Beruflich Dokumente
Kultur Dokumente
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Henti jantung primer adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen
ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang
tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan tidak adekuat. Henti
jantung yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau
cardiac arrest. 3
Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti jantung ditandai
oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat sekali, pernafasan berhenti, dilatasi pupil tak
bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
Sebagian besar henti jantung di sebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa denyut (80-
90%), kemudian di susul oleh ventrikel asistol (± 10%) dan yang terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik
(±5%). Selain itu henti jantung yang terakhir lebih sulit di tanggulangi karena akibat gangguan pacemaker
jantung. Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
A. Pengertian
Cardiac arrest merupakan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan
mendadak, akibatnya terjadi penghentian sirkulasi efektif sehingga semua kerja
jantung berhenti (American Heart Association, 2010; Smeltzer & Barre, 2001).
B. Faktor predisposisi
Menurut american heart association (2010), seseorang dikatakan mempuyai
resiko tinggi terkena cardiac arrest denga keadaan sebagai berikut:
1. Ada jejas dijantung akibat dari serangan jantung terdahulu
2. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy)
3. Seseorang yang sedang mengunakan obat-obatan untuk jantung
4. Kelistrikan jantung yang tidak normal.
5. pembuluh darah yang tidak normal.
6. Penyalagunaan obat
C. Tanda-tanda cardiac arrest
Tanda-tanda cardiac arrest menurut ambulans gawat darurat 118 (2010) yaitu:
1. Ketiadaan respon; pasien tidak berespons terhadap rangsangan suara, tepukan
dipundak ataupun cubitan
2. Ketiadaan pernapasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika jalan nafas
pernafasan dibuka.
3. Tidak teraba denyut nadi diarteri besar (karotis femoralis radialis)
D. Proses terjadinya cardiac arrest
Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia: fibrilasi
ventrikel (VF), takikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol
(diklat ambulans gawat darurat 118, 2010).
1. Febrilasi fentrikel
Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak pada
keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya
mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segra dilakukan adalah
CPR dan DC shock atau defebrilasi.
2. Takikardi fentrikel
Mekanisme penyebab terjadinya takikardi ventrikel biasanya karena adanya
gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) apapun akibat adanya gangguan
konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan mnyebabkan fase pengisian ventrikel
kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang
sehinggga curah jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil,
pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih diutamakan pada kasus VT dengan
gangguan hemodinamik sampe terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian
terapi defibrilasi dengan menggunkan DC shock dan CPR adalah pilihan utama
3. Pulseless eletrical activity (PEA)
Merupaka keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan
kontaktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah
tindakan yang harus segera dilakukan
4. Asistole
Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan
pada monitor irama yang terbentik adlah seperti garis lurus. Pada kondisi ini
tindakan yang ahrus segera diambil adalah CPR.
KONTRA INDIKASI RJP
a. Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut/kronik yang berat. Pada keadaan ini
denyut jantung dan nadi berhenti pertama kali pada suatu saat, kemudian tidak hanya jantung tetapi
organisme secara keseluruhan begitu terpengaruh oleh penyakit tersebut sehingga tidak mungkin
untuk tetap hidup lama lama lagi.
c. Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½-1 jam terbukti
tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP.
d. Pasien dengan kriteria do not resuscitate (DNR) atau semua tindakan kecuali RJP : untuk pasien-
pasien dengan fungsi otak yang tetap ada atau dengan harapan pemulihan otak, yang mengalami
kegagalan jantung paru atau organ multipel yang lain atau dalam tingkat akhir penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, misal nyakarsinomatosis lanjut. Semua yang mungkin dilakukan untuk
kenyamanan pasien. Perpanjangan hidup tidak dilakukan setelah henti jantung. Bila ini terjadi RJP
tidak dilakukan dan pasien dibiarkan meninggal.2
A. Fase RJP
1. FASE I :
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat
mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana
Terdiri dari :
2. FASE II :
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup dasar
ditambah dengan :
mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes.
3. FASE III :
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus,
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan
lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan,
Istilah pertolongan dasar dimaksudkan untuk membebaskan jalan napas, membantu pernapasan
dan mempertahankan sirkulasi darah. Tujuan utamanya adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk
mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh.
1. Airway control
Pembebasan jalan napas dan menjaga agar jalan napas tetap terbuka dan bersih.
Bila terdapat sumbatan di jalan napas berupa benda asing dapat dilakukan finger sweep, back
blow, heimlich maneuver atau chest thrust.
Jika tidak terdapat benda asing, pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan cara :
• Head tilt: leher diekstensikan sejauh mungkin dengan menggunakan satu tangan.
• Chin lift: dagu bagian sentral ditarik ke depan dengan menggunakan tangan yang lain.
• Jaw thrust: jari indeks dan lainnya ditempatkan pada kedua sisi antara sudut rahang dan
telinga serta rahang ditarik ke depan.
(Dikutip dari daftar pustaka no. 6) (Dikutip dari daftar pustaka no. 6)
1. Breathing support
Usaha ventilasi buatan dan oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermiten
dengan menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung atau dari mulut ke
alat.5
Penilaian pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada pasien:
2. Circulation support
Tindakan resusitasi jantung dalam usaha mempertahankan sirkulasi darah dengan cara memijat
jantung.5
Penilaian sistem sirkulasi darah dilakukan dengan menilai adanya pulsasi arteri karotis. Penilaian
ini maksimal dilakukan selama 10 detik. Bila tidak ditemukan nadi maka dilakukan kompresi
jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan minimal 100 – 120x/menit, kedalaman 5 –
6 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan
relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada, dan rasio kompresi dan ventilasi 30:2.7
Dalam guidelines 2015, hilangnya pernapasan yang normal dapat menjadi tanda utama cardiac
arrest pada orang yang tidak sadar.7,8. Pertama kali diperiksa adalah circulation, jika nadi arteri karotis
tidak teraba selama 10 detik, maka dapat segera dilakukan tindakan RJP. Ini dengan pertimbangan bahwa
oksigen masih tercukupi.7,
BANTUAN HIDUP LANJUT (ADVANCED LIFE SUPPORT)
Bantuan hidup lanjut dilakukan di fasilitas kesehatan. Tindakan bantuan hidup dasar tetap
dipertahankan dan dilengkapi oleh bantuan hidup lanjut.1 Tujuan utama adalah untuk mengembalikan
sirkulasi spontan dan stabilitas sistem kardiovaskular, yaitu dengan pemberian cairan dan obat – obat.
Diperlukan juga pemeriksaan EKG untuk melihat bagaimana irama jantungnya
Pemberian obat melaului tracheal tube tidak lagi direkomendasikan. Jika pemberian secara IV
tidak memungkinkan, maka pemberian obat diberikan secara intraosseous.
a. 1mg adrenalin diberikan setelah 3 kali syok dan kemudian setiap 3 – 5 menit (selama siklus RJP
berlangsung).
b. Amiodarone 300mg juga diberikan setelah 3 kali syok.
c. Atropin sudah tidak direkomendasikan lagi pemakaiannya dalam asystole atau pulseless
electrical activity (PEA).
Untuk mengatasi hipotensi diberikan dopamine 200mg dilarutkan dalam 250 – 500 ml garam
fisiologis
Untuk mengatasi asidosis metabolic yang biasanya timbul beberapa menit setelah henti jantung,
diberikan Na-bikarbonat. Dosis awal yang dianjurkan adalah 1mEq/kgBB i.v. atau 1 ampul 50ml
(7.5%) yang mengandung 44,6 mEq ion Na. 6
2. Elektrocardiograph
Pemeriksaan EKG penting untuk melihat apakah pasien mengalami suatu fibrilasi ventrikel,
asistol atau yang lain. 6
a. Fibrilasi ventikular
Aritmia yang ditandai dengan kontraksi fibrilar otot ventrikular akibat eksitasi berulang
yang cepat pada serabut miokardial tanpa disertai kontraksi ventrikel yang terkoordinasi. Ini
merupakan ekspresi pergerakan siklus acak atau suatu fokus ektopik dengan siklus yang
sangat cepat.8
Penyebab tersering adalah kurangnya aliran darah ke otot jantung karena penyakit arteri
koroner atau serangan jantung. Penyebab lain adalah syok dan sangat rendahnya kadar
potasium di dalam darah (hipokalemia).
b. Asystole
Tidak ada detak jantung primer terjadi ketika fungsi metabolisme selular tidak lagi utuh dan
impuls listrik tidak bisa dihasilkan. Dengan iskemia berat, sel pacu jantung tidak dapat
mengangkut ion yang diperlukan untuk mempengaruhi potensial aksi transmembran.
c. Electromechanical dissociation
Irama elektris jantung yang kontinu tanpa adanya fungsi mekanis yang efektif. Ini disebabkan
oleh kontraksi otot ventrikel yang tidak berpasangan dari aktivitas elektris atau mungkin
setelah gangguan yang menyebabkan penghentian aliran balik vena.
PEA disebabkan oleh ketidakmampuan otot jantung untuk menghasilkan kekuatan yang cukup
dalam menanggapi depolarisasi listrik. Situasi yang menyebabkan perubahan mendadak di
preload, afterload, atau kontraktilitas sering mengakibatkan PEA.
3. Fibrillation treatment
1. Gauging
Mengevaluasi dan mengobati penyebabnya serta menilai kembali apakah pasien dapat
diselamatkan dan apakah usaha pertolongan perlu dilanjutkan.
2. Human mentation
Tindakan resusitasi lanjut dari otak dan system saraf untuk mencegah terjadinya kelainan
neurologic yang menetap.
Ada yang menggunakan istilah hipotermi untuk human mentation. Hipotermia merupakan salah
satu cara resusitasi otak sesudah hipoksia, dengan jalan menurunkan suhu tubuh pasien menjadi
32 – 330C
3. Intensive care
Perawatan jangka panjang yaitu berupa usaha mempertahankan homeostasis ekstrakranial dan
homeostasis intracranial, antara lain dengan cara mempertahankan fungsi pernapasan,
kardiovaskuler, metabolic, fungsi ginjal dan hati.
Ringkasan komponen BLS (basic life support) bagi dewasa, anak-anak dan bayi
Tabel 1. Ringkasan komponen BLS
Perbedaan Resusitasi Jantung Paru pada ILCOR 2010 dan ILCOR 2015
American Heart Association (AHA) baru-baru ini telah mempublikasikan pedoman cardio
pulmonary resuscitation dan perawatan darurat kardiovaskular 2015 yang sebelumnya menggunakan
aturan tahun 2010. Seperti diketahui, para ilmuan dan praktisi kesehatan terus mengeavaluasi CPR
atau yang lebih dikenal dengan RJP ini dan mempublikasikan setiap 5 tahun.7
Evaluasi dilakukan secara menyeluruh mencakup urutan dan prioritas langkah-langkah CPR dan
disesuaikan dengan kemajuan ilmiah saat ini untuk mengidentifikasi faktor yang mempunyai dampak
terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia, dikembangkan
rekomendasi untuk mendukung intervensi yang hasilnya menunjukkan paling menjanjikan.
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima tahun terakhir
AHA mengeluarkan Panduan Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2015. Berikut ini adalah beberapa
perbedaan antara panduan RJP 2010 dengan RJP 2015.
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung
pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik
adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan
pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan
pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha
resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak
ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
HENTI JANTUNG
d. CPR Ekstra-Korporeal
ECPR dapat dipertimbangkan di antara pasien serangan jantung tertentu yang
belum merespons terhadap CPR konvensional awal, dalam kondisi yang
mendukung ECPR dapat diterapkan dengan cepat.
Alasannya: Meskipun tidak ada penelitian berkualitas tinggi yang
membandingkan ECPR dengan CPR konvensional, namun sejumlah penelitian
berkualitas lebih rendah membuktikan peningkatan kelangsungan hidup dengan
hasil neurologis yang baik pada populasi pasien tertentu. Karena ECPR
merupakan sumber intensif dan memerlukan biaya besar, ECPR harus
dipertimbangkan hanya bila pasien memiliki kemungkinan manfaat yang cukup
besar, yakni pasien memiliki penyakit yang bersifat reversibel atau untuk
mendukung pasien sewaktu menunggu transplantasi jantung.
f. ß-Blocker
Tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan ß-blocker secara rutin
setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan ß-blocker oral maupun
IV dapat dipertimbangkan di awal setelah menjalani rawat inap dari serangan
jantung akibat VF/pVT.
Alasannya: Dalam penelitian observasi terhadap pasien yang menjalani ROSC
setelah serangan jantung VF/pVT, pemberian ß-blocker terkait dengan tingkat
kelangsungan hidup lebih tinggi. Namun, temuan ini hanya merupakan hubungan
asosiatif, dan penggunaan ß-blocker secara rutin setelah serangan jantung
berpotensi berbahaya karena ß-blocker dapat menyebabkan atau memperburuk
ketidakstabilan hemodinamik, menambah parah gagal jantung, dan
mengakibatkan bradiaritmia. Oleh karena itu, penyedia layanan medis harus
mengevaluasi pasien secara terpisah untuk mengetahui kecocokan mereka
terhadap ß-blocker.
E. Perawatan Pasca-Serangan Jantung
1. Angiografi koroner darurat disarankan untuk semua pasien dengan elevasi ST dan
untuk pasien yang tidak stabil secara hemodinamik maupun fisik tanpa elevasi ST
yang diduga memiliki lesi kardiovaskular.
2. Rekomendasi TTM telah diperbarui dengan bukti baru yang menunjukkan bahwa
kisaran suhu dapat diterima untuk ditargetkan dalam periode pasca-serangan
jantung.
3. Setelah TTM selesai, demam dapat terjadi. Meskipun terdapat data observasi yang
bertentangan tentang bahaya demam setelah TTM, namun pencegahan demam
dianggap tidak berbahaya dan oleh karena itu wajar diterapkan.
4. Identifikasi dan perbaikan hipotensi direkomendasikan dalam periode pasca-
serangan jantung langsung.
5. Prognostikasi kini direkomendasikan tidak lebih cepat dari 72 jam setelah
penyelesaian TTM; bagi pasien yang tidak memiliki TTM, prognostikasi tidak
direkomendasikan lebih cepat dari 72 jam setelah ROSC.
6. Semua pasien yang mengarah ke kondisi kematian otak atau kematian sirkulasi
setelah serangan jantung pertama akan dipertimbangkan sebagai calon donor
organ.
a. Angiografi Koroner
Angiografi koroner harus dilakukan secepatnya (bukan nanti saat dirawat di rumah
sakit atau tidak sama sekali) pada pasien OHCA dengan dugaan serangan etiologi
jantung dan elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner darurat perlu dilakukan pada
pasien dewasa tertentu (misalnya, tidak stabil secara fisik maupun hemodinamik)
yang tidak sadarkan diri setelah OHCA dan diduga sebagai sumber serangan jantung,
namun tanpa elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner perlu dilakukan pada pasien
pasca-serangan jantung yang diindikasikan menjalani angiografi koroner, terlepas dari
apakah pasien tersebut berada dalam kondisi tidak sadarkan diri.
b. Manajemen Suhu yang Ditargetkan
Semua pasien dewasa yang tidak sadarkan diri (misalnya, kurangnya reaksi berarti
terhadap perintah verbal) dengan ROSC setelah serangan jantung harus menjalani
TTM, dengan suhu target antara 32°C hingga 36°C yang dipilih dan diperoleh, lalu
dipertahankan agar tetap sama selama minimum 24 jam.
c. Melanjutkan Manajemen Suhu Melebihi 24 Jam
Mencegah demam secara aktif pada pasien yang tidak sadarkan diri setelah TTM
perlu dilakukan.
Alasannya: Dalam beberapa penelitian observasi, demam setelah peningkatan kembali
suhu dari TTM dikaitkan dengan cedera neurologis yang memburuk, meskipun
penelitian saling bertentangan. Karena mencegah demam setelah TTM relatif tidak
membahayakan, sedangkan demam mungkin terkait dengan bahaya, maka
pencegahan demam disarankan.
KESIMPULAN
1. Resusitasi jantung paru adalah usaha yang dilakukan untuk apa-apa yang
mengindikasikan terjadinya henti nafas atau henti jantung.
2. Indikasi untuk melakukan RJP adalah henti napas dan henti jantung yang tidak diharapkan
kematiannya. Kontraindikasi RJP adalah pasien yang berada pada stadium terminal suatu
penyakit.
3. RJP terdiri dari 3 fase, yaitu bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut dan bantuan
jangka panjang.
4. Pada bantuan hidup dasar, dalam guidelines 2015, terdapat penekanan lanjutan pada
karakteristik CPR berkualitas tinggi : mengkompresi dada pada kecepatan dan kedalaman
yang memadai, membolehkan recoil dada sepenuhnya setelah setiap kompresi,
meminimalkan gangguan dalam kompresi, dan mencegah ventilasi yang berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
5. Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor
Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007 : 173-77.
6. American Heart Association. International Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care Science With Treatment Recommendations. 2010.dikutip dari :
http://www.circ ahajournals.org. Diunduh pada tanggal 7 Desember 2015.
7. American Heart Assosciation. Guidelines update for CPR & ECC in the Circulation Journal.
2015. Dikutip dari : http://www.eccguidelines.heart.org Diunduh pada tanggal 17 Desember 2015.
8. Dorland. Kamus Kedokteran. Jakarta: EGC. 2006, 14-15.
9. Resusitasi Jantung Paru, dikutip dari :
http://www.arismaduta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=102:resusitasi-ja
Resuscitation and Emntung-paru&catid=63:artikel-lain&Itemid=86. Diunduh pada tanggal 7
Desember 2015.