bisamelepaskan diri dari Syafi‘i. Karena dialah yang pertama sekali
memformulasikan konsep sunnah dan hadits, serta otoritas hadits
ahad. Dia jugalah yang mempertahankan otoritas (hujjiyah) sunnah
sehingga menjadi sumber hukum. Oleh sebab itu kata Hallaq “it would
not be an exaggeration to state that the treatise (i.e. al-Risa>lah) represents a
defense of the role of the Prophetic reports in the law, as well as of the
methods by whcih the law can be deduced from those reports.”54
Usaha Syafi‘i menkoseptualisasikan sunnah sebenarnya
didorong oleh realitas saat itu, di mana sunnah telah dipahami secara
arbitrari. Terkadang bahkan terjadi percampuran antara apa yang
disebut dengan sunnah nabi dengan sunnah sahabat, sunnah dalam
arti tradisi yang berkembang, dan dengan pendapat individual (ra’y).
Syafi‘i kemudian merevolusi makna Sunnah dengan hanya mem-
batasinya kepada rasulullah, tidak kepada yang lain. Dia kemudian
mengidentikkan sunnah dengan hadits. Artinya sunnah rasul hanya
dapat diketahui melalu jalur hadits sahih. Hadits sahih menurut Syafi‘i
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang terpercaya (tsiqah)
dan dari orang terpercaya pula hingga sampai pada rasulullah (saw),
dengan syarat tidak bertentangan dengan hadits sahih yang lain
(shadh). 55 Sebelum Syafi‘i, sunnah mengandung multi-arti; bisa
53
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam and its implications for
education in a developing country (London: Mansel, 1989), p. 36.
54
Wael Hallaq, A History, p. 24.
55
Muhammad bin Idrus al-Shafi‘i, “Kitab Ikhtilaf Shafi‘i wa Malik,” dalam Al-Umm,
disupervisi dan koreksi oleh Muhammad Zuhri al-Najjar (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, n.d), vol.
7:191. Definisi ini telah menjadi standard dalam ilmu hadith. Sejumlah muhaddithin seperti Al-
Khatib, Ibn ‘Uday, al-Hakim bahkan telah mengadopsinya kedalam buku mereka masing-
masing. Sa‘ad bin Umar Ghazi, “Kalimah Muhaqqiq al-Kitab,” dalam Manawi, Manaqib, p. 10.
56
Lihat Zafar ishaq Ansari, “Islamic Juristic Terminology Before Safi’i: A Semantic
Analysis with Special Reference to Kufa,” Arabica, 19 (October 1972), 3. Cf. Ahmad Hassan,
Early Development, 85-109; M. MuÎtafa Al-Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: The Oxford Center for Islamic Studies & The Islamic Text Society,
1996), p. 29-36.
57
G.H.A. Juynboll, “Some New Ideas on the development of Sunna As A Technical
Term in Early Islam,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 10 (1987), p. 108.
58
Lihat Joseph Schacht, Origins, p. 3. Pendapat Schact ini telah mendapat kritikan
banyak kalangan, termasuk dari orientalis. Lihat mislanya M. MuÎtafa Al-Azami, On Schacht’s
Origins.
59
Shakwani, Irsya>d al-Fuh}u>l, p. 372.
60
Syatibi, al-Muwa>faqa>t, vol. 1, 57.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 245
61
Lihat misalnya Jamal al-Banna, Nah}wa Fiqh Jadid (Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Islami,
t.t), p. 8.
62
Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadian
Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), p. ix.
63
Lihat misalnya Amina Wadud, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspektif (New York: Oxford University Press); Nasaruddin Umar, Bias Jender
dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000); dan Masdar F. Mas’udi,
“Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning,” dalam Membincang Feminisme: Diskursus
Gender Perspektif Islam (Surabya: Risalah Gusti, 1996), p. 167-180.
64
Lihat misalnya Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta:
Fikahati Aneska, 2000); dan Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di antara Lembaran Kitab
Kuning,” dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabya: Risalah
Gusti, 1996), p. 167-180.
65
Turabi, Hasan, Tajdid Usul al-Fiqh al-Islami (Jeddah: Al-Dar al-Su’udiyyah1404H/
1984M), p. 9-13. Tulisan ini kemudian dipublikasikan lagi dalam Hasan Abdullah Turabi,
Qad}iya al-Tajdid, Nah}wa Manhaj Usuli (Khartym: Ma‘had al-Buhuth wa al-Dirasat al-
Ijtima‘iyyah) pada bab 4. tentang Tajdid Usul al-Fiqh.
66
Lihat ‘Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah al-‘Aql al-Muslim (Virginia: Al-Ma‘had
al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1994), 73. idem, Crisis of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal DeLorenzo
(Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1997), p. 80.
67
Dimashq: al-Ahali, 1990.
68
Dimashq: Dar al-Ahali, 2000.
69
Banyak sekali buku kritikan atas karya Shahrur al-Kitab wa al-Qur’an. Ada yang
sangat semosional, tapi tak sdikit yang juga ilmiyah. Misalnya Mahir al-Munajjid, al-Isykaliyya
al-manhajiyya fi “Al-Kitab wa al-Qur’an” (Bayrut: Dar al-Fikr, 1994).
70
Nasr Hamid Abu Zayd, “Limadhataghat al-talfiqiyya ‘ala kathir min masyra’at tajdid
al-Islam?,” Al-Hilal, Oktober 1991, 17-72, dan idem “al-manhaj al-Nafi‘ fahm al-nusus al-
diniyya,” Al-Hilal, March 1992.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 247
71
Pembahsannya mengenai Syafi’i dapat diabca di Muhammad Arkoun, Tarikhiyya
al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, terj, Hashim Aleh (Bayrut: Markaz al-Inma‘ al-Qawmi dan al-
Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996), khususnya Bab kedua, Mafhum al-‘Aql al-Islami.
72
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press,
1984), p. 5.
73
Ibid, p. 19.
74
Untuk keterangan lanjut lihat Ibid., p. 19-20.
75
Lihat misalnya Qutb Mustafa Sanu, “Fi Murtakazat Tajdid al-Fikr al-Usuli, “ dalam
Tafakkur, jilid 1 dan 2, no. 1 dan 2, 1421H/2000 dan Ahmed Kazemi Moussavi, “A Schema
of Islamic Legal Methodology (Usul Fiqh) in early Islam,” dalam Al-Shajarah, vol. 9, no. 1,
2004, p. 1-42.
76
Belakangan ini sumbangan Syatibi dalam usul fiqh Islam telah mendapat perhatian
banyak kalangan. Menariknya banyak kelompok liberal yang juga menjadikannya sebagai
rujukan untuk memperkuat dan memperteguh posisi keliberalan mereka, meskipun pada
kadar tertentu Syatibi sendiripun mungkin tidak akan sepakat. Untuk kajian detail tentang
pikiran Syatibi lihat: Hammadi al-‘Ubaydi, al-Syatibi wa Maqatid al-Syari‘ah (Dimashq: Dar
Qutaybah, 1992); Ahmad Raysani, Nazariyyah al-Maqatid ‘ind al-Imam al-Syatibi (Virginia:
Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1416H/1995); Muhammad Khalid Mas’ud, Shatibi’s
Philosophy of Islamic Law (Pakistan: Islamic Research Institute, 1995).
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 249
sini, usul fiqh tetap berputar pada pusaran epistemologi Islam. Para
‘ulama pembaharu itu tetap menjadikan teks al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber otoritatif dan mendudukkan akal dibawah telunjuk
keduanya.
Hal ini jauh sekali berbeda dengan pemikir liberal Muslim
kontemporer. Mereka cendrung menjadikan usul fiqh tak lebih dari
sekedar bahan untuk menjustifikasi realitas yang ada. Teks al-Qur’an
dan sunnah ditundukkan pada kehendak waktu dan tempat, pada
akal dan kepentingan sesaat. Mereka telah menjungkir balikkan
struktur epistemologi Islam. mereka meletakkan realitas sosial yang
dihegemoni kebudayaan Barat di atas segala-galanya, hatta di atas
teks al-Qur’an dan sunnah. Realitas sosial menjadi standard kebena-
ran. Oleh sebab itu, apa pun adanya jika tidak sesuai dengan ‘teks’
realitas harus dirubah dan direinterpretasi. Dengan demikian, ayat
warisan yang memabagi anak laki-laki lebih dari perempuan harus
ditafsir ulang, karena realitas sekarang perempuan yang banyak
bekerja. Poligami harus diharamkan, karena tidak sesuai dengan
budaya masyarakat modern. Hukum hudud dan qisas harus di-
hapuskan karena tidak sesuai dengan standar International Convetion
of Human Rights, demikian Abdullah Ahmad an-Naem menjelas-
kan.77 Dan atas nama realitas juga, wanita Muslimah boleh nikah
dengan lelaki non-Muslim.78 Para pemikir Muslim liberal mengkritik
usul fiqh klasik karena berpaut erat pada teks-teks al-Qur’an dan
sunnah. Tanpa mereka sadari, saat ini mereka juga sedang ber-
gantung pada tek-teks ‘realitas sosial’.
Ketergantunga fiqh pada teks al-Qur’an dan sunnah sebenarnya
bertujuan untuk menjaga objektivitas hukum.79 Hukum yang tidak
punya rujukan hanya akan menimbulkan keonaran (chaos). Karena
setiap orang akan memberikan interpretasinya masing-masing sesuai
dengan kepentingannya. Persoalan teks dalam koridor hukum bu-
77
Abdullah AÍmad An-Na’im lima sektor penitng dalam sektor publik dimana hukum
Islam tidak bisa diterapkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusian hari ini.
Kelima-lima bidangitu adalah: tentang Konstitusi, Hukum Kriminal, Hubungan Internasional,
dan hak asasi Manusia. Lihat Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse
University Press, 1990).
78
Lihat Pembaharuan Hukum Islam,Ccounter Legal Draft kompilasi Hukum Islam (Jakarta:
Tim Pengarusutamaan Gender DEPAG RI, 2004), p. 53.
79
Pembahasan lebih lanjut bisa dibaca di bernard Weiss, “Exotericism and Objectivity
in Islamic Jurisprudence,” dalam ed. Nicholas Heer, Islamic Law and Jurisprudence (Seatle
and London: University of Washington Press, 1990), p. 53-71.
kan hal baru yang berlaku pada hukum Islam saja. Ia berlaku di
Barat, sebagaimana juga berlaku di Indonesia. Para pengacara dan
Hakim di Indonesia punya teks yang disebut dengan KUHP. Dan
setiap keputusan akan selalu mengacu dan merujuk pada teks ini.
Kegagalan menemukan pijakan tekstualnya mengakibatkan hukum
tidak bisa diterapkan. Jadi kalau begitu, ketergantungan pada teks
bukan satu kelemahan hukum Islam. Hanya dengan demikian objek-
tivitas hukum dapat di tegakkan.
Fiqh Islam sebenarnya tidaklah sekaku yang dibayangkan
sebagian orang, yang membuta tuli bergantung pada teks, menga-
baikan realitas yang ada. Fiqh Islam memiliki nilai fleksibilitasnya
sendiri. Dia dapat mengadopsi dan beradaptasi dengan lingkungan-
nya. Dan ini telah terbukti secara historis. Sepanjang empat belas
abad, fiqh telah mengharungi bermacam ragam realitas sosial dan
politik, dari Afrika hingga Asia, dari Mesir hingga Samosir. Namun
fiqh tetap fiqh, ia masih utuh seperti ketika ia mula-mula lahir. Ini
karena fiqh memiliki mekanismenya sendiri untuk menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan yang ada.
Dalam fiqh Islam dikenal kaedah yang sangat populer
“taghayyur al-ah}ka>m bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah”, (hu-
kum berubah dengan perubahan masa dan tempat) dan “al-tsa>bit
bi al-‘urf ka al-tsa>bit bi al-nas}s}”, (‘adat bisa menjadi hukum). Kaedah
ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dan tempat dapat mem-
pengaruhi ketetapan hukum. ‘Urf (kebiasaan masyarakat setempat)
dapat dijadikan sandaran hukum dengan syarat ia tidak kontradiksif
dengan syari’at Islam, maksudnya teks eksplisit dalam al-Qur’an
yang tidak mengandung multi interpretasi. Ibn ‘Abidin menegaskan:
“’urf yang bertentangan dengan nas}s} tidak bisa menjadi pertimba-
ngan.” Selanjutnya Ibn Najim juga mengatakan: “‘Urf tidak bisa
menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada ketetapan
nassnya (al-mans}u>s} ‘alayh)”.80 Oleh sebab itu, hukum haramnya
ghibah dan dusta, wajibnya salat, zakat, puasa, haramnya riba,
hukum nikah dan talaq, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap
penzina, dan lain-lain yang oleh ulama dikategorikan qat}‘i al-tsubu>t
wa al-dila> l ah tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat
berubah.
80
Dikutip dari ‘Umar Sulayman al-Ashqar, Nazarat fi Usul al-Fiqh (Bayrut: Dar al-
Nafa’is, 199), p. 168.
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 251
Penutup
Usul fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang telah
berjasa meletakkan dasar epistemologi pemikiran Islam. Ia telah
memberikan konstruk final bagi epistemologi Islam. Dalam ilmu
ini kekuatan wahyu dan akal digabungkan menjadi satu sehingga
membentuk satu bangunan yang dinamakan epistemologi Islam.
Wahyu dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah diposisikan pada tingkat
yang teratas, karena ia bersumberkan dari yang Maha Tahu. Akal
diposisikan pada tingkat lebih rendah secara hirarkis dari keduanya,
mengisyaratkan agar akal tunduk kepada kebenaran keduanya.
Dalam konstruk ini, wahyulah yang menjadi standard kebenaran.
Belakangan ini banyak tawaran yang diajukan untuk dijadikan
sebagai alternatif kepada usul fiqh yang ada. Karena banyak menilai
bahwa usul fiqh yang ada mengandungi banyak kelemahan yang
prinsipil. Hasan Turabi, Fazlur Rahman, Arkoun, M. Shahrur, dan
al-Jabiri, dan lain-lain adalah beberapa nama yang getol untuk mem-
perjuangkan pembongkaran usul fiqh klasik tersebut. Sayangnya,
sampai detik ini, tak seorangpun yang telah memberikan sebuah
tawaran metodologi utuh dan komprehensif. Solusi dan usulan
mereka masih terlalu umum dan kabur, belum menampakkan satu
bentuk yang konkrit. Yang adanya hanya luapan-luapan kritik atas
pikiran-pikiran ‘ulama klasik. Sementara mereka sendiri masih
belum mampu melampaui prestasi para ulama ushuliyyun di masa
lalu. Belum satu pun diantara mereka yang mampu menghasilkan
karya usul fiqh yang mumpuni. Tawaran-tawaran pembaruan usul
fiqh perlu kita sikapi dengan kritis, tidak a priori. Tetapi, juga jangan
sampai kita terburu-buru membuang khazanah klasik keilmuan
Islam, hanya karena melihat ada yang baru. Apalagi, terbukti,
tawaran-tawaran pembaruan epistemologi termasuk bidang usul fiqh
juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat yang berakar pada
worldview sekular-liberal.[]
Daftar Pustaka
‘Ubaydi, Hammadi al-, al-Syat}ibi> wa Maqa>si}d al-Syari>‘ah (Dimashq:
Da>r Qutaybah, 1992)
Ansari, Zafar Ishaq, “Islamic Juristic Terminology Before Safi’i: A
Semantic Analysis with Special Reference to Kufa,” Arabica,
19 (October 1972)
Arkoun, Muhammad, Ta> r ikhiyya al-Fikr al-‘Arabi al-Isla> m i, terj,
Hashim S}a>leh (Bayru>t: Markaz al-Inma‘ al-Qawmi dan al-
Markaz al-Thaqa>fi al-‘Arabi, 1996)
Ashqar, ‘Umar Sulayman al-, Naz}ara>t fi Us}u>l al-Fiqh (Bayrut: Dar
al-Nafa’is, 199)
______, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982)
Asnawi, Jamal al-Din ‘Abd al-Rahim bin al-Hasan al- (w. 772), Niha>yah
al-Su>l fi Syari Minha>j al-Us}u>l(w. 685), (Bayrut: ‘Alam al-Kutub,
t.t),vol.1
Attas, Syed Muhammad Naquib al-, Prologomena to Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: the International Institute of Islamic
Thought and Civilization, 1995)
Azami, M. Mustafa Al-, On Schacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: The Oxford Center for Islamic Studies
& The Islamic Text Society, 1996)
Banna, Jamal al-, Nah}wa Fiqh Jadid (Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Islami,
t.t)
Baqillani, al, Al-Taqrib wa al-Irsya>d, vol.1, 172ff.
Barut, Muhammad Jamal, “Al-Ijtihad bayn al-Nass wa al-Waqi‘,” in
Ahmad Raysani and Muhammad Jamal Barut, Al-Ijtihad: al-
nass, al-waqi‘, al-mas}lah}ah (Bayrut: Dar al-Fikr al-Mu‘aÎir &
Dimashq: Dar al-Fikr, 2000)
Bosquet dan Joseph Schact (eds.), Selected Works of C. Snouck
Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957).
Bosworth, C. E., et al (eds.), The encyclopedia of Islam (Leiden: E. J.
Brill, 1997), “Shafi‘i”, vol. 9, 1983.
Brunschvig, Robert, “Logic and Law in Classical Islam,” dalam G. E.
von Grunebaum (ed.), Logic in Classical Islamic Culture
(Weisbaden: otto Harrasowitz, 1970)
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 253
Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 255
Tursbi, Hasan, Tajdid Us} u >l al-Fiqh al-Islami (Jeddah: Al-Dar al-
Su’udiyyah 1404H/1984M)
Ulwani, Taha Jabir al-‘, Us} u > l al-Fiqh manhaj bah} t s wa ma’rifah
(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995)
Umar, Nasaruddin, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta:
Fikahati Aneska, 2000)
Wadud, Amina, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from
a Woman’s Perspektif (New York: Oxford University Press)
Weiss, Bernard G., “Introduction”, dalam Bernard G. Weiss, The Search
for God’s Law (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992)
______, “Exotericism and Objectivity in Islamic Jurisprudence,”
dalam ed. Nicholas Heer, Islamic Law and Jurisprudence (Seatle
and London: University of Washington Press, 1990)
______, “Law in Islam and in the West: Some Comparative
Observation”, dalam Wael B. Hallaq and Donald P. Little (eds.),
Islamic Studies Presented to Charles J. Adams (Leiden: E.J. Brill,
1991)
Zayd, Nasr Hamid Abu, “Limadhataghat al-talfiqiyya ‘ala kathir min
masyra’at tajdid al-Islam?,” Al-Hilal, Oktober 1991
______, “al-manhaj al-Nafi‘ fahm al-nus}us al-diniyya,” Al-Hilal,
March 1992.
______, Al-Imam Syafi‘i wa ta’sis al-aydulujiyyah al-wasatiyyah (Al-
Qahirah: Maktabah Madbuli, 1996).
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966)
dan Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a<n
Yusuf Rahman
Fakultas Ushuluddin & Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: yrahman@hotmail.com
Abstract
This article discusses the ideology of Sayyid Qutb and how this ideology
has influenced his approach to the Qur’an. Although, in the beginning of his
life he saw the Qur’an as the literary text and hence the literary approach to the
Qur’an is the preferred approach, in his later life – when he became Islamist –
he revised this approach and treat the Qur’a>n as a political document. Because
of this political interpretation of the Qur’a>n, his tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n has
influenced many radical groups in Egypt and other countries. The primary
sources of this article are Sayyid Qutb’s works, especially al-Tas}wi>r al-Fanni> fi al-
Qur’a>n, Masya>hid al-Qiya>mah fi> al-Qur’a>n, and Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. These works are
read chronologically and historically to see the development of Qutb’s thought
and the shifting of his ideology. Thus, the knowledge of the social-historical
and political context of Egypt is important to determine its influence to Qutb
and vice versa. Finally, this article concludes that Qutb’s literary approach to the
Qur’an has been transformed into ideological and political approach. This shifting
is due to the changing of Sayyid’s Qutb worldview, from a secular Muslim to
be an ideological one. Furthermore, at the end of his life, he became a theoretical
ideological Islamist.
* Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jl. Kertamukti No.5 Pisangan Barat,
Ciputat, Tangerang Telp. 021 7401472
Pendahuluan
T
ulisan ini untuk menunjukkan bahwa berbeda dengan karya
para sarjana Muslim yang telah menggunakan pendekatan
sastrawi terhadap al-Qur’a>n, seperti Ami>n al-Khu>li> (1895-1966)
dan para penerusnya hingga Nas}r H{a>mid Abu> Zayd (1943-2010),
yang masih dikecam oleh kebanyakan masyarakat Muslim, karya
Sayyid Qut}b (1906-1966) justru meraih dukungan dan bahkan ideo-
logi yang dikembangkannya menjadi salah satu yang paling berpe-
ngaruh. Tesis yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bahwa
prasupposisi atau praanggapan seseorang terhadap al-Qur’an>lah yang
mempengaruhi respon dan tanggapan masyarakat Muslim yang
berbeda. Walaupun sama-sama menggunakan tafsir sastrawi, respon
masyarakat Muslim terhadap karya-karya Qut}b lebih positif di-
bandingkan dengan mazhab Ami>n al-Khu>li>.
Sebelum mendiskusikan gagasan-gagasan Qut}b, perhatian
khusus harus diberikan kepada edisi suntingan dan edisi cetakan
karya-karya Qut}b. Sebagaimana yang telah ditekankan oleh banyak
sarjana pengkaji karya Qut}b,1 Qut}b sering merevisi buku-bukunya
1
Banyak sarjana yang mengkaji Qut}b biasanya merujuk kepada berbagai perubahan
di antara edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya Qut}b. Lihat, misalnya, Adnan A. Musallam, “The
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 71
Formative Stages of Sayyid Qut}b’s Intellectual Career and His Emergence as an Islamic
Da>‘iyah, 1906-1952" (Disertasi, the University of Michigan, 1983), 231; ‘Abdulla>h ‘Awadh
al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b al-Adi>b al-Na>qid (Yordania: Maktabat al-Mana>r, t.t. [1983?]), 313;
Mhd. Syahnan, “A Study of Sayyid Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of
His Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n With Special Reference to Selected Themes,” (Tesis Magister, McGill
University, 1997).
Namun, edisi berbeda buku-bukunya yang lain juga memperlihatkan berbagai
perubahan dan penambahan. Lihat, misalnya, William E. Shepard yang mengkaji edisi berbeda
karya Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, dalam Sayyid Qut}b and Islamic Activism
(Leiden: E.J. Brill, 1996), h. xviii-ff.; dan Musallam, “The Formative Stages,” h. 192. Lihat
juga Kristiya>n Tsi>ska> (Christian Szyska), “H}awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’ ‘inda Udaba>’
al-H{araka>t al-Islajmiyyah,” dalam al-Karmil (Abh}a>ts fi> al-Lughah wa al-Adab) 20 (1999), h.
36, n. 15.
2
Calder, “Tafsi>r from T{abari> to Ibn Kathi>r: Problems in the Description of a genre,
illustrated with Reference to the Story of Abraham,” dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir
A. Shareef (eds.) Approaches to the Qur’a>n (London dan New York: Routledge, 1993), h.
106.
3
J. Wansbrough menulis dalam karyanya Quranic Studies bahwa “setelah semuanya,
kesimpulan-kesimpulan lebih banyak bergantung kepada metode dibanding bahan [yang
digunakan] (Results are, after all as much conditioned by method as by material). Lihat dalam
karyanya, Quranic studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford
University Press , 1977), h. 91.
4
Graham N. Stanton, “Presuppositions in New Testament Criticism,” dalam I. Howard
Marshall (ed.), New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods (Exeter: The
Paternoster Press, 1977), h. 61.
5
Bultmann, “Is Exegesis without Presuppositions Possible?” diseleksi, diterjemahkan
dan diberi kata pendahuluan oleh Schubart M. Ogden, Existence and Faith: Shorter Writings of
Rudolf Bultmann, cetakan ke-5 (Cleveland and New York: The World Publishing Company,
1966), h. 290.
6
Bultmann, “The Problem of Hermeneutics,” dalam idem, Essays Philosophical and
Theological (London: SCM Press Ltd., 1955), 255. Lihat juga, h. 241, 242.
7
Bultmann, “Exegesis without Presuppositions?,” h. 289, dan idem, “The Problem
of Hermeneutics,” h. 255.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 73
Qur’a>n sebagai sebuah teks sastra (kita> b adabi> ).11 Di sinilah kita
melihat bahwa tafsir sastrawi, menurut Qut}b, adalah pengkajian al-
Qur’a> n hanya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah al-
bah}tah). Menurut Qut}b, tujuan utama suatu seni adalah untuk meng-
hasilkan berbagai pengaruh emotif, menyebarkan kepuasan artistik,
menimbulkan suatu kehidupan yang tersembunyi di balik pengaruh
ini, dan untuk mengisi imajinasi dengan suatu gambaran (fa-waz{ifat
al-fann al-u> l a> hiya itsa> rat al-infi‘a> l a> t al-wijda> n iyyah, wa isya> ‘ at al-
ladhdhah al-fanniyyah bi-ha> d hihi al-itsa> r ah, wa ija> s yat al-h} a ya> t al-
ka>minah bi-ha>dhihi al-infi‘a>la>t, wa taghdhiyat al-khaya>l bi-al-s}uwar).12
Tujuan artistik ini, lanjut Qut}b, akan ditemukan dalam gaya-gaya
berekspresi al-Qur’a>n, yang ia sebut dengan istilah tas}wi>r (penggam-
baran artistik), takhyi> l (pembentukan imaginasi) dan tasykhi> s }
(personifikasi).
Mengomentari editor al-Muqtat}af yang menyatakan kepada-
nya bahwa Perjanjian Lama dan Baru telah dikaji secara sastrawi di
Barat, Qut}b menyatakan bahwa al-Qur’a>n dengan gayanya yang unik
lebih pantas (awla>) untuk pendekatan sastrawi itu.
Dalam mengomentari klaim Qut}b bahwa tak ada seorangpun
sebelumnya yang berusaha mengkaji al-Qur’a>n berdasarkan suatu
pendekatan sastrawi,13 Bint al-Sya>t}i’ (1913-1998) menulis dalam al-
Ahra>m bahwa metode ini telah diajarkan di Cairo University; sebuah
komentar yang ditolak Qut}b seraya menantangnya untuk bisa me-
nyebut sebuah karya yang merekomendasikan pendekatan ini.14
Namun dalam edisi ketiga bukunya al-Tas}wi>r al-Fanni>, terbit tahun
1953, Qut}b menyadari bahwa hanya beberapa saat—setelah edisi
pertama bukunya terbit—Ami>n al-Khu>li> telah mengajarkan para
mahasiswanya aspek-aspek metode sastrawi (nawa>h}i> min ha>dha> al-
iitija>h)15 di Fakultas Adab Cairo University. Menariknya, penulis tidak
11
Lihat Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m” terbit dalam al-Muqtat}af 94, 2
(1 Februari 1939), h. 206-207, Qut}b secara jelas menyatakan bahwa dia akan menafsirkan/
memperlakukan al-Qur’a>n sebagai sebuah teks sastra (kita>b adabi>).
12
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 242.
13
Lihat, Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 9.
14
Argumen balik Qut}b diterbitkan dalam artikelnya “Maba>hi} ts ‘an al-Tas}wi>r al-Fanni>
fi> al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 529. Lihat juga al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b, h.
307; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, h. 298.
15
Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ke-3, t.t. [1953?], 9, n. 1. Karena penulis tidak bisa
merujuk kepada edisi yang kedua, penulis tidak yakin jika Qut>b menulis catatan ini untuk
edisi tersebut. Penanggalan edisi ketiga tahun 1953 didasarkan pada catatan Qut}b sendiri
saat dia menyatakan bahwa edisi kedua Masya>hid al-Qiya>mah “muncul pada tahun ini, 1953”
(tas}dur fi> ha>dha> al-‘a>m, 1953). Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ketiga, h. 113, n. 1.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 75
16
Namun, dalam kata akhir (postscript)-nya untuk edisi ke-3 al-Tas}wi>r al-Fanni>, dia
memberikan beberapa arahan bahwa beberapa pengkaji al-Qur’a>n dan para guru di banyak
sekolah (universitas?) mengaplikasikan pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n juga. Lihat
kata akhir yang dicetak dalam edisi ke-14 (1993), h. 254.
17
Lihat Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 7-8.
18
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 10.
19
Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” dalam al-Muqtat}af 94, h. 2 (1
Februari 1939), h. 206-211; idem, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” al-Muqtat}af 94, h.
3 (1 Maret 1939), h. 313-318.
20
Qut}b, “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 581 (21 Agustus 1944), 690-693; “Baqiyyah
fi> al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 583 (4 September 1944), 728-731; “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-
Qur’a>n,” al-Risa>lah 601 (8 Januari 1945), h. 43-45; “al-Tana>suq al-Fanni> fi> Tas}wi>r al-Qur’a>n,”
al-Risa>lah 611 (19 Maret 1945), h. 278-281.
21
Hal-hal ini didiskusikan dalam “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l” dan “Baqiyyah fi> al-Ma‘a>ni> wa
al-Z{ila>l”, secara berurut. Keduanya masuk ke dalam karya Qut}b, al-Naqd al-Adabi>: Us}u>luh
wa Mana>hijuh, edisi ketiga (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1960), h. 22-30.
22
Dalam edisi ketujuh Masya>hid al-Qiya>mah, Qut}b menasihati para pembacanya
untuk menelaah karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>, sebelum beranjak kepada Masya>hid al-
Qiya>mah, karena karya yang pertama menjelaskan kerangka teoritis gaya ekspresi al-Qur’a>n,
sedangkan buku yang kedua secara ekstensif merujuk ke teori itu. Lihat Qut}b, Masya>hid al-
Qiya>mah (1981), h. 229. Nasihat ini, yang merupakan kata akhirnya (kalimah fi> al-khita>m),
tidak muncul dalam edisi keduanya. Penulis yakin bahwa hal ini ditambahkan oleh Qut}b
mulai dengan edisi ketiga atau keempatnya.
23
Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10.
24
Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10.
25
Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 12.
26
Lihat, Musallam, “Formative Stages,” h. 138-139.
27
Lihat review-review Naji>b Mahfu>z} dan ‘Abdullat}i>f al-Subki> mengenai al-Tas}wi>r al-
Fanni> dalam al-Risa>lah 616 (23 April 1945), h. 433 dan al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 542,
secara berurut. Lihat juga jawaban Qut}b dalam al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 527 dan al-
Risa>lah, h. 620, 621 (28 Mei 1945), h. 569-570.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 77
28
Lihat kata akhir Qut}b untuk edisi ketiga yang dicetak ulang dalam edisi al-Tas}wi>r
al-Fanni> yang ke-14, h. 255.
29
Sarjana lain menggunakan kategori “Sekularis Muslim” (Muslim Secularist) seperti
Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. xvi, n. 13; “Pra-Islami” (pre-Islamic) seperti
Ronald Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith and Conception of Religion: Sayyid
Qut}b’s Introduction to the Tafsi>r, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n,” British Journal of Middle Eastern Studies
21, 1 (1994), 102; “Sécularisme Neutre” seperti Olivier Carré dalam “‘A L’Ombre du Coran’
Revisité: Les lendemains possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’,” Arabica
48 (2001), 87. Lihat juga Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” dalam LSRMQ,
354. Bandingkan dengan Leonard Binder dan John Calvert yang berpendapat bahwa paham
Islamisme Qut}b telah bermula dari konsepsinya mengenai apresiasi estetika Al-Qur’a>n; jadi,
dari karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>. Lihat Binder, Islamic Liberalism (Chicago: University of
Chicago Press, 1988), 170-205; dan Calvert, “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid
Qut}b,” Religious Studies and Theology 15, h. 2-3 (Desember 1996), h. 61-76. Musallam
menanggalkan komitmen Qut}b kepada Islam tahun 1947, khususnya dengan publikasi jurnal
Islam al-Fikr al-Jadi>d. Lihat Musallam, “Formative Stages,” h. 187-191.
30
Szyska, “H{awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’,” h. 36-37. Dia mengakui bahwa
dia tidak bisa merujuk kepada edisi pertama buku ini namun bergantung kepada edisi
selanjutnya, 1980. Menurut Shepard, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah ditulis tahun 1948, namun
diterbitkan tahun 1949. Melalui banyak perubahan, karya ini diterbitkan kembali sebanyak
lima kali selama masa hidup Qut}b.
31
Lihat, misalnya, Shepard, Sayyid Qutb and Islamic Activism, h. x.
seperti al-Naqd al-Adabi>. Pada buku yang disebut terakhir itu, Qut}b
menegaskan bahwa karya sastra adalah ekspresi tentang suatu pe-
ngalaman emotif dalam bentuk verbal (al-ta‘bi>r ‘an tajriba syu‘u>riyyah
fi> s}u>rah mu>h}iyah),32 yang tujuannya adalah memproduksi efek emo-
sional dalam jiwa-jiwa orang lain (mutsi>rah li-al-infi‘a>l al-wijda>ni> fi>
nufu>s al-a>khari>n).33 Dalam edisi-edisi awal al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah,34
sang pengarang juga menyatakan bahwa sastra memiliki pengaruh
terkuat dalam menciptakan ide emosional kehidupan di dalam diri
seseorang, dan ia menambahkan bahwa “karena itu kita harus ber-
hati-hati untuk menyeleksi sastra Barat macam apa yang kita sam-
paikan kepada generasi muda kita, baik dalam bahasa Arab atau
bahasa Eropa.”35
Hanya pada edisi-edisi al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah yang selanjut-
nya kita dapat temukan Qut}b mengaplikasikan ideologi Islamis ra-
dikalnya ke wilayah kesusasteraan/kesenian.36 Pernyataan yang di-
kutip di atas diganti dalam edisi selanjutnya dengan “karena itu kita
memerlukan sastra yang berasal dari konsepsi Islami dan maka
mungkin baik bahwa kita berbicara secara detail mengenai pengem-
bangan sastra Islami.” Dari poin ini dan seterusnya, Qut}b men-
diskusikan konsepsi sastra Islam. Dia berargumen bahwa sastra dan
seni-seni yang lain tercipta dari “suatu konsep kehidupan yang spe-
sifik” (tas}awwur mua‘ayyan li-al-h}aya>h), sementara Islam memiliki
sebuah konsepsi hidup yang khusus.37
Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa baru setelah
tahun 1964, karya-karya Qut}b mulai kental dengan ideologi Islamis-
32
Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, h. 7.
33
Ibid., h. 8.
34
Menurut Shepard, edisi 1-3. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 335,
no. 182.
35
Lihat Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, edisi ke-3 (Kairo: Da>r al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1952), h. 255. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamism Activism, 335, no.
182. Cf. Terjemahan John B. Hardie dalam Sayed Kotb, Social Justice in Islam (New York:
Octagon Books, 1970), h. 257.
36
Menurut kajian Shepard, dalam edisi-edisi al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah yang kelima
dan selanjutnya, Qut}b menambahkan lebih dari 20 paragraf akan diskusinya mengenai seni/
kesusasteraan. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. 308-312.
37
Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 310-311, no. 191-197. Dalam al-
Naqd al-Adabi>, Qut}b juga mencatat bahwa, setelah terpengaruh oleh konsepsi Islamis, dia
tidak sependapat dengan mereka yang mendeskripsikan berbagai kelemahan dalam hidup.
Lihat Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, 30, n. 1. Karena tujuannya dalam buku selanjutnya adalah
untuk menyampaikan teori kritik sastra secara umum, dia tidak secara detail menjelaskan
konsepsi Islami mengenai kesusasteraan.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 79
nya. Jika dalam edisi-edisi awal al-Tas}wir al-Fanni> dan Masya>hid al-
Qiya>mah, Qut}b memandang al-Qur’a>n sebagai teks sastra (nas}s} adabi>)
dan mengkajinya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah) dan
untuk tujuan sastrawi (hadaf fanni> kha>lis}), maka setelah memasuki
fase Islamis, dalam edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> yang selanjutnya, al-
Qur’a>n ditempatkan sebagai kitab da‘wah diniyyah.38
Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n adalah karya Qut}b yang lain yang secara
spesifik berhubungan dengan al-Qur’a>n selain al-Tas}wi>r al-Fanni> dan
Masya>hid al-Qiya>mah. Mulanya karya ini ditulis untuk al-Muslimu>n
milik Sa‘i>d Ramad}a>n, tokoh terkemuka al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, dan
selama periode di saat Qut}b secara konstan menjalin komunikasi
dengan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n.
Sebagaimana karya Qut}b yang pra-Islamis sebelumnya, dalam
Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, Qut}b masih menekankan keindahan
artistik al-Qur’a>n. Sebagaimana yang dicatat oleh Boullata, Qut}b
masih mengusung topik tas{wi>r, sering merujuk kepada dua bukunya
yang berkaitan dengan masalah keindahan artistik al-Qur’a>n, dan
bahkan memperkenalkan sebuah konsep sastra yang baru, yaitu
kesatuan surat al-Qur’a>n yang koheren dan juga al-Qur’a>n secara
keseluruhan.39 Sebagaimana dalam buku-bukunya yang awal, dalam
mukadimahnya pada edisi pertama Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Qut}b mene-
gaskan bahwa dia berusaha mengekspresikan makna keindahan
artistik al-Qur’a>n. Demikian juga, ia menekankan bahwa dia tidak
ingin terlalu banyak berkutat dengan analisa linguistik, teologi, dan
hukum yang bisa “menyembunyikan Al-Qur’a>n dari jiwaku dan
jiwaku dari al-Qur’a>n” (tah}jub al-Qur’a>n ‘an ru>h}i> wa tah}jub ru>hi> ‘an
al-Qur’a> n). 40
Namun dalam edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n selanjutnya, Qut}b
memperkenalkan tafsirnya dengan menyampaikan deklarasi—”con-
fession” dalam istilah Ronald Nettler41— Islamis, sebagai hasil penga-
38
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 119.
39
Lihat Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” 362ff.
40
Lihat Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953),
1:6. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama.
41
Lihat Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith,” h. 104. Olivier Carré
mendiskusikan teologi Qut}b seperti yang direpresentasikan dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n dalam
karyanya “Eléments de la ‘aqi>da de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l al-qur’a>n,” Studia Islamica 91
(2000), h. 165-197.
42
Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, edisi ke-15 (Beirut: Da>r al-Syuru>q,
1988), 1:11-18. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15.
Untuk kajian detailnya atas muqaddimah dari edisi selanjutnya, lihat Nettler, “A Modern
Islamic Confession of Faith,” h. 104-114.
43
Untuk kisah penulisan Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n oleh Qut}b, lihat al-Khabba>sy, Sayyid
Qut}b, 311-313; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, 313-315. Lihat juga Syahnan, “A Study of Sayyid
Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n,” khususnya
Bab Tiga.
44
Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi
pertama, 1:5-7, Qut}b mengkaitkan bagaimana dia menemukan hasrat terpendam (raghbah
khafiyyah) di dalam dirinya untuk dihidupkan dalam bayang-bayang al-Qur’a>n sebelumnya
akhirnya dia hidup di dalamnya. Dia juga berharap dengan menulis tafsir ini, orang lain akan
mengikuti jejaknya.
45
Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 81
46
Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:15.
47
Lihat Qut}b, “Muqaddimah..., 1:15.
48
Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:55. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi
pertama, 1:28, istilah manhaj al-haya>h tidak disebutkan.
49
Untuk melihat penafsiran sastrawi Mazhab al-Khu>li>, lihat Yusuf Rahman, “al-Tafsi> al-
Adabi> fi> al-Qur’a>n: a Study of Ami>n al-Khu>li>’s and Muhammad Khalaf Alla>h’s Literary Approach
to the Qur’a>n,” Mimbar Agama & Budaya, XIX, 2 (2002), h. 129-151.
50
Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab
(Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1995), h. 229.
51
Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d, 229. Lihat ‘Abduh, “Muqaddimat al-Tafsi>r,” dalam Tafsi>r
al-Mana>r (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-’A>mmah li al-Kita>b, 1972), Jilid 1, 17.
52
Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: al-Markaz al-
Tsaqa>fi> al-‘Arabi, 1998), h. 9, 10, 18,19, 25, dst.
53
Abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992), h. 197.
54
Lihat Yusuf Rahman, “Al-Qur’a>n sebagai Teks Sastra: Penafsiran Sastrawi terhadap
al-Qur’a>n,” (dalam proses penerbitan).
55
Lihat Yusuf Rahman, “Islamist Thinkers vis a vis Muslim Liberal Thinkers:
Responses of Egyptian Islamists to Nashr H}a>mid Abu> Zayd,” Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam
Kontekstual 3, 1 (2002), h. 52-84.
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 83
56
Penulis meminjam istilah ini dari karya James Barr “The Bible as a Political
Document” dalam karyanya, Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible
(London: SCM Press, 1980), h. 91-110.
57
Lihat Barr, “The Bible as a Political Document,” h. 94.
58
Clodovis Boff menyebut metode ini “correspondence of relationships” seperti
dikutip oleh Tim Gorringe dalam karyanya “Political Readings of Scripture,” dalam The
Cambridge Companion to Biblical Interpretation, h. 74.
suatu masa sejarah yang telah lewat -seperti yang selama ini dipahami,
yaitu masa pra Islam-,59 tapi sesuatu yang berlanjut muncul kembali
di saat suatu masyarakat menyimpang dari cara-cara Islami, baik di
masa lalu, masa kini atau masa mendatang. Dalam Fi Z}ila>l al-Qur’a>n,
Qut}b menulis:
Dan ja> h iliyya bukan sebuah periode sejarah; tapi ia adalah suatu
keadaan yang muncul kapanpun konstituennya hadir dalam sebuah
situasi atau sistem ... inti dari [konstituen] ini adalah pilihan dalam
berhukum dan berlegislasi menurut nafsu manusia, dan bukan
menurut jalan Allah dan undang-undang-Nya dalam kehidupan.60
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 85
Penutup
Artikel ini telah berusaha untuk menunjukkan bahwa pen-
dekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n yang dilakukan Sayyid Qut}b telah
mengalami beberapa perkembangan. Jika pada awalnya ia melihat
bahwa ¾ (tsalatsat arba>‘) dari al-Qur’a>n merupakan karya sastra dan
dengan demikian pendekatan sastrawi merupakan pendekatan yang
lebih baik untuk memahaminya, maka pada karyanya yang kemudian
ia menyatakan al-Qur’a>n sebagai kita>b da‘wah dan pedoman politik,
dan semua bentuk penafsiran -termasuk penafsiran sastrawi- ditujukan
untuk menerapkan pedoman ini dalam kehidupan riil.
Pergeseran dan perubahan cara pandang terhadap al-Qur’an
ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan cara sikap Qut}b dari se-
orang Muslim “sekuleris” menjadi Muslim “ideologis”, dan bahkan
di akhir hidupnya ia merupakan seorang teoretikus ideologi Islamis.[]
62
Khadim al-Haramain al-Syarifain, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 167-168.
63
Al-Wa>h}idi> al-Ni>sa>bu>ri>, Asba>b Nuzu>l al-Qur’a>n (al-Mans}u>rah: Maktabat al-I>ma>n,
1996), h. 133.
64
Lihat Akhavi, “Qut}b, Sayyid,” h. 403, Shepard, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of
Ja>hiliyya,” h. 535.
Daftar Pustaka
‘Abduh, Muh}ammad. Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah
al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1972.
Abu> Zayd, Nas}r H}a>mid. Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n.
Beirut: al-Markaz al-Tsaqa>fi al-‘Arabi>, 1998.
_______, Naqd al-Khit}a>b al-Dini. Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992.
Akhavi, Shahrough. “Qut}b, Sayyid.” The Oxford Encyclopedia of the
Modern Islamic World. Ed. John L. Esposito/ New York: Oxford
University Press, 1995. Vol. 3.
Barr , James. “The Bible as a Political Document.” Dalam James Barr.
Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible.
London: SCM Press, 1980.
Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago: University of Chicago
Press, 1988.
Boullata, Issa J. “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation.” Dalam Literary
Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n. Dalam Issa J.
Boullata. Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000.
Bultmann, Rudolf. “Is Exegesis without Presuppositions Possible?”
Diseleksi, diterjemahkan dan diberi kata pendahuluan oleh
Schubart M. Ogden. Existence and Faith: Shorter Writings of
Rudolf Bultmann. Cetakan ke-5. Cleveland and New York: The
World Publishing Company, 1966.
_______, “The Problem of Hermeneutics.” Dalam Bultmann. Essays
Philosophical and Theological. London: SCM Press Ltd., 1955.
Calder, Norman.”Tafsi>r from T}abari> to Ibn Kathir: Problems in the
Description of a genre, illustrated with Reference to the Story
of Abraham.” Dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir A. Shareef
(eds.). Approaches to the Qur’a> n . London dan New York:
Routledge, 1993.
Calvert, John. “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid Qut}b.”
Religious Studies and Theology 15, 2-3 (Desember 1996).
Carré, Olivier. “‘A L’Ombre du Coran’ Revisité: Les lendemains
possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’.”
Arabica 48 (2001).
_______, “Eléments de la ‘aqida de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l al-
Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 87
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi
Syamsuddin Arif*
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo
Email: tagesauge@yahoo.co.id
Abstract
Is there such a thing called “Islamic philosophy”? If there is one, what is
it? What does it mean for philosophy to be Islamic? How does Islamic philosophy
differ from non-Islamic one? Why do some Muslim scholars reject philosophy,
ban its instruction, and even scorn its proponents? The present article will address
all these questions and seeks to offer a balanced perspective on controversial
issues pertaining to philosophy in Islamic intellectual context, drawing upon
authoritative, primary sources. The first section deals with definition and
terminology, including the disagreement among scholars over which of these
is the best appellation: ‘Islamic philosophy’, ’Muslim philosophy’, or ’Arabic
philosophy’. This will be followed by a discussion of the main sources of
Islamic philosophy and its impacts, as well as the aims and benefits of studying
philosophy according to its exponents. The final section provides a critical
appraisal of the arguments for and against philosophy that have been put
forward by its defenders and its critics. Furthermore, the article also discusses
three current approaches to Islamic philosophy, namely the mystical-
hermeneutical such as advocated by Leo Strauss and Henry Corbin, the historical-
philological study such as practiced Richard Walzer and Dimitri Gutas, and the
philosophical-analytical approach such as espoused by Oliver Leaman and Lenn
E. Goodman. A final word about the challenges and prospect of Islamic
philosophical studies is in order, taking into account recent developments in
various parts of the world following revival of interest in Avicenna, Averroes
and al-Ghazali.
*
Kampus Pusat UNIDA, Jl. Raya Siman Km. 06, Siman, Ponorogo Jawa Timur, Telp:
+62352 483762 Fax: +62352 488182
Abstrak
Adakah sesuatu yang dinamakan ’filsafat Islam’? Dan jikalau ada, apakah
yang dimaksud dengan ’filsafat Islam’? Dimana letak perbedaan antara ’filsafat
Islam’ dengan filsafat bukan Islam? Mengapa banyak ulama yang menolak filsafat
dan melarang orang mempelajarinya? Pertanyaan-pertanyaan ini dan seumpama-
nya akan coba dijawab dan dibahas secara jernih lagi bernas dengan merujuk
kepada sumber-sumber otoritatif dan karya-karya primer sebatas jangkauan
penulis. Bagian pertama dari artikel ini akan mengulas definisi dan terminologi
filsafat dalam Islam, termasuk perbedaan pendapat mengenai frasa apakah yang
paling tepat dari tiga ini: filsafat Islam, filsafat Muslim ataukah filsafat Arab.
Berikutnya akan ditinjau ulang sumber-sumber filsafat Islam dan pengaruhnya,
terhadap dunia Islam, diikuti oleh ulasan mengenai tujuan dan manfaat belajar
filsafat, dan diakhiri dengan diskusi seputar argumentasi mereka yang melarang
maupun yang membolehkan untuk melakukan kajian filsafat dalam Islam.
Selanjutnya dibahas dalam artikel tiga pendekatan yang dominan dalam studi
filsafat Islam, yaitu pendekatan hermeneutik-mistik yang dianjurkan oleh Leo
Strauss dan Henry Corbin, pendekatan historis-filologis yang dicontohkan oleh
Richard Walzer dan Dimitri Gutas, serta pendekatan filosofis-analitis yang dipilih
oleh Oliver Leaman dan Lenn E. Goodman. Pembahasan terakhir berkenaan
dengan tantangan-tantangan serta prospek lebih lanjut dari studi filsafat Islam
dalam rangka mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terkini di
berbagai belahan dunia seiring dengan meningkatnya minat dalam mempelajari
Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan al-Ghazali.
Pendahuluan
B
eberapa dekade terakhir menyaksikan kebangkitan kembali
minat terhadap studi filsafat Islam di berbagai belahan dunia.
Sementara di sisi lain masih banyak yang bertanya-tanya
adakah sesuatu yang dinamakan “filsafat Islam”? Dan jikalau ada,
apakah yang dimaksud dengan “filsafat Islam” itu? Atau di mana
letak perbedaan antara “filsafat Islam” dengan filsafat bukan Islam?
Mengapa banyak ulama yang menolak filsafat dan melarang orang
mempelajarinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan coba
dijawab dalam tulisan berikut ini.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 3
Makna Filsafat
Istilah ’filsafat’ atau ’falsafah’ dalam bahasa Indonesia diserap
dari bahasa Arab: ﻓﻠﺴﻔﺔ. Ia merupakan pengaraban dari kata majmuk
(philosophia) yang dalam bahasa Yunani kuno gabungan
dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan). Apa makna “sophia”?
Kata Aristoteles: “Biasanya sophia dipahami sebagai pengetahuan me-
ngenai pokok-pokok perkara dan sebab-sebabnya (
περί τινας !ρχ"ς κα# α$τίας %στ#ν %πιστήμη δ&λον ).”1 Para cendekiawan Ro-
mawi dan Skolastik abad pertengahan kemudian menerjemahkan
“sophia” ke dalam bahasa Latin menjadi “sapientia”, dari kata kerja
sapere yang artinya mengetahui. Thomas Aquinas menurunkan de-
finisinya: “Sapientia adalah pengetahuan yang membahas sebab-
sebab utama dan sebab-sebab umum; sapientia meneliti sebab-sebab
inti dari segala sebab (sapientia est scientia quae considerat causas primas
et universales causas; sapientia causas primas omnium causarum con-
siderat).”2 Pengertian ini dipakai hingga abad kedelapan-belas, di-
mana Claudius Frassen menulis: “Philosophia dicitur amor sapientiae,
et formatur a nominibus Gracis, [amicus], et [sapientia], unde
Philosophus is dicendus est, qui studio et assidua animi contentione
sapientiam investigat.”3
Singkatnya, “filsafat” itu ilmu pengetahuan yang dicapai manu-
sia dengan akal pikirannya. Para filsuf/mempelajari aneka persoalan
alam semesta, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
mineral, dan lain sebagainya. Mereka adalah kelompok orang-orang
yang di zaman sekarang kita panggil sebagai saintis. Betul, filsuf ada-
lah saintis, karena waktu itu belum dikenal pemisahan dan pem-
bedaan sempit seperti yang kita kenal saat ini antara filsafat dan sains,
antara filsuf dan saintis, antara ahli biologi dan ahli geologi, antara
ahli fisika dan ahli kimia. Bahkan hingga zaman Isaac Newton (1642-
1
Aristoteles, Ta Meta Ta Physika, Terj. H. Tredennick (Cambridge: MA, 1980),
I.i.17/982a.
2
Thomas Aquinas, In Metaphysicam Aristotelis Commentaria, Ed. M.-R. Cathala (Turin,
1926), I, ii. Bandingkan dengan definisi Christian Wolff dalam Philosophia rationalis sive logica
methodo scientifica pertractata et ad usum scientiarum atque vitae aptata. Praemittitur discursus
praeliminaris de philosophia in genere (Frankfurt, 1728), §1: “Filsafat adalah ilmu tentang segala
sesuatu yang mungkin sebagaimana adanya, atau mengapa dan bagaimana yang mungkin itu
mungkin (philosophia est scientia possibilium quatenus esse possunt, sive cur et quomodo sint
possibilia).”
3
Claudii Frassen, Philosophia Academica, (Venice: Nicolaus Pezzana, 1767), 7:
Quaestio secunda: Quid sit philosophia.
4
Lihat Ann Blair, “Natural Philosophy,” dalam The Cambridge History of Science:
Early Modern Science, Ed. Katharine Park and Lorraine Daston, Vol. 3 (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006), 365.
5
Lihat Logical Positivism in Perspective: Essays on Language, Truth and Logic, Ed.
Barry S. Gower (London: Croom Helm, 1987) dan Logical Empiricism: Historical and
Contemporary Perspectives, Ed. Paolo Parrini et al. (Pittsburgh: Pittsburgh University Press,
2003).
6
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-philosophicus, Terj. C.K. Ogden (New York:
Barnes & Noble, 2003; berdasarkan cetakan perdana London: Kegan Paul, 1922), 3.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 5
pendapat ini kita ikuti, niscaya Plato dan Aristoteles pun tak akan
layak disebut filsuf, sebab hanya kaum positivis-logis sajalah yang
pantas menyandang gelar filsuf.
7
Al-‘Amiri, Kitâb al-Amad ‘alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson, A Muslim Philosopher
on the Soul and Its Fate, (New Haven: American Oriental Society, 1988), paragraf III.1.
8
Lihat Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3),
1: 124; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale University,
1975), s.v. ‘falsafa’.
9
al-Farabi, Kitâb Tah}s }îl al-Sa‘âdah (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al-
‘Utsmâniyyah, 1345), 38.
10
Ibnu Sina, Uyûn al-H}ikmah, Ed. Abdurrahman Badawi, (Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât,
1954), 16.
11
Imam al-Ghazali, Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Ed. Sidqi Muhammad Jamil al-‘Ammar, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1420/1999), jilid 1, 40-41 (Bayân mâ buddila min alfâz} al-‘ulûm).
12
Lihat: Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3),
1: 124, 173, 274; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale
University, 1975), 124-31.
13
Al-Farabi, Kitâb al-Jam’i bayna Ra’yay al-Hakîmayni Aflât}ûn al-Ilâhi wa Arist}ût}âlîs,
Ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar el-Machreq, 1968), 80.
14
Al-Farabi, Kitâb Tah}s}îl al-Sa‘âdah, (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al-
‘Utsmâniyyah, 1345 H), 38-39.
15
Lihat: Rasa’il Ikhwân al-S}afâ’ wa Khullân al-Wafâ’, (Beirut: 1957), 1: 23.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 7
16
Lihat: Abu Hayyan al-Tawhidi, Al-Muqâbasât, Ed. M.T. Husayn, (Baghdad: 1970),
203-4 (Pasal ke-48); cf. J. L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden, 1986),
246-7; juga D.M. Dunlop, “The Existence and Definition of Philosophy,” dalam jurnal Iraq
13 (1951): 76-93.
17
Al-Dhahabi, Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A‘lâm, Ed. ‘Umar ‘A.
al-Tadmuri, (Beirut: 1999), Tabaqah 59, daftar wafat 587 Hijriah, pada biografi Suhrawardi al-
Maqtul.
18
Ibnu H}ajar al-‘Asqalani, Lisân al-Mîzân, (Beirut: 1971), 4: 242 (biografi no. 653 s.v.
‘Ali ibn ‘Ubaydillah Abu al-Hasan al-Zaghuni).
19
Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq wa al-Kalâm ‘an Fannay al-Mant}iq wa al Kalâm, (Kairo:
1947), 19.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 9
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 11
demikian: “Know that all that the Muslims, both the Mu’tazilites and the Ash’arites, have said on
these subjects are opinions based upon certain propositions, which propositions are taken from the
books of Greeks and Syrians who sought to oppose the views of the philosophers and to refute their
assertions.” Lihat: H.A. Wolfson, The Philosophy of Kalâm, (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1976), 48.
32
Lihat: Richard M. Frank, “The Kalâm, an Art of Contradiction Making or Theological
Science?” dalam Journal of American Oriental Society (JAOS) 88 (1968): 295-309; Josef van
Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Logic in Classical Islamic Culture,
ed. Gustav E. von Grunebaum (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1970), 24 ff; Josef van Ess,
“Disputationspraxis in der islamischen Theologie. Eine vorläufige Skizze,” dalam Revue des
Études Islamiques, 44 (1976): 23-60 Josef van Ess, “The Beginning of Islamic Theology,”
dalam The Cultural Context of Medieval Learning, Ed. J. Murdoch dan E. Sylla, (Boston: D.
Reidel, 1975); Shlomo Pines, “A Note on an Early Meaning of the Term Mutakallim,” dalam
Israel Oriental Studies 1 (1971): 224-40; dan Michael Cook, “The Origins of Kalâm,” dalam
Bulletin of the School of Oriental and African Studies (BSOAS) 43 (1986): 32-43.
33
Lihat: Michael Schwarz, “The Letter of al-Hasan al-Basrî,” dalam Oriens, vol. XX
(1972), 15-30.
34
Lihat: Shlomo Pines, Beiträge zur Islamischen Atomenlehre (Berlin:
Gräfenhainichen, 1936) dan Alnoor Dhanani, The Physical Theory of Kalâm: Atoms, Space,
and Void in Basrian Mu’tazilî Cosmology, (Leiden: Brill, 1994).
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 13
ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif dan Alparslan Acikgenc.35
Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan
berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika
unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam
dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang men-
duduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum
Muslim.
Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan ke-
dudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau
bahkan diabaikan sama sekali. Menurut para sejarawan filsafat
seperti Hegel, Coplestone, atau Russell, kalau pun ada nilainya maka
itu terlalu kecil dan insignifikan, sebatas menampung dan melestari-
kan warisan pemikiran Yunani kuno untuk kemudian meneruskan-
nya kepada orang-orang Barat yang saat itu hidup dalam apa yang
mereka namakan Zaman Kegelapan (Dark Ages), atau sekadar
menjadi “jembatan peradaban” (Kulturvermittler) ¯ meminjam istilah
sejarawan Eropa.36
Walhasil, jika ditelusuri dan diteliti karya-karya mereka, para
filsuf Muslim bukan semata-mata mereproduksi apa yang mereka
pelajari dari khazanah pemikiran Yunani kuno. Mereka tidak reseptif-
pasif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah
tanpa resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim
telah mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi,
menjelaskan dan menyanggah, mengkritik, dan menilai, menyaring
dan mengubahsuaikan, mengurangi dan menambahkan, mem-
perkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru
ke dalam istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi
baru untuk persoalan-persoalan perennial dalam filsafat. Di samping
berhasil melahirkan sintesis cemerlang dan membangun sistem
pemikiran tersendiri, filsuf Muslim itu terutama berhasil
mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka
pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, yang
telah mereka lakukan adalah upaya Islamisasi.
35
Lihat: Alparslan Acikgenc, “The Framework for a History of Islamic Philosophy,”
al-Shajarah, 1: 1-2 (1996).
36
Pandangan-pandangan reduksionistik dan eurosentrik semacam ini telah diulas
oleh Hans Daiber, “What is the Meaning of and to What End Do We Study the History of
Islamic Philosophy? The History of a Neglected Discipline,” dalam Bibliography of Islamic
Philosophy, 2 jilid (Leiden: Brill, 1999), 1: xi-xxxiii.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 15
39
al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, Ed. Sulaymân Dunyâ (Kairo, 1961), 81.
40
Ibid., 80. Bandingkan dengan kitab Al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im
al-‘Ânî (Damaskus, 1415/1994), 55.
41
Ibid., 52-54.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 17
45
Lihat: Muhsin Mahdi, “Al-Fârâbî’s Imperfect State,” dalam JAOS, 110 (1990), 691-
726.
46
Lihat: O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 9
(“Introduction”).
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 19
Penutup
Di atas itu semua kita masih punya harapan, menyaksikan
kajian filsafat Islam masih berlanjut di dunia Islam dan kian semarak
di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika. Semakin banyak
karya-karya filsuf Muslim yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, bahkan Itali. Hampir saban tahun
digelar konferensi internasional untuk mendiskusikan berbagai
aspek pemikiran Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, bahkan Ibnu Taimiyyah.
Ini belum termasuk kajian-kajian serius dalam bentuk tesis dan
disertasi mengenai aneka topik dalam wilayah filsafat Islam yang
sebagian basar telah disenaraikan dalam Bibliography of Islamic
Philosophy oleh Hans Daiber. Maka tak berlebihan jika Julio César
Cárdenas Arenas menyimpulkan: “La ía islámica puede considerarse
una tradición viva y dinámica que en su tiempo actualizó y adecuó los
conceptos extranjeros para su propia lengua y tiempo (Filsafat Islam itu
boleh dikata merupakan tradisi hidup dan dinamika yang meng-
kontekstualisasi konsep-konsep asing agar sesuai dengan konteks
bahasa dan zamannya). []
Daftar Pustaka
‘Abdul Raziq, Mustafa. 1944. Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-
Islâmiyyah. Kairo.
Adamson, P. dan R.C. Taylor. 2005. The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy. Cambridge: CUP.
Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1971. Lisân al-Mîzân. Beirut.
Al-Âmiri. 1988. Kitâb al-Amad alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson,
A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate. New Haven:
American Oriental Society.
Ali, Mufti. 2008. Muslim Opposition to Logic and Theology in the Light
of the Works of Jalâl al-Dîn al-Suyuti. Leiden University.
Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 21
______. 1968. Kitâb al-Jam’i baina Ra’yai al-H} a kîmaini Aflât} û n al-
Ilâhi wa Arist}ût}âlîs, Ed. Albert N. Nader. Beirut: Dar el-Masyriq.
Frank, T.Z. 1975. Al-Kindî’s Book of Definitions. Unpublished PhD
diss. Yale University.
Frassen, Claudii. 1767. Philosophia Academica. Venice: Nicolaus
Pezzana.
G.F, Hourani. 1978. Essays on Islamic Philosophy and Science. Albany:
SUNY Press.
Al-Ghazali. 1415/1994. al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im
al-‘Ânî. Damaskus.
______. 1420/1999 Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn. Jilid 1. Ed. Sidqi Muhammad
Jamil al-‘Ammar. Beirut: Dâr al-Fikr.
______. 1961. Tahâfut al-Falâsifah. Ed. Sulayman Dunya. Kairo.
H.A, Wolfson. 1976. The Philosophy of Kalâm. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Hernandez, Miguel. 1953. Cruz ia Hispano-Musulmana. Madrid.
Ibnu Sina. 1954. Uyûn al-H} i kmah, Ed. Abdurrahman Badawi.
Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât.
Al-Kindi. 1950. Fî al-Falsafah al-Ûlâ. dalam Rasâil al-Kindî al-
Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. Kairo.
Kraemer, J. L. 1986. Philosophy in the Renaissance of Islam. Leiden.
Leaman, Oliver. 2002. An Introduction to Classical Islamic Philosophy.
Cambridge: CUP.
Madkour, Ibrahim. T.Th. Al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa
Tat}biquhu. Kairo.
Marmura, M.E. 1984. Islamic Theology and Philosophy. Albany: SUNY
Press.
Morewedge, P. 1981. Islamic Philosophy and Mysticism. Delmar.
Nasr, S.H. 1996. History of Islamic Philosophy. London: Routledge.
Nasr, S.H. and O. Leaman. 1996. History of Islamic Philosophy.
London: Routledge.
Al-Nasysyar, Ali Sami. 1977. Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm.
Kairo.
Parrini, Paolo (et al.). 2003. Logical Empiricism: Historical and
Contem-porary Perspectives, Ed. Pittsburgh: Pittsburgh
University Press.
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah
Perkembangan Filsafat Islam
A. Khudori Soleh*
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, Malang
Email: khudori_uin@yahoo.com
Abstract
Although acknowledged that Greek philosophy gave great influence on
the development of Islamic philosophy, but philosophy of Islam are not based
on it, because; (1) to learn does not necessarily reflect a repetition, (2) every
thought is not separated from their cultural context, (3) the real fact shows that
Islamic rational thinking has established before the arrival of Greek philosophy.
If so, where Islamic philosophical thought come from? The answer is from the
Islamic tradition itself, from scientists who attempt to explain the teachings of
the Muslim holy book. There are three measures relevant to philosophical
reasoning: ta’wil method, explanation of musytarak meaning, and qiyâs. In
addition, the demands on theological issues, to harmonize the views that seem
contradictory and complex, for further systematized it in an integral metaphysical
idea. From there developed methods and philosophical thought in Islam, long
before the arrival of Greek philosophy through the process of translation.
First of all it was accepted because it is needed to answer new problems which
require rational thinking, then it was declined at the time of Ibn Hanbal because
there are certain cases which considered deviant, it was developed again in the
time of al-Farabi and Ibn Sina, then rejected and considered to cause disbelief
in the al-Ghazali era, and it was developed again at the Ibn Rushd, then change
lanes to work together with Sufism in the time of Suhrawardi and Ibn Arabi.
Finally, tradition of philosophical thought in the Sunni world does not grow
up but remains develop well within the Shiite community.
* Jl. Gajayana, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144, Indonesia Telp. +62341
551354
Abstrak
Meski diakui bahwa filsafat Yunani memberikan pengaruh besar pada
perkembangan filsafat Islam, tetapi filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat
Yunani, sebab; (1) berguru tidak berarti menunjukkan pengulangan, (2) setiap
pemikiran tidak lepas dari konteks budaya masing-masing, dan (3) kenyataan
yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional Islam telah lebih dahulu mapan
sebelum datangnya filsafat Yunani. Jika demikian, dari mana pemikiran filsafat
Islam berasal? Jawabnya, dari tradisi Islam sendiri, yaitu dari upaya para ilmuwan
Muslim untuk menjelaskan ajaran kitab sucinya. Ada tiga upaya yang relevan
dengan penalaran filosofis: metode takwil, penjelasan makna musytarak, dan
qiyâs. Selain itu, juga adanya tuntutan dalam persoalan-persoalan teologis, untuk
menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit,
untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Dari situlah berkembang metode dan pemikiran rasional filosofis dalam
Islam, jauh sebelum datangnya filsafat Yunani lewat proses penerjemahan. Namun
sayangnya, perkembangan filsafat Islam ternyata tidak berjalan mulus, tetapi
mengalami pasang surut. Pertama-tama dikembangkan karena dibutuhkan untuk
menjawab problem-problem baru yang membutuhkan pemikiran rasional,
kemudian ditolak pada masa Ibnu Hanbal karena ada kasus-kasus tertentu yang
dinilai menyimpang, apalagi setelah masuknya pemikiran filsafat Yunani lewat
proses penerjemahan. Setelah itu, pemikiran filsafat dikembangkan kembali pada
masa al-Farabi dan Ibnu Sina, kemudian ditolak dan dianggap dapat
menyebabkan kekufuran pada masa al-Ghazali, dibela pada masa Ibnu Rusyd,
dan akhirnya berpindah jalur bersinergi dengan tasawuf pada masa Suhrawardi
dan Ibnu Arabi. Tradisi pemikiran filosofis akhirnya berhenti dalam dunia Sunni
tetapi tetap berkembang dengan baik dalam lingkungan masyarakat Syiah.
Pendahuluan
P
erkembangan filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan
dari sejarah panjang khazanah pemikiran Islam sesungguhnya
bukan sesuatu yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan
yang harus dipahami, dijelaskan dan diuraikan. Ketidaktelitian dalam
mencermati, memilah dan memilih persoalan inilah yang sering
menyebabkan kita tidak tepat untuk menilai dan mengambil
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 65
1
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali,
1988), 8.
2
Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tat}bîquhu, I, (Mesir: Dâr
al-Ma’ârif, T. Th), 26.
3
Ibid.
4
Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa
Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad
19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985), 4.
5
Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”,
dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90.
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 67
kan al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti
Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun
(811-833 M), oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki
(767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn
Ishaq (809-873 M).6 Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional
telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam,
yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi,
doktrin Muktazilah yang rasional yang dibangun oleh Wasil ibn Atha’
(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan
menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai
cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid
(664- 761 M), Bisyr ibn al-Mu‘tamir (w. 825 M), Mu‘ammar ibn
Abbad (w. 835 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M),
Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M) dan Jahiz Amr ibn Bahr (781-
869 M).7 Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional
dalam penggalian hukum (istinbât}) dengan istilah-istilah seperti
istih}sân, istis}lâh}, qiyâs, dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-
tokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbât} dengan
menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M),
Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855
M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika
dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran rasional filosofis yang
berjalan baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam kajian teologis
dan hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah
yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkem-
bangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.8
6
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Martin Press, 1986), 363.
7
Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, Terj. Prancis ke Arab oleh
Subhi Saleh dan Farid Jabr, (Beirut: Dâr al-‘Ulûm, 1978), 76.
8
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi
Filsafat Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 4, Februari 1992), 56.
9
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-
Fikr al-Dîni, 77; Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, (T.K: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 57
bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri,
dari al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya
untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan
sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul SAW
masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara
ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan
kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa
lagi dilakukan setelah Rasul SAW wafat dan persoalan-persoalan
semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam
yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada
ajaran teks suci, al-Qur‘an, lewat berbagai pemahaman.
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut,
minimal ada tiga model kajian resmi yang nyatanya mempunyai
relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil
diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah
yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan ter-
batas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan pere-
nungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah
(z}âhir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang
mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah
yang hanya mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati
model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan
qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaian-
nya secara langsung dalam teks.10 Misalnya, apakah larangan me-
nimbun emas dan perak (QS. al-Taubah: 34) itu hanya berlaku pada
emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga?
Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an (yang secara
bahasa Arab menunjuk makna laki-laki) juga mencakup wanita dan
budak?
Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis,
para sarjana Muslim dituntut untuk menyelaraskan pandangan-
pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjut-
nya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemaha-
kuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan sifat
Maha Tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur
untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsir-
10
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9.
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 69
11
Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Louis Gardet (1904-
1986 M), seorang orientalis asal Prancis, persoalan teologis ini juga didorong oleh adanya
polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang dibahas antara lain adalah
soal kebebasan dan keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur‘an sebagai firman yang
tidak ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam kajian rumit ini dan berusaha membela dan
mempertahankan doktrinya dari serangan luar, sehingga pembahasan teologi Islam bersifat
apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat apologis tersebut ternyata belum
juga hilang.
12
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10.
13
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 241-2.
14
Madjid Fakhry, a History of Islamic Philosophy, (New York: Colombia University
Press, 1983), 3-4.
15
Ibid., 5.
16
Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, 195.
17
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 227.
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 71
22
Ibid., 58.
23
Ibid., 59; MM. Syarif, Para Filosof Muslim, Terj. A Muslim, (Bandung: Mizan,
1996), 37-38.
24
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Terj. Kasidjo D, (Bandung:
Pustaka, 1983), 4.
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 73
25
Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rawandi pernah berhubungan dengan kaum
Muktazilah dan dianggap sebagai salah satu muridnya yang paling cerdas, sebelum kemudian
balik menyerang Muktazilah. Ibnu Rawandi termasuk tokoh yang masih asing dalam kajian
filsafat Islam. Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah, 84.
26
Ibid. Menurut Madkur, pernyataan al-Rawandi sebenarnya hanya mengulang apa
yang pernah disampaikan Muktazilah yang mempunyai pandangan bahwa baik dan buruk
harus didasarkan rasio. Hanya saja, Muktazilah tidak seekstrim ini dalam penggunaan rasio,
bahkan mereka berusaha memadukan rasio dengan wahyu. Ibid., 85-6.
27
MM. Syarif, Para Filosof Muslim, 31.
28
MM. Syarif, Para Filosof Muslim, 47; Ibrahim Madkur, Fî Falsafat al-Islâmiyyah,
87; Hasyim Hasan, Al-Asâs al-Manhajiyyah li Binâi al-Aqîdah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-
Fikr, T.Tn), 71. Di samping kedua tokoh di atas, Husein Nasr masih menyebut tokoh lain
sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al-Syarkhasi (833-899 M), salah seorang
murid dari al-Kindi (801-878 M) dan guru dari khalifah al-Mu‘tadhid (892-902 M). Husain
Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, (Bandung, Risalah, 1986), 7.
29
Atiyeh, Al-Kindi, 7.
30
Al-Farabi, Ih}s}â’ al-Ulûm, Ed. Ali Bumulham, (Mesir: dar al-Hilal, 1996).
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 75
31
Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 134. Uraian secara lebih lengkap tentang al-
Farabi, pemikiran metafisika dan upayanya untuk mempertemukan agama dan filsafat. Lihat,
A. Khudori Soleh, Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi al-Farabi, (Malang:
UIN Press, 2010).
32
Ali Sami al Nasyar, Manâhij al-Bah}ts ‘Inda Mufakkir al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1967).
33
Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 27-30; Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran
Ibn Sina, Terj. Yudian Wahyudi, (Solo: Pustaka Mantiq, 1988), 100-105
34
Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 43.
35
Konsep kenabian Ibnu Sina sesungguhnya mirip dengan konsep kenabian al-
Farabi. Bedanya terletak pada potensi yang ditonjolkan. Al-Farabi menonjolkan potensi
imajinasi, sedang Ibnu Sina menonjolkan aspek intelek. Lihat, Fazlur Rahman, Kenabian
dalam Islam, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 2003).
36
Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, Edited by Sulaiman Dunya, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif,
1966). Kitab ini selesai pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Di sini diuraikan 20
persoalan filsafat yang dianggap merupakan bidah, tiga di antaranya bahkan merupakan
kekufuran bagi penganutnya. Adapun al-Munqidh min al-D}alâl, ditulis sekitar lima tahun
sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia mengalami krisis epistemologi —bukan krisis
keyakinan— dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi al-Maimunah al-Nizamiyah
di Nisabur. Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1995), 51.
37
Dalam tulisannya, al-Ghazali memasukkan al-Farabi dan Ibnu Sina dalam daftar
orang-orang yang terlibat dalam tiga persoalan yang dianggapnya dapat menggiring pada
kekufuran: tentang keqadiman alam, kebangkitan rohani, dan ketidaktahuan Tuhan terhadap
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 77
hal-hal yang partikular (juz’iyyât), padahal kedua tokoh filsuf Muslim ini sebenarnya tidak
menyatakan persis seperti yang dituduhkan al-Ghazali. Tentang keqadiman alam misalnya,
apa yang dimaksud bahwa alam qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu.
Apa yang disebut sebagai ‘waktu’ atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada
istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau
tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filsuf; dan
keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan Qadîm bi
Dhâtihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau
yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia
hadis (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Ini jelas berbeda dengan istilah qadim seperti
yang dipahami dan digunakan oleh kaum teolog, di mana al-Ghazali sendiri termasuk di
dalamnya. Dengan demikian, apa yang dituduhkan al-Ghazali sebenarnya kurang tepat, tapi
lebih merupakan karena adanya perbedaan pengertian atau kesalahpahaman terhadap istilah-
istilah yang digunakan kaum filsuf dengan al-Ghazali yang seorang tokoh teolog. A. Khudori
Soleh, Skeptisme al-Ghazali, (Malang: UIN Press, 2009), 67.
38
Ibid., 68
39
Al-Ghazali, Al-Munqidh…, 49.
40
M. Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi,
1991), 438.
41
Amin Abdullah, “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi llmu dan Budaya”
dalam Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1998), 265.
42
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 36.
43
Majid Fakhri, Averroes His Live Works and Influence, (Oxford: One World, 2001).
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 79
saja tetapi juga dapat didasarkan atas teks wahyu, sehingga hasil
dari analisis keagamaan tidak kalah valid dibanding dengan ilmu-
ilmu filosofis atau analisis rasional. (3) Pada aspek tujuan yang ingin
dicapai oleh keduanya. Yaitu, bahwa wahyu dan rasio, agama, dan
filsafat, sama-sama mengajak dan ingin menggapai kebenaran.
Menurut Ibnu Rusyd (1126-1198 M), jika agama dan filsafat sama-
sama mengajak dan ingin mencapai kebenaran, maka kebenaran
yang satu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang lain.44
Setelah Ibnu Rusyd (1126-1198 M), pemikiran filsafat Islam
biasanya dianggap telah tamat, selesai atau berhenti, oleh sebagian
kalangan, karena sudah tidak ada lagi tokoh filsafat yang muncul.
Namun, yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Pemikiran
filsafat Islam terus berkembang pesat, bahkan lebih besar, hanya
dia berubah jalur dan mazhab. Jika sebelumnya pemikiran filsafat
bersifat ‘mandiri’ lewat perenungan-perenungan filosofis rasional
murni, tidak terkait dengan sistem-sistem pemikiran yang lain, maka
pada masa ini tepatnya pasca serangan al-Ghazali (1058-1111 M)
terhadap filsafat, pemikiran filsafat tetap berkembang dengan cara
bergabung atau bersinergi dengan pemikiran tasawuf yang saat itu
mulai berkembang pesat. Juga, jika sebelumnya masalah filsafat
banyak didiskusikan dan dikembangkan dalam lingkungan masya-
rakat Sunni, pasca Ibnu Rusyd pemikiran filsafat banyak dikaji dan
dikembangkan dalam lingkungan masyarakat mazhab Syiah.
Sedemikian, sehingga apa yang dianggap bahwa pemikiran filsafat
telah mati atau tamat sesungguhnya hanya terjadi dalam lingkungan
Sunni, bukan masyakarat Islam secara keseluruhan.
Kenyataannya, setelah itu lahir seorang tokoh filsuf-sufistik
besar, yaitu Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191 M) di Aleppo Syiria,
yang dikenal sebagai Syaikh al-Isyrâq (Guru Besar Illuminasi) karena
ajarannya tentang Illuminasi, suatu ajaran yang berusaha men-
sinergikan sistem berpikir rasional filosofis dengan ketajaman hati
sufistik (mukâsyafah). Juga lahir Muhammad ibn Arabi (1165-1240
M) di Andalus, yang diberi gelar Muhy al-Dîn (Penghidup Agama)
dan Syaikh al-Akbar (Doctor Maxcimus) karena pikiran-pikiran
sufistik-filosofisnya yang luar biasa. Menurut Arthur J. Arbery (1905-
1969 M) seorang orientalis asal Universitas Cambridge Inggris, belum
44
Uraian panjang Ibn Rusyd tentang masalah ini lihat, “Fas}l al-Maqâl”, dalam Falsafah
Ibn Rusyd, (Beirut: Dâr al-Âfâq, 1978).
ada tokoh sufi Muslim yang mencapai posisi seperti kedudukan Ibnu
Arabi, sehingga ia dijuluki sebagai The greatest mystical genius of Arab.45
Dalam lingkungan mazhab Syiah, muncul Ibnu Hasan al-Thusi
yang dikenal dengan Nasir al-Din al-Thusi (1201-1274 M), di
Khurasan. Dalam bidang filsafat, tokoh ini berusaha untuk
menghidupkan kembali ajaran filsafat Ibnu Sina (980-1037 M) yang
tenggelam karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M), lewat
komentar-komentarnya (syarh}) atas karya-karya Ibnu Sina (980-1037
M), khususnya al-Isyârât wa al-Tanbîhât. Bersamaan dengan itu,
muncul juga Qutb al-Din al-Syirazi (1236–1311 M), yang dikenal
lewat dua karya besarnya, yaitu Durrat al-Tâj setebal 25.000 halaman
dan Syarh} H}ikmat al-Isyrâq karya Suhrawardi (1153-1191 M). Dalam
karya yang disebutkan pertama, al-Syirazi mendiskusikan tentang
ilmu dan membaginya dalam dua bagian: ‘ulûm al-h}ikmah (filosofis)
dan ‘ulûm ghair al-h}ikmah (non-filosofis). Menurut Osman Bakar,
pemikir muslim asal Malaysia, klasifikasi ilmu yang dibuat al-Syirazi
ini digunakan untuk mengangkat kembali nilai penting filsafat dalam
tradisi keilmuan Islam setelah menurun akibat karena serangan al-
Ghazali (1058-1111 M).46
Pemikiran filsafat Islam tidak berhenti di situ. Masuk abad
XIV M, lahir banyak filsuf handal, seperti Ibnu Mahmud al-Amuli
(w. 1385 M), komentator Ibnu Sina (980-1037 M), dan juga penulis
klasifikasi ilmu yang berjudul Nafâ’is al-funûn fî ‘arâ’is al-‘uyûn; Ibnu
Turkah (1369-1432 M) penulis Syarh} Qawâid al-Tauh}îd, sebuah buku
yang menjelaskan doktrin tauhid dalam perspektif filosofis; Jalal al-
Din ibn Asad al-Dawani (1425-1503 M) yang dianggap sebagai
perintis awal berdirinya the school of Isfahan yang dibangun oleh M.
Baqir Astarabadi yang juga dikenal dengan nama Mir Damad (w.
1631 M).47 Terakhir adalah Shadr al-Din al-Syirazi yang dikenal
dengan Mulla Sadra (1571-1640 M), pendiri Filsafat Transenden (al-
H}ikmah al-Muta`âliyah). Secara epistemologis, filsafat ini tidak hanya
menggunakan kekuatan rasio (filsafat) dan kemampuan intuitif
(sufistik) melainkan juga mendasarkan diri pada teks suci.48
45
Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, Terj. Nandi Rahman, (Jakarta: Media Pratama, 1989),
1; AJ. Arbery, Sufism an Account of the Mystics of Islam, (London: Unwin Paperback, 1975), 97.
46
Osman Bakar, Hierakhi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung: Mizan, 1997), 299.
47
Mulyadhi Kartanegara, “Pengantar” dalam A. Khudori Soleh (Ed.), Pemikiran
Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), viii.
48
Jalaluddin Rahmat, “Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rushd”, Jurnal Al-Hikmah,
(Bandung: Edisi 10, September 1993), 78.
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 81
Penutup
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampai-
kan. Pertama, bahwa pemikiran filsafat Islam tidak didasarkan atas
filsafat Yunani yang masuk ke dalam tradisi keilmuan Islam lewat
proses terjemahan melainkan dikembangkan dari sumber-sumber
khazanah Islam sendiri karena adanya kebutuhan untuk itu. Alih-
alih didasarkan atas filsafat Yunani, sebaliknya justru pemikiran
rasional Islam yang telah ada dan mapan sebelumnya itulah yang
telah memberikan jalan bagi diterimanya filsafat Yunani dalam tradisi
intelektual Islam. Meski demikian, harus diakui juga bahwa hasil-
hasil perterjemahan karya Yunani telah membantu perkembangan
filsafat Islam menjadi lebih pesat.
Kedua, bahwa grafik perkembangan pemikiran filsafat dalam
Islam ternyata tidak senantiasa naik dan mulus melainkan menga-
lami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan menghadapi pemikiran-
pemikiran ‘aneh’ dan ‘menyimpang’, tapi kemudian dicurigai karena
49
Ibid., ix. Buku Falsafatuna ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul yang sama, Falsafatuna, Terj. Nur Mufid, (Bandung: Mizan, 1999).
Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 83
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. 1998. “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Glo-
balisasi llmu dan Budaya” dalam Mukti Ali dkk, Agama dalam
Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Affifi. 1989. Filsafat Mistis Ibnu Arabi. Terj. Nandi Rahman. Jakarta:
Media Pratama.
Aqqad, Abbas Mahmud. 1988. Filsafat Pemikiran Ibnu Sina. Terj.
Yudian Wahyudi. Solo: Pustaka Mantiq.
Arbery, AJ. 1975. Sufism an Account of the Mystics of Islam. London:
Unwin Paperback.
Atiyeh, George N. 1983. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim. Terj. Kasidjo
D. Bandung, Pustaka.
Bakar, Osman. 1995. Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L. Bandung,
Pustaka Hidayah.
_____. 1997. Hierakhi Ilmu. Terj. Purwanto. Bandung: Mizan.
Fakhry, Madjid. 1983. a History of Islamic Philosophy. New York:
Colombia University Press.
_____. 2001. Averroes His Live Works and Influence. Oxford: One World.
Al-Farabi. 1996. Ih}s}â ’al-Ulûm. Edited by Ali Bumulham. Mesir: Dâr
al-Hilâl.
Gardet, Louis. & Anawati. 1978. Falsafah al-Fikr al-Dîn, II, Terj. Pran-
cis ke Arab oleh Subhi Saleh dan Farid Jabr. Beirut: Dâr al-‘Ulûm.
Al-Ghazali. 1966. Tahâfut al-Falâsifah, Ed. Sulaiman Dunya. Mesir:
Dâr al-Ma’ârif.
Al-Ghurabi, Ali Musthafa. T.Th. Târîkh al-Firâq al-Islâmî. Kairo:
Maktabah wa Mathba‘ah.
Hasan, Hasyim. T. Th. Al-Asâs al-Manhajiyah Libina’ al-Aqidah al-
Islâmiyah. Kairo: Dar al-Fikr.
Hasymi. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta, Bulan Bintang.
Hitti, Philip K. 1986. History of the Arabs. New York, Martin Press.
Ibnu Rusyd. 1978. Falsafah Ibn Rusyd. Beirut: Dâr al-Âfâq.
Al-Jabiri, M. Abid. 1991. Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi. Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi.
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’:
Dari Dunia Islam ke Eropa
Syamsuddin Arif*
International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur
Email: tagesauge@yahoo.com
Abstract
It has been a sad fact that whilst the ancient Greco-Roman civilization
and the so-called Renaissance have always received high praise, the period in
between, popularly known as the Dark Ages, is highly obscured or just ignored.
These intermediating centuries are the missing link in the history of science and
civilization, when most decisive scientific inventions were made, and the
foundations of modern civilisation were laid, with scholarly, literary and scientific
works in their thousands, artistic creativity, great architecture, huge libraries,
hospitals, universities, mapping of the world, the discovery of the sky and its
secrets, and much more. It was the time when al-Biruni, al-Khwarizmi, al-
Idrisi, al-Razi, Ibn Sina, Ibn al-Haytham, al-Ghazali, al-Jazari and other Muslim
luminaries shone on the Dark Ages. This article aims to highlight the fact that
the modern Western civilization owes much to the Muslims, who did not only
inherit and preserve the ancient learning but modified and developed it. It is
the Muslim legacy that paved the way for the revival and enlightenment of
Europe in the 15th and subsequent centuries.
Pendahuluan
H
ampir setiap orang kenal – meski hanya lewat buku pelajaran
di sekolah - siapa Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727)
atau Charles Darwin (1882). Mereka adalah saintis-saintis
asal England yang namanya cukup akrab di telinga kita. Tetapi coba
kita perhatikan angka-angka yang menunjuk tahun kematian
mereka, niscaya timbul pertanyaan: Apakah yang dikerjakan oleh
orang-orang Inggris sebelum tahun 1600? Apakah penduduk Britania
sebelum abad itu tahunya cuma berburu dan berkelahi seperti
halnya bangsa-bangsa barbariklain di Eropa? Dalam sepucuk surat
yang ditulisnya untuk Robert Hooke sahabat karibnya, Newton
sempat menyadari bahwa “ If I have seen further, it is by standing on
[the] shoulders of giants. Jika aku dapat melihat lebih jauh maka hal
itu lantaran aku berdiri di atas pundak para raksasa.” 1
Pernyataan ini patut mengingatkan kita bahwa saintis tidak
muncul tiba-tiba dari langit biru. Para saintis belajar dari apa yang
diwariskan oleh para pendahulunya. Mereka mewarisi para ilmuwan
terdahulu. Kalau sebelum Newton ada Galileo Galilei (1642) dari Italia
dan Nicolas Copernicus (1543) asal Polandia, dua tokoh yang kerap
disebut sebagai pelopor sains modern, maka patut ditanya siapakah
saintis-saintis yang giat menggarap penelitian, melakukan temuan-
temuan dan terobosan kreatif-inovatif pada abad-abad sebelumnya?
Sedikit sekali di antara kita yang tahu ternyata Kepler dan Copernicus
itu terinspirasi oleh al-Battani yang kitabnya diterjemahkan ke bahasa
Latin dengan judul De scientia stellarum.2
Jawaban yang kerap kita dengar umumnya terkesan naïf dan
distortif: bangsa Eropa memang sudah hebat ‘dari sononya’ –bermula
sejak zaman Yunani kuno hingga runtuhnya imperium Romawi pada
abad ke-5 Masehi diteruskan dengan ‘tidur panjang’ ratusan tahun
lamanya sampai terbitnya cahaya Islam mengakhiri apa yang mereka
sebut sebagai Zaman Kegelapan. Soal adanya ‘mata-rantai yang
hilang’ dalam rentetan sejarah keilmuan yang mencakup filsafat,
sains, dan teknologi ini belakangan mulai banyak disadari. Hal ini
1
Derek Gjertsen, The Newton Handbook (London: Routledge & Kegan Paul, 1986),
h. 231-2. Mirip dengan pernyataan Bernard de Charters: “Nos esse quasi nanos gigantium
humeris insidientes” (Kami/kita ini tak ubahnya ibarat cebol yang duduk di punggung para
raksasa).
2
Kitab beliau yang berjudul az-Zîj telah diterjemahkan dua kali, oleh Robertus
Retinensis (alias Ketenensis, Castrensis, atau Cataneus), dan Plato Tivoli, yang edisi
perdananya dicetak di Nuremberg, Jerman pada 1537 bersama kitab al-Farghânî dengan
judul: Rudimenta astronomica Alfragrani. Item Albategnius peritissimus de motu stellarum ex
observationibus tum propriis tum Ptolemaei; dan edisi kedua (Bologna, Italia 1645), tanpakarya
al-Farghânî, berjudul Mahometis Albatenii de scientia stellarum liber cum aliquot additionibus
Ioannis Regiomontani.Lihat Willy Hartner, “al-Battânî,” artikel dalam Dictionary of Scientific
Biography, jilid 1, h. 507-16.
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 201
3
Michael Hamilton Morgan, Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientists,
Thinkers, and Artists (Washington, D.C.: National Geographic Press, 2007), h. Xv.
4
Lihat Ibn an-Nadîm, Kitâb al-Fihrist, ed. G. Flügel, 2 jilid (Leipzig: F.C.W. Vogel,
1871), 1: 248-51; Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, trans. E. and J. Marmorstein
(London: Routledge, 1965); F.E. Peters, Aristoteles Arabus (Leiden: E.J. Brill, 1968); dan
Dimitri Gutas, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in
Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge,
1998). Fenomena ini diulas oleh Max Meyerhoff, “Von Alexandrien nach Baghdad.Ein
Beitrag zur Geschichte des philosophischen und medizinischen Unterrichts bei den Arabern,
“Sitzungs- berichte der Preussischen Akademie der Wissenschaften. Philosophisch-historische
Klasse(1930): 389-429. Cf. “ bersetzung in und zwischen den Kulturen: Der Vordere Orient
im Altertum und Mittelalter,” dalam bersetzung: ein internationales Handbuch der
bersetzungsforschung, ed. Harald Kittel (Berlin: de Gruyter, 2007), jilid 2, khususnya h.
1194-1230.
5
Uraian mengenai pencapaian dan sumbangsih kaum Muslim dalam pelbagai cabang
ilmu secara spesifik dapat dilihat dalam The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed.
Roshdi Rashed, 3 jilid (London: Routledge, 1996); The Legacy of Islam, ed. T. Arnold dan A.
Guillaume (London: Oxford University Press, 1931; edisi kedua oleh J. Schacht dan C.E.
Bosworth, Oxford: The Clarendon Press, 1974); S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: The Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1968); Eilhard Wiedemann, Aufs tze zur arabischen Wissenschaftgeschichte,
ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag, 1970); Edward S. Kennedy, Studies
in the Islamic Exact Sciences (Beirut: American University of Beirut, 1983); J.L. Berggren,
Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New York: Springer, 1986); David King,
Islamic Mathematical Astronomy (London: Variorum, 1986); A.E. Sabra, The Optics of Ibn al-
Haytham: Books I-III on Direct Vision, 2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989); Manfred
Ullmann, Islamic Medicine (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978).
6
Willy Hartner, “al-Battânî, ” artikel dalam Dictionary of Scientific Biography, jilid 1, h.
507-16.
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 203
Ibn Rusyd (w. 1198 M) dan al-Bitrûjî (w. 1190 M).7 Dalam bidang
fisika, Ibn Bâjjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya
terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan percepatan. 8
Demikian pula dalam bidang-bidang saintifik lainnya. Bahkan dalam
hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia, Ibn Firnas
telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan
rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (w. 1292 M) dan belakangan
diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519 M).
7
Lihat A.E. Sabra, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy: Averroes
and al-Bitrûjî,” dalam Transformation and Tradition in Sciences: Essays in Honor of I. Bernard
Cohen, ed. Everett Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), h. 133-53.
8
Lihat Ernest A. Moody, “Galileo and Avempace: The Dynamics of the Leaning
Tower Experiment,” dalam Journal of the History of Ideas 12 (1951): 163-93 dan 375-422.
learning and the glorious scientific history that followed might not have
occurred.”9
Kasus cukup menarik bisa kita lihat pada Adelard Bath (hidup
antara 1080-1150 M), yang kini dijuluki ‘ilmuwan pertama Inggris’
(the first English scientist) jauh sebelum Boyle dan Newton. Adelard
lahir dan dibesarkan pada zaman di mana kaum bangsawan Inggris
memperoleh pendidikan dan pengajaran dari guru-guru privat alias
tutor, kalau bukan dari sekolah-sekolah yang ber-afiliasi ke gereja
setempat. Itu pun paling tinggi hanya sampai tingkat menengah.
Adapun untuk tingkat yang lebih tinggi, maka mereka harus me-
rantau ke Paris, Roma, Toledo atau bahkan Timur Tengah. Tak ter-
kecuali Adelard.
Dikisahkan bahwa ia membawa serta murid-muridnya untuk
melanjutkan pelajaran mereka di Laon, sebuah kota kecil di timur-
laut Paris yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi
waktu itu. Ia sendiri kemudian pergi mengembara sampai ke Antioch
(Syria), Tarsus (Turki) dan Sicily (Italia), yang hingga tahun 1072
masih termasuk wilayah Islam, dalam rangka menimba ‘ilmu orang-
orang Arab’ (studia Arabum). Ketika tujuh tahun kemudian Adelard
pulang ke England dan bertemu lagi dengan mantan muridnya
tamatan dari Laon, ia menyimpulkan, dibandingkan dengan ilmu
orang Arab, maka ilmu orang Perancis itu ketinggalan jauh, beku
dan menjadikan otak tumpul. “Satu pelajaran penting yang kudapat
dari guru-guruku orang Arab: jadikan akal sebagai pemandu. …
Apa gunanya kita punya otak, kalau tidak bisa berpikir sendiri?! (I
have learned one thing from my Arab masters: with reason as guide. …
So what is the point of having a brain, if one does not think for oneself?),”
tukasnya.10
Dan ternyata, Adelard bukan satu-satunya orang yang menilai
kaum Muslim saat itu lebih maju dan lebih tinggi peradabannya.
Peter Abelard, teolog masyhur yang hidup sezaman dengannya pun
berkesimpulan yang sama. Baginya, Islam itu identik dengan
9
Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), h. 206.
10
"… a magistris Arabicis ratione duce didici”, seperti dikutip Jean Jolivet, “The Arabic
Inheritance,” dalam A History of Twelfth-Century Western Philosophy, ed. P. Dronke (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), h. 113. Cf. Adelard of Bath.Conversations with his Nephew.
On the Same and the Different, Questions on Natural Sciences and On Birds, ed. Charles Burnett
et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 205
11
Lihat Jean Jolivet, “L’Islam et la raison, d’après quelques auteurs latins des XIe et
XIIe siècles,” dalam L’art des confins. Mélanges Maurice de Gandillac (Paris, 1987), h. 153-65.
12
Judulnya: Euclidis elementa ex Arabico in Latinum translata par Adelardum Goth.
Bathoniensem sub commento mag. Campani Novariensis (tersimpan di Glasgow, HaenelCol.
786);Euclidis Elementorum artis geometriae per Adelardum Bathoniensem ex Arabica lingua in
Latinam translatae propositiones, nebst der Institutio artis geometriae ab Euclide descripta XV
libros continens, per Adelardum Bathoniensem ex Arabico in Latinum sermonem translata. Cf.
Marshall Clagett, “The Medieval Latin Translations from Arabic of the Elements of Euclid,
with Special Emphasis on the Versions of Adelard of Bath,” dalam jurnal Isis 44 (1953), h.
16-42.
13
David C. Lindberg, “The Transmission of Greek and Arabic Learning to the
West,” dalam Science in the Middle Ages, ed. David C. Lindberg (Chicago: The University of
Chicago Press, 1978), h. 61-2.
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 207
a. Periode Awal
Adalah Constantinus Aphricanus yang tercatat sebagai pelopor.
Selain menguasai beberapa bahasa, Constantinus berjasa mem-
boyong puluhan buku-buku ilmiah dari wilayah Islam ke Eropa
untuk kemudian diterjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Latin.
Robert Guiscard, yang pada tahun 1075 menjadi penguasa di
Salerno, mengangkat Constantinus sebagai juru tulisnya. Namun
tak lama, karena kedengkian sebagian orang di sana, Constantinus
akhirnya memutuskan untuk pergi ke Monte Cassino dan menga-
singkan diri sebagai biarawan Ordo Benedictine sampai meninggal
pada tahun 1085. Buku-buku yang ia alihbahasakan termasuk: Liber
regius(=Liber completus artis medicae qui dicitur regalis dispositio dalam
versi Stephanus) karya ‘Ali ibn ‘Abbas (w. 994 M), yang aslinya ber-
judul Ka>mil al-Sina>‘ah al-T}ibbiyyah dan naskahnya masih tersimpan
di Basel (edisi 1539); Himpunan kata-kata Hippocrates berikut
penjelasan Galen yang diberi judul Hippocratis Aphorismorum liber
cum Galeni commentario; dan kitab kedokteran Abu Bakr ar-Razi yang
diterjemahkan menjadi Abubecri filii Zachariae Rhasis Divisionum liber
(tersimpan di Oxford Coxe Pars II. Colleg. St. Joh. Bapt. No. 85).
Demikian pula Gerard dari Cremona, yang dijuluki ‘Tuan Guru’
(doctus magister) di Toledo, telah menerjemahkan dari bahasa Arab
ke Latin tak kurang dari tujuh-puluh buku. Termasuk di antaranya
buku Analytica Posteriora, Physica, Meteorologia dan De Generationeet
Corruptione karya Aristoteles, empat risalah karya al-Kindi, satu risalah
Ikhwan as-Shafa dan kitab Ihs}a>’ al-‘Ulu>m karya al-Farabi.16 Pada saat
yang sama kitab al-Syifa>’ karya Ibn Sina juga diterjemahkan oleh
tim pakar terdiri dari Abraham ibn Dawud alias Avendauth,
Carolus Caspari, dengan judul: Borhan-ed-dini es-Sernudji Enchiridion Studiosi, ad fidem editionis
Relandianae nec non trium codd. Lips.Et duorum Berolin. denuo arabice edidit, latine vertit …
textum et scholia vocalibus instruxit et lexico explanavit Carolus Caspari, praefatus est
Henricus- Orthobius Fleischer (Lipsiae [Leipzig], 1838).
16
Dengan judul: el-Farabi de divisione philosophiae, tersimpan dalam Oxford Catalog.
Mss. Angl. Tom. I. Pars I. hlm.81 No. 1677; hlm.140 No. 2590; hlm. 285 No. 6341; Pars II.,
h. 50 No. 1553.
b. Periode kedua
Penerjemahan kitab al-Syifa>’ yang terdiri dari ribuan halaman
karya Ibn Sina itu berlanjut di abad ke-13. Kitab al-H}aya>wan (zoologi)
karya Aristoteles dilatinkan oleh Michael Scot (w. tahun 1236),
sementara kitab ilmu-ilmu alamnya (yang belum semuanya digarap
oleh penerjemah sebelumnya) yang dialihbahasakan ke Latin adalah
kitab fi al-Sama>’ (De caelo), al-Kawn wa al-Fasad (De generatione et
corruptione), al-Af‘a>l wa al-Infi‘a>la>t (De actionibus et passionibus),
dan al-Ajra>m wa al-Atsa> r al-‘Ulwiyyah (Meteorologia) oleh Juan
Gonsalvez atas permintaan Gonsalvez Garc a de Gudiel, Uskup
Burgos (1275-1280) berdasarkan manuskrip tunggal yang tersimpan
di gereja Toledo.
Namun, hasil terjemahan itu jarang dibaca. Barangkali karena
karya-karya tersebut sukar dipahami apa adanya. Itu sebabnya
mengapa orang Eropa kemudian menerjemahkan buku-buku Ibn
Rusyd yang dalam pelbagai ukuran memberikan penjelasan, ulasan
ataupun ringkasan terhadap semua karya Aristoteles. Michael Scot,
yang pergi meninggalkan Toledoke Sicily, Italia untuk mengabdi
kepada raja Frederick II, melatinkan sejumlah komentar panjang
Ibn Rusyd atas karya Aristoteles mengenai kosmologi, psikologi,
fisika, dan metafisika.
17
Misalnya: Avicennae Metaphysicorum libri decem interprete Dominico Gondisalvo,
Archidiacono Tholet. de arabico in latinum (tersimpan di Paris MS Cod. 6443,1.16097 dan
dicetak di Venezia dengan judulAvicennae Metaphysica sive ejus prima philosophia (Venet.
1493).
18
Untuk ulasan detil karya-karya Ibn Sina dalam bahasa Latin, lihat Marie-Thèrese
d’Alverny, “Notes sur les traductions médiévales d’Avicenne,” dalam Archives
d’histoiredoctrinale et littéraire du moyen age 27 (1952): 337-358 danAvicenne en Occident(Paris:
Vrin 1993).
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 209
c. Periode Ketiga
Pada masa ini yang banyak berperan sebagai penerjemah
adalah para cendekiawan Yahudi. Mungkin karena kaum terpelajar
Kristen ketika itu untuk sementara waktu ‘tiarap’ akibat ‘fatwa sesat’
yang dilontarkan oleh Etienne Tempier. Namun demikian, aktivitas
penerjemahan terus berjalan. Hal ini diperlihatkan misalnya oleh
Calonymus ben Calonymus ben Meir, intelektual Yahudi yang
menerjemahkan kitab Taha>fut al-Taha>fut karya Ibn Rusyd untuk
memenuhi permintaan Robert Anjou, raja Napoli. Tetapi yang lebih
menarik lagi, mulai akhir abad ke-13 dan setelahnya, kebanyakan
terjemahan ke bahasa Latin dibuat melalui bahasa Ibrani, dan bukan
langsung dari versi Arabnya. Sekurang-kurangnya terdapat 38 karya
Ibn Rusyd yang tersimpan, diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani
ataupun disalin menggunakan aksara Ibrani (bukan Arab atau
Romawi). Tersebutlah Jacob Anatoli dan, pada kurun selanjutnya,
Moses ibn Tibbon, Levi ben Gerson (alias Gersonides), ShemTov
ibn Falaquera dan Moses Narbonsis yang masing-masing mempunyai
andil menyediakan versi Latin dari karya-karya Ibn Rusyd.
19
Lihat John F. Wippel, “The Condemnations of 1270 and 1277 at Paris,” The Journal
of Medieval and Renaissance Studies 7 (1977), 169-201; Alain de Libera, “Philosophie et
censure. Remarques sur la crise universitaire parisienne de 1270-1277,” dalam Was ist
Philosophie im Mittelalter? ed. Jan A. Aertsen dan Andreas Speer(Berlin: Walter de Gruyter,
1998), h. 71-89 dan Nach der Verurteilung von 1277. Philosophie und Theologie an der Universit t
von Paris im letzen Viertel des 13.Jahrhunderts. Studien und Texte, ed. Jan A. Aertsen et al.(Berlin:
Walter de Gruyter, 2001).
d. Periode Keempat
Memasuki abad ke-16 orang-orang Eropa tak surut minatnya
untuk mempelajari khazanah keilmuan Islam. Sebuah buku tata-
bahasa Arab beserta kamusnya karya Pedro Alcalà terbit pada tahun
1505 di Spanyol. Seorang ilmuwan Muslim yang diculik dan diberi
nama baru ‘Leo Africanus’ oleh Paus Leo X, (disuruh) menghimpun
data bibliografi karya ilmiah yang ditulis orang Islam semenjak tahun
1518. Pemburuan dan pengumpulan manuskrip semakin gencar
dilakukan. Naskah Arab dari Ennead IV-VI yang bertajuk Us}u>lujiya
Arist}at}alis dari Damaskus, berikut versi Latinnya oleh Moses Arovas
dan Pier Nicolas Castellani diterbitkan di Roma pada tahun 1519.
Masih di Damaskus, Andrea Alpago merevisi terjemahan kitab al-
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 211
Qa> n u> n fi al-T{ i bb karya Ibn Sina dan menerbitkan dua risalah
psikologi Ibn Sina yang lain. Kemudian pada tahun 1584 di Roma,
Giovan Battista Raimondi berkat dukungan para Medici telah
mendirikan percetakan Arab. Kajian Islam semakin marak dengan
diangkatnya Guillaume Postel sebagai guru besar bahasa Arab di
Paris pada 1535, Thomas Erpenius di Leiden pada tahun 1613.
Adapun di Oxford, Edward Pococke menerbitkan karyanya yang
berjudul Specimen historiae Arabumdan menerjemahkan novel filsafat
Ibn Tufayl (w. 1185), H}ayy ibn Yaqz}a>n, yang konon menjadi sumber
inspirasi bagi penulis Robinson Crusoe.20
Penutup
Tak bisa dipungkiri fakta terjadinya pertukaran, peminjaman
dan saling mempengaruhi ketika dua bangsa, masyarakat atau
peradaban berhubungan satu sama lain. Tidak ada peradaban yang
berdiri sendiri ataupun menjiplak seratus persen peradaban lain.
Sejatinya, setiap peradaban memiliki ciri-ciri khas, elemen-elemen
unik yang mungkin tidak terdapat ataupun tidak berkembang
dalam peradaban lain. Tetapi bisa dipastikan juga terdapat unsur-
unsur yang dipetik, diambil atau ditiru dari peradaban lain yang
telah ada sebelumnya dan disekitarnya. Inilah yang dinamakan
dengan teori ‘interdependence’ (bukan ‘total dependence’ dan bukan
pula ‘absolute interdependence’. Sebagaimana orang-orang Yunani
kuno berhutang budi kepada orang Mesir dan Babilonia, begitu juga
orang-orang Barat (Eropa) berhutang budi kepada orang Islam.[]
20
Roman Hayy ibn Yaqzan mulanya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani (Hebrew)
pada 1349 oleh Moses Narbonsis, kemudian dari Ibrani ke Latin oleh Pico della Mirandola,
dan langsung dari Arabnya ke Latin oleh Edward Pococke pada 1671. Versi Inggrisnya
oleh George Keith terbit tahun 1674, sementara Robinson Crusoeoleh Daniel Defoe terbit
1719. Lihat G.A. Russel, “The Impact of the Philosophus Autodidactus: Pocockes, John
Locke and the Society of Friends,” dalam The ‘Arabick’ Interest of the Natural Philosophers in
Seventeenth-Century England, ed. G.A. Russell (Leiden: Brill, 1994), h. 224-65; juga Lawrence
I. Conrad, (ed), The World of Ibn Tufayl: Interdisciplinary Perspectives on Hayy ibn Yaqzan,
(Leiden: Brill, 1996).
Daftar Pustaka
Aertsen, Jan A., Was ist Philosophie im Mittelalter? (Berlin: Walter de
Gruyter, 1998)
Aertsen, Jan A., Nach der Verurteilung, Philosophie und Theologie an
der Universit t von Paris im letzen Viertel des Jahrhunderts, Studien
und Texte, (Berlin: Walter de Gruyter, 2001)
Berggren, J.L. Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New
York: Springer, 1986)
Burnett, Charles, Adelard of Bath.Conversations with his Nephew. On
the Same and the Different, Questions on Natural Sciences and
On Birds, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998)
Conrad, Lawrence, (ed), The World of Ibn Tufayl: Interdisciplinary
Perspectives on Hayy ibn Yaqzan, (Leiden: Brill, 1996).
Contadini, dan C. Burnett, Islam and the Italian Renaissance, (London:
The Warburg Institute, 1999)
Gjertsen, Derek The Newton Handbook (London: Routledge & Kegan
Paul, 1986),
Grant, Edward, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996)
Guillaumem, A dan T. Arnold The Legacy of Islam, (London: Oxford
University Press, 1931 edisi kedua oleh J. Schacht dan C.E.
Bosworth, Oxford: The Clarendon Press, 1974)
Gutas, Dimitri, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge, 1998)
Jolivet, Jean, “L’Islam et la raison, d’après quelques auteurs latins
des XIe et XIIe siècles,” dalam L’art des confins. Mélanges Maurice
de Gandillac (Paris, 1987)
————— , “The Arabic Inheritance,” dalam A History of Twelfth-
Century Western Philosophy, ed. P. Dronke (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988)
Kennedy, Edward S. Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut:
American University of Beirut, 1983)
King, David, Islamic Mathematical Astronomy (London: Variorum,
1986)
Lindberg, David C. “The Transmission of Greek and Arabic Learning
Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 213
Abstract
The history of science and its development process in Islam is not a
mere message of religious doctrine, but it has really manifested itself in the
stages of the history of science. As a historical fact, Islamic sciences have grown
and developed by several factors, either it’s directly related to intellectual Muslim
development, or to social factors, political and cultural situations which existed
at that time. The spirit of science development has been ongoing continuously
from one generation to another. Numbers of research, experiment, discovery,
and the development of methodology of science are continuously conducted
and developed by Muslims. In the history of Islam, scientific work has fluctuated.
Starting from the exploration of the roots of science, this article tries to explain
the position and the systematization of knowledge in Islamic literatures. This
work also proves that the rise and development of science in Islam, cannot be
separated from various educational institutional roles, such as maktabah, kuttâb,
h}alaqah, observatories, hospitals and clinics, Dâr al-H}ikmah, Dâr al-’Ilm, and
madrasah. Therefore, the development of science in the Islamic world is not
only beneficial for Muslims, but also for the entire human race. It is proved that
even the renaissance in the Western world took many of its success from Islamic
civilization since the 14th century AD.
*
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jl. Ir. H.
Djuanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan 15412.
Abstrak
Ilmu pengetahuan dalam sejarah dan proses pengembangannya dalam
Islam bukan hanya sekadar pesan doktrin agama, tetapi pesan itu benar-benar
telah terwujud dalam panggung sejarah keilmuan. Sebagai fakta sejarah, ilmu
keislaman tumbuh dan berkembang karena beberapa faktor, baik yang terkait
langsung dengan upaya pengembangan intelektualitas umat Islam, maupun
faktor-faktor eksternal yang terkait dengan situasi sosial, politik, dan budaya,
yang berkembang pada zamannya. Dari generasi ke generasi semangat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan terus dilakukan. Berbagai penelitian,
eksperimen, penemuan, dan metodologi keilmuan terus menerus dilakukan dan
dikembangkan oleh kaum intelektual Muslim. Pasang surut proyek kerja ilmiah
tersebut terjadi dalam sejarah Islam. Diawali dengan penelusuran terhadap akar-
akar pengembangan ilmu, artikel ini memberikan kejelasan tentang posisi dan
sistematisasi ilmu dalam khazanah keislaman. Tulisan ini juga membuktikan bahwa
kejayaan dan perkembangan ilmu dalam Islam, tidak bisa dilepaskan begitu saja
dari peran yang dimainkan oleh pelbagai lembaga pendidikan, seperti maktabah,
kuttâb, h}alaqah, observatorium, rumah sakit dan klinik, Dâr al-H}ikmah, Dâr al-
‘Ilm, dan madrasah, dalam proses transmisi ilmu pengetahuan. Perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia Islam tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam sendiri,
melainkan juga bagi umat agama manusia seluruhnya. Hal tersebut terbukti bahwa
terjadinya Renaisans Barat sejak abad ke 14 M tidak lepas dari peran peradaban
Islam saat itu.
Pendahuluan
T
idak dapat disangkal betapa Islam menghargai peran akal.
Penghargaan itu begitu tinggi sehingga seorang tidak dibebani
untuk menjalankan ajaran-ajaran agama ketika akal itu rusak,
tidak lagi berfungsi. Begitu sebaliknya, seseorang mendapatkan dosa
yang sangat berat ketika berusaha merusak fungsi akal atau bahkan
meniadakannya.1 Untuk itu, Islam memberikan penghargaan yang
1
Larangan keras untuk tidak boleh bermabuk-mabukan umpamanya adalah terkait
dengan tindakan seseorang dalam merusak fungsi akal dan oleh karenanya dilarang. Lihat
beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti dalam: QS. al-Baqarah [2]: 219, QS. al-Nisa [4]: 43,
QS. al-Maidah [5]: 90-91.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 91
2
Tentang perintah dan anjuran melakukan segala sesuatu dengan akal, dalam al-
Qur’an disebutkan dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, menggunakan akar
kata ‘aqala dengan berbagai tas}rîfnya sebanyak (490 kali, dari akar kata fakara dengan
berbagai tas}rîfnya sebanyak (20) kali, dari akar kata faqaha sebanyak (20) kali, dari akar kata
‘alima sebanyak (679) kali, dari akar kata qara’a sebanyak (70) kali. Bahkan wahyu pertama
yang turun kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk membaca (iqra’), QS. al-‘Alaq [96]:
1. Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal sebagai binatang (QS. al-
A’raf [7]:179, QS. al-Furqan [25]:44), dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat
yang setinggi-tingginya karena menguasai ilmu (QS. al-Mujadilah [58]: 11).
3
Lihat Mehdi Nakosteen, The History of Islamic Origins of Western Education A. D.
800-1350; with an Intruction to Medieval Muslim Education, (Colorado: University of Coloroda
Press, Boulder, 1964), 18-27.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 93
4
Sebagai ilustrasi betapa perhatian yang tinggi terhadap para penerjemah, al-Makmun
memberi upah kepada para penerjemah, termasuk para penerjemah Kristen Nestorian, seperti
Hunain bin Ishaq (810-877 M), penerjemah bidang kajian filsafat, astronomi, dan meteorologi,
dengan gaji emas seberat lembaran-lembaran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Al-
Makmun juga mengembangkan lembaga Bait al-H}ikmah sebagai tempat menghimpun karya
terjemahan dan dijadikan perpustakaan terbesar pada masa itu. Pada akhir abad kesembilan,
hampir semua karya yang diketahui dalam museum-museum Helenistik telah tersedia bagi
para ilmuwan Islam. Selain Hunain bin Ishaq yang dibantu oleh staf ahli dan murid-muridnya
yang kesemuanya berjumlah lebih dari 90 orang, ada pula para penerjemah ahli lainnya
seperti: Tsabit bin Qurrah (826-901 M), penerjemah bidang kajian matematika, fisika, dan
astronomi, Abu Yahya al-Batriq, Qasta bin Luqa, Hubaysh bin Hasan, dan Abu Bishr Matta
bin Yunus. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Mac Millan Press, 1974), 313.
Lihat juga Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam The Classical Period A. D. 700-
1300, Terj. Afandi, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), 83. Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), 12. Syed Hossen Nasr, Science
and Civilization in Islam, Terj. Mahyudin, (Bandung: Pustaka,1986), 26.
5
Ahmad Amin, D}uh}â al-Islâm, (Kairo:Maktab al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, 1933), 163.
Ilmu-Ilmu Keislaman
Ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat seiring dengan
kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam memahami
petunjuk agama yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Maka
berkembanglah ilmu yang berhubungkan dengan al-Qur’an, hadis,
fikih, kalam, tasawuf, dan tarikh. Di samping itu, berkembang pula
ilmu-ilmu bantu serta metodologi yang sistematis dalam kajian ilmu-
ilmu tersebut. Maka berkembanglah ‘ulûm al-Qurân dan tafsirnya,
ûlûm al-h} a dîts, ‘ilm al-fiqh, us} u l al-fiqh, ‘ilm al-kalâm, ‘ilm al-
tas}awwuf, dan sebagainya.
Ilmu al-Qur’an dan tafsirnya mengalami perkembangan yang
spektakuler. Muncul para ahli tafsir dengan berbagai metode dan
pendekatan. Dua metode penafsiran yang terkenal, yaitu tafsîr bi
al-ma’tsûr9 dan tafsîr bi al-ra’y,10 dipilih oleh para mufasir dalam
6
Bandingkan umpamanya para imam mazhab yang tinggal di kota Madinah dan yang
tinggal di Baghdad. Di Madinah, karena kondisi sosialnya yang homogen, lebih
menggunakan pendekatan tekstual dan oleh sebab itu, masyarakatnya banyak mengikuti
tokoh seperti Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, sebagai imam mazhab ahl al-h}adi}ts.
Berbeda dengan Baghdad yang heterogen, maka masyarakatnya banyak menganut tokoh-
tokoh mazhab ahl al-ra’y, seperti Imam Abu Hanifah.
7
Mengenai ilmu kealaman lebih lengkap dapat dilihat dalam Seyyed Hossein Nasr,
Science and Civilization in Islam, (Harvard University Press, 1968).
8
Mengenai filsafat dan humaniora secara mendalam dapat dilihat dalam M.M. Sharif,
A History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harroswitz, 1963) dan Majid Fakhri, A
History of Islamic Philosophy, (Columbia University Press, 1983).
9
Yaitu metode penafsiran al-Qur’an dengan dalil al-Qur’an itu sendiri, dengan hadis
Nabi SAW, dengan pendapat sahabat, dan dengan perkataan para tabiin yang menjelaskan
maksud Allah SWT yang terkandung dalam teks al-Qur’an.
10
Yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad mufasirnya dan menjadikan
akal pikiran sebagai pendekatan utama.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 95
11
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, lahir di Bukhara, suatu daerah di Uzbekistan, Asia Tengah.
Ia berhasil menghimpun lebih dari 600.000 hadis, 300.000 di antaranya dihafalnya. Hasil
penelitiannya, dari 300.000 hadis yang dihafal hanya 7.275 hadis saja yang berstatus sahih
dan dihimpun dalam kitabnya. Menurut al-Faruqi, hadis sahih yang diterima al-Bukhari terdapat
pengulangan-pengulangan, sehingga bila dikurangi, maka jumlah hadis sahih yang
diterimanya hanya 2.602 saja, bahkan yang dinilai asli hanya 1.500 saja. Muhammad Abu
Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-S}ih}h}ah al-Sittah, (Kairo: Silsilah al-Buhûts al-
‘Ilmiyyah, 1969), 50. Ali Mustafa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), 11. Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya Faruqi, The Cultural Atlas of
Islam, (New York: MacMillan, 1982), 292.
Muslim (w. 261 H)12 dengan kitabnya al-Jâmi’ al-S}ah}îh, atau S}ah}îh
Muslim memuat 3030 hadis; Abu Dawud (W.275 H) dengan kitabnya
Sunan Abî Dâwûd memuat 4800 hadis dari 500.000 hadis yang
diseleksi; al-Tirmidhi (w. 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidhi;
al-Nasa’i (w. 303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’î yang memuat
5.761 hadis; dan Ibnu Majah (w.273 H) dengan kitabnya Sunan Ibn
Mâjah. Enam kitab hadis itu dikenal dengan nama al-Kutub al-Sittah.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman juga terjadi pada bidang
fikih (hukum Islam). Hal itu terjadi sejalan dengan semakin besarnya
kekuasaan Islam dan semakin banyaknya peristiwa-peristiwa sosial
dan problematikanya yang harus diselesaikan. Maka muncul empat
imam besar, yaitu Abu Hanifah (W. 768 M/150 H), Anas bin Malik
(W. 795 M/179 H), Muhamad bin Idris al-Syafi’i (w.769 -820 M/
150-204 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 779-855 M/ 164-240 H).
Dalam membuat penetapan hukum Islam, mereka menggunakan
metodologi yang disebut us} û l al-fiqh yang berguna untuk
menetapkan kriteria validitas bagi pengembangan hukum baru dari
sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Agaknya yang menjadi sebab kenapa terjadi perbedaan hasil
penetapan hukum di antara tokoh mazhab itu adalah faktor
pendekatan dalam melakukan kajian. Abu Hanifah umpamanya,
dalam menetapkan hukum atas sebuah masalah sering mengede-
pankan pendekatan ra’y (logika, pikiran), sehingga mazhabnya
dikenal sebagai mazhab ahl al-ra’y. Oleh karena itu, ia banyak meng-
gunakan metode al-qiyâs dan al-istih}sân13 dalam menetapkan hukum
suatu kasus. Pendekatan logika Abu Hanifah tampaknya dapat
dipahami karena beberapa hal, antara lain; 1) situasi dan kondisi
Baghdad tempat tinggal Abu Hanifah yang heterogen dan kompleks,
juga jaraknya yang jauh dari Madinah, sehingga tidak mungkin
memutuskan sebuah hukum dengan satu pertimbangan saja; 2)
keikutsertaan Abu Hanifah dalam kajian ilmu kalam di sebuah
12
Nama Lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim bin Hajaj bin Muslim bin Ward
bin Qusay al-Qusyairi al-Naisaburi.
13
Qiyâs adalah proses pembuatan analogi hukum atas suatu kasus yang tidak
disebutkan di dalam al-Qur’an atau al-Sunnah dengan suatu kasus yang hukumnya sudah
disebutkan secara jelas, karena ada faktor kesamaan alasan mengapa hukum itu ditetapkan
(‘illah). Istih}sân adalah peralihan dari suatu ketetapan hasil qiyâs kepada hasil qiyâs lain yang
lebih kuat, atau dengan kata lain, mentakhsis qiyâs dengan dalil yang lebih kuat hingga
muncul qiyâs yang baru. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmî, (Kairo: Da>r
al-Qalam, 1970), 69.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 97
14
Manna’ al-Qaththan, Tasyrî’ al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1989), 220.
15
Al-Mas}âlih} al-Mursalah yaitu menetapkan hukum yang tidak disebutkan di dalam
nas al-Qur’an atau al-Sunnah dengan pertimbangan untuk kepentingan dan maslahat hidup
manusia dalam rangka mengambil manfaat dan menjauhi mudarat.
16
Aliran Mu’tazilah bermula dari protes Washil bin Atha’ terhadap gurunya, Hasan al-
Bashri, yang tidak puas atas jawaban gurunya mengenai dosa besar. Ia keluar dari halaqah
kajian sang guru dan membuat kelompok kajian sendiri hingga terbentuk paham sendiri.
17
Karyanya tentang kalam antara lain: Maqâlât al-Islâmiyyîn, al-Ibânah fi> Us}ûl al- Diyânah,
dan al-Luma’. Pokok-pokok pikirannya antara lain: 1) Tuhan mempunyai sifat dan sifat itu bukan
zat-Nya, 2) al-Qur’an adalah kalâm Allâh yang qadîm dan bukan makhluk. 3) Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala langsung di akhirat. 4) Manusia dengan akalnya dapat mengetahui adanya
Tuhan. Tapi akal itu tidak dapat mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau tidak karena
wajib atau tidak itu hanya diketahui melalui wahyu. 5) Perbuatan menusia tidak akan lepas dari
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kekuasaan mutlak-Nya, Tuhan bebas melakukan
apa saja, termasuk andaikata Dia berkehendak memasukkan semua ke dalam surga atau neraka.
Tokoh-tokoh penting dalam mazhab ini selain al-Asy’ari antara lain: al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-
Ghazali. Lihat Abu Hasan al-Asy’ari, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’,
(Kairo: Mat}ba’ah al-Mu’înah, 1955), 30-51. Juga al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nîh}al, Jilid 1,
(Beirut: Dâr al-Ma’ârif, 1980), 42, 101. Al-Asy’ari, al-Ibânah…, 9.
18
Yaitu peristiwa terbunuhnya Usman bin ‘Affan yang kemudian menyulut terjadinya
pemberontakan dan perang. Puncaknya adalah perang Shiffin pada pertengahan abad ke 7 M
antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah hingga berakhir dengan kekalahan
pasukan Ali.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 99
19
Prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam apa yang diistilahkan al-Us}ûl al- Khamsah
(pokok-pokok yang lima), yaitu al-tawh}îd (keesaan Allah), al-manzilah bayn al- manzilatain
(kedudukan di antara dua kedudukan), al-wa’d wa al-wa’îd (janji dan ancaman), al-‘adl
(keadilan), dan al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (perintah kepada kebaikan dan
mencegah kepada kemungkaran). Tokoh-tokoh penting Mu’tazilah antara lain: Abu al-Huzail,
al-Jubba’i, al-Nazzam, al-Jahidz, dan Muammar bin Abbad. Lihat keterangan lebih luas tentang
paham Mu’tazilah dalam al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nih}al, 1/42. Ahmad Amin, Fajr al-
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), 381.
20
Lihat Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
28.
paham tasawuf itu ada yang masih berpijak dengan syariah, seperti
teori-teori yang dibuat oleh al-Ghazali sehingga terkenal dengan istilah
tas}awwuf sunni tetapi muncul pula tasawuf lain yang bebas dan
ekstrim, seperti ajaran-ajaran tasawuf Zun Nun al-Mishri (w. 860
M),21 Abu Yazid al-Bishtami (w. 874 M),22 dan al-Hallaj.23
Tasawuf aliran ini muncul di saat kecenderungan terhadap
kehidupan materi yang berlebihan dan manusia semakin mening-
galkan nilai-nilai moral, persaingan hidup semakin ketat dan kom-
pleks, sehingga kehidupan asketisme menjadi alternatif. Bahkan di
saat runtuhnya Baghdad tahun 1258 M., aspek tasawuf menjadi corak
pemikiran yang dominan di dunia Islam pada waktu itu.
Penyebarannya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia,
banyak dilakukan oleh para pejuang dari para sufi dan pengikut
tarekat. Maka tidak heran kalau kemudian karya-karya intelektual
Islam awal yang berkembang di Indonesia didominasi oleh corak
tasawuf, dan para ulamanya kebanyakan adalah pengikut tarekat.24
Sejalan dengan dominasi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di dunia
Islam, maka penyebaran Islam di Indonesia juga tidak terlepas dari
corak tasawuf Sunni tersebut. Corak tasawuf versi al-Ghazali al-Syafi’i
jauh lebih terlihat nyata dibanding corak tasawuf al-Hallaj al-Syi’i.25
Memang belakangan corak tasawuf non-Sunni berkembang pula
di Indonesia, tapi akarnya tidak sekuat tasawuf Sunni.
Jalinan komunikasi antara ulama Indonesia dengan ulama
Haramain juga menjadi faktor penting dalam mendukung perkem-
bangan tasawuf dan tarekat di Indonesia. Haramain merupakan pusat
21
Paham Zun Nun al-Mishri yang terkenal adalah al-Ma’arif. Menurutnya, pengetahuan
hakiki yang dimiliki kaum sufi adalah al-ma’rifat, yaitu mengetahui Tuhan dari dekat sehingga
hati sanubari dapat melihat Tuhan. Ma’rifat hanya dimiliki kaum sufi, yaitu pengetahuan yang
diberikan Tuhan sehingga hatinya bercahaya penuh sinar.
22
Ajaran Abu Yazid al-Bisthami adalah al-fanâ’ wa al-baqâ’, yaitu penghancuran diri,
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dan yang tertinggal
adalah wujud ruhani yang telah menyatu dengan Tuhan.
23
Paham al-Hallaj adalah al-h}ulûl, yaitu bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah tidak ada lagi sifat-sifat kemanusiaan dalam
tubuh itu dan yang ada adalah sifat-sifat ketuhanan (lâhût).
24
Lihat bagaimana peran para sufi dan ahli tarekat sejak abad 13 dalam berjuang
membangun dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam di penjuru dunia, termasuk peran mereka
dalam penyebaran Islam di Indonesia, dalam Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), 15. Juga Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang
Islam di Indonesia Abad XIX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 173.
25
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1976), 217.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 101
26
Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya Faruqi, The Cultural…, 358-359.
27
Pada mulanya al-Razi lebih memfokuskan kajian bidang kimia kemudian
mengembangkannya ke bidang kedokteran hingga menjadi ahli kedokteran setingkat Ibnu
Sina. Karya medis yang terkenal adalah al-Hâwî yang memuat banyak hasil observasinya
sendiri di bidang kedokteran hingga berpengaruh bukan saja di dunia Islam tapi juga di dunia
Barat. Lihat Syed Hossein Nasr, Science…, 247.
28
Di antaranya karya terbesar Ibnu Sina di bidang kedokteran adalah Kitâb al-Qânûn fî
al-T}ibb, sebuah karya yang tidak saja ditransmisikan di dunia kedokteran Timur tapi juga ke
dunia Barat. Buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan sebutan Canon tersebut
diajarkan berabad-abad lamanya di beberapa perguruan tinggi Barat di masa Renaisans. Karya
lain adalah al-Syifâ’, karya ensiklopedia kedokteran yang berpengaruh. Nama-nama saintis
Barat seperti Roger Bacon, St. Thomas, Duns Scotus, Albertus Magnus, diduga kuat sedikit
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Sina. Lihat Syed Hossein Nasr, Science…, 223.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 103
29
Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (801-873 M/185-260 H).
30
Majid Fakhri, A History…, 36.
31
Ahmad Amin, D}uh}â al-Islâm, 164-228.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 105
32
Mehdi Nakosteen, The History…, 64-65.
33
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas Lembaga-lembaga
Pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994), 47.
34
Michael Stanton, Higher Learning…, 36.
35
Mehdi Nakosteen, The History, 63-64.
36
Michel Stanton, Higher Learning…, 171-172.
37
Ibid.,174-175.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 107
40
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), 84. Juga Jonathan Berkley, The
Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education, (Cambridge:
Harvard University Press, 1992), 24.
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 109
41
Hasan Abd al-‘A’la, al-Tarbiyah al-Islâmiyyah fi> al-Qarn al-Râbi’ al-Hijrî, (Kairo:
Dâr al-Fikr al-‘Arabî, T.Th.), 154.
42
Jonathan Berkley, The Transmission…, 21; Ahmad Syalabi, Târîkh…, 230.
Penutup
Kemajuan ilmu pengetahuan Islam masa klasik mengantarkan
umat Islam mencapai puncak kejayaannya. Pengaruhnya tidak saja
bagi umat Islam itu sendiri, tetapi bagi umat manusia seluruhnya
(rah}matan li al-‘âlamîn) dalam rangka membangun bangunan per-
adaban manusia yang kokoh, sophisticated, dan beradab. Renaisans
Barat sejak abad ke 14 M terjadi tidak lepas dari peran peradaban
saat itu.43 Kota-kota ilmu pengetahuan penting seperti Baghdad,
Kairo, Cordova, ramai dikunjungi oleh para mahasiswa yang ingin
menimba ilmu bukan saja dari dunia Islam tapi dari daratan Eropa.
Dalam rangka proses transmisi ilmu pengetahuan, lembaga
pendidikan didirikan. Pada mulanya bahkan proses transmisi itu
tidak melalui lembaga tapi melalui pribadi guru. Semangatnya adalah
bagaimana ilmu pengetahuan itu dapat ditransmisikan. Oleh karena-
nya, sangat naif bila lembaga pendidikan didirikan tetapi tidak mam-
pu berfungsi sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan.
Metode transmisi ilmu pengetahuan harus dikembangkan sedemi-
kian rupa sehingga lembaga pendidikan benar-benar menjadi agent
Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 111
Daftar Pustaka
Abd al-‘A’la, Hasan. T.Th. al-Tarbiyah al-Islâmiyyah fî al-Qarn al-
Râbi’ al-Hijrî. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî.
Abu Syuhbah, Muhammad. 1969. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-
S}ih}h}ah al-Sittah. Kairo: Silsilah al-Buh}ûts al-‘Ilmiyyah.
Al-Asy’ari, Abu Hasan. 1955. Kitâb al-Luma’ fi> al-Radd ‘alâ Ahl al-
Ziyagh wa al-Bida’. Kairo: Mat}ba’ah al-Mu’înah.
Amin, Ahmad. 1933. D}uh}â al-Islâm. Kairo:Maktab al-Nahd}ah al-
Mis}riyyah.
______. 1968. Fajr al-Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas
Lembaga-lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan.
Berkley, Jonathan. 1992. The Transmission of Knowledge in Medieval
Cairo: A Social History of Islamic Education. Cambridge: Harvard
University Press.
Bruinessen, Martin Van. 1992. Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Fahmi, Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj.
Ibrahim Huseon. Jakarta: Bulan Bintang.
Fakhri, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy. Columbia
University Press.
Al-Faruqi, Ismail Raji., dan Faruqi, Lamya. 1982. The Cultural Atlas
of Islam. New York: MacMillan.
Hamka. 1976. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta:
Yayasan Nurul Islam.
Hitti, Philip K. 1974. History of The Arabs. London: Mac Millan Press.
43
Bahasan lebih lanjut tentang kontribusi Islam terhadap Barat lihat Montgomery Watt,
The Influence of Islam on Medieval Europe, (Edinburgh: Edinburgh Unversity Press, 1994).
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru:
Membaca Pemikiran Said Nursi
Akhmad Rizqon Khamami*
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Tulungagung
Email: rizqonkham@yahoo.com
Abstract
There are three models of approaches to modernity that was born in
the West; 1) accepting it by taken for granted, 2) rejecting it, and 3) trying to
find a new alternative in addition to the Western civilization with the spirit of
re-establishing the practice of ijtihad, erasing taklid, and returning to al-Quran
and al-Sunnah. This article discussed the idea of Said Nursi in the reconciliation
of science and Islam. It offered an epistemological approach that integrates
Islam and science. The author attempted to break the academic problem and
borrowed Ian Barbour’s approach. Four reactions that occur as a result of the
encounter of science and religion: conflict, independence, dialogue, and
integration. The theory states that the first step to make the integration go
smoothly is removing science from materialist philosophy. This step is performed
by Nursi. Nursi built a new epistemology as an offer to the condition of
Muslims, who at that time should redevelop the civilization which was left
behind by European nations. Nursi reconciled Islam and science towards
integrity. Nursi was against Materialism for the first step. Secondly, he put the
al-Qur’an as the highest source of science. By making the method of science
under the principles and worldview of the al-Qur’an, it can change the modern
scientific understanding of the universe to be in accordance with the description
of the al-Qur’an.
*
Fakultas Ushuluddin IAIN Tulungagung, Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung,
Jawa Timur 662211. Telp. (0355) 321513.
Abstrak
Terdapat tiga model pendekatan umat Islam terhadap modernitas yang
dilahirkan masyarakat Barat; 1) menerima modernitas tersebut mentah-mentah,
2) menolaknya, dan 3) berusaha menemukan alternatif baru selain peradaban
Barat dengan semangat menegakkan kembali praktik ijtihad, menghapus taklid,
serta kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah. Artikel ini membahas ide Said Nursi
pada rekonsiliasi sains dan Islam. Ia menawarkan sebuah pendekatan
epistemologis yang mengintegrasikan Islam dan ilmu pengetahuan. Penulis
berusaha mengupas kegelisahan akademik tersebut dengan meminjam
pendekatan yang ditawarkan oleh Ian Barbour, yaitu empat reaksi yang timbul
sebagai akibat perjumpaan sains dan agama: konflik, independensi, dialog, dan
integrasi. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa jika integrasi ingin berjalan
dengan mulus, langkah pertama adalah menyingkirkan filsafat Materialisme dari
sains. Langkah ini dilakukan oleh Nursi. Nursi membangun epistemologi baru
sebagai tawaran untuk kondisi umat Islam yang pada masa itu harus
mengembangkan kembali peradaban yang tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa.
Nursi merekonsiliasi Islam dan sains menuju integritas. Sebagai langkah pertama,
Nursi menentang Materialisme. Kedua, menempatkan al-Qur’an sebagai sumber
ilmu tertinggi. Dengan menjadikan metode sains tunduk pada prinsip dan cara
pandang al-Qur’an maka dapat mengubah pemahaman sains modern atas alam
semesta menjadi lebih sesuai dengan deskripsi al-Qur’an.
Pendahuluan
P
erjumpaan dunia Islam dengan peradaban Barat pada abad
ke-19, terutama dengan masuknya Perancis ke Mesir dan ber-
kuasanya kolonialisme Inggris di India, menyadarkan umat
Islam akan kemunduran yang menimpa dunia Islam, dan selanjut-
nya melahirkan tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-
Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
Perjumpaan dua peradaban ini melahirkan perdebatan serius di
kalangan intelektual Muslim, terutama persoalan hubungan antara
Islam dan sains, serta cara merengkuh modernitas.
Sebagai reaksi atas perdebatan tersebut muncul tiga kubu: ke-
lompok revivalis yang menolak westernisasi dan modernisasi sekali-
gus, kelompok modernis ekstrem yang melakukan modernisasi dan
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 53
1
Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Thought, (Albany: SUNY Press,
1990), 4.
2
Christopher A. Furlow, “The Islamization of Knowledge: Philosophy, Legitimation,
and Politics”, dalam Social Epistemology, Vol. 10, No. 3&4 (1996), 259-271.
3
Seteney Shami, “Socio-cultural Anthropology in Arab Universities”, dalam Current
Anthropolog, Vol. 30, No. 5 (Desember 1989), 649-654.
4
Mahmud A. Faksh, “The Consequences of the Introduction and Spread of Modern
Education: Education and National Integration in Egypt”, dalam Middle East Studies, Vol. 16,
No. 2 (1990), 42-55.
5
Lihat, R. Hrair Dekmejian, “The Anatomy of Islamic Revival: Legitimacy Crisis,
Ethnic Conflict and the Search for Islamic Alternatives”, dalam Middle East Journal, Vol. 34,
No. 1 (Winter 1980), 1-12.
6
Salah satu artikel Hamid Algar menempatkan sosok Said Nursi sebagai salah satu
pemikir modernis abad 20 yang menarik untuk dikaji. Lihat, Hamid Algar, “The Centennial
Renewer: Bediuzzaman Said Nursi and the Tradition of Tajdid,” dalam Journal of Islamic
Studies, Vol. 12, No. 3, September 2001, 291-311.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 55
8
Ibrahim Abu-Rabi, “Editor’s Introduction”, dalam Islam at the Crossroads: On the Life
and Thought of Bediuzzaman Said Nursi. Edited by Ibrahim M. Abu-Rabi’, (Albany: State
University of New York Press, 2003), x.
9
Serif Mardin, Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Bediuzzaman
Said Nursi, (Albany, NY: State University of New York Press, 1989), 81.
10
Lihat, Ian G. Barbour, When Science Meets Religion, (New York: Harper Collins
Publishers, 2000).
11
Karl Marx membuat istilah ‘Vulgar Materialist’ yang digagas oleh Ludwig Feuerbach
(seperti Karl Vogt, Ludwig Buchner, dan Jacob Moleschott) untuk membedakan dengan
‘Materialisme Historis’ yang ia sendiri gagas. Untuk lebih detil, lihat Karl Marx dan Friedrich
Engels, On Religion, (New York: Schocken Books, 1964), 231.
12
Lihat, M. Sait Ozervarli, “Transfering Traditional Islamic Disciplines into Modern
Social Sciences in Late Ottoman Thought: The Attempt of Ziya Gokalp and Mehmed
Serafeddin”, dalam The Muslim World , Vol. 97, April 2007, 317-330.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 57
13
M. Sukru Hanioglu, “Blueprints for a Future Society: Late Ottoman Materialists
on Science, Religion, and Art”, dalam Late Ottoman Society: The Intellectual Legacy, (ed.),
Elisabeth Ozdalga, (Abingdon: RoutledgeCurzon, 2005), 28-116.
14
Sukran Vahide, “Toward an Intellectual Biography of Said Nursi.” dalam Islam at
the Crossroads…, 3.
15
Dalam uraiannya, Sujiat Zubaidi, mengklasifikasikan fase kehidupan Said Nursi
dalam tiga rumusan masa sesuai dengan karakteristik dan corak pemikirannya: fase pertama,
Nursi Harakiy; kedua, Nursi Tarbawiy; dan ketiga Nursi al-Zahid, lihat selengkapnya dalam
Sujiat Zubaidi, Tafsir Kontemporer Bediuzzaman Said Nursi dalam Risale-i Nur, Studi Konstruk
Epistemologi, Disertasi Doktor di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, (Tidak
Diterbitkan), 138-148.
16
Saintisme adalah sikap menganggap sains sebagai sesuatu yang paling benar.
17
Serif Mardin, Religion and Social Change, 80.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 59
18
M. Sait Ozervarli, “Said Nursi’s Project of Revitalizing Contemporary Islamic
Thought”, dalam Islam at the Crossroads…, 325.
19
Serdar Dogan, “The Influence of Modern Science on Bediuzzaman Said Nuris’s
Thinking”, dalam Islamic Sciences, Vol. 12, No. 1, Summer, 2014, 5-6.
20
Abasi Kiyimba, “Islam and Science: an Overview”, dalam Islamic Perspective on
Science, Editor: Ali Unal, (New Jersey: The Light, Inc., 2007), 14.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 61
21
Sukran Vahide, The Author of the Risale-i Nur: Bediuzzaman Said Nursi. (Istanbul:
Sözler Nezriyat, 1998), 166-167.
22
Serdar Dogan, “The Influence…”, 33.
23
Ibid., 166.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 63
27
Yamina B. Mermer, “The Hermeneutical Dimension of Science: A Critical Analysis
Based on Said Nursi’s Risale-i Nur.” dalam The Muslim World 89, no. 3/4, 1999, 276.
28
Serdar Dogan, “The Influence…”, 38.
29
Serif Mardin, Religion and Social Change, 176.
30
Serdar Dogan, “The Influence…”, 40.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 65
33
Sukran Vahide, “Toward an Intellectual…”, 2.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 67
34
Serdar Dogan, “The Influence…”, 25.
35
Serif Mardin, Religion and Social Change, 77.
36
Ibid., 209.
37
M. Hakan Yavuz, “Nur Study Circles (Dershanes) and the Formation of New
Religious Consciousness in Turkey”, dalam Islam at the Crossroads, 300.
Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Nursi
membangun epistemologi baru sebagai tawaran untuk kondisi umat
Islam yang ada pada masa itu yang harus mengembangkan kembali
peradaban yang tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa. Perjumpaannya
dengan pemikiran Renaisans Eropa dan sains modern mendasari
terbentuknya epistemologi tersebut. Nursi merekonsiliasi Islam dan
sains menuju integritas. Sebagai langkah pertama, Nursi menentang
Materialisme. Kedua, menempatkan al-Qur’an sebagai sumber ilmu
tertinggi. Rasio di bawah otoritas Tuhan. Rasio harus tunduk pada
wahyu. Dengan menjadikan metode sains tunduk pada prinsip dan
cara pandang al-Qur’an maka dapat mengubah pemahaman sains
modern atas alam semesta menjadi lebih sesuai dengan deskripsi al-
Qur’an. Aktivitas sains yang dilakukan dengan semangat al-Qur’an
menghasilkan tidak saja kebenaran dan observasi empiris tentang
dunia objektif, tetapi juga pengetahuan tentang Tuhan. Hal ini
mengubah sains menjadi bidang pengetahuan spiritual dan men-
jadikan studi sains sarana untuk beribadah.
Pendekatan Nursi terhadap sains perlu diketengahkan di sini:
ia mengakui bahwa sains dapat menggerakkan umat Islam ke arah
peradaban maju. Ia mendorong adopsi sains modern tersebut. Bahkan
Nursi mengembangkan epistemologi baru tentang rekonsiliasi Islam
dan sains untuk bisa menyingkirkan aspek sekuler dan filsafat
Materialisme yang awalnya melekat di dalam sains. Epistemologi
yang menjadikan al-Qur’an sebagai intisari epistemologi tersebut
menggiring pada arus revivalisme Islam yang berujung pada sikap
kaku dalam memaknai agama. Sementara itu sains membutuhkan
kelenturan.[]
Daftar Pustaka
Abu-Rabi’, Ibrahim M. 2003. Islam at the Crossroads: On the Life and
Thought of Bediuzzaman Said Nursi. Albany: State University
of New York Press.
Algar, Hamid. 2001. “The Centennial Renewer: Bediuzzaman Said
Nursi and the Tradition of Tajdid,” dalam Journal of Islamic
Studies, Vol. 12, No. 3, September.
Barbour, Ian G. 2000. When Science Meets Religion. New York:
HarperCollins Publishers.
Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 69
Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb Al-Attas dalam
Pengembangan Karakter Peserta Didik
M. Arfan Mu’ammar*
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Email: arfan.slan@gmail.com
Abstract
The ‘character building’ topic starts as the top topics in discussion latterly.
Various training holds sporadically for the executives, teachers, and employer’s
company in outbound form or workshop. Those activities are good definitely,
but it’s not enough to build a character. We have to combine our efforts
systematically and integrated, so the character building as we want can be effective,
learnable and known by the others. That’s all because the intellectualities and
cognitive capability cannot guarantee for someone to be able to erase his mentality
of corruption, collusion and nepotism, etc. In the other side, awkward’s morality
can override the student’s intellectualities. Al-Attas as a Muslim scholar, offers a
concept of Ta’dib that has been offered and nominated in the first time at the First
Islamic Conference at Mecca in 1977. Al-Attas has a notion that everyone who
learned is good man and the term ‘good’ here is a behavior that includes of
someone’s spiritual life and material, who try to implants kindliness that he accepted
it. The good man is a human being who has characters and polite. The
internalization concept of Ta’dib inside of Character building is a requirement than
we need, especially this times that we have to face some thoughtfulness phenomena’s
degradation of moral. This Ta’dib concept leads someone to be able to put
something in its place. So, we can create some condition which the structuralist’s
fungsional called as well regulated society. If this society does not reflects the well
regulate society, then this society still uncultured.
Abstrak
Topik character building memang mulai mengemuka akhir-akhir ini. Berbagai
pelatihan secara sporadis dilakukan untuk para eksekutif, pendidik, karyawan
perusahaan dalam bentuk outbound maupun workshop. Tentu itu aktivitas yang bagus,
tapi belumlah cukup. Perlu ada upaya bersama, sistematik dan terpadu agar pendidikan
karakter menjadi efektif dan bergaung. Karena Intelektualitas dan kemampuan
kognitif siswa tidak menjamin accountabilitas atau hilangnya sikap-sikap mental
korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Di sisi lain, moralitas yang kaku bisa
mengesampingkan intelektualitas siswa. Al-Attas dalam hal ini sebagai pemikir Islam,
menawarkan sebuah konsep Ta’dîb yang pertama kali diangkat pada Konfrensi
Islam Pertama di Mekkah tahun 1977. Al-Attas berpendapat bahwa orang yang
terpelajar adalah orang baik, dan “baik” yang dimaksudkannya disini adalah adab
dalam artian menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spritual dan material seseorang,
yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya”. “Orang baik”
atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Internalisasi
konsep ta’dîb dalam pendidikan karakter merupakan sebuah keniscayaan, ketika bangsa
ini dihadapkan pada sebuah fenomena degradasi moral yang saat ini sangat
memprihatinkan. Konsep Ta’dîb ini mengantarkan seseorang untuk dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga dapat menciptakan suatu keadaan
yang oleh kalangan struktural fungsional disebut dengan tertib sosial. Ketika masyarakat
bangsa ini belum dapat mencerminkan budaya tertib sosial, maka pada saat yang
bersamaan masyarakat bangsa ini belum ber”adab”.
Pendahuluan
K
ementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa
dasar dari pengembangan kurikulum baru (Kurikulum 2013)
adalah untuk membangun pendidikan karakter pada anak-
anak bangsa. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pengem-
bangkan karakter di samping ketrampilan dan kemampuan kognitif.
Hal itu karena Indonesia saat ini sedang mengalami krisis karakter
yang diperlihatkan dari banyaknya korupsi, tindak kejahatan terjadi
di mana-mana, dan mudahnya anak-anak bangsa menerima
kebudayaan dari negara lain tanpa menyaring baik atau buruknya.
Karenanya upaya pembentukan karakter anak adalah sebuah
keniscayaan, sehingga berbagai upaya dilakukan dalam mewujud-
kan upaya tersebut, di antaranya mulai diwajibkannya pramuka
sebagai media pembentuk karakter. Menurut Pembina Kwarcab
Pramuka Kota Malang, Oetodjo Sardjito, pramuka merupakan salah
Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 359
Hilangnya Adab
Secara integral, adab merupakan bagian daripada hikmah dan
keadilan, sehingga hilangnya adab akan mengakibatkan kezaliman,
kebodohan, dan bahkan kegilaan secara alami.3 Kezaliman adalah
meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya secara tepat, sedangkan
1
Adian Husaini, Pendidikan Karakter: Penting tapi Tidak Cukup, (Jakarta: INSIST,
2010), 1.
2
Biografi lebih lengkap mengenai Syed Muhammad Naquib Al-Attas dapat di lihat di
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Method of Syed Muhammad
Naquib Al-Attas An Exposition of the Original Concept of Islamization, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1995)
3
A. L. Tibawi, Islamic Education: Its Tradition and Modernization into the Arab National
Systems, (London: Luzac & Co., 1972), 207.
Jika kita mempelajari Ilmu Hadis, ada satu kriteria yang begitu
ketat, sampai sebuah hadis tersebut mendapat beberapa tingkatan
derajat. Tingkatan tersebut dikenal dengan sanad. Semakin tinggi
kredibilitas perawi hadis, maka semakin tinggi pula derajat sanadnya.
Hal ini dilakukan untuk menjaga otentisitas sumber hadis yang
runutannya sampai kini bisa terlacak hingga Rasulullah SAW. Salah
satu syarat agar perawi dipandang kredibel adalah moralitas dan
akhlaknya, termasuk kejujuran si perawi. Sekali saja seorang perawi
diketahui tidak jujur, maka namanya akan tertulis dengan tinta
merah dan akan mempengaruhi hadis atau kisah yang diriwayat-
kannya.
Demikianlah peraturan bagi intelektual Muslim dalam menjaga
keotentikan ilmu. Peraturan ini berbanding terbalik dengan yang
ada di Barat. Paul Johnson, penulis buku Intellectuals, mengatakan
4
Dikutip oleh Umaruddin, The Ethical Philosophy of al-Ghazzali, 166 dalam Wan
Mohn Nor Wan Daud, Konsep Al-Attas tentang Ta’dib: Gagasan Pendidikan yang tepat dan
komprehensif dalam Islam, (Majalah IslamiaTahun I No. 06 Juli-September 2005), 79
5
S.M.N Al-Attas, Acceptance Speech, 31. dalam Wan Mohn Nor Wan Daud, Konsep…, 79.
Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 361
6
Paul Johnson, Intellectuals, (Harpercollins, 1988).
7
Ibid.,
8
S.M.N Al-Attas, Islam: The Concept of Religion and The Foundation of Ethic and
Morality, 33-34. Lihat juga, Aims and Objectives of Islamic Education, (London/Jeddah: Hodder
& Stoughton/King Abdul Aziz University, 1979), 32-33.
9
S.M.N Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograph tidak diterbitkan,
tertanggal Mei 1973, 280. 15. 54
10
F. Gabrieli, dalam tulisannya yang singkat namun padat tentang adab, menjelaskan
bahwa perkataan adab sebagaimana yang dipakai pada abad I Hijrah mempunyai makna-
makna intellektual, etika dan sosial. Kemudian perkataan ini menjadi istilah yang berarti
sejumlah ilmu pengetahuan yang menjadikan seseorang itu manusia yang berperadaban dan
tercerahkan. Lihat S.M.N Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework of an
Islamic Philosophy of Education An Address to the Second World Confrence on Muslim Education,
(Islamabad Pakistan, 1980). 36.
11
S.M.N Al-Attas, The Concept…, 27.
12
Tertib Sosial merupakan salah satu tujuan dalam teori struktural fungsional yang
diketengahkan oleh Herbert Spencer.
13
Wan Mohn Nor Wan Daud, Konsep Al-Attas…, 79.
Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 363
14
Jonathan Webber, Sarte’s Theory of Character, Europe Journal of Philosophy, (UK:
Blackwell Publishing House, 2006), 95.
15
Victor Battistich, Character Education, Prevention and Positive Youth Development,
(USA: University of Missouri, St. Louis, 2002), 2.
16
Katherine M.H Blackfoard and Arthur Newcomb, Analyzing Character, (Gutenberg,
eBook, 2004), 25.
17
Thomas Lickona, Education for Character, 2001
18
Pusat Kurikulum, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, (Jakarta:
Badan Litbang, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), 9.
19
Ibid., 9-10
Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 365
20
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the
Future. London-(New York: Mansell Publishing Limited. 1985), 173.
Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 367
21
Ibid., 174.
22
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, Art
Printing Works Sdn. Bhd. 1993), 149.
Penutup
Dari semua analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, al-Attas
menganggap adab adalah hal yang melekat dalam konsep pendidik-
an Islam, menciptakan good man merupakan tujuan utama pendidik-
an Islam. Adab oleh al-Attas di ilustrasikan seperti inviting to a
banquet, yang menggambarkan bahwa sikap dan etika seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan di mana seseorang tersebut hidup.
Dengan demikian, jika ingin mengubah sikap dan etika anak
didik, harus dimulai dengan mengubah lingkungan sekitar menjadi
baik, dan perubahan tersebut diawali oleh figur-figur yang berperan
Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 369
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, (ed). 1979. Aims And Objectives
of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
_________. 1985. Islam, Secularism and the Philosophy of the Future.
London-New York: Mansell Publishing Limited.
_________. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: Art Printing
Works Sdn. Bhd.
_________. 1995. Prolegomena to The Methaphysics of Islam. Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Islamic
Civilization (ISTAC).
_________. 1980. The Concept of Education in Islam: A Framework for
an Islamic Philosophy of Education. An address to the Second
World Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad Pakistan.
_________, 1973. Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograph tidak
diterbitkan, tertanggal Mei.
Arifin, Muzayyin. 2003. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara.
Battistich, Victor. 2002. Character Education, Prevention and Positive
Youth Development. USA: University of Missouri, St. Louis.
Blackfoard, Katherine M.H and Arthur Newcomb. 2004. Analyzing
Character, Gutenberg, eBook.
Beker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Jogjakarta:
Kanisius.
Conference Book. 1393. First World Conference on Muslim Education,
Jeddah-Mecca: King Abdul Aziz University.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1995. The Educational Philosophy and
Method of Syed Muhammad Naquib Al-Attas an Exposition of
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb
Adian Husaini
Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor
Email: adianh@yahoo.com
Abstract
At the moment, Indonesian government campaigns for education based
on character rapidly. Various theories have been proposed to make this mission
success. Unfortunately, the government tends to use the secular’s theories which
so far from religious values, whereas Indonesia is the biggest nation with
Muslims population in the world. Righteously, the education which based on
character should be taken from this Religion’s precepts. Actually, this idea has
been engaged by the founding father of this country. In the principle’s foundation
of this country (Pancasila), the founding father formulate some principle which
using Islamic terms. As an example, in second principle, we can find word
‘Adil’ and ‘Adab’ which both of these words is Islamic term that considered as
Islamic basic vocabulary and closely related with Islam’s precepts. Because of
this importance, the founding father used this words and Islamic terms inside
the principle’s foundation of this country (Pancasila). These indicates how strong
the influences of Islamic worldview in prefatory’s constitution of this country
(Pembukaan UUD 1945). Therefore, we have to understanding these Islamic
terms (adab and adil) with Islamic worldview. Because of the importance of
this ‘Adab’ term, then this is the time when the government use these term in
implementation of education based on character in this country.
* Program Pendidikan Islam, Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Jl. KH.
Sholeh Iskandar Km. 2 Kd. Badak Bogor 16162 Telp dan Fax: +62251 835-6884
Abstrak
Saat ini, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengkampanyekan
pendidikan berbasir karakter. Berbagai teori dikemukakan untuk mensukseskan
misi tersebut. Sayangnya, Pemerintah cenderung menggunakan teori-teori sekuler
yang jauh dari agama. Padahal, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah
Muslim terbesar di dunia. Sudah selayaknya, pendidikan karakter diambil dari
ajaran agama ini. Hal itu sebenarnya sudah ditanamkan oleh para pendiri Negara
ini. Dalam perumusan Dasar Negara Indonesia (Pancasila), para pendiri Negara
telah merumuskan sila-sila yang menggunakan istilah-istilah agama Islam. Sebagai
contoh pada sila kedua, digunakan kata “adil” dan “adab”. Dalam Islam, istilah-
istilah seperti adab, adil, wakil, musyawarah, dan lain sebagainya, tidak dipandang
sebagai istilah yang tanpa makna. Istilah-istilah tersebut merupakan istilah kunci
(Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang maknanya terkait erat dengan
konsep ajaran Islam. Karena pentingnya istilah-istilah tersebut, maka tidak salah
jika para pendiri Negara ini memasukkan kata-kata tersebut ke dalam dasar
Negara Indonesia, Pancasila. Seperti istilah “adil” dan “adab” dalam sila kedua
Pancasila. Masuknya istilah “adab” merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic
worldview (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945.
Karena berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab harus dipahami
dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam. Karena pentingnya konsep
adab tersebut, maka sudah saatnya konsep ini dipakai oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter.
Pendahuluan
P
emerintah Indonesia memandang penting Pendidikan Karakter
bagi kemajuan bangsa ke depan. Tahun 2011, Balitbang
Kementerian Pendidikan dan Nasional (sekarang: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. 1
Kepala Balitbang Depdiknas, Prof. Dr. Mansur Ramly, menulis-
kan dalam kata pengantarnya untuk buku tersebut:
“Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk me-
wujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi
1
Bagian ini merujuk pada buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendiknas, 2011.
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 373
2
Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa:
Pedoman Sekolah. 2009: 9-10.
3
Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 375
4
Dikutip dari Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga
Penerbit FE-UI, 2007).
5
Al-Amir Syakib Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), 14. Buku ini asalnya merupakan jawaban Syekh Arsalan terhadap surat Syekh Basyuni
Imran, di awal abad ke-20, yang bertajuk “Limâz}â Ta’akhkhara al-Muslimûn, wa Limâdzâ
Taqaddama Gairuhum), dialihbahasakan oleh KH. Munawar Chalil.
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 377
7
Tentang arti Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak
Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 379
7
Setelah Tap MPR No II/1978 disahkan, sebagian kalangan Muslim kemudian
mencoba mewarnai konsep P-4 itu dengan corak pandang Islam. Tahun 1978, Ditjen Bimas
Islam Departemen Agama RI menerbitkan sebuah buku kecil berjudul P-4, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Islam. Ketika menjelaskan tentang sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, dikutiplah QS. al-Ikhlas (112), dan sejumlah ayat al-Qur’an lainnya
untuk mendukung pengertian tersebut. Dalam sambutannya untuk buku ini, Menteri Agama
Alamsyah Ratu Perwiranegara menyatakan, bahwa “Pengamalan Pancasila bukan lagi masalah
bagi umat beragama khususnya umat Islam, karena memang para perumusnya dahulu juga
tidak sedikit adalah tokoh-tokoh Islam selain tokoh-tokoh nasional yang juga umat Islam
terkemuka.” (Komentar: Tampaknya, langkah Menteri Agama tersebut lebih berbau politis,
untuk merebut makna Pancasila dengan kelompok lain yang memberi penafsiran yang
berbeda dengan penafsiran ala Islam. Hal ini akan tampak pada percaturan politik nasional
pada dekade 1970 dan 1980-an, dimana kubu sekular – yang antara lain diwakili oleh Menteri
P&K Daoed Joesoef – semakin lama semakin tersingkir dari pusaran kekuasaan Orde Baru
di bawah Presiden Soeharto).
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 381
Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan
komentar terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: “Penegasan ini sebenarnya
bukannya tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa
pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan
UUD, mereka dapat menerima penghapusan ‘tujuh kata’ yang tercantum dalam Piagam Jakarta,
karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme
tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru
diproklamasikan sehari sebelumnya… Salah seorang yang dipandang Hatta berpengaruh
dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang memiliki reputasi nasional
ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah disepakati
sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu.” (hal. 285-286).
10
Lihat, Kasman Singodimedjo, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun
(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 123-125.
Pendidikan Adab
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata “adab”
didefinisikan sebagai: kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi
pekerti, dan akhlak. Sedangkan “beradab” diartikan sebagai sopan,
baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batin-
nya. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Melayu Utusan, mengartikan
kata “adab” dengan “sopan” (lawan dari kata “biadab”). “Beradab”
berarti baik budi bahasa.11
Istilah “adab” tentu saja bukan hal yang asing bagi Bangsa
Indonesia. Sebab, kata ini sudah terbiasa digunakan di tengah
masyarakat dan juga tercantum dalam Pancasila, sila kedua, yaitu:
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Masuknya istilah “adab” dalam
Pancasila ini merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic world-
view (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD
1945, dimana terdapat rumusan Pancasila. Indikasi yang lebih jelas
tentang kuatnya pandangan-alam Islam pada rumusan Pancasila
adalah terdapatnya sejumlah istilah kunci dalam Islam lainnya,
seperti kata “adil”, “hikmah”, “rakyat”, “daulat”, “wakil”, dan
“musyawarah”.
Perlu dicatat, rumusan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
sangat berbeda dengan rumusan yang pernah diusulkan oleh tokoh-
tokoh sebelumnya, Muhammad Yamin, dalam Sidang BPUPK,
tanggal 29 Mei 1945, mengusulkan rumusan sila keduanya: “Peri
Kemanusiaan”. Soekarno, pada 1 Juni 1945, mengusulkan rumusan
11
Dikutip dari Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), 77-78.
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 383
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 385
Makna Adab
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Muliakanlah
anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. Dalam hadis lain juga
disebutkan, “Jika seseorang mendidik anaknya (menjadikan anaknya
beradab), maka itu lebih baik baginya daripada bersedekah setiap
harinya setengah sha’”. (HR Imam Ahmad)
Istilah “adab” dalam kedua Hadis Nabi SAW tersebut identik
dengan istilah pendidikan saat ini. Karena itulah, istilah “adab” juga
merupakan salah satu istilah kunci dalam Islam. Para ulama telah
banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Di
Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, menulis sebuah
buku berjudul Âdab al-‘Âlim wa al-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007). Terjemahan
harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara
panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka
kitabnya dengan mengutip hadis Rasulullah SAW: “Hak seorang anak
atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan
yang baik, dan adab yang baik.” Dikutip juga perkataan sejumlah
ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “Hendaknya
seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun.”
Habib bin al-Syahid suatu ketika menasehati putranya:
Bergaullah engkau dengan para fukaha serta pelajarilah adab mereka.
Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada
banyak hadis.” Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Wahai
putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung.”
Ibn al-Mubarak menyatakan bahwa mempunyai adab meskipun
sedikit lebih dibutuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan.
Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: “Se-
jauh manakah perhatianmu terhadap adab?” Beliau menjawab: “Se-
14
Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam
(Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), 60. Secara khusus, Prof. Naquib al-Attas
mengingatkan: “Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of
Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning.
This modern cultural phenomenon is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind
of regression towards non-Islamic worldviews; it is what I call the de-islamization of language.”
Lihat, S.M.N. al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980),11.
tiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya
satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (men-
dengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran
(telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap
pengajaran budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah
usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, “Aku akan
senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak
satu-satunya yang hilang.”
Maka, dalam bukunya ini, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan
kesimpulan:
Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain
menjelaskan, “Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah
diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada
Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa
sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan
itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika
keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-
hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki
keimanan dan tauhid yang benar. Begitu pun dengan pengamalan
syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka
pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum
dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.
Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para
ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa
luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena,
tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah
yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT
(sebagai satu amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah
(hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah
(perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah
satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi
Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan
dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.15
15
K.H. M. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian Wacana,
2007).
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 387
Oleh karena itu tentunya sangat masuk akal jika orang Islam
memahami kata “adab” dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami
oleh sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab,
memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam.
Jika adab hanya dimaknai sebagai “sopan-santun”, maka bisa-
bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim AS sebagai orang
yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya,
“Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan
yang nyata.” (QS. 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan
santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’an al-munkar) akan
dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang
menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap
tidak sopan. Banyak yang menganggap tentang dosa zina, dan
dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, semen-
tara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan.
Karena itulah, menurut Islam - sekali lagi menurut ajaran Islam
– harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan
Allah, dan bukan pada manusia atau budaya. Sebagai contoh, kriteria
orang yang mulia, menurut al-Qur’an adalah orang yang paling
takwa (QS. 49:13). Oleh karena itu, seharusnya, dalam masyarakat
yang beradab, Kaum Muslim harus menghormati seseorang karena
keimanan dan ketakwaannya; bukan karena jabatannya, kekayaa-
annya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya ber-
adab, menurut al-Qur’an. Begitu juga ketika al-Qur’an memuliakan
orang yang berilmu (QS. 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab,
seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat
dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat
yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab,
jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan
diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika
tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya. Al-
Qur’an sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang
berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu
akan diangkat derajatnya. “Katakanlah, tidaklah sama, orang yang
tahu dan orang yang tidak tahu.” (QS. 39:9). “Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu, beberapa derajat.” (QS. 58:11).
Karena itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak
menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu.
Orang-orang seperti ini, dalam al-Qur’an, disamakan derajatnya
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 389
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 391
16
Uraian selengkapnya tentang adab bisa dikaji dalam buku Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 118-120. Dalam
rumusan lain, al-Attas mendefinisikan: “Adab is recognition and acknowledgement of the reality
that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees
of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical, intellectual and
spiritual capacities and potentials.” Lihat: Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of
Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980), 27.
17
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC,
2003), 150-151.
Penutup
Istilah adab sejatinya merupakan salah satu istilah kunci
(Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang berhasil dimasuk-
kan oleh para pendiri Bangsa Indonesia ke dalam Pancasila. Karena
berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab yang
sebenarnya juga harus dipahami dalam perspektif pandangan alam
(worldview) Islam. Pemaknaan “adab” dengan sopan-santun, baik
budi bahasa, tidak sesuai dengan makna istilah ini sendiri dalam
ajaran Islam, yang pada intinya adalah memahami dan mengakui
segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan
Allah SWT.
Karena pentingnya penegakan adab di tengah masyarakat
Muslim, maka pakar pendidikan dan pemikiran Islam, Prof. Dr.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, sudah mengajukan istilah “ta’dib”
untuk suatu proses pendidikan, yang tujuannya adalah membentuk
manusia yang beradab, atau manusia yang baik (a good man).
Dengan itu, tujuan pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang
beradab. Adalah aneh, meskipun tercantum dalam Pancasila, konsep
adab tidak dipahami sebagaimana mestinya. Karena pentingnya kon-
sep adab ini, maka sudah saatnya pemerintah dan Umat Islam pada
umumnya mengacu pada konsep adab dalam penyelenggaraan
pendidikan berbasis karakter.[]
Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 393
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1980. The Concept of Education
in Islam. Petaling Jaya: ABIM.
_________. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur:
ISTAC.
_________. 2003. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
_________. 2007. Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau
Pinang: Universiti Sains Malaysia,.
Arsalan, Al-Amir Syakib. 1992. Mengapa Kaum Muslimin Mundur.
Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’ari, K.H. M. Hasyim. 2007. Etika Pendidikan Islam (terj.). Yogya-
karta: Titian Wacana.
Bisri, A. Mustofa. 2009. “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said
Ali. Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:
LP3ES.
Haidar, M. Ali. 1994. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hamka. 1997. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Husaini, Adian. 2009. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Kons-
titusional Umat Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Kaelani. 2010. Pendidikan Pancasila, Edisi Ke-9. Yogyakarta: Para-
digma.
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar Pada Karakter. Jakarta:
Lembaga Penerbit FE-UI.
Natsir, M. 2008. Capita Selecta 2, Cet. II. Jakarta: PT Abadi.
Noeh, Munawar Fuad. dan Mastuki HS (ed.). 2002. Menghidupkan
Pemikiran KH Achmad Siddiq. Jakarta: Pustaka Gramedia
Utama.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang. 2011. Panduan Pelak-
sanaan Pendidikan Karakter, Jakarta: Kemendiknas.
Pusat Kurikulum. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemendiknas.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban Umat
Islam Menurut Muhammad Fethullah Gulen
Usman Syihab*
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Email: usmansyihab@uinjkt.ac.id
Abstract
This article examines Muhammad Fethullah Gulen’s thought on the roles
of religion in reconstruction of a civilization. The article analyzes the problem
anatomy of the Ummah, concepts of civilization, relationship between identity
and civilization, religion and its roles in formation of civilization identity, the
“essential” conditions for Muslim’s renaissance, and the role of Islamic scholars
in the renaissance process. The article reveals Gulen’s idea, that the Muslim’
crises is internal in nature, and not because of others, it is a “liability to be
colonize” attitude. Religion has a vital role in construction of a civilization identity.
A religion can be pillar of a civilization is a religion that has lofty goals, able to
apply moral values, upgrade spiritual quality, and fulfill human’s soul needs.
According to Gulen, every civilization has its links with the past and its cultural
haritage, and that any attempt to reconstruct a future civilization has to consider
its own cultural roots. Thus, a civilization is neither a life adopted from colonials
nor values that has been deprived from its own noble values. The article, using
philosophical, historical and sociological approaches, tries to analyze the
“essential” conditions that able to restore Islamic civilization and spawn Muslim’s
renaissance, mainly; a) moral-spiritual, b) knowledge, c) aesthetic, and d) love.
The article also explains critically the roles and missions of ulamâ in making
“resurrection from the grave”, renaissance and total reform of the ummah.
*
Jl. Ir. H. Djuanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan, 15412. Telp: (+6221) 7401925.
Abstrak
Makalah ini mengkaji pemikiran Muhammad Fethullah Gulen tentang
peranan agama dalam rekonstruksi sebuah peradaban. Ia menganalisis anatomi
problem umat, konsep peradaban dan hubungan jati diri dengan peradaban,
agama, dan peranannya dalam pembentukan jati diri peradaban, syarat-syarat
renaissance umat Islam, serta peranan ulama dalam proses renaissance. Makalah ini
menjelaskan pendapat Gulen bahwa krisis umat Islam adalah internal, bukan
dari luar, yaitu sikap “kelayakan dijajah”. Bagi Gulen agama memiliki peran
vital dalam pembentukan jati diri sebuah peradaban, dan bahwa agama yang
dapat menjadi pilar peradaban adalah agama yang memiliki tujuan luhur,
menerapkan nilai moral, meningkatkan kualitas spiritual dan memenuhi rasa
dahaga jiwa manusia. Menurut Gulen setiap peradaban harus memiliki hubungan
dengan masa lampaunya, dan memiliki hubungan dengan warisan kebudayaannya
sendiri, dan bahwa usaha mencari dan membangun peradaban yang lebih baik
untuk masa depan tidak akan berhasil kecuali dengan mengambil akar-akar
kebudayaan yang dimiliki. Oleh karena itu peradaban bukan bentuk kehidupan
yang diadopsi dari para penjajah dan bukan pula nilai-nilai yang telah mencerabut
umat dari nilai-nilai luhur yang dimiliki. Makalah, dengan pendekatan filosofis,
historis, dan sosiologis ini menganalisis syarat-syarat penting peradaban yang
ideal yaitu; a) moral-spritual, b) ilmu pengetahuan, c) estetika, dan d) cinta.
Makalah ini juga menjelaskan secara kritis peran dan misi ulama dalam meng-
gerakkan “kebangkitan dari kubur”, renaissance, dan reformasi total umat Islam.
Pendahuluan
M
uhammad Fethullah Gulen (yang selanjutnya disebut
Gulen) adalah sosok arsitek spiritual berasal dari Turki.
Lahir 11 November 1938 di Erzurum, Turki, dan kini me-
netap di Amerika Serikat. Lahir di tengah keluarga yang sangat aga-
mis dan sarat akan semangat keislaman. Memulai pendidikan dari
rumahnya sendiri; belajar bahasa Arab dan Persia dan dasar-dasar
agama dari ayahnya kemudian berlanjut dalam lembaga pendidikan
resmi. Menimba ilmu-ilmu keislaman dari ulama-ulama besar yang
ada di kota kelahirannya, mengenali dan mempelajari pemikiran Said
Nursi, dan mempelajari karya-karya utama filosof Barat dan Timur.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 343
2
Ibid., 7.
3
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order,
(New York: Touchstone, 1997), 209.
4
John L. Esposito, The Islamics Threat: Myth or Reality, (New York: Oxford University
Press, 1992), 46.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 345
di bawah kaki kekuatan yang tak kasat mata. Mereka tertekan dan
terguncang. Lemah tak berdaya. Remuk rendam centang perenang
dikoyak kuasa jahat. Mereka semua kebingungan.12
Menurut Gulen, sebab utama dari krisis ini adalah faktor
internal, bukan eksternal. Dengan bahasa yang sama dengan bahasa
yang digunakan Malik Bennabi, Gulen mengatakan bahwa umat
Islam “terseret ke arah ketidakberdayaan di semua aspek kepri-
badiannya sehingga ia menjadi mudah dijarah dan “layak untuk
dijajah.”13 “Tak ada gunanya kita berlelah-lelah mencari musuh di
luar diri kita, karena musuh kita yang sebenarnya justru ada di dalam
diri kita sendiri. Dengan tenang musuh kita itu duduk bertumpang
kaki di dalam istananya sembari terus tertawa terbahak-bahak dalam
hati ketika melihat kesengsaraan kita.”14 Di masa lalu umat Islam
telah berhasil membangun sistem pemerintahan paling sempurna
yang pernah ada dalam sejarah manusia. Sebuah sistem pemerinta-
han yang tak pernah terbayang oleh siapa pun. Selama sekian abad
umat Islam menjadi umat yang paling teguh dalam berpegang pada
agama mereka serta menjadi umat yang paling luhur akhlaknya dan
paling sempurna kebudayaannya. Pada masa keemasan itu kaum
Muslim mampu melebarkan sayap kekuasaan mereka dengan
menggunakan tiga hal, yaitu: inspirasi, rasional, dan pengalaman.15
“Sungguh menyakitkan ketika kita dapati saat ini seluruh dunia
kembali jauh dari nilai-nilai Islam yang telah mengangkat harkat
manusia selama berabad-abad.”16
12
Ibid., 3.
13
Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita, (Jakarta: Republika,
2013), 14-15.
14
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 139.
15
Ibid., 1-2.
16
Ibid., 2.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 347
17
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 5. W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 15.
18
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 16.
19
Ibid., 18.
20
Ibid., 16.
terjadi kemarin, atau “letupan sains dan teknologi” yang terjadi saat
ini, semata-mata hanya sebagai hasil segelintir orang seperti yang
telah disebutkan tadi. 21
Pelbagai peradaban hebat yang telah memukau banyak kepala
dan menyilaukan sekian pasang mata dengan kekayaan kultural yang
dimilikinya, tidak pernah muncul di Roma, Athena, Mesir, atau
Babylonia dalam sekejap mata tanpa didahului oleh masa panjang
“pendahuluan”. Di mana pun juga, setiap peradaban selalu lahir dari
masa pengasuhan yang panjang di dalam dimensi emosional dan
intelektual yang dimiliki individu-individu yang tinggal di dalam
peradaban yang bersangkutan serta di dalam lahan subur kesadaran
kolektif mereka.22
21
Ibid., 20.
22
Ibid., 33.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 349
23
Muhammad Fethullah Gulen, Cinta dan Toleransi, (Jakarta: BE Publishing, 2011),
270.
24
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 26.
25
Malik Bennabi, Wijhah al-‘Âlam al-Islâmî, Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin, (Damascus:
Dâr al-Fikr, Cet. 4, 1986), 27.
menjadikan suatu keimanan yang ada dalam hati dan dalam alam
fikiran yang abstrak, suatu hakikat yang hidup sebagai amalan
masyarakat. Oleh karena itu, menurut Malik Bennabi, dalam konsep
agama Islam, ketika Allah SWT. berfirman, yang artinya: “Dan Aku
tidak mencipta jin dan manusia melainkan supaya mereka me-
nyembah-Ku.” 26
Allah SWT tidak bermaksud memisahkan manusia dari bumi.
Ia justru bermaksud membuka jalan yang lebih lebar bagi manusia
untuk melaksanakan kerja-kerja bumi mereka.27 Alasannya adalah,
karena “ketika agama menciptakan jaringan roh yang menghubung-
kan antara masyarakat dengan Allah SWT, ia dalam masa yang sama
juga menciptakan jaringan sosial. Jaringan yang menjadikan masya-
rakat dapat memainkan peranan duniawi mereka dan dapat melak-
sanakan aktivitas-aktivitas mereka bersama. Dengan demikian
agama mengikat cita-cita langit dengan tuntutan-tuntutan bumi.”28
“Hubungan rohani antara manusia dengan Allah SWT adalah yang
menciptakan jaringan sosial dan yang mengikat hubungan manusia
dengan saudaranya sesama manusia.”29
Peranan pemikiran agama tidak hanya dalam membentuk
jaringan sosial kemasyarakatan dan tingkah laku manusia untuk
dapat mencapai misi peradaban, tapi ia juga memecahkan masalah-
masalah psikologi masyarakat yang penting yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup suatu peradaban. Hal ini karena aktivitas-
aktivitas kemasyarakatan tidak dapat menghasilkan sesuatu dan
tidak dapat bertahan hidup kecuali dengan adanya ‘sebab tertentu’,
yang dapat menghasilkan dan menggerakkan kekuatan. Yaitu sebab
yang lahir dari pemikiran agama. Oleh karena itu, pemikiran agama
selain menciptakan jaringan hubungan dan membentuk tingkah
laku individu dalam masyarakat, ia juga “menciptakan dalam hati
masyarakat suatu undang-undang tentang tujuan hidup yang jauh,
dengan memberikan kesadaran akan tujuan tertentu, yang dengan-
nya kehidupan menjadi bermakna dan mempunyai arah. Ketika ia
menekankan tujuan tersebut dari generasi ke generasi dan dari satu
tingkatan masyarakat ke tingkatan yang lain, ia pada saat yang sama
26
QS. al-Dhariyat (15): 56.
27
Malik Bennabi, Mîlâd Mujtama’, Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin, (Damascus: Dâr al-
Fikr, Cet. 3, 1987), 79.
28
Ibid.
29
Ibid., 56.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 351
30
Bennabi, Syurût} al-Nahd}ah, 80.
31
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 21.
32
Ibid., 21.
36
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 28.
37
Ibid., 81.
38
Gulen, Cinta dan Toleransi, 271.
39
Ibid.
40
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 126.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 353
41
Ibid., 126.
42
Bennabi, al-Tsaqâfah, 76-77.
43
Ibid., 77.
44
Malik Bennabi, Ta’ammulât, (Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 5, 1991), 143.
45
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 128.
46
Ibid., 46.
47
Ibid., 46.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 355
48
Ibid., 47.
49
Bennabi, al-Tsaqâfâh, 55.
50
Bennabi, al-Nahd}ah, 47.
Misi Renaissance
Dalam analisis Gulen, semua bangsa yang berkembang dan
maju pada saat ini, sebenarnya juga pernah mengalami penderitaan.
Mereka harus jatuh serta merasakan perihnya api keterbelakangan.
Tapi kemudian datanglah hari-hari ketika semua gerbang pembaruan
terbuka lebar bagi setiap orang yang berjuang untuk itu setelah
mereka merasakan kecintaan mendalam terhadap penelitian,
51
Bennabi, al-Tsaqâfah, 55.
52
Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010),
206.
53
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 135.
54
Ibid., 135-155.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 357
56
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 118-19.
57
Gulen, Bangkitanya Spiritualitas Islam, 36.
58
Ibid., 25.
59
Ibid., 28.
60
Ibid., 33.
61
Ibid., 1.
62
Ibid.., 3.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 359
Syarat-Syarat Renaissance
Menurut Gulen, ketika Barat berhasil mewujudkan kebang-
kitan dalam perjalanan mereka menuju peradaban modern, mereka
menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Kristen,
Yunani, dan Romawi. Tentu saja praktik seperti ini dapat diterapkan
oleh kebudayaan di mana pun dan kapan pun. Maka menurut
Gulen, syarat penting kebangkitan kembali (renaissance) umat Islam
harus dilakukan dengan “kembali mencari akar dan menggali kha-
zanah masa silam yang masih bersih dari kekotoran zaman,” dan
sekaligus harus dengan “mengambil semua hal-hal baik yang belum
muncul di zaman sekarang yang dianggap dapat menjadi sumber
kebanggaan umat Islam untuk selama-lamanya.”65
Dalam pandangan Gulen, umat Islam, dengan mengenyam-
pingkan semua solusi yang ditawarkan oleh antropologi modern,
harus mampu mendayagunakan segenap elemen yang dapat dipakai
untuk mencapai tujuan luhur yang telah didiktekan oleh pikiran
mereka sendiri, agar mereka dapat menemukan solusi alternatif
untuk melepaskan diri dari kekacauan yang tengah mereka alami.
Dan jika umat Islam memang ingin menemukan solusi, alternatif,
maka mereka harus mampu melihat dengan cermat segala hal yang
berhubungan dengan posisi geografis dan sosiologis mereka. 66
63
Gulen, Cinta dan Toleransi, 98.
64
Ibid., 33.
65
Ibid., 40.
66
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 17.
67
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam , 36.
68
Gulen, Cinta dan Toleransi, 27.
69
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam , 1.
70
Ibid., 41.
71
Ibid., 229.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 361
1) Moral-Spiritual
Yang dimaksud dengan moral-spiritual adalah moral-spiritual
Islam. Moral-spritual Islam selain menjadi dasar renaissance dan
bangunan peradaban Islam, ia juga menjadi dasar masing-masing
bangunan ilmu pengetahuan, estetika dan cinta-kasih sayang dalam
hubungan sesama makhluk.
Menurut Gulen setiap tindakan dan perbuatan seorang
Mukmin sejati pasti selalu berjalan di atas landasan ibadah, sebagai-
mana setiap upaya yang dilakukannya pasti memiliki dimensi jihad
serta selalu dilaksanakan dengan ikhlas dan diwarnai oleh kesadaran
ukhrawi. Ketika kesadaran keagamaan seperti itu muncul, maka
Mukmin yang bersangkutan pasti tidak akan memisahkan lagi
antara kehidupan dunia dan akhirat, antara hati dan akal, antara
perasaan dan akal sehat. Semuanya menjalin kesatuan yang utuh.
Selain itu semua hasil penalarannya tidak pernah bertentangan
dengan intuisi yang terbesit dalam nuraninya.72 Ketika kesadaran
keagamaan seperti itu muncul, maka semua pengalaman yang
terekam dalam otak seorang Mukmin akan menjadi tangga cahaya
yang menghantarkannya kepada rasionalitas yang jernih.73
Landasan kehidupan moral umat Islan harus dibangun di atas
pemikiran dan karakter agama yang mereka yakini. Mereka harus
selalu menjaga eksistensi mereka berlandaskan dasar-dasar
pemikiran dan moral karakter agama, sebab eksistensi umat Islam
pun dapat terjaga dengan dasar-dasar tersebut. Seandainya saja umat
Islam nekat meninggalkannya, niscaya akan mundur seribu tahun
ke belakang.74
Saat ini, sosok yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam adalah
sosok manusia yang memiliki sifat ikhlas, bertekad kuat, dan
seimbang kepribadiannya. Sosok yang digerakkan oleh kesadaran
terhadap pemahaman dan tindakannya di masa depan selalu di-
bangun berdasarkan pemikiran atas apa yang dibutuhkan hari ini.
Sosok arsitek spiritual dan pemikiran, yang hatinya selalu terbuka
terhadap segala entitas, yang akalnya selalu memiliki kesadaran pada
72
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 26-27.
73
Ibid., 27.
74
Ibid., 26.
75
Ibid., 142.
76
Ibid., 38.
77
Ibid., 137.
78
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 9.
79
Bennabi, Ta’ammulât, 150.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 363
lebih lagi dengan unsur ‘pahala’ yang terdapat dalam agama, adalah
yang menciptakan dan menentukan jaringan-jaringan antar individu
di dalam kehidupan sosial80 dan yang demikian ia adalah faktor yang
membangkitkan kecenderungan-kecenderungan dan naluri
manusia untuk berkumpul, berkomunikasi, dan bermasyarakat
yang merupakan asas penting dalam kemajuan. Ia membantu
mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi
kewajiban-kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi untuk menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat
dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam
peranan ini, agama sebagai prinsip moral telah membantu mencipta-
kan sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.81 Prinsip moral juga
membangkitkan kecenderungan kemanusiaan seseorang ke alam
luar untuk mencakup alam hewan yang hidup bersama manusia,
yang oleh karena itu kita dapat menjumpai, dalam masyarakat
berbudaya, syair-syair yang menggambarkan perasaan manusia
terhadap hewan seperti juga kita lihat karya-karya seni, baik seni
ukir ataupun seni lukis, yang berusaha menerjemahkan perasaan-
perasan hewan82
Demikianlah moral dapat menjadikan kebudayaan dan pe-
radaban menjadi dinamis ketika ia wujud dalam dimensi kemasya-
rakatan, yang dapat mencipta jaringan sosial, dan yang dapat mem-
pengaruhi dan mengarahkan gerakan sejarah.
2) Ilmu pengetahuan
Menurut Gulen, agama tidak berbenturan dengan ilmu penge-
tahuan dan rasionalitas. Agama tidak harus bertanggung jawab atas
krisis dan pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat. Karena se-
mua perselisian yang muncul di tengah-tengah masyarakat sebenar-
nya terjadi disebabkan kebodohan dan adanya ambisi tertentu dari
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Agama sama sekali
tidak pernah mendorong manusia untuk bermusuhan. “Konflik
seperti itu terjadi dikarenakan para individu yang ada dalam kelom-
pok-kelompok yang bertikai tersebut masih belum mencapai
kematangan iman dan keikhlasan yang semestinya.”83
80
Ibid., 149.
81
Elizabeth K. Nottingham, Agama Dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi,
Terj. Abdul Muis Naharong, (Jakarta: Rajawali, 1985), 36.
82
Bennabi, Ta’ammulât, 149.
83
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 28.
84
Ibid., 16.
85
Ibid., 18.
86
Ibid., 16-17.
87
Ibid., 18-19.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 365
88
QS. al-Zumar (39): 9.
89
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan lafal “‘alâ kulli Muslim” (bagi setiap
Muslim), yang maksudnya ditujukan bagi setiap Muslim baik lelaki maupun perempuan.
90
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adyi, Abu Nuaim, Ibnu Alaik, al-Qusyairi, al-Khatib,
dan Ibnu Abdul Bar, yang semuanya melalui al-Hasan Ibnu Atiyyah dan Abu Atikah dari
Anas. Menurut al-Albani, ini adalah hadis batil. Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah
al-Ah}adîts al-D}a’îfah wa al-Maud}û’ah, Jil. 1, (Damascus: al-Maktabah al-Islami, Cet. 5, 1985),
413.
91
Hadis ini diriwayatkan oleh Muhammad bin al-Hasan al-Askari dari Abbas al-
Bahrani. Menurut al-Khatib al-Baghdadi, ini adalah hadis maud}û’. Lihat Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Mîzân al-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Jil. 5, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 112; Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisân al-Mîzân, Jil. 5, (Beirut:
Muassasah al-A’lam li al-Mat}bû’ât, Cet. 3, 1987), 125.
92
QS. al-Baqarah (2): 78.
93
QS. Ali Imran (3): 66.
94
Usman Syihab, Membangun Peradaban…, 246.
95
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 20.
96
Ibid., 20.
97
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 21.
98
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 98.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 367
3) Estetika
Menurut Gulen, iman dapat melahirkan ruh estetika yang
tertanam di dalam ruh yang terbuka terhadap keindahan yang selalu
menyeru ke arah ketakjuban dan kekaguman. Seorang seniman
yang beriman dapat mencapai esensi absolut di tengah hamparan
entitas yang fana.98 Seni islami tidak dapat dibatasinya hanya pada
seni yang menolak hal-hal yang bersifat subjektif atau objektif, atau
sebagai bentuk pamer keterampilan. Akan tetapi -di satu sisi- lebih
sebagai perpaduan antara ruh, makna, dan kandungan yang menjadi
saksi atas hubungan antara entitas dan kejadian sehingga ia dapat
dirasakan atau atas apa yang dapat diindra sehingga dapat dipahami.
Di sisi lain, juga merupakan perpaduan antara bahasa perasaan, dan
indra.99 Oleh sebab itu, maka wajarlah apabila kemudian seni islami
selalu membimbing ke arah sang Wujud yang tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya dengan segala bentuk inspirasi dan sugesti
dari berbagai tingkat dan derajat.
Islam adalah iman, ibadah, akhlak, dan aturan yang meninggi-
kan nilai-nilai kemanusiaan menuju keluhuran, pemikiran, ilmu,
dan seni. Islam selalu menyikapi hidup secara utuh dan sempurna;
untuk kemudian ia menjelaskan hidup dan menakar nilainya, serta
menawarkan hidangan langit kepada para pemeluk agama ini tanpa
kekurangan suatu apa pun.100
Estetika atau cita rasa keindahan memiliki peranan penting di
dalam kedinamisan kebudayaan dengan segala isinya, bahkan ia
adalah kerangka di mana suatu peradaban terbentuk.101 Cita rasa
keindahan berperanan penting dalam kedinamisan suatu kebudaya-
99
Ibid., 99.
100
Ibid., 100.
101
Bennabi, al-Tsaqâfah, 94.
102
Bennabi, Ta’ammulât, 150.
103
Ibid., 149-150.
104
Abu Hamid al-Ghazali, Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Jil. 3, (Beirut: Dâr al-Qalam, T. Th), 59.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 369
4) Cinta
Cinta adalah bagian terpenting dari setiap makhluk. Ia adalah
sinar paling cemerlang dan kekuatan paling dahsyat yang dapat
melawan dan menguasai segala hal. Cinta mengangkat setiap jiwa
yang meresapinya, dan mempersiapkan jiwa untuk perjalanan
menuju keabadian. Jiwa yang mampu membangun hubungan
dengan keabadian melalui cinta, memacu dirinya untuk mengilhami
jiwa-jiwa lain untuk memproleh hal yang sama. Jiwa itu membukti-
kan hidupnya untuk tugas suci ini, yang demi tugas tersebut, ia rela
memikul segala penderitaan yang paling pedih, dan seperti ketika
ia melafalkan “cinta” pada hembusan nafas terakhirnya, ia juga akan
mengucapkan “cinta” ketika diangkat pada Hari Pembalasan
kelak. 107
Mementingkan orang lain adalah sikap mulia yang dimiliki
manusia, dan sumbernya adalah cinta. Siapapun yang memiliki andil
terbesar dalam masalah cinta ini, merekalah pahlawan kemanusiaan
paling hebat: orang-orang ini telah mampu mencabut perasaan benci
dan dendam pada diri mereka. Pahlawan-pahlawan cinta ini akan
senantiasa hidup bahkan setelah mereka tiada. Jiwa-jiwa agung ini,
yang tiap hari menyalakan suluh cinta yang baru dalam alam batiniah
mereka dan menjadikan hati sebagai sumber cinta dan altruisme,
akan disambut dan dicintai masyarakat.108
105
Dikutip dari Badran bin Masud bin Husain, al-Z}âhirah al-Gharbiyyah fî al-Wa’yi
al-Had}ârî Anmûdhaj Malik Bennabi, (Doha: Kitâb al-Ummah, 1999), 162.
106
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah ibn Masud, dalam S}ahîh}
Muslim, Kitab: al-Imân. Hadis no. 131. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1,
(Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996).
107
Muhammad Fethullah Gulen, Essays – Perspectives – Opinions, (New Jersey: Tughra
Books, 2009), 49.
108
Gulen, Cinta dan Toleransi, 2.
109
Ibid., 1.
110
Ibid., 8.
111
Usman Syihab, Membangun Peradaban…, 231.
112
Ibid., 230 dan 232.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 371
113
QS. al-Maidah (5): 2.
114
QS. al-Hujurat (49): 10.
115
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari al-Nu’man bin Basyir, dalam S}ah}îh}
Muslim, Kitab: al-Birr wa al-Silah wa al-Adab. Hadis no. 4685. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-
Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1, (Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996).
116
QS. al-Taubah (9): 71.
117
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id al-Hudri, dalam S}ah}îh}
Muslim, Kitab: al-Iman. Hadis no. 70. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1,
(Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996).
118
Gulen, Cinta dan Toleransi, 8.
119
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 19.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 373
Penutup
Gulen menyadari benar bahwa krisis yang dialami oleh umat
Islam sekarang ini adalah krisis yang multidimensi dan menyeluruh.
Gulen menilai sebab utama dari krisis tersebut adalah internal, bukan
dari luar, yaitu “kelayakan dijajah” atau kesiapan internal yang
menjadikan mereka mundur. Menurut Gulen, sudah lama umat
Islam berusaha bangkit namun selalu gagal. Mereka selalu berputar-
putar di dalam lingkaran setan sambil terus mengulangi berbagai
kesalahan yang sama dan ketika mereka berhasil maju selangkah
ke depan, hal itu selalu disusul dengan kemunduran sekian langkah
ke belakang. Dalam pandangan Gulen, dunia Islam sekarang ini
adalah “dunia yang hamil tua” yang sewaktu-waktu akan melahirkan,
dan keterpurukan yang telah berlangsung sekian lama ini tidak akan
terus berlanjut. Umat Islam sangat membutuhkan segera “ke-
bangkitan dari kubur”, renaissance, dan reformasi total.
Menurut Gulen, agama adalah unsur terpenting dalam hidup
manusia, unsur yang tidak bisa diganti oleh sesuatu yang lain dan
120
Ibid., 19-20.
121
Ibid., 31.
Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 375
Daftar Pustaka
Al-Albani, Muhammad Nasiruddin. 1985. Silsilah al-Ah} â dîts al-
D} a ’îfah wa al-Maud} û ’ah. Jil. 1. Damascus: al-Maktabah al-
Islami, Cet. 5.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1987. Lisân al-Mîzân. Jil. 5. Beirut:
Muassasah al-A’lam li al-Mat}bû’ât, Cet. 3.
Bakar, Mohamad Abu. 2000. Persekitaran Strategik Umat Islam Abad
Ke-21. Kuala Lumpur: Utusan Melayu.
Bennabi, Malik. 1980. Musykilât al-Afkâr fî al-‘Âlam al-Islâm. Terj.
Bisam Barkah dan Ahmad Sakbu. Damascus, Syria: Dâr al-
Fikr.
_________. 1986. Wijhah al-‘Âlam al-Islâmî. Terj. ‘Abd al-Shabur
Syahin. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4.
_________. 1987. Syurût} al-Nahd}ah. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin dan
Umar Kamil Miskawi. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4.
_________. 1989. Musykilât al-Tsaqâfah. Terj. ‘Abd al-Shabur
Syahin. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 3.
_________. 1991. Ta’ammulât. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 5.
_________. Mîlâd Mujtama’. 1987. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin.
Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 3.
Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. 1995. Mîzân al-
I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Jil. 5. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Esposito, John L. 1992. The Islamics Threat: Myth or Reality. New
York: Oxford University Press.
Garvin, James Louis. et.al, (Eds). 1990. Encyclopedia Britanica Inc. Jil.
4 dan 7. Chicago: Encyclopedia Britanica Company, Cet. 15.
Al-Ghazali, Abu Hamid. T. Th. Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Jil. 3. Beirut: Dâr
al-Qalam.
Gulen, Muhammad Fethullah. 2009. Essays – Perspectives – Opinions.
New Jersey: Tughra Books.
_________. 2011. Cinta dan Toleransi. Jakarta: BE Publishing.
_________. 2012. Bangkitnya Spiritualitas Islam. Jakarta: Republika.
_________. 2013. Membangun Peradaban Kita. Jakarta: Republika.
Huntington, Samuel P. 1997. The Clash of Civilizations and the
Remaking of World Order. New York: Touchstone.
Ibnu Husain, Badran bin Masud. 1999. al-Z}âhirah al-Gharbiyyah fî
al-Wa’yi al-Had}ârî Anmûdhaj Malik Bennabi. Doha: Kitâb al-
Ummah.
Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf. CD, Edisi 1: 1.1, Kairo: Syarikah Sakhar
Jurnal TSAQAFAH