Sie sind auf Seite 1von 35

JURNAL READING

PENELITIAN KASUS MEDIKOLEGAL PADA RUMAH SAKIT TERSIER

Penyusun:

Nancy Edison FK Universitas Trisakti Jakarta


Ergaliza Nurmutiara FK Universitas Trisakti Jakarta
Nurfarahin FK Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta
Temmy Hadinata FK Universitas Kristen Indonesia Jakarta
Betsheba Yolanda FK Universitas Kristen Indonesia Jakarta
Marseline Yumame FK Universitas Kristen Indonesia Jakarta
Dita Meisy W FK Universitas Bengkulu

Residen Pembimbing:
dr. Marlis Tarmizi

Dosen Penguji:
dr. Santosa, Sp.F, MH(Kes)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 3 APRIL 2017 – 29 APRIL 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Yang Maha Esa atas rahmat dan anugerah serta hikmah-
Nya kepada penulis atas kesempatan yang telah diberikan. Penulis juga berterima kasih
kepada dr. Marlis Tarmizi selaku Residen pembimbing dan dr. Santosa, Sp.F, MH(Kes)
selaku Dosen Penguji atas waktu, pengarahan, masukan serta berbagai ilmu yang telah
diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Jurnal Reading yang berjudul “Penelitian
Kasus Medikolegal pada Rumah Sakit Tersier” sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Forensik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi periode 3 April
– 29 April 2017.
Adapun tugas ini ditulis berdasarkan acuan dari berbagai sumber yang ada. Tentunya
dalam penulisan tugas ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu segala kritik dan saran guna penyempurnaan laporan kasus ini
sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca
terutama dalam bidang Ilmu Forensik.

Semarang, April 2017


Penulis

  1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedokteran forensik menangani hampir sebagian besar kasus pelanggaran hukum di
mana pemeriksaan medis dan barang bukti dibutuhkan. 1 Dan kasus medikolegal adalah kasus
kecelakaan, cedera ataupun sebuah penyakit di mana dokter yang bertugas melakukan
anamnesis dan pemeriksaan klinis dari pasien tersebut mengupayakan agar investigasi pasien
dilakukan oleh pihak berwajib untuk memenuhi tugas tanggung jawabnya menangani kasus
tersebut. Aspek medikolegal dari setiap kasus harus menjadi hal yang sekunder di samping
menyelamatkan nyawa pasien. 2
Instalasi gawat darurat merupakan garda terdepan di setiap rumah sakit. Selain
berurusan dengan tindakan dan pengobatan yang bersifat darurat, namun juga memiliki peran
penting pada kasus - kasus medikolegal seperti kecelakaan, penyerangan, luka bakar,
keracunan, kematian mendadak, kematian saat tindakan operatif, bunuh diri, pembunuhan,
dan seluruh kematian tidak wajar serta kasus – kasus yang merujuk kepada tindakan hukum
oleh pihak berwajib maupun pengadilan. 2
Terdapat 173 kasus kecelakaan lalu lintas yang dilakukan pemeriksaan di RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tahun 2010-2012. Terdiri atas 100 korban meninggal dan 73 korban
hidup. Jenis kelamin laki–laki merupakan korban terbanyak, baik pada korban meninggal
maupun korban hidup. Umur terbanyak pada kelompok umur dewasa awal (19 – 35 tahun).
Dilihat dari jenis luka, pada hasil penelitian ini didapatkan luka terbanyak adalah luka lecet
dengan lokasi tersering di daerah kepala, sedangkan lokasi patah tulang terbanyak terdapat
pada daerah ekstremitas bawah. 3,4
Maka, pengambilan jurnal ini guna mempelajari atau meneliti insiden dan profil kasus
medikolegal pada rumah sakit tersier dan penelitian tentang pola kasus medikolegal ini dapat
membantu kita untuk mengetahui pencegahan dari sebab kematian.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Pengambilan jurnal ini guna mempelajari atau meneliti insiden dan profil kasus
medikolegal pada rumah sakit tersier dan penelitian tentang pola kasus medikolegal.
1.2.2 Tujuan Khusus
a) Mempelajari aspek medikolegal instalasi gawat darurat ketika terdapat pasien
darurat yang datang tanpa pendamping/keluarga.

  2
b) Mempelajari aspek medikolegal kecelakaan lalu lintas.
1.3 Manfaat
a) Mengetahui insidensi kasus medikolegal pada suatu rumah sakit sehingga dapat
mengetahui sebab kematian serta dapat mencegah terjadinya suatu kasus medikolegal.
b) Meningkatkan pemahaman mengenai aspek medikolegal Instalasi Gawat Darurat
ketika di dapatkan pasien dengan kecelakaan yang datang tanpa
pendamping/keluarga.

  3
BAB II
JURNAL
ABSTRAK
Laporan kasus medikolegal pada korban mati dengan beban kerja yang signifikan di
rumah sakit tersier. Penelitian tentang pola kasus medikolegal dapat membantu kita untuk
mengetahui pencegahan dari sebab kematian dan tingkat kriminal di sebuah wilayah tertentu.
Dalam penelitian ini, seluruh kasus medikolegal terdaftar dalam waktu periode 6 bulan. Total
sebanyak 406 kasus yang terdapat dalam rentang waktu tersebut. Karena rumah sakit tempat
penelitian terletak pada jalan yang cukup padat, kecelakaan merupakan komponen utama
dalam kasus medikolegal. Laki – laki dengan kelompok usia 20 – 29 tahun merupakan
korban kecelakaan yang paling sering didapatkan. Selama bulan April, seluruh kasus
medikolegal yang diterima. Sebagian besar dari seluruh kasus tersebut dapat dicegah dengan
kesadaran dan implementasi dari peraturan yang semestinya.
Kata kunci : Kasus medikolegal, Pola kasus medikolegal, Korban kecelakaan, Kecelakaan
lalu lintas.

LATAR BELAKANG
Kedokteran forensik menangani hampir sebagian besar kasus pelanggaran hukum di
mana pemeriksaan medis dan barang bukti dibutuhkan. Kasus medikolegal adalah setiap
kasus medis dengan implikasi hukum. Kasus medikolegal dapat pula didefinisikan sebagai
kasus cedera ataupun penyakit, di mana dalam investigasi oleh agensi yang melaksanakan
hukum sangat perlu untuk memutuskan pertanggungjawaban mengenai penyebab dari cedera
atau penyakit tersebut. Tanggung jawab dalam memilah setiap kasus sebagai kasus
medikolegal merupakan tugas dokter yang melaksanakan tindakan medis. Aspek medikolegal
dari setiap kasus harus menjadi hal yang sekunder di samping menyelamatkan nyawa pasien.
Meskipun menyelamatkan pasien merupakan tanggung jawab utama seorang dokter, dokter
yang merawat juga wajib untuk melaporkan kasus dengan implikasi hukum kepada pihak
yang berwajib seperti polisi.

SASARAN OBJEKTIF
Untuk mempelajari/meneliti insiden dan profil kasus medikolegal dari korban mati
pada rumah sakit tersier.

  4
BAHAN DAN METODE
Dalam penelitian ini seluruh kasus medikolegal dilaporkan oleh dr. Pinnamaneni
Siddhartha Yayasan Institut Sains Medik & Penelitian selama periode 6 bulan, dari tanggal
01 – 01 – 2016 sampai dengan tanggal 30 – 06 – 2016, data diambil dan dianalisa. Data yang
dikumpulkan termasuk bulan kejadian insiden, usia, jenis kelamin, dan jenis insiden pada
catatan medis kasus medikolegal.
Kasus medikolegal yang diteliti adalah seluruh kasus kecelakaan termasuk kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, kecelakaan pekerjaan, serangan, sengatan listrik, kebakaran,
keracunan atau intoksikasi akibat gigitan ular. Seluruh kasus yang dirawat pada rawat jalan
maupun rawat inap dimasukkan ke dalam studi ini.
Total seluruhnya terdapat 406 kasus yang diteliti dan data ditabulasikan menurut usia,
jenis kelamin, penyebab/jenis kecelakaan, dan bulan terjadinya insiden.

HASIL
Seperti yang digambarkan dalam tabel nomor 1 – 4, total dari 406 kasus selama 6 bulan
didapatkan 312 kasus berupa laki – laki dan 92 perempuan. Kelompok usia 20 – 29 tahun
merupakan usia yang paling banyak dengan jumlah 114 kasus.
Tabel 1 : Distribusi jumlah kasus menurut usia dan bulan kejadian pada jenis kelamin
laki – laki.
Usia Januari Febuari Maret April Mei Juni Total
0–9 1 0 0 3 3 5 12
10 – 19 2 3 7 6 8 6 32
20 – 29 4 13 17 25 17 12 88
30 – 39 4 9 8 18 12 12 63
40 – 49 5 10 13 12 9 7 56
50 – 59 5 5 6 5 7 6 34
60 – 69 4 4 2 2 3 1 16
70 – 79 1 0 1 2 2 0 6
80 – 80 0 2 0 1 1 0 4
90 – 90 0 0 0 0 0 1 1
Total 26 46 54 74 62 50 312

  5
Tabel 2 : Distribusi jumlah kasus menurut usia dan bulan kejadian pada jenis kelamin
perempuan.
Usia Januari Febuari Maret April Mei Juni Total
0–9 0 0 0 3 1 1 5
10 – 19 0 0 1 3 3 1 8
20 – 29 5 5 3 5 4 4 26
30 – 39 3 3 0 5 1 4 16
40 – 49 3 2 2 6 3 7 23
50 – 59 2 0 2 1 0 2 7
60 – 69 0 1 1 2 1 0 5
70 – 79 1 0 0 0 1 1 3
80 – 80 1 0 0 0 0 0 1
90 – 90 0 0 0 0 0 0 0
Total 15 11 9 25 14 20 94

Tabel 3 : Distribusi jumlah kasus menurut usia dan jenis insiden pada jenis kelamin
laki – laki.
Bulan KLL Jatuh Kecelakaan Keracu Sera Luka Sengatan Gigitan Lain
Pekerjaan nan ngan Bakar Listrik ular nya
Januari 12 1 3 4 5 0 0 0 1
Febuari 31 1 8 2 2 0 0 0 2
Maret 33 3 5 3 7 1 2 0 0
April 45 14 7 2 2 0 3 1 0
Mei 36 7 9 5 4 0 1 0 0
Juni 31 3 5 4 6 0 1 0 0
Total 188 29 37 20 26 1 7 1 3

  6
Tabel 4 : Distribusi jumlah kasus menurut usia dan jenis insiden pada jenis kelamin
perempuan.
Bulan KLL Jatuh Kecelakaan Keracu Sera Luka Sengatan Gigitan Lain
Pekerjaan nan ngan Bakar Listrik ular nya
Januari 6 2 1 5 1 0 0 0 0
Febuari 6 0 0 5 0 0 0 0 0
Maret 3 1 0 3 2 0 0 0 0
April 15 1 0 4 1 2 0 1 1
Mei 8 1 1 2 1 0 0 0 1
Juni 9 2 0 4 3 1 0 1 0
Total 47 7 2 23 8 3 0 0 2

200   188  
180  
160  
140  
120  
100  
80  
47  
60   37  
29   26  
40   20   23  
7   2   8   1   3   7   0   1   0   3   2  
20  
0  

Laki  Laki   Perempuan  

Diagram 1 : Perbandingan jumlah kasus pada jenis kelamin laki – laki dan perempuan.

  7
1%   2%   1%   1%  

8%  
10%  

10%  
58%  

9%  

KLL   Jatuh   Kecelakaan  Pekerjaan  

Keracunan   Penyerangan   Luka  Bakar  

Sengatan  Listrik   Gigitan  Ular   Lainnya  

Diagram 2 : Profil kasus medikolegal.

DISKUSI
Dari seluruh 406 kasus medikolegal yang diteliti, 312 di antaranya adalah laki – laki,
77% dari seluruh kasus, dengan jumlah perbandingan rasio laki – laki perempuan 3.4 : 1.
Dalam penelitian Sonepat rasio perbandingan laki – laki perempuan 2.74 : 1. Terkecuali
untuk kasus keracunan dan luka bakar, seluruh kasus lainnya paling sering pada laki – laki.
Berdasarkan dari catatan rekam medis, jatuh dari ketinggian selama bekerja dimasukkan ke
dalam kategori kecelakaan pekerjaan dan kasus jatuh dari ketinggian lainnya dipisah dengan
kategori yang berbeda. Cedera sengatan listrik yang dilaporkan merupakan cedera sengatan
listrik dalam rumah tangga. Kasus bunuh diri, gantung diri, kekerasan, yang bersifat
mendatangkan kematian dimasukkan ke dalam kategori lainnya.
Kecelakaan lalu lintas merupakan peringkat tertinggi dalam kasus medikolegal yang
melibatkan 235 kasus (58%) di mana hampir sama dengan penelitian Tumkur. Tetapi dalam
penelitian Sonepat proporsi dari kecelakaan lalu lintas hanya 37%, 74 kasus dari jumlah 202
kasus. Perbedaan jumlah dari kecelakaan lalu lintas di antara beberapa penelitian tersebut
bisa saja terjadi karena penelitian Sonepat dilakukan pada daerah yang kurang ramai,
sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada rumah sakit yang terletak dekat jalan raya
utama/nasional. Pada penelitian kali ini, 80% dari kasus korban kecelakaan lalu lintas adalah
laki – laki. Jumlah laki – laki yang lebih banyak pada kasus kecelakaan lalu lintas dapat
terjadi karena kebanyakan jumlah pengendara adalah laki – laki, pengaruh alkohol, dan laki –

  8
laki merupakan tenaga utama dalam pekerjaan. Kasus keracunan dan kecelakaan kerja sekitar
20% dari kasus. Dengan jumlah 43 kasus, keracunan menjadi peringkat kedua yang disusul
berurutan oleh kasus kecelakaan pekerjaan, jatuh, penyerangan, sengatan listrik, kategori
lainnya, luka bakar dan gigitan ular. Dalam penelitian ini, kasus keracunan hanya 10% dari
seluruh kasus, di mana pada penelitian Sonepat kasus keracunan menjadi peringkat utama
dengan jumlah 42% kasus, 84 kasus dari 202 kasus. Sekitar 95% dari kecelakan pekerjaan
adalah laki – laki. Kecuali untuk 2 kasus pada kecelakaan keracunan, kebanyakan kasus
keracunan merupakan sifat alami bunuh diri. Kasus penyerangan sekitar 8% dari seluruh
kasus dan 75% korban kasus penyerangan adalah laki – laki. Kasus sengatan listrik
dilaporkan hanya terdapat pada laki – laki. Sekitar 66% dari korban laki – laki dan 69% dari
korban perempuan dikategorikan dalam kelompok usia 20 – 29 tahun di mana merupakan
kelompok usia yang produktif. Bulan April merupakan bulan kejadian insiden paling banyak
dengan jumlah 25% dan sekitar 43% dilaporkan pada bulan April dan Mei.
Dikarenakan penelitian ini dilakukan pada fakultas kedokteran swasta, kekerasan
seksual dan perkiraan usia tidak dilaporkan karena banyaknya kejadian dari jumlah signifikan
kasus medikolegal dalam peraturan pemerintah.

KESIMPULAN
Paling banyak dari temuan dalam penelitian ini berkorelasi dengan penelitian Tumkur
dan berbeda dari penelitian Sonepat. Perbedaan laki – laki dan perempuan dapat diakibatkan
karena perbedaan aktifitas hidup dibandingkan dengan perempuan yang mungkin saja
meningkat pada penelitian selanjutnya. Dari penelitian ini membuktikan dengan jelas bahwa
kecelakaan lalu lintas merupakan kasus medikolegal paling sering, di mana sebenarnya dapat
dicegah dengan aturan keamanan seperti pembatasan kecepatan, pelindung kepala, sabuk
pengaman, dan kesiagaan saat berkendara di tempat umum. Implementasi yang tepat terhadap
aturan lalu lintas dapat mengurangi jumlah kecelakaan lalu lintas.

  9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PELAYANAN KESEHATAN
Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam memberikan layanan
kesehatan kepada masyarakat. Definisi pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr. Soekidjo
Notoatmojo adalah sebuah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat. Sedangkan menurut Levey dan Loomba (1973), Pelayanan Kesehatan Adalah
upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.5
Kesehatan menurut UU no. 36/2009 tentang Kesehatan terdiri dari dua unsur yaitu
“upaya kesehatan” & “sumber daya kesehatan”. Yang dimaksud dengan sumber daya
kesehatan, terdiri dari sumber daya manusia kesehatan (tenaga kesehatan yaitu dokter,
apoteker, bidan, perawat) & sarana kesehatan (antara lain rumah sakit, puskesmas, poliklinik,
tempat praktik dokter). 5,6
Pelayanan kesehatan juga terbagi ke dalam beberapa macam bentuk dan jenis yang
berbeda tingkat pelayanan dan juga kemampuan dalam melayani. Berikut macam-macam dari
pelayanan kesehatan : 5
a.) Pelayanan Kesehatan Primer
Pelayanan kesehatan primer merupakan pelayanan yang bersifat pelayanan yang
bersifat dasar, merupakan rujukan pertama pelayanan kesehatan yang mudah
terjangkau oleh masyarakat di lingkungannya dan dilakukan bersama masyarakat.
b.) Pelayanan Kesehatan Sekunder
Pelayanan kesehatan sekunder adalah pelayanan yang lebih bersifat spesialis dan
bahkan kadang kala pelayanan subspesialis, tetapi masih terbatas. Pelayanan
kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health care), adalah rumah
sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut (rujukan). Di Indonesia
terdapat berbagai tingkat rumah sakit, mulai dari rumah sakit tipe D sampai dengan
rumah sakit kelas A.
c.) Pelayanan Kesehatan Tersier
Pelayanan kesehatan tersier adalah pelayanan yang lebih mengutamakan pelayanan
subspesialis serta subspesialis luas.

  10
2.2 RUMAH SAKIT
Dalam Undang-Undang No. 44 tahun 2009 pasal 1 yang dimaksud dengan Rumah
Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat
darurat. Di dalam KMK (Keputusan Menteri Kesehatan) No.340 Tentang Klasifikasi Rumah
Sakit, dijelaskan rumah sakit dibedakan menjadi 2 yakni rumah sakit umum dan rumah sakit
khusus. Yang dimaksud dengan rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan dan rawat darurat. Rumah sakit umum adalah rumah sakit
yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Sedangkan
yang disebut rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada
satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ
atau jenis penyakit. 5,7,8
Rumah Sakit Umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu
dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya pelayanan kesehatan secara berdaya
guna dan berhasil guna dengan mengutamakan penyembuhan dan pemulihan yang
dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan peningkatan dan pencegahan serta
pelaksanaan upaya rujukan. 5
Dalam KMK No. 340 tahun 2010 tentang klasifikasi rumah sakit dijelaskan bahwa
rumah sakit diklasifikasi menurut tugas, kelas dan cakupan wilayah kerjanya dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Dalam pasal 4 Bab III KMK No.340 tersebut
dijelaskan bahwa terdapat 4 tipe rumah sakit sesuai dengan kelas pelayanan dan cakupan
wilayah pelayanan kesehatan yang diberikan. Terdiri dari rumah sakit tipe A, Tipe B, Tipe C
dan Tipe D. 5,,8
Berdasarkan kelasnya rumah sakit umum dikatedorikan ke dalam 4 kelas mulai dari
A,B,C,D Dimana untuk yang membedakan keempat kelas tersebut adalah sebagai berikut : 5
a. Pelayanan medis 
b. Pelayanan dan asuhan keperawatan 
c. Pelayanan penunjang medis dan nonmedis 
d. Pelayanan kesehatan kemasyarakatan dan rujukan 
e. Pendidikan, penelitian dan pengembangan 
f. Administrasi umum dan keuangan 

  11
2.3 ASPEK MEDIKOLEGAL PELAYANAN GAWAT DARURAT
Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit tidak
tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan
dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi).
Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat
pula unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. 9
Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan norma hukum
yang mempunyai tolak ukur masing-masing. Oleh karena itu dalam praktik harus diterapkan
dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada saat kita berbicara masalah hukum, tolak ukur
norma hukumlah yang diberlakukan. Pada kenyataannya kita sering terjebak dalam menilai
suatu perilaku dengan membaurkan tolak ukur etika dan hukum. 9
Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan
terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut segi
pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit
dilakukan. 9

Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat


Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus
dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan
menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. 9

Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat


Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu: 9
- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat
- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko
tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di gawat darurat
menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologi dalam menghadapi kematian. Situasi
emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan yang di
bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien dengan pihak pemberi pelayanan

  12
kesehatan. 9

Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat


Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan hubungan
yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter –
pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat
menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya (didapati azas voluntarisme). Demikian
pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada
hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam keadaan darurat
hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari kedua belah pihak juga tidak terpenuhi.
Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat darurat yang
tidak didasari atas azas voluntarisme. 9
Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia harus
melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan itu atau
korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan
tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/menghalangi
kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance). 9

Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat


Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan;
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
4. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tenang Disiplin
Profesional Dokter Dan Dokter Gigi;
5. Kode Etik Kedokteran Indonesia;
6. UU No. 23/1992 tentang Kesehatan;
7. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis; dan
8. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.
Rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan
kesehatan. Pada dasarnya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Fasilitas pelayanan kesehatan, baik

  13
pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU
Kesehatan”), yang isinya: 6,9
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta dilarang menolah pasien dan/atau meminta uang muka.
Ini artinya, rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dilarang
menolak pasien yang dalam keadaan darurat serta wajib memberikan pelayanan untuk
menyelamatkan nyawa pasien. 6
Hal yang sama juga dipertegas dalam Pasal 85 UU Kesehatan terkait dalam hal keadaan
darurat pada bencana,yang berbunyi: 6
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan
nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang
muka terlebih dahulu.
Mengacu pada pasal di atas, korban kecelakaan dapat dikategorikan sebagai peristiwa
dalam keadaan darurat yang butuh tindakan medis secepatnya. Oleh karena itu, fasilitas
pelayanan kesehatan seperti rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dalam
bentuk tindakan medis tanpa memandang ada atau tidaknya keluarga pasien yang
mendampingi saat itu. 6,9
Perlu diketahui, ada sanksi pidana bagi rumah sakit yang tidak segera menolong pasien
yang sedang dalam keadaan gawat darurat. Berdasarkan Pasal 190 ayat (1) dan (2) UU
Kesehatan, yang berisi: 10
1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  14
2) Dalam hal perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UU Rumah
Sakit”) juga dikenal istilah gawat darurat. Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang
membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan
lebih lanjut. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 UU Rumah Sakit. Berdasarkan
Pasal 29 ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit, Rumah Sakit wajib memberikan pelayanan gawat
darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Jadi, seharusnya korban
kecelakaan yang mengalami keadaan gawat darurat tersebut harus langsung ditangani oleh
pihak rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya. 7
Apabila rumah sakit melanggar kewajiban yang disebut dalam Pasal 29 UU Rumah
Sakit, maka rumah sakit tersebut dikenakan sanksi admisnistratif berupa (Pasal 29 ayat (2)
UU Rumah Sakit): 7
a. teguran;
b. teguran tertulis; atau
c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit.
Senada dengan pengaturan dalam UU Rumah Sakit, saat ini juga telah lahir UU baru
yang mengatur tentang kewajiban tenaga kesehatan dalam memberikan pertolongan darurat,
yakni Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga
Kesehatan”). Dalam Pasal 59 UU Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa: 11
1) Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib
memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam
keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan
pencegahan kecacatan.
2) Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak Penerima
Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu
Berkaitan dengan alasan tidak adanya keluarga pasien yang mendampingi, memang
pada dasarnya setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di rumah sakit harus mendapat
persetujuan pasien atau keluarganya. Hal ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UU Rumah Sakit
yang menyebutkan bahwa: 7
1) Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat

  15
persetujuan pasien atau keluarganya.
2) Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Namun, dalam Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Rumah Sakit, dijelaskan lebih lanjut
bahwa setiap tindakan kedokteran harus memperoleh persetujuan dari pasien kecuali pasien
tidak cakap atau pada keadaan darurat. Persetujuan tersebut diberikan secara lisan atau
tertulis. Persetujuan tertulis hanya diberikan pada tindakan kedokteran berisiko tinggi. 7,9
Poin ini juga dipertegas dalam Pasal 68 UU Tenaga Kesehatan yang berbunyi: 11
1) Setiap tindakan pelayanan kesehatan perserorangan yang dilakukan oleh Tenaga
Kesehatan harus mendapatkan persetujuann
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat
penjelasan secara cukup dan patut.
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. Tata cara tindakan pelayanan;
b. Tujuan tindakan pelayanan yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan, baik secara tertulis
maupun lisan.
5) Setiap tidakan Tenaga Kesehatan yang mengandung risiko tinggi harus diberikan
dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan Tenaga Kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pada penjelasan UU Tenaga Kesehatan Pasal 68 dijelaskan bahwa pada prinsipnya
yang berhak memberikan persetujuan adalah penerima pelayanan kesehatan yang
bersangkutan. Apabila penerima pelayanan kesehatan tidak kompeten atau berada di bawah
pengampuan (under curatele), persetujuan atau penolakan tindakan pelayanan kesehatan
dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/istri, ayah/ibu kandung, anak
kandung, atau saudara kandung yang telah dewasa. 11
Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan nyawa Penerima Pelayanan
Kesehatan, tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah Penerima Pelayanan Kesehatan

  16
sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan segera diberi penjelasan. 11
Dalam hal Penerima Pelayanan Kesehatan adalah anak-anak atau orang tidak sadar,
penjelasan diberikan kepada keluarganya atau yang mengantar. Apabila tidak ada yang
mengantar dan tidak ada keluarganya, sedangkan tindakan pelayanan kesehatan harus
diberikan, penjelasan diberikan kepada anak yang bersangkutan atau pada kesempatan
pertama saat Penerima Pelayanan Kesehatan telah sadar. 9,11
Dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 tenang Disiplin
Profesional Dokter Dan Dokter Gigi (“Peraturan KKI 4/2011”) dikatakan bahwa tidak
memberikan tindakan medis terhadap pasien dalam keadaan darurat merupakan salah satu
bentuk Pelanggaran Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi yang disebut dalam Pasal 3
ayat (2) huruf o Peraturan KKI 4/2011 yang antara lain mengatakan bahwa pelanggaran
disiplin dokter dan dokter gigi salah satunya adalah tidak melakukan pertolongan darurat atas
dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa: 12
a. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah kewajiban yang mendasar
bagi setiap manusia, utamanya bagi profesi Dokter dan Dokter Gigi di sarana pelayanan
kesehatan.
b. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya atau apabila telah
ada individu lain yang mau dan mampu melakukannya atau karena ada ketentuan lain
yang telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan tertentu.”
Pada Pasal 13 Kode Etik Kedokteran Indonesia yang antara lain juga menegaskan
bahwa “setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.”
Pada penjelasannya dijelaskan bahwa kewajiban ini dapat tidak dilaksanakan apabila dokter
tersebut terancam jiwanya. 13
Menurut penjelasan pasal ini, pertolongan darurat yang dimaksud pada pasal di atas
adalah pertolongan yang secara ilmu kedokteran harus segera dilakukan untuk mencegah
kematian, kecacatan, atau penderitaan yang berat pada seseorang. Seorang dokter wajib
memberikan pertolongan keadaan gawat darurat atas dasar kemanusiaan ketika keadaan
memungkinkan. Walau tidak saat bertugas, seorang dokter wajib memberikan pertolongan
darurat kepada siapapun yang sakit mendadak, kecelakaan atau keadaan bencana. Rasa yakin
dokter akan ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu melakukan pertolongan darurat
seyogyanya dilakukan secara cermat sesuai dengan keutamaan profesi, yakni untuk

  17
menjunjung sikap dan rasa ingin berkorban profesi untuk kepentingan pertolongan darurat
termaksud. 13
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran yang berisi Dokter atau dokter
gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: 14
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
Walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan
gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya
merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).
Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang
terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). 9,15
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan
gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan. 9
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit
dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah
terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana
dalam pasal 23 menyebutkan: 9,16
1. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelayanan gawat darurat.
2. Pelayanan Rumah Sakit dilaksanakan 24 (dua puluh empat) jam per hari terus-

  18
menerus dan selalu mempunyai dokter jaga.
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum
ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat
darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan. 9,15

Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat


Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan
dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenaga
kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai berikut:
“tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan”. Melihat
ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan
kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil. 9,15
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa “pelaksanaan pengobatan dan
atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”. Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga
akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari,
khususnya tindakan medis yang mengandung risiko. 9,15
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur
dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di
atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya
setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk
tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan
oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai
dengan situasi (gawat darurat) saat itu. 9,15

  19
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama
dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupu yang terlatih di bidang
medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam
undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat
melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat
disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan. 9
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah
mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang tugasnya
di bidang ini (misalnya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan
tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan
membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa. 9

Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat


Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat. 9
Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu
bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The
American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah: keadaan darurat
adalah kondisi apapun yang menurut pendapat pasien, keluarganya, atau siapapun
mengasumsikan bertanggung jawab untuk membawa pasien ke rumah sakit untuk
mendapatkan pertolongan medis segera. Kondisi ini berlanjut hingga suatu penentuan yang
telah dibuat oleh petugas kesehatan yang menyatakan bahwa hidup pasien tidak terancam. 9
Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien
diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah
dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat melalui
standing order yang disusun rumah sakit. 9
Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah
sakit dengan fase di rumah sakit. Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda,
di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam,
sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya
tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang
awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-
rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien. 9

  20
Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam
fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong
seseorang dalam keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang pasien dilarang
menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat
utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah: 9
1. Kesukarelaan pihak penolong.
Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong
untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik
biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku. 9
2. Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang
bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu
untuk menambah keterampilan penolong. 9
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka
pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi
gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut
terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkualifikasi sama, pada situasi dan kondisi yang sama pula. 9
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).
Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53
ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien
yang tidak sadar dan tidak didampingi, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersebut dapat diperoleh
dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam
medis. 9,15

  21
Kematian pada Instalasi Gawat Darurat
Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on
Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem
koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected death)
apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner.
Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk
pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian
(death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner. Pihak rumah sakit harus
menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan
benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut. 9
Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner
diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang
akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang bertugas di IGD
tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya pada
POLRI. 9
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas
Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan
Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah DKI Jakarta yang telah
disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian
rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada
pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo untuk
dilakukan visum et repertum. 9
Kasus yang tidak boleh diberikan surat keterangan kematian adalah: 9
• meninggal pada saat dibawa ke IGD
• meninggal akibat berbagai kekerasan
• meninggal akibat keracunan
• meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan
Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara
kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan. 9

Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat


Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan tenaga kesehatan sewajarnyalah
diberikan kontraprestasi, paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolong

  22
seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi tersebut umumnya berlaku pada fase
pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien tetapi dapat
juga diatasi perusahaan asuransi kerugian, baik pemerintah maupun swasta. Di sini nampak
bahwa jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan private goods sehingga masyarakat
(pihak swasta) dapat diharapkan ikut membiayainya. 9
Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit yang
juga berupa jasa, namun lebih merupakan public goods. Jasa itu dapat disejajarkan dengan
prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harus diselenggarakan dan dibiayai oleh
pemerintah. Pihak swasta sulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang bersifat prasarana
umum. Dengan demikian pelayanan gawat darurat pada fase pra-rumah sakit sewajarnyalah
dibiayai dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Realisasi pembiayaan melalui pengaturan
secara hukum yang mewajibkan anggaran untuk pelayanan yang bersifat public goods
tersebut. Bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat berupa peraturan pemerintah
yang merupakan jabaran dari UU No.23/ 1992 dan atau peraturan daerah tingkat I (Perda
Tk.I). 9,15

2.5 ASPEK MEDIKOLEGAL KECELAKAAN LALU LINTAS


Menurut UU NO.22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, Pasal 1 No.24
disebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan
tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan yang lain yang
mengakibatkan korban manusia dan atau kerugian harta benda.17
Berdasarkan UU NO.22 Tahun 2009 Pasal 229 No.1-5 membagi kecelakaan lalu lintas
sendiri menjadi 3, yaitu:17
1. Kecelakaan lalu lintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
kendaraan dan/atau barang.
2. Kecelakaan lalu lintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan
dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
3. Kecelakaan lalu lintas berat, yaitu merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
korban meninggal dunia atau luka berat.

Pola cedera pada penumpang kendaraan


Jenis kendaraan (selain sepeda motor) dalam teorinya memiliki sedikit perbedaan
dalam mekanisme kejadian cedera, namun sebagian besar survei statistik membaginya ke

  23
dalam mobil dan van kecil yang berbobot mati 1,5 ton, pada satu pihak dan pada pihak lain
kendaraan berat, seperti truk dan bus, meskipun kelompok yang disebut terakhir ini memiliki
fitur yang berbeda yang lebih mirip dengan pesawat penumpang. 18
Kendaraan berat pengangkut barang biasanya mengalami kerusakan/akibat yang lebih
ringan daripada kendaraan kecil jika terjadi kecelakaan karena memiliki massa dan kekuatan
yang lebih besar, dan juga ketinggiannya dari permukaan tanah. Kerusakan struktural dari
pengaruh dengan kendaraan-kendaraan yang ukurannya lebih kecil akan lebih ringan dan
sering terjadi pada bagian di bawah posisi pengemudi. Meskipun demikian, karena daya
deselerasinya lebih kecil, maka para penumpang tetap rentan terhadap pola-pola cidera. 18
Van berbobot ringan secara umum identik dengan mobil dalam hal akibat kecelakaan
yang menimpa penumpang yang duduk di bagian depan kendaraan. Dalam kenyataannya
mereka dapat memiliki resiko yang lebih besar, karena van-van modern yang ada saat ini
cenderung memiliki bagian depan yang datar dan oleh sebab itu memiliki sedikit atau bahkan
tidak memiliki potensi ‘’pental’ yang dapat memperlama waktu berhenti. Dengan
mengkonsentrasikan perhatian pada mobil, sebagian besar korban kecelakaan kendaraan, pola
cidera berbeda-beda menurut kedudukan penumpang di dalam kendaraan yang mengalami
kecelakaan/tabrakan. 18

Penyebab Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas


Kematian karena luka parah lebih mudah dijelaskan, misalnya luka parah pada bagian
kepala yang kemudian mengalami gegar otak dan pendarahan. Seringkali cedera yang
berbeda-beda lebih sulit untuk dipelajari, namun dalam kasus-kasus yang umum orang
umumnya akan menganggapnya sebagai ‘cedera beragam (multiple injuries), karena cidera
yang dialami oleh korban bermacam-macam bentuknya. 18
Saat kematian terjadi akibat kecelakaan di jalan, atau korban kemudian tewas setelah
bertahan beberapa saat setelah ditabrak, biasanya akan terdapat kerusakan muskuloskeletal
atau organ, perdarahan parah, blokade aliran udara dari darah, atau asfiksia traumatis dari
fiksasi bagian dada yang disebabkan oleh benturan dengan bagian kendaraan. 18
Korban yang sempat bertahan hidup namun kemudian meninggal dapat disebabkan
oleh terjadinya pendarahan yang tanpa henti, perdarahan sekunder, kegagalan renal akibat
hipotensi dan/atau kerusakan otot yang ekstensif, embolisme lemak, infeksi lokal, infeksi
dada atau sistemik lainnya, infarks miokardial atau serebral dan sequeale lainnya. 18

  24
Adanya penyakit alami juga menjadi pertimbangan yang penting di dalam kematian
akibat kecelakaan lalu-lintas, seperti kemungkinan adanya kematian yang disebabkan oleh
penyakit yang diderita korban. Sedangkan kerusakan pada indera penglihatan atau
pendengaran dapat pula menyebabkan kecelakaan, meskipun hal demikian hampir tidak
pernah dimasukkan ke dalam catatan otopsi. Tentu saja, kemungkinan lainnya ialah pengaruh
konsumsi alkohol yang menyebabkan intoksisasi pada diri korban. 18
Jika pembahasan kita melibatkan pihak pengemudi atau pilot atau bahkan kapten kapal
maka adanya penyakit atau intoksikasi dapat menjadi unsur pengaruh yang sangat penting.
Pendapat umum menyatakan bahwa kematian mendadak jarang menyebabkan kendaraan
lepas kendali. Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt terhadap 39 kasus kematian di Jerman
menemukan bahwa 97 persen dari penyakit kardiovaskuler dan 90 persen dari penyakit
jantung koroner menjadi penyebab kematian di jalan raya. Sementara itu Morild di Norwegia
menemukan bahwa 14 dari 133 kasus kematian akibat kecelakaan lalu lintas disebabkan oleh
penyakit, terutama atheroskeloris koroner. 18

Pemeriksaan Forensik
Dalam rangka membantu proses peradilan dalam hal menyelesaikan kasus hukum
mengenai kecelakaan lalu lintas, seorang dokter adalah seorang ahli yang tepat bagi penegak
hukum untuk memeriksa barang bukti yang berupa mayat, orang hidup, bagian tubuh
manusia, atau sesuatu yang berasal dari tubuh manusia.19
Kegiatan otopsi secara umum identik dengan prosedur yang biasanya berlaku, tetapi
ditambah dengan perhatian khusus pada hal-hal berikut ini:
1. Karena ketentuan pidana terlibat di dalam kasus kecelakaan lalu-lintas, maka
masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum seperti identitas mayat dan
kontinuitas bukti harus dipastikan. 18
2. Mayat harus dikenakan pakaian, jika kondisinya saat dibawa ke rumah sakit telah
tewas, shingga cidera yang ia derita dapat dicocokkan dengan kerusakan pakaian yang
dikenakannya. Seringkali hal demikian mustahil dilakukan, khususnya jika korban
tidak memungkinkan untuk dibawa dengan mengenakan pakaian sebelum ia
mengalami kecelakaan. 18
3. Sampel darah harus didapatkan dari golongan darah dan sekarang mungkin
disesuaikan dengan ‘sidik jari DNA’ dalam kasus ‘tabrak-lari’ yang di tempat
kejadiannya ditemukan bercak darah atau petunjuk-petunjuk lainnya. 18

  25
4. Pemeriksaan eksternal, seperti untuk semua jenis kematian akibat trauma, adalah hal
yang sangat penting sehingga harus dilakukan secara detil, akurat dan tercatat semua.
Ketinggian pola cidera di atas permukaan tungkai korban harus ditandai, untuk
membandingkannya dengan dimensi kendaraan penabraknya. Semua jenis bukti dapat
ditemukan oleh seorang ahli patologi, dari bercak cat dan serpihan kaca hingga
bagian-bagian dari struktur kendaraan. 18
5. Otopsi yang menyeluruh harus dilakukan, bukan hanya menjadi semacam katalog
daftar cidera yang dialami oleh korban. Adanya kemungkinan penyakit yang diderita
oleh korban sebelum ia tewas tertabrak, maupun penyakit yang mungkin diderita oleh
si pengendara harus dipertimbangkan. Lesi jantung dan serebral lama dan baru
khususnya penting untuk dijadikan petunjuk. 18,20
6. Pemeriksaan alkohol dan obat-obatan pada kecelakaan merupakan suatu yang penting.
Konsumsi alkohol oleh pengemudi dan pejalan kaki telah menyebabkan 25.000
kematian dari total 800.000 kecelakaan di Amerika serikat setiap tahunnya. Alkohol
adalah penyebab terbesar kecelakaan fatal pada kecelakaan tunggal. Beberapa obat
seperti obat antihistamin dan antidepresi yang dikonsumsi sesaat sebelum mengemudi
juga dapat menyumbangkan sejumlah kasus kecelakaan kendaraan bermotor.8
Penyalahgunaan obat-obatan seperti penyalahgunaan amphetamine, marijuana, dan
obat-obatan terlarang dapat diidentifikasi dari tubuh korban melalui sampel darah dan
urine. Pemeriksaan toksikologi ini sangat berguna bagi pihak asuransi dalam hal
prosedur untuk melakukan klaim asuransi. Apabila pengendara terbukti lalai dalam
berkendara karena pengaruh alkohol atau obat-obatan non narkotik, pengendara dapat
dikenai pasal 311 UU No. 22 Tahun 2009. Hal ini berbeda apabila pengendara dalam
pengaruh konsumsi narkotik, pengendara akan dikenai pasal berlapis pasal 112, pasal
132, subsider 127 UU no. 35 tahun 2009 tentang narkotika. 17,21

Bunuh Diri atau Pembuuhan Menggunakan Kendaraan Bermotor


Bunuh diri dengan kendaraan bermotor adalah salah satu hal yang sulit dalam praktek
forensik. Kecuali situasi dan bukti-bukti jelas. Cara dan posisi kematian pada pemeriksaan
forensik sangat penting bagi pihak perusahaan asuransi dalam hal klaim terhadap asuransi
tersebut.21
Beberapa fakta dan penemuan yang biasanya dapat membantu menegakkan bunuh diri
dengan kendaraan bermotor:21

  26
1. Adanya percobaan bunuh diri pada beberapa waktu sebelumnya
2. Adanya riwayat depresi pada korban
3. Adanya bukti kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi
4. Tidak adanya bukti melakukan pengereman.
5. Tabrakan dengan pohon, jembatan, atau benda-benda keras lain yang mengenai sudut
mati pada tengah-tengah bagian depan kendaraan.
6. Adanya catatan sebelum kematian yang menyebutkan bahwa ingin bunuh diri.
Pada kasus pembunuhan dengan kendaraan bermotor, pembunuhan dapat dilakukan
melalui 4 cara:
a) Pembunuhan terencana pejalan kaki dengan menggunakan kendaraan. Investigasi
situasi seperti ini tidaklah sulit jika pembunuhan tersebut terdapat saksi disekitar
tempat kejadian perkara. Jika pengendara mobil meninggalkan lokasi dan tidak
ada bukti adanya perencanaan sebelumnya, maka kejadian seperti ini dapat
diklasifikasikan sebagai tabrak lari.21
b) Tabrak lari. Hal ini mungkin merupakan salah satu tindakan kriminal dengan
kendaraan yang menyebabkan cidera serius ataupun kematian. Pengendara “secara
tidak sengaja” membunuh ataupun melukai seseorang dan meninggalkan lokasi
untuk melarikan diri dari hukum.21
Hal yang berhubungan dengan kelalaian dalam berkendara diatur dalam pasal 310
UU No. 22 Tahun 2009, dimana pasal tersebut mendeskripsikan kecelakaan dalam
4 kondisi yang dibagi berdasarkan atas tingkat cedera yang dialami korban.
Dimulai dari cedera ringan, sedang, berat, dan meninggal dunia, hukuman yang
diterima disesuaikan dengan seberapa parah kondisi korban. Kelalaian yang
dimaksud dalam pasal ini adalah tidak adanya unsur kesengajaan pengendara
dalam berkendara yang mengakibatkan kecelakaan yang dialami korban.
Contohnya dalam berkendara pengendara tidak ugal-ugalan, mabuk sambil
berkendara, atau berkendara sambil menelpon, dan lain-lain.17
Luka ringan adalah luka yang tidak menyebabkan sakit atau halangan dalam
melakukan pekerjaan (jabatan atau pencarian). Luka sedang adalah luka/cedera
diantara luka berat dan luka ringan (misalnya vulnus laceratum, vulnus scissum,
atau fraktur) yang tidak mengancam nyawa. Dengan kata lain, luka sedang
merupakan luka yang menyebabkan penyakit atau menghalangi pekerjaan untuk
sementara waktu. Luka yang termasuk luka berat dirinci dalam KUHP pasal 90

  27
antara lain adalah jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut, tidak mampu
terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan, kehilangan salah
satu pancaindera, mendapat cacat berat, menderita sakit lumpuh, terganggunya
daya pikir selama empat minggu lebih, gugur atau matinya kandungan seorang
perempuan.22
Apabila terdapat unsur kesengajaan dalam berkendara yang mengakibatkan
kecelekaan, maka pengendara dapat dikenakan pasal 311 UU No. 22 Tahun 2009.
Hal ini disesuaikan dengan cara berkendara pengemudi, apabila mengemudi
dengan ugal-ugalan pengendara dapat dikenai pasal berlapis, pasal 283 UU No. 22
Tahun 2009 tentang mengemudikan kendaraan dengan tidak wajar. Apabila
pengendara mengemudikan kendaraan melebihi batas kecepatan atau melanggar
rambu lalu lintas lainnya, maka pengendara dapat dikenai pasal 287 UU No. 22
Tahun 2009 tentang pelanggaran rambu-rambu lalu lintas.17
Berbeda lagi dalam hal tabrak lari, dalam kasus ini pengendara akan dikenai pasal
berlapis, pasal 312 UU No. 22 Tahun 2009. Dalam pasal ini hukuman yang akan
didapat pengendara akan jauh lebih berat.17
Hal penting pada investigasi tabrak lari adalah indentifikasi dari kendaraan dan
pengemudi yang menyebabkan kematian. Pemeriksaan yang teliti dari TKP,
tubuh, dan pengumpulan bukti adalah hal yang penting. Beberapa barang yang
harus dikumpulkan misalnya: pakaian termasuk sepatu, darah, urin, rambut dari
kepala dan kelamin, kotoran, kaca, oli dan karat pada pakaian dan tubuh.21
c) Kecelakaan palsu untuk menyebunyikan tindakan kriminal. Kejadian ini sangat
jarang ditemukan, tetapi bukan berarti tidak ada. Seseorang bisa saja dibunuh
dengan suatu maksud, kemudian tubuhnya diletakan di dalam kendaraan dan
kemudian didorong ke jalan raya agar terlihat seperti kecelakaan. Ketelitian yang
tinggi dibutuhkan dalam mengidentifikasi kasus seperti ini. Pemeriksaan terhadap
seluruh luka dan penyebab kematian dapat membantu dalam proses identifikasi.21
d) Menyembunyikan tindakan kriminal dengan membakar korban di dalam mobil.
Pada kasus seperti ini dapat dilakukan tes CO, karena pada kasus
menyembunyikan korban di dalam mobil dan dibakar, kadar carboxyhemoglobin
pada darah akan rendah. Pemeriksaan otopsi lainnya juga dapat ditemukan adanya
luka-luka lain yang dapat menyebabkan kematian selain luka bakar.21

  28
BAB III
ANALISIS JURNAL
Pada penelitian yang dilakukan oleh Raja sekhar et al di Gannavaram mengatakan
bahwa angka kejadian dominan terjadinya kasus medico legal adalah pada laki – laki, kecuali
pada kasus keracunan dan luka bakar. Ini dikarenakan pada jenis kelamin laki – laki
cenderung lebih aktif dan sering melakukan kegiatan di luar rumah dalam melakukan kerja –
kerja harian. Hal ini sejalan dengan penelitian Santhosh Chandrappa et al di Karnataka
dimana kasus medico legal sering terjadi pada laki – laki karena dominan untuk keluar
bekerja, sedangkan perempuan sering di rumah dan melakukan pekerjaan di rumah.2
Dalam penelitian ini didpatkan kasus medico legal yang terbanyak adalah kasus
kecelakaan lalu lintas (58 %) dikarenakan tempat studi ini dijalankan adalah berdekatan
dengan jalan raya besar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Raju K
et al di Tumkur yang mendapatkan kasus kecelakaan lalu lintas adalah yang tertinggi
berbanding kasus medico legal yang lain.2 Kedua lokasi penelitian ini berdekatan dengan
jalan raya. Berdasarkan penelitian ini, sebanyak 80 % kasus kecelakaan lalu lintas melibatkan
jenis kelamin laki – laki. Hal dikarenakan lebih banyak laki – laki yang mengendarai
kendaraan bermotor dibandingkan dengan perempuan. Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh
karena laki – laki sering mengkomsumsi alcohol sehingga menyebabkan sering mengendarai
di bawah pengaruh alcohol dan laki – laki lebih sering untuk keluar bekerja dibandingkan
dengan perempuan.1
Dalam penelitian ini, kasus keracunan merupakan kasus kedua terbanyak setelah
kecelakaan lalu lintas. Kasus keracunan ini lebih banyak terjadi pada perempuan karena lebih
banyak wanita hanya tinggal di rumah dan tidak bekerja sehingga aktivitasnya lebih
cenderung monoton dan tidak ada aktivitas untuk melepaskan stres. Pada penelitian ini hanya
ada 2 kasus yang mengalami keracunan secara tidak sengaja, sedangkan yang lainnya
diakibatkan kasus keracunan yang disengaja. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Subash Wijaya et al yang mengatakan bahwa kasus keracunan banyak terjadi pada
laki – laki dimana laki – laki sering terpapar dengan stres karena tanggungjawab sebagai
ketua keluarga, mengakibatkan laki – laki cenderung untuk bunuh diri dengan meminum
racun, dan keracunan ketika berkerja, disebabkan oleh kesalahan ketika menggunakan racun
tanpa memakai alat pelindung diri yang sesuai.23

  29
Pada penelitian Zopate Pravin et al didapatkan kejadian luka bakar banyak terjadi
pada perempuan karena perempuan sering bekerja di dapur, berpendidikan rendah dan kurang
pengetahuan tentang penggunaan alat masak.24 Penelitian Zopate juga sesuai dengan hasil
didapatkan dalam penelitian ini dimana prevalensi perempuan yang mengalami luka bakar
lebih tinggi dari laki – laki.
Berdasarkan penelitian ini, didapatkan banyak kasus medico legal pada laki – lagi dan
perempuan terjadi pada rentang usia 20 – 49 tahun. Hal ini karena pada kelompok usia ini
lebih aktif dibandingkan kelompok usia lain. Perempuan pada usia ini lebih sering berada di
dapur atau rumah, dan laki – laki yang akan lebih banyak aktivitas di luar dikarenakan
pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Prakash Kulkarni et al yang mendapatkan
kasus medico legal yang paling tinggi pada pertengahan usia.25

  30
DAFTAR PUSTAKA
1. Uppu RS, Kumar V. A Study of Medico-Legal Cases in a Tertiary Care Hospital.
Journal South India Medico-Legal Association. 2017;9.p.44-7.
2. Siddappa SC, Datta A. A Study Pattern of Medico-Legal Cases Treated at a Tertiary
Care Hospital in Central Karnataka. Indian Journal of Forensic and Community
Medicine. 2015;2.p.214-9. DOI:10.5958/2394-6776.2015.00002.8
3. Riandini IL , Susanti R , Yanis A. Jurnal Kesehatan Andalas: Gambaran Luka Korban
Kecelakaan Lalu Lintas yang Dilakukan Pemeriksaan di RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Sumatra Barat: 2015; 4.
4. Kairupan G, Monoarfa a, M. Hatibie. Angka Kejadian Penderita Luka Bakar di
Bagian/ SMF Bedah RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO Periode Juni
2011 – Juni 2014. Jurnal e-Clinic (eCl). 2015;3.
5. Listiyono RA. Studi Deskriptif Tentang Kualitas Pelayanan di Rumah Sakit Umum
Dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto Pasca Menjadi Rumah Sakit Tipe B.
Journal Kebijakan dan Manajemen Publik. 2015;1.p.1-7.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Indonesia;2009.p.1-48
7. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Indonesia;2014.p.1-40.
8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
Indonesia;2010.p.1-14.
9. Herkutanto. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Maj Kedokt Indon
2007;57.p.37-40.
10. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Kompilasi Ketentuan Pidana di Luar KUHP Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan [LN 2009/144, TLN 5063];2009.p.949-53.
11. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan. Indonesia;2014.p.1-28.

  31
12. Ketua Konsil Kedokteran Indonesia. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4
Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Jakarta:Konsil
Kedokteran Indonesia;2011.p.1-16.
13. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK), Ikatan Dokter Indonesia
(IDI). Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Jakarta:MKEK Pusat;2002.p.3-73.
14. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Indonesia;2004.p.1-18.
15. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Indonesia;1992.
16. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 159b/MEN.KES/PER/II/1988 Tentang Rumah Sakit.
Indonesia;1988.p.1-10.
17. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Indonesia;2009.
18. Knight B. Transportation injuries. Forensic Pathology Second Edition. New York :
Oxford University Press;1996.p.275-293.
19. Dahlan S. Status dokter dalam proses peradilan pidana. Ilmu Kedokteran Forensik
Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro;2004.p.17 – 21.
20. Vincent J., Dominick J. Transportation deaths. Handbook of Forensic Pathology
Second Edition. Georgetown : Landes Bioscience;1998.p.175 – 183.
21. Fatteh A. Transportation fatalities. Handbook of Forensic Pathology. Philadelphia :
J.B. Lippincott Company;1973.p.209 – 219.
22. Sitoresmi D. Aspek medikolegal trauma kimia, kecelakaan kerja, serta regulasi
keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Available from:
http://www.berbagimanfaat.com/2011/12/trauma-kimia-kecelakaan-kerja-
regulasi.html.

  32
23. Subash Vijaya Kumar, B. Venkateswarlu, M. Sasikala, G. Vijay Kumar. A study on
poisoning cases in a tertiary care hospital. Journal of Natural Science, Biology and
Medicine. 2010;1.p.35-9.
24. Zapote Pravin R, Waghmare CM, Tirpude Bipin H. An Epidemiological study of
Burn Injuries. Indian Journal of Forensic and Community Medicine 2016;3.p.214-9.
25. Prakash Kulkarni, R.K Pandey. Current Tends on Medico Legal Cases brought to
Tertiary Hospital, Aurangbad (MS), India. International Journal of Current Medical
and Applied Sciences (IJCMAAS). 2016.p.92-5.

  33
LAMPIRAN
(JOURNAL – ORIGINAL ARTICLE)

  34

Das könnte Ihnen auch gefallen