Sie sind auf Seite 1von 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penurunan kesadaraan akibat metabolik bukanlah sebuah diagnosa melainkan merupakan

sebuah sindrom dari disfungsi umum serebral yang dirangsang oleh stres sistemik dan bisa

memiliki gejala klinis yang beragam mulai dari disfungsi ringan hingga delirium agitasi, sampai

koma dalam dengan postur deserebrasi. Ini semua tergantung dari kelainan metabolik yang

dialami.1

Hal-hal yang terkait dengan ensefalopati metabolik ini antara lain gangguan yang

disebabkan oleh kegagalan sistem organ, elektrolit imbalans, hipoglikemia, hiperglikemia,

gangguan endokrin, dan sepsis sistemik. ensefalopati metabolik merupakan kelainan fungsi otak

yang penyebabnya berasal dari intra dan ekstraserebral. Prosesnya termasuk gangguan metabolik

(elektrolit, serum osmolaritas, fungsi renal dan disfungsi hepar, beberapa defisiensi (subtrat

metabolik, hormon turoid, vitamin B12, dll), racun (obat-obatan, alkohol,dll) atau kelainan

toksik sistemik (misalnya sepsis). Pada ensefalopati metabolik terdapat disfungsi difus dari otak,

yang onsetnya cepat dengan fluktuasi tingkat kesadaran (perhatian dan konsentrasi).1

B. Epidemiologi

Gangguan kesadaraan akibat metabolik dapat muncul di segala usia. Angka kejadian

secara umum belum banyak diteliti, penelitian lebih ditujukan pada masing-masing penyakit

yang mendasari gangguan kesadaraan akibat. Penelitian di London menunjukkan angka

kejadian hypoxic encephalopathy mencapai 150 per 57000 kelahiran hidup atau berkisar
2,64%. Pada negara maju kejadian hypoxic encephalopathy memiliki persentase sebanyak

30% sedangkan pada negara berkembang sekitar 60%.2


Di Indonesia, kejadian ensefalopati hepatik yang berkomplikasi dari sirosis hepatik

hampir mencapai 50% dan perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Secara umum,

beberapa penelitian di dunia menyebutkan bahwa 30-45% pasien. yang mengalami EH,

didahului oleh sirosis. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, lebih dari sepertiga pasien

sirosis menjalani rawat inap karena EH. Prevalensi terjadinya EH adalah sebesar 30-40% dari

pasien sirosis hepatik sedangkan untuk EH minimal sebanyak 20-80%. Sebanyak 30% EH

mengalami kematian. Sedangkan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebanyak 14,7% pada

tahun 1997-1998 dengan angka kematian 44,7%.


Uremic encephalopathy adalah kelainan otak organik yang terjadi pada pasien dengan

gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai kadar creatinine clearance menurun

dan tetap di bawah 15 mL/mnt. Angka kejadian Uremic encephalopaty di dunia tidak

diketahui. Uremic encephalopaty dapat terjadi pada pasien manapun dengan End-Stage Renal

Disease (ESRD), dan angka kejadian UE secara langsung tergantung pada jumlah pasien

tersebut. Peningkatan kasus ESRD seiiring dengan peningkatan kasus UE. Di Indonesia,

berdasarkan Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, jumlah

pasien GGK diperkirakan sekitar 50 orang per satu juta penduduk, 60% nya adalah laki-laki,

usia dewasa dan usia lanjut.

C. Klasifikasi dan etiologi

Etiologi terjadinya ensefalopati metabolik dapat dilihat pada tabel 2.1. Secara umum,

penyebab ensefalopati metabolik dibagi menjadi intoksikasi obat atau ketergantungan obat,
abnormalitas elektrolit dan glukosa, disfungsi organ mayor (seperti hepar, ginjal, paru, dan

endokrin), defisiensi nutrisi, terpapar terhadap toksin,sindrom paraneoplastik [ CITATION Var13

\l 1057 ].

Tabel 2.1 Etiologi Ensefalopati Metabolik [ CITATION Sus03 \l 1057 ]

Etiologi
Hipoksia - Anemia

- Penyakit Paru

- Hipoventilasi alveolar
Iskemia - Penyakit kardiovaskuler (termasuk cardiac arrest)

- Aritmia

- Penyakit mikrovaskular

- Hipotensi

- Hipertensi
Penyakit Sitemik - Penyakit hepar

- Penyait ginjal

- Penyait pankratikus

- Malnutrisi (defisiensi vitamin)

- Disfungsi endokrin (hipoglikemia atau hiperglikemia dan keadaan

hiperosmolar)

- Gangguan keseimbangan cairan, asam basa, dan elektrolit

- Vaskulitis
Agen Toksik - Alkohol, sedatif (barbiturat, narkotik, da obat penenang)

- Pengobatan psikiatri (antidepresan trisiklik, obat-obat

antikolinergik, Fenotiazin, MAO Inhibitor


- Logam berat

- Organofosfat, bensin

- Obat-obat lain (Kortikosteroid, penisilin, anti konvulsan)

B. Patofisiologi

Berbagai mekanisme dapat berkontribusi terhadap terjadinya ensefalopati, namun faktor

toksik, anoksik, dan metabolik merupakan mekanisme tersering dan signifikan

1) Hipoksia
Neuron membutuhkan suplai oksigen dan glukosa untuk mempertahankan gradien

neurotransmitter dan ion. Tekanan oksigen tidak merata pada seluruh jaringan otak.

Tekanan tersebut lebih tinggi pada substansia grisea dibandingkan substansia alba,

demikian pula halnya dengan aliran darah dan penggunaan glukosa. Adapun efek pertama

dari efek hipoksia serebral adalah peningkatan pH intraseluler. Selanjutnya, kandungan

kalsium inraselulaer meningkat sebagai konsekuensi pelepasan kalsium dari retikulum

endoplasmik. Konsentrasi ATP mulai jatuh, dan ketika sebanyak 50-70% ATP neuronal

hilang, pompa sodium gagal sehingga saluran ion bervoltase terbuka, maka menyebabkan

penurunan konsentrasi gradient Na+, K+, Ca++, dan Cl- serta melepaskan cadangan

neurotransmitter. Kemudian air akan memasuki sel sehingga terjadi peingkatan

osmolalitas dan sel membengkak. Konsentrasi kalsium intraselular neuronal dapat

meningkat hingga empat kali lipat. Konsentrasi kalsium intraselular tersebut selanjutnya

mengaktifkan lipase, protease, dan enzim katabolik lainnya [ CITATION Sus03 \l 1057 ].
Perubahan tekanan oksigen memiliki efek yang cepat dan langsung pada saluran

ion membran yang sebagian terkait dengan fosforilasi. Beberapa saluran ion mengalami

down regulation untuk mengurangi saluran ion dan mengurangi kebutuhan energi selular.

Beberapa saluran ion mengalami up regulation yang menimbulkan depolarisasi dan


kematian sel. Hipoksia juga merangsang terbentuknya molekul hypoxia-inducible factor

(HIF). Pembentukan molekul ini terjadi setelah terjadi efek hipoksia terhadap saluran ion.

Molekul ini mengaktifkan transkripsi gen untuk eriropoietin, gen untuk enzim glikolitik

dan gen yang terlibat dalam angiogenesis


2) Penyakit Sistemik
Penyakit sistemik yakni tergantung pada penyebab dapat terjadi karena gangguan

pada kegagalan organ, disfungsi endokrinin dan gangguan elektrolit.


a) Gangguan pada kegaglan organ
1. Encephalopatu hepatik
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi

pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan

hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan

kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Kerusakan hati baik akut

maupun kronik aka menginisisasi terjadinya serangkaian keluhan neuropsikiatrik yang

disebut dengan ensefalopati hepatik. Pada gagal hati akut, perubahan morfologi pada otak

didominasi oleh perubahan astrositik, terutama pembengkakan astrositik, dan edema otak

sitotoksik. Seiring dengan progresivitas edema otak, tekanan intrakranial meningkat dan

menghasilkan herniasi serebral. Pada gagal hati kronik, kelainan mikroskopik prinsipal

diantaranya aalah pembesaran dan peningkatan jumlah astrosit protoplasmik. Sel-sel ini

merupakan astrosit dengan nukleus yang membesar, pucat, dan penyusutan pada protein

asidik fibrilari glial. Sel-sel tersebut dapat ditemukan pada korteks serebral, basal ganglia,

nuklei batang otak, dan lapisan purkinje serebelum. Hal ini juga dapat ditemukan pada

ensefalopati HIV. Terdapat 2 faktor terpenting pada patogenesis ensefalopati yakni

peningkatan konsentrasi amonia pada plasma maupun otak. Di otak, amonia akan diubah

menjadi glutamine yang siklusnya berjalan dari astrosit sampai neuron, dan selanjutnya

akan diubah menjadi glutamate. Setelah pelepasan glutamate ke celah sinaptik, reuptake
terjadi pada astrosit. Penurunan konsumsi oksigen dan metabolisme glukosa terjadi

secara sekunder pada ensefalopati hepatikum [ CITATION Sus03 \l 1057 ].


2. Uremic Encephalopaty
Uremic encephalopathy adalah salah satu manifestasi gagal ginjal. Gejala uremik

ensefalopati termasuk kelelahan, malaise, sakit kepala, kaki gelisah, polineuritis,

perubahan status mental, kejang otot, pingsan, koma. Penyebab pasti uremic

encephalopathy belum diketahui. Akumulasi metabolit dari protein dan asam amino

mempengaruhi seluruh neuraxis. Beberapa akumulasi zat organik, termasuk urea,

senyawa guanidin, asam urat, asam hipurat, berbagai asam amino, polipeptida, poliamina,

fenol, asetoin, asam glukuronat, karnitin, mioinositol, sulfat, dan fosfat. Senyawa

guanidino endogen telah diidentifikasi menjadi neurotoksik. Uremic encephalopathy

melibatkan banyak hormon. Hormon tersebut termasuk hormon paratiroid (PTH), insulin,

hormon pertumbuhan, glukagon, tirotropin, prolaktin dan gastrin. Uremic

encephalopathy menggambarkan memburuknya fungsi ginjal. Jika tidak diobati dapat

berkembang menjadi koma dan kematian.


Uremic encephalopathy banyak terjadi pada pasien dengan gagal ginjal dan

ditandai dengan adanya perubahan perilaku (apatis, gangguan kognitif, kurangnya

konsentrasi, konfusi, dan halusinasi), sakit kepala, disartria, dan hiperkinesia. Uremia

yang berat dapat berakhir pada kondisi koma


b) Disfungis endokrin
1. Hipotiroid
Pasien hipotiroid kemungkianan terjadi gangguan kesadaraan, koma ataupun

demensia. Ganggguan neuro seperti disartia, gangguan pendengaraan atau ataxia.

Gangguan khas pada pasien dengan hipotiroid yakni terjadi keterlambatan relaksasi

dari reflex tendon. Pada pasien yang tidak diobati daapt terjadi kondisi coma ataupun

kejang.
Pada pasien yang mengalami hipotiroid dapat dilakukan pemeriksaan pada

hormone tiroid seperti penurunan triiodothyronine (T3) dan tetradothyronine (T4)

level sedangkan terjadi peningkatan tryroid stimulating hormone (TSH) dan serum

kolesterol.
Pengobatan pada pasien ini yakni dengan perbaikan kadar tiroid damun jika

keadaan yang parah myxedema madness atau koma dapat diberikan pemberian

levothyrosine bersama dengan hidrokortisone untuk mempertahankan fungsi dari

adrenal.
2. Hipertiroid
Pada pasien dengan gangguan hipertiroid dapat menyebabkan terjadinya

gangguan kesadaraan, koma, ataupun kematianpa. Pada pasien yang muda ditandai

dengan agitasi, halusinasi, dan psikosis. PAda pasien yang berumur diatas 50 tahun

biasa ditemukan apatis dan depresi. Kejang dapat terjadi. Pada pemeriksaan fisik

dapat ditemukan tremor dab hiperrefleks, namun juga dapat ditemukan klonus atau

ektensor plantar walaupun jarang ditemukan. Diagnosis pada pasien ini dengan

pemeriksan hormone tiroid (T3 dan T4).


Pengobatan pada pasien gangguan kesadaraan akibat terjadinya hipertiroid dengan

mengkoreksi dari hipertiroid, elektrolit keseimbangancairan dan memperbaikan

masalah jantung ( aritmia jantung dan gagal jantung kongestif). Pemberian obat

antihipertiroid seperti propythiouracil dan methimazole), iodine, propranolol dan

hidrokortisone.
3. Hipoglikemia
Pada pasien dengan gangguan hipoglikemia terjadi encelopati hypoglikemia yang

awal mulanya bersifat reversible dapat menajdi irreversible. Penangangan yang cepat

dan tepat memliki efek terapeutik yang baik.


Penyebab tersering dari gangguan ini adalah penggunaan insulin pada pasien

diabetik. Selain itu juga dapat terjadi pada pasien dengan pengobatan oral
antidiabetic, alcohol, malnutrisi, gangguan heapr, insulinoma, atau non insulin

secreting fibroma, sarcoma dengan fibrosarcoma. Keadaan ini ditandai gangguan dari

menit ke jam. Pada pasien dengan kadar hipoglikemia 30mg/dL atau kurang dari

tersebut dapat mengakiabtkan terjadinya gangguan otak yang bersifat irreversible.

Tanda dan gejala hipoglikemia meliputi takikkardi,berkeringat dan pupil

dilatasi diikuti dengna gangguan kesadaraan seperti somnolens atau agitasi. Diagnosis

pada pasien ini yakni ditandai dengan kadar glukosa, pengobatan pada pasien ini

dengan pemberian 50mL dari 50% dextrose intravena. Peningkatan tingkat

kesadaraan beberapa menit setelah pemberian glukosa intravena.


4. Hiperglikemia
Pada pasien dengan gangguan hipoglikemia terjadi encelopati hypoglikemia yang

awal mulanya bersifat reversible dapat menajdi irreversible. Penangangan yang cepat

dan tepat memliki efek terapeutik yang baik.


Penyebab tersering dari gangguan ini adalah penggunaan insulin pada pasien

diabetik. Selain itu juga dapat terjadi pada pasien dengan pengobatan oral

antidiabetic, alcohol, malnutrisi, gangguan heapr, insulinoma, atau non insulin

secreting fibroma, sarcoma dengan fibrosarcoma. Keadaan ini ditandai gangguan dari

menit ke jam. Pada pasien dengan kadar hipoglikemia 30mg/dL atau kurang dari

tersebut dapat mengakiabtkan terjadinya gangguan otak yang bersifat irreversible.


Tanda dan gejala hipoglikemia meliputi takikkardi,berkeringat dan pupil dilatasi

diikuti dengna gangguan kesadaraan seperti somnolens atau agitasi. Diagnosis pada

pasien ini yakni ditandai dengan kadar glukosa, pengobatan pada pasien ini dengan

pemberian 50mL dari 50% dextrose intravena. Peningkatan tingkat kesadaraan

beberapa menit setelah pemberian glukosa intravena.


c) Gangguan keseimbangan elektrolit
Pengaturan keseimbangan cairan dipengaruhi oleh kadar natrium dalam serum
darah. Hiperkalsemia menyebabkan gejala nonspesifik berupa apatis, kelemahan yang
progresif, dan gangguan kesadaran bahkan hingga koma. Sedangkan kondisi
hipokalsemia dicirikan dengan meningkatnya eksitabilitas neuromuskular, (spasme otot,
laringospasme, tetanus, tanda Chovstek dan Trousseau positif), iritabilitas, halusinasi,
depresi, dan kejang epilepsi. Hipomagnesemia memiliki gambaran klinis yang sama.
d) Agen toksik

1. Obat-obat sedative

Tanda-tanda klasik pada pasien yang mengalami gangguan kesadaran karena

pengguanan obat sedative yang berlebihan ditandai dengan keadaan

kebingungan,gangguan napas, hipotensi, hipotermi, pupil yang reaktif, nystagmus,

atau gangguan pada gerakan bola mata, ataksia, disartria, dan hiporefleks. Penyebab

terjadinya gangguan terbanyak yakni benzodiazepine dan barbiturate. Penegakan

diagnosis dapat di konfirmasi dengan analisa toksikologi darah, urin dan cairan

lambung. Namun jika pengguanan jangka pendek pada obat sedative sering tidak

terlihat pada keadaan klinis


Tatalaksana pada pasien yang mengalami ini dengan membantu fungsi pernapasan

dan sirkulasi disaat zat tersebut di bersihkan oleh tubuh.

2. Sedative withdrawal

Etanol, dan penggunan obat sedative lainya dapat menyebabbkan terjadinya

gangguan kesadaraan dan juga kejang jika terjadi pelepasan atau penghentian obat

secara mendadak. Tingkat keparahan sindrom withdrawal tergantung dengan durasi

penggunan obat sedative dan juga dosis yang digunakan selama kehidupan. Sindrom

withdrawal biasanya berkembang selama 1-3 hari setelah penghentian obat sedative

yang mendadak. Tanda dan gejala yakni terjadi kejang tipe myoclonus setelah 3-8

hari, dan memerlukan penangan.


Sindrom withdrwal bias di konfirmasi dengan mengevaluasi pasien selama satu

jam setelah pemberian phenobarbital dengan dosis 200mg peroral atau injeksi.

Setelah pemberian phenobarbital akan terlihat tidak gejala intoksikan seperti sedasi,

nystagmus, disartia atau ataxia.


Pengobatanya pada pasien pengguanan obat sedative yakni dengan pemberian

long-acting barbiturate seperti phenobarbital secara oral untuk mempertahankan

keadaan tenang tanpa ada gejala intoksisitas dan di tappring off sekitar 2 bulan.

3. Golongan Opioid

Golongan opioid mengakibatkan terjadinya anlgesi, perubahan mood, gangguan

kesadaraan, koma, gangguan napas, mual muntah, retriksi dari pupil, hipotensi,

retensi urin, dan terjadi gangguan motalitas usus. Pengguanan kronik dari golongan

ini terjadi toleransi dan ketergantungan. Tanda yang sering terjadi yakni pinpoint

pupil dan gangguan pernapasan


Tatalaksana pada pasien yang mengalami gangguan dari penggunaan opioid

dengan pengunaan naloxone dengan 0,4- 0,8mg dan disupport dengan bantuan

respiratory. Nalaxone bersifat short acting.

Setiap pasien dengan ensefalopati metabolik mempunyai gambaran klinis yang khas,
tergantung dari penyakit penyebabnya dan komplikasi yang disebabkan oleh keadaan komorbid
atau pengobatan. Meskipun adanya perbedaan-perbedaan individual ini, penyakit spesifik
seringkali menghasilkan pola-pola klinis yang berulang-ulang, dan jika dikenali jarang sekali
menghasilkan diagnosis yang keliru. Pemeriksaan secara menyeluruh dan detail dari kesadaran,
respirasi, reaksi pupil, pergerakan bola mata, fungsi motorik, dan elektroensefalogram (EEG)
dapat membedakan ensefalopati metabolik dengan kelainan psikiatrik atau dengan penyakit
struktural [ CITATION Sum09 \l 1057 ].
Aspek klinis kesadaran
Pada pasien dengan ensefalopati metabolik biasanya didahului oleh delirium. Penurunan daya
ingat jangka pendek, penurunan kemampuan untuk mempertahankan atau memindahkan
perhatian, proses pikir terganggu, gangguan persepsi, delusi dan atau halusinasi serta gangguan
siklus bangun-tidur [ CITATION Sum09 \l 1057 ].
Respirasi
Cepat atau lambat, penyakit ensefalopati metabolik hampir selalu menyebabkan kelainan
pernapasan baik dari sisi kedalaman ataupun irama. Kebanyakan perubahan ini terjadi secara
non-spesifik dan merupakan bagian dari penekanan batang otak yang lebih luas. Namun
demikian, pada keadaan-keadaan tertentu, perubahan pernapasan dapat meberikan gambaran
khas penyakit spesifik yang menyebabkan [ CITATION Sum09 \l 1057 ].
Perubahan respirasi neurologis dalam ensefalopati metabolik
Pasien-pasien dalam keadaan stupor atau koma ringan seringkali menampilkan gambaran
pernapasan Cheyne Stokes. Pada keadaan depresi batang otak yang lebih dalam hiperventilasi
neurogenik dapat terjadi sebagai akibat dari penekanan daerah inhibisi batang otak atau dari
terjadinya edema pulmonar neurogenik [ CITATION Sum09 \l 1057 ].
Hipoglikemia dan kerusakan anoksik lebih sering lagi menyebabkan hiperpnea transien,
sedangkan ketoasidosis diabetik dan penyebab koma lainnya yang menghasilkan asidosis
metabolik akan menunjukkan pernapasan lambat dan dalam (Kussmaul). Baik ensefalopati
hepatik dan keadaan inflamasi sistemik sama-sama menyebabkan hiperventilasi persisten yang
pada akhirnya menyebabkan alkalosis respiratorik primer. Pada keadaan-keadaan ini,
peningkatan frekuensi napas terkadang berhasil menutupi keadaan metabolik dasarnya dan
apabila pasien tersebut juga mempunyai rigiditas ekstensor gambaran klinisnya dapat secara
sekilas menyerupai penyakit struktural atau asidosis metabolik berat. Namun demikian dengan
melakukan pemeriksaan klinis secara teliti, biasanya dapat ditemukan diagnosis kerja yang
sesuai [ CITATION Bat03 \l 1057 ].
Efektivitas respirasi harus dievaluasi secara berulang-ulang pada saat penyakit metabolik
menekan otak, hal ini disebabkan karena formasio retikularis batang otak secara khusus rentan
terhadap depresi kimiawi. Anoksia, hipoglikemia dan obat-obatan dapat secara selektif
menginduksi hipoventilasi atau apnea sementara pada saat yang bersamaan tidak mengganggu
fungsi batang otak lainnya seperti respons pupil dan kendali tekanan darah[ CITATION Bat03 \l
1057 ].
Pupil
Pada pasien dengan koma dalam, keadaan pupil menjadi kriteria klinis yang paling penting dan
mampu membedakan antara kerusakan struktural dengan penyakit metabolik. Adanya refleks
cahaya pupil yang tetap terjaga, walaupun disertai dengan depresi pernapasan, kekakuan
deserebrasi atau flasiditas motorik tetap mengindikasikan ensefalopati metabolik. Ketiadaan
refleks cahaya pupil mengimplikasikan adanya penyakit struktural dibanding metabolik
[ CITATION Bat03 \l 1057 ].
Aktivitas motorik
Pasien dengan penyakit ensefalopati metabolik biasanya memperlihatkan dua tipe kelainan
motorik: (1) kelainan non-spesifik dari kekuatan, tonus dan refleks termasuk juga kejang fokal
dan umum; (2) gerakan tidak bertujuan khas yang hampir patognomonik untuk penyakit
ensefalopati metabolik. Kelainan motorik difus sering ditemukan pada koma metabolik dan
menggambarkan derajat serta distribusi depresi SSP [ CITATION Sum09 \l 1057 ].
Kelemahan fokal juga seringkali ditemukan pada pasien dengan penyakit ensefalopati
metabolik. Pasien dengan penyakit ensfalopati metabolik juga sering mengalami kejang fokal
atau umum yang tidak dapat dibedakan dengan kejang akibat penyakit otak struktural. Meskipun
demikian, pada saat ensefalopati metabolik menyebabkan kejang fokal, fokusnya seringkali
berpindah-pindah dari satu serangan ke serangan yang lain, temuan ini jarang didapatkan pada
lesi struktural. Kejang migratorik seperti tersebut di atas sering ditemukan pada uremia dan
sangat sulit dikendalikan [ CITATION Bat03 \l 1057 ].
Tremor, asteriksis dan mioklonus multifokal merupakan manifestasi terutama dari penyakit
ensefalopati metabolik; ketiga manifestasi di atas jarang ditemukan pada lesi struktural fokal
kecuali mempunyai komponen toksik atau infeksi. Tremor pada ensefalopati metabolik biasanya
kasar dan iregular dengan laju 8-10 kali per detik. Tremor biasanya hilang saat istirahat dan
paling mudah ditemukan pada jari-jemari tangan yang terjulur [ CITATION Bat03 \l 1057 ].
Asteriksis digambarkan sebagai gerakan mengepak telapak tangan bila dihiperekstensikan pada
pergelangan tangan dan banyak ditemukan pada banyak penyakit ensefalopati metabolik.
Mioklonus multifokal merupakan gerakan berkedut kasar mendadak, non-ritmis dan tidak
berpola yang melibatkan sebagian atau sekelompok otot pada satu bagian dan kemudian bagian
tubuh yang lain, terutama pada wajah dan tungkai proksimal. Mioklonus multifokal biasanya
menyertai ensefalopati uremikum, penisilin intravena dosis tinggi, narkosis CO 2 dan ensefalopati
hiperosmolar hiperglikemik. Mioklonus multifokal pada pasien koma menandakan adanya
penyakit metabolik yang berat [ CITATION Sum09 \l 1057 ].
2.6 Diagnosis
Adanya gangguan kesadaran, gangguan atensi, fluktuasi gejala dan keparahan dari waktu
ke waktu, adanya halusinasi, disorientasi atau distorsi persepsi, proses pemikiran yang tidak
terorganisir dengan baik (bicara inkoheren atau gangguan memori) seharusnya menjadi tanda
peringatan bagi dokter. Penting untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien sebelumnya
berdasarkan data dari rumah sakit/klinik berobat pasien sebelumnya. Pemeriksaan klinis juga
akan menunjukkan lokasi kelainan neurologis ketika terdapat lesi pada otak, namun kebanyakan
kasus menunjukkan adanya gangguan pada tanda vital (takikardia, hipotensi, hipertensi,
takipnea). Pemeriksaan neurologis yang lengkap dan sistematik juga menunjukkan penyebab
spesifik terjadinya ensefalopati. Sebagai contoh, ekstremitas basah dan pucat pada syok
hipotensi, ikterik pada ensefalopati hepatikum, nafas berbau keton pada ketoasidosis diabetikum
[ CITATION Var13 \l 1057 ].
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu menunjukkan penyebab yang mendasari
terjadinya ensefalopati. Pemeriksaan tersebut antara lain pemeriksaan darah lengkap; kadar
elektrolit serum, ureum, kreatinin, kadar gula darah; evaluasi hormon thyroid, parathyroid, dan
horon adrenal lainnya; tes fungsi hepar, amilase, lipase, dan amonia; Kadar troponin; analisa gas
darah; evaluasi cairan serebrospinal; kultur cairan tubuh (darah, urin, feses, sputum); serta
toksikologi serum dan urin termasuk kadar obat-obatan anti epileptik dan logam berat
[ CITATION Var13 \l 1057 ].
Electroencephalography (EEG) mungkin menunjukkan gelombang trifasik yang biasanya
menunjukkan ensefalopati uremikum atau hepatikum, tapi hal ini tidak spesifik. Pemeriksaan
neuroimaging dapat membantu untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya lesi struktural dan
pemeriksaan punksi lumbal yang biasanya mengarahkan pada kemungkinan ensefalopati
toxometabolik. MRI otak menunjukkan temuan spesifik pada kondisi seperti myelinolysis
pontine pusat dari koreksi segera hiponatremia, keracunan kabon monoksida, methanol, ethylene
glucol, siklosporin, atau intoksikasi metronidazole [ CITATION Var13 \l 1057 ].
2.7 Penatalaksanaan
Penanganan ensefalopati meliputi menstabilkan pasien dan cepat mengobati kondisi yang
mendasari yang menyebabkan terjadinya ensefalopati dan memberikan perawatan suportif. Pada
pasien dalam keadaan koma, maka diperlukan tindakan emergensi umum meliputi (Bates,2003;
Sumantri, 2009):
1. Menjaga jalan napas (airway)
2. Amankan oksigenasi
Pasien koma idealnya harus mempertahankan PaO2 lebih tinggi dari 100mmHg dan
PaCO2 antara 35 dan 40mmHg.
3. Pertahankan sirkulasi
Pertahankan tekanan darah arterial rerata (mean arterial pressure/MAP; 1/3 sistolik + 2/3
diastolik) antara 70 dan 80mmHG dengan mempergunankan obat-obatan hipertensif dan
atau hipotensif seperlunya. Secara umum, hipertensi tidak boleh diterapi langsung kecuali
tekanan diastolik di atas 120mmHg. Pada pasien lansia dengan riwayat hipertensi kronik,
tekanan darah tidak boleh diturunkan melebihi level dasar pasien tersebut, oleh karena
hipotensi relatif dapat menyebabkan hipoksia serebral. Pada pasien muda dan sebelumnya
sehat, tekanan sistolik di atas 70 atau 80 mmHg biasanya cukup
4. Ukur kadar glukosa
Kadar glukosa harus dipertahankan secara ketat antara 80 dan 110mg/dL, bahkan setelah
episode hipoglikemia yang diterapi dengan glukosa prinsiip kehati-hatian harus
diterapkan untuk mencegah hipoglikemia ulangan. Infus glukosa dan air (dekstrosa 5%
atau 10%) sangat disarankan untuk diberikan sampai situasi stabil.
5. Pemberian tiamin, pada pasien stupor atau koma dengan riwayat alkoholisme kronik dan
atau malnutrisi. Pada pasien-pasien seperti di atas, loading glukosa dapat
mempresipitasikan ensefalopati Wernicke akut, oleh karena itu disarankan untuk
memberikan 50 sampai 100mg tiamin pada saat atau setelah pemberian glukosa.
6. Hentikan kejang
Kejang berulang dengan etiologi apapun dapat menyebabkan kerusakan otak dan harus
dihentikan. Kejang umum dapat diterapi dengan lorazepam (sampai 0,1mg/kg) atau
diazepam (0,1-0,3mg/kg) intravena.
7. Perbaiki keseimbangan asam basa
Pada keadaan asidosis atau alkalosis metabolik, kadar pH biasanya akan kembali ke
keadaan normal dengan memperbaiki penyebabnya sesegera mungkin karena asidosis
metabolik dapat menekan fungsi jantung dan alkalosis metabolik dapat mengganggu
fungsi pernapasan. Asidosis respiratorik mendahului kegagalan napas, sehingga harus
menjadi peringatan kepada klinisi bahwa bantuan ventilator mekanis mungkin diperlukan.
Peningkatan kadar CO2 juga dapat menaikkan tekanan intrakranial, sehingga harus di
jaga dalam kadar senormal mungkin. Alkalosis respiratorik dapat menyebabkan aritmia
jantung dan menghambat upaya penyapihan dari dukungan ventilator.
8. Sesuaikan suhu tubuh
Hipertermia merupakan keadaan yang berbahaya karena meningkatkan kebutuhan
metabolisme serebral, bahkan pada tingkat yang ekstrim dapat mendenaturasi protein
selular otak. Suhu tubuh di atas 38,5°C pada pasien hipertermia harus diturunkan dengan
menggunakan antipiretik dan bila diperlukan dapat digunakan pendinginan fisik (eq.
selimut pendingin). Hipotermia signifikan (di bawah 34°C) dapat menyebabkan
pneumonia, aritmia jantung, kelainan elektrolit, hipovolemia, asidosis metabolik,
gangguan koagulasi, trombositopenia dan leukopenia. Pasien harus dihangatkan secara
bertahap untuk mempertahankan suhu tubuh di atas 35°C.
9. Pemberian antidotum spesifik
Banyak pasien datang ke unit gawat darurat dalam keadaan koma yang disebabkan oleh
overdosis obat-obatan. Salah satu diantara sekian banyak obat-obatan sedatif, alkohol,
opioid, penenang, opioid dan halusinogen dapat dikonsumsi tunggal atau dengan
kombinasi. Kebanyakan kasus overdosis dapat diobati hanya dengan penatalaksaan
suportif, bahkan karena banyak dari pasien ini menggunakan obat secara kombinasi
pemberian antidotum spesifik sering tidak membantu. Pemberian koktail koma
(campuran dekstrosa, tiamin, naloksone dan flumazenil) jarang sekali membantu dan
dapat membahayakan pasien. Meskipun demikian, pada saat ada kecurigaan kuat bahwa
ada zat spesifik yang telah dikonsumsi, maka beberapa antagonis yang secara spesifik
membalikkan efek obat-obatan penyebab koma dapat berguna

Tabel 2.2 Antidotum dan indikasi pemakaian [ CITATION Sum09 \l 1057 ]


Antidotum Indikasi
Nalokson Overdosis opioid
Flumazenill Overdosis benzodiazepine
Fisostigmin Overdosis antikolinergik (gamma-
hidroksibutirat)
Fomepizol Keracunan metanol, etilen glikol
Glukagon Overdosis trisiklik
Hidroksokobalamin Overdosis sianida
Okreotid Hipoglikemia karena sulfonilurea

BAB III

KESIMPULAN

Ensefalopati metabolik merupakan kelainan fungsi otak yang menyebabkan gangguan

neurologis yang disebabkan oleh kelainan zat-zat metabolit, toksin, atau kegagalan organ.

Klasifikasi ensefalopati dapat berdasarkan penyebabnya yaitu ensefalopati metabolik primer

yang diakibatkan oleh disfungsi substansia alba maupun grisea pada otak dan ensefalopati

metabolik sekunder yang diakibatkan oleh berbagai macam faktor yang diantaranya adalah

kekurangan glukosa dan zat-at yang diperlukan untuk metabolisme sel serta ketidakseimbangan
ion dan cairan tubuh. Diagnosa ensefalopati metabolik harus diambil secara cepat dan tepat

sehingga dapat dengan segera ditangani karena komplikasi yang ditimbulkannya sangat berat

yaitu dapat menyebabkan disfungsi neurologis bahkan kematian.

Das könnte Ihnen auch gefallen