Sie sind auf Seite 1von 28

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Henti jantung primer adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen
ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan tidak adekuat. Henti
jantung yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau
cardiac arrest. 3

Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai
oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti, dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.

Sebagian besar henti jantung di sebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-
90%), kemudian di susul oleh ventrikel asistol (± 10%) dan yang terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik
(±5%). Selain itu henti jantung yang terakhir lebih sulit di tanggulangi karena akibat gangguan pacemaker
jantung. Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.

A. Pengertian
Cardiac arrest merupakan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, akibatnya terjadi penghentian sirkulasi efektif sehingga semua kerja
jantung berhenti (American Heart Association, 2010; Smeltzer & Barre, 2001).
B. Faktor predisposisi
Menurut american heart association (2010), seseorang dikatakan mempuyai
resiko tinggi terkena cardiac arrest denga keadaan sebagai berikut:
1. Ada jejas dijantung akibat dari serangan jantung terdahulu
2. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
3. Seseorang yang sedang mengunakan obat-obatan untuk jantung
4. Kelistrikan jantung yang tidak normal.
5. pembuluh darah yang tidak normal.
6. Penyalagunaan obat
C. Tanda-tanda cardiac arrest
Tanda-tanda cardiac arrest menurut ambulans gawat darurat 118 (2010) yaitu:
1. Ketiadaan respon; pasien tidak berespons terhadap rangsangan suara, tepukan
dipundak ataupun cubitan
2. Ketiadaan pernapasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan nafas
pernafasan dibuka.
3. Tidak teraba denyut nadi diarteri besar (karotis femoralis radialis)
D. Proses terjadinya cardiac arrest
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia: fibrilasi
ventrikel (VF), takikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol
(diklat ambulans gawat darurat 118, 2010).
1. Febrilasi fentrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya
mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segra dilakukan adalah
CPR dan DC shock atau defebrilasi.

2. Takikardi fentrikel
Mekanisme penyebab terjadinya takikardi ventrikel biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) apapun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan mnyebabkan fase pengisian ventrikel
kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang
sehinggga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil,
pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan pada kasus VT dengan
gangguan hemodinamik sampe terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian
terapi defibrilasi dengan menggunkan DC shock dan CPR adalah pilihan utama
3. Pulseless eletrical activity (PEA)
Merupaka keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontaktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah
tindakan yang harus segera dilakukan
4. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan
pada monitor irama yang terbentik adlah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang ahrus segera diambil adalah CPR.
KONTRA INDIKASI RJP

RJP tidak di lakukan pada keadan- keadaan sebagai berikut :

a. Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut/kronik yang berat. Pada keadaan ini
denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, kemudian tidak hanya jantung tetapi
organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin
untuk tetap hidup lama lama lagi.

b. Stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi.

c. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½-1 jam terbukti
tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.

d. Pasien dengan kriteria do not resuscitate (DNR) atau semua tindakan kecuali RJP : untuk pasien-
pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, yang mengalami
kegagalan jantung paru atau organ multipel yang lain atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, misal nyakarsinomatosis lanjut. Semua yang mungkin dilakukan untuk
kenyamanan pasien. Perpanjangan hidup tidak dilakukan setelah henti jantung. Bila ini terjadi RJP
tidak dilakukan dan pasien dibiarkan meninggal.2

A. Fase RJP

Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya4:

1. FASE I :

Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat

mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana

melakukan RJP secara benar.

Terdiri dari :

C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.

A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.

B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.

2. FASE II :
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup dasar

ditambah dengan :

D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.

E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai PJL, untuk

mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes.

F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.

3. FASE III :

Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).

G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus,

dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.

H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan

lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan

neurologic yang permanen.

H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu

pada suhu antara 30° — 32°C.

H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang

mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.

I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi,

pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan,

dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

BANTUAN HIDUP DASAR (BASIC LIFE SUPPORT)

Istilah pertolongan dasar dimaksudkan untuk membebaskan jalan napas, membantu pernapasan
dan mempertahankan sirkulasi darah. Tujuan utamanya adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk
mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh.
1. Airway control
Pembebasan jalan napas dan menjaga agar jalan napas tetap terbuka dan bersih.

Jalan napas normal dapat dinilai dengan

• Gerak napas yang normal baik dada maupun perut


• Suara napas yang bersih dan jernih, tanpa adanya suara tambahan seperti mendengkur,
suara berkumur atau serak/parau
• Dilakukan tanpa dirasakan atau usaha yang berlebihan
• Aliran napas dapat dirasakan secara normal.
Bila tidak sadar, pasien diletakkan pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau selipkan papan
kalau pasien di atas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah akan menyumbat faring dan
epiglotis akan menyumbat laring. Periksa apakah ada sumbatan di jalan napas.

Bila terdapat sumbatan di jalan napas berupa benda asing dapat dilakukan finger sweep, back
blow, heimlich maneuver atau chest thrust.

Jika tidak terdapat benda asing, pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan cara :

• Head tilt: leher diekstensikan sejauh mungkin dengan menggunakan satu tangan.
• Chin lift: dagu bagian sentral ditarik ke depan dengan menggunakan tangan yang lain.
• Jaw thrust: jari indeks dan lainnya ditempatkan pada kedua sisi antara sudut rahang dan
telinga serta rahang ditarik ke depan.

Gambar. 1. Head tilt chin lift Gambar. 2. Jaw thust

(Dikutip dari daftar pustaka no. 6) (Dikutip dari daftar pustaka no. 6)

1. Breathing support
Usaha ventilasi buatan dan oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermiten
dengan menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau dari mulut ke
alat.5
Penilaian pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada pasien:

• Look: naik dan turunnya dinding dada


• Listen: udara yang keluar saat ekshalasi
• Feel: merasakan aliran udara yang menghembus di pipi
Bila pasien bernapas, posisikan pasien dalam posisi pemulihan. Bila pasien tidak bernapas
atau pernapasan tidak adekuat, berikan napas buatan 2 kali. Setiap napas diberikan 1 detik
dan terlihat menaikkan dinding dada.

Gambar. 3. Look, listen and feel

(Dikutip dari daftar pustaka no. 6)

2. Circulation support

Tindakan resusitasi jantung dalam usaha mempertahankan sirkulasi darah dengan cara memijat
jantung.5

Penilaian sistem sirkulasi darah dilakukan dengan menilai adanya pulsasi arteri karotis. Penilaian
ini maksimal dilakukan selama 10 detik. Bila tidak ditemukan nadi maka dilakukan kompresi
jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan minimal 100 – 120x/menit, kedalaman 5 –
6 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan
relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada, dan rasio kompresi dan ventilasi 30:2.7

Dalam guidelines 2015, hilangnya pernapasan yang normal dapat menjadi tanda utama cardiac
arrest pada orang yang tidak sadar.7,8. Pertama kali diperiksa adalah circulation, jika nadi arteri karotis
tidak teraba selama 10 detik, maka dapat segera dilakukan tindakan RJP. Ini dengan pertimbangan bahwa
oksigen masih tercukupi.7,
BANTUAN HIDUP LANJUT (ADVANCED LIFE SUPPORT)

Bantuan hidup lanjut dilakukan di fasilitas kesehatan. Tindakan bantuan hidup dasar tetap
dipertahankan dan dilengkapi oleh bantuan hidup lanjut.1 Tujuan utama adalah untuk mengembalikan
sirkulasi spontan dan stabilitas sistem kardiovaskular, yaitu dengan pemberian cairan dan obat – obat.
Diperlukan juga pemeriksaan EKG untuk melihat bagaimana irama jantungnya

1. Drug and fluid


Pemasangan infus dua tempat bersamaan dengan dilakukannya RJP. Bila memungkinkan
dilakukan pemasangan kateter untuk memonitor central venous pressure (CVP).

Pemberian obat melaului tracheal tube tidak lagi direkomendasikan. Jika pemberian secara IV
tidak memungkinkan, maka pemberian obat diberikan secara intraosseous.

Pada cardiac arrest dengan etiologi VT / VF,:

a. 1mg adrenalin diberikan setelah 3 kali syok dan kemudian setiap 3 – 5 menit (selama siklus RJP
berlangsung).
b. Amiodarone 300mg juga diberikan setelah 3 kali syok.
c. Atropin sudah tidak direkomendasikan lagi pemakaiannya dalam asystole atau pulseless
electrical activity (PEA).

Untuk mengatasi hipotensi diberikan dopamine 200mg dilarutkan dalam 250 – 500 ml garam
fisiologis

Untuk mengatasi asidosis metabolic yang biasanya timbul beberapa menit setelah henti jantung,
diberikan Na-bikarbonat. Dosis awal yang dianjurkan adalah 1mEq/kgBB i.v. atau 1 ampul 50ml
(7.5%) yang mengandung 44,6 mEq ion Na. 6

2. Elektrocardiograph

Pemeriksaan EKG penting untuk melihat apakah pasien mengalami suatu fibrilasi ventrikel,
asistol atau yang lain. 6

a. Fibrilasi ventikular
Aritmia yang ditandai dengan kontraksi fibrilar otot ventrikular akibat eksitasi berulang
yang cepat pada serabut miokardial tanpa disertai kontraksi ventrikel yang terkoordinasi. Ini
merupakan ekspresi pergerakan siklus acak atau suatu fokus ektopik dengan siklus yang
sangat cepat.8

Penyebab tersering adalah kurangnya aliran darah ke otot jantung karena penyakit arteri
koroner atau serangan jantung. Penyebab lain adalah syok dan sangat rendahnya kadar
potasium di dalam darah (hipokalemia).

Fibrilasi ventrikular menyebabkan ketidaksadaran sementara. Jika tidak diobati penderita


biasanya mengalami konvulsi dan berkembang menjadi rusaknya otak setelah 5 menit karena
oksigen tidak lagi mencapai otak.

b. Asystole

Asistole adalah keadaan dimana tidak adanya denyut jantung.

Tidak ada detak jantung primer terjadi ketika fungsi metabolisme selular tidak lagi utuh dan
impuls listrik tidak bisa dihasilkan. Dengan iskemia berat, sel pacu jantung tidak dapat
mengangkut ion yang diperlukan untuk mempengaruhi potensial aksi transmembran.

c. Electromechanical dissociation

Irama elektris jantung yang kontinu tanpa adanya fungsi mekanis yang efektif. Ini disebabkan
oleh kontraksi otot ventrikel yang tidak berpasangan dari aktivitas elektris atau mungkin
setelah gangguan yang menyebabkan penghentian aliran balik vena.

PEA disebabkan oleh ketidakmampuan otot jantung untuk menghasilkan kekuatan yang cukup
dalam menanggapi depolarisasi listrik. Situasi yang menyebabkan perubahan mendadak di
preload, afterload, atau kontraktilitas sering mengakibatkan PEA.

3. Fibrillation treatment

Untuk mengobati fibrilasi ventrikel dilakukan DC-shock. Defibrilasi pertama diberikan 3


joule/kgBB. Dosis ulangan tertinggi adalah 5joule/kgBB dengan maksimal 400 joule.

PERTOLONGAN JANGKA PANJANG ( PROLONGED LIFE SUPPORT)

1. Gauging
Mengevaluasi dan mengobati penyebabnya serta menilai kembali apakah pasien dapat
diselamatkan dan apakah usaha pertolongan perlu dilanjutkan.

2. Human mentation

Tindakan resusitasi lanjut dari otak dan system saraf untuk mencegah terjadinya kelainan
neurologic yang menetap.

Ada yang menggunakan istilah hipotermi untuk human mentation. Hipotermia merupakan salah
satu cara resusitasi otak sesudah hipoksia, dengan jalan menurunkan suhu tubuh pasien menjadi
32 – 330C

3. Intensive care

Perawatan jangka panjang yaitu berupa usaha mempertahankan homeostasis ekstrakranial dan
homeostasis intracranial, antara lain dengan cara mempertahankan fungsi pernapasan,
kardiovaskuler, metabolic, fungsi ginjal dan hati.

Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa, anak-anak dan bayi
Tabel 1. Ringkasan komponen BLS

(dikutip dari daftar pustaka no.7)

Perbedaan Resusitasi Jantung Paru pada ILCOR 2010 dan ILCOR 2015

American Heart Association (AHA) baru-baru ini telah mempublikasikan pedoman cardio
pulmonary resuscitation dan perawatan darurat kardiovaskular 2015 yang sebelumnya menggunakan
aturan tahun 2010. Seperti diketahui, para ilmuan dan praktisi kesehatan terus mengeavaluasi CPR
atau yang lebih dikenal dengan RJP ini dan mempublikasikan setiap 5 tahun.7

Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah-langkah CPR dan
disesuaikan dengan kemajuan ilmiah saat ini untuk mengidentifikasi faktor yang mempunyai dampak
terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia, dikembangkan
rekomendasi untuk mendukung intervensi yang hasilnya menunjukkan paling menjanjikan.

Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima tahun terakhir
AHA mengeluarkan Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2015. Berikut ini adalah beberapa
perbedaan antara panduan RJP 2010 dengan RJP 2015.

1. Pengenalan dan pengaktifan cepat system tanggapan darurat.


Penolong harus meminta bantuan terdekat bila mengetahui korban tidak menunjukkan
reaksi, namun akan lebih praktis bagi penolong untuk melanjutkan dengan menilai
pernapasan dan denyut secara bersamaan sebelum benar-benar mengaktifkan sistem
tanggapan darurat. Perubahan rekomendasi bertujuan untuk meminimalkan penundaan
dan mendukung penilaian serta tanggapan yang cepat dan efisien secara bersamaan, bukan
melakukan pendekatan langkah demi langkah yang berjalan lambat berdasarkan metode.
2. Penekanan pada kompresi dada
Melakukan kompresi dada dan menyediakan ventilasi untuk semua pasien dewasa
yang mengalami serangan jantung adalah tindakan yang perlu dilakukan oleh
penolong, baik yang disebabkan maupun tidak disebabkan oleh jantung.
3. Kecepatan kompresi dada
Pada orang dewasa yang menjadi korban serangan jantung, penolong perlu
melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120/menit. Nilai kecepatan
kompresi minimum yang direkomendasikan tetap 100/menit. Kecepatan batas atas
120/menit telah ditambahkan karena apabila kecepatan kompresi meningkat lebih
dari 120/menit,akan menyebabkan kedalaman kompresi yang tidak memadai.
4. Kedalaman kompresi dada
Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong harus melakukan kompresi
dada hingga kedalaman minimum 2 inci (5cm) untuk dewasa rata-rata, dengan
tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci
(6cm)). Kedalaman kompresi sekitar 5 cm terkait dengan kemungkinan hasil yang
diharapkan lebih besar bila dibandingkan dengan kedalaman kompresi lebih
dangkal. Meskipun terdapat sedikit bukti tentang adanya ambang atas yang jika
terlampaui, maka kompresi akan menjadi terlalu dalam, namun satu penelitian
sangat kecil baru-baru ini menunjukkan potensi cedera (yang tidak mengancam
jiwa) akibat kedalaman kompresi dada yang berlebihan. Penting bagi penolong
untuk mengetahui bahwa kedalaman kompresi dada lebih sering terlalu dangkal
daripada terlalu dalam.
5. Rekoil dada
Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di antara kompreesi
untuk mendukung rekoil penuh dinding dada pasien dewasa saat mengalami
serangan jantung. Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada kembali ke
posisi alami atau netralnya saat fase dekompresi CPR berlangsung. Rekoil dinding
dada memberikan relative tekanan intrathoraks negative yang mendorong
pengembalian vena dan aliran darah kardiopulmonari. Bertumpu diatas dinding
dada di antara kompresi akan menghalangi recoil penuh dinding dada. Recoil tidak
penuh akan meningkatkan tekanan intrathoraks dan mengurangi pengembalian
vena, tekanan perfusi coroner, dan aliran darah miokardium, serta dapat
mempengaruhi hasil resusitasi.
6. Meminimalkan gangguan dalam kompresi dada
Berikut ini merupakan penegasan kembali dari Pedoman 2010. Penolong harus
berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit. Untuk orang dewasa
yang mengalami serangan jantung dan menerima CPR tanpa saluran udara
lanjutan, mungkin perlu untuk melakukan CPR dengan sasaran fraksi kompresi
dada setinggi mungkin, dengan target minimum 60%. Fraksi kompresi dada adalah
pengukuran proporsi waktu resusitasi total yang dilakukan kompresi. Peningkatan
fraksi kompresi dada dapat diperoleh dengan meminimalkan jeda dalam kompresi
dada. Sasaran optimal untuk fraksi kompresi dada belum didefinisikan.
Penambahan fraksi kompresi target ditujukan untuk membatasi gangguan dalam
kompresi dan menoptimalkan perfusi coroner dan aliran darah saat CPR
berlangsung.
7. Tanggapan kompresi dada
Menggunakan perangkat umpan balik audiovisual saat CPR berlangsung untuk
mengoptimalkan performa CPR secara real-time mungkin perlu dilakukan.
Teknologi akan memungkinkan pemantauan, perekaman, dan tanggapan tentang
kualitas CPR secara real-time, termasuk parameter pasien fisiologi dan metric
kinerja penolong. Data penting tersebut dapat digunakan digunakan secara real-
time selama resusitasi, wawancara setelah resusitasi, dan untuk program
peningkatan kualitas diseluruh system. Mempertahankan focus selama CPR
berlangsung pada karakteristik kecepatan dan kedalaman kompresi, serta recoil
dada dengan tetap meminimalkan gangguan adalah tantangan yang sangat sulit,
bahkan bagi tenaga professional yang sangat terlatih. Terdapat beberapa bukti
bahwa penggunaan umpan balik CPR mungkin efektif dalam mengubah kecepatan
kompresi dada yang terlalu tinggi, dan terdapat bukti lain bahwa umpan balik CPR
akan mengurangi tenaga tumpuan saat kompresi dada berlangsung. Namun,
penelitian hingga saat ini belum menunjukkan adanya peningkatan signifikan
dalam hasil neurologis yang diharapkan atau kelangsungan hidup pasien setelah
keluar dari rumah sakit dengan penggunaan perangkat umpan balik CPR saat
terjadi serangan jantung yang sebenarnya.
8. Ventilasi tertunda
Untuk pasien yang mengalami serangan jantung diluar rumah sakit yang terpantau
dengan ritme dapat dikejut, mungkin penting bagi system pelayanan emergensi
dengan umpan balik beberapa tingkat berbasis prioritas untuk menunda ventilasi
bertekanan positif dengan menggunakan strategi hingga 3 siklus dari 200 kompresi
berkelanjutan dengan insuflasi oksigen pasif dan tambahan saluran udara.
Beberapa system pelayanan emergensi telah menguji strategi penerapan kompresi
dada awal secara berkelanjutan dengan ventilasi tekanan positif tertunda untuk
korban dewasa yang terkena serangan jantung diluar rumah sakit. Dalam semua
system ini, penyedia layanan meneria pelatihan tambahan dengan penekanan pada
penerapan kompresi dada berkualitas tinggi. Tiga penelitian dalam system yang
menggunakan umpan balik beberapa tingkat berbasis prioritas dalam komunitas
perkotaan dan pedesaan, serta memberikan paket perawatan mencakup hingga 3
siklus insuflasi oksigen pasif, penyisipan tambahan saluran udara dan 200
kompresi dada berkelanjutan dengan penerapan kejut, menunjukkan peningkatan
kelangsungan hidup pasien dengan status neurologis yang dapat diterima pada
korban serangan jantung yang terlihat jatuh dan dengan ritme dapat dikejut.
9. Ventilasi saat CPR berlangsung dengan saluran udara lanjutan
Penyedia layanan medis mungkin perlu memberikan 1 napas buatan setiap 6 detik
(10 napas buatan per menit) sambil tetap melakukan kompresi dada berkelanjutan
(misalnya, saat CPR berlangsung dengan saluran udara lanjutan).
10. Tim Resusitasi : Prinsip-prinsip dasar
Untuk penolong, Pembaruan Pedoman 2015 memungkinkan fleksibilitas untuk
pengaktifan system tanggapan darurat dan manajemen berurutan untuk lebih
menyesuaikan dengan kondisi klinis penyedia. Langkah-langkah dalam algoritma
Basic Life Support biasanya telah disajikan secara berurutan untuk membantu satu
penolong memprioritaskan tindakan. Namun, terdapat beberapa faktor dalam
resusitasi ( missal, jenis serangan, lokasi, apakah penyedia terlatih berada
disekitar, apakah penolong harus meninggalkan korban untuk mengaktifkan
system tanggapan darurat dsb.) yang mungkin memerlukan perubahan dalam
urutan BLS. Algoritma penolong BLS yang diperbarui bertujuan untuk
menunjukkan waktu dan lokasi kesesuaian fleksibilitas secara berurutan.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasi

Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung

pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik

adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan

pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan

pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha

resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak

ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih

sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat4.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
HENTI JANTUNG

A. Rekomendasi American Heart Association 2015 Pada Tatalaksana Henti Jantung:


Rekomendasi Pembaruan Pedoman 2015 untuk HCP:
1. Rekomendasi ini memungkinkan fleksibilitas untuk pengaktifan sistem tanggapan
darurat untuk lebih menyesuaikan dengan kondisi klinis HCP.
2. Penolong terlatih didorong untuk menjalankan beberapa langkah secara bersamaan
(misalnya, memeriksa pernapasan dan denyut sekaligus) dalam upaya mengurangi
waktu untuk kompresi dada pertama.
3. Tim terpadu yang terdiri atas penolong yang sangat terlatih dapat menggunakan
pendekatan terencana yang menyelesaikan beberapa langkah dan penilaian secara
bersamaan, bukan secara berurutan yang digunakan oleh masing-masing penolong
(misalnya, satu penolong akan mengaktifkan sistem tanggapan darurat dan penolong
kedua akan memulai kompresi dada, penolong ketiga akan menyediakan ventilasi atau
mengambil perangkat kantong masker untuk napas buatan, dan penolong keempat
mengambil dan menyiapkan defibrilator).
4. Peningkatan penekanan telah diterapkan pada CPR berkualitas tinggi menggunakan
target performa (kompresi kecepatan dan kedalaman yang memadai, sehingga
membolehkan rekoil dada sepenuhnya di antara setiap kompresi, meminimalkan
gangguan dalam kompresi, dan mencegah ventilasi yang berlebihan). Lihat Tabel 1.

B. Kecepatan kompresi diubah ke kisaran 100 hingga 120/min.


1) Kedalaman kompresi untuk pasien dewasa diubah ke minimum 2 inci (5 cm),
namun tidak melebihi 2,4 inci (6 cm).
2) Untuk mendukung rekoil penuh dinding dada setelah setiap kompresi, penolong
harus menjaga posisi agar tidak bertumpu di atas dada di antara kompresi.
3) Kriteria untuk meminimalkan gangguan diklarifikasi dengan sasaran fraksi
kompresi dada setinggi mungkin, dengan target minimum 60%.
4) Meskipun sistem EMS telah menerapkan paket perawatan yang melibatkan
kompresi dada berkelanjutan, namun penggunaan teknik ventilasi pasif dapat
dianggap sebagai bagian dari paket perawatan untuk korban OHCA.
5) Untuk pasien yang sedang menjalani CPR dan memiliki saluran udara lanjutan
yang dipasang, laju ventilasi yang disederhanakan disarankan 1 napas buatan
setiap 6 detik (10 napas buatan per menit).

C. Pengenalan dan Pengaktifan Cepat Sistem Tanggapan Darurat


HCP harus meminta bantuan terdekat bila mengetahui korban tidak menunjukkan
reaksi, namun akan lebih praktis bagi HCP untuk melanjutkan dengan menilai
pernapasan dan denyut secara bersamaan sebelum benar-benar mengaktifkan sistem
tanggapan darurat (atau meminta HCP pendukung).
a. Penekanan pada kompresi dada
Melakukan kompresi dada dan menyediakan ventilasi untuk semua pasien dewasa
yang mengalami serangan jantung adalah tindakan yang perlu dilakukan oleh HCP,
baik yang disebabkan maupun tidak disebabkan oleh jantung. Lebih lanjut, penting
bagi HCP untuk menyesuaikan urutan tindakan penyelamatan berdasarkan
penyebab utama serangan.
b. Kejut atau CPR Terlebih Dulu
Untuk pasien dewasa yang mengalami serangan jantung dan terlihat jatuh saat
AED dapat segera tersedia, penting bahwa defibrilator digunakan secepat mungkin.
Untuk orang dewasa yang mengalami serangan jantung tidak terpantau atau saat
AED tidak segera tersedia, penting bila CPR dijalankan sewaktu peralatan
defibrilator sedang diambil dan diterapkan, dan bila defibrilasi, jika diindikasikan,
diterapkan segera setelah perangkat siap digunakan.
c. Kecepatan Kompresi Dada: 100 hingga 120/min
Pada orang dewasa yang menjadi korban serangan jantung, penolong perlu
melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120/min.
d. Kedalaman Kompresi Dada
Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong harus melakukan kompresi
dada hingga kedalaman minimum 2 inci (5 cm) untuk dewasa rata-rata, dengan
tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari 2,4 inci [6
cm]).
e. Rekoil Dada
Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di antara kompresi untuk
mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien dewasa saat mengalami
serangan jantung.
f. Meminimalkan Gangguan dalam Kompresi Dada
1. Penolong harus berupaya meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam
kompresi untuk mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
2. Untuk orang dewasa yang mengalami serangan jantung dan menerima CPR
tanpa saluran udara lanjutan, mungkin perlu untuk melakukan CPR dengan
sasaran fraksi kompresi dada setinggi mungkin, dengan target minimum 60%.

Perbandingan Elemen Utama BLS Dewasa,Anak-Anak, dan Bayi tercantum


dalam tabel 2:
g. Tanggapan Kompresi Dada
Menggunakan perangkat umpan balik audiovisual saat CPR berlangsung untuk
pengoptimalan performa CPR secara real-time mungkin perlu dilakukan.
h. Ventilasi Tertunda
Untuk pasien OHCA yang terpantau dengan ritme dapat dikejut, mungkin
penting bagi sistem EMS dengan umpan balik beberapa tingkat berbasis prioritas
untuk menunda ventilasi bertekanan positif (PPV/positive pressure ventilation)
dengan menggunakan strategi hingga 3 siklus dari 200 kompresi berkelanjutan
dengan insuflasi oksigen pasif dan tambahan saluran udara.
Alasannya: Beberapa sistem EMS telah menguji strategi penerapan kompresi dada
awal secara berkelanjutan dengan PPV tertunda untuk korban OHCA dewasa.
Dalam semua sistem EMS ini, penyedia layanan menerima pelatihan tambahan
dengan penekanan pada penerapan kompresi dada berkualitas tinggi. Tiga
penelitian dalam sistem yang menggunakan umpan balik beberapa tingkat berbasis
prioritas dalam komunitas perkotaan dan pedesaan, serta memberikan paket
perawatan mencakup hingga 3 siklus insuflasi oksigen pasif, penyisipan tambahan
saluran udara, dan 200 kompresi dada berkelanjutan dengan penerapan kejut,
menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pasien dengan status neurologis
yang dapat diterima pada korban serangan jantung yang terlihat jatuh dan dengan
ritme dapat dikejut.
i. Ventilasi Saat CPR Berlangsung dengan Saluran Udara Lanjutan
Penyedia layanan medis mungkin perlu memberikan 1 napas buatan setiap 6
detik (10 napas buatan per menit) sambil tetap melakukan kompresi dada
berkelanjutan (misalnya, saat CPR berlangsung dengan saluran udara lanjutan).
j. Tim Resusitasi: Prinsip-Prinsip Dasar
Untuk HCP, Pembaruan Pedoman 2015 memungkinkan fleksibilitas untuk
pengaktifan sistem tanggapan darurat dan manajemen berurutan untuk lebih
menyesuaikan dengan kondisi klinis penyedia (Gambar 5). Alasannya: Langkah-
langkah dalam algoritma BLS biasanya telah disajikan secara berurutan untuk
membantu satu penolong memprioritaskan tindakan. Namun, terdapat beberapa
faktor dalam resusitasi apa pun (misalnya, jenis serangan, lokasi, apakah penyedia
terlatih berada di sekitar, apakah penolong harus meninggalkan korban untuk
mengaktifkan sistem tanggapan darurat, dsb.) yang mungkin memerlukan
perubahan dalam urutan BLS. Algoritma HCP BLS yang diperbarui bertujuan
untuk menunjukkan waktu dan lokasi kesesuaian fleksibilitas secara berurutan.
D. Bantuan Hidup Kardiovaskular Lanjut
Ringkasan Masalah Utama dan Perubahan Besar
Berikut adalah masalah utama dan perubahan besar dalam rekomendasi Pembaruan
Pedoman 2015 untuk bantuan hidup lanjutan terkait jantung:
1. Perpaduan penggunaan vasopresin dan epinefrin tidak memberikan manfaat apa
pun terhadap penggunaan epinefrin dosis standar dalam serangan jantung.
Vasopresin juga tidak memberikan manfaat terhadap penggunaan hanya epinefrin.
Oleh karena itu, untuk menyederhanakan algoritma, vasopresin telah dihapus dari
Algoritma Serangan Jantung Pada Orang Dewasa–Pembaruan 2015.
2. Karbondioksida end-tidal rendah (ETCO2) pada pasien yang diintubasi setelah
menjalani CPR selama 20 menit terkait dengan kemungkinan resusitasi yang
sangat rendah. Meskipun parameter ini tidak boleh digunakan dalam isolasi untuk
pengambilan keputusan, namun penyedia layanan medis dapat mempertimbangkan
ETCO2 yang rendah setelah melakukan CPR selama 20 menit yang
dikombinasikan dengan beberapa faktor lain untuk membantu menentukan waktu
yang tepat guna menghentikan resusitasi.
3. Steroid dapat memberikan beberapa manfaat bila diberikan bersama vasopresin dan
epinefrin dalam menangani HCA. Meskipun penggunaan rutin tidak
direkomendasikan dalam penelitian lanjutan yang masih dalam proses, namun
penyedia layanan medis perlu memberikan paket perawatan untuk HCA.
4. Bila diterapkan dengan cepat, ECPR dapat memperpanjang kelangsungan hidup,
karena dapat memberikan waktu untuk mengantisipasi kondisi berpotensi
reversibel atau menjadwalkan transplantasi jantung untuk pasien yang tidak
menjalani resusitasi dengan CPR konvensional.
5. Pada pasien serangan jantung dengan ritme yang tidak dapat dikejut dan yang tidak
menerima epinefrin, pemberian epinefrin di awal disarankan.
6. Penelitian tentang penggunaan lidokain setelah ROSC menimbulkan pertentangan,
dan penggunaan lidokain secara rutin tidak disarankan. Namun, inisiasi atau
kelanjutan lidokain dapat dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan
VF/pVT (pulseless ventricular tachycardia atau takikardia ventrikel tanpa denyut).
7. Satu penelitian observasi menunjukkan bahwa penggunaan ß-blocker setelah
serangan jantung dapat dikaitkan dengan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan bila ß-blocker tidak digunakan. Meskipun penelitian observasi ini tidak
memberikan bukti yang cukup kuat untuk merekomendasikan penggunaan rutin,
namun inisiasi atau kelanjutan ß-blocker oral maupun intravena (IV) dapat
dipertimbangkan di awal setelah menjalani rawat inap dari serangan jantung akibat
VF/pVT.

a. Vasopresor untuk Resusitasi: Vasopresin


Perpaduan penggunaan vasopresin dan epinefrin tidak akan memberikan manfaat
apa pun sebagai pengganti epinefrin dosis standar dalam serangan jantung.
b. Vasopresor untuk Resusitasi: Epinefrin
Memberikan epinefrin segera jika tersedia mungkin perlu dilakukan setelah
terjadinya serangan jantung akibat ritme awal yang tidak dapat dikejut.
Alasannya: Penelitian observasi yang sangat besar terkait serangan jantung
dengan ritme yang tidak dapat dikejut membandingkan epinefrin yang diberikan
pada 1 hingga 3 menit dengan epinefrin yang diberikan pada 3 interval selanjutnya
(4 hingga 6, 7 hingga 9, dan lebih lama dari 9 menit). Penelitian ini menemukan
keterkaitan antara pemberian epinefrin di awal dan peningkatan ROSC,
kelangsungan hidup setelah keluar dari rumah sakit, dan kelangsungan hidup
secara menyeluruh dari segi neurologi.

c. ETCO2 untuk Prediksi Resusitasi yang Gagal


Pada pasien yang diintubasi, kegagalan mencapai ETCO2 lebih besar dari 10 mm
Hg oleh kapnografi gelombang setelah menjalani CPR selama 20 menit dapat
dipertimbangkan sebagai satu komponen pendekatan multimodal untuk
memutuskan waktu yang tepat guna mengakhiri upaya resusitasi, namun tidak
boleh digunakan dalam isolasi.
Alasannya: Kegagalan mencapai ETCO2 sebesar 10 mm Hg oleh kapnografi
gelombang setelah resusitasi selama 20 menit dikaitkan dengan peluang ROSC
dan kelangsungan hidup yang sangat buruk. Namun, penelitian hingga saat ini
terbatas pada potensi perancu yang mereka miliki dan melibatkan jumlah pasien
yang relatif kecil, sehingga sangat tidak disarankan untuk hanya mengandalkan
ETCO2 dalam menentukan waktu yang tepat untuk mengakhiri resusitasi.

d. CPR Ekstra-Korporeal
ECPR dapat dipertimbangkan di antara pasien serangan jantung tertentu yang
belum merespons terhadap CPR konvensional awal, dalam kondisi yang
mendukung ECPR dapat diterapkan dengan cepat.
Alasannya: Meskipun tidak ada penelitian berkualitas tinggi yang
membandingkan ECPR dengan CPR konvensional, namun sejumlah penelitian
berkualitas lebih rendah membuktikan peningkatan kelangsungan hidup dengan
hasil neurologis yang baik pada populasi pasien tertentu. Karena ECPR
merupakan sumber intensif dan memerlukan biaya besar, ECPR harus
dipertimbangkan hanya bila pasien memiliki kemungkinan manfaat yang cukup
besar, yakni pasien memiliki penyakit yang bersifat reversibel atau untuk
mendukung pasien sewaktu menunggu transplantasi jantung.

e. Terapi Obat Pasca-Serangan Jantung: Lidokain


Tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan lidokain secara rutin
setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan lidokain dapat
dipertimbangkan segera setelah ROSC dari serangan jantung akibat VF/pVT.
Alasannya: Meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan
antara pemberian lidokain setelah infarksi miokardium dan tingginya angka
kematian, namun penelitian lidokain baru-baru ini pada pasien yang selamat dari
serangan jantung menunjukkan adanya penurunan dalam insiden VF/pVT
berulang, namun tidak menunjukkan manfaat atau kerugian jangka panjang.

f. ß-Blocker
Tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan ß-blocker secara rutin
setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan ß-blocker oral maupun
IV dapat dipertimbangkan di awal setelah menjalani rawat inap dari serangan
jantung akibat VF/pVT.
Alasannya: Dalam penelitian observasi terhadap pasien yang menjalani ROSC
setelah serangan jantung VF/pVT, pemberian ß-blocker terkait dengan tingkat
kelangsungan hidup lebih tinggi. Namun, temuan ini hanya merupakan hubungan
asosiatif, dan penggunaan ß-blocker secara rutin setelah serangan jantung
berpotensi berbahaya karena ß-blocker dapat menyebabkan atau memperburuk
ketidakstabilan hemodinamik, menambah parah gagal jantung, dan
mengakibatkan bradiaritmia. Oleh karena itu, penyedia layanan medis harus
mengevaluasi pasien secara terpisah untuk mengetahui kecocokan mereka
terhadap ß-blocker.
E. Perawatan Pasca-Serangan Jantung
1. Angiografi koroner darurat disarankan untuk semua pasien dengan elevasi ST dan
untuk pasien yang tidak stabil secara hemodinamik maupun fisik tanpa elevasi ST
yang diduga memiliki lesi kardiovaskular.
2. Rekomendasi TTM telah diperbarui dengan bukti baru yang menunjukkan bahwa
kisaran suhu dapat diterima untuk ditargetkan dalam periode pasca-serangan
jantung.
3. Setelah TTM selesai, demam dapat terjadi. Meskipun terdapat data observasi yang
bertentangan tentang bahaya demam setelah TTM, namun pencegahan demam
dianggap tidak berbahaya dan oleh karena itu wajar diterapkan.
4. Identifikasi dan perbaikan hipotensi direkomendasikan dalam periode pasca-
serangan jantung langsung.
5. Prognostikasi kini direkomendasikan tidak lebih cepat dari 72 jam setelah
penyelesaian TTM; bagi pasien yang tidak memiliki TTM, prognostikasi tidak
direkomendasikan lebih cepat dari 72 jam setelah ROSC.
6. Semua pasien yang mengarah ke kondisi kematian otak atau kematian sirkulasi
setelah serangan jantung pertama akan dipertimbangkan sebagai calon donor
organ.

a. Angiografi Koroner
Angiografi koroner harus dilakukan secepatnya (bukan nanti saat dirawat di rumah
sakit atau tidak sama sekali) pada pasien OHCA dengan dugaan serangan etiologi
jantung dan elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner darurat perlu dilakukan pada
pasien dewasa tertentu (misalnya, tidak stabil secara fisik maupun hemodinamik)
yang tidak sadarkan diri setelah OHCA dan diduga sebagai sumber serangan jantung,
namun tanpa elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner perlu dilakukan pada pasien
pasca-serangan jantung yang diindikasikan menjalani angiografi koroner, terlepas dari
apakah pasien tersebut berada dalam kondisi tidak sadarkan diri.
b. Manajemen Suhu yang Ditargetkan
Semua pasien dewasa yang tidak sadarkan diri (misalnya, kurangnya reaksi berarti
terhadap perintah verbal) dengan ROSC setelah serangan jantung harus menjalani
TTM, dengan suhu target antara 32°C hingga 36°C yang dipilih dan diperoleh, lalu
dipertahankan agar tetap sama selama minimum 24 jam.
c. Melanjutkan Manajemen Suhu Melebihi 24 Jam
Mencegah demam secara aktif pada pasien yang tidak sadarkan diri setelah TTM
perlu dilakukan.
Alasannya: Dalam beberapa penelitian observasi, demam setelah peningkatan kembali
suhu dari TTM dikaitkan dengan cedera neurologis yang memburuk, meskipun
penelitian saling bertentangan. Karena mencegah demam setelah TTM relatif tidak
membahayakan, sedangkan demam mungkin terkait dengan bahaya, maka
pencegahan demam disarankan.

d. Pendinginan di Luar Rumah Sakit


Pendinginan suhu pasien pra-rumah sakit secara rutin dengan infusi cairan IV dingin
setelah ROSC tidak direkomendasikan.
Alasannya: Sebelum tahun 2010, pendinginan suhu pasien dalam kondisi pra-rumah
sakit belum dievaluasi secara ekstensif. Telah diasumsikan sebelumnya bahwa inisiasi
pendinginan lebih awal dapat memberikan manfaat tambahan dan inisiasi pra-rumah
sakit juga dapat memfasilitasi dan mendorong pendinginan lanjutan di rumah sakit.
Penelitian berkualitas tinggi yang dipublikasikan baru-baru ini menunjukkan tidak
adanya manfaat terhadap pendinginan pra-rumah sakit dan juga mengidentifikasi
potensi komplikasi bila menggunakan cairan IV dingin untuk pendinginan pra-rumah
sakit.

e. Tujuan Hemodinamik Setelah Resusitasi


Menghindari dan secepatnya memperbaiki hipotensi (tekanan darah sistolik kurang
dari 90 mm Hg, tekanan arteri rata-rata kurang dari 65 mm Hg) mungkin perlu
dilakukan saat perawatan pasca-serangan jantung berlangsung.
Alasannya: Penelitian pasien setelah serangan jantung membuktikan bahwa tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mm Hg atau tekanan arteri rata-rata kurang dari 65 mm
Hg terkait dengan angka kematian lebih tinggi dan pemulihan fungsional yang
berkurang, sedangkan tekanan arteri sistolik lebih besar dari 100 mm Hg terkait
dengan pemulihan yang lebih baik. Meskipun tekanan lebih tinggi muncul, namun
target tekanan sistolik khusus atau tekanan arteri rata-rata tidak dapat diidentifikasi
karena uji coba biasanya mempelajari paket dari banyak intervensi, termasuk kontrol
hemodinamik. Selain itu, karena acuan tekanan darah bervariasi dari pasien ke pasien,
maka masing-masing pasien mungkin memiliki persyaratan yang berbeda untuk
menjaga perfusi organ tetap optimal.

f. Prognostikasi Setelah Serangan Jantung


1. Waktu paling awal untuk memperkirakan hasil neurologis yang buruk
menggunakan pemeriksaan klinis pada pasien yang tidak ditangani dengan TTM
adalah 72 jam setelah serangan jantung, namun kali ini dapat lebih lama setelah
serangan jantung jika sisa dampak sedasi atau paralisis diduga mengacaukan
pemeriksaan klinis.
2. Pada pasien yang ditangani dengan TTM, dalam kondisi sedasi atau paralisis
dapat mengacaukan pemeriksaan klinis, diperlukan waktu tunggu hingga 72 jam
setelah kembali ke kondisi normotermia agar dapat memperkirakan hasil.
Alasannya: Temuan klinis, modalitas elektrofisiologis, modalitas pencitraan, dan
penanda dalam darah berguna untuk memperkirakan hasil neurologis pada pasien
yang tidak sadarkan diri, namun setiap tetemuan, uji coba, dan penanda
dipengaruhi dengan cara yang berbeda oleh sedasi dan blokade neuromuskular.
Selain itu, otak koma dapat lebih sensitif terhadap pengobatan, dan pengobatan
memerlukan waktu lebih lama untuk memetabolisme setelah serangan jantung.

KESIMPULAN

1. Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan untuk apa-apa yang
mengindikasikan terjadinya henti nafas atau henti jantung.
2. Indikasi untuk melakukan RJP adalah henti napas dan henti jantung yang tidak diharapkan
kematiannya. Kontraindikasi RJP adalah pasien yang berada pada stadium terminal suatu
penyakit.
3. RJP terdiri dari 3 fase, yaitu bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut dan bantuan
jangka panjang.
4. Pada bantuan hidup dasar, dalam guidelines 2015, terdapat penekanan lanjutan pada
karakteristik CPR berkualitas tinggi : mengkompresi dada pada kecepatan dan kedalaman
yang memadai, membolehkan recoil dada sepenuhnya setelah setiap kompresi,
meminimalkan gangguan dalam kompresi, dan mencegah ventilasi yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Safar P, Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Juni 2009.


2. Andrey, Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Diakses dari
http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantung-paru-pada- Kegawatan -
Kardiovaskuler,2008. Diunduh pada tanggal 7 Desember 2015.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : EGC; 2005 : 176-80.
4. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-7.

5. Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor
Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007 : 173-77.
6. American Heart Association. International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Science With Treatment Recommendations. 2010.dikutip dari :
http://www.circ ahajournals.org. Diunduh pada tanggal 7 Desember 2015.
7. American Heart Assosciation. Guidelines update for CPR & ECC in the Circulation Journal.
2015. Dikutip dari : http://www.eccguidelines.heart.org Diunduh pada tanggal 17 Desember 2015.
8. Dorland. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC. 2006, 14-15.
9. Resusitasi Jantung Paru, dikutip dari :
http://www.arismaduta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=102:resusitasi-ja
Resuscitation and Emntung-paru&catid=63:artikel-lain&Itemid=86. Diunduh pada tanggal 7
Desember 2015.

Das könnte Ihnen auch gefallen