Sie sind auf Seite 1von 407

Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam

Hamid Fahmy Zarkasyi*


Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Indonesia
Email: hfzark4@gmail.com

Abstract
This article aims at promoting an appropriate term to depict the substantial
meaning of Islamic civilization. Even though there are various terms in Arabic
that refer to the meaning of civilization, such as h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân, the
term that substantially compatible with Islam is tamaddun. From a linguistic
perspective the root of tamaddun can be traced back to the word dîn, meaning
religion. In this case the relation between civilization in the form of scientific
movement and political authority with religion is considerably clearer and even
provable with historical facts. From the time of the Prophet Muhammad,
Umayyad Caliphate, Abbasid Caliphate, until the Ottoman Caliphate the
relationship of religion and civilization was manifested. In Islamic history, when
Islam entered to a region, the knowledge there will grow rapidly so as to bring
prosperity and welfare. When Islam expanded its territory, it did three important
stages: First, the expansion of political power dominated by military forces;
second, the spreading of religion to the society such Islamic preaching and
scientific activity based on al-Qur’an was dominated. Here, the people tried to
integrate the teaching of al-Qur’an with the science that comes from other
civilizations, especially Greek, Indian, and Persian; third is the spreading of
Arabic language to become the official language of science and communication.
These three stages proved that the widespread political power in Islamic history
was always based on dîn and the development of science, which in turn, becomes
civilization of science as well as religion, which defines tamaddun. Therefore,
Islam accepted by any nation either non-Muslim or non-Arab for it departed
from rational dîn which develops into tamaddun.

Keywords: Dîn, Tamaddun, Scientific Tradition, Politic, Concept

* Kampus Pusat UNIDA Gontor, Jl. Raya Siman Km. 06, Siman, Ponorogo Jawa
Timur, Telp: +62352 483762 Fax: +62352 488182

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


2 Hamid Fahmy Zarkasyi

Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk mengangkat istilah yang tepat untuk
menggambarkan makna peradaban Islam secara substantial. Meskipun dalam
bahasa Arab terdapat berbagai istilah yang merujuk kepada makna peradaban,
seperti h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân dan sebagainya, namun istilah yang secara substansial
sesuai dengan watak Islam adalah tamaddun. Dari sisi kebahasaan akar kata tamaddun
dapat dilacak dari kata dîn yang berarti agama. Di sini hubungan antara peradaban
dalam bentuk gerakan keilmuan dan kekuasaan politik dengan agama tampak
jelas sekali dan bahkan terbukti oleh fakta-fakta sejarah. Dari sejak zaman Nabi
SAW, kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani membuktikan
bahwa hubungan itu jelas ada. Dalam sejarahnya, ketika Islam memasuki suatu
wilayah maka ilmu pengetahuan di situ akan berkembang pesat, sehingga mampu
membawa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya. Ketika umat Islam
meluaskan wilayah kekuasaannya, mereka melakukan tiga tahap penting. Tahap
pertama adalah perluasan kekuasaan politik yang didominasi oleh kekuatan militer.
Kedua adalah penyebaran agama ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini
yang dominan adalah kegiatan dakwah dan kegiatan keilmuan yang berpegang
pada al-Qur’an. Umat berupaya mengintegrasikan ajaran-ajaran dalam al-Qur’an
dengan ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban lain, terutama Yunani, India, dan
Persia. Ketiga adalah penyebaran bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan
dan bahasa komunikasi. Dari ketiga tahap ini dapat dikatakan bahwa meluasnya
kekuasaan politik dalam sejarah Islam selalu berdasarkan agama (dîn) dan
pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi peradaban ilmu dan agama
sekaligus, itulah makna sesungguhnya dari tamaddun. Jadi Islam diterima oleh
bangsa-bangsa non-Arab dan non-Muslim berangkat dari dîn yang rasional yang
berkembang menjadi tamaddun.

Kata Kunci: Dîn, Tamaddun, Tradisi Ilmu, Politik, Konsep

Pendahuluan

T
idak dipungkiri bahwa Islam adalah agama dan peradaban,
namun istilah untuk menggambarkan makna Islam sebagai
peradaban masih merupakan kontroversi, meskipun tidak
mengakibatkan perselisihan yang serius. Dalam tradisi intelektual
Islam terdapat istilah-istilah seperti tamaddun, h} ad}ârah, tsaqâfah,
‘umrân, dan sebagainya yang secara etimologis berbeda antara satu
dengan lainnya. Kontroversi itu barangkali disebabkan oleh adanya

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 3

persepsi dalam memahami substansi peradaban. Ada yang hanya


meninisbatkan peradaban dengan bangunan masjid-masjid, candi-
candi, gedung-gedung, dan sebagainya. Ada pula yang menekankan
pada ilmu pengetahuan rasional-empiris saja dan ada pula yang hanya
menekankan pada agama saja atau agama dan ilmu pengetahuan
sekaligus. Namun, jika ditelusuri lebih mendalam sejarah peradaban
Islam itu sejatinya merupaan kombinasi dari aktivitas ibadah kepada
Allah dan hidup bermasyarakat dalam sistim kehidupan yang diatur
oleh syariat Islam. Pengertian itu terintegrasikan dalam trilogi iman,
ilmu, dan amal yang tidak hanya memancarkan ilmu pengetahuan
yang sangat luas, tapi juga menghasilkan amal-amal yang sangat
tinggi dan bermanfaat bagi umat manusia. Itu semua merupakan
pancaran dari din yang sempurna, dan oleh sebab itu terminologi
yang paling tepat untuk menggambarkan peradaban Islam yang
eksklusif adalah tamadun. Makalah ini memaparkan bagaimana
Islam sebagai tamadun berkembang dari dîn yang mengkaji al-
Qur ’an menjadi tradisi keilmuan dan kemudian berkembang
menjadi peradaban ilmu yang tetap berbasis pada dîn dan didukung
oleh kekuatan politik.

Sebuah Definisi
Istilah untuk merujuk kepada peradaban dalam tradisi intelek-
tual Islam sedikitnya ada empat yaitu h}ad}ârah, tsaqâfah, ‘umrân, dan
tamaddun. Kata h} a d} â rah akar katanya adalah kata kerja tsulâtsi
“h}ad}ara” yang berarti hadir bertempat tinggal, kebalikan dari nomad
(orang yang selalu mengembara) atau badâwah. 1 Dalam istilah
h}ad}â rah ini, tidak terdapat unsur agama atau kepercayaan, dan
karena itu dapat digunakan untuk makna kebudayaan yang bukan
Islam. Adapun tsaqâfah, berarti aktivitas atau perbuatan yang ber-
kaitan dengan dan mengarah kepada ketrampilan. Terkadang dikait-
kan dengan masalah keilmuan, sehingga kata mutsaqqaf berarti ter-
pelajar atau berilmu.2 Selain tsaqâfah, terdapat pula istilah yang
diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun sebagai ‘umrân. ‘Umrân adalah

1
Lihat E.W. Lane, Arabic English Lexicon, Islamic Text Society, Jilid I, (England:
Cambridge, 1863), 589.
2
Kata tsaqafa artinya memahami atau memperoleh dengan ilmu dan perbuatan; tsaqaftu
al-syai’ artinya saya menjadi terampil dalam suatu hal. Tsaqaftu al-‘ilm artinya saya memperoleh
ilmu. Lihat E.W. Lane, Ibid., 342-343

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


4 Hamid Fahmy Zarkasyi

sekelompok orang yang bekerja sama dan mengorganisir diri mereka


agar dapat tetap bertahan hidup. Bertahan hidup tidak harus
dimaknai sebagai suatu jalan agar seseorang dapat memenuhi
kebutuhan dasar mereka, namun sebagai keinginan untuk dapat
berdiri sendiri. Dari kerja sama masyarakat itulah tercipta ‘umrân.3
Seperti halnya h} a d} â rah dan tsaqâfah, ‘umrân juga tidak meng-
haruskan adanya unsur agama atau kepercayaan.
Namun, baik tsaqâfah maupun ‘umrân ditandai dengan wujud
dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Bahkan maju mundurnya
suatu peradaban tergantung atau berkaitan dengan maju mundurnya
ilmu pengetahuan. Jadi substansi peradaban yang terpenting dalam
teori ‘umrân Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Namun ilmu
pengetahuan tidak mungkin hidup tanpa adanya komunitas yang
aktif mengembangkannya. Karena itu suatu peradaban atau suatu
‘umrân harus dimulai dari suatu “komunitas kecil”, dan ketika
komunitas itu membesar maka akan lahir ‘umrân besar. Komunitas
itu biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu
kota. Teori Ibnu Khaldun ini berdasarkan pengamatannya terhadap
kelahiran negara dari sebuah kota. Dari kota terbentuk masyarakat
yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul
suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara.
Contoh yang diberikan adalah kota Madinah, kota Cordova, kota
Baghdad, kota Samara, kota Kairo, dan lain-lain yang asalnya hanya
sebuah komunitas di kota dan berkembang menjadi negara. Selain
ilmu pengetahuan di antara tanda hidupnya suatu ‘umrân bagi Ibnu
Khaldun adalah berkembanganya teknologi, (tekstil, pangan, dan
papan/arsitektur), kegiatan eknomi, tumbuhnya praktik kedokteran,
kesenian (kaligrafi, seni, sastra, dan sebagainya). Sudah tentu
perkembangan itu juga diikuti oleh lahir dan tumbuhnya komunitas
yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan.
Selain teori di atas terdapat pula suatu teori yang menekankan
faktor agama sebagai bagian terpenting dalam suatu peradaban.
Artinya agama atau kepercayaan selalu ada dalam proses kelahiran
suatu peradaban, namun di antaranya ada yang dominan dan ada
yang marginal. Jika diasumsikan bahwa agama, keyakinan, dan
kepercayaan termasuk ideologi yang merupakan asas bagi setiap
peradaban, maka hal itu dapat diterima dan sangat beralasan, sebab
3
Ibnu Khaldun, The Muqaddimah, An Introduction to History, Vol. 2, (UK: Princeton
University Press, 1989), 271.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 5

kepercayaan dasar (basic belief) manusia, baik percaya pada Tuhan


ataupun atheis, animistis, sekuler, atau liberal merupakan asas
perilaku dalam kehidupan sosialnya atau tindakan nyatanya atau
manifestasi lahiriahnya. Sebaliknya, aktivitas manusia itu akhirnya
dapat dilacak dari atau dapat direduksi menjadi kepercayaan dasar
atau pandangan hidupnya.4 Sejalan dengan teori ini, Muhammad
Abduh menyatakan bahwa agama atau keyakinan adalah asas segala
peradaban. Alasannya, bangsa-bangsa kuno seperti Yunani, Mesir,
India, dan sebagainya, membangun peradaban mereka dari sebuah
agama, keyakinan, atau kepercayaan.
Arnold Toynbee juga mengakui bahwa kekuatan spiritual
(batiniah) memungkinkan seseorang untuk memanifestasikannya
dalam bentuk lahiriah (outward manifestation) yang kemudian
disebut sebagai peradaban itu.5 Dalam konteks Islam, Sayyid Qutb
menyatakan bahwa keimanan adalah sumber peradaban. Keimanan
yang dimaksud bukan sekadar kepercayaan kepada Tuhan, akan
tetapi telah menjadi kombinasi antara prinsip kepercayaan kepada
Tuhan dan kemanusiaan. Maka dari itu prinsip-prinsip peradaban
Islam menurutnya adalah ketakwaan kepada Tuhan, keyakinan
kepada keesaan Tuhan (tawh}îd), dan supremasi kemanusiaan di atas
segala sesuatu yang bersifat material; pengembangan nilai-nilai
kemanusiaan, penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan
terhadap keluarga, dan sadar akan fungsinya sebagai khalifah Allah
di bumi berdasarkan petunjuk dan perintah-Nya (syariat).6 Teori ini
tampaknya lebih sesuai untuk menggambarkan peradaban Islam
yang bermula dari agama atau dîn. Oleh sebab itu, seperti yang akan
dibuktikan sesudah ini, terminologi yang sesuai untuk menggambar-
kan peradaban Islam adalah tamaddun.
Istilah tamaddun dapat dilacak dari kata dîn. Al-Qur ’an
menyebut Islam sebagai dîn (QS. Ali Imran [3]:19, 85) dan istilah itu
sejatinya merupakan konsep seminalnya yang mengandung makna

4
Dalam pernyataan Alparslan Acikgence jelas sekali disebutkan bahwa every human
activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Lihat
Alparslan Acikgence, “The Framework for a History of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah,
Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civilization, Vol. 1. No. 1&2,
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 6. Lihat juga Ninian Smart, Worldview, Crosscultural Explorations
of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s Sons, T.Th.) 1-2.
5
Seperti dikutip oleh Muhammad Abdul Jabbar Beg, dalam The Muslim World League
Journal, edisi November-Desember, 1983, 38-42.
6
Ibid.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


6 Hamid Fahmy Zarkasyi

peradaban. Ibnu Manzur dalam kamus Lisân al-‘Arab memaknai


kata “dîn” menjadi empat. Pertama, bermakna hukum, kuasa,
tunduk, mengatur, dan perhitungan (al-h}ukm wa siyâsat al-umûr
wa al-qahr wa al-tadbîr wa al-muh} â sabah). Contohnya:
‫ ﺩﺍﻧ ﺩﻳﻨﺎ ﺩﺍﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻗ ﺮ ﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻄﺎﻋﺔ‬artinya memaksa manusia untuk
taat. Kata kerja dâna juga terdapat dalam hadis Nabi SAW:
‫ ﺍﻟﻜﻴﺲ ﻣﻦ ﺩﺍﻥ ﻧﻔﺴ ﻋﻤﻞ ﳌﺎ ﺑﻌﺪ ﺍﳌ ﺕ‬. Artinya “orang cerdas adalah
orang yang menghutangkan dirinya atau menundukkan dirinya dan
beramal untuk sesuatu sesudah mati”. Makna ‘dâna nafsahu’ dalam
hadis di atas dapat diartikan dengan menundukkan hawa nafsunya.
Kedua, dîn berarti ketertundukan, taat, pengabdian, tunduk (al-
taskhîr, wa al-it}â’at wa al-khud}û’). Contohnya: ‫ ﺃﻃﺎﻋ ﺧﻀﻊ ﻟ‬: ‫ﺩﺍﻥ ﻟ‬.
Kata kerja dâna di sini diartikan taat. Pengertian ini terdapat pula
dalam hadis Nabi SAW yang berbunyi: ‫ﺃﺭﻳﺪ ﻣﻦ ﻗﺮﻳﺶ ﻛﻠﻤﺔ ﺗﺪﻳﻦ ﺎ ﺍﻟﻌﺮﺏ‬
Artinya, “Saya ingin agar dari Quraisy terdapat ada satu kalimat yang
ditaati oleh orang Arab”. Makna ‘tadînu bihâ’ di sini adalah ditaati.
Ketiga, dîn bermakna pembalasan, perhitungan, dan ganjaran (al-
jazâ’ wa al-h}isâb wa al-mukâfa’ah). Keempat, dîn bermakna akidah
(al-I’tiqâd). Dîn berdasarkan pandangan ini adalah jalan atau syariat
yang dilaksanakan oleh seseorang.7
Dari keempat klasifikasi makna di atas dîn dapat diartikan seba-
gai hukum, kuasa, tunduk, mengatur, perhitungan, menghutang-
kan diri, menundukkan diri, pengabdian, ketaatan, pembalasan, per-
hitungan, dan akidah. Namun, jika makna dîn dirujuk kepada ber-
bagai kamus yang disusun sejak masa dulu sampai masa kini, dapat
disarikan menjadi sembilan belas makna yaitu: (1) pembalasan, (2)
perhitungan, (3) keputusan, (4) kepatuhan, (5) ketundukan, (6) sikap
berserah diri (islam), (7) kerendahan, (8) wara’, (9) adat atau kebia-
saan, (10) keadaan, (11) tingkah laku, (12) kekuasaan, (13) pemak-
saan, (14) cara atau jalan, (15) peraturan, (16) hukum, (17) syariah,
(18) akidah, dan (19) agama (millah).8 Dari makna-makna itu semua

7
Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, Jilid 13, (Beirut: Dâr S}âdir, T.Th), 170-171.
8
Sumber-sumber yang dirujuk adalah sebagai berikut: Ibrahim Anis, et.al., al-Mu‘jam
al-Wasît}, Juz 1, (Mesir: Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, 1972), 307; Ahmad ‘Athiyyah
Allah, al-Qâmûs al-Islâmî, Jilid 2, (Kairo: Maktabat al-Nad}ah al-Mis}riyyah, 1966), 423-424;
Abu al-Husayn Ahmad bin Fariz bin Zakariya, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2, Edited by
‘Abd al-Salam Muhammad, (Kairo: Maktabat al-Habikhi, 1981), 319-320; Jamâ‘ah min Kibâr
al-Lughawiyyîn al-‘Arab, al-Mu‘jam al-‘Arabi al-Asâsî, (Beirut: Larousse, T.Th.), 475.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 7

Ibnu Faris berpendapat bahwa dîn bermakna semua jenis dari ke-
tertundukan dan keterhinaan (al-inqiyâd wa al-dhull). Bila merujuk
pada pandangan Ibnu Faris, maka semua makna etimologis yang
dikemukakan di atas merupakan spesies dari makna genus ‘keter-
tundukan dan keterhinaan’.9
Masih sejalan dengan makna-makna seminal itu semua, dîn
dapat dilacak dari kata daynun yang artinya hutang. Oleh karena
itu, ber-Islam dapat diartikan sebagai proses membayar hutang
kepada Sang Khalik. Makna ini dapat digambarkan dalam sebuah
struktur keberagamaan dan kehidupan sekaligus. Dalam kaitannya
dengan makna ini, maka kata kerja “dayâna” artinya memberi
hutang, “dâna” artinya berhutang. Maka di sini sebutan Allah adalah
“al-Dayyân” maknanya Pemberi hutang, sedangkan Nabi SAW
diberi julukan (laqab) “Dayyân” artinya pengatur hutang piutang
atau menghutangkan dirinya. Dalam kaitannya dengan makna
hukum, Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai penguasa hukum,
sehingga dipanggil oleh para pujangga Arab: Ya Sayyid al-Nâs wa
Dayyân al-‘Arab. Dari pengertian berhutang di dalam makna dîn
terdapat sebuah minhaj, sistem, atau aturan hidup yang berdasarkan
hukum yang menyeluruh dan lengkap. Sebab keberhutangan, ber-
kaitan dengan susunan kekuasaan, struktur hukum, dan kecenderu-
ngan manusia untuk membentuk masyarakat yang menaati hukum
dan mencari pemerintah yang adil, telah menggambarkan sebuah
peradaban.10
Dalam istilah dîn tersembunyi suatu sistem kehidupan yang
teratur berdasarkan hukum dan keadilan. Oleh sebab itu, ketika dîn
(agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan
dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat yang sebelumnya
bernama Yatsrib itu diubah menjadi Madinah. Dari akar kata dîn
dan madînah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti
membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan, dan
memartabatkan.11 Dari akar kata madana lahir kata benda tamad-
dun yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti
juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudaya-

9
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2,
319-320.
10
Syed Muhammad Naquib al-Attas, “Islam, Religion, and Morality”, dalam
Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 43-44
11
Ibnu Manzur, Lisân al-‘Arab, Jil. 13, 402.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


8 Hamid Fahmy Zarkasyi

an kota (culture of the city). Jika ditelusur dari akar katanya tamaddun
dapat diartikan sebagai tempat yang dibangun atas dasar agama.
Dalam teori sejarah ilmu, jika suatu kata diterima oleh
masyarakat dan digunakan dalam kehidupan mereka, maka kata
itu telah sah menjadi istilah teknis (technical term) untuk disiplin
ilmu yang bersangkutan. Istilah tamaddun adalah istilah yang
digunakan oleh masyarakat Muslim. Di kalangan penulis Arab,
perkataan tamaddun digunakan untuk pertama kalinya oleh Jurji
Zaydan dalam sebuah judul buku Târi>kh al-Tamaddun al-Islâmî (Se-
jarah Peradaban Islam), terbit 1902-1906. Sejauh pengetahuan pe-
nulis, semenjak itu perkataan tamaddun atau derivatifnya diguna-
kan umat Islam sebagai istilah untuk peradaban. Di dunia Melayu
digunakan pula istilah tamaddun, di Iran orang dengan sedikit ber-
beda menggunakan istilah tamaddun dan madaniyat. Namun di Turki
istilahnya mengikuti akar kata madinah atau madana atau madaniy-
yah, namun diubah dengan dialek Turki medeniyet dan medeniyeti.
Di anak benua Indo-Pakistan, tamaddun digunakan hanya untuk
pengertian kultur, sedangkan peradaban menggunakan istilah
tahdhi>b. Jika istilah tamaddun dapat digunakan untuk istilah per-
adaban Islam, maka di dalam Islam sebagai dîn terkandung makna
tamaddun atau peradaban.
Asumsi dasar yang ingin ditawarkan di sini adalah, bahwa
Islam adalah agama dan peradaban, sebab al-Qur’an, sebagai kitab
suci agama Islam, tidak hanya mengajarkan doktrin teologis dan
ritual keagamaan saja, tapi juga memproyeksikan suatu pandangan
hidup rasional yang kaya dengan berbagai konsep seminal (khusus-
nya tentang ilmu pengetahuan) yang menjadi asas kehidupan baik
individu maupun sosial sehingga berkembang menjadi suatu per-
adaban. Artinya, Islam adalah sebuah dîn yang telah berkembang
menjadi tamaddun atau peradaban. Berikut penjelasan bagaimana
Islam sebagai dîn berkembang menjadi tamaddun dengan tradisi
intelektual dan politiknya.

Dari al-Qur’an ke Tradisi Ilmu


Para sejarawan modern sepakat bahwa al-Qur’an dan al-
Sunnah merupakan sumber yang memberikan kekuatan pendorong
bagi bangkitnya tradisi intelektual, ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam. Kedua sumber ini kaya ayat-ayat yang mendorong kelahiran
ilmu pengetahuan, seperti perintah mencari ilmu, perintah berpikir,

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 9

mengamati dan berzikir, penghargaan terhadap pencari ilmu,


perintah menjadikan ilmu sebagai alat hidup di dunia dan akhirat,
dan keistimewaan lain bagi pencari ilmu. Kekuatan al-Qur’an dan
al-Sunnah sebagai sumber ilmu dan peradaban Islam tercermin dari
kandungannya. Ayat yang perama kali turun adalah perintah iqra’
(Bacalah!).12
Selain itu al-Qur’an juga memberi nasehat kepada Nabi SAW
untuk berdo’a, “Oh Tuhan tambahlah ilmu kepadaku.”13 Ditegaskan
pula, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan
orang yang tidak mengetahui (tidak berilmu)”14; “Mereka (yang)
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak
dipergunakan untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga, tapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka
itu seperti binatang ternak” 15 ; “Tanda kebesaran Allah hanya
diberikan kepada orang yang mengetahui”16; “Barang siapa yang
dikaruniai hikmah (ilmu) itu, ia benar-benar telah dianugerahi
karunia yang banyak. Dan hanya orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran.”17 Ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an juga
dikaitkan dengan kekuatan fisik, “Ilmu yang luas dan tubuh yang
perkasa.”18 Dengan ilmu pulalah manusia dijadikan khalifah di bumi
dan melebihi derajat para malaikat.19
Namun, al-Qur’an dan al-Sunnah tidak melulu berbicara tentang
ilmu, tapi juga objek ilmu, yakni alam semesta dan subjeknya, yaitu
manusia. Al-Qur’an mengajari manusia untuk merenungkan fenomena
alam, penciptaan langit dan bumi, perubahan musim, perubahan siang
dan malam, lautan, awan, angin, matahari, bulan dan bintang, serta
hukum-hukum. Juga perintah untuk mengamati peristiwa dan rahasia
kelahiran dan kematian, dan banyak lagi.
Dalam hal ini perlu dipahami bahwa al-Qur ’an tidak
mengandung konsep-konsep secara mendetail, seperti misalnya
konsep ilmu, konsep negara, konsep politik, konsep ekonomi, dan

12
QS. al-‘Alaq: 1-4.
13
QS. Thaha: 114.
14
QS. al-Zumar: 9.
15
QS. al-A’raf: 179.
16
QS. al-An’am: 97-98.
17
QS. al-Baqarah: 269.
18
QS. al-Baqarah: 247.
19
QS. al-Baqarah: 30.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


10 Hamid Fahmy Zarkasyi

lain sebagainya. Konsep-konsep yang terdapat dalam al-Qur’an dan


al-Sunnah itu secara saintifik dapat disebut sebagai seminal concept
atau konsep awal. Ia mengajarkan tentang al-‘ilm, al-‘âlim (manusia),
dan al-ma’lûm (alam semesta) yang saling berkaitan. Yang terpenting
dari seluruh kegiatan keilmuan manusia sebagai al-‘âlim (yang
mengetahui) adalah keterkaitannya yang terus menerus dengan al-
Alîm (Yang Maha Mengetahui). Oleh sebab itu, para ulama
mengartikan kata ‘aqala (berfikir, mengikat) dengan mengikat ilmu-
ilmu yang kita peroleh dari pengamatan kita terhadap alam dengan
al-Alîm (Sang Pencipta alam). Perintah “Bacalah dengan nama
Tuhanmu Yang Menciptakan” mengandung arti agar kita membaca
ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah dengan mengaitkannya dengan
Tuhan. Tanpa mengaitkan dengan Tuhan, ilmu yang kita peroleh
menjadi sekuler, seperti ilmu-ilmu Barat sekarang ini. Ini
menunjukkan bahwa ilmu yang menjadi asas peradaban Islam
adalah ilmu yang terikat pada Tuhan, ilmu yang teologis, dan bukan
ilmu yang godless (sekuler). Jadi asas ilmu dan peradaban Islam itu
adalah konsep seminal dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Konsep-kon-
sep itu kemudian ditafsirkan, dijelaskan, dan dikembangkan men-
jadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Keseluruhan
kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah yang dijelaskan oleh para ulama
itu merefleksikan suatu cara pandang terhadap alam, baik dunia
maupun alam akhirat yang secara konseptual membentuk apa yang
kini disebut Pandangan Alam, Pandangan Hidup, atau Worldview.
Oleh sebab itu, jika al-Qur’an diakui sebagai sumber peradab-
an Islam, maka dapat dikatakan pula bahwa pandangan hidup Islam
merupakan asas peradaban Islam. Dan oleh karena al-Qur’an itu
penuh dengan dimensi ilmu pengetahuan, maka seperti yang akan
dijelaskan nanti, ilmu pengetahuan adalah asas peradaban Islam,
malahan dapat dikatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban
ilmu dan bukan peradaban bangunan. Dengan konsep yang seperti
ini, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada sisi kehidupan intelektual
Muslim, kehidupan keagamaan dan politik, bahkan kehidupan
sehari-hari seorang Muslim yang awam yang tidak tersentuh sikap
penghargaan terhadap ilmu. Ilmu memiliki nilai yang tinggi dalam
Islam. Oleh sebab itu, tidak heran jika Franz Rosenthal penulis buku
Knowledge Triumphant (Keagungan Ilmu) menyimpulkan bahwa
“ilmu adalah Islam”.20
20
Franz Rosenthal, Knowledge the Triumphant, (Netherlands: Leiden, 1970), 19.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 11

Sekarang kita perlu melihat kembali ke belakang bagaimana-


kah al-Qur’an yang kaya dengan ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan
itu telah mampu melahirkan tradisi intelektual Islam yang kokoh
dan kemudian menjadi motor penggerak bagi berbagai perubahan
dalam diri masyarakat Islam. Masyarakat Muslim yang lahir dari
sebuah kitab suci itu telah berjaya membentuk tradisi intelektual.
Meski mereka berjumlah sangat sedikit, namun tiba-tiba berubah
dan berkembang menjadi peradaban besar yang berasaskan ilmu
pengetahuan.
Dalam sejarahnya, tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari
pemahaman (tafaqquh) terhadap al-Qur’an yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad SAW secara berturut-turut dari periode Makkah
awal, Makkah akhir, dan periode Madinah. Pada periode pertama,
lahirnya pandangan hidup Islam dapat digambarkan dari kronologi
turunnya wahyu dan penjelasan Nabi SAW tentang wahyu itu.
Sebab, pandangan hidup Islam bermula dari peranan utama Nabi
SAW yang menyampaikan dan menjelaskan wahyu. Di sini periode
Makkah merupakan periode yang sangat penting dalam kelahiran
pandangan hidup Islam. Karena banyaknya surah-surah al-Qur’an
diturunkan di Makkah (yakni 85 surah dari 113 surah al-Qur’an
diturunkan di Makkah), maka periode Makkah dibagi menjadi dua
periode: periode awal dan periode akhir. Pada periode awal wahyu
yang diturunkan umumnya mengandung konsep-konsep tentang
Tuhan dan keimanan kepada-Nya, hari kebangkitan, penciptaan,
akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, baik dan buruk, dan
lain sebagainya yang kesemuanya itu merupakan elemen penting
dalam struktur worldview Islam.
Pada periode akhir Makkah, wahyu memperkenalkan konsep-
konsep yang lebih luas dan abstrak, seperti konsep ‘ilm, nubuwwah,
dîn, ‘ibâdah, dan lain-lain.21 Dua periode Makkah ini penting bukan
hanya karena dua pertiga dari al-Qur’an diturunkan di sini, akan
tetapi kandungan wahyu dan penjelasan Nabi SAW serta partisipasi
masyarakat Muslim dalam memahami wahyu itu telah menjadikan
struktur konsep tentang dunia (world-structure) menjadi jelas. Karena
sebelum Islam datang, struktur konsep tentang dunia telah dimiliki
oleh pandangan hidup masyarakat pra-Islam (Jâhiliyyah), maka
struktur konsep tentang dunia yang dibawa Islam menggantikan
21
Alparslan Acikgence, Islamic Science Towards Definition, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1981), 71-72.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


12 Hamid Fahmy Zarkasyi

struktur konsep yang ada sebelumnya.22 Konsep “karam”, misalnya,


yang pada masa Jahiliyah berarti kemuliaan karena harta dan
banyaknya anak, dalam Islam diganti menjadi berarti kemuliaan
karena ketakwaan (inna akramakum ‘inda Allâh atqâkum).
Pada periode Madinah, wahyu yang diturunkan lebih banyak
mengandung tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan
ritual peribadatan, rukun Islam, sistem hukum yang mengatur
hubungan individu, keluarga, dan masyarakat; termasuk hukum-
hukum tentang jihad, pernikahan, waris, hubungan Muslim dengan
non-Muslim, dan sebagainya. 23 Secara umum dapat dikatakan
sebagai tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan komunitas
Muslim. Meskipun begitu, tema-tema ini tidak terlepas dari tema-
tema wahyu yang diturunkan sebelumnya di Makkah, dan bahkan
tema-tema wahyu di Makkah masih terus didiskusikan. Ringkasnya,
periode Makkah menekankan pada beberapa prinsip dasar akidah
atau teologi yang bersifat metafisis, yang intinya adalah konsep
Tuhan, sedangkan periode Madinah mengembangkan prinsip-
prinsip itu ke dalam konsep-konsep yang lebih praktikal. Dalam
konteks kelahiran pandangan hidup, pembentukan struktur konsep
dunia terjadi pada periode Makkah, sedangkan konfigurasi struktur
ilmu pengetahuan, yang berperan penting dalam menghasilkan
kerangka konsep keilmuan, scientific conceptual scheme dalam
pandangan hidup Islam terjadi pada periode Madinah.
Periode kedua timbul dari kesadaran bahwa wahyu yang turun
dan dijelaskan Nabi SAW itu merupakan konsep seminal yang telah
mengandung struktur konsep yang fundamental, seperti struktur
konsep tentang kehidupan (life-structure), struktur tentang dunia
(world structure), tentang ilmu pengetahuan (knowledge structure),
tentang etika (ethical structure) dan tentang manusia (man structure),
yang kesemuanya itu sangat potensial bagi timbulnya kegiatan

22
Professor Izutsu membuktikan munculnya pandangan hidup baru ini dengan
menunjukkan sistem kata yang menjadi anasir utama dalam kosa-kata bahasa Arab pra-Islam.
Contoh yang diberikan di sini adalah kata Allâh yang dalam al-Qur’an merupakan kata yang
sangat sentral yang menempati medan semantik keseluruhan kosa-kata, sedangkan dalam
sistem kata pada masa pra-Islam, Allâh tidak mempunyai kedudukan yang sangat sentral,
Allâh adalah tuhan dalam hierarki tuhan-tuhan yang lain. Penjelasan lebih detail lihat Toshihiko
Izutsu, God and Man in The Qur’an, Semantic of the Qur’anic Weltanschauung, (Kuala Lumpur:
Islamic Book Trust, New Edition, 2002), 36-38.
23
Untuk lebih detail tentang perbedaan tema-tema umum antara wahyu yang diturunkan
di Makkah dan Madinah lihat Abu Ammar Yasir Qadhi, An Introduction to the Science of the
Qur’an, (Birmingham: al-Hidayah Publishing and Distribution, 1999), 100-101.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 13

keilmuan. Istilah-istilah konseptual seperti ‘ilm, îmân, us}ûl, kalâm,


tafsîr, ta’wîl, fiqh, khalq, h}alâl, harâm, irâdah, dan lain-lain telah men-
cukupi untuk dianggap sebagai kerangka awal konsep keilmuan
(pre-scientific conceptual scheme), yang juga berarti lahirnya anasir-
anasir epistemologis yang mendasar dalam pandangan hidup Islam.
Periode ini sangat penting karena menunjukkan wujud struktur
pengetahuan dalam pikiran umat Islam saat itu yang berarti me-
nandakan adanya “Struktur Ilmu” dalam pandangan hidup Islam.
Kata-kata ‘ilm dan turunannya disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak
kurang lebih 800 kali.
Atas dasar framework ini, maka dapat diklaim bahwa
pengetahuan ilmiah yang terbentuk dari adanya istilah-istilah ke-
ilmuan (scientific terms) dalam Islam itu sesungguhnya lahir dari
pandangan hidup Islam. Ia tidak diambil dari kebudayaan atau
pandangan hidup lain. Ini bertentangan dengan framework para
penulis sejarah Islam kawakan dari Barat, seperti De Boer, Eugene
Myers, Alfrend Gullimaune, O’Leary,24 yang umumnya menganggap
ilmu dalam Islam bukan asli dari ajaran Islam. Seolah tidak ada
sesuatu apapun yang berasal dari dan disumbangkan oleh Islam
kecuali penerjemahan karya-karya Yunani. Framework seperti ini
diikuti oleh penulis modern seperti Radhakrishnan,25 Majid Fakhry,26
W. Montgomery Watt,27 dan lain-lain. Semua asumsi itu sudah tentu

24
De Boer misalnya berasumsi bahwa sains dalam Islam lebih banyak ditentukan
oleh pengaruh asing dan karena itu “keseluruhannya bukan hasil murni” umat Islam. Sebab
pada abad pertama Islam tidak terdapat kesadaran akan metode dan sistem. Bahkan baginya
filsafat Islam hanyalah eklektisisme, yang bergantung kepada hasil-hasil kerja terjemahan
karya Yunani, dan merupakan asimilasi daripada karya asli. Lihat TJ. De Boer, The History of
Philosophy in Islam, (U.K: Curzon Press-Richmond, 1994), 28-29, 309. The emphasize on
translation see, Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western World, (New York:
Fredrick Ungar Publishing Co, 196), 7-8. Senada dengan itu Alfred Gullimaune menyatakan
bahwa framework, skop, dan materi filsafat Arab harus dilacak dari bidang-bidang di mana
filsafat Yunani begitu dominan dalam sistem mereka. Alfred Gullimaune, “Philosophy and
Theology” in The Legacy of Islam, (UK: Oxford University Press, 1948), 239. Demikian pula
De Lacy O’Leary menganggap pemikiran Arab hanyalah transmisi filsafat Yunani dari versi
Hellenisme Syriac kepada Barat Latin. De Lacy O’Leary, Arabic Thought and Its Place in
History, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1963), viii.
25
See “Islamic Philosophy”, Chapter XXXII, in Sarvepalli Radhakrishnan, History of
Philosophy; Eastern and Western, (London: George Allan & Unwin Ltd., 1957), 120-149.
26
Majid Fakhry menekankan pengaruh kebudayaan asing seperti Yunani, India, dan
Persia ke dalam filsafat Islam. Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York:
Columbia University Press, 1983), viii-ix.
27
Watt menggambarkan lahirnya filsafat dan teologi Islam dari dua gelombang
Hellenisme. Gelombang pertama adalah periode penerjemahan karya Yunani dan kedua

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


14 Hamid Fahmy Zarkasyi

berdasarkan pada framework tertentu yang tidak menganggap atau


menafikan pandangan hidup Islam dan kerangka konsep keilmuan
di dalamnya. Jelasnya, mereka gagal menangkap asas kebangkitan
tradisi intelektual dalam Islam, yaitu pandangan hidup Islam.
Periode ketiga adalah lahirnya tradisi intelektual dan keilmuan
dalam Islam. Periode ini memerlukan penjelasan yang lebih panjang
dan detail. Sebab tradisi keilmuan dalam Islam adalah merupakan
hasil dari adanya struktur pengetahuan dalam pandangan hidup
Islam. Karena tradisi memerlukan adanya keterlibatan masyarakat,
maka Alparslan menegaskan bahwa untuk menggambarkan tradisi
intelektual dan keilmuan Islam, pertama-tama perlu ditunjukkan
wujudnya komunitas ilmuwan dan proses kelahirannya pada awal
abad pertama Islam. Kemudian menunjukkan adanya kerangka
konsep keilmuan Islam (Islamic scientific conceptual scheme) yang me-
rupakan framework yang berperan aktif dalam tradisi keilmuan itu.28
Dari proses lahirnya pandangan hidup Islam yang tergambar
dari 3 periode di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama
yang penuh dengan ajaran yang mendorong kelahiran tradisi
intelektual dan tumbuhnya ilmu pengetahuan. Konsep-konsep
seminal di dalam al-Qur’an itu kemudian dipahami, ditafsirkan, dan
dikembangkan oleh para sahabat, tabiin, tâbi’ tabiin, dan para ulama
yang datang kemudian. Sebagai contoh, misalnya konsep seminal
‘ilm dalam al-Qur’an itu bersifat umum. Tidak ada definisi ilmu
secara konseptual dalam al-Qur’an, dan tidak ada pula klasifikasi
ilmu secara mendetail. Definisi dan klasifikasi itu dilakukan oleh
para ulama yang datang sebagai pewaris nabi, sehingga dalam tradisi
intelektual Islam terdapat berbagai definisi.29 Para sahabat, tabiin, tâbi’
tabiin, dan para ulama yang datang kemudian itu membentuk se-
buah komunitas ilmuwan. Memang dalam sosiologi ilmu suatu tra-
disi intelektual tidak akan lahir tanpa komunitas keilmuan (scientific
community) yang berfungsi sebagai pembentuk disiplin ilmu dan
medium transformasi ilmu pengetahuan kedalam masyarakat luas.

adalah munculnya filosof Muslim Neoplatonic Aristotelian, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan
lain-lain. Lihat W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburgh: University
of Edinburgh Press, 1985), 33-64; 69-128.
28
Alparslan Acikgence, Islamic Science…, 81.
29
Rosenthal mencatat lebih dari seratus definisi ‘ilm dalam tradisi intelektual Islam,
dan mengategorikannya menjadi dua belas kategori, F. Rosenthal, Knowledge the Triumphant,
52-69.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 15

Dalam tradisi intelektual Islam, komunitas ilmuwan itu


berkembang secara bertahap. Komunitas ilmuwan yang paling awal
dan berfungsi sebagai medium transformasi ilmu pengetahuan
wahyu adalah Bait al-Arqam. Namun yang lebih efektif dari itu
adalah al-Suffah, yang artinya beranda atau serambil masjid dan
komunitas intelektualnya disebut As}h } âb al-Suffah. 30 Di lembaga
pendidikan pertama dalam Islam ini, kandungan wahyu dan hadis-
hadis Nabi SAW dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Kegiatan ini mulai berjalan diperkirakan 10, 17, atau 19 bulan
sesudah Hijrah atau 2 tahun setelah Hijrah. Tujuan utama As}h}âb al-
Suffah adalah belajar dan mengamalkan Islam, dari sumbernya, yaitu
wahyu dan hadis-hadis Nabi SAW. Meski materinya masih seder-
hana, seperti shalat, membaca al-Qur’an, memahami ayat-ayat ber-
sama-sama, berzikir, serta belajar menulis, namun, karena objek
kajiannya31 tetap berpusat pada wahyu, maka ia betul-betul luas dan
kompleks. Bukan sekadar membaca dan memahami, para sahabat
tidak pernah melewatkan sebuah surah dari al-Qur ’an dan
mempelajari surah berikutnya sebelum mereka menghafal dan
mengamalkannya. Artinya mereka mempelajari ilmu dan amal.
Oleh sebab itu, materi kajiannya tidak dapat disamakan
dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat
merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan
kebudayaan Barat (the cradle of western civilization). Yang pasti jumlah
mereka adalah ratusan dan tidak dapat ditampung seluruhnya di
serambi masjid. Abu Nu’aim mencatat bahwa Sa’id bin ‘Ubadah
sendiri biasa memberikan penginapan kepada 80 orang di rumahnya
untuk anggota komunitas al-Suffah ini.32 Yang pasti As}h}âb al-Suffah
adalah sebuah komunitas belajar mengajar yang efektif yang
merupakan tradisi intelektual Islam yang paling awal.33 Produk dari
komunitas ini atau alumni, sebut saja demikian, dari sekolah masya-
rakat (learning society) ini juga menunjukkan peran mereka dalam

30
Khalifah bin Khayyat, al-Târîkh, dengan komentar dari Akram Diya’ al-’Umari,
Vol. 1, (Najaf: al-Adab Press, 1967), 321.
31
Lihat Abu Daud al-Sijistani, al-Sunan, Vol. 2, (Egypt: Mus}t}afâ al-Bâbi al-Halabi,
1371), 237; Ibnu Majah, al-Sunan, Jil. 2, Tahkik oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, (Cairo:
Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953), 70.
32
Mengenai jumlah peserta dalam komunitas ilmuwan dan materi yang dikaji, lihat
Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Asbahani, H}ilyat al-Auliyâ’, Jil. 1, (Mesir: al-Sa’âdah
Press, 1357), 339, 341.
33
Ibid., 1/341.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


16 Hamid Fahmy Zarkasyi

melahirkan disiplin ilmu-ilmu keislaman, seperti misalnya Abu


Hurairah, Abu Dhar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Abdullah bin
Mas’ud, dan lain-lain. Ribuan hadis telah berhasil direkam oleh
anggota sekolah ini.
Kegiatan awal pengkajian wahyu dan hadis ini dilanjutkan oleh
generasi berikutnya dalam bentuk yang lain. Dan tidak lebih dari
dua abad lamanya telah muncul ilmuwan-ilmuwan terkenal dalam
berbagai bidang studi keagamaan, seperti misalnya Qadi Suraih
(w.80/699), Muhammad bin al-Hanafiyyah (w.81/700), Ma’bad al-
Juhani (w. 84/703), Umar bin ‘Abd al-’Aziz (w. 102/720), Wahb bin
Munabbih (w.110), Hasan al-Basri (w. 110/728), Ghaylan al-Dimashqi
(w.123/740), Ja’far al-Sadiq (w.148/765), Abu Hanifah (w. 150/767),
Malik bin Anas (w. 179/796), Abu Yusuf (w. 182/799), al-Syafi’i (w.
204/819), dan lain-lain.
Kegiatan keilmuan dan munculnya ilmuwan-ilmuwan di atas,
didorong secara alami oleh karena pandangan alam (worldview) yang
tertuang dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh hadis Nabi SAW. Dalam
kedua sumber ilmu pengetahuan Islam itu terdapat konsep-konsep
asas (seminal concept) yang sempurna. 34 Konsep-konsep yang
sempurna itu kemudian diterjemahkan, dijelaskan, dan dijabarkan
oleh para ilmuwan anggota masyarakat yang terlibat. Konsep-konsep
‘ilm, ‘adl, dîn, insân, dan lain-lain dalam al-Qur’an dan hadis, misal-
nya, tidak dijelaskan secara detail. Konsep-konsep itu kemudian
dijelaskan oleh para ilmuwan yang datang sesudah Nabi SAW, baik
dari Sahabat, Tabiin, Tâbi’ Tabiin maupun ulama sesudahnya. Kajian
Franz Rosenthal menunjukkan bahwa dalam tradisi intelektual Islam
terdapat seratus definisi ‘ilm dan diklasifikasikan menjadi dua belas
kategori.35 Konsep tersebut menjadi istilah-istilah teknis yang mudah
dipahami dan bahkan berkembang menjadi struktur konsep
keilmuan atau scientific conceptual scheme. Dari konsep ‘ilm ini pula
kemudian lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti Ilmu
Fikih, Tafsir, Hadis, Falak, Hisab, Faraid, Kalam, Tasawuf, dan lain
sebagainya. Jika ilmu-ilmu tersebut ditinjau dengan menggunakan
teori sejarah ilmu, niscaya akan didapati bahwa asal usul ilmu-ilmu
tersebut adalah dari komunitas intelektual Muslim yang tekun

34
Kesempurnaan konsep-konsep dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak berarti bahwa
di dalamnya terdapat semua konsep secara mendetail. Kesempurnaannya terletak pada sifatnya
yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
35
F. Rosenthal, Knowledge the Triumphant, 52-69.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 17

mengkaji al-Qur’an dan hadis. Ilmu-ilmu tersebut bukan ilmu yang


telah jadi dan diambil begitu saja dari tradisi intelektual asing
sehingga menjadi ilmu milik umat Islam.
Pengkajian terhadap wahyu pada periode Madinah terus
berlangsung hingga periode-periode berikutnya bahkan hingga
periode-periode ketika Islam tersebar ke berbagai kawasan di luar
jazirah Arab. Pada periode kekhalifahan Umayyah, lembaga pen-
didikan formal belum banyak berdiri, kecuali sedikit. Putra-putra
khalifah pun dikirim ke pendidikan formal di Suriah untuk belajar
bahasa al-Qur’an dan Arab resmi. Namun tidak berarti waktu itu
tidak ada pendidikan.36 Masyarakat luas yang hendak memperoleh
pendidikan, dalam pengertian masa itu, akan menggunakan masjid
untuk belajar. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam Islam
adalah para pembaca al-Qur’an (qurrâ’). Materi utamanya al-Qur’an,
al-Sunnah, dan bahasa Arab, tapi selain itu murid-murid juga diajar
nilai-nilai keberanian, kesabaran, menaati hak dan kewajiban agama,
menghormati tetangga, menjaga harga diri (murû’ah), kedermawa-
nan, keramahtamahan, penghormatan terhadap perempuan, dan
sebagainya. Tujuan pendidikan adalah untuk mencapai apa yang
mereka sebut al-Kâmil. Ini berarti aspek intelektual dan spiritual
atau moral ditanamkan secara simultan.
Namun kajian terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah sulit dilaku-
kan oleh Muslim yang bukan asli Arab. Para pemeluk Islam baru,
yang berasal dari daerah yang dikuasai umat Islam itu akhirnya
mengkaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, kegiatan yang menonjol di
Khurasan di masa Dinasti Umayyah adalah kajian bahasa Arab. Dari
sinilah lahir pakar tata bahasa Arab legendaris yang bernama Abu
al-Aswad al-Dua’li (w. 688) yang dilanjutkan oleh al-Khalil bin Ahmad
(w. 786), ulama Bashrah yang terkenal dengan kamus bahasa Arab
Kitâb al-‘Ain. Muridnya berasal dari Persia bernama Sibawaih (w.
793), menulis buku tata bahasa Arab sistimatis berjudul al-Kitâb.
Dari kajian ilmu kebahasaan yang dikaitkan dengan pemahaman
dan penafsiran al-Qur’an ini lahirlah dua ilmu penting, yaitu filologi
(philologhy) dan leksikografi (lexicography). Dari kajian terhadap al-
Qur ’an itu telah mendorong al-Hajjaj 37 yang pernah menjadi

36
Di Kufah kita mengenal al-Dhahhak bin Muzahim (w. 723) yang mendirikan sekolah
dasar (kuttâb) dan tidak memungut bayaran dari siswa. Pada abad kedua Hijriah kita juga
mendengar seorang Badui di Bashrah yang mendirikan sekolah dengan memungut biaya.
37
Wakil Abdul Malik (695) di Irak.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


18 Hamid Fahmy Zarkasyi

panglima perang itu, melakukan perubahan ortografi al-Qur’an agar


masyarakat terhindar dari kesalahan membaca kitab suci itu. Ia
kemudian mendalami ilmu sastra dan retorika. Dukungannya
terhadap kemajuan puisi dan ilmu pengetahuan sangat menonjol.38
Dalam bidang kajian hadis, di zaman Umayyah terdapat nama Hasan
al-Basri dan Ibnu Shihab al-Zuhri (w. 742). Hasan al-Basri sangat
dihormati dalam bidang hadis karena ia mengenal secara pribadi 70
orang sahabat.
Selain ilmu, karena Islam memerintahkan umatnya untuk
hidup sehat, maka para sahabat dan pengikut Nabi SAW bergiat
mempelajari ilmu kedokteran dari Yunani dan Persia. Daftar urutan
teratas dokter-dokter Arab pada abad pertama Islam ditempati oleh
al-Harits bin Kaladah (w. 634) dari Thaif, yang menuntut ilmu di
Persia. Seorang dokter Yahudi dari Persia, Masarjawaih yang tinggal
di Bashrah pada masa-masa awal pemerintahan Marwan bin al-
Hakam, menerjemahkan sebuah naskah Suriah tentang pengobatan
ke dalam bahasa Arab. Naskah ini awalnya ditulis dalam bahasa
Yunani oleh seorang pendeta Kristen di Iskandariyah, Ahrun, dan
merupakan buku kedokteran pertama dalam bahasa Arab.39
Untuk melengkapi ilmu kedokteran, umat Islam pun
mempelajari ilmu kimia. Tidak hanya mempelajari dari bangsa lain,
umat Islam juga mengembangkan sendiri ilmu ini. Karena prestasi
umat Islam dalam bidang ini, Hitti menyatakan bahwa ilmu kimia
adalah salah satu dari beberapa ilmu yang banyak berhutang pada
penemuan orang Arab. Seperti halnya ilmu pengobatan, ilmu kimia
merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling awal dikembangkan.
Khalid (w. 704 atau 708), putra khalifah Umayyah kedua adalah
seorang “filosof keluarga Marwan”, merupakan orang Islam pertama
yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan Koptik
tentang kimia, kedokteran, dan astrologi.40
Selain itu, umat Islam juga belajar ilmu matematika dari India.
Ilmu ini diperlukan untuk penghitungan atau pembagian harta waris.
Di antara buku terjemahan karya-karya astronomi lainnya pada
masa ini adalah karya terjemahan dari bahasa Persia ke bahasa Arab
oleh al-Fadhl bin Nawbakhti (w. 815) kepala lembaga pustaka al-
Rasyid.41 Sekitar tahun 154 H/771 M, seorang pengembara India
38
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Bandung: Mizan, 2002), 274.
39
Ibid., 318-319.
40
Ibid., 319-320.
41
Ibid., 383

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 19

memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul


Sidhanta (bahasa Arab Sidhind) yang atas perintah al-Mashur
kemudian diterjemahkan oleh Muhammad bin Ibrahim al-Fazari
(meninggal antara 796 dan 806) yang kemudian menjadi astronom
Islam pertama.42 Al-Khwarizimi (w. 850) kemudian menjadikan karya
terjemahan al-Fazari sebagai rujukan utamanya untuk menulis tabel
astronomi (zij)-nya yang terkenal itu. Demikianlah seterusnya
perkembangan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam selalu
merujuk kepada perintah al-Qur’an dan al-Sunnah, yang berarti
bahwa peradaban ini berdasarkan pada din. Maka tidak heran jika
selama periode kekuasaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kota
kembar di Irak, Bashrah dan Kufah, adalah merupakan pusat
aktivitas intelektual di dunia Islam.

Dari Tradisi Ilmu ke Politik


Di masa al-Khulafâ’ al-Râsyidûn Islam mulai menyebar keluar
dari jazirah Arab. Diawali pada masa Abu Bakar dan mencapai titik
tertingginya pada masa Umar bin Khattab dan boleh dikatakan
terhenti pada zaman Ali bin Abi Thalib. Pada masa al-Khulafâ’ al-
Râsyidûn umat Islam telah menguasai kawasan-kawasan di sekitar
jazirah Arab, seperti Persia, Mesir, Syria, dan sebagainya. Dari sejak
itu umat Islam sudah tidak terbendung lagi untuk keluar dari jazirah
Arab. Namun sungguh mustahil jika umat Islam keluar dari jazirah
Arab tanpa bekal apa-apa. Al-Qur’an, al-Sunnah, dan pandangan
hidup Islam seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya
merupakan bekal yang sangat berharga. Dalam hal ini komentar
George F. Kneller sangat menarik untuk dicermati: “Bala tentara
Islam… tidak berbekalkan apa-apa secara kultural selain dari Kitab
Suci dan Sunnah Nabi. Tapi karena inner-dynamic-nya, maka ajaran
Islam itu telah menjadi landasan pandangan hidup yang dinamis
yang kelak… memberi manfaat untuk seluruh umat manusia.”43
Apa yang dimaksud Kneller dengan inner-dynamic tampaknya
adalah konsep-konsep seminal yang didominasi oleh konsep iman
dan ilmu yang merupakan daya pendorong bagi wujudnya amal-

42
Sa’id bin Ahmad, T}abaqat al-Umam, Edited by L. Cheikho, (Beirut: T.K, 1912),
49-50.
43
George F. Kneller, Science as a Human Endeavor, (New York: Columbia University
Press, 1978), 3-4.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


20 Hamid Fahmy Zarkasyi

amal islami. Amal peradaban adalah gerakan-gerakan politik, sosial,


ekonomi, intelektual, dan lain-lain yang dilakukan umat Islam di
luar jazirah Arab. Dengan bekal itulah maka umat Islam pada abad
ke-7 berhasil mendirikan kekhalifahan Umayyah di Damakus (661-
750 M). Dengan berdirinya kekhalifahan Umayyah, Damaskus telah
berubah menjadi pusat pemerintahan Islam membawahi wilayah
terpenting kerajaan Byzantium lainnya, seperti Palestina, Suriah,
Persia (635-640 M), Mesir (641 M), Siprus (649 M), Iskandariyah
(652 M), Transoxiana, serta kawasan Asia Barat dan Afrika Utara,
dua kawasan yang dulunya jatuh ke tangan Alexander the Great.
Pada tahun 700-an, tidak lebih dari setengah abad sesudah wafat-
nya Nabi Muhammad (632 M), umat Islam telah tersebar ke kawasan
Asia Barat dan Afrika Utara. Selanjutnya, umat Islam memasuki
kawasan yang telah lama dikuasai oleh Kristen dengan tanpa
perlawanan yang berarti. Menurut William R. Cook pada tahun 711-
713 M kerajaan Kristen di kawasan Laut Tengah jatuh ke tangan Muslim
dengan tanpa pertempuran, meskipun pada abad ke-7 kawasan itu
cukup makmur. Bahkan selama kurang lebih 300 tahun hampir
keseluruhan kawasan itu dapat menjadi Muslim. Baru pada abad ke-
11 kerajaan Kristen di kawasan itu mulai melawan Muslim.44 Demitri
Gutas dengan jelas mengakui: “… pada tahun 732 M kekuasaan dan
peradaban baru didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang
diwahyukan kepada Muhammad, Islam, yang berkembang seluas Asia
Tengah dan anak benua India hingga Spanyol dan Pyrennes.45
Pengakuan Gutas bahwa peradaban Islam “disusun sesuai
dengan agama yang diwahyukan kepada Muhammad, Islam” adalah
bukti bahwa peradaban Islam disusun berdasarkan din Islam, dan
karena itu sangat sesuai disebut sebagai tamadun. Di dalam tamadun
itu terdapat kedamaian, dan karena itu tidak salah ketika Gutas
mengakui bahwa dengan munculnya peradaban Islam, Mesir untuk
pertama kalinya, sejak penaklukan Alexander the Great, dapat diper-
satukan atau didamaikan secara politis, administratif, dan ekonomis
dengan Persia dan India dalam jangka waktu yang cukup lama.
Perbedaan ekonomi dan kultural yang memisahkan dua dunia yang
berperadaban, Timur dan Barat, sebelum Islam datang yang dibatasi
oleh dua sungai besar dengan mudahnya diganti dengan ukhuwah

44
William R. Cook dan Ronald B Herzman, The Medieval Worldview, (New York:
Oxford University Press, 1983), 119-120.
45
Demitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture, (London: Routledge, 1988), 13.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 21

perdamaian dan kemakmuran.


Bukan hanya itu, unsur kedamaian juga tampak ketika umat
Islam masuk ke kawasan Kristen dengan tanpa peperangan. Tidak
ada catatan sejarah bahwa umat Islam memerangi kekaisaran
Romawi, yang ada hanyalah analisa bahwa salah salah satu faktor
penyebab kejatuhan kekaisaran Romawi adalah Islam. Edward
Gibbon dalam The Decline and Fall of The Roman Empire menyatakan
bahwa periode kedua dari merosot dan jatuhnya kekaisaran Romawi
disebabkan oleh lima faktor: 1) di era kekuasaan Justinian banyak
memberi wewenang kepada Imperium Romawi di Timur; 2) adanya
invasi Italia oleh Lombards; 3) penaklukan beberapa provinsi Asia
dan Afrika oleh orang Arab yang beragama Islam, 4) pemberontakan
rakyat Romawi sendiri terhadap raja-raja Konstantinopel yang lemah;
dan 5) munculnya Charlemagne yang pada tahun 800 M mendirikan
kekaisaran Jerman di Barat. Jadi, penyebab kejatuhan Romawi
merupakan kombinasi dari berbagai faktor, seperti problem agama
Kristen, dekadensi moral, krisis kepemimpinan, keuangan, dan
militer. Sejatinya faktor terpenting penyebab kajatuhan Romawi ada-
lah datangnya Islam yang tanpa peperangan. Tampaknya pernyata-
an Nabi SAW “Aku akan menyerang Romawi dari dalam rumahku”
benar-benar terbukti. Nabi SAW tidak pernah pergi menyerang
Romawi Barat maupun Timur, tapi datangnya gelombang peradaban
Islam telah benar-benar menjadi faktor penyebab kejatuhan Romawi.
Pada tahun 711 M, umat Islam di bawah kepemimpinan
panglima perang Tariq bin Ziyad berhasil menguasai Andalusia.
Selain meluas ke Barat, umat Islam juga menyebar ke Timur. Di
bawah komando panglima perang pada kekhalifahan Umayyah yang
bernama al-Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, kekuasaan Islam meluas ke
Bukhara, Takaristan (Afghanistan), Balkh, Samarkand, Khawarizm,
Cina, Mongolia, Tashkent (751 M), dan negara-negara Asia Tengah
lainnya. Seperti disebutkan di atas, al-Hajjaj adalah penglima perang
sekaligus juga ahli bahasa Arab. Selanjutnya di bawah panglima
Muhammad bin Qasim, anak tiri al-Hajjaj, Dinasti Umayyah berhasil
menguasai anak benua India. Jadi, pada masa itu Damaskus menjadi
ibukota dunia Islam yang kekuasaannya meliputi bagian-bagian pen-
ting benua Asia, Afrika, dan Eropa. Di Timur terbentang mulai dari
Asia Tengah dan Transoxiana sampai ke perbatasan Cina, anak benua
India; di Barat dari Afrika Utara, Spanyol, hingga ke Perancis Selatan.
Ketika kekuasaan Umayyah melemah dan runtuh, kekhalifah-
an Abbasiyah muncul di Baghdad. Ibukota dunia Islam lalu ber-

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


22 Hamid Fahmy Zarkasyi

pindah dari Damaskus ke Baghdad. Abbasiyah berkuasa selama


kurang lebih 500 tahun (750-1258), menguasai kawasan-kawasan
yang sebelumnya dikuasai Dinasti Umayyah. Luas wilayah
Abbasiyah dapat dilihat dari propinsi-propinsi yang berada di bawah
kekuasaannya. Di masa kekuasaan Abbasiyah terdapat kurang lebih
23 propinsi, di antaranya adalah Afrika sebelah Barat, Mesir,
Palestina, Irak, Azerbaijan, Persia, Afghanistan, Bukhara, Samarqand,
Tashkent, Turki, dan lain sebagainya. Di masa kekhalifahan
Abbasiyah konsentrasi bukan pada perluasan wilayah tapi pada
pengembangan ilmu pengetahuan.
Selama lima abad perjalanan kekhalifahan Abbasiyah telah
benar-benar menunjukkan sebuah tamadun Islam, sebab di
sepanjang kekuasaan kekhalifahan ini terbangun sebuah kota
terbesar di dunia masa itu dan berhasil membangun tradisi ilmu
yang sangat produktif. Dari kota ini berbagai karya berbahasa Arab
dalam bidang kesusasteraan, syair, filsafat, hukum, sejarah, dan ilmu
alam terbit dalam jumlah besar. Apa yang menarik di sini adalah
bahwa semua kegiatan keilmuan dan produktivitas para ilmuwannya
pada mulanya berangkat dari kajian terhadap al-Qur’an dan hadis
Nabi SAW. Meskipun demikian tidak dipungkiri bahwa sesudah
kaum Muslim mengkaji al-Qur ’an dan menghasilkan ilmu
keagamaan sendiri, mereka kemudian mempelajari berbagai ilmu
dari peradaban lain, terutama Yunani. M.J.L.Young dan kawan-
kawan mengakui bahwa umat Islam telah menghasilkan ilmu-ilmu
keagamaan seperti tafsir, hadis, teologi, fikih, ilmu sejarah, dan
berbagai ilmu bahasa. Sedangkan dari peradaban asing, umat Islam
belajar ilmu kedokteran, ilmu alam, matematika, astronomi, astro-
logi, geografi, farmasi, mekanik, dan sebagainya.46 Kekhalifahan
Abbasiyah akhirnya jatuh ke tangan tentara Hulagu, penguasa
Mongol. Dengan menguasai Baghdad tahun 1258, Hulagu meng-
hancurkan hampir keselurhan kota termasuk perpustakaannya yang
tak ada bandingannya itu.
Pada saat kejatuhan Dinasti Umayyah pada tahun 755 M, Putra
Mahkota Umayyah yang terakhir, Abdurrahman, lari ke Spanyol
dan mendirikan kekuasaan di Cordoba yang bebas dari kekuasaan
Abbasiyah. Kekhalifahan Abdurrahman yang bermula tahun 929
M berakhir hingga 1031 M, berhasil membangun masjid Cordova
46
Lihat M.J.L Young, et.al, (Eds.), “Pengantar Editor” dalam Religion, Learning and
Siences in The Abbaside Period, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), xv.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 23

yang megah, tapi pada masa penaklukan Ferdinand III tahun 1236
M, diubah menjadi katedral Kristen. Selain itu, menurut Philip K.
Hitti Cordova telah memprakarsai gerakan intelektual yang mem-
buat Spanyol-Islam dari abad ke-9 sampai ke-11 Masehi menjadi
salah satu pusat kebudayaan Islam.47 Di sini bisa dicatat bahwa masjid
yang merupakan tempat ibadah kepada Allah juga menjadi tempat
belajar ilmu pengetahuan yang berdampak positif pada peradaban.
Kemajuan dalam bidang seni, sastra, ilmu agama, sains, filsafat, tata
kota, dan lain-lain tidak dapat dipungkiri lagi. Sekali lagi terbukti di
sini din berkembang menjadi tamadun. Peradaban ilmu inilah yang
telah mempesona orang-orang Kristen di Eropa sehingga mereka
terdorong untuk belajar dan bahkan meniru gaya hidup orang Islam.
Karena jumlah mereka cukup banyak dan membentuk kelas sosial
tersendiri, maka akhirnya orang-orang peniru itu diberi julukan
Mozarab (arabnya Musta’rib), yaitu orang non-Arab yang ke-Arab-
Araban. Begitulah tamaddun Islam tidak melulu kekuasaan yang
hegemonik tapi juga berwajah ilmu pengetahuan dan kemakmuran
rakyat yang terhitung selama 800 tahun (dari 755 M hingga 1492
M). Maka dari itu, ketika orang-orang Kristen mengalahkan dan
mengusir umat Islam dari Granada pada tahun 1492 M, mereka tidak
hanya merebut istana-istana dan masjid-masjid, tapi juga membakar
buku-buku karya umat Islam.
Dengan berakhirnya kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah,
ternyata pada abad ke-13 masih berdiri lagi kekhalifahan yang
kemudian menjadi lebih besar dari pendahulunya, yaitu kekhalifahan
Turki Utsmani. Kekhalifahan ini pada mulanya didirikan oleh bangsa
non-Arab, yaitu bangsa Seljuk pada tahun 1299 M. Namun Turki
resmi menjadi sebuah kekhalifahan setelah peristiwa penaklukan
Konstantinopel (kemudian disebut Istanbul) pada tahun 1453 M.
Seperti halnya penaklukkan di masa kekhalifahan Umayyah,
kedatangan Islam diterima dengan sukarela oleh penganut agama
Kristen, sehingga kini hampir dikatakan tidak tampak dominasi
penganut agama itu di Turki.
Kekhalifahan Turki ini berkuasa hingga 1924 M, dengan luas
kekuasaannya meliputi tiga benua, yaitu Eropa Tenggara, Timur
Tengah, dan Afrika Utara, membentang dari Selat Gibraltar di Barat,
hingga Laut Kaspia dan Teluk Persia di Timur. Dari pinggiran Austria,

47
Philip K. Hitti, History…, 647.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


24 Hamid Fahmy Zarkasyi

Slovakia, dan beberapa bagian Ukraina di Utara hingga Sudan


Eriterea, Somalia dan Yaman di Selatan. Kekhalifahan ini merupakan
pusat yang menghubungkan dunia Timur dan Barat selama 6 abad
lamanya. Dengan ibukotanya Istanbul, kekhalifahan Turki Utsmani
ini menggantikan kekaisaran di kawasan Laut Tengah, seperti
Romawi dan Bizantium, sehingga tak heran jika Turki Utsmani ini
dianggap pewaris kekaisaran Romawi dan juga tradisi kekhalifahan
Islam.48 Dari sisi keagamaan dan keilmuan, Turki Utsmani masih
tetap melanjutkan tradisi Islam yang telah berjalan di zaman
Abbasiyah sehingga bahasa Turki masih banyak mengadopsi bahasa
Arab. Meski gerakan keilmuan di zaman Turki Utsmani tidak
sehebat zaman Umayyah dan Abbasiyah, namun ikatan antara Islam
sebagai dîn dan berbagai aktivitas politik, budaya, serta ekonomi
masih dipertahankan. Philip K. Hitti mencatat kontribusi orisinal
kekhalifahan ini adalah ilmu ketatanegaraan, arsitektur, dan sastra.49
Di masa kegemilangannya, kekhalifahan Turki Utsmani
menjadi satu-satunya kekuatan Islam yang benar-benar menjadi
halangan bagi bangkitnya kekuatan Eropa Barat antara abad ke-15
hingga 19 M. Ia perlahan-lahan menurun pada abad ke-19 dan benar-
benar runtuh pada Perang Dunia I, sehingga pemerintahannya
hancur dan terpecah-pecah menjadi negara-negara nasional. Sebagai
gantinya timbullah Revolusi Turki di bawah pimipinan Mustafa
Kemal Ataturk yang pada tanggal 1 November 1922 kekhalifahan
Turki dihapuskan dan pada 29 Oktober 1923 secara resmi berganti
menjadi republik.

Penutup
Islam adalah agama yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an
dan sunah Nabi SAW yang kemudian berkembang menjadi tradisi
keilmuan yang didukung oleh kekuatan politik. Ini juga merupakan
bukti bahwa perjalanan peradaban Islam selalu berdasarkan pada
dan bermula dari pemahaman dan pengamalan terhadap Islam
sebagai dîn. Artinya, perjalanan komunitas Muslim itu dimotori oleh
pandangan hidup yang berkembang menjadi peradaban ilmu. Dari

48
H. Ýnalcýk, “The rise of the Ottoman Empire” dalam P.M. Holt, A.K.S. Lambstone,
and B. Lewis (eds), The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University
Press, T.Th.), 295-200.
49
Philip K. Hitti, History…, 913.

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 25

komunitas Sahabat, Tabiin, Tâbi’ Tabiin, dan ulama-ulama pewaris-


nya yang diikat oleh pandangan hidup, visi, dan misi keagamaan
yang sama, yang jelas-jelas berasal dari konsep-konsep yang terdapat
dalam sumber pokok ajaran Islam. Tulisan ini telah membuktikan
apa yang dinyatakan Demitri Gutas di atas, bahwa “peradaban baru
didirikan dan disusun sesuai dengan agama yang diwahyukan
kepada Muhammad.” 50 Artinya, tamaddun Islam itu didirikan
berdasarkan din yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Meluasnya kekuasaan politik Islam tidak bisa ditafsiri bahwa
Islam itu datang membawa kehancuran peradaban lain. Sebab Islam
masuk ke suatu kawasan tidak untuk menjajah tapi membebaskan
dari ketidakadilan dan penindasan penguasa. Bahkan tidak sedikit
kasus bahwa Islam tersebar tanpa peperangan. Jadi, Islam tersebar
bukan melulu karena pedang, tapi Islam tersebar, menguasai, dan
menyelamatkan (mengislamkan) masyarakat di kawasan-kawasan
yang didudukinya karena pandangan hidupnya yang mudah
diterima penganut agama lain. Di Turki yang sebelumnya berpen-
duduk Kristen Katolik, setelah dikuasi umat Islam, pemeluk Kristen
dengan sukarela beralih memeluk Islam. Demikian pula di Indonesia,
Islam masuk dan diterima oleh masyarakat yang telah memiliki
kepercayaan Hindu yang kuat. Namun karena kekuatan konsepnya,
Islam dengan mudah menggantikan pandangan hidup masyarakat
Nusantara waktu itu. Hal ini dapat dibuktikan bahwa masuknya
Islam ke suatu kawasan yang dikuasi umat Islam ilmu pengetahuan
berkembang pesat, sehingga mampu membawa kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat. Jadi Islam diterima oleh bangsa-bangsa
non-Arab karena umat Islam berangkat dari dîn yang rasional dan
berkembangan menjadi tamaddun.
Selain membawa kedamaian, Islam tidak melakukan eks-
ploitasi sumber alam untuk dibawa ke daerah dari mana Islam berasal.
Tidak ada pertambahan kekayaan bagi jazirah Arab. Tidak ada
kemiskinan akibat masuknya Muslim ke kawasan yang diduduki-
nya. Daerah-daerah yang dikuasai atau diselamatkan umat Islam
membawa sistem kehidupan yang teratur dan bermartabat. Itulah
watak peradaban Islam yang sangat berbeda dari peradaban Barat
yang eksploitatif yang dengan kolonialisme justru memiskinkan
negara-negara yang dijajah. Dengan kekuasaan Islam, kemakmuran

50
Demitri Gutas, Greek Thought…, 13.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


26 Hamid Fahmy Zarkasyi

dan kesejahteraan rakyatnya, serta stabilitas politik pun terjamin


dalam waktu yang cukup lama. Sudah tentu kondisi kehidupan
ekonomi kekhalifahan Islam itu berjalan seiring dengan kemajuan
di bidang politik. Yang penting adalah perhatian yang cukup besar
terhadap pengembangan ilmu pengetahuan sebagai ciri tamaddun
Islam.
Sebenarnya, ketika umat Islam meluaskan wilayah kekuasa-
annya, mereka melakukan tiga hal penting yang dapat disarikan
menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah perluasan kekuasaan
politik yang didominasi oleh kekuatan militer. Kedua adalah
penyebaran agama ke tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini yang
dominan adalah kegiatan dakwah dan kegiatan keilmuan yang
berpegang pada al-Qur’an. Umat berupaya mengintegrasikan ajaran-
ajaran dalam al-Qur ’an dengan ilmu-ilmu yang berasal dari
peradaban lain, terutamanya Yunani, India dan Persia. Ketiga adalah
penyebaran bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan
bahasa komunikasi. Dari ketiga tahap ini dapat dikatakan bahwa
meluasnya kekuasaan politik dalam sejarah Islam selalu berdasarkan
agama (dîn) dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga menjadi
peradaban ilmu dan agama sekaligus, itulah makna sesungguhnya
dari tamaddun.[]

Daftar Pustaka
Acikgence, Alparslan. 1981. Islamic Science Towards Definition. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Al-Asbahani, Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah. 1357. H}ilyat al-
Auliyâ’, Jil. 1. Mesir: al-Sa’âdah Press.
‘Athiyyah Allah, Ahmad. al-Qâmûs al-Islâmî, Jilid 2. Kairo: Maktabat
al-Nahd}ah al-Mis}riyyah.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. “Islam, Religion, and
Morality”, dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Alparslan Acikgence, 1996. “The Framework for a History of Islamic
Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute
of Islamic Thought and Civilization, Vol. 1. No. 1&2. Kuala
Lumpur: ISTAC.
Anis, Ibrahim. et.al., 1972. al-Mu‘jam al-Wasît}, Juz 1. Mesir: Majma‘
al-Lughah al-‘Arabiyyah.
Beg, Muhammad Abdul Jabbar. 1983. The Muslim World League

Jurnal TSAQAFAH
Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam 27

Journal. Edisi November-Desember.


Cook, William R. dan Ronald B Herzman. 1983. The Medieval
Worldview. New York: Oxford University Press.
De Boer, TJ. 1994. The History of Philosophy in Islam. U.K: Curzon
Press-Richmond.
Fakhry, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy. New York:
Columbia University Press.
Gullimaune, Alfred. 1948. “Philosophy and Theology” in The Legacy
of Islam. UK: Oxford University Press.
Gutas, Demitri. 1988. Greek Thought, Arabic Culture. London:
Routledge.
Hitti, Philip K. 2002. History of The Arabs. Bandung: Mizan.
Ibnu Ahmad, Sa’id. 1912. T}abaqat al-Umam, Edited by L. Cheikho.
Beirut: T.K.
Ibnu Khaldun. 1989. The Muqaddimah, An Introduction to History,
Vol. 2. UK: Princeton University Press.
Ibnu Khayyat, Khalifah. 1967. al-Târîkh. Dengan komentar dari
Akram Diya’ al-’Umari, Vol. 1. Najaf: al-Adab Press.
Ibnu Majah. 1953. al-Sunan, Jil. 2. Tahkik oleh Muhammad Fu’ad
‘Abd al-Baqi. Cairo: Dâ>r Ih}yâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah.
Ibnu Manzur. T.Th. Lisân al-‘Arab, Jilid 13. Beirut: Dâr S}âdir.
Ibnu Zakariya, Abu al-Husayn Ahmad bin Fariz. Mu‘jam Maqâyis
al-Lughah, Juz 2, Edited by ‘Abd al-Salam Muhammad. Kairo:
Maktabat al-Habikhi, 1981.
Ýnalcýk, H. T.Th. “The rise of the Ottoman Empire” dalam P.M.
Holt, A.K.S. Lambstone, and B. Lewis (Eds). The Cambridge
History of Islam. Cambridge: Cambridge University Press.
Izutsu, Toshihiko. 2002. God and Man in The Qur’an, Semantic of the
Qur’anic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust,
New Edition.
Jamâ‘ah min Kibâr al-Lughawiyyîn al-‘Arab. T.Th. al-Mu‘jam al-
‘Arabî al-Asâsî. Beirut: Larousse.
Kneller, George F. 1978. Science as a Human Endeavor. New York:
Columbia University Press.
Lane, E.W. 1863. Arabic English Lexicon, Islamic Text Society, Jilid I.
England: Cambridge.
Myers, Eugene A. 196. Arabic Thought and The Western World. New
York: Fredrick Ungar Publishing Co.
O’Leary, De Lacy. 1963. Arabic Thought and Its Place in History.
London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


28 Hamid Fahmy Zarkasyi

Qadhi, Abu Ammar Yasir. 1999. An Introduction to the Science of the


Qur’an. Birmingham: al-Hidayah Publishing and Distribution.
Radhakrishnan, Sarvepalli. 1957. History of Philosophy; Eastern and
Western. London: George Allan & Unwin Ltd.
Rosenthal, Franz. 1970. Knowledge the Triumphant. Netherlands:
Leiden.
Al-Sijistani, Abu Daud. 1371. al-Sunan, Vol. 2. Egypt: Mus}t}afâ al-
Bâbi al-Halabi.
Smart, Ninian. T.Th. Worldview, Crosscultural Explorations of Human
Belief. New York: Charles Sribner’s Sons.
Watt, W. Montgomery. 1985. Islamic Philosophy and Theology.
Edinburgh: University of Edinburgh Press.
Young, M.J.L. et.al, (Eds.). 1990. “Pengantar Editor” dalam Religion,
Learning and Siences in The Abbaside Period. Cambridge:
Cambridge University Press.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat
Hamid Fahmy Zarkasyi
Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Indonesia
Email: hfzark4@gmail.com

Abstract
In the era when the idea of similarity, equality and pluralism are
disseminated in diversified area, one might face difficulty to distinguish one
civilization from the other. Now capitalism is the most dominant system of
economic in the world and even developed into a civilization that has a
worldveiw. Capitalism also used to be claimed and accepted as universal system
that could be applied to the whole world. In response to this state of mind, it
is imperative that capitalism be studied and identified from its very basic concept,
i.e worldview perspective, and then compared it with Islam. This paper is a
preliminary attempt to identify capitalist worldview and prove that it differs
fundamentally from the worldview of Islam. The capitalist vision on religion,
world, life style, justice, freedom of thought, wealth, economic activities which
are influenced by Western worldview is diametrically different from Islamic
worldview. Based on this study it must be very clear that Muslim intellectual
who intend to borrow certain concept of capitalism for the development of
Islamic economic should realize there are fundamental principles of capitalism
that are irreconciliable with that of Islamic economic.

Dalam era dimana faham kesamaan, kesetaraan dan pluralisme disebarkan


kedalam berbagai bidang, orang mungkin akan menemukan kesulitan untuk
membedakan satu peradaban dengan peradaban lain. Kini kapitalisme adalah
sistem ekonomi yang paling dominan di dunia dan bahkan dikembangkan
menjadi peradaban yang memiliki worldview sendiri. Kapitalisme juga sering
diklaim dan diterima sebagai sistem universal yang dapat diterapkan ke suluruh
dunia. Dalam merespon cara berpikir ini, kapitalisme perlu dikaji dan
diidentifikasi dari konsepnya yang paling mendasar yakni dari perspektif

* Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, telp. (0352)
488220.

Vol. 9, No. 1, April 2013


16 Hamid Fahmy Zarkasyi

worldview, dan kemudian dibandingkan dengan Islam. Makalah ini adalah upaya
awal untuk mengidentifikasi worldview kapitalis dan membuktikan bahwa ia
berbeda secara mendasar dari worldview Islam. Pandangan kapitalis tentang agama,
dunia, gaya hidup, keadilan, kebebasan berpikir, kekayaan, kegiatan ekonomi
yang dipengaruhi oleh worldview Barat berbeda secara diametrik dari worldview
Islam. Berdasarkan kajian ini jelaslah sudah bahwa cendekiawan Muslimyang
berhasrat untuk meminjam konsep tertentu dari kapitalisme bagi pengembangan
ekonomi Islam, perlu menyadari bahwa prinsip-prinsip dasar kapitalism tidak
dapat disatukan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.

Keywords: Worldview, kapitalisme, Islam, Barat, ekonomi Islam

Pendahuluan

K
ajian tentang Islam dalam konteks ideologi dan peradaban
modern, khususnya Barat memerlukan suatu pendekatan
yang seimbang sehingga memungkinkan adanya suatu
kajian perbandingan. Pendekatan menjadi seimbang jika Islam
diletakkan sebagai ideologi dan peradaban pula dan bukan melulu
sebagai agama dalam arti sempit. Identitas suatu ideologi dan
peradaban dapat ditemukan secara fundamental melalui teori
pandangan hidup (worldview) yang sejatinya merupakan asas dari
setiap peradaban. Islam dan Barat selalu digambarkan sebagai dua
kekuatan yang saling berhadapan dan yang satu menjadi ancaman
bagi yang lain. Ketika Samuel Huntington menyatakan bahwa
konflik paska Perang Dingin bukan lagi ideologis, politik atau
ekonomi, tapi kultural temasuk bahasa, sejarah, nilai, adat istiadat,
dan yang paling penting adalah agama. Sebenarnya ia berbicara
tentang ancaman terhadap kapitalisme Barat. 1 Sebab identitas
kultural Barat bukanlah agama Katolik atau Protestan, tapi The
Civilization of Capitalism, sedangkan identitas Islam dilihat hanya
sebagai agama, padahal sejatinya ia adalah agama dan peradaban.
Sementara itu, kapitalisme kini tidak hanya diartikan sebagai sistem
ekonomi yang menjunjung kepemilikan pribadi yang tak terbatas,

1
Lihat Samuel P. Huntingto, The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, (New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996), 21; lihat juga Samuel P.
Huntington, “Clash of Civilization?” Foreign Affair 72 (Summer 1993), 22-49.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 17

pasar bebas, pemisahan negara dan kegiatan bisnis dan sebagainya,2


tapi merupakan suatu pandangan hidup yang disebut the capitalist
worldview dan menghasilkan apa yang disebut Joseph A Schumpeter
sebagai The Civilization of Capitalism.3 Ketika kebudayaan kapitalis-
me ini dipasarkan ke seluruh dunia secera imperialistis, ia tidak hanya
sebagai sebuah sistem ekonomi tapi telah merupakan tata nilai, tata
sosial, kultur masyarakat, dan bahkan gaya hidup masyarakat mo-
dern. Oleh sebab itu, kini perlu ditegaskan bahwa problem hubung-
an Islam dan Barat adalah konflik worldview atau dalam istilah Peter
Berger collision of consciousness (benturan persepsi).
Kajian dengan menggunakan teori worldview ini sangat penting
karena beberapa alasan: Pertama, karena di era globalisasi melebur
identitas, maka suatu bangsa atau peradaban tidak lagi dapat diukur
dari tradisi, nilai-nilai sosial, atau gaya hidup. Tolok ukur yang dapat
mengatasi hilangnya atau leburnya identitas itu adalah worldview.
Kedua, dengan teori worldview persamaan dan perbedaan antara
Islam dan peradaban dapat dilakukan secara konseptual ketimbang
ideologis. Ketiga, dengan menyadari perbedaan antar peradaban
berdasarkan worldview, maka benturan peradaban (clash of civilliza-
tion) yang sering dinilai ideologis itu dapat direduksi menjadi kesadaran
akan adanya pluralitas peradaban yang saling menghormati tanpa harus
menganut doktrin pluralisme, mutlikulturalisme, dan relativisme.
Maka dari itu, makalah ini tidak hendak membedakan antara
Islam dan sistem ekonomi kapitalis karena keduanya merupakan
entitas yang berbeda. Tidak juga akan membedakan sistem ekonomi
Islam dan sistem ekonomi kapitalis, karena keterbatasan otoritas
penulis. Makalah ini akan mencoba menjelaskan perbedaan
pandangan hidup (worldview) yang dibawa oleh Islam dan yang di-
bawa oleh Kapitalisme Barat. Untuk memahami konsep pandangan
hidup (worldview) perlu dijelaskan terlebih dulu pengertiannya,
elemen-elemennya baik dari pandangan Barat maupun dari Islam,
baru kemudian melacak esensi pandangan hidup Barat kapitalis.

2
Capitalism is economic system characterized by the following: private property
ownership exists; individuals and companies are allowed to compete for their own economic
gain; and free market forces determine the prices of goods and services. Such a system is
based on the premise of separating the state and business activities. Capitalists believe that
markets are efficient and should thus function without interference, and the role of the state
is to regulate and protect. http://www.investorwords.com/713/capitalism.html, dirujuk pada
tanggal 10 April 2007

Vol. 9, No. 1, April 2013


18 Hamid Fahmy Zarkasyi

Pengertian Worldview
Sebenarnya istilah umum dari worldview hanya terbatas pada
pengertian ideologis, sekuler, kepercayaan animistis, atau seperangkat
doktrin-doktrin teologis dalam kaitannya dengan visi keduniaan.
Artinya worldview dipakai untuk menggambarkan dan membeda-
kan hakikat sesuatu agama, peradaban, atau kepercayaan. Terkadang
ia juga digunakan sebagai metode pendekatan ilmu perbandingan
agama. Namun karena terdapat agama dan peradaban yang memiliki
spektrum pandangan yang lebih luas dari sekadar visi keduniaan,
maka makna pandangan hidup diperluas. Tapi kosa kata bahasa
Inggris tidak memiliki istilah yang tepat untuk mengekspresikan
visi yang lebih luas dari sekadar realitas keduniaan selain dari kata-
kata worldview. Oleh sebab itu cendekiawan Muslim mengambil
kata-kata worldview (untuk ekspresi bahasa Inggris) untuk makna
pandangan hidup yang spektrumnya menjangkau realitas keduniaan
dan keakhiratan dengan menambah kata sifat “Islam”. Namun
dalam bahasa Islam para ulama mengekspresikan konsep ini dengan
istilah yang khas yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Karena pandangan hidup adalah suatu konsep yang dapat
digunakan untuk menggambarkan cara pandang manusia secara
umum tanpa melihat bangsa atau agama, maka beberapa definisi
tentang worldview yang juga menggambarkan luas dan sempitnya
spektrumnya dapat dikemukanan di sini. Menurut Ninian Smart,
misalnya, worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang
terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi
keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral. 4 Hampir serupa
dengan Smart, Thomas F. Wall mengemukakan bahwa worldview
adalah sistem kepercayaan asas yang integral tentang hakikat diri
kita, realitas, dan tentang makna eksistensi (An integrated system of
basic beliefs about the nature of yourself, reality, and the meaning of
existence).5 Lebih luas dari kedua definisi di atas Prof.Alparslan

3
Lihat Joseph A Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democarcy, (New York dan
London: Harper & Brothers Publishers, 1942), 121.
4
Smart mengakui bahwa Bahasa Inggris tidak memiliki istilah khusus untuk
menggambarkan visi yang mencakup realitas keagamaan dan ideologi. Ninian Smart,
Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief, (New York: Charles Sribner’s sons,
n.d.), 1-2.
5
Thomas F. Wall, Thinking Critically About Philosophical Problem, A Modern
Introduction, Wadsworth, (Australia: Thomson Learning, 2001), 532.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 19

mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia,


termasuk aktivitas-aktivitas ilmiah dan teknologi. Setiap aktivitas
manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan
dalam pengertian itu, maka aktivitas manusia dapat direduksi men-
jadi pandangan hidup.6
Ada tiga poin penting dari definisi di atas, yaitu bahwa worldview
adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas
dan asas bagi aktivitas ilmiah. Dalam konteks sains, hakikat worldview
dapat dikaitkan dengan konsep “perubahan paradigma” (Paradigm
Shift) Thomas S Kuhn7 yang oleh Edwin Hung juga dianggap sebagai
weltanschauung Revolution. Sebab paradigma menyediakan konsep
nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, atau ringkasnya
merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan
untuk kajian sains.8 Namun dari definisi di atas setidaknya kita dapat
memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan
antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi
terakhir menunjukkan bahwa worldview melibatkan aktivitas
epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam
aktivitis penalaran manusia.
Selain itu, ketiga definisi di atas berlaku bagi peradaban atau
agama secara umum. Namun definisi untuk “worldview Islam”
mempunyai nilai tambah karena sumbernya dan spektrumnya yang
luas dan menyeluruh. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan
bahwa istilah ini sejatinya adalah netral dan dapat digunakan untuk
menyifati worldview lain, seperti Western worldview, Christian world-
view, Hindu worldview, dan lain-lain. Karenanya, ketika kata sifat Islam
diletakkan di depan kata worldview, maka makna etimologis dan
terminologisnya menjadi berubah.

6
Asli Inggrisnya the foundation of all human conduct, including scientific and
technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such
it is reducible to that worldview. Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of
Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought
and Civlization, vol.1. Nos. 1&2, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 6.
7
Kuhn menyatakan:”penelitian ilmiyah diarahkan kepada artikulasi fenomena-fenomea
dan teori-teori yang paradigmanya telah tersedia” Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of
Scientific Revolution, International Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2, (Chicago:
Univerity of Chicago Press, 1970), 24.
8
Lihat Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives, (California:
Wardsworth, 1997), 340, 355, 368, 370.

Vol. 9, No. 1, April 2013


20 Hamid Fahmy Zarkasyi

Definisi worldview Islam dapat kita peroleh dari beberapa tokoh


ulama kontemporer. Sebab dalam tradisi Islam klasik terma khusus
untuk pengertian worldview belum diketahui, meski tidak berarti
Islam tidak memiliki worldview. Para ulama abad 20 menggunakan
term khusus untuk pengertian worldview ini yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Menurut al-Mauwdudi, worldview adalah
Islâmî Nazariyat (Islamic Vision) yang berarti pandangan hidup yang
dimulai dari konsep keesaan Tuhan (syahâdah) yang berimplikasi
pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia. Sebab
syahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk
melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh.9
Hampir sama dengan al-Mawdudi, Sheykh Atif al-Zayn
mengartikan worldview sebagai al-Mabda’ al-Islâmî (Islamic Principle)
yang berarti aqîdah fikriyyah (kepercayaan yang rasional) yang
berdasarkan pada akal. Sebab setiap muslim wajib beriman kepada
hakikat wujud Allah, kenabian Muhammad SAW, dan kepada al-
Qur’an dengan akal. Iman kepada hal-hal yang ghaib berdasarkan
cara penginderaan yang diteguhkan oleh akal sehingga tidak dapat
dipungkiri lagi. Iman kepada Islam sebagai dîn yang diturunkan
melalui Nabi Muhammad SAW untuk mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, dengan dirinya dan lainnya. 10 Masih
bertumpu pada akidah, Sayyid Qutb mengartikan worldview Islam
dengan istilah al-Tasawwur al-Islâmî (Islamic Vision), yang berarti
akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk dalam pikiran dan
hati setiap muslim, yang memberi gambaran khusus tentang wujud
dan apa-apa yang terdapat di balik itu.11
Hampir sejalan dengan Sayyid Qutb, Naquib al-Attas meng-
ganti istilah worldview Islam dengan Ru’yah al-Islâm li al-wujûd yang
berarti pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang
nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakikat wujud;
oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total,
maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud.12

9
Abu al-A’la Mawdûdî, The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967), 14, 41.
10
Shaykh thif al-Zayn, al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr al- Kitâb al-
Lubnânî, 1989), 13.
11
M. Sayyid Qutb, Muqawwamât al-Tasawwur al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Shurûq, tt),
41
12
S.M.N. al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of the
Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 2.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 21

Dari definisi worldview Islam menurut ulama di atas, dapat


disimpulkan bahwa meski istilah yang dipakai berbeda-beda pada
umumnya para ulama tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai
cara pandangnya sendiri terhadap segala sesuatu. Selain itu
pandangan-pandangan di atas telah cukup baik menggambarkan
karakter Islam sebagai suatu pandangan hidup yang membedakan-
nya dengan pandangan hidup lain. Namun, jika kita kaji keseluruhan
pemikiran di balik definisi para ulama tersebut, kita dapati beberapa
orientasi yang berbeda. Maududi lebih mengarahkan kepada
kekuasaan Tuhan yang mewarnai segala aktivitas kehidupan
manusia, yang berimplikasi politik. Sheykh Atif al-Zayn dan Sayyid
Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin
kepercayaan yang rasional yang implikasnya adalah ideologi. Sayyid
Qutb agak filosofis mengarahkan pada makna worldview sebagai
gambaran tentang wujud. Sedangkan Naquib al-Attas lebih tegas
lagi memaknai worldview secara metafisis dan epistemologis sehingga
menjadi cara pandang.

Elemen Worldview
Sebagai sebuah sistem yang secara definitif begitu jelas,
worldview atau pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri
yang ditentukan oleh beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang
penyokongnya. Antara satu pandangan hidup dengan pandangan
hidup lain berbeda karena berbeda elemennya atau karakteristiknya.
Demikian pula perbedaan definisi tentang worldview juga mem-
pengaruhi penentuan elemen di dalamnya. Di sini akan dibanding-
kan secara singkat antara elemen pandangan hidup dalam perspektif
pemikir Barat dan pemikiran Muslim. Menurut Thomas suatu pan-
dangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap enam
bidang pembahasan yaitu: 1) Tuhan, 2) Ilmu, 3) Realitas, 4) Diri, 5)
Etika, dan 6) Masyarakat.13 Seperti disebutkan di atas bagi Thomas
elemen-elemen pandangan hidup di atas merupakan suatu sistem
yang integral, di mana antara satu konsep berkaitan dengan konsep
yang lain secara sistemik. Hal ini dapat disimak dari pernyataan
Thomas berikut ini:
It (belief in God’s existence) is very important, perhaps the most important element
in any worldview. First if we do believe that God exists, then we are more likely
13
Thomas F. Wall, Thinking…, 16

Vol. 9, No. 1, April 2013


22 Hamid Fahmy Zarkasyi

to believe that there is a plan and a meaning of life, ……if we are consistent, we
will also believe that the source of moral value is not just human convention but
divine will and that God is the highest value. Moreover, we will have to believe
that knowledge can be of more than what is observable and that that there is a
higher reality – the supernatural world. … if on the other hand, we believe that
there is no God and that there is just this one world, what would we then be
likely to believe about the meaning of life, the nature of ourselves, and after life,
the origin of moral standards, freedom and responsibility and so on.14

Jadi dengan pernyataan tersebut, maka keenam bidang pem-


bahasan di atas yang merupakan elemen suatu pandangan hidup
mempunyai kaitan erat satu sama lain. Artinya kepercayaan individu
terhadap adanya atau tidak adanya Tuhan akan berkaitan secara
konseptual dengan pandangan inidividu tersebut terhadap ilmu,
realitas, diri, etika dan masyarakat. Namun bagi Ninian Smart, yang
mengkaji worldview dalam konteks kepercayaan atau agama, elemen
pandangan hidup ditentukan oleh elemen-elemen dalam agama dan
kepercayaan masyarakat itu. Oleh sebab itu ia mengajukan enam
elemen penting suatu pandangan hidup, yaitu: 1) doktrin, 2) mito-
logi, 3) etika, 4) ritus, serta 5) pengalaman dan kemasyarakatan.15
Pandangan Smart terhadap agama nampaknya dipengaruhi
oleh persepsinya tentang agama di Barat, sebab di sini konsep Tuhan,
ilmu, dan realitas nampak absen dari elemen pandangan hidup
agama. Pandangan Thomas, yang melihat worldview secara filosofis,
nampaknya lebih komprehensif, meskipun, seperti yang akan
dipaparkan nanti, elemen-elemen itu tidak selengkap elemen-elemen
dalam pandangan hidup Islam. Meskipun demikian elemen pan-
dangan hidup yang disampaikan oleh Thomas dan Ninian Smart
berguna bagi upaya mencari bidang-bidang pokok yang dapat
digunakan untuk membandingkan antara satu pandangan hidup
dengan yang lainnya.
Tidak banyak cendekiawan muslim yang menggambarkan
elemen-elemen pandangan hidup Islam secara terperinci. Sheykh
Atif al-Zayn, misalnya, tidak merincikan elemen pandangan hidup
Islam, namun hanya mengajukan karakteristik yang membedakan
antara pandangan hidup Islam dari pandangan hidup lain. Karak-
teristik itu hanya tiga: 1) berasal dari wahyu Allah, 2) berdasarkan
konsep (dîn) yang tidak terpisah dari Negara, dan 3) kesatuan antara
14
Ibid, 60.
15
Ninian Smart, Worldview…, 8-9.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 23

spiritual dan material.16 Sebagaimana Sheykh Atif al-Zayn, Sayyid


Qutb juga melihat bahwa pandangan hidup Islam itu menyeluruh
dan tidak mempunyai elemen atau bagian (juz’). Ia adalah keseluruh-
an sisi dan sempurna karena kesempuranaan sisi-sisinya. Bahkan
pandangan hidup Islam bukan ciptaan manusia, akal manusia tidak
dapat menciptakannya, karena ia berasal dari Allah.17 Di sini peneka-
nan pada aspek keilahian cukup menonjol, sedangkan aspek keilmu-
an tidak nampak. Seakan-akan pandangan hidup Islam sama saja
dengan wahyu yang tanpa penjelasan keilmuan. Berbeda dari ketiga
ulama di atas, Naquib al-Attas melihat worldview Islam memiliki
elemen yang sangat banyak dan bahkan yang merupakan jalinan
konsep-konsep yang tak terpisahkan. Di antara yang paling utama
adalah 1) konsep tentang hakikat Tuhan, 2) konsep tentang wahyu
(al-Qur’an), 3) konsep tentang penciptaan, 4) konsep tentang hakikat
kejiwaan manusia, 5) konsep tentang ilmu, 6) konsep tentang agama,
7) konsep tentang kebebasan, 8) konsep tentang nilai dan kebajikan,
8) konsep tentang kebahagiaan, 9) dan lain sebagainya.18
Di sini al-Attas menekankan pada pentingnya konsep sebagai
elemen pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling
berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep
yang sistemik. Elemen yang disampaikan Sheykh Atif, Sayyid Qutb
dan Syed Naquib al-Attas berbeda dalam penekanannya, tapi
ketiganya mempunyai kesamaan visi, yaitu bahwa pandangan hidup
Islam berpusat pada akidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Namun
apa yang membedakan pandangan hidup Islam dari pandangan hidup
lain mereka berbeda-beda. Shyakh Atif dan Sayyid Qutb perbedaan-
nya adalah pada asal atau sumber pandangan hidup tersebut,
sedangkan al-Attas melihat secara lebih konseptual dan praktis.
Secara praktis konsep-konsep penting yang diajukan al-Attas
itu dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan reali-
tas (reality). Bagi al-Attas untuk menentukan sesuatu itu benar dan
riel dalam setiap kebudayaan berkaitan erat dengan sistem meta-

16
Shaykh thif al-Zayn, al-Islâm.., 11-12
17
M. Sayyid Qutb, al-Tashawwur al-Islâmî wa Muqawamâtuhû, (Cairo: al-Babi al-
Halabi, 1962), 45;Lihat juga, 30-34
18
S.M.N. al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam
Sharifah Shifa al-Attas (ed.), Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural
Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context,
Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 29.

Vol. 9, No. 1, April 2013


24 Hamid Fahmy Zarkasyi

fisika masing-masing yang terbentuk oleh worldview.19 Di sini kita


melihat konsep pandangan hidup al-Attas dengan jelas menekankan
aspek epistemologis. Dan ini cukup signifikan dalam era moderninasi
dan globalisasi disaat mana terjadi disolusi konsep yang cenderung
melemahkan pandangan hidup Islam yang kekuatannya tertelak
pada struktur konsepnya.
Untuk melihat sisi lain yang lebih detail mengenai hal itu, kita
paparkan gambaran al-Attas tentang elemen penting yang menjadi
karakter utama pandangan hidup Islam. Elemen penting pandangan
hidup Islam itu digambarkan dalam poin-poin berikut ini.20 Pertama,
dalam pandangan hidup Islam realitas dan kebenaran dimaknai
berdasarkan pada kajian metafisika terhadap dunia yang nampak
(visible world) dan yang tidak nampak (invisible world). Kedua,
pandangan hidup Islam bercirikan pada metode berpikir yang
tawhîdî (integral). Ketiga, pandangan hidup Islam bersumber pada
wahyu yang diperkuat oleh agama (dîn) dan didukung oleh prinsip
akal dan intuisi. Keempat, elemen-elemen pandangan hidup Islam
terdiri utamanya dari konsep Tuhan dan diikuti oleh elemen lain
yang berpusat pada konsep Tuhan tersebut.
Itulah elemen pandangan hidup atau worldview Islam yang
tidak saja membedakan Islam dari agama, peradaban dan kebu-
dayaan lain tapi juga membedakan metode berpikir dalam Islam
dan metode berpikir pada kebudayaan lain. Agar identitas pandangan
hidup Islam dapat dipahami lebih jelas lagi, ada baiknya dibahas
pula pandangan hidup Barat

19
S.M.N. al-Attas, Prolegomena…, ix.
20
Penjelasan al-Attas tentang konsep worldview Islam dan penjabaran elemen-
elemen asasnya terdapat dalam karyanya Prolegomena to The Metaphysics of Islam. Pendahuluan
buku ini menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan hidup Islam yang berbeda dari pandangan
hidup Barat. Teori ini kemudian mendapat penjelasan lebih detail dalam kaitannya dengan
timbulnya sains dan tradisi intelelktual Islam, dari Professor Alparslan. Professor Alparslan
yang telah lama mengkaji teori worldview dalam kaitannya dengan sains dan sistem pemikiran,
kemudian menulis risalah berjudul Islamic Science Towards definition. Untuk proses perjalanan
pengkajiannya itu lihat “acknowledgement” halaman. v. al-Attas, SMN, Prolegomena…, lihat
“Introduction” 1-37. Cf. Al-Attas, S.M.N., “Opening Address, The Worldview of Islam, an
Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of Modernity, Historical and
Contemporary Contexts, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), 28-29.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 25

Worldview Barat Modern


Pandangan hidup Barat dapat kita lacak dari periode modern,
yang dari situ lahir pula pandangan hidup kapitalisme. Sejarahnya,
peradaban Barat adalah peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-
bangsa Eropa dari peradaban Yunani kuno yang di kawinkan dengan
peradaban Romawi, dan disesuaikan dengan elemen-elemen kebu-
dayaan bangsa Eropa terutama Jerman, Inggris, dan Perancis. Prinsip-
prinsip asas dalam filsafat, seni, pendidikan dan pengetahuan diambil
dari Yunani; prinsip-prinsip mengenai hukum dan ketatanegaraan
diambil dari Romawi. Sementara agama Kristen yang berasal dari
Asia Barat disesuaikan dengan budaya Barat.21
Selain itu pandangan hidup Barat juga sedikit banyak ter-
pengaruh oleh pemikiran umat Islam. Ketika agama Kristen dominan
dalam kehidupan keagamaan masyarakat Eropa, mereka masih
berada dalam zaman yang mereka sebut Dark Ages (Zaman Kegela-
pan). Namun mereka mendapat pencerahan setelah mereka mener-
jemahkan karya-karya cendekiawan Muslim dalam berbagai bidang
sains (1050- 1150) ke dalam bahasa Latin. Oleh sebab itu Eugene
Myers dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor ter-
penting kebangkitan Barat adalah penerjemahan karya-karya
cendekiawan Muslim.22 Dari Abad abad kegelapan (Dark Ages), Barat
memasuki Zaman Pencerahan (Renaissance), Revolusi Perancis
(France Revolution), dan industrialisasi besar-besaran di Inggris.
Melalui proses tersebut maka Barat memasuki apa yang disebut
dengan Zaman Modern. Alain Touraine menggambarkan moderni-
tas sebagai berikut:
The idea of modernity make science, rather than God, central to society and at best
relegates religious belief to the inner realm of private life. The mere presence of
technological applications of science does not allow us to speak of modern society.
Intellectual activity must also be protected from political propaganda or religious
beliefs; ….public and private life must be kept separate…..the idea of modernity is
therefore closely associated with that of rationalization.23

21
S.M.N. Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000),
164-165.
22
Eugene A. Myers, Arabic Thought and The Western Word, (New York: Fredrick
Ungar Publishing Co., 1964), 83.
23
Alain Touraine, Critique of Modernity, (UK: Blackwell, Oxford, 1995), 9-10.

Vol. 9, No. 1, April 2013


26 Hamid Fahmy Zarkasyi

Jalan pikiran manusia Barat modern yang juga disebut “akal


modern” (modern mind) itu telah membawa angin baru atau “cara
baru” dalam melihat segala sesuatu dan dari situlah lahir sains
modern. Di sini kaitan antara “cara baru” dalam berpikir dengan
pengetahuan ilmiah yang dihasilkannya sangat erat sekali. Jika kita
rujuk kembali definisi worldview di atas, maka modernitas adalah
pandangan hidup modern. Karena moderrnitas lebih menekankan
pada sains dan teknologi, ketimbang agama, maka pandangan hidup
Barat waktu itu disebut dengan scientific worldview. Sejak saat itulah
pandangan hidup orang Barat telah berubah secara fundamental.
Jadi modernitas pada intinya adalah state of mind atau cara
berpikir yang diaplikasikan ke dalam berbagai bidang kehidupan.
Oleh sebab itu, sejalan dengan perkembangan sains dan pandangan
hidup saintifik, JW Schoorl mendefinisikan modernisasi menjadi
“penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktivitas,
semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek kehidupan
masyarakat”24 Penerapan cara berpikir rasional ke dalam keseluruhan
aspek kehidupan pada akhirnya menjelma menjadi suatu idea yang
lebih luas, yaitu menciptakan masyarakat rasional (rational society),
yaitu suatu masyarakat yang segala kegiatannya termasuk bidang
sains dan teknologi serta kehidupan politiknya dikontrol oleh rasio.
Karena rasionalitas adalah satu-satunya prinsip yang mengatur
kehidupan individu dan sosial, termasuk kehidupan keagamaan,
maka rasionalisasi berkaitan erat dengan tema sekularisasi. Jadi, dua
elemen penting peradaban modern adalah rasionalisasi dan
sekularisasi. Dengan kedua elemen ini, maka pandangan hidup Barat
tidak lagi bersifat teistik dalam memandang segala sesuatu.25
Pandangan hidup Barat yang saintifik tersebut akhirnya
memarginalkan agama. Diskursus yang meletakkan Tuhan secara
sentral hanya terbatas pada para teolog, sedangkan para filsuf lebih
tertarik pada sains. Habermas menyatakan bahwa proyek moder-

24
JW. Schoorl, Modernization, terjemahan bahasa Indonesia oleh RG.Soekadijo,
Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Berkembang, (Jakarta: Gramedia,
1981), 4.
25
Menurut Huston Smith pendekatan yang bersifat teistik para pemikir Barat, yang
ditandai oleh pemikiran yang memposisikan konsep Tuhan secara sentral dalam berbagai
diskursus hanya berjalan hingga abad ke sebelas. Lihat Huston Smith, Beyond The Post-
Modern Mind, (Wheaton, Illinois, USA: Quest Book, The Theosophical Publishing House,
1989), 5.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 27

nisasi berkulminasi pada abad ke 18 M, di saat mana model pemiki-


ran rasional menjanjikan liberalisasi masyarakat dari mitologi irra-
sional, agama, dan takhayul.26 Inilah gerakan sekularisasi yang se-
benarnya yang berupaya untuk menyuntikkan gagasan desakrali-
sasi ilmu dan organisasi sosial. Menurut James E. Crimmins, proses
desakralisasi, atau dalam istilah Weber ‘disenchantment’ ini memang
sengaja diarahkan untuk melawan agama dan digambarkan sebagai
agen utama untuk menggusur dan menggeser agama tradisional.27
Hasil dari gerakan desakralisasi agama itu sendiri adalah peminggiran
agama dari fungsinya yang sentral dalam kehidupan publik dan
berbagai diskursus tidak dapat dielakkan. Alain Finkielkraut dalam
bukunya The Defeat of the Mind menggambarkan kondisi agama
pada era modern sebagai berikut:
What they called God was no longer the Supreme Being, but collective reason…
From now on God existed within human intelligence, not beyond it, guiding
people’s action and shaping their thoughts without their knowing it. Instead of
communicating with all creatures, as His namesake did, by means of the
Revelation, God no longer spoke to man in a universal tongue; He now spoke
within him, in the language of his nation. 28

Gambaran ini menunjukkan bahwa dengan dihapusnya nilai-


nilai transendental, maka Tuhan telah direduksi menjadi semangat
kebangsaan dan kebudayaan. Ini juga berimplikasi pada pembebasan
pemikiran rasional dari agama dan segala macam kepercayaan yang
ada di masyarakat. Bagi mereka tidak ada agama yang bisa dipahami
secara rasional. Pada zaman ini (modern) pemikiran yang mendis-
kusikan apakah Tuhan itu ada atau tidak, sebagaimana pada zaman
pra-modern sudah tinggal sedikit, yang ada hanya diskusi yang justru
menggugat agama. Meskipun demikian Alain sendiri percaya bahwa
pada abad ke 18 itu masih dapat dianggap abad metafisika,29 namun
fondasi metafisis yang menjadi pembela kebenaran agama perlahan-
lahan mulai tidak dapat dipertahankan lagi dan tinggal menunggu
penghapusan metafisika pada abad berikutnya.

26
David Harvey, The Condition of Postmodernity, (Cambridge: Blackwell, 1991), 12-
13.
27
James E.Crimmins (ed.), Religions, Secularizatin dan Political Thought, (London:
Routledge, 1990), 7.
28
Alain Finkielkraut, The Defeat of The Mind, Trans. by Judith Friedlander, (New
York: Columbia University Press, 1995), 18.
29
Ibid, 19.

Vol. 9, No. 1, April 2013


28 Hamid Fahmy Zarkasyi

Selain dari elemen rasionalisme dan sekularisme, Barat Modern


juga menganut pandangan filsafat empirisisme, yaitu suatu prinsip
yang merupakan konsekuensi logis dari rasionalisme dan saintifisme.
Dari perspektif ontologi Barat modern juga diwarnai oleh prinsip
dualisme dalam memandang realitas, pemisahan jiwa dan raga adalah
contoh yang paling konkrit. Berkaitan erat dengan dualisme adalah
cara memandang segala sesuatu secara dikotomis, yaitu suatu cara
pandang terhadap realitas secara mendua. Dan yang terakhir adalah
humanisme. Hal ini muncul sebagai konsekuensi logis dari adanya
proses sekularisasi, desekularisasi, dan disenchantment of nature. Jadi
gambaran singkat pandangan hidup Barat Modern di atas menunjuk-
kan bahwa elemen pandangan hidup Barat terdiri dari rasionalisme,
sekularisme, empirisisme (positivisme), dualisme atau dikotomi, dan
humanisme.

Worldview Kapitalisme
Makna kapitalisme adalah sistem ekonomi yang berorientasi
pada cara-cara produksi secara individu atau dimiliki oleh individu,
di mana distribusi, penentuan harga dan jasa-jasa pelayaan di
dalamnya ditentukan oleh pasar bebas. Pengertian individu di sini
dapat juga diartikan sebagai individu secara kolektif dalam bentuk
perusahaan (corporate ownership) dan bukan milik masyarakat atau
milik negara.30 Oleh sebab itu, kapitalisme juga disebut dengan sistem
ekonomi dengan pendekatan pasar bebas (free market). Para
pendukung sistem ini percaya bahwa pasar adalah efisien dan harus
berfungsi secara bebas tanpa campur tangan pihak manapun, tugas
negara hanya mengatur dan memproteksi.31 Jika kapitalisme mene-
kankan pasar bebas dan kompetisi, maka sosialisme berdasarkan
pada kerjasama (koperasi) yang menekankan pada perencanaan dan
distribusi yang disentralisir.32
Kapitalisme adalah sistem ekonomi produk dari kebudayaan
Barat modern. Ia dianggap juga sebagai sistem sosial (social system)
yang pertama dan terpenting di Barat yang berkembang menjadi

30
John Schrems, Understanding Principles of Politics and the State, (PageFree Publishing,
2004), 234.
31
http://www.investorwords.com/713/capitalism.html
32
http://www.investorwords.com/4613/socialism.html

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 29

kebudayaan kapitalis (capitalist civilization).33 Jika kita merujuk pada


definisi worldview di atas, maka pandangan hidup kapitalisme dapat
diartikan sebagai kepercayaan, sikap mental, dan cara pandang
masyarakat Barat terhadap cara-cara pemenuhan kebutuhan materi
mereka. Dalam teori Max Weber sikap manusia untuk memenuhi
kebutuhan materialnya ini disebut dengan Spirit of capitalism
(semangat kapitalism). Ini adalah kata lain untuk menyebut manusia
sebagai homo economicus.34 Spirit of Capitalism ini menurut Weber
terdapat dalam agama Protestan, khususnya dalam sekte Puritan.
Tapi perlu dicatat bahwa yang dimaksud Weber adalah orang
Protestan dan bukan teologinya atau Bible. Sebab menurutnya,
semangat kapitalisme ini bermula dari praktik-praktik yang telah
dilakukan oleh Benyamin Franklin (1706-1790). Pada masa sebelum
Franklin, agama Protestan tidak memiliki cukup kekuatan yang
dapat mendorong terselenggaranya kegairahan kerja sesuai dengan
cita-cita kapitalisme. Agama Protestan benar-benar menjadi
kapitalistis setelah dilengkapi oleh ajaran-ajaran Franklin.
Yang menjadi rujukan Weber pertama-tama adalah sikap
hidup sehari-hari Benyamin Franklin, seperti berlaku hati-hati,
bijaksana, rajin dan bersungguh-sungguh dalam mengelola bisnis,
tidak bermalas-malasan dan tidak berkata kecuali yang bermanfaat
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, hati-hati, hemat,
melakukan segala sesuatu dengan baik sehingga tidak sia-sia, rajin
dan tidak membuang-buang waktu, tulus dan tidak berlebih-
lebihan, dan sebagainya.35 Dan yang terpenting tujuan kehidupan
baginya adalah untuk mendapatkan kemakmuran dan kekayaan.
Kegiatan ekonomi adalah suatu tugas dalam rangka melayani
Tuhan. Untuk tujuan ini seseorang mesti ingat waktu adalah uang.
Memanfaatkan modal sesuai dengan kepentingannya, jujur dan tepat
waktu dalam menghaslikan pinjaman, mau bekerja keras akan
membantu meningkatkan simpanan. Hemat dalam pemakaian uang,
tidak memboroskannya pada hal-hal yang tidak perlu dan tidak

33
Immanuel Wallestein, Historical Capitalism with Capitalist Civilization, (London-
New York: Verso, 1996), 13; Schumpeter menggunakan istilah “Civilization of Capitalisme”
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, 121.
34
Gordon Marshal, In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on Max Weber’s
Protesteant Ethic, (New York: Columbia University Press, 1982), 97.
35
Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, Trans. by Talcott
Parsons, Anthony Giddens, (London-Boston: Unwin Hyman, 1930). lihat Bab II.

Vol. 9, No. 1, April 2013


30 Hamid Fahmy Zarkasyi

dipakai untuk hidup bermalas-malasan serta mencari kesenangan


yang sifatnya sementara, tapi sedikit demi sedikit ditabungkan dan
dijadikan kapital tertentu akan menghasilkan keuntungan yang
berlipat. Singkat kata, cara untuk memperoleh kekayaan adalah
dengan cara hidup rajin dan hemat dalam arti tidak membuang-
buang waktu dan uang, tetapi menggunakannya sebaik mungkin.36
Jadi sumber semangat kapitalisme adalah sikap hidup orang
Protestan, seperti Benyamin Franklin, dan bukan teologi yang ter-
pancar dari Bible, meski disebutkan bahwa kegiatan ekonomi adalah
untuk melayani Tuhan. Oleh karena itu tidak heran jika Franklin
memisahkan moralitas dari teologi.37 Pemisahan ini semakin jelas
ketika ia mengakui bahwa tidak semua usaha untuk mencari keuntu-
ngan selalu dibarengi dengan pertimbagan moral atau tidak lagi
bermakna ibadah. Tindakan-tindakan amoral untuk memperoleh
keuntungan pribadi mewarnai perjalanan kapitalisme.
Weber menggambarkan sikap moral kapitalisme ini dengan
meminjam ungkapan seorang kapten laut Belanda: “Pergilah ke
neraka untuk mendapatkan keuntungan, sekalipun kamu akan
menghanguskan layarmu”.38 Oleh karena itu, pendekatan Weber
adalah sosiologis dan bukan teologis. Hipotesisnya adalah bahwa
orang Katolik mementingkan kehidupan yang tenang dan suka pada
kehidupan yang nyaman sedangkan orang Protestan lebih suka pada
kehidupan yang penuh resiko dan menantang untuk mendapatkan
kehormatan dan kekayaan.39 Jika dalam worldview Islam konsep dan
kepercayaan kepada Tuhan adalah sentral, dalam worldview kapitalis
harta, kesejahateraan dan kekayaan materi adalah sentral.
Namun, etika Protestan ternyata bukan satu-satunya sumber.
Meningkatnya suplai emas ke Eropa yang mengakibatkan inflasi
pada abad pertengahan telah membuka peluang bagi sikap-sikap
kapitalistis untuk mengambil kesempatan. Situasi ini ditambah lagi
dengan munculnya negara-negara bangsa yang kuat pada era
Mercantilis (1500-1750). Negara-negara itu kemudian melahirkan

36
Ibid., 48-55.
37
Raplh Kercham, “Benyamin Franklin”, The Encyclopedia Americana, International
Edition (New York: Americana Corporation, 1974), vol. 12, hal. 8-12.; lihat juga Kurt
Samuelson, Religion and Economic Actioin: A Critique of Max Weber, (New York: Harper
Torch Books And Row Publication, 19640), 55-56.
38
Weber, The Protestant Ethic…, hal. 57
39
Ibid., 40-41.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 31

kebijakan yang memungkinkan swasta lebih berperan dalam pe-


ngembangan ekonomi. Itu semua membuat lajunya sistem kapital-
isme di Barat.40 Masalahnya, baik orang Katolik maupun orang Pro-
testan tidak mendasarkan sikap hidup mereka dalam berekonomi
pada teologi Kristen. Weber sendiri mengakui bahwa orang Katolik
Perancis pada umumnya tertarik pada kemewahan dan tidak perduli
pada agama. Begitu juga orang Protestan di Jerman yang juga terlibat
jauh dengan kehidupan duniawi sama-sama meninggalkan agama-
nya. Jadi, Spirit of Capitalism bukan berasal dari teologi Protestan,
mungkin itu sebabnya Weber menyebutnya Protestant Ethic. Karena
agama bukan asas konseptualnya, maka etika ini dalam realitas
sosialnya berkembang menjadi kerakusan material dan menghasil-
kan motto yang berbunyi “greed is good” (rakus adalah bagus).41
Di sini dapat disimpulkan bahwa kapitalisme adalah produk
dari sikap keagamaan penganut sekte Protestan dan bukan konsep
yang diderivasi secara resmi dari ajaran Kristen yang berdasarkan
pada Bible. Besar kemungkinan sikap kapitalistis itu lebih dipenga-
ruhi oleh situasi sosial ekonomi Eropa Zaman Renaissance yang
diwarnai oleh pandangan hidup saintifik (scientific worldview)
daripada oleh ajaran agama mereka. Protestan sendiri muncul karena
pengaruh rasionalisme Barat modern.

Kapitalisme dan Islam


Sejalan dengan pandangan hidup Barat modern yang ber-
cirikan rasionalisme, saintifisme, sekularisme, dan cara pandang yang
empiristis, maka kapitalisme dapat dikatakan sebagai produk dari
padangan hidup Barat modern. Salah satu elemen pandangan hidup
Barat yang mempengaruhi kapitalisme adalah rasionalisme. Menurut
Weber yang menonjol dalam pemikiran kapitalisme adalah semangat
kalkulasi rasional (spirit of rational calculation) yang dikembangkan
menjadi prinsip-prinsip pengembangan teknologi dan produksi.
Yang terpenting di sini bagi Weber adalah semangat entrepreneurship
yang merebak ke bidang politik dan kultural. Kapitalisme akhirnya
mempengaruhi perkembangan bentuk perusahaan, kepercayaan

40
The New Encyclopedia Britanica, vol. 2, Encyclopedia Britanica inc, The University
of Chicago, 1991, 831.
41
http://cepa.newschool.edu/het/profiles/weber.htm dilihat pada tanggal 15 April
2007

Vol. 9, No. 1, April 2013


32 Hamid Fahmy Zarkasyi

publik dan birokrasi dunia modern. Weber dengan tegas menya-


takan:
It might thus seem that the development of the spirit of capitalism is best understood
as part of the development of rationalism as a whole, and could be deduced from
the fundamental position of rationalism on the basic problems of life. In the
process Protestantism would only have to be considered in so far as it had formed
a stage prior to the development of a purely rationalistic philosophy.42

Kutipan di atas menunjukkan bahwa perkembangan semangat


kapitalisme dapat dipahami dengan baik dari perkembangan rasio-
nalisme di Barat, dan yang lebih jelas lagi dari pandangan rasionalisme
terhadap problem-problem kehidupan. Protestanisme hanya diper-
hitungkan sebagai suatu tahapan sebelum berkembangnya filsafat
rasionalistis yang murni. Jadi kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari
pandangan hidup Barat yang rasionalistis.
Dari semangat rasionalisme Protestan dan Barat modern itu,
maka kapitalisme berkembang menjadi sistem ekonomi yang men-
dunia yang oleh Joseph disebut Capitalist Civilization (Kebudayaan
Kapitalis). Pada pendahuluan di atas telah disebutkan bahwa asas
setiap kebudayaan dan peradaban adalah worldview, maka dari itu
kapitalisme adalah kebudayaan dan sekaligus pandangan hidup
(worldview). Sebagai suatu pandangan hidup tentu ia mempunyai
elemen dan ciri-cirinya tersendiri. Joseph A. Schumpeter menye-
butkan ciri-ciri kebudayaan kapitalisme sejalan dengan ciri-ciri
rasionalisme Barat, sebagai berikut:
1. Adanya pemikiran atau perilaku individu yang rasional yang
berkembang menjadi pemikiran kolektif yang mengkritisi
berbagai pihak termasuk kekuasaan politik dan agama.
2. Kapitalisme juga berkembang menjadi cara pandang masya-
rakat terhadap alam semesta, tentang kehidupan, tentang arti
keadilan, konsep keindahan, kesehatan, filsafat hidup, dan lain-
lain.
3. Kapitalisme merupakan sikap terhadap sains modern, manusia
modern dan cara-cara sains modern dikembangkan. Dari sikap
hidup ini kemudian timbul seni kapitalis (capitalis art) dan
gaya hidup kapitalis (capitalist style of life).

42
Weber, The Protestant…, bab II.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 33

4. Oleh karena pengaruh rasionalisasi perilaku dan pemikiran,


maka rasionalisasi juga mempengaruhi sikap mereka terhadap
kepercayaan metafisis, mistik, dan ide-ide yang lain, sehingga
semua itu akan mengasah metode dalam mencapai tujuan
akhir.
5. Kebebasan berpikir dan memandang dunia secara pragmatis
terjadi secara alami. 43
Selain dari yang diungkapkan Joseph di atas masih terdapat
ciri-ciri lain dari kapitalisme yang menyangkut cara pandang ter-
hadap realitas. Ciri itu adalah doktrin universalisme, yaitu keper-
cayaan bahwa di sana terdapat pernyataan umum tentang dunia
fisik dan sosial yang benar secara universal dan permanen. Tujuan
sains adalah mencari pernyataan ini, sehingga dapat menghilangkan
apa yang selama ini disebut subyektif. Universalisme ini kemudian
menjadi keyakinan (faith) dan juga epistemologi dan puncaknya
adalah ideologi (kapitalisme). Untuk itu kapitalisme menggunakan
universitas sebagai tempat workshop ideologi dan singgasana keper-
cayaan itu, selain sebagai tempat mencari kebenaran. Dan sejalan
dengan sistem ekonomi kapitalis, Amerika yang menganut liberalis-
me berpendirian bahwa kebenaran hanya dapat diketahui dari hasil
interaksi dalam pasar bebas bagi ide-ide (free market-place of ideas).44
Selain itu ketika ekonomi dunia kapitalis disebarluaskan pada
beberapa aktivitas yang ikut serta di dalamnya, seperti Kristenisasi,
pemaksaan penggunaan bahasa Eropa, pengajaran tentang teknologi
tertentu, perubahan undang-undang, dan lain-lain. Sistem kapitalis
ini seringkali disebarkan melalui kekuatan militer atau lewat cara
persuasif terhadap pemimpin yang didukung oleh militer. Keselu-
ruhan proses penyebaran sistem ini oleh Emmanuel Wallestein yang
disebut “westernisasi” atau lebih arogan lagi mereka klaim “moderni-
sasi” yang dibumbui dengan kepercayaan pada ideologi universalis-
me tersebut di atas.
Globalisasi merupakan proyek lain dan sangat menguntungkan
kapitalisme. Kapitalisme lebih kuat dari sistem ekonomi non-
kapitalis, sebab ia mempunyai sarana dan strategi yang kuat untuk
menjadikan sistem pasar itu universal. Jadi globalisasi menurut
Gibson-Graham adalah tindak kekerasan yang berakhir dengan

43
Joseph A. Schumpeter, Capitalism…, 121-124.
44
Immanuel Wallerstein, Historical Capitalism…, 81.

Vol. 9, No. 1, April 2013


34 Hamid Fahmy Zarkasyi

pembunuhan bentuk ekonomi selain sistem kapitalisme. Gaya


hubungan sosial dan ekonomi kapitalis didesain agar dapat masuk
ke dalam sistem sosial dan ekonomi lain, tapi tidak sebaliknya.45
Alasan yang sering digunakan adalah efisiensi ekonomi, tapi pada
saat yang sama menyebarkan norma-norma kultural baru dan
menggeser kultur tradisional yang menjadi saingannya. Norma-
norma atau konsep baru yang dibawa kapitalisme itu adalah demo-
krasi liberal, kebebasan sipil, kebebasan berpolitik, dan kesempatan
ekonomi bagi setiap warganegara.46
Kultur yang dibawa oleh kapitalisme atau faktor pendukung-
nya telah merupakan kebudayaan dan pandangan hidup. Menurut
Huntington elemen-elemen kebudayaan Barat Kapitalis yang ia
namakan sebagai “paradigma peradaban” adalah prinsip-prinsip ke-
agamaan dan filsafat.47 Paradigma peradaban dalam konteks Negara
Kapitalis Amerika ia sebut dengan America’s core culture. Identitas
peradaban Amerika itu dapat diketahui melalui elemen-elemen pen-
tingnya yaitu, 1) agama Kristen, 2) etos kerja dan nila-nilai moralitias
Protestan, 3) filsafat, 4) bahasa Inggris, 5) tradisi hukum bangsa
Inggris, 6) sistem politik demokrasi liberal, 7) khazanah seni, sastra,
filsafat, dan musik Eropa, 8) prinsip-prinsip liberalisme, persamaan,
dan individualisme, serta 9) kapitalisme.48
Jika elemen pandangan hidup Islam dan Barat dibandingkan
akan diketahui perbedaannya. Dari matrik pandangan hidup yang
dipaparkan Thomas Wall di atas yang terdiri dari konsep Tuhan,
ilmu, realitas, diri, etika dan masyarakat, 49 ditambah dengan
America’s core culture yang disebut oleh Huntington, jelaslah bahwa
pandangan hidup Islam berbeda secara diametris dan konseptual
dari pandangan hidup Barat, baik Barat modern maupun Barat
postmodern, baik Eropa maupun Amerika.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pandangan hidup Barat adalah gambaran khas tentang teori-teori
pertumbuhan ekonomi. Pandangan hidup ini berdasarkan pada

45
Gibson-Graham J.K., The End of Capitalism (as we knew it), (Feminist Critique of
Political Economy, Blackwell Publisher, 1996), 125.
46
Joseph A. Schumpeter, Capitalism…, 109.
47
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
48
http://www.newyorker.com/critics/books/?040517crbo_books
49
Thomas F Wall, Thinking…, 16

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 35

asumsi utopis bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas nilai, rasional,
analitis dan teknis. Sistem ekonomi kapitalisme berpegang pada teori
bahwa perkembangan ekonomi ditentukan oleh pasar yang dalam
buku-buku ekonomi disebut kompetisi sempurna, atau dalam istilah
Adam Smith dinamakan the invisible hand.
Pandangan hidup Islam tidak berangkat dari pemikiran
tentang kehidupan dunia tapi kehidupan dunia dan akhirat sekaligus.
Oleh sebab itu, konsep-konsep tentang kehidupan dunia selalu
terkait erat dengan konsep kehidupunan akherat. Maka dari itu,
jika kapitalisme memisahkan moralitas dari teologi, maka Islam
tidak. Islam tidak menafikan perlunya rasionalitas untuk menyelesai-
kan masalah kehidupan dunia, tapi konsep rasional dalam Islam
tidak hanya terbatas pada logika matematis, ia melibatkan pula
dimensi spiritual metafisis.
Secara keseluruhan Islam berbeda dari pandangan hidup Barat
Kapitalis. Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History, and
the Last Man mengakui bahwa kini dunia Barat Posmodern dengan
prinsip ‘free market” kapitalisme dan “liberalisme” merupakan babak
akhir dari sejarah manusia (the end of History). Artinya paham liberal-
isme adalah alternatif terakhir bagi umat manusia, faham apapun
yang tidak dapat mengakomodir ciri-ciri ini akan tersingkir dari
proses evolusi menuju kesempurnaan sejarah atau tertinggal jauh
di belakang. Namun ia mengakui pula bahwa Islam memiliki nilai
moralitas dan doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri.
Ia bahkan meletakkan Islam sejajar dengan ideologi Liberalisme,
Kapitalisme, Komunisme, dan sebagainya. Cara pandang Fukuyama
ini membuktikan bahwa Islam, liberalisme, kapitalisme, dan komu-
nisme adalah sederet worldview yang secara konseptual tidak
mungkin ada konvergensi konseptual.
Di dalam bukunya itu, Fukuyama juga menyatakan bahwa
dalam politik Islam pernah menjadi tantangan bagi demokrasi liberal
dan praktek-praktek liberal. Tapi kini menurutnya kekuatan Islam
tidak demikian bahkan kondisi Islam kini menjadi terbalik. Maka
dari itu dia menyimpulkan:
Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan nam-
pak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang sebaliknya,
sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah memukau
banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab munculnya

Vol. 9, No. 1, April 2013


36 Hamid Fahmy Zarkasyi

fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai liberal dan


Barat terhadap masyarakat Islam tradisional. 50

Kesimpulan Fukuyama bahwa Islam nampak lebih lemah


menghadapi ide-ide liberal mungkin dapat diterima untuk sementara
waktu. Namun poin bahwa munculnya fundamentalisme disebab-
kan oleh kuatnya ancaman nilai-nilai liberal tidaklah tepat. Sebab
kini umat Islam telah mulai bersikap kritis terhadap Barat, khususnya
sejak abad ke 20 di mana kemakmuran ekonomi dan stablitias politik
mulai dinikmati oleh negara-negara Islam. Mungkin Fukuyama tidak
menyadari bahwa sistem ekonomi liberal tidak ditolak dengan
tindakan-tindakan kelompok “fundamentalis” yang seringkali
dikaitkan dengan terorisme. Akan tetapi direspon dengan gagasan,
ide, dan bahkan praktek ekonomi Islam. Jadi Islam tidak lemah dan
hancur ketika menghadapi sistem ekonomi kapitalis, tapi justru
bangkit dengan perlahan-lahan dengan membawa ekonomi Islam,
meskipun melalui proses asimilasi dan Islamisasi.

Penutup
Kajian tentang kapitalisme sebagai sistem ekonomi telah
banyak dilakukan orang, namun kajian tentang kapitalisme sebagai
kebudayaan dan pandangan hidup memerlukan pembahasan yang
lebih komprehensif dan lebih mendetail. Jika konsep sentral world-
view Islam adalah Tuhan, maka konsep utama worldview kapitalis
adalah kekayaan dan kemakmuran hidup di dunia. Konsep utama
ini pada gilirannya akan mempengaruhi konsep-konsep yang lain.
Meskipun konsep-konsep lain yang akan dikembangkan itu relatif
sama seperti harta, kebahagiaan, kenikmatan, keadilan, distribusi,
konsumsi, monopoli dan lain sebagainya, namun perbedaan konsep
sentral itu akan membedakan konsep turunannya yang dikembang-
kan kemudian. Oleh sebab itu dengan berkaca kepada kapitalisme
sebagai sistem eknomi yang memiliki worldview tersendiri dengan
konsep-konsep sentralnya sendiri, maka ekonomi Islam secara

50
Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas
in the long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful
Muslim adherent over the past century and a half. Part of the the reason for current,
fundamentalist revival is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to
traditional Islamic societies. Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New
York: Avon Book, 1992), 45-46.

Jurnal TSAQAFAH
Worldview Islam dan Kapitalisme Barat 37

konseptual harus dikaitkan dengan worldview Islam yang konsep


sentralnya adalah akidah. Secara epistemologis worldview Islam akan
menjadi basis filsafat ilmu eknomi Islam, dan secara sistemik
worldview Islam dapat menjadi basis konsep kesejahteraan dan
kemakmuran serta kebijakan ekonomi makro, serta menjadi tata
nilai dalam praktek kehidupan konomi mikro. []

Daftar Pustaka
Acikgence, Alparslan. “The Framework for A history of Islamic
Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute
of Islamic Thought and Civlization, vol.1. Nos. 1&2, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1996), 6.
al-Attas, S.M.N. “Opening Address, The Worldview of Islam, an
Outline” in Sharifah Shifa al-Attas, Islam and The Challenge of
Modernity, Historical and Contemporary Contexts, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1996).
_______. Prolegomena to The Metaphysics of Islam An Exposition of
the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995).
_______. Risalah Untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2000).
al-Zayn, Sheykh thif. al-Islâm wa Idulujiyyat al-Insân, (Beirut: Dâr
al- Kitâb al-Lubnânî, 1989).
Crimmins, James E. (ed.). Religions, Secularizatin dan Political
Thought, (London: Routledge, 1990).
Edwin Hung, The Nature of Science: Problem and Perspectives,
(California: Wardsworth, 199).
Finkielkraut, Alain. The Defeat of The Mind, Trans. by Judith
Friedlander, (New York: Columbia University Press, 1995).
Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man, (New York:
Avon Book, 1992).
Harvey, David. The Condition of Postmodernity, (Cambridge: Blackwell, 1991).
Huntington, Samuel P. “Clash of Civilization?” Foreign Affair 72
(Summer 1993).
________. If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/

Vol. 9, No. 1, April 2013


38 Hamid Fahmy Zarkasyi

Samuel-p-huntington/index.html
________. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order,
(New York: Simon & Schuster, A Touchstone Book, 1996).
J.K. Graham Gibson, The End of Capitalism (as we knew it), (Feminist
Critique of Political Economy, Blackwell Publisher, 1996).
Kercham, Raplh. “Benyamin Franklin”, The Encyclopedia Americana,
International Edition, Vol. 12, (New York: Americana Corpo-
ration, 1974).
Kuhn, Thomas S. “The Structure of Scientific Revolution”, Inter-
national Encyclopedia of Unified Science, vol.2, no 2, (Chicago:
Univerity of Chicago Press, 1970).
Marshal, Gordon. In Search of the Spirit of Capitalism: An Essay on
Max Weber’s Protesteant Ethic, (New York: Columbia University
Press, 1982).
Mawdûdî, Abu al-A’la. The Process of Islamic Revolution, (Lahore, 1967).
Myers, Eugene A. Arabic Thought and The Western Word, (New York:
Fredrick Ungar Publishing Co., 1964).
Qutb, M. Sayyid. al-Tas}awwur al-Islâmî wa Muqawamâtuhû, (Cairo:
al-Babi al-Halabi, 1962).
Samuelson, Kurt. Religion and Economic Actioin: A Critique of Max Weber,
(New York: Harper Torch Books And Row Publication, 19640).
Schrems, John. Understanding Principles of Politics and the State,
(PageFree Publishing, 2004).
Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism and Democarcy, (New
York dan London: Harper & Brothers Publishers, 1942).
Smart, Ninian. Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief,
(New York: Charles Sribner’s sons, n.d).
Smith, Huston. Beyond The Post-Modern Mind, (Wheaton, Illinois,
USA: Quest Book, The Theosophical Publishing House, 1989).
The New Encyclopedia Britanica, Vol. 2, Encyclopedia Britanica inc,
(US: The University of Chicago, 1991)
Wall, Thomas F. Thinking Critically About Philosophical Problem, A
Modern Introduction, (Australia: Thomson Learning, 2001).

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme
dan Framework Studi al-Qur’an
Hamid Fahmy Zarkasyi
Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo
Email: hfzark@yahoo.co.uk

Abstract
Orientalism is a field of study that deals with Eastern and Islamic studies
as it object of study. Being a discipline of knowledge it must have specific
theory and methodology or framework of study. However, since it emerged
in Western intellectual tradition, it is permeated by Western worldview. In other
words, being a science orientalism is value laden. This paper tries to prove the
correlation between the traditions of orientalism, where religious, cultural and
political melieu permeated their framework, with the study of the Qur’an. The
finding suggests that the framework of orientalis in their study of the Qur’an
could be resumed into four: trying to employ previous sacred text as their
standard of Qur’anic studies, preferring the textual studies rather than narration,
questioning the process of compilation, examining the content of the Qur’an
using their own logic and experience, and finally employing the Biblical
methodology. Those frameworks inevitably has resulted incongruencies that
could lead one to be misunderstanding the Qur’an

Orientalisme adalah bidang studi yang berhubungan dengan Timur dan


studi Islam, karena berkaitan dengan objek kajian studi. Ia kini telah menjadi
disiplin ilmu yang harus memiliki spesifikasi teori dan metodologi atau kerangka
studi. Namun, karena ia muncul dalam tradisi intelektual Barat, maka ia disikapi
dengan pandangan Barat. Dengan kata lain, orientalisme menjadi disiplin ilmu
yang sarat nilai. Tulisan ini mencoba untuk membuktikan korelasi antara tradisi
orientalisme, di mana agama, budaya dan nuansa politik demikian meresap
dalam kinerja dan pribadi mereka, khususnya mengenai studi Al-Qur’an. Tak
ayal lagi, kerangka pikir orientalis dalam kajian mereka terhadap Al-Qur’an

* Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Telp. (0352)
488220.

Vol. 7, No. 1, April 2011


2 Hamid Fahmy Zarkasyi

diaplikasikan dalam empat langkah: menggunakan teks suci sebelumnya – Bibel-


sebagai standar studi Qur’an, selanjutnya lebih memilih studi tekstual daripada
narasi, dan mempertanyakan proses kompilasinya, memeriksa isi Qur’an dengan
menggunakan logika dan pengamalan empiris mereka sendiri, dan akhirnya
mereka menggunakan metodologi Al-Kitab (Bibel). Kerangka kerja tersebut
pasti telah mengakibatkan ketidaksesuaian hasil kajian yang dapat membawa
kita kepada salah paham terhadap Al-Qur’an.

Keywords: biblical criticism, oriental studies, etnocentris, mushaf, tafsir

Pendahuluan

O
rientalisme adalah tradisi kajian ketimuran dan keislaman di
dunia Barat yang telah berumur berabad-abad, karena itu maka
semangat dan kualitas kajian dapat dikatakan ilmiah. Namun,
karena subyek kajian ini umumnya adalah manusia Barat maka bias
ideologis, kultural dan religius tidak dapat dihindari.1 Akibat dari
bias-bias tersebut orientalisme menghasilkan frameworknya sendiri
dalam mengkaji masalah-masalah ketimuran dan keislaman.
Framework ini bagi cendekiawan Muslim yang tidak kritis akan
nampak objektif dan bahkan baru sehingga diadopsi. Salah satu
bidang kajian keislaman yang menunjukkan frameworknya yang
khas orientalis adalah bidang kajian al-Qur’an.2 Makalah ini mencoba
menemukan benang merah antara nilai-nilai dan metodologi yang
menjadi latar belakang bidang studi orientalis dengan metodologi
atau framework kajian al-Qur’an. Dalam kaitannya dengan itu, maka
framework orientalis yang mencoba menjadikan kitab-kitab
terdahulu sebagai standar kajian al-Qur’an, mengutamakan rasm
(teks dari riwayah), mempermasalahkan proses pembentukan
mushaf, mempersoalkan kandungan al-Qur’an dan penggunaan
metodologi Bible merupakan topik-topik yang akan menjadi kajian
makalah ini. Namun agar kajian ini lebih komprehensif, framework
kajian al-Qur’an orientalis perlu dicari benang merahnya dengan
worldview orientalis. Maka dari itu akan dipaparkan terlebih dahulu

1
Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage Books, 1979), h. 204.
2
Kajian lebih detail mengenai pemikiran kelima tokoh orientalis tentang al-Qur’an
lihat Muhammad Mohar Ali, The Qur’an and the Orientalists: An Examination of their Main
Theories and Assumption,s Jam’iyat Ihyaa’ Minhaaj al-Sunnah (JIMAS) 2004.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 3

tradisi orientalisme dalam mengkaji Islam yang menyangkut motif


kajian, fase perkembanganya dan objektifitas kajiannya.

Tradisi Orientalisme
Gerakan pengkajian ketimuran (oriental studies) diberi nama
orientalisme baru abad ke 18, meskipun aktivitas kajian bahasa dan
sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.3
Namun istilah orientalis muncul lebih dulu daripada istilah
orientalisme. A.J. Arberry (1905-1969) dalam kajiannya menyebutkan
istilah orientalis muncul tahun 1638, yang digunakan oleh seorang
anggota gereja Timur (Yunani). Menurutnya orientalis adalah “orang
yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.”
Adapun definisi dan skop kajian orientalisme yang merujuk
akar kata orient (timur) yang merupakan lawan kata occident (barat)
adalah scholarship or learning in oriental subject.4 Dalam kaitannya
dengan agama-agama pengertian ini dapat dipersempit menjadi
kegiatan penyelidikan para ahli ketimuran di Barat tentang agama-
agama di Timur. Namun secara luas berarti kegiatan kajian tentang
hal-hal yang menyangkut bangsa-bangsa di dunia Timur beserta
lingkungannya sehingga meliputi berbagai bidang kehidupan. Hal
ini menyangkut bidang sejarah, bahasa, agama, kesusasteraan,
istiadat, politik, ekonomi dan sebagainya. Secara disipliner Edward
Sa‘id mendifinisikan orientalisme sebagai:
…..bidang pengetahuan atau ilmu yang mengantarkan pada
[pemahaman] dunia timur secara sistematis sebagai suatu objek yang
dapat dipelajari, diungkap, dan diaplikasikan.”5

Jika orientalisme merupakan bidang pengetahuan, maka


sudah tentu ia memiliki metode, obyek kajian, teori dan bahkan
framework kajiannya sendiri. Namun sebagai suatu disiplin ilmu,
sejarahnya tentu diwarnai oleh latar belakang ideologi, agama, keper-
cayaan masyarakat Barat. Jadi sejarah ilmu orientalisme diwarnai
milleu keagamaan, politik dan keilmuan.6

3
The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII, h.200
4
Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow, Longman, 1984),
h. 1035
5
Edward Said, Orientalism…, h. 92
6
Ibid., h. 204.

Vol. 7, No. 1, April 2011


4 Hamid Fahmy Zarkasyi

Motif keagamaan Barat yang di dominasi oleh Kristen me-


mandang Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-
doktrinnya. Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelum-
nya telah banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Islam
dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan
dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak
sebelum Islam datang. Thomas Wright, penulis buku Early Chris-
tianity in Arabia, A Historical Essay7 mensinyalir perseteruan antara
Islam dan Kristen terjadi sejak bala tentara Kristen pimpinan
Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum Nabi lahir.
Menurutnya, kalau saja tentara Abrahah itu tidak kalah mungkin
seluruh jazirah itu berada ditangan Kristen, dan tanda salib sudah
terpampang di Ka’bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai
pendeta. Selain itu perang salib yang berjalan hampir selama dua
abad (sejak tahun 1096 hingga tahun 1271) telah cukup menambah
milleu perseteruan tersebut. Di saat-saat seperti inilah keingin tahuan
orang Barat tentang Islam mulai tumbuh.
Selanjutnya, orientalisme lahir dari milleu politik dimana Islam
dianggap sebagai ancaman besar bagi kekuasaan politik dan agama
mereka. Realitas sejarah menunjukkan bahwa kekuasaan Islam telah
tersebar kepelbagai pelosok dunia termasuk ke Eropah dan sangat
mengganggu stabilitas politik di Negara-negara Barat waktu itu.
Menurut W.C. Smith permusuhan yang lebih sengit terjadi pada
masa kekuasan Turkey Uthmani pada akhir abad 19, tidak hanya
dalam bentuk kekuatan militer, tapi telah menyangkut alam pikiran
dan aqidah.8 Milleu politik ini kemudian mendorong penaklukan
balas yang membawa konsekuensi ekonomi atau perdagangan yang
akhirnya berubah menjadi kolonialisme. Namun, di sisi lain, meski
Islam-Barat mengalami suasana perseturuan politik yang hebat,
hubungan keilmuan antara keduanya snagat erat. Bahkan sejak
sebelum terjadi perang salib aktifitas penterjemahan karya-karya
Muslim kedalam bahasa Latin di Spanyol sudah cukup pesat.
Suasana politik, agama, budaya dan keilmuan itulah yang mengiringi
kelahiran tradisi orientalisme yang akhirnya berkembang menjadi
disiplin ilmu tersendiri.

7
Thomas Wright, Early Christianity in Arabia, A Historical Essay (New
Jersey:Theological Seminary Princeton, tt.), h. 92
8
W.C.Smith, Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996), h. 166.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 5

Sebenarnya ketiga milleu tersebut diatas tidak terjadi pada satu


waktu tertentu atau berjalan secara monoton, namun berjalan me-
nyusuri waktu dengan perkembangan yang berbeda-beda intensitas
kajiannya. Meski nama bidang kajian orientalisme baru diberikan
pada abad ke 18, namun aktivitasnya telah terjadi sejak abad ke 8,
namun sejatinya kajian serius orientalisme baru dapat dilacak dari
sejak abad ke 16. Oleh sebab itu fase perkembangan orientalisme
dibagi menjadi empat: Fase pertama dimulai pada abad ke enambelas
(abad 16). Pada fase ini orientalisme dapat dikatakan sebagai simbol
gerakan anti-Islam yang dimotori oleh Yahudi dan Kristen. Bagi orang
Eropah Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern
dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis
bahwa “orang Kristen ingin agar Timur dan Barat Eropah bersepakat
bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of
Christianity).”9 Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad
adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur dsb yang
kesemuanya itu diambil dari doktrin kagamaan yang dibawanya.10
Fase kedua orientalisme terjadi pada abad ke 17 dan 18 M. Fase
kedua ini adalah fase penting orientalisme, sebab ia merupakan
gerakan yang bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berke-
pentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban
yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-
ratu di Eropah sepakat untuk mendukung pengumpulan segala
macam informasi tentang ketimuran. Untuk menyebut beberapa,
Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tatabahasa Arab,
dan diikuti muridnya Jacob Goluis (1596-1667), dan oleh Lorriunuer
Franz Meurnski dari Austria tahun 1680. Selain itu Bedwell W (1561-
1632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis
tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Meskipun Barat memerlu-
kan Islam, tapi api perseteruan masih tetap membara. Maka dari itu
selain mengumpulkan informasi tentang Timur mereka juga menye-
barkan informasi negatif tentang Timur kepada masyarakat Barat.
Fase ketiga orientalisme adalah abad ke 19 dan seperempat
pertama abad ke 20. Fase ini adalah fase orientalisme terpenting baik
bagi Muslim maupun bagi orientalis sendiri. Sebab pada fase ini

9
R.W. Southern Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition, (Harvard:
Harvard University Press, 1978), h. 91-92, 108-109.
10
Norman Daniel, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston: Oneworld
Publication, 2000), h. 246-296.

Vol. 7, No. 1, April 2011


6 Hamid Fahmy Zarkasyi

Barat telah benar-benar menguasai negara-negara Islam secara politik,


militer, kultural dan ekonomi. Mungkin karena orang Barat telah
masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, mereka mudah men-
dapatkan bahan-bahan tentang Islam. Oleh sebab itu pada waktu
yang hampir bersamaan lembaga-lembaga studi keislaman dan
ketimuran didirikan di mana-mana. Tahun 1822 di Paris didirikan
Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland
didirikan tahun 1823 di Inggeris; tahun 1842 di Amerika juga
didirikan American Oriental Society; tahun 1916 di University of
London, didirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS
(School of Oriental and African Studies). Dengan berdirinya pusat-
pusat studi keislaman maka framework kajian orientalis berubah
dari fase caci maki menjadi serangan sistimatis dan ilmiah. Tapi
sistematis dan ilmiah tidak berarti tanpa kesalahan dan bias.
Fase keempat orientalisme ditandai dengan adanya Perang
Dunia ke II. Khusus di Amerika, Islam dan ummat Islam menjadi
obyek kajian yang populer. Kajian itu bukan saja dilakukan untuk
kepentingan akademis, tapi juga untuk kepentingan kebijakan
politik dan juga bisnis. Sekali lagi pada fase ini kajian orientalisme
berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih
lembut. Cantwell Smith terang-terangan mengatakan “Pencarian
ilmu selalu siap merubah hypotesanya. Faktanya memang orang-
orang Barat non-Muslim baru saja mulai memperlembut (sikapnya
terhadap Islam) dan bahkan menarik kata ‘tidak’nya”.11 Sir Hamilton
Gibb secara diplomatis mengatakan bahwa ia menerima pendapat
bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi
Muhammad, tapi Islam perlu menafsirkan ulang konsep-konsep di
dalamnya yang tidak bisa dipertahankan lagi itu.12 Perubahan sikap-
nya begitu kentara, berubah dari menuduh Nabi sebagai penipu,
mereka kemudian mempersoalkan konsep wahyunya, dan kini
mereka mulai mempersoalkan interpretasinya.

11
Lihat W.Cantwell Smith On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981),
h. 296
12
Sir Hamilton Gibb, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard: Harvard
Theological Review, 55, 1962), h. 269.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 7

Objektivitas Orientalis
Jadi demikianlah, mulanya para orientalis itu hanyalah sebuah
circle yang memiliki semangat anti-Islam, dalam perkembangannya
nuansa anti-Islamnya lalu dikurangi dan diganti dengan pendekatan
yang menggunakan logika, pengetahuan dan argumentasi. Meski-
pun demikian tujuan orientalisme adalah tetap sama. Contoh yang
jelas adalah jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Samuel
Zwemmer tahun 1920. Pada mulanya jurnal ini terang-terangan
diperuntukkan bagi media informasi bagi para missionaris tentang
Islam dan dunia Islam. Ini sesuai dengan motto mereka yang terkenal
yaitu know your enemy, (ketahuilah musuhmu). Tapi kemudian jurnal
itu menjadi media kajian Islam yang serius dan ilmiah. Oleh sebab
itu orientalisme dikenal sebagai suatu tradisi kajian ilmiah tentang
Islam yang menggunakan jubah intelektualisme dan dedikasi
akademik.13 Mereka bahkan dianggap memiliki disiplin dan sikap
ilmiah yang ‘khas’, yang membentuk sebuah framework pengkajian.
Namun meski bersifat ilmiah dan terkesan objektif, framework
kajian orientalis tidak lepas dari warna dan latar belakang agama,
politik, worldview dan nilai-nilai peradaban Barat. Bagi yang berfikir
kritis perubahan sikap orientalis ini akan mendapati bahwa kajian
para orientalis itu berpijak pada subyektifitas mereka sebagai orang
Barat. Kajian Edward Said melahirkan kesimpulan bahwa apa saja
yang dikatakan oleh orang Eropah tentang Timur tetap saja rasial,
imperialis dan etnocentris.14 Subyektivitas itu digambarkan dengan
sangat jelas sekali oleh Anwar al-Jundi dalam bukunya al-Fikr al-
‘Arabi al-Mu‘a>s}ir fi> Ma’rakat al-Taghri>b.15 Menurutnya para orientalis
itu pertama-tama menentukan tujuan dan proposisi. Kemudian
untuk membuktikan proposisi mereka, mereka mengumpulkan
berbagai macam data, seperti teks-teks keagamaan, cerita-cerita fiksi,
syair-syair, kisah-kisah, dan lain-lain yang otentik ataupun yang tidak
dan kemudian menafsirkan sesuai dengan tujuan dan proposisi
mereka itu. Data yang tidak sesuai dengan tujuan mereka dibuang.
Proposisi digunakan untuk membuat teori-teori “baru”, tanpa mem-
perdulikan apakah teori-teori mereka itu sesuai dengan fondasi

13
Lihat Dr. Afaf, al-Mushtashriku>n wa Mushkilat al-H}ad}a>rah, (Cairo: Dar al-NahÌah
al-‘Arabiyyah, 1980), h. 33-34
14
Edward Said, Orientalisme…, h. 204
15
Anwar al-Jundi, al-RisÉlah, (Cairo, tt.), h. 133-137

Vol. 7, No. 1, April 2011


8 Hamid Fahmy Zarkasyi

ajaran Islam atau tidak. Kajian al-Jundi hanyalah salah satu dari
sekian framework kajian orientalis. Berbeda bidang kajian berbeda
pula frameworknya, dan berbeda periode berbeda pula tehnik dan
metode kajiannya.
A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, me-
nyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal
terlibat dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam,
tujuan mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif
missionaris mereka mulai menggunakan pendekatan objektif.
Metodenya merupakan campuran antara penghinaan dan pengung-
kapan hal-hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan
fakta-fakta yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen.
Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang
kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Ini jelas sekali ketika
diketahui bahwa para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong
dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam itu direformasi.16
Sebagai contoh dapat dilihat dari pendapat Montgomery Watt.
Watt menyatakan bahwa “rekonstruksi intelektual pandangan hidup
Islam secara mendasar adalah penting jika bertujuan untuk meng-
hilangkan elemen-elemen yang salah dan keliru, dan untuk mem-
berikan gambaran yang lebih tepat tentang kedudukan Islam dalam
dunia kontemporer.”17 Dia memberikan beberapa contoh tentang
“apa yang dianggap kesalahan yang serius menurut kritik sejarah
Barat,” seperti kisah Maryam yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang
oleh Watt dianggap salah karena Al-Qur’an tidak membedakan antara
Miriam saudara Harun (Maryam [19]: 28) dan Meri, ibunda Nabi
Isa a.s. Kesalahan lain yang lebih serius tentang informasi sejarah,
menurut Watt, adalah penolakan Al-Qur’an terhadap cerita yang
mengatakan bahwa Nabi Isa a.s. disiksa dan mati di tiang salib (an-
Nisa’ [4]: 157), sedangkan menurut mereka “penyiksaan yang mem-
bawa kematian Nabi Isa a.s. adalah satu diantara bukti sejarah masa
silam yang paling pasti.”18 Selain itu Watt ternyata meragukan oten-
tisitas ajaran Islam. Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa
bagian al-Qur’an dan Hadits itu dibuat-buat dan tidak konsisten,

16
A.L. Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam
The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, h. 41.
17
William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and
New York: Routledge, 1988), h. 88.
18
Ibid., h. 83, 88.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 9

dan karena itu tidak bisa dijadikan sumber pandangan hidup Islam.
Ia bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur’an.19
Kajian orientalis tentang Islam dan sejarahnya nampak sangat
canggih (baca: soophisticated) dan subtil sehingga pembaca awam,
alias bukan pakar tidak mudah mengetahui implikasi-implikasi
negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya berdasarkan spekulasi,
penentuan sumber data yang selektif demi tujuan dan kepentingan
tertentu. Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam
The World, The Text and the Critic,20 yakin bahwa Orientalis dan Barat
adalah diskrimatif. Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik sangat
kental. Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum merasuk
kedalam kajian sejarah, linguistic, teori ras, filsafat, antropologi dan
bahkan biologi hingga abad ke 19.
Selain dari itu, pandangan dan kritik orientalis berdasarkan
kajian mereka yang sangat spesifik. Artinya jika mereka mengkaji
suatu bidang tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain.
Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan
dengan Kalam misalnya, kritik dalm bidang filsafat tidak dikaitkan
dengan aqidah, kritik dan kajian al-Qur’an tanpa disertai ilmu tafsir,
bahkan tidak aneh jika para orientalis mengkaji al-Qur’an dengan
metodologi Bibel, mengkaji politik Islam dalam perspektif politik
Barat sekuler dst. Dan yang pasti disiplin ilmu pengetahuan dalam
Islam itu tidak dikaji dengan framework pandangan hidup Islam,
tapi Barat.
Jadi, kajian orientalis yang dianggap objektif dan ilmiah itu
sangat mungkin untuk terjerumus dalam kesalahan. Cara pandang
mereka terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih
tidak bisa lepas bebas dari pengaruh orientalis periode awal yang
diwarnai permusuhan dan oleh pengalaman manusia Barat. Artinya
orientalisme sebagai ilmu itu tidak bebas nilai.

Framework Studi al-Qur’an Orientalis


Pengaruh worldview Barat terhadap framework kajian orientalis
nampak dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an. Asumsi dasar
19
M.Watt, Muhammad at Mecca, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1960), h.
103
20
Edward Said, The World, the Text, and the Critic, (Cambridge: Harvard University
Press, 1984), h. 14.

Vol. 7, No. 1, April 2011


10 Hamid Fahmy Zarkasyi

mereka bahwa al-Qur’an itu bukan wahyu menjadi landasan dan


sekaligus tujuan kajian mereka terhadap al-Qur’an. Kajian sejarah
teks al-Qur’an yang dipelopori khususnya oleh Theodore Noldeke
dan Arthur Jeffery,21 teori revisi teks al-Qur’an oleh Richard Bell dan
M.Watt,22 ataupun asumsi J.A.Bellamy tentang kesalahan penulisan
al-Qur’an membuktikan akan hal itu. Bahkan Bergtrasser, Mingana,
Pretzl, Tisdal, Wansbrough, Puin dan banyak lagi lainnya telah men-
curahkan seluruh kehidupan mereka guna menyingkap perubahan
teks al-Qur’an. Di antara karya-karya yang tercatat dalam sejarah
adalah: 1) A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient
Qurans, Possibly Pre-’Othmanic with a List oftheir Variants, Cam-
bridge, 1914; 2) G. Bergtrasser, “Plan eines Apparatus Criticus zum
Koran”, Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7; 3) O.
Pretzl, “Die Fortfuhrung des Apparatus (‘riticus zum Koran”,
Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan 4) A.
Jeffery, The Qur’an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York,
1952.
Karena terpengaruh oleh worldview dan nilai-nilai Barat, maka
dalam mengkaji al-Qur’an para orientalis hanya menggunakan
pendekatan dan metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mereka
miliki. Sebagai konsekuensi dari pendekatan tersebut maka
masalah-masalah yang mereka jadikan topik bahasan disesuaikan
dengan metode tersebut. Berikut ini dipaparkan beberapa model
kajian orientalis yang berdasarkan framework mereka sendiri.

1. Mengaitkan dengan Teks terdahulu


Karena pengaruh milleu keagamaan mereka yakni Yahudi dan
Kristen, para orientalis menggunakan kitab mereka sebagai standar
penilaian. Di antara caranya adalah dengan mencari kesamaan-ke-
samaannya. Abraham Geiger (1810-874), seorang intelektual Yahudi
Liberal Jerman, mengajukan teori mengenai pengaruh Yahudi ter-
hadap al-Qur’an. Pada tahun 1833, dalam esainya yang berjudul
“Apa Yang Telah Muhammad Pinjam Dari Yahudi?”, memaparkan
sejumlah indikasi bahwa al-Qur’an merupakan imitasi dari Taurat
dan Injil antara lain dari segi kosa kata yang berasal dari bahasa Ibrani

21
Arthur Jeffery, “Progress in the Study of the Qur’an Text”, Muslim World, 1935, h.
4-16.
22
Richard Bell & W.M.Watt, Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1970)

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 11

yaitu. Tabut, Taurat, Jahannam, Taghut, dan sebagainya. Selain itu,


Geiger juga berkeyakinan bahwa muatan al-Qur’an sangat ter-
pengaruh oleh agama Yahudi seperti penjelasan al-Qur’an mengenai:
(a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin, (b) peraturan-
peratuan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan.23
Geiger juga berpendapat bahwa kecaman al-Qur’an terhadap Yahudi
disebabkan oleh kejahilan dan kesalah fahaman nabi Muhammad
terhadap doktrin-doktrin agama Yahudi.24
Sedangkan Richard Bell menganggap al-Qur’an berasal dari
tradisi dan kitab suci Kristen. Richard Bell mengatakan, pengaruh
Kristen belum terjadi pada masa akhir Makkah dan awal Madinah.
Indikasinya, surah al-Ikhlas bukan polemik antara Muhammad dan
orang Kristen, tetapi dengan orang musyrik yang percaya bahwa
Allah mempunyai tiga anak perempuan. Kemudian ketika surah
al-Alaq ayat 1 sampai 5 turun pengaruh Kristen juga belum nampak,
karena disitu dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari segumpal
darah. Sementara dalam konsep Bibel manusia itu diciptakan dari
tanah. Baru kemudian pada surat al-Mu’min 67 dinyatakan bahwa:
“Dialah yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes
air mani, sesudah itu segumpal darah, kemudian kamu dilahirkan
sebagai seorang anak..”. Di dalam surah ini pengaruh Kristen baru
terbaca. Selain itu, menurut Bell, pengaruh Bibel terhadap al-Qur’an
dapat dilihat dari konsep penolakan penyaliban Yesus. Konsep ini,
menurutnya diambil dari satu sekte Kristen di Syiria. Selain itu Bell
juga berpendapat bahwa wahyu yang dialami Muhammad meru-
pakan peristiwa natural, bukan peristiwa supranatural. Hal ini
merujuk kepada pengalaman orang-orang Kristen bahwa penge-
tahuan tentang agama Kristen diaktualkan sebagi wahyu melalui
trance-medium (keadaan tak sadar) dalam suasana mistik seperti
kehidupan para dukun. Bell mengartikan wahyu dengan sugesti yang
muncul sebagai kilasan Inspirasi, dan sugesti itu terjadi secara alami.
Sudah tentu masalah-masalah tersebut muncul karena dalam
pandangan mereka hal-hal yang bersifat supranatural tidak dapat
dikaji secara saintifik.25
23
Lihat dalam Andrew Rippin, Introduction The Quran: Style and Contents, editor
Andrew Rippin (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001), h. xi,
24
Abraham Geiger, “What Did Muhammad Borrow from Judaism’?” dalam The
Origins of the Koran, editor Ibn Warraq (New York: Prometheus Books, 1998), h. 165-26.
25
Richard Bell, The Origin of Islam in its Christian Environment, (London: 1926), h.
17-52.

Vol. 7, No. 1, April 2011


12 Hamid Fahmy Zarkasyi

Sikap orientalis yang mengaitkan atau menyamakan al-Qur’an


dengan Bible diakui oleh Karl-Heinz Ohlig, guru besar teologi di
Universitas Saarbucken, Jerman. Ia menyatakan:
Bercermin dari [sejarah Kristen] dimana ajaran dan riwayat hidup
Jesus dibentuk secara kerygmatic dan dibangun melalui tradisi [yang
berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun
sampai munculnya Injil Markus, sehingga Jesus sejarah [yang
sesungguhnya] hampir mustahil untuk diketahui, maka [bercermin
dari kasus ini] boleh jadai tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi
Muhammad saw pun melalui proses serupa.26

Selain Bell dari kalangan Kristen terdapat nama Theodore


Noldeke, seorang pendeta Kristen yang juga berasal dari Jerman. Ia
mengukur kebenaran al-Qur’an dari Bibel. Maka, apa pun yang
terkandung di dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan Bibel akan
dianggap salah. Seperti penolakan al-Qur’an terhadap penyaliban
Nabi Isa. Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke,
menyebutkan banyak kekeliruan di dalam al-Qur’an karena “ke-
jahilan Muhammad” tentang sejarah awal agama Yahudi. Menurut-
nya terdapat kecerobohan dalam menyebut nama-nama yang dicuri
dari sumber-sumber Yahudi.27 Dengan membuat daftar kesalahan
la menyebut:
[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah
salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun,
ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan
Maryam (Miriam) ibu dari al-Masih.28

Pandangan Noldeke ini sebenarnya juga merupakan ke-


cerobohan. Sebab menyimpulkan bahwa Fir’aun tidak memiliki
seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut
dalam Kitab Suci yang terdahulu, adalah naïf. Sebab ia sendiri tidak
memiliki bukti kuat bahwa menteri Fir’aun itu bukan orang yang
bernama Haman atau nama lain. Jika pun bukti itu ada dan diambil
dari kitab Bible tentu tidak tepat pula, sebab ia belum membuktikan

26
Karl Heinz Ohlig et.al, “Neue Wege der Koranforschung” seperti dikutip oleh
Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, h.11
27
Lihat “The Koran”, Encyclopedia Britannica, ed. ke 9, 1891, jld. 16, hlm. 597ff.
Dicetak kembali dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s
Holy Book, (NY: Prometheus Books, Amherst, 1998), h. 36-63.
28
T. Noldeke, “The Koran”, dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, h. 43.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 13

apakah Bible lebih otentik dibanding al-Qur’an sehingga standar yang


digunakan adalah Bible. Padahal, jika ia percaya bahwa kedua kitab
itu adalah wahyu Tuhan, tentu ia akan mengikuti apa firman Tuhan
yang datang belakangan, yakni al-Qur’an. Demikian pula ketika
menyalahkan al-Qur’an dalam soal hubungan kekerabatan Maryam
(Ibu Isa al-Masih) sebagai “saudara perempuan Harun” bukan
Musa. 29 Noldeke salah sebab Maryam atau Elizabeth sebagai
“saudara-saudara perempuan Harun” atau “anak-anak perempuan
`Imran” (ayah Harun).30
Gagasan Noledeke untuk mengkaitkan al-Qur’an dengan kitab
terdahulu mempengaruhi orientalis yang lain. Diantaranya adalah
murid Noledeke sendiri yaitu Israel Schpiro (m.1957). Ia menulis
disertasi dalam bahasa Jerman dengan judul Elemen-elemen Haggadi
dalam Bagian Kisah al-Qur’an. Ia meneliti secara detail kisah-kisah
Nabi Yusuf dalam Surah Yusuf dan membandingkannya dengan
Taurat dan Injil. Selain Noldeke terdapat nama AJ Wensick, murid
Christian Snouck Horgronye. Dalam bukunya yang berjudul
Muhammad dan Yahudi di Madinah (Mohammed en de Joden te
Medina, Leiden 1908), ia menyatakan bahwa nabi Muhammad itu
terpengaruh oleh Yahudi.31 Selain mempengaruhi orientalis lainnya,
Noledeke dkk juga telah mempengaruhi Ali Dashti, pemikir Syiah
Liberal. Pernyataannya yang banyak dikutip kembali oleh orientalis
adalah sbb:
“In the field of moral teachings, however, the Qor ’an cannot be
considered miraculous. Mohammad reiterated principles which
mankind had already conceived in earlier centuries and many places.
Confucius, Buddha, Zoroaster, Socrates, Moses, and Jesus had said
similar things.” 32

Jika hanya mencari kesamaan isi al-Qur’an dengan kitab-kitab


sebelum Islam sudah tentu akan ditemukan dengan mudah. Karena
jika diingat bahwa al-Qur’an adalah penyempurna kitab-kitab
sebelumnya, maka itu adalah wajar. Selain itu, kesamaan itu justru

29
Qur’an 19: 28
30
Lihat komentar Yusuf Ali dalam The Holy Qur’an, mengenai ayat 3: 35 dan 19: 28.
31
Seperti dikutip oleh Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2005), h. 139.
32
Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of Mohammad,
(London: Allen and Unwin, 1985), h. 45

Vol. 7, No. 1, April 2011


14 Hamid Fahmy Zarkasyi

harus dianggap mukjizat al-Qur’an, karena Nabi Muhammad yang


ummi itu ternyata dapat merekam ajaran-ajaran yang ada dalam
kitab sebelumnya. Hal ini menunjukkan pula bahwa ajaran moral
yang dibawa oleh al-Qur’an itu adalah universal dan sesuai dengan
fitrah manusia. Masalahnya, mereka lupa bahwa dalam al-Qur’an
terdapat ajaran-ajaran yang tidak terdapat dalam kitab-kitab
terdahulu.

2. Mengutamakan Rasm dari Riwayah


Al-Qur’an adalah bacaan yang berbeda dari ucapan dan per-
buatan Nabi yang direkam dan disimpan secara terpisah dalam
bentuk Hadits yang secara literer berarti berita, laporan atau narasi.33
Seorang orientalis yang objektif, Michael Zwettler mencatat bahwa
pada zaman kuno, ketika menulis jarang digunakan, hafalan dan
transmisi oral diamalkan dan diperkuat pada tingkat yang kini tidak
dapat diketahui. Maka, sebagian besar dari wahyu dengan mudah
dihafalkan oleh sebagian besar orang dalam komunitas Nabi.34 Ini
berarti Zwettler mengakui adanya tradisi periwayatan daripada
tulisan.
Namun, para orientalis yang terpengaruh oleh ilmu-ilmu social
Barat dan juga oleh metodologi kajian Bible menekankan pada fakta-
fakta empiris yang berlebihan sehingga bukti-bukti lain selain yang
memiliki fakta fisik (habeas corpus) tidak dapat diterima. Hal ini
terbukti dari besarnya perhatian orientalis yang berlebihan dalam
mengkaji sejarah kompilasi teks al-Qur’an atau sejarah teks al-
Qur’an.35 Ini nampaknya berdasarkan pengalaman mereka dalam
melacak sejarah Bible yang hanya mengandalkan pada tulisan
manuscript dalam bentuk papyrus, scroll dan sebagainya. Manuscript
itulah yang berperan dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi
penulisan Gospel. Dengan metode ini John Wansbrough mengang-
gap al-Qur’an sebagai karya sejarah atau rekaman situasi dari budaya
Arab abad ke 7 dan 8 Masehi.36 Dengan metode sejarah terks itu

33
Muhammad Hamidullah, Introduction to Islam, (London: MWH Publishers, 1979), 17
34
Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic Poetry, (Ohio: Ohio State
Press, 1978), p.14.
35
Menurut Jeffery, “Para ilmuwan Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Al-
Qur’an yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi
Muhammad “, maksudnya dalam hal susunan surah dan ayat-ayatnya.
36
Lihat John Wnasbrough, Qur’anic Studies, Sources and Methods of Scriptural
Interpretation, (Oxfrod: Oxford University Press, 1977).

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 15

pula Arthur Jeffery menyimpulkan bahwa mushaf yang ada sekarang


ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya, padahal dia sendiri
tidak menunjukkan bentuk asli. Karena itu ia kemudian membuat
al-Qur’an edisi kritis (critical edition of the Qur’an) berdasarkan
manuskrip-manuskrip yang diperoleh tanpa memperhatikan riwa-
yat dari manuskrip tersebut.37
Dengan pendekatan tekstual itu maka orientalis mengkaji al-
Qur’an dengan berdasarkan sebuah asumsi bahwa Al-Qur’an adalah
‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’,
qira’ah. Dengan asumsi keliru ini (taking the Qur’an as text) mereka
lantas mau menerapkan metode-meode filologis yang lazim
digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source
criticism, form criticism, dan textual criticism. Logika tekstual itulah
yang mengkibatkan anggapan bahwa al-Qur ’an sebagai hasil
interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8M dengan masyarakat sekeliling
mereka. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa mushaf yang
ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (tanpa
mengetahui bagaimana teks aslinya itu) dan karena itu mereka lantas
membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, maupun membuat
naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.
Sebenarnya, dalam Islam Al-Qur’an bukanlah ‘tulisan’ (rasm,
text atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan (qira>’ah atau recitation)
dalam arti ucapan dan sebutan. Baik proses turun (pewahyuan)-nya
maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan (transmisi)-nya
dilakukan melalui lisan dan hafalan. Dari dahulu, yang dimaksud
dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah ‘membaca dari ingatan’ (qara>’a
‘an zhahri qalbin). Rasm dalam berbentuk tulisan diatas tulang, kayu,
kertas, daun dan lain sebagainya hanya berfungsi sebagai alat
penyimpan dari apa yang ada dalam hafalan para Qari’. Hafalan qari’
ini kemudian ditransmisikan dengan isnad secara mutawatir dari
generasi ke generasi hingga zaman sekarang sehingga tetap seperti
yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi.38 Maka dari itu
prinsip yang terkenal dikalangan para ulama dlam hal ini adalah
bahwa “al-rasm ta>bi li al-riwa>yah” (tulisan itu mengikuti riwayat).

37
Lihat Arthur Jeffery, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old
Codices, (Leiden, E.J.Brill, 1937).
38
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Intellektual, (Jakarta: Gema Insani Press,
2008), h. 10

Vol. 7, No. 1, April 2011


16 Hamid Fahmy Zarkasyi

Bagaimana hafalan itu dapat terjaga dari lupa, para sahabat


dan para ulama menggunakan metode isnad yang mutawaatir dari
generasi ke generasi. Hafalan seorang alim di cross check dengan
ulama yang lain. Terdapat tiga pedoman yang harus dipenuhi
sebelum sebuah bacaan suatu ayat diterima sebagai al-Qur’an:
pertama, qira’at mesti tidak diriwayatkan hanya dari satu sumber
yang memiliki otoritas, melainkan melalui sejumlah riwayat besar
(yang cukup untuk melenyapkan kemungkinan adanya kesalahan
yang masuk), yang juga sampai kepada Nabi Muhammad yang
dapat menjamin keaslian dan kepastian bacaan. Kedua, teks bacaan
mesti sama dengan apa yang terdapat Mushaf Uthmani. Ketiga, cara
pengucapan mesti senada dengan tata bahasa Arab yang benar.39

3. Menyoal Pembentukan Mushaf


Para orientalis pada umumnya sepakat bahwa keaslian al-
Qur’an dapat dilacak dari abad pertama Hijrah atau ketujuh Masehi
di Makkah dan Madinah. Keaslian disini bukan sebagai wahyu Allah
kepada nabi Muhammad, tapi keaslian al-Qur’an sebagai karangan
Nabi Muhammad. Sebagai pengarang, Nabi bagi mereka tidak
meninggalkan susunan teks resmi yang lengkap dan definitif, karena
itu materi al-Qur’an dalam bentuk tulisan dan ucapan baru disusun
setelah dua puluh tahun dari wafatnya Nabi oleh Uthman bin Affan
dan diterbitkan sebagai satu-satunya teks yang resmi. Keaslian al-
Qur’an – yang menurut W.Montgomery Watt dan Richard Bell
dianggap sebagai karangan Nabi Muhammad – dalam tradisi Islam
hanya dibuktikan dari keseragaman bahasanya,40 sudah tentu bagi
mereka bukti ini adalah lemah.
Jika Watt dan Bell meragukan keaslian wahyu karena tidak
adanya bukti teks yang lengkap, John Wansbrough mempersoalkan
bagaimana cara-cara teks itu disusun menjadi teks seperti yang ada
sekarang ini. Baginya sumber analisa hanya berdasarkan kajian fakta
sejarah dan menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi meragu-
kan. Sebenarnya, menurut Wansbrough, sumber-sumber Muslim

39
MM. Al-Az}ami>, “The History of the Qur’anic Text, comparative Study with the
Old and New Testaments, From Revelation to Compilation”, di Indonesiakan oleh Sohirin
Solihin dkk, Sejarah Teks al-Qur’an, dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani
Press, International Islamic University, 2005), h. 224
40
W. M.Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1970), h. 2-3.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 17

tentang asal usul Islam, termasuk al-Qur’an dan Hadits, sunnah nabi,
tafsir dan sejarah adalah produk dari aktifitas kesusasteraan yang
harus dianalisa sebagai sastra dengan menggunakan juga metode
kritik sastra (literary-critical methods). Sebab, alasannya, kesimpulan
terbaik dari fakta-fakta sejarah itu adalah analisis kesusasteraan41 dan
itu ia ambil dari kajian bible (biblical studies). Metode kritik kesusas-
teraan ini pada akhirnya berujung pada kesimpulan bahwa keper-
cayaan tradisional Muslim tentang al-Qur’an yang diwahyukan
melalui Nabi Muhammad dan teks resminya itu merupakan koleksi
dan perbaikan redaksi tidak lama dari meninggalnya Nabi adalah
tidak benar. Kepercayaan ini menurut Wansbrough hanyalah fiksi,
yang nampaknya mengikuti model kitab suci Yahudi.
Dalam dua bukunya Qur’anic Studies: Sources and Method of
Scriptural Interpretation42 Wansbrough menggambarkan perlunya
kajian kritis terhadap kualitas sumber informasi dari perspektif
kesusateraan agar terhindar dari pengaruh pendekatan teologis.
Oleh sebab itu pertanyaan pertama yang diajukannya dan tidak
pernah dipersoalkan orang dalam studi Islam adalah “apa buktinya?”
Dan ketika arah pertanyaan Wansbrough ditujukan ke al-Qur’an
maka pertanyaan menjadi:”Bukti apakah yang ada untuk mem-
buktikan akurasi sejarah dari penjelasan Muslim tradisional tentang
“kompilasi” al-Qur’an sesudah wafatnya Nabi Muhammad?”
Pertanyaan curiga ini dijadikan landasan untuk mengkaji teks
al-Qur’an dengan dalih bahwa seluruh dokumentasi kitab harus
dilihat dari analisas kesusasteraan yang disebut dengan teori
“salvation history”. Model analisa ini dikembangkan dengan serius
oleh Bultmann dan Neusner dalam kajian Bible.43 Teorinya bermula
dari proposisi bahwa meskipun dokumentasi tentang “salvation

41
J.Wansbrough, The sectarian milieu: Content and composition of Islamic salvation
history (Oxford: Oxford University Press, 1978), h. ix, 118–19.
42
John Wansbrough, Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural Interpretation,
(Oxford: Oxford University Press, 1977)
43
Teorinya dapat dibaca dari Rudolf Bultmann, The History of the Synopic Tradition,
trans. John Marsh, 2nd ed., Oxford: Blackwell, 1968; sedangkan Neusner menulis dalam
bentuk makalah-makalah seperti misalnya “The Study of Religion as the Study of Tradition
in Judaism” dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious Studies, (Chicago,
California: New Horizon Press, 1975), h. 31-48. Salvation history bukan penjelasan sejarah
yang dapat dikaji oleh sejarawan, tapi merupakan kesusasteraan yang memiliki konteks
sejarahnya sendiri. Sebab sejarah keselamatan ini menurut Bultmann diterima dari generasi
ke generasi dalam bentuk sastra dan harus didekati dengan cara yang sesuai yaitu analisas
kesusasteraan.

Vol. 7, No. 1, April 2011


18 Hamid Fahmy Zarkasyi

history” menunjukkan dirinya sebagai peristiwa yang seakan-akan


sama dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Tapi sejatinya itu
adalah gambaran yang dibuat sesudah peristiwa itu terjadi, dan
menunjukkan bahwa penjelasan itu berdasarkan pandangan yang
ditulis sesudah peristiwa itu terjadi untuk tujuan-tujuan zaman itu.
Apa yang sebenarnya terjadi dikesampingkan untuk tujuan
interpretasi. Pendekatan yang digunakan untuk Bible ini kemudian
ditrapkan untuk kajian al-Qur’an, sehingga teorinye menjadi begini:
apa yang akan dibuktikan oleh al-Qur’an, apa yang akan dijelaskan
oleh tafsir, sira dan kajian-kajian teologis tidak dari upaya untuk
mengaitkan segala peristiwa dizaman Nabi itu dengan Tuhan.
Seluruh aspek dari sejarah keselamatan Islam (Islamic Salvation
History) diarahkan untuk kepentingan keimanan bahwa Tuhan
berperan besar dalam mengarahkan nasib manusia.44 Disini jelas
sekali bahwa framework orientalis, meski menampakkan keseriusan
kajiannya, namun pengaruh metode kajian Bible dengan kritik
kesusasteraannya tidak dapat disembunyikan.
Para orientalis pada umumnya tidak percaya pada fakta tentang
keberadaan al-Qur’an dalam bentuk lisan dari tradisi hapalan di
kalangan orang-orang Arab pada waktu itu. Dengan memberi
penekanan pada substansi al-Qur’an sebagai sebuah teks, kalangan
orientalis berusaha menepis sejarah penulisan dan kompilasinya di
masa Muhammad dan di masa khalifah Abu Bakr, namun menerima
upaya kompilasi yang dilakukan oleh ‘Uthman. Hanya saja mereka
kemudian menduga adanya kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam teks Al-Qur’an di masa itu. Sebab antara wafatnya Rasulullah
dengan distribusi naskah Al-Qur’an ke pelbagai wilayah Dunia Islam
selisih lima belas tahun. Mereka menganggap dalam rentang waktu
ter-sebut telah terjadi distorsi dan pemalsuan teks aslinya. Padahal,
ilmuwan Kitab Injil tidak mempermasalahkan sejarah Bibel, meski-
pun beberapa Kitab Perjanjian Lama ditulis berdasarkan transformasi
lisan setelah berselang delapan abad lamanya. Sebaliknya naskah
bahasa Yahudi, yang mengalami transmisi saat kembalinya orang
Yahudi itu dari Babilonia ke bumi Palestina sejak masa penawanan,
sama sekali tanpa bukti ilmiah dan hal demikian berlaku selama
dua ribu tahun hingga terjadinya kontak dengan orang-orang Arab

44
Lihat Andrew Rippin, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The
Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin (Ed) Approach to Islam In
Religious Studies, (Oxford: Oneworld, 2003), h. 151-163.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 19

Muslim yang memacu mereka dalam hal tersebut. Meskipun ang-


gapan bahwa selisih waktu lima puluh tahun sebagai sarana pem-
buktian kepalsuan naskah al-Qur’an dan kemungkinan adanya
keragu-raguan, sangat tidak masuk akal.
Kajian-kajian orientalis seakan mempertanyakan, jika Al-
Qur’an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad, dan disimpan
baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula
‘Umar takut kehilangan Al-Qur’ an karena syahidnya para h}uffa>z}?
‘Umar merasa khawatir dengan kematian para h}uffa> z} pada pe-
perangan Yamamah dan kemudian memberi tahu Abu Bakr akan
kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka?
Lebih jauh lagi, mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak
disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika
demikian, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan
dalam menyiapkan S}uh}uf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan
itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang
didiktekan sejak awal dan penulisannya adalah palsu. Selain itu
mereka juga mempertanyakan jika terdapat satu naskah al-Qur’an
milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada
para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Jika naskah itu
terdapat, mengapa Zaid bin Tsabit tidak memakainya sebagai
narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Jadi, karena Nabi
tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis kepada para
sahabat, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah
kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk
tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut boleh saja dilontarkan, namun
fakta sejarah menunjukkan bahwa para h}uffa> z} yang jumlahnya
ribuan itu memperoleh ilmu pengetahuan al-Qur’an langsung dari
Nabi Muhammad atau melalui mata rantai sanad yang telah diuji
kepercayaannya secara komprehensif sehingga tidak memungkin-
kan adanya kesalahan. Maka dari itu hingga wafatnya Rasulullah
SAW hampir seluruh catatan-catatan awal para sahabat nabi yang
merupakan koleksi pribadi dengan perbedaan kualitas dan
kuantitasnya telah wujud. Karena untuk keperluan masing-masing,
banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau
komentar (tafsir) dipinggir ataupun disela-sela ayat yang mereka
tulis. Namun, sekali lagi rekaman catatan para sahabat itu tidak lebih

Vol. 7, No. 1, April 2011


20 Hamid Fahmy Zarkasyi

utama dari hapalan mereka. Itulah sebabnya mengapa setelah


susutnya jumlah penghafal Al-Qur ’an karena gugur di medan
perang, Khalifah Abu Bakr as-Siddiq r.a berusaha mengkodifikasikan
(jam’) dengan membentuk sebuah tim pengumpul hingga Al-Qur’an
terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung
(first-hand) dan mutawaatir dari Nabi SAW. Setelah wafatnya Abu
Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar
r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah,
sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a.
Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah sahabat,
sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali
semua qira’at yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai
keshahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standari-
sasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Untuk membuat
kompilasi S}uh}uf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap
orang tidak hanya harus membawa ayat, melainkan juga membawa
dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan
itu benar-benar datang langsung dari Nabi Muhammmad. Hukum
kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan
‘Uthman. Jadi otoritas saksi merupakan poin paling penting dalam
menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen. Ayat-ayat yang telah
ditulis tetap terpelihara di suatu tempat tertentu. Hasilnya dibukukan
dalam beberapa mushaf standard yang masing-masing mengandung
qira>’at mutawa>tirah yang disepakati keshahihan periwayatannya dari
Nabi SAW. Jadi sangat jelaslah fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

4. Mempersoalkan Kandungan al-Qur’an


Dari menekankan pada substansi al-Qur ’an sebagai teks
orientalis kemudian beralih mempersoalkan kandungan teks al-
Qur’an. Dengan menggunakan pendekatan historis dan fenomeno-
logis, W. Montgomery Watt misalnya beranggapan bahwa sumber
wahyu al-Qur’an itu ada dua yaitu Tuhan dan nabi Muhammad.
Dari anggapan ini ia kemudian menafsirkan bahwa wahyu al-Qur’an
itu bersumber dari Allah tetapi diproduksi oleh Muhammad dengan
bahasanya sendiri dalam konteks lingkungan dan sosio-religius
(Yahudi dan Kristen). Watt di satu sisi tidak menolak Islam yang
fundamental, tetapi disisi lain dia menerapkan pendekatan Historis-
me yang bertentangan dengan keyakinan Islam. Watt menolak
malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu. Baginya wahyu turun dari

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 21

Tuhan hanya dalam bentuk makna, bukan dalam bentuk lafal.


Karena ada peranan Nabi Muhammad dalam subtansi wahyu, maka
dari sini menurutnya dimungkinkan terjadinya kekeliruan dalam
al-Qur’an. Contoh kekeliruan yang ia tunjukkan adalah penolakan
terhadap penyaliban Yesus dalam al-Qur’an (QS 4:157). Ajaran seperti
ini menurut Watt diambil Muhammad dari sekte Kristen Syiria yang
keliru. Watt berkesimpulan bahwa dengan keterlibatan Nabi
Muhammad dalam subtansi wahyu, maka bisa terjadi kekeliruan
dalam Al-Qur’an bila kekeliruan seperti penolakan Yesus dihilangkan,
maka Islam dan Kristen bisa bersatu.
Kajian terhadap kandungan al-Qur’an dengan menggunakan
framework Barat dilakukan oleh Joseph Schacht dalam karyanya
Introduction to Islamic Law. Schacht membagi hukum dalam Islam
kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property),
kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak
khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain. 45
Susunan seperti ini berdasarkan tata hokum Romawi dan bukan
tata hukum Islamdan tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik
bahasan serta pembagi-annya yang digunakan dalam sistem
perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama
terhadap Al-Qur’an dengan membagi Quranic Studies menurut empat
prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) yaitu: (1) Tafsiran
Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis);
(3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis);
dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory).
Tafsir-tafsir seperti ini tidak dipahami oleh para ilmuwan Muslim
baik yang berlatar belakang pendidikan Timur mau pun Barat.
Barangkali hanya pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan per-
istilahan Perjanjian Lama yang mengerti jenis tafsir itu. Mengapa
mereka melakukan itu semua, tidak lain adalah untuk membuktikan
bahwa isi kandungan al-Qur’an itu bersumber dari Yahudi dan
Kristen.46 Ini dapat diperkuat oleh pandangan Wansbrough, yang
menyatakan bahwa “Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan

45
J. Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ. Press, 1964), lihat
kandungan isi.
46
M.M al-A’zami, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to Compilation,
terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks Al-Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya,
Gema Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia, (Jakarta: 2005), h. 337-343;
lihat juga J. Wansbrough, Quranic Studies, lihat Daftar Isi.

Vol. 7, No. 1, April 2011


22 Hamid Fahmy Zarkasyi

ketokohan Muhammad, dibangun di atas prototype kependetaan


agama Yahudi.”47
Kritikan orientalis mengenai kandungan al-Qur’am telah
dibahas dengan baik diantaranya oleh Muhmammad Khalifa, dalam
The Sublime Qur’an and Orientalism. Dalam buku ini Khalifa adalah
Konsep Tuhan dalam al-Qur’an, pengertian Islam, kepercayaan
dalam Islam, ritual-ritual dalam Islam, sikap al-Qur’an terhadap
agama lain, Konsep moralitas dalam al-Qur’an, masalah Qada-Qadar
dan masalah-masalah metafisis seperti ruh, jiwa, kematian, neraka,
surga, hari akhir, pembalasan dan lain sebagainya.48

5. Menggunakan Metodologi Bibel


Karakteristik orientalis yang lain adalah penerapan metodologi
kajian Bibel kedalam kajian al-Qur’an. Metodologi tersebut adalah
kritis historis. Tokohnya adalah pendeta Edward Sell (m. 1932), salah
seorang misionaris terkemuka di Madras, India. Ia mendesak agar
kajian kritis-historis al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan
kritik Bibel (biblical criticism). Ia sendiri merealisasikan gagasannya
dengan menulis Historical Development of the Qur’an, yang diterbit-
kan pada tahun 1909 di Madras, India.49 Ia juga menjadikan karya
Theodore Nöldeke, Geschichte des Qorans, sebagai model untuk kajian
kritis al-Qur’an.50 Jejak Sell kemudian diikuti oleh Pendeta Alphonse
Mingana (m. 1937) yang menyatakan:
Sudah tiba masanya untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an
sebagaimana telah kita lakukan terhadap Bibel Yahudi yang berbahasa
Ibrani-Aramaik dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani.51

Selain itu Arthur Jeffery (m. 1959), seorang orientalis dari


Australia melihat konsep kesucian al-Qur’an sebagaimana konsep
47
Lihat R.S. Humpreys, Islamic History: A Framework for Inquiry, Revised edition,
(Princeton: Princeton Univ. Press, 1991), h. 84.
48
Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, (London and New York:
Longman, 1983), lihat Daftar Isi.
49
Lihat Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985;
pertama kali terbit tahun 1928), h. 253-56.
50
Arthur Jeffery, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World 16
(1926), h. 330.
51
Mingana menyatakan: “The time has surely come to subject the text of the Kur’a>n to the
same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the
Greek of the Christian Scriptures.” Lihat Alphonse Mingana, “Syiriac Influence on the Style of
the Kur’an,” Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 23

kesucian Bibel. Kesucian Bibel bukan karena dirinya sendiri, akan


tetapi oleh karena tindakan komunitas masing-masing agama. Jeffery
mengatakan:
Komunitaslah yang menentukan masalah suci dan tidaknya [kitab
suci]. Komunitaslah yang memilih dan mengumpulkan bersama
tulisan-tulisan tersebut untuk kegunaannya sendiri, yang mana
komunitas merasa bahwa ia mendengar suara otoritas keagamaan
yang otentik yang sah untuk pengalaman keagamaan yang khusus.”52

Jeffery mencoba menyamakan apa yang terjadi di dalam


komunitas lintas agama. Komunitas Kristen (Christian community)
misalnya, memilih 4 dari sekian banyak Gospel, menghimpun sebuah
korpus yang terdiri dari 21 Surat (Epistles), Perbuatan-Perbuatan
(Acts) dan Apocalypse yang kesemua itu membentuk Perjanjian Baru
(New Testament). Ini sama dengan komunitas Muslim, dimana pen-
duduk Kufah, misalnya, menganggap Mushaf ‘Abdullah ibn Mas‘ud
sebagai al-Qur’an edisi mereka. Penduduk Basra menganggap
Mushaf Abu Musa sebagai milik mereka, sedangkan penduduk
Damaskus dengan Mus} h } a f Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk
Syiria dengan Mushaf Ubay.53 Jeffery menyatakan sikap awal kaum
Muslimin tersebut paralel sekali dengan sikap masing-masing pusat-
pusat utama gereja terdahulu yang menetapkan sendiri ragam variasi
teks untuk Perjanjian Baru. Teks Perjanjian Baru memiliki berbagai
versi seperti teks Alexandria (Alexandrian text),54 teks Netral (Neutral
text),55 teks Barat (Western text),56 dan teks Kaisarea (Caesarean text).57

52
Arthur Jeffery menyatakan: “It was the community which decided this matter of what
was and what was not Scripture. It was the community which selected and gathered together for its
own use those writings in which it felt that it heard the authentic voice of religious authority valid
for its peculiar religious experience.” Lihat Arthur Jeffery, “The Qur’a>n as Scripture,” The Moslem
World 40 (1950), h. 43.
53
Arthur Jeffery, The Qur’a>n as Scripture (New York: Russell F. Moore Company,
1952), h. 94-95.
54
Menurut Westcott dan Hort, teks Alexandria dalam tahap tertentu terjaga di dalam
kodeks Ephraemi (C), kodeks Regius (L), kodeks 33, dan versi-versi Koprik (Khususnya
Bohairik), sebagaimana juga kutipan-kutipan dari Gerejawan Alexandria, Klement, Origen,
Dionysius, Didymus dan Cyril. Dikutip dari Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament,
h. 133.
55
Dalam pandangan Westcott dan Hort, teks Netral adalah teks yang paling bebas
dari kerusakan dan percampuran dan yang paling dekat dengan teks otograf. Kodeks Vaticanus
(B) dan kodeks Sinaiticus (à) yang paling mewakili teks Netral. Lihat lebih lanjut Bruce M.
Metzger, The Text of the New Testament, h. 133.
56
Teks Barat terjaga di dalam manuskrip-manuskrip inci tertentu yang dalam dua
bahasa (certain bilingual uncial manuscripts), utamanya kodeks Bezae tentang Bibel dan

Vol. 7, No. 1, April 2011


24 Hamid Fahmy Zarkasyi

Masing-masing teks tersebut memiliki varian bacaan tersendiri.


Bukan hanya itu, Jeffery juga menghimbau para cendekiawan
Muslim untuk melakukan kritik teks kepada al-Qur’an, sebagai-
mana yang telah dilakukan kepada Bibel. Hal ini tampak menurut
Jeffery, karena belum ada satupun dari para mufasir Muslim yang
menafsirkan al-Qur’an secara kritis. Ia mengharapkan agar tafsir
kritis terhadap teks al-Qur’an bisa diwujudkan. Caranya dengan
mengaplikasikan metode kritis ilmiah (biblical criticism). Jeffery
meyatakan:
Apa yang kita butuhkan, bagaimanapun, adalah tafsir kritis yang
mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern
sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern
untuk tafsir al-Qur ’an.”58

Dari mencontoh kritik terhadap Bibel (biblical criticism), Jeffery


merancang proyek ambisius yaitu mengedit al-Qur’an secara kritis
(a critical editon of the Qur’an). Namun proyek Jeffery tersebut gagal
karena kematian kolega-koleganya dalam perang dunia ke-2 yang
menghancurkan 40.000 naskah lebih yang telah terhimpun di
Munich. Dalam upayanya untuk membuat al-Qur’an edisi kritis ia
berpendapat bahwa kosa kata asing di dalam al-Qur’an mesti diteliti
dan dirujuk hingga ke sumber asalnya. Dengan cara demikian, ia
berharap bisa memahami sumber-sumber yang mempengaruhi
Muhammad saw. dalam mengajarkan risalahnya. Karena menurut-
nya Muhammad termasuk orang yang haus darah, sehingga
kebanyakan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an bersifat tidak
humanis. Dimana ayat-ayat al-Qur’an banyak dihasilkan dari pada
apa yang dilihat oleh Muhammad disekitarnya, seperti menyebarkan
Islam dengan pedang, hukum rajam, qhisas dan lain-lain.

Perbuatan-Perbuatan (D) dan kodeks Claromontanus tentang Surat-Surat (Dp) dalam versi
Latin Kuno (s) dan dalam manuskrip-manuskrip Kuretonia (Curetonian) yang berbahasa
Syiriak Kuno. Lihat penjelasan lebih lanjut di Bruce M. Metzger, The Text of the New Testament,
132; 213-14.
57
Mungkin teks Kaesarea berasal dari Mesir dan dibawa oleh Origen ke Kaesarea,
dan dari situ dibawa ke Israil. Karakteristik khusus dari teks Kaesarea adalah percampuran
antara bacaan Barat (Western readings) dan Alexandria (Alexandria readings). Lihat Bruce M.
Metzger, The Text of the New Testament, 214-15.
58
Arthur Jeffery menulis: “What we needed, however, was a critical commentary which
should embody the work done by modern Orientalists as well as apply the methods of modern
critical research to the elucidation of the Koran. Lihat Arthur Jeffery, Progress in the Study of the
Qur’Én Text, The Moslem World 25 (1935), h. 4.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 25

Tidak hanya itu, beberapa kandungan hukum al-Qur’an,


banyak bertentangan dengan hukum moral dan hukum ketuhanan.
Legitimasi seorang untuk dapat kawin lebih dari satu, menurut
mereka bertentangan dengan moral dan merupakan pelecehan
seksual terhadap kaum perempuan. Demikian pula hukum pidana
dalam al-Qur’an seperti hukum rajam, qishas dan lain-lain banyak
bersifat lokal dan tidak humanis. Pola pikir ini bermula dari sebuah
konsep yang subjektif, yaitu bahwa Muhammad saw. adalah penulis
al-Qur’an yang sebenarnya. Usaha untuk mengadopsi metodologi
Bibel kepada al-Qur’an, masih terus berlanjut. Pada pertengahan
abad ke 20, John Wansbrough (m. 2002) dalam karyanya Quranic
Studies yang terbit pada tahun 1977, menggunakan kritik sumber
(source criticism) ke dalam studi al-Qur’an. Ia menyatakan: “As a
document susceptible of analysis by the instruments and techniques of
Biblical criticism it is virtually unknown.”59
Berlanjut sehingga kini, orientalis terus-menerus mengaplikasi-
kan metodologi Bibel dalam studi al-Qur’an. Baru-baru ini ketika
mereview Die syro-aramäische Lesart des Koran. Ein Beitrag zur
Entsclüsselung der Koransprache (Cara membaca al-Qur’an dengan
bahasa Syria-Aramaik. Sebuah sumbangsih upaya pemecahan
kesulitan memahami bahasa al-Qur’an), karya Christoph Luxernberg
(nama samaran), Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn
menyatakan: “Tidak di dalam sejarah tafsir al-Qur’an karya seperti
ini pernah dihasilkan. Karya-karya yang sama hanya dapat ditemukan
di dalam bentuk kesarjanaan kritis teks Bibel.” (Not in the history of
commentary on the Qur’an has a work like this been produced. Similar
works can only be found in the body of text-critical scholarship on the
Bible.) 60
Akibat penerapan biblical criticism dalam studi al-Qur’an, para
orientalis melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial
mengenai al-Qur’an seperti: al-Qur’an telah mengalami berbagai
penyimpangan; standartisasi al-Qur’an disebabkan rekayasa politik
dan manipulasi kekuasaan; Utsman ibn Affan salah karena telah

59
John Wansbrough, Quranic Studies; Sources and Methods of Scriptural Interpretation
(Oxford: Oxford University Press, 1970), h. ix
60
Robert R. Phenix Jr. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg (ps.) “Die syro-
aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye:
Journal of Syiriac Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/Vol6NO1/
HV6N1PRPhenixhorn.html

Vol. 7, No. 1, April 2011


26 Hamid Fahmy Zarkasyi

mengkodifikasi al-Qur’an; perlunya mewujudkan al-Qur’an edisi


kritis; al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa
Aramaik; al-Qur’an adalah karangan Muhammad; terdapat sejumlah
kesalahan dalam penulisan al-Qur’an; tidak ada di dalam al-Qur’an
yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh
Yahudi-Kristen yang sangat dominant dalam al-Qur’an, menya-
maratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah
kata dan kalimat dalam al-Qur’an dan lain sebagainya.

Penutup
Dari uraian diatas jelaslah bahwa pemahaman orientalis
terhadap Islam didorong oleh motif-motif tertentu yang penuh
dengan kepentingan Barat. Demikian pula kajian mereka terhadap
sejarah al-Qur ’an, proses kompilasinya, status ontologisnya,
kandungannya dan metodologinya dipengaruhi oleh pendekatan
ilmu pengetahuan Barat sekuler dan diwarnai oleh kepercayaan dan
tradisi agama Kristen dan Yahudi. Karena pendekatan ini berbeda
dengan apa yang terdapat dalam tradisi intelektual Islam maka
hasilnya pun akan berbeda. Ketika mereka menerapkan metodologi
Bibel, teks al-Qur’an dianggap sama dengan teks Bibel, padahal
keduanya berbeda secara historis maupun secara tekstualnya. Kajian
terhadap al-Qur’an mensyaratkan adanya unsur keimanan, sedang-
kan para orientalis itu mengkaji al-Qur’an tanpa keimanan, sehingga
hal-hal yang bersifat doktriner ditinggalkan. Kajian yang hanya
mengandalkan akal hanya akan menimbulkan keraguan ketika
menemui masalah-masalah yang tidak bisa dijangkau oleh akal.
Satu hal yang perlu diakui adalah bahwa setiap teks memiliki
latar belakang sejarahnya sendiri sendiri. Oleh sebab itu, menerapkan
metodologi suatu teks, seperti Bible kedalam kajian teks yang lain,
khususnya al-Qur’an tidaklah tepat. Metodologi yang tidak sesuai
untuk mengkaji al-Qur’an akan menggiring kesimpulan yang justru
bertentangan dengan esensi al-Qur’an sendiri. Alasan lainnya al-
Qur’an telah memiliki metodologi tersendiri. Metodologi kajian al-
Qur’an yang diwarisi dari para ulama itu adalah ‘ulum al-Qur’an.
Meskipun ada beberapa persamaan antara ‘ulum al-Qur’an dan
biblical criticism, namun terdapat sejumlah perbedaan yang mendasar
terutamanya status teks itu sendiri.

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 27

Jika metodologi Bibel diterapkan dalam kajian al-Qur’an


sudah tentu metode tafsir al-Qur’an juga dapat diterapkan dalam
kajian Bibel. Jika kajian al-Qur’an diterapkan ke dalam kajian teks
Bible, tentu Bibel menjadi tidak berarti apa-apa. Jadi Biblical
criticism hanya tepat diterapkan untuk Bibel dan bukan untuk
kajian al-Qur’an. Sebab Bibel itu adalah hasil karangan beberapa
orang penulis yang hidup dalam zaman yang berlain-lainan. Latar
belakang penulis yang beragam mewarnai isi Bibel. Oleh sebab
itu, textus receptus dan teks standar Bibel memang harus ditolak
karena justru menghilangkan keaneka-ragaman yang memang
sejak awal sudah terjadi.
Jika teks Bibel bisa disamakan dengan teks-teks lain yang
dikarang oleh manusia, maka al-Qur’an tidak demikian, karena ia
adalah tanzil yang tidak bisa disamakan dengan teks karangan
manusia. Bahkan anggapan sementara orang bahwa al-Qur’an
telah tercampur oleh perkataan Nabi Muhammad telah terbantah
oleh firman Allah SWT yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad)
mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami
pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami
potong urat tali jantungnya”. Allah juga berfirman yang artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).[]

Daftar Pustaka
Afaf, al-Musytasyriqu> n wa Musykila> t al-H} ad} a > r ah, (Cairo: Dar al-
Nahdah al-‘Arabiyyah, 1980)
al-A’zami, M.M, The History of The Qur’anic Text - From Revelation to
Compilation, terjemahan Bahasa Indonesia, Sejarah Teks Al-
Quran - Dari Wahyu Sampai Kompilasinya, (Jakarta: Gema
Insani Press dan Universitas Islam Internasional Malaysia,
2005).
Ali Dashti’s Twenty-Three Years: A study of the Prophetic Career of
Mohammad, (London: Allen and Unwin, 1985).
Ali, Muhammad Mohar, The Qur’an and the Orientalists: An
Examination of their Main Theories and Assumption,s Jam’iyat

Vol. 7, No. 1, April 2011


28 Hamid Fahmy Zarkasyi

Ihyaa’ Minhaaj al-Sunnah (JIMAS) 2004.


al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n, al-Itqa>n fi> Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Kita>b
al-‘Arabiy, 2003).
Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Intellektual, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2008).
Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2005.
Bell, Richard, & W.M.Watt, Introduction to the Qur’an, (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1970)
Bell, Richard, The Origin of Islam in its Christian Environment, (London:
1926).
Bultmann, Rudolf, The History of the Synopic Tradition, trans. John
Marsh, 2nd ed., (Oxford: Blackwell, 1968).
Daniel, Norman, Islam and the West, The Making of an Image, (Boston:
Oneworld Publication, 2000).
Geiger, Abraham, “What Did Muhammad Borrow from Judaism’?”
dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the Koran, (New York:
Prometheus Books, 1998).
Gibb, Sir Hamilton, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, (Harvard:
Harvard Theological Review, 55, 1962).
Hamidullah, Muhammad, Introduction to Islam, (London: MWH
Publishers, 1979)
H}ibba>n, Ima>m Abi> Ha>tim Muh}ammad ibn, Kitab al-Majru>h}i>n min
al-Muh}additsi>n wa al-D}u’afa>’ wa al-Matru>ki>n, editor Mah}mu>d
Ibra>hi>m Za>yid (H}alb/Aleppo: Da>r al-Wa’y, 1396 H)
Humpreys, R.S., Islamic History: A Framework for Inquiry, Revised
edition, (Princeton: Princeton Univ. Press, 1991)
Jeffery, Arthur, “Progress in the Study of the Qur’an Text”, Muslim
World, 1935.
______, “The Quest of the Historical Mohammed,” The Moslem World
16, 1926.
______, “The Qur’a>n as Scripture,” The Moslem World 40 (1950).
______, Materials for the History of the Text of the Qur’an: The Old
Codices, (Leiden: E.J.Brill, 1937).

Jurnal TSAQAFAH
Tradisi Orientalisme dan Framework Studi al-Qur’an 29

______, Progress in the Study of the Qur’a>n Text, The Moslem World
25 (1935).
______, The Qur’a> n as Scripture (New York: Russell F. Moore
Company, 1952).
Khalifa, Mohammad, The Sublime Qur’an and Orientalism, Longman
London and New York, 1983.
Longman Dictionary of English Language, (Burnt Mill, Harlow,
Longman, 1984)
Metzger, Bruce M., The Text of the New Testament, 133.
Mingana, Alphonse, “Syiriac Influence on the Style of the Qur’a>n,”
Bulletin of the John Rylands Library 11: 1927.
Neusner “The Study of Religion as the Study of Tradition in Judaism”
dalam Roberts D. Baird, Methodological Issues in Religious
Studies, (Chicago, California: New Horizon Press, 1975).
Phenix Jr., Robert R. and Cornelia B. Horn, Christoph Luxenberg
(ps.) “Die syro-aramaeische Lesart des Koran; Ein Beitrag zur
Entschüsselung der Qur’ansprache.” Hugoye: Journal of Syiriac
Studies, 1. Dikutip dari http://syrcom.cua.edu/Hugoye/
Vol6NO1/HV6N1PRPhenixhorn.html
Rippin, Andrew, “Literary, Analysis of Qur’an, Tafsir and Sira, The
Methodologies of John Wansbrough”, dalam Richard C. Martin
(Ed) Approach to Islam In Religious Studies, (Oxford: Oneworld,
2003).
______, Introduction The Quran: Style and Contents, editor Andrew
Rippin (Hampshire: Ashgate Publishing Limited, 2001).
Said, Edward, Orientalism (New York: Vintage Books, 1979)
______, The World, the Text, and the Critic, (Cambridge: Harvard
University Press, 1984).
Schacht, J., An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford Univ.
Press, 1964).
Sell, Canon, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation,
1985; pertama kali terbit tahun 1928)
Smith, W.C., Islam in Modern History, 4th edition, (Princation, 1996).
______, On Understanding Islam-Selected Studies, (the Hague, 1981).
Southern, R.W.: Western Views of Islam in the Middle Ages, 3rd edition,

Vol. 7, No. 1, April 2011


30 Hamid Fahmy Zarkasyi

(Harvard: Harvard University Press, 1978).


The Oxford English Dictionary, Oxford, 1933, vol. VII
Tibawi, A.L. “A Critique of Their Approach to Islam and Arab
Nationalism”, dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol.
VIII, no. 1-2).
Wansbrough, John, The sectarian milieu: Content and composition of
Islamic salvation history (Oxford: Oxford University Press,
1978).
______, Qur’anic Studies: Sources and Method of Scriptural
Interpretation, (Oxford: Oxford University Press, 1977).
Warraq, Ibn, (ed.), The Origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s
Holy Book, (Amherst, NY: Prometheus Books, 1998).
Watt, William Montgomery, Bell’s Introduction to the Qur’an
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970).
______, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New
York: Routledge, 1988).
______, Muhammad at Mecca, (Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1960).
Wright, Thomas, Early Christianity in Arabia, A Historical Essay, (New
Jersey: Theological Seminary Princeton, tt).
Zwettler, Michael, The Oral Tradition of Classical Arabic Poetry, Ohio
State Press, 1978.

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam:
Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis
Hamid Fahmy Zarkasyi
Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, Ponorogo
email: hfzark@yahoo.co.uk

Abstract
Factually, liberalism in social sciences and politics in Western Civilization
has marginalized religion or separated religion from social lives and politics
step by step. When liberalism became parts of religious thought of Christianity,
Catholic and Protestant, it had subordinated the church under the political interest
and humanism, and reduced its theological role in almost all aspects of social
lives. Therefore, in liberalism of religious thought, the main problem to be
argued is the concept of God (Theology) then doctrine and religious dogma.
After that, liberalism argued and separated the relationship between religion
and politics (Secularism). Finally, liberalism of religious thought became
secularism, and influenced by the wave of postmodernism thought which
enhances pluralism, equality and relativism. In its expansive movement, through
globalization, modernization, and westernization, the West subsequently becomes
the challenge of all nations and other civilization include Islam. Specifically,
Western Civilization could be seen from three cultural sources; missionaries,
orientalism, and colonialism. These three movements essentially disseminate
the principle or element of Western way of life.

Keywords: sekularisme, equality, relativisme, humanisme, postmodernisme

Pendahuluan

T
antangan fundamental yang dihadapi umat Islam dewasa ini
sebenarnya bukan berupa ekonomi, politik, sosial dan budaya,
tapi tantangan pemikiran. Sebab persoalan yang timbul dalam
bidang-bidang tersebut serta bidang-bidang terkait lainnya, jika

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


2 Hamid Fahmy Zarkasyi

dilacak, ternyata bersumber pada persoalan pemikiran. Tantangan


pemikiran itu bersifat internal dan eksternal sekaligus. Tantangan
internal telah lama kita sadari yaitu kejumudan, fanatisme, taqlid,
bidah khurafat. Sebagai akibatnya adalah lambatnya proses ijtihad
umat Islam dalam merespon berbagai tantangan kontemporer,
lambatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dan pesatnya
perkembangan aktivisme. Sedangkan tantangan eksternal adalah
masuknya paham, konsep, sistem dan cara pandang asing seperti
liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, relativisme, feminism,
gender dan lain sebagainya ke dalam wacana pemikiran keagamaan
Islam. Sebagai akibat tantangan eksternal yang berupa percampuran
konsep-konsep asing ke dalam pemikiran dan kehidupan umat Islam
adalah kerancuan berpikir dan kebingunan intelektual. Mereka yang
terhegemoni oleh framework yang tidak sejalan dengan Islam ini,
misalnya, akan melihat Islam dengan kaca mata sekuler, liberal dan
relativistik.
Dampak lebih konkret dari kedua tantangan internal dan
eksternal tersebut termanifestasikan ke dalam problem pengem-
bangan sistem ekonomi Islam. Di satu sisi umat Islam kekurangan
ulama pakar syariah yang bergiat mengembangkan konsep-konsep
ekonomi syariah tapi juga memahami ekonomi kontemporer. Di
sisi lain ilmuwan Muslim kini kebanyakan telah diajari disiplin ilmu
dan praktik ekonomi konvensional (baca: kapitalis) sehingga
menolak syariah. Sementara itu praktik-praktik perbankan syariah,
takaful, bursa syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya tidak
berdasarkan pada kajian ilmiah akademik dan metodologis di tingkat
perguruan tinggi. Sebaliknya kajian ekonomi Islam di perguruan
tinggi tidak berkembang sepesat praktik-praktik ekonomi
perbankan. Jadi untuk mengembangkan sistem ekonomi Islam umat
Islam terhadang oleh kondisi internal umat dan juga tantangan
eksternalnya.
Dari kedua tantangan tersebut yang akan dibahas di sini hanya
tantangan eksternal umat Islam, khususnya tantangan liberalisasi
pemikiran umat Islam. Tantangan yang kini sangat gencar disebarkan
melalui berbagai media komunikasi dan pendidikan itu ternyata
tidak berdiri sendiri. Ia menemukan momentum dan aksentuasinya
setelah terjadi drama tragedi 11 September 2001. Sebab saat itulah
postmodernisme dan liberalisme menemukan rival sejatinya yaitu

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 3

fundamentalisme, 1 relativisme menghadapi lawannya yakni


absolutisme. Jalan atau cara-cara yang ditempuh untuk penyebaran
paham-paham itu adalah misionarisme, orientalisme, dan
kolonialisme.

Makna dan Sejarah Liberalisme


Term “liberal” diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas
dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas
dari kepemilikan orang lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah
sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu
kebebasan berfikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan
berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai
makna.
Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat
pada individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan,
termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak
serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi.2 Dalam konteks
sosial liberalisme diartikan sebagai adalah suatu etika sosial yang
membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara
umum. 3 Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di
Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik
yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality),
dan kesempatan (opportunity).4
Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno,
salah satu elemen terpenting dari peradaban Barat. Namun, jika dila-
cak hingga Abad Pertengahan, liberalisme dipicu oleh kondisi sistem
ekonomi dan politik yang didominasi oleh sistem feodal. Di dalam
sistem ini, raja dan bangsawan memiliki hak-hak istimewa, sedang-

1
Menurut Akbar S Ahmed, salah satu ciri postmodernisme adalah semangatnya
yang berhadapan dengan fundamentalisme, lihat Akbar S Ahmed, Postmodernisme, Bahaya
dan Harapan Bagi Islam (terjemahan M.Sirozi), (Bandung: Mizan, 1994), p. 26.
2
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford University Press,
1996), v.s. liberalism.
3
Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political
Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip, (Blackwell Publishing, 1995), p.
440.
4
Brinkley, Alan.Liberalism and Its Discontents. (Harvard Univ. Pr., 1998); Lihat juga
Gray, John.The Two Faces of Liberalism, (New Pr., 2000); Kloppenberg, James T.The Virtues of
Liberalism, (Oxford, 1998).

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


4 Hamid Fahmy Zarkasyi

kan rakyat jelata tidak diberi kesempatan secara leluasa untuk meng-
gunakan hak-hak mereka, apalagi hak untuk ikut serta dalam mo-
bilisasi sosial yang dapat mengantarkan mereka menjadi kelas atas.
Perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja
John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang
mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan
bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja
John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early
liberalism). Liberalisme awal sendiri ditandai dengan perlawanan dan
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah yang cenderung
absolut.
Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi
tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal
dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi ini berhasil
menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII)
dari Scotland) serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja.
Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah
undang-undang hak rakyat (Bill of Right) yang memuat peng-
hapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak
dasar dan kebebasan masyarakat Inggris. Pada saat bersamaan,
seorang filsuf Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang
terlahir dengan hak-hak dasar (natural right) yang tidak boleh
dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk
memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan
berbicara. Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690),
John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk
menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak-
hak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.
Di bidang ekonomi, liberalisme berkembang melalui kebijakan
laissez faire seorang ekonom Scotties, Adam Smith, di dalam
bukunya, The Wealth of Nations (1776). Di kemudian hari, gagasan-
gagasan ekonomi Adam Smith ini dijadikan dasar untuk mem-
bangun sistem ekonomi kapitalis yang menawarkan liberalisasi
kegiatan ekonomi bagi setiap orang. Kibijakan ini akhirnya
membatasi Negara untuk campur tangan dalam kegiatan ekonomi
rakyat.
Di Prancis, sejak tahun 1700-an, filsuf terkenal Prancis
Montesquieu dalam bukunya, The Spirit of the Laws (1748)
mengajarkan pemisahan kekuasaan negara (separation of powers):

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 5

kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ini sudah merupakan


langkah maju untuk mengurangi kekuasaan politik yang absolute.
Sementara Rousseau, di dalam bukunya, The Social Contract (1762),
menyatakan, pemerintahan itu merupakan gambaran dari
kepercayaan rakyat yang diperintahnya. Artinya, kekuasaan sejatinya
milik rakyat dan bukan milik raja atau penguasa. Adapun Voltaire
menyerang pemerintah yang terlalu campur tangan dalam kebebasan
individu. Ketiga tulisan filsuf tersebut pada prinsipnya menyuara-
kan hak-hak individu dan kebebasan. Dan dampak dari tulisan
mereka itu adalah terjadinya Revolusi Prancis pada tahun 1789.
Di Amerika Serikat, The Revolutionary War (1775-1783) telah
memerdekakan Amerika dari penjajahan Inggris. Dan tidak lama
sesudah itu, tahun 1788, konstitusi AS menetapkan berdirinya
pemerintahan demokratik: kekuasaan dibagi menjadi tiga; Presiden,
Konggres, dan Pengadilan Federal. Setahun kemudian, pada tahun
1789, rakyat Amerika Serikat mencetuskan sebuah amandemen
yang dikenal dengan sebutan Bill of Rights. Pada tahun 1971,
amandemen ini dijadikan salah satu bagian undang-undang dasar.
Isi penting dari Bill of Rights adalah jaminan terhadap hak-hak dasar
seperti kebebasan berbicara, pers, beragama, dan sebagainya.
Puncak liberalisasi politik terjadi pada abad ke 19 ketika di
beberapa negara Eropa paham liberalisme terus menggelinding
dalam bentuk ide-ide kebebasan dan gerakan-gerakan revolusioner.
Akibatnya tahun 1830 banyak raja dan bangsawan Eropa yang
kehilangan kekuasaan mereka. Pada tahun 1848, banyak negara
berhasil memperjuangkan hak-hak sipil, meskipun sedikit sekali
yang berubah menjadi negara demokrasi. Pada tahun-tahun itu pula
hampir seluruh negara Eropa berhasil menghapuskan sistem
perbudakan. Sedangkan tahun 1865 Amerika Serikat melakukan
amandemen ke-13 pada Konstitusi Negara itu untuk menghapuskan
perbudakan. Amandeman ke-15 yang kemudian diadopsi pada
tahun 1870 memberikan hak pilih kepada para budak. Sejak tahun
1800-an pula, para pekerja memperoleh hak-hak politiknya.
Menginjak abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia
pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa menerapkan
prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk
menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan.
Menjelang tahun 1930-an, liberalisme mulai berkembang tidak
hanya meliputi kebebasan berpolitik, tetapi juga mencakup

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


6 Hamid Fahmy Zarkasyi

kebebasan di bidang lainnya; misalnya ekonomi, sosial, dan lain


sebagainya. Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt men-
deklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara
dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama
(freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from
want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear). Pada tahun
1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang
menetapkan sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak
politik.
Dari sini dapat dipahami, sejak tahun 1900-an, politik dan
ekonomi liberal memiliki hubungan yang sangat erat. Gagasan
ekonomi liberal didasarkan pada sebuah pandangan bahwa setiap
individu harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan
ekonominya tanpa ada intervensi dan campur tangan dari negara.
Kaum liberal percaya, bahwa ekonomi akan melakukan regulasi
sendiri (the invisible hand). Atas dasar itu, campur tangan negara tidak
diperlukan lagi. Gagasan semacam ini diadopsi dari pemikiran-
pemikiran Adam Smith dan menjadi landasan sistem ekonomi
kapitalis yang diterapkan di dunia saat ini.
Jika ditilik dari perkembangannya liberalisme secara umum
memiliki dua aliran utama5 yang saling bersaing dalam mengguna-
kan sebutan liberal. Yang pertama adalah liberal classic atau early
liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekan-
kan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki
kekayaan, dalam polesi ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak
serta menentang sistem welfare state. Kelompok ini mendukung
persamaan (equality) didepan hukum tapi tidak dalam ekonomi
(economic inequality) karena distribusi kekayaan oleh negara tidak
menjamin kemakmuran. Persaingan dalam pasar bebas menurut
kelompok ini lebih menjamin.
Yang kedua adalah liberal sosial. Aliran ini menekankan peran
negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu (dalam
pengertian yang luas), seringkali dalam bentuk hukum anti-
diskriminasi. Kelompok ini mendukung pendidikan bebas untuk
umum (universal education), dan kesejahteraan rakyat, termasuk
jaminan bagi penganggur, perumahan bagi tunawisma dan

5
Chandran Kukathas, The Many and the One: Pluralism in the Modern World, Richard
Madsen and Tracy B. Strong, editors, (2003), p. 61

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 7

perawatan kesehatan bagi yang sakit, semua itu didukung oleh


sistem perpajakan. Dengan kata lain liberalisme awal (early
liberalism) lebih menekankan pada hak-hak ekonomi dan politik.
Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti
independen secara intelektual, berpikiran luas, terus terang, dan
terbuka. Kebebasan intelektual sejatinya berkembang sejalan dengan
perkembangan liberalisme sosial dan politik yang terjadi di Barat
pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad
sebelumnya yaitu abad ke 17. Di masa itu dunia Barat terobsesi untuk
membebaskan bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi
dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan. Maka dari itu
prinsip-prinsip Revolusi Perancis 1789 dianggap sebagai Magna
Charta liberalisme. Di dalamnya terdapat kebebasan mutlak dalam
pemikiran, agama, etika, kepecayaan, berbicara, pers dan politik.
Konsekuensinya adalah penghapusan hak-hak Tuhan dan segala
otoritas yang diperoleh dari Tuhan; penyingkiran agama dari
kehidupan publik menjadi bersifat individual. Selain itu agama
Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga
hukum ataupun sosial. Yang jelas liberalisme mengindikasikan
pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab
otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan
di luar dan di atas manusia yang mengikatnya secara moral.
Kebebasan intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama
dan dari Tuhan itu secara logis merupakan liberalisme dalam
pemikiran keagamaan dan itulah yang pertamakali dirasakan oleh
agama-agama di Barat. Liberalisme dalam pemikiran keagamaan atau
yang terkenal dengan theological liberalism berkembang melalui tiga
fase perkembangan.
Fase pertama dari abad ke 17 yang dimotori oleh filsuf Perancis
Rene Descartes yang mempromosikan doktrin rasionalisme atau
Enlightenment yang berakhir pada pertengahan abad ke 18. Doktrin
utamanya adalah a) percaya pada akal manusia b) keutamaan
individu c) imanensi Tuhan dan d) meliorisme (percaya bahwa
manusia itu berkembang dan dapat dikembangkan). Fase kedua
bermula pada akhir abad ke 18 dengan doktrin Romanticisme yang
menekankan pada individualisme, artinya individu dapat menjadi
sumber nilai. Kesadaran-diri (self-consciousness) itu dalam pengertian
religious dapat menjadi Kesadaran-Tuhan (god-consciousness).
Tokohnya adalah Jean-Jacques, Immanuel Kant, dan Friedrich
Schleiermacher.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


8 Hamid Fahmy Zarkasyi

Fase terakhir bermula pada pertengahan abad ke 19 hingga


abad ke 20 ditandai dengan semangat modernisme dan postmodern-
isme yang menekankan pada ide tentang perkembangan (notion of
progress). Agama kemudian diletakkan sebagai sesuatu yang
berkembang progressif dan disesuaikan dengan ilmu pengetahuan
modern serta diharapkan dapat merespon isu-isu yang diangkat oleh
kultur modern. Itulah sebabnya maka kajian mengenai doktrin-
doktrin Kristen kemudian berubah bentuk menjadi kajian psikologis
pengalaman keagamaan (psychological study of religious experience),
kajian sosiologis lembaga-lembaga dan tradisi keagamaan
(sociological study of religious institution), kajian filosofis tentang
pengetahuan dan nilai-nilai keagamaan (philosophical inquiry into
religious knowledge and values).6
Sementara itu pada abad ke 19 liberalisme dalam pemikiran
keagamaan Katholik Roma berbentuk gerakan yang mendukung
demokrasi politik dan reformasi gereja, namun secara teologis tetap
mempertahankan ortodoksi. Sedangkan dalam pemikiran Kristen
Protestan liberalisme merupakan tren kebebasan intelektual yang
menekankan pada substansi etis dan kemanusiaan Kristen dan
mengurangi penekanan pada teologi yang dogmatis.7

Ciri Liberalisme Keagamaan Barat


Ketika liberalisme merasuk ke dalam pemikiran keagamaan
maka banyak konsep dasar dalam agama Kristen yang berubah.
Nicholas F. Gier, dari University of Idaho, Moscow, Idaho8 menyim-
pulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal Amerika Serikat
sebagai berikut:
Pertama, percaya pada Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam keper-
cayaan Kristen Orthodok. Karena Tuhan mereka tidak orthodok
maka mereka seringkali disebut Atheist. Ciri-ciri Tuhan menurut
Kitab Suci dan doktrin agama sebagai person dengan sifat-sifat
khusus ditolak oleh kelompok liberal karena mereka lebih menyukai

6
The New Encyclopedia of Britanica, University of Chicago, 1991, vol. 11, p. 693
7
Http://uk.search.yahoo.com/search;_ylt=A0oGkuebQs9Hd0kBPmtLBQx.?p =
origin + of +religious+liberalism&y=Search&fr=slv8-acd&ei=UTF-8&rd=r1
8
Nicholas F. Gier, “Religious Liberalism and The Founding Fathers”, dalam Peter
Caws, ed. Two Centuries of Philosophy in America, (Oxford: Basil Blackwell Publishers, 1980),
p. 22-45.

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 9

konsep Tuhan yang diambil dari akal manusia. Tuhan dalam


kepercayaan ini dianggap tidak mengetahui kehidupan manusia
secara detail dan tidak mencampuri urusan individu nanusia. Kedua,
kaum liberal memisahkan antara doktrin Kristen dan etika Kristen.
Dengan mengurangi penekanan pada doktrin atau kepercayaan,
mereka berpegang pada prinsip bahwa Kristen dan non-Kristen
harus saling menerima dan berbuat baik. Seseorang menjadi religius
bukan hanya afirmasi terhadap dogma, tapi karena etika dan perilaku
moralis seseorang. Inilah yang membawa kelompok liberal untuk
berkesimpulan bahwa orang atheist sekalipun dapat menjadi moralis.
Ketiga, kaum liberal tidak ada yang percaya pada doktrin
Kristen Orthodok. Mereka menolak sebagian atau keseluruhan
doktrin-doktrin Trinitas, ketuhanan Yesus, perawan yang melahir-
kan, Bible sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan
dan penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). Doktrin satu-satunya
yang mereka percaya, selain percaya akan adanya Tuhan adalah
keabadian jiwa. Keempat, menerima secara mutlak pemisahan gereja
dan negara. Para pendiri negara Amerika menyadari akibat dari
pemerintahan negara-negara Eropa yang memaksakan doktrin suatu
agama dan menekan agama lain. Maka dari itu kata-kata “Tuhan”
dan “Kristen” tidak terdapat dalam undang-undang. Ini tidak lepas
dari pengaruh tokoh-tokoh agama liberal dalam konvensi konstitusi
tahun 1787.
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.
Pada mulanya toleransi dibatasi hanya pada sekte-sekte dalam
Kristen, namun toleransi dan kebebasan penuh bagi kaum atheis
dan pemeluk agama non-Kristen hanya terjadi pada masa Benyamin
Franklin, Jefferson dan Madison. Kebebasan beragama sepenuhnya
berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama tapi bebas dari
agama juga, artinya bebas beragama dan bebas untuk tidak
beragama.
Jadi, liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam
peradaban Barat telah memarginalkan agama atau memisahkan
agama dari urusan sosial dan politik secara perlahan-lahan. Agama
tidak diberi tempat di atas kepentingan sosial dan politik. Dan ketika
liberalisme masuk ke dalam pemikiran keagamaan Kristen Katholik
dan Protestan ia telah mensubordinasikan gereja ke bawah
kepentingan politik dan humanisme, serta mengurangi peran teologi
dalam bidang-bidang kehidupan. Maka dari itu dalam liberalisme

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


10 Hamid Fahmy Zarkasyi

pemikiran keagamaan, masalah yang pertama kali dipersoalkan


adalah konsep Tuhan (teologi) kemudian doktrin atau dogma agama.
Setelah itu, liberalisme mempersoalkan dan kemudian memisahkan
hubungan agama dari politik (sekularisme). Akhirnya liberalisme
pemikiran keagamaan menjadi sekularisme dan dipicu oleh
gelombang pemikiran postmodernisme yang menjunjung tinggi
pluralisme, persamaan (equality), dan relativisme.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa liberalisme – baik
dalam bidang sosial dan politik serta pemikiran keagamaan -
merupakan tren yang dominan di Barat saat ini. Francis Fukuyama
dalam bukunya The End of History, and the Last Man bahkan
mengemukakan thesisnya bahwa :
… the principle of liberty and equality underlying the modern liberal
state had been discovered and implemented in the most advance
countries, and that there were no alternative principles or forms of
social and political organization that were suprior to liberalism.
Liberal societies were, in other words, ….would therefore bring the
historical dealectic to a close. 9

Artinya, prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan yang


mendasari negara liberal modern telah diketemukan dan diimple-
mentasikan pada negara-negara maju, dan tidak ada prinsip atau
bentuk alternatif organisasi sosial dan politik yang lebih superior
daripada liberalisme. Dengan kata lain masyarakat-masyarakat liberal
akan menjadikan dialektika sejarah berakhir. Pernyataan ini
mengindikasikan bahwa wajah peradaban Barat yang liberal itu
merupakan bentuk final dan ideal dari sistem sosial dan politik serta
keagamaan Barat, tidak ada sistem lagi yang sebaik liberalisme.

Islam dan Tantangan Liberalisme


Karena liberalisme merupakan sistem, pandangan hidup atau
ideologi Barat, maka Islam bagi Barat merupakan tantangan bagi
liberalisme. Sudah tentu sebaliknya liberalisme juga merupakan
tantangan bagi Islam. Francis Fukuyama dalam bukunya itu jelas-
jelas menyejajarkan Islam dengan ideologi Liberalisme dan

9
Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, (New York: Avon Book,
1992), p. 64.

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 11

Komunisme, meskipun Islam ia anggap memiliki nilai moralitas dan


doktrin-doktrin politik dan keadilan sosialnya sendiri. Menurutnya
karena ajaran Islam bersifat universal, maka ia pernah menjadi
tantangan bagi demokrasi liberal dan praktik-praktik liberal. Tapi ia
juga mengakui bahwa nilai-nilai liberal Barat merupakan ancaman
bagi masyarakat Islam. Dalam hal ini Fukuyama menegaskan:
Tidak diragukan lagi, dunia Islam dalam jangka panjang akan
nampak lebih lemah menghadapai ide-ide liberal ketimbang
sebaliknya, sebab selama seabad setengah yang lalu liberalisme telah
memukau banyak pengikut Islam yang kuat. Salah satu sebab
munculnya fundamentalisme adalah kuatnya ancaman nilai-nilai
liberal dan Barat terhadap masyarakat Islam tradisional. 10

Fukuyama jelas-jelas meletakkan Islam, Liberalisme dan Komu-


nisme sebagai ideologi-ideologi atau pemikiran yang mempunyai
doktrin masing-masing dan saling bertentangan satu sama yang lain
dan saling mengancam. Apa yang disebut ancaman bukan bayang-
bayang ketakutan yang satu terhadap yang lain, akan tetapi meru-
pakan fakta bahwa liberalisme dan Islam itu sangat berbeda. Per-
bedaan ini dapat dilacak dari fakta bahwa umat manusia diciptakan
berbangsa-bangsa dan setiap bangsa memiliki peradaban sendiri-
sendiri. Cara berpikir dan cara pandang antara satu peradaban
dengan yang lain juga berbeda-beda. Perbedaan itu lebih berupa
perbedaan cara memandang kehidupan atau perbedaan pandangan
hidup (worldview). Perbedaan pandangan hidup antara satu bangsa
dengan bangsa yang lain dipengaruhi oleh kultur, agama, keper-
cayaan, ras dan lain-lain. Dalam artikel berjudul If Not Civilizations,
What? (Samuel Huntington Responds to His Critics), Huntington
menyatakan bahwa substansi atau asas peradaban adalah prinsip-
prinsip keagamaan dan filsafat. Oleh sebab itu faktor-faktor untuk
mengidentifikasi orang, dan juga faktor yang menjadikan mereka
siap perang dan mati adalah keimanan dan keluarga (faith and
family), darah (baca: ras) dan kepercayaan (blood and belief).11

10
Aslinya:”Indeed, the Islamic world would seem more vulnerable to liberal ideas in the
long run than the reverse, since such liberalism has attracted numerous and powerful Muslim
adherent over the past century and a half. Part of the the reason for current, fundamentalist revival
is the stregth of the perceived threat from liberal, Western values to traditional Islamic societies.
Francis Fukuyama, Ibid., p. 45-46.
11
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


12 Hamid Fahmy Zarkasyi

Perbedaan identitas dan kemudian gesekan antara satu


peradaban dan worldview inilah yang diskenariokan dan diteorikan
Samuel P. Huntington sebagai “clash of civilization” (benturan
peradaban). Benturan ini menurutnya akan mengakibatkan
ketegangan, benturan, konflik ataupun peperangan di masa depan.12
Selain itu, tesis Huntington merupakan deklarasi ataupun self-
disclosure bahwa Barat akan berhadapan dengan peradaban yang
berbeda dan akan mengakibatkan ketegangan, benturan, konflik
ataupun peperangan di masa depan. Masalahnya bukan hanya
karena terdapat perbedaan antar peradaban, tapi karena peradaban
atau bangsa-bangsa Barat mengklaim cara pandang mereka itu
“universal” dan dapat dianut oleh seluruh umat manusia.
Persoalannya apa yang oleh Barat itu dianggap “universal”
ternyata tidak demikian bagi umat Islam. Faktanya memang antara
konsep-konsep Barat dan Islam terdapat perbedaan yang tidak dapat
disatukan. Perbedaan ini pada tingkat kehidupan sosial menyebabkan
konflik, clash atau dalam bahasa Peter L. Berger disebut collision of
consciousness (tabrakan persepsi). Pada tingkat individu, mengakibat-
kan terjadinya pergolakan pemikiran dalam diri seseorang dan pada
tataran konsep, mengakibatkan tumpang tindih dan kebingungan kon-
septual (conceptual confusion). Perang pemikiran pada tingkat inidividu
inilah yang kini dirasakan umat Islam Indonesia. Jadi perang pemikiran
dalam skala besar saat ini terjadi antara peradaban Islam dan
kebudayaan Barat atau pandangan hidup (worldview) Islam dan Barat.
Akan tetapi Barat berusaha memaksakan penggunaan konsep-
konsep mereka itu ke dalam pikiran umat Islam. Pemaksaan itu
dikenal dengan proyek westernisasi13 dan globalisasi. Penggunaan
istilah “Islam fundamentalis”, “Islam Liberal”, “Islam tradisional”,
“Islam modern” dan sebagainya merupakan sedikit contoh bagai-
mana terminologi dan konsep-konsep Barat dipaksakan kepada umat
Islam. Untuk penyebaran bidang budaya, paham-paham dan ideo-

12
Samuel P. Huntington, If Not Civilizations, What? Samuel Huntington Responds to
His Critics, dalam http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
13
Istilah Westernisasi dunia dikenal pasca perang Salib yang berarti perluasan
imperium orang kulit putih keseluruh dunia. Tujuan utamanya adalah kolonisasi, Kristenisasi
(evangelization), pencarian pasar, supplai bahan mentah, pencarian dunia baru dan pemenuhan
kebutuhan akan tenaga kerja. Lihat Serge Latouche, The Westernizationi of the World, The
Significance, Scope and Limits of the Drive towards Global Uniformity, terjemahan bahasa
Inggeris dari bahasa Perancis oleh Rosemary Morris, (Cambridge: Polity Press, 1996), p. 5

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 13

logi digunakan proyek Westernisasi dan Globalisasi, untuk penye-


baran bidang pemikiran keislaman digunakan gerakan orientalisme,
untuk memperluas penerimaan kultur dan kepercayaan Barat
digunakan gerakan misionarisme dan untuk penaklukan dunia
Islam di berbagai bidang digunakan kolonialisme.
Sebenarnya jika globalisasi dipahami secara adil maka Barat da-
pat memahami worldview Islam dan bahkan dapat saling tukar me-
nukar konsep dan sistem yang tidak bertentangan dengan worldview
masing-masing. Namun, kenyataannya sikap Barat jauh dari harapan
itu. Masyarakat Barat memang terbukti tidak toleran dan bahkan
resisten terhadap praktik-praktik keagamaan masyarakat Islam di
Barat. Di negeri-negeri mereka (Barat) misalnya kita tidak akan pernah
menyaksikan mimbar agama Islam di TV, atau perayaan hari Raya
Islam di tempat terbuka, kumandang azan dari menara masjid.
Padahal di negara mayoritas Muslim umat Kristiani bebas
merayakan hari natal, caramah di TV, membunyikan lonceng gereja
dan sebagainya. Demikian pula dalam soal pakaian. Di Barat pakaian
jilbab bagi Muslimah di “haramkan”, sementara umat Islam
Indonesia dipaksa toleran terhadap orang Barat yang berpakaian
setengah telanjang di tempat-tempat umum. Jika sikap masyarakat
Barat begitu resisten, maka tidak heran jika umat Islam juga resisten
terhadap paham-paham sekuler, liberal, pragmatis dan hedonis serta
berbagai kultur yang khas masayarakat Barat. Sudah tentu situasi
seperti ini harus diterima sebagai konflik atau perang pemikiran
yang telah terjadi dan berjalan terus. Inilah yang disebut dengan
Ghazwul fikri (perang pemikiran).
Kini setelah peristiwa dramatis 11 September 2001, upaya-
upaya Barat untuk menyebarkan nilai, ide, konsep, sistem dan kultur
Barat ke dunia Islam semakin gencar dan merupakan kerjasama
kompak antara Barat kolonialis, orientalis dan misionaris. Karena
hal ini berkaitan dengan pemikiran, maka mediun yang digunakan
untuk menyebarkan konsep dan pemikiran Barat adalah medium
untuk pemikiran yang berupa karya-karya ilmiah, seperti buku,
makalah-makalah dan workshop-workshop ataupun berupa opini
di media elektronik dan media massa. Namun, medium yang paling
efektif bagi penyebaran teori, konsep dan ideologi adalah bangku-
bangku kuliah di perguruan tinggi melalui transmisi oral para
intelektual, ulama, saintis, budayawan. Melalui berbagai sarana inilah
maka secara teknis paham, ide, konsep, sistem dan teori liberalisme
Barat disebarkan ke dunia Islam.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


14 Hamid Fahmy Zarkasyi

Liberalisasi Melalui Missionaris, Orientalis dan Kolonialis


Dalam kondisi pasif yang kita saksikan dari peradaban Islam dan
kebudayaan Barat hanyalah suatu perbedaan biasa dan wajar. Tapi dalam
gerakannya yang ekspansif melalui proyek globalisasi, modernisasi, dan
westernisasi Barat berubah wajah menjadi tantangan bagi bangsa-bangsa
dan peradaban lain, termasuk Islam. Maka dari itu, jika wajah
kebudayaan Barat itu diperinci lebih spesifik lagi akan kita temukan
bahwa globalisasi dan westernisasi itu merupakan gerakan yang
bersumber dari 1) Missionaris 2) Orientalis dan 3) Kolonialis. Ketiganya
merupakan gerakan pemikiran yang mengusung prinsip-prinsip atau
elemen-elemen pandangan hidup Barat. Berikut ini diungkapkan
bagaimana ketiga bentuk gerakan tersebut bekerjasama menghadapi
umat Islam dan kini menjadi tantangan umat Islam.

a. Missionaris
Ketika Barat masuk ke negara-negara Islam ia membawa serta
misi agama, politik, ekonomi dan kebudayaan. Namun tidak banyak
yang melihat bahwa Barat itu sendiri telah membawa seperangkat
doktrin pemikiran yang berdasarkan pandangan hidup mereka. Hal
ini dapat dicermati dari fakta sejarah bahwa gerakan kolonialisme
selalu disertai atau bahkan didahului oleh kegiatan missionaris
Kristen yang berkaitan dengan orientalisme. Keduanya tidak lain
dari aktivitas untuk mempengaruhi cara berfikir. Kerjasama
missionaris, orientalis dan kolonialis ini telah lama terjadi dan dapat
dibuktikan melalui pengakuan Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands
bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, seperti yang
dikutip oleh Dr. Aqib Suminto berikut ini:
“……kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan
dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi peme-
rintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi
setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.” 14

Peran Snough Hurgronye sebagai orientalis dalam memulus-


kan penjajahan Belanda di Indonesia merupakan bukti kongkret
kerjasama antara orientalisme, missionarisme dan kolonialisme Barat.
Targetnya lagi-lagi berkaitan dengan pemikiran, yaitu untuk meru-

14
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), p. 26.

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 15

bah cara berpikir umat Islam. Proyek missionaris yang menonjol


adalah penghancuran pemikiran umat Islam. Strategi ini telah lama
diikrarkan oleh Samuel Zwemmer seorang orientalis Yahudi yang
menjabat direktur organisasi misionaris dan yang juga pendiri Jurnal
the Muslim World. Pada tahun 1935 pada Konferensi Misionaris di
Kota Yerussalem Zwemmer mengatakan bahwa:
Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum
Muslimin, namun mengeluarkan seorang Muslim dari Islam, agar
jadi orang Muslim yang tidak berakhlak. Dengan begitu akan
membuka pintu bagi kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam.
Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari
Islam. Generasi Muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah,
generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya.
Di mata rantai kebudayaan Barat, gerakan misi punya dua tugas:
menghancurkan peradaban lawan (baca: peradaban Islam) dan
membina kembali dalam bentuk peradaban Barat. Ini perlu dilakukan
agar Muslim dapat berdiri pada barisan budaya Barat akhirnya
muncul generasi Muslim yang memusuhi agamanya sendiri. 15

Harry Dorman, dalam bukunya Towards Understanding Islam,


mengungkapkan pernyataan seorang misonaris Kristen: “Boleh jadi,
dalam beberapa tahun mendatang, sumbangan besar misionaris di
wilayah-wilayah Muslim akan tidak begitu banyak memurtadkan
orang muslim, melainkan lebih banyak menyelewengkan Islam itu
sendiri. Inilah bidang tugas yang tidak bisa diabaikan.” Dr. Cragg,
seorang misionaris terkenal asal Inggris, menyatakan:”Tidak perlu
diragukan bahwa harapan terakhir misi Kristen hanyalah melakukan
perubahan sikap umat Muslim, sedemikian rupa sehingga mereka
mau bertoleransi.”16
Apa yang disampaikan Zwemmer 70 tahun yang lalu itulah
kini yang diterapkan Barat sebagai strategi perang pemikiran ter-
hadap umat Islam. Oleh sebab itu gerakan kristenisasi berkembang
dari konversi kepada gerakan distorsi dan perang pemikiran.

b. Orientalis
Kajian tentang Timur (orient) termasuk tentang Islam, yang
dilakukan oleh orang Barat telah bermula sejak beberapa abad yang

15
Ali Gharisah, Wajah Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1989), p. 41
16
Lihat dalam Maryam Jameela, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: 1994), p. 8-9, 51-52.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


16 Hamid Fahmy Zarkasyi

lalu. Namun menurut The Oxford Dictionary gerakan pengkajian


ketimuran ini diberi nama orientalisme baru abad ke 18.
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, mempu-
nyai latar belakang sejarah panjang yang kompleks, dan sekurang-
kurangnya terdapat dua motif utama: Pertama adalah motif
keagamaan. Barat yang disatu sisi mewakili Kristen memandang
Islam sebagai agama yang sejak awal menentang doktrin-doktrinnya.
Islam yang misinya menyempurnakan millah sebelumnya tentu
banyak melontarkan koreksi terhadap agama itu. Itulah Islam
dianggap “menabur angin” dan lalu menuai badai perseteruan
dengan Kristen. Bahkan lebih ekstrim lagi, perseteruan itu ada sejak
sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity
in Arabia, mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi
sejak bala tentara Kristen pimpinan Abrahah menyerang Ka’bah dua
bulan sebelum Nabi lahir.
Di situ tentara Abrahah kalah telak dan bahkan tewas. Kalau
saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah itu berada di
tangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di Ka’bah.
Muhammd pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar
berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi
Ibrahim, sebab mereka bukan menyerang Islam yang dibawa Nabi,
tapi Ka’bah yang merupakan khazanah millah Ibrahim itu. Jadi motif
orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Kristen dan
missionarisme.
Kedua adalah motif politik. Islam bagi Barat adalah peradaban
yang di masa lalu telah tersebar dan menguasai peradaban dunia
dengan begitu cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit
dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman besar dan langsung
bagi kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa
Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang
gagah berani atau bangunan-bangunan monumental, tapi
peradaban yang memiliki khazanah dan tradisi ilmu pengetahuan
yang tinggi. Oleh sebab itu mereka perlu merebut khazanah ini
untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan Islam.
Jadi motif kajian-kajian orientalis itu bersifat politis: kolonialisme.
Motif yang hampir serupa juga terjadi di kalangan missionaris.
Jurnal The Muslim World yang diterbitkan oleh Michael Zwemmer
tahun 1920, misalnya pada mulanya terang-terangan untuk media
informasi bagi para missionaris tentang Islam dan dunia Islam. Tapi

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 17

kemudian menjadi jurnal kajian Islam yang serius dan ilmiah,


meskipun tetap menggunakan framework yang sama. Montgomery
Watt yang dianggap orientalis moderat misalnya, ketika menulis al-
Qur’an dan Sunnah mencoba meragukan otentisitas ajaran Islam.
Ia mencoba membuktikan bahwa beberapa bagian al-Qur’an dan
Hadis itu dibuat-buat dan tidak konsisten, dan karena itu tidak bisa
dijadikan sumber pandangan hidup Islam. Ia bahkan mencurigai
adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Qur ’an. 17 Inilah contoh bias
orientalis yang paling nyata. Kajian orientalis terhadap Hadis yang
juga bias itu misalnya dapat ditemui dalam metodologi Harald Motzki
dalam mengkaji hadis Sahifah Hammam Ibn Munabbih. Motzki
yang dianggap objektif itu ternyata juga ambigu. Ia seakan-akan
mengkritik metode kajian Joseph Schacht, namun sejatinya tidak
beda dan tetap mempertahankan sikap orientalismenya.
Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai suatu tradisi
kajian ilmiah tentang Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada ‘kaca
mata’ dan pengalaman manusia Barat yang dipicu oleh motif dan
semangat missionaris. Tapi motivasi ini ditutupi dengan jubah
intelektualisme dan dedikasi akademik.18 Tidak heran jika orientalis
kemudian dianggap memiliki disiplin dan sikap ilmiah yang ‘khas’,
bahkan menjadi sebuah framework pengkajian. Meskipun ilmiah,
tapi jika cara pandang dan tujuannya diwarnai oleh latar belakang
agama dan politik serta worldview Barat atau nilai-nilai peradaban
Barat, kajian mereka itu lebih cenderung salah. Ini juga membukti-
kan bahwa ilmu memang tidak bebas nilai.
Oleh sebab itu menganggap orientalis di masa kini objektif
dan ilmiah hanya benar dipermukaannya. Kajian akademis dan
ilmiah terhadapnya membuktikan sebaliknya. Cara pandang mereka
terhadap Nabi, al-Qur’an dan Islam sebagai agama masih tidak bisa
lepas bebas dari pengaruh pendahulunya. Dan orientalis terdahulu
itu diwarnai oleh pengalaman manusia Barat. Perlu disadari bahwa
kajian outsider tentang suatu agama dan peradaban, termasuk Islam,
betapapun objektif dan akademisnya, ia tetap saja menyisakan bias.

17
M. Watt, Muhammad at Mecca, (Edinbrugh: Edinburgh University Press, 1960), p.
103; Lebih detail lagi tentang kajian orientalis terhadap al-Qur’an tulisan dapat dibaca kajian
Adnin Armas berjudul Metodologi Orientalis Dalam Studi al-Qur’an. (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004).
18
Lihat Dr. Afaf, al-Mustasyriqu>n wa Musykilat al-Had}a>rah, ) Cairo: Dar al-Nahdah al-
‘Arabiyyah, 1980), p. 33-34.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


18 Hamid Fahmy Zarkasyi

A.L. Tibawi penulis buku English Speaking Orientalists, menyimpul-


kan bahwa ketika para orientalis ahli polemik periode awal terlibat
dalam penghinaan dan penafsiran yang salah tentang Islam, tujuan
mereka hanyalah destruktif. Tapi setelah adanya motif missionaris
mereka mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya
merupakan campuran antara penghinaan dan pengungkapan hal-
hal negatif tentang Islam, namun dengan menggunakan fakta-fakta
yang solid, tapi tetap dipahami dalam perspektif Kristen. Metode
yang pertama telah ditinggalkan sedangkan metode yang kedua
menjadi lemah atau diberi baju baru. Tapi yang aneh adalah ketika
para orientalis itu gencar menyarankan, mendorong dan bahkan
memprovokasi agar Islam itu direformasi.19
Kajian dan sekaligus serangan orientalis terhadap Islam dan
sejarahnya memang sangat canggih (baca: soophisticated) dan subtil
sehingga pembaca awam, alias bukan pakar tidak mudah untuk
membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu
umumnya berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data
dan seringkali bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan
tujuan dan kepentingan tertentu.
Edward Said baik dalam Orientalism (1978) maupun dalam
The World, The Text and the Critic (1983) yakin bahwa Orientalis dan
Barat adalah diskriminatif. Batas rasial, kultural dan bahkan saintifik
sangat kental. Antara “kami” dan “mereka”, minna dan minhum
merasuk kedalam kajian sejarah, linguistik, teori ras, filsafat,
antropologi dan bahkan biologi hingga abad ke 19. Edmund Leach
setuju, sekali stigma “other” itu melekat maka selain bangsa Eropa
tetap asing dan bahkan inferior. Ringkasnya, katanya, kajian Timur
yang berasaskan ilmu Barat telah di frame oleh pengalaman
imperialisme dan persengketaan kultural ( cultural hostility). Zaynab
al-Ghazzali malah lebih keras dari itu, katanya memisahkan agama
dari politik atau Islam dari hukum syariah adalah tindak kriminal.
Di kalangan pemikir Barat sendiri framework orientalis diberi stigma
sebagai “exotic cum barbaric norm”.
Selain dari itu, ciri-ciri kajian orientalis adalah parsial, artinya
jika mereka mengkaji suatu bidang tertentu, mereka melewatkan
bidang kajian yang lain. Orientalis ahli Fiqih melontarkan kritik-

19
lihat Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”, dalam
The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2, p. 41.

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 19

kritik yang tidak dikaitkan dengan Kalam misalnya, kritik dalm


bidang filsafat tidak dikaitkan dengan aqidah, kritik dan kajian al-
Qur ’an tanpa disertai ilmu tafsir, bahkan tidak aneh jika para
orientalis mengkaji al-Qur’an dengan metodologi Bibel, mengkaji
politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler. Dan yang pasti
disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji dengan
framework pandangan hidup Islam, tapi Barat.
Meski telah banyak kajian tentang orientalisme, tapi dalam
perkembangan pemikiran akhir-akhir ini, tema orientalisme ini
menjadi semakin relevan untuk diangkat kembali. Sebab kini
mengadopsi pandangan, framework dan kritik-kritik para orientalis
tentang Islam menjadi tren di kalangan sementara cendekiawan
Muslim. Nampaknya, mereka berpikiran bahwa dengan cara itu
mereka bisa mengambil jalan pintas untuk “reformasi”, “pembaru-
an” atau “liberalisasi” pemikiran Islam. Bagi masyarakat awam atau
ulama “tradisional”, pemikiran hasil “adopsi” itu nampak baru,
karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam. Padahal,
sifat “baru”nya tidak mempunyai unsur tajdid, karena terlepas dari
fondasi asalnya (wahyu) dan bahkan seringkali berseberangan.
Mungkin mereka telah gagal menyelami khazanah intelektual Islam
secara komprehensif, kreatif, dan apresiatif sehingga kehilangan daya
kritis mereka terhadap orientalis dan Barat.
Orientalisme adalah suatu cara pandang orang Barat terhadap
bangsa selain Barat. Bangsa-bangsa selain Barat itu – yakni bangsa-
bangsa Timur Tengah dan Asia - dilihat dengan kacamata rasial yang
penuh prasangka. Bangsa-bangsa Timur dianggap mundur dan tidak
sadar akan sejarah dan kebudayaan mereka sendiri. Untuk itu Barat
kemudian “membantu” membuat kajian tentang konsep-konsep
kebudayaan, sejarah, dan juga agama-agama dan bangsa-bangsa
Timur. Sudah tentu prinsip, metode dan pendekatan kajian ini khas
Barat. Namun, kajian ini tidak murni kajian keilmuan, tapi kajian
yang dimanfaatkan untuk proyek missionaris Kristen dan
imperialisme Barat ke Negara-negara Timur.20
Akar gerakan orientalisme dapat ditelusuri dari kegiatan
mengkoleksi dan menerjemahkan teks-teks dalam khazanah inte-
lektual Islam dari bahasa Arab ke bahasa Latin sejak Abad Per-
tengahan di Eropa. Kegiatan ini umumnya dipelopori oleh para teolog

20
Lihat Edward Said, Orientalism, (New York: Vintage, 1979), p. 1-3, 5.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


20 Hamid Fahmy Zarkasyi

Kristen. Dari hasil koleksi itu Museum London dan Mingana


Collection di Inggeris adalah di antara pemilik koleksi manuskrip
Islam terbesar di dunia. Selanjutnya, karena Orientalisme telah
menjadi suatu tradisi pengkajian yang penting di dunia Barat, maka
ia berkembang dan melembaga menjadi program formal di
perguruan tinggi, dalam bentuk departemen atau jurusan dari
universitas-universitas di Barat. Kini banyak sekali unversitas di Barat
yang mendirikan program Islamic, Middle Eastern, atau Religious
Studies. Universitas London misalnya mendirikan SOAS (School of
Oriental African Studies), Universitas McGill Canada, Univesitas
Leiden Belanda mendirikan Departement of Islamic Studies, Uni-
versitas Chicago, universitas Edinburgh, University of Pennsylvania,
Philadelphia dan lain-lain mendirikan Departement of Middle
Eastern Studies; Universitas Birmingham Inggris mendirikan Centre
for the Study of Islam-Christian Relation dan lain sebagainya.
Program-program kajian keislaman di universitas-universitas
Barat tersebut merupakan tradisi yang kokoh karena didukung oleh
pakar dan tokoh dibidang masing-masing. Sekedar untuk menyebut
beberapa berikut ini nama-nama orientalis dalam beberapa bidang
tertentu: 1) Bidang Teologi dan Filsafat: Montgomery Watt, O
Learry, DB Mc Donald, Alfred Gullimaune, Majid Fakhry, Henry
Corbin, Michael Frank, Richard J McCarthy, Harry A. Wolfson,
Shlomo Pines, Oliver Leaman dll. 2) Bidang Hadis Josep Schacht,
Ignaz Golziher, G.H.A.Juyuboll, Eerik Dickson, Aarent J Wensinck,
Nicholson, WD. Van Wijagaarden. 3) Bidang Fikih Waell Hallaq,
Harold Motzki, N.Calder, N.J. Coulson, J.Fuck, John Burton, 4)
Bidang Politik Snouck Hurgronje, Bernard Lewis, Samuel
Huntington, Bob Hefner, William Liddle, Greg Burton dll. 5) Bidang
al-Qur ’an Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Gotthelf
Bergtrasser, Otto Pretzl, Arthur Jeffery, John Wansbrough, John
Burton, Richard Bell, Andrew Rippin, Chrostoph Luxemburg.21 Dan
lain-lain yang tidak dapat disebutkan semua disini.
Dari keseluruhan gerakan orientalisme tersebut dalam ber-
bagai bentuknya dari awal hingga akhir ini, Edward Said menyim-
pulkan dalam 3 poin yaitu:

21
Perlu dicatat dalam beberapa kasus nama-nama dan bidang kepakaran orientalis
terkadang bertumpang tindih (overlap), ada yang menguasai lebih dari satu bidang.

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 21

1) Bahwa orientalisme itu lebih merupakan gambaran tentang


pengalaman manusia Barat ketimbang tentang manusia Timur
(orient).
2) Bahwa orientalisme itu telah menghasilkan gambaran yang
salah tentang kebudayaan Arab dan Islam.
3) Bahwa meskipun kajian orientalis nampak objektif dan tanpa
interes (kepentingan), namun ia berfungsi untuk tujuan
politik.22
Ketiga kesimpulan Edward Said di atas adalah benar adanya,
artinya studi Islam di Barat yang ada sekarang ini menggunakan
cara pandang (framework) Barat dan oleh sebab itu jika tulisan para
orientalis itu dikaji secara kritis maka akan menunjukkan beberapa
kerancuan konsep. Gambaran tentang cara pandang (framework)
Barat ini sebenarnya sangat kompleks, tapi secara sederhana dapat
diartikan sebagai cara mereka memandang Islam dan peradabannya.
Cara Barat melihat Islam sebagai din, Nabi Muhammad sebagai
Rasulullah, al-Qur ’an sebagai wahyu dan kalam Tuhan, cara
memahami hadis, sikap mereka terhadap otoritas ulama berbeda
sama sekali dengan cara pandang Islam dan umat Islam.
Namun, tantangan yang dihadapi umat bukan hanya dari
pikiran para orientalis, tapi cendekiawan Muslim yang mengikuti
cara berpikir orientalis dalam memahami Islam. Kini yang menga-
takan semua agama sama, al-Qu’ran bukan wahyu Allah, Ajaran
Islam itu menindas kaum wanita, dan sebagainya bukan lagi
orientalis, tapi para cendekiawan Muslim sendiri. Produk dari
kuatnya tradisi oritentalisme itu adalah terbitnya karya-karya mereka
yang kemudian dirujuk dan bahkan diikuti oleh para cendekiawan
Muslim. Akhirnya, orientalisme juga memproduk cendekiawan
Muslim yang tidak kritis terhadap Barat dan bahkan mengikuti saja
cara berpikir mereka. Kini muncul cendekiawan Muslim di berbagai
Negara Islam yang mengusung ide-ide yang merupakan agenda
Barat. Untuk sekadar menyebut beberapa berikut ini nama-nama
mereka: Teologi, Filsafat dan Pluralisme agama: Rene Guenon,
Fritjhof Schuon, Martin Ling, Syed Hussein Nasr, Muhammad
Sachidina, Hasan Askari, Mahmud Ayyub, Farid Essack Hermeneu-

22
Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New Criterion Vol.
17, No. 5, January 1999, p. 5.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


22 Hamid Fahmy Zarkasyi

tika: Muhammad Abid al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd, Gender


dan feminisme: Aminah Wadud Muhsin, Fatima Mernissi, Nawal
Sa’dawi Islam Kiri: Hasan Hanafi, Asghar Ali. Fiqih: Abdullah;
Ahmad al-Naim, Muhammad Syahrur, dan sebagainya.
Sekadar contoh marilah kita lihat bagaimana perjalanan ide
orientalis sampai kepada pemikir Muslim. Para orientalis dari
generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan
Muhammad. Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale, [dalam
bukunya The Qur’an:Commonly called al-Qur’an:Preliminary
Discoursei, (1734)], Sir William Muir [dalam bukunya Life of Mahomet
(1860)], A.N. Wollaston [dalam bukunya The Religion of The Koran
(1905)], H. Lammens, dalam [Islam Belief and Institution (1926)],
Champion & Short [dalam buknya Reading from World Religious
Fawcett, (1959),] JB. Glubb, [dalam bukunya The Life and Time of
Muhammad (1970)] dan M. Rodinson [dalam bukunya Islam and
Capitalism (1977)]. Ide ini diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun
menjadi begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan
oleh Muhammad dan dengan bahasa Muhammad sebagai manusia
biasa. Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim liberal yang
diusir dari Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa karena
al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia adalah produk
budaya Arab (muntaj thaqafi). Implikasi ide ini adalah al-Qur’an
bukan firman Allah yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan,
karena itu umat Islam tidak terlalu fanatik berpegang pada al-Qur’an;
dan agar umat Islam mau menafsirkan al-Qur’an tanpa takut-takut,
karena ia hanya perkataan manusia biasa.
Namun secara objektif perlu diakui bahwa selain dari bidang-
bidang pemahaman dan penafsiran Islam, para oritentalis ada yang
berjasa dalam kerja-kerja ilmiah lainnya dan cukup dirasakan
manfaatnya, seperti misalnya dalam penyusunan lexicon, kamus-
kamus, encyclopedia, kompilasi hadis dan sebagainya. Oleh karena
itu umat Islam perlu bersikap bijaksana, tidak melulu apresiatif yang
berlebihan dan tidak pula bersikap apriori secara membabi buta.
Umat Islam perlu bersikap kritis dalam mengkaji karya-karya
orientalis. Untuk itu diperlukan ilmu pengetahuan Islam yang
sebanding dengan mereka.

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 23

c. Kolonialis
Seperti disebutkan di atas bahwa orientalis pernah bekerjsama
dengan kolonialis dan missionaris. Pengertian kolonialisme dalam
hal ini menyesuaikan dengan kondisi pascaperang dunia kedua, yang
bergeser dari pendudukan menjadi penguasaan dalam bidang-bidang
tertentu secara strategis. Kolonialisme kini tidak mesti berarti
exploitasi sumber daya manusia dan alam seperti di zaman penjaja-
han, tapi monopoli dalam perdagangan, penguasaan sistem ekonomi
politik dan liberalisasi perdagangan. Untuk itu kolonialis berke-
pentingan untuk menyebarkan kultur dan pemikiran Barat, sehingga
ide-ide atau pemikiran Islam dan umat Islam sejalan dengan
pemikiran dan kepercayaan Barat. Tujuan akhirnya kepentingan
ekonomi dan politik mereka di negara-negara Islam dapat berjalan
dengan mulus.
Strategi bagaimana agar ide-ide dan pemikran umat Islam
sejalan dengan kolonialis, dan bagaimana sebuah pemikiran berubah
menjadi kebijakan strategis, sebaiknya kita rujuk sebuah buku yang
berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources and Strategies,
(2003). Buku yang ditulis oleh Cheryl Bernard 23 ini menjelaskan
tentang strategi dan taktik pemikiran yang perlu dilakukan Barat
untuk menghadapi umat Islam pasca 11 September. Targetnya
untuk melawan apa yang mereka istilahkan dengan “terorisme dan
fundamentalisme” dalam Islam. Bahkan setelah menulis buku ini ia
menulis buku lain berjudul “U.S. Strategy in the Muslim World After
9/11 (2004), The Muslim World After 9/11 (2004), dan Three Years
After: Next Steps in the War on Terror (2005).
Cheryl Bernard menulis ini di bawah proyek penelitian sebuah
lembaga swadaya masyarakat di Amerika lembaga itu bernama Rand
Corporation. Sebuah lembaga riset yang mengklaim sebagai lembaga
independen yang membuat “analisa objektif dan solusi efektif
terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat ataupun individu

23
Cheryl Bernard adalah sosiolog yang pernah menulis novel-novel feminis yang
memojokkan ulama dan menyatakan wanita dalam Islam itu tertindas. Jilbab menurutnya
diambil dari pemahaman yang salah terhadap al-Qur’an, dan merupakan simbol pemaksanaan
dan intimidasi. Suaminya adalah Zalmay Khalilzad, blasteran Afghan-Amerika yang menjadi
asisten khusus Presiden George W Bush dan Ketua Dewan Keamanan Nasional (National
Security Council (NSC) khusus untuk teluk Persia dan Asia Barat-Daya. Selain itu ia pada
tahun 1980 bekerja dibawah Paul Wolfowitz pada Policy Planning Council. Pada saat terjadi
perang terhadap Iraq tahun 1991, Zalmay menjadi sekretaris menteri pertahanan.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


24 Hamid Fahmy Zarkasyi

diseluruh dunia”. Lembaga ini dibiayai oleh Smith Richardson


Foundation. Di lembaga ini Cheryl menulis untuk Divisi Riset Ke-
amanan Nasional (National Security Research Division) di mana suami-
nya bekerja. Tujuan dari buku ini adalah untuk membuat suatu
laporan dan usulan dalam rangka membantu kebijakan pemerintah
Amerika, khususnya dalam soal pemberantasan ekstrimisme, dan
pengembangan bidang sosial, ekonomi, politik melalui proses
demokratisasi. Yang jelas divisi ini bertugas memberi saran-saran
kepada pemerintah Amerika bagaimana menghadapi “funda-
mentalisme” dalam Islam dan menyebarkan pemikiran liberal
ketengah-tengah umat Islam.
Sebuah saran tentunya berdasarkan pertimbangan dan dasar
pemikiran tertentu. Pemikiran mana yang menjadi asasnya, ia pilih
sejalan dengan kepentingannya. Berdasarkan pemikiran itu ia
memberi masukan kepada pemerintah Amerika, pertama tentang
nilai-nilai mana dalam Islam yang bisa diseret ke dalam nilai-nilai
Amerika. Kedua tentang peta masalah-masalah umat Islam dalam
konteks nilai-nilai Amerika. Dan akhirnya muncullah saran-saran
agar isu-isu seperti demokrasi dan HAM, poligami, hukuman bagi
kriminalitas, keadilan, masalah minoritas, pakaian wanita dan hak-
hak suami-istri masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Saran-saran
itu, seperti yang akan terlihat di bawah ini, dilaksanakan dengan
baik di Indonesia.
Untuk membuktikan adanya serangan yang berbentuk politik
atau memakai kendaraan politik, berikut ini dipaparkan strategi
bagaimana menghadapi Islam yang tertuang dalam buku tersebut.
Laporan itu membagi umat Islam menjadi 4 kelompok dan memberi
masukan bagaimana seharusnya sikap pemerintah Amerika terhadap
keempat kelompok tersebut:
a) Fundamentalis, yaitu kelompok yang menolak nilai-nilai
demokrasi, dan kultur Barat kontemporer. Mereka meng-
inginkan negara autoritarian dan murni untuk melaksanakan
hukum dan nilai-nilai moral Islam, tapi mau menggunakan
teknologi modern untuk mencapai tujuan mereka.
b) Traditionalis, yaitu kelompok yang menginginkan masyarakat
konservatif, curiga terhadap modernitas, inovasi dan
perubahan.
c) Modernis, yaitu kelompok yang menginginkan agar dunia
Islam menjadi bagian dari modernitas global. Mereka ingin

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 25

memodernisir Islam agar sejalan dengan zaman.


d) Sekularis yaitu kelompok yang mengingkan dunia Islam
menerima pemisahan gereja dan negara, sebagaimana yang
terjadi pada demokrasi industri Barat, di mana agama diposisi-
kan sebagai urusan pribadi.
Untuk menghadapi kelompok-kelompok tersebut di atas
Cheryl Benard memberi saran-saran bagaimana menghadapi masing-
masing kelompok. Di akhir saran-saran ia mengingatkan agar
kebijakan yang diambil disesuaikan dengan strategis tidaknya isu
yang berkembang. Saran-saran untuk menghadapi keempat
kelompok tersebut dapat disimak berikut ini:
a) Pertama-tama dukung modernis, dengan mengembangkan
visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok
tradisionalis. Caranya dengan memberikan arena yang luas
agar mereka dapat menyebarkan pandangan mereka. Mereka
harus dididik dan diangkat secara ketengah-tengah publik
sebagai mewakili wajah Islam kontemporer.
b) Dukung kelompok sekularis berdasarkan kasus per kasus
c) Dorong institusi sipil dan kultural serta program-programnya.
d) Dukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan
mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan
untuk mencegah pertalian yang erat diantara mereka. Didalam
kelompok tradisionalis kita harus mendukung secara selektif
mereka yang lebih sesuai dengan masyarakat sipil modern.
Misalnya, beberapa mazhab-mazhab Fiqih lebih dapat
disesuaikan dengan pandangan kita tentang keadilan dan hak
azazi manusia daripada yang lain.
e) Musuhi kelompok fundamentalis secara aktif dengan
menghantam kelemahan mereka dalam pandangan keislaman
dan ideologi mereka, yaitu dengan mengeskpos hal-hal yang
tidak dapat diterima oleh masyarakat baik anak muda yang
idealis ataupun pengikut tradisionalis yang saleh, seperti
korupsi, kekerasan, kebodohan, pelaksanaan Islam yang bias
dan jelas salah dan ketidakmampuan mereka memimpin dan
memerintah.
Untuk pelaksanaan saran-saran di atas Cheryl memerincikan
langkah-langkah yang lebih kongkret dalam bentuk yang ia sebut
“rekomendasi” yang terdiri dari 5 poin:

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


26 Hamid Fahmy Zarkasyi

a) Hancurkan monopoli fundamentalis dan tradisionalis dalam


mendefinisikan, menjelaskan dan menafsirkan Islam.
b) Tunjuk cendekiawan modernis yang tepat untuk membuat
website yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
dengan perilaku harian dan menawarkan pandangan hukum
Islam kaum modernis.
c) Dukung cendekiawan modernis untuk menulis buku-buku
teks dan mengembangkan kurikulum.
d) Terbitkan buku-buku pengantar dengan disubsidi agar dapat
diperoleh seperti karya-karya penulis fundamentalis.
e) Manfaatkan media regional yang popular, seperti radio, untuk
memperkenalkan pemikiran dan praktik Muslim modernis
untuk membuka pandangan internasional tentang apa itu Islam
dan dapat berarti apa

Penutup
Masalah pemikiran adalah masalah yang berkaitan dengan
ilmu, dan masalah ilmu berkaitan dengan ibadah. Jika terjadi
kerancuan pemikiran maka upaya atau meng-islah permikiran
tersebut adalah termasuk dalam bab ibadah. Kerancuan pemikiran
yang disebabkan oleh masuknya anasir peradaban di luar Islam
bukan terjadi pada masa sekarang saja, tapi sejak periode awal
peradaban Islam bangkit dan berkembang. Dalam situasi perang
pemikiran seperti ini Islam sebagai agama yang s}a>lih} likulli zama>n
wa maka>n telah memiliki mekanisme tersendiri untuk merespon.
Namun perlu diingat bahwa perang pemikiran memerlukan rentang
waktu yang lebih lama, ia bahkan boleh jadi berlangsung sepanjang
satu generasi. Maka dari itu dalam perang pemikiran yang dipicu
oleh globalisasi dan westernisasi ini umat Islam tidak perlu
membawanya kepada peperangan fisik.
Akhirul kalam, perlu disadari bahwa pemikiran mempunyai
peran penting dalam pembangunan peradaban Islam, sebab dalam
Islam pemikiran selalu mendahului perilaku individu, ilmu selalu
mendahului amal. Rusaknya amal disebabkan oleh rusaknya ilmu.
Ilmu tanpa amal adalah gila dan amal tanpa ilmu adalah sombong
(al-Ghazzali). Amal tanpa ilmu lebih cenderung merusak daripada
memperbaiki. Oleh sebab itu dalam menghadapi perang pemikiran
prioritas utama perlu diberikan kepada peningkatan ilmu pengetahu-

Jurnal TSAQAFAH
Liberalisasi Pemikiran Islam 27

an dalam berbagai bidang ilmu agama. Tradisi keilmuan yang


dikembangkan dari pandangan hidup Islam yang bersumber dari
al-Qur’an, Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam perlu terus
dipertahankan dan dikembangkan.[]
Wallahul musta’an.

Daftar Pustaka
Afaf, al-Mustasyriqu>n wa Mushkila>t al-Had}a>rah, (Cairo: Dar al-NahÌah
al-‘Arabiyyah, 1980).
Ahmed, Akbar S, Postmodernisme, Bahaya dan Harapan Bagi Islam
(terj. M.Sirozi), (Bandung: Mizan, 1994).
Armas, Adnin, Metodologi Orientalis dalam Studi al-Qur’an. (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004).
Blackburn, Simon, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford: Oxford
University Press, 1996).
Brinkley, Alan.Liberalism and Its Discontents. (Harvard Univ. Pr., 1998)
Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary
Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit,
Philip, (Blackwell Publishing, 1995).
Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, (New York:
Avon Book, 1992).
Gharisah, Ali, Wajah Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Al
Kautsar, 1989).
Gier, Nicholas F., “Religious Liberalism and The Founding Fathers”,
dalam Peter Caws, ed. Two Centuries of Philosophy in America,
(Oxford: Basil Blackwell Publishers, 1980)
Gray, John.The Two Faces of Liberalism, (New Pr., 2000)
Huntington, Samuel P., If Not Civilizations, What? Samuel Huntington
Responds to His Critics, dalam
http://www.foreignaffairs.org/author/Samuel-p-huntington/index.html
Jameela, Maryam, Islam dan Orientalisme, (Jakarta: 1994)
Keith Windschuttle “Edward Said’s Orientalism revisited” The New
Criterion Vol. 17, No. 5, January 1999.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


28 Hamid Fahmy Zarkasyi

Kloppenberg, James T.The Virtues of Liberalism, (Oxford, 1998).


Kukathas, Chandran, The Many and the One: Pluralism in the Modern
World, Richard Madsen and Tracy B. Strong, editors, (2003).
Latouche, Serge, The Westernizationi of the World, The Significance,
Scope and Limits of the Drive towards Global Uniformity,
(Cambridge: Polity Press, 1996).
Said, Edward, Orientalism, (New York: Vintage, 1979).
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).
The New Encyclopedia of Britanica, University of Chocago, 1991, vol.
11, p. 693
Tibawi, “A Critique of Their Approach to Islam and Arab Nationalism”,
dalam The Islamic Quarterly, London 1964, vol. VIII, no. 1-2.
Watt, M., Muhammad at Mecca, (Edinbrugh: Edinburgh University
Press, 1960)

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap
Paham Liberalisasi Syariat Islam
Nirwan Syafrin
ISTAC-IIUM Kuala Lumpur Malaysia
Email: nirwan_syafrin@yahoo.com

Abstract
The movement of liberalism in Islamic world at the time being has
made the Islamic syari’ah as the object of criticism which must be banned
because it considered as the problem of history. Strangely, they always proud
on what they have done as interpretation and renovation. In Indonesia liberalism
movement factually not without the chesing scenario of politics and world
intellects. It is really difficult to avoid the influence of America and its campaign
against terrorism in this movement. They try to raise a positive image then
what has been presented by the groups of radicalism, fundamentalism, and
conservatism, they seem like to change this image, but finally they changed their
own image which tend to be more Westernised than the West itself. At least
there are three categories, the argumentation of the liberalist against the
enforcement of Islamic syariat, that is: historical argumentation, with
consideration on Shariah purposes and human right. This article elaborates the
position of liberalism view in contemporary Islamic thought, retrieves the
process of liberalism in the view of Syari’ah modernisation and criticism toward
argumentations of liberalists.

Keywords: liberalisme, maqa>s}id al-syari>’at, nasakh, fiqh, hermeneutik

Pendahuluan

K
ehadiran gagasan liberalisasi Islam, yang kemudian dikenal
dengan sebutan ‘Islam liberal,’ dalam dunia pemikiran Islam
akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, telah menimbulkan
kontroversi dan perdebatan panjang. Ini karena banyaknya ide dan
gagasan yang mereka usung sangat bertentangan dengan prinsip-

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


52 Nirwan Syafrin

prinsip dasar aqidah dan syariat Islam. Di antara ide yang paling
menonjol adalah seperti mempertanyakan kesucian dan otentisitas
al-Qur’an;1 mengkritik otoritas nabi beserta hadith-hadith sahih-nya,
menghujat serta mendiskreditkan sahabat-sahabat nabi dan para
ulama. Umumnya pendukung liberal ini menolak penerapan syari’at
Islam secara formal oleh negara. Untuk tujuan ini mereka mencoba
mereka-reka berbagai alasan. Ada alasan budaya, HAM, tidak
prinsip, dan lain-lain.
Inilah beberapa masalah keislaman yang belakangan ini
mencuat dalam wacana pemikiran Islam di dunia pada umumnya
dan di Indonesia pada khususnya yang sempat menimbulkan
keresahan bahkan perpecahan di kalangan umat Islam. Artikel ini
mencoba untuk mengeksplorasi dan sekaligus mengkritisi beberapa
pandangan pemikiran liberal tentang sejumlah isu yang terkait
dengan syariat Islam. Namun sebelum membahas topik tersebut,
penulis akan menjelaskan makna liberal dan isu-isu yang terkait
dengannya.

Wacana Liberalisme dalam Pemikiran Islam Kontemporer


Trend pemikiran Islam liberal merupakan fenomena global
yang belakangan ini mulai menggejala di hampir seluruh belahan
dunia Islam. Ia menyebar dan menjalar ke setiap lini kehidupan
masyarakat Muslim pada khusunya seiring dengan derasnya
ekspansi neo-imperialisme Barat yang dibuat atas nama globalisasi
dan perang melawan terorisme. Di Indonesia trend ini selalu

1
Ide ini banyak disuarakan oleh Mohammad Arkoun, pemikir asal al-Jazair yang sudah
puluhan tahun menetap di Perancis dan menjadi Professor di Sarbone University dalam bidang
kajian keIslaman. Idenya ini dapat dibaca dalam beberapa karyanya seperti, Mohammad Arkoun,
Al-Fikr al-Isla>mi: Qira>’ah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-
Thaqafi al-‘Arabi, 1996); idem, Al-Qur’an min al-Tafsir al-Mawru>ts ila> tahlil al-Khit}a>b al-Dini,
terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr); idem, Ta>rikhiyyah al-Fikr al-
Islami, terj. Hashim Saleh (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-
‘Arabi,1996). Ringkasan ide-ide Arkoun tentang al-Qur’an ini dapat dibaca di Ahmad Idris al-
Ta’an al-Hajj, “Intihak Qadasah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-Muslim al-Mu’a>si} r, no. 115,
2005, p. 103 -123; Nu’man ‘Abd al-Razzaq al-Samarra’i, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr al-Ishtishra>qi
bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id (Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’),
p. 57-66. Dan studi kritis atas idenya bisa dilihat pada, Abdul Kabir Hussain Solihu, Historicist
Approach to the Qur’an: Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings of Two
Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun (Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral
di International Islamic University Malaysia (IIUM), 2003), dan Adnin Armas, Metodologi Bibel
dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), p. 63-69.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 53

diidentikkan dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), meskipun tidak


seluruh orang-orang yang berpikiran liberal yang ada di Indonesia
tergabung secara formal dalam Jaringan ini. Trend ini menyebar di
berbagai institusi perguruan tinggi, organisasi keagamaan, dan juga
LSM.
Bila diteliti dengan cermat, hampir seluruh gerakan liberal di
dunia Islam termasuk di Indonesia lahir sebagai respon ideologis
terhadap berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang sedang
melanda masyarakatnya. Kelompok ini berusaha ingin membuat
terobosan baru untuk membangkitkan kembali masyarakat mereka
yang telah jauh tertinggal bila dibandingkan dengan Barat. Dan,
terobosan itu, kata mereka, hendaklah dimulai dari Agama. Karena
Agama (Islam) selama ini menjadi penghalang kemajuan dan
akselerasi pembangunan di tengah-tengah masyarakat Arab dan
Muslim. Keyakinan inilah yang dapat direkam dari seorang pemikir
Arab abad dua puluh yang lalu, Muhammad Nuwayhi. 2 Dalam
artikelnya dia menyatakan, “kalau kita betul serius ingin berusaha
mencapai “Revolusi Budaya Arab Komprehensif”, maka kita harus
memulainya untuk berhadapan dengan fakta, bahwa penghalang
pertama perjalanan ini adalah Agama. Pernyataan yang sama juga
terdengar dari budayawan Lebanon, Adonis. Tokoh ini begitu
“jengkel” dengan peran yang dimainkan Agama (Islam) dalam
membentuk kebudayaan Arab. Karena menurutnya Agama inilah
yang telah mendorong masyarakat Arab menjadi statis, tidak dinamis
dan kreatif; hanya bergantung pada hal-hal yang absolut, fixed dan
permanen.3 Baik Adonis maupun Nuwayhi sepertinya lupa atau
sengaja melupakan bahwa sesungguhnya kemajuan dan kege-
milangan yang pernah digapai dan diraih Peradaban Islam selama
sekian abad tidak terlepas dari peran yang dimainkan oleh Agama
Islam.
Di Indonesia kemunculan gerakan liberalisasi ini juga tak
terlepas dari persoalan multi dimensi yang sedang melilit masyarakat

2
Muhammad Nuwayhi “A Revolution in Religious Thought,” in John J. Donohue
and John L. Esposito (eds.), Islam in Transition: Muslim Perspectives (New York and Oxford:
Oxford University Press, 1982), p. 106.
3
Monah A. Khouri, “Criticism and the Heritage: Adonis as Advocate of a New
Arab Culture,” dalam George N. Atiyeh dan Ibrahim M. Oweiss (ed.), Arab Civilization:
Challenges and Responses, studies in honous of Constantine K. Zurayk (New York: State
University of New York, 1988), p. 183-207.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


54 Nirwan Syafrin

Indonesia hari ini. Dan secara khusus kelompok ini telah menem-
patkan dirinya sebagai respon dan reaksi terhadap fenomena baru
yang mereka beri label sebagai ‘radikalisme dan fundamentalisme
Islam’ yang mulai marak seiring dengan jatuhnya rezim peme-
rintahan Orde Baru. Yang mereka maksudkan dengan kelompok
terakhir ini adalah mereka yang secara getol berusaha untuk
menerapkan syari’at Islam sebagai hukum positif dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Ada yang melihat gerakan liberal ini tak
lain hanya merupakan kelanjutan dari usaha ‘pembaruan’ yang
pernah digagas Nucholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Ahmad
Wahib, Djohan Effendi, Harun Nasution dan lain-lain.4 Tapi bukan
tidak mungkin gerakan liberal ini juga sebuah ungkapan ketidak-
berdayaan para pendukungnya dalam berhadapan dengan fenomena
global yang saat ini didominasi dan dihegemoni oleh peradaban Barat.
Mereka merasa begitu rendah diri sekali (inferior) serta sangat silau
dengan kemajuan yang diraih Barat sehingga timbul keyakinan
bahwa bila umat Islam ingin maju maka mereka harus mengikuti
setiap jejak langkah Barat. Umat Islam harus mengadopsi demokrasi,
kebebasan agama dan berpendapat, persamaan kedudukan laki-laki
dan wanita, pemisahan agama dari ruang publik, dan lain sebagainya.
Karena hanya dengan begitu, mereka yakin, masyarakat Islam akan
terlepas dari keterpurukan yang sedang mereka alami.
Tidak dapat dinafikan bahwa dunia Islam saat ini memang
sedang dalam krisis yang sangat dalam. Ungkapan Isma‘il Faruqi
mungkin sangat tepat menggambarkan keberadaan umat Islam hari
ini: The world-ummah of Islam stands presently at the lowest rung of
the ladder of nations. In this century, no other nation has been subjected
to comparable defeat or humiliation. 5
Dalam kolom khusus di harian al-Ahram,6 Ridwan al-Sayyid,
pemikir Islam asal Lubnan, sempat dikutip seperti berikut. Dia
mengatakan: “the Middle East region seems to me to be the only place
in the world which has witnessed the return of colonialism in its oldest
ruthless form- direct military intervention.” Dia lantas memperkuat

4
Untuk keterangan lanjut tentang proses lahir dan berkembangnya Jaringan ini bisa
dibaca pada Muhamad Ali, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in Contemporary
Indonesia,” American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 22, no. 1, 2005, p. 1-27.
5
Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan
(Virginia, Herndon: The International Institute of Islamic Thought, 1982), p. 1.
6
4-10 November, no. 715

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 55

pendapatnya ini dengan menunjukkan fakta lapangan kehadiran


militer asing pada lebih kurang tujuh atau delapan negara Arab baik
dalam bentuk kamp militer atau konsesi teritori. Keadaan dunia
Islam sangat memilukan hari ini. Oleh sebab itu jika pada batas-
batas tertentu dunia Islam memang sangat perlu sekali untuk
mengkaji ulang kembali beberapa kebijakan mereka terkait isu-isu
kebebasan berpendapat, hak wanita, kebebasan dan lain sejenisnya.
Tetapi melakukan penjiplakan membabi buta atas konsep Barat
untuk menyelesaikan persoalan ini tanpa kritis bukanlah langkah yang
bijak. Fazlur Rahman sendiri, yang idenya banyak diserap dan dijadikan
rujukan kelompok liberal di Indonesia, menyadari bahwa sikap
penjiplakan inilah sesungguhnya yang menjadi salah satu titik kelemahan
gerakan modernis Muslim sehingga mereka gagal untuk membawa
masyarakat pada cita-cita yang mereka inginkan. Kata Rahman:
the ad hoc issues the Modernists chose were, in the nature of case, those that had
become issues in and for the West. Although the Modernists were sincere both in
adopting them, their ad hoc character left strong impression that the Modernists
were both Westernized and Westernizers.”7

Sayangnya Rahman sendiripun terjebak dalam kelemahan ini.


Dalam beberapa karyanya, dia juga turut terlibat aktif dalam
mengangkat isu yang menjadi concern masyarakat Barat.
Perlu dicatat bahwa gerakan liberalisme Islam di Indonesia yang
berkembang belakangan ini sebenarnya tidak lepas dari skenario
percaturan politik dan intelektual dunia. Sulit untuk menafikan
kuatnya dampak kebijakan Amerika dalam kampanyenya melawan
terorisme atas gerakan ini. Para pendukungnya mencoba ingin
memberikan citra yang sedikit positif tentang Islam ketimbang apa
yang dipersembahkan oleh kelompok yang mereka sebut “radikal,
fundamentalis, dan konservatif”. Alih-alih ingin merubah citra
tersebut, akhirnya mereka telah merubah citra mereka sendiri yang
terkadang lebih Barat dari Barat. Seperti orientalis yang “mengobok-
obok” ajaran Islam, kelompok Muslim liberal ini mengikut gerak
yang sama, dan menari dengan nada yang dimainkan oleh para
orientalis. Mereka meyerang al-Qur’an sebagai produk rekayasa

7
Fazlur Rahman, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford T. Welch dan
Pierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1979), p. 324.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


56 Nirwan Syafrin

politik kaum Quraysh, menuduh hukum-hukum yang terkandung


di dalamnya sangat tidak humanis dan seterusnya.

Liberalisasi atau Pembaruan Syari’ah?


Gerakan Liberalisasi yang berkembang di dunia Islam saat ini
telah menjadikan syariat Islam sebagai objek kritik yang perlu
dihabisi karena dianggap sebagai beban sejarah yang menghalang
perkembangan dan pembangunan masyarakat yang menganutnya.
Anehnya mereka selalu mendabik dada bahwa apa yang mereka
lakukan tersebut adalah bagian dari ijtiha>d dan tajdi>d.8 Benarkah
demikian, tentu perlu dikaji lebih mendalam.
Wacana pembaruan atau sering disebut dengan tajd>id, is}la>h},
atau ih}ya>’ (renewal, reform) bukanlah barang baru dalam Islam; ia
merupakan built-in-system dalam dunia intelektual Islam. Rasullullah
sendiri sudah mewanti-wanti kemungkinan terjadinya pembaruan
ini dalam sabdanya: “sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap
pangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharui
agamaNya”. Menurut data yang diberikan Ibn Athir dan Suyuti,
program pembaruan sudah berjalan sejak awal abad pertama
hijriyah. Ini terbukti dengan tersenarainya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz
dan Imam Syafi‘i sebagai pembaharu abad pertama dan kedua.9
Hanya saja persoalan pembaruan menjadi kritis ketika dunia
Islam memasuki abad ke-18 di mana ketika itu kebanyakan dunia
Islam mulai jatuh satu persatu ke tangan imperialisme Barat sehingga
mencapai titik kulminasinya tahun 1798 di saat Napoleon dengan
kekuatan militernya menaklukkan Mesir, yang saat itu masih menjadi
bagian dari kerajaan Uthmaniyyah di Turki. Kehadiran Barat dengan
segala perangkat modernitasnya telah menimbulkan berbagai
persoalan bagi dunia Islam. Para pemimpin dan pemikir Muslim
ketika itu mulai bertanya: kenapa bangsa Arab yang dulunya
menguasai peradaban dunia ini kalah tertunduk di hadapan bangsa
Barat? Sebuah pertanyaan yang kemudian diformulasikan Sakib
Arsalan menjadi judul bukunya limaa>dha> ta’akhkhara al-muslimu>n

8
Lihat misalnya karya Mohammad Arkoun, Min al-Ijtiha>d ila> Naqd al-‘Aql al-Isla>mi,
terj. Hashim Saleh (London: Dar al-Saqi,19910; idem, al-Fikr al-Isla>mi: naqd wa ijtiha>d
(London: Dar al-Saqi, 1998).
9
Bustami Muhammad Sa’id, Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n (Kuwait: Dar al-Da’wah, 1984), p.
40, 41, dan 43.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 57

wa taqaddama ghayruhum? Bisakah umat Islam sukses seperti Barat?


Apakah Islam dapat hidup berdampingan dengan nilai-nilai modern
sekular Barat?
Awal abad kedelapan belas beberapa tokoh reformis Muslim
mulai tampil untuk menjawab persoalan ini dan Muhammad bin
‘Abdul Wahhab (m. 1792) terhitung sebagai tokoh yang paling awal
mencanangkan pembaruan Islam dalam sejarah modern Islam. 10
gerak langkahnya kemudian diikuti oleh beberapa tokoh Islam di
berbagai belahan dunia lain seperti di Indonesia oleh kaum Paderi
dan di Sudan oleh kelompok Mahdi. Gerakan ini berlanjut terus
seiring dengan semakin kuatnya dominasi Barat atas beberapa bagian
dunia Islam. Bermula dia Syria, gerakan apa yang disebut dengan
Nahd}ah ini berkembang dan mendapat momentumnya di Mesir.
Lahirlah tokoh-tokoh seperti Rifa’ah Tahtawi, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad ‘Abduh, Rashid Ridha di Mesir, dan lain-lain.
Usaha yang dirintis oleh para tokoh reformis tersebut ternyata
belum menemukan titik terangnya. Hingga pertengahan abad kedua
puluh yang lalu, ketika hampir kebanyakan dunia Islam secara politis
terlepas dari cengkeraman penjejah, dunia Arab periode ini
memasuki periode Revolusi (‘as}r al-tsawrah) menggantikan periode
sebelumnya yang dikenal dengan ‘as}r al-nahd}ah. Di bawah pimpinan
Gamal ‘Abd al-Nasser, gerakan ini tampaknya mendapat sambutan
hebat. Ada dua ideologi besar yang berkembang saat itu, yaitu:
nasionalisme dan sosialisme. Akan tetapi kedua ideologi itu akhirnya
mendapat pukulan telak menyusul terjadinya perang enam hari
melawan Israel tahun 1967 yang menyaksikan kekalahan negara
Arab di negara kecil yang baru berdiri itu. Persoalan yang pernah
mengemuka pada awal abad sembilan belas di atas kembali
menggema hingga hari ini. Tapi kali ini pertanyaan itu tampaknya
lebih serius mengingat kekalahan ini terjadi setelah dunia Arab secara
besar-besaran melakukan modernisasi dalam pelbagai hal: militer,
ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Oleh sebab itulah maka Issa
J. Boullata menyebut peristiwa ini ujian pahit bagi modernisasi bangsa
Arab (it is the acid test of Arab modernization).11
10
Tapi bagi Fazlur Rahman tokoh reformis Muslim abad modern adalah Ahmad Sirhindi
(m. 1625). Lihat Fazlur Rahman, “Revival and Reform”, dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton,
and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam (Cambridge: Cambridge University
Press, 1970), 2: 673.
11
Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought (Albany: State
University of New York, 1990), p. 1.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


58 Nirwan Syafrin

Kekalahan ini telah memberi angin segar bagi kelompok Islam


yang menilai pemerintahan berideologi sekuler telah gagal bukan
saja untuk memperbaiki tarap hidup rakyatnya tapi juga gagal mem-
pertahankan wilayah kekuasaannya. Sejak itulah gema kebangkitan
Islam menyapa persada dunia Arab dan lambat laun hampir seluruh
dunia Islam. Mereka menuntut agar syariat Islam diterapkan sebagai
jalan keluar untuk menyelesaikan problema yang sedang mereka
hadapi. Karena didukung oleh massa yang banyak, gerakan ini pada
tahap tertentu berhasil juga mempengaruhi banyak kebijakan
pemerintah Arab. Ibrahim Abu Rabi’ menulis: “One can convingcingly
argue that 1967 paved the way for various Islamic movements and
ideologues to reformulate an alternative to the crisis of the nation/state
and the social and political vacuum from the defeat,” 12
Ide penerapan syariat ini bagaimanapun tidak sepenuhnya
mendapat dukungan dari semua kalangan Muslim. Beberapa sarjana
dan cendikiawan Muslim sebaliknya mengecam dan mencemooh-
kan kelompok yang memperjuangkan ide ini, seperti yang dilakukan
Faraj Fawdah. Fawdah memang bukan cendikiawan yang berlatar
belakang pendidikan syariat. Bidang studi garapannya adalah Teknik
Pertanian (agricultural engineering), tapi dia sangat keras menentang
gerakan Islam dan mereka yang menginginkan penerapan syariat
Islam. Dia selalu menantang kelompok ini untuk berdebat dan per-
debatannya yang terakhir adalah pada Pameran Buku Kairo 1992
dengan Muhammad al-Ghazali. Dalam perdebatan tersebut dia
menyatakan: “saya menolak penerapan Syariat Islam, apakah ia
dilakukan sekaligus atau secara bertahap... karena saya melihat dalam
penerapan Syari’at Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara
agama)... barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sen-
dirinya dapat menerima aplikasi Syari’ah Islam... dan barangsiapa me-
nolaknya maka dia menolak penerapan Syari’at Islam.”13 Ringkasnya
Fawdah mendukung sekularisme dan menolak campur tangan
agama dalam urusan pemerintahan. Di Mesir ide seperti ini tentunya
tidak baru, ia pernah dilontarkan ‘Ali ‘Abd al-Raziq dalam bukunya
al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm.
Fawdah kerap memperolok-olokan kelompok Islam yang ingin
membentuk negara Islam. Menurutnya tidak ada satu pun negara

12
Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Arab World
(Albany: State University of New York Press, 1966), p. 262.
13
Ahmad Jawdah, H}iwa>ra>t H}awla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr, 1990), p. 14.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 59

Islam ideal yang dapat dijadikan contoh. Dia sering menuduh kaum
Muslim itu terlalu mengagungkan sejarah masa silam. Padahal
ungkapnya sejarah masa silam Islam tidaklah seindah yang mereka
sangkakan; ia sesungguhnya penuh dengan noda dan dosa. Sejarah
Islam adalah sejarah tragis umat manusia yang dibayangi perkelahian
dan pertumpahan darah, tandas Fawdah. Untuk memperkuat
argumentasinya dia kemudian merujuk pada kasus kematian tiga
al-khulafa>’ al-ra>shidu>n yang meninggal akibat pembunuhan. Dengan
cara ini, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa penerapan syariat
Islam belum tentu dapat menjamin seluruh persoalan umat dapat
selesasi. Banyak peristiwa tragis dan memalukan di masa lalu berlaku
bahkan ketika syariat Islam masih diterapkan. Misalnya skandal
politik para sahabat ternama seperti ‘Utsman bin ‘Affan, Talhah ibn
‘Ubaidillah, dan ‘Abdurrahman bin ‘Awf. Ia bahkan menuduh Ibn
‘Abbas terlibat korupsi.14
Selain Fawdah, Muhammad Sa’id ‘Ashmawi juga terhitung
sebagai cendikiawan Muslim Mesir yang keras menentang
penerapan syariat. Menurut As’ad Abukhalil, Fawdah sendiri
sebenarnya banyak terinspirasi oleh tokoh ini. 15 Berbeda dengan
Fawdah, ‘Ashmawi memang memiliki kepakaran dalam bidang
hukum. ‘Ashmawi kerap mengkritik gerakan Islam sehingga
menyebabkannya beberapa kali mendapat ancaman bunuh. Dia
sempat mencetuskan polemik dengan al-Azhar karena mengkritik
legalitas yang diberikan kepada institusi ini untuk menyensor musik,
film dan video. Kritiknya ini telah menimbulkan kemarahan ulama
al-Azhar sehingga sempat melarang peredaran beberapa bukunya.
Pelarangan itu ditarik kembali setelah intervensi Presiden Mesir
Husni Mubarak.16
Dalam karyanya ‘Ashmawi selalu membedakan dua tipe Islam.
Pertama apa yang disebutnya dengan “political Islam” dan yang

14
Issa J. Boullata, Trends and Issues, p. 157-159; Ibrahim Abu Rabi’, Intellectual Origins,
p. 256-257; As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist Tendencies in
Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalam Charles E. Butterworth dan I William Zartman
(eds.), Between the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press and Cambridge
University Press, 2001), p. 117 – 120.
15
Lihat catatan kaki no. 31 dari tulisan As’ad Abukhalil, “Against the Taboos of
Islam”, p. 123.
16
William E. Shepard, “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The Application of the
Shari’a in Eypt”, dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February
1996, p. 42-43.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


60 Nirwan Syafrin

kedua “enlightened Islam” (Islam yang tercerahkan). Dia memasuk-


kan gerakan Islam pada kelompok pertama. Karena tuntutan
penerapan syariat (tat}bi>q al-shari’ah) atau enakmen syari’at (taqni>n
al-shari’ah) tidak lebih dari hanya slogan politik semata yang
bertujuan meraih dukungan politik.17 Dia berpendapat bahwa tidak
satu pun perkataan syariat dalam al-Qur’an yang berkonotasi hukum
(qa>nu>n ataupun tashri>’) yang menjadi tanggung jawab umat untuk
melaksanakannya. Hanya ada satu ayat yang menyebut perkataan
syariah surah 45: 18, itupun tidak berarti hukum tetapi ‘jalan’ (t}ari>q,
sabi>l, atau manhaj), jelas ‘Ashmawi. Jadi syariat Islam berarti Jalan
Islam atau Jalan Allah. Karena itu, dia menyimpulkan, isu penerapan
syariat Islam tak lain hanya rekaan manusia semata. ‘Ashmawi
menerangkan bahwa pada awalnya perkataan syariat bermaksud
aturan-aturan yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah berkenaan
ibadah dan masyarakat. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
perkataan ini melebar sehingga mencakup ijtihadnya para ulama.
Padahal yang terakhir ini lebih tepat disebut fiqh bukan syari’at.
Mereka yang menuntut penerapan syari’ah, katanya, sesungguhnya
bukan menuntut pengaplikasian Islam secara utuh tapi menuntut
penerapan ijtihad-ijtihad ‘ulama seperti yang tercantum dalam kitab
fiqh klasik.18
Perbedaan antara syariat dengan fiqh bukanlah barang baru
dalam wacana pemikiran Islam. Para ulama sejak dulu sudah
membahas persoalan ini dengan sangat detail. Memang perkataan
syariat telah mengalami penyempitan. Semula ia mencakup seluruh
aspek Islam: hukum, ‘aqidah dan juga akhlaq tapi kemudian
menyempit dan identik dengan Islam. Kata Ibn Athir, Syariat adalah
ketentuan agama yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. 19
Artinya syariat adalah Islam itu sendiri. Sebagaimana syariat, istilah
fiqh juga mengalami perkembangan yang sama. Pada awal per-
kembangan pemikiran Islam, kata fiqh mencakup seluruh keilmuan
Islam. Imam Abu Hanifah misalnya menggunakan istilah fiqh untuk
bukunya yang membahas tentang persoalan aqidah (us}u>l al-di>n)
dengan menamakan bukunya al-Fiqh al-Akbar. Akan tetapi istilah
ini kemudian menyempit dan akhirnya hanya terbatas pada masalah-

17
Ibid., p. 43.
18
Ibid., 43 dan 44; As’ad Abukhlail, “Against the Taboo of Islam”, p. 125-126.
19
Dikutip dari Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li Shari>’ah al-Isla>miyyah
(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991), p. 20.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 61

masalah hukum seperti yang terlihat dari definisi yang diberikan


para ulama bahwa fiqh adalah “pengetahuan tentang hukum-hukum
praktis berkenaan dengan syara’ beserta dengan dalil-dalilnya yang
terperinci berkenaan dengan perbuatan manusia”20
Lantas apa hubungan syariat dengan fiqh? Apakah keduanya
sama sekali tidak berhubungan? Apakah fiqh tidak memiliki nilai
syariat? Banyak kalangan pemikir Muslim hari ini melihat fiqh
seolah-olah sebagai produk pemikiran semata, hasil kontemplasi
tidak ada hubungannya dengan syari’ah. Maksudnya jika seseorang
ulama mujtahid mengatakan bahwa hukum A atau B haram atau
halal, maka hukum tersebut adalah hasil ijtihadnya, atau dengan
kata lain buah pikirannya. Pendapat ini mengisyaratkan seolah-olah
fiqh tidak memiliki nilai syari’at. Maka oleh sebab itu ia tidak
mengikat. Siapapun boleh mengikuti atau meninggalkannya.
Pendapat ini memiliki dampak yang sangat besar dalam kita
mengkonsepsikan Agama. Andaikan pendapat ini dipertahankan,
sama artinya kita mengatakan bahwa agama ini adalah hasil rekayasa
manusia. Ini karena kebanyakan sendi-sendi ibadah yang kita
lakukan hari ini tak lepas dari ijtihadnya Imam Abu Hanifah, Malik
bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Sebagai contoh,
dalam mazhab Syafi’i niat shalat atau wudlu adalah merupakan
rukun ibadah ini. Demikian juga mazhab Syafi’i mengatakan bahwa
bismillah adalah bagian dari al-fa>tih}ah dan oleh sebab itu ia wajib
dibaca. Kedua pendapat ini adalah ijtihad para ulama syafi’iyah.
Lantas apakah orang yang berpegang dengan pendapat ini, ia
dikatakan berpegang pada pendapat Syafi’i, bukan berpegang pada
perintah Allah? Kalaulah pendapat yang terakhir ini kita pegangi,
sama artinya kita mengatakan bahwa Syafi’i telah mereka-reka
ibadah salat. Dalam konteks ini menarik untuk menyimak
ungkapan Imam al-Ghazali dalam al-Mustasfa menyatakan:
Adapun nabi, sultan, tuan (kepada hamba sahaya), ayah, suami,
apabila mereka memerintahkan dan mewajibkan (sesuatu), ia tidak
menjadi wajib disebabkan oleh mereka mewajibkannya, akan tetapi
karena Allah mewajibkan untuk menta’ati (mematuhi) mereka.
Karena kalau demikian (kewajiban itu disebabkan perintah mereka), niscaya
setiap orang akan mewajibkan sesuau terhadap orang lain. Dan orang
yang diperintahkan tersebut juga berhak untuk menuntut hal yang

20
‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), p. 22.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


62 Nirwan Syafrin

sama dari orang yang memberikan perintah tadi, karena dasarnya


tidak diantara keduanya yang lebih utama dari yang lain. Oleh sebab
itu, kewajiban itu adalah menta’ati Allah, dan juga menta’ati orang
yang diwajibkan Allah untuk menta’atinya. 21

Memang fiqh merupakan hasil ijtihad para ‘ulama, oleh sebab


itu ia terkadang berubah sesuai dengan dalil dan juga kondisi nyata
yang berlaku ditengah masyarakat. Namun demikian, ini bukan
berarti bahwa fiqh merupakan produk pikiran manusia semata atau
hasil rekayasa para fuqaha’. Karena fiqh seperti dikatakan al-Asmandi
adalah “al-ah}ka>m al-mustafa>dah bi al-syara’ la al-ah}ka>m al-mudrikah
bi al-‘aql” (hukum-hukum yang diambil dari syara’ bukan yang
diperoleh melalu akal).22 Dalam mendefinsikan fiqh, para ‘ulama
lazimnya menggunakan dua perkataan berikut: “istinba>t al-ah}ka>m”
atau “ma’rifah al-ah}ka>m”. 23 Kedua perkataan ini mengisyaratkan
bahwa tugas para fuqaha hanyalah menderivasi atau mengetahui
hukum saja. Artinya para fuqaha tersebut berusaha dengan sedaya
upaya mereka untuk mengetahui ataupun menderivasi hukum yang
pada prinsipnya sudah ada dalam teks-teks aslinya. Akan tetapi
hukum tersebut tidak dapat ditangkap dengan mudah oleh
kebanyakan orang. Makanya ia disebut fiqh yang oleh Abu Muzaffar
al-Sam’ani dikatakan “istinba> t } h} u km al-musykil min al-wa> d } i h”
(mengeluarkan hukum yang rumit dari sesuatu yang jelas).24 Oleh
sebab itulah makanya para ‘ulama berbeda pendapat perihal
hukum-hukum yang secara gamblang dapat ditangkap seperti
ibadah salat, puasa, haji, hukum qisas, hudud, dan lain sebagainya
yang dalam dalam Ilmu Usul Fiqh disebut dengan al-qat}’iyya>t atau
al-ma’lu>m min al-d}i>n bi al-d}aru>rah. Para ‘ulama berbeda pendapat;

21
Al-Ghazali, Al-Mustasfa, di edit oleh Hamzah Zuhayr Hafidh, 1, p. 273, 276. Dikutip
dari Yusuf al-Qardawi, al-Siya>sah al-Syar’iyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 2000), p. 18.
22
Muhammad bin ‘Abd al-Hamid al-Asmandi, Badhl al-Naz}ar fi al-Us}ul> , ed. Muhammad
Zaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabah Dar al-Turath, 1992), p. 6.
23
Para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalam
definisi ini. Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pasti
dan yakin (al-qaÏ‘)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat zann. Oleh sebab itu Abu Ishaq
al-Syirazi mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al-ah}ka>m. Abu Ishaq Ibrahim al-
Syirazi (w. 393), Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-
Islami, 1989) 1, p. 158-9. Seperti Syirazi, Sadr al-Shari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama.
Menurutnya fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma> lahu wa ma> ‘alayh”. Al-Talqi>h Syarh al-Tanqi>h,
diedit oleh Najm al-Din Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), p. 26.
24
Abu Muzaffar al-Sam’ani (426-489), Qawa>t}i’ al-Adillah fi al-Us}u>l, ed. Muhammad
Hasan Hitu (bayrut: Muassasah al-Risalah, 1996), p. 33.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 63

ada yang mengatakan bahwa ini termasuk bagian fiqh, ada juga yang
mengatakan sebaliknya.25 ‘Umar Sulayman al-Ashqar menjelaskan
bahwa fiqh adakalanya bisa menjadi syariat yaitu ketika ijtihad yang
dilakukan ulama tersebut mengenai sasaran sesuai dengan ketetapan
Allah. Tapi ada kalanya ijtihad juga salah, maka ketika itu fiqh tetap
sebagai fiqh tidak berubah menjadi syariat.26
‘Ashmawi selanjutnya menegaskan agar kita membedakan
antara agama dan pemikiran keagamaan. Agama merupakan
seperangkat prinsip yang disampaikan oleh nabi atau rasul, tapi
pemikiran keagamaan adalah metode dalam memahami dan
mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut. Pemahaman atau
penafsiran atas teks keagamaan adalah pemikiran keagamaan bukan
agama. Sebagai pemikiran ia bisa saja sesuai dengan inti ajaran
agama, tapi bisa juga tidak. 27 Pendapat ini sama dengan yang
ditegaskan Nasr Hamid dalam karyanya Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni.
Menurutnya salah satu kesalahan kelompok Islamis adalah mereka
tidak bisa membedakan antara al-din dan al-fikr al-di>ni. Akibatnya
mereka terjerumus pada pensucian pemikiran (taqdi>s al-afka>r).28
Terhadap pendapat kedua pemikir liberal ini, ada beberapa
persoalan yang perlu dipertanyakan. Apakah kriteria yang dapat
dijadikan ukuran untuk membedakan ‘agama’ dan ‘pemikiran
keagamaan’? Hal ini perlu dipertanyakan karena kekeliruan
memahami kedua hal tersebut dapat mengakibatkan problem yang
sangat fatal lagi. Menganggap pemikiran keagamaan sebagai agama
adalah salah, tapi demikian juga sama salahnya mereka yang
menganggap agama sebagai pemikiran keagamaan. Kalau kelompok
konservatif dituduh oleh orang liberal jatuh pada kesalahan pertama,
kebanyakan orang liberal melakukan kesalahan kedua: mereka
menyamaratakan agama dengan pemikiran keagamaan. Maka tak
heran jika belakangan ini kita mendengar suara-suara dari kalangan
liberal hari ini yang mereduksi ajaran Islam menjadi sekedar budaya

25
Untuk penjelasan lanjut dapat dibaca ‘Abid bin Muhammad Sufyan, al-Tsaba>t wa al-
Syumu>l fi al-Syari>’ah al-Isla>miyyah, p. 63-73.
26
Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’at lihat ‘Umar Sulayman
al-Asyqar, Tari>kh al-Fiqh al-Isla>mi, p. 17-19.
27
Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi, Us}u>l al-Shari’ah (al-Qahirah: Sina, 1992), 28
sebagaimana yang dikutp oleh As’ad Abu Khalil, “Against the Taboo of Islam”, p. 125.
28
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Dini, cet. 3 (al-Qahirah: Madbuli, 1995),
67ff.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


64 Nirwan Syafrin

Arab. Pemakaian jilbab, hukum waris, hukum potong tangan bagi


pencuri, qis}a>s}, rajam dan lain sebagainya dianggap budaya Arab,
bukan hukum Islam. Karena dianggap budaya Arab, maka akhirnya
hukum-hukum tersebut dianggap tidak lagi relevan. Lebih ekstrem
lagi ada yang menilai shalat yang dilakukan dalam bahasa Arab pun
sebagai bagian dari budaya Arab. Makanya salah seorang liberal
Indonesia mengatakan bahwa “Andaikata dia (red. Nabi Muhammad
saw) diutus di Tanah Jawa, sudah pasti dia akan shalat dengan bahasa
Jawa. Jadi faktor bahasa hanyalah faktor budaya dan bukan bagian
inti dari ibadah.”29
Lebih lanjut lagi, bagi Nasr Hamid sendiri sesungguhnya sudah
tidak ada lagi apa yang disebut sebagai agama yang bersifat suci dan
mutlak. Hatta al-Qur’an yang ada di tangan kita sekarang ini pun
tidak dianggapnya sebagai ‘Agama’ dalam arti turun langsung dari
Allah. Ini karena dalam pandangan Nasr Hamid, al-Qur’an yang ada
di tangan kita sekarang inipun produk “pemahaman manusia”, yaitu
pemahaman Nabi Muhammad saw. Dia menyatakan bahwa apa yang
disebut Suci itu hanya sebuah wujud metafisis yang tak dapat
dijangkau manusia. Berikut petikan dari Nasr Hamid Abu Zayd:
Wa min al-d}aru>ri> huna> an nu’akkida anna h}a>lah al-nas|s} al-muqaddas h}a>lah
mitafiziqiyyah la> nadri ‘anha> shay’an illa ma> dhakarahu al-nas}s} ‘anha> wa
nafhamuhu bi al-d}aru>rah min za>wiyah al-insa>n al-mutaghayyir al-nisbi. al-
nas}s} mundhu lah}z}ah nuzu>lihi al-u>la> –ayy, mundhu qira>’ah al-nabi lahu lahdha
al-wahy – tah}awwal min kawnihi (nas}s}an ila>hiyyan) wa s}a>ra fahman (nas}s}an
insa>niyyan), liannahu tah}awwal min al-tanz}il ila al-ta’wi>l.30

Artinya, Nasr Hamid Abu Zayd seolah-olah mengatakan bahwa


al-Qur’an itu bukan Nas Allah lagi tapi sudah menjadi nas (teks)nya
manusia karena ia telah bersentuhan dengan Rasul.
Dari Sudan – tepatnya dari Amerika, karena Na’im sekarang
berdomisili di Amerika Serikat — penentangan terhadap Syariat
disuarakan oleh Abdullah Ahmad an-Na’im. Agak sedikit berbeda
dengan kebanyakan pemikir lainnya, Na’im menafikan kesakralan
(divine) syariat, karena ia bukan wahyu yang langsung datang dari
Allah. Syari’at, katanya, adalah “the product of a process of inter-
pretation of, analogical derivation from, the text of the Qur’an and Sunna

29
Lihat misalnya wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti
dari Ibadah,” 16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.
30
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni, p. 126.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 65

and other tradition.”31 Ia menamakan syari’at ini dengan historical


shari’ah (syari’ah historis). Dengan mengutip pandangan John L.
Esposito, Na’im menyatakan kekurang setujuannya atas perbedaan
yang dibuat oleh Muslim modernis antara syariat dan fiqh, karena
dalam prakteknya perbedaan ini kurang signifikan.32
Pandangan Na’im ini jelas bertentangan dengan mainstream
pemikiran Islam seperti yang dijelaskan di atas, yang selama ini selalu
membedakan antara syariat dengan fiqh. Penyamaan ini jelas dapat
menimbulkan implikasi fatal dalam kehidupan beragama. Ia dapat
menghilangkan nilai sakralitas syariat, karena dianggap bukan dari
Allah, dan dengan demikian akan dapat menyebabkan rendahnya
tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan syariat, karena
dinilai produk manusia.
Na’im tampaknya tidak peduli dengan implikasi di atas. Dia
malah menyerukan perubahan hukum Islam yang terkait dengan
konstitusionalisme, hukum kriminal, hubungan internasional, dan
Hak-hak Asasi Manusia (HAM) yang sebagiannya telah diputuskan
secara qat’iy dalam al-Qur’an. Alasan perubahan ini sangat sederhana:
karena hukum-hukum itu dianggap bertentangan dengan prinsip
Hak Asasi Manusia dan standar hukum international. Sebagai contoh,
kasus perbudakan. Menurutnya meskipun perbudakan dikecam
kebanyakan intelektual Muslim, secara teori Islam masih mengakui
legalitas hukum ini. Pengakuan inilah yang dianggapnya melanggar
prinsip fundamental dan universal Hak Asasi Manusia. 33 Na’im
selanjutnya menyatakan “...some definite and generally agreed
principles of Shari’a are in clear conflict with corresponding principles
of international law,”34 Kedua hukum tersebut tidak mungkin dapat
hidup berdampingan, jelas Na’im.35 Andaikan kaum Muslim tetap
memaksakan untuk menerapkan syariat Islam tersebut, kata Na’im
lagi, mereka akan mengalami kerugian karena tidak dapat mengecap
manfaat sekularisasi (If historical shari’a is applied today, the population
of Muslim countries would lose the most significant benefits of
secularisation).36
31
Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York:
Syracuse University Press, 1990), p. 11.
32
Ibid., p. 50 dan xiv
33
Ibid., p. 177.
34
Ibid., p. 151.
35
Ibid., p. 8.
36
Ibid.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


66 Nirwan Syafrin

Sepertinya Na’im memberikan propaganda buruk tentang


syari’at Islam ke masyarakat dunia. Dia sepertinya sedang melakukan
apa yang biasanya dilakukan oleh para orientalis Barat yang
menanam rasa kebencian pada Islam. Kecamannya persis dengan
apa yang pernah diungkapkan Elizabeth Meyer dan Donna Arzt
dalam tulisan mereka bahwa syari’at Islam bersifat diskriminatif
terhadap non-Muslim, 37 memperlakukan ahl al-dhimmah sebagai
masyarakat kelas dua serta menyekat hak mereka untuk ber-
partisipasi mengatur negara. 38 Jadi diam-diam Na’im telah me-
masukkan kerangka pemikiran Barat ke dalam alam bawah sadarnya.
Bagi Na’im hanya ada satu cara agar syariat Islam tetap eksis
dalam dunia modern ini yaitu dengan mereformasinya. Tapi ia
menolak reformasi ini dilakukan dalam framework syariat yang ada.
Sebab dalam framework ini, menurutnya, ijtihad tidak berlaku pada
hukum yang sudah disentuh al-Qur’an secara definitif. Sementara
hukum yang perlu direformasi itu adalah hukum-hukum yang
masuk kategori ini seperti hukum h}u>dud dan qis}a>s}, status wanita
dan non-Muslim, hukum waris dan seterusnya.39 Inilah dilematis
yang dihadapi para pembaharu hukum Islam, kata Na’im. Di satu
sisi mereka disuruh berijtihad, tapi pada sisi lain mereka dihalang
oleh ketentuan usul fiqh klasik “la ijtiha>d fi> mawrid al-nas}s}.” Oleh
sebab itu apa yang diperlukan bukanlah reformasi tapi dekonstruksi.
Na’im sepertinya ingin mendobrak pintu reformasi dengan
menempuh jalan seperti yang pernah dilalui umat Kristen. Untuk
itu, ia lantas mengusulkan penggunaan metode hermeneutika untuk
membaca tujuan serta kandungan normatif ayat-ayat al-Qur ’an
sebagaimana orang Kristen telah menggunakannya untuk membaca
Kitab Bibel mereka,40 tanpa menghiraukan perbedaan fundamental
yang dimiliki kedua Kitab suci. Pada titik ini, ide Na’im sama saja
dengan Muslim kontemporer lain seperti Fazlur Rahman, Hassan

37
Ann Elizabeth Meyer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Boulder
and San Francisco: Westview Press, 1991), p. 98; Donna Arzt, “The Treatment of Religious
Dissidents under Islamic Law,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious
Human Rights in Global Perspective: Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff
Publishers, 1996), p. 413-416.
38
Donna Azrt, Ibid., p. 412-414.
39
Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation, p. 49-50.
40
Abdullah Ahmad an-Na’im, “Islamic Foundations of Islamic Human Rights,” dalam
John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.), Religious Human Rights in Global Perspective:
Religious Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), p. 70.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 67

Hanafi, dan Nasr Hamid Abu Zayd.


Penggunaan hermeneutika Na’im telah menghasilkan sebuah
pendekatan baru yang disebutnya dengan ‘Evolutionary Approach’,
sebuah pendekatan yang pada awalnya dibangun dan dikembang-
kan oleh gurunya Mahmud Muhammad Taha dalam bukunya Al-
Risa>lah al-Tsa>niyah. 41 Esensi pendekatan ini adalah “...reversing the
process of naskh or abrogation so that those texts which were abrogated
in the past can be enacted into law now, with the consequent abrogation
of text that used to be enacted as Shari’a.”42
Menurut Na’im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-
pesan fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyah
bukan madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang
ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah periode Madinah, menurut-
nya, tidak semestinya merefleksikan pesan ayat-ayat Makkiyyah.43
Lagi-lagi Na’im melawan arus pemikiran yang sudah mapan
dalam dunia pemikiran. Persoalannya bukan karena Na’im melawan
mainstream pemikiran yang sudah mapan, tapi karena pendekatan
ini dapat menimbulkan persoalan metodologis yang lebih akut.
Mungkin orang akan mempertanyakan atas dasar apa ayat Makkiyah
bisa menasakhkan ayat Madaniyyah. Jawabannya sudah tentu bukan
atas dasar kronologis seperti yang selama ini dipahami, sebab kalau
atas dasar ini sudah pasti yang terakhir (ayat-ayat Madaniyyah) yang
akan jadi nasikh kepada yang lebih awal (ayat-ayat Makkiyyah).
Adapun jika berdasarkan pesan dan kandungannya seperti yang
tersirat dalam argumentasinya di atas, permasalahan yang timbul
tentu lebih rumit. Karena Na‘im seolah-olah menolak adanya kon-
sistensi dan kesinambungan antara ayat Makkiyah dengan ayat
Madaniyyah. Ini terbukti dari pernyataannya bahwa “the specific
political and legal norms of the Qur’an and Sunna of Medina did not
always reflect the exact meaning and implications of the message as
revealed in Mecca.”44

41
Pemikiran keagamaan Mahmud Muhammad Taha dapat dibaca pada Mohamed
Mahmoud, “Mahmud Muhammad Taha’s Second Message of Islam and His Modernist
Project,” dalam John Coper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islam and
Modernity: Muslim Intellectuals Respond (London and New York: I.B Tauris, 1998), p. 105-
128.
42
Abdullah Ahmad an-Na’em, Toward an Islamic Reformation, p. 56 dan 180.
43
Ibid., p. 13.
44
Ibid., p. 13.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


68 Nirwan Syafrin

Persoalan yang tak kalah pentingnya sesungguhnya terletak


pada soal nasakh itu sendiri. Na’im sepertinya masih berpegang
dengan pandangan mayoritas ulama klasik yang mengakui adanya
nasakh. Pada titik ini Na’im kelihantanya tidak reformatif. Padahal
kebanyakan cendikiawan dan pemikir Muslim hari ini sudah mulai
meninggalkan pendapat tentang nasakh tersebut tentunya dengan
alasan yang bervariasi. Dan masih banyak lagi persoalan nasakh yang
perlu di ungkap sebelum konsep ini di aplikasikan.
Andaikan metodologi nasakh terbalik ini dipraktikkan, maka
banyak hukum-hukum Islam yang sudah tidak layak dipraktekkan.
Ini karena hukum-hukum seperti salat, zakat, haji, perkawinan, riba,
dan lain-lain yang hampir keseluruhannya terkandung dalam ayat-
ayat Madaniyyah. Apakah hukum-hukum ini pun harus diabaikan?
Kalau Na’im konsisten dengan metodologinya maka jawabannya
sudah pasti affirmatif.

Beberapa Catatan Kritis atas Pengkritik Syari’at Islam


Secara umum argumentasi kaum liberal untuk menolak
penerapan syariat Islam dapat dikategorikan menjadi tiga. Pertama,
argumentasi historis. Kedua, berdasarkan pertimbangan maqa>s}id
syari’at. Dan ketiga, atas pertimbangan Hak Asasi Manusia. Ketiga
argumen ini berkaitan saling berkaitan satu dengan yang lain.

1. Argumentasi Historis
Argumen ini berbunyi bahwa hukum Islam yang ada sekarang
adalah produk abad pertengahan. Ia dibentuk berdasarkan latar
belakang sosial dan politik masyarakat ketika itu. Ia merupakan
sebuah respon terhadap keperluan dan kepentingan masyarakat saat
itu. Menurut Fazlur Rahman: “The Qur’an is the divine response to
Qur’anic times, through the Prophet’s mind, to the moral-social situation
of the Prophet’s Arabia, particularly to the problems of the commercial
Meccan society of his day.”45
Karena itulah, kata mereka, tidak menutup kemungkinan
bahwa hukum Islam pun dipengaruhi sistem budaya, politik, dan
ideologi yang berlaku ditengah-tengah masyarakat waktu itu.
Menurut Khalil ‘Abdul Karim, pemikir liberal Mesir, banyak hukum-

45
Fazlur Rahman, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979), p. 2.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 69

hukum pra-Islam yang telah diadopsi Islam bahkan dalam bidang


ibadah.46 Para pengkritik hukum Islam selalu mengatakan banyak
produk hukum Islam khususnya yang terkait dengan perempuan
terinspirasi oleh budaya patriarki Arab abad ke tujuh. Dalam
wawancaranya dengan The Jakarta Post, Musdah Mulia, salah seorang
yang bertanggung jawab dalam Tim Pengarusutamaan Gender
mengatakan “Because Islam descends from the very patriarchal Arab
society, so a patriarchal interpretation is inevitable.”47 Amina Wadud
juga melontarkan pernyatan yang sama. Katanya, “The established
order within the Arabian penisula at the time of the revelation was
patriarchial; a ‘culture built on a structure of domination and
subordination...’ which demands hierarchy.”48
Salah satu contoh yang selalu diangkat dalam konteks ini
adalah hukum waris. Menurut kaum liberalis, laki-laki diberikan
porsi yang lebih banyak dari perempuan karena ketika itu mereka
memiliki tanggung jawab yang lebih besar, baik terhadap keluarga
maupun kelompok sukunya. Akan tetapi corak kehidupan
masyarakat hari ini sudah berubah. Wanita bukan lagi sekedar beban
kepada keluarga tapi juga menjadi tonggak penyangga utama dalam
kehidupan rumah tangga. Maka wajar jika hukum 2:1 ini ditinjau
kembali.49
Persoalan ‘iddah pun dikatakan sebagai konstruk budaya Arab
ketujuh. Salah seorang penulis menyatakan “’Iddah sebagai konsep
keagamaan lebih merupakan konstruk budaya dari pada ajaran
agama. Sebagai konsep agama, ‘iddah berfungsi mengecek ada
tidaknya kehamilan. Di sisi lain, ‘iddah merupakan penahanan istri
pada wilayah domestik yang berakar dari konsep budaya yang
dipakai sebagai alasan keagamaan.”50 Oleh sebab itu, maka konsep
‘iddah pun harus direvisi.
Secara ringkas argumen di atas ingin menegaskan bahwa
syariat Islam tidak mungkin diaplikasikan untuk saat ini karena ia

46
Lihat misalnya Khalil Abdul Karim, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj.
Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)
47
The Jakarta Post, 3 October 2004.
48
Amina Wadud, Qur’an and Women, p. 80.
49
Lihat ‘Abd al-Hadi ‘Abd al-Rahman, Sultah al-Nass: qiraa’t fi tawzif al-nass al-dini
(Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993), 152-153; Fazlur Rahman, A Survey of
Modernization, p. 463.
50
Mufidah Ch, Paradigma Gender, p. 190.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


70 Nirwan Syafrin

tidak merefleksikan kepentingan masyarakat hari ini. Ketika


mengomentari hukum publik Islam, Abdullah Ahmad an-Na’im
mengatakan: “the public law of Shari’a was fully justified and consistent
with historical context. But it does not make it justified and consistent
with present context. Furthermore, given the concrete realities of the
modern nation-state and present international order, these aspects of the
public law of Shari’a are no longer politically tenable.” 51
Argumen semacam ini menyisakan beberapa persoalan.
Pertama, argumen ini telah menghilangkan nilai universalitas hukum
Islam, karena ia dianggap hanya berlaku untuk masyarakat Arab
abad ketujuh. Dan kedua, argumen ini telah mereduksi Islam menjadi
sekedar budaya Arab. Kelompok ini bagaimana pun menolak
kesimpulan ini, karena bagi mereka yang universal dan permanen
itu bukan bentuk legal formalnya tapi objektif yang ingin ditujunya.
Dari sini mereka kemudian mengembangkan argumen kedua yang
dibangun atas konsep maqasid syari’ah.

2. Argumentasi Berdasarkan Maqa>s}id al-Syari<’ah


Argumen ini menyatakan bahwa setiap hukum mempunyai
objek/maqasid utamanya sendiri. Objek utama syariat Islam secara
umum adalah menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. Riba
diharamkan untuk menjaga kepentingan golongan lemah dan
miskin dari eksploitasi kelompok kapitalis. Hudud disyariatkan
untuk menciptakan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat di
samping untuk menciptakan rasa adil di tengah masyarakat. Akan
tetapi menurut kelompok liberal konsep maslahah itu sendiri
berubah seiring dengan berputarnya waktu. Apa yang dianggap
mas}lah}ah pada saat tertentu dan oleh masyarakat tertentu belum
tentu dianggap sama oleh masyarakat lain dan dalam konteks waktu
yang lain. Jadi, apa yang dianggap masyarakat Arab abad ketujuh
sebagai mas}lah}ah, belum tentu demikian bagi masyarakat hari ini.
Misalnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi
pezina, hukum waris dan lain sebagainya meskipun sesuai dengan
masyarakat Arab ketika itu, belum tentu dapat menimbulkan
maslahah bagi masyarakat hari ini.

51
Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse
University Press, 1990), p. 59.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 71

Kajian maqa>s}id al-syari>’ah dalam pemikiran Islam, sama sekali


bukan merupakan topik baru. Ia sudah dibahas bahkan seawal al-
Turmudzi (w. 3 H). Tirmidzi telah menggunakan istilah maqasid
untuk judul bukunya al-S}ala>h wa Maqa>s}iduha>. Ide ini kemudian
dikembangkan oleh ulama-ulama berikutnya seperti Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333H0, Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyhi (w.365), Abu
Bakar al-Abhari (w. 375H), Imam al-Baqillani (w. 403H), Imam
Juwaini hingga Ibn taymiyyah. Al-Ghazali (w. 505H), murid Juwayni,
kemudian mensistemasikan konsep ini dengan membaginya kepada
tiga kategori: d}aru>riyya>t, h}a>jiyya>t, dan tah}siniyya>t atau tazyi>niyya>t.
Kemudian Fakhruddin al-Razi (w.606) yang telah bersungguh-
sungguh mempertahankan rasionalisasi hukum (ta’lil al-ahkam),
ketika konsep ini mulai mengalami proses degradasinya.52 Popularitas
konsep ini mencapai klimaksnya di tangan Imam Abu Ishaq al-
Shatibi melalui karyanya al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari> ’ah. Jejak
Shatibi diikuti Ibn ‘Ashur dengan bukunya Maqa>s}id al-Syari>’ah dan
‘Alal al-Fasi melalui karyanya Maqa>s}id al-Syari>’ah wa Maka>rimuha>.
Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, prinsip maqa>s}id
al-syari’ah memang telah menjadi rujukan utama dalam merespon
isu-isu kontemporer. Ia digunakan oleh para ulama dan juga para
cendikiawan liberal. Akan tetapi sangat disayangkan, ketika konsep
ini jatuh ketangan kaum liberal, ia menjadi entry point untuk men-
dekonstruksi seluruh tatanan hukum Islam. Maka tidak heran bila
ada orang yang menggunakan maqa> s } i d untuk menggugurkan
wajibnya memakai jilbab (bagian dari penutupan aurat bagi perem-
puan), karena melihat “jilbab pada intinya adalah mengenakan
pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public
decency).” Kepantasan umum tentu bersifat fleksibel dan berkem-
bang sesuai perkembangan kebudayaan manusia.” 53 Tentu bisa
dipertanyakan, bagaimana bila konsep “kepantasan umum” masya-
rakat itu bertentangan dengan prinsip syariat? Misalnya, bagi
masyarakat India, bagian perut wanita tidak dianggap ‘awrat yang
harus ditutup. Apakah ‘kepantasan’ ini bisa dijadikan acuan? Begitu
juga kepantasan umum bagi masyarakat Barat apakah ia bisa
dijadikan ukuran untuk dijadikan landasan hukum?

52
Lihat Ahmad Raysuni, Nazariyyah al-Maqa>s}id ‘Ind al-Ima>m al-Sha>t}ibi (Virginia:
The International of Islamic Thought and Civilization, 1997)
53
Ulil Abshar Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,” Kompas, 18
November 2002.

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


72 Nirwan Syafrin

Atas nama maqa>s}id juga seorang cendikiawan di Indonesia


membolehkan salat dengan menggunakan dwi bahasa (bahasa Arab
dan Indonesia) karena “Inti salat adalah bagaimana orang bisa
berkomunikasi dengan Tuhan secara mesra. Dan itu biasanya
diungkapkan dalam bentuk bahasa yang merupakan ungkapan hati.
Inti dari ibadah sebetulnya hati.”54 Atas alasan maqa>si} d juga, akhirnya
hukum hudud, qisas, rajam, waris, ‘iddah, dan lain sebagainya tidak
lagi penting selagi objektif yang dimaksudkan dari hukum tersebut
dapat dicapai. Padalah kebanyakan studi dan riset yang dilakukan
para peniliti lebih dari enam tahun yang lalu menyatakan bahwa
hukum mati dapat memberikan efek jera kepada pembunuh.
Mereka menghitung bahwa antara tiga hingga delapan nyawa dapat
diselamatkan dengan mengeksekusi setiap pembunuh yang ditetap-
kan bersalah.55 Kalau demikian, benarkah hukum pidana Islam tidak
dapat menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat hari ini?
Persoalannya adalah apakah sesungguhnya yang di maksud-
kan dengan maslahah oleh para kelompok liberal ini? Apakah
maslahah merupakan konsep relatif? Bagaimana bila terjadi konflik
di tengah masyarakat dalam mempersepsikan maslahah? Para
liberalis perlu menjawab persoalan ini sebelum mereka mengguna-
kan konsep ini sebagi bumper menjustifikasikan ide-ide ‘nyeleneh’
mereka. Melihat penggunaan konsep ini secara gegabah oleh para
pemikir liberal, tidak salah kiranya bila Ahmad Idris al-Ta’an al-Haj
mengatakan bahwa konsep maqa> s } i d al-syari> ’ ah telah menjadi
“kalimat al-h}aq yuri>du biha> al-ba>t}il”. 56
Sesungguhnya bila konsep maslahah ini diaplikasikan
menurut hawa nafsu saja, seperti yang selalu mengemuka dalam
pelbagai pembahasan, maka bukan hanya hukum Islam yang akan
runtuh, agama pun akan menjadi absurd dan tidak berarti lagi
(meaningless). Orang akan mengatakan bahwa tujuan beragama
adalah untuk menciptakan kebaikan, kemaslahatan, kesejahteraan
bagi manusia dan juga untuk mencapai ketenangan dan kebahagia-
an, bila seseorang dapat mencapai tujuan ini tanpa melalui agama,
maka dia tidak perlu lagi beragama. Musdah Mulia, aktivis

54
Wawancara Dr. Djohan Effendi, “Bahasa Hanya Budaya, Bukan Inti dari Ibadah,”
16/05/2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.
55
Robert, Tanner, “Studies say death penalty deters crime’, AP, National Writer.
56
Ahmad Idris al-Ta’an al-Hajj, “Al-Madkhal al-Maqa>si} di li al-Khit}ab
> la-‘Ilmani: dirasah
naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’asir, no. 114, Oktober-Nov.-Des 2004, p. 21.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 73

perempuan yang mengetuai Tim Pengarusutamaan Gender, Depag


RI dan juga pemegang gelar Doktor dari UIN Jakarta ini, tampaknya
membenarkan seperti ini. Ketika ditanya apakah agama masih
diperlukan, dia mengatakan, “If he or she thinks religion doesn’t bring
peace of mind, then there’s no use in having a religion. Just follow your
conscience, seriously.”57

3. Argumentasi Atas Nama Hak Asasi Manusia


Argumen ketiga ini menjadi salah satu argumen favorit para
penghujat hukum Islam. Argumen ini biasanya banyak digunakan
oleh kalangan orientalis Barat. Tapi belakangan ini cendekiawan
liberal pun banyak menggunakan dalih yang sama untuk menghujat
hukum Islam. Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-
KHI) yang diusung oleh Tim Pengarusutamaan Gender pun berpijak
atas dasar ini. Salah seorang tim penyusun ini mengatakan, “KHI
tidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukum
nasional maupun internasional yang telah diratifikasi. Dalam konteks
internasional, juga bertentangan dengan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang
telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan
perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948),
Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966).”58
Kesalahan kelompok ini adalah mereka terlalu mengagungkan
HAM, seolah mereka telah menempatkannya sebagai ‘Kitab Suci’
yang tanpa cacat, menjadi acuan untuk menakar dan menilai segala-
galanya. Kebenaran dan kesalahan ditakar sejauh mana ia sesuai
dengan ketentuan HAM. Sehingga ketika syariat yang dianggap
bertabrakan dengan prinisp HAM, maka harus diubah dan
disesuaikan dengan HAM. Persoalannya adalah apakah yang
dimaksud dengan Hak Asasi Manusia tersebut.
Perlu digarisbawahi bahwa HAM bukan konsep netral; ia
dibangun atas landasan filosofis dan pandangan hidup (worldview)
masyarakat Barat sekuler yang secara diametral bertentangan dengan
pandangan hidup Islam. Dalam pandangan hidup Barat manusia

57
Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml.org/english/
newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549
58
Abd Moqsith Ghazali, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/2005, http://
islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


74 Nirwan Syafrin

merupakan pusat segala-galanya. Ia memiliki otoritas penuh untuk


menentukan baik dan buruk bagi dirinya. Tidak ada institusi lain
yang dapat mengatur hidup dan kehidupannya. Dia memiliki
kekebebasan mutlak. Bahkan Tuhan pun tidak berhak untuk turut
campur mengaturnya. Benarlah apa yang dikatakan Syed
Muhammad Naquib al-Attas bahwa di Barat “Man is deified, Deity
humanized.”59 (Manusia diTuhankan sementara Tuhan dimanusia-
kan). Konsep ini sangat bertolak belakang dengan konsep manusia
Islam. Dalam framework Islam, manusia adalah makhluk ciptaan
Allah yang diangkat oleh Allah untuk menjadi khalifah. Sebagai
khalifah, tugasnya adalah taat dan patuh menjalankan perintah sang
penciptanya untuk kesejahteraan dirinya sendiri. Oleh sebab itu
menggunakan HAM untuk mengkritik hukum Islam bukan hanya
tidak tepat tapi juga merupakan sebuah kekeliruan besar.
Selanjutnya beberapa pertanyaan berikut pun bisa diajukan
kepada para pemikir liberal di atas. Bila hukum Islam dikatakan
dipengaruhi oleh budaya Arab abad pertengahan, bukankah HAM
yang dibentuk atas dasar filosofis sekuler Barat juga dipengaruhi
oleh nilai dan budaya Barat? Kalau demikian, kenapa HAM semacam
itu harus diterapkan ke masyarakat Islam yang struktur dan
keperluan masyarakatnya berbeda dengan masyarakat Barat? Kita
tidak menafikan bahwa ada beberapa unsur dalam HAM yang
bersifat universal. Akan tetapi menjadikan HAM sebagai standar
mutlak untuk mengukur kebenaran dan kesalahan adalah
pemikiran dan perbuatan yang keliru.

Penutup
Gerakan liberalisasi Islam dengan menjadikan Barat sebagai
rujukan utama sebenarnya sudah lama dipraktikkan beberapa dunia
Islam. Benihnya bisa ditelusuri ketika Daulah Utsmaniyyah mulai
mengadopsi beberapa pemikiran Barat, yang bermulan saat Kamal
Attaturk membubarkan Daulah Islamiyyah ‘Uthmaniyyah dan
mendirikan negara Turki berideologi sekularisme. Proses westernisasi
pun berjalan dan segala yang berbau agama segera dihabisi. Hampir
satu abad negara Turki sekuler sudah berdiri namun hingga hari ini

59
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), p. 87.

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 75

tetap tidak ada bedanya dengan negara dunia ketiga yang lain,
terbelakang dari segi pendidikan dan terpuruk dari sisi ekonomi.
Kasus Turki itu mestinya memberikan ‘itibar bahwa
sekularisasi dengan mencontoh dan mengikuti Barat secara membabi
buta bukanlah jalan keberhasilan untuk menggapai kemajuan.
Mungkin kita bisa bertanya: apakah dengan diharamkannya
poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan
perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang
diinginkan para pemikir Muslim kontemporer, masyarakat Islam
akan menjadi lebih mulia dan terhormat, dihargai dan disanjung,
menjadi lebih maju dan berkembang?
Sesungguhnya sejak zaman kolonialisme umat Islam telah jauh
meninggalkan syariat Islam. Mereka telah mengadopsi hukum Barat
untuk diaplikasikan di negara mereka masing-masing. Hingga hari
ini, negeri-negeri Muslim itu bukannya bertambah maju. Sebagian-
nya malah menjadi lebih sengsara. Maka, kita bertanya, apakah hu-
kum Islam yang tidak diterapkan itu yang salah, atau justru hukum
model Barat yang menjadi biang kehancuran umat hari ini?[]

Daftar Pustaka
Abdalla, Ulil Abshar, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam,”
Kompas, 18 November 2002.
Abukhalil, As’ad, “Against the Taboos of Islam: Anti-Conformist
Tendencies in Contemporary Arab/Islamic Thought”, dalam
Charles E. Butterworth dan I William Zartman (eds.), Between
the State and Islam (Cambridge: Woodrow Wilson Center Press
and Cambridge University Press, 2001)
Al-‘Ashmawi, Muhammad Sa’id, Us}ul> al-Shari>’ah (al-Qahirah: Sina, 1992)
Al-Asmandi, Muhammad bin ‘Abd al-Hamid, Badhl al-Naz}ar fi al-
Us}u>l, ed. Muhammad Zaki ‘Abd al-Barr (Al-Qahirah: maktabah
Dar al-Turath, 1992)
Al-Asyqar, ‘Umar Sulayman, Ta>rikh al-Fiqh al-Isla>mi, (?)
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Prolegomena to the Metaphysics
of Islam (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic
Thought and Civilization, 1995)
Al-Faruqi, Isma’il Raji, Islamization of Knowledge: General Principles
and Workplan (Virginia, Herndon: The International Institute

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


76 Nirwan Syafrin

of Islamic Thought, 1982)


Al-Hajj, Ahmad Idris al-Ta’an, “Al-Madkhal al-Maqa>s}idi li al-Khita>b
la-‘Ilma>ni: dirasah naqdiyyah,” Al-Muslim al-Mu’a>s}ir, no. 114,
Oktober-Nov.-Des 2004
_________, “Intihak Qada>sah al-Qur’an fi al-Khitab al-‘Ilmani,” Al-
Muslim al-Mu’a>s}ir, no. 115, 2005
Al-Ahram, 4-10 November, no. 715
Ali, Muhamad, “The Rise of the Liberal Islam Network (JIL) in
Contemporary Indonesia,” American Journal of Islamic Social
Sciences, vol. 22, no. 1, 2005
Al-Qardawi, Yusuf, al-Siya>sah al-Syar’iyyah (Beirut: Mu’assasah al-
Risalah, 2000)
Al-Rahman, ‘Abd al-Hadi ‘Abd, Sultah al-Nass: qira>’at fi tawzif al-
nas}s} al-di>ni (Bayrut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993)
Al-Sam’ani, Abu Muzaffar, Qawa> t i’ al-Adillah fi al-Us} u > l , ed.
Muhammad Hasan Hitu (bayrut: Muassasah al-Risalah, 1996).
Al-Samarra’I, Nu’man ‘Abd al-Razzaq, Al-Fikr al-‘Arabi wa al-Fikr
al-Ishtishra>qi bayn Dr. Muhammad Arkoun wa Dr. Edward Sa’id
(Riyad: Dar Tabari li al-Nashr wa al-Tawzi’)
Al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim, Syarh al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul
Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-Islami, 1989)
An-Na’im, Abdullah Ahmad, “Islamic Foundations of Islamic Human
Rights,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.),
Religious Human Rights in Global Perspective: Religious
Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996)
_________, Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York:
Syracuse University Press, 1990)
Arkoun, Mohammad, al-Fikr al-Islami: naqd wa ijtihad (London:
Dar al-Saqi, 1998).
_________, Al-Fikr al-Islami: Qira>’ah ‘Ilmiyyah (Beirut: Markaz al-
Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996)
_________, Al-Qur’a>n min al-Tafsi>r al-Mawru>ts ila> tah}lil al-Khit}ab> al-Di>ni,
terj. Hashim Saleh (Beirut: Dar al-Tali’ah li al-Tiba’ah wa al-Nasr)
_________, Min al-Ijtiha> d ila Naqd al-‘Aql al-Isla>mi, terj. Hashim
Saleh (London: Dar al-Saqi,19910

Jurnal TSAQAFAH
Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam 77

_________, Ta>rikhiyyah al-Fikr al-Isla>mi, terj. Hashim Saleh (Beirut:


Markaz al-Inma’ al-Qawmi dan Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi,1996).
Armas, Adnin, Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur’an: Kajian Kritis
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
Arzt, Donna, “The Treatment of Religious Dissidents under Islamic
Law,” dalam John Witte J. Jr. dan J. van der Vyver (eds.),
Religious Human Rights in Global Perspective: Religious
Perspective (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996)
Boullata, Issa J., Trends and Issues in Contemporary Arab Thought
(Albany: State University of New York, 1990)
Ghazali, Abd Moqsith, “Argumen Metodologis CLD KHI,” o8/03/
2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=816.
Jakarta Post, 3 Oktober 2004, diposting kembali di http://www.wluml.
org/english/newsfulltxt.shtml?cmd%5B157%5D=x-157-75549
Jawdah, Ahmad, H}iwa>ra>t H}awla al-Syari’ah (Kairo: Sina li al-Nashr,
1990)
Karim, Khalil Abdul, Syariah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj.
Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)
Khallaf, ‘Abdul Wahhab, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968).
Khouri, Monah A., “Criticism and the Heritage: Adonis as Advocate
of a New Arab Culture,” dalam George N. Atiyeh dan Ibrahim
M. Oweiss (ed.), Arab Civilization: Challenges and Responses,
studies in honous of Constantine K. Zurayk (New York: State
University of New York, 1988), p. 183-207.
Mahmoud, Mohamed, “Mahmud Muhammad Taha’s Second
Message of Islam and His Modernist Project,” dalam John
Coper, Ronald L. Netter, and Mohamed Mahmoud (eds.), Islam
and Modernity: Muslim Intellectuals Respond (London and New
York: I.B Tauris, 1998).
Meyer, Ann Elizabeth, Islam and Human Rights: Traditions and Politics
(Boulder and San Francisco: Westview Press, 1991)
Mufidah Ch, Paradigma Gender, (?)
Nuwayhi, Muhammad, “A Revolution in Religious Thought,” in John
J. Donohue and John L. Esposito (eds.), Islam in Transition:

Vol. 5, No. 1, Jumadal Ula 1430


78 Nirwan Syafrin

Muslim Perspectives (New York and Oxford: Oxford University


Press, 1982)
Rabi’, Ibrahim Abu, Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the
Arab World (Albany: State University of New York Press, 1966)
Rahman, Fazlur, “Islam: Challenges and Opportunities,” dalam Alford
T. Welch dan Pierre Chachia (eds.), Islam: Past Influence and Present
Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979)
_________, “Revival and Reform”, dalam P.M. Holt, Ann K.S.
Lambton, and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of
Islam (Cambridge: Cambridge University Press, 1970)
_________, Islam and Modenirty (Oxford: Oxford University Press, 1979)
Raysuni, Ahmad, Naz}ariyyah al-Maqa>si} d ‘Ind al-Ima>m al-Sha>ti} bi (Virginia:
The International of Islamic Thought and Civilization, 1997)
Robert, Tanner, “Studies say death penalty deters crime’, AP, National
Writer.
Sa’id, Bustami Muhammad, Mafhu>m Tajdi>d al-Di>n (Kuwait: Dar al-
Da’wah, 1984)
Shepard, William E., “Muhammad Sa’id al-‘Ashmawi and The
Application of the Shari’a in Eypt”, dalam International Journal
of Middle East Studies, vol. 28, no. 1, February 1996.
Solihu, Abdul Kabir Hussain, Historicist Approach to the Qur’an:
Impact of Nineteenth-century Western Hermeneutis in the Writings
of Two Muslim Scholars: Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun
(Kuala Lumpur, Disertasi Doktoral di International Islamic
University Malaysia (IIUM), 2003)
Sufyan, ‘Abid bin Muhammad, al-Tsaba>t wa al-Syumu>l fi al-Syari>’ah
al-Isla> m iyyah.
The Jakarta Post, 3 October 2004.
Wadud Amina, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspective, (New York, Oxford: Oxford University
Press,1999)
Yusuf Hamid al-‘Alim, Al-Maqa>si} d al-‘A<mmah li Shari>’ah al-Isla>miyyah
(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1991).
Zayd, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni, cet. 3 (al-Qahirah:
Madbuli, 1995)

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat
Dinar Dewi Kania
Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor
Email: dinargainer@yahoo.com

Abstract
The Western’s conception of values, morals and ethics are so different
with Islamic conception. In fact, there is difference about it between western
scholars. These is a consequence from secularization that spread upon the whole
Europe after their people’s believe of church’s conductiveness disappeared.
This secularization impacts to the separation between religion’s doctrines and
life activities as politic, education even to the marriage. In the end, Western
society considers the values of religion are just subjective phenomenal that
experienced by individual and are not universally. Religion has space its self that
different with space of non-religion. The value and moral concept in West
would be evolved and developed according to western society’s conception
of human being reality, religion, sciences and life it’s self. This paper has a
purpose to describes western scholar’s thoughts about values and moralities
chronologically, starting from medieval centuries when Churches have the power
of high legitimacy in western society until renaissance era and then describing
about glorious era that the western scholar’s thoughts still influences the concept
of values in this century.

Keywords: Value, Western Society, Secularization, Church

* Jl. KH. Sholeh Iskandar Km. 2 Kd. Badak Bogor 16162, Telp dan Fax: +62251 835-
6884

Vol. 9, No. 2, November 2013


246 Dinar Dewi Kania

Abstrak
Konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika, sangat berbeda dengan
Islam. Bahkan, di antara pemikir Barat pun, konsep tentang hal tersebut berbeda.
Hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi dari sekularisasi yang melanda
Eropa setelah hilangnya kepercayaan Masyarakat Barat terhadap kepempinan
gereja. Sekulerisasi berdampak pada pemisahan agama dengan segala aktivitas
kehidupan duniawi, seperti politik, pendidikan, ataupun perkawinan. Pada
akhirnya, Masyarakat Barat menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena
subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal.
Agama memiliki ruangnya tersendiri yang berbeda dengan ruang non-agamis.
Konsep nilai dan moral di Barat kemudian akan terus berevolusi, berkembang
sesuai dengan konsepsi Masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama,
ilmu, dan kehidupan itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan
pemikiran tokoh-tokoh Barat tentang nilai dan moralitas atau etika secara
kronologis, dimulai pada Abad Pertengahan di saat gereja menjadi pemegang
kekuasan tertinggi dalam Masyarakat Barat, hingga munculnya Zaman Renaissance,
dilanjutkan dengan Zaman Pencerahan yang pemikiran tokoh-tokohnya terus
mempengaruhi teori-teori nilai di abad ini.

Kata kunci: Nilai, Masyarakat Barat, Sekularisasi, Gereja

Pendahuluan

P
embahasan tentang nilai (value) dan moral telah lama menjadi
topik sentral dalam kajian ilmu filsafat, dan ilmu sosial lainnya.
Tidak ketinggalan, ahli-ahli pendidikan Barat sejak abad ke-20
mencoba merumuskan pendidikan yang berorientasi kepada nilai
dan moral atau etika sebagai solusi dalam mengatasi problematika
abad modern yang semakin kompleks dan multidimensi. Dalam
ilmu sosiologi, nilai secara umum dikonsepsikan sebagai “group con-
ceptions of relative desirability things” atau berarti konsepsi kelom-
pok atas keinginan relatif terhadap sesuatu.1 Secara kultural nilai
diartikan sebagai ide tentang sesuatu yang dianggap penting. Nilai
dibedakan menjadi nilai ideal (ideal value) yang diklaim oleh suatu
masyarakat dan ada nilai sesungguhnya (real value), yaitu nilai yang
dipraktikkan dalam masyarakat tersebut.2 Teori tentang nilai disebut
etika yang bersumber pada akal pikiran manusia.

1
http://www.sociologyguide.com/basic-concepts/Values.php, 10 Des 2010.
2
Kathy. S Stoley, The Basic of Sociology, (Westport: Greenwood Press, 2005), 45-46.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 247

Secara umum etika sering disamakan dengan moral, namun


sebagian menyimpulkan bahwa etika lebih bersifat teoritis sedangkan
moral bersifat praktis. Menentukan nilai perbuatan manusia baik
atau buruk dalam etika menggunakan tolok ukur akal pikiran atau
rasio, sedangkan dalam pembicaraan moral tolok ukur yang diguna-
kan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan ber-
langsung di masyarakat. Adapun virtue (kebajikan) dipercaya secara
luas sebagai kekuatan yang memiliki efek yang baik-kecendrungan
untuk melakukan apa yang baik. Seseorang yang bijak dipahami
sebagai seseorang yang mempersepsikan dan bertindak berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan moral yang unik sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada.3
Konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika, sangat berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Konsep tentang apa yang disebut
baik dan buruk merupakan kancah pertarungan pemikiran yang
tak pernah berhenti dari filosof-filosof Barat, sejak Zaman Yunani
sampai saat ini. Perdebatan konsepsi mengenai hal-hal tersebut di
atas sejatinya adalah sebuah konsekuensi dari sekularisasi yang
melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan Masyarakat Barat
terhadap kepemimpinan gereja. Sekularisasi bertujuan membebas-
kan manusia dari agama dan pengaruh metafisik yang mengontrol
logika dan bahasa manusia.4 Akibatnya, pengukuran baik-buruk,
benar-salah semata-mata dilakukan melalui akal pikiran dan
pengalaman indera manusia. Masyarakat Barat pada akhirnya
menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang
dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal.
Konsepsi nilai dan moral dalam Peradaban Barat akan terus
berevolusi sesuai dengan tuntutan zaman akibat pemisahan ke-
tiadaan nilai absolut yang bersumber dari wahyu otentik, sebagai-
mana al-Qur’an dan al-Hadis yang mengatur kehidupan Masyarakat
Muslim dan menjadi rujukan moralitas sampai saat ini. Oleh karena
itu, tulisan ini bertujuan untuk memaparkan pemikiran tokoh-tokoh
Barat tentang nilai dan moralitas atau etika secara kronologis, dimulai
pada Abad Pertengahan di saat gereja menjadi pemegang kekuasan
tertinggi dalam Masyarakat Barat, hingga munculnya Zaman

3
James Arthur, Education with Character; The Moral Economic of Schooling, (London:
RoutledgeFalmer, 2003), 27.
4
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993), 16.

Vol. 9, No. 2, November 2013


248 Dinar Dewi Kania

Renaissance, dilanjutkan dengan Zaman Pencerahan yang pemikiran


tokoh-tokohnya terus mempengaruhi teori-teori nilai di abad ini.

Abad Pertengahan (Medieval Age)


Banyak ahli sejarah menyatakan periode 600 – 1050 Masehi di
Barat sebagai age of faith di saat manusia percaya pada Tuhan tanpa
mempertanyakannya lagi, ketika iman dan fenomena agama dalam
berbagai hal merupakan keasyikan bagi manusia Barat. Namun yang
sebenarnya terjadi adalah suatu masa di mana doktrin gereja, dalam
hal ini Katolik, merupakan satu-satunya sumber kebenaran yang
harus diterima tanpa pertanyaan. Masa itu merupakan zaman ketika
doktrin Kristen ditetapkan oleh otoritas tradisi dan ditegakkan oleh
konsesus pengajar-pengajar ortodoks gereja. Tampak begitu kuat
pengaruh gereja dalam kehidupan Masyarakat Barat pada Abad Per-
tengahan. Pernyataan Paus Gregorius yang melarang keterlibatan
raja dalam pengangkatan gereja menurutnya merupakan konsep
gereja sebagai monarkhi yang berasal dari tradisi Imperium Romawi.
Paus berhak mengadakan Sidang Umum dan mengeluarkan pe-
raturan moral dan keagamaan. Jika paus mengucilkan seseorang pe-
nguasa, maka penguasa tersebut tidak dapat menjadi penguasa di
wilayah Kristen (christendom).5 Oleh karena itu, pada Abad Pertenga-
han atau Zaman Kegelapan di Barat (dark ages) adalah masa nilai
baik dan buruk, benar dan salah, ditetapkan oleh institusi gereja,
karena gereja bertindak sebagai wakil Tuhan, dan mengatasnamakan
Tuhan.
Salah satu filosof Abad Pertengahan yang mencoba meng-
gabungkan etika Kristen dengan Filsafat Yunani adalah Thomas
Aquinas (1225–1274). Dalam karyanya, Aquinas banyak terpengaruh
oleh pemikiran Aristoteles karena ia memiliki akses kepada karya-
karya Aristoteles berkat translasi ke Bahasa Latin yang dilakukan
oleh Ibn Sina dan Ibn Rusyd, serta seorang ilmuwan Yahudi, Moses

5
Eric O. Hanson menjelaskan ketika terjadi konflik antara Paus Gregorius VII dan
Raja Hendri IV pada abad ke-11 mengenai kekuasaan absolut gereja. Raja Henry IV menolak
klaim Paus tersebut dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga datang dari Tuhan. Menghadapi
tantangan tersebut, Gregorius menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV, sehingga
pada akhirnya ia menyerah dan dipaksa menemui Gregorious di Canossaa pada 1077. Paus
kemudian meringankan hukuman atas Henry tetapi tidak memulihkan kekuasaannya dan
menunjukan betapa efektifnya kekuasaan Paus atas pemerintah. Institusi kepausan, meskipun
tanpa tentara, mampu melakukan pengucilan terhadap raja yang sangat besar kekuasaannya di
Eropa. Lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 33.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 249

Maimonides yang kesemuanya hidup di Spanyol.6 Aquinas me-


ngambil konsepsi Aristoteles tentang moralitas, di mana moralitas
diibaratkan sebuah situs kebajikan dan latihan yang akan membawa
kepada kebahagiaan serta perkembangan manusia.
Pandangan Thomas Aquinas tentang etika terdapat dalam buku
ke-III Summa Theologiae. Aquinas berpandangan bahwa kejahatan
manusia adalah tidak disengaja, bukan sesuatu yang esensi dan sebab
aksidental yang baik. Kebahagiaan manusia tidak terletak dalam
indera, seperti kesenangan jasmani, kehormatan, kemenangan ,
kekayaan, kekuasan dunia, atau tubuh yang indah. Kebahagiaan
tertinggi manusia juga tidak terletak pada tindakan kebajikan moral
yang dilakukan karena semua itu hanyalah alat. Kebahagiaan tertinggi
terdapat pada perenungan Tuhan, tapi pengetahuan kebanyakan orang
tentang Tuhan tidak mencukupi, begitu juga pengetahuan tentang
Tuhan yang diperoleh dari pembuktian, apalagi dari kepercayaan.7
Aquinas membedakan empat macam hukum, yaitu hukum
abadi, alam, manusia, dan Ilahi, yang dapat disebut masing-masing,
sebagai hukum Tuhan, hukum alam, hukum perdata, dan hukum
Alkitab. Hukum Tuhan merupakan semua sumber hukum yang
berada dalam pikiran Tuhan sebagai desainer abadi dan memiliki efek
mencakup tiga hukum lainnya. Manusia mengenali hukum-hukum
tersebut secara tidak langsung karena manusia tidak memiliki akses
langsung kepada pikiran Tuhan. Hal tersebut diketahui secara tidak
langsung melalui jejak-Nya di dunia melaui prinsip keteraturan dalam
cara kerja alam dan masyarakat ketika beroperasi. Tipe kedua, hukum
alam, meliputi hukum deskriptif alam (seperti hukum gravitasi) dan
hukum alam preskriptif (seperti hukum terhadap pembunuhan).
Hukum perdata dan hukum Alkitab juga merupakan preskriptif
karena namanya diambil dari jejak yang memberikan akses tidak
langsung kepada pikiran Tuhan. Hukum manusia merupakan korpus
buatan manusia, namun ketika dikonstruksikan secara tepat, maka
akan merefleksikan desain Tuhan terhadap hubungan manusia dan
hukum Ilahi. Namun karena hal tersebut berasal dari Bible yang
dikonstruksikan secara tepat namun tidak selalu diinterpretasikan
secara tepat, sehingga refleksi dari desain tersebut tidak dapat dilihat

6
F. Clark Power, et.all (ed), Moral Education: A Handbook; Volume 1 & 2, (Westport:
Praeger, 2008), 19.
7
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan II,
2004), 606.

Vol. 9, No. 2, November 2013


250 Dinar Dewi Kania

secara jelas hanya melalui alam dan masyarakat.8


Walaupun Aquinas berusaha memadukan etika Kristen
dengan ajaran Filsafat Yunani, namun secara umum logika di Abad
Pertengahan telah ditekan menjadi sebuah pelayanan terutama pada
teologi dan doktrin kebenaran, yang keduanya bermula dari premis-
premis yang dibangun oleh otoritas (dalam hal ini otoritas gereja).9
Kekuasaan gereja yang absolut tidak memberi ruang kepada ilmu
pengetahuan dan kebenaran gereja adalah doktrin yang dipaksakan
secara politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Kekejaman
gereja terhadap para tokoh yang menentang doktrin-doktrin Kristen
tercermin melalui lembaga inkuisisi yang berdiri pada Abad
Pertengahan yang berfungsi mengadili para pelaku bidah (heresy).

Zaman Renaisans (Renaissance)


Renaisans yang terjadi pada abad ke-16 dimaknai sebagai
kelahiran-kembali peradaban Yunani-Romawi. Pelopor-pelopornya
disebut “humanis”, yang berarti pelajar dan pemuja Peradaban
Yunani-Romawi pra-Kristen, bertolak belakang dengan pelajar dan
penekun Teologi Kristen Barat.10 Renaisans dimulai dari Italia dan
merupakan gerakan sekelompok kecil sarjana dan seniman yang
didukung oleh pelindung-pelindung liberalnya, khususnya Medici
dan paus-paus yang humanis.11 Renaissance menjadikan modern-
sekuler-humanis sebagai inti dari cita-cita perjuangan mereka. Kata
modern merupakan pendefinisian ulang yang utama dari manusia
yang bebas dari dominasi kristen Abad Pertengahan menuju
pandangan hidup baru yang anti kristen dengan ide baru tentang
budaya dan peradaban. 12
Era Renaisans di Italia ditandai dengan tidak dihargainya
aturan-aturan moral lama. Kebanyakan penguasa negara bagian pada
masa lalu mendapatkan kursi kekuasaan karena berkhianat, dan
kemudian mempertahankan kekuasaannya dengan kekejaman.
Menurut Burckhardt, ketika para kardinal diundang makan malam

8
F. Clark Power, et.all (ed), Moral Education…, 20-21.
9
Horald Hoffding, A History of Modern Philosophy; A Sketch of the History of Philosophy,
Volume I, (USA: Dover Publication, 1955), 184.
10
Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitis, Kronologis, Naratif, dan
Komparatif, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan IV, 2007), 643.
11
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 656.
12
Michael W. Kelley, The Impulse of Power, Formative Ideals of Western Civilization,
(Minneapolis: Contra Mundum Books, 1998), 190.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 251

dalam acara penobatan seorang paus, mereka membawa anggur dan


pembawa gelasnya sendiri karena mereka takut jika diracun. 13
Walaupun Renaisans adalah tahap persiapan untuk mencapai
pembentukan filsafat pada abad ke-17, namun Renainsans Italia pada
akhirnya telah meruntuhkan sistem skolastik yang dianggap rijid
sebagai baju pengekang intelektual bagi Barat. Alison Brown dalam
bukunya Sejarah Renaisans Eropa, virtue (kebajikan) pada era ini telah
dikosongkan dari muatan moralnya dan diubah bentuk menjadi
“keberanian” ala Machiavelian, yaitu lebih dekat pada “kecakapan”
Herculean dan bukan virtue moral yang diwajibkan untuk seorang
pahlawan Kristen. Kelenturan juga dianggap sebagai kualitas yang
diperlukan untuk mengatasi nasib, yang menurut Machivelian
dianggap sebagai unsur asli ancaman dan ketakperkiraannya di
dunia. Nasib bagi Machiavelian bukan sekedar suatu aspek
penyelenggaraan Tuhan yang tidak bisa dilihat oleh manusia.14
Pada abad ke-17 muncullah aliran Filsafat Rasionalisme dan
Empirisme yang menganggap sumber pengetahuan semata-mata
berasal dari akal (rasional) dan pengalaman (empiris). Tokoh aliran
rasionalisme yang pemikirannya memiliki pengaruh sampai abad
sekarang, adalah Rene Descartes (1596-1650). Descartes tidak
mengajarkan etika secara khusus namun hanya memberi
pandangan-pandangan etis dengan mengandaikan adanya kehendak
bebas. Kebebasan adalah ciri khas kesadaran yang berpikir. Tubuh
pada hakekatnya tidaklah bebas. Selain pemikiran, kebebasan adalah
hiasan manusia yang mulia dan kebebasan manusia tidak lebih
kurang daripada kebebasan Tuhan. Manusia merealisasikan ke-
bebasannya dengan mengekang segala nafsunya dan ditekankan
perlunya penaklukan diri kepada pimpinan akal dan menganggap
sepele kehidupan duniawi dengan kebaikan dan kejahatannya.15
Tokoh lainnya adalah Baruch Spinoza (1632 – 1627), seorang
Yahudi yang dikucilkan oleh sinagog karena pandangan-pandangan-
nya yang liberal. Rasionalisme Spinoza dianggap lebih luas dan lebih
konsekuen dibadingkan dengan Descartes. Masalah etika dalam
teorinya dimulai dengan menguraikan hal afek-afek atau perasaan-
perasaan. Tujuan pengenalan segala perasaan adalah untuk

13
Burckhardt dalam Bertand Russell, Sejarah Filsafat Barat, 660.
14
Alison Brown, Sejarah Renaisans Eropa, (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 149.
15
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
Cetakan Ke-24, 2011), 24-25.

Vol. 9, No. 2, November 2013


252 Dinar Dewi Kania

menguasainya. Usaha untuk menguasai perasaan itu yang dinamakan


kebajikan. Kebajikan dan kekuasaan adalah sama, kerena melalui
kekuasaan manusia mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu,
menurut Spinoza, apa-apa yang baik adalah yang sesuai dengan akal,
karena yang akali identik dengan yang bermoral. Yang disebut
dengan akali adalah usaha merealisasikan diri, dan bermoral (atau
susila) adalah berada sebagai dirinya sendiri. Di dalam upaya
merealisasikan diri dalam kasih yang akali manusia berusaha menuju
kepada Tuhan (amor Dei intellectualis).16
Adapun John Locke (1632-1704) bisa dianggap sebagai pendiri
Empirisme, yaitu doktrin yang menyebutkan bahwa pengetahuan
manusia berasal dari pengalaman. Ia juga dianggap sebagai pendiri
liberalisme filosofis dan memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap terjadinya revolusi di Inggris dan Prancis. Doktrin tentang
etika Locke menekankan pentingnya kebijaksanaan. Pentingnya
kebijaksanaan menurut Russel adalah ciri khas liberalisme, maka
liberalisme akan membangkitkan kapitalisme karena orang
bijaksana akan menjadi kaya sedangkan orang yang tidak bijaksana
akan tetap miskin. Locke menyatakan bahwa kebebasan bergantung
pada kebutuhan untuk mencari kebahagiaan hakiki dan pada
pengendalian hasrat diri. Kepentingan pribadi dan publik akhirnya
akan berpadu walaupun dalam waktu yang sangat lama. Baginya
komunitas warga yang semuanya saleh dan bijaksana akan berbuat,
dengan kebebasannya, untuk menciptakan kebaikan bersama. Tidak
akan dibutuhkan hukum-hukum manusia untuk membatasinya
karena hukum-hukum Tuhan sudah mencukupi. Orang baik yang
digoda untuk menjadi penyamun akan berkata pada dirinya sendiri,
“Aku bisa lolos dari hakim manusia, tetapi tidak dari hukuman Tuhan.”
Oleh karenanya, orang baik tersebut akan menanggalkan niat
jahatnya dan hidup dengan baik seolah-olah sedang diawasi polisi.
Menurutnya, kebebasan hukum hanya dapat dimungkinkan apabila
kebijaksanaan dan kesalehan bersifat universal dan pengekangan-
pengekangan yang dipaksakan oleh hukum pidana adalah perlu.
Selain itu Locke juga berpandangan bahwa moralitas dapat
membatasi manusia.17
Thomas Hobbes (1588-1679) adalah orang pertama yang
mengikuti aliran Empirisme di Inggris. Filsafatnya tentang moral ia
16
Ibid, 31.
17
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 803-806.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 253

tuangkan dalam pandangannya tentang negara. Bagi Hobbes, semua


manusia pada dasarnya sama, yaitu dalam keadaan alamiah ia ingin
mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang lain yang
disebabkan adanya naluri. Manusia itu pada dasarnya cendrung untuk
mempertahankan diri, akibatnya terjadi pertengkaran yang menim-
bulkan pertengkaran total karena semua orang memerangi semua
orang. Keadaan yang demikian menyebabkan kehidupan menjadi
buruk, kasar dan singkat karena kebajikan pokok yang terdapat pada
perang total adalah kekuatan dan kecurangan. Oleh karena itu menurut
Hobbes diperlukan perjanjian diantara para warga negara sendiri dan
sepakat untuk mentaati suatu kuasa yang memerintah mereka. Negara
bagi Hobbes mempunyai kekuasaan tanpa batas, juga di dalam gereja.
Rakyat diharuskan berbakti kepada Tuhan, paling tidak dengan mem-
buat orang percaya bahwa Tuhan itu ada dan telah mengutus Kristus
untuk memasyhurkan kerajaan yang akan “datang”. 18

Zaman Pencerahan (Aufklärung)


Pada awal abad ke-18 di Eropa, dimulailah suatu zaman yang
disebut Zaman Pencerahan. Abad ke-17 membatasi diri pada usaha
memberikan tafsiran baru pada realitas bendawi dan rohani, yaitu
kenyataan mengenai manusia, dunia, dan Tuhan. Namun abad ke-18
mencoba meneliti secara kritis (sesuai dengan kaidah-kaidah yang
diberikan akal) terhadap segala sesuatu yang ada, baik dalam negara
maupun masyarakat. Orang juga tidak takut untuk mengungkapkan
pendapatnya dalam bentuk celaan yang kurang atau lebih tajam. Sikap
pencerahan pada agama Kristen umumnya memusuhi karena pada
saat itu orang menjadikan akal sebagai sumber kebenaran yang tertinggi.
Ide-ide tentang pencerahan dimulai di Inggris, kemudian
menyebar ke Prancis dan dari sana menyebar ke seluruh Eropa. Di
Prancis gerakan ini dilakukan secara terang-terangan dan ber-
kesinambungan dalam menentang keadaan masyarakat, negara, dan
institusi gereja. Agama Kristen diserang secara pedas dengan senjata
yang diberikan oleh Deisme.19 Selain itu keterlibatan kelompok-
kelompok sastra dan gerakan rahasia Freemason di Perancis, mem-

18
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah…, 34-35.
19
Deisme adalah suatu aliran yang mengakui adanya pencipta alam semesta ini,
namun setelah dunia diciptkan Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri, sebab ia
telah memasukan hukum-hukum dunia kedalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan
hukum-hukum tersebut sehingga manusia dianggap telah berbakti kepada Tuhan apabila
telah hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Lihat, Harun Hadiwijoyo, Ibid, 47 – 49.

Vol. 9, No. 2, November 2013


254 Dinar Dewi Kania

bantu penyebaran pemikiran-pemikiran baru ini melalui pertemuan-


pertemuan para anggotanya yang pada umumnya berasal dari kelas
menengah. 20
David Hume merupakan tokoh pencerahan di Inggris yang
mengembangkan Filsafat Empirisme, salah satunya pemikiran
Locke. Filsafat Hume merupakan kritik terhadap rasionalisme
dogmatis Decartes, sehingga etika dari Kaum Rasionalis dihancurkan.
Virtue tak lain dari rasa enak yang manusia jika ia melakukan sesuatu
atau mengerjakan sesuatu yang umum diterima dan disetujui. Hak
dan keadilan adalah artifical virtues yang tergantung pada situasi
setempat (relativisme etis). Negara tidak didasarkan pada kontrak
sosial namun sesuatu yang terjadi berdasarkan persetujuan implisit
dengan nilai utilitas (yang berguna).21
Dalam filsafat moral Hume, jenis perilaku tertentu seharusnya
didorong secara moral karena mereka dapat menempatkan
keharmonian sosial dan kerjasama pada tingkatan yang lebih tinggi.
Hume juga skeptis dan meremehkan apa yang disebut sebagai nilai
kebajikan “rahib” dari banyak moralitas agama tradisional, maka ia
melakukan disposisi sebagai tujuan untuk merealisasikan dampak-
dampak sosial tertentu yang juga ditafsirkan sebagai konstitutif
kebahagiaan umum manusia.22 Hume menegaskan bahwa perasaan
dan kepercayaan merupakan hal terpenting dalam etika. Suatu
penilaian moral dapat berlaku umum apabila disetujui atau ditolak
oleh perasaan orang-orang disekitarnya. Suatu perbuatan dianggap
baik apabila pelakunya merasa bahwa perbuatannya itu membang-
kitkan kesenangan dan persetujuan dari orang-orang yang menyak-
sikannya.23 Kesimpulannya, etika hanya berlaku di tengah-tengah
masyarakat.
Di Prancis tokoh pencerahan yang sangat gencar menentang
nilai dan dogma gereja adalah Voltaire, nama samaran dari Francois
Marie Arouet (1694-1778). Voltaire terpengaruh pemikiran di Inggris
karena pada tahun 1726 ia mengungsi ke Inggris dan berkenalan
dengan teori-teori Locke dan Newton. Voltaire banyak berbicara

20
William L. Langer, et.al, Western Civilization; The Struggle for Empire to Europe in
Modern World, (New York: A Harper-Amerikan Text Book, 1968), 189.
21
MAW. Brouwer dan M. Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sezaman,
(Bandung: Penerbit Alumni, Cetakan Ke-3, 1986), 63.
22
Alexander E. Hooke, Virtuous Persons, Vicious Deeds, (Mountain View: Mayfield
Publishing Company, 1998), 180.
23
Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah …, 56.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 255

mengenai agama alamiah dan etika. Menurutnya agama alamiah


adalah agama yang memenuhi tuntutan akal. Etika mengenai
keadilan dan kebajikan tidak boleh disandarkan kepada pandangan
metafisis atau teologis karena hukum kesusilaan bukanlah seluruh
aturan yang dibawa sejak lahir, namun aturan itu bersifat abadi, tidak
berubah disegala zaman dan sama disetiap tempat. Isi hukum
kesusilaan menurut Voltaire adalah, “Hiduplah seperti apa yang kamu
inginkan telah kamu lakukan pada saat kamu mati, dan berbuatlah
terhadap sesamamu seperti yang kamu inginkan ia berbuat ter-
hadapmu.” 24
Tokoh pencerahan Prancis lainnya yang bebicara mengenai
moralitas adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Dalam
pandangan Rousseau manusia baik adalah manusia alamiah yang
lahir dari kandungan alam, yang senantiasa berbuat sesuai dengan
asas-asas yang tetap dan tidak berubah. Manusia yang dihasilkan
oleh hidup bermasyarakat adalah jahat.25 Retorika Rousseau yang
sangat terkenal, yaitu “Manusia terlahir bebas, dan dimana-mana ia
terbelenggu.” Kebebasan dalam hal ini menjadi tujuan dari pemikiran
Rousseau. Namun dalam bukunya “Contract Social”, Rousseau tidak
menginginkan ditiadakannya masyarakat yang sudah ada, dan
menganggap kehidupan bermasyarakat sebagai sesuatu yang
penting, karena ada saat ketika individu tidak bisa bertahan dengan
kemandirian primitifnya, sehingga dirasakan perlunya upaya
perlindungan-diri sehingga individu-individu tersebut bersatu
membentuk masyarakat.26 Namun Rousseau menegaskan bahwa
keuntungan-keuntungan yang terdapat dalam keadaan alamiah
harus sedapat mungkin tetap dipelihara.
Rousseau juga mengakui adanya keadilan universal (universal
justice) yang bersemi hanya dari akal. Ia memiliki ketertarikan pada
manusia secara individu dan juga sosial terutama yang diekspresikan
dalam konsep keadilan universal yang mungkin ditemukan apabila
dilakukan latihan yang tepat pada akal manusia. Menurutnya. “by

24
Ibid, 58.
25
Keadaan alamiah di mana manusia hidup atas dasar dirinya sendiri, kesepian, dan
sendirian, di tengah-tengah hutan yang lebat, dengan memiliki dirinya sendiri segala kekuatan
rohaniah dan badaniah. Manusia tidak menghasilkan lebih dari apa yang diperlukan sendiri.
Pada waktu itu tiada hukum alam, sebab tidak perlu aturan-aturan hukum dirumuskan bagi
orang-orang yang tidak saling memerlukan. Selengkapnya lihat: Harun Wijono, Sari
Sejarah…, 60.
26
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 908.

Vol. 9, No. 2, November 2013


256 Dinar Dewi Kania

means of rational deliberation we may free ourselves from the condition


of false consciousness whereby our vision of the true good for man is
clouded by vanity, pride, and self-love.” Namun orang yang bebas
menurut Rousseau adalah yang berperilaku sesuai dengan aturan-
aturan keadilan universal yang tertuang dalam hukum moral (moral
law). Ia juga menegaskan bahwa untuk menjadi bebas seseorang
perlu untuk diatur, dan kunci kepada kebajikan moral adalah ketika
manusia berada pada kondisi dimana ia dapat memerintah dirinya
sendiri.27
Berbeda dengan pencerahan di Perancis, para tokoh intelektual
dan filsafat di Jerman tidak menyerang secara pedas agama Kristen.
Meskipun demikian, mereka tetap berusaha menyerang dasar-dasar
iman kepercayaan Kristen dan menggantinya dengan agama yang
berdasarkan perasaan. Etika menjadi pusat perhatian dari
pencerahan di Jerman dan orang bercita-cita mengubah ajaran moral
Kristen menjadi suatu ajaran moral yang berdasarkan “kebaikan
umum”, yang cenderung memusatkan pada perasaan.28 Karenanya,
di penghujung abad ke-18 menyebarlah Gerakan Romantisme yang
dimotori oleh kaum muda Jerman yang terinspirasi oleh ide-ide
Rousseau. Gerakan ini kemudian mulai menyebar di Inggris pada
awal abad 19 dan juga Perancis.29 Gerakan Romantisme memiliki
ciri digantikannya standar kepraktisan dengan estetika. Moral bagi
kalangan romantik selain memperhatikan estetik juga harus
memperhatikan perubahan selera yang menjadikan rasa keindahan
mereka berbeda dari para pendahulu.30 Tujuan Gerakan Romantisme
pada dasarnya adalah melepaskan belenggu kesepakatan dan
moralitas sosial dan mereka tidak bermaksud mewujudkan
kedamaian dan ketentraman, namun kehidupan yang bersemangat
dan penuh dengan gairah. Kaum Romantik menekankan perasaan,
segi-segi adiduniawi, cerita-cerita rakyat, fantasi, religiusitas, serta
melawan Rasionalisme dan Pencerahan.31
Diderot, Rousseau, dan Herder, tampil pada zaman ketika orang
Barat mulai bosan dengan nalar, menghidupkan kembali

27
David Carr, Educating the Virtues; an Essay on the Philosophical Psychology of Moral
Development and Education, (London: Routledge, 1991), 69-71.
28
Selengkapnya lihat Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah…, 62-63.
29
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 887.
30
Ibid, 885-886.
31
Fanz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Cetakan
Ke-5, 2009), 59.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 257

“antusiasme”, dan menerima kebangkrutan nalar, mengizinkan hati


nurani untuk memutuskan persoalan-persoalan yang tidak dapat
diputuskan oleh akal. Penekanan pada hati nurani dari tahun 1750-
1794 kian menonjol, namun kemudian berakhir pada Revolusi
Prancis. Setidaknya di Prancis, karena di bawah kekuasaan
Napoleon, hati dan kepala (pikiran) sama-sama dibungkam.32
Selain Gerakan Romantisme, pencerahan di Jerman memun-
culkan aliran filsafat baru dengan tujuan mengamankan pengetahu-
an dan kebaikan dari doktrin-doktrin subversif akhir abad ke-18.
Aliran ini dinamakan Idealisme dan memiliki hubungan dengan
Gerakan Romantisme. Immanuel Kant, salah seorang pendiri
Idealisme Jerman yang kemudian banyak menulis tentang masalah
moralitas. Ajaran Kant tentang etika terdapat di dalam 3 macam
buku, yaitu Grundlegung Zur Metaphysik der Sitten, atau “Dasar bagi
Metafisika Kesusilaan” (1785), Kritik der praktischen Vernunft, atau
“Kritik atas Rasio paktis” (1788) dan Metaphysik der Sitten, atau
“Metafisika Kesusilaan” (1797).
Kant berpendapat bahwa ada suatu intuisi pada manusia yang
mengatakan bahwa tidak ada perbuatan yang lebih tinggi dari
perbuatan yang dilakukan karena “kehendak baik”, lepas dari buah-
buahnya.33 Menurutnya, semua konsep moral memiliki tempat dan
asal muasal yang a priori dalam rasio. Nilai moral hanya ada selama
manusia bertindak-tanduk dengan berlandaskan rasa kewajiban.
Kant menyatakan dengan tegas bahwa kebajikan tidak tergantung
pada hasil tindakan yang dikehendaki, namun hanya pada prinsip
di mana ia merupakan hasilnya; dan jika ini diakui, tidak ada yang
lebih konkret dibandingkan kaidahnya. Kant menyatakan bahwa
kita sebaiknya bertindak dan memperlakukan setiap orang sebagai
tujuan dalam dirinya sendiri. 34 Kewajiban moral yang paling
mendasar adalah memperlakukan manusia sebagai tujuan akhir dan
bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan di luar dirinya.
Beberapa versi teori Hak Asasi Manusia merupakan contoh dari
pendekatan deontological/ Kantian melalui etika.35

32
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 918.
33
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 73.
34
Kant berkata, “Berlakulah seolah-olah kaidah tindakan anda itu anda harapkan
menjadi hukum alam umum.” Lihat, Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 927-928.
35
Lihat Steven Hitlin and Stephen Vaisey (eds.), Handbook of the Sociology of Morality,
(New York: Springer Science - Business Media, 2010), 15.

Vol. 9, No. 2, November 2013


258 Dinar Dewi Kania

Menjelang abad ke-19, Filsafat Idelialisme yang dikembangkan


oleh Kant mencapai puncak perkembangannya di tangan Hegel
(1770-1831). Ia termasuk salah satu filsuf Barat yang paling menonjol
dan memberi pengaruh besar sampai di luar Jerman.36 Pandangannya
tentang moral sebagian mengadopsi pandangan Kant, seperti
pembedaan antara legalitas dan moralitas. Menurutnya, karena
manusia ingin dinilai menurut bagaimana ia menentukan dirinya
sehingga dalam hubungan itu manusia adalah bebas bagaimanapun
kondisi-kondisi lahiriahnya. Keyakinan manusia tidak mungkin
dipaksa dan tidak terjangkau dari luar, sehingga keyakinan manusia
tidak dapat diperkosa oleh kehendak moral. Nilai manusia
ditentukan dari tindakan batiniahnya, dengan demikian titik tolak
moral berupakan kebebasan yang berada bagi dirinya sendiri.
Manurut Hegel, suara hati menjadi milik pribadi manusia. Kebebas-
an ini merupakan kebebasan batiniah dan subjektif namun sangat
nyata, karena kebebasan itu sepenuhnya diisi oleh subjek. Suara
hati menurutnya adalah ruang otonomi hakiki subjek yang tidak
bisa dimasuki dari luar.
Hegel juga mengkritisi Kant yang memandang moralitas
semata-mata sebagai dimensi batin dan tidak mengacu pada realitas
struktur-struktur dunia luar yang sosial. Kewajiban sebagai kewajiban
itu abstrak dan jatuh ke dalam “formalitas kosong”. Menurutnya,
ada wilayah moralitas sosial (sittichkeit) di mana tatanan ini ditentukan
oleh keluarga, masyarakat, dan negara karena tiga lembaga ini me-
nentukan cara individu harus bertindak apabila mau dianggap ber-
moral, melalui tradisi, adat istiadat, dan hukum. Paham Hegel tentang
moralitas sosial mengandaikan bahwa bidang-bidang kehidupan
obyektif sudah terstrukturisasi sebagai perealisasian kebebebasan.
Dalam pandangannya, orang-orang yang bertindak sesuai dengan
struktur-struktur tersebut dianggap telah menyatakan kebebasan-
nya. Sistem hukum yang dijamin negara merupakan “kerajaan
kebebasan sudah terealisasi” dan tatanan moralitas sosial adalah
wilayah di mana kehendak khusus subjek otonom menyatu dengan
kehendak umum dan termanifestasikan dalam lembaga-lembaga.37
Abad ke-19 juga memunculkan suatu aliran baru dalam filsafat,
yaitu Positivisme yang berawal dari tulisan-tulisan Auguste Comte
(1798-1857). Positivisme membatasi filsafat dan pengetahuan pada
36
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 98.
37
Frans Magnis, Pijar-Pijar Filsafat, 89-90.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 259

bidang gejala-gejalanya saja. Kesamaan Positivisme dengan


Empirisme adalah keduanya mengutamakan pengalaman, namun
Positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman
obyektif, sedangkan Empirisme menerima juga pengalaman-
pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif.38
Dalam filsafat moral, tokoh yang terpengaruh pemikiran
positivisme Comte adalah John Stuart Mills (1806-1873). Mills dalam
bukunya Utilitarianism, berpandangan bahwa kesenangan adalah
satu-satunya hal yang patut terhasrati (desirable). “Patut terhasrati”
merupakan kata yang memprasyaratkan suatu teori etika. Menurut-
nya etika menjadi penting lantaran adanya konflik hasrat antar-
manusia disebabkan oleh egoisme. Kebanyakan orang lebih tertarik
kepada kesejahteraan mereka sendiri daripada kesejahteraan orang
lain.39 Namun sebenarnya yang ingin dicapai seseorang bukan
bendanya sendiri, melainkan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh
benda-benda atau sesuatu itu sendiri.40
Bagi Mills, etika memiliki tujuan ganda: pertama, menemukan
kriteria untuk membedakan hasrat yang baik dan hasrat yang buruk;
kedua, dengan sarana pujian dan kecaman, untuk mendorong hasrat
yang baik dan meredam hasrat yang buruk. Bagian etika dari doktrin
utilitarian menyatakan bahwa hasrat-hasrat dan tindakan-tindakan
itu bagus apabila pada faktanya memajukan kebahagiaan umum.
Kebutuhan ini bukan niat tindakan, melainkan hanya pengaruh-
nya.41 Menurut Smart pada dasarnya doktrin utilitarianism dibeda-
kan menjadi act-utilitarianism dan rule-utilitarianism. Act-utilita-
rianism mengajarkan manusia untuk memilih tindakan yang me-
nambah kebahagiaan dan menghilangkan penderitaan. Sedangkan
rule-utilitarianism mengajarkan manusia untuk bertindak sesuai
dengan aturan yang cendrung menambah kebahagiaan dan meng-
hilangkan penderitaan.42

38
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 110.
39
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 1013-1014.
40
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah…, 114.
41
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 1013-1014.
42
J.J. Smart dalam Chistina Sommers and Fred Sommers, Vice & Virtue in Everyday
Life; Introductory Reading in Ethicc, (Orlando: Harcourt Brace & Company, 1997), 110.

Vol. 9, No. 2, November 2013


260 Dinar Dewi Kania

Penutup
Kehidupan intelektual abad ke-19 di Barat merupakan masa
yang kompleks dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya. Ada
beberapa sebab yang mendasari hal ini: 1) Amerika dan Rusia mem-
berikan kontribusi penting dalam bidang pemikiran, 2) Eropa mulai
menyadari kehadiran Filsafat India, baik kuno maupun modern, 3)
produksi mesin mengubah struktur sosial secara besar-besaran, dan
4) terjadi pemberontakan radikal baik filosofis maupuan politik
melawan sistem-sistem tradisional dalam hal pemikiran, politik, dan
ekonomi. Pemberontakan ini memiliki dua bentuk, yaitu romantik
dan lainnya adalah rasionalistik. Tokoh-tokoh pemberontakan
romantik adalah Byron, Schopenhauer, Nietzsche, Musollini, dan
Hitler. Pemberontakan rasionalistik diawali oleh filsuf-filsuf revolusi
Prancis, berlanjut ke arah radikal filosofis di Inggris, kemudian
berujung pada Marx di Soviet, Rusia.43
Sebab-sebab di atas tentu saja berpengaruh terhadap perkem-
bangan konsep nilai dalam Masyarakat Barat pada abad setelahnya (abad
ke-20 dan 21). Pemberontakan terhadap etika agama Kristen yang tidak
lagi diyakini kebenarannya, pada akhirnya memunculkan berbagai
macam teori nilai yang berlandaskan pada akal. Munculah aliran-aliran
baru yang tentunya terinspirasi oleh filsafat pada Zaman Renaisans dan
Pencerahan, seperti aliran Pragmatisme dengan tokohnya William James
dan John Dewey, Fenomenologi oleh Edmund Husserl, dan
Ekstensiallisme dengan tokohnya seperti Martin Heidegger, Jean Paul
Sartre, serta Soren Aabye Kierkegaard, dan masih banyak lagi.
Perkembangan konsep nilai di Barat dari sejarah yang telah
dipaparkan di atas, menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan
berhenti dalam merumuskan nilai-nilai yang dianggap baik bagi
kehidupan masyrakatnya. Sejarah memperlihatkan perubahan nilai
di Barat secara radikal, dimulai dari penerimaan pada etika moral
gereja, sampai akhirnya berujung kepada penghapusan unsur-unsur
metafisika dalam etika moralnya. Dahulu gereja mengharamkan
tindakan homoseksual karena tidak sesuai dengan nilai etika agama
tersebut, namun saat ini dunia menyaksikan seorang homoseksual
telah diangkat menjadi Uskup di Gereja Anglikan, New Hamshire
pada tahun 2003 lalu. Konsep nilai dan moral di Barat akan terus
berevolusi, berkembang sesuai dengan konsepsi Masyarakat Barat
terhadap hakikat manusia, agama, ilmu, dan kehidupan itu sendiri.[]
43
Betrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 938-939.

Jurnal TSAQAFAH
Konsep Nilai dalam Peradaban Barat 261

Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism.
Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC).
Arthur, James. 2003. Education with Character; The Moral Economic
of Schooling, London: RoutledgeFalmer.
Brouwer, M.A.W. dan M. Puspa Heryadi. 1986. Sejarah Filsafat Barat
Modern dan Sezaman. Bandung: Penerbit Alumni. Cetakan Ke-3.
Brown, Alison. 2009. Sejarah Renaisans Eropa. Bantul: Kreasi Wacana.
Carr, David. 1991. Educating the Virtues; an Essay on the Philosophical
Psychology of Moral Development and Education. London:
Routledge.
Hadiwijoyo, Harun. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-24.
Hitlin, Steven and Stephen Vaisey (eds.). 2010. Handbook of the
Sociology of Morality. New York: Springer Science - Business
Media.
Hoffding, Horald. 1955. A History of Modern Philosophy; A sketch of
the History of Philosophy. Volume I. USA: Dover Publication.
Hooke, Alexander E. 1998. Virtuous Persons, Vicious Deeds. Mountain
View: Mayfield Publishing Company.
http://www.sociologyguide.com/basic-concepts/Values.php, 10 Des
2010
Husaini, Adian. 2005. Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani
Press.
Kelley, Michael W. 1998. The Impulse of Power, Formative Ideals of
Western Civilization. Minneapolis: Contra Mundum Books.
Langer, William L., et.al. 1968. Western Civilization; The Struggle for
Empire to Europe in Modern World. New York: A Harper-
Amerikan Text Book.
Power, F. Clark. et.al (ed). 2008. Moral Education: A Handbook; Volume
1 & 2. Westport: Praeger.
Russell, Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cetakan II.

Vol. 9, No. 2, November 2013


262 Dinar Dewi Kania

Sommers, Chistina dan Fred Sommers. 1997. Vice & Virtue in


Everyday Life; Introductory Reading in Ethic. Orlando: Harcourt
Brace & Company.
Stoley, Kathy. S. 2005. The Basic of Sociology. Westport: Greenwood
Press.
Suseno, Fanz Magnis. 2009. Pijar-Pijar Filsafat. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, Cetakan Ke-5.
Toynbee, Arnold. 2007. Sejarah Umat Manusia; Uraian Analitis,
Kronologis, Naratif, dan Komparatif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cetakan IV.

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer,
Antara Mode Pemikiran dan Model Pembacaan
Mohammad Muslih
Program Pascasarjana ISID Gontor
Email: muslih@isid.gontor.ac.id

Abstract
This paper examines mode of Islamic thought is developing today, which
was then known as Contemporary Islamic Thought, by searching the role of
logic and reasoning behind the idea. Three main issues are addressed: first, the
project of contemporary Islamic thought, which is a radical reading of the
construction of epistemology of sciences and building of logical basic of
traditions, culture and civilization, by taking the authentic (al-ashâlah) and inner
structure (bunyah), so that it can be transformed to the present. Second, the mode
of contemporary Islamic thought, related to attitudes toward tradition (turâts)
on the one hand and attitudes towards modernity (hadâtsah) on the other. In
contrast to the traditional thought that addressing modernity with a priori for
conservation, are also different from modern thought that response to the
tradition as something that must be eliminated for the sake of progress;
Contemporary Islamic thought involved a critical reading of tradition and
modernity, before bringing them within the framework of contemporary
challenges. And third, the model of contemporary readings, by indicate
methodological tools of scientific work. Hermeneutics, criticism, and
deconstruction are three species of readings that be able to break through the
scarcity of methodological for reading complexity of culture and problems
of humanity in general, which has not been available instrument for that.

Tulisan ini mengkaji mode pemikiran Islam (mode of thought) yang ber-
kembang dewasa ini, yang kemudian dikenal dengan Pemikiran Islam Kontem-
porer, dengan melakukan penelusuran terhadap logika dan nalar yang berperan
di balik pemikiran itu. Tiga isu utama yang dibahas, yaitu pertama, proyek pemi-

* Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor, telp. (0352) 488220

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


348 Mohammad Muslih

kiran Islam kontemporer, yaitu pembacaan secara radikal terhadap bangunan


epistemologi keilmuan dan bangunan nalar tradisi, budaya dan peradaban,
dengan mengambil yang otentik (al-as}âlah) dan struktur terdalam (bunyah),
sehingga bisa ditransformasikan ke masa kini. Kedua, mode pemikiran Islam
kontemporer, terkait sikap terhadap tradisi (turâts) di satu sisi dan sikap terhadap
modernitas (hadâtsah) di sisi yang lain. Berbeda dengan pemikiran tradisional
yang menyikapi modernitas dengan apriori demi konservasi, juga berbeda
dengan pemikiran modern yang menyikapi tradisi sebagai sesuatu yang mesti
dihilangkan demi kemajuan; pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan
kritis terhadap tradisi dan modernitas sebelum akhirnya mempertemukan
keduanya, dalam kerangka menjawab tantangan kontemporer. Dan ketiga, model
pembacaan kontemporer dengan menunjukkan perangkat-perangkat meto-
dologis kerja ilmiah. Hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi adalah tiga spisies
pembacaan yang dianggap mampu menerobos kelangkaan metodologis dalam
membaca kompleksitas budaya dan problem kemanusiaan pada umumnya,
yang selama ini belum tersedia instrumen untuk itu.

Kata Kunci: al-turâts, al-h}adâtsah, parole, langue, signifier, signified,


hermeneutik, discourse, dekonstruksi.

Pendahuluan

T
iga sampai empat dasawarsa terakhir ini dinamika pemikiran
Islam menunjukkan trend yang sama sekali baru.
Perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya-karya
akademis dan intelektual sebagai pembacaan ulang terhadap warisan
budaya dan intelektual Islam. Bila dilihat dari awal kemunculannya,
fenomena pemikiran baru ini sesungguhnya merupakan respon atas
kekalahan bangsa Arab di tangan Israel pada perang enam hari Juni
1967. Peristiwa itulah yang menjadi garis pemisah antara apa yang
disebut dengan pemikiran modern dan pemikiran kontemporer,
Problem utama pemikiran Islam Kontemporer umumnya
terkait sikap terhadap tradisi (turâts) di satu sisi dan sikap terhadap
modernitas (h}adâtsah) di sisi yang lain. Berbeda dengan pemikiran
tradisional yang menyikapi modernitas dengan apriori demi
konservasi, juga berbeda dengan pemikiran modern yang menyikapi
tradisi sebagai sesuatu yang mesti dihilangkan demi kemajuan;
pemikiran Islam Kontemporer terlibat pembacaan kritis terhadap

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 349

tradisi dan modernitas sebelum akhirnya mempertemukan kedua-


nya, dalam kerangka menjawab tantangan kontemporer. Bagaimana
struktur pemikiran Islam Kontemporer, trend apa yang menjadi
gagasan besarnya. Inilah beberapa persoalan yang akan diuraikan
dalam makalah ini.

Mode Pemikiran Islam Kontemporer


Pemikiran Islam kontemporer umumnya ditandai dengan
lahirnya suatu kesadaran baru atas keberadaan tradisi di satu sisi
dan keberadaan modernitas di sisi yang lain, serta bagaimana sebaik-
nya membaca keduanya. Maka “tradisi dan modernitas” (al-turâts
wa al-hadâtsah)1 merupakan isu pokok dalam pemikiran Islam kon-
temporer. Apakah tradisi harus dilihat dengan kacamata modernitas
ataukah modernitas harus dilihat dengan kacamata tradisi atau
bisakah keduanya dipadukan?
Berbeda dengan pemikiran Islam tradisional yang melihat
modernitas sebagai semacam dunia lain, dan berbeda pula dengan
pemikiran Islam modernis yang menggilas tradisi demi pembaharu-
an, pemikiran Islam kontemporer melihat bahwa turâts adalah
prestasi sejarah, sementara hadâtsah adalah realitas sejarah. Maka
tidak bisa menekan turâts apalagi menafikannya hanya demi
pembaharuan; rasionalisasi atau modernisasi sebagaimana perspektif
modernis selama ini.2 Juga tidak bisa menolak begitu saja apa-apa
yang datang dari ‘perut’ hadâtsah, terutama perkembangan sains
dan teknologi. Karena sekalipun banyak mengandung kelemahan,
karenanya juga dikritik, tetap banyak memberikan penjelasan atas
problem kehidupan, keilmuan, mungkin juga keberagamaan.
Maka keduanya, turâts dan hadâtsah harus bisa dibaca secara
kreatif, dengan sadar, dengan “model pembacaan kontemporer”
(qirâ’ah mu’âshirah).3 Di sini, turâts tidak hanya dibaca secara harfiah

1
Lihat misalnya Hasan Hanafi dengan proyek al-Turath wa al-Tajdid (Al-Qahirah:
Maktabah Anjlu Misriyyah, 1987), demikian pula Abied Jabiri dengan proyek al-Turats wa
al-Hadatsah. (Beirut, Al-Markas al-Tsaqafi al-Arabi, 1991)
2
M. Arkoun dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok, (Bandung: Pustaka,
1997), h. 120. M. Arkoun membedakan antara modernism material dan modenisme pemikiran.
Yang pertama terkait kerangka eksternal eksistensi manusia seperti industrialisasi. Sedangkan
modernism pemikiran adalah mencakup metode atau kerangka berfikir dan sikap rasional
yang mempercayai rasionalitas lebih sesuai dengan realitas.
3
Istilah “pembacaan kontemporer” dipinjam dari beberapa intelektual Muslim
kontemporer seperti Muhammad Syahrur dan Abied al-Jabiri yang telah memperkenalkan

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


350 Mohammad Muslih

tetapi sampai pada basis pembentuknya untuk menemukan makna


potensial sehingga bisa ditransformasikan di zaman kita. Tidak
sebagaimana perspektif modernisme, apa saja yang datang dari Barat
diterima tanpa kritik, bahkan dianggap pasti baik dan benar. Dalam
pembacaan kontemporer, h}adâtsah juga harus dibaca secara kritis,
dengan kritik, dengan mengambil jarak, juga untuk membongkar
basis filosofis dan ideologisnya. Di sinilah peran filsafat ilmu, juga
sosiologi dan sejarah ilmu sebagai perspektif sangat diperlukan.
Setelah keduanya dibaca secara kritis-kreatif, lalu terbangun
konstruksi pemaknaan yang baru.
Sebagaimana disebutkan di atas, trend dan mode pemikiran
demikian tidak bisa dilepaskan dari dinamika pemikiran yang ber-
kembang empat sampai lima dasawarsa terakhir ini. Perkembangan
ini ditandai dengan lahirnya karya-karya akademis dan intelektual
sebagai pembacaan ulang terhadap warisan budaya dan intelek-
tualisme Islam. Bila dilihat dari awal kemunculannya, fenomena
pemikiran baru ini sesungguhnya merupakan respon atas kekalahan
bangsa Arab di tangan Israel pada perang enam hari Juni 1967.
Peristiwa itulah yang menjadi garis pemisah antara apa yang
disebut dengan pemikiran modern dan pemikiran kontemporer,
sekaligus merubah peta pemikiran di dunia Arab. Menurut Sadik
Al-Azm, “I found myself suddenly preoccupied with writing about
and debating direct political questions which I never dreamed would
be a concern of mine.”4 Peristiwa itu telah menimbulkan lahirnya
“gelombang self-criticism dan instropeksi”5 di kalangan pemikir Arab
Muslim. Ratusan publikasi yang bersifat “deep social insight, self
analysis and a great measure of self-criticism,”6 segera memenuhi lite-
rarur Arab Islam. 7 Setiap orang kelihatannya sedang berbicara

qirâ’ah mu’âshirah terkait metode interpretatif yang mereka tawarkan. Syahrur menulis di
antaranya: Al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu’âshirah, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992). Sedang
Abied al-Jabiri tampak dalam karyanya: Nahnu wa Turats: Qirâ’ah Mu’âshirah fi Turâtsina al-
Falsafi, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1993)
4
Ghada Talhami, “An interview with Sadik Al-Azm - University of Damascus
professor - Interview,” Arab Studies Quarterly (ASQ). Summer, 1997. FindArticles.com. 11
Jun. 2007. http://findarticles.com/p/articles/mi_m2501/is_n3_v19/ai_20755838.
5
R. Hrair Dekmejian, Islam and Revolution: Fundamentalism in the Arab World
(Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1985), 84.
6
Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought. SUNY,1990, 2.
7
Misalnya Adib Nasur, al-Naksah wa al-Kha ’ (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1968);
Yusuf al-Qaradawi, Dars al-Nakbah al-Thaniyah: Limadha Inhazamna wa Kayfa Nantasir
(Al-Qahirah, 1987).

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 351

tentang pembaharuan, kritik, dan alternatif, lalu berpendapat bahwa


sesuatu mesti dilakukan untuk mendobrak situasi yang ada
sekarang. Masing-masing mencoba untuk memberikan penafsiran
(tafsir al-azmah) atas krisis yang terjadi. Mereka mencoba mencari
jawaban atas penyebab terjadinya peristiwa tersebut.8
Di antara sekian banyak interpretasi yang mengemuka, kritik
epistemologi merupakan satu corak yang sangat populer di kalangan
pemikir kontemporer ini. Abdullah al-‘Arwi dengan karyanya:
L’idelogie arabe contemporaine (yang kemudian diterjemahkan ke-
dalam bahasa Arab menjadi Aydiyulujiyyah al-‘Arabiyyah al-
Mu‘âsirah)9. Dalam karyanya ini, ‘Arwi melakukan kritik terhadap
Akal Arab dan membongkar basis ideologinya. Dia mengkritisi pola
pikir yang dikembangkan tokoh pembaharu Muslim, Muhammad
‘Abduh. Meski tokoh ini telah berusaha untuk merestorasi dan
merekonstruksi akal dalam usaha pembaharuannya, namun akal
tersebut masih berpijak pada akal teologis abad pertengahan
(dhihniyyah al-kalam). Sadiq Jalal al-‘Azm mengikuti jejak ‘Arwi,
tidak lama setelah peristiwa 1967, dia menulis buku berjudul al-
Naqd al-Dhâti ba‘d al-Hazimah. 10
Selain kedua nama tersebut di atas, masih ada lagi beberapa
nama lain yang tak kalah pentingnya dalam belantika pemikiran
Arab Islam hari ini. Di antaranya adalah Yasin al-Hafidh dengan
karyanya al-Hazimah wa al-Aydiyulujiyyah al-Mahzumah. 11 Ali
Ahmad Said atau yang lebih dikenal dengan Adonis yang pada tahun
1970an dia menyelesaikan disertasi doktornya yang kemudian
diangkat menjadi buku dan diberi judul al-Tsâbit wa al-Mutah}awil.
Seperti judulnya, buku ini mencoba mengidentifikasi yang perma-
nen dan yang berubah dalam nalar Arab dan selanjutnya berusaha
untuk mendekonstruksinya. Adonis seperti yang lainnya juga
menuduh kemenangan tradisionalisme atas nalar sebagai penyebab

8
Nakhlah Wahbah mencoba menganalisa seluruh bentuk respond an reaksi serta
interpretasi intelektual Arab terhapad peristiwa ini dalam artikelnya yang berjudul, “Ittijahat
al-Mufakkirin al-‘Arab hawl al-Hazimah 1967,” al-Mustaqbal al-‘Arabi, Vol. 9, no, 88, June
1986, 18-39.
9
‘Abdullah al-‘Arwi, Ayduyulujiyyah al-‘Arabiyyah al-Mu‘asirah, 2nd ed (Beirut: Al-
Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1999). 1st ed 1967.
10
Beirut: Dar al-Tala‘ah, 1969, “A summary discussion of this book can be read” in
Nissim Rejwan, Arabs Face Modern World (Gainesville: University Press of Florida, 1998),
107-113.
11
Syria: Dar al-Hisad li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1997. 2nd ed.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


352 Mohammad Muslih

atas keterpurukan bangsa Arab hari ini.12


Tema kritik nalar (critique of reason/naqd al-‘aql), meski sudah
muncul sejak 1970an, namun baru berkembang pada era 1980an
keatas. Perkembangan ini tidak terlepas dari karya Mohammed
Arkoun yang terbit pada tahun 1980an, yaitu Pour une Critique de la
Raison Islamique.13 Begitu pula Mohammed Abied al-Jabiri14 dengan
karyanya Nahnu wa al-Turâts.15 Mengkuti jejak intelektual di atas,
Nasr Hamid Abu Zayd tahun 1990 juga menerbitkan karya dengan
nuansa kritis yang sama Naqd al-Khitab al-Dini16 di samping karya-
nya yang lain Mafhum al-Nass dan al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-
Aydiyulujiyyah al-Wasatiyyah. Di buku ini, Abu Zayd mencoba me-
nulusuri apa yang disebutnya aliyat al-fikr pemikiran Islam kon-
temporer.
Selain keempat tokoh di atas, masih banyak lagi pemikir, tokoh
intelektual, dan filsuf Arab Muslim kontemporer yang tampil dengan
ide-ide kritik pemikiran keagamaan. Halim Barakat dengan salah
satu karya monumentalnya al-Mujtama’ al-’Arabi al-Mu’âsir 17,
Hisham Sharabi dengan teori Neopatriarchy 18 dan al-Naqd al-
H} ada> ri-nya, Hasan Hanafi dengan proyek al-Turâts wa al-Tajdid-
nya, 19 yang keduanya merupakan sebuah kritik atas struktur
masyrakat Arab dan pola pikirnya, Tayib Tizini dengan Min al-Turâts
ila al-Thawrah, Mahmud Amin, Abdullah Laroui, dan lain seba-
gainya. Intinya para pemikir ini merasa perlu untuk menilai kembali
tradisi keilmuan Islam yang telah kita warisi dari generasai Muslim
abad pertegahan sebagai usaha untuk merespon tantangan zaman

12
Adonis, “Khawatir hawl Mazahir al-Takhalluf al-Fikri fi al-Mujtama‘ al-‘Arabi,” al-
Adab, no. 5, May 1974, 27.
13
Buku ini diterjemahkan Hashim Salih, murid dan juga teman baik Arkoun, kedalam
bahasa Arab dan diberi judul Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, (Beirut: Markaz al-Inma’
al-Qawmi, 1986). Diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dan
diberi judul Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta:
INIS, 1994).
14
Mohammad ‘Abied al-Jabiri, pemikir muslim kontemporer adalah seorang
antropolog kelahiran Maroko, 1936. Gelar doktornya diperoleh pada Universitas al-Khamis
Rabat Maroko. Di tempat yang sama, sejak tahun 1976 menjadi dosen dalam bidang filsafat
dan pemikiran Islam pada Fakultas Sastra.
15
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Nahnu wa al-Turats (Al-Dar al-Bayda’: Al-Markaz al-
Thaqafi al-’Arabi, 1983).
16
Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990.
17
Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1991.
18
Hisham Sharabi, Al-Nizam al-Abawi wa Isykaliyah Takhalluf al-Mujtama’ al-‘Arabi,
(Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah ‘Arabiyyah, 1993)

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 353

dan menjawab persoalan yang sedang terjadi.


Gelegar dan trend pemikiran Islam kontemporer ini yang pada
kenyataannya memberikan support dan warna baru terhadap dina-
mika studi Islam di era kontemporer ini. Dalam konteks ini, tam-
paknya menarik untuk melihat berbagai tawaran para pemikir Islam
untuk pengembangan studi Islam. Ada yang mengembangkan aspek
metodologi, sementara yang lain mengembangan aspek episte-
mologi. Umumnya, pada aspek metodologi berkembang dua trend
pemikiran, yaitu ada yang menjadikan usul fiqh sebagai lahan pem-
baharuan, sementara yang lain memfokuskan diri pada pembaharu-
an metodologi tafsir. Meskipun berangkat dari sudut pandang yang
berbeda, pada prinsipnya mereka mempunyai pandangan yang sama
yaitu metodologi usul fiqh dan tafsir al-Qur’an klasik sudah tidak
sanggup menjawab tantangan zaman. Metode qiyas, dan tafsir yang
dikatakan berputar-putar sekitar teks tanpa melihat setting sosial,
kultur dan politik yang sedang berkembang hanya akan menjadikan
ajaran Islam tersebut kaku dan sebagai akibatnya akan gagal
merespon kebutuhan umat.20

Kritik Epistemologi, Proyek Besar Pemikiran Islam Kontemporer


Menurut Bollouta, Setidaknya terdapat tiga kelompok yang
mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan bu-
daya vis a vis modernitas,21 yaitu: Pertama, kelompok yang mena-
warkan wacana transformatif, yang menginginkan dunia Arab lepas
sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak
lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari ke-
lompok ini umumnya berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah
Musa, Zaki Najib Mahmud, dll. Kedua, kelompok yang menawarkan
wacana reformatif, yang menginginkan sikap akomodatif, dengan
19
Hasan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid, (Al-Qahirah: Maktabah Anjlu Misriyyah,
1987). Cet.3
20
Lihat misalnya Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982); Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd
al-Khitab al-Dini (Qahirah: Maktabah Madbuli, 1990); Abdullah Ahmad an-Na’im, Towards
an Islamic Reformation (Syracuse: Syracuse University Press, 1990); ‘Abdul Hamid Abu
Sulayman, The Criris of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal Larenzo (Virginia: International Institute
of Islamic Thought, 1991); dan Taha Jabir al-’Ulwani, Islah al-Fikr al-Islami (Virginia: Al-
Ma’had al-’Alami li al-Fikr al-Islami).
21
Aksin Wijaya, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender
(Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), 114-115.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


354 Mohammad Muslih

mereformasi tradisi yang selama ini dihidupinya. Wakil dari kelom-


pok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll. Ketiga, kelompok
yang disebut idealis-totalistik, yang menginginkan agar dunia Arab
kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan
kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti
Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dll.
Sementara itu, beberapa peneliti juga menemukan bahwa ada
tiga kelompok pemikir Islam kontemporer, terutama pada sayap postra.
Pertama, sayap ekletis (al qirâ’ah al-intiqiyah). Kelompok ini mencoba
menghubungkan antara orisinalitas (al-as} âlah) dan modernitas (al-
mu’âs}irah) dalam membangun teori tradisi. Prinsip yang dipakai adalah
membuang unsur-unsur yang negatif dalam tradisi dan mengambil
sisi positif tradisi untuk memecahkan persoalan kekinian. Di antara
tokohnya adalah Fahmi Jad’an dan Zaky Naqueb Mahmud. Kedua,
sayap revolusioner (al-qirâ’ah al-tsauriyah). Proyeknya adalah melaku-
kan revolusi dan liberasi pemikiran keagamaan yang telah berlangsung
berabad-abad lamanya. Dan juga merekonstruksi pemikiran klasik
dengan memasukkan nilai-nilai humanistik dalam kajian keagamaan.
Hassan Hanafi bisa dikatakan tokoh kunci model ini. Dan Ketiga, sayap
dekonstruktif (al-qirâ’ah al-tafkikiyah). Upaya yang dilakukan adalah
bongkar pasang tradisi secara komprehensif, sehingga menimbulkan
kontroversial. Bahkan untuk mendekonstruksi wacana agama, mereka
menggunakan pemikiran-pemikiran modern dan metodologinya dari
kalangan post-modernis, post-strukturalis, hermeneutika, dan analisis
semantik atau semiotika. Tokohnya adalah M. Abed Al-Jabiri, M. Arkoun,
Abu Zayd, Aliya Harb, M. Shahrur, dan sebagainya.22
Sekalipun berbeda orientasi, ketiga style pemikiran di atas,
menempatkan problem pembacaan sebagai core gagasan besar
mereka. Seperti disinggung di awal, pembacaan terhadap nalar atau
kritik epistemologi dimaksudkan untuk melihat struktur pengeta-
huan dan kaitannya dengan sistem pemikiran kolektif yang menjadi
basis tumbuh-kembangnya pengetahuan dan tradisi, sekaligus proses
pembentukannya.
Ada beberapa istilah yang dapat diindentifikasi sebagai techni-
cal concept dari epistemologi, seperti reason (Immanuel Kant),23

22
Lihat Zuhairi Misrawi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme Islam,
Geliat Pemikiran Islam Arab”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, 58-59.
23
Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, Translated by JMD. Meiklejohn, (New
York: Prometheus Books, 1990)

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 355

episteme (Michel Faucoult),24 dan scientific paradigm (Thomas S.


Kuhn).25 Sementara pemikir Muslim kontemporer, ada yang meng-
gunakan istilah al-khithab [al-khitab al-diniy, Nasr Hamid Abu
Zayd],26 ada juga yang menggunakan istilah al-‘aql seperti al-‘aql
al-islami (Mohammad Arkoun),27 ‘aql al-‘arabiy (Mohammed Abed
al-Jabiri).28 Beberapa istilah ini sudah tentu memiliki kekhasan
masing-masing, namun demikian semuanya menunjukkan bahwa
pengetahuan itu memiliki sistem epistemologi sebagai basisnya.
Dengan mengikuti al-Jabiri, kritik epistemologis mengajak
untuk menganalisis struktur pemikiran (bunyah al-’Aql) di satu sisi,
dan melakukan penelusuran tehadap proses pembentukan pemikir-
an (takwîn al-’Aql) di sisi yang lain. Formulasi inilah yang ditawarkan
al-Jabiri dalam dua karyanya: Bunyah al-’Aql al-’Arabi dan Takwîn
al-’Aql al-’Arabi. Buku pertama menganalisis secara mendalam seluk
beluk mekanisme kinerja struktur nalar-nalar Arab yang tak jarang
saling berbenturan dalam memperebutkan hegemoni ditengah-
tengah budaya Arab-Islam. Sedangkan buku kedua menganalisis
background sosio-politik proses perumusan (formulation) dan
keterbentukan nalar Arab-Islam.
Untuk mendefinisikan ‘aql [-Arab], al-Jabiri meminjam teori
Lalande tentang diferensiasi antara la raison constituante (al-’aql al-
mukawwin) dengan la raison constituée (al-’aql al-mukawwan). La
raison constituante adalah bakat intelektual (al-malakah) yang dimiliki
setiap manusia guna menciptakan teori-teori dan prinsip-prinsip
universal, sedangkan la raison constituée adalah akumulasi teori-teori
atau prinsip-prinsip —bentukan la raison constituante— yang ber-
fungsi sebagai tendensi pencarian konklusi, atau kaidah-kaidah siste-
matis yang ditetapkan, diterima dan dinilai sebagai nilai mutlak
dalam suatu babak sejarah tertentu. La raison constituée memiliki
24
Lihat Michel Foucault, The Order of Think: An Archeology of Human Sciences, (New
York: Vintage Books, 1994)
25
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1970). Buku ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul,
Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989)
26
Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, (Mesir: Sina li.al-Nashr, 1994)
27
Mohammad Arkoun, Qad}a>ya> fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam al-
Yawm?, (Dar al-Thali’ah). Lihat juga Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhammad
Arkoun, (Dar al-Thali’ah).
28
Mohammed Abied Al-Jabiri, Takwîn al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah al-
Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2002); Binyah al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah al-
Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2004)

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


356 Mohammad Muslih

relativitas dan, oleh karenanya, ia dicirikan dengan sifat berubah-


ubah secara dinamis setiap waktu dan berbeda-beda antara satu pe-
mikir dengan pemikir lainnya. Nalar Arab tak lain adalah la raison
constituée, yakni kumpulan prinsip dan kaidah yang diciptakan oleh
ulama Arab-Islam ditengah-tengah kultur intelektual Arab sebagai
alat produksi pengetahuan.29 Nalar ini, dalam teori Michel Foucault,
disebut dengan sistem kognitif (nid}âm ma’rifi) atau sistem pemikiran
(episteme).
Dengan demikian proyek epistemologi melakukan pembacaan
terhadap mekanisme kinerja la raison constituante di satu sisi, dan
terhadap la raison constituée di sisi lain. Secara operasional, kerangka
kerja epistemologi mesti melakukan analisis terhadap proses-proses
kinerja la raison constituante dalam membentuk la raison constituée
pada babakan sejarah tertentu dan mencari kemungkinan-kemung-
kinan la raison constituante membentuk teori-teori baru.30
Dengan perangkat kritik epistemologi seperti itu, pemikiran
Islam kontemporer terlibat penelusuran terhadap sistem, struktur,
dan bangunan episteme sebagai basis tumbuh kembangnya tradisi
(turats). Apa yang disebut dengan tradisi dan bagaimana semestinya
memperlakukan tradisi agar bisa menjawab modernitas? Demikian
kurang lebih persoalan utamanya. Dalam pandangan Al-Jabiri, tradisi
adalah “sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal
dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain, baik masa yang jauh
maupun masa yang dekat.” Tradisi adalah titik temu antara masa
lalu dan masa kini.31 Tradisi bukan masa lalu yang jauh dari keadaan
kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan kekinian kita. Jadi,
dalam pandangan Al-Jabiri, semuanya adalah tradisi, bila berkaitan
dengan segala sesuatu yang ada di tengah kita dan menyertai kekinian
kita, asal itu berasal dari masa lalu.32 Persoalannya, adalah bagaimana
kemudian membaca tradisi itu agar bisa relevan dengan masa kini.
Metodologi yang dipakai Al-Jabiri dalam mengkaji persoalan
tradisi adalah dengan pendekatan “objektivisme” (maud}u’iyah) dan
“rasionalitas” (ma’quliyah).33 Objektivisme artinya menjadikan tradisi

29
M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisonalisme Islam, (peny. Ahmad Baso), (Yogyakarta:
LKIS, 2000), xxxii.
30
Mohammed Abied Al-Jabiri, Takwîn..., 5-6 & 13-16.
31
M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisonalisme..., 24.
32
Ibid, 25.
33
Ibid, 28.

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 357

lebih kontektual dengan dirinya, dan berarti memisahkan dirinya


dari kondisi kekinian kita. Tahap ini adalah dekonstruksi, yaitu
membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan
keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan antara
subyek pengkaji dan obyek yang dikaji. Sebaliknya, yang dimaksud
dengan rasionalitas adalah menjadikan tradisi tersebut lebih
kotekstual dengan kondisi kekinian kita. Tahap kedua adalah
merekonstruksi pemikiran baru dengan menghubungkan antara
obyek dan subyek kajian. Maksud Al-Jabiri, hal ini dilakukan agar
didapatkan pembacaan yang holistik terhadap tradisi.
Al-Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab
kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Al-Jabiri
telah melampaui ideologi dalam proyek peradabannya, dengan
menyusun tetralogi bukunya yang serius digarap. Tetralogi yang
tergabung dalam proyek peradabannya adalah: (i) Takwin al-‘Aql
al-Araby (Formasi Nalar Arab). Seri Kritik Nalar Arab I (Beirut:
Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, 1991), cet.V, (ii) Bunyah al-
‘Aql al-‘Araby (Struktur Nalar Arab). Seri Kritik Nalar Arab II (Beirut:
Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 1996), cet. V, (iii) al-‘Aql as-
Siyâsi al-Araby (Nalar Politik Arab). Seri Kritik Nalar Arab III (Beirut:
Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 1995, cet. III, dan (iv) ‘Aql
al-Akhlaq al-Araby (Nalar Etika Arab). Seri Kritik Nalar Arab IV
(Beirut: Markaz Dirasah al-wihdah al-Arabiyah, 2001).
Dalam tetralogi itu, proyek metodologis pemikiran Al-Jabiri
yang terkenal dengan istilah “Kritik Nalar Arab”, terbagi atas dua
model. Pertama, kritik nalar epistemologis. Nalar ini sifatnya spe-
kulatif, yang mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu penge-
tahuan yang berlaku di kalangan umat Islam. Kedua, nalar politik,
yaitu nalar praktis yang melakukan kritik pemikiran dalam bagai-
mana cara umat Islam berkuasa, menguasai, dan mempertahankan
kekuasaan. Persoalan etika masuk dalam nalar kedua karena terkait
dengan perilaku umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Seri Kritik
Nalar Arab I dan II adalah model nalar epistemologis, sedangkan
dua yang terakhir adalah model nalar praktis.34
Dalam bukunya Nah} n u wa at-Turâts: Qira> ’ ah Mu’âs} i rah fi
Tura> tsina al-Falsafi (Kita dan Warisan: Pembacaan Kontemporer

34
Lihat Ahmad Baso, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”,
dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001, 33.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


358 Mohammad Muslih

terhadap Warisan Filsafat Kita)35, Al-Jabiri memetakan perbedaan


prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epis-
temologis filsafat Arab. Menurut Al-Jabiri, muatan epistemologis
filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelek-
tual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang
kedua terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun.36
Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis) sering dipakai Al-Jabiri
dalam studinya tentang Akal Arab. Istilah epistemologi merupakan
kumpulan kaidah berfikir yang siap digunakan dalam berbagai
kondisi kemasyarakatan. Sedangkan, istilah ideologi adalah kondisi
sosial dan politik yang mempengaruhi arah pemikiran setiap tokoh
pada masa dan tempat dia berada. Seorang tokoh bisa saja meng-
gunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan pro-
blematika yang dihadapinya.37
Al-Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural
mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan
untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau
(namu>dhaj salafi).38 Kecenderungan inilah yang menyebabkan wa-
cana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme
(as} âlah). Padahal menurut Al-Jabiry, dalam membangun model
pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi
berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut
Al-Jabiri, tradisi (turâts) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan
kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurna-
an” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri
atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentali-
tas, dan harapan-harapan.39 Tradisi bukan dimaknai sebagai peneri-
maan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas
menjadi sesuatu yang debatable.
Untuk menjawab tantangan modernitas, Al-Jabiri menyerukan
untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem

35
Beirut: Dar ath-Thali’a, 1980.
36
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta:
LKIS, 2001), 64.
37
Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik Akal Arab:
Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”, dalam M. Aunul Abied Shah
(ed.), Islam Garda Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan, 2001),
304.
38
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi..., 65.
39
M. Abied Al-Jabiri, Post Tradisionalisme…., 6.

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 359

yang menurut skema al-Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu:
Pertama, disiplin “eksplikasi” (‘ulum al-bayân) yang didasarkan pada
metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan
memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan me-
nyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui,
apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua,
disiplin gnotisisme (‘ulum al’irfân) yang didasarkan pada wahyu dan
“pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan me-
masukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap
Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, disiplin-disiplin
bukti “inferensial” (‘ulum al-burhân) yang didasarkan atas pada me-
tode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelek-
tual.40 Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani
adalah intuitif, dan metode burhâni adalah empirik, dalam episte-
mologi umumnya.

Hermeneutika, Kritik, dan Dekonstruksi: Model Pembacaan


Kontemporer
Hermeneutika, kritik, dan dekonstruksi tampaknya merupa-
kan konsep kunci dari pemikiran kontemporer saat ini, bahkan
pemikiran filsafat pada umumya. Posisinya sebagai model pembaca-
an meluas sehingga menjadi semacam mode pemikiran (mode of
thought). Disebut sebagai mode pemikiran karena ketiganya telah
menjadi wilayah perenungan tersendiri yang berbeda dengan trend
dan mode pemikiran sebelumnya, pemikiran klasik dan modern,
sehingga terus bermunculan konsep-konsep baru. Dinamikanya
pada wilayah mode pemikiran ini sudah tentu dapat memperkaya
ketiganya sebagai model pembacaan.
Sebagai model pembacaan, hermeneutika, kritik, dan dekon-
struksi memang tidak sama persis, bahkan perbedaan itu juga
tampak pada asumsi atas “bahan” bacaannya. Tetapi ketiganya me-
miliki maksud yang —kurang-lebih— sama, yaitu untuk mendapat-
kan makna lebih dari sekedar yang tampak pada bacaan, mengambil
yang tersembunyi, yang selama ini tak terbaca, bahkan yang seakan
tak mungkin terbaca. Sejalan dengan penekananya pada makna,
ketiganya disibukkan pada pencarian, penelusuran atau penemuan

40
M. Abied Al-Jabiri, Naqd al-‘Aql al-‘arabi, Vol 1, 56-71.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


360 Mohammad Muslih

makna dari teks atau wacana, serta proses produksinya, bukan pada
realitas yang menjadi objek “pembicaraan” teks atau wacana. Yang
terakhir ini juga ciri paling mencolok yang membedakannya dengan
model pembacaan tradisional pada umumnya.
Sebagai model pembacaan kontemporer, kehadiran hermeneu-
tika, kritik, dan dekonstruksi sebenarnya merupakan reaksi dan
kritik atas model pembacaan tradisional dan konvensional yang
mempercayai kekuatan metodologi dan sistem (manhaj) secara rigit.
Artinya, hanya dengan metodologi dan sistem yang tepat, pembaca
dapat mengambil makna dengan tepat pula. Karena bacaan, teks,
wacana, dan pengetahuan pada umumnya, diandaikan terbangun
hanya dengan metodologi dan sistem yang rigit juga. Pandangan
demikian memang cukup populer dan dominan pada pemikiran
modern dengan patok-patok standar ilmiah (scientific) dan pemikiran
klasik dengan kekuatan otoritasnya. Dengan begitu, sisi-sisi personal
dan psikis pembaca, kondisi sosio-kultural dan interest pembaca, dan
kekuatan hegemonik ideologis-politis pembaca, tidak mendapat
dukungan metodologis, sehingga bukan saja perannya diabaikan,
tetapi bahkan peran itu dianggap tidak ada sama sekali.
Hermeneutika bukan hanya menerima peran sisi personal dan
sosial pembaca, tetapi ia bahkan menyediakan dukungan metodo-
logis untuk aspek personal dan sosial itu sebagai bagian tak terpisah-
kan dalam proses pembacaan (dan produksi pengetahuan). Jadi ter-
jadi pertemuan antara subyektifitas pembaca dan obyektivitas teks.41
Sementara “kritik”, lebih jauh lagi, ia memasuki basis ideologis-politis
dan berbagai interest42 di balik produksi teks dan wacana. Sedang
dekonstruksi (bukan destruksi) melakukan pembongkaran terhadap
pemikiran (apapun), yang selama ini diterima begitu saja, dengan

41
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Hans-George Gadamer dan Pengembangan
Ulumul Qur’an dan Pembacaan Al-qur’an Pada Masa Kontemporer, dalam Syafa’atun Almirzanah
dan Sahiron Syamsuddin (editor),Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan
Hadis, (Yogyakarta, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2009), 38-39
42
Sekedar contoh, seperti tampak pada proyek metodologis “Kritik Nalar” Al-Jabiri,
yang terbagi atas dua model, yaitu kritik nalar epistemologis dan kritik nalar politik. Kritik
nalar epistemologis, sifatnya spekulatif, yang mengkaji arkeologi dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Sedangkan nalar politik adalah nalar praktis yang melakukan kritik pemikiran
dalam bagaimana cara berkuasa, menguasai, dan mempertahankan kekuasaan. Lihat Ahmad
Baso, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme Islam”, dalam Jurnal Tashwirul
Afkar, No. 10, Tahun 2001, 33.

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 361

emosional, secara tradisional, tanpa pertimbangan, bahkan tanpa


kesadaran, sehingga semuanya tampak seperti given, natural dan
baku.43 Dengan begitu, dekonstruksi terlibat dalam upaya memba-
ngunkan kesadaran, dengan melakukan penelusuran terhadap ge-
neologi pembentukan wacana, dan menemukan basis-basis kesa-
daran baru.
Ketiganya berangkat dari asumsi bahwa setiap ide, pemikiran,
nalar, atau akal adalah produk budaya yang historis, karenanya
tampil dalam bahasa budaya. Begitu pula budaya, ia ada hanya
karena pertemuan antara pemikiran, ide, atau nalar dengan bahasa
budaya. Dengan demikian, maka bahasa budaya pasti terlahir dari
dialektika antara pemikiran dengan budaya tertentu. Artinya setiap
bahasa mengandung pemikiran dan budaya sekaligus. Maka
membaca bahasa berarti menemukan ide, pemikiran, atau nalar dan
sekaligus menemukan budaya yang memproduksi ide atau nalar
itu. Ketiga hal inilah medan garapan hermeneutika, kritik dan dekon-
struksi. Hanya saja hermeneutika lebih tertarik dengan teks, karena
sifatnya yang interpretable, sementara kritik lebih memusatkan
perhatiannya pada nalar atau pemikiran sebagai wilayah yang tidak
pernah bisa lepas dari bahasa dan budaya, sedangkan dekonstruksi
mengambil wacana sebagai wilayah pembahasannya, seiring dengan
kerangka kerjanya yang terlibat upaya menelusuri proses pem-
bentukan (geneologi) nalar itu. Maka kata kunci ketiganya adalah:
bahasa, nalar, dan budaya. Itulah sebabnya, pembahasan hermeneu-
tika, kritik, dan dekonstruksi, menjadi pembahasan menarik pada
ilmu bahasa (linguistik), filsafat, dan ilmu budaya sekaligus, bahkan
linguistik dan filsafat menjadi bagian dari ilmu budaya.
Munculnya model pembacaan ini sudah tentu menarik banyak
kalangan untuk mengungkap kompleksitas budaya dan problem-
problem kemanusiaan pada umumnya, yang selama belum tersedia
instrumen untuk itu. Berbagai eksperimen dilakukan, tidak hanya
dengan menjajaki kemungkinan lahirnya perspektif baru, tetapi juga
memperluas willayah kajiannya. Beberapa pemikir Islam kontem-

43
Deconstruction (al-tafkik) adalah istilah metodologis untuk menunjuk suatu upaya
penelusuran dari dalam dengan mengungkap aneka ragam aturan yang sebelumnya tidak
tampak dan tidak dikatakan dalam teks, l’impense (yang tidak pernah terpikirkan), l’impensable
(yang tidak mungkin terpikirkan), dan le pense (yang dapat dipikirkan), lihat Mohammed
Arkoun, al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, Hasyim Shalih (pent.), (Beirut: Markaz al-
Inma’ al-Qawmi, 1987), h. 23.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


362 Mohammad Muslih

porer, umumnya menerapkannya untuk pembacaan turâts atau kha-


sanah intelektual Islam klasik, bahkan ada pula yang coba menerap-
kannya ke pembacaan terhadap kitab suci. Yang terakhir ini
berangkat dari asumsi bahwa al-Qur’an itu berbahasa Arab. Sebagai
bahasa, tentu mengandung makna (ide, gagasan). Tak ada bahasa
yang mengandung makna, jika tidak dilahirkan dari budaya. Dari
sinilah lahir kajian seputar konsep teks (nass), konsep tanzil, konsep
qira’ah, “asbab al-nuzul”, dll., yang semuanya dikembangkan untuk
membuktikan bahwa al-Qur’an juga teks budaya. Berbagai upaya
itu sudah tentu mengalami banyak kesulitan, tidak hanya karena
berangkat dari asumsi yang lain (yang mana, untuk ini hanya menjadi
kajian elit, karena sifatnya yang filosofis dan ushûly), tetapi juga ke-
sulitan pada wilayah metodis, yang terkait soal logika dan meto-
dologi dalam beristinbat.
Sama dengan pembacaan tradisional, pembacaan kontemporer
mengakui bahwa suatu teks atau wacana dapat saja kaya makna
atau dapat pula miskin makna, namun berbeda dengan pembacaan
tradisional yang mengandaikan intensitas (kaya-miskinnya) makna
itu berada dalam teks, sedang dalam pembacaan kontemporer, kaya
atau miskinnya makna itu sangat ditentukan oleh kaya-miskinnya
perspektif si pembaca. Artinya, pembaca hanya akan dapat me-
ngambil makna sesuai dengan kapasitas dan kualitas pembacaannya.
Suatu teks atau tulisan hanya berupa kumpulan bunyi-bunyian atau
kumpulan kata-kata, jika pembaca tidak memiliki sensitivitas dan
taste apapun. Sensitivitas dan taste pembaca menjadi sedemikian
penting untuk membuat teks menjadi lebih hidup. Singkatnya, teks
hanya terbaca bagi orang-orang yang bisa baca. Sebesar apa
sensitivitas dan taste pembaca, sebesar itu pula makna yang didapat.
Persoalannya, bagaimana menumbuhkan sensitivitas dan taste
pembaca yang dengan itu, pembaca akan memiliki kekayaan
perspektif? Di sinilah ilmu-ilmu modern menjadi sedemikian
penting perananya sebagai alat bantu baca, seperti ilmu fonologi,
semiotika, simantik, logika dan filsafat, psikologi, sosiologi, sejarah,
antropologi, ilmu politik, dll.44 Sebagaimana diketahui, fonologi
merupakan ilmu yang membahas bunyi (pada kata) dan perubahan-
nya, yang dengan perubahan itu, pada akhirnya diketahui, berakibat
pada perubahan makna. Ilmu semiotika adalah ilmu yang berbicara
44
Bandingkan misalnya dengan Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa
Bahasa dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN-Malang Press, 2006), 65-66.

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 363

tetang sistem tanda, sehingga ada signified (petanda) dan signifier


(penanda). Sehingga makna kata, umpamanya, bukan ada pada
untaian huruf-hurufnya, tetapi pada apa yang ditunjuk atau ditandai
oleh kata itu. Dan, fakta menunjukkan bahwa problem signified
(petanda) dan signifier (penanda) itu bukan hanya pada wilayah
bahasa saja tetapi juga pada kehidupan sosial dan budaya pada
umumnya, sehingga semiotika juga menjadi wiayah kajian ilmu
antropologi yang sangat menarik. Ilmu simantik bicara sistem struk-
tur, awalnya memang struktur kata dan kalimat, tetapi berkembang
ke struktur sosial dan budaya juga. Konsep kuncinya berkisar antara
parole dan langue. Parole adalah kata, kalimat atau gaya (hidup) yang
bersifat personal, yang dibuat secara sembarangan (arbitrary)
sehingga terkesan asing, aneh, atau lucu bagi orang lain. Sementara
langue adalah kata, kalimat atau gaya hidup yang sudah terstruktur
dalam kesadaran masyarakat pada umumnya, sehingga sudah
dimengerti maksudnya, posisinya, dan eksistesinya.
Logika dan filsafat sudah tentu untuk mengetahui kedalam
pemikiran yang dikandung dalam bahasa dan budaya tertentu.
Psikologi untuk melihat situasi kejiawaan baik personal maupun
sosial. Sedangkan ilmu sosiologi, sejarah, antropologi, dan ilmu
politik, kesemuanya untuk melihat fakta dan peristiwa benar-benar
sebagai human and sosial construction, yang sifatnya historis, sehingga
ada dinamika, ada tarik ulur, ada continuity and change, ada kepenti-
ngan, ada tradisi, dan ada faham dan ideologi, dan lain sebagainya.
Beberapa ilmu tersebut, untuk menyebut beberapa di ataranya,
sudah tentu merupakan disiplin ilmu modern yang relatif baru, dan
saat ini juga telah berkembang sedemikian rupa dengan temuan
teori-teori yang baru. Meski demikian tidak bisa dikatakan, peng-
gunaan ilmu-ilmu ini sebagai perspektif dalam membaca khasanah
Islam klasik sebagai satu bentuk infiltrasi. Sehingga penggunaan
sosiologi hukum sebagai bagian dari perangkat istinbath hukum
bukanlah pemaksaan. Sosiologi hukum memang satu disiplin ilmu
baru, namun nalar sosiologis sudah diletakkan dasar-dasarnya oleh
para ulama dan para fuqaha. Demikian juga ilmu-ilmu yang lain
tadi. Jika para ulama dan para fuqaha tampak seperti tidak meng-
gunakan nalar sosiologi, itu bukan berarti mereka benar-benar tidak
ada kepekaan sosiologis dalam melahirkan produk hukumnya,
tetapi, dari perspektif pembacaan kontemporer, sekali lagi, karena
pembaca, kita, tidak memiliki sensitivitas dan taste sosiologis.

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


364 Mohammad Muslih

Penggunaan ilmu-ilmu modern dengan segala teori temuan-


nya untuk memperkaya perspektif seperti itu, jelas merupakan ciri
utama dari model pembacaan kontemporer yang berbeda dengan
model pembacaan tradisional yang umumnya steril dari ilmu-ilmu
tersebut.
Corak pemikiran semacam ini cepat atau lambat akan ber-
pengaruh terhadap corak studi Islam. Ilmu-ilmu keislaman yang
dikenal dengan al-dirâsah al-Islâmiyah jelas lahir dari kandungan
turâts. Dalam perspektif tradisional, al-dirâsah al-islâmiyah dibaca
secara harfiyah, tanpa diskusi. Sementara dalam pembacaan moder-
nis atau reformis, al-dirâsah al-islâmiyah harus dibaca secara rasional,
makanya harus memasukkan lebih banyak aspek rasionalitas dan
sedikit banyak membuang yang tidak rasional. Tidak sebagaimana
perspektif modernis, apa saja yang datang dari Barat diterima tanpa
kritik, bahkan dianggap pasti baik dan benar. Dalam pembacaan
kontemporer (qirâ’ah mu’âs}irah), h}adâtsah juga harus dibaca secara
kritis, dengan kritik, dengan mengambil jarak, juga untuk mem-
bongkar basis filosofis dan ideologisnya. Demikian juga turâts, ia
tidak hanya dibaca secara harfiah tetapi sampai pada basis pem-
bentuknya untuk menemukan makna potensial sehingga bisa
ditransformasikan di zaman kini.
Maka problem Studi Islam era kontemporer adalah bagaimana
“bermain seni” melakukan balancing bagi pertemuan atau perpaduan
antara dirasah islamiyah yang lahir dari nalar turâtsina al-qadim itu
dengan sains-teknologi modern yang lahir dari “perut” hadâtsah.
Memasuki diskursus ini tentu langkah maju bahkan sebagai ujud
dari kesadaran baru dan bisa dikatakan sebagai “mega proyek” ke-
ilmuan. Jika di era dirasah islamiyah (studi Islam in the old fashion),
dua tradisi itu tidak pernah saling sapa, kemudian di era islamic studies
sudah mulai ada kontak, sekalipun tetap berada pada kesalingcuri-
gaan. Sementara Studi Islam Kontemporer mencoba melakukan dia-
log (belum integrasi) antara dua tradisi besar itu: turâts dan h}adâtsah.

Penutup
Kekalahan politik Arab-Islam oleh Barat pada tahun 1967, telah
dilihat pemikir muslim sebagai kekalahan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bahkan kekalahan peradaban. Limadha taakhkhara al-
muslimun wa taqaddama ghairuhum, demikian kegelisahan mereka

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 365

bisa dibahasakan. Keprihatinan terhadap warisan budaya, tradisi atau


turats telah menimbulkan kesadaran baru agar bisa ditransformasikan
ke massa kini, agar terus aktual dan bisa menyelesaikan masalah
kontemporer. Demikian juga rasionalitas, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang lahir dari modernitas (h}ada> t sah) dipayakan bisa
dimanfaatkan untuk kemajuan dan menyelesaikan masalah
kontemporer. Jika selama ini, turats dan hadatsah diposisikan secara
vis a vis, sekarang keduanya diperlakukan dan dibaca secara kritis,
untuk menemukan otentisitas (al-as}a > lah) dan struktur terdalam
(bunyah), dalam rangka membangun basis ilmu pengetahuan dan
juga basis dari bangunan peradaban yang kokoh.
Maka gelegar pemikiran Islam kontemporer umumnya
menjadikan episteme, nalar, ‘aqal, khitab, atau paradigma yang
dimengerti sebagai basis tumbuh-kembangnya ilmu dan tradisi,
dijadikan sebagai objek pemikiran mereka. Sudah tentu upaya ini
berangkat dari asumsi bahwa tradisi (turats) dan modernitas
(hadatsah) adalah bersifat historis, bukan natural apalagi given, dan
untuk itu, mereka terus membuktikannya. Perangkat metodologis
yang digunakan untuk menelusuri dan memasuki relung-relung
sejarah itu adalah keilmuan linguistik, filsafat, dan ilmu budaya.
Kritik (critique, naqd), hermeneutik, dan dekonstruksi
(deconstruction, tafkik), masing-masing merupakan spisies dari akti-
vitas membaca (qira>’ah), sekaligus merupakan sistem metodologis
dari kerja ilmiah. Ketiganya dimaksudkan untuk membaca sesuatu
bacaan, yang dalam pembacaan tradisional dan pembacaan modern
tak terbaca, untuk mengambil makna lebih dari sekedar yang
tampak, yang harfiah. Inilah model pembacaan kontemporer
(qirâ’ah mu’âs}irah) itu secara sederhana bisa disimpulkan. Kritik
adalah membaca ‘aqal, reason, episteme, khitâb dan discourse, untuk
menemukan struktur pikir, atau pola pikir di balik bangunan keilmu-
an, filsafat, budaya, dan peradaban. Hermeneutik adalah model
membaca yang memusatkan perhatiannya pada teks, dan apa saja
yang interpretable dengan memberikan dukungan metodologis pada
adanya communication area antara maksud teks, author, dan reader,
baik dari aspek sosiologis, antropologis, maupun ideologis-politis.
Sementara dekonstruksi itu model membaca yang bergumul pada
wacana (discourse) dengan menerobos kebakuan dan kebekuan
makna oleh kekuasaan. Hiruk pikuk, bahkan pro kontra dinamika
Studi Islam di era kontemporer ini pada dasarnya dipengaruhi oleh

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


366 Mohammad Muslih

masuknya perangkat-perangkat metodologis Pemikiran Islam


kontemporer itu, baik sebagai mode pemikiran maupun sebagai
model pembacaan.[]

Daftar Pustaka
Adonis, “Khawatir Hawl Mazahir al-Takhalluf al-Fikri fi al-Mujtama‘
al-‘Arabi,” al- dab, no. 5, May 1974.
Al-‘Arwi, ‘Abdullah, Ayduyulujiyyah al-‘Arabiyyah al-Mu‘asirah,
(Beirut: Al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1999).
Al-‘Azm, Sadiq Jalal, al-Naqd al-Dhâti ba‘d al-Hazimah, (Beirut: Dar
al-Fala‘ah, 1969
Al-Fajjari, Mukhtar, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhammad Arkoun,
(Dar al-Thali’ah).
Al-Jabiri, Abied, al-Tura> ts wa al-H}ada> tsah. (Beirut, Al-Markas al-
Tsaqafi al-Arabi, 1991).
Al-Jabiri, Abied, Nah}nu wa Turats: Qirâ’ah Mu’âshirah fi Turâtsina
al-Falsafi, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1993).
Al-Jabiri, M. Abied, Post Tradisonalisme Islam, (peny. Ahmad Baso),
(Yogyakarta: LKIS, 2000), p. xxxii.
Al-Jabiri, Mohammed Abied, Takwîn al-’Aql al-’Arabi, (Beirut:
Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2002);
Binyah al-’Aql al-’Arabi, (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah
al-’Arabiyyah, cet. VIII, 2004)
Al-Jabiri, Muhammad Abied, Nahnu wa al-Turats (Al-Dar al-Bayda’:
Al-Markaz al-Thaqafi al-’Arabi, 1983).
Al-Qaradawi, Yusuf, Dars al-Nakbah al-Tsaniyah: Limadha
Inhazamna wa Kayfa Nantasir (Al-Qahirah, 1987).
Al-’Ulwani, Taha Jabir, Islah al-Fikr al-Islami (Virginia: Al-Ma’had
al-’Alami li al-Fikr al-Islami).
An-Na’im, Abdullah Ahmad, Towards an Islamic Reformation
(Syracuse: Syracuse University Press, 1990)
Arkoun, M. dan Louis Gardet, Islam Kemarin dan Hari Esok,
(Bandung: Pustaka, 1997).
Arkoun, Mohammad, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa
Nafhamu al-Islam al-Yawm?, (Dar al-Thali’ah).

Jurnal TSAQAFAH
Pemikiran Islam Kontemporer... 367

Arkoun, Mohammed, al-Fikr al-Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah, Hasyim


Shalih (pent.), (Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1987).
Arkoun, Mohammed, Tarikhiyyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, (Beirut:
Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1986). Diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia oleh Rahayu S. Hidayat dan diberi judul Nalar
Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru
(Jakarta: INIS, 1994).
Baso, Ahmad, “Neo-Modernisme Islam Versus Post-Tradisionalisme
Islam”, dalam Jurnal Tashwirul Afkar, No. 10, Tahun 2001.
Boullata, Issa J., Dekonstruksi Tradisi, Gelegar Pemikiran Arab Islam
(Yogyakarta: LKIS, 2001).
Boullata, Issa J., Trends and Issues in Contemporary Arab Thought.
(SUNY, 1990).
Dekmejian, R. Hrair, Islam and Revolution: Fundamentalism in the
Arab World (Syracuse, New York: Syracuse University Press,
1985).
Foucault, Michel, The Order of Think: An Archeology of Human
Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Hanafi, Hasan, al-Turath wa al-Tadid, (Al-Qahirah: Maktabah Anjlu
Misriyyah, 1987).
Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, Translated by JMD.
Meiklejohn, (New York: Prometheus Books, 1990)
Kuhn, Thomas S., The Structure of Scientific Revolution, (Chicago:
The University of Chicago Press, 1970).
Misrawi, Zuhairi, “Dari Tradisionalisme Menuju Post-Tradisionalisme
Islam, Geliat Pemikiran Islam Arab”, dalam Jurnal Tashwirul
Afkar, No. 10, Tahun 2001, pp. 58-59.
Nasur, Adib, al-Naksah wa al-Khatif’, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi,
1968).
Rahardjo, Mudjia, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam
Wacana Politik Gus Dur, (Malang: UIN-Malang Press, 2006).
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982).
Shah, Muhammad Aunul Abied dan Sulaiman Mappiasse, “Kritik
Akal Arab: Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik

Vol. 8, No. 2, Oktober 2012


368 Mohammad Muslih

Al-Jabiri”, dalam M. Aunul Abied Shah (ed.), Islam Garda


Depan, Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (Bandung: Mizan,
2001).
Sharabi, Hisham, Al-Nizam al-Abawi wa Ishkaliyah Takhalluf al-
Mujtama’ al-‘Arabi, (Bayrut: Markaz Dirasat Wahdah
‘Arabiyyah, 1993)
Sulayman, Abdul Hamid Abu, The Criris of Muslim Mind, terj. Yusuf
Talal Larenzo (Virginia: International Institute of Islamic
Thought, 1991).
Syahrur, Muhammad, Al-Kitâb wa al-Qur’an: Qirâ’ah Mu’âshirah,
(Kairo: Sina li al-Nasyr, 1992).
Syamsuddin, Sahiron, ”Hermeneutika Hans-George Gadamer dan
Pengembangan Ulumul Qur’an dan Pembacaan Al-qur’an
Pada Masa Kontemporer”, dalam Syafa’atun Almirzanah dan
Sahiron Syamsuddin (editor),Upaya Integrasi Hermeneutika
dalam Kajian Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta, Lembaga
Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2009).
Talhami, Ghada, “An interview with Sadik Al-Azm - University of
Damascus professor - Interview,” Arab Studies Quarterly (ASQ).
Summer, 1997. FindArticles.com. 11 Jun. 2007. http://
findarticles.com/p/articles/mi_m2501/is_n3_v19/ai_20755838.
Wahbah, Nakhlah, “Ittijahat al-Mufakkirin al-‘Arab awl al-Hazimah
1967,” al-Mustaqbal al-‘Arabi, Vol. 9, no, 88, June 1986, p. 18-
39.
Wijaya, Aksin, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar
Tafsir Gender (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004).
Zayd, Nasr Hamid Abu, Naqd al-Khitab al-Dini, (Qahirah: Maktabah
Madbuli, 1990).

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam:
Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
Nirwan Syafrin
International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur
Email: nirwan_syafrin@yahoo.com

Abstract
Islamic Jurisprudence is a knowledge on the practical Islamic law based
on its detailed approve concerning with the deeds of human. This article
discusses on the position of Jurisprudence in relation with two different functions,
indeed as a positive law and moral standard. In order to derive the Islamic law
from its primary sources, al-Qur’an and the Sunnah, Islamic Jurisprudence
needs theoretical tool and methodology which commonly named as the Principle
of Islamic Jurisprudence. So the Islamic Jurisprudence is considered as Islamic
epistemology which stands as the basis of the development of Islamic
Jurisprudence as a knowledge. As the basis of epistemology, the principle of
Islamic Jurisprudence is closely related to theology. Furthermore, this knowledge
develops a principle on adillah which its foundation has been constructed by
Syafi’i, indeed al-Qur’an, the Sunnah, Ijma’ and Qiyas. Since constructed by Syafi’i,
this Principle of Islamic Jurisprudence has some changes and innovations. This
innovation has been in the long duration of time with complicated problems
and helped the ummah to solve the problems.

Keywords: Kalam, adillah, istidlal, ijma’, qiyas

Pendahuluan

F
iqh menempati posisi penting dalam peta pemikiran Islam. Ia
merupakan salah satu produk par excellence yang pernah
dihasilkan peradaban Islam; ia bukan hasil adopsi apa lagi
jiplakan dari Hukum Romawi (Roman Law) seperti dikatakan
sebagian orientalis, tapi murni hasil kreativitas intelektual Muslim
yang sepenuhnya berakar pada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


228 Nirwan Syafrin

saw.1 Begitu pentingnya fiqh ini, sampai ada yang mengatakan


andaikan saja peradaban Islam bisa diungkapkan dengan salah satu
produknya, maka kita akan menamakannya sebagai “Peradaban
Fiqh”, sebagaimana Yunani diidentikkan dengan “Peradaban
Filsafat”.2 Joseph Schacht menyatakan adalah sebuah truism untuk
mengatakan Islam sebagai agama hukum.3 Menurut H.A.R. Gibb
hukum Islam (fiqh) adalah “the epitome of the true Islamic spirit, the
most desicive expression of Islamic thought, the essential kernel of Islam.4
Disebabkan oleh itu, banyak peneliti Islam yang berkesimpulan
tidak mungkin untuk memahami Islam dengan baik tanpa penge-
tahuan komprehensif tentang fiqh.5
Dalam makalah ini penulis mencoba mengekplorasi bagai-
mana konstruk epistemologi Islam, melalui satu telaah dalam bidang
fiqh dan usul fiqh. Pemahaman terhadap masalah ini sangat penting,
mengingat saat ini begitu banyak kalangan yang menyerukan perlu-
nya pambaruan dalam bidang fiqh dan usul fiqh akibat mem-

1
Profesor Bernard Weiss menulis “The refusal to accord to law an autonomous textual
basis created in Muslims an attitude which made it impossible for them to embrace Roman law...what
is important here is that Roman law could not be formally received into Islam: that was impossible.”
Bernard Weiss, “Law in Islam and in the West: Some Comparative Observation”, dalam
Wael B. Hallaq and Donald P. Little (eds.), Islamic Studies Presented to Charles J. Adams
(Leiden: E.J. Brill, 1991), p. 245. Muhammad ‘Abid Al-Jabiri mengatakan apapun usaha yang
dilakukan untuk mengaitkan fiqh Islam dengan hukum Roman hanya akan sia-sia saja.
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-
‘Arabiyyah, 1989), p. 96.
2
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, p. 96.
3
Joseph Schacht, “Theology and Law in Islam”, dalam G.E. von Grunebaum (ed.),
Theology and Law in Islam, (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1969); p. 3. Jauh sebelum
Schacht, Hurgronje, orientalis kawakan asal Hungaria, juga pernah menyatakan pernyataan
yang sama: “Islam is a religion of law in full meaning of the word.” Lihat G-H. Bosquet dan
Joseph Schact (eds.), Selected Works of C. Snouck Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957), p. 48.
4
H.A.R. Gibb, Mohammadenism (London: 1949), p. 106. Pernyataan ini mulanya
diungkapkan oleh Bergstrasser. Kemudian dikutip oleh Gibb, dan selanjutnya dipopulerkan
oleh Joseph Schacht dalam bukunya An Introduction to Islamic Law. Schacht menuliskan
“Islamic laa is the epitome of Islamic thought, the most typical manifestation of the Islamic
way oflife, the core and kernel of Islam itself.” An Introduction to Islamic Law (Oxford:
Clarendon Press, 1984), p. 1. lihat juga idem, “Islamic Religious Law”, dalam Joseph Schacht
dan Charles E. Bosworth (eds.), The legacy of Islam (Oxford: Clarendon Press, 1974), p. 392.
5
Wilfred Cantwell Smith, “The Concept of Shari‘a Among Some Mutakallimin”,
dalam George Makdisi (ed.), Arabic and Islamic Studies in Honor of Hamilton A.R. Gibb
(Leiden: E.J. Brill, 1965). Daniel S. Lev menulis: “but for many devout Muslims, traditionalist
and modernist, Islam without Law is imaginable”. Islamic Courts in Indonesia (Berkeley:
University of California Press, 1972), p. 228; Joseph Schacht, “Theology and Law in
Islam”, p. 3.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 229

banjirnya serbuan ilmu-ilmu sosial Barat. Kita dituntut untuk tidak


terburu-buru menolak yang baru dan juga tidak latah meninggalkan
khazanah keilmuan Islam klasik, sebelum memahaminya dengan
baik.

Kedudukan Fiqh dalam Pemikiran Islam


Bagi umat Islam, fiqh adalah perwujudan (embodiement)
kehendak Allah terhadap manusia yang berisi perintah dan larangan.
Oleh sebab itu, pelaksanaan hukum-hukum fiqhiyyah dianggap
sebagai bentuk ketundukan kepada Allah; ia adalah manifestasi
eksoterik keimanan. Fiqh bukan hanya mengatur hal-hal yang ber-
hubungan dengan ritual semata, tapi juga seluruh aspek kehidupan
manusia dari mulai hubungan pribadinya dengan dirinya sendiri,
dengan Tuhannya, keluarganya, lingkungan masyarakatnya serta
dengan orang yang di luar agama dan negaranya.6
Para ulama mendefiniskan fiqh sebagai “pengetahuan tentang
hukum syara‘ praktis beserta dengan dalil-dalilnya yang terperinci
berkenaan dengan perbuatan manusia”7 Definisi ini menunjukkan
bahwa yang menjadi objek kajian fiqh adalah perbuatan manusia,
mengenai haram atau halal, wajib atau mubah, dan sebagainya. Ke-
hadiran hukum seperti ini mutlak diperlukan oleh manusia. Karena
ia dapat menjamin dan melindungi masyarakat dari keonaran dan
kekacauan. Sebab manusia pada dasarnya, kata Ibn Khaldun, adalah
“domenieering being” yang punya ambisi dan kecendrungan untuk

6
Muhammad Mustafa Imyani menyebutkan sebelas bahasan pokok fiqh yaitu, ‘Ibadat,,
Mu‘amalat, hukum keluarga, hukum makanan dan minuman, hubungan internasioanl pada
masa perang dan aman, hudud dan jinayat, kehakiman (judicial/al-qad}a’> ), sumpah (al-Ayma>n),
hukum tentang hamba, hukum tentang pelombaan dan permainan, dan terakhir hukum yang
bersangkutan dengan kematian. Lihat “Al-Dirasat al-Fiqhiyyah”, dalam Al-Dirasat al-
Islamiyyah, silsilah al-nadwat (Al-Qahirah: Dar al-Fikr, 1981), p. 143-146. Bandingkan dengan
‘Umar Sulayman al-Ashqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982), p. 19-
21.
7
‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Us}ul al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968), p. 22. Para
‘ulama berbeda pendapat tentang ketepatan penggunaan perkataan ‘ilm dalam definisi ini.
Sebagian menolaknya dengan alasan bahwa perkataan ‘ilm berkonotasi ‘pasti dan yakin (al-
qat}‘i)’, padahal kebanyakan hukum fiqh bersifat d}anni. Oleh sebab itu Abu Isha>q al-Syira>zi
mengusulkan menggunakan perkataan ma‘rifah al-ahkam. Abu Ishaq Ibrahim al-Syirazi (w.
393), Syari al-Luma’, diedit oleh ‘Abdul Majid al-Turki (Bayrut: Dar al-Gharb al-Islami, 1989)
1. p. 158-9. Seperti Syirazi, Hadr al-Syari‘ah (w. 747) juga berpendapat sama. Menurutnya
fiqh adalah “ma‘rifah al-nafs ma laha wa ma ‘alayha”. Al-Talqih Syari al-Tanqih, diedit oleh
Najm al-Dan Muhammad al-Warkani (Bayrut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 2001), p. 26.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


230 Nirwan Syafrin

menguasai dan menaklukkan orang lain serta memaksa mereka


tunduk dan patuh kepadanya. Bila sifat ini tidak dikekang maka ia
akan mencetuskan konflik dan peperangan.8
Dalam Islam fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai
hukum positif dan kedua sebagai standar moral. Yang dimaksudkan
sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqh berfungsi seperti
hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia
mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi
perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqh mendapat
justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubÉÍ,
makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan harampun tidak bisa
sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqh lebih me-
rupakan etika atau moral. Jadi, disini fiqh memainkan fungsi double,
sebagai hukum positif dan moral. Aspek inilah yang membedakan
secara prinsip konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat.
Dalam Islam “etik dan agama menyatu dengan aturan-aturan
hukum positif.”9 “the ideal code of behaviour which is the Syari‘ah has
in fact a much wider scope and purpose than a simple legal system in the
Western sense of them. Jurisprudence ... is also a composite science of law
and morality”. 10 Mungkin atas sebab inilah Robert Brunschvig
menyebut hukum Islam dengan “ethico juridical”.11 Berbeda dengan
di Barat di mana hukum positif tidak mungkin menyatu dengan
hukum moralitas, meskipun keduanya menyentuh lahan pem-
bahasan yang sama.12 Bagi mereka “law that is not humanly enacted
and recognized, and whose observance is not ascertainbale by human
faculties, is not law.”13
Perlu ditekankan bahwa fiqh bukan syari‘ah. Syari‘ah lebih
luas dari sekadar hukum saja; ia mencakup fiqh, ‘aqidah, dan juga
akhlak. Karakteristik utama Syari‘ah adalah bersifat permanen dan

8
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George Allen and
Unwin Ltd, 1957), p. 178 dan 193.
9
Fyzee, A Modern Approach to Islam (Bombay: Asia Publishing House, 1963), p. 31.
10
N. J. Coulson, A History of Islamic Law (Edindurgh: Edinburgh University Press,
1978), p. 83.
11
Robert Brunschvig, “Logic and Law in Classical Islam,” dalam G. E. von
Grunebaum (ed.), Logic in Classical Islamic Culture (Weisbaden: otto Harrasowitz, 1970), p. 9.
12
Bernard G. Weiss, “Introduction”, dalam Bernard G. Weiss, The Search for God’s
Law (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992), p. 7
13
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and Orientalists (Lahore: Islamic
Publications (Pvt) LTD, 1994), p. 245.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 231

tidak akan pernah berubah. Sementara fiqh bersifat relatif dan


fleksible; ia dapat berubah seiring dengan peredaran waktu; ia
merupakan produk ijtihad ‘ulama. Tapi ini bukan berarti bahwa
fiqh karya pemikiran semata; ia masih berkait erat dengan Syari’at.
Ketika seorang mujtahid benar dalam ijtihadnya, artinya tepat dan
sesuai dengan hukum Allah, ketika itu fiqh disebut syari’at. Hanya
ketika dia salah fiqh tetap menjadi fiqh. Dalam konteks ini juga kita
harus memahami bahwa tidak semua masalah fiqhiyyah masuk
dalam kategori berubah seperti wajibnya salat, puasa, zakat, dan
haji serta haramnya riba, zina, mencuri, dan membunuh. Semua
ini masuk dalam pembahasan fiqh tapi sudah menjadi bagian
syari’ah, oleh sebab itu ia bersifat permanen. Sebagaimana Syari‘ah
yang bersumberkan dari al-Qur’an dan Sunnah, demikian juga fiqh,
berlandaskan kepada kedua sumber primer Islam ini. Oleh sebab
itu Fiqh yang bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan Sunnah
tidak bisa dikategorikan fiqh Islami. 14 Untuk dapat menderivasi
hukum dari sumber primer, fiqh memerlukan perangkat teoretik
atau metodologi, yang biasa disebut usul fiqh.

Us}ul Fiqh dan Epistemologi Islam


Sebagai sebuah ilmu yang diderivasi dari al-Qur ’an dan
Sunnah, fiqih memerlukan kerangka teoretik atau metodologi ber-
pikir yang disebut usul fiqh. Usul fiqh adalah “pengetahuan tentang
dalil-dalil fiqh secara umum, cara mempergunakanya, serta penge-
tahuan tentang orang yang menggunakan dalil-dalil tersebut.”15 Ia
begitu penting dalam menderivasi hukum. Fungsi dan perannya
mirip logika dalam filsafat. Jika logika dapat menghindarkan sese-
orang melakukan kesalahan (fallacies) dalam berargumentasi, maka
usul fiqh mencegah seorang faqih berbuat kesalahan dalam men-
derivasi hukum”.16 Sehingga tidak berlebihan jika para ‘ulama mene-

14
Untuk keterangan lanjut tentang perbandingan fiqh dan syari’ah lihat ‘Umar Sulayman
al-Asyqar, Tarikh al-Fiqh al-Islami, p. 17-19.
15
Jamal al-Din ‘Abd al-Rahim bin al-Hasan al-Asnawi (w. 772), Nihayah al-Suwl fi
Shari Minhaj al-Usul (w. 685), (Bayrut: ‘Alam al-Kutub, t.t),vol.1, 5. Para ‘ulama mendefinisikan
‘ilm ini secara variatif.. Baqillani menyebutnya sebagai “dasas pokok ilmu tentang hukum
perbuatan mukallaf”, lihat, Al-Taqrib wa al-Irsyad, 1:172. Sementara itu, Imam al-Haramayn
mendefinisikannya sebagai “dalil-dalil fiqh” saja, Al-Burhan, p. 8.
16
‘Ali Sama al-Nasysyar, Manahij al-Bahth ‘Inda Mufakkir al-Islam (Qahirah: Dar al-
Ma‘arif, 1966), p. 64-65.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


232 Nirwan Syafrin

tapkannya sebagai salah satu prasyarat terpenting yang mesti dimiliki


oleh seorang mujtahid.17
Peran usul fiqh dalam penetapan hukum-hukum fiqh tidak
terlepas dari ketokohan Imam Syafi‘i, peletak dasar-dasar ilmu ini.18
Kemiripan usul fiqh dengan logika dapat dibaca dari statement
Fakhruddin al-Razi yang menyamakan Syafi‘i dengan Aristotle.19 Jasa
besar Syafi‘i sebenarnya terletak pada keberhasilannya mentrans-
fomasikan usul fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu.20 Ada yang menya-
makannya seperti Descartes. Kalau Descartes meletakkan dasar
epistemologi pemikiran Barat, Syafi‘i meletakkan fondasi dasar
pemikiran Islam.21
Proses lahirnya ilmu usul fiqh tidaklah secara tiba-tiba. Akarnya
dapat ditelusuri pada nabi dan juga Sahabat. Sebagaimana fiqh telah
muncul seiring dengan lahirnya Islam,22 demikian juga dengan usul
fiqh. Terbukti Nabi sendiripun berijtihad, begitu juga Sahabat. Para
sahabat terkadang juga menggunakan qiyas, istih}sa>n, dan metode-
metode lain yang pada gilirannya dikenal dengan adillah. Seperti
Sahabta, para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in juga mempergunakan prinsip-
prinsip dasar ijtihad tadi, hingga sampai kepada Syafi‘i. 23 Syafi‘i

17
Lihat misalnya Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syawkani (w. 1255), Irsya>d
al-Fuh}u>l ila> Tah}qiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}u<l, diedit oleh Ahmad ‘Abd al-Salam (Bayrut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah,1994), p. 373.
18
Abu Zakariyya Muhy al-Din bin Sharf Al-Nawawi (W .676), Tahdhib al-Asma’ wa
al-Lugha>t (Mesir: Idarah al-Tiba‘ah al-Muniriyyah, t.t), 1: 49; Abu al-Fala ‘Abd al-Hayy bin al-
‘Imadi al-Hanbali (d. 1089), Syadhara>t al-Dhahab fi Akhba>r man Dhahab (Bayrut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, n.d), 2:10; Abu al-‘Abbas Shams al-Din Ahmad bin Muhammad bin Abu
Bakr bin Khalkan, Wafaya>t al-‘A’ya>n wa Anba> ‘u Abna’ al-Zama>n, ed. Ihsan ‘Abbas (Qum:
Mansyurat al-Rida, 1342), 4:165. Belakangan ini beberapa penulis meragukan pendapat ini.
Ahmad Hasan misalnya menulis “the claim that Shafi‘i was the first legal thinker who introduced
the principles of law would not seem to be correct.” Ini berdasarkan keterangan Ibn Nadim yang
menyatakan bahwa Imam Syaybani dan Abu Yusuf juga memiliki buku yang berjudul Usul
Fiqh. Bahkan ada pendapat yang mengatakan Wahil bin ‘Ata’ lah orang yang pertama sekali
menulis tentang usul fiqh.Ahmad Hasan, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad,
Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic University, 1994), p. 179ff.
19
Fakhr al-Din al-Razi, Mana>qib al-Imam al-Syafi‘i (Bayrut: Dar al-Jil, 1413/1993), p.
146.
20
Muhammad Jamal Barut, “Al-Ijtihad bayn al-Nas} wa al-Waqi‘,” in Ahmad Raysani
and Muhammad Jamal Barut , Al-Ijtiha>d: al-nas}, al-waqi‘, al-mas}lah}ah (Bayrut: Dar al-Fikr al-
Mu‘a>s}ir & Dimashq: Dar al-Fikr, 2000), p. 77-78.
21
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, p. 100.
22
‘Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, p. 15.
23
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz Rosenthal
(New York: Pantheon Books, 1958), vol. 3, 24. Lihat juga misalnya ‘Abd al-Wahhab Ibrahim

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 233

kemudian mensistemasikan pola pikir ijtihadi ini dalam mognum


opus-nya yang kemudian dinamai dengan al-Risalah, Sejak saat itulah,
usul fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tercatat didirikan. Kata N.J.
Coulson, teori usul fiqh Syafi‘i “was an innovation whose genius lay
not in the introduction of any entirely original concepts, but in giving
existing ideas a novel connotation and emphasis and welding them
together within a systematic scheme.”24 Dengan nada yang sama Joseph
Schacht berkomentar bahwa Risalah Syafi‘i adalah “a magnificently
consistent system and superior by far to the doctrines of ancients schools
of law”.25 Bahkan ada yangmenilai usaha Syafi‘i ini bukan hanya
sekedar sistematisasi tapi juga sebagai upaya rasionalisasi pema-
haman terhadap hukum Islam.26
Usul fiqh adalah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip
epistemologi, bukan sekedar metodologi penderivasian hukum. 27
Masalah qat{‘i dan Z}anni, syakk dan wahm, mutawatir dan ahad, misal-
nya adalah merupakan beberapa contoh yang sangat kental muatan
epistemologinya, sebab disitu menyangkut persoalan sumber ilmu,
validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Secara epistemologis qat{‘i
berarti pasti, yakin, dan tidak mengandungi keraguan dan tidak
mungkin dipertanyakan. Berbeda dengan Z}anni yang berkemung-
kinan salah dan benar, tidak pasti seperti qat{‘i. Untuk menentukan
apakah ilmu tersebut qat{‘i atau Z}anni tergantung pada sumber ilmu
tersebut. Bila sumbernya qat}‘i maka dengan sendirinya ilmu yang
dihasilkannya juga bersifat qat}‘i (pasti dan yakin) dan begitu juga
sebaliknya, bila sumbernya diragukan maka ilmu yang disandarkan
kepadanya sudah tentu diragukan juga.

Abu Sulayman, Al-Fikr al-Usuli, dirasah tahliliyyah naqdiyyah (Jeddah: Dar al-Shuruq, 1984);
Taha Jabir al-‘Ulwani, Usul al-Fiqh manhaj bah}ts wa ma’rifah (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li
al-Fikr al-Islami, 1995). Dalam bukunya Tamhid li t-Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah, Mustafa
‘Ali Abdul Raziq telah membahas bagaimana tradisi ijtihad, ketika itu dinamakan al-ra’y,
sesungguhnya sudah berkembang sejak zaman Rasul. Dengan demikian beliau membantah
pandangan orientalis yang selalu mengaitkan perkembangan pemikiran Islam, baik falsafah
maupun fiqhnya, dengan pengaruh Yunani, Kristen, dan empayar Roman. Lihat Mustafa ‘Ali
‘Abdul Raziq, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah (Al-Qahirah: Maktabah al-Thaqafah
al-Diniyyah,TT).
24
N.J. Coulson, A History of Islamic Law, p. 55.
25
Joseph Schact, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The Clarendon
Press, 1959), p. 137.
26
C. E. Bosworth et al (eds.), The encyclopedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1997),
“Shafi‘i”, vol. 9, p. 1983.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


234 Nirwan Syafrin

Us}ul Fiqh dan Ilm Kalam


Sebagai sebuah konsep ilmu yang diderivasi dari konsep-kon-
sep al-Qur’an, usul fiqh juga berkaitan dengan teologi dan filsafat.
Kaitan ini dapat ditelusuri pada pemikiran al-Qadi ‘Abd al-Jabbar
dari Mu‘tazilah dan al-Qadi Abu al-Tayyib al-Baqillani dari Asya‘irah.
Kedua tokoh inilah yang pertama sekali memasukkan persoalan-
persoalan teologis-filosofis, termasuk isu epistemologi, kedalam ilmu
usul fiqh. Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar memiliki buku berjudul Kitab al-
‘Umad. Buku ini diberi komentar oleh seorang tokoh Mu’tazilah lain,
bernama Abu al-Husayn al-Basri. Abu al-Husyan selanjutnya
menuliskan karyanya sendiri yang diberinya judul Al-Mu‘tamad.
Dalam muqaddimahnya, Abu al-Husayn secara eksplisit menye-
butkan bahwa dia akan membahas isu-isu yang berhubungan
dengan epistemologi seperti tentang klasifikasi ilmu, ilmu muktasab,
dan seterusnya.
Imam Baqillani menyadari bahwa concern utama usul fiqh
sebenarnya adalah dalil. Tapi, seperti Abu al-Husayn, dia tidak men-
jadikannya sebagai topik prioritas. Dalam al-Taqrib wa al-Irsya> d
Baqillani malah memulai dengan penjelasan tentang hakikat ilmu,
akal, nazar (nalar), klasifikasi dan kategori ilmu dan seterusnya.
Menurutnya hal ini perlu dilakukan, karena dalil dan madlu>l, hukum
akal dan syara’ dan lain-lain merupakan objek ilmu (ma‘lu>ma>t).
Objek ini tidak bisa diketahui selagi kita tidak mengetahui esensi
ilmu itu sendiri dan segala yang berhubungan dengannya. Oleh
sebab itulah membahas persoalan ilmu menjadi suatu kemestian.28
Langkah al-Baqillani dikembangkan oleh muridnya Juwayni.
Karyanya yang terkenal dalam bidang ini adalah al-Burha>n fi Us}u>l
al-Fiqh. Ghazali mengikuti langkah gurunya ini dan menuliskan
karyanya al-Mustas}fa min ‘Ilm al-Us}u>l. Menurut kebanyakan penulis
ditangan Ghazalilah proses integrasi kedua ilmu ini mecapai titik
klimaksnya. Dan Ghazali dianggap orang yang bertanggung jawab
membawa Ilmu Mantiq kedalam usul fiqh. Ghazali menyadari
bahwa Mantiq sebenarnya tidak punya kaitan sama sekali dengan
usul fiqh. Tapi bagi Ghazali ini penting untuk diketahui, bahkan
menurutnya barang siapa yang tidak mengetahui ilmu ini,

27
Wael Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge: Cambridge University
Press, 1997), p. 37
28
Al-Baqillani, Al-Taqrib wa al-Irsya>d, vol.1, 172ff.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 235

keilmuannya tidak bisa dipercaya.29


Memasuki abad ke 5, antara usul fiqh dengan ilmu kalam sudah
tidak mungkin untuk dipisahkan. Juwayni sendiri menyatakan salah
satu sumber usul fiqh itu adalah ilmu kalam, disamping fiqh dan
ilmu bahasa.30 Mungkin karena kuatnya muatan teologis inilah, para
‘ulama menamakannya dengan haraqah al-mutakallimi>n. Metode
ini berbeda dengan Hara>qah al-fuqaha>’ yang dirintis oleh ulama-
ulama mazhab Hanafiyyah seperti Abu Bakar al-Jassas dan al-
Sarakhsi.
H}ara>qah al-Mutakkallimi>n selanjutnya mendapatkan elaborasi
panjang dari Fakruddin al-Ra>zi melalui al-Mah}s}u>l-nya dan al-‘A<midi
dengan al-Ih}ka>m-nya. Mah}s}u>l al-Razi kemudian diringkas Siraj al-
Din al-‘Urmawi dalam Kitab al-Tah}s}i>l dan Taj al-Din al-‘Urmawi
dalam Kitab al-H}a>sil. Shihab al-Din al-Qarafi selanjutnya memilih
beberapa poin dari buku ini dalam bukunya al-Tanqi>h}a>t. Seperti al-
Qarafi, al-Bayd}a>wi melalui Kitab al-Minha>j juga melakukan hal yang
sama. Al-Minha>j diberi komentar oleh al-Asnawi dalam Niha>yah al-
Su>l dan ‘Ali ‘Abd al-Kafi al-Subki dalam Al-Ibha>j fi Shari al-Minha>j.
Sementara itu, buku Al-‘A<midi diringkas oleh Ibn al-Hajib dalam
al-Mukhtas}ar.31 Demikianlah usul fiqh mengalami perubahan drastis
dari sebuah disiplin yang berbicara tentang metodologi derivasi
hukum menjadi sebuah ilmu yang banyak membahas mengenai
epistemologi Islam.32
Karakter ‘teologis’ ilmu usul fiqh ini, menurut George Makdisi,
tidak baru; ia dapat ditelusuri pada pemikiran Syafi‘i. Andaikan saja
Syafi‘i bisa ditanya tentang kandangan al-Risalah-nya itu, kata
Makdisi, niscaya dia juga akan menjawab bahwa tidak ada yang
baru, semuanya berhubungan dengan usul al-din.33 Oleh sebab itu,
bagi Makdisi ilmu ini lebih layak disebut Juridical theology, yaitu
ilmu yang membahas hukum Allah, bukan tentang Tuhan itu sendiri
seperti menegenai eksistensiNya, sifatNya, dll. Sebab, yang terakhir

29
Al-Ghazali, Al-Mustas}fa>, vol.1, p. 45.
30
Al-Juwayni, Al-Burha>n, p. 7.
31
Lihat Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, terj. Roshental, vol. 3, p. 29-30.
32
Untuk keterangan lanjut tentang proses integrasi usul fiqh dengan ilmu kalam lihat
Qutb Mustafa Sano, “Al-Mutakallimun wa Usul al-Fiqh,” Isla>miyyah al-Ma’rifah, no.9, July
1997, p. 37-70.
33
Gorge Makdidi, “Ther Juridical Theology of Sha>fi‘i> - Origins and Significance of
Us}ul Fiqh,” Studia Islamica, MCMLXXXIV, p. 45.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


236 Nirwan Syafrin

ini adalah bidang kajian ilmu kalam.34 Dalam pandangannya, tujuan


Syafi‘i mencipta ilmu ini adalah untuk meletakkan dasar berpikir
ilmiah bagi kelompok tradisionalis, untuk menentang pola pikir
kalam yang pada saat itu direpresentasikan oleh kelompok
mu’tazilah. (Syafi‘i’s purpose was to create for traditionalism a science
which could be useed as antidote to Kalam...)”35
Usul fiqh memang tidak dipisahkan dari ‘ilm kalam. Karena
ia sendiripun dibangun atas postulat-postulat ilmu kalam. Usul fiqh
hanya membahas sesuatu yang sudah dibuktikan benar oleh ilmu
kalam. Prinsip nasikh-mansukh, dibangun atas postulat kebenaran
Qur’an; bahwa ia benar-benar kalam Allah. Andaikan postulat kalam
ini masih diragukan maka seluruh prinsip metodologi tadi dengan
sendirinya juga akan runtuh.
Menurut Ghazali ilmu kalam itu sebenarnya prinsip dasar
epistomologis seluruh ilmu-ilmu Islam seperti fiqh, usul fiqh, tafsir
dan hadits. Karena melalui ilmu inilah kebenaran al-Qur’an, Sunnah,
dan nubuwwah Rasulullah saw mendapatkan affirmasi. Ghazali
memposisikan ilmu kalam sebagai ilmu kulliyah (universal/genral),
sementara yang lain ‘ulum juz’iyyah (partikular). Ia disebut Juz’iyyah
karena bidang kajian yang mereka garap hanya terbatas pada aspek
tertentu saja. Fiqh misalnya hanya mengkaji aspek hukum perbuatan
manusia saja, sementara tafsir hanya membahas makna Kitab semata.
Garapan usul fiqh pula sebatas dalil syara’ saja, dan hadits seputar
otentisitas hadits. Hal ini berbeda dengan ilmu kalam. Bidang kajian-
nya lebih luas dan umum. Ia bukan membahas aspek hukum al-
Qur’an tapi mengenai al-Qur’an itu sendiri, apakah ia benar kalam
Allah atau sebaliknya, bersifat qadim atau bukan. Demikian juga,
ilmu kalam tidak mengkaji otentisitas hadits, falah atau saqim,
mutawatir atau ahad. Kajiannya adalah tentang kebenaran nubuwwah
Muhammad saw.36

Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Usul Fiqh


Diskursus prinsip epistemologi dalam usul fiqh dapat ditelu-
suri dari perdebatan antara kubu Iraq yang biasa disebut dengan
ahl ra’y dan kelompok ahl hijaz dikenal dengan ahl hadits. Ahl Iraq
34
Ibid., p. 43.
35
Ibid., p. 12.
36
Al-Ghazali, Al-Mustas}fa>, p. 36-8.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 237

dikatakan lebih banyak menggunakan akal manakala ahl Hijaz


menggunakan hadits-hadits rasul. Nah Syafi‘i, yang sempat menge-
nyam pendidikan dikedua sekolah pemikiran ini dan belajar dari
para tokoh-tokohnya, berusaha ‘mendamaikan’ dua kubu ini dengan
cara mensintesakan metode yang digunakan kedua mazhab
pemikiran ini. Tujuannya sebenarnya adalah ia ingin membuktikan
bahwa tidak ada konflik antara wahyu dan akal. Sebagaimana wahyu,
dalam hal ini termasuk Hadits, merupakan sumber otoritatif dalam
hukum Islam, demikian juga halnya dengan akal; keduanya tidak
bertentangan; sebaliknya saling mendukung.
Banyak ulama memuji Sya>fi’i atas keberhasilannya mengga-
bungkan kedua pendekatan mazhab pemikiran ini. Kata Razi, sebe-
lum Syafi‘i biasanya orang dikelompokkan kepada ahl al-h}adits dan
ahl al-ra’y. Yang pertama ahli dalam hadits tapi lemah dalam dalam
bernalar dan berargumen. Sementara kedua kompeten dalam
berdebat (muja>dalah), tapi lemah dalam hadits. Tapi Syafi‘i memiliki
kedua kemampuan itu. 37 Namun begitu, dalam kacamata Nasr
Hamid Abu Zayd, Syafi‘i tetap seorang tradisionalis, yang komited
dengan jalur pemikiran gurunya, Imam Malik. 38 Pendapat Nasr
Hamid ini lemah. Sebab, jika benar Syafi‘i seorang tradisionalis, pasti
tidak ada mazhab yang bernama Syafi‘iyyah. Dan ia lebih bagus
dikelompokkan dalam ahl Hijaz seperti gurunya. Tapi fakta mengata-
kan sebaliknya, di sana ada mazhab pemikiran yang bernama
Syafi‘iyyah dan masih eksis hingga sekarang. Ini membuktikan
bahwa pikiran Syafi‘i memang berbeda dengan pendahulunya atau
yang sezaman dengannya sehingga layak untuk diberi label baru.
Hal ini diakui oleh ‘Abd al-Wahhab Abu Sulayman. Menurutnya
pemikiran hukum Syafi‘i benar-benar merefleksikan sebuah mazhab
baru yang independen. Kebaruannya bukan saja pada pemikiran
hukumnnya, tapi juga metodologinya yang ilmiah.39 Dalam kaca-
mata Manna‘ Qattan pemikiran Syafi‘i merefleksikan tahap
kematangan hukum Islam.40

37
Fakhr al-Din al-Razi, Mana>qib, p. 63.
38
Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Imam Syafi‘i wa ta’sis al-aydulu>jiyyah al-wasat}iyyah
(Al-Qahirah: Maktabah Madbuli, 1996), cet.2, p. 93.
39
‘Abd al-Wahhab Ibrahim Abu Sulayman, Manhajiyyah Al-Imam Muhammad bin
Idris al-Syafi‘i (ra) fi Us}u>l al-Fiqh: ta’sil wa tah}lil (Bayrut; Dar Ibn Hazm & Makkah al-
Mukarramah: Al-Maktabah al-Makkiyah, 1999), p. 27 & 28.
40
Manna‘ Qattan, Tarikh Tasyri’ Islami, p. 374.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


238 Nirwan Syafrin

Dari keterangan di atas jelas bahwa pemikiran Islam tidak


mengenal dikotomis rigid antara literalis dan rasionalis. Pemikiran
Islam tidak mengenal aliran literalis ala fundamentalis kristen di
Barat. Juga tidak mengakui rasionalis murni seperti yang dikem-
bangkan Descartes. Sebagaimana juga ia tidak mengenal aliran
empericism model Logical Positivism. Oleh sebab itu pula pemikiran
Islam tidak mengenal pemisahan objektif dan subjektif, sebagaiman
ia juga tidak mengakui dikotomi deduktif-induktif tekstual-kon-
tekstual, dan historis-normatif. Dalam paradigma pemikiran Islam,
seperti yang diterangkan oleh S.M. Naquib al-Attas, keseluruhan-
nya menyatu menjadi satu integritas yang utuh, bukan dalam
metodologi investigasi saja, tapi juga dalam kualitas kepribadian
mereka. Kata al-Attas: “They combined in their in their investigations,
and at the same time in their persons, the emperical and the rational, the
deductive and the inductive methods and affirmned by no dichotomy
brterrn subject and the objective, so that they all affected what I would
call the tawhid method of knowledge.”41
Dalam dalam konteks ini jugalah hendaknya kita harus mema-
hami posisi Imam Abu Hanifah, panutan mazhab ‘Iraq, dan Imam
Malik, ikutan mazhab Hijaz. Imam Abu Hanifah bukan seorang
liberal, dalam arti yang populer digunakan sekarang ini, yaitu orang
mengedepankan akal atas teks al-Qur’an dan Sunnah Demikian juga
Imam Malik, bukan literalis yang anti rasio. Baik Abu Hanifah mau-
pun Imam Malik kedua-duanya meletakkan nass al-Qur’an dan
sunnah nabi pada posisi tertinggi dalam hirarkis sumber ilmu dan
hukum Islam. Suatu ketika Imam Abu Hanifah menulis surat kepada
khalifah al-Mansur untuk menolak tuduhan orang yang dialamatkan
kepadanya. “… Ceritanya bukan seperti yang sampai kepadamu ya
amirul mu’minan. Aku berbuat sesuai dengan Kitab Allah, Sunnah
Rasulullah (saw), keputusan yang dibuat oleh Abu Bakar, ‘Umar,
Uthman, dan ‘Ali (r.a) serta sahabat-sahabat yang lain. Aku
melakukan qiyas bila aku mendapati mereka berbeda pendapat.”42
Terjadinya perbedaan pendekatan antara ahl hijaz adan ahl ‘Iraq
sesungguhnya lebih bersifat teknis, dari filosofis. Ahl Iraq banyak
menggunakan akal karena kesulitan mengakses sunnah rasul
disebakan letak geografis tempat mereka yang jauh dari pusat Islam,
41
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prologomena to Metaphysics of Islam (Kuala
Lumpur: the International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1995), p. 3.
42
S}aha Jabir al-‘Ulwani, Usul Fiqh, p. 77.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 239

Makkah dan Madinah, di mana khazanah sunnah nabi banyak


tersimpan. Persoalan politik yang telah menyebabkan berkembang-
nya hadits-hadits palsu juga sebab penting yang perlu dipertimbang-
kan. Para fuqaha’ Iraq sangat hati-hati sekali menggunakan hadits,
karena mereka khawatir menggunakan hadits palsu. Disebabkan
oleh itu, mereka lebih memilih menggunakan rasio daripada hadits.
Keadaan ini tentu saja berbeda dengan Hijaz (Madinah dan
Makkah). Di kota yang masih banyak dihuni oleh sahabat dan tabi’in
ini, sunnah sangat mudah sekali diakses. Sehingga apabila timbul
sesuatu masalah, mereka mudah merujuknya ke sunnah rasul.43
Perseteruan ahl hadits dan ahl ra’y mengalami metamorposis
sekitar abad keempat dan kelima dalam konflik Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Perseteruan kedua kelompok ini memang lebih bersifat
epistemologis, yaitu berkisar seputar isu definisi ilmu dan jenis-
jenisnya, definisi akal dan batasannya, bahkan tentang definisi
‘definisi’ itu sendiri (ta‘rif al-H}add).
Mu’tazilah, yang dikenal bersifat rasionalis, mempertahankan
tesis mereka bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruk mengenai
sesatu tanpa bantuan syara’, mereka percaya bahwa baik dan buruk
itu adalah rasional, artinya dalam ruang lingkup kemampuan akal
(al-H} a san wa al-qubh} ‘aqliyayn). Tapi ulama Asya’irah menolak
konklusi ini. Menurut Juwayni>, sesuatu itu terlarang atau sebaliknya
bukan karena sifat esensi (dhat)nya itu sendiri, tapi karena ketetapan
syara’. Minum khamar haram misalnya. Hukum haram itu bukan
sifat esensi ‘minum’ itu. Karena apabila kita mewajibkan meminum
khamar ketika terpaksa, hukum itu sama dengan ketika ia
diharamkan pada waktu biasa. Artinya haram atau tidaknya
meminum khamar itu bukan tergantung pada dhat minuman
tersebut tapi pada syara’. Ia menjadi haram karena syara’ melarangnya
dan sebaliknya menjadi wajib karena adanya perintah. Jadi bukan

43
Lihat Mahmud Muhammad al-Hanawi, Al-Madkhal ila al-Fiqh al-Islami: Tarikh
Tasyri’ wa Mahdiruhu..wa Nazariyyat al-Fiqhiyyah (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1408H/
1987), p. 118-122; ‘Abd al-Rahman al-Albani et al, Al-Madkhal al-Fiqhi wa Tarikh al-Tasyri‘ al-
Islami (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1982), p. 249-252. Apalagi ketika sunnah rasul tersebut
dianggap telah menyatu menjadi bagian sistem sosial masyarakat Madinah sehingga praktek-
praktek masyarakat Madinah (‘amal ahl madinah) pun dijadikan referensi hukum sebagaimana
yang dilakukan oleh Imam Malik. Keterangan lanjut tentang otoritas praktek-praktek
masyarakat Madinah ini, lihat: Yasin Dutton, The Origins of Islamic Law (Surrey: Curzon
Press, 1999).

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


240 Nirwan Syafrin

disebabkan sifat minum itu sendiri.44


Razi menjelaskan, bahwa baik dan buruk itu terkadang
bermaksud apakah sesuai dengan nature atau sebaliknya. Dalam
keadaan seperti ini, Razi tidak menafikan bahwa ia dapat diketahui
melalui akal. Katanya kita sepakat bahwa ilmu itu baik dan bodoh
itu buruk. Tapi bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sesuatu yang
baik berhak mendapat pujian dan pahala, sementara yang buruk
mendapat cacian (al-dham) dan balasan (‘iqab). Hal ini ini tidak bisa
diketahui dengan akal, tapi dengan ketetapan syara’.45
Persoalan ini memiliki dampak besar dalam persoalan hukum.
Akibat perbedaan di atas, ada ‘ulama yang berpendapat bahwa hu-
kum itu tidak bersebab (ghayr mu‘allalah). Tapi pendapat ini ditolak
oleh ‘ulama lain, sebab tidak mungkin hukum Allah tidak punya
tujuan. Tujuannya jelas: memberikan kebaikan kepada manusia dunia
dan akhirat. Pada prinsipnya pesoalan ini lebih bersifat teologis
ketimbang hukum. Kelompok yang menafikan adanya ‘illah dise-
balik hukum Allah bermaksud mentanzihkan (mensucikan) Allah dari
unsur paksaan. Allah tidak terpaksa untuk berbuat baik kepada manusia.
Sebab Allah berbuat menurut Qudrah dan IradahNya. Tapi Mu’tazilah
berpendapat bahwa wajib atas Allah untuk berbuat baik terhadap
manusia. Kata Syatibi andainya persoalan ini tidak dilihat dari kacamata
kalam, niscaya semua sepakat bahwa seluruh hukum Allah itu adalah
ditujukan untuk kebaikan manusia didunia dan juga di akhirat.46

Konstruk Epistemologi Islam dalam Usul Fiqh


Salah satu persoalan yang mendasar dalam epistemologi adalah
bagaimana kita mengetahui? Atau dengan cara apa kita tahu?
Persoalan ini cukup mendasar sekali karena ia menyangkut masalah
validitas ilmu ilmu itu sendiri. Syafi‘i menjawab persoalan ini dengan
bentu hirarkis. Katanya “’ala an laysa li ah}adin abadan an yaqu>la fi
syay’in: Hall aw h}a ruma illa min jihah al-‘Ilm. wa jihah al-‘ilm al-

44
Al-Juwayni, Al-Burha>n, p. 8.
45
Al-Razi, al-Maqa>l, vol.1, p. 45.
46
Perdebatan seputar ta‘lil al-ahka>m ini sudah banyak dibahas para ‘ulama dulu dan
sekarang. Salah satu buku yang secara ekstensif membahas masalah ini adalah karya
MuÍammad Mustafa Syalabi yang diangkat dari disertasi doktornya di Azhar. Ta‘lil al-Ahka>m
(Bayrut: Dar al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1981). Isu ini juga dibahas Ahmad Raysani, Nazariyyah
al-Maqasid ‘Ind al-Imam al-Syaibani (Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995),
terutama Bab 3, fasal 1.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 241

khabar fi al-Qur’an aw al-sunnah, aw al-ijma‘ aw al-qiyas.” (tak se-


orangpun yang boleh mengtakan sesuatu itu halal atau haram kecuali
dengan ‘ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada di
Qur’an atau sunnah, Ijma’ atau qiyas).47 Dalam usul fiqh, al-Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas disebut adillah. Prinsip epistemologis ini
sejalan dengan firman Allah masing-masing dalam surah al-Nahl:116
dan al-Isra’: 36.
Format hirarkis yang dibuat Syafi‘i ini telah memberikan
pengaruh yang cukup besar dalam sejarah pemikiran Islam. Terbukti
sejak itu, format hirarkis ini tidak pernah mengalamai gugatan dan
kritik. 48 Para ‘ulama seolah-olah telah memperlakukan sebagai
sesuatu yang taken for granted. Juwayni dalam al-Burhan menyebut-
kan bahwa dalil fiqh adalah teks al-Al-Qur’an, teks Sunnah muta-
watir, dan Ijma’.49 Ghazali mengatakan “anna adillah al-ah}ka>m: al-
Qur’an, al-Sunnah, wa al-Ijma‘.” (dalil-dalil hukum itu adalah: al-
Qur’an, Sunnah dan Ijma’)50 Bukan hanya ‘ulama Asya’irah, pemikir
Mu’tazilahpun tidak membantah format hirarkis ini. Begitu juga
dengan Shi’ah. Para ‘ulama Syi’ah sepakat bahwa sumber hukum
Islam adalah al-Qur’an, hadis, Ijma’ para fuqaha’ Syi’ah, dan akal.
Memang dalam Syi’ah dikenal prinsip “kullu ma h}akam bihi al-‘aql
h}akam bihi al-syar‘“ (apa yang telah ditetapkan akal juga menjadi
ketetapan syara’). Maksudnya akal bisa saja secara independen me-
netapkan sesuatu hukum tanpa bersandar pada syara’. Tapi menurut
Muhammad Baqir Sadr itu berlaku hanya pada tataran teori saja.
Karena pada prakteknya, itu tidak pernah terjadi.51
Format hirarkis ini mempunyai implikasi epistemologis yang
sangat besar. Salah satu implikasinya adalah segala jenis ilmu, dari
manapun ia diderivasi, mestilah memenuhi standar al-Qur’an, dan
apalagi bertentangan. Maka, andaikan ada ilmu — apakah diderivasi
47
Muhammad bin Idrus al-Shafi‘i (w. 204), Al-Risalah, ed. Ahmad Syakir (Bayrut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t), p. 39 dan 508.
48
Hanya baru sekarang gugatan tersebut mula muncul. Joseph E. Lowry bukan saja
mempertanyakan tapi juga menolak kebenaran yang mengatakan Syafi’i mempunyai teori
“empat sumber hukum Islam” sebagaimana yang selama ini dipahami oleh baik para ‘ulama
sesudahnya maupun oleh para peniliti kontemporer. Lihat Joseph E. Lowry, “Does Shafi‘i
Have A Theory of “Four Sources” of Law,” dalam Bernard G. Weiss, Studies in Islamic Legal
Theory (Leiden: E.J. Brill, 2002), p. 23-50.
49
Al-Juwayni, Al-Burhan, vol.1, p. 8.
50
Al-Ghazali, Al-Mustasfa, vol.1, p. 36.
51
Hossein Moderresi, “Rationalism and Traditionalism in Shi’i Jurisprudence: A
Preliminary Survey”, Stvdia Islamica, LIX, 141 dan 142 (footnote no.4).

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


242 Nirwan Syafrin

dari sunnah, pengalaman (experience), atau akal — yang kontradiktif


dengan al-Qur’an, maka disana ada dua kemungkinan. Kemungk-
inan pertama, ilmu tersebut salah, dan kemungkinan kedua, pema-
haman dan penafsiran kita tentang al-Qur’an itu yang salah. Al-Qur’an
sendiri tidak mungkin salah, karena bersumber dari yang Maha Benar.
Terkadang konflik antara sumber ilmu tidak dapat dielakkan,
seperti yang mungkin berlaku antara al-Qur’an dengan al-Qur’an
atau al-Qur’an dengan sunnah, atau sunnah dengan sunnah. Dalam
ilmu usul biasanya disebut dengan ta’arud} wa al-tarjih. Dalam ta‘arud}
wa al-tarjih, rekonsiliasi biasanya menjadi keutamaan. Untuk
melakukan itu prinsip-prinsip seperti ‘am-khas}s}, haqiqah-maja>z, mu-
qayyad-mutlaq, mujmal-mubayyan, nasikh-mansukh dan seterusnya
mutlak diperlukan. Apabila konflik menemui jalan buntu, maka
dilakukan tarjih. Untuk melakukan ini, seseorang harus mempunyai
kompetensi dalam ilmu hadis untuk menentukan tingkat otoritas
sebuah hadits; apakah ia mutawatir atau ah}ad, h{asan atau da‘if, dan
seterusnya. Nah, disini persoalan otoritas berperan penting. hadits
yang tingkat validitasnya lebih tinggi harus didahulukan dari yang
lebih rendah. Maka sahih harus didahulukan atas yang da’if, dan
begitulah seterusnya. Andaikan usaha rekonsiliasi tidak memungkin-
kan, metode yang terakhir adalah nasikh wa al-mansukh. Karena
otoritasnya lebih tinggi, maka al-Qur’an tidak bisa dimansukhkan
oleh Sunnah. Al-Qur’an hanya dapat dimansukhkan oleh al-Qur’an
itu sendiri.
Bagaimana jika konflik itu terjadi antara wahyu dan akal. Para
‘ulama tetap mendahulukan rekonsiliasi. Akan tetapi bila pertentangan
tersebut pada ranah syari’ah, jelas akal harus tunduk pada ketetapan
syara’, bukan sebaliknya seperti yang terjadi belakangan ini, di mana
teks al-Qur’an dan sunnah ditundukkan pada akal dan realitas sosial.
Syatibi menjelaskan “jika terjadi konflik antara naql (wasy) dan akal
dalam persoalan-persoalan Syara’, maka naqal harus diposisikan
didepan, dengan demikian ia menjadi ikutan (fayakuna matba‘an),
sementara akal berada diposisi belakang menjadi pengikut.”52
Maksud al-Qur’an sebagai sumber ilmu adalah bahwa kita bisa
memperoleh ilmu dari al-Qur’an. Terutama sekali pada persoalan-
persoalan yang berbau metafisik, seperti mengenai Tuhan, Malaikat,
Jiwa manusia, juga mengenai sejarah masa lalu. Kita tidak dapat

52
Al-Syatibi, al-Muwafaqa>t, vol. 1, p. 56.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 243

mengetahui semua ini hanya dengan akal atau indera semata. Karena
alam metafisika diluar jangkauan kedua sumber ini. Kita tidak tahu
Tuhan karena Dia sendiri yang mendiskripsikan tentang diriNya ke-
pada kita melalui firmanNya dalam al-Qur’an. Tanpa wahyu ini, kita
akan buta sama sekali mengenai Tuhan. Karena bersumber dari yang
Maha Mengetahui, maka mustahil ia salah. “Revelation (wahy), which
all prophets received from Divine source, is the most certain knowledge.”53
Selain al-Qur’an, Sunnah juga merupakan sumber otoritatif
ilmu. Berbeda dengan al-Qur’an yang keselurahannya dijamin benar,
sunnah tidak demikian. Karena tidak seluruh sunnah qat}‘i al-wurud.
Hanya yang qat}‘i al-wurud, dalam hal ini hadits mutawatir, yang
dijamin kebenaranya. Berbicara mengenai sunnah maka kita tidak
bisamelepaskan diri dari Syafi‘i. Karena dialah yang pertama sekali
memformulasikan konsep sunnah dan hadits, serta otoritas hadits
ahad. Dia jugalah yang mempertahankan otoritas (hujjiyah) sunnah
sehingga menjadi sumber hukum. Oleh sebab itu kata Hallaq “it would
not be an exaggeration to state that the treatise (i.e. al-Risa>lah) represents a
defense of the role of the Prophetic reports in the law, as well as of the
methods by whcih the law can be deduced from those reports.”54
Usaha Syafi‘i menkoseptualisasikan sunnah sebenarnya
didorong oleh realitas saat itu, di mana sunnah telah dipahami secara
arbitrari. Terkadang bahkan terjadi percampuran antara apa yang
disebut dengan sunnah nabi dengan sunnah sahabat, sunnah dalam
arti tradisi yang berkembang, dan dengan pendapat individual (ra’y).
Syafi‘i kemudian merevolusi makna Sunnah dengan hanya mem-
batasinya kepada rasulullah, tidak kepada yang lain. Dia kemudian
mengidentikkan sunnah dengan hadits. Artinya sunnah rasul hanya
dapat diketahui melalu jalur hadits sahih. Hadits sahih menurut Syafi‘i
adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang terpercaya (tsiqah)
dan dari orang terpercaya pula hingga sampai pada rasulullah (saw),
dengan syarat tidak bertentangan dengan hadits sahih yang lain
(shadh). 55 Sebelum Syafi‘i, sunnah mengandung multi-arti; bisa
53
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Concept of Knowledge in Islam and its implications for
education in a developing country (London: Mansel, 1989), p. 36.
54
Wael Hallaq, A History, p. 24.
55
Muhammad bin Idrus al-Shafi‘i, “Kitab Ikhtilaf Shafi‘i wa Malik,” dalam Al-Umm,
disupervisi dan koreksi oleh Muhammad Zuhri al-Najjar (Bayrut: Dar al-Ma’rifah, n.d), vol.
7:191. Definisi ini telah menjadi standard dalam ilmu hadith. Sejumlah muhaddithin seperti Al-
Khatib, Ibn ‘Uday, al-Hakim bahkan telah mengadopsinya kedalam buku mereka masing-
masing. Sa‘ad bin Umar Ghazi, “Kalimah Muhaqqiq al-Kitab,” dalam Manawi, Manaqib, p. 10.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


244 Nirwan Syafrin

berarti tradisi yang berkembang dimasyarakat (living tradition), sirah


nabi, perbuatan dan perkataan sahabat dan lain-lain.56 Akan tetapi,
seperti yang diutarakan Juynboll, sejak zaman Syafi‘i, hampir tak
seorangpun pennulis yang menganggap sunnah selain dari apa yang
dinisbahkan kepada Rasul.57 Akan tetapi ini bukan berarti bahwa
sunnah merupakan kreasi Imam Syafi‘i atau apa yang diyakini
Schacht sebagai kreasi masyarakat Islam abad kedua.58
Selain al-Qur’an dan Sunnah, Ijma’ dan qiyas juga berfungsi
sebagai sumber ilmu. Disini kita mungkin dapat membaginya men-
jadi dua; pertama ijma’ al-ummah (kesepakatan masyarakat Islam
secara keseluruhan) dan kedua Ijma’ al-‘ulama. Termasuk dalam
kategori Ijma’ adalah Ijma’nya para sahabat. Menurut Shawkani ilmu
tentang hal-hal yang sudah menjadi ijma’ merupakan salah satu
prasyarat yang harus dimiliki seorang mujtahid. Tujuannya adalah
supaya seorang mujtahid tidak memberikan fatwa yang bertentangan
dengan keputussan ijma’.59 Jadi keputusan ijma’ bersifat mengikat.
Secara epistemologis ini berarti bahwa keputusan ijma’ adalah benar,
dan kita tidak mungkin untuk menetangnya.
Qiyas merupakan berada pada posisi terakhir sebagai sumber
hukum dan ilmu dalam pemikiran Islam. Qiyas, yang dalam Risalah
terkadang diidentifikasikan dengan ra’y, memiliki nilai startegis
dalam usaha mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an. Ia merupakan
penghubung antara teks dan realitas. Dengan qiyas, makna teks bisa
diperlebar sehingga mencakup seluruh permasalahan yang terjadi.
Menurut Syatibi, qiyas bukan aktivitas akal semata, karena ia masih
berada dalam lingkaran teks al-Qur’an.60

56
Lihat Zafar ishaq Ansari, “Islamic Juristic Terminology Before Safi’i: A Semantic
Analysis with Special Reference to Kufa,” Arabica, 19 (October 1972), 3. Cf. Ahmad Hassan,
Early Development, 85-109; M. MuÎtafa Al-Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: The Oxford Center for Islamic Studies & The Islamic Text Society,
1996), p. 29-36.
57
G.H.A. Juynboll, “Some New Ideas on the development of Sunna As A Technical
Term in Early Islam,” Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 10 (1987), p. 108.
58
Lihat Joseph Schacht, Origins, p. 3. Pendapat Schact ini telah mendapat kritikan
banyak kalangan, termasuk dari orientalis. Lihat mislanya M. MuÎtafa Al-Azami, On Schacht’s
Origins.
59
Shakwani, Irsya>d al-Fuh}u>l, p. 372.
60
Syatibi, al-Muwa>faqa>t, vol. 1, 57.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 245

Wacana Pembaruan Fiqh dan Usul Fiqh


Hari ini fiqh sedang mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas
dari berbagai kalangan. Bahkan ada yang menilainya sebagai faktor
kemunduran dan keterbelakangan ummat Islam saat ini.61 Salah satu
kritik terhadap fiqh adalah ia dituduh bersikap diskrimanitf terhadap
non-Muslim. “Banyak konsep fiqih menempatkan penganut agama
lain lebih rendah ketimbang umat Islam, sehingga berimplikasi
meng-exclude atau mendiskreditkan mereka.”62 Fiqh juga ditohok
atas perlakuannya terhadap wanita. Fiqh Islam, kata mereka, selalu
memposisikan wanita sebagai subordinate terhadap laki-laki. Ring-
kasnya fiqh klasik tidak ramah perempuan.63 Sifat ketidak ramahan
ini, lanjut mereka, bukan karena karakter Islam ataupun al-Qur’an
itu sendiri, tapi sebab bias jender para penafsir.64 Oleh sebab karakter-
nya ini maka fiqh Islam mendesak untuk direformasi atau
dekonstruksi.
Sejumlah pemikir Islam menilai bahwa proses reformasi ini
tidak bisa dilakukan selagi perangkat teoretiknya, yakni usul fiqh,
tidak diperbaharui. dengan demikian pembaharuan usul fiqh
haruslah menjadi agenda utama. Diantara pemikir Muslim yang
berusaha untuk melakukan pembaharuan ini adalah Hasan Turabi.
Turabi menilai usul fiqh tidak lagi relevan untuk sekarang ini, karena
ia dibangun atas realitas masyarakat abad pertengahan, bukan atas
keperluan dan kebutuhan masyarakat sekarang. Oleh sebab itu ia
hanya sesuai untuk masyarakat tersebut.65

61
Lihat misalnya Jamal al-Banna, Nah}wa Fiqh Jadid (Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Islami,
t.t), p. 8.
62
Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Yayasan Paramadian
Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), p. ix.
63
Lihat misalnya Amina Wadud, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from a
Woman’s Perspektif (New York: Oxford University Press); Nasaruddin Umar, Bias Jender
dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000); dan Masdar F. Mas’udi,
“Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning,” dalam Membincang Feminisme: Diskursus
Gender Perspektif Islam (Surabya: Risalah Gusti, 1996), p. 167-180.
64
Lihat misalnya Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta:
Fikahati Aneska, 2000); dan Masdar F. Mas’udi, “Perempuan di antara Lembaran Kitab
Kuning,” dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam (Surabya: Risalah
Gusti, 1996), p. 167-180.
65
Turabi, Hasan, Tajdid Usul al-Fiqh al-Islami (Jeddah: Al-Dar al-Su’udiyyah1404H/
1984M), p. 9-13. Tulisan ini kemudian dipublikasikan lagi dalam Hasan Abdullah Turabi,
Qad}iya al-Tajdid, Nah}wa Manhaj Usuli (Khartym: Ma‘had al-Buhuth wa al-Dirasat al-
Ijtima‘iyyah) pada bab 4. tentang Tajdid Usul al-Fiqh.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


246 Nirwan Syafrin

Seperti Turabi, ‘Abdul hamid Abu Sulayman juga mengusul-


kan hal yang sama. Abu Sulayman mensinyalir beberapa kelemahan
usul fiqh klasik. Di antaranya textual dan linguistic oriented sehingga
cendrung melupakan unsur historisitas teks, dimensi waktu dan
tempat (spatio-temporal dimension). Menurut ‘Abdul Hamid “Simple
and direct deduction from Islamic textual materials, without properly
accounting for changes involving the space-time element of the early
Muslim period is a retroressive practice.”66
Di antara yang paling gencar menyuarakan pembaharuan ini,
Muhammad Shahrur merupakan yang paling getol. Shahrur telah
mengelaborasi ide ‘pembahruan’nya dalam dua spektakulernya al-
Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira’ah mu‘a>s}irah67 dan Nah}wa Us}u>l Jadidah li
al-Fiqh al-Islami. 68 Shahrur banyak menggunakan pendekatan
bahasa untuk merumuskankan teorinya. Dia mengusulkan sebuah
teori baru dikenal dengan Teori Batas (nazariyyah al-hudad). Menu-
rut Shahrur, hukum Islam hendaklah dibaca dalam kurva batasan
ini. Banyak kalangan yang telah mengkritik Shahrur, terutama sekali
atas bukunya Al-Kita>b wa al-Qur’an, di mana dia dituduh banyak
memutar balik makna al-Qur’an.69 Nasr Hamid Abu Zayd sendiri,
yang juga berada pada garda depan Muslim liberal, juga menyatakan
keberatannya atas buku Shahrur tersebut.70
Berdiri sejajar dengan Shahrur adalah Muhammad Arkoun.
Arkoun mempertanyakan konstruk usul fiqh klasik. Dengan meng-
gunakan pisau analisis “postmodernisme” yang dikembangkan
Foucoult, Arkoun mencoba membongkar (deconstruct) bangunan
usul fiqh. Arkoun mengkritik Syafi‘i karena telah membakukan sum-
ber hukum Islam dan sunnah sedemikian rupa sehingga menjadi
sesuatu yang unthinkable. Dalam penilain Arkoun, konstruk usul

66
Lihat ‘Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah al-‘Aql al-Muslim (Virginia: Al-Ma‘had
al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1994), 73. idem, Crisis of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal DeLorenzo
(Virginia: The International Institute of Islamic Thought, 1997), p. 80.
67
Dimashq: al-Ahali, 1990.
68
Dimashq: Dar al-Ahali, 2000.
69
Banyak sekali buku kritikan atas karya Shahrur al-Kitab wa al-Qur’an. Ada yang
sangat semosional, tapi tak sdikit yang juga ilmiyah. Misalnya Mahir al-Munajjid, al-Isykaliyya
al-manhajiyya fi “Al-Kitab wa al-Qur’an” (Bayrut: Dar al-Fikr, 1994).
70
Nasr Hamid Abu Zayd, “Limadhataghat al-talfiqiyya ‘ala kathir min masyra’at tajdid
al-Islam?,” Al-Hilal, Oktober 1991, 17-72, dan idem “al-manhaj al-Nafi‘ fahm al-nusus al-
diniyya,” Al-Hilal, March 1992.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 247

fiqh klasik sangat kental dipengaruhi ideologi dominant ketika itu.71


Fazlur Rahman juga mendesak agar metode penafsiran al-
Qur’an yang dibakukan melalui usul fiqhsegera dirombak. Menurut-
nya al-Qur’an harus dipahami dalam konteks masyarakat ketika ia
diturunkan.72 Karena mengabaikan realitas sosial hanya akan ber-
ujung pada penegasian tujuan dan objektif moral-sosial al-Qur’an.73
Rahman selanjutnya menawarkan teori gerak ganda (double-
movement). Secara ringkas teori ini mengatakan bahwa untuk mema-
hami al-Qur’an kita harus kembali melihat konteks sejarah dan sosial
al-Qur’an ketika itu. Setelah itu barulah kita memformulasikan prin-
sip umum dari ayat tersebut yang pada prinsip merupakan objektif
utama dari ayat tersebut. Setelah proses ini selesai, kita kemudian
kembali ke zaman kini untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus yang
terjadi sekarang.74
Secara umum pembaharuan atau apa yang sering disebut
dengan tajdid atau ihya’ (renewal, reform) bukanlah hal baru dalam
Islam; ia bahkan sudah menjadi built-in-system dalam pemikiran
Islam. Rasullullah sendiri sudah mewanti-wanti hal itu. Sabdanya:
“sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap pangkal abad seorang
mujaddid yang akan memperbaharui agamaNya”. Pembaharuan
memang sudah berjalan sudah sejak dini lagi. Para ‘ulama mem-
perkirakan bahwa ia sudah berlangsung sejak abad pertama hijriyah.
Ini terbukti dengan daftar pembaharu Muslim yang dibuat Ibn al-
Athir dan al-Suyuti di mana ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz disebut sebagai
pembaharu abad pertama Islam dan Imam Syafi‘i abad kedua.
Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui untuk merespon
persoalan yang berkembang. Banyak masalah-masalah fiqh yang
telah diperbaharui, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu
seperti investasi waqaf, zakat profesi, dan lain-lain merupakan bukti
bagimana fiqh merespon perkembangan masyarakat. Sebagaimana
kehidupan manusia yang mempunyai elemen tetap dan tidak ber-
ubah, begitu juga fiqh. Ada beberapa bagian dalam fiqh yang tidak

71
Pembahsannya mengenai Syafi’i dapat diabca di Muhammad Arkoun, Tarikhiyya
al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, terj, Hashim Aleh (Bayrut: Markaz al-Inma‘ al-Qawmi dan al-
Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1996), khususnya Bab kedua, Mafhum al-‘Aql al-Islami.
72
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press,
1984), p. 5.
73
Ibid, p. 19.
74
Untuk keterangan lanjut lihat Ibid., p. 19-20.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


248 Nirwan Syafrin

mungkin diubah dan diperbaharui, karena ia membentuk bagian


terpenting syari’at Islam.
Ruang untuk berijtihad dalam fiqh sebenarnya masih terbuka
lebar. Banyak masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya
menantikan ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya pemikir Muslim
kontemporer hanya berkutat pada isu-isu lama seperti poligami, hak
warisan wanita, hukum hudu, dan qisas yang sesungguhnya tidak
memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat Muslim
hari ini. Apakah dengan diharamkannya poligami, disamakannya
bagian warisan anak laki-laki dan perempuan, dihapuskannya hudud
dan qisas, seperti yang diinginkan para pemikir Muslim kontemporer
di atas, masyarakat Islam akan menjadi lebih terhormat dan dihargai,
menjadi lebih maju dan berkembang. Sudah lebih dua abad, se-
menjak kolonialisme, umat Islam membelakangkan hukum Islam,
khususnya yang berhubungan dengan ruang publik. Sudah sejak
lama, hukum hudud dan qisas tidak diterapkan tanpa harus ada
reinterpretasi dan sejenisnya. Tapi nyatanya, tetap saja umat Islam
terbelakang,mundur dan menjadi objek pemerasan.
Usul fiqh sebenarnya mempunyai dinamikanya sendiri untuk
memperbarui diri. Sejak diformulasikan Syafi‘i, usul fiqh telah
banyak mengalami perubahan dan pembaharuan.75 Baqillani telah
memperbahruinya dengan mengintegrasikan ilmukalam kedalam-
nya. Ghazali juga telah memberikan sentuhan pembaharuannya
dengan menjadikan Mantiq sebagai bagian terpenting usul fiqh.
Begitu juga dengan Syatibi. Dengan al-Muwa>faqa>t, Syatibi telah
memberikan dimensi baru dalam kajian usul fiqh. Hingga hari ini
Muwafaqat Syatibi menjadi rujukan penting dalam usul fiqh dan
telah menarik minat banyak kalangan cendikiawan Muslim kon-
temporer.76 Meskipun usul fiqh telah mengalami perubahan disana-

75
Lihat misalnya Qutb Mustafa Sanu, “Fi Murtakazat Tajdid al-Fikr al-Usuli, “ dalam
Tafakkur, jilid 1 dan 2, no. 1 dan 2, 1421H/2000 dan Ahmed Kazemi Moussavi, “A Schema
of Islamic Legal Methodology (Usul Fiqh) in early Islam,” dalam Al-Shajarah, vol. 9, no. 1,
2004, p. 1-42.
76
Belakangan ini sumbangan Syatibi dalam usul fiqh Islam telah mendapat perhatian
banyak kalangan. Menariknya banyak kelompok liberal yang juga menjadikannya sebagai
rujukan untuk memperkuat dan memperteguh posisi keliberalan mereka, meskipun pada
kadar tertentu Syatibi sendiripun mungkin tidak akan sepakat. Untuk kajian detail tentang
pikiran Syatibi lihat: Hammadi al-‘Ubaydi, al-Syatibi wa Maqatid al-Syari‘ah (Dimashq: Dar
Qutaybah, 1992); Ahmad Raysani, Nazariyyah al-Maqatid ‘ind al-Imam al-Syatibi (Virginia:
Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1416H/1995); Muhammad Khalid Mas’ud, Shatibi’s
Philosophy of Islamic Law (Pakistan: Islamic Research Institute, 1995).

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 249

sini, usul fiqh tetap berputar pada pusaran epistemologi Islam. Para
‘ulama pembaharu itu tetap menjadikan teks al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber otoritatif dan mendudukkan akal dibawah telunjuk
keduanya.
Hal ini jauh sekali berbeda dengan pemikir liberal Muslim
kontemporer. Mereka cendrung menjadikan usul fiqh tak lebih dari
sekedar bahan untuk menjustifikasi realitas yang ada. Teks al-Qur’an
dan sunnah ditundukkan pada kehendak waktu dan tempat, pada
akal dan kepentingan sesaat. Mereka telah menjungkir balikkan
struktur epistemologi Islam. mereka meletakkan realitas sosial yang
dihegemoni kebudayaan Barat di atas segala-galanya, hatta di atas
teks al-Qur’an dan sunnah. Realitas sosial menjadi standard kebena-
ran. Oleh sebab itu, apa pun adanya jika tidak sesuai dengan ‘teks’
realitas harus dirubah dan direinterpretasi. Dengan demikian, ayat
warisan yang memabagi anak laki-laki lebih dari perempuan harus
ditafsir ulang, karena realitas sekarang perempuan yang banyak
bekerja. Poligami harus diharamkan, karena tidak sesuai dengan
budaya masyarakat modern. Hukum hudud dan qisas harus di-
hapuskan karena tidak sesuai dengan standar International Convetion
of Human Rights, demikian Abdullah Ahmad an-Naem menjelas-
kan.77 Dan atas nama realitas juga, wanita Muslimah boleh nikah
dengan lelaki non-Muslim.78 Para pemikir Muslim liberal mengkritik
usul fiqh klasik karena berpaut erat pada teks-teks al-Qur’an dan
sunnah. Tanpa mereka sadari, saat ini mereka juga sedang ber-
gantung pada tek-teks ‘realitas sosial’.
Ketergantunga fiqh pada teks al-Qur’an dan sunnah sebenarnya
bertujuan untuk menjaga objektivitas hukum.79 Hukum yang tidak
punya rujukan hanya akan menimbulkan keonaran (chaos). Karena
setiap orang akan memberikan interpretasinya masing-masing sesuai
dengan kepentingannya. Persoalan teks dalam koridor hukum bu-

77
Abdullah AÍmad An-Na’im lima sektor penitng dalam sektor publik dimana hukum
Islam tidak bisa diterapkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusian hari ini.
Kelima-lima bidangitu adalah: tentang Konstitusi, Hukum Kriminal, Hubungan Internasional,
dan hak asasi Manusia. Lihat Toward an Islamic Reformation (Syracuse, New York: Syracuse
University Press, 1990).
78
Lihat Pembaharuan Hukum Islam,Ccounter Legal Draft kompilasi Hukum Islam (Jakarta:
Tim Pengarusutamaan Gender DEPAG RI, 2004), p. 53.
79
Pembahasan lebih lanjut bisa dibaca di bernard Weiss, “Exotericism and Objectivity
in Islamic Jurisprudence,” dalam ed. Nicholas Heer, Islamic Law and Jurisprudence (Seatle
and London: University of Washington Press, 1990), p. 53-71.

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


250 Nirwan Syafrin

kan hal baru yang berlaku pada hukum Islam saja. Ia berlaku di
Barat, sebagaimana juga berlaku di Indonesia. Para pengacara dan
Hakim di Indonesia punya teks yang disebut dengan KUHP. Dan
setiap keputusan akan selalu mengacu dan merujuk pada teks ini.
Kegagalan menemukan pijakan tekstualnya mengakibatkan hukum
tidak bisa diterapkan. Jadi kalau begitu, ketergantungan pada teks
bukan satu kelemahan hukum Islam. Hanya dengan demikian objek-
tivitas hukum dapat di tegakkan.
Fiqh Islam sebenarnya tidaklah sekaku yang dibayangkan
sebagian orang, yang membuta tuli bergantung pada teks, menga-
baikan realitas yang ada. Fiqh Islam memiliki nilai fleksibilitasnya
sendiri. Dia dapat mengadopsi dan beradaptasi dengan lingkungan-
nya. Dan ini telah terbukti secara historis. Sepanjang empat belas
abad, fiqh telah mengharungi bermacam ragam realitas sosial dan
politik, dari Afrika hingga Asia, dari Mesir hingga Samosir. Namun
fiqh tetap fiqh, ia masih utuh seperti ketika ia mula-mula lahir. Ini
karena fiqh memiliki mekanismenya sendiri untuk menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan yang ada.
Dalam fiqh Islam dikenal kaedah yang sangat populer
“taghayyur al-ah}ka>m bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah”, (hu-
kum berubah dengan perubahan masa dan tempat) dan “al-tsa>bit
bi al-‘urf ka al-tsa>bit bi al-nas}s}”, (‘adat bisa menjadi hukum). Kaedah
ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dan tempat dapat mem-
pengaruhi ketetapan hukum. ‘Urf (kebiasaan masyarakat setempat)
dapat dijadikan sandaran hukum dengan syarat ia tidak kontradiksif
dengan syari’at Islam, maksudnya teks eksplisit dalam al-Qur’an
yang tidak mengandung multi interpretasi. Ibn ‘Abidin menegaskan:
“’urf yang bertentangan dengan nas}s} tidak bisa menjadi pertimba-
ngan.” Selanjutnya Ibn Najim juga mengatakan: “‘Urf tidak bisa
menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada ketetapan
nassnya (al-mans}u>s} ‘alayh)”.80 Oleh sebab itu, hukum haramnya
ghibah dan dusta, wajibnya salat, zakat, puasa, haramnya riba,
hukum nikah dan talaq, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap
penzina, dan lain-lain yang oleh ulama dikategorikan qat}‘i al-tsubu>t
wa al-dila> l ah tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat
berubah.

80
Dikutip dari ‘Umar Sulayman al-Ashqar, Nazarat fi Usul al-Fiqh (Bayrut: Dar al-
Nafa’is, 199), p. 168.

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 251

Demikianlah perjalanan sejarah usul fiqh yang telah melewati


rentang batas waktu yang cukup panjang, menghadapi berbagai per-
soalan membantu ummat untuk menyelesaikan persoalan mereka.
Ada sisi yang perlu diperbaharui dari usul fiqh, karena pembaharuan
adalah sifat sejatinya. Tapi pembaharuan haruslah berjalan pada
prinsip-prinsip epistemologi Islam yang sudah menjadi kesepakatan
ummat sepanjang sejarah.

Penutup
Usul fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang telah
berjasa meletakkan dasar epistemologi pemikiran Islam. Ia telah
memberikan konstruk final bagi epistemologi Islam. Dalam ilmu
ini kekuatan wahyu dan akal digabungkan menjadi satu sehingga
membentuk satu bangunan yang dinamakan epistemologi Islam.
Wahyu dalam hal ini al-Qur’an dan Sunnah diposisikan pada tingkat
yang teratas, karena ia bersumberkan dari yang Maha Tahu. Akal
diposisikan pada tingkat lebih rendah secara hirarkis dari keduanya,
mengisyaratkan agar akal tunduk kepada kebenaran keduanya.
Dalam konstruk ini, wahyulah yang menjadi standard kebenaran.
Belakangan ini banyak tawaran yang diajukan untuk dijadikan
sebagai alternatif kepada usul fiqh yang ada. Karena banyak menilai
bahwa usul fiqh yang ada mengandungi banyak kelemahan yang
prinsipil. Hasan Turabi, Fazlur Rahman, Arkoun, M. Shahrur, dan
al-Jabiri, dan lain-lain adalah beberapa nama yang getol untuk mem-
perjuangkan pembongkaran usul fiqh klasik tersebut. Sayangnya,
sampai detik ini, tak seorangpun yang telah memberikan sebuah
tawaran metodologi utuh dan komprehensif. Solusi dan usulan
mereka masih terlalu umum dan kabur, belum menampakkan satu
bentuk yang konkrit. Yang adanya hanya luapan-luapan kritik atas
pikiran-pikiran ‘ulama klasik. Sementara mereka sendiri masih
belum mampu melampaui prestasi para ulama ushuliyyun di masa
lalu. Belum satu pun diantara mereka yang mampu menghasilkan
karya usul fiqh yang mumpuni. Tawaran-tawaran pembaruan usul
fiqh perlu kita sikapi dengan kritis, tidak a priori. Tetapi, juga jangan
sampai kita terburu-buru membuang khazanah klasik keilmuan
Islam, hanya karena melihat ada yang baru. Apalagi, terbukti,
tawaran-tawaran pembaruan epistemologi termasuk bidang usul fiqh
juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat yang berakar pada
worldview sekular-liberal.[]

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


252 Nirwan Syafrin

Daftar Pustaka
‘Ubaydi, Hammadi al-, al-Syat}ibi> wa Maqa>si}d al-Syari>‘ah (Dimashq:
Da>r Qutaybah, 1992)
Ansari, Zafar Ishaq, “Islamic Juristic Terminology Before Safi’i: A
Semantic Analysis with Special Reference to Kufa,” Arabica,
19 (October 1972)
Arkoun, Muhammad, Ta> r ikhiyya al-Fikr al-‘Arabi al-Isla> m i, terj,
Hashim S}a>leh (Bayru>t: Markaz al-Inma‘ al-Qawmi dan al-
Markaz al-Thaqa>fi al-‘Arabi, 1996)
Ashqar, ‘Umar Sulayman al-, Naz}ara>t fi Us}u>l al-Fiqh (Bayrut: Dar
al-Nafa’is, 199)
______, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kuwait: Maktabah al-Falah, 1982)
Asnawi, Jamal al-Din ‘Abd al-Rahim bin al-Hasan al- (w. 772), Niha>yah
al-Su>l fi Syari Minha>j al-Us}u>l(w. 685), (Bayrut: ‘Alam al-Kutub,
t.t),vol.1
Attas, Syed Muhammad Naquib al-, Prologomena to Metaphysics of
Islam (Kuala Lumpur: the International Institute of Islamic
Thought and Civilization, 1995)
Azami, M. Mustafa Al-, On Schacht’s Origins of Muhammadan
Jurisprudence (Oxford: The Oxford Center for Islamic Studies
& The Islamic Text Society, 1996)
Banna, Jamal al-, Nah}wa Fiqh Jadid (Al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Islami,
t.t)
Baqillani, al, Al-Taqrib wa al-Irsya>d, vol.1, 172ff.
Barut, Muhammad Jamal, “Al-Ijtihad bayn al-Nass wa al-Waqi‘,” in
Ahmad Raysani and Muhammad Jamal Barut, Al-Ijtihad: al-
nass, al-waqi‘, al-mas}lah}ah (Bayrut: Dar al-Fikr al-Mu‘aÎir &
Dimashq: Dar al-Fikr, 2000)
Bosquet dan Joseph Schact (eds.), Selected Works of C. Snouck
Hurgronje (Leiden: E.J. Brill, 1957).
Bosworth, C. E., et al (eds.), The encyclopedia of Islam (Leiden: E. J.
Brill, 1997), “Shafi‘i”, vol. 9, 1983.
Brunschvig, Robert, “Logic and Law in Classical Islam,” dalam G. E.
von Grunebaum (ed.), Logic in Classical Islamic Culture
(Weisbaden: otto Harrasowitz, 1970)

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 253

Coulson, N. J., A History of Islamic Law (Edindurgh: Edinburgh


University Press, 1978)
Daud, Wan Mohd Nor Wan, The Concept of Knowledge in Islam and
its implications for education in a developing country (London:
Mansel, 1989)
Dutton, Yasin, The Origins of Islamic Law (Surrey: Curzon Press,
1999).
Fyzee, A Modern Approach to Islam (Bombay: Asia Publishing House,
1963)
Gibb, H.A.R., Mohammadenism (London: 1949)
Hallaq, Wael, A History of Islamic Legal Theories (Cambridge:
Cambridge University Press, 1997)
Hanbali, Abu al-Falah ‘Abd al-Hayy bin al-‘Imadi al- (d. 1089),
Syadhara>t al-Dhahab fi Akhba>r man Dhahab (Bayrut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, n.d)
Hasan, Ahmad, Early Development of Islamic Jurisprudence (Islamabad,
Pakistan: Islamic Research Institute, International Islamic
University, 1994)
Jabiri, Muhammad ‘Abid al-, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut:
Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyyah, 1989)
Juynboll, G.H.A., “Some New Ideas on the development of Sunna
As A Technical Term in Early Islam,” Jerusalem Studies in Arabic
and Islam, 10 (1987)
Khaldun, Ibn, The Muqaddimah: An Introduction to History, terj. Franz
Rosenthal (New York: Pantheon Books, 1958)
Khalkan, Abu al-‘Abbas Shams al-Din Ahmad bin Muhammad bin
Abu Bakr bin, Wafaya>t al-‘A’ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n,
ed. Ihsan ‘Abbas (Qum: Mansyurat al-Rida, 1342)
Khallaf, ‘Abdul Wahhab, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Istanbul: Nesiriyat, 1968)
Lev, Daniel S., Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of
California Press, 1972)
Lowry, Joseph E., “Does Syafi‘i Have A Theory of “Four Sources” of
Law,” dalam Bernard G. Weiss, Studies in Islamic Legal Theory
(Leiden: E.J. Brill, 2002)

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


254 Nirwan Syafrin

Mahdi, Muhsin, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (London: George


Allen and Unwin Ltd, 1957)
Makdidi, Gorge, “Ther Juridical Theology of Shafi‘i - Origins and
Significance of Usul al-Fiqh,” Stvdia Islamica, MCMLXXXIV,
45.
Mas’ud, Muhammad Khalid, Shatibi’s Philosophy of Islamic Law
(Pakistan: Islamic Research Institute, 1995).
Mas’udi, Masdar F., “Perempuan di antara Lembaran Kitab Kuning,”
dalam Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam
(Surabya: Risalah Gusti, 1996)
Moderresi, Hossein, “Rationalism and Traditionalism in Shi’i
Jurisprudence: A Preliminary Survey”, Stvdia Islamica, LIX
Moussavi, Ahmed Kazemi, “A Schema of Islamic Legal Methodology
(Usul Fiqh) in early Islam,” dalam Al-Shajarah, vol. 9, no. 1,
2004
Munajjid, Mahir al-, al-Isyka>liyya al-manhajiyya fi “Al-Kitab wa al-
Qur’an, (Bayrut: Dar al-Fikr, 1994).
Muslehuddin, Muhammad, Philosophy of Islamic Law and Orientalists
(Lahore: Islamic Publications (Pvt) LTD, 1994).
Na’im, Abdullah Ahmad An-, Toward an Islamic Reformation
(Syracuse, New York: Syracuse University Press, 1990).
Nasysyar, ‘Ali Sami al-, Mana>hij al-Bah}ts ‘Inda Mufakkir al-Islam
(Qahirah: Dar al-Ma‘arif, 1966).
Nawawi, Abu Zakariyya Muhy al-Din bin Sharf Al- (W .676), Tahdhib
al-Asma’ wa al-Lugha>t (Mesir: Idarah al-Tiba‘ah al-Muniriyyah,
t.t)
Tébani, ‘Abd al-Rahman al-, et al, Al-Madkhal al-Fiqhi wa Tarikh al-
Tasyri‘ al-Islami (Al-Qahirah: Maktabah Wahbah, 1982)
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity (Chicago: The University of
Chicago Press, 1984)
Raysani, Ahmad, Naz} a riyyah al-Maqa> s } i d ‘Ind al-Imam al-Syatibi
(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1995)
Rézi, Fakhr al-Din al-, Mana>qib al-Imam al-Syafi‘i (Bayrut: Dar al-
Jil, 1413/1993)

Jurnal TSAQAFAH
Konstruk Epistemologi Islam 255

Réziq, Mustafa ‘Ali ‘Abdul, Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah


(Al-Qihirah: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah,TT).
Sanu, Qutb MuÎtafa, “Al-Mutakallimun wa Usul al-Fiqh,” Islamiyyah
al-Ma’rifah, no.9, July 1997
______, “Fi Murtakazat Tajdid al-Fikr al-Usuli,“ dalam Tafakkur, jilid
1 dan 2, no. 1 dan 2, 1421H/2000
Schacht, Joseph dan Charles E. Bosworth (eds.), The legacy of Islam
(Oxford: Clarendon Press, 1974)
______, “Theology and Law in Islam”, dalam G.E. von Grunebaum
(ed.), Theology and Law in Islam, (Wiesbaden: Otto
Harrassowitz, 1969)
______, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: The
Clarendon Press, 1959), 137.
Shafi‘i, Muhammad bin Idrus al-, (w. 204), Al-Risalah, ed. Ahmad
Syakir (Bayrut: Dir al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t)
______, “Kitab Ikhtilaf Shafi‘i wa Malik,” dalam Al-Umm, disupervisi
dan koreksi oleh Muhammad Zuhri al-Najjur (Bayrut: Dar al-
Ma’rifah, n.d), vol. 7
Sirry, Mun’im A., (ed.), Fiqih Lintas Agama ( Jakarta: Yayasan
Paramadian Bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004)
Smith, Wilfred Cantwell, “The Concept of Shari‘a Among Some
Mutakallimin”, dalam George Makdisi (ed.), Arabic and Islamic
Studies in Honor of Hamilton A.R. Gibb (Leiden: E.J. Brill, 1965).
Sulayman, ‘Abd al-Wahhab Ibrahim Abu, Al-Fikr al-Us}u>li, dira>sah
tah}liliyyah naqdiyyah (Jeddah: Dar al-Shuruq, 1984)
______, Manhajiyyah Al-Ima>m Muhammad bin Idrus al-Shafi‘i (ra) fi
Usul al-Fiqh: ta’sil wa tahlil (Bayrut; Dar Ibn Hazm & Makkah
al-Mukarramah: Al-Maktabah al-Makkiyah, 1999)
______, Azmah al-‘Aql al-Muslim (Virginia: Al-Ma‘had al-‘Alami li
al-Fikr al-Islami, 1994)
______, Crisis of Muslim Mind, terj. Yusuf Talal DeLorenzo (Virginia:
The International Institute of Islamic Thought, 1997)
Syawkani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al- (w. 1255), Irsya>d
al-Fuh}u>l ila Tah}qiq al-H}aq min ‘Ilm al-Us}u>l, diedit oleh Ahmad
‘Abd al-Salam (Bayrut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,1994).

Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430


256 Nirwan Syafrin

Tursbi, Hasan, Tajdid Us} u >l al-Fiqh al-Islami (Jeddah: Al-Dar al-
Su’udiyyah 1404H/1984M)
Ulwani, Taha Jabir al-‘, Us} u > l al-Fiqh manhaj bah} t s wa ma’rifah
(Virginia: Al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Isla>mi>, 1995)
Umar, Nasaruddin, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci (Jakarta:
Fikahati Aneska, 2000)
Wadud, Amina, Qur’an and Woman, Rereading the Sacred Text from
a Woman’s Perspektif (New York: Oxford University Press)
Weiss, Bernard G., “Introduction”, dalam Bernard G. Weiss, The Search
for God’s Law (Salt Lake City: University of Utah Press, 1992)
______, “Exotericism and Objectivity in Islamic Jurisprudence,”
dalam ed. Nicholas Heer, Islamic Law and Jurisprudence (Seatle
and London: University of Washington Press, 1990)
______, “Law in Islam and in the West: Some Comparative
Observation”, dalam Wael B. Hallaq and Donald P. Little (eds.),
Islamic Studies Presented to Charles J. Adams (Leiden: E.J. Brill,
1991)
Zayd, Nasr Hamid Abu, “Limadhataghat al-talfiqiyya ‘ala kathir min
masyra’at tajdid al-Islam?,” Al-Hilal, Oktober 1991
______, “al-manhaj al-Nafi‘ fahm al-nus}us al-diniyya,” Al-Hilal,
March 1992.
______, Al-Imam Syafi‘i wa ta’sis al-aydulujiyyah al-wasatiyyah (Al-
Qahirah: Maktabah Madbuli, 1996).

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966)
dan Penafsiran Sastrawi terhadap al-Qur’a<n
Yusuf Rahman
Fakultas Ushuluddin & Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: yrahman@hotmail.com

Abstract
This article discusses the ideology of Sayyid Qutb and how this ideology
has influenced his approach to the Qur’an. Although, in the beginning of his
life he saw the Qur’an as the literary text and hence the literary approach to the
Qur’an is the preferred approach, in his later life – when he became Islamist –
he revised this approach and treat the Qur’a>n as a political document. Because
of this political interpretation of the Qur’a>n, his tafsi>r Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n has
influenced many radical groups in Egypt and other countries. The primary
sources of this article are Sayyid Qutb’s works, especially al-Tas}wi>r al-Fanni> fi al-
Qur’a>n, Masya>hid al-Qiya>mah fi> al-Qur’a>n, and Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. These works are
read chronologically and historically to see the development of Qutb’s thought
and the shifting of his ideology. Thus, the knowledge of the social-historical
and political context of Egypt is important to determine its influence to Qutb
and vice versa. Finally, this article concludes that Qutb’s literary approach to the
Qur’an has been transformed into ideological and political approach. This shifting
is due to the changing of Sayyid’s Qutb worldview, from a secular Muslim to
be an ideological one. Furthermore, at the end of his life, he became a theoretical
ideological Islamist.

Tulisan ini mendiskusikan ideologi Sayyid Qutb dan bagaimana


ideologinya mempengaruhi penafsirannya terhadap al-Qur’an. Meskipun pada
permulaan hidupnya dia melihat al-Qur’an sebagai teks sastra dan kemudian
menggunakan pendekatan sastrawi untuk menafsirkan al-Qur’an, pada fase
kehidupan berikutnya ketika dia menjadi Islamis dia merevisi pendekatannya
dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman politik. Dengan penafsiran politis

* Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jl. Kertamukti No.5 Pisangan Barat,
Ciputat, Tangerang Telp. 021 7401472

Vol. 7, No. 1, April 2011


70 Yusuf Rahman

terhadap al-Qur’an, tafsir Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n telah mempengaruhi kelompok-


kelompok radikal di Mesir dan Negara lainnya. Sumber utama dari kajian ini
adalah karya Sayyib Qutb terutamanya al-Tas}wi>r al-Fanni> fi al-Qur’a>n, Masya>hid al-
Qiya>mah fi> al-Qur’a>n, and Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n. Karya-karya ini dibaca secara kronologis
dan historis untuk dapat melihat perkembangan pemikiran Sayyid Qutb dan
pergeseran ideologinya. Dari sini, pengetahuan tentang konteks sejarah sosial
dan politik Mesir adalah penting untuk menentukan keterpengaruhan Sayyid
Qutb. Akhirnya, studi ini berkesimpulan bahwa pendekatan sastrawi Sayyid
Qutb terhadap al-Qur’an telah bertransformasi menjadi pendekatan ideologis
dan politis. Pergeseran dan perubahan cara pandang terhadap al-Qur’an ini
tidak bisa dilepaskan dari perubahan cara pandang Sayyid Qutb dari seorang
muslim “sekuler” menjadi seorang muslim “ideologis”, bahkan di akhir hidupnya
ia merupakan teoritikus ideologis Islamis.

Keywords: kita>b adabi>, wijhah fanniyyah, tas}wi>r, kita>b da‘wah, manhaj


Islami>, h}a>kimiyyah.

Pendahuluan

T
ulisan ini untuk menunjukkan bahwa berbeda dengan karya
para sarjana Muslim yang telah menggunakan pendekatan
sastrawi terhadap al-Qur’a>n, seperti Ami>n al-Khu>li> (1895-1966)
dan para penerusnya hingga Nas}r H{a>mid Abu> Zayd (1943-2010),
yang masih dikecam oleh kebanyakan masyarakat Muslim, karya
Sayyid Qut}b (1906-1966) justru meraih dukungan dan bahkan ideo-
logi yang dikembangkannya menjadi salah satu yang paling berpe-
ngaruh. Tesis yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bahwa
prasupposisi atau praanggapan seseorang terhadap al-Qur’an>lah yang
mempengaruhi respon dan tanggapan masyarakat Muslim yang
berbeda. Walaupun sama-sama menggunakan tafsir sastrawi, respon
masyarakat Muslim terhadap karya-karya Qut}b lebih positif di-
bandingkan dengan mazhab Ami>n al-Khu>li>.
Sebelum mendiskusikan gagasan-gagasan Qut}b, perhatian
khusus harus diberikan kepada edisi suntingan dan edisi cetakan
karya-karya Qut}b. Sebagaimana yang telah ditekankan oleh banyak
sarjana pengkaji karya Qut}b,1 Qut}b sering merevisi buku-bukunya
1
Banyak sarjana yang mengkaji Qut}b biasanya merujuk kepada berbagai perubahan
di antara edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n karya Qut}b. Lihat, misalnya, Adnan A. Musallam, “The

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 71

dalam cetakan-cetakan selanjutnya dan, konsekuensinya, ide-ide


yang dituangkan dalam buku edisi revisi biasanya mengurangi, me-
ngoreksi atau menambah gagasan-gagasan edisi sebelumnya.

Prasupposisi dalam Penafsiran


Dalam artikelnya, “Tafsir from T{abari> to Ibn Katsi>r,” Norman
Calder (1950-1998) menulis bahwa kualitas yang membedakan
seorang penafsir dengan yang lain bukan terletak pada kesimpulan-
nya sehubungan dengan apa yang al-Qur’a>n maksudkan, melainkan
pada pengembangan dan penunjukkan teknik-teknik yang menjadi
tanda penguasaan mereka atas bidang sastra.2 Dengan kata lain, ber-
bagai metode yang digunakan oleh para penafsir bisa dianggap lebih
penting ketimbang hasil penafsirannya. Sering juga dikatakan bahwa
berbagai kesimpulan berbeda dalam penafsiran utamanya adalah
karena variasi metode yang digunakan oleh para penafsir.3
Tetapi, di samping metode-metode tersebut, pra-konsepsi yang
diadopsi oleh para penafsir sering jauh lebih berpengaruh dalam
memproduksi hasil-hasil yang bervariasi ketimbang perbedaan
mereka dalam metode. Para sarjana seringkali berbeda dalam penilai-
annya terhadap teks yang sama. Pada kasus al-Qur’a>n, misalnya,

Formative Stages of Sayyid Qut}b’s Intellectual Career and His Emergence as an Islamic
Da>‘iyah, 1906-1952" (Disertasi, the University of Michigan, 1983), 231; ‘Abdulla>h ‘Awadh
al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b al-Adi>b al-Na>qid (Yordania: Maktabat al-Mana>r, t.t. [1983?]), 313;
Mhd. Syahnan, “A Study of Sayyid Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of
His Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n With Special Reference to Selected Themes,” (Tesis Magister, McGill
University, 1997).
Namun, edisi berbeda buku-bukunya yang lain juga memperlihatkan berbagai
perubahan dan penambahan. Lihat, misalnya, William E. Shepard yang mengkaji edisi berbeda
karya Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, dalam Sayyid Qut}b and Islamic Activism
(Leiden: E.J. Brill, 1996), h. xviii-ff.; dan Musallam, “The Formative Stages,” h. 192. Lihat
juga Kristiya>n Tsi>ska> (Christian Szyska), “H}awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’ ‘inda Udaba>’
al-H{araka>t al-Islajmiyyah,” dalam al-Karmil (Abh}a>ts fi> al-Lughah wa al-Adab) 20 (1999), h.
36, n. 15.
2
Calder, “Tafsi>r from T{abari> to Ibn Kathi>r: Problems in the Description of a genre,
illustrated with Reference to the Story of Abraham,” dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir
A. Shareef (eds.) Approaches to the Qur’a>n (London dan New York: Routledge, 1993), h.
106.
3
J. Wansbrough menulis dalam karyanya Quranic Studies bahwa “setelah semuanya,
kesimpulan-kesimpulan lebih banyak bergantung kepada metode dibanding bahan [yang
digunakan] (Results are, after all as much conditioned by method as by material). Lihat dalam
karyanya, Quranic studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation (Oxford: Oxford
University Press , 1977), h. 91.

Vol. 7, No. 1, April 2011


72 Yusuf Rahman

Asy‘ariyyah menekankan kekadimannya, sementara Mu‘tazilah


yakin akan ke-makhlukan-nya.
Pra-konsepsi ikut terlibat dalam setiap aspek hubungan antara
sang penafsir dengant teksnya. Pada umumnya, para sarjana mem-
buat perbedaan antara pra-konsepsi (presuppositions) dan prasangka
(prejudice). Pra-konsepsi adalah titik awal yang bersifat filosofis atau
teologis yang digunakan seorang penafsir, sementara prasangka
berarti faktor-faktor personal yang mempengaruhi penilaian seorang
penafsir.4
Tak ada sarjana yang lebih ekspresif dalam penjelasannya
mengenai pra-konsepsi dari seorang teolog dan ahli hermeneutika
Jerman, Rudolf Bultmann (1884-1967). Dalam karyanya yang ber-
pengaruh, “Is Exegesis Without Presupposition Possible?,” Bultmann
menyatakan bahwa tak akan ada penafsiran tanpa adanya pra-
konsepsi (there cannot be any such thing as presuppositionless exegesis),5
karena setiap orang terkondisikan oleh individualitas, bias, dan
kepentingannya sendiri. Dalam artikelnya yang lain, “The Problem
of Hermeneutics,” Bultmann berargumen bahwa untuk menuntut
sang penafsir menghindar dari subjektivitas dan individualitasnya
adalah usaha yang keliru, karena hal itu akan merusak kondisi penaf-
sirannya, yaitu “hubungan yang hidup” antara sang penafsir dan
subjeknya. 6
Namun, Bultmann membuat perbedaan antara pra-konsepsi
dan prasangka. Penafsiran, menurutnya, harus tanpa prasangka,
dalam arti bahwa prasangka tak boleh lebih dahulu memutuskan
bagaimana hasil penafsirannya itu nantinya, atau memanipulasi suatu
teks untuk menegaskan sebuah opini tertentu.7 Mengomentari akan
bahaya prasangka dalam suatu penafsiran, Bultmann memperingat-
kan: setiap penafsiran yang diatur oleh berbagai prasangka dogmatis

4
Graham N. Stanton, “Presuppositions in New Testament Criticism,” dalam I. Howard
Marshall (ed.), New Testament Interpretation: Essays on Principles and Methods (Exeter: The
Paternoster Press, 1977), h. 61.
5
Bultmann, “Is Exegesis without Presuppositions Possible?” diseleksi, diterjemahkan
dan diberi kata pendahuluan oleh Schubart M. Ogden, Existence and Faith: Shorter Writings of
Rudolf Bultmann, cetakan ke-5 (Cleveland and New York: The World Publishing Company,
1966), h. 290.
6
Bultmann, “The Problem of Hermeneutics,” dalam idem, Essays Philosophical and
Theological (London: SCM Press Ltd., 1955), 255. Lihat juga, h. 241, 242.
7
Bultmann, “Exegesis without Presuppositions?,” h. 289, dan idem, “The Problem
of Hermeneutics,” h. 255.

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 73

tidak mendengar apa yang teks bicarakan, tapi hanya membiarkan


teks berkata apa yang ingin didengarkan prasangka dogmatis itu
(every exegesis that is guided by dogmatic prejudice does not hear what
the texts say, but only let the latter say what it wants to hear).8 Pra-
pemahaman, di sisi lain, adalah sebuah asumsi terbuka yang akan
mendengar sebuah teks berbicara dan siap dikritisi atau dikoreksi
olehnya selama perjumpaannya dengan teks tersebut.
Dengan penjelasan seperti di atas, kita akan mengidentifikasi
pra-konsepsi Qut}b terhadap al-Qur’a>n. Dan di sini kita akan melihat
transformasi dan perubahan pra-konsepsi Qut}b terhadap al-Qur’a>n,
sebagaimana yang tercermin dari karya-karyanya.

Perubahan Prasupposisi Sayyid Qut}b terhadap al-Qur’a>n


Dalam karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n — edisi per-
tamanya terbit tahun 19459— Qut}b berargumen bahwa keindahan
sastrawi al-Qur’a>n harus dikembangkan sebelum lanjut kepada
tujuan-tujuan penafsiran yang lain. Qut}b menegaskan bahwa dia
telah menulis buku tersebut bukan untuk menekankan kesucian
religius al-Qur’a>n ataupun bukan untuk kepentingan dakwah Islam,
tapi:
agar kita bisa menemukan keindahan artistik murni [al-Qur ’an],
elemen yang esensial di dalam dirinya, yang akan kekal di dalam al-
Qur’a>n, yang dipenuhi oleh seni dan lepas dari semua ketertarikan
dan tujuan. Tentunya, keindahan ini bisa dinikmati dengan sen-
dirinya [tanpa yang lain] dan cukuplah ia, [tapi saat] ia disandingkan
dengan tujuan-tujuan agama, maka nilai[nya] bertambah.10

Dalam artikelnya “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi< al-Qur’a>n al-Kari<m”


terbit dalam al-Muqtat}af 94, 2 (1 Februari 1939), 206-207, Qut}b secara
jelas menyatakan bahwa dia akan menafsirkan/memperlakukan al-
8
Bultmann, “Exegesis without Presupposition?,” h. 290.
9
Sayangnya, penulis tidak bisa merujuk kepada edisi pertama ini. Buku ini dikembangkan
dari artikel-artikelnya di al-Muqtat}af tahun 1939 dan al-Risa>lah tahun 1944-1945 mengenai
subjek yang sama. Lihat Musallam, “The Formative Stages,” h. 130-137; Boullata, “Sayyid
Qut}b’s Literary Appreciation,” dalam Literary Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n,
dalam Issa J. Boullata (Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000), h. 355, 368, nn. 9-10; Sayyid
Basyi>r Ahmad Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m Sayyid Qut}b: al-Adi>b al-‘Imla>q wa al-Mujaddid al-
Mulham fi> D{aw’ A>tsa>rih wa Inja>za>tih al-Adabiyyah (Kairo: Da>r al-Fadhi>lah, 1994), h. 280-281.
10
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1994), cetakan
kesebelas, h. 23.

Vol. 7, No. 1, April 2011


74 Yusuf Rahman

Qur’a>n sebagai sebuah teks sastra (kita> b adabi> ).11 Di sinilah kita
melihat bahwa tafsir sastrawi, menurut Qut}b, adalah pengkajian al-
Qur’a> n hanya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah al-
bah}tah). Menurut Qut}b, tujuan utama suatu seni adalah untuk meng-
hasilkan berbagai pengaruh emotif, menyebarkan kepuasan artistik,
menimbulkan suatu kehidupan yang tersembunyi di balik pengaruh
ini, dan untuk mengisi imajinasi dengan suatu gambaran (fa-waz{ifat
al-fann al-u> l a> hiya itsa> rat al-infi‘a> l a> t al-wijda> n iyyah, wa isya> ‘ at al-
ladhdhah al-fanniyyah bi-ha> d hihi al-itsa> r ah, wa ija> s yat al-h} a ya> t al-
ka>minah bi-ha>dhihi al-infi‘a>la>t, wa taghdhiyat al-khaya>l bi-al-s}uwar).12
Tujuan artistik ini, lanjut Qut}b, akan ditemukan dalam gaya-gaya
berekspresi al-Qur’a>n, yang ia sebut dengan istilah tas}wi>r (penggam-
baran artistik), takhyi> l (pembentukan imaginasi) dan tasykhi> s }
(personifikasi).
Mengomentari editor al-Muqtat}af yang menyatakan kepada-
nya bahwa Perjanjian Lama dan Baru telah dikaji secara sastrawi di
Barat, Qut}b menyatakan bahwa al-Qur’a>n dengan gayanya yang unik
lebih pantas (awla>) untuk pendekatan sastrawi itu.
Dalam mengomentari klaim Qut}b bahwa tak ada seorangpun
sebelumnya yang berusaha mengkaji al-Qur’a>n berdasarkan suatu
pendekatan sastrawi,13 Bint al-Sya>t}i’ (1913-1998) menulis dalam al-
Ahra>m bahwa metode ini telah diajarkan di Cairo University; sebuah
komentar yang ditolak Qut}b seraya menantangnya untuk bisa me-
nyebut sebuah karya yang merekomendasikan pendekatan ini.14
Namun dalam edisi ketiga bukunya al-Tas}wi>r al-Fanni>, terbit tahun
1953, Qut}b menyadari bahwa hanya beberapa saat—setelah edisi
pertama bukunya terbit—Ami>n al-Khu>li> telah mengajarkan para
mahasiswanya aspek-aspek metode sastrawi (nawa>h}i> min ha>dha> al-
iitija>h)15 di Fakultas Adab Cairo University. Menariknya, penulis tidak
11
Lihat Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m” terbit dalam al-Muqtat}af 94, 2
(1 Februari 1939), h. 206-207, Qut}b secara jelas menyatakan bahwa dia akan menafsirkan/
memperlakukan al-Qur’a>n sebagai sebuah teks sastra (kita>b adabi>).
12
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 242.
13
Lihat, Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 9.
14
Argumen balik Qut}b diterbitkan dalam artikelnya “Maba>hi} ts ‘an al-Tas}wi>r al-Fanni>
fi> al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 529. Lihat juga al-Khabba>sy, Sayyid Qut}b, h.
307; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, h. 298.
15
Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ke-3, t.t. [1953?], 9, n. 1. Karena penulis tidak bisa
merujuk kepada edisi yang kedua, penulis tidak yakin jika Qut>b menulis catatan ini untuk
edisi tersebut. Penanggalan edisi ketiga tahun 1953 didasarkan pada catatan Qut}b sendiri
saat dia menyatakan bahwa edisi kedua Masya>hid al-Qiya>mah “muncul pada tahun ini, 1953”
(tas}dur fi> ha>dha> al-‘a>m, 1953). Lihat al-Tas}wi>r al-Fanni>, edisi ketiga, h. 113, n. 1.

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 75

menjumpai catatan ini dalam edisi-edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> selan-


jutnya.16
Di dalam al-Tas}wi>r al-Fanni>, Qut}b menceritakan perkenalan
dan pergaulannya dengan al-Qur’a>n sejak kecil hingga akhirnya dia
“menemukan” al-Qur’a>n (laqad wajadtu al-Qur’a>n). Di waktu kecil
ketika membaca al-Qur’a>n dia dapat melihat suatu gambaran (al-
s}u>rah al-sa>dhijah) yang tertanam dalam imajinasinya, walaupun dia
belum bisa memahami maknanya maupun tujuannya. Dan ketika
beranjak dewasa dan membaca karya-karya tafsir, yang dia dapatkan
hanyalah al-Qur’a>n yang sulit dan kompleks (‘usr mu‘aqqad), di mana
dia tidak temukan lagi gambaran yang indah yang dulu pernah ia
rasakan. Akhirnya, setelah membaca langsung al-Qur’a> n tanpa
melalui kitab-kitab tafsir, dia menemukan kembali al-Qur’a>n yang
menggembirakan dan indah (al-ladhi>dh al-jami>l),17 yaitu al-Qur’a>n
yang atraktif dalam gaya pengekspresiannya.
Setelah penemuan al-Qur’a>n ini dan pada saat yang sama me-
nemukan di dalam dirinya kelahiran kembali al-Qur’a>n (mawlid al-
Qur’a>n min jadi>d),18 Qut}b berusaha menyebarkan penemuan ini ke-
pada publik melalui berbagai artikel yang dia publikasikan di dalam
al-Muqtat}af19 dan al-Risa>lah,20 yang akhirnya diterbitkan kembali
dalam bentuk buku berjudul al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n tahun
1945. Dalam karya yang disebut terakhir ini pembahasan Qut}b me-
ngenai tas}wi>r dalam syair pra-Islam, syair masa Islam, syair pada Per-
janjian Lama dan syair dalam kesusasteraan Barat yang telas dibahas
di majalah al-Muqtat}af dan al-Risa>lah tidak dimasukkan. Pembaha-
san tersebut dimasukkan dalam karyanya yang lain al-Naqd al-Adabi>.21

16
Namun, dalam kata akhir (postscript)-nya untuk edisi ke-3 al-Tas}wi>r al-Fanni>, dia
memberikan beberapa arahan bahwa beberapa pengkaji al-Qur’a>n dan para guru di banyak
sekolah (universitas?) mengaplikasikan pendekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n juga. Lihat
kata akhir yang dicetak dalam edisi ke-14 (1993), h. 254.
17
Lihat Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 7-8.
18
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 10.
19
Qut}b, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” dalam al-Muqtat}af 94, h. 2 (1
Februari 1939), h. 206-211; idem, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,” al-Muqtat}af 94, h.
3 (1 Maret 1939), h. 313-318.
20
Qut}b, “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 581 (21 Agustus 1944), 690-693; “Baqiyyah
fi> al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l,” al-Risa>lah 583 (4 September 1944), 728-731; “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-
Qur’a>n,” al-Risa>lah 601 (8 Januari 1945), h. 43-45; “al-Tana>suq al-Fanni> fi> Tas}wi>r al-Qur’a>n,”
al-Risa>lah 611 (19 Maret 1945), h. 278-281.
21
Hal-hal ini didiskusikan dalam “al-Ma‘a>ni> wa al-Z{ila>l” dan “Baqiyyah fi> al-Ma‘a>ni> wa
al-Z{ila>l”, secara berurut. Keduanya masuk ke dalam karya Qut}b, al-Naqd al-Adabi>: Us}u>luh
wa Mana>hijuh, edisi ketiga (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1960), h. 22-30.

Vol. 7, No. 1, April 2011


76 Yusuf Rahman

Selanjutnya, pada tahun 1947, Qut}b mengaplikasikan teori


tas}wi>r-nya dan mengembangkan diskusinya tentang penggambar-
an al-Qur’a>n akan Hari Kiamat yang ada dalam al-Tas}wi>r al-Fanni>
menjadi sebuah buku yang terpisah, berjudul Masya>hid al-Qiya>mah
fi> al-Qur’a>n.22 Dalam mengimplementasikan teori utamanya, tas}wi>r,
yang Qut}b tegaskan sebagai “instrumen yang lebih unggul dalam
gaya pada ayat-ayat Al-Qur’a>n,” Qut}b mengumpulkan dalam karya-
nya ini 150 gambaran (masya>hid) mengenai Hari Kebangkitan dari
80 surat (baik surat Makkiyyah ataupun Madaniyyah), dan me-
nyusunnya secara kronologis.23 Qut}b secara sadar menggunakan
istilah masyhad lantaran hanya ayat-ayat yang memiliki gambaran
personifikasi dan bergerak (masyhad sya>khis} aw mutah}arrik)24 yang
diperhatikan dalam diskusinya, sementara ia mengabaikan ayat-ayat
lain yang juga menggambarkan Hari Kiamat.
Sama dengan tujuan penulisan buku pertamanya, tujuan Qut}b
dalam menulis Masya>hid al-Qur’a>n adalah juga murni untuk tujuan
sastrawi (hadafi> huna> hadaf fanni> kha>lis} mah}d}).25 Lantaran minatnya
yang terlalu berorientasi kepada sastra, ia dikritik oleh H}asan al-
Banna> (1906-1949), tokoh utama al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, lantaran
mengabaikan aspek religius al-Qur’a>n.26 Ada juga beberapa sarjana
yang mengkritik Qut}b karena mengaplikasikan ide-ide sekuler ter-
hadap teks Tuhan, seperti pengaplikasian kriteria syair terhadap al-
Qur’a>n, seperti tas}wi>r dan takhyi>l, atau memperlakukan nabi-nabi
yang maksum layaknya orang biasa.27 Penting untuk disebutkan
bahwa dalam edisi ketiga bukunya, al-Tas}wi>r al-Fanni> yang terbit
tahun 1953, saat menjawab berbagai keberatan atas penggunaan

22
Dalam edisi ketujuh Masya>hid al-Qiya>mah, Qut}b menasihati para pembacanya
untuk menelaah karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>, sebelum beranjak kepada Masya>hid al-
Qiya>mah, karena karya yang pertama menjelaskan kerangka teoritis gaya ekspresi al-Qur’a>n,
sedangkan buku yang kedua secara ekstensif merujuk ke teori itu. Lihat Qut}b, Masya>hid al-
Qiya>mah (1981), h. 229. Nasihat ini, yang merupakan kata akhirnya (kalimah fi> al-khita>m),
tidak muncul dalam edisi keduanya. Penulis yakin bahwa hal ini ditambahkan oleh Qut}b
mulai dengan edisi ketiga atau keempatnya.
23
Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10.
24
Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 10.
25
Qut}b, Masya>hid al-Qiya>mah, h. 12.
26
Lihat, Musallam, “Formative Stages,” h. 138-139.
27
Lihat review-review Naji>b Mahfu>z} dan ‘Abdullat}i>f al-Subki> mengenai al-Tas}wi>r al-
Fanni> dalam al-Risa>lah 616 (23 April 1945), h. 433 dan al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 542,
secara berurut. Lihat juga jawaban Qut}b dalam al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945), h. 527 dan al-
Risa>lah, h. 620, 621 (28 Mei 1945), h. 569-570.

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 77

istilah “seni” (fanni>) atas al-Qur’a>n, Qut}b menegaskan bahwa dia


tidak bermaksud mengatakan bahwa al-Qur’a>n adalah karya fiksi,
yang tercipta atau berlandaskan sekadar pada imajinasi (mulaffaq,
al-mukhtara‘ aw al-qa>’im ‘ala> mujarrad al-khaya>l), tapi bahwa istilah
seni yang diatributkan kepada al-Qur’a>n maksudnya adalah “ke-
indahan” dalam konteks penyampaian, eksekusi, dan efisiensi dalam
produksi [makna]” (jama> l al-‘ard} , tansi> q al-ada> ’ wa bara> ‘ at al-
ikhra> j ). 28
Banyak sarjana yang mengklasifikasi kedua karya Qut}b ini,
al-Tas} wi> r al-Fanni> dan Masya> hid al-Qiya> mah, sebagai karya yang
masuk dalam fase “pra-Islamis.”29 Christian Szyska mencatat bahwa
pemahaman Qut}b terhadap seni atau sastra berubah dengan pener-
bitan karyanya, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, tahun 1949.30
Karya yang membicarakan keadilan sosial dalam Islam ini dianggap
oleh banyak sarjana31 sebagai buku pertama Qut}b yang berhaluan
Islamis.
Namun, jika kita membandingkan edisi pertama al-‘Ada>lah
al-Ijtima>‘iyyah dan edisi-edisi selanjutnya, kita menemukan bahwa
setidaknya hingga edisinya yang ketiga, yang terbit tahun 1952,
pemahaman Qut}b akan seni dan perannya dalam masyarakat hampir
sama dengan yang telah diekspresikannya dalam buku-buku lain

28
Lihat kata akhir Qut}b untuk edisi ketiga yang dicetak ulang dalam edisi al-Tas}wi>r
al-Fanni> yang ke-14, h. 255.
29
Sarjana lain menggunakan kategori “Sekularis Muslim” (Muslim Secularist) seperti
Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. xvi, n. 13; “Pra-Islami” (pre-Islamic) seperti
Ronald Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith and Conception of Religion: Sayyid
Qut}b’s Introduction to the Tafsi>r, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n,” British Journal of Middle Eastern Studies
21, 1 (1994), 102; “Sécularisme Neutre” seperti Olivier Carré dalam “‘A L’Ombre du Coran’
Revisité: Les lendemains possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’,” Arabica
48 (2001), 87. Lihat juga Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” dalam LSRMQ,
354. Bandingkan dengan Leonard Binder dan John Calvert yang berpendapat bahwa paham
Islamisme Qut}b telah bermula dari konsepsinya mengenai apresiasi estetika Al-Qur’a>n; jadi,
dari karyanya, al-Tas}wi>r al-Fanni>. Lihat Binder, Islamic Liberalism (Chicago: University of
Chicago Press, 1988), 170-205; dan Calvert, “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid
Qut}b,” Religious Studies and Theology 15, h. 2-3 (Desember 1996), h. 61-76. Musallam
menanggalkan komitmen Qut}b kepada Islam tahun 1947, khususnya dengan publikasi jurnal
Islam al-Fikr al-Jadi>d. Lihat Musallam, “Formative Stages,” h. 187-191.
30
Szyska, “H{awla Mafhu>m ‘al-Adab al-Multazim’,” h. 36-37. Dia mengakui bahwa
dia tidak bisa merujuk kepada edisi pertama buku ini namun bergantung kepada edisi
selanjutnya, 1980. Menurut Shepard, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah ditulis tahun 1948, namun
diterbitkan tahun 1949. Melalui banyak perubahan, karya ini diterbitkan kembali sebanyak
lima kali selama masa hidup Qut}b.
31
Lihat, misalnya, Shepard, Sayyid Qutb and Islamic Activism, h. x.

Vol. 7, No. 1, April 2011


78 Yusuf Rahman

seperti al-Naqd al-Adabi>. Pada buku yang disebut terakhir itu, Qut}b
menegaskan bahwa karya sastra adalah ekspresi tentang suatu pe-
ngalaman emotif dalam bentuk verbal (al-ta‘bi>r ‘an tajriba syu‘u>riyyah
fi> s}u>rah mu>h}iyah),32 yang tujuannya adalah memproduksi efek emo-
sional dalam jiwa-jiwa orang lain (mutsi>rah li-al-infi‘a>l al-wijda>ni> fi>
nufu>s al-a>khari>n).33 Dalam edisi-edisi awal al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah,34
sang pengarang juga menyatakan bahwa sastra memiliki pengaruh
terkuat dalam menciptakan ide emosional kehidupan di dalam diri
seseorang, dan ia menambahkan bahwa “karena itu kita harus ber-
hati-hati untuk menyeleksi sastra Barat macam apa yang kita sam-
paikan kepada generasi muda kita, baik dalam bahasa Arab atau
bahasa Eropa.”35
Hanya pada edisi-edisi al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah yang selanjut-
nya kita dapat temukan Qut}b mengaplikasikan ideologi Islamis ra-
dikalnya ke wilayah kesusasteraan/kesenian.36 Pernyataan yang di-
kutip di atas diganti dalam edisi selanjutnya dengan “karena itu kita
memerlukan sastra yang berasal dari konsepsi Islami dan maka
mungkin baik bahwa kita berbicara secara detail mengenai pengem-
bangan sastra Islami.” Dari poin ini dan seterusnya, Qut}b men-
diskusikan konsepsi sastra Islam. Dia berargumen bahwa sastra dan
seni-seni yang lain tercipta dari “suatu konsep kehidupan yang spe-
sifik” (tas}awwur mua‘ayyan li-al-h}aya>h), sementara Islam memiliki
sebuah konsepsi hidup yang khusus.37
Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa baru setelah
tahun 1964, karya-karya Qut}b mulai kental dengan ideologi Islamis-

32
Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, h. 7.
33
Ibid., h. 8.
34
Menurut Shepard, edisi 1-3. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 335,
no. 182.
35
Lihat Qut}b, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m, edisi ke-3 (Kairo: Da>r al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1952), h. 255. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamism Activism, 335, no.
182. Cf. Terjemahan John B. Hardie dalam Sayed Kotb, Social Justice in Islam (New York:
Octagon Books, 1970), h. 257.
36
Menurut kajian Shepard, dalam edisi-edisi al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah yang kelima
dan selanjutnya, Qut}b menambahkan lebih dari 20 paragraf akan diskusinya mengenai seni/
kesusasteraan. Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, h. 308-312.
37
Lihat Shepard, Sayyid Qut}b and Islamic Activism, 310-311, no. 191-197. Dalam al-
Naqd al-Adabi>, Qut}b juga mencatat bahwa, setelah terpengaruh oleh konsepsi Islamis, dia
tidak sependapat dengan mereka yang mendeskripsikan berbagai kelemahan dalam hidup.
Lihat Qut}b, al-Naqd al-Adabi>, 30, n. 1. Karena tujuannya dalam buku selanjutnya adalah
untuk menyampaikan teori kritik sastra secara umum, dia tidak secara detail menjelaskan
konsepsi Islami mengenai kesusasteraan.

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 79

nya. Jika dalam edisi-edisi awal al-Tas}wir al-Fanni> dan Masya>hid al-
Qiya>mah, Qut}b memandang al-Qur’a>n sebagai teks sastra (nas}s} adabi>)
dan mengkajinya dari perspektif artistik (al-wijhah al-fanniyyah) dan
untuk tujuan sastrawi (hadaf fanni> kha>lis}), maka setelah memasuki
fase Islamis, dalam edisi al-Tas}wi>r al-Fanni> yang selanjutnya, al-
Qur’a>n ditempatkan sebagai kitab da‘wah diniyyah.38
Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n adalah karya Qut}b yang lain yang secara
spesifik berhubungan dengan al-Qur’a>n selain al-Tas}wi>r al-Fanni> dan
Masya>hid al-Qiya>mah. Mulanya karya ini ditulis untuk al-Muslimu>n
milik Sa‘i>d Ramad}a>n, tokoh terkemuka al-Ikhwa>n al-Muslimu>n, dan
selama periode di saat Qut}b secara konstan menjalin komunikasi
dengan al-Ikhwa>n al-Muslimu>n.
Sebagaimana karya Qut}b yang pra-Islamis sebelumnya, dalam
Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, Qut}b masih menekankan keindahan
artistik al-Qur’a>n. Sebagaimana yang dicatat oleh Boullata, Qut}b
masih mengusung topik tas{wi>r, sering merujuk kepada dua bukunya
yang berkaitan dengan masalah keindahan artistik al-Qur’a>n, dan
bahkan memperkenalkan sebuah konsep sastra yang baru, yaitu
kesatuan surat al-Qur’a>n yang koheren dan juga al-Qur’a>n secara
keseluruhan.39 Sebagaimana dalam buku-bukunya yang awal, dalam
mukadimahnya pada edisi pertama Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n, Qut}b mene-
gaskan bahwa dia berusaha mengekspresikan makna keindahan
artistik al-Qur’a>n. Demikian juga, ia menekankan bahwa dia tidak
ingin terlalu banyak berkutat dengan analisa linguistik, teologi, dan
hukum yang bisa “menyembunyikan Al-Qur’a>n dari jiwaku dan
jiwaku dari al-Qur’a>n” (tah}jub al-Qur’a>n ‘an ru>h}i> wa tah}jub ru>hi> ‘an
al-Qur’a> n). 40
Namun dalam edisi-edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n selanjutnya, Qut}b
memperkenalkan tafsirnya dengan menyampaikan deklarasi—”con-
fession” dalam istilah Ronald Nettler41— Islamis, sebagai hasil penga-

38
Qut}b, al-Tas}wi>r al-Fanni>, h. 119.
39
Lihat Boullata, “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation,” 362ff.
40
Lihat Qut}b, Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ihya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1953),
1:6. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama.
41
Lihat Nettler, “A Modern Islamic Confession of Faith,” h. 104. Olivier Carré
mendiskusikan teologi Qut}b seperti yang direpresentasikan dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n dalam
karyanya “Eléments de la ‘aqi>da de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l al-qur’a>n,” Studia Islamica 91
(2000), h. 165-197.

Vol. 7, No. 1, April 2011


80 Yusuf Rahman

lamannya “hidup” dalam bayang-bayang al-Qur’a>n.42 Jika di dalam


mukadimah Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n edisi pertama, Qut}b mendiskusikan
metode yang diadopsi dalam mendekati al-Qur’a>n dan menekan-
kan keindahan artistik al-Qur’a>n, maka pada edisi Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n
yang selanjutnya Qut} b meletakkan pemikiran keagamaan dan
gagasan masyarakat Islam yang berlandaskan “sistem Allah” (manhaj
Alla>h) dibandingkan dengan masyarakat ja>hiliyyah.
Mulai saat itulah, tujuan utama Fi> Z{ila>l al-Qur’a>n bukanlah
lagi untuk kepentingan sastra, tapi untuk tujuan religius, yaitu untuk
merevolusionisasikan masyarakat, menangkal masyarakat ja>hiliyyah,
dan untuk dakwah Islam.43
Menarik untuk mengkaji istilah-istilah kunci yang Qut} b
gunakan dalam mukadimahnya, dan dari sana ia kemudian meng-
elaborasikannya dalam penafsirannya secara keseluruhan. Namun,
sebelum mendiskusikan istilah-istilah kunci ini, seseorang tak bisa
menghindar untuk melihat transisi ekspresi Qut}b dari “Aku telah
menemukan al-Qur’a>n” (laqad wajadtu al-Qur’a>n) dalam bukunya
Fi> al-Tas} wi> r al-Fanni> , menjadi “Aku telah hidup dalam bayang-
bayang al-Qur’a>n” (‘Isytu fi> Z{ila>l al-Qur’a>n) dalam mukadimah Fi>
Z{ila>l al-Qur’a>n.44 Perubahan ini adalah untuk mengingatkan para
pembaca bahwa sang pengarang telah bergerak dari tingkatannya
yang awal menuju tingkatan yang selanjutnya yang dia anggap se-
bagai yang lebih tinggi, tempat “ia mendengar Allah berfirman ke-
padanya” (yatah}addats ilayya).45 Dengan mempresentasikan maqa>m
yang baru ini, seakan-akan Qut}b akan membandingkan penga-
lamannya dengan pengalaman Nabi Muh}ammad saat sang Nabi me-
nerima wahyu, dan berbicara dengan Tuhan melalui malaikat Jibril.

42
Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, edisi ke-15 (Beirut: Da>r al-Syuru>q,
1988), 1:11-18. Dari sekarang, karya ini akan dirujuk sebagai Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15.
Untuk kajian detailnya atas muqaddimah dari edisi selanjutnya, lihat Nettler, “A Modern
Islamic Confession of Faith,” h. 104-114.
43
Untuk kisah penulisan Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n oleh Qut}b, lihat al-Khabba>sy, Sayyid
Qut}b, 311-313; Kasymi>ri>, ‘Abqari> al-Isla>m, 313-315. Lihat juga Syahnan, “A Study of Sayyid
Qut}b’s Qur’a>n Exegesis in Earlier and Later Editions of His Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n,” khususnya
Bab Tiga.
44
Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi
pertama, 1:5-7, Qut}b mengkaitkan bagaimana dia menemukan hasrat terpendam (raghbah
khafiyyah) di dalam dirinya untuk dihidupkan dalam bayang-bayang al-Qur’a>n sebelumnya
akhirnya dia hidup di dalamnya. Dia juga berharap dengan menulis tafsir ini, orang lain akan
mengikuti jejaknya.
45
Lihat Qut}b, “Muqaddimah,” Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:11.

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 81

Setelah hidup dan merasakan nikmatnya hidup di dalam


bayang-bayang al-Qur’a>n – yang merupakan posisi yang tertinggi,
Qut}b kemudian melihat ke-ja>hiliyyah-an masyarakat yang ada di
sekelilingnya. Keadaan ja>hiliyyah itu, menurut keyakinan kuat dan
meyakinkan Qut}b (yaqi>n ja>zim h}a>sim),46 adalah lantaran manusia
berpaling dari Allah dan dari perintah Al-Qur’a>n untuk berhukum
berdasarkan sistem Allah (al-ih}tika>m ila> manhaj Alla>h).47
Demikianlah dapat dilihat secara nyata perubahan dan
perkembangan tesis Qut}b terhadap al-Qur’a>n. Jika di dalam karya-
karyanya yang awal – masa pra-Islamis –, seperti al-Tas}wir al-Fanni>,
Masya>hid al-Qiya>mah, bahkan Fi Z}ila>l al-Qur’a>n, Qut}b memandang
al-Qur’an sebagai teks sastra dan dengan demikian pendekatan
terhadapnya adalah pendekatan sastrawi (wijhah fanniyya), maka
setelah memasuki fase Islamis, al-Qur’a>n ditempatkan sebagai teks
agama dan kitab dakwah. Bahkan dalam edisi Tafsi>r Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n
yang selanjutnya, Qut}b tidak hanya meletakkan al-Qur’a>n sebagai
kitab dakwah, tapi melebihi dari itu, yaitu sebagai kitab jalan
kehidupan (manhaj al-h} a ya> h).48
Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh konteks sosial politik
di saat Qut}b menulis dan merevisi karya-karyanya yang pra-Islamis.
Pembahasan sebelumnya telah menunjukkan bagaimana H}asan al-
Banna> menegur Qut}b yang mengkaji al-Qur’a>n hanya dari aspek
sastra; komentar beberapa peresensi bukunya yang menyayangkan
penggunaan teori sastra sekuler terhadap al-Qur’a>n; pergaulannya
dengan tokoh-tokoh Ikhwa>n al-Muslimu>n; dan tentu saja pengaruh
dari kehidupannya yang beberapa kali dimasukkan ke penjara.
Beberapa karyanya, terutama Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, diselesaikan dan
direvisi ketika ia di dalam penjara. Tambahan atas fakta ini adalah
kenyataan bahwa pada tahun 1950-an konsep komitmen (iltiza>m)
dalam kesusasteraan muncul dalam kajian kritik sastra, sehingga
muncullah konsepsi sastra Islami>.
Hal ini tentu berbeda dengan tesis para pendukung pendekatan
sastrawi dari mazhab Ami>n al-Khu>li.49 Al-Khu>li> misalnya menulis di

46
Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:15.
47
Lihat Qut}b, “Muqaddimah..., 1:15.
48
Lihat Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 1:55. Dalam Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi
pertama, 1:28, istilah manhaj al-haya>h tidak disebutkan.
49
Untuk melihat penafsiran sastrawi Mazhab al-Khu>li>, lihat Yusuf Rahman, “al-Tafsi> al-
Adabi> fi> al-Qur’a>n: a Study of Ami>n al-Khu>li>’s and Muhammad Khalaf Alla>h’s Literary Approach
to the Qur’a>n,” Mimbar Agama & Budaya, XIX, 2 (2002), h. 129-151.

Vol. 7, No. 1, April 2011


82 Yusuf Rahman

Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab


bahwa al-Qur’a>n adalah “karya berbahasa Arab yang paling agung
dan paling besar pengaruh sastrawinya” (kita>b al-‘arabiyyah al-akbar
wa atsaruha> al-adabi> al-a‘z} m).50 Dan sebagai kitab terbesar sastra
maka al-Qur’a>n harus dikaji dengan perspektif sastrawi sebelum
mengkajinya dari perspektif agama. Pendekatan ini mengkritik
metode penafsiran M. Abduh (1849-1905) yang menyatakan bahwa
tujuan penafsiran adalah untuk mencari petunjuk (al-ihtida>’) dan
untuk mengambil manfaat (al-intifa>‘) dari kandungan al-Qur’a>n.51
Bagi al-Khu>li>, pendekatan sastrawi harus lebih didahulukan dari
kepentingan lainnya. Baru setelah terpenuhinya studi sastra, seorang
pembaca/penafsir bisa meranjak untuk mendeskripsikan berbagai
kesimpulan lain dari al-Qur’a>n sesuai dengan kebutuhannya, seperti
masalah hukum, teologi, etika dan lain-lain.
Demikian pula dengan pandangan pengikut mazhab al-Khu>li>,
yaitu Nas}r H}a>mid Abu> Zayd (1943-2010). Dia menulis di Mafhu>m
al-Nas}s} bahwa al-Qur’a>n adalah teks kebahasaan (nas}s} lughawi>)52 yang
terkait dengan budaya dan konteks tertentu. Di dalam karyanya
yang lain ia menyatakan “teks-teks keagamaan adalah teks-teks
kebahasaan yang bentuk-bentuknya adalah sama dengan bentuk
teks-teks yang lain dalam suatu kebudayaan” (anna al-nus}u>s} al-
diniyyah nus} u>s} lughawiyya sya’nuha> sya’n ayyat nus}u>s } ukhra> fi al-
tsaqa> f a). 53
Prasupposisi dan tesis inilah — yang menyamakan al-Qur’a>n
dengan teks-teks lain54 – yang membedakan karya mazhab al-Khu>li>
dengan karya Qut}b pada masa Islamis. Dan ini pula salah satu yang
menyebabkan respon negatif masyarakat Muslim terhadap karya-
karya mazhab al-Khu> li> . 55 Berbeda dengan respon negatif yang
diterima Mazhab al-Khu>li>, karya Qut}b – terutama karya-karyanya

50
Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Adab
(Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1995), h. 229.
51
Al-Khu>li, Mana>hij al-Tajdi>d, 229. Lihat ‘Abduh, “Muqaddimat al-Tafsi>r,” dalam Tafsi>r
al-Mana>r (Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-’A>mmah li al-Kita>b, 1972), Jilid 1, 17.
52
Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Beirut: al-Markaz al-
Tsaqa>fi> al-‘Arabi, 1998), h. 9, 10, 18,19, 25, dst.
53
Abu> Zayd, Naqd al-Khit}a>b al-Di>ni> (Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992), h. 197.
54
Lihat Yusuf Rahman, “Al-Qur’a>n sebagai Teks Sastra: Penafsiran Sastrawi terhadap
al-Qur’a>n,” (dalam proses penerbitan).
55
Lihat Yusuf Rahman, “Islamist Thinkers vis a vis Muslim Liberal Thinkers:
Responses of Egyptian Islamists to Nashr H}a>mid Abu> Zayd,” Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam
Kontekstual 3, 1 (2002), h. 52-84.

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 83

pada masa Islamis – sangat berpengaruh terhadap beberapa kelom-


pok dan kalangan Islam radikal di dunia Muslim.

Pengaruh Penafsiran Sayyid Qut}b


Pengaruh tafsir Qut}b yang paling kentara bukan terletak pada
penafsiran sastrawinya, namun pada penafsiran h}araki>-nya.
Sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan di atas,
bahwa di dalam mukaddimah tafsir Fi Z}ila>l al-Qur’a>n — yang edisi
Islamis (edisi ke-15) – Qut}b telah menjelaskan akidah Islamisnya
secara tegas. Di sana ia menegaskan tentang sistem Islam (manhaj
al-Islam), konsep Islam (tas}awwur Isla>mi), dan menyatakan bahwa
dunia dan bahkan juga masyarakat Muslim sudah berada dalam
ke-ja>hiliyyah-an karena menyimpang dari sistem Islam tersebut.
Ja>hiliyyah merupakan konsep utama dalam penafsiran h}araki Qut}b.
Di sini, kita tidak hanya melihat tafsir politik Qut}b, tapi juga,
yang utamanya, pandangannya tentang al-Qur’a>n sebagai dokumen
politik.56 Dengan mengusung al-Qur’a>n sebagai dokumen politik,
Qut}b selalu berusaha menafsirkan berbagai situasi sosio-politik
dalam kaitannya dengan kisah-kisah al-Qur’a>n dan melihat bahwa
solusi satu-satunya atas krisis yang terjadi saat ini adalah kembali
kepada al-Qur’a>n. James Barr menyebut ajakan kembali kepada kitab
suci ini sebagai model teokratik (theocratic model),57 karena model
ini meyakini bahwa kitab suci telah mengungkap jalan hidup ilahi
(manhaj ila>hi>) di mana suatu masyarakat semestinya hidup.
Maka tidak mengejutkan bahwa dalam penafsiran al-
Qur’a>nnya, Qut}b mengaitkan kisah dalam al-Qur’a>n dengan situasi
masa sekarang.58 Misalnya, analisanya terhadap ja>hiliyyah pra-Islam,
menurutnya, juga muncul dalam masa modern ini. Menurut Qut}b,
ja>hiliyyah mengandung arti mengedepankan kekuasaan manusia
yang tidak berdasar di atas cara-cara Islami (al-manhaj al-Isla>mi>).
Berdasarkan definisi ini, istilah ja>hiliyyah tidak mengindikasikan

56
Penulis meminjam istilah ini dari karya James Barr “The Bible as a Political
Document” dalam karyanya, Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible
(London: SCM Press, 1980), h. 91-110.
57
Lihat Barr, “The Bible as a Political Document,” h. 94.
58
Clodovis Boff menyebut metode ini “correspondence of relationships” seperti
dikutip oleh Tim Gorringe dalam karyanya “Political Readings of Scripture,” dalam The
Cambridge Companion to Biblical Interpretation, h. 74.

Vol. 7, No. 1, April 2011


84 Yusuf Rahman

suatu masa sejarah yang telah lewat -seperti yang selama ini dipahami,
yaitu masa pra Islam-,59 tapi sesuatu yang berlanjut muncul kembali
di saat suatu masyarakat menyimpang dari cara-cara Islami, baik di
masa lalu, masa kini atau masa mendatang. Dalam Fi Z}ila>l al-Qur’a>n,
Qut}b menulis:
Dan ja> h iliyya bukan sebuah periode sejarah; tapi ia adalah suatu
keadaan yang muncul kapanpun konstituennya hadir dalam sebuah
situasi atau sistem ... inti dari [konstituen] ini adalah pilihan dalam
berhukum dan berlegislasi menurut nafsu manusia, dan bukan
menurut jalan Allah dan undang-undang-Nya dalam kehidupan.60

“Korespondensi” antara kedua jenis ja>hiliyyah ini, menurut


Qut}b, berarti hidup dalam landasan sistem manusia; dan karena
itu, solusi satu-satunya atas situasi ini adalah kembali kepada sistem
dan hukum Allah. Penulis menyebut tipe penafsiran ini, mengikuti
analisa Tim Gorringe dalam penafsiran Bibel, adalah “penafsiran
politik al-Qur’a>n.”
Penafsiran politik Qut}b terhadap al-Qur’a>n diperkuat lagi
dengan konsep h}a>kimiyyah – yaitu berhukum berdasarkan sistem
Allah –, yang merupakan lawan dari konsep ja>hiliyyah, berhukum
kepada sistem manusia. Akidah ini didasarkan pada pemahaman
Qut}b terhadap ayat al-Qur’a>n wa man lam yah}kum bi-ma> anzala l-
La>hu fa-’ula>’ika humu l-ka>firu>n (Q.S. 5: 44), wa man lam yah}kum bi-
ma> anzala l-La>hu fa-’ula>’ika humu l-z}a>limu>n (Q.S. 5: 45), wa man lam
yah}kum bi-ma> anzala l-La>hu fa-’ula>’ika humu l-fa>siqu>n (Q.S. 5: 47).
Yang menarik adalah Qut}b menafsirkan ayat-ayat ini berarti
siapapun yang tidak “memerintah” (to govern, to rule) berdasarkan
pada apa yang telah diturunkan Allah.61 Padahal, kalau dilihat konteks
dan muna>sabah ayat serta asba>b nuzu>l-nya, ayat ini tidak berkaitan
dengan pemerintahan.
Terjemahan Al Qur’an dan Terjemahnya, misalnya, mener-
jemahkan ayat ini dengan “Barangsiapa tidak memutuskan perkara
59
Lihat diskusi tentang ja>hiliyyah dan perkembangan maknanya dalam William E.
Shepard, “Age of Ignorance,” Encyclopaedia of the Qur’a>n, volume 1 (Leiden: Brill, 2001),
h. 37-40, dan Shepard, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya,” International Journal of Middle
East 35 (2003), h. 521-545.
60
Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15, 2:891.
61
Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15. Lihat juga Shahrough Akhavi, “Qut}b, Sayyid,”
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, ed. John L. Esposito (New York:
Oxford University Press, 1995), vol. 3, h. 402.

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 85

menurut apa yang diturunkan Allah ...”62 Dengan demikian, ia me-


nerjemahkan kata yah}kumu dengan “memutuskan” bukan “meme-
rintah” seperti yang ditafsirkan Qut}b. Dan terjemahan ini sesuai
dengan asba>b al-nuzu>l ayat ini yang memang mengisahkan tentang
bagaimana Nabi Muh}ammad memutuskan perkara orang Yahudi
yang melakukan zina dengan putusan rajam.63
Namun, tafsiran Qut} b terhadap ayat h} a > k imiyyah ini, dan
membawanya ke ranah politik dan pemerintahan, akhirnya telah
banyak mempengaruhi kelompok radikal di Mesir dan juga di tem-
pat yang lain. Para pembela pendirian Negara Islam selalu merujuk
kepada ayat ini, dan menentang bentuk pemerintahan yang tidak
berdasar pada sistem Allah. Bahkan atas dasar pengaruh penafsiran
politik ini, Presiden Mesir Anwar Sadat pada tahun 1981 dibunuh
kelompok al-Jiha>d karena dianggap tidak memerintah berdasarkan
pada hukum Allah,64 padahal Mesir disebut sebagai negara Islam.
Qut}b dan para pendukungnya berpendapat bahwa sebagai pemim-
pin dan pemerintah negara Islam, ia harus “memerintah” dengan
sistem Islam. Dan ketika pemerintahan Islami itu tidak terwujud,
maka ia berhak untuk dihukum.

Penutup
Artikel ini telah berusaha untuk menunjukkan bahwa pen-
dekatan sastrawi terhadap al-Qur’a>n yang dilakukan Sayyid Qut}b telah
mengalami beberapa perkembangan. Jika pada awalnya ia melihat
bahwa ¾ (tsalatsat arba>‘) dari al-Qur’a>n merupakan karya sastra dan
dengan demikian pendekatan sastrawi merupakan pendekatan yang
lebih baik untuk memahaminya, maka pada karyanya yang kemudian
ia menyatakan al-Qur’a>n sebagai kita>b da‘wah dan pedoman politik,
dan semua bentuk penafsiran -termasuk penafsiran sastrawi- ditujukan
untuk menerapkan pedoman ini dalam kehidupan riil.
Pergeseran dan perubahan cara pandang terhadap al-Qur’an
ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan cara sikap Qut}b dari se-
orang Muslim “sekuleris” menjadi Muslim “ideologis”, dan bahkan
di akhir hidupnya ia merupakan seorang teoretikus ideologi Islamis.[]
62
Khadim al-Haramain al-Syarifain, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 167-168.
63
Al-Wa>h}idi> al-Ni>sa>bu>ri>, Asba>b Nuzu>l al-Qur’a>n (al-Mans}u>rah: Maktabat al-I>ma>n,
1996), h. 133.
64
Lihat Akhavi, “Qut}b, Sayyid,” h. 403, Shepard, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of
Ja>hiliyya,” h. 535.

Vol. 7, No. 1, April 2011


86 Yusuf Rahman

Daftar Pustaka
‘Abduh, Muh}ammad. Tafsi>r al-Mana>r. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah
al-‘A>mmah li al-Kita>b, 1972.
Abu> Zayd, Nas}r H}a>mid. Mafhu>m al-Nas}s} : Dira>sah fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n.
Beirut: al-Markaz al-Tsaqa>fi al-‘Arabi>, 1998.
_______, Naqd al-Khit}a>b al-Dini. Kairo: Si>na> li al-Nasyr, 1992.
Akhavi, Shahrough. “Qut}b, Sayyid.” The Oxford Encyclopedia of the
Modern Islamic World. Ed. John L. Esposito/ New York: Oxford
University Press, 1995. Vol. 3.
Barr , James. “The Bible as a Political Document.” Dalam James Barr.
Explorations in Theology 7: The Scope and Anuthority of the Bible.
London: SCM Press, 1980.
Binder, Leonard. Islamic Liberalism. Chicago: University of Chicago
Press, 1988.
Boullata, Issa J. “Sayyid Qut}b’s Literary Appreciation.” Dalam Literary
Structures of Religious Meaning in the Qur’a>n. Dalam Issa J.
Boullata. Richmond, Surrey: Curzon Press, 2000.
Bultmann, Rudolf. “Is Exegesis without Presuppositions Possible?”
Diseleksi, diterjemahkan dan diberi kata pendahuluan oleh
Schubart M. Ogden. Existence and Faith: Shorter Writings of
Rudolf Bultmann. Cetakan ke-5. Cleveland and New York: The
World Publishing Company, 1966.
_______, “The Problem of Hermeneutics.” Dalam Bultmann. Essays
Philosophical and Theological. London: SCM Press Ltd., 1955.
Calder, Norman.”Tafsi>r from T}abari> to Ibn Kathir: Problems in the
Description of a genre, illustrated with Reference to the Story
of Abraham.” Dalam G.R. Hawting dan Abdul-Kadir A. Shareef
(eds.). Approaches to the Qur’a> n . London dan New York:
Routledge, 1993.
Calvert, John. “Qur’a>nic Aesthetics in the Thought of Sayyid Qut}b.”
Religious Studies and Theology 15, 2-3 (Desember 1996).
Carré, Olivier. “‘A L’Ombre du Coran’ Revisité: Les lendemains
possibles de la pensée de Sayyid Qut}b et du ‘Qut}bisme’.”
Arabica 48 (2001).
_______, “Eléments de la ‘aqida de Sayyid Qut}b dans Fi> z}ila>l al-

Jurnal TSAQAFAH
Akidah Sayyid Qut{b (1906-1966) dan Penafsiran Sastrawi 87

qur’a>n.” Studia Islamica 91 (2000).


Gorringe, Tim. “Political Readings of Scripture.” Dalam The Cam-
bridge Companion to Biblical Interpretation, 74.
Kasymi>ri>, Sayyid Basyi>r Ahmad. ‘Abqari> al-Isla>m Sayyid Qut}b: al-
Adi> b al-‘Ima> q wa al-Mujaddid al-Mulham fi> D}aw’ A> tsa> rih wa
Inja>za>tih al-Adabiyyah. Kairo: Da>r al-Fadhi>lah, 1994.
Al-Khabba> s y, ‘Abdulla> h ‘Awadh. Sayyid Qut} b al-Adi> b al-Na> q id.
Yordania: Maktabat al-Mana>r, t.t. [1983?]).
Al-Khu>li>, Ami>n. Mana>hij al-Tajdi>d fi> al-Nah}w wa al-Bala>ghah wa al-
Tafsi>r wa al-Adab. Kairo: al-Hay’ah al-Mis}riyyah al-‘A>mmah li
al-Kita>b, 1995.
Mahfu>z}, Najib. “Review terhadap al-Tas}wi>r al-Fanni>.” al-Risa>lah 616
(23 April 1945).
Musallam, Adnan A. “The Formative Stages of Sayyid Qut} b ’s
Intellectual Career and His Emergence as an Islamic Da>‘iyah,
1906-1952.” Disertasi, the University of Michigan, 1983.
Nettler, Ronald. “A Modern Islamic Confession of Faith and
Conception of Religion: Sayyid Qut}b’s Introduction to the Tafsir,
Fi Z}ila>l al-Qur’a>n.” British Journal of Middle Eastern Studies 21,
1 (1994).
al-Ni> s a> b u> r i> , Al-Wa> h } i di> . Asba> b Nuzu> l al-Qur’a> n . al-Mans} u > r ah:
Maktabat al-I>ma>n, 1996.
Qut}b, Sayyid. “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af
94, 2 (1 Februari 1939), 206-207. al-Risa>lah 620 (21 Mei 1945),
527 dan al-Risa>lah 620, 621 (28 Mei 1945).
_______, “Maba>h}its ‘an al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n.” al-Risa>lah
620 (21 Mei 1945).
_______, al-‘Ada>lah al-Ijtima>‘iyyah fi> al-Isla>m. Edisi ke-3. Kairo: Da>r
al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1952 John B. Hardie dalam Sayed Kotb,
Social Justice in Islam (New York: Octagon Books, 1970).
_______, Masya> hid al-Qiya> mah (1981)
_______, al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, 1994.
Cetakan kesebelas.
_______, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. Edisi ke-15. Beirut: Da>r al-Syuru>q, 1988.
Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi ke-15.

Vol. 7, No. 1, April 2011


88 Yusuf Rahman

_______, Fi> Z} i la> l al-Qur’a> n . Kairo: Da> r al-Ihya> ’ al-Kutub al-


‘Arabiyyah, 1953. Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n edisi pertama.
_______, “Baqiyyah fi> al-Ma‘a> n i> wa al-Z} i la> l .” al-Risa> l ah 583 (4
September 1944).
_______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94,
3 (1 Maret 1939).
_______, “al-Ma‘a>ni> wa al-Z}ila>l.” al-Risa>lah 581 (21 Agustus 1944).
_______, “al-Tana>suq al-Fanni> fi> Tas}wi>r al-Qur’a>n.” al-Risa>lah 611
(19 Maret 1945).
_______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m.” al-Muqtat}af 94,
2 (1 Februari 1939).
_______, “al-Tas}wi>r al-Fanni> fi> al-Qur’a>n,” al-Risa>lah 601 (8 Januari
1945).
_______, al-Naqd al-Adabi>: Us}u>luh wa Mana>hijuh. Edisi ketiga. Kairo:
Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1960.
Rahman, Yusuf. “Al-Qur’a>n sebagai Teks Sastra: Penafsiran Sastrawi
terhadap al-Qur’a>n.” Dalam proses penerbitan.
_______, “al-Tafsi> al-Adabi> fi> al-Qur’a>n: a Study of Ami>n al-Khu>li>’s
and Muhammad Khalaf Alla> h ’s Literary Approach to the
Qur’a>n.” Mimbar Agama & Budaya, XIX, 2 (2002).
_______, “Islamist Thinkers vis a vis Muslim Liberal Thinkers:
Responses of Egyptian Islamists to Nashr H}a>mid Abu> Zayd.”
Jauhar: Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual 3, 1 (2002).
Shepard, William E. “Age of Ignorance.” Encyclopaedia of the Qur’a>n.
Volume 1. Leiden: Brill, 2001.
_______, “Sayyid Qut}b’s Doctrine of Ja>hiliyya.” International Journal
of Middle East 35 (2003).
_______, Sayyid Qut}b and Islamic Activism. Leiden: E.J. Brill, 1996.
Stanton, Graham N. “Presuppositions in New Testament Criticism.”
Dalam I. Howard Marshall (ed.). New Testament Interpretation:
Essays on Principles and Methods. Exeter: The Paternoster Press,
1977.
al-Subki> , ‘Abdullat} i > f . “Review terhadap al-Tas} w i> r al-Fanni> . ” al-
Risa>lah 620 (21 Mei 1945).

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi
Syamsuddin Arif*
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Ponorogo
Email: tagesauge@yahoo.co.id

Abstract
Is there such a thing called “Islamic philosophy”? If there is one, what is
it? What does it mean for philosophy to be Islamic? How does Islamic philosophy
differ from non-Islamic one? Why do some Muslim scholars reject philosophy,
ban its instruction, and even scorn its proponents? The present article will address
all these questions and seeks to offer a balanced perspective on controversial
issues pertaining to philosophy in Islamic intellectual context, drawing upon
authoritative, primary sources. The first section deals with definition and
terminology, including the disagreement among scholars over which of these
is the best appellation: ‘Islamic philosophy’, ’Muslim philosophy’, or ’Arabic
philosophy’. This will be followed by a discussion of the main sources of
Islamic philosophy and its impacts, as well as the aims and benefits of studying
philosophy according to its exponents. The final section provides a critical
appraisal of the arguments for and against philosophy that have been put
forward by its defenders and its critics. Furthermore, the article also discusses
three current approaches to Islamic philosophy, namely the mystical-
hermeneutical such as advocated by Leo Strauss and Henry Corbin, the historical-
philological study such as practiced Richard Walzer and Dimitri Gutas, and the
philosophical-analytical approach such as espoused by Oliver Leaman and Lenn
E. Goodman. A final word about the challenges and prospect of Islamic
philosophical studies is in order, taking into account recent developments in
various parts of the world following revival of interest in Avicenna, Averroes
and al-Ghazali.

Keywords: Islamic Philosophy, al-Ghazali, Analytical Approach,


Philological Study, Philosophical Study

*
Kampus Pusat UNIDA, Jl. Raya Siman Km. 06, Siman, Ponorogo Jawa Timur, Telp:
+62352 483762 Fax: +62352 488182

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


2 Syamsuddin Arif

Abstrak
Adakah sesuatu yang dinamakan ’filsafat Islam’? Dan jikalau ada, apakah
yang dimaksud dengan ’filsafat Islam’? Dimana letak perbedaan antara ’filsafat
Islam’ dengan filsafat bukan Islam? Mengapa banyak ulama yang menolak filsafat
dan melarang orang mempelajarinya? Pertanyaan-pertanyaan ini dan seumpama-
nya akan coba dijawab dan dibahas secara jernih lagi bernas dengan merujuk
kepada sumber-sumber otoritatif dan karya-karya primer sebatas jangkauan
penulis. Bagian pertama dari artikel ini akan mengulas definisi dan terminologi
filsafat dalam Islam, termasuk perbedaan pendapat mengenai frasa apakah yang
paling tepat dari tiga ini: filsafat Islam, filsafat Muslim ataukah filsafat Arab.
Berikutnya akan ditinjau ulang sumber-sumber filsafat Islam dan pengaruhnya,
terhadap dunia Islam, diikuti oleh ulasan mengenai tujuan dan manfaat belajar
filsafat, dan diakhiri dengan diskusi seputar argumentasi mereka yang melarang
maupun yang membolehkan untuk melakukan kajian filsafat dalam Islam.
Selanjutnya dibahas dalam artikel tiga pendekatan yang dominan dalam studi
filsafat Islam, yaitu pendekatan hermeneutik-mistik yang dianjurkan oleh Leo
Strauss dan Henry Corbin, pendekatan historis-filologis yang dicontohkan oleh
Richard Walzer dan Dimitri Gutas, serta pendekatan filosofis-analitis yang dipilih
oleh Oliver Leaman dan Lenn E. Goodman. Pembahasan terakhir berkenaan
dengan tantangan-tantangan serta prospek lebih lanjut dari studi filsafat Islam
dalam rangka mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terkini di
berbagai belahan dunia seiring dengan meningkatnya minat dalam mempelajari
Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan al-Ghazali.

Kata Kunci: Filsafat Islam, al-Ghazali, Pendekatan Analitis, Studi


Filologis, Studi Filosofis

Pendahuluan

B
eberapa dekade terakhir menyaksikan kebangkitan kembali
minat terhadap studi filsafat Islam di berbagai belahan dunia.
Sementara di sisi lain masih banyak yang bertanya-tanya
adakah sesuatu yang dinamakan “filsafat Islam”? Dan jikalau ada,
apakah yang dimaksud dengan “filsafat Islam” itu? Atau di mana
letak perbedaan antara “filsafat Islam” dengan filsafat bukan Islam?
Mengapa banyak ulama yang menolak filsafat dan melarang orang
mempelajarinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan coba
dijawab dalam tulisan berikut ini.

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 3

Makna Filsafat
Istilah ’filsafat’ atau ’falsafah’ dalam bahasa Indonesia diserap
dari bahasa Arab: ‫ ﻓﻠﺴﻔﺔ‬. Ia merupakan pengaraban dari kata majmuk
(philosophia) yang dalam bahasa Yunani kuno gabungan
dari kata philein (cinta) dan sophia (kearifan). Apa makna “sophia”?
Kata Aristoteles: “Biasanya sophia dipahami sebagai pengetahuan me-
ngenai pokok-pokok perkara dan sebab-sebabnya (
περί τινας !ρχ"ς κα# α$τίας %στ#ν %πιστήμη δ&λον ).”1 Para cendekiawan Ro-
mawi dan Skolastik abad pertengahan kemudian menerjemahkan
“sophia” ke dalam bahasa Latin menjadi “sapientia”, dari kata kerja
sapere yang artinya mengetahui. Thomas Aquinas menurunkan de-
finisinya: “Sapientia adalah pengetahuan yang membahas sebab-
sebab utama dan sebab-sebab umum; sapientia meneliti sebab-sebab
inti dari segala sebab (sapientia est scientia quae considerat causas primas
et universales causas; sapientia causas primas omnium causarum con-
siderat).”2 Pengertian ini dipakai hingga abad kedelapan-belas, di-
mana Claudius Frassen menulis: “Philosophia dicitur amor sapientiae,
et formatur a nominibus Gracis, [amicus], et [sapientia], unde
Philosophus is dicendus est, qui studio et assidua animi contentione
sapientiam investigat.”3
Singkatnya, “filsafat” itu ilmu pengetahuan yang dicapai manu-
sia dengan akal pikirannya. Para filsuf/mempelajari aneka persoalan
alam semesta, langit, bumi, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,
mineral, dan lain sebagainya. Mereka adalah kelompok orang-orang
yang di zaman sekarang kita panggil sebagai saintis. Betul, filsuf ada-
lah saintis, karena waktu itu belum dikenal pemisahan dan pem-
bedaan sempit seperti yang kita kenal saat ini antara filsafat dan sains,
antara filsuf dan saintis, antara ahli biologi dan ahli geologi, antara
ahli fisika dan ahli kimia. Bahkan hingga zaman Isaac Newton (1642-

1
Aristoteles, Ta Meta Ta Physika, Terj. H. Tredennick (Cambridge: MA, 1980),
I.i.17/982a.
2
Thomas Aquinas, In Metaphysicam Aristotelis Commentaria, Ed. M.-R. Cathala (Turin,
1926), I, ii. Bandingkan dengan definisi Christian Wolff dalam Philosophia rationalis sive logica
methodo scientifica pertractata et ad usum scientiarum atque vitae aptata. Praemittitur discursus
praeliminaris de philosophia in genere (Frankfurt, 1728), §1: “Filsafat adalah ilmu tentang segala
sesuatu yang mungkin sebagaimana adanya, atau mengapa dan bagaimana yang mungkin itu
mungkin (philosophia est scientia possibilium quatenus esse possunt, sive cur et quomodo sint
possibilia).”
3
Claudii Frassen, Philosophia Academica, (Venice: Nicolaus Pezzana, 1767), 7:
Quaestio secunda: Quid sit philosophia.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


4 Syamsuddin Arif

1727), kajian mengenai fenomena-fenomena alam yang kini kita


namakan “fisika” masih disebut “filsafat alam”. Simaklah judul
karya monumental Newton: Philosophiae naturalis principia mathe-
matica –prinsip-prinsip matematis dari filsafat alam (1687). Adapun
istilah “scientia” dan turunannya (science, scienza, sains) dalam arti
yang sempit baru marak digunakan sejak dua abad terakhir ini.4
Walhasil, istilah “filsafat” mengalami pengerucutan arti hingga
akhirnya dimaknai tak lebih dari sekadar kajian spekulatif terhadap
asal-usul dan pokok-pokok yang mendasari sesuatu. Lalu ketika di-
hubungkan dengan cabang ilmu tertentu, filsafat kemudian di-
pahami sebagai perenungan mendalam dan penguraian menyeluruh
tentang persoalan-persoalan asasi, prinsip-prinsip, dan hukum-
hukum dalam ilmu yang bersangkutan. Muncul istilah filsafat ilmu
matematika, filsafat ilmu fisika, filsafat ilmu biologi, filsafat ilmu pen-
didikan, filsafat ilmu ekonomi, dan lain-lain. Situasi ini bertambah
buruk menyusul kampanye anti-metafisika yang dimotori oleh
pengusung “logical positivism” alias “logical empiricism” semacam
Bertrand Russell, Alfred Jules Ayer, Ludwig Wittgenstein, dan
Rudolph Carnap.5
Menurut mereka, filsafat bukanlah ilmu tentang Tuhan, alam,
dan manusia yang kini sudah dikapling-kapling menjadi teologi,
fisika, biologi, kimia, psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan
sebagainya itu. Filsafat uraian logis lagi matematis atas bahasa yang
digunakan oleh ilmuwan sebagai medium penyampai pengetahuan.
Intisari doktrin mereka tersimpul dalam ungkapan masyhur dari
Wittgenstein: “Was sich überhaupt sagen lässt, lässt sich klar sagen;
und wovon man nicht reden kann, darüber muss man schweigen”, yang
maksudnya apabila sesuatu itu bisa dibicarakan, maka ia mesti bisa
dibicarakan dengan jelas, dan karenanya segala sesuatu yang tidak
bisa dibicarakan secara jelas semestinya kita diamkan saja.6 Atau
dengan kata lain, kalau tidak paham, lebih baik diam. Namun jika

4
Lihat Ann Blair, “Natural Philosophy,” dalam The Cambridge History of Science:
Early Modern Science, Ed. Katharine Park and Lorraine Daston, Vol. 3 (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006), 365.
5
Lihat Logical Positivism in Perspective: Essays on Language, Truth and Logic, Ed.
Barry S. Gower (London: Croom Helm, 1987) dan Logical Empiricism: Historical and
Contemporary Perspectives, Ed. Paolo Parrini et al. (Pittsburgh: Pittsburgh University Press,
2003).
6
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-philosophicus, Terj. C.K. Ogden (New York:
Barnes & Noble, 2003; berdasarkan cetakan perdana London: Kegan Paul, 1922), 3.

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 5

pendapat ini kita ikuti, niscaya Plato dan Aristoteles pun tak akan
layak disebut filsuf, sebab hanya kaum positivis-logis sajalah yang
pantas menyandang gelar filsuf.

H}ikmah atau Falsafah?


Dalam tradisi intelektual Islam, kita temukan tiga istilah yang
umum dipakai untuk “sophia”. Pertama, h}ikmah: istilah ini dipakai
oleh generasi awal pemikir Muslim sebagai padanan kata “sophia”.
Lafaz “hikmah” ini tampaknya sengaja dipilih supaya lebih mudah
diterima oleh kaum Muslim supaya terkesan bahwa filsafat itu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam akan tetapi justru berhulu dan
bermuara pada al-Qur’an. Al-‘Amiri, misalnya, menulis bahwa
hikmah berasal dari Allah, dan di antara manusia yang pertama
dianugerahi hikmah oleh Allah ialah Luqman al-Hakim. Disebutnya
ketujuh filsuf Yunani kuno sebagai ahli hikmah (al-h} u kamâ‘ al-
sab’ah) –yaitu Thales, Solon, Pittacus, Bias, Cleobulus, Myson dan
Chilon.7 Demikian juga al-Kindi yang menerangkan bahwa secara
harfiah kata “falsafah” artinya h}ubb al-h}ikmah (cinta pada kearifan).8
Menurut al-Farabi, adalah para filsuf Yunani kuno yang menamakan
ilmu mereka “sophia”: wa kâna al-ladhîna ‘indahum hâdhâ al-‘ilm
min al-Yûnâniyyîn yusammûnahu al-h} ikmah ‘alâ al-it} l âq.9
Adapun Ibnu Sina dalam buku filsafat yang ditulisnya men-
jelaskan bahwa h}ikmah adalah kesempurnaan jiwa manusia tatkala
berhasil menangkap makna segala sesuatu dan mampu menyatakan
kebenaran dengan akal pikiran maupun perbuatan sebatas ke-
mampuannya sebagai manusia (istikmâl al-nafs al-insâniyyah bi-
tas} a wwur al-umûr wa al-tas} d îq bi al-h} a qâiq al-naz} a riyyah wa al-
‘amaliyyah ‘alâ qadri t}âqat al-insân). Siapa berhasil menggapai ‘hik-
mah’ beginilah yang mendapat anugerah kebaikan berlimpah, ujar
Ibnu Sina.10 Namun demikian, tidak semua orang setuju dengan
istilah ini. Di antara ulama yang menentangnya ialah Imam al-

7
Al-‘Amiri, Kitâb al-Amad ‘alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson, A Muslim Philosopher
on the Soul and Its Fate, (New Haven: American Oriental Society, 1988), paragraf III.1.
8
Lihat Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3),
1: 124; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale University,
1975), s.v. ‘falsafa’.
9
al-Farabi, Kitâb Tah}s }îl al-Sa‘âdah (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al-
‘Utsmâniyyah, 1345), 38.
10
Ibnu Sina, Uyûn al-H}ikmah, Ed. Abdurrahman Badawi, (Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât,
1954), 16.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


6 Syamsuddin Arif

Ghazali. Menurutnya, para filsuf telah menyalahgunakan kata


“hikmah” untuk kepentingan mereka, padahal “hikmah” yang
dimaksud dalam kitab suci al-Qur’an bukan filsafat, melainkan
syariat agama yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul.11
Yang kedua adalah falsafah, istilah yang dimasukkan ke dalam
kosakata Arab melalui penerjemahan karya-karya Yunani kuno. Al-
Kindi termasuk yang mempopulerkan istilah asing ini melalui
karyanya Fî al-Falsafah al-Ûlâ (Tentang Filsafat Utama). Menurut
al-Kindi, filsafat adalah ilmu yang mempelajari hakikat segala sesuatu
sebatas kemampuan manusia. Ada filsafat teoritis yang bertujuan
menemukan kebenaran, dan ada pula filsafat praktis yang intinya
mengarahkan perilaku manusia agar selaras dengan kebenaran.
Berfilsafat itu berusaha meniru perilaku Tuhan. Filsafat adalah upaya
manusia mengenal dirinya, tambah al-Kindi.12 Sementara menurut
al-Farabi, filsafat itu definisinya dan esensinya ialah ilmu yang
mempelajari segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (al-falsafah
h} a dduhâ wa mâhiyyatuhâ innahâ al-‘ilm bi al-mawjûdât bimâ hiya
mawjûdah),13 kendati secara bahasa, filsafat itu artinya mengutama-
kan dan mencintai kearifan agung (al-falsafah .. wa ya’nûna bihi
îtsâr al-h} i kmah al-‘uz} m â wa mah} a bbatahâ). 14 Adapun kelompok
cendekiawan yang menamakan diri “Ikhwân al-S}afâ” (boleh jadi
kata majemuk ini merupakan terjemahan bebas namun puitis dari
philosophoi – para sahabat atau pemilik “sophia”) berkata: “Filsafat
itu awalnya suka kepada ilmu [yakni rasa ingin tahu]. Tahap selanjut-
nya ialah mengetahui hakikat segala sesuatu sesuai dengan ke-
mampuan manusia. Dan puncaknya adalah berkata dan berbuat
sesuai dengan apa yang diketahui (al-falsafah awwaluhâ mah}abbatu
al-ulûm, wa awsat} u hâ ma‘rifatu haqâ‘iq al-mawjudât bih} a sabi al-
mâqat al-insâniyyah wa âkhiruhâ al-qawl wa al-’amal bimâ yuwâfiq
al-ilm)‘.15 Barangkali karena inilah Aba H}ayyan al-Tawhidi mencatat

11
Imam al-Ghazali, Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Ed. Sidqi Muhammad Jamil al-‘Ammar, (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1420/1999), jilid 1, 40-41 (Bayân mâ buddila min alfâz} al-‘ulûm).
12
Lihat: Rasâ’il al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. 2 jilid, (Kairo, 1950-3),
1: 124, 173, 274; cf. T.Z. Frank, Al-Kindî’s Book of Definitions, (Unpublished PhD diss. Yale
University, 1975), 124-31.
13
Al-Farabi, Kitâb al-Jam’i bayna Ra’yay al-Hakîmayni Aflât}ûn al-Ilâhi wa Arist}ût}âlîs,
Ed. Albert N. Nader (Beirut: Dar el-Machreq, 1968), 80.
14
Al-Farabi, Kitâb Tah}s}îl al-Sa‘âdah, (Hyderabad: Majlis Dâ’irat al-Ma‘ârif al-
‘Utsmâniyyah, 1345 H), 38-39.
15
Lihat: Rasa’il Ikhwân al-S}afâ’ wa Khullân al-Wafâ’, (Beirut: 1957), 1: 23.

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 7

tidak kurang dari enam buah definisi filsafat.16


Ketiga, istilah ulûm al-awâ‘il yang secara harfiah berarti “ilmu-
ilmu orang terdahulu”. Istilah ini mengandung makna negatif,
terutama ketika dipakai oleh penulis-penulis sejarah dari kalangan
ahli hadits seperti al-Dhahabî,17 Ibnu Hajar al-‘Asqalani18 dan al-
Suyuti.19 Disebut demikian, lantaran yang dimaksud adalah ilmu-
ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India,
Persia, Yunani dan Romawi, yakni ilmu-ilmu logika, matematika,
fisika, kedokteran, astronomi dan sebagainya. Menurut Ibn H}ajar
al-‘Asqalani, ilmu-ilmu semacam itu tidak hanya berseberangan
dengan Sunnah murni (yukhâlif mah} d } al-sunnah), akan tetapi
merupakan hasil rumusan para filsuf ateis (al-hukamâ‘ al-dahriyyah)
yang tidak perlu dipelajari.

Filsafat Islam, Muslim atau Arab?


Di abad keduapuluh hingga sekarang ini, para ahli ketimuran
dan keislaman masih belum sepakat mengenai istilah yang tepat
dan seharusnya digunakan apabila kita bicara tentang filsafat yang
digeluti golongan ahli pikir dari umat Islam. Sebagian sarjana orien-
talis lebih suka menyebutnya ‘Filsafat Arab‘ (Arabic Philosophy).
Ernest Renan, Dimitri Gutas, dan Peter Adamson yang mewakili
kelompok ini beralasan bahwa filsafat yang tumbuh berkembang
di dunia Islam adalah hasil sebuah proses intelektual yang panjang
dan rumit, di mana para sarjana Muslim maupun non-Muslim (ter-
utama Yahudi dan Nasrani) turut aktif mengambil bagian. Namun,
mereka yang berbeda-beda bangsa dan agama itu mengambil bahasa
Arab sebagai medium untuk menyatakan pikiran-pikirannya. Bahasa
Arab telah menjadi ‘lingua franca‘ bagi para ilmuwan dan cendekia-
wan yang berasal dari berbagai negeri yang berjauhan seperti Anda-
lusia (kini Spanyol) dan Khurasan (Iran) itu.

16
Lihat: Abu Hayyan al-Tawhidi, Al-Muqâbasât, Ed. M.T. Husayn, (Baghdad: 1970),
203-4 (Pasal ke-48); cf. J. L. Kraemer, Philosophy in the Renaissance of Islam, (Leiden, 1986),
246-7; juga D.M. Dunlop, “The Existence and Definition of Philosophy,” dalam jurnal Iraq
13 (1951): 76-93.
17
Al-Dhahabi, Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-A‘lâm, Ed. ‘Umar ‘A.
al-Tadmuri, (Beirut: 1999), Tabaqah 59, daftar wafat 587 Hijriah, pada biografi Suhrawardi al-
Maqtul.
18
Ibnu H}ajar al-‘Asqalani, Lisân al-Mîzân, (Beirut: 1971), 4: 242 (biografi no. 653 s.v.
‘Ali ibn ‘Ubaydillah Abu al-Hasan al-Zaghuni).
19
Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq wa al-Kalâm ‘an Fannay al-Mant}iq wa al Kalâm, (Kairo:
1947), 19.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


8 Syamsuddin Arif

Alasan kedua, para penekun filsafat pada periode awal seperti


al-Kindi dan al-Farabi lebih banyak bergelut dengan karya-karya
filsuf Yunani semisal Plotinus dan Aristoteles ketimbang merintis
filsafat Islam tersendiri. Namun, bukan mustahil di balik semua alasan
itu tersembunyi rasisme intelektual bahwa yang namanya filsafat
itu mesti produk pemikiran Yunani dan karenanya apa yang dikerja-
kan kaum Muslim sekadar menerima dan memeliharanya untuk
diwariskan kepada generasi sesudah mereka.20 Pun bisa jadi terselip
alasan ideologis untuk pilihan istilah tersebut. Menurut Seyyed
Hossein Nasr, mereka yang suka memakai istilah “Arabic Philosophy”
biasanya mengkaji filsafat Islam sebagai barang purbakala atau
artifak museum, sehingga pendekatannya melulu historis dan
filologis. Maka, filsafat Islam di mata para orientalis semisal Van den
Bergh hingga Gutas ibarat sosok mumi dari mahluk yang lahir di
abad ke-9 dan mati di abad ke-12 Masehi. Mereka ini, kata Nasr,
biasanya tidak peduli dan tidak mengerti bahwa filsafat Islam adalah
kegiatan pikiran yang senantiasa hidup dari dahulu sampai
sekarang.21
Tetapi, mayoritas orientalis, seperti W. Montgomery Watt,
Richard Walzer, Michael E. Marmura, George F. Hourani, Oliver
Leaman, Samuel Stern, Parviz Morewedge, Seyyed Hossein Nasr,
Hossein Ziai, dan Hans Daiber lebih memilih istilah Islamic
Philosophy (Filsafat Islam),22 manakala Max Horten dan T.J. de Boer
20
Lihat: E. Renan, Averroès et Laverroïsme: Essai Historique, Edisi ke-3 (Paris: Michel
Lévy, 1886), 90; D. Gutas, “The Study of Arabic Philosophy in the Twentieth Century,”
dalam British Journal of Middle Eastern Studies 29 (2002): 5-25; P. Adamson dan R.C. Taylor,
The Cambridge Companion to Arabic Philosophy, (Cambridge: CUP, 2005), 3-4; Ch.
Genequand, “La philosophie arabe,” dalam Les Arabes et Loccident (Geneva, 1982), 51-63;
Ch. Butterworth dan B.A. Kessel, The Introduction of Arabic Philosophy into Europe, (Leiden:
E.J. Brill, 1994); C.C. D Ancona, La Casa Della Sapienza: La Trasmissione Della Metafisica
Greca e La Formazione Della ia Araba (Milan: 1996).
21
Lihat: S.H. Nasr, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 11-18
(“Introduction”).
22
W.M. Watt, Islamic Philosophy and Theology, (Edinburgh: EUP, 1962); R. Walzer,
Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy, (Oxford: OUP, 1962); S. Stern (et al.), Islamic
Philosophy and the Classical Tradition, (Oxford: OUP, 1972); Madjid Fakhry, A History of
Islamic Philosophy, (London: Longman, 1970); G.F. Hourani, Essays on Islamic Philosophy
and Science, (Albany: SUNY Press, 1978); P. Morewedge, Islamic Philosophy and Mysticism,
(Delmar, 1981); M.E. Marmura, Islamic Theology and Philosophy, (Albany: SUNY Press,
1984); O. Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, (Cambridge: CUP, 2002);
S.H. Nasr and O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996); H. Ziai,
“Islamic Philosophy,” dalam The Oxford Companion to Islamic Philosophy, (Oxford: OUP,
1995), 419-21; Hans Daiber, Bibliography of Islamic Philosophy, (Leiden: E.J. Brill, 1999).

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 9

dalam bukunya memakai istilah Philosophie in Islam (Filsafat dalam


Islam). Beberapa alasan telah dikemukakan untuk itu, antara lain
oleh Oliver Leaman. Filsafat Islam, katanya, adalah nama generik
keseluruhan pemikiran yang dihasilkan masyarakat dalam bingkai
tradisi dan konteks peradaban Islam terlepas apakah mereka yang
punya andil di dalamnya adalah keturunan Arab ataupun bukan
Arab, Muslim ataupun non-Muslim, di Timur Tengah, Andalusia,
India, Asia Tengah dan Asia Tenggara, dengan bahasa Arab, Parsi,
Ibrani, Turki, ataupun Melayu sebagai mediumnya, sejak zaman
dahulu sampai sekarang ini.
Filsafat Islam membawa agenda dan misi tersirat, bagaimana
menyelaraskan ajaran wahyu dengan tuntutan akal, meskipun
hakikatnya dikotomi semacam ini bukannya persoalan sentral dalam
wacana filsafat Islam. Leaman mencermati lunturnya corak asal dan
universal dari perkara-perkara yang dibahas akibat terjadinya proses
penetralan dan pengislaman; kendati masalah-masalah yang dikupas
bukannya baru sama sekali, namun perbincangannya dilakukan
dalam bahasa yang mencerminkan cara pandang Islami (framed
within the language of Islam, within the cultural context of Islamic
society). Menurutnya, filsafat Islam itu sudah barang tentu sangat is,
senantiasa hidup dan dinamis, tidak sekadar melanjutkan tradisi
sebelumnya, akan tetapi juga membuat terobosan-terobosan kreatif
dalam menjawab persoalan-persoalan lama maupun baru: Much
Islamic philosophy, like much philosophy of any kind, is just the accretion
of new technical representaions of existing issues .... new traditions of
thinking about problems and resolving difficult conceptual issues.23 Jadi,
jelas keliru mengatakan filsafat Islam itu hanya kelanjutan dari filsafat
Yunani atau menyempitkannya sebagai teologi saja atau menganggap-
nya sebagai sejarah belaka.
Argumen lain diutarakan oleh pakar-pakar filsafat dari Mesir,
antara lain Ibrahim Madkour dan Mustafa Abdur Raziq. Menurut
Madkour, filsafat Islam itu bersifat “islami” ditinjau dari empat sisi:
pertama, dari segi masalah-masalah yang dibahas; kedua, dari aspek
konteks sosio-kulturalnya; ketiga, dari segi faktor-faktor pendorong
serta maksud-tujuannya; dan keempat, dari kenyataan bahwa para
pelakunya berada di bawah naungan kekuasaan Islam.24 Sementara
23
Lihat: O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 1-10
(“Introduction”).
24
Lihat: Ibrahim Madkour, Al-Falsafah al-Islâmiyyah: Manhaj wa Tat}biquhu (Kairo:
t.p., T.Th), 19.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


10 Syamsuddin Arif

Mustafa ‘Abdul Raziq berpendapat sebaiknya kita memakai istilah


yang telah digunakan sejak dulu oleh para pemikir Muslim seperti
Ibnu Sina, al-Syahrastani, dan Ibnu Khaldun –untuk menyebut
beberapa fakta konkret- yang masing-masing memakai istilah-istilah
berikut ini: “al-mutafalsifah al-islâmiyyah”, “falâsifat al-Islâm”, dan
“h}ukamâ‘ al-Islâm”,25 dimana terjadi penisbatan eksplisit kepada
Islam, bukan kepada Arab, terlepas dari pro-kontra kesahihannya.
Akan tetapi ada juga beberapa sarjana yang memutuskan
untuk memakai istilah “filsafat Muslim”. Mereka adalah orientalis
Perancis Léon Gauthier dalam Introduction a L’étude de la Philosophie
Musulmane (1923) dan Louis Gardet dalam artikelnya, Le Problème
de la Philosophie Musulmane.26 Begitu pula sarjana Pakistan M.M.
Sharif yang memilih istilah Muslim Philosophy untuk judul buku
hasil suntingannya. Dalam kata pengantar buku tersebut, Sharif
menegaskan bahwa filsafat Islam itu sangat luas bidang kajiannya,
meliputi aneka macam cabang ilmu pengetahuan. Lebih dari itu,
filsafat Islam hanyalah satu dari sekian banyak aspek dari peradaban
Islam yang bersumberkan kitab suci al-Qur’an. Meskipun bukan
buku filsafat, al-Qur’an berbicara mengenai masalah-masalah besar
yang menjadi tumpuan filsafat, seperti soal Tuhan, alam semesta,
jiwa manusia, hidup sesudah mati, dan nilai-nilai universal seperti
kebenaran, kebaikan, keadilan, dan masih banyak lagi. Demikian
penjelasan M.M. Sharif.27
Istilah lain yang cukup menarik dilontarkan oleh Harry A.
Wolfson lewat karyanya Philosophy of the Kalam (filsafat ilmu
kalam).28 Pakar sejarah teologi ini tercengang melihat betapa seru,
tajam dan rasionalnya argumen-argumen yang dilontarkan tokoh-
tokoh ilmu kalam mulai dari Imam al-Asyari sampai al-Iji. Boleh
dikata Wolfson ini sebenarnya menggaungkan kembali apa yang
pernah dinyatakan Ernest Renan kira-kira seabad sebelumnya,
bahwa filsafat Islam yang sejati itu dapat ditemukan dalam literatur
kalam, di mana direkam adu pendapat yang sengit namun rasional
25
Mustafa ‘Abdul Raziq, Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-Islâmiyyah, (Kairo: 1944),
19-20.
26
Diterbitkan dalam Mélanges offerts à Etienne Gilson, (Paris, 1959), 261-84. Bandingkan
dengan Miguel Cruz Hernandez, Ia Hispano-Musulmana, (Madrid, 1953).
27
M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, 2 jilid, (Wiesbaden: Harrassowitz,
1963-6), 1 :136 (Bab: Philosophical Teachings of the Qur’an).
28
H.A. Wolfson, The Philosophy of the Kalam, (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1976).

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 11

antara berbagai aliran pemikiran Islam: “Le véritable mouvement


philosophique de l’islamisme doit se chercher dans le sectes théologiques:
Kadarites, Djabarites, Sifatites, Motazélites, Baténites, Ta’limites,
Asch’arite, et surtout dans le Kalâm”, tulis Renan.29

Sumber-Sumber Filsafat Islam


Terdapat beberapa pandangan berbeda mengenai matriks
filsafat Islam. Pandangan pertama menyatakan bahwa filsafat Islam
adalah kelanjutan dari filsafat Yunani kuno: “It is Greek philosophy in
Arabic garb”, kata Renan, De Boer, Gutas, dan lain-lain. Artinya,
menurut mereka tidak ada yang baru, istimewa atau hebat sama
sekali dari filsafat Islam karena seluruhnya berasal dari Yunani mulai
sistem ontologi, epistemologi, psikologi, hingga kosmologinya.
Pendapat ini juga dianut oleh sebagian sarjana Muslim semisal ’Ali
Sami al-Nasysyar yang menganggap filsafat al-Kindi, al-Farabi, Ibnu
Sina dan semisalnya itu tidak layak disebut filsafat Islam karena
elemen-elemennya yang universal maupun yang partikular semua
berasal dari Yunani, campuran dari Aristotelianisme dan
Neoplatonisme.30
Pandangan kedua mengatakan filsafat Islam memang lahir dari
dalam, hasil ijtihad intelektual Muslim sendiri. Akan tetapi pemicu-
nya datang dari luar, sehingga filsafat Islam itu dikatakan muncul
sebagai reaksi terhadap doktrin-doktrin agama lain yang telah
berkembang pada waktu itu. Menurut pendukung pandangan ini,
kaum Muslim banyak mengambil dari dan dipengaruhi oleh tradisi
pemikiran Yahudi-Kristen. Pandangan ini disuarakan oleh Maimo-
nides, seorang padri Yahudi asal Andalusia: “Ketahuilah olehmu
bahwa semua yang dilontarkan oleh orang Islam –pemikir Muta-
zilah maupun Asyariyah mengenai masalah-masalah [teologi] ini
adalah pandangan-pandangan yang didasari pada sejumlah proposisi,
yaitu proposisi-proposisi yang sumbernya buku-buku orang Yunani
dan Syria yang berusaha menyanggah pendapat-pendapat para filsuf
dan berusaha mematahkan pernyataan-pernyataan mereka.”31 Di-
29
E. Renan, Averroès et Laverroïsme: Essai Historique, Edisi ke-3, (Paris: Michel Lévy,
1886), 89.
30
‘Ali Sami al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm, (Kairo, 1977), 519:
“Falsafat hâ’ulâ’ al-akhîrîn ghayr islâmiyyah! Hiya yûnâniyyah fî kulliyyâtihâ wa juz’iyyâtihâ
wa mazîj min al-Aristûtâliyyah wa al-aflâtûniyyah al-muh}datsah.”
31
Dalam kitabnya Dalâlat al-Hâ’irîn, diterjemahkan oleh Shlomo Pines, The Guide
for the Perplexed (Chicago: Chicago University Press, 1963), 177. Terjemahan Inggrisnya

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


12 Syamsuddin Arif

katakan bahwa tidak hanya topik-topiknya, bahkan teknik pem-


bahasan dan pola argumentasi mereka pun konon dipungut dari
ilmu retorika dan dialektika Yunani, yang kemudian diwarisi dan
dilestarikan oleh para tokoh-tokoh gereja, seperti Justin Martyr, John
Philoponus, dan John Damascenus. Juga diklaim konon istilah
’kalâm’ adalah terjemah dari dialexis, diálektos, dan dialektika dalam
bahasa Yunani kuno.32
Ketiga adalah pandangan revisionis yang melihat filsafat Islam
sebagai hasil kegiatan intelektual yang wujud sejak kurun pertama
Islam. Perbincangan tentang kemahakuasaan dan keadilan Tuhan
serta kaitannya dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia
merupakan cikal bakal tumbuhnya filsafat Islam yang ketika itu
masih disebut kalâm. Munculnya kelompok-kelompok Khawârij,
Syîah, dan Mu’tazilah yang melontarkan argumen-argumen rasional
untuk menopang pendapat masing-masing, selain merujuk ayat-
ayat suci al-Qur’an, berperan besar dalam mendorong perkembang-
an pemikiran filsafat Islam. Ahli sejarah merekam misalnya sepucuk
surat yang ditulis al-Hasan al-Basri sebagai jawaban kepada Khalifah
perihal kada dan kadar, di mana beliau menangkis argumen kaum
fatalis maupun kelompok rasionalis sekular.33 Perdebatan seru me-
nyusul di abad-abad selanjutnya antara berbagai aliran pemikiran,
berkisar kedudukan logika, masalah atom, ruang hampa, masa, dan
yang tak terhingga dalam hubungannya dengan kewujudan Tuhan,
serta keazalian dan keabadian alam semesta.34 Pandangan revisionis

demikian: “Know that all that the Muslims, both the Mu’tazilites and the Ash’arites, have said on
these subjects are opinions based upon certain propositions, which propositions are taken from the
books of Greeks and Syrians who sought to oppose the views of the philosophers and to refute their
assertions.” Lihat: H.A. Wolfson, The Philosophy of Kalâm, (Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1976), 48.
32
Lihat: Richard M. Frank, “The Kalâm, an Art of Contradiction Making or Theological
Science?” dalam Journal of American Oriental Society (JAOS) 88 (1968): 295-309; Josef van
Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Logic in Classical Islamic Culture,
ed. Gustav E. von Grunebaum (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1970), 24 ff; Josef van Ess,
“Disputationspraxis in der islamischen Theologie. Eine vorläufige Skizze,” dalam Revue des
Études Islamiques, 44 (1976): 23-60 Josef van Ess, “The Beginning of Islamic Theology,”
dalam The Cultural Context of Medieval Learning, Ed. J. Murdoch dan E. Sylla, (Boston: D.
Reidel, 1975); Shlomo Pines, “A Note on an Early Meaning of the Term Mutakallim,” dalam
Israel Oriental Studies 1 (1971): 224-40; dan Michael Cook, “The Origins of Kalâm,” dalam
Bulletin of the School of Oriental and African Studies (BSOAS) 43 (1986): 32-43.
33
Lihat: Michael Schwarz, “The Letter of al-Hasan al-Basrî,” dalam Oriens, vol. XX
(1972), 15-30.
34
Lihat: Shlomo Pines, Beiträge zur Islamischen Atomenlehre (Berlin:
Gräfenhainichen, 1936) dan Alnoor Dhanani, The Physical Theory of Kalâm: Atoms, Space,
and Void in Basrian Mu’tazilî Cosmology, (Leiden: Brill, 1994).

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 13

ini diwakili antara lain oleh M.M. Sharif dan Alparslan Acikgenc.35
Menurut mereka, filsafat Islam tidak bermula dengan al-Kindi dan
berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Sebagai produk dialektika
unsur-unsur internal umat Islam itu sendiri, bangunan filsafat Islam
dapat ditemukan fondasinya dalam kitab suci al-Qur’an yang men-
duduki posisi sentral dalam kehidupan spiritual-intelektual kaum
Muslim.
Memang, dalam literatur sejarah filsafat dunia, peran dan ke-
dudukan filsafat Islam seringkali dimarginalkan dan direduksi, atau
bahkan diabaikan sama sekali. Menurut para sejarawan filsafat
seperti Hegel, Coplestone, atau Russell, kalau pun ada nilainya maka
itu terlalu kecil dan insignifikan, sebatas menampung dan melestari-
kan warisan pemikiran Yunani kuno untuk kemudian meneruskan-
nya kepada orang-orang Barat yang saat itu hidup dalam apa yang
mereka namakan Zaman Kegelapan (Dark Ages), atau sekadar
menjadi “jembatan peradaban” (Kulturvermittler) ¯ meminjam istilah
sejarawan Eropa.36
Walhasil, jika ditelusuri dan diteliti karya-karya mereka, para
filsuf Muslim bukan semata-mata mereproduksi apa yang mereka
pelajari dari khazanah pemikiran Yunani kuno. Mereka tidak reseptif-
pasif, tidak menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah
tanpa resistensi dan sikap kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim
telah mengupas dan mengurai, melakukan analisis dan elaborasi,
menjelaskan dan menyanggah, mengkritik, dan menilai, menyaring
dan mengubahsuaikan, mengurangi dan menambahkan, mem-
perkenalkan konsep-konsep baru, atau menyuntikkan makna baru
ke dalam istilah-istilah yang sudah ada, dan menawarkan solusi-solusi
baru untuk persoalan-persoalan perennial dalam filsafat. Di samping
berhasil melahirkan sintesis cemerlang dan membangun sistem
pemikiran tersendiri, filsuf Muslim itu terutama berhasil
mengakomodasi khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka
pandangan hidup (Weltanschauung) Islam. Dengan kata lain, yang
telah mereka lakukan adalah upaya Islamisasi.

35
Lihat: Alparslan Acikgenc, “The Framework for a History of Islamic Philosophy,”
al-Shajarah, 1: 1-2 (1996).
36
Pandangan-pandangan reduksionistik dan eurosentrik semacam ini telah diulas
oleh Hans Daiber, “What is the Meaning of and to What End Do We Study the History of
Islamic Philosophy? The History of a Neglected Discipline,” dalam Bibliography of Islamic
Philosophy, 2 jilid (Leiden: Brill, 1999), 1: xi-xxxiii.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


14 Syamsuddin Arif

Urgensi Filsafat Islam


Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, apa pentingnya
kita mempelajari filsafat Islam. Setidaknya ada beberapa jawaban
yang bisa kita kemukakan bagi pertanyaan ini, terutama bila kita
ingat bahwa tidak sedikit dan sudah sejak lama orang-orang Eropa
yang nota bene bukan Muslim pun dengan serius mempelajari dan
mengajarkan filsafat Islam. Begitu pula jika pertanyaan tersebut
dibalik: Apa sebab orang-orang Islam tertarik mempelajari filsafat
dan berbagai cabang ilmu pengetahuan dari peradaban Yunani,
Persia, India kuno yang nota bene bukan Islam itu?
Jawaban pertama, sebagai kegiatan ilmiah, filsafat Islam seperti
halnya filsafat Hindu, Buddha, Kristen, dan lainnya merupakan
bagian dari perjalanan intelektual manusia mencari kebaikan,
menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan –sebuah cita-cita
universal yang ingin dicapai oleh setiap bangsa apapun agamanya,
budayanya, dan bahasanya. Maka mempelajari filsafat Islam itu
suatu keniscayaan, mengingat obor ilmu pengetahuan dipegang oleh
umat Islam selama berabad-abad pada Kurun Pertengahan (Middle
Ages atau Medieval Times).
Kedua, bagi mereka yang haus ilmu dan cinta kearifan,
mempelajari filsafat itu sama dengan mencari hikmah yang hilang
atau tercecer di manapun adanya perlu dikejar dan dari manapun
datangnya perlu diambil. Ini persis yang dikatakan oleh al-Kindi: “Wa
yanbaghî lanâ an lâ nastah}yiya min istih}sân al-h}aqq wa iqtinâ’ al-h}aqq
min ayna atâ, wa in atâ min al-ajnâs al-qâs}iyah ’annâ wa al-umam al-
mubâyinah lanâ.”37 Ketiga, tidak sedikit yang mengkaji filsafat Islam
semata-mata didorong oleh rasa ingin tahu belaka –sebuah
kecenderungan alami pada setiap manusia sebagai hewan berakal.
Kata Aristoteles: “ ”.38 Terakhir,
mungkin juga sebagaimana Ibnu Sina atau Aquinas, motivasi orang
mempelajari filsafat bersifat religius pragmatis dalam arti untuk
membangun argumen rasional demi mengukuhkan keyakinan agama
masing-masing, bagaimana keimanan itu bisa dipertahankan secara
akal. Maka lahirlah konsep Wajib al-Wujûd, h}udûth, dan argumen-
argumen ontologis, kosmologis, teleologis dan sebagainya itu.
37
al-Kindi, Fî al-Falsafah al-Ûlâ, dalam Rasâil al-Kindî al-Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu
Ridah, (Kairo, 1950-3), 1: 33.
38
Aristoteles, Ta meta ta physika, terj. H. Tredennick (Cambridge, MA, 1980),
980á21.

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 15

Problem dan Prospek


Pembelajaran dan pengajaran filsafat di dunia Islam hingga
kini masih terkendala oleh banyak hal. Pertama, adanya gambaran
keliru belajar filsafat itu sulit dan rumit, di samping anggapan umum
bahwa belajar filsafat itu sia-sia, membuang waktu saja karena tidak
mendatangkan manfaat ekonomis dan tidak jelas apa gunanya.
Menjadi tugas para guru, dosen dan ilmuan untuk menepis anggapan
semacam itu dan menerangkan hakikat filsafat dan manfaatnya
untuk mengasah keterampilan berpikir analitis, kritis, dan kreatif,
serta kemampuan mengutarakan hujah atau argumen secara logis
dan ilmiah. Bahwa ada kasus-kasus memprihatinkan di kalangan
mahasiswa yang menjadi ateis, melecehkan nabi dan ulama,
mengabaikan kewajiban agama, dan sebagainya, hal itu bukan
semata-mata disebabkan oleh filsafat sebagai disiplin ilmu, melainkan
lebih karena sikap mental yang buruk alias sû’ al-adab (tidak tahu
diri) dan diabolisme intelektual (merasa diri hebat, angkuh,
membangkang, mengingkari kebenaran, dan melecehkan otoritas).
Kendala lainnya adalah oposisi sebagian ulama terhadap kajian
filsafat. Sebagaimana kita ketahui, di abad kelima Hijriyah Imam al-
Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap doktrin-doktrin filsuf
dalam karya terkenalnya Tahâfut al-Falâsifah. Menurut beliau, ada
tiga ajaran para filsuf yang berimplikasi kufur: pertama, keyakinan
mereka bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa
Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detil; dan ketiga,
pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari kiamat.39
Adapun matematika, fisika, astronomi yang mereka menjadi bagian
dari ilmu mereka tidak ditolaknya: mâ lâ yas} dimu madhhabuhum
as}lan min us}ûl al-dîn... fa inna hâdhihi al-umûr taqûmu ’alayhâ barâhîn
handasiyyah hisâbiyyah lâ yabqâ ma’ahâ raybah.40 Artinya, Imam
al-Ghazali tidak melempar filsafat dalam satu keranjang, akan tetapi
bersikap kritis-selektif, ada yang mesti dibuang dan ada yang bisa
dimanfaatkan. Kriterianya apakah ia bertentangan dengan akidah
ataukah tidak.
Imam al-Ghazali juga memilah ilmu mereka dalam enam
kategori: yang tercela dan yang tidak tercela (mâ yudhammu minhâ

39
al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, Ed. Sulaymân Dunyâ (Kairo, 1961), 81.
40
Ibid., 80. Bandingkan dengan kitab Al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im
al-‘Ânî (Damaskus, 1415/1994), 55.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


16 Syamsuddin Arif

wa mâ lâ yudhammu), yang bisa membuat orang jadi kafir dan yang


tidak menyebabkan kufur (mâ yukaffaru fîhi qâ’iluhu wa mâ lâ
yukaffaru), dan yang dapat menjadikannya ahli bid’ah dan tidak
membuatnya begitu (mâ yubadda’u fîhi wa mâ lâ yubadda’u).
Kemudian dari segi akidah, para filsuf dikelompokkan menjadi tiga
golongan: ateis (al-dahriyyûn) yaitu filsuf materialis yang
mengatakan alam ini kekal abadi dan tidak diciptakan Tuhan;
naturalis (al-tabî’iyyûn) yaitu mereka ahli fisika, biologi, anatomi
(kedokteran) yang walaupun meyakini adanya Sang Pencipta akan
tetapi tidak mempercayai kehidupan sesudah mati karena mereka
anggap kehidupan semua mahluk bermula dan berakhir di sini dan
segalanya di alam ini berjalan dengan tabiat dan sesuai dengan
kodratnya. Ketiga, golongan ahli metafisika seperti Sokrates, Plato
dan Aristoteles yang ajaran-ajaranya juga banyak mengandung
kekeliruan, kesesatan dan kekufuran.41
Fatwa yang paling tegas dikeluarkan oleh Ibnu al-Salah. Ketika
ditanyakan pendapatnya tentang hukum mempelajari dan me-
ngajarkan logika (ilmu mantiq), tentang pemakaian istilah-istilah
ilmu mantiq dalam menetapkan hukum syarak, dan tentang tinda-
kan apa yang harus diambil terhadap orang-orang ahli filsafat yang
menulis dan mengajar di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi
(madâris), Ibnu al-Salah menjawab sebagai berikut: “Filsafat adalah
pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan ke-
sesatan. Siapa yang berfilsafat, maka buta lah hatinya dari kebaikan-
kebaikan Syariah yang suci yang dikuatkan dengan dalil-dalil dan
bukti-bukti yang gamblang. Siapa yang mempelajarinya, maka ia
bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh
setan. Adakah ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan
mata pemiliknya dan menggelapkan hatinya dari cahaya ajaran Nabi
kita. Tentang ilmu mantiq, ia adalah jalan kepada filsafat, dan jalan
kepada keburukan adalah keburukan juga. Mempelajari filsafat atau
mengajarkannya termasuk yang tidak dibolehkan oleh syarak, tidak
pula dibenarkan oleh para Sahabat, Tabi`in, imam-imam mujtahidin,
ulama-ulama salaf, pemimpin-pemimpin umat yang telah Allah
bersihkan dari kotoran-kotoran ilmu tersebut. Oleh karena itu,
penggunaan istilah-istilah ilmu mantiq dalam hukum syarak tidak
dibenarkan, dan untungnya hukum-hukum syarak tidak memerlu-

41
Ibid., 52-54.

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 17

kan ilmu mantiq.”42


Menurut al-Suyuti, fatwa tersebut di atas cukup mewakili
karena sebelum itu para ulama dari Imam al-Syafi’i hingga Ibnu
Taymiyyah berpendapat sama, yakni haram hukumnya belajar ilmu
kalam, filsafat dan logika. Sejumlah alasan dikemukakannya: bahwa
itu menyimpang keluar dari bahasa agama (’adala ’an lisân al-syar’i)
dan jika dipakai untuk memahami teks-teks agama akan membuat
orang jadi bodoh dan sesat; bahwa itu menimbulkan bidah,
menyalahi Sunnah dan objektif pengasas agama (sabab lil-ih}dâth
wa al-ibtidâ’ wa mukhâlafat al-sunnah wa mukhâlafat ghaira al-
syâri’), bahwa itu dikhawatirkan bakal menyelewengkan dan
menimbulkan kekacauan (khawfa al-zaygh wa al-fitnah). Kemudian
dikutipnya juga pernyataan al-Muhasibi, al-Bukhari, al-Khattabi, al-
Lalika’i, al-Ajurri, Abu Talib al-Makki, al-Khatib al-Baghdadi, Ibnu
al-Sam’ani, Imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Ghazali, dan al-
Harawi.43
Namun, penting untuk diketahui bahwa al-Suyuti pun me-
nurunkan kutipan panjang dari kitab Fais} a l al-Tafriqah dimana
Imam al-Ghazali menyatakan bahwa maksudnya bukan haram
mutlak, melainkan haram karena banyak dampak buruknya (li-
katsrat al-âfât) meski dengan pengecualian bagi dua jenis orang,
yaitu mereka yang mempunyai masalah (rajul waqa’at lahu syubhah)
ibarat orang yang sakit memerlukan obat, dan kedua, mereka yang
kuat akalnya, mantap agamanya, dan teguh imannya (syakhs}un kâmil
al-’aql, râsikh al-qadam fî al-dîn, thâbit al-îmân bi anwâr al-nafs),
ibarat dokter yang ingin mengobati orang sakit, atau mematahkan
pemikiran sesat, atau menjaga keimanannya agar tidak bisa di-
guncang oleh pemikiran keliru.44
Di samping itu, studi filsafat Islam juga dirundung masalah
metodologis. Sejauh ini, pendekatan historis dan filologis masih
mendominasi ketimbang pendekatan logis analitis. Hal ini dicermati
oleh banyak sarjana Muslim maupun non-Muslim. Oliver Leaman,
42
Lihat: Fatâwâ wa Masâ’il Ibn al-S}alâh, Ed. ‘Abd al-Mu’mî Amîn Qal’aji, 2 jilid,
(Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1406/1986), 209-212 (mas’alah no. 55).
43
Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq…, 15-19. Cf. Mufti Ali, Muslim Opposition to Logic and
Theology in the Light of the Works of Jalâl al-Dîn al-Suyuti, (d. 911/1505), PhD diss. Leiden
University, 2008.
44
Al-Suyuti, S}awn al-Mant}iq..., 186-187. Cf. G. Endress, “The Defense of Reason:
the Plea for Philosophy in the Religious Community,” Zeitschrift für Geschichte der arabisch-
islamische Wissenschaften 6 (1990), 1-49.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


18 Syamsuddin Arif

misalnya, melihat tiga pola pendekatan orientalis terhadap filsafat


Islam. Pertama, pendekatan ala Leo Strauss yang menganggap filsafat
Islam itu ekspresi kemunafikan, upaya mengendorkan ketegangan
yang terjadi antara akal dan wahyu, antara filsafat dan agama, antara
Jerusalem dan Athena. Maka tugas peneliti filsafat Islam adalah
membongkar motif-motif yang terselip di balik teks, makna-makna
yang tersembunyi di belakang tanda, simbol, alegori, dan sebagainya.
Asumsinya bahwa apa yang dimaksud bukan apa yang dikatakan,
apa yang tersirat itu kebenaran, sedang yang tersurat itu kepalsuan.
Para filsuf diperlakukan sebagai occultis-esoteris, pengecut yang
bersembunyi di balik kata-kata. Leaman menilai kerangka dikotomis
seperti ini simplistik dan reduksionistik. Kedua, pendekatan historis-
filologis yang kemudian diistilahkan Greco-Arabic sebagaimana
dikerjakan oleh Richard Walzer dan para pengikutnya. Ciri khasnya
adalah melacak sumber-sumber Yunani, Romawi, Persia atau India
kuno untuk setiap ide, konsep, teori atau argumen para filsuf
Muslim.
Asumsi dasar pendekatan ini adalah filsafat Islam itu barang
impor, pinjaman, jiplakan, atau turunan pemikiran-pemikiran yang
telah berkembang sebelumnya. Namun pendekatan ini pun banyak
dikritik, antara lain oleh almarhum Muhsin Mahdi, mantan guru
besar di Harvard.45 Penganut pendekatan ini, mungkin karena ada
mengidap hellenophilia, begitu terobsesi dengan asal-usul dan
ketergantungan setiap peradaban pada peradaban lain sehingga
menafikan konteks lokal dan daya kreatif manusia. Sesungguhnya
yang terjadi, menurut Leaman, adalah para filsuf Muslim itu sudah
barang tentu melakukan adopsi dan adapsi: “They did not just accept
the concepts which were handed down to them, but adapted them and
constructed new concepts to make sense of the nature of the problem as
they saw it.” 46 Maka pendekatan ketiga, dan ini yang dianjurkannya,
adalah mengkaji filsafat Islam sebagai filsafat, bukan sebagai naskah
kuno atau narasi sejarah intelektual. Artinya, diperlukan analisis
logika yang kuat dan tajam terhadap konsep-konsep, teori-teori, dan
argumentasi para filsuf Muslim, untuk menguji validitasnya atau
kelemahan-kelemahannya. Dan ini seperti yang dilakukan oleh

45
Lihat: Muhsin Mahdi, “Al-Fârâbî’s Imperfect State,” dalam JAOS, 110 (1990), 691-
726.
46
Lihat: O. Leaman, History of Islamic Philosophy, (London: Routledge, 1996), 9
(“Introduction”).

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 19

Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Taimiyyah dalam karya-


karya mereka. Pendekatan ketiga yang menekankan analisis murni
atau menggabungkannya dengan pendekatan historis tampak mulai
banyak diikuti oleh generasi baru semisal, Jon McGinnis, Tony Street,
dan Robert Wisnovsky.

Penutup
Di atas itu semua kita masih punya harapan, menyaksikan
kajian filsafat Islam masih berlanjut di dunia Islam dan kian semarak
di banyak perguruan tinggi di Eropa dan Amerika. Semakin banyak
karya-karya filsuf Muslim yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, bahkan Itali. Hampir saban tahun
digelar konferensi internasional untuk mendiskusikan berbagai
aspek pemikiran Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, bahkan Ibnu Taimiyyah.
Ini belum termasuk kajian-kajian serius dalam bentuk tesis dan
disertasi mengenai aneka topik dalam wilayah filsafat Islam yang
sebagian basar telah disenaraikan dalam Bibliography of Islamic
Philosophy oleh Hans Daiber. Maka tak berlebihan jika Julio César
Cárdenas Arenas menyimpulkan: “La ía islámica puede considerarse
una tradición viva y dinámica que en su tiempo actualizó y adecuó los
conceptos extranjeros para su propia lengua y tiempo (Filsafat Islam itu
boleh dikata merupakan tradisi hidup dan dinamika yang meng-
kontekstualisasi konsep-konsep asing agar sesuai dengan konteks
bahasa dan zamannya). []

Daftar Pustaka
‘Abdul Raziq, Mustafa. 1944. Tamhîd li Târîkh al-Falsafah al-
Islâmiyyah. Kairo.
Adamson, P. dan R.C. Taylor. 2005. The Cambridge Companion to
Arabic Philosophy. Cambridge: CUP.
Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. 1971. Lisân al-Mîzân. Beirut.
Al-Âmiri. 1988. Kitâb al-Amad alâ al-Abad, Ed. dan Terj. E. Rowson,
A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate. New Haven:
American Oriental Society.
Ali, Mufti. 2008. Muslim Opposition to Logic and Theology in the Light
of the Works of Jalâl al-Dîn al-Suyuti. Leiden University.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


20 Syamsuddin Arif

Aquinas, Thomas. 1926. In Metaphysicam Aristotelis Commentaria,


ed. M.-R. Cathala.
Aristoteles. 1980. Ta Meta ta Physika, Terj. H. Tredennick. Cambridge,
MA.
Barry S. 1987. Logical Positivism in Perspective: Essays on Language,
Truth and Logic, Ed. London: Croom Helm.
Blair, Ann. 2006. “Natural Philosophy,” dalam The Cambridge History
of Science: Early Modern Science. Ed. Katharine Park and Lorraine
Daston. vol. 3. Cambridge: Cambridge University Press.
C.C, D Ancona. 1996. La Casa Della Sapienza: La Trasmissione Della
Metafisica Greca e La Formazione Della ia Araba. Milan.
Ch, Butterworth dan B.A, Kessel. 1994. The Introduction of Arabic
Philosophy into Europe. Leiden: E.J. Brill.
Ch, Genequand. 1982. “La Philosophie Arabe,” dalam Les Arabes et
Loccident. Geneva.
Daiber, Hans. 1999. “What is the Meaning of and to What End Do
We Study the History of Islamic Philosophy? The History of a
Neglected Discipline,” dalam Bibliography of Islamic Philosophy,
2 jilid. Leiden: Brill.
______. 1999. Bibliography of Islamic Philosophy. Leiden: E.J. Brill.
Al-Dhahabi. 1999. Târîkh al-Islâm wa Wafayât al-Masyâhîr wa al-
A‘lâm, Ed. ‘Umar ‘A. al-Tadmurî. Beirut.
Dhanani, Alnoor. 1994. The Physical Theory of Kalâm: Atoms, Space,
and Void in Basrian Mu’tazilî Cosmology. Leiden: Brill.
E, Renan. 1886. Averroès et Laverroïsme: Essai Historique. Edisi ke-3.
Paris: Michel Lévy.
Ess, Josef van. 1970. “The Logical Structure of Islamic Theology,”
dalam Logic in Classical Islamic Culture, ed. Gustav E. von
Grunebaum. Wiesbaden: Otto Harrassowitz.
______. 1975. “The Beginning of Islamic Theology” dalam The
Cultural Context of Medieval Learning, Ed. J. Murdoch dan E.
Sylla. Boston: D. Reidel.
Fakhry, Madjid. 1970. A History of Islamic Philosophy. London:
Longman.
Al-Farabi. 1345. Kitâb Tah}s}îl al-Sa‘âdah. Hyderabad: Majlis Dâ’irat
al-Ma‘ârif al-‘Utsmâniyyah.

Jurnal TSAQAFAH
Filsafat Islam antara Tradisi dan Kontroversi 21

______. 1968. Kitâb al-Jam’i baina Ra’yai al-H} a kîmaini Aflât} û n al-
Ilâhi wa Arist}ût}âlîs, Ed. Albert N. Nader. Beirut: Dar el-Masyriq.
Frank, T.Z. 1975. Al-Kindî’s Book of Definitions. Unpublished PhD
diss. Yale University.
Frassen, Claudii. 1767. Philosophia Academica. Venice: Nicolaus
Pezzana.
G.F, Hourani. 1978. Essays on Islamic Philosophy and Science. Albany:
SUNY Press.
Al-Ghazali. 1415/1994. al-Munqidh min al-D}alâl, Ed. ‘Abd al-Mun’im
al-‘Ânî. Damaskus.
______. 1420/1999 Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn. Jilid 1. Ed. Sidqi Muhammad
Jamil al-‘Ammar. Beirut: Dâr al-Fikr.
______. 1961. Tahâfut al-Falâsifah. Ed. Sulayman Dunya. Kairo.
H.A, Wolfson. 1976. The Philosophy of Kalâm. Cambridge, MA:
Harvard University Press.
Hernandez, Miguel. 1953. Cruz ia Hispano-Musulmana. Madrid.
Ibnu Sina. 1954. Uyûn al-H} i kmah, Ed. Abdurrahman Badawi.
Kuwait: Wakâlat al-Mat}bûât.
Al-Kindi. 1950. Fî al-Falsafah al-Ûlâ. dalam Rasâil al-Kindî al-
Falsafiyyah, Ed. M.A. Abu Ridah. Kairo.
Kraemer, J. L. 1986. Philosophy in the Renaissance of Islam. Leiden.
Leaman, Oliver. 2002. An Introduction to Classical Islamic Philosophy.
Cambridge: CUP.
Madkour, Ibrahim. T.Th. Al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa
Tat}biquhu. Kairo.
Marmura, M.E. 1984. Islamic Theology and Philosophy. Albany: SUNY
Press.
Morewedge, P. 1981. Islamic Philosophy and Mysticism. Delmar.
Nasr, S.H. 1996. History of Islamic Philosophy. London: Routledge.
Nasr, S.H. and O. Leaman. 1996. History of Islamic Philosophy.
London: Routledge.
Al-Nasysyar, Ali Sami. 1977. Nasy’at al-Fikr al-Falsafî fî al-Islâm.
Kairo.
Parrini, Paolo (et al.). 2003. Logical Empiricism: Historical and
Contem-porary Perspectives, Ed. Pittsburgh: Pittsburgh
University Press.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


22 Syamsuddin Arif

Pines, Shlomo. 1936. Beiträge zur Islamischen Atomenlehre. Berlin:


Gräfenhainichen.
Qal’aji, ‘Abd al-Mu’mi Amin. 1406/1986. Fatâwâ wa Masâ’il Ibn al-
S}alâh}, 2 jilid. Beirut: Dâr al-Ma’rifah.
Schwarz, Michael. 1972. “The Letter of al-Hasan al-Basrî” dalam
Oriens, vol. XX.
Sharif, M.M. 1963. A History of Muslim Philosophy, 2 jilid. Wiesbaden:
Harrassowitz.
Stern, S, et al. 1972. Islamic Philosophy and the Classical Tradition.
Oxford: OUP.
Al-Suyuti. 1947. S}awn al-Mant}iq wa al-Kalâm ‘an Fannai al-Mant}iq
wa al-Kalâm. Kairo.
Al-Tawhidi, Abu Hayyan. 1970. Al-Muqâbasât. Ed. M.T. Husayn.
Baghdad.
Walzer, R. 1962. Greek into Arabic: Essays on Islamic Philosophy.
Oxford: OUP.
Watt, W.M. 1962. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: EUP.
Wittgenstein, Ludwig. 1922. Tractatus Logico-philosophicus, Terj. C.K.
Ogden. New York: Barnes & Noble, 2003; berdasarkan cetakan
perdana London: Kegan Paul.
Ziai, Hossein. 1995 “Islamic Philosophy,” dalam The Oxford
Companion to Islamic Philosophy. Oxford: OUP.

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah
Perkembangan Filsafat Islam
A. Khudori Soleh*
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki, Malang
Email: khudori_uin@yahoo.com

Abstract
Although acknowledged that Greek philosophy gave great influence on
the development of Islamic philosophy, but philosophy of Islam are not based
on it, because; (1) to learn does not necessarily reflect a repetition, (2) every
thought is not separated from their cultural context, (3) the real fact shows that
Islamic rational thinking has established before the arrival of Greek philosophy.
If so, where Islamic philosophical thought come from? The answer is from the
Islamic tradition itself, from scientists who attempt to explain the teachings of
the Muslim holy book. There are three measures relevant to philosophical
reasoning: ta’wil method, explanation of musytarak meaning, and qiyâs. In
addition, the demands on theological issues, to harmonize the views that seem
contradictory and complex, for further systematized it in an integral metaphysical
idea. From there developed methods and philosophical thought in Islam, long
before the arrival of Greek philosophy through the process of translation.
First of all it was accepted because it is needed to answer new problems which
require rational thinking, then it was declined at the time of Ibn Hanbal because
there are certain cases which considered deviant, it was developed again in the
time of al-Farabi and Ibn Sina, then rejected and considered to cause disbelief
in the al-Ghazali era, and it was developed again at the Ibn Rushd, then change
lanes to work together with Sufism in the time of Suhrawardi and Ibn Arabi.
Finally, tradition of philosophical thought in the Sunni world does not grow
up but remains develop well within the Shiite community.

Keywords: Greek Philosophy, Islamic Philosophy, Islamic Tradition,


Theological Issues, Shiite Community

* Jl. Gajayana, Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur 65144, Indonesia Telp. +62341
551354

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


64 A. Khudori Soleh

Abstrak
Meski diakui bahwa filsafat Yunani memberikan pengaruh besar pada
perkembangan filsafat Islam, tetapi filsafat Islam tidak didasarkan atas filsafat
Yunani, sebab; (1) berguru tidak berarti menunjukkan pengulangan, (2) setiap
pemikiran tidak lepas dari konteks budaya masing-masing, dan (3) kenyataan
yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional Islam telah lebih dahulu mapan
sebelum datangnya filsafat Yunani. Jika demikian, dari mana pemikiran filsafat
Islam berasal? Jawabnya, dari tradisi Islam sendiri, yaitu dari upaya para ilmuwan
Muslim untuk menjelaskan ajaran kitab sucinya. Ada tiga upaya yang relevan
dengan penalaran filosofis: metode takwil, penjelasan makna musytarak, dan
qiyâs. Selain itu, juga adanya tuntutan dalam persoalan-persoalan teologis, untuk
menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit,
untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Dari situlah berkembang metode dan pemikiran rasional filosofis dalam
Islam, jauh sebelum datangnya filsafat Yunani lewat proses penerjemahan. Namun
sayangnya, perkembangan filsafat Islam ternyata tidak berjalan mulus, tetapi
mengalami pasang surut. Pertama-tama dikembangkan karena dibutuhkan untuk
menjawab problem-problem baru yang membutuhkan pemikiran rasional,
kemudian ditolak pada masa Ibnu Hanbal karena ada kasus-kasus tertentu yang
dinilai menyimpang, apalagi setelah masuknya pemikiran filsafat Yunani lewat
proses penerjemahan. Setelah itu, pemikiran filsafat dikembangkan kembali pada
masa al-Farabi dan Ibnu Sina, kemudian ditolak dan dianggap dapat
menyebabkan kekufuran pada masa al-Ghazali, dibela pada masa Ibnu Rusyd,
dan akhirnya berpindah jalur bersinergi dengan tasawuf pada masa Suhrawardi
dan Ibnu Arabi. Tradisi pemikiran filosofis akhirnya berhenti dalam dunia Sunni
tetapi tetap berkembang dengan baik dalam lingkungan masyarakat Syiah.

Kata Kunci: Filsafat Yunani, Filsafat Islam, Tradisi Islam, Isu-isu


Teologi, Masyarakat Syiah

Pendahuluan

P
erkembangan filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan
dari sejarah panjang khazanah pemikiran Islam sesungguhnya
bukan sesuatu yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan
yang harus dipahami, dijelaskan dan diuraikan. Ketidaktelitian dalam
mencermati, memilah dan memilih persoalan inilah yang sering
menyebabkan kita tidak tepat untuk menilai dan mengambil

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 65

tindakan. Adanya sikap yang anti-filsafat di sebagian kalangan umat


Islam atau anggapan bahwa filsafat Islam hanyalah berasal dari
Yunani, salah satu sebabnya adalah karena adanya kekurang telitian
tersebut.
Tulisan ini akan mencermati sejarah panjang perkembangan
filsafat Islam, mulai asal-asulnya, pertemuannya dengan filsafat
Yunani dan perkembangannya dalam sejarah pemikiran Islam.

Bukan dari Filsafat Yunani


Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pe-
mikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkem-
bangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Meski demikian, menurut
ditulis Oliver Leaman (l. 1950 M),1 seorang orientalis asal Universitas
Kentucky, USA, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap
bahwa filsafat Islam bermula dari proses penerjemahan teks-teks
Yunani tersebut, atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-
322 SM) seperti dituduhkan Ernest Renan (1823-1893 M), atau dari
Neo-Platonisme seperti disampaikan Pierre Duhem (1861-1916 M).2
Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa be-
lajar atau berguru tidak berarti hanya meniru atau mengikuti semata.
Harus dipahami bahwa suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang
dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang ber-
hak mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak
menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri.
Aristoteles (384-322 SM), misalnya, jelas murid Plato (427-348 SM),
tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan guru-
nya. Begitu pula Baruch Spinoza (1632-1777 M), walau secara jelas
sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M), tetapi ia dianggap
mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri.3 Hal seperti itu-
lah yang juga terjadi pada para filsuf Muslim. Al-Farabi (870-950 M)
dan Ibnu Rusyd (126-1198 M), misalnya, walau banyak dilhami oleh
pemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk mem-
punyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani.

1
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali,
1988), 8.
2
Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa Tat}bîquhu, I, (Mesir: Dâr
al-Ma’ârif, T. Th), 26.
3
Ibid.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


l
66 A. Khudori Soleh

Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakan


Karl A. Steenbrink, adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasi
sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya.4 Artinya, sebuah
ide, gagasan, atau pengetahuan tidak bisa lepas dari akar sosial,
tradisi, dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran
tersebut. Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan,
budaya dan kondisi sosial yang berbeda. Karena itu, menyamakan
dua buah pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah
sesuatu yang tidak tepat, sehingga penjelasan karya-karya Muslim
secara terpisah dari faktor dan kondisi kulturalnya juga akan menjadi
suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa men-
jelaskan sendiri transformasi besar yang sering terjadi ketika batas-
batas kultural sudah terlewati.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka apa yang disebut
sebagai transmisi filsafat Yunani ke Arab Islam pada dasarnya adalah
suatu proses panjang dan kompleks di mana ia justru sering banyak
dipengaruhi oleh keyakinan dan teologis para pelakunya, kondisi
budaya yang melingkupi dan seterusnya; termasuk dalam hal istilah-
istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari konteks dan pro-
blem bahasa Arab dan ajaran Islam. Konsekuensinya, tugas re-
konstruksi sumber-sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak
mungkin selalu diharapkan dalam terjemahan yang jelas ke dalam
sesuatu yang dianggap asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan
aktivitas yang terjadi di luar teks. Begitu juga perluasan-perluasan,
pengembangan dan penggarapan kembali ide-ide Yunani dari al-
Kindi (801-878 M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M), bahkan
Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuh-
nya dapat dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang
mengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut.5
Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran
rasional telah lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan
muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya
Yunani mulai diterjemahkan sejak masa kekuasaan Bani Umaiyah
(661-750 M), tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahir-

4
Karel A. Steenbrink, Metodologi Penelitian Agama Islam di Indonesia: Beberapa
Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad
19, (Semarang: LP3M IAIN Walisongo Semarang, 1985), 4.
5
Sabra, “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam, Sebuah Pengantar”,
dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 6, Oktober 1992), 90.

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 67

kan al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti
Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-Makmun
(811-833 M), oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki
(767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn
Ishaq (809-873 M).6 Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional
telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam,
yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi). Dalam teologi,
doktrin Muktazilah yang rasional yang dibangun oleh Wasil ibn Atha’
(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan
menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai
cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid
(664- 761 M), Bisyr ibn al-Mu‘tamir (w. 825 M), Mu‘ammar ibn
Abbad (w. 835 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M),
Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M) dan Jahiz Amr ibn Bahr (781-
869 M).7 Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional
dalam penggalian hukum (istinbât}) dengan istilah-istilah seperti
istih}sân, istis}lâh}, qiyâs, dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-
tokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbât} dengan
menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M),
Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855
M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika
dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran rasional filosofis yang
berjalan baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam kajian teologis
dan hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah
yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkem-
bangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.8

Sumber Rasionalitas Islam


Jika demikian, dari mana sumber pemikiran rasional filosofis
Islam itu berasal? Seperti dinyatakan oleh banyak peneliti, baik
muslim maupun non-muslim,9 pemikian rasional-filosofis Islam lahir

6
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (New York: Martin Press, 1986), 363.
7
Louis Gardet & Anawati, Falsafah al-Fikr al-Dîni, II, Terj. Prancis ke Arab oleh
Subhi Saleh dan Farid Jabr, (Beirut: Dâr al-‘Ulûm, 1978), 76.
8
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9; Muhsin Mahdi, “Al-Farabi dan Fondasi
Filsafat Islam”, dalam Jurnal al-Hikmah, (Edisi 4, Februari 1992), 56.
9
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 8; Louis Gardet dan Anawati, Falsafah al-
Fikr al-Dîni, 77; Abid al-Jâbiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, (T.K: Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), 57

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


68 A. Khudori Soleh

bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri,
dari al-Qur‘an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya
untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan
sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul SAW
masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara
ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan
kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa
lagi dilakukan setelah Rasul SAW wafat dan persoalan-persoalan
semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam
yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada
ajaran teks suci, al-Qur‘an, lewat berbagai pemahaman.
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut,
minimal ada tiga model kajian resmi yang nyatanya mempunyai
relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takwîl. Makna takwil
diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah
yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan ter-
batas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan pere-
nungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari makna lahiriah
(z}âhir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang
mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah
yang hanya mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati
model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan
qiyâs (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaian-
nya secara langsung dalam teks.10 Misalnya, apakah larangan me-
nimbun emas dan perak (QS. al-Taubah: 34) itu hanya berlaku pada
emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga?
Apakah kata ‘mukmin’ dan ‘muslim’ dalam al-Qur`an (yang secara
bahasa Arab menunjuk makna laki-laki) juga mencakup wanita dan
budak?
Bersamaan dengan itu, dalam persoalan-persoalan teologis,
para sarjana Muslim dituntut untuk menyelaraskan pandangan-
pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjut-
nya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang
utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemaha-
kuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan sifat
Maha Tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur
untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsir-

10
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 9.

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 69

kan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat ma-


nusia) al-Qur‘an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama
dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya.11
Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khu-
susnya para teolog untuk berpikir rasional dan filosofis. Kenyatannya,
metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah-masalah
teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan di
antara keduanya, menurut Leaman,12 hanya terletak pada premis-
premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara
penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam
didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas
premis-premis logis, pasti dan baku. Pemikiran dan filsafat Yunani
baru masuk lewat program penerjemahan setelah sistem penalaran
rasional dalam Islam mapan, khususnya dalam teologi dan
yurisprudensi.

Penerjemahan Filsafat Yunani


Filsafat dan pemikiran Yunani sesungguhnya telah mulai
dikenal dan dipelajari kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa,
dan Qinnesrin (wilayah Syiria Utara), juga di Nisibis dan Ras‘aina
(wilayah dataran tinggi Irak) sejak abad ke IV M.13 Kegiatan akademik
ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara
Muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan
Umar ibn Khattab (634-644 M). Kenyataan ini, setidaknya bisa
dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara
Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-
karya filsafat, seperti Severus Sebokht (575-667 M) yang
mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles (384-322 SM),
juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan

11
Selain berdasarkan renungan atas teks-teks suci, menurut Louis Gardet (1904-
1986 M), seorang orientalis asal Prancis, persoalan teologis ini juga didorong oleh adanya
polemik antara Kriten dan Yahudi di Syiria saat itu. Masalah yang dibahas antara lain adalah
soal kebebasan dan keterpaksaan manusia (taqdir) dan soal al-Qur‘an sebagai firman yang
tidak ciptakan. Kaum muslimin ikut terlibat dalam kajian rumit ini dan berusaha membela dan
mempertahankan doktrinya dari serangan luar, sehingga pembahasan teologi Islam bersifat
apologis. Sampai perkembangannya yang cukup jauh, sifat apologis tersebut ternyata belum
juga hilang.
12
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, 10.
13
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 241-2.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


70 A. Khudori Soleh

buku Categories karya Aristoteles (384-322 SM) ke dalam bahasa


Arab. 14
Karya-karya dan filsafat Yunani tersebut kemudian di ter-
jemahkan ke dalam bahasa Arab. Proses penerjemahannya itu sendiri
paling awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-
750 M), khususnya masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M).
Namun, pada masa ini buku-buku yang diterjemahkan lebih ber-
kaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan, dan doku-
mentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan
melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia.
Setelah itu, kemudian buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu
pragmatis seperti kedokteran, kimia, dan antropologi.15 Hanya saja,
karena pemerintahan lebih disibukkan oleh persoalan-persoalan po-
litik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab kemudian baru benar-benar dilakukan secara serius
setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya pada masa
kekuasaan khalifah al-Makmun (811-833 M); suatu program yang
oleh Abed al-Jabiri (1936-2010 M), seorang pemikir Muslim asal
Universitas Muhammad V, Maroko, dianggap sebagai tonggak
sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran ke-
agamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani
dengan epistemologi bayani Arab.16 Menurut Hasymi, saat itu sampai
dibentuk tim khusus yang bertugas melawat ke negeri-negeri sekitar
untuk mencari buku pengetahuan apa saja yang pantas diterjemah-
kan dan dikembangkan.17 Di antara mereka yang dikenal berjasa
dalam usaha-usaha penerjemahan ini, antara lain, adalah oleh orang-
orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki (767-803 M), Yuhana ibn
Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M). Menurut
Montgomery Watt (1909-2006 M), seorang tokoh orientalis asal
Universitas Edenbergh, Scotlandia, Hunain ini mempunyai kelebi-
han dibanding penerjemah yang lain. Yaitu, bahwa para penerjemah
lain umumnya menerjemahkan karya-karya Yunani dari edisi bahasa
Syiria, sementara Hunain ibn Ishaq menerjemahkan langsung dari

14
Madjid Fakhry, a History of Islamic Philosophy, (New York: Colombia University
Press, 1983), 3-4.
15
Ibid., 5.
16
Al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi, 195.
17
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 227.

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 71

bahasa Yunani sekaligus mengkajinya secara filosofis. Ini pula yang


menjadi catatan al-Ghurabi kenapa banyak karya filsafat Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab bercampur dengan pandangan
Neo-Platonis Kristen Syiria.18
Program penerjemahan atas buku-buku filsafat Yunani
tersebut dilakukan secara masal dan gencar karena memang adanya
kebutuhan akan hal itu. Yaitu, bahwa saat itu muncul banyak doktrin
yang kurang lebih hiterodok yang datang dari wilayah Iran, India,
Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah,
Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai
akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi
pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang
dikategorikan dalam istilah ‘zindiq’.19 Untuk menjawab serangan
doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk
mencari sistem berpikir rasional dan argumen-argumen yang lebih
kuat, karena metode sebelumnya, bayani, sudah tidak memadai lagi
untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam
yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itulah, Ira M. Lapidus (l.
1937 M), seorang orientalis asal Universitas California, USA,
menyatakan bahwa filsafat Islam bukan sekedar bentuk analisis
secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama.20

Pasang Surut Pemikiran Filsafat


Pemikiran filsafat Islam yang berkembang pasca penerjemahan
atas buku-buku Yunani, pertama kali, dikenalkan oleh al-Kindi (806-
875). Dalam Kata Pengantar untuk buku ‘Filsafat Utama’ (al-Falsafah
al-Ûla), yang dipersembahkan pada khalifah al-Mu`tashim (833-842
M), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat,
serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat. Meski
demikian, karena begitu dominannya kaum fukaha ditambah masih
minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang
disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema.21 Meski demikian, al-
18
Philip K. Hitti, History of the Arabs, 363; Montgmery Watt, Pemikiran Teologi dan
Filsafat Islam, Terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), 54; Ali Musthafa al-Ghurabi, Târîkh
al-Firâq al-Islâmî, (Kairo: Maktabah wa Matba‘ah, T.Th), 128-9.
19
Louis Gardet, Falsafah al-Fikr al-Dîni, I, 75-76.
20
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999), 95.
21
Muhsin Mahdi, Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, 60.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


72 A. Khudori Soleh

Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam


dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang:
(1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian
jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, dan (3)
pengetahuan Tuhan, apa ada hubungannya dengan astrologi dan
bagaimana terjadinya.22
Pemikiran rasional filsafat kemudian semakin berkembang.
Sepeninggal al-Kindi, lahir al-Razi (865-925), tokoh yang dikenal
sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan juga dikenal sebagai
seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Salah satu
pikirannya yang dikenal adalah pandangannya tentang akal.
Menurutnya, semua pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh
manusia selama ia menjadi manusia. Hakikat manusia adalah akal
atau rasionya, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk;
setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong
kosong, dugaan belaka, dan kebohongan. 23
Akan tetapi, perkembangan pemikiran filsafat yang begitu
pesat berkat dukungan penuh dari para khalifah Bani Abbas (750-
1258 M) ini, khususnya sejak al-Makmun (811-833 M), kemudian
mengalami sedikit hambatan pada masa khalifah al-Mutawakil (847-
861 M). Hambatan ini disebabkan oleh adanya penentangan dari
sebagian kalangan ulama salaf, seperti Imam Ibnu Hanbal (780-855
M) dan orang-orang yang sepikiran dengannya. Mereka menunjuk-
kan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu filosofis.
Menurut George N. Atiyeh (1923-2008 M),24 seorang peneliti
dari Universitas America di Beirut, Libanon, penentangan kalangan
salaf tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya ke-
khawatiran di sebagian kalangan ulama fiqh bahwa ilmu-ilmu filo-
sofis akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam
terhadap ajaran agamanya. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayo-
ritas dari mereka yang menerjemahkan filsafat Yunani atau mem-
pelajarinya adalah orang-orang non-Muslim, penganut Machianisme,
orang-orang Sabia, dan sarjana muslim penganut mazhab Batiniyah

22
Ibid., 58.
23
Ibid., 59; MM. Syarif, Para Filosof Muslim, Terj. A Muslim, (Bandung: Mizan,
1996), 37-38.
24
George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Terj. Kasidjo D, (Bandung:
Pustaka, 1983), 4.

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 73

yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan


atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka
lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari
pengaruh Machieanisme Persia khususnya, maupun paham-paham
lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan
dari pikiran-pikiran filosofis.
Kecurigaan dan penentangan kaum salaf terhadap ilmu-ilmu
filsafat memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, memang tidak
sedikit tokoh Muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan
dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah
Yahya ibn Ishaq al-Rawandi (827-911 M). 25 Ia menolak konsep
kenabian setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian
bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syariat-syariat
yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal
dengan kemampuannya sendiri sebagai sesuatu yang dianugerahkan
Tuhan pada manusia telah mampu mengapai apa yang benar dan
salah, yang baik dan jahat, dan seterusnya.26
Contoh lain adalah Ibnu Zakaria al-Razi (865-925 M), seorang
tokoh yang telah disebutkan di atas.27 Al-Razi juga menolak konsep
kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk
membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan
rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur
kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya
seorang nabi. (2) Tidak ada alasan untuk pengistimewaan beberapa
orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir
dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan
pendidikan yang membedakan mereka, dan (3) bahwa ajaran para
nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama
Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan di antara mereka.28

25
Menurut Ibrahim Madkur, Ibnu Rawandi pernah berhubungan dengan kaum
Muktazilah dan dianggap sebagai salah satu muridnya yang paling cerdas, sebelum kemudian
balik menyerang Muktazilah. Ibnu Rawandi termasuk tokoh yang masih asing dalam kajian
filsafat Islam. Ibrahim Madkur, Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah, 84.
26
Ibid. Menurut Madkur, pernyataan al-Rawandi sebenarnya hanya mengulang apa
yang pernah disampaikan Muktazilah yang mempunyai pandangan bahwa baik dan buruk
harus didasarkan rasio. Hanya saja, Muktazilah tidak seekstrim ini dalam penggunaan rasio,
bahkan mereka berusaha memadukan rasio dengan wahyu. Ibid., 85-6.
27
MM. Syarif, Para Filosof Muslim, 31.
28
MM. Syarif, Para Filosof Muslim, 47; Ibrahim Madkur, Fî Falsafat al-Islâmiyyah,
87; Hasyim Hasan, Al-Asâs al-Manhajiyyah li Binâi al-Aqîdah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-
Fikr, T.Tn), 71. Di samping kedua tokoh di atas, Husein Nasr masih menyebut tokoh lain

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


74 A. Khudori Soleh

Usaha penentangan kaum salaf yang dipelopori Ibnu Hanbal


(780-855 M) terhadap ilmu-ilmu filosofis di atas mencapai puncak
dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861
M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang men-
dukung kaum salaf menyebabkan kajian dan pemikiran filosofis
mengalami hambatan. Lebih dari itu, kalangan salaf yang saat itu
dekat dengan khalifah dan “berkuasa” melakukan revolusi: orang-
orang Muktazilah dan ahli filsafat yang tidak sepaham dipecat dan
diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi (801-878 M) yang ahli filsafat
adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana
karena tidak sepaham dengan sang khalifah yang salaf.29
Meski demikian, hambatan tersebut sesungguhnya hanya
terjadi di lingkar pusat kekuasaan, di Baghdad. Di luar Baghdad, di
kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus,
kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan
seorang filsuf besar, yakni Abu Nasr al-Farabi (870-950). Al-Farabi,
tokoh yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran sesudahnya
ini, baik dalam Islam sendiri maupun di Barat-Eropa, tidak hanya
mengembangkan pemikiran-pemikiran metafisika Islam melainkan
juga memberikan landasan bagi pengembangan keilmuan pada
umumnya. Dalam bidang metafisika, antara lain, ia mengembangkan
teori emanasi yang menggabungkan antara teori Neo-platonis dengan
tauhid Islam untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan Yang Maha
Gaib dengan realitas yang empirik, Tuhan Yang Maha Esa dengan
realitas yang plural dan seterusnya; mempertemukan antara konsep
idealisme Plato (427-348 SM) dengan empirisme Aristoteles (384-
322 SM), dan mempertemukan antara agama dan filsafat. Dalam
bidang keilmuan, al-Farabi lewat karyanya yang terkenal, Ih}s}â al-
‘Ulûm, mengklasifikasi ilmu pengetahuan dalam 3 kelompok:
filsafat, ilmu keagamaan dan ilmu bahasa. Yang termasuk filsafat
adalah metafisika, ilmu-ilmu matematis, ilmu kealaman, dan politik.30
Menurut Husein Nasr (l. 1933 M), seorang pemikir muslim dari
Universitas George Washington USA, klasifikasi ilmu ini merupakan
klasifikasi pertama yang dipakai secara luas oleh masyarakat ilmiah

sebagai ingkar kenabian, yakni Ahmad ibn Thayib al-Syarkhasi (833-899 M), salah seorang
murid dari al-Kindi (801-878 M) dan guru dari khalifah al-Mu‘tadhid (892-902 M). Husain
Nasr, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, (Bandung, Risalah, 1986), 7.
29
Atiyeh, Al-Kindi, 7.
30
Al-Farabi, Ih}s}â’ al-Ulûm, Ed. Ali Bumulham, (Mesir: dar al-Hilal, 1996).

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 75

dan paling berpengaruh dalam sejarah peradaban Islam. Karena


jasanya inilah, al-Farabi (870-950) digelari sebagai ‘guru kedua’ (al-
mu`allim al-tsâni) dalam tradisi filsafat Islam setelah Aristoteles (384-
322 SM) sebagai ‘guru pertama’ (al-mu`allim al-awwal).31
Menurut Ali Sami, seorang peneliti dari Mesir, prinsip-prinsip
penalaran filosofis yang dikembangkan al-Farabi (870-950 M) di atas,
pada masa-masa berikutnya, tidak hanya digunakan oleh kaum filsuf
murni, tetapi juga oleh para tokoh yang menolak pemikiran filsafat,
seperti al-Ghazali (1058-1111 M). Prinsip-prinsip penalaran tersebut
bahkan juga digunakan oleh para fukaha seperti al-Syafi‘i (767-820
M). 32
Pemikiran filsafat kemudian semakin berkibar dalam per-
caturan pemikiran Arab-Islam pada masa Ibnu Sina (980-1037 M).
Ibnu Sina yang muncul setelah al-Farabi mengembangkan lebih
lanjut konsep emanasi al-Farabi, dengan cara menggabungkan antara
prinsip Neo-Platonisme Yunani, tauhid Islam, dan filsafat Timur yang
mistik dan simbolik sehingga melahirkan sistem pemikiran yang
khas.33 Pada saatnya kemudian pemikiran ini mendorong lahirnya
konsep emanasi yang lebih lengkap dan sempurna di tangan
Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191M) yang terkenal dengan filsafat
Isyrâqiyyah-nya. Ibnu Sina juga berusaha memadukan antara wahyu
dan filsafat, pada aspek makna dan fungsi. Menurutnya, setiap
kewajiban yang diperintahkan agama, seperti pelaksanaan shalat,
puasa, zakat, dan seterusnya, mempunyai kebaikan dan hikmah-
hikmah tertentu yang mempercepat proses terwujudnya cinta kasih
(al-‘isyq) pada keseluruhan tingkatan realitas, khususnya pada diri
manusia sendiri dan jiwa-jiwa tinggi. Sesungguhnya, sifat cinta kasih
ini telah ada pada semua tataran wujud, bahkan munculnya realitas
adalah karena adanya sifat itu. Pelaksanaan bentuk-bentuk kebajikan
dan kewajiban mempercepat dan memperkuat ikatan cinta dalam
alam wujud. Artinya, ajaran-ajaran wahyu tentang kewajiban dan

31
Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 134. Uraian secara lebih lengkap tentang al-
Farabi, pemikiran metafisika dan upayanya untuk mempertemukan agama dan filsafat. Lihat,
A. Khudori Soleh, Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi al-Farabi, (Malang:
UIN Press, 2010).
32
Ali Sami al Nasyar, Manâhij al-Bah}ts ‘Inda Mufakkir al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Fikr,
1967).
33
Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 27-30; Abbas Mahmud Aqqad, Filsafat Pemikiran
Ibn Sina, Terj. Yudian Wahyudi, (Solo: Pustaka Mantiq, 1988), 100-105

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


76 A. Khudori Soleh

larangan dapat dipahami secara filosofis, sehingga tidak ada per-


tentangan antara wahyu dan filsafat.34
Selain itu, Ibnu Sina (980-1037 M) juga berusaha menjelaskan
dan membuktikan konsep kenabian dengan menyatakan bahwa
kenabian adalah sesuatu yang “lumrah” yang dapat dipahami secara
nalar. Menurutnya, kenabian adalah tingkat tertinggi dalam fase
manusia di mana ia menghimpun seluruh potensi kemanusiaan
dalam wujudnya yang paling sempurna. Baginya, syarat kenabian
hanya 3 hal: kecerdasan intelek, kesempurnaan daya imajinasi, dan
kemampuan untuk menundukkan hal-hal yang muncul dari luar
dirinya agar bisa tunduk dan taat. Ketika ketiga syarat ini terpenuhi,
maka seseorang akan memperoleh kesadaran kenabian, mendapat
limpahan pengetahuan secara langsung tanpa butuh pengajaran dari
orang lain. Berdasarkan atas prestasi-prestasinya yang luar biasa
dalam filsafat, Ibnu Sina (980-1037 M) kemudian diberi gelar “Guru
Utama” (al-Syaikh al-Raîs), di samping gelarnya sebagai “Pangeran
Para Dokter” (Amîr al-At}}ibbâ’) karena jasanya yang besar dalam
bidang kedokteran. 35
Akan tetapi, setelah Ibnu Sina (980-1037 M), pemikiran filsafat
kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali (1058-
1111 M), meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti
filsafat, yaitu aspek epistemologi. Lewat tulisannya dalam Tahâfut
al-Falâsifah yang diulangi lagi dalam al-Munqidh min al-D}alâl,36 al-
Ghazali menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran
metafisika al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), meski
serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya juga tidak tepat.37 Al-

34
Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam, 43.
35
Konsep kenabian Ibnu Sina sesungguhnya mirip dengan konsep kenabian al-
Farabi. Bedanya terletak pada potensi yang ditonjolkan. Al-Farabi menonjolkan potensi
imajinasi, sedang Ibnu Sina menonjolkan aspek intelek. Lihat, Fazlur Rahman, Kenabian
dalam Islam, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 2003).
36
Al-Ghazali, Tahâfut al-Falâsifah, Edited by Sulaiman Dunya, (Mesir: Dâr al-Ma’ârif,
1966). Kitab ini selesai pada 11 Muharram 488 H/ 21 Januari 1095 M. Di sini diuraikan 20
persoalan filsafat yang dianggap merupakan bidah, tiga di antaranya bahkan merupakan
kekufuran bagi penganutnya. Adapun al-Munqidh min al-D}alâl, ditulis sekitar lima tahun
sebelum kematian al-Ghazali, setelah ia mengalami krisis epistemologi —bukan krisis
keyakinan— dan setelah kembali mengajar di perguruan tinggi al-Maimunah al-Nizamiyah
di Nisabur. Osman Bakar, Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L, (Bandung: Pustaka Hidayah,
1995), 51.
37
Dalam tulisannya, al-Ghazali memasukkan al-Farabi dan Ibnu Sina dalam daftar
orang-orang yang terlibat dalam tiga persoalan yang dianggapnya dapat menggiring pada
kekufuran: tentang keqadiman alam, kebangkitan rohani, dan ketidaktahuan Tuhan terhadap

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 77

Ghazali juga menyerang pemikiran para filsuf Yunani kuno, seperti


Thales (625-545 SM), Anaximandros (611-547 SM), Anaximenes
(570-500 SM), dan Heraklitos (540-480 SM); sebuah serangan yang
juga tidak pada tempatnya, karena pemikiran mereka sudah dengan
mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam.38 Dalam
buku-buku ini, al-Ghazali (1058-1111 M) sekali lagi hanya menye-
rang aspek metafisikanya yang merupakan produk, dan bukan ilmu
logika atau epistimologinya yang merupakan alat atau sistem,
sesuatu yang menjadi inti dari kajian filsafat, karena al-Ghazali sendiri
mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran
ajaran-ajaran agama.39 Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam al-Mustasyfâ
fî ‘Ulûm al-Fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, bahkan meng-
gunakan epistemologi filsafat, yakni burhani, untuk mengungkap-
kan gagasannya tentang hukum.40 Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali
sebagai ‘H} u jjat al-Islâm’ ternyata telah begitu mengungkung
kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali
persoalan tersebut dengan teliti, mereka telah ikut menyatakan
perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di
perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih
lebih banyak dilihat pada sisi sejarah dan metafisikanya, bukan aspek
epsitemologi, metodologi, atau sistem penalarannya.41

hal-hal yang partikular (juz’iyyât), padahal kedua tokoh filsuf Muslim ini sebenarnya tidak
menyatakan persis seperti yang dituduhkan al-Ghazali. Tentang keqadiman alam misalnya,
apa yang dimaksud bahwa alam qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu.
Apa yang disebut sebagai ‘waktu’ atau ‘zaman’ muncul bersamaan dengan alam. Tidak ada
istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam dengan waktu, atau
tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang dimaksud qadim oleh para filsuf; dan
keqadiman alam ini tetap tidak sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan Qadîm bi
Dhâtihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau
yang lain. Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia
hadis (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Ini jelas berbeda dengan istilah qadim seperti
yang dipahami dan digunakan oleh kaum teolog, di mana al-Ghazali sendiri termasuk di
dalamnya. Dengan demikian, apa yang dituduhkan al-Ghazali sebenarnya kurang tepat, tapi
lebih merupakan karena adanya perbedaan pengertian atau kesalahpahaman terhadap istilah-
istilah yang digunakan kaum filsuf dengan al-Ghazali yang seorang tokoh teolog. A. Khudori
Soleh, Skeptisme al-Ghazali, (Malang: UIN Press, 2009), 67.
38
Ibid., 68
39
Al-Ghazali, Al-Munqidh…, 49.
40
M. Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, (Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi,
1991), 438.
41
Amin Abdullah, “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi llmu dan Budaya”
dalam Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1998), 265.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


78 A. Khudori Soleh

Pemikiran filsafat kemudian muncul kembali dalam kancah


pemikiran Islam pada masa Ibnu Rusyd (1126-1198 M). Lewat
tulisannya dalam Tahâfut al-Tahâfut, Ibnu Rusyd berusaha meng-
angkat kembali pemikiran filsafat setelah sempat tenggelam akibat
dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil,
karena seperti ditulis Nurcholish Madjid (1939-2005 M),42 bantahan
yang diberikan Ibnu Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara
serangan al-Ghazali (1058-1111 M) bersifat Neo-Platonis. Meski
demikian, lepas dari kegagalannya membendung serangan al-
Ghazali, Ibnu Rusyd telah berjasa besar terhadap perkembangan
pemikiran filsafat. Dalam bidang metafisika ia telah memberikan
wawasan baru pada persoalan hubungan antara Tuhan dengan alam,
bukan lewat teori emanasi seperti al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu
Sina (980-1037 M), melainkan dengan teori gerak. Menurutnya,
berdasarkan teori fisika Aristoteles (384-322 SM), semua benda pada
prinsipnya adalah diam, tetapi kenyataannya bergerak. Gerakan
benda tersebut pasti disebabkan oleh penggerak di luar dirinya
karena dirinya sendiri tidak mampu bergerak. Sang penggerak luar
yang menggerakkan benda juga butuh penggerak lain di luar dirinya
yang sehingga dia mampu menggerakkan benda lainnya. Begitu
seterusnya sampai penggerak akhir yang tidak bergerak; itulah yang
dalam Islam disebut Allah SWT, Tuhan Sang Penggerak semesta.43
Selain itu, Ibnu Rusyd (1126-1198 M) juga berjasa untuk
mempertemukan antara agama dan filsafat. Berbeda dengan al-Farabi
(870-950 M) yang mempertemukan dua hal tersebut pada aspek
metafisikanya dan Ibnu Sina (980-1037 M) pada aspek fungsional-
nya, Ibnu Rusyd mempertemukan agama-filsafat lewat aspek-aspek
yang lain: (1) Pada aspek garapan, yaitu bahwa bidang garapan
wahyu berkaitan dengan persoalan metafisis dan masalah informasi
hidup sesudah mati, sedang rasio atau intelek berkaitan dengan
persoalan fisik dan kehidupan sekarang. (2) Pada aspek metode yang
digunakan. Menurut Ibnu Rusyd (1126-1198 M), metode rasional
burhani (demonstratif) yang digunakan pada ilmu-ilmu filosofis
tidak hanya monopoli milik filsafat, tetapi juga dapat digunakan
untuk menganalisis ilmu-ilmu keagamaan. Begitu juga premis-
premis primer tidak hanya dapat dihasilkan dari analisis rasional

42
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 36.
43
Majid Fakhri, Averroes His Live Works and Influence, (Oxford: One World, 2001).

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 79

saja tetapi juga dapat didasarkan atas teks wahyu, sehingga hasil
dari analisis keagamaan tidak kalah valid dibanding dengan ilmu-
ilmu filosofis atau analisis rasional. (3) Pada aspek tujuan yang ingin
dicapai oleh keduanya. Yaitu, bahwa wahyu dan rasio, agama, dan
filsafat, sama-sama mengajak dan ingin menggapai kebenaran.
Menurut Ibnu Rusyd (1126-1198 M), jika agama dan filsafat sama-
sama mengajak dan ingin mencapai kebenaran, maka kebenaran
yang satu tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang lain.44
Setelah Ibnu Rusyd (1126-1198 M), pemikiran filsafat Islam
biasanya dianggap telah tamat, selesai atau berhenti, oleh sebagian
kalangan, karena sudah tidak ada lagi tokoh filsafat yang muncul.
Namun, yang terjadi sesungguhnya tidak demikian. Pemikiran
filsafat Islam terus berkembang pesat, bahkan lebih besar, hanya
dia berubah jalur dan mazhab. Jika sebelumnya pemikiran filsafat
bersifat ‘mandiri’ lewat perenungan-perenungan filosofis rasional
murni, tidak terkait dengan sistem-sistem pemikiran yang lain, maka
pada masa ini tepatnya pasca serangan al-Ghazali (1058-1111 M)
terhadap filsafat, pemikiran filsafat tetap berkembang dengan cara
bergabung atau bersinergi dengan pemikiran tasawuf yang saat itu
mulai berkembang pesat. Juga, jika sebelumnya masalah filsafat
banyak didiskusikan dan dikembangkan dalam lingkungan masya-
rakat Sunni, pasca Ibnu Rusyd pemikiran filsafat banyak dikaji dan
dikembangkan dalam lingkungan masyarakat mazhab Syiah.
Sedemikian, sehingga apa yang dianggap bahwa pemikiran filsafat
telah mati atau tamat sesungguhnya hanya terjadi dalam lingkungan
Sunni, bukan masyakarat Islam secara keseluruhan.
Kenyataannya, setelah itu lahir seorang tokoh filsuf-sufistik
besar, yaitu Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191 M) di Aleppo Syiria,
yang dikenal sebagai Syaikh al-Isyrâq (Guru Besar Illuminasi) karena
ajarannya tentang Illuminasi, suatu ajaran yang berusaha men-
sinergikan sistem berpikir rasional filosofis dengan ketajaman hati
sufistik (mukâsyafah). Juga lahir Muhammad ibn Arabi (1165-1240
M) di Andalus, yang diberi gelar Muhy al-Dîn (Penghidup Agama)
dan Syaikh al-Akbar (Doctor Maxcimus) karena pikiran-pikiran
sufistik-filosofisnya yang luar biasa. Menurut Arthur J. Arbery (1905-
1969 M) seorang orientalis asal Universitas Cambridge Inggris, belum

44
Uraian panjang Ibn Rusyd tentang masalah ini lihat, “Fas}l al-Maqâl”, dalam Falsafah
Ibn Rusyd, (Beirut: Dâr al-Âfâq, 1978).

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


80 A. Khudori Soleh

ada tokoh sufi Muslim yang mencapai posisi seperti kedudukan Ibnu
Arabi, sehingga ia dijuluki sebagai The greatest mystical genius of Arab.45
Dalam lingkungan mazhab Syiah, muncul Ibnu Hasan al-Thusi
yang dikenal dengan Nasir al-Din al-Thusi (1201-1274 M), di
Khurasan. Dalam bidang filsafat, tokoh ini berusaha untuk
menghidupkan kembali ajaran filsafat Ibnu Sina (980-1037 M) yang
tenggelam karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M), lewat
komentar-komentarnya (syarh}) atas karya-karya Ibnu Sina (980-1037
M), khususnya al-Isyârât wa al-Tanbîhât. Bersamaan dengan itu,
muncul juga Qutb al-Din al-Syirazi (1236–1311 M), yang dikenal
lewat dua karya besarnya, yaitu Durrat al-Tâj setebal 25.000 halaman
dan Syarh} H}ikmat al-Isyrâq karya Suhrawardi (1153-1191 M). Dalam
karya yang disebutkan pertama, al-Syirazi mendiskusikan tentang
ilmu dan membaginya dalam dua bagian: ‘ulûm al-h}ikmah (filosofis)
dan ‘ulûm ghair al-h}ikmah (non-filosofis). Menurut Osman Bakar,
pemikir muslim asal Malaysia, klasifikasi ilmu yang dibuat al-Syirazi
ini digunakan untuk mengangkat kembali nilai penting filsafat dalam
tradisi keilmuan Islam setelah menurun akibat karena serangan al-
Ghazali (1058-1111 M).46
Pemikiran filsafat Islam tidak berhenti di situ. Masuk abad
XIV M, lahir banyak filsuf handal, seperti Ibnu Mahmud al-Amuli
(w. 1385 M), komentator Ibnu Sina (980-1037 M), dan juga penulis
klasifikasi ilmu yang berjudul Nafâ’is al-funûn fî ‘arâ’is al-‘uyûn; Ibnu
Turkah (1369-1432 M) penulis Syarh} Qawâid al-Tauh}îd, sebuah buku
yang menjelaskan doktrin tauhid dalam perspektif filosofis; Jalal al-
Din ibn Asad al-Dawani (1425-1503 M) yang dianggap sebagai
perintis awal berdirinya the school of Isfahan yang dibangun oleh M.
Baqir Astarabadi yang juga dikenal dengan nama Mir Damad (w.
1631 M).47 Terakhir adalah Shadr al-Din al-Syirazi yang dikenal
dengan Mulla Sadra (1571-1640 M), pendiri Filsafat Transenden (al-
H}ikmah al-Muta`âliyah). Secara epistemologis, filsafat ini tidak hanya
menggunakan kekuatan rasio (filsafat) dan kemampuan intuitif
(sufistik) melainkan juga mendasarkan diri pada teks suci.48
45
Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, Terj. Nandi Rahman, (Jakarta: Media Pratama, 1989),
1; AJ. Arbery, Sufism an Account of the Mystics of Islam, (London: Unwin Paperback, 1975), 97.
46
Osman Bakar, Hierakhi Ilmu, terj. Purwanto, (Bandung: Mizan, 1997), 299.
47
Mulyadhi Kartanegara, “Pengantar” dalam A. Khudori Soleh (Ed.), Pemikiran
Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), viii.
48
Jalaluddin Rahmat, “Hikmah Muta’aliyah Filsafat Pasca Ibn Rushd”, Jurnal Al-Hikmah,
(Bandung: Edisi 10, September 1993), 78.

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 81

Pada abad-abad berikutnya, pasca Mulla Sadra (1571-1640 M),


para filsuf Muslim yang menggabungkan antara pemikiran filsafat
dengan tasawuf terus bermunculan. Antara lain, Ahmad ibn Zayn
al-Din ibn Ibrahim al-Ahsa’i (1753-1826) pendiri mazhab Shaikhi di
Iran, dan Mulla Hadi Sabzavari (1797–1873), seorang filsuf, teolog
sekaligus penyair. Menurut Mulyadhi Kartanegara, guru besar UIN
Jakarta, melalui murid Sabzavari yang bernama Mirza Ali Akbar
Yazdi (w. 1924 M), penulis buku Syarh} al-Manz}ûmah, tradisi pemi-
kiran Islam diantar ke abad modern, karena ia adalah salah satu
guru filsafat dan irfan dari Ayatullah Ali Khumaini (1902-1989 M),
pencetus konsep walâyat al-faqîh dan Republic Islam Iran (1979).
Sementara itu, Khumaini sendiri adalah guru dari para pemikir filsafat
Islam kontemporer, seperti Murtadha Muthahhari (1920-1979 M)
dan Mehdi Hairi Yadi (1923-1999 M). Selain itu, masih ada tokoh
besar filsafat Islam Syiah lain seangkatan mereka, seperti Husein
Thabathabi (1892-1981 M) yang menulis Tafsîr T}aba’t}abai dan M.
Baqir al-Sadr (1935-1980 M), penulis buku Falsafatunâ.49

Penutup
Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu disampai-
kan. Pertama, bahwa pemikiran filsafat Islam tidak didasarkan atas
filsafat Yunani yang masuk ke dalam tradisi keilmuan Islam lewat
proses terjemahan melainkan dikembangkan dari sumber-sumber
khazanah Islam sendiri karena adanya kebutuhan untuk itu. Alih-
alih didasarkan atas filsafat Yunani, sebaliknya justru pemikiran
rasional Islam yang telah ada dan mapan sebelumnya itulah yang
telah memberikan jalan bagi diterimanya filsafat Yunani dalam tradisi
intelektual Islam. Meski demikian, harus diakui juga bahwa hasil-
hasil perterjemahan karya Yunani telah membantu perkembangan
filsafat Islam menjadi lebih pesat.
Kedua, bahwa grafik perkembangan pemikiran filsafat dalam
Islam ternyata tidak senantiasa naik dan mulus melainkan menga-
lami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan menghadapi pemikiran-
pemikiran ‘aneh’ dan ‘menyimpang’, tapi kemudian dicurigai karena

49
Ibid., ix. Buku Falsafatuna ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul yang sama, Falsafatuna, Terj. Nur Mufid, (Bandung: Mizan, 1999).

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


82 A. Khudori Soleh

ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang balik ajaran


agama Islam sendiri yang dianggap telah baku, khususnya pada masa
Ibnu Hanbal (780-855 M). Setelah itu, filsafat berkembang pada
masa al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M), tapi
kemudian jatuh lagi karena serangan al-Ghazali (1058-1111 M);
bangkit lagi pada masa Ibnu Rusyd (126-1198 M), tapi akhirnya
tidak terdengar suaranya, karena filsafat berpindah jalur dan
mazhab. Pasca Ibnu Rusyd, pemikiran filsafat berkembang dengan
bersinergi pada kajian sufisme, terutama di tangan Suhrawardi (1153-
1191 M) dan Ibnu Arabi (1165-1240 M). Setelah itu, kajian filsafat
masih terus berkembang di kalangan akademi mazhab Syiah,
bahkan sampai sekarang.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka jika pemikiran filsafat
Islam dimulai pada masa al-Kindi (806-875), tepatnya penulisan buku
‘Filsafat Utama’ (al-Falsafat al-Ûlâ) yang dipersembahkan untuk
khalifah al-Mu`tashim (833-842) dan berakhir pada masa Ibnu Rusyd
(1126-1198) seperti klaim sebagian kalangan, maka pemikiran filsafat
Islam berarti hanya hidup selama sekitar 350 tahun, suatu masa yang
tidak lama jika dibanding dengan perjalanan Islam sendiri yang
dimulai sejak turunnya wahyu pertama di masa Rasul SAW (611
M) sampai sekarang (2014) yang berarti telah berjalan selama 1400
tahun. Akan tetapi, jika dimulai sejak upaya para sahabat dan tabiin
untuk memahami dan menjelaskan ajaran al-Qur’an secara rasional-
filosofis sampai sekarang, maka pemikiran filsafat Islam berarti hidup
dan berkembang sepanjang perjalanan agama Islam itu sendiri.
Ketiga, bahwa para tokoh filsafat Islam, mulai al-Kindi (806-
875 M), al-Farabi (870-950 M), sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M),
dengan caranya masing-masing sesungguhnya senantiasa berusaha
untuk menyelaraskan antara wahyu dan rasio, antara agama dan
filsafat, bukan memisahkannya seperti yang sering dituduhkan oleh
sebagian kalangan. Karena itu, dugaan, asumsi atau bahkan tuduhan
bahwa filsafat Islam telah mengabaikan atau bahkan meninggalkan
ajaran wahyu, kiranya patut dikaji ulang [.]

Jurnal TSAQAFAH
Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam 83

Daftar Pustaka
Abdullah, Amin. 1998. “Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Glo-
balisasi llmu dan Budaya” dalam Mukti Ali dkk, Agama dalam
Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Affifi. 1989. Filsafat Mistis Ibnu Arabi. Terj. Nandi Rahman. Jakarta:
Media Pratama.
Aqqad, Abbas Mahmud. 1988. Filsafat Pemikiran Ibnu Sina. Terj.
Yudian Wahyudi. Solo: Pustaka Mantiq.
Arbery, AJ. 1975. Sufism an Account of the Mystics of Islam. London:
Unwin Paperback.
Atiyeh, George N. 1983. Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim. Terj. Kasidjo
D. Bandung, Pustaka.
Bakar, Osman. 1995. Tauhid dan Sains, Terj. Yuliani L. Bandung,
Pustaka Hidayah.
_____. 1997. Hierakhi Ilmu. Terj. Purwanto. Bandung: Mizan.
Fakhry, Madjid. 1983. a History of Islamic Philosophy. New York:
Colombia University Press.
_____. 2001. Averroes His Live Works and Influence. Oxford: One World.
Al-Farabi. 1996. Ih}s}â ’al-Ulûm. Edited by Ali Bumulham. Mesir: Dâr
al-Hilâl.
Gardet, Louis. & Anawati. 1978. Falsafah al-Fikr al-Dîn, II, Terj. Pran-
cis ke Arab oleh Subhi Saleh dan Farid Jabr. Beirut: Dâr al-‘Ulûm.
Al-Ghazali. 1966. Tahâfut al-Falâsifah, Ed. Sulaiman Dunya. Mesir:
Dâr al-Ma’ârif.
Al-Ghurabi, Ali Musthafa. T.Th. Târîkh al-Firâq al-Islâmî. Kairo:
Maktabah wa Mathba‘ah.
Hasan, Hasyim. T. Th. Al-Asâs al-Manhajiyah Libina’ al-Aqidah al-
Islâmiyah. Kairo: Dar al-Fikr.
Hasymi. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta, Bulan Bintang.
Hitti, Philip K. 1986. History of the Arabs. New York, Martin Press.
Ibnu Rusyd. 1978. Falsafah Ibn Rusyd. Beirut: Dâr al-Âfâq.
Al-Jabiri, M. Abid. 1991. Takwîn al-‘Aql al-‘Arabi. Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi.

Vol. 10, No. 1, Mei 2014


84 A. Khudori Soleh

_____. 1991. Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-


‘Arabi.
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. “Pengantar” dalam A. Khudori Soleh
(Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.
Lapidus, Ira M. 1999. A History of Islamic Societies. Cambridge:
Cambridge University Press.
Leaman, Oliver. 1988. Pengantar Filsafat Islam. Terj. Amin Abdullah.
Jakarta: Rajawali.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Madkur, Ibrahim. T.Th. Fî al-Falsafah al-Islâmiyyah Manhaj wa
Tambîquhu, I. Mesir: Dâr al-Ma’ârif.
Mahdi, Muhsin. 1992. “Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam”, dalam
Jurnal al-Hikmah. Edisi 4, Februari.
Nasr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam. Terj. A. Mujahid. Bandung:
Risalah.
Al-Nasyar, Ali Sami. 1967. Manâhij al-Bah}ts ‘Inda Mufakkir al-Islâm.
Bairut: Dâr al-Fikr.
Rahman, Fazlur. 2003. Kenabian dalam Islam. Terj. Rahmani Astuti.
Bandung: Pustaka.
Rahmat, Jalaluddin. 1993. “Hikmah Muta’âliyah, Filsafat Pasca Ibnu
Rushd”, Jurnal Al-Hikmah. Edisi 10, September.
Sabra. 1992. “Apropriasi dan Naturalisasi Ilmu-Ilmu Yunani dalam Islam,
Sebuah Pengantar”, dalam Jurnal al-Hikmah. Edisi 6, Oktober.
Soleh, A. Khudori. 2009. Skeptisme al-Ghazali. Malang: UIN Press.
_____. 2010. Integrasi Agama dan Filsafat Pemikiran Epistemologi al-
Farabi. Malang: UIN Press.
Steenbrink, Karel A. 1985. Metodologi Penelitian Agama Islam di
Indonesia: Beberapa Petunjuk Mengenai Penelitian Naskah Melalui
Syair Agama dalam Beberapa Melayu dari Abad 19. Semarang:
LP3M IAIN Walisongo Semarang.
Syarif, MM. 1996. Para Filosof Muslim. Terj. A Muslim. Bandung: Mizan.
Watta, Montgmery. 1987. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Terj.
Umar Basalim. Jakarta: P3M.

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’:
Dari Dunia Islam ke Eropa
Syamsuddin Arif*
International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur
Email: tagesauge@yahoo.com

Abstract
It has been a sad fact that whilst the ancient Greco-Roman civilization
and the so-called Renaissance have always received high praise, the period in
between, popularly known as the Dark Ages, is highly obscured or just ignored.
These intermediating centuries are the missing link in the history of science and
civilization, when most decisive scientific inventions were made, and the
foundations of modern civilisation were laid, with scholarly, literary and scientific
works in their thousands, artistic creativity, great architecture, huge libraries,
hospitals, universities, mapping of the world, the discovery of the sky and its
secrets, and much more. It was the time when al-Biruni, al-Khwarizmi, al-
Idrisi, al-Razi, Ibn Sina, Ibn al-Haytham, al-Ghazali, al-Jazari and other Muslim
luminaries shone on the Dark Ages. This article aims to highlight the fact that
the modern Western civilization owes much to the Muslims, who did not only
inherit and preserve the ancient learning but modified and developed it. It is
the Muslim legacy that paved the way for the revival and enlightenment of
Europe in the 15th and subsequent centuries.

Keywords: transmigrasi, dark age, sundial, bayt al-hikmah, al-qanun fi al-


tibb

Pendahuluan

H
ampir setiap orang kenal – meski hanya lewat buku pelajaran
di sekolah - siapa Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727)
atau Charles Darwin (1882). Mereka adalah saintis-saintis

* Dept. of General Studies KIRKHS International-Islamic University Malaysia. Telp.


60166005916

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


200 Syamsuddin Arif

asal England yang namanya cukup akrab di telinga kita. Tetapi coba
kita perhatikan angka-angka yang menunjuk tahun kematian
mereka, niscaya timbul pertanyaan: Apakah yang dikerjakan oleh
orang-orang Inggris sebelum tahun 1600? Apakah penduduk Britania
sebelum abad itu tahunya cuma berburu dan berkelahi seperti
halnya bangsa-bangsa barbariklain di Eropa? Dalam sepucuk surat
yang ditulisnya untuk Robert Hooke sahabat karibnya, Newton
sempat menyadari bahwa “ If I have seen further, it is by standing on
[the] shoulders of giants. Jika aku dapat melihat lebih jauh maka hal
itu lantaran aku berdiri di atas pundak para raksasa.” 1
Pernyataan ini patut mengingatkan kita bahwa saintis tidak
muncul tiba-tiba dari langit biru. Para saintis belajar dari apa yang
diwariskan oleh para pendahulunya. Mereka mewarisi para ilmuwan
terdahulu. Kalau sebelum Newton ada Galileo Galilei (1642) dari Italia
dan Nicolas Copernicus (1543) asal Polandia, dua tokoh yang kerap
disebut sebagai pelopor sains modern, maka patut ditanya siapakah
saintis-saintis yang giat menggarap penelitian, melakukan temuan-
temuan dan terobosan kreatif-inovatif pada abad-abad sebelumnya?
Sedikit sekali di antara kita yang tahu ternyata Kepler dan Copernicus
itu terinspirasi oleh al-Battani yang kitabnya diterjemahkan ke bahasa
Latin dengan judul De scientia stellarum.2
Jawaban yang kerap kita dengar umumnya terkesan naïf dan
distortif: bangsa Eropa memang sudah hebat ‘dari sononya’ –bermula
sejak zaman Yunani kuno hingga runtuhnya imperium Romawi pada
abad ke-5 Masehi diteruskan dengan ‘tidur panjang’ ratusan tahun
lamanya sampai terbitnya cahaya Islam mengakhiri apa yang mereka
sebut sebagai Zaman Kegelapan. Soal adanya ‘mata-rantai yang
hilang’ dalam rentetan sejarah keilmuan yang mencakup filsafat,
sains, dan teknologi ini belakangan mulai banyak disadari. Hal ini
1
Derek Gjertsen, The Newton Handbook (London: Routledge & Kegan Paul, 1986),
h. 231-2. Mirip dengan pernyataan Bernard de Charters: “Nos esse quasi nanos gigantium
humeris insidientes” (Kami/kita ini tak ubahnya ibarat cebol yang duduk di punggung para
raksasa).
2
Kitab beliau yang berjudul az-Zîj telah diterjemahkan dua kali, oleh Robertus
Retinensis (alias Ketenensis, Castrensis, atau Cataneus), dan Plato Tivoli, yang edisi
perdananya dicetak di Nuremberg, Jerman pada 1537 bersama kitab al-Farghânî dengan
judul: Rudimenta astronomica Alfragrani. Item Albategnius peritissimus de motu stellarum ex
observationibus tum propriis tum Ptolemaei; dan edisi kedua (Bologna, Italia 1645), tanpakarya
al-Farghânî, berjudul Mahometis Albatenii de scientia stellarum liber cum aliquot additionibus
Ioannis Regiomontani.Lihat Willy Hartner, “al-Battânî,” artikel dalam Dictionary of Scientific
Biography, jilid 1, h. 507-16.

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 201

telah ditegaskan antara lain oleh Michael H. Morgan: “Most Westerners


have been taught that the greatness of the West has its intellectual roots
in Greece and Rome, and that after the thousand-year sleep of the Dark
Ages, Europe miraculously reawakened to its Greco-Roman roots.” 3
Tetapi pada saat yang sama terdapat upaya untuk menenggelamkan
fakta sejarah ini oleh segelintir orang seperti Sylvain Gouguenheim
yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu.

Dari Alexandria ke Baghdad


Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa warisan intelek-
tual Yunani kuno dalam pelbagai cabang ilmu telah dipelihara dan
dikembangkan oleh orang-orang Islam. Seiring dengan sukses
mereka menyebarkan Islam ke seluruh jazirah Arabia, Afrika Utara
(Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Marokko), Syria, Palestina, Meso-
potamia (Irak), Persia (Iran), Transoxiana (Asia Tengah), semenan-
jung Iberia (Spanyol dan Portugal) dan terakhir India, kaum Muslim
terdorong mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-
negeri yang ditaklukkannya. Mulailah diterjemahkan karya-karya
ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam
bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat
di Damaskus, Syria.
Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya
Daulat ‘Abbâsiyyah di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, pe-
nguasa ‘Abbasiyah banyak merekrut kaum terpelajar setempat
sebagai pegawai dan staf ahli. Sebutlah, misalnya, Ibn al-Muqaffa‘
(w. 759 M) dan Yahyâ ibn Khâlid ibn Barmak (w. 803 M), cende-
kiawan dan politisi keturunan Persia yang diangkat jadi menteri pada
masa itu. Lalu pada zaman pemerintahan Khalifah al-Ma’mûn (w.
833 M) digaraplah proyek penerjemahan, riset dan pengembangan
secara massif. Ia mendirikan sebuah research centre dan perpustakaan
yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Di antara mereka yang aktif sebagai
penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Hunayn
ibn Ishâq dan anaknya Ishâq ibn Hunayn, Abu Bishr Mattâ ibn
Yûnus, dan Yahyâ ibn ‘Adî. Di akhir abad ke-9 M, hampir seluruh
korpus saintifik Yunani telah berhasil dialihbahasakan ke Arab,

3
Michael Hamilton Morgan, Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientists,
Thinkers, and Artists (Washington, D.C.: National Geographic Press, 2007), h. Xv.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


202 Syamsuddin Arif

meliputi pelbagai bidang ilmu, dari kedokteran, matematika,


astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan kimia.4
Maka tak lama kemudian muncullah Jâbir ibn Hayyân (w. 815
M), pakar kimia terkenal, al-Kindî (w. 873), ahli filsafat dan mate-
matika, Abu Ma‘syar (w. 886 M), ilmuwan astronomi, al-Khwârizmî
(w. 863 M), pelopor matematika modern, Ibn Sîna (w. 1037 M)
begawan metafisika dan kedokteran, Ibn al-Haytsam (w. 1040 M)
ahli fisika, al-Bîrûnî (w. 1048 M), peletak antropologi modern, al-
Idrîsî (w. 1150 M) pakar geografi, dan masih banyak sejumlah nama
besar lainnya.5
Kegemilangan ilmiah ini berlangsung selama beberapa ratus
tahun, ditandai dengan produktivitas yang tinggi dan orisinalitas
yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battânî (w. 929 M) telah me-
ngoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemeus, mendesain
katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen
observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur
mural quadrant.6 Kritik terhadap Ptolemeus juga dikemukakan oleh

4
Lihat Ibn an-Nadîm, Kitâb al-Fihrist, ed. G. Flügel, 2 jilid (Leipzig: F.C.W. Vogel,
1871), 1: 248-51; Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, trans. E. and J. Marmorstein
(London: Routledge, 1965); F.E. Peters, Aristoteles Arabus (Leiden: E.J. Brill, 1968); dan
Dimitri Gutas, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in
Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge,
1998). Fenomena ini diulas oleh Max Meyerhoff, “Von Alexandrien nach Baghdad.Ein
Beitrag zur Geschichte des philosophischen und medizinischen Unterrichts bei den Arabern,
“Sitzungs- berichte der Preussischen Akademie der Wissenschaften. Philosophisch-historische
Klasse(1930): 389-429. Cf. “ bersetzung in und zwischen den Kulturen: Der Vordere Orient
im Altertum und Mittelalter,” dalam bersetzung: ein internationales Handbuch der
bersetzungsforschung, ed. Harald Kittel (Berlin: de Gruyter, 2007), jilid 2, khususnya h.
1194-1230.
5
Uraian mengenai pencapaian dan sumbangsih kaum Muslim dalam pelbagai cabang
ilmu secara spesifik dapat dilihat dalam The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed.
Roshdi Rashed, 3 jilid (London: Routledge, 1996); The Legacy of Islam, ed. T. Arnold dan A.
Guillaume (London: Oxford University Press, 1931; edisi kedua oleh J. Schacht dan C.E.
Bosworth, Oxford: The Clarendon Press, 1974); S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam
(Cambridge: The Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA: Harvard
University Press, 1968); Eilhard Wiedemann, Aufs tze zur arabischen Wissenschaftgeschichte,
ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag, 1970); Edward S. Kennedy, Studies
in the Islamic Exact Sciences (Beirut: American University of Beirut, 1983); J.L. Berggren,
Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New York: Springer, 1986); David King,
Islamic Mathematical Astronomy (London: Variorum, 1986); A.E. Sabra, The Optics of Ibn al-
Haytham: Books I-III on Direct Vision, 2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989); Manfred
Ullmann, Islamic Medicine (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1978).
6
Willy Hartner, “al-Battânî, ” artikel dalam Dictionary of Scientific Biography, jilid 1, h.
507-16.

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 203

Ibn Rusyd (w. 1198 M) dan al-Bitrûjî (w. 1190 M).7 Dalam bidang
fisika, Ibn Bâjjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya
terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan percepatan. 8
Demikian pula dalam bidang-bidang saintifik lainnya. Bahkan dalam
hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia, Ibn Firnas
telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan
rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (w. 1292 M) dan belakangan
diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519 M).

Dari Arab ke Latin


Proses yang sama terjadi di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13
Masehi. Karya-karya ilmuwan Muslim dalam pelbagai bidang telah
diterjemahkan secara massif ke dalam bahasa Latin, yang hingga
abad ke-18 merupakan lingua franca sekaligus bahasa agama dan
ilmu pengetahuan. Bermula dari Perang Salib yang berlangsung
antara 1096 hingga 1192 Masehi dan Reconquista (perebutan kembali
Andalusia oleh orang Kristen) yang terjadi antara tahun 790 hingga
1300 Masehi. Hubungan diplomatik dan konflik militer ini dibarengi
dengan kontak intelektual dan kultural antara orang Eropa yang
waktu itu masih terbelakang dan biadab dengan orang-orang Islam
yang hidup makmur, terpelajar dan cemerlang di segala bidang ilmu
pengetahuan. Tak heran jika kemudian orang-orang Eropa merasa
perlu mempelajari buku-buku ilmiah yang ditulis oleh orang Islam.
Seperti kata Edward Grant, mereka tidak punya pilihan lain kecuali
menerjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa yang mereka pahami,
yaitu Latin. Sebab, kalau tidak, niscaya mereka bakal terus-menerus
berada di dalam jurang kebodohan:
“Latin scholars in the 12th century recognized that all civilizations were not
equal. They were painfully aware that with respect to science and natural
philosophy, their civilization was manifestly inferior to that of Islam. They faced
an obvious choice: learn from their superiors or remain inferior forever.
They chose to learn and launched a massive effort to translate as many Arabic
texts into Latin as was feasible. Had they assumed that all cultures were equal,
or that theirs was superior, they would have had no reason to seek out Arab

7
Lihat A.E. Sabra, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy: Averroes
and al-Bitrûjî,” dalam Transformation and Tradition in Sciences: Essays in Honor of I. Bernard
Cohen, ed. Everett Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), h. 133-53.
8
Lihat Ernest A. Moody, “Galileo and Avempace: The Dynamics of the Leaning
Tower Experiment,” dalam Journal of the History of Ideas 12 (1951): 163-93 dan 375-422.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


204 Syamsuddin Arif

learning and the glorious scientific history that followed might not have
occurred.”9

Kasus cukup menarik bisa kita lihat pada Adelard Bath (hidup
antara 1080-1150 M), yang kini dijuluki ‘ilmuwan pertama Inggris’
(the first English scientist) jauh sebelum Boyle dan Newton. Adelard
lahir dan dibesarkan pada zaman di mana kaum bangsawan Inggris
memperoleh pendidikan dan pengajaran dari guru-guru privat alias
tutor, kalau bukan dari sekolah-sekolah yang ber-afiliasi ke gereja
setempat. Itu pun paling tinggi hanya sampai tingkat menengah.
Adapun untuk tingkat yang lebih tinggi, maka mereka harus me-
rantau ke Paris, Roma, Toledo atau bahkan Timur Tengah. Tak ter-
kecuali Adelard.
Dikisahkan bahwa ia membawa serta murid-muridnya untuk
melanjutkan pelajaran mereka di Laon, sebuah kota kecil di timur-
laut Paris yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi
waktu itu. Ia sendiri kemudian pergi mengembara sampai ke Antioch
(Syria), Tarsus (Turki) dan Sicily (Italia), yang hingga tahun 1072
masih termasuk wilayah Islam, dalam rangka menimba ‘ilmu orang-
orang Arab’ (studia Arabum). Ketika tujuh tahun kemudian Adelard
pulang ke England dan bertemu lagi dengan mantan muridnya
tamatan dari Laon, ia menyimpulkan, dibandingkan dengan ilmu
orang Arab, maka ilmu orang Perancis itu ketinggalan jauh, beku
dan menjadikan otak tumpul. “Satu pelajaran penting yang kudapat
dari guru-guruku orang Arab: jadikan akal sebagai pemandu. …
Apa gunanya kita punya otak, kalau tidak bisa berpikir sendiri?! (I
have learned one thing from my Arab masters: with reason as guide. …
So what is the point of having a brain, if one does not think for oneself?),”
tukasnya.10
Dan ternyata, Adelard bukan satu-satunya orang yang menilai
kaum Muslim saat itu lebih maju dan lebih tinggi peradabannya.
Peter Abelard, teolog masyhur yang hidup sezaman dengannya pun
berkesimpulan yang sama. Baginya, Islam itu identik dengan

9
Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), h. 206.
10
"… a magistris Arabicis ratione duce didici”, seperti dikutip Jean Jolivet, “The Arabic
Inheritance,” dalam A History of Twelfth-Century Western Philosophy, ed. P. Dronke (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), h. 113. Cf. Adelard of Bath.Conversations with his Nephew.
On the Same and the Different, Questions on Natural Sciences and On Birds, ed. Charles Burnett
et al. (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 205

rasionalitas dan toleransi.11 Maka ketika ditekan lantaran kasus


hubungan gelapnya dengan puteri seorang petinggi gereja, ia pun
sempat mengancam akan pindah agama atau kabur ke negeri orang
Islam yang dikenal berpikiran terbuka lagi toleran. Mirip dengan
kasus Henry II, raja England, beberapa tahun sesudahnya (yaitu pada
1168), yang juga mengancam akan masuk agama Sultan Nuruddin
Zangi, penguasa Aleppo, jika Paus di Roma enggan mencopot Thomas
Becket dari jabatan Kepala Uskup (Archbishop) England waktu itu.
Menyadari betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi setiap
masyarakat yang ingin maju, kaum terpelajar seperti Adelard pun
berinisiatif melakukan penerjemahan, baik perorangan maupun
kelompok. Ia sendiri mengalih-bahasakan karya geometri Euclid dan
tabel astronomi al-Khwarizmi dari Arab ke Latin.12 Diriwayatkan
bahwa Gerbert Aurillac (945-1003) yang belakangan menjadi Paus
(Sylvester II), sempat mengembara ke wilayah utara Spanyol untuk
belajar matematika, astronomi dan cara-cara menggunakan astrolabe
yang dibuat kaum Muslim.13 Kemudian, masih di abad yang sama,
seorang intelektual yang hanya dikenal sebagai Constantinus dari
Carthago, Afrika Utara, telah memboyong buku-buku berbahasa
Arab karya Hunayn ibn Ishaq, ‘Ali ibn ‘Abbas dan Ibn al-Jazzar dalam
bidang kedokteran untuk diterjemahkannya ke dalam bahasa Latin.
Namun, proyek penerjemahan secara besar-besaran dan lebih
terencana dikerjakan di Toledo, sebuah kota kecil di wilayah tengah
Spanyol. Di sana Dominicus Gundisalvi, ketua gereja setempat yang
hidup sampai tahun 1190, bersama cendekiawan Gerard de
Cremona (1114-1187) memenerjemahkan kitab-kitab rujukan
penting ke bahasa Latin tentang psikologi, metafisika, logika,
geometri, fisika, astronomi dan kedokteran. Selain mereka juga aktif

11
Lihat Jean Jolivet, “L’Islam et la raison, d’après quelques auteurs latins des XIe et
XIIe siècles,” dalam L’art des confins. Mélanges Maurice de Gandillac (Paris, 1987), h. 153-65.
12
Judulnya: Euclidis elementa ex Arabico in Latinum translata par Adelardum Goth.
Bathoniensem sub commento mag. Campani Novariensis (tersimpan di Glasgow, HaenelCol.
786);Euclidis Elementorum artis geometriae per Adelardum Bathoniensem ex Arabica lingua in
Latinam translatae propositiones, nebst der Institutio artis geometriae ab Euclide descripta XV
libros continens, per Adelardum Bathoniensem ex Arabico in Latinum sermonem translata. Cf.
Marshall Clagett, “The Medieval Latin Translations from Arabic of the Elements of Euclid,
with Special Emphasis on the Versions of Adelard of Bath,” dalam jurnal Isis 44 (1953), h.
16-42.
13
David C. Lindberg, “The Transmission of Greek and Arabic Learning to the
West,” dalam Science in the Middle Ages, ed. David C. Lindberg (Chicago: The University of
Chicago Press, 1978), h. 61-2.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


206 Syamsuddin Arif

sejumlah pakar seperti Abraham ibn Dawud (Avendauth), John dari


Seville, Hermannus Alemannus dari Carinthia, Alfred Shareshill, dan
Michael Scot. Pengalih-bahasaan ini didorong oleh sejumlah faktor,
antara lain semangat memburu ilmu para pelakunya, permintaan
dari golongan terpelajar dari kalangan gereja maupun istana, di
samping anjuran para pemuka agama Kristen agar masyarakat
disuguhi bahan bacaan berbahasa Latin sebagai pengganti literatur
Arab. Gerakan penerjemahan ini belakangan diperkuat dengan
keikutsertaan John Salisbury, Robert Ketton, Peter Alphonsi dan
banyak lagi pada abad selanjutnya.14
Secara kronologis tampak bahwa proses penerjemahan dari
Arab ke Latin itu terjadi secara bertahap dalam kurun waktu 400
ratus tahun lamanya. Pada mulanya (sekitar tahun 1150 M.), buku-
buku yang diterjemahkan masih seputar filsafat, kosmologi dan
psikologi karya al-Kindi, al-Farabi, Ikhwan as-Shafa’ dan terutama
Ibn Sina. Pada babak berikutnya (sekitar 1250 M) keinginan untuk
memahami pemikiran Aristoteles telah mendorong penerjemahan
karya-karya Ibnu Rusyd baik berupa ringkasan maupun komentar
panjang dan menengahnya. Cendekiawan Yahudi turut berperan
dalam gerakan ini, di mana mereka berinisiatif menulis komentar
tersendiri. Maka pada tahap sesudahnya (sekitar 1450 M), tatkala
kaum intelektual Eropa sedang gandrung kepada teks klasik, orang-
orang Yahudi menjadi sumber rujukan dan banyak menolong
mereka menerjemahkan ulang kitab-kitab Ibn Sina, al-Ghazali dan
Ibn Rusyd.
Kemudian pada awal abad keenam belas (sekitar 1520 Masehi),
karya-karya lainnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin seperti
al-Risa> l ah al-Syamsiyyah karya al-Qazwini dan kitab Ta‘li> m al-
Muta‘allim karya az-Zarnuji. 15 Di abad-abad berikutnya hingga
14
Lihat Ferdinand Wüstenfeld, Die bersetzungen arabischer Werke in das Lateinische
seit dem XI. Jahrhundert (G ttingen: Dieterich’sche, 1877); Moritz Steinschneider, Die
europ ische bersetzungen aus dem Arabischen bis Mitte des 17. Jahrhundert (Vienna: Graz,
1956); Marie-Thérèse d’Alverny, La transmission de textes philosophiques et scientifiques au
Moyen Age (Aldershot: Ashgate, 1994); C.Burnett, “The Coherence of the Arabic-Latin
Translation Program in Toledo in the Twelfth Century”, Science in Context, 14(2001): hlm.
249-58; idem, “The Second Revelation of Arabic Philosophy and Science: 1492–1575,”dalam
Islam and the Italian Renaissance, ed. C. Burnett dan A. Contadini (London: The Warburg
Institute, 1999), h. 185-98.
15
Telah dua kali diterjemahkan: oleh Friderico Rostgaard dan Abraham Ecchellensis,
ed. Hadrianus Relandus, dengan judul: Enchiridion Studiosi, Arabice conscriptum a Borhaneddino
Alzernouchi (Trajecti ad Rhenum, apud Gulielmum Broedelet, MDCCIX [1709]); dan oleh

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 207

zaman sekarang pun penerjemahan masih terus dilakukan, bukan


ke dalam bahasa Latin tentunya, melainkan ke dalam bahasa-bahasa
Eropa yang lain sebagaimana kita ketahui.

a. Periode Awal
Adalah Constantinus Aphricanus yang tercatat sebagai pelopor.
Selain menguasai beberapa bahasa, Constantinus berjasa mem-
boyong puluhan buku-buku ilmiah dari wilayah Islam ke Eropa
untuk kemudian diterjemahkannya sendiri ke dalam bahasa Latin.
Robert Guiscard, yang pada tahun 1075 menjadi penguasa di
Salerno, mengangkat Constantinus sebagai juru tulisnya. Namun
tak lama, karena kedengkian sebagian orang di sana, Constantinus
akhirnya memutuskan untuk pergi ke Monte Cassino dan menga-
singkan diri sebagai biarawan Ordo Benedictine sampai meninggal
pada tahun 1085. Buku-buku yang ia alihbahasakan termasuk: Liber
regius(=Liber completus artis medicae qui dicitur regalis dispositio dalam
versi Stephanus) karya ‘Ali ibn ‘Abbas (w. 994 M), yang aslinya ber-
judul Ka>mil al-Sina>‘ah al-T}ibbiyyah dan naskahnya masih tersimpan
di Basel (edisi 1539); Himpunan kata-kata Hippocrates berikut
penjelasan Galen yang diberi judul Hippocratis Aphorismorum liber
cum Galeni commentario; dan kitab kedokteran Abu Bakr ar-Razi yang
diterjemahkan menjadi Abubecri filii Zachariae Rhasis Divisionum liber
(tersimpan di Oxford Coxe Pars II. Colleg. St. Joh. Bapt. No. 85).
Demikian pula Gerard dari Cremona, yang dijuluki ‘Tuan Guru’
(doctus magister) di Toledo, telah menerjemahkan dari bahasa Arab
ke Latin tak kurang dari tujuh-puluh buku. Termasuk di antaranya
buku Analytica Posteriora, Physica, Meteorologia dan De Generationeet
Corruptione karya Aristoteles, empat risalah karya al-Kindi, satu risalah
Ikhwan as-Shafa dan kitab Ihs}a>’ al-‘Ulu>m karya al-Farabi.16 Pada saat
yang sama kitab al-Syifa>’ karya Ibn Sina juga diterjemahkan oleh
tim pakar terdiri dari Abraham ibn Dawud alias Avendauth,

Carolus Caspari, dengan judul: Borhan-ed-dini es-Sernudji Enchiridion Studiosi, ad fidem editionis
Relandianae nec non trium codd. Lips.Et duorum Berolin. denuo arabice edidit, latine vertit …
textum et scholia vocalibus instruxit et lexico explanavit Carolus Caspari, praefatus est
Henricus- Orthobius Fleischer (Lipsiae [Leipzig], 1838).
16
Dengan judul: el-Farabi de divisione philosophiae, tersimpan dalam Oxford Catalog.
Mss. Angl. Tom. I. Pars I. hlm.81 No. 1677; hlm.140 No. 2590; hlm. 285 No. 6341; Pars II.,
h. 50 No. 1553.

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


208 Syamsuddin Arif

Dominicus Gundissalinus (1161-1181) dan Johanes Hispanus. 17


Mereka juga mengalihbahasakan kitab Maqa> s} i d al-Fala> s ifah dan
kitab Taha>fut al-Fala>sifah karya Imam al-Ghazali ke dalam bahasa
Latin, kitab al-Kala>m fi Mah}dh al-Khair yang merupakan petikan
20 proposisi teologi Proclus dalam versi Arab, dilatinkan menjadi
Liber de causis. Sebagian dari karya-karya ini lalu dijadikan bahan
perkuliahan di universitas Oxford pada abad ke-12, yang salah se-
orang pentolannya Alfred dari Shareshill, kemudian menerjemahkan
karya Nicholas dari Damaskus mengenai tanaman (De plantis) serta
bagian mineralogi dan geologi dari kitab al-Syifa>’ karya Ibn Sina.18

b. Periode kedua
Penerjemahan kitab al-Syifa>’ yang terdiri dari ribuan halaman
karya Ibn Sina itu berlanjut di abad ke-13. Kitab al-H}aya>wan (zoologi)
karya Aristoteles dilatinkan oleh Michael Scot (w. tahun 1236),
sementara kitab ilmu-ilmu alamnya (yang belum semuanya digarap
oleh penerjemah sebelumnya) yang dialihbahasakan ke Latin adalah
kitab fi al-Sama>’ (De caelo), al-Kawn wa al-Fasad (De generatione et
corruptione), al-Af‘a>l wa al-Infi‘a>la>t (De actionibus et passionibus),
dan al-Ajra>m wa al-Atsa> r al-‘Ulwiyyah (Meteorologia) oleh Juan
Gonsalvez atas permintaan Gonsalvez Garc a de Gudiel, Uskup
Burgos (1275-1280) berdasarkan manuskrip tunggal yang tersimpan
di gereja Toledo.
Namun, hasil terjemahan itu jarang dibaca. Barangkali karena
karya-karya tersebut sukar dipahami apa adanya. Itu sebabnya
mengapa orang Eropa kemudian menerjemahkan buku-buku Ibn
Rusyd yang dalam pelbagai ukuran memberikan penjelasan, ulasan
ataupun ringkasan terhadap semua karya Aristoteles. Michael Scot,
yang pergi meninggalkan Toledoke Sicily, Italia untuk mengabdi
kepada raja Frederick II, melatinkan sejumlah komentar panjang
Ibn Rusyd atas karya Aristoteles mengenai kosmologi, psikologi,
fisika, dan metafisika.
17
Misalnya: Avicennae Metaphysicorum libri decem interprete Dominico Gondisalvo,
Archidiacono Tholet. de arabico in latinum (tersimpan di Paris MS Cod. 6443,1.16097 dan
dicetak di Venezia dengan judulAvicennae Metaphysica sive ejus prima philosophia (Venet.
1493).
18
Untuk ulasan detil karya-karya Ibn Sina dalam bahasa Latin, lihat Marie-Thèrese
d’Alverny, “Notes sur les traductions médiévales d’Avicenne,” dalam Archives
d’histoiredoctrinale et littéraire du moyen age 27 (1952): 337-358 danAvicenne en Occident(Paris:
Vrin 1993).

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 209

Sementara itu pakar lainnya yang juga bekerja di istana itu,


yakni Theodore dari Antioch, menerjemahkan bagian pendahuluan
(Proemium)yang ditulis Ibn Rusyd untuk buku fisika Aristoteles,
manakala William Luna mengalihbahasakan komentar menengah
Ibn Rusyd atas buku Categoria dan Peri Hermeneias karya Aristoteles
serta buku Isagogekarya Porphyrius. Komentar Ibn Rusyd lainnya
atas buku Rhetorika, Poetica dan Ethica Aristoteles digarap ter-
jemahannya oleh Hermannus Alemannus sekitar tahun 1256. Karya-
karya Ibn Rusyd ini tersebar luas di kalangan akademisi dan in-
telektual di pusat-pusat pembelajaran tingkat tinggi di Eropa.Begitu
kuat dirasakan pengaruhnya sehingga rektor universitas Paris waktu
itu, tienne Tempier, yang juga merangkap ketua gereja lantas
menerbitkan ‘fatwa sesat’(condemnation) pada tahun 1277.19

c. Periode Ketiga
Pada masa ini yang banyak berperan sebagai penerjemah
adalah para cendekiawan Yahudi. Mungkin karena kaum terpelajar
Kristen ketika itu untuk sementara waktu ‘tiarap’ akibat ‘fatwa sesat’
yang dilontarkan oleh Etienne Tempier. Namun demikian, aktivitas
penerjemahan terus berjalan. Hal ini diperlihatkan misalnya oleh
Calonymus ben Calonymus ben Meir, intelektual Yahudi yang
menerjemahkan kitab Taha>fut al-Taha>fut karya Ibn Rusyd untuk
memenuhi permintaan Robert Anjou, raja Napoli. Tetapi yang lebih
menarik lagi, mulai akhir abad ke-13 dan setelahnya, kebanyakan
terjemahan ke bahasa Latin dibuat melalui bahasa Ibrani, dan bukan
langsung dari versi Arabnya. Sekurang-kurangnya terdapat 38 karya
Ibn Rusyd yang tersimpan, diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani
ataupun disalin menggunakan aksara Ibrani (bukan Arab atau
Romawi). Tersebutlah Jacob Anatoli dan, pada kurun selanjutnya,
Moses ibn Tibbon, Levi ben Gerson (alias Gersonides), ShemTov
ibn Falaquera dan Moses Narbonsis yang masing-masing mempunyai
andil menyediakan versi Latin dari karya-karya Ibn Rusyd.

19
Lihat John F. Wippel, “The Condemnations of 1270 and 1277 at Paris,” The Journal
of Medieval and Renaissance Studies 7 (1977), 169-201; Alain de Libera, “Philosophie et
censure. Remarques sur la crise universitaire parisienne de 1270-1277,” dalam Was ist
Philosophie im Mittelalter? ed. Jan A. Aertsen dan Andreas Speer(Berlin: Walter de Gruyter,
1998), h. 71-89 dan Nach der Verurteilung von 1277. Philosophie und Theologie an der Universit t
von Paris im letzen Viertel des 13.Jahrhunderts. Studien und Texte, ed. Jan A. Aertsen et al.(Berlin:
Walter de Gruyter, 2001).

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


210 Syamsuddin Arif

Mereka semua inilah yang memuluskan jalan bagi para


cendekiawan Renaissance yang haus ilmu semacam Pico della
Mirandola, Kardinal Domenico Grimani dan Paus Leo X. Tokoh-
tokoh ini mensponsori penerjemahan karya-karya Ibn Rusyd oleh:
(1) Elias del Medigo (komentar menengah atas Meteorologi I-II,
masalah-masalah berkenaan Analytica Priora, pengantar buku
Lambda dari Metafisika, komentar menengah atas Metafisika I-VII
dan komentar menengah atas Republica Plato); (2) Paulus Israelita
(komentar menengah atas de Caelo); (3) Abram de Balmes (ringkasan
dari Organon, komentar menengah atas Topica, Sophistica, Rhetorica
dan Poetica, komentar panjang atas Analytica Posteriora, dan satu
risalah Ibn Bajjah; (4) Johannes Burana (ringkasan dan komentar
menengah atas Analytica Priora dan Analytica Posteriora; (5) Vitalis
Nissus (ringkasan Degeneratione et corruptione); dan (6) terutama
Jacob Mantinus (w. 1549).
Jacobus Mantinus yang berasal dari Tortosa ini diberi tugas
oleh Girolamo Bagolino, Romolo Fabi dan Marco degli Oddi, tiga
orang penggarap proyek ambisius penyuntingan seluruh karya
Aristoteles lengkap dengan komentar Ibn Rusyd (dan akhirnya
berhasil juga diterbitkan oleh Tommaso Giunta di Venizia pada tahun
1550-1552), untuk merevisi semua terjemahan karya Ibn Rusyd.
Namun sayangnya, tatkala ia selesai melatinkan ulang sepuluh karya
besar Ibn Rusyd, termasuk komentar atas ‘Republica’ Plato, Jacobus
meninggal dalam perjalanan ke Damaskus pada 1549. Itulah
sebabnya dalam edisi tersebut dicetak kedua versi lama dan baru
sebagaimana bisa kita lihat sampai sekarang.

d. Periode Keempat
Memasuki abad ke-16 orang-orang Eropa tak surut minatnya
untuk mempelajari khazanah keilmuan Islam. Sebuah buku tata-
bahasa Arab beserta kamusnya karya Pedro Alcalà terbit pada tahun
1505 di Spanyol. Seorang ilmuwan Muslim yang diculik dan diberi
nama baru ‘Leo Africanus’ oleh Paus Leo X, (disuruh) menghimpun
data bibliografi karya ilmiah yang ditulis orang Islam semenjak tahun
1518. Pemburuan dan pengumpulan manuskrip semakin gencar
dilakukan. Naskah Arab dari Ennead IV-VI yang bertajuk Us}u>lujiya
Arist}at}alis dari Damaskus, berikut versi Latinnya oleh Moses Arovas
dan Pier Nicolas Castellani diterbitkan di Roma pada tahun 1519.
Masih di Damaskus, Andrea Alpago merevisi terjemahan kitab al-

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 211

Qa> n u> n fi al-T{ i bb karya Ibn Sina dan menerbitkan dua risalah
psikologi Ibn Sina yang lain. Kemudian pada tahun 1584 di Roma,
Giovan Battista Raimondi berkat dukungan para Medici telah
mendirikan percetakan Arab. Kajian Islam semakin marak dengan
diangkatnya Guillaume Postel sebagai guru besar bahasa Arab di
Paris pada 1535, Thomas Erpenius di Leiden pada tahun 1613.
Adapun di Oxford, Edward Pococke menerbitkan karyanya yang
berjudul Specimen historiae Arabumdan menerjemahkan novel filsafat
Ibn Tufayl (w. 1185), H}ayy ibn Yaqz}a>n, yang konon menjadi sumber
inspirasi bagi penulis Robinson Crusoe.20

Penutup
Tak bisa dipungkiri fakta terjadinya pertukaran, peminjaman
dan saling mempengaruhi ketika dua bangsa, masyarakat atau
peradaban berhubungan satu sama lain. Tidak ada peradaban yang
berdiri sendiri ataupun menjiplak seratus persen peradaban lain.
Sejatinya, setiap peradaban memiliki ciri-ciri khas, elemen-elemen
unik yang mungkin tidak terdapat ataupun tidak berkembang
dalam peradaban lain. Tetapi bisa dipastikan juga terdapat unsur-
unsur yang dipetik, diambil atau ditiru dari peradaban lain yang
telah ada sebelumnya dan disekitarnya. Inilah yang dinamakan
dengan teori ‘interdependence’ (bukan ‘total dependence’ dan bukan
pula ‘absolute interdependence’. Sebagaimana orang-orang Yunani
kuno berhutang budi kepada orang Mesir dan Babilonia, begitu juga
orang-orang Barat (Eropa) berhutang budi kepada orang Islam.[]

20
Roman Hayy ibn Yaqzan mulanya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani (Hebrew)
pada 1349 oleh Moses Narbonsis, kemudian dari Ibrani ke Latin oleh Pico della Mirandola,
dan langsung dari Arabnya ke Latin oleh Edward Pococke pada 1671. Versi Inggrisnya
oleh George Keith terbit tahun 1674, sementara Robinson Crusoeoleh Daniel Defoe terbit
1719. Lihat G.A. Russel, “The Impact of the Philosophus Autodidactus: Pocockes, John
Locke and the Society of Friends,” dalam The ‘Arabick’ Interest of the Natural Philosophers in
Seventeenth-Century England, ed. G.A. Russell (Leiden: Brill, 1994), h. 224-65; juga Lawrence
I. Conrad, (ed), The World of Ibn Tufayl: Interdisciplinary Perspectives on Hayy ibn Yaqzan,
(Leiden: Brill, 1996).

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


212 Syamsuddin Arif

Daftar Pustaka
Aertsen, Jan A., Was ist Philosophie im Mittelalter? (Berlin: Walter de
Gruyter, 1998)
Aertsen, Jan A., Nach der Verurteilung, Philosophie und Theologie an
der Universit t von Paris im letzen Viertel des Jahrhunderts, Studien
und Texte, (Berlin: Walter de Gruyter, 2001)
Berggren, J.L. Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New
York: Springer, 1986)
Burnett, Charles, Adelard of Bath.Conversations with his Nephew. On
the Same and the Different, Questions on Natural Sciences and
On Birds, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998)
Conrad, Lawrence, (ed), The World of Ibn Tufayl: Interdisciplinary
Perspectives on Hayy ibn Yaqzan, (Leiden: Brill, 1996).
Contadini, dan C. Burnett, Islam and the Italian Renaissance, (London:
The Warburg Institute, 1999)
Gjertsen, Derek The Newton Handbook (London: Routledge & Kegan
Paul, 1986),
Grant, Edward, The Foundations of Modern Science in the Middle Ages
(Cambridge: Cambridge University Press, 1996)
Guillaumem, A dan T. Arnold The Legacy of Islam, (London: Oxford
University Press, 1931 edisi kedua oleh J. Schacht dan C.E.
Bosworth, Oxford: The Clarendon Press, 1974)
Gutas, Dimitri, Greek Thought in Arabic Culture: The Graeco-Arabic
Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society
(2nd-4th / 8th-10th Centuries) (London: Routledge, 1998)
Jolivet, Jean, “L’Islam et la raison, d’après quelques auteurs latins
des XIe et XIIe siècles,” dalam L’art des confins. Mélanges Maurice
de Gandillac (Paris, 1987)
————— , “The Arabic Inheritance,” dalam A History of Twelfth-
Century Western Philosophy, ed. P. Dronke (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988)
Kennedy, Edward S. Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut:
American University of Beirut, 1983)
King, David, Islamic Mathematical Astronomy (London: Variorum,
1986)
Lindberg, David C. “The Transmission of Greek and Arabic Learning

Jurnal TSAQAFAH
‘Transmigrasi Ilmu’: dari Dunia Islam ke Eropa 213

to the West,” dalam Science in the Middle Ages, (Chicago: The


University of Chicago Press, 1978)
Morgan, Michael Hamilton, Lost History: The Enduring Legacy of
Muslim Scientists, Thinkers, and Artists (Washington, D.C.:
National Geographic Press, 2007)
Nasr, S.Hossein. Science and Civilization in Islam (Cambridge: The
Islamic Text Society, 1987; cet. pertama Cambridge, MA:
Harvard University Press, 1968)
Peters,F.E., Aristoteles Arabus, (Leiden: E.J. Brill, 1968)
Rashed, Roshdi, The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed.,
3 jilid (London: Routledge, 1996)
Rosenthal, Franz, The Classical Heritage in Islam, trans. E. and J.
Marmorstein (London: Routledge, 1965)
Russel, G.A. “The Impact of the Philosophus Autodidactus: Pocockes,
John Locke and the Society of Friends,” dalam The ‘Arabick’
Interest of the Natural Philosophers in Seventeenth-Century
England, ed. G.A. Russell (Leiden: Brill, 1994)
Sabra, A.E. The Optics of Ibn al-Haytham: Books I-III on Direct Vision,
2 jilid (London: The Warburg Institute, 1989)
—————, “The Andalusian Revolt against Ptolemaic Astronomy:
Averroes and al-Bitrûjî,” dalam Transformation and Tradition in
Sciences: Essays in Honor of I. Bernard Cohen, ed. Everett
Mendelsohn (Cambridge: Cambridge University Press, 1984)
Steinschneider, Moritz, Die europ ische bersetzungen aus dem
Arabischen bis Mitte des 17. Jahrhundert (Vienna: Graz, 1956)
Thérèse d’Alverny, Marie-, La transmission de textes philosophiques et
scientifiques au Moyen Age (Aldershot: Ashgate, 1994)
Ullmann, Manfred, Islamic Medicine (Edinburgh: Edinburgh
University Press, 1978)
Wiedemann, Eilhard, Aufs tze zur arabischen Wissenschaftgeschichte,
ed. W. Fischer, 2 jilid (New York: George Olm Verlag, 1970)
Wippel, John F. “The Condemnations of 1270 and 1277 at Paris,”
The Journal of Medieval and Renaissance Studies 7 (1977)
Wüstenfeld, Ferdinand, Die bersetzungen arabischer Werke in das
Lateinische seit dem XI. Jahrhundert (G ttingen: Dieterich’sche,
1877)

Vol. 6, No. 2, Oktober 2010


Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik:
Telaah Proses Sejarah dan Transmisi Ilmu Pengetahuan
Shobahussurur*
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Email: shobahalazhar@gmail.com

Abstract
The history of science and its development process in Islam is not a
mere message of religious doctrine, but it has really manifested itself in the
stages of the history of science. As a historical fact, Islamic sciences have grown
and developed by several factors, either it’s directly related to intellectual Muslim
development, or to social factors, political and cultural situations which existed
at that time. The spirit of science development has been ongoing continuously
from one generation to another. Numbers of research, experiment, discovery,
and the development of methodology of science are continuously conducted
and developed by Muslims. In the history of Islam, scientific work has fluctuated.
Starting from the exploration of the roots of science, this article tries to explain
the position and the systematization of knowledge in Islamic literatures. This
work also proves that the rise and development of science in Islam, cannot be
separated from various educational institutional roles, such as maktabah, kuttâb,
h}alaqah, observatories, hospitals and clinics, Dâr al-H}ikmah, Dâr al-’Ilm, and
madrasah. Therefore, the development of science in the Islamic world is not
only beneficial for Muslims, but also for the entire human race. It is proved that
even the renaissance in the Western world took many of its success from Islamic
civilization since the 14th century AD.

Keywords: Science, Science Transmission, Intellect, Philosophy,


Educational Institutions

*
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jl. Ir. H.
Djuanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan 15412.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


90 Shobahussurur

Abstrak
Ilmu pengetahuan dalam sejarah dan proses pengembangannya dalam
Islam bukan hanya sekadar pesan doktrin agama, tetapi pesan itu benar-benar
telah terwujud dalam panggung sejarah keilmuan. Sebagai fakta sejarah, ilmu
keislaman tumbuh dan berkembang karena beberapa faktor, baik yang terkait
langsung dengan upaya pengembangan intelektualitas umat Islam, maupun
faktor-faktor eksternal yang terkait dengan situasi sosial, politik, dan budaya,
yang berkembang pada zamannya. Dari generasi ke generasi semangat untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan terus dilakukan. Berbagai penelitian,
eksperimen, penemuan, dan metodologi keilmuan terus menerus dilakukan dan
dikembangkan oleh kaum intelektual Muslim. Pasang surut proyek kerja ilmiah
tersebut terjadi dalam sejarah Islam. Diawali dengan penelusuran terhadap akar-
akar pengembangan ilmu, artikel ini memberikan kejelasan tentang posisi dan
sistematisasi ilmu dalam khazanah keislaman. Tulisan ini juga membuktikan bahwa
kejayaan dan perkembangan ilmu dalam Islam, tidak bisa dilepaskan begitu saja
dari peran yang dimainkan oleh pelbagai lembaga pendidikan, seperti maktabah,
kuttâb, h}alaqah, observatorium, rumah sakit dan klinik, Dâr al-H}ikmah, Dâr al-
‘Ilm, dan madrasah, dalam proses transmisi ilmu pengetahuan. Perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia Islam tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam sendiri,
melainkan juga bagi umat agama manusia seluruhnya. Hal tersebut terbukti bahwa
terjadinya Renaisans Barat sejak abad ke 14 M tidak lepas dari peran peradaban
Islam saat itu.

Kata Kunci: Ilmu Pengetahuan, Transmisi Ilmu, Intelektualitas,


Filsafat, Lembaga Pendidikan

Pendahuluan

T
idak dapat disangkal betapa Islam menghargai peran akal.
Penghargaan itu begitu tinggi sehingga seorang tidak dibebani
untuk menjalankan ajaran-ajaran agama ketika akal itu rusak,
tidak lagi berfungsi. Begitu sebaliknya, seseorang mendapatkan dosa
yang sangat berat ketika berusaha merusak fungsi akal atau bahkan
meniadakannya.1 Untuk itu, Islam memberikan penghargaan yang
1
Larangan keras untuk tidak boleh bermabuk-mabukan umpamanya adalah terkait
dengan tindakan seseorang dalam merusak fungsi akal dan oleh karenanya dilarang. Lihat
beberapa ayat dalam al-Qur’an, seperti dalam: QS. al-Baqarah [2]: 219, QS. al-Nisa [4]: 43,
QS. al-Maidah [5]: 90-91.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 91

setinggi-tingginya kepada siapa saja yang menumbuhkembangkan


fungsi akal melalui berbagai proses belajar mengajar dan mendidik
yang mencerahkan.2
Dari generasi ke generasi semangat mengembangkan ilmu
pengetahuan itu terjadi. Penelitian, eksperimen, penemuan, dan
metodologi keilmuan terus menerus dilakukan oleh kaum intelektual
Muslim. Pasang surut proyek kerja ilmiah tersebut terjadi dalam
sejarah Islam. Tulisan berikut akan mengkaji bagaimana sejarah dan
transmisi ilmu pengetahuan itu berlangsung pada masa klasik,
terutama yang dikembangkan dalam lembaga-lembaga Islam.
Hasil kajian berikut diharapkan dapat dijadikan masukan bagi
kemungkinan pengembangan ilmu pengetahuan di lembaga-
lembaga Islam, sehingga di samping mengedepankan nilai-nilai
modernitas, sebuah lembaga Islam tidak sampai tercerabut dari
unsur orisinalitasnya (as}âlah). Istilahnya, al-muhâfaz}ah ‘alâ al-qadi>m
al-s} âlih} wa al-akhdhu bi al-jadîd al-as}lah}, (Memelihara unsur lama
yang baik dan mengambil yang terbaik dari unsur-unsur modern).

Ilmu Pengetahuan dalam Sejarah Islam


Pada masa keemasan Islam, ilmu pengetahuan asing dari
Yunani, Hellenisme, dan Hellenistik, diserap dengan baik oleh Islam
dan dengan cepat tersebar luas ke penjuru dunia Islam. Beberapa
faktor yang menjadi sebab demikian menurut analisa Mehdi
Nakosteen, antara lain: pertama, adanya tradisi keilmuan kaum
Ortodoks Kristen, seperti Nestorian, yang oleh gereja induk mereka
disingkirkan. Mereka menemukan perlindungan dari kaum Muslim
yang melakukan al-futûh} ât al-islâmiyyah (pembebasan Islam) ke
wilayah Persia dan Romawi. Kaum Muslim bertindak toleran dengan
membiarkan tradisi keilmuan dari Yunani selagi tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Melalui perantara kaum Nestorian, khazanah

2
Tentang perintah dan anjuran melakukan segala sesuatu dengan akal, dalam al-
Qur’an disebutkan dengan menggunakan redaksi yang berbeda-beda, menggunakan akar
kata ‘aqala dengan berbagai tas}rîfnya sebanyak (490 kali, dari akar kata fakara dengan
berbagai tas}rîfnya sebanyak (20) kali, dari akar kata faqaha sebanyak (20) kali, dari akar kata
‘alima sebanyak (679) kali, dari akar kata qara’a sebanyak (70) kali. Bahkan wahyu pertama
yang turun kepada Rasulullah SAW adalah perintah untuk membaca (iqra’), QS. al-‘Alaq [96]:
1. Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal sebagai binatang (QS. al-
A’raf [7]:179, QS. al-Furqan [25]:44), dan Allah akan mengangkat seorang mencapai derajat
yang setinggi-tingginya karena menguasai ilmu (QS. al-Mujadilah [58]: 11).

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


92 Shobahussurur

intelektual Yunani, mengalami proses pengalihan yang begitu cepat


ke dunia Islam. Kedua, adanya penaklukan Aleksander Agung yang
tidak hanya meraih kekuasaan ke Timur hingga Persia dan India,
tapi membawa dampak positif karena kedatangannya serta para
penggantinya ke wilayah taklukan juga menyebarkan ilmu
pengetahuan Yunani, sehingga proses transmisi ilmu pengetahuan
mengalami kemajuan yang pesat. Ketiga, peran penting Akademi
Jundishapur yang dibangun setelah Universitas Alexandria. Akademi
Jundishapur memulai program pengembangan ilmu pengetahuan
dengan menggalakkan aktivitas penerjemahan ilmu pengetahuan
dan filsafat klasik Yunani ke dalam bahasa Pahlevi dan Suriah hingga
pada masa awal Islam. Pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan kuno
menyebar di Barat dan Timur, sampai kemudian diambil alih oleh
Baghdad di Timur serta Sisilia dan Cordova di Barat. Keempat, karya-
karya ilmiah kaum Yahudi turut pula memperlancar proses
penyebaran ilmu pengetahuan yang diawali dengan penerjemahan
karya-karya Yunani ke dalam bahasa Hebrew dan Arab, kemudian
dikembangkan sedemikian rupa menjadi ilmu pengetahuan.3
Selain faktor-faktor eksternal di atas, ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam mengalami kemajuan pesat karena faktor-faktor
internal. Pertama, ajaran Islam memberikan apresiasi yang sangat
tinggi terhadap peran akal untuk mengembangkan ilmu pengetahu-
an dan peradaban. Islam mengajarkan pentingnya meningkatkan
etos kerja dalam berbagai bidang pekerjaan, termasuk dalam
mengadakan penelitian, penemuan, dan eksperimen di bidang ilmu
pengetahuan. Etos kerja di bidang pengembangan ilmu pengetahuan
tampak menonjol pada masa Dinasti Abbasiyah, di mana para
khalifah, terutama Harun al-Rasyid dan al-Makmun, sangat cinta
terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, peranan keluarga Barmak yang
sengaja difungsikan oleh para khalifah untuk mendidik keluarga
istana dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Ketiga, adanya program penerjemahan secara besar-besaran
terhadap literatur-literatur Yunani ke dalam bahasa Arab yang
mendapat dukungan serius dan dengan dana yang sangat besar dari
para penguasa. Al-Makmun umpamanya, mendukung program
tersebut dengan mengangkat para penerjemah Muslim maupun

3
Lihat Mehdi Nakosteen, The History of Islamic Origins of Western Education A. D.
800-1350; with an Intruction to Medieval Muslim Education, (Colorado: University of Coloroda
Press, Boulder, 1964), 18-27.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 93

non-Muslim secara besar-besaran dengan memberikan fasilitas dan


imbalan yang menarik.4
Keempat, adanya suasana yang kondusif bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, di mana pada saat itu suasana negara relatif aman
dan terkendali, tidak ada pergolakan dan pemberontakan. Meskipun
pada masa awal kekuasaan Dinasti Abbasiyah, masa al-Safah dan al-
Mansur, pergolakan itu terjadi. Namun sebagaimana lazimnya
sebuah masa konsolidasi, dan seiring dengan semakin solidnya
kekuasaan, suasana damai semakin mantap dan pada saat demikian
peradaban dan ilmu pengetahuan mengalami persemaian dan
perkembangannya.
Kelima, adanya proses asimilasi budaya yang saling mengisi
karena heterogenitas budaya saat itu. Setidaknya ada empat budaya
besar yang saling berbenturan dan mengalami asimilasi, yaitu
kebudayaan Arab, Persia, Yunani, dan Hindu.5 Proses asimilasi dalam
suasana damai itu menghasilkan kebudayaan besar dalam wajah dan
nama baru, yaitu kebudayaan Islam. Keenam, kondisi sosial Baghdad
yang kosmopolit turut mempengaruhi perkembangan ilmu penge-
tahuan. Ragam ras, suku, etnis, dan budaya yang saling berinteraksi
memberikan dampak besar bagi pemecahan masalah dengan pen-
dekatan intelektual. Selain kaum Urban dari berbagai suku, ras, dan
etnis di Baghdad, terdapat pula suku bangsa asli seperti Kildani dan
Suryani. Kondisi demikian, dengan permasalahan yang semakin
kompleks, tidak mungkin menyelesaikan masalah dengan meng-
gunakan satu sudut pandang. Problem sosial bertambah rumit dan

4
Sebagai ilustrasi betapa perhatian yang tinggi terhadap para penerjemah, al-Makmun
memberi upah kepada para penerjemah, termasuk para penerjemah Kristen Nestorian, seperti
Hunain bin Ishaq (810-877 M), penerjemah bidang kajian filsafat, astronomi, dan meteorologi,
dengan gaji emas seberat lembaran-lembaran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Al-
Makmun juga mengembangkan lembaga Bait al-H}ikmah sebagai tempat menghimpun karya
terjemahan dan dijadikan perpustakaan terbesar pada masa itu. Pada akhir abad kesembilan,
hampir semua karya yang diketahui dalam museum-museum Helenistik telah tersedia bagi
para ilmuwan Islam. Selain Hunain bin Ishaq yang dibantu oleh staf ahli dan murid-muridnya
yang kesemuanya berjumlah lebih dari 90 orang, ada pula para penerjemah ahli lainnya
seperti: Tsabit bin Qurrah (826-901 M), penerjemah bidang kajian matematika, fisika, dan
astronomi, Abu Yahya al-Batriq, Qasta bin Luqa, Hubaysh bin Hasan, dan Abu Bishr Matta
bin Yunus. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Mac Millan Press, 1974), 313.
Lihat juga Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam The Classical Period A. D. 700-
1300, Terj. Afandi, (Jakarta: Logos Publishing House, 1994), 83. Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), 12. Syed Hossen Nasr, Science
and Civilization in Islam, Terj. Mahyudin, (Bandung: Pustaka,1986), 26.
5
Ahmad Amin, D}uh}â al-Islâm, (Kairo:Maktab al-Nahd}ah al-Mis}riyyah, 1933), 163.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


94 Shobahussurur

oleh karenanya pertimbangan-pertimbangan rasional harus diguna-


kan dari pada sekadar menggunakan pertimbangan dalil-dalil
tekstual.6
Terakhir, adanya sikap keterbukaan terhadap paham dan
pendapat yang berbeda sebagai konsekuensi adanya heterogenitas
ras, etnis, dan kultur, serta adanya persaingan antar mereka untuk
memperebutkan supremasi kehidupan.
Mengaca dari keterangan di atas, dalam rangka menjelaskan
perkembangan keilmuan dalam sejarah Islam klasik, secara garis
besar dapat dibagi menjadi tiga kategorisasi, yaitu ilmu-ilmu
keislaman, ilmu pengetahuan alam,7 filsafat, dan Humaniora.8

Ilmu-Ilmu Keislaman
Ilmu-ilmu keislaman berkembang pesat seiring dengan
kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam memahami
petunjuk agama yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Maka
berkembanglah ilmu yang berhubungkan dengan al-Qur’an, hadis,
fikih, kalam, tasawuf, dan tarikh. Di samping itu, berkembang pula
ilmu-ilmu bantu serta metodologi yang sistematis dalam kajian ilmu-
ilmu tersebut. Maka berkembanglah ‘ulûm al-Qurân dan tafsirnya,
ûlûm al-h} a dîts, ‘ilm al-fiqh, us} u l al-fiqh, ‘ilm al-kalâm, ‘ilm al-
tas}awwuf, dan sebagainya.
Ilmu al-Qur’an dan tafsirnya mengalami perkembangan yang
spektakuler. Muncul para ahli tafsir dengan berbagai metode dan
pendekatan. Dua metode penafsiran yang terkenal, yaitu tafsîr bi
al-ma’tsûr9 dan tafsîr bi al-ra’y,10 dipilih oleh para mufasir dalam
6
Bandingkan umpamanya para imam mazhab yang tinggal di kota Madinah dan yang
tinggal di Baghdad. Di Madinah, karena kondisi sosialnya yang homogen, lebih
menggunakan pendekatan tekstual dan oleh sebab itu, masyarakatnya banyak mengikuti
tokoh seperti Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, sebagai imam mazhab ahl al-h}adi}ts.
Berbeda dengan Baghdad yang heterogen, maka masyarakatnya banyak menganut tokoh-
tokoh mazhab ahl al-ra’y, seperti Imam Abu Hanifah.
7
Mengenai ilmu kealaman lebih lengkap dapat dilihat dalam Seyyed Hossein Nasr,
Science and Civilization in Islam, (Harvard University Press, 1968).
8
Mengenai filsafat dan humaniora secara mendalam dapat dilihat dalam M.M. Sharif,
A History of Muslim Philosophy, (Wiesbaden: Otto Harroswitz, 1963) dan Majid Fakhri, A
History of Islamic Philosophy, (Columbia University Press, 1983).
9
Yaitu metode penafsiran al-Qur’an dengan dalil al-Qur’an itu sendiri, dengan hadis
Nabi SAW, dengan pendapat sahabat, dan dengan perkataan para tabiin yang menjelaskan
maksud Allah SWT yang terkandung dalam teks al-Qur’an.
10
Yaitu penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad mufasirnya dan menjadikan
akal pikiran sebagai pendekatan utama.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 95

memahami teks al-Qur’an. Tokoh terkemuka yang menggunakan


metode tafsîr bi al-ma’tsûr adalah Ibnu Jarir al-Thabari (lahir 839 M/
310 H), dengan karya monumentalnya Jâmi al-Bayân ‘an Ta’wîl ay
al-Qur’ân, melalui pendekatan periwayatan hadis. Sedangkan tokoh-
tokoh penting yang menggunakan metode tafsîr bi al-ra’y adalah
Abu Bakr Asham (w. 854 M/ 240 H), Abu Muslim Muhammad bin
Nashr Isfahani (w. 934 M/ 322 H), Mahmud al-Zamakhsyari (w. 1143
M/538 H) dengan karyanya al-Kasysyâf ‘an H} a qâiq al-Ta’wîl,
Abdullah al-Baidhawi (w. 1191 M/ 691 H) dengan karyanya Anwâr
al-Tanzîl, dan Abdullah al-Nasafî (w.1302 M/701 H) dengan karyanya
Madârik al-Tanzîl.
Penelitian di bidang hadis mengalami perkembangan yang
membanggakan. Probematika umat yang semakin kompleks
mengharuskan pentingnya melacak penuturan-penuturan secara
lisan oleh Nabi SAW sebagai sumber lain selain al-Qur’an. Pelacakan
terhadap akurasi dan kebenaran setiap hadis dilakukan dengan meto-
dologi baku dan ketat dalam disiplin ilmu hadis. Hal itu dilakukan
karena mereka sadar bahwa kalau hadis-hadis Nabi SAW tidak
dilakukan kodifikasi dengan seleksi ketat terhadap akurasinya, maka
dihawatirkan akan semakin banyak ucapan-ucapan yang mengatas-
namakan beliau untuk tujuan-tujuan tertentu di kemudian hari. Di
samping ada kekhawatiran bahwa kalau hadis-hadis Nabi SAW tidak
dibukukan, maka umat Islam tidak mempunyai panduan dalam me-
mahami al-Qur’an. Hal itu menjadi sebuah keharusan karena al-Qur’an
masih harus diperjelas dengan praktik yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW, baik berupa ucapan, tindakan, dan kebijakannya. Di antara tokoh-
tokoh besar yang dengan ketelitian dan kegigihannya berhasil
menghimpun hadis, antara lain; al-Bukhari (w. 870 M/256 M) dengan
kitabnya al-Jâmi’ al-S} a h} î h} al-Musnad al-Mukhtas} a r min Ah} â dîts
Rasûlillâh SAW Sunanih wa Ayyâmih disingkat dengan al-S}ah}î h};11

11
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin
Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari, lahir di Bukhara, suatu daerah di Uzbekistan, Asia Tengah.
Ia berhasil menghimpun lebih dari 600.000 hadis, 300.000 di antaranya dihafalnya. Hasil
penelitiannya, dari 300.000 hadis yang dihafal hanya 7.275 hadis saja yang berstatus sahih
dan dihimpun dalam kitabnya. Menurut al-Faruqi, hadis sahih yang diterima al-Bukhari terdapat
pengulangan-pengulangan, sehingga bila dikurangi, maka jumlah hadis sahih yang
diterimanya hanya 2.602 saja, bahkan yang dinilai asli hanya 1.500 saja. Muhammad Abu
Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-S}ih}h}ah al-Sittah, (Kairo: Silsilah al-Buhûts al-
‘Ilmiyyah, 1969), 50. Ali Mustafa Yaqub, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), 11. Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya Faruqi, The Cultural Atlas of
Islam, (New York: MacMillan, 1982), 292.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


96 Shobahussurur

Muslim (w. 261 H)12 dengan kitabnya al-Jâmi’ al-S}ah}îh, atau S}ah}îh
Muslim memuat 3030 hadis; Abu Dawud (W.275 H) dengan kitabnya
Sunan Abî Dâwûd memuat 4800 hadis dari 500.000 hadis yang
diseleksi; al-Tirmidhi (w. 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidhi;
al-Nasa’i (w. 303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’î yang memuat
5.761 hadis; dan Ibnu Majah (w.273 H) dengan kitabnya Sunan Ibn
Mâjah. Enam kitab hadis itu dikenal dengan nama al-Kutub al-Sittah.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman juga terjadi pada bidang
fikih (hukum Islam). Hal itu terjadi sejalan dengan semakin besarnya
kekuasaan Islam dan semakin banyaknya peristiwa-peristiwa sosial
dan problematikanya yang harus diselesaikan. Maka muncul empat
imam besar, yaitu Abu Hanifah (W. 768 M/150 H), Anas bin Malik
(W. 795 M/179 H), Muhamad bin Idris al-Syafi’i (w.769 -820 M/
150-204 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 779-855 M/ 164-240 H).
Dalam membuat penetapan hukum Islam, mereka menggunakan
metodologi yang disebut us} û l al-fiqh yang berguna untuk
menetapkan kriteria validitas bagi pengembangan hukum baru dari
sumber aslinya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Agaknya yang menjadi sebab kenapa terjadi perbedaan hasil
penetapan hukum di antara tokoh mazhab itu adalah faktor
pendekatan dalam melakukan kajian. Abu Hanifah umpamanya,
dalam menetapkan hukum atas sebuah masalah sering mengede-
pankan pendekatan ra’y (logika, pikiran), sehingga mazhabnya
dikenal sebagai mazhab ahl al-ra’y. Oleh karena itu, ia banyak meng-
gunakan metode al-qiyâs dan al-istih}sân13 dalam menetapkan hukum
suatu kasus. Pendekatan logika Abu Hanifah tampaknya dapat
dipahami karena beberapa hal, antara lain; 1) situasi dan kondisi
Baghdad tempat tinggal Abu Hanifah yang heterogen dan kompleks,
juga jaraknya yang jauh dari Madinah, sehingga tidak mungkin
memutuskan sebuah hukum dengan satu pertimbangan saja; 2)
keikutsertaan Abu Hanifah dalam kajian ilmu kalam di sebuah

12
Nama Lengkapnya adalah Abu al-Husain Muslim bin Hajaj bin Muslim bin Ward
bin Qusay al-Qusyairi al-Naisaburi.
13
Qiyâs adalah proses pembuatan analogi hukum atas suatu kasus yang tidak
disebutkan di dalam al-Qur’an atau al-Sunnah dengan suatu kasus yang hukumnya sudah
disebutkan secara jelas, karena ada faktor kesamaan alasan mengapa hukum itu ditetapkan
(‘illah). Istih}sân adalah peralihan dari suatu ketetapan hasil qiyâs kepada hasil qiyâs lain yang
lebih kuat, atau dengan kata lain, mentakhsis qiyâs dengan dalil yang lebih kuat hingga
muncul qiyâs yang baru. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmî, (Kairo: Da>r
al-Qalam, 1970), 69.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 97

halaqah di masjid Kufah secara intensif juga mewarnai pola pikirnya.


Pembahasan ilmu kalam yang erat hubungannya dengan ilmu
filsafat, mantiq (logika), manhaj al-bah}ts wa al-munâz}arah (metode
penelitian dan diskusi), dan perbandingan agama, turut mewarnai
corak pemikirannya dalam mengambil keputusan hukum yang
tampak rasional.
Hal itu berbeda dengan Imam Malik bin Anas (93-179 H) yang
lebih dikenal dengan tokoh mazhab ahl al-hadîts karena pendekatan-
nya banyak menggunakan hadis Rasulullah SAW, bahkan
menempatkan praktik penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madînah)
sebagai salah satu pedoman dalam menetapkan hukum. Pendekatan
itu dilakukan tampaknya karena; 1) kondisi masyarakat Madinah
(Hijaz secara umum), tempat tinggal Imam Malik yang tergolong
homogen, menyebabkan sedikit tuntutan penggunaan rasional
dalam menetapkan hukum, 2) permasalahan belum begitu kom-
pleks, karena budaya bentukan Nabi SAW masih relatif kokoh, stabil
dan belum banyak mendapat tantangan dari budaya asing, 3) kota
Madinah adalah kota yang banyak ditemukan hadis, dan 4) situasi
politik di mana Imam Malik hidup di dua masa kekuasaan Dinasti
Umayyah dan Dinasti Abbasiyyah, membuat dirinya konsisten
untuk hanya menggunakan pendekatan teks daripada mengguna-
kan pendekatan rasional. Kerja keras Imam Malik dalam mengum-
pulkan, meneliti, dan menyeleksi hadis menghasilkan sebuah kitab
monumental, al-Muwatt}a ’, di dalamnya terkumpul hadis-hadis
sahih, ucapan para sahabat, tabiin, dan fatwa-fatwa mereka.14
Imam Syafi’i dalam membuat ketetapan hukum berupaya
melakukan kompromi antara dua pendekatan di atas, meskipun
kecenderungan pendekatan hadis lebih dominan. Meskipun oleh
banyak peneliti Imam Syafi’i lebih digolongkan sebagai tokoh ahl
al-h}adîts karena sangat kuat berpegang pada nas} al-Qur’an dan al-
Sunnah, namun ia berbeda dengan gurunya, Imam Malik. Ia
menolak penggunaan prinsip al-mas}âlih} al-mursalah15 sebagaimana
ijtihad yang dilakukan Imam Malik dan menolak pula prinsip
istih}sân sebagaimana yang dilakukan Imam Abu Hanifah. Baginya,
cukuplah menggunakan prinsip qiyâs sebagai dasar penetapan

14
Manna’ al-Qaththan, Tasyrî’ al-Fiqh al-Islâmî, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1989), 220.
15
Al-Mas}âlih} al-Mursalah yaitu menetapkan hukum yang tidak disebutkan di dalam
nas al-Qur’an atau al-Sunnah dengan pertimbangan untuk kepentingan dan maslahat hidup
manusia dalam rangka mengambil manfaat dan menjauhi mudarat.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


98 Shobahussurur

hukum atas kasus yang tidak ditemukan hukumnya dalam al-


Qur’an, hadis, dan ijmak.
Imam Ahmad bin Hanbal (779-855 M/164-240 H) hidup pada
masa al-mihnah (inkuisisi), sebuah peristiwa berdarah penguasa
Dinasti Abbasiyyah masa kepemimpinan al-Makmun (813-833 M)
yang berpaham Mu’tazilah atas umat Islam yang berbeda paham.
Ahmad bin Hanbal adalah salah satu ulama yang menentang keras
paham Mu’tazilah, seperti paham tentang kemakhlukan al-Qur’an.
Ia disiksa dan dipenjara hingga dibebaskan pada masa al-
Mutawakkil (847-861 M). Dalam menetapkan hukum, Ahmad bin
Hanbal berpedoman kepada al-Qur’an, al-Sunnah, fatwa dan ijmak
sahabat, hadis mursal, dan qiyâs. Dia menerima ijmak hanya pada
ijmak sahabat. Selain itu ditolaknya. Ia menggunakan qiyâs dalam
keadaan yang sangat mendesak dan terpaksa. Dia menggunakan
al-mas}âlih} al-mursalah karena hal itu dilakukan para sahabat. Ia
adalah tokoh dari mazhab ahl al-h}adîts, salah satu ulama tradisio-
nalis ulung yang dengan keras melawan mazhab rasional.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman yang juga mengalami
kemajuan dahsyat adalah di bidang teologi atau ilmu kalam. Ada
dua kubu besar arus pemikiran kalam saat itu yang paling dominan,
yaitu Mu’tazilah dengan tokohnya Washil bin Atha’16 dan Asy’ariyyah
dengan tokohnya Abu Hasan al-Asy’ari.17 Persoalan kalam muncul
sejak peristiwa al-fitnah al-kubrâ18 yang menyebabkan umat Islam
terpecah-pecah menjadi kelompok Khawarij, Syi’ah, dan Murji’ah.

16
Aliran Mu’tazilah bermula dari protes Washil bin Atha’ terhadap gurunya, Hasan al-
Bashri, yang tidak puas atas jawaban gurunya mengenai dosa besar. Ia keluar dari halaqah
kajian sang guru dan membuat kelompok kajian sendiri hingga terbentuk paham sendiri.
17
Karyanya tentang kalam antara lain: Maqâlât al-Islâmiyyîn, al-Ibânah fi> Us}ûl al- Diyânah,
dan al-Luma’. Pokok-pokok pikirannya antara lain: 1) Tuhan mempunyai sifat dan sifat itu bukan
zat-Nya, 2) al-Qur’an adalah kalâm Allâh yang qadîm dan bukan makhluk. 3) Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala langsung di akhirat. 4) Manusia dengan akalnya dapat mengetahui adanya
Tuhan. Tapi akal itu tidak dapat mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau tidak karena
wajib atau tidak itu hanya diketahui melalui wahyu. 5) Perbuatan menusia tidak akan lepas dari
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan kekuasaan mutlak-Nya, Tuhan bebas melakukan
apa saja, termasuk andaikata Dia berkehendak memasukkan semua ke dalam surga atau neraka.
Tokoh-tokoh penting dalam mazhab ini selain al-Asy’ari antara lain: al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-
Ghazali. Lihat Abu Hasan al-Asy’ari, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Ziyagh wa al-Bida’,
(Kairo: Mat}ba’ah al-Mu’înah, 1955), 30-51. Juga al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nîh}al, Jilid 1,
(Beirut: Dâr al-Ma’ârif, 1980), 42, 101. Al-Asy’ari, al-Ibânah…, 9.
18
Yaitu peristiwa terbunuhnya Usman bin ‘Affan yang kemudian menyulut terjadinya
pemberontakan dan perang. Puncaknya adalah perang Shiffin pada pertengahan abad ke 7 M
antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah hingga berakhir dengan kekalahan
pasukan Ali.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 99

Maka muncul kemudian perdebatan kalam tentang para pelaku


dosa besar pada peristiwa tersebut, siapa yang kafir dan yang bukan,
siapa yang masuk surga atau neraka, dan sebagainya.
Kemudian muncul mazhab kalam pertama, yaitu mazhab al-
Qadariyyah yang dipelopori oleh Ma’bad bin Khalid al-Juhani (w.
699 M/79 H) dan mazhab al-Jabariyyah yang dipelopori oleh Jahm
bin Shafwan (w. 745 M/127 H). Pandangan utama al-Qadariyyah
adalah bahwa manusia mampu berbuat dan menentukan sendiri
atas perbuatan yang dilakukan dan oleh karenanya bertanggung
jawab sepenuhnya atas apa yang dilakukan. Sedangkan al-Jabariyyah
berpandangan bahwa semua perbuatan manusia itu sepenuhnya
ditentukan oleh kuasa Tuhan, termasuk keimanan, kebajikan, dan
kejahatan. Semua adalah kehendak dan paksaan Tuhan di mana
manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan pilihan atas
perbuatannya.
Ilmu kalam mengalami kemajuan pesat saat digerakkan oleh
kaum Mu’tazilah. Gerakan Mu’tazilah merupakan tahapan penting
dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Mereka memberi
peran akal yang sangat tinggi bahkan setingkat wahyu dalam
memahami agama, sehingga dikenal dengan paham rasionalis
Islam.19 Namun gerakannya itu mendapat perlawanan yang ketat
dari gerakan paham Asy’ariyyah. Dengan logikanya sendiri, Asy’ari
berhasil melumpuhkan gerakan Mu’tazilah, mengonsolidasi umat
dalam pemikiran kalam yang dikenal dengan paham Sunni.20 Ia
berhasil mencari jalan tengah antara paham Qadariyah dan Jabariyah
yang teorinya dijadikan sebagai rumusan ajaran pokok agama (us}ûl
al-dîn) di hampir seluruh dunia Islam hingga saat ini.
Perkembangan ilmu-ilmu keislaman juga terjadi pada bidang
tasawuf. Aliran ini berkembang sejalan dengan semakin maju dan
besarnya kekuasaan Islam. Umat Islam semakin sibuk dengan dunia
materi dan banyak meninggalkan kebutuhan ruhani. Di antara

19
Prinsip kalam Mu’tazilah terhimpun dalam apa yang diistilahkan al-Us}ûl al- Khamsah
(pokok-pokok yang lima), yaitu al-tawh}îd (keesaan Allah), al-manzilah bayn al- manzilatain
(kedudukan di antara dua kedudukan), al-wa’d wa al-wa’îd (janji dan ancaman), al-‘adl
(keadilan), dan al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (perintah kepada kebaikan dan
mencegah kepada kemungkaran). Tokoh-tokoh penting Mu’tazilah antara lain: Abu al-Huzail,
al-Jubba’i, al-Nazzam, al-Jahidz, dan Muammar bin Abbad. Lihat keterangan lebih luas tentang
paham Mu’tazilah dalam al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nih}al, 1/42. Ahmad Amin, Fajr al-
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), 381.
20
Lihat Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
28.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


100 Shobahussurur

paham tasawuf itu ada yang masih berpijak dengan syariah, seperti
teori-teori yang dibuat oleh al-Ghazali sehingga terkenal dengan istilah
tas}awwuf sunni tetapi muncul pula tasawuf lain yang bebas dan
ekstrim, seperti ajaran-ajaran tasawuf Zun Nun al-Mishri (w. 860
M),21 Abu Yazid al-Bishtami (w. 874 M),22 dan al-Hallaj.23
Tasawuf aliran ini muncul di saat kecenderungan terhadap
kehidupan materi yang berlebihan dan manusia semakin mening-
galkan nilai-nilai moral, persaingan hidup semakin ketat dan kom-
pleks, sehingga kehidupan asketisme menjadi alternatif. Bahkan di
saat runtuhnya Baghdad tahun 1258 M., aspek tasawuf menjadi corak
pemikiran yang dominan di dunia Islam pada waktu itu.
Penyebarannya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia,
banyak dilakukan oleh para pejuang dari para sufi dan pengikut
tarekat. Maka tidak heran kalau kemudian karya-karya intelektual
Islam awal yang berkembang di Indonesia didominasi oleh corak
tasawuf, dan para ulamanya kebanyakan adalah pengikut tarekat.24
Sejalan dengan dominasi Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah di dunia
Islam, maka penyebaran Islam di Indonesia juga tidak terlepas dari
corak tasawuf Sunni tersebut. Corak tasawuf versi al-Ghazali al-Syafi’i
jauh lebih terlihat nyata dibanding corak tasawuf al-Hallaj al-Syi’i.25
Memang belakangan corak tasawuf non-Sunni berkembang pula
di Indonesia, tapi akarnya tidak sekuat tasawuf Sunni.
Jalinan komunikasi antara ulama Indonesia dengan ulama
Haramain juga menjadi faktor penting dalam mendukung perkem-
bangan tasawuf dan tarekat di Indonesia. Haramain merupakan pusat

21
Paham Zun Nun al-Mishri yang terkenal adalah al-Ma’arif. Menurutnya, pengetahuan
hakiki yang dimiliki kaum sufi adalah al-ma’rifat, yaitu mengetahui Tuhan dari dekat sehingga
hati sanubari dapat melihat Tuhan. Ma’rifat hanya dimiliki kaum sufi, yaitu pengetahuan yang
diberikan Tuhan sehingga hatinya bercahaya penuh sinar.
22
Ajaran Abu Yazid al-Bisthami adalah al-fanâ’ wa al-baqâ’, yaitu penghancuran diri,
hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia dan yang tertinggal
adalah wujud ruhani yang telah menyatu dengan Tuhan.
23
Paham al-Hallaj adalah al-h}ulûl, yaitu bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah tidak ada lagi sifat-sifat kemanusiaan dalam
tubuh itu dan yang ada adalah sifat-sifat ketuhanan (lâhût).
24
Lihat bagaimana peran para sufi dan ahli tarekat sejak abad 13 dalam berjuang
membangun dan menyebarkan ajaran-ajaran Islam di penjuru dunia, termasuk peran mereka
dalam penyebaran Islam di Indonesia, dalam Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyyah
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), 15. Juga Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang
Islam di Indonesia Abad XIX, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 173.
25
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam,
1976), 217.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 101

gerakan Islam, tidak terkecuali gerakan dakwah kaum sufi. Para


sufi di Indonesia mempunyai hubungan sanad yang cukup kuat
dengan para ulama besar di belahan dunia lain. Oleh karena itu
bentuk tasawuf dan tarekat yang berkembang di Indonesia merupa-
kan kelanjutan dan perkembangan dari tasawuf dan tarekat yang
ada di wilayah lain di dunia Islam.

Ilmu Pengetahuan Alam


Ilmu pengetahuan alam atau eksakta mengalami perkembang-
an yang spektakuler dengan ditemukannya dasar-dasar eksakta bagi
peneliti berikutnya. Bahkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi Barat tidak lepas dari peran para saintis Muslim di masa
klasik. Di antara disiplin ilmu eksakta yang menonjol dikembangkan
saintis Muslim waktu itu adalah astronomi, fisika, kimia, kedokteran,
biologi, matematika, dan aljabar.
Tradisi intelektual Ptolemeus pada masa keemasan Alexandria
diteruskan oleh para intelektual Muslim. Karyanya yang monu-
mental, Almagest dalam sains dan astronomi menjadi penting untuk
dikembangkan oleh saintis Muslim karena sangat berguna bukan
saja untuk kepentingan pertanian, peternakan, atau pelayaran, tapi
juga berguna untuk kesempurnaan menjalankan ibadah, seperti
penentian arah kiblat, penentuan waktu shalat, penentuan kalender,
dan lain-lain. Sejalan dengan paham Islam tentang tauhid, maka
astronomi masuk ke dalam pemikiran saintis Muslim dengan mem-
bersihkan mitos-mitos pra Islam yang serba khurafat dan tahayul
yang sangat merusak akidah Islam. Muncul tokoh besar dalam
bidang astronomi seperti Ibnu al-Haitsam yang dikenal dengan
Alhazen dalam dunia Barat dan Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M/
606 H).
Kaum Muslimin berkenalan dengan ilmu kedokteran Yunani
di pusat pendidikan Nestorian dan Neoplatonis di Mesopotamia
Utara setelah terjadi penaklukan kaum Muslimin atas Kerajaan
Sasaniah di Persia. Kota Jundisahpur adalah pusat kajian ilmiah dan
praktik kedokteran yang berpengaruh. Karya-karya Galen, seorang
dokter peripatetik akhir abad kedua Masehi yang menafsirkan
kedokteran Yunani sejak zaman Hippocrates, diserap dan dikaji
dengan serius oleh saintis Muslim. Bahkan ilmu kedokteran dan
profesi sebagai dokter menjadi ilmu dan profesi bergengsi. Di
Baghdad pada masa al-Muqtadir (931 M/319 H) umpamanya,

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


102 Shobahussurur

pernah terdapat 869 dokter yang mengikuti ujian untuk mendapat-


kan izin praktik. Rumah sakit, sekolah kedokteran, dan poliklinik
dibangun besar-besaran sejalan dengan kemajuan ilmu tersebut.26
Di antara saintis bidang kedokteran adalah Muhammad bin Zakaria
al-Razi (865-925 M/251-313 H)27 dan Abu Ali al-Husein bin Sina (980-
1037 M/370-428 H).28
Perkembangan sains di bidang lain tidak kalah pesatnya. Ahli
kimia, Jabir bin Hayyan (721-815 M/103-200 H), dianggap sebagai
tokoh utama di bidang ini dengan karya utamanya Miah wa Itsnâ
‘Asyar Kitâb dan Sab’ata ‘Asyar Kitâb yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin. Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (w. 863
M/249 H) sangat terkenal di bidang matematika dengan karyanya
al-Jabr wa al-Muqâbalah (Aljabar).
Yang menarik dari para saintis Muslim tersebut adalah bahwa
rata-rata mereka tidak hanya menguasai satu bidang sains saja. Ibnu
Sina umpamanya, selain dikenal sebagai ahli kedokteran, juga ahli
di bidang filsafat, kimia, dan lain-lain. Ibnu al-Haitsam (Alhazen)
tidak hanya seorang ahli astronomi, tapi juga ahli di bidang optika,
matematika, dan filsafat. Hal itu barangkali karena pengaruh
kebebasan dalam Islam tentang dunia pendidikan waktu itu yang
tidak memilah-milah ilmu pengetahuan. Berbeda dengan pandang-
an pendidikan Islam umumnya di masa sekarang, hingga muncul
dualisme dalam pendidikan Islam yang antara satu dengan yang
lain seakan tidak berhubungan sama sekali, bahkan terkadang nyaris
berlawanan.

26
Ismail Raji al-Faruqi dan Lamya Faruqi, The Cultural…, 358-359.
27
Pada mulanya al-Razi lebih memfokuskan kajian bidang kimia kemudian
mengembangkannya ke bidang kedokteran hingga menjadi ahli kedokteran setingkat Ibnu
Sina. Karya medis yang terkenal adalah al-Hâwî yang memuat banyak hasil observasinya
sendiri di bidang kedokteran hingga berpengaruh bukan saja di dunia Islam tapi juga di dunia
Barat. Lihat Syed Hossein Nasr, Science…, 247.
28
Di antaranya karya terbesar Ibnu Sina di bidang kedokteran adalah Kitâb al-Qânûn fî
al-T}ibb, sebuah karya yang tidak saja ditransmisikan di dunia kedokteran Timur tapi juga ke
dunia Barat. Buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan sebutan Canon tersebut
diajarkan berabad-abad lamanya di beberapa perguruan tinggi Barat di masa Renaisans. Karya
lain adalah al-Syifâ’, karya ensiklopedia kedokteran yang berpengaruh. Nama-nama saintis
Barat seperti Roger Bacon, St. Thomas, Duns Scotus, Albertus Magnus, diduga kuat sedikit
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibnu Sina. Lihat Syed Hossein Nasr, Science…, 223.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 103

Filsafat dan Humaniora


Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tidak lepas dari
kebutuhan para ilmuwan Muslim ilmu-ilmu eksakta yang dipelajari.
Bagi mereka filsafat Yunani dengan alat-alatnya seperti dialektika,
sillogisme, logika, dan sebagainya, sangat membantu memecahkan
persoalan teoritis ilmu pengetahuan. Dari mulai usaha penerjemahan
karya-karya Aristoteles, Plato, Plotinus, dan lain-lain, pemikiran
filsafat kemudian dipahami, diolah, sehingga muncul corak baru
dengan ciri khas tersendiri sebagai filsafat Islam.
Di antara para filsuf terbesar Islam adalah al-Kindi.29 Minat
besarnya terhadap kajian filsafat menjadikan dirinya sebagai tokoh
pendiri filsafat peripetetik Islam. Nama besarnya disegani di dunia
Barat pada abad pertengahan hingga Renaisans. Dalam pandangan
al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan tentang yang benar. Agama dan
filsafat tidak saling bertentangan, karena keduanya bertujuan
mencari yang benar. Agama berdasar wahyu dan filsafat berdasar
akal. Yang Benar Pertama adalah Tuhan (al-H}aqq al-Awwal, The First
Truth). Filsafat tertinggi adalah filsafat ketuhanan.
Filsuf besar selanjutnya adalah al-Farabi (870-950 M/258-339
H). Filsuf yang lahir di daerah Farab, Transoxania, ini adalah seorang
komentator utama terhadap filsafat Aristoteles. Karya monumental-
nya tentang filsafat politik adalah al-Madînah al-Fâd}ilah, menjadi
rujukan para akademisi dan praktisi politik di kemudian hari. Dalam
hal filsafat ketuhanan, al-Farabi menemukan teori emanasi (al-faid}),
yang menjelaskan bagaimana yang banyak itu timbul dari yang satu.
Tuhan sebagai akal berpikir tentang diri-Nya dan dari pemikiran-
Nya itu timbul maujud lain. Maujud pertama berpikir tentang diri-
nya maka muncul maujud yang kedua dan begitu seterusnya.
Filsuf yang lain adalah Ibnu Sina. Dia menyempurnakan teori
emanasi al-Farabi. Ia juga memperdalam dan menambah secara lebih
detail teori spekulatif al-Farabi dalam logika, epistemologi, dan
metafisika.
Kemajuan di bidang humaniora terlihat dari kemajuan bidang
sastra, baik sastra Arab maupun Persia. Kasusastraan Arab tidak
dapat dilepaskan dari Islam. Sejak sebelum Islam, tradisi intelektual
Arab dapat dilihat dari karya-karya sastranya. Al-Qur’an diturunkan
dengan kandungan nilai sastra yang tinggi juga tidak lepas dari tradisi

29
Nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (801-873 M/185-260 H).

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


104 Shobahussurur

masyarakat itu. Oleh karenanya, minat mempelajari kesusastraan


Arab semakin tinggi dalam rangka mengkaji al-Qur’an. Sejalan
dengan perkembangan wilayah Islam, kota-kota pusat peradaban
juga meluas. Perkembangan seperti itu sedikit banyak mempenga-
ruhi kesusastraan Arab dari segi orisinalitas, serapan, dan asimilasi
bahasa-bahasa. Kekhawatiran akan rendahnya kualitas sastra akibat
benturan-benturan budaya tersebut, kajian sastra Arab semakin
digalakkan dalam rangka membuat formulasi baku bahasa Arab dari
segi tata bahasa, leksikologi, filsafat bahasa, dan lain sebagainya.
Munculnya tokoh bahasa terpenting seperti Sibawaih menunjukkan
adanya kemajuan di bidang ini.30
Kesusastraan Persia menjadi penting untuk dipelajari,
dipahami, dan dikembangkan karena pada saat itu ilmu-ilmu Yunani,
India, Cina, banyak ditulis dengan bahasa Persia dan harus
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.31 Selain kesusastraan, bidang
humaniora yang berkembang pesat adalah historiografi. Kesadaran
akan pentingnya makna sejarah menuntut kaum Muslimin me-
musatkan perhatiannya di bidang ini. Kesadaran untuk mengumpul-
kan sejarah tradisi Nabi SAW yang kemudian dikenal dengan al-
Sîrah al-Nabawiyyah merupakan cikal bakal historiografi Islam.
Kemajuan historiografi Islam mencapai puncaknya dengan
munculnya usaha menulis sejarah universal, yaitu periwayatan
sejarah dunia sejak masa penciptaan alam raya hingga masa penulis.
Biasanya, sejarah universal itu sebagai pengantar bagi sejarah Islam.
Tokoh yang melakukan ini antar lain, Ibnu Jarir al-Thabari (w. 928
M) dengan karyanya Târîkh al-Rusul wa al-Mulûk yang disingkat
dengan Târîkh al-T}abarî. Karya ini merekam sejarah manusia dari
pertama hidup di muka bumi hingga masa al-Thabari. Empat puluh
tahun lamanya ia menulis karya itu dan menghasilkan 150 volume
besar, namun hanya 15 volume yang dapat ditemukan.

Lembaga Pendidikan Zaman Klasik


Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat pada
zaman klasik sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tidak bisa
lepas dari peranan lembaga pendidikan, karena ia merupakan tempat
bagi proses belajar mengajar itu berlangsung. Maka kajian tentang

30
Majid Fakhri, A History…, 36.
31
Ahmad Amin, D}uh}â al-Islâm, 164-228.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 105

lembaga pendidikan yang menjadi sarana bagi berlangsungnya


transmisi ilmu pengetahuan menjadi sangat penting.
Banyak sekali lembaga pendidikan yang berperan menjadi
sarana pengembangan ilmu, antara lain: maktabah, kuttâb, h}alaqah,
observatorium, rumah sakit dan klinik, Dâr al-H}ikmah dan Dâr al-
‘Ilm, serta madrasah.
Maktabah (perpustakaan) mempunyai peranan penting dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan zaman klasik. Di kota-kota
seperti Baghdad, Kairo, Cordova, Masyhad, dan lain-lain, sejumlah
maktabah penuh dikunjungi oleh para ilmuwan, baik untuk mem-
baca di sana berjam-jam atau membeli buku-buku sebagai koleksi
perpustakaan pribadi. Besar kecilnya maktabah tergantung pada
kelengkapan koleksinya. Petugas maktabah tak segan-segan meng-
adakan perjalanan jauh untuk menambah koleksi maktabahnya.32
Kuttâb adalah lembaga pendidikan tingkat dasar yang sudah
ada sejak Nabi SAW. Biasanya dibuat di rumah guru atau di istana
untuk keluarga istana. Di dalam lembaga ini diajarkan baca tulis al-
Qur’an, diajarkan ilmu-imu agama, diajarkan pula seni berpidato,
etika dan estetika, sejarah, dan tradisi.33 Sejak abad ke-8 Masehi
diajarkan pula ilmu pengetahuan umum, ilmu sosial dan kebudaya-
an, untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
H}alaqah adalah lembaga pendidikan tingkat lanjutan setingkat
college, di mana seorang guru duduk dikelilingi para murid.
Kebanyakan diselenggaraka di masjid. Ada dua tipe h}alaqah, yaitu
h} a laqah di masjid jami’ dan h} a laqah di masjid non-jami’. Tipe
pertama atas biaya negara dan berada dalam pengawasan pemerintah
setempat. Di dalamya dikaji ilmu-ilmu agama secara umum pada
tingkat tinggi. Tipe kedua diselenggarakan di masjid kecil yang tidak
digunakan untuk salat Jum’at. Masjid-masjid itu biasanya eksklusif,
dibangun untuk jamaah mazhab tertentu. 34 Disiplin ilmu yang
diajarkan dalam h} alaqah tersebut meliputi ilmu-ilmu keislaman
(hadis, tafsir, fikih, ushul fikih, nahwu, sharf, dan sastra arab). Ilmu-
ilmu non-agama sedikit sekali diajarkan. Filsafat Yunani, sains, dan
humaniora sedikit sekali kalau tidak dikatakan tidak diminati oleh
masyarakat umum. Di masa Abbasiyah, abad ketiga Hijriah, ada

32
Mehdi Nakosteen, The History…, 64-65.
33
Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas Lembaga-lembaga
Pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994), 47.
34
Michael Stanton, Higher Learning…, 36.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


106 Shobahussurur

lebih dari 3000 masjid yang menyelenggarakan kajian dalam bentuk


h} a laqah. Pada abad ke-14 M ada 12.000 masjid di Alexandria.35
Masjid al-Mansyur di Baghdad mempunyai 40 h} alaqah. Masjid-
masjid itu menjadi pusat transmisi ilmu pengetahuan dari masa ke
masa. Di samping peran al-Haramayn itu sendiri, masjid-masjid
seperti al-Azhar, al-Hamra, Kairo, Damaskus, dan lain-lain menun-
jukkan peran luar biasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Observatorium adalah lembaga pusat pengembangan ilmu-
ilmu alam, terutama astronomi. Al-Makmun menempatkan al-
Khawarizmi sebagai peneliti khusus untuk menyusun kalender di
observatorium Bait al-H}ikmah. Para peneliti lain juga bekerja di
observatorium, seperti Ibnu Sina, Umar Khayam, dan lain-lain.
Observatorium yang terkenal adalah observatorium Maraghah di
Persia pada tahun 1261 M. Lembaga tersebut menyimpan berbagai
peralatan lengkap di bawah pengawasan al-Thusi. Di antara
perlengkapan itu seperti armillary spheres, solistial armilla, equinoctial
armilla, dan azimuth rings yang berfungsi penting dalam pemetaan
benda-benda langit. Observatorium itu dilengkapi pula dengan
perpustakaan dengan koleksi buku tidak kurang dari 400.000 buah
mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan.36
Rumah sakit dan klinik tidak saja berfungsi untuk merawat
dan menyembuhkan orang sakit, tapi juga berfungsi untuk
pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kedokteran.
Rumah sakit dan klinik dijadikan sebagai lembaga pendidikan tinggi
pada masa dinasti Bani Abbas dengan biaya dari kerajaan dan
masyarakat. Di lembaga ini para mahasiswa harus menguasai ilmu
kedokteran karya Hipocrates, Aphorism, Hunain bin Ishaq, al-Razi,
Tsabit bin Qurra’, Ibnu Sina, dan lain-lain. Di samping itu, mahasiswa
juga dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu keagamaan sehingga selain
mendapat gelar sarjana kedokteran, mereka mampu mengikuti
kajian-kajian, baik ilmu keagamaan atau ilmu kealaman di pusat-
pusat kajian.37
Dâr al-H}ikmah dan Dâr al-‘Ilm adalah lembaga-lembaga kajian
filsafat dan sains Yunani. Dimulai dengan proses penerjemahaan
besar-besaran kemudian dikembangkan hingga ditemukan teori-
teori baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Di lembaga-lembaga itu

35
Mehdi Nakosteen, The History, 63-64.
36
Michel Stanton, Higher Learning…, 171-172.
37
Ibid.,174-175.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 107

para cendekiawan dan ulama berkumpul untuk melakukan kajian-


kajian atas berbagai disiplin ilmu. Nama-nama besar seperti al-
Khawarizmi dengan teori logaritma dan ilmu falaknya, Abu Ja’far
dengan ilmu matematika dan logikanya, adalah para ahli dari
lembaga-lembaga tersebut. Lembaga-lembaga ini mengalami nasib
yang tragis, di mana pada kekuasaan Bani Saljuk, satu per satu mati.
Di Baghdad, Dâr al-H}ikmah mati digantikan madrasah-madrasah
Nidzamiyah. Di Mesir, Dâr al-‘Ilm mati digantikan madrasah-
madrasah al-Ayyubiyyah. Shalahuddin al-Ayyubi merobohkan Dâr
al-‘Ilm dan di tempat yang sama didirikan madrasah al-Syafi’iyyah.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan baru dikenal pada masa
Dinasti Saljuk menggantikan Dinasti Buwaihi (945-1055 M/344-447
H). Madrasah yang mula-mula didirikan adalah madrasah al-
Baihaqiyah oleh penduduk Naisabhur. Di antara madrasah yang
terkenal adalah madrasah Nidzamiyah di Baghdad yang didirikan
oleh Wazir Nizam al-Mulk tahun 457 H. Para ulama besar mengajar
di madrasah ini antara lain, Abu Ishaq al-Syirazi al-Fairuzzabadi,
pengarang kitab Tanbîh, kitab fikih mazhab Syafi’i. Juga Abu Hamid
al-Ghazali yang menjadi guru besar di madrasah tersebut.
Setelah berkuasanya Bani Saljuk yang Sunni menyingkirkan
Bani Buwaihi yang Syi’i, madrasah didirikan secara besar-besaran.
Para khalifah, wazir, sultan, orang-orang kaya berlomba-lomba
mendirikan madrasah. Di Mesir hingga abad ketujuh Hijriah berdiri
lebih dari 63 madrasah yang kebanyakan dibiayai dengan meng-
gunakan harta wakaf.38 Madrasah dibuat terutama untuk kajian
ilmu-ilmu agama dengan penekanan bidang fikih, hadis, dan tafsir.
Ilmu alam tidak mendapatkan porsi yang proporsional dalam
madrasah. Pada mulanya, madrasah biasanya dibangun untuk
kepentingan mazhab fikih tertentu dan terutama dalam rangka
melawan pengaruh Syi’ah yang dianggap sesat oleh Ahlusunnah.
Tapi belakangan, madrasah-madrasah tertentu juga mengajarkan
ilmu keaalaman. Khalifah al-Mustansyir (1226-1242 M/623-640 H)
mengangkat dokter ahli untuk mengajar para mahasiswa di
madrasah al-Mustansyiriyyah. Dokter dan para mahasiswa itu diberi
gaji dan beasiswa seperti yang diberikan kepada mereka yang
menekuni bidang fikih, hadis, dan tafsir.39
38
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Ibrahim Huseon,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 42.
39
Lihat Ahmad Syalabi, Târîkh al-Tarbiyah al-Islâmiyyah, (Kairo: al-Nahd}ah al-
Mis}riyyah, 1977), 108-109.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


108 Shobahussurur

Lembaga-lembaga tersebut di atas mempunyai peran penting


dalam proses transmisi ilmu pengetahuan masa klasik. Lembaga-
lembaga tersebut mengangkat ilmu pengetahuan Islam menjadi
sebuah peradaban Islam yang disegani di Barat. Namun karena
faktor-faktor politik, kekuasaan, kepentingan mazhab dan
kepentingan kelompok, tidak jarang lembaga-lembaga pendidikan
itu menjad korban. Pada masa Bani Saljuk umpamanya, dapat dilihat
bagaimana para penguasa itu mematikan lembaga-lembaga ilmu
pengetahuan hanya karena mempunyai paham keagamaan yang
berbeda. Sesuatu yang mestinya tidak boleh terjadi dalam
membangun peradaban Islam yang agung.

Proses Transmisi Ilmu Pengetahuan


Perkembangan ilmu pengetahuan yang spektakuler melalui
lembaga-lembaga sebagaimana disebutkan di atas mengundang
pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya. Bagaimana proses
transmisi ilmu pengetahuan itu berlangsung sehingga peradaban
Islam berkembang dengan pesat.
Ilmu pengetahuan pada awalnya terkonsentrasi pada pribadi-
pribadi guru. Para murid datang dari berbagai penjuru melakukan
rih} l ah ‘ilmiyyah kepada syeikh tertentu untuk menimba ilmu
pengetahuan yang diinginkan. Para guru memiliki spesialisasi ilmu
tertentu. Dari para ahli itu para murid menimba ilmu, memahami,
dan menguasainya. Proses transmisi pada awalnya lebih bersifat guru
minded (teacher centered). Murid yang dianggap oleh guru telah
menguasai bidang pelajaran tertentu diberi ijazah (sertifikat) dari
dan atas nama sang guru, bukan dari lembaga seperti sekarang.
Ketokohan sang guru lebih penting dari lembaga di mana dia
mengajar. Mayoritas para ulama terkenal adalah produk proses
belajar mengajar secara pribadi antar guru dan murid.
Ada dua cara transmisi ilmu pengetahuan yang utama, yaitu
secara oral dan secara tulisan. Metode oral dilakukan dengan cara
guru membaca teks yang dipelajari, memberi keterangan atas poin-
poin penting, sementara murid mendengarkan, atau dengan cara
al-qirâ’ah ‘alâ al-syaikh, guru meminta murid membaca teks, guru
mendengarkan kemudian mengoreksi bacaan yang salah.40 Setelah

40
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), 84. Juga Jonathan Berkley, The
Transmission of Knowledge in Medieval Cairo: A Social History of Islamic Education, (Cambridge:
Harvard University Press, 1992), 24.

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 109

itu murid dipersilahkan untuk menanyakan hal-hal yang belum


dipahami dari apa yang dibaca, atau sang guru bertanya (mengada-
kan ulangan) kepada murid seberapa jauh pemahamannya terhadap
apa yang dibaca. Terjadilah diskusi serius (munâz} a rah atau
munâqasyah), antara guru dan murid dengan argumen-argumen
yang dimiliki. Tradisi ini penting bagi murid di kemudian hari karena
mendidiknya untuk berargumentasi dengan nalar kuat dan dalil-
dalil akurat.41
Metode tulisan dilakukan dengan cara pencatatan atau penyali-
nan teks yang didiktekan oleh syeikh. Proses ini penting karena tidak
ada teknologi percetakan yang menggandakan tulisan dalam bentuk
fotokopi atau percetakan. Buku-buku sangat mahal dan langka,
itupun ditulis secara manual dengan tangan yang belakangan dikenal
dengan manuskrip. Peserta didik tidak gampang dapat memiliki
buku yang dimiliki guru. Oleh karenanya menyalin adalah solusi.
Dua metode itu yang biasa dilakukan dalam proses belajar
mengajar antara guru dan murid. Keduanya dipraktikkan melalui
bentuk-bentuk, antara lain:42
1. Kontak langsung dalam majelis; semua murid dengan berbagai
kemampuannya menghadiri h} a laqah, menyimak apa yang
diterangkan oleh sang guru (syaikh), kemudian diakhiri dengan
pertanyaan-pertanyaan atau komentar sekadarnya atas per-
masalahan yang belum jelas.
2. Kontak langsung secara pribadi antara guru dan murid di luar
majelis dengan sangat intensif. Proses semacam ini sangat efektif
dan sangat berhasil dalam proses transmisi. Proses seperti ini
biasanya hanya dilakukan oleh seorang murid yang ingin me-
ngambil spesialisasi khusus kepada guru yang ahli dibidangnya.
3. Murid dibantu al-Mu’îd (asisten guru) dalam menjelaskan kajian
yang dianggap sulit oleh murid. Praktik ini biasanya dilakukan
di luar majelis. Peran al-Mu’îd menjadi penting karena tidak
semua penjelasan syeikh langsung dapat ditangkap oleh murid.
4. Belajar bersama antara murid di luar h} a laqah atau majelis
(mudhâkarah), semacam kegiatan muwâjahah dalam pendidikan
pesantren atau study club di sekolah-sekolah sekarang. Kegiatan
ini sangat efektif dilakukan oleh para murid karena mereka dapat

41
Hasan Abd al-‘A’la, al-Tarbiyah al-Islâmiyyah fi> al-Qarn al-Râbi’ al-Hijrî, (Kairo:
Dâr al-Fikr al-‘Arabî, T.Th.), 154.
42
Jonathan Berkley, The Transmission…, 21; Ahmad Syalabi, Târîkh…, 230.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


110 Shobahussurur

saling mendiskusikan pelajaran yang telah diajarkan oleh guru,


bahkan mereka dapat mengembangkannya dengan temuan
pikiran baru.
5. Murid belajar sendiri (self study), untuk memahami pelajaran.
Murid membaca sendiri bidang pelajaran yang ingin ditekuni,
berusaha menghafal dan memahaminya. Pada akhirnya murid
menghadap guru tertentu sesuai dengan bidang pelajaran yang
habis dibaca diminta diuji sejauh mana pamahamannya terhadap
teks yang dibaca.
Keberhasilan proses transmisi ilmu pengetahuan tidak lepas
dari peran penguasa pada waktu itu yang turut mendukung, mem-
biayai dan membina proses transmisi. Sebut saja khalifah al-
Makmun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dengan
semangatnya membangun Dâr al-H}ikmah dan Dâr al-‘Ilm, Wazir
Nizam al-Mulk mengembangkan lembaga-lembaga yang disebut
madrasah. Mereka mengelola sumber-sumber pendanaan pendidik-
an dengan baik, berupa pendayagunaan zakat, infak, sedekah, wakaf,
dan sumber-sumber pendanaan lain. Pengelolaan pendidikan tidak
saja diserahkan kepada lembaga, guru, murid atau walinya, tapi
mendapat perhatian besar dari penguasa.

Penutup
Kemajuan ilmu pengetahuan Islam masa klasik mengantarkan
umat Islam mencapai puncak kejayaannya. Pengaruhnya tidak saja
bagi umat Islam itu sendiri, tetapi bagi umat manusia seluruhnya
(rah}matan li al-‘âlamîn) dalam rangka membangun bangunan per-
adaban manusia yang kokoh, sophisticated, dan beradab. Renaisans
Barat sejak abad ke 14 M terjadi tidak lepas dari peran peradaban
saat itu.43 Kota-kota ilmu pengetahuan penting seperti Baghdad,
Kairo, Cordova, ramai dikunjungi oleh para mahasiswa yang ingin
menimba ilmu bukan saja dari dunia Islam tapi dari daratan Eropa.
Dalam rangka proses transmisi ilmu pengetahuan, lembaga
pendidikan didirikan. Pada mulanya bahkan proses transmisi itu
tidak melalui lembaga tapi melalui pribadi guru. Semangatnya adalah
bagaimana ilmu pengetahuan itu dapat ditransmisikan. Oleh karena-
nya, sangat naif bila lembaga pendidikan didirikan tetapi tidak mam-
pu berfungsi sebagai lembaga pengembang ilmu pengetahuan.
Metode transmisi ilmu pengetahuan harus dikembangkan sedemi-
kian rupa sehingga lembaga pendidikan benar-benar menjadi agent

Jurnal TSAQAFAH
Lembaga Pendidikan dalam Khazanah Klasik 111

of change (agen perubahan) bagi kemajuan peradaban Islam.


Ilmu pengetahuan pada masa kejayaan Islam tidak pernah
dikotak-kotakkan menjadi bagian-bagian, kemudian menganggap
ilmu tertentu penting dan ilmu yang lain tidak berguna. Perhatian
para ulama terhadap ilmu-ilmu profane (filsafat, eksakta, dan
humaniora) sama besarnya dengan perhatian mereka terhadap ilmu-
ilmu keislaman. Namun ilmu dan peradaban Islam menjadi redup
sejalan dengan pola pikir yang berubah, di mana ilmu-ilmu
keislaman dijadikan sebagai paling dominan, sementara ilmu-ilmu
profane menjadi ilmu pinggiran.[]

Daftar Pustaka
Abd al-‘A’la, Hasan. T.Th. al-Tarbiyah al-Islâmiyyah fî al-Qarn al-
Râbi’ al-Hijrî. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî.
Abu Syuhbah, Muhammad. 1969. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-
S}ih}h}ah al-Sittah. Kairo: Silsilah al-Buh}ûts al-‘Ilmiyyah.
Al-Asy’ari, Abu Hasan. 1955. Kitâb al-Luma’ fi> al-Radd ‘alâ Ahl al-
Ziyagh wa al-Bida’. Kairo: Mat}ba’ah al-Mu’înah.
Amin, Ahmad. 1933. D}uh}â al-Islâm. Kairo:Maktab al-Nahd}ah al-
Mis}riyyah.
______. 1968. Fajr al-Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam; Kajian atas
Lembaga-lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan.
Berkley, Jonathan. 1992. The Transmission of Knowledge in Medieval
Cairo: A Social History of Islamic Education. Cambridge: Harvard
University Press.
Bruinessen, Martin Van. 1992. Tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Fahmi, Asma Hasan. 1979. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Terj.
Ibrahim Huseon. Jakarta: Bulan Bintang.
Fakhri, Majid. 1983. A History of Islamic Philosophy. Columbia
University Press.
Al-Faruqi, Ismail Raji., dan Faruqi, Lamya. 1982. The Cultural Atlas
of Islam. New York: MacMillan.
Hamka. 1976. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta:
Yayasan Nurul Islam.
Hitti, Philip K. 1974. History of The Arabs. London: Mac Millan Press.

43
Bahasan lebih lanjut tentang kontribusi Islam terhadap Barat lihat Montgomery Watt,
The Influence of Islam on Medieval Europe, (Edinburgh: Edinburgh Unversity Press, 1994).

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


112 Shobahussurur

Khallaf, Abdul Wahhab. 1970. Târi>kh al-Tasyrî’ al-Islâmi. Kairo: Da>r


al-Qalam.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Nakosteen, Mehdi. 1964. The History of Islamic Origins of Western
Education A. D. 800-1350; with an Intruction to Medieval Muslim
Education. Colorado: University of Coloroda Press, Boulder.
Nasr, Syed Hossein. 1968. Science and Civilization in Islam. Harvard
University Press.
_____. 1986. Science and Civilization in Islam, Terj. Mahyudin.
Bandung: Pustaka.
Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:
UI Press.
Al-Qaththan, Manna’. 1989. Tasyrî’ al-Fiqh al-Islâmi. Kairo: Dâr al-
Ma’ârif.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam. Bandung: Pustaka.
Sharif, M.M. 1963. A History of Muslim Philosophy. Wiesbaden: Otto
Harroswitz.
Stanton, Charles Michael. 1994. Higher Learning in Islam The Classical
Period A. D. 700-1300, Terj. Afandi. Jakarta: Logos Publishing
House.
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad XIX. Jakarta: Bulan Bintang.
Syalabi, Ahmad. 1977. Târîkh al-Tarbiyah al-Islâmiyyah. Kairo: al-
Nahd}ah al-Mis}riyyah.
Al-Syahrastani. 1980. al-Milal wa al-Nih}al, Jilid 1. Beirut: Dâr al-
Ma’ârif.
Watt, Montgomery. 1994. The Influence of Islam on Medieval Europe.
Edinburgh: Edinburgh Unversity Press.
Yaqub, Ali Mustafa. 1991. Imam Bukhari dan Metodologi Kritik Hadis.
Jakarta: Pustaka Firdaus.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru:
Membaca Pemikiran Said Nursi
Akhmad Rizqon Khamami*
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Tulungagung
Email: rizqonkham@yahoo.com

Abstract
There are three models of approaches to modernity that was born in
the West; 1) accepting it by taken for granted, 2) rejecting it, and 3) trying to
find a new alternative in addition to the Western civilization with the spirit of
re-establishing the practice of ijtihad, erasing taklid, and returning to al-Quran
and al-Sunnah. This article discussed the idea of Said Nursi in the reconciliation
of science and Islam. It offered an epistemological approach that integrates
Islam and science. The author attempted to break the academic problem and
borrowed Ian Barbour’s approach. Four reactions that occur as a result of the
encounter of science and religion: conflict, independence, dialogue, and
integration. The theory states that the first step to make the integration go
smoothly is removing science from materialist philosophy. This step is performed
by Nursi. Nursi built a new epistemology as an offer to the condition of
Muslims, who at that time should redevelop the civilization which was left
behind by European nations. Nursi reconciled Islam and science towards
integrity. Nursi was against Materialism for the first step. Secondly, he put the
al-Qur’an as the highest source of science. By making the method of science
under the principles and worldview of the al-Qur’an, it can change the modern
scientific understanding of the universe to be in accordance with the description
of the al-Qur’an.

Keywords: Said Nursi, Science, Epistemology, Revelation, Rational

*
Fakultas Ushuluddin IAIN Tulungagung, Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung,
Jawa Timur 662211. Telp. (0355) 321513.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


52 Akhmad Rizqon Khamami

Abstrak
Terdapat tiga model pendekatan umat Islam terhadap modernitas yang
dilahirkan masyarakat Barat; 1) menerima modernitas tersebut mentah-mentah,
2) menolaknya, dan 3) berusaha menemukan alternatif baru selain peradaban
Barat dengan semangat menegakkan kembali praktik ijtihad, menghapus taklid,
serta kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah. Artikel ini membahas ide Said Nursi
pada rekonsiliasi sains dan Islam. Ia menawarkan sebuah pendekatan
epistemologis yang mengintegrasikan Islam dan ilmu pengetahuan. Penulis
berusaha mengupas kegelisahan akademik tersebut dengan meminjam
pendekatan yang ditawarkan oleh Ian Barbour, yaitu empat reaksi yang timbul
sebagai akibat perjumpaan sains dan agama: konflik, independensi, dialog, dan
integrasi. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa jika integrasi ingin berjalan
dengan mulus, langkah pertama adalah menyingkirkan filsafat Materialisme dari
sains. Langkah ini dilakukan oleh Nursi. Nursi membangun epistemologi baru
sebagai tawaran untuk kondisi umat Islam yang pada masa itu harus
mengembangkan kembali peradaban yang tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa.
Nursi merekonsiliasi Islam dan sains menuju integritas. Sebagai langkah pertama,
Nursi menentang Materialisme. Kedua, menempatkan al-Qur’an sebagai sumber
ilmu tertinggi. Dengan menjadikan metode sains tunduk pada prinsip dan cara
pandang al-Qur’an maka dapat mengubah pemahaman sains modern atas alam
semesta menjadi lebih sesuai dengan deskripsi al-Qur’an.

Kata Kunci: Said Nursi, Sains, Epistemologi, Wahyu, Rasional

Pendahuluan

P
erjumpaan dunia Islam dengan peradaban Barat pada abad
ke-19, terutama dengan masuknya Perancis ke Mesir dan ber-
kuasanya kolonialisme Inggris di India, menyadarkan umat
Islam akan kemunduran yang menimpa dunia Islam, dan selanjut-
nya melahirkan tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-
Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
Perjumpaan dua peradaban ini melahirkan perdebatan serius di
kalangan intelektual Muslim, terutama persoalan hubungan antara
Islam dan sains, serta cara merengkuh modernitas.
Sebagai reaksi atas perdebatan tersebut muncul tiga kubu: ke-
lompok revivalis yang menolak westernisasi dan modernisasi sekali-
gus, kelompok modernis ekstrem yang melakukan modernisasi dan

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 53

menerima westernisasi, dan kelompok modernis yang menerima


modernisasi namun menolak westernisasi. Adapun kelompok
pertama menyeru untuk kembali pada ajaran Islam murni seperti
zaman Nabi Muhammad dan peradaban awal Islam dengan mem-
buang seluruh pengaruh kultur dari luar meskipun dalam kajian
Boullata tersingkap bahwa kelompok revivalis ini ternyata tidak
menolak sains. Mereka justru beranggapan bahwa sains modern
merupakan kelanjutan dari peradaban di masa kejayaan Islam di
era sebelumnya.1 Sedangkan kelompok modernis ekstrem dipraktik-
kan oleh Kemal Ataturk dengan proyek Republik Turki-nya yang
meniru sepenuhnya peradaban Barat.2 Adapun Islam modernis,
sebagai kubu ketiga, berada di tengah dua suara tersebut. Kelompok
ini berusaha menemukan alternatif baru selain peradaban Barat
dengan semangat menegakkan kembali praktik ijtihad, menghapus
taklid, serta kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah (rujû’ ila al-Qur’ân
wa al-sunnah).
Bagi sebagian orang, pendidikan model Eropa dianggap sebagai
kunci untuk mencapai kemajuan peradaban seperti Barat.3 Sekolah
berkurikulum Eropa muncul beriringan dengan sistem pendidikan
madrasah yang telah ada sejak dulu. Madrasah memberi pendidikan
agama kepada masyarakat, sedangkan sekolah bergaya Eropa untuk
kelompok elit.4 Persaingan kedua model pendidikan ini menimbul-
kan kesenjangan kultural antara lulusan madrasah yang berorientasi
tradisional dengan lulusan sekolah berkurikulum Barat yang
berorientasi modern. Kesenjangan ini disebut oleh ilmuwan sebagai
krisis peradaban. 5 Pertanyaan yang timbul dalam membaca
fenomena ini, bagaimana reaksi intelektual Muslim?
Reaksi intelektual Muslim beragam, dan dalam tulisan ini
dibatasi pada reaksi seorang ulama dan pemikir Turki, yaitu Said

1
Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Thought, (Albany: SUNY Press,
1990), 4.
2
Christopher A. Furlow, “The Islamization of Knowledge: Philosophy, Legitimation,
and Politics”, dalam Social Epistemology, Vol. 10, No. 3&4 (1996), 259-271.
3
Seteney Shami, “Socio-cultural Anthropology in Arab Universities”, dalam Current
Anthropolog, Vol. 30, No. 5 (Desember 1989), 649-654.
4
Mahmud A. Faksh, “The Consequences of the Introduction and Spread of Modern
Education: Education and National Integration in Egypt”, dalam Middle East Studies, Vol. 16,
No. 2 (1990), 42-55.
5
Lihat, R. Hrair Dekmejian, “The Anatomy of Islamic Revival: Legitimacy Crisis,
Ethnic Conflict and the Search for Islamic Alternatives”, dalam Middle East Journal, Vol. 34,
No. 1 (Winter 1980), 1-12.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


54 Akhmad Rizqon Khamami

Nursi (1877-1960). Dalam pandangan Nursi, integrasi sains dan Islam


adalah obat untuk krisis peradaban tersebut. Pertanyaan menggelitik
yang muncul selanjutnya, bagaimana cara Said Nursi menyelesaikan
problem integrasi tersebut, terutama problem epistemologi yang
memisahkan sains dan agama? Pertanyaan inilah yang menjadi dasar
kajian dalam tulisan ini. Penulis berusaha mengupas kegelisahan
akademik tersebut dengan meminjam pendekatan yang ditawarkan
oleh Ian Barbour, yaitu empat reaksi yang timbul sebagai akibat
perjumpaan sains dan agama: konflik, independensi, dialog, dan
integrasi. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa jika integrasi ingin
berjalan dengan mulus, langkah pertama adalah menyingkirkan
filsafat Materialisme dari sains. Langkah ini dilakukan oleh Nursi.

Rekonsialiasi Sains dan Islam


Sebelum Hamid Algar menerjemahkan buku-buku Nursi ke
dalam bahasa Inggris sejak tahun 1979 dan memperkenalkan sosok
Nursi melalui berbagai publikasi,6 para intelektual Barat hampir tidak
mengenal sosok Nursi. Saat ini, di samping publikasi Algar tersebut,
ketertarikan ilmuwan pada Nursi dipicu munculnya fenomena
gerakan sosial keagamaan yang dikenal sebagai gerakan Nurcu
(pengikut Nursi) di panggung nasional Turki maupun di pentas
global sejak tahun 80-an. Sampai-sampai jurnal bergengsi dalam
kajian keislaman, The Muslim World, pada edisi vol. LXXXIX, no. 3-
4, Juli-Oktober 1999, mengangkat topik Said Nursi yang mengupas
dari berbagai aspek kajian. Salah satu cabang Nurcu yang fenomenal
adalah Gulen Movement yang memiliki ribuan pengikut, membuka
lembaga pendidikan di seantero dunia dengan penekanan pada
pengajaran sains, serta menjadi gerakan sosial yang disegani di pentas
politik Turki. Di Indonesia telah berdiri sejumlah sekolah Gulen, di
antaranya: Pribadi di Depok dan di Bandung, Kharisma Bangsa di
Tangerang, Semesta di Semarang, Hati di Probolinggo, dan dua
sekolah Gulen lainnya di Aceh.
Nursi adalah sosok pemikir Islam Turki yang berusaha
merekonsiliasi sains dan Islam, serta membangun teori rekonsiliasi

6
Salah satu artikel Hamid Algar menempatkan sosok Said Nursi sebagai salah satu
pemikir modernis abad 20 yang menarik untuk dikaji. Lihat, Hamid Algar, “The Centennial
Renewer: Bediuzzaman Said Nursi and the Tradition of Tajdid,” dalam Journal of Islamic
Studies, Vol. 12, No. 3, September 2001, 291-311.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 55

tersebut. Said Nursi masuk dalam kategori pemikir era modern


seperti halnya Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, dan Jamal
al-Din al-Afghani. Ia memperlihatkan diri sebagai pemegang tongkat
estafet pembaharuan Islam tokoh-tokoh tersebut. Nursi meyakini
bahwa kemajuan sains adalah faktor utama keunggulan peradaban
Eropa. Jika umat Islam ingin menyusul Barat, maka pilihan utama-
nya tidak lain adalah mengembangkan sains. Modernisasi, lanjut
Nursi, tidak dapat dihindari. Pendidikan di dunia Islam harus meng-
ajarkan sains. Untuk itu Nursi pernah bermimpi akan mengem-
bangkan model pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan
Islam dengan sains, Medresse-ul Zahra.
Meskipun Nursi ingin memodernkan pendidikan Islam, tetapi
ia bersikap kritis terhadap peradaban Barat. Nursi melihat penetrasi
sains ke tengah masyarakat Ottoman pada era Tanzimat (reformasi)
selama rentang tahun 1839 hingga 1876 justru menyuburkan filsafat
Materialisme. Sains berkontribusi pada penyebaran paham ini ke
tengah masyarakat. Karena itu, ia ingin mengembangkan pembaruan
sains yang cocok bagi masyarakat Muslim. Perhatian utama Nursi
adalah memperjelas benang merah hubungan sains dan Islam.
Meski ia mengagumi kemajuan sains Barat sebagaimana halnya
al-Afghani, menariknya Nursi tidak mengikuti pendekatan yang
dilakukan oleh al-Afghani. Ia mengambil jalan berbeda. Menurut
Nursi, ilmu-ilmu Islam, ilim, lebih unggul dibanding ilmu Barat.
Melalui penggunaan metodologi sains modern ia berusaha “me-
nemukan” Tuhan. Nursi bahkan berpendapat bahwa sebuah
pengetahuan dapat diterima meski berasal dari intuisi, bukan hanya
indra (empiris) yang selama ini menjadi dasar epistemologi Barat.
Kebenaran intuisi ini, lanjut Nursi, lebih kuat dibanding kebenaran
parsial sains materialis yang bergantung pada indra. Pengalaman
indra, demikian ungkap Nursi, bisa saja keliru.7
Dari sudut epistemologi, Nursi berada di tengah persinggung-
an antara sains materialis, formalisme kering ulama, dan sufisme.
Rekonsiliasi sains dan Islam ia lakukan dengan mengintegrasikan
pandangan sufi ke dalamnya. Integrasi ini untuk menjawab tantang-
an pengikut filsafat Materialisme sains yang menyerang agama dan
menolak Tuhan. Syarat pertama yang harus dilakukan adalah
dengan menyesuaikan integrasi tersebut dengan bahasa dan
7
Imtiyaz Yusuf, “Bediuzzaman Said Nursi’s Discourse on Beliefe in Allah: A Study
of Texts from Risale-i Nur Collection”, dalam The Muslim World, 89, 1999, 347.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


56 Akhmad Rizqon Khamami

pemahaman masyarakat modern. Islam harus memasukkan temuan


sains ke dalam penafsiran agama, bukan menolaknya. 8 Nursi
mengakui sains bisa menjadi sumber kebenaran. Namun menem-
patkan sains di bawah payung Islam akan semakin mengokohkan
sains. Ketika kita membaca alam fisik, cara pandang kita harus
dibungkus dengan konsep ketuhanan. Nursi berkesimpulan bahwa
sains dan Islam tidak berkonflik.9 Penghalang pertama integrasi ini
adalah masuknya filsafat Materialisme ke dalam metode sains.10
Karena itu ia menyerang filsafat Materialisme. Cara ini sejalan dengan
teori Ian Barbour bahwa integrasi bisa dilakukan jika filsafat
Materialisme dihilangkan.

Kritik terhadap Materialisme


Serangan Nursi terhadap filsafat Materialisme ini tidak lepas
dari maraknya filsafat Materialisme di seantero Kesultanan Ottoman.
Beberapa intelektual terkemuka Ottoman merupakan pengikut
Materialisme ini, antara lain adalah Besir Fuad, Baha Tevfik, dan
Abdullah Cevdet—untuk menyebut beberapa nama saja. Musuh
Nursi bukanlah aliran filsafat ketuhanan deisme, tetapi “Materialisme
Vulgar”11 Jerman yang didengungkan oleh tokoh seperti Karl Vogt
(1817-1895) dan Ludwig Buchner (1824-1899).12 Kedua orang ini
bukan hanya filsuf dalam pengertian umum, mereka juga dikenal
sebagai ilmuwan dalam bidang ilmu alam. Filsafat Materialisme
menegaskan bahwa Tuhan, malaikat, dan seluruh hal gaib yang tidak
bisa dibuktikan secara indra dan tidak berwujud materi maka
dianggap tidak ada. Di Eropa, Materialisme Vulgar tidak berumur

8
Ibrahim Abu-Rabi, “Editor’s Introduction”, dalam Islam at the Crossroads: On the Life
and Thought of Bediuzzaman Said Nursi. Edited by Ibrahim M. Abu-Rabi’, (Albany: State
University of New York Press, 2003), x.
9
Serif Mardin, Religion and Social Change in Modern Turkey: The Case of Bediuzzaman
Said Nursi, (Albany, NY: State University of New York Press, 1989), 81.
10
Lihat, Ian G. Barbour, When Science Meets Religion, (New York: Harper Collins
Publishers, 2000).
11
Karl Marx membuat istilah ‘Vulgar Materialist’ yang digagas oleh Ludwig Feuerbach
(seperti Karl Vogt, Ludwig Buchner, dan Jacob Moleschott) untuk membedakan dengan
‘Materialisme Historis’ yang ia sendiri gagas. Untuk lebih detil, lihat Karl Marx dan Friedrich
Engels, On Religion, (New York: Schocken Books, 1964), 231.
12
Lihat, M. Sait Ozervarli, “Transfering Traditional Islamic Disciplines into Modern
Social Sciences in Late Ottoman Thought: The Attempt of Ziya Gokalp and Mehmed
Serafeddin”, dalam The Muslim World , Vol. 97, April 2007, 317-330.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 57

panjang. Selain Nietczhe, pengkritik aliran filsafat ini bermunculan.


Salah satunya adalah kelompok neo-Kantian. Serangan kelompok
neo-Kantians seperti Julius Frauenstadt (1813-1879) berakibat pada
pudarnya pengaruh Materialisme Vulgar di Jerman dan di Eropa
pada akhir abad-19. Anehnya, filsafat ini justru menjadi tren di
kalangan intelektual Ottoman bahkan di kemudian hari diadopsi
oleh Kemal Ataturk dalam menggerakkan Turki Modern.13
Meskipun secara sekilas kritikan Nursi terhadap filsafat
Materialisme tampak memiliki kemiripan dengan neo-Kantian,
namun kritik Nursi sesungguhnya memiliki perbedaan yang cukup
mendasar. Nursi berpandangan bahwa Materialisme Vulgar memiliki
pemahaman yang salah terhadap alam. Kesalahan kelompok
Materialisme terletak pada konseptualisasi mereka tentang alam
yang dianggap sebagai sebuah sistem tertutup yang berjalan dengan
sendirinya (self-sustaining). Sedangkan dalam pandangan Nursi,
semua fenomena alam, selain memiliki makna fisik yang immanen
(makna ismi) yang terkait dengan hukum alam yang menyebab-
kannya, juga memiliki makna yang transenden (makna h}arfi) yang
merujuk pada Sang Pencipta hukum alam itu sendiri, yaitu Tuhan.
Pengikut Materialisme mengabaikan penafsiran transenden dengan
melebih-lebihkan karakter alam yang tidak membutuhkan Tuhan.
Karena itu Nursi menganggap epistemologi filsafat Materialisme
tidak pernah dapat diakomodasi dalam Islam.14 Bahkan kelak ketika
memasuki fase ‘New Said’,15 Nursi tidak saja bersikap kritis terhadap
Materialisme, namun ia pada akhirnya tidak lagi bersikap kooperatif
dengan nilai-nilai Saintisme.16
Nursi membedakan antara sains materialis dan sains murni.
Materialisme tidak dapat direkonsiliasi dengan Islam, sedang temuan
sains murni dapat diserap. Menurut Nursi, alam semesta dan al-

13
M. Sukru Hanioglu, “Blueprints for a Future Society: Late Ottoman Materialists
on Science, Religion, and Art”, dalam Late Ottoman Society: The Intellectual Legacy, (ed.),
Elisabeth Ozdalga, (Abingdon: RoutledgeCurzon, 2005), 28-116.
14
Sukran Vahide, “Toward an Intellectual Biography of Said Nursi.” dalam Islam at
the Crossroads…, 3.
15
Dalam uraiannya, Sujiat Zubaidi, mengklasifikasikan fase kehidupan Said Nursi
dalam tiga rumusan masa sesuai dengan karakteristik dan corak pemikirannya: fase pertama,
Nursi Harakiy; kedua, Nursi Tarbawiy; dan ketiga Nursi al-Zahid, lihat selengkapnya dalam
Sujiat Zubaidi, Tafsir Kontemporer Bediuzzaman Said Nursi dalam Risale-i Nur, Studi Konstruk
Epistemologi, Disertasi Doktor di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, (Tidak
Diterbitkan), 138-148.
16
Saintisme adalah sikap menganggap sains sebagai sesuatu yang paling benar.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


58 Akhmad Rizqon Khamami

Qur’an adalah wahyu. Sedangkan metode materialistik yang men-


dapatkan pengetahuan tentang alam fisik dengan tidak mempertim-
bangkan fondasi metafisika merupakan sumber penolakan terhadap
agama. Penolakan kelompok materialis ini menyebabkan ketidak-
sesuaian antara sains dan al-Qur’an.
Al-Qur ’an hadir sebagai wahyu dalam bentuk tertulis,
sedangkan alam semesta adalah ayat-ayat wahyu dalam bentuk fisik.
Karena itu mempelajari alam tidak bertentangan dengan keimanan,
bahkan justru memperkuat. Nursi mengkonstruksi hubungan
refleksif dan interdependen antara al-Qur’an dan fenomena alam.
Ayat-ayat yang tampak tidak sesuai dengan fakta sains, atau tidak
dapat ditangkap oleh akal manusia, sejatinya menunggu untuk
ditafsirkan sesuai dengan alam.
Dunia yang diciptakan Tuhan ini, Nursi menganggap sebagai
“kitab alam semesta”, manifestasi al-Qur’an dalam bentuk fisik. Ia
menekankan pentingnya dunia spiritual, “mengislamkan” apa yang
hingga kini dipahami oleh kelompok materialis sebagai sesuatu yang
ada dengan sendirinya dengan menempatkan Tuhan sebagai pen-
cipta. Dengan demikian, ketika Nursi memberikan warna spiritual
pada dunia fisik ini, maka berarti ia meluruskan penyimpangan
saintis yang tidak ingin dibatasi oleh wahyu dalam menggunakan
rasio. Nursi tidak ragu dengan persesuaian antara Islam dan kemaju-
an dunia materi. Ia justru membuktikan bahwa al-Qur’an menjadi
basis kemajuan teknologi dan sains. Islam meneguhkan al-Qur’an
sebagai kitab normatif yang sesuai dengan kemajuan manusia.
Hubungan reflektif antara al-Qur’an dan alam semesta me-
miliki arti bahwa keduanya saling terkorespondensi. Nursi menegas-
kan bahwa korespondensi antara alam semesta dan al-Qur’an bersifat
alamiah. Korespondensi ini muncul sebagai jawaban ketika dunia
Islam sedang dikepung oleh perseteruan epistemologi antara metode
objektif rasionalis yang dipakai kalangan filsuf dan metode esoterik
subjektif oleh pengikut Sufisme. Kalangan sufi memperoleh ilmu
dengan ‘hati’ (intuisi). Sedangkan para filsuf menggunakan logika
induktif dan observasi indra dengan kecenderungan mengagungkan
aspek material dan mengorbankan dimensi metafisik. Untuk
mendamaikan dua pendekatan intelektual ini—menyatukan hati dan
rasio—diperlukan panduan al-Qur’an. Menemukan titik korespon-

17
Serif Mardin, Religion and Social Change, 80.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 59

densi antara wahyu dan aspek pengamatan (empiris) merupakan


hal krusial. Nursi menegaskan, jika pengetahuan tidak memiliki
wawasan hati, maka itu adalah kebodohan.17
Nursi tidak menggantungkan hanya pada perhitungan rasional
yang didasarkan pada spekulasi semata, tetapi juga logika deduktif
yang didasarkan pada bukti-bukti empiris dan observasi. Episte-
mologi Nursi adalah gabungan antara logika deduktif, observasi kon-
templatif, dan pemikiran analogis yang dipandu oleh al-Qur’an. Ia
membedakan antara makna nominal benda sebagai materi yang
wujud (makna ismi), dan makna indikatif di mana benda sebagai
tanda dan manifestasi Tuhan (makna h}arfi). Metodologi ini meru-
pakan inti pemikiran epistemologi Nursi. Sedangkan filsafat
Materialisme, menurut Nursi, menempati posisi yang salah karena
ismi (benda) menjadi hilang dalam sifat superfisial alam. Sedangkan
hakikat benda sesungguhnya adalah bayangan dari sifat dan nama
Tuhan. 18
Islam menggunakan titik pandang al-Qur ’an dalam
mengamati realitas benda sebagai sesuatu yang memiliki indikatif
(h} a rfi). Semua benda di dunia memperlihatkan adanya Sang
Pencipta. Keteraturan alam, misalnya, merupakan tanda adanya
sosok Tuhan yang Maha Kuasa. Setiap benda memiliki makna
intrinsik pada dirinya. Benda tidak memiliki makna atau eksistensi
diri kecuali apa yang inheren dalam dirinya sebagai refleksi sifat-
sifat ketuhanan. Epistemologi Nursi ini melahirkan sains yang bisa
berintegrasi dengan agama. Sains model ini, menurut Nursi,
memakai pendekatan agama dalam mengamati objek pengetahuan.
Sementara itu Materialisme tidak menangkap makna indikatif yang
melekat pada benda. Materialisme hanya mengakui makna nominal
saja. Artinya, mereka hanya memperhatikan hal-hal luar yang kasat
mata (materi) sebagai sesuatu yang sah untuk diobservasi.
Lalu muncul pertanyaan, kenapa Tuhan tidak memunculkan
diri sebagai sosok materi yang dapat diindra? Nursi menjawab bahwa
sesungguhnya Tuhan sengaja menyembunyikan hakikat diri-Nya
agar eksistensi-Nya menjadi rahasia, memancing manusia agar terus
mencari. Dengan cara demikian itu, dunia menjadi arena ujian bagi
manusia. Hakikat Tuhan yang tertutup ini menjadi tantangan bagi

18
M. Sait Ozervarli, “Said Nursi’s Project of Revitalizing Contemporary Islamic
Thought”, dalam Islam at the Crossroads…, 325.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


60 Akhmad Rizqon Khamami

iman seseorang. Sedangkan bagi pengikut Materialisme, kondisi


tertutup tersebut diyakini ada dengan sendirinya, tidak ada campur
tangan Tuhan di dalamnya.

Integrasi Rasio dan Hati: Epistemologi Baru


Nursi menawarkan jalan epistemologi baru, yaitu meng-
integrasikan rasio dan hati. Ia menjawab kebutuhan Islam di abad
modern. Misi yang ingin diusung oleh Nursi adalah menyegarkan
kembali pemikiran Islam. Masa itu para pemikir modernis ber-
pendapat bahwa Islam mengalami kemunduran dan kejumudan,
sehingga harus diganti dengan corak pemikiran yang baru. Ia sedang
mengisi ceruk tersebut. Pemikiran ini merefleksikan premis dasar
pemikiran Nursi seperti yang tergambar dari lingkungan intelektual
di hampir seluruh dunia Islam masa itu, dari Abduh, al-Afghani,
juga Sayyid Ahmad Khan. Semua pemikir tersebut bersepakat
bahwa Islam mengalami kemunduran. Salah satu sebab kemundur-
an itu adalah kemandulan intelektual di dunia Islam. Nursi
mengusulkan sains sebagai jawaban atas kemunduran tersebut. Sains
bisa menjadi standar intelektual di zaman modern, termasuk agama.
Islam, dengan demikian, tidak boleh mengabaikan intellectual
inquiry sebagai metode memperoleh pengetahuan. Sains modern
harus diintegrasikan ke dalam Islam. Ketika formula ini dijadikan
pijakan epistemologi maka akan muncul teori integrasi antara Islam
dan sains, salah satunya melalui penafsiran al-Qur’an yang didasarkan
pada temuan sains modern. Nursi mendefinisikan proyek ini sebagai
‘Miraj-i Qur’ani’. Ia menghadirkannya sebagai tawaran metode
pemikiran di tengah pemikiran Islam yang telah ada, semisal sufi,
filsafat (hikmah) dan ilmu kalam. Ia menganggap metode ‘Miraj-i
Qur’ani’ lebih kokoh dibanding tiga pemikiran tersebut. Metode ini
dapat menggantikan metode normatif dalam membaca al-Qur’an.
Metode tersebut dapat menjadi standar untuk membaca al-Qur’an
di zaman modern. Letak perbedaan antara metode yang ditawarkan
oleh Nursi dan metode normatif adalah pada penggunaan temuan
sains modern. Metode ‘Miraj-i Qur’ani’ mengintegrasikan temuan
sains modern ke dalam tafsir al-Qur’an. Metode ini pada mulanya

19
Serdar Dogan, “The Influence of Modern Science on Bediuzzaman Said Nuris’s
Thinking”, dalam Islamic Sciences, Vol. 12, No. 1, Summer, 2014, 5-6.
20
Abasi Kiyimba, “Islam and Science: an Overview”, dalam Islamic Perspective on
Science, Editor: Ali Unal, (New Jersey: The Light, Inc., 2007), 14.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 61

berangkat dari keyakinan Nursi tentang objectivity and universal


validity of modern science.19 Artinya, sains selamanya dianggap benar.
Pada fase ‘Old Said’ ia mempercayai Saintisme. Sains diterima hampir
tanpa kritik. Ia tidak menyadari bahwa penggunaan temuan sains
modern dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dapat melahirkan
masalah—meminjam istilah Abasi Kiyimba—sebagai ‘bom waktu’.20
Seiring perubahan waktu, pemikiran Nursi mengalami pe-
matangan. Rencana penafsiran model di atas tidak terealisasikan se-
bagaimana yang diinginkannya. Justru kemudian lahir karya monu-
mentalnya: Risale-i Nur. Dalam buku ini ia tidak memakai temuan
sains modern seperti gagasan awal di atas, ia justru menggunakan
metode lain yang ia sebut sebagai membaca al-Qur’an dari dekat.
Akan tetapi ia tidak memunculkan kritik terhadap sains modern
yang tersistematis sehingga dapat membongkar kekurangan sains
materialis pada level filsafat. Pergeseran pemikiran Nursi ini menan-
dai perubahan fase yang dikenal di kalangan ilmuwan pengkaji Nursi
sebagai fase ‘Old Said’ menjadi ‘New Said’.
Pada fase ‘Old Said’, fokus Nursi mengarah pada rencana
besarnya untuk mendirikan sekolah yang mengajarkan sains modern
berdampingan dengan ilmu keislaman. Pada fase ini Nursi meyakini
perlunya sebuah penafsiran baru yang ditulis berdasarkan temuan
sains modern. Ia mengusulkan agar tafsir al-Qur ’an tersebut
hendaknya ditulis oleh sekelompok saintis. Ia bahkan mulai menulis
model ini pada sekitar masa-masa Perang Dunia Pertama, dan diberi
judul Isyârât al-I’jâz.
Dari gambaran di atas terbaca bahwa perubahan pemikiran
Nursi dari ‘Old Said’ menjadi ‘New Said’ bukanlah terjadi secara
kebetulan, namun merupakan pilihan sadar yang muncul setelah
mengalami kegelisahan dan pencarian panjang. Kegelisahan tersebut
lahir sebagai dampak dari perenungan panjang. Perubahan fase ‘Old
Said’ menjadi ‘New Said’ merupakan akibat dari krisis spiritual yang
ia alami. Menurut penulis, krisis ini barangkali disebabkan oleh
penggunaan rasio yang berlebihan ketika memahami al-Qur’an
sehingga berpengaruh negatif pada kehidupan spiritualnya.
Kegelisahan intelektual di atas pada akhirnya memicu ke-
sadaran Nursi bahwa dirinya membutuhkan bimbingan spiritual.
Menariknya, ia tidak tertarik untuk memilih sosok guru secara
personal dan berguru di bawah bimbingannya, ia malah memilih
berguru kepada seseorang yang sudah lama meninggal. Akhirnya ia
menemukan sosok tersebut pada Ahmad Faruq Sirhindi (meninggal

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


62 Akhmad Rizqon Khamami

1624). Ia berguru lewat karyanya. Saat membaca karya Sirhindi,


Nursi mendapati satu tulisan yang berisi wejangan kepada seseorang
yang kebetulan bernama Bediuzzaman. Karena memiliki persamaan
nama antara orang tersebut dengan dirinya, Nursi menganggap
wejangan tersebut seakan-akan ditujukan untuk dirinya. Wejangan
tersebut berisi perintah untuk memilih satu kiblat. Maksudnya, Nursi
harus memilih satu guru saja. Setelah merenungi nasehat ini, ia
memutuskan kiblat yang dimaksud adalah al-Qur’an.21
“Dialog” dengan Sirhindi ini bukan satu-satunya pengalaman
pencarian spiritual Nursi. Pengalaman kedua terjadi saat ia membaca
buku Futûh} al-Ghayb karya tokoh sufi besar Abdul Qodir al-Jailani
(meninggal 1166). Buku ini menjadi ilham kemunculan epistemologi
Nursi tentang “memadukan rasio dan hati”. Pergulatan Nursi dengan
buku ini memberinya pengalaman yang kemudian mendorong
Nursi untuk bertekad menjadikan tulisan-tulisannya kelak harus
berisi bimbingan spiritual, bukan hanya buku tentang ilmu pe-
ngetahuan.22
Nursi memberi perhatian besar pada Futûh} al-Ghayb. Ia
menganggap buku ini seperti tabib pribadi yang mengobatinya
menuju kesembuhan batin. Dalam membaca buku ini ia menghayati
seakan-akan si penulis sedang berbicara langsung dengannya. Bah-
kan suatu hari, konon dalam satu kisah diceritakan bahwa seorang
guru menegur keras salah satu muridnya. Karena penghayatan yang
mendalam ketika membaca, Nursi merasakan seakan-akan si murid
itu adalah dirinya. Teguran itu ia rasakan keras sekali hingga mem-
buat hatinya bergemuruh. Teguran tersebut menusuk ego dirinya,
sampai-sampai ia harus berhenti membaca dan beristirahat selama
satu minggu. Baru setelah reda, ia mulai membacanya kembali. Kali
ini dapat dituntaskan. Buku ini sebagai obat untuk kegelisahan
jiwanya. Berkat buku tersebut ia mengalami transformasi spiritual.23
Pilihan Nursi pada al-Qur’an sebagai satu-satunya “guru”,
senada dengan renungan imajiner Nursi tentang perbedaan filsafat
dan wahyu. Perbedaan keduanya ia ibaratkan seperti sebuah per-
jalanan melalui terowongan yang digali di perut bumi. Terowongan
ini digali oleh para filsuf Yunani dan para pengikutnya, seperti Plato,

21
Sukran Vahide, The Author of the Risale-i Nur: Bediuzzaman Said Nursi. (Istanbul:
Sözler Nezriyat, 1998), 166-167.
22
Serdar Dogan, “The Influence…”, 33.
23
Ibid., 166.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 63

Aristoteles, al-Kindi, Ibnu Sina, al-Farabi, dan Ibnu Rusyd untuk


menemukan jalan menuju ‘Realitas Tertinggi’ (h}aqîqah). Akan tetapi
filsuf ini pada akhirnya menemui kegagalan. Mereka tetap terpenjara
di dalam terowongan selamanya. Hakikat ‘Realitas Tertinggi’—dalam
imajinasi Nursi tersebut diwakili oleh matahari—tidak mereka
temukan. Sedangkan Nursi dengan menggunakan alat bantu seperti
kompas dan lampu, berhasil menemukan jalan keluar, dan akhirnya
menemukan matahari—yang menjadi simbol ‘Realitas’. Alat bantu
tersebut adalah al-Qur’an. Jadi, hanya pada saat ‘filsafat’ melayani
‘wahyu’ sajalah kebenaran sejati dapat diraih. Karena itu, meskipun
Nursi berusaha melakukan rekonsiliasi antara wahyu dan akal, ia
tidak menyelaraskan agama dengan akal sebagaimana Muhammad
Abduh, al-Afghani, Sayyid Ahmad Khan, dan pembaru Islam
lainnya. Filsafat harus tunduk pada kebenaran wahyu, dan problem
epistemologi dewasa ini adalah keengganan filsafat “bekerja” di
bawah wahyu.
Epistemologi Nursi tentang rasio dan intuisi dapat dipahami
sebagai upaya Nursi membaca al-Qur’an sebagai cermin ‘wahyu
fisika alam semesta’. Jika penggunaan rasio dalam membaca al-
Qur’an digambarkan sebagai jalan yang aktif, sedangkan pengguna-
an hati, menurut Nursi, dapat didefinisikan sebagai jalan yang pasif
karena akal manusia lebih rendah ketika berhadapan dengan al-
Qur’an. Hal ini berarti Nursi telah meninggalkan pemikiran ‘Old
Said’ yang ditandai dengan meminimalisir peran akal dalam
membaca al-Qur’an.
Beberapa karakteristik pemikiran Nursi, salah satunya, adalah
bantahan Nursi terhadap kausalitas horizontal dan penggunaan
logika inferensi.24 Fase ‘New Said’ dapat ditandai dengan tersistemnya
teori Occasionalism al-Asyariyyah di tangan Nursi.25 Istilah agama
untuk teori ini adalah “lâ musabbiba illâ Huw”, tidak ada sumber
sebab kecuali Allah. Hubungan antara sebab dan akibat hanyalah
persepsi manusia. Hubungan kausalitas sesungguhnya tidak lain
merupakan bentuk campur tangan Tuhan. Semakin seseorang
menyadari pemahaman seperti ini, semakin ia menyadari Tuhan
menggerakkan keteraturan alam semesta dan bekerja dengan
24
Serif Mardin, Religion and Social Change, 176-177.
25
Untuk mengetahui lebih dalam tentang konsep Occasionalism al-Asy’ariyyah, lihat
Nazif Muhtaroglu, Islamic and Cartesian Roots of Occasionalism, (Disertasi tidak diterbitkan,
University of Kentucky, 2012), 29-43.
26
Serdar Dogan, “The Influence…”, 35.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


64 Akhmad Rizqon Khamami

sempurna. Keteraturan alam dianggap sebagai indikator adanya


wujud Tuhan. Kesimpulan itu ia dapat bukan dengan menggunakan
cara pandang sains. Justru ia menghilangkan semua hubungan kausal
yang menjadikan keteraturan alam terus berlangsung dan sekaligus
menjadi “tirai penutup” Sang Penyebab yang harus disibak oleh
para pencari kebenaran.26
Di sini terlihat, keteraturan alam yang pernah dianggap sebagai
basis sains mulai ditinggalkan oleh Nursi.27 Dalam rentang sejarah
pemikiran Islam, selain pendapat Nursi, pembahasan teori kausalitas,
sebab dan akibat, bukanlah perdebatan baru. Al-Asy’ari melahirkan
teori Occasionalism. Begitu juga al-Ghazali. Namun al-Ghazali tidak
mengorbankan pengalaman supra-sensible tentang Tuhan. Sebalik-
nya, Nursi lebih mendukung ‘mental apprehension’ dibanding peng-
alaman supra-sensible. 28 Dalam pandangan Nursi, metode ini
merupakan jalan ringkas menuju Tuhan. Sedangkan jalan sufi
merupakan jalan panjang karena harus melalui dua tahap: dari cinta
ilusif menuju cinta Tuhan.
Saat memasuki periode ‘New Said’, Nursi menampilkan
pemikiran yang bermuatan logika inferensi. Dengan logika ini ia
melakukan bantahan terhadap teori kausalitas yang diusung oleh
pengikut filsafat Materialisme dan orang-orang yang anti agama
ketika itu. Saat melawan kelompok inilah Nursi lebih banyak
menggunakan rasio dibanding aspek esoterik. Pendekatan Nursi
terhadap esoterisme terkesan sangat berhati-hati, terutama terkait
dengan posisinya sebagai sumber ilmu pengetahuan (epistemologi).29
Ia membuang kasyf (penyingkapan spiritual) dan dhawqi rûh}âni
(pengalaman ruhani sufi) dari peta intelektual dan epistemologi yang
ia rancang. Dengan pendekatan ini Nursi setidaknya melepaskan
sumber epistemologi tersebut dari olah intelektual, dan meletak-
kannya pada posisi yang lebih rendah.30
Jadi, logika inferensi merupakan aspek penting intelektual
Nursi. Aspek ini terkait dengan keinginan Nursi untuk merasional-
kan Islam. Penggunaan logika inferensi memberi warna rasionalistik
pada pemikiran Nursi. Kecenderungan rasional ini dipengaruhi oleh

27
Yamina B. Mermer, “The Hermeneutical Dimension of Science: A Critical Analysis
Based on Said Nursi’s Risale-i Nur.” dalam The Muslim World 89, no. 3/4, 1999, 276.
28
Serdar Dogan, “The Influence…”, 38.
29
Serif Mardin, Religion and Social Change, 176.
30
Serdar Dogan, “The Influence…”, 40.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 65

pemikiran Renaisans di Eropa ketika itu, terutama sains modern.


Pertanyaan yang muncul, sejauh mana pengaruh Renaisans terhadap
Nursi, terutama sains? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan
ini kita perlu melihat atmosfer intelektual yang melingkupi Nursi.
Ia tidak bisa menghindarkan diri dari pengaruh atmosfer yang
sedang tren di Kesultanan Ottoman ketika itu sehingga masuk akal
jika ia juga menggunakan pemikiran Barat dan memasukkannya
ke dalam wacana intelektual yang ia kembangkan. Fenomena ini
juga dapat kita baca sebagai alat bantu untuk menjelaskan perubahan
pemikiran Nursi dari ‘Old Said’ menjadi ‘New Said’.
Pada periode ‘Old Said’ Nursi berusaha menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan menggunakan temuan sains modern. Sedang pada
periode ‘New Said’, Nursi mulai mempromosikan pandangannya
bahwa sains dan Islam tidak sedang saling memusuhi. Sains tidak
harus selalu milik kelompok pengikut Materialisme. Ilim (sains
Islam) adalah bukti demonstratif dari keyakinan tersebut. Ilim
memasukkan unsur moral ke dalam sains materialis modern
sehingga sains berwarna religius. Dari sini terlihat, sejatinya Nursi
sedang melakukan Islamisasi sains yang kelak menjadi tren
intelektual pada tahun 1970-an. Pertanyaannya, bagaimana cara yang
ia pakai dalam pengembangannya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Nursi dituntut terlebih
dahulu menyelesaikan sejumlah persoalan, di antaranya: persesuaian
antara kosmologi Islam dengan sains modern, misalnya sulitnya
menyatukan antara teori Newton dan konsep eksistensi Tuhan seba-
gai sosok yang eternal dan sebagai sosok yang dapat mengintervensi
perjalanan alam secara langsung dan terus-menerus. Kedua, perbeda-
an antara pandangan Islam dan Newton, di mana Islam menekankan
pada kekuasaan Tuhan atas umat manusia, sedangkan Newtonian
memfokuskan diri pada hubungan antara manusia dan subjek.31
Saat menjawab persoalan tersebut Nursi menggunakan
pendekatan sufi. Dengan memasukkan prinsip ketauhidan Tuhan,
Nursi menjelaskan secara rinci tentang konsep kosmologi Islam.
Salah satu konsep tersebut, misalnya, menegaskan bahwa alam
adalah kitab suci yang merefleksikan bayangan Tuhan. Ia menyebut
‘kitab suci alam semesta’ ini sebagai ‘wahyu dalam bentuk alam
fisik’.32 Karena itu melakukan penyelidikan sains dianggap sebagai
31
Serif Mardin, Religion and Social Change, 176.
32
Ibid., 211.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


66 Akhmad Rizqon Khamami

pembacaan atas wahyu ini. Dengan menggunakan cara pendekatan


Sufi ini, Nursi mampu menjelaskan keteraturan alam sebagai bukti
adanya sang Pencipta. Pendekatan Nursi ini tidak berbeda dengan
konsep intelligence design yang menafsirkan kompleksitas alam
semesta sebagai bukti deduktif keberadaan Tuhan karena alam tidak
mungkin muncul secara kebetulan.
Nursi membayangkan bahwa alam semesta didesain dan diatur
oleh sosok Pencipta. Menurut Mardin, pandangan Nursi tentang
sains lebih dekat dengan model mekanistik Newtonian atau model
teologi natural abad 17. Hanya saja Nursi menyatakan bahwa Tuhan
melakukan intervensi dalam perputaran alam. Nursi mengadopsi
sikap al-Asy’ariyyah yang menganggap intervensi Tuhan dalam alam
semesta bersifat langsung dan berkelanjutan. Nursi menegaskan
bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan ciptaan-Nya pada sebuah
mekanisme yang impersonal. Nursi tidak sepakat dengan asumsi
mekanistik Newtonian yang menyatakan bahwa alam berjalan
dengan sendirinya yang terbebas dari intervensi Tuhan. Perbedaan
mencolok antara Nursi dan Newton yaitu bahwa Nursi cenderung
pada agama (sufi), sedangkan Newton pada deisme.
Nursi ingin membangun sains melalui penafsiran modern yang
bersumber dari pandangan sufi tentang alam, dan menegaskan
penelitian sains adalah ibadah. Menariknya, meskipun Nursi cende-
rung menggunakan sufi, namun ia tidak sepenuhnya mengadopsi.
Menurut Mardin, kompleksitas sufisme kurang cocok dengan target
Nursi yang ingin mempopulerkan Islam di kalangan orang awam.
Tawaran epistemologi Nursi di atas berangkat dari kesadaran-
nya yang menganggap penting merebut sains dengan memunculkan
epistemologi baru sebagai fondasi intelektual peradaban Islam baru.
Proyek peradaban yang digagas oleh Nursi merupakan reaksi atas
tampilnya Eropa modern sebagai kekuatan baru dunia. Bangunan
epistemologi tersebut dimaksudkan untuk melecut proses kemajuan
di dunia Islam. Nursi bertekad untuk mengubah kemunduran dunia
Islam tersebut. Nursi mengaitkan kemunduran ini dengan melemah-
nya hubungan antara al-Qur’an dan masyarakat Muslim. Sebagai-
mana para pembaru Islam masa itu, ia juga meyakini bahwa solusi-
nya adalah mengembalikan masyarakat Muslim kepada al-Qur’an.

33
Sukran Vahide, “Toward an Intellectual…”, 2.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 67

Jika masyarakat Muslim berpegang teguh pada al-Qur’an,


maka dunia Islam akan maju. Agar mudah dipahami, ia menawarkan
sebuah metode baru dalam membaca al-Qur’an, yaitu memilih
temuan sains modern sebagai basis penafsiran tersebut. Adapun cara
lain adalah dengan mempopulerkan al-Qur’an melalui metode
rasionalisasi sebagaimana tokoh-tokoh abad 19 seperti Jamal al-Din
Afghani dan Muhammad Abduh.33 Sumber inspirasi tokoh-tokoh
ini adalah pemahaman mereka terhadap Barat yang dianggap maju
dan dunia Islam mundur, juga persaingan peradaban (contest of
civilizations). 34
Selain itu, fondasi epistemologi Nursi ini disusun untuk
menjawab tantangan yang dilempar oleh kelompok penganut sains
materialis, dan untuk menjawab mereka yang menentang Islam.35
Dengan menyatakan “jihad keilmuan”, Nursi sampai pada kesimpul-
an bahwa Islam harus ditafsirkan dengan cara baru agar sesuai
dengan bahasa dan pemahaman para pendengar modern. Sains
harus direngkuh, bukan malah ditolak. Nursi menginternalisasi
wacana lawan-lawan intelektualnya untuk memperkuat dan
menghidupkan kembali ajaran-ajaran dasar Islam, dan merespon
dengan lebih efektif para pengkritiknya.
Jika memasukkan Materialisme ke dalam metode sains maka
sains tidak dapat direkonsiliasi dengan Islam. Epistemologi Nursi
ini berguna untuk membangun fondasi ontologi tentang sains.
Pemikiran Nursi ini disarikan secara eklektik dari beragam sumber.
Nursi meminjam elemen dari pemikiran Ibnu al-‘Arabi, Sirhindi,
dan pemikiran ulama Sunni.36 Tuhan menciptakan alam semesta
dari ruang hampa, ex nihilo. Tuhan mempunyai maksud dan tujuan
dalam penciptaan ini (teleologis). Seperti halnya Ibnu al-‘Arabi, Nursi
meyakini bahwa Tuhan berbeda dari alam semesta, dan selalu hadir
di dalamnya. Tuhan berbeda dari ciptaan-Nya, dan Tuhan menge-
tahui tentang partikularnya. Tuhan menciptakan alam semesta untuk
memanifestasikan keindahan dan kesempurnaan Diri-Nya. Pen-
ciptaan merupakan refleksi sifat dan nama-nama Tuhan. 37

34
Serdar Dogan, “The Influence…”, 25.
35
Serif Mardin, Religion and Social Change, 77.
36
Ibid., 209.
37
M. Hakan Yavuz, “Nur Study Circles (Dershanes) and the Formation of New
Religious Consciousness in Turkey”, dalam Islam at the Crossroads, 300.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


68 Akhmad Rizqon Khamami

Penutup
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Nursi
membangun epistemologi baru sebagai tawaran untuk kondisi umat
Islam yang ada pada masa itu yang harus mengembangkan kembali
peradaban yang tertinggal dari bangsa-bangsa Eropa. Perjumpaannya
dengan pemikiran Renaisans Eropa dan sains modern mendasari
terbentuknya epistemologi tersebut. Nursi merekonsiliasi Islam dan
sains menuju integritas. Sebagai langkah pertama, Nursi menentang
Materialisme. Kedua, menempatkan al-Qur’an sebagai sumber ilmu
tertinggi. Rasio di bawah otoritas Tuhan. Rasio harus tunduk pada
wahyu. Dengan menjadikan metode sains tunduk pada prinsip dan
cara pandang al-Qur’an maka dapat mengubah pemahaman sains
modern atas alam semesta menjadi lebih sesuai dengan deskripsi al-
Qur’an. Aktivitas sains yang dilakukan dengan semangat al-Qur’an
menghasilkan tidak saja kebenaran dan observasi empiris tentang
dunia objektif, tetapi juga pengetahuan tentang Tuhan. Hal ini
mengubah sains menjadi bidang pengetahuan spiritual dan men-
jadikan studi sains sarana untuk beribadah.
Pendekatan Nursi terhadap sains perlu diketengahkan di sini:
ia mengakui bahwa sains dapat menggerakkan umat Islam ke arah
peradaban maju. Ia mendorong adopsi sains modern tersebut. Bahkan
Nursi mengembangkan epistemologi baru tentang rekonsiliasi Islam
dan sains untuk bisa menyingkirkan aspek sekuler dan filsafat
Materialisme yang awalnya melekat di dalam sains. Epistemologi
yang menjadikan al-Qur’an sebagai intisari epistemologi tersebut
menggiring pada arus revivalisme Islam yang berujung pada sikap
kaku dalam memaknai agama. Sementara itu sains membutuhkan
kelenturan.[]

Daftar Pustaka
Abu-Rabi’, Ibrahim M. 2003. Islam at the Crossroads: On the Life and
Thought of Bediuzzaman Said Nursi. Albany: State University
of New York Press.
Algar, Hamid. 2001. “The Centennial Renewer: Bediuzzaman Said
Nursi and the Tradition of Tajdid,” dalam Journal of Islamic
Studies, Vol. 12, No. 3, September.
Barbour, Ian G. 2000. When Science Meets Religion. New York:
HarperCollins Publishers.

Jurnal TSAQAFAH
Membangun Peradaban dengan Epistemologi Baru 69

Boullata, Issa J. 1990. Trends and Issues in Contemporary Thought.


Albany: SUNY Press.
Dekmejian, R. Hrair. 1980. “The Anatomy of Islamic Revival:
Legitimacy Crisis, Ethnic Conflict and the Search for Islamic
Alternatives”, dalam Middle East Journal, Vol. 34, No. 1.
Dogan, Serdar. 2014. “The Influence of Modern Science on
Bediuzzaman Said Nuris’s Thinking”, dalam Islamic Sciences,
Vol. 12, No. 1, Summer.
Faksh, Mahmud A. 1990. “The Consequences of the Introduction
and Spread of Modern Education: Education and National
Integration in Egypt”, dalam Middle East Studies, Vol. 16, No.
2.
Furlow, Christopher A. 1996. “The Islamization of Knowledge:
Philosophy, Legitimation, and Politics”, dalam Social
Epistemology, Vol. 10, No. 3&4.
Hanioglu, M. Sukru. 2005. “Blueprints for a Future Society: Late
Ottoman Materialists on Science, Religion, and Art”, dalam
Late Ottoman Society: The Intellectual Legacy, ed., Elisabeth
Ozdalga, Abingdon: Routledge Curzon.
Kiyimba, Abasi. 2007 “Islam and Science: an Overview”, dalam
Islamic Perspective on Science, Editor: Ali Unal, New Jersey: The
Light, Inc.
Mardin, Serif. 1989. Religion and Social Change in Modern Turkey:
The Case of Bediuzzaman Said Nursi. Albany, NY: State University
of New York Press.
Marx, Karl., Engels, Friedrich. 1964. On Religion, New York:
Schocken Books.
Mermer, Yamina B. 1999. “The Hermeneutical Dimension of Science:
A Critical Analysis Based on Said Nursi’s Risale-i Nur.” dalam
The Muslim World 89, no. 3/4.
Muhtaroglu, Nazif. 2012. Islamic and Cartesian Roots of Occasionalism,
Disertasi tidak diterbitkan, University of Kentucky.
Ozervarli, M. Sait. 2007. “Transfering Traditional Islamic Disciplines
into Modern Social Sciences in Late Ottoman Thought: The
Attempt of Ziya Gokalp and Mehmed Serafeddin”, dalam The
Muslim World , Vol. 97, April.

Vol. 11, No. 1, Mei 2015


70 Akhmad Rizqon Khamami

Shami, Seteney. 1989. “Socio-cultural Anthropology in Arab


Universities”, dalam Current Anthropolog, Vol. 30, No. 5.
Desember.
Vahide, Sukran. 1998. The Author of the Risale-i Nur: Bediuzzaman
Said Nursi. Istanbul: Sözler Nezriyat.
Yusuf, Imtiyaz. 1999. “Bediuzzaman Said Nursi’s Discourse on Beliefe
in Allah: A Study of Texts from Risale-i Nur Collection”, dalam
The Muslim World, 89.
Zubaidi, Sujiat. 2015. Tafsir Kontemporer Bediuzzaman Said Nursi
dalam Risale-i Nur, Studi Konstruk Epistemologi, Disertasi Doktor
di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, (Tidak
Diterbitkan)

Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb Al-Attas dalam
Pengembangan Karakter Peserta Didik
M. Arfan Mu’ammar*
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Email: arfan.slan@gmail.com

Abstract
The ‘character building’ topic starts as the top topics in discussion latterly.
Various training holds sporadically for the executives, teachers, and employer’s
company in outbound form or workshop. Those activities are good definitely,
but it’s not enough to build a character. We have to combine our efforts
systematically and integrated, so the character building as we want can be effective,
learnable and known by the others. That’s all because the intellectualities and
cognitive capability cannot guarantee for someone to be able to erase his mentality
of corruption, collusion and nepotism, etc. In the other side, awkward’s morality
can override the student’s intellectualities. Al-Attas as a Muslim scholar, offers a
concept of Ta’dib that has been offered and nominated in the first time at the First
Islamic Conference at Mecca in 1977. Al-Attas has a notion that everyone who
learned is good man and the term ‘good’ here is a behavior that includes of
someone’s spiritual life and material, who try to implants kindliness that he accepted
it. The good man is a human being who has characters and polite. The
internalization concept of Ta’dib inside of Character building is a requirement than
we need, especially this times that we have to face some thoughtfulness phenomena’s
degradation of moral. This Ta’dib concept leads someone to be able to put
something in its place. So, we can create some condition which the structuralist’s
fungsional called as well regulated society. If this society does not reflects the well
regulate society, then this society still uncultured.

Keywords: Character, Adab, Ta’dib, Correct Society

* Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jl. Sutorejo No. 59, Surabaya,


Jawa Timur, Indonesia, 60113, Phone: +62 31 381 1966 Fax: +62 31 381 3096

Vol. 9, No. 2, November 2013


358 M. Arfan Mu’ammar

Abstrak
Topik character building memang mulai mengemuka akhir-akhir ini. Berbagai
pelatihan secara sporadis dilakukan untuk para eksekutif, pendidik, karyawan
perusahaan dalam bentuk outbound maupun workshop. Tentu itu aktivitas yang bagus,
tapi belumlah cukup. Perlu ada upaya bersama, sistematik dan terpadu agar pendidikan
karakter menjadi efektif dan bergaung. Karena Intelektualitas dan kemampuan
kognitif siswa tidak menjamin accountabilitas atau hilangnya sikap-sikap mental
korupsi, kolusi, nepotisme dan sebagainya. Di sisi lain, moralitas yang kaku bisa
mengesampingkan intelektualitas siswa. Al-Attas dalam hal ini sebagai pemikir Islam,
menawarkan sebuah konsep Ta’dîb yang pertama kali diangkat pada Konfrensi
Islam Pertama di Mekkah tahun 1977. Al-Attas berpendapat bahwa orang yang
terpelajar adalah orang baik, dan “baik” yang dimaksudkannya disini adalah adab
dalam artian menyeluruh, “yang meliputi kehidupan spritual dan material seseorang,
yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya”. “Orang baik”
atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab. Internalisasi
konsep ta’dîb dalam pendidikan karakter merupakan sebuah keniscayaan, ketika bangsa
ini dihadapkan pada sebuah fenomena degradasi moral yang saat ini sangat
memprihatinkan. Konsep Ta’dîb ini mengantarkan seseorang untuk dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga dapat menciptakan suatu keadaan
yang oleh kalangan struktural fungsional disebut dengan tertib sosial. Ketika masyarakat
bangsa ini belum dapat mencerminkan budaya tertib sosial, maka pada saat yang
bersamaan masyarakat bangsa ini belum ber”adab”.

Kata kunci: Karakter, Adab, Ta’dîb, Tertib Sosial

Pendahuluan

K
ementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa
dasar dari pengembangan kurikulum baru (Kurikulum 2013)
adalah untuk membangun pendidikan karakter pada anak-
anak bangsa. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada pengem-
bangkan karakter di samping ketrampilan dan kemampuan kognitif.
Hal itu karena Indonesia saat ini sedang mengalami krisis karakter
yang diperlihatkan dari banyaknya korupsi, tindak kejahatan terjadi
di mana-mana, dan mudahnya anak-anak bangsa menerima
kebudayaan dari negara lain tanpa menyaring baik atau buruknya.
Karenanya upaya pembentukan karakter anak adalah sebuah
keniscayaan, sehingga berbagai upaya dilakukan dalam mewujud-
kan upaya tersebut, di antaranya mulai diwajibkannya pramuka
sebagai media pembentuk karakter. Menurut Pembina Kwarcab
Pramuka Kota Malang, Oetodjo Sardjito, pramuka merupakan salah

Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 359

satu wahana pembentukan karakter siswa karena di dalamnya siswa


dilatih akan kepemimpinan, kerja sama, solidaritas, mandiri, dan
keberanian.
Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indo-
nesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidik-
an dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang
berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah
gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam
menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya
lemah.
Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari me-
ngajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu
yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang
bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya
kecurangan, tetapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan
sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang
wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian1.
Syed Muhammad Naquib al-Attas2, seorang pemikir kontem-
porer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara
sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara yang
baik dan tidak pula pekerja yang baik. Sebaliknya tujuan tersebut
adalah untuk menciptakan manusia yang baik melalui penanaman
adab. Tulisan ini bertujuan mengupas konsep ta’dîb yang digagas
al-Attas untuk kemudian diinternalisasikan ke dalam pengembangan
nilai dan karakter anak didik.

Hilangnya Adab
Secara integral, adab merupakan bagian daripada hikmah dan
keadilan, sehingga hilangnya adab akan mengakibatkan kezaliman,
kebodohan, dan bahkan kegilaan secara alami.3 Kezaliman adalah
meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya secara tepat, sedangkan

1
Adian Husaini, Pendidikan Karakter: Penting tapi Tidak Cukup, (Jakarta: INSIST,
2010), 1.
2
Biografi lebih lengkap mengenai Syed Muhammad Naquib Al-Attas dapat di lihat di
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Method of Syed Muhammad
Naquib Al-Attas An Exposition of the Original Concept of Islamization, (Kuala Lumpur: ISTAC,
1995)
3
A. L. Tibawi, Islamic Education: Its Tradition and Modernization into the Arab National
Systems, (London: Luzac & Co., 1972), 207.

Vol. 9, No. 2, November 2013


360 M. Arfan Mu’ammar

kebodohan (h} u mq) adalah melakukan cara yang salah untuk


mencapai hasil tujuan tertentu, adapun kegilaan (junûn) adalah
perjuangan berdasarkan pada tujuan dan maksud yang salah untuk
mencapai hasil tujuan dan maksud yang salah.4 Sesuatu akan lebih
menjadi gila lagi jika tujuan utama mencari ilmu adalah bukan untuk
mencapai kebagaian yang sebenarnya atau kecintaan kepada Tuhan
(mah}abbah) sesuai dengan ajaran agama yang benar, yaitu untuk
dapat melihat Allah (ru`yatulla>h) di hari kemudian. Demikian pula,
adalah suatu kebodohan jika berupaya mencari kebahagiaan di
dunia ini dan di akherat nanti tanpa ilmu dan amal yang benar.
Al-Attas menerangkan pengaruh negatif daripada hilangnya
adab ini :
Definisi yang autentik menjadi hancur dan sebagai penggantinya
kita mewarisi slogan yang kabur yang berkedok konsep. Ketidak-
mampuan untuk mendefinisikan, mengidentifikasikan dan meng-
angkat masalah, dan kemudian memberikan solusi yang benar,
pemunculan pseudo-problem, reduksi masalah menjadi hanya
sebatas faktor-faktor politik, sosio-ekonomi, dan hukum sudah
menjadi kenyataan. Tidaklah mengherankan jika situasi semacam
ini dapat menyuburkan tumbuhnya berbagai bentuk ekstrimis-
me yang modal utamanya adalah kebodohan5.

Jika kita mempelajari Ilmu Hadis, ada satu kriteria yang begitu
ketat, sampai sebuah hadis tersebut mendapat beberapa tingkatan
derajat. Tingkatan tersebut dikenal dengan sanad. Semakin tinggi
kredibilitas perawi hadis, maka semakin tinggi pula derajat sanadnya.
Hal ini dilakukan untuk menjaga otentisitas sumber hadis yang
runutannya sampai kini bisa terlacak hingga Rasulullah SAW. Salah
satu syarat agar perawi dipandang kredibel adalah moralitas dan
akhlaknya, termasuk kejujuran si perawi. Sekali saja seorang perawi
diketahui tidak jujur, maka namanya akan tertulis dengan tinta
merah dan akan mempengaruhi hadis atau kisah yang diriwayat-
kannya.
Demikianlah peraturan bagi intelektual Muslim dalam menjaga
keotentikan ilmu. Peraturan ini berbanding terbalik dengan yang
ada di Barat. Paul Johnson, penulis buku Intellectuals, mengatakan

4
Dikutip oleh Umaruddin, The Ethical Philosophy of al-Ghazzali, 166 dalam Wan
Mohn Nor Wan Daud, Konsep Al-Attas tentang Ta’dib: Gagasan Pendidikan yang tepat dan
komprehensif dalam Islam, (Majalah IslamiaTahun I No. 06 Juli-September 2005), 79
5
S.M.N Al-Attas, Acceptance Speech, 31. dalam Wan Mohn Nor Wan Daud, Konsep…, 79.

Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 361

hal demikian dan mencoba menyorot beberapa intelektual Barat


akan hal itu. Di antara pemikir Barat yang disorot adalah Ernest
Hemigway, Bertrand Russel, Jean Jacques Rousseau, Jean Paul Sartre,
dan lain-lain.6 Ernest Hemigway misalnya, merupakan seorang
pemikir Barat yang mengagungkan arti cinta, hobinya berzina,
bahkan dengan teman-teman karib ibunya. Ada Jean Jacques
Rousseau yang menyebut dirinya sendiri sebagai laki-laki gila yang
mencintai dirinya sendiri dan membenci setiap orang lain. Ada
Bertrand Russel yang konon membenci peperangan tapi begitu
gandrung memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sangat
benci pada Tuhan7.

Konsep al-Attas Tentang Ta’dîb


Kondisi yang digambarkan Paul Johnson di atas menjelaskan
betapa moralitas di Barat tidak secara integral ada dalam diri para
intelek mereka. Padahal, salayaknya moralitas dan intelektualitas
harus menyatu dan saling terkait. Al-Attas mengatakan, bahwa orang
yang terpelajar adalah orang baik. Pengertian baik adalah meliputi
kehidupan spiritual dan materialnya dan berusaha menanamkan
kualitas kebaikan yang diterimanya.8 Oleh karena itu, orang yang
terpelajar adalah orang yang beradab.
Orang yang baik itu adalah orang yang menyadari sepenuhnya
akan tanggungjawab dirinya kepada Tuhan yang hak, yang
memahami dan menunaikan kewajiban terhadap dirinya sendiri
dan orang lain yang terdapat dalam masyarakatnya, yang selalu
berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju ke
arah kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.9

Adab mempunyai arti yang sangat luas dan mendalam, tetapi


digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu yang
merujuk pada kajian kesusastraan, etika professional, dan kemasya-
rakatan. Al-Attas mengatakan bahwa ide yang terkandung dalam
perkataan ini sudah diislamisasikan dari konteks yang dikenal pada

6
Paul Johnson, Intellectuals, (Harpercollins, 1988).
7
Ibid.,
8
S.M.N Al-Attas, Islam: The Concept of Religion and The Foundation of Ethic and
Morality, 33-34. Lihat juga, Aims and Objectives of Islamic Education, (London/Jeddah: Hodder
& Stoughton/King Abdul Aziz University, 1979), 32-33.
9
S.M.N Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograph tidak diterbitkan,
tertanggal Mei 1973, 280. 15. 54

Vol. 9, No. 2, November 2013


362 M. Arfan Mu’ammar

masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-elemen spiritual


dan intelektual pada dataran semantiknya.10
Berdasarkan arti perkataan adab yang telah di Islamisasikan
itu dan berangkat dari analisis semantisnya, al-Attas mengajukan
definisinya tentang adab:
Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bah-
wasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki
yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatan-
nya, dan bahwa seseorang itu mempunyai tempatnya masing-
masing dalam kaitannya dengan realitas tersebut dan dengan
kapasitas serta potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.11

Perkataan al-Attas, “seseorang itu mempunyai tempatnya masing-


masing”, bermakna bahwa seseorang harus dapat menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Pernyataan ini mengisyaratkan adanya
tertib sosial,12 sehingga peserta didik dapat berperilaku sesuai dengan
tempatnya dan membudayakan tertib sosial tersebut.
Adapun yang dimaksud pengenalan dalam definisi di atas
adalah mengetahui kembali (re-cognize) perjanjian pertama
(primordial covenant) antara manusia dan Tuhan. Ini menunjukkan
bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing
dalam berbagai hierarki wujud, hanya saja disebabkan oleh kebodo-
han dan kesombongannya, maka manusia kemudian mengubah
tempat-tempat tersebut sehingga terjadilah ketidakadilan. Sedang-
kan pengakuan yang dimaksud al-Attas adalah melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang telah dikenal di atas. Untuk itu, maka afirmasi
dan konfirmasi atau realisasi dan aktualisasi nilai-nilai tersbut dalam
diri manusia harus dilakukan, karena tanpanya pendidikan menjadi
sesuatu yang tidak lebih dari sekedar proses belajar (ta’allum).13

10
F. Gabrieli, dalam tulisannya yang singkat namun padat tentang adab, menjelaskan
bahwa perkataan adab sebagaimana yang dipakai pada abad I Hijrah mempunyai makna-
makna intellektual, etika dan sosial. Kemudian perkataan ini menjadi istilah yang berarti
sejumlah ilmu pengetahuan yang menjadikan seseorang itu manusia yang berperadaban dan
tercerahkan. Lihat S.M.N Al-Attas, The Concept of Education in Islam: A Framework of an
Islamic Philosophy of Education An Address to the Second World Confrence on Muslim Education,
(Islamabad Pakistan, 1980). 36.
11
S.M.N Al-Attas, The Concept…, 27.
12
Tertib Sosial merupakan salah satu tujuan dalam teori struktural fungsional yang
diketengahkan oleh Herbert Spencer.
13
Wan Mohn Nor Wan Daud, Konsep Al-Attas…, 79.

Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 363

Urgensi Character Building dalam Pembangunan Moralitas


Bangsa
Aristoteles menyebutkan pengertian karakter yang baik adalah
kehidupan berperilaku baik dan penuh kebajikan, berperilaku baik
terhadap pihak lain, Tuhan Yang Maha Esa, manusia, alam semesta,
dan terhadap diri sendiri. Jonathan Webber dalam Journal of
Philosophy menjelaskan bahwa karakter adalah akumulasi dari ber-
bagai ciri yang muncul dalam cara berfikir, merasa dan bertindak.14
Sikap pemberani atau pengecut seseorang dalam menghadapi
bahaya, sikap ketakutan dalam menghadapi orang banyak, meru-
pakan contoh-contoh sederhana tentang karakter seseorang.
Demikian rumusan yang dikemukakan oleh Victor Battistch
dari Universitas Missouri St. Louis, dalam salah satu tulisannya ber-
judul Character Education, Prevention and Positive Youth Development,
menegaskan bahwa karakter adalah konstelasi yang sangat luas
antara sikap, tindakan, motivasi, dan keterampilan. Karakter men-
cakup sikap, tindakan, cara berfikir, dan respon terhadap ketidak-
adilan, interpersonal, dan emosional, serta komitmen untuk melaku-
kan sesuatu bagi masyarakat, bangsa, dan negaranya.15 Sebagaimana
Webber, Battistich juga melihat, karakter selalu dihadapkan pada
dilema antara baik buruk, dilakukan atau tidak dilakukan oleh
seseorang. Melakukan yang baik berarti berkarakter baik dan ideal,
sebaliknya melakukan yang buruk berarti berkarakter buruk.
Sejalan dengan keduanya, Katherine M.H, Blackford dan
Arthur Newcomb, menekankan bahwa karakter seseorang se-
nantiasa berlawanan secara diametral antara baik dan buruk. Namun,
Katherine menegaskan bahwa orang-orang yang berkarakter yang
bisa diharapkan akan bisa maju dan akan mampu membawa ke-
majuan adalah mereka yang memiliki ciri-ciri pokok, yakni, kejujur-
an, dapat dipercaya, setia, bijaksana, penuh kehati-hatian, antusias,
berani, tabah, penuh integritas, dan bisa diandalkan.16 Karakter
terdiri dari tiga unjuk perilaku yang saling berkaitan, yaitu: 1) tahu
arti kebaikan, (2) mau berbuat baik, dan (3) nyata berperilaku baik.

14
Jonathan Webber, Sarte’s Theory of Character, Europe Journal of Philosophy, (UK:
Blackwell Publishing House, 2006), 95.
15
Victor Battistich, Character Education, Prevention and Positive Youth Development,
(USA: University of Missouri, St. Louis, 2002), 2.
16
Katherine M.H Blackfoard and Arthur Newcomb, Analyzing Character, (Gutenberg,
eBook, 2004), 25.

Vol. 9, No. 2, November 2013


364 M. Arfan Mu’ammar

Ketiga substansi dan proses psikologis tersebut bermuara pada


kehidupan moral dan kematangan moral individu. Dengan kata lain,
karakter dapat dimaknai sebagai kualitas pribadi yang baik.
Thomas Lickona menyatakan bahwa karakter yang baik me-
liputi knowing the good, desiring the good, and doing the good habits of
mind, habits of heart, and habits of action. (mengetahui yang baik,
menginginkan yang baik, dan melakukan yang baik – kebiasaan
pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan tindakan). Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.17
Menurut dokumen Desain Induk Pendidikan Karakter terbitan
Kementrian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter didefinisikan
sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral,
pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan
peserta didik untuk mengambil keputusan yang baik, memelihara
apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-hari dengan sepenuh hati.18
Kemendikbud telah mengintrodusir 18 macam inti karakter
dalam desain induk yang akan dikembangkan pada semua kegiatan
pendidikan dan pembelajaran serta penciptaan suasana yang kon-
dusif di sekolah, yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komuniktif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan
tanggungjawab. Secara rinci penulis jelaskan dalam kolom berikut:19
No Nilai/ Inti Karakter Deskripsi
Sikap dan Perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
1 Religius
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain,
dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
2 Jujur
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan
pekerjaan.

17
Thomas Lickona, Education for Character, 2001
18
Pusat Kurikulum, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, (Jakarta:
Badan Litbang, Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), 9.
19
Ibid., 9-10

Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 365

Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan


3 Toleran agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan
orang lain yang berbeda dari dirinya.
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
4 Disiplin
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
5 Kerja Keras
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
6 Kreatif menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang dimiliki.
Sikap dan Perilaku yang tidak mudah tergantung
7 Mandiri
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang
8 Demokratis menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
9 Rasa Ingin Tahu mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat dan didengar.
Cara Berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
Semangat
10 menempatkan kepentingan bangsa dan negara
Kebangsaan
diatas kepentingan dari kelompoknya.
Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan
11 Cinta Tanah Air penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan
politik bangsa.
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
12 Menghargai Prestasi
masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
Bersahabat/
13 berbicara, bergaul dan bekerja sama dengan
Komunikatif
orang lain.
Sikap, perkataan dan tindakan yang
14 Cinta Damai menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadiran dirinya.
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
15 Gemar Membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi
dirinya.

Vol. 9, No. 2, November 2013


366 M. Arfan Mu’ammar

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya


mencegah kerusakan pada lingkungan alam
16 Peduli Lingkungan sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk meperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
17 Peduli Sosial bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
18 Tanggungjawab seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan
budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Internalisasi Konsep Ta’dîb


Dalam bukunya Islam, Secularism, and the Philosophy of the
Future, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bahwa dalam
pendidikan Islam melekat tiga element mendasar yaitu: Process,
Content, and Recipient (Proses-Isi-Penerima). Yang dimaksud dengan
proses adalah proses penanaman (process of instilling) yang kemudian
dirujuk pada metode dan sistem pembelajaran. Jadi jika ada
pertanyaan “Apakah itu pendidikan?”, maka jawabannya adalah pen-
didikan adalah sebuah proses penanaman sesuatu kepada manusia
(Education is a process of instilling something into human beings).20
Dari definisi pendidikan tersebut, selanjutnya menimbulkan
sebuah pertanyaan: “Apa yang akan ditanam?” (What is Instilled?).
Dalam pendidikan Islam, yang ditanam disini adalah adab, dengan
demikian yang dimaksud dengan content atau isi di atas adalah adab.
Setelah pertanyaan “Apa yang akan ditanam?” sudah terjawab,
ada satu pertanyaan lagi yang perlu dijawab, yaitu: “Kepada siapa
adab itu ditanamkan?”. Jawabannya adalah penerima atau recipient
dari pendidikan tersebut, apakah balita, anak-anak, remaja, orang
dewasa, atau orang lanjut usia. Dari sinilah kemudian muncul
beberapa disiplin ilmu, seperti: psikologi anak, psikologi remaja,
pedagogy, andragogy, dan lain-lain. Karena metode penyampaian
isi atau content disesuaikan dengan penerima isi atau content tersebut,
maka mendidik anak-anak tidak sama dengan mendidik remaja,

20
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam, Secularism and the Philosophy of the
Future. London-(New York: Mansell Publishing Limited. 1985), 173.

Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 367

mendidik remaja tidak sama dengan mendidik orang dewasa, dan


seterusnya21.
Namun hal yang terpenting dari ketiga element mendasar yang
terdapat dalam pendidikan Islam tersebut adalah bagaimana metode
penanaman content atau isi tersebut? Artinya bagaimana metode pem-
bentukan karakter anak didik? Al-Attas mencoba mengilustrasikan
metode internalisasi adab terhadap peserta didik layaknya sebuah
undangan untuk menghadiri jamuan spiritual, inviting to a banquet.
Sebagaimana yang dijelaskan al-Attas:
Kitab Suci al-Qur ’an adalah undangan Tuhan kepada manusia
untuk menghadiri jamuan kerohanian, dan cara memperoleh ilmu
pengetahuan yang sebenarnya tentang al-Qur ’an itu adalah
dengan menikmati makanan-makanan yang lezat yang tersedia
dalam jamuan kerohanian tersebut. Artinya, karena kenikmatan
makanan yang lezat dalam jamuan istimewa itu ditambah dengan
kehadiran kawan yang agung dan pemurah, dan karena makanan
tersebut dinikmati menurut cara-cara, sikap, dan etiket yang suci,
maka hendaknya ilmu pengetahuan yang dimuliakan dan
sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai
dengan sifatnya yang mulia.22

Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa, seseorang ketika


menghadiri jamuan makan di sebuah undangan, dengan dihadiri
orang-orang yang terhormat, maka secara otomatis mulai dari gerak-
gerik dan cara makan akan berbeda dengan ketika di rumah.
Berhubung dalam jamuan tersebut banyak orang yang agung dan
terhormat, maka para undangan akan menikmati jamuan tersebut
dengan cara-cara, sikap, dan etiket yang baik, berbeda halnya dengan
ketika makan di rumah sendiri, seseorang akan makan dengan
lahapnya, kaki diangkat di atas kursi, tanpa menghiraukan sikap
dan etiket yang baik.
Dengan demikian orang tua harus dapat menciptakan suasana
religius di dalam rumah, bagaimana membuat suasana rumah
layaknya inviting to a banquet, sehingga perilaku anak menjadi sopan,
memiliki sikap hati-hati, menjaga perkataan dan perbuatan layaknya
dalam sebuah inviting to a banquet yang digambarkan oleh al-Attas.

21
Ibid., 174.
22
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur, Art
Printing Works Sdn. Bhd. 1993), 149.

Vol. 9, No. 2, November 2013


368 M. Arfan Mu’ammar

Di antara yang dapat dilakukan orangtua, misalnya adalah


membiasakan diri mengaji setelah maghrib, shalat berjamaah ketika
mendengar azan, dan berbicara sopan kepada anak. Jika demikian,
maka sang anak akan merasa malu jika setelah magrib tidak mengaji
padahal orang tuanya mengaji. Anak akan merasa malu jika ketika
azan televisi masih menyala, padahal orang tuanya sudah siap mau
ke masjid. Anak akan merasa malu berbicara kasar pada orang tua,
karena orang tua selalu berbicara sopan dan lembut kepada anak.
Demikian halnya di lingkungan kampus, jika seorang dosen
ingin membentuk karakter mahasiswa agar suka menulis, maka
paling tidak dosen tersebut harus sudah pernah menulis buku,
menulis di jurnal dan koran, jika tidak, maka jangan pernah berharap
mahasiswa mau menulis, karena sang figur yang seharusnya
dijadikan panutan belum pernah menulis, seperti ungkapan dalam
al-Qu’ran: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 3).
Dengan demikian, pembentukan karakter sangatlah dipenga-
ruhi oleh figur dan tokoh sang pembentuk karakter, terbentuknya
karakter di keluarga dipengaruhi oleh orang tua sebagai figur,
terbentuknya karakter di sekolah dipengaruhi oleh guru sebagai
figur, dan terbentuknya karakter di masyarakat oleh tokoh masya-
rakat. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah Indonesia saat
ini sedang krisis “figur”.
Figur dan lingkungan menjadi faktor utama terbentuknya
karakter peserta didik. Al-Attas menjelaskan bahwa lingkunganlah
yang membentuk perilaku dan karakter peserta didik, layaknya
perilaku seseorang tiba-tiba dapat berubah dikarenakan suasana saat
inviting to a banquet tadi sangat dipenuhi figur-figur yang sangat
dihormati dan disegani.

Penutup
Dari semua analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, al-Attas
menganggap adab adalah hal yang melekat dalam konsep pendidik-
an Islam, menciptakan good man merupakan tujuan utama pendidik-
an Islam. Adab oleh al-Attas di ilustrasikan seperti inviting to a
banquet, yang menggambarkan bahwa sikap dan etika seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan di mana seseorang tersebut hidup.
Dengan demikian, jika ingin mengubah sikap dan etika anak
didik, harus dimulai dengan mengubah lingkungan sekitar menjadi
baik, dan perubahan tersebut diawali oleh figur-figur yang berperan

Jurnal TSAQAFAH
Internalisasi Konsep Ta’dîb al-Attas dalam Pengembangan Nilai... 369

di masing-masing lingkungan. Orang tua sebagai figur di rumah,


guru sebagai figur di sekolah, dan tokoh masyarakat sebagai figur
di masyarakat.
Adapun 18 macam inti karakter dalam desain induk yang akan
dikembangkan pada semua kegiatan pendidikan dan pembelajaran
tersebut hanya akan tinggal sebuah pepesan kosong jika para pelaku
pendidikan atau pendidikan tidak mengontrol lingkungan yang
berada disekitar peserta didik.[]

Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, (ed). 1979. Aims And Objectives
of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
_________. 1985. Islam, Secularism and the Philosophy of the Future.
London-New York: Mansell Publishing Limited.
_________. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: Art Printing
Works Sdn. Bhd.
_________. 1995. Prolegomena to The Methaphysics of Islam. Kuala
Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Islamic
Civilization (ISTAC).
_________. 1980. The Concept of Education in Islam: A Framework for
an Islamic Philosophy of Education. An address to the Second
World Confrence on Muslim Educatiion, Islamabad Pakistan.
_________, 1973. Risalah untuk Kaum Muslimin, Monograph tidak
diterbitkan, tertanggal Mei.
Arifin, Muzayyin. 2003. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara.
Battistich, Victor. 2002. Character Education, Prevention and Positive
Youth Development. USA: University of Missouri, St. Louis.
Blackfoard, Katherine M.H and Arthur Newcomb. 2004. Analyzing
Character, Gutenberg, eBook.
Beker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat, Jogjakarta:
Kanisius.
Conference Book. 1393. First World Conference on Muslim Education,
Jeddah-Mecca: King Abdul Aziz University.
Daud, Wan Mohd Nor Wan. 1995. The Educational Philosophy and
Method of Syed Muhammad Naquib Al-Attas an Exposition of

Vol. 9, No. 2, November 2013


370 M. Arfan Mu’ammar

the Original Concept of Islamization, Kuala Lumpur: ISTAC


Husaini, Adian. 2010. Pendidikan Karakter: Penting tapi Tidak Cukup.
Jakarta: INSIST.
Johnson, Paul. 1988. Intellectuals, Harpercollins.
Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Litbang, Kementrian Pendidik-
an Nasional.
Sudarto. 1997. Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Soejono dan Abdurrahman. 1999. Bentuk Penelitian, suatu Pemikiran
dan Penerapan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tibawi, A. L. 1972. Islamic Education : Its Tradition and Modernization
into the Arab National Systems, London : Luzac & Co.
Webber, Jonathan. 2006. Sarte’s Theory of Character, Europe
Journal of Philosophy. UK: Blackwell Publishing House.

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb
Adian Husaini
Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor
Email: adianh@yahoo.com

Abstract
At the moment, Indonesian government campaigns for education based
on character rapidly. Various theories have been proposed to make this mission
success. Unfortunately, the government tends to use the secular’s theories which
so far from religious values, whereas Indonesia is the biggest nation with
Muslims population in the world. Righteously, the education which based on
character should be taken from this Religion’s precepts. Actually, this idea has
been engaged by the founding father of this country. In the principle’s foundation
of this country (Pancasila), the founding father formulate some principle which
using Islamic terms. As an example, in second principle, we can find word
‘Adil’ and ‘Adab’ which both of these words is Islamic term that considered as
Islamic basic vocabulary and closely related with Islam’s precepts. Because of
this importance, the founding father used this words and Islamic terms inside
the principle’s foundation of this country (Pancasila). These indicates how strong
the influences of Islamic worldview in prefatory’s constitution of this country
(Pembukaan UUD 1945). Therefore, we have to understanding these Islamic
terms (adab and adil) with Islamic worldview. Because of the importance of
this ‘Adab’ term, then this is the time when the government use these term in
implementation of education based on character in this country.

Keywords: Adab, Education, Character, Islamic Worldview

* Program Pendidikan Islam, Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Jl. KH.
Sholeh Iskandar Km. 2 Kd. Badak Bogor 16162 Telp dan Fax: +62251 835-6884

Vol. 9, No. 2, November 2013


372 Adian Husaini

Abstrak
Saat ini, Pemerintah Indonesia sangat gencar mengkampanyekan
pendidikan berbasir karakter. Berbagai teori dikemukakan untuk mensukseskan
misi tersebut. Sayangnya, Pemerintah cenderung menggunakan teori-teori sekuler
yang jauh dari agama. Padahal, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah
Muslim terbesar di dunia. Sudah selayaknya, pendidikan karakter diambil dari
ajaran agama ini. Hal itu sebenarnya sudah ditanamkan oleh para pendiri Negara
ini. Dalam perumusan Dasar Negara Indonesia (Pancasila), para pendiri Negara
telah merumuskan sila-sila yang menggunakan istilah-istilah agama Islam. Sebagai
contoh pada sila kedua, digunakan kata “adil” dan “adab”. Dalam Islam, istilah-
istilah seperti adab, adil, wakil, musyawarah, dan lain sebagainya, tidak dipandang
sebagai istilah yang tanpa makna. Istilah-istilah tersebut merupakan istilah kunci
(Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang maknanya terkait erat dengan
konsep ajaran Islam. Karena pentingnya istilah-istilah tersebut, maka tidak salah
jika para pendiri Negara ini memasukkan kata-kata tersebut ke dalam dasar
Negara Indonesia, Pancasila. Seperti istilah “adil” dan “adab” dalam sila kedua
Pancasila. Masuknya istilah “adab” merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic
worldview (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD 1945.
Karena berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab harus dipahami
dalam perspektif pandangan alam (worldview) Islam. Karena pentingnya konsep
adab tersebut, maka sudah saatnya konsep ini dipakai oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan pendidikan berbasis karakter.

Kata kunci: Adab, Pendidikan, Karakter, Pandangan Hidup Islam

Pendahuluan

P
emerintah Indonesia memandang penting Pendidikan Karakter
bagi kemajuan bangsa ke depan. Tahun 2011, Balitbang
Kementerian Pendidikan dan Nasional (sekarang: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. 1
Kepala Balitbang Depdiknas, Prof. Dr. Mansur Ramly, menulis-
kan dalam kata pengantarnya untuk buku tersebut:
“Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk me-
wujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi

1
Bagian ini merujuk pada buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemendiknas, 2011.

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 373

upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana


diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.”

Masih menurut Prof. Dr. Mansur Ramly, berbagai persoalan


yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, semakin
mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritas-
kan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan.
Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangun-
an Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana
pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu
program prioritas pembangunan nasional.
Selanjutnya ditegaskan lagi:
“Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini
tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui
serangkaian kegiatan belajar mengajar dan luar sekolah, akan
tetapi juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan,
seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai,
tanggung-jawab, dan sebagainya. Pembiasaan itu bukan hanya
mengajarkan pengetahuan tentang hal-hal yang benar dan salah,
akan tetapi juga mampu merasakan terhadap nilai yang baik dan
tidak baik, serta bersedia melakukannya dari lingkup terkecil
seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di
masyarakat. Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkembangkan
peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi cerminan hidup
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sekolah memiliki peranan yang
besar dalam pengembangan pendidikan karakter karena peran
sekolah sebagai pusat pembudayaan melalui pendekatan
pengembangan budaya sekolah (school culture).”
Jadi, pendidikan karakter, bukan hanya sekedar mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, menurut
buku Panduan ini, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik
mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah
menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter
yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral
knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan
perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan
kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.

Tujuan Pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan


nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila,
meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2)

Vol. 9, No. 2, November 2013


374 Adian Husaini

membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembang-


kan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga
pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Sedangkan fungsi Pendidikan karakter adalah (1) membangun
kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun
peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu
berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia;
mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,
dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap
warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup
berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
Disebutkan, bahwa dalam rangka lebih memperkuat pelak-
sanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teriden-
tifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan
tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi,
(4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis,
(9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air,
(12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta
damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli
sosial, (18) tanggungjawab.2
Tekad pemerintah untuk menerapkan kebijakan pendidikan
berbasis karakter bisa dimaklumi, mengingat sudah banyak pihak
mengkhawatirkan tentang masa depan Bangsa Indonesia, karena
memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang kurang atau rendah
karakternya. Padahal, kemajuan suatu bangsa terbukti lebih
disebabkan oleh keunggulan SDM-nya, ketimbang keunggulan SDA
(Sumber Daya Alam)-nya. Sebuah kritik keras terhadap karakter
Bangsa Indonesia pernah dilontarkan oleh budayawan Mochtar Lubis
dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Ketika
itu, Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia
Indonesia sebagai berikut: munafik, enggan bertanggungjawab,
berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung
boros, suka jalan pintas, dan sebagainya. 3
Salah satu negara yang disebut-sebut telah sukses dalam
menerapkan pendidikan berbasis karakter adalah RRC. Pemimpin
Cina, Deng Xiaoping, pada tahun 1985 sudah mencanangkan

2
Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa:
Pedoman Sekolah. 2009: 9-10.
3
Mochtar Lubis, Manusia Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001).

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 375

pentingnya pendidikan karakter: “Throughout the reform of the


education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the
fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of
character and cultivating more constructive members of society.” Li
Lanqing, mantan wakil PM Cina, dalam bukunya, Educations for
1.3 Billion, menjelaskan reformasi pendidikan yang dijalankan di
Cina. Ia menulis: “After many years of practice, character education
has become the consensus of educators and people from all walks of life
across this nation. It is being advanced in a comprehensive way.”4

Apresiasi dan Kritik


Program pemerintah RI tentang pendidikan berbasis karakter
patut diapresiasi, sebab kemajuan seseorang atau suatu bangsa sangat
ditentukan oleh karakter manusia atau bangsa tersebut. Syekh al-
Amir Syakib Arsalan, dalam analisisnya tentang kemunduran Umat
Islam menyebutkan salah satu faktor kekalahan umat Islam adalah
rendahnya semangat berkorban. Dalam surat balasannya kepada
Syekh Basyuni Imran dari Kalimantan, Syekh Syakib Arsalan
menulis:
“Tuan mengetahui, bahwa keadaan tentara mereka (bangsa Eropa)
datang berduyun-duyun menuju ke tempat kematian (ke medan
perang) dengan berebutan, dan mereka berdesakan untuk me-
nyerbu dengan hebatnya ke gelanggang pertempuran dalam
perang dunia yang lalu, pula mereka berkorban dalam perang
dunia itu dengan pengorbanan yang melebihi daripada yang
telah digambarkan oleh pikiran manusia biasa.”5

Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan


RI, M. Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan
Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, Natsir
mengingatkan bahaya besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu
mulai memudarnya semangat pengorbanan. Melalui artikelnya ini,
Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia
pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan. Sebelum kemerdeka-

4
Dikutip dari Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter (Jakarta: Lembaga
Penerbit FE-UI, 2007).
5
Al-Amir Syakib Arsalan, Mengapa Kaum Muslimin Mundur, (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), 14. Buku ini asalnya merupakan jawaban Syekh Arsalan terhadap surat Syekh Basyuni
Imran, di awal abad ke-20, yang bertajuk “Limâz}â Ta’akhkhara al-Muslimûn, wa Limâdzâ
Taqaddama Gairuhum), dialihbahasakan oleh KH. Munawar Chalil.

Vol. 9, No. 2, November 2013


376 Adian Husaini

an, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai pengorbanan.


Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai berubah.
Natsir menulis:
“Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis,
rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran,
kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu
negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan
sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang
menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai…Sekarang
timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan
merajalela sifat serakah… Tak ada semangat dan keinginan untuk
memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri,
bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya...”

Lalu, untuk memajukan bangsa, Mohammad Natsir berpesan:


“Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus
berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani
menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan
saudara yang masih terbengkalai... Perjuangan ini hanya dapat
dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan
keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan
jalan dengan cara berencana. Usaha besar yang kita hadapi pada
waktu ini, telah pernah kita hadapi dengan kerelaan menerima
segenap konsekuensinya. Dan perjuangan yang terbentang di
hadapan kita ini, tidak kurang berkehendak kepada keberanian
untuk menegakkan kedudukan bangsa dan falsafah hidupnya,
juga dengan segenap konsekuensinya dengan berupa “keringat,
air mata dan darah”.” 6

Seperti dikhawatirkan Mochtar Lubis, salah satu karakter yang


menonjol pada manusia Indonesia adalah lemah karakternya. Jika
karakter yang lemah seperti ini dibiarkan dan tidak dilatih agar ber-
angsur-angsur menjadi semakin kuat, maka masa depan bangsa juga
mengkhawatirkan. Umat Islam, sebagai komponen terbesar bangsa
Indonesia seharusnya menjadi umat yang paling menonjol karak-
ternya. Allah Berfirman, “Kamu adalah umat terbaik, yang dilahir-
kan untuk manusia. Kamu menyuruh kepada yang makruf dan mencegah
dari yang munkar. Dan kamu beriman kepada Allah.” (QS 3:110).
Umat Islam adalah umat yang mulia. Umat yang diserahi tugas
mewujudkan rah} m atan li al-âlamîn, memakmurkan bumi dan
6
M. Natsir, Capita Selecta 2, Cet. II, (Jakarta: PT Abadi, 2008), 76-79.

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 377

mewujudkan keselamatan bagi manusia, di dunia dan akhirat. Umat


Islam akan menjadi saksi atas manusia. Sebab kata Nabi SAW, “al-
Islâmu ya’lû wa lâ yu’lâ alaihi”. (Islam itu tinggi, tidak ada yang
lebih tinggi dari Islam).
Begitulah yang sering kita dengar dari ayat-ayat maupun Hadis
Nabi SAW. Dulu, generasi-generasi pertama Umat Islam, masa
sahabat, dan tabiin, tentu tidak sulit mengerti makna ayat-ayat
tersebut. Saat itu mereka memang benar-benar menjadi umat yang
disegani. Sering kita dengar musuh-musuh Islam sudah gemetar
duluan tatkala mendengar tentara Islam datang. Dalam benak
mereka terdapat persepsi: tentara Islam tidak dapat dikalahkan.
Menghadapi apapun, Umat Islam kala itu tidak gentar. Kisah popular,
seorang tentara Islam saat Perang Qadisiyyah, sendirian masuk ke
Istana Rustum, panglima tentara Persia, tanpa sedia menundukkan
kepala. Bahkan kudanya pun dibawanya masuk, menginjak-injak
karpet istana yang indah. Juga tengoklah bagaimana seorang Ja’far
bin Abi Thalib, dalam keadaan terjepit mampu mengeluarkan
argumen-argumen jitu di hadapan Raja Najasi dan pembesar-pem-
besar Habasyah, saat Hijrah pertama. Kaum Muslim di bawah
Khalifah Muhammad al-Fatih dengan gagah berani menaklukkan
ibukota Romawi, Konstantinopel (sekarang Istanbul), sebuah
imperium yang besar dan hebat di dunia tanggal 29 Maret 1453.
Karena itu, memang bisa dikatakan, masa depan Umat Islam
dan Bangsa Indonesia, akan ditentukan oleh berhasil atau tidaknya
pendidikan berbasis karakter atas mereka. Akan tetapi, yang menjadi
masalah adalah: “Pendidikan Karakter seperti apa?”
Tentu, sebagai Bangsa yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa (bertauhid), maka tidak sepatutnya Bangsa Indonesia
mengembangkan konsep Pendidikan Karakter yang ateis atau
sekuler.7 Seyogyanya, pendidikan karakter yang dikembangkan di
Indonesia, khususnya untuk Umat Islam, haruslah pendidikan
karakter berbasis Tauhid. Jika Bangsa Cina, Jepang, AS, dan sebagai-
nya, maju sebagai hasil pendidikan karakter, tentulah Bangsa
Indonesia harus memiliki karakter yang lebih baik, tanpa perlu
menjadi komunis, ateis, atau sekuler. Dalam perspektif Tauhid inilah,
tampak sejumlah ketidakjelasan dan kerancuan dalam konsep

7
Tentang arti Pancasila, lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak
Konstitusional Umat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009).

Vol. 9, No. 2, November 2013


378 Adian Husaini

Pendidikan Karakter yang diajukan pemerintah. Misalnya,


disebutkan, bahwa
“Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk
mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan
masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan
beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi
upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945”

Jika ditanyakan, apa makna ungkapan “akhlak mulia”,


“moral”, “etika”, “adab”, menurut Falsafah Pancasila? Apakah Panca-
sila bisa dijadikan sebagai landasan untuk berakhlak mulia? Jika bisa,
bisakah dijelaskan bagaimana berakhlak mulia sesuai Pancasila?
Bisakah dijelaskan, bagaimana cara menggosok gigi yang baik
menurut Falsafah Pancasila?
Juga disebutkan, misalnya, tujuan Pendidikan Karakter adalah
untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter
bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan
berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila;
(3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap
percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai
umat manusia.
Menjadikan Pancasila sebagai pedoman pembentukan karakter
bangsa akan menimbulkan persoalan serius, karena akan terjadi ben-
turan dengan agama. Pancasila seyogyanya tidak dijadikan sebagai
pedoman amal atau pedoman karakter. Sebab, itu adalah wilayah
agama. Jika Pancasila akan ditempatkan sebagai pedoman karakter
atau moral, maka akan menjadi pedoman baru, yang menggantikan
posisi agama. Hal itu tidak akan berhasil, sebab Pancasila tidak
memiliki sosok panutan ideal yang bisa dijadikan contoh dalam
pembentukan karakter. Berbeda dengan Islam, yang memiliki suri
tauladan yang jelas dan abadi, yaitu Nabi Muhammad SAW.
Seharusnya, Bangsa Indonesia belajar dari kegagalan Orde
Baru dalam upaya penempatan Pancasila sebagai pedoman amal.
Upaya Pemerintah Orde Baru untuk menempatkan Pancasila men-
jadi landasan moral melalui sosialisasi dan indoktrinasi Pendidikan
Moral Pancasila (PMP) dan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Tahun 1978, Partai Persatuan Pembangunan menolak
pengesahan Tap MPR tentang P4. Tokoh Masyumi, Sjafroedin

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 379

Prawiranegara juga berkirim surat kepada Presiden Soeharto tanggal


7 Juli 1983, yang menyatakan, bahwa tidak ada yang namanya
moralitas Pancasila, karena urusan moral sudah ada dalam agama
masing-masing. Sjafroedin menekankan, bahwa Pancasila adalah asas
negara dan landasan konstitusi. Prof. HM. Rasjidi juga berpendapat,
P4 membahayakan keberadaan Islam. Misalnya, ajaran tentang
kerukunan beragama telah dipergunakan untuk membelenggu umat
Islam supaya tidak menentang pemurtadan umat Islam oleh aliran
kebatinan dan kristenisasi. Ada juga tokoh yang menulis bahwa P4
memberikan perlindungan terhadap aliran kepercayaan dan me-
nyingkirkan kaitan historis kedudukan Umat Islam dalam kerang-
ka ideologi Pancasila. P4 dipandang sebagai manipulasi dan pemusa-
tan penafsiran ideologi negara oleh penguasa tanpa mengaitkan asas-
asas ajaran agama, terutama Islam. Memang, sejak tahun 1975, PMP
wajib diajarkan di sekolah-sekolah. Sejak ditetapkan MPR, maka
Penataran P4 diwajibkan untuk pegawai negara dan mahasiswa.
Menurut Riswanda Imawan, penataran P4 dimaksudkan untuk
mengurangi pentingnya ideologi Islam. Ada juga yang menyebut
proses Pancasilaisasi mempunyai implikasi “deislamisasi”. Juga, me-
nurut Leifer, salah satu fungsi Pancasila adalah untuk melindungi iden-
titas budaya kelompok abangan. Muhammad Natsir menyebut diber-
lakukannya pelajaran PMP di sekolah-sekolah merupakan bentuk
pendangkalan agama dan penyamaan agama dengan Pancasila.7
Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, Ridwan Saidi
kembali menulis kolom berjudul “Gejala Perongrongan Agama”.
Lagi-lagi, politisi yang juga dikenal sebagai budayawan Betawi ini
mengupas dengan sangat tajam kebijakan Prof. Dardji Darmodiharjo.

7
Setelah Tap MPR No II/1978 disahkan, sebagian kalangan Muslim kemudian
mencoba mewarnai konsep P-4 itu dengan corak pandang Islam. Tahun 1978, Ditjen Bimas
Islam Departemen Agama RI menerbitkan sebuah buku kecil berjudul P-4, Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Islam. Ketika menjelaskan tentang sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, dikutiplah QS. al-Ikhlas (112), dan sejumlah ayat al-Qur’an lainnya
untuk mendukung pengertian tersebut. Dalam sambutannya untuk buku ini, Menteri Agama
Alamsyah Ratu Perwiranegara menyatakan, bahwa “Pengamalan Pancasila bukan lagi masalah
bagi umat beragama khususnya umat Islam, karena memang para perumusnya dahulu juga
tidak sedikit adalah tokoh-tokoh Islam selain tokoh-tokoh nasional yang juga umat Islam
terkemuka.” (Komentar: Tampaknya, langkah Menteri Agama tersebut lebih berbau politis,
untuk merebut makna Pancasila dengan kelompok lain yang memberi penafsiran yang
berbeda dengan penafsiran ala Islam. Hal ini akan tampak pada percaturan politik nasional
pada dekade 1970 dan 1980-an, dimana kubu sekular – yang antara lain diwakili oleh Menteri
P&K Daoed Joesoef – semakin lama semakin tersingkir dari pusaran kekuasaan Orde Baru
di bawah Presiden Soeharto).

Vol. 9, No. 2, November 2013


380 Adian Husaini

Beginilah antara lain gambaran yang diberikan Ridwan Saidi tentang


Prof. Dardji:
“Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada
kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan
Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato
pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah.
Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang
tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya
belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji
menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu
kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila,
seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi
Pancasila.” 8

Jika pendidikan karakter didasarkan kepada falsafah Pancasila


yang tidak dijelaskan maknanya maka, sudah barang tentu, pen-
didikan karakter itu berpijak di atas fondasi yang rapuh. Seharusnya,
pendidikan karakter di Indonesia dilaksanakan – khususnya bagi
Kaum Muslim – dengan berdasarkan kepada konsep Tauhid. Itulah
sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi pendidikan
Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha
Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama
di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul Awal 1404 H/ 21 Desember
1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila
dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai
dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak
dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk
menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha
Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat
1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain,
mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
(3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah,
meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan
antarmanusia.9
8
Lihat, Ridwan Saidi, Islam dan Moralitas Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1984), 11.
9
Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku
As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).
Lihat juga, Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH Achmad
Siddiq, (Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), 118-145; M. Ali Haidar, dalam bukunya,

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 381

Jadi, menurut keputusan Munas alim ulama tersebut, sila Ke-


tuhanan Yang Maha Esa adalah bermakna tauhid dan menjiwai sila
yang lain. Tauhid di sini juga ditegaskan: “menurut pengertian ke-
imanan dalam Islam”. Pemahaman bahwa sila pertama “Ketuhanan
Yang Maha Esa” harus dimaknai sebagai tauhid dalam Islam,
bukanlah klaim kosong. Para tokoh yang terlibat dalam perumusan
Pancasila itu sendiri sudah menegaskan, bahwa Ketuhanan Yang
Maha Esa memang harus dimaknai tauhid. Mohammad Hatta yang
giat melobi para tokoh Islam agar rela menghapus tujuh kata (dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya),
dari sila pertama dan menggantinya dengan “Yang Maha Esa”
menegaskan, bahwa pengertian “Ketuhanan Yang Maha Esa”
memang tauhid dalam ajaran Islam.
Sebenarnya, terlepas dari agama dan ideologi masing-masing,
harusnya bangsa Indonesia mau bersikap jujur, bahwa rumusan
Pancasila yang berlaku sekarang ini, tidaklah terpisahkan dari
rumusan Pembukaan UUD 1945, yang kini berlaku kembali sebagai
hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, dalam memahami sila
Pertama, misalnya, tidak boleh dilepaskan dari alinea ketiga Pem-
bukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”.
Jadi, sila pertama, menurut berbagai tokoh organisasi Islam, bisa
dikatakan sebagai penegasan konsep Tauhid dalam Islam, sebab
dalam alinea ketiga jelas-jelas disebutkan nama Tuhan yang Esa yaitu
Allah.
Dalam buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75
Tahun, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan: “Dan segala tafsir-
an dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut
historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul
dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.”10

Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), memberikan
komentar terhadap keputusan Munas Alim Ulama tersebut: “Penegasan ini sebenarnya
bukannya tidak terduga. Seperti dikemukakan Hatta ketika bertemu dengan beberapa
pemimpin Islam tanggal 18 Agustus 1945 menjelang sidang PPKI untuk mengesahkan
UUD, mereka dapat menerima penghapusan ‘tujuh kata’ yang tercantum dalam Piagam Jakarta,
karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme
tauhid dalam Islam. Kedua, demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru
diproklamasikan sehari sebelumnya… Salah seorang yang dipandang Hatta berpengaruh
dalam kesepakatan ini ialah Wachid Hasjim, tokoh NU yang memiliki reputasi nasional
ketika itu. Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah disepakati
sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu.” (hal. 285-286).
10
Lihat, Kasman Singodimedjo, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun
(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 123-125.

Vol. 9, No. 2, November 2013


382 Adian Husaini

Karena itu, sudah sepatutnya, pendidikan karakter di Indo-


nesia memang didasarkan kepada konsep tauhid. Sebagai aplikasi-
nya, karakter “toleransi”, misalnya, harus diberi batasan, bahwa
Umat Islam, tidak boleh bertoleran terhadap kemusyrikan dan
kemungkaran. Dalam tataran kebangsaan, sudah sepatutnya, negara
tidak menfasilitasi berkembangnya paham-paham syirik yang
bertentangan dengan konsep Tauhid. Untuk itu, keliru, jika siswa
diajarkan agar bertoleran terhadap semua aliran keagamaan atau
jenis pemikiran. Yang benar adalah, anak-anak Muslim ditanamkan
untuk memiliki karakter yang kuat dalam toleransi tetapi tanpa
merusak akidahnya.

Pendidikan Adab
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) dan Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1976) susunan W.J.S. Poerwadarminta, kata “adab”
didefinisikan sebagai: kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi
pekerti, dan akhlak. Sedangkan “beradab” diartikan sebagai sopan,
baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batin-
nya. Sedangkan Kamus Besar Bahasa Melayu Utusan, mengartikan
kata “adab” dengan “sopan” (lawan dari kata “biadab”). “Beradab”
berarti baik budi bahasa.11
Istilah “adab” tentu saja bukan hal yang asing bagi Bangsa
Indonesia. Sebab, kata ini sudah terbiasa digunakan di tengah
masyarakat dan juga tercantum dalam Pancasila, sila kedua, yaitu:
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Masuknya istilah “adab” dalam
Pancasila ini merupakan indikasi kuatnya pengaruh Islamic world-
view (pandangan alam Islam) dalam rumusan Pembukaan UUD
1945, dimana terdapat rumusan Pancasila. Indikasi yang lebih jelas
tentang kuatnya pandangan-alam Islam pada rumusan Pancasila
adalah terdapatnya sejumlah istilah kunci dalam Islam lainnya,
seperti kata “adil”, “hikmah”, “rakyat”, “daulat”, “wakil”, dan
“musyawarah”.
Perlu dicatat, rumusan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
sangat berbeda dengan rumusan yang pernah diusulkan oleh tokoh-
tokoh sebelumnya, Muhammad Yamin, dalam Sidang BPUPK,
tanggal 29 Mei 1945, mengusulkan rumusan sila keduanya: “Peri
Kemanusiaan”. Soekarno, pada 1 Juni 1945, mengusulkan rumusan
11
Dikutip dari Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), 77-78.

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 383

sila kedua: “Internasionalisme atau Perikemanusiaan.” Konstitusi


Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku 29 Desember 1949
sampai 17 Agustus 1950 memuat rumusan sila kedua: “Peri Ke-
manusiaan”. Rumusan “Peri Kemanusiaan” ini juga diteruskan
dalam Konstitusi UUDS, 1950 sampai 5 Juli 1959.12
Dengan mencermati berbagai rumusan sila kedua yang pernah
diusulkan atau dicantumkan dalam beberapa Konstitusi RI, tampak
bahwa dua istilah – “adil” dan “adab” — ini jelas berasal dari kosakata
Islam, yang memiliki makna khusus (is} t} i lâhan) dan hanya bisa
dipahami dengan tepat jika dirunut pada pandangan-dunia Islam.
Kedua istilah tersebut jelas tidak ditemukan dalam tradisi Indonesia
asli, sebelum kedatangan Islam. Adil adalah istilah “khas” yang
terdapat dalam banyak sekali ayat al-Qur’an. Sebagai contoh dalam
al-Qur’an Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan ber-
laku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat
dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah meng-
ingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS. 16:90).
Prof. Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan tentang
makna adil dalam ayat ini, yaitu “menimbang yang sama berat,
menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengem-
balikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim,
aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran
karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahan-
kan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau
keluarga sendiri. “Maka selama keadilan itu masih terdapat dalam
masyarakat, pergaulan hidup manusia, maka selama itu pula per-
gaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-memper-
cayai,” tulis Hamka.13
Jadi, adil bukanlah sama rata-sama rasa. Konsep adil adalah
konsep khas Islam yang oleh orang Islam, seharusnya dipahami dari
perspektif pandangan-dunia Islam, karena konsep ini terikat dengan
konsep-konsep Islam lainnya. Jika konsep adil dipahami dalam
kerangka pandangan-alam Barat (western worldview), maka akan
berubah maknanya. Sejumlah aktivis Kesetaraan Gender, yang
berpedoman pada “setara” menurut pandangan Barat, misalnya,
mulai menggugat berbagai ajaran Islam yang dinilai menerapkan
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Dipertanyakan,
12
Kaelani, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2010, edisi ke-9), 24-27.
13
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997).

Vol. 9, No. 2, November 2013


384 Adian Husaini

mengapa akikah untuk bayi laki-laki, misalnya, adalah dua kambing


dan akikah untuk bayi perempuan adalah 1 kambing. Konsep itu
dinilai tidak adil dan diskriminatif. Dalam Islam, laki-laki berhak
menjadi imam shalat bagi laki-laki dan perempuan adalah adil. Me-
nurut konsep yang lain, bisa dikatakan tidak adil. Dalam pandangan
demokrasi Barat, tidak ada pembedaan antara hak “orang jahat”
dengan”orang baik” dalam kesaksian dan berbagai aspek kehidupan
lainnya. Bagi hukum pidana yang berlaku sekarang, dianggap adil
jika Presiden – yang tidak ada hubungan keluarga apa pun – berhak
memberikan grasi kepada seorang terhukum. Tetapi, dalam Islam,
yang lebih adil adalah jika hak pengampunan itu diberikan kepada
keluar korban kejahatan. Jadi, kata adil, memang sangat beragam
maknanya, tergantung pandangan-dunia apa yang digunakan.
Sejumlah kalangan, dengan alasan HAM, menilai aturan Islam
tidak adil, karena melarang wanita Muslimah menikah dengan laki-
laki non-Muslim. Juga dengan dasar yang sama, mereka menuntut
keadilan, agar kaum homoseksual dan lesbian juga diberikan hak
yang sama untuk diakui keabsahan pernikahan mereka, sebagai-
mana pernikahan kaum hetero. Lama-lama, bisa juga mereka
menuntut hak untuk pengesahan perkawinan manusia dengan
binatang, dengan alasan, tidak mengganggu orang lain. Ada juga
tuntutan hak untuk mati, sebagaimana hak untuk hidup, dan
sebagainya. Karena itu, jika istilah “adil” dalam sila kedua – Kema-
nusiaan yang Adil dan Beradab – dilepaskan maknanya dari sudut
pandangan-alam (worldview) Islam, maka akan terlepas pula makna-
nya yang hakiki, sebagaimana dimaksudkan oleh para perumus
Pancasila itu sendiri.
Bagi Kaum Muslim, khususnya, Prof. Naquib al-Attas meng-
ingatkan perlunya memperhatikan masalah penggunaan bahasa atau
istilah-istilah dasar dalam Islam dengan benar agar jangan sampai
terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan dalam memahami
Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran. Menurut
Prof. Naquib, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini menjadi
kabur dipergunakan sewenang-wenang, sehingga menyimpang dari
makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman
bahasa (de-Islamization of language). Contoh kasus penafi-islaman
bahasa adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai
“tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf
tanpa batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalah-
pahaman makna istilah “adab”, yang diartikan hanya sebagai adat

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 385

peraturan mengenai kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan


berpura-pura sopan.14

Makna Adab
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Muliakanlah
anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka”. Dalam hadis lain juga
disebutkan, “Jika seseorang mendidik anaknya (menjadikan anaknya
beradab), maka itu lebih baik baginya daripada bersedekah setiap
harinya setengah sha’”. (HR Imam Ahmad)
Istilah “adab” dalam kedua Hadis Nabi SAW tersebut identik
dengan istilah pendidikan saat ini. Karena itulah, istilah “adab” juga
merupakan salah satu istilah kunci dalam Islam. Para ulama telah
banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Di
Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, Pendiri NU, menulis sebuah
buku berjudul Âdab al-‘Âlim wa al-Muta’allim (edisi Indonesia: Etika
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007). Terjemahan
harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara
panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka
kitabnya dengan mengutip hadis Rasulullah SAW: “Hak seorang anak
atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan
yang baik, dan adab yang baik.” Dikutip juga perkataan sejumlah
ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “Hendaknya
seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun.”
Habib bin al-Syahid suatu ketika menasehati putranya:
Bergaullah engkau dengan para fukaha serta pelajarilah adab mereka.
Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada
banyak hadis.” Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Wahai
putraku, jadikanlah ilmumu seperti garam dan adabmu sebagai tepung.”
Ibn al-Mubarak menyatakan bahwa mempunyai adab meskipun
sedikit lebih dibutuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan.
Suatu ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: “Se-
jauh manakah perhatianmu terhadap adab?” Beliau menjawab: “Se-

14
Lihat, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam
(Pulau Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), 60. Secara khusus, Prof. Naquib al-Attas
mengingatkan: “Many major key terms in the Islamic basic vocabulary of the languages of
Muslim peoples have now been displaced and made to serve absurdly in alien fields of meaning.
This modern cultural phenomenon is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind
of regression towards non-Islamic worldviews; it is what I call the de-islamization of language.”
Lihat, S.M.N. al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980),11.

Vol. 9, No. 2, November 2013


386 Adian Husaini

tiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran budi pekerti meski hanya
satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut merasakan (men-
dengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran
(telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap
pengajaran budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, “Lalu bagaimanakah
usaha-usaha dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, “Aku akan
senantiasa mencarinya laksana usaha seorang ibu yang mencari anak
satu-satunya yang hilang.”
Maka, dalam bukunya ini, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan
kesimpulan:
Kaitannya dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain
menjelaskan, “Konsekuensi dari pernyataan tauhid yang telah
diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada
Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa
sedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan
itu, tauhidnya dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika
keimanan tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-
hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memiliki
keimanan dan tauhid yang benar. Begitu pun dengan pengamalan
syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka
pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat, dan belum
dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.
Berdasarkan beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para
ulama di atas, kiranya tidak perlu kita ragukan lagi betapa
luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama Islam. Karena,
tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah
yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT
(sebagai satu amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah
(hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah
(perbuatan). Dengan demikian, dapat kita maklumi bahwa salah
satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di sisi
Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan
dalam setiap amal perbuatan yang dilakukannya.15

Demikianlah penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang makna


adab. Menyimak paparan pendiri NU tentang adab tersebut, maka
tidak bisa tidak, kata “adab” memang merupakan istilah yang khas
maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan ibadah dalam
Islam. Adab bukan sekedar “sopan santun” atau baik budi bahasa.

15
K.H. M. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian Wacana,
2007).

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 387

Oleh karena itu tentunya sangat masuk akal jika orang Islam
memahami kata “adab” dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami
oleh sumber-sumber ajaran Islam dan para ulama Islam. Sebab,
memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam.
Jika adab hanya dimaknai sebagai “sopan-santun”, maka bisa-
bisa ada orang yang menyatakan, Nabi Ibrahim AS sebagai orang
yang tidak beradab, karena berani menyatakan kepada ayahnya,
“Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada dalam kesesatan
yang nyata.” (QS. 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan sopan
santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’an al-munkar) akan
dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang
menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap
tidak sopan. Banyak yang menganggap tentang dosa zina, dan
dianggap tidak etis jika masalah itu diangkat ke permukaan, semen-
tara masalah korupsi harta bisa diangkat ke permukaan.
Karena itulah, menurut Islam - sekali lagi menurut ajaran Islam
– harkat dan martabat sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan
Allah, dan bukan pada manusia atau budaya. Sebagai contoh, kriteria
orang yang mulia, menurut al-Qur’an adalah orang yang paling
takwa (QS. 49:13). Oleh karena itu, seharusnya, dalam masyarakat
yang beradab, Kaum Muslim harus menghormati seseorang karena
keimanan dan ketakwaannya; bukan karena jabatannya, kekayaa-
annya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya ber-
adab, menurut al-Qur’an. Begitu juga ketika al-Qur’an memuliakan
orang yang berilmu (QS. 35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab,
seorang Muslim wajib memuliakan orang yang berilmu dan terlibat
dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat yang beradab juga masyarakat
yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi tidak beradab,
jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan
diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika
tidak menjadikan tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya. Al-
Qur’an sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang
berilmu dan yang tidak berilmu. Orang yang beriman dan berilmu
akan diangkat derajatnya. “Katakanlah, tidaklah sama, orang yang
tahu dan orang yang tidak tahu.” (QS. 39:9). “Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu, beberapa derajat.” (QS. 58:11).
Karena itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak
menggunakan segala potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu.
Orang-orang seperti ini, dalam al-Qur’an, disamakan derajatnya

Vol. 9, No. 2, November 2013


388 Adian Husaini

dengan binatang ternak:


“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam
kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai qalb tapi
tidak untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mem-
punyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.
Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179).

Bangsa Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar


jika mengabaikan tradisi ilmu yang benar sebagaimana digariskan
dalam al-Qur’an ini. Dalam perspektif Islam, manusia beradab
haruslah yang menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama
mereka. Sebab seorang Muslim senantiasa berdoa: “Rabbi zidniy
’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah
SAW juga mengajarkan doa, agar ilmu yang dikejar dan dimiliki
seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan ilmu-
lah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan
sesuatu pada tempatnya, sesuai ketentuan Allah SWT. Inilah konsep
adab sebagaimana dipahami oleh Kaum Muslim.
Dengan demikian, jika ditelaah, adalah sangat masuk akal
menghipotesakan, bahwa masuknya kata “adil” dan “adab” dalam
sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah usulan para tokoh
Islam yang duduk dalam “Panitia Sembilan”. Perlu dicatat, bahwa
sebelum “Panitia Sembilan” bermusyawarah, Soekarno dan
Muhammad Yamin sudah mengajukan asas atau dasar “peri-ke-
manusiaan” sebagai salah satu asas atau dasar dari Dasar Negara
Indonesia. Mengapa, misalnya, sila kedua itu tidak berbunyi:
Kemanusiaan yang sopan dan berbudi? Atau Kemanusiaan yang sopan
dan santun? Atau, hanya berhenti pada istilah kemanusiaan. Jika
demikian, maka akan sangat mungkin kata ini dimaknai secara
fleksibel dan netral agama. Inilah yang secara mendasar digugat oleh
Mohammad Natsir dalam pidatonya di Majelis Konstituante, “Di
mana sumber perikemanusiaan itu?” Bagi yang memegang nilai-nilai
relativisme dalam kebenaran dan moral, maka makna “kemanusia-
an” akan memiliki makna yang nisbi dan tidak absolut, tergangung
pada tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Seperti disinggung
sebelumnya, jika masyarakat tidak berkeberatan dengan budaya
pornografi dan pornoaksi, maka nilai itu akan dianggap sebagai

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 389

kebenaran. Orang yang menentang tradisi masyarakat tersebut bisa


dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga ketika suatu
masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman
keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar. Menurut kaum
relativis ini, tidak ada nilai yang tetap sepanjang zaman dan
sembarang tempat. Nilai selalu berubah. Batasan aurat wanita,
misalnya, menurut mereka, tidak ada yang tetap, tetapi berdasarkan
budaya setempat. Apa yang sopan dan tidak sopan, ditentukan oleh
tradisi dan kesepakatan dan konsensus. Tentu saja, konsep semacam
ini sangat berbeda dengan konsep Islam.
Karena itulah, masuknya kata “adil” dan “adab” dalam sila
kedua dari Pancasila semakin memperkuat bahwa Pancasila bukan-
lah konsep yang netral agama. Tampak, pandangan-dunia Islam yang
dibawa oleh para tokoh perumusnya, terutama KH. Wachid Hasyim
(Putra KH. Hasyim Asy’ari), Haji Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir,
dan Abikusno Tjokrosuyoso, cukup mewarnai rumusan Pancasila,
sehingga sangat tidak keliru jika umat Islam memberi makna adil
dan adab sesuai dengan makna dalam Islam, bukan makna yang
netral agama. Sebab, jika istilah adil dan adab diletakkan dalam
bingkai atau perspektif pandangan-dunia sekular atau netral agama,
maka kata itu juga tidak akan bermakna sesuai dengan makna
asalnya. Dengan demikian, adalah tidak fair, tidak adil dan tidak
beradab, jika orang Islam memberi makna adil dan adab dilepaskan
dari pandangan-alam Islam. Bisa dipastikan, sebelum Islam masuk
ke wilayah Nusantara, kedua istilah tersebut tidak dikenal di wilayah
ini. Hingga kini, tidak ditemukan, terjemahan yang tepat dari kata
adil dan adab ke dalam Bahasa Jawa, Minang, Sunda, Makasar, dan
sebagainya.

Adab dan Tujuan Pendidikan


Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam
disampaikan oleh Prof. Naquib al-Attas. Menurutnya, adab adalah
pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan
kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat
martabat dan derajat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku
dalam tabiat semesta. Pengenalan adalah ilmu; pengakuan adalah
amal, maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal;
dan pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. Keduanya
sia-sia karena yang satu mensifatkan keingkaran dan keangkuhan,
dan yang satu lagi mensifatkan ketidaksadaran dan kejahilan.

Vol. 9, No. 2, November 2013


390 Adian Husaini

Lebih jauh, Prof. Naquib al-Attas menjelaskan, bahwa jatuh-


bangunnya umat Islam, tergantung sejauhmana mereka dapat
memahami dan menerapkan konsep adab ini dalam kehidupan
mereka. Lebih jauh, pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu ini
menjelaskan:
“Ta’rif adab yang dikemukakan di sini dan yang lahir dari
pengertian Islam, dengan sendirinya menjelaskan bukan sahaja
harus dia itu ditujukan maksud pengenaannya pada bangsa
insani belaka; bahkan dia juga harus dikenakan pada keseluruhan
alam tabi’i dan alam ruhani dan alam ilmi. Sebab, adab itu
sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau
dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka
kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada
sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang
merupakan ma’lumat bagi ilmu. Tiap sesuatu atau seseorang
memiliki hak yang meletakkannya pada keadaan atau kedudukan
yang sesuai bagin keperluannya. Ilmulah, dibimbing serta diyakini
oleh hikmat, yang memberitahu atau memperkenalkan sehingga
ketara tentang hak yang mensifatkan sesuatu atau seseorang itu;
dan keadilan pula yang menjelaskan hukum tentang di manakah
atau bagaimanakah letak keadaan atau kedudukannya. Apabila
faham adab itu dirujukkan kepada sesama insan, maka dia ber-
maksud pada kesusilaan akhlakiah yang mencarakan kewajiban
diri berperangai mengikut keperluan haknya dalam susunan ber-
peringkat darjat yang terencana, umpamanya, dalam keluarga,
dalam musharakat, dalam berbagai corak pergaulan kehidupan.
Apabila dia dirujukkan pada alam ilmi pula, maka dia bermaksud
pada ketertiban budi menyesuaikan haknya pada rencana
susunan berperingkat martabat yang mensifatkan ilmu;
umpamanya pengenalan serta pengakuan akan ilmu bahawa dia
itu tersusun taraf keluhuran serta keutamannya, dari yang
bersumber pada wahyu ke yang berpunca pada perolehan dan
perolahan akal; dari yang fardu ain ke yang fardu kifayah; dari
yang merupakan hidayah bagi kehidupan ke yang merupakan
kegunaan amali baginya. Dan adab terhadap ilmu itu iaitu
mengenali serta mengakui taraf keluhuran serta keutamaan yang
terencana pada ilmu, nescaya dapat menghasilkan dalam diri
pencapaian yang seksama terhadap meramukan, menurut taraf
keperluannya, pelbagai macam ilmu yang membina keadilan
dalam diri. Dan keadilan dalam diri itu menyesuaikan haknya
pada kewajiban membimbingnya ke arah pengenalan serta
pengakuan akan ilmu yang bersumberkan wahyu, yang
menyesuai hak diri jua, dan yang dengannya dapat menjelmakan

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 391

akibat amali dalam diri sehingga menyelamatkannya dunia-


akhirat.” 16

Jadi, seperti ditegaskan oleh Prof. Naquib al-Attas, di dalam


Islam, konsep adab memang sangat terkait dengan pemahaman
tentang wahyu. Orang beradab adalah yang dapat memahami dan
meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan
martabat yang ditentukan oleh Allah. Di dalam Islam, orang yang
tidak mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan, bisa dikatakan
tidak adil dan tidak beradab. Sebab, di dalam al-Qur’an, syirik
dikatakan sebagai kezaliman besar, seperti dikatakan Lukman
kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menserikatkan
Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang besar.” (QS. 31:13).
Adalah tidak beradab mengangkat derajat makhluk ke derajat al-
Khalik. Begitu juga menurunkan derajat al-Khalik ke derajat
makhluk juga tindakan yang tidak beradab. Orang yang berilmu
juga tidak sama derajatnya dengan orang bodoh. Begitu juga orang
mukmin, tidak sama derajatnya dengan orang kafir (QS. 98; QS.
3:110, 119). Jadi, derajat manusia di hadapan Allah SWT tidaklah
sama. Derajat seseorang di hadapan Allah tergantung pada keimanan
dan ketakwaannya.
Konsep adab seperti ini sesuai dengan istilah dan tujuan
Pendidikan Islam itu sendiri, yaitu ta’dib dan tujuannya adalah
membentuk manusia yang beradab (insan adaby). Prof. Naquib al-
Attas dalam bukunya, Islam and Secularism, menggariskan tujuan
pendidikan dalam Islam tersebut: “The purpose for seeking knowledge
in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual
self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman…
the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is
the inculcation of adab…”17

16
Uraian selengkapnya tentang adab bisa dikaji dalam buku Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), 118-120. Dalam
rumusan lain, al-Attas mendefinisikan: “Adab is recognition and acknowledgement of the reality
that knowledge and being are ordered hierarchically according to their various grades and degrees
of rank, and of one’s proper place in relation to that reality and one’s physical, intellectual and
spiritual capacities and potentials.” Lihat: Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of
Education in Islam, (Petaling Jaya: ABIM, 1980), 27.
17
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC,
2003), 150-151.

Vol. 9, No. 2, November 2013


392 Adian Husaini

“Orang baik” atau good man, bisa dikatakan sebagai manusia


yang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya. Dengan
berpijak kepada konsep adab dalam Islam, maka “manusia yang
baik” atau “manusia yang beradab”, adalah manusia yang mengenal
Tuhannya, mengenal dan mencintai nabinya, menjadikan Nabi SAW
sebagai uswah h}asanah, menghormati para ulama sebagai pewaris
nabi, memahami dan meletakkan ilmu pada tempat yang terhormat
– paham mana ilmu yang fardhu ain, dan mana yang fardu kifayah;
juga mana ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang merusak – dan
memahami serta mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah
Allah dengan baik.

Penutup
Istilah adab sejatinya merupakan salah satu istilah kunci
(Islamic basic vocabulary) dalam ajaran Islam, yang berhasil dimasuk-
kan oleh para pendiri Bangsa Indonesia ke dalam Pancasila. Karena
berasal dari kosa kata Islam, maka seyogyanya istilah adab yang
sebenarnya juga harus dipahami dalam perspektif pandangan alam
(worldview) Islam. Pemaknaan “adab” dengan sopan-santun, baik
budi bahasa, tidak sesuai dengan makna istilah ini sendiri dalam
ajaran Islam, yang pada intinya adalah memahami dan mengakui
segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan
Allah SWT.
Karena pentingnya penegakan adab di tengah masyarakat
Muslim, maka pakar pendidikan dan pemikiran Islam, Prof. Dr.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, sudah mengajukan istilah “ta’dib”
untuk suatu proses pendidikan, yang tujuannya adalah membentuk
manusia yang beradab, atau manusia yang baik (a good man).
Dengan itu, tujuan pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang
beradab. Adalah aneh, meskipun tercantum dalam Pancasila, konsep
adab tidak dipahami sebagaimana mestinya. Karena pentingnya kon-
sep adab ini, maka sudah saatnya pemerintah dan Umat Islam pada
umumnya mengacu pada konsep adab dalam penyelenggaraan
pendidikan berbasis karakter.[]

Jurnal TSAQAFAH
Pendidikan Karakter Berbasis Ta’dîb 393

Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1980. The Concept of Education
in Islam. Petaling Jaya: ABIM.
_________. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur:
ISTAC.
_________. 2003. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
_________. 2007. Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam. Pulau
Pinang: Universiti Sains Malaysia,.
Arsalan, Al-Amir Syakib. 1992. Mengapa Kaum Muslimin Mundur.
Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’ari, K.H. M. Hasyim. 2007. Etika Pendidikan Islam (terj.). Yogya-
karta: Titian Wacana.
Bisri, A. Mustofa. 2009. “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said
Ali. Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta:
LP3ES.
Haidar, M. Ali. 1994. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hamka. 1997. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Husaini, Adian. 2009. Pancasila bukan untuk Menindas Hak Kons-
titusional Umat Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Kaelani. 2010. Pendidikan Pancasila, Edisi Ke-9. Yogyakarta: Para-
digma.
Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar Pada Karakter. Jakarta:
Lembaga Penerbit FE-UI.
Natsir, M. 2008. Capita Selecta 2, Cet. II. Jakarta: PT Abadi.
Noeh, Munawar Fuad. dan Mastuki HS (ed.). 2002. Menghidupkan
Pemikiran KH Achmad Siddiq. Jakarta: Pustaka Gramedia
Utama.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang. 2011. Panduan Pelak-
sanaan Pendidikan Karakter, Jakarta: Kemendiknas.
Pusat Kurikulum. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Kemendiknas.

Vol. 9, No. 2, November 2013


394 Adian Husaini

Saidi, Ridwan. 1984. Islam dan Moralitas Pembangunan. Jakarta:


Pustaka Panjimas.
Singodimedjo, Kasman. 1982. Hidup Itu Berjuang, Kasman
Singodimedjo 75 Tahun. Jakarta: Bulan Bintang.
Syihab, Usman. 2010. Membangun Peradaban dengan Agama. Ja-
karta: Dian Rakyat.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban Umat
Islam Menurut Muhammad Fethullah Gulen
Usman Syihab*
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
Email: usmansyihab@uinjkt.ac.id

Abstract
This article examines Muhammad Fethullah Gulen’s thought on the roles
of religion in reconstruction of a civilization. The article analyzes the problem
anatomy of the Ummah, concepts of civilization, relationship between identity
and civilization, religion and its roles in formation of civilization identity, the
“essential” conditions for Muslim’s renaissance, and the role of Islamic scholars
in the renaissance process. The article reveals Gulen’s idea, that the Muslim’
crises is internal in nature, and not because of others, it is a “liability to be
colonize” attitude. Religion has a vital role in construction of a civilization identity.
A religion can be pillar of a civilization is a religion that has lofty goals, able to
apply moral values, upgrade spiritual quality, and fulfill human’s soul needs.
According to Gulen, every civilization has its links with the past and its cultural
haritage, and that any attempt to reconstruct a future civilization has to consider
its own cultural roots. Thus, a civilization is neither a life adopted from colonials
nor values that has been deprived from its own noble values. The article, using
philosophical, historical and sociological approaches, tries to analyze the
“essential” conditions that able to restore Islamic civilization and spawn Muslim’s
renaissance, mainly; a) moral-spiritual, b) knowledge, c) aesthetic, and d) love.
The article also explains critically the roles and missions of ulamâ in making
“resurrection from the grave”, renaissance and total reform of the ummah.

Keywords: Muhammad Fethullah Gulen, Renaissance, Religion,


Civilization, Moral-Spiritual

*
Jl. Ir. H. Djuanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan, 15412. Telp: (+6221) 7401925.

Vol. 10, No. 2, November 2014


342 Usman Syihab

Abstrak
Makalah ini mengkaji pemikiran Muhammad Fethullah Gulen tentang
peranan agama dalam rekonstruksi sebuah peradaban. Ia menganalisis anatomi
problem umat, konsep peradaban dan hubungan jati diri dengan peradaban,
agama, dan peranannya dalam pembentukan jati diri peradaban, syarat-syarat
renaissance umat Islam, serta peranan ulama dalam proses renaissance. Makalah ini
menjelaskan pendapat Gulen bahwa krisis umat Islam adalah internal, bukan
dari luar, yaitu sikap “kelayakan dijajah”. Bagi Gulen agama memiliki peran
vital dalam pembentukan jati diri sebuah peradaban, dan bahwa agama yang
dapat menjadi pilar peradaban adalah agama yang memiliki tujuan luhur,
menerapkan nilai moral, meningkatkan kualitas spiritual dan memenuhi rasa
dahaga jiwa manusia. Menurut Gulen setiap peradaban harus memiliki hubungan
dengan masa lampaunya, dan memiliki hubungan dengan warisan kebudayaannya
sendiri, dan bahwa usaha mencari dan membangun peradaban yang lebih baik
untuk masa depan tidak akan berhasil kecuali dengan mengambil akar-akar
kebudayaan yang dimiliki. Oleh karena itu peradaban bukan bentuk kehidupan
yang diadopsi dari para penjajah dan bukan pula nilai-nilai yang telah mencerabut
umat dari nilai-nilai luhur yang dimiliki. Makalah, dengan pendekatan filosofis,
historis, dan sosiologis ini menganalisis syarat-syarat penting peradaban yang
ideal yaitu; a) moral-spritual, b) ilmu pengetahuan, c) estetika, dan d) cinta.
Makalah ini juga menjelaskan secara kritis peran dan misi ulama dalam meng-
gerakkan “kebangkitan dari kubur”, renaissance, dan reformasi total umat Islam.

Kata Kunci: Muhammad Fethullah Gulen, Renaissance, Agama,


Peradaban, Moral-Spiritual

Pendahuluan

M
uhammad Fethullah Gulen (yang selanjutnya disebut
Gulen) adalah sosok arsitek spiritual berasal dari Turki.
Lahir 11 November 1938 di Erzurum, Turki, dan kini me-
netap di Amerika Serikat. Lahir di tengah keluarga yang sangat aga-
mis dan sarat akan semangat keislaman. Memulai pendidikan dari
rumahnya sendiri; belajar bahasa Arab dan Persia dan dasar-dasar
agama dari ayahnya kemudian berlanjut dalam lembaga pendidikan
resmi. Menimba ilmu-ilmu keislaman dari ulama-ulama besar yang
ada di kota kelahirannya, mengenali dan mempelajari pemikiran Said
Nursi, dan mempelajari karya-karya utama filosof Barat dan Timur.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 343

Gulen memulai kiprahnya di kota Izmir dengan menjadi guru


di sebuah madrasah tahfiz al-Qur’an Kastanah Bazari dan madrasah
Kawaizh, dan kemudian menjadi imam besar di masjid kota Izmir.
Dari kota ini Gulen melakukan perjalanan keliling Turki untuk me-
nyampaikan ceramah ilmiah dengan topik beragam meliputi masalah
agama, sosial, filsafat, dan pemikiran. Menggagas apa yang disebut
dengan Hizmet Movement (pelayanan untuk masyarakat) yang melibat-
kan banyak orang dari berbagai bidang khususnya pendidikan dengan
semboyan “cinta dan sabar”. Sejak tahun 1990, Gulen mulai meng-
gagas sebuah gerakan internasional dalam dialog dan toleransi
antarbangsa yang jauh dari segala bentuk fanatisme dan pemahaman
yang kaku. Gulen adalah aktivis perdamaian, sarjana intelektual dan
agamis, pengarang dan penyair, dan pemandu spiritual. Gerakan yang
dilakukannya adalah gerakan pendidikan, pendidikan untuk hati,
jiwa, dan juga pikiran, yang ditujukan untuk merestorasi umat dan
membangun peradaban manusia yang berbasis spritiual, cinta, dan
toleransi. Atas semua kiprahnya, pada tahun 2008 Foreign Policy
Magazine menempatkannya dalam urutan nomor satu dari seratus
tokoh intelektual paling berpengaruh di dunia. Gulen telah menulis
lebih dari 70 buku, di antaranya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, Inggris, Jerman, dan bahasa Indonesia. Di antara karya-karya
Gulen yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa
Indonesia adalah: Membangun Peradaban Kita, Bangkitnya Spiritualitas
Islami, Cahaya Abadi Muhammad Shallallau Alaihi Wasallam, Cahaya
Al-Qur’an, Dakwah, Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, dan Qadar.
Untuk menyebarkan pemikiran dan pengaruh Gulen ke se-
luruh dunia, para murid dan pendukungnya mendirikan “Kursi Ke-
hormatan” di berbagai negara, di lingkungan akademisi, yang antara
lain adalah Fethullah Gulen Chair yang telah dibuka di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 2009.

Anatomi Krisis Umat


Islam sebagai suatu peradaban semakin tidak berdaya di
tengah-tengah dominasi peradaban Barat dan globalisasi nilainya.
Sekalipun konflik yang diakibatkan oleh clash of civilizations tidak
menjurus menjadi peperangan besar, ia sebenarnya secara diam-diam
telah memakan bermacam-macam aspek budaya hidup Muslim1
1
Mohamad Abu Bakar, Persekitaran Strategik Umat Islam Abad Ke-21, (Kuala Lumpur:
Utusan Melayu, 2000), 9.

Vol. 10, No. 2, November 2014


344 Usman Syihab

dan kepentingannya. Ketika hampir kesemua negara Islam sedang


berhempas pulas coba berdiri sebagai entitas politik yang bebas, mer-
deka, dan berdaulat, ketika ia sedang bertarung dengan bermacam-
macam persoalan sosio-ekonomi, dan ketika ia sedang dalam keada-
an terdesak menangani masalah kesehatan, buta huruf dan pen-
cemaran alam, pada saat yang sama ternyata ia terpaksa pula meng-
hadapi kenyataan yang sungguh menantang dari peradaban Barat.
Pergerakan dan kebangkitan Islam yang sedang berputik, atau yang
masih berada pada tahap permulaan menjadi tersudut apabila
berkonfrontasi dengan monolith Barat yang hanya tahu merempuh
apa saja yang menghalang pergerakannya.2 Semakin Barat ber-
kembang semakin mengecil harapan kebangkitan dunia Islam.
Negara Muslim yang kelihatan menantang peradaban Barat dan
menggugat ‘orde internasional kontemporer’ akan digempur dan
dihancurkan. Begitulah nasib Iran, Sudan, Libya, Somalia,
Afganistan, Irak, Mesir, dan Syiria. Peristiwa berkaitan dan berikutan
serangan ke atas Pusat Dagangan Dunia dan Pentagon di Amerika
Serikat, 11 September 2001, telah menjelma dengan lebih ketara
lagi kedudukan dunia Islam dalam peta strategi terbaru. Kejadian
di New York tersebut menjadi jalan bagi Barat untuk memerangi
Osama bin Laden, Saddam Husen, Muammar Ghadafi, Jamaah
Islamiyah, dan negara-negara Islam dengan alasan menghapus
terorisme internasional.
Huntington menilai bahwa hubungan antara Islam dan Barat
adalah hubungan yang dipenuhi oleh konflik. Menurutnya, selama
empat belas abad sejarah membuktikan bahwa hubungan antara
Islam dan Kristen sering memanas. Konflik antara Demokrasi Liberal
dan Marxisme-Leninisme pada abad kedua puluh hanya merupakan
fenomena sejarah yang kecil dan sementara jika dibandingkan
dengan konflik yang berterusan dan dalam antara Islam dan Kristen.
Dalam masa-masa perdamaian tidak dapat dipertahankan;
hubungan bertambah banyak berisikan permusuhan dan berbagai
bentuk peperangan yang panas.3 Huntington mengutip kata-kata
John Esposito yang mengatakan “selalu ditemukan antara kedua-

2
Ibid., 7.
3
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remarking of World Order,
(New York: Touchstone, 1997), 209.
4
John L. Esposito, The Islamics Threat: Myth or Reality, (New York: Oxford University
Press, 1992), 46.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 345

dua masyarakat dalam kompetisi, dan terkunci dalam kancah pe-


perangan, untuk kuasa, tanah, dan jiwa.”4 Sepanjang berbagai abad
nasib kedua agama tersebut naik dan turun saling bergantian.5
Berdasarkan pada perspektif clash (konflik), Huntington selanjutnya
berpendapat bahwa Islam adalah ancaman yang paling berbahaya
bagi peradaban Barat modern, khususnya setelah kejatuhan
komunisme.6
Masyarakat Islam adalah masyarakat “pasca-peradaban”
(marh}alah mâ ba’da al-had}ârah). Masyarakat yang telah melampaui
fase peradaban. Yaitu “masyarakat yang sudah jumud pemikirannya
dan bergerak ke belakang.”7 Masyarakat pasca peradaban, bukan
hanya tidak bergerak dari tempatnya, melainkan masyarakat yang
mundur atau berjalan ke belakang, setelah menyeleweng jauh dan
putus dari peradabanya.8 Masyarakat yang telah terkeluar dari pe-
radaban (pasca-peradaban) yang tidak dapat lagi menghasilkan
karya-karya peradaban (oeuvre civilisatrice) dan mengadakan peru-
bahan-perubahan yang fundamental.9 Yaitu masyarakat yang me-
nurut Malik Bennabi, filusuf sosiologi dari Aljazair, sebagai masyarakat
yang layak atau memiliki syarat-syarat untuk dijajah (al-qâbiliyyah
li al-isti’mâr). 10
Gulen, menyadari benar bahwa krisis yang dialami oleh umat
Islam sekarang ini adalah krisis yang multidimensi dan menyeluruh.
Krisis luar biasa yang menyerang hampir seluruh sendi kehidupan
kaum Muslim. Mulai dari akidah, akhlak, pola pikir, pendidikan,
produktivitas, tradisi, budaya, bahkan hingga ranah sosial-politik.11
Mereka terbelenggu dalam kebodohan, dekadensi moral, klenik,
dan hedonisme yang hanya ingin memuaskan syahwat jasmani.
Mereka sedang terbenam dalam kegelapan yang parah. Mereka
bingung bagai ayam kehilangan induk, atau laksana biji-biji tasbih
yang lepas dari tali perangkainya. Saat ini mereka sedang tertindas
5
Huntington, The Clash of Civilizations…, 209.
6
Huntington memperbincangkan pendapatnya secara panjang lebar dalam bukunya,
the Clash of Civilization, dari bab 8 hingga 10.
7
Malik Bennabi, Musykilât al-Afkâr fî al-‘Âlam al-Islâm, Terj. Bisam Barkah dan
Ahmad Sakbu, (Damascus, Syria: Dâr al-Fikr, 1980). 40.
8
Malik Bennabi, Syurût} al-Nahd}ah , Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin dan Umar Kamil
Miskawi, (Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4, 1987), 38.
9
Ibid., 78.
10
Ibid., 92.
11
Muhammad Fethullah Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, (Jakarta: Republika,
2012), 1.

Vol. 10, No. 2, November 2014


346 Usman Syihab

di bawah kaki kekuatan yang tak kasat mata. Mereka tertekan dan
terguncang. Lemah tak berdaya. Remuk rendam centang perenang
dikoyak kuasa jahat. Mereka semua kebingungan.12
Menurut Gulen, sebab utama dari krisis ini adalah faktor
internal, bukan eksternal. Dengan bahasa yang sama dengan bahasa
yang digunakan Malik Bennabi, Gulen mengatakan bahwa umat
Islam “terseret ke arah ketidakberdayaan di semua aspek kepri-
badiannya sehingga ia menjadi mudah dijarah dan “layak untuk
dijajah.”13 “Tak ada gunanya kita berlelah-lelah mencari musuh di
luar diri kita, karena musuh kita yang sebenarnya justru ada di dalam
diri kita sendiri. Dengan tenang musuh kita itu duduk bertumpang
kaki di dalam istananya sembari terus tertawa terbahak-bahak dalam
hati ketika melihat kesengsaraan kita.”14 Di masa lalu umat Islam
telah berhasil membangun sistem pemerintahan paling sempurna
yang pernah ada dalam sejarah manusia. Sebuah sistem pemerinta-
han yang tak pernah terbayang oleh siapa pun. Selama sekian abad
umat Islam menjadi umat yang paling teguh dalam berpegang pada
agama mereka serta menjadi umat yang paling luhur akhlaknya dan
paling sempurna kebudayaannya. Pada masa keemasan itu kaum
Muslim mampu melebarkan sayap kekuasaan mereka dengan
menggunakan tiga hal, yaitu: inspirasi, rasional, dan pengalaman.15
“Sungguh menyakitkan ketika kita dapati saat ini seluruh dunia
kembali jauh dari nilai-nilai Islam yang telah mengangkat harkat
manusia selama berabad-abad.”16

Peranan Agama dalam Pembentukan Jati Diri Peradaban


1. Konsep Peradaban
Kata peradaban berasal dari kata “adab” yang berarti: kesopa-
nan; kehalusan dan kebaikan budi pekarti; akhlak. Beradab berarti:
1) sopan baik budi bahasa; dan 2) telah maju tingkat kehidupan
lahir dan batinnya. Peradaban berarti: 1) kemajuan (kecerdasan,

12
Ibid., 3.
13
Muhammad Fethullah Gulen, Membangun Peradaban Kita, (Jakarta: Republika,
2013), 14-15.
14
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 139.
15
Ibid., 1-2.
16
Ibid., 2.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 347

kebudayaan) lahir batin; 2) hal yang menyangkut budi bahasa dan


kebudayaan suatu bangsa.17
Dari pendekatan antropologis, menurut Gulen, peradaban
adalah sebuah konsep yang memiliki beragam bentuk yang berbeda-
beda, sesuai dengan pandangan, konsep, falsafah, dan daya nalar
yang dimiliki orang yang bersangkutan. Peradaban mencakup 1)
sekumpulan aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan manu-
sia, atau 2) pola pemikiran, keyakinan, dan keilmuan satu umat,
atau 3) setiap karakter khusus tertentu baik materiil maupun non-
materiil.18
Peradaban menjadi indikator atau sumber dari berbagai
kondisi dan karakter baik materiil maupun non-materiiI, namun
semua kondisi dan karakter itu juga selalu siap merespons
kebutuhan individu di tengah masyarakat mulai dari kanak-kanak,
generasi muda, dan orang-orang lanjut usia. Bahkan semua kondisi
dan karakter itu juga sanggup merespons setiap periode yang
berlangsung dalam kehidupan dan perkembangan manusia.19

2. Hubungan Peradaban dan Jati Diri


Jati diri merupakan sesuatu hal yang efeknya terasa di semua
sendi kehidupan masyarakat; sesuatu yang nutrisinya bersumber
dari memori, emosi, dan nurani kolektif suatu bangsa atau
masyarakat seiring berjalannya waktu, sejak zaman dahulu sampai
zaman sekarang. Menurut Gulen, peradaban merupakan wujud dari
jati diri. Oleh karena itu baginya “peradaban bukan bentuk
kehidupan yang kita adopsi dari para penjajah yang telah merajang
jiwa kita selama bertahun-tahun itu. Dan, bukan pula nilai-nilai yang
telah mencerabut kita dari nilai-nilai luhur yang kita miliki.”20
Itulah sebabnya, adalah keliru jika membatasi “Barat” masa
kini sebagai hasil dari kerja keras ilmuwan yang memiliki kemam-
puan tinggi seperti Copernicus, Galileo Galilei, Leonardo da Vinci,
Michael Angelo, Dante, Edison, Max Plane, dan Einstein. Sebagai-
mana juga tidak dapat dikatakan bahwa “kebangkitan sains” yang

17
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 5. W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 15.
18
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 16.
19
Ibid., 18.
20
Ibid., 16.

Vol. 10, No. 2, November 2014


348 Usman Syihab

terjadi kemarin, atau “letupan sains dan teknologi” yang terjadi saat
ini, semata-mata hanya sebagai hasil segelintir orang seperti yang
telah disebutkan tadi. 21
Pelbagai peradaban hebat yang telah memukau banyak kepala
dan menyilaukan sekian pasang mata dengan kekayaan kultural yang
dimilikinya, tidak pernah muncul di Roma, Athena, Mesir, atau
Babylonia dalam sekejap mata tanpa didahului oleh masa panjang
“pendahuluan”. Di mana pun juga, setiap peradaban selalu lahir dari
masa pengasuhan yang panjang di dalam dimensi emosional dan
intelektual yang dimiliki individu-individu yang tinggal di dalam
peradaban yang bersangkutan serta di dalam lahan subur kesadaran
kolektif mereka.22

3. Peranan Agama dalam Pembentukan Jati Diri Peradaban


Menurut Gulen, agama adalah salah satu unsur terpenting
dalam hidup manusia, unsur yang tidak bisa diganti oleh sesuatu
yang lain. Menurut Gulen agama memiliki peran yang sangat vital
dalam pembentukan jati diri sebuah peradaban. Dalam proses pem-
bentukan jati diri suatu peradaban agama berperan: pertama, agama
memainkan peran penting dalam pengorganisasian dan pengaturan
kebutuhan spiritual manusia, kebutuhan yang sangat bermakna dan
sangat penting bagi kita ketimbang kebutuhan materi. Agama bukan
hanya penting bagi manusia, tapi juga bagi pengorganisasian kehidu-
pan individu, pribadi dan sosial, demikian pula bagi kehidupan
materi manusia. Agama memainkan peran yang krusial dalam
menentukan dan memberlakukan hukum yang merupakan prinsip-
prinsip yang mengatur dalam aspek-aspek tertentu kehidupan.
Kedua, agama memiliki kekuatan hukum yang tidak dapat
terbantahkan. Agama didasarkan atas landasan menempatkan iman
pada keberadaan Tuhan yang melihat dan mengontrol manusia, dan
yang mempengaruhi bukan hanya semua yang mereka lakukan,
melainkan juga semua yang mereka pikirkan dan semua niat dan
tujuan mereka. Dan keimanan ini alami bagi manusia, dan selalu
bersemayam di hati nurani, membuatnya sadar setiap saat. Selain
itu, agama - meskipun mungkin bebas dari batas-batas pengawasan
Tuhan - mengajarkan manusia bahwa mereka bertanggung jawab
atas semua yang mereka lakukan di dunia ini, dan bahwa mereka

21
Ibid., 20.
22
Ibid., 33.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 349

akan diadili di hari kemudian atas perbuatan mereka, dan bahwa


menurut hasil pengadilan tersebut mereka akan diberi kebahagiaan
kekal atau hukuman. Sebenarnya, dalam mendidik manusia agar
dapat melakukan kebajikan, bukan kejahatan, tidak ada sistem lain
di dunia ini yang bisa menggantikan sistem keimanan ini.
Ketiga, dalam prinsip-prinsip etika, agama secara khusus
memiliki prioritas yang tak tergantikan oleh hal duniawi lainnya
dalam pengembangan manusia. Sebenarnya, aturan etika ini adalah
kriteria yang telah diterima semua orang sepanjang waktu. Ini adalah
fakta yang tak terbantahkan. Kriteria ini menantang eksistensi
maupun waktu. Apakah hal ini menimbulkan dampak yang diperlu-
kan pada manusia, tergantung lagi pada keadaan keyakinan agama
dan penerapannya dalam masyarakat.23
Bagi Gulen, agama yang dapat menjadi pilar peradaban adalah
agama yang memiliki tujuan luhur seperti menerapkan nilai moral,
meningkatkan kualitas spiritual, mengajarkan tujuan yang lebih
tinggi dari kehidupan dunia, serta memenuhi rasa dahaga yang dirasa-
kan oleh jiwa manusia, pastilah bukan sebuah agama yang melulu
berisi ibadah (ritual), melainkan sebuah ajaran yang mengayomi hidup
manusia secara komprehensif, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial. Selain itu, agama tersebut pasti juga mampu merasuk
ke seluruh elemen yang terdapat di dalam diri kita: akal, roh, dan
hati. Ia juga pasti mampu memberi warna pada semua niat, serta
tindakan kita, bahkan pada segala hal lainnya.24
Agama adalah ‘katalisator’ nilai-nilai sosial semenjak fase
kelahiran, perkembangan, dan pergerakkan suatu masyarakat, yaitu
ketika agama berperanan sebagai fenomena masyarakat ramai. Ini
karena, “ketika iman menjadi fenomena individu atau hal perse-
orangan, maka sejarah misinya akan terputus di bumi, tidak mampu
menjadi penolak dan penggerak peradaban, karena ia menjadi
seperti imannya para rahib yang memutuskan hubungan dengan
kehidupan dan melarikan diri dari kewajiban-kewajiban.”25
Sistem-sistem peribadatan dan muamalah dalam ajaran
agama – khusunya dalam konsepsi Islam – adalah faktor-faktor yang

23
Muhammad Fethullah Gulen, Cinta dan Toleransi, (Jakarta: BE Publishing, 2011),
270.
24
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 26.
25
Malik Bennabi, Wijhah al-‘Âlam al-Islâmî, Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin, (Damascus:
Dâr al-Fikr, Cet. 4, 1986), 27.

Vol. 10, No. 2, November 2014


350 Usman Syihab

menjadikan suatu keimanan yang ada dalam hati dan dalam alam
fikiran yang abstrak, suatu hakikat yang hidup sebagai amalan
masyarakat. Oleh karena itu, menurut Malik Bennabi, dalam konsep
agama Islam, ketika Allah SWT. berfirman, yang artinya: “Dan Aku
tidak mencipta jin dan manusia melainkan supaya mereka me-
nyembah-Ku.” 26
Allah SWT tidak bermaksud memisahkan manusia dari bumi.
Ia justru bermaksud membuka jalan yang lebih lebar bagi manusia
untuk melaksanakan kerja-kerja bumi mereka.27 Alasannya adalah,
karena “ketika agama menciptakan jaringan roh yang menghubung-
kan antara masyarakat dengan Allah SWT, ia dalam masa yang sama
juga menciptakan jaringan sosial. Jaringan yang menjadikan masya-
rakat dapat memainkan peranan duniawi mereka dan dapat melak-
sanakan aktivitas-aktivitas mereka bersama. Dengan demikian
agama mengikat cita-cita langit dengan tuntutan-tuntutan bumi.”28
“Hubungan rohani antara manusia dengan Allah SWT adalah yang
menciptakan jaringan sosial dan yang mengikat hubungan manusia
dengan saudaranya sesama manusia.”29
Peranan pemikiran agama tidak hanya dalam membentuk
jaringan sosial kemasyarakatan dan tingkah laku manusia untuk
dapat mencapai misi peradaban, tapi ia juga memecahkan masalah-
masalah psikologi masyarakat yang penting yang berkaitan dengan
kelangsungan hidup suatu peradaban. Hal ini karena aktivitas-
aktivitas kemasyarakatan tidak dapat menghasilkan sesuatu dan
tidak dapat bertahan hidup kecuali dengan adanya ‘sebab tertentu’,
yang dapat menghasilkan dan menggerakkan kekuatan. Yaitu sebab
yang lahir dari pemikiran agama. Oleh karena itu, pemikiran agama
selain menciptakan jaringan hubungan dan membentuk tingkah
laku individu dalam masyarakat, ia juga “menciptakan dalam hati
masyarakat suatu undang-undang tentang tujuan hidup yang jauh,
dengan memberikan kesadaran akan tujuan tertentu, yang dengan-
nya kehidupan menjadi bermakna dan mempunyai arah. Ketika ia
menekankan tujuan tersebut dari generasi ke generasi dan dari satu
tingkatan masyarakat ke tingkatan yang lain, ia pada saat yang sama

26
QS. al-Dhariyat (15): 56.
27
Malik Bennabi, Mîlâd Mujtama’, Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin, (Damascus: Dâr al-
Fikr, Cet. 3, 1987), 79.
28
Ibid.
29
Ibid., 56.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 351

memberikan keupayaan kepada masyarakat tersebut untuk ber-


tahan dan menjamin kelangsungan peradaban mereka.30
Semua keberhasilan luar biasa yang terjadi kemarin dan hari
ini serta berbagai kreasi internasional yang besar, selain berhubungan
dengan kejeniusan individu, juga berhubungan dengan struktur
sosial yang melahirkan kejeniusan itu, lingkungan yang kondusif
bagi kelahiran para penemu, dan dengan nilai yang berkembang di
masyarakat yang menjadi inkubator bagi berbagai kemampuan. Ber-
dasarkan alasan ini, pembicaraan tentang lingkungan dan nilai yang
berkembang di masyarakat umum akan selalu muncul setiap kali
kita membicarakan tentang kekuatan tekad dan kerja keras orang-
orang yang memiliki kesiapan tinggi itu, bahkan banyak individu
yang menunjukkan kecerdasan dan kemampuan luar biasa dari me-
reka yang memiliki kemampuan super dan otak jenius, justru ber-
banding lurus dengan kondisi lingkungan yang mereka diami. 31
Menurut Gulen, ada kaitan dan hubungan yang erat antara
kejeniusan individu dan lingkungan sosial. Artinya lingkungan sosial
memiliki peran aktif dalam melahirkan tokoh dan sarjana. Hal ini
menurutnya sudah merupakan hukum alam. Telah menjadi sebuah
aksioma bahwa tidak ada seorang pun yang mampu mengubah
kaidah-kaidah hukum-fitrah. Karena cepat atau lambat, siapa pun
yang ingin melawan hukum alam pasti akan kalah bahwa “Kejeniu-
san yang berada tidak pada tempat yang tepat pasti hanya akan
menjadi “seperti daun-daun yang dimakan utat”, sebagaimana hal-
nya sebutir bibit unggul yang ditanam di tanah gersang yang tidak
pernah diberi pasokan udara, air, dan daya tumbuh.”32
Agama telah melahirkan berbagai peradaban besar dunia.
Menurut Gulen, sepanjang perjalanan sejarah yang terentang sejak
masa para Brahma sampai kelahiran Buddhisme, dari masa Judaisme
sampai masa Kristen dan lahirnya Islam, ada banyak umat yang
bertumbuh kembang dalam inkubator iman, kerinduan spiritual,
dan nilai-nilai moral, hingga membuat mereka mampu membuat
bumi, waktu, dan manusia mencapai ketinggian yang tak ternilai
harganya.36 Semenjak Islam mulai mendirikan kemahnya di muka
bumi, agama ini selalu mengerahkan seluruh energi yang dimilikinya

30
Bennabi, Syurût} al-Nahd}ah, 80.
31
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 21.
32
Ibid., 21.
36
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 28.

Vol. 10, No. 2, November 2014


352 Usman Syihab

untuk mengajak bicara serta membuka hati manusia, sampai


akhirnya ia berhasil menggambarkan citranya di dalam setiap
sanubari dan kemudian bergerak menuju seluruh sendi kehidupan
yang ada.”37 Demikian pula dengan peradaban Barat yang sekuler
adalah juga lahir dari rahim agama, yaitu Kristen. Menurut Gulen,
Kristen adalah unsur yang paling penting dalam pembentukan
struktur sosial modern di Eropa. Kristen telah memainkan peran
yang membentang struktur politik dan sosial serta selalu memainkan
peran penting dalam wilayah tertentu, dengan undang-undang
signifikan tentang penghujatan, hari libur keagamaan dan ibadah
kolektif.38 Menurut analisis Gulen meskipun rakyat mungkin tidak
mempedulikan agama sampai batas tertentu di Eropa Barat, orang-
oramg dalam pemerintahan tampaknya, secara keseluruhan, agak
religius. Di antara mereka, selalu ada pejabat-pejabat tinggi yang
agamis, dan masih ada hingga hari ini. Selain itu, meskipun sekuler-
isme berkuasa di semua negara ini, tidak pernah ada mentalitas yang
mendikte bahwa bimbingan agama harus ditinggalkan dalam
kehidupan sosial atau bahkan politik dalam suatu negara.39

4. Sumber-Sumber Peradaban Umat Islam


Ada banyak ahli yang menjelaskan tentang budaya dan kaitan-
nya dengan pemikiran tertentu, bahwa budaya adalah kumpulan
kondisi yang diekspresikan oleh umat tertentu, baik dengan seluruh
maupun sebagian besar cara berekspresi, untuk menunjukkan nilai-
nilai moral, mazhab (atau keyakinan), pemikiran, serta pandangan
mereka mengenai wujud, alam semesta, dan manusia. Budaya juga
bentuk ekspresi dari sikap sosial-politik serta landasan perilaku umat.
Ada juga yang mengatakan Budaya adalah kumpulan hal-hal yang
diraih suatu umat dari alur sejarah dalam kerangka keharusan ber-
pikir dan kesadaran jati diri. Contohnya: pemikiran, seni, kebiasaan,
adat, dan tindakan.40
Sesungguhnya rumus hubungan antara “manusia-semesta-
Allah”, dengan cara membaca sepintas yang tidak mementingkan
urutan antara yang mengikuti dan yang diikuti, merupakan landasan
utama dalam sistem kebudayaan kita. Bahkan semua aktivitas mental

37
Ibid., 81.
38
Gulen, Cinta dan Toleransi, 271.
39
Ibid.
40
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 126.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 353

pikiran, dan tindakan kita berkaitan erat dengan rumus hubungan


ini. Sementara itu, logika Eropa modern, yang merupakan warisan
utuh dari peradaban Yunani kuno, selalu mengaitkan berbagai pan-
dangannya dengan manusia, benda-benda, dan kejadian-kejadian.
Itulah sebabnya, Eropa tidak pernah menganggap adanya peran
Tuhan, atau kalau pun mereka menerima peran Tuhan, maka peran
itu mereka anggap sebagai elemen sekunder yang tidak terlalu
penting.41
Kebudayaan adalah isi dan inti dari peradaban. Tidak dapat
dibayangkan kewujudan sejarah tanpa adanya kebudayaan. Suatu
bangsa yang kehilangan kebudayaannya berarti telah kehilangan
sejarahnya. Kebudayaan dengan kandungan pemikiran keagamaan-
nya, yaitu pemikiran yang mengatur perjuangan manusia sepanjang
sejarah sejak zaman Adam, bukanlah suatu ilmu yang dipelajari
manusia, tetapi ia merupakan lingkungan yang mengelilingi manusia
dan kerangka tempat manusia bergerak. Ia yang memberi makan
janin peradaban dan ia adalah tempat di mana semua unsur-unsur
masyarakat berperadaban terbentuk, dari tukang besi, seniman,
penggembala, dan imam.42 Ia adalah juga “semua yang memberikan
ciri-ciri khas suatu peradaban dan yang menentukan kedua kutub-
nya; dari rasionalisme Ibnu Khaldun dan spiritualisme al-Ghazali
atau rasionalisme Descartes dan spiritualisme Jane Dark.”43 Ke-
budayaan sebagai lingkungan yang terdiri dari kebiasan-kebiasaan,
tradisi-tradisi, adat istiadat dan cita rasa, atau sebagai lingkungan
umum yang membentuk cara kehidupan suatu masyarakat dan
tingkah laku individu di dalamnya dengan ciri-cirinya yang khas,44
menjadi faktor penting yang menentukan kedinamisan atau
kemunduran suatu peradaban; ia menjadi sumber tenaga penggerak
individu-individu dalam masyarakat atau justru menjadi beban dan
penyebab kemalasan individu dan masyarakat.
Menurut Gulen, budaya adalah himpunan berbagai konsep,
kaidah, dan kecenderungan yang dipelajari oleh manusia, diyakini
dan diterapkan dalam kehidupan sehingga menjadi sumber pe-
ngetahuan yang keberadaan dan dampaknya selalu dapat dirasakan
di sepanjang waktu. Berapa banyak keyakinan, kebiasaan, dan adat

41
Ibid., 126.
42
Bennabi, al-Tsaqâfah, 76-77.
43
Ibid., 77.
44
Malik Bennabi, Ta’ammulât, (Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 5, 1991), 143.

Vol. 10, No. 2, November 2014


354 Usman Syihab

istiadat yang merasuk ke dalam jiwa lalu mengendap di dalam


ketidaksadaran kita, kemudian melahirkan berbagai pedorong
intrinsik kepada akal dari waktu ke waktu melalui berbagai pen-
dorong dan penyebab dari apa yang didapat oleh manusia. Setelah
itu ia akan memotivasi mengaktivasi, menciptakan, dan membentuk
sebagaimana aslinya.45
Dalam konsepnya tentang kebudayaan, Gulen berpendapat
bahwa sebuah kebudayaan pasti akan mati jika ia dipindahkan dari
satu tempat ke tempat lain dan ternyata lingkungan baru yang di-
diaminya tidak menyediakan segala hal yang mendukung keberada-
an dan pertumbuhannya. Atau setidaknya kebudayaan yang
bersangkutan pasti akan kehilangan banyak ciri khas kepribadiannya
dan ia akan memalingkan wajah serta menghilangkan jati dirinya
untuk berpaling pada ladang kebudayaan yang lain. Padahal “orang
lain” tidak akan mampu menyamai secara presisi suara, irama, rupa,
dan gaya kita dengan jati diri yang asli. Sebagaimana halnya kita
juga tidak bisa meniru secara sempurna berbagai ciri khas kebudaya-
an orang lain.46 Menurutnya:
“Dengan kekayaan warna yang ada di dalam kebudayaan kita,
ternyata orang lain tidak banyak mengambil makna dari hal itu
seperti yang kita lakukan. Sebagaimana halnya sensasi yang muncul
pada diri kita tidak akan pernah muncul pada diri orang lain. Bahkan
ketika suatu hal tertentu memapar mereka, maka itu tidak akan
pernah memberi dampak dengan bentuk dan karakter yang sama.
Dan kondisi yang sebaliknya juga akan terjadi ketika kita menelan
mentah-mentah kebudayaan milik umat lain tanpa terlebih dulu
mencerna dan mengunyahnya.” 47

Semua itu dapat terjadi karena kebudayaan bukanlah benda


mati yang dapat dibeli dari para saudagar yang berniaga di mana-
mana, untuk kemudian dapat kita tenteng ke rumah seperti layaknya
sebuah lukisan, foto, CD, atau kaset. Sebagai sebuah wujud yang
menjadi tempat bertemunya berbagai elemen temporal dan spasial
bagi lingkungan yang ada di sekelilingnya, kebudayaan adalah
tempat tumbuh kembang “setiap komponen” yang tidak terpisah.
Selain itu, kebudayaan juga adalah sebuah wujud khusus dengan

45
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 128.
46
Ibid., 46.
47
Ibid., 46.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 355

lingkungan yang menjadi tempatnya bertumbuh.48


Pendapat Gulen tersebut sama dengan pendapat Malik
Bennabi. Bennabi meyakini bahwa suatu kebudayaan memiliki
tempat dan ciri-ciri khasnya tersendiri sesuai dengan norma-norma
peribadi yang digunakan suatu masyarakat dalam menilai sesuatu
benda atau ide, maka menurut Malik Bennabi:
“Kita dapat memahami bahwa suatu benda [karya kebudayaan]
kadang kala mati atau tidak berfungsi kalau ia diputuskan dari ling-
kungan kebudayaannya, karena di luar kebudayaanya sendiri
bahasa yang dimilikinya tidak dapat dipahami, sebagai perumpama-
an, sebuah roket mendatangi sebuah planet yang dihuni oleh
makhluk-makhluk yang mundur, maka tentunya roket tersebut, yang
merupakan benda, kehilangan segala nilainya [tidak berguna] karena
berada di luar budayanya sendiri.”49

Seperti Gulen, Malik Bennabi berpendapat bahwa untuk


membangun suatu peradaban tidak dapat membeli atau mengimpor
barang-barang atau karya-karya peradaban dari luar (Barat) karena
suatu peradaban hanya dapat menjual barang-barangnya dalam
aspek lahiriah atau kerangkanya saja dan tidak termasuk aspek roh,
pemikiran, dan nilai-nilai keperibadian yang dimiliki barang-barang
tersebu.50 Persoalan kebudayaan adalah persoalan di luar kesadaran,
yang berhubungan dengan akar dan norma-norma peribadi (al-
maqâyîs al-dhâtiyyah). Norma-norma atau ukuran-ukuran peribadi
yang digunakan untuk menilai sesuatu, seperti dalam perkataan;
“ini indah” dan “ini buruk” atau “ini baik” dan “ini jahat” adalah
yang menentukan perilaku sosial secara umum dan yang menentu-
kan sikap seseorang ketika menghadapi persoalan-persoalan sebelum
akal ikut masuk berperan, bahkan ia juga menentukan peranan akal
dalam tingkatan tertentu. Norma-norma inilah yang menentukan
ciri kepribadian individu dan bangunan masyarakat. Norma-norma
peribadi ini diwarisi oleh individu dari masyarakatnya melalui proses
di bawah sadar dalam bentuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat dan
kebiasaan. Individu memilih dan mengambil norma-norma tersebut
dari masyarakat yang ada di sekitarnya dengan tanpa melalui proses
berpikir sebagai keperluan aspek maknawi, seperti dia menghirup

48
Ibid., 47.
49
Bennabi, al-Tsaqâfâh, 55.
50
Bennabi, al-Nahd}ah, 47.

Vol. 10, No. 2, November 2014


356 Usman Syihab

oksigen untuk kewujudannya secara biologis. 51 Norma-norma


peribadi yang berbentuk kepercayaan, tradisi, kebiasaan, dan adat-
istiadat yang berkembang dalam suatu masyarakat memiliki
hubungan yang erat dengan agama dan ideogi yang diyakini oleh
masyarakat tersebut. Dalam masyarakat Islam semua kepercayaan,
adat istiadat, tradisi, dan kebiasaan merupakan norma-norma yang
bersumberkan dari pada ajaran-ajaran agama Islam.
Oleh karena itu, setiap peradaban harus memiliki hubungan
dengan masa lampaunya, dan memiliki hubungan dengan warisan
kebudayaanya sendiri. Usaha mencari dan membangun peradaban
yang lebih baik untuk masa depan tidak akan berhasil kecuali dengan
mengambil akar-akar peradaban dan kebudayaan yang dimiliki.
Dalam usaha untuk membangun peradaban Islam masa depan harus
berdasarkan pada budaya-budaya dan norma-norma yang bersum-
berkan dari ajaran Islam yang telah lama wujud dalam kehidupan
masyarakat Islam itu sendiri.52
Menurut Gulen ada beberapa dasar kuat yang ditemukan
ketika kita menemukan diri kita senantiasa mengaitkan diri dengan
segenap kandungan, pemahaman, pola pikir, interpretasi, dan
pendekatan yang kita miliki.53 Dasar-dasar kuat tersebut adalah al-
Kitab dan al-Sunnah. Selain kedua sumber utama itu, terdapat
beberapa sumber lain yang berada di dalam kerangka kedua sumber
utama, yaitu: ijma, qiyas, istihsan, mashalih, tasawuf, ilmu kalam,
kebiasaan (‘urf), adat, amal, tafsir, hadis, usul tafsir, usul hadis, fikih,
dan usul fikih.54

Misi Renaissance
Dalam analisis Gulen, semua bangsa yang berkembang dan
maju pada saat ini, sebenarnya juga pernah mengalami penderitaan.
Mereka harus jatuh serta merasakan perihnya api keterbelakangan.
Tapi kemudian datanglah hari-hari ketika semua gerbang pembaruan
terbuka lebar bagi setiap orang yang berjuang untuk itu setelah
mereka merasakan kecintaan mendalam terhadap penelitian,

51
Bennabi, al-Tsaqâfah, 55.
52
Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010),
206.
53
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 135.
54
Ibid., 135-155.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 357

asyiknya pengetahuan, kerja tanpa kenal lelah, dan kepedulian untuk


merangkul siapa pun yang berhenti di tengah jalan. Dan akhirnya,
terwujudlah kesuksesan demi kesuksesan yang kemudian juga
menyebabkan lahirnya kebulatan tekad dan gairah yang mendalam.
Bagi mereka, lingkungan telah bertambah menjadi ruang inkubator
yang dapat menetaskan pikiran cemerlang. Dan muncullah pelbagai
bentuk penemuan baru. Mulai dari mesin uap sampai mesin pem-
buat garmen. Mulai dari riset eksperimental sampai publikasi lewat
media cetak. Sehingga dalam waktu singkat, mereka telah sampai
pada era ilmu pengetahuan dan kecerdasan elektronik.56
Di tengah sejarah bumi, dunia Islam adalah sebuah dunia yang
unggul melampaui masanya dalam ilmu pengetahuan biologi,
spiritualitas, tasawuf, logika, peradaban, seni, dan sebagainya. Dunia
Islamlah yang memiliki begitu banyak pakar ilmu pasti seperti al-
Khawarizmi, al-Biruni, Ibnu Sina, dan al-Zahrawi. Dunia Islam juga
memiliki banyak guru besar dalam bidang hukum seperti Imam
Abu Hanifah, Imam Muhammad, al-Sarkhasi, dan al-Marghanalli.
Bahkan dunia Islam telah memiliki berbagai kesiapan yang melebihi
semua standar manusia. Umat Islam telah menjalani kehidupan di
atas garis haluan spiritual yang menjadikan hati dan logika sebagai
panutan. Dunia Islam memiliki Imam al-Ghazali, Imam al-Razi,
Maulana Jalaluddin Rumi, Syaikh Naqsyabandi. Kita juga memiliki
pakar hukum seperti Imam al-Maturidi, al-Taftazani, al-Jurjani, al-
Dawwani. Bahkan dunia Islam juga memiliki seniman-seniman
hebat dan arsitek ulung seperti Hayreddin, Sinan, Itri, dan Dede
Efendi. Jadi setelah tertidur sekian lama, semua jiwa dan akal yang
bersemayam di dunia Islam sangat mungkin untuk kembali bergerak
hidup untuk kemudian mewujudkan kebangkitan global yang
kedua atau ketiga.57
Menurut Gulen sudah lama umat Islam berusaha bangkit
namun selalu gagal. Selama berabad-abad masyarakat dunia Islam
selalu berputar-putar di dalam lingkaran setan sambil terus mengu-
langi berbagai kesalahan yang sama tanpa pernah mampu menemu-
kan jati diri mereka sendiri. Ketika mereka berhasil maju selangkah
ke depan, hal itu selalau disusul dengan kemunduran sekian langkah
ke belakang, atau dengan penyimpangan dari jalan yang lurus.58

56
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 118-19.
57
Gulen, Bangkitanya Spiritualitas Islam, 36.
58
Ibid., 25.

Vol. 10, No. 2, November 2014


358 Usman Syihab

Bagi Gulen, umat Islam sangat membutuhkan segera “kebang-


kitan dari kubur”. Umat Islam membutuhkan reformasi total pada
ranah rasionalitas, spiritual, dan juga pemikiran. Mereka harus
“dihidupkan” kembali pada semua aspek yang dibutuhkan manusia
untuk menjalani kehidupan, di manapun dan kapanpun, sesuai
dengan kemampuan mereka. Renaissance total ini, menurut Gulen,
harus berlandaskan pada syariat dan dari ajaran agama Islam,59 dan
bukan dari ajaran ideologi-ideologi lain. Menurutnya, “kita tidak
pernah bisa mempercayai bahwa akan ada tatanan baru yang lahir
dari rahim kapitalisme, komunisme, sosialisme, demokrasi, atau
liberalisme. Karena pada dasarnya, jika memang kelak akan ada
sebuah tatanan dunia baru yang sempurna, maka itu adalah tatanan
dunia Islam yang akan dialami oleh generasi masa depan sebagai
era kebangkitan Islam.”60
Dalam pandangan Gulen, dunia Islam sekarang ini adalah
“dunia yang hamil tua.”61 Menurutnya keterpurukan yang telah
berlangsung sekian lama ini tidak akan terus berlanjut. Walaupun
para perampok bergentayangan di mana-mana; walaupun kebiasaan
memakan uang hasil korupsi masih sulit dihilangkan, namun umat
Islam, yang jumlahnya mencapai seperlima dari populasi penduduk
dunia, sedang berjuang untuk bangkit di seluruh penjuru dunia.
Umat Islam berusaha membebaskan diri dari penjajah terkutuk.
Tak selangkah pun mereka surut dari perjuangan itu, walaupun
setiap hari ada saja musibah yang menimpa mereka, walaupun setiap
hari ada saja kejadian yang memaksa mereka memutuskan
hubungan dengan Allah serta memupuskan cita-cita luhur yang
mereka miliki.62
Dalam pemikiran Gulen, sekarang ini adalah masa yang paling
tepat bagi umat Islam untuk segera bergerak menunaikan misi
renaissance atau kebangkitan kembali dalam semua bidang: agama,
sains, seni, teknologi, ekonomi, dan keluarga untuk kemudian me-
lesat menuju posisi yang tertinggi dalam sejarah. Membangun
sebuah peradaban Islam dengan visi yang merangkum seluruh aspek
kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sebagaimana yang di-
wariskan dari khazanah yang telah berusia seribu tahun dan terus

59
Ibid., 28.
60
Ibid., 33.
61
Ibid., 1.
62
Ibid.., 3.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 359

berlanjut hingga saat ini.63


Itulah sebuah “kelahiran baru” ketika seluruh umat manusia
dunia akan kembali menimba ilmu pengetahuan dan nilai-nilai moral
dari Islam. Bahkan dari Islam pula mereka akan mempelajari
pemahaman baru terhadap seni sehingga mereka akan menemukan
sebuah seni sejati yang sama sekali berbeda dengan seni yang kita
kenal saat ini. Pada saat itu seluruh dunia akan mendengar alunan
musik yang dimainkan dengan perasaan dan romantisme yang sama.
Pada saat itu, umat Islam akan memiliki pendirian yang sangat kokoh
dalam segala bidang, baik dalam Ilmu pengetahuan maupun seni,
dan baik dalam bidang pemikiran maupun akhlak, sebab umat Islam
yang menjamin masa depan dunia.64

Syarat-Syarat Renaissance
Menurut Gulen, ketika Barat berhasil mewujudkan kebang-
kitan dalam perjalanan mereka menuju peradaban modern, mereka
menggali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Kristen,
Yunani, dan Romawi. Tentu saja praktik seperti ini dapat diterapkan
oleh kebudayaan di mana pun dan kapan pun. Maka menurut
Gulen, syarat penting kebangkitan kembali (renaissance) umat Islam
harus dilakukan dengan “kembali mencari akar dan menggali kha-
zanah masa silam yang masih bersih dari kekotoran zaman,” dan
sekaligus harus dengan “mengambil semua hal-hal baik yang belum
muncul di zaman sekarang yang dianggap dapat menjadi sumber
kebanggaan umat Islam untuk selama-lamanya.”65
Dalam pandangan Gulen, umat Islam, dengan mengenyam-
pingkan semua solusi yang ditawarkan oleh antropologi modern,
harus mampu mendayagunakan segenap elemen yang dapat dipakai
untuk mencapai tujuan luhur yang telah didiktekan oleh pikiran
mereka sendiri, agar mereka dapat menemukan solusi alternatif
untuk melepaskan diri dari kekacauan yang tengah mereka alami.
Dan jika umat Islam memang ingin menemukan solusi, alternatif,
maka mereka harus mampu melihat dengan cermat segala hal yang
berhubungan dengan posisi geografis dan sosiologis mereka. 66

63
Gulen, Cinta dan Toleransi, 98.
64
Ibid., 33.
65
Ibid., 40.
66
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 17.

Vol. 10, No. 2, November 2014


360 Usman Syihab

Bagi Gulen, orientasi renaissance umat Islam harus dengan


kembali kepada jati diri, mencari karakter peradaban yang sejati,
dan membersihkan diri dari segala bentuk penjajahan pemikiran
dan konsep asing, menurutnya:
“Jika sekarang kita berpikir untuk kembali membangun jati diri kita,
atau mencari karakter peradaban kita yang sejati, maka kita harus
membersihkan diri dari segala bentuk penjajahan pemikiran dan
konsep asing yang selama ini bercokol di dalam diri kita, yang telah
dirancang sedemikian rupa untuk menghancurkan akar spiritualitas
dan moralitas yang kita miliki. Kita harus mengikuti jalan yang
dapat membuat kita mampu bertindak sesuai dengan pola pikir,
keyakinan, dan falsafah hidup yang kita miliki di atas bangunan
peradaban kita yang khas.”67

Menurut Gulen satu-satunya jalan untuk menyelamatkan


umat Islam dari krisis adalah dengan menghidupkan kembali semua
sistem dan aturan yang telah ditetapkan oleh agama Islam secara
komperhensif serta menjadikannya sebagai spirit utama bagi seluruh
umat.68 Yaitu agama Islam yang pernah menjadikan umat Islam
selama berabad-abad menjadi umat yang paling luhur akhlaknya
dan paling sempurna kebudayaannya. Semua keungulan itu
membuat mereka layak menjadi pemimpin dunia dengan wawasan
mereka yang luas dalam bidang politik, sosial, dan pemikiran. Gulen
menegaskan, bahwa semua itu dapat terjadi karena dulu umat Islam
selalu menjalankan syariat Islam tanpa cacat dengan keluhuran
akhlak dan rasionalitas yang matang hingga mereka mengungguli
semua umat yang lain di sepanjang sejarah manusia.69
Menurut Gulen, di antara dasar-dasar terpenting bagi kebang-
kitan umat Islam adalah rasa cinta dengan segala berkahnya, kekuatan
lahir batin, ketajaman pikiran, keteguhan sikap, kebebasan, dan rasa
percaya diri. Selain itu, umat Islam juga harus memiliki kedalaman,
ketelitian, kebebasan, pola nalar, dan spirit wahyu yang terkandung
dalam falsafah dan semua tindakan.70 Pada kesempatan lain, Gulen
menyebutnya sebagai “representasi ilmu pengetahuan, keimanan,
akhlak dan seni”.71 Oleh karena itu, dapat disimpulkan empat dasar

67
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam , 36.
68
Gulen, Cinta dan Toleransi, 27.
69
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam , 1.
70
Ibid., 41.
71
Ibid., 229.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 361

utama renaissance menurut Muhammad Fethullah Gulen yaitu; 1)


moral-spritual, 2) ilmu pengetahuan, 3) estetika, dan 4) cinta.

1) Moral-Spiritual
Yang dimaksud dengan moral-spiritual adalah moral-spiritual
Islam. Moral-spritual Islam selain menjadi dasar renaissance dan
bangunan peradaban Islam, ia juga menjadi dasar masing-masing
bangunan ilmu pengetahuan, estetika dan cinta-kasih sayang dalam
hubungan sesama makhluk.
Menurut Gulen setiap tindakan dan perbuatan seorang
Mukmin sejati pasti selalu berjalan di atas landasan ibadah, sebagai-
mana setiap upaya yang dilakukannya pasti memiliki dimensi jihad
serta selalu dilaksanakan dengan ikhlas dan diwarnai oleh kesadaran
ukhrawi. Ketika kesadaran keagamaan seperti itu muncul, maka
Mukmin yang bersangkutan pasti tidak akan memisahkan lagi
antara kehidupan dunia dan akhirat, antara hati dan akal, antara
perasaan dan akal sehat. Semuanya menjalin kesatuan yang utuh.
Selain itu semua hasil penalarannya tidak pernah bertentangan
dengan intuisi yang terbesit dalam nuraninya.72 Ketika kesadaran
keagamaan seperti itu muncul, maka semua pengalaman yang
terekam dalam otak seorang Mukmin akan menjadi tangga cahaya
yang menghantarkannya kepada rasionalitas yang jernih.73
Landasan kehidupan moral umat Islan harus dibangun di atas
pemikiran dan karakter agama yang mereka yakini. Mereka harus
selalu menjaga eksistensi mereka berlandaskan dasar-dasar
pemikiran dan moral karakter agama, sebab eksistensi umat Islam
pun dapat terjaga dengan dasar-dasar tersebut. Seandainya saja umat
Islam nekat meninggalkannya, niscaya akan mundur seribu tahun
ke belakang.74
Saat ini, sosok yang sangat dibutuhkan oleh umat Islam adalah
sosok manusia yang memiliki sifat ikhlas, bertekad kuat, dan
seimbang kepribadiannya. Sosok yang digerakkan oleh kesadaran
terhadap pemahaman dan tindakannya di masa depan selalu di-
bangun berdasarkan pemikiran atas apa yang dibutuhkan hari ini.
Sosok arsitek spiritual dan pemikiran, yang hatinya selalu terbuka
terhadap segala entitas, yang akalnya selalu memiliki kesadaran pada

72
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 26-27.
73
Ibid., 27.
74
Ibid., 26.

Vol. 10, No. 2, November 2014


362 Usman Syihab

ilmu, yang selalu mampu memperbarui dirinya sendiri di setiap


waktu, yang selalu patuh pada aturan, yang selalu mampu memper-
baiki orang lain.75 Sosok yang selalu melangkah menuju kebenaran
yang menjadi hakikat dan inti ajaran Islam dalam bentuk sifat-sifat
terpuji seperi qanaah, berani, empati, gemar mengasah rohani, dan
tunduk kepada Allah, serta mampu menjernihkan jiwa dengan ber-
bagai nilai luhur dan membentuknya berdasarkan nilai-nilai
tersebut.76
Dalam pandangan Gulen orang Islam tidak boleh mengagumi
Barat secara berlebihan. Barat selama beberapa abad terakhir ini
memang telah membuat umat Islam ikut bangkit pada bidang industri
dan teknologi modern. Tapi disebabkan kemajuan dalam bidang
materi itulah kemudian umat Islam mengalami kelumpuhan spiritual.
Pandangan umat Islam menjadi rabun sehingga kita tidak mampu
lagi mendeteksi berbagai bentuk keburukan yang muncul dengan
dalih ilmu pengetahuan dan jargon moderenitas yang palsu.”77
Menurut Gulen, sumber kekuatan rohani yang dapat mem-
bangkitkan kembali umat Islam adalah: 1) kemampuan umat untuk
mengetahui kembali esensi keimanan, 2) meresapnya iman ke dalam
hati, 3) sikap untuk selalu menjadikan kehendak Allah sebagai “nutrisi”
bagi semua keinginan sehingga jiwa selalu terbuka dan siap menerima
segala bentuk kebaikan dan kemaslahatan, 4) kian mendalamnya
semangat “ihsan” dari hari ke hari yang membuat umat semakin
menyadari esensi dari kalimat “Aku memiliki satu waktu bersama
Allah,” 5) keterkaitan berkesinambungan dengan alam akhirat, dan
terakhir 6) umat ini memiliki wawasan spiritual yang luas.
Menurut Gulen, kekayaan moral tersebut kelak, “ketika musim
semi telah datang mengganti musim kering ini, kita semua akan
dapat melihat benih-benih yang sudah kita sebar melalui kenikmatan
ibadah itu bersemi di seluruh penjuru dunia. Pada saat itulah kita
akan mengalami masa-masa musim bunga di tengah masyarakat
dunia yang murung.78 Prinsip moral adalah yang memberikan arah
masyarakat secara umum dengan menentukan faktor-faktor
pendorong dan tujuan yang harus dicapai.79 Moral agama, lebih-

75
Ibid., 142.
76
Ibid., 38.
77
Ibid., 137.
78
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 9.
79
Bennabi, Ta’ammulât, 150.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 363

lebih lagi dengan unsur ‘pahala’ yang terdapat dalam agama, adalah
yang menciptakan dan menentukan jaringan-jaringan antar individu
di dalam kehidupan sosial80 dan yang demikian ia adalah faktor yang
membangkitkan kecenderungan-kecenderungan dan naluri
manusia untuk berkumpul, berkomunikasi, dan bermasyarakat
yang merupakan asas penting dalam kemajuan. Ia membantu
mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan isi
kewajiban-kewajiban sosial dengan memberikan nilai-nilai yang
berfungsi untuk menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat
dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam
peranan ini, agama sebagai prinsip moral telah membantu mencipta-
kan sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh.81 Prinsip moral juga
membangkitkan kecenderungan kemanusiaan seseorang ke alam
luar untuk mencakup alam hewan yang hidup bersama manusia,
yang oleh karena itu kita dapat menjumpai, dalam masyarakat
berbudaya, syair-syair yang menggambarkan perasaan manusia
terhadap hewan seperti juga kita lihat karya-karya seni, baik seni
ukir ataupun seni lukis, yang berusaha menerjemahkan perasaan-
perasan hewan82
Demikianlah moral dapat menjadikan kebudayaan dan pe-
radaban menjadi dinamis ketika ia wujud dalam dimensi kemasya-
rakatan, yang dapat mencipta jaringan sosial, dan yang dapat mem-
pengaruhi dan mengarahkan gerakan sejarah.

2) Ilmu pengetahuan
Menurut Gulen, agama tidak berbenturan dengan ilmu penge-
tahuan dan rasionalitas. Agama tidak harus bertanggung jawab atas
krisis dan pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat. Karena se-
mua perselisian yang muncul di tengah-tengah masyarakat sebenar-
nya terjadi disebabkan kebodohan dan adanya ambisi tertentu dari
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Agama sama sekali
tidak pernah mendorong manusia untuk bermusuhan. “Konflik
seperti itu terjadi dikarenakan para individu yang ada dalam kelom-
pok-kelompok yang bertikai tersebut masih belum mencapai
kematangan iman dan keikhlasan yang semestinya.”83
80
Ibid., 149.
81
Elizabeth K. Nottingham, Agama Dan Masyarakat; Suatu Pengantar Sosiologi,
Terj. Abdul Muis Naharong, (Jakarta: Rajawali, 1985), 36.
82
Bennabi, Ta’ammulât, 149.
83
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 28.

Vol. 10, No. 2, November 2014


364 Usman Syihab

Satu-satunya cara untuk mengangkat harkat umat Islam dari


keterpurukan yang tengah mereka alami di saat ini adalah dengan
menemukan kembali jati diri mereka yang sebenarnya dan dengan
menggali kembali nilai-nilai, pola nalar, dan tatanan hidup rasional yang
diajarkan Islam, selalu memiliki gairah, tekad, kesabaran, cita-cita, dan
keteguhan hati yang cukup.84 Menurut Gulen, hal ini dapat dilakukan
melalui dua cara pandang; cara pandang universal-holistik dan
komperhensif-inklusif, baik secara umum maupun secara khusus.85
Cara pertama, adalah sensitivitas serta kesadaran akan semesta,
manusia, dan kehidupan dengan pengetahuan yang jernih, tepat,
memiliki prinsip serta tujuan yang tetap, saling mendukung satu
sama lain, dan terbuka. Cara kedua, akal dan hukum harus me-
nuntun pada pemahaman atas semua kejadian secara holistik, baik
dari aspek esensinya maupun sisi realitanya yang terdapat di dalam-
nya. Hal ini serupa dengan buku puisi yang mengandung banyak
makna, atau seperti layaknya sebuah karya seni yang mengandung
berjuta warna yang merupakan refleksi dan manifestasi Ilahi yang
mampu membuat mata siapa pun yang memandangnya terpesona
oleh keindahannya.86
Umat Islam saat ini sangat membutuhkan pola pikir objektif
yang mampu menangkap gambaran masa lalu dan masa kini secara
bersamaan. Selain itu, pola pikir tersebut juga harus melihat dari
dekat seluruh semesta, umat manusia, dan kehidupan secara seka-
ligus; mampu menjaga keseimbangan; selalu terbuka atas segala
penyebab dan alasan kemunculan semua entitas; menguasai dengan
baik dinamika semua komunitas yang muncul dan runtuh di tengah
masyarakat; mampu menjadi “hakim” yang menunjukkan semua
kebenaran dan kesalahan yang terdapat dalam ilmu sosiologi dan
psikologi; selalu mengawasi perkembangan semua kebudayaan
dunia; mampu membedakan antara tujuan (ghâyah) dan jalan
(wasîlah) menuju tujuan tersebut; memiliki hati yang tulus dan
pikiran yang istiqamah; menghormati cita-cita luhur umat; me-
nguasai hikmah di balik syariat dan apa yang diingini oleh Allah;
mengetahui landasan hukum agama; dan selalu siap menerima
semua inspirasi yang dianugerahkan dari Tuhan.87

84
Ibid., 16.
85
Ibid., 18.
86
Ibid., 16-17.
87
Ibid., 18-19.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 365

Perkembangan ilmu dan teknologi dalam suatu masyarakat


tergantung pada lingkungan dan budaya yang dapat mendorong
semangat keilmuan dan yang dapat menggerakkan perasaan untuk
menerima ilmu atau menyampaikannya dalam masa yang sama. Ilmu
aljabar melahirkan diri dalam lingkungan yang diciptakan al-Qur’an.
Demikian juga berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi
yang lahir dalam sejarah peradaban Islam tidak lain adalah karena
adanya lingkungan intelektual dan budaya ilmiah yang telah
diciptakan oleh ajaran-ajaran al-Qur’an dalam masyarakat tersebut.
Al-Qur’an tidak mendatangkan secara langsung ilmu matematika,
aljabar, atau sistem decimal, tetapi ia mendatangkan lingkungan
aqliyah (rasional) dan budaya ilmiah yang baru yang menjadikan
ilmu dapat berkembang dengan pesat.
Agama Islam membuka jalan ke arah lingkungan ilmiah
melalui perkataan “iqra’” (bacalah), kemudian meletakkan beberapa
langkah fundamental yang dapat menciptakan ruang dan psikologi
sosial bagi mewujudkan budaya intelektual dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Di antara langkah-langkah tersebut adalah:
1) Islam memberikan penekanan terhadap pentingnya ilmu
pengetahuan dan keutamaan orang-orang yang berilmu,
seperti apa yang dinyatakan al-Qur’an yang artinya: “Kata-
kanlah adakah sama antara orang yang berilmu dan orang yang
tidak berilmu.”88
2) Menjadikan proses menuntut ilmu sebagai pekerjaan dan
aktivitas harian manusia, sesuai dengan beberapa hadis
Rasulullah SAW yang di antaranya: “Mencari ilmu adalah
kewajiban bagi setiap Muslim lelaki dan perempuan.”89 Atau
hadis Rasulullah yang maksudnya: “Carilah ilmu hingga ke
negeri Cina.”90 Atau dalam hadis yang lain yang maksudnya:
“Tinta para ulama lebih berharga dari darah para syuhada.”91

88
QS. al-Zumar (39): 9.
89
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan lafal “‘alâ kulli Muslim” (bagi setiap
Muslim), yang maksudnya ditujukan bagi setiap Muslim baik lelaki maupun perempuan.
90
Hadis diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adyi, Abu Nuaim, Ibnu Alaik, al-Qusyairi, al-Khatib,
dan Ibnu Abdul Bar, yang semuanya melalui al-Hasan Ibnu Atiyyah dan Abu Atikah dari
Anas. Menurut al-Albani, ini adalah hadis batil. Lihat Muhammad Nasiruddin al-Albani, Silsilah
al-Ah}adîts al-D}a’îfah wa al-Maud}û’ah, Jil. 1, (Damascus: al-Maktabah al-Islami, Cet. 5, 1985),
413.
91
Hadis ini diriwayatkan oleh Muhammad bin al-Hasan al-Askari dari Abbas al-
Bahrani. Menurut al-Khatib al-Baghdadi, ini adalah hadis maud}û’. Lihat Syamsuddin
Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Mîzân al-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Jil. 5, (Beirut: Dar al-

Vol. 10, No. 2, November 2014


366 Usman Syihab

3) Dengan meletakkan dasar cara berpikir ilmiah dan objektif


dengan menolak ilmu yang berdasarkan spekulasi, taklid dan
khurafat. Al-Qur’an menggambarkan penyelewengan orang
Yahudi dengan mengatakan, yang artinya: “Dan di antara
mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Taurat kecuali
dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-
duga.”92 Al-Qur’an juga menjawab spekulasi mereka dengan
mengatakan, yang artinya: “Beginilah kamu, kamu ini (se-
wajarnya/semestinya) bantah-membantah tentang hal yang
kamu ketahui, maka kenapa kamu bantah membantah tentang
hal yang tidak kamu ketahui.?” 93
Langkah-langkah inilah yang kemudian dapat menciptakan
budaya ilmu dan meletakkan semua syarat-syarat yang dapat
membawa kepada terjadinya revolusi ilmu pengetahuan dan
perkembangan teknologi dalam sejarah peradaban Islam.94 Ketika
orang-orang yang sangat menghormati ilmu itu melakukan berbagai
penemuan dan riset ilmiah, mereka pun menjadi jalan menuju
terbentuknya kesiapan penuh di mana saja untuk menemukan saat
yang tepat untuk bertumbuh dan berkembang. Seolah-olah seluruh
penjuru negeri yang mereka diami adalah etalase bagi berbagai
bentuk keajaiban yang dihasilkan oleh kerja-kerja jenius tanpa
pernah ada habisnya.95 Sebagaimana halnya para ilmuwan terus
muncul di dunia Islam, semisal Ibnu Sina, al-Farabi, al-Khawarizmi,
al-Razi, dan al-Zahrawi, pada masa ketika kondisi seperti yang
disebutkan di atas terbentuk di Dunia Islam, Dunia Barat mendaya-
gunakan berbagai warisan yang mereka dapatkan dari masa lalu
dengan sebaik-baiknya dan dengan seluas mungkin sehingga
mereka berhasil membentuk beberapa abad terakhir seperti masa-
masa cemerlang peradaban Islam masa lalu.96
Jadi, menurut Gulen, umat Islam harus mencari apa yang
mereka cita-citakan untuk masa depan mereka, pada sebuah titik

Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 112; Ibnu Hajar al-Asqalani, Lisân al-Mîzân, Jil. 5, (Beirut:
Muassasah al-A’lam li al-Mat}bû’ât, Cet. 3, 1987), 125.
92
QS. al-Baqarah (2): 78.
93
QS. Ali Imran (3): 66.
94
Usman Syihab, Membangun Peradaban…, 246.
95
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 20.
96
Ibid., 20.
97
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 21.
98
Gulen, Membangun Peradaban Kita, 98.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 367

yang berpadu dengan lingkungan yang kondusif, kecintaan terhadap


ilmu pengetahuan, tekad yang kuat dalam bertindak, dan penelitian
yang sesuai dengan cara yang telah ditentukan. Ketika semua itu
memberi pengaruh terhadap usaha dan prestasi, maka manusia akan
merasakan sensitivitas terhadap aktivitas yang luar biasa dengan
pembenahan sebelum direalisasikan dalam kehidupan sesuai cara
yang telah ditentukan. Setelah itu, ia akan menciptakan sebuah
“Lingkaran Kebaikan” yang akan meningkatkan berbagai inspirasi,
aksi komponen, dan solusi yang baru.97

3) Estetika
Menurut Gulen, iman dapat melahirkan ruh estetika yang
tertanam di dalam ruh yang terbuka terhadap keindahan yang selalu
menyeru ke arah ketakjuban dan kekaguman. Seorang seniman
yang beriman dapat mencapai esensi absolut di tengah hamparan
entitas yang fana.98 Seni islami tidak dapat dibatasinya hanya pada
seni yang menolak hal-hal yang bersifat subjektif atau objektif, atau
sebagai bentuk pamer keterampilan. Akan tetapi -di satu sisi- lebih
sebagai perpaduan antara ruh, makna, dan kandungan yang menjadi
saksi atas hubungan antara entitas dan kejadian sehingga ia dapat
dirasakan atau atas apa yang dapat diindra sehingga dapat dipahami.
Di sisi lain, juga merupakan perpaduan antara bahasa perasaan, dan
indra.99 Oleh sebab itu, maka wajarlah apabila kemudian seni islami
selalu membimbing ke arah sang Wujud yang tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya dengan segala bentuk inspirasi dan sugesti
dari berbagai tingkat dan derajat.
Islam adalah iman, ibadah, akhlak, dan aturan yang meninggi-
kan nilai-nilai kemanusiaan menuju keluhuran, pemikiran, ilmu,
dan seni. Islam selalu menyikapi hidup secara utuh dan sempurna;
untuk kemudian ia menjelaskan hidup dan menakar nilainya, serta
menawarkan hidangan langit kepada para pemeluk agama ini tanpa
kekurangan suatu apa pun.100
Estetika atau cita rasa keindahan memiliki peranan penting di
dalam kedinamisan kebudayaan dengan segala isinya, bahkan ia
adalah kerangka di mana suatu peradaban terbentuk.101 Cita rasa
keindahan berperanan penting dalam kedinamisan suatu kebudaya-

99
Ibid., 99.
100
Ibid., 100.
101
Bennabi, al-Tsaqâfah, 94.

Vol. 10, No. 2, November 2014


368 Usman Syihab

an karena ia dapat menggerakkan keinginan ke arah yang lebih jauh


atau melampaui aspek kepentingan dan menambahkan nilai-nilai
yang positif dalam moral individu, nilai-nilai yang berkaitan dengan
perasaan dan cita rasa kemanusian.102 Kalau prinsip moral mem-
berikan arah masyarakat secara umum dengan menentukan faktor-
faktor pendorong dan arah tujuan, maka estetika adalah yang mem-
berikan ciri-ciri khas terhadap jaringan-jaringan dalam masyarakat
dan yang menambahkan gambaran yang sesuai dengan perasaan
dan cita rasa umum dari aspek warna dan bentuk.103
Dari sudut psikologi sosial, pemandangan atau lingkungan
memberi pengaruh dalam proses pemikiran (kognitif) dan tingkah-
laku (behaviour) individu-individu dalam masyarakat. Oleh karena
itu, menurut Gulen, pemandangan atau lingkungan yang indah akan
memberi pengaruh dan kesan yang positif dalam pemikiran, yang
seterusnya akan memberi pengaruh yang positif dalam tingkah laku.
Sebaliknya pemandangan dan lingkungan yang buruk akan mem-
beri pengaruh dan kesan yang negatif dalam pemikiran dan yang
seterusnya akan melahirkan-tingkah laku dan kebiasaan yang buruk.
Imam al-Ghazali (1085-1111), berpendapat bahwa interaksi
antara sisi kognitif dan perilaku praktis lahiriah merupakan hal yang
pasti. Seseorang tidak melakukan sesuatu tingkah laku tertentu –
walaupun itu dengan keterpaksaan– kecuali berpengaruh kepada
pemikiran dan perasaanya, demikian juga sebaliknya, setiap kali
terjadi perubahan dalam pemikiran dan persepsi, terjadi pula
perubahan-perubahan dalam perilakunya yang tampak. Dalam hal
ini al-Ghazali, dengan bahasa psikologi modern, mengatakan seperti
berikut: “Setiap sifat yang muncul dalam hati berpengaruh terhadap
anggota badan, sehingga anggota badan tidak bergerak melainkan
sesuai dengannya. Setiap perbuatan anggota badan juga berpengaruh
terhadap hati; antara hati dan badan satu sama lain saling mem-
pengaruhi.”104
Estetika sebagai basis nilai suatu peradaban, memiliki pengaruh
yang luas yang menyentuh setiap detik kehidupan. Ia menyentuh
cita rasa dalam berpakaian, kebiasaan-kebiasaan, cara tertawa, cara
mengatur rumah, menyisir rambut anak, membersihkan sepatu,
atau dalam cara membersihkan kaki, dan sebagainya. Islam sebagai

102
Bennabi, Ta’ammulât, 150.
103
Ibid., 149-150.
104
Abu Hamid al-Ghazali, Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Jil. 3, (Beirut: Dâr al-Qalam, T. Th), 59.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 369

agama, telah memberikan dorongan moral dan penekanan tentang


pentingnya keindahan dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Hal ini menurutnya dapat dilihat bagaimana ia memberikan pene-
kanan terhadap pentingnya kebersihan spiritual, fisik dan lingku-
ngan, sehingga Islam menganggap bahwa menyingkirkan duri dari
jalan merupakan bagian dari iman, dan sebagai suatu sedekah.105
Sebagaimana juga tampak dalam hadis Rasulullah SAW yang di-
riwayatkan oleh Muslim dan Ahmad bahwa “Sesungguhnya Allah
itu indah dan Dia mencintai keindahan.”106

4) Cinta
Cinta adalah bagian terpenting dari setiap makhluk. Ia adalah
sinar paling cemerlang dan kekuatan paling dahsyat yang dapat
melawan dan menguasai segala hal. Cinta mengangkat setiap jiwa
yang meresapinya, dan mempersiapkan jiwa untuk perjalanan
menuju keabadian. Jiwa yang mampu membangun hubungan
dengan keabadian melalui cinta, memacu dirinya untuk mengilhami
jiwa-jiwa lain untuk memproleh hal yang sama. Jiwa itu membukti-
kan hidupnya untuk tugas suci ini, yang demi tugas tersebut, ia rela
memikul segala penderitaan yang paling pedih, dan seperti ketika
ia melafalkan “cinta” pada hembusan nafas terakhirnya, ia juga akan
mengucapkan “cinta” ketika diangkat pada Hari Pembalasan
kelak. 107
Mementingkan orang lain adalah sikap mulia yang dimiliki
manusia, dan sumbernya adalah cinta. Siapapun yang memiliki andil
terbesar dalam masalah cinta ini, merekalah pahlawan kemanusiaan
paling hebat: orang-orang ini telah mampu mencabut perasaan benci
dan dendam pada diri mereka. Pahlawan-pahlawan cinta ini akan
senantiasa hidup bahkan setelah mereka tiada. Jiwa-jiwa agung ini,
yang tiap hari menyalakan suluh cinta yang baru dalam alam batiniah
mereka dan menjadikan hati sebagai sumber cinta dan altruisme,
akan disambut dan dicintai masyarakat.108

105
Dikutip dari Badran bin Masud bin Husain, al-Z}âhirah al-Gharbiyyah fî al-Wa’yi
al-Had}ârî Anmûdhaj Malik Bennabi, (Doha: Kitâb al-Ummah, 1999), 162.
106
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abdullah ibn Masud, dalam S}ahîh}
Muslim, Kitab: al-Imân. Hadis no. 131. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1,
(Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996).
107
Muhammad Fethullah Gulen, Essays – Perspectives – Opinions, (New Jersey: Tughra
Books, 2009), 49.
108
Gulen, Cinta dan Toleransi, 2.

Vol. 10, No. 2, November 2014


370 Usman Syihab

Seorang ibu yang rela mati demi anaknya adalah pahlawan


cinta: orang-orang yang membaktikan hidup untuk kebahagiaan
orang lain adalah “pejuang yang gagah berani”, dan mereka yang
hidup dan mati untuk kemanusiaan diabadikan dengan monumen-
monumen yang pantas untuk disematkan ke dalam hati kemanusia-
an. Di tangan para pahlawan ini cinta menjadi obat mujarab untuk
mengatasi setiap hambatan dan kunci untuk membuka setiap pintu.
Meraka yang memiliki obat mujarab dan kunci demikian ini lambat
atau cepat akan dapat menguak gerbang semua belahan dunia dan
menyebarkan semerbak wangi kedamaian di mana pun, dengan
menggunakan “pedupaan” cinta di tangan.109
Menurut Gulen, umat manusia “secara sadar” berpartisipasi
dalam simfoni cinta yang sedang diputar di alam semesta. Dengan
mengembangkan cinta di tempat yang benar, umat manusia
menyelidiki bagaimana mereka mampu menunjukkannya dengan
cara yang manusiawi. Oleh karena itu, dengan tidak menyalah-
gunakan semangat cinta dan demi cinta seperti apa adanya, setiap
orang semestinya bersedia menawarkan bantuan dan dukungan
nyata kepada orang lain. Mereka semestinya melindungi keharmo-
nisan bersama yang telah ada dalam semangat keberadaan yang
mempertimbangkan, baik hukum alam maupun hukum yang telah
dibuat, untuk mengatur kehidupan manusia.110
Dalam sejarah kebudayaan Islam, cinta telah melahirkan sistem
persaudaraan yang ideal, yaitu ikatan persaudaraan sosial yang kuat
antara kaum Muhajirin dan kaum Ansar. Sistem sosial yang me-
nyatukan dan mengubah masyarakat badui yang bertebaran menjadi
masyarakat yang bersatu dan bersama-sama membangun peradaban
yang baru, dalam bentuk “al-Mu’âkhât” dan tidak hanya “al-Ukhuw-
wah.” Yang pertama (al-Mu’âkhât) lebih aktif, dinamis dan lebih
praktis, sementara yang kedua (al-Ukhuwwah) hanya merupakan
perasaan yang pasif dan abstrak serta hanya terdapat dalam sastra.111
Cinta merupakan basis moral penting. Ia dapat menciptakan
prinsip-prinsip jejaring sosial, yang dapat melahirkan kebudayaan
yang dinamis, yaitu; a) prinsip tolong-menolong, b) prinsip per-
saudaraan, dan c) prinsip empati:112

109
Ibid., 1.
110
Ibid., 8.
111
Usman Syihab, Membangun Peradaban…, 231.
112
Ibid., 230 dan 232.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 371

a ) Prinsip tolong-menolong, merupakan salah satu prinsip sosial


yang penting dalam proses pembentukkan jaringan dan kerja-
sama masyarakat. Bantuan dan pertolongan yang diberikan
oleh individu terhadap yang lain dalam suatu masyarakat,
tanpa mengharapkan balasan dan semata-mata karena sebagai
kewajiban sosial, merupakan usaha yang berdimensi moral
yang dianjurkan oleh agama seperti dalam ayat yang maksud-
nya sebagai berikut: “Dan saling tolong-menolonglah kamu
sekalian dalam kebajikan dan ketakwaan.”113
b) Prinsip persaudaraan adalah penyatuan unsur-unsur masya-
rakat dalam suatu ikatan sosial yang erat dan dinamis. Agama
Islam banyak menekankan pentingnya prinsip ini, di antara-
nya adalah apa yang difirmankan Allah SWT yang maksudnya
sebagai berikut: “Orang-orang Mukmin adalah bersaudara,
maka damaikanlah di antara kedua saudaramu.”114 Atau seperti
apa yang digambarkan oleh Rasulullah SAW bahwa: “Pe-
rumpamaan orang-orang Mukmin dalam kasih mengasihi,
sayang menyayangi, dan cinta mencintai, adalah seperti sebuah
tubuh yang apabila sebagian daripadanya merasakan sakit
semua tubuh merasa tidak sehat dan demam.”115
c) Prinsip empati di antara individu dan masyarakat. Kecenderu-
ngan hidup individualistik merupakan penyakit moral masya-
rakat. Penanaman prinsip ini ke dalam psikologi dan akal
individu akan membawa kepada kerjasama dan menjadikan
individu memiliki tanggung jawab sosial, khususnya dalam
saat-saat genting. Tanggung jawab sosial dan sikap saling
memperhatikan di antara individu dan masyarakat, dalam satu
sudut, mengharuskan ‘kemauan keras masyarakat’ untuk
menentang segala tingkah laku individu yang salah, dan pada
sudut yang lain, ia juga mengharuskan individu untuk
berperanan secara kritis terhadap kesalahan-kesalahan dalam
tingkah laku masyarakat secara umum. Dengan tugas ber-
ganda seperti tersebut, maka kohesi sosial dan sifat-sifat dinamis
masyarakat akan dapat bertahan. Dalam perspektif agama

113
QS. al-Maidah (5): 2.
114
QS. al-Hujurat (49): 10.
115
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari al-Nu’man bin Basyir, dalam S}ah}îh}
Muslim, Kitab: al-Birr wa al-Silah wa al-Adab. Hadis no. 4685. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-
Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1, (Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996).

Vol. 10, No. 2, November 2014


372 Usman Syihab

Islam tanggung jawab dan kepedulian sosial seperti tersebut


adalah sesuai dengan apa yang telah difirmankan Allah SWT
yang maksudnya seperti berikut: “Orang-orang Mukmin lelaki
dan perempuan satu sama lain adalah penanggung jawab, yang
masing-masing menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran.”116Atau sebagaimana yang telah disabdakan
oleh Rasulullah SAW yang maksudnya seperti berikut: “Barang
siapa di antara kamu melihat suatu kemungkaran maka
ubahlah ia dengan tangan, apabila ia tidak mampu, maka
ubahlah ia dengan lisan, dan apabila ia tidak mampu maka
ubahlah ia dengan hati, dan ia adalah selemah-lemah iman”.117
Muhammad Fethullah Gulen menyimpulkan bahwa “mereka
yang kehilangan cinta, seperti orang-orang yang terperangkap dalam
sikap mementingkan diri sendiri, tidak mampu mencintai orang
lain dan benar-benar tidak menyadari cinta yang tertanam dalam-
dalam pada setiap yang ada”118

Peranan Ulama dalam Renaissance


Gulen memandang bahwa para ulama dan cendikiawan
memiliki tugas dan peranan penting dalam renaissance di masa lalu
dan yang akan datang. Merekalah yang membuka wawasan umat
Islam yang tertutup serta menggerakkan nalar mereka yang selama
ini jauh dari “langit” nilai-nilai Ilahi yang selalu berotasi di garis orbit
al-Qur’an. Mereka tidak pernah alpa terhadap segala rahasia yang
terdapat dalam jagat raya, manusia, dan kehidupan. Mereka selalu
menjadi suri tauladan bagi umat beragama karena merekalah yang
terus mengimplementasikan semua perintah agama secara maksimal.
Mereka selalu menjaga hal-hal pokok (us}ûl) sembari tetap menem-
puh jalan kebenaran dengan mengikuti Allah untuk selalu mencari
yang mudah, pas, dan toleran. Merekalah yang mengobati semua
penyakit akut yang diderita umat Islam beserta segala penaf-
sirannya.119

116
QS. al-Taubah (9): 71.
117
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id al-Hudri, dalam S}ah}îh}
Muslim, Kitab: al-Iman. Hadis no. 70. Dalam Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf, CD, Edisi 1: 1.1,
(Kairo: Syarikah Sakhar li Barâmij al-H}âsib 1991-1996).
118
Gulen, Cinta dan Toleransi, 8.
119
Gulen, Bangkitnya Spiritualitas Islam, 19.

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 373

Para ulamalah yang telah mengubah semua tempat, baik


sekolah maupun masjid, baik jalan umum maupun rumah, menjadi
tempat-tempat perenungan terhadap hakikat kebenaran yang
terkandung di balik entitas, kehidupan, dan manusia. Mereka
berhasil membuka jendela menuju pengelihatan transendental yang
telah tertutup selama berabad-abad. Merekalah yang membangun
“bala tentara Islam” yang mampu menerapkan ajaran syariat pada
seluruh aspek kehidupan. Mereka mampu mengasah sensitivitas
pada diri umat hingga mereka mampu menemukan cara yang tepat
untuk mencapai tujuan tertentu. Dan mereka juga mampu melaku-
kan olah batin dan olah nalar dengan baik.120
Para ulama dan cendikiawanlah yang berperan menjadi “otak”
bagi “tubuh” masyarakat Muslim. Mereka akan selalu berdialog
dengan semua “anggota tubuh” yang lain untuk kemudian menyam-
paikan arahan yang tepat bagi seluruh “sel” di tubuh umat. Mere-
kalah yang membisikkan spiritualitas dan nilai moral kepada umat
sejak dulu, dan semakin menggiat saat ini, untuk kemudian
berlanjut ke masa mendatang.121

Penutup
Gulen menyadari benar bahwa krisis yang dialami oleh umat
Islam sekarang ini adalah krisis yang multidimensi dan menyeluruh.
Gulen menilai sebab utama dari krisis tersebut adalah internal, bukan
dari luar, yaitu “kelayakan dijajah” atau kesiapan internal yang
menjadikan mereka mundur. Menurut Gulen, sudah lama umat
Islam berusaha bangkit namun selalu gagal. Mereka selalu berputar-
putar di dalam lingkaran setan sambil terus mengulangi berbagai
kesalahan yang sama dan ketika mereka berhasil maju selangkah
ke depan, hal itu selalu disusul dengan kemunduran sekian langkah
ke belakang. Dalam pandangan Gulen, dunia Islam sekarang ini
adalah “dunia yang hamil tua” yang sewaktu-waktu akan melahirkan,
dan keterpurukan yang telah berlangsung sekian lama ini tidak akan
terus berlanjut. Umat Islam sangat membutuhkan segera “ke-
bangkitan dari kubur”, renaissance, dan reformasi total.
Menurut Gulen, agama adalah unsur terpenting dalam hidup
manusia, unsur yang tidak bisa diganti oleh sesuatu yang lain dan

120
Ibid., 19-20.
121
Ibid., 31.

Vol. 10, No. 2, November 2014


374 Usman Syihab

agama memiliki peran yang sangat vital dalam pembentukan jati


diri sebuah peradaban. Di sepanjang perjalanan sejarah, agama telah
berperanan aktif melahirkan peradaban manusia; sejak masa para
Brahma sampai kelahiran Buddhisme, dari masa Judaisme sampai
masa Kristen dan lahirnya Islam, ada banyak umat yang bertumbuh
kembang dalam inkubator iman, kerinduan spiritual, dan nilai-nilai
moral, hingga membuat mereka mampu membuat bumi, waktu,
dan manusia mencapai ketinggian yang tak ternilai harganya.
Agama yang dapat menjadi pilar peradaban menurut Gulen
adalah agama yang memiliki tujuan luhur seperti menerapkan nilai
moral, meningkatkan kualitas spiritual, mengajarkan tujuan yang lebih
tinggi dari kehidupan dunia, serta memenuhi rasa dahaga yang dirasa-
kan oleh jiwa manusia. Bukan sebuah agama yang hanya berisi ibadah
(ritual), tapi sebuah ajaran yang mengayomi hidup manusia secara
komprehensif baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Menurut Gulen, setiap peradaban harus memiliki hubungan
dengan masa lampaunya, dan memiliki hubungan dengan warisan
kebudayaanya sendiri, dan bahwa usaha mencari dan membangun
peradaban yang lebih baik untuk masa depan tidak akan berhasil
kecuali dengan mengambil akar-akar kebudayaan yang dimiliki.
Akar-akar dan sumber-sumber kebudyaan umat Islam adalah al-
Qur’an dan al-Sunnah, ijma, qiyas, istihsan, mashalih, tasawuf, ilmu
kalam, kebiasaan (‘urf), adat, amal, tafsir, hadis, usul tafsir, usul hadis,
fikih, dan usul fikih. Dalam konsepnya tentang kebudayaan, Gulen
juga berpendapat bahwa sebuah kebudayaan pasti akan mati jika ia
dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain karena lingkungan baru
yang didiaminya tidak menyediakan segala hal yang mendukung
keberadaan dan pertumbuhannya.
Oleh karena itu, menurut pandangan Gulen syarat utama
renaissance kebangkitan kembali umat Islam adalah dengan kembali
kepada jati diri, mencari karakter peradaban yang sejati dan akar-
akar budaya sendiri dan membersihkan diri dari segala bentuk
penjajahan pemikiran dan konsep asing. Bagi Fethullah Gulen
peradaban bukan bentuk kehidupan yang diadopsi dari para
penjajah yang telah merajang jiwa umat selama bertahun-tahun. Dan,
bukan pula nilai-nilai yang telah mencerabut umat dari nilai-nilai
luhur yang dimiliki. Untuk itu, Gulen merumuskan empat dasar
utama renaissance sekaligus sebagai syarat-syarat penting peradaban
yang ideal yaitu; a) moral-spritual, b) ilmu pengetahuan, c) estetika,
dan d) cinta.[]

Jurnal TSAQAFAH
Peranan Agama dalam Restorasi Peradaban... 375

Daftar Pustaka
Al-Albani, Muhammad Nasiruddin. 1985. Silsilah al-Ah} â dîts al-
D} a ’îfah wa al-Maud} û ’ah. Jil. 1. Damascus: al-Maktabah al-
Islami, Cet. 5.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1987. Lisân al-Mîzân. Jil. 5. Beirut:
Muassasah al-A’lam li al-Mat}bû’ât, Cet. 3.
Bakar, Mohamad Abu. 2000. Persekitaran Strategik Umat Islam Abad
Ke-21. Kuala Lumpur: Utusan Melayu.
Bennabi, Malik. 1980. Musykilât al-Afkâr fî al-‘Âlam al-Islâm. Terj.
Bisam Barkah dan Ahmad Sakbu. Damascus, Syria: Dâr al-
Fikr.
_________. 1986. Wijhah al-‘Âlam al-Islâmî. Terj. ‘Abd al-Shabur
Syahin. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4.
_________. 1987. Syurût} al-Nahd}ah. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin dan
Umar Kamil Miskawi. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 4.
_________. 1989. Musykilât al-Tsaqâfah. Terj. ‘Abd al-Shabur
Syahin. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 3.
_________. 1991. Ta’ammulât. Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 5.
_________. Mîlâd Mujtama’. 1987. Terj. ‘Abd al-Shabur Syahin.
Damascus: Dâr al-Fikr, Cet. 3.
Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. 1995. Mîzân al-
I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Jil. 5. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Esposito, John L. 1992. The Islamics Threat: Myth or Reality. New
York: Oxford University Press.
Garvin, James Louis. et.al, (Eds). 1990. Encyclopedia Britanica Inc. Jil.
4 dan 7. Chicago: Encyclopedia Britanica Company, Cet. 15.
Al-Ghazali, Abu Hamid. T. Th. Ih}yâ’ Ulûm al-Dîn, Jil. 3. Beirut: Dâr
al-Qalam.
Gulen, Muhammad Fethullah. 2009. Essays – Perspectives – Opinions.
New Jersey: Tughra Books.
_________. 2011. Cinta dan Toleransi. Jakarta: BE Publishing.
_________. 2012. Bangkitnya Spiritualitas Islam. Jakarta: Republika.
_________. 2013. Membangun Peradaban Kita. Jakarta: Republika.
Huntington, Samuel P. 1997. The Clash of Civilizations and the
Remaking of World Order. New York: Touchstone.
Ibnu Husain, Badran bin Masud. 1999. al-Z}âhirah al-Gharbiyyah fî
al-Wa’yi al-Had}ârî Anmûdhaj Malik Bennabi. Doha: Kitâb al-
Ummah.
Mausû’ah al-Hadîts al-Syarîf. CD, Edisi 1: 1.1, Kairo: Syarikah Sakhar

Vol. 10, No. 2, November 2014


376 Usman Syihab

li Barâmij al-H}âsib 1991-1996.


Nottingham, Elizabeth K. 1985. Agama Dan Masyarakat; Suatu
Pengantar Sosiologi. Terj. Abdul Muis Naharong. Jakarta:
Rajawali.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Syihab, Usman. 2010. Membangun Peradaban dengan Agama.
Jakarta: Dian Rakyat.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Jurnal TSAQAFAH

Das könnte Ihnen auch gefallen